Anda di halaman 1dari 665

PROCEEDING

SEMINAR NASIONAL

Professional Learning untuk


Indonesia Emas

Editor:
Sita Ratnaningsih
Takiddin
Fauzan
Asep Ediana Latip

FITK PRESS PRENADA


Professional Learning untuk Indonesia Emas

PROCEEDING SEMINAR NASIONAL PROGRAM STUDI


PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH (PGMI)

Professional Learning untuk Indonesia Emas

All Right Reserved

Hak Cipta dilndungi oleh Undang-undang

Editor :
Sita Ratnaningsih, Takiddin, Fauzan, Asep Ediana Latip

Layout & Desain Sampul:


Fatkhul Arifin

ISBN : 978-602-70156-7-8

Cetak Pertama, 2015

Diterbitkan oleh:
FITK PRESS
Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat, Tangerang Selatan
Telepon/Faks. (021) 7443328
Email : pgmi.fitk@uinjkt.ac.id

ii
KATA PENGANTAR
Ketua Prodi PGMI FITK UIN Jakarta

Assalamualaikum Wr.Wb
Syukur Alhamdulillah kami panjatkan kepada Allah SWT, atas
Rahmat dan Karunia-NYA Program Studi Pendidikan Guru Madrasah
Ibtidaiyah (PGMI), Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FITK)
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dapat
menyelenggarakan Seminar Nasional dengan Tema Professional
Learning Untuk Indonesia Emas, dan Munas Asosiasi Dosen PGMI
seluruh Indonesia. Hal itu dapat terlaksana atas kerjasama berbagai
pihak.
Seminar ini bertujuan untuk membangun persepsi yang sama
tentang Professional Learning yang dapat dilihat dari beberapa
karakteristik yang bisa menggambarkan proses belajar dan
pembelajaran yang berkualitas yaitu melalui the learning process. Dalam
konteks Indonesia emas implementasi profesional learning diharapkan
dapat mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045. Tujuan Indonesia Emas
2045 adalah kejayaan secara moral dan spiritual, bukan hanya kejayaan
secara ekonomi, yang pencapaian tujuan tersebut dapat didukung
melalui gerakan implementasi professional learning.
Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada
yang terhormat : Bapak Rektor UIN Sayrif Hidayatullah Jakarta
beserta jajarannya, Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta beserta Wakil Dekan I, Wakil Dekan II dan
Wakil Dekan III, jajaran panitia, para penyaji dan peserta seminar,
atas partisipasi, bantuan, serta dukungan yang tak terhingga sehingga
Seminar Nasional ini dapat terlaksana.
Akhir kata semoga Seminar ini dapat mencapai tujuannya,

iii
Professional Learning untuk Indonesia Emas

memberikan ruang serta jalan penyelesaian bagi masalah pendidikan


serta memberikan sumbangan keilmuan yang bermakna dan
bermartabat bagi pendidikan di Tanah Air kita tercinta Indonesia.
Amin

Wassalam,

Ketua Prodi PGMI

iv
KATA PENGANTAR
Dekan FITK UIN Jakarta

Assalamualaikum Wr. Wb.

Syukur ke Hadlirat Illahi karena perkenan-NYA kita dapat


melaksanakan Seminar Nasional ini, yang tentunya dapat membawa
pencerahan dan kebaikan bagi kita semua, khususnya bagi dunia
pendidikan di Indonesia. Selamat dan terima kasih kepada Program
Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, para narasumber dan peserta seminar serta
Asosiasi Dosen PGMI se-Indonesia dari dalam dan luar UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah mensukseskan seminar Nasional ini.
Seminar ini sangat penting untuk dilaksanakan, mengingat
pendidikan yang berkualitas dan bertaraf dunia harus didukung
dengan adanya pembelajaran yang profesional. Apalagi dalam
menyongsong generasi Emas pada tahun 2045 mendatang, maka
berbagai hal harus dipersiapkan. Sehingga generasi bangsa Indonesia
yang akan datang adalah merupakan generasi yang berakhlak mulia,
cerdas, mandiri, kreatif, inovatif, demokratis sehingga mampu
bersaing di era global, secara nasional maupun internasional.
Saya berharap Seminar Nasional yang diadakan Prodi PGMI ini
dapat mencapai tujuannya dan dapat memberikan informasi yang
terkini tentang upaya dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan
cita-cita untuk merealisasikan pendidikan unggul dan generasi Emas
bertaraf dunia. Semoga dengan seminar ini akan menghasilkan ide-
ide dan gagasan yang cemerlang, dan komitmen tinggi untuk semua
peserta untuk mengubah wajah dunia pendidikan kita ke arah yang
lebih baik dan bermakna. Disamping itu juga diharapkan dapat
terbangunnya jejaring akademik di dalam dan di luar kampus UIN

v
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Syarif Hidayatullah Jakarta yang berfokus pada pengajaran, penelitian


dan pengabdian pada masyarakat dalam rangka membangun
komunitas akademik yang profesional dan bermartabat bagi seluruh
bangsa.

Sekian. Terima kasih.



Wassalam,
Dekan FITK
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

vi
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR KETUA PRODI ___________________ iii


KATA PENGANTAR DEKAN ___________________________ v
DAFTAR ISI _________________________________________ vii

ARAH PEMBELAJARAN PROFESSIONAL UNTUK


INDONESIA EMAS PADA ABAD 21 ____________ 1
Implementasi Professional Learning untuk Anak
Usia Emas pada Jenjang MI/SD __________________________ 3
Asep Ediana Latip
Faktor Kesulitan Belajar Kimia pada Mata
Pelajaran Kimia SMA ___________________________________ 16
Nanda Saridewi, Abdurohim

TANTANGAN IMPLEMENTASI PROFESSIONAL


LEARNING __________________________________ 31
Fobia Sekolah pada Anak Sekolah Dasar dan Upaya Guru
untuk Mengatasinya ___________________________________ 33
Sri Wuryastuti
Tantangan dan Revitalisasi Pendidikan Islam
pada Madrasah Di Masa Modern Abad 21 _________________ 46
Syamsul Aripin
Urgensi Gizi dan Kesehatan Peserta Didik
Tingkat SD/MI sebagai Prasyarat Terwujudnya
Generasi Emas ________________________________________ 59
Dina Rahma Fadlilah
Perbedaan Pemikiran Barat dan Islam Memandang
Manusia dan Implikasinya terhadap Pendidikan ___________ 68
Lu`luil Maknun

vii
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Hubungan Antara Kecerdasan Adversity dan Support


System (Dukungan Dosen dan Teman Sebaya) dengan
Tingkat Kecemasan Calon Guru dalam Menghadapi
Praktek Profesi Keguruan Terpadu _______________________ 82
Sujiyo Miranto
Mengatasi Kesulitan Membaca pada Anak Sekolah Dasar
Kelas Rendah _________________________________________ 93
Ryan Dwi Puspita
Adaptasi Kurikulum Pendidikan Inklusif Siswa
dengan Hambatan Sosial Emosional di Sekolah Dasar ______ 107
Suharsiwi
Mengenal School Refusal Mengapa Anak
Menolak Bersekolah? __________________________________ 118
Fatkhul Arifin

PEMBELAJARAN INTEGRATIF BERBASIS SOFT


SKILL DAN HARD SKILL _____________________ 125
Pembelajaran Gotong Royong Inovatif Berbasis Soft Skill
dan Hard Skill untuk Mewujudkan Indonesia Emas ________ 127
Zaenul Slam
Lesson Study sebagai Upaya Meningkatkan Kompetensi
Guru Kelas dalam Pembelajaran Tematik Integratif
(Penelitian Tindakan di MIN 2 Kota Metro Lampung) _____ 140
Siti Annisah
Integrasi Pendidikan Multikutural di Sekolah _____________ 152
Rohmat Nugraha Sasmita

PERKEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN


DARI MASA KE MASA ______________________ 164
Model Pembelajaran yang Dibutuhkan untuk Menuju
Indosia Emas Tahun 2045 ______________________________ 167
Abuddin Nata
Pemanfaatan Sastra sebagai Basis Pembelajaran
Bahasa Indonesia _____________________________________ 180
Dindin Ridwanudin

viii
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Strategi dalam Memperoleh, Menganalisis, Menyajikan,


dan Memanfaatkan Informasi dalam IPS di MI/SD ________ 199
Takiddin
Pengaruh Alat Peraga Menara Hanoi
untuk Meningkatkan Penalaran Matematis Siswa
Mengenai Konsep Pola Bilangan ________________________ 209
Fery Muhamad Firdaus
Perbedaan Hasil Belajar IPS Terpadu
dengan Menggunakan Metode Pembelajaran Make A-Match
dan Metode Team Quiz di SMP Swasta Se-Kecamatan
Pamulang ___________________________________________ 223
Nurochim
Penerapan Pendekatan Pembelajaran Kooperatif
Teknik Jigsaw untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa
Kelas 3 MI Fathan Mubina Kabupaten Bogor pada
Konsep Cuaca ________________________________________ 241
Zulfiani, Nuraeni
Pengajaran Bahasa Inggris di SD/MI: Why Not? ___________ 253
Alek
Peningkatan Keterampilan Berbicara Bahasa Inggris
dengan Penerapan Pembelajaran Akselerasi ______________ 261
Neneng Sunengsih
Pengaruh Pendekatan Lingkungan sebagai Sumber
Belajar terhadap Hasil Belajar Peserta Didik pada Materi
Gerak dan Gaya di Kelas IV SDN 14 Pondok Labu Jakarta __ 274
Iwan Permana Suwarna, Siti Riana
Pengaruh Penggunaan Model Komik
dalam Pembelajaran Matematika di Kelas III
Sekolah Dasar Kartika I-10 Padang ______________________ 283
Dedek Kustiawati
Pengaruh Modul Berbasis Mind Map terhadap
Hasil Belajar Siswa pada Konsep Dinamika Rotasi _________ 295
Kinkin Suartini, Fathiah Alatas, Amayani Astuti
Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning
untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Materi Gaya
dan Gerak ___________________________________________ 305
Ali Aziz, Meiry Fadilah Noor

ix
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Model Pembelajaran Group Investigation


terhadap Peningkatan Kemampuan Mahasiswa ___________ 321
Tri Harjawati, Chamdun Mahmudi
Profil Penggunaan Media Pembelajaran Fisika
Berbasis Komputer untuk Meningkatkan Pengetahuan
Siswa SMA __________________________________________ 334
Diah Mulhayatiah
Konstruksi Konsep Sains Kimia dengan Bahan Terbatas ____ 344
Murdoyoko
Upaya Meningkatkan Hasil Belajar IPA Melalui
Strategi Pembelajaran Aktif Crossword Puzzle _____________ 350
Dedi Irwandi, Edah Jubaedah, Fauzan
Upaya Penanganan Gangguan Disgrapia pada
Anak Sekolah Dasar Melalui Pendekatan
Teknik Scaffolding _____________________________________ 365
Nandang Kosim
Pembelajaran Integratif Melalui Membatik di Kota Cimahi __ 380
Ramdhan Witarsa
Penggunaan Pembelajaran Berbasis Masalah
untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Materi
Listrik Dinamis _______________________________________ 395
Suhartini
Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Materi
Morfologi Tubuh Hewan dan Tumbuhan
Serta Fungsinya dengan Model Pembelajaran Kooperatif
Tipe Jigsaw ___________________________________________ 406
Nana Suhana, Meiry Fadilah Noor
Model Pembelajaran Inkuiri untuk Peningkatan Hasil
Belajar IPA Siswa pada Konsep Gaya ____________________ 422
Fathiah Alatas, Fauzan, Nur Aliyah Maharani

PROFESSIONAL LEARNING BASED ON


CHARACTER UNTUK INDONESIA ___________ 441
Pendidikan Menghidupkan Nilai
(Living Values Education) melalui Active Learning __________ 443
Bahrissalim

x
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Pendidikan Karakter Menyongsong Indonesia Emas 2045 __ 455


Azkia Muharom Albantani, Ach Wildan Al Faizi

Hubungan Pendidikan Karakter dengan Perilaku Siswa


Kelas IV SDN 4 Klapanunggal Kabupaten Bogor __________ 467
Kusmajid Abdullah
Membangun SDM Berkarakter Melalui Pendekatan
Pendidikan Nilai di Sekolah Dasar ______________________ 476
Nurlaelah
Urgensi Pendidikan Karakter ___________________________ 489
Rika Sadiyah

STANDAR KEUNGGULAN KOMPETENSI GURU


UNTUK INDONESIA EMAS __________________ 499
Profesionalisme Guru Melalui Program Pendidikan
Profesi Guru (PPG) di Lembaga Pendidik
dan Tenaga Kependidikan _____________________________ 501
Fauzan
Peningkatan Kualitas Madrasah Ibtidaiyah
Melalui Profesionalisme Guru dan Pendidikan
Karakter Siswa _______________________________________ 512
Sita Ratnaningsih
Professional English Teacher: Inspiring EFL Classroom ____ 524
Fahriany
Peningkatan Kemampuan Komunikasi Guru
dalam Rangka Menciptakan Professional Learning __________ 534
Zahruddin
Analisis Kemampuan Literasi Sains Guru Madrasah
Ibtidaiyah Program Dual Mode System dan Sarjana Ke-2 ____ 546
Burhanudin Milama
A Comparative Analysis on Sanguine and Phlegmatic
Students Concerning Their English Speaking Skill _________ 558
Ratna Sari Dewi, Muchamad Yusuf

xi
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Peningkatan Kemampuan Guru Bahasa Inggris


Memanfaatkan Permainan Komunikatif Melalui
Supervisi Klinis di SMPN 2 Batipuh ____________________ 572
Lastrawati

Mengubah Pola Pikir Guru _____________________________ 582


Ahmad Royani
Kompetensi Bahasa Arab untuk Calon Guru MI ___________ 596
Raswan
Guru Profesional Menuju Indonesia Emas ________________ 610
Didi Suprijadi
Peningkatan Mutu Pendidikan dengan Membangun
Komunitas Belajar Melalui Strategi Scafolding _____________ 625
Neli Rahmaniah
Mengembangkan Sikap Asertif Kepala Sekolah sebagai
Upaya Meningkatkan Kinerja Guru _____________________ 638
Nurdelima Waruwu

xii
1
ARAH PEMBELAJARAN
PROFESSIONAL UNTUK
INDONESIA EMAS
PADA ABAD 21
Professional Learning untuk Indonesia Emas

2
IMPLEMENTASI PROFESSIONAL LEARNING
UNTUK ANAK USIA EMAS
PADA JENJANG MI/SD

Asep Ediana Latip


Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Email: asep.ediana@uinjkt.ac.id

Abstrak : Belajar dan pembelajaran sejatinya berlangsung secara


professional. Profesional learning mengarah pada proses belajar
kreatif, kritis yang dilakukan secara mandiri. Belajar profesional
dapat dilaksanakan oleh semua tingkatan usia dan semua jenjang
pendidikan. Anak usia MI/SD sebagai generasi pada usia emas
merupakan usia yang berada pada jenjang pendidikan dasar yang
sejatinya menjadi fondasi proses belajar mandiri, kritis dan kreatif.
Namun tentu, implementasi professional learning pada tinggka usia
MI/SD membutuhkan upaya dan arah yang konkrit dari seorang guru.
Salah satu upaya untuk mendorong peserta didik belajar profesional
tentu saja melalui proses pembelajaran profesional. Pembelajaran
profesional diimplementasikan untuk dapat memfasilitasi proses
belajar profesional, artinya melalui proses pembelajaran profesional,
guru memfasilitasi, membimbing peserta didik untuk mencari,
menemukan, menganalisis, sintesis, dan bahkan mengevaluasi sampai
pada kreasi yang dilakukan secara mandiri.
Kata kunci : professional learning, kritis dan kreatif

Pendahuluan
Indonesia emas untuk siapa? Secara demografis Indonesia emas
untuk untuk generasi pada usia emas (golden age). Generasi pada usia
emas adalah generasi yang saat ini pada usia preschool/SD/MI/SMP/
SMA, sehingga jika usia SMA sekarang adalah 18 tahun di tahun 2015
ini, 15 tahun kemudian di tahun 2030 mereka merupakan generasi
produktif emas di usia 32 tahun, dan begitu selanjutnya berlaku untuk
anak usia SMP, SD/MI bahkan anak usia preschool.
Indonesia emas akan terwujud pada tahun 2030, maka wajah
Indonesia pada tahun 2030 akan diwarnai oleh generasi emas dengan
karakteristik produktif, kreatif, kritis, dan spritualitatif. Sehingga
disebut Indonesia emas berarti memiliki generasi yang produktif
dalam berkarya. Dapat pula disebut Indonesia emas apabila memiliki
generasi yang kreatif dalam berpikir. Istilah Indonesia emas juga

3
Professional Learning untuk Indonesia Emas

disematkan bagi Indonesia yang generasinya memiliki kemampaun


daya kritis tajam dan selektif. Sebagai negara yang relegius, Indonesia
emas tewujud apabila generasinya memiliki value spritualitas yang
tinggi atau yang lebih dikenal dengan istilah kecerdasan spritualitas,
atau memiliki nilai-nilai karakater kebangsaan seperti karakter yang
lahir dari olah hati, olah raga, olah pikir, dan olah kinestetik.
Mengapa harus Indonesia emas? Kompetisi global sudah tidak
dapat dihindari, tetapi harus dihadapi. Visi Indonesia emas merupakan
visi yang besar dan langkah besar untuk menjadi bagian kompetitif
dalam kancah global tetapi berasas pada value kebangsaan atau
dengan kata lain think globally act locally. Karena jika tidak responsive
terhadap perubahan global yang ada, suda dapat dipastikan bahwa
Negara ini akan terpuruk jauh tertinggal dari Negara lainnya. Keran
globalisasi telah dibuka kompetisinya mengalir melalui program
global berupa MEA (Masyarakat Ekonomi Asean/Asean Economic
Community), Melalui AFTA, dan lain sebagainya.
Bagaimana mewujudkan Indonesia emas? Dalam konteks
pendidikan perwujudan Indonesia emas dapat didorong dengan
mengasasi pada filosofi kontruktivisme, bahwa pendidikan
dikembangkan untuk memfasilitasi peserta didik merekonstruksi
pengetahuannya yang sporadic menjadi sistematis dan berkembang
secara kreatif, kritis, dan produktif. Implementasi pendidikan untuk
Indonesia emas dapat implementasikan dengan membumikan
professional learning dikalangan peserta didik. Terminologi professional
learning dipersembahkan kepada setiap individu yang memiliki
semangat belajar yang tinggi, kreatif, kritis dan produktif. Oleh karena
itu dalam konteks pembelajaran implementasi professional learning
diarahkan untuk mewujudkan peserta didik yang HOT yaitu memikili
kemampuan High Oreder Thinking.
Implementasi pofesional learning dalam pembelajaran sebagai
langkah konkrit untuk mencapai visi Indonesia emas bagi generasi
emas dapat dilakukan dengan mengembangkan proses pembelajaran
yang memiliki arah pencapain kompentensi yang HOT diantaranya
pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran kritis, pembelajaran
kreatif dan pembelajaran saintifik. Pembelajaran berbasis masalah
dikembangkan untuk mendorong peserta didik yang memiliki
kemampuan memecahkan masalah secara mandiri, kreatif, kritis dan
produktif. Pembelajaran kritis diarahkan untuk mengembangkan daya
berpikir kritis peserta didik dalam belajar (critical thinking in learning).
Pembelajaran kreatif diarahkan agar terwujud generasi yang kreatif
dan produktif. Pembelajaran saintifik dikembangkan agar peserta didik
mampu berpikir ilmiah, berpikir sistmatis dan berpikir logis. Harapan

4
Arah Pembelajaran Professional untuk Indonesia Emas pada Abad 21

Indonesia emas tersebut dapat dimulai melalui proses pendidikan dan


pembelajaran pada jenjang MI/SD. Karena pada usia ini merupakan
usia dengan sejumlah potensi emasnya yang dapat menjadi pondasi
bagi pengembangan potensi pada jenjang selanjutnya.

Anak Usia Emas


Anak usia MI/SD merupakan anak yang berada pada usia emas,
yaitu suatu masa yang sangat berharga untuk keberlangsungan pada
tingkat usia yang lebih lanjut, seperti yang diyakini oleh Piaget,
Vygosky, Ausubel, Brunner dan para pakar psikologi perkembangan
lainnya meyakini momen emas tersebut ditandai oleh, berkembangnya
egosentris, berkembangnya konsep diri, rasa ingin tahu yang besar,
imajinasinya berkembang hebat, perasaannya mulai terasah, konsep
berpikir, imitasi modelling, bereksperimen dengan bahasa, dan
munculnya kontrol internal, dan bahkan berkembangnya daya kritis,
dan kreatif anak. Dalam sebuah hasil penelitian yang dilakukan
oleh Osborn, White, dan Bloom pada usia emas tersebut bahwa
perkembangan kognitif anak telah mencapai 50% ketika anak berusia
4 tahun, 80% ketika anak berusia 8 tahun, dan genap 100% ketika anak
berusia 18 tahun.
Sangat disayangkan bahwa momen emas tersebut diabaikan,
dan bahkan sangat mengeringkan apabila tidak diberikan scaffolding
yang tepat untuk optimalisasi perkembangannya. oleh karena itu
mewujudkan generasi emas untuk indonesia emas bukan sekedar
mimpi, tetapi sangat beralasan faktual karena Indonesia memiliki
sejumlah anak emas yang produktif. Pada tahun 2030 dan selanjutnya
Indonesia akan memiliki sejumlah generasi yang kreatif, dan kritis
karena hasil dari proses belajar yang profesional.
Indonesia emas dalam konteks pendidikan merupakan terminologi
yang digunakan untuk menggambarkan karakter bangsanya yang
mandiri, disiplin, kerja keras dan cerdas, percaya diri, kritis dan kreatif
serta produktif. Momentum Indonesia emas yang diwarnai oleh
generasi berkarakter emas yaitu generasi usia produktif diperdiksi
akan terwujud pada tahun 2045. Pada tahun itu generasinya memiliki
sikap positif, pola pikir esensial, komitmen normatif dan kompetensi
abilitas, serta berlandasan IESQ (Manullang, 2013).
Untuk menyongsong Indonesia emas, diperlukan pilar-pilar
yang menjadi pijakan pengembangan generasi emas, salah satunya
karakter yang dikembangkan berdasarkan pada design induk
pendidikan Karakter, Kemendiknas (Suyanto: 2009) bahwa pilar
pendidikan karakter merupakan totalitas proses psikologis dan
sosial-kultural yang dikelompokan dalam: Olah Hati (Spiritual and

5
Professional Learning untuk Indonesia Emas

emotional development), Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga


dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa
dan Karsa (Affective and Creativity development). Memperjelas maksud
dari pilar-pilar di atas dalam upaya pembangunan karakter bangsa
(Mulyasa, 2012) ditegaskan bahwa generasi yang mengisi momentum
Indonesia emas sejatinya memiliki karakter sebagai berikut:
a. Karakter yang bersumber dari Olah hati antara lain: beriman dan
bertakwa, jujur, amanah, adil, tertib, taat aturan, bertanggungjawab,
berempati, berani mengambil risiko, pantang menyerah, rela
berkorban, dan berjiwa patriotic.
b. Karakter yang bersumber dari olah pikir antara lain: cerdas, kritis,
kreatif, inovatif, ingin tahu, produktif, berorientasi Ipteks, dan
reflektif.
c. Karakter yang bersumber dari olah raga/kinestetika antara
lain: bersih, dan sehat, sportif, tangguh, andal, berdaya tahan,
bersahabat, kooperatif, determinative, kompetitif, ceria dan gigih.
d. Karakter yang bersumber dari olah rasa dan karsa antara lain:
kemanusiaan, saling menghargai, gotong royong, kebersamaan,
ramah, hormat, toleran, nasionalis, peduli, kosmopolit (mendunia),
mengutamakan kepentingan umum, cinta tanah air (patritis),
bangga menggunakan bahasa dan produk Indonesia, dinamis,
kerjsa keras, dan berteos kerja.

Namun tentu saja, kesuksesan mewujudkan Indonesia emas


dengan karakteristik generasi yang diharapkannya seperti di atas
membutuhkan sumber daya pendidik yang berkarakter, karena
keberadaan dan kehadiran pendidik, sebagaikey actor in the lerning
process,yang profesional serta memiliki karakter kuat dan cerdas
merupakan suatu kebutuhan.Character bugildingdi kalangan pendidik
sejak beberapa dekade terakhir ini telah menjadi perhatian yang serius
berbagai bangsa di dunia, tak terkecuali Indonesia menyusul perlunya
mewujudkan generasi emas. Karena melalui pendidik yang memiliki
karakter kuat dan cerdas ini akan tercipta sumberdaya manusia
yang merupakan pencerminan bangsa yang berkarakter kuat dan
cerdas serta bermoral luhur. Hanya dengan sumberdaya manusia
yang demikianlah tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara
dapat berlangsung dengan wajar dan natural, karena baik pemimpin
maupun yang dipimpin memiliki komitmen maupun moral yang baik
untuk bersama sama membangun tatanan kebidupan yang harmonis
dan sejahtera demi Indoensia emas, inilah tantangan internalnya, yaitu
mewujudkan generasi berkarakter emas dan sumber daya pendidik
berkarakter emas demi menyongsong Indonesia emas.

6
Arah Pembelajaran Professional untuk Indonesia Emas pada Abad 21

Apabila merujuk pada standar kompetensi lulusan pada jenjang


MI/SD dapat diketahui bahwa karakter generasi emas sudah mulai
disiapkan sejak anak usia MI/SD seperti yang disebutkan dalam
permendikbud no 65 tahun 2013 tentang Standar Kompentesi Lulusan
bahwa peserta didik sejatinya memiliki kompetensi sikap, pengetahuan
dan keterampilan dengan karateristik sebagai berikut:
a. Kompentesi sikap dengan karakteristik memiliki perilaku yang
mencerminkan sikap orang beriman, berakhlak mulia, berilmu,
percaya diri, dan bertanggung jawab dalam berinteraksi secara
efektif dengan lingkungan sosial dan alam di lingkungan rumah,
sekolah, dan tempat bermain.
b. Kompetensi pengetahuan dengan karakteristik memiliki
pengetahuan faktual dan konseptual berdasarkan rasa ingin
tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya
dalam wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan
peradaban terkait fenomena dan kejadian di lingkungan rumah,
sekolah, dan tempat bermain.
c. Kompetensi keterampilan dengan karakteristik memiliki
kemampuan pikir dan tindak yang produktif dan kreatif dalam
ranah abstrak dan konkret sesuai dengan yang ditugaskan
kepadanya.

Sesuai dengan Standar Kompetensi Lulusan maka prinsip


pembelajaran yang digunakan berdasarkan pada Permendikbud no
65 tahun 2013 tentang Standar Proses, sebagai berikut:
a. dari peserta didik diberi tahu menuju pesertadidik mencari tahu;
b. dari guru sebagai satu-satunya sumber belajar menjadi belajar
berbasis aneka sumberbelajar;
c. dari pendekatan tekstual menuju proses sebagai penguatan
penggunaan pendekatan ilmiah;
d. dari pembelajaran berbasis konten menuju pembelajaran berbasis
kompetensi;
e. dari pembelajaran parsial menuju pembelajaran terpadu;
f. daripembelajaran yang menekankan jawaban tunggal menuju
pembelajaran dengan jawaban yang kebenarannya multi
dimensi;
g. dari pembelajaran verbalisme menuju keterampilan aplikatif;
h. peningkatan dan keseimbangan antara keterampilan fisikal
(hardskills) danketerampilan mental (softskills);
i. pembelajaran yang mengutamakan pembudayaan dan
pemberdayaan pesertadidik sebagai pembelajar sepanjang hayat;
j. pembelajaran yang menerapkan nilai-nilai dengan member

7
Professional Learning untuk Indonesia Emas

keteladanan (ing ngarso sung tulodo), membangun kemauan (ing


madyo mangun karso), dan mengembangkan kreativitas peserta
didik dalam proses pembelajaran (tut wuri handayani);
k. pembelajaranyang berlangsung di rumah, di sekolah, dan di
masyarakat;
l. pembelajaran yang menerapkan prinsip bahwa siapa saja adalah
guru, siapa saja adalah siswa, dan di mana saja adalah kelas.
m. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk
meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembelajaran; dan
n. Pengakuan atas perbedaan individual dan latar belakang budaya
peserta didik.

Tantangan internal antara lain terkait dengan kondisi pendidikan


dikaitkan dengan tuntutan pendidikan yang mengacu kepada 8
(delapan) Standar Nasional Pendidikan yang meliputi standar
isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik
dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar
pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.
Tantangan internal lainnya terkait dengan perkembangan penduduk
Indonesia dilihat dari pertumbuhan penduduk usia produktif. Saat ini
jumlah penduduk Indonesia usia produktif (15-64 tahun) lebih banyak
dari usia tidak produktif (anak-anak berusia 0-14 tahun dan orang
tua berusia 65 tahun ke atas). Jumlah penduduk usia produktif ini
akan mencapai puncaknya pada tahun 2020-2035 pada saat angkanya
mencapai 70%. Oleh -2- sebab itu tantangan besar yang dihadapi
adalah bagaimana mengupayakan agar sumberdaya manusia usia
produktif yang melimpah ini dapat ditransformasikan menjadi
sumberdaya manusia yang memiliki kompetensi dan keterampilan
melalui pendidikan agar tidak menjadi beban (Permendikbud no 67
tahun 2013 tentang kerangka dan struktur kurikulum MI/SD).
Tantangan eksternal antara lain berdasarkan Permendikbud no 67
tahun 2013 tentang kerangka dan struktur kurikulum MI/SD terkait
dengan arus globalisasi dan berbagai isu yang terkait dengan masalah
lingkungan hidup, kemajuan teknologi dan informasi, kebangkitan
industri kreatif dan budaya, dan perkembangan pendidikan di tingkat
internasional. Arus globalisasi akan menggeser pola hidup masyarakat
dari agraris dan perniagaan tradisional menjadi masyarakat industri dan
perdagangan modern seperti dapat terlihat di World Trade Organization
(WTO), Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) Community,
Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC), dan ASEAN Free Trade Area
(AFTA). Tantangan eksternal juga terkait dengan pergeseran kekuatan
ekonomi dunia, pengaruh dan imbas teknosains serta mutu, investasi,

8
Arah Pembelajaran Professional untuk Indonesia Emas pada Abad 21

dan transformasi bidang pendidikan. Keikutsertaan Indonesia di dalam


studi International Trends in International Mathematics and Science Study
(TIMSS) dan Program for International Student Assessment (PISA) sejak
tahun 1999 juga menunjukkan bahwa capaian anak-anak Indonesia
tidak menggembirakan dalam beberapa kali laporan yang dikeluarkan
TIMSS dan PISA. Hal ini disebabkan antara lain banyaknya materi uji
yang ditanyakan di TIMSS dan PISA tidak terdapat dalam kurikulum
Indonesia (Permendikbud no 67 tahun 2013 tentang kerangka dan
struktur kurikulum MI/SD).

Implementasi Professional Learning


Professional learning sebagai bentuk belajar mandiri yang
profesional dapat merupakan salah satu domain pendidikan, tentu
saja dapat diimplementasikan melalui proses pendidikan. Dalam
pendidikan, pembelajaran merupakan salah satu komponen penting
pendidikan yang bersifat interatif, educative, dan transformative oleh
karena itu implementasinya dapat dilaksanakan dengan pembelajaran
kreatif, pembelajaran berbasis masalah dan kritis, pembelajaran aktif
dan pembelajaran saintifik.
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa professional learning untuk
menggambarkan individu yang memiliki daya belajar kritis, kreatif,
aktif dan produktif. Untuk mengimplementasikan professional learning
dapat dilakukan dengan memfasilitasi proses belajar yang diarahkan
untuk mengembangkan daya kritis peserta didik (critical thingking
in learning), daya kreatif peserta didik (creative thingking in learning),
daya pemecahan masalah (problem solving in learning), pembelajaran
aktif (active learning) dan daya berpikir ilmiah peserta didik (scientific
thingking in learning).
Namun dalam tulisan ini hanya dibatasi pada penjelasan
implementasi profesional learning yang diarahkan untuk mendorong
peserta didik khususnya pada anak usi MI/SD dapat mengembangkan
potensi daya kritisnya dan kreatifnya. Kedua hal tersebut menarik
untuk dipelajari dalam konteks sekarang ini, karena berbagai upaya
formal pendidikan sedang mendorong proses pembelajaran yang
diarahkan pada upaya pencapaian hasil belajar peserta didik (student
achievment) dengan tingkat kemampuan yang tinggi atau high order
thingking skill.

Critical Thingking in Learning


Arah implementasi professional learning adalah mendorong
terwujudnya critical thingking in learning yaitu Berpikir kritis dalam
belajar, demikian maksdunya. Berpikir kritis dalam belajar, maksud

9
Professional Learning untuk Indonesia Emas

dari prasa tersebut sangat mudah dipahami, tetapi tentu tidak mudah
melaksanakannya. Tetapi dengan pemahaman atas prasa tersebut
satu langkah maju untuk dapat berpikir kritis dalam belajar. Berpikir
kritis dalam belajar dapat dipahami sebagai belajar yang tidak taken for
granted, dan bisa berarti juga belajar kontekstual. Individu yang belajar
dengan menggunakan kemampuan berpikir kritis akan lepas dari cara
belajar passive yang berorientasi pada pelemahan diri untuk menjadi
individu yang zero creative. Rahmat (2010:1) mengemukakan berpikir
kritis (critical thinking) sinonim dengan pengambilan keputusan
(decision making), perencanaan stratejik (strategic planning), proses
ilmiah (scientific process), dan pemecahan masalah (problem solving).
Juha (2010 :1) mengutip pernyataanCritical thinking is reasonable,
reflective thinking, focused on deciding what to believe or do. Senada dengan
penyataan tersebut, Paul, R., & Elder, L. (2012: 21) menyatakanCritical
thinking is the art of thinking about thinking while thinking to make thinking
better, maksudnya bahwa berpikir kritis adalah seni berpikir tentang
sesuatu yang direnungkan sehingga lebih lebih baik
Semua sepakat atas taxonomi Benyamin S. Bloom, bahwa
belajar itu tentang mengerti, memahami, menganalisis, mensintesis,
mengevaluasi. Dan disisi lain, sepakat pula atas teori behavorisme,
bahwa belajar itu tentang perubahan kompetensi. Bahkan
konstruktivisme mendefinisikan bahwa belajar itu merekontsruksi
fenomena, dan fakta bahkan teks secara bebas unlimited. Tidak
ketinggalan Ausubel, menegaskan bahwa belajar itu tentang memberi
meaning atas teks dan konteks yang dipelajari secara mendalam. Maka
dari sejumlah teori yang ada, sangat jelas bahwa secara eksplisit arah
dari belajar yang dapat dicapai apabila dikembangkan cara berpkiri
kritis. Karena dengan daya berpikir kritis yang dimiliki maka kriteria
prestasi belajar (learning achievement) di atas akan sangat mudah untuk
dicapai.
Bisa dibayangkan efek negatif dari daya kritis yang rendah saat
belajar kecil probabilitasnya untuk dapat merajut pengetahuan,
makna, perubahan kompetensi, dan konstruktivistik dalam belajar.
Dapat disederhanakan lagi dengan contoh; bayangkan Anda belajar
tentang demokrasi, teks yang dipelajari bahwa demokrasi adalah
pemerintahan dari rakyat untuk rakyat, yang Anda pelajari secara
tekstual tidak sama sekali akan membawa perubahan apapun pada
diri Anda, jelas tidak akan karena posisi Anda adalah siswa yang
sedang belajar mengerti tentang demokrasi, maka jika demikian cara
belajarnya sudah dapat ditebak sangat tidak bermakna dan parah lagi
dalam hitungan menit itu sudah lupa lagi, mengapa demikian? Karena
belajar berlangsung tidak dengan cara kritis. Mari lihat bedanya

10
Arah Pembelajaran Professional untuk Indonesia Emas pada Abad 21

jika Anda mengembangkan cara berpikir kritis atas hal yang Anda
pelajari. Bahwa Anda belajar tentang demokrasi adalah pemerintahan
dari rakyat untuk rakyat, yes correct!, tetapi jika cara berpikir kritis
yang Anda kembangkan, maka Anda akan mengembangkan konsep
besar tersebut secara kontekstual dengan cara memotret fenomena
yang terjadi dilingkungan sekitar, apakah konsep demokrasi itu ada
atau hanya semacam ilusi teoritis saja, toh kenyataanya pemerintahan
terjadi atas kehendak pemerintah dan dari pemerintah untuk
pemerintah. Apakah Anda dapat mengembangkan konsep demokrasi
dalam keluarga? Terjadikah demokrasi? Atau dapat membawa
imajinasi Anda dilingkungan sekolah, apakah demokrasi itu ada? Jika
Anda dalam belajar dapat memberikan gambaran real atas fenomena
yang terjadi berdasarkan pada konsep yang sedang dipelajari, dapat
dibayangkan Anda adalah belajar secara professional dengan daya
berpikir kritis.
Berpikir kritis dalam belajar, dapat dikembangkan dengan cara
yang sederhana seperti yang dilakukan oleh para filosof tempo doeloe,
yaitu start with the question, mulai dengan pertanyaan. Pertanyaan
adalah gambaran kemanusiaan sebagai insane yang serba penasaran
(curiousity man). Oleh karena itu semua pasti bisa melakukannya, Its
a simple!. Ajukan pertanyaan terhadap teks yang sedang dipelajari,
temukan konteksnya atas teks yang sedang dipelajari melalui
pertanyaan, dan sudah barang tentu temukan jawabanya melalui
proses inquiry yang mendalam, seperti memperhatikan korelasinya
antara teori dan data, data dan fakta, serta fakta dengan konsepnya
baik berdasarkan kajian literature atau hasil penelitian.
Sangat setuju, jika berpikir kritis dalam belajar sudah terjadi pada
anak usia MI/SD bahkan pada usia preschool. Perhatikan anak-anak
pada usia tersebut!, mereka dengan lantang dan polos mengajukan
pertanyaan atas hal mereka lihat (pelajari), benda ini disebut apa?
Untuk apa? Mengapa bentuknya begitu? Dapat digunakan untuk
apa? Dan sejumlah pertanyaan yang diajukannya, mereka benar
tidak tahu, tetapi setelah mereka tahu, mereka menyusul dengan
pertanyaan yang berikutnya, dan sampai pada titik kepuasan yang
mereka rasakan. Setelah itu apa yang terjadi? Perhatikan dengan
seksama, Anda mungkin akan terbelalak dan mengatakan awsome
atas penemuannya berdasarkan pada pertanyaan yang diajukannya,
jika benda itu adalah berupa pesawat, sejurus kemudian anak
dapat mendeskripsikan menjadi dalam benda lain (barangkali tidak
sama sekali mirip pesawat) tetapi bagi mereka itu pesawat dengan
detail mereka menjelaskan bahwa pesawat itu untuk mengangkut
penumpang, setiap bagian dari pesawat dijelaskan secara detail

11
Professional Learning untuk Indonesia Emas

plus dengan fungsinya, meskipun kita membantah bahwa itu bukan


pesawat tetapi imajinasinya menegaskan pelepah pisang itu adalah
pesawat. Amazing! dari sini dapat ditebak bahwa berpikir kritis selalu
mengarahkan perubahan untuk berbuat dan membuat sesuatu yang
produktif.
Oleh karena itu, tidak terbantahkan bahwa berpikir kritis dalam
belajar dapat dijadikan salah satu langkah untuk mencapai mimpi
besar dalam mendukung perwujudan Indonesia emas, generasinya
akan sanggup memfilter secara kritis terhadap fenomena global untuk
dijadikan bahan pelajaran yang diramu menjadi temuan yang produktif
dan menjadi generasi yang belajar secara professional. Potensi daya
kritis yang dimiliki anak usia MI/SD tersebut apabila dibimbing dan
disfasilitasi secara tepat, sudah dapat dipastikan bahwa kelak diusia
yang lebih lanjut anak tersebut akan menjadi anak emas bagi Indonesia
dan menjadi individu yang memiliki semangat professional learning
yang tinggi. Oleh karena itu pembelajaran yang dapat memfasilitas
peserta didik tersebut dapat dilakukan dengan pertama, kembangkan
masalah kontekstual terkait dengan materi yang akan dipelajari,
kedua, ajaklah peserta didik untuk berpikir kritis atas problem tersebut
dengan cara menghimpun pertanyaan secara brainstorming, ketiga,
arahkan peserta didik untuk memecahkan masalah tersebut, keempat
buatlah generalisasi atas penyelesaian masalahnya dan kelima ajaklah
peserta didik untuk merefleksikan kegiatannya.

Creative Thingking in Learning


Berpikir kreatif dalam belajar (creative thingking in learning),
menggambarkan tingkatan dalm berpikir, bahwa dalam berpikir
terdapat kemampuan berpikir rendah dan berpikir tinggi. Tingkat
berpikir rendah disebut dengan Lower Order Thinking (LOT). Tingkat
berpikir tinggi disebut dengan Higher Order Thingking (HOT).
Berpikir kreatif merupakan salah satu dari cara berpikir HOT, orang
yang kreatif memiliki kemampuan berpikir yang multidirection dalam
menyelesaikan masalah atau dikenal dengan istilah whats another
ways. Cara belajar orang kreatif menggunakan cara berpikir out of the
box atau yang dikenal dengan istilah cara belajar kontekstual.
Bahwa salah satu kemampuan dalam belajar individu adalah
berpikir kreatif, hal ini disepakati oleh para ahli yang memberikan
penjelasan terkait dengan konsep berpikir kreatif sebagai berikut:
a. Menurut Widayatun: Kreativitas adalah suatu kemampuan untuk
memecahkan masalah, yang memberikan individu menciptakan
ide-ide asli/adaptif fungsi kegunaannya secara penuh untuk
berkembang.

12
Arah Pembelajaran Professional untuk Indonesia Emas pada Abad 21

b. Menurut James R. Evans: Kreativitas adalah keterampilan untuk


menentukan pertalian baru, melihat subjek perspektif baru, dan
membentuk kombinasi-kombinasi baru dari dua atau lebih konsep
yang telah tercetak dalam pikiran
c. Menurut Santrock: Kreativitas adalah kemampuan untuk
memikirkan tentang sesuatu dalam cara yang baru dan tidak
biasanya serta untuk mendapatkan solusi-solusi yang unik.
d. Menurut Semiawan: Kreativitas adalah kemampuan untuk
memberikan gagasan-gagasan baru dan menerapkannya dalam
pemecahan masalah. Kreativitas meliputi baik ciri-ciri aptitude
seperti kelancaran (fluency), keluwesan (flexibility), dan keaslian
(originality) dalam pemikiran, maupun ciri-ciri non aptitude,
seperti rasa ingin tahu, senang mengajukan pertanyaan dan selalu
ingin mencari pengalaman-pengalaman baru.
e. Menurut Munandar: Kreativitas adalah kemampuan untuk
mengkombinasikan, memecahkan atau menjawab masalah, dan
cerminan kemampuan operasional anak kreatif.
Dari pendapat di atas, bahwa kreatifitas bermuara pada cara
berpikir seseorang atas teks dan konteks objek yang sedang dipelajari
melalui proses yang multidirection. Orang yang berpikir kreatif tidak
pernah menemukan kata buntu dalam berpikir selalu saja ditemukan
alternatif pemecahan dari setiap persoalan yang dihadapinya. Hal ini
tentu saja semakin membenarkan konsep intelegensi yang digagas oleh
Howard Gardner tentang multiple intelegence. Dari potensi multiple
intelegence yang dioptimalisasi inilah daya kreatif peserta didik dapat
dikembangan secara optimal.
Daya kreatif dalam belajar dalam konteks saat ini merupakan
sesutu yang mewah keberadaannya sangat menjadi primadona bagi
pebelajar. Kemampuan berpikirnya yang flexibel, original, dan baru
dalam memotret fenomena yang ada semakin menegaskan tentang
nilai penting berpikir kreatif dalam belajar. Anak pada usia MI/SD
sebagai generasi dengan potensi kreativitas membutuhkan sentuhan
pendidikan dan pembelajaran yang kreatif agar peserta didik tumbuh
menjadi individu kreatif dan dapat menjalan proses professional learning.
Sepakat dengan pendapat Hernowo, bahwa seorang guru tidak
kreatif kehidupan itu mati tidak ada lagi yang baru dalam
kehidupan seorang guru. Bayankan jika kehidupan yang mati itu
menular ke kehidupan yang lain secara mengglobal! Guru harus
kreatif karena guru kreatif akan menjadikan kehidupan ini sangat
kaya dan bervariasi. Guru yang tak kreatif akan membuat kehidupan
ini membosankan, monoton dan tidak bermakna (Hernowo, 2007: 8).
Hernowo melanjutkan penjelasannya dengan mengutip pendapat

13
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Murray Lois bahwa kreativitas itu dalam dalam setiap diri, bukan
di luar diri. Kreativitas adalah sebuah persoalan pribadi. Kreativitas
merupakan proses pencarian ke dalam diri sendiri yang penuh
tumpukan kenangan, pikiran, dan sensasi hingga ke sifat yang paling
mendasar bagi kehidupan. Oleh karena itu setiap individu dapat
menjadi orang kreatif.
Tampaknya semua yakin bawah kreativitas diartikan sebagai
kemampuan mencipta daya cipta atau perihal berkreasi, itu juga
yang terdapat dalam kamus Besar Bahasa Indonesia. Oleh karena
itu kreativitas dapat dimulai dengan mengembangkan kemampuan
mencipta-cipta atau membayangkan atau berimajinasi. Ya, kreativitas
dapat kembangkan dari peserta didik anak usia MI/SD dengan
mendorong kemampuan imajinasinya yang luar biasa menjadi bagian
dari pengembangan kreativitasnya, karena siapapun bisa kreatif, dan
apapun dapat dikreasikan termasuk belajar juga dapat dikreasikan.
Berpikir kreatif dalam belajar adalah salah satu penegasan bawah
belajar dapat dikreasikan, sehingga objek atau pengetahuan yang
sedang dipelajari dapat berkembang, berubah dan bahkan maju
adalah hasil dari proses berpkir krearif dalam belajar. Kemampuan
berpikir kreatif dalam belajar merupakan buah dari proses belajar
yang professional atau professional learing. Anak usia MI/SD tentu saja
belum mengerti konsep bepikir kreatif dalam belajar apalagi konsep
professional learning oleh karena itu guru sebagai pembimbing dan
fasilitator sejatinyanya membimbing dan memfasilitasinya untuk
mencapai proses belajar mandiri yang kreatif, diantaranya dengan
cara melatihkan peserta didik untuk menemukan pemecahan masalah
dengan berbagai alternatif, mengajukan pertanyaan terbuka, dan
memfasilitasi peserta didik untuk berlatih brainstorming atas suatu
topik yang sedang dibahas secara tekstual atau secara kontekstual.

Penutup
Professional learing adalah cara belajar mandiri yang kritis dan
kreatif. Untuk belajar mandiri yang kritis membutuhkan pembiasaan
dan bimbingan belajar dari guru melalui proses latihan yang
berkelanjutan. Untuk mendorong terwujudnya belajar mandiri yang
arahnya mengembangkan kemampuan berpikir kreatif dalam belajar
membutuhkan bimbibingan guru yang kreatif.
Anak usia MI/SD merupakan masa yang berada pada usia emas
(golden age) yang dengan potensi emasnya dapat menjadi pendorong
terwujudnya Indonesia emas apabila potensi tersebut didorong,
difasilitas dan dioptimalisasi melalui proses belajar dan pembelajaran
yang profesional. Proses belajar profesional adalah proses individu

14
Arah Pembelajaran Professional untuk Indonesia Emas pada Abad 21

yang berkeinginan dan berkemauan serta memiliki rasa ingin tahu kuat
untuk terus belajar diantaranya secara kritis dan kreatif. Pembelajaran
profesional adalah proses interaksi edukatif guru dengan siswa yang
berlangsung secara kreatif dan mengembangkan rasa ingin tahu siswa
menjadi kenyatan dengan proses yang kreatif misalnya dengan pola
pembelajaran brainstorming.
Daftar Pustaka

Belferik Manullang, Grand Desain Pendidikan Karakter Generasi Emas


2045 FIK Universitas Negeri Medan journal.uny.ac.id/
index.php/jpka/article/download/1283/1067
Hernowo, 2007. Menjadi Guru Yang Mau Dan Mampu Mengajar Secara
Kreatif. Bandung: Mizan Learning Center
Mulyasa, 2012. Manajemen Pendidikan Karakter. Jakarta: PT. Bumi
Aksara
Sarwenda, 2014. Pembelajaran Kritis di Pesantren.Tarbiya: Journal of
education in Muslim Society: Vol. I, No. 2, Desember 2014,
Jakarta: Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Kegurugan
Suyanto, 2009. Urgensi Pendidikan karakter. Ditjen Mendikdasmen:
Kementerian Pendidikan Nasional

15
FAKTOR KESULITAN BELAJAR KIMIA
PADA MATA PELAJARAN KIMIA SMA

Nanda Saridewi, Abdurrohim


Universitas Islam (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
E-mail: ndasaridewi@gmail.com

Abstrak : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor faktor yang


menyebabkan kesulitan belajar yang dialami siswa pada mata pelajaran
kimia SMA. Sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI MIA
Reguler SMA Al-Hasra. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode deskriptif. Data yang berupa hasil belajar dikumpulkan
dengan menggunakan tes, sedangkan data yang berupa respon siswa
terhadap pembelajaran Larutan Penyangga menggunakan angket.
Analisis data dengan menggunakan tes diperoleh hasil berdasarkan
perindikator pembelajaran sebesar 55,56% pada aspek C1, 33,75% pada
aspek C2, dan 32,22% pada aspek C3. Sedangkan hasil yang diperoleh
berdasarkan angket menunjukkan bahwa faktor penyebab kesulitan
belajar siswa adalah lingkungan masyarakat dengan persentase sebesar
56,88% termasuk dalam kriteria cukup berpengaruh.
Kata kunci: kesulitan belajar, respon, kimia

Pendahuluan
Pembelajaran kimia selama ini tidak sesuai dengan tujuan
pembelajaran sains. Umumnya pembelajaran kimia masih berorientasi
pada hafalan, selain itu proses penemuan konsep menjadi sering
terabaikan karena kurangnya keterlibatan siswa dalam proses
pembelajaran. Kurangnya keterlibatan siswa dalam proses penemuan
konsep menyebabkan kemampuan literasi sains siswa rendah.
Berdasarkan hasil studi PISA (Programme for International Student
Assessment) tahun 2012, diketahui bahwa kemampuan literasi sains
siswa Indonesia masih rendah. Indonesia menempati peringkat ke-64
dari 65 negara peserta, atau dengan kata lain menempati peringkat
kedua terbawah dari seluruh negara peserta PISA (Kurnia dkk., 2014).
Secara umum, faktor yang mempengaruhi rendahnya pencapaian
literasi sains siswa Indonesia adalah proses belajar mengajar di sekolah.
Proses mengajar merupakan tugas utama seorang guru sedangkan
proses belajar merupakan tugas utama siswa yang keduanya saling
berkesinambungan.

16
Arah Pembelajaran Professional untuk Indonesia Emas pada Abad 21

Proses belajar tidak semuanya dapat berhasil. Salah satu indikator


yang digunakan untuk mengetahui keberhasilan proses belajar adalah
prestasi belajar yang umumnya ditunjukkan dalam bentuk nilai
kognitif siswa (Caryono dan Suhartono, 2012). Siswa yang memiliki
nilai rendah dapat dikatakan belum berhasil sepenuhnya dalam
proses belajar. Hal ini dapat disebabkan karena kesulitan yang dialami
oleh siswa dalam proses belajar yang biasa disebut sebagai kesulitan
belajar.
Kesulitan belajar sering terjadi karena siswa tidak mampu
mengaitkan antara pengetahuan baru dengan pengetahuan lamanya
sehingga menimbulkan ketidakpahaman atau ketidakjelasan suatu
pelajaran (Caryono dan Suhartono, 2012). Kesulitan belajar adalah
suatu keadaan yang dialami oleh siswa ditandai dengan adanya
hambatan tertentu sehingga mengakibatkan tidak tercapainya
tujuan belajar. Kesulitan belajar tidak hanya disebabkan oleh faktor
intelegensi yang rendah, tetapi dapat juga disebabkan oleh faktor-
faktor non-intelegensi (Faika dan Side, 2011).
Salah satu mata pelajaran sains yang dapat mengakibatkian
kesulitan belajar bagi siswa adalah Kimia. Kimia yang merupakan
salah satu cabang dari ilmu pengetahuan alam mempelajari tentang
sifat materi, struktur materi, perubahan materi serta energi yang
menyertai reaksi kimia (Faika dan Side, 2011). Konsep yang kompleks
dan abstrak dalan ilmu kimia mengakibatkan siswa berasumsi bahwa
pelajaran kimia adalah pelajaran yang sulit (Marsita dkk., 2010). Larutan
penyangga merupakan salah satu meteri kimia yang termasuk sulit
untuk dipahami. Kesulitan siswa dalam memahami konsep larutan
penyangga perlu dianalisis untuk mengetahui penyebab kesulitan
tersebut, sehingga nantinya dapat dicari pemecahannya.

Pembahasan
Data yang diperoleh selama penelitian berupa hasil pemberian
tes tertulis dan angket yang meliputi tanggapan atau respon siswa
mengenai materi larutan penyangga dan faktor-faktor penyebab
kesulitan siswa dalam memahami konsep larutan penyangga. Data-
data yang diperoleh kemudian dianalisis untuk menunjukkan
kemungkinan adanya kesulitan belajar yang dialami siswa yang dapat
dilihat pada perolehan tes tertulis dan angket.

Hasil Tes Tertulis


Aspek kesulitan siswa dalam memahami konsep larutan

17
Professional Learning untuk Indonesia Emas

penyangga pada tahap pemberian tes dapat dilihat dari hasil jawaban
siswa berdasarkan indikator pembelajaran sebagai berikut:

Tabel 3. Data Kesulitan Belajar Perindikator Pembelajaran


Jumlah siswa
Indikator Pem- Nomor Rata-
yang mengala- Persentase
belajaran soal rata
mi kesulitan
1 32 80%
8 6 15%
10 16 40%
Mengidentifikasi 12 40 100%
komponen dan
13 11 27,5%
sifat larutan pe-
14 28 70% 55,56%
nyangga (C1)
15 11 27,5%
17 36 90%
19 20 50%
Membedakan
komponen laru- 2 15 37,5%
tan penyangga
33,75%
asam dan larutan
penyangga basa 7 12 30%
(C2)
3 7 17,5%
4 4 10%
5 14 35%
Menghitung pH 6 10 25%
larutan penyangga 9 9 22,5%
32,22%
asam dan basa 11 27 67,5%
(C3)
16 12 30%
18 4 10%
20 29 72,5%

Berdasarkan Tabel 3. dapat dideskripsikan bahwa hasil yang


diperoleh siswa pada tiap-tiap aspek yang diukur yaitu berupa
pengetahuan (C1) sebesar 55,56% dengan kriteria sedang. Kemudian
pada aspek pemahaman (C2) sebesar 33,75% dengan kriteria rendah.
Kemudian pada aspek penerapan (C3) sebesar 32,22% dengan kriteria

18
Arah Pembelajaran Professional untuk Indonesia Emas pada Abad 21

rendah.
Dari Tabel 3 terlihat bahwa siswa mengalami kesulitan belajar
pada soal nomor 12 yaitu menentukan campuran larutan penyangga
berdasarkan komponen-komponen larutan penyangga, mendapatkan
nilai persentase 100%. Nilai persentase ini menunjukkan bahwa semua
siswa mengalami kesulitan, dimana 40 siswa tidak dapat menjawab
dengan benar. Hal ini dapat terjadi karena hampir semua siswa belum
memahami contoh-contoh senyawa asam lemah, basa lemah, asam
kuat, basa kuat, dan garam. Sehingga pada soal nomor 12 ini tergolong
sulit bagi siswa.

Hasil Angket
Pengumpulan data didapatkan dari pengisian angket kesulitan
belajar oleh siswa. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan,
diperoleh data berupa gambaran kesulitan belajar siswa yang terbagi
ke dalam 4 indikator sebagai berikut:

a. Diri Sendiri
Indikator diri sendiri terdiri dari beberapa sub indikator yaitu Minat,
Motivasi, Kesiapan dan Perhatian, serta Fisiologi. Masing-masing sub
indikator disajikan dalam tabel persentase indikator diri sendiri untuk
setiap butir pernyataan sebagai berikut:

19
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Tabel 4. Persentase Pernyataan Indikator Diri Sendiri


Sub In- Nomor Persentase
Pernyataan Kriteria
dikator Pernyataan (%)
Saya tertarik den-
Tidak Ber-
5 gan mata pelaja- 75
pengaruh
ran kimia.
Saya selalu
mengerjakan
sendiri latihan Tidak Ber-
10 71,88
soal pada saat pengaruh
pembelajaran
disekolah.
Untuk melatih
kemampuan, saya
selalu menger-
jakan sendiri
Minat Tidak Ber-
11 tugas/PR yang 71,88
pengaruh
diberikan oleh
guru, terutama
pada materi laru-
tan penyangga.
Menurut saya
pembahasan
larutan penyang-
ga lebih sulit Cukup
8 dibandingkan 51,88 Berpenga-
dengan pemba- ruh
hasan yang lain
dalam pembelaja-
ran kimia.
Saya selalu
mencatat materi
Tidak Ber-
9 larutan penyang- 80
pengaruh
ga selama proses
Motivasi pembelajaran.
Saya yakin dapat
memahami Tidak Ber-
20 76,88
konsep larutan pengaruh
penyangga.

20
Arah Pembelajaran Professional untuk Indonesia Emas pada Abad 21

Saya bisa berkon-


sentrasi dengan
Tidak Ber-
3 baik/fokus sela- 71,88
pengaruh
ma pembelajaran
berlangsung.
Saya selalu men-
gumpulkan tugas
Tidak Ber-
4 yang diberikan 80
pengaruh
oleh guru dengan
tepat waktu.
Saya mempun-
yai buku catatan
Tidak Ber-
Kesia- 6 khusus untuk 74,38
pengaruh
pan dan mata pelajaran
Perha- kimia.
tian Saya selalu mem-
persiapkan materi
atau bahan pela- Cukup
12 jaran yang akan 57,5 Berpenga-
dibahas sebelum ruh
materi tersebut
diajarkan.
Saya mempunyai
alat tulis lengkap
yang dibutuhkan Tidak Ber-
13 77,5
saat pembelajaran pengaruh
larutan penyang-
ga.
Saya tidak men-
dengar materi
Tidak Ber-
1 yang disampai- 68,75
pengaruh
kan oleh guru
dengan jelas.
Fisiologi
Saya tidak me-
lihat apa yang
Tidak Ber-
2 ditulis/digam- 73,75
pengaruh
barkan oleh guru
dengan jelas.

21
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Berdasarkan Tabel diatas, dapat dideskripsikan bahwa secara


umum masing-masing dari sub indikator memiliki persentase
yang termasuk dalam kualifikasi tidak berpengaruh. Namun, pada
pernyataan nomor 8 yakni Menurut saya pembahasan larutan
penyangga lebih sulit dibandingkan dengan pembahasan yang lain
dalam pembelajaran kimia memiliki nilai persentase 51,88%. Nilai
persentase ini menunjukkan bahwa pada umumnya siswa merasa
pembahasan larutan penyangga lebih sulit dibandingkan dengan
pembahasan yang lain dalam pembelajaran kimia, sehingga dapat
dikatakan pada pernyataan ini termasuk dalam kualifikasi cukup
berpengaruh.
Pada pernyataan nomor 12 yakni Saya selalu mempersiapkan
materi atau bahan pelajaran yang akan dibahas sebelum materi
tersebut diajarkan memiliki nilai persentase 57,5%. Nilai persentase
ini menunjukkan bahwa pada umumnya siswa merasa kurang
mempersiapkan materi atau bahan pelajaran yang akan dibahas
sebelum materi tersebut diajarkan, sehingga dapat dikatakan pada
pernyataan ini termasuk dalam kualifikasi cukup berpengaruh.

b. Lingkungan Keluarga
Indikator lingkungan keluarga terdiri dari sub indikator perhatian
dan dukungan orang tua. Dibawah ini disajikan tabel persentase
indikator lingkungan keluarga untuk setiap butir pernyataan sebagai
berikut:
Tabel 5. Persentase Pernyataan Indikator Lingkungan
Nomor Keluarga
Sub Indi- Persentase
Per- Pernyataan Kriteria
kator (%)
nyataan
Orangtua Saya sering
Tidak
menyuruh saya menger-
16 61,88 Berpen-
jakan tugas rumah ke-
Perhatian garuh
tika Saya sedang belajar.
dan Du-
kungan Saudara Saya sering
orang tua mengalihkan konsen- Cukup
17 trasi saya ketika belajar, 57,5 Berpen-
sehingga saya menghen- garuh
tikan kegiatan belajar.

22
Arah Pembelajaran Professional untuk Indonesia Emas pada Abad 21

Orang tua saya selalu Tidak


18 memberi perhatian keti- 80,63 Berpen-
ka saya belajar dirumah. garuh
Orang tua saya selalu
Tidak
mengingatkan saya un-
19 73,75 Berpen-
tuk mengulang pelaja-
garuh
ran dirumah.

Berdasarkan Tabel 5. dapat dideskripsikan bahwa secara


umum memiliki persentase yang termasuk dalam kualifikasi tidak
berpengaruh. Namun, pada pernyataan nomor 17 yakni Saudara
Saya sering mengalihkan konsentrasi saya ketika belajar, sehingga
saya menghentikan kegiatan belajar memiliki nilai persentase 57,5%.
Nilai persentase ini menunjukkan bahwa pada umumnya siswa
merasa lingkungan keluarga dapat mengganggu konsentrasi mereka
saat belajar, sehingga dapat dikatakan pada pernyataan ini termasuk
dalam kualifikasi cukup berpengaruh.

c. Lingkungan Sekolah
Indikator lingkungan sekolah terdiri dari sub indikator sarana
dan prasarana. Dibawah ini disajikan tabel persentase indikator
lingkungan sekolah untuk setiap butir pernyataan sebagai berikut:

Tabel 6. Persentase Pernyataan Indikator Lingkungan


Sekolah
Nomor
Sub Indi- Persentase
Pernyata- Pernyataan Kriteria
kator (%)
an
Saya memilik buku Tidak
7 cetak/LKS kimia SMA 80 Berpenga-
kelas XI. ruh
Menurut saya alat-alat
Sarana dan dan bahan untuk prak-
Prasarana tikum kimia terutama Tidak
14 pada materi larutan 63,13 Berpenga-
penyangga dilabo- ruh
ratorium IPA cukup
lengkap.

23
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Berdasarkan Tabel 6. dapat dideskripsikan bahwa secara


umum memiliki persentase yang termasuk dalam kualifikasi tidak
berpengaruh, artinya bahwa siswa memiliki bahan ajar yang dapat
menunjang pembelajaran kimia dan siswa merasa alat-alat yang
digunakan di laboratorium cukup lengkap.

d. Lingkungan Masyarakat
Indikator lingkungan masyarakat terdiri dari sub indikator
wilayah tempat tinggal. Dibawah ini disajikan tabel persentase
indikator lingkungan sekolah untuk setiap butir pernyataan sebagai
berikut:

Tabel 7. Persentase Pernyataan Indikator Lingkungan


Masyarakat
Nomor
Sub Indi- Persen-
Pernyata- Pernyataan Kriteria
kator tase (%)
an
Saya sering terganggu
Wilayah dengan suara bising Cukup
tempat 15 yang ada disekitar 56,88 Berpen-
tinggal rumah saya ketika garuh
belajar.

Berdasarkan Tabel 7. pada pernyataan nomor 15 yakni Saya


sering terganggu dengan suara bising yang ada disekitar rumah saya
ketika belajar memiliki nilai persentase 56,88%. Nilai persentase ini
menunjukkan bahwa pada umumnya siswa merasa sering terganggu
dengan suara bising yang ada disekitar rumah mereka ketika belajar,
sehingga dapat dikatakan pada pernyataan ini termasuk dalam
kualifikasi cukup berpengaruh.
Berdasarkan penjelasan dari tiap pernyataan di masing-masing
sub indikator, kemudian ditentukan persentase rata-rata untuk
mendapatkan kriteria tiap indikator yang kemudian disajikan dalam
tabel berikut:

24
Arah Pembelajaran Professional untuk Indonesia Emas pada Abad 21

Tabel 8. Persentase Rata-Rata Tiap Indikator


Persentase
No Indikator Kriteria
Rata-Rata (%)
1. Diri Sendiri 72,4 Tidak Berpengaruh
2. Lingkungan Keluarga 68,44 Tidak Berpengaruh
3. Lingkungan Sekolah 71,56 Tidak Berpengaruh
Lingkungan Masyara-
4. 56,88 Cukup Berpengaruh
kat

Dari Tabel 8. didapatkan persentase rata-rata pada setiap indikator


sebagai berikut:
a. Diri Sendiri
Pada indikator diri sendiri persentase rata-rata yang didapatkan
yakni 72,4%. Hal ini menunjukkan bahwa indikator diri sendiri
termasuk dalam kriteria tidak berpengaruh.
b. Lingkungan Keluarga
Pada indikator lingkungan keluarga persentase rata-rata yang
didapatkan yakni 68,44%. Hal ini menunjukkan bahwa indikator
lingkungan keluarga termasuk dalam kriteria tidak berpengaruh.
c. Lingkungan Sekolah
Pada indikator lingkungan sekolah persentase rata-rata yang
didapatkan yakni 71,56%. Hal ini menunjukkan bahwa indikator
lingkungan sekolah termasuk dalam kriteria tidak berpengaruh.
d. Lingkungan Masyarakat
Pada indikator lingkungan masyarakat persentase rata-rata yang
didapatkan yakni 56,88%. Hal ini menunjukkan bahwa kriteria
indikator lingkungan masyarakat termasuk dalam kriteria cukup
berpengaruh.

Penutup
Dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan pada kelas XI MIA
Reguler SMA Al-Hasra, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat
kesulitan pada materi larutan penyangga yang telah dilaksanakan
dengan pemberian tes berupa soal pilihan ganda dengan jumlah
20 soal kepada siswa. Dari 40 siswa yang mengikuti tes, hanya 12
siswa yang dapat memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM)
dan 28 siswa lainnya belum dapat mencapai Kriteria Ketuntasan
Minimal (KKM). Menurut Abin Syamsuddin (2005), jika mayoritas

25
Professional Learning untuk Indonesia Emas

siswa nilai prestasinya tidak dapat mencapai batas lulus (minimum


acceptable performance), kita dapat menyimpulkan bahwa kelas yang
bersangkutan patut diduga sebagai kasus yang mengalami kesulitan
belajar.
Tes yang diberikan ke siswa terdiri dari 3 tingkat kognitif yang
berupa pengetahuan (C1), pemahaman (C2) dan penerapan (C3).
Berdasarkan jawaban siswa, diperoleh hasil bahwa dari 40 siswa
ternyata secara keseluruhan siswa memperoleh nilai rata-rata sebesar
57,13. Kemudian, berdasarkan perhitungan hasil yang diperoleh
siswa pada tiap-tiap aspek yang diukur yaitu berupa pengetahuan
(C1) sebesar 55,56% dengan kriteria sedang. Pada aspek pemahaman
(C2) sebesar 33,75% dengan kriteria rendah. Pada aspek penerapan
(C3) sebesar 32,22% dengan kriteria rendah.
Menurut Suwarto (2013), kesulitan karena mata pelajaran mungkin
berkenaan dengan keabstrakan konsep. Suatu mata pelajaran yang
bersifat hierarki, yaitu dimulai dari yang paling mudah hingga yang
paling sukar akan memerlukan pemahaman yang berkesinambungan.
Apabila kesulitan di suatu konsep yang mendasar tidak diatasi,
maka akan menimbulkan kesulitan untuk memahami konsep yang
berikutnya. Berdasarkan pendapat ini, kesulitan belajar adalah
kekurangmampuan siswa dalam menguasai materi.
Berdasarkan Tabel 3. persentase kesulitan tertinggi yaitu pada
aspek pengetahuan (C1) yakni mengidentifikasi komponen dan sifat
larutan penyangga. Dalam memahami konsep larutan penyangga,
siswa sebelumnya harus mengetahui pengertian larutan penyangga,
senyawa asam lemah, basa lemah, asam kuat dan basa kuat. Prasyarat
tersebut perlu diketahui dan dipahami siswa agar tidak mengalami
kesulitan dalam aspek ini.
Menurut Caryono dan Suhartono (2012), Kesulitan belajar sering
terjadi karena siswa tidak mampu mengaitkan antara pengetahuan
baru dengan pengetahuan lamanya sehingga menimbulkan
ketidakpahaman atau ketidakjelasan suatu pelajaran.
Pada hakikatnya pembelajaran yang sesuai untuk kelompok
siswa yang mengalami kesulitan belajar adalah dengan mendapatkan
perlakuan analisis kesulitan belajar dan pelayanan remedial. Namun
kenyataannya analisis kesulitan belajar dan pelayanan remedial ini
tidak dilakukan oleh guru. Analisis kesulitan belajar siswa merupakan
salah satu tugas guru dalam mengajar. Selain sebagai model yang
dijadikan dasar dalam rangka menyesuaikan program pembelajaran

26
Arah Pembelajaran Professional untuk Indonesia Emas pada Abad 21

yang didasarkan atas individualitas siswa, juga untuk menemukan


anak yang memerlukan analisis yang lebih rinci tentang kesulitan
belajar mereka (Djamarah, 2011).
Selain pemberian tes, kesulitan belajar siswa dapat dilihat
berdasarkan hasil pemberian angket tentang faktor-faktor yang
menyebabkan kesulitan belajar siswa berdasarkan beberapa indikator,
diantaranya:
1. Indikator Diri Sendiri
Indikator diri sendiri memperoleh persentase sebesar 72,4%
dengan kriteria tidak berpengaruh. Namun berdasarkan sub
indikator Kesiapan dan Perhatian serta sub indikator Minat dalam
indikator diri sendiri, memperoleh persentase sebesar 57,5% dan
51,88%. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum indikator diri
sendiri tidak berpengaruh dalam kesulitan belajar siswa, tapi
beberapa siswa merasa bahwa indikator diri sendiri berpengaruh
dalam kesulitan belajar.
2. Indikator Lingkungan Keluarga
Indikator lingkungan keluarga memperoleh persentase sebesar
68,44% dengan kriteria tidak berpengaruh. Namun berdasarkan
sub indikator Perhatian dan Dukungan Orang tua dalam indikator
lingkungan keluarga, memperoleh persentase sebesar 57,5%. Hal
ini menunjukkan bahwa secara umum indikator lingkungan
keluarga tidak berpengaruh dalam kesulitan belajar siswa, tapi
beberapa siswa merasa bahwa indikator lingkungan keluarga
berpengaruh dalam kesulitan belajar.
3. Indikator Lingkungan Sekolah
Indikator lingkungan sekolah memperoleh persentase sebesar
71,56% dengan kriteria tidak berpengaruh. Hal ini menunjukkan
bahwa secara umum indikator lingkungan sekolah tidak
berpengaruh dalam kesulitan belajar siswa.
4. Indikator Lingkungan masyarakat
Indikator lingkungan masyarakat memperoleh persentase sebesar
56,88% dengan kriteria cukup berpengaruh. Hal ini menunjukkan
bahwa secara umum indikator lingkungan masyarakat
berpengaruh dalam kesulitan belajar siswa.

Berdasarkan pembahasan dari hasil tes dan angket dapat


dihubungkan bahwa rendahnya nilai siswa disebabkan oleh
faktor lingkungan masyarakat, sehingga menyebabkan 70% siswa

27
Professional Learning untuk Indonesia Emas

mendapatkan nilai di bawah KKM. Hal ini menunjukkan bahwa


lingkungan masyarakat saat ini dapat memberikan dampak buruk
terhadap prestasi belajar siswa.
Menurut Sabri (2007), terdapat beberapa faktor yang dapat
menyababkan kesulitan belajar bagi siswa, yaitu: rendahnya
kemampuan intelektual atau kecerdasan anak, gangguan-gangguan
perasaan atau emosi, kurangnya motivasi dalam belajar, kurangnya
kematangan untuk belajar, latar belakang sosial yang tidak menunjang,
kebiasaan belajar yang kurang baik, kemampuan mengingat yang
lemah atau rendah, terganggunya alat indera, proses belajar mengajar
yang tidak sesuai, dan tidak adanya dukungan dari lingkungan belajar.
Menurut pendapat lain yaitu Djamarah (2011) menyatakan bahwa:
Kesulitan belajar adalah suatu kondisi dimana anak didik tidak dapat
belajar secara wajar, disebabkan adanya ancaman, hambatan, ataupun
gangguan dalam belajar. Oleh sebab itu, dapat dikatakan siswa
kelas XI MIA Reguler SMA Al-Hasra cenderung mengalami kesulitan
belajar karena mendapatkan gangguan dari lingkungan masyarakat
yang tidak kondusif.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat
diperoleh kesimpulan bahwa faktor yang menyebabkan kesulitan
belajar siswa adalah lingkungan masyarakat. Hal ini dapat terlihat
dari persentase tiap-tiap indikator faktor-faktor penyebab kesulitan
belajar siswa yang meliputi :
1. Diri Sendiri dengan persentase 72,4% termasuk dalam kriteria
tidak berpengaruh.
2. Lingkungan Keluarga dengan persentase 68,44% termasuk dalam
kriteria tidak berpengaruh.
3. Lingkungan Sekolah dengan persentase 71,56% termasuk dalam
kriteria tidak berpengaruh.
4. Lingkungan Masyarakat dengan persentase 56,88% termasuk
dalam kriteria cukup berpengaruh.

28
Arah Pembelajaran Professional untuk Indonesia Emas pada Abad 21

Daftar Pustaka

Caryono, Suhas dan Suhartono. (2012). Analisis Deskriptif Faktor


Penyebab Kesulitan Belajar Mata Pelajaran Matematika di
SMA Negeri 8 Purworejo Tahun Pelajaran 2012/2013. Prosiding
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika FMIPA
UNY. Makalah di Presentasikan dalam seminar nasional
matematika dengan tema Kontribusi Pendidikan Matematika
dan Matematika dalam Membangun Karakter Guru dan
Siswa pada tanggal 10 november 2012 di jurusan pendidikan
matematika FMIPA UNY.
Djamarah, Syaiful Bahri. (2011). Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Faika, Siti dan Side, Sumiati. (2011). Analisis Kesulitan Mahasiswa
dalam Perkuliahan Kimia Dasar di Jurusan Kimia. Jurnal
Chemica Vol. 2 Nomor 2.
Kalsum, Siti dan Devi, Poppy K. (2009). KIMIA 2 SMA dan MA Kelas XI.
Jakarta: Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional.
Kurnia, Feni, Zulherman dan Fathurohman, Apit. (2014). Analisis
Bahan Ajar Fisika SMA Kelas XI di Kecamatan Indralaya
Utara Berdasarkan Kategori Literasi Sains. Jurnal Inovasi dan
Pembelajaran Fisika Vol.1 No.1, ISSN : 2355-7109. Universitas
Sriwijaya.
Marsita, Resti A, Priatmoko, Sigit dan Kusuma, Ersanghono. (2010).
Analisis Kesulitan belajar Kimia Siswa SMA dalam Memahami
Materi Larutan Penyangga dengan menggunakan Two-
Tier Multiple Choice Diagnostic Instrument. Jurnal Inovasi
Pendidikan Kimia Vol. 4, No.1.
Permana, Irvan. (2009). Memahami Kimia SMA/MA Kelas XI Semester 1
dan 2 Program Ilmu Pengetahuan Alam. Jakarta: Pusat Perbukuan,
Departemen Pendidikan Nasional.
Sabri, Alisuf. (2007). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.
Sapuroh, Siti. (2010). Analisis Kesulitan Belajar Siswa dalam
Memahami Konsep Biologi pada Konsep Monera. Skripsi S1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Salmeto. (2010). Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi. Jakarta:
PT. Rineka Cipta.

29
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Somadoyo, Samsu. (2013). Penelitian Tindakan Kelas. Yogyakarta: Graha


Ilmu.
Sudijono, Anas. (2011). Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: Rajawali
Pers.
Suwarto. (2013). Pengembangan Tes Diagnostik dalam Pembelajaran
(Penduan Praktis Bagi Pendidik dan Calon Pendidik). Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Syah, Muhibbin. (2010). Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Syamsudin, Abin. (2005). Psikologi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja
Rosda Karya.
Zulfiani. (2009). Strategi Pembelajaran Sains. Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Jakarta.

30
2
TANTANGAN
IMPLEMENTASI
PROFESSIONAL
LEARNING
Professional Learning untuk Indonesia Emas

32
FOBIA SEKOLAH PADA ANAK SEKOLAH
DASAR DAN UPAYA GURU UNTUK
MENGATASINYA
Sri Wuryastuti
Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung

Abstrak: Anak yang mengalami fobia sekolah akan cenderung


mengalami kesulitan dalam berhubungan secara sosial. Anak
yang memiliki kemampuan berhubungan dengan teman
sebaya cenderung lebih mudah untuk bergaul, bermain dan
menyesuaikan diri. Sebaliknya anak yang tidak memiliki
kemampuan untuk berhubungan sosial cenderung mengalami
kesulitan berhubungan secara sosial dengan teman sebayanya.
Anak usia sekolah dianggap lebih dewasa secara fisik dan
psikologis dan dalam hal kematanagan emosi. Sehingga ketika
saat pertama masuk ke sekolah, seharusnya hal itu menjadi
pengalaman yang sangat menyenangkan karena anak akan
melihat dan mengalami hal-hal yang baru. Misalnya anak
akan memakai seragam, tas serta peralatan sekolah yang baru,
teman-teman baru, guru baru serta lingkungan yang baru. Hal
itu merupakan harapan dari orang tua dan guru. Harapan
orang tua atau guru tersebut tidak selalu menjadi kenyataan,
karena ada beberapa anak yang mengalami kekhawatiran
atau ketakutan untuk ke sekolah. Ketakutan pada anak untuk
bersekolah sebenarnya merupakan suatu hal yang biasa terjadi.
Rasa takut anak pada umumnya sebagai tanggapan untuk
melindungi diri dari suatu hal. Namun pada beberapa anak,
ketakutan tersebut dapat menjadi suatu hal yang irrasional dan
berdampak sangat besar pada keinginan untuk tidak sekolah.
Hal irrasional seperti inilah yang dinamakan fobia sekolah.

Kata kunci: Fobia Sekolah, Upaya Guru

33
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Pendahuluan
Selain masalah konflik sosial, anak yang mengalami Attention
Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) juga dapat mengalami
kesulitan berperilaku dan kesulitan bersosialisasi. Hal ini seperti
yang diungkapkan oleh Kosasih (2012: 7) bahwa ADHD memberikan
gambaran tentang suatu kondisi medis yang mencakup disfungsi otak.
Jika terjadi pada seorang anak, keadaan tersebut dapat menyebabkan
berbagai kesulitan belajar, kesulitan berperilaku dan kesulitan
bersosialisasi.
Selain masalah konflik sosial, masalah perkembangan sosial
lainnya yang terjadi pada anak-anak adalah gejala fobia sosial (social
auxiety disorder). Anak yang mengalami gejala fobia sosial, merasakan
kecemasan sosial yang irrasional, rasa takut dan malu yang berlebihan
dalam interaksi sehari-hari. Menurut Tirtojiwo (2002), ganngguan
kecemasan sosial mempengaruhi emosi dan perilaku. Hal ini juga
dapat menyebabkan gejala fisik yang signifikan. Tanda-tanda gejala
emosi dan perilaku kecemasan sosial termasuk:
1) Takut secara berlebihan ketika berinteraksi dengan orang lain.
2) Takut situasi dimana orang tersebut merasa dinilai.
3) Takut memalukan diri sendiri
4) Takut bahwa orang lain akan melihat bahwa dirinya cemas
5) Kecemasan yang mengganggu rutinitas, sekolah atau pekerjaan
lain.
6) Menghindari melakukan sesuatu atau berbicara dengan orang
karena takut malu.
7) Menghindari situasi dimana yang bersangkutan menjadi pusat
perhatian.
8) Kesulitan membuat kontak mata.
9) Kesulitan berbicara.

Sedangkan menurut Ayub, fobia sosial merupakan gangguan
yang biasanya mulai timbul sejak dini dan bersifat kronik. Bila
tidak diobati akan cepat menimbulkan berbagai keterbatasan dalam
kehidupan sosial, aktifitas profesional, kemampuan mencari nafkah dan
berkontribusi pada masyatakat luas. Sedangkan menurut Stravynski
(2007) orang yang mengalami fobia sosial mempunyai gejala-gejala
yaitu detak jantung lebih cepat, pernafasan lebih cepat, otot tegang,
dan ingin buang air kecil. Menurut Soemanto (2012:188), kecemasan-
kecemasn tersebut yang menggambarkan keadaan emosional peserta
didik dapat meyebabkan anak menolak untuk pergi ke sekolah atau
fobia sekolah.
Anak yang mengalami fobia sekolah akan cenderung mengalami

34
Tantangan Implementasi Professional Learning

kesulitan dalam berhubungan secara sosial. Anak yang memiliki


kemampuan berhubungan dengan teman sebaya cenderung lebih
mudah untuk bergaul, bermain dan menyesuaikan diri. Sebaliknya
anak yang tidak memiliki kemampuan untuk berhubungan sosial
cenderung mengalami kesulitan berhubungan secara sosial dengan
teman sebayanya.
Berdasarkan penelitian Ahman (Afianti, 2014) diketahui bahwa
siswa sekolah dasar cenderung lemah dalam kemampuan menghargai
teman sebaya, belum memiliki kemampuan untuk bersaing dengan
teman sebaya secara sportif dan kurang setia kawan. Padahal
disisi lain anak memiliki keinginginan untuk diperhitungkan dan
mendapatkan mendapatkan tempat dalam kelompok sebayanya.
Kondisi yang dikemukakan Ahman dari hasil penelitiannya tersebut
menurut penulis dapat menimbulkan terjadinya konflik sosial yang
terjadi diantara teman sebaya. Dari konflik sosial akan menyebabkan
terjadinya bulying dan dampak selanjutnya adalah fobia sekolah.
Anak usia sekolah dianggap lebih dewasa secara fisik dan
psikologis dan dalam hal kematanagan emosi. Sehingga ketika saat
pertama masuk ke sekolah, seharusnya hal itu menjadi pengalaman
yang sangat menyenangkan karena anak akan melihat dan mengalami
hal-hal yang baru. Misalnya anak akan memakai seragam, tas serta
peralatan sekolah yang baru, teman-teman baru, guru baru serta
lingkungan yang baru. Hal itu merupakan harapan dari orang tua
dan guru. Harapan orang tua atau guru tersebut tidak selalu menjadi
kenyataan, karena ada beberapa anak yang mengalami kekhawatiran
atau ketakutan untuk ke sekolah. Ketakutan pada anak untuk
bersekolah sebenarnya merupakan suatu hal yang biasa terjadi. Rasa
takut anak pada umumnya sebagai tanggapan untuk melindungi
diri dari suatu hal. Namun pada beberapa anak, ketakutan tersebut
dapat menjadi suatu hal yang irrasional dan berdampak sangat besar
pada keinginan untuk tidak sekolah. Hal irrasional seperti inilah yang
dinamakan fobia sekolah.
Menurut Tridhonanto (2014) fobia sekolah biasanya terjadi pada
masa transisi seperti menjelang kenanikan kelas, awal tahun ajaran
atau masuk sekolah baru (TK/ SD). Epidemiologi fobia sekolah terjadi
antara 1% sampai 5% terjadi pada hampir semua sekolah, presentase
kejadian sama, antara anak laki-laki dengan anak perempuan,
walauppun fobia sekolah terjadi pada semua umur sekolah tetapi
hanya terjadi pada usia 5, 6, 7, 8, 9, 10 dan 11 tahun, tidak ada
perbedaan sosial ekonomi yang memengaruhi fobia sekolah ( Fremont
dalam Handayanti dkk, 2007).
Sedangkan menurut Hurlock (1996), anak perempuan biasanya

35
Professional Learning untuk Indonesia Emas

lebih banyak mengalami fobia sekolah. berkisar sekitar 75%


dibandingkan anak laki-laki yang hanya 25%. Hal ini terjadi karena
anak perempuan biasanya lebih memperlihatkan rasa takutnya akan
sekolah dibandingkan anak laki-laki. Sedangkan menurut Davidson
(1960) kemungkinan terjadinya fobia sekolah pada anak laki-laki dan
perempuan adalah sama.

Pengertian Fobia Sekolah
Secara lebih detil Miller, Barret dan Hamped (Rini; 2013: 4.11)
mendefinisikan fobia sebagai jenis tertentu dari ketakutan yang tidak
proporsional terhadap realitas dari situasi, tidak dapat dikontrol
secara disengaja, menyebabkan individu menghindari situasi yang
di takuti, bertahan dalam periode waktu yang lama, dan bersifat
maladaptif.
Berikut ini pengertian fobia sekolah oleh beberapa pakar. Harlock
(1993) mendeskripsikan fobia sekolah sebagai keengganan bersekolah
secara total atau sebagian dan dinyatakan dengan gejala fisik misalnya
rasa mual, tidak ingin makan, dan sedikit demam. Anak itu mungkin
pergi kesekolah lalu mengeluh tentang masalah somatik seperti sakit
perut atau sakit kepala. Sedangkan Kelly (2005) berpendapat bahwa
school phobia berkenaan dengan rasa keengganan yang luar biasa
dari anak untuk pergi ke sekolah yang merupakan dampak dari
kecemasan yang hebat dan rasa takut yang tidak wajar. Hal ini disertai
dengan gejala somatik yang selalu digunakan sebagai alasan untuk
tetap dirumah dan sering hilang setelah anak tersebut yakin bahwa
dia tidak harus bersekolah. Sedangkan menurut Csoti (2013) fobia
sekolah bukanlah fobia sebenarnya. Hal ini jauh lebih kompleks dan
melibatkan gangguan termasuk separation anxiety, agora phobia dan
fobia sosial, meskipun kecemasan ini berpusat disekitar lingkungan
sekolah. Pada kenyataannya, anak fobia sekolah takut meniggalkan
rumah yang aman.
Jadi fobia sekolah adalah bentuk kecemasan yang tinggi terhadap
sekolah. Anak merasakan tidak aman, sensitif dan seringkali tidak
tahu bagaimana harus menghadapi emosi yang mereka rasakan.
Mereka merasa tegang dan sakit secara fisik setiap saat masuk sekolah.

Proses Terjadinya Fobia Sekolah
Menurut Mahendratto dalam Armaliani (2008), fobia sekolah
dapat terbentuk oleh sugesti negatif yang terjadi di sekolah, adanya
serangkaian peristiwa yang sangat buruk, menakutkan ataupun
menyakitkan di masa lalu. Semakin ekstrim intensitas peristiwanya,
semakin kuat potensi fobianya. Kebanyakan fobia terjadi pada masa

36
Tantangan Implementasi Professional Learning

kanak-kanak walaupun dapat juga terjadi saat dewasa. Ciri-ciri psikis


antara lain muncul rasa cemas atau takut, tetapi tanpa dasar yang jelas
dan cenderung panik. Ciri fisik antara lain gemetar, nafas menjadi cepat
dan jantung berdebar debar. Saat seseorang mengalami serangkaian
peristiwa buruk (traumatis) ataupun ekstrim, timbul ketegangan luar
biasa. Karena tubuh manusia tidak mungkin terus menerus tegang,
upaya peredaan ketegangan biasanya dilakukan manusia secara tanpa
sadar melalui mekanisme pertahanan diri dengan cara penekanan
(repression) gangguan tersebut ke bawah sadar.
Jika seseorang tidak mampu mengatasi peristiwa traumatis
tersebut, praktis pertumbuhan normal mentalnya mengalami
penurunan (degradasi) ataupun terhenti (fiksasi). Pada peristiwa
fiksasi tersebut, mental kita membentuk konfigurasi tertentu dan
relatif permanen. Di kemudian hari jika terdapat stimulan yang sama
atau mirip, maka pola respon yang akan dipakai adalah pola respon
yang terakhir dikenal atau biasa disebut regresi. Pada kebanyakan
orang, fobia dianggap tidak penting ataupun mengganggu dirinya.
Sesungguhnya fobia sangat merugikan pertumbuhan normal
mental seseorang dan biasanya kerugian tersebut baru disadari saat
semuanya sudah sangat terlambat (kehilangan waktu, kesempatan
dan kehidupan sosial).
Fiksasi adalah suatu keadaan dimana mental seseorang menjadi
terkunci yang disebabkan oleh ketidak mampuan orang yang
bersangkutan dalam mengendalikan perasaan takutnya.

Faktor-faktor penyebab terjadinya fobia sekolah


1) Bullying
Bullying mengarah pada tindakan yang menggagu orang lain,
dilakukan secara sengaja dan sifatnya tekanan fisik ataupun
psikologis. Agar lebih lengkap pemahaman tentang bullying
penulis kemukakan tentang bullying dari beberapa pakar. Erling
Rolland (Brendan Bryne,1994:13) berpendapat bahwa bullying
adalah kekerasan yang terjadi dalam waktu lama, secara fisik atau
psikologi yang dikondisikan secara individu atau kelompok yang
tidak dapat membela dirinya sendiri dalam situasi yang nyata.
Sedangkan Delwyin Tattum (Brendan Bryne,1994:12) menyatakan
bahwa bullying mencakup tindakan anti sosial seperti serangan,
pemerasan, intimidasi dan kekerasan. Bullying merupakan
kekerasan yang terjadi secara kontinum dan dilakakukan secara
sadar dan disengaja.
Sebagai korban bullying, secara psikologis akan merasa cemas dan
takut. Dampak lain yang dirasakan oleh korban bullying adalah:

37
Professional Learning untuk Indonesia Emas

depresi, rendahnya kepercayaan diri atau minder, pemalu dan


penyendiri, merosotnya prestasi akademik, merasa terisolasi
dalam pergaulan, terpikir atau mencoba untuk bunuh diri.
Penderita mental yang dirasakan menyebabkan anak korban
bullying mempunyai kenginan untuk terus menerus tinggal
di rumah dan mogok ke sekolah, kerena masa ketakutan dan
kecemasan yang sangat mendalam kepada pelaku bullying. Jadi
bullying yang terjadi di sekolah menyebabkan anak korban
bullying mengalami fobia sekolah.
Selain bullying, ada kekerasan lain yang terjadi pada anak
yang dinamakan Child abuse. Child abuse adalah tindakan
melukai yang berulang-ulang baik secara fisik maupun emosinal
kepada anak yang harusnya dilindungi, melalui desakan hasrat,
hukuman badan yang tak terkendali, degradasi, dan cemoohan
yang permanen, atau kekerasan seksual dimana hal ini biasanya
dilakukan oleh para orang tua atau pihak lain yang seharusnya
merawat dan melindungi anak-anak itu (Suyanto, 2013:90).
2) Tidak suka pada guru
Terdapat beberapa anak yang tidak menyukai perilaku guru
terutama guru yang galak. Sebagai bentuk rasa ketidaksukaannya
pada guru maka ia menjadi malas ke sekolah. Dalam hal ini
guru harus mengintropeksi diri. Guru harus mengubah perilaku
tersebut, guru harus bersikap empatik, menerima, hangat dan
terbuka kepada peserta didik. Seperti yang diungkapkan oleh
Mulyasa (2005: 172) bahwa guru harus bersikap positif dan
bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan di sekolah dan
melibatkan peserta didik secara optimal dalam pembelajaran.
Jika guru tidak bersikap demikian berarti guru tersebut tidak
bertanggung jawab dan membiarkan peserta didik malas ke
sekolah.
3) Tidak bisa lepas dari ibu
Hal ini terjadi pada anak-anak yang memppunyai ibu yang
tinggal di rumah. Berbeda dengan anak yang mempunyai ibu
yang bekerja, anak sudah terbiasa dan menyadari bahwa mereka
harus ditinggal untuk bekerja. Seandainya ibu sering di rumah,
maka ia seringkali kalah melawan kemauan anaknya yang selalu
ingin dekat dengan anaknya. Dalam hal ini ibu tidak berhasil
meyakinkan anak bahwa pergi ke sekolah adalah suatu yang
menyenangkan.
4) Merasa tak mampu
Karena kemampuan kognitif yang tidak mempu untuk menerima
pelajaran dari guru, maka anak akan butuh waktu yang lebih lama

38
Tantangan Implementasi Professional Learning

dalam menangkap apa-apa yang diberikan guru. Akibatnya ia


menolak semua tugas yang diberikan pedanya dan jika kondisi
ini tidak teratasi maka ia tidak segan untuk mogok sekolah.
5) Beban sekolah yang terlalu berat
Menurut Seto Mulyadi, dalam Har (2008) akibat beban kurikulum
yang terlalu berat tidak mengherankan bila sebagian anak saat
ini mengidap fobia sekolah. Manifestasinya bisa bermacam-
macam, misalnya anak sering mengaku pusing/ tidak enak badan
menjelang sekolah serta sejuta alasan lain agar tidak sekolah
pada hari itu. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Diana
Patter (2008) bahwa kecemasan pada anak yang menimbulkan
fobia sekolah disebabkan oleh tuntutan sekolah seperti tes, tugas
pekerjaan rumah dan adanya pengganggu.
6) Pola asuh orang tua.
Hubungan anak dengan orang tua atau pengasuhnya merupakan
dasar bagi perkembangan emosional dan sosial sekolah anak.
Sejumlah ahli mempercayai bahwa kasih sayang orang tua
merupakan kunci utama perkembangan sosial anak (Desmita,
2012: 144).

Fobia sekolah dapat disebabkan dari faktor orang tua yang selalu
memanjakan atau sangat menyayangi anaknya. Akibatnya anak tidak
mandiri dan tergantung pada orang tua. Hal ini ikut menyumbang
perilaku anak yang menolak pergi ke sekolah. Hal senada diperkuat
oleh pendapat Richard M. Suinn (1970) bahwa perilaku menyimpang
seperti fobia sekolah dilakukan oleh anak-anak dan diperkuat oleh
orang lain yang masih terkait.
Banyak orang tua yang tidak sadar bahwa sikap dan pola asuh
yang diterapkan pada anak ikut menyumbang terbentuknya dependency
(ketergantungan), rasa kurang percaya diri dan kekawatiran yang
berlebihan (Meilina, 2010). Hal ini didukung oleh pernyataan Inger
Olsen dan H. Coleman (1964) bahwa fobia sekolah yang terjadi pada
anak-anak biasanya disebabkan oleh kecemasan untuk berpisah dan
ketergantungan antara orang tua dan anak (terutama ibu).
Saat ini memang kejahatan terhadap anak semakin marak, seperti
masalah penculikan atau penganiayaan anak. Namun perlu diketahui
oleh orang tua agar jangan samapai kekawatiran itu terlalu berlebihan
sehingga anak juga merasa cemas dan tidak tahu harus berbuat apa
menghadapi masalah tersebut.
Selain hal-hal tersebut diatas menurut Nunik (2007) dari hasil
penelitiannya, ada hubungan negatif antara harga diri dengan
kecenderungan fobia sekolah pada anak sekolah dasar. Anak yang

39
Professional Learning untuk Indonesia Emas

memiliki harga diri tinggi akan memilki kecenderungan fobia sekolah


yang rendah.

Penanganan Fobia Sekolah Pada Anak Sekolah Dasar


Setiap individu dalam kehidupannya pasti mengalami tantangan
kesulitan ataupun masalah dan tidak ada seseorang yang hidup
di dunia tanpa suatu masalah ataupun kesulitan terutama di
zaman global ini. Tekanan akibat peristiwa hidup sehari-hari ketika
terakumulasi akan menjadi sumber gangguan dalam diri seseorang
(Mountheit dan Gilboe dalam Ariyani, 2012). Demikian juga dengan
anak, dilingkungan sekolah anak akan mengalami berbagai peristiwa
baik positif atau negatif. Peristiwa positif seperti kegiatan yang
menyenangkan, guru dan teman yang baik. Sedangkan peristiwa
yang negatif seperti teman yang bandel, guru yang galak dan tugas
sekolah yang memberatkan, dan sebagainya. Jika peserta didik yang
mendapat tantangan yang besifat negatif dan pulih kembali dari
pengalaman tersebut serta meneruskan hidup dengan normal bahkan
mampu meningkatkan kompetensinya, itulah yang diharapkan oleh
orang tua dan guru.
Seperti sudah penulis paparkan di atas bahwa, dari beberapa kasus
yang menimpa pada anak, baik itu kekerasan fisik maupun psikologis
atau beban tugas yang terlalu berat dapat mengakibatkan anak trauma
untuk pergi ke sekolah. Hal ini tidak hanya terjadi pada anak usia
sekolah dasar saja tetapi juga terjadi pada anak yang usianya lebih
dewasa. Seperti yang diungkapkan oleh Antono (2012) yaitu fenomena
yang ada pada anak MTs Al Uswah Kabupaten Semarang, antara lain
masih banyak anak yang terlambat masuk sekolah karena takut belum
mengerjakann pekerjaan rumah (PR). Kasus tersebut dapat memicu
terjadinya fobia sekolah pada anak.
Secara kuantitas, berdasarkan hasil penelitian, kasus fobia sekolah
sudah sangat meresahkan bagi orang tua dan guru. Untuk itu perlu
penanganan yang serius, agar anak dapat melewati masa sekolah
dengan nyaman tanpa kekerasan sehingga dapat menjadi anak yang
mandiri, berkualitas dan berkarakter.
Sebelum membahas tentang penanganan fobia sekolah pada
anak sekolah dasar, penulis perlu membahas dulu tentang persiapan
mental pada anak untuk masuk ke jenjang sekolah dasar, menurut Al
Tridhonanto (2014) sebagai berikut :

1) Teman baru
Memberitahukan kepada anak bahwa nanti di sekolah baru
mereka akan bertemu dengan banyak teman sehingga anak akan

40
Tantangan Implementasi Professional Learning

merasa dia tidak sendirian. Mereka akan bertemu dengan teman


sebayanya sehingga rasa takut bertemu dengan orang asing, dan
guru-guru serta lingkungan baru bisa sedikit dikurangi.
2) Baju sekolah baru
Biasanya jika anak dibelikan baju baru untuk sekolah maka ia akan
termotivasi untuk segera berangkat ke sekolah dengan semangat
dan rasa ingin tahu yang lebih.
3) Lingkungan sekolah
Pastikan anak sudah menganal daerah dan lingkungan sekolahnya
sebelum sekolah dimulai. Hal ini dilakukan agar anak tidak merasa
asing dan merasa sudah mengenal sekolahnya jauh lebih dulu
dari teman-temannya dan ini bisa membangkitkan rasa percaya
diri pada anak.
4) Hari pertama sekolah
Jangan membiarkan anak sendirian di hari pertama sekolahnya.
Sehingga anak akan merasa canggung dengan lingkungan barunya
meskipun ada juga sebagian anak yang sudah berani ditinggalkan
orang tuanya. Orang tua bisa perlahan meninggalkan sekolah
jika sudah memasuki hari kedua atau ketiga.
5) Mandiri
Sebelum anak masuk sekolah sebaiknya orang tua sudah
mengajarkan konsep kemandirian semenjak di rumah. Orang tua
bisa mulai mengajarkan memasang sepatu sendiri, dan memasang
baju dan celana sendiri. Latihan ini dilakukan agar anak bisa
melakukan sendiri tanpa bantuan orang tua.
Hal ini bertujuan untuk melatih kemadirian siswa karena seperti
yang dikemukakan oleh Adawiyah (2012) bahwa kemandirian
yang dimiliki oleh siswa diwujudkan melalui kemampuannya
dalam mengambil keputusan sendiri tanpa pengaruh dari orang
lain.
6) Motivasi
Orang tua sebaiknya selalu memberi pujian sebagai motivasi
bagi anak setiap kali mau ke sekolah dan setiap kali ia pulang dari
sekolah.

Selanjutnya, berikut ini adalah beberapa tindakan sekolah


terutama guru, ketika ada kasus peserta didik yang mengalami fobia
sekolah:
1) Berusaha mendapat kejelasan tentang penyebabnya dan
meyakinkan bahwa hal tersebut bukan kesalahan anak.
2) Membantu peserta didik mengurangi ketidaknyamanan yang ia
rasakan dengan menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah

41
Professional Learning untuk Indonesia Emas

dimengerti.
Peserta didik yang sudah merasa nyaman dengan dirinya sendiri
akan membuat dia nyaman berhubugan dengan orang lain. Hal
ini berkaitan erat dengan kecerdasan interpersonal. Menurut
Erham Wildan (2014) bahwa kecerdasan interpersonal bukanlah
tumbuh dengan sendirinya, tetapi merupakan kecakapan yang
dipelajari yang memungkinkan orang berhubungan dengan
orang lain dengan cara yang saling menguntungkan. Kecerdasan
interpersonal merupakan kecerdasan yang tidak bisa dilepaskan
dari kecerdasan intrapersonal, karena anak yang bisa berhubungan
secara baik dengan dirinya sendiri akan mampu memiliki
kebutuhan pribadinya sehingga nyaman secara psikologis.
Demikian juga apabila dia merasa terlindungi dalam situasi sosial
dia akan mampu bertindak dengan cara yang tepat tanpa merasa
terancam.
3) Meminta bantuan pihak ketiga yaitu konselor untuk membantu
mengembalikan anak ke kondisi normal jika dirasakan perlu.
Untuk itu guru harus bisa menerima masukan dari pihak ketiga.
Merupakan hal sangat penting apabila guru menerima masukan
dari pihak konselor atau guru bimbingan dan konseling karena
seperti yang di kemukakan oleh Ruff dalam Bau Ratu (2012) bahwa
Asosiasi Konselor Sekolah Amerika (ASCA) mendeskripsikan
peran konselor adalah menyediakan pelayanan bagi pendidik,
siswa, dan komunitas pendidikan untuk membentuk sekolah
yang efektif. 80% dari waktu profesi konselor secara langsung
berhubungan dengan pelayanan siswa, dan tujuan utama
dari konselor adalah memaksimalkan prestasi siswa melalui
peningkatan keadilan bagi siswa, kesempatan memperoleh
pendidikan, dan menjamin keamanan dan kesehatan lingkungan
belajar.
4) Dengan bekerja sama dengan pihak keluarga, mengamati perilaku
dan emosi peserta didik. Guru perlu mewaspadai perbedaan
ekspresi agresi yang berbeda yang ditunjukkan peserta didik di
rumah dan di sekolah.
5) Membina kedekatan dengan peserta didik dan mau mendengarkan
cerita mereka. Dari penjelasan diatas maka sangat wajar apabila
dibutuhkan hubungan yang harmonis antara guru dan siswa,
seperti yang dikemukakan oleh Nana Syaodih (2013) bahwa hasil
dan kemajuan belajar siswa ditentukan juga oleh bentuk hubungan
antara guru dan siswa. Hubungan guru dan siswa menjadi syarat
mutlak, bukan hanya dalam hubungan sebagai pembimbing dan
yang dibimbing tetapi juga sebagai mitra belajar. Karena itu guru

42
Tantangan Implementasi Professional Learning

harus memahami siswa yang dibimbingnya dan sebaliknya siswa


harus mengakui kewibawaan pembimbingnya.
6) Melakukan home visit dengan membawa teman sebaya. Dengan
cara ini, peserta didik akan merasa dibutuhkan oleh teman-teman
sehingga dia akan merindukan lingkungan sekolah. Dari situ
akan timbul keinginan untuk kembali ke sekolah.
7) Tetap menekankan pentingnya sekolah
Menurut para ahli terapi yang paling tepat untuk mengatasi anak
yang mengalami fobia sekolah adalah mengajurkan untuk tetap
kembali kesekolah, karena lambat laun keluhannya akan makin
berkurang. Makin lama dia diizinkan tidak masuk sekolah, akan
makin sulit mengembalikan lagi ke sekolah dan bahkan keluhannya
akan makin meningkat. Selain itu semakin lama dia absen akan
semakin ketinggalan pelajaran dan makin sulit menyesuaikan diri
dengan teman-temannya.
8) Dalam proses pembelajaran sebaiknya guru menerapkan metode
kolaboratif yang memungkinkan terjadinya hubungan timbal
balik yang harmonis antara siswa sehingga kebutuhan sosial
siswa terpenuhi. Hal ini yang diungkapkan oleh Melvin (2009:30)
yaitu menempatkan siswa dalam kelompok dan memberi
mereka tugas yang menuntut mereka bergantung satu sama
lain dalam mengerjakannya merupakan cara yang bagus untuk
memanfaatkan kebutuhan sosial siswa. Pendapat yang sama
didukung oleh Vygotsky (Florence Beetlestone, 2001: 25) yang
sangat memperhatikan masalah bagaimana bahasa mempengaruhi
pembelajaran dan bagaimana pembelajaran ditingkatkan melalui
interaksi sosial.

Berkaitan dengan metode pembelajaran kolaboratif , Davidson


& Whorson (Wahidin,2006:143) berpendapat bahwa pembelajaran
ini dilakukan dengan cara mengelompokkan siswa dengan tujuan
untuk menciptakan pendekatan pembelajaran yang efektif atau
mengintegrasikan ketramplilan sosial yang bermuatan akademik.
Dalam metode pembelajaran kolaboratif, guru harus dapat menciptakan
situasi yang menimbulkan kerjasama dalam belajar antara siswa
dengan siswa dan antara siswa dengan guru. (Sadulloh,2007: 192).

Penutup
Dari uraian dan pembahasan diatas penulis akan memaparkan
kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, pengertian fobia sekolah adalah ketakutan dan kecemasan
yang irrasonal seorang anak untuk pergi kesekolah dengan gejal-

43
Professional Learning untuk Indonesia Emas

gelaja demam, sakit perut, sakit kepala, gatal-gatal, berkeringat dan


sebagainya. Jenis-jenis fobia sekolah mulai dari yang ringan sampai
yang berat adalah: initial school refusal behavior, substantial school refusal
behavior, acute school refusal behavior, dan chronic school refusal behavior.
Kedua, proses terjadinya fobia sekolah yaitu : pertama-tama
muncul sugesti negatif yang terjadi di sekolah sehingga terjadi
ketegangan yang luar biasa. Kemudian apabila ketegangan itu
terus menerus terjadi maka untuk meredakan ketegangan tersebut
anak akan melakukan represi melalui alam bawah sadar. Sehingga
pertumbuhan normal mentalnya mengalami penurunan (degradasi)
ataupun terhenti (fiksasi).
Ketiga , faktor-faktor terjadinya fobia sekolah antara lain adalah
: bullying, pola asuh orang tua, beban tugas yang terlalu berat dari
sekolah, ketidaksukaan pada guru, dan sebagainya.
Kempat, cara penanganan kapada anak yang mengalami
fobia sekolah antara lain adalah: mencarai informasi yang jelas
tentang penyebabnya, membantu anak home visit untuk mengatasi
ketidaknyamanan, meminta bantuan konselor, mengamati perilaku
dan emosi peserta didik, membina kedekatan pesrta didik, melakukan
dan menekankan anak untuk kembali ke sekolah.

Daftar Pustaka

Adawiyah, R. (2012). Pengembangan Model Konseling Behavior


dengan Teknik Modelling untuk Meningkatkan Kemandirian
Belajar Siswa SMP N 4 Wanasari Brebes. Jurnal Bimbingan
Konseling , 21-26.
Ariyani, A. M. (2012). Model Bimbingan Kelompok Berdasarkan
Pendekatan Sistem untuk Meningkatkan Resiliensi Siswa .
Jurnal Bimbingan Konseling , 14-20.
Armaliani, R. (2008). Fobia Sekolah pada Anak Sekolah Dasar. Jakarta:
Universitas Gunadarma.
Csoti, M. (2003). School Phobia, Panic Attacks and Auxciety in Children .
London and New York : Jessica Kingsly Publisher.
Depdikbud. (n.d.). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Desmita. (2012). Psikologi Perkembangan. Bandung : PT. Remaja Rosda
Karya.
Eugene W. Kelly, J. (2005). School Phobia . The Journal of School Nursing,

44
Tantangan Implementasi Professional Learning

147-151.
Har. (2008). Beban Kurikulum Terlalu Berat, Anak Idap Fobia Sekolah.
Gemari Edisi 91/Tahun IX.
Hurlock, E. ( 1993). Psikologi anak jilid 2, terjemahan Med Meitasari
Tjandrasa &Muslichah Zarkasih. Jakarta: Erlangga.
Hurlock, E. (1996). Perkembangan Anak. Alih bahasa : Meitasari Tjandrasa
dan Muslichah Zarkasih. Jakarta: Erlangga.
Kosasih, E. (2012). Cara Bijak Memahami Anak Berkebutuhan Khusus .
Bandung : Yrama Widya.
Mulyasa. (2005). Menjadi Guru Profesional, Menciptakan Pembelajaran
Kreatif dan Menyenangkan. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya .
Nunik N, d. (2007). Hubungan Antara Harga Diri dengan Kecenderungan
Fobia Sekolah pada Anak Sekolah Dasar. Jogjakarta: Universitas
Islam Indonesia.
Sharp, P. K. (1994). School Bullying, Insights and Perspectives . London:
Routledge.
Soemanto, W. (2012). Psikologi Pendidikan: Landasan Kerja Pemimpin
Pendidikan . Jakarta : Rineka Cipta.
Stevenson, I. (1990 ). Phobias in children Who Claim to Remember
Previous Lives . Jurnal of Scientific Exploration , 243-254.
Straviynski, A. (2007). The Nature and Treatment of Social Phobia.
Cambridge: Cambridge University Press.
Tridhonanto, A. (2014). Mengapa Anak Mogok Sekolah . Jakarta : PT. Elex
Media Komputindo.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional . (n.d.).
Yani, S. A. (n.d.). Memahami Anak dan Remaja dengan Kasus Mogok
Sekolah : Penyebab, Struktur Kepribadian, Profil Keluarga dan
Keberhasilan Penanganan. Jurnar Psikologi Volum 34, 55-75.

45
TANTANGAN DAN REVITALISASI
PENDIDIKAN ISLAM PADA MADRASAH DI
MASA MODERN ABAD 21
Syamsul Aripin
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Email : syamsul_aripin1981@yahoo.com

Abstrak: Modernisasi yang terjadi pada abad 19 hingga saat


ini telah membawa perubahan terhadap berbagai aspek bidang
kehidupan termasuk pendidikan Islam di Madrasah. Di era
modern pendidikan Islam di madrasah dan lembaga pendidikan
Islam lainnya dituntut profesional, sebab masyarakat telah
mengalami perubahan dengan mengedepankan rasionalitas.
Upaya merekonsiliasi ajaran agama dan era modern terus
dilakukan kaum muslimin di madrasah hal ini untuk
menunjukkan bahwa Islam sesuai dan tidak bertentangan
dengan era modern. Sebab di era modern kehidupan
manusia akan ditandai oleh dua kecenderungan yang saling
bertentangan/berlawanan dengan Islam yakni IPTEK vs
IMTAQ, ajaran vs sekulerisasi serta spiritual vs material. Untuk
itu pendidikan Islam pada madrasah juga harus meningkatkan
peranannya sebagai lembaga pendidikan Islam untuk merespon
kemajuan modernisasi saat ini, misalnya dengan merevitalisasi
sistem pendidikannya yang pro perubahan sehingga dapat
meningkatkan kualitas pembelajaran, mempersiapkan lulusan
madrasah yang handal sehingga dapat mengimbangi arus
modernisasi yang ada dan tidak ketinggalan zaman dengan
tidak meninggalkan program pendidikan madrasah yang sudah
ada sejak dahulu dan compatible dengan era modern abad 21 ini.

Kata kunci : Tantangan, Revitalisasi, Pendidikan Islam,


Madrasah, Era Modern

Pendahuluan
Madrasahsebagai bentuk lain dari Pendidikan Islam yang
menggunakan sistem kelas dan pembelajaran klasikal (Nata, 2004). Sejak
awal berdirinya dikenal dominan mengajarkan muatan keagamaan,
sehingga biasa disebut madrasah diniyah. Masa pertumbuhannya di
Indonesia, jam pembelajaran di madrasah umumnya dilaksanakan
sore hari. Di era 70-an madrasah dipandang setara dengan sekolah
umum dengan konsekwensi kurikulumnya harus memuat seluruh

46
Tantangan Implementasi Professional Learning

mata pelajaran yang ada di sekolah umum, Di Indonesia eksistensi


madrasah cukup banyak. Jumlahnya diketahui sebagai berikut :

Tabel 1. Data Kuantitatif Madrasah


No Jenjang Status Negeri Status Swasta Jumlah

1 Ibtidaiyah 1.025 23.625 24.650

2 Tsanawiyah 853 7.547 8.600


3 Aliyah 57 2.701 2.758


Madrasah merupakan bentuk lembaga pendidikan Islam modern,
sebab pendidikan Islam madrasah merupakan pendidikan yang sudah
menyerap sistem pendidikan modern, baik pengelolaannya maupun
proses pembelajaran serta materi pelajaran yang bukan saja belajar
agama tetapi juga belajar ilmu-ilmu umum. Hal itu disebabkan bahwa
munculnya model pendidikan madrasah karena adanya persentuhan
atau kontak langsung dengan model pendidikan Barat melalui Kyai
dan Ulama yang pernah belajar di Timur Tengah. Pendidikan Islam
madrasah telah ada pada awal-awal kemerdekaan yang didalam
kurikulum pembelajarannya, di samping memberikan mata pelajaran
agama juga mata pelajaran umum.
Sedang Madrasah di Indonesia merupakan fenomena modern yang
tumbuh dan berkembang sebagai bagian dari proses pembaharuan
pendidikan Islam di negeri ini. Meskipun secara kelembagaan
sekolah, kandungan pendidikan madrasah terutama pada masa awal
perkembangannya mengacu pada ilmu-ilmu ke-islaman.
Meski Madrasah merupakan lembaga pendidikan Islam modern,
Namun dalam kenyataannya menghadapi era modern Madrasah
masih menghadapi beberapa persoalan antara lain masalah kesetaraan
(equality), pemerataan (equity), mutu (quality), kurikulum (curriculum),
sarana pendidikan (facility) dan pengelolaan (governance) sehingga
perlu revitalisasi. Berikut pembahasannya.

Modernisasi dan Pendidikan


Modernisasi yang terjadi sekarang ini telah merambah berbagai
bidang kehidupan umat manusia dan memberikan perubahan terhadap
dunia pendidikan sehingga pendidikan mengalami modernisasi.
Modernisasi semacam ini memang tidak bisa dihindarkan, bahkan
merupakan tuntutan. Tuntutan perubahan ini bukan saja berasal dari
pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK)

47
Professional Learning untuk Indonesia Emas

serta globalisasi, ataupun tuntutan pembangunan nasional, melainkan


tuntutan masyarakat (Depag RI : Dirjen Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam, 2001).
Modernisasi pendidikan yang terjadi di dunia Islam tidak lebih dari
respon positif para modernis Muslim terhadap ketertinggalan umat
Islam dari kemajuan Barat modern. Modernisasi sendiri merupakan
sebuah gerakan Islam yang mencakup gerakan-gerakan pembaruan
Islam (Esposito, 1995). Menurut Fazlur Rahman modernisasi di
dunia Islam terjadi pada abad ke sembilan belas yang digerakkan oleh
elit penguasa (birokrat) dengan tujuan menciptakan keseimbangan
(equilibrium) antara masyarakat Barat dan Islam . Untuk terwujudnya
hal tersebut masyarakat Muslim harus belajar dan mengadopsi
kemajuan-kemajuan yang dicapai masyarakat Barat (Esposito, 1995).
Salah satu karakter penting gerakan modernisasi Islam menurut
Charles Kurzman (2002) adalah muncul dan menguatnya kesadaran
untuk mengadopsi nilai-nilai modern dikalangan kaum Muslim dimana
Nilai-nilai modern yang dimaksud disini antara lain rasionalitas,
sains, konstitusi, konsep-konsep baru tentang nilai-nilai egalitarian
dan sebagainya. Sehingga menurut Muhammad Khalid Masud
(2001) ketika lembaga pendidikan melakukan modernisasi dengan
mengambil elemen-elemen modern Barat, termasuk mengajarkan
sains modern, maka kesadaran akan identitas Islam-lebih sempit lagi
dan ideologi keagamaan Islam yang mereka anut menjadi agenda
yang mengemuka.
Sebaliknya, untuk modernisasi pendidikan di Indonesia, Harun
Ashrohah (2001) mengatakan bahwa pada permulaan abad ke-20
masyarakat Islam Indonesia telah mengalami beberapa perubahan
baik dalam bentuk kebangkitan agama, perubahan, maupun
pencerahan yang diakibatkan adalah dorongan untuk melawan
penjajah bangsa Belanda. Sebab tidak mungkin bangsa Indonesia
harus mempertahankan segala aktivitas dengan cara tradisional untuk
melawan kekuatan-kekuatan kolonialisme Belanda.
Menurut Nurcholish Madjid (1997), modernisasi pendidikan
yang terjadi di Indonesia tidak bersumber dari kalangan Muslim
sendiri tetapi justru diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Sebaliknya Azyumardi Azra (1996) berpendapat bahwa modernisasi
di Indonesia berasal dari para pelajar Indonesia yang pulang dari
Mekkah yang berhasil melakukan intensifikasi Islam, maka para pelajar
tersebut melakukan modernisasi di Indonesia dengan pembentukan
lembaga-lembaga pendidikan modern yang diadopsi dari sistem
pendidikan Belanda dengan mengambil elemen-elemen modern
Barat. Menurutnya, pemikiran dan kelembagaan Islam termasuk
pendidikan Islam Madrasah harus diperbaharui agar sesuai dengan
kerangka kemodernan dalam rangka memberdayakan masyarakat

48
Tantangan Implementasi Professional Learning

Muslim menghadapi kemajuan dan tantangan dunia modern.


Pola pemikiran dan kelembagaan madrasah yang modern dengan
aktivitas keagamaan, akan mewujudkan siswa yang berwawasan ilmu
pengetahuan dengan dasar-dasar keagamaan yang kuat sehingga
siswa siap menghadapi tantangan dunia global dengan tetap menjaga
nilai-nilai religinya.
Pemrakarsa pertama modernisasi pendidikan di Indonesia dalam
hal ini menurut Deliar Noer adalah organisasi-organisasi modernis
Islam seperti Jamiat al-Khair, al-Irsyad, Muhammadiyah, dan lain-
lain (Azra, 1998:90). Sedangkan tokoh-tokoh modernisasi di Indonesia
antara lain Syekh Ahmad Khatib, Syekh Taher Jalaluddin, Syeh
Muhammad Djamil Djambek, Haji Rasul, dan Abdullah Ahmad (Noer,
1980:5).

Pendidikan Islam dan Modernisasi


Diskursus mengenai modernisasi sebagaimana yang sedang
penulis bahas ini menimbulkan tanggapan yang berbeda-beda.
Sebagian kalangan tertentu merasa bahwa modernisasi merupakan
ancamam bagi eksistensi kebudayaan lokal tertentu, mengingat
modernisasi meniscayakan proses globalisasi yang menganggap
bahwa dunia sebagai one world-one globe sehingga menghancurkan
sekat-sekat pembeda yang ada di dunia ini. Hal inilah yang menurut
Nurcholis Madjid perlu diwaspadai dalam rangka melestarikan
(mempertahankan) keberagamaan manusia. Menurut Nurcholis
Madjid (1987:141-142) modernisasi sering dipahami sebagai suatu
proses perubahan sosial, yaitu perubahan susunan kemasyarakatan
dari satu sistem sosial praindustrial (misal agraris) ke sistem sosial
industrial. Kadang-kadang juga disejajarkan dengan perubahan
dari masyarakat pramodern ke masyarakat modern. Sehingga
dalam konteks keagamaan menurutnya kehidupan industrial (yang
menjadi ciri modern) dapat menimbulkan efek negatif dan sekaligus
menyimpan kandungan makna yang positif.
Di era modern pendidikan agama Islam dan lembaga pendidikan
seperti madrasah menurut Suparman Ibrahim Abdullah dituntut
untuk dapat memberikan jawaban atas berbagai problema yang
kini dihadapi seluruh umat manusia, kehidupan masyarakat yang
terus berubah dan berkembang berdampak pada pola penganutan
keagamaan yang lebih rasional dan fungsional. Kemajuan dunia ilmu
pengetahuan dan teknologi telah melahirkan fasilitas kehidupan dan
sekaligus sistem nilai baru yang menjanjikan. Tuntutan masyarakat
akan profesionalisme semakin berkembang dalam berbagai sektor
kehidupan. Otoritas ulama dalam bidang keagamaan berhadapan
dengan aneka keahlian masyarakat dalam bidang-bidang lain yang
lebih pragmatis. Dalam waktu yang bersamaan, perkembangan

49
Professional Learning untuk Indonesia Emas

telah memudahkan pengetahuan akses masyarakat termasuk ilmu-


ilmu keagamaan, yang luas dan beragama. Upaya merekonsiliasikan
ajaran-ajaran agama di madrasah dengan nilai-nilai pragmatis yang
berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi agenda utama kaum
Muslimin sejak awal abad 20. Tujuan pokok dari usaha ini adalah
menunjukkan kompitibilitas ajaran Islam yang ada di madrasah
terhadap perubahan peradaban modern di satu sisi diupayakan
penyegaran dan pembaharuan pemahaman ajaran agama sejalan
dengan perkembangan aktual, dan di sisi lain dilakukan langkah
spiritualisasi masyarakat modern agar tidak mengalami kehampaan
moral dan mental secara terus menerus.
Upaya ini bisa dilakukan sebab menurut Leonard Binder
(1988:221) pendidikan agama Islam di madrasah dan era modern bisa
sesuai sebab nilai-nilai Islam sehingga tidak sedikitpun bertentangan
dengan peradaban modern. Oleh karena itu, umat Islam yang ada
dilingkungan madrasah tanpa harus meninggalkan keyakinannya
terhadap ajaran Islam dapat memasuki kemajuan yang telah diperoleh
peradaban modern. Hal senada dikemukakan Abdurrahman Wahid
(1985:47) yang mengatakan bahwa antara modernisasi dan agama
adalah menyatu, menurutnya andaikata modernisasi dilepaskan
dari agama maka modernisasi akan tumbuh secara bebas nilai (free
of value) dan kalau ini terjadi, maka akan meruntuhkan nilai-nilai
agama yang sudah ditetapkan agama. Sebab saat ilmu pengetahuan
dan teknologi berkembang pesat serta disaat filsafat hidup manusia
modern mengalami krisis keagamaan dan saat perdagangan bebas
dunia sudah berjalan, maka posisi dan keberadaan pendidikan agama
di madrasah tampak makin dibutuhkan (Rahardjo, 2008). Bahkan
di masa modern agama diharapkan dapat memberikan arahan dan
perspektif baru, sehingga kehadiran agama terasa manfaatnya oleh
penganut agama.

Bentuk Tantangan Pendidikan Islam Pada Madrasah di Masa


Modern
Arus modernisasi yang telah bergerak begitu cepat dan pesat
telah membawa perubahan di berbagai bidang kehidupan manusia.
Akibatnya umat Islam sebagai bagian dari komunitas sosial justru
turut terpengaruh oleh berbagai perubahan tersebut. Modernisasi
dan perkembangan zaman telah menghasilkan ilmu pengetahuan dan
teknologi canggih dengan berbagai dampak positif sekaligus negatif.
Nilai positif dari modernisasi dapat terlihat dari apa yang dianggap
gaib dan tidak mungkin di masa silam menjadi nyata dan fakta dimasa
kini. Sedangkan ekses negatifnya terlihat ketika ilmu pengetahuan
dan teknologi diper-Tuhan-kan. Hal ini menurut Suadi Putro (1998:46)
telah memunculkan berbagai problema-problema kompleks yang pada

50
Tantangan Implementasi Professional Learning

hakekatnya merupakan suatu tantangan besar yang harus dihadapi


dan ditanggulangi secara efektif dan efesien. Mastuhu (1999:xi)
mengungkapkan keberhasilan suatu pembangunan termasuk bidang
pendidikan selalu disertai dengan tantangan-tantangan baru sekaligus
dampak negatifnya. Menurutnya kehidupan manusia di era modern
akan ditandai oleh dua kecendrungan yang saling bertentangan/
berlawanan dengan Islam. Bahkan Nurcholish Madjid menambahkan
bahwa di era modern bentuk hubungan dinamis antara religiusitas dan
modernisasi merupakan suatu persoalan yang banyak menimbulkan
kontroversi yang menurutnya akan terjadi proses yang sifatnya saling
menggusur antara proses modernisasi dengan agama. Untuk lebih
jelasnya berikut ini penulis kemukakan beberapa bentuk tantangan
era modern yang dihadapi pendidikan agama Islam di Madrasah.

Iptek Vs Imtak
Ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) menurut Muhaimin
(2004:86) pada dasarnya suatu kebanggaan yang dicita-citakan oleh
setiap orang. Temuan iptek telah menyebarkan hasil yang membawa
kemajuan, dan dampaknya terasa bagi kehidupan seluruh umat
manusia. Semua hasil temuan iptek di satu sisi harus diakui telah
secara nyata mempengaruhi bahkan memperbaiki taraf dan mutu
hidup manusia namun disisi lain, ketergantungan kepada sains dan
teknologi (IPTEK) yang berlebihan tersebut akan dapat menjadikan
destruksi lingkungan dan politik totaliter.
Menurut Eti Rochaety (2006:64) kemajuan teknologi yang tidak
dapat dibendung lagi, tidak hanya berdampak pada dunia pendidikan
saja, melainkan juga merambah pada nilai-nilai budaya dimasyarakat,
misalnya saja budaya berpakaian (fashion). Produk temuan dan
kemajuan iptek telah mempengaruhi bangunan kebudayaan dan gaya
hidup manusia sehingga akan mempengaruhi nilai, sikap, atau tingkah
laku kehidupan individu dan masyarakat yang akan mengakibatkan
sebagian manusia modern terjauh dari nilai-nilai Islam dan juga
nilai-nilai kemanusiaan sehingga akan mengalami krisis nilai-nilai
spiritualitas. Dimana Harun Nasution (1995:9) mengatakan bahwa
revolusi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) itu
membawa problem-problem yang sulit dapat dicari pemecahannya
dewasa ini.
Dalam masyarakat modern Nurcholish Madjid mengatakan,
masyarakat sering rentan terhadap depersonalisasi dan dehumanisasi.
Akibatnya ia tidak lagi mengenali dirinya sendiri dan makna
hidupnya atau alienasi. Karena itu, masalah yang perlu segera
mendapat jawaban, terutama dari pendidikan Islam di madrasah
adalah mampukah kegiatan pendidikan Islam di madrasah berdialog
dan berinteraksi dengan perkembangan zaman modern yang ditandai

51
Professional Learning untuk Indonesia Emas

dengan kemajuan iptek dan informasi, dan mampukah mengatasi


dampak negatif dari kemajuan tersebut.

Ajaran Islam Vs Sekulerisasi


Ajaran Islam yang selama ini mengatur seluruh kehidupan
manusia di dunia ini di era modern menghadapi tantangan yang
cukup berat yakni sekulerisasi. Sekulerisasi merupakan faham yang
ingin memisahkan urusan dunia dengan urusan akhirat. Sekulerisasi
mengajarkan semua urusan kehidupan di dunia ini terlepas dari
ajaran agama sebab agama dan kehidupan berbeda. Hal ini bertolak
belakang dengan prinsip ajaran Islam yang selama ini menjadi rahmat
bagi seluruh alam. Islam bukan hanya sebatas agama yang memuat
masalah hubungan manusia terhadap tuhannya saja melainkan Islam
juga mengajarkan bahkan mengatur hubungan manusia dengan sesama
manusia dan hubungan manusia dengan alam. Sebab ajaran Islam itu
holistik (kaffah) mencakup seluruh aspek kehidupan; ekonomi, sosial,
budaya, politik, agama, seni dan lain-lain. Dalam kalimat yang padat
Muhammad Abdul Karim Khayyal mengatakan :
Islam adalah aturan yang lengkap meliputi seluruh aspek
kehidupan, Islam adalah negara dan bangsa atau pemerintahan dan
masyarakat juga moral dan kekuasaan. Islam adalah rahmat dan
keadilan, peradaban dan undang-undang, ilmu pengetahuan dan
hukum, kekayaan materi, kerja dan harta, jihad dan dakwah, kekuatan
senjata dan konsep.
Di Indonesia pengaruh sekulerisasi menurut Syed Muhammad
Naquib Al-Attas (1979:11) sangat mencolok apabila dibandingkan
dengan negara Islam lainnya di dunia, sehingga menurut M. Umar
Chapra (1999:1) hal ini menyebabkan orang modern berpandangan
sekuler. Menurut Fazlur Rahman (1982:43)hal ini diakibatkan semakin
kuatnya pengaruh Eropa terhadap dunia Islam melalui kolonialisme
dan imprialisme sehingga sekulerisasi juga mulai tertanam dan tumbuh
di dunia Islam. Penyebab sekulerisasi sendiri menurut Fazlur Rahman
adalah kemandegan pemikiran Islam yang mendorong masyarakat
Muslim untuk mengambil pemikiran yang berkembang di Barat tanpa
mengikuti penjelasan filosofis yang berada dibelakangnya. Sebaliknya
Mohammad Arkun berpendapat sekulerisasi telah ada dan diajarkan
dalam Al-Quran dan kehidupan Nabi Muhammad SAW di Madinah.
Adapun ciri sekulerisasi menurut Dale F Eickelman dan J Piscatori
adalah adanya pandangan bahwa masalah agama adalah masalah
tersendiri terlepas dari aspek lain yang bersifat keduniaan (Suhudi,
1998:60). Demikian juga pandangan yang memisahkan agama dari
politik, sosial, ekonomi dan budaya adalah merupakan bagian dari
sekulerisasi dimana masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.

52
Tantangan Implementasi Professional Learning

Spiritual Vs Material
Menurut M. Noor Syam (1988:340) dewasa ini budaya modern telah
mengalami krisis. Kebudayaan modern yang berintikan liberalisasi,
rasionalisasi efesiensi menurut Azyumardi Azra perubahan ini secara
konsisten terus melakukan proses pendangkalan kehidupan spiritual.
Liberalisasi yang terjadi pada seluruh aspek kehidupan tak lain adalah
proses desakralisasi dan de-spiritualisasi tata nilai kehidupan. Dalam
proses semacam itu, agama yang sarat dengan nilai-nilai sakral dan
spiritual perlahan tapi pasti tergusur dari berbagai aspek kehidupan
masyarakat. Terkadang agama dipandang tidak relevan dan signifikan
lagi dalam kehidupan. Akibatnya, sebagaimana terlihat pada gejala
umum masyarakat modern. Kehidupan rohani di era modern semakin
kering dan dangkal.
Dalam proses modernisasi yang sedang terjadi di madrasah ini,
maka menurut Nasichah (2003:4) hal ini seringkali mengagungkan
nilai-nilai yang bersifat materi dan anti rohani, dan mengabaikan nilai-
nilai spiritual, benturan-benturan antara nilai-nilai materi dan unsur-
unsur rohani dalam alam modern, sama halnya dengan persoalan
tradisi dan modernitas. Benturan kedua nilai tersebut, secara langsung
memberikan gambaran bagi sikap hidup suatu komunitas pada zaman
tertentu.
Menurut Tarmidzi Tahir (2008) modernisasi yang sedang
berlangsung ini telah tumbuh dan berkembang dan merubah
pendapatan masyarakat menengah menuju masyarakat industri.
Perubahan yang terjadi terbukti tidak hanya bersifat material semata,
namun sebaliknya juga menyeret perubahan pada norma dan nilai
sekarang ini yang dikemas dalam slogan indah seperti demokratisasi,
keterbukaan, dan hak asasi manusia. Kondisi ini menurut Husni Rahim
(2001:129) telah membuka dampak krisis spiritual dan kepribadian,
sehingga memunculkan juga kesenjangan dan kekerasan sosial.
Salah satu ciri kehidupan sebagian masyarakat modern dewasa
ini menurut Hasan Bakti Nasution (2001:179)adalah berkembangnya
kecendrungan pola sikap hidup material. Material sendiri berasal dari
kata materi yaitu benda, sedangkan aliran yang menganut paham
ini disebut materialisme yang dianut oleh aliran materialisme ini
diantaranya adalah anggapan bahwa perubahan kebudayaan dan
kehidupan manusia terjadi disebabkan oleh keadaan sosial, sedangkan
rohani hanya pemunculan (margentisme) dari kondisi sosial ekonomi
masyarakat.

Revitalisasi Model Pendidikan Madrasah di Masa Modern


Hal yang dapat dilakukan oleh pihak madrasah untuk
mempersiapkan siswanya di masa modern adalah dengan
merevitalisasi sistem pendidikannya yang tidak pro perubahan

53
Professional Learning untuk Indonesia Emas

kemudian mengganti atau mengakomodasi sistem pendidikannya


yang sejalan dengan tuntutan perubahan, Upaya ini menurut Indra
Hasbi dapat dilakukan pengelola madrasah dengan memperhatikan
dan meningkatkan kemampuannya siswa dalam bidang bahasa,
baik bahasa Arab maupun Inggris; penguasaan bahasa bagi pencari
kerja era ini menjadi syarat mutlak. Juga penguasaan skill tertentu
yang dibutuhkan dunia kerja. Idealnya, setiap madrasah memiliki
laboratorium bahasa, juga memiliki sarana dan prasarana untuk
meningkatkan skill siswa baik dalam bidang perbengkelan, jahit-
menjahit. Untuk mengembangkan hal itu perlu pula madrasah
melakukan kerjasama dengan lembaga keuangan atau lembaga teknis
lainnya. Siswa madrasah dapat pula dipersiapkan wawasan dan
mentalnya agar memiliki mental kewirausahaan melalui pembinaan
perkoperasian atau bentuk lainnya.
Senada dengan Indra Hasbi, Qomar juga berpendapat berbeda
dengan pesantren, Madrasah merupakan lembaga pendidikan yang
lebih modern dari sudut metodologi dan kurikulum pengajarannya.
Oleh sebab itu Madrasah dituntut melakukan perubahan-perubahan
strategis dalam bidang manajemen. Semua ini tentu saja memerlukan
manajemen civitas Madrasah atau Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
dengan berpedoman pada Fungsi-fungsi manajemen seperti planning
(perencanaan), orgnising (pengorganisasian), actuating (pelaksanaan),
controlling (pengawasan), dan evaluating (penilaian) serta suvervising
(perbaikan) dalam kegiatan pendidikannya.
Sedang masalah penting revitalisasi pendidikan madrasah yaitu
dalam kurikulumnya diperlukan penyatuan antara ilmu agama
dan ilmu umum. Dalam mata pelajaran yang diberikan ke siswa;
materi ilmu agama sudah terintegrasi dalam ilmu umum. Untuk
pengembangan materi lebih dalam, mereka dianjurkan mendalami
berbagai literatur lainnya. Ilmu-ilmu yang sudah terintegratif itu
akan semakin memperkuat keyakinan mereka tentang tauhid atau
keesaan Allah, dan juga dapat mempengaruhi moralitas siswa dalam
bentuk pengalaman sehari-hari di sekolah dan di rumah. Sebab
selama ini materi pendidikan di pandang belum membangun sikap
kritis, masih terbatas pada masalah keagamaan, serta tidak memiliki
kepedulian terhadap perkembangan ilmu-ilmu umum, baik ilmu-
ilmu sosial maupun ilmu alam. Padahal Rosenblith dan Bailey (2007)
mengatakan bahwa pendidikan agama yang dilakukan dengan
pendekatan komprehensif di sekolah umum mampu memberikan
pandangan dan pemahaman baru terhadap siswa tentang perbedaan
dan keharmonisan hidup dalam masyarakat plural. Pendidikan
ini bertujuan untuk mengenalkan berbagai ajaran agama tentang
penghormatan, perdamaian, toleransi dan kemanusiaan.
Maka untuk itu Madrasah sebagai institusi pendidikan Islam yang

54
Tantangan Implementasi Professional Learning

mencerdaskan dan mempribadikan anak didik, perlu mempersiapkan


siswanya bukan saja dengan ilmu agama tetapi juga ilmu umum,
yang dalam pembelajarannya telah dilakukan secara pendekatan
yang digunakan harus bersifat integralistik yang menyangkut semua
dimensi dan ranah pembelajaran sehingga waktu yang ada dapat
digunakan secara efisien dan mendapatkan hasil yang optimal. Selain
itu Madrasah perlu juga membekali siswanya suatu kompetensi atau
keahlian guna sebagai bekal baginya setelah lulus. Untuk mencapai
hal itu, maksimalisasi manajemen berbasis sekolah sangat diperlukan
(Indra, 2005:202-210).
Konsep pendidikan integrated learning, joyfull learning, dan cooperatif
learning kiranya perlu diterapkan dalam manajemen pengajaran
di Madrasah dengan guru yang professional sebab Slavin (dalam
Allyn and Bacon, 1994:24) mengatakan guru yang baik adalah yang
menguasai materi pelajaran, memiliki keterampilan pedagogis, yang
selalu mengajar secara efektif dengan penuh semangat, menyenangkan
dan perhatian dalam tugasnya, memutuskan persoalan dengan
menggunakan psikologi pendidikan.
Visi Madrasah juga mesti diperbaharui dengan menggunakan
slogal populis, Islami, berkualitas, serta mandiri. Kemudian perlunya
mendirikan Madrasah berbasis standar (Nasional/Internasional)
mengingat madrasah banyak memiliki kekurangan dalam berbagai
aspek. Meski demikian dewasa ini umat Islam telah memiliki
madrasah yang berprestasi dan bereputasi baik semisal Insan Cendikia
di Serpong Banten, MIN Malang. Kemudian Madrasah pembangunan
UIN Jakarta yang siap bersaing di era modern.

Penutup
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam
pada Madrasah mengalami tantangan modernisasi. Modernisasi
yang terjadi terjadi pada abad 19 hingga saat ini telah membawa
perubahan yang cukup kompleks terhadap berbagai aspek kehidupan
termasuk pendidikan Islam di Madrasah. Di era modern, pendidikan
Islam di madrasah dan lembaga pendidikan Islam justru dituntut
lebih profesional dan bukan dikelola sekedar asal-asalan, sebab
masyarakat dewasa ini telah mengalami perubahan orientasi dengan
mengedepankan rasionalitas. Untuk itu upaya merekonsiliasi ajaran
agama dan era modern perlu dilakukan kaum Muslimin khususnya
di Madrasah. Hal ini untuk menunjukkan citra Islam sesuai dan tidak
bertentangan dengan era modern sebagaimana Barat tuduhkan. Usaha
ini penting dilakukan sebab di era modern ini kehidupan manusia akan
ditandai oleh dua kecendrungan yang saling bertentangan/berlawanan
dengan Islam yakni; Iptek vs Imtaq, ajaran vs sekulerisasi serta spiritual
vs material. Untuk mengatasi hal itu lembaga pendidikan Madrasah

55
Professional Learning untuk Indonesia Emas

harus meningkatkan peranannya sebagai lembaga pendidikan Islam


yang handal yang dapat merespon dan mengantisipasi dampak negatif
dari kemajuan modern saat ini, misalnya dengan merevitalisasi sistem
pendidikannya sehingga dapat meningkatkan kualitas pembelajaran,
kemudian mempersiapkan lulusan madrasah yang handal dan siap
pakai sehingga dapat menyeimbangi arus modern yang ada dan tidak
ketinggalan zaman dengan tidak meninggalkan program pendidikan
madrasah yang menjadi kekhasan/keunggulan institusi pendidikan
Islam yang sudah ada sejak dahulu.

