PENDAHULUAN
Herpes genitalis adalah infeksi akut yang disebabkan oleh Herpes Simplex
Virus (HSV) dengan gejala khas berupa vesikel yang berkelompok dengan dasar
eritem dan bersifat rekuren.1 Sebagian besar penyebabnya adalah HSV-2, tetapi
dapat juga disebabkan oleh HSV-1 ( 16,1%) akibat hubungan seksual secara
orogenital atau penularan melalui tangan.1,2
Laporan Centre for Disease Control Atlanta menyebutkan angka sekitar 20
juta pengidap herpes genitalis di AS, dengan pertambahan 10.000 kasus baru per
minggu. Di Indonesia, insiden herpes genitalis berkisar 3 -4 % dari seluruh
penyakit hubungan seksual.3 Insiden herpes genitalis di poliklinik RS Dr. Kariadi
Semarang pada tahun 1990-1994 adalah 0,14% dari seluruh penderita baru atau
2,64% dari semua penderita baru penyakit menular seksual (PMS), dengan rasio
pria dan wanita sekitar 7 : 3.4
Bila seseorang terpajan HSV, maka infeksi dapat berbentuk episode
pertama infeksi primer (inisial), episode pertama non infeksi primer, infeksi
rekuren, asimtomatik atau tidak terjadi infeksi sama sekali. 1 Manifestasi klinis
herpes genitalis dapat dibedakan atas manifestasi klinik episode pertama dan
manifestasi klinik episode rekuren. Pada episode pertama, herpes genitalis sering
bersama-sama dengan gejala sistemik disertai gejala pada genital maupun
ekstragenital. Gejala sistemik berupa demam, nyeri kepala, malaise dan mialgia.
Gejala lokal berupa nyeri dan lesi genital berupa papul berkembang menjadi
vesikel berkelompok diatas dasar eritematosa kemudian pecah menjadi ulkus.Pada
herpes genitalis rekuren, gejala biasanya lebih ringan.6-9
Virus HSV masuk tubuh melalui kerusakan kecil pada kulit atau mukosa
manusia. Penularan HSV dapat terjadi baik saat periode asimtomatik maupun
simtomatik, penyebaran virus HSV-1 terutama melalui kontak saliva, HSV-2
terutama melalui kontak seksual. Virus akan bereplikasi pada lokasi infeksi (pada
permukaan mukokutaneus), berjalan melalui akson ke ganglion dorsalis, dan
menetap sampai terjadi reaktivasi.5
Faktor pencetus antara lain adalah koitus yang berlebihan, demam, stres
emosi, kelelahan dan obat-obatan yang dapat menyebabkan reaktivasi virus.1
Pengobatan
herpes
genitalis
bertujuan
untuk
mencegah
infeksi
susu atau krim. Pada dinding vagina pada umumnya dijumpai gumpalan keju
(cottage cheese).11,13 Diagnosis klinis mudah dikonfirmasi dengan pemeriksaan
mikroskopik sekret vagina dengan sediaan KOH 10% atau dengan pewarnaan
Gram, dengan ditemukannya yeast form.11,14
Pengobatan KVV dapat diberikan secara oral dengan flukonazol,
ketokonazol, itrakonazol maupun secara topikal dengan preparat nistatin, krim
azol atau tablet vaginal.13-16
Tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah untuk lebih memahami
penatalaksanaan kasus herpes genitalis episode klinis primer pertama yang disertai
dengan kandidosis vulvovaginalis.
KASUS
Seorang wanita, berusia 29 tahun, suku Jawa, bangsa Indonesia, alamat
Tembalang-Semarang, datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Dr. Kariadi
Semarang pada tanggal 7 Juni 2010 (No. CM 225620748) dengan keluhan utama
lecet di kemaluan dan keputihan.
ANAMNESIS
Autoanamnesis & Alloanamnesis (suami penderita) (tanggal 7 juni 2010)
Sejak 2 hari sebelum berobat ke RSUP Dr. Kariadi, penderita mengeluh
timbul lecet di bibir kemaluan. Lecet terasa perih dan panas, terutama saat buang
air kecil. Dua hari sebelumnya timbul lenting berisi cairan jernih. Lenting
dirasakan nyeri dan panas. Kemudian lenting pecah dan timbul lecet. Sekitar 7
hari sebelum timbul lecet, penderita sakit batuk pilek, badan pegal-pegal
kemudian berobat ke dokter dan diberi obat dan sembuh. Penderita juga mengaku
akhir-akhir ini kurang istirahat karena punya bayi berusia 8 bulan. Penderita baru
pertama kali sakit dengan lenting-lenting dikemaluan.