Daftar Pustaka

Abdullah, Ibrahim, Suparman, Mahad Aly, Profil Pendidikan Tinggi


Pondok Pesantren di Indonesia, Yogyakarta : RDI Indonesia.
Al-Attas, Naquib, Muhammad, Syed, Islam and Seculerisme, Kuala
Lumpur : Muslim Youth Movement of Malaysia, 1979.
Ashrohah, Harun, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : PT. Logos Wacana
Ilmu, 2001, Cet. Ke-2.
Azra, Azyumardi, Esei-esei Intelektual Islam, Jakarta : PT. Logos Wacana
Ilmu, 1998, Cet. Ke-1.
Binder, Leonard, Islamic Liberalism, Chicago : The Universirty of
Chicago Press, 1988.
Chapra, M. Umar Islam dan Tantangan Ekonomi Islamisasi Ekonomi
Kontemporer, Surabaya : Risalah Gusti, 1999, Cet. Ke-1.
Esposito, John L. (ed), The Oxford Encyclopedia of the Modern World,
London : Oxford University Press, 1995, Vol. 2.
Khayyal, Karm, Abdul, Muhammad, Syarh w Tahll Ushl al-Isyrn,
Dr al-Dakwah, Iskandarih, Cairo, tt.
Kurzman, Charles, (ed), Modernist Islam 1840-1940; A Source Book,
Oxford: Oxford University Press, 2002.
Madjid, Nurcholish, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan,
Jakarta : Paramadina, 1997, Cet. Ke-1.
_________________, Masyarakat Religius dan Dinamika Industrialisasi
dalam Islam. Kemodernan dan keindonesiaan, Bandung : Mizan,
1987.
Masud, Khalid, MuhammadReligius Identity and Mass Education,
dalam Johan H. Meuleman (ed), Islam in the Era Globalization,

56
Tantangan Implementasi Professional Learning

Muslim Attitudes Towards Modernity and Identity, Jakarta : INIS,


2001.
Mastuhu, Memberdayakan Pendidikan Islam, Jakarta : Logos Wacana
Ilmu, 1999.
Muhaimin, et.al., Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan
Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya, 2004.
Nasution, Bakti, Hasan, Filsafat Umum, Jakarta : Gaya Media Pratama,
2001.
Nasution, Harun, Perlunya Menghidupkan Kembali Pendidikan Moral,
Jakarta : Konsorsium Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi
Umum, DIKTI Depdikbud, 1995.
Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1990-1942, Jakarta :
LPE3S, 1980.
Peraturan Pembinaan Madrasah dalam Rangka Otonomi Daerah, Depag RI
: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2001.
Putro, Suadi, Muhammad Arkoun, Tentang Islam dan Modernitas, Jakarta
: Paramadina, 1998, Cet. Ke-1.
Qomar, Mujamil, Pesantren dan Transformasi Metodologi Menuju
Demokratisasi Institusi, Jakarta : Eralngga, tt.
Rahim, Husni, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Logos
Wacana Ilmu, 2001.
Rahman, Fazlur, Islam and Modernity, Transformation of an Intellectual
Tradition Chicago: The University of Chicago Press, 1982.
Rochaety, Eti, Rahayuningsih Yanti, Gusti, Prima, Pontjorini Sistem
Informasi Manajemen Pendidikan, Jakarta : Bumi Aksara, 2006,
Cet. Ke-11.
Syam, M. Noor, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pancasila, Surabaya
: Usaha Nasional, 1988.
Tim Perumus Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Jakarta,
Al-Islam dan IPTEK, Jakarta, Universitas Muhammadiyah
Jakarta, 1998.
Jurnal
Nasichah, Dawah Pada Masyarakat Modern Problem Kehampaan Spiritual,
Jakarta : Dawah : Jurnal Kajian Dawah dan Budaya, Vol. X No
2. Desember 2003.

57
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Majalah
Wahid, Abdurrahman, Agama dan Modernisasi adalah Satu, dalam
majalah Komunikasi Ekaprasetia Pancakarsa, No. 40/tahun
VI/1985, 47.
Website
Rosenblith, Suzanne dan Bailey, Bea, Comprehensive Religious
Studies in Public Education : Educating for a Religiously Literate
Society, Jurnal Educational Studies (American Educational Studies
Association) 42 No 2 (2007), 9-111, http://vnweb.hwwilsonweb.
com/hww/result/getResult.jhtml/_DARG=
Tahir, Tarmidzi, Umat Islam dan Tantangan Dunia Modern, (Center For
Moderate Muslim Indonesia), Diakses Lewat Internet Pada
Tanggal 23 Juli 2008.
Makalah Seminar
Azra, Azyumardi, Modernisasi Pendidikan Islam dan Epistemologi Ilmu,
Makalah pada peringatan 70 tahun Pondok Modern Gontor, 31
Agustus 1996.

58
URGENSI GIZI DAN KESEHATAN PESERTA
DIDIK TINGKAT SD/MI SEBAGAI PRASYARAT
TERWUJUDNYA GENERASI EMAS
Dina Rahma Fadlilah
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Email: drahma89@gmail.com

Abstrak: Dalam 100 tahun kemerdekaan Indonesia tahun


2045, Indonesia memperoleh bonus demografi berupa potensi
kekayaan sumber daya manusia (SDM) usia produktif. Hal ini
menjadi sangat berharga jika dikelola dan dimanfaatkan dengan
baik sedari dini. Pengelolaan melalui pendidikan dari jenjang
pendidikan dasar (SD/MI) dapat menghasilkan SDM yang
berkualitas dan menjadi generasi emas karena memiliki karakter
berlandaskan kecerdasan spiritual, emosional, intelektual dan
sosial sejak dini yang dapat diteruskan hingga dewasa. Namun,
berkarakter tanpa kesehatan tidak ada artinya, karena tanpa
kesehatan produktivitas menurun. Pembahasan ini bertujuan
untuk mengungkapkan pentingnya pemberian pendidikan gizi
guna menciptakan generasi emas yang bukan hanya berkarakter,
namun juga sehat.

Kata kunci: Gizi dan Kesehatan, SD/MI, Generasi Emas

Pendahuluan
Bangsa Indonesia akan genap berusia 100 tahun kemerdekaan
pada tahun 2045. Selain genapnya usia tersebut, mengutip dari
sambutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada Peringatan
Hari Pendidikan Nasional 2012, diperkirakan pada saat itu Bangsa
Indonesia diisi oleh generasi emas, yaitu generasi yang mayoritas
berusia produktif, yang sekarang berusia 0-19 tahun dan menjadi
peserta didik SD, SMP, SMA bahkan perguruan tinggi, yang karena
proses dan hasil pendidikan, mereka memiliki karakter yang baik dan
kuat. Generasi emas ini diharapkan dapat membawa Bangsa Indonesia
menjadi Bangsa yang lebih baik dan maju di berbagai bidang sehingga
mampu mewujudkan masyarakat yang adil berkemakmuran dan
makmur yang berkeadilan.
Harapan tersebut tidak mungkin terwujud tanpa upaya yang
sungguh-sungguh terutama dalam membangun dan mengembangkan

59
Professional Learning untuk Indonesia Emas

sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. SDM berkualitas


adalah sumber daya manusia yang memiliki karakter berlandaskan
kecerdasan spiritual, emosional, intelektual dan sosial. Upaya yang
sangat penting dan strategis dalam mewujudkan SDM yang berkualitas
adalah pendidikan. Selain itu, upaya ini sebaiknya dilakukan sedari
dini, yaitu dari jenjang pendidikan dasar (SD/MI), sehingga nilai-
nilai yang telah ditanamkan dari SD/MI dapat dilanjutkan ke tingkat
selanjutnya.
Tanpa kesehatan, SDM yang berkualitas tidak akan berarti karena
kesehatan mempengaruhi produktivitas. Dalam proses pembelajaran
pun kesehatan merupakan faktor internal yang harus terpenuhi oleh
peserta didik. Bardasarkan hal tersebut, kesehatan adalah faktor yang
patut diperhatikan dalam membentuk SDM yang berkualitas.
Gizi buruk di Indonesia merupakan masalah kesehatan yang
sulit diatasi oleh Bangsa Indonesia dan merupakan hambatan dalam
membentuk SDM yang berkualitas. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa masalah gizi buruk sering terjadi pada anak usia sekolah dasar
(6-14 tahun). Masalah gizi buruk ini dapat diatasi salah satunya dengan
memberikan pendidikan gizi untuk peserta didik SD/MI. Dengan
pemberian pendidikan gizi pada peserta didik SD/MI, diharapkan
kesehatan pun akan meningkat dan dapat menghasilkan generasi
emas yang tidak hanya berkarakter, namun juga sehat.

Generasi Emas
Generasi emas pertama kali digaungkan oleh Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan pada sambutan Peringatan Hari Pendidikan Nasional
pada tanggal 2 Mei 2012. Pada tahun 2010-2035, Indonesia memiliki
potensi sumber daya manusia berupa populasi usia produktif yang
jumlahnya luar biasa. Hal ini menjadi bonus demografi (demographic
dividend) dari Tuhan YME yang sangat berharga bila dikelola dan
dimanfaatkan dengan baik. Maka dapat dikatakan bahwa generasi
emas adalah generasi usia produktif yang sangat berharga dan bernilai
yang dikelola serta dimanfaatkan dengan baik agar berkualitas menjadi
insan yang berkarakter, insan yang cerdas, dan insan yang kompetitif
(Wibowo, 2013).

Ciri-Ciri Generasi Emas: Memiliki 18 Karakter


Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan, Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang

60
Tantangan Implementasi Professional Learning

Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,


dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Berdasarkan hal tersebut, pendidikan dapat dijadikan sarana yang
strategis untuk membentuk generasi emas.
Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan
karakter bangsa diidentifikasi dari sumber-sumber berikut, yaitu
agama, pancasila, budaya dan tujuan pendidikan nasional (Kementerian
Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat
Kurikulum, 2010). Berdasarkan keempat sumber nilai itu, teridentifikasi
sejumlah nilai untuk pendidikan budaya dan karakter bangsa sebagai
berikut ini.

Tabel 1. Nilai dan Deskripsi Nilai Pendidikan Budaya dan


Karakter Bangsa
No Nilai Deskripsi
1. Religius Sikap dan perilaku yang patuh dalam
melaksanakan ajaran agama yang
dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan
ibadah agama lain, dan hidup rukun
dengan pemeluk agama lain.
2. Jujur Perilaku yang didasarkan pada upaya
menjadikan dirinya sebagai orang yang
selalu dapat dipercaya dalam perkataan,
tindakan, dan pekerjaan.
3. Toleransi Sikap dan tindakan yang menghargai
perbedaan agama, suku, etnis, pendapat,
sikap, dan tindakan orang lain yang
berbeda dari dirinya.
4. Disiplin Tindakan yang menunjukkan perilaku
tertib dan patuh pada berbagai ketentuan
dan peraturan.
5. Kerja Keras Perilaku yang menunjukkan upaya
sungguh-sungguh dalam mengatasi
berbagai hambatan belajar dan tugas,
serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-
baiknya.
6. Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu untuk
menghasilkan cara atau hasil baru dari
sesuatu yang telah dimiliki.

61
Professional Learning untuk Indonesia Emas

7. Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah


tergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan tugas-tugas.
8. Demokratis Cara berfikir, bersikap, dan bertindak
yang menilai sama hak dan kewajiban
dirinya dan orang lain.
9. Rasa Ingin Tahu Sikap dan tindakan yang selalu berupaya
untuk mengetahui lebih mendalam dan
meluas dari sesuatu yang dipelajarinya,
dilihat, dan didengar.
10. S e m a n g a t Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan
Kebangsaan yang menempatkan kepentingan bangsa
dan negara di atas kepentingan diri dan
kelompoknya.
11. Cinta Tanah Air Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang
menunjukkan kesetiaan, kepedulian,
dan penghargaan yang tinggi terhadap
bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya,
ekonomi, dan politik bangsa.
12. Menghargai Sikap dan tindakan yang mendorong
Prestasi dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang
berguna bagi masyarakat, dan mengakui,
serta menghormati keberhasilan orang
lain.
13. Bersahabat/ Tindakan yang memperlihatkan rasa
Komunikatif senang berbicara, bergaul, dan bekerja
sama dengan orang lain.
14. Cinta Damai Sikap, perkataan, dan tindakan yang
menyebabkan orang lain merasa senang
dan amanatas kehadiran dirinya.
15. Gemar Membaca Kebiasaan menyediakan waktu untuk
membaca berbagai bacaan yang
memberikan kebajikan bagi dirinya.
16. Peduli Lingkungan Sikap dan tindakan yang selalu berupaya
mencegah kerusakan pada lingkungan
alam di sekitarnya, dan mengembangkan
upaya-upaya untuk memperbaiki
kerusakan alam yang sudah terjadi.

62
Tantangan Implementasi Professional Learning

17. Peduli Sosial Sikap dan tindakan yang selalu ingin


memberi bantuan pada orang lain dan
masyarakat yang membutuhkan.
18. Tanggung-jawab Sikap dan perilaku seseorang untuk
melaksanakan tugas dan kewajibannya,
yang seharusnya dia lakukan, terhadap
diri sendiri, masyarakat, lingkungan
(alam, sosial dan budaya), negaradan
Tuhan Yang Maha Esa.

Sumber: Kementerian Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan


Pengembangan Pusat Kurikulum (2010)

Oleh karena itu, ciri-ciri generasi emas, generasi yang merupakan


hasil tempaan proses pendidikan adalah generasi yang memiliki 18
karakter di atas.

Pentingnya Kesehatan, Gizi dan Makanan Bagi Tubuh


WHO dalam Syafiq (2007) mendefinisikan kesehatan sebagai:
Keadaan sempurna baik fisik, mental, dan sosial dan tidak hanya
bebas dari penyakit dan cacat, serta produktif secara ekonomi dan
sosial. Sedangkan UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan juga
menjelaskan tentang definisi kesehatan, yaitu keadaan sehat, baik
secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan
setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Karakter adalah hal yang utama dari manusia berkualitas. Namun,
karakter juga memerlukan kesehatan jiwa dan raga (Manullang, 2013).
Sementara itu, Adisasmito (2007) menyatakan bahwa SDM yang
berkualitas dicirikan dengan fisik yang tangguh, kesehatan yang
prima dan menguasai ilmu pengetahuan serta teknologi. Sedangkan
Syafiq (2007) berpendapat bahwa tanpa kesehatan, tidak akan ada
SDM yang intelektual dan produktif. Kesehatan juga adalah hak asasi
manusia yang harus dipenuhi sebelum hak-hak asasi lainnya dapat
dipenuhi. (Syafiq, 2007).
Kesehatan tubuh sangat berhubungan dengan gizi. Makanan
sehari-hari yang dipilih dengan baik akan memberikan semua zat gizi
yang dibutuhkan untuk fungsi normal tubuh. Sebaliknya, bila makanan
tidak dipilih dengan baik, tubuh akan mengalami kekurangan zat-zat
gizi esensial tertentu. Zat gizi esensial adalah zat-zat gizi yang harus
didatangkan dari makanan (Almatsier, 2009). Apabila makanan tidak
cukup mengandung zat-zat gizi yang dibutuhkan, dan keadaan ini

63
Professional Learning untuk Indonesia Emas

berlangsung lama, akan menyebabkan perubahan metabolisme dalam


otak sehingga tidak mampu berfungsi dengan normal (Anwar, 2008
dalam Pamularsih, 2009).
Manusia memerlukan zat gizi untuk memperoleh energi guna
melakukan kegiatan fisik sehari-hari, untuk memelihara proses tubuh
dan untuk tumbuh dan berkembang khususnya bagi yang masih dalam
pertumbuhan. Berbagai zat gizi yang diperlukan tubuh digolongkan
ke dalam enam macam, yaitu (1) karbohidrat, (2) protein, (3) lemak, (4)
vitamin, (5) mineral dan (6) air (Suhardjo dan Kusharto, 1988).
Tubuh yang kekurangan gizi akan berakibat buruk pada tubuh.
Akibat kurang gizi terhadap proses tubuh bergantung pada zat-
zat gizi apa yang kurang. Kekurangan gizi secara umum (makanan
kurang dalam kuantitas dan kualitas) menyebabkan gangguan pada
beberapa proses, yaitu: pertumbuhan, produksi tenaga, pertahanan
tubuh, struktur dan fungsi otak dan perilaku. Tubuh yang kelebihan
gizi pun tidak baik bagi tubuh. Gizi lebih dapat menyebabkan obesitas.
Kelebihan energi yang dikonsumsi disimpan di dalam jaringan dalam
bentuk lemak. Kegemukan merupakan salah satu faktor risiko dalam
terjadinya berbagai penyakit degeneratif, seperti hipertensi atau
tekanan darah tinggi, penyakit-penyakit diabetes, jantung koroner,
hati dan kantung empedu (Almatsier, 2009).

Mewujudkan Manusia Sadar Kesehatan Melalui Pendidikan Gizi


Tantangan utama dalam pembangunan suatu bangsa adalah
membangun sumber daya manusia yang bekualitas yang sehat, cerdas,
dan produktif. Pencapaian pembangunan manusia yang diukur dengan
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) belum menunjukkan hasil yang
menggembirakan dalam tiga dasawarsa terakhir. Pada tahun 2003, IPM
Indonesia masih rendah. Rendahnya IPM ini sangat dipengaruhi oleh
rendahnya status gizi dan status kesehatan penduduk (Azwar, 2004).
Sejalan dengan Azwar (2004), Adisasmito (2007) juga menerangkan
bahwa strategi sebuah bangsa dalam menciptakan SDM yang sehat
sangat terkait dengan penanganan gizi buruk.
Status gizi dan kesehatan dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah
satunya adalah pendidikan (Atmarita, 2004). Pendidikan gizi harus
menjadi bagian integral dari pendidikan formal pada sekolah dasar,
sekolah menengah, serta ditingkat akademi dan universitas (Suhardjo,
2006). Pada dasarnya program pendidikan gizi bertujuan merubah
perilaku yang kurang sehat menjadi perilaku yang lebih sehat terutama
perilaku makan (Sahyoun dkk, 2004). Pendidikan gizi bisa diterapkan
di sekolah dasar melalui program-program yang sudah ada misalnya
dipadukan dengan program PMTAS maupun kegiatan rutin yang

64
Tantangan Implementasi Professional Learning

dilakukan sekolah (Zulaekah, 2009). Dengan penerapan pendidikan


gizi di sekolah, penyakit yang terjadi karena kekurangan gizi dapat
diatasi, sesuai dengan Zulaekah (2009) yang mengungkapkan bahwa
dengan adanya pendidikan gizi yang dipadukan dengan suplementasi
zat besi di sekolah masalah anemia di Indonesia dapat teratasi.
Atmarita (2004) menambahkan bahwa, tingkat pendidikan sangat
berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat.
Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau
masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya
dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal
kesehatan dan gizi. Oleh sebab itu, jika upaya peningkatan pendidikan
pada masyarakat dilakukan, status gizi dan kesehatan dapat berubah
secara signifikan. Perubahan status gizi sangat signifikan terjadi jika
dilakukan upaya sebagai berikut, diantaranya peningkatan pendidikan
sampai jenjang SLTP pada laki-laki dan peningkatan pendidikan
sampai jenjang SLTP pada perempuan (Atmarita, 2004).

Gambar 1. Bagan penyebab kurang gizi. Kurang pendidikan


merupakan salah satu faktor kurang gizi (Adisasmito, 2007)

65
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Februhartanty (2005) memaparkan, penyampaian pendidikan gizi


di sekolah dilakukan tidak cukup dengan cara memasukkan materi
tentang gizi ke dalam beberapa mata pelajaran, seperti biologi, olahraga,
ilmu kesehatan dan ekonomi keluarga. Menurutnya, penyampaian
pendidikan gizi di sekolah formal membutuhkan kajian ulang pada
berapa hal, yaitu 1) topik dan mata pelajaran sekolah, dimana gizi
adalah sebuah komponen; 2) orang yang menyampaikan materi; 3)
kesiapan majemen sekolah dalam memberikan proses pembelajaran
yang kondusif; 4) koordinasi antara departemen kesehatan dan
departemen pendidikan; 5) komitmen pemerintah Indonesia dalam
memantapkan promosi kesehatan melalui sekolah di Indonesia.

Penutup
Untuk terciptanya generasi emas (SDM yang berkualitas),
berkarakter dan sehat diperlukan pendidikan gizi sedari dini, yaitu
jenjang pendidikan dasar (SD/MI). Hal ini bertujuan agar peserta
didik memiliki wawasan mengenai gizi. Wawasan tersebut dapat
menjadi bekal untuk peserta didik dalam memilih asupan makanan
yang baik bagi tubuhnya sehingga kesehatannya terjaga.

Daftar Pustaka

Adisasmito, Wiku, Ph.D., 2007. Sistem Kesehatan. Jakarta: PT.


RajaGrafindo Persada.
Almatsier, Sunita, 2009. Prinsip Dasar Imu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Atmarita, Tatang S. F., 2004. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan
Masyarakat. Makalah Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII:
1-37.
Azwar, Azrul, 2004. Kecenderungan Masalah Gizi dan Tantangan
di Masa Datang. Pertemuan Advokasi Program Perbaikan Gizi
Menuju Keluarga Sadar Gizi: 1-16.
Februhartanty, J., 2005. Nutrition Education: It Has Never Been an Easy
Case for Indonesia. Food and Nutrition Bulletin. 26(2): S267-S274.
Kementerian Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan
Pengembangan Pusat Kurikulum, 2010. Bahan Pelatihan:
Penguatan Metode Pembelajaran Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya
untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa.
Manullang, Belferik, 2013. Grand Desain Pendidikan Karakter Generasi

66
Tantangan Implementasi Professional Learning

Emas 2045. Jurnal Pendidikan Karakter. 3(1): 1-14.


Pamularsih, Arni, 2009. Hubungan Status Gizi dengan Prestasi Belajar
Siswa di Sekolah Dasar Negeri 2 Selo Kecamatan Selo Kabupaten
Boyolali. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Sahyoun, NR., Pratt, CA., Anderson, A., 2004. Evaluation of Nutrition
Education Intervensions for Older Adults: a Proposed
Framework. J. Am. Diet Assoc. 104(1):58-69.
Suhardjo & Clara M Kusharto, 1988. Prinsip-Prinsip Ilmu Gizi. Bogor:
Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor.
Suharjo, 1989. Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Petunjuk Laboratorium
Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. PAU-IPB: Bogor.
Syafiq, Ahmad, 2007. Tinjauan atas Kesehatan dan Gizi Anak Usia
Dini. Makalah pada Diskusi Peningkatan Kesehatan dan Gizi Anak
Usia Dini.
Wibowo, Mungin E., 2013. Menyiapkan Bangkitnya Generasi Emas
Indonesia. Prosiding Seminar Nasional X Biologi, Sains, Lingkungan
dan Pembelajarannya. Surakarta: Program Studi Pendidikan
Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
Zulaekah, Siti, 2009. Peran Pendidikan Gizi Komprehensif untuk
Mengatasi Masalah Anemia di Indonesia. Jurnal Kesehatan. 2(2):
169-178.

67
PERBEDAAN PEMIKIRAN BARAT DAN ISLAM
MEMANDANG MANUSIA DAN IMPLIKASINYA
TERHADAP PENDIDIKAN
Lu`luil Maknun
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Email : luluemaknun@gmail.com

Abstract : There are differences between the western and Islamic


thought concerning human understanding and its development
theory. This will have a big impact on how people articulate
education . Which in turn also has implications for models of
learning , curriculum materials and other learning tools . An
experiment on the stimulus for example , western thought using
the dog as an experimental model . And the experimental results
are used as reference the academic world . Is Islamic scientists
also use the animals as a model ? Furthermore darwintheory
, which says that the origin of man is great primates evolved .
While Islam says that man was created first Adam. But the most
crucial difference from the western and Islamic thought is ;
western thought argues that the most important body part is the
brain of the human being , so that all activities are maximized
to optimize brain function, whereas the most important thing in
Islam is the soul , so the first educational training to fit the nature
of the soul , then the physical activities performed in order to
guide his spirit toward nature.
Keyword : human, western, Islamic, educational

Pendahuluan
Pemikiran Barat di sini sudah tentu dimaklumi bersama, adalah
para ahli dari Eropa. Berangkat dari teori evolusi Charles Darwin,
manusia disebut sebagai human (diambil dari kata homo sapiens). Teori
ini mengemukakan bahwa manusia tidak diciptakan, melainkan adalah
hasil evolusi primata raksasa selama jutaan tahun. Yang membedakan
nenek moyang dengan kita sekarang adalah otak dan penalaran, titik
simpulan ini menyatakan bahwa bagian tubuh terpenting adalah
otak, dan segala metode yang dikembangkan melalui titik ini adalah
tentang pemaksimalan fungsi otak demi ketercapaian tujuan-tujuan
hidup manusia.
Sedangkan pemikiran Islam di sini adalah suatu pemahaman
yang merujuk pada Al-Qur`an yang memaparkan secara lengkap dari

68
Tantangan Implementasi Professional Learning

mulai proses manusia diciptakan, tujuan hidup manusia, dan perjalan


hidupnya setelah tutup usia. Sesuatu yang terpenting dalam tubuh
manusia menurut Islam adalah ruh, bukan fisik semata. Ruh adalah
sesuatu yang akan kembali pada penciptanya, sedangkan fisik adalah
sarana untuk mencapai tujuan tersebut.
Jika Barat menyebut manusia sebagai human. Maka Al-qur`an
menggunakan beberapa terminologi seperti; basyar, insan, dan bani
Adam.

Pandangan Barat Tentang Manusia Dan Teori Perkembangannya


Seorang ahli Zoologi bernama Charles Darwin, melakukan
penelitian dan ekspedisi kemudian merangkum hasil penelitiannya
dalam sebuah buku fenomenal yang berjudul ;the origin of spesies,
Darwin menulis sebagai berikut:
Darwin ; dalam mempertimbangkan asal-usul spesies, sangat
mungkin bawa seorang peneliti alam, dengan bercermin
pada saling-kesamaan jasad-jasad organik pada hubungan
embriologis, penyebaran georgrafi, suksesi geologis, serta fakta-
fakta lainnya yang serupa, dapat sampai pada kesimpulan bahwa
spesies-spesies tidaklah diciptakan sendiri-sendiri, melainkan
diturunkan sebagai varietas dari spesies-spesies lain.

Melalui pernyataaan ini, jika kemudian kita cari definisi manusia


melalui kamus yang dijadikan rujukan oleh dunia barat, maka yang
akan ditemui adalah kata-kata sebagai berikut :
Human being(Homo sapiens),a culture-bearing primate that
is anatomically similar and related to the other great apes but is
distinguished by a more highly developed brain and a resultant capacity
for articulate speech and abstract reasoning.

Manusia adalah primata besar yang berevolusi, akan tetapi


memiliki otak yang lebih berkembang, kemampuan berbicara dan
pemikiran yang lebih abstrak
Intinya, pemikiran Barat menyimpulkan bahwa manusia tidak
diciptakan langsung sebagai manusia, melainkan hasil evolusi dari
primata yang dulunya berbentuk kera. Kesimpulan ini kemudian
menjadi dasar pada teori perkembangan hidup manusia, dan
berimplikasi pula pada persfektif hidup lainnya, termasuk pendidikan.

Teori Perkembangan Manusia


Perkembangan manusia dapat dibagi ke dalam beberapa aspek,
yaitu perkembangan fisiologis, perkembangan kognitif, perkembangan

69
Professional Learning untuk Indonesia Emas

psikososial, perkembangan bahasa dan komunikasi.


Perkembangan fisiologis berkaitan dengan perubahan yang terjadi
pada tubuh manusia, seperti menjadi lebih tinggi atau menjadi lebih
besar. Perkembangan fisiologis sejalan dengan perkembangan otak
dan susunan saraf pusat, perkembangan tubuh, perkembangan gross
motor (otot kasar) fine motor (otot halus), koordinasi gerakan motorik
kasar dan motorik halus, dan koordinasi gerakan visual motorik.
Papalia dan Olds seperti yang dikemukakan oleh Jamaris (2005:8-9)
menjelaskan perkembangan tubuh merupakan perkembangan yang
berlangsung sesuai dengan prinsip yang disebut dengan cepholocaudal,
prinsip perkembangan yang dimulai dari atas yaitu kepala dan
berlanjut secara teratur ke bagian bawah tubuh.
Jean Piaget, membagi perkembangan kognitif ke dalam
empat tahap perkembangan yaitu; fase sensomotor (0-2 tahun), fase
praoperasional (2-7 tahun), fase operasional kongrit (7-11 tahun) dan
fase operasi formal (11 tahun sampai usia dewasa).
Menurut erikson,perkembangan psikososial terbagi ke dalam
delapan fase perkembangan, yaitu(1) fase trust VS mistrust 0-12 -18
bulan, (2) fase autonomy vs shame and doubt 18 bulan 3 tahun, (3) fase
initiative vs guilt 3 6 tahun, (4) fase industry vs inferiority 6-12 tahun, (5)
fase identity vs role confusion 12-18 tahun, (6) fase intimacy vs isolation 18-
40 tahun, (7) fase generativity vs stagnation 40-65 tahun, (8) fase integrity
vs despair 65 tahun ke atas.

Pandangan Islam Tentang Manusia


Mencari pengertian manusia menurut Islam, berarti mencari makna
manusia dalam kitab sucinya. Sedikitnya ada tiga kata yang digunakan
Al-qur`an dalam mendefinisikan manusia; (1) menggunakan kata
yang terdiri dari huruf alif, nun dan sin semacam insan, ins, nas atau
unas. (2) menggunakan kata basyar. (3) menggunakan kata Bani Adam
dan zuriyat Adam.

Kata basyar terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti
penampakan sesuatu dengan baik dan indah.Dari akar kata yang
sama, lahir kata basyarah yang berarti kulit.

Kata insan terambil dari kata uns yang berarti jinak, harmonis
dan tampak. Ada juga yang berpendapat bahwa kata ini terambil
dari kata nasiya (lupa) atau nasa yanusu (berguncang). Kata insan
digunakan Al-qur`an untuk menunjuk kepada manusia dengan
seluruh totalitasnya, jiwa dan raga.

70
Tantangan Implementasi Professional Learning

Inti dari pengertian di atas adalah, manusia tidak hanya terdiri


dari jasad (bagian-bagian tubuh), makna Basyar mungkin merujuk
pada manusia secara biologis, maka implikasinya nanti adalah
perkembangan manusia secara biologis. Tapi makna Insan merupakan
gabungan dari fisik dan metafisik (nyawa), ada jiwa/ruh yang juga
harus dikembangkan sebagai bentuk kesempurnaan manusia. Makna
kata lupa dan berguncang juga mencerminkan bahwa manusia
harus senantiasa menjaga fokus perkembangan ruhiyahnya agar
mencapai tujuan hidupnya.

Proses penciptaan manusia yang termaktub dalam Al-qur`an:


Al-qur`an sebagai pedoman hidup ummat muslim juga
memaparkan proses penciptaan manusia dan tujuan penciptaannya,
berikut catatan penulis yang tentang ayat-ayat Al-qur`an yang
menyinggung tentang penciptaan manusia;
1) Manusia pertama kali diciptakan Tuhan dari tanah (al-hajj : 5;
ar-ruum : 20; Faathir : 11; al-mu`min : 67)
2) Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air. (al-
furqaan : 54)
3) Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari
saripati (berasal) dari tanah. Kemudian kami jadikan saripati
itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh
(rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah,
lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan
segumpal daging itu Kami jadikan tulang-belulang, lalu tulang
belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian kami
jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka mahasuci
Allah pencipta yang paling baik (Al-mu`minun : 12-14).
4) Manusia diciptakan Tuhan dengan struktur yang terbaik,
baik rohani maupun jasmani (at-Tiin : 4; at-taghaabun:2),
dan semulia-mulianya makhluk (al-Israa : 70), melebihi dan
mengatasi makhluk-makhluk Allah lainnya (al-Baqarah : 47,
122: al-Jaatsiyah: 16 ; al-israa : 70).
5) Status dan fungsi manusia di atas adalah sebagai khalifah
untuk melaksanakan segala yang diridhai Allah SWT di atas
bumi Allah ini, untuk mengulturkan natur dan pada waktu
yang sama untuk meng-Islam-kan kultur (al-baqarah:21; al-
An`aam:165; al-Ahzaab: 72; Faathir: 39; al-Baqarah: 30-34; al-
A`raaf: 31; an-Nahl: 12-14; an-Nisaa`:58; al-Jaatsiyah: 12-13;
Ibrahim: 32-34).
6) Sebagai khalifah Allah di atas bumi, manusia dilengkapi Allah
dengan pelbagai macam hidayah (insting, indra, akal, agama

71
Professional Learning untuk Indonesia Emas

dan hidayat taufiq).


7) Manusia dianugerahkan Tuhan beberapa kebebasan memiliki
(limited free-will) (al-Lail:4-11), dengan konsekuensi
tanggung jawab (al-Israa`:71; ath-Thuur:21; al-Muddatstsir:38;
an-Nuur:54) yang ditanggung secara individual pada hari
akhirat (al-baqarah:48), di mana segala indra dan alat badani
lainnya dijadikan sebagai saksi (an-Nuur:24). Baik yang
berbuat kebajikan maupun yang berbuat kejahatan niscaya
akan ditampakkan (meskipun kecil) (az-zalzalah: 7-8).
8) Di samping kedudukan sebagai khalifah, pada waktu yang
sama manusia juga sebagai abdullah (hamba atau pengabdi
Allah) dengan tugas melaksanakan ibadah (pengabdian)
dalam arti yang seluas-luaanya kepada Allah (adz-Dzaariyat:
56; al-bayyinah :5; al-baqarah : 21; al-Faatihah: 4; al-Kahfi: 110;
al-An`aam; 102)

Al-qur`an memaparkan bukan hanya proses penciptaan manusia


mulai dari embrio sampai berbentuk daging dan memiliki tulang, tapi
juga tujuan diciptakannya manusia oleh Allah SWT sebagai khalifah
di muka bumi, sehingga perjalanan hidup manusia dibebankan pada
tanggung jawab yang sangat berat; menjadi hamba Allah, menjaga
kelestarian alam, dan memaksimalkan potensi yang ada untuk beramal
soleh.

Perbedaan Krusial Antara Pemikiran Barat Dan Islam Memandang


Manusia
Menurut Islam, jika seseorang meninggal dunia, maka ruhnya
akan kembali kepada Allah, memasuki alam kubur dan pada akhirnya
harus mempertanggung jawabkan perbuatannya selama di dunia
melalui pengadilan akhirat. Sehingga belum cukup menggali ilmu
jika hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup selama di
dunia. Pendidikan terus berlanjut sampai bisa menggiring seseorang
beramal soleh sebagai bekal perjalanannya ke alam baka. Faham barat
tidak akan menerima kebenaran ini, dari sebuah pelatihan tentang
pendidikan, dapat disarikan perbedaan pandangan Islam dan Barat
memandang manusia sebagai berikut:
Islam Barat
Manusia diciptakan Allah, terdiri Manusia adalah materi yang
dari ruh dan jasad, diciptakan berevolusi dari materi, tidak
sebagai khalifah di muka bumi diciptakan atau bukanlah pen-
sekaligus sebagai hamba Allah datang asing di muka bumi

72
Tantangan Implementasi Professional Learning

Mempercayai eksistensi ruh, Menolak metafisika (termasuk


meyakini kemusnahan jasad ruh) mengimani keabadian ma-
teri
Mengimani kebangkitan setelah Menolak kebangkitan kembali
mati dan penciptaan jasad kedua setelah mati
di akhirat
Ruh menjadi pusat dan poror Otak menjadi pusat dan poros
pendidikan pendidikan
Setiap tahap perkembangan ma- Setiap tahap memiliki konsekue-
nusia memiliki konsekuensi hu- ensi hukum tersendiri yang di-
kum tersendiri yang dijelaskan dasarkan pada hukum positif,
dalam Al-qur`an, sunnah dan adat, riset, sains, dsb
Fiqih

Pandangan Barat Tentang Pendidikan Dan Teori Pembelajaran


Setelah membahas tentang pengertian manusia menurut Barat
dan Islam serta menemukan perbedaan krusial dari keduanya, maka
untuk mendapatkan gambaran implikasi apa yang kemudian terjadi
dari dua pandangan tersebut terhadap pendidikan, maka terlebih
dahulu kita bahas pengertian-pengertian pendidikan dan beberapa
teori pembelajaran yang berasal dari Barat dan Islam. Berikut adalah
pengertian pendidikan secara umum:
Education in its general sense is a form of learning in which the
knowledge, skills, and habits of a group of people are transferred from
one generation to the next through teaching, training, or research.
Education frequently takes place under the guidance of others, but may
also be autodidactic. Any experience that has a formative effect on the
way one thinks, feels, or acts may be considered educational. Education
is commonly divided into stages such as preschool, primary school,
secondary school and then college, university or apprenticeship.

Definisi pendidikan yang telah digaris bawahi sebetulnya telah


bergeser, pendidikan yang diejawantahkan dalam sebuah proses
pembelajaran bukan lagi mentransfer ilmu pengetahuan, karena siswa
sekarang sudah tidak dianggap lagi sebagi bejana kosong yang harus
diisi, melainkan telah memiliki pengetahuan awal untuk kemudian
dapat dieksplor lebih jauh lagi dalam rangka memenuhi kompetensi
yang ingin dicapai.
Pendidikan dalam arti umum adalah bentuk pembelajaran di
mana pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan dari sekelompok

73
Professional Learning untuk Indonesia Emas

orang yang ditransfer dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui


pengajaran, pelatihan, atau penelitian. Pendidikan sering terjadi di
bawah bimbingan orang lain, tetapi juga mungkin otodidak. Setiap
pengalaman yang memiliki efek formatif pada cara orang berpikir,
merasa, atau tindakan dapat dianggap pendidikan. Pendidikan
umumnya dibagi menjadi tahap seperti prasekolah, sekolah dasar,
sekolah menengah dan kemudian perguruan tinggi, universitas atau
magang.
Intinya, pendidikan adalah pembelajaran melalui pengalaman,
baik itu menggunakan rasio, perasaan ataupun tindakan. Pendidikan
kemudian dikemas dalam sebuah lembaga yang pada akhirnya
mengeluarkan sebentuk ijazah dan gelar sebagai penahbisan bahwa
orang tersebut telah mengenyam sebuah pendidikan.
Pendidikan merupakan usaha yang dilakukan secara sadar
dalam rangka membimbing dan mengarahkan perkembangan anak
ke arah dewasa. Dewasa artinya bertanggung jawab terhadap dirinya,
keluarganya, masyarakatnya, bangsanya dan negaranya. Selanjutnya,
bertanggung jawab terhadap segala resiko dari sesuatu yang telah
menjadi pilihannya. Ini adalah definisi pendidikan secara umum, lagi-
lagi kita sebagai pendidik yang berorientasi pada agama Islam harus
bisa mengintegrasikan segala aspek kehidupan terutama pendidikan,
kepada tujuan ke-ilahian, bukan kemanusiawian semata.

Teori Pembelajaran Menurut Barat


Belajar adalah perubahan. Belajar berarti menghasilkan perubahan
perilaku maupun pemikiran. Ada tiga teori yang dapat menjelaskan
proses di mana seseorang memperoleh pola perilaku, yaitu teori
pengkondisian klasik, pengkondisian operan, dan pembelajaran sosial
(Stephen, 2007:69-79).
Pengondisian klasik adalah jenis pengkondisian di mana individu
merespon beberapa stimulus yang tidak biasa dan menghasilkan
respons baru. Teori ini tumbuh berdasarkan eksperimen untuk
mengajari anjing mengeluarkan air liur sebagai respons terhadap bel
yang berdering, dilakukan pada awal tahun 1900-an oleh seorang ahli
fisolog Rusia bernama Ivan Pavlov.
Pengondisian operantadalah jenis pengkondisian di mana perilaku
sukarela yang diharapkan menghasilkan penghargaan atau mencegah
sebuah hukuman. Kecenderungan untuk mengulang perilaku seperti
ini dipengaruhi oleh ada atau tidaknya penegasan dari konsekuensi-
konsekuensi yang dihasilkan oleh perilaku. Dengan demikian,
penegasan akan memperkuat sebuah perilaku dan meningkatkan

74
Tantangan Implementasi Professional Learning

kemungkinan perilaku tersebut diulangi.Apa yang dilakukan Pavlov


untuk pengkondisian klasik, oleh psikolog Harvard, B. F. Skinner,
dilakukan pengkondisian operan. Skinner mengemukakan bahwa
menciptakan konsekuensi yang menyenangkan untuk mengikuti bentuk
perilaku tertentu akan meningkatkan frekuensi perilaku tersebut.
Pembelajaran sosial adalah pandangan bahwa orang-orang dapat
belajar melalui pengamatan dan pengalaman langsung. Meskipun
teori pembelajaran sosial adalah perluasan dari pengkondisian
operan, teori ini berasumsi bahwa perilaku adalah sebuah fungsi
dari konsekuensi. Teori ini juga mengakui keberadaan pembelajaran
melalui pengamatan dan pentingnya persepsi dalam pembelajaran.
Kata-kata yang digaris bawahi (seharusnya) menjadi perhatian
penting bagi kita dalam menyempurnakan makna pendidikan secara
umum. Pada pengondisian klasik, eksperimen liur anjing mungkin
awalnya adalah penelitian yang tidak disengaja, namun pada akhirnya
menelurkan sebuah teori motivasi yang digunakan oleh dunia
pendidikan. Pada pengondisian operan, aktivitas menyenangkan
kemudian diadaptasi dalam dunia pendidikan; pengalaman berkesan
melahirkan metode-metode pembelajaran having fun. Dan terakhir,
pada pembelajaran sosial, dikemukakan bahwa setiap manusia dapat
belajar dari pengamatan dan pengalaman langsung. Ini semua agak
berbeda dengan teori pembelajaran menurut Islam.

Pandangan Islam Tentang Pendidikan


Secara umum, ada tiga terminologi yang digunakan Al-qur`an
dan hadits berkaitan dengan konsep dasar pendidikan dalam Islam,
yakni tarbiyah, talim dan tadib.
Tarbiyah; Term tarbiyah berasal dari kata rabb yang menurut
Anis bermakna tumbuh dan berkembang. Pengertian seperti ini juga
diberikan oleh al-Qurthuby yang menyatakan bahwa pengertian dasar
kata rabb menunjukkan makna tumbuh, berkembang, memelihara,
merawat, mengatur dan menjaga kelestarian atau eksistensinya.
Sementara itu, menurut al-Afsahany, kata al-Rabb bisa berarti
mengantarkan sesuatu kepada kesempurnaan dengan bertahap atau
membuat sesuatu untuk mencapai kesempurnaan secara bertahap.
Dasar kata rabb, berarti bahwa pendidikan dimulai sejak anak
masih dalam buaian, karena pendidikan di sini memiliki arti
memelihara, merawat, mengatur dan mengarahkan secara bertahap
sejak masih kanak-kanak hingga mencapai usia dimana ia memikul
tanggung jawab sebagai individu. Pendidikan lewat term ini juga
berarti menyiapkan peserta didik memaksimalkan segala potensinya
dengan penuh kasih sayang.

75
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Talim ;Abdul Fatah Jalal (1977:17) mengemukakan


bahwa Talim adalah proses pemberian pengetahuan, pemahaman.
pengertian, tanggung jawab, dan penanaman amanah, sehingga
terjadi penyucian(tazkiyah)atau pembersihan diri manusia dari segala
kotoran yang menjadikan diri manusia itu berada dalam suatu kondisi
yang memungkinkan untuk menerimaal-hikmah serta mempelajari
segala yang bermanfaat baginya dan yang tidak diketahuinya.
Makna ta`lim adalah proses pengajaran kepada peserta didik,
yang digaris bawahi di sini adalah penanaman amanah, di
mana setiap manusia dibekali rohani dan jasmani, anggota
tubuh, keluarga dan harta sebagai amanah. Tugas kita memberi
pemahaman bagi peserta didik untuk menyampaikan ilmu
pengetahuan berikut amanah apa yang harus diemban sebagai
mahluk.

Tadib ;adalah pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-


angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat
dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa,
sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan kekuasaan
dan keagungan Tuhan di dalam tatanan wujud dan keberadaannya.
Pada aplikasinya makna ta`dib lebih ditekankan pada proses
penanaman karakter, sopan santun dan kehambaan pada Tuhannya.
Yang menjadi kesulitan dalam memahami makna pendidikan dari
islam adalah kurangnya dukungan dari praktisi pendidikan islam itu
sendiri.

Perbedaan Pemikiran Barat Dan Islam Tentang Pendidikan dan


Implikasinya
Ada perbedaan cara pandang pemikiran Barat dan Islam
mendefinisikan manusia sebagai objek pendidikan, yang pada
akhirnya juga berimplikasi pada definisi pendidikan itu sendiri.
Pada gilirannya, proses pendidikan yang dikembangkan melalui
terminologi-terminologi yang disajikan akan berpengaruh pada teori,
metode, bahkan materi pendidikan.
Perbedaan-perbedaan dan implikasinya tersebut dapat dilihat
pada tabel berikut ini :

76
Tantangan Implementasi Professional Learning

No. Pendidikan Menurut Barat Implikasinya


1. Setiap pengalaman yang me- Pendidikan menjadi sebuah us-
miliki efek formatif pada cara aha sadar dalam mengembang-
orang berpikir, merasa, atau kan aspek kognitif, afektif dan
tindakan dapat dianggap pen- psikomotorik.
didikan. Catatan : manusia terdiri dari ro-
hani dan jasmani, tiga aspek di atas
hanya mewakili kebutuhan jasmani
(intellegence dan emotional ques-
tion) . Belum cukup tanpa adanya
spiritual question.
2. Dewasa artinya bertanggung Merebaknya model dan ma-
jawab terhadap dirinya, ke- teri pembelajaran seputar citi-
luarganya, masyarakatnya, zenshipdan isu-isu global sep-
bangsanya dan negaranya. erti liberalisme, demokrasi dan
HAM
Catatan : liberalisme adalah faham
barat yang mendewakan kebebasan,
efek negatifnya adalah dekadensi
moral.
3. Individu merespon beberapa Percobaan yang dilakukan pada
stimulus yang tidak biasa dan hewan belum tentu cocok untuk
menghasilkan respons baru. dijadikan teori pada manusia
Catatan : jika guru gagal memberi
stimulus maka nilai-nilai yang in-
gin diberikan tidak sampai menjadi
karakter peserta didik.
4. Menciptakan konsekuensi Metode pembelajaran dilaku-
yang menyenangkan untuk kan dengan memperhatikan mi-
mengikuti bentuk perilaku nat dan motivasi peserta didik.
tertentu akan meningkatkan Catatan : kewajiban taklifi bukan
frekuensi perilaku tersebut. dilakukan atas dasar kesenangan.
5. Perilaku adalah sebuah fung- Membangun persepsi peserta
si dari konsekuensi dan pent- didik akan pentingnya sebuah
ingnya persepsi dalam pembe- nilai.
lajaran. Catatan : Jika pembangunan per-
sepsi gagal, maka nilai-nilai pent-
ing dari sebuah tema akan sulit ter-
install

77
Professional Learning untuk Indonesia Emas

No. Pendidikan Menurut Islam Implikasinya


1. dasar kata rabb menunjukkan Pendidikan islam dilakukan
makna tumbuh, berkembang, sejak usia kanak-kanak
memelihara, merawat, men- Catatan : Pendidikan memiliki
gatur dan menjaga kelestarianarti yang sangat luas karena di-
atau eksistensinya. lakukan sejak dalam buaian ibu.
Pendidikan mencakup segala
aspek rohani dan jasmani serta
pengembangan kompetensi dan
keterampilan hidup. Pendidikan
dilakukan bertahap sehingga men-
gantarkan seorang anak sampai
pada usia di mana ia bisa memikul
amanah sebagai khalifah.
2. proses pemberian pengeta- Penanaman karakter islami
huan, pemahaman. pengertian, bukan hanya teori tapi juga ap-
tanggung jawab, dan penana- likasi
man amanah, Catatan : Pendidikan tidak ber-
henti pada pentransferan ilmu
pengetahuan, tapi bagaimana agar
pengetahuan tersebut menjadi
pemahaman kemudian menjadi
karakter sehingga setiap individu
menjadi manusia yang bertang-
gung jawab. Penanaman amanah
mengindikasikan bahwa ada Tu-
han di setiap gerak-geriknya.

78
Tantangan Implementasi Professional Learning

3. membimbing ke arah penge- Pelajaran tauhid, rukun iman


nalan dan pengakuan kekua- dan rukun islam diajarkan
saan dan keagungan Tuhan di sejak kecil dan terus berkem-
dalam tatanan wujud dan ke- bang.
beradaannya. Catatan : Ada kekuatan besar yang
menjadi poros dan tujuan hidup.
Kemampuan nalar manusia terba-
tas, ada hal-hal yang tidak dapat
diketahui seperti masa lalu dan
masa depan. Setelah kehidupan
dunia ada kehidupan yang kekal,
maka pendidikan bukan hanya
bertujuan untuk kebahagiaan di
dunia, tapi melampaui jauh ke de-
pan, kebahagiaan di akhirat.
4. penyucian (tazkiyah) atau Niat dan adab dalam sebuah
pembersihan diri manusia pendidikan merupakan point
yang memungkinkan untuk penting
menerimaal-hikmah. Catatan : segala model, metode
dan strategi pembelajaran bo-
leh digunakan selama ada etika
dalam menuntut ilmu. Ilmu pen-
getahuan bersumber dari Allah,
untuk mendapatkan ilmu penge-
tahuan harus dengan keridhoan
Allah.

Menurut Barat
Manusia: Human being(Homo sapiens),a culture-bearing primate that
is anatomically similar and related to the other great apes but is distinguished
by a more highly developed brain and a resultant capacity for articulate speech
and abstract reasoning.
Pendididkan : Education in its general sense is a form of learning in
which the knowledge, skills, and habits of a group of people are transferred
from one generation to the next through teaching, training, or research.
Education frequently takes place under the guidance of others, but may also
be autodidactic. Any experience that has a formative effect on the way one
thinks, feels, or acts may be considered educational. Education is commonly
divided into stages such as preschool, primary school, secondary school and
then college, university or apprenticeship.

79
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Menurut Islam
Manusia: Kata basyar terambil dari akar kata yang pada mulanya
berarti penampakan sesuatu dengan baik dan indah. Dari akar kata yang
sama, lahir kata basyarah yang berarti kulit. Kata insan terambil dari
kata uns yang berarti jinak, harmonis dan tampak. Ada juga yang
berpendapat bahwa kata ini terambil dari kata nasiya (lupa) atau nasa
yanusu (berguncang). Kata insan digunakan Al-qur`an untuk menunjuk
kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga.
Pendidikan :Tarbiyah ; Term tarbiyah berasal dari kata rabb
yang menurut Anis bermakna tumbuh dan berkembang. Pengertian
seperti ini juga diberikan oleh al-Qurthuby yang menyatakan bahwa
pengertian dasar kata rabb menunjukkan makna tumbuh, berkembang,
memelihara, merawat, mengatur dan menjaga kelestarian atau
eksistensinya. Sementara itu, menurut al-Afsahany, kata al-Rabb
bisa berarti mengantarkan sesuatu kepada kesempurnaan dengan
bertahap atau membuat sesuatu untuk mencapai kesempurnaan
secara bertahap.
Talim ; Abdul Fatah Jalal mengemukakan bahwaTalim adalah
proses pemberian pengetahuan, pemahaman. pengertian,
tanggung jawab, dan penanaman amanah, sehingga terjadi
penyucian (tazkiyah) atau pembersihan diri manusia dari segala
kotoran yang menjadikan diri manusia itu berada dalam suatu kondisi
yang memungkinkan untuk menerimaal-hikmah serta mempelajari
segala yang bermanfaat baginya dan yang tidak diketahuinya.
Tadib ;adalah pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-
angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat
dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa,
sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan kekuasaan
dan keagungan Tuhan di dalam tatanan wujud dan keberadaannya.

Perbedaannya
Fungsi utama manusia menurut Barat adalah otak dan jaringanya,
stimulus dan motivasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
fungsi neuron (otak). Fungsi utama manusia adalah ruh dan hidayah
Allah adalah sesuatu yang sangat penting dalam rangka mengantarkan
manusia kembali pada penciptanya.
Pendidikan menurut Barat adalah proses belajar yang
menghasilkan perubahan yang dapat membawa seseorang pada
ketercapaian tujuan-tujuan hidup di dunia. Pendidikan menurut Islam
adalah proses merawat, memelihara, menanamkan tanggung jawab
manusia, hingga ia dapat mencapai tujuan hidupnya, yakni kembali
pada Tuhannya.

80
Tantangan Implementasi Professional Learning

Daftar Pustaka

Endang Saifuddin Anshari Wawasan Islam : pokok-pokok pikiran tentang


paradigma dan sistem Islam, ___________
al-rasyidin Falsafah pendidikan Islam,_________
http://www.britannica.com/EBchecked/topic/275376/human-
being
Charles darwin ; the origin of species-asal-usul spesies, jakarta, yayasan
obor indonesia, 2003
Leakey Richard,Asal-usul manusia, KPG (Kepustakaan Gramedia
Populer), jakarta, 2003
Martini jamaris, orientasi baru dalam psikologi pendidikan, yayasan
penamas murni, jakarta, 2010
M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur`an: Fungsi dan peran wahyu
dalam kehidupan masyarakat, Mizan Pustaka
JamarisMartini, Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan, Yayaan
Penamas Murni, Jakarta, 2010
Robbins, Stephen P. Perilaku Organisasi Buku 1, 2007, Jakarta: Salemba
Empat
Pavlov, I. P. (Inggris)The Work of the Digestive Glands, London: Charles
Griffin, 1902
Skinner, B. F. Contingencies of Reinforcement, East Norwalk, CT:
Appleton, 1971,
Bandura, A. (Inggris)Social Learning Theory, Upper Saddle River, NJ:
Prentice Hall, 1977
Ibrahim Anis, al-Mu`jam al-wasith (Mesir: Dar al-Maarif, 1972)
Ibn Abdullah Muhammad Ibn Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, Tafsir
al-Qurthubi (Kairo: dar al-Syabi, tt)
Al-Raghib al-Asfahany, Mu`jam Mufradat Alfadz al-Qur`an (Bairut : Dar
al-Fikr t.t)
Abd al-Fatah Jalal,Min al-Ushul al-Tarbawiyyah fi al-Islam, Mesir:
Dar al-Kutub al-Mushriyyah, 1977
Al-Attas, Muhammad Naquib,Konsep Pendidikan dalam Islam,Bandung:
Mizan, 1992

81
HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN ADVERSITY
DAN SUPPORT SYSTEM (DUKUNGAN DOSEN DAN
TEMAN SEBAYA) DENGAN TINGKAT KECEMASAN
CALON GURU DALAM MENGHADAPI PRAKTEK
PROFESI KEGURUAN TERPADU

Sujiyo Miranto
Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta
Email : sujiyoubjmiranto@rocketmail.com

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah


terdapat hubungan antara kecerdasan adversity dan support
system (dosen dan teman sebaya) dengan tingkat kecemasan
mahasiswa dalam menghadapi perkuliahan Praktek Profesi
Keguruan Terpadu (PPKT) pada tahun akademik 2014-2015.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode deskriptif dengan teknik studi korelasional dengan
menggunakan pendekatan analisis kualitatif dan kuantitatif.
Subjek penelitian ini adalah 60 mahasiswa peserta mata kuliah
Pengajaran Mikro pada Program Studi Pendidikan Biologi
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Pengambilan sampel dengan menggunakan teknik
simple random sampling.
Kesimpulan penelitian Pertama Terdapat hubungan negatif
yang signifikan antara kecerdasan adversity dengan kecemasan
mahasiswa dalam menghadapi perkuliahan PPKT dengan nilai
r = -0,86; Kedua Terdapat hubungan negatif yang signifikan
antara support system dengan kecemasan mahasiswa dalam
menghadapi perkuliahan PPKT dengan nilai r = -0,605 dan
Ketiga Terdapat hubungan negatif yang signifikan antara
kecerdasan adversity dan support system secara bersama-sama
dengan kecemasan mahasiswa dalam menghadapi perkuliahan
PPKT dengan niali R = -0,867.
Kata Kunci: kecemasan, kecerdasan adversity dan support
system

82
Tantangan Implementasi Professional Learning

Pendahuluan
Sudah sejak tahun 2005 (14 tahun) FITK sebagai salah satu lembaga
pendidikan yang mencetak calon guru menerapkan mata kuliah PPKT.
Kegiatan yang dilakukan adalah menempatkan mahasiswa semester
7 atau 8 di sekolah-sekolah sekitar wilayah Jakarta dan Tangerang.
Dengan program ini mahasiswa diharapkan dapat mengetahui
permasalahan-permasalahan yang nantinya dijumpai pada saat
menjadi guru yang sesungguhnya sekaligus dapat mengaplikasikan
ilmu yang diperoleh di bangku kuliah.
Kondisi lingkungan sekolah yang baru dan memilki banyak
perbedaan dengan kondisi lingkungan kampus dapat menganggu
kestabilan emosi mahasiswa. Hal ini karena kondisi lingkungan sekolah
tersebut belum tentu menyenangkan, tetapi ada kalanya muncul situasi
yang membawa kecemasan. Sulitnya untuk melakukan adaptasi
dengan lingkungan baru dan kemungkinan adanya ketidaksukaan
dengan kehadiran mahasiswa praktikan ini dapat menyebabkan
kecemasan bagi mahasiswa. Jika dirinci permasalahan yang umum
dijumpai oleh mahasiswa peserta PPKT adalah: (1) kekhawatiran
mendapatkan nilai kurang maksimal; (2) keluhan mahasiswa pada
dosen pamong terutama kesulitan dalam beradaptasi, (3) jumlah
kunjungan dosen yang kurang ke sekolah tempat PPKT dilaksanakan,
sehingga menyebabkan mahasiswa merasa berjuang sendiri, (4) waktu
kegiatan PPKT selama 4 bulan yang dirasakan cukup lama, (5) waktu
keberadaan di sekolah yang cukup lama dari mulai jam 6.30 WIB
sampai dengan 15.00 WIB yang sesuai dengan kehadiran guru-guru
lainya yang sudah tetap, (6) dibutuhkannya biaya yang cukup banyak
diantaranya untuk acara pembukaan, membeli pakaian yang harus
sesuai dengan tuntutan sekolah, membeli peralatan dan bahan-bahan
lainnya untuk persiapan pembelajaran dan membuat media, serta
pengeluaran untuk biaya penutupan PPKT, (7) kewajiban datang pagi
hari 6.30 WIB yang berbeda dengan waktu kuliah 7.30 WIB membuat
mahasiswa peserta PPKT harus ekstra keras bangun pagi hari dan
memilih jalan yang tidak macet agar dapat hadir tepat waktu, (8)
adanya perasaan tidak nyaman selama disekolah akibat lingkungan
sekolah yang baru.
Crow dan Crow (dalam Hartanti, 1997) mengemukakan bahwa
kecemasan adalah sesuatu kondisi kurang menyenangkan yang di alami
oleh individu yang dapat mempengaruhi keadaan fisiknya. Sedangkan
Nawangsari (2000) menyatakan kecemasan adalah suatu kondisi
yang tidak menyenangkan meliputi rasa takut, rasa tegang, khawatir,
bingung, tidak suka yang sifatnya subjektif dan timbul karena adanya
perasaan tidak aman terhadap bahaya yang diduga akan terjadi.

83
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Respon kecemasan menurut Stuart & Sundeen (1998) dapat terjadi


berbagai perubahan yang meliputi: 1) respon fisiologis yang meliputi:
Sistem kardiovaskuler, sistem respiratori, sistem neuromuskuler,
sistem gastrointestinal, sistem urinaria, sistem integumen. 2)
respon perilaku kelelahan, ketegangan fisik, tremor, reaksi tibatiba,
bicara cepat, koordinasi kurang, sering terjadi kecelakaan; 3) respon
kognitif: gangguan perhatian, konsentrasi berkurang, pelupa, selalu
salah dalam mengambil keputusan, blocking, penurunan lapang
pandang, penurunan produktifitas, penurunan kreatifitas, menarik
diri, kebingungan, objektifitas kurang, takut mati; 4) respon afektif:
gelisah, tidak sabar, tegang, mudah terganggu, ketakutan, mudah
tersinggung.
Tingkat kecemasan yang dikemukakan oleh Townsend (2005) ada
empat tingkat yaitu; 1) Kecemasan Ringan: yang berhubungan dengan
ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang
menjadi waspada. Kecemasan ringan dapat memotivasi belajar dan
menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas. Manifestasi yang muncul
pada tingkat ini adalah kelelahan, iritabel, kesadaran meningkat,
mampu untuk belajar, motivasi meningkat dan tingkah laku sesuai
dengan situasi; 2) Kecemasan Sedang yang memungkinkan seseorang
untuk memusatkan pada masalah yang penting dan mengesampingkan
yang lain sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif namun
dapat melakukan sesuatu yang terarah. Manifestasi yang muncul pada
tingkat ini yaitu kelelahan meningkat, denyut jantung dan pernapasan
meningkat, ketegangan otot meningkat, bicara cepat dengan volume
tinggi, mampu untuk belajar namun tidak terfokus pada rangsang yang
tidak menambah kecemasan, mudah tersinggung, tidak sabar, mudah
lupa, marah dan menangis. 3) Kecemasan Berat Seseorang dengan
kecemasan berat cenderung untuk memusatkan perhatian pada sesuatu
yang terinci dan spesifik serta tidak dapat berfikir tentang hal lain.
Orang tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk memusatkan
pada suatu area yang lain. Manifestasi yang muncul pada tingkat
ini adalah mengeluh pusing, sakit kepala, mual, tidak dapat tidur
(insomnia), sering kencing, diare, palpitasi, tidak mau belajar secara
efektif, berfokus pada dirinya sendiri, perasaan tidak berdaya, bingung
dan disorientasi; 4) Panik, yang berhubungan dengan terperangah,
ketakutan, teror karena mengalami kehilangan kendali. Orang yang
sedang panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan
pengarahan. Tanda dan gejala yang terjadi pada keadaan ini adalah
susah bernafas, dilatasi pupil, palpitasi, pucat, diaphoresis, pembicaraan
inkoheren, tidak dapat berespon terhadap perintah yang sederhana,
berteriak-teriak, menjerit, mengalami halusinasi dan delusi. Panik

84
Tantangan Implementasi Professional Learning

dapat mengakibatkan peningkatan motorik, penurunan kemampuan


berhubungan dengan orang lain dan tidak mampu berfikir rasional.
tekanan vena sistemik dapat mengakibatkan edema perifer umum dan
perubahan berat badan.
Surekha (2001) menyatakan bahwa Adversity adalah kemampuan
berpikir, mengelola dan mengarahkan tindakan yang membentuk
suatu polapola tanggapan kognitif dan prilaku atas stimulus
peristiwa-peristiwa dalam kehidupan yang merupakan tantangan
atau kesulitan.
Menurut Stoltz (2000), kecerdasan dalam menghadapi rintangan
individu memiliki empat dimensi, yaitu CO2RE (Control, Origin
Ownership, Reach, Endurance).

a. Control (C)
Dimensi ini ditunjukan untuk mengetahui seberapa banyak kendali
yang dapat kita rasakan terhadap suatu peristiwa yang menimbulkan
kesulitan. Hal yang terpenting dari dimensi ini adalah sejauh mana
individu dapat merasakan bahwa kendali tersebut berperan dalam
peristiwa yang menimbulkan kesulitan seperti mampu mengendalikan
situasi tertentu dan sebagainya.

b. Origin dan Ownership (O2)


Dimensi ini mempertanyakan siapa atau apa yang menimbulkan
kesulitan dan sejauh mana seseorang menganggap dirinya
mempengaruhi dirinya sebagai penyebab dan asal usul kesulitan
seperti penyesalan, pengalaman dan sebagainya.

c. Reach (R)
Dimensi ini merupakan bagian dari kecerdasan adversity yang
mengajukan pertanyaan sejauh mana kesulitan yang dihadapi akan
menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan individu seperti
hambatan akibat panik, hambatan akibat malas dan sebagainya.

d. Endurance (E)
Dimensi keempat ini dapat diartikan ketahanan yaitu dimensi
yang mempertanyakan dua hal yang berkaitan dengan berapa lama
penyebab kesulitan itu akan terus berlangsung dan tanggapan
indivuduterhadap waktu dalam menyelesaikan masalah seperti
waktu bukan masalah, kemampuan menyelesaikan pekerjaan dengan
cepat dan sebagainya.
Pengertian teman sebaya menurut St.Vembriarto (1993: 55) adalah:
1) kelompok sebaya adalah kelompok primer yang hubungan diantara

85
Professional Learning untuk Indonesia Emas

anggota intim. 2) anggota kelompok teman sebaya terdiri atas sejumlah


individu-individu yang mempunyai persamaan usia dan status atau
posisi sosial. 3) istilah kelompok dapat menunjuk kelompok anak-anak,
kelompok remaja. Perkembangan teman sebaya dengan pengaruh yang
cukup kuat merupakan hal penting dalam masa-masa remaja.
Fungsi kelompok teman sebaya (peer group) tersebut dapat
dijelaskan sebagai berkut: 1) memberi perhatian yang positif dan
saran dengan cara mengunjungi, memberikan kejutan/hadiah, saran,
menawarkan bantuan, tersenyum, membentuk seseorang dari anak
lain yang membutuhkan, percakapan umum; 2) memberikan sikap dan
penerimaan pribadi: secara fisik dan lisan; 3) sikap tunduk: penerimaan
pasif, meniru, sharing, menerima ide orang lain, mengikuti anak lain
yang bermain, berkompromi, mengikuti teman yang lain meminta
dengan keenagan dan kerjasama (kooperatif).
Peranan kelompok teman sebaya (peer group) merupakan
hubungan sosial antara individu satu dengan individu lain dalam
kelompok yang memiliki persamaan usia dan status sosial yang
memberikan pengaruh dalam pergaulan. Kebutuhan akan adanya
penyesuaian diri remaja dalam kelompok teman sebaya muncul akibat
adanya keinginan bergaul remaja dengan teman sebaya mereka.
Remaja sering dihadapkan pada persoalan penerimaan atau penolakan
kehadiran teman sebaya. Kelompok teman sebaya (peer group) akan
mempengaruhi kedisiplinan belajar. Remaja dalam kelompok sebaya
merasa mendapatkan dukungan dari teman-temannya. Kelompok yang
memberikan pengaruh baik akan memberikan motivasi pada siswa
untuk disiplin dalam belajar, sedangkan kelompok yang memberikan
pengaruh yang negatif adalah kelompok yang memberikan contoh
yang tidak baik bahkan sering melakukan tindakan yang menyimpang.
Interaksi mahasiswa dalam kelompoknya merupakan hubungan
timbal balik antara satu mahasiswa dengan mahasiswa lainnya,
dimana diantara individu saling mempengaruhi, mengubah untuk
memenuhi kebutuhan. Interaksi ini merupakan interaksi yang intensif
baik secara kualitas maupun kuantitas. Interaksi antara teman sebaya
sangat diperlukan dalam kehidupan, karena interaksi yang baik dapat
membentuk kerjasama antar teman sebaya tersebut.
Mahasiswa yang memiliki kelompok teman sebaya (peer
group) yang baik akan memberikan pengaruh yang baik pula bagi
mahasiswa tersebut dalam penanaman kedisiplinan, bertindak dan
beretika, sebaliknya mahasiswa yang mempunyai kelompok teman
sebaya yang tidak baik akan memberikan dampak yang negatif bagi
diri mahasiswa tersebut bahkan sering melakukan tindakan yang
menyimpang. Interaksi yang baik antara sesama mahasiswa sangat

86
Tantangan Implementasi Professional Learning

diperlukan dalam mencegah tingkat stress anggota kelompok tersebut


karena dapat membentuk kerjasama antara sesama mahasiswa
anggota kelompok, sehingga tujuan yang ingin dicapai akan terwujud.
Oleh karena itu, dimungkinkan peranan kelompok teman sebaya dan
interaksi sesama mahasiswa secara bersama-sama terjadi hubungan
dengan stress mahasiswa tersebut dalam menghadapi sesuatu yang
baru misalnya menghadapi kegiatan PPKT.

Tabel 1. Hasil Uji Reliabilitas Setiap Variabel

Pembahasan
Jika dilihat dari komposisi jenis kelamin, dapat diketahui bahwa
sebagaian besar responden atau 82.5 % responden memiliki jenis
wanita. Sedangkan sisanya 17.65 % berjenis kelamin pria. Hal ini
menunjukkan responden wanita lebih banyak dibanding responden
pria. Kondisi ini hampir sama dengan kondisi prodi-prodi Pendidikan
lainnya dimana jurusan pendidikan lebih banyak diminati oleh
wanita. Alasan mengapa prodi pendidikan banyak diminati oleh
wanita, karena dalam pelaksanaanya dalam pembelajaran, yaitu
saat mengajar tidak diperlukan kegiatan fisik yang banyak dan lebih
mementingkan aspek psikis dan manajemen. Untuk pekerjaan seperti
itu wanita dirasa paling sesuai.

Tabel 2. Deskripsi Data Kecerdasan Adversity

Sumber: Data Diolah dari Hasil Penelitian

87
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Dari data tersebut diketahui bahwa nilai rata-rata kecerdasan


adversity sebesar 25.97. Nilai ini lebih rendah dari nilai median (27).
Bila dibuat kurva normal data ini lebih cenderung condong ke arah kiri
atau lebih kecil dari nilai mediannya. Jika nilai median dibandingkan
dengan nilai rata-ratanya memliki selisih sebesar 1.03. Selisih antara
median dengan rata-rata yang tidak terlalu besar tersebut dapat
dikatakan bahwa data tersebut memiliki sebaran normal.
Tabel 3. Deskripsi Data Support Sistem

Sumber: Data Diolah dari Hasil Penelitian

Dari data yang tersaji pada tabel 3 tersebut diketahui bahwa nilai
rata-rata data support sistem sebesar 25. 92. Nilai rata-rata ini jika
dibandingkan dengan nilai modus memiliki selisih yang sebesar 4, 08.
Selisih median dengan rata rata sebesar 0.02. Hal ini menunjukkan
bahwa bahwa data tersebut jika disusun dalam kurva normal lebih
cenderung melenceng ke arah sebelah kiri. Data yang melenceng
kekiri jika tidak terlalu jauh dari nilai mediannya dapat dikatakan
bahwa data tersebut masih termasuk katagori data yang berdistribusi
normal.

88
Tantangan Implementasi Professional Learning

Tabel 4. Deskripsi Data Kecemasan Mahasiswa

Sumber: Data Diolah dari Hasil Penelitian

Dari hasil penelitian tentang kecemasan mahasiswa diperoleh nilai


rata-rata sebesar 24.25. Jika dibandingkan dengan data kecerdasan
adversity (25.97) dan data support sistem (25.92) maka nilai rata-rata
kecemasan mahasiswa adalah yang paling rendah.

Tabel 5. Hubungan Natara Variabel Penelitian

Sumber: Data Diolah dari Hasil Penelitian

Dari hasil perhitungan menggunakan SPSS versi 17 seperti tersaji


pada tabel 5 di atas, diperoleh nilai korelasi parsial (r) antara variabel
kecerdasan adversity dengan kecemasan mahasiswa sebesar -0.866
dan signifikansi. Sedangkan hasil perhitungan korelasi parsial (r)
antara variabel suport system dengan kecemasan mahasiswa adalah
sebesar -0. 605. dan signifikansi Sementara itu perhitungan korelasi
ganda antara variabel kecerdasan adversity dan support system secara

89
Professional Learning untuk Indonesia Emas

simultan dengan kecemasan mahasiswa diperoleh nilai R= -0.867. Nilai


korelasi ganda (R) antara antara variabel kecerdasan adversity dan
support system secara bersama-sama dengan kecemasan mahasiswa
ini menunjukkan hubungan yang sangat signifikan.
Hasil uji signifikansi hubungan antara masing-masing variabel
penelitian tersaji dalam tabel di bawah ini.

Tabel 6. Hasil Uji Signifikansi Hubungan Antara Variabel


Penelitian

Sumber: Data Diolah dari Hasil Penelitian

Faktor-faktor yang mempengaruhi kesuksesan mahasiswa dalam


kegiatan PPKT selain faktor fisik juga faktor kesiapan psikologis
mahasiswa tersebut. Oleh sebab itu persiapan kegiatan PPKT perlu
penanganan secara baik dan komprehensip.
Kecerdasan dalam menghadapi rintangan adalah suatu
kemampuan untuk mengubah hambatan menjadi suatu peluang
keberhasilan mencapai tujuan. melalui kemampuan berpikir,
mengelola dan mengarahkan tindakan yang membentuk suatu pola
pola tanggapan kognitif dan prilaku atas stimulus peristiwaperistiwa
dalam kehidupan yang merupakan tantangan atau kesulitan. Oleh
sebab itu dengan memiliki kecerdasan adversity yang baik seorang
mahasiswa mampu mengatasi bahkah mengelola hambatan yang
dialami selama PPKT tersebut menjadi sebuah peluang. Dengan
demikian mahasiswa yang memiliki kecerdasan adversity yang tinggi
akan berhasil mengatasi tingkat kecemasannya sehingga akan berhasil

90
Tantangan Implementasi Professional Learning

dalam mengikuti kegiatan PPKT.


Dosen pembimbing termasuk ketua program ptudi, penasehat
akademik maupun dosen pembimbing PPKT mempunyai fungsi yang
sangat kuat pengaruhnya terhadap pendewasaan mahasiswa. Mereka
tersebut mempunyai peran yang besar dalam pembentukan pola
kepribadian mahasiswa. Adanya ikatan emosional yang kuat antara
mahasiswa dengan dosen akan lebih mudah dalam memberikan
pengaruh tentang berbagai hal kepada mahasiswa termasuk dalam
pelaksanaan kegiatan PPKT. Pengaruh dosen baik yang bersifat
langsung ataupun tidak langsung sangat diperlukan mahasiswa
selama menjalankan kegiatan ini.
Kelompok teman sebaya merupakan tempat untuk
mengembangkan kecakapan-kecakapan dan pengetahuan seseorang.
Rasa solidaritas dan kebersamaan akan tumbuh apabila mahasiswa
mempunyai teman bergaul yang baik. Lingkungan pergaulan remaja
tidak lepas dari kelompok, karena selalu memberikan motivasi dan
pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan pribadinya, sehingga
mahasiswa bisa bersikap positif atau negatif. Dengan teman bergaul
yang baik maka akan dapat memberikan pengaruh yang positif pada
mahasiswa, sehingga jika mahasiswa tersebut menghdapi kendala dia
dapat meminta saran kepada teman sebaya tersebut.

Penutup
Pertama, Terdapat hubungan negatif antara kecerdasan adversity
dengan kecemasan mahasiswa dalam mengijuti kegiatan PPKT;
Kedua Terdapat hubungan negatif antara support system dengan
kecemasan mahasiswa dalam mengijuti kegiatan PPKT; Ketiga,
Terdapat hubungan negatif antara kecerdasan adversity dan support
system secara bersama-sama dengan kecemasan mahasiswa dalam
mengikuti kegiatan PPKT.

Daftar Pustaka

Buku Pedoman Praktek Profesi Keguruan Terpadu (PPKT). 2013.


Jakarta: FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013.
LeDoux Joseph. 1996. The Emotional Brain. New York: Simon and
Schuster.
Bimo Walgito. 1997. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi
Offset.

91
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Burns, B. Robert. 2000. Introduction to Research Methods. London:


Sage Publication, Ltd.
Crow and Crow. 1990. Pengantar Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Rake
Sarasin
Goleman, Daniel. 2000. Emitional Intelligence (terjemahan). Jakata: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Goleman, Daniel. 2000. Working With Emotional Intelligence
(terjemahan). Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Gottman, John. 2001. Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki
Kecerdasan Emosional (terjemahan). Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Horton, B. Paul and Hunt, L. Chester. 1996. Sosiologi. Terjemahan
Aminuddin Ram dan Tita Sobari. Jakarta: PT. Erlangga
Hurlock, B. Elizabet. 1999. Psikologi Perkembangan. Terjemahan Isti
Widayanti dan Soejarwo Jakarta: PT. Erlangga
Salovey, Peter and D.J. Sulyster, 1997. Emotional Development and
Emotional Intelegence. New York: Basic Books.
Sevilla, Consuelo G, et all. 1993. Pengantar Metode Penelitian.
Terjemahan Alimuddin Tuwu . Jakarta: UI-Press
Suharsimi Arikunto. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan
Praktek. Yogyakarta: Rineka Cipta.
Slamet Santoso. 1999. Dinamika Kelompok Sosial. Jakarta: Bumi
Aksara..
Vembriarto. 1993. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Gramedia.
Zaviera, F., 2007, Teori Kepribadian Sigmund Freud, Prismasophie :
Yogyakarta.

92
MENGATASI KESULITAN MEMBACA
PADA ANAK SEKOLAH DASAR KELAS RENDAH
Ryan Dwi Puspita
STKIP Sebelas April Sumedang

Abstract: Parents and teachers can assist children by spending


a lot of time to help them learn to read, by mean to build the
concept or to create specific mental schemes. This opinion the
same as Bachrudin (2014) thought who said about the emergence
of literacy sphere for children literacy development. The
surroundings give the facts for the writer, especially after having
an observation in rural area and town elementary schools, many
students in the first and the second grade had reading difficulty.
According to the problem above, the writer would like to focus
on overcoming early elementary students reading difficulty. One
of the efforts to overcome students reading difficulty is a specific
intervention on reading, targeting on phonemic awareness
training, guiding literacy awareness by parents and teachers,
traditional flashcard drill, and practice method.

Keywords : reading difficulty, low grade primary school children

Pendahuluan
Membaca merupakan hal penting untuk keberhasilan dalam
masyarakat kita. Kemampuan membaca sangat dihargai dan penting
bagi kemajuan sosial dan ekonomi. Tentu saja, sebagian besar
anak-anak belajar membaca dengan cukup baik. Catherin (1998)
menggambarkan keprihatinan dengan sejumlah besar anak-anak di
Amerika yang karier pendidikannya terancam karena mereka tidak
memiliki keterampilan membaca yang cukup baik untuk memastikan
pemahaman dan untuk memenuhi tuntutan dari perekonomian yang
semakin kompetitif.
Belajar membaca merupakan tujuan
pendidikan yang sangat penting. Untuk
anak-anak dan orang dewasa, kemampuan
untuk membaca membuka dunia baru
dan peluang. Hal ini memungkinkan anak untuk mendapatkan
pengetahuan baru, menikmati sastra, dan melakukan hal sehari-hari

93
Professional Learning untuk Indonesia Emas

yang merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan.


Dalam konteks pemahaman kita banyak alasan yang menyebabkan
anak-anak merasa sulit untuk belajar membaca. Penundaan
pengembangan keterampilan membaca mempengaruhi
pertumbuhan kosakata Cunningham & Stanovich (dalam Joseph
K. Togersen,2012,hlm.8), mengubah sikap dan motivasi anak-
anak untuk membaca (Oka & Paris, 1986), dan mengarah ke
kehilangan kesempatan untuk mengembangkan
strategi pemahaman (Brown, Palincsar, & Purcell,
1986). Jika anak-anak berada dalam situasi seperti ini
maka akan terhambat perkembangan keterampilan membaca awal,
dan mereka hanya memiliki sedikit kesempatan untuk berlatih
membaca.
Lebih dari 40 negara telah melakukan penelitian untuk mendeteksi
kemampuan membaca permulaan pada anak usia Taman Kanak-
kanak sampai anak SD kelas 1 dan 2, melalui keterampilan literasi
yaitu Dynamic Indicators of Basic Early Literacy Skills (DIBELS), dan
kesulitan membaca potensial pada anak kelas 3 SD. Beberapa negara
juga menggunakan Phonological Awareness Literacy Screening Tests
(PALS) sebagai alternatif. Mengingat kurangnya konsensus mengenai
langkah-langkah yang paling tepat untuk mengidentifikasi kemajuan
membaca permulaan pada anak Taman Kanak-kanak sampai SD
kelas 3. Dan hasilnya menunjukkan bahwa anak dengan kesulitan
membaca mungkin sebenarnya terdiri dari berbagai sub-kelompok
atau subtipe, masing-masing dengan profil perkembangan yang
berbeda mewujudkan dari perbedaan tidak hanya dalam hasil, tetapi
juga mungkin dalam etiologi.
Perkembangan anak itu bervariasi, hal ini senada dengan
penjelasan dalam basic principles of development, yaitu :
Domains of childerns development-psysical,social,emotional and
cognitive-are closely related. Development in one domain influences
and is influenced by development in other domains.Development
advances when children have opportunities to practice newly acquired
skills, as well as when they experience a challenge just beyond the level
of their present mastery (Gestwicki, 2006, hlm.12).

Jika dikaitkan dengan kesulitan membaca pada anak, maka dari


uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa keterampilan membaca
pada anak sangat dipengaruhi oleh aspek perkembangan yang lain
dan anak harus diberi kesempatan mengembangkannya. Orang tua
dan guru dapat membantu anak dengan menghabiskan lebih banyak
waktu untuk membantu anak belajar membaca, baik dalam arti umum

94
Tantangan Implementasi Professional Learning

bangunan konsep dan arti spesifik untuk menciptakan skema mental.


Hal ini sesuai dengan pendapat dari Bachrudin (2014) menyatakan
bahwa tentang pentingnya lingkungan yang literat bagi perkembangan
literasi anak. Sebagian dari orang tua dan guru ada yang berusaha
untuk menciptakan kebiasaan praktek literasi bagi anak-anak mereka.
Dari berbagai rujukan di atas, penulis merasa tertarik untuk
mengupas masalah kesulitan membaca pada anak Sekolah Dasar kelas
rendah dan bagaimana cara mengatasinya.

Analisis dan Pembahasan


Dalam masyarakat teknologi, tuntutan untuk melek huruf yang
lebih tinggi semakin meningkat, menciptakan konsekuensi yang lebih
pedih bagi mereka yang gagal. Membaca yang efektif dibangun di atas
fondasi yang mengakui bahwa kemampuan membaca ditentukan oleh
beberapa faktor yang berhubungan dengan kesulitan membaca, untuk
menjelaskan hal itu banyak pengalaman yang berkontribusi untuk
perkembangan membaca ( Snow,1998:3). Kemampuan untuk membaca
sangat penting dalam kehidupan seorang anak sekolah karena bentuk
fondasi yang kuat untuk prestasi akademik di masa depan. Sebagai
tahun awal di sekolah dasar, anak menghabiskan banyak waktu untuk
membaca agar mendapatkan informasi (Ogmebudia,2014). Untuk
lebih memahami pembahasan ini maka penulis akan mulai mengupas
permasalahan ini sebagai berikut :

Definisi Kesulitan Membaca


Henry Guntur Tarigan berpendapat bahwa Membaca adalah
suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca untuk
memperoleh pesan yang hendak disampaikan oleh penulis melalui
media kata-kata atau bahasa tulis. Suatu proses yang menuntut agar
kelompok kata yang merupakan suatu kesatuan akan terlihat dalam
pandangan sekilas, dan agar makna kata-kata secara individual akan
dapat diketahui. Kalau hal ini tidak terpenuhi, maka pesan yang
tersurat dan yang tersirat tidak akan tertangkap atau dipahami, dan
proses membaca itu tidak terlaksana dengan baik.
Membaca dapat pula dianggap sebagai suatu proses untuk
memahami yang tersirat dalam yang tersurat, yakni memahami makna
yang terkandung di dalam kata-kata yang tertulis. Makna bacaan tidak
terletak pada halaman tertulis tetapi berada pada pikiran pembaca.
Demikianlah makna itu akan berubah, karena setiap pembaca
memiliki pengalaman yang berbeda-beda yang dipergunakan sebagai
alat untuk menginterpretasikan kata-kata tersebut.
Definisi operasional kesulitan membaca dalam tulisan ini

95
Professional Learning untuk Indonesia Emas

adalah anak tidak mampu memenuhi instruksi prasyarat membaca


permulaan yang mengharuskan anak mampu membaca untuk
memperoleh makna dari buku teks, memahami hubungan antara
ejaan dengan suara, belajar tentang sifat dari sistem penulisan abjad,
dan memahami struktur kata-kata yang diucapkan.

Ciri-Ciri Kesulitan Membaca pada Anak Sekolah Dasar Kelas


Rendah
Snow, dkk. (2014) menjelaskan bahwa ada tiga ciri-ciri yang
diketahui anak-anak tidak terampil membaca yaitu ciri pertama
kesulitan muncul pada awal akuisisi membaca, kesulitan memahami
dan menggunakan prinsip-ide abjad bahwa ejaan yang ditulis
secara sistematis merupakan kata yang diucapkan sekarang, sulit
untuk memahami teks terhubung jika pengenalan kata tidak akurat
atau melelahkan. Ciri kedua adalah kegagalan untuk mentransfer
pemahaman tersebut, keterampilan bahasa lisan untuk membaca
dan untuk memperoleh strategi baru yang mungkin secara khusus
dibutuhkan untuk membaca. Ciri yang ketiga adalah kesulitan
membaca akan memperbesar ciri pertama dan kedua yaitu tidak
adanya atau hilangnya motivasi awal untuk membaca atau kegagalan
untuk mengembangkan apresiasi dari manfaat membaca.
Dalam setiap domain pembelajaran, motivasi sangat penting.
meskipun kebanyakan anak-anak mulai sekolah dengan sikap dan
harapan positif untuk sukses, pada akhir tingkat dasar dan sesudahnya,
beberapa anak menjadi puas. Mayoritas masalah membaca yang
dihadapi oleh anak SD kelas rendah saat ini adalah hasil dari masalah
yang mungkin telah dihindari atau diselesaikan pada awal tahun masa
kanak-kanak mereka. Sangat penting bahwa langkah-langkah harus
diambil untuk memastikan bahwa anak-anak mengatasi hambatan
tersebut.

Identifikasi Kesulitan Membaca pada Anak Sekolah Dasar Kelas


Rendah
Identifikasi awal kesulitan membaca menggunakan Heterogeneous
Developmental Trajectories (Boscardin,dkk.2001:1). Masalah konseptual
dan prosedural serius yang berhubungan dengan metode diagnostik
saat ini merupakan pendekatan alternatif untuk menilai dan
mendiagnosa anak dengan masalah membaca. Dalam penelitian
Boscardin, dkk. menyajikan model analitik baru untuk meningkatkan
klasifikasi dan prediksi membaca anak-anak pada kelas awal. 411 anak-
anak di TK sampai kelas 2 Sekolah Dasar diberikan ukuran kesadaran
fonologi, pengenalan kata, dan keterampilan penamaan yang cepat.

96
Tantangan Implementasi Professional Learning

Kehadiran pola perkembangan yang heterogen dan bertugas


untuk mengetahui satu kelompok anak dengan pola perkembangan
yang berbeda yang paling berisiko untuk kesulitan membaca. Hasil
menunjukkan bahwa keterampilan membaca prekursor seperti
kesadaran fonologi dan penamaan yang cepat adalah sangat
prediktif untuk membangun keterampilan membaca pada anak
dan profil perkembangan yang dibentuk pada pembelajaran di TK
secara langsung berhubungan dengan perkembangan anak di kelas
1 dan 2 Sekolah Dasar. Anak yang diidentifikasi memiliki kesulitan
memperoleh kesadaran fonologi dalam usia dini diprediksi memiliki
pola lambat dalam perkembangan dalam keterampilan pengenalan
kata untuk pembelajaran berikutnya. Penelitian sebelumnya telah
menunjukkan (Francis et al., 1994; Boscardin, dkk, 2002), hasil dari
studi ini mendukung gagasan bahwa kesulitan membaca dicirikan
oleh defisit dalam keterampilan prasyarat yang menyebabkan defisit
dalam perkembangan membaca. Identifikasi sekelompok anak dengan
defisit terus-menerus selama periode tiga tahun atau kelas awal
menunjukkan bahwa mereka akan terus tertinggal di belakang.
Temuan ini menggaris bawahi perlunya untuk identifikasi
awal dan intervensi khusus menargetkan defisit keterampilan.
Re-konseptualisasi identifikasi kesulitan membaca menggunakan
langkah-langkah yang merangsang pertanyaan lebih lanjut mengenai
implikasi dari praktek penilaian awal. Dynamic Indicators of Basic
Early Literacy Skills (DIBELS) digunakan untuk memantau kemajuan
membaca, lebih dari 40 negara, pada pelajaran membaca permulaan,
banyak Sekolah Dasar sekarang sedang menggunakan DIBELS untuk
anak kelas 3 yang mengalami kesulitan membaca potensial. Beberapa
negara juga menggunakan Phonological Awareness Literacy Screening
Tests (PALS) sebagai alat alternatif (Boscardin,dkk.2002:24).

Faktor-Faktor Penyebab Anak Sekolah Dasar Kelas Rendah


Mengalami Kesulitan dalam Membaca
Sejumlah besar anak-anak usia Sekolah Dasar, termasuk anak-anak dari
semua kelas sosial, mengalami kesulitan yang signifikan dalam belajar
membaca. Faktor yang paling utama penyebab anak Sekolah Dasar
kelas rendah mengalami kesulitan membaca adalah faktor literasi atau
pemerolehan bahasa dari rumah. Selaras dengan pendapat Musthafa
(2014) menyatakan tentang pentingnya lingkungan yang literat bagi
perkembangan literasi anak. Sebagian dari orang tua ada yang berusaha
untuk menciptakan kebiasaan praktek literasi bagi anak-anak mereka.
Namun ada yang berhasil dan ada yang tidak berhasil dalam memberikan
dukungan literasi bagi anak-anak mereka. Baik dalam bentuk praktek

97
Professional Learning untuk Indonesia Emas

literasi kongkret atau penyediaan artefak dan suasana yang mendukung.


Kesenjangan literasi diantara anak-anak dikarenakan keragaman latar
belakang literasi dari rumah, yaitu ada anak yang datang dari lingkungan
rumah yang kaya literasi dan mereka yang datang dari keluarga yang
tidak beruntung.
Dalam hal ini dijelaskan bahwa perkembangan literasi dini
merupakan proses belajar membaca dan menulis secara informal
dalam keluarga yang umumnya bercirikan seperti demonstrasi baca-
tulis, kerjasama interaktif antara orang tua dan anak, berbasis pada
kebutuhan sehari-hari, dan dengan cara pengajaran yang minimal
tetapi langsung.
Brashear (dalam Musthafa, 2014:2) menyatakan bahwa lingkungan
literat sangat mempengaruhi proses belajar anak karena dalam
lingkungan literat anak dilibatkan secara langsung dalam literasi.
Pada lingkungan ini, anak didorong menjelajah dunia mereka dan
mengungkapkan perasaannya menggunakan semua cara yang tersedia
bagi mereka. Fitgerald dkk (dalam Musthafa, 2014: 5) menyatakan
bahwa terdapat hubungan positif antara tingkat kemampuan (dan
pendidikan) literasi orang tua dan tingkat apresiasi mereka terhadap
lingkungan literasi.
Anak-anak yang sangat mungkin mengalami kesulitan membaca di kelas-
kelas dasar adalah mereka yang mulai sekolah dengan kurang pengetahuan
sebelumnya dan keterampilan yang relevan, terutama kemampuan verbal,
kemampuanuntukmemahami suarabahasayangberbedadenganmaknanya.
Anak-anak dari lingkungan miskin, anak-anak dengan keterbatasan
kemahiran dalam bahasa, anak-anak
dengan gangguan pendengaran, anak-anak
dengan gangguan bahasa prasekolah, dan anak-anak yang orang tuanya
mengalami kesulitan belajar membaca sangat beresiko dengan kelemahan di
daerah ini.
Dalam sebuah studi pada pencegahan kesulitan membaca, tidak
cukup bukti untuk menilai kesulitan membaca yang sebenarnya.
Idealnya, kita ingin tahu mana anak-anak atau kelompok anak-anak
akan memiliki masalah belajar untuk membaca ketika mereka berada
di sekolah dan instruksi membaca yang diberikan. Dengan demikian,
ada kebutuhan untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan
anak mengalami kesulitan belajar membaca, yaitu :
(1) Faktor intrinsik individu,
(2) Lingkungan keluarga,
(3) Lingkungan sekolah dan komunitas dimana anak tinggal
(Snow,dkk. 1998).

98
Tantangan Implementasi Professional Learning

Upaya untuk Mengatasi Kesulitan Membaca pada Anak Sekolah


Dasar Kelas Rendah
Banyak anak-anak belajar membaca dengan instruksi yang
baik, tapi beberapa tidak. Dan banyak anak memiliki masalah
belajar membaca karena instruksi yang buruk. Dalam semua kasus,
pertanyaannya adalah apa jenis instruksi tambahan (biasanya
disebut Intervensi karena ini bukan bagian dari instruksi bacaan
sekolah). reguler untuk membantu. Tujuan memberikan waktu
pembelajaran tambahan untuk membantu anak-anak mencapai
tingkat keaksaraan yang akan memungkinkan mereka untuk menjadi
sukses melalui karir sekolah mereka dan seterusnya. Hal ini tidak
hanya untuk meningkatkan prestasi literasi awal. Ada kemungkinan
bahwa anak-anak yang telah memiliki intervensi di tingkat dasar
perlu pengalaman pelengkap tambahan di kelas-kelas atas juga.
Kita tahu bahwa tuntutan keaksaraan bersifat berbeda untuk
anak-anak, mereka diharapkan untuk belajar mengetahui
informasi dari teks yang mungkin mereka miliki dari beberapa
pengalaman di kelas-kelas utama (Fisher dan Hiebert,
1990; Snow, 1998) mereka diharapkan untuk menggunakan teks secara
mandiri; dan mereka diharapkan untuk menggunakan teks untuk
tujuan pemikiran dan penalaran.
Upaya yang bisa kita lakukan untuk mengatasi kesulitan membaca
pada anak Sekolah Dasar kelas rendah adalah intervensi yang spesifik
untuk membaca, menargetkan pelatihan kesadaran fonologis (phonemic
awareness), bimbingan literasi oleh guru di sekolah dan orang tua, dan
metode traditional flashcard drill and practice. Adapun pembahasannya
sebagai berikut :

(1) Pelatihan pada kesadaran fonologi.


Kesadaran fonologi, apresiasi suara tanpa memperhatikan
maknanya, sangat penting untuk menemukan abjad tersebut. Prinsip
(gagasan bahwa huruf biasanya mewakili suara dalam segmen
kecil yang disebut fonem). Manfaat dari pelatihan kesadaran
fonologi untuk anak-anak yang belum belajar dengan instruksi
membaca secara formal. Di sini kita bisa memeriksa bukti efektivitas
pelatihan untuk dua kelompok anak-anak:
yang pertama anak yang beresiko untuk
kesulitan membaca dan yang kedua anak-anak sekolah dengan
kesulitan membaca yaitu memiliki prestasi yang sangat rendah.
Kegiatan ini melibatkan identifikasi awal, tengah, dan berakhir dengan
suara (membaca) serta blending, segmentasi, dan mengkategorikan
suara. Penguasaan keterampilan ini adalah prediktor kuat untuk

99
Professional Learning untuk Indonesia Emas

membaca dasar (Ball & Blachman, 1991; Bentin & Leshem, 1993; Bryne
& Fielding-Barnsley, 1991;Joseph,Laurice, M.,2005).
Pelatihan kesadaran fonologi ini dapat menggunakan teknik-
teknik sebagai berikut :
(a) Sound manipulation activities yaitu sejumlah kegiatan manipulasi
suara yang mendorong anak-anak untuk beroperasi pada
elemen suara yang diucapkan. Anak-anak dapat diajarkan
untuk beroperasi pada suara dan struktur bahasa lisan
dalam berbagai cara. Mereka dapat segmen suara dari
kata yang diucapkan oleh bertepuk tangan karena mereka
mengartikulasikan setiap suara dalam kata atau sesuai
setiap suku kata dalam kata. Guru dapat mengajarkan
blending suara dengan mengatakan kata dimulai dengan / f
/ dan diakhiri dengan / an /, dan ketika mereka disatukan,
itu membuat fan. Berbagai kegiatan manipulasi suara
atau permainan membantu anak-anak mengembangkan
keterampilan kesadaran fonemik (Wagner, Torgesen,
Laughon, Simmons, & Raschotte, 1993; Yopp & Yopp,
2000;Joseph, Laurice M.,2005).
(b) Kotak suara. Segmentasi keterampilan fonem dapat di
scaffolding menggunakan kotak suara atau apa yang biasa
disebut sebagai Kotak Elkonin kotak (Elkonin, 1973; Laurice
M.,2005). Sebuah persegi panjang digambar di papan,
selembar kertas, atau kardus. Serangkaian kotak terhubung
diciptakan oleh menggambar garis vertikal di dalam persegi
panjang sehingga dibagi sesuai dengan jumlah kata dan suara
yang terdengar. Token atau benda kecil lainnya yang dapat
dengan mudah meluncur ke dalam kotak yang ditempatkan
di bagian bawah dibagi dari persegi panjang atau kotak
yang terhubung. Instruktur secara lisan menyajikan
kata, dan anak-anak diperintahkan untuk menempatkan
token di bagian masing-masing dari persegi panjang karena
setiap suara dalam kata perlahan diartikulasikan. Misalnya,
kata panci disajikan secara lisan kepada anak dan anak
akan menempatkan token pertama kotak pertama saat ia
sekaligus mengartikulasikan / p /, tempat tanda di kotak
tengah karena ia mengartikulasikan / a /,dan menempatkan
tanda lain dalam kotak terakhir karena ia mengatakan
/ n /. Setelah token ditempatkan di kotak, siswa
mungkin diminta untuk berulang-ulang menggerakkan
jari hanya di bawah kotak terhubung dan suara berbaur
bersama-sama dan anak mengartikulasikan setiap suara pada

100
Tantangan Implementasi Professional Learning

kata dengan cepat dan mudah. Teknik ini telah terbukti efektif
untuk membantu anak-anak mengembangkan keterampilan
kesadaran fonemik (Ball & Blachman, 1991; Hohn & Ehri,
1983; Maslanka &Yusuf, 2002; Laurice M.,2005).

(2) Bimbingan literasi oleh guru di sekolah


Pada bagian ini, penulis menggambarkan intervensi tambahan
yang mengambil bentuk les. Seperti studi pelatihan kesadaran fonologi,
anak-anak diberikan waktu tambahan dalam belajar membaca dengan
les anak-anak secara individual. Dan kegiatannya dilakukan dengan
reading recovery (pemulihan membaca). Reading recovery, dipilih karena
banyak yang memberikan review dan menarik perhatian guru-guru
di Amerika Serikat. Reading discovery ini membutuhkan pelatihan yang
ekstensif dari guru, serta instruksi intensif satu-satu atau secara individu
dengan anak-anak, rendering itu cukup mahal. Program ini dirancang
oleh Marie untuk tujuan intervensi anak-anak di Selandia Baru
yang diidentifikasi memiliki masalah membaca (Clay,1985 dan
Pinnell et al., 1988 ;Snow,dkk.1998). Program ini memiliki kerangka
tertentu untuk memberikan instruksi ke anak. Untuk 10 hari pertama
partisipasi anak dalam reading recovery ini, guru mengumpulkan
informasi tentang keterampilan keaksaraan dan pengetahuan anak
saat itu. Setelah periode ini, disebut sebagai roaming known, setiap
pelajaran meliputi (a) anak terlibat dalam kegiatan pra membaca (b)
membaca buku secara independen (guru mengambil catatan berjalan
untuk menilai kefasihan); (c) latihan identifikasi huruf, apabila
diperlukan; (d) menulis dan membaca menggunakan kalimat sendiri;
(e) pemasangan kembali kalimat anak yang tidak dipotong menjadi
kata-kata individu; (f) buku pengantar baru ; dan (g) mendukung
membaca buku baru. Kegiatan ini dilaksanakan selama 30 menit
setiap hari. Dukungan guru diberikan selama kegiatan tersebut dan
dirancang untuk meningkatkan pengetahuan dan pengalaman anak
yaitu, anak-anak didorong untuk menggunakan berbagai sumber
informasi saat membaca dan untuk terlibat dalam kegiatan keaksaraan
dengan menggunakan pendekatan pemecahan masalah, pemantauan
efektivitas melalui teks. Buku teks yang digunakan oleh anak-anak
telah diurutkan berdasarkan tingkat kesulitan. Setelah anak telah
mencapai tingkat yang sesuai dengan standar kompetensi yang
diharapkan, kegiatan ini dilakukan 30 menit per sesi selama 12 periode
atau 16 minggu ( DeFord et al. 1987; Pinnell et al. 1994; Pinnel et al.
1995;Snow,dkk. 1998).

101
Professional Learning untuk Indonesia Emas

(3) Bimbingan literasi oleh orang tua di rumah


Lingkungan literat sangat mempengaruhi proses belajar anak
karena dalam lingkungan literat anak dilibatkan secara langsung
dalam literasi. Pada lingkungan ini, anak didorong menjelajah dunia
mereka dan mengungkapkan perasaannya menggunakan semua
cara yang tersedia bagi mereka. Dalam poin literasi dini, Musthafa
(2014) menjelaskan berbagai cara untuk melibatkan anak dalam
literasi, yaitu : (a) menyediakan beragam artefak literasi untuk anak,
(b) mendemonstrasikan beragam kegiatan literasi dan anak ikut
dilibatkan, (c) mendemonstrasikan beragam peristiwa literasi dan
melibatkan anak didalamnya, (d) mendemonstrasikan interaksi dan
libatkan anak-anak didalamnya.

(4)Teknik traditional flashcard drill and practice.


Teknik ini yang digunakan untuk mengajar anak-anak untuk
membaca kata-kata secara akurat dan cepat. Model instruktur membaca
kata dicetak pada flashcard dan meminta anak untuk membaca kata
diikuti dengan umpan balik. Mungkin ada 10 atau lebih flashcards
dengan kata-kata yang dicetak. Setelah setiap kata telah dimodelkan,
guru dapat meminta anak untuk membacanya. Prosedur ini dapat
terjadi sampai anak mencapai penguasaan dalam membaca. Prosedur
ini telah dinyatakan efektif untuk membantu anak-anak mendapatkan
pemahaman kata-kata (Tan & Nicholson, 1997). Temuan bahkan lebih
menarik adalah bahwa prosedur flashcard tradisional lebih efisien
untuk membantu anak-anak membaca dan mengeja kata-kata.
Dari penjelasan di atas penulis menarik kesimpulan bahwa
banyak pihak yang harus ikut terlibat dalam mengaplikasikan
upaya mengatasi kesulitan membaca pada anak Sekolah Dasar
kelas rendah. Faktor utama dalam menentukan keberhasilan dan
kegagalan anak Sekolah Dasar kelas rendah dalam belajar membaca
adalah pemerolehan bahasa (literacy) dari rumah, disini yang paling
berperan adalah orang tua. Tetapi literasi di Taman Kanak-kanak pun
menentukan keterampilan membaca anak ketika ia mulai memasuki
kelas 1 Sekolah Dasar. Dan guru Sekolah Dasar kelas rendah berperan
untuk mengintervensi pembelajaran membaca anak di sekolah dengan
menggunakan berbagai metode dan media yang tepat.
Kerjasama yang perlu yang perlu dibangun dalam menangani
masalah ini terutama dari pihak guru dengan orang tua anak. Jadi harus
ada kerjasama dalam membimbing anak belajar membaca misalnya
setelah anak belajar membaca di sekolah, hal ini harus ditindak lanjuti
oleh orang tua di rumah. Dan orang tua harus meluangkan waktunya
untuk membimbing anak.

102
Tantangan Implementasi Professional Learning

Penutup
Definisi operasional kesulitan membaca dalam tulisan ini
adalah anak tidak mampu memenuhi instruksi prasyarat membaca
permulaan yang mengharuskan anak mampu membaca untuk
memperoleh makna dari buku teks, memahami hubungan antara
ejaan dengan suara, belajar tentang sifat dari sistem penulisan abjad,
dan memahami struktur kata-kata yang diucapkan.
Ciri-ciri kesulitan membaca pada anak Sekolah Dasar kelas rendah
adalah ciri pertama kesulitan muncul pada awal akuisisi membaca,
kesulitan memahami dan menggunakan prinsip-ide abjad bahwa
ejaan yang ditulis secara sistematis merupakan kata yang diucapkan
sekarang, sulit untuk memahami teks terhubung jika pengenalan kata
tidak akurat atau melelahkan. Ciri kedua adalah kegagalan untuk
mentransfer pemahaman tersebut, keterampilan bahasa lisan untuk
membaca dan untuk memperoleh strategi baru yang mungkin secara
khusus dibutuhkan untuk membaca. Ciri yang ketiga adalah kesulitan
membaca akan memperbesar ciri pertama dan kedua yaitu tidak
adanya atau hilangnya motivasi awal untuk membaca atau kegagalan
untuk mengembangkan apresiasi dari manfaat membaca.
Anak yang diidentifikasi memiliki kesulitan membaca dan
kesulitan memperoleh kesadaran fonologi dalam usia dini diprediksi
memiliki pola lambat dalam perkembangan dalam keterampilan
pengenalan kata untuk pembelajaran berikutnya. Identifikasi awal
kesulitan membaca bisa menggunakan Heterogeneous Developmental
Trajectories, dan Dynamic Indicators of Basic Early Literacy Skills (DIBELS)
digunakan untuk memantau kemajuan membaca, lebih dari 40 negara
pada pelajaran membaca permulaan, banyak Sekolah Dasar sekarang
sedang menggunakan DIBELS untuk anak kelas 3 yang mengalami
kesulitan membaca potensial. Beberapa negara juga menggunakan
Phonological Awareness Literacy Screening Tests (PALS) sebagai alat
alternatif.
Faktor yang paling utama penyebab anak Sekolah Dasar kelas
rendah mengalami kesulitan membaca adalah faktor literasi atau
pemerolehan bahasa dari rumah. Anak-anak yang sangat mungkin
mengalami kesulitan membaca di kelas-kelas dasar adalah mereka
yang mulai sekolah dengan kurang pengetahuan sebelumnya dan
keterampilan yang relevan, terutama kemampuan verbal, kemampuan
untuk memahami suara bahasa yang berbeda dengan maknanya.
Upaya yang bisa kita lakukan untuk mengatasi kesulitan membaca
pada anak Sekolah Dasar kelas rendah adalah intervensi yang spesifik
untuk membaca, menargetkan pelatihan kesadaran fonologis (phonemic
awareness), bimbingan literasi oleh guru di sekolah dan orang tua, dan

103
Professional Learning untuk Indonesia Emas

metode traditional flashcard drill and practice. Kerjasama yang perlu


yang perlu dibangun dalam menangani masalah kesulitan membaca
pada anak Sekolah Dasar kelas rendah adalah dari pihak guru dengan
orang tua. Jadi harus ada kerjasama dalam membimbing anak belajar
membaca.

Daftar Pustaka

Andriana, Elga. Problema Anak Usia Dini Berbasis Gender. Yogyakarta :


Penerbit Kanisius.
Boscardin,Christy K. And Bengt O. Muthen.Tanpa tahun.Early
Identification of reading Difficulties. Los Angeles: University of
California.
Bredekamp, Sue. (1987). Developmentally Appropriate Practice in Early
Childhood Programs Serving Children from Birth Through Age 8.
Washington,DC: National Association for the Education of
Young Children.
Briggs, A., Austin, R., & Underwood, G. (1984). Phonological coding
in good and poor readers. Reading Research Quarterly,20,5466.
Brown, A. L., Palincsar, A. S., & Purcell, L. (l986). Poor readers: Teach,
dont label. In U. Neisser (Ed.),The school achievement of minority
children: New perspectives (pp. 105143). Hillsdale, NJ: Erlbaum.
Bryne, B., & Fielding-Barnsley, R. (1991). Evaluation of a program
to teach phonemic awareness to young children. Journal of
Educational Psychology, 83, 451455.
Calhoon, M. B. (2005). Effects of a peer-mediated phonological skill and
reading comprehension program on reading skill acquisition
for middle school students with reading disabilities. Journal of
Learning Disabilities, 38, 424433.
Carver, R. P. (1997). Reading for one second, one minute, or one year
from the perspective of rauding theory. Scientific Studies of
Reading, 1, 343.
Clark, Eve V. Dan Herbert H. Clark. (1977). Psychology and Language.
New York : Harcourt Brace Jovanovich.
Conor, Carol M.dkk. (2014). Improving Reading Outcomes for Students with
or at Risk for Reading Disabilities: A Synthesis of the Contributions
from the Institute of Education Sciences Research Centers,hlm 1-78.

104
Tantangan Implementasi Professional Learning

Crain, William. (2011). Theories of Development Concepts and Application.


USA: Pearson.
Deliana, Sri M.,dkk. Permasalah anak TK. Jakarta : Depdikbud
Dehart, Ganie B.,dkk. (2004). Child Development its Nature and Course.
Boston : Mc Graw Hill.
Denton, Carolyn A.(2012). Childrens Learning Institute University
of Texas Health Science Center Houston : RTI For Reading
Difficulties in the Primary Grades : Some Answers ang Lingering
Question, 45(3): 232243.
DePorter, Bobbi dkk. (1999). Quantum Learning. Bandung : Kaifa.
Dhieni, Nurbiana. (.2008).Metode Pengembangan Bahasa. Jakarta : UT
Dzaldov, B.S., & Peterson, S. (2005). Book leveling and readers. The
Reading Teacher, 59, 222229.
Gail T. Gilon,Language, Speech, and Hearing Services in Schools,
The Efficacy of Phonological Awareness Intervention for Children
With Spoken Language Impairment April 2000, Vol. 31, 126-141.
doi:10.1044/0161-1461.3102.126 History: Received September 22,
1999; Accepted December 17, 1999
Gestwicki, Carol. (2007). Developmentally Appropriate Practice Curriculum
and Development in early Education. Australia : Thomson.
Gunarti, Winda,dkk.(2008). Metode Pengembangan dan Kemampuan
Dasar AUD. Jakarta: UT.
Hatcher, P. J., Goetz, K., Snowling, M. J., Hulme, C., Gibbs, S., & Smith,
G. (2006a). Evidence for the effectiveness of the Early Literacy
Support Programme. British Journal of Educational Psychology
(73), 351367. doi:10.1348/000709905X39170.
Hoover, W. A., & Gough, P. B. (1990). The simple view of reading.
Reading and Writing,2, 127160.
Humphreys, Alexandra H.(2013). Reading Difficulty Levels of Selected
Articles in the Journal of Research in Music Education and Journal
of Historical Research in Music Education. Volume 6.
Hurlock, Elizabeth B., (1991). Perkembangan Anak Jilid 1. Jakarta : PT.
Erlangga.
Iversen, S., & Tunmer, W. E. (1993). Phonological processing skills and
the reading recovery program. Journal of Educational Psychology,
85, 112126.

105
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Izzaty, Rita Eka. (2005). Mengenali Permasalahan Perkembangan Anak


Usia Dini. Jakarta : Depdiknas.
Kispal,Anne.(2008). Effective Teaching of Inference Skills for
ReadingLiterature Review. National Foundation for Educational
Research.
N. J. Smelser & P. B. Baltes (Eds.). (2001). International encyclopedia of the
social & behavioral sciences (pp. 12800-12805). Oxford: Pergamon.
Moats, Louisa, Committee Chair,Suzanne Carreker,Rosalie
Davis,Phyllis Meisel,Louise SpearSwerling,Barbara Wilson.
(2010). Knowledge and Practice Standards forTeachers of Reading.
International Dyslexia Association, Professional Standards and
Practices Committee.
Musthafa, Bachrudin. (2008). Dari Literasi Dini ke Literasi Teknologi.
Bandung : CREST.
Pinnell, Gay Su, Irene C. Fountas. Research Base for Guided Reading as
an Instructional Approach. www.scholastic.com/guidedreading.
Santrock, John W. (2007). Perkembangan Anak Jilid 1 dan 2. Jakarta :
Penerbit Erlangga.
Simpson, G. B., Lorsbach, T., & Whitehouse, D. (1983). Encoding and
contextual components of word recognition in good and poor
readers. Journal of Experimental Child Psychology, 35, 161171.
Snowling, Margaret J. and Charles Hulme.(2010). Evidence-based
interventions for reading and language difficulties: Creating a
virtuous circle. British Journal of Educational Psychology (2011),
81, 123
Tarigan, Henri G. (2009). Strategi Pengajaran dan Pembelajaran Bahasa.
Bandung : Angkasa.
__________ (2013). Membaca. Bandung : Penerbit Angkasa.
Torgesen,Joseph K.(2002). The Prevention of Reading Difficulties.
Journal of School Psychology, Vol. 40, No. 1, pp. 726.
Torgesen, J. K., & Mathes, P. (2000). A basic guide to understanding,
assessing, and teaching phonological awareness. Austin, TX: PRO-
ED.
Tzinivikou, Sotiria. (2002). Strengs and Weakness of Screening Reading
Difficulty. Departement of Early Chilhood Education, Greece.
Vellutino, Frank R. (2010), Learning to be Learning Disabled: Marie

106
ADAPTASI KURIKULUM PENDIDIKAN
INKLUSIF SISWA DENGAN HAMBATAN
SOSIAL EMOSIONAL DI SEKOLAH DASAR
Suharsiwi
Universitas Muhammadiyah Jakarta
Email: suharsiwisoeratman@gmail.com

Abstrack: Title this paper is curculum adaption in Inclusive


Education for children with Emotional Social disorder in
elementary school, is the result of description qualitative
research in elementary SD Semut-semut Depok. The aim of
research is to see how the efforts of primary teachers to adapt
the curriculum, with a focus on the difficulties faced by children,
how to make the curriculum adaptation, and what efforts
were made to overcome the problems of teachers in learning.
Handling children with special needs done in Learning Support
dpartemant (LSD), a unit that supports children with special
needs in play, practice, and interact with friends in SD Semut-
semut, so hopefully they can acquire a variety of skills to interact
with the surrounding environment. Children with emotional
social disruption there, have an IQ below average, difficulty
interacting, communicating and independence. They were in
the average grade is in regular classes between 50% s /d 75%,
most of the other time was in grade LSD, studying individually
or about 3-4 children. As seen from the curriculum adaptations
of existing capabilities in children, that will be developed, even
though these capabilities are still limited. While other abilities
are not developed, the teacher does not force a child to do so.
Children who are not yet able to adapt in the regular classroom,
the program is intended for them is to develop the social aspects
and debriefing of reading, writing, and counting for their
preparation in the regular classroom.

Keywords: Adaptation of curriculum, Learning Support


dpartemant (LSD).

107
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Pendahuluan
Upaya pemenuhan hak azasi anak berkebutuhan khusus (ABK)
untuk mengenyam pendidikan oleh berbagai pihak dirasakan masih
mengalami kendala, pelaksanaannya masih belum sepenuh hati.
Hal tersebut terlihat dari keberadaan ABK yang masih terbatas
penerimaannya di sekolah umum, padahal ide pendidikan inklusif
sudah lama dilontarkan oleh berbagai pihak dan pakar pendidikan.
Kita masih mendengar bahwa sebagian ABK masih memperoleh
pendidikan yang diskriminatif dan pengabaian, demikian juga belum
banyak masyarakat yang bisa menerima dengan baik keberadaan ABK
bersekolah bersama-sama anak-anak normal lainnya.
Kenyataan tersebut membuat sebagian Orang tua ABK
menjadi malu dan merasa rendah diri karena merasa ditolak oleh
lingkungannya, sehingga ada juga yang cenderung menyembunyikan/
tidak mempedulikan pendidikan buah hatinya, terlebih bagi orangtua
yang kondisi ekonominya miskin dan kurang mampu membiayai
sekolah anaknya. Slogan yang selalu dikedepankan adalah sekolah
untuk semua berarti semua seharusnya bisa sekolah, tetapi pada
kenyataannya tidak semua ABK bisa mendapatkan sekolah yang
memudahkan mereka melakukan penyesuaian sosial yang dapat
mencegah ABK dari perasaan rendah diri.
Bagi orangtua yang ingin ABK-nya dapat mandiri, masih cukup
sulit mendapatkan sekolah yang tidak diskriminatif seperti sekolah
inklusif, kalaupun ada, sekolah inklusif yang ideal masih jauh dari
harapan, akan tetapi seting sekolah inklusif ini merupakan hal yang
ideal bagi ABK untuk melakukan pengembangan program individual,
terutama bagi mereka yang mengalami masalah perilaku dan sosial
emosional seperti anak autis, ADHD. ADD dan gangguan perilaku
lainnya, sekolah inklusif memungkinkan mereka dapat berimitasi
dengan lingkungannya.
Anak ADHD dan ADD adalahAnak dengan gangguan pemusatan
perhatian dalam dunia kedokteran dikenal dengan terminologi ADD
(Attention - Deficit Disorder). Pada tahun 1980 Asosiasi Psikiater
Amerika Serikat menyarankan penggunaan terminology ADD sebagai
pengganti MOD (Minimal Brain Dysfunction). Sebelumnya, terminology
yang digunakan adalah brain injured ini selanjutnya dibagi menjadi
dua tipe yaitu ADHD (Attention-Dificit Hyperactivity Disorder) dan
ADD (Attention Deficit Disorder Without Hyperactivity) Dikemukakan
oleh Task Force on DSM-IV tahun 1991 yang dikutip oleh Azwandi
(2005:14).
Pada UUD 1945 pasal 31 (1) yaitu Tiap-tiap warga negara berhak
mendapat pengajaran. UU No.2 tahun 1989 pasal 5 dijelaskan bahwa

108
Tantangan Implementasi Professional Learning

setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk mernperoleh


pendidikan. Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan
kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat
manusia Indonesia, dalam upaya mewujudkan tujuan Nasional. (UUD
1945)
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003
bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan
manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan
bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti
luhur memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani
dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa
tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan. (UU RI No 20
tahun 2003) Berdasarkan hal itu negara memiliki kewajiban untuk
memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap
warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan
dalam kemampuan (difabel) yang disahkan pada Maret 2007 (Convention
on the Rights of Person with Disabilities and Optional Protocol, 2012).
Pada pasal 24 adalah salah satu kesepakatan Internasional
yang mendorong terwujudnya sistem pendidikan inklusif dalam
konvensi ini disebutkan bahwa setiap negara berkewajiban untuk
menyelenggarakan sistem pendidikan inklusif di setiap tingkatan
pendidikan. Adapun salah satu tujuannya adalah untuk mendorong
terwujudnya partisipasi penuh difabel dalam kehidupan masyarakat.
(Convention on the Rights of Person with Disabilities and Optional Protocol,
2012)
Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk
menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Tetapi
sistem pendidikan di Indonesia belum mengakomodasi keberagaman,
sehingga menyebabkan munculnya segmentasi lembaga pendidikan
yang berdasar pada perbedaan kemampuan baik fisik maupun mental
yang dimiliki oleh siswa. Dampaknya segmentasi lembaga pendidikan
ini telah menghambat para siswa untuk dapat belajar menghormati
realitas keberagaman dalam masyarakat. Selama ini anak-anak
yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel), disediakan fasilitas
pendidikan khusus disesuaikan dengan derajat dan jenis perbedaan
kemampuannya yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa (SLB).Sistem
pendidikan SLB telah membangun tembok eksklusifisme bagi anak-
anak berkebutuhan khusus. Tembok eksklusifisme tersebut selama
ini tidak disadari telah menghambat proses saling mengenal antara
anak-anak difabel dengan anak-anak non-difabel. Akibatnya dalam
interaksi sosial di masyarakat kelompok difabel menjadi komunitas
yang teralienasi (terasingkan) dari dinamika sosial di masyarakat.

109
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Masyarakat menjadi tidak akrab dengan kehidupan kelompok difabel.


Sementara kelompok difabel sendiri merasa keberadaannya bukan
menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di sekitarnya.
Slogan sekolah untuk semua yang sering didengungkan pakar
pendidikan, berarti semua bisa sekolah termasuk ABK bisa sekolah
bercampur dengan anak-anak normal, sistem pendidikan yang
mencampurkan ABK dengan anak normal adalah sistem pendidikan
inklusif yang harus menerapkan kurikulum adaptif. Hal ini juga yang
menandakan bahwa pendidikan tersebut menganut sistem berkeadilan
sosial yang berprinsip pada keseimbangan dan pemerataan hak serta
kewajiban bagi setiap warga Negara. Pemerataan tersebut berlaku
untuk semua warga negara, termasuk bagi mereka yang memiliki
hambatan belajar atau berkebutuhan khusus.

Pembahasan Hasil Penelitian


SD Semut-semut adalah sekolah inklusif yang memberikan
kepedulian pada anak-anak berkebutuhan khusus. Jumlah anak
berkebutuhan khusus di sana berjumlah sekitar 28 anak dengan
berbagai hambatan seperti tuna rungu, tuna grahita atau mental
retarded, speech delayed, kesulitan belajar, dan anak-anak dengan
hambatan sosial emosional seperti anak dengan kasus ADD/ ADHD
dan ASD. Adapun yang menjadi fokus penelitian kami adalah anak
dengan hambatan sosial emosional seperti anak ADD/ ADHD dan
ASD.
Berdasarkan data yang diperoleh oleh peneliti, bahwa anak-anak
dengan gangguang seosial emosional berjumlah 6 anak, selebihnya
adalah tuna rungu, tuna grahita atau mental retarded, speech delayed,
kesulitan belajar. SD Semut-semut adalah sekolah dengan setting
pendidikan inklusif, dengan memperhatikan kebutuhan individual
masing-masing anak sesuai kemampuannya.
Penanganan anak berkebutuhan khusus demikian pula dengan
anak yang mengalami gangguan emosi dan sosial ditangani oleh
Learning Support Departemant. Lerning Support Departemant adalah unit
yang mendukung anak-anak berkebutuhan khusus dalam bermain,
berlatih, dan berinteraksi dengan teman-temannya di SD Semut-
semut, sehingga diharapkan mereka dapat memperoleh berbagai
keterampilan untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar.
Learning Support Departemant adalah satu unit yang mendukung
anak-anak istimewa di Sekolah Semut-semut untuk bermain, berlatih,
belajar dan berinteraksi dengan teman-teman lainnya yang ada
di lingkungan Sekolah Semut-semut maupun lingkungan tempat
tinggalnya.

110
Tantangan Implementasi Professional Learning

LSD memiliki 11 guru pendamping yang melakukan


pendampingan di kelas ataupun di ruang LSD. LSD memiliki 2 (dua)
koordinator yang memimpin guru-guru pendamping di sekolah. Dua
koordinator terdiri dari ketua dan wakilnya yang memiliki background
pendidikan S1 Psikologi dan terapi okupasi. Mereka berdua memiliki
pengalaman menangani anak-anak di sekolah inklusif, membuat
program dan melakukan kegiatan terapi buat anak-anak berkebutuan
khusus.

Mekanisme penanganan anak dilakukan dalam beberapa hal yaitu:


a. Pengidentifikasian, yaitu kegiatan menemukenali anak-anak yang
terindikasi mengalami masalah dalam berinteraksi, mengenal
konsep, menerima pelajaran, berkomunikasi dan masalah-masalah
lain yang tidak dapat ditangani hanya dalam kelas biasa, namun
harus melakukan kegiatan penanganan di LSD. Informasi yang
didapat biasanya melalui orangtua dan observasi awal, namun
dapat juga dari informasi yang didapat dari guru setelah anak
masuk dan bersekolah ternyata baru terlihat memiliki masalah-
masalah dalam perkembangannya.
b. Melakukan Assesmen, kegiatan assesmen dilakukan untuk melihat
lebih rinci kemampuan dan masalah yang dihadapi anak berkaitan
dengan perilaku dan kemampuan awal anak. Kegiatan assesmen
melibatkan Guru koordinator, guru kelas, dan psikolog. Hasil
assesmen menjadi informasi yang berharga bagi guru koordinator
untuk membuat program untuk anak-anak. Target atau tujuan
disesuaikan dengan masalah yang dihadapi anak-anak. Khusus
untuk anak-anak yang memiliki masalah perilaku dan gangguan
emosional, maka program yang dilakukan adalah mengembangkan
kemampuan sosial dan interaksinya dengan lingkungan. Anak
dilatih untuk mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya,
tanpa harus berupa kemampuan akademik. Tujuannya bukan
prestasi akademik melainkan kompetensi lain yang bernilai yang
dapat dibanggakan.
c. Program IEP, adalah program individual agar siswa mendapatkan
perlakuan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Program
IEP dibuat oleh guru pendamping dengan mendapat arahan dari
guru koordinator. Informasi pembuatan program IEP juga dari
guru kelas dan kepala sekola yang memahami kurikulum TK dan
SD sesuai jenjangnya. Program IEP kemudian dilaksanakan oleh
guru pendamping dibantu oleh guru kelas.
d. Kegiatan kelas, anak-anak berkebutuhan khusus termasuk anak-
anak dengan gangguan perilaku dan emosi, masuk dalam kegiatan

111
Professional Learning untuk Indonesia Emas

kelas seperti anak-anak lainnya dan juga melakukan kegiatan


sebagian waktunya di LSD.
e. Kegiatan pengembangan, yaitu kegiatan buat anak-anak yang
tujuannya mengembangkan potensi anak yang lain bukan pada
kejaran prestasi akademik. Kegiatan tersebut berupa kegiatan olah
tubuh seperti senam, berenang, bersepeda, wiraga(menari). Ada
juga berupa kegiatan kesenian, seperti seni Musik vokal, angklung,
perkusi, biola dan kegiatan Seni Rupa berupa Art, serta kegiatan
life skill yaitu AKS, Citra rasa kuliner, gardening, computer.

Bagaimana bentuk kesulitan anak gangguan sosial-emosional?


Anak-anak berkebutuhan khusus yang bersekolah di SD Semut-
semut rata-rata mengalami masalah hambatan intelektual dengan
IQ di bawah rata-rata yaitu antara 80 40. Anak dengan gangguan
sosial emosional, secara umum mengalami masalah kurang dapat
berinteraksi dengan teman dan guru. Masih fokus pada diri sendiri,
mudah frustasi, kurang dapat mengendalikan emosinya saat frustasi,
melakukan kebiasaan-kebiasaan a sosial seperti mengambil makanan
orang lain tanpa izin, berbicara sendiri tanpa tujuan, tersenyum
sendiri, melamun, berteriak dan acuh saja pada orang yang menegur
atau berdiri di dekatnya.
Secara fisik mereka tidak memiliki masalah, rata-rata mereka sehat
dan cukup asupan gizinya. Setiap hari mereka membawa snack dan
makan siang sendiri, walau ada juga beberapa yang menggunakan
fasilitas catering dari sekolah. Anak-anak yang mengalami gangguan
sosial emosional, dikarenakan adanya gangguan autisme, ADHD,
ADD dan ada yang dikarenakan masalah pola asuh. Meski mereka
sering memperlihatkan perilaku yang menarik diri dari lingkungan
dan asyik dengan dirinya, seperti anak autis, namun rata-rata mereka
jarang melakukan tindakan agresif yang dapat melukai orang lain.
Kadang mereka juga merajuk atau menangis karena sebab tertentu
atau marah, namun masih bisa dikendalikan oleh guru kelas, ataupun
guru pendampingnya.
Selain masalah interaksi dan keterampilan sosial lainnya, anak-
anak dengan gangguan sosial emosional, juga mengalami masalah
penerimaan dalam pelajarannya. Beberapa mereka dapat mengikuti
pelajaran tertentu, namun beberapa pelajaran tidak dapat diterimanya
dan membutuhkan modifikasi dalam kurikulumnya, seperti keluasan
materi, tingkat kesulitan dan cara mengajarkannya.

112
Tantangan Implementasi Professional Learning

Dalam hal komunikasi, mereka juga mengalami masalah sehingga


kurang memahami apa yang dibicarakan oleh teman-temannya.
Kebanyakan mereka belum dapat bermain bersama teman-teman
di kelasnya, terbatas pada teman-teman yang ada di LSD. Mereka
membutuhkan arahan dan bimbingan agar dapat bersikap yang
diterima oleh teman-temannya. Konsentrasi mereka juga sering
tidak fokus dan mudah terganggu, juga sering melakukan hhal-hal
yang tidak perleu, seperti memukul-mukul pensil ke meja, berjalan
mondar-mandir, bermain crayon, pensil, menggambar atau hal lain di
luar kegiatan yang diminta.

Bagaimana model adaptasi kurikulum yang diterapkan?


Model adaptasi kurikulum yang diterapkan masih belum
sepenuhnya menggunakan model pendidikan inklusif. Anak
berkebutuhan khusus di semut-semut rata-rata berada di kelas reguler
antara 50% s/d 75 % , sebagian waktu lainnya adalah di kelas LSD,
belajar secara individual atau sekitar 3 4 anak.
Adapun adaptasi kurikulum dilihat dari kemampuan yang ada
pada anak, itulah yang akan dikembangkan, meski kemampuan
tersebut masih terbatas. Sementara kemampuan-kemampuan lain
yang belum berkembang, guru tidak memaksakan anak untuk
melakukannya. Anak-anak yang memang belum dapat beradaptasi
di kelas reguler, maka program yang diperuntukkan untuk mereka
adalah mengembangkan aspek-aspek sosial dan pembekalan calistung
untuk persiapan mereka di kelas reguler.
Adapun contoh program individual adalah sebagai berikut :

113
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Program Pembelajaran Individual


Periode Januari Maret 2014

Identitas Siswa
Nama : CP (Inisial)
Kelas : 5
Jenis Kelamin : Perempuan
Gambaran Umum :

Dalam kesehariannya Lesti terlihat ceria, riang, dan berseman-


gat. Juga ramah dan sopan terhadap teman, kakak kelas, mau-
pun guru. Lesti merupakan anak yang murah hati. Ia sering
berbagi makanan dengan teman lain. Tak jarang berbagi pula
dengan guru di kelasnya.
Lesti masih perlu diberikan pemahaman dan juga contoh ten-
tang bagaimana cara bersikap agar dapat disukai oleh teman-
temannya yang lain, Lesti perlu banyak berlatih untuk dapat
fokus dengan pekerjaannya, tidak terlalu banyak melakukan
hal-hal lain yang tidak perlu, seperti bermain pensil, sibuk
menggambar, ataupun hal lain di luar materi pelajaran.
Perlu intruksi berulang, masih perlu penguatan untuk bisa
fokus dan memperhatikan. Kepercayaan diri Lesti perlu di mo-
tivasi. Membaca merupakan

Bagaimana pelaksanaan program kegiatan pembelajaran ABK di


sekolah inklusif?
Adapun program kegiatan LSD adalah sebagai berikut : Program
Terapi, Program IEP, Program Remedial, Program KBI Kecil dan
KBI Besar, dan Program Pengembangan. Program terapi tidak
diwajibkan oleh semua anak dan merupakan pilihan bagi orangtua.
Rata-rata mereka memang masih mengikuti terapi, namun ada yang
melakukannya di luar sekolah dan setelah mereka pulang sekolah.
Waktu terapi dilakukan setelah anak selesai jam sekolahnya, namun
ada juga siswa di luar Sekolah semut-semut yang mengikuti program
terapi dan biasanya mereka lakukan sebagai persiapan untuk masuk
ke sekolah semut-semut.
Mengingat peminat siswa ke sekolah semut-semut cukup
banyak, maka siswa baru dikenakan waiting list, demikian juga anak
berkebutuhan khusus. Anak-anak berkebutuhan khusus yang belum
dapat masuk, dapat ikut dalam kegiatan di LSD. Program terapi di

114
Tantangan Implementasi Professional Learning

LSD adalah Terapi Okupasi, Motorik Halus, SI, Behavior, AKS, dan
Terapi Wicara. Program terapi dijalankan oleh 2 koordinator LSD.
Program IEP, dilaksanakan oleh LSD dengan melibatkan
koordinator, wali kelas dan guru pendamping. IEP adalah kepanjangan
dari Individual Educational Program, atau dimaksudkan sebagai
program pendidikan individual. IEP adalah program yang dirancang
untuk memfasilitasi kebutuhan anak berkebutuhan khusus mengingat
kemampuan mereka tidak bisa disamakan dengan usia kronologisnya,
baik berkaitan dengan kemampuannya maupun gaya belajarnya dan
juga disesuaikan dengan karakteristik kebutuhannya yang istimewa.
Program Remedial, adalah program pembelajaran yang bersifat
pengulangan dan diperuntukkan bagi mereka yang membutuhkan
pengulangan materi dan tidak cukup dengan apa yang disampaikan
di kelas regulernya. Program remedial, disesuaikan dengan materi apa
yang diperlukan siswa untuk dilakukan remedial. Sehingga masing-
masing anak akan berbeda dan bersifat individual. Kegiatan remedia
dilakukan di ruang LSD, dan dilakukan oleh guru pendampingnya.
Program KBI Kecil dan KBI Besar, adalah singkatan dari Program
kelas Bintang Indonesia. Program tersebut terdiri dari KBI Kecil
yaitu program persiapan dimana siswa berada di kelas LSD yang
mempersiapkan anak-anak berkebutuhan khusus untuk masuk di kelas
reguler bersama anak-anak lainnya. Program persiapan disesuaikan
dengan kebutuhan anak sebagai bentuk bekal mereka masuk ke kelas
regulernya. Kelas persiapan masuk ke kelas reguler bukan berdasarkan
kematangan secara akademis, namun dilihat umur dan quota di kelas
regulernya, mengingat ada ketentuan dan pertimbangan lain di dalan
satu kelas reguler ada berapa anak berkebutuhan khusus.
KBI besar merupakan program yang dilakukan pada akhir semester
1 atau semester 2 dan diperuntukan untuk melatih kemampuan
beradaftasi terhadap orang dewasa baru dan teman-teman kecil kelas
reguler untuk mendapatkan tauladan yang lebih baik. Prioritas utama
bukan nilai atau hasil akhir, melainkan proses dimana teman-teman
KBI dapat mengembangkan atau terstimulasi perkembangan mereka
dari berbagai macam aspek.
Program Pengembangan dibagi dalam berbagai kategori yaitu :
Mampu didik: teman-teman yang dapat mengikuti materi
pelajaran dikelas reguler, sesuai dengan kompetensi siswa
Mampu latih: teman-teman yang tidak dapat mengikuti materi
pelajaran dikelas reguler
Teman kecil istimewa dapat dikatakan mampu didik atau
mampu latih berdasarkan :

115
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Kategori ini dilihat dari hasil evaluasi belajar yang sudah berjalan
dan juga hasil Tes IQ anak. Program pengembangan yaitu kegiatan
Olah tubuh : Olah raga, berenang, bersepeda, wiraga(menari), Seni
Musik : vokal, angklung, perkusi, biola , Seni Rupa: Art dan Life Skill :
AKS, Citra rasa kuliner, gardening, computer.

Penutup
Maraknya kepedulian sekolah untuk menerima anak berkebutuhan
khusus memang harus dibarengi dengan semangat untuk memberi
bantuan kepada mereka dengan cara yang tepat Banyak model yang
dilakukan sekolah dalam melakukan modifikasi kurikulum untuk tiap
anak dengan memperhatikan kebutuhan, keunikan dan kekuatannya.
Adaptasi kurikulum yang dilakukan di SD Semut-semut dapat
menjadi salah satu model penanganan anak berkebutuhan khusus
di Sekolah Dasar. Adaptasi kurikulum yang dilakukan di sekolah,
telah menjadi sistem yang cukup signifikan dalam mengembangkan
kemampuan individu anak dengan gangguan sosial emosional di SD
Semut-semut.
Mengingat ini adalah sebuah penelitian kualitatif, yang tidak
bisa di generalisasi, namun ke depan diharapkan dapat menjadi awal
untuk penelitian lebih lanjut seperti riset pengembangan model atau
eksperimen, untuk bagaimenjadikan adaptasi kurikulum sebagai
sebuah model yang dapat di lakukan di Sekolah-sekolah dasar di
Indonesia baik Negeri maupun Swasta.
Keterlibatan pemerintah, orangtua, masyarakat sangat penting
dalam mewujudkan pendidikan inklusif yang ramah untuk semua,
juga mengembangkan system pendidikan yang dapat memberi jalan
keluar bagi pendidikan anak berkebutuhan khusus dimanapun berada.
Pemerintah, sebagai pembuat kebijakan, dapat berkontribusi
baik moril dan meteriil, dan pro pada peningkatan pendidikan anak-
anak berkebutuhan khusus di Indonesia. Membuat kebijakan pada
sistem kurikulum anak berkebutuhan khusus dalam setting inklusif,
bagaimana pelaksanaan ujian nasional dan hal-hal yang berkaitan
dengan kebijakan lainnya.

116
Tantangan Implementasi Professional Learning

Daftar Pustaka

Beauchamp, George A.. Curriculum Theory. Willmette, Illionis: The


KAAG Press. 1968.
Bogdan, Robert C. Qualitative Research for Education, An Introduction to
Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacond, 1992.
Daley, Cook.Klein.Tesser..AdaptingEarly Childhood Curricula For
Children in Inclusive Setting. New Jersey:Pearson Merril Prentice,
2004
Denis & Ny, Enrica., Inklusif, 2006
Gagne, R.M. & Harlen. Principles of Instructional Design. New
York: Rinehort and Winston, 1990.
Hall, G.E. & Jones, H.L. Competency-based education: A process for the
improvement of education. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall,
Inc, 1976.
Hallahan & Kauffman. Exceptional Children (Introduction to Special
Education). London: Prentice Hall, 1988.
Hidayat..Model Pembelajaran Yang Ramah Bagi Semua Anak Dalam Seting
Inklusif. Purwokerto: Seminar Nasional yang diselenggarakan
oleh SD Al Irsyad Al Islamiyyah 02 Purwokerto, 2009
Katalog Dalam Terbitan (KDT). UUD1945. Jakarta: Visi Media, 2007.
Lawrence, Grayson. On a Methodolog for Curriculum Design, Engineering
Education. 1978.
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 78. Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. 2003.
Moleong, Lexy J.. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT
Remaja Rosda Karya. 2000.
Muhajir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake
Sarasin. 2000.
Robert M, Smith dkk, The Exceptional child : a functional approach, New
York: McGraw-Hill, 1975
Spradley, James HAL. Participant Obsevation, New York : Holt, Rinehart
and Windson, 1980.
Stainback, W. & Stainback, S...Support networks for inclusive schooling:
Interdependent integrated education. Baltimoe: Paul H. Brookes,
1990

117
MENGENAL SCHOOL REFUSAL;
MENGAPA ANAK MENOLAK BERSEKOLAH?

Fatkhul Arifin
Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung
Email: ikayiep@gmail.com

Abstrak: Seorang anak yang telah mencapai usia sekolah,


kehidupan rumah yang ia jalani digantikan dengan kehidupan
sekolah. Pertama kali anak mungkin menghadapi kesulitan dalam
beradaptasi dengan orang-orang yang ada di sekolah, tetapi jika
ditangani oleh para pendidik yang baik, kesulitan beradaptasi
tersebut dapat diatasi dengan cepat. School refusal adalah masalah
emosional yang dimanifestasikan dengan ketidakinginan anak
untuk menghadiri sekolah dengan menunjukkan simptom
fisik, yang disebabkan karena kecemasan berpisah dari orang
terdekat, karena pengalaman negatif di sekolah atau karena
punya masalah dalam keluarga. Keterlibatan orang tua dan guru
merupakan faktor dalam penanganan masalah school refusal.