Sejak kurang lebih 14 hari sebelum berobat ke RSUP Dr. Kariadi,
penderita mengeluh gatal pada daerah kemaluan disertai keputihan berwarna
putih, jumlah banyak, agak kental, tidak berbusa dan suami penderita mengeluh
cairan berbau apek pada saat berhubungan.
Tanda Vital
Kepala
bentuk mesosefal
Mata
Tenggorokan
Toraks
Abdomen
Datar, supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-)
Genital
Ekstremitas
Inguinal
Status Venerologik
Lokasi I
UKK
Palpasi
Lokasi II
: introitus vagina
Tampak duh tubuh (+) putih susu, kental, menggumpal seperti
susu pecah, tidak berbuih
Inspekulo
: positif
: positif
: negatif
Lekosit
Sel Yeast
: positif
Pseudohifa
: positif
Trikhomonas (NaCl)
: negatif
Clue cell
: negatif
Status Venerologik
Lokasi
UKK
Diagnosis
Terapi
: (-)
WD
DIAGNOSIS BANDING
Lokasi I
1. Ulkus herpes genitalis episode klinis pertama
2. Ulkus mole
3. Ulkus durum
4. Ulkus limfogranuloma venerum
Lokasi II
1. Kandidosis Vulvovaginalis
2. Vaginosis Bakterial
3. Trikomoniasis Vaginalis
4. Infeksi Genital Non Spesifik
5. Servisitis Gonore
DIAGNOSIS SEMENTARA
Herpes genitalis episode klinis pertama primer disertai Kandidosis Vulvovaginalis
PENATALAKSANAAN
1. Pemeriksaan darah dan urin rutin, kimia klinik.
2. Pemeriksaan tes Tzanck
3. Pemeriksaan gram dasar ulkus
4. Pemeriksaan serologis IgG dan IgM HSV-2
5. Pemeriksaan serologis VDRL dan TPHA
6. Konsultasi ke bagian VCT (Voluntary Conseling and Testing)
7. Terapi:
Sistemik: Asiklovir 3 x 400 mg selama 10 hari
Flukonazol 150 mg dosis tunggal
Asam mefenamat 3 x 500 mg (bila nyeri)
Mebhidrolin napadisilat 2 X 50 mg (bila gatal)
Topikal: Krim gentamisin untuk ulkus dioleskan 2 kali/hari
8. Saran:
- Menjaga kebersihan daerah kemaluan dan mengurangi kelembaban
di daerah genital (mengganti kebiasaan menggunakan celana jeans
dengan celana katun atau bahan yang menyerap keringat)
- Tidak berhubungan seksual selama masa pengobatan
- Minum obat dan mengoleskan obat secara teratur
- Kontrol 5 hari lagi
: 12,7 gr%
Hematokrit
: 38,9%
Eritosit
Lekosit
: 10.00 ribu/mmk
Hitung jenis
Ureum
: 14 mg/dl
Kreatinin
: 0,89 mg/dl
SGOT
: 33 U/I
SGPT
: 52 U/I
GDS
: 90 mg/dl
Warna
: Kuning
BJ
: 1.015
pH
: 7.00
Protein
: negatif
Reduksi
: negatif
Sedimen : Epitel
: 3-6 LPK
Urin:
Lekosit
: 1-2 LPB
Eritrosit
: 0-1 LPB
Ca Oxalat : negatif
Kristal
: negatif
Bakteri
: negatif
Jamur
: negatif
Lain-lain
: negatif
Pemeriksaan IgG dan IgM anti HSV-2 (selesai tgl 10 Juni 2010)
IgG anti HSV-2
: negatif / 0,40
: positif / 1,40
Pemeriksaan IgG dan IgM anti HSV-1 tidk dilakukan karena pasien menolak
karena cukup mahal.
Pemeriksaan Serologis (7 Juni 2010):
VDRL (-) dan TPHA (-)
Hasil Konsultasi Bagian VCT
HIV non reaktif
DIAGNOSIS KERJA
Herpes genitalis episode klinis pertama primer disertai Kandidosis Vulvovaginalis
PENGAMATAN LANJUTAN (10 Juni 2010) hari ke-4
Keluhan
Status Venerologik:
Lokasi I
UKK
Palpasi
: nyeri (-)
Lokasi II
Inspeksi
Inspekulo
Vagina
Portio serviks : eritem (-), erosi (-), duh tubuh warna putih seperti susu pecah,
strawberry appearance (-).