Kata kunci : school refusal, pengalaman tidak menyenangkan,


anak

Pendahuluan
Sekolah merupakan sarana pendidikan yang bertujuan untuk
menyempurnakan perkembangan jasmani dan rohani anak. Masuk
sekolah pertama kali bagi anak merupakan sebuah langkah maju
dalam kehidupannya. Peristiwa ini dapat menjadi suatu peristiwa
yang menegangkan, menakjubkan, menakutkan, menyenangkan atau
menimbulkan rasa asing bagi anak (Sukadji, 2000). Sekolah dasar
adalah jenjang paling dasar pada pendidikan formal di Indonesia.
Selain itu Sekolah Dasar merupakan jenjang pendidikan yang paling
penting keberadaannya karena proses dimulainya seseorang dalam
menempuh dunia pendidikan diawali dari jenjang sekolah dasar.
Siswa tidak dapat melanjutkan pendidikannya ke SLTP dan SLTA
tanpa menyelesaikan pendidikan dijenjang Sekolah Dasar.
Saat seorang anak yang telah mencapai usia sekolah, kehidupan

118
Tantangan Implementasi Professional Learning

rumah yang ia jalani digantikan dengan kehidupan sekolah. Pertama


kali anak mungkin menghadapi kesulitan dalam beradaptasi dengan
orang-orang yang ada di sekolah, tetapi jika ditangani oleh para
pendidik yang baik, kesulitan beradaptasi tersebut dapat diatasi
dengan cepat (Mahfuzh, 2001). Beban-beban emosional tertentu yang
dirasakan anak ketika menginjakkan kaki pertama kali di lingkungan
sekolah seperti rasa cemas atau takut akan berpotensi menghalangi
anak untuk berangkat ke sekolah dan bila dibiarkan, maka akan
menimbulkan beberapa tingkah laku yang tidak normal, yang salah
satunya adalah school refusal.

Pembahasan
Pengertian School Refusal
School refusal atau penolakan sekolah mengacu pada gangguan
emosional yang dialami anak dalam hal kehadiran di sekolah. Anak-
anak yang menolak sekolah biasanya tidak terlibat dalam perilaku
antisosial yang berhubungan dengan pembolosan, seperti berbohong,
mencuri atau merusak properti. Sebagian besar anak-anak kadang-
kadang enggan untuk pergi ke sekolah atau memiliki beberapa
kecemasan tentang kegiatan sekolah.
Selain itu, pengertian School Refusal adalah masalah emosional
yang serius yang dihubungkan dengan akibat jangka pendek dan
akibat jangka panjang yang signifikan (Fremont, 2003). Pendapat lain
mengemukakan bahwa school refusal adalah masalah emosional yang
dimanifestasikan dengan ketidakinginan anak untuk menghadiri
sekolah dengan menunjukkan symptom fisik, yang disebabkan karena
kecemasan berpisah dari orang terdekat, karena pengalaman negatif
di sekolah atau karena punya masalah dalam keluarga. Seorang anak
dikatakan mengalami school refusal jika anak tersebut tidak mau
pergi ke sekolah atau mengalami distres yang berat berkaitan dengan
kehadiran di sekolah. Anak yang mengalami school refusal merasa
tidak nyaman karena perasaan cemas terhadap sesuatu yang berkaitan
dengan sekolah sehingga mereka dapat kehilangan kemampuan
untuk menguasai tugas-tugas perkembangan pada berbagai tahap
pada masa perkembangan mereka (Davison, John & Ann, 2006).
Menurut Nicole Setzer Ph.D dan Amanda Salzhauer, C.S.W
(Setzer, 2001) ada beberapa tingkatan school refusal dari yang tingkatan
yang ringan sampai yang berat, yaitu: 1) Initial school refusal behaviour,

119
Professional Learning untuk Indonesia Emas

2) Substantial school refusal behavior, 3) Acute school refusal behavior dan


4) Chronic school refusal behavior.
Pada hasil penelitian Rini (2006) di tiga sekolah dasar yang berada
di Surakarta, anak-anak yang ingin memasuki usia sekolah lebih
banyak mengalami substantial school refusal behavior (sikap penolakan
sekolah yang berlangsung selama minimal 2 minggu) yang berkisar
sekitar 65% (anak perempuan 40% dan anak laki-laki 25%). Anak
yang mengalami Acute school refusal behavior (sikap penolakan sekolah
yang bisa berlangsung 2 minggu hingga 1 tahun, dan selama itu anak
mengalami masalah setiap kali hendak berangkat sekolah) berkisar
sekitar 35% (anak perempuan 17,5% dan anak laki-laki 17,5%). School
refusal behavior adalah perilaku penolakan sekolah yang terjadi pada
anak saat waktu sekolah tiba. Sedangkan menurut Arjana (2006)
penolakan untk bersekolah dapat dibedakan dalam beberapa jenis,
yaitu tipe ringan (tak masuk sekolah dalam kurun waktu beberapa
hari), tipe sedang (tak masuk sekolah dalam waktu satu minggu), dan
tipe berat (hampir setiap hari tak sekolah dalam kurun waktu tiga
minggu).
Penolakan sekolah adalah masalah serius yang memerlukan
penanganan dari awal. Ketika seorang anak absen yang berkepanjangan
berarti bahwa anak-anak kehilangan bagian penting dari kurikulum,
yang merugikan pembelajaran dan perkembangan mereka. Anak-
anak yang bolos sekolah sebagai akibat dari penolakan mungkin
juga menghadapi masalah jangka panjang. Beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa penolakan sekolah dapat memberikan kontribusi
untuk masalah kesehatan mental, masalah emosional dan sosial, keluar
sekolah di kemudian hari.

Karakteristik Siswa yang Mengalami Masalah School Refusal


Beberapa karakteristik umum siswa yang mengalami masalah
School Refusal karena alasan emosional bervariasi, diantaranya
meliputi:
1) Kecemasan Berpisah (Separation anxiety) Anak yang menolak
sekolah karena kecemasan berpisah khawatir tentang
keselamatan dan takut sesuatu yang buruk akan terjadi pada
siswa. Umumnya anak-anak mengeluh pada saat pergi ke
sekolah dan terlibat perdebatan dipagi hari sebelum berangkat
sekolah, hal ini biasanya dilakukan anak dengan menangis,

120
Tantangan Implementasi Professional Learning

berteriak, menendang, atau melarikan diri.


2) Kecemasan kinerja (Performance anxiety). Biasanya anak
yang mengalami kecemasan ini dikarenakan karena mereka
memiliki masalah ketidak mampuan anak dalam melakukan
sesuatu yang ditugaskan oleh gurunya. Hal ini menimbulkan
anak menjadi malas ke sekolah karena takut ditunjuk oleh
gurunya untuk melakukan hal yang ditugaskan tersebut.
Selain itu, pada saat mereka tidak bisa melakukan hal yang
tidak mampu dilakukan, teman sekolah akan memberikan
cibiran negative, ini yang menimbulkan anak merasa minder
dan tidak percaya diri.
3) Kecemasan sosial (Social anxiety). Beberapa siswa mungkin
merasa kecemasan sosial atau khawatir tentang interaksi
sosial dengan teman sebaya dan / atau guru. Mereka tidak
nyaman dalam situasi sosial dan mungkin takut bersosialisasi
dengan teman di sekitarnya.
4) Kecemasan umum (Generalized anxiety). Beberapa siswa
memiliki kecenderungan untuk melihat lingkungan luar
sebagai ancaman dan memiliki kekhawatiran umum tentang
sesuatu yang buruk terjadi. Mungkin anak tersebut juga
memiliki ketakutan tertentu terhadap bencana seperti tornado
atau perang.
5) Depresi (Depression). Beberapa siswa mengalami depresi
dan kecemasan atau keduanya, termasuk gejala kesedihan,
kurangnya minat dalam kegiatan, kesulitan tidur, perasaan
lelah, merasa tidak berharga, perasaan bersalah, dan mudah
tersinggung. Gejala yang sangat serius dari depresi adalah
bunuh diri. Seorang anak yang mempunyai gejala depresi
yang serius harus segera dikonsultasikan dengan pihak yang
terkait, karena dapat membahayakan diri sendiri dan orang
lain.
6) Intimidasi (Bullying). Beberapa siswa takut ditindas
oleh temannya. Anak yang mengalami hal tersebut ingin
menghindari sekolah karena mereka merasa situasi di sekitar
mereka sudah tidak nyaman. Secara fisik mereka merasa
terancam, tertindas, atau ditinggalkan oleh anak-anak lain.
7) Masalah kesehatan (Health-related concerns). Beberapa siswa
memiliki keluhan fisik. Dokter dan perawat sekolah dapat

121
Professional Learning untuk Indonesia Emas

membantu orang tua dan staf sekolah dalam menentukan


apakah seorang anak memiliki fisik yang baik atau masalah
jika terkait dengan kecemasan.

Dalam suber lain, tingkah laku school refusal dapat dilihat dari
satu atau kombinasi dari beberapa karakteristik (Kearney, 2001), yaitu
: a) Absen dari sekolah, menolak pergi ke sekolah, tidak mau pergi
ke sekolah, b) Hadir di sekolah tapi kemudian meninggalkannya
sebelum jam sekolah usai, c) Hadir di sekolah tapi menunjukkan
tingkah laku yang tidak diharapkan, dari tingkah laku menyendiri,
tidak ingin pisah dari figure attachment-nya (orang terdekat), agresif,
tidak kooperatif sampai temper tantrum (rewel dan mengamuk), dan
d) Mengemukakan keluhan fisik dan keluhan lain (di luar keluhan
fisik) dengan tujuan agar tidak pergi ke sekolah.
Ketika anak memasuki dunia sekolah, anak mulai dituntut dan
kadangkala menuntut dirinya agar selalu berbuat sebaik mungkin dan
menyesuaikan dirinya dengan standar tingkah laku tertentu. Standar
tingkah laku tersebut dipandang sesuai dengan tuntutan guru/
sekolah, orang tua maupun teman. Adakalanya anak tidak dapat
memenuhi tuntutan yang dikenakan kepada mereka atau berkaitan
dengan kegiatan belajar, terutama dalam hal prestasi akademik..
Keadaan ini menimbulkan tekanan pada anak dan dapat menjadi
pemicu timbulnya masalah dalam kegiatan belajar dan proses belajar
anak, antara lain menghindari atau menolak pergi ke sekolah. Perilaku
tersebut juga digolongkan sebagai School Phobia atau School Refusal.
Anak yang mengalami School Refusal menunjukkan penolakan untuk
hadir di sekolah dengan cara mengungkapkan berbagai keluhan fisik
dalam upaya menyakinkan orang tua agar dirinya diijinkan tetap
tinggal di rumah. Misalnya: sakit kepala, sakit perut, sakit tenggorokan,
diare, muntah, dan sebagainya. Disamping itu mereka sering pula
mengungkapkan keluhan sehubungan dengan keadaan-keadaan di
sekolah yang dirasa tidak nyaman bagi mereka dan membuat mereka
menolak ke sekoIah. Misalnya: guru yang galak, tugas-tugas terlalu
sukar atau terlalu mudah, teman-teman yang tidak menyenangkan,
dan lain-lain.
Pada umumnya school refusal disebabkan oleh dua hal mendasar,
yaitu (1) pola asuh orang tua yang menimbulkan kecemasan berpisah
(separation anxiety) pada anak, dan (2) adanya peristiwa-peristiwa

122
Tantangan Implementasi Professional Learning

pencetus yang dapat menimbulkan kecemasan anak untuk berada di


sekolah ataupun berada terpisah dari orang tua. Penyebab terjadinya
school refusal bervariasi, Setzer & Salzhauer (2006) menyebutkan empat
alasan untuk menghindari sekolah yaitu: (1) untuk menghindari
objek objek atau situasi yang berhubungan dengan sekolah yang
mendatangkan distress; (2) untuk menghindar dari situasi yang
mendatangkan rasa tidak nyaman baik dalam interaksi dengan sebaya
atau dalam kegiatan akademik; (3) untuk mencari perhatian dari
significant others di luar sekolah; dan (4) untuk mengejar kesenangan
di luar sekolah.

Penanganan Bagi Anak yang Mengalami Masalah School Refusal


Berdasarkan Jurnal Psikologi Undip Vol. 11, No.1, April 2012
berjudul School Refusal Pada Anak Sekolah Dasar yang ditulis oleh Nazwa
Manurung, penanganan pada anak-anak yang mengalami school refusal
harus ditujukan untuk mengembalikan mereka ke sekolah seawal
mungkin (Fremont, 2003). Penanganan yang efektif sebaiknya segera
dilakukan untuk mencegah permasalahan-permasalahan yang akan
timbul di kemudian hari, sehingga school phobia harus ditangani sedini
mungkin (Hogan, 1996). Dalam Fremont (2003 ) disebutkan bahwa
pilihan tritmen antara lain meliputi edukasi dan konsultasi, pendekatan,
perilaku, intervensi yang melibatkan keluarga, dan mungkin juga
dengan cara farmakoterapi. Selain itu keterlibatan orang tua dan guru
merupakan faktor yang membantu untuk mencapai tritmen yang
efektif. Personil yang ada di sekolah sebaiknya merupakan orang
pertama yang dilibatkan dalam menangani permasalahan.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan orangtua terhadap anak
yang memiliki masalah school refusal, yaitu menekankan pentingnya
bersekolah, berusaha untuk tidak menuruti keinginan anak untuk
tidak sekolah, konsultasikan masalah kesehatan anak pada dokter,
bekerjasama dengan guru kelas atau asisten lain di sekolah, luangkan
waktu untuk berdiskusi atau berbicara dengan anak, lepaskan anak
secara bertahap, dan konsultasi pada psikolog atau konselor jika
masalah terjadi. Anak yang mengalami school refusal masih bisa
terus sekolah asalkan orangtua dan guru mau bekerjasama untuk
mengetahui penyebabnya dan membantu anak yang mengalami school
refusal untuk dapat mengatasi masalahnya, yaitu dengan menjalin
komunikasi untuk mengetahui perkembangan anak baik di sekolah

123
Professional Learning untuk Indonesia Emas

maupun di rumah, sehingga masalah yang dihadapi anak, khususnya


school refusal dapat segera diketahui dan dapat pula dengan segera
diatasi bersama.

Penutup
Masalah school refusal sering muncul ketika anak pertama kali
memasuki sekolah. Seorang anak yang telah mencapai usia sekolah,
kehidupan rumah yang ia jalani digantikan dengan kehidupan sekolah.
Pertama kali anak mungkin menghadapi kesulitan dalam beradaptasi
dengan orang-orang yang ada di sekolah, tetapi jika ditangani oleh
para pendidik yang baik, kesulitan beradaptasi tersebut dapat diatasi
dengan cepat.

Daftar Pustaka

Davison, G. C., John, M. N., & Ann, M. K. (2006).Psikologi abnormal


(Edisi ke-9). Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada.
Kearney, C. A. (2001).School Refusal Behavior In Youth A Functional
Approach To Assessment And Treatment Washington, DC:
American Psychological Association.
Nazwa, Manurung. School Refusal pada Anak Sekolah Dasar. Jurnal
Psikologi Undip Vol. 11, No.1, April 2012.
Mahfuzh, S M J. (2001). Psikologi Anak dan Remaja Muslim. Jakarta
:Pustaka Al-Kautsar
Sukadji,S.(2000). Psikologi pendidikan dan psikologi sekolah. Depok:
Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan
Psikolog (L.P.S.P3.) Fakultas Psikolog Universitas Indonesia.
Jurnal Psikologi Undip Vol. 11, No.1, April 2012 berjudul School Refusal
Pada Anak Sekolah Dasar yang ditulis oleh Nazwa Manurung
http://www.nasponline.org/families/schoolrefusal.pdf

124
3
PEMBELAJARAN
INTEGRATIF
BERBASIS SOFT SKILL
DAN HARD SKILL
Professional Learning untuk Indonesia Emas

126
PEMBELAJARAN GOTONG ROYONG INOVATIF
BERBASIS SOFT SKILL DAN HARD SKILL UNTUK
MEWUJUDKAN INDONESIA EMAS

Zaenul Slam
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Email : zaenul_slam@yahoo.com

Abstract: This study is based on the fact that the implementation


of the teaching for all subjects is less on student centre and it has
not developed hard skill and soft skill yet. The main of this study
are (1) inovation of cooperative learning based on hard skill
and soft skill to aim the Indonesian Gold, (2) hard skill and soft
skill are as the result of the instructional effect and nurturant
effect from innovation of cooperative learning. This learning can
enhance the result of studentslearn and students social skill. So,
hard skill and soft skill can be developed by the innovation of
cooperative learning for the vision of Indonesian Gold 2045, the
glory of moral, spiritual and economic for all nation dimension

The keyword : inovation of cooperative learning, hard skill, soft


skill, Indonesian Gold

Pendahuluan
Salah satu di antara masalah besar dalam bidang pendidikan di
Indonesia yang banyak diperbincangkan dalam berbagai seminar dan
pertemuan ilmiah adalah rendahnya mutu pendidikan yang tercermin
dari rendahnya pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) dan
kemampuan mengelola diri termasuk karakter dan orang lain (soft
skill). Masalah lain adalah bahwa pendekatan dalam pembelajaran
masih terlalu didominasi peran guru (teacher centered). Guru lebih
banyak menempatkan peserta didik sebagai objek dan bukan sebagai
subjek didik. Pendidikan kita kurang memberikan kesempatan kepada
peserta didik dalam berbagai mata pelajaran, untuk mengembangkan
potensi-potensi peserta didik memiliki kemampuan berpikir holistik
(menyeluruh), kreatif, objektif, dan logis, belum memanfaatkan
quantum learning sebagai salah satu paradigma menarik dalam
pembelajaran, serta kurang mengembangkan hard skill dan soft skill
dalam pembelajaran secara terpadu sebagai hasil belajar.

127
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Seperti dinyatakan oleh Indrajati (2001: 27), sebagian besar suasana


pembelajaran di kelas yang digunakan para guru masih analog
dengan menabung. Dengan paradigma pembelajaran seperti ini,
peserta didik hanya disiapkan untuk mendengarkan, mau menerima
seluruh informasi, dan mentaati segala peraturan gurunya yang
mengakibatkan mereka tidak memiliki keberanian mengemukakan
pendapat, tidak kreatif, tidak mandiri apalagi untuk berpikir inovatif
dan problem solving. Budaya dan mentalitas peserta didik seperti ini
berkorelasi dengan low outcome learning quality, yaitu budaya dan
mentalitas masyarakat secara luas yang belum bisa mandiri, dan
rendahnya daya saing Sumber Daya Manusia (SDM), dan mulai
kehilangan niat untuk mematuhi hukum seperti mentaati peraturan
yang paling sederhana, yaitu peraturan lalu lintas.
Selain menggunakan metode gaya menabung sepertinya para
guru sering pula menggunakan metode pembelajaran dengan sistem
persaingan, misalnya dalam mengerjakan soal-soal Lembar Kerja Siswa
(LKS). Nasution (2004: 147-148) mengemukakan beberapa keburukan
pembelajaran dengan sistem persaingan, yaitu: Pertama, peserta didik
melakukan persaingan dengan tujuan memperoleh angka atau pujian
perorangan. Mereka belajar semata-mata didorong oleh motivasi
ekstrinsik dan kepentingan perseorangan saja. Kedua, persaingan
dapat menimbulkan perselisihan dan pertengkaran dalam kelas yang
memburukkan hubungan antara peserta didik. Tujuan mengalahkan
lawan dan memperoleh kemenangan untuk sendiri merusak suasana.
Ketiga, yang menang dalam persaingan merasa dirinya terpandai dan
menganggap orang lain bodoh. Dampak negatifnya timbul gejala-
gejala superioritas padanya. Mereka merasa lebih dan orang lain
lemah. Sifat ini merusak pribadi anak itu sendiri. Keempat, peserta
didik yang kalah dalam persaingan menderita rasa kegagalan (sence of
failure) prustasi dan rendah diri.
Sejalan dengan pendapat tersebut, Lie (2007: 24) menjelaskan bahwa
model pembelajaran persaingan menciptakan suasana permusuhan
di kelas. Untuk bisa berhasil dalam sistem ini, seorang peserta didik
harus mengalahkan teman-teman sekelasnya. Sering peserta didik
yang berhasil nilai tinggi dimusuhi karena dianggap menaikan rata-
rata kelas dan menjatuhkan teman. Budaya dan mentalitas persaingan
seperti ini juga setidaknya berkorelasi dengan sering munculnya
konflik antar berbagai golongan dalam masyarakat. Seperti tawuran
antarpelajar dan antarmahasiswa di beberapa kota besar menjadi
tradisi dan membentuk pola yang tetap sehingga diantara mereka
membentuk musuh bubuyutan. Kerapuhan karakter peserta didik
seperti ini tentunya berdampak pada bergesernya nilai etika dalam

128
Pembelajaran Integratif Berbasis Soft Skill dan Hard Skill

kehidupan berbangsa dan bernegara. Nampaknya kita kehilangan rasa


keIndonesiaan kita. Perilaku mereka makin menonjolkan kepentingan
individu, daerah, dan golongan. Apabila hal ini dibiarkan tentunya
Kita akan kehilangan cita-cita bersama (in group feeling) sebagai
bangsa. Menurut Suryadi dan Budimanstah (2009: 316) tidak ada
lagi Indonesia dream yang mengikat bersama yang lebih menonjol
adalah cita-cita individu atau golongan untuk mengalahkan golongan
lain. Akan tetapi pembelajaran sistem persaingan ada pula beberapa
kebaikan, sebab persaingan juga memperbesar motivasi peserta didik
untuk mencapai tujuan belajar. Sekalipun banyak keburukan dari
pada kebaikannya, persaingan tetap perlu, di samping kerjasama, asal
untuk kepentingan bersama.
Berbagai persoalan kurikuler seperti tersebut di atas, menunjukkan
banyaknya kendala learning process yang secara umum belum
mendukung visi Indonesia Emas tahun 2045. Karena itu, Pembelajaran
Gotong Royong Inovatif berbasis soft skill dan hard skill adalah salah
satu metode pembelajaran yang efektif untuk mewujudkan visi
Indonesia Emas. Apa itu Pembelajaran Gotong Royong Inovatif?
Bentuk pembelajaran dengan cara siswa belajar dan bekerja dalam
kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri
dari empat sampai enam orang dengan struktur kelompok yang
bersifat heterogen (Rusman, 2010: 215). Peserta didik yang bekerjasama
dalam belajar dan bertanggung jawab terhadap satu timnya mampu
membuat diri mereka belajar sama baiknya dan juga dampak positif
lainnya, yakni dapat menghubungkan antar kelompok, penerimaan
terhadap teman sekelas yang lemah, dan meningkatkan rasa harga diri
(Slavin, 2008: 4-5)
Merujuk dari apa yang disampaikan oleh para ahli tersebut
setidaknya kita mendapatkan hal penting untuk dapat memahami
dampak pembelajaran kooperatif (cooperative learning effect) dan
dampak pengiringnya (nurturant effect) bahwa pembelajaran kooperatif
tidak hanya memberi kontribusi terhadap peningkatan pengetahuan
dan kemampuan teknis (hard skill) akan tetapi juga dapat meningkatkan
kemampuan mengelola diri yang di dalamnya termasuk karakter
dan orang lain (soft skill). Karena itu, pengembangan pembelajaran
kooperatif berbasis hard skill dan soft skill diharapkan dapat menyokong
terwujudnya visi Indonesia Emas 2045, yakni cita-cita yang akan kita
wujudkan bersama di mana pada tahun 2045 bangsa Indonesia sudah
terlepas dari krisis moral dan seluruh komponen bangsa telah berhati
emas dan mengaplikasikan tujuh nilai dasar, yaitu jujur, visioner,
tanggung jawab, disiplin, kerjasama, adil, dan peduli. Jadi yang kita
tuju dalam Indonesia Emas 2045 adalah kejayaan secara moral dan

129
Professional Learning untuk Indonesia Emas

spiritual, bukan hanya kejayaan secara ekonomi.


Untuk terwujudnya visi Indonesia Emas 2045 (seratus tahun
kemerdekaan Republik Indonesia) tersebut kita mendapatkan beragam
tantangan khususnya tantangan internal. Misalnya, Pertama bagaimana
mengelola Sumber Daya Manusia usia produktif agar menjadi bonus
demografi sebagai modal pembangunan. Saat ini jumlah penduduk
Indonesia usia produktif (15-64 tahun) lebih banyak dari usia tidak
produktif (anak-anak berusia 0-14 tahun dan orang tua berusia 65
tahun ke atas). Jumlah penduduk usia produktif ini akan mencapai
puncaknya pada tahun 2020-2035 pada saat angkanya mencapai 70%
(Kemdikbud, 2012: 8). Ini berarti bahwa pada tahun 2020-2035 sumber
daya manusia (SDM) Indonesia usia produktif akan melimpah. SDM
yang melimpah ini apabila memiliki kompetensi dan keterampilan
akan menjadi modal pembangunan yang luar biasa besarnya. Namun
apabila tidak memiliki kompetensi dan keterampilan tentunya akan
menjadi beban pembangunan. Oleh sebab itu tantangan besar yang
dihadapi adalah bagaimana mengupayakan agar SDM usia produktif
yang melimpah ini dapat ditransformasikan menjadi SDM yang
memiliki kompetensi dan keterampilan melalui pendidikan agar tidak
menjadi beban pembangunan.
Tentang perlunya Pembelajaran Gotong Royong Inovatif berbasis
hard skill dan soft skill untuk mendukung SDM Indonesia Emas
tahun 2045 sebagai modal pembangunan perlu saya kuatkan dengan
beberapa pendapat ahli dan atau hasil penelitian. Seperti dinyatakan
oleh Isjoni (2007: 13) Pembelajaran Gotong Royong Inovatif dapat
memotivasi peserta didik berani mengemukakan pendapatnya,
menghargai pendapat teman, dan saling memberikan pendapat
(sharing ideas). Selain itu, Pembelajaran Gotong Royong Inovatif
mengembangkan peserta didik dapat bekerjasama dan saling tolong
menolong mengatasi tugas yang dihadapinya
Lickona (2012: 276-278) menyatakan enam keuntungan kalau
metode ini mampu dipraktikan secara baik, yaitu : (1) melalui proses
Pembelajaran Gotong Royong Inovatif, peserta didik akan diajarkan
bagaimana karakter-karakter kerjasama, (2) melalui proses belajar
kooperatif, peserta didik dibantu untuk saling mengenal dengan cara
membangun komunikasi di dalam kelas. (3) melalui proses belajar
kooperatif, peserta didik diajari keterampilan dasar kehidupan dengan
tujuan mampu mendengarkan pandangan-pandangan orang lain dan
berkomunikasi secara efektif, (4) melalui proses belajar kooperatif,
peserta didik akan diarahkan untuk memperbaiki pencapaian
akademik, rasa percaya diri, dan penyikapan terhadap sekolah, (5)
melalui belajar kooperatif, peserta didik diberikan tawaran-tawaran

130
Pembelajaran Integratif Berbasis Soft Skill dan Hard Skill

alternatif dalam pencatatan, yakni tidak ada pembeda antara sikaya


dan simiskin atau si pandai atau si bodoh, mereka akan belajar
bekerjasama serta memperdulikan orang lain, dan (6) melalui belajar
kooperatif, peserta didik akan memiliki potensi untuk mengontrol efek
negatif dan persaingan. Keenam keuntungan pembelajaran kooperatif
tidak saja di dalam kelas, tetapi kelihatan pengaruhnya yang sangat
signifikan, yaitu ketika para peserta didik melakukannya di luar kelas
pada jam-jam latihan.
Pembelajaran Gotong Royong Inovatif juga sejalan dengan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 22 Tahun 2006 tentang
Standar Isi yang menyatakan bahwa pembelajaran perlu dilaksanakan
sebagai berikut : Pertama, menegakkan kelima pilar belajar, yaitu:
(a) belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, (b) belajar untuk memahami dan menghayati, (c) belajar untuk
mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif, (d) belajar untuk
hidup bersama dan berguna bagi orang lain, dan (e) belajar untuk
membangun dan menemukan jati diri, melalui proses pembelajaran
yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Kedua, pembelajaran
dilaksanakan dalam suasana hubungan peserta didik dan pendidik
yang saling menerima dan menghargai, akrab, terbuka, dan hangat,
dengan prinsip tut wuri handayani, ing madia mangun karsa, ing
ngarsa sung tulada (di belakang memberikan daya dan kekuatan, di
tengah membangun semangat dan prakarsa, di depan memberikan
contoh dan teladan). Ketiga, pembelajaran dilaksanakan dengan
menggunakan pendekatan multistrategi dan multimedia, sumber
belajar dan teknologi yang memadai, dan memanfaatkan lingkungan
sekitar sebagai sumber belajar, dengan prinsip alam takambang jadi
guru (semua yang terjadi, tergelar, dan berkembang di masyarakat dan
lingkungan sekitar serta lingkungan alam semesta dijadikan sumber
belajar, contoh dan teladan). Keempat, pembelajaran dilaksanakan
dengan mendayagunakan kondisi alam, sosial, dan budaya serta
kekayaan daerah untuk keberhasilan pendidikan dengan muatan
seluruh bahan kajian secara optimal.
Berangkat dari pemikiran-pemikiran tersebut di atas, maka
dipandang urgen dan rasional apabila penulis tertarik untuk mengkaji
masalah tentang pembelajaran kooperatif berbasis hard skill dan soft
skill untuk mewujudkan Indonesia Emas?

Pembelajaran Kooperatif berbasis Hard Skill dan Soft Skill


Pembelajaran Gotong Royong Inovatif (PGRI)
Pembelajaran Gotong Royong Inovatif (PGRI) adalah pembelajaran
dengan memanfaatkan kelompok kecil dalam pengajaran yang

131
Professional Learning untuk Indonesia Emas

memungkinkan peserta didik bekerja bersama untuk memaksimalkan


belajar mereka dan belajar anggota lainnya dalam kelompok tersebut
(Johnson, et al, dalam Triyanto at al 2010). Anita Lie (dalam Slam, 2009:
61) menyebut pembelajaran kooperatif dengan istilah pembelajaran
gotong royong. Atas inspirasi tersebut penulis menyebut dengan istilah
Pembelajaran Gotong Royong Inovatif, yaitu: sistem pembelajaran yang
memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bekerjasama
dengan peserta didik lain dengan tugas-tugas terstruktur. Lebih jauh
Beliau mengatakan bahwa Pembelajaran Gotong Royong Inovatif
hanya berjalan kalau sudah terbentuk suatu kelompok atau suatu tim
yang didalamnya peserta didik bekerja secara terarah untuk mencapai
tujuan yang sudah ditetapkan dengan jumlah anggota kelompok pada
umumnya terdiri dari 4-6 orang saja. Slam (2009: 62) menyatakan ciri
dari pembelajaran kooperatif, yaitu (a) setiap anggota memiliki peran,
(b) terjaadi interaksi langsung di antara peserta didik, (c) setiap anggota
kelompok bertanggung jawab atas belajarnya dan juga teman-teman
sekelompoknya, (d) guru membantu mengembangkan keterampilan-
keterampilan interpersonal kelompok, dan (e) guru hanya berinteraksi
dengan kelompok saat diperlukan.
Di dalam Pembelajaran Gotong Royong Inovatif kelompok
peserta didik akan memperoleh pengetahuan baru yang bermakna
dengan mutu yang lebih baik, bersifat kontekstual yang relevan bila
dibandingkan dengan pembelajaran individual atau independen.
Sementara itu pada saat yang sama, setiap anggota kelompok dalam
pembelajaran kooperatif menunjukkan sikap positif, teguh pada
pendiriannya tetapi tetap dalam kerangka kerjasama, dan saling
menghargai (Felder & Brent dalam Triyanto et al. 2010: 76).
Teori yang melandasi Pembelajaran Gotong Royong Inovatif
adalah teori kontruktivisme, yaitu suatu pandangan bahwa siswa
membina sendiri pengetahuan atau konsep secara aktif berdasarkan
pengetahuan dan pengalaman yang ada (Isjoni, 2007: 30). Menurut
Slavin (2008: 10) Pembelajaran Gotong Royong Inovatif menggalakan
siswa berinteraksi secara aktif dan positif dalam kelompok. Ini
membolehkan pertukaran ide dan pemeriksaan ide sendiri dalam
suasana yang tidak terancam sesuai dengan falsafah kontruktivisme.
Dengan pembelajaran kooperatif akan menyumbangkan ide bahwa
siswa yang bekerjasama dalam belajar dan bertanggung jawab terhadap
teman satu timnya mampu membuat diri mereka belajar sama baiknya.
Oleh karena itu, pendidikan hendaknya mampu mengkondisikan
dan memberikan dorongan untuk dapat mengoptimalkan, dan
membangkitkan potensi peserta didik, menumbuhkan aktivitas dan
kreativitas, sehingga akan menjamin terjadinya dinamika di dalam

132
Pembelajaran Integratif Berbasis Soft Skill dan Hard Skill

proses pembelajaran.
Pembelajaran Gotong Royong Inovatif dikembangkan dari
teori belajar kontruktivisme yang lahir dari gagasan Piaget dan
Vygotsky yang dikenal sebagai Piaget Kontruktivisme Kognitif dan
Vygotsky Kontruktivism Sosial. Johnson & Johnson (dalam Isjoni,
2007: 30) menyatakan teori Piaget berdasarkan kepada premis, apabila
individu bekerjasama atas persekitarnya, konflik sosio-kognitif akan
berlaku dan akan mewujudkan ketidakseimbangan kognitif dan
seterusnya menciptakan perkembangan kognitif. Teori Vygotsky pula
berdasarkan kepada premis bahwa pengetahuan terbina daripada
interaksi kumpulan dalam penyelesaian masalah. Teori perlakuan
menekankan peranan penting ganjaran dalam Pembelajaran Gotong
Royong Inovatif.
Pembelajaran Gotong Royong Inovatif digunakan untuk
menanamkan unsur-unsur antara lain saling ketergantungan positif
Misalnya, teknik jigsaw dalam metode Pembelajaran Gotong Royong
Inovatif pada mulanya diperkenalkan di sekolah-sekolah di Amerika
Serikat dimana ada ketegangan rasialis antara siswa keturunan Eropa,
Afrika dan Hispanik. Siswa-siswa ini diajar untuk bisa dibalik kuatnya
rasa individualis mereka berinteraksi secara positif dengan siswa-
siswa lain dengan latar belakang berbeda dalam kegiatan akademis.
Memang selang beberapa waktu konflik rasialis berhasil dikurangi
secara drastis dan prestasi akademik pun meningkat (Lie, 2007: 20).
Ternyata orang Amerika mulai menyadari bahwa individualisme
saja tidaklah cukup. Keberhasilan orang-orang Amerika di berbagai
bidang kehidupan sudah mendapat pengakuan di seluruh dunia,
namun patut dipertanyakan apakah artinya keberhasilan pribadi jika
tidak bisa ditindak lanjuti dan diterapkan dalam masyarakat. Karena
itu, kerjasama, komunikasi, interaksi sebuah kebutuhan esensial dalam
kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan dalam
pergaulan internasional.
Slavin (2008: 4-5) menyatakan ada banyak alasan yang membuat
Pembelajaran Gotong Royong Inovatif memasuki jalur utama praktik
pendidikan. Salah satunya adalah untuk meningkatkan pencapain
prestasi para siswa, dan juga akibat-akibat positif lainnya yang dapat
mengembangkan hubungan antar kelompok, penerimaan terhadap
teman sekelas yang lemah, dan meningkatkan rasa harga diri. Alasan
lain adalah tumbuhnya kesadaran bahwa para peserta didik perlu
belajar untuk berfikir, menyelesaikan masalah, dan mengintegrasikan
serta mengaplikasikan kemampuan dan pengetahuan mereka, dan
bahwa pembelajaran kooperatif merupakan sarana yang sangat baik
untuk mencapai hal-hal semacam itu.

133
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Lie (2007:28) menegaskan bahwa: bekerja sama merupakan


kebutuhan yang sangat penting artinya bagi kelangsungan hidup.
Tanpa bekerjasama, tidak akan ada individu, keluarga, organisasi,
atau sekolah. Ironisnya, model pembelajaran bekerjasama belum
banyak diterapkan dalam pembelajaran di sekolah walaupun orang
Indonesia: a) sangat membanggakan sifat gotong royong dalam
kehidupan bermasyarakat; b) sering munculnya komplik antar suku,
agama, ras, dan antargolongan. Kebanyakan guru enggan menerapkan
sistem bekerjasama di dalam kelas karena beberapa alasan. Alasan
yang utama adalah kekhawatian bahwa akan terjadi kekacauan
di kelas dan peserta didik tidak belajar jika mereka ditempatkan
dalam kelompok. Selain itu, banyak orang mempunyai kesan negatif
mengenai bekerjasama atau belajar dalam kelompok. Banyak peserta
didik juga tidak senang disuruh bekerjasama dengan yang lain. Peserta
didik yang tekun merasa harus bekerja melebihi peserta didik yang
lain, sedangkan peserta didik yang kurang mampu merasa minder
ditempatkan dalam satu kelompok dengan peserta didik yang lebih
pandai. Peserta didik yang tekun juga merasa temannya yang kurang
mampu hanya menumpang saja pada hasil jerih payah mereka.
Kesan negatif dari Pembelajaran Gotong Royong Inovatif ini juga
bisa timbul karena ada perasaan waswas dan anggota kelompok akan
hilangnya karakteristik atau keunikan pribadi mereka karena harus
menyesuaikan diri dengan kelompok.
Sebenarnya, pembagian kerja yang kurang adil tidak perlu terjadi
dalam keria kelompok jika guru benar-benar menerapkan prosedur
metode PGRI. Banyak guru hanya membagi peserta didik dalam
kelompok lalu memberi tugas untuk menyelesaikan sesuatu tanpa
pedoman mengenai pembagian tugas. Akibatnya, peserta didik merasa
ditinggal sendiri dan karena mereka belum berpengalaman, merasa
bingung dan tidak tahu bagaimana harus bekerja sama menyelesaikan
tugas tersebut. Kekacauan dan kegaduhanlah yang teriadi.
Metode Pembelajaran Gotong Royong Inovatif terstruktur tidak
sama dengan sekadar belajar dalam kelompok. Johnson & Johnson
(Lie, 2007: 18) menyatakan yang termasuk di dalam struktur ini adalah
lima unsur pokok, yaitu saling ketergantungan positif, tanggung
jawab individual, interaksi personal, keahlian bekerjasama, dan proses
kelompok. Itulah unsur-unsur dasar pembelajaran bekerjasama yang
membedakannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan asal-
asalan. Pelaksanaan prosedur metode PGRI terstruktur dengan benar
akan memungkinkan pendidik mengelola kelas dengan lebih efektif.
Dengan demikian, metode Pembelajaran Gotong Royong Inovatif
didesain sebagai pola pembelajaran yang dibangun oleh lima

134
Pembelajaran Integratif Berbasis Soft Skill dan Hard Skill

elemen penting sebagai prasyarat, sebagai berikut: Pertama, saling


ketergantungan secara positif (positive interdependence), yaitu setiap
anggota tim saling membutuhkan untuk sukses. Kedua, interaksi
langsung(face-to-face interaction). artinya memberikan kesempatan
kepada peserta didik secara individual untuk saling membantu dalam
memecahkan masalah, memberikan umpan balik yang diperlukan
antar anggota untuk semua individu, dan mewujudkan rasa hormat,
perhatian, dan dorongan di antara individu-individu sehinga mereka
termotivasi untuk terus bekerja pada tugas yang dihadapi.
Ketiga, tanggung jawab individu dan kelompok(individual &
group accountability), artinya tujuan belajar bersama adalah untuk
menguatkan kemampuan akademis siswa, sehingga kontribusi
siswa harus adil, Kempat, keterampilan interpersonal dan kelompok
kecil (interpersonal & small-group Skills,) artinya asumsi bahwa siswa
akan secara aktif mendengarkan, menjadi hormat dan perhatian,
berkomunikasi secara efektif, dan dapat dipercaya.Untuk suksesnya
Pembelajaran Gotong Royong Inovatif, guru perlu megajarkan
keterampilan sosial seperti kepemimpinan, pengambilan keputusan,
membangun kepercayaan, komunikasi, keterampilan manajemen
konflik.
Kelima, proses kerja kelompok (group processing), artinya
proses kerja kelompok memberikan umpan balik kepada anggota
kelompok tentang partisipasi mereka, memberikan kesempatan
untuk meningkatkan keterampilan pembelajaran kolaboratif anggota,
membantu untuk mempertahankan hubungan kerja yang baik antara
anggota, dan menyediakan sarana untuk merayakan keberhasilan
kelompok.
Menurut Lie (2007: 55-72) terdapat beragam teknik Pembelajaran
Gotong Royong Inovatif, yaitu : mencari pasangan, bertukar
pasangan, berpikir berpasangan berempat, berkirim salam dan soal,
kepala bernomor, kepala bernomor terstruktur, dua tinggal dua tamu,
keliling kelompok, kancing gemerincing, keliling kelas, lingkaran
kecil lingkaran besar, tari bamboo, jigsaw, dan bercerita berpasangan.
Misalnya, metode pembelajaran kooperatif. Guru membagi bahan
pelajaran yang akan diberikan menjadi empat bagian. Sebelum
bahan pelajaran diberikan, guru memberikan pengenalan mengenai
topik yang akan dibahas dalam pelajaran untuk hari itu. Guru bisa
menuliskan di papan tulis dan menanyakan apa yang peserta didik
ketahui mengenai topik tersebut.
Kegiatan brainstorming ini dimaksudkan untuk mengaktifkan
skemata peserta didik agar lebih siap menghadapi bahan pelajaran
yang baru. Peserta didik dibagi dalam kelompok berempat atau berlima.

135
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Bagian pertama bahan diberikan kepada peserta didik yang pertama.


Sedangkan peserta didik yang kedua menerima yang kedua, demikian
seterusnya. Kemudian, peserta didik disuruh membaca/ mengerjakan
bagian mereka masing-masing.Setelah selesai, peserta didik saling
berbagi mengenai bagian-bagian yang dibaca/dikerjakan masing-
masing. Dalam kegiatan ini peserta didik bisa saling melengkapi dan
berinteraksi antara satu dengan yang lain.
Khusus untuk kegiatan membaca, kemudian guru membagikan
bagian cerita yang belum terbaca kepada masing-masing peserta
didik. Peserta didik membaca bagian tersebut. Kegiatan ini bisa
diakhiri dengan diskusi mengenai topik dalam bahan pelajaran hari
itu. Diskusi bisa dilakukan antara pasangan atau dengan seluruh kelas
(Aronson et al. dalam Lie, 2007: 69)
Metode Pembelajaran Gotong Royong Inovatif merupakan
metode mengajar yang banyak digunakan dan menjadi perhatian serta
dianjurkan oleh ahli pendidikan. Seperti Slavin (dalam Rusman, 2010:
218) mengemukakan bahwa (1) penggunaan metode Pembelajaran
Gotong Royong Inovatif dapat meningkatkan prestasi belajar
peserta didik dan sekaligus dapat meningkatkan hubungan sosial,
menumbuhkan sikap toleransi dan menghargai pendapat orang lain,
(2) pembelajaran kooperatif dapat memenuhi kebutuhan peserta
didik akan berfikir kritis, memecahkan masalah, mengintegrasikan
pengetahuan dan pengalaman. Slam (2009: 18) menyatakan bahwa
metode Pembelajaran Gotong Royong Inovatif memberikan
dampak pengiring (nurturant effect), yaitu peserta didik dapat
dibina keterampilan sosial (social skills) antara lain: kepemimpinan
(leadership), pengambilan keputusan (decision making), membangun
kepercayaan diri (trust building), komunikasi (communication),
mengelola komplik (comflict management skill). Dengan alasan tersebut
metode pembelajaran tersebut diharapkan mampu mengembangkan
hard skill dan soft skill untuk mewujudkan Indonesia Emas.

Hard Skill dan Soft Skill Sebagai Hasil Belajar


Istilah hard skill dan soft skill pertama kali penulis ketahui dari
hasil penelitian Ibrahim (dalam Adisusilo, 2011: 79) di Harvard
university Amerika Serikat yang memaparkan bahwa kesuksesan
hidup seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan
kemampuan teknis (hard skill) yang diperoleh lewat pendidikan, tetapi
lebih oleh kemampuan mengelola diri yang didalamnya termasuk
karakter dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan
bahwa hanya ditentukan sekitar 20% oleh hard skill dan sisanya 80%
oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil

136
Pembelajaran Integratif Berbasis Soft Skill dan Hard Skill

dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill dari pada


hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa pembelajaran gotong royong
inovatif yang berbasis hard skill dan soft skill sangat penting untuk
dikembangkan. Berdasar rujukan tersebut, bahwa pembelajaran perlu
mengintegrasikan hard skill dan soft skill.
Penulis mencoba memaknai soft skill dengan istilah kecerdasan
emosional yang dilontarkan pertama kali tahun 1990 oleh psikolog
Peter Salovery dari Harvard University dan John Meyer dari
University of New Hampshire (Shapire, dalam Aunurrahman, 2013:
85). Beberapa bentuk kualitas soft skill yang dinilai penting bagi
keberhasilan, yaitu: (1) empati, (2) mengungkapkan dan memahami
perasaan, (3) mengendalikan amarah, (4) kemandirian, (5) kemampuan
menyesuaikan diri, (6) disukai, (7) kemampuan memecahkan masalah
antar pribadi, (8) ketekunan, (9) kesetiakawanan, (10) keramahan, dan
(11) sikap hormat.
Daniel Goleman, pengarang buku Emotional Intelligence pada
bagian buku yang diberi judul working with Emotional Intelligence
mencoba menjelaskan beberapa konsep keliru yang paling lazim
terjadi dan harus diluruskan. Pertama, kecerdasan emosi tidak
hanya berarti bersikap ramah melainkan, mungkin sikap tegas yang
barangkali memang tidak menyenangkan, tetapi mengungkapkan
kebenaran yang selama ini dihindari. Kedua, kecerdasan emosi bukan
berarti memberikan kebebasan kepada perasaan untuk berkuasa
memanjakan perasaan-perasaan, melainkan mengelola perasaan-
perasaan sedemikian rupa sehingga terekpersikan secara tepat dan
efektif yang memungkinkan orang bekerja sama dengan lancer
menuju sasaran bersama. Tingkat Soft skill tidak terikat dengan factor
genetis, tidak juga hanya dapat berkembang pada masa kanak-kanak.
Tidak seperti hard skill yang berubah hanya sedikit setelah melewati
usia remaja, soft skill lebih banyak diperoleh melalui belajar dari
pengalaman sendiri sehingga kecakapan-kecakapan itu dalam hal ini
dapat terus tumbuh (Goleman dalam Aunurrahman, 2012: 86).
Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa soft skill akan mampu
membuat anak-anak bersemangat tinggi dalam belajar, atau untuk
disukai teman-temannya di tempat-tempat bermain, dan juga akan
membantunya dua puluh tahun kemudian ketika ia telah masuk dunia
kerja atau ketika sudah berkeluarga. Dalam sebuah survey nasional
terhadap apa yang diinginkan oleh pemberi kerja baru, keterampilan-
keterampilan teknik khusus (hard skill) tidak seberapa penting
dibanding soft skill untuk belajar dalam pekerjaan yang bersangkutan
(Goleman dalam Aunurrahman, 2012: 86). Selain itu keterampilan-
keterampilan lainnya adalah; (1) mendengarkan dan komunikasi

137
Professional Learning untuk Indonesia Emas

lisan, (2) adaptabilitas dan tanggapan kreatif terhadap kegagalan dan


halangan, (3) manajemen pribadi, kepercayaan diri, memotivasi untuk
bekerja meraih sasaran, keinginan mengembangkan karir, dan bangga
dengan prestasi yang dicapai., (4) efektifitas kelompok dan antar
pribadi, kerjasama dalam kelompok, keterampilan merundingkan
pendapat-pendapat, (5) efektivitas dalam perusahaan, keinginan
member kontribusi, potensi-potensi kepemimpinan.
Solovey dan Meyer (dalam Aunurrahman, 2012: 87)
mendefinisikan soft skill sebagai bagian dari kecerdasan sosial yang
melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi baik pada
diri sendiri maupun pada orang lain, memilah-milah semuanya,
dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan
tindakan. Pendapat keduanya memberi isyarat bahwa keterampilan
soft skill bukanlah lawan dari hard skill atau keterampilan kognitif,
namun keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkatan
konseptual maupun pada maupun empiric. Idelanya seseorang dapat
dapat menguasai hard skill (keterampilan kognitif) sekaligus soft skill
(keterampilan sosialemosional). Perbedaan yang paling mendasar
antara hard skill (IQ) dan soft skill (EQ) adalah soft skill tidak dipengaruhi
oleh faktor keturunan, sehingga membuka kesempatan bagi orang tua
dan para guru untuk melanjutkan apa yang telah disediakan oleh alam
agar anak mempunyai peluang lebih besar untuk meraih kesuksesan.
Dengan demikian maka soft skill lebih merupakan hasil dari aktivitas
individu dalam melatih fungsi-fungsi emosional diri sendiri atau oleh
orang lain sehingga lebih merupakan hasil belajar.
Goleman (Aunurrahman, 2012: 89) menggambarkan beberapa ciri
soft skill yang terdapat pada diri seseoarang berupa: (1) kemampuan
memotivasi diri sendiri, (2) ketahanan menghadapi prustasi, (3)
kemampuan mengendalikan dorongan hati, dan tidak melebih
lebihkan kesenangan,(4) kemampuan menjaga suasana hati dan
menjaga agar bebas stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir,
berempati, dan berdoa.
Berdasarkan pemikiran-pemikiran di atas, bahwa hard skill dan soft
skill sebagai dampak pembelajaran (instructional effect) dan dampak
pengiring (nurturant effect) dapat disokong dengan pembelajaran
gotong royong inovatif untuk mewujudkan visi Indonesia Emas tahun
2045, di antaranya terlepas dari krisis moral dan seluruh komponen
bangsa telah berhati emas dan mengaplikasikan tujuh nilai dasar,
yaitu kejujuran (honesty), visioner, tanggung jawab (responsibility),
disiplin, kerjasama (cooperation), adil (fairness) dan peduli (caring).
Jadi yang kita tuju dalam Indonesia Emas 2045 adalah kejayaan secara
moral dan spiritual, bukan hanya kejayaan ekonomi bagi seluruh

138
Pembelajaran Integratif Berbasis Soft Skill dan Hard Skill

komponen bangsa. Perwujudan visi Indonesia Emas dapat disokong


melalui gerakan implementasi Pembelajaran Gotong Royong Inovatif.

Penutup
Pembelajaran Gotong Royong Inovatif dapat: (1) meningkatkan
prestasi belajar peserta didik dan sekaligus meningkatkan hubungan
sosial, menumbuhkan sikap toleransi dan menghargai pendapat
orang lain (2) memenuhi kebutuhan peserta didik akan berfikir
kritis, memecahkan masalah, mengintegrasikan pengetahuan dan
pengalaman. (3) meningkatkan keterampilan sosial (social skills),
yakni kepemimpinan (leadership), pengambilan keputusan (decision
making), membangun kepercayaan diri (trust building), komunikasi
(communication),mengelola komplik (comflict management skill).
Hard skill dan soft skill sebagai hasil belajar peserta didik dapat
disokong dengan pembelajaran gotong royong inovatif untuk
mewujudkan visi Indonesia Emas tahun 2045, yakni kejayaan secara
moral dan spiritual dan sekaligus kejayaan ekonomi bagi seluruh
komponen bangsa.

Daftar Pustaka

Adisusilo, Sutarjo. 2011. Pembelajaran Nilai karakter, Jakarta: PT Raja


Grafindo Persada
Aunurrahman. 2012. Belajar dan Pembelajaran, Bandung: Alfabeta
Budimansyah, Dasim dan Suryadi, Ace. 2008. Paradigma Pembangunan
Pendidikan nasional, Bandung: Widya Aksara Press
Isjoni. 2007. Cooperative learning, Bandung: Alfabeta
Lickona. 2002. Educating For Character. How aour School Can teach Respect
and Responsibility. Terjemahan Wamaungo, Jakarta: PT Bumi
Lie, Anita. 2007. Cooperative learning, Jakarta, PT Gramedia
Rusman. 2010. Model-Model pembelajaran, Bandung: Mulia mandiri
Press
Sidi, Indradjati. 2001. Menuju Masyarakat Belajar, Jakarta: Logos Wacana
Ilmu
Slam, Zaenul. 2009.Pengaruh Pembelajaran PKn Melalui Penerapan
Cooperative Terhadap Peningkatan Kompetensi kewarganegaraan
Peserta Didik (Tesis). SPs, UPI.
Slavin. 2008. Cooperative learning, Bandung: Nusa Media
Triyanto et al. 2010. Inovasi Pembelajaran Pancasila Di Perguruan Tinggi.

139
LESSON STUDY SEBAGAI UPAYA
MENINGKATKAN KOMPETENSI GURU
KELAS DALAM PEMBELAJARAN TEMATIK
INTEGRATIF
(Penelitian Tindakan di MIN 2 Kota Metro Lampung)

Siti Annisah
STAIN Metro Lampung.
Email: sitiannisah_80@yahoo.co.id

Abstract: The purpose of this research is to improve the


competence of teachers in integrative thematic learning through
Lesson Study in MIN 2 Metro Lampung. This research was
initiated on the issue of readiness of teachers in implementing
the thematic integrative learning. Readiness of teachers with
regard to competencies required are pedagogical, personality,
social, and professional. Some training has been followed, but
in practice there are still many problems so few are applied in
the classroom and training results only become knowledge.
Therefore, there should be assistance activities implementation
of thematic integrative learning, one of the activities that can be
done is the Lesson Study.
Stages of the Lesson Study includes plan, do, and see. In other
words, the lesson study is a way of improving the quality of
education that never ends (continuous improvement). Lesson
Study group consists of educators (teachers), lecturers, and
students. The determination of the group members was based
on a desire, interest and commitment to innovate and improve
the quality of education.
From the observation and reflection can be explained that the
implementation of Lesson Study can improve the competence
of teachers in teaching thematic integrative curriculum in 2013.
This can be seen from the increasing competence of teachers
(pedagogical, professional, social, and personality) before and
during the implementation of Lesson Study. In Lesson Study, the
usual activities of the teachers studied, analyzed, documented,
evaluated, and developed jointly so that all potentials can be
empowered and produce a higher quality learning activities
from previous activities.
Key Word: Lesson Study, Teacher Competence

140
Pembelajaran Integratif Berbasis Soft Skill dan Hard Skill

Pendahuluan
Pendidikan merupakan salah satu faktor penentu kemajuan suatu
bangsa. Karena salah satu fungsi pendidikan adalah mengembangkan
pengetahuan untuk mencerdaskan bangsa dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat. Hal ini sesuai dengan
Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 Bab II Pasal 3 disebutkan
bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban Bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan Bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis dan bertanggung jawab.
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan
kualitas pendidikan diantaranya adalah menyempurnakan kurikulum
tingkat satuan pendidikan menjadi kurikulum 2013. Kurikulum
2013 adalah kurikulum berbasis kompetensi yang dirancang untuk
mengantisipasi kebutuhan kompetensi Abad 21. Kompetensi sikap
spiritual, sikap sosial, pengetahuan, dan keterampilan pada Kurikulum
2013 merupakan hasil akhir yang harus dicapai dan dimiliki oleh
peserta didik secara komprehensif.
Pencapaian kompetensi terpadu tersebut, menuntut pendekatan
pembelajaran tematik terpadu atau integratif, yaitu mempelajari
semua mata pelajaran secara terpadu melalui tema-tema kehidupan
yang dijumpai peserta didik sehari-hari. Dalam melaksanakan
pembelajaran tematik integratif dibutuhkan kemampuan guru yang
tidak biasa, artinya guru harus benar-benar memiliki kemampuan
untuk merencanakan pembelajaran tematik, merumuskan tema
yang dapat mengikat beberapa matapelajaran sehingga mencapai
kompetensi yang diharapkan, melaksanakan pembelajaran tematik
integratif dengan mengaitkan beberapa matapelajaran dalam sebuah
tema, mengevaluasi pembelajaran secara mendalam atau dengan
penilaian outentik.
Pertanyaan yang muncul adalah sudah siapkah guru-guru
di lapangan melaksanakan pembelajaran tematik integratif pada
kelas I VI di SD/MI? Guru (mutu guru) menjadi salah satu aspek
yang sangat penting dalam keberhasilan pelaksanaan pembelajaran
tematik integratif pada kurikulum 2013. Mutu guru berkaitan dengan
kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang /pendidik. Kompetensi
yang dimaksud tersebut adalah kompetensi pedagogik, kompetensi
profesional, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
Kompetensi pedagogik, adalah kemampuan mengelola
pembelajaran yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik,
perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi pembelajaran,

141
Professional Learning untuk Indonesia Emas

pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai


potensi yang dimilikinya.Dalam melaksanakan pembelajaran tematik
integratif, guru harus mampu membuat perencanaan pembelajaran
yang jelas, merumuskan tema yang mengaitkan beberapa mata
pelajaran, menyiapkan media dan alat yang digunakan dalam
pembelajaran, menyiapkan instrument evaluasi yang dapat mengukur
aspek sikap, psikomotor, dan pengetahuan siswa secara komprehensif,
serta melaksanakan pembelajaran tematik integratif sesuai dengan
yang telah direncanakan. Permasalahan di lapangan menggambarkan
bahwa masih banyak guru dalam melaksanakan pembelajaran
tanpa membuat perencanaan dengan matang sehingga pelaksanaan
pembelajarannya kurang maksimal, dan belum melakukan evaluasi
yang mendalam.
Kompetensi kepribadian adalah memiliki kepribadian yang
mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan
bagi peserta didik dan berakhlak mulia. Guru/pendidik harus
dapat menjadi teladan bagi peserta didik. Kenyataan di lapangan
menjelaskan bahwa masih banyak guru yang sering berkata kasar/
tidak pantas kepada siswa, berperilaku layaknya bukan seorang
pendidik, dan sebagainya.
Kompetensi profesional, adalah kemampuan penguasaan materi
pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan
membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi. Dalam
penerapan pembelajaran tematik integratif, pengetahuan guru secara
luas dan mendalam mutlak diperlukan, karena guru harus mampu
mengaitkan beberapa matapelajaran dalam sebuah tema sehingga
kompetensi terpadu yang diharapkan dapat tercapai. Kenyataan di
lapangan, masih banyak guru belum memiliki penguasaan materi
secara mendalam pada bidang masing-masing, ditambah lagi harus
menguasai materi secara terpadu.
Kompetensi sosial adalah kemampuan berkomunikasi secara
efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan,
orang tua/wali, dan masyarakat sekitar. Untuk dapat menciptakan
pembelajaran yang menyenangkan bagi peserta didik, kompetensi ini
merupakan syarat mutlak dimiliki oleh pendidik.
Pertanyaan di atas dijawab oleh pemerintah baik melalui
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan maupun Kementerian
Agama dengan melakukan berbagai pelatihan yang berkaitan dengan
pelaksanaan pembelajaran tematik integratif. Namun usaha ini kurang
berdampak terhadap peningkatan mutu guru. Setelah dilakukan
pengkajian dan analisis, ada dua hal penting mengapa pendidikan dan
pelatihan guru kurang efektif, pertama materi pelatihan tidak berbasis
pada masalah di kelas. Materi pelatihan yang sama diberikan pada
semua guru tanpa mengenal daerah asal padahal kondisi suatu daerah

142
Pembelajaran Integratif Berbasis Soft Skill dan Hard Skill

belum tentu sama. Kedua, hasil pelatihan hanya menjadi pengetahuan


saja, sedikit yang diterapkan di kelas karena tidak ada monitoring
setelah pelatihan.
Sebagai upaya untuk menjawab semua kekurangan dari fakta-
fakta di atas dibutuhkan suatu kegiatan pendampingan pelaksanaan
pembelajaran tematik integratif. Kegiatan pendampingan tersebut
adalah lesson study yaitu suatu model pembinaan profesi pendidik
melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan
berlandaskan prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning untuk
membangun komunitas belajar.
Dalam lesson study bukan hanya guru yang melaksanakan
pembelajaran saja yang dapat memetik manfaat, namun terlebih lagi
para observer (guru lain/mitra, mahasiswa, dosen dan pihak-pihak
lain) yang hadir pada saat pembelajaran. Dengan mengamati kegiatan
pembelajaran yang dilakukan seorang guru, observer didorong
untuk merefleksikan pembelajaran yang dilaksanakannya dan
bagaimana meningkatkan kualitasnya. Oleh karena itu, lesson study
sesungguhnya merupakan forum belajar bersama untuk saling belajar
dari pengalaman guna meningkatkan kualitas pembelajaran.
Oleh karena itu tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan
kompetensi guru kelas dalam pembelajaran tematik integratif melalui
pelaksanaan Lesson Study di MIN 2 Kota Metro Lampung.
Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan (action research)
dalam bentuk Lesson Study (LS). Penelitian ini memiliki dua variabel
yaitu variabel bebasnya adalah Lesson Study dan variabel terikatnya
adalah kompetensi guru kelas. Lesson Study (LS) yang dimaksud
pada penelitian ini adalah suatu model pembinaan profesi pendidik
melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan
berlandaskan prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning untuk
membangun komunitas belajar (Sumar Hendayana: 2006:10).
Adapun tahapan pelaksanaan Lesson Study adalah plan atau
merencanakan, do atau melaksanakan, dan see atau merefleksi (Sumar
Hendayana: 2006:10).. Dengan kata lain lesson study merupakan suatu
cara peningkatan mutu pendidikan yang tidak pernah berakhir
(continous improvement). Berikut ini merupakan skema kegiatan lesson
study.

143
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Gambar 1.

Adapun variabel terikat pada penelitian ini adalah kompetensi


guru kelas yang meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi
kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional (sesuai
permendiknas no 16 tahun 2007 tentang standar kualifikasi akademik
dan kompetensi guru).
Sebelum melakukan lesson study dengan tahapan di atas, terlebih
dahulu dilakukan kegiatan pra lesson yaitu membentuk kelompok
lesson study dan menfokuskan lesson study.
Langkah pertama adalah membentuk kelompok Lesson Study.
Penentuan anggota kelompok didasarkan pada kemauan, minat
dan komitmen untuk melakukan inovasi dan memperbaiki kualitas
pendidikan. Adapun anggota kelompok LS meliputi pendidik, dosen,
dosen mahasiswa yaitu MS. Mustofa, S.Ag, Siti Fauziyah, S.Pd.I, Siti
Annisah, M.Pd, Nurul Afifah, M.Pd,I., Yunita Wildaniati, M.Pd., Nasip
Sukardi, Siti Yulaikah, Dara Wahyu Kusuma Sari, Dewi Indah Syah,
Muslikah, Nur Asih Puji Astuti. Selanjutnya, setiap anggota kelompok
Lesson Study harus memiliki komitmen untuk menyediakan waktu
khusus untuk mewujudkan atau mengimplementasikan Lesson Study.
Langkah kedua adalah menfokuskan lesson study. Dari sekian
banyak permasalahan, akhirnya mengerucut pada kemampuan guru
kelas dalam melaksanakan pembelajaran tematik integratif pada
implementasi kurikulum 2013 yang akan diberlakukan pada semester
ganjil Tahun Pelajaran 2014/2015 di lingkungan Kementerian Agama.
Hal yang menjadi topik adalah kesiapan dan kemampuan guru kelas
dalam menerapkan pembelajaran tematik integratif yang tentunya
sangat berbeda dengan pembelajaran sebelumnya.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai Oktober
2014 atau pada semester ganjil TP. 2014/2015. Pengumpulan data
penelitian menggunakan lembar observasi dan wawancara, catatan
lapangan, dan dokumentasi. Lembar observasi digunakan untuk
untuk mendapatkan data tentang kompetensi guru, kegiatan siswa
belajar, dan proses pembelajaran tematik integratif, wawancara

144
Pembelajaran Integratif Berbasis Soft Skill dan Hard Skill

digunakan untuk untuk mendapatkan data tentang pendapat guru,


sikap guru, kendala-kendala yang dihadapi guru dalam melaksanakan
pembelajaran tematik integratif, catatan lapangan digunakan untuk
mencatat hal-hal penting selama proses pembelajaran berlangsung.
Kemudian data hasil observasi, wawancara, catatan lapangan
dianalisis secara kualitatif.

Hasil Penelitian
Pelaksanaan lesson study dalam pembelajaran tematik integratif ini
dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu:
a. Perencanaan pembelajaran (plan)
Dalam kegiatan perencanaan pembelajaran (plan) menyusun
perangkat pembelajaran dan menyiapkan alat-alat atau media
yang digunakan dalam pembelajaran tematik integratif tepatnya
pada siswa di kelas IV MIN 2 Metro. Kegiatan perencanaan (plan)
ini dilakukan oleh guru dan peneliti sebelum dilaksanakannya
pembelajaran tematik integratif yaitu (1) menentukan waktu
pelaksanaan lesson study terutama kegiatan do dan see, (2) Skenario
pembelajaran pada RPP mengikuti apa yang telah ditetapkan
pada kurikulum 2013 yaitu pembelajaran tematik integratif
dengan menggunakan pendekatan saintifik, (3) menyiapkan alat
atau media pembelajaran yang akan digunakan yaitu laptop,
LCD proyektor, pengeras suara, CD lagu dengan judul lagu
Yamko Rambe Yamko, lagu kring-kring ada sepeda, dan
lagu Jayalah Madrasah Ibtidaiyah, (4) menyiapkan bahan
ajar yang digunakan yaitu buku guru dan buku siswa dengan
tema selalu berhemat energi dengan sub tema gerak dan
gaya. (5) menyusun beberapa instrument untuk mengetahui
dan mengevaluasi pelaksanaan pembelajaran tematik integratif,
yaitu lembar observasi kompetensi guru kelas, lembar observasi
pembelajaran tematik integratif, lembar observasi aktivitas siswa
dalam pembelajaran tematik integratif, lembar wawancara, dan
catatan anekdot, (6) pembagian tugas, yaitu sebagai guru model
adalah guru kelas IV MIN 2 Metro yaitu bapak Ms. Mustofa, S.Ag
dan bu Siti Fauziah, S.Pd.I. Sementara yang menjadi pengamat
adalah Siti Annisah, M.Pd, Nurul Afifah, M.Pd.I dan Yunita
Wildaniati, M.Pd, dan beberapa mahasiswa prodi PGMI STAIN
Jurai Siwo Metro yaitu Nasip Sukardi, Siti Zulaikha, Dara Wahyu
Kusuma Sari, Muslikhah, Dewi Indah Syah, dan Nur Asih Puji A.

b. Pelaksanaan pembelajaran (do)


Pada tahap ini, pembelajaran tematik integratif dilaksanakan
sesuai dengan desain dan perencanaan yang sudah dibuat yaitu
mengikuti silabus dan RPP kelas IV yang telah disiapkan.

145
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Pendidik yang menjadi guru model melaksanakan tugasnya yaitu


melaksanakan pembelajaran tematik integratif dengan pendekatan
saintifik, sedangkan anggota yang lain bertugas sebagai pengamat.
Pengamat akan mengumpulkan data yang diperlukan selama
pembelajaran berlangsung. Untuk mendokumentasikan research
lesson, para pengamat menggunakan lembar observasi, handycam,
kamera, karya siswa, dan catatan observasi naratif.

c. Refleksi (see)
Kegiatan ini dilakukan setelah kegiatan do atau pelaksanaan
pembelajaran tematik integratif, yaitu diskusi antara peneliti,
guru, dan mahasiswa yang terlibat pada kegiatan lesson study.
Pada kegiatan ini membahas proses pembelajaran yang telah
dilaksanakan.
Kegiatan ini dilaksanakan dengan santai, terbuka, dan sharing
pelaksanaan pembelajaran tematik yang telah dilaksanakan.
Pertama, guru menyampaikan kesan setelah melaksanakan
pembelajaran. Selanjutnya observer menyampaikan hasil
observasinya selama proses pembelajaran. Guru dan observer
(peneliti, guru lain, dan mahasiswa) terlibat dalam kegiatan lesson
learnt untuk perbaikan pembelajaran berikutnya.
Adapun hasil diskusi dan analisis yang telah dilakukan adalah
sebagai berikut:

Kesan-kesan yang disampaikan pendidik setelah melaksanakan


pembelajaran.
1) Pendidik merasa kesulitan dalam melaksanakan penilaian
autentik terutama yang berkaitan dengan sikap, perilaku, dan
aktvitas mental siswa
2) Pendidik harus menyiapkan sebelumnya semua media atau
alat yang akan digunakan dalam pembelajaran.

Beberapa kritik dan saran disampaikan para pengamat sebagai


berikut:
1) Pembelajaran tematik integratif dilaksanakan dengan baik,
artinya pendidik melaksanakan semua kegiatan yang telah
direncanakan seperti mengkondisikan siswa untuk melakukan
kehiatan mengamati, memberi kesempatan kepada siswa
untuk berani bertanya menfasilitasi siswa dalam kegiatan
menalar, serta mengkomunikasikan gagasan, dan seterusnya.
2) Kegiatan siswa dalam pembelajaran tematik integratif sangat
aktif, terutama dalam kegiatan saintifiknya.
3) Performance pendidik yang selalu mengajak siswa untuk

146
Pembelajaran Integratif Berbasis Soft Skill dan Hard Skill

saling menghargai sesama teman, saling membantu, jujur,


bekerja keras, bertanggungjawab, disiplin, berbesar hati atas
keberhasilan orang lain, semangat dan tidak cepat putus asa,
sehingga akan membentuk karakter yang diinginkan.

Namun demikian terdapat beberapa kritik dan saran yang


disampaikan, yaitu:
1) Masih ada siswa yang sibuk sendiri seperti menggambar
sendiri di luar konteks materi, dan mengganggu teman.
2) Pendidik belum maksimal dalam melayani/memfasilitasi
semua siswa dalam pembelajaran.
3) Pendidik hanya punya waktu terbatas dalam melakukan
penilaian 3 aspek (afektif, psikomotorik, dan kognitif)
4) Pendidik dapat melaksanakan pembelajaran sekaligus
mengamati kegiatan seluruh siswa, namun belum maksimal.

Secara umum hasil refleksi (see) pembelajaran pembelajaran


tematik integratif sebagai berikut:
1) Kegiatan Lesson Study mulai plan, do, dan see yang dilakukan
bersama-sama dirasakan sangat bernilai atau berguna bagi
pendidik, dosen, dan mahasiswa.
2) Dengan kegiatan ini membuat pendidik dapat menyiapkan
diri dengan lebih matang dalam melaksanakan pembelajaran
tematik integratif.
3) Kegiatan Lesson Study ini sangat membantu mengembangkan
pengetahuan dan wawasan pendidik tentang mata pelajaran
serta pengetahuan tentang belajar dan perkembangan siswa.
4) Pendidik sudah dapat membuat kemajuan terhadap tujuan
Lesson Study secara menyeluruh
5) Semua anggota kelompok sudah merasa terlibat dan berguna

Peningkatan Kompetensi Guru


Berdasarkan hasil observasi dan refleksi tentang kompetensi
guru dalam melaksanakan pembelajaran tematik integratif dapat
digambarkan melalui grafik berikut ini:

147
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Grafik 1. Kompetensi Guru kelas pada pembelajaran Tematik


Integratif di kelas IV

Pada Grafik 1 di atas dapat dilihat bahwa rata-rata kompetensi


pedagogik meningkat dari 3,20 (baik) menjadi 3,50 (baik atau
mendekati sangat baik); kompetensi profesional meningkat dari 3,20
(baik) menjadi 3,70 (baik atau mendekati sangat baik); kompetensi
sosial meningkat dari 3,08 (baik) menjadi 3,30 (baik); kompetensi
kepribadian meningkat dari 3,30 (baik) menjadi 3,60 (baik atau
mendekati sangat baik). Meskipun peningkatan kompetensi guru di
atas masih pada kategori baik, namun demikian secara keseluruhan
meningkat menjadi lebih baik pada kegitan lesson study.. Adanya
kegiatan diskusi, sharing, refleksi, dan komitmen yang tinggi dari
guru dan para pengamat pada kegiatan lesson study mengakibatkan
meningkatnya kompetensi terutama kompetensi guru yang bertugas
melaksanakan pembelajaran tematik integratif yang menyenangkan.

Pembahasan
Pada hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa pelaksanaan
lesson study dapat meningkatkan kompetensi guru kelas dalam
pembelajaran tematik integratif, baik kompetensi pedagogik,
kompetensi profesional, kompetensi sosial, maupun kompetensi
kepribadian.
Peningkatan kompetensi pedagogik diantaranya terlihat dari
kemampuan guru dalam menfokuskan perhatian siswa untuk
menemukan konsep gaya yaitu dengan menampilkan video dan
gambar orang naik sepeda, melibatkan siswa dalam melakukan
percobaan sederhana yaitu membuka dan menutup pintu, serta
mendorong dan menarik kursi.
Antusiasme siswa dalam manjawab pertanyaan mengapa sepeda

148
Pembelajaran Integratif Berbasis Soft Skill dan Hard Skill

bisa bergerak (pada kegiatan mengamati gambar dan video orang naik
sepeda), mengapa pintu bisa dibuka dan ditutup (ketika melakukan
percobaan membuka dan menutup pintu), mengapa kursi bisa
bergeser (pada kegiatan percobaan menarik dan mendorong kursi),
menunjukkan bahwa guru berhasil membuat rasa`ingin tahu siswa
semakin tinggi, berhasil melatih siswa untuk berani menjawab dan
menjelaskan apa yang telah mereka amati dan coba. Dengan kata lain,
kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran yang mendidik
juga semakin meningkat.
Selanjutnya peningkatan kompetensi kepribadian diantaranya
dapat dilihat sebagai pribadi guru yang stabil, dewasa, arif, dan
berwibawa, serta dapat menjadi teladan bagi siswanya.
Peningkatan kompetensi profesional dapat dilihat pada
performan guru dalam menjelaskan materi atau tema gerak dan gaya.
Kemampuan guru menggiring siswa untuk menemukan konsep
gaya, konsep KPK, dan menyanyikan lagu Kring-kring ada sepeda
dengan gerak tangan dan badan sesuai dengan tinggi rendah nada serta
kemampuan guru dalam meluruskan dan menguatkan pemahaman
siswa menunjukkan bahwa guru tersebut menguasai materi, struktur
konsep,
dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang
diampu dan dapat mengembangkan materi pembelajaran secara
kreatif.
Peningkatan kompetensi sosial diantaranya dapat dilihat
dari kemampuan guru berkomunikasi dengan siswa. Guru selalu
menggunakan bahasa yang santun dan mudah dipahami oleh siswa
baik dalam proses pembelajaran di kelas maupun di luar kelas.
Misalnya ketika menegur siswa yang menghina temannya karena
diantar ke sekeloh dengan menggunakan sepeda ontel, dengan bahasa
yang santun yaitu kita harus bersyukur atas apa yang kita punya baik
yang sekolahnya diantar pakai mobil, motor, sepeda, maupun dengan
jalan kaki. Kita tidak boleh saling menghina, karena kita semua adalah
ciptaan Allah SWT. Untuk siswa yang ke sekolahnya naik sepeda, juga
sekalian berolah raga.
Peningkatan kompetensi guru di atas, tidak bisa dilepaskan
dari kegiatan lesson study. Tahapan-tahapan kegiatan dalam lesson
study merupakan kegiatan yang biasa guru lakukan sehari-hari,
yaitu perencanaan dan persiapan pembelajaran (plan), implementasi
pembelajaran yang dilakukan dalam bentuk open lesson (do), dan
refleksi pembelajaran (see). Namun demikian ada hal lain yang tidak
biasa dilakukan oleh guru yaitu bekerja secara kolaboratif untuk
melakukan itu semua. Kekuatan dari kegiatan lesson study adalah

149
Professional Learning untuk Indonesia Emas

bagaimana kegiatan yang biasa dilakukan guru itu dikaji, dievaluasi,


dan dikembangkan sehingga semua potensi yang dimiliki dapat
diberdayakan secara sinergis sehingga menghasilkan suatu kegiatan
pembelajaran yang lebih berkualitas dari kegitan sebelumnya.
Suatu kegiatan pembelajaran yang direncanakan dan disiapkan
dengan baik dan matang, pelaksanaannya diobservasi dan dievaluasi
serta direfleksi dengan hati yang ikhlas, ada keterbukaan, ada
kejujuran dan dengan komitmen yang tinggi untuk melakukan suatu
perubahan yang lebih baik, akan menghasilkan sesuatu yang lebih
baik. Hal ini juga dapat diketahui dari hasil observasi menunjukkan
bahwa kompetensi guru kelas dalam melaksanakan pembelajaran
tematik integratif meningkat lebih baik ketika kegiatan Lesson Study
berlangsung.
Meskipun keberhasilan dari kegiatan ini belum diukur berdasarkan
tes hasil belajar siswa, berdasarkan hasil observasi dan refleksi
pembelajaran, secara proses kualitas proses kegiatan pembelajaran
lebih baik dari kegiatan-kegiatan sebelum kegiatan ini dilakukan.
Keberhasilan pembelajaran tematik integratif di atas merupakan
pencapaian hasil dari suatu proses kolaborasi banyak pihak terutama
antar sesama guru, dosen, mahasiswa, kepala sekolah, dan pihak lain
yang memiliki kepentingan yang sama dalam meningkatkan kualitas
pendidikan yang dilakukan secara berkesinambungan. Kemauan
untuk menjadi lebih baik, keikhlasan untuk dikoreksi dan mengoreksi,
kebulatan tekad, keterbukaan, komunikasi, dan komitmen dari semua
pihak yang berkolaborasi inilah yang akan menentukan kegiatan lesson
study.
Berdasarkan evaluasi proses pembelajaran yang dilakukan,
hasil penelitian menunjukkan bahwa lesson study merupakan suatu
kegiatan yang dapat meningkatkan kompetensi guru, baik kompetensi
pedagogik, profesional, sosial, dan kepribadian dalam pelaksanaan
pembelajaran tematik integratif di kelas IV MIN 2 Metro.
Selanjutnya terdapat beberapa kendala yang dihadapi guru dalam
melaksanakan pembelajaran tematik integratif diantaranya adalah
(1) kesulitan dalam melaksanakan penilaian autentik, yang meliputi
penilaian sikap, perilaku, pengetahuan. (2) guru merasa kesulitan
melaksanakan pembelajaran tematik integratif sekaligus harus
mengamati proses pembelajaran siswa. (3) membutuhkan banyak
media pembelajaran yang bervariasi.

Penutup
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas dapat
disimpulkan bahwa pelaksanaan Lesson Study dapat meningkatkan

150
Pembelajaran Integratif Berbasis Soft Skill dan Hard Skill

kompetensi guru kelas dalam pembelajaran tematik integratif


kurikulum 2013. Hal tersebut dapat dilihat dari peningkatan
kompetensi guru (pedagogik, profesional, sosial, dan kepribadian)
sebelum dan pada saat pelaksanaan pembelajaran tematik integratif
melalui kegiatan Lesson Study. Dalam Lesson Study kegiatan yang
biasa dilakukan guru itu dikaji, dianalisis, dielaborasi, dievaluasi,
dan dikembangkan secara bersama-sama sehingga semua potensi
yang dimiliki dapat diberdayakan secara sinergis dan menghasilkan
suatu kegiatan pembelajaran yang lebih berkualitas dari kegiatan
sebelumnya.
Dengan kualitas proses pembelajaran yang lebih baik akan
berimplikasi pada peningkatan hasil belajar siswa.

Daftar Pustaka

Arikunto, S. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi revisi). Jakarta: Bumi


Aksara, 2001.
Cerbin, Bill. A Brief Introduction to College Lesson Study. Lesson Study
Project. online: http ://www.uwlax.edu/sotl/lsp/index2.htm

151
INTEGRASI PENDIDIKAN MULTIKUTURAL
DI SEKOLAH
Rohmat Nugraha Sasmita

Abstract: The failure of peoples understanding of cultural


diversity is educational failure and vice versa, the realization
of serenity and tranquility in society is educational success.
Education is a way to shape the personality of the students in
the application of social values in society will be useful for the
provision of the students in the future. Multicultural education is
very important to be applied in order to help people understand
themselves from the eyes of another culture. This in turn will
eliminate social prejudice. Multicultural education is very
important to be applied in order to minimize and prevent
conflict, through a multicultural approach given by the teacher
deliver the lesson, learners are given the understanding that
humans are social beings who need each other so as to realize
harmony in life, the practice of multicultural education in
Indonesia can be flexible with emphasis on the basic principles
of multicultural education. Multicultural treated as an approach
to promote education completely and thoroughly. Multicultural
education can also be applied as a tool to make citizens more
have a tolerant, inclusive, and has a soul of equality in social
life, as well as the always opinionated society as a whole will
be better, when anyone citizens to contribute according to their
ability and opportunity owned for society as a whole. Lessons
need to provide opportunities for students to learn how a
community culture can play a role in improving the prosperity
and welfare for its citizens. Multicultural education can be used
as an instrument of social engineering through formal education,
meaning that school institutions should play a role in instilling
awareness of living in a multicultural society and develop an
attitude of tolerance and tolerance to realize the needs and ability
to cooperate with all the differences that exist.

Keyword: Integration, Multiculturalism Education.

152
Pembelajaran Integratif Berbasis Soft Skill dan Hard Skill

Pendahuluan
Banyaknya konflik yang bernuansa SARA pada beberapa daerah
di Indonesia. Misalnya, salah satu penyebabnya konflik tersebut
adalah akibat dari lemahnya pemahaman dan pemaknaan tentang
konsep kearifan budaya. Dalam konteks pendidikan, bahwa semua
persoalan dalam masyarakat akan dapat diperbaiki melalui proses
pendidikan. Artinya, kegagalan pemahaman masyarakat terhadap
keragaman budaya adalah kegagalan pendidikan dan sebaliknya,
terwujudnya ketenangan dan ketenteraman dalam masyarakat
adalah keberhasilan pendidikan. Pendidikan adalah suatu cara untuk
membentuk kepribadian siswa dalam penerapan nilai-nilai sosial
pada masyarakat yang natinya akan berguna bagi bekal siswa di masa
yang akan datang.
Pendidikan multikultural sangat penting diterapkan guna
membantu individu memahami diri sendiri dari kaca mata budaya
lain. Hal tersebut pada giliranya akan menghapuskan prasangka sosial.
Dengan demikian, dalam mengatasi segala problematika masyarakat
sebaiknya dimulai dari penataan secara sistematis dan metodologis
dalam pendidikan. Salah satu komponen dalam pendidikan adalah
proses belajar mengajar (pembelajaran). Multikultural dapat
dibentuk melalui proses pembelajaran, yaitu dengan menggunakan
pembelajaran berbasis multikultural. Yaitu proses pembelajaran yang
mampu mengakomodir segala perbedaan, James A. Banks Child,
family, school, community: Socialization and support dalam Tatang M.
Amirin, Implementasi Pendidikan Multikultural Kontekstual Berbasis
Kearifan Lokal di Indonesia, (Jurnal Pembangunan Pendidikan:
Fondasi dan Aplikasi, Vol 1, No 1, Juni, 2012 hal. 3)
Terobosan baru untuk mengatasi terjadinya konflik dengan
pendidikan multikultural atau topik pendidikan multikultural ini
ternyata sudah dibahas oleh beberapa ahli dalam penelitiannya.
Pendidikan multikultural sangat penting diterapkan guna
meminimalisasi dan mencegah terjadinya konflik, melalui pendekatan
multikultural yang diberikan oleh guru dalam menyampaiakan
pelajaran, peserta didik diberi pemahaman bahwa manusia adalah
makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain sehingga
mampu mewujudkan keselarasan dalam hidup. Sedangkan Ruslan
Ibrahim menyatakan bahwa masalah yang paling sering terjadi dalam
kehidupan era pluralitas agama adalah maraknya konflik yang terjadi
di masyarakat. Konflik yang terjadi dalam era pluralitas tidak akan
bisa dimusnahkan selama masih ada perbedaan. Solusi yang bisa
dilakukan adalah dengan melibatkan kaum elite agama serta melalui
pendekatan multidimensional yang menjadi agenda pendidikan

153
Professional Learning untuk Indonesia Emas

multikultural sebagai jalan alternative untuk mengurangi pememicu


konflik.

Pengertian Pendidikan Multikultural


Bank (2002): suatu rangkaian kepercayaan (set of beliefs) dan
penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya
dan etnis di dalam membentuk gaya hidup, pengalaman sosial,
identitas pribadi, kesempatan pendidikan dari individu, kelompok
maupun negara.
Pendidikan multikultural merupakan pendekatan progresif
untuk mengubah pendidikan secara holistik dengan mengkritik dan
memusatkan perhatian kepada kelemahan, kegagalan dan praktek
deskriminatif di dalam pendidikan.
James Banks (1993:3) pendidikan multikultural sebagai
pendidikan untuk people of color. Artinya, pendidikan multikultural
ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan (anugerah
tuhan atau sunatullah). Pendidikan multikultural dapat didefinisikan
sebagai pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam merespon
perubahan demografi dan kultural lingkungan masyarakat tertentu
bahkan dunia secara keseluruhan (global).
Hilda Hernandez pendidikan multikultural sebagai prespektif
yang mengakui realitas politik, sosial,dan ekonomi yang dialami oleh
masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks
dan beragam secara kultur, dan merefleksikan pentingnya budaya,
ras, seksualitas, agama, gender, etnisitas, status sosial, ekonomi, dan
pengecualian-pengecualian dalam proses pendidikan.
Paulo Freire, pendidikan bukan merupakan menara gading yang
berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya
harus mamapu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan
berpendidikan, buka sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan
prestise sosial sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialami.
Berikut ini dikemukakan beberapa pengertian mutikulturalisme:
1. Multikulturalisme adalah konsep yang menjelaskan dua perbedaan
dengan makna yang saling berkaitan.
a. multikulturalisme sebagai kondisi kemajemukan kebudayaan
atau pluralisme budaya dari masyarakat. Kondisi ini
diasumsikan dapat membentuk sikap toleransi.
b. multikulturalisme merupakan seperangkat kebijakan
pemerintah pusat yang dirancang sedemikian rupa agar
seluruh masyarakat dapat memberikan perhatian kebudayaan
dari semua kelompok etnik atau suku bangsa. Hal ini beralasan
karena, bagaimanapun juga, semua kelompok etnik atau suku

154
Pembelajaran Integratif Berbasis Soft Skill dan Hard Skill

dan bangsa telah memberi kontribusi bagi pembentukan dan


pembangunan suatu bangsa.
2. Multikulturalisme merupakan konsep sosial yang diintroduksi
ke dalam pemerintahan agar pemerintah dapat menjadikannya
sebagai kebijakan pemerintah. Rasionalisasi masuknya
multikulturalisme dalam perumusan kebijakan pemerintahan,
karena hanya pemerintah yang dianggap sangat representatif
ditempatkan di atas kepentingan maupun praktik budaya dari
semua kelompok etnik dari suatu bangsa. Akibatnya, setiap
kebijakan pemerintah diharapkan mampu mendorong lahirnya
sikap apresiatif, toleransi, prinsip kesetaraan antara pelbagai
kelompok etnik, termasuk kesetaraan bahasa, agama, maupun
praktik budaya lainnya.
3. Pendidikan multikultural (multicultural education),
multikulturalisme merupakan strategi pendidikan yang
memanfaatka keragaman latar belakang kebudayaan dari para
peserta didik sebagai salah satu kekuatan untuk membentuk sikap
multikultural. Strategi ini sangat bermanfaat; sekurang-kurangnya
dari sekolah sebagai lembaga pendidikan, dapat terbentuk
pemahaman bersama atas konsep kebudayaan, perbedaan budaya,
keseimbangan, dan demokrasi dalam artian luas.
4. Multikulturalisme sebagai ideologi dapat dikatakan sebagai
gagasan bertukar pengetahuan dan keyakinan yang dilakukan
melalui pertukaran kebudayaan atau perilaku budaya setiap hari.
Artinya, daripada kita hidup dalam tempurung kebudayaan
sendiri, maka sebaiknya kita mempelajari kebudayaan orang
lain. Ini sama dengan kita belajar tentang multikultural. Melalui
ideologi multikulturalisme itulah, kita semua diajak untuk
menerima standar umum kebudayaan yang dapat membimbing
kehidupan kita dalam sebuah masyarakat yang majemuk (Sleeter,
1990).

Tujuan Pendidikan Multikultural


Hasil yang diharapkan Pendidikan Multikultural terlihat pada
definisi, justifikasi, asumsi, dan pola-pola pembelajarannya. Ada
banyak variasi tujuan khusus dan tujuan umum Pendidikan
Multikultural yang digunakan oleh sekolah sesuai dengan faktor
kontekstual seperti visi dan misi belakang sekolah, siswa, lingkungan
sekolah, dan perspektif. Tujuan Pendidikan Multikultural dapat
mencakup tiga aspek belajar (kognitif, afektif, dan tindakan) dan
berhubungan baik nilai-nilai intrinsik (ends) maupun nilai instrumental
(means) Pendidikan Multikultural.

155
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Tujuan Pendidikan Multikultural mencakup:


1. Pengembangan Literasi Etnis dan Budaya
Pendidikan Multikultural adalah mempelajari tentang latar
belakang sejarah, bahasa, karakteristik budaya, sumbangan,
peristiwa kritis, individu yang berpengaruh, dan kondisi sosial,
politik, dan ekonomi dari berbagai kelompok
2. Perkembangan Pribadi
Dasar psikologis Pendidikan Multikultural menekankan pada
pengembangan pemahaman diri yang lebih besar, konsep
diri yang positif, dan kebanggaan pada identitas pribadinya.
Penekanan bidang ini merupakan bagian dari tujuan Pendidikan
Multikultural yang berkontribusi pada perkembangan pribadi
siswa, yang berisi pemahaman yang lebih baik tentang diri yang
pada akhirnya berkontribusi terhadapat keseluruhan prestasi
intelektual, akademis, dan sosial siswa.
3. Klarifikasi Nilai dan Sikap
Pendidikan Multikultural mengangkat nilai-nilai inti yang
berasal dari prinsip martabat manusia (human dignity), keadilan,
persamaan, kebebasan, dan demokrasi. Maksudnya adalah
mengajari generasi muda untuk menghargai dan menerima
pluralisme etnis, menyadarkan bahwa perbedaan budaya tidak
sama dengan kekurangan atau rendah diri, dan untuk mengakui
bahwa keragaman merupakan bagian integral dari kondisi
manusia.
4. Kompetensi Multikultural
Pendidikan multikultural dapat meredakan ketegangan ini
dengan mengajarkan ketrampilan dalam komunikasi lintas
budaya, hubungan antar pribadi, pengambilan perspektif,
analisis kontekstual, pemahaman sudut pandang dan kerangka
berpikir alternatif, dan menganalisa bagaimana kondisi budaya
mempengaruhi nilai, sikap, harapan, dan perilaku. Pendidikan
multikultural dapat membantu siswa mempelajari bagaimana
memahami perbedaan budaya tanpa membuat pertimbangan
nilai yang semena-mena tentang nilai intrinsiknya. Untuk
mencapai tujuan ini anak dapat diberi pengalaman belajar dengan
memberi berbagai kesempatan pada siswa untuk mempraktekkan
kompetensi budaya dan berinteraksi dengan orang, pengalaman,
dan situasi yang berbeda.
5. Kemampuan Ketrampilan Dasar
Tujuan utama pendidikan multikultural adalah untuk
memfasilitasi pembelajaran untuk melatih kemampuan
keterampilan dasar dari siswa yang berbeda secara etnis.

156
Pembelajaran Integratif Berbasis Soft Skill dan Hard Skill

Pendidikan multikultural dapat memperbaiki penguasaan


membaca, menulis dan ketrampilan matematika; materi pelajaran;
dan ketrampilan proses intelektual seperti pemecahan masalah,
berpikir kritis, dan pemecahan konflik dengan memberi materi
dan teknik yang lebih bermakna untuk kehidupan dan kerangka
berpikir dari siswa yang berbeda secara etnis.

6. Persamaan dan Keunggulan Pendidikan


Tujuan persamaan multikultural berkaitan erat dengan tujuan
penguasaan ketrampilan dasar, namun lebih luas dan lebih
filosofis. Untuk menentukan sumbangan komparatif terhadap
kesempatan belajar, pendidik harus memahami secara keseluruhan
bagaimana budaya membentuk gaya belajar, perilaku mengajar,
dan keputusan pendidikan.
7. Memperkuat Pribadi untuk Reformasi Sosial
Tujuan terakhir dari pendidikan multikultural adalah memulai
proses perubahan di sekolah yang pada akhirnya akan meluas ke
masyarakat. Tujuan ini akan melengkapi penanaman sikap, nilai,
kebiasaan dan ketrampilan siswa sehingga mereka menjadi agen
perubahan sosial (social change agents) yang memiliki komitmen
yang tinggi dengan reformasi masyarakat untuk memberantas
perbedaan (disparities) etnis dan rasial dalam kesempatan dan
kemauan untuk bertindak berdasarkan komitmen ini. Untuk
melakukan itu, mereka perlu memperbaiki pengetahuan mereka
tentang isu etnis di samping mengembangkan kemampuan
pengambilan keputusan, ketrampilan tindakan sosial, kemampuan
kepemimpinan, dan komitmen moral atas harkat dan persamaan.
8. Memiliki wawasan kebangsaan / kenegaraan yang kokoh.
Dengan mengetahui kekayaan budaya bangsa itu akan tumbuh
rasa kebangsaan yang kuat. Rasa kebangsaan itu akan tumbuh
dan berkembang dalam wadah negara Indonesia yang kokoh.
Untuk itu Pendidikan multikultural perlu menambahkanmateri,
program dan pembelajaran yang memperkuat rasa kebangsaan
dan kenegaraan dengan menghilangkan etnosentrisme,
prasangka, diskriminasi dan stereotip.
9. Memiliki wawasan hidup yang lintas budaya dan lintas bangsa
sebagai warga dunia.
Hal ini berarti individu dituntut memiliki wawasan sebagai warga
dunia (world citizen). Namun siswa harus tetap dikenalkan dengan
budaya lokal, harus diajak berpikir tentang apa yang ada di sekitar
lokalnya. Mahasiswa diajak berpikir secara internasional dengan
mengajak mereka untuk tetap peduli dengan situasi yang ada di

157
Professional Learning untuk Indonesia Emas

sekitarnya act locally and think globally.


10. Hidup berdampingan secara damai.
Dengan melihat perbedaan sebagai sebuah keniscayaan, dengan
menjunjung tinggi nilai kemanusian, dengan menghargai
persamaan akan tumbuh sikap toleran terhadap kelompok lain
dan pada gilirannya dapat hidup berdampingan secara damai.

Fungsi Pendidikan Multikultural


Menurut The National Council for Social Studies (Gorski, 2001)
mengajukan sejumlah fungsi yang menunjukkan pentingnya
keberadaan dari Pendidikan Multikultural. Fungsi tersebut adalah :
1. Memberi konsep diri yang jelas.
2. Membantu memahami pengalaman kelompok etnis dan budaya
ditinjau dari sejarahnya.
3. Membantu memahami bahwa konflik antara ideal dan realitas itu
memang ada pada setiap masyarakat.
4. Membantu mengembangkan pembuatan keputusan (decision
making), partisipasi sosial dan ketrampilan kewarganegaraan
(citizenship skills).
5. Mengenal keberagaman dalam penggunaan bahasa.

Selain itu pendidikan multikultural memberikan tekanan bahwa


sekolah pada dasarnya berfungsi mendasari perubahan masyarakat
dan meniadakan penindasan dan ketidakadilan. Jalan diatas dapat
dirinci menjadi 3 (tiga) butir perubahan yaitu:
1. Perubahan diri
2. Perubahan sekolah dan persekolahan
3. Perubahan masyarakat

Perubahan diri dimaknai sebagai perubahan yang dimulai dari


diri siswa sendiri yang lebih menghargai orang lain agar bisa hidup
damai dengan sekelilingnya. Kemudian diwujudkan dalam tata tutur
dan tata prilakunya di lingkungan sekolah dan berlanjut hingga
masyarakat. Karena sekolah merupakan agen perubahan maka
diharapkan ada perubahan yang dapat terjadi di masyarakat, seiring
dengan terjadinya perubahan yang terjadi di lingkungan sekolah.
Ketiga perubahan tersebut sangat berkaitan agar siswa nantinya
dapat tumbuh menjadi manusia yang mampu menghadapi berbagai
pluralisme budaya.
Zamroni (2011) menawarkan paradigma pendidikan multikultural
adalah sebagai berikut :
a. Pendidikan multikultural adalah jantung untuk menciptakan

158
Pembelajaran Integratif Berbasis Soft Skill dan Hard Skill

kesetaraan pendidikan bagi seluruh warga masyarakat.


b. Pendidikan multikultural bukan sekedar perubahan kurikulum
atau perubahan metode pembelajaran.
c. Pendidikan multikultural mentransformasi kesadaran yang
memberikan arah kemana transformasi praktik pendidikan harus
menuju.
d. Pengalaman menunjukan bahwa upaya mempersempit
kesenjangan pendidikan salah arah yang justru menciptakan
ketimpangan semakin membesar.
e. Pendidikan multikultural bertujuan untuk berbuat sesuatu, yaitu
membangun jembatan antara kurikulum dan karakter guru,
pedagogi, iklim kelas, dan kultur sekolah guna membangun visi
sekolah yang menjunjung kesetaraan.

Oleh karenanya praktek pendidikan multikultural di Indonesia


dapat dilaksanakan secara fleksibel dengan mengutamakan prinsip-
prinsip dasar multikultural. Apapun dan bagaimanapun bentuk dan
model pendidikan multikultural, mestinya tidak dapat lepas dari
tujuan umum pendidikan multikultural, yaitu :
a. Mengembangkan pemahaman yang mendasar tentang proses
menciptakan sistem dan menyediakan pelayan pendidikan yang
setara.
b. Menghubungkan kurikulum dengan karakter guru, pedagogi,
iklim kelas, budaya sekolah dan konteks lingkungan sekolah
guna membangun suatu visi lingkungan sekolah yang setara
(Akhmad Hidayatullah Al Arifin:2012).

Di Indonesia Praktek pendidikan multikultural memang masih


sebatas wacana nampaknya tidak dapat dilaksanakan seratus persen
ideal seperti di Amerika Serikat, walaupun ditinjau dari keragaman
budaya memang banyak kemiripan. Hal itu disebabkan oleh
perjalanan panjang histori penyelenggaraan pendidikan yang banyak
dilatarbelakangi oleh primordialisme. Misalnya pendirian lembaga
pendidikan berdasar latar belakang agama, daerah, perorangan
maupun kelompok.
Pendidikan Multikultural juga disarankan oleh Gay (2002) harus
memiliki prinsip fleksibilitas sebagaimana dikutip Zamroni (2011 :
150), dikatakan bahwa amat keliru kalau melaksanakan pendidikan
multikultural harus dalam bentuk mata pelajaran yang terpisah atau
monolitik. Pendidikan multikultural diperlakukan sebagai pendekatan
untuk memajukan pendidikan secara utuh dan menyeluruh.
Pendidikan multikultural juga dapat diberlakukan sebagai alat bantu

159
Professional Learning untuk Indonesia Emas

untuk menjadikan warga masyarakat lebih memiliki toleran, bersifat


inklusif, dan memiliki jiwa kesetaraan dalam hidup bermasyarakat,
serta senantiasa berpendirian suatu masyarakat secara keseluruhan
akan lebih baik, manakala siapa saja warga masyarakat memberikan
kontribusi sesuai dengan kemampuan dan kesempatan yang dimiliki
bagi masyarakat sebagai keutuhan.
Pembelajaran perlu memberi kesempatan bagi siswa untuk
mempelajari bagaiman suatu kultur masyarakat bisa berperan dalam
upaya peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan bagi warganya.
Pendidikan multikultural dapat dijadikan instrument rekayasa
sosial lewat pendidikan formal, artinya institusi sekolah harus
berperan dalam menanamkan kesadaran hidup dalam masyarakat
multikultural dan mengembangkan sikap tenggang rasa dan toleransi
untuk mewujudkan kebutuhan serta kemampuan bekerjasama dengan
segala perbedaan yang ada (Zamroni : 2011).
Sekolah harus dipandang sebagai suatu masyarakat, masyarakat
kecil; artinya, apa yang ada di masyarakat harus ada pula di sekolah.
Perspektif sekolah sebagai suatu masyarakat kecil ini memiliki
implikasi bahwa siswa dipandang sebagai suatu individu yang
memiliki karakteristik yang terwujud dalam bakat dan minat serta
aspirasi yang menjadi hak siswa.
Pada level sekolah, dengan adanya berbagai perbedaan yang
dimiliki masing-masing individu, maka sekolah harus memperhatikan
:
a. setiap siswa memiliki kebutuhan perkembangan yang berbeda-
beda, termasuk kebutuhan personal dan sosial,
b. kebutuhan vokasi dan karier,
c. kebutuhan psikologi dan perkembangan moral spiritual.

Pada level masyarakat, yang perlu dipenuhi kebutuhannya adalah


mencakup :
a. kebutuhan akademik,
b. kebutuhan psikologis,
c. kebutuhan kebersamaan, dan
d. kebutuhan rasa aman. Pendidikan harus dapat memenuhi
kebutuhan tersebut.

Sekolah harus dapat dijadikan tempat yang aman, memiliki


suasana kekerabatan dan juga terdapat semangat saling dukung
mendukung. Berkaitan dengan itu, maka proses pembelajaran
diarahkan pada pengembangan individu secara utuh yang mencakup
intelektual, sosial, dan moral spiritual. Tekanan dan dorongan siswa

160
Pembelajaran Integratif Berbasis Soft Skill dan Hard Skill

untuk bekerja keras tidak hanya bersifat ekstrinsik, bahkan lebih dari
itu harus ditekankan pada penggunaan instrinsik motivation.
Dari perspektif hasil pembelajaran, pendidikan multikultural
memiliki tiga sasaran yang dikembangkan pada diri setiap siswa
diantaranya
a. pengembangan identitas kultural
Yakni, merupakan kompetensi yang dimiliki siswa untuk
mengidentifikasi dirinya dengan suatu etnis tertentu. Kompetensi
ini mencakup pengetahuan, pemahaman dan kesadaran akan
kelompok etnis dan menimbulkan kebanggaan serta percaya diri
sebagai warga kelompok etnis tertentu.
b. hubungan interpersonal.
Yakni, kompetensi untuk melakukan hubungan dengan kelompok
etnis lain, dengan senatiasa mendasarkan pada persamaan dan
kesetaraan, serta menjauhi sifat syakwasangka dan stereotip.
c. memberdayakan diri sendiri.
Yakni, suatu kemampuan untuk mengembangkan secara
terus menerus apa yang dimiliki berkaitan dengan kehidupan
multikultural.

Secara detail, kompetensi kultural mencakup berbagai hal sebagi


berikut :
1. Kompetensi invidu untuk menerima, menghormati dan
membangun kerjasamadengan siapapun juga yang memiliki
perbedaan-perbedaan dari dirinya.
2. Kompetensi kultural merupakan hasil dari kesadaran atas
pengetahuan dan bias kultural yang dimilikinya atau sebagai
faktor yang mempengaruhi perbedaan kultur
3. Proses pengembangan komptensi kultural memerlukan
pengembangan pengetahuan, ketrampilan, sikap dan perilaku
yang memungkinkan seseorang memahami dan berinteraksi secara
efisien dengan orang yang memiliki perbedaan kultur.

Berkaitan dengan kompetensi kultural dan bagaimana kompetensi


tersebut dibentuk, Papadopoulos & Lee (2003) mengajukan model
pengembangan kompetensi kultural sebagai berikut : Kompetensi
kultural dibentuk oleh berbagai faktor: penguasaan pengetahuan,
critical thingking, daya kritis, kemampuan mengembangkan sesuatu,
dan kemampuan praktis. Keempat faktor tersebut tidak statis
melainkan dinamis terus bergerak, membentuk kompetensi kultural.
Pendidikan multikultural juga sangat relevan dengan pendidikan
demokrasi di masyarakat plural seperti Indonesia, yang menekankan

161
Professional Learning untuk Indonesia Emas

pada pemahaman akan multi etnis, multi ras, dan multikultur yang
memerlukan konstruksi baru atas keadilan, kesetaraan dan masyarakat
yang demoktratis.

Penutup
Dari paparan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa :
1. Pendidikan multikultural di Indonesia masih menjadi wacana
baru yang perlu direspon untuk menjaga keutuhan bangsa yang
kaya akan multikultur.
2. Pendidikan multikultural merupakan wujud kesadaran
tentang keanekaragaman kultural, hak-hak asasi manusia serta
pengurangan atau penghapusan jenis prasangka atau prejudice
untuk suatu kehidupan masyarakat yang adil dan maju.
Pendidikan multikultural juga dapat dijadikan instrumen strategis
untuk mengembangkan kesadaran atas kebanggaan seseorang
terhadap bangsanya.
3. Dalam menghadapi pluralisme budaya, diperlukan paradigma
baru yang lebih toleran dan elegan untuk mencegah dan
memecahkan masalah benturan-benturan budaya tersebut, yaitu
perlunya dilaksanakan pendidikan multicultural.
4. Oleh karenanya praktek pendidikan multikultural di Indonesia
dapat dilaksanakan secara fleksibel dengan mengutamakan
prinsip-prinsip dasar multikultural.
5. Pendidikan multikultural juga sangat relevan dengan pendidikan
demokrasi di masyarakat plural seperti Indonesia, yang
menekankan pada pemahaman akan multi etnis, multi ras, dan
multikultur yang memerlukan konstruksi baru atas keadilan,
kesetaraan dan masyarakat yang demoktratis.

Daftar Pustaka

Hidayatullah Al Arifin, Akhmad (2012) Implementasi Pendidikan


Multikultural Dalam Praksis Pendidikan Di Indonesia. Jurnal
Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi. Volume 1,
Nomor 1, Juni, 2012
Arifudin, Iis (2007) Urgensi Implementasin Pendidikan Multikultural di
Sekolah. Jurnal Pemikiran Alternatif Pendidikan INSANIA
Vol. 12|No. 2|P3M STAIN Purwokerto.
Banks, James A. 1993. Teaching strategies forethnic studies. Boston: Allyn
and Bacon Inc.

162
Pembelajaran Integratif Berbasis Soft Skill dan Hard Skill

Banks, James A. 2002. An introduction to Multicultural Education, Boston-


London: Allyn and Bacon Press.
Firda (2013) Pendidikan Multikultural diunduh dari https://fhierda.
wordpress.com/2013/03/11/pendidikan-multikultural/ 13-
3-2015
Irfani Reza (2012) Pendidikan Multikultural diunduh dari http://
pendidikanmultikulturalindonesia.blogspot.com/13-3-2015
Konsep Pendidikan Multikulturalisme (2014) diunduh dari http://
manusiapinggiran.blogspot.com/2014/04/konsep-
pendidikan-multikulturalisme.html / 13-3-2015
Tatang M. Amirin (2012) Implementasi Pendekatan Pendidikan
Multikultural Kontekstual Berbasis Kearifan Lokal Di Indonesia
Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi
Volume 1, Nomor 1, Juni, 2012
Zamroni, (2011). Pendidikan Demokrasi pada Masyarakat Multikultural.
Yogyakarta: Gavin Kalam Utama

163
Professional Learning untuk Indonesia Emas

164
4
PERKEMBANGAN
MODEL PEMBELAJARAN
DARI MASA KE MASA
Professional Learning untuk Indonesia Emas

166
MODEL PEMBELAJARAN
YANG DIBUTUHKAN UNTUK MENUJU
INDOSIA EMAS TAHUN 2045
Abuddin Nata
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Email : abu_nata@yahoo.co.id

Pendahuluan
Pada tahun 2045, Kemerdekaan Indonesia akan berusia 100 tahun.
Ketika telah genap mencapai usia 100 tahun itu, bangsa Indonesia
diharapkan menjadi bangsa yang sudah maju, makmur, modern dan
madani. Inilah yang selanjutnya dikenal sebagai tahun generasi emas.
Dalam dokumen Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang disusun oleh Menteri Kordinator
Perekonomian, dicangankan, bahwa pada tahun 2015 Indonesia
telah menjadi negara mandiri, maju, adil, dan makmur yang ditandai
dengan pendapatan perkapita sekitar 15.000 dollar AS atau setara
dengan Rp. 180.000.000, (Seratus delapan puluh juta rupiah) per-tahun
atau sekitar 15.000,-/per-bulan. Pada saat itu, Indonesia diharapkan
sudah menjadi kekuatan ekonomi 12 besar dunia. Lebih lanjut pada
tahun 2045, Indonesia diproyeksikan menjadi satu dari tujuh kekuatan
ekonomi di dunia dengan pendapat perkapita sekitar 47.000 dollar
atau sekitar Rp. 562.000.000,- (Lima ratus enam puluh dua juta) per-
tahun, atau sekitar 47.000,-/per-bulan, atau sekitar Rp.1.600.- (satu
juta enam ratus ribu rupiah) perhari. Sebagai negara maju, dalam
dokumen MP3EI disebutkan, bahwa yang dimaksud dengan negara
maju adalah negara yang tingkat pertumbuhan ekonominya positif
dan tingkat inflasinya menurun. Dengan pendapatan in com per-
kapita yang demikian itu, maka Indonesia sebagai negara makmur
dan modern akan dapat dicapai.
Namun demikian, pada tahun emas itu, Indonesia bukan hanya
menjadi negara yang maju, makmur dan modern secara ekonomi,
namun juga menjadi masyarakat madani. Yaitu suatu masyarakat
yang makin berbudaya dan beradap yang didasarkan pada nilai-nilai
agama, falsafat, nilai-nilai luhur, jati diri dan budaya Indonesia. Dengan
ciri madani ini, maka kemajuan, kemakmuran dan kemodernan yang
dicapai bangsa Indonesia ini, akan memiliki jati diri dan karakter
yang Indonesia, dan berbeda dengan kemajuan, kemakmuran dan
kemodern sebagaimana yang dicapai Barat, yang hanya menekankan
aspek ekonomi.
Adanya keinginan mewujudkan Indonesia emas di tahun 2045
itu patut disambut dengan baik, dengan beberapa alasan. Pertama,
adanya pencanangan Indonesia emas ini akan menjadi pemicu lahirnya

167
Professional Learning untuk Indonesia Emas

motivasi dan komitmen yang kuat dari generasi sekarang untuk


benar-benar berusaha mewujudkannya. Kedua, adanya pencanangan
Indonesia emas ini akan menjadi fokus perhatian, agar segala aktivitas
yang dilakukan terarah pada cita-cita yang luhur itu. Ketiga, adanya
Indonesia emas mengingatkan kita agar menjadi bangsa yang besar
sebagaimana yang pernah dicapai generasi terdahulu. Sejarah
mencatat, bahwa bangsa Indonesia pernah mengalami dua milenium.
Pada milinium pertama, bangsa kita berhasil membangun sebuah
Candi yang sekarang menjadi Candi terbesar dan terindah di dunia,
yaitu Candi Borobudur. Selanjutnya pada milenium kedua, rakyat
Indonesia di bawah naungan Kerajaan Majapahit berhasil menguasai
dan menjadi pelaku penting dalam percaturan dunia, sampai akhirnya
Belanda datang menjajah dan menguasai bangsa ini sampai 350 tahun
lamanya. Mereka menjadi tuan di tanah Nusantara. Seluruh rakyat
Indonesia dipaksa harus patuh dan tunduk pada keinginan penjajah.
Hampir seluruh kerajaan Islam tunduk, dan tidak dapat melawan.
Demikian pula masuknya Jepang yang menjajah negara Indonesia
dengan kekerasan dan tidak mengenal belas kasihan. Pada saat itu,
bangsa Indonesia menjadi terbelakang, tidak dapat berkembang.
Mereka hanya sebatas menjadi buruh.
Pendidikan selama ini diposisikan sebagai sarana yang paling
strategis untuk menyiapkan sumber daya manusia agar siap dalam
mewujudkan Indonesia emas yang akan datang. Hal ini disebabkan,
karena dunia pendidikanlah yang secara langsung berhadapan
dengan tugas mempersiapkan manusia yang demikian itu. Di
antara komponen pendidikan yang paling berpengaruh dalam
mempersiapkan sumber daya manusia yang demikian itu adalah
proses pembelajaran (learning process). Pertanyaannya adalah model
pembelajaran yang bagaimanakah yang dapat menyiapkan manusia
memasuki era keemasan tersebut?
Makalah ini akan menjawab masalah tersebut dengan terlebih
dahulu mengemukakan beberapa kendala yang perlu dipecahkan
dalam mewujudkan Indonesia emas, serta faktor-faktor yang
diperkirakan dapat mendukung perwujudan Indonesia emas.

Kendala Yang Menghambat Indonesia Emas 2045


Di antara kendala yang dapat menghambat Indonesia emas tahun
2045 adalah hal-hal sebagai berikut.
Pertama, ledakan penduduk yang tidak terkendali. Pada tahun
2045 yang akan datang penduduk Indonesia diperkirakan akan
mencapai sekitar 400 juta jiwa manusia, dan 60% di antaranya adalah
berada dalam usia muda. Jumlah penduduk yang demikian besar ini
jika tidak diberikan pendidikan yang unggul akan menjadi beban
negara. Mereka membutuhkan makanan, minuman, pakaian, tempat
tinggal, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, hiburan, keamanan, dan
sebagainya. Seberapa besar pun usaha di bidang makanan, minuman

168
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

dan lainnya dilakukan, jika jumlah penduduk tidak dikendalikan, akan


tetap saja tidak akan mewujudkan kemakmuran. Saat sekarang saja
sudah sangat nampak betap sulitnya masyarakat untuk mendapatkan
berbagai kebutuhannya itu.
Kedua, kebutuhan pokok yang mengandalkan impor. Sebagaimana
diketahui, bahwa selama ini kebutuhan pokok rakyat Indonesia,
seperti beras, jagung, kacang kedelai, susu, daging, buah-buahan
bahkan hingga garam masih mengandalkan impor dari negara lain.
Ketika ingin memperoleh berbagai kebutuhan tersebut, Indonesia
harus membelinya dengan menggunakan dollar. Akibat dari keadaan
demikian, maka rupiah harus ditukar dengan dollar, dan dalam
keadaan demikian nilai tukar rupiah akan semakin terpuruk. Kebijakan
impor ini terjadi karena kebijakan ekonomi yang berorientasi makro
yang menguntungkan kaum importir, pengusaha dan konglomerat.
Oleh karena itu sungguhpun pertumbuhan ekonomi Indonesia
mencapai di atas 4% namun yang dintungkan bukan rakyat kecil,
melainkan para konglomerat. Rakyat Indonesia tetap tidak berdaya,
berada dalam kemiskinan. Dan jika hal ini terus berlanjut akan sulit
mewujudkan Indonesia yang maju, makmur dan sejahtera. Kebijakan
ekonomi makro harus diubah dengan kebijakan ekonomi mikro yang
dapat menggarakan sektir reel pengusaha kecil.
Ketiga, lebih mengejar tujuan jangka pendek daripada jangka
panjang. Kebijakan ekonomi makro yang bergantung pada impor
untuk jangka pendek nampak seperti mensejahterakan dan
memakmurkan rakyat. Namun untuk jangka panjang menyebabkan
rakyat semakin tidak berdaya. Sektor usaha industri kecil, pertanian,
perikanan, peteranakan dan lainnya akan tetap tidak mampu bersaing
menghadapi barang-barang produk impor yang lebih murah, cepat,
dan praktis.
Keempat, masyarakat ekonomi ASEAN 2015. Diketahui, bahwa
Indonesia sudah ikut menanda tangani kesepakatan terbentuknya
Masyarakat Ekonomi ASEAN Tahun 2015 yang pada intinya adalah
sebuah kesepakatan di antara negara-negara di kawasan ASEAN
untuk saling mempersilakan, memberikan kemudahan dalam
menjadikan masing-masing negara sebagai pasar untuk menjual
produk barang dan jasa dari masing-masing negara. Caranya antara
lain dengan menyusun tarip bersama, memperoleh kemudahan
dalam menggunakan jasa perbank-an, mempermudah ijin usaha,
mempermudah kesempatan tenaga kerja untuk bekerja di masing-
masing negara, pasar tunggal dan basis produksi, kawasan ekonomi
yang kompetitif, pengembangan ekonomi yang setara, dan integrasi
ke dalam ekonomi global.(Arif Perbawa, 2015) dan lain sebagainya.
Adanya Masyarakat Ekonomi ASEAN ini jika tidak dihadapi dengan
serius dan sungguh-sungguh akan merupakan ancaman yang
berbahaya bagi kelangsungan ekonomi Indonesia.
Kelima, masih terdapat sejumlah kendala yang menyebabkan

169
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Indonesia kurang siap menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015


Kendala tersebut antara lain terkait dengan terbatas dan lemahnya infra
struktur, seperti jalur transfortasi, pelabuhan udara, pelabuhan laut,
birokrasi yang panjang, pajak yang tinggi, tenaga kerja yang kurang
terlatih, etos kerja yang rendah, dan masih banyak lagi. Keadaan ini
hingga sekarang cenderung makin parah dan belum ada tanda-tanda
perbaikan yang siginifikan.
Keenam, masih rendahnya mutu pendidikan. Hasil survey lembaga
dunia, seperti World Bank, Unesco dan lain-lain, bahwa dari sekitar
147 negara di dunia, posisi Indonesia dalam bidang pendidikan masih
menempati rangking 112 jauh di bawah Singapura, Malaysia, Thailand,
Hongkong, Philipina, bahkan Vetnam. Rendahnya mutu pendidikan
ini ini dapat dilihat dari sedikitnya HKI (Hak Cipta Intelektual), hak
paten, sedikitnya karya ilmiah yang dapat dipublikasi pada jurnal
ilmiah internasional terakreditasi, dan sebagainya.

Peran Pendidikan
Jika dunia pendidikan ingin berjasa dalam mewujudkan Indonesia
emas tahun 2045 maka terdapat sejumlah langkah-langkah yang harus
dilakukan sebagai berikut.
Pertama, pendidikan harus menanamkan semangat nasionalisme
dan patriotisne dalam arti yang seluas-luasnya. Yakni bahwa cinta
tanah air dan semangat memajukan negara ini harus diterjemahkan
ke dalam bentuk lebih menyukai dan menghargai produk sendiri,
sehingga akan meninggalkan ketergantungan pada impor tegara
lain. Semangat nasionalisme ini harus dilanjutkan dengan semangat
patriotisme, yaitu berusaha memperjuangkan nasib bangsa sendiri,
dengan cara memberdayakan mereka agar dapat mandiri, dan
memberikan peluang kepada mereka untuk berusaha dan bekerja di
negaranya sendiri, dengan cara membatasi impor. Namun, karena
Masyarakat Ekonomi ASEAN tidak memungkinkan Indonesia
melarang impor, maka caranya adalah dengan meningkatkan kualitas
produk barang dan jasa milik kita dan mendorong masyarakat agar
mencintai produk dan jasa milik bangsa sendiri.
Kedua, pendidikan harus mendorong lulusannya agar berani terjun
ke dunia bisnis atau membuka usaha, dan bukan hanya pencari kerja.
Hal ini perlu dilakukan, karena walaupun anggaran pendidikan sudah
dinaikan menjadi20%, selama lulusan pendidikannya tidak berani
membuka lapangan kerja, maka dana pendidikan tersebut tidak akan
memiliki korela yang signifikan dengan peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Selama ini data menunjukkan, bahwa bahwa lulusan
perguruan tinggi di Indonesia hanya 2% yang terjun ke dunia usaha.
Hal ini masih jauh jika dibandingkan dengan lulusan perguruan tinggi
di Singapura yang terjun ke dunia usaha sekitar 11%,
Ketiga, membangun kerjasama yang harmonis dan saling
menguntungkan antara dunia pendidikan tinggi dengan dunia usaha

170
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

dengan membentuk visi Corporate University. Yaitu universitas yang


berbasis pada kebutuhan dunia usaha.
Keempat, membudayakan karakter masyarakat Madani. Yaitu
masyarakat yang menunjunjung nilai demokrasi, multikultural,
humanisme, demokrasi, egaliter, keadilan, kebebasan, perdamaian,
kejujuran, berorientasi pada kebenaran, dan nilai-nilai luhur lainnya.
Hal ini penting dilakukan, agar masyarakat yang dapat diwujudkan,
bukan hanya yang sejahtera dan makmur dari segi fisik

Model Pembelajaran Alternatif


Untuk menghasilkan lulusan pendidikan yang siap mewujudkan
Indonesia Emas tahun 2045 harus dimulai langkah-langkah strategis
sebagai berikut.
Pertama, memasuki visi Indonesia emas tahun 2045 yang maju,
modern, makmur dan madani harus dimasukan ke dalam visi, misi,
tujuan, bahan ajar dan standar kompetensi para lulusan. Misalnya
sikap mental wiraswasta, menghargai dan mencintai milik sendiri,
dan semangat untuk memajukan bangsa sendiri. Sikap mental yang
merasa bangga dan lebih berkelas ketika menggunakan produk
barang dan jasa dari luar negeri, mestinya diganti dengan sikap dan
merasa bangga jika menggunakan produk dan jasa miliki sendiri. Dia
merasa bahwa produk barang dan jasa milik bangsa sendiri jauh lebih
sesuai dengan filosofi dan budaya bangsa sendiri. Namun demikian,
ini tidak berarti hanya sebatas emosional atau serimonial belaka,
melainkan muncul dari keinginan yang kuat dari dalam diri sendiri,
sebagai bagian dari semangat nasionalisme dan patriotisme. Dengan
kata lain, bahwa sikap mental enterpreuneur dan kewirausahaan yang
dibangun adalah enterpreneur dan kewirausahaan yang berbasis pada
falsafat dan nilai budaya bangsa sendiri.
Kedua, mengembangkan model pembelajaran yang mendorong
peserta didik mampu berfantasi, berimajinasi, bereksperimen, dan
berinovasi dengan menggunakan model pembelajaran active learning
yang berbasis pada student centred dengan menggunakan scientific
approach sebagaimana diamanatkan dalam kurikulum tahun 2013 atau
juga kurikulum tahun 2004 (KBK) dan kurikulum tahun 2006 (KTSP).
Sebagaimana diketahui, bahwa model pembelajaran yang selama ini
berlangsung adalah model pembelajaran yang berbasis pada psikologi
behaviorisme dan empirisme yang bertumpu pada pemikiran John
Locke, Pavlop, Skinner, Thorndike, dan Wattson yang menempatkan
peserta didik seperti kertas putih yang dapat ditulis apa saja, atau
seperti gelas kosong yang dapat diisi air atau benda apa saja, atau
seperti lilin di atas meja yang dapat dibuat apa saja (tabularasa).
Model pembelajaran ini diakui berhasil dalam memompakan ilmu
pengetahuan, nilai dan sebagainya, namun kurang memberikan
pengalaman dan penghayatan yang memadai kepada peserta didik
tentang pengamalan atau praktek dari ilmu pengetahuan dan nilai

171
Professional Learning untuk Indonesia Emas

tersebut. Akibatnya peserta didik menjadi pasif, hanya menunggu,


tidak kreatif, dan tidak inovatif, serta imajinasi, fantasi dan daya
khayalnya tidak bergembang sebagaimana mestinya. Lulusan
pendidikan yang demikian, sudah tidak sejalan lagi dengan tuntutan
generasi Indonesia Emas tahun 2045 yang maju, makmur, dan madani.
Ketiga, memberikan wawasan pembelajaran yang mengintertain,
menginspire, dan mencerahkan, sebagaimana yang dijumpai pada
model pelatihan atau training yang lebih terukur. Dalam kaitan ini,
maka seorang guru harus memiliki 8 etos keguruan sebagai berikut: (1)
Keguruan adalah rahmat:Aku mengajar dengan ikhlas penuh syukur;
(2)Keguruan adalah amanah:Aku mengajar dengan benar dan penuh
tanggung jawab; (3)Keguruan adalah panggilan:Aku mengajar tuntas
penuh integritas; (4)Keguruan adalah aktualisasi diri:Aku mengajar
dengan serius penuh semangat; (5)Keguruan adalah ibadah:Aku
mengajar dengan cinta penuh dedikasi; (6)Keguruan adalah seni:Aku
mengajar dengan cerdas penuh kreativitas; (7)Keguruan adalah
kehormatan:Aku mengajar dengan tekun penuh keunggulan; dan
(8)Keguruan adalah pelayanan:Aku mengajar sebaik-baiknya penuh
kerendahan hati.
Keempat, memberikan penekanan pada upaya pembelajaran yang
berbasis pada learning by doing, magang, workshop, dan sebagainya.
Hal ini dilakukan dengan cara membangun kerjasama yang harmonis
dengan dunia usaha dan industri. Hal ini sejalan dengan pandangan
pendidikan yang progressif dan John Dewey. Menurutnya, bahwa
antara masyarakat dan dunia pendidikan harus disatukan; apa yang
akan diberikan kepada murid di dalam kelas harus dilihat lebih
dahulu relevansinya dengan kebutuhan di masyarakat. Demikian
pula apa yang ada di masyarakat harus dapat diakses dan digunakan
untuk kegiatan pendidikan. Pandangan ini sejalan dengan paradigma
baru tentang pendidikan yang berbasis masyarakat. Untuk itu model
pembelajaran yang berbasis masyarakat ini harus terus diupayakan.
Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning), Model
Pembelajaran yang sesuai dengan konteks permasalahan yang terhadi
di masyarakat (Contextual Teaching Learning), Model Pembelajaran
Scientifif Approach dengan langkah-langkahnya:mengamati,
menanya, melakukan, menganalisa, menyimpulkan dan menciptakan
sebagaimana digagas dalam kurikulum 2013 perlu dilaksanakan.
Model pembelajaran yang demikian itu disertai pula dengan model
penilaian dan evaluasi hasil belajarnya yang bersifat kualitatif,
dalam bentuk diskripsi yang otentik tentang sesuatu yang dikerjakan
oleh siswa, perilaku yang ditunjukan oleh siswa, serta sikap dan
penghayatan yang dijumpai sehari-hari melalui sebuah pengamatan
yang berkelanjutan (continous observation).
Kelima, karena Indonesia Emas tahun 2045 juga mengharuskan
adanya masyarakat yang bukan hanya maju, makmur dan modern dari
segi materi, melainkan juga harus berkarakter masyarakat madani,

172
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

maka proses pembelajarannya juga harus berwawasan madani. Yaitu


proses belajar mengajar yang dilandasi oleh sikap saling menghormati,
menghargai, tolong menolong, saling mencintai, menyayangi, dan
membantu dalam suasana kekeluargaan dan persaudaraan yang
Islam. Cara-cara pembelajaran yang curang, nyontek, mengganggu
teman, membocorkan soal ujian, kekerasan dan sebagainya harus
dihindari. Dengan cara demikian, proses pembelajaran dapat dinilai
sebagai sebuah kesempatan atau kegiatan yang mempraktekan nilai-
nilai masyarakat madani yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan,
persaudaraan, persatuan, musyawarah, keadilan, dan kesederajatan.
Guna mewujudkan pembelajaran yang diperlukan, maka diperlukan
karakter guru yang sejalan dengan nilai-nilai tersebut. Khusus untuk
guru PGMI diperlukan persyaratan yang khas dibandingkan dengan
guru lainnya. Dalam kaitan ini menarik sekali apa yang dikatakan Ibn
Khaldun. Menurutnya, bahwa bagi seorang guru muslim hendaknya
melakukan komunukasi dan hubungan yang akrab dengan sesama
guru dan para pekerja pendidikan. Hal ini dapat dilakukan dengan
cara: (1)membentuk kelompok debat dan diskusi antara guru dan
murid; (2)memilihkan satu bidang ilmu yang cocok bagi seorang
murid; (3)membantu murid untuk mencapai tujuan pendidikannya
dengan jelas; dan (3)memelihara kesanggupan peserta didik dan
menolongnya agar memahami pelajaran.. (Amir Syam, 1984) Hal
tersebut juga sejalan dengan pendapat Mohd.Athiyah al-Abrasyi
menyebutkan sifat-sifat yang harus dimiliki seorang guru pendidikan
agama Islam adalah: (1)zuhud, yakni tidak mengutamakan materi
dan mengajar karena mencari keridhaan Allah SWT semata; (2)
senantiasa membersihkan diri, yakni bersih tubuhnya, jauh dari
dosa dan kesalahan, bersih jiwa, terhindar dari dosa besar, sifat ria
(mencari nama), dengki, permusuhan, perselisihan dan lain-lain
sifat tercela; (3)Ikhlas dalam pekerjaan, termasuk pula serang yang
sesuai kata dengan perbuatan, melalukan apa yang ia ucapkan, dan
tidak malu-malu mengatakan: Aku tidak tahu, bila ada yang tidak
diketahuinya; (4)suka pemaaf. Yakni suka memaafkan muridnya,
sangguh menahan diri, menahan amarah, lapang hati, banyak sabar
dan jangan marah karena sebab-sebab yang kecil; (5)seorang guru
merupakan seorang bapak sebelum ia seorang guru. Yakni seorang
guru harus mencintai murid-muridnya seperti cintanya terhadap
anak-anaknya sendiri, dan memikirkan keadan mereka seperti ia
memikirkan keadaan anak-anaknya sendiri; (6)harus mengetahui
tabiat murid, yakni mengetahui tabiat pembawaan, adat kebiasaan,
rasa dan pemikiran murid agar ia tidak kesasar di dalam mendidik
anak-anaknya., serta (7)harus menguasai mata pelajaran.(Athiyah,
1974). Dari ketuju sifat tersebut sebagian besar berkaitan dengan
kompetensi kepribadian. Sedangkan yang lainnya, yakni menguasai
mata pelajaran termasuk kompetensi profesional, dan kompetensi
pedagogik, yakni harus mengetahui tabiat murid, agar dapat

173
Professional Learning untuk Indonesia Emas

menyampaikan mata pelajaran sesuai dengan tabiat murid tersebut.


Sementara itu, Ib Taimiyah berpendapat, bahwa seorang guru agama
agar memiliki sifat-sifat sebagai berikut: (1)Senantiasa berpegang teguh
kepada ajaran Rasulullah SAW dalam segala bidang, dari berbagai
aspek kehidupannya, perjalanan hidup dan akhlaknya, karena itu
wajib baginya agar senantiasa tolong-menolong dalam kebaikan
dan ketakwaan. Hal yang demikian sejalan dengan kedudukannya
sebagai pewaris para nabi; (2)senantiasa menjadi contoh teladan yang
baik bagi para muridnya dalam hal berkata yang benar (al-shidq),
memegang teguh akhlak yang mulia dan melaksanakan syariat Islam;
(3)menyebar-luaskan ilmunya tanpa malas atau lalai, karena lalai
dalam menyebarkan ilmu sama hanya dengan lalai daam berjihad,
Allah SWT akan menghukum orang yang menyembunyikan ilmu
atau mengabdikannya untuk memperoleh kemewahan dunia, dan
dipandang makruh orang yang menyembunyikan sedikit dari ilmu
sehingga ia tidak dapat dipergunakan dalam berdebat. Seorang guru
yang shalih adalah mereka yang mengajarkannya kepada orang lain;
(4)senantiasa memelihara dan mengembangkan ilmunya dengan cara
menghafal dan menambahnya dan tidak melupakannya. Demikian
pula seorang ahli ilmu yang menghafalkannya kepada umat berupa
al-Quran, al-Sunnah, baik dalam bentuk atau maknanya, disertai
pandangan, bahwa menghafal ilmu itu farlu kifayah bagi umat pada
umumnya. (Majid, 1974).
Dengan adanya sifat-sifat yang melekat pada seorang guru yang
demikian itu, maka adalah wajar jika seorang guru mendapatkan
penghormatan yang berbeda engan penghormatan yang diterima
profesi lainnya. Imam al-Ghazali misalnya mengatakan, bahwa profesi
guru merupakan pekerjaan yang paling mulia di antara seluruh
pekerjaan yang dilakukan manusia di muka bumi. Ia berargumen
dengan cara menganalogikan kedudukan profesi dengan objek yang
dikerjakan. Seorang tukang emas lebih terhormat dibandingkan dengan
tukang kulit, karena nilai emas melebihi nilai kulit. Barang yang wujud
di permukaan bumi yang paling mulia adalah manusia, dan bagian
yang paling mulia dari manusia adalah akal dan jiwanya. Sedangkan
tugas seorang guru mengembangkan dan menyempurnakan akal dan
jiwanya, menghiasi, menyucikan dan membimbingnya untuk dapat
mendekati Allah Yang Maha agung dan Mahamulia. (Fuad, 1974).
Senada dengan itu, Ibn Khaldun berpendapat, bahwa guru harus
menjadi sosok yang pantas digugu dan ditiru. Ia mengutip pendapat
Amr bin Utbah dalam sebuah pesan kepada salah seorang guru yang
mengajar puteranya, dengan mengatakan:Mulailah dalam upayamu
memperbaiki anakku, dengan lebih dahulu memperbaiki sikap dan
perilakumu sendiri. Sebab pandangan anak-anak itu terikat pada
pandanganmu, maka apa yang engkau lakukan akan dianggap baik
bagi mereka, dan apa yang engkau tinggalkan akan dianggap jelek

174
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

bagi mereka. (Amir Syam, 1984).


Dengan demikian, seorang guru adalah seorang yang pada
dirinya terdapat sejumlah sifat, kepribadian, kecakapan, dan
keutamaan lainnya yang dengannya ia dapat menolong, membantu,
dan meningkatkan harkat dan martabat manusia dengan cara
menumbuhkan, menggali, membina, dan mengembangkan berbagai
potensi peserta didik agar tumbuh dan nampak serta terbina dengan
sempurna serta dapat menolong dirinya, keluarga, masyarakat,
bangsa, negara dan agamanya. Seorang guru juga adalah mereka yang
memelihara, meningkatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan,
pengalaman dan keterampilannya untuk diberikan kepada para
siswanya dan masyarakat pada umumnya. Semua peran dan fungsi
ini dilaksanakan sebagai amanah, tanggung jawab, panggilan jiwa,
dan ibadah semata-mata karena Allah SWT. Dengan demikian, sosok
seorang guru itu adalah sosok yang khas, tidak dapat dimiliki oleh
orang lain, serta menempati kedudukan yang terhormat, karena ia
terkait langsung dengan upaya membina harkat dan martabat manusia
sebagai makhluk yang dimuliakan Allah SWT.
Sejalan dengan itu, Augusto Cury mendorong agar seorang
guru bukan hanya berpredikat baik, melainkan juga mengagumkan,
dengan ciri-ciri sebagai berikut: (1)Guru yang baik pandai bicara,
sedangkan gurtu yang mengagumkan tahu cara kerja pikiran; (2)
Guru yang baik mempunyai metodologi, sedangkan guru yang
mengagumkan mempunyai kepekanaan; (3)Guru yang baik mendidik
kecerdasan logika, sedangkan guru yang mengagumkan mendidik
emosi; (4)Guru yang baik menggunakan memori sebagai penyimpan
informasi, sedangkan guru yang mengagumkan menggunakannya
sebagai pendukung seni berfikir; (5)Guru yang baik adalah pemimpin
sementara, sedangkan guru yang mengagumkan adalah pemimpin tak
terlupakan; (6)Guru yang baik memperbaiki perilaku, sedangkan guru
yang mengagumkan menyelesaikan konflik dalam ruang kelas; dan (7)
Guru yang baik mengajar karena itu adalah pekerjaannya, sedangkan
guru yang mengagumkan mengajar karena itulah tujuan hidupnya.
(Augusto, 2007). Selain itu seorang guru juga jangan melakukan tujuh
dosa besar, yaitu (1)menegur di depan umum; (2)memperlihatkan
otoritas secara agresif; (3)mengkritik secara berlebihan:menghambat
masa kanak-kanak; (4)menghukum ketika Anda marah dan membuat
batasan tanpa penjelasan; (5)menjadi tidak sabar dan putus asa
dalam mendidik; (6)tidak menepati kata-kata, dan (7)menghancurkan
harapan dan impian. (Cury, 2005). Kriteria guru yang baik (pandai
bicara, mempunyai metodologi, kecerdasan logika, menyimpan
informasi, pemimpin sementara, memperbaiki perilaku, mengajar
karena pekerjaannya), dan guru yang mengagumkan (tahu cara kerja
pikiran, mendidik emosi, mempunyai kepekaan, pendukung seni
berfikir, pemimpin tak terlupakan, menyelesaikan konflik dalam kelas
dan mengajar sebagai tujuan hidupnya) adalah sesuatu yang baik dan

175
Professional Learning untuk Indonesia Emas

bermanfaat, dan karenanya merupakan sesuatu yang diperintahkan


agama. Sebaliknya hal-hal yang dipandang sebagai dosa besar bagi
guru, adalah sesuatu yang pada pokoknya merupakan hal-hal yang
buruk, dan dilarang pula oleh agama.

Penutup
Berdasarkan uraian dan analisa sebagaimana tersebut di atas,
dapat dikemukakan catatan penutup sebagai berikut.
Pertama, bahwa yang dimaksud dengan Indonesia emas tahun
2045 adalah sebuah keadaan di mana usia kemerdekaan Indonesia
sudah berusia selama 100 tahun. Pada masa itu, diharapkan Indonesia
sudah menjadi negara yang maju, makmur, modern dan madani.
Kemajuan dan kemakmuran dan kemodernan tersebut bukan hanya
dalam bidang fisik dan material, melainkan juga bersifat intelektual,
moral, kebudayaan dan peradaban yang dijiwai nilai-nilai ajaran
Islam.
Kedua, bahwa untuk mewujudkan Indonesia emas yang maju,
makmur, modern dan madani di tahun 2045, Indonesia masih
menghadapi berbagai kendala yang cukup fundamental, antara
lain ledakan penduduk yang tidak terkendali yang membutuhkan
sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, pekerjaan dan lain
sebagainya; ketergantungan kebutuhan pokok hidup pada negara
lain yang menyebabkan terpuruknya nilai rupiah atas mata uang lain,
terutama dollar; terbatasnya infrastruktur, rendahnya etos kerja, dan
kurang profesional.
Ketiga, bahwa untuk dapat mengatasi berbagai kendala tersebut
untuk tujuan jangka panjang adalah pendidikan. Hal yang demikian,
karena melalui pendidikanlah berbagai potensi fusik, intelektual
dan spiritual manusia dapat dibina dengan sebaik-baiknya dan
terencana. Lulusan pendidikan yang dibutuhkan adalah lulusan
pendidikan yang kreatif, inovatif, berjiwa interpreneur, percaya diri,
imajinatif, berani mengambil resiko yang diperhitungkan, religius,
berwawasan nusantara, berjiwa Pancasila, memahami, menghayati
dan mengamalkan nilai-nilai budaya bangsa, berjiwa nasionalisme
dan patriotisme.
Keempat, untuk menghasilkan lulusan pendidikan sebagaimana
tersebut pada butir tiga di atas, diperlukan adanya model pembelajaran
yang berbasis pada aktivitas peserta didik (student centris), seperti
model pembelajaran yang berbasis pemecahan masalah (problem
based learning), berbasis pada situasi dan kontek permasalahan yang
real yang dihadapi dalam kehidupan (contextual teaching learning),
cooperative, inter-active learning, scientific approaches, melalui kegiatan
mengamati, menanya, melakukan, menganalisa, menyimpulkan dan
menciptakan. Dengan cara demikian, setiap peserta didik diberikan
pengalaman dalam memahami, menghayati dan melakukan sebuah

176
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

pekerjaan.
Kelima, bahwa model pembelajaran yang dibutuhkan untuk
menghasilkan lulusan yang dapat mewujudkan Indonesia emas
tahun 2045 adalah model pembelajaran yang menghasilkan lulusan
yang kreatif, inovatif, progressive, percaya diri, berani mengambil
resiko yang diperhitungkan yang dijiwai nilai-nilai ajaran Islam,
falsafat Pancasila, berjiwa nasionalisme dan patriotisme yang
kuat, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai budaya dan tradisi
lokal yang tumbuh berkembang di Indonesia, seperti kekerabatan,
kekeluargaan, gotong royong, sopan, santun, saling menghargai, dan
lain sebagainya. Dengan cara demikian, selain akan menjadi bangsa
yang maju, makmur dan modern, namun juga berjiwa madani.