Tes Amin/Whiff (-), pH sekret vagina: 4
WD
WD
DIAGNOSIS KERJA
Herpes
Genitalis
episode
klinis
pertama
primer
disertai
Kandidosis
Vulvovaginalis
PENATALAKSANAAN
1. Pemeriksaan duh tubuh vagina dan serviks
2. Terapi:
Sistemik: Asiklovir 3 x 400 mg selama 10 hari (masih
dilanjutkan)
Ketokonazol tablet 2 x 200 mg selama 7 hari
Mebhidrolin napadisilat 2 X 50 mg (bila gatal)
10
: positif
: positif
: negatif
Lekosit
Sel Yeast
: positif
Pseudohifa
: positif
Trikhomonas (NaCl)
: negatif
Clue cell
: negatif
Duh endoserviks:
Kuman Batang Gram (+)
: positif
: positif
: negatif
Lekosit
11
Status Venerologik:
Lokasi I
UKK
: ulkus (-)
Lokasi II
Inspeksi
Inspekulo
: Vagina
Serviks
WD
WD
12
: positif
: positif
: negatif
Lekosit
Sel Yeast
: negatif
Pseudohifa
: negatif
Trikhomonas (NaCl)
: negatif
Clue cell
: negatif
Duh endoserviks:
Kuman Batang Gram (+)
: positif
: positif
: negatif
Lekosit
Diagnosis
Terapi
: (-)
PEMBAHASAN
Diagnosis herpes genitalis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran
klinis dan pemeriksaan laboratorium.
Dari anamnesis didapatkan bahwa penderita seorang wanita berusia 29
tahun, dengan keluhan sejak 2 hari yang lalu timbul lecet di bibir kemaluan yang
terasa perih dan panas, terutama saat buang air kecil. Dua hari sebelumnya timbul
lenting berisi cairan jernih yang kemudian pecah menjadi lecet. Sekitar 7 hari
sebelum timbul lecet, penderita sakit batuk pilek, badan pegal-pegal kemudian
berobat ke dokter dan diberi obat dan sembuh. Penderita juga mengaku akhirakhir ini kurang istirahat karena punya bayi berusia 8 bulan. Penderita baru
13
14
Pada penderita ini hasil pemeriksaan IgM HSV-2 didapatkan titer 1,40 atau
positif, sedangkan IgG HSV-2 didapatkan titer 0,40 atau negatif. Menurut
kepustakaan, pemeriksaan HSV spesifik dapat berguna untuk menentukan
diagnosis herpes genitalis. Dimana lesi primer dan rekuren tanpa gejala dapat
dibuktikan dengan ditemukannya antibodi terhadap HSV pada individu tanpa
riwayat penyakit herpes genitalis sebelumnya. 1 Dimana penderita tersebut telah
seropositif pada saat episode pertama namun asimtomatik.2
Pada pemeriksaa Tzanck didapatkan sediaan dasar vesikel didapatkan sel
datia berinti banyak. Pada kepustakaan disebutkan pemeriksaan apus Tzanck
sangat membantu untuk mendiagnosis dengan cepat infeksi virus herpes.
Ditemukannya sel raksasa berinti banyak bernilai diagnostik pada infeksi herpes,
akan tetapi pemeriksaan ini tidak bisa membedakan HSV dan varicella zoster
virus.19
Pada kasus ini, diagnosis banding dengan ulkus mole dapat disingkirkan
karena pada ulkus mole didapati lesi awal berupa papul kecil, eritem, tanpa
indurasi yang kemudian menjadi pustula, pecah dan menjadi ulkus kecil, lunak,
nyeri, berbatas tegas dengan tepi eritem, menggaung dengan dasar ulkus berwarna
abu-abu kekuningan yang terdiri dari jaringan granulasi yang mudah berdarah.