Daftar Pustaka
Al-Abrasyi, Mohd. Athiyah, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, (terj.)
Bustami A. Gani dan Djohar Bahry, dari judul asli al-Tarbiyah
al-Islamiyah, (Jakarta:Bulan Bintang, 1974), cet. II.
Abu al-Ainain, Ali Khalil, Falsafah al-Tarbiyah al-Islamiyah di al-Quran
al-Karim, (Beirut: Dar al-Fikr al-Araby, 1980), cet. I.
Al-Ahwany, Ahmad Fuad, al-Tarbiyah fi al-Islam, (Mesir: Dar al-
Maarif, tp.th.).
Cury, Augusto, Briliant Parents Fascinating Teachers Kiat Membentuk
Generasi Muda yang Cerdas dan Bahagia, (Jakarta:Gramadia
Pustaka Utama,, 2007).
Bafadal, Ibrahim, Pendidikan Berkualitas untuk Generasi Emas,
diunduh dari Goegle, pada hari Senin, 11 Mei 2015.
Buchori, Mochtar, Ilmu Pendidikan & Praktek Pendidikan dalam Renungan,
(Jakarta:IKIP Muhammadiyah Jakarta Press, 1994),
Djamarah, Syaiful Bahri, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif
Suatu Pendekatan Teoritis Psikologis, (Jakarta:Rineka Cipta, 2005),
cet. III.
Fadjar, A.Malik, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta:Fadjar Dunia,
1999), cet. I.
Falah, Saiful, Guru adalah Ustadz adalah Guru, Catatan Seorang Pendidikan
dengan Lebih dari 10.000 Anak Didik, (Jakarta:Republika, 2012),
cet. I.
Mahmud, Ali Abd al-Halim, al-Tarbiyah al-Islamiyah di al-Madrasah,
(Mesir:Dar al-Tauzi wa al-Nasyr al-Islamiyah, 1425 H./2004
M.), cet. I.
-----------, al-Tarbiyah al-Islamiyah fi Surah al-Azhaab, ((Mesir:Dar al-
Tauzi wa al-Nasyr al-Islamiyah, 1996) 1425 H./2004 M.), cet. I.
------------, al-Tarbiyah al-Islamiyah fi Surah al-Anfaal, (Mesir:Dar al-Tauzi

177
Professional Learning untuk Indonesia Emas

wa al-Nasyr al-Islamiyah, 1996) 1425 H./2004 M.), cet. I.


------------, al-Tarbiyah al-Diniyah (al-Ghaibah), (Mesir:Dar al-Tauzi wa
al-Nasyr al-Islamiyah,1421 H./2000 M.), cet. I.
------------, al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Mujtama, ( Mesir:Dar al-Tauzi
wa al-Nasyr al-Islamiyah, 1426 H./2005 M.), cet. I.
------------, al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Bait, ( Mesir:Dar al-Tauzi wa al-
Nasyr al-Islamiyah, 1426 H./2005 M.), cet. I.
Muthahhari, Ayatullah Murtadha, Dasar-dasar Epistimlogi Pendidikan
Islam, (Jakarta:Sadra International Institut, 2011), cet. I

Al-Naqib, Abd al-Rahman Abd al-Rahman, Kaifa Nuallimu Auladana


al-Islam bi Thariqah Shahihah, (Mesir:Dar al-Salam lith-Thabaah
wa al-Nasyr wa al-Tauzi wa al-Tarjamah, 1428 H./ 2007 M.),
cet. II.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 tentang
Guru, (Jakarta:Novinco Pustaka Mandiri, 2009), cet. I.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 200 9 tentang
Dosen, (Jakarta:Novinco Pustaka Mandiri, 2009), cet. I.
Kailany, Majid Irsan, al-Fikr al-Tarbawiy in Ibn Taimiyah, (al-Madinah
al-Munawwarah: Maktabah Dar al-Turats, tp.th.).
Khayyat, Muhammad Jamil, al-Nadzariyat al-Tarbawy fi al-Islam Dirasah
Tahililiyah, (Makkah al-Mukarramah:Jami Umm al-Qura, 1986).
Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta:Pustaka Al-
Husna, 1987), cet. I.
Rooijakkers, AD. Mengajar dengan Sukses Petunjuk untu Merencanakan
dan Menyampaikan Pengajaran, (Jakarta:Grasindo, 1991).
Saleh, M.Nurul Ikhsan, Peace Education, Kajian Sejarah, Konsep, &
Relevansinya dengan Pendidikan Islam, (Jakarta:AR-RUZZ
MEDIA, 2012), cet. I.
Sembiring, Taman Hidayat, Pancasila sebagai Pedoman Hidup
Menuju Indonesia Emas 2045, diunduh dari Goegle pada hari
Senin, 11 Mei 2015.
Sinamo, Jansen, 8 Etos Keguruan, (Bogor: Institut Darma Mahardika,
2010), cet. I.
Syams al-Din, Abd al-Amir, al-Fir al-Tarbawiy ind Ibn Khaldun wa Ibn
al-Azraq, (Libanon: Dar Iqra, 1404 H./1984 M.) cet. I.
Sucipto dan Raflis Kosasi, Profesi Keguruan, (Jakarta:Rineka Cipta,
2002), cet. I.
Susanta, Agustinus, Merancang Outbond Training Profesional,
(Yogyakarta:Andi Yogyakarta, 2008), cet. I.
Tafsir, Ahmad, (ed.), Epistimologi untuk Ilmu Pendidikan Islam,

178
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

(Bandung:Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Jati, 1995).


Yudho, Winarno, (ed.), Sosok Guru Ilmuwan Yang Kritis dan Konsisten,
(Jakarta:ELSAM, HUMA dan WALHI, 2002), cet. I.
Undang-undang Nomor 20 tentang Sisdiknas (Sistem Pendidikan
Nasional),(Bandung:Fokusmedia, 2010), cet. I.
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen,
(Jakarta:Novindo Pustaka Mandiri, 2009), cet. I.
Usman, Moh. Uzer, Menjadi Guru Profesional, (Bandung:Remaja
Rosdakarya, 1997), cet. VIII.
Utomo, Pristiadi, Menuju Indonesia Emas 2045, Diunduh dari
Goegle pada hari Senin, 11 Mei 2015.

179
PEMANFAATAN SASTRA SEBAGAI BASIS
PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA
Dindin Ridwanudin
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Email: dindin_ridwanudin@yahoo.com

Abstrak: Competence Standard of Bahasa Indonesia in the Con-


tent Standard of Curriculum states that through learning of Ba-
hasa Indonesia students are expected to be able to develop their
potential which is appropriate to their ability, need, interest, and
cause to emerge the appreciation to literature work and intellec-
tual work of their nation. Literature is an important part of learn-
ing that can not be separated from Bahasa Indonesia because
it is very important for developing students language skills.
Moreover, through literature learning and appreciation students
trained to have inner sensitivity and character softness that can
lead them appreciate others literary work and rightfully proud
of their nation multiple literature diversity.

Kata kunci : Sastra, Pembelajaran Bahasa Indonesia

Pendahuluan
Sastra adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam pembela-
jaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah. Dalam
Standar Isi kurikulum nasional mata pelajaran Bahasa Indonesia, sas-
tra diperkenalkan dan diajarkan kepada siswa SD/MI sejak mereka
di bangku kelas satu sampai dengan kelas enam. Salah satu alasan
dari kepentingan pengajaran sastra sejak dini adalah bahwa banyak
manfaat yang bisa diperoleh siswa, yang antara lain, melalui sastra
siswa dilatih kepekaan batin, kehalusan budi, tenggang rasa, simpati,
empati, penghargaan kepada setiap karya orang lain, dan banyak lagi
manfaat lainnya.
Namun, hasil observasi dan wawancara penulis kepada guru-
guru dan siswa-siswa memberikan gambaran betapa pengajaran sas-
tra tidaklah menggembirakan. Terungkap dari hasil observasi dan
wawancara tersebut jika akar masalahnya adalah ketidakpahaman
guru sendiri terhadap sastra. Ketika Standar Kompetensi menuntut
guru untuk mengajarkan puisi, maka yang mereka ajarkan bukan
bagaimana siswa berpuisi (mengapresiasi dan membuat puisi), tetapi

180
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

lebih kepada pengajaran konsep dan teori puisi. Alhasil, dalam pem-
belajaran puisi, siswa menghapalkan konsep-konsep tentang puisi.
Contohnya, siswa menghapalkan pengertian puisi, menyebutkan na-
ma-nama pembuat puisi, menyebutkan tokoh-tokoh pujangga lama,
baru, dan kontemporer. Dengan demikian, pembelajaran puisi lebih
menekankan pada aspek kognitif saja. Padahal, pembelajaran sastra
seharusnya lebih menekankan pada ranah afektif dan psikomotor.
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan penjelasan tentang
pengertian sastra, ciri-ciri karya sastra, aspek-aspek karya sastra, jenis-
jenis karya sastra, penggolongan karya sastra, tujuan dan fungsi pem-
belajaran sastra, sampai dengan cara mendesain pembelajaran sastra.
Mudah-mudahan tulisan ini dapat memberikan sumbangsih pengeta-
huan kepada guru tentang kepentingan dari pengajaran sastra sejak
dini.

Pengertian Sastra
Sastra berasal dari bahasa Sansekerta yang dibentuk dari akar kata
sas yang artinya mengajarkan, mengarahkan, atau memberi petun-
juk. Kata sas kemudian ditambah dengan kata -tra yang berarti alat
atau sarana (Tarigan, 2005:10.3). Bila diartikan secara bebas, maka kata
sastra berarti alat atau sarana untuk memberi petunjuk.
Secara harfiah kata sastra berarti huruf, tulisan, atau karangan. Se-
gala tulisan atau karangan biasanya berbentuk buku, maka kata sas-
tra juga dapat diartikan buku. Oleh karena itu dalam kesustraan lama
semua buku dianggap sebagai hasil sastra, baik buku itu berisi tentang
dongeng, pelajaran agama, sejarah, ekonomi, seni, undang-undang
dan sebagainya.
Sedangkan menurut pengertian lainnya sastra adalah satu bentuk
karya seni yang mempergunakan bahasa sebagai alatnya. Oleh karena
itu pengamatan sastra haruslah merupakan penelitian terhadap se-
buah karya seni yang otonom, yang sekurang-kurangnya mengand-
ung tiga fakta penting, yaitu 1) konvensi sastra, 2) konvensi budaya, 3)
konvensi bahasa (Risalah Kongres Bahasa Indonesia, 1998:353).
Ciri-ciri Karya Sastra
Selain keindahan dan pesan yang mengandung pendidikan moral
yang menjadi ciri khas karya sastra, terdapat ciri-ciri yang dapat dia-
mati dalam sebuah karya sastra, terutama dalam penggunaan bahasa.
Ciri-ciri tersebut antara lain:
a. Ragam bahasa yang digunakan dalam karya sastra tidak sepenuh-
nya bahasa baku. Hal ini disebabkan sastra sangat mementingkan
pesan atau ide dan keindahan.
b. Ragam bahasa atau pilihan katanya sering kali bermakna konota-

181
Professional Learning untuk Indonesia Emas

tif atau ambiguitas (memiliki banyak makna).


c. Kosakata yang digunakan dalam karya sastra disesuaikan dengan
bahasa dengan latar atau lingkungan dalam cerita yang berupa
dialeg atau sosioleg suatu kelompok masyarakat.
d. Dalam karya sastra tergambar pengalaman hidup pengarang
(Tarigan, 2005:10.4).

Aspek-aspek Karya Sastra


a. Aspek semantik, adalah isi cerita.
b. Aspek sintaktis, adalah kombinasi berbagai unit struktural.
c. Aspek verbal, adalah permainan kata-kata dan frasa tertentu yang
membentuk suatu cerita (Risalah Kongres Bahasan Indonesia,
1998:353).

Jenis-jenis Karya Sastra


Jenis-jenis sastra disebut jenre (genre) sastra. Sastra dikelompok-
kan menjadi dua kelompok besar yaitu sastra imajinatif dan sastra non
imajinatif (Tarigan, 2005:10.7).

a. Sastra Imajinatif
Imajinasi berasal dari kata imagination yang berarti angan-angan
atau khayal. Jadi karya sastra imajinatif adalah karya sastra yang di-
tulis dengan menggunakan sifat khayalik pengarang, sehingga cerita
dalam karya sastra imajinatif bukanlah suatu kejadian sebenarnya.
Karya sastra imajinatif terdiri atas tiga jenis: prosa, puisi, dan drama.
Secara singkat akan dijelaskan perbedaan antara ketiga jenis karya sas-
tra tersebut (Tarigan, 2005:10.7).
1) Prosa
Prosa adalah karya sastra yang ditulis dengan menggunakan kali-
mat-kalimat yang disusun susul menyusul. Kalimat-kalimat yang
disusun membentuk kesatuan pikiran menjadi paragraf, paragraf
menjadi bab atau bagian-bagian, dan seterusnya.
2) Puisi
Kata puisi bersal dari bahasa Yunani poiesis yang berarti pen-
ciptaan. Akan tetapi, arti yang semula ini lama kelamaan semakin
dipersempit ruang lingkupnya menjadi hasil seni sastra yang ka-
ta-katanya disusun menurut syarat-syarat tertentu dengan meng-
gunakan irama, sajak dan kadang-kadang kata-kata kiasan (Gun-
tur, 2011:3).
Hakikat Puisi terdiri atas :
a) Tema Makna (sense)
b) Rasa (feeling)

182
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

c) Nada (tone)
d) Amanat, tujuan, maksud (intention)
3) Drama
Drama berasal dari bahasa Yunani dran yang artinya berbuat,
to act atau to do. Sedangkan secara etimologi drama meru-
pakan merupakan perbuatan, gerak, yang merupakan inti hakikat
setiap karangan yang bersifat drama (Guntur, 2011:3).

Unsur-unsur drama
Adapun unsur-unsur yang ada dalam drama adalah sebagai beri-
kut (Guntur, 2011:75-79):
a) Alur
b) Penokohan
c) Dialog
(1) Dialog haruslah dapat mempertinggi nilai gerak.
(2) Dialog haruslah baik dan bernilai tinggi.

Aneka sarana kesastraan dan kedramaan.


a) Perulangan: kontras dan paralel
b) Gaya dan atmosfer
c) Simbolisme
d) Empati dan jarak estetika

Jenis-jenis drama
Adapun jenis drama, yaitu (Guntur, 2011:83-89):
a) Tragedi (menganggap subyek yang serius, pelaku utama ha-
rus herois, segala insiden harus wajar,emosi utama: rasa kasi-
han, sedih atau takut.)
b) Komedi (subyek: cerah, kelucuan yang serius, kejadian mun-
cul dari tokoh, kejadian mungkin dan seakan-akan terjadi)
c) Melodrama (subyek serius dan kurang otentik, ada peruba-
han terjadi, rasa kasihan bersifat sentimentalitas, tokoh utama
biasanya menang.)
d) Farce yang dimaksudkan di sini adalah melodrama bagi
tragedi, adalah farce bagi komedi. ciri-cirinya seperti: ke-
mungkinan terjadi tidak begitu besar, kelucuan seenakanya
saja, bersifat episodik, kejadian muncul dari situasi.

b. Sastra Non Imajinatif


Sedangkan sastra non-imajinatif merupakan kebalikan karya sas-
tra imajinatif, Sebagian ahli berpendapat bahwa sastra non-imajinatif
bukanlah karya sastra (Tarigan, 2005:10.7).

183
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Penggolongan Karya Sastra


Selain jenis-jenis karya sastra imajinatif dan non-imajinatif,
adapun penggolongan karya sastra berdasarkan karya sastra orang
dewasa dan karya sastra anak-anak. Karya sastra anak-anak memang
berbeda dengan karya sastra orang dewasa, baik dari segi bahasa yang
digunakan maupun pesan yang disampaikan (Tarigan, 2005:10.8).

Kriteria Sastra Anak-Anak (Tarigan, 2005:10.9)
a. Kriteria Pemilihan Bahasa
Karya sastra anak-anak memiliki kekhasan atau perbedaan dengan
karya sastra orang dewasa, yaitu dalam penggunaan bahasa dan isi
cerita.

b. Kriteria Keterbacaan
Keterbacaan adalah mudah tidaknya suatu bacaan utuk diterima,
dihayati, dipahami, dan dinikmati oleh pembaca. Berdasarkan kri-
teria tersebut, maka karya sastra anak-anak hendaknya memenuhi
persayaratan sebagai berikut (Tarigan, 2005:10.9).
1) Kejelasan Bahasa
Dalam hal ini karya sastra anak-anak harus menggunakan ba-
hasa yang sederhana. Kalimat-kalimatnya tidak panjang-pan-
jang dan tidak rumit, kata yang digunakan adalah kata yang
bermakna lugas artinya mudah dipahami.
2) Kejelasan Tema
Tema pada karya sastra anak-anak hendaknya terbuka, artinya
tema itu bisa langsung ditemukan oleh pembaca (anak-anak).
Dengan kata lain, pada karya sastra anak-anak, tema tidak disa-
jikan secara terselubung.
3) Kesederhanaan Plot
Karya sastra anak-anak yang dipilih hendaknya karya sastra
yang memiliki plot (jalan cerita) maju. Hal ini terdapat pada
karya sastra prosa dan drama.
4) Kejelaan Perwatakan
Karya sastra anak-anak yang baik untuk dipilih adalah karya
sastra yang perwatakannya digambarkan secara sederhana.
Hal ini dimaksudkan agar anak-anak dapat dengan mudah
menangkap sosok tokoh-tokoh cerita (prosa atau drama).
5) Kesederhanaan Latar
Latar dalam karya sastra anak-anak tidak jauh berbeda dengan
lingkungan tempat tinggal anak. Hal ini mempermudah pema-
haman terhadap cerita. Suasana yang akrab dengan lingkungan
anak akan menjembatani imajinasi anak, walupun tidak berarti

184
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

tidak boleh memperkenalkan latar yang berbada.


6) Kejelasan Pusat Pengisahan
Karya sastra anak-anak memiliki pusat pengisahan yang jelas,
artinya cerita tidak terlalu sering berganti fokus. Bila hal ini ter-
dapat dalam karya sastra anak-anak (prosa dan drama) akan
menimbulkan kesulitan pada anak-anak dalam mengikuti jalan
cerita.
c. Kesesuaian
Dari segi isi, karya sastra anak-anak memperhatiakan kesesuaian
dengan perkembangan psikologi atau jiwa dan moral anak-anak.
Sesuai dengan tingkat perkembangan tersebut maka terdapat ma-
cam-macam tema cerita anak-anak yang harus Anda perhatikan
dan Anda sesuaikan dengan tingkat usia siswa dalam memilih
tema.

Tujuan dan Fungsi Pembelajaran Sastra


Tujuan pembelajaran sastra di sekolah terkait pada tiga tujuan
khusus yaitu:
a. Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan
intelektual, serta kematangan emosional dan sosial.
1) Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas
wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pen-
getahuan dan kemampuan berbahasa.
2) Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai kha-
zanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.
b. Pengajaran sastra membawa siswa pada ranah produktif danapre-
siatif. Sastra adalah sistem tanda karya seni yang bermediakan ba-
hasa. Pencipataan karya sastra merupakan keterampilan dan kecer-
dasan intelektual dan imajinatif.
c. Karya sastra hadir untuk dibaca dan dinikmati, dimanfaatkan un-
tuk mengembangkan wawasan kehidupan.

Fungsi Karya Sastra


Fungsi sastra bagi hidup dan kehidupan manusia adalah:
a. Fungsi reaktif, yaitu fungsi atau manfaat memberikan rasa senang,
gembira, dan menghibur.
b. Fungsi didaktif, yaitu fungsi atau manfaat mengarahkan dan men-
didik pembaca karena mengandung nilai-nilai moral.
c. Fungsi estetika, yaitu fungsi atau manfaat yang dapat memberikan
keindahan bagi pembaca karena bahasanya yang indah.
d. Fungsi moralitas, yaitu fungsi atau manfaat yang dapat membeda-
kan moral yang baik dan tidak baik bagi pembacanya karena sastra

185
Professional Learning untuk Indonesia Emas

yang baik selalu mengandung nilai-nilai moral yang tinggi.


e. Fungsi religiusitas, yaitu fungsi atau manfaat yang mengandung
ajaran- ajaran agama yang harus diteladani oleh pembaca.

Merancang Pembelajaran Sastra Imajinatif


Prosa
Langkah awal yang harus Anda lakukan sebelum merancang
pembelajaran Bahasa Indonesia berbasis prosa adalah memilih pokok
bahasan prosa dalam silabus. Untuk kelas rendah (kelas I dan II) Anda
dapat mencarinya sesuai dengan kelas tersebut. Demikian halnya juga
dengan kelas tinggi (kelas III sampai dengan kelas VI). Masing-masing
jenjang memiliki karakter pembelajaran yang berbeda-beda. Kondisi
siswa kelas VI jauh berbeda dengan kelas I. Siswa kelas VI telah mahir
membaca, dia telah mendapatkan ide bacaan, dia telah dapat menya-
dur sebuah cerita, dan telah mengenal genre sastra walaupun dalam
bentuk sederhana dan dalam tahap perkenalan.
Menghadapi kondisi yang demikian tidak mudah. Setiap guru
mempunyai cara, mempunyai strategi dalam mengajar yang sesuai
dengan kondisi yang dihadapinya. Guru adalah seorang seniman
yang mampu menjalin hubungan yang luwes dan menyenangkan.
Tujuan utama pengajaran sastra adalah agar siswa-siswi memperoleh
pengalaman dan memperoleh pengetahuan bersastra. Usaha ke arah
kemampuan siswa-siswi merespon sastra, tentulah diperlukan rang-
sangan-rangsangan yang diciptakan guru dalam proses pembelajaran.
Sastra adalah pengalaman bukan informasi. Dengan demikian, siswa-
siswi harus diundang untuk berpartisipasi di dalamnya, bukan hanya
memandang dari luar saja (Rizanur Gani: 1988)

Langkah-langkah Pembelajaran Bahasa Indonesia Berbasis Prosa

Langkah 1
Pertama kita ambil salah satu pokok bahasan prosa dalam silabus.
Misalnya unit 3, kelas V, semester 2.
Tema : Penghargaan Terhadap Bahasa dan Sastra Indo-
nesia.
Sub Tema : Prosa
Uraian Materi : Membaca cerita pendek tentang keberanian ses-
eorang, kemudian menjawab pertanyaan.

186
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

K o m p e t e n s i : Siswa-siswi mampu mengenal, memahami dan


Dasar dapat menghargai bahasa dan sastra indonesia
yang berbentuk prosa khususnya cerita pendek
serta dapat menyatakan secara lisan maupun
tulisan.
Indikator : Setelah membaca cerita pendek, siswa-siswi di-
harapkan dapat
1. Menjawab pertanyaan tentang cerpen
yang dibacanya.
2. Menceritakan kembali isi cerpen yang
telah dibacanya.

Langkah II
Guru menentukan cerita pendek yang harus dibaca siswa-siswi.
Guru dapat membuat cerita sendiri untuk bahan pembelajaran ini.
Akan tetapi seandainya di dalam buku paket Bahasa Indonesia sudah
terdapat di dalamnya, maka guru tinggal menggunakan bahan ajar
tersebut. Kalau terpaksa tidak ada, maka guru dapat mencari cerita
yang sesuai dengan uraian di dalam silabus.

Contoh : Melestarikan Sumber Air


Dua minggu yang lalu pak Iskak guru kelas III SD Mangkujayan 1
memberikan penjelasan mengenai kekeringan yang melanda sebagian
besar wilayah di tanah air. Pak Iskak mejelaskan bahwa akibat lahan
hutan yang mulai gundul. Maka secara otomatis sumber air itu akan
mengering. Karena apa? Ternyata akar pohon yang besar itu bertugas
menyimpan air di dalam bumi.
Jadi, anak-anak, mengapa daerah-daerah itu mengalami kekerin-
gan?
Karena pohon-pohon besar itu sudah ditebangi pak! jawab Anita.
Iya betul sekali, kau hebat Anita.
Pak guru!, kami usul, bagaimana kalau di sekitar sekolah kita yang
gersang ini kita hijaukan kembali, agar sumber air itu tidak kering dan
sekolah kita menjadi sejuk dan asri pak! pinta Arman dengan seman-
gat.
Wah itu ide yang bagus, baiklah anak-anak, Pak Guru punya ide, be-
sok Senin, kalian harus membawa satu pohon buah, misalnya pohon
belimbing, mangga, rambutan, kedondong, dan sebagainya, yang laki-
laki membawa cangkulnya sekalian, dan yang perempuan menyiapkan
pupuknya, dan yang lebih penting lagi kalian harus merawat setiap
hari, jangan hanya bisa menanam, kemudian tidak mau merawatnya,

187
Professional Learning untuk Indonesia Emas

maka sia-sialah kalian membuat penghijauan jelas Pak Iskak meng-


ingatkan.
Akhirnya pada hari yang telah ditentukan, kami bersama-sama teman
satu kelas menanam pohon buah di sekitar kelas. Pak Iskak menyum-
bang makanan kecil dan teh hangat. Kami bekerja dengan gembira.
Setiap hari kami merawatnya.

Langkah III
Siswa-siswi membaca di dalam hati teks cerpen yang telah disediakan.
Sambil membaca mereka disuruh menandai kata-kata yang dianggap-
nya penting. Kegiatan ini berlangsung 10 menit saja.

Langkah IV
Mendiskusikan kata-kata sulit.
Seandainya terdapat kata-kata sulit, selayaknya didiskusikan dahulu
maknanya, sehingga tidak mengganggu pemahaman siswa-siswi ten-
tang cerita.

Langkah V
Memancing respons siswa-siswi dengan berbagai pertanyaan.
Pertanyaan yang diajukan harus berkisar pada materi cerita, dalam
bentuk informasi dan pengembangan daya nalar.
Contoh
(1) Mengapa terjadi kekeringan?
(2) Mengapa Arman usul agar siswa siswi di kelasnya menanam po-
hon?
(3) Apa tugas siswa siswi kelas 3 SD Mangkujayan setelah menanam?
(4) Apa yang kalian lakukan jika di sekitar rumah kalian gersang?

Langkah VI
Siswa-siswi ditugasi menceritakan kembali isi cerpen di atas dengan
bahasanya sendiri. Hal ini dapat dilakukan dengan secara lisan mau-
pun tertulis.

Langkah VII
Mengubah bentuk cerpen menjadi sebuah naskah drama, yang akan
dimainkan oleh kelompoknya.

Langkah VIII

Kegiatan Penutup
Guru menegaskan kembali isi cerita pendek di atas. Misalnya, nah

188
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

anak-anak, betapa pentingnya sebuah hutan dan tanaman besar yang


ada di sekitar kita, untuk itu kalian jangan membiarkan adanya keru-
sakan hutan ini. Mari kita hijaukan halaman kita, hutan kita dan selu-
ruh negeri ini, agar terbebas dari bencana alam.

Puisi
Norton mengungkapkan bagaimana kriteria puisi yang ideal un-
tuk anak-anak, yaitu:
1) Puisi untuk anak-anak adalah puisi yang berisi kegembiraan dan
rima.
2) Puisi anak-anak seharusnya mengutamakan bunyi bahasa dan
membangkitkan bermain bahasa.
3) Puisi untuk anak-anak seharusnya memperbaiki ketajaman ima-
jinasi visual dan kesegaran kata yang digunakan dalam ragam
novel untuk memperluas imajinasi mereka dan melihat atau men-
dengar kata-kata dalam cara baru.
4) Puisi untuk anak seharusnya mencerikan cerita sederhana dan
memperkenalkan tindakan yang dilakukan.
5) Puisi anak bukan ditulis dengan dugaan rendah kepada anak-
anak.
6) Puisi untuk anak dibuat dengan memberikan ruang kreasi baru
dari anak-anak. Jadi, puisi disajikan dengan ketidaksempurnaan
yang memungkinkan anak untuk menggubah, menafsirkan dan
memungut sesuatu dari puisi.
7) Tema harus menyenangkan anak-anak, menyampaikan sesuatu
pada anak-anak, menggelitik egonya, menginginkan pengalaman
yang bahagia.
8) Puisi harusnya cukup baik untuk dibaca ulang.

Kriteria puisi yang telah disebutkan di atas dapat dijadikan pem-


belajaran yang bervariasi, umpamanya:
1) Membaca nyaring tunggal,
2) Membaca nyaring bersama,
3) Membaca nyaring dengan iringan musik atau tepuk tangan,
4) Membaca dengan menyanyi atau bersenandung,
5) Membaca nyaring dengan dramatisasi, dan
6) Bermain sajak berantai/bermain kata.

Cara pembelajaran puisi untuk kelas 1, semester 1, unit 1. Materin-


ya adalah menyanyikan lagu kanak-kanak dan mendeklamasikannya.
Bagi kelas permulaain ini, kemampuan berbahasa hanya ditekankan
pada kemampuan berbicara dan menyimak, untuk itu langkah yang

189
Professional Learning untuk Indonesia Emas

harus dilakuakn guru adalah:

Langkah-langkah Pembelajaran Puisi


Langkah I
Menentukan kompetensi pembelajaran yang akan dicapai. Kompe-
tensi dasarnya adalah siswa-siswi mengenal, memahami, dan dapat
menghargai bahasa dan sastra Indonesia yang berbentuk lagu kanak-
kanak khususnya tentang diri siswa-siswi dapat menyatakan dengan
lisan maupun tulisan, sedangkan indikatornya adalah:
1. Siswa-siswi mampu menyanyikan lagu kanak-kanak dengan ira-
ma yang tepat.
2. Siswa-siswi mampu melafalkan larik lagu kanak-kanak dengan
tepat.
3. Siswa-siswi mampu mendeklamasikan larik lagu dengan gaya
yang tepat.

Langkah II
Menentukan lagu yang akan digunakan sebagai materi puisi,
pilihlah lagu kanak-kanak yang sedehana yang bisa digunakan untuk
pembelajaran puisi. Cari lagu-lagu yang mengandung irama dan rima
pada akhir larik.
Contoh :
Dua mata saya
Dua mata saya
Yang kiri dan kanan
Satu mulut saya
Tidak berhenti makan
Dua telinga saya
Hidung saya satu
Dua kaki saya
Pakai sepatu baru

Langkah III
Mengajak anak-anak bernyanyi bersama-sama, berkelompok dan
perorangan setelah guru menentukan lagu yang akan digunakan se-
bagai sarana pembelajaran, guru mengajak seluruh siswa-siswi me-
nyanyikan lagu kanak-kanak yang telah dipilih secara perorangan,
kelompok atau besama-sama. Pada waktu siswa-siswi benyanyi, guru
dapat memperhatikan ketepatan ucap dan irama lagu. Pada kesempa-
tan ini guru dapat memanfaatkan untuk membenahi kekurangan pada
diri siswa-siswi.

190
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Langkah IV
Mengucapkan larik-larik lagu tanpa diiringi notasi lagu. Setelah
selesai bernyanyi, anak-anak diajak untuk mengucapkan larik-larik
lagu tanpa diiringi irama nada lagu. Kegiatan ini dilakuakan secara
besama-sama, berkelompok dan perorangan . Dengan cara demikian
maka diharapkan siswa dapat merasakan bersamaan bunyi pada akh-
ir larik dan memahami isi lagu tersebut.

Langkah V
Bertanya kepada siswa-siswi tentang isi lagu dan dikaitkan den-
gan diri siswa-siswi. Dalam hal ini guru boleh bertanya kepada siswa-
siswi misalnya siapa yang telinganya lebih dari dua, siapa yang sepatu
baru, siapa yang tidak pernah berhenti makan dan sebagainya.

Langkah VI
Mendeklamasikan larik lagu menjadi puisi. kegiatan ini bisa di-
lakukan oleh perorangan, kelompok maupun bersama-sama.

Langkah VII
Menceritakan kembali isi puisi dengan kata-kata sendiri. Pada ke-
sempatan ini guru dapat melihat dan mengamati kelancaran berbaha-
sa pada siswa-siswi dalam menangkap isi lagu sebagai sebuah cerita.

Drama
Merancang Pembelajaran Bahasa Indonesia Berbasis Drama Ma-
teri pembelajaran drama di sekolah dasar harus sesuai dengan kara-
kteristik usia anak. Hamzah (1985: 145) menyatakan bahwa kegiatan
drama bagi anak-anak harus merupakan langkah rekreasi, senilai
dengan bermain kelereng, layang-layang, sekolah-sekolahan, rumah-
rumahan, dan bermain boneka. Pembelajaran drama di SD berbeda
dengan orang dewasa. Mereka kita ajak bermain sebagai peran sekal-
igus melatih dasar-dasar bermain drama.
Permainan drama di sekolah dasar dapat dilakukan dalam ben-
tuk: (a) pantomim, (b) sosiodrama sederhana, (c) berekspresi dengan
topeng, dan (d) bermain boneka.

Bentuk Permainan Drama di Sekolah


1) Pantomim
Hamzah (1985: 51-52) menguraikan pengertian pantomim, yaitu:
a) Pantomim ialah seni yang menyatakan bermacam ide tanpa
media kata.

191
Professional Learning untuk Indonesia Emas

b) Pantomim adalah suatu pertunjukan yang para pemainnya


mengekspresikan dirinya melalui isyarat.
c) Pantomim ialah suatu cerita, suatu tema yang diceritakan atau
dikembangkan melalui gerak tubuh dan wajah ekspresif.
Di sekolah dasar pantomim dapat diberikan dengan cara meniru
pantomim orang lain dan meniru perbuatan nyata.

a) Meniru pantomim orang lain


Anda sebagai guru yang profesional bisa menunjukkan atau
mempertontonkan adegan pantomim melalui media visual atau
memanggil orang lain yang telah menguasai pantomim. Anak-anak
dikelompokkan dalam sebuah kelompok diskusi beranggotakan
tiga atau empat anak, selanjutnya berilah tugas agar menulis cerita
dalam adegan yang diperagakan pemain pantomim tersebut.

b) Meniru perbuatan nyata


Pembelajaran pantomim meniru orang lain tidak perlu meng-
hadirkan orang lain, tetapi Anda bisa memperagakan seseorang
yang sedang mencangkul, menanak nasi, mengayuh sepeda, men-
arik tali, menimba air, dan sebagainya. Anak-anak diberikan waktu
beberapa menit untuk merenungkan akan menirukan apa, dalam
waktu yang singkat itu. Kemudian mereka kita tampilkan di depan
kelas.

2) Sosiodrama
Sosiodrama adalah peragaan mirip drama yang berisi peragaan
gerak dan bicara. Anda bisa membuat skenario seperti ini:
Guru : Anak-anak, pernahkah kalian melihat pedagang
sate?
Siswa-siswi : Iya Bu!
Guru : Bagaimana abang sate membakar satenya?
Siswa-siswi : Satenya dibakar di atas tungku, kemudian diberi
bumbu dan dikipas-kipas.
Guru : Ayo siapa yang bisa memperagakan pedagang sate
saat melayani pembelinya?
Siswa-siswi : Saya Bu!, (sebagian siswa-siswi ada yang menert-
awakan).
Guru : Iya bagus. Terus siapa yang bisa memperagakan se-
bagai pembelinya?
Siswa-siswi : Saya Bu!, saya Bu! (anak-anak ada yang berebut).

192
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Guru : Iya bagus anak-anak. Hari ini kita akan memper-


agakan pedagang dan pembeli sate. Tugas kalian
yang lain ialah mengamati dan memberikan komen-
tar. Hayo sekarang, Ani, Hamzah.

Begitulah contoh pembelajaran sosiodrama di sekolah dasar. Anda


pasti bisa membuat yang lain. Selamat mencoba!.

3) Berekspresi dengan Topeng.


Pembelajaran dengan topeng dapat dilakukan dengan cara:
a) Guru memperlihatkan beberapa topeng dan karakternya.
b) Anak-anak diminta membayangkan dialog topeng-topeng
yang sedang diperhatikan.
c) Guru memberikan contoh ekspresi sedih, gembira, tertawa, ta-
kut, dan sebagainya.
d) Guru memanggil beberapa anak untuk memperagakan ekspre-
si topeng, kemudian melakukan dialog sesuai dengan lakon
yang diberikan.

4) Bermain Boneka
Anda sebagai guru ataupun calon guru pasti sudah paham den-
gan kebiasaan anak-anak bermain boneka ketika di rumah. Dari
pengalamannya bermain boneka, anak-anak kita ajak bermain
boneka. Mereka kita minta untuk mengamati boneka-boneka yang
kita siapkan, kemudian mintalah mereka melakukan dialog sesuai
dengan karakter dalam lakon cerita yang Anda berikan.
Langkah-langkah Pembelajaran Drama
Apabila Anda ingin merancang pembelajarannya, maka langkahn-
ya dapat dilakukan dengan cara:

Langkah I
Ambillah salah satu pokok bahasan apresiasi bahasa dan sastra
dari silabus, misalnya sub pokok bahasan drama.
Kelas/Semester : V/ 2
Kompetensi Dasar : Drama
Materi Pokok : Membaca dialog fragmen drama kanak-kanak
Waktu : 2x 45 menit
Standar Kompetensi : Siswa-siswi mengenal, mamahami dan dapat
menghargai bahasa dan sastra Indonesia yang
berbentuk drama, khususnya dialog sederhana
serta dapat menyatakan secara lisan dan tulisan.

193
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Indikator : 1. Siswa-siswi dapat menetukan tema drama


yang dibacanya.
2. Siswa-siswi dapat membaca dialog dengan
irama yang tepat.
3. Siswa-siswi dapat mendramatisasikan frag-
men drama di muka kelas.

Langkah II
Mencari contoh drama yang cocok dengan siswa-siswi kelas V SD.
Perhatikan contoh naskah drama ini. Belajar menanam bunga dengan
teknik stek. Empat orang siswa-siswi SD Flamboyan 1 tengah berjalan
menuju rumah Pak Hamid, seorang ahli budidaya kembang di Desa
Taman Indah. Mereka berempat nampak gembira. Di sepanjang jalan
menuju halaman rumah Pak Hamid, mereka menyanyikan lagu.
Lihat kebunku
Penuh dengan bunga
Ada yang putih
Dan ada yang merah
Setiap hari kusiram semua
Mawar melati
Semuanya indah

Andi : Lihatlah Nina, kebun Pak Hamid bagus sekali ya?


Nina : Yaaa, begitulah yang namanya orang itu kalau su-
dah menjadi hobi, tanaman pun bisa dibentuk dan
diatur sangat indah dan menawan.
Nurdin : Memang betul Nin, tetanggaku itu hobinya men-
gukir akar-akar jati, waah jadinya luar biasa. Kayu-
kayu yang tadinya teronggok bagaikan sampah, kini
harganya jutaan rupiah.
Siti : Kalau ibuku hobinya memasak, jadi anaknya ge-
muk-gemuk, habis masakannya enak, sih. Aku sama
adikku enggak pernah berhenti makan. (Teman-te-
man mereka menertawakan).

Keempatnya tiba-tiba melihat Pak Hamid datang sambil membawa


bunga adenium yang nampak bunganya beraneka warna. Pak Hamid
nampak tersenyum.

194
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Nurdin : Assalamualaikum Pak Hamid?.


Pak Hamid : Waalaikumsalam, marimarimasuk di beran-
da, ayo nak Nurdin, nak Nina, nak Andi dan nak
Siti. Bapak dari tadi sudah lama menunggu kalian
lho, malah ibu sudah menyiapkan kue-kue untuk
kalian. Bapak senang lho akhirnya kalian datang.
Nah ini contoh bunga yang telah bapak sambung
dengan beraneka ragam bunga, bagus kan? (keem-
patnya segera mendekat dan mengamati bunga)
Nina : Waaahh, bagus sekali Pak!. Kok bisa ya, padahal
bunganya kan berbeda-beda Pak. (sambil meme-
gang tangkai bunga)
Nurdin : Kok saya jadi tertarik Pak. Bagaimana ini caranya?
Siti : Wah, kalau daunnya bisa dimasak, pasti ibuku
senang memasaknya.
Pak Hamid : Waah, kalau bunga ini daunnya pahit sekali, mana
ada orang yang mau, salah-salah kalau kamu yang
makan badanmu jadi kurus, soalnya kamu akan
sakit keracunan.
Andi : Kebetulan Pak, kalau dia sakit malah langsing. (te-
man-teman tertawa)
Pak Hamid : Sudah, sudah, ini hanya bercanda lho. Sekarang
coba kalian lihat dulu buku yang telah bapak siap-
kan di atas meja itu, kemudian bacalah dengan
cermat. Kalau ada hal-hal yang kurang bisa kalian
pahami, nanti bapak akan menjelaskan secara men-
dalam.

Keempat siswa-siswi itu segera berhamburan mendatangi meja yang


ada di beranda Pak Hamid. Andi lebih dulu meraih buku itu, kemu-
dian yang lain ikut menyimaknya.
Pak Hamid : Bagaimana anak-anak, apakah kalian mengalami
kesulitan?
Nurdin+Siti : Iya Pak. Soalnya kalau melihat gambar itu kurang
jelas, jadi kalau Pak Hamid mau memperagakan
langsung kepada kami, mungkin kami akan cepat
memahaminya.

195
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Pak Hamid : Baiklah anak-anak, bapak tadi sudah menyiapkan


bunga-bunga yang akan kita sambung hari ini.
(Pak Hamid menunjukkan bunga di dalam pot, ke-
mudian meletakkan di atas meja). Nah anak-anak,
kalian perhatikan ya, bapak akan praktek menyam-
bung, nanti satu persatu ikut mempraktekkan sep-
erti bapak ya!. Perhatikan baik-baik, bapak akan
memotong tangkai yang akan disambung. Nah,
setelahujungnya kita potong membentuk huruf V,
belahlah tangkai batang induknya, kemudian ma-
sukkan batang sambungan ini dan ikat dengan tali
plastik. Kemudian tutup dengan kantong plastik
ini, agar tidak banyak terjadi penguapan dan sim-
pan di tempat yang teduh. Bagaimana, mudah bu-
kan?

Anak-anak kemudian mempraktekkan seperti yang dilakukan Pak


Hamid.

Pak Hamid : Ada kesulitan Nina?


Nina : Waaah, ternyata mudah dan sangat sederhana ya
Pak?
Pak Hamid : Betul!, yang penting kalian ada kemauan, nanti
pasti kalian berhasil.
Nurdin : Mau tanya Pak?
Pak Hamid : Oh iya, mau tanya apa nak Nurdin?
Nurdin : Apakah semua jenis bunga kamboja dapat kita
sambung dengan kamboja jenis ini Pak?
Pak Hamid : Ohh, tidak bisa nak. Karena jenis kayu dan getahn-
ya berbeda. Yang jelas selama ini bapak belum
bisa menyambung dengan tanaman yang kalian
maksud. Sudahlah, yang penting hari ini kalian
sudah bisa menyambung bunga adenium, luma-
yan kan bisa dilakukan di rumah kalian nantinya.
Ayoo,sekarang kita istirahat dulu, lihat di meja itu.
Ibu sudah menyiapkan kue untuk kalian.

Langkah III
Membaca di dalam hati teks drama yang telah tersedia. Siswa-siswi
membaca teks drama yang telah tersedia dengan memperhatikan isi
cerita dan tokoh yang memainkan peran.

196
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Langkah IV
Membuat kelompok siswa-siswi yang akan bermain peran.

Langkah V
Berlatih menjiwai peran yang disandang. (Siswa-siswi menghafal
naskah dan berlatih menjiwai peran yang dimainkan).

Langkah VI
Memerankan drama dengan membaca teks.

Langkah VII
Guru memberikan penguatan terhadap penampilan siswa-siswi,
baik dari ketepatan ucapan, gaya/sikap, gerak-gerik, mimik dan men-
tal. Tugas siswa siswi di sini bisa melaksanakan dialog tanpa teks/
naskah.

Penutup
Sastra adalah bagian yang tidak terlepaskan dari pembelajaran
bahasa Indonesia di Sekolah Dasar sejak siswa duduk di kelas satu
sampai dengan kelas enam. Sastra sendiri terbagi menjadi dua bagian,
yaitu sastra imajinatif yang meliputi puisi, prosa fiksi, dan drama,
serta sastra non-imajinatif yang meliputi prosa non-fiksi. Mengajarkan
sastra imajinatif berarti mengajarkan puisi, prosa fiksi dan drama.
Tujuan pembelajaran sastra di sekolah terkait pada tiga tujuan
khusus, yaitu:
1. Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemam-
puan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial.
a. Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memper-
luas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkat-
kan pengetahuan dan kemampuan berbahasa.
b. Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai
khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.
2. Pengajaran sastra membawa siswa pada ranah produktif danapre-
siatif. Sastra adalah sistem tanda karya seni yang bermediakan
bahasa. Pencipataan karya sastra merupakan keterampilan dan
kecerdasan intelektual dan imajinatif.
3. Karya sastra hadir untuk dibaca dan dinikmati, dimanfaatkan un-
tuk mengembangkan wawasan kehidupan.

Fungsi sastra bagi hidup dan kehidupan manusia adalah:


1. Fungsi reaktif, yaitu fungsi atau manfaat memberikan rasa senang,
gembira, dan menghibur.

197
Professional Learning untuk Indonesia Emas

2. Fungsi didaktif, yaitu fungsi atau manfaat mengarahkan dan


mendidik pembaca karena mengandung nilai-nilai moral.
3. Fungsi estetika, yaitu fungsi atau manfaat yang dapat memberi-
kan
keindahan bagi pembaca karena bahasanya yang indah.
4. Fungsi moralitas, yaitu fungsi atau manfaat yang dapat membe-
dakan moral yang baik dan tidak baik bagi pembacanya karena
sastra yang baik selalu mengandung nilai-nilai moral yang tinggi.
5. Fungsi religiusitas, yaitu fungsi atau manfaat yang mengandung
ajaran- ajaran agama yang harus diteladani oleh pembaca.

Daftar Pustaka

Alfin, Jauharoti, dkk. (2009). Pembelajaran Bahasa Indonesia. Edisi Per-


tama. Surabaya: Aprint.
Cahyani, Isah. (2007). Kemampuan berbahasa di SD. Bandung: UPI Press.
Rusyana, Yus. (1984). Bahasa dan Sastra Dalam Gamitan Pendidikan.
Bandung: CV. Diponegoro.
Tarigan, Djago. (2005). Pendidikan Keterampilan Berbahasa. Jakarta: Uni-
versitas Terbuka.
Tarigan, Henry Guntur. (2008). Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung:
Angkasa Bandung
Resmini, Novi, dkk. (2007). Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di
Kelas Tinggi. Bandung: UPI Press
Risalah Kongres Bahasa Indonesia IV, Bahasa Indonesia Menjelang Ta-
hun 2000., Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Ba-
hasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

198
STRATEGI DALAM MEMPEROLEH, MENGA-
NALISIS, MENYAJIKAN, DAN MEMANFAAT-
KAN INFORMASI DALAM IPS DI MI/SD
Takiddin
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Email: takiddin@gmail.com

Abstrak: Salah satu keterampilan yang sangat penting untuk


dikuasai oleh siswa dalam pembelajaran IPS MI/SD adalah ket-
erampilan memperoleh, menganalisis, menyajikan, dan meman-
faatkan Informasi. Keterampilan ini penting karena dewasa ini
seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
informasi, maka informasi sangat mudah tersebar dan sangat
mudah diperoleh. Informasi yang tersebut sangat beragam ben-
tuknya. Mulai dari yang mudah sampai ke yang sulit. Mulai dari
yang penting sampai ke yang biasa-biasa saja. Mulai dari infor-
masi yang positif sampai ke informasi yang negatif. Informasi-
informasi yang datang tersebut sangat penting dalam pembela-
jaran IPS di MI/SD. Namun tidak semua informasi yang datang
itu positif dan diperlukan oleh siswa. Oleh karena itu, sangat
penting mengajarkan siswa untuk memiliki kemampuan yang
memadai dalam memperoleh, menganalisis, menyajikan dan
memanfaatkan informasi dengan baik.

Kata kunci: IPS MI/SD, Informasi

Pendahuluan
Pembelajaran IPS di Madrasah Ibtidaiyah dan Dekolah Dasar se-
lama ini masih dirasakan oleh sebagian orang sebagai pembelajaran
yang kurang menarik dan kurang menantang, pembelajaran yang ma-
sih sarat dengan kegiatan menghafal fakta, konsep, dan generalisasi.
Persepsi itu memang tidak salah, akan tetapi jika pembelajaran IPS
difahami secara utuh, maka sebenarnya masih terdapat beberapa hal
penting yang belum tergali dan belum difahami secara utuh oleh seba-
gian besar guru-guru yang mengajar IPS.
Idealnya guru IPS di MI/SD juga memperhatikan dan menguasai
keterampilan-keterampilan dasar dalam IPS MI/SD. Salah satu ke-
mampuan yang sangat penting untuk dikuasai oleh siswa adalah ket-

199
Professional Learning untuk Indonesia Emas

erampilan memperoleh, menganalisis, menyajikan, dan memanfaat-


kan Informasi. Keterampilan ini penting karena pada hari ini seiring
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi,
maka informasi sangat mudah menyebar dan sangat mudah diper-
oleh. Informasi yang tersebut sangat beragam bentuknya. Mulai dari
yang mudah sampai ke yang sulit. Mulai dari yang penting sampai
ke yang biasa-biasa saja. Mulai dari informasi yang positif sampai ke
informasi yang negatif.
Informasi-informasi yang datang tersebut sangat penting dalam
pembelajaran IPS di MI/SD. Namun tidak semua informasi yang
datang itu positif dan diperlukan oleh siswa. Oleh karena itu, sangat
penting mengajarkan siswa untuk memiliki kemampuan memperoleh,
menganalisis, menyajikan dan memanfaatkan informasi. Sehingga
siswa akan terlatih menyeleksi berbagai informasi yang mereka teri-
ma.
Jika siswa tidak bisa menyeleksi berbagai informasi dengan baik,
maka dikhawatirkan siswa akan mengalami peristiwa-peristiwa yang
tidak diharapkan, seperti jika informasi yang diterima tersebut me-
nyangkut nama baik seseorang, maka sangat berpotensi menimbul-
kan permusuhan. Jika informasi itu tidak sesuai dengan fakta, maka
akan menimbulkan fitnah dan cenderung menyesatkan. Oleh karena
itu, sangat penting bagi siswa untuk bijkasana dalam memanfaat-
kan informasi sehingga informasi yang diperoleh menjadi informasi
yang bermanfaat, bukan malah sebaliknya menjadi sesuatu yang akan
mencelakakan siswa itu sendiri.
Berdasarkan pada paparan di atas, maka penulis memandang
perlu untuk memberikan pemikiran mengenai tips-tips dalam mengo-
lah informasi agar menjadi informasi yang bermanfaat dengan judul
strategi pengajaran dalam memperoleh, menganalisis, menyajikan
dan memanfaatkan informasi dalam pembelajaran IPS MI/SD.

Pendidikan IPS MI/SD


Ilmu Pengetahuan Sosial yang disingkat IPS di Indonesia mulai
dikenal sejak tahun 1970-an sebagai hasil kesepakatan komunitas aka-
demik dan secara formal mulai digunakan dalam sistem pendidikan
nasional dalam kurikulum 1975. Dalam dokumen kurikulum tersebut
IPS merupakan salah satu nama mata pelajaran yang diberikan pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah. IPS dalam kepustakaan as-
ing lebih dikenal dengan istilah Social Studies, Social Education, Social
Studies Education, Social Science Education, Citizenship Education, dan
Studies of Society and Environment (Sapriya, 2008:6).
Namun, walaupun banyak ahli yang memberikan definisi terha-
dap IPS atau Social Studies dalam istilah asingnya, definisi IPS yang
paling lengkap adalah definisi yang dirumuskan oleh The National

200
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Council for the Social Studies (NCSS) yang menyatakan bahwa:


Social studies is the integrated study of the social sciences and hu-
manities to promote civic competence. Within the school program, so-
cial studies provide coordinated systematic study drawing upon such
diciplines as anthropology, archeology, economics, geography, history,
law, philosophy, political science, psychology, religion and sosiology, as
well as appropriate content from humanities, mathematics, and natural
sciences. The primary purpose of social studies is to help young people
develop the ability to make informed and reasoned decision for the pub-
lic good as citizens of a culturally diverse, democratic society in an
interdependent world (NCSS, 1994:3).

Dari rumusan NCSS ini, dapat diketahui bahwa IPS dirumuskan


sebagai suatu kajian terintegrasi dari ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu
kemanusiaan untuk meningkatkan kemampuaan kewarganegaraan
(civic competence). Pada tingkat sekolah, IPS menyediakan kajian ter-
koordinasi dan sistematis dengan mengambil dari disiplin-disiplin
antropologi, arkeologi, ekonomi, geografi, sejarah, hukum, filsafat,
ilmu politik, psikologi, agama dan sosiologi, serta ilmu-ilmu kemanu-
siaan, matematika dan ilmu-ilmu alam. Tujuan utama IPS ialah mem-
bantu generasi muda mengembangkan kemampuan untuk membuat
keputusan yang informatif dan rasional bagi kebaikan masyarakat se-
bagai warga negara dari masyarakat yang berbudaya majemuk dan
demokratis dalam dunia yang saling memiliki ketergantungan.
Sementara itu, pengertian IPS untuk konteks Indonesia dapat dik-
etahui dari rumusan IPS yang dirumuskan oleh Muhammad Numan
Somantri yang menyatakan bahwa:
Menurut versi pendidikan dasar dan menengah, Pendidikan IPS
adalah penyederhanaan atau adaptasi dari disiplin ilmu-ilmu so-
sial dan humaniora, serta kegiatan dasar pedagogis/psikologis
untuk tujuan pendidikan. Sementara itu, menurut versi FPIPS
dan Jurusan Pendidikan IPS, Pendidikan IPS adalah seleksi dari
disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora serta kegiatan dasar
manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan
psikologis untuk tujuan pendidikan (Numan, 2001:6).

Kunci perbedaan antara kedua versi pengertian Pendidikan IPS


tersebut ialah kata penyederhanaan dan seleksi dari disiplin ilmu,
dan seterusnya. Kata penyederhanaan untuk pendidikan dasar dan
menengah menunjukkan bahwa tingkat kesukaran bahan harus ses-
uai dengan tingkat kecerdasan dan minat peserta didik. Sedangkan
tingkat kesukaran pendidikan IPS untuk FPIPS adalah sama dengan
tingkat kesukaran perguruan tinggi, baik untuk isi Pendidikan IPS

201
Professional Learning untuk Indonesia Emas

maupun dalam metode ilmiahnya.


Kemudian, adapun tujuan dari IPS (social studies) diantaranya
dapat diketahui dari rumusan yang dirumuskan oleh NCSS sebagai
organisasi keanggotaan pertama para pendidik IPS di Amerika seb-
agai berikut:
Social Studies programs have a responsibility to prepare young peo-
ple to identify, understands and work to solve problems that face our
increasingly diverse nation and interdependence world. Over the past
several decades, the profesional consensus has been that such programs
ought to include goals in the broad areas of knowledge, democratic value
and skill. Program that combine that acquisition of knowledge and skill
with the application of democratic values to life, through social partici-
pation present and ideal balance in social studies. It is essential that
these major goals be viewed and equally important. The relationship
among knowledge, values and skill is one of mutual support (NCSS,
1994:251

Bahwa IPS sebagai mata pelajaran yang disampaikan pada jenjang


persekolahan bertujuan untuk mengembangkan siswa menjadi warga
negara yang baik. Sedangkan materi digali dan diseleksi dari sejarah
dan ilmu-ilmu sosial serta dalam banyak hal termasuk humaniora dan
sains.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat dinyatakan bah-
wa pendidikan IPS untuk tingkat sekolah dasar merupakan materi
pelajaran yang disederhanakan dari ilmu-ilmu sosial (social sciences)
dan ilmu-ilmu kemanusiaan untuk meningkatkan kemampuaan ke-
warganegaraan (civic competence), bertujuan untuk membantu generasi
muda mengembangkan kemampuan membuat keputusan yang infor-
matif dan rasional bagi kebaikan masyarakat sebagai warga negara
dari masyarakat yang berbudaya majemuk dan demokratis dalam du-
nia yang saling memiliki ketergantungan.

Keterampilan Memperoleh Informasi dalam Pembelajaran IPS MI/


SD
Banyak cara yang dapat digunakan untuk memperoleh informasi,
diantaranya dengan membaca buku teks atau buku sumber, melalui
media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan melalui
lingkungan masyarakat yang ada di sekitar manusia (Sapriya, 2009:56).

Memperoleh Informasi Melalui Buku Teks


Memperoleh informasi melalui membaca buku teks atau buku
sumber memerlukan kemampuan yang cukup tinggi. Tidak jarang se-
seorang membaca buku teks atau sumber merasa sulit menangkap apa

202
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

makna atau inti permasalahan yang sedang dibaca, sehingga sulit pula
menarik suatu kesimpulan tentang apa yang telah dibacanya.
Agar dapat membaca dengan baik, ada beberapa yang perlu di-
perhatikan:
1) Pahamilah terlebih dahulu tema atau judul yang akan dibaca
2) Bacalah dengan teliti dan fahami makna alinea atau paragraf yang
telah dibaca
3) Catat kata-kata kunci dalam bacaan yang sedang dibaca
4) Catat kata-kata sulit yang tidak dimengerti maknanya dan cari
dalam kamus atau ensiklopedia
5) Tarik kesimpulan sementara setiap bab atau bagian yang telah di-
baca.

Memperoleh Informasi Melalui Media Massa


Sumber lain untuk memperoleh informasi adalah media massa,
baik media cetak seperti surat kabar dan majalah, maupun media
elektronik seperti radio dan televisi. Melalui media massa kita dapat
memperoleh informasi aktual dan terkini, sehingga informasinya
dapat dengan cepat ke masyarakat, baik di tingkat lokal, nasional, dan
internasional.
Ada beberapa keuntungan memperoleh informasi melalui media
massa, yaitu:
1) Informasi dapat dengan cepat sampai kepada si penerima infor-
masi
2) Informasi yang diterima lebih aktual dan terkini
3) Informasi yang diperoleh akan lebih percaya karena dilengkapi
dengan tayangan-tayangan gambar atau foto-foto
4) Lebih menarik dan mudah dicerna oleh penerima informasi
(Sapriya, 2009:57).

Sementara kelemahan penggunaan informasi media massa adalah:


1) Tidak semua orang memiliki alat atau sarana media komunikasi
yang dibutuhkan
2) Memerlukan waktu khusus untuk menyimak informasi, terutama
media elektronika sehingga orang yang sibuk tidak akan punya
waktu cukup untuk menonton televisi, mendengar radio, dan
membaca majalah serta surat kabar
3) Belum semua pelosok tanah air telah dimasuki aliran listrik, jadi
cukup menyulitkan menggunakan media elektronik
4) Tidak semua masyarakat mampu membeli televisi, berlangganan
surat kabar dan majalah (Sapriya, 2009:57).

Media massa apapun yang dimanfaatkan untuk untuk mem-


peroleh informasi, diperlukan kecermatan dan ketelitian dalam mener-

203
Professional Learning untuk Indonesia Emas

ima informasi tersebut. Kadang-kadang informasi yang diterima me-


lalui media massa tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya, karena
sering terjadi intervensi dari peliput berita, yang memiliki kepentin-
gan tertentu (Sapriya, 2009:58).
Dalam kaitannya dengan pembelajaran IPS, materi yang disam-
paikan kepada siswa tidak semata-mata bersumber dari buku teks,
melainkan tidak jarang berasal dari lingkungan masyarakat sekitar
siswa. Oleh karena itu, sumber belajar IPS tidak hanya berasal dari
interaksi guru dan siswa di dalam kelas, akan tetapi juga berasal dari
luar kelas.

Sumber Informasi dari Media Internet


Internet (Inter-Network) adalah sebutan untuk sekumpulan jarin-
gan komputer yang menghubungkan situs akademik, pemerintahan,
komersial, organisasi, maupun perorangan. Internet menyediakan ak-
ses untuk layanan telekomunikasi dan sumber daya informasi untuk
jutaan pemakainya yang tersebar di seluruh dunia. Layanan internet
meliputi komunikasi langsung (email, chat), diskusi (Usenet News, email,
milis), sumber daya informasi yang terdistribusi (World Wide Web, Go-
pher), remote login dan lalu lintas file (Telnet, FTP), dan aneka layanan
lainnya (Ramadhani, 2003).
Internet membawa perubahan yang luar biasa ke dalam kehidu-
pan manusia. Namun, internet juga memiliki sisi positif dan negatif.
Berikut beberapa dampak negatif penggunaan internet (Rofiyanti,
2015):
1) Pornografi
Tidaklah salah jika internet dikaitkan dengan hal-hal berbau por-
nografi, baik berupa gambar, video, maupun tulisan. Media inter-
net memberikan peluang bagi seseorang untuk melihat, mengun-
duh, serta memperdagangkan pornografi.
2) kecanduan hubungan maya
Hal ini merupakan dampak yang melibatkan seseorang secara
berlebihan untuk menjalin hubungan maya. Hubungan melalui
internet biasanya berawal dari chat. Melalui chat, seseorang akan
merasakan kecocokan sehingga memutuskan untuk menuangkan
perhatian berlebih pada rekan chatnya. Bahkan, seseorang bisa
melupakan dunia nyata gara-gara kecanduan chat.
3) Perjudian
Perjudian melalui internet ini dikenal dengan istilahnet gaming.
Net gaming merupakan sebuah keadaan yang sejenis dengan
kecanduan judi. Misalnya, bermaingame, berbelanja. Bahkan,
melakukan kegiatan jual beli saham lewat internet yang meng-
ganggu pekerjaan serta mengakibatkan kerugian yang menggir-
ing orang bersangkutan pada cengkraman utang.

204
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

4) informasi berlebih
Internet merupakan media yang menyediakan berbagai informasi
secara lengkap. Apapun yang kita inginkan, ada di internet. Hal
inilah yang membuat seseorang rela menghabiskan waktu ber-
jam-jam untuk mengetahui berbagai informasi yang tersedia. In-
formasi tersebut dikumpulkan serta diorganisasi sedemikian rupa
hingga melebihi kapasitas daya tampung otak.
5) kecanduan komputer
Sebuah penelitian menemukan fakta bahwa beberapa organisasi
mengalami dampak negatif akibat kecanduangames offline, seperti
Tetris dan Solitaire yang terkenal pada era 1980-an, yang sudah
diinstalldalam perangkat tiap komputer.
6) kekejaman dan kesadisan
Kekompleksan informasi di internet membuat beberapa situs me-
nampilkan segala bentuk kekejaman dan kesadisan untuk menjual
situs bersangkutan. Hal-hal bersifat tabu memang menjadi salah
satu cara yang bisa menaikkan pamor situs tersebut.
7) Penipuan
Tidak hanya dalam media internet, penipuan adalah dampak
negatif yang mengintai dalam segala hal. Internet menjadi salah
satu sasaran para penipu untuk melancarkan aksinya. Hal yang
sebaiknya dilakukan adalah mengabaikan informasi tertentu yang
dianggap memiliki unsur penipuan.
8) Penculikan
Banyak kasus pelaporan orang tua yang menyatakan bahwa
anaknya diculik oleh seseorang yang dikenal melalui jejaring sos-
ial. Internet memang mampu menghadirkan kerugian yang tidak
terduga. Untuk mengantisipasi hal ini, usahakan agar tidak mem-
percayai seseorang yang dikenal lewat maya. Apalagi, jika menga-
jak bertemu.

Itulah beberapa dampak negatif internet yang tampak sangat kom-


pleks. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menghindari masalah
tersebut, namun hal itu tidak menunjukkan hasil maksimal. Oleh se-
bab itu, janganlah terlalu berlebihan menempatkan diri dalam media
informasi bernama internet ini.
Setiap media memiliki dampak baik dan buruk yang selalu berir-
ingan. Kitalah yang harus pandai menyaring. Berbagai usaha yang
dilakukan pemerintah maupun pihak berkaitan untuk meminimal-
isasidampak negatifinternet tidak akan berguna tanpa kesadaran tiap
individu pengguna internet.

205
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Keterampilan Menganalisis Informasi dalam Pembelajaran IPS MI/


SD
Kegiatan selanjutnya yang perlu dilakukan siswa dalam mengo-
lah informasi dalam pembelajaran IPS adalah menganalisis informasi.
Adapun tujuan yang ingin dicapai dengan menganalisis informasi
adalah:
1) Untuk mengidentifikasi motif, alasan atau sebab dari suatu ke-
jadian
2) Mempertimbangkan atau menganalisis informasi-informasi agar
diperoleh kesimpulan dan generalisasi berdasarkan informasi
tersebut
3) Menganalisis suatu kesimpulan atau generalisasi untuk menemu-
kan kejadian-kejadian yang dapat mendukung atau menolak kes-
impulan atau alasan itu.

Sementara itu, untuk menganalisis data atau informasi ada beber-


apa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
1) Penganalisis data atau informasi hendaklah memiliki ilmu yang
memadai sebagai peneliti
2) Alat untuk menganalisis data harus sesuai dengan tujuan dan teo-
ri penelitian, dalam hal ini metode penelitian
3) Analisa data dilakukan berdasarkan informasi yang dikumpulkan
secara objektif dan faktual
4) Sebelum analisa data dilakukan perlu adanya pemilahan data
informasi berdasarkan permasalahan penelitian yang sedang di-
lakukan (Sapriya, 2009:59)

Dalam pembelajaran IPS guru diharapkan telah dapat malatih


siswa untuk melakukan penelitian sederhana, seperti melakukan ob-
servasi di pasar, kantor desa, lingkungan sekitar dan lain sebagainya.

Keterampilan Menyajikan Informasi dalam Pembelajaran IPS MI/


SD
Sekumpulan data dan informasi yang diperoleh perlu diolah, dia-
nalisis, dan disimpulkan. Data yang diperoleh akan bermanfaat bagi
pihak lain jika disajikan dengan sistematis, sehingga mudah diteri-
ma dan dicerna oleh orang lain. Selengkap apapun informasi yang
telah terkumpul dan diolah dengan baik, namun karena penyajian-
nya kurang sistematis dan menarik perhatian orang lain (pemerhati),
maka data atau informasi itu kurang bermakna dan sulit untuk difa-
hami oleh pemerhati.
Dalam pembelajaran IPS di MI/SD, guru hendaknya menjadi pe-
nyaji yang baik dan menarik, agar siswa memiliki minat dan perhatian
yang tinggi serta antusias dalam proses pembelajaran. Salah satu cara

206
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

yang digunakan guru dalam menyajikan materi pembelajaran adalah


dengan menggunakan media dan alat peraga pengajaran. Apabila ma-
teri pembelajaran berupa data dan angka, maka guru lebih baik meng-
gunakan bagan grafik dan gambar-gambar. Dengan cara seperti ini
akan membantu siswa untuk mempermudah memahami materi pem-
belajaran.
Seorang guru apabila akan menyajikan informasi secara efektif
hendaknya memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1) Penyaji informasi hendaklah berpribadi menarik dan pandai ber-
bicara di depan murid dan khalayak
2) Informasi yang hendak disajikan hendaklah dikemas secara apik
dan menarik sehingga informasi yang disampaikan dipercaya
oleh si penerima informasi
3) Materi informasi yang hendak disajikan memiliki keterkaitan den-
gan kepentingan si penerima informasi
4) Informasi yang disampaikan dapat digunakan sebagai dasar pe-
nyusunan rencana pembangunan dan perbaikan di masa men-
datang (Sapriya, 2009:62).

Keterampilan Memanfaatkan Informasi dalam Pembelajaran IPS


MI/SD
Sebagai seorang guru sebenarnya setiap hari mengadakan pene-
litian dengan siswa walaupun dalam bentuk yang sangat sederhana.
Pada saat mengajar pada dasarnya guru menyampaikan informasi
yang telah dimilikinya, baik diperoleh dari buku sumber, media massa,
maupun dari hasil laporan penelitian. Setiap informasi yang dimiliki
seseorang baru dianggap bermanfaat bila ia dapat menggunakan dan
memanfaatkan informasi-informasi dalam pekerjaannya sehari-hari.
Dalam memanfaatkan informasi, ada beberapa hal yang perlu di-
perhatikan tentang data atau informasi yang diperoleh, antara lain:
1) Informasi hendaklah benar-benar diperoleh dari sumber yang ter-
percaya
2) Pengolahan dan analisis data menggunakan teori-teori yang aku-
rat supaya dapat menarik kesimpulan yang lebih objektif
3) Informasi yang diperoleh sesuai dengan tujuan penelitian sehing-
ga hasil penelitiannya menjadi lebih akurat dan dapat dipercaya
(Sapriya, 2009:63).

Penutup
Berdasarkan pada pembahasan di atas, maka dapat disumpulkan
bahwa
1. Banyak cara yang dapat digunakan untuk memperoleh informasi,
diantaranya adalah dengan membaca buku teks atau buku sum-
ber, melalui media massa seperti televisi, radio, surat kabar, ma-

207
Professional Learning untuk Indonesia Emas

jalah, internet dan melalui lingkungan masyarakat yang ada di


sekitar manusia.
2. Untuk menganalisis data atau informasi ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan, yaitu penganalisis data atau informasi hen-
daklah memiliki ilmu yang memadai sebagai peneliti, alat untuk
menganalisis data harus sesuai dengan tujuan dan teori peneli-
tian, dalam hal ini metode penelitian, analisa data dilakukan ber-
dasarkan informasi yang dikumpulkan secara objektif dan faktual,
sebelum analisa data dilakukan perlu adanya pemilahan data in-
formasi berdasarkan permasalahan yang diteliti.
3. Dalam pembelajaran IPS di MI/SD, guru hendaknya menjadi
penyaji yang baik dan menarik, agar siswa memiliki minat dan
perhatian yang tinggi serta antusias dalam proses pembelajaran
sehingga kelak siswa akan mencontoh apa yang telah dilakukan
guru.
4. Dalam memanfaatkan informasi, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan tentang data atau informasi yang diperoleh, antara
lain informasi hendaklah benar-benar diperoleh dari sumber yang
terpercaya, pengolahan dan analisis data menggunakan teori-teori
yang akurat supaya dapat menarik kesimpulan yang lebih objektif.

Daftar Pustaka

Graifhan Ramadhani. (2003). Modul Pengenalan Internet. [online]:


(Tersedia): http://directory.umm.ac.id/tik/pengenalan_
internet.pdf.
NCSS. (1994). Curriculum Standars for Social Studies. Washington DC.
Rofiyanti, Dilla. Dampak Negatif Penggunaan Internet. [Online]:
(Tersedia) https://dillarofiyanti.wordpress.com/dampak-
negatif-penggunaan-internet-3/. Diakses pada Jumat, 15 Mei
2015.
Sapriya. (2009). Konsep Dasar IPS. Bandung: Laboratorium UPI.
Sapriya. (2008). Pendidikan IPS. Laboratorium PKn: Universitas Pendi-
dikan Indonesia Bandung.
Somantri, Numan M. (2001). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS.
Bandung: Kerjasama PPs UPI dengan PT. Rosda Karya.

208
PENGARUH ALAT PERAGA MENARA HANOI
UNTUK MENINGKATKAN PENALARAN
MATEMATIS SISWA MENGENAI KONSEP
POLA BILANGAN
(Eksperimen Kuasi pada Siswa Kelas III SDN Cipaku 03 dan
SDN Cipaku 04 Kecamatan Paseh Kabupaten Bandung)

Fery Muhamad Firdaus


Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui


pengaruh alat peraga menara hanoi dalam meningkatkan
penalaran matematis siswa. Penelitian dilakukan pada tahun
akademik 2014-2015 di Sekolah Dasar Negeri Cipaku 03 sebagai
kelompok eksperimen, dan di Sekolah Dasar Negeri Cipaku 04
sebagai kelompok kontrol. Sampel penelitian yaitu 20 siswa dari
masing-masing kelompok. Selama proses penelitian, kelompok
eksperimen diberikan pembelajaran dengan menggunakan media
hanoi, sedangkan kelompok kontrol diberikan pembelajaran
dengan menggunakan media gambar. Pendekatan penelitian
yang digunakan yaitu pendekatan kuantitatif dengan metode
eksperimen kuasi desain nonequivalent groups pretest-posttests.
Analisis data dilakukan dengan uji-t. Tingkat signifikansi 0,05.
Hasil penelitian menunjukkan perbedaan yang signifikan antara
skor penalaran matematis siswa dari kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol. Hal ini juga menemukan bahwa pembelajaran
dengan menggunakan alat peraga menara hanoi lebih efektif
dalam meningkatkan penalaran matematis siswa dibandingkan
dengan pembelajaran menggunakan media gambar, sehingga
alat peraga menara hanoi dapat menjadi alternatif pembelajaran
yang dapat diterapkan dalam upaya meningkatkan penalaran
matematis siswa.

Kata Kunci: Menara Hanoi, Penalaran Matematis, Pola Bilangan,


Pendidikan Matematika, Kelas III, Sekolah Dasar.

209
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Pendahuluan
Matematika adalah salah satu mata pelajaran yang wajib
dibelajarkan sejak pendidikan usia dini sampai pendidikan menegah,
termasuk di sekolah dasar. Pendidikan matematika di sekolah dasar
merupakan ilmu dasar yang sangat penting untuk dipelajari siswa usia
sekolah dasar. Ruseffendi (1991) mengemukakan bahwa matematika
adalah bahasa simbol; ilmu deduktif yang tidak menerima pembuktian
secara induktif; ilmu tentang pola keteraturan, dan struktur yang
terorganisasi, mulai dari unsur yang tidak terdefinisikan, ke unsur
yang didefinisikan, ke aksioma atau postulat, dan akhirnya ke dalil.
Pentingnya pendidikan matematika di sekolah dasar, kurang
didukung oleh guru sebagai pelaksana pendidikan di sekolah, banyak
kita temukan bahwa guru masih melaksanakan proses pembelajaran
matematika dengan metode ekspositori, sehingga guru masih
mendominasi sebagai subyek belajar sehingga siswa hanya mendapat
sedikit peran dalam pembelajaran atau hanya sebagai obyek saja.
Hal itu disebabkan karena guru merasa bahwa tidak adanya cukup
waktu untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk berkreasi
dan target kurikulum yang begitu ketat untuk segera menghadapi tes
standar atau ujian nasional (Turmudi, 2010).
Pendidikan matematika di Indonesia kurang baiknya, hal ini
terbukti dari hasil laporan The Third International Mathematics and Science
Study (TIMSS) tahun 2007 bahwa Indonesia menempati ranking ke 36
dari 49 negara yang berpartisipasi dengan skor 397, sedangkan rerata
skala TIMSS yang ditetapkan adalah 500. Oleh karena itu, kualitas
pendidikan dan pembelajaran matematika haruslah ditingkatkan
dalam sistem sekolah di Indonesia supaya siswa lebih memahami
makna dan pentingnya matematika untuk kehidupan sehari-hari.
Pola bilangan merupakan salah satu konsep yang dibelajarkan
di sekolah dasar, sehingga diharapkan siswa sekolah dasar mampu
menguasai konsep-konsep terkait mengenai pola bilangan. Akan tetapi,
permasalahan yang muncul di kelas yaitu sulitnya siswa menentukan
rumus pola bilangan tersebut. Permasalahan ini haruslah diselesaikan
supaya penalaran matematis siswa mengenai pola bilangan dapat
meningkat secara optimal. Salah satu alternatif yang dapat digunakan
untuk menyelesaikan masalah tersebut yaitu penggunaan alat peraga
menara hanoi, dimana menara hanoi ini merupakan salah satu diantara
berbagai teka-teki dalam matematika. Alat peraga menara hanoi dapat
dimanfaatkan dalam pembelajaran untuk: (1) Melatih kemampuan
siswa dalam memecahkan masalah (problem solving); (2) Menemukan
barisan bilangan dengan cara bermain; dan (3) Menemukan rumus
pola bilangan (Tim Unit Media Alat Peraga Matematika, 2011).

210
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Pembelajaran Matematika Konsep Pola Bilangan


Kusumoputro dan Sidiarto (2008: 11) mengemukakan bahwa
kemampuan matematika juga merupakan fungsi otak yang kompleks.
Dimana proses perolehannya memerlukan kerjasama yang rapi antara
belahan otak kanan dan kiri. Kalau matematika harus dihafalkan maka
itu adalah upaya langsung merangsang belahan otak kiri dan biasanya
kurang berhasil, karena matematika bukan kemampuan belahan otak
kiri semata. Matematika adalah pengetahuan yang menggunakan
belahan otak kanan mencakup masalah pemahaman visual, spasial
dan perseptual.
Pembelajaran matematika di sekolah dasar merupakan suatu proses
interaksi antara pendidik dengan peserta didik yang membelajarkan
konsep-konsep matematika pada tingkat dasar. Dimana Ruseffendi
(Heruman 2010: 1) mengemukakan bahwa matematika adalah bahasa
simbol; ilmu deduktif yang tidak menerima pembuktian secara induktif;
ilmu tentang pola keteraturan, dan struktur yang terorganisasi, mulai
dari unsur yang tidak terdefinisikan, ke unsur yang didefinisikan, ke
aksioma atau postulat, dan akhirnya ke dalil.
Dalam peraturan menteri pendidikan nasional (Depdiknas, 2008:
134) telah dijelaskan bahwa metematika merupakan ilmu universal
yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran
penting dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia.
Pembelajaran matematika ini sangat perlu diberikan kepada seluruh
peserta didik dari mulai sekolah dasar, hal ini dimaksudkan untuk
membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis,
sistematis, kritis dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Dimana
kompetensi-kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik dapat
memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan
informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah,
tidak pasti, dan kompetitif.
Selain itu, Ashlock. et. al. (1983: 5) juga mengungkapkan
pendapatnya bahwa,
The mathematics of the elementary school involves a rich mileau
of concepts and skill, and when considered against the background
of varied experiences and learning styles that there is not just one
sequence or even a single best sequence for learning. Yet we cannot
teach everything at once, and there are some things that are logically
learned before others. In summary, we have to select, relate, and
sequence curriculum content as we plan to teach.

Sehingga pembelajaran matematika di sekolah dasar haruslah


melibatkan lingkungan yang kaya konsep dan keterampilan, dan

211
Professional Learning untuk Indonesia Emas

ketika dianggap bertentangan dengan latar belakang pengalaman


bervariasi dan gaya belajar yang ada, tidak hanya satu urutan atau
bahkan urutan terbaik tunggal untuk belajar. Namun kita tidak bisa
mengajarkan semuanya sekaligus, dan ada beberapa hal yang secara
logika dipelajari sebelum orang lain. Singkatnya, kita harus memilih,
menghubungkan, dan konten urutan kurikulum ketika berencana
untuk mengajar.
Sedangkan Priatna (Sudirjo, et. al., 2009: 110) mengungkapkan
bahwa matematika yang dipelajari di SD merupakan serangkaian
materi pengetahuan yang memiliki objek dasar yang abstrak yang
berlandaskan kebenaran dan konsistensi, pembelajaran matematika
di SD diarahkan agar siswa memiliki keterampilan dalam berhitung
melalui kegiatan praktis yang dilakukan sendiri oleh siswa.
Dalam pembelajaran matematika sangat diperlukan sekali proses
berpikir siswa untuk memahami materi pembelajaran matematika
yang harus dicapai siswa, dimana Womack (1988: 24) mengungkapkan
bahwa,
Thinking mathematically implies more than handling materials and
manipulating numbers: it is looking for pattern and order, deducing
relationships or making predictions and hypotheses. It involves
counting and calculating, recording and measuring, generalising and
reasoning.

Jadi, berpikir matematis itu menyiratkan lebih dari penanganan


bahan dan memanipulasi nomor, dimana hal itu merupakan kegiatan
mencari pola dan urutan, deduksi hubungan atau membuat prediksi
dan hipotesis. Ini melibatkan hitungan dan menghitung, pencatatan
dan pengukuran, generalisasi dan penalaran.
Berpikir matematis yang dapat dikembangkan pada proses
pembelajaran matematika yang sesuai dengan tujuan pendidikan
matematika di sekolah dasar yaitu berpikir logis, analitis, sistematis,
kritis dan kreatif. Oleh karena itu, sangat diperlukan sekali keahlian
atau keterampilan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran
yang dapat meningkatkan berpikir matematis siswa tersebut.
Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di sekolah
dasar, telah dijelaskan bahwa mata pelajaran Matematika perlu
diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar
untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis,
analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama.
Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik dapat memiliki
kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi
untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti,

212
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

dan kompetitif. Mata pelajaran Matematika bertujuan agar peserta


didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar
konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes,
akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah;
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan
manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun
bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika;
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami
masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model
dan menafsirkan solusi yang diperoleh;
4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau
media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah;
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam
kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat
dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri
dalam pemecahan masalah (Depdiknas: 2006).

Salah satu konsep yang dikembangkan di sekolah dasar yaitu


mengenai konsep pola bilangan. Dimana Walle (2008) mengungkapkan
beberapa tahanpan dalam pembelajaran pola bilangan, tahapan
tersebut yaitu sebagai berikut:

1) Pola-pola berulang
Belajar untuk menemukan pola dan bagaimana menjelaskan,
menerjemahkan, dan memperluas pola merupakan bagian dari
pengerjakan matematika dan berpikir aljabar. Pada tingkat PAUD
sampai SD kelas 3, topik yang bagus untuk memulai adalah ekspolari
pola-pola berulang.
Konsep dari pola berulang dan bagaimana suatu pola diperluas
atau dilanjutkan bisa diperkenalkan kepada kelas dalam beberapa
cara. Satu kemungkinannya adalah dengan menggambar pola bentuk
sederhana dan menjelaskannya dalam diskusi. Pola lisan bisa diikuti
oleh semua anak. Contohnya: do, mi, mi, do, mi, mi, ... merupakan
pola bernyanyi sederhana. Inti dari pola yang berulang adalah baris
yang terpendek dari unsur yang berulang, jadi inti dari pola selalu
berulang dan tidak pernah diulang sebagian. Langkah matematis
yang signifikan adalah dengan melihat bahwa dua pola yang dibuat
dari material yang berbeda sebenarnya memiliki pola yang sama.

2) Bagan dan Pola Bilangan Lain


a) Pola dan bagan ratusan
Bagan ratusan merupakan suatu ladang yang sangat kaya

213
Professional Learning untuk Indonesia Emas

untuk mengakplorasi hubungan bilangan dan tidak hanya


sebagai suatu alat untuk mengajarkan penomoran bilangan.
Siswa dapat mewarnai perhitungan lompat pada bagan
ratusan dan mencari pola. Siswa akan menemukan bahwa
pola yang sama ada di atas pola yang lain seperti pada bagan
biasa. Namun, pola membentuk kolom hanya jika hitung-
lompat dengan faktor atau kelipatan lebar bagan. Misalnya,
pada bagan dengan lebar 9, tiga-tiga akan membentuk kolom
sedangkan dua-dua akan membentuk diagonal.
b) Pola-pola bilangan
Banyak pola bermanfaat bisa diawasi cukup dengan
bilangan. Ini bisa merupakan pola berulang sederhana,
seperti 1, 2, 1, 2, .... bahkan anak yang sangat kecilpun bisa
menggunakan bilangan dengan pola seperti ini. Pada umunya,
pola numeris juga mencakup beberapa bentuk progresi. Pola
1, 2, 1, 3, 1, 4, 1, 5, ... merupakan contoh sederhana yang bisa
ditemukan oleh anak kecil.
Tantangan di pola-pola atau urutan bilangan ini tidak
hanya menemukan dan memperluas pola tetapi juga
menciptakan generalisasi. Seperti pada Prediksi Sepanjang
Baris, minta siswa memprediksi bilangan ketigabelas atau
keseratus.
3) Pola yang berkembang
Siswa bisa memperdalam pola-pola yang mengandung progresi dari
satu langkah ke langkah lainnya. Dalam istilah teknis, ini disebut dengan
urutan; kita cukup menyebutnya pola yang berkembang. Dengan pola-
pola ini, siswa tidak hanya mengembangkan pola tetapi juga mencari
generalisasi atau hubungan aljabar yang akan memberikan gambaran
tentang bilangan kesekian. Pola yang berkembang ini juga menunjukkan
konsep dari fungsi dan bisa digunakan sebagai pengenalan pada bidang
matematika yang sangat penting ini. Beberapa pola berkembang yang
dibuat dari berbagai material atau gambar. Pola-pola tersebut terdiri
dari rangkaian langkah berbeda, setiap langkah baru terkait dengan
langkah sebelumnya menurut suatu aturan.
Pola yang berkembang memiliki komponen numeris, yaitu jumlah
objek pada setiap langkah. Suatu tabel bisa dibuat untuk setiap pola
berkembang. Satu baris dari tabel atau bagan selalu merupakan jumlah
langkah, dan yang lain untuk mencatat berapa banyak objek pada
langkah tersebut. Seringkali, suatu pola berkembang sangat cepat dan
memerlukan begitu banyak blok atau ruangan untuk menggambarnya
sehingga tidak hanya perlu menggambar atau membuat lima atau
enam langkah pertama saja.

214
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Alat Peraga Menara Hanoi


Dalam proses pembelajaran matematika di sekolah dasar,
diperlukan pula alat peraga untuk menunjang keberhasilan
pembelajaran matematika yang dilaksanakan, dimana alat peraga
dalam pembelajaran matematika yaitu seperangkat benda kongkret
yang dirancang, dibuat atau disusun secara sengaja yang digunakan
untuk membantu menanamkan atau mengembangkan konsep-konsep
atau prinsip-prinsip dalam matematika (Iswadji, 2003:1).
Alat peraga digunakan untuk membantu ketercapaian
pembelajaran yang optimal, dimana alat peraga dipilih sesuai dengan
kompetensi yang ingin dikuasai siswa atau tujuan pembelajaran
yang diharapkan. Oleh karena itu, guru harus mampu memilah dan
memilih alat peraga yang dapat menarik perhatian siswa untuk belajar
dan membantu siswa dalam melaksanakan proses belajar di kelas.
Salah satu alat peraga yang dapat digunakan guru dalam proses
pembelajaran matematika konsep pola bilangan yaitu menara hanoi,
dimana menara hanoi ini merupakan sebuah alat peraga yang
digunakan dalam permainan matematis atau teka-teki. Permainan ini
terdiri dari tiga tiang yang terdiri dari tiang asal, tiang bantu, dan
tiang tujuan. Dalam alat peraga ini, terdapat pula sejumlah cakram
dengan ukuran berbeda-beda yang bisa dimasukkan ke tiang mana
saja. Permainan dimulai dengan cakram-cakram yang tertumpuk rapi
berurutan berdasarkan ukurannya dalam tiang asal, cakram terkecil
diletakkan teratas, sehingga membentuk kerucut. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada gambar berikut ini:

Gambar 1 Menara Hanoi 3 Piringan

215
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Teka-teki menara hanoi ini ditemukan Edouard Lucas yaitu


seorang ahli matematika Perancis di tahun 1883. Teka-teki ini
berdasarkan pada sebuah cerita legenda tentang candi Indian atau
menara Benares di India yang memiliki tiga tiang dan salah satu
tiangnya terdapat 64 tumpukan cakram emas. Para pendeta mendapat
tugas untuk memindahkan cakram emas itu ke tiang yang lain sesuai
dengan suatu aturan. Tidak jelas apakah ini benar-benar legenda, atau
inspirasi dari Lucas sendiri. Konon, Dewa Brahma menciptakan tiga
tiang pada candi tersebut. Pada salah satu tiang terdapat tumpukan
cakram emas sebanyak 64 keping, dengan urutan keping yang terbesar
terletak di bawah, makin ke atas makin kecil. Selanjutnya Dewa
Brahma memerintahkan para pendeta untuk memindahkan keping-
keping emas itu dengan aturan : setiap perpindahan hanya boleh
memindah 1 cakram dan cakram yang besar tidak boleh diletakkan
di atas cakram yang lebih kecil. Dalam legenda itu dikatakan bahwa
dunia akan berakhir jika para pendeta tersebut selesai memindahkan
ke 64 cakram tersebut (Tim Unit Media Alat Peraga Matematika, 2011).
Tujuan dari teka-teki ini adalah untuk memindahkan seluruh
tumpukan ke tiang yang lain, mengikuti aturan berikut:
a. Hanya satu cakram yang boleh dipindahkan dalam satu waktu.
b. Setiap perpindahan berupa pengambilan cakram teratas dari satu
tiang dan memasukkannya ke tiang lain, di atas cakram lain yang
mungkin sudah ada di tiang tersebut.
c. Tidak boleh meletakkan cakram di atas cakram lain yang lebih
kecil (Dewi, 2012).

Tim Unit Media Alat Peraga Matematika Alat (2011) memaparkan


bahwa peraga menara hanoi dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran
untuk:
a. Melatih kemampuan siswa dalam memecahkan masalah (problem
solving)
b. Menemukan barisan bilangan dengan cara bermain
c. Menemukan rumus pola bilangan.

Penalaran Matematis
Penalaran matematika (mathematical reasoning) diperlukan untuk
menentukan apakah sebuah argumen matematika benar atau salah
dan juga untuk membangun suatu argumen matematika. Penalaran
matematika tidak hanya penting untuk melakukan pembuktian (proof)
atau pemeriksaan program (program verification), tetapi juga untuk
melakukan inferensi dalam suatu sistem kecerdasan buatan (artifical
intelligence/AI) (Suksmono, 2009: 3.1.).
Shadiq (Karim, 2010) juga berpendapat bahwa seni bernalar sangat

216
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

dibutuhkan di setiap segi dan setiap sisi kehidupan ini agar setiap
warga bangsa dapat menunjukkan dan menganalisis setiap masalah
yang muncul secara jernih; dapat memecahkan masalah dengan
tepat; dapat menilai sesuatu secara kritis dan objektif; serta dapat
mengemukakan pendapat maupun idenya secara runtut dan logis.
Penalaran adalah proses penarikan kesimpulan dari sejumlah
data atau keterangan yang tersedia. Dilihat dari proses penarikan
kesimpulannya, penalaran dapat diklasifikasi ke dalam dua katagori
yaitu penalaran induktif dan penalaran deduktif. Di mana penalaran
induktif adalah penarikan kesimpulan yang didasarkan kepada
sejumlah terbatas contoh, observasi/pengamatan, atau eksperimen
(percobaan). Sedangkan penalaran deduktif adalah proses penarikan
kesimpulan berdasarkan pernyataan-pernyataan benar, atau
pernyataan-pernyataan yang dianggap benar, atau pernyataan-
pernyataan yang kebenarannya telah dibuktikan (Windayana, et. al.,
2006: 3-8).
Winarni dan Harmini (2011: 4) berpendapat bahwa penalaran
induktif secara matematis tidak selalu benar, untuk mendapat
kebenaran perlu pembuktian secara deduktif, di mana dengan
penalaran deduktif aturan-aturan dalam matematika dicoba
dibuktikan kebenarannya sebelum ditetapkan sebagai aturan umum.
Setelah terbukti kebenarannya barulah aturan tersebut dinyatakan
sah dan dapat diterapkan pada persoalan-persoalan yang istimewa
sekalipun. Cara berpikir dengan cara tersebut adalah cara berpikir
yang mengakui kebenaran secara umum berlaku pada hal-hal khusus.
Penalaran matematis meliputi: (1) menarik kesimpulan logis; (2)
memberikan penjelasan dengan menggunakan model, fakta, sifat-
sifat, dan hubungan; (3) memperkirakan jawaban dan proses solusi;
(4) menggunakan pola dan hubungan untuk menganalisis situasi
matematik; (5) menyusun dan menguji konjektur; (6) merumuskan
lawan contoh; (7) mengikuti aturan inferensi, memeriksa validitas
argumen; (8) menyusun argumen yang valid; (9) menyusun
pembuktian langsung, tidak langsung dan menggunakan induksi
matematika (Sari, 2009: 37).
Adapun penjelasan mengenai indikator penelaran tersebut dapat
dilihat pada tabel berikut:

217
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Tabel 1. Deskripsi Indikator Penalaran Matematis

Indikator
Deskripsi
Penalaran
Mengajukan konjektur atau dugaan pada saat meneliti
pola, mendiskusi ide matematis, mengajukan model,
menguji kumpulan data, dan membuat spesifikasi
Konjektur
tentang suatu hasil (outcome) yang di dapat dari suatu
operasi atau percobaan.
Menentukan dan membicarakan atau menggunakan
hubungan-hubungan antar variabel atau objek
dalam situasi matematis, menganalisis data statistik;
melakukan dekomposisi gambar geometri untuk
Analisis menyederhanakan proses penyelesaian masalah;
menggambar jaringan dari suatu bangun ruang yang
tidak lazim; menysusun inferensi sahih dari informasi
yang diberikan.
Mendiskusikan dan mengevaluasi suatu ide
matematis, konjektur, strategi pemecahan masalah,
Evaluasi
metode, atau pembuktian secara kritis.
Memperluas domain sehingga hasil pemikiran
matematis atau pemecahan masalah dapat diterapkan
Generalisasi
secara lebih umum atau lebih luas.
Menghubungkan pengetahuan baru dengan
pengetahuan yang telah ada; membuat hubungan
antara elemen-elemen pengetahuan berbeda dengan
Koneksi representasi yang berkaitan; membuat hubungan
antara ide matematis yang berkaitan dengan objek
tertentu.
Mengkombinasikan atau mengintegrasikan
prosedur-prosedur matematis untuk memperoleh
Sintesis hasil yang diinginkan; mengkombinasikan beberapa
hasil untuk memperoleh hasil lebih jauh.
Menyelesaikan masalah dalam konteks matematis
agar kehidupan sehari-hari dengan tujuan agar siswa
Pemecahan
terbiasa mengahadapi masalah seupa; menerapkan
masalah
suatu prosedur matematis dalam konteks yang baru
tidak rutin
dihadapi.

218
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Menyajikan bukti validasi suatu aksi atau kebenaran


suatu pernyataan dengan berpedoman pada
Jastifikasi
hasil atau sifat-sifat matematis yang diketahui;
atau
mengembangkan argumen matematis untuk
pembuktian
membuktikan atau menyangkal suatu pernyataan.

Sumber : (Sukirwan, 2008: 34-35)

Metode dan Desain Penelitian


Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen
kuasi, hal ini dikarenakan penelitian dilaksanakan dengan maksud
untuk mempelajari sesuatu dengan mengubah suatu kondisi dan
mengamati pengaruhnya terhadap hal lain. Penelitian eksperimen
kuasi yang akan dilaksanakan yaitu dengan bentuk nonequivalent
groups pretest-posttets design yang mengacu kepada pendapat Fraenkel
dan Wallen (2007:278).

Populasi dan Sampel


Yang menjadi populasi dari penelitian ini adalah seluruh siswa kelas
III SDN Cipaku 03 dan SDN Cipaku 04 Kecamatan Paseh Kabupaten
Bandung. Setiap masing-masing kelas diambil jumlah siswa yang
sama sebagai sampel, yaitu sebanyak 20 siswa. Penempatan sampel
pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol tidak dilakukan
secara random atau acak, tetapi dilaksanakan secara non random.

Instrumen
Instrumen penelitian yang digunakan yaitu pedoman observasi
dan lembar tes evaluasi penalaran matematis siswa pada konsep
volume kubus dan balok.

Analisis Data
Analisis data hasil tes dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh
alat peraga menara hanoi dalam meningkatkan penalaran matematis
siswa kelas III sekolah dasar mengenai konsep pola bilangan. Teknik
analisis data yang digunakan pada penelitian ini yaitu teknik statistik
inferensial parameter, di mana teknik ini dilaksanakan dengan
menggunakan uji t, taraf signifikansi 0,05.

Hasil Penelitian
Hasil uji-t penalaran matematis pada saat pretes yaitu bahwa nilai
signifikansi (P-value) untuk faktor pembelajaran sebesar 0,756 > 0,05
maka H0 diterima. Dengan kata lain, tidak terdapat perbedaan rerata

219
Professional Learning untuk Indonesia Emas

skor pretes penalaran matematis siswa antara kelompok kontrol dan


kelompok eksperimen berdasarkan faktor pembelajaran. Akan tetapi,
hasil uji perbedaan rerata posttes penalaran matematis siswa yaitu
bahwa nilai signifikansi (P-value) untuk faktor pembelajaran sebesar
0,000 < 0,05 maka H0 ditolak. Dengan kata lain, terdapat perbedaan
rerata skor posttes penalaran matematis siswa antara kelompok
kontrol dengan kelompok eksperimen. Adapun hasil perhitungan uji
perbedaan rerata dapat dilihat pada tabel 5 berikut ini.

Tabel 5. Tabel Hasil Pengujian Perbedaan Penalaran Matematis


Siswa
Tes Pembelajaran Perbedaan Thitung Df ttabel Sig. H0
Eksperimen-
Pretes 5,15 < 5,23 0,313 38 2,024 0,756 Diterima
Kontrol
Eksperimen- 8,28 >
Posttes -6,308 38 2,024 0,000 Ditolak
Kontrol 7,18

Jika dilihat dari tabel 5 di atas, rata-rata skor pretes kemampuan


penalaran matematis siswa kelompok eksperimen dan kontrol masing-
masing adalah adalah 5,15 dan 5,23. Berdasarkan hasil uji perbedaan
rata-rata diperoleh bahwa rata-rata kedua kelompok tersebut tidak
memiliki perbedaan yang signifikan. Dalam hal ini dapat disimpulkan
bahwa kemampuan awal penalaran matematika siswa kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol adalah sama.
Setelah dilakukan treatment (perlakuan) terhadap kelompok
eksperimen dengan menggunakan alat peraga menara hanoi dan
kelompok kontrol dengan menggunakan pembelajaran dengan
menggunakan media gambar sebanyak tujuh treatment pada masing-
masing kelas, maka diperoleh rata-rata skor postes kelompok
eksperimen adalah 8,28 dan kelompok kontrol adalah 7,18. Dengan
memperhatikan rata-rata skor posttes antara kelompok eksperimen
dan kelompok kontrol dapat disimpulkan bahwa kemampuan
penalaran matematis kelompok eksperimen lebih baik daripada
kelompok kontrol secara signifikan.
Rerata skor pretes siswa kelompok eksperimen (5,15) dan
kelompok kontrol (5,23) relatif sama. Hal tersebut ditunjukkan oleh
perbedaan rerata yang hanya 0,08. Namun rerata skor posttes siswa
kelompok eksperimen (8,28) dan kelompok kontrol (7,18) berbeda
sebesar 1,10. Kenaikan rerata skor posttes dari skor pretes kelompok
eksperimen 3,13, dan kenaikan rerata skor posttes dari skor pretes
kelompok kontrol hanya 1,95.
Hal tersebut memberikan asumsi bahwa kualitas peningkatan
penalaran matematis siswa kelompok eksperimen lebih baik. Untuk

220
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

lebih jelasnya, berikut diagram yang menunjukkan perbandingan


penalaran matematis kedua kelompok dilihat dari rata-rata hasil
pretes-posttes.

5
Pretes
4 Posttes
3

0
Kelompok Eksperimen Kelompok Kontrol

Diagram 1. Perbedaan Penalaran Matematis Kelompok


eksperimen dan Kelompok kontrol

Hasil Uji signifikansi terhadap perbedaan rerata skor postes


kelompok eksperimen dengan rerata skor postes kelompok kontrol
diperoleh bahwa, dalam tingkat keberartian = 0,05 secara meyakinkan
terdapat perbedaan yang signifikan antara rerata skor postes kelompok
eksperimen dengan rerata skor posttes kelompok kontrol. Peningkatan
rerata hasil kemampuan penalaran siswa kelas ekperimen lebih
besar daripada rerata hasil kemampuan penalaran siswa kelompok
kontrol, sehingga dapat diketahui bahwa alat peraga menara hanoi
lebih berpengaruh secara signifikan daripada pembelajaran dengan
menggunakan media gambar dalam meningkatkan kemampuan
penalaran siswa sekolah dasar.

Penutup
Sejalan dengan rumusan masalah dan pertanyaan penelitian,
studi ini memperoleh kesimpulan yang berkenaan dengan hasil studi
empirik tentang eksperimen pembelajaran dengan menggunakan alat
peraga menara hanoi dalam meningkatkan penalaran matematis siswa
kelas III sekolah dasar. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh,
maka dapat diambil kesimpulan bahwa alat peraga menara hanoi lebih
efektif dalam meningkatkan penalaran matematis siswa dibandingkan
pembelajaran dengan menggunakan media gambar, hal ini ditandai
dengan terdapatnya perbedaan rerata skor posttes penalaran
matematis siswa antara kelompok eksperimen yang menggunakan alat
peraga menara hanoi dengan kelompok kontrol yang menggunakan
pembelajaran dengan menggunakan media gambar. Kemampuan

221
Professional Learning untuk Indonesia Emas

penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran yang


menggunakan alat peraga menara hanoi lebih baik daripada siswa
yang memperoleh pembelajaran yang menggunakan media gambar.
Selain itu, siswa pada kelompok eksperimen memberikan respon yang
baik dan merasa senang terhadap pembelajaran dengan menggunakan
menara hanoi. Sehingga alat peraga menara hanoi dapat dijadikan
alternatif yang efektif dalam meningkatkan kemampuan penalaran
matematis siswa sekolah dasar.

Daftar Pustaka

Ashlock, R. B. et. al. (1983). Guiding Each Childs Learning of Mathematics.


Ohio: Bell & Howell.
Depdiknas (2004). Peraturan Dirjen Dikdasmen No. 506/C/PP/2004 tanggal
11 November 2004 tentang Penilaian Perkembangan Anak Didik
Sekolah Menengah (SMP). Jakarta: Ditjen Dikdasmen Depdiknas.
Depdiknas. (2006). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22
Tahun 2006 tentang Standar Isi. Jakarta: Depdiknas.
Depdiknas. (2008). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional. Jakarta:
Depdiknas.
Fraenkel, J. R. dan Wallen, N. E. (2007). How to Design and Evaluate
Research in Education. New York: Mcgraw hill.
Heruman. (2010). Model Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar.
Bandung: Rosda.
Iswadji, D. (2003). Pengembangan Media/Alat Peraga Pembelajaran
Matematika di SLTP. Makalah tidak dipublikasikan.
Karim, A. (2010). Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Berpikir Kritis
Matematis Siswa SMP Melalui Pembelajaran Model Reciprocal
Teaching. Tesis Magister SPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Kusumoputro, S. dan Sidiarto, L. D. (2008). Belajar & Pola Pikir Berbasis
Mekanisme Otak (Whole-Brain Thinking). Jakarta: UI-Press.
Sari, A. (2009). Pemberdayaan Benda Manipulatif dalam Pembelajaran
Matematika untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan
Penalaran Siswa Sekolah Dasar. Tesis Magister pada Pendidikan
Dasar UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Sudirjo, E. et. al. (2009). Menuju Pendidikan Dasar Bermutu. Bandung:
Rizqi Press.

222
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Sukirwan. (2008). Kegiatan Pembelajaran Eksploratif untuk Meningkatkan


Kemampuan Penalaran dan Koneksi Matematis Siswa Sekolah Dasar.
Tesis Magister pada Pendidikan Dasar UPI Bandung: tidak
diterbitkan.
Suksmono, A. B. (2009). Matematika Diskrit dan Aplikasina. Bandung:
Institut Teknologi Bandung.
Surya, M. dkk. (2006). Kapita Selekta Kependidikan SD. Jakarta : Penerbit
Universitas Terbuka.
TIMSS. (2008). Rank Positions and Average Scores of Education Systems
in TIMSS 2007. [Online]. Tersedia: http://www.moe.gov.sg/
media/press/ files/2008/12/tims-annex-a.pdf. [9 Februari
2013]
Tim Unit Media Alat Peraga Matematika. (2011). Alar Peraga Menara
Hanoi untuk Pembelajaran Pola Bilangan. [Online]. Tersedia:
http://p4tkmatematika.org/2011/03/alat-peraga-menara-
hanoi-untuk-pembelajaran-pola-bilangan.pdf [2 Juni 2012]
Turmudi. (2010). Landasan Filsafat dan Teori Pembelajaran Matematika
(Berparadigma Eksploratif dan Investigatif). Jakarta: Leuser Citra
Pustaka.
Walle, J. A. V. D. (2008). Pengembangan Pengajaran Matematika Sekolah
Dasar dan Menengah. Jakarta: Erlangga.
Winarni, E. S. dan Harmini, S. (2011). Matematika untuk PGSD. Bandung:
Rosda.
Windayana, H. et. al. (2006). Konsep Dasar Matematika. Bandung: UPI
Kampus Cibiru.
Womack, D. (1988). Developing Matchematical and Scientific Thinking in
Young Children. London: Cassell.

223
PERBEDAAN HASIL BELAJAR IPS TERPADU
DENGAN MENGGUNAKAN METODE
PEMBELAJARAN MAKE A-MATCH DAN METODE
TEAM QUIZ DI SMP SWASTA SE-KECAMATAN
PAMULANG
Nurochim
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Email: nur_lucky@yahoo.com

Abstract: The objective of this research is to examine the


defference of students learning achievement at social science
education between whom learned with Make A-Match learning
method and whom learned with Team Quiz learning method, to
compare the students learning achievement by Make A-Match
learning method and Team Quiz learning method, and to know
students response with cooperative learning applied. The
research is held 85 students from Class VII of Private Junior
High School that device to two group of experiment and control
with the number of experiment group is 45 students and the
number of control group is 40 students. Data were collected
from test (30 items), and observation to know learning method
process, using experiment design. Analyze data with t-test at
signification 5%.The results of this research: There is nothing
the defference between students learning achievement at social
science education with Make A-Match learning method and
students learning achievement at social science education with
Team Quiz learning method and obtained value
and . The result show that
at signifficant 5% with mean gain Make A-Match 0,53 and mean
gain Team Quiz 0,63 hence can be said that cooperative learning
Team Quiz method is better than cooperative learning Make
A-Match method. Student and observer give a positive response
with this cooperative learning applied.According to the result of
this research the author recommended: The teachers should had
a knowledge and enough abbility to choose the right learning
methods and suitable with the matter learned by student so the
students learning achievement could be increased. The research
about Make A-Match and Team Quiz learning technique that
applied for other matter or lessons should be held to resolved
its function to increases students learning achivement and
motivates them.

224
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Keyword: Learning Method, Make A-Match, Team Quiz,


Defference, Learning result

Pendahuluan
Pendidikan di Indonesia diharapkan dapat mempersiapkan
peserta didik menjadi warga negara yang memiliki komitmen kuat
dan konsisten untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Tujuan pendidikan nasional adalah sebagaimana
dirumuskan dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta
didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dalam rumusan tujuan pendidikan dalam undang-undang tersebut
melalui pendidikan dapat terbentuk warga negara yang memiliki
tanggung jawab, memiliki kesopanan dan kesusilaan, serta menjadi
warga negara yang demokratis. Melalui pendidikan diharapkan
peserta didik memiliki kecakapan dan keterampilan sehingga dapat
melaksanakan perannya sebagai warga lokal, nasional, dan global.
Pendidikan adalah salah satu cara yang digunakan untuk
menciptakan masyarakat yang memiliki kualitas. Atas dasar hal
tersebut pihak pemerintah Indonesia melakukan upaya-upaya
yang dapat meningkatkan kualitas pendidikan, meskipun hasilnya
tidak dengan seketika dapat terlihat. Upaya peningkatan kualitas
pendidikan dilakukan melalui berbagai perbaikan seperti perbaikan
kebijakan pendidikan, peningkatan kualitas pendidik, melengkapi
sarana dan prasarana pendidikan, dan perbaikan kurikulum yang
sesuai dengan tuntutan zaman.
Keberhasilan pendidikan ditentukan oleh proses pembelajaran.
Para peserta didik yang sudah mengikuti proses pembelajaran
diharapkan mengalami perubahan baik dalam bidang pengetahuan,
pemahaman, ketrampilan, nilai dan sikap. Salah satu standar mutu
pendidikan di suatu sekolah adalah hasil belajar yang dicapai oleh
para peserta didik di sekolah tersebut. Maka hasil belajar peserta didik
pada suatu mata pelajaran tertentu merupakan salah satu indikator
kualitas pendidikan di suatu sekolah. Peningkatan kualitas ilmu
pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dilakukan
pada semua kelompok mata pelajaran yang tertuang dalam Standar
Isi. Diantaranya adalah kelompok mata pelajaran Ilmu Pengetahuan
Sosial Terpadu (IPS Terpadu), yang menjadi mata pelajaran wajib pada
tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Madrasah Tsanawiyah
(MTs.).
Terkait dengan mutu pendidikan khususnya pendidikan pada

225
Professional Learning untuk Indonesia Emas

jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Madrasah Tsanawiyah


(MTs.) hingga saat ini masih jauh dari apa yang diharapkan. Banyak
para peserta didik SMP atau MTs. pada mata pelajaran IPS Terpadu,
memperoleh hasil belajar yang rendah, dan kurang memiliki motivasi
dalam belajar. Berdasarkan hasil pengamatan, peserta didik kurang
aktif dalam kegiatan belajar-mengajar. Para peserta didik mengeluhkan
jika pelajaran IPS hanya pelajaran yang sifatnya menghapal dengan
cara yang membosankan, pembelajaran IPS kurang menekankan
aspek penalaran sehingga menyebabkan rendahnya minat belajar
dalam mata pelajaran IPS para peserta didik di sekolah.
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) menurut Sapriya adalah merupakan
suatu mata pelajaran yang mengkaji serangkaian peristiwa, fakta,
konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial dan
kewarganegaraan (Sapriya, 2006:5). Menurut Barr, ilmu pengetahuan
sosial merupakan studi sosial yang pada hakekatnya merupakan
kajian mengenai manusia dengan segala aspeknya dalam sistem hidup
bermasyarakat. Kajian tersebut dilakukan dalam bentuk pembelajaran
IPS di sekolah untuk mempersiapkan siswa menjadi warga negara
yang baik, berdasarkan nilai-nilai kemasyarakatan yang berlaku dan
perlu dikembangkan (Sukardi, 2007:19).
Mata pelajaran IPS bertujuan agar peserta didik memiliki
kemampuan untuk mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan
kehidupan masyarakat dan lingkungannya, memiliki kemampuan
dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri,
memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial,
memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan
kemanusiaan, memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama
dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal,
nasional, dan global.
IPS perlu difokuskan kepada upaya untuk menyediakan
pengalaman belajar yang dapat membantu peserta didik dalam hal
memahami bahwa lingkungan fisik menentukan bagaimana manusia
hidup, memahami bagaimana manusia berusaha menyesuaikan
dan menggunakan sumber lingkungan, memahami perubahan
masyarakat, peserta didik harus mampu terlibat dalam perubahan
sosial dan kebudayaan di dalam masyarakat, memahami dampak dari
perkembangan saling ketergantungan antar manusia, dan memahami
serta menghargai persamaan semua ras, agama, dan kebudayaan.
Ruang lingkup mata pelajaran IPS meliputi yang pertama manusia,
tempat, dan lingkungan, yang ke dua waktu, keberlanjutan, dan
perubahan, yang ketiga sistem sosial dan budaya, yang ke empat adalah
perilaku ekonomi dan kesejahteraan. Bahan-bahan pembelajaran
IPS diambil dari ilmu-ilmu sosial yang bertujuan untuk kepentingan
kewarganegaraan. Materi dipilih secara selektif, sehingga relevan dan

226
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

mampu membantu peserta didik memahami banyak manusia dan


berbagai hal yang berkaitan dengan interrelasinya, baik yang terjadi
pada masa lalu, masa kini, maupun masa datang. Mata pelajaran IPS
disusun secara sistematis, komprehensif, dan terpadu dalam proses
pembelajaran menuju kedewasaan dan keberhasilan dalam kehidupan
di masyarakat. Dengan pendekatan tersebut diharapkan peserta didik
akan memperoleh pemahaman yang lebih luas dan mendalam pada
mata pelajaran IPS.
Mata Pelajaran IPS dalam kurikulum 2006 merupakan IPS Terpadu
yang merupakan gabungan antara berbagai disiplin ilmu-ilmu sosial,
yang terdiri atas beberapa bagian disiplin ilmu seperti Geografi,
Sosiologi, Ekonomi, dan Sejarah, maka dalam pelaksanaannya tidak lagi
terpisah-pisah melainkan menjadi satu kesatuan. Hal ini memberikan
dampak terhadap guru yang mengajar di kelas. Guru dituntut untuk
menerapkan berbagai metode pembelajaran, menggunakan media
yang relevan, memberikan informasi yang terbaru dan bermanfaat
khususnya yang terkait dengan mata pelajaran IPS, melakukan
langka-langkah, dan evaluasi atau penilaian yang berkelanjutan, baik
penilaian proses maupun hasilnya.
Hasil belajar merupakan perubahan perilaku, pengetahuan, dan
ketrampilan yang diperoleh oleh peserta didik setelah melaksanakan
kegiatan pembelajaran. Perolehan aspek-aspek perubahan perilaku
tersebut berdasarkan pada hal-hal yang dipelajari oleh para peserta
didik. Jika peserta didik mempelajari pengetahuan tentang konsep,
maka perubahan perilaku yang diperoleh adalah berupa penguasaan
konsep, atau jika mempelajari tentang sebab akibat tentang suatu
peristiwa, maka perubahan tingkah lakunya adalah kemampuan
menganalisis tentang sebab akibat suatu peristiwa.
Hasil belajar IPS adalah yang dicapai peserta didik setelah
mengikuti proses pembelajaran IPS berupa seperangkat pengetahuan,
sikap, dan keterampilan dasar yang berguna bagi peserta didik untuk
kehidupan sosialnya baik untuk masa kini maupun masa yang akan
datang yang meliputi: sosialisasi, kelompok sosial, struktur sosial
lembaga sosial, perubahan sosial, dan konflik serta terciptanya
integrasi sosial, serta keragaman tingkat kemampuan intelektual
dan emosional. Hasil belajar dapat diperoleh dari hasil tes (formatif,
subsumatif dan sumatif), hasil kerja (performance), penugasan (proyek),
hasil kerja (produk), portofolio, sikap serta penilaian diri.
Untuk meningkatkan hasil belajar IPS, dalam proses pembelajaran
harus menggunakan metode yang menarik sehingga peserta didik
termotivasi untuk belajar. Diperlukan metode pembelajaran interaktif
yang dilakukan dengan, guru lebih banyak memberikan peran
kepada peserta didik sebagai subjek belajar, dan guru mengutamakan
proses daripada hasil. Guru merancang proses belajar mengajar yang

227
Professional Learning untuk Indonesia Emas

melibatkan peserta didik secara integratif dan komprehensif pada


aspek kognitif, afektif dan psikomotorik sehingga tercapai hasil belajar
yang sesuai dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang sudah
ditentukan. Agar hasil belajar IPS meningkat diperlukan situasi, cara
dan strategi pembelajaran yang tepat untuk melibatkan peserta didik
secara aktif baik pikiran, pendengaran, penglihatan, dan psikomotor
dalam proses belajar mengajar.
Beberapa masalah yang terdapat dalam proses pembelajaran IPS
Terpadu antara lain proses pembelajaran mata pelajaran IPS kurang
kondusif. Hal tersebut antara lain disebabkan karena interaksi guru
dan peserta didik kurang, para peserta didik hanya mendengarkan,
sedangkan guru menerangkan dari awal pembelajaran hingga bel
tanda jam pelajaran selesai, inilah situasi yang membosankan bagi
para peserta didik. Proses pembelajaran yang dilakukan hanya
bersifat satu arah, ditambah lagi dengan metode mengajar yang
digunakan oleh guru kurang menarik, kadang-kadang guru hanya
duduk depan kelas sambil menerangkan, tanpa peduli apakah materi
yang dibahas diikuti dengan baik oleh para peserta didiknya atau
tidak, ditambah lagi dengan guru tidak menggunakan media yang
relevan. Dalam hal ini guru hanya sekedar memenuhi kewajibannya
memenuhi tugas mengajar sebagai tukang ajar, atau mengisi daftar
hadir guru. Seharusnya guru harus menciptakan suasana kelas yang
dapat membuat peserta didik mendapat kesempatan untuk saling
berinteraksi aktif dengan seluruh komponen kelas.
Dampaknya dari proses pembelajaran IPS Terpadu yang kurang
kondusif adalah motivasi para peserta didik dalam mengikuti mata
pelajaran IPS rendah, banyak peserta didik yang sering melakukan
hal-hal yang bukan aktivitas belajar pada saat pembelajaran IPS,
seperti berbicara dengan peserta didik yang lain, mengerjakan tugas
mata pelajaran lain, atau mengantuk di dalam kelas selama proses
pembelajaran berlangsung. Dengan motivasi yang rendah, para
peserta didik tidak dapat mengembangkan potensi yang dimiliki, dan
hasil belajar para peserta didik dalam mata pelajaran IPS Terpadu
rendah.
Berdasarkan masalah-masalah yang diungkapkan tersebut
harus dicari penyelesaiannya untuk mencapai peningkatan hasil
belajar, khususnya hasil belajar IPS. Peningkatan hasil belajar
IPS Terpadu peserta didik dapat dilakukan dengan melakukan
perbaikan, perubahan dan pembaharuan terhadap faktor-faktor yang
mempengaruhi peningkatan hasil belajar, salah satunya adalah metode
pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Hal ini disebabkan tepat
tidaknya pemilihan dan penggunaan metode pembelajaran merupakan
pencipta suasana pembelajaran. Semakin tepat penggunaan model,
pendekatan, strategi, dan metode pembelajaran, maka akan semakin

228
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

kondusif dan efektif dalam mewujudkan tujuan pembelajaran. Metode


pembelajaran menjadi motivasi bagi para peserta didik untuk belajar
di kelas, suasana kelas yang menyenangkan sehingga peserta didik
tidak merasa terpaksa dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar,
namun dapat mencapai kompetensi dasar, indikator, dan tujuan
pembelajaran yang akan dicapai.
Perlu dicari dan digunakan model, pendekatan, strategi, dan
metode pembelajaran IPS Terpadu yang melibatkan peserta didik
secara lebih aktif. Pembelajaran yang mengutamakan penguasaan
kompetensi harus berpusat pada peserta didik (Focus on Learners) atau
dengan menggunakan pendekatan yang berpusat pada siswa (Students
Center Approach), memberikan pembelajaran dan pengalaman belajar
yang relevan dan kontekstual dalam kehidupan nyata (provide relevant
and contextualized subject matter) dan mengembangkan mental yang
kaya dan kuat pada peserta didik.
Dalam proses pembelajaran di kelas, guru diharuskan untuk
merancang kegiatan pembelajaran yang mampu mengembangkan
kompetensi, baik dalam ranah kognitif, ranah afektif maupun
psikomotorik peserta didik. Strategi pembelajaran yang berpusat
pada peserta didik dan penciptaan suasana yang menyenangkan
sangat diperlukan untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik
dalam mata pelajaran IPS Terpadu, salah satunya adalah metode Make
A-Match. Menurut Sugiyanto, Metode Make A-Match dikembangkan
oleh Lorna Curran, pada tahun 1994 (Sugiyanto, 2009:49). Selain itu
metode Make A-Match, metode Team Quiz merupakan salah satu
metode pembelajaran yang mampu meningkatkan keaktifan siswa
dalam proses belajar. Menurut Retno Parminingsih dalam pelaksanaan
metode pembelajaran Team Quiz ini, siswa dibentuk dalam kelompok-
kelompok kecil dan masing-masing anggota kelompok mempunyai
tanggung jawab yang sama atas keberhasilan kelompoknya dalam
memahami materi dan menjawab soal, melalui metode ini siswa
dilatih untuk bekerja sama (Parminingsih, 2008:3).
Metode berasal dari Bahasa Yunani Methodos yang artinya adalah
cara atau jalan yang ditempuh. Dalam kegiatan-kegiatan ilmiah,
metode berkaitan dengan masalah cara kerja untuk dapat memahami
objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Menurut Oemar
Hamalik fungsi metode berarti sebagai alat untuk mencapai tujuan
(Hamalik, 2010:3).
Menurut Wina Sanjaya metode pembelajaran adalah cara yang
digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun
dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah disusun tercapai secara
optimal (Sanjaya, 2010:147). Dalam pengertian ini metode merupakan

229
Professional Learning untuk Indonesia Emas

penerapan suatu rencana. Rencana dalam proses pembelajaran


yang tertuang dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP),
direalisasikan dengan penerapan metode yang sesuai dengan tujuan
pembelajaran.
Menurut Indrawati dan Wawan metode pembelajaran adalah
kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematik
dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai
tujuan belajar tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi perancang
pengajaran dan para guru dalam merencanakan dan melaksanakan
aktifitas belajar mengajar (Indrawati dan Setiawan, 2010:3).
Menurut Syaiful B. Djamarah metode pembelajaran memiliki
kedudukan sebagai alat motivasi ekstrinsik dalam kegiatan belajar
mengajar, menyiasati perbedaan individual anak didik, untuk
mencapai tujuan pembelajaran (Djamarah, 2007:55). Peserta didik
yang memiliki karakter yang berbeda-beda, tingkat kecerdasan yang
berbeda-beda, tujuan yang berbeda, sedangkan tuntutannya sama
yakni memahami materi pelajaran, maka dalam hal ini peran metode
pembelajaran sangat penting. Menurut Basleman dan Mappa metode
pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang berkait dengan
pengorganisasian kegiatan belajar bagi warga belajar, seperti kegiatan
belajar individual, kegiatan belajar kelompok, atau kegiatan belajar
masal (Basleman dan Mappa, 2011: 158).
Berdasarkan beberapa definisi yang dikemukakan di atas, metode
pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang menggambarkan
prosedur sistematik dalam mengkoordinasikan pengalaman belajar
untuk mencapai tujuan belajar, yang berfungsi sebagai pedoman
guru dalam merancang dan melaksanakan kegiatan pembelajaran,
mengelola lingkungan pembelajaran dan mengelola kelas.
Berbagai metode pembelajaran dikelompokkan berdasarkan
model-model yang merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar
dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru.
Model pembelajaran kontekstual menurut Wahyudi adalah konsep
pembelajaran yang mengharuskan guru untuk menghubungkan antara
materi pelajaran dengan situasi dunia nyata peserta didik (Wahyuti,
2011:2). Model pembelajaran ini berusaha untuk mengembangkan
kemampuan peserta didik untuk menghubungkan antara pengetahuan
yang dimilikinya dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari
sebagai anggota keluarga dan anggota masyarakat. Dengan konsep
ini diharapkan proses pembelajaran menjadi lebih bermakna. Hakekat
Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and learning) menurut
Al Jabaly adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan
antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa

230
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang


dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-
hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif,
yakni: konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questioning),
menemukan (Inquiri), masyarakat belajar (Learning Community),
pemetodean (Metodeing), dan penilaian sebenarnya (Authentic
Assessment) (Al-Jabaly, 2011:3).
Rachmad Widodo menyatakan quantum teaching adalah berbagai
macam interaksi yang terjadi di dalam dan di sekitar peristiwa belajar
(Widodo, 2010:3). Interaksi-interaksi ini membangun landasan dan
kerangka untuk belajar yang dapat mengubah kemampuan dan
bakat siswa menjadi cahaya yang bermanfaat bagi peserta didik.
Quantum Teaching ini juga menerapkan percepatan belajar dengan
menghilangkankan hambatan-hambatan yang menghalangi proses
belajar alamiah dengan menggunakan musik, mewarnai lingkungan
sekeliling, menyusun bahan pengajaran yang sesuai, cara penyajian
yang efektif, dan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar.
Model pembelajaran IPS terpadu dalam mata perlajaran IPS
pada dasarnya adalah model pembelajaran tematik. Pengertian
tema adalah pokok pikiran atau gagasan pokok yang menjadi pokok
pembicaraan. Sedangkan menurut Kunandar tema merupakan alat
atau wadah untuk mengedepankan berbagai konsep kepada anak
didik secara utuh (Kunandar, 2007:311). Di dalam pembelajaran, tema
diberikan untuk menyatukan isi kurikulum dalam satu kesatuan yang
utuh, memperkaya perbendaharaan pengetahuan peserta didik dan
membuat pembelajaran yang melibatkan beberapa mata pelajaran
untuk memberikan pengalaman yang bermakna. Tahap-tahap
pelaksanaan model pembelajaran tematik adalah penjabaran standar
kompetensi dan kompetensi dasar kedalam indikator, menentukan
tema, menghubungkan kompetensi dasar dan indikator dengan
tema pemersatu, sebelum pelaksanaan pembelajaran guru menyusun
rencana pelaksanaan pembelajaran.
Model pembelajaran PAIKEM merupakan singkatan dari
Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan.
Yang dimaksud dengan aktif menurut A.Tarmidzi Ramadhan
adalah suasana kelas yang peserta didiknya aktif bertanya dan
mengungkapkan gagasan (Ramadhan, 2011:3). Menurut Agus
Suprijono inovatif dalam hal ini adalah proses pembelajaran yang
dapat memberikan fasilitas kepada peserta didik untuk menemukan
sesuatu melalui aktivitas belajar (Suprijono, 2009: X). Kreatif adalah
pembelajaran seharusnya dapat mengembangkan pemikiran kritis
kemampuan berpikir tentang hal-hal yang baru dan menghasilkan

231
Professional Learning untuk Indonesia Emas

penyelesaian tentang suatu masalah. Efektif adalah memudahkan


peserta didik untuk belajar sesuatu yang bermanfaat. Menyenangkan
dalam hal ini adalah pembelajaran diciptakan sebagai kondisi yang
peserta didik dapat melaksanakan proses pembelajaran dengan ikhlas
tanpa ada beban dalam diri peserta didik tersebut. Menurut Bustamam
Ismail ada empat prinsip utama dalam proses pembelajaran PAIKEM
Pertama, proses Interaksi dalam hal ini adalah siswa berinteraksi
secara aktif dengan guru, rekan siswa, multi-media, referensi, dan
lingkungan. Kedua, proses Komunikasi siswa mengkomunikasikan
pengalaman belajar mereka dengan guru dan rekan siswa lain melalui
cerita, dialog atau melalui simulasi role-play. Ketiga, proses Refleksi,
siswa memikirkan kembali tentang kebermaknaan apa yang mereka
telah pelajari, dan apa yang mereka telah lakukan. Keempat, proses
Eksplorasi siswa mengalami langsung dengan melibatkan semua
indera mereka melalui pengamatan, percobaan, penyelidikan dan
wawancara (Ismail, 2011:4).
Model pembelajaran kolaboratif menurut Ted Panitz pembelajaran
kolaboratif adalah filsafat interaksi dan gaya hidup yang menjadikan
kerjasama sebagai suatu struktur interaksi yang dirancang sedemikian
rupa guna memudahkan usaha kolektif untuk mencapai tujuan
bersama Panitz, 2011:3). Menurut Johnsons terdapat lima unsur
dasar agar dalam suatu kelompok terjadi pembelajaran kolaboratif,
yaitu: 1) Saling ketergantungan positif. Dalam pembelajaran ini
setiap peserta didik harus merasa bahwa dirinya bergantung secara
positif dan terikat dengan antarsesama anggota kelompoknya dengan
tanggung jawab untuk menguasai bahan pelajaran dan memastikan
bahwa semua anggota kelompoknya pun menguasainya. 2) Interaksi
langsung antar peserta didik. Hasil belajar yang terbaik dapat
diperoleh dengan adanya komunikasi verbal antar anggota kelompok
yang didukung oleh saling ketergantungan positif. Siswa harus saling
berhadapan dan saling membantu dalam pencapaian tujuan belajar.
3) Pertanggungjawaban individu. Agar dalam suatu kelompok dapat
menyumbang, mendukung dan membantu satu sama lain, setiap
anggota dituntut harus menguasai materi yang dijadikan pokok
bahasan. Dengan demikian setiap anggota kelompok bertanggung
jawab untuk mempelajari pokok bahasan dan bertanggung jawab
pula terhadap hasil belajar kelompok. 4) Keterampilan berkolaborasi.
Keterampilan sosial peserta didik sangat penting dalam pembelajaran.
Siswa dituntut mempunyai keterampilan berkolaborasi, sehingga
dalam kelompok tercipta interaksi yang dinamis untuk saling belajar
dan membelajarkan sebagai bagian dari proses belajar kolaboratif. 5)
Keefektifan proses kelompok. Peserta didik memproses keefektifan

232
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

kelompok belajarnya dengan cara menjelaskan tindakan mana yang


dapat menyumbang belajar dan mana yang tidak serta membuat
keputusan-keputusan tindakan yang dapat dilanjutkan atau yang
perlu diubah (Johnsons, 2011:2).
Model belajar kooperatif (cooperative learning) adalah konsep
yang lebih luas, yang meliputi semua jenis kerja kelompok, termasuk
bentuk-bentuk yang lebih dibimbing oleh guru atau diarahkan oleh
guru. Secara umum, belajar kooperatif dianggap lebih diarahkan
oleh guru, dalam hal ini guru menetapkan tugas dan pertanyaannya
serta menyediakan bahan-bahan dan informasi yang dirancang untuk
membantu murid dalam menyelesaikan permasalahan yang ada.
Guru biasanya menetapkan bentuk ujian tertentu pada akhir tugas.
Dalam model pembelajaran kooperatif para siswa memiliki tanggung
jawab individu dan tanggung jawab kelompok untuk mencapai tujuan
pembelajaran yang sudah ditetapkan, para siswa berbagi tugas dan
tanggung jawab dengan sesame anggota kelompok, evaluasi dan
penghargaan dilakukan secara berkelompok. Unsur-unsur dasar
dalam pembelajaran kooperatif menurut Made Wena adalah saling
ketergantungan positif, interaksi tatap muka, tanggung jawab individu
untuk mencapai keberhasilan kelompok, ketrampilan menjalin
hubungan antarpribadi (Wena, 2009:191). Berbagai jenis model belajar
kooperatif yang bisa diterapkan diantaranya adalah metode Make
A-match dan Team Quiz.
Pembelajaran dengan menggunakan metode Make A-Match
adalah suatu proses belajar mengajar di dalam kelas yang dilakukan
dengan cara peserta didik dibagi menjadi beberapa kelompok. Guru
menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik
yang sesuai untuk sesi review, satu bagian kartu soal dan bagian
lainnya kartu jawaban. Setiap kelompok mendapatkan sebuah
kartu yang bertuliskan soal dan jawaban. Tiap anggota kelompok
memikirkan jawaban dan soal dari kartu yang di miliki oleh masing-
masing anggota kelompok. Setiap kelompok memasangkan kartu
jawaban dan kartu soal. Misalnya pemegang kartu soal yang
bertuliskan Apa yang dimaksud dengan manusia sebagai makhluk
sosial harus dipasangkan dengan kartu jawaban yang berisi manusia
tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Setiap kelompok yang
dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi poin. Guru
bersama-sama dengan peserta didik membuat kesimpulan terhadap
materi pelajaran.
Metode Team Quiz salah satu metode pembelajaran yang mampu
meningkatkan keaktifan siswa dalam proses belajar. Pelaksanaan
model pembelajaran ini adalah siswa dikelompokkan dalam kelompok-

233
Professional Learning untuk Indonesia Emas

kelompok kecil dan masing-masing anggota kelompok mempunyai


tanggung jawab yang sama atas keberhasilan kelompoknya. Masing-
masing kelompok diberi tugas untuk memahami materi, kemudian
guru memberikan pertanyaan untuk Quiz, dalam hal ini peserta didik
dilatih untuk bekerja sama dengan sesama anggota kelompoknya.
Guru bersama-sama dengan peserta didik membuat kesimpulan
terhadap materi pelajaran.
Pembelajaran aktif harus diterapkan oleh pendidik supaya
suasana dalam proses pembelajaran menyenangkan. Menurut E.
Mulyana, pembelajaran aktif dilakukan dengan menciptakan suatu
kondisi supaya peserta didik dapat berperan aktif, sedangkan guru
bertindak sebagai fasilitator (Mulyana, 2003:45). Pembelajaran harus
dibuat dalam suatu kondisi dan situasi yang menyenangkan sehingga
peserta didik akan terus termotivasi dari awal sampai akhir kegiatan
belajar mengajar. Dalam hal ini pembelajaran dengan metode Make
A-Match sebagai salah satu bagian dari pembelajaran kooperatif
learning dan metode Team Quiz, merupakan salah satu alternatif
yang dapat digunakan guru disekolah untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran IPS Terpadu tingkat SMP dan MTs.
Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini dirancang untuk
mengkaji penerapan pembelajaran dengan metode Make A-Match dan
Team Quiz dalam meningkatkan hasil belajar dalam mata pelajaran
IPS Terpadu.

Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode
kuantitatif komparatif, yaitu data yang berbentuk angka, yang
dibandingkan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode quasi eksperimen, metode ini dilakukan dengan memberikan
perlakuan kepada subjek penelitian kemudian memberikan tes pada
subjek penelitan. Dalam penelitian ini penerapannya adalah peserta
didik kelas VII-A, dalam proses pembelajaran guru menerapkan
metode Make A-Match kemudian para peserta didik tersebut di tes
secara tertulis tentang materi yang telah dipelajari. Sedangkan kelas
VII-B guru menerapkan metode pembelajaran Team Quiz.
Untuk mengetahui hasil penelitian, kedua kelompok eksperimen
diberikan pretes dan postes. Adapun desain penelitian tersebut adalah
sebagai berikut:

234
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Tabel 1. Desain Penelitian Two Group Pretest posttest


design
Kelompok Pretes Perlakuan Postes

Pembahasan
Hasil analisis data menunjukkan nilai rata-rata hasil belajar IPS
siswa kelas VII-A yang menggunakan metode Make A-Match adalah
70,17 dan nilai rata-rata hasil belajar belajar IPS siswa kelas VII-B yang
diberikan pembelajaran dengan metode Team Quiz adalah 70,12 dengan
nilai dan nilai
hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan
hasil belajar IPS siswa antara yang diberikan pembelajaran melalui
metode Make A-Match dengan metode Team Quiz. Selain itu terjadi
peningkatan rata-rata nilai dari kedua kelompok tersebut, yang pada
awalnya (pree test) rata-rata nilainya adalah 51,91 dan 54, dan hasil tes
akhir (post test) pada akhir pembelajaran rata-ratanya menjadi 70,17
dan 70, 12. Hal ini dimungkinkan karena pendekatan kedua metode
tersebut lebih banyak menekankan kepada tanggung jawab pribadi
sebagai kelompok yang harus memahami materi dan menyelesaikan
suatu tugas secara bersama-sama. Sebagaimana dipaparkan dalam
teori, bahwa kedua metode pembelajaran kooperatif tersebut dapat
memotivasi siswa untuk terlibat secara aktif untuk bekerjasama,
berdiskusi dan saling membantu antar anggota kelompok dalam
belajar sehingga mereka dapat membangun sendiri pemahaman secara
bersama-sama. Walaupun, masih terdapat siswa yang masih enggan
terlibat aktif dalam pembelajaran karena kedua metode ini masih baru
bagi siswa.
Dalam penerapan metode Make A-Match ini siswa terlibat
langsung dalam mempelajari dan memahami suatu materi secara
bersama-sama melalui pencarian dan mencocokkan kartu soal dan
kartu jawaban. Pelaksanaan metode Make A-Match diawali dengan,
guru mempersiapkan dua kelompok kartu, yakni kartu soal dan
kartu jawaban. Kemudian siswa dibagi menjadi tiga kelompok,
yaitu kelompok pemegang kartu soal, pemegang kartu jawaban,
dan kelompok penilai. Untuk mengetahui kemampuan awal siswa,
sebelum pelaksanaan metode ini guru memberikan pretest.
Tahap pertama penerapan metode Make A-Match adalah penjelasan
materi Memahami Kegiatan Ekonomi Masyarakat di kelas VII-A.
Tahap kedua, siswa di bagi ke dalam tiga kelompok yang masing-
masing berjumlah 15 orang. Tahap ketiga guru mengatur posisi

235
Professional Learning untuk Indonesia Emas

kelas seperti huruf U, kelompok pembawa kartu soal dan pembawa


kartu jawaban posisinya saling berhadapan. Setelah masing-masing
kelompok berada pada posisi yang sesuai, guru memberikan aba-
aba, sebagai tanda agar kelompok pembawa kartu soal dan pembawa
kartu jawaban mencari pasangan pertanyaan dan jawaban yang cocok.
Kemudian guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
berdiskusi untuk mencocokkan kartu soal dan kartu jawaban.
Pasangan kartu soal dan kartu jawaban yang sudah ditemukan,
ditunjukkan kepada kelompok penilai, kelompok ini menilai apakah
pasangan kartu soal dan jawaban tersebut merupakan pasangan
kartu yang cocok. Setelah penilaian dilakukan, guru mengatur
kembali agar kelompok pembawa soal dan pembawa kartu jawaban
menjadi satu kelompok, dan berperan sebagai kelompok penilai,
sedangkan kelompok penilai pada sesi yang pertama, dibagi menjadi
dua kelompok menjadi kelompok pembawa kartu soal dan kartu
jawaban, pada sesi ini guru melaksanakan tahapan yang sama seperti
tahap sebelumnya. Tahap terakhir dari metode Make A-Match adalah,
guru memberikan kesempatan kepada para siswa untuk bertanya,
kemudian guru menyimpulkan materi bersama-sama dengan siswa.
Untuk mengetahui hasil belajar siswa, setelah pelaksanaan metode
Make A-Match, guru memberikan posttest.
Penerapan metode Make A-Match pada pertemuan pertama
berdasarkan pengamatan (observasi) suasana kelas terlihat kurang
kondusif, hal ini terlihat dari suasana kelas yang gaduh dalam
mencocokkan kartu soal dan kartu jawaban dan tidak saling
menghargai sesama teman. Pada penerapan metode Make A-match
pertemuan selanjutnya, suasana kelas dalam keadaan lebih kondusif
dari pertemuan sebelumnya, hal ini terlihat dari suasana gaduh
berkurang karena ada kesepakatan sebelumnya bahwa dalam
pelaksanaan pembelajaran harus dilakukan dengan tenang dan
saling menghargai sesama teman. Peserta didik lebih senang dan
berkonsentrasi mengikuti proses pembelajaran dengan metode ini.
Pada penerapan metode Make A-Match, diperoleh beberapa temuan
bahwa metode Make A-Match dapat meningkatkan kerja sama siswa
dalam menjawab pertanyaan dengan mencocokkan kartu yang yang
ada di tangan mereka, proses pembelajaran lebih menarik dan nampak
sebagian besar siswa lebih antusias mengikuti proses pembelajaran,
dan keaktifan siswa tampak sekali pada saat siswa mencari pasangan
kartunya masing-masing.
Dalam penerapan metode Team Quiz ini siswa terlibat langsung
dalam mempelajari dan memahami suatu materi secara bersama-
sama melalui pelaksanaan kegiatan berquiz. Dalam metode Team
Quiz diawali dengan guru membagi materi untuk disampaikan dalam
tiga bagian. Kemudian ini siswa dibagi kelompok-kelompok, yaitu

236
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

kelompok A, B, dan C. Untuk mengetahui kemampuan awal siswa,


sebelum pelaksanaan metode ini guru memberikan pretest.
Tahap pertama penerapan metode Team Quiz guru memberi
penjelasan tentang materi Memahami Kegiatan Ekonomi Masyarakat
di kelas VII-B. Tahap kedua, siswa di bagi ke dalam kelompok yang
masing-masing berjumlah 13 orang. Tahap ketiga guru menyampaikan
kepada siswa alur pembelajaran yang akan dilaksanakan, kemudian
guru mulai presentasi. Tahap selanjutnya setelah presentasi, guru
meminta kelompok A untuk menyiapkan pertanyaan-pertanyaan
berkaitan dengan materi yang telah disampaikan oleh guru. Kelompok
B, dan C menggunakan waktu ini untuk melihat lagi catatan yang
dimiliki. Guru menunjuk kelompok A sebagai pemimpin quiz memberi
pertanyaan kepada kelompok B, jika kelompok B tidak bisa menjawab
pertanyaan, pertanyaan tersebut diajukan kepada kelompok C.
Kemudian Kelompok A memberi pertanyaan kepada kelompok C, jika
kelompok C tidak bisa menjawab, maka pertanyaan tersebut diajukan
kepada kelompok B.
Setelah tanya jawab sesi pertama selesai, dilanjutkan dengan
pembelajaran sesi kedua. Pada sesi kedua kelompok B untuk menjadi
pemimpin quiz. Setelah kelompok B selesai dengan pertanyaanya,
dilanjutkan pembelajaran sesi ketiga, dan kemudian guru menunjuk
kelompok C sebagai pemimpin quiz. Tahap terakhir dari metode
Team Quiz adalah guru bersama dengan siswa menyimpulkan, dan
memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya tentang materi
yang belum dipahami. Untuk mengetahui hasil belajar siswa, setelah
pelaksanaan metode Team Quiz, guru memberikan posttest.
Penerapan metode Team Quiz ini, berdasarkan pengamatan
(observasi) suasana kelas terlihat kurang kondusif, hal ini terlihat dari
suasana kelas yang gaduh karena siswa belum memahami peran-peran
dalam pelaksanaan metode Team Quiz ini. Pada penerapan metode
Team Quiz pertemuan selanjutnya, suasana kelas dalam keadaan lebih
kondusif dari pertemuan sebelumnya, hal ini terlihat dari suasana
gaduh berkurang karena siswa sudah lebih memahami metode
pelaksanaan Team Quiz, dan anggota kelompok harus melaksanakan
perannya masing-masing yakni sebagai pembaca soal, pencatat skor,
atau sebagai penilai jawaban.
Pada penerapan metode Team Quiz, diperoleh beberapa temuan
bahwa metode ini dapat meningkatkan tanggung jawab individu
sebagai anggota kelompok dalam menjawab pertanyaan yang diajukan
oleh kelompok pemimpin quiz untuk mendapatkan skor yang lebih
tinggi dari pada kelompok lain, proses pembelajaran lebih menarik
dan nampak sebagian besar siswa lebih antusias mengikuti proses
pembelajaran, dan keaktifan siswa terlihat ketika berusaha menjawab
pertanyaan-pertanyaan quiz.

237
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Melalui kedua metode pembelajaran tersebut, siswa yang


biasanya belajar secara individu, tanpa kompetisi dan penghargaan
dicoba dikondisikan dengan adanya kompetisi dan penghargaan yang
menjadi motivasi bagi keberhasilan belajar mereka, serta suasana
pembelajaran dapat menjadi lebih menarik dan bervariasi. Kedua
pembelajaran ini juga dapat menciptakan suasana kegiatan belajar
mengajar yang baik, karena siswa tidak cepat merasa bosan dalam
belajar dan dapat meningkatkan rasa percaya diri siswa karena siswa
dilatih untuk berpendapat, menghargai perbedaan dan termotivasi
untuk meningkatkan prestasinya karena adanya persaingan dan
penghargaan yang diberikan.

Penutup
Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian dapat disimpulkan
bahwa tidak terdapat perbedaan hasil belajar yang signifikan
antara siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran kooperatif
(Cooperative Learning) metode Make A-Match dengan siswa yang diajar
dengan pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning) metode Team
Quiz dalam pelajaran IPS dengan diperoleh nilai
yaitu Model
pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning) metode Make A-Match
dan metode Team Quiz merupakan metode pembelajaran yang dapat
meningkatkan rasa ingin tahu, keberanian dan sifat menghargai serta
tanggung jawab siswa.
Imlplikasi dari penelitian ini adalah, jika akan meningkatkan hasil
belajar IPS terpadu maka perlu menerapkan metode-metode yang
dapat mengaktifkan, memotivasi peserta didik untuk belajar metode
yang dapat diterapkan adalah make a-match dan team quiz

Daftar Pustaka

Ahmadi, Abu. 2005. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: CV Pustaka


Setia.
Arikunto, Suharsimi. 2007. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta:
Bumi Aksara,
Baharuddin Dan Esa Nur Wahyuni. 2007. Teori Belajar Dan Pembelajaran.
Yogyakarta:Ar-Ruzz Media.
Dalyono, M. 1997. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Fathurrohman, Pupuh Dan Sutikno, M. Sobry. 2007. Strategi Belajar

238
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Mengajar-Strategi Mewujudkan Pembelajaran Bermakna Melalui


Pemahaman Konsep Umum&Konsep Islami. Bandung: Retika
Aditama.
Indrawati dan Setiawan, Wanwan. 2009. Pembelajaran Aktif , Kreatif,
Efektif, dan Menyenangkan Untuk Guru SD. Bandung: PPPPTK
IPA.
Kunandar. 2007. Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru.
Jakarta:PT RajaGrafindo Persada.
Makmun, Abin Syamsuddin. 2005. Psikologi Kependidikan. Bandung:
PT Remaja Rosyda Karya.
Mulyana, E. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteistik
dan Implementasi. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Modul Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) Penyelenggara
Sertifikasi Guru Rayon 24 Universitas Negeri Makassar.
Nurkancana, Wayan dan Sunartana, P.P.N. 1982. Evaluasi Pendidikan.
Surabaya: Usana Offset Printing.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006, tentang
Standar Isi.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 41 Tahun 2007, tentang
Standar Proses
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2007, tentang
Standar Penilaian Pendidikan
Salam, Syamsir dan Aripin, Jaenal. 2006. Metodologi Penelitian Sosial.
Jakarta: UIN Jakarta Press.
Sanjaya, Wina. 2010. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses
Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Sapriya, dkk. 2006. Konsep Dasar IPS. Bandung: UPI Press.
Sarimaya, Farida. 2008. Sertifikasi Guru, Apa, Mengapa, dan Bagaimana.
Bandung: Yrama Widya.
Siberman, Melvin L. 2006. 101 Strategi Pembelajaran Aktif. Yogyakarta:
Pustaka Insan Madani.
Slameto. 1998. Belajar Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya. Jakarta:
Bina Aksara.
Sofyan, Ahmad dkk. 2006. Evaluasi Pembelajaran IPA Berbasis Kompetensi.
Jakarta:UIN Press.
Solihatin, Etin dan Raharjo. 2008. Cooperative Learning. Jakarta: Bumi
Aksara.

239
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Sugiyanto. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif. Surakarta: Yuma


Presindo, 2009.
Sugiyono. 2000. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: CV ALFABETA.
Sukardi, Tanto. Menggagas Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial Yang
Kontruktivis. Kajian Ilmu Sosial, Vol. 1 No. 2 (Oktober 2007).
Suprijono, Agus. 2009. Cooperative Learning. Yogyakarta: Pustaka
Belajar.
Suryabrata, Sumadi. 2008. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Syah, Muhibin. 2009. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru.
Bandung: PT. Remaja Rosydakarya.
Soemanto,Wasty. 1990. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi
Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.
Tim Pembina Mata Kuliah Perkembangan Peserta Didik. 2007.
Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Dirjen Pendidikan Tinggi.
Umar, Husaini dan Akbar, Purnomo Setiady. 2009. Metodologi Penelitian
Sosial. Jakarta: Bumi Aksara.
Wena, Made. 2009. Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer. Jakarta:
Bumi Aksara.
Zaini, Hisyam dkk. 2008. Strategi Pembelajaran Aktif. Yogyakarta:
Pustaka Insan Madani.

240
PENERAPAN PENDEKATAN PEMBELAJARAN
KOOPERATIF TEKNIK JIGSAW UNTUK
MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA
KELAS 3 MI FATHAN MUBINA KAB. BOGOR
PADA KONSEP CUACA
Zulfiani, Nuraeni
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Guru Madrasah Ibtidaiyah Fathan Mubina, Kabupaten Bogor
Email : zulfiani@uinjkt.ac.id

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan


hasil belajar siswa pada konsep cuaca dengan pendekatan
pembelajaran kooperatif teknik jigsaw. Subjek penelitian ini
adalah kelas tiga MI tahun ajaran 2013-2014 dengan jumlah
30 siswa. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah
metode penelitian tindakan kelas (PTK) yang terdiri dari II
siklus. Instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah
tes dan observasi. Pengamatan terhadap aktivitas siswa dan
guru di setiap pertemuan menggunakan lembar observasi.
Berdasarkan data yang diperoleh di setiap siklus mengalami
peningkatan. Rata-rata persentase hasil belajar siswa pada siklus
I sebesar 50%, pada siklus II rata-rata persentase sebesar 86%.
Pada siklus II ini penelitian dihentikan karena telah mencapai
indikator keberhasilan yakni peningkatan kriteria ketuntasan
minimal (KKM) belajar siswa.

Kata Kunci : Pembelajaran Kooperatif teknik Jigsaw, Konsep


Cuaca, Hasil Belajar

Pendahuluan
Pendidikan merupakan salah satu usaha agar manusia dapat
mengembangkan potensi dirinya sehingga mampu berperan serta
dalam mentransformasi nilai dan gagasan-gagasan melalui proses
pembelajaran. Pendidikan menjadi salah satu hak dasar yang harus
dinikmati setiap warga negara, sebagaimana terkandung dalam
amanat undang-undang dasar 1945 no 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional Bab VIII pasal 34 ayat 3 yang berbunyi Wajib
belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh
lembaga pendidikan pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat

241
Professional Learning untuk Indonesia Emas

(Kemendiknas, 2008).
Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan, semua komponen
harus saling mendukung dan berperan sebagai sebuah sistem dalam
proses pembelajaran. Komponen-komponen tersebut antara lain
program kegiatan, guru, siswa, sarana prasarana, biaya, lingkungan
masyarakat dan kepemimpinan kepala sekolah. Kegiatan di sekolah
harus banyak menekankan pada interaksi langsung antara siswa, guru
dan lingkungan untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Madrasah Ibtidaiyah Fathan Mubina memiliki jumlah siswa
335 orang dengan rombel sebanyak 9 (sembilan) ruang, rata-rata
jumlah siswa setiap kelas 37 orang dan ditangani oleh satu orang
guru kelas. Jika mengacu kepada peraturan pemerintah pasal 17 no.
7 tahun 2008 bahwa perbandingan ideal rasio guru dengan siswa
adalah 1:20 orang (Kemendiknas, 2010), maka di MI Fathan Mubina
terjadi ketidaksesuaian perbandingan antara guru dengan siswa.
Oleh karena itu besarnya jumlah siswa dalam kelas menuntut guru
agar mengoptimalkan kegiatan pembelajaran dengan menggunakan
pendekatan pembelajaran yang merangsang siswa lebih aktif dan
memanfaatkan berbagai teknik serta metode mengajar yang sesuai
dengan tujuan pembelajaran. Guru harus mampu mendayagunakan
potensi siswa sebanyak mungkin agar siswa dapat belajar secara
maksimal sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya. Hal ini
sesuai dengan Undang-Undang no.20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional Bab V tentang peserta didik pasal 12 ayat
1 menyatakan Setiap peserta didik pada setiap satuan berhak
mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat dan
kemampuannya.
Berdasarkan kegiatan pembelajaran yang berlangsung di dalam
kelas didapat informasi bahwa siswa kelas III MI Fathan Mubina
merasa jenuh dan kurang tertarik dalam kegiatan pembelajaran
IPA sehingga hasil belajar mereka turun, selain itu selama proses
pembelajaran teknik yang digunakan dalam pembelajaran belum
maksimal, ketersediaan alat-alat dan kemampuan guru yang kurang
terampil menjadi alasan utama sehingga guru tetap melaksanakan
proses pembelajaran yang berorientasi kepada guru (teacher centered
approach), guru mendominasi kegiatan pembelajaran (Nuraini, 2014).
Data lain menunjukkan kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang
telah ditetapkan 70 di sekolah MI Fathan Mubina pada mata Pelajaran
IPA belum tuntas masih banyak siswa yang hasil belajarnya dibawah
KKM, hal ini dibuktikan dengan data hasil ulangan harian yang
mencapai kriteria ketuntasan minimal hanya 13 orang dan 17 orang
lainnya belum mencapai target, atau persentasi tingkat pencapaian

242
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

KKM kelas hanya sekitar 43% idealnya 75% dari jumlah siswa.
Rendahnya hasil belajar siswa dapat ditinjau dari dua sisi yaitu
dari sisi latar belakang siswa itu sendiri dan sisi proses pengajaran yang
dilaksanakan guru. Dari sisi siswa dapat berupa bakat, minat, motivasi
belajar baik secara intrinsik maupun ekstrinsik, kemampuan sosial
ekonomi yang berhubungan dengan fasilitas belajarnya serta keadaan
lingkungan yang tidak mendukung proses pembelajaran. Sedangkan
dari sisi guru masih banyak guru yang tidak atau belum menggunakan
pendekatan dan teknik pembelajaran yang tepat padahal itu sangat
membantu mempermudah guru dan siswa untuk memahami konsep
pelajaran secara luas dan menyeluruh. Guru harus menciptakan
kegiatan pembelajaran yang mengaktifkan siswa, melatih kerjasama,
dan keterampilan kooperatif, diantaranya dapat menggunakan
pendekatan pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif
merupakan pendekatan belajar dimana siswa belajar dengan kelompok
kecil dengan keahlian berbeda dan dalam kelompok tersebut siswa
saling belajar dan bekerjasama untuk sampai pada pengalaman belajar
yang optimal baik pengalaman individu atau kelompok (Supriyono,
2009). Jigsaw sebagai salah satu teknik pembelajaran kooperatif dapat
digunakan untuk merealisasikan rancangan pembelajaran yang
telah ditetapkan (Mel Silberman, 2009). Dengan teknik ini mendidik
siswa untuk bergerak aktif secara berkelompok, mereka saling
membantu dalam menguasai materi untuk memperoleh pengetahuan
yang dibutuhkan dalam pembelajaran. Berdasarkan permasalahan
yang telah dikemukakan diatas penulis berupaya untuk menjawab
permasalahan mengenai rendahnya hasil belajar siswa pada konsep
cuaca kelas 3 semester II dengan menerapkan pendekatan kooperatif
teknik jigsaw.

Pembahasan Hasil Penelitian


Hasil Siklus I dan Siklus II

Siklus I
Perencanaan
Tahap perencanaan pada siklus I dimulai dengan mengidentifikasi
permasalahan yang terdapat di sekolah. Dari penelitian pendahuluan
didapat bahwa pada sekolah yang akan diteliti mengalami
permasalahan pada rendahnya hasil belajar IPA, siswa merasa bosan
dan kurang aktif saat pembelajaran berlangsung. Dari permasalahan
tersebut, peneliti merancang desain pembelajaran yang dapat
meningkatkan hasil belajar siswa.
Desain pembelajaran yang disiapkan meliputi rencana pembelajaran

243
Professional Learning untuk Indonesia Emas

yang menerapkan penggunaan pendekatan pembelajaran kooperatif


teknik jigsaw, lembar observasi dan catatan lapangan, instrumen tes
soal pilihan ganda serta membentuk kelompok belajar siswa.
Pembelajaran siklus I dilakukan dalam dua kali pertemuan yang
berlangsung 2 x 35 menit kegiatan pembelajaran diawali dengan
pembagian materi dan pengelompokan siswa, semua rangkaiannya
tersusun dalam rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Pada
pertemuan tersebut dilaksanakan seluruhnya di dalam ruang kelas.
Indikator pembelajaran dari konsep cuaca yang ditetapkan pada
siklus I pertemuan pertama yaitu menjelaskan arti cuaca, menyebutkan
contoh-contoh cuaca, menjelaskan hal yang mempengaruhi keadaan cuaca
dan menjelaskan konsep awal terjadinya cuaca. Peserta didik yang hadir
pada pertemuan 1 sebanyak 30 dan pertemuan 2 ada 29 orang yang
dapat dilihat pada daftar hadir siswa. Kegiatan pertemuan 2 tergambar
dalam rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Didalamnya
terdapat indikator mengidentifikasi macam-macam awan, menghubungkan
keadaan awan dengan cuaca, menjelaskan terjadinya petir dan pelangi serta
membedakan simbol-simbol cuaca. Peserta didik yang hadir pada siklus
ini terdaftar dalam daftar hadir siswa.

Tindakan
Pada tahap tindakan, guru berusaha menerapkan kegiatan
pembelajaran dengan menggunakan pendekatan pembelajaran
kooperatif teknik jigsaw yang telah disusun dalam rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP) yaitu:

Pertemuan I
1. Mengajak peserta didik untuk berdoa sebelum belajar.
2. Mengecek kehadiran peserta didik dan mendoakan peserta didik
yang sakit.
3. Menjelaskan tujuan pembelajararan hari ini dan prosedur
pendekatan pembelajaran kooperatif teknik jigsaw.
4. Melakukan apersepsi dengan menggali pengetahuan awal siswa
mengenai materi yang akan diberikan dengan pertanyaan-
pertanyaan eksplorasi
5. Meminta peserta didik untuk membentuk kelompok diskusi
dengan cara berhitung 1 sampai 5, siswa yang mendapatkan
nomor yang sama bergabung dengan temannya membentuk
kelompok asal.
6. Guru membagikan lembaran materi dan secara singkat menjelaskan
materi: arti cuaca, contoh cuaca, hal yang mempengaruhi keadaan
cuaca dan konsep awal terjadinya cuaca.

244
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

7. Guru meminta peserta didik membentuk kelompok ahli sesuai


materi yang mereka dapatkan.
8. Guru menugaskan setiap tim ahli untuk berdiskusi.
9. Peserta didik kembali ke kelompok semula/asal dan setiap orang
harus menjelaskan materi yang mereka diskusikan di kelompok
tim ahli.
10. Masing-masing kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusi
di depan kelas.
11. Guru memberikan soal-soal kuis dan skor nilai pada tiap
kelompok.
12. Guru membuat kesimpulan bersama-sama peserta didik.
13. Pembelajaran diakhiri dengan memberikan soal latihan dalam
bentuk pilihan ganda.

Pertemuan II
1. Mengucapkan salam dan mengajak peserta didik untuk berdoa
sebelum belajar.
2. Mengecek kehadiran peserta didik dan memberikan motivasi.
3. Menjelaskan tujuan pembelajaran hari ini dan mengingatkan
kembali prosedur pendekatan pembelajaran kooperatif teknik
jigsaw.
4. Mengulas kembali materi pada pertemuan sebelumnya dengan
memberikan beberapa pertanyaan.
5. Guru meminta peserta didik untuk membentuk kelompok diskusi
dengan cara berhitung 1 sampai 5, siswa yang mendapatkan nomor
yang sama bergabung dengan temannya membentuk kelompok
asal.
6. Guru membagikan lembaran materi dan secara singkat menjelaskan
materi: macam-macam awan, hubungan awan dengan cuaca,
terjadinya petir dan pelangi, simbol-simbol cuaca.
7. Peserta didik membentuk kelompok ahli sesuai materi yang
mereka dapatkan dan setiap tim ahli melakukan diskusi.
8. Peserta didik kembali ke kelompok semula/asal dan setiap orang
harus menjelaskan materi yang mereka diskusikan di kelompok
tim ahli
9. Masing-masing kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusi
di depan kelas.
10. Guru memberikan soal-soal kuis dan memberikan skor nilai pada
tiap kelompok.
11. Guru membuat kesimpulan bersama-sama peserta didik dan
memberikan soal post-test.
12. Guru memberikan lembar evaluasi diakhir pembelajaran

245
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Pengamatan
Pada tahap ini dilaksanakan observasi terhadap pelaksanaan
tindakan dengan menggunakan lembar observasi kegiatan siswa
(LOKS) dan guru (LOKG), kegiatan observasi dilakukan dua kali yaitu
pada pertemuan 1 (Rabu, 07 Mei 2014) dan pertemuan 2 (Jumat, 09 Mei
2014).

Tabel 1. Lembar Observasi Kegiatan Siswa (LOKS) dan Guru


(LOKG)
Instrumen Persentase (%)
(Indikator yang teramati) I II
LOKS 64 65%
(Keaktifan Siswa, Perhatian Siswa, Kedisiplinan
Penugasan / Resitasi)
LOKG (Kegiatan awal,inti, penutup) 70.8% 73.2%

Tabel 2 Hasil Belajar Siswa siklus I


Data Hasil Tes Post-test Ketuntasan
Nilai Maksimal 100 15 (50%) KKM 70
Nilai Minimal 53
Rata-rata 74.83
Indikator Keberhasilan : 75% mencapai KKM

Refleksi
1. Dari dua pertemuan yang dilakukan secara keseluruhan, peserta
didik telah berperan aktif selama proses pembelajaran, namun ada
beberapa orang yang masih pasif.
2. Peserta didik masih mengalami kesulitan dan belum memahami
materi konsep cuaca.
3. Peserta didik masih asing dan belum mengenal teknik pembelajaran
jigsaw
4. Masih banyak siswa yang bersikap santai ketika melakukan
diskusi
5. Peserta didik sudah berperan cukup aktif dalam kegiatan
pembelajaran namun kurang antusias ketika diminta
mempresentasikan hasil diskusi kelompok.
6. Waktu yang tersedia untuk pembelajaran dan diskusi kelompok
kurang mencukupi
7. Hasil observasi kegiatan siswa pada siklus I menunjukkan hasil

246
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

pertemuan pertama 64% dan pertemuan kedua 65% terkategori


baik namun belum mencakapai hasil yang lebih maksimal.
8. Hasil observasi Kegiatan guru pada siklus I menunjukkan
hasil pertemuan pertama 70,80% dan pertemuan kedua 73,20%
terkategori baik namun bisa ditingkatkan menjadi lebih maksimal.
9. Hasil nilai tes pada siklus I ini menunjukkan siswa yang mencapai
KKM adalah 50% dan siswa yang belum mencapai KKM adalah
50%. Persentase siswa yang mencapai KKM belum memenuhi
target yaitu 75% dari keseluruhan siswa.

Keputusan
Berdasarkan hasil refleksi pada siklus I dapat disimpulkan bahwa
hasil belajar peserta didik pada konsep cuaca belum memenuhi
indikator yang peneliti harapkan. Indikator yang ditetapkan peneliti
yaitu 75% peserta didik memiliki nilai di atas KKM, sekolah yang
menetapkan KKM mata pelajaran IPA semester II sebesar 70. Sehingga
peneliti memutuskan untuk melanjutkan ke siklus II.
Adapun perbaikan-perbaikan pada siklus II antara lain:
1. Menyiapkan dan memperhatikan kondisi belajar yang kondusif
dan menyenangkan bagi siswa dengan melibatkan siswa secara
langsung dalam proses pembelajaran.
2. Guru lebih maksimal merealisasikan langkah-langkah kegiatan
pembelajaran sesuai rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).
3. Guru harus lebih aktif dan detail menjelaskan dan mengoptimalkan
desain pembelajaran kooperatif teknik jigsaw dalam pembelajaran
4. Guru harus lebih maksimal memotivasi siswa agar lebih semangat
dan antusias dalam kegiatan pembelajaran, siswa di berikan
rangsangan agar aktif bertanya dan mengemukakan pendapatnya.

Siklus II
Perencanaan
Tahap perencanaan pada siklus II merupakan tahap perbaikan dari
siklus I, perbaikan dimulai dengan menyiapkan rencana pembelajaran
yang menggunakan pendekatan pembelajaran yang sama yaitu
pendekatan kooperatif teknik jigsaw namun lebih dioptimalkan lagi
selain itu menyiapkan alat atau media yang sesuai dan lebih bervariatif.
Pembelajaran siklus II dilakukan dalam dua kali pertemuan yang
berlangsung selama 2 x 35 menit rangkaian kegiatannya tersusun dalam
rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Pertemuan pertama dengan
indikator meramalkan cuaca dan proses terjadinya hujan sedangkan
Pada rencana pelaksanaan pembelajaran(RPP) pertemuan dua indikator
yang ditetapkan adalah kegiatan manusia yang dipengaruhi cuaca

247
Professional Learning untuk Indonesia Emas

termasuk pakaian yang yang dikenakan sesuai dengan keadaan cuaca.


Pada pertemuan ini pembelajaran dilakukan di dalam dan di luar ruang
kelas. Siswa yang hadir pada pertemuan 1 dan 2 ada 30 orang.

Tindakan
Pada tahap ini, guru berusaha menerapkan kegiatan pembelajaran
dengan menggunakan pendekatan kooperatif teknik jigsaw dan media
gambar yang telah disusun dalam rencana pelaksanaan pembelajaran
(RPP). Langkah-langkah tindakan kegiatan pembelajaran sebagai
berikut.

Pertemuan I
1. Mengajak siswa untuk membaca doa sebelum pembelajaran
dimulai
2. Mengecek kehadiran siswa dan mendoakan siswa yang sedang
sakit
3. Menjelaskan tujuan pembelajaran hari ini dan mengulang
penjelasan model pembelajaran teknik jigsaw
4. Meminta siswa untuk membentuk kelompok dengan cara
berhitung 1 sampai 5, siswa yang mendapat nomor yang sama
bergabung dengan temannya
5. Guru membagikan materi bahan diskusi kelompok dan meminta
siswa membentuk tim ahli
6. Guru melibatkan peseta didik mendemonstrasikan proses
terjadinya hujan
7. Guru meminta tim ahli kembali ke kelompok asal dan
mendiskusikan materi
8. Guru menugaskan kelompok asal untuk mempresentasikan hasil
diskusi mereka di depan kelas
9. Meminta kelompok lain untuk menanggapinya
10. Memberikan soal-soal kuis dan memberikan penghargaan bagi
kelompok yang skornya tinggi
11. Membuat kesimpulan bersama siswa
12. Memberikan soal latihan berbentuk pilihan ganda

Pertemuan II
1. Mengajak siswa untuk membaca doa sebelum pembelajaran
dimulai
2. Mengecek kehadiran siswa dan mendoakan siswa yang sedang
sakit
3. Menjelaskan tujuan pembelajaran hari ini dan mengulang
penjelasan model pembelajaran teknik jigsaw

248
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

4. Meminta siswa untuk membentuk kelompok dengan cara


berhitung 1 sampai 5, siswa yang mendapat nomor yang sama
bergabung dengan temannya
5. Guru membagikan materi bahan diskusi kelompok dan meminta
siswa membentuk tim ahli
6. Guru melibatkan siswa mendemonstrasikan bahan dan warna
pakaian yang cocok pada cuaca panas dan hujan
7. Guru meminta tim ahli kembali ke kelompok asal dan
mendiskusikan materi
8. Guru menugaskan kelompok asal untuk mempresentasikan hasil
diskusi mereka di depan kelas
9. Guru meminta kelompok lain untuk menanggapinya
10. Memberikan soal-soal kuis dan memberikan penghargaan bagi
kelompok yang skornya tinggi
11. Membuat kesimpulan bersama siswa
12. Memberikan soal post-test
13. Memberikan soal latihan berbentuk pilihan ganda

Pengamatan
Pada tahap ini dilaksanakan observasi terhadap pelaksanaan
tindakan dengan menggunakan lembar observasi kegiatan siswa dan
guru, kegiatan observasi dilakukan dua kali yaitu pada pertemuan 1
(Rabu, 28 Mei 2014) dan pertemuan 2 (Jumat, 30 Mei 2014).

Tabel 3. Lembar Observasi Kegiatan Siswa (LOKS) dan Guru


(LOKG)
Instrumen Persentase (%)
(Indikator yang teramati) I II
LOKS 76,2 78,2
(Keaktifan Siswa, Perhatian Siswa, Kedisiplinan
Penugasan / Resitasi)
LOKG (Kegiatan awal,inti, penutup) 76,1 77,6

Tabel 4. Hasil Belajar Siswa Siklus II


Data Hasil Tes Post-test Ketuntasan
Nilai Maksimal 100 26 (86.6%)
Nilai Minimal 60 KKM 70
Rata-rata 85,60
Indikator Keberhasilan : 75% mencapai KKM (70)

249
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Refleksi
1. Dari pertemuan yang dilakukan secara keseluruhan, peserta didik
telah berperan aktif selama proses pembelajaran, hanya terlihat
beberapa orang saja yang masih pasif
2. Peserta didik menjadi paham dan mengerti terhadap materi
pembelajaran pada konsep cuaca
3. Pembelajaran kooperatif teknik jigsaw sangat membantu siswa
dalam memahami konsep cuaca
4. Hampir seluruh siswa berperan aktif dalam seluruh kegiatan
pembelajaran dan terlihat sangat antusias
5. Pada saat diskusi kelas, siswa sudah berperan aktif dalam
menjawab pertanyaan dan memberikan pernyataan
6. Waktu yang tersedia untuk pembelajaran dan diskusi sudah
mencukupi
7. Data observasi kegiatan siswa pada siklus II menunjukkan hasil
yang lebih meningkat dengan persentase pertemuan kesatu
76,20% dan pertemuan kedua 77,80% berkategori sangat baik
8. Data observasi kegiatan guru pada siklus II menunjukkan hasil
yang lebih maksimal dengan persentase pertemuan kesatu 76,10%
dan pertemuan kedua 77,60% berkategori sangat baik
9. Hasil nilai tes pada siklus II ini menunjukkan jumlah siswa yang
mencapai KKM adalah 86%. Persentase siswa yang mencapai
KKM sudah melampaui target yaitu 75% dari keseluruhan siswa.

Keputusan
Berdasarkan hasil refleksi pada siklus II terlihat hasil belajar
siswa pada konsep cuaca memenuhi indikator yang peneliti harapkan
yakni sebesar 86% lebih dari yang ditargetkan pada indikator
ketercapaian sebesar 75%. Oleh karena itu peneliti memutuskan
untuk menghentikan pemberian tindakan berupa pembelajaran yang
menggunakan pendekatan kooperatif teknik jigsaw pada konsep cuaca
dan dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan terhadap hasil
belajar siswa pada konsep cuaca dengan menggunakan pendekatan
kooperatif teknik jigsaw pada nilai post-test disetiap siklusnya.

Pembahasan
Sebelum dilakukan tindakan pembelajaran dengan menggunakan
pendekatan kooperatif teknik jigsaw, proses pembelajaran IPA lebih
didominasi oleh guru sehingga siswa kurang aktif selama proses
pembelajaran berlangsung. Selain itu faktor penyebab rendahnya
hasil belajar siswa adalah kurangnya pemahaman terhadap konsep
cuaca karena cara belajar siswa yang lebih dominan bersifat hafalan.

250
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Setelah dilakukan penelitian tindakan kelas yaitu dengan


menerapkan pembelajaran kooperatif teknik jigsaw pada konsep
cuaca, pencapaian hasil belajar siswa dipengaruhi oleh sumber belajar
dan metode pembelajaran yang diterapkan selama pembelajaran. Pada
penggunaan pendekatan kooperatif teknik jigsaw siswa melakukan
pembelajaran dengan antusias dan aktif dalam mengidentifikasi dan
berdiskusi. Pada proses pembelajaran ini, siswa dituntut untuk dapat
berinteraksi dengan siswa lainnya, guru dan media belajar.
Jumlah siswa yang mencapai nilai di atas KKM pada siklus I
yaitu 50% dari ketetapan KKM 75%, pada siklus II meningkat menjadi
86%. Adapun siswa yang belum mencapai KKM ini disebabkan
belum memahami konsep yang diajarkandengan baik. Pencapaian
hasil belajar siswa dipengaruhi oleh sumber belajar, media dan
strategi pembelajaran yang diterapkan selama pembelajaran. Pada
pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kooperatif teknik
jigsaw siswa melakukan kegiatan identifikasi dan diskusi. Pada proses
pembelajaran ini, siswa dituntut untuk dapat berinteraksi dengan
siswa lainnya, guru dan sumber belajar.
Kegiatan siswa pada siklus I telah menunjukkan rata-rata indikator
keterlaksanaan dengan kategori baik. Hal ini menunjukkan bahwa
pemberian tindakan dengan penggunaan pendekatan kooperatif
teknik jigsaw memberikan kepada siswa untuk terlibat langsung dan
memahami proses terjadinya cuaca.
Kegiatan guru telah sesuai dalam menerapkan RPP selama proses
pembelajaran. Guru dapat memfasilitasi siswa pada saat diskusi. Dari
data pengamatan, sebagian besar siswa telah berperan aktif selama
pembelajaran dan hanya beberapa siswa yang masih terlihat santai
ketika berdiskusi. Hasil siklus satu menunjukkan jumlah siswa yang
mencapai nilai KKM belum memenuhi indikator, sehingga penilaian
harus dilanjutkan ke siklus II.
Penggunaan pendekatan kooperatif teknik jigsaw secara
berkelanjutan dalam proses pembelajaran menunjukkan peningkatan
pada setiap aspeknya. Kreatifitas seseorang tidak mungkin muncul
secara instan tetapi memerlukan suatu rangsangan yang berkelanjutan
untuk melatihnya. Selain itu siswa memberikan respon yang positif
terhadap pembelajaran yang diterapkan karena siswa dilibatkan secara
langsung dalam proses pembelajaran. Pembelajaran pun menjadi
menyenangkan dan tidak membosankan. Siswa merasa senang
dan lebih mudah memahami konsep cuaca dengan menggunakan
pendekatan pembelajaran kooperatif teknik jigsaw.
Dari penjelasan-penjelasan di atas, menunjukkan bahwa
penggunaan pendekatan pembelajaran kooperatif teknik jigsaw

251
Professional Learning untuk Indonesia Emas

dengan metode yang bervariasi memberikan peluang besar kepada


siswa untuk terlibat langsung atau aktif selama pembelajaran. Akibat
adanya pembelajaran aktif dan kooperatif menumbuhkan kreatifitas
siswa dan proses pembelajaran menjadi menyenangkan, sehingga
pembelajaran mencapai tujuan pembelajaran yang ditetapkan atau
efektif dan meningkatkan hasil belajar siswa.

Penutup
Penerapan pendekatan pembelajaran kooperatif teknik jigsaw yang
dirancang dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada setiap siklus.
Pada siklus I hasil belajar siswa diperoleh persentase angka sebesar
50% dan pada siklus II diperoleh hasil belajar siswa dengan persentase
sebesar 86%. Penelitian ini dihentikan sampai siklus II karena telah
memenuhi indikator keberhasilan penelitian.

Daftar Pustaka

Arifin, Zainal. Evaluasi Pembelajaran, Bandung: Remaja Rosdakarya,2009.


Arikunto, Zainal. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta:
PT. Rineka Cipta Cet. 14, 2010.
Nuraini, Penelitian Pendahuluan : Pembelajaran Kooperatif di MI
Mubina Kabupaten Bogor. Tidak dipublikasikan, 2014.
Sanjaya, Wina.Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses
Pendidikan,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.
Silberman, Mel.Activ Learning,Yogjakarta: Pustaka Insan Madani,2009.
Suprijono, Agus.Cooperative Learning, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2009.
Kemendiknas. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional R.I No.
20 Tahun 2003, Jakarta: Sinar Grafika, 2008
Kemendiknas. Peraturan pemerintah pasal 17 no. 7 tahun 2008, 2010.
Jakarta Fokusmedia

252
PENGAJARAN BAHASA INGGRIS DI SD/MI:
WHY NOT?
Alek
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Email: alek_uinjkt@yahoo.com

Abstrak: Bahasa Inggris sebagai bahasa ilmu pengetahuan


juga sebagai alat berkomunikasi antarnegara (linguafranca).
Banyak di antara pakar pendidikan bahasa berpendapat bahwa
pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing dimulai pada
usia dini sebelum anak mencapai masa usia 1213 tahun, akan
memberikan hasil yang lebih baik, meskipun sampai sekarang
belum ada bukti empiris yang memperkuat pendapat tersebut
(Nunan, 1999). Tingkat kemahiran berbahasa seseorang tidak
hanya dipengaruhi oleh faktor usia tapi juga faktor-faktor lainnya,
seperti tipe program dan kurikulum, lamanya pembelajaran,
teknik, dan aktivitas yang digunakan (Rixon, 2000). Bahasa
Inggris merupakan satu di antara bahasa asing yang memiliki
peran sentral di dunia internasional terutama di era global
dan teknologi dewasa ini. Dengan memiliki kompetensi dan
keterampilan menggunakan bahasa Inggris, sesorang akan
lebih memiliki peluang untuk mengakses dunia informasi dan
teknologi. Melalui pengenalan dan pembelajaran bahasa Inggris
di sekolah dasar dan sederajat, maka siswa akan mengenal dan
mengetahui bahasa Inggris lebih awal walaupun dalam konteks
yang serba terbatas, tentunya sesuai dengan tingkat dan level
serta kematangan dirinya. Di samping itu, siswa juga akan
memiliki pengetahuan awal (schemata) sebagai bekal untuk
meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dalam
konteks pengajaran bahasa Inggris, seorang pengajar atau guru
memerlukan pengetahuan dan pemahaman yang baik dan
benar mengenai metode dan pendekatan yang sesuai dengan
kondisi siswa atau pembelajar muda agar tujuan dan pengajaran
bahasa Inggris tercapai. Manfaat lain melalui pengenalan dan
pengajaran bahasa Inggrsi bagi pembelajar pemula adalah siswa
lebih memiliki kesiapan diri secara sikologis yang lebih baik
daripada siswa yang belum belajar bahasa Inggris di tingkat SD-
nya. Hal yang sangat baik diperoleh melalui pemahaman bahasa
Inggris bagi siswa SD/MI adalah mereka diajar untuk belajar
terbuka, realistis, dan objektif, maksudnya siswa diperkenalkan

253
Professional Learning untuk Indonesia Emas

tentang kondisi kekinian yang sungguh berbeda dengan era-


era sebelumnya, yang mana di era global dan teknologi saat ini
orang berlomba-lomba mengejar ilmu dan pengetahuan, bahasa
Inggris di antaranya sebagai modal menghadapi kondisi riil dan
kemajuan ilmu pengetahuan dewasa ini.

Kata Kunci : Pengajaran, Bahasa Inggris

Pendahuluan
Banyak pro dan kontra mengenai pengajaran bahasa Inggris
di sekolah, terutama sekolah dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah
(MI). masing-masing pihak memiliki alasan dan argumentasi
tersendiri dalam mendukung sikap dan pendapatnya. Mencermati
kegiatan penelitian ilmiah berkaitan dengan topik ini tidaklah sedikit
bermunculan. Ada sebagian pihak melakukan penelitian tentang
impelemntasi kebijakan dan dasar pemikiran tentang pengajaran
bahasa Inggris kepada tingkat sekolah dasar, ada juga pihak meneliti
dan mengkaji dari aspek teori, sementara pihak yang lainnya meneliti
dari aspek kenyataan di lapangan, di lain pihak ada yang meneliti
dan meninjau dari aspek kualitas guru yang mengajarnya, dan yang
terakhir ada yang meneliti tentang penggunaan metode/strategi serta
perangkat yang digunakan dalam mengajarkannya.
Sebagai puncak dari polemik tentang penghapusan pengajaran
dan pembelajaran bahasa Inggris di sekolah tingkat dasar disepakati
hanya sebagai kegiatan ekskul atau sebagian yang lain menyebutnya
sebagai program muatan lokal. Alasan penghapusan bahasa Inggris
dari kurikulum SD didasari kekhawatiran akan membebani siswa dan
memprioritaskan daripada penguasaan bahasa Indonesia atau bahkan
dapat mengancam penguasaan bahasa Indonesia sebagai bahasa
nasional, termasuk dapat menghilangkan rasa nasionalisme calon
generasi penerus bangsa atau putra-putri tunas negeri tercinta ini.

Pembahasan
Sebelum pro dan kontra begitu mengemuka tentang bisa
tidaknya pengajaran bahasa Inggrisi di SD/MI, matapelajaran bahasa
Inggris di SD/MI sebenarnya telah diajarkan selama kurang lebih
satu dasawarsa. Pada awal mula rujukan tentang pelaksanaan
pengajaran bahasa Inggris di SD/MI adalah Kepmen Depdikbud
RI No. 0487/4/1992, Bab VIII, menyatakan bahwa sekolah dasar dapat
menambah matapelajaran dalam kurikulumnya, asalkan pelajaran itu
tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional. Di samping

254
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

itu, kebijakan tersebut di atas, diperkuat oleh dikeluarkannya SK


Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 060/U/1993 tanggal 25
Februari 1993 tentang dimungkinkannya program bahasa Inggris
di sebagai mata pelajaran muatan lokal SD, dan dapat dimulai
pada kelas 4 SD (Kasihani, dalam pidato pengukuhan profesor
di UM). Membaca dan mencermati kedua keputusan sebagai
landasan operasional kebijakan diajarkannya bahasa Inggris di SD/
MI direspon positif oleh masyarakat luas di Indonesia, yaitu oleh
sekolah-sekolah dasar baik negeri maupun swasta yang merasa
penting dan perlu untuk diajarkan bahasa Inggris. Dalam praktik
dan perkembangnannya seiring kemajuan dan tuntutan zaman
hingga di era teknologi dan terlebih lagi dalam menyongsopng era
masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) dewasa ini. Pengajaran bahasa
Inggris telah menjadi sebuah ikon dan menu khusus bagi sekolah-
sekolah yang berkategori maju dan karena telah menjadi sesuatu
yang sangat umum, maka tidak heran lembaga-lembaga kursus
bahkan dalam bentuk pengajaran secara pribadi (private course)
menjamur di mana-mana. Khusus di lembaga pendidikan baik
di tingkat sekolah dasar bahkan di tingkat taman bermain (pre-
school/play group) atau dalam bahasa Inggris sendiri menyebutnya
pengajaran bahasa Inggris untuk Pembelajar Bahasa Inggris
Pemula (English for Young Learners).
Di satu sisi animo dan hasrat masyarakat untuk mengajarkan
bahasa Inggris sebagai bahasa Internasional di SD/MI sejatinya tidak
melanggar-melanggar amat baik ketentuan dan undang-undang
yang berlaku di negara Reepublik tercinta ini atau bahkan ditinjau
dari aspek religius tidak bertentangan dengan kondrat kemanusiaan,
sebab konsep belajar dalam agama, terutama dalam agama Islam
dianjurkan sejak di dalam kandungan sang Ibu, lalu buaian dan
bahkan berlanjut hingga akhir hayat (lifelong learning/education).
Hal selanjutnya mengenai pengajaran bahasa inggris di tingkat
sekolah dasar adalah ditinjau dari kesiapan materi ajar. Kesiapan
bahan atau materi ajar yang sesuai dan cocok dengan tingkat dan
kematangan pembelajar atau murid seringkali menjadi satu domain
yang masih memerlukan pengkajian dan peninjauan kembali secara
lebih kritis, mendalam, komprehensif, dan berkelanjutan. Sebagai
sebuah misal, buku pelajaran bahasa Inggris yang digunakan untuk
mengajar bahasa Inggris di MP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kelas
4, kebtulan anak saya sedang belajar di kelas tersebut, khususnya
materi bacaan dalam buku bahasa Inggrisnya sangat panjang (kurang
lebih tiga halaman). Jika dikaitkan dengan tingkat dan level tersebut
sangat todak sesuai dan cocok. Di samping itu, masih banyak lagi

255
Professional Learning untuk Indonesia Emas

aspek-aspek lain yang menjadi problematika dalam pengajaran


bahasa Inggris di sekolah tingkat dasar (SD/MI), keterbacaan, tingkat
kesulitan kosakata, struktur bahasa, dan tingkat kekritisan serta
kreativitasnya.
Mencermati lebih dalam, seksama, dan kritis mengenai kurikulum
bahasa Inggris sebagai muatan lokal yang teranyar masih menyisakan
banyak unsur kelemahannya, di antaranya: terdapat ketidaksesuaian
materi ajar dengan perkembangan usia murid, pemilihan topik,
pemilihan metode dan pendekatan, dan penyusunan tujuan
pembelajaran yang terlalu utopis dan mengawang.
Secara teoretis, pengajaran dan pembelajaran bahasa asing (baca:
bahasa Inggris) di SD sebenarnya bertujuan memperkenalkan kepada
murid/siswa secara lebih dini bahwa terdapat bahasa lain selain
bahasa ibu (mother tongue) dan bahasa Indonesia (national language)
yang perlu dipelajari untuk mengembangkan wawasan dan keilmuan
di masa mendatang (future time). Kemudian, apa yang perlu dan
seharusnya dilakukan berkaitan dengan bolehnya pengajaran
bahasa Inggris di tingkat SD/MI? menjawab pertanyaan ini perlu
memahami dan mendalami berbagai konsep yang dikemukakan
oleh banyak pakar pendidikan dan lebih khusus pakar pendidikan
bahasa agar kita tidak salah arah dan langkah dalam mengajarkan
bahasa atau tujuan pengajaran bahasa benar-benar sesuai dengan
tujuan pengajaran dan pembelajarannya.
Kondisi pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing di
Indonesia, masih ditemui banyak kekekliruan, yang seharusnya
siswa diajarkan kosakata dan kalimat yang sangat sederhana sesuai
dunia, konteks, dan kebutuhannya melalui pola mengajar dan belajar
yang menyenangkan, sambil bermain, menggambar, menyanyi, dan
berceritera atau ekspresi diri. Akan tetapi, yang terjadi di banyak
sekolah masih sangat banyak dijumpai pengajaran bahasa Inggris di
SD/MI diberi tugas yang banyak dan tidak sesuai, seperti meminta
untuk menerjemahkan kalimat-kalimat yang sulit, menulis pola
dan tata bahasa yang rumit dan kompleks yang justeru membuat
semangat dan animo belajar siswa menurun dan menjadi kuang
bahkan menghilang.
Ada lagi hal yang sungguh menghambat pelaksanaan dan
ketercapaian tujuan pengajaran dan pembelajaran bahasa Inggris di
tingkat SD/MI adalah penunjukkan guru/pengajar bahasa Inggris
oleh kepala sekolah padahal yang bersangkutan tidak memiliki latar
belakang pendidikan bahasa Inggris (tidak memenuhi syarat). Hal ini
terjadi karena sekolah terpaksa harus mengajarkan bahasa Inggris
pada siswanya karena permintaan masyarakat atau perintah atasan.

256
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Walaupun sebenarnya sekolah yang bersangkutan tidak/belum


mampu melaksanakan karena tidak ada tenaga pengajar yang
tersedia dan termasuk ketersediaan kurikulum yang terencana secara
sistematis dan dievaluasi secara berkelanjutan.
Para pengajar sekaligus pendidik memiliki peran yang sangat besar
dalam pengajaran dan pembelajaran bahasa Inggris pada anak usia
muda/SD/MI. Di samping memahami metode dan pendekatan, guru
perlu memiliki pemahaman yang mendasar tentang perkembangan
diri anak, terutama dalam hubungannya dengan proses pembelajaran
bahasa Inggris agar tujuan pembelajarannya tercapai sesuai yang
diprogramkan. Adapun aspek-aspek yang perlu diperhatikan,
meliputi: karakteristik anak, tujuan pembelajaran bahasa, lingkungan
belajar, ruang lingkup pembelajaran, psikolgis anak, sosiologis, dan
psiko-motor.
Sementara aspek ruang lingkup pembelajaran bahasa Inggris
untuk anak usia keterampilan mendengar, berbicara, membaca, dan
menulis serta komponen kosa kata, pelafalan dan struktur bahasa.
Semuanya ini harus senanatiasa disesuaikan dengan kemampuan
anak yang diajar. Sementara berkenaan dengan konsep-konsep yang
perlu dikuasai anak-anak dalam berbahasa menurut Ashworth dan
Wakefield, 2005 adalah: (1) identifikasi (mengenal orang/benda yang
ada di sekitar anak-anak); (2) klasifikasi (pengelompokan, misalnya
warna, bentuk, ukuran, jumlah, fungsi, jenis, dsb.); (3) spasial (ruang
atau posisi orang/benda); (4) temporal (waktu); (5) emosional
(perasaan); (6) familial (keluarga); (7) ordering (menyusun):
(8) ekuivalensi (perbandingan. Selanjtnya mengenai prosedur
pembelajaran bahasa asin (Inggris) untuk pembelajar muda, adalah
sebagai berikut: (1) secara alami, sama dengan cara mereka belajar
bahasa ibu; (2) dimotivasi; (3) dengan mendengar dan mengulang-
ulang; (4) dengan menirukan guru: (5) dengan berinteraksi dengan
orang lain; (6) dengan menerjemahkan (Moon, 2000). Senada dengan
Ashworth dan Wakefield di atas, (Moeslichatoen, 1999) berkenaan
dengan metode-metode pembelajaran bahasa Inggris untuk pembelajar
muda, di antaranya adalah: (1) Bermain (dan bernyanyi); (2) bercakap-
cakap; (3) bercerita; (4) demonstrasi; (5) karya wisata; (7) projek; dan
(7) pemberian tugas.
Selanjutnya (Shin, 2006) beberapa hal yang diperhatikan
diperhatikan dalam melakukan kegiatan pembelajaran bahasa Inggris
untuk pembelajar pemula (SD/MI) agar tujuan pembelajaran tercapai
sesuai harapan, di antarana adalah:
1. Melengkapi aktivitas pembelajaran dengan media visual, realia
dan gerakan-gerakan serta kombinasi bahasa lisan dengan

257
Professional Learning untuk Indonesia Emas

bahasa tubuh atau demonstrasi.


2. Melibatkan siswa di dalam pembuatan media visual atau realia.
3. Berpindah dari aktivitas yang satu ke aktivitas lainnya dengan
cepat
4. Membangun rutinitas di dalam kelas dengan menggunakan
bahasa Inggris
5. Gunakan bahasa ibu/pertama jika diperlukan
6. Mengajar berdasarkan tema dan menstimulasi imajinasi dan
kreativitas siswa.
7. Menggunakan cerita dan konteks yang sudah dikenal oleh siswa
8. Mengundang masyarakat sekitar (orangtua, mahasiswa, dsb.)
yang bisa berbahasa Inggris untuk berceita di dalam kelas
9. Berkolaborasi dengan guru lainnya di sekolah Anda
10. Berkomunikasi dengan guru atau pengajar di luar sekolah/
lembaga Anda.

Penutup
Dari uraian singkat di atas, bisa kita simpulkan bahwa: (1) Semakin
dini anak belajar bahasa asing, semakin mudah anak menguasai bahasa
itu. McLaughlin dan Genesee menyatakan bahwa anak-anak lebih
cepat memperoleh bahasa tanpa banyak kesukaran dibandingkan
dengan orang dewasa; (2) sebelum masa pubertas, daya pikir (otak)
anak lebih lentur. sehingga, ia lebih mudah belajar bahasa. Sedangkan
sesudahnya akan makin berkurang dan pencapaiannya pun tidak
maksimal; (3) Pangajaran Bahasa Inggris di SD merupakan masa
emas atau paling ideal untuk belajar bahasa selain bahasa ibu (bahasa
pertama). Alasannya, otak anak masih elastis dan lentur, sehingga
proses penyerapan bahasa lebih mulus serta daya penyerapan bahasa
pada anak berfungsi secara otomatis; (4) Pembelajaran bahasa Inggris
pada usia SD/MI bersifat dinamis dan senantisa mengalami kemajuan
yang lebih cepat. Namun demikian, perlu didukung oleh pengajar/
pendidik yang memahami kebutuhan anak (kompeten) melalui
perencanaan, pembimbingan, dan penyediaan sarana penunjang
yang memadai; dan terakhir (5) Keberhasilan seseorang dalam belajar
bahasa asing, tidak tergantung pada kemampuan intelektual atau
kecakapan bawaan berbahasa, tetapi sangat ditentukan oleh motif
atau kebutuhan dan tujuan yang didukung oleh lingkungannya.

258
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Daftar Pustaka

Behroozi, Mohammad and Azadeh Amoozegar. (2014). Challenges to


English language teachers of secondary schools in Iran. Procedia-
Social and Behavioral Sciences 136 (2014) 8488. Retrieved from
www.sciencedirect.com.
Behroozi, Mohammad and Azadeh Amoozegar. (2014). Challenges to
English language teachers of secondary schools in Iran. Procedia-
Social and Behavioral Sciences 136 (2014).8488. Retrieved from
www.sciencedirect.com.
Brumfit, Christopher; Jayne Moon, & Ray Tongue (eds). 1991).
Teaching English to Children: From Practice to Principle. London:
Harper Collins Publishers.
Cameron, Lynne. (2001). Teaching Language to Young Learners.
Cambridge: Cambridge University Press.
E., Suyanto, Kasihani. Pengajaran Bahasa Inggris di Sekolah Dasar:
kebijakan, implementasi, dan kenyataan.retrieved from www.
scribd.com/doc/56032770/Pidato-Guru-Besar-Prof-Kasihani-
E-Suyanto-M-a-Ph#scribd.
Ghane, Azam. (2013) Are Young Learners Better Learners Of Foreign
Language Learning Or Adults? Procedia-Social and Behavioral
Sciences 136 ( 2014 ) 84 88. Retrieved from www.sciencedirect.
com.
Moon, Jayne. (2000). Children Learning English. Oxford: Macmillan
Publishers Limited
Hashemi, Masoud. (2008.) Techniques in Teaching English to Children,
Oral presentation, Islamic Azad University. Toyserkan Branch,
Iran Kang.
Larsen, Diane and Freeman. 2000. Technique and Principles in Language
Teaching Second Edition. New York: Oxford University Press.
Moon, Jayne. (2000). Children Learning English. Oxford: Macmillan
Publishers Limited. Nissani, Helen. 1993. Early Childhood
Programs for Language Minority Students.
Richards, J.C. ( 2001). Curriculum Development in Language Teaching.
London: Cambridge University Press.
Rixon, Shelagh (ed.). ( 1999). Young Learners of English: Some Research
Perspectives. Harlow: Pearson Education Ltd.

259
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Saricoban, Arif and Albina Ku. (2010). Teaching problematic


consonants in English to young learners. Procedia Social and
Behavioral Sciences 2 (2010) 943947. Retrieved from www.
sciencedirect.com.
Scoot, Wendi A. and Lisbeth H. Ytreberg, (1992). Teaching English to
Children. New York: Longman.
Shin, Joan Kang. (2006). Ten Helpful Ideas for Teaching English
to Young Learners. English Teaching Forum, Volume 44,
Number 2: 27.
Superfine, Wendy and Viv Lambert. (2007). Mighty Movers Pupils
Book: An Activity-based Course for Young Learners (Delta Young
Learners English). USA: Cambridge University Press.
Superfine, Wendy and Judy West. (2006). Super Starters Activity
Book: An Activity-based Course for Young Learners (Delta Young
Learners English). USA: Cambridge University Press.
Taghi, Seyyed Yaghoub. (2013). Motivational Patterns in Iranian EFL
learners: The Orientation and Age Difference. Procedia - Social
and Behavioral Sciences, Volume 83, 4 July 2013, Pages 678-682.
Retrieved from www.sciencedirect.com.

260
PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA
BAHASA INGGRIS DENGAN PENERAPAN
PEMBELAJARAN AKSELERASI
(Penelitian Tindakan di Kelas 7 pada Madrasah Tsanawiyah
Pembangunan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Neneng Sunengsih
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Email : sunengsihneneng@yahoo.com

Pendahuluan
Penguasaan keterampilan berbicara bahasa Inggris (KBBI) bagi
siswa Madrasah Tsanawiyah merupakan salah satu keterampilan yang
harus dikuasai disamping keterampilan menyimak, membaca dan
menulis. KBBI ini sangat diperlukan bagi siswa setelah menyelesaikan
studinya antara lain untuk menghadapi ujian wawancara memasuki
dunia kerja, berkomunikasi dengan orang asing, melakukan negosiasi
bisnis atau bila siswa akan melanjutkan di perguruan tinggi dalam dan
luar negeri. Banyak tawaran beasiswa yang berasal dari negara-negara
luar yang dapat diambil oleh siswa Indonesia yang ingin melanjutkan
sekolah atau kuliah di luar negeri. Tentu saja bahasa pengantar yang
digunakan adalah bahasa lisan. Oleh karena itu, sejak dini siswa harus
dibekali keterampilan berbicara bahasa Inggris.
Namun pada kenyataannya, penguasaan siswa terhadap
keterampilan berbicara bahasa Inggris khususnya di Madrasah
Tsanawiyah Pembangunan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta masih
rendah. Hal ini dibuktikan dari jarangnya siswa menggunakan bahasa
Inggris saat pelajaran bahasa Inggris berlangsung. Berdasarkan hasil
wawancara awal dengan guru bahasa Inggris menunjukkan bahwa
siswa kurang termotivasi berbicara bahasa Inggris. Siswa malu untuk
berbicara bahasa Inggris dan takut berbuat kesalahan baik kesalahan
mengucapkan kata-kata, tatabahasa, pilihan kata, atau menggunakan
ungkapan-ungkapan yang kurang tepat.
Demikian juga halnya ketika guru bahasa Inggris berkomunikasi
dengan para siswa, masih banyak kesalahan siswa dalam merespon
guru berbicara bahasa Inggris baik pengucapan, kosa kata, tata bahasa,
pemahaman, dan kefasihan.
Untuk mengatasi masalah tersebut, sudah berbagai usaha
dilakukan antara lain: guru memberi kesempatan kepada siswa untuk
mendengarkan guru berbicara terlebih dahulu; baru siswa terdorong
untuk berbicara; guru memotivasi siswa dengan cara mencatat bagi

261
Professional Learning untuk Indonesia Emas

yang mau berbicara bahasa Inggris; untuk mencatat siswa yang mau
berbicara bahasa Inggris, guru menentukan wasit yakni siswa secara
bergantian ditugaskan mengontrol siswa lain yang mau berbicara
dalam bahasa Inggris. Di samping itu, pihak sekolah melakukan
kegiatan ekstra kurikuler melalui student company dengan membentuk
English Club. Pihak sekolah juga mengirimkan para guru untuk
mengikuti seminar, workshop, pelatihan tentang pembelajaran bahasa
Inggris. Namun usaha-usaha yang dilakukan oleh guru maupun pihak
sekolah belum dapat mengatasi permasalahan yang dihadapi siswa
dalam berbicara bahasa Inggris.

Prinsip Dasar Pembelajaran Akselerasi


Pembelajaran akselerasi didasarkan pada teori otak, teori belajar,
teori kecerdasan berganda, dan diilhami metodologi pelatihan bahasa
orisinil sugestopedia. Pembelajaran Akselerasi secara umum memiliki
tujuh prinsip dasar antara lain : (1) Belajar melibatkan seluruh pikiran
dan tubuh, (2) Belajar adalah berkreasi, bukan mengkonsumsi, (3)
Kerjasama membantu proses belajar, (4) Pembelajaran berlangsung
pada banyak tingkatan secara simultan, (5) Belajar berasal dari
mengerjakan pekerjaan itu sendiri (dengan umpan balik), (6)
Emosi positif sangat membantu pembelajaran, dan (7) Otak citra
menyerap informasi secara langsung dan otomatis. Oleh karena
itu yang dituju Pembelajaran Akselerasi (PA) adalah menggugah
sepenuhnya kemampuan belajar para peserta didik, membuat belajar
menyenangkan dan memuaskan bagi mereka, dan memberikan
sumbangan sepenuhnya pada kebahagiaan, kecerdasan, kompetensi
dan keberhasilan mereka sebagai manusia. (Meier: 2000).
Rancangan pembelajaran akselerasi memiliki 7 prinsip : (1)
merancang dengan siklus belajar 4 tahap, (2) rancangan disesuaikan
dengan semua gaya belajar, (3) rancangan berdasar aktivitas, (4)
menciptakan komunitas belajar, (5) bergantian menerapkan aktivitas
belajar fisik aktif dan aktivitas belajar fisik pasif, (6) mengikuti aturan
30/70, dan (7) menciptakan rancangan yang luwes dan bertujuan
terbuka (Meier: 2000).
Prosedur pembelajaran akselerasi dikemukakan beberapa ahli
antara lain oleh Rose & Nicholl (2002) yang menyatakan enam langkah
dasar pembelajaran akselerasi yakni : (1) memotivasi pikiran, (2)
memperoleh informasi, (3) menyelidiki makna, (4) memicu memori,
(5) memamerkan apa yang anda ketahui, dan (6) merefleksikan
bagaimana anda belajar.
Meier membagi tahap pembelajaran akselerasi menjadi 4 yakni (1)
tahap persiapan, (2) tahap penyampaian, (3) tahap pelatihan, dan (4)
tahap penampilan hasil.

262
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Pembahasan
Data penelitian ini mencakup data pra-observasi, hasil siklus
pertama, siklus kedua, dan siklus ketiga.

1. Pra-observasi
Pada tahap pra-observasi, keterampilan berbicara bahasa Inggeris
siswa masih mengalami kesalahan dalam hal kemahiran lafal, tata
bahasa, kosa kata, kelancaran maupun pemahaman.
Pada tahap pra-observasi ini juga dilakukan tes awal. Dilihat dari
hasil tes awal keterampilan berbicara bahasa Inggris yang meliputi
kemahiran lafal, kosa kata, tata bahasa, kelancaran dan pemahaman,
siswa memperoleh rata-rata sebesar 34,09. Jika dibanding dengan
penguasaan 85 % atau siswa memiliki rata-rata skore 85 maka
penguasaan keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa masih
tergolong kategori rendah.

2. Siklus Pertama
Setelah dilaksanakan pra-observasi maka dilaksanakan siklus
pertama yang terdiri dari kegiatan merencanakan tindakan,
melaksanakan tindakan, pengamatan, dan refleksi. Perencanaan
tindakan terdiri atas kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
1). Tindakan direncanakan dengan melibatkan satu guru mitra dan
satu guru bantu sebagai kolaborator yang bersama-sama dengan
peneliti bertindak sebagai pengamat di dalam kelas. Guru mitra
bertugas melaksanakan kegiatan pembelajaran sedangkan
kolaborator dan peneliti melakukan pengamatan, mencatat segala
proses kegiatan yang terjadi di dalam kelas. Hasil pengamatan ini
didiskusikan bersama sebagai masukan bagi pelaksanaan yang
kemudian akan direfleksikan kembali.
2). Kelas ditata dengan cara menyusun kursi siswa dalam bentuk
U-shape. Penataan kelas ini bertujuan agar siswa mudah
memusatkan perhatian saat dilakukan drama tentang dialog yang
dipelajari.
3). Kegiatan pembelajaran direncanakan dalam 3 tahap yakni
(1) persiapan, (2) penyajian, (3) review dan elaborasi.

Pelaksanaan tindakan mengikuti alur rencana tindakan yang


telah disusun sebagai berikut :
1). Pertama, guru mitra, kolaborator dan peneliti masuk ke kelas.
Guru mitra melaksanakan kegiatan pembelajaran, sedangkan guru
bantu dan peneliti bertindak sebagai pengamat.
2). Kursi dalam ruang kelas disusun berbentuk U-shape.
3). Pembelajaran dilaksanakan melalui tahapan persiapan, penyajian,
serta review dan elaborasi dengan perincian pelaksanaannya.

263
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Peneliti dan kolaborator melaksanakan pengamatan terhadap


proses pelaksanaan tindakan selama berlangsung siklus pertama.
Pengamatan dibatasi pada fokus penelitian yakni bagaimana
meningkatkan keterampilan berbicara bahasa Inggris siswa melalui
pembelajaran akseleratif dan apakah pembelajaran akselerasi dapat
meningkatkan keterampilan bahasa Inggris. Selama proses tindakan,
peneliti dan kolaborator mengamati reaksi yang muncul ketika proses
kegiatan tesebut berlangsung. Hasil pengamatan menunjukkan
bahwa pada awal kegiatan siswa belum terbiasa dalam melaksanakan
aktivitas-aktivitas pembelajaran akseleratif. Guru mitra terkesan masih
kaku dalam melaksanakan langkah-langkah pembelajaran akseleratif
karena ia belum hafal betul prosesnya. Urutan-urutan pelaksanaan
prosedur pembelajaran terkadang lupa sehingga guru mitra sesekali
melihat catatan urutan pembelajaran yang ada di atas mejanya.
Refleksi dilakukan berdasarkan pengamatan bahwa pembelajaran
akselerasi yang telah diterapkan guru mitra mampu meningkatkan
keterampilan berbicara bahasa Inggris. Hal tersebut dapat dilihat dari
ciri-ciri sebagai berikut, antara lain : (1) Siswa antusias belajar bahasa
Inggris, (2) Siswa mau berbicara dalam bahasa Inggris, (3) Kesalahan
lafal, kosa kata, tata bahasa, kelancaran dan pemahaman sudah mulai
berkurang.
Namun demikian, pada silklus pertama ini masih ditemui
adanya beberapa kendala yaitu (1) Keterbatasan waktu dalam
melaksanakan pembelajaran akseleratif, (2) Guru mitra belum terbiasa
menggunakan pendekatan pembelajaran akseleratif, (3) Siswa belum
begitu hafal melaksanakan senam otak, (4) Ketika mendengar dialog,
siswa cenderung mengingat ungkapan dialog tidak berdasarkan
cerita yang gambar, (5) Guru mitra belum intensif membantu siswa
dalam mempraktekkan dialog pada kelompok kecil tetapi sebagian
besar kelompok berusaha sendiri untuk menghafal dialog sehingga
penguasaan keterampilan berbicara siswa belum merata.
Demikian juga dengan pencapaian ketuntasan belajar pada siklus
pertama belum tercapai sesuai dengan kriteria keberhasilan yang telah
ditetapkan sebelumnya yaitu 85 % secara keseluruhan. Berdasarkan
catatan lapangan dan hasil diskusi guru mitra, kolaborator, dan
peneliti terdapat 18 orang siswa dari 35 orang siswa atau 51 % terampil
berbicara bahasa Inggris. Oleh karena itu belum mencapai target ideal
sehingga tindakan perlu dilanjutkan pada siklus kedua.
Berdasarkan kendala yang ditemui pada siklus pertama dan
hasil diskusi guru mitra, kolaborator dan peneliti maka penelitian ini
perlu dilanjutkan pada siklus kedua sebagai tahap lanjutan dari siklus
pertama. Tindakan-tindakan yang direncanakan pada siklus kedua
adalah : (1) Memberi lagu senam otak supaya lebih menyenangkan
siswa, (2) Guru mitra menekankan siswa untuk menghubungkan

264
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

dialog dengan gambar, (3) Praktek dalam kelompok kecil harus


dipantau betul oleh guru mitra akan penguasaan dialog dapat lebih
merata, (4) Menghubungkan dialog kedua dengan dialog pertama
yang telah dipelajari sebelumnya, (5) Membuat games yang lebih
bervariasi.

3. Siklus Kedua
Kegiatan pembelajaran siklus kedua lebih ditekankan pada
aktivitas memahami dialog dengan menghubungkan proses dialog
dengan gambar. Dengan memahami gambar, siswa ingat ungkapan
dialog yang telah didengarnya melalui aktivitas menyimak dialog
dengan diiringi musik aktif dan musik pasif pada aktivitas menyimak
kedua. Gambar bertujuan mengaktifkan fungsi otak kanan agar siswa
belajar lebih menyenangkan sehingga belajar berbicara terasa lebih
mudah. Ungkapan-ungkapan bahasa Inggris diingat manakala disertai
gambar. Apalagi ada beberapa ungkapan yang pola kalimatnya
berbeda-beda. Perbedaan ini akan terasa ringan untuk diingat dan
diproduksi dalam bentuk ujaran apabila siswa mengingat gambar
bersamaan dengan mengingat ungkapan-ungkapan.
Selain itu, pada siklus kedua ini, guru mitra memberi lagu untuk
mengiringi senam otak dengan irama lagu menanam jagung agar
siswa lebih rileks dan senang dalam belajar. Dengan lagu, pikiran
siswa akan lebih segar dan siap untuk menerima pelajaran karena
otak reptil dan otak limbiknya sebagai pusat emosi dapat dirangsang
sehingga pelajaran mudah masuk ke memori jangka panjang.
Pada siklus kedua ini pula siswa mulai berpraktek mendramakan
dialog yang sedang dan telah dipelajari karena dialog pertama dan
kedua berkelanjutan. Dengan demikian, siswa mudah mengingat
urutan kejadian dalam dialog dan pada saat yang bersamaan siswa
lebih mudah pula mengekspresikan ungkapan-ungkapan yang ada
dalam dialog dengan bantuan gambar situasi atau konteks dialog.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa : (1) pelaksanaan
pembelajaran pada siklus kedua ini secara umum siswa sudah mulai
terbiasa dengan tindakan-tindakan yang dilakukan guru mitra dalam
kegiatan pembelajaran melalui pendekatan pembelajaran akseleratif,
(2) Siswa lebih gembira melaksanakan senam otak dengan iringan lagu,
(3) Menghubungkan dialog dengan gambar telah diupayakan guru
mitra namun belum intensif, (4) Praktek percakapan dalam kelompok
kecil sudah dilakukan guru mitra secara intensif sehingga penguasaan
dialog sudah lebih merata, (4) Siswa terampil mendramakan dialog
yang sedang dipelajari dengan dialog yang telah diajarkan pada siklus
pertama, walaupun untuk mengingat dialog pertama diperlukan
waktu beberapa saat.
Data yang terkumpul dan berdasarkan hasil evaluasi yang

265
Professional Learning untuk Indonesia Emas

dilakukan kolaborator dan peneliti menunjukkan bahwa keterampilan


berbicara siswa semakin meningkat bila dibandingkan dengan siklus
pertama. Peningkatan keterampilan berbicara bahasa Inggris itu
ditandai dengan : (1) Penguasaan keterampilan berbicara sudah
hampir merata, (2) Sebagian besar siswa sudah berani berbicara bahasa
Inggris, (3) Siswa sudah dapat berbicara bebas tidak terikat dengan
dialog walaupun masih terdapat kesalahan tata bahasa, (4) Ungkapan
percakapan sudah mulai bervariasi.
Namun bila dicermati secara menyeluruh bahwa keterampilan
berbicara bahasa Inggris siswa mencapai target ideal yang ingin
dicapai melalui penelitian ini yakni 85 % dari keseluruhan
siswa. Berdasarkan catatan lapangan dan hasil diskusi guru
mitra, kolaborator dan peneliti terdapat 29 orang siswa dari 35
orang siswa atau 83 % telah meningkat keterampilan berbicara
bahasa Inggrisnya. Oleh karena belum mencapai target ideal yang
diharapkan peneliti maka perlu diadakan tindakan siklus ketiga.
Ketuntasan belajar pada siklus kedua ini belum memenuhi
kriteria yang ditetapkan sebelumnya yakni 85 % siswa di kelasnya
telah meningkat keterampilan berbicara bahasa Inggrisnya. Dengan
demikian perlu dilanjutkan ke siklus ketiga. Hal-hal yang perlu
diperbaiki untuk siklus ketiga yang direncanakan guru mitra,
kolaborator dan peneliti adalah : Pertama, guru mitra harus lebih
menegaskan pasangan ungkapan-ungkapan dalam dialog dengan
gambarnya. Guru mitra menekankan dan menegaskan ungkapan
mana yang termasuk dalam masing-masing gambar agar siswa sadar
betul bahwa setiap gambar mewakili ungkapan dialog sehingga
siswa mudah mengingat setiap ungkapan dalam dialog. Kedua,
mengintensifkan aktivitas drama dengan menyiapkan realia atau alat
peraga serta menentukan lokasi percakapan sesuai dengan dialog dan
memperbaiki tingkah laku peran. Jika peran siswa sebagai seorang
ibu, ia betul-betul bertingkah laku sebagai seorang ibu. Ketiga,
pada tahap kedua siklus ketiga, guru mitra menjelaskan semua tata
bahasa dan kosa kata dalam dialog yang sedang dipelajari yang tidak
dimengerti siswa serta memberi pola yang sama dan mendrilkannya
kepada siswa. Keempat, guru mitra membuat tema dialog bebas
pada tahap kedua siklus ketiga yang bertujuan untuk melihat apakah
siswa sudah mampu berbicara bahasa Inggris tanpa panduan dan
guna mengarahkan siswa untuk tidak menghafal mati (remote
memory) tetapi siswa dapat kreatif berbicara bahasa Inggris dengan
menggunakan ungkapan yang bervariasi.

4. Siklus Ketiga
Pembelajaran pada siklus ketiga ini secara umum dapat dilihat
bahwa siswa sudah terbiasa dengan tindakan-tindakan yang dilakukan

266
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

guru mitra dalam kegiatan pembelajaran keterampilan berbicara


bahasa Inggris. Keterampilan berbicara siswa mengalami peningkatan
dari siklus kedua. Hal ini dapat dilihat dari beberapa aspek kemahiran
keterampilan berbicara antara lain dari segi lafal, kosa kata, tata
bahasa, kelancaran dan pemahaman.
Berdasarkan catatan lapangan dan hasil diskusi dengan guru mitra,
kolaborator dan peneliti maka dapat dinyatakan bahwa penelitian ini
telah mencapai target ideal yakni 85 % di mana terdapat 33 siswa atau
0,94 % dari 35 orang siswa secara keseluruhan. Artinya siswa telah
memiliki tingkat keterampilan berbicara bahasa Inggris yang tinggi
sehingga dengan demikian tindakan sudah selesai dan tidak perlu lagi
dilanjutkan pada siklus berikutnya.
Dalam penelitian ini juga dilakukan pengukuran dengan
menerapkan model pre-test dan post-test. Pre-test dilaksanakan sebelum
tindakan siklus pertama dilakukan sedangkan post-test dilaksanakan
setelah tindakan selesai pada siklus ketiga. Pengujian perbedaan nilai
dilakukan terhadap rata-rata atau mean nilai pre-test dengan post-test
untuk keterampilan berbicara bahasa Inggris. Harga t hitung untuk
keterampilan berbicara siswa sebesar 12, 04 dan harga t tabel sebesar
1,69.
Pembelajaran akseleratif yang memiliki karakteristik memadukan
fungsi otak, emosi, dan fisik secara simultan, mampu mengaktifkan
otak verbal dan visual, mampu merangsang berbagai kecerdasan,
mendorong mahasiswa untuk melakukan kolaborasi dalam belajar,
mampu menciptakan lingkungan positif, serta mampu memaksimalkan
kemampuan inkuiri, dapat mengoptimalkan kedua jenis medium
keterampilan berbicara bahasa Inggris.
Pembelajaran akseleratif mampu melibatkan informasi visual,
dapat mengadakan hubungan dengan wilayah visualisasi bahasa, dan
hubungannya dengan wilayah Wernicke. Menurut Walsh dan Diller,
Wilayah Wernicke merupakan pusat pemrosesan hubungan bunyi
dengan makna serta berperan sebagai pengirim bunyi menjadi tuturan.
Selain itu, pembelajaran akseleratif mampu mengaktifkan mekanisme
pada wilayah Broca yang berfungsi sebagai alat memproduksi bahasa
di mana siswa dapat memiliki kemampuan yang sangat baik dalam
pengucapan.
Pembelajaran akseleratif juga mampu menciptakan suatu proses
belajar sadar dan ambang sadar (dual plane behavior). Proses belajar
sadar diujudkan dalam bentuk tingkah laku verbal dan proses belajar
ambang sadar dinyatakan dalam tingkah laku nonverbal. Tingkah laku
nonverbal bisa dalam bentuk fenomena paralinguistik seperti gerak
tubuh, mimik, kontak mata, dan postur tubuh. Tingkah laku nonverbal
ini sangat penting dalam mengoptimalkan aktivitas komunikasi dan
khususnya persuasi. Penguasaan kedua jenis tingkah laku ini tidak

267
Professional Learning untuk Indonesia Emas

dapat dicapai melalui latihan (practice) yang hanya merupakan teknik


tiruan, akan tetapi dapat dicapai melalui kesungguhan atau keikhlasan.
Fenomena paralinguistik juga dilakukan pada saat mendengarkan
dialog diiringi musik aktif dan musik pasif serta pada saat melakukan
drama dan permainan di mana bahasa verbal diiringi dengan bahasa
tubuh. Dengan cara ini siswa memahami bahasa secara simultan baik
pada tingkat sadar maupun ambang sadar.
Di samping itu, pembelajaran akseleratif dapat membuat belajar
menjadi menyenangkan dan tanpa tekanan. Untuk menciptakan
suasana ini, pembelajaran akseleratif memberi senam relaksasi, senam
pernapasan dan senam otak kepada siswa karena bila siswa dalam
keadaan rileks maka mereka akan mudah mengingat dan menghafal
pelajaran. Untuk menghindari tekanan, pembelajaran akseleratif
menekankan kerja sama secara kolaboratif dalam mempelajari materi
perkuliahan dan tidak menekankan kompetisi. Siswa didorong
untuk memfungsikan otak, tubuh, dan emosi guna mencapai tingkat
potensi akademik yang tertinggi. Dalam hal ini, pembelajaran
akseleratif menekankan pengajaran komunikatif dan pengajaran
bahasa yang humanistik. Dengan kombinasi sugesti dan musik maka
dapat diciptakan suasana siga rileks yang disebut Lozanov sebagai
concentrative psychorelaxation di mana suatu suasana tidak hanya
menyenangkan tetapi juga dapat mempercepat belajar.
Pembelajaran akseleratif juga dapat mengoptimalkan potensi
siswa melalui intervensi sugestif. Intervensi sugestif dilakukan
terhadap potensi siswa pada tingkat psikologis dan intelektual yang
bertujuan untuk memperbaiki konsep diri, sikap terhadap belajar dan
keefektifan belajarnya. Tujuan ini berguna untuk mengatasi hambatan
belajar karena siswa yang mempelajari bahasa sering memiliki
pandangan negatif terhadap potensi belajarnya yang kemungkinan
dapat terefleksi dalam tampilannya. Hal ini sering terjadi pada
keterampilan berbicara di mana karakteristik kepribadian berperan
penting. Sugesti dimaksudkan untuk mempengaruhi keyakinan dan
minat siswa terhadap sifat dan kesulitan tugas. Dengan kata lain,
pembelajaran akseleratif mengintegrasikan sejumlah sugesti (verbal
langsung, verbal tidak langsung, nonvebal langsung dan nonverbal
tidak langsung) secara sadar bukan hanya proses pembelajaran tetapi
juga ke dalam tingkah laku mahasiswa. Jadi, lingkungan belajar
mengajar secara keseluruhan difahami sebagai sesuatu yang positif,
bersifat mendukung (supportive) dan kreatif (inspiring).
Pembelajaran akseleratif mampu mengaktifkan seluruh fungsi
otak dalam belajar (whole brain learning) baik fungsi otak reptil, otak
limbik, maupun otak belajar (neo-cortex) yang terdiri dari otak kanan
dan otak kiri. Fungsi otak reptil diaktifkan melalui kegiatan senam
otak, senam pernapasan, dan senam relaksasi yang dilakukan dalam

268
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

pembelajaran. Fungsi otak limbik diberdayakan melalui penyajian


materi pelajaran dengan penuh makna, relevan dengan kebutuhan
siswa dan dengan cara yang menarik serta melibatkan emosi dan
menimbulkan rasa senang siswa dalam belajar. Dengan adanya
keterlibatan emosi ini, pusat otak tengah mamalia dapat diaktifkan di
mana ingatan jangka panjang diproses sehingga materi yang dipelajari
dapat tersimpan lama dan memungkinkan untuk diproduksi kembali
dalam bentuk keterampilan berbicara.
Pembelajaran akseleratif juga mampu merespon gaya belajar visual
dan auditoris mahasiswa sekaligus karena pendekatan pembelajaran
akseleratif mampu merespons dua jenis kode informasi yaitu visual
dan verbal. Menurut dual code theory, pendekatan pembelajaran yang
mampu merespons dua kode informasi yang dimiliki pebelajar yakni
auditoris (verbal) dan visual maka retensi dalam belajar akan meningkat
dibanding dengan pendekatan pembelajaran yang hanya merespons
satu kode informasi saja (Stevick, 1996:49). Kegiatan merespons kedua
jenis kode informasi tersebut dapat dilihat pada saat siswa mendengar
sambil melihat gambar tentang dialog yang dipelajari. Di samping
mendengar dialog sebanyak dua kali yakni dengan mata terbuka dan
mata tertutup yang diiringi musik aktif dan musik pasif, pembelajaran
akselerasi juga mengharuskan siswa melihat kata-kata dalam dialog
utuh yang berkesinambungan sekaligus dengan melihat gambar yang
lucu sesuai proses dialog.
Selain mampu merespons gaya belajar siswa, pembelajaran
akseleratif memfungsikan kecerdasan berganda yang dimiliki siswa
seperti kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan
musik, kecerdasan sosial, dan kecerdasan spiritual. Kecerdasan
intelektual dirangsang melalui penguasaan materi yang disajikan
secara berkesinambungan antara dialog pertama sampai dialog ke
sepuluh. Kecerdasan emosional disentuh melalui penyajian materi
yang menyenangkan siswa dan melibatkan emosional siswa secara
optimal melalui kegiatan drama dan bermain peran serta melakukan
permainan. Kecerdasan musik dirangsang lewat penyajian musik aktif
dan musik pasif untuk mengingat dialog yang dipelajari. Kecerdasan
sosial dibangun melalui belajar bersama dan saling membantu
dalam kelompok kecil. Kecerdasan spiritual dikembangkan melalui
pemberian tugas kepada siswa untuk membaca dialog di rumah
sebelum tidur malam.
Pembelajaran akseleratif juga mampu melibatkan siswa secara
penuh dalam proses pembelajaran. Semakin tinggi keterlibatan mental
siswa dalam belajar keterampilan berbicara bahasa Inggris maka
semakin baik keterampilan berbicara bahasa Inggrisnya. Hal ini dapat
diterima karena siswa yang melibatkan diri secara mental dengan
maksimal dapat memunculkan keasyikan belajar sehingga informasi

269
Professional Learning untuk Indonesia Emas

yang diserap lebih besar dan keinginan untuk mempraktekkan


secara berulang-ulang dan sungguh-sungguh dapat muncul. Dengan
demikian, keberanian untuk berbicara dalam bahasa Inggris bisa
tumbuh.

Penutup
Kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan dengan menerapkan
pembelajaran akseleratif dapat meningkatkan keterampilan berbicara
bahasa Inggris. Hal tersebut dapat terlihat dari ciri-ciri sebagai berikut,
antara lain: (a) Siswa sangat antusias dalam menghadapi pelajaran
bahasa Inggris, (b) siswa tidak ragu-ragu berbicara dalam bahasa
Inggris, dan (c) kesalahan pada lafal, kosakata, tatabahasa, kelancaran
serta pemahaman siswa sudah mulai berkurang. Hal ini dapat
terjadi karena dalam pembelajaran akselerasi dapat mengaktifkan
dua jenis media yang dimiliki manusia sekaligus yakni mengaktifkan
medium aural atau abstrak dan medium visual atau konkrit, mampu
menciptakan suatu proses belajar sadar dan ambang sadar (dual plane
behavior), dapat mengoptimalkan potensi siswa melalui intervensi
sugestif, dan mampu mengaktifkan seluruh fungsi otak dalam belajar
(whole brain learning) baik fungsi otak reptil, otak limbik, maupun
otak belajar (neo-cortex) yang terdiri dari otak kanan dan otak kiri.
Peningkatan keterampilan berbicara siswa sangat signifikan dilihat
dari hasil pengukuran harga t hitung pada pre tes dan pos tes yang
diambil dari awal tindakan sampai dengan siklus akhir. Pada siklus
pertama berdasarkan catatan lapangan dan hasil diskusi guru mitra,
kolaborator, dan peneliti diperoleh data dari 35 orang siswa terdapat
18 siswa atau 51 % yang menunjukkan peningkatan keterampilan
berbicara bahasa Inggris dengan kriteria meningkatnya skor di bidang
lafal, kosa kata, tata bahasa, kelancaran dan pemahaman. Pada siklus
kedua berdasarkan catatan lapangan dan hasil diskusi guru mitra,
kolaborator dan peneliti diperoleh data dari 35 orang siswa terdapat
29 siswa atau 83 % yang menunjukkan keterampilan berbicara bahasa
Inggrisnya telah meningkat. Pada siklus ketiga menurut catatan
lapangan dan hasil diskusi guru mitra, kolaborator dan peneliti
diperoleh data dari 35 orang anak terdapat 33 siswa atau 94 % yang
menunjukkan tingkat keterampilan berbicara bahasa Inggrisnya
meningkat.

270
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Daftar Pustaka

Accelerated Learning Network. Exploring the Theory of Multiple


Intelligences. (http: www. Accelerated-Learning. net/multiple.
htm). 2003
Agustian, Ary Ginanjar. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi
dan Spiritual (ESQ): Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam,
Jakarta: Arga, 2001
Alandear. Skills. (http://www personal.umich.edu/~alandear/
glossary/ s.html).2006
Answers Com. Language. 2006 (http://www.answers.com/
topic/language)
Baharudin, Taufik. Brainware Management : Generasi Kelima Manajemen
Manusia. Jakarta : PT Elex Media Komputindo, 2004
Brumfit, Christopher. Communicative Methodology in Language Teaching:
The role of Fluency and Accuracy. Cambridge: Cambridge
University Press, 1984
Burns, Anne. Collaborative Action Research for English Language Teachers,
Cambridge: Cambridge University Press, 1994.
Buzan, Tony. Master Your Memory. Dialihbahasakan oleh Alexander
Sindoro, Batam:Interaksara, 2004
----------------. Use Your Perfect Memory: Teknik Optimalisasi Daya Ingat.
Dialihbahasakan oleh Basuki Hernowo, Yogyakarta: Ikon
Teralitera, 2002
Dryden, Gordon & Jeannette. The Learning Revolution: A long Life
Learning Program for the World Finest Computer: Your Amazing
Brain!. USA: Jalmar Press, 1994
Edge, Julian. Action Research. USA:TESOL, Inc., 2001.
Eric Digest. Oral Communication. (http://www.ericdigests.org/pre-
923/speaking.htm).2006
Freeman, Diana Larsen. Teaching Language: From Grammar to
Grammaring. Australia: Heinle, 2003
Gregory, Robert J. Psychological Testing: History, Principles, and
Applications. Boston: Allyn and Bacon, 2000
Harmer, Jeremy. The Practice of English Language Teaching. England:
Pearson Education Limited, 2001
Hughes, Robecca. Teaching & Researching Speaking. London: Longman,
2002
Krashen, Stephen D. Language Acquisition and Language Education:
Extensions and Applications. New York: Prentice Hall

271
Professional Learning untuk Indonesia Emas

international, 1989
Lindsay, Peter H. & Donald A. Norman. Human Information Processing:
An Introduction to Psychology. New York: Academic Press, Inc,
1977
Lubis, Yusnaini. Developing Communicative Proficiency in the English as a
Foreign Language Class. Jakarta: Depdikbud, 1988
Luoma, Sari. Assessing Speaking. Cambridge: Cambridge University
Press, 2004
McCarthy, Michael. Spoken Language and Applied Linguistics. Cambridge:
Cambridge University Press, 2003
Meier, Dave. The Accelerated Learning Handbook : A Creative Guide to
Designing and Delivering Faster, More Effective Training Programs.
New York: McGraw-Hill, 2000
Mills, H. R. Teaching and Training: A Handbook for Instructors. London:
Macmillan Press, Ltd,1979.
Moor, Bridley. Accelerated Learning. 2003 (http://www.accelerated-
learning.com/forlang.html)
Mulgrave, Dorothy. Speech: A Handbook of Voice Training Diction and
Public Speaking. New York: Barnes and Noble, Inc, 1957
Nggermanto, Agus. Quantum Quotient: Cara Praktis Melejitkan IQ,EQ
dan SQ yang Harmonis, Bandung: Penerbit Nuansa, 2001
Nora, Elvi Novia.Hubungan antara Minat Terhadap Mata pelajaran
Bahasa Inggris dan Intelegensi dengan Keterampilan Berbicara
Bahasa Inggris Siswa SMU Negeri 8 Pekanbaru. Tesis. Yogyakarta:
Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada, 1999
Nunan, David. Designing Tasks for the Communicative Classroom.
Cambridge: Cambridge University Press, 1993
Organization. Skills. 2006 ( http://www.ntatt.org/glossary.html)
Ovando, Carlos J., et.al. Bilingual and ESL Classrooms: Teaching in
Multicultural Contexts. Boston: McGraw Hill, 2006
Patrick, J. Training: Research and Practice. London: Harcourt Brace
Jovanovich, Publishers,1992
Porter, Bobbi De & Mike Hernacki. Quantum Learning: Membiasakan
Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Dialihbahasakan oleh
Alwiyah Abdurrahman, Bandung: Kaifa, 1999
-------------, Mark Reardon, dan Sarah Singer-Nourie. Quantum Teaching:
Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang-Ruang Kelas.
dialihbahasakan oleh Ary Nilandari, Bandung: Kaifa, 2001
Reid, Joy M. (ed.). Learning Styles in the ESL/EFL Classroom. New York:
Heinle & Heinle Publishers, 1995

272
-------------------------. Understanding Learning Styles in the Second Language
Classroom. New Jersey: Prentice Hall, 1998
Richard, Jack C. & Theodore S. Rodgers. Approaches and Methods in
Language Teaching, Cambridge: Cambridge University Press,
2001
-------------------- & Willy A. Renandya (ed). Methodology in Language
Teaching : An Anthology of Current Practice, Cambridge :
Cambridge University Press, 2002
Rose, Colin & Malcolm J. Nicholl. Accelerated Learning for the 21st
Century: Cara Belajar cepat abad XX, diterjemahkan oleh Dedy
Ahimsa. Bandung: Penerbit Nuansa, 2002
Sabardi.Penyimpangan dan Perbaikan Komunikasi Verbal
Mahasiswa di dalam Kelas Percakapan Bahasa Inggris. Tesis.
Malang: Program Pascasarjana IKIP Malang, 1994
Sonneman, Milly R. Mahir Berbicara Visual. Dialihbahasakan oleh Budi
Juliman, Bandung: Kaifa, 2002
Spolsky, Bernard (ed). Concise Encyclopedia of Educational Linguistics,
Amsterdam: Elsever, 1999
The American Heritage Skill. (http://www.thefreedictionary.com/
skill). 2003
Widdowson, H.G. Teaching Language as Communication. Oxford: Oxford
University Press, 1978
Zohar, Danah dan Ian Marshall. SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual
dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan.
Dialihbahasakan oleh Rahmani Astuti, Ahmad Nadjib Burhani,
dan Ahmad Baiquni, Bandung:Mizan, 2001

273
PENGARUH PENDEKATAN LINGKUNGAN
SEBAGAI SUMBER BELAJAR TERHADAP HASIL
BELAJAR PESERTA DIDIK PADA MATERI
GERAK DAN GAYA DI KELAS IV SDN 14
PONDOK LABU JAKARTA

Iwan Permana Suwarna, Siti Riana


Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Email : iwan.permana.suwarna@uinjkt.ac.id.

Abstrak : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh


penggunaan pendekatan lingkungan sebagai sumber belajar
terhadap hasil belajar peserta didik kelas IV pada materi
gaya dan gerak di SDN 14 Pondok Labu Jakarta. Metode
penelitian yang digunakan adalah quasi eksperimen. Sampel
penelitian berjumlah 34 peserta didik yang terbagi kedalam dua
kelompok, yaitu kelompok eksperimen yang belajar dengan
menggunakan pendekatan lingkungan dan kelompok kontrol
tanpa menggunakan pendekatan lingkungan. Instrumen hasil
belajar berupa tes objektif (pilihan ganda) sebanyak 25 soal.
Berdasarkan analisis data dengan uji-t yang dilakukan pada
taraf kepercayaan 95% diperoleh hasil thitung > ttabel (9,26 > 2,00).
Pendekatan lingkungan sebagai sumber belajar berpengaruh
terhadap hasil belajar peserta didik. Pada aspek ingatan,
pemahaman, dan aplikasi.

Kata Kunci: pendekatan lingkungan, sumber belajar, hasil


belajar, pembelajaran IPA

Pendahuluan
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan salah satu mata
pelajaran di sekolah dasar. IPA merupakan ilmu yang bersifat empirik
membahas fakta serta gejala alam. Fakta dan gejala alam adalah bahan
kajian dalam pembelajaran IPA. Pembelajaran IPA harus menyajikan
materi secara real juga faktual. Namun hal tersebut tidak dapat
dijumpai dalam kenyataanya. Selama ini pembelajaran IPA yang
diterima oleh peserta didik cenderung verbalistik sehingga kurang
bermakna dan menjenuhkan. Hal ini sejalan dengan hasil observasi
di SD Negeri 14 Pagi Pondok Labu, dimana sebagian besar guru

274
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

hanya mentransfer ilmu pengetahuan secara text book. Guru tidak


menghadapkan peserta didik pada keaadaan situasi yang sebenarnya,
peserta didik cendung lebih banyak di dalam kelompok menerima
informasi yang lebih bersifat abstrak. Guru lebih senang menampilkan
informasi yang real menjadi abstrak dengan alasan kepraktisan.
Suasana pembelajaran monoton dan membosankan, serta peserta
didik terlihat kurang termotivasi dalam belajar. Kalau hal ini dibiarkan
terus berlanjut, tidak salah kalau ada anggapan pelajaran IPA (Fisika,
Biologi, dan Kimia) di tingkat lanjut menjadi tidak menarik dan
dianggap sulit bagi para peserta didik. Guru seharusnya menciptakan
suasana pembelajaran IPA yang empirik, faktual dan sistematis dalam
rangka melatih kemampuan berpikir logis dan sistematis peserta didik
tentang bagaimana cara produk sains ditemukan.
Guru sebenarnya dapat menggunakan pendekatan pembelajaran
lingkungan dengan melibatkan peserta didik secara penuh sehingga
peserta didik memperoleh pengalaman belajar dari lingkungan.
Penggunaan pendekatan lingkungan dalam pembelajaran diharapkan
dapat mendorong terciptanya suasana belajar yang menyenangkan
serta meningkatkan motivasi peserta didik dalam belajar. Diharapkan
akan tumbuh kedewasaan dan kemandirian peserta didik setelah
belajar dari lingkungan kehidupannya. Untuk itulah peneliti ingin
mencoba merubah pandangan dan kebiasaan para guru dalam
menggunakan pendekatan dalam mengajarkan IPA, terutama pada
materi gerak dan gaya di kelas IV SDN 14 Pondok Labu Jakarta tahun
pelajaran 2013/2014.
Pada penelitian ini definisi hasil belajar dibatasi pada ranah
kognitif aspek mengingat (C1), memahami (C2), dan menerapkan
(C3). Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data emperis dan
dapat digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh
penggunaan pendekatan lingkungan sebagai sumber belajar terhadap
hasil belajar IPA peserta didik pada materi Gaya dan Gerak di kelas IV
SDN 14 Pondok Labu Jakarta tahun pelajaran 2013/2014.
Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimen semu
(Quasi Experiment). Desain penelitian yang digunakan adalah two group
pretes postest design. Penelitian dilakukan terhadap 34 orang peserta
didik yang terbagi kedalam dua kelompok penelitian; kelompok
eksperimen/uji coba dan kelompok pembanding/kontrol. Penentuan
kelompok ditentukan secara acak. Kelompok eksperimen adalah
kelompok yang menggunakan pendekatan lingkungan. Kelompok

275
Professional Learning untuk Indonesia Emas

kontrol adalah kelompok yang tidak menggunakan pendekatan


lingkungan. Metode ini dipilih karena tujuan utama penelitian ini
adalah untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan dari suatu
perlakuan (treatment).

Pembahasan
Hasil penelitian terhadap kelompok eksperimen dan kontrol
pada saat pretest sebelum pemberina perlakuan berupa pendekatan
lingkungan dan posttest setelah diberikan perlakuan pada kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol yang tidak menggunakan
pendekatan lingkungan, hasinya diperoleh sebagai berikut:
Tabel 1 Rekapitulasi Data Hasil Pretest dan Posttest Kelompok
Eksperimen dan Kelompok Kontrol

Distribusi Pretest Posttest


Frekuensi Eksperimen Kontrol Eksperimen Kontrol
Nilai Teren-
dah 24 32 68 48
Nilai Ter-
tinggi 64 72 92 76
Mean 45,14 48,58 82,22 65,14
Median 44,5 46,28 83 65,35
Modus 34 43,17 88,91 61,38
Standar De-
viasi 12,78 10,61 6,91 7,12

Hasil pretest menunjukkan rerata kelompok eksperimen (45,14)


lebih rendah dari kelompok kontrol (48,58). Rerata kelompok kontrol
lebih tinggi dari kelompok eksperimen. Kelompok kontrol adalah
kelompok yang tergolong kelompok unggulan atau kelompok yang
selalu mendapat nilai yang baik. Kelas yang sengaja di buat dengan
mengelompokan peserta didik berdasarkan kemampuan akademik
yang lebih tinggi dibanding kelas lainnya (Suyanto dalam Supriyono,
2009). Nilai terendah maupun nilai tertinggi kelompok kontrol lebih
tinggi dibanding kelompok eksperimen. Secara statistik perbedaan
rerata skor pretes tersebut dianggap tidak menunjukkan perbedaan.
Kedua kelompok dianggap tidak memiliki perbedaan kemampuan
awal secara signifikan.

276
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Untuk memastikan meningkatkanya hasil belajar peserta didik


diakibatkan oleh adanya perlakuan, maka dilakukan uji hipotesis
terhadap perlakuan. Sebelum hal tersebut dilakukan terlebih dahulu
data penelitian yang diperoleh dilakukan uji prasyarat diantaranya:
uji normalitas dan homogenitas (Suharsimi, 2010). Hasil uji normalitas
terhadap data pretes dan postes kelompok eksperimen dan kontrol,
menggunakan uji Liliefors terlihat seperti pada tabel berikut:

Tabel 2. Hasil Uji Normalitas Pretest-Posttest


Eksperimen Kontrol
Statistik
Pretest Posttest Pretest Posttest
N 34 34 34 34
44,58 81,29 48,47 64,70
S 12,34 7,67 10,22 7,06
Lo 0,1403 0,1163 0,1405 0,1427
Ltabel 0,1519 0,1519 0,1519 0,1519
Kesimpulan Normal Normal Normal Normal

Berdasarkan tabel tersebut keempat data (pretes, postes pada


kelompok eksperimen maupun kontrol) berdistribusi normal.
Selanjutnya dilakukan pengujian terhadap homogenitasnya. Dalam
penelitian ini homogenitas ditentukan melalui uji fisher. Kriteria
pengujian yang digunakan: Homogen apabila Fhitung < Ftabel, hasil uji
homogenitas kedua kelompok sampel penelitian dapat dilihat seperti
pada tabel 3 berikut ini:

Tabel 3. Hasil Uji Homogenitas Pretest- Posttest


Pretest Posttest
Statistik
Eksperimen Kontrol Eksperimen Kontrol
S2 152,37 104,5 58,88 49,91
Fhitung 1,45 1,18
Ftabel 1,79 1,79
Kesimpulan Homogen Homogen

Berdasarkan tabel tersebut keempat data bersifat homogen pada


taraf signifikan 95%. Selanjutnya dilakukan uji hipotesis terhadap data
pretes dan postes antara kelompok eksperimen terhadap kelomok

277
Professional Learning untuk Indonesia Emas

kontrol. Dengan menggunakan uji-t dan kriteria pengujian : jika thitung<


ttabel maka H0 diterima, Ha ditolak. Hasil pengujian hipotesis: Ho ditolak,
dinyatakan terdapat perbedaan rerata antara kelompok eksperimen
terhadap kelompok kontrol. Hasil posttest rerata hasil belajar peserta
didik kelompok eksperimen lebih tinggi dari kelompok kontrol, dan
signifikan pada taraf = 0,05. Rekapitulasi perhitungan data terlihat
pada tabel 4 berikut:

Tabel 4 Hasil Perhitungan Uji Hipotesis


Statistik

Data Kes-
Sampel (n) Mean thitung ttabel imp-
ulan
Eksperimen 34 44,59 thitung < ttabel H0
Pretest 71,28 -0,22 2,00
Kontrol 34 48,47 diterima
Eksperimen 34 81,29 thitung >ttabel H0 di-
Posttest 7,375 9,26 2,00
Kontrol 34 64,71 tolak

Gambaran kemampuan hasil berlajar peserta didik pada ranah


kongitif berdasarkan aspeknya, terlihat pada gambar berikut :

Gambar 1 Diagram Persentase hasil belajar peserta didik


pada ranah kognitif pada saat Pretest
Keterangan:
C1 = Jenjang kognitif tingkat pengetahuan
C2 = Jenjang kognitif tingkat pemahaman
C3 = Jenjang kognitif tingkat penerapan

Kelompok eksperimen memiliki kemampuan lebih rendah


pada aspek C1 (pengetahuan), C2 (pemahaman) dari pada kelompok
kontrol. Hal ini lebih disebabkan kelompok kontrol sebagai kelas
unggulan. Pada aspek C3 (penerapan) kelompok eksperimen lebih

278
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

tinggi dibanding kelompok kontrol. Kemampuan mengaplikasi


akan didasarkan pada kemampuan pemahaman, kalau pemhaman
tinggi maka kemampuan mengaplikasi juga akan mengikuti. Tetapi
berbeda dengan kelompok kontrol kemampuan pemahamann
konsepnya rendah tapi kemampuan mengaplikasinya tinggi. Hal
ini lebih disebabkan oleh adanya faktor lucky guess keberuntungan
pada saat menjawabSetelah diberikan perlakuan pada dua kelompok:
eksperimen (pendekatan lingkungan) dan kontrol (tidak menggunakan
pendekatan lingkungan/konvensional) menunjukkan perubahan
hasil belajar. Rerata hasil postes lebih tinggi dibanding saat pretes
pada kedua kelompok. Perubahan terbesar terjadi pada kelompok
eksperimen, yaitu 37,08 sedangkan kelompok kontrol hanya 16,56.
Artinya terdapat kenaikan nilai rerata setelah diberikan perlakuan
pada kelompok eksperimen, dengan nilai lebih tinggi dibandingkan
kelompok kontrol.
Gambaran kemampuan kognitif peserta didik berdasarkan jenjang
kognitif setelah diberikan perlakuan ditunjukan pada gambar diagram
berikut:

Gambar 2 Diagram Persentase hasil belajar peserta didik


pada ranah kognitif pada saat Pretest
Keterangan:
C1 = Jenjang kognitif tingkat pengetahuan
C2 = Jenjang kognitif tingkat pemahaman
C3 = Jenjang kognitif tingkat penerapan

Gambar di atas menunjukkan persentase postest kelompok


eksperimen lebih tinggi pada aspek C1 (pengetahuan), C2 (pemahaman),

279
Professional Learning untuk Indonesia Emas

C3 (penerapan) dibanding kelompok kontrol. Kelompok eksperimen


yang diberi perlakuan pendekatan lingkungan memperoleh hasil
postest yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol yang
diberi perlakuan dengan metode konvensional. Meningkatknya aspek
pengetahuan (C1) peserta didik kelompok eksperimen lebih disebabkan
penerapan pendekatan lingkungan. Pendekatan lingkungan sekitar
dapat memperagakan secara langsung (real) objek yang diamati sesuai
dengan sifat-sifat keaslian dari objeknya. Kemampuan mengamati
objek / fenomena peserta didik secara langsung berdampak pada
terbentuknya pengalaman belajar peserta didik menjadi lebih cepat
terkait materi. Para peserta didik mengalami langsung kejadiannya
sehingga hal ini lah yang membuat daya ingat peserta didik mampu
bertahan lama dan lebih cepat diterima, dengan kata lain pengetahuan
peserta didik bisa terbentuk dan dibentuk.
Penggunaan pendekatan lingkungan dalam meningkatkan
pengetahuan peserta didik selaras dengean teori yang dikemukakan
Dale tahun 1970 bahwa: hasil belajar seseorang dapat diperoleh
melalui pengalaman langsung (kongkrit), fakta/kenyataan yang ada
dilingkungan seseorang kemudian melalui benda tiruan, sampai ke
lambang verbal (abstrak) Johnson, M.H. (2005). Pengalaman yang
dimiliki peserta didik menurutnya sebaiknya disesuaikan dengan
tahap perkembangannya. Peserta didik ditingkat SD berada pada
tahap operasional konkrit, jadi pemberian stimulus berupa objek yang
konkrit sangatlah membantu.
Menurut Suryabrata (2005), banyak faktor yang mempengaruhi
proses belajar diantara faktor yang berasal dari luar peserta didik yaitu
lingkungan, lingkungan yang dapat dikendalikan maupun tidak. Salah
satu contoh sumber belajar yang sangat baik untuk digunakan adalah
lingkungan. Kelompok eksperimen yang menggunakan media real
dari alam bukan tiruan atau model, akan memberikan kualitas yang
lebih baik dibandingkan kelompok kontrol yang tidak menggunakan
pendekatan lingkungan.
Pada kelompok eksperimen suasana belajar peserta didik lebih
aktif, hal ini dikarenakan kemudahan peserta didik dalam berinteraksi
dengan lingkungan. Tumbuhnya interaksi belajar pada para peserta
didik dalam proses pembelajaran memberikan kontribusi positif pada
proses pembelajaran. Menurut Cole, M, et al (2005), lingkungan mana
pun bisa menjadi tempat yang menyenangkan bagi anak-anak. Peserta
didik yang pasif selama proses pembelajaran reguler, menjadi lebih

280
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

terlibat dalam pembelajaran saat terjun ke lingkungan. Peserta didik


menjadi tidak hanya duduk-duduk di kelas dan belajar seperti biasa.
Hal ini efektif untuk mengatasi kebosanan belajar peserta didik di
kelas. Deimikian juga yang dikemukakan oleh beberapa tokoh pada
masa lampau, yang berpandangan bahwa faktor lingkungan sangat
bermakna dan dijadikan sebagai landasan dalam mengembangankan
konsep pendidikan dan pengajaran. J.J.Rousseau dengan teorinya
Kembali ke Alam menunjukkan betapa pentingnya pengaruh alam
terhadap perkembangan anak didik.
Meningkatnya pemahaman peserta didik pada aspek C2 dan C3
disebabkan peserta didik dilatih dalam mengamati fenomena atau
kejadian dapat menambah pemahaman peserta didik terhadap konsep
atau materi yang sedang dibahas dalam kegiatan belajar. Peserta didik
diajak mengamati buah yang jatuh dari pohonnya, air yang mengalir
dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah, dan bola yang dilempar
ke atas akan kembali jatuh ke tanah, guru memberikan pemahaman
kepada para peserta didik hal tersebut bisa terjadi disebabkan oleh
adanya gaya gravitasi. Contoh lainnya : mengamati gaya yang
dilakukan oleh orang-orang yang ada sekitar sekolah, seperti: Gaya
yang dihasilkan kerja otot manusia, seperti tarikan dan dorongan yang
kita lakukan saat membuka dan menutup pintu disebut gaya otot.
Tetapi sebenarnya tidak hanya otot manusia yang dapat menghasilkan
gaya. Konsep-konsep sains dan lingkungan sekitar peserta didik
dengan mudah dikuasai peserta didik melalui pengamatan pada situasi
yang konkret. Dampak positif penerapan pendekatan lingkungan bagi
peserta didik adalah dapat terpacunya sikap rasa keingintahuannya
tentang sesuatu yang ada di lingkunganya.

Penutup
Pembelajaran IPA berbasis lingkungan sebagai sumber belajar
berpengaruh terhadap hasil belajar peserta didik pada materi gerak
dan gaya di kelas IV SDN 14 Pondok Labu Jakarta tahun pelajaran
2013/2014. Pendekatan ini dapat meningkatkan kemampuan
mengingat, memahami, dan mengaplikasikan.
Peneliti sangat menyarankan pada para guru-guru di tingkat
sekolah dasar untuk menanamkan sikap logis, kritis dan sistematis
dalam menemukan fakta-fakta dan konsep-konsep pada pembelajaran
IPA. Dengan demikian IPA dapat menjadi wahana untuk mempelajari
diri sendiri, alam sekitar, serta dapat menerapkannya dalam

281
Professional Learning untuk Indonesia Emas

kehidupan sehari-hari. Penggunaan dan pemanfaatan lingkungan


dalam pembelajaran merupakan suatu pekerjaan yang tidak mudah.
Banyak hal yang harus dipelajari dalam pemanfaatan dan penggunaan
agar dapat berhasil, perlu latihan-latihan. Bagi para guru di kelas
yang lebih tinggi, disarankan untuk terus melanjutkan penerapan
pendekatan lingkungan dikarenakan tingkat kepedulian peserta didik
kelas atas terhadap lingkungannya semakin berkurang karena sejak
dari awal tidak di tanamkan kedekatan belajar melalui lingkungan
atau kecintaan terhadap lingkungan sejak dini.

Daftar Pustaka

Arikunto,Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Cet.


Ke-14Jakarta: Rineka Cipta,Jakarta. 2010
Barlia, L. Mengajar dengan Pendekatan Lingkungan Alam Sekitar. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional. 2006
Cole, M, et al. The Development of Children. New York: Worth
Publishers. 2005
Johnson, M.H. Developmental cognitive neuroscience. 2nd ed. Oxford :
Blacwell publishing. 2005
Sawali, Kelas Unggulan dan Akselerasi, Sebuah Tragedi. Suara Merdeka.
Tersedia : http://www.suaramerdeka.com/harian/0207/02/
kha2.htm. 2002
Supriyono, A. Penyelenggaraan kelas unggulan di SMA Negeri 2 Ngawi
(Doctoral dissertation, Universitas Sebelas Maret). 2009
Suryabrata, S. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
2005
Wagner, Robert W. Edgar Dale: Professional. Theory into Practice. Vol.
9, No. 2, Edgar Dale (Apr., 1970), pp. 89-95 - http://www.jstor.
org/pss/1475566.1970

282
PENGARUH PENGGUNAAN MODEL KOMIK
DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI
KELAS III SEKOLAH DASAR KARTIKA I-10
PADANG
Dedek Kustiawati
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Email : meza_rakaputrabed@yahoo.com

Abstract: The cause of studentlow-achievements in mathematics


the Haid graders 3 at SD Kartika I-10 are the monotonous
and uninteresting instructional methods, and the lacks of
students activities. The students are passive in activity and only
listening. The overcome this problem is by using comic model
in mathematical learning. The objectives of this research are to
see; 1) the difference of students mathematics achievements
beetwen students that use comic model in learning and students
in conventional learning; 2) the difference of male and female
students achievement; 3) the existence of interaction between
the use of comic model and gender in affecting students
mathematics achievements. The research was conducted at grade
3 in SD Kartika I-10 Padang in second semester of academic year
2009/2010. The method is quasi experiment with treatment by
2x2 blocks design. The comic model was used in experimental
group, while the control group used conventional learning.
The result of data analysis are: 1) The students who use comic
model in learning have higher achievement than the student
who use conventional learning, 2) there is no difference between
male and female students mathematics achievement, 3) there
is interaction between the use of comic model and gender in
improving students mathematics achievement

Kata Kunci: Penggunaan Model Komik, Pembelajaran


Matematika

Pendahuluan
Matematika merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang
mempunyai peranan penting dalam menunjang berkembangnya Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Pentingnya peranan matematika
menjadikan matematika dipelajari di setiap jenjang pendidikan, mulai

283
Professional Learning untuk Indonesia Emas

dari tingkat Sekolah Dasar (SD) sampai ke tingkat pendidikan yang


lebih tinggi.
Pembelajaran matematika di pendidikan dasar, mempunyai
tujuan agar peserta didik memiliki kemampuan; (a) memahami
konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan
mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien
dan tepat, (b) menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan
manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun
bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika, (c)
memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan
solusi yang diperoleh, (d) mengkomunikasikan gagasan dengan
simbol, tabel diagram atau media lain untuk memperjelaskan keadaan
atau masalah, (e) memiliki sikap menghargai kegunaan matematika
dalam kehidupan yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian dan minat
dalam mempelajari matematika serta sikap ulet dan percaya diri dalam
memecahkan masalah (Mendiknas, 2006:22).
Besar harapan pemerintah terhadap pembelajaran matematika
yang diajarkan di SD. Namun kenyataan yang ditemui di lapangan,
tujuan tersebut belum dapat dicapai secara maksimal. Berdasarkan
hasil wawancara dengan guru yang mengajar pada kelas III SD Kartika
I-10 Padang diperoleh informasi bahwa siswa kurang menyukai
pembelajaran matematika, karena matematika dianggap sebagai mata
pelajaran yang sulit, tidak menarik dan kurang disenangi. Siswa sering
mengalihkan aktivitasnya kepada hal-hal lain yang tidak berhubungan
dengan pembelajaran seperti aktivitas bermain, mengganggu teman
lain dan menggambar sewaktu jam pelajaran berlangsung. Selain
itu siswa cenderung jenuh dan merasa bosan dalam pembelajaran,
terutama bila dihadapkan dengan soal-soal matematika dalam bentuk
soal cerita. Bahkan ada siswa yang tidak mau mengerjakan soal-soal
dalam bentuk soal cerita karena soalnya yang terlalu panjang dan
kurang menarik perhatian siswa. Hal ini menyebabkan hasil belajar
siswa juga rendah, seperti yang dikemukakan pada Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1: Nilai Rata-rata Ulangan Harian Matematika Siswa Kelas


III SD Kartika I-10 Padang Semester II Tahun Pelajaran 2009 / 2010

Nilai Rata-rata
No Kelas Jumlah Siswa
UH 1 UH 2
1. III A 34 5,31 5,30
2. III B 34 5,29 5,31
3. III C 37 5,24 5,40

284
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

4. III D 34 5,32 5,25


5. III E 35 5,35 5,40
Sumber: Guru kelas III SD Kartika I-10 Padang

Kemampuan belajar yang dimiliki siswa di SD merupakan bekal


pokok yang akan dibawa ke jenjang yang lebih tinggi. Winkel (1991:23)
menyatakan, pendidik pada SD harus mendampingi siswa dalam
memperoleh pengetahuan pokok, pemahaman dasar dan kecekatan
intelektual yang merupakan landasan bagi siswa untuk jenjang
pendidikan selanjutnya.
Siswa pada umumnya lebih menyukai membaca buku-buku yang
menggunakan gambar, seperti komik. Tak jarang ditemukan siswa
yang membawa dan membaca komik di sekolah. Bahkan ada siswa
yang malah membaca komik di saat jam pembelajaran berlangsung.
Seperti penuturan salah seorang guru kelas III SD Kartika I-10 Padang
berikut ini :Terkadang saya menemukan siswa yang membaca komik
dalam jam pelajaran. Sehingga komiknya terpaksa disita, karena
mengganggu proses pembelajaran.
Masalah di atas disebabkan oleh beberapa faktor yang salah satu
di antaranya adalah karena penggunaan strategi metode mengajar
yang monoton dan tidak menarik serta belum merangsang aktivitas
siswa, siswa lebih banyak diam, mendengarkan penjelasan guru tanpa
menunjukkan aktivitas dalam pembelajaran, sehingga pembelajaran
lebih terpusat pada guru dan siswa menerima dengan pasif. Hal ini
senada dengan pendapat yang dikemukakan Suparno (2004:30) bahwa
pembelajaran di Indonesia masih banyak yang menganut Banking
system, di mana aktivitas siswa hanya sebatas mendengar, karena peran
siswa terbatas pada keinginan datang di kelas, duduk, mendengar
ceramah guru dan mengerjakan segala yang diperintahkan oleh guru.
Siswa diposisikan sebagai objek yang belum tahu sama sekali. Siswa
diberi berbagai informasi dan aturan yang harus digunakan untuk
menyelesaikan suatu masalah. Apalagi siswa kelas III SD yang masih
berada pada tahap operasi konkrit. Pada tahapan ini siswa masih
banyak berpikir tentang dunianya, yaitu bermain dan masih terbatas
pada benda-benda konkrit yang terkait dengan kesehariannya. Untuk
itu proses pembelajaran yang dialami siswa sebaiknya menyentuh
dunianya. Pengenalan konsep-konsep yang dilakukan sambil bermain,
merupakan kegiatan yang sesuai dengan dunianya. Dengan mengikuti
kegiatan bermain tanpa disadari siswa sudah banyak belajar. Hal ini
senada dengan pendapat Hurlock (2005:3) bahwa bermain merupakan
pengalaman belajar yang berharga bagi siswa dan juga sebagai sarana
penting untuk bersosialisasi.
Komik merupakan sarana bermain yang banyak menarik

285
Professional Learning untuk Indonesia Emas

perhatian siswa usia sekolah. Berdasarkan penelitian yang pernah


dilakukan oleh Meier yang diungkapkan Muliyardi (2006:7) diketahui
lebih 90% siswa-siswa usia sekolah adalah pembaca komik. Pada
umumnya siswa-siswa suka pada gambar-gambar dalam cerita komik
karena menarik perhatian mereka. Dalam mendengar suatu cerita,
siswa laki-laki terlihat lebih menonjol jika dibandingkan dengan siswa
perempuan. Setelah mendengar suatu cerita, siswa laki-laki sering
memperdebatkan materi cerita yang baru didapatnya dengan teman
laki-laki yang lain, sedangkan siswa perempuan lebih cenderung
pasif. Keinginan siswa laki-laki untuk mendengar suatu cerita atau
menonton suatu film juga lebih besar dari siswa perempuan. Siswa
laki-laki lebih sering mengajak atau menuntut pada orang tuanya
untuk menonton suatu pertunjukan, sedangkan siswa perempuan
lebih sering menurut apa yang diinginkan orang tuanya.
Djamarah (2002) mengemukakan bahwa perhatian penting dalam
proses pembelajaran, dan mengamati atau melihat adalah aktivitas
yang menjurus ke arah perhatian. Sekali waktu siswa didik harus
melihat ke papan tulis, mengamati gambar, memperhatikan guru,
mengamati guru, mengamati tulisan di buku dan mendengarkan apa
yang diucapkan oleh guru. Untuk itu siswa harus diberikan rangsangan
yang dapat mempengaruhi kelakuannya agar terus memperhatikan
pelajaran.
Dari uraian di atas dapat peneliti simpulkan bahwa siswa kelas
III SD yang berada pada tahap operasi konkrit, senang kalau kegiatan
pembelajaran yang dilaluinya disajikan dalam bentuk bermain. Salah
satu diantaranya adalah melalui membaca komik. Dengan membaca
komik siswa mudah berinteraksi, dapat melakukan aktivitas belajar
dan bermain, serta dapat mengikuti kegiatan pembelajaran yang
menyenangkan.

Metode
Jenis penelitian ini merupakan eksperimen semu (quasi
eksperimen). Moh Nazir (1985:85) mengemukakan bahwa penelitian
eksperimental adalah penelitian yang dilakukan dengan mengadakan
manipulasi terhadap objek dan adanya kontrol. Selanjutnya Nasution
S (1996:30) mengemukakan:
Dalam penelitian eksperimental terdapat kelompok yang disebut
kelompok eksperimen, yaitu kelompok yang sengaja dipengaruhi
oleh variabel-variabel tertentu dan kelompok kontrol, yaitu kelompok
yang tidak dipengaruhi oleh variabel-variabel itu. Adanya kelompok
kontrol dimaksud sebagai pembanding hingga manakah terjadi
perubahan akibat variabel-variabel eksperimen itu.
Dalam penelitian digunakan dua kelas yang menjadi sampel.
Kedua kelas dibedakan atas dua kelompok yaitu kelompok eksperimen

286
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

(kelas yang diberi pembelajaran menggunakan komik) dan kelompok


kontrol (kelas yang pembelajarannya secara konvensional). Penelitian
ini dilaksanakan di SD Kartika I-10 Padang terhadap siswa kelas III
yang terdaftar pada tahun pelajaran 2009/2010. Pemilihan lokasi ini
didasarkan pada kebutuhan peneliti, keterbatasan waktu dan kondisi
sekolah yang sudah peneliti kenal. Penelitian ini dilaksanakan pada
bulan Februari sampai dengan Maret 2010 sebanyak 8 kali pertemuan
efektif termasuk pelaksanaan tes akhir. Penetapan jadwal disesuaikan
dengan jadwal yang telah ditetapkan oleh sekolah, yaitu untuk satu
kali pertemuan mengalokasikan waktu 2 35 menit.
Pada penelitian masing-masing kelas eksperimen dan kelas
kontrol dibedakan atas dua kelompok yaitu :
a. Kelompok siswa laki-laki
b. Kelompok siswa perempuan

Pada periode penelitian ini, dilihat perbedaan hasil belajar


matematika siswa yang telah dicapai kedua kelompok kelas sebagai
akibat dari dua perlakuan yang berbeda dengan guru dan materi
yang sama melalui tes akhir yang sama pula. Adapun variabel bebas
penelitian ini adalah penggunaan model komik dalam pembelajaran
matematika siswa, variabel terikat adalah hasil belajar dan variabel
moderator adalah jenis kelamin. Berdasarkan variabel di atas,
rancangan eksperimen yang digunakan adalah treatment by blocks 2 2
seperti terlihat pada Tabel 1 :

Tabel 1. Rancangan Penelitian


Kelompok Jenis Kelamin (B)

Jumlah
Laki-laki (B1) Perempuan (B2)
Perlakuan
Eksperimen (A1) A1B1 A1B2 A1B1+ A1B2
Kontrol (A2) A2B1 A2B2 A2B1+ A2B2
Jumlah A1B1+ A2B1 A1B2+ A2B2

Keterangan :
A1B1 = Kelompok siswa laki-laki yang pembelajarannya meng-
gunakan model komik
A1B2 = Kelompok siswa perempuan yang pembelajarannya
menggunakan Komik
A2B1 = Kelompok siswa laki-laki dengan pembelajaran kon-
vensional

287
Professional Learning untuk Indonesia Emas

A2B2 = Kelompok siswa perempuan dengan pembelajaran


konvensional

Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas III SD Kartika


I-10 Padang tahun 2009/2010 yang terdiri dari empat kelas dengan
jumlah 119, seperti terlihat pada Tabel 2 :

Tabel 2. Jumlah Siswa kelas III SD Kartika I-10 Padang Tahun


Pelajaran 2009/2010
No Kelas Jumlah Siswa
1. III A 34
2. III B 34
3. III C 37
4. III D 34

Sumber : Tata Usaha SD Kartika I-10 Padang



Sampel dipilih dengan cara simple random sampling. Hasil
pengacakan diperoleh dua kelas di SD Kartika I-10 Padang dengan
rincian satu kelas untuk eksperimen dan satu kelas untuk kelas
kontrol. Kelas-kelas yang ada di SD Kartika I-10 diklasifikasi sama,
karena tidak ada perbedaan di antara kelas yang ada, artinya kelas III B
tidaklah merupakan kelas yang terbaik di antara kelas lain dan begitu
sebaliknya. Penomoran kelas hanyalah untuk mengelompokkan siswa
setiap kelas. Keempat kelas tersebut memiliki kriteria yang sama
antara lain kegiatan proses belajar mengajar, fasilitas yang tersedia,
jumlah siswa perkelas, dan kualifikasi guru yang mengajar di kelas
tersebut.
Langkah selanjutnya mengambil secara acak kedua kelompok
sampel untuk menentukan kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol dengan cara tes mata uang logam sebanyak dua kali lemparan.
Setelah pengundian diperoleh kelas III B sebagai kelompok eksperimen
dan kelas III D sebagai kelompok kontrol.
Proses pengumpulan data dalam penelitian ini adalah :
1. Tahap Persiapan
a. Menentukan jadwal penelitian
Penentuan jadwal penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui kapan waktu yang tepat melakukan penelitian.
Mempersiapkan perangkat pembelajaran. Perangkat
pembelajaran yang dimaksud terdiri atas rencana

288
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

pembelajaran. Di samping itu juga dipersiapkan bahan ajar


yang di dalamnya berisi lembar kerja siswa.
b. Mempersiapkan Instrumen pengumpulan data
Instrumen yang dipersiapkan dalam penelitian ini
adalah bahan ajar dan tes hasil belajar matematika.
2. Tahap Pelaksanaan
Pada tahap pelaksanaan dilakukan kegiatan sebagai
berikut :
a. Melaksanakan model pembelajaran matematika dengan
menggunakan komik pada kelas eksperimen.
b. Pada kelas kontrol dilaksanakan pembelajaran secara
konvensional.

Hasil Penelitian
Berikut disajikan data hasil belajar matematika sebagai hasil
perlakuan penggunaan model komik di eksperimen dan konvensional
di kelas kontrol dalam pembelajaran matematika di kelas III Sekolah
Dasar Kartika
I-10 Padang. Rincian data hasil belajar matematika siswa dapat
dilihat pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3 : Hasil Belajar Matematika Berdasarkan Kelompok

Selanjutnya untuk menguji hipotesis dilakukan perhitungan


dengan ANAVA dua arah. Dari hasil perhitungan dapat disusun tabel
rangkuman ANAVA sebagai berikut:

289
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Tabel 4: Tabel Anava Untuk Hipotesis

Sumber
JK db KT Fh Fa Ket
Keragaman
Perlakuan 1600,35 1 1600,35 13,28 4,02 Tolak H0
Kelompok 1,02 1 1,02 0,0085 4,02 Terima H0
Interaksi 527,79 1 527,79 4,38 4,02 Tolak H0
Galat 6629,46 55 120,54
Total 8758,62 58
F(0,05;1,55)
Berdasarkan Tabel 4 dapat disimpulkan bahwa untuk hipotesis
satu, Fhitung > Ftabel. ini berarti hasil belajar matematika siswa yang diajar
menggunakan model komik lebih tinggi dari hasil belajar matematika
siswa yang diajar secara konvensional. Sedangkan untuk hipotesis
kedua disimpulkan Tidak terdapat perbedaan yang signifikan
antara hasil belajar siswa laki-laki dan siswa perempuan, ini dapat
dilihat dari hasil perhitungan uji F yang mengungkapkan Fhitung < Ftabel.
Untuk hipotesis ketiga dapat disimpulkan Terdapat interaksi antara
penggunaan model komik dalam pembelajaran matematika dengan
perbedaan gender dalam mempengaruhi hasil belajar matematika
siswa, karena Fhitung > Ftabel.

Pembahasan
Hasil belajar matematika siswa pembelajarannya menggunakan
model komik lebih baik dari pembelajaran konvensional.
Model Pembelajaran menggunakan komik adalah suatu model
pembelajaran matematika yang penyajian pembelajarannya dalam
bentuk komik dan pendekatannya terpusat pada siswa. Sebagaimana
yang telah dijelaskan oleh Muliyardi (2005:52), komik merupakan
salah satu alat yang dapat digunakan untuk menanamkan konsep
dalam menjelaskan materi pelajaran kepada siswa SD. Penggunaan
komik dalam pembelajaran matematika membuat siswa dekat dengan
gurunya. Siswa tidak merasa takut menampilkan hasil pekerjaannya
di depan kelas. Komik dapat memberi anak pengalaman berhadapan
dengan masalah-masalah dan menganggapnya sebagai tantangan
yang mengairahkan. Komik juga dapat menancapkan pengalaman
belajar tertentu kepada anak. Anak biasanya dapat mengambil
kesimpulan dari cerita yang baru saja mereka dengar. Biasanya
setiap cerita memberikan suatu kesan kepada anak. Sesuai dengan
perkembangan kognitif anak, penataan nalar tidak harus dilakukan

290
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

dalam suasana yang serius. Dengan komik, diharapkan guru dan


siswa dapat bercengkrama dan bersenda gurau membagi kebahagian.
Secara umum dapat dikatakan bahwa dengan menggunakan komik
dalam pembelajaran matematika diperoleh beberapa manfaat antara
lain;
a). Komik dapat membangkitkan dan meningkatkan motivasi
siswa dalam belajar.
b). Komik dapat membantu guru dalam membuat penyajian
materi pelajaran matematika menjadi lebih menarik.
c). Komik dapat menghubungkan dan mengakrabkan antara guru
dengan siswa.
d). Komik dapat membantu siswa dalam memahami materi
pelajaran .

Jadi dapat disimpulkan bahwa hal-hal di atas merupakan


penyebab terjadinya perbedaan hasil belajar matematika antara siswa
kelas eksperimen yang diajar dengan model komik dengan hasil
belajar siswa yang diajar secara konvensional. Sesuai dengan yang
dinyatakan oleh Muliyardi (2005:52).

Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil belajar


matematika siswa laki-laki dan siswa perempuan.
Jenis kelamin seperti yang diduga termasuk salah satu faktor yang
ikut mempengaruhi hasil belajar siswa. Kartini Kartono (1977,180-
181) mengemukakan bahwa siswa laki-laki mempunyai intelektual
yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan siswa perempuan. Laki-
laki lebih tertarik kepada pekerjaan yang membutuhkan pikiran
yang lebih objektif, sedangkan perempuan lebih bersifat heterogen
dan sosial, namun pada kenyataannya hal ini bertentangan dengan
hipotesis yang dikemukakan, yaitu terdapat perbedaan hasil belajar
matematika antara siswa laki-laki dan siswa perempuan. Berdasarkan
hasil pengamatan yang penulis lakukan dalam proses pembelajaran
selama penelitian berlangsung, aktivitas yang muncul tidak berbeda
antara siswa laki-laki dan siswa perempuan, baik dikelas eksperimen
maupun di kelas kontrol. Komik yang disajikan pada kelas eksperimen
tidak dikhususkan untuk salah satu jenis kelamin, tetapi secara umum
saja. Dalam pembelajaran juga tidak dibedakan perlakukan terhadap
siswa laki-laki dan siswa perempuan. Sehingga sewaktu diskusi tidak
terdapat perbedaan antara siswa laki-laki dan siswa perempuan.
Selama proses pembelajaran berlangsung, penulis mengamati
bahwa aktivitas dan motivasi siswa dalam mengikuti pelajaran tidak
menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara siswa laki-

291
Professional Learning untuk Indonesia Emas

laki dan siswa permpuan. Mereka terlihat sering berlomba untuk


menunjukkan kemampuannya dalam menguasai materi pelajaran,
seperti menjawab pertanyan guru maupun untuk menyelesaikan soal
di depan kelas.

Terdapat interaksi antara penggunaan model komik dalam


pembelajaran matematika dengan perbedaan jenis kelamin dalam
mempengaruhi hasil belajar matematika siswa
Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa terdapat
interaksi antara penggunaan model komik dalam pembelajaran
matematika dengan perbedaan jenis kelamin dalam mempengaruhi
hasil belajar matematika siswa atau hipotesis yang dikemukakan
di tolak. Artinya hasil belajar matematika siswa yang diajar dengan
model komik dan yang diajar secara konvensional terdapat perbedaan
yang signifikan antara siswa laki-laki dan siswa perempuan. Hal ini
menunjukan bahwa faktor jenis kelamin salah satunya tergantung
pada metode pembelajaran yang diberikan atau sebaliknya. Dalam
proses pembelajaran selama penelitian berlangsung, penulis tidak
membedakan perlakuan siswa laki-laki dan siswa perempuan,
begitu juga dengan komik yang disajikan pada kelas eksperimen
tidak dibedakan antara komik untuk siswa laki-laki dengan siswa
perempuan. Akan tetapi selama proses pembelajaran berlangsung,
terlihat perbedaan yang cukup jelas antara aktifitas siswa laki-laki
dan siswa perempuan. Siswa laki-laki terlihat lebih aktif dikelas
eksperimen maupun di kelas kontrol.

Penutup
Berdasarkan analisis data yang telah dikemukakan, maka dapat
ditarik kesimpulan dari penelitian ini. Kesimpulan yang diambil
berlaku bagi siswa kelas III SD Kartika I-10 Padang Tahun Pelajaran
2009/2010 Kesimpulan tersebut adalah sebagai berikut:
Hasil belajar matematika siswa yang pembelajarannya
menggunakan model komik lebih tinggi dari hasil belajar matematika
siswa dengan pembelajaran konvensional.
Model komik dan konvensional tidak merupakan model
pembelajaran yang dikhususkan untuk siswa laki-laki ataupun
perempuan dalam pembelajaran matematika di SD, karena tidak
memberikan perbedaan hasil belajar antara kedua kelompok
pembelajaran.
Terdapat interaksi antara model komik dalam pembelajaran
matematika dengan jenis kelamin dalam mempengaruhi hasil belajar
matematika siswa.

292
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Daftar Pustaka

Davis, R. S. 1997. Comics: A Multi-dimensional Teaching Aid in


Integrated-Skill Classes. Japan: Nagoyama City University,
[http://www.esl-lab.com/research/comics.html-12k-]
(diakses 14 Juni 2010)
Dimyati dan Mudjiono. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Rineka
Cipta
Erman Suherman, dkk. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika
Kontemporer. Bandung : UPI.
Hurlock, E.B. 2000. Perkembangan Anak. Alih Bahasa: Meitasari
Tjandrasa dan Muslichah Zarkasih. Jakarta: Erlangga.
Gulo dan Suryobroto. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta. Grafindo
L.R. Gay,1996. Education Research. Colombus Florida International
University
Muhibbin Syah. 2005. Psikologi Belajar. Jakarta : Rajawali Pers.
Muliyardi. 1997. Penggunaan Komik Untuk Menyajikan Soal Cerita Dalam
Pembelajaran Matematika di Kelas I Sekolah Dasar. Suarabaya:
IKIP.
Muliyardi Ahmad dan Syafwan. 2007. Pengembangan Model Pembelajaran
Matematika Dalam Bentuk Komik Pada Sekolah Dasar di Kota
Padang. Makalah disajikan pada seminar hasil penelitian hibah
bersaing tahun ajaran 2005-2006
Muliyardi. 2006. Pengembangan Model Pembelajaran Matematika
Menggunakan Komik di Kelas I Sekolah Dasar. Surabaya: UNS.
Mulyono Abdurrahman.1999. Pendidikan Bagi Anak Kesulitan Belajar.
Jakarta: rineka Cipta.
Nana Sudjana. 1992. Metode Statistika. Bandung : Tarsito.
Nana Sudjana. 1999. Tuntutan Penyusunan Karya Ilmiah. Bandung :Sinar
Baru Alesindo.
Nasution S. 2000. Berbagai Pendekatan Dalam Proses Belajar dan Mengajar.
Bandung: Bumi Aksara.
Nasution S. dan M. Thomas 2004. Buku Panduan Membuat Tesis, Skripsi,
Disertasi dan Makalah. Bandung: Bumi Aksara.
Oemar Hamalik. 2004. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: PT Bumi Aksara
Paul Suparno. 2001. Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Yogyakarta
Paul Suparno. 2004. Guru Demokratis di Era Reformasi. Jakarta : Grasindo.
Sardiman A. M. 1996. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.

293
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Suharsimi Arikunto. 1991. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan.


Jakarta:Bumi Aksara.
Suharsimi Arikunto. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta: Rineka Cipta.
Sumadi Suryabrata. 2003. Metodologi Penelitian. Jakarta : Raja Grafindo.
Soedjadi. 2000. Kiat Pendidikan Matematika Indonesia (Konstansi Keadaan
Masa Kini Harapan Menuju Masa Depan). Jakarta: Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas.
Syaful Bahri Djamarah. 2002. Psikologi Belajar. Jakarta : Rineka Cipta.
Pratiknyo Prawiro Negoro. 1980. Metode Penemuan Untuk Bidang Studi
Matematika. Jakarta : P3G Depdikbud
Santyasa I Wayan. Landasan Konseptual Media Pembelajaran. Makalah
Disajikan dalam Workshop Media Pembelajaran bagi Guru-
Guru SMA Negeri Banjar Angkan Pada tanggal 10 Januari
2007 di Banjar Angkan Klungkung
Shadely, Hasan. 1990. Ensiklopedia Nasional Indonesia. Jakarta: Ichran
baru-Van Hoeve
Sortino, C. 2003. The comic of Clamat: the use of a comic assta linguistic
mediator. The Mathematics Education into the 21 Century
Project. Proceedings of the International Conference. [http://
www.math.unipa.it/~grim/21_project/21_brno03_sortino.
pdf] (diakses 14 Juni 2010)
Software SPSS 13.0 for Windows
Winarno Surrachmad. 1981. Paper, Skripsi, Thesis, dan Disertasi.
Bandung : Tarsito.
Wina Sanjaya. 2006. Pembelajaran Dalam Implementasi Kurikulum Berbasis
Sekolah. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

294
PENGARUH MODUL BERBASIS MIND MAP
TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA PADA
KONSEP DINAMIKA ROTASI

Kinkin Suartini, Fathiah Alatas, Amayani Astuti


Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Email : kinesa.edu@gmail.com

Abstrak : Pengaruh Modul Berbasis Mind Map Terhadap Hasil


Belajar Siswa pada Konsep Dinamika Rotasi. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh modul berbasis mind
map terhadap hasil belajar siswa pada konsep dinamika rotasi.
Penelitian ini dilakukan di kelas XI IPA 1 dan XI IPA 2 SMA
Negeri 12 Kota Tangerang Selatan. Penelitian ini berlangsung
pada bulan Februari 2014. Metode penelitian yang digunakan
adalah kuasi eksperimen dengan desain nonequivalent control
group design dan teknik pengampilan sampel dengan purpossive
sampling. Instrumen yang digunakan adalah instrumen tes
berupa soal-soal pilihan ganda dan instrumen nontes berupa
lembar observasi aktivitas siswa dan angket respon siswa.
Berdasarkan analisis data tes, diperoleh hasil bahwa terdapat
pengaruh modul berbasis mind map terhadap hasil belajar siswa
pada konsep dinamika rotasi. Hal tersebut didasarkan pada
hasil uji hipotesis dengan menggunakan uji t. Hasilnya adalah
nilai thitung = 3,09 sedangkan ttabel = 2,00. Terlihat bahwa nilai
thitung > ttabel, sehingga H0 ditolak. Selain itu, pembelajaran
menggunakan modul berbasis mind map terbukti lebih unggul
dalam meningkatkan kemampuan mengingat (C1), memahami
(C2), menerapkan (C3), dan menganalisis (C4). Selanjutnya
berdasarkan analisis data nontes berupa lembar observasi
aktivitas siswa, penerapan modul berbasis mind map berada
pada kategori baik dengan persentase 73%. Hasil analisis angket
respon siswa juga menunjukan bahwa modul berbasis mind map
berada pada kategori baik dengan persentase 79%.