Pada pemeriksaan hapusan cairan ulkus atau tepi ulkus dengan pewarnaan
Giemsa dapat dijumpai kuman batang berjajar Gram negatif disebut School of
fish.20,21
Diagnosis banding dengan ulkus durum dapat disingkirkan karena pada
ulkus durum lesi biasanya soliter, bentuk bulat atau oval, berbatas tegas, tidak
nyeri, ukuran 1-2 cm, teraba indurasi seperti tulang rawan, tanpa peradangan
disekitarnya. Pada pemeriksaan mikroskop medan gelap didapat Treponema
pallidum dan pemeriksaan serologi VDRL dan TPHA positif.20,22
Limfogranuloma Venerum (LGV) merupakan penyakit menular seksual
yang mengenai sistem saluran pembuluh limfe dan kelenjar limfe, terutama pada
daerah genital, inguinal, anus dan rektum. 23 Lesi awal LGV berupa papul datar
berwarna merah kemudian menjadi ulkus dengan tepi meninggi, dasarnya merah
15
dan dangkal, tidak nyeri tekan. Manifestasi lanjut LGV dapat berupa etage
bubonum, yaitu adanya pembengkakan kelenjar limfe femoral, kelenjar limfe
iliaka dan kelenjar limfe inguinal baik superfisial maupun profunda sehingga
membentuk bangunan seperti tangga.24 Masa inkubasi LGV berkisar antara 3
minggu sampai 4 bulan.20 Diagnosis banding dengan LGV dapat disingkirkan
karena gejala klinis dan perjalanan penyakit yang berbeda.
Pengobatan herpes genitalis episode klinis pertama baik primer maupun
non primer sesuai rekomendasi CDC tahun 2006 dan kelompok studi herpes
Indonesia adalah pemberian antivirus berupa Asiklovir 5 x 200 mg/hari selama 710 hari atau Asiklovir 3 x 400 mg/hari selama 7-10 hari atau Famsiklovir 3 x 250
mg/hari selama 7-10 hari, atau Valasiklovir 2 x 1 gr/hari selama 7-10 hari. 10 Selain
itu juga dapat diberikan terapi simtomatik berupa analgetik, antipiretik atau
kompres.18,25 Penderita disarankan untuk melakukan abstinensia seksual selama
masa pengobatan.2,8 Penderita ini mendapat terapi Asiklovir 3 x 400 mg/hari
selama 10 hari, asam mefenamat 3 x 500 mg (bila nyeri), dan krim gentamisin
untuk ulkus dan lesi erosi.
Diagnosis Kandidosis Vulva Vaginalis (KVV) ditegakkan berdasarkan
anamnesis, gambaran klinis dan pemeriksaan duh tubuh.
Dari anamnesis didapatkan sejak 14 hari yang lalu penderita mengeluh
gatal pada daerah kemaluan disertai keputihan berwarna putih, jumlah banyak,
agak kental, dan berbau apek. Penderita setiap harinya terbiasa menggunakan
pantyliners, sehari-sehari menggunakan celana jeans ketat. Kepustakaan
menyebutkan pada KVV dapat ditemui keluhan berupa panas, gatal atau iritasi
dan keputihan yang tidak berbau atau berbau asam. Faktor predisposisi atau faktor
risiko terjadinya KVV meliputi: faktor hormonal (kehamilan, menstruasi, dan
kontrasepsi hormonal), meningkatnya kadar glikogen, pemakaian antibiotika
jangka panjang, meningkatnya suhu dan kelembaban (pakaian yang ketat dan
oklusif), imunosupresi (pemakaian steroid/imunosupresan), pemaikan iritan
eksterna (pembilas vagina, deodoran vagina, tisu toilet yang berfarfum), serta
iritasi atau trauma.11,13,16 Pada penderita ini diduga faktor predisposisi terjadinya
16
KVV adalah pemakaian celana jeans ketat dan pantyliners yang menyebabkan
keadaan vagina lebih lembab.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan vulva eritem, dengan inspkesi dan
inspekulo didapatkan duh tubuh berwarna putih susu, kental dinding vagina
tampak eritem. Didapatkan pH sekret vagina 4. Pada kepustakaan disebutkan pada
KVV duh tubuh bewarna putih seperti krim susu / keju atau kuning tebal, tetapi
dapat juga cair seperti air atau tebal homogen, bau minimal (berbau asam) dan
tidak mengganggu. Pada dinding vagina biasanya dijumpai gumpalan keju
(cottage cheese). Pada vulva atau vagina terdapat tanda-tanda radang, disertai
maserasi, pseudomembran, fisura, dan lesi satelit papulopustular.9 Serviks
biasanya normal, dapat sedikit eritema disertai sekret putih yang menempel pada
dindingnya. Bila cairan yang keluar jelas berasal dari vagina, maka diagnosis
dapat pula dibuat berdasarkan pH dan pemeriksaan mikroskopis sekret vagina.