Kata kunci : modul Mind Map, dinamika rotasi, hasil belajar

295
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Pendahuluan
Pendidikan merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi
kualitas kehidupan manusia. Pembaharuan dalam pendidikan harus
selalu dilakukan untukmeningkatkan kualitas pendidikan. Kualitas
pendidikan tersebut sangatbergantung pada proses belajar mengajar
dikelas. Terdapat empat tahap dalam proses belajar, yaitu orientasi,
latihan, umpan balik, dan tindak lanjut (Rolly R, Oroh, 2011: 3).
Proses belajar mengajar yang lengkap dapat dipenuhi salah
satunya dengan menggunakan media pembelajaran. Pada umumnya
media pembelajaran yang dijadikan sumber belajar utama siswa di
sekolah, yaitu buku pelajaran. Artinya masih banyak sekolah yang
memanfaatkan buku pelajaran sebagai sumber belajar utama siswanya.
Berdasarkan survai dengan penyebaran angket dan wawancara,
penulis mendapatkan informasi tentang kekurangan sumber belajar
yang digunakan siswa di sekolah. Menurut siswa sumber belajar yang
mereka gunakan menyajikan materi dengan bahasa yang tidak mudah
dipahami dan dengan tampilan yang tidak menarik. Menurut Rolly
R. Roh dalam proses belajar mengajar di kelas perlu diperhatikan
penggunaan bahan ajar yang dijadikan sebagai sumber belajar utama
bagi siswa dalam proses pembelajaran, karena ketepatan bentuk
penyajian bahan ajar akan membantu dalam meningkatkan hasil
belajar siswa (Rolly R, Oroh, 2011:2).
Ketepatan penggunaan bahan ajar dalam pembelajaran memiliki
peran penting, salah satunya dapat mengubah peran guru dari pengajar
menjadi fasilitator sehingga dapat meningkatkan pembelajaran
yang efektif dan efisisen. Merubah peran guru menjadi fasilitator
akan membuat siswa lebih aktif dalam pembelajaran, sehingga akan
menumbuhkan kemandirian siswa dalam belajar. Oleh karena itu,
guru harus menyediakan bahan ajar yang dapat digunakan sebagai
sumber belajar utama siswa serta dapat membantu siswa dalam
menumbuhkan kemandiriannya dalam belajar. Penyajian materi
dalam sumber belajar tersebut juga harus dibuat lebih menarik,
sehingga dapat mengembangkan pemahaman dan kreatifitas siswa.
Namun berdasarkan hasil wawancara dengan guru fisika
menyebutkan bahwa sumber belajar utama siswa yang digunakan
di sekolah tidak ada yang dibuat oleh gurunya. Seharusnya
mengembangkan bahan ajar idelanya telah dikuasai guru secara baik,
karena pengembangan bahan ajar merupakan salah satu kompetensi
yang perlu dimiliki seorang guru dalam melaksanakan tugasnya.
Guru juga lebih memahami kemampuan siswanya dalam memahami
materi, sehingga guru dapat menyajikan materi dan soal-soal yang
sesuai dengan kebutuhan siswanya dalam bahan ajar yang dibuat.

296
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Hal tersebut dapat menyebabkan siswa yang tidak dapat mencapai


kompetensi yang telah ditetapkan. Senada seperti yang diungkapkan
Sungkono bahwa sumber belajar utama siswa yang dikembangkan
oleh guru dapat menciptakan pembelajaran yang tidak melenceng dari
kompetensi yang ingin dicapai (Sungkono, 2009:49). Penyajian materi
yang tidak menarik juga dapat menyebabkan siswa malas untuk
belajar fisika, sehingga motivasi dan kemandirian siswa dalam belajar
fisika masih rendah. Pada akhirnya siswa akan merasa kesulitan dalam
memahami materi fisika dan akan berdampak pada hasil belajar siswa
yang rendah.
Berdasarkan masalah tersebut dibutuhkan upaya guru untuk
membuat sumber belajar utama siswa yang menarik, sehingga dapat
menumbuhkan motivasi dan kemandirian siswa dalam belajar.
Salah satu bentuk bahan ajar yang dapat dibuat oleh guru dan dapat
dijadikan sumber belajar utama siswa adalah modul. Sebagai salah
satu bahan ajar cetak, modul merupakan suatu paket belajar yang
berkenaan dengan satu unit bahan pelajaran (Sungkono, 2009:52).
Terdapat beberapa keuntungan positif dari modul, antara lain siswa
menjadi lebih fokus dalam belajar, siswa juga lebih termotivasi untuk
belajar karena penyajian materi yang lebih menarik, serta dapat
mengembangkan sikap kemandirian dan pemahaman siswa (Rolly R,
Oroh, 2011: 2-3).
Menurut Daryanto, saat ini pengembangan bahan ajar dalam
bentuk modul menjadi kebutuhan yang mendesak. Hal ini merupakan
konsekuensi diterapkannya kurikulum tingkat satuan pendidikan
(KTSP) berbasis kompetensi. Salah satu syarat dari pendekatan
kompetensi adalah penggunaan modul dalam pelaksanaan
pembelajaran, karena penerapan modul dapat mengkondisikan
kegiatan belajar yang lebih terencana, mandiri, tuntas dan dengan
hasil yang jelas (Daryanto, 2013: 5).
Penyajian materi dalam modul dapat dikembangkan dengan
membuat penulisan yang lebih menarik, berwarna, dan berbeda.
Terdapat berbagai macam inovasi baru yang dapat diterapkan dalam
penulisan modul, namun satu yang berbeda yaitu mind map. Mind map
merupakan cara mencatat berteknik tinggi yang dapat mengembangkan
potensi diri dan membantu menghafal kalimatkalimat yang panjang
menjadi menyenangkan (Doni Swadarma, 2013:5). Mind map juga
merupakan cara paling mudah untuk menempatkan informasi ke
dalam otak dan mengambil informasi keluar dari otak.

297
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Hasil dan Pembahasan


Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat pengaruh modul
berbasis mind map terhadap hasil belajar siswa pada konsep dinamika
rotasi. Hal tersebut didasarkan pada hasil uji hipotesis posttest melalaui
uji t dengan nilai thitung = 3,09 dan ttabel = 2,00, sehingga H1 dapat
diterima karena nilai thitung > ttabel. Dilihat juga dari nilai rata-rata (mean)
siswa kelompok eksperimen yang menggunakan modul berbasis mind
map lebih tinggi dibandingkan siswa pada kelompok kontrol yang
menggunakan buku pelajaran fisika. Selisih nilai rata-rata kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol sebesar 7,58.
Setelah dilakukan uji prasyarat analisis data, diketahui bahwa
data kedua kelompok pada penelitian ini berdistribusi normal dan
kemampuan siswa pada kedua kelompok homogen. Oleh karena itu,
pengujian hipotesis dapat dilakukan dengan menggunakan analisis
tes statistik parametrik. Hasil perhitugan dapat dilihat pada Tabel 1
berikut:

Tabel 1. Hasil Uji Hipotesis

Pretest Postest
Statistik
Eksperimen Kontrol Eksperimen Kontrol
N 38 39 38 38
29,07 31,35 70,86 63,28
Standar Deviasi 10,99 11,08 11,12 10,19
thitung 0,91 3,09
ttabel 2,00 2,00
Keputusan diterima dan ditolak ditolak dan diterima

Keadaan ini menunjukkan bahwa hasil belajar siswa yang


menggunakan modul berbasis mind map pada konsep dinamika rotasi
lebih baik dibandingkan dengan hasil belajar siswa yang menggunakan
buku pelajaran fisika dalam pembelajaran. Hal ini didukung oleh hasil
observasi akivitas siswa kelompok eksperimen yang menyatakan
bahwa rata-rata aktivitas siswa sudah baik. Adapun hasil analisis data
observasi aktivitas siswa dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini:

Tabel 2. Hasil Analisis Lembar Observasi Aktivitas Siswa

No. Indikator Lembar Observasi Persentase Kesimpulan

298
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Kemandirian siswa dalam bela-


1. 87% Baik sekali
jar menggunakan modul
Efektifitas waktu belajar siswa
2. 70% Baik
dalam menggunakan modul
3. Motivasi siswa dalam belajar 62% Baik
Melaksanakan diskusi kelom-
4. 73% Baik
pok
Rata-
73% Baik
rata

Selain data observasi, hasil angket respon siswa pun menyatakan


bahwa secara keseluruhan respon siswa terhadap pembelajaran
menggunakan modul berbasis mind map memperoleh persentase 79%
(baik). Sebagian besar siswa merespon positif terhadap pembelajaran
dengan menggunakan modul berbasis mind map pada konsep dinamika
rotasi. Jadi dapat dinyatakan bahwa penerapan modul berbasis mind
map pada konsep dinamika rotasi diterima dengan baik oleh siswa.

Tabel 3. Hasil Analisis Data Angket Respon Siswa


No. Indikator Angket Persentase Kesimpulan
Pembelajaran fisika sebelum
1. 70% Baik
menggunakan modul
Implementasi modul berbasis
2. mind map pada pembelajaran fisi- 82% Baik sekali
ka
Komponen modul berbasis mind
3. 82% Baik sekali
map
Mind map yang terdapat dalam
4. 80% Baik
modul
Rata-rata 79% Baik

Perbandingan Hasil Belajar Siswa Kelompok Eksperimen dan


Kontrol
Jika dilihat lebih rinci, modul berbasis mind map lebih unggul
dalam meningkatkan kemampuan kognitif siswa. Hal tersebut dapat
terlihat dari grafik perbandingan kemampuan kognitif siswa di bawah
ini:

299
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Gambar 1 Perbandingan Jenjang Kognitif Kelompok Eksperimen


dan Kontrol

Adapun peningkatan hasil belajar fisika siswa pada konsep


dinamika rotasi dalam setiap jenjang kognitif dapat dilihat pada
Gambar 2 di bawah ini:

Gambar 2 Peningkatan Hasil Belajar Siswa Pada Setiap Jenjang


Kognitif

Meningkatnya kemampuan C1 (mengingat) siswa, dikarenakan


belajar dengan menggunakan mind map dapat mengubah kebiasaan
siswa dalam belajar. Biasanya dalam kegiatan belajar siswa dituntut
menggunakan otak kiri ketika menerima pelajaran yang mengubah
dalam bentuk ingatan. Terkadang siswa tidak dapat mempertahankan

300
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

ingatan tersebut dalam jangka waktu yang lama, dikarenakan


tidak adanya keseimbangan antara kedua belahan otak (Muhamad
Naim, 2009:99). Doni Swadarma menyatakan bahwa belajar dengan
menggunakan mind map akan memadukan dan mengembangkan
potensi kerja dua belahan otak, sehingga menjadi mudah untuk
mengatur dan mengingat segala bentuk informasi (Doni Swadarma,
2013:7).
Mind Map dalam modul juga mampu meningkatkan kemampuan
memahami (C2) siswa. Menurut ahli materi mind map yang terdapat
dalam modul sesuai dengan konsep dinamika rotasi dan mudah
dipahami siswa. Hasil angket respon siswa juga mendukung bahwa
mind map yang disajikan membantu siswa dalam memahami materi
dinamika rotasi dengan baik. Menurut Alamsyah belajar yang
sesuai dengan kerja alami otak akan lebih mudah dalam menerima,
mengingat, memahami, dan memanggil kembali informasi yang telah
didapatkan (Muhammad Chomsi Imaduddin dan Unggul Haryanto
Nur Utomo, 2012:72). Hal tersebut sejalan dengan pendapat Tony
Buzan, yang menyatakan mind map merupakan peta rute yang hebat
bagi ingatan karena melibatkan cara kerja alami otak (Tony Buzan,
2007:5).
Modul yang digunakan dalam pembelajaran juga mempengaruhi
tingkat pemahaman siswa. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Adriana Gandasari dalam jurnalnya yang berjudul
Penerapan Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) Menggunakan
Modul Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dengan Pendekatan
Teori Multiple Intelligences (MI) di SMP Nusantara Indah Sintang. Hasil
penelitiannya menyatakan bahwa pembelajaran dengan menggunakan
modul dapat meningkatkan pemahaman siswa (Adriana Gandasari,
2010:12).
Kemampuan menerapkan (C3) juga dapat ditingkatkan dengan
menggunakan modul berbasis mind map. Hal lain yang berpengaruh
yaitu setiap pertemuan setelah membaca modul siswa didorong untuk
menerapkan pengetahuan yang dimilikinya untuk menjawab soal
latihan dalam modul. Hal tersebut terlihat hasil observasi, dimana
kemandirian siswa dalam mengerjakan soal latihan memperoleh
persentase 87% (baik sekali). Artinya, modul mampu meningkatkan
kemandirian siswa untuk mengerjakan soal latihan yang terdapat
dalam modul sehingga dapat dikatakan bahwa siswa telah menerapkan
pengetahuan yang dimilikinya.
Pernyataan di atas sejalan penelitian Jaka Santosa dalam jurnalnya
yang berjudul Optimalisasi Penggunaan Modul untuk Meningkatkan
Penguasaan Materi Integral Bagi Siswa Kelas XII IPA-3 SMA Negeri

301
Professional Learning untuk Indonesia Emas

1 Surakarta pada Semester Gasal Tahun Pelajaran 2007-2008, yang


menyatakan bahwa langkah-langkah yang teratur dalam modul dapat
mempengaruhi siswa untuk berusaha dengan giat dalam mencapai
kesuksesan pembelajaran modul (Jaka Santosa, 2009:17).
Modul berbasis mind map juga mampu meningkatkan kemampuan
siswa dalam menganalisis (C4). Melalui penyelesaian soal dengan
menggunakan mind map kemampuan analisis siswa akan terlatih,
karena mind map mampu memfokuskan perhatian siswa pada inti
persoalan dan mampu menyelidiki kemungkinan yang terbuka dalam
menyelesaikan masalah, serta memberikan kebebasan intelektual yang
tidak terbatas (Muh. Khalifah Mustami, 2009:79).

Penutup
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka kesimpulan
yang dapat diambil dari penelitian ini adalah terdapat pengaruh
modul berbasis mind map terhadap hasil belajar siswa pada konsep
dinamika rotasi. Hal tersebut didasarkan pada hasil hipotesis posttest
melalaui uji t dengan nilai thitung = 3,09 dan ttabel = 2,00, sehingga H1
dapat diterima karena nilai thitung > ttabel.
Secara operasional pertanyaan penelitian dapat dijawab sebagai
berikut:
1. Modul berbasis mind map memiliki karakteristik pada penyajian
materi yang lebih menarik, berwarna, dan berbeda karena adanya
mind map di dalam modul. Mind map selalu disajikan dalam
setiap awal pembelajaran. Mind map juga digunakan untuk
menyelesaikan soal dalam modul.
2. Hasil postest kelas eksperimen dan kelas kontrol lebih besar
dibandingkan hasil pretest, namun terdapat perbedaan peningkatan
hasil belajar antara kelas eksperimen dengan kelas kontrol. Pada
kelas eksperimen hasil belajar meningkat sebesar 41,79, sedangkan
kelas kontrol sebesar 31,93. Jadi dapat dinyatakan peningkatan
hasil belajar siswa pada kelas eksperimen yang menggunakan
modul berbasis mind map lebih besar dibandingkan kelas kontrol
yang menggunakan buku pelajaran.
3. Respon siswa terhadap pembelajaran modul berbasis mind map
berada pada kategori baik.

302
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Daftar Pustaka

Abdullah, Mikrajuddin. Fisika 2B SMA dan MA Kelas XI Semester 2.


Bandung: Esis, 2006.
Arikunto, Suharsimi. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT. Bumi
Aksara, Cet.9, 2009.
............................... Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
PT. Rineka Cipta, Cet. 12, 2002.
Buzan, Tony. Buku Pintar Mind Map. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2007.
Dahar, Ratna Wilis. Teori-teori Belajar dan Pembelajaran. Bandung:
Erlangga, 2011.
Daryanto. Menyusun Modul: Bahan Ajar untuk Persiapan Guru dalam
Mengajar. Yogyakarta: Gava Media, 2013.
DePorter, Bobbi dan Mike Hernacki. Quantum Learning: Membiasakan
Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Bandung: Kaifa, Cet. XXIX,
2011.
Fitriana Lestari, Pengaruh Pembelajaran Menggunakan Model Peta
Pikiran (Mind Mapping) Terhadap Peningkatan Kemampuan
Pemahaman
Matematis Siswa , Skripsi pada Universitas Pendidikan Indonesia
Bandung: 2012. dipbulikasikan.
Gandasari, Adriana. Penerapan Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam
(IPA) Menggunakan Modul Pembelajaran Ilmu Pengetahuan
Alam dengan Pendekatan Teori Multiple Intelligences (MI) di
SMP Nusantara Indah Siantang. Jurnal VOX Edukasi. 1, 2010.
Giancoli, Douglas C. Fisika Jilid 1 Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga, 2001.
Imaduddin, Muhammad Chomsi dan Unggul Haryanto Nur Utomo.
Efektifitas Metode Mind Mapping untuk Meningkatkan
Prestasi Belajar Fisika pada Siswa Kelas VIII. Jurnal Humanitas.
IX, 2012.
Kanginan, Marthen. Fisika untuk SMA Kelas XI Semester 2. Jakarta:
Erlangga, 2002.
Kionga, Tee Tze, dkk. The Development and Evaluation of The Qualities
of Buzan Mind Mapping Module. Elsevier Ltd. Selection. 2011.
Muslich, Masnur. KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual.
Jakarta: Bumi Aksara, Cet. 6, 2009.
Mustami, Muh. Khalifah. Pengaruh Synectics Dipadu Mind Maps
Terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif, Sikap Kreatif, dan
Penguasaan Materi Biologi. Jurnal Pendidikan Biologi. 1, 2009.
Naim, Muhamad. Penerapan Metode Quantum Learning dengan
Teknik Peta Pikiran (Mind Mapping) dalam Pembelajaran

303
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Fisika. Jurnal Ilmiah Kreatif. VI, 2009.


Nasution, S. Berbagai Pendekatan Dalam Proses Belajar & Mengajar.
Jakarta: Bumi Akasara,, Cet. 14, 2010.
Oroh, Rolly R. Peningkatan Hasil Belajar Siswa Melalui Penggunaan
Modul Ajar. Jurnal Pendidikan Teknologi dan Kejuruan. 2, 2011.
Sahertian, Piet A. Konsep Dasar & Teknik Supervisi Pendidikan. Jakarta:
Rineka Cipta, 2008.
Santosa, Jaka. Optimalisasi Penggunaan Modul untuk Meningkatkan
Penguasaan Materi Integral Bagi Siswa Kelas XII IPA-3 SMA
Negeri 1 Surakarta pada Semester Gasal Tahun Pelajaran 2007-
2008. Jurnal Pendidikan. 2, 2009.
Sudjana, Nana. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, Cet. 12, 2008.
Sugiarto, Iwan. Mengoptimalkan Daya Kerja Otak dengan Berpikir Holistik
& Kreatif. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2011.
Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,
dan R&D. Bandung: Alfabeta, Cet. 5, 2008.
Sukmadinata, Nana Syaodih. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, Cet. 6, 2010.
Sungkono. Pengembangan dan Pemanfaatan Bahan Ajar Modul dalam
Proses Pembelajaran. Majalah Ilmiah Pembelajaran. 1, 2009.
Supiyanto. Fisika untuk SMA Kelas XI. Jakarta: Phibeta, 2006.
Suryosubroto. Sistem Pengajaran dengan Modul. Jakarta: PT. Bina
Aksara, 1983.
Swadarma, Doni. Penerapan Mind Mapping dalam Kurikulum
Pembelajaran. Jakarta: Kompas Gramedia, 2013.
Tucker, Joanne M., Gary R. Armstrong, and Victor J. Massad, Profiling a
Mind Map User : a Descriptive Appraisal. Journal of Instructional
Pedagogies. 2010.
Usman, Husaini dan R. Purnomo S. Pengantar Statistik Cet. I. Jakarta:
Bumi Aksara, 1995.
Vembriarto. Pengantar Pengajaran Modul. Yogyakarta: Yayasan
Pendidikan Paramita, 1975.
Wena, Made. Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer. Jakarta: Bumi
Aksara, Cet. 5, 2011.
Wijaya, Cece, Djadja Djadjuri, dan A. Tabrani Rusyan. Upaya
Pembaharuan Dalam Pendidikan dan Pengajaran. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 1992.

304
MODEL PEMBELAJARAN CONTEXTUAL
TEACHING AND LEARNING UNTUK
MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA
MATERI GAYA DAN GERAK
Ali Aziz, Meiry Fadilah Noor
Madrasah Ibtidaiyah Negeri Kamal Jakarta Barat, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
Email: meiry.fadilah@uinjkt.ac.id

Abstrak: Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas atau


classroom action research yang bertujuan untuk meningkatkan hasil
belajar pada Mata Pelajaran IPA. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui tingkat efektifitas Model pembelajaran Contextual
Teaching and Learning (CTL) terhadap hasil belajar siswa kelas
IV C Semester Ganjil pada mata pelajaran IPA di Madrasah
Ibtidaiyah Negeri Kamal Jakarta Barat. Penelitian tindakan
kelas dilakukan melalui tahapan perencanaan, pelaksanaan,
pengamatan, dan refleksi. Indikator yang diukur pada penelitian
ini adalah hasil belajar siswa. Hasil yang diperoleh pada setiap
siklus adalah pada siklus I banyak siswa yang mencapai KKM
hanya mencapai 20 orang (60,60 %), pada siklus II siswa yang
mencapai KKM meningkat menjadi 26 orang (78,78 %) atau
naik sebanyak 6 orang (62,9 %) dari siklus I. Berdasarkan hasil
analisis data, hasil penelitian dan hasil refleksi dengan observer,
maka penerapan metode pembelajaran Contextual Teaching and
Learning (CTL) pada pelajaran IPA khususnya dalam materi gaya
dan gerak di kelas IV Madrasah Ibtidaiyah Negeri Kamal Jakarta
Barat, ternyata dapat meningkatkan hasil dan juga aktifitas
belajar siswa. Hasil dan aktifitas belajar siswa dari siklus I ke
siklus II mengalami peningkatan yang cukup signifikan.

Kata Kunci: Penelitian Tindakan Kelas (PTK), Penggunaan


Model Pembelajaran CTL, Hasil belajar siswa.

Pendahuluan
Dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, Bab I pasal I ayat (1) dikemukakan bahwa
Pendidikan adalah usaha sadar dan terncana untuk mewujudkan

305
Professional Learning untuk Indonesia Emas

suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa,
dan negara. Sedangkan pada pasal I ayat 2 dikemukakan bahwa
pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang berakar pada nilai-
nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap
tuntutan perubahan zaman (Rozak, 2010).
Kurikulum 2013 dikembangkan satuan pendidikan dengan
menggunakan acuan standar isi dan standar kompetensi lulusan yang
ditetapkan secara nasional. Agar pelaksanaan kurikulum Kurikulum
2013 dapat berjalan secara maksimal, maka ada beberapa perubahan
yang harus dilakukan sekolah antara lain mengubah paradigma
pembelajaran yang berpusat pada guru menjadi pemelajaran
berpusat pada siswa, melaksanakan penilaian yang lebih efektif, dan
pengelolaan kurikulum berbasis sekolah yang mengacu pada visi dan
misi sekolah, mengembangkan perangkat kurikulum seperti silabus,
pemberdayaan tenaga kependidikan untuk meningkatkan mutu hasil
belajar.
Di dalam kelas terjadi proses belajar mengajar antara siswa
dengan guru. Di dalam proses belajar mengajar itu terjadi interaksi
antara siswa dengan guru dan antara siswa dengan siswa untuk
mencapai kompetensi-kompetensi yang sudah ditentukan dalam
indikator-indikator. Namun pencapaian kompetensi-kompetensi
yang harus dikuasai siswa sangat ditentukan oleh peran guru di kelas.
Guru dituntut memiliki kepandaian dalam mengelola kelas dengan
menggunakan strategi dan pendekatan-pendekatan serta metode-
metode yang tepat, sesuai dengan materi dan karakteristik siswa.
Guru harus menciptakan suasana yang menarik, sehingga peserta
didik termotivasi untuk aktif dalam proses kegiatan belajar yang
pada akhirnya dapat meningkatkan prestasi hasil belajar seperti yang
di harapkan. Selain itu guru harus memahami bahwa belajar pada
hakekatnya merupakan suatu proses atau aktifitas baik secara fisik,
pikiran maupun perasaan dan hasil belajar yang diharapkan berupa
perubahan perilaku siswa baik aspek pengetahuannya, sikapnya,
maupun keterampilannya.
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan bagian dari ilmu
pengetahuan atau sains yang meliputi tiga bidang ilmu dasar yaitu
biologi, fisika, dan kimia. IPA juga mempelajari tentang ilmu kealaman
yaitu ilmu tentang dunia zat, baik makhluk hidup maupun benda
mati yang diamati. Dalam menjelaskan hakikat fisika, pengertian

306
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

IPA difahami terlebih dahulu. IPA atau ilmu kealaman adalah ilmu
tentang dunia zat, baik makhluk hidup maupun benda mati yang
diamati (Trianto, 2010). Penerapan IPA secara umum terbatas pada
gejala-gejala alam, lahir dan berkembang melalui metode ilmiah seperti
observasi serta menuntut sikap ilmiah seperti rasa ingin tahu, terbuka,
jujur dan sebagainya. Namun hasil studi dokumen pendahuluan
melalui observasi dan wawancara dengan guru bidang studi IPA
di Madrasah Ibtidaiyah Negeri Kamal didapatkan data bahwa hasil
belajar siswa pada materi gaya dan gerak pada kelas IV A semester 2
Tahun Pelajaran 2013/2014 dalam ulangan IPA yang belum mencapai
KKM ada 15 orang (40,5%) dari jumlah 37 orang, yang memperoleh
nilai kurang dari 68 yaitu KKM yang diharapkan, maka jumlah siswa
37 orang berarti yang sudah tuntas atau mencapai KKM hanya 22
orang (59,5%). Ini berarti kurang dari 75%. Menurut Djamarah &
Aswan (2009) apabila 75% dari jumlah siswa yang mengikuti proses
belajar mengajar atau mencapai tarap keberhasilan minimal, optimal
bahkan maksimal maka proses belajar mengajar berikutnya dapat
membahas pokok bahasan baru. Keberhasilan belajar yang diharapkan
adalah sebanyak 75% dari jumlah siswa mendapat nilai di atas Kriteria
Ketuntasan Minimal.
Berdasarkan hasil observasi kegiatan mengajar guru ditemukan
bahwa guru belum maksimal dalam melaksanakan pembelajaran
sehingga dalam mengajar tujuannya belum mencapai hasil yang
maksimal. Oleh karena itu, agar tujuan pembelajaran mencapai
hasil yang diharapakan guru harus mengoptimalkan pelaksanaan
pembelajaran. Menurut Hadari Nawawi dalam Majid (2007), bahwa
perencanaan adalah menyusun langkah-langkah penyelesaian
suatu masalah atau pelaksanaan suatu pekerjaan yang terarah pada
pencapaian tujuan tertentu. Kenyataan tersebut maka diperlukan
suatu model pembelajaran yang dapat meningkatkan hasil belajar
siswa yang mencakup kognitif, psikomotorik, dan afektif.
Pada Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) digunakan
pada Kompetensi Dasar 3.4 dan 4. 4 membuat suatu karya/model
misalnya mobil-mobilan dari bahan sederhana (kulit jeruk Bali, kardus
bekas,botol bekas minuman) dengan menerapkan Konsep gaya dan
gerak di kelas IV C semester 1 merupakan pendekatan yang mengaitkan
setiap materi dengan kehidupan nyata. Pendekatan CTL adalah salah
satu inovasi dalam memperbaiki kualitas proses belajar mengajar yang
bertujuan untuk membantu peserta didik agar bisa belajar mandiri dan
kreatif sehingga ia dapat memperoleh pengetahuan, keterampilan,
dan sikap yang dapat menunjang terbentuknya kepribadian yang
mandiri. Dengan kemampuan itu diharapkan lulusan menjadi anggota

307
Professional Learning untuk Indonesia Emas

masyarakat yang sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang


dicita-citakan. Selain itu pendekatan CTL bertujuan meningkatkan
pembelajaran bermakna dan mengembangkan seluruh potensi yang
dimiliki siswa. Oleh karena itu penulis memilih judul penelitian
Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas IV C Pada Materi
Gaya dan Gerak dengan Pendekatan Model Pembelajaran Contexstual
Teaching and Learning.

Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini berupa
penelitian tindakan kelas (Classroom Action Research), yaitu suatu
penelitian untuk membantu seseorang mengatasi secara praktis persoalan
yang dihadapi dalam situasi darurat dan membantu mencapaian tujuan
ilmu sosial dengan kerja sama dalam kerangka etika yang disepakati
bersama(Kunandar,2008). Fokus masalah dalam penelitian ini untuk
meningkatkan hasil belajar siswa pada materi gaya dan gerak dengan
memberikan tindakan berupa penggunaan pembelajaran pendekatan
kontekstual (CTL). Penelitian ini bertujuan untuk memperbaiki atau
meningkatkan mutu proses pembelajaran di kelas melalui tindakan
tertentu dalam suatu siklus serta mampu memberi solusi pada masalah
baik secara perorangan maupun keseluruhan.
Penelitian ini di sekolah dengan pembelajaran dilakukan
oleh peneliti. Observasi dilakukan oleh guru bidang studi IPA.
Penelitian tindakan kelas ini terdiri dari beberapa siklus dan setiap
siklus meliputi tahap perencanaan (planning), pelaksanaan (acting),
pengamatan (observing), dan refleksi (reflecting). Hubungan antara
keempat tahapan tersebut menunjukkan sebuah siklus atau kegiatan
berkelanjutan yang berulang. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa
kelas IV C Madrasah Ibtidaiyah Negeri Kamal yang berjumlah 33
siswa yang terdiri dari 15 siswa laki-laki dan 18 siswa perempuan.
Kelas ini ditentukan berdasarkan permasalahan terhadap hasil belajar
yang telah diobservasi sebelumnya. Peran dan posisi peneliti dalam
penelitian ini adalah bertindak sebagai guru sekaligus peneliti. Dalam
penelitian ini peneliti dibantu oleh rekan sejawat yang berperan
sebagai observer yaitu mencatat segala aktifitas yang dilakukan oleh
siswa selama proses pembelajaran berlangsung dengan menggunakan
pembelajaran pendekatan kontekstual (CTL).
Data dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini
diperoleh baik dari siswa maupun guru bidang studi IPA. Data untuk
analisis terhadap proses pembelajaran diambil dari laporan hasil
belajar siswa. Data saat proses pembelajaran berlangsung diambil dari
lembar observasi, wawancara dengan siswa, serta catatan lapangan.

308
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Sedangkan sumber data hasil belajar diperoleh dari hasil test siswa
yang diberikan setiap akhir siklus.
Hasil intervensi tindakan yang diharapkan pada penelitian ini
adalah hasil belajar siswa pada materi gaya dan gerak pada aspek
kognitif mengalami peningkatan setelah proses pembelajaran
menggunakan pendekatan kontekstual. Dalam pembelajaran siswa
aktif secara mental menemukan pengetahuan berupa konsep, prinsip
maupun keterampilan yang menjadikan pengetahuan yang mereka
dapatkan akan bertahan lama, mempunyai efek transfer yang lebih
baik sehingga dapat meningkatkan hasil belajar. Keberhasilan belajar
yang diharapkan adalah lebih dari 75% dari jumlah siswa mendapat
nilai di atas Kreteria Ketuntasan Minimal (KKM) yaitu 68.

Hasil dan Pembahasan


Pembelajaran kontekstual merupakan suatu konsepsi yang
membantu guru mengaitkan konten mata pelajaran dengan dunia
nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan
dan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga
dan warga Negara. Seperti halnya penelitian tindakan kelas yang telah
dilakukan pada Bulan September s/d Bulan Oktober tahun 2014 di
Madrasah Ibtidaiyah Negeri Kamal yang mencoba menerapkan model
Contextual Teaching and Learning (CTL), secara garis besar penelitian
tindakan kelas ini dilaksanakan 2 siklus.

Siklus Pertama
a. Perencanaan
Tahap perencanaan pada siklus 1 dimulai dengan mengidentifikasi
permasalahan yang terdapat di sekolah. Dari penelitian pendahuluan
didapatkan bahwa pada sekolah yang akan diteliti mengalami
permasalahan pada rendahnya hasil belajar gaya dan gerak. Dari
permasalah tersebut peneliti merancang desain pembelajaran yang
dapat meningkatkan hasil belajar gaya dan gerak dengan model
pembelajaran CTL.
Desain pembelajaran yang disiapkan meliputi Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang menerapkan pendekatan
kontekstual (CTL) dengan memakai metode diskusi dan unjuk kerja,
Lembar Kerja Siswa (LKS), lembar obsevasi guru dan siswa, instrument
tes soal pilihan ganda, serta membentuk kelompok belajar siswa. Pada
siklus I dilakukan dalam 2 kali pertemuan, pertemuan pertama tentang
pengaruh gaya terhadap benda, pertemuan kedua tentang gaya gesek.
Pada pertemuan pertama telah dilakukan pengamatan oleh siswa
terhadap gambar-gambar, yaitu gambar mendorong dan menarik

309
Professional Learning untuk Indonesia Emas

meja, menghapus papan tulis, menggunting kertas, dan lain-lain.


Dilakukan diskusi dari gambar-gambar yang telah diamati, dilakukan
percobaan (demontrasi) yang berhubungan dengan materi pelajaran
seperti membuka dan menutup pintu menarik dan mendorong meja,
kemudian dilaporkan hasil pengamatan dan diskusi kelompoknya.
Begitu pula pada pertemuan ke 2, telah dilakukan hal sebagimana
halnya pada siklus 1 dengan pengembangan materi yang berbeda
telah dilakukan pengamatan terhadap gambar-gambar, orang bermain
layang-layang, bermain bola, bermain perosotan, bermain lompat tali
(skiping), dan lain-lain.
Indikator pembelajaran dari konsep gaya dan gerak adalah : 1)
menyebutkan macam-macam gaya yang dapat menggerakkan benda,
2) Menyebutkan penyebab perubahan benda akibat adanya pengaruh
gaya, 3) Menjelaskan tentang hubungan antara gaya dan gerak dalam
kehidupan sehari-hari, 4) Menyebutkan contoh manfaat gaya gesek
dalam kehidupan sehari-hari, 5) Menyebutkan contoh manfaat dan
kerugian gaya gesek dalam kehidupan sehari-hari, 6) Menjelaskan
cara memperbesar dan memperkecil gaya gesek.

b. Tindakan
Pada tahap ini, guru berusaha menerapkan kegiatan pembelajaran
dengan menggunakan model pendekatan Contextual Teaching and
Learning (CTL) yang telah disusun dalam Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP). Langkah-langkah tindakan pada siklus I dapat
disajikan pertemuan 1 dan 2. Pengamatan selama proses pembelajaran
berlangsung dimuat dalam catatan lapangan. Hasil dari catatan
lapangan pada siklus I tertampil pada Tabel 1.

Tabel 1. Catatan Lapangan Siklus 1


No Indikator Uraian
Guru berperan aktif sebagai fasilitator
dalam kegiatan diskusi dengan cara
berkeliling kelas selama pembelajaran
1. Kegiatan guru
berlangsung untuk membantu,
membimbing, dan mengarahkan siswa
dalam belajar.
Sebagian siswa sudah aktif dalam
kegiatan pembelajaran, namun masih
2. Kegiatan siswa
kurang memahami dalam menjelaskan
pesepsi tentang suatu masalah.

310
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Pada saat berdiskusi secara kelompok


Interaksi antar masih ada siswa yang kurang aktif
3.
siswa sehingga kurang terlihat interaksi antar
siswa.
Interaksi siswa Siswa menjawab pertanyaan guru
4.
dengan guru dengan perasaan antusias.
Sumber belajar yang digunakan dalam
kegiatan pembelajaran adalah Buku
5. Sumber belajar
Guru, Buku Siswa, LKS, Modul kerja
tematik, dan Buku Tematik Bupena.

Berdasarkan catatan lapangan pada indikator kegiatan siswa,
didapatkan hasil yang kurang maksimal. Hal ini terjadi karena siswa
merasa baru mengenal model pembelajaran CTL. Sedangkan pada
indikator kegiatan guru, interaksi antar siswa, interaksi guru dengan
siswa belum oftimal, dan sumber belajar didapatkan hasil yang cukup
baik dan sesuai dengan apa yang diinginkan oleh model pembelajaran
kontektual (CTL).

c. Pengamatan
Selama proses dilakukannya tindakan pembelajaran dengan CTL
telah dilakukan observasi. Observasi ini bertujuan untuk menggali
kegiatan mengajar guru dan aktifitas belajar siswa. Hasil obsevasi
yang dilaksanakan selama tindakan pembelajaran gaya dan gerak
dengan menerapkan model pendekatan kontekstual (CTL), diperoleh
data bahwa ada kesesuaian cara mengajar guru dalam menerapkan
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) tetapi siswa belum terbiasa
dengan pembelajran model pendekatan kontekstual (CTL).
Pada tahap pendahuluan dalam hal menggali ide awal siswa,
pada tahap proses pembelajran guru berinteraksi dengan baik dan
memfasilitasi siswa dalam melakukan diskusi. Peran guru pada saat
pembelajaran tidak mendonegeriasi kelas, tetapi memberikan banyak
waktu untuk siswa terlibat langsung. Pada bagian penutup guru
membantu siswa dalam menyimpulkan materi yang dipelajarinya.
Pembelajaran yang telah teramati, selanjutnya diujikan dengan
pemberian tes. Adapun hasil tes belajar siswa pada siklus I dapat
dilihat pada Tabel 2.

311
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Tabel 2. Nilai Hasil Belajar Siklus 1


Data Statistik Pretest Postest
Nilai rata-rata kelas
60,58 64,39
Nilai Tertinggi
81 100
Nilai Terendah
38 38
Median
63,00 68,75
Modus
69,00 68,75
Standar Deviasi
13,05 14,47

Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan bahwa setelah dilakukan


proses pembelajaran nilai rata-rata meningkat dari 60,58 menjadi
64,39, namun belum mencapai sesuai harapan yaitu ketuntasannya
masih di bawah 75%.
Data perhitungan N-gain pada siklus I rata-rata keseluruhan hasil
perhitungan dengan jumlah responden 33 orang adalah 0,21. Pesentase
hasil perhitungan N-gain dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 3. Persentase Peningkatan Hasil Belajar (N-gain)


Frekuensi
No. Kategori Jumlah Siswa
Persentase (%)
Tinggi 1 3,03
Sedang 9 30,30
Rendah 23 66,67
N-gain Kelas 0,21

e. Refleksi
Pada siklus I terdiri dari dua pertemuan yang dilakukan secara
keseluruhan siswa telah berperan aktif selama proses pembelajaran.
Akan tetapi ada sedikit siswa yang kelihatan pasif khususnya
pada saat berdiskusi dalam proses menemukan konsep berkaitan
dengan membuat kesimpulan materi gaya dan gerak. Pelaksanaan
pembelajaran dengan pendekatan kontekstual pada materi gaya
dan gerak masih terdapat kekurangan. Sehingga perlu dilakukan
perbaikan. Adapun kekurangan dan perbaikan yang terdapat pada
siklus I dapat diuraikan pada Tabel 3.

312
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Tabel 4. Perbaikan Hasil Belajar Siklus 1


No. Tindakan Kekurangan Perbaikan
1. Orientasi siswa Terkadang terlihat ada Guru harus lebih aktif
pada materi beberapa siswa yang memantau siswa agar
tidak serius dalam tidak ada kesempatan
pembelajaran (bercanda siswa untuk
dan ngobrol) ketika beraktivitas lain
proses pembelajaran selama proses belajar
berlangsung sehingga Mengarahkan dan
siswa tidak fokus dalam membimbing siswa
menangkap pelajaran. untuk bisa belajar
Siswa belum terbiasa dengan menemukan
belajar mandiri dengan sendiri konsep
belajar menemukan pengetahuannya
konsep sendiri
2. Mengorganisasi Masih sangat Memotivasi siswa
siswa untuk sedikit siswa yang agar terbentuk
belajar berani bertanya, sikap percaya diri
mengungkapkan dalam bertanya dan
pendapatnya dalam berpendapat. Selalu
proses pembelajaran. memotivasi siswa
Rendahnya tingkat untuk berfikir dengan
berfikir kritis berbagai pertanyaan.
3. M e m b i m b i n g Siswa merasa kesulitan Guru membimbing
m e n e m u k a n memahami langkah- siswa yang
k o n s e p langkah diskusi pada mengalami kesulitan
pengetahuan LKS. Siswa mengalami dalam memahami
kesulitan dalam langkah-langkah
membuat kesimpulan diskusi. Membimbing
Mengembangkan dari diskusi kelompok siswa untuk membuat
dan menyajikan mengenai materi gaya kesimpulan. Guru
hasil karya dan gerak. Kurangnya harus lebih menggali
tingkat kreativitas siswa lagi pengetahuan
dalam menemukan siswa dengan
idea tau kemampuan berbagai sumber
merancang sesuatu informasi agar siswa
yang baru lebih kreatif dan
inovatif

313
Professional Learning untuk Indonesia Emas

5. Menganalisis dan Kurangnya waktu Guru harus berusaha


mengevaluasi yang tersedia dalam mengatur waktu yang
p r o s e s menerapkan model tersedia sehingga
pembuatan hasil pendekatan CTL efektif selama proses
karya pembelajaran

Berdasarkan Tabel 4 terlihat bahwa dalam komponen CTL masih


banyak kekurangan yang harus diperbaiki . Hal ini menunjukkan
kegiatan siswa pada siklus I ini kurang optimal dalam melaksanakan
komponen-komponen CTL. Proses perbaikan akan dilaksanakan pada
siklus II guna mengoptimalkan kegiatan siswa pada setiap komponen
CTL.

f. Keputusan
Pada pelaksanaan siklus I berdasarkan tes hasil belajar siswa yang
telah dilaksanakan selama proses pembelajaran pada siklus I, bahwa
hasil belajar siswa pada materi gaya dan gerak belum memenuhi
indikator yang peneliti harapkan. Indikator yang ditetapkan oleh
peneliti yaitu sebesar 75% siswa memiliki nilai diatas KKM sekolah,
tetapi pada siklus I ini siswa yang sudah mencapai KKM hanya
mencapai 61% (20 orang dari 33 orang siswa) dan yang belum
mencapai KKM 39% (13 orang) . Dalam hal ini perlu dilakukan tindak
lanjut proses pembelajaran untuk perbaikan tindakan dan hasil belajar
siswa. Oleh karena itu peneliti memutuskan untuk melanjutkan
penelitian tindakan kelas ini ke siklus II dengan adanya perbaikan-
perbaikan dari siklus I hasil refleksi.

Siklus Kedua
a. Perencanaan
Perencanaan yang akan dilaksanaka pada siklus II berdasarkan
refleksi dari siklus I yang akan merubah desain pembelajaran lebih
baik lagi. Perencanaan pada siklus II ini dimulai dengan menyiapkan
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), lembar observasi, dan
tes pilihan ganda. Pembelajaran pada siklus II dilakukan dalam
dua kali pertemuan, setiap pertemuan berlangsung selama 2x35
menit. Pertemua pertama tentang gaya otot dan pertemuan kedua
tentang gaya grafitasi. Pada siklus 2 ini siswa melakukan kegiatan
sebagimana halnya pada siklus 1. Indikator-indikator pembelajaran
dari materi gaya dan gerak adalah: 1) Mengidentifikasi hubungan dan
pemanfaatan gaya otot dan gerak dalam kehidupan sehari-hari, 2)
Menjelaskan contoh pemanfaatan gaya otot dalam kehidupan sehari-
hari, 3) Menyusun laporan dari percobaan tentang pemanfaatan gaya

314
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

otot, 4) Mengidentifikasi tentang gaya grafitasi dalam aktifitas sehari-


hari, 5) Menyebutkan contoh gaya grafitasi dalam kehidupan sehari-
hari, 6) Menjelaskan pengaruh besar kecilnya gaya grafitasi.

b. Tindakan
Pada tahap ini guru berusaha menerapkan kegiatan pembelajaran
dengan menggunakan pendekatan kontekstual (CTL). Penyusunan
tindakan kegiatan dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
siklus II dilihat pada petemuan 3 dan 4. Sedangkan pengamatan selama
proses pembelajaran berlangsung dimuat dalam catatan lapangan
(Tabel 5).

Tabel 5. Catatan Lapangan Siklus 2


No Indikator Uraian
Guru telah berusaha membimbing
dan mengarahkan serta
memberikan motivasi dan melatih
1. Kegiatan guru siswa untuk selalu berfikir kritis
dalam menghadapi masalah dan
berani mengkritisi hasil karya orang
lain.
Siswa sudah aktif dalam
belajar dan sudah mulai berani
2. Kegiatan siswa
mempresentasikan hasil kerja
kepada kelompoknya.
Setiap individu sudah mulai
mampu menjelaskan materi yang
3. Interaksi antar siswa
sudah dimengerti kepada anggota
kelompoknya.
Interaksi siswa dengan Siswa menjawab pertanyaan guru
4.
guru dengan perasaan antusias.
Sumber belajar yang digunakan
dalam kegiatan pembelajaran
5. Sumber belajar adalah Buku Guru, Buku Siswa,
LKS, Modul kerja tematik, dan
Buku Tematik Bupena.

Berdasarkan catatan lapangan ada peningkatan pada indikator

315
Professional Learning untuk Indonesia Emas

kegiatan siswa di kelas IV C Madrasah Ibtidaiyah Negeri Kamal dalam


menerima dan melaksanakan model pembelajaran Contektual Teaching
and Learning (CTL).

c. Pengamatan
Kegiatan guru dan siswa selama proses pembelajaran diamati
dengan menggunakan lembar observasi. Hasil observasi kegiatan
guru dan siswa menunjukkan kesesuaian cara mengajar guru dalam
menerapkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan siswa
sudah mulai memahami pembelajaran dengan pendekatan konteksrual
(CTL).

d. Hasil Belajar
Pengukuran peningkatan hasil belajar siswa dari aspek kognitif
pada siklus II dilakukan tes hasil belajar. Adapun hasil tes belajar
siswa dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Nilai Hasil Belajar Siklus 2


Data Statistik Pre Test Pos Test
Nilai rata-rata kelas
63,79 70,33
Nilai Tertinggi
81 88
Nilai Terendah
38 44
Median
69,00 69,00
Modus
69,00 69,00
Standar Deviasi
13,09 11,44

Tabel 9 menunjukkan bahwa setelah dilakukan proses


pembelajaran nilai rata-rata meningkat dari 63,79 menjadi 70,33, dan
sudah sesuai harapan yang diinginkan yaitu ketuntasannya di atas
75%.
Data perhitungan N-gain pada siklus II rata-rata keseluruhan
hasil perhitungan dengan jumlah responden 33 orang adalah 0,96.
Pesentase hasil perhitungan N-gain dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 10. Persentase Peningkatan Hasil Belajar (N-gain)


Prekuensi
No. Kategori Jumlah Siswa
Persentase (%)
Tinggi
0 0
Sedang
13 39,39
Rendah
20 60,61

316
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

N-gain Kelas 0,96

e. Refleksi
Berdasarkan proses pembelajaran pada siklus II ini tampak siswa
mampu belajar mandiri, lebih kondusif, dan turut aktif dalam kegiatan
pembelajaran. Siswa yang sulit mengembangkan kemampuan
berfikirnya dalam memehami konsep materi mulai dapat mengikuti
kegiatan pembelajaran dengan baik.
Pada siklus II sudah bisa dikatakan efektif hal tersebut dapat
terlihat dari siswa yang sudah mulai terbiasa belajar secara individual
maupun kelompok dengan menerapkan pendekatan kontekstual (CTL).
Walaupun banyak sekali peningkatan dalam proses pembelajaran
menggunakan pendekatan CTL dari siklus I ke siklus II akan tetapi
masih ada sedikit kekurangan yang ada pada komponen kontekstual
(Contextual Teaching And Learning). Uraian kekurangan dan perbaikan
dari komponen CTL pada siklus II adalah sebagai berikut :

Tabel 11. Perbaikan Hasil Belajar Siklus 2


No. Tindakan Kekurangan Perbaikan
Orientasi siswa
1. Tidak ada Tidak ada
pada materi
Mengorganisasi
Tidak ada Tidak ada
2. siswa untuk
bertanya
Guru harus
lebih keras lagi
Siswa masih
Membimbing membimbing
3 kurang mampu
siswa siswa yang
dalam membuat
menemukan mengalami
kesimpulan dari
konsep kesulitan dalam
diskusi kelompok
pengetahuan -membimbing
mengenai materi
siswa untuk
gaya dan gerak
membuat
kesimpulan

317
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Guru harus lebih


Masih kurangnya
menggali lagi
tingkat kreativitas
pengetahuan
Mengembangkan siswa dalam
siswa dengan
4.. dan menyajikan menemukan ide
berbagai sumber
hasil karya atau kemampuan
informasi agar
merancang sesuatu
siswa lebih kreatif
yang baru
dan inovatif
Menganalisis dan
mengevaluasi
5. proses Tidak ada Tidak ada
pembuatan hasil
karya

Tabel 11 terlihat bahwa peran guru terhadap pembelajaran siklus


II benar-benar tidak mendoNegeriasi kelas tetapi memberikan banyak
waktu unutk siswa terlibat langsung selama pembelajaran sehingga
siswa bisa aktif , kreatif dan membentuk konsep yang baik pada
pengetahuannya. Siswa tampak lebih bersemangat dengan kegiatan
pembelajaran karena termotivasi dengan kehidupan nyata yang
berhubungan dengan materi gaya dan gerak.

f. Keputusan
Berdasarkan hasil refleksi siklus II diperoleh nilai rata-rata untuk
tes hasil belajar siswa adalah 72, nilai tersebut lebih baik dari siklus
I. Hal tersebut dapat diketahui bahwa siswa yang mendapatkan nilai
mencapai KKM (68) sebanyak 79% (26 orang siswa dari 33 orang) dan
yang belum mencapai KKM sebanyak 21% (7 orang). Hasil belajar
siswa dan dari aktifitas belajar siswa sudah ada peningkatan yaitu
mencapai indikator keberhasilan diatas 75 %. Oleh karena itu dapat
diambil keputusan bahwa siklus sudah dapat dihentikan.

Pembahasan
Setelah dilakukan penelitian tindakan kelas yaitu dengan
menerapkan pendekatan Contextual teaching and Learning (CTL) pada
materi gaya dan gerak hasil belajar siswa mengalami peningkatan.
Pada siklus I hasil belajar siswa memperoleh rata-rata 64 yang sudah
memenuhi indikator KKM (68) sebanyak 20 siswa (60,60%) dan yang
belum memenuhi indikator KKM sebanyak 13 siswa (39,39%) . Hal ini
mungkin disebabkan siswa masih belum mengerti bagaimana konsep-
konsep CTL yang baru mereka dapatkan, selama proses pembelajaran
guru bidang studinya belum pernah menerapkan pendekatan seperti

318
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

ini, sehingga siswa merasa mendapatkan model pembelajaran yang


baru dan agak sulit untuk beradaptasi dengan model pembelajaran
baru tersebut.
Pada siklus II nilai rata-rata adalah 70, siswa yang mencapai nilai
KKM(68) sebanyak 26 siswa (78,78%) dan siswa yang belum mencapai
KKM sebanyak 7 siswa (21,28%). Pencapaian hasil belajar siswa
dipengaruhi oleh pendekatan pembelajaran yang diterapkan selama
proses pembelajaran menggunakan pendekatan CTL. Hal ini sesuai
dengan hasil N-gain silus I = 0,21 dan N-gain siklus II = 0,96. Sumber
belajar yang digunakan pada pembelajaran berupa LKS, buku guru
dan buku siswa Kurikulum 2013.
Penerapan pendekatan kontekstual (CTL) yang berkelanjutan
dalam dua siklus telah menunjukkan peningkatan pada tiap komponen
CTL. Bila dianalisis tiap komponennya maka tiap-tiap komponen telah
menunjukkan peningkatan dari siklus I ke siklus II. Hal ini berarti
siswa telah mengalami perubahan dalam belajar dan memahami suatu
konsep dengan baik pula. Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa
pendekatan kontekstual memberikan kesempatan pada siswa untuk
terlibat langsung, aktif, mandiri, kreatif dan berfikir kritis selama
pembelajaran serta pembentukan suatu konsep yang riil dan sistematis.
Sehingga pembelajaran mencapai tujuan dan dapat meningkatkan
hasil belajar siswa. Hal ini sesuai Wasis (2006), yang menyatakan
bahwa perangkat pembelajaran kontektual memiliki ciri khusus, yaitu
menyediakan berbagi fitur sehingga konten dalam perangkat dapat
dikaitkan dengan kehidupan nyata, serta memberikan berbagai pilihan
aktifitas siswa dengan berbagi gaya belajar dan tingkat kemampuan,
dapat melakukan hands-on activities dan mind-on activities sesuai
dengan lingkungan belajarnya.
Begitu pula pembelajaran yang diterapkan oleh Hajir R. dkk.
Kesimpulan yang diperoleh berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan adalah penerapan pembelajaran Contextual Teaching
and Learning (CTL) dapat meningkatkan pemahaman IPA pada
siswa Sekolah Dasar Negeri 2 Wonosari Sadang dengan prosentase
pemahaman belajar siswa pada siklus I adalah 63,55 % setealh
dilakukan siklus II meningkat menjadi 75,27 % (Hajir dkk., 2013).
Dengan demikian model pembelajaran CTL dapat meningkatkan
hasil belajar siswa kelas IV C Madrasah Ibtidaiyah Negeri Kamal pada
tahun pelajaran 2014/2015 pada konsep gaya dan gerak.

Kesimpulan
Berdasarkan analisis data dan pembahasan dapat ditemukan
bahwa pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)

319
Professional Learning untuk Indonesia Emas

dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada materi gaya dan


gerak. Penerapan pembelajaran CTL dengan menggunakan tujuh
komponen utama yaitu, a) konstruktivisme (Contructivism), b) Inkuiri
(Inquiry), c) Bertanya (Questioning), d) Masyarakat belajar (Learning
Communiti), e) Pemodelan (Modeling), f) Refleksi (Reflection), Penilaian
sebenarnya (Authentic Assessment). Dimana pada pada komponen
kedua yaitu inkuiri dapat melatih siswa untuk menemukan sendiri
konsep pengetahuan kognitifnya dengan peranan guru yang selalu
membimbing dan mengarahkan proses penemuannya dengan baik.
Penilaian hasil belajar dengan menggunakan pembelajaran CTL
pada materi gaya dan gerak pada siklus II meningkat dibanding siklus
I, dimana siklus I nilai rata-rata postest adalah 64 dengan ketuntasan
belajar siswa hanya mencapai 60,60% (20 siswa) dan yang belum tuntas
39,40% (13 siswa). Pada siklus II rata-rata hasil belajar meningkat
hingga 72 dengan ketuntasan belajar siswa 78,80% (26 siswa) yang
belum tuntas 21,20% (7 siswa). Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa penerapan pendekatan kontekstual dapat meningkatkan hasil
belajar siswa pada materi gaya dan gerak.

Daftar Pustaka

Hajir R dkk. 2013. Penerapan Pembelajaran Contextual Teaching and


Learning (CTL) untuk meningkatkan Pemahaman IPA Siswa
Kelas IV SD Negeri Wonosari Sadang, Jurnal Radiasi, Vol.1 No. 1.
Kunandar. 2008. Langkah Mudah Penelitian Tindakan Kelas: Sebagai
Pengembangan Profesi Guru. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Majid, Abdul. 2007. Perencanaan Pembelajaran, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Rozak Abdul, dkk. 2010. Kompilasi Undang-Undang dan Peraturan
Pendidikan. Jakarta: FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Trianto. 2010. Model Pembelajaran Terpadu, (Jakarta, PT. Bumi Aksara,
2010, h. 136) Syaiful
Djamarah Bahri, Aswan Zain. 2009. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta,
PT Rineka Cipta
Wasis.2006. Contextual Teaching And Learning (CTL) dalam
Pembelajaran Sains-Fisika SMP. Jurnal Cakrawala Pendidikan,
No.1

320
MODEL PEMBELAJARAN GROUP
INVESTIGATION TERHADAP PENINGKATAN
KEMAMPUAN MAHASISWA

Tri Harjawati, Chamdun Mahmudi


Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Email : dtri_1808@yahoo.com

Abstrak: Penelitian ini dirancang sebagai langkah untuk


menemukan model pembelajaran akuntansi khususnya
mata kuliah pengantar akuntansi. Tujuan penelitian ini yaitu
sebagai daya dukung efektifitas pembelajaran, sehingga bisa
mengetahui perbedaan antara kemampuan mahasiswa yang
menggunakan Model Group Investigation dengan mahasiswa
yang pembelajarannya menggunakan teknik konvensional.
Model Group Investigation memberikan pengalaman langsung
kepada mahasiswa tentang penyusunan laporan keuangan suatu
perusahaan berdasarkan pada data empiris yang diperoleh dari
lapangan, sehingga mahasiswa akan memberikan respon yang
positif terhadap peningkatan kemampuan mahasiswa dalam
penyusunan laporan keuangan suatu perusahaan.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian quasi eksperimen,
melalui desain penelitian postest only control group design. Populasi
dalam penelitian ini adalah mahasiswa Universitas Pamulang
dan Mahasiswa UIN Syarif hidayatullah Jakarta. Sampel
penelitiannya adalah mahasiswa Jurusan Manajemen Universitas
Pamulang dan Mahasiswa Jurusan Manajemen Pendidikan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang
mengambil mata kuliah pengantar akuntansi tahun ajaran 2012-
2013 (Unpam) dan 2013-2014 (UIN) masing-masing sebanyak
dua kelas, yaitu mahasiswa Universitas Pamulang sebagai kelas
kontrol sedangkan mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sebagai kelas eksperimen. Analisis data yang digunakan adalah
rata-rata uji beda melalui uji t, dengan uji prasyarat analisis
yaitu Uji Normalitas, dan Uji Homogenitas.
Hasil data menunjukkan bahwa terdapat peningkatan
pemahaman mahasiswa tentang penyusunan laporan keuangan
pada mata kuliah pengantar akuntansi setelah pembelajaran
dengan menggunakan group investigation dibandingkan dengan
yang tidak menggunakan metode. Hal ini ditunjukkan dengan

321
Professional Learning untuk Indonesia Emas

perbedaan hasil rata-rata UTS dan UAS yaitu 12,31 untuk nilai
UTS dan 9,71 untuk nilai UAS. Selain itu, pemahaman konsep
pengantar akuntansi mahasiswa yang pembelajarannya dengan
menggunakan model group investigation lebih tinggi daripada
pemahaman konsep pengantar akuntansi mahasiswa yang
proses pembelajarannya menggunakan cara konvensional yaitu
ceramah, latihan dan tugas. Hal ini dibuktikan melalui hasil
uji t sebesar 3,834 dengan nilai sig (2-tailed) 0,000 < (0,05),
sehingga bisa disimpulkan bahwa H0 ditolak artinya Model
Group Investigation berpengaruh terhadap tingkat pemahaman
mahasiswa.

Kata Kunci: model pembelajaran, group investigasi, peningkatan


kemampuan mahasiswa, pengantar akuntansi

Pendahuluan
Peranan Akuntansi di perusahaan merupakan suatu hal yang
penting dilakukan, karena melalui Peranan Akuntansi maka perusahaan
akan mampu menilai kinerja perusahaan melalui pencatatan aktivitas
yang dilakukan oleh perusahaan tersebut. Dengan informasi seperti
itu, maka bisa membantu pihak manajemen untuk menentukan
kebijakan yang terbaik berkenaan dengan aktivitas tersebut apakah
akan dilakukan ekpansi, tambahan modal, atau bahkan merumahkan
karyawan (memecat karyawan).
Untuk menghasilkan informasi akhir dari proses akuntansi ini,
maka diperlukan tahapan-tahapan proses pencatatan melalui siklus
akuntansi mulai dari mengumpulkan bukti transaksi yang selanjutnya
di catat dalam jurnal umum yang kemudian diposting dalam buku besar
kemudian disusun neraca saldo, lalu dibuat ayat jurnal penyesuaian
yang kemudian diposting kembali ke buku besar atau bisa dilakukan
dengan bantuan worksheet atau lembar kerja kemudian disusun dalam
neraca saldo setelah penyesuaian baru dibuat laporan keuangan yang
terdiri dari laporan laba rugi, laporan perubahan modal, Neraca, dan
laporan arus kas.
Semua tahapan proses akuntansi pertama kali akan ditemukan
atau dipelajari melalui mata kuliah pengantar akuntansi. Namun,
secara umum mahasiswa merasa kesulitan tatkala dihadapkan pada
penyelesaian soal tentang penyusunan laporan keuangan. Berdasarkan
pengalaman penulis sebagai pengajar mata kuliah pengantar akuntansi
selama 5 tahun, tingkat kesulitan berasal dari pemahaman tentang
akun yang muncul dari transaksi, bahkan kejadian dari transaksi
yang terjadi saja mahasiswa masih bingung pada saat dicatat dalam
jurnal sampai pada tahapan penyusunan laporan keuangan. Mereka

322
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

bingung kenapa kas di debet dan modal di kredit, atau bahkan pada
saat penyusunan laporan keuangan kenapa hanya akun pendapatan
dan beban saja yang ada di laporan laba rugi kenapa modal tidak
dimasukkan dalam penghitungan laba rugi, dan masih banyak lagi
kebingungan-kebingungan mahasiswa berkaitan dengan penyusunan
laporan keuangan pada mata kuliah pengantar akuntansi baik
perusahaan jasa maupun perusahaan dagang.
Dari penjelasan diatas terlihat bahwa sistem sosial yang
berkembang adalah minimnya arahan dosen. Padahal pembelajaran
secara demokratis, Dosen dan mahasiswa memiliki status yang sama
yaitu menghadapi masalah. Dengan demikian interaksi diantara
keduanya dilandasi oleh kesepakatan. Dosen lebih berperan sebagai
konselor, konsultan, sumber kritik yang konstruktif, sehingga peran
tersebut berkenaan dengan kemampuan meneliti apa hakikat dan
fokus masalah pengelolaan kelas, dan pemaknaan perseorangan.
Pengelolaan ditampilkan berkenaan dengan kiat menentukan informasi
yang diperlukan dan pengorganisasian kelompok untuk memperoleh
informasi tersebut. Sedangkan, Pemaknaan perseorangan berkenaan
dengan inferensi yang diorganisasi oleh kelompok dan bagaimana
membedakan kemampuan perseorangan.
Hal ini tercermin dari Model pembelajaran yang selama ini di
lakukan dengan cara memberikan penjelasan (metode ceramah)
yang di dalamnya aktivitas dosen lebih mendominasi kelas sehingga
mahasiswa hanya menerima saja apa yang disampaikan dosen,
begitupun aktivitas mahasiswa untuk menyampaikan pendapat
sangat kurang karena mahasiswa hanya bertanya berkaitan dengan
materi yang kurang dipahami, sehingga mahasiswa menjadi pasif
dalam belajar. Selain itu mahasiswa kurang diberikan kesempatan
untuk berdiskusi satu sama lain baik dalam pembelajaran maupun
dalam mengerjakan soal latihan.
Berdasarkan hasil wawancara penulis secara langsung dengan
beberapa mahasiswa baik jurusan Pendidikan IPS, Manajemen
Pendidikan, Akuntansi, Manajemen, dan Sekretaris, baik yang berasal
dari lingkungan Universitas Pamulang maupun dari universitas lain,
mereka menyebutkan bahwa cara dosen menjelaskan terlalu cepat, teori
yang disajikan kurang paham apalagi jarang yang mengaplikasikan
langsung dengan realita dilapangan. Para dosen tersebut hanya
menjelaskan dalam gambaran soal yang harus diselesaikan dan
diberikan latihan serta tugas baik dikerjakan secara individu maupun
berkelompok. Ditambah lagi karakteristik dari mahasiswa yang ada
adalah heterogen, sehingga tidak semua berasal dari jurusan SMK
Akuntansi yang sebelumnya pernah belajar Akuntansi. Kebanyakan
dari mereka adalah jurusan IPA, SMK Teknik, SMK Penjualan, SMK
Sekretaris, dan Lulusan Pesantren yang sama sekali belum mengenal

323
Professional Learning untuk Indonesia Emas

yang namanya Akuntansi. Bahkan yang jurusan SMK Akuntansi


serta SMA IPS, mereka hanya mempelajari Akuntansi dengan target
dapat menyelesaikan soal-soal UN sehingga pemahaman konsep dan
praktek bagaimana menyusun laporan keuangan yang benar kurang
dipahami.
Sejalan dengan penyelesaian permasalahan yang terjadi, maka
salah satu model yang mungkin bisa digunakan untuk mengatasi
permasalahan tersebut yaitu melalui model pembelajaran Group
Investigation. Group Investigation merupakan model pembelajaran
yang kompleks karena memadukan antara prinsip kooperatif dengan
pembelajaran yang berbasis kontruktivisme dan prinsip demokrasi.
Tipe ini dapat melatih mahasiswa untuk menumbuhkan kemampuan
berfikir mandiri. Keterlibatan mahasiswa secara aktif dapat terlihat
mulai dari tahap pertama sampai tahap akhir pembelajaran akan
memberi peluang kepada mahasiswa untuk lebih mempertajam
gagasan dan dosen akan mengetahui kemungkinan gagasan
mahasiswa yang salah sehingga dapat diperbaiki.
Berdasarkan uraian diatas, maka perlu dilakukan penelitian lebih
jauh tentang efektifitas penggunaan metode Group Investigation dalam
meningkatkan kemampuan mahasiswa pada mata kuliah pengantar
akuntansi melalui judul Model Pembelajaran Group Investigation
Terhadap Peningkatan Kemampuan Mahasiswa Pada Mata Kuliah
Pengantar Akuntansi.

Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif,
dengan menggunakan desain penelitian quasi eksperimen melalui
postes only control group design. Dalam desain penelitian ini terdapat
dua kelompok yang masing-masing dipilih secara random. Kelompok
pertama diberi perlakuan (X) dan kelompok yang lain tidak. Kelompok
yang diberi perlakuan disebut kelompok eksperimen dan kelompok
yang tidak diberi perlakuan disebut kelompok kontrol. Pengaruh
adanya perlakuan (treatment) adalah Y. Berikut rancangan desain
penelitiannya :
Tabel 1. Rancangan Desain Penelitian
Kelompok Variabel Terikat Postest
Eksperimen X Y
Kontrol - Y

Keterangan:
X : Pembelajarannya dengan Model Group Investigation
Y : Post-test kelompok eksperimen dan kontrol

324
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Populasi dalam penelitian ini adalah UIN Syarif hidayatullah Jakarta


dan Universitas Pamulang. Sampel yang digunakan menggunakan
purposive sampling yaitu pemilihan sampel didasarkan pada kebutuhan,
yaitu mahasiswa Program Studi Manajemen Universitas Pamulang dan
Mahasiswa Program Manajemen Pendidikan UIN Syarif Hidayatullah
yang mengambil mata kuliah pengantar akuntansi tahun ajaran
2012/2013 dan 2013/2014 masing-masing sebanyak dua kelas, yaitu
dua kelas pertama adalah mahasiswa Universitas Pamulang sebagai
kelas kontrol sedangkan dua kelas kedua adalah mahasiswa UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai kelas eksperimen.
Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu Studi Literatur,
Observasi, Dokumentasi data, dan Tes. Teknik pengumpulan data
yang digunakan adalah test (post test ) dan non test (Lembar observasi
dan Kuisioner). Teknik analisis data dalam penelitian ini dibagi ke
dalam beberapa tahap yaitu Uji Prasyarat analisis data melalui uji
normalitas (Kolmogrov-Smirnov), uji homogenitas (Fisher), dan uji
hipotesis melaui uji-t (t-test).
Hasil dan Pembahasan
Pada penelitian ini penulis menggunakan data hasil ujian UTS dan
UAS sebagai alat untuk mengukur tingkat pemahaman mahasiswa
tentang mata kuliah pengantar akuntansi. Data yang digunakan
berjumlah 96 orang secara random, yaitu 48 orang mahasiswa UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan Manajemen Pendidikan sebagai
kelas eksperimen dan 48 orang mahasiswa Universitas Pamulang
sebagai kelas kontrol. Untuk kelas eksperimen penulis menggunakan
data pada tahun ajaran 2013/ 2014 semester ganjil, Sedangkan kelas
kontrol penulis menggunakan data pada tahun ajaran 2012/2013
semester genap. Alasan penulis mengambil data tersebut yaitu karena
penulis mengampu mata kuliah pengantar akuntansi pada tahun
tersebut.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan Validitas isi (content
validity). Yaitu melalui menelaah kisi-kisi tes untuk memastikan
bahwa soal-soal tes sudah mewakili atau mencerminkan keseluruhan
konten atau materi yang seharusnya dikuasai secara proporsional.
Sehingga, validitas isi suatu tes tidak memiliki besaran tertentu yang
dihitung secara statistika, tetapi dipahami bahwa tes itu sudah valid
berdasarkan telaah kisi-kisi tes. Kriteria untuk menentukan proporsi
masing-masing pokok atau sub pokok bahasan yang tercakup dalam
tes ialah berdasarkan banyaknya isi (materi) masing-masing pokok
atau sub-pokok bahasan seperti tercantum dalam Silabus dan Satuan
Acara Perkuliahan (SAP). Selain itu, penentuan proporsi tersebut
sudah didasarkan beberapa pendapat (judgement) para ahli dalam
bidang yang bersangkutan. Sehingga tes memiliki validitas isi yang

325
Professional Learning untuk Indonesia Emas

baik yang mewakili semua materi yang hendak diukur.


Sedangkan tingkat reliabilitas yang digunakan menggunakan
bentuk Ekivalensi, yaitu dibuat identik dengan tes yang mempunyai
karakteristik yang sama yaitu variabel yang sama, jumlah item
sama, struktur sama, mempunyai tingkat kesulitan dan mempunyai
petunjuk, cara penskoran, dan interpretasi yang sama (Sukardi 2008).
Berdasarkan uji taraf kesukaran, diperoleh bahwa jenis soal
terkategorikan sedang yaitu berada dalam indeks 0,30 sampai 0,70.
Soal dapat dikatakan sebagai soal yang baik karena cirinya soal yang
baik adalah tidak terlalu sulit dan tidak terlalu mudah. Sehingga soal
yang dikerjakan oleh mahasiswa bisa merangsang mahasiswa untuk
mempertinggi kemampuannya. Sedangkan berdasarkan analisis
pembeda diperoleh data bahwa soal-soal yang diujikan terkategorikan
Baik (good) sehingga sanggup melihat soal yang bisa dikerjakan oleh
mahasiswa yang tergolong tinggi dengan mahasiswa yang tergolong
kurang prestasinya.

Hasil Penelitian Instrumen Tes


1. Hasil postest UTS dan postest UAS siswa kelas kontrol dan
eksperimen

2. Perbedaan Mean Hasil Belajar Kelas Kontrol dan


Eksperimen

Tabel 2. Perbandingan Mean Hasil Belajar Kelas Kontrol dan


Eksperimen
Kelas
Kontrol Eksperimen Perbedaan Hasil
UTS 69,625 81.9375 12.31

326
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

UAS 69.2500 78.9583 9.71



Pengujian Persyaratan Analisis dan Pengujian Hipotesis
1. Uji Normalitas
Hasil Postest UTS dan UAS kelas eksperimen dan kelas kontrol
Tabel 3. Hasil Uji Normalitas Postest UTS Kelas Eksperimen dan
Kelas Kontrol
Kolmogorov- Shapiro-Wilk
Smirnova
Statistic df Sig. Statistic df Sig. Keterangan
Tdk Berdistribusi
UTS .098 96 .025 .910 96 .000
Normal

Tabel 4. Hasil Uji Normalitas Posttest UAS Kelas Eksperimen dan


Kelas Kontrol
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Keterangan
UAS .074 96 .200* .980 96 .151 Berdistribusi Normal

2. Uji Homogenitas

Tabel 5. Hasil Uji Homogenitas Posttest UAS


Levenes Test t-test for Equality of Means
for Equality of
Variances
F Sig. t df Sig. Mean Std. Error 95% Confidence
(2-tailed) Difference Difference Interval of the
Difference
Lower Upper
Equal
variances .486 .487 3.834 94 .000 9.70833 2.53197 4.68105 14.73562
assumed
UAS Equal
variances
3.834 93.148 .000 9.70833 2.53197 4.68045 14.73622
not
assumed
Keputusan Data Homogen

3. Uji Hipotesis

Posttest UTS
Berdasarkan uji normalitas diperoleh bahwa Data UTS tidak
berdistribusi normal dengan demikian analisis berikutnya dengan
menggunakan uji Mann-Whitney. Hasil perhitungan uji Mann-

327
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Whitney adalah :
Tabel 6. Hasil UJI Mann-Whitney U
UTS
Mann-Whitney U 664.000
Wilcoxon W 1840.000
Z -3.580
Asymp. Sig. (2-tailed) .000

Hasil perhitungan uji Mann-Whitney adalah -0,580 dan diperoleh


nilai Asymp sig (2-tailed) data UTS = 0,000, maka H0 ditolak artinya
rata-rata pemahaman konsep akuntansi mahahasiswa pada kelompok
eksperimen lebih tinggi dari rata-rata pemahaman konsep akuntansi
mahahasiswa pada kelompok kontrol.
Tabel 7. Group Statistik Postest UTS
Kelas N Mean Std. Std. Error
Deviation Mean
Ekspmn 48 81.9375 11.45278 1.65307
UTS
Kontrol 48 68.5000 20.03614 2.89197

Tabel 8. Hasil Uji Independent Samples Test


Levenes Test t-test for Equality of Means
for Equality of
Variances
F Sig. t df Sig. Mean Std. Error 95% Confidence
(2-tailed) Difference Difference Interval of the
Difference
Lower Upper
Equal
variances 8.729 .004 4.034 94 .000 13.43750 3.33108 6.82356 20.05144
assumed
UTS
Equal
variances 4.034 74.750 .000 13.43750 3.33108 6.80128 20.07372
not assumed

Posttest UAS
Berdasarkan uji normalitas, data nilai UAS berdistribusi normal
dan homogen, maka langkah selanjutnya adalah menghitung Uji t.

Tabel 9. Group Statistik


Kelas N Mean Std. Std. Error
Deviation Mean
Ekspmn 48 78.9583 11.79607 1.70262
UAS
Kontrol 48 69.2500 12.98362 1.87402

328
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Tabel 10. Hasil Uji Independent Samples Test


Levenes t-test for Equality of Means
Test for
Equality of
Variances
F Sig. t df Sig. Mean Std. Error 95% Confidence
(2-tailed) Difference Difference Interval of the
Difference
Lower Upper
Equal
variances .486 .487 3.834 94 .000 9.70833 2.53197 4.68105 14.73562
assumed
UAS
Equal
variances 3.834 93.148 .000 9.70833 2.53197 4.68045 14.73622
not assumed

Dari data diatas diperoleh nilai Sig 0,487 > (0,05), maka Ho diterima.
Jadi kedua kelompok memiliki varian yang sama. Uji selanjutnya
memakai nilai pada baris yang atas (Equal variances assumed) yaitu
3,834. Nilai t hitung besar dan nilai Sig (2-tailed) 0,000 < (0,05), maka
Ho ditolak artinya Model Group Investigation berpengaruh terhadap
tingkat pemahaman mahasiswa.

Pembahasan
Secara garis besar tahapan penelitian dikelompokkan menjadi tiga
tahap, yaitu perencanaan, pelaksanan, dan evaluasi. Berikut perincian
kegiatannya :
1. Tahap perencanaan, langkah-langkah yang dilakukan pada
tahap perencanaan antara lain: Penentuan Sampel Penelitian
(kelas eksperimen dan kelas kontrol), Penyusunan SAP,
Penyusunan Silabus, Penyusunan Instrumen tes tengah
semester, Penyusunan Instrumen tes akhir semester, Lembar
Investigasi Mahasiswa.
2. Tahap pelaksanaan, Langkah-langkah tahap pelaksanaan,
meliputi: Melakukan proses perkuliahan (model group
investigation untuk kelas eksperimen dan model konvensional
untuk kelas kontrol), dan Memberikan tes.
Untuk kelas eksperimen,
Mahasiswa ditugaskan secara langsung ke perusahaan
baik perusahaan jasa maupun perusahaan dagang dengan
membentuk kelompok kecil yaitu 4-5 orang. Masing-masing
kelompok mencari salah satu perusahaan jasa dan dagang
dengan aktivitas yang berbeda, misalnya perusahaan jasa
dengan aktivitas salon, bengkel, laundry, wash car, dll.
Kemudian mencari data aktual berdasarkan materi dari

329
Professional Learning untuk Indonesia Emas

masing-masing pertemuan, yang kemudian dipresentasikan


hasil temuan disandingkan dengan teoritis yang dipelajari
dikelas. Sesion tanya jawab dilakukan setiap kelompok
dan diluruskan jawabannya oleh dosen. Jika mahasiswa
sudah paham tentang teori yang dipresentasikan tadi, maka
dosen memberikan latihan soal yang berkaitan dengan
soal yang diperoleh dari temuan di lapangan (perusahaan)
yang dikerjakan dikelas. Kemudian dibahas bersama dan
disimpulkan. Untuk memperkuat pemahaman mahasiswa,
dosen memberikan beberapa contoh soal yang ada di
beberapa buku sumber dengan tipe soal yang berbeda.
Setiap pertemuan membahas materi yang berbeda. Sehingga
akhir pembelajaran, mahasiswa mampu menyusun laporan
keuangan suatu perusahaan didasarkan pada pengalaman
dan pemahaman penyusunan laporan keuangan meskipun
aktivitas perusahaan tersebut berbeda tetapi masih dalam satu
jenis perusahaan yang sama baik perusahaan jasa maupun
perusahaan dagang.

Untuk kelas kontrol,


Dosen menjelaskan materi berdasarkan pada rujukan beberapa
buku sumber. Setelah itu, mahasiswa diberikan kesempatan
untuk bertanya berkaitan dengan materi yang disampaikan.
Baru diberikan latihan soal berkenaan dengan materi yang ada
dalam buku sumber tersebut. Kemudian dosen dan mahasiswa
membahas bersama latihan yang dikerjakan tadi, yang
akhirnya menyimpulkan materi dari setiap pertemuan. Untuk
memantapkan kemampuan mahasiswa, dosen memberikan
tugas yang harus dikerjakan oleh mahasiswa di rumah. Dari
hasil proses pembelajaran seperti itu, diharapkan mahasiswa
mampu menyusun laporan keuangan perusahaan jasa dan
dagang didasarkan pada latihan-latihan serta tugas yang
dikerjakan baik secara individu maupun secara berkelompok.
3. Tahap penyelesaian, Langkah-langkah tahap penyelesaian,
meliputi: Pengumpulan dan penyusunan data nilai
pemahaman konsep akuntansi mahasiswa (UTS dan UAS),
pengumpulan Laporan hasil Investigasi Mahasiswa tentang
laporan keuangan, Analisis Data, diseminasi atau seminar
terbatas dengan tim dosen dan teakhir adalah laporan
penelitian.

Berdasarkan data hasil posttest diketahui bahwa nilai UTS tidak


berdistribusi normal dan nilai UAS berdistribusi normal dan homogen.
Nilai rata-rata posttest nilai UTS kelas eksperimen sebesar 81,9375

330
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

sedangkan kelas kontrol sebesar 69,625. Dan Nilai rata-rata posttest


nilai UAS kelas eksperimen sebesar 78,9583 sedangkan kelas kontrol
sebesar 69,25. Hal ini menunjukkan bahwa kelas eksperimen dengan
menggunakan model group investigation lebih baik dari kelas kontrol
yang hanya menggunakan metode konvensional.
Berdasarkan perhitungan pengujian hipotesis dengan uji
perbedaan (Uji-t), diketahui bahwa nilai t pada kelas eksperimen
sebesar 19.91 dan pada kelas kontrol 7.75 nilai ini lebih tinggi dari
ttabel pada taraf signifikan 0.05% yaitu 2.026. Maka dapat disimpulkan
bahwa hipotesis nol (Ho) ditolak dan hipotesis penelitian (H1) diterima.
Hal ini diperkuat melalui data observasi yang dilakukan pada
kelas eksperimen. Berdasarkan hasil obervasi, disimpulkan bahwa
pembelajaran dengan menggunakan modul group investigation
lebih memudahkan siswa dalam memahami konsep-konsep dalam
akuntansi dengan begitu siswa tidak merasa bosan selama proses
pembelajaran berlangsung, karena mereka dapat menggali teori
dalam aplikasi dilapangan secara langsung. Mahasiswa menjadi lebih
aktif dan percaya diri dalam mengungkapkan temuan-temuan mereka
selama observasi dalam ruang diskusi.
Sementara berdasarkan hasil analisis angket, respon mahasiswa
setelah belajar dengan menggunakan model group investigation
adalah sangat baik. Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan
penguasaan konsep mahasiswa yang dapat dilihat dari hasil belajar
akuntansi dan keaktifan mahasiswa di kelas pada saat proses
pembelajaran baik dalam hal menjawab pertanyaan. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa penerapan model group investigation secara efektif
dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa tentang mata kuliah
pengantar akuntansi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis
sejalan dengan hasil penelitian yang telah dikemukakan oleh beberapa
peneliti yang memiliki keterkaitan tentang group investigation yaitu
penelitian yang dilakukan oleh Syamsuri, Istikomah, Lina, Yuliani,
Dwi, Diah, Lailadan Umar.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengolahan data di Bab IV, dapat disimpulkan
bahwa terdapat peningkatan pemahaman mahasiswa tentang
penyusunan laporan keuangan pada mata kuliah pengantar akuntansi
setelah pembelajaran dengan menggunakan group investigation
dibandingkan dengan yang tidak menggunakan metode. Hal ini
ditunjukkan dengan perolehan nilai rata-rata baik nilai UTS maupun
nilai UAS kelas eksperimen lebih besar dibandingkan dengan kelas
kontrol yaitu sebesar 81,9375 (UTS kelas ekperimen) > 69,625 (UTS
kelas kontrol), dan 69,25 (UAS kelas ekperimen) > 78,9583 (UTS kelas
kontrol). Perbedaan hasilnya yaitu 12,31 untuk nilai UTS dan 9,71

331
Professional Learning untuk Indonesia Emas

untuk nilai UAS.


Selain itu, pemahaman konsep pengantar akuntansi mahasiswa
yang pembelajarannya dengan menggunakan model group
investigation lebih tinggi daripada pemahaman konsep pengantar
akuntansi mahasiswa yang proses pembelajarannya menggunakan
cara konvensional yaitu ceramah, latihan dan tugas. Hal ini dibuktikan
melalui hasil uji t sebesar 3,834 dengan nilai sig (2-tailed) 0,000 <
(0,05), sehingga bisa disimpulkan bahwa H0 ditolak artinya Model
Group Investigation berpengaruh terhadap tingkat pemahaman
mahasiswa.

Daftar Pustaka

Anne Campbell & Lin Norton. Learning, Teaching and Assessing in


Higher Education Developing Reflective Practice. British : Learning
Matters Ltd. 2007
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik,
Jakarta: Rineka Cipta, 2006.
Emzir, Metodologi Penelitian Pendidikan Kuantitatif & Kualitatif,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.
Fathurrohman, Pupuh, Strategi Belajar Mengajar, Bandung: Refika
Aditama, 2009.
George & Madeleine. Effective Teaching in higher education. London and
New York : Methuen & Co.Ltd. 2002.
Heather Fry, Steve, and Stephanie. Teaching ang Learning in higher
education enhancing academic practice, third Edition. New York
and London : Routledger. 2009
Horngren, Harrison, Akuntansi, Jilid Satu Edisi ketujuh. Jakarta :
Erlangga. 2007
Hakim, Lukmanul, Perencanaan Pembelajaran, Bandung: CV. Wacana
Prima, 2009
Ikatan Akuntansi Indonesia. Standar Akuntansi Keuangan, Edisi
terbaru. Salemba Empat. 2006
I Wayan Santyasa. Model-model Pembelajaran Inovatif. Artikel
Disajikan dalam pelatihan tentang Penelitian Tindakan Kelas
bagi Guru-Guru SMP dan SMA di Nusa Penida, tanggal
29 Juni s.d 1 Juli 2007. http://file.upi.edu/Direktori/FIP/
JUR._PEND._LUAR_SEKOLAH/194704171973032-MULIATI_
PURWASASMITA/MODEL_MODEL_PEMBELAJARAN.pdf.
Tanggal 3 Maret 2015.
Jerry J. Weygandt, Donald E. Kieso and Paul D. Kimmel. Accounting

332
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Principle, 6 th Edition, John Wiley & Sons, Inc., New York. 2003
Kadir, Statistika untuk Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta: Rose Mata
Sampurna, 2010
Lena Nuryanti. 99 Model Pembelajaran. Bandung : Alfabeta. 2009
Rita Eni & Indah N. Siklus Akuntansi. Yogyakarta : Kanisius. 2001
Rudianto. Pengantar Akuntansi. Jakarta : Erlangga. 2012
Suwardjono. Akuntansi Pengantar. Yogyakarta : BPFE-Yogyakarta.
2003
Sony & Irene. Akuntansi Pengantar 1, Adaptasi IFRS. Yogyakarta : AB
Publisher. 2011
Susan Irawati. Akuntansi Dasar 1 & 2. Bandung : Balai Pustaka. 2008
Slavin, Cooperative Learning Teori, Riset, dan Praktik, Bandung: Nusa
Media, 2008.
Subana dan Sudrajat, M., Dasar-dasar Penelitian Ilmiah, Bandung:
Pustaka Setia, 2005.
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D,
Bandung: Alfabeta, 2008, cet ke 5,
Warren, Duchac, Reeve. Pengantar Akuntansi, Buku 1. Jakarta :
Salemba Empat. 2010

333
PROFIL PENGGUNAAN MEDIA
PEMBELAJARAN FISIKA BERBASIS KOMPUTER
UNTUK MENINGKATKAN PENGETAHUAN
SISWA SMA

Diah Mulhayatiah
Program Studi Pendidikan Fisika FITK UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Indonesia
Email : diahmfis@gmail.com

Abstrak :Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keterkaitan


hasil kemampuan pengetahuan dengan respon siswa terhadap
pembelajaran dengan menggunakan media pembelajaran
berbasis komputer. Metode penelitiannya adalah dengan kuasi
eksperimen Penelitian ini dilaksanakan dengan populasi siswa
SMA di Jawa Barat dan Banten. Hasil pengetahuan siswa yang
diukur adalah kemampuan belajar siswa yang diukur melalui
tes. Respon siswa terhadap media pembelajaran adalah dengan
menggunakan angket. Media pembelajaran yang diterapkan
adalah berupa virtual laboratory, zooming presentation dan media
pembelaran berbasis web. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa
penggunaan media pembelajaran ini mampu meningkatkan
hasil pengetahuan siswa secara signifikan dengan nilai rata-rata
kemampuan siswa berada pada kriteria sedang dan tinggi dan
memiliki kesinkronan dengan respon siswa yang secara rata-
rata menyukai pembelajaran fisika karena menggunakan media
yang berbasis pada komputer.

Kata Kunci: Media Pembelajaran Fisika Berbasis Komputer,


Kemampuan Pengetahuan

Pendahuluan
Keterampilan yang dimiliki siswa sangat diperlukan untuk
memahami dan menyelesaikan persoalan yang berhubungan dengan
dunia nyata khususnya dalam pembelajaran fisika. Pemahaman
konsep yang dimiliki siswa dapat dijadikan kunci untuk menyelesaikan
persoalan dalam kehidupan sehari-hari dan merupakan dasar untuk
pembelajaran pada jenjang pendidikan selanjutnya. Mengacu pada
uraian tersebut, pembelajaran yang dilakukan hendaknya merupakan

334
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

proses belajar yang dibangun oleh guru untuk meningkatkan


pemahaman konsep siswa terhadap materi fisika. Selain itu, dari
proses belajar dan pembelajaran juga diharapkan siswa mampu
mengaplikasikan konsep yang telah diterima ke dalam kehidupannya.
Mata pelajaran fisika adalah salah satu mata pelajaran yang berkaitan
dengan peristiwa alam sekitar, baik secara kualitatif maupun kuantitatif
dengan menggunakan matematika, serta dapat mengembangkan
pengetahuan, keterampilan, dan sikappercaya diri. Akan tetapi proses
belajar yang seakan monoton dan kurang kreatifnya para pendidik
dalam menggunakan media belajar membuat peserta didik kesulitan
dalam memahami materi fisika. Sehingga timbul anggapan bahwa
fisika itu tidak menarik dan cenderung membosankan. Jika anggapan
tersebut sudah melekat pada diri siswa maka akan timbul sikap
malas untuk belajar fisika yang nantinya akan mengakibatkan tingkat
pemahaman konsep siswa tersebut semakin rendah.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan kepada siswa,
sebagian siswa tidak menyukai pelajaran fisika karena menurut mereka
fisika itu konsepnya sangat sulit dipahami, materinya terlalu banyak,
terlalu banyak rumus yang bersifat kompleks, sehingga menyebabkan
kurang termotivasinya mereka dalam mempelajari pelajaran fisika
sehingga pemahaman konsepnya pun rendah serta hasil belajarnya
pun ikut rendah.
Demi tercapainya suatu peningkatan pada pemahaman konsep
siswa, sistem pendidikan yang semakin maju serta didukung oleh
perkembangan teknologi sangat memberi kontribusi pada proses
pembelajaran dalam beberapa tahun terakhir ini. Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi semakin mendorong upaya-upaya
pembaharuan dalam pemanfaatan hasil-hasil teknologi dalam proses
pembelajaran. Dari sekian faktor penunjang keberhasilan proses
pembelajaran, salah satunya yaitu pemanfaatan perkembangan
teknologi sebagai media pembelajaran. Media merupakan salah satu
faktor yang turut menentukan keberhasilan pembelajaran. Dengan
adanya media yang menarik dan menyenangkan akan merangsang
minat dan motivasi siswa untuk belajar. Media pembelajaran yang
digunakan adalah virtual lab, zooming presentation, dan media
pembelajaran berbasis blog (weblog). Media pembelajaran berbasis
blog (weblog) banyak digunakan oleh beberapa peneliti diantaranya
Kristiyanti (2011: 44) yang menyimpulkan bahwa blog sangat
bermanfaat bagi dunia pendidikan dan dapat menjadi alternatif media
pembelajaran, selain mudah diakses blog juga dapat memotivasi siswa
dalam belajar.

335
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Virtual Laboratory
Media adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim pesan
(guru) kepada penerima pesan (siswa). Kata media berasal dari bahasa
latin,yaitu medium yang berarti perantara atau sesuatu yang dipakai
untuk menghantarkan, menyampaikan atau membawa sesuatu. Kata
medium dalam American Heritage Electronic Dictionary (1991) diartikan
sebagai alat untuk mendistribusikan dan mempresentasikan informasi.
Media berasal dari bahasa latin dan merupakan bentuk jamak dari
kata medium yang secara harfiah berarti perantara yaitu perantara
sumber pesan dengan penerima pesan. Gagne dan Briggs secara
implisit mengatakan bahwa media pembelajaran meliputi alat yang
secara fisik digunakan untuk menyampaikan isi materi pengajaran,
yang terdiri dari antara lain buku, tape recorder, kaset, video camera,
video recorder, film, slide (gambar bingkai), foto, gambar, grafik, televisi,
dan komputer .
Anderson membagi media dalam dua kategori, yaitu alat bantu
pembelajaran (instructional aids) dan media pembelajaran (instructional
media). Media pembelajaran adalah media yang memungkinkan
terjadinya interaksi antara karya seseorang pengembang mata
pelajaran (guru) dengan siswa. Adapun yang dimaksud dengan
interaksi adalah terjadinya suatu proses belajar pada diri siswa pada
saat menggunakan atau memanfaatkan media.
Prezi pada awalnya dikembangkan oleh arsitek Hungaria
bernama Adam Somlai Fischer sebagai alat visualisasi arsitektur.
Prezi juga memiliki keistimewaan pada zooming in dan out, yang
dapat digunakan dalam memperlihatkan sajian secara detail. Hal ini
dapat memberikan kesan yang mendalam pada penerima pesan. Prezi
adalah sebuah perangkat lunak untuk presentasi berbasis internet.
Selain untuk presentasi, prezi juga dapat digunakan sebagai alat untuk
mengeksplorasi dan berbagi ide di atas kanvas virtual.Prezi menjadi
unggul karena program ini menggunakan Zooming User Interface
(ZUI), yang memungkinkan pengguna prezi untuk memperbesar dan
memperkecil tampilan media presentasi.
Laboratorium virtual atau bisa disebut dengan istilah virtual labs
adalah serangkaian alat-alat laboratorium yang berbentuk perangkat
lunak (software) komputer berbasis multimedia interaktif, yang
dioperasikan dengan komputer dan dapat mensimulasikan kegiatan
di laboratorium seakan-akan pengguna berada pada laboratorium
sebenarnya (Arifin 2012). Menurut Aryanto (2008) virtual laboratory
dimaknakan sebagai sesuatu yang abstrak yang diwakili oleh sebuah
model visual untuk membantu si pemakai (user) dalam memperoleh
data secara simulasi sampai pada membuat suatu hipotesis. Pengertian
lain diungkapkan oleh Babateen (2011) bahwa virtual laboratory
didefinisikan sebagai belajar virtual dan belajar lingkungan yang

336
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

merangsang real laboratory.


Blog adalah cara mudah untuk mengenal kepribadian seorang
blogger. Topik-topik apa yang dia sukai dan tidak dia sukai, apa yang
dia pikirkan terhadap link-link yang dia pilih, apa tanggapannya
pada suatu isu. Seluruhnya biasanya tergambar jelas dali blognya.
Karena itu blog bersifat sangat personal. Roger Yim, seorang kolumnis
menulis bahwa sebuah blog adalah persilangan antara diary seseorang
dan daftar link di internet. Sedang Scott Rosenbreg dalam kolomnya
di majalah online Salon pada May 1999 menyimpulkan bahwa blog
berada pada batasan website yang lebih bernyawa daripada sekedar
kumpulan link tapi kurang instrospektif dari sekedar sebuah diary
yang disimpan di internet (Panjaitan, 2013: 2)
Perkembangan lain dari blog yaitu ketika kemudian blog bahkan
tidak lagi memuat link-link tapi hanya berupa tulisan tentang apa
yang seorang blogger pikirkan, rasakan, hingga apa yang dia lakukan
sehari-hari. Blog juga kemudaian menjadi diary online yang berada
di internet. Satu-satunya hal yang membedakan blog dari diary atau
jurnal yang biasa kita miliki adalah bahwa blog dibuat untuk dibaca
orang lain. Para blogger dengan sengaja mendesain blognya dan isinya
untuk dinikmati orang lain.
Hasil belajar adalah perubahan perilaku, bertambahnya
pengetahuan, dan kemampuan keterampilan yang dimiliki siswa
setelah mengikuti proses belajar mengajar yang diberikan guru
sehingga siswa menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya. Dalam
sistem pendidikan nasional, rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan
kurikuler maupun tujuan instruksional, menggunakan klasifikasi hasil
belajar dari Benyamin Bloom yang secara garis besar terbagi menjadi
tiga ranah, yakni ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik.
Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri
dari enam aspek, yaitu: 1) Mengingat (C1) ; 2) Memahami (C2) ; 3)
Mengaplikasikan atau Menerapkan (C3) ; 4) Menganalisis (C4) ; 5)
Mengevaluasi (C5) ; 6) Menghasilkan karya atau mencipta (C6) .
Menurut Mustaji (2012) pengertian berpikir kritis ialah berpikir
secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pembuatan
keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau dilakukan.
Halpen dalam Achmad (2007) menyatakan bahwa berpikir kritis
adalah memberdayakan keterampilan atau strategi kognitif dalam
menentukan tujuan. Proses tersebut dilalui setelah menentukan
tujuan, mempertimbangkan, dan mengacu langsung kepada sasaran-
merupakan bentuk berpikir yang perlu dikembangkan dalam rangka
memecahkan masalah, merumuskan kesimpulan, mengumpulkan
berbagai kemungkinan, dan membuat keputusan ketika menggunakan
semua keterampilan tersebut secara efektif dalam konteks dan tipe
yang tepat. Berpikir kritis juga merupakan kegiatan mengevaluasi-

337
Professional Learning untuk Indonesia Emas

mempertimbangkan kesimpulan yang akan diambil manakala


menentukan beberapa faktor pendukung untuk membuat keputusan.
Berpikir kritis juga biasa disebut directed thinking, sebab berpikir
langsung kepada fokus yang akan dituju.

Pembahasan
Berdasarkan pembelajaran dengan menggunakan media zooming
presentation diperoleh rekapitulasi data sebagai berikut

Tabel 1. Hasil Pretest dan Posttest Berdasarkan Jenjang Kognitif

Pretest Posttest
Jenjang Kog- Kelas Kelas
No. Kelas Kelas
nitif Eksperi- Eksperi-
Kontrol Kontrol
men men
1. Mengingat (C1) 27% 51% 69% 65%
2. Memahami (C2) 38% 27% 82% 79%
3. Menerapkan 26% 29% 76% 64%
(C3)
4. Menganalisis 19% 25% 72% 67%
(C4)

Tabel di atas, menunjukkan perentase pretest dan posttest kelas


eksperimen dan kelas kontrol berdasarkan jenjang kognitif. Pada
saat pretest kemampuan kelas eksperimen dalam mengingat (C1)
27%, memahami (C2) 38%, menerapkan (C3) 26%, menganalisis (C4)
19%, sedangkan pada kelas kontrol kemampuan mengingat (C1) 51%,
memahami (C2) 27%, menerapkan (C3) 29%, dan menganalisis (C4) 25%.
Pada saat posttest kemampuan kelas eksperimen dalam mengingat
(C1) adalah 69%, memahami (C2) 82%, menerapkan (C3) 76%, dan
menganalisis (C4) 72%. Sedangkan pada kelas kontrol, berdasarkan
jenjang kognitif dalam mengingat (C1) sebesar 65%, memahami (C2)
79%, menerapkan (C3) 64%, dan menganalisis (C4) 67%. Dari data
tersebut terlihat peningkatan jenjang kognitif antara pretest dan posttest.
Hasil pretest dan posttest tujuh aspek pemahaman konsep siswa
dengan menggunakan pembelajaran dengan berbasis weblog dapat
dilihat sebagai berikut:

338
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Tabel 2. Peningkatan Pemahaman Konsep


Aspek Skor Rata-Rata
No Interpretasi
Pemahaman Konsep Pretest Posttest N-Gain

1 Menjelaskan 1.67 3.78 0.90 Tinggi

2 Menafsirkan 1.22 3.33 0.76 Tinggi

3 Mencontohkan 1.22 2.63 0.51 Sedang

4 Mengklasifikasikan 1.04 3.22 0.74 Tinggi

5 Membandingkan 0.96 3.44 0.82 Tinggi

6 Menyimpulkan 0.74 3.44 0.74 Tinggi

7 Merangkum 0.59 3.15 0.78 Tinggi

Rata-rata 31.46 82.44 0.74 Tinggi

Berdasarkan Tabel di atas dapat dilihat bahwa peningkatan yang


paling signifikan terjadi pada indikator menjelaskan dengan N-Gain
0,90 dengan interpretasi Tinggi, dan peningkatan pemahaman yang
terendah terjadi pada indikator mencontohkan dengan N-Gain 0,51
dengan interpretasi sedang.. Faktor siswa yang kurang mengetahui
kejadian sehari-hari atau peristiwa yang terjadi di sekitar yang
berhubungan dengan materi gerak lurus beraturan menjadi penyebab
indikator pemahaman konsep mencontohkan berkategori sedang.
Sedangkan hasil pemahaman konsep dengan mengunakan media
virtual laboratorium adalah sebagai berikut
Tabel 3. Nilai Rata-Rata Siswa Tiap Indikator Pemahaman
Konsep
No Indikator Pemahaman Konsep Rata-Rata Kategori
1 Menafsirkan 98.33 Sangat Baik
2 Mencontohkan 76.67 Baik
3 Mengklasifikasi 60.83 Cukup
4 Merangkum 80.83 Baik
5 Menyimpulkan 56.67 Kurang
6 Membandingkan 66.67 Cukup
7 Menjelaskan 95.83 Sangat Baik
Rata-
rata 77.53 Baik

339
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Deskripsi yang menunjukkan gambaran keterampilan berpikir


kritis siswa didapatkan berdasarkan hasil posttest di atas dengan rata-
rata perolehan nilai dalam kateori baik.
Interpretasi dari hasil kemampuan siswa pada setiap indikator
keterampilan berpikir kritis terangkum dalam tabel di bawah ini:

Tabel 4. Nilai Rata-Rata Siswa Tiap Indikator Keterampilan


Berpikir Kritis
No Indikator Keterampilan Berpikir Kritis Rata-Rata Kategori
Memberi penjelasan sederhana; kemam-
1 puan menjelaskan konsep pemuaian ber- 80.83 Baik
dasarkan fenomena sehari-hari
Membangun keterampilan dasar; kemam-
puan memberikan alasan pada fenomena
2 75.00 Cukup
sehari-hari yang berhubungan dengan
perubahan wujud zat
Menyimpulkan; kemampuan membuat Sangat
3 95.83
hasil deduksi melalui percobaan Baik
Memberi penjelasan lanjut; kemampuan
memberikan penjelasan mengenai istilah- Sangat
4 98.33
istilah yang ada dalam perubahan wujud Baik
zat
Mengatur strategi dan taktik 1; kemam-
puan mempertimbangkan alternatif
5 60.83 Cukup
atau pemecahan masalah dalam proses
pemuaian
Mengatur strategi dan taktik 2; kemam-
puan mempertimbangkan alternatif atau
6 55.83 Kurang
pemecahan masalah dalam proses peruba-
han suhu
Rata-
rata 77.87 Baik

Berdasarkan table di atas nilai rata-rata untuk keterampilan


berpikir kritis siswa berada pada kategori baik.
Keseluruhan hasil yang diperoleh dari paparan di atas
memperlihatkan peningkatan kemampuan siswa dengan
menggunakan media pembelajaran berbasis komputer Hal ini sesuai
dengan Arsyad (2002) media pembelajaran dengan komputer dapat
menampilkan dengan baik berbagai simulasi, visualisasi, konsep-
konsep, dan multimedia yang dapat diakses user (siswa) sesuai

340
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

dengan yang diinginkan sehingga visualisasi yang bersifat abstrak


dapat ditampilkan secara konkret dan dipahami secara mendalam
(Rahmasari & Rismiati, 2013: 77). Senada dengan paparan di atas
Sudjana & Rivai (2005: 2) menyebutkan bahwa media pembelajaran
sangat membantu diantaranya adalah: 1) agar pembelajaran lebih
menarik perhatian sehingga menumbuhkan motivasi belajar siswa;
2) materi pembelajaran akan lebih mudah dipahami oleh siswa; 3)
metode mengajar lebih variatif sehingga dapat mengurangi kebosanan
belajar; 4) siswa lebih aktif dalam melakukan kegiatan belajar
Hasil data angket siswa terkait penggunaan media zooming
presentation adalah sebagai berikut

Tabel 5. Hasil Angket Penggunaan Media Pembelajaran Zooming


Presentation
Kelas Eksperimen
No. Indikator Angket
Persentase Kesimpulan
1. Minat belajar siswa terhadap mata
pelajaran fisika menggunakan me-
70% Baik
dia pembelajaran zooming presenta-
tion
2. Penjelasan konsep suhu dan kalor
pada media pembelajaran zooming 76% Baik
presentation
3. Pemanfaatan zoom in dan zoom out-
pada media pembelajaran zooming 76% Baik
presentation
4. Tampilan media pembelajaran
82% Baik Sekali
zooming presentation
Rata-rata 76% Baik

Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa secara keseluruhan penggunaan


media pembelajaran zooming presentation dalam pembelajaran
fisika konsep suhu dan kalor memperoleh hasil yang baik. Artinya
penerapan media pembelajaran zooming presentation dapat diterima
oleh para siswa. Hasil data angket siswa terkait penggunaan media
berbasis weblog adalah sebagai berikut

341
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Tabel 6. Rekapitulasi Penilaian Siswa terhadap Media Blog


(Weblog)

Aspek dan Indikator Skor Maks (%) Interpretasi

Kemudahan Penggunaan
Blog (weblog) fisika mudah diakses
91 108 84,26 Sangat Baik
dan digunakan
Konsep GLB dalam blog (weblog)
79 108 73,15 Baik
fisika lebih mudah dipahami
Tampilan
Desain blog (weblog) menarik untuk
81 108 75,00 Baik
dilihat
Tulisan dalam blog (weblog) dapat
85 108 78,70 Baik
dibaca dengan jelas
Fitur gambar blog (weblog)
Gambar dalam blog (weblog) dapat
86 108 79,63 Baik
menjelaskan konsep GLB lebih jelas
Blog (weblog) fisika lebih menarik
79 108 73,15 Baik
dari media yang lainnya
Jumlah 501 648 77,31 Baik

Hasil respon siswa pada angket skala sikap terhadap penggunaan


media pembelajaran berbasis blog pada materi gerak lurus beraturan
mencapai 77.31 %, ini berarti bahwa pembelajaran menggunakan
media blog mendapatkan respon positif dari siswa, sehingga media
ini direkomendasikan untuk digunakan pada pembelajaran fisika
materi gerak lurus beraturan dengan sedikit perbaikan pada metode
pembelajarannya agar pembelajaran semakin efektif.

Penutup
Berdasarkan hasil pengolahan dan analisis data tentang
penggunaan media pembelajaran berbasis komputer diperoleh
kesimpulan sebagai berikut:
1. Terdapat peningkatan hasil belajar, pemahaman konsep, dan
keterampilan berpikir kritis siswa setelah dilakukan pembelajaran
dengan menggunakan media pembelajaran berbasis blog (weblog).
2. Respon yang diberikan oleh siswa terkait dengan pembelajaran
dengan menggunakan media komputer memberikan respon yang
positif.

342
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Daftar Pustaka

Anderson, Lorin W dan David R. Krathwohl. 2010. Kerangka Landasan


untuk Pembelajaran, Pengajaran, dan Asesmen, terj. Agung
Prihantoro. Yogyakarta: Pustaka Belajar,
Aprianto. 2008. Pengaplikasian Virtual Laboratory sebagai Media
Pembelajaran Jarak Jauh. Bandung : Universitas Pendidikan
Indonesia.
Arsyad, Azhar. 2012. Media Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Pers.
Diamond, Stephanie. 2010. Prezi for Dummies. Kanada: Wiley
Publishing.
Kristiyanti, Mariana. 2011. Blog Sebagai Alternatif Media Pembelajaran.
Semarang : Universitas AKI
Munir. 2012. Multimedia Konsep dan Aplikasi Dalam Pendidika.
Bandung: Alfabeta.
Nizar, Achmad. 2008. Pemanfaatan Blog Sebagai Media Alternatif
Pembelajaran Matematika Bagi Siswa SMP. Jurnal Nasional.
Sadiman, Arief S., dkk. 1986. Media Pendidikan: Pengertian,
Pengembagan, dan Pemanfaatannya. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya.
Jakarta: Rineka Cipta.
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, dan R&D. Bandung: ALFABETA, cet. 18.
Sujanem, Rai. 2012. Pengembangan Modul Fisika Kontekstual Interaktif
Berbasis Web untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep dan
Hasil Belajar Fisika Siswa Sma Di Singaraja. Jurnal Nasional.
Sutirman. 2013. Media dan Model-Model Pembelajaran Inovatif.
Yogyakarta: Graha Ilmu
Tuysuz, Cengis. 2010. The effect of the Virtual Labooratory on Students
Achievement and Attitude in Chemistry. International Online
Journal of Educational Sciences. 38

343
KONSTRUKSI KONSEP SAINS KIMIA DENGAN
BAHAN TERBATAS
Murdoyoko
SMA Negeri 28 kabupaten Tangerang
Email : syifanaufal@yahoo.co.id

Abstrak

Berawal dari kenyataan bahwa konsep-konsep sains kimia di-


peroleh secara induktif yang merupakan generalisasi dari fakta-
fakta empiris. Konsep kimia diperoleh dari teori-teori kecil dan
telah berkali-kali diuji sehingga diperoleh teori yang lebih besar
lagi. Dikarenakan banyaknya teori-teori kecil yang menyusun
suatu konsep maka permasalahan yang timbul dalam pembe-
lajaran kimia adalah bagaimana seorang siswa memahami kon-
sep kimia dan bagi guru adalah bagaimana cara memfasilitasi
pencapaian konsep tersebut. Dikarenakan banyaknya konsep
yang harus difasilitasi dan kecenderungan bahan-bahan kimia
yang relatif mahal maka kesan yang diperoleh adalah mahal
nya pelajaran kimia. Menghadapi ini semua diperlukan kreati-
fitas seorang guru untuk memodifikasi segala sesuatu yang ada
untuk mencapai konsep yang ada. Kreativitas seseorang meru-
pakan interaksi dari kecerdasan, pengetahuan, cara berpikir,
kepribadian, motivasi dan lingkungannya. Seorang guru harus
kreatif dalam menghadapi segala keadaan di sekolah. Apabila
di sekolah tersedia fasilitas yang terbatas maka dia harus dapat
menciptakan sesuatu yang terbatas tersebut menjadi tak terba-
tas.

Kata kunci: Konsep sains kimia, bahan terbatas, prinsip kon-


struksi

PENDAHULUAN
Konsep-konsep sains kimia diperoleh secara induktif yang meru-
pakan generalisasi dari fakta-fakta empiris. Konsep kimia diperoleh
dari teori-teori kecil dan telah berkali-kali diuji sehingga diperoleh
teori yang lebih besar lagi. Dikarenakan banyaknya teori-teori kecil
yang menyusun suatu konsep maka permasalahan yang timbul dalam

344
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

pembelajaran kimia adalah bagaimana seorang siswa memahami kon-


sep kimia dan bagi guru adalah bagaimana cara memfasilitasi penca-
paian konsep tersebut.
Banyaknya teori pendukung menyebabkan fasilitas yang diper-
lukan menjadi banyak dan menjadikan pembelajaran kimia menjadi
relatif mahal. Mahalnya pembelajaran kimia adalah dalam prak-
tikum disamping alat-alatnya yang mempunyai spesifikasi tersendiri
ataupun bahan-bahan yang sekali pakai habis. Hal inilah yang akh-
irnya banyak menjadi alasan beberapa guru kimia untuk mengajar
dengan cara-cara konvensional tanpa adanya inovasi. Berbagai alasan
disampaikan oleh seorang guru kimia sekolah kami tidak ada labo-
ratorium peralatan di laboratoroum kami tidak lengkap dan ber-
bagai alasan yang lain. Tapi permasalahannya apakah akan berhenti
sampai di sini pembelajaran kimia? Apakah tidak ada cara lain untuk
mewujudkan kompetensi kimia yang diharapkan?. Tentu tidak, seb-
agai seorang guru harus berinovasi dalam mengajar. Keterbatasan alat
dan bahan dalam belajar bukan menjadi masalah jika seorang guru
dapat mengeluarkan daya kreatifitasnya. Seorang guru harus dapat
menggunakan sesuatu yang terbatas ( limited) untuk menghasilkan
suatu pengusaan konsep yang tak terbatas ( unlimited).
Dari latar belakang yang diuraikan di atas maka permasalahannya
adalah : Bagaimana cara menggunakana alat dan bahan yang terbatas
( limited) sehingga menghasilkan penguasaan konsep yang tak terbatas
( unlimited)?

PEMBAHASAN
Prisip konstruksi konsep kimia
Konsep-konsep kimia yang cenderung abstrak akan dapat tersu-
sun dalam diri siswa maka dalam mengajar kimia diharapkan melalui
beberapa prinsip sebagai berikut:
1. Menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan siswa.
Untuk mengurangi keabstrakan konsep kimia, maka siswa harus
melihat secara langsung kasus kasus dalam kimia misalnya ter-
jadinya gas, endapan, perubahan warna, perubahan suhu dan lain-
lain.
2. Memperlakukan alat dan bahan tersebut sebagai berikut :
- mereaksikan benda atau bahan yang ada
- menunjukkan efek-efek dari perlakuan di atas
- menyadarkan siswa terjadinya efek tersebut
- menjelaskan secara rinci konsep yang akan dicapai
3. Memperkenalkan dengan kegiatan yang layak
Kegiatan yang layak adalah kegiatan yang tidak asing bagi siswa

345
Professional Learning untuk Indonesia Emas

baik dari segi alat, bahan ataupun kegiatannya. Kegiatan yang di-
laksanakan hendaknya familiar dengan kehidupan siswa.
4. Menekankan untuk timbulnya pertanyaan dari perlakuan yang di-
laksanakan.
Efek-efek dari perlakuan yang zat-zat diharapkan akan membuat
siswa takjub sehingga menimbulkan rasa ingin bertanya yang
besar.
5. Mengajak siswa untuk saling berinteraksi baik dengan alat, bahan,
guru ataupun sesama siswa.
Dalam melakukan sesuatu maka seorang guru hanya bertindak
sebagai fasilitator, siswa harus melaksanakan kegiatan sendiri se-
hingga segala bentuk efek yang terjadi akan terpatri pada benak
siswa.
6. Melaksanakan dengan sederhana tanpa istilah yang membebani
pikiran.
Membuat istilah dalam kegiatan dengan istilah yang ringan se-
hingga siswa tidak terbebani dengan hal-hal yang membingung-
kan.
7. Siswa diajak berpikir dengan cara mereka sendiri.
Respon siswa terhadap efek dalam kegiatan berbeda tapi kita ha-
rus menampung semua.
8. Mengulang kegiatan diwaktu yang akan datang.
Dalam suatu percobaan sebenarnya banyak sekali konsep yang
dapat diambil sehingga apabila suatu konsep berhubungan den-
gan materi pembelajaran yang berbeda maka percobaan itu dapat
diulang kembali.
(Ratna Wilis Dahar, 1989)

Guru Kreatif
Creativity of an individual is an interactive result of his/her intelli-
gence, knowledge, thinking style, personality, motivation and environment
( Tan Ai Girl, 2004)
Kreativitas seseorang merupakan interaksi dari kecerdasan, pen-
getahuan, cara berpikir, kepribadian, motivasi dan lingkungannya.
Hal ini dapat diuraikan bahwa seseorang akan dikatakan kreatif jika
dapat menggunakan segala potensi yang ada pada dirinya maupun
lingkungannya. Ketika dalam pengajaran seorang guru dihadapkan
pada suatu keterbatasan maka dengan kecerdasan, pengetahuan, mo-
tivasi dan kepribadiannya dia akan berpikir inovatif menggunakan
lingkungan yang ada untuk menghasilkan suatu yang maksimal. Se-
hingga yang dinamakan dengan limited is unlimited adalah bagaimana
seorang guru mengunakan alat dan bahan yang terbatas ( baik secara

346
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

jumlah maupun kegunaannya) untuk menghasilkan sesuatu yang tak


terbatas. Alat dan bahan yang terbatas secara jumlah adalah alat dan
bahan yang jumlahnya sedikit sehingga tidak mencukupi untuk kes-
eluruhan siswa, dan alat dan bahan yang terbatas secara kegunaannya
adalah menggunakan alat dan bahan dari modifikasi ataupun bahan
yang sudah mempunyai kegunaan terbatas ( barang bekas atau bahan
sisa).

Rencana Pembelajaran dengan prinsip Limited is unlimited


Rencana pembelajaran berikut disusun untuk sekolah dengan
latar belakang tidak mempunyai laboratorium kimia sehingga diran-
cang sebagai berikut:

MENIUP BALON SAMBIL BERNYANYI


Kompetensi dasar : Siswa mengetahui efek yang menyertai reaksi
kimia.
Indikator : Siswa dapat mengetahui timbulnya gas pada
reaksi kimia.
Alat dan bahan:
1. Tabung
2. Balon
3. Korek api
4. Soda kue sisa
5. Asam cuka sisa

Langkah kerja
1. Siapkan tabung bekas dan masukan cuka kedalamnya.
2. Masukkan soda kue kedalam tabung tersebut.
3. Dengan cepat tutup tabung dengan balon.
4. Diamkan beberapa menit dam amati yang terjadi.
5. Ketika balon mengembang siswa diharuskan menyanyi.
6. Setelah balon-balon mengembang maksimal, buka tabung ke-
mudian dekatkan korek api yang menyala.
7. Amati apa yang terjadi dengan korek api.

Pertanyaan tentang percobaan


1. Mengapa balon dapat mengembang?
2. Apa yang terjadi dengan korek api?
3. Perkirakan gas apa yang terjadi?

Percobaan di atas menggunakan alat dan bahan yang sudah terba-


tas kegunaannya : tabung film biasanya dibuang ketika filmnya dipak-

347
Professional Learning untuk Indonesia Emas

ai sehingga dalam hal ini tabung reaksi sebagai modifikasi tabung


reaksi diperoleh dari bahan yang kegunaannya sudah terbatas. Soda
kue ataupun cuka juga dapat diambil dari bahan-bahan sisa, ketika
seorang ibu membuat kue kadang sisa soda kue dibiarkan begitu saja,
begitupun dengan cuka di warung kadang terbuang secara sia-sia.
Tapi dari alat dan bahan yang sudah terbatas dapat dihasilkan ses-
uatu yang dapat mendukung pencapaian konsep kimia yaitu :
1. Ketika siswa mencampurkan cuka dan soda kue maka akan ter-
bentuk gelembung gas, dan untuk membuktikannya siswa mema-
sang balon pada tabung sehingga balon itu mengembang. Konsep
yang dapat diberikan kepada siswa adalah salah satu efek yang
timbul pada suatu reaksi kimi adalah terjadinya gas.
2. Ketika siswa menguji gas tersebut dengan nyala api teryata apinya
mati. Gas yang mempunyai sifat dapat mematikan pembakaran
adalah karbondioksida yang merupakan kebalikan dari gas oksi-
gen yang merupakan gas yang fungsinya untuk pembakaran.

Setelah siswa dapat melaksanakan proses tersebut dengan baik


maka tindak lanjut guru adalah memberikan penjelasan yang lebih
lengkap tentang konsep yang diharapkan.
Ini adalah salah satu contoh penggunaan alat dan bahan yang ter-
batas. Masih banyak konsep kimia yang dapat digunakan untuk men-
genalkan konsep kimia pada siswa. Yang diperlukan dalam proses ini
adalah kreativitas seorang guru dalam menghadapi segala keadaan.
Apabila seorang guru dapat berkreasi dengan sesuatu yang terbatas
maka jika dihadapkan dengan keadaan sekolah yang segala sesuatu-
nya tersedia maka dia akan lebih dapat berkreasi yang besar lagi. Se-
hingga yang terjadi adalah unlimited is unlimited. Tapi akan menjadi
memprihatinkan jika seorang guru yang diharapkan pada sekolah
dengan fasilitas yang tak terbatas : labaratorium, alat bahan dan se-
gala fasilitasnya tapi proses kreativitasnya tidak ada maka yang terjadi
adalah Unlimited is limited.

KESIMPULAN
Seorang guru harus kreatif dalam menghadapi segala keadaan di
sekolah. Apabila di sekolah tersedia fasilitas yang terbatas maka dia
harus dapat menciptakan sesuatu yang terbatas tersebut menjadi tak
terbatas.

348
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Daftar Pustaka

Gordon Wells, Constructing Knowledge Together, Boston : Heinemann,


Portsmouth, 1992
Mortiner, Introducing Chemistry, Nederland : Van Nostrand Company,
1993
Ratna Wilis Dahar, Teori-teori belajar, Jakarta :Erlangga, 1989
Tan Ai, Creativity for teachers, Philadelphia : Marshall Cavendish Aca-
demic,2004
, Silabus pembelajaran Sains Kimia Untuk SMP, Jakarta : Dep-
diknas,2006

349
UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR IPA
MELALUI STRATEGI PEMBELAJARAN AKTIF
CROSSWORD PUZZLE
(Penelitian Tindakan Kelas V SDN Tugu 2 Depok)

Dedi Irwandi, Edah Jubaedah, Fauzan


Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Email: fauzan@uinjkt.ac.id

Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis


penerapan strategi pembelajaran aktif Crossword Puzzle dalam
meningkatkan hasil belajar siswa dan aktivitas siswa terhadap
pembelajaran IPA dengan menggunakan strategi pembelajaran
aktif Crossword Puzzle. Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang dilaksanakan dua
siklus melalui empat tahapan. Hasil penelitian mengungkapkan,
bahwa penerapan strategi pembelajaran aktif Crossword Puzzle
dapat meningkatkan hasil belajar siswa yang ditandai dengan
meningkatnya hasil belajar tiap siklusnya. Siklus I nilai rata-rata
hasil belajar siswa mencapai 79,94 dengan persentase (70,58%)
yang mencapai KKM dan meningkat pada siklus II nilai rata-rata
hasil belajar siswa menjadi 84,5 dengan persentase (87,5%) siswa
yang mecapai KKM. Selain itu penerapan strategi pembelajaran
aktif Crossword Puzzle juga meningkatkan aktivitas belajar siswa
terhadap pembelajaran IPA. Hal ini terlihat dari presentase
aktivitas belajar siswa pada siklus I sebesar 68,37% menjadi
83,75% pada siklus II.

Kata kunci : Strategi Crossword Puzzle , Hasil Belajar IPA

Pendahuluan
Pendidikan pada hakikatnya adalah proses pematangan kuliatas
hidup. Melalui proses tersebut dapat meningkatkan kualitas sumber
daya manusia dan upaya mewujudkan cita-cita bangsa indonesia
dalam mewujudkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa. Edgar Dalle menyatakan bahwa pendidikan
merupakan usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat,
dan pemerintahan melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan
latihan yang berlangsung disekolah dan di luar sekolah sepanjang

350
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

hayat untuk mempersipakan peserta didik agar dapat memainkan


perananan dalam berbagai lingkungan hidup secara tetap untuk masa
yang akan dating(Dedi Mulyasana,2011:4).
Pengajaran di sekolah yang ditujukan kepada siswa harus bersifat
mendidik (membangun siswa seutuhnya), pengajaran bukan hanya
berperan (menyambung) dalam pembinaan intelektual (penambahan
pengetahuan serta melatih kerja akal) dan bukan hanya mementingkan
nilai praktis (pragmatis) yang berupa pelatihan keterampilan kerja,
tetapi jasa sekolah hendaknya sampai pengembangan kepribadian
siswa yang mencakup pula pembentukan konatif (kehendak) dan
pembentukan afektif (yang berpuncak pada pengalaman nilai hidup
yang luhur). Sistem pembelajaran pendidikan pada umumnya pada
saat ini masih didominasi oleh metode ceramah yang bersifat monoton.
Dimana metode ini tidak begitu banyak mengembangkan keaktifan
siswa serta kemampuan berpikir siswa terutama dalam memecahkan
suatu permasalahan. Salah satu cara untuk mengaktifkan belajar siswa
dalam proses belajar mengajar yaitu guru harus menggunakan strategi
pembelajaran yang bervariasi, oleh sebab itu sangat dianjurkan agar
guru menggunakan kombinasi metode atau strategi pembelajaran
setiap kali mengajar. Interaksi yang terjadi antara guru dengan
siswa, yang bertujuan meningkatkan perkembangan mental sehingga
menjadi mandiri dan utuh ( Dimyati, dan Mudjiono, 2006 : 7).
Hasil belajar adalah perubahan yang mengakibatkan manusia
berubah dalam sikap dan tingkah laku. Aspek perubahan ini mengacu
kepada taksonomi tujuan pengajaran yang dikembangkan oleh
Bloom, Simpson dan Harrow mencakup aspek kognitif, afektif dan
psikomotorik (Purwanto, 2011: 45). Tes hasil belajar adalah tes yang
dipergunakan untuk menilai hasil-hasil pelajaran yang telah diberikan
guru kepada murid-muridnya (Ngalim purwanto, :43-47). Oleh karena
itu seorang guru perlu mengetahui kemampuan siswanya setelah
terjadi proses pembelajaran dengan cara mengadakan tes.
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dengan cara mencari tahu tentang
alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan
kumpulan pengetahuan berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau
prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan.
Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian pembelajaran
langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan
memahami alam sekitar secara ilmiah, namun pada kenyataannya
pelajaran ini dianggap oleh sebagian anak didik (siswa) sebagai mata
pelajaran yang relatife sulit. Dari hasil observasi penulis di SDN
TUGU 2 pada tanggal 09 Juli 2013 pada kelas V pada mata pelajaran
IPA menunjukkan bahwa proses pembelajaran belum berjalan secara

351
Professional Learning untuk Indonesia Emas

optimal. Hal ini tampak pada proses pembelajaran terdapat beberapa


kelemahan, yaitu (1) Sebagian siswa kurang termotivasi dan kurang
tertarik belajar karena kurang meyukai materi dan kurang tertarik
dengan penyampain guru, (2) Keaktifan dalam proses pembelajaran
masih kurang baik dalam bertanya maupun menjawab pertanyaan
yang diberikan guru, (3) Metode atau Strategi yang kurang bervariasi
sehingga membuat siswa merasa jenuh dan bosan pada saat proses
pembelajaran berlangsung, (4) Banyaknya siswa yang melamun dan
mengantuk saat pembelajaran berlangsung, (5) dimana hasil belajar
IPA kelas SDN Tugu 2 dari 36 siswa masih di bawah rata-rata KKM,
berdasarkan hasil nilai ulangan harian IPA kelas 5 SDN Tugu 2 tahun
2012/2013 pada konsep Tumbuhan Hijau rata-rata siswa memperoleh
62,85 masih di bawah KKM.
Berdasarkan dari beberapa masalah yang ada pada hasil observasi
sebelumnya, peneliti hanya mengambil satu masalah saja yaitu,
tentang hasil belajar IPA siswa yang masih rendah. Untuk mengatasi
permasalahan tersebut, peneliti menggunakan strategi pembelajaran
aktif Crossword Puzzle, karena dengan strategi pembelajaran aktif
Crossword Puzzle dapat melibatkan siswa secara aktif sejak awal dan
menyenangkan. Bukan hanya dalam keaktifan siswa saja, tetapi
Crossword Puzzle juga melibatkan semua siswa untuk berpikir dalam
pembelajaran ketika mengisi Teka-Teki Silang, dengan kesan yang
didapat siswa pada materi yang sedang dipelajari lebih kuat sehingga
dapat menigkatkan hasil belajar siswa.
Active Learning merupakan suatu strategi ataupun teknik yang
dikembangkan untuk siswa agar lebih aktif belajar, Perlunya Active
Learning dalam pembelajaran untuk mengoptimalkan kadar keaktifan
siswa dalam belajar merencanakan, melaksanakan, dan menilai proses
pembelajaran serta hasil pembelajaran.
Salah satu strategi dalam Active Learning adalah Crossword Puzzle
atau Teka-Teki Silang (TTS). Crossword Puzzle dapat digunakan
sebagai strategi pembelajaran yang baik dan menyenangkan sehingga
pembelajaran akan lebih efektif. Crossword Puzzle adalah salah satu
strategi pembelajaran aktif bagi siswa yang dapat digunakan sebagai
alat pembelajaran yang baik tanpa kehilangan esensi belajar yang
sedang berlangsung. Bahkan metode ini melibatkan siswa secara aktif
sejak awal.( Hisyam Zaini, 2008 : 71). Crossword Puzzle juga sebagai
salah satu metode pengajaran permainan kelas yang digunakan untuk
meningkatkan persaingan siswa dengan kelompok. Dalam metode ini
dapat melibatkan semua siswa untuk berpikir dalam pembelajaran
pada waktu mengisi Teka-Teki Silang (Crossword Puzzle) dan semua
siswa antusias dalam mengikuti pelajaran. Dengan kesan yang

352
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

didapat siswa tentang materi pelajaran yang sedang dipelajari lebih


kuat, pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Metode
Crossword Puzzle sangat efektif karena mampu meningkatkan aktivitas
dan kreativitas dalam bentuk interaksi baik antara siswa dengan
guru maupun siswa dengan siswa lainya. Bahkan interaksi ini lebih
didominasi oleh interaksi siswa dengan siswa sedangan guru hanya
bersifat sebagai moderator saja. Crossword Puzzle dapat diselesaikan
secara individu atau secara tim/kelompok (Melvin L.Silberman,
2006:256).

Pembahasan
Tahapan penelitian diawali dengan obeservasi pendahuluan,
kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan tindakan, yang terdiri dari
tahap perencanaan, pelaksanaan, observasi dan refleksi (Suharsimi
Arikunto, 2006 : 3). Pelaksanaan terdiri dari dua siklus, setiap siklus
terdiri dari tiga kali pertemuan. Dan pelaksanaan dari siklus I ke siklus
II terdiri dari delapan kali pertemuan.
Penelitian pendahuluan dimulai dengan observasi ke SDN Tugu
2 hal ini dilakukan sebagai langkah awal penelitian tindakan kelas.
Dimana subjek penelitian ini adalah siswa kelas V dengan jumlah
siswa 36 orang. Dalam kegiatan ini meliputi wawancara guru kelas,
mengamati proses pembelajaran di kelas, serta wawancara dengan
beberapa siswa yang diambil secara acak. Tahapan ini dilaksanakan
pada tanggal 06 s/d 10 Juli 2013, pada tahapan ini dimaksudkan untuk
mendapatkan gambaran kegiatan pembelajaran yang biasa dilakukan,
aktivitas dan respon siswa saat proses pembelajaran, mengetahui
hambatan apa yang terjadi selama proses pembelajaran, serta untuk
mengetahui hasil belajar IPA siswa.
Tahap pada pelaksanaan siklus I dilaksanakan sebanyak 3 (tiga)
kali pertemuan dengan alokasi waktu 2x35 menit untuk setiap
pertemuan, dan di tambah 1(satu) kali pertemuan untuk tes. Pada tahap
perencanaan siklus I, diawali dengan menyusun Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP), menentukan konsep bahasan. Kemudian peneliti
mempersiapkan instrumen-instrumen penelitian. Pada siklus I, Setelah
materi sudah dijelaskan peneliti membagi kelompok menjadi 6 (enam)
kelompok dan siswa pun membuat kelompok berdasarkan yang telah
ditentukan oleh peneliti, kemudian peneliti menjelaskan prosedur
kerja dengan menggunakan Teka-teki silang (TTS) lalu memberikan
Lembar Kerja Siswa (LKS). Masing-masing kelompok bekerja sama
untuk menyelesaikan soal yang ada di LKS. Selama proses berlangsung
peneliti dan guru berkeliling kepada setiap kelompok untuk
memberikan bimbingan, dorongan dan menilai kemampuan berpikir

353
Professional Learning untuk Indonesia Emas

dan diskusi. Peneliti memberikan batas waktu untuk menyelesaikan


LKS tersebut. Setelah batas waktu yang ditentukan telah habis, maka
setiap kelompok untuk mengumpulkannya. Pada saat pengerjaan
berkumpul dengan kelompoknya suasana kelas sangat gaduh karena
siswa belum terbiasa untuk belajar kelompok dan pada saat pengerjaan
LKS beberapa siswa masih ada yang bercanda dan ngobrol. Serta ada
beberapa siswa yang mengalami kesulitan untuk menjawab beberapa
pertanyaan yang di LKS sehingga sempat menyontek ke kelompok lain
karena malu bertanya dan ada beberapa kelompok salah penulisan
dalam menjawab.
Pada siklus I, guru memberikan reward (penghargaan) pada setiap
kelompok yang dapat mngerjakan LKS TTS dengan baik dan benar
sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Hal ini bertujuan untuk
memotivasi siswa agar lebih aktif dalam pembelajaran.
Pelaksanaan siklus I sudah berlangsung dengan baik, namun ada
beberapa temuan pada aktivitas guru maupun aktivitas siswa. Adapun
temuan-temuan tersebut antara lain:
a) Pada pertemuan pertama guru belum bisa sepenuhnya
menguasai siswa, sehingga pembelajaran belum berjalan
kondusif.
b) Pertemuan selanjutnya peneliti dan siswa belum bisa
menyesuaikan diri dalam proses pembelajaran. Dan siswa pun
masih terbilang pasif
c) Siswa masih gaduh pada saat pembentukkan kelompok.
d) Pada saat mengerjakan LKS masih ada beberapa siswa yang
bercanda dan ngobrol.
e) Ada beberapa siswa yang kesulitan menjawab sehingga
menyontek ke kelompok lain.
f) Pada saat mengerjakan LKS ada beberapa kelompok yang
tidak tepat waktu sesuai waktu yang telah ditentukan.
g) Masih malu-malu ketika mempresentasikan hasil kerjanya.
h) Kurang termotivasinya siswa dalam pembelajaran.

Hasil observasi yang dilaksanakan pada saat pembelajaran


berlangsung, pengamatan dilakukan oleh observer (wali kelas) yang
mencatat seluruh aktivitas guru selama proses pembelajaran. Berikut
ini tabel hasil observasi guru selama tindakan pertama.

354
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Hasil Observasi Guru Siklus I


No Aspek yang diamati P.1 P.2 P.3 Rata-rata
(%) (%) (%) (%)
1. Guru mengkondisikan kesiapan 60 80 80 73
pelaksanaan pembelajaran
2. Guru mengajukan pertanyaan/ 60 60 60 60
apersepsi
3. Guru menyampaikan 2 tujuan 40 60 80 60
pembelajaran yang hendak
dicapai
4. Guru memberikan motivasi 40 60 60 53
positif pada saat pembelajaran.
5. Guru memberikan penjelasan 60 60 60 60
materi pelajaran.
6. Guru menggunakan media 60 60 80 73
pembelajaran sesuai materi
7. Guru membuat kelompok 60 60 80 73
belajar siswa
8. Guru menjelaskan 5 prosedur 40 60 60 53
pembuatan TTS
9. Guru memberikan kesempatan 40 60 60 53
siswa untuk mempresentasikan
hasil kerjanya.
10. Guru bekerja sama dan 60 60 60 60
bertanggung jawab pada
proses pembelajaran dengan
membimbing dan mengarahkan
siswa.
11. Guru memberikan refleksi pada 60 60 60 60
materi yang telah disampaikan
dan memberikan kesempatan
pada siswa untuk bertanya.
12. Guru menutup pembelajaran 60 60 80 73
dengan mengucap hamdallah
dan doa
Jumlah 53,33 61,67 68,33 62,58
Keterangan Baik

Berdasarkan tabel diatas terkait kegiatan guru, guru mengikuti


setiap aspek yang diamati dalam lembar observasi dan melakukan

355
Professional Learning untuk Indonesia Emas

setiap langkah yang berada di RPP. Sesuai data yang diperoleh ada
peningkatan hasil observasi guru pada setiap pertemuannya dari
53,33% s/d 68,33%, jadi hasil rata-rata kegiatan guru pada siklus 1
adalah 62,58% dengan keterangan baik.
Sedangakan untuk hasil observasi terhadap siswa siklus I pada
pertemuan pertama, kedua dan ketiga. Dapart dilihat pada tabel
berikut:
Hasil Observasi Siswa Siklus I
No Aspek yang diamati P.1 P.2 P.3 Rata-rata
(%) (%) (%) (%)
1. Siswa menjawab absensi 60 60 80 67
2. Siswa menjawab pertanyaan/ 40 60 60 53
apersepsi
3. Siswa mendengarkan 2 tujuan 40 60 60 53
pembelajaran
4. Siswa Membentuk kelompok 40 60 80 60
belajar , perkelompok 6 orang.
5. Siswa mengerjakan LKS TTS 60 60 80 67
6. Siswa mempresentasikan hasil 60 60 60 60
kerja kelompok
7. Siswa aktif bertanya pada guru 40 60 60 53
8. Siswa menutup pembelajaran 60 80 80 73
dengan berdoa atau mengucap
hamdallah
Jumlah 50 62,5 70 53,25
Keterangan Baik

Berdasarkan tabel di atas hasil observasi aktivitas siswa


menunjukkan bahwa rata-rata persentase aktivitas belajar siswa pada
saat pembelajaran IPA dengan menerapkan strategi pembelajaran
aktif Crossword Puzzle sebesar 53,25%. Jika semua aspek ini
diamati menunjukkan bahwa siswa belum terbiasa belajar dengan
menggunakan strategi pembelajaran aktif Crossword Puzzle, terlihat
dari beberapa siswa yang masih pasif dalam melakukan diskusi
dengan kelompoknya. Hal ini menunjukkan bahwa keaktifan siswa
masih belum sempurna.
Pretest dilaksanakan sebagai salah satu kegiatan pendahuluan
penelitian untuk mengetahui data awal siswa dalam pembelajaran,
khususnya terhadap materi yang akan menjadi pokok bahasan dalam
tindakan penelitian.

356
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Nilai Pretest pada siklus I

No Nama Nilai
1 S.1 40
2 S.2 60
3 S.3 33
4 S.4 47
5 S.5 80
6 S.6 40
7 S.7 33
8 S.8 53
9 S.9 67
10 S.10 53
11 S.11 60
12 S.12 47
13 S.13 60
14 S.14 67
15 S.15 73
16 S.16 47
17 S.17 53
18 S.18 27
19 S.19 67
No Nama Nilai
20 S.20 60
21 S.21 67
22 S.22 20
23 S.23 53
24 S.24 73
25 S.25 47
26 S.26 60
27 S.27 27
28 S.28 20
29 S.29 40
30 S.30 40
31 S.31 53

357
Professional Learning untuk Indonesia Emas

32 S.32 67
33 S.33 40
Rata-rata Nilai 50, 72
% pencapain KKM 9,09

1774

Untuk mengukur hasil belajar siswa, pada setiap akhir siklus


dilakukan tes hasil belajar yang dinamakan dengan tes akhir siklus.Tes
ini dimaksudkan untuk mengukur tingkat pencapaian kemampuan
serta ketuntasan belajar siswa terhadap pokok bahasan pada materi
yang ingin disampaikan pada saat tindakan penelitian.

Nilai Post test Siklus Pada Siklus I


No Nama Nilai No Nama Nilai
1 S.1 93 20 S.20 93
2 S.2 87 21 S.21 73
3 S.3 93 22 S.22 73
4 S.4 93 23 S.23 93
5 S.5 87 24 S.24 93
6 S.6 93 25 S.25 67
7 S.7 67 26 S.26 73
8 S.8 93 27 S.27 67
9 S.9 73 28 S.28 60
10 S.10 80 29 S.29 67
11 S.11 67 30 S.30 93
12 S.12 93 31 S.31 60
13 S.13 87 32 S.32 60
14 S.14 80 33 S.33 93
15 S.15 87 34 S.34 80
16 S.16 67 2718
%Rata-rata
17 S.17 60 kelas 79,94
18 S.18 93 %Ketuntasan 70,58
19 S.19 80

Pada pembuatan perencanaan siklus II tidak jauh berbeda dengan


tahap siklus I. Yaitu perencanaan tindakan dimulai dengan menyiapkan

358
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dengan menetukan konsep


bahasan. Sedangkan materi yang akan diajarkan pada siklus II adalah
ketergantungan manusia dan hewan pada tumbuhan hijau sebagai
sumber makanan, selanjutnya RPP yang telah dibuat didiskusikan
oleh kolabolator serta sehubungan dengan pembelajaran yang akan
dilaksanakan. Pada siklus II ini, target yang ingin dicapai adalah hasil
belajar siswa dapat meningkat dari hasil belajar siklus I dan aktivitas
siswa untuk memenuhi indikator keberhasilan penelitian. Selain itu,
guru juga sudah memperbaiki kekurangan-kekurangan dalam siklus I,
sehingga pada pelaksanaan siklus II kekurangan-kekurangan tersebut
tidak muncul kembali.
Dalam mengerjakan LKS TTS pada siklus II ini, siswa sudah
dapat berkerjasama lebih baik dengan kelompoknya. Dan tingkat
kepercayaan diri mereka meningkat dan tidak malu-malu lagi dalam
berdiskusi dan mempresentasikan hasil kerjanya di depan kelas serta
pada saat mengerjakan LKS setiap kelompok siswa berlomba-lomba
untuk cepat menyelesaikan LKS tersebut, dan sebelum waktu yang
telah di tentukan habis maka setiap kelompok sudah mengumpulkan
LKS kepada peneliti.
Berikut ini tabel hasil observasi guru selama tindakan siklus II.

Tabel 4.7. Hasil Observasi Guru Siklus II


No Aspek yang diamati P.5 P.6 P.7 Rata-rata
(%) (%) (%) (%)
1. Guru mengkondisikan kesiapan 80 80 80 80
pelaksanaan pembelajaran
2. Guru mengajukan pertanyaan/ 60 80 80 73
apersepsi
3. Guru 2 menyampaikan tujuan 80 80 80 80
pembelajaran yang hendak dicapai
4. Guru memberikan motivasi positif 60 80 100 80
pada saat pembelajaran.
5. Guru memberikan penjelasan 80 80 80 80
materi pelajaran
6. Guru menggunakan media 80 80 100 87
pembelajaran sesuai materi
7. Guru membuat kelompok belajar 80 80 80 80
siswa
8. Guru menjelaskan 5 prosedur 60 80 80 73
pembuatan TTS
9. Guru memberikan kesempatan 60 80 80 73
siswa untuk mempresentasikan
hasil kerjanya.

359
Professional Learning untuk Indonesia Emas

10. Guru bekerja sama dan bertanggung 60 80 80 73


jawab pada proses pembelajaran
dengan membimbing dan
mengarahkan siswa.
11. Guru memberikan refleksi pada 60 80 80 73
materi yang telah disampaikan
dan memberikan kesempatan pada
siswa untuk bertanya.
12. Guru menutup pembelajaran 80 100 100 93
dengan mengucap hamdallah dan
doa
Jumlah 70 81,67 85 78,75
Keterangan Sangat baik

Berdasarkan tabel 4.7 dalam lembar observasi kegiatan guru pada


siklus II adalah 78,75% dengan keterangan baik, dibanding hasil rata-
rata kegiatan guru pada siklus I adalah 62,58%.

Hasil Observasi Siswa


No Aspek yang diamati P.5 P.6 P.7 Rata-rata
(%) (%) (%) (%)
1. Siswa menjawab absensi 80 80 80 80
2. Siswa menjawab pertanyaan/ 60 80 80 73
apersepsi
3. Siswa mendengarkan 2 tujuan 80 80 80 80
pembelajaran
4. Siswa Membentuk kelompok 80 80 100 87
belajar , perkelompok 6 orang.
5. Siswa mengerjakan LKS TTS 60 80 80 73
6. Siswa mempresentasikan hasil 80 80 100 87
kerja kelompok.
7. Siswa aktif bertanya pada guru 60 80 80 73
8. Siswa menutup pembelajaran 80 100 100 93
dengan berdoa atau mengucap
hamdallah
Jumlah 72,5 82,5 87,5 80,75
Keterangan Baik

Berdasarkan tabel 4.8 hasil observasi aktivitas siswa terlihat


bahwa aspek-aspek yang terendah pada siklus I hanya mencapai 60%
mengalami peningkatan pada siklus II hingga mencapai 80%. Rata-
rata persentase pada siklus I sebesar 53,25% dengan keterangan cukup
baik sedangkan rata-rata persentase pada siklus II sebesar 80,75%

360
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

dengan keterangan baik. Hal ini menunjukkan bahwa intervensi


tindakan yang diharapkan telah tercapai.
Adapun Rekapitulasi data hasil tes siklus II dapat dilihat dalam
tabel berikut:

Tabel 4.11. Nilai Post test Siklus Pada Siklus II


No Nama Nilai No Nama Nilai
1 S.1 93 22 S.20 87
2 S.2 87 23 S.21 73
3 S.3 87 24 S.22 93
4 S.4 Izin 25 S.23 87
5 S.5 93 26 S.24 100
6 S.6 60 27 S.25 87
7 S.7 93 28 S.26 100
8 S.8 53 29 S.27 60
9 S.9 100 30 S.28 73
10 S.10 93 31 S.29 67
11 S.11 87 32 S.30 100
12 S.12 80 33 S.31 Sakit
13 S.13 80 34 S.32 87
14 S.14 87 35 S.33 73
15 S.15 93 36 S.34 Sakit
16 S.16 93
17 S.17 73 2706
18 S.18 Sakit %Rata-rata kelas 84,56
19 S.19 80 %Ketuntasan 87,5
20 S20 87

Berdasarkan pada tabel di atas, pada siklus II ini secara keseluruhan


mengalamai peningkatan mulai dari hasil belajar siswa meningkat
hingga 16% jika dibandingkan dengan ketuntasan hasil belajar pada
siklus I. Namun secara umum, hasil akhir siklus menunjukkan
kenaikan dari siklus sebelumnya dan skor yang didapatkan siswa
lebih tinggi jika dibandingkan dengan siklus-siklus sebelumnya. Hal
tersebut dapat dilihat pula pada gambar di bawah ini.

361
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Berdasarkan Diagram diatas memperlihatkan bahwa hasil belajar


pada siklus I mencapai 70,58% dan pada siklus II mencapai 87,5%.
Hal ini menunjukkan bahwa intervensi tindakan yang diharapkan
telah tercapai.

Diagram di atas memperlihatkan hasil persentase. Hal ini


menunjukkan bahwa adanya peningkatan kegiatan guru pada siklus
I dan siklus II, setelah diterapkanya strategi pembelajaran aktif
Crossword Puzzle.

362
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Berdasarkan data yang telah diuraikan diatas, maka target yang


telah ditetapkan dalam penelitian ini tercapai, yaitu > 75% siswa
telah mencapai telah mencapai ketuntasan hasil belajar, dan rata-rata
keaktifan siswa dalam pelajaran IPA termasuk kategori baik dan rata-
rata kegiatan guru dalam menggunakan strategi pembelajaran aktif
Crossword Puzzle termasuk kategori baik. Atas dasar hasil tersebut
maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini bahwa Terdapat
peningkatan hasil belajar IPA dengan menggunakan strategi
pembelajaran aktif Crossword Puzzle siswa kelas V SD Negeri Tugu 2
kota depok, telah terbukti secara ilmiah atau hipotesis diterima. Oleh
sebab itu peneliti mengambil keputusan bahwa kegiatan penelitian
dihentikan.

Penutup
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan mengenai upaya
meningkatkan hasil belajar siswa melalui strategi pembelajaran aktif
Crossword Puzzle dapat meningkatkan hasil belajar IPA siswa pada
materi tumbuhan hijau. Perolehan hasil belajar atau posttest pada
siklus I nilai rata-rata kelas mencapai 79,94, sedangkan ketuntasan
belajarnya 70,58% pada siklus I interventasi masih belum tercapai.
Pada siklus II nilai rata-rata kelas 84,5 untuk ketuntasan belajar siswa
sebesar 87,5%. Hal ini menunjukkan bahwa pada sekilus II mengalami
peningkatan hasil belajar siswa, sesuai dengan intervensi tindakan
yang diharapkan yaitu tujuh puluh lima persen (75%) siswa kelas V
SDN Tugu2 kota Depok mengalami ketuntasan belajar individual
sebesar 70 dalam pembelajaran IPA pada materi tumbuhan hijau.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa strategi pembelajaran aktif
Crossword Puzzle dapat meningkatkan hasil belajar siswa.

363
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Daftar Pustaka

Arinto, Suharsimi, Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: PT. Bumi Aksara,


2006
Dimyati, dan Mudjiono. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT. Rieneka
Cipta, 2006.
Hisyam Zaini, Strategi Pembelajaran Aktif, Yogyakarta:Pustaka Insan
Mardani, 2008
Mulyasana, Dedi. Pendidikan Bermutu dan Berdaya saing. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2011.
Purwanto, Ngalim. Evaluasi Hasil Belajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
Rosdakarya, 2011.
Purwanto, Ngalim. Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran.
Bandung: PT. Remaja
Samadhi, Ari.T.M. 2008, Pembelajaraan Aktif (Active Learning) (online),
Teaching Improvement Worksop, Engineering Education
Develoment Project APD Loan No 1432-INO, Tersedia: www.
jurnalskripsi.com. Diakases 27 januari 2009
Siberman. Mel. Active Learning 101 Strategi Pembelajaran Aktif.
Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2006.

364
UPAYA PENANGANAN GANGGUAN
DISGRAPIA PADA ANAK SEKOLAH DASAR
MELALUI PENDEKATAN TEKNIK SCAFFOLDING
Nandang Kosim
STAI Syekh Manshur Pandeglang
Email: kndangs@yahoo.com

Abstract: Children in Elementary Education have their


development tasks that must be fulfilled by the teachers.
The right process of teaching and learning by the teachers is
the key to fulfill those tasks. But in fact, many children have
learning process difficulty and disability such as dysgraphia.
Dysgraphia is a learning disability that affects writing, which
requires a complex set of motor and information processing
skills. Dysgraphia makes the act of writing difficult. It can
lead to problems with spelling, poor handwriting and putting
thoughts on paper. An effort to handle dysgraphia problem is the
application of scaffolding technique in the process of learning of
writing. Scaffolding is learning activities which connect the real
experience of the children to the teaching and learning process to
reach the aim of the study. It is by using a simple language and
showing some pictures in cooperative learning. There are many
steps that should the teachers apply in scaffolding technique, it
are: 1) using simple language, 2) fulfilling an incomplete sentence
or paragraph by choosing an available answer, and 3) using some
pictures to give an information.

Kata kunci : Gangguan Disgrapia, Anak Sekolah Dasar, Teknik


Scaffolding

Pendahuluan
Sebagai mana kita ketahui bahawa setiap individu mempunyai
tugas-tugas perkembangan untuk memenuhinya. Demikian pula pada
anak usia Sekolah Dasar memerlukan kemampuan untuk memenuhi
tugas-tugas perkembangannya. Karakteristik perkembangan anak
yang berada di kelas awal SD adalah anak yang berada pada rentangan
usia dini. Masa usia dini ini merupakan masa perkembangan anak
yang pendek tetapi merupakan masa yang sangat penting bagi
kehidupannya. Oleh karena itu, pada masa ini seluruh potensi yang

365
Professional Learning untuk Indonesia Emas

dimiliki anak perlu didorong sehingga akan berkembang secara


optimal.
Karakteristik perkembangan anak pada kelas satu, dua dan tiga
SD biasanya pertumbuhan fisiknya telah mencapai kematangan,
mereka telah mampu mengontrol tubuh dan keseimbangannya (Sofa,
2008). Untuk perkembangan kecerdasannya anak usia kelas awal
SD ditunjukkan dengan kemampuannya dalam melakukan seriasi,
mengelompokkan obyek, berminat terhadap angka dan tulisan,
meningkatnya perbendaharaan kata, senang berbicara, memahami
sebab akibat dan berkembangnya pemahaman terhadap ruang dan
waktu (Yusran, 2014).
Kesulitan belajar pada anak, bila tidak dideteksi secara dini dan
tidak dilakukan terapi secara benar, bisa menyebabkan kegagalan dalam
proses pendidikan anak. Salah satu masalah yang banyak ditemukan
di Sekolah Dasar adalah mengenai gangguan disgrafia (lebih lanjut
penulis katakan kesulitan menulis). Padahal kemampuan menulis
merupakan salah satu kemampuan berbahasa. Dalam pembagian
kemampuan berbahasa, menulis selalu diletakkan paling akhir setelah
kemampuan menyimak, berbicara, dan membaca. Meskipun selalu
ditulis paling akhir, bukan berarti menulis merupakan kemampuan
yang tidak penting. Dalam menulis semua unsur keterampilan
berbahasa harus dikonsentrasikan secara penuh agar mendapat hasil
yang benar-benar baik.
Gangguan disgrafia mengacu kepada anak yang mengalamai
hambatan dalam menulis, meskipun intelegensianya normal (bahkan
ada yang di atas rata-rata) dan dia tidak mengalami gangguan dalam
motorik maupun visual. Gangguan ini juga bukan diakibatkan oleh
masalah ekonomi dan sosial tetapi merupakan hambatan neurologis
dalam kemampuan menulis, yang meliputi hambatan fisik, seperti:
tidak dapat memegang pensil dengan benar atau tulisannya jelek.
Anak dengan gangguan disgrafia mengalami kesulitan dalam
mengharmonisasikan ingatan dengan penguasaan gerak ototnya
secara otomatis saat menulis huruf dan angka.
Menurut Ira sebagaimana dikutip dari Hasani (2005) menulis
merupakan keterampilan berbahasa yang dipergunakan untuk
berkomunikasi secara tidak langsung. Menulis merupakan kegiatan
yang produktif dan ekspresif, sehingga penulis harus mampu
memanfaatkan kemampuan dalam menggunakan tata tulis, struktur
bahasa dan kosa kata.
Menulis memerlukan keterampilan pengendalian otot, koordinasi
mata dan tangan, diskriminasi visual. Keterampilan dasar kesiapan
menulis harus dikembangkan sebelum anak memulai belajar menulis.

366
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Pengendalian otot dapat dikembangkan melalui aktivitas manipulatif,


misalnya memotong dengan gunting, menggambar dengan ujung
jari, menelusuri dan mewarnai. Koordinasi mata dan tangan dapat
dilatih melalui kegiatan menggambar lingkaran dan bentukgeometri
lain. Semua keterampilan dasar sangat diperlukan untukmengenal
berbagai bentuk huruf, serta cara penulisan huruf itu sendiri (Yusuf,
2005). Menulis merupakan kegiatan kebahasaan yang memegang
peran penting dalam dinamika peradaban manusia. Dengan menulis
orang dapat melakukan komunikasi, mengemukakan gagasan
baik dari dalam maupun luar dirinya, dan mampu memperkaya
pengalamannya.
Kemampuan menulis berhubungan dengan kemampuan motorik
yakni motorik halus karena menekankan pada kordinasi otot
tangan dan jari atau kelenturan tangan yang bersifat keterampilan.
Kegiatan menulis dasar sudah dapat dimulai saat anak menunjukkan
perilaku seperti mencoret-coret buku atau dinding, kondisi tersebut
menunjukkan berfungsinya sel-sel otak yang perlu dirangsang supaya
berkembang secara optimal.
Menulis merupakan salah satu media untuk berkomunikasi, di
mana anak dapat menyampaikan ide, makna, pikiran dan perasaannya
melalui untaian kata-kata yang bermakna, Kesulitan menulis akan
menjadi hambatan dalam proses pembelajaran anak, karena anak
yang mengalami kesulitan menulis ini tidak bisa menuangkan dan
mengemukakan ide dengan baik.
Aktivitas belajar menulis bagi setiap anak tidak selamanya berangsur
secara wajar, karena setiap anak memiliki karakteristik yang berbeda,
perbedaan individu pula yang menyebabkan perbedaan tingkah laku
anak, anak yang tidak mampu menulis sebagaimana mestinya, itulah
yang disebut dengan Disgrafia. Yakni kesulitan khusus di mana anak-
anak tidak bisa menuliskan atau mengekspresikan pikirannya dalam
bentuk tulisan, karena mereka tidak bisa menyuruh atau menyusun
kata dengan baik dan mengkoordinasikan motorik halusnya (tangan)
untuk menulis. Pada anak-anak umumnya kesulitan ini terjadi pada
saat anak mulai belajar menulis. Kesulitan ini tidak tergantung
kemampuan lainnya. Seseorang bisa sangat fasih dalam berbicara
dan keterampilan motorik lainnya, tapi mempunyai kesulitan dalam
menulis (Disgrafia).
Gangguan Disgrafia pada anak bila tidak dideteksi secara dini
dan tidak dilakukan terapi yang benar, bisa menyebabkan kegagalan
dalam proses pendidikan anak. Sehingga harus ditempuh upaya
penyelesaian untuk mengatasi permasalahan disgrafia ini.
Disgrafia seringkali juga disalahpersepsikan sebagai kebodohan

367
Professional Learning untuk Indonesia Emas

oleh orang tua dan guru. Akibatnya, anak yang bersangkutan


frustrasi karena pada dasarnya ia ingin sekali mengekspresikan dan
mentransfer pikiran dan pengetahuan yang sudah didapat ke dalam
bentuk tulisan, hanya saja ia memiliki hambatan.

Pengertian Disgrafia
Disgrafia berasal dari bahasa Yunani berarti kesulitan khusus
yang membuat anak sulit untuk menulis atau mengekspresikan
pikirannya ke dalam bentuk suatu tulisan dan menyusun huruf-huruf.
Menurut Djaja (2010) Disgrafia adalah kesulitan belajar yang berkaitan
dengan masalah menulis. Kelainan ini diketahui secara mendasar dari
perbedaan nilai antara nilai anak yang tinggi pada tes inteligensi dan
nilai yang rendah pada nilai tes yang diperoleh dari menulis.
Mulyono (2003) mengemukakan bahwa disgrafia adalah kesulitan
belajar dalam hal menulis. Kesulitan menulis dapat muncul dalam
bentuk penggunaan kata yang tidak tepat, struktur kalimat yang
kacau atau tidak lengkap, kesalahanpenggunaan ejaan, penggunaan
tanda baca dan huruf kapital yang kacau, serta sistematika penulisan
yang tidak teratur.
Disgrafia adalah ketidakmampuan dalam menulis, terlepas
dari kemampuan untuk membaca. Orang dengan disgrafia sering
berjuang dengan menulis bentuk surat atau tertulis dalam ruang yang
didefinisikan. Hal ini juga bisa disertai dengan gangguan motorik
halus.

Ciri-ciri Gangguan Disgrafia


Untuk mengetahui tentang sejauhmana anak Sekolah Dasar yang
mengalami gangguan Disgrafia, kita harus mengenal terlebih dahulu
beberapa ciri khususnya.
Adapun beberapa ciri khusus anak yang mengalami gangguan
disgrafia antaranya adalah:
a. Terdapat ketidakkonsistenan bentuk huruf dalam tulisannya.
b. Saat menulis, penggunaan huruf besar dan huruf kecil masih
tercampur.
c. Ukuran dan bentuk huruf dalam tulisannya tidak proporsional.
d. Anak tampak harus berusaha keras dalam mengkomunikasikan
suatu ide, pengetahuan atau pemahamannya lewat tulisan.
e. Sulit memegang pensil dengan mantap. Caranya memegang alat
tulis seringkali terlalu dekat, bahkan menempel pada kertas.
f. Berbicara pada diri sendiri ketika sedang menulis, atau malah
terlalu memperhatikan tangan yang dipakai untuk menulis.
g. Cara menulis tidak konsisten, tidak mengikuti alur garis yang

368
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

tepat dan proporsional.


h. Tetap mengalami kesulitan meskipun hanya diminta menyalin
contoh tulisan yang sudah ada (http://klinikautisindonesia.
wordpress.com).

Konsep Keterampilan Menulis


Menulis merupakan salah satu media untuk berkomunikasi, di
mana anak dapat menyampaikan makna, ide, pikiran dan perasaannya
melalui kata-kata yang bermakna. Menurut Poerwadarminta (1982),
menulis memiliki batasan sebagai berikut : (1) Membuat huruf, angka
dan lainnya dengan pena, kapur dan sebagainya. (2) Mengekspresikan
pikiran atau perasaan seperti mengarang, membuat surat, dan lainnya
dengan tulisan.
Senada dengan pernyataan tersebut Badudu (1982) mengemukakan
bahwa menulis adalah menggunakan pena, potlot, ball point di atas
kertas, kain ataupun papan yang menghasilkan huruf, kata maupun
kalimat. Dengan demikian menulis bukanlah sekedar membuat huruf-
huruf ataupun angka pada selembar kertas dengan menggunakan
berbagai alternatif media, melainkan merupakan upaya untuk
mengekspresikan perasaan dan pikiran yang ada pada diri individu.
Keterampilan menulis sejalan dengan membaca, bahwa
penguasaan menulis dipengaruhi oleh frekuensi anak melakukan/
belajar menulis. Karena menulis memerlukan kebiasaan penggunaan
aktivitas fisik/tangan. Pada anak usia SD sudah mencapai kematangan
dalam hal aktivitas fisik/tangan.
Morrow (1993) juga membagi kemampuan menulis anak menjadi
enam tahapan sebagai berikut :
a. Writing via drawing yaitu menulis dengan cara menggambar
b. Writing via scribbling yaitu menulis dengan cara menggores.
c. Writing via making letter-like forms, yaitu menulis dengan cara
membuat bentuk seperti huruf. Anak tidak hanya membuat
goresan tetapi sudah melibatkan unsur kreasinya.
d. Writing via reproducing well-learned unit or letter stings, yaitu
menulis dengan cara menghasilkan huruf-huruf atau unit yang
sudah baik. Anak menulis huruf-huruf dengan mencontoh
misalnya mencoba untuk menulis namanya.
e. Writing via invented spelling, yaitu menulis dengan mencoba
mengeja satu persatu. Dalam tahap ini anak mencoba mengeja
dengan cara coba-salah (trial and error).
f. Writing via conventional spelling, yaitu menulis dengan cara
mengeja langsung. Dalam tahap ini anak telah dapat mengeja
secara benar baik dari segi susunan maupun ejaannya.

369
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Sedangkan Feldman (1991) memberikan batasan tentang tahapan


kemampuan menulis pada anak sebagai berikut : (a) Scribble on the page,
yaitu membuat goresan pada kertas. Pada tahap ini anak membuat
gambar ataupun huruf-huruf yang terpisah, (b) Copy word, yaitu
mencontoh huruf. Anak mulai tertarik untuk mencontoh huruf-huruf
seperti kata mama, papa dan sebagainya, dan (c) Invented spelling,
yaitu belajar mengeja. Dalam tahap ini anak mulai menemukan cara
mengeja dan menuliskan huruf sesuai dengan bunyinya.

Penyebab Terjadinya Gangguan Disgrafia


Secara spesifik penyebab disgrafia tidak diketahui secara pasti,
namun apabila disgrafia terjadi secara tiba-tiba pada anak maupun
orang yang telah dewasa maka diduga disgrafia disebabkan oleh
trauma kepala entah karena kecelakaan, penyakit, dan seterusnya.
Di samping itu para ahli juga menemukan bahwa anak dengan gejala
disgrafia terkadang mempunyai anggota keluarga yang memiliki
gejala serupa. Demikian ada kemungkinan faktor herediter ikut
berperan dalam disgrafia. Seperti halnya disleksia, disgrafia juga
disebabkan faktor neurologis, yakni adanya gangguan pada otak
bagian kiri depan yang berhubungan dengan kemampuan membaca
dan menulis. Anak mengalami kesuitan dalam harmonisasi secara
otomatis antara kemampuan mengingat dan menguasai gerakan otot
menulis huruf dan angka. Kesulitan ini tak terkait dengan masalah
kemampuan intelektual, kemalasan, asal-asalan menulis, dan tidak
mau belajar (Delphie, 2006).
Motorik halus yang lemah dalam hal gerak tangan yang lemah
dalam menekan pensil akan meyulitkan anak dalam mengembangkan
kemampuan menulis. Perilaku anak yang kurang memperhatikan
dan konsentrasi akan menghambat anak untuk menulis. Hal yang
menyulitkan menulis adalah persepsinya yang sulit dalam mendengar
dan membedakan huruf-huruf. Memori anak yang sulit mengingat
kembali yang hal-hal yang didengar dan dilihat juga menjadi unsur yang
penting yang harus diperhatikan. Penyebab disgrafia belum diketahui
penyebabnya , tetapi diduga karena adanya kejadian traumatik yang
mengganggu perkembangan si anak. Pengaruh keturunan juga ikut
andil dalam penyebab disgrafia. Penyebab lainnya yaitu masalah
neurologis, terdapat defisit sensorik penyimpanan laterisasi yang ada
di otak. (Maura, 2012).
Penyebab disgrafia disebabkan karena faktor neurologis, yaitu
faktor gangguan pada otak kiri depan yang berhubungan dengan
kemampuan menulisnya. Kelainan neurologis ini menghambat
kemampuan menulis yang meliputi hambatan secara fisik, seperti tidak

370
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

dapat memegang pensil dengan mantap ataupun tulisan tangannya


buruk. Anak dengan gangguan disgrafia sebetulnya mengalami
kesulitan dalam mengharmonisasikan ingatan dengan penguasaan
gerak ototnya secara otomatis saat menulis huruf dan angka.

Pendekatan Teknik Scaffolding


Pengertian Teknik Scaffolding
Scaffolding adalah bantuan (parameter, aturan atau saran)
pembelajar memberikan peserta didik dalam situasi belajar.
Scaffolding memungkinkan peserta didik untuk mendapat bantuan
melalui keterampilan baru atau di luar kemampuannya. Scaffolding
merupakan pemberian sejumlah bantuan kepada peserta didik selama
tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan
memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang
semakin besar setelah ia dapat melakukannya.
Scaffolding atau mediated learning adalah teori yang dikemukakan
oleh Vigotsky, khususnya terkait dengan ide tentang Zona Proximal
Development. Menurut Vigotsky (1978), tingkat perkembangan
kemampuan anak itu berada dalam dua tingkatan/level, yaitu tingkat
kemampuan aktual (yang dimiliki anak) dan tingkat kemampuan
potensial (yang bisa dikuasai oleh siswa). Zona antara tingkat
kemampuan aktual dan potensial itu disebut zona proximal development.
Sebagai syarat untuk mencapai tingkat kemampuan potensial itu,
siswa memerlukan tangga atau jembatan untuk mencapainya. Salah
satu tangga itu adalah bantuan dari seorang guru yang berupa
penggunaan dukungan atau bantuan tahap demi tahap dalam belajar
dan pemecahan masalah. Ragam bantuan yang diberikan tergantung
pada tingkat kesulitan yang dialami siswa, misalnya: memecah tugas
menjadi lebih kecil, mengatur bagian-bagian, mengajak berpikir ulang,
membahasakan proses berpikir jika tugasnya kompleks; melaksanakan
pembelajaran kooperatif, melakukan dialog dalam kelompok kecil,
memberi petunjuk konkret, melakukan tanya jawab, memberikan
kartu-kartu kunci, atau melakukan pemodelan. Di samping itu, bila
diperlukan bantuan dapat berupa: mengaktifkan latar belakang
pengetahuan yang dimiliki siswa, memberikan tips-tips atau kiat-
kiat, strategi, dan prosedur-prosedur kunci untuk melaksanakan
tugas atau memecahkan masalah yang dihadapi siswa. Bantuan itu
diberikan agar siswa tidak frustasi karena mengerjakan tugas atau
suatu keterampilan yang sulit dicapai/dilaksanakan.
Veeramuthu (2011) mengemukakan tujuan dan pengertian
pembelajaran scaffolding tersebut antara lain : (1) memacu
perkembangan siswa, (2) merangsang kreativitas siswa, (3)

371
Professional Learning untuk Indonesia Emas

meningkatkan dan memperbaiki proses pengajaran, (4) membantu


pengembangan konsep diri siswa, (5) memberi perhatian dan
bimbingan pada siswa, (6) merangsang refleksi siswa, dan (7)
membantu dan meluruskan tujuan pembelajaran. Di samping
itu, metode pembelajaran scaffolding memiliki keunggulan yang
tidak dimiliki oleh metode pembelajaran konvensional. Keunggulan
tersebut tercermin pada tingginya kreativitas siswa, menumbuhkan
rasa tanggung jawab siswa dalam mengerjakan tugas-tugas yang
diberikan, meningkatkan kemampuan berpikir secara sistematis dan
terorganisasi sehingga menghasilkan karya yang terbaik.
Lebih lanjut Klausmeier (1977) menegaskan bahwa scaffolding
adalah salah satu pemikiran penting konstruktivis modern. Paradigma
pembelajaran constructivistic telah disuarakan dengan lantang oleh
Degeng (2002) sebagai hal yang wajib untuk merevolusi pembelajaran
di Indonesia apabila kita ingin menghasilkan sumber daya manusia
yang ideal (dalam Latief, 2002). Paradigma behavioristik yang
dipegang guru selama ini, yang wujudnya dalam proses pembelajaran
berupa transfer pengetahuan dari guru ke siswa, telah menunjukkan
kegagalannya dalam menghasilkan lulusan pendidikan yang ideal.

Langkah-langkah Teknik Scaffolding


Lange (2002) menyebutkan adanya lima langkah pembelajaran
dengan menerapkan teknik scaffolding, yaitu: pemodelan sesuai
dengan perilaku yang diharapkan, siswa memberikan penjelasan
terkait dengan model yang ditampilkan, mengajak siswa berpartisipasi,
mengklarifiksi dan memverifikasi pemahaman siswa, dan mengajak
siswa menemukan kata kunci atau inti pembelajaran.
Langkah pertama dalam teknik scaffolding versi Lange (2002)
adalah pemodelan. Lange yang merujuk pendapat Hogan and
Pressley (1997) menyatakan bahwa pemodelan adalah mengajarkan
perilaku yang mencerminkan bagaimana seseorang merasa, berpikir,
atau bertindak sesuai dengan situasi yang diberikan. Ada tiga tipe
model, yaitu model yang diberikan melalui proses berpikir, model
yang diverbalkan lewat kata-kata, dan model melalui perbuatan atau
performansi.
Dari model yang ditampilkan itu, siswa diminta menjelaskan
apa yang telah dipelajari dari model tersebut, mengapa bisa begitu,
dan bagaimana bisa seperti itu. Pada tahap awal, penjelasan rinci
dan diulang-ulang agar pemahaman siswa mendalam dan mudah
mengingatnya. Setelah siswa memahami konsep terkait dengan model
tersebut, siswa mencoba berlatih melakukan kegiatan sesuai dengan
tujuan yang telah ditetapkan, dari latihan itu, guru dapat memberikan

372
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

klarifikasi dan verifikasi terkait dengan pemahaman siswa melalui


pemberian respons balik terhadap perilaku siswa. Pada kegiatan akhir,
siswa diajak untuk menemukan sendiri apa yang sudah dan belum
dikuasai, dan guru memberikan penguatan.
Dari beberapa skenario atau tahapan dalam penerapan teori
scaffolding tersebut, dapat disimpulkan aspek-aspek esensial dari
tahapan teknik scaffolding, yaitu 1) pemilahan aspek yang kompleks
menjadi tahapan-tahapan, namun tetap merupakan satu kesatuan
untuk mencapai kompetensi yang utuh, 2) penentuan fokus bantuan
yang diperlukan siswa, 3) pemodelan terkait dengan perilaku
yang diharapkan, dan 4) siswa dapat menjelaskan aspek penting dari
pemodelan, 5) pemberian umpan balik melalui teknik kolaborasi, dan
6) pemantapan pemahaman siswa.
Ada beberapa tantangan yang perlu diminimalkan bila ingin
menerapkan teknik scaffolding. Tantangan tersebut adalah sebagai
berikut: 1) membutuhkan banyak waktu; 2) dibutuhkan cukup personel
untuk dapat menerapkan teknik ini dengan baik; 3) pemodelan yang
diberikan bisa tidak memadai apabila guru tidak memiliki pemahaman
yang cukup tentang kebutuhan individual para siswanya.
Merancang program pelatihan dengan teknik scaffolding. Teknik
scaffolding dalam pelatihan ini meliputi tahapan sebagai berikut.
a. Memberikan tugas menulis kalimat yang didiktekan orang tua/
guru.
b. Bersama-sama dengan siswa mengidentifikasi kesalahan tulisan
mereka.
c. Menjelaskan mengenai pelatihan dan ZPD masing-masing
permasalahan.
d. Menjelaskan kriteria penulisan yang benar dan meminta anak
menyatakan kembali kriteria tersebut.
e. Memberikan latihan menulis dengan orang tua/guru
memberikan bantuan.
f. Mengevaluasi hasil pekerjaan siswa bersama-sama dengan anak.
g. Memberikan latihan menulis dengan mengurangi bantuan
terbatas pada kesalahan yang banyak dilakukan anak.
h. Mengevaluasi hasil pekerjaan bersama-sama dengan anak.
i. Memberikan latihan menulis tanpa bantuan orang tua/guru.
j. Mengevaluasi pekerjaan anak.
k. Pelatihan tersebut diulang-ulang pada tiap-tiap kesalahan
disgrafia yang dialami anak hingga terdapat perubahan.

Penulis telah meneliti bagaimana upaya untuk melatih anak dengan


gangguan disgrafia melalui metode menulis dengan menghubungkan

373
Professional Learning untuk Indonesia Emas

titik-titik pada kertas berpetak, yang diharapkan dapat membantu


menyelesaikan masalah disgrafia yang salah satu ciri khususnya yaitu
ukuran dan bentuk huruf dalam tulisannya tidak proporsional dan
cara menulis tidak konsisten, tidak mengikuti alur garis yang tepat
dan proporsional.
Contoh lembar kerja latihan menulis dengan menghubungkan titik-titik
pada kertas:

Penulis sertakan tabel cara melatih anak disgrafia agar dapat


menulis dengan baik dan benarseperti di bawah ini.

Faktor Masalah Penyebabnya Remedial


Bentuk Huruf terla- Posisi kertas Betulkan posisi kertas
lu miring yang miring sehingga tegak lurus
dengan badan.

374
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Ukuran Terlalu be- K u r a n g Ajarkan kembali


sar dan ter- memahami garis tentang konsep ukuran
lalu tebal tulisan dan perjelas garis
tulisan.

Latih gerakan tangan,


Gerakan tangan salah satu caranya den-
yang kaku gan latihan membuat
lingkaran atau bentuk
lengkung
Spasi H u r u f K u r a n g Ajarkan kembali kon-
dalam satu m e m a h a m i sep spasi antar-kata
kata seperti konsep spasi
menumpuk.

Spasi antar- Kaji kembali kon-


huruf terlalu Kurang mema- sep bentuk ukuran dan
lebar hami bentuk dan huruf
ukuran

K u a l i t a s Terlalu te- Masalah pada Perbaikilah cara-


garis bal atau tekanan tulisan caramemegang alat
menekan tulis, perbaiki juga ger-
terlalu tipis akan tangan, serta bei-
kan latihan menulis di
atas kertas tipis dan
kertas kasar
Kecepatan Lambat ke- Tingkat kemam- Latih menarik garis lu-
tika dalam puan menulis rus dengan cepat serta
menulis tidak sebanding latihan membuat ben-
yaitu ketika dengan kecepa- tuk melingkar, tegak
menyalin tannya dan melengkung di ker-
atau saat tas berpetak
dikte

Selanjutnya ada beberapa langkah lain sebagai pelengkap yang


bisa dilakukan orang tua dan guru untuk membantu anak dengan
gangguanmenulis (disgrafia), diantaranya:
1. Pahami keadaan anak.
Sebaiknya pihak guru dan orang tua, atau pendamping memahami
kesulitan dan keterbatasan yang dimiliki anak disgrafia. Berusahalah
untuk tidak membandingkan anak seperti itu dengan anak-anak

375
Professional Learning untuk Indonesia Emas

lainnya. Sikap itu hanya akan membuat kedua belah pihak, baik
guru dan orang tua maupun anak merasa frustrasi dan stres. Jika
memungkinkan, berikan tugas-tugas menulis yang singkat saja.
Atau bisa juga orang tua meminta kebijakan dari pihak sekolah
untuk memberikan tes kepada anak dengan gangguan ini secara
lisan, bukan tulisan.
2. Menyajikan tulisan cetak.
Berikan kesempatan dan kemungkinan kepada anak disgrafia untuk
belajar menuangkan ide dan konsepnya dengan menggunakan
komputer atau mesin tik. Ajari dia untuk menggunakan alat-
alat agar dapat mengatasi hambatannya. Dengan menggunakan
komputer, anak bisa memanfaatkan sarana korektor ejaan agar ia
mengetahui kesalahannya.
3. Membangun rasa percaya diri anak.
Berikan pujian wajar pada setiap usaha yang dilakukan anak.
Jangan sekali-kali menyepelekan atau melecehkan karena hal itu
akan membuatnya merasa rendah diri dan frustrasi. Kesabaran
orang tua dan guru akan membuat anak tenang dan sabar terhadap
dirinya dan terhadap usaha yang sedang dilakukannya.
4. Latih anak untuk terus menulis.
Libatkan anak secara bertahap, pilih strategi yang sesuai dengan
tingkat kesulitannya untuk mengerjakan tugas menulis. Berikan
tugas yang menarik dan memang diminatinya, seperti menulis surat
untuk teman, menulis pada selembar kartu pos, menulis pesan untuk
orang tua, dan sebagainya. Hal ini akan meningkatkan kemampuan
menulis anak disgrafia dan membantunya menuangkan konsep
abstrak tentang huruf dan kata dalam bentuk tulisan konkret.

Adapun penanganan secara terstruktur dapat dilakukan melalui


beberapa hal berikut:
1. Faktor kesiapan menulis.
Menulis membutuhkan kontrol maskular, koordinasi mata tangan,
dan diskriminasi visual. Aktivitas yang mendukung kontrol
muskular antara lain: menggunting, mewarnai gambar, finger
painting, dantracing. Kegiatan koordinasi mata-tangan antara lain:
membuat lingkaran dan menyalin bentuk geometri. Sementara
itu, pengembangan diskriminasi visual dapat dilakukan dengan
kegiatan membedakan bentuk, ukuran, dan detailnya, sehingga
anak menyadari bagaimana cara menulis suatu huruf.
2. Aktivitas lain yang mendukung.
a. Kegiatan yang memberikan kerja aktif dari pergerakan otot
bahu, lengan atas serta bawah, dan jari.

376
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

b. Menelusuri bentuk geometri dan barisan titik.


c. Menyambungkan titik.
d. Membuat garis horizontal dari kiri ke kanan.
e. Membuat garis vertikal dari atas ke bawah dan dari bawah ke
atas.
f. Membuat bentuk-bentuk lingkaran dan kurva.
g. Membuat garis miring secara vertikal.
h. Menyalin bentuk-bentuk sederhana.
i. Membedakan bentuk huruf yang mirip bentuknya dan huruf
yang hampir sama bunyinya.

3. Menulis huruf lepas/cetak.


a. Perlihatkan sebuah huruf yang akan ditulis.
b. Anak menelusuri garis tersebut dengan pensilnya.
c. Ucapkan dengan jelas nama huruf dan arah garis untuk membuat
huruf itu.
d. Anak menelusuri huruf itu dengan jarinya sambil mengucapkan
dengan jelas arah garis untuk membuat huruf itu.
e. Anak menyalin contoh huruf itu di kertas/bukunya.
f. Jika cara ini sudah dikuasai, mintalah anak menyambungkan
titik yang dibentuk menjadi huruf tertentu, sampai akhirnya
anak mampu membuat huruf dengan baik tanpa dibantu. Tahap
selanjutnya adalah menulis kata dan kalimat.
4. Menulis huruf transisi.
Huruf transisi adalah huruf yang digunakan untuk melatih siswa
sebelum menguasai huruf sambung. Adapun langkah-langkah
pengajarannya sebagai berikut:
a. Kata atau huruf ditulis dalam bentuk lepas atau cetak.
b. Huruf yang satu dan yang lain disambungkan dengan titik-titik
dengan meggunakan warna yang berbeda.
c. Anak menelusuri huruf dan sambungannya sehingga menjadi
bentuk huruf sambung.
5. Menulis huruf sambung.
Mengajarkan huruf sambung dapat menggunakan langkah-langkah
huruf lepas dan transisi. (Maura, 2012).

Penutup
1. Disgrafia adalah kesulitan khusus di mana anak tidak bisa
menuliskan atau mengekspresikan pikirannya kedalam bentuk
tulisan, karena ketidakmampuan dalam mengkoordinasikan
tangan dan jarinya untuk menulis.
2. Adabeberapa faktor penyebab yang mempengaruhi

377
Professional Learning untuk Indonesia Emas

ketidakmampuan menulis (disgrafia). Di antaranya motorik,


perilaku, persepsi, memori, dan pemahaman instruktur.
3. Teknik scaffolding terbukti dapat meningkatkan kemampuan
siswa dalam menulis secara baik, utuh, lengkap, koheren,
dan penggunaan ejaan dan tanda bacanya juga tepat. Manfaat
nyata yang dapat dipetik dari penggunaan teknik scaffolding
adalah siswa dapat menguasai pengetahuan dan keterampilan
yang dilatihkan, menumbuhkan motivasi belajar siswa, dan
meminimalkan rasa frustasi pada diri siswa.

Daftar Pustaka

Abdurrahman, Mulyono. 2003. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan


Belajar. Jakarta : Rineka Cipta Abdullah,
Alwasilah, A. C. 2000. Perspektif Pendidikan Bahasa Inggris di Indonesia
dalam Konteks Persaingan Global. Bandung: Andira.
Ansori, Dian.2010. Implikasi Perkemban dan Anak Terhadap Penyelenggaraan
Pendidikan. (online). (dianzansori.wordpress.com, diakses
tanggal 8 November 2014)
Cahyono, Adi Nur. 2010. Vygotskian Perspective: Proses Scaffolding
untuk mencapai Zone of Proximal Development (ZPD), (online),
(http://blog.unnes.ac.id/adinegara/2010/03/04/vygotskian-
perspective-proses-scaffolding- untuk-mencapai-zone-of-
proximal-development-zpd/, diakses 14 November 2014)
Delphie, B. (2006). Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus (dalam Setting
Pendidikan Inklusi). Bandung: PT. Refika Aditama.
e-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha
Program Studi Teknologi Pembelajaran (Volume 3 Tahun 2013).
http://klinikautisindonesia.wordpress.com/2012/11/03/
penanganan-terkini gangguan -belajar-disgrafia-gangguan-
menulis-pada-anak/ (Diakses pada tanggal 14 November 2014).
http://disgrafia.terapicalistung.com/2013/06/pengertian-disgrafia.
html
http://growupclinic.com/2013/08/29/kenali-gangguan-belajar-
disgrafia-gangguan-menulis-pada-anak/
http://rumahkonsultasianak.wordpress.com/2010/03/16/disgrafia-
dysgraphia/
http://untan.academia.edu/Yusran Prakoso. (diakses tanggal 8
November 2014).

378
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Klausmeier, H.J. 1977. Educational experience and cognitive


development , Educational Psychologist, No. 12 (2).
Lange, V. L. (2002). Instructional scaffolding. Retrieved on September
25, 2007from http://condor.admin-.ccny.cuny.edu/~group4/
Cano/Cano% 20 Paper.doc.
Lyon, (2001). Persentase Siswa Kesulitan Belajar. http: // www.
saturnet.com. (diakses tanggal 13 November 2014)
Pharyuna, A.M. 2010. Pengaruh Metode Pembelajaran Berbasis Masalah
Berbantuan Sacffolding Terhadap Keterampilan Menulis Berbahasa
Inggris Ditinjau dari Krativitas Siswa SMK Negeri 1 Singaraja.
Tesis (tidak diterbitkan). Program Pascasarjana Universitas
Pendidikan Ganesha Singaraja.
Sofa.2008. Karakteristik Anak Usia SD. (online). ( http://www.ilmukami.
co.cc, diakses tanggal 8 November 2014).
Vygotsky, L.S. (1978). Mind in Society. Cambridge, MA: Harvard
University Press.
Yusuf, Syamsu. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung:
Remaja Rosdakarya.

379
PEMBELAJARAN INTEGRATIF MELALUI
MEMBATIK DI KOTA CIMAHI
Ramdhan Witarsa
Universitas Muhammadiyah Purwokerto
Email: kampiun.utama@yahoo.com

Absract: Batik is one type of clothing that is famous in the world


and is known as one of the cultural heritage owned by the Indo-
nesian people. Behind the making of batik as an art form are the
values of the high philosophy of the Java community, as well
as also with batik made in Cimahi. Batik containing high val-
ues philosophy in the process. First, the process of batik itself
and the second aspect is reversed motif. Aspect of making batik
is very attracted me to discuss. I focus my writing this assess-
ment to the process of batik on before, during, and after the ba-
tik. There are aspects of philosophy in batik in Cimahi. These
aspects are muthmainah, sufiyah, amarah, and aluamah. In Java
philosophy, muthmainah implies how well we are doing some-
thing naturally that is implemented in all the activities of life
were performed consistently and continuously. Other properties
is how emotions affect the teenagers to do something based on
the affection. These properties are reflected aluamah with forms
of justice, love, compassion, beauty, humanity. Other properties
are sufiyah. Sufiyah is a desire to do something good wishes and
justice, not only for teenagers but also adults. The nature of the
latter is amarah. The nature of this amarah should be avoided
by all men because of amarah will lead to the greedy nature.
The fourth characteristic is illustrated in batik in Cimahi, either
before, during, and after the batik that begins with preparation
equipment, make batik and batik on cloth is all of the process of
batik on fabric is described as a process mbironi, ngerok, nyoga,
and others.

Keywords : ethical development, the process of batik, Javanese


philosophy.

380
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Pendahuluan
Tanggal dua oktober merupakan Hari Batik Nasional, batik
yang kita tahu merupakan warisan budaya Bangsa Indonesia. United
National Education Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pun
telah mengakui bahwa batik merupakan budaya asli Indonesia. Apa-
bila UNESCO sudah mengakui, berarti harusnya negara lain tidak bisa
merebutnya dan mengakuinya. Batik berasal dari bahasa Jawa amba
yang berarti menulis dan nitik. Menurut Yudoseputro (2000 : 98),
batik berarti gambar yang ditulis pada kain dengan mempergunak-
an malam sebagai media sekaligus penutup kain batik. Batik sendiri
merupakan hasil budaya yang bisa dikatakan hampir semua wilayah
nusantara ada, apalagi Indonesia yang memiliki banyak kepulauan,
provinsi, dan daerah, dengan begitu motif yang dimiliki oleh Indo-
nesia tentu saja sangat beragam. Seni batik tumbuh dan berkembang
dengan pesat, seirama dengan selera minat daerah masing-masing
sehingga banyak beberapa daerah penghasil batik. Setiap daerah me-
miliki ciri khas serta keunikan batik dalam ragam hias maupun tata
warna.
Kota Cimahi saat ini dikenal sebagai kota yang kreatif. Kota Ci-
mahi merupakan salah satu kota yang memiliki ciri khas pada ragam
batiknya. Untuk sejarahnya adalah dengan diawali terbentuknya pada
bulan Juli 2009, pada saat itu tercetuslah sebuah ide untuk mengem-
bangkan batik Cimahi yang didasari karena keprihatinan beberapa
seniman Cimahi yang peduli terhadap perkembangan budaya tradis-
ional di Kota Cimahi. Batik Cimahi pertama kali dibuat melalui suatu
kompetisi yang diadakan oleh Dewan Kerajinan Nasional Daerah
(Dekranasda) Kota Cimahi yang diketuai oleh Ny. Atty Suharti Toch-
ija. Pada saat itu lomba diadakan untuk umum, dan untuk batik yang
menang akan dipatenkan sehingga tidak dapat ditiru oleh daerah lain.
Batik khas Kota Cimahi telah didaftarkan ke Provinsi Jawa Barat
sebanyak lima buah motif. Untuk tiga motif utama Kota Cimahi yaitu
motif anyaman bambu, lereng kujang, dan daun singkong, sedangkan
untuk dua motif lagi yaitu motif curug cimahi dan pusdik sedang
dalam tahap modifikasi. Namun yang menjadi objek atau fokus ka-
jian penulis adalah proses membatiknya itu sendiri yang mempunyai
makna, nilai, dan pendidikan dalam menghasilkan batik yang bernilai
seni dan bernilai jual tinggi.
Proses membatik yang seperti apa yang menghasilkan batik den-
gan corak/motif yang bernilai seni dan bernilai jual tinggilah yang
menjadi hal yang membuat penulis penasaran untuk mengetahui dan
mencari makna-makna apa saja yang terkandung dalam proses mem-
batik.

381
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Fokus Kajian
Masyarakat jawa dikenal sebagai masyarakat yang memiliki latar
belakang budaya yang sangat kuat. Latar belakang tersebut dapat dili-
hat melalui dokumentasi yang dilakukan oleh masyarakat Jawa yang
ada di Kota Cimahi. Dokumentasi tersebut dapat berupa berbagai ma-
cam hasil karya masyarakat Jawa. Satu dari sekian banyak dokumen-
tasi tersebut adalah dokumentasi tentang hasil seni budaya masyara-
kat Jawa yang disebut batik. Dimanapun masyarakat Jawa berada,
mereka mendokumentasikan hasil budaya masyarakatnya untuk ke-
pentingan kelanjutan generasi berikutnya.
Dengan didirikannya Lembur Batik yang ada di jalan Pesantren
Kota Cimahi dengan maksud dan tujuan agar karya budaya pewarisan
nenek moyangnya dapat dilakukan terus menerus dan berenkulturasi
dengan masyarakat Sunda. Kain batik yang dikenal sebagai karya seni
masyarakat Jawa selama ratusan tahun tidak hanya dipergunakan se-
bagai karya seni biasa tetapi juga digunakan sebagai pakaian. Namun
yang sangat disayangkan masyarakat Jawa sendiri ada yang tidak
memahami makna, nilai-nilai filosofi yang terkandung dalam proses
membatik baik itu sebelum membatik, pada saat membatik, dan sesu-
dah membatik. Sehingga pemaknaan akan proses membatik menjadi
sangat dangkal. Oleh sebab itu, penulis memandang perlu pengka-
jian yang lebih mendalam agar generasi muda kita saat ini tidak ke-
hilangan ruh akan makna, nilai-nilai yang terkandung dalam proses
membatik. Kajian ini sangat penting untuk melestarikan makna dan
nilai-nilai dalam proses membatik sehingga generasi muda akan me-
mahami dan memaknai apa yang dimaksud dengan membatik? Sep-
erti apa bentuk membatik? Dan bagaimana kegiatan membatik?

Membatik Cimahi
Batik berasal dari bahasa Jawa amba yang berarti menulis dan
nitik. Batik berarti gambar yang ditulis pada kain dengan mem-
pergunakan malam sebagai media sekaligus penutup kain batik. Ba-
tik sendiri merupakan hasil budaya yang bisa dikatakan dimiliki oleh
hampir semua wilayah nusantara. Hal ini dikarenakan Indonesia me-
miliki banyak kepulauan, provinsi, dan daerah. Dengan begitu mo-
tif batik yang dimiliki oleh Indonesia tentu saja sangat beragam. Seni
batik tumbuh dan berkembang dengan pesat, seirama dengan selera
daerah masing-masing sehingga banyak beberapa daerah yang men-
jadi penghasil batik. Setiap daerah memiliki ciri serta keunikan khas
tersendiri dalam ragam hias maupun tata warna batik.
Begitupun dengan batik khas Kota Cimahi. Batik khas Kota Ci-
mahi yang telah didaftarkan ke Provinsi Jawa Barat sebanyak lima

382
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

buah motif, untuk tiga motif utama Kota Cimahi yaitu motif anya-
man bambu, lereng kujang, dan daun singkong, sedangkan untuk dua
motif lagi yaitu motif curug cimahi dan pusdik sedang dalam tahap
modifikasi.

Format Membatik Cimahi


Batik Cimahi Motif Cirendeu
Motif Cirendeu yang dibuat oleh Dadang lebih mewakili masyara-
kat adat Kampung Cirendeu yang terletak di wilayah Leuwigajah, Ci-
mahi Selatan. Singkong atau sampeu yang merupakan makanan pokok
pengganti nasi bagi masyarakat sekitar selama 80 tahun telah menjadi
inspirasi untuk menciptakan motif batik. Jadi, pada motif Cirendeu
ini, motif daun singkong dan ketela lebih mendominasi.

Gambar 1. Batik Cimahi Motif Cirendeu


(Sumber: http://kicaucimahi.blogspot.com; Dokumentasi Penulis)

Batik Cimahi Motif Kuncup


Terdapat juga motif lainnya yaitu motif kuncup, motif ini dipilih
sebagai salah satu tema batik khas Cimahi, karena kata kuncup diam-
bil dari bunga yang sedang kuncup.

Gambar 2. Batik Cimahi Motif Kuncup


(Sumber: http://kicaucimahi.blogspot.com; Dokumentasi Penulis)

383
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Batik Cimahi Motif Kujang


Motif Kujang merupakan senjata tradisional khas Jawa Barat.
Motif Kujang ini dibuat oleh Muhammad Yaser. Ada dua jenis motif
Kujang yang ada pada batik Cimahi, yaitu motif Rereng Kujang dan
kujang Cakra.

Gambar 3 . Batik Cimahi Motif Kujang


(Sumber: http://cimahijugapunyabatikloh.blogspot.com; Dokumen-
tasi Penulis)

Gambar 4. Batik Cimahi Motif Kujang Cakra


(Sumber: http://balareabatikjabar.org; Dokumentasi Penulis)

384
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Gambar 5. Batik Cimahi Motif Rereng Kujang


(Sumber: http://balareabatikjabar.org; Dokumentasi Penulis)

Batik Cimahi Motif Pusdik


Motif Pusdik terinspirasi dari banyaknya Pusat Pendidikan (Pus-
dik) militer di kota Cimahi. Meskipun tergolong kota kecil, namun
Pusdik ini mencapai angka belasan sehingga membedakan kota Cima-
hi dengan kota-kota lain yang ada di Jawa Barat. Pada motif Pusdik,
terlukis berbagai aktivitas pendidikan militer seperti latihan perang,
motif Kawah Candradimuka yang merupakan simbol pendidikan mi-
liter, dan lain-lain.

Gambar 6. Batik Cimahi Motif Pusdik


(Sumber: http://cimahijugapunyabatikloh.blogspot.com; Dokumen-
tasi Penulis)

Batik Cimahi Motif Curug Cimahi


Motif Curug Cimahi adalah nama air terjun kebanggaan warga
Cimahi yang terletak di kawasan Cisarua. Meskipun kawasan tersebut
kini sudah termasuk wilayah Kabupaten Bandung Barat, namun nama
Curug Cimahi sudah sedemikian melekatnya dengan warga Cimahi

385
Professional Learning untuk Indonesia Emas

sehingga menjadi salah satu inspirasi pembuatan motif batik.

Gambar 7. Batik Cimahi Motif Curug Cimahi


(Sumber: http://ridwann13.blogspot.com; Dokumentasi Penulis)

Batik Cimahi Motif Ciawitali


Motif Ciawitali yang diciptakan oleh Didi Sahadi didominasi oleh
lukisan bambu dan anyamannya. Inspirasinya datang dari seorang
warga Cimahi yang merupakan penggagas Asosiasi Bambu Sedunia.
Ciawitali sendiri merupakan nama suatu kampung di Kecamatan Ci-
mahi Tengah yang banyak ditumbuhi rumpun bambu.

Gambar 8. Batik Cimahi Motif Ciawitali


(Sumber: http://balareabatikjabar.org; Dokumentasi Penulis)

386
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Gambar 9 . Batik Cimahi Motif Anyaman Bambu


(Sumber: http://balareabatikjabar.org; Dokumentasi Penulis)

Aktivitas Membatik Cimahi


Persiapan Membatik
Sebelum membatik, ada beberapa alat dan perlengkapan yang
perlu dipersiapkan sebagai berikut:
Keren atau anglo, atau bisa juga menggunakan kompor kecil be-
serta wajan yang sudah diisi dengan malam. Malam dicairkan di dalam
wajan di atas anglo. Pencairan harus sempurna, sehingga malam ber-
warna tua. Hal ini dimaksudkan agar malam bisa lancar keluar me-
lalui cucuk canting dan malam dapat meresap dengan sempurna ke
dalam mori. Api dalam anglo harus dijaga agar tetap membara, namun
jangan sampai menyala karena bisa menjilat malam yang berada di
dalam wajan.

Canting
Canting digunakan untuk menutupi kain dengan lapisan malam.
Tujuannya agar pada saat pewarnaan kain yang tertutup lapisan
malam ini tidak terkena warna. Ada berbagai macam canting yang
diperlukan dalam proses mencanting. Ada canting klowongan, cant-

387
Professional Learning untuk Indonesia Emas

ing isen, canting cecekan, canting tembokan, dsb. Dalam mengop-


erasikannya, perlu diperhatikan cara memegangnya. Cara memegang
canting berbeda dengan cara memegang pensil atau alat tulis lainnya.
Perbedaan itu disebabkan karena ujungcucukcanting bentuknya me-
lengkung dan berpipa besar, sementara pensil atau alat tulis lurus.
Dengan canting ini, malam mendidih yang berada di dalam wajan
diciduk dan dibatikkan di atas mori. Sebelum dibatikkan, sebaiknya
mori ditiup terlebih dahulu dengan maksud untuk menghilangkan
cairan malam yang membasahicucukcanting.Cucukcanting yang ber-
lumuran cairan malam akan mengurangi baiknya goresan, terutama
ketika permukaan canting diproseskan pada mori.

Mori

Mordanting
Sebelum dibatik, mori perlu melewati proses mordanting. Mori
direndam dulu dengan cairan mordan. Tujuannya adalah untuk meng-
hilangkan kanji serta lemak-lemak yang menempel pada kain. Setelah
selesai direndam, mori dijemur sampai kering. Kemudian mori diletak-
kan di atas gawangan dekat anglo. Pembatik duduk di antara gawangan
dan keren atau anglo. Biasanya, gawangan ditempatkan di sebelah kiri,
sementara anglo ditempatkan di sebelah kanan pembatik.

Tahapan Mencanting
Dalam menghasilkan kain batik, sepotong mori dikerjakan tahap
demi tahap. Tiap tahap dapat dikerjakan oleh orang yang berbeda, na-
mun tidak dapat dikerjakan beberapa orang dalam waktu yang bersa-
maan.

388
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Membuat pola

Pola dibuat dengan pensil. Pola bisa berupa gambar-gambar yang


langsung bisa dicanting, namun bisa juga berupa garis geometris (mis-
alnya untuk motif kawung, maka yang dibuat hanya garis-garis kotak-
kotaknya saja). Dalam membuat pola, gambar bisa langsung digam-
barkan pada kain atau di-blad (menggambar dari pola yang ada di
sebalik kain).

Membatik Kerangka
Dari pola yang sudah dibuat dengan pensil tadi, pembatik mem-
buat kerangka dengan menggunakan malam cair. Canting yang di-
pergunakan adalah canting cucuk sedang atau canting klowongan. Mori
yang sudah dibatik seluruhnya akan memunculkan gambar berupa
kerangka, disebut juga sebagai klowongan.

Ngisen-iseni
Ngisen-iseniberasal dari kata isi, yaitu memberi isi atau
mengisi klowongan tadi.Ngisen-isenidengan mempergunakan cant-
ing cucuk kecil yang disebut sebagai cantingisen. Aktivitas selanjutnya
adalah nyeceki. Nyeceki mempergunakan cantingcecekan, hasilnya
bernama cecekan. Batikan yang lengkap dengan isen-isen disebut
sebagai reng-rengan. Karena namanya reng-rengan, maka aktivi-

389
Professional Learning untuk Indonesia Emas

tas membatik dalam memberikanisen-isensejak awal hingga akhir


disebut sebagai ngengreng. Setelah ngengreng selesai, keseluruhan
motif yang dikehendaki bisa terlihat. Hal ini merupakan penyelesaian
yang pertama.
Nerusi
Nerusi berasal dari kata meneruskan. Fungsinya untuk mem-
pertebal dan memperjelas tembusan batikan pertama. Aktivitas ini
merupakan penyelesaian yang kedua. Batikan berupa ngengrengan
dibalik permukaannya. Permukaan di sebaliknya kain ini kemudian
dicanting. Sebenarnya aktivitas ini tidak berbeda dengan membatik
kerangka, hanya saja dilakukan di sebaliknya kain yang sudah dicant-
ing. Canting-canting yang dipergunakan sama dengan canting untuk
ngengreng.

Nembok
Sebuah batikan tidak seluruhnya diberi warna, atau akan diberi
warna yang bermacam-macam pada waktu penyelesaian menjadi
kain. Karena itu, bagian-bagian yang tidak akan diberi warna (atau
akan diberi warna sesudah bagian yang lain) harus ditutup dengan
malam. Cara menutupnya seperti cara membatik bagian lain dengan
mempergunakan canting tembokan. Canting tembokan bercucuk besar.
Orang yang mengerjakannya disebut nembok atau nembokidan
hasilnya disebut nembokan.

Bliriki
Bliriki adalah nerusi tembokan agar bagian-bagian itu tertutup sung-
guh-sungguh. Bliriki mempergunakan canting tembokan dan caranya
seperti nemboki. Apabila tahap terakhir ini sudah selesai, berarti proses
membatik selesai juga. Hasilblirikidisebut blirikan atau tembokan.
Kadang-kadang batikan tidak perlu ditembok. Apabila pilihannya sep-
erti ini maka batikan sudah selesai sebelum ditembok dan dibliriki. Se-
lanjutnya, bisa dilanjutkan dengan proses pewarnaan.

390
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Kain-kain yang Sudah Selesai Dicanting


Proses Pewarnaan
Dalam proses ini, kain yang sudah dibatik diberi warna. Bagian
yang tertutup malam nantinya akan tetap berwarna seperti semula
(putih) dan yang tidak tertutup malam akan terwarnai. Ada dua je-
nis zat warna yang bisa dipilih dalam proses pewarnaan ini, yaitu zat
warna alam dan zat warna sintetis. Proses pewarnaan terbagi dalam
beberapa tahap dan harus dikerjakan secara urut.

Perendaman dengan Cairan Naptol


Sebelum diberi warna, kain perlu direndam dulu dengan cairan
naptol agar warna bisa menempel dengan sempurna.

Pemberian warna
Kain dimasukkan dalam zat warna (alam/sintetis) sambil dibo-
lak-balik supaya rata, kemudian didiamkan selama 15 menit. Setelah
itu kain diangkat, diangin-anginkan dengan cara kain dibentang pada
tali/tambang di tempat yang teduh dan dijepit. Pada pewarnaan ala-
mi, setelah kain kering pencelupan diulang minimal tiga kali.

391
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Proses Penguncian (Fiksasi)


Dalam proses ini, warna akan dikunci. Ada tiga pilihan bahan un-
tuk proses penguncian ini, yaitu air kapur (warna akan cenderung lebih
tua), tawas (warna akan cenderung lebih muda), dan tunjung (warna
akan cenderung lebih tua/pekat). Bahan-bahan tersebut memberikan
efek warna yang berbeda-beda meskipun zat warna yang digunakan
sama. Cara mengunci: kain yang sudah diberi warna direndam dalam
cairan dari salah satu bahan tersebut selama 10 menit, kemudian di-
cuci bersih dan dikeringkan dengan cara diangin-angin.

Nglorod
Menghilangkan lilin secara keseluruhan pada akhir proses pem-
buatan batik disebutmbabar, ngebyok, atau nglorod. Caranya, kain
yang sudah dibatik direndam terlebih dahulu kemudian dimasukkan
dalam air mendidih yang sudah diberi obat pembantu berupawater-
glassatau soda abu. Setelah itu, kain batik dikeringkan dengan cara
diangin-angin.

392
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Nglorod
Proses-proses di atas hanya untuk penggunaan satu warna saja.
Kebanyakan kain batik memakai lebih dari satu warna. Untuk se-
tiap pewarnaan, perlu diulang prosesnya dari mencanting (mulai dari
membatik kerangka, namun bagian yang ditutup dengan cairan
malam berbeda tergantung bagian mana yang diinginkan tidak ter-
kena warna itu) sampai nglorod.

Kain-kain Batik yang Sudah Selesai Diproses

Penutup
Dalam proses membatik terdapat teks yang merupakan karya sas-
tra yang menyertai pembuatan awal batik. Sebenarnya teks ini meru-
pakan mantra yang harus diniatkan di dalam hati sebelum seseorang
melakukan proses membatik. Teks ini sudah diubah sedemikian rupa
sehingga terlihat seperti karya sastra. Seiring dengan perkembangan
jaman, batik tidak lagi dibuat secara perorangan melainkan sudah
dapat dibuat secara masal, maka teks ini sudah tidak dikenal lagi. Hal
tersebut itulah yang membuat proses membatik pada saat awal pem-
buatannya kehilangan ruhnya. Kemajuan teknologi sudah membuat
sudut pandang masyarakat bergeser. Masyarakat yang tadinya sangat
menghargai karya perorangan sekarang sudah lebih memilih karya
masal yang sifatnya sangat ekonomis. Melihat kondisi yang demikian,
maka semua proses kegiatan membatik dari awal, pada saat, dan sesu-
dah membatik perlu diimplementasikan dalam bentuk lain sehingga
nilai-nilai yang terkandung dalam filosofi batik tidak tergerus dengan
perubahan waktu dan zaman.

393
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Daftar Pustaka

Hamzuri. 1985. Batik Klasik. Jakarta: Penerbit Djambatan.


Hitchcock, M. 1991. Indonesian Textiles. London: Published by British
Museum Press 46, Bloomburry Street.
Jamhuri, S. 2001. Memahami Warisan Budaya Masyarakat Tradisional.
Surabaya: PT Aneka Tanda.
Kerlogue, F. 2004. Batik, Ontwerp, Stijl En Gecchiedenis. Singapore: Edi-
tions Didier Miller.
Sudjadi, H. 2003. Karya Sastra Tradisional Jawa dalam Macapat. Jogjakar-
ta: Penerbit Budi Asih.
Sugiarti, H. 1998. Pengaruh Islam dalam Naskah Tradisional. Bandung:
CV Buana Raya.
Sutarman, D. 2005. Pesantren dan Naskah Tradisional. Magelang: Balai
Penerbit Kusumatjitra.
S.K. Sewanto. 1973. Seni Kerajinan Batik Indonesia. Balai Penelitian Batik
dan Kerajinan, Lembaga Penelitian dan Pendidikan Industri,
Departemen Perindustrian RI.
Tim KUBe Sekar Kedhaton, Giriloyo dan Laboratorium Pengemban-
gan Ekonomi Manajemen UPN Veteran. (2012). Modul Prak-
tek Membatik untuk Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan UPN
Veteran. Yogyakarta: Mentranslasikan Cinta Budaya melalui
Belajar Batik
Wawancara dengan Pembatik Lembur Batik Jalan Pesantren Kota Ci-
mahi

394
PENGGUNAAN PEMBELAJARAN BERBASIS
MASALAH UNTUK MENINGKATKAN HASIL
BELAJAR SISWA PADA MATERI
LISTRIK DINAMIS
(Penelitian Tindakan Kelas IX SMP Negeri I Tanjungsari
Kecamatan Tanjungsari Kabupaten Sumedang)

Suhartini
Guru Sekolah Dasar Negeri Kabupaten Sumedang
Email: rdea85@gmail.com

Abstrak: Berdasarkan hasil pengamatan awal di kelas IX
SMP Negeri 1 Tanjungsari pada pembelajaran listrik dinamis,
permasalahannya adalah hasil belajar dan keaktifan siswa.
Data awal 37,5% dari 32 siswa kelas IX A yang tuntas. Oleh
karena itu, penulis mengambil alternatif pemecahan masalah
dengan menggunakan PBM dalam kegiatan pembelajaran
untuk meningkatkan hasil belajar dan aktivitas siswa dalam
pembelajaran fisika kelas IX A di SMP Negeri 1 Tanjungsari.
Penelitian ini dirancang dan dilaksanakan dengan menggunakan
metode penelitian tindakan kelas dengan pendekatan kualitatif,
yang mengikuti desain penelitian Kemmis dan Mc. Tagart.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah format
observasi, format wawancara, dan tes hasil belajar. Berdasarkan
hasil tes siklus I mengalami peningkatan ketuntasan belajar 75%.
Sedangkan, aktifitas siswa selama pembelajaran memperoleh
nilai rata-rata keaktifan 7,68. Kinerja guru 88,9 %. Pada siklus
II mengalami peningkatan ketuntasan belajar menjadi 84,3%.
Sedangkan, aktifitas siswa selama pembelajaran siklus II
memperoleh nilai rata-rata 8,31 dan kinerja guru menjadi 91,6
%. Maka dari itu pelaksanaan siklus dihentikan. Dari hasil
pelaksanaan siklus I dan siklus II dapat disimpulkan bahwa
Pembelajaran Berbasis Masalah dapat meningkatkan hasil belajar
siswa pada materi listrik dinamis di SMP Negeri I Tanjungsari.

Kata kunci : Listrik dinamis, Pembelajaran Berbasis Masalah,


fisika.

395
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Pendahuluan
Mata pelajaran IPA Fisika adalah salah satu mata pelajaran eksakta
yang untuk mempelajarinya dibutuhkan percobaan, pengamatan serta
pembuktian dengan pasti berupa data kualitatif dan data kuantitatif .
Untuk sebagian siswa mata pelajaran ini sulit dan ditakuti, sehingga
hasil belajar yang diperoleh kurang memuaskan. Guru menggunakan
berbagai metoda dan media dengan harapan menarik perhatian
dan minat siswa, sehingga mereka dapat terlibat dalam proses dan
menemukan atau membuktikan suatu konsep.
Media pembelajaran memungkinkan anak berinteraksi dan
melakukan tindakan fisik yang dapat mengembangkan aktivitas
dan proses berpikir, sehingga mampu mentransfernya dalam bentuk
gagasan atau ide. Dari kegiatan meraba, memegang, berkembang
menjadi kegiatan berbicara, membaca, dan menghitung (Depdiknas,
2004).
Kenyataan di lapangan penggunaan media dalam bentuk alat,
membuat anak merasa senang pada saat belajar, aktif dan dapat
melakukan praktek sesuai prosedur. Tetapi ketika mengerjakan soal-
soal tes, hanya sebagian kecil siswa yang menjawab dengan benar.
Hal ini membuktikan bahwa penggunaan media dalam pembelajaran
belum maksimal untuk menggiring siswa memahami suatu konsep.
Salah satu contohnya adalah dalam pembelajaran Fisika konsep Listrik
Dinamis. Sekilas pembelajaran ini sangat sederhana dan mudah,
namun dari hasil tes di kelas IXA yang berjumlah 32 siswa hanya 12
orang (37,5%) yang mendapatkan nilai KKM (7,5).
Masalah di atas menjadi dorongan bagi penulis untuk melakukan
penelitian tindakan kelas di kelas IX A SMPN 1 Tanjungsari dengan
menggunakan model Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) dengan
metode praktikum. Model pembelajaran tersebut bertujuan membantu
siswa mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan masalah,
dan keterampilan intelektual; belajar berbagai peran orang dewasa
melalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata atau simulasi;
dan menjadi pebelajar yang otonom dan mandiri (Depdiknas, 2004).
Pengertian Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) menurut Tan
(Rusman, 2010:229) merupakan inovasi dalam pembelajaran karena
dalam PBM kemampuan berpikir siswa betul-betul diotimalisasikan
melalui proses kerja kelompok atau tim yang sistematis, sehingga siswa
dapat memberdayakan, mengasah, menguji dan mengembangkan
kemampuan berpikirnya secara berkesinambungan.
Selain pengertian di atas, Tan juga mengemukakan pendapat yang
lain mengenai pengertian PBM adalah sebagai penggunaan berbagai
macam kecerdasan yang diperlukan untuk melakukan konfrontasi
terhadap tantangan dunia nyata, kemampuan untuk menghadapi
segala sesuatu yang baru dan kompleksitas yang ada (Rusman, 2010).

396
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Karakteristik pembelajaran berbasis masalah (Rusman, 2010: 232)


adalah sebagai berikut:
a. Permasalahan menjadi starting point dalam belajar;
b. Permasalahan yang diangkat adalah permasalahan yang ada
di dunia nyata yang tidak terstruktur;
c. Permasalahan membutuhkan perspektif ganda;
d. Permasalahan menantang pengetahuan yang dimiliki oleh
siswa, sikap dan kompetensi yang kemudian membutuhkan
identifikasi kebutuhan belajar dan bidang baru dalam belajar;
e. Belajar pengarahan diri menjadi hal yang utama;
f. Pemanfaatan sumber pengetahuan yang beragam,
penggunaannya, dan evaluasi sumber informasi merupakan
proses yang essensial dalam PBM;
g. Belajar adalah kolaboratif, komunikasi dan kooperatif;
h. Pengembangan keterampilan inquiry dan pemecahan masalah
sama pentingnya dengan penguasaan isi pengetahuan untuk
mencari solusi dari sebuah permasalahan;
i. Keterbukaan proses dalam PBM meliputi sintesis dan integrasi
dari sebuah proses belajar; dan
j. PBM melibatkan evaluasi dan review pengalaman siswa dan
proses belajar.

Akar Desain Masalah


Akar desain masalah adalah masalah yang berupa kenyataan
hidup, tidak dibuat-buat dan memang kontekstual dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam PBM (Rusman,2010) sebuah masalah yang
dikemukakan kepada siswa harus dapat membangkitkan pemahaman
siswa terhadap masalah, sebuah kesadaran akan adanya kesenjangan,
pengetahuan, keinginan memecahkan masalah dan adanya persepsi
bahwa mereka mampu memecahkan masalah tersebut.

Menentukan Tujuan Pembelajaran Berbasis Masalah


Tujuan PBM adalah penugasan isi belajar dari disiplin heuristic
dan pengembangan dalam keterampilan pemecahan masalah. Selain
itu, PBM berhubungan dengan belajar tentang kehidupan yang lebih
luas, keterampilan memaknai informasi, kolaboratif dan belajar tim,
dan keterampilan berpikir reflektif dan evaluatif.

Peran Guru dalam Pembelajaran Berbasis Masalah


Guru dalam PBM terus berpikir tentang beberapa hal, yaitu: a)
Bagaimana dapat merancang dan menggunakan permasalahan yang
ada di dunia nyata, sehingga siswa dapat menguasai hasil belajar?
b) Bagaimana bisa menjadi pelatih siswa dalam proses pemecahan
masalah, pengarahan diri, dan belajar dengan teman sebaya? c) Dan

397
Professional Learning untuk Indonesia Emas

bagaimana siswa memandang diri mereka sendiri sebagai pemecah


masalah yang aktif? Selain itu, guru dalam PBM juga memusatkan
perhatiannya pada memfasilitasi proses belajar PBM, mengubah
cara berpikir, mengembangkan keterampilan inquiry, menggunakan
pembelajaran kooperatif, melatih siswa tentang strategi pemecahan
masalah, pemberian alasan yang mendalam, metakognisi, berpikir
kritis, dan berpikir secara sistem. Dan menjadi perantara proses
penugasan informasi, meneliti lingkungan informasi, mengakses
sumber informasi yang beragam, dan mengadakan koneksi.
Berdasarkan hasil identifikasi masalah yang dilaksanakan terhadap
pembelajaran awal, diketahui bahwa siswa kurang memahami materi
dan hasil belajar siswa masih rendah. Dari dua masalah yang muncul
tersebut, maka penulis dapat merumuskan masalahnya adalah apakah
model PBM dapat membantu meningkatkan hasil belajar siswa kelas
IX SMPN 1 Tanjungsari Kabupaten Sumedang pada materi listrik
dinamis ?

Pelaksanaan dan Pembahasan


Paparan Data Siklus I
Perencanaan Tindakan
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) meliputi Standar
Kompetensi 3. Memahami konsep kelistrikan dan penerapannya
dalam kehidupan sehari-hari. Kompetensi Dasar 3.2. Menganalisis
percobaan listrik dinamis dalam suatu rangkaian serta penerapannya
dalam kehidupan sehari-hari. Materi pokok Listrik Dinamis.
Indikator pembelajarannya Melakukan pengukuran kuat arus
listrik dan beda potensial dalam suatu rangkaian sederhana dengan
teliti dan jujur. Indikator tersebut dijabarkan menjadi 3 tujuan
pembelajaran, yaitu:
1. Dapat merakit rangkaian listrik sederhana.
2. Dapat mengukur kuat arus listrik.
3. Dapat mengukur beda potensial.

Untuk menunjang ketercapaian tujuan, direncanakan


menggunakan metoda pembelajaran demonstrasi dan eksperimen.
Demonstrasi dilakukan guru dengan memodelkan cara menggunakan
basic meter untuk mengukur kuat arus listrik dan beda potensial.
Peserta didik melakukan eksperimen secara berkelompok sesuai LKS.
Peserta didik dibagi menjadi 8 kelompok, setiap kelompok terdiri dari
4 orang yang heterogen baik secara gender juga tingkat prestasinya.
Data ini diperoleh guru dari pertemuan-pertemuan sebelumnya
dengan bantuan teman sejawat sebagai observer.

398
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Pelaksanaan Tindakan
Siklus I dilaksanakan hari kamis tanggal 6 September 2012 jam
ke-3 dan ke-4 pada kelas IXA SMP Negeri 1 Tanjungsari. Peserta
didik terdiri dari 15 orang laki-laki dan 17 orang perempuan. Proses
pembelajaran dilaksanakan di laboratorium fisika SMPN 1 Tanjungsari.
Pembelajaran dimulai jam 08.30. dengan bantuan 2 orang observer.
Guru membuka pembelajaran dengan mengajukan pertanyaan-
pertanyaan untuk mengingatkan kembali pengertian listrik dinamis
dan syarat-syarat terjadinya arus listrik. Motivasi dilakukan
guru dengan dengan memperlihatkan alat-alat, lalu mengajukan
pertanyaan: Dapatkah kalian merangkai alat-alat listrik ini sehingga
terjadi arus listrik?
Pada kegiatan inti peserta didik sudah duduk dalam kelompoknya,
setiap kelompok menerima 2 (dua) LKS dan seperangkat alat-alat
listrik. Setelah semua kelompok selesai melakukan kegiatan LKS
nomor 1 (satu) dan nomor 2 (dua), guru memusatkan perhatian semua
peserta didik supaya memperhatikan pemodelan cara menggunakan
basicmeter untuk mengukur kuat arus dan beda potensial yang
dilakukan oleh guru. Guru memastikan semua kelompok dapat
mengoperasikan basicmeter, dan mempersilahkan semua kelompok
melanjutkan kegiatan-kegiatan berikutnya sesuai LKS.
Di akhir kegiatan inti, LKS dikumpulkan sebagai data hasil belajar
berupa data kuantitatif, sedangkan data kualitatif diperoleh dari rubrik
penilaian unjuk kerja. Pada tahap pelaksanaan observer mengamati
kinerja guru dan mengamati aktivitas siswa. Dari tabel di bawah ini
dapat dilihat bahwa kinerja guru dalam kegiatan pembelajaran baru
mencapai 88,9%. Kelemahan guru terletak pada kurang persiapannya
alat penilaian dalam perencanaan. Pada saat orientasi siswa kepada
masalah, guru tidak menyampaikan masalah sesuai dengan hierarki
belajar. guru juga kurang menumbuhkan partisipasi dalam merefleksi
definisi masalah saat analisi dan mengevaluasi proses pemecahan
masalah. Dan pada evaluasi hasil belajar, guru tidak melakukan
evaluasi karena mengambil nilai unjuk kerja dan nilai LKS siswa.

Hasil Pengamatan
Berdasarkan hasil pengamatan proses pembelajaran dengan
bantuan 2 (dua) orang observer, diperoleh data 24 (75 %) dari 32 peserta
didik telah memperoleh nilai unjuk kerja lebih dari atau sama dengan
KKM. Nilai tersebut diperoleh dari 50% nilai unjuk kerja individu +
50% nilai kelompok. Nilai kelompok diperoleh dari nilai LKS. Berikut
nilai aktifitas siswa yang disajikan dalam bentuk tabel.

399
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Tabel 1
Hasil Aktivitas Siswa Siklus 1
Kel. Nama Nilai Unjuk Nilai Dari Jumlah Keterangan
Siswa Kerja(50%) LKS (50%)
A 8,75 8,00 8,38 Tuntas
B 5,63 8,00 6,82 Belum tuntas
I
C 5,63 8,00 6,82 Belum tuntas
D 6,25 8,00 7,12 Belum tuntas
E 8,13 7,50 7,82 Tuntas
F 8,75 7,50 8,12 Tuntas
II G 7,50 7,50 7,50 Tuntas
H 6,25 7,50 6,88 Belum tuntas
I 10,00 9,00 9,50 Tuntas
J 6,25 9,00 7,63 tuntas
III K 7,50 9,00 8,25 Tuntas
L 5,63 9,00 7,31 Belum tuntas
M 9,40 7,50 8,45 Tuntas
N 9,40 7,50 8,45 Tuntas
IV O 8,13 7,50 7,82 Tuntas
P 6,90 7,50 7,20 Belum tuntas
Q 9,40 8,50 8,95 Tuntas
R 8,13 8,50 8,31 Tuntas
V S 8,75 8,50 8,63 Tuntas
T 8,13 8,50 8,31 Tuntas
U 10,00 8,50 9,25 Tuntas
V 7,50 8,50 8,00 Tuntas
VI W 7,50 8,50 8,00 Tuntas
X 6,90 8,50 7,70 Tuntas
Y 6,90 8,50 7,70 Tuntas
X 5,00 8,50 6,75 Belum tuntas
VII A1 10,00 8,50 9,25 Tuntas
B1 7,50 8,50 8,00 Tuntas
C1 8,75 8,50 8,63 Tuntas
D1 6,90 8,50 7,70 Tuntas
VIII
D2 6,25 8,50 7,38 Belum tuntas
D3 6,90 8,50 7,70 Tuntas
Nilai 10,00 9,00 9,50
Tertinggi
Nilai terendah 5,00 7,50 6,75
Nilai rata-rata 7,64 8,25 7,95
Jumlah Tuntas = 24 orang
Belum tuntas = 8 orang

400
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa dalam aktivitas siswa pada
siklus I (satu) sudah terlihat dari kegiatan siswa yang berkelompok
dan berdiskusi dalam pemecahaman masalah yang diberikan oleh
guru. Selain itu, siswa diberikan kesempatan dan fasilitas untuk
mengungkapkan ide dan gagasannya dalam pembelajaran materi
listrik dinamis. siswa dapat membagi pendapat dan bersama-sama
untuk memecahkan masalah yang diberikan guru. Nilai pada tabel di
atas terdiri dari nilai unjuk kerja siswa dan nilai LKS siswa. Kedua nilai
tersebut dijadikan acuan sebagai nilai hasil belajar siswa. Terdapat 24
siswa yang telah tuntas dan 8 (delapan) siswa yang belum tuntas.

Refleksi
Proses pembelajaran siklus 1 (satu) model PBM dengan
menciptakan kondisi belajar yang aktif untuk 90% kelompok.
Kelompok II, III, V, dan VI dapat merangkai listrik dalam waktu
kurang dari 5 menit, kelompok IV, VII, dan VIII merangkai listrik
dalam waktu 10 menit, sedangkan kelompok I (satu) mendapat
kesulitan sehingga membutuhkan waktu merangkai sekitar 15 menit.
Kelompok I (satu) terlihat kesulitan, ini disebabkan Rini sebagai reader
sibuk sendiri sedangkan yang lainnya hanya melihat. Hasil belajar
yang diperoleh pada siklus hanya dari unjuk kerja dalam kelompok,
sedangkan pemahaman konsep untuk setiap individu tidak terukur
karena guru tidak melakukan tes.
Untuk siklus ke-2 sebaiknya guru memberikan tes awal dan tes
akhir, sehingga diperoleh data kuantitatif yang menggambarkan
sejauh mana pemahaman konsep peserta didik, juga kemajuan belajar
terukur untuk setiap individu. Melalui tes guru memperoleh data
sejauh mana kualitas pembelajarannya.

Deskripsi Siklus 2
Perencanaan
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) siklus 2 meliputi Standar
Kompetensi 3. Memahami konsep kelistrikan dan penerapannya
dalam kehidupan sehari-hari. Kompetensi Dasar 3.2. Menganalisis
percobaan listrik dinamis dalam suatu rangkaian serta penerapannya
dalam kehidupan sehari-hari. Materi pokok Listrik Dinamis.
Indikator pembelajaran Melakukan pengukuran kuat arus listrik
dan beda potensial dalam suatu rangkaian listrik sederhana dengan
teliti dan jujur.
Indikator tersebut dijabarkan menjadi 3, yaitu:
a. Melalui percobaan peserta didik dapat menemukan hubungan
antara kuat arus listrik dengan beda potensial.
b. Melalui percobaan peserta didik dapat menuliskan persamaan
hubungan antara arus listrik, beda potensial, dan hambatan

401
Professional Learning untuk Indonesia Emas

dengan benar.
c. Peserta didik dapat mengoperasikan persamaan hukum Ohm
secara Mandiri.

Kondisi kelas di siklus II masih seperti pada siklus I, baik jumlah


kelompok maupun anggota kelompoknya.

Pelaksanaan Tindakan
Siklus II dilaksanakan hari kamis tanggal 13 September 2012 jam
ke-3 dan ke-4 pada kelas IXA SMP Negeri 1 Tanjungsari. Peserta
didik terdiri dari 15 orang laki-laki dan 17 orang perempuan.
Proses pembelajaran diawali dengan tes awal yang dilakukan di
kelas. Kegiatan inti dilakukan di laboratorium fisika SMP Negeri 1
Tanjungsari.
Pada kegiatan inti peserta didik sudah duduk dalam kelompoknya,
setiap kelompok menerima 2 LKS dan seperangkat alat-alat listrik.
Guru membantu mengingatkan kembali cara menggunakan basicmeter
untuk mengukur kuat arus dan untuk mengukur beda potensial.
Peserta didik melakukan kegiatan sesuai LKS sehingga menemukan
hubungan antara kuat arus dengan beda potensial dan hambatan pada
rangkaian listrik sederhana.
Presentasi dilakukan dengan menampilkan beberapa kelompok
untuk menyampaikan hasil kerjanya, sedangkan kelompok lain
menanggapinya. Guru membimbing membuat kesimpulan dari hasil
observasi yang dilakukan peserta didik.
Berikut ini akan disajikan tabel mengenai kinerja guru pada siklus
II. Masih ada beberapa hal yang perlu diperbaiki dalam pelaksanaan
pembelajaran yang dilakukan oleh guru. guru kurang bisa memberikan
apersepsi pada tahap awal pembelajaran. Selain itu guru juga masih
kurang dapat mengorientasikan masalah kepada siswa. Evaluasi hasil
belajar masih kurang dalam hal prosedur penilaian.

Hasil Pengamatan
Berdasarkan hasil pengamatan proses pembelajaran dengan
bantuan 2 orang observer, diperoleh data 27 (84,3%) dari 32 peserta
didik telah memperoleh nilai unjuk kerja lebih dari atau sama dengan
KKM. Nilai tersebut diperoleh dari 50% nilai unjuk kerja individu +
50% nilai kelompok. Nilai kelompok diperoleh dari nilai LKS. Adanya
peningkatan jumlah ketuntasan hasil belajar siswa yang menjadi 27
orang dari sikulus I. Selain itu, keaktifan siswa dalam berdiskusi dan
unjuk kerja mengalami peningkatan.
Berikut ini adalah diagram perubahan aktivitas siswa, nilai LKS
dan hasil belajar siswa dari data awal, siklus I dan siklus II.

402
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Peningkatan Data awal, Siklus I dan Siklus II


30
27

25 24

20
20
Nilai Rata-rata

15
12
tuntas
belum tuntas
10
8

5
5

0
data awal siklus I siklus II
Siklus

Grafik 1. Peningkatan Aktifitas siswa, Nilai LKS dan Hasil


Belajar Siswa

Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa perubahan yang terjadi dari
data awal, memasuki siklus I kemudian siklus II, terjadi peningkatan
rata-rata sebesar 1,00 pada hasil belajar siklus I, sedangkan 0,40 dari
siklus I ke silus II. Untuk aktivitas siswa pada siklus I siswa rata-
rata sudah mampu menjawab pertanyaan dengan tepat, melakukan
eksperimen dengan baik, kerjasama dalam kelompok sudah baik, dan
mempresentasikan hasil dengan cukup baik. Dari grafik, nilai rata-
rata aktivitas siswa yaitu 7,64. sedangkan pada siklus II nilai rat-rata
aktivitas siswa adalah 8, 31 maka terjadi peningkatan dari siklus I
sebesar 0,73.
Untuk nilai rata-rata LKS siklus I adalah 8,25 sedangkan nilai
rata-rata LKS siklus II adalah 8,38. Maka peningkatan yang terjadi
dari siklus I pada nilai rata-rata LKS sebesar 0,13. Berikut ini adalah
diagram mengenai ketuntasan belajar siswa dari data awal, siklus I
dan Siklus II.
Peningkatan Data awal, Siklus I dan Siklus II
30
27

25 24

20
20
Nilai Rata-rata

15
12
tuntas
belum tuntas
10
8

5
5

0
data awal siklus I siklus II
Grafik 2. Ketuntasan Hasil Belajar Siklus
Siswa

403
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Refleksi
Proses pembelajaran pada siklus ke-2 memperlihatkan peningkatan
kemampuan melakukan percobaan sesuai prosedur. Hal ini terjadi
karena peserta didik sudah memiliki kemampuan merangkai alat
pada pertemuan sebelumnya di siklus ke-1. Pada umumnya semua
kelompok tidak mengalami kesulitan yang berarti.
Nilai proses belajar dalam bentuk unjuk kerja diperoleh data 27
(84,3%) dari 32 peserta didik sudah mencapai KKM. Dari hasil tes
akhir yang dilakukan pada akhir pembelajaran, 75% peserta didik
telah mencapai KKM, 25% peserta didik belum mencapai KKM.
Berdasarkan rencana awal Penelitian Tindakan Kelas, siklus akan
dihentikan setelah 75% (24 peserta didik) dari 32 peserta didik telah
mencapai KKM. Pertimbangan lain yang menjadikan siklus terhenti
adalah dalam pengalokasian waktu yang telah dirancang dalam
silabus pembelajaran.

Penutup
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilaksanakan
dalam dua siklus tentang Penggunaan PBM untuk meningkatkan
hasil belajar siswa pada materi listrik dinamis di kelas IX SMP Negeri
I Tanjungsari Kecamatan Tanjungsari Kabupaten Sumedang, maka
dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: Berdasarkan pada
data hasil pelaksanaan, proses pembelajaran dengan menggunakan
PBM. Kegiatan evaluasi proses yang dilakukan oleh guru adalah
mengamati aktivitas siswa pada saat terjadi pembelajaran dengan
menggunakan lembar observasi. Meliputi pengamatan terhadap
aktivitas siswa dan kinerja guru dengan lembar observasi. Evaluasi
setiap akhir pelaksanaan tindakan mengalami peningkatan setiap
siklus. Berdasarkan hasil tes pada penerapan PBM pada siklus I
mengalami peningkatan ketuntasan belajar menjadi 24 orang siswa
(75%). Sedangkan, aktivitas siswa selama pembelajaran memperoleh
nilai rata-rata keaktifan 7,68. Kinerja guru dari hasil observasi
mendapat persentase sebesar 88,9. Pada siklus II mengalami
peningkatan ketuntasan belajar menjadi 27 orang siswa (84,3%).
Sedangkan, aktivitas siswa selama pembelajaran siklus II memperoleh
nilai rata-rata keaktifan 8,31 dan kinerja guru dari hasil observasi
mendapat persentase sebesar 91,6. Dari hasil pelaksanaan siklus I dan
siklus II dapat disimpulkan bahwa Pembelajaran Berbasis Masalah
dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada materi listrik dinamis
di SMP Negeri I Tanjungsari kecamatan Tanjungsari Kabupaten
Sumedang. Bagi peneliti yang akan meningkatkan hasil belajar
siswa, Pembelajaran Berbasis Masalah bisa dijadikan alternatif dalam
pendekatan pembelajaran siswa

404
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Daftar Pustaka

Arikunto, S., dkk (2006). Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta : Bumi


Aksara.
Kasbolah, K.E.S. 1998. Penelitian Tindakan Kelas. Malang: Depdikbud.
Rusman (2010). Model-model Pembelajaran. Jakarta : Rajagrafindo
Persada.
Sugiyono (2007). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta
Wariyono, Sukis & Muharomah, Y. (2008). Mari Belajar Ilmu Alam
Sekitar. Jakarta : Pusat Perbukuan Depdiknas
Wiriaatmadja, R. (2006). Metode Penelitian Tindakan Kelas. Bandung:
Remaja Rosdakarya.

405
UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR
SISWA PADA MATERI MORFOLOGI
TUBUH HEWAN DAN TUMBUHAN SERTA
FUNGSINYA DENGAN MODEL PEMBELAJARAN
KOOPERATIF TIPE JIGSAW

Nana Suhana, Meiry Fadilah Noor


Madrasah Ibtidaiyah Negeri 19 Jakarta,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Email : meiry.fadilah@uinjkt.ac.id

Abstrak : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan


model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dapat meningkatkan
hasil belajar IPA siswa di Madrasah Ibtidaiyah Negeri 19 Jakarta.
Metode penelitian ini menggunakan metode Penelitian Tindakan
Kelas (PTK) yang terdiri dari dua siklus dan setiap siklus
meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi.
Adapun instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah:
Lembar tes hasil belajar, soal-soal latihan, lembar observasi guru
dan siswa, Lembar Kerja Siswa (LKS), dan catatan lapangan.
Penskoran ketercapaian penelitian didasari pada KKM siswa
yang mencapai 75% dari jumlah siswa.
Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan hasil belajar
siswa pada setiap siklus. Ditunjukkan dari hasil proses belajar
nilai LKS dan evaluasi mengalami peningkatan. Rata-rata N-gain
juga mengalami peningkatan dari 0,32 (siklus I) menjadi 0,46
(siklus II). Ketercapaian indikator penelitian pada siklus I sebesar
67,5% menjadi 85% pada siklus II. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa dengan penerapan model pembelajaran
kooperatif tipe jigsaw dapat meningkatkan hasil belajar siswa
pada mata pelajaran IPA pada materi morfologi tubuh hewan
dan tumbuhan serta fungsinya di Madrasah Ibtidaiyah Negeri
19 Jakarta.

Kata kunci : hasil belajar siswa, model pembelajaran kooperatif


tipe jigsaw, IPA

406
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Pendahuluan
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Bab I pasal I ayat (1) mendefinisikan Pendidikan sebagai
usaha sadar yang terencana dalam mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran untuk mengembangkan potensi diri
pesertadidik memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara (Jenderal
Pendidikan Nasional, 2006). Usaha tersebut terjadi proses belajar
mengajar antara siswa dengan guru dengan adanya interaksi. Hal
ini agar tercapai tujuan nasional dalam mengembangkan potensi
peserta didik selain berilmu salah satunya menjadi warga negara yang
bertanggung jawab (Rozak, 2010).
Peranan guru di kelas sebagai pengelola kelas sangat menentukan
pencapaian pembelajaran (Arend, 1997), Guru dapat mengelola kelas
dengan model- model pembelajaran, strategi, dan metode-metode
serta media yang tepat, sesuai dengan materi dan karakteristik
siswa. Siswa yang berilmu juga harus memiliki potensi berupa rasa
tanggung jawab yang dapat dikembangkan dengan pembelajaran
kooperatif. Pembelajaran ini melibatkan siswa dalam berpartisipasi
dan berinteraksi pada kelompoknya untuk belajar bekerja sama
dengan anggota lainnya bertanggung jawab untuk diri dan anggota
kelompok dalam pencapaian belajar (Rusman, 2013).
Pembelajaran di Madrasah Ibtidaiyah Negeri 19 Jakarta khususnya
pada kelas IV belum memaksimalkan interaksi serta partisipasi antar
siswa maupun guru. Metode pembelajaran yang digunakan seperti
ceramah, tanya jawab, tugas, dan sesekali menggunakan metode
diskusi. Sehingga hasil observasi menunjukkan aktivitas belajar yang
kurang aktif mengajukan pertanyaan, dan hanya beberapa siswa yang
dapat menjawab pertanyaan guru. Keberanian dalam mengemukakan
pendapat ketika diberikan kesempatan tidak termunculkan. Bahkan
interaksi antar siswa saat proses pembelajaran terlihat pasif. Hal ini
berdampak pada hasil belajar di dua angkatan kelas empat tahun ajar
2013/2014 dan 2012/2013 belum sesuai harapan yaitu sekitar 41,6 %
dan 33,7 % di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal 70.
Model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw diduga dapat
menjadi pemecahan dalam permasalahan MIN 19, karena salah
satu tipe pembelajaran kooperatif yang mendorong siswa aktif
dan saling membantu dalam menguasai materi untuk mencapai
prestasi yang maksimal (Zulfiani dkk., 2009). Pemberian model
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw akan memberikan kesempatan
untuk siswa dalam mengemukakan pendapat dan mengolah

407
Professional Learning untuk Indonesia Emas

informasi serta meningkatkan keterampilan dalam berkomunikasi.


Pembelajaran jigsaw akan menyeimbangkan hubungan antara guru
dan siswa (Soimin, 2014). Dengan demikian,suasana belajar menjadi
menyenangkan, tujuan pembelajaran tercapai dengan pencapaian
tersebut terindikasikan darihasil belajar yang meningkat.
Materi Morfologi Hewan dan Tumbuhan di Madrasah Ibtidaiyah
19 kelas empat membahas mengenai karakteristik morfologi berbagai
macam hewan. Irene (2014) menyebutkan materi tersebut dalam
hal morfologi tubuh hewan diantaranya hewan ikan, kucing, katak,
dan ayam, perbedaan serangga dan laba-laba. Buku kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (2013) membahas mengenai hewan jenis
burung, perbedaan serangga dan laba-laba. Didukung pula dengan
buku Sains Sesuai Kurikulum 2013 Valerina (2014) yang menjabarkan
materi morfologi tubuh hewan meliputi beberapa hewan, kucing,
ikan , burung, dan serangga. Sedangkan materi morfologi tumbuhan
membahas pada organ akar, batang, daun, bunga, buah, dan biji
(Haryanto, 2004). Karakteristik morfologi hewan dan tumbuhan
tersebut akan mudah dipahami dan diingat bila dikerjakan secara
bersama-sama. Dengan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw tujuan
pembelajaran akan tercapai bersama-sama dan hasil belajar menjadi
meningkat. Dengan demikian, perlunya upaya perbaikan proses
pembelajaran dengan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dalam
meningkatkan hasil belajar,khususnya pada materi Morfologi Tubuh
Hewan dan Tumbuhan serta Fungsinya dengan Model Pembelajaran
Kooperatif Tipe Jigsaw.

Hasil dan Pembahasan


Subjek penelitian ini adalah siswa Madrasah Ibtidaiyah Negeri
19 Jakarta kelas IV sebanyak 40 orang. Berdasarkan hasil pengamatan
langsung peneliti menyimpulkan bahwa pembelajaran IPA di Madrasah
Ibtidaiyah Negeri 19 Jakarta selama ini cenderung lebih banyak
mengembangkan kemampuan menghapal materi pembelajaran. Siswa
belum dibiasakan untuk memahami materi pembelajaran dengan cara
kelompok. Pembelajaran IPA masih berpusat pada guru yang lebih
sering menggunakan metode ceramah, tanya jawab, dan penugasan.
Guru juga jarang mengajak siswa untuk mempergunakan fasilitas
penunjang seperti labolatorium dan alat peraga dalam pembelajaran
IPA. Selain itu kurang adanya interaksi antarsiswa dalam proses
pembelajaran.
Berdasarkan hal-hal tersebut peneliti mencoba menerapkan model
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw yang sangat jarang diterapkan
dalam pembelajaran IPA. Objek dari penelitian tindakan ini adalah

408
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dan hasil belajar siswa.


Penelitian dilakukan sebanyak dua siklus, masing-masing siklus terdiri
dari kegiatan perencanaan, pelaksanaan, observasi atau pengamatan,
dan refleksi.

Siklus pertama
a. Perencanaan
Pada tahap perencanaan, peneliti yang juga sebagai guru
IPA, mengembangkan rencana tindakan berdasarkan penelitian
pendahuluan terhadap proses pembelajaran IPA dan hasil belajar IPA.
Dari penelitian pendahuluan didapatkan bahwa pada sekolah yang
akan diteliti mengalami permasalahan pada rendahnya hasil belajar
IPA. Guru dalam memberikan materi pembelajaran masih terbatas
pada metode ceramah, tanya jawab, dan penugasan. Siswa kurang
aktif dalam memberikan pertanyaan dan menjawab pertanyaan, siswa
kurang berani mengemukakan pendapat, serta kurang terjadinya
interaksi antarsiswa dalam proses pembelajaran.
Peneliti merancang desain pembelajaran yang dapat mengatasi
masalah yang dihadapi. Desain pembelajaran yang disiapkan meliputi
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang menerapkan model
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, LKS (Lembar Kerja Siswa),
lembar observasi guru dan siswa, instrument tes soal pilihan ganda
untuk pretest dan postest dan membentuk kelompok belajar siswa.
Pembelajaran pada siklus I dilakukan dalam dua kali pertemuan.
Pada pertemuan pertama dan kedua pembelajaran dilaksanakan di
dalam kelas dan siswa melakukan pengamatan dan diskusi kelompok.
Indikator pembelajaran dari materi morfologi tubuh hewan dan
fungsinya yaitu menjelaskan morfologi tubuh ikan dan fungsinya,
menjelaskan morfologi tubuh kucing dan fungsinya, menjelaskan
morfologi tubuh merpati dan fungsinya serta menjelaskan morfologi
tubuh katak dan fungsinya pada pertemuan pertama. Pada pertemuan
kedua indikatornya yaitu membedakan serangga dan laba-laba,
membedakan merpati dan kelelawar, membedakan cicak dan bunglon,
dan membedakan ikan dan katak.

b. Pelaksanaan
Pelaksanaan siklus I dilaksanakan dalam dua kali pertemuan. Pada
tahap pelaksanaan guru berusaha menerapkan kegiatan pembelajaran
dengan menerapkan model pembelajaran koopertif tipe jigsaw yang
telah disusun dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Pada
pertemuan pertama proses pembelajaran diawali dengan berdoa dan
mengecek daftar hadir siswa, dan melaksanakan pretest sebanyak

409
Professional Learning untuk Indonesia Emas

26 soal pilihan ganda yang dilaksanakan pada hari senin tanggal 27


Oktober 2014, tujuannya adalah untuk mengukur seberapa jauh siswa
memiliki kemampuan mengenai materi yang akan dipelajari. Proses
pembelajaran dilanjutkan dengan penjelasan guru mengenai tujuan
pembelajaran hari ini. Kemudian guru menunjukkan ikonik ikan,
katak, merpati, ayam, dan menempelkan gambar ikan, katak, kucing,
dan merpati, setelah itu guru meminta siswa untuk mengamati ikonik
dan gambar tersebut dan menanyakan bagian-bagian tubuh hewan
tersebut serta fungsinya. Selanjutnya guru membagi siswa ke dalam
10 kelompok asal, membagikan LKS dengan materi yang berbeda
tiap anggota kelompok, dan membimbing siswa berbagi tugas dan
berdiskusi dalam kelompok ahli. Setelah berdiskusi, guru meminta
siswa untuk kembali ke kelompok asal dan menunjuk perwakilan
kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya di depan
kelas. Guru juga memberikan latihan soal atau tugas kepada masing-
masing siswa yang berkaitan dengan materi yang telah dipelajari
dengan bentuk soal isian. Guru juga memberikan reward kepada
kelompok yang terbaik. Setelah menyelesaikan tugas siswa dibimbing
untuk membuat kesimpulan materi yang telah dipelajari secara umum,
selanjutnya guru meminta salah seorang siswa untuk memimpin doa
bersama.
Pada pertemuan kedua pembelajaran diawali dengan berdoa,
mengecek daftar hadir siswa, dan penjelasan tujuan pembelajaran
pada hari ini. Guru menunjukkan gambar serangga, laba-laba,
kelelawar, cicak, bunglon, ikan, dan katak, setelah itu guru meminta
siswa untuk mengamati gambar tersebut dan menanyakan perbedaan
hewan tersebut dengan menyebutkan ciri-cirinya. Selanjutnya guru
membagi siswa ke dalam 10 kelompok asal, membagikan LKS dengan
materi yang berbeda tiap anggota kelompok, membimbing siswa
berbagi tugas dan berdiskusi dalam kelompok ahli. Setelah berdiskusi,
guru meminta siswa untuk kembali ke kelompok asal dan menunjuk
perwakilan kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya
di depan kelas dengan menggunakan bahasa mereka sendiri. Pada
pertemuan kedua siswa yang menjadi perwakilan kelompok adalah
siswa yang belum pernah menjadi perwakilan kelompok pada
pertemuan pertama. Guru juga memberikan latihan soal atau tugas
kepada masing-masing siswa yang berkaitan dengan materi yang telah
dipelajari dengan bentuk soal uraian singkat. Setelah menyelesaikan
tugas siswa dibimbing untuk membuat kesimpulan materi yang telah
dipelajari secara umum. Proses pembelajaran siklus I pertemuan
kedua diakhiri dengan diadakannya postest . Tujuan tes ini untuk
mengetahui hasil belajar siswa setelah proses pembelajaran.

410
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

c. Pengamatan
Untuk mengetahui peningkatan hasil belajar siswa dari aspek
kognitif pada siklus I dilakukan tes hasil belajar. Adapun hasil tes
belajar siswa adalah sebagai berikut pada siklus I setelah dilakukan
tindakan nilai rata-rata siswa hanya mencapai 79,5. Siswa yang belum
memenuhi KKM (70) mencapai 32,5% (13 siswa) dan siswa yang sudah
memenuhi KKM 67,5% (27 siswa), sedangkan tingkat keberhasilan
memenuhi indikator yaitu 75%. Adapun hasil tes kemampuan siswa
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Belajar pada Siklus 1
Keterangan Nilai
Rata-Rata 79,5
Nilai Maksimal 100
Nilai Minimal 54
Median 77
Modus 69
Siswa yang Tuntas (%) 67,5
Siswa yang Belum Tuntas (%) 32,5

Setelah mengalami pembelajaran dengan menerapkan model
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw hasil belajar mengalami
peningkatan. Nilai rata-rata skor 79,5, nilai terendah 54, nilai tertinggi
mencapai 100, nilai tengah 77, nilai yang banyak diperoleh siswa
(modus) adalah 69, dan standar deviasi adalah 12,20. Namun pada tes
siklus I hanya 27 siswa yang mencapai nilai KKM dengan persentase
keberhasilan sebanyak 67,5 %.
Proses pembelajaran kooperatif tipe jigsaw pada siklus I untuk tiap
pertemuannya dilengkapi dengan penggunaan Lembar Kerja Siswa
(LKS). LKS diberikan kepada masing-masing kelompok yang telah
dibentuk. Hasil penilaian LKS untuk tiap kelompok menunjukkan
penilaian Lembar Kerja Siswa pada pertemuan pertama sudah baik
karena sudah semua kelompok mencapai nilai KKM (ada dua kelompok
mendapatkan nilai sama dengan nilai KKM), dengan nilai tertinggi
100 dan nilai terendah 70. Rata-rata perolehan nilai LKS adalah 84.
Begitu pula penilaian LKS pada pertemuan kedua semua kelompok
sudah mencapai nilai KKM. Dengan demikian, proses pembelajaran
terlaksana sesuai dengan harapan adanya interaksi dalam kelompok
untuk pencapaian belajar bersama-sama berbantu LKS.
Pada tahap evaluasi masing-masing siswa diberikan tes individu
berupa latihan soal. Pada pertemuan pertama siklus I siswa diberikan
soal isian singkat sebanyak 5 soal, sedangkan pada pertemuan

411
Professional Learning untuk Indonesia Emas

kedua diberikan soal uraian singkat sebanyak 5 soal juga. Pemberian


latihan soal ini bertujuan untuk memberikan hasil evaluasi dari hasil
pembelajaran yang telah dilaksanakan, sehingga dapat diketahui
kemampuan penguasaan materi anak. Hasil evaluasi latihan soal yang
diberikan kepada setiap siswa pada siklus I diperolehan latihan soal
pada pertemuan pertama rata-ratanya 91,3 sedangkan pada pertemuan
kedua rata-ratanya mencapai 92. Sehingga dapat dikatakan bahwa
hasil perolehan nilai pada pertemuan kedua mengalami peningkatan.
Hasil pengamatan proses belajar dengan observasi yang
dilaksanakan selama proses pembelajaran dengan mengggunakan
model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw pada siklus I pertemuan
pertama ditemukan beberapa kekurangan dalam pelaksanaannya. Ada
beberapa siswa yang dalam kelompoknya masih kurang serius dan
bermain-main saat diskusi kelompok. Ada kesesuaian cara mengajar
guru dalam menerapkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
tetapi siswa belum terbiasa dengan pembelajaran model kooperatif
tipe jigsaw. Siswa masih terpaku pada buku saat melakukan presentasi
dan masih malu-malu dalam melakukan presentasi bahkan enggan
dalam memberikan tanggapan terhadap kelompok yang berpresentasi.
Pada pertemuan kedua sudah mulai ada peningkatan di mana siswa
sudah mulai memahami model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw.
Siswa sudah lebih tertib dalam berdiskusi kelompok, berani dalam
memberikan presentasi dan memberikan tanggapan. Walupun
ini hanya beberapa siswa saja. Dapat disimpulkan pembelajaran
pada siklus I siswa telah mengikuti proses pembelajaran dengan
menggunakan model pembelajaran koooperatif tipe jigsaw.
Begitu pula hasil observasi yang dilaksanakan selama proses
pembelajaran dengan mengggunakan model pembelajaran kooperatif
tipe jigsaw pada siklus I pertemuan pertama ditemukan bahwa
secara umum proses yang dilakukan guru sudah baik. Guru sudah
memfasilitasi interaksi antarsiswa, memotivasi siswa untuk bertanya
dan memberikan respon terhadap pertanyaan siswa. Guru juga sudah
menggunakan media pembelajaran.

d. Refleksi
Pada siklus I terdiri dari dua pertemuan yang dilakukan secara
keseluruhan siswa telah berperan aktif selama proses pembelajaran.
Akan tetapi ada sedikit siswa yang kelihatan pasif khususnya pada
saat berdiskusi. Pelaksanaan pembelajaran dengan model kooperatif
tipe jigsaw pada materi morfologi tubuh hewan dan fungsinya masih
terdapat kekurangan. Sehingga perlu dilakukan perbaikan. Adapun
kekurangan dan perbaikan yang terdapat pada siklus I dapat diuraikan

412
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

pada Tabel 2.

Tabel 2. Kekurangan dan Perbaikan Siklus I


No. Tindakan Kekurangan Perbaikan
Terkadang terlihat ada
beberapa siswa yang
Guru harus lebih aktif
tidak serius dalam
memantau siswa agar
Pemahaman pembelajaran ketika
tidak ada kesempatan
1. siswa terhadap proses pembelajaran
siswa untuk beraktivitas
materi berlangsung sehingga
lain selain proses belajar
siswa tidak fokus dalam
menangkap materi
pelajaran.
Hanya beberapa siswa
Memotivasi siswa
yang berani bertanya,
agar terbentuk
mengungkapkan
2. Kegiatan siswa sikap percaya diri
pendapatnya dalam
dalam bertanya dan
proses pembelajaran dan
berpendapat
diskusi
Kurangnya waktu Guru harus berusaha
yang tersedia dalam mengatur waktu yang
Waktu
5. menerapkan model tersedia dengan baik
pelaksanaan
pembelajaran kooperatif sehingga efektif selama
tipe jigsaw proses pembelajaran

e. Keputusan
Pada pelaksanaan siklus I berdasarkan tes hasil belajar siswa
yang telah dilaksanakan selama proses pembelajaran siklus I bahwa
hasil belajar siswa pada materi morfologi tubuh hewan dan fungsinya
belum memenuhi indikator yang peneliti harapkan. Indikator yang
ditetapkan oleh peneliti yaitu sebesar 75% siswa memiliki nilai di atas
KKM yaitu 70, tetapi dari hasil tes pada siklus I persentase siswa yang
sudah mencapai KKM hanya mencapai 67,5% (27 0rang). Nilai N-gain
pada siklus I adalah 0,32 dengan kategori sedang. Dalam hal ini perlu
dilakukan tindak lanjut proses pembelajaran untuk perbaikan tindakan
dan hasil belajar siswa sesuai dengan refleksi siklus I (tabel 4.7).
Oleh karena itu peneliti memutuskan untuk melanjutkan penelitian
tindakan kelas ini ke siklus II.

Siklus Kedua
a. Perencanaan
Perencanaan yang akan dilaksanakan pada siklus II berdasarkan
refleksi dari siklus I yang akan merubah desain pembelajaran lebih
baik lagi. Perencanaan pada siklus II ini dimulai dengan menyiapkan

413
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), lembar observasi,


dan tes. Pembelajaran pada siklus II dilakukan dalam tiga kali
pertemuan. Diharapkan setelah proses pembelajaran siswa mencapai
indikator yang telah ditentukan. Indikator pembelajaran dari materi
morfologi tumbuhan dan fungsinya yaitu menulis hasil pengamatan
tentang morfologi tumbuhan pepaya dan fungsinya. Menulis hasil
pengamatan tentang morfologi tumbuhan jagung dan fungsinya.
Menulis hasil pengamatan tentang morfologi tumbuhan mangga dan
fungsinya. Menulis hasil pengamatan tentang morfologi tumbuhan
sirih dan fungsinya. Pada pertemuan kedua indikatornya yaitu
menggali informasi tentang bunga dan bagiannya berdasarkan teks.
Menggali informasi tentang fungsi bunga berdasarkan teks. Menggali
informasi tentang daun dan bentuknya berdasarkan teks. Menggali
informasi tentang fungsi daun berdasarkan teks. Sedangkan pada
pertemuan ketiga indikatornya yaitu menggali informasi tentang
batang berdasarkan teks. Menggali informasi tentang fungsi batang
berdasarkan teks. Menggali informasi tentang akar berdasarkan teks.
Menggali informasi tentang fungsi akar berdasarkan teks.

b. Pelaksanaan
Pada tahapan ini, guru berusaha menerapkan kegiatan
pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe
jigsaw yang telah disusun dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP). Pada pertemuan pertama siklus II guru membuka pelajaran
dengan salam dan berdoa, guru membagikan soal pretest kepada siswa
dan mengawasi siswa dalam mengerjakan soal tersebut. Sebelum
pembelajaran dilanjutkan dengan menerapkan model pembelajaran
kooperatif tipe jigsaw guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang
akan dilaksanakan. Pada tahap awal guru mengajukan pertanyaan
yang berkaitan dengan morfologi tumbuhan. Sebelum membagikan
LKS kepada masing-masing kelompok guru menjelaskan kepada
siswa cara berinteraksi dengan teman sekelas ataupun teman
sekelompok, agar terjalin kerjasama antar kelompok maupun antar
siswa secara umum. Kegiatan dilanjutkan dengan guru mencontohkan
gambar tumbuhan pepaya, jagung, mangga, dan sirih. Tiap kelompok
juga diberikan tanaman asli dan gambar tumbuhan tersebut. Siswa
disuruh mengamati tanaman tersebut dan menyelesaikan LKS. Guru
memberikan bimbingan dan pengawasan lebih kepada masing-
masing kelompok agar menyelesaikan LKS dengan teliti. Pengawasan
dilakukan pada kelompok asal dan ahli. Selanjutnya guru meminta
perwakilan kelompok untuk mempresentasikan hasilnya di depan
kelas. Perwakilan kelompok yang presentasi adalah siswa yang

414
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

berbeda dengan perwakilan kelompok pada pertemuan pertama


dan kedua pada siklus I, agar setiap siswa memiliki kesempatan
untuk mempresentasikan hasil kerja kelompoknya. Guru dan siswa
memberikan tepukan tangan kepada perwakilan kelompok yang
akan presentasi. Guru juga memberikan penghargaan berupa pujian
kepada kelompok lain yang bertanya atau memberikan tanggapan.
Selanjutnya guru memberikan evaluasi berupa laporan hasil
pengamatan terhadap morfologi tumbuhan. Sebelum pembelajaran
berakhir guru membimbing siswa untuk membuat kesimpulan
pembelajaran pada hari ini.
Pada pertemuan kedua siklus II guru memulai pembelajaran
dengan salam dan berdoa, menjelaskan tujuan pembelajaran, dan
bertanya jawab tentang materi yang akan dipelajari. Guru memberikan
penjelasan tentang bunga dan daun. Selanjutnya guru membentuk
kelompok seperti pada siklus I pertemuan pertama, meminta
siswa untuk membaca teks yang berkaitan dengan materi. Guru
memberikan LKS untuk dikejakan secara berkelompok baik dalam
kelompok asal maupun ahli. Guru membimbing dan mengawasi kerja
siswa dalam kelompok agar masing-masing kelompok bekerja sama
dengan sungguh-sungguh dalam menyelesaikan tugasnya. Setelah
masing-masing kelompok menyelesaikan tugasnya guru meminta
perwakilan tiap kelompok untuk mempresentasikan di depan
kelas, siswa yang presentasi diusahakan siswa yang belum pernah
presentasi pada pertemuan-pertemuan sebelumnya. Guru dan siswa
memberikan penghargaan berupa tepukan tangan kepada perwakilan
kelopok sebelum dan sesudah presentasi. Bagi perwakilan kelompok
yang bertanya atau menanggapi juga diberikan penghargaan.
Setelah masing-masing kelompok mempresentasikan hasilnya guru
memberikan evaluasi berupa soal isian. Sebelum pembelajaran
berakhir guru membimbing siswa untuk membuat kesimpulan
pembelajaran pada hari ini.
Pertemuan ketiga siklus II, setelah guru membuka pembelajaran
dengan salam dan doa, guru mengajak siswa untuk menyanyikan
lagu Naik-Naik ke Puncak Gunung dan dengan senang siswa
menyanyikannya. Selanjutnya guru menyampaikan tujuan
pembelajaran pada hari ini, meminta siswa untuk berkelompok seperti
pada pertemuan pertama siklus I. Pada pertemuan ketiga siklus II ini
siswa sudah tampak terbiasa dengan kerja kelompok tipe jigsaw. Guru
menunjukkan gambar beberapa batang dan akar tanaman dan meminta
siswa untuk mengamatinya. Guru menjelaskan materi pembelajaran
dan meminta siswa untuk membaca teks tentang materi pembelajaran
tersebut. Selanjutnya guru memberikan LKS untuk didiskusikan pada

415
Professional Learning untuk Indonesia Emas

masing-masing kelompok.
Pada saat siswa berdiskusi guru memberikan pelayanan yang
lebih dengan memantau dan membimbing diskusi masing-masing
kelompok dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya
apabila ada hal-hal yang tidak dimengerti. Siswa terlibat aktif dan
antusiasme dalam mengikuti pembelajaran. Setelah siswa selesai
berdiskusi dalam kelompok ahli siswa diminta kembali ke kelompok
asal dan kembali berdiskusi. Selesai siswa berdiskusi dalam kelompok
asal maka meminta perwakilan kelompok untuk presentasi di depan
kelas dan kelompok lain diminta memberikan tanggapan atau
bertanya. Bagi kelompok yang presentasi dan memberikan tanggapan
diberikan reward berupa tepukan semangat dan pujian.
Langkah selanjutnya yaitu pemberian latihan soal isian singkat
sebanyak 5 soal untuk mengetahui hasil yang telah dicapai terhadap
tahap pembelajaran sebelumnya. Pada tahap ini guru memaksimalkan
perhatiannya kepada siswa seluruh siswa agar mengerjakan soal
denga tertib dan disiplin. Kemudian guru membimbing siswa untuk
membuat kesimpulan pada hari ini. Pada akhir pembelajaran ketiga
siklus II, guru memberikan soal postest kepada seluruh siswa dan
mengawasi siswa selama proses penyelesaiannya agar tidak terjadi
kecurangan dan ketidakdisiplinan.

c. Pengamatan
Peningkatan hasil belajar siswa dari aspek kognitif pada siklus
II dilakukan tes hasil belajar. Adapun hasil tes belajar siswa adalah
sebagai berikut pada siklus II setelah dilakukan tindakan nilai rata-
rata siswa telah mencapai 85. Siswa yang belum memenuhi KKM (70)
mencapai 15% (6 siswa) dan siswa yang sudah memenuhi KKM 85%
(34 siswa) dan tingkat keberhasilan sudah memenuhi indikator yaitu
75%. Adapun hasil tes kemampuan siswa dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Belajar pada Siklus II


Keterangan Nilai
Rata-Rata 85
Nilai Maksimal 100
Nilai Minimal 62
Median 88
Modus 92
Siswa yang Tuntas (%) 85
Siswa yang Belum Tuntas (%) 15

416
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Setelah mengalami pembelajaran dengan menerapkan model


pembelajaran kooperatif tipe jigsaw hasil belajar siswa meningkat,
dengan nilai rata-rata 85. Nilai terendah 62, nilai tertinggi 100, nilai
tengah (median) 88, nilai yang paling banyak diperoleh siswa (modus)
92, dan standar deviasi 10,93. Pada tes siklus II sebanyak 34 siswa telah
mencapai nilai KKM (70) dengan persentase keberhasilan sebanyak
85 %.
Proses pembelajaran kooperatif tipe jigsaw pada siklus II untuk
tiap pertemuannya dilengkapi dengan penggunaan Lembar Kerja
Siswa (LKS). LKS diberikan kepada masing-masing kelompok yang
telah dibentuk. Hasil penilaian LKS pada pertemuan pertama sudah
baik karena sudah semua kelompok mencapai nilai KKM (ada satu
kelompok mendapatkan nilai sama dengan nilai KKM), dengan nilai
tertinggi 90 dan nilai terendah 70. Rata-rata perolehan nilai LKS
adalah 84. Nilai LKS pada pertemuan kedua mengalami peningkatan,
pada pertemuan kedua rata-rata nilai LKS mencapai rat-rata 86.
Semua kelompok sudah mencapai nilai KKM (ada satu kelompok
mendapatkan nilai sama dengan nilai KKM). Nilai LKS pada pertemuan
ketiga mengalami peningkatan, pada pertemuan ketiga rata-rata nilai
LKS mencapai 87. Semua kelompok sudah mencapai nilai KKM (ada
satu kelompok mendapatkan nilai sama dengan nilai KKM).
Pada tahap evaluasi masing-masing siswa diberikan tes individu
berupa latihan soal. Pada pertemuan pertama siklus I siswa diberikan
tugas 2 soal, pada pertemuan kedua diberikan soal isian singkat
sebanyak 5 soal, pada pertemuan kedua diberikan soal uraian
singkat sebanyak 5 soal juga. Pemberian latihan soal ini bertujuan
untuk memberikan hasil evaluasi dari hasil pembelajaran yang telah
dilaksanakan, sehingga dapat diketahui kemampuan penguasaan
materi anak. Hasil evaluasi latihan soal yang diberikan kepada setiap
siswa pada siklus II pada pertemuan pertama rata-rata mencapai
90, pertemuan kedua rata-rata mencapai 93, dan pada pertemuan
ketiga rata-rata mencapai 94. Sehingga dapat dikatakan bahwa
hasil perolehan nilai pada pertemuan kedua dan ketiga mengalami
peningkatan dibandingkan dengan pertemuan pertama.
Sedangkan observasi yang dilaksanakan selama proses
pembelajaran dengan mengggunakan model pembelajaran kooperatif
tipe jigsaw pada siklus II guru sudah memperbaiki kesalahan dan
kekurangan yang terjadi pada siklus I, hal ini bertujuan untuk
mendapatkan hasil proses pembelajaran yang lebih baik dari pada
siklus sebelumnya. Kegiatan siswa mengalami perbaikan dari kegiatan
pada siklus I, siswa sudah aktif dan berani dalam mengemukakan
pendapat, siswa sudah berani presentasi di depan kelas. Secara

417
Professional Learning untuk Indonesia Emas

keseluruhan kegiatan pembelajaran pada siklus II jauh lebih aktif


karena sudah terjadi interaksi antarsiswa yang baik, kerjasama,
tanggung jawab terhadap tugas bersama-sama. Siswa berpartisipasi
aktif, lebih berani bertanya dan mengungkapkan pendapat serta
presentasi dibandingkan pada siklus I.
Begitu pula observasi yang dilaksanakan selama proses
pembelajaran dengan mengggunakan model pembelajaran kooperatif
tipe jigsaw pada siklus II guru sudah memperbaiki kesalahan dan
kekurangan yang terjadi pada siklus I, hal ini bertujuan untuk
mendapatkan hasil proses pembelajaran yang lebih baik dari pada
siklus sebelumnya. Pada siklus II secara umum proses pembelajaran
yang dilakukan guru sudah baik. Guru sudah mengorganisasikan
siswa ke dalam kelompok dan menumbuhkan sikap partisipasi aktif
siswa dengan baik. Penggunaan media menghasilkan pesan menarik
dan siswa terlibat dalam pemanfaatannya. Guru juga sudah melakukan
pemantauan kerja setiap kelompok dengan optimal.

d. Refleksi
Pada siklus II, berdasarkan hasil pengamatan diperoleh temuan-
temuan yaitu: Rata-rata hasil tes pada siklus II mencapai 85, N-gain
kelas pada siklus II mengalami peningkatan dibandingkan dengan
siklus I dari 0,32 menjadi 0,46. Tingkat ketuntasan atau persentase
keberhasilan pada siklus II meningkat menjadi 85% (34 orang).

e. Keputusan
Berdasarkan hasil dapat disimpulkan bahwa perolehan nilai dari
hasil belajar, tingkat keberhasilan, N-gain kelas, LKS, dan latihan soal,
aktivitas siswa pada siklus II dikategorikan baik, nilai yang diperoleh
mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan siklus I. Indikator
utama yang ditetapkan oleh peneliti sebesar 75 % siswa memiliki nilai
di atas KKM yaitu 70, dan pada siklus II ini persentase siswa yang
sudah mencapai KKM adalah 85% . Maka peneliti memutuskan untuk
mengakhiri penelitian tindakan kelas ini di siklus II karena sudah
mencapai target yang diharapkan.
Sebelum dilakukannya tindakan dengan menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, proses pembelajaran IPA
biasanya menggunakan metode ceramah, tanya jawab, dan penugasan.
Penggunaan media pembelajaran hanya sebatas papan tulis dan
gambar-gambar saja, dan sangat jarang menggunakan labolatorium
dan alat-alat peraga untuk paktikum. Hal ini menyebabkan rendahnya
hasil belajar siswa terutama pada materi morfologi tubuh hewan dan
tumbuhan serta fungsinya. Dalam pembelajaran IPA sebaharusnya

418
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

lebih banyak menggunakan media dan praktek langsung sehingga


pembelajaran akan lebih bermakna pada diri siswa.
Setelah dilakukannya penelitian tindakan kelas yaitu dengan
menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw pada materi
morfologi tubuh hewan dan fungsinya, di mana proses pembelajaran
difasilitasi dengan serangkaian kegiatan yang membangkitkan
aktivitas siswa dan memberikan pengalaman langsung pada setiap
tahap pembelajarannya. Peneliti berusaha meningkatkan keaktivan
siswa dengan menggunakan LKS yang dikerjakan secara kelompok.
Pada pertemuan pertama siklus I, perolehan rata-rata hasil LKS
mencapai 84 walaupun ini termasuk bagus karena di atas KKM,
tetapi pada pertemuan ini siswa masih belum mengerti bagaimana
konsep-konsep jigsaw yang baru saja mereka dapatkan, selama proses
pembelajaran guru bidang studinya belum pernah menerapkan
pendekatan seperti ini, sehingga siswa merasa kebingungan dan sulit
untuk beradaptasi dengan proses pembelajaran baru. Peran guru
juga kurang maksimal dalam mengawasi persiapan dan pelaksanaan
proses pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, Siswa belum terbiasa
dengan proses pembelajaran yang lebih menekankan pada keaktivan
siswa.
Pada siklus II nilai rata-rata LKS mengalami peningkatan,
Pencapaian ini dipengaruhi oleh pendekatan pembelajaran yang
diterapkan selama proses pembelajaran menggunakan pendekatan
model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw. Hasil rata-rata dari
pengerjaan LKS siswa mengalami peningkatan dibandingkan dengan
siklus I. Bahkan pada pertemuan ke tiga siklus II rata-ratanya mencapai
87.
Penerapan model pembelajara kooperatif tipe jigsaw yang
berkelanjutan dalam dua siklus telah menunjukkan peningkatan pada
tiap komponen jigsaw. Bila dianalisis tiap komponennya maka tiap-
tiap komponen telah menunjukkan peningkatan dari siklus I ke siklus
II. Hal ini berarti siswa telah mengalami perubahan dalam belajar
dan memahami suatu konsep baik pula. Dengan model pembelajaran
kooperatif tipe jigsaw terjadi perubahan dalam proses pembelajaran
yang meliputi peningkatan keterampilan sosial, interaksi, kerjasama
antarsiswa, dan keberanian mengemukakan pendapat. Dengan model
pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan aktivitas guru dan
siswa dalam proses pembelajaran sehingga dapat meningkatkan hasil
belajar siswa (Yulaika, 2012).
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Desak Nyoman Purwati,
dkk, yang menyatakan bahwa melalui proses pembelajaran dengan
menerapkan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw mampu menciptakan

419
Professional Learning untuk Indonesia Emas

suasana menyenangkan, menarik, mengaktifkan siswa, melibatkan


siswa dalam belajar kelompoknya, siswa merasa dihargai pendapatnya
sehingga dapat membangkitkan motivasi belajar siswa. Siswa yang
mengikuti model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dan memiliki
motivasi belajar tinggi akan memiliki kemampuan untuk belajar
yang lebih kompetitif dan menantang yang memungkinkan mereka
memperoleh masukan secara langsung untuk mencapai target yang
ditetapkannya, sehingga mampu menyelesaikan tugas kelompoknya
dengan lebih baik. Menurut Deli Wartaty Hasibuan, dengan
dilakukannya model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw membuat
siswa kelas IV SD menjadi berani mengemukakan pendapatnya dalam
kelompok dan dapat meningkatkan motivasi belajar siswa kelas IV SD
(Purwati, 2013).
Model pembelajaran kooperatif jigsaw siswa memiliki banyak
kesempatan untuk mengemukakan pendapat dan mengolah informasi
yang didapat dan dapat meningkatkan keterampilan berkomunikasi.
Sedangkan Lie menyatakan bahwa jigsaw merupakan salah satu
model pembelajaran kooperatif yang fleksibel. Banyak riset dilakukan
berkaitan dengan pembelajaran kooperatif dengan dasar jigsaw. Riset
tersebut secara konsisten menunjukkan bahwa siswa yang terlibat di
dalam pembelajaran kooperatif model jigsaw ini memperoleh prestasi
yang lebih baik, mempunyai sikap yang lebih baik dan lebih positif
terhadap pembelajaran, serta saling menghargai perbedaan dan
pendapat orang lain (Rusman, 2013). Jadi dapat disimpulkan bahwa
pendekatan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw memberikan
kesempatan pada siswa untuk terlibat langsung, aktif, mandiri, kreatif
dan berfikir kritis selama pembelajaran. Sehingga pembelajaran
mencapai tujuan dan meningkatkan hasil belajar siswa.

Kesimpulan
Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dapat
meningkatkan hasil belajar siswa pada materi morfologi tubuh hewan
dan tumbuhan serta fungsinya. Hal ini ditunjukkan dengan siswa
yang mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) pada siklus I
mencapai 67,5 % (27 orang) meningkat pada siklus II menjadi 85 % (34
orang) yang telah mencapai KKM. Rata-rata N-gain pada siklus I yaitu
0,32 dan terjadi peningkatan pada siklus II menjadi 0,46. Peningkatan
ini dikarenakan adanya perbaikan pada proses pembelajaran dengan
menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw yang
menuntun siswa untuk berinteraksi, aktif, berani bertanya, berani
mengemukakan pendapat, bekerjasama, dan bertanggung jawab
terhadap tugas secara bersama-sama.

420
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Daftar Pustaka

Departemen Pendidikan Nasional. 2006. Undang-Undang Republik


Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Jakarta: Biro Hukum dan Organisasi Sekretariat
Jenderal Pendidikan Nasional.
Djamarah Syaiful Bahri, Aswan Zain. 2013. Strategi Belajar Mengajar.
Jakarta: Rineka Cipta.
Haryanto. 2004. Sains untuk Sekolah Dasar Kelas IV. Jakarta: Erlangga.
Irene dkk. 2014. Bupena Buku Penilaian Autentik Tema Peduli Terhadap
Makhluk Hidup untuk Sekolah Dasar Kelas 4 Semester 1. Jakarta:
Erlangga.
Kementerian Pendidikan dan kebudayaan. 2013. Buku Guru Peduli
Terhadap Makhluk Hidup. Jakarta: Lazuardi GIS.
Purwati Desak Nyoman. 2013. Pengaruh Pembelajaran Kooperatif
Terhadap Hasil Belajar Ditinjau dari Motivasi Belajar pada
Pembelajaran IPA Siswa Kelas IV SD Saraswati Tabanan.
Universitas Pendidikan Ganesha, Jurusan Pendidikan Dasar.
Volume. 3.
Rozak Abdul, dkk. 2010. Kompilasi Undang-Undang dan Peraturan
Pendidikan. Jakarta: FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Rusman. 2013. Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme
Guru. Jakarta: Raja Grafind Persada
Shoimin Aris. 2014. 68 Model Pembelajaran Inovatif dalam Kurikulum
2013. Yogyakarta: Ar Ruzz Media.
Trianto. 2012. Model Pembelajaran Terpadu Konsep, Strategi, dan
Implementasinya dalam KTSP. Jakarta: Bumi Aksara.
Valerina Dian Oky. 2014. Sains Sesuai Kurikulum 2013 Kelas 4. Jakarta:
Yudistira.
Yulaikha Mei. 2012. Penerapan Jigsaw untuk Meningkatkan Hasil
Belajar Siswa Sekolah Dasar. Jurnal Dinas Pendidikan Kota
Surabaya. Volume 6,
Zulfiani, Tonih Feronika, dan Kinkin Suartini. 2009. Strategi Pembelajaran
Sains. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta Press.

421
MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI
UNTUK PENINGKATAN HASIL BELAJAR IPA
SISWA PADA KONSEP GAYA

Fathiah Alatas, Fauzan, Taj Nur Aliyah Maharani


Penelitian Tindakan Kelas IV di SDN
Kebon Manggis 11 Pagi Matraman)
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Abstrak : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan


hasil belajar IPA siswa pada konsep gaya melalui model
pembelajaran inkuiri. Penelitian ini menggunakan metode
penelitian tindakan kelas yang terdiri dari empat tahapan yaitu
perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Penelitian
ini dilakukan di SDN Kebon Manggis 11 Pagi Matraman-
Jakarta Timur kelas IVA yang berjumlah 27 siswa tahun ajaran
2013/2014.Tindakan kelas ini dilakukan dalam dua siklus, siklus
pertama menggunakan sub konsep gaya dapat mempengaruhi
gerak benda, sedangkan siklus kedua menggunakan sub konsep
gaya dapat mempengaruhi bentuk benda. Teknik pengumpulan
data yang dilakukan adalah lembar observasi, catatan lapangan,
dan tes pilihan ganda.Teknik analisis data dilakukan secara
kuantitatif, perhitungan rata-rata hasil belajar siswa siklus I
dan II. Rata-rata skor hasil belajar siswa kelas IVA pada siklus
I sebesar 71,63, rata-rata N-gain sebesar 0,27 dan siswa yang
mencapai KKM 70 berjumlah 14 orang (51,85%) sedangkan
pada siklus II sebesar 80,74, rata-rata N-gain sebesar 0,42 dan
siswa yang mencapai KKM 70 berjumlah 22 orang (81,48%).
Dengan demikian hasil belajar IPA siswa pada konsep gaya
dapat meningkat melalui model pembelajaran inkuiri yang
memiliki karakteristik sebagai berikut: 1) Rumusan Masalah,
2) Merumuskan Hipotesis, 3) Mengumpulkan Data, 4) Menguji
Hipotesis, dan 5) Merumuskan Kesimpulan.
Kata kunci: Model Pembelajaran Inkuiri, Hasil Belajar IPA

422
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Pendahuluan
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana dalam mewujudkan suasana belajar mengajar secara aktif
agar siswa memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara (Wina,
2006). Muhibbin Syah (2010) dalam buku Psikologi Pendidikan
suatu pendekatan baru mendefinisikan, pendidikan adalah proses
menumbuhkembangkan seluruh kemampuan dan perilaku manusia
melalui pengajaran.
Menurut teori belajar konstruktivisme, pengetahuan tidak
dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa.
Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur
pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya.
Sedangkan Tasker dalam Muhibbin Syah (2010) mengemukakan tiga
penekanan dalam teori belajar konstruktivisme yaitu peran aktif siswa
dalam pembelajaran yang bermakna, pentingnya membuat gagasan
dalam pembelajaran yang bermakna, dan mengaitkan gagasan
dengan informasi baru yang diterima. Maka dapat dinyatakan bahwa
pengetahuan dibangun secara aktif oleh siswa sehingga didapat
pembelajaran yang bermakna.
Salah satu pengajaran IPA khususnya di SD adalah agar siswa
memahami konsep-konsep IPA dan keterkaitannya dengan kehidupan
sehari-hari.Selain itu pembelajaran IPA juga bertujuan untuk
menjelaskan gejala alam dan memecahkan masalah dalam kehidupan
sehari-hari. Oleh karena itu, pelajaran IPA sangat perlu diajarkan di SD
dengan menekankan pada pemberian pengalaman langsung melalui
keterampilan proses dan sikap ilmiah yang tentunya harus didukung
dengan berbagai sarana dan prasarana serta model pembelajaran yang
bervariasi.
Model pembelajaran pada dasarnya adalah bentuk pembelajaran
yang tergambar sejak awal sampai akhir dan disajikan secara
khas oleh guru.Dengan kata lain, model pembelajaran merupakan
bungkus atau bingkaidaripenerapansuatupendekatan, metode dan
teknik pembelajaran (Iif, 2010).Model pembelajaran adalah kerangka
konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam
mengorganisasikan pengalaman belajar siswa untuk mencapai tujuan
belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi perancang
pembelajaran dan guru dalam merencanakan dan melaksanakan
aktivitas belajar mengajar.Inovasi ini sangat penting manakala guru
mengajarkan mata pelajaran yang banyak mengandung konsep-

423
Professional Learning untuk Indonesia Emas

konsep yang bersifat abstrak bagi siswa seperti pelajaran IPA.