Bila pH < 4,5 menunjukkan bahwa infeksi tersebut disebabkan oleh Candida.11,14
Pemeriksaan bakteriologik duh tubuh vagina dengan pengecatan Gram dan
KOH 10% didapatkan yeast cell dan pseudohifa. Hal ini sesuai dengan
kepustakaan yang menyatakan bahwa diagnosis klinis mudah dikonfirmasi dengan
pemeriksaan mikroskopik dari sekret vagina dengan sediaan basah KOH 10% atau
dengan pewarnaan Gram, dengan ditemukannya yeast form.11
Diagnosis banding dengan bakterial vaginosis (BV) dapat disingkirkan
karena pada BV memiliki gambaran klinis yang khas yaitu adanya bau amis
terutama pada saat berhubungan seksual. Bau tersebut disebabkan oleh adanya
amin yang menguap bila cairan vagina menjadi basa. Pada pemeriksaan
mikroskopik dijumpai adanya clue cells.31
Diagnosis banding dengan trikomoniasis dapat disingkirkan karena pada
trikomoniasis vaginalis didapatkan keluhan duh tubuh warna kuning kehijauan,
berbusa, bau busuk dan gatal. Pada inspekulo didapatkan gambaran khas
strawberry cervix (hanya ditemukan pada 2% kasus trikomoniasis). Dan pada
sediaan basah duh tubuh vagina ditemukan Trichomonas vaginalis.26,27
Diagnosis banding dengan infeksi genital non spesifik (IGNS) dapat
disingkirkan, dimana gejala IGNS pada wanita sering tidak khas, asimtomatik
17
atau sangat ringan. Jika ada keluhan berupa duh tubuh berwarna kekuningan. Pada
pemeriksaan duh tubuh serviks dengan pengecatan Gram didapatkan lekosit > 30
per lapangan pandang dengan pembesaran 1000x, tidak dijumpai yeast,
pseudohifa, clue cell, parasit Trichomonas vaginalis maupun Diplococcus Gram
negatif intra dan ekstraseluler.28
Diagnosis banding dengan servisitis gonore dapat disingkirkan karena
umumnya servisitis gonore pada wanita umumnya asimtomatik, pada pemeriksaan
serviks tampak merah dengan erosi dan sekret purulen. Dapat disertai keluhan
disuria, dispareunia dan nyeri perut bawah. Pada pengecatan Gram dari duh
endoserviks ditemukan kuman diplokokus gram negatif intra dan ekstraseluler.29,30
Menurut CDC 2006, terapi yang direkomendasikan untuk KVV adalah
rejimen oral tablet flukonazol 150 mg dosis tunggal, serta rejimen topikal seperti
butokonazol, klotrimazol, mikonazol, nistatin, tiokonazol dan terkonazol. 14 KVV
pada pasien imunokompromis, pengobatan dengan obat antijamur konvensional
selama 7-14 hari.9 Pengobatan KVV pada pasien ini yaitu diberikan tablet
Flukonazol 150 mg dosis tunggal dan mebhidrolin napadisilat 2 x 50 mg (bila
gatal). Dengan pengobatan tersebut pada penderita ini keluhan tidak berkurang,
kemudian dilanjutkan dengan pemberian ketokonazol 2 x 200 mg selama 7 hari.
Setelah 7 hari pengobatan dengan ketokonazol, didapatkan perbaikan
secara
18
asam
mefenamat 3 x 500 mg (bila nyeri), dan krim gentamisin untuk ulkus dan lesi
erosi. Memberikan hasil yang baik.
Prognosis pada pasien ini quo ad vitam ad bonam, quo ad sanam dubia ad
bonam, quo ad kosmetikam ad bonam.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Daili SF, Judanarso J. Herpes Genitalis. Dalam: Daili SF, Indriatmi WB,
Zubier F, Judanarso J, editors. Infeksi Menular Seksual. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI, 2007; 125-35.
2. Makes WIB. Herpes genitalis pada pasien imunokompeten. Dalam: Daili SF,
Makes WIB. Infeksi Virus Herpes. Kelompok studi herpes Indonesia.
Jakarta: Balai Penertbit FKUI, 2002; 74-88.
3. Widayati RI. Herpes Kelamin: Hubungannya dengan kehamilan. Dalam:
Subchan P, Himbawani M, Budiastuti A, Widayati RI, ed. Penyakit Akibat
Virus Herpes. Semarang, Grasia offset, 2007; 6.
4. Damar K, Hartono S, Suryaatmadja L. Herpes Genitalis di Poliklinik Kulit
dan Kelamin RSUP Dr. Kariadi Semarang Selama 5 tahun (Januari 1990Desember 1994). Yogyakarta: KONAS Perdoski VII, 1995.