Oleh karena itu tugas guru adalah secara berkelanjutan melakukan
inovasi atas pembelajaran yang dilakukan di kelas.Inspirasi utama
dalam menginovasi pembelajaran adalah melakukan migrasi dari
pembelajaran yang semata-mata hanya berpusat kepada guru kepada
pembelajaran yang mengaktifkan siswa.
Pembelajaran IPA sebaiknya diarahkan secara ilmiah untuk
menumbuhkan berpikir, bekerja, dan bersikap ilmiah serta
mengkomunikasikannya sebagai aspek penting kecakapan hidup
(IsrianiHardini, dkk: 2012). Oleh karena itu pembelajaran IPA di SD
menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung
melalui penggunaandan pengembangan keterampilan proses dan
sikap ilmiah. Namun pada nyataanya dalam pembelajaran IPA, SDN
Kebon Manggis 11 Pagi khususnya kelas IV,sumber pengetahuan
pada saat proses pembelajaran dikelas masih didominasi oleh guru,
siswa jarang berperan aktif dalam proses pembelajaran, sehingga tidak
muncul interaksi. Di kelas siswa tidak terbiasa bertanya, berdiskusi,
terlihat mereka lebih asik mengobrol dengan teman sebangkunya,
bersikap santai, cenderung bersikap pasif, bahkan ketika mengalami
kesulitan belajar mereka tidak berusaha untuk memecahkan kesulitan
belajar tersebut.
Sesuai dengan hasil wawancara langsung terhadap guru dan siswa
kelas IV di SDN Kebon Manggis 11 Pagi bahwa mata pelajaran IPA pada
materi Gaya dianggap sulit bagi siswa.Kriteria ketuntasan minimal
(KKM) untuk pelajaran IPA yaitu 70.Pencapaian hasil belajar siswa
yang masih rendah yaitu terlihat dari rata-rata kelas pada hasil ulangan
harian materi gaya sebesar 63,3. Guru dalam proses pembelajarannya
masih cenderung hafalan, dimana siswa tidak dilibatkan secara
langsung untuk mengamati objek tentang fenomena-fenomena yang
terjadi di lingkungan sekitarnya. Siswa hanya sebagai pendengar dan
pencatat apa yang disampaikan oleh guru sehingga mengakibatkan
kurangnya pemahaman siswa tentang materi yang diajarkan,
khususnya dalam memahami materi IPA, guru tidak memberikan
kesempatan kepada siswa untuk mengelola pemikirannya sendiri
dalam mengkaji fenomena-fenomena yang terjadi yang berhubungan
dengan kehidupan sehari-hari.
Pada konsepgaya siswa masih menganggap sulit saat
mengaitkannya pada kehidupan sehari-hari, karena siswa tidak pernah
melakukan percobaan atau eksperimen. Banyak materi yang mereka
masih anggap sulit dimengerti. Karena pada proses pembelajaran IPA
guru hanya ceramah saja tanpa melibatkan siswa.Dengan demikian,
agar terjadi belajar bermakna bagi siswa guru harus selalu berusaha

424
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

mengetahui dan menggali konsep-konsep yang telah dimiliki siswa


dan membantu memadukan pengetahuan secara harmonis konsep-
konsep relevan yang sudah ada dalam struktur kognitif siswa maka
pengetahuan baru tersebut cenderung akan mudah dipahami.Maka
untuk mempermudah siswa dalam memahami pelajaran dengan
pengalaman siswa yaitu dapat dilakukan model pembelajaran inkuiri.
Dengan menggunakan model pembelajaran inkuiri (inquiry) ini,
diharapkan siswa dapat lebih aktif karena pembelajaran inkuiri ini
difokuskan untuk konsep-konsep IPA dan meningkatkan keterampilan
proses berpikir ilmiah siswa, melalui proses pengalaman belajar
secara langsung sehingga siswa dapat semangat dalam mengikuti
proses pembelajaran dan juga dapat meningkatkan hasil belajar siswa
khususnya pada konsep gaya.Berdasarkan uraian di atas, untuk
mengadakan penelitian tindakan kelas yang berkaitan dengan apakah
model pembelajaran inkuiri dapat meningkatkan hasil belajar IPA
siswa pada konsep gaya?. Tujuan penelitian yang akan dicapai dalam
penelitian ini adalah untuk meningkatkan hasil belajar IPA siswa
dengan menerapkanmodel pembelajaran inkuiri pada konsep gaya.

Hasil Penelitian
1. Siklus I
a. Perencanaan
Tahap perencanaan pada siklus I dimulai dengan mempersiapkan
semua rancangan pembelajaran yang akan diterapkan pada penelitian
ini, persiapan tersebut meliputi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP) yang menerapkan model pembelajaran inkuiri, media/alat
dan bahan dalam pembelajaran, Lembar Kerja Siswa (LKS), lembar
observasi, catatan lapangan, dan instrumen tes soal pilihan ganda.
Hasil pembelajaran diupayakan agar siswa memperoleh nilai di atas
KKM yaitu 70 dengan indikator keberhasilan 75% dari jumlah siswa.
Instrumen pretest digunakan untuk mengetahui seberapa besar
kemampuan awal siswa sebelum dilakukan pembelajaran sedangkan
instrumen posttest digunakan untuk mengetahui hasil siswa setelah
pembelajaran berlangsung.Pembagian kelompok yang dibagi menjadi
4 kelompok dengan tiap-tiap kelompok terdiri dari 6 atau 7 orang.
Pada siklus I dilakukan 2 kali pertemuan dan berlangsung
selama 2x35 menit untuk setiap pertemuan.Pada pertemuan pertama
pembelajaran dilakukan dengan pemberian soal pretest dan dilanjutkan
pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran inkuiri.
Pada pertemuan kedua dilakukan pembelajaran dikelas dengan
melaksanakan praktikum dan menjawab soal posttest. Indikator

425
Professional Learning untuk Indonesia Emas

pembelajaran dari konsep gaya yang ditetapkan pada siklus pertama


ini diantaranya: (1) Menjelaskan pengertian gaya (2) Menyelidiki
pengaruh gaya terhadap gerak suatu benda (3) Menyebutkan contoh-
contoh gaya mengerakkan suatu benda dalam kehidupan sehari-
hari (4) Mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi gerak benda,
misalnya jatuh bebas akibat gravitasi, gerak di lantai yang datar karena
dorongan

b. Tindakan
Pada tahap ini, guru berusaha menerapkan kegiatan pembelajaran
dengan menerapkan model pembelajaran inkuiri sesuai dengan RPP.
Uraian proses pembelajaran pada siklus I sebagai berikut:

1) Pertemuan Pertama (Selasa, 21 Januari 2014)


Pertemuan pertama diawali dengan membuka pelajaran
dengan memberi salam dan mengucap basmallah (berdoa bersama),
kemudian sebelum memulai proses belajar mengajar guru
memperkenalkan diri terlebih dahulu, dan mengabsen kehadiran
siswa untuk mengenal siswa satu persatu serta mengkondisikan
siswa dikelas. Setelah selesai mengkondisikan kelas guru
memberikan pretest kepada siswa sebelum masuk dalam proses
pembelajaran. Kemudian dilanjutkan dengan guru melakukan
apersepsi berupa memberikan pertanyaan kepada siswa apa
yang dimaksud dengan gerak?sebutkan macam-macam gerak
benda yang kalian ketahui? pada awal pembelajaran serta
menyampaikan tujuan pembelajaran kepada siswa. Terbukti
beberapa siswa merespon pertanyaan dengan memberikan
jawaban dari mereka.Walau hanya beberapa siswa saja yang
menjawab.Siswa pun menjawabnya dengan beragam jawaban.
Setelah itu peneliti pun menjelaskan materi.
Materi sudah dijelaskan peneliti membagi kelompok menjadi
empat kelompok dalam jumlah 6-7 orang tiap kelompoknya dan
siswa pun membuat kelompok berdasarkan yang telah ditentukan
oleh peneliti, kemudian guru memberikan LKS kepada masing-
masing kelompok dan menjelaskan prosedur kerja dengan
menggunakan Model Pembelajaran Inkuiri. Masing-masing
kelompok bekerja sama untuk menyelesaikan soal yang ada di
LKS sesuai fase inkuiri.
Fase pertama rumusan masalah yaitu siswa dihadapkan oleh
permasalahan yang diberikan oleh guru.Fase kedua merumuskan
hipotesis yaitu peneliti membimbing siswa untuk merumuskan
hipotesis (membuat hipotesis) berdasarkan rumusan masalah yang

426
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

dibuat oleh guru.Fase ketiga mengumpulkan data yaitu peneliti


membimbing siswa dalam melakukan eksperimen (percobaan).
Fase keempat menguji hipotesis yaitu peneliti membimbing siswa
dalam menganalisis data (menentukan jawaban) berdasarkan
pengumpulan data yang telah diperoleh dalam percobaan atau
eksperimen.Fase kelima merumuskan kesimpulan yaitu peneliti
membimbing siswa dalam menyimpulkan data hasil percobaan
yang telah didapatnya.
Selama proses pembelajaran berlangsung peneliti atau
guru berkeliling kepada setiap kelompok untuk memberikan
bimbingan serta penilaian kepada masing-masing kelompok.
Peneliti memberikan batas waktu untuk menyelesaikan LKS
tersebut.Setelah batas waktu yang ditentukan telah habis, maka
setiap kelompok mengumpulkan hasil kerjanya. Hasil LKS
yang telah dikerjakan dan didiskusikan oleh kelompoknya yang
sudah dikumpulkan maka peneliti meminta 1 perwakilan setiap
kelompok untuk maju mempersentasikan hasilnya, siswa yang
lain pun memperhatikannya. Peneliti dan siswa menyimpulkan
bersama-sama. Kemudian peneliti melakukan evaluasi berupa
berupa tanya jawab seputar materi yang diajarkan dan peneliti
menugaskan siswa untuk mempelajari materi berikutnya.
Pembelajaran ditutup dengan mengucaphamdallah dan diiringi
dengan salam penutup.
2) Pertemuan Kedua (Senin, 27 Januari 2014)
Pada pertemuan kedua sama halnya pada pertemuan pertama
diawali dengan membuka pelajaran dengan memberi salam dan
mengucap basmallah (berdoa bersama), dan mengabsen kehadiran
siswa satu persatu serta mengkondisikan siswa dikelas. Setelah
selesai mengkondisikan kelas guru mereview kembali materi
sebelumnya. Pembelajaran diawali dengan apersepsi memberikan
pertanyaan sebutkan macam kegiatan tarikan dan dorongan
dalam kehidupan sehari-hari? siswa pun menjawabnya dengan
beragam jawaban. Setelah itu peneliti pun menjelaskan materi.
Materi sudah dijelaskan peneliti memerintahkan siswa
berkumpul dengan kelompoknya sesuai kelompok pada
pertemuan pertama, kemudian peneliti menjelaskan prosedur
kerja dengan menggunakan Model Pembelajaran Inkuiri lalu
memberikan Lembar Kerja Siswa (LKS). Masing-masing kelompok
bekerja sama untuk menyelesaikan soal yang ada di LKS sesuai
fase inkuiri.
Fase pertama rumusan masalah yaitu siswa dihadapkan oleh
permasalahan yang diberikan oleh guru.Fase kedua merumuskan

427
Professional Learning untuk Indonesia Emas

hipotesis yaitu peneliti membimbing siswa untuk merumuskan


hipotesis (membuat hipotesis) berdasarkan rumusan masalah yang
dibuat oleh guru.Fase ketiga mengumpulkan data yaitu peneliti
membimbing siswa dalam melakukan eksperimen (percobaan).
Fase keempat menguji hipotesis yaitu peneliti membimbing siswa
dalam menganalisis data (menentukan jawaban) berdasarkan
pengumpulan data yang telah diperolehnya dalam percobaan atau
eksperimen.Fase kelima merumuskan kesimpulan yaitu peneliti
membimbing siswa dalam menyimpulkan data hasil percobaan
yang telah didapatnya.
Selama proses pembelajaran berlangsung peneliti atau
guru berkeliling kepada setiap kelompok untuk memberikan
bimbingan serta penilaian kepada masing-masing kelompok.
Peneliti memberikan batas waktu untuk menyelesaikan LKS
tersebut.Setelah batas waktu yang ditentukan telah habis, maka
setiap kelompok mengumpulkan hasil kerjanya. Hasil LKS yang
telah dikerjakan dan di diskusikan oleh kelompoknya yang sudah
dikumpulkan maka peneliti meminta 1 perwakilan setiap kelompok
untuk maju mempersentasikan hasilnya, siswa yang lain pun
memperhatikannya. Peneliti dan siswa menyimpulkan bersama-
sama. Kemudian peneliti melakukan evaluasi berupa tanya jawab
seputar materi yang diajarkan dan peneliti menugaskan siswa
untuk mempelajari materi berikutnya.
Sebelum pembelajaran ditutup peneliti memberikan
soal posttest kepada siswa, dimana soal posttest digunakan
untuk mengetahui kemampuan siswa setelah diterapkannya
model pembelajaran inkuiri. Pembelajaran ditutup dengan
mengucaphamdallah dan diiringi dengan salam penutup.

b. Pengamatan
1) Hasil Pretest dan Posttest
Berdasarkan hasil tes (pretest dan posttest) yang diperoleh pada
siklus I, mengenai sub konsep gaya dapat mempengaruhi gerak
suatu benda dengan jumlah siswa sebanyak 27 orang dalam satu
kelas dengan menggunakan model pembelajaran inkuiri. Data
nilai pretest diperoleh dari hasil tes sebelum siswa mempelajari
materi tersebut dan belum diterapkannya model pembelajaran
inkuiri, serta nilai posttest diperoleh dari hasil belajar siswa setelah
diterapkannya model pembelajaran inkuiri. Data statistik pretest
dan posttest dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini:

428
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Tabel 1 Data Statistik Prettest dan Posttest Siklus I


Data Statistik Pretest Posttest
Nilai Minimum 27 47
Nilai Maximum 87 93
Rata-rata 61,22 71,63
Modus 60 73
Median 60 87
Varians 239,03 178,78
Standar Deviasi 15,46 13,37

2) Data Perhitungan N-Gain


Data siklus I rata-rata keseluruhan hasil perhitungan N-gain
dengan jumlah responden sebanyak 27 siswa dapat dilihat pada
Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2 Persentase Peningkatan Hasil Belajar (N-Gain) Siklus I


No Kategori Frekuensi persentase (%)
1. N-gain terkategori tinggi 0
2. N-Gain terkategori sedang 40,74
3. N-gain terkategori rendah 59,26
4. Rata-rata N-Gain 0,27
5. Siswa yang belum mencapai KKM 44,44
6. Siswa yang mencapai KKM 55,56

Berdasarkan Tabel 2 di atas, dapat dilihat bahwa hasil belajar


pada siklus I, N-gain terkategori tinggi pada siklus I sebanyak
0%, N-gain terkategori sedang sebanyak 40,74% (11 orang) dan
N-gain terkategori rendah sebanyak 59,26% (16 orang). Siswa
yang belum mencapai KKM adalah 44,44% (12 orang) dan siswa
yang mencapai KKM adalah 55,56% (15 orang). Nilai rata-rata
keseluruhan N-gain kelas mencapai 0,27 dengan demikian nilai
N-gain kelas masih tergolong ke dalam kategori rendah.

3) Hasil Observasi Kegiatan Siswa dan Guru Siklus I


Hasil observasi yang dilihat dari lembar aktivitas guru dan
siswa. Proses belajar mengajar yang dilakukan oleh guru sudah
baik, artinya apa yang ada dalam tahapan aktivitas guru sudah
terpenuhi. Pada siklus I siswa dibagi menjadi4kelompok masing-

429
Professional Learning untuk Indonesia Emas

masing kelompok terdiri dari 6 atau 7 orang.Hasil observasi yang


dilakukan pada siklus I ini pada pertemuan pertama dan kedua
masih ada kelompok yang mendapat nilai rendah. Hasil observasi
pertemuan pertama dan kedua tiap-tiap kelompok pada siklus I,
rata-rata indikator dengan kategori cukup yaitu pada indikator
nomor 3 dan 8 sedangkan indikator pada kategori baik ada di nomor
1, 2, 4, 5, 6, dan 7. Rata-rata persentase siklus sebesar 74,22% dengan
kategori baik. Hasil observasi aktivitas guru diperoleh kesesuaian
cara mengajar guru dalam menerapkan Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) berkategori sangat baik (87,5%) dalam hal
membimbing siswa untuk membuat hipotesis dan membimbing
siswa melakukan percobaan menggunakan alat dan bahan dengan
panduan LKS pada indikator 4 dan 5. Berkategori baik (75,0%) pada
indikator 1, 2, 6 dan 7. Sedangkan berkategori cukup (62,5%) pada
tahap membimbing siswa untuk mengumpulkan data. Persentase
siklus I pada aktivitas guru mencapai 76,78% dengan kategori baik.

c. Refleksi Siklus I
Berdasarkanpengamatan pada proses pembelajaran diperoleh
temuan pada siklus I yaitu hasil belajar siswa belum mencapai kriteria
ketuntasan yang telah ditetapkan oleh peneliti sebesar 75%. Siswa
yang mencapai KKM 70 sebesar 55,56% (15 orang). Rata-rata N-Gain
pada siklus I sebesar 0,27% dengan kategori rendah.
Hasil catatan lapangan pada proses pembelajaran masih terdapat
beberapa kekurangan yang harus diperbaiki. Pada tahap orientasi, guru
belum maksimal mengaitkan pelajaran yang akan dipelajari dengan
pelajaran sebelumnya, guru juga belum maksimal menyampaikan
tujuan pembelajaran yang akan dipelajari. Sedangkan siswa pada tahap
orientasi tidak ingat pada pelajaran yang sudah dipelajari sebelumnya
ketika ditanya guru, selain itu pada tahap pembentukan kelompok
guru masih belum bisa mengkondisikan siswa dengan baik sehingga
kelas gaduh. Dalam tahap merumuskan hipotesis guru sudah baik
dalam membimbing siswa, karena banyak siswa yang tidak paham
cara membuat hipotesis, beberapa siswa juga tidak mengerti tugas
dan peranannya dalam kelompok, di samping itu siswa masih bersifat
mengandalkan teman dan kurang bekerjasama dalam mengerjakan
LKS.

d. Keputusan Siklus I
Keputusan hasil refleksi pada siklus I dapat disimpulkan bahwa
hasil belajar siswa pada konsep gaya belum memenuhi indikator
yang peneliti harapkan. Indikator yang ditetapkan oleh peneliti

430
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

siswa harus memiliki nilai diatas kriteria ketuntasan minimal (KKM)


sebesar 70 sebanyak 75%, tetapi pada siklus I ini mencapai ketuntasan
sebesar 55,56%, sehingga perlu dilakukan tindak lanjut proses
pembelajaran untuk perbaikan hasil belajar siswa. Oleh karena itu
peneliti memutuskan untuk melanjutkan penelitian tindakan kelas ini
ke siklus II.
Adapun perbaikan-perbaikan pada siklus II yang dianggap perlu
oleh peneliti antara lain:

Tabel 3Tindakan Siklus I yang Akan Diperbaharui


No Kekurangan Pada Siklus I Perbaikan Untuk Siklus II
1. Sebagian siswa tidak ingat Guru lebih interaktif dengan
dengan pelajaran yang sudah siswa, menanyakan dan
dipelajari sebelumnya sehing- mengulang pembelajaran
ga siswa kurang aktif dalam yang sudah dipelajari dan
menjawab pertanyaan guru mengaitkan pembelajaran
yang akan dipelajari dengan
pelajaran sebelumnya.
2. Siswa tidak memperhatikan Guru harus menyampaikan
penjelasan guru. materi dengan semenarik
mungkin, agar siswa fokus
memperhatikan materi yang
dijelaskan guru.
3. Siswa merasa kesulitan dalam Guru harus lebih bisa menga-
membentuk kelompok se- tur siswa ke dalam kelompok
hingga kelas gaduh belajar serta mengkondisikan
siswa sehingga tidak terjadi
kegaduhan.
4 Siswa masih pasif dalam Lebih interaktif dengan
bertanya dan mengajukan siswa, banyak melakukan
pendapat. tanya jawab, serta pemberian
reward (penghargaan) agar
siswa berani bertanya dan
mengungkapkan pendapat-
nya pada proses pembelaja-
ran.
5. Hasil tes belajar siswa masih Lebih disesuaikan lagi cara
rendah penyampaian materi agar
siswa bisa memahami materi
tersebut.

431
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Siklus II
a. Perencanaan
Tahap perencanaan pada siklus II ini merupakan tahap perbaikan
dari pelaksanaan pembelajararan yang telah dilaksanakan pada siklus
I. Pada pelaksanaan di siklus II, perbaikan dimulai dengan RPP yang
menerapkan model pembelajaran yang lebih mengoptimalkan peran
guru dalam pelaksanaan proses pembelajaran. Hal ini bertujuan
untuk meningkatkan aktivitas siswa sehingga dapat berdampak pada
peningkatan hasil belajar siswa. Selanjutnya peneliti menyiapkan
media/alat dan bahan dalam pembelajaran, Lembar Kerja Siswa
(LKS), lembar observasi, catatan lapangan, dan instrumen tes.
Instrumen tes yang digunakan pada siklus II ini sama halnya dengan
yang ada pada siklus I yaitu soal pilihan ganda yang masing-masing
15 soal untuk pretest dan posttsest. Pembagian kelompok berdasarkan
kelompok pada siklus I. Indikator pembelajaran dari konsep gaya
yang ditetapkan pada siklus kedua ini diantaranya: (1) Menyelidiki
pengaruh gaya terhadap bentuk benda (2) Menyebutkan contoh dalam
kehidupan sehari-hari bahwa bentuk benda berubah akibat gaya (3)
Mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi benda dapat tenggelam
dalam air(4) Mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi benda dapat
mengapung dalam air.

b. Tindakan
Pada tahap ini, guru berusaha menerapkan kegiatan pembelajaran
dengan menerapkan model pembelajaran inkuiri sesuai dengan RPP.
Uraian proses pembelajaran pada siklus I sebagai berikut:

1) Pertemuan Ketiga (Selasa, 28 Januari 2014)


Pertemuan pertama diawali dengan membuka pelajaran
dengan memberi salam dan mengucap basmallah, (berdoa
bersama) kemudian sebelum memulai proses belajar mengajar
guru memperkenalkan diri terlebih dahulu, dan mengabsen
kehadiran siswa untuk mengenal siswa satu persatu serta
mengkondisikan siswa dikelas. Setelah selesai mengkondisikan
kelas guru memberikan pretest kepada siswa sebelum masuk
dalam proses pembelajaran. Pretest diberikan untuk mengetahui
sejauh mana pengetahuan siswa tentang materi yang akan
dipelajari. Kemudian dilanjutkan dengan guru melakukan
apersepsi berupa memberikan pertanyaan kepada siswa siapa
yang pernah memecahkan piring atau gelas di rumah? mengapa
piring mudah pecah?Terbuat dari bahan apakah piring? pada
awal pembelajaran serta menyampaikan tujuan pembelajaran

432
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

kepada siswa.Beberapa siswa merespon pertanyaan dengan


memberikan jawaban dari mereka.Walau hanya beberapa siswa
saja yang menjawab.Siswa pun menjawabnya dengan beragam
jawaban.Setelah itu peneliti pun menjelaskan materi.
Setelah materi sudah dijelaskan peneliti membagi kelompok
menjadi empat kelompok dan siswa pun membuat kelompok
berdasarkan yang telah ditentukan oleh peneliti, kemudian
guru memberikan LKS kepada masing-masing kelompok dan
menjelaskan prosedur kerja dengan menggunakan Model
Pembelajaran Inkuiri. Masing-masing kelompok bekerja sama
untuk menyelesaikan soal yang ada di LKS sesuai fase inkuiri.
Fase pertama rumusan masalah yaitu siswa dihadapkan oleh
permasalahan yang diberikan oleh guru.Fase kedua merumuskan
hipotesis yaitu peneliti membimbing siswa untuk merumuskan
hipotesis (membuat hipotesis) berdasarkan rumusan masalah yang
dibuat oleh guru.Fase ketiga mengumpulkan data yaitu peneliti
membimbing siswa dalam melakukan eksperimen (percobaan).
Fase keempat menguji hipotesis yaitu peneliti membimbing siswa
dalam menganalisis data (menentukan jawaban) berdasarkan
pengumpulan data yang telah diperolehnya dalam percobaan atau
eksperimen.Fase kelima merumuskan kesimpulan yaitu peneliti
membimbing siswa dalam menyimpulkan data hasil percobaan
yang telah didapatnya.
Selama proses berlangsung peneliti dan guru berkeliling
kepada setiap kelompok untuk memberikan bimbingan, dorongan
dan menilai kemampuan berpikir dan diskusi. Peneliti memberikan
batas waktu untuk menyelesaikan LKS tersebut.Setelah batas
waktu yang ditentukan telah habis, maka setiap kelompok
untuk mengumpulkannya.Hasil LKS yang telah dikerjakan
dan di diskusikan oleh kelompoknya yang sudah dikumpulkan
maka peneliti meminta 1 perwakilan setiap kelompok untuk
maju mempersentasikan hasilnya. Dan siswa yang lain pun
memperhatikannya. Peneliti dan siswa menyimpulkan bersama-
sama.Kemudian peneliti melakukan evaluasi seputar materi yang
diajarkan dan peniliti menugaskan siswa untuk mempelajari materi
berikutnya. Pembelajaran ditutup dengan mengucaphamdallah
dan diiringi dengan salam penutup.

2) Pertemuan Keempat (Sabtu, 1 Februari 2014)


Pada pertemuan keempat sama halnya pada pertemuan
sebelumnya diawali dengan membuka pelajaran dengan memberi
salam dan mengucap basmallah(berdoa bersama), dan mengabsen

433
Professional Learning untuk Indonesia Emas

kehadiran siswa satu persatu serta mengkondisikan siswa dikelas.


Setelah selesai mengkondisikan kelas guru mereview kembali
materi sebelumnya.Pembelajaran diawali dengan apersepsi
memberikan pertanyaan siapa yang pernah melihat batang kayu
hanyut di sungai?atau kalian pernah melihat daun kering yang
jatuh ke kolam? bagaimana keadaan daun atau batang kayu
tersebut?siswa pun menjawabnya dengan beragam jawaban.
Setelah itu peneliti pun menjelaskan materi.
Setelah materi sudah dijelaskan peneliti memerintahkan
siswa berkumpul dengan kelompoknya sesuai kelompok
pada pertemuan sebelumnya, kemudian peneliti menjelaskan
prosedur kerja dengan menggunakan Model Pembelajaran Inkuiri
Terstruktur lalu memberikan Lembar Kerja Siswa (LKS). Masing-
masing kelompok bekerja sama untuk menyelesaikan soal yang
ada di LKS sesuai fase inkuiri.
Fase pertama rumusan masalah yaitu siswa dihadapkan oleh
permasalahan yang diberikan oleh guru.Fase kedua merumuskan
hipotesis yaitu peneliti membimbing siswa untuk merumuskan
hipotesis (membuat hipotesis) berdasarkan rumusan masalah yang
dibuat oleh guru.Fase ketiga mengumpulkan data yaitu peneliti
membimbing siswa dalam melakukan eksperimen (percobaan).
Fase keempat menguji hipotesis yaitu peneliti membimbing siswa
dalam menganalisis data (menentukan jawaban) berdasarkan
pengumpulan data yang telah diperolehnya dalam percobaan atau
eksperimen.Fase kelima merumuskan kesimpulan yaitu peneliti
membimbing siswa dalam menyimpulkan data hasil percobaan
yang telah didapatnya.
Selama proses berlangsung peneliti dan guru berkeliling
kepada setiap kelompok untuk memberikan bimbingan, dorongan
dan menilai kemampuan berpikir dan diskusi. Peneliti memberikan
batas waktu untuk menyelesaikan LKS tersebut.Setelah batas
waktu yang ditentukan telah habis, maka setiap kelompok
untuk mengumpulkannya.Hasil LKS yang telah dikerjakan
dan di diskusikan oleh kelompoknya yang sudah dikumpulkan
maka peneliti meminta 1 perwakilan setiap kelompok untuk
maju mempersentasikan hasilnya. Dan siswa yang lain pun
memperhatikannya. Peneliti dan siswa menyimpulkan bersama-
sama.Kemudian peneliti memberikan evaluasi seputar materi
yang diajarkan dan peniliti menugaskan siswa untuk mempelajari
materi berikutnya.
Sebelum pembelajaran ditutup peneliti memberikan
soal posttest kepada siswa, dimana soal posttest digunakan

434
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

untuk mengetahui kemampuan siswa setelah diterapkannya


model pembelajaran inkuiri. Pembelajaran ditutup dengan
mengucaphamdallah dan diiringi dengan salam penutup.

c. Pengamatan
1) Hasil Pretest dan Posttest
Berdasarkan hasil tes (pretest dan posttest) yang diperoleh pada
siklus II, mengenai sub konsep gaya dapat mempengaruhi bentuk
suatu benda dengan jumlah siswa sebanyak 27 orang dalam satu
kelas dengan menggunakan model pembelajaran inkuiri. Data
nilai pretest diperoleh dari hasil tes sebelum siswa mempelajari
materi tersebut dan belum diterapkannya model pembelajaran
inkuiri, serta nilai posttest diperoleh dari hasil belajar siswa setelah
diterapkannya model pembelajaran inkuiri. Data statistik pretest
dan posttest dapat dilihat pada Tabel 4di bawah ini:

Tabel 4 Data Statistik Prettest dan Posttest Siklus II


Data Statistik Pretest Posttest
Nilai Minimum 13 47
Nilai Maximum 93 100
Rata-rata 65,67 80,74
Median 67 87
Modus 87 87
Varians 489,31 188,74
Standar Deviasi 22,12 13,74

2) Data Perhitungan N-Gain


Data siklus II rata-rata keseluruhan hasil perhitungan N-gain
dengan jumlah responden sebanyak 27 siswa dapat dilihat pada
Tabel 5 di bawah ini.
Tabel 5 Persentase Peningkatan Hasil Belajar (N-Gain)
No Kategori Frekuensi persentase (%)
1. N-gain terkategori tinggi 18,52%
2. N-Gain terkategori sedang 48,15%
3. N-gain terkategori rendah 33,33%
4. Rata-rata N-Gain 0,42 %
5. Siswa yang belum mencapai KKM 18,52%
6. Siswa yang mencapai KKM 81,48%

435
Professional Learning untuk Indonesia Emas

3) Hasil Observasi Siklus II


Hasil observasi dapat dilihat dari lembar observasi aktivitas
siswa dan guru.untuk lembar observasi siswa Tabel 4.15 di atas
menunjukkan bahwa aktivitas siswa pada pertemuan ketiga dan
keempat sudah meningkat dengan kategori sangat baik dan rata-
rata persentase setiap indikator sudah meningkat dengan kategori
sangat baik. Aktivitas guru dalam proses belajar mengajar sudah
sesuai, hal ini terlihat pada persentase siklus II yang berkategori
sangat baik

d. Refleksi Siklus II
Tahapan refleksi pada siklus II ini bahwa kegiatan pembelajaran
dengan model pembelajaran inkuiri dapat membantu siswa dalam
meningkatkan hasil belajar. Hal ini dapat dilihat dari hasil belajar
siswa yang mencapai KKM 70 sebanyak 22 orang (81,48%) sudah
memenuhi kriteria ketuntasan yang ditetapkan peneliti. Rata-rata
nilai N-Gain meningkat sebesar 0,15%, pada siklus I rata-rata N-Gain
hanya mencapai 0,27% (berkategori rendah) sedangkan pada siklus II
mencapai 0,42% (berkategori sedang).Hasil observasi tiap kelompok
pada pertemuan ketiga dan keempat mengalami peningkatan, rata-
rata tiap kelompok dengan indikator sangat baik, begitu pun dengan
aktivitas guru dengan kategori sangat baik.
Berdasarkan catatan lapangan pada siklus II ini secara umum
dapat dikatakan sudah sangat baik. Pada tahap inti, siswa sudah
tidak lagi gaduh dalam pembentukan kelompok karena pembetukan
kelompok sama seperti kelompok pada siklus I sehingga berjalan
dengan tertib, dan mengerjakan tugas yang harus dikerjakan bersama
kelompok. Siswa juga sudah aktif bertanya dan berpendapat dalam
pembelajaran dan diskusi kelompok sehingga siswa yang sebelumnya
mengandalkan temannya mengerjakan LKS pada siklus II ini siswa
membagi tugas kelompok secara bergantian untuk menyelesaikan
LKS bersama, maka penelitian ini dapat dihentikan pada siklus II.

e. Keputusan Siklus II
Berdasarkan hasil refleksi siklus II diperoleh dari hasil belajar dan
aktivitas belajar siswa, juga respon siswa yang positif tentang model
pembelajaran inkuiri, hal ini menunjukkan bahwa pemahaman siswa
dalam konsep gaya sudah mencapai kriteria ketuntasan minimum
(KKM) yang diharapkan. Dari hasil observasi aktivitas siswa sudah
ada peningkatan dan aktivitas guru sudah sangat baik.Oleh karena itu
tidak perlu dilanjutkan lagi ke tindakan pembelajaran siklus III.

436
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

Pembahasan
Sebelum dilakukan tindakan pembelajaran dengan menggunakan
model pembelajaran inkuiri, proses pembelajaran IPA lebih
didominasi oleh guru sehingga siswa kurang aktif selama proses
pembelajaran berlangsung. Selain itu, guru menyampaikan materi
pelajaran tidak menggunakan metode ataupun model pembelajaran
yang melibatkan siswa aktif, dan siswa kurang termotivasi ketika
mengikuti pembelajaran, hal itu terlihat dari rendahnya hasil belajar
IPA siswa.
Pembelajaran yang digunakan pada siswa kelas IVA SDN Kebon
Manggis 11 Pagi Matraman-Jakarta Timur adalah model pembelajaran
inkuiri. Model pembelajaran inkuiri adalah pembelajaran yang berpusat
pada siswa, dimana siswa lebih aktif dalam proses pembelajaran.
Adapun model inkuiri yang digunakan dalam pembelajaran adalah
model pembelajaran inkuiri terstruktur.
Model pembelajaran ini terdidri dari lima tahapan atau fase-
fase, yaitu rumusan masalah, merumuskan hipotesis, pengumpulan
data/verifikasi, menguji hipotesis, dan merumuskan kesimpulan.
Pada tahap berhadapan dengan masalah (rumusan masalah), guru
memberikan pertanyaan sebelum siswa melakukan eksperimen.
Pada tahap merumuskan hipotesis, siswa membuat pernyataan
atau kebenaran dari permasalahan (hipotesis) yang diberikan oleh
guru. Pada tahap pengumpulan data/verifikasi, siswa melakukan
eksperimen, mengamati dan mengumpulkan data untuk mengisi LKS.
Pada tahap menguji hipotesis, siswa menetukan jawaban (menganalisis
data) berdasarkan pengumpulan data yang telah diperolehnya dalam
percobaan atau eksperimen. Pada tahap merumuskan kesimpulan,
pada tahap ini siswa diminta untuk menyimpulkan hasil eksperimen
yang telah dilakukan dan mempresentasikannya hasil eksperimennya
di depan kelas.
Pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran inkuiri
terstruktur ini membantu siswa dalam melakukan eksperimen,
siswa dapat menemukan sendiri dari apa yang mereka lakukan dan
pelajari. Model pembelajaran terstruktur adalah model pembelajaran
dimana alat dan bahan eksperimen telah disediakan oleh guru
dan guru juga yang menjadi fasilitator dalam membimbing siswa
dalam melakukan eksperimen, menganalisis data maupun dalam
mengerjakan LKS, tetapi hipotesis ditentukan oleh siswa sendiri.
Dengan model pembelajaran inkuiri terstruktur ini dapat membantu
siswa dalam proses pembelajaran dimana siswa menjadi aktif dan
pembelajaran menjadi student center. Selain itu siswa merasa senang
karena mereka bisa melakukan eksperimen dan siswa yakin kalau

437
Professional Learning untuk Indonesia Emas

pembelajaran menggunakan model pembelajaran inkuiri terstruktur


ini dapat meningkatkan hasil belajar IPA mereka.Dengan melakukan
eksperimen siswa termotivasi dalam belajar karena mereka bisa belajar
berkelompok atau bekerjasama dengan temannya dalam mengerjakan
tugas yang guru berikan.
Pada siklus 1, evaluasi yang dilaksanakan pada siklus I dilakukan
untuk mengetahui penguasaan siswa terhadap pelajaran IPA pada
konsep gaya dengan sub konsep gaya dapat mempengaruhi gerak
suatu benda. Berdasarkan hasil tes yang dilaksanakan pada siklus
1 diperoleh rata-rata N-gain terkategori tinggi sebesar 0%, N-gain
terkategori sedang sebesar 40,74% (11 orang) dan N-gain terkategori
rendah sebesar 59,26% (16 orang). Rata-rata N-Gain 0,27%. Dari
hasil tes yang diperoleh, diketahui bahwa ketuntasan siswa belum
mencapai hasil yang maksimal, siswa yang belum mencapai KKM
sebesar 44,44% (12 orang), dan siswa yang mencapai KKM adalah
55,56% (15 orang).
Hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Sunarti,
dengan judul Penerapan Model Pembelajaran Inkuiri Untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran IPA Kelas IV
SD Karya Putra Surabaya, berdasarkan penelitiannya menunjukkan
bahwa aktivitas siswa dalam proses pembelajaran dengan mengunakan
pembelajaran inkuiri mengalami peningkatan sebesar 27%, pada siklus
I aktivitas siswa rata-rata mencapai 2,47 atau 62 % dan pada siklus II
aktivitas siswa rata-rata mencapai 3,56 atau 89 %. Hasil belajar siswa
juga mengalami peningkatan sebesar 40,77%, pada siklus I 46,87% dan
pada siklus II 87,5% (Sunarti, 2013).
Sedangkan hasil catatan lapangan dan observasi siklus I aktivitas
siswa belum memuaskan.Hal ini terlihat dari masih adanya siswa yang
belum serius dalam mengikuti pembelajaran, masih ada yang tidak
ikut dalam diskusi kelompok pada saat mengerjakan LKS, dan masih
mengandalkan siswa yang pintar untuk mengerjakan tugas. Selain
itu tabel aktivitas siswa pada siklus 1 masi ada rata-rata indikator
dengan kategori cukup yaitu pada indikator nomor 3 dan 8 sedangkan
indicator pada kategori baik ada di nomor 1, 2, 4, 5, 6, dan 7. Rata-rata
persentase siklus sebesar 74,22% dengan kategori baik. Sedangkan
aktivitas cara mengajar guru dalam menerapkan Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) pada siklus satu sudah sesuai dengan kategori
baik (76,78%). Peran guru pada saat pembelajaran tidak mendominasi
kelas tetapi memberikan banyak waktu untuk siswa terlibat langsung
selama pembelajaran.
Setelah dilakukan perbaikan pembelajaran pada siklus I, maka
pada akhir pembelajaran siklus II pada kosep gaya dengan sub

438
Perkembangan Model Pembelajaran dari Masa ke Masa

konsep gaya dapat mempengaruhi bentuk benda membuktikan


bahwa kegiatan pembelajaran dengan model pembelajaran inkuiri
ini dapat membantu siswa dalam meningkatkan hasil belajar. Hal ini
dapat dilihat darinilai N-gain dengan kategori tinggi sebesar 18,52% (5
orang), kategori sedang sebesar 48,15% 13 orang), dan kategori rendah
sebesar 33,33% (9 orang) dengan rata-rata N-Gain 0,42% dengan
kategori sedang. Rata-rata hasil belajar siswa pada siklus II sebesar
80,51 dengan persentase 81,48% (22 orang) dan siswa yang belum
mencapai KKM sebesar 18,52% (5 orang). Berdasarkan hasil tersebut,
maka indikator ketercapaian telah memenuhi yaitu jumlah siswa yang
tuntas belajar IPA mencapai lebih dari 80%.
Hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Umi Atiyah,
dengan judul Penerapan Model Pembelajaran Inkuiri Terstruktur
Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Benda dan Sifatnya
di MIN Ciputat Tangerang, berdasarkan hasil penelitiannya bahwa
penerapan model pembelajaran inkuiri terstruktur pada konsep benda
dan sifatnya dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada ranah
kognitif, peningkatan hasil belajar ini terlihat dari hasil belajar siswa
dengan rata-rata nilai posttest pada siklus I sebebsar 66,75 dan siklus
II sebesar 84,5. Dengan persentase jumlah siswa yang mencapai KKM
pada siklus I sebesar 60% dan siklus II sebesar 97,5% (Umi Atiyah,
2013).
Berdasarkan hasil observasi dan evaluasi, dapat dikatakan bahwa
jalannya pembelajaran pada siklus II telah berhasil memperbaiki
berbagai kelemahan yang ada pada siklus I, perbaikan tersebut
berakibat pada peningkatan aktivitas pembelajaran siswa pada
pelajaran IPA dan akhirnya mengakibatkan pada pencapaian hasil
belajar yang memuaskan, yaitu lebih dari 80% mencapai ketuntasan
belajar IPA pada konsep gaya.Pembelajaran dengan menggunakan
model pembelajaran inkuiri menumbuhkan rasa tanggung jawab
siswa, dengan adanya diskusi kelompok membuat siswa memiliki
tanggung jawab untuk menyelesaikan LKS, selain itu, siswa juga
merasa senang karena mereka bisa melakukan eksperimen sehingga
materi yang diajarkan membuat mereka lebih mengerti.

Penutup
Berdasarkan analisis data dan pembahasan maka dapat
disimpulkan bahwa model pembelajaran inkuiri dapat meningkatkan
hasil belajar IPA siswa pada konsep gaya. Hal ini dapat terlihat dari
persentase ketuntasan belajar siswa pada siklus I sebesar 55,56% dan
persentase ketuntasan belajar siswa pada siklus II sebesar 81,48%. Pada
siklus I pemahaman siswa baru pada pengertian gaya,pengaruh gaya

439
Professional Learning untuk Indonesia Emas

terhadap geraksuatu benda serta faktor-faktor yang mempengaruhi


gerak benda sedangkan pada siklus II pemahaman siswa sudah
mencapai pengaruh gaya terhadap bentuk benda, perubahan bentuk
benda akibat gaya, dan faktor-faktor yang mempengaruhi benda dapat
tenggelam serta mengapung di dalam air.

Daftar Pustaka

Ahmadi, Iif Khoiru. dkk. 2011.Strategi Pembelajaran Berorientasi KTSP.


Jakarta: Prestasi Pustaka
Atiyah,Umi. 2013. Penerapan Model Pembelajaran Inkuiri Terstruktur
Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Konsep Benda
dan Sifatnya di Min Ciputat Tangerang. Skripsi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
Sanjaya Wina. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses
Pendidikan, Jakarta: Kencana Prenada Media
Trianto. 2011. Panduan Lengkap Penelitian Tindakan Kelas (Classroom
Action Research) Teori& Praktik. Jakarta: Prestasi Pustakarya
Syah, Muhibbin. 2010. Psikologi Pendidikan, Bandung : PT Remaja
Rosdakarya.
Sunarti. 2013. Penerapan Model Pembelajaran Inkuiri Untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran IPA
Kelas IV SD Karya Putra Surabaya, PGSD FIP Universitas
Negeri Surabaya, vol 1 (1)

440
5
PROFESSIONAL
LEARNING BASED ON
CHARACTER UNTUK
INDONESIA
Professional Learning untuk Indonesia Emas

442
PENDIDIKAN MENGHIDUPKAN NILAI
(LIVING VALUES EDUCATION)
MELALUI ACTIVE LEARNING
Bahrissalim
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Email : bahris68@gmail.com

Abstract : Living Values Education (LVE) is a way of


conceptualizing education that promotes the development of
values-based learning communities and places the search for
meaning and purpose at the heart of education. LVE emphasizes
the worth and integrity of each person involved in the provision
of education, in the home, school and community. In fostering
quality education, LVE supports the overall development of the
individual and a culture of positive values in each society and
throughout the world, believing that education is a purposeful
activity designed to help humanity flourish. This active learning
is very appropriate to apply living values education in school,
because values are caught, not taught.Active learning is learning
that emphasizes active student to have his own, to practice so well
with the intellect, emotional and skills they learn and practice.
Educators are facilitators, democratic classroom atmosphere, the
position of educators are mentors and giving directions, learners
are at once subject and object together they are complementary
activities, active learning and creative. Here it takes active
participation in class, work hard and be able to appreciate it,
democratic atmosphere, mutual respect with an equal footing
between friends, and academic independence.

Keywords: living values education, active learning

Pendahuluan
Belajar merupakan konsekuensi otomatis dari penyampaian
informasi ke dalam kepala peserta didik. Belajar Membutuhkan
keterlibatan mental dan tindakan peserta didik itu sendiri. Penjelasan
dan peragaan, oleh mereka sendiri, tidak akan menuju ke arah belajar
yang sebenarnya dan tahan lama. Pada saat kegiatan belajar itu

443
Professional Learning untuk Indonesia Emas

aktif, peserta didik melakukan sebagian besar yang harus dilakukan.


Mereka menggunakan otak mereka, mempelajari gagasan-gagasan,
memecahkan berbagai masalah, dan menerapkan apa yang mereka
pelajarai.
Urgensi kegiatan belajar aktif adalah untuk mempelajari
sesuatu dengan baik, membantu untuk mendengarkannya,
melihatnya, mengajukan pertanyaan tentang pelajaran tertentu,
dan mendiskusikannya dengan yang lain. Yang paling penting
peserta didik perlu melakukannya, memecahkan masalah sendiri,
menemukan contoh-contoh, mencoba ketrampilan-ketrampilan, dan
melakukan tugas-tugas yang tergantung pada pengetahuan yang
telah mereka miliki atau yang harus mereka capai.
Peserta didik merupakan individu yang berbeda satu sama lain,
memiliki keunikan masing-masing yang tidak sama dengan orang lain
dan memiliki berbagai cara belajar (Mel Silberman:1996). Oleh karena
itu pembelajaran hendaknya memperhatikan perbedaan-perbedaan
individual anak tersebut, sehingga pembelajaran benar-benar dapat
merobah kondisi anak dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang
tidak paham menjadi paham serta dari yang berperilaku kurang baik
menjadi baik.
Pembelajaran yang kurang memperhatikan perbedaan individual
anak dan didasarkan pada keinginan guru, akan sulit untuk dapat
mengantarkan anak didik ke arah pencapaian tujuan pembelajaran.
Kondisi seperti inilah yang pada umumnya terjadi pada pembelajaran
konvensional. Konsekuensi dari pendekatan pembelajaran seperti ini
adalah terjadinya kesenjangan yang nyata antara anak yang cerdas
dan anak yang kurang cerdas dalam pencapaian tujuan pembelajaran.
Kondisi seperti ini mengakibatkan tidak diperolehnya ketuntasan
dalam belajar, sehingga sistem belajar tuntas terabaikan dan secara
tidak langsung seorang guru tidak menghargai dan memahami
kondisi masing-masing siswa dalam proses pembelajaran.
Living Values Education
Living Values Education (LVE) adalah a way of conceptualising
education that promotes the development of values-based learning
communities and places the search for meaning and purpose at the heart
of education. (Christopher Drake: 1999) Dengan pengertian ini,
LVE lebih menekankan pada pencarian makna dan hakikat dari
pendidikan itu sendiri, yaitu menggali dan menghidupkan nilai.
LVE lebih menekankan kelayakan dan integritas setiap orang yang
terlibat di dalam proses pendidikan, baik di rumah, sekolah maupun
di komunitas. Adapun yang menjadi tujuan dari LVE adalah untuk
meningkatkan standar dengan mengembangkan ethos sekolah yang

444
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

didasari oleh nilai-nilai dasar yang mendukung perkembangan anak


sepenuhnya sebagai seorang pelajar yang kritis dan teliti.
Untuk menghasilkan pendidikan berkualitas, LVE menekankan
pada pengembangan potensi individu secara menyeluruh dan
membudayakan nilai-nilai positif di tiap masyarakat dan seluruh
dunia. LVE meyakini bahwa pendidikan merupakan sebuah kegiatan
yang didesain untuk menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan.
LVE mengeksplorasi dan mengembangkan nilai-nilai universal
untuk mewujudkan sebuah dunia yang lebih baik. Nilai-nilai yang
dimaksud adalah kedamaian (peace), penghargaan (respect), cinta
(love), toleransi (tolerance), kejujuran (honesty), kerendahhatian
(humility), kebahagiaan (happiness), tanggung jawab (responsibility),
kerjasama (cooperation), kesederhanaan (simplicity), kebebasan
(freedom), dan persatuan (unity). Pengembangan nilai-nilai universal
tersebut dikoordinasikan oleh Association for Living Values Education
International, yaitu sebuah asosiasi guru nirlaba dari seluruh dunia.
LVE ini didukung oleh UNESCO dan beberapa organisasi, lembaga,
yayasan, kelompok masyarakat dan para individu lain yang
mempunyai komitmen dalam pengembangan karakter.(Tillman: 200)
Maksud dari LVE adalah memberikan prinsip-prinsip pokok dan
alat untuk mengembangkan orang secara menyeluruh, yaitu mengakui
bahwa individu terdiri dari dimensi fisik, intelektual, emosi, dan
spiritual. Sementara itu, dilihat dari aspek tujuan, ada empat tujuan
pokok dari LVE, yaitu: [1] membantu para individu untuk berpikir
dan melakukan refleksi tentang nilai-nilai yang berbeda dan berbagai
implikasi praktis untuk mengungkapkan nilai tersebut dikaitkan
dengan orang lain, baik komunitas maupun dunia pada umumnya;
[2] memperdalam pemahaman, motivasi dan tanggung jawab untuk
membuat pilihan pribadi dan sosial yang positif; [3] menginspirasi
individu memilih nilai personal, sosial, moral dan spiritualnya
dan sadar tentang metode praktis untuk mengembangkan dan
memperdalamnya; dan [4] mendorong para pendidik dan orangtua
untuk melihat pendidikan sebagai alat untuk memberikan filosofi
tentang kehidupan kepada para peserta didik, dengan cara memberikan
fasilitasi terhadap pertumbuhan, perkembangan dan pilihan secara
menyeluruh sehingga mereka bisa mengintegrasikan diri ke dalam
komunitas dengan penuh penghargaan dan kepercayaan. (Tillman:
2000)

Strategi Pembelajaran Aktif (Active Learning Strategy)


Pendekatan belajar siswa aktif sebenarnya sudah sejak lama
dikembangkan. Konsep ini didasari pada keyakinan bahwa

445
Professional Learning untuk Indonesia Emas

hakekat belajar adalah proses membangun makna/pemahaman,


oleh si pembelajar, terhadap pengalaman dan informasi yang
disaring dengan persepsi, pikiran (pengetahuan yang dimiliki) dan
perasaannya. Dengan demikian siswalah yang harus aktif untuk
mencari informasi, pengalaman maupun keterampilan dalam rangka
membangun sebuah makna dari hasil proses pembelajaran. Pengertian
pembelajaran aktif sedikit membingungkan. Hal tersebut dikarenakan
setiap orang memberikan pengertian yang berbeda-beda. Terlebih jika
melihat hakekat belajar sebagaimana disebutkan di atas yaitu proses
membangun makna oleh si pembelajar. Jadi mustahil siswa dikatakan
belajar tetapi dia pasif sama sekali.
Mel Silberman (1996) menggambarkan saat belajar aktif, para
siswa melakukan banyak kegiatan. Mereka menggunakan otak untuk
mempelajari ide-ide, memecahkan permasalahan, dan menerapkan
apa yang mereka belajar. belajar aktif adalah mempelajari dengan
cepat, menyenangkan, penuh semangat, dan keterlibatan secara
pribadiuntuk mempelajari sesuatu dengan baik, harus mendengar,
melihat, menjawab pertanyaan, dan mendiskusikannya dengan orang
lain. Semua itu diperlukan oleh siswa untuk melakukan kegiatan
menggambarkannya sendiri, mencontohkan, mencoba keterampilan,
dan melaksanakan tugas sesuai dengan pengetahuan yang telah
mereka miliki. Dan menurut Joel Wein (1997), Active Learning adalah
suatu pendekatan pembelajaran yang melibatkan siswa untuk menjadi
guru bagi mereka sendiri.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa active learning
adalah suatu pendekatan pembelajaran yang memberikan kesempatan
kepada siswa untuk berperan lebih aktif dalam proses pembelajaran
(mencari informasi, mengolah informasi, dan menyimpulkannya
untuk kemudian diterapkan/ dipraktikkan) dengan menyediakan
lingkungan belajar yang membuat siswa tidak tertekan dan senang
melaksanakan kegiatan belajar. PAKEM dimaksudkan bahwa dalam
proses pembelajaran guru harus menciptakan suasana sedemikian rupa
sehingga siswa aktif bertanya, mempertanyakan, dan mengemukakan
gagasan. Belajar memang merupakan suatu proses aktif dari si siswa
dalam membangun pengetahuannya, bukan proses pasif yang hanya
menerima kucuran ceramah guru tentang pengetahuan. Sehingga jika
pembelajaran tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk
berperan aktif, maka pembelajaran tersebut bertentangan dengan
hakekat belajar (Sediono, dkk. 2003).
PAKEM tidak hanya berlaku bagi siswa, namun juga dari sisi
guru. Aktif dari sisi guru antara lain dengan: memantau kegiatan
belajar siswa, memberi umpan balik, mengajukan pertanyaan yang

446
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

menantang dan mempertanyakan gagasan siswa. Kreatif dari sisi


guru dapat dilihat dari kegiatan yang dikembangkan cukup beragam
dan pengembangan berbagai alat bantu pembelajaran (alat peraga).
Efektif adalah bahwa pembelajaran yang dilakukan dapat mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Sedangkan menyenangkan dalam arti
guru harus mengkondisikan anak untuk tidak takut salah, takut
ditertawakan atau dianggap remeh.
Dari sisi siswa, aktif akan kelihatan dari aktivitasnya untuk
bertanya, mengemukakan gagasan, dan mempertanyakan gagasan
orang lain dan gagasannya. Kreatif adalah siswa dapat merancang
/ membuat sesuatu dan menulis / mengarang. Efektif mempunyai
makna bahwa siswa dan menguasai keterampilan yang diperlukan.
Sedangkan menyenangkan adalah pembelajaran yang membuat anak
berani mencoba, berani bertanya, berani mengemukakan pendapat/
gagasan dan berani mempertanyakan gagasan orang lain.
Merujuk pada pemikiran L. Dee Fink dalam sebuah tulisannya
yang berjudul Active Learning, di bawah ini akan diuraikan konsep
dasar pembelajaran aktif. Menurut L. Dee Fink, pembelajaran aktif
terdiri dari dua komponen utama yaitu: unsur pengalaman (experience),
meliputi kegiatan melakukan (doing) dan pengamatan (observing) dan
dialog, meliputi dialog dengan diri sendiri (self) dan dialog dengan
orang lain (others).

1. Dialog dengan Diri (Dialogue with Self) :


Dialog dengan diri adalah bentuk belajar dimana para siswa
melakukan berfikir reflektif mengenai suatu topik. Mereka bertanya
pada diri sendiri, apa yang sedang atau harus dipikirkan, apa yang
mereka rasakan dari topik yang dipelajarinya. Mereka memikirkan
tentang pemikirannya sendiri, (thinking about my own thinking),
dalam cakupan pertanyaan yang lebih luas, dan tidak hanya berkaitan
dengan aspek kognitif semata

2. Dialog dengan orang lain (Dialogue with Others) :


Dalam pembelajaran tradisional, ketika siswa membaca buku
teks atau mendengarkan ceramah, pada dasarnya mereka sedang
berdialog dengan mendengarkan dari orang lain (guru, penulis
buku), tetapi sifatnya sangat terbatas karena didalamnya tidak terjadi
balikan dan pertukaran pemikiran. L. Dee Fink menyebutnya sebagai
partial dialogue Bentuk lain dari dialog yang lebih dinamis adalah
dengan membagi siswa ke dalam kelompok-kelompok kecil (small
group), dimana para siswa dapat berdiskusi mengenai topik-topik
pelajaran secara intensif. Lebih dari itu., untuk melibatkan siswa ke

447
Professional Learning untuk Indonesia Emas

dalam situasi dialog tertentu, guru dapat mengembangkan cara-cara


kreatif, misalnya mengajak siswa untuk berdialog dengan praktisi,
ahli, dan sebagainya. baik yang berlangsung di dalam kelas maupun
di luar kelas, melalui interaksi langsung atau secara tertulis.

3. Mengamati (Observing) :
Kegiatan ini terjadi dimana para siswa dapat melihat dan
mendengarkan ketika orang lain melakukan sesuatu (doing something)
, terkait dengan apa yang sedang dipelajarinya. Misalnya, mengamati
guru sedang melakukan sesuatu. Misalnya, guru olah raga yang sedang
memperagakan cara menendang bola yang baik, guru komputer
yang sedang membelajarkan cara-cara browsing di internet, dan
sebagainya. Selain mengamati peragaan yang ditampilkan gurunya,
siswa juga dapat diajak untuk mendengarkan dan melihat dari orang
lain, misalnya menyaksikan penampilan bagaimana cara kerja seorang
dokter ketika sedang mengobati pasiennya, menyaksikan seorang
musisi sedang memperagakan kemahirannya dalam memainkan alat
musik gitar, dan sebagainya. Begitu juga siswa dapat diajak untuk
mengamati fenomena-fenomena lain, terkait dengan topik yang
sedang dipelajari, misalnya fenomena alam, sosial, atau budaya.
Tindakan mengamati dapat dilakukan secara langsung
atau tidak langsung. Pengamatan langsung artinya siswa diajak
mengamati kegiatan atau situasi nyata secara langsung. Misalnya,
untuk mempelajari seluk beluk kehidupan di bank, siswa dapat diajak
langsung mengunjungi bank-bank yang ada di daerahnya. Sedangkan
pengamatan tidak langsung, siswa diajak melakukan pengamatan
terhadap situasi atau kegiatan melalui simulasi dari situasi nyata, studi
kasus atau diajak menonton film (video). Misalnya unruk mempelajari
seluk beluk kehidupan di bank, siswa dapat diajak menyaksikan video
tentang situasi kehidupan di sebuah bank.

4. Melakukan (Doing):
Kegiatan ini menunjuk pada proses pembelajaran di mana siswa
benar-benar melakukan sesuatu secara nyata. Misalnya, membuat
desain bendungan (bidang teknik), mendesain atau melakukan
eksperimen (bidang ilmu-ilmu alam dan sosial), menyelidiki sumber-
sumber sejarah lokal (sejarah), membuat presentasi lisan, membuat
cerpen dan puisi (bidang bahasa) dan sebagainya. Sama halnya dengan
mengamati (observing), kegiatan melakukan dapat dilaksanakan
secara langsung atau tidak langsung.

Proses Pembelajaran Aktif pada Living Values Education

448
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

Dalam mengimplementasikan living values education di sekolah,


program kegiatan sekolah dikembangkan sesuai dengan prinsip-
prinsip pemelajaran aktif, karena dengan proses pembelajaran aktif
tersebut kedua belas nilai yang menjadi konsen living values education
program dapat berkembang di lingkungan sekolah. Beberapa kegiatan
belajar tersebut antara lain :

1. Suasana Berbasis Nilai


Menciptakan suasana berbasis nilai dalam proses belajar-mengajar
amatlah penting untuk eksplorasi optimal dan pengembangan nilai-
nilai oleh anak-anak dan generasi muda. Sebuah lingkungan belajar
yang berlandaskan kepercayaan, kepedulian dan saling menghargai,
secara alami akan meningkatkan motivasi, kreativitas, dan
pengembangan afeksi serta kognitif. Teladan dari pendidik, aturan
yang jelas dan penguatan serta dorongan adalah beberapa faktor
positif yang dibutuhkan. (Tillman : 1998)

2. Stimulasi Nilai
Pelajaran tentang nilai secara mudah dapat diintegrasikan dalam
berbagai situasi belajar. Kerapkali diskusi tentang pelajaran yang
tengah dibahas di kelas mengarah pada diskusi tentang nilai. Pelajaran
tentang nilai dapat pula diselipkan ketika terjadi konflik antar siswa.
Situasi-situasi tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengeksplorasi
nilai-nilai lebih lanjut.
Meskipun demikian, kita harus berhati-hati bila melakukan
berbagai kegiatan tentang nilai yang hanya bertaraf pada kesadaran.
Maka, Pendidikan Menghidupkan Nilai sangat menyokong
penggunaan berbagai aktivitas yang tersedia dalam buku-buku
Aktivitas Pendidikan Nilai. Para peserta didik cenderung gemar
mengembangkan berbagai nilai jika mereka dapat mengeksplorasi
dan mengaplikasikannya dalam berbagai situasi serta merasakan
manfaat dari pengamalan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-
hari mereka.
Stimulasi nilai yang tercantum dalam skema adalah Refleksi
Internal, Eksplorasi Nilai-Nilai dalam Kehidupan Nyata dan
Penerimaan Informasi. Setiap aktivitas dalam Pendidikan
Menghidupkan Nilai dimulai dengan salah satu dari stimulasi nilai
tersebut. Dan setiap jenis stimulasi nilai biasanya digunakan hampir
dalam setiap unit aktivitas Pendidikan Menghidupkan Nilai. Berikut
adalah macam-macam aktivitas dari masing-masing kategori :
Refleksi Internal- aktivitas membayangkan dan merefleksikan,
dimana siswa diajak untuk menciptakan ide atau gagasan mereka

449
Professional Learning untuk Indonesia Emas

sendiri. Misalnya, peserta didik diminta untuk membayangkan


sebuah dunia yang penuh kedamaian. Melakukan visualisasi terhadap
nilai yang ingin digali, menjadikannya lebih sesuai bagi para peserta
didik karena peserta didik memiliki kesempatan untuk menciptakan
pengalaman mereka sendiri, memikirkan ide dan gagasan mereka
sendiri. Aktivitas refleksi mengajak mereka untuk berpikir dan
merenungkan berbagai pengalaman mereka yang berkaitan dengan
nilai-nilai.

Eksplorasi Nilai-Nilai dalam Kehidupan Nyata - Sebagian besar


kegiatan dalam Pendidikan Menghidupkan Nilai menggunakan
permainan, situasi nyata, berita atau persoalan tertentu dalam
kegiatan belajarnya. Misalnya, unit Kejujuran dimulai dengan cerita
sebagai stimulus atau pembuka. Aktivitas berikut adalah meminta
para peserta didik menyusun sebuah drama bertema kejujuran
dan korupsi dari bahan pelajaran sejarah masa lampau yang telah
dipelajari sebelumnya. Pada sesi ini, akibat dari perbuatan tidak jujur
secara umum dapat dieksplorasi lebih dahulu sebelum mengarah
lebih dalam ke area kejujuran masing-masing individu atau personal.
(Tillman: 1998)

3. Eksplorasi Ide dan Gagasan


Kegiatan diskusi kemudian dapat dilanjutkan dengan refleksi diri
atau pembentukan grup kecil untuk melakukan berbagai kegiatan
seni, penulisan kreatif atau drama. Diskusi juga dapat mengarah
pada kegiatan mind mapping tentang nilai dan anti nilai. Metode ini
amat bermanfaat untuk melihat lebih jauh dampak yang ditimbulkan
oleh nilai dan anti nilai pada diri sendiri, dalam hubungannya dengan
berbagai elemen berbeda dalam masyarakat. Jika nantinya para
generasi muda ini diharapkan mampu mengamalkan nilai-nilai bukan
hanya terhadap diri mereka sendiri melainkan juga kepada masyarakat,
maka penting juga bagi mereka untuk menggali lebih dalam isu-isu
yang berkenaan dengan keadilan sosial serta yang terutama memiliki
teladan/tokoh panutan dalam kehidupan nyata yang mengamalkan
nilai-nilai tersebut secara konsisten.

4. Ekspresi Kreatif
Seni adalah media yang pas bagi para peserta didik untuk
mengekspresikan ide, gagasan maupun perasaan mereka secara
kreatif- dan menggali nilai mereka sendiri. Kegiatan menggambar,
melukis, termasuk lukisan mural/dinding dapat dikombinasikan
dengan berbagai kegiatan seni pertunjukan. Tarian, gerakan dan musik

450
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

memberikan ruang berekspresi dan membangun rasa kebersamaan.


Kegiatan yang lainnya adalah menyusun dan menulis jurnal, menulis
cerita kreatif dan juga puisi.

5. Pengembangan Keterampilan
Tidak cukup hanya dengan memikirkan dan mendiskusikan
nilai serta memahami dampak yang ditimbulkannya, keterampilan
mengaplikasikan nilai amat dibutuhkan dalam pengimplementasiannya
sehari-hari. Para generasi muda saat ini butuh untuk mengalami
sendiri perasaan positif terhadap nilai dan tidak hanya berpusat pada
tataran kognitif saja, memahami berbagai dampak dari perilaku dan
berbagai pilihan yang mereka ambil, serta memiliki ketrampilan dalam
pengambilan keputusan yang berbasis kesadaran sosial. (Tillman:
2000)

6. Ketrampilan Personal, Sosial, dan Emosional


Ada berbagai keterampilan interpersonal yang dilatihkan dalam
kegiatan Menghidupkan NIlai. Latihan relaksasi/pemusatan perhatian
membantu peserta didik lebih menyelami proses merasakan nilai-nilai
tersebut. Kemampuan untuk mengontrol emosi dan mengurangi stress
adalah ketrampilan penting yang dibutuhkan dalam beradaptasi dan
berkomunikasi. Aktivitas lainnya antara lain membangun pemahaman
tentang berbagai kualitas positif individu; mengembangkan
kepercayaan bahwa Saya dapat melakukan perbedaan; belajar lebih
lanjut tentang hak-hak individu sekaligus menghormati persepsi atau
cara pandang mereka; meningkatkan penguatan positif terhadap diri,
berfokus pada tujuan serta bertanggung jawab terhadap pilihan dan
tindakan yang telah diambil. (Goleman: 1995, Tillman: 2000)

7 Keterampilan Komunikasi Interpersonal


Kecerdasan emosional diasah oleh berbagai kegiatan atau aktivitas
yang ditawarkan di atas dan berbagai kegiatan lanjutan yang mengarah
pada pemahaman terhadap peran berbagai emosi, seperti rasa takut,
rasa marah; dan konsekuensinya terhadap hubungan individu dengen
orang lain. Latihan menyelesaikan suatu konflik dalam resolusi konflik,
latihan berkomunikasi positif, berbagai permainan yang menekankan
kerja sama dan bahu membahu menyelesaikan suatu tugas, adalah
kegiatan dalam Pendidikan Menghidupkan NIlai yang mengasah
keterampilan komunikasi interpersonal. (Tillman: 2000)

451
Professional Learning untuk Indonesia Emas

8. Transfer of Learning--Mengintegrasikan Nilai-Nilai dalam


Kehidupan Nyata
Aktivitas Menghidupkan Nilai yang diberikan sebagai penugasan/
pekerjaan rumah, secara tidak langsung menambah kesempatan para
peserta didik untuk membawa nilai-nilai tersebut ke lingkungan
keluarga mereka masing-masing. Para peserta didik diminta untuk
membuat sebuah tugas tertentu yang merupakan contoh nyata
perbedaan nilai yang terdapat di kelas, sekolah dan/atau masyarakat.
Tujuan mengintegrasikan nilai dalam kehidupan nyata akan tercapai
bila para peserta didik dapat menjadikan perilaku berbasis nilai
sebagai bagian dari dirinya untuk diaplikasikan dalam kehidupan
mereka sendiri, keluarga, lingkungan dan masyarakat. (Tillman: 2002)

9. Reflection (hening/duduk dengan tenang dan nyaman)


Sebagian besar materi-materi yang terlampir dimulai dengan
reflection atau hening. Pada saat hening ini peserta didik diharapkan
dan diarahkan untuk duduk diam dan hening selama satu sampai
empat menit, biasanya disertai dengan musik yang lembut dan pelan
serta kata-kata pengantar dari para guru. Cara ini terbukti sangat
efektif untuk membantu para peserta didik dalam banyak hal, pertama
membantu para peserta didik mengatur napas serta detak jantung
sehingga mereka akan menjadi lebih, tenang, nyaman dan rileks,
yang kedua membantu mereka menenangkan pikiran, memusatkan
perhatian dan meningkatkan konsentrasi. Metode ini juga membantu
para peserta didik meningkatkan kesadaran serta intuisi mereka, dan
para peserta didik akan lebih mampu mengenali dan memahami
perasaan mereka sendiri. (Untuk informasi lebih lanjut, silahkan
lihat di AIS Document Being a school of Excellence-The role of reflection
diterbitkan Januari 2001)

10. Story Telling (Bercerita)


Penggunaan cerita sebagai perangsang atau stimulus dalam
proses belajar tentunya mempunyai banyak manfaat. Cerita dapat
mengandung nilai-nilai yang dengan mudah dapat dipahami oleh
orang-orang dengan tingkat pemahaman berbeda-beda. Cerita dapat
menggugah perasaan, menarik perhatian dan terkadang menginspirasi
para pendengarnya. Penyimak juga mampu menemukan persamaan
antara cerita dan pengalaman mereka sehingga nantinya bisa
bermanfaat bagi mereka apabila menemukan situasi yang sulit.
(Tillman: 2002)

452
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

11. Kegembiraan
Kegembiraan dan kenyamanan murupakan hal yang terpenting
dalam pembelajaran nilai. Apabila para peserta didik merasa nyaman
dan gembira maka mereka akan selalu menanti-nanti pelajaran
ini. Mereka paham apa yang diharapkan dan berpartisipasi secara
antusias di setiap elemen pelajaran. Ketika anda sudah terbiasa
menggunakan materi pembelajarn ini maka dengan mudah anda akan
menemukan dan mengganti stimulus yang anda pergunakan serta
mengembangkan aktifitas atau kegiatan pembelajaran anda sendiri,
kemudian pengajaran nilai dengan kurikulum menjadi sesuatu yang
otomatis. Jadikanlah kegembiraan sebagai elemen utama pembelajaran
dan anda akan lihat efek positifnya di berbagai aspek pada lingkungan
sekolah.

Penutup
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan
program living values education di beberapa sekolah menekankan
prinsip-prinsip pembelajaran aktif seperti melibatkan peserta didik,
memperhatikan perbedaan kemampuan peserta didik, sharing
ide kepada peserta didik yang lain, dan lain-lain. Untuk itu dalam
mengimplementasikan pendidikan karakter di Indonesia, perlu
memperhatikan beberapa hal, yaitu: Pertama, pendidikan karakter/
nilai dapat berjalan dengan baik jika diawali dengan perubahan
paradigma tentang proses pembelajaran dan makna karakter. Setiap
praktisi dan pemerhati harus mempunyai persepsi yang sama
tentang karakter, bahwa yang diperlukan dalam pendidikan bukan
menghafal tentang karakter tapi harus menghidupkan karakter
dalam proses pembelajaran di dalam kelas maupun di luar kelas.
Kedua, perubahan paradigma tersebut perlu segera dibarengi dengan
perubahan kebijakan yang memungkinkan paradigma tersebut dapat
diiplementasikan di lapangan oleh para pemangku kebijakan. Hal
ini harus dilakukan secara sistemik mulai dari level paling tinggi
(Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan Nasional) sampai
tingkatan paling rendah di Sekolah dan Madrasah. Ketiga, perlu
ada peninjauan kembali kurikulum yang berbasiskan nilai untuk
membangun karakter peserta didik. Hal ini lebih efektif dilakukan di
tingkat LPTK sebagai lembaga pencetak calon guru yang pada saatnya
sebagai orang yang mendidik di sekolah/madrasah. Keempat, setiap
pendidik perlu mempunyai wawasan yang sama tentang karakter dan
mengetahui bagaimana cara menghidupkan nilai. Kelima, perlu ada
evaluasi dan monitoring selama proses menggali dan menghidupkan
nilai sehingga ada peningkatan kualitas secara berkelanjutan.

453
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Daftar Pustaka

Dee Fink, L. Active Learning, reprinted with permission of the Oklahoma


Instructional Development Program. 1999
Drake, Christopher, Living Values: An Educational Programme. Paper
presented in Annual Conference of The Hongkong Education
Research Association. 1999
Goleman, D. Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ.
New York: bantam Books. 1995
Hankes. Neil. How to Inspire and Develop Positive Values in Your
Classroom. Published by LDA. ISBN. 1-85503-371-2. 2003
Hellmut R.L dan David N. E. Models, Strategies, and Methods for effective
Teaching. Bostom: Pearson Education, Inc. 2006
Herbert J. Klausmeier. Learning and Teaching Concepts. New York:
Academic Press, Inc. 1980
James M.Cooper (Ed) Classroom Teaching Skills. Toronto: D.C. Health
and Company. 1990
Pollio, H.R., What Students Think About and Do in College Lecture
Classes dalam Teaching-Learning Issues No. 53, K. 2002
Silberman , M L, Active Learning: 101 Strategies to Teach Any Subject,
Boston, Allyn and Bacon. 1996
Soediono, dkk. Paket Pelatihan Awal Menciptakan Masyarakat Peduli
Pendidikan Anak Program Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta:
Depdiknas, Unesco, Unicer dan Nzaid. 2000
Tillam, D.G. Living Values : An Educational Initiative. USA: Officer for
Center Seal Beach. LA.90740. 1998
Tillam, D.G. Living Values for Children Ages 8-14. Deerfield, FL: Health
Communication. Inc. 2000

454
PENDIDIKAN KARAKTER MENYONGSONG
INDONESIA EMAS 2045
Azkia Muharom Albantani, Ach Wildan Al Faizi
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Universitas Islam Negeri Maulana (UIN) Malik Ibrahim Malang
Email: azki@uinjkt.ac.id

Abstract : This paper is aimed to share idea how ideal the


continuity of character education implementation is to face the
Indonesia Golden 2045. Hopefully, this paper can give an early
description of how importance the educational preparations are
to face the Indonesia golden 2045. To achieve that target, the
writer conduct literature study (books, journals, and documents)
related to the problem of this paper. As a result, there some
important points related to the theme, those are: (1). The ideal
way to build Indonesian generation character; (2). The role
of character education in developing nation; (3). Character
education has important role in facing the Indonesia Golden
2045; and (4). Character education also has function to humanize
human being.

Keywords: character education; Indonesia golden; national


generation

Pendahuluan
Pendidikan merupakan sarana proses yang terjadi secara terus-
menerus dengan bertujuan untuk mengubah jati diri seseorang (anak
didik) untuk lebih maju dan berkembang dalam ilmu pengetahuan.
Dengan perkembangan zaman, dunia pendidikan terus berubah
secara signifikan sehingga banyak merubah pola fikir banyak orang,
dari pola pikir yang masih sederhana menjadi lebih modern. Dan hal
ini sangat berpengaruh pada kemajuan pendidikan di Indonesia.
Pendidikan yang berkualitas diawali dengan pembelajaran yang
berkualitas. Pembelajaran yang berkualitas merupakan pembelajaran
yang bukan hanya mengembangkan aspek kognitif saja, melainkan
harus mengembangkan aspek afektif dan psikomotorik. Pendidikan di
negeri ini tidak hanya mencerdaskan peserta didik dalam kemampuan
bidang intelektual, tetapi diharapkan juga diharapkan memiliki

455
Professional Learning untuk Indonesia Emas

intelegensi Emosional dan intelegensi spiritual.


UU No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada
pasal 3 (tiga) menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa.
Tujuan dari pendidikan nasional tidak saja hanya mencetak
sumber daya manusia yang cerdas akan tetapi juga mampu mencetak
kepribadian yang berkarakter, berakhlak, kreatif, memiliki misi
visi dan bertanggung jawab serta sebagai warga negara yang baik.
Kesuksesan seseorang tidak pernah lepas dari potensi yang dimiliki
oleh orang tersebut, potensi dalam arti tidak saja berbicara tentang skil
akan tetapi meliputi kemampuan seseorang mengimplementasikan
potensi yang dimiliki untuk orang banyak, kemampuan mengelola
diri dan orang lain.
Pada tahun 2045 akan menjadi momentum paling penting dalam
sejarah bangsa Indonesia. Karena di tahun itu, bangsa ini memasuki
usia 100 tahun kemerdekaan. Dan di tahun itu pula lah Indonesia akan
diisi oleh para generasi-generasi emas.
Dalam membangun generasi emas 2045, diperlukan usaha dan
kinerja yang sinergis antara semua pihak. Mengurus pendidikan
merupakan pekerjaan besar yang tidak dapat dikerjakan hanya oleh
suatu instansi pemerintah. Oleh karena itu, untuk melahirkan generasi
emas tentunya harus didukung oleh seluruh stakeholder. Baik itu
peran penyelenggara pendidikan formal maupun peran orang tua dan
lingkungan. Pendidikan pertama dibentuk di keluarga oleh orang tua.
Guru merupakan orang tua kedua anak dalam pendidikan.

Cara Membentuk Karakter Generasi Indonesia


Pada prinsipnya, Pendidikan karakter, pendidikan moral, atau
pendidikan budi pekerti dapat dikatakan sebagai upaya untuk
mempromosikan dan menginternalisasikan nilai-nilai utama, atau
nilai-nilai positif kepada warga masyarakat agar menjadi warga
bangsa yang percaya diri, tahan uji dan bermoral tinggi, demokratis
dan bertanggung jawab serta survive dalam kehidupan bermasyarakat.
(Sardiman AM: 2010)
Oleh karena itu, Menurut Doni Koesoema Albertus dalam
bukunya yang berjudul Strategi Mendidik Anak di Zaman Global
ia mengatakan bahwa pendidikan karakter bertujuan membentuk
setiap pribadi menjadi insan yang berkeutamaan. Dalam pendidikan
karakter, yang terutama dinilai adalah perilaku, bukan pemahaman.
Doni juga membedakan pendidikan karakter dengan pendidikan

456
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

agama. Menurutnya, pendidikan agama menjadi motivator utama


dalam keberhasilan pendidikan berkarakter.
Ada tulisan menarik dari Golman D (2001) yang perlu kita
cermati bersama khususnya bagi orang tua dalam mengawali proses
pendidikan anak. Menurutnya, pengalaman masa lalu merupakan
pelajaran bagi kehidupan anak. Jika anak hidup dengan kecaman, ia
akan belajar untuk menyalahkan. Jika anak hidup dengan permusuhan,
ia akan belajar untuk berkelahi. Jika anak hidup dengan ejekan, ia
akan belajar untuk merasa malu. Jika anak hidup dengan toleransi, ia
akan belajar bersabar. Jika anak hidup dalam dorongan dan semangat,
ia akan belajar untuk percaya diri. Jika anak hidup dengan pujian, ia
akan belajar untuk menghargai. Jika anak hidup dengan kejujuran, ia
akan belajar keadilan. Jika anak hidup dengan restu dan persetujuan,
ia akan belajar untuk menyukai diri mereka sendiri. Dan jika anak
hidup dengan persahabatan, maka ia belajar untuk menemukan cinta
di dunia ini.
Bung karno mengatakan Karakter merupakan pendukung utama
dalam pembangunan bangsa. Bangsa ini harus dibangun dengan
mendahulukan pembangunan karakter (character building). Karena
character building ini lah yang akan membuat Indonesia menjadi
bangsa yang besar, maju, dan jaya serta bermartabat. Kalau character
building tidak dilakukan, maka bangsa Indonesia akan menjadi
bangsa kuli (Soedarsono, 2009: 46).
Krisis moral yang menimpa bangsa ini benar-benar
mengkhawatirkan. Maraknya kekacauan, kebrutalan, kekejaman fisik,
dan korupsi di semua lapisan tengah melanda negeri ini. karakter
bangsa ini yang beradab seakan hilang bersemayam dalam perut
bumi Indonesia. Kita bisa melihat kebiadaban menjadi tontonan yang
begitu mudah diwariskan ke generasi penerus. Dunia pendidikan
juga iku carut marut di negeri ini. Peran sentral pendidikan menjadi
dipertanyakan, kemanakah pendidikan yang telah tertanam selama
ini?
Maka untuk menerapkan pendidikan berkarakter harus dimulai
dari pendidikan usia dini. Karena cara mendidik waktu usia dini
menjadi modal penting bagi kelanjutan hidup seseorang di masa yang
akan datang. Hal ini perlu dilakukan melalui pendidikan anak usia
dini dan sekolah dasar yang berkualitas.
Dalam kondisi seperti ini karakter seringkali hanya sebatas
wacana, dan dalam perkembangan selanjutnya cenderung terjadi
krisis yang semakin lama semakin mengkhawatirkan (Paul Brunton
dan Suchumacher dalam Sukidi, 2005: 5). Oleh karena itu untuk
menumbuhkan pendidikan berkarakter itu ada beberapa program

457
Professional Learning untuk Indonesia Emas

yang bisa membantu kita untuk membentuk karakter anak didik.


(Hentia Liyuwanadefi: 2013)

Lingkungan Sekolah
Lingkungan sekolah merupakan pendidikan kedua setelah
keluarga. Guru menjadi media pendidik dan sumber informasi bagi
anak didik dalam memberikan ilmu pengetahuan sesuai dengan
keahlian yang dimiliki. Guru berperan memberikan bantuan, motivasi,
dan tugas kepada anak untuk melatih kedisiplinan agar anak memiliki
tanggung jawab dalam menyelesaikan tugasnya. Di lingkungan
sekolah lebih menekankan pengajaran tentang kedisiplinan, tanggung
jawab, dan ketaatan terhadap aturan-aturan yang berlaku serta norma-
norma yang berlaku di lingkungan masyarakat sehingga anak dapat
menempatkan diri dimanapun dia berada dan bagaimana bersikap
yang baik, sopan, dan santun kepada siapapun terlebih kepada orang
yang lebih tua.

Training Guru
Terkait dengan program pendidikan karakter di sekolah, harus
dicarikan solusi tentang bagaimana menjalankan dan melaksanakan
pendidikan karakter di sekolah, serta bagaimana cara menyusun
program dan melaksanakannya, dari gagasan ke tindakan.
Program ini membekali dan memberikan wawasan pada guru
tentang psikologi anak, cara mendidik anak dengan memahami
mekanisme pikiran anak dan 3 faktor kunci untuk menciptakan anak
sukses, serta kiat praktis dalam memahami dan mengatasi anak yang
bermasalah dengan perilakunya.

Program Bimbingan Mental


Program ini terbagi menjadi dua sesi program :
Sesi Workshop Therapy, yang dirancang khusus untuk siswa
usia 12 -18 tahun. Workshop ini bertujuan mengubah serta
membimbing mental anak usia remaja. Workshop ini bekerja
sebagai mesin perubahan instant maksudnya setelah mengikuti
program ini anak didik akan berubah seketika menjadi anak
yang lebih positif.
Sesi Seminar Khusus Orangtua Siswa, membantu orangtua
mengenali anaknya dan memperlakukan anak dengan lebih
baik, agar anak lebih sukses dalam kehidupannya. Dalam
seminar ini, orangtua akan mempelajari pengetahuan dasar yang
sangat bagus untuk mempelajari berbagai teori psikologi anak
dan keluarga. Memahami konsep menangani anak di rumah

458
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

dan di sekolah, serta lebih mudah mengerti dan memahami jalan


pikiran anak, pasangan, dan orang lain.

Lingkungan Keluarga
Pendidikan anak yang paling sentral adalah pendidikan dalam
keluarga. Pendidikan keluarga memiliki pengaruh yang sangat besar
terhadap pembentukan karakter anak dan menjadi kunci utama dalam
membentuk pribadi anak menjadi baik. Seorang anak yang dididik
oleh orang tuanya dengan penuh kasih sayang akan merasa dihargai
dan dibutuhkan, ia pun akan menyayangi keluarganya sehingga akan
tercipta kondisi yang saling menghargai dan saling membantu. Kondisi
tersebut sangat mendukung perkembangan anak, karena orangtualah
yang berperan utama dalam pertumbuhan dan perkembangan anak.
Di dalam keluarga yang penuh rasa kasih sayang, menjadikan harga
diri anak dapat berkembang karena ia merasa dihargai, dicintai, dan
diterima sebagai manusia. Dengan kita dihargai dan dihormati, maka
kita juga dapat menghargai orang lain. Keluarga yang menerapkan
pendidikan keluarga dapat menghasilkan anak yang memiliki
kepribadian baik. Oleh karena itu, pendidikan dalam keluarga harus
menjadi dasar yang kuat dalam membangun kepribadian seorang
anak.

Membangun Karakter Anak Sejak Usia Dini.


Karakter akan terbentuk sebagai hasil pemahaman 3 hubungan
yang pasti dialami setiap manusia (triangle relationship), yaitu
hubungan dengan diri sendiri (intrapersonal), dengan lingkungan
(hubungan sosial dan alam sekitar), dan hubungan dengan Tuhan
YME (spiritual). Setiap hasil hubungan tersebut akan memberikan
pemaknaan/pemahaman yang pada akhirnya menjadi nilai dan
keyakinan anak.
Cara anak memahami bentuk hubungan tersebut akan
menentukan cara anak memperlakukan dunianya. Pemahaman
negatif akan berimbas pada perlakuan yang negatif dan pemahaman
yang positif akan memperlakukan dunianya dengan positif. Untuk
itu, Tumbuhkan pemahaman positif pada diri anak sejak usia dini,
salah satunya dengan cara memberikan kepercayaan pada anak
untuk mengambil keputusan untuk dirinya sendiri, membantu anak
mengarahkan potensinya dengan begitu mereka lebih mampu untuk
bereksplorasi dengan sendirinya, tidak menekannya baik secara
langsung atau secara halus, dan seterusnya.
Biasakan anak bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungan
sekitar. Ingat pilihan terhadap lingkungan sangat menentukan

459
Professional Learning untuk Indonesia Emas

pembentukan karakter anak. Seperti kata pepatah bergaul dengan


penjual minyak wangi akan ikut wangi, bergaul dengan penjual
ikan akan ikut amis. Seperti itulah, lingkungan baik dan sehat akan
menumbuhkan karakter sehat dan baik, begitu pula sebaliknya. Dan
yang tidak bisa diabaikan adalah membangun hubungan spiritual
dengan Tuhan Yang Maha Esa. Hubungan spiritual dengan Tuhan
YME terbangun melalui pelaksanaan dan penghayatan ibadah ritual
yang terimplementasi pada kehidupan sosial.

Lingkungan Masyarakat
Lingkungan masyarakat juga memiliki peran penting bagi
perkembangan anak didik, karena lingkungan masyarakat dapat
memberikan gambaran bagaimana hidup bermasyarakat. Anak didik
berinteraksi secara langsung dengan masyarakat, sehingga masyarakat
dapat menilai anak tersebut apakah dia terdidik atau tidak terdidik.
Dengan pendidikan, dalam diri anak tertanam pengetahuan
yang membuat dia bisa menemukan hal-hal baru yang belum pernah
ada sebelumnya sehingga dapat memajukan diri sendiri dan dapat
dimanfaatkan dengan bijaksana. Selain itu, pendidikan juga dapat
menanamkan hal-hal positif sejak dini terhadap anak didik. Melihat
kondisi saat ini, anak didik sebagai generasi muda penerus bangsa
diharapkan dapat mengembangkan ilmu pengetahuan agar tidak
ketinggalan dengan bangsa-bangsa lain serta agar tidak mudah
diperbudak dan dimanfaatkan oleh pihak lain.
Akan tetapi, hanya berpendidikan saja tidak cukup untuk
membangun sebuah pribadi yang berkualitas. Manusia yang
berpendidikan tinggi dengan IQ jenius saja tidak menjamin kemajuan
bangsanya jika tidak memiliki karakter yang baik, bahkan mungkin
saja malah digunakan untuk menghancurkan bangsanya demi
keuntungan pribadi. Tanpa membangun pendidikan karakter,
seseorang akan tumbuh menjadi seseorang yang mungkin saja pandai,
tetapi miskin spiritual dan emosional. Proses pendidikan tanpa disertai
pembangunan karakter, hanya sekedar menjadi sarana pelatihan dan
asah otak, sedangkan tingkah laku dan moral terabaikan. Pendidikan
pada dasarnya bertujuan membantu manusia menjadi cerdas dan
pandai serta menjadi manusia yang baik dan bijak. Untuk menjadikan
manusia cerdas dan pintar bukanlah hal yang sulit dilakukan, tetapi
untuk menjadikan seseorang agar menjadi orang baik dan bijak itu
bukan hal yang mudah dilakukan, bahkan dapat dikatakan sangat
sulit. (Yunita Widyastuti:2013)

460
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

Peran pendidikan karakter untuk kemajuan bangsa


Dunia pendidikan adalah sebagai instrumen penting sekaligus
sebagai penentu maju mundurnya sebuah bangsa. dan lembaga
pendidikan adalah sebagai motor penggerak untuk memfasilitasi
perkembangan pendidikan karakter. Keduanya merupakan satu
kesatuan yang seharusnya berjalan seiring dan berimbang. kesuksesan
seseorang 80% ditentukan dari karakteristik seseorang apakah mampu
mengelola potensi yang dimiliki serta mampu mengelola potensi
orang lain.
Peranan pendidikan sangat besar pengaruhnya dalam menggapai
kemajuan sebuah bangsa dan negara di dunia ini. Dalam usaha
mencapai tahap negara maju, pembentukan negara sangat bergantung
dengan taraf pendidikan di suatu bangsa tersebut. Nilai pendidikan
sebuah bangsa akan lenyap begitu saja jika bangsa tersebut lalai dan
mudah terbawa arus globalisasi. Maksud lalai disini adalah apabila
sebuah bangsa menganggap rendah pengaruh pendidikan bagi sebuah
kemajuan bangsa tersebut. Jika sebuah bangsa menganggap lalai, maka
bangsa tersebut akan sangat mudah terbawa arus globalisasi di dunia
ini dan akan mempengaruhi kebudayaan luar masuk ke bangsanya
sendiri.
Oleh karena itu, sebuah kebudayaan, bahasa, kewarganegaraan,
dan sebagainya yang berhubungan untuk memajukan sebuah bangsa
sangatlah bergantung pada pendidikan yang telah berkembang di
wilayah tersebut. Apabila pendidikan yang telah berkembang sudah
baik, maka semuanya akan berjalan lancar dan negara itu akan lebih
mudah untuk mempertahankan kebudayaannya dari faktor globalisasi
yang telah terjadi sekarang ini.
Nani Widiarti dalam sebuah makalah mengatakan bahwa
Pendidikan merupakan bidang yang melibatkan dan memerlukan
komitmen semua pihak, dari kalangan bawah hingga kalangan atas.
Jika kesadaran akan pentingnya bidang pendidikan dalam kemajuan
bangsa telah baik dan menunjukan persentase yang terus berkembang,
maka hal tersebut menunjukan bahwa negara itu telah berkembang,
telah mengalami kemajuan dalam bidang pendidikan, dan akan lebih
dekat lagi dengan tingkatan taraf hidup yang telah menjadi tujuan
negara ataupun bangsa tersebut. (Nani Widiarti: 2013)
Pendidikan formal, informal dan nonformal, ketiganya adalah satu
paket kunci sukses yang mampu membentuk karakter anak bangsa
yang tangguh dan tetap berkepribadian dengan ciri khas bangsanya
sendiri. Pendidikan memegang peran yang sangat penting dalam
mengajarkan pengalaman-pengalaman hidup yang berharga bagi
masa depan anak didik di kemudian hari dan menjadi motivasi agar

461
Professional Learning untuk Indonesia Emas

pendidikan di negara tersebut dapat lebih layak dan dapat dinikmati


bersama hasilnya, apabila pendidikan telah maju di kemudian hari.
Pendidikan bertujuan mencetak generasi ke generasi agar lebih
berprestasi dalam bidang ilmu pengetahuan tertentu dengan tambahan
nilai-nilai moral dan tingkah laku yang telah menjadi sebuah harapan
bangsa tersebut.
Untuk itu, perlu strategi yang kuat untuk membangun sebuah
pendidikan yang berkualitas. Seperti dibentuknya sebuah badan yang
bertugas menyusun strategi dan mengawasi pelaksanaan program
pendidikan yang diterapkan. Kemudian menekan biaya pendidikan
agar seluruh warga dapat merasakan pendidikan serta memiliki
sistem pendidikan yang matang dan seimbang dengan negara-negara
lain yang menjadi perbandingan agar negaranya dapat lebih maju dari
negara lain tersebut.
Menjadi bangsa yang maju dan berkembang adalah impian setiap
negara di dunia. Maju dan tidaknya suatu bangsa sangat dipengaruhi
oleh faktor pendidikan. Dengan pendidikan yang matang, suatu
bangsa akan memiliki sumber daya manusia yang berkualitas dan tidak
mudah diperbudak oleh pihak lain. Pendidikan merupakan kebutuhan
utama bagi bangsa yang ingin maju dan berkembang. Peningkatan
mutu pendidikan sangat berpengaruh terhadap perkembangan suatu
bangsa. (Yunita Widyastuti: 2010)
Kemajuan suatu bangsa tidak akan tercapai hanya dengan
tersedianya sumber daya alam yang melimpah dan orang-orang
cerdas tanpa didukung dengan kepribadian yang positif. Di sinilah
peran pendidikan karakter menjadi sangat penting untuk menciptakan
manusia yang cerdas, kreatif dan berkepribadian yang luhur agar
mampu mengelola sumber kekayaan alam sesuai dengan semestinya,
yaitu untuk membangun sebuah bangsa yang tidak hanya maju secara
ekonomi atau tangguh dalam militer akan tetapi tidak mencerminkan
bangsa yang bermartabat, melainkan menjadi bangsa yang besar,
mandiri dalam segala aspek, dan bangsa yang berbudaya luhur dan
bermartabat.
Karena itu pendidikan karakter harus digali dari landasan idiil
Pancasila, dan landasan konstitusional UUD 1945. Sejarah Indonesia
memperlihatkan bahwa pada tahun 1928, ikrar Sumpah Pemuda
menegaskan tekad untuk membangun nasional Indonesia. Mereka
bersumpah untuk berbangsa, bertanah air, dan berbahasa satu, yaitu
Indonesia. Dan ketika merdeka, Indonesia dipilih sebagai bentuk
negara kesatuan. Kedua peristiwa sejarah ini menunjukan suatu
kebutuhan yang secara sosio-politis merefleksi keberadaan watak
pluralisme tersebut. Kenyataan sejarah dan sosial budaya tersebut

462
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

lebih diperkuat lagi melalui arti simbol Bhineka Tunggal Ika pada
lambang negara Indonesia. (Shentia Liyuwanadefi: 2013)

Pendidikan karakter Memanusiakan Manusia


Pada hakikatnya pendidikan merupakan suatu proses
memanusiakan manusia. Suatu tindakan proses belajar dari yang tidak
tahu menjadi tahu. Pendidikan sejatinya dapat mencetak generasi
unggulan di masa depan. Kalau sistem pendidikan kita bisa konsisten
menerapkan pendidikan yang naturalistik, dan spiritualistik, yang
holistik dan tidak sepotong-sepotong pasti akan menghasilkan
manusia Indonesia yang berkarakter.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Prof. Muzakki bahwa
pendidikan adalah proses memanusiakan manusia untuk meraih
derajat manusia seutuhnya yang sangatlah tidak mungkin tanpa
melalui proses pendidikan. Pendidikan harus dapat menghasilkan
insan-insan yang memiliki karakter mulia, di samping memiliki
kemampuan akademik dan keterampilan yang memadai. Salah satu
cara untuk mewujudkan manusia yang berkarakter adalah dengan
mengintegrasikan pendidikan karakter dalam setiap pembelajaran.
Nilai-nilai karakter utama yang harus terwujud dalam sikap dan
perilaku peserta didik sebagai hasil dari proses pendidikan karakter
adalah jujur (olah hati), cerdas (olah pikir), tangguh (olah raga), dan
peduli (olah rasa dan karsa).
Pengintegrasian pendidikan karakter dalam pembelajaran dapat
dilakukan dengan pemuatan nilai-nilai karakter dalam semua mata
pelajaran yang diajarkan di sekolah dan dalam pelaksanaan kegiatan
pembelajaran. Untuk itu guru harus mempersiapkan pendidikan
karakter mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasinya.
Pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah perlu didukung oleh
keteladanan guru dan orang tua murid serta budaya yang berkarakter.
(Marzuki: 2015)
Sebuah pernyataan yang lazim dan sering kita dengarkan bahwa
tujuan sejati pendidikan adalah memanusiakan manusia. Ungkapan
ini seakan terus diperbincangkan dan disetujui untuk dilaksanakan
dalam praktek kehidupan sebagai penggiat dan pelaksana pendidikan.
Satu hal yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana caranya agar
pendidikan dapat memanusiakan manusia?
Pada hakikatnya seorang pendidik adalah seorang fasilitator,
baik dalam aspek kognitif, afektif, psikomotorik, maupun konatif.
Seorang pendidik hendaknya mampu membangun suasana belajar
yang kondusif untuk belajar-mandiri (self-directed learning). Ia juga
hendaknya mampu menjadikan proses pembelajaran sebagai kegiatan

463
Professional Learning untuk Indonesia Emas

eksplorasi diri. Galileo menegaskan bahwa sebenarnya kita tidak


dapat mengajarkan apapun, kita hanya dapat membantu peserta
didik untuk menemukan dirinya dan mengaktualisasikan dirinya.
Setiap pribadi manusia memiliki self-hidden potential excellece
(mutiara talenta yang tersembunyi di dalam diri), tugas pendidikan
yang sejati adalah membantu peserta didik untuk menemukan dan
mengembangkannya seoptimal mungkin. Atau dalam ungkapan lain
Emily Calhoun pada Bruce Joyce, ratusan kali berkata: Mengajar
yang sesungguhnya adalah mengajarkan siswa bagaimana belajar
atau sekolah merupakan tempat untuk belajar bagaimana caranya
belajar. (Ansello Mones: 2015)

Indonesia menghadapi Generasi Emas 2045


Generasi emas adalah generasi yang memiliki usia produktif yang
dituntut membawa Indonesia pada perbaikan yang lebih baik. Untuk
mencapai itu semua diperlukan itikad yang baik dari seluruh elemen
bangsa ini agar generasi-generasi muda Indonesia bisa tumbuh dan
berkembang secara baik.
Generasi emas merupakan anak didik yang diharapkan bakal
menjadi penerus kemajuan bangsa ini. Sementara menyemai artinya
upaya mendidik anak didik agar menjadi generasi mumpuni. Untuk
mendorong bangkitnya generasi emas, Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Muhammad Nuh menyatakan, pada periode tahun 2010
sampai tahun 2035, pemerintah melakukan investasi besar-besaran
dalam bidang pengembangan sumber daya manusia (SDM) sebagai
upaya menyiapkan generasi 2045, yaitu 100 tahun Indonesia merdeka.
Generasi emas 2045 merupakan upaya yang dilakukan untuk
mewujudkan impian bangsa Indonesia, yaitu akan bangkitnya generasi
emas yang mampu memberikan kebaikan dan kebesaran bangsa
Indonesia serta melahirkan peserta didik yang berkualitas sesuai
dengan tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam Undang-
undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Pasal 3 yang
berbunyi Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, beriman, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Setiap tanggal 2 Mei bangsa Indonesia memperingati hari
pendidikan nasional (Hardiknas). Tema yang diangkat pada peringatan
Hardiknas tahun ini adalah Pendidikan dan kebudayaan sebagai gerakan
pencerdasan dan pertumbuhan generasi berkarakter Pancasila. Peringatan
Hari Pendidikan Nasional ini dinyatakan sebagai ungkapan syukur
dari bangsa Indonesia.

464
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Anies Baswedan dalam


sambutannya mengatakan bahwa Indonesia adalah wajah cerah
khatulistiwa. Namun kita semua harus sadar bahwa aset terbesar
Indonesia bukan tambang, bukan gas, bukan minyak, bukan hutan,
ataupun segala macam hasil bumi, akan tetapi asset terbesar bangsa
ini adalah manusia Indonesia. Tanggung jawab kita sekarang adalah
mengembangkan kualitas manusia Indonesia.
Manusia yang terdidik dan tercerahkan adalah kunci kemajuan
bangsa. Jangan sesekali kita mengikuti jalan berpikir kaum kolonial
di masa lalu. Saat itu, kaum kolonial fokus pada kekayaan alam saja
dan tanpa peduli pada kualitas manusianya. Kaum kolonial memang
datang untuk mengeruk dan menyedot isi bumi Nusantara, serta
menguras hasil bumi Nusantara. Oleh karena itu, mereka peduli dan
tahu persis data kekayaan alam kita, tetapi mereka tak pernah peduli
dengan kualitas manusia di Nusantara.
Kita semua telah memahami bahwa kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi menyebabkan mobilitas fisik dan nonfisik (termasuk
kebudayaan dan peradaban) semakin tinggi. Mobilitas yang tinggi
tersebut memunculkan dominasi peradaban tertentu, benturan antar
peradaban atau terbentuknya konvergensi peradaban. Dalam kaitan
dengan inilah, peran dunia pendidikan menjadi penting dalam
membangun peradaban bangsa yang didasarkan atas jati diri dan
karakter bangsa. Tema Hari Pendidikan Nasional Tahun 2012 ini adalah
Bangkitnya Generasi Emas Indonesia. Tema ini sejalan dengan hakikat
pendidikan yang telah ditekankan oleh Bapak Pendidikan Nasional
kita, yaitu Ki Hajar Dewantoro, yang pada hari ini kita peringati hari
kelahirannya sebagai Hari Pendidikan Nasional (Duski Samad: 2012).
Untuk mendorong bangkitnya generasi emas, mantan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan RI, Muhammad Nuh menyatakan pada
periode tahun 2010 sampai tahun 2035, pemerintah melakukan investasi besar-
besaran dalam bidang pengembangan sumber daya manusia (SDM) sebagai
upaya menyiapkan generasi 2045, yaitu 100 tahun Indonesia merdeka.
Langkah nyata yang harus dilakukan adalah membuka akses
seluas-luasnya kepada seluruh anak bangsa untuk memasuki dunia
pendidikan; mulai dari pendidikan anak usia dini (PAUD) sampai ke
perguruan tinggi.

465
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Daftar Pustaka

Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia


(KBBI). Jakarta: Balai Pustaka, Edisi Keempat.
Goleman, Daniel. (2015). Dampak Pendidikan Karakter terhadap Akademi
Anak. Dikutip dalam http://pondokibu.com/ diakses pada 10
Mei 2015 pukul 20.15 WIB.
Kemendiknas. (2010). Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah
Pertama. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Liyuwanadefi, Shentia. (2013). Pendidikan Karakter.
Makalah Sardiman AM. (2010). Revitalisasi Peran Pembelajaran IPS
Dalam Pembentukan Karakter Bangsa, Yogyakarta: FISE-UNY.
Muzakki. (2015). Pengintegrasian Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran
di Sekolah. Yogyakarta: Makalah.
Samad, Duski. (2012). Generasi Emas dan Memilih Pendidikan Anak.
Soedarsono, Soemarno. (2009). Karakter Mengantarkan Bangsa dari Gelab
Menuju Terang. Jakarta: Kompas Gramedia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional.
Widiarti, Nani. (2010). Fungsi Pendidikan bagi Kemajuan Bangsa.
Widyastuti, Yunita. (2010). Peran Penting Pendidikan Karakter dalam
Membangun Bangsa.

466
HUBUNGAN PENDIDIKAN KARAKTER
DENGAN PERILAKU SISWA KELAS IV SDN 4
KLAPANUNGGAL KABUPATEN BOGOR
Kusmajid Abdullah
FKIP- Uhamka Jakarta
Emal : cak_kuze@yahoo.com

Abstrak : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada


atau tidaknya hubungan pendidikan karakter dengan perilaku
siswa. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada
hubungan pendidikan karakter terhadap perilaku siswa kelas IV
di SDN 4 Klapanunggal Kab Bogor.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan
metode korelasi. Pengambilan teknik sampel yang digunakan
dalam penelitian ini adalah sampling jenuh. Sampel penelitian
ini sebanyak 80 siswa yang terdiri dari 40 siswa kelas IV A dan
40 siswa kelas IV B SDN 4 Klapanunggal Kab Bogor. Teknik
pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian berupa
angket pendidikan karakter (variabel X) dan angket perilaku
siswa (variabel Y) sebanyak 26 pernyataan dengan empat pilihan
yang telah di uji validitas dan reliabilitas instrumen. Teknik
analisis yang digunakan adalah analisis Uji t pada taraf signifikan
= 0,05. Sebelum data dianalisis terlebih dahulu dilakukan uji
persyaratan analisis data dengan uji normalitas yaitu dengan uji
liliefors.
Hasil penelitian bahwa dari pengujian normalitas untuk data
pendidikan karakter (variabel X) diperoleh Lhitung = 0,0939 < 0,0999
= Ltabel dan data perilaku siswa Lhitung = 0,0978 < 0,0999 = Ltabel, maka
dapat disimpulkan bahwa kedua data tersebut berdistribusi
normal. Pengujian hipotesis dilakukan dengan analisis korelasi
product moment dilanjutkan dengan uji keberartian menggunakan
uji t, dari perhitungan korelasi product moment didapat rhitung =
0,700 menunjukan bahwa pendidikan karakter dengan perilaku
siswa mempunyai hubungan yang Kuat, dari uji t didapat thitung
= 8,657 > 1,671 = ttabel yang berarti H1 diterima. Hasil penelitian
ini bahwa ada hubungan antara pendidikan karakter dengan
perilaku siswa sedangkan dari perhitungan koefisien determinasi
diperoleh 0,49 artinya pendidikan karakter memberikan
kostribusi sebesar 49% terdahap perilaku siswa, sedangkan 51%
merupakan kontribusi dari faktor-faktor lain lingkungan tempat

467
Professional Learning untuk Indonesia Emas

tinggal yaitu rumah yang berkaitan dengan pola asuh orang tua,
lingkungan sekolah, pengaruh kebudayaan, dan lain-lain.

Kata kunci : perilaku siswa, sekolah dasar, pendidikan karakter

Pendahuluan
Sekolah Dasar (SD) merupakan salah satu lembaga yang
menyelenggarakan pendidikan formal dan dirancang untuk
pengajaran siswa / murid di bawah pengawasan guru.. Sekolah
turut bertanggung jawab atas peserta didik yang dihasilkan. Demi
terwujudnya tujuan tersebut sekolah menyelenggarakan proses
pendidikan melalui kegiatan belajar mengajar dengan cara mendidik
dan kurikulum sebagai wadahnya.
Pendidikan merupakan usaha yang sengaja dan terencana untuk
membantu perkembangan potensi dan kemampuan anak agar
bermanfaat bagi kepentingan hidupnya sebagai seorang individu dan
sebagai warga Negara/masyarakat. Dilihat dari sudut perkembangan
yang dialami oleh anak, maka usaha yang sengaja dan terencana
tersebut ditunjukan untuk membantu anak dalam menghadapi dan
melaksanakan tugas-tugas perkembangan yang dialaminya dalam
setiap periode perkembangan.
Pendidikan yang baik itu dapat mengembangkan kecerdasan
dari kepribadian atau karakter sehingga melahirkan generasi bangsa
yang tumbuh dan berkembang dengan karakter yang bernapaskan
nilai-nilai luhur bangsa dan agama. Salah satu di antaranya adalah
dengan menekankan pengembangan nilai karakter pada setiap
proses pembelajarannya. Khususnya untuk anak Sekolah Dasar (SD),
karena didalam Sekolah Dasar kegiatan belajar mengajar bukanlah
hanya dengan mentransfer ilmu yang akan diberikan saja, melainkan
bagaimana dengan mendidik peserta didik berupa makna-makna
yang diajarkan. Mendidik dengan bertujuan peserta didik dapat
mempunyai karakter atau pribadi yang baik sehingga apa saja yang di
lakukan akan berdampak baik bagi dirinya.
Dari observasi awal yang dilakukan di SDN 4 Klapanunggal,
bahwa permasalahan mengenai perilaku siswa khususnya kelas IV
didalam kegiatan belajar mengajar masih menunjukan gejala tidak
baik, hal tersebut muncul karena dipengaruhi oleh beberapa faktor
di antaranya adalah pendidikan lebih banyak menekankan proses
pembelajaran teori, kurangnya pembentukan pendidikan karakter,
dan saat ini sebagian guru dalam penyampaian pembelajaran hanya
mentransfer ilmu pengetahuan kepada anak didiknya dan kurang

468
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

efektifnya pendidikan karakter yang diselipkan dalam setiap mata


pelajaran sehingga hasilnya belum maksimal dan pada pengembangan
nilai karakter pada siswa juga kurang diperhatikan.
Selain faktor-faktor tersebut, keberhasilan pembentukan
perilaku siswa yang berkarakter juga dipengaruhi oleh faktor lain
yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor yang internal yang
dapat mempengaruhi misalnya IQ, motivasi, kreativitas, konsep diri,
kebutuhan berprestasi dan sikap. Sedangkan faktor eksternal yang
dapat mempengaruhi misalnya lingkungan sekolah, lingkungan
keluarga, dan lingkungan masyarakat.
Dalam kegiatan belajar mengajar, guru sebagai pendidik perlu
memperhatikan faktor-faktor tersebut agar perilaku siswa dapat
menjadi bangsa yang terampil dan cerdas, dan bersikap baik seperti
apa yang di harapkan oleh guru. Tidak hanya memperhatikan faktor-
faktor tersebut tetapi juga guru harus merancang srategi pembelajaran
dengan menggunakan modalitas belajar yang tinggi, yaitu dengan
modalitas kinestetis dan visual dengan akses informasi melihat,
mengucapkan, dan melakukan. Karena setiap anak didik memiliki
karakteristik yang berlainan satu sama lain.
Setiap siswa mempunyai perilaku dan karakter yang unik.
Artinya, siswa memiliki sifat-sifat yang khas yang hanya di miliki
oleh siswa sendiri dan tidak oleh siswa lain. Seperti ada yang sudah
cukup diisyaratkan untuk menghentikan perbuatannya yang kurang
layak (misalnya siswa bermain sedangkan guru sedang mengajar),
ada siswa yang dapat menerima teguran juga sebaliknya siswa yang
tidak cukup dengan teguran saja melainkan dengan tindakan (contoh
halnya guru memindahkan tempat duduknya ke dekat guru karena
sering mengobrol saat kegiatan pembelajaran berlangsung), ada siswa
yang pendiam dan juga ada siswa yang aktif contohnya pada siswa
yang gemar bertanya pada saat kegiatan belajar pembelajaran sedang
berlangsung, ada juga siswa yang berhati terbuka dan tetutup seperti
siswa yang pandai bergaul juga siswa yang lebih memilih untuk
sendiri ketika waktu istirahat, ada yang percaya pada temannya, ada
pula anak yang tidak percaya pada temannya dan masih banyak lagi
perbedaan sifat yang di miliki siswa.
Pada zaman globalisasi ini istilah pendidikan karakter masih
akan menjadi hal yang sangatlah penting. Karena berdasarkan hasil
wawancara dengan guru di SDN 4 Klapanunggal Kabupaten Bogor
terkait pembentukan karakter terhadap perilaku siswa, bahwa
pendidikan karakter merupakan hal yang sangatlah penting karena
terdapat peserta didik yang menunjukan perilaku yang tidak baik
contohnya menggunakan bahasa yang buruk, menurunnya rasa

469
Professional Learning untuk Indonesia Emas

hormat dan menghargai pada orang tua, guru dan sesama teman,
rendahnya tanggung jawab dan kepedulian. Hal ini menunjukan
betapa urgensinya mengenai pendidikan karakter bagi para pendidik
. dan menebar kebaikan dalam hidup sehari-hari dengan sepenuh
hati Pendidikan karakter ini menurut para pendidik merupakan
pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak,
pendidikan nilai yaitu nilai-nilai moral baik terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, diri sendiri, lingkungan maupun bangsa. Semua ini
bertujuan mengembangkan kemapuan siswa untuk memberikan
keputusan baik-buruk, memelihara kebaikan, mewujudkan.
Hal ini sangat berhubungan dengan perilaku siswa yang
menanamkan nilai-nilai moral. Pendidik perlu mengenal bagaimana
struktur karakter dan perilaku siswanya, bagaimana karakter peserta
didik itu terbentuk. Dan harus memahami siswanya sebagai suatu
totalitas individu dengan berbagai aspek kehidupanya. Selain itu
pengetahuan mengenai kepribadian, karakter dan perilaku siswa
sangat berguna dipandang dari segi praktis.
Berdasarkan masalah tersebut, terlihat adanya hubungan
pendidikan karakter terhadap perilaku siswa. Oleh karena itu,
penelitian tertarik untuk melakukan suatu penelitian dengan judul
penelitian Hubungan Pendidikan Karakter dengan Perilaku Siswa
Kelas IV di SDN 4 Klapanunggal Kabupaten Bogor.

Nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa


Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan bagi setiap orang.
Terlebih di tengah perkembangan zaman seperti sekarang ini. Hampir
setiap orang mengalami pendidikan, tetapi tidak setiap orang mengerti
makna dari pendidikan. Pada dasarnya, pengertian dari pendidikan
adalah untuk membentuk karakter setiap individu. Dengan semangat,
motivasi dan tujuan dari pendidikan, maka pendidikan dapat dikatakan
berhasil. Menurut Ki Mohamad Said R dalam M. Sukardjo,
bahwa hakikat pendidikan adalah handayani yang memiliki arti
memberi pengaruh. Pendidikan memberikan pengaruh yang baik
bagi setiap individu yang mengalami proses pendidikan dengan baik
pula. Dengan adanya pendidikan setiap individu memberikan setiap
perubahan bagi kehidupannya.
Menurut Rasyidin Pendidikan di mulai di keluarga atas anak (infant)
yang belum mandiri, kemudian diperluas di lingkungan tetangga
atau komunitas sekitar (millieu), lembaga prasekolah, persekolahan
formal dan lain-lain tempat anak-anak mulai dari kelompok kecil
sampai rombongan/kelas yang mendidik secara mikro dan menjadi
pengganti orang tua.

470
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

Karakter siswa dapat terbentuk melalui nilai moral karena salah


satu tujuan dari nilai moral itu sendiri adalah pembetukan watak.
Demi terbentuknya karakter bagi siswa nilai moral sangat berpengaruh
terhadap karakteristik anak. Nilai moral tidak cukup hanya di ketahui
setiap peserta didik tetapi bagaimana peserta didik itu mengerti dan
memahapi setial nilai moral itu agar karakter yang terbentuk tidak
hanya bersifat sementara tetapi akan selalu melekat dihati peserta didik
itu sendiri. Maka dalam setiap proses pendidikanpun sebaikanya para
pendidik tidak hanya mentransfer ilmu saja tanpa memberikan makna
dari setiap ilmu yang di pelajari dalam kegiatan belajar mengajar.
Untuk menghindari hal-hal yang merugikan siswa dan sekolah.
Pemerintah menetapkan pendidikan budaya dan karakter agar
siswa dapat menjalankan aktivitas di sekolah berdasarkan dengan
Pancasila dan Undang-undang pendidikan karakter di sekolah.
Dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter
telah teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila,
budaya, dan tujuan pendidikan nasional.

Nilai dan Deskripsi Nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa.


No Nilai Karakter Deskripsi Nilai Karakter
Sikap dan perilaku yang patuh dalam
melaksanakan ajaran agama yang dianut-
1. Religius nya, toleran terhadap pelaksanaan agama
lain, dan hidup rukun dengan pemeluk
agama lain
Perilaku yang didasarkan pada upaya
menjadikan dirinya sebagai orang yang
2. Jujur
dapat dipercaya dalam perkataan, tinda-
kan dan pekerjaan
Sikap dan tindakan yang menghargai per-
bedaan agama,suku, etnis, pendapat, dan
3. Toleransi
tindakan orang lain, yang berbeda dari
dirinya.
Tindakan yang menunjukan perilaku tert-
4. Disiplin ib dan patuh pada berbagai ketentuan dan
peraturan

471
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Perilaku yang menunjukan upaya sung-


guh-sungguh dalam mengatasi berbagai
5. Kerja keras
hambatan belajar dan tugas serta meny-
elesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.

Sikap dan perilaku untuk menghasilkan


6. Kreatif cara atau hasil baru dari sesuatu yang
telah dimiliki
Sikap dan perilaku yang tidak mudah ter-
7. Mandiri gantung pada orang lain dalma menyele-
saikna tugas-tugas

Cara berpikir, bersikap dan bertindak


8. Demokrasi yang menilai sama hak dan kewajibannya
dengan orang lain.

Sikap dan tindakan yang selalu berupaya


untuk mengetahui lebih mendalam dan
9. Rasa ingin tahu
meluas dari sesuatu yang dipelajarinya,
dilihat dan didengar.
Cara berfikir, bertindak dan berwawasan
Semangat ke- yang menempatkan kepentingan bangsa
10.
bangsaan dan negara diatas kepentingan diri dan
kelompoknya.
Cara berfikir, bertindak dan berbuat yang
menunjukan kesetiaan, kepedulian, dan
11. Cinta tanah air penghargaan yang tinggi terhadap baha-
sa, lingkungan fisik, sosial, budaya, eko-
nomi, dan politik bangsa.
Sikap dan tindakan yang mendorong
M e n g h a r g a i dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang
12.
Prestasi berguna bagi masyarakat, mengakui, serta
menghormati keberhasilan orang lain.
Tindakan yang memperlihatkan rasa
Bersahabat/ ko-
13. senag berbicara, bergaul, dan bekerjasama
munikatif
dengan orang lain.
Sikap, perkataan dan tindakan yang me-
14. Cinta damai nyebabkan orang lain merasa senang dan
aman atas kehadiran dirinya.

472
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

Kebiasaan menyediakan waktu untuk


15. Gemar membaca membaca berbagai bacaan yang memberi-
kan kebajikan bagi dirinya.
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya
mencegah kerusakan pada lingkungan
Peduli lingkun-
16. alam di sekitarnya dan mengembangkan
gan
upaya-upaya untuk memperbaiki keru-
sakan alam yang sudah terjadi.
Sikap dan tindakan yang ingin mem-
17 Peduli sosial berikan bantuan pada orang lain dan ma-
syarakat yang membutuhkan.
Sikap dan perilaku seseorang untuk
melaksanakan tugas dan kewajiban yang
seharusnya ia lakukan, terhadap diri
18 Tanggung jawab
sendiri, masyarakat, lingkungan (alam,
sosial dan budaya) negara dan Tuhan
Yang Maha Esa.

Dari nilai-nilai yang terkandung didalam Pendidikan karakter


maka akan berdampak positif terhadap pembentukan karakter yang
dapat dicerminkan dari setiap perilaku peserta didik.

Pembahasan Hasil Penelitian


Hasil penelitian menunjukan dari hasil perhitungan uji hipotesis
hasil korelasi Pearson Product Moment di dapat 0,700 pada taraf
signifikansi 5% dan dk 80 diperoleh ttabel = 1,671 , karena thitung lebih
besar dari ttabel (thitung = 8,657>1,671= ttabel ), sehingga hipotesis penelitian
teruji kebenarannya.
Selanjutnya pada perhitungan Uji t, diperoleh thitung = 8,657 dan
ttabel = 1,671 dengan taraf signifikan = 0,05 dan derajat kebebasan (dk)
=80. Terlihat bahwa hasil yang diperoleh thitung lebih besar dari ttabel
(8,657>1,671), menyebabkan Ho yang menyatakan tidak ada hubungan
pendidikan karakter terhadap perilaku siswa di Tolak, sedangkan
H1 di Terima. Diterimanya H1 dapat disimpulkanbahwa terdapat
hubungan antara pendidikan karakter terhadap perilaku siswa.
Dari perhitungan koefisien determinasi (KD) didapat hasil 0,49%,
maka variabel pendidikan karakter memberikan sumbangan sebesar
49% terhadap perilaku siswa pada siswa kelas IV SDN 4 Klapanunggal
Kab Bogor, sedangakan 51% merupakan kontribusi dari faktor-faktor
lain seperti lingkungan dirumah yaitu pola asuh orang tua, lingkungan
tempat tinggal, lingkungan sekolah, pengaruh perubahan zaman,

473
Professional Learning untuk Indonesia Emas

pengaruh budaya, teman sebaya, dan lain-lain.


Pendidikan karakter ini dapat diberikan dengan memberikan
penegasan dan contoh-contoh perilaku berkarakter yang dimulai dari
seorang pendidik seperti guru datang tepat waktu ke sekolah, hal ini
merupakan contoh pembentukan karakter dari nilai kedisiplinan. Jadi
pembentukan karakter yang diberikan akan mempengaruhi perilaku
karena pendidikan karakter merupakan pendidikan budi pekerti yang
terkait dengan nilai-nilai moral baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
diri sendiri dan lingkungan. Semua ini bertujuan mengembangkan
kemampuan siswa untuk memberikan keputusan baik-buruk,
memelihara kebaikan, mewujudkan dan menebar kebaikan dalam
hidup sehari-hari dengan sepenuh hati. terutama pada perilaku siswa.
Dengan demikian, Setelah diajukan uji hipotesis, penelitian
ini didapatkan hasil Ada hubungan antara pendidikan karakter
terhadap perilaku siswa kelas IV SDN 4 Klapanunggal Kab Bogor.
Meskipun presentase tersebut tidak terlalu besar, namun penelitian
ini memberikan gambaran bahwa variabel pendidikan karakter
memberikan konstribusi positif pada perilaku siswa.

Penutup
Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa hasil perhitungan
uji hipotesis hasil korelasi Pearson Product Moment di dapat 0,700 pada
taraf signifikansi 5% dan dk 80 diperoleh ttabel = 1,671 , karena thitung lebih
besar dari ttabel (thitung = 8,657>1,671= ttabel ), sehingga hipotesis penelitian
teruji kebenarannya maka dapat disimpulkan terdapat hubungan
yang signifikan antara pendidikan karakter dengan perilaku siswa
kelas IV SDN 4 Klapanunggal Kab Bogor.
Penelitian ini berimplikasi bahwa pemberian pendidikan karakter
terhadap siswa akan memberikan pengaruh positif seperti halnya
siswa akan memiliki kepribadian dan moral yang baik, disiplin,
tanggung jawab dan memiliki kemauan belajar yang tinggi, maka
hal ini berpengaruh pula terhadap peningkatan perilaku siswa yang
positif.

474
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

Daftar Pustaka

A. Ghani, Abd. Rahman, 2009. Mengurai Simpul Pendidikan. Jakarta:


UHAMKA Press.
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta: Rineka Cipta.
Aziz, Hamka Abdul. 2013. Karakter Guru Profesional. Jakarta: Al-
Mawardi Prima.
Creswell, John W. 2010. Research Design. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Daryanto, dan Suyatri Darmiatun. 2013. Implementasi Pendidikan
Karakter di Sekolah. Yogyakarta: Guava Media.
Djaali. 2006. Psikologi Pendidikan Jakarta: Bumi Aksara.
Fitri, Agus Zaenal. 2013. Karakter Guru Profesional. Jakarta: Bumi
Aksara.
Isna A, Nurla. 2012. Mencetak Karakter Anak Sejak Janin. Jogjakarta:
DIVA Press.
Khalsa, Siri Nam S. 2008. Pengajaran dan Disiplin Harga Diri. Jakarta:
PT Indeks.
Kusnaedi. 2013. Strategi dan Implementasi Pendidikan Karakter Panduan
untuk Guru dan Orang Tua. Bekasi: Duta Media Tama.
Muin, Fatchul. 2011. PENDIDIKAN KARAKTER: Konstruksi Teoretik
& Praktik Urgensi Pendidikan Progresif dan Revitalisasi Peran
Guru dan Orang Tua. Jakarta: A Media.
Narwanti, Sri. 2011. Pendidikan Karakter: Pengintegrasian 18 Nilai
Pembentukan Karakter dalam Mata Pelajaran. Yogyakarta:
Familia.
Ridwan. 2010. Belajar Mudah Penelitian untuk Guru-Karyawan dan
Penelitian Pemula. Bandung: Alfabeta.
Salahudin, Anas dan Irwanto Alkriencehie. 2013. Pendidikan Karakter
Pendidikan Berbasis Agama dan Budaya Bangsa. Bandung:
Pustaka Setia.
Saptono. 2011. Dimensi-dimensi Pendidikan Karakter Wawasan, Strategi,
dan Langkah Praktis. Jakarta: Esensi Erlangga Group.
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Pendidikan; Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Sukardjo M dan Ukim Komarudin. 2009. Landasan Pendidikan Konsep
dan Aplikasinya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Thoha, Miftah. 2007. Perilaku Organisasi: Konsep Dasar dan Aplikasinya.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Tuu Tulus. 2004. Peran Disiplin pada Perilaku dan Prestasi Siswa. Jakarta:
PT Grasindo.
http://id.wikipedia.org/wiki/Perilaku_manusia.

475
MEMBANGUN SDM BERKARAKTER MELALUI
PENDEKATAN PENDIDIKAN NILAI DI
SEKOLAH DASAR
Nurlaelah
Universitas Muslim Indonesia Makasar
Email : umarnurlaelah@yahoo.co.id

Abstract : Education is a fundamental act, the act that touching the


roots of life that change and define the human life. If the concept
of basic education oriented to value education, then education
will be always based on value, where the value is intentionally
aimed at developing aspects of the personality and character
of students. Education implementation which is based on the
values will make graduates that have personality, character and
good behaviour. Therefore, the main task of basic education is
to build students character and the aim in order students from
an early age not fail to be a human figure, because if man fails
to become a human being, it is no different with animals even
lower than animals. Therefore, herein placed the strategic value,
namely basic education as the foundation for the growth and
development of children in the next stages, where we believe that
the challenges ahead will be huge and complex. If at this stage
fails to be passed, the letter or important passport will not owned
by the children. Consequently, the child would be difficult to
enter the next life starting from environmental context closest
family, the local community, to the world community, including
educational institutions unit.

Key Words: character, approach, and values education

Pendahuluan
Secara yuridis, Pendidikan Nilai di Indonesia didasarkan pada: 1)
Pasal 1 ayat 2 UUSPN 2003, Pendidikan nasional adalah pendidikan
yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang berakar pada nilai-
nilai agama, kebudayaan nasional dan tanggap terhadap tuntutan
perubahan zaman; 2) Pasal 3 UUSPN 2003, Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan

476
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta


didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab; dan 3) Pasal 4 ayat 3 UUSPN 2003), Pendidikan adalah proses
pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik sepanjang hayat.
Berdasarkan aspek yuridis tersebut, dapat disimpulkan bahwa
pendidikan nilai adalah nilai pendidikan, dengan nilai kehidupan
lebih bermakna. Maka pendidikan nilai di Indonesia meliputi:
1) Pembinaan watak kepribadian WNI dan kehidupan bangsa;
2) Kecerdasan intelektual-emosional-spritual dan sosial; dan 3)
Kemampuan partisipatif praksis-fungsional.

Pembahasan
Hakikat Pendidikan Nilai
Kebutuhan akan penanaman pendidikan nilai mulai nampak dan
dirasakan penting setelah maraknya berbagai bentuk penyimpangan
asusila, amoral di tengah masyarakat. Hampir setiap hari ada saja
pemberitaan di media cetak dan elektronik tentang pemerkosaan,
pembunuhan, perampokan, seks bebas di luar nikah aborsi, peredaran
dan pemakaian narkoba, bahkan pernah dilansir kasus pemerasan
yang dilakukan geng anak usia sekolah dasar (SD). Hal ini sangat
meresahkan dan mencemaskan masyarakat terutama orang tua
termasuk pihak lembaga sekolah yang mengemban tugas untuk
mendidik, melatih dan membimbing anak didiknya. Ini persoalan
serius dan perlu mendapat perhatian ekstra khusunya bagi pelaku-
pelaku dunia pendidikan (Sauri, 2012).
Ketidakseimbangan desain pendidikan yang hanya memfokuskan
pada pencapaian aspek intelektual atau ranah kognitif semata dan
mengabaikan aspek penanaman dan pembinaan nilai/sikap diduga
sebagai penyebab munculnya degradasi atau demoralisasi terutama
yang dialami oleh sekolah. Oleh karena itu, Mulyana (2004) menyatakan
bahwa pendidikan nilai sebagai bantuan terhadap peserta didik agar
menyadari dan mengalami nilai-nilai serta menempatkannya secara
integral dalam keseluruhan hidupnya. pendidikan nilai tidak hanya
merupakan program khusus yang diajarkan melalui sejumlah mata
pelajaran, akan tetapi mencakup keseluruhan program pendidikan.
Sumatmaja (2002) menambahkan bahwa pendidikan nilai adalah upaya
mewujudkan manusia seutuhnya yaitu manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhak mulia, manusiawi
dan peduli terhadap kebutuhan. serta kepentingan orang lain, yang
intinya menjadi manusia yang terdidik baik terdidik dalam imannya,

477
Professional Learning untuk Indonesia Emas

ilmunya maupun akhlaknya serta menjadi warga Negara dan dunia


yang baik ( well educated men and good citizenship).

Relevansi Pendidikan Nilai terhadap Pengembangan Insan


berkarakter
Bagaimana relevansi Pendidikan Nilai terhadap pengembangan
SDM peserta didik yang berkualitas ? Berbicara sumber daya manusia
(SDM) peserta didik, sesungguhnya berbicara tentang pendidikan,
karena dimana ada manusia, disitulah ada pendidikan. Secara etimologi
pendidikan berasal dari kata didik yang berarti pemeliharaan
atau latihan. Dalam Bahasa Inggris, pendidikan (education) berasal
dari kata mendidik (educate), artinya memberi peningkatan (to elicit,
to give rise to) dan mengembangkan (to evolve, to develop). Dalam
pengertian yang sempit, education atau pendidikan berarti perbuatan
atau proses perbuatan untuk memperoleh pengetahuan (MC Loeod,
dalam Syah, 2004:10). Pendidikan pada dasarnya sebagai usaha
untuk mempertahankan eksistensi kemanusiaannya (memanusiakan
manusia). Secara terminologi, pendidikan dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (1991:232) ialah proses perubahan sikap dan tata-
laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan
manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Definisi tersebut
merupakan definisi pendidikan dalam arti sempit, sebab hanya
dibatasi pada pengajaran dan pelatihan. Artinya, proses pendidikan
terjadi dari orang dewasa terhadap orang muda yang belum
dewasa. Adapun pendidikan dalam arti luas tidak hanya mencakup
antara hubungan pendidik (guru) dan peserta didik (murid), tetapi
mencakup dalam wilayah yang luas, seperti peserta didik dengan
dirinya sendiri, lingkungan, kebudayaan dan seluruh komponen yang
ikut membelajarkan dirinya. Secara konstitusional, dalam Undang-
Undang Sistem Pendidikan Nasionaldinyatakanbahwa:Pendidik
an adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak mulia
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara(UUSPN No. 20 Tahun 2003). Berdasarkan definisi tersebut,
tersirat bahwa setiap manusia memiliki potensi yang mengandung nilai-
nilai kebaikan, dan pendidikan merupakan upaya untuk megaktifkan
potensi-potensi tersebut. Dengan demikian, pendidikan merupakan
alat untuk melestarikan/memelihara dan mengembangkan nilai-nilai
dasar kemanusiaan.

478
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

Arah, Program, dan Tujuan Pendidikan Nilai di Sekolah.


Ke mana arah, apa tujuan, dan begaimana program pendidikan
nilai di sekolah ? Arah pendidikan nilai adalah sesuai dengan
sasaran pendidikan umum pada umumnya, yaitu untuk membentuk
manusia utuh mulai dari bayi, balita, usia anak sekolah, remaja,
sampai dewasa. Pembentukan kepribadian, idealnya pribadi yang
manusiawi harus bertahap mulai dari bayi sampai dewasa dan
berkesinambungan sepanjang hayat (Sumaatmadja 2002:121). Dengan
kata lain pendidikan nilai juga harus bisa diterapkan dalam berbagai
wilayah pendidikan yaitu pendidikan keluarga, persekolahan, dan
masyarakat. Di era globalisasi sebagai era ketidakpastian ini, moral
manusia semakin rusak, perilaku manusia tidak beradab, dan kondisi
masyarakat mencekam dan menakutkan. Dari kondisi tersebut timbul
kekhawatiran terhadap generasi kehidupan manusia, khususnya
dalam pembentukan kepribadian anak, maka pendidikan nilai
menjadi win win solution bagi pembentukan generasi yang baik untuk
masa mendatang. Tujuan pendidikan nilai adalah human being sejalan
dengan hakikat tujuan pendidikan, yaitu memanusiakan manusia
muda (N. Driyarkara). Pendidikan nilai bertujuan membantu peserta
didik untuk bertumbuh dan berkembang menjadi menjadi pribadi-
pribadi yang lebih bermanusiawi (semakin penuh sebagai manusia),
berguna dan berpengaruh di dalam masyarakatnya, yang bertanggung
jawab dan bersifat proaktif dan koopreatif, pribadi cerdas, berkeahlian,
tapi tetap humanis.

Pendekatan, Metode, Strategi dan Teknik Pembelajaran Nilai di


Sekolah yang Efektif
Ada beberapa pendekatan dalam proses pengalihan nilai (transfer
of values) dari pendidik kepada peserta didik, antara lain:
1. Melalui pendekatan emosional; pendidik berusaha mengaktifkan
ranah afektif peserta didik, karena setiap anak yang lahir ke dunia
membawa sifat-sifat positif (Tuhan). Setelah ranah afektif peserta
didik aktif, pendidik baru menyampaikan ajaran-ajaran moral,
dalam konidisi ini peserta didik siap mencerna materi dan akan
berbekas pada jiwanya
2. Membina perlilaku positif siswa yang dilakukan secara berulang-
ulang. Perilaku yang diualang-ulang (repetition), makin lama
makin tertanam secara dalam, menjadi kebiasaan, menjadi
sifat/karakter dan akhirnya menjadi bagian dari kepribadian.
Transformasi dan penanaman nilai disampaikan kepada peserta
didik secara pasti, kontinyu, pelan-pelan, sedikit demi sedikit,
dalam nuansa kebersamaan dan kekeluargaan. Daisaku Ikeda

479
Professional Learning untuk Indonesia Emas

(Prsedien Ikeda Jepang) pernah bertutur mulailah dari sesuatu


yang sederhana, mudah dipahamami, dan membumi; Event just
a little, because everything determinant by that. Transformasi
nilai tersebut akan membentuk sifat, kebiasaan dan kepribadian.
Dewasa ini sumber kegelisahan dan penyakit orang modern
berawal dari pengetahun yang satu tercerai dari pengetahuan
yang lain. Ilmu tercerai dari moral, ilmu tercerai dari seni, moral
tercerai dari seni dan seterusnya. Sebab, pengetahuan yang tidak
utuh, akan menghasilkan manusia yang tidak utuh pula. Untuk
mewujudkan hal tersebut diperlukan metode khusus agar tercapai
sesuai dengan yang diharapkan. Secara garis besar, pembelajaran
nilai dipersekolahan dapat diaktualisasikan melalui metode berikut:
(1) Metode Dogmatik; metode untuk mengajarakn nilai kepada
peserta didik dengan jalan menyajikan keseluruhan nilai-nilai
yang harus diterima oleh peserta didik apa adanya, tanpa
mempersoalkan hakikatnya.
(2) Metode Deduktif; adalah proses berfikir dari yang umum ke
yang khusus. Dengan kata lain, nilai diajarkan dan diuraikan
berangkat dari seperangkat kode etik nilai unk dipahami oleh
peserta didik.
(3) Metode Induktif: adalah proses berfikir dari yang khusus ke
yang umum. Artinya, nilai diajarkan kepada siswa bermula dari
sejumlah kasus-kasus yang terjadi di masyarakat, kemudian
ditarik dan diambil kesimpulannya.
(4) Penggabungan metode Induktif dan deduktif. Perolehan ilmu
pengetahuan, tidak akan terlepas dari proses berfikir deduktif
dan induktif. Penggabungan metode berfikir deduktif dan
induktif akan membentuk proses berfikir yang kuat, dan
berusaha agar kebenaran dapat dicapai seoptimal mungkin.
Penggabungan kedua metode ini memiliki kesamaan dengan
Metode subjektivisme dan objektivisme. Dalam hal ini
subjektivisme dapat lahir dari pemikiran filsafat (segudang
konsep, teori), sedangkan objektivisme ditempuh melalui ilmu
pengetahuan (realitas). Edmund Husserl (Sumaryono:1994)
sebagai pendiri aliran fenomenologi modern mengatakan
kebenaran hakiki kan tercapai melalui kombinasi subjektivisme
total dan objektivisme total. Dengan kata lain, kebenaran dapat
ditempuh melalui unifikasi pemikiran para filosof dan ilmuan.

Pada tataran praksisnya, pembinaan moral peserta didik harus


memiliki rujukan yang jelas, teruji, dan bisa dipertanggung jawabkan.
Rujukan moral tersebut tidak cukup berdasarkan pada nilai-nilai moral

480
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

kemasyarakatan (nilai-nilai insaniyah), tetapi harus memperhatikan


pula nilai-nilai dunia metafisika, atau nilai-nilai transendetal, yang
dalam istilah Imanuel Kant dikenal dengan istilah ilusi transenden
(a transcendental illution). Nilai-nilai transendental tersebut dalam
konteks agama kita, yakni sumber ajaran Islam berupa nilai-nilai
ilahiyah.
Strategi dan teknik pendidikan nilai di sekolah yang efektif dapat
dilakukan para pendidik (guru) dengan langkah-langkah berikut:
1. Penataan fisik sekolah dan kelas yang kondusif untuk
keberlangsungan belajar-mengajar.
2. Adanya pembinaan keagamaan bagi guru/pendidik yang
terpola dan terprogram, ada pelatihan bagi guru tentang metoda
memasukan nilai melalui bidang studi.
3. Penataan dan peningkatan kualitas kegiatan ekstra kurikuler
keagamaan di sekolah
4. Meningkatkan rasa tanggungjawab, disiplin, kebersamaan,
persatuan dan kerjasamadalam menjalankan aktivitas
persekolahan, serta menjalin hubungan harmonis dengan sekolah
atau lembaga lain.
5. Meningkatkan rasa tanggungjawab, disiplin, kebersamaan,
persatuan dan kerjasamadalam menjalankan aktivitas
persekolahan, serta menjalin hubungan harmonis dengan sekolah
atau lembaga lain.
6. Guru tampil sebagai sosok yang cerdas secara Intelektual (IQ),
Emosional (EQ) dan Spriritual (SQ).
7. Di antara guru lahirnya kebiasaan untuk berdiskusi, peningkatan
wawasan (insight), informasi tentang ilmu umum dan agama di
lingkungan tempat guru bekerja.
8. Istiqomah untuk beramal saleh, dan memberikan keteladanan
kepada para siswa.
9. Mebudayakan ucapan salam di lingkungan sekolah, dan lantunan
ayat-ayat Al-Quran melalui radio atau pengeras suara sebelum
pelajaran dimulai.
10. Adanya program BP/BK yang berbasis
nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan.
Disamping itu, untuk mewujudkan masyarakat sekolah yang
beradab, berbudi, menjunjung tinggi nilai, harus didukung oleh
budaya lingkungan (sekolah) yang berbasis nilai.

Adapun teknik untuk mewujudkan budaya sekolah berbasis nilai


melalui tahapan berikut:
a. Adanya kesadaran bersama akan pentingnya nilai (kesadarn

481
Professional Learning untuk Indonesia Emas

bersama itu mencakup semua pihak; kepala sekolah, guru,


karyawan, peserta didik, orang tua, dan masyarakat sekitar).
b. Adanya komitmen, penghayatan, dan aktualisasi nilai yang
dilakukan secara bersama-sama di lingkungan sekolah.
c. Memiliki sistem evaluasi yang dapat diandalkan (bisa berupa
mingguan, bulanan, dan tahunan) untuk meningkatkan kualitas
budaya sekolah berbasis nilai. Di samping itu, evaluasi juga sebagai
sarana untuk melahirkan ide-ide inovatif dengan menggali teknik
baru yang sesuai dengan situasi dan kondisi sekolah.

Adapun langkah-langkah membangun sekolah yang kondusif


sebagai berikut;
1. Memahami kondisi permasalahan sekolah dan masyarakat,
mengetahui penyebabnya, dan menciptakan solusi untuk
membangun budaya sekolah.
2. Untuk membangun sekolah diperlukan: (1) Adanya pembekalan
untuk meningkatkan