5. Madkan V, Sra K, Brantley J, Carrasco D, Mendoza N, Tyring SK. Human
Herpes Viruses. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP et al, second edition.
Dermatology. Spain: Mosby; 2008; 1199-1217.
6. Oates JK. Anogenital herpes. In: Csonka CW, Oates JK eds. Sexually
Transmitted Disease. London: Bailiiere Tyndall; 1990; 129-51.
7. Barakbah J. Gambaran klinis herpes genitalis. In: Standarisasi diagnostik
dan penetalaksanaan beberapa penyakit menular seksual. Jakarta: FKUI:
1995; 53-6.
8. Corey L, Wald A. Genital Herpes. In: Holmes KK, Mardh PA, Sparling PF,
Lemon SM dkk. Sexually Transmitted Disease. 3 rd ed. New York: McGraw
Hill; 1999. 285-312.
9. Murtiastutik D, Barakbah J, Lumintang H, Martodihardjo S. Herpes Simplex
Genitalis. Dalam: Infeksi Menular Seksual. Surabaya: Airlangga University
Press. 2008; 148-56.
20
10. Genital HSV Infections. In: 2006 Guidelines for Treatment of Sexually
Transmitted Diseases. United States. Department of Health and Human
Services. CDC, Atlanta. 2006; 16-20, 37-38.
11. Soedarmadi. Kandidosis Vulvovaginalis. Dalam: Daili SF, Indriatmi WB,
Zubier F, judarsono J, editors. Infeksi Menular Seksual. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI, 2007. 171-5.
12. Muslimin, Widiansyah A, Sri Redjeki, Suryaatmadja L. Kandidosis
Vulvovaginalis di RSUP Dr. kariadi Semarang tahun 1995-98.
13. Sabel JD. Vulvovaginal Candidiasis. In: Holmes KK, Mardh PA, Sparling
PF, Lemon SM, Stamm WE, Piot P, et al, editors. Sexually Transmitted
Diseases. 3rd ed. New York. McGraw-Hill, 1999; 629-36.
14. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Vulvovaginal
Candidiasis. In: Sexually Transmitted Diseases Treatment Guidelines, 2006.
Atlanta: United States. Department of Health and Human Services. 2006;
54-6.
15. Chan R. Sexually Transmitted Infection. In: Management Guidelines
Departement of STI Control. Singapore: DSC Clinic National Skin Centre,
2003.
16. Mariani SM. Vaginal Infection-How to Diagnose and Treat Them
Appropiately:
Available
at
[On-line]:
URL:
www.medscape.com/viewarticle/463842; November 18, 2003.
17. Fatahzadeh M, Schwartz RA, Human Herpes Simplex Virus Infections:
Epidemiology, Pathogenesis, Symtomatology, Diagnosis, and Management.
J Am Acad Dermatol. 2007; 57; 737-63.
18. US Departement of Health and Human Services: Centers for Diseases
Control. Guidelines fot Treatment of Sexually Transmittted 2002. In:
Holmes KK, Mardh, Sparling PF, Lemon SM, et al. Sexually Transmitted
Diseases. 3rd ed. New York: McGraw-Hill. 2003; A1-24.
19. Marques AR, Straus SE. herpes Simplex. In : Wolff K, Goldsmith LA, Katz
SI, Gilchrest BA, Paller AS, Laffel DJ. Fitzpatricks Dermatology in General
Medicine. Edisi VII. United States : McGraw-Hill, 2008 ; 1873-85.
20. Prytowsky JH, Mellul VG. Ulcers. In: Bondi EE, Jegasothy BV, Lazarus GS,
editors. Dermatology: Diagnosis and Therapy. Philadelphia: Appleton and
Lange; 1991. 206-26.
21. Brown TJ, Moore AY, Trying SK. An overview of sexually transmitted
diseases. Part I. J Am Acad Dermatol, 1999; 511-26.
22. Sanchez MR. Syphilis. In: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, et al, editors.
Dermatology In General Medicine 6rd ed. New York: MacGraw-Hill Inc,
2003; 2163-88.
23. Sentono HK. Limfogranuloma Venerum. Dalam: Daili SF, Indriatmi WB,
Zubier F, Judanarso J, editors. Infeksi Menular Seksual. Jakarta. Balai
Penerbit FKUI, 2007; 109-14.
24. Hartadi. Limfogranuloma Venerum. Dalam: Penyakit Menular Seksual.
Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1990; 55-8.
21
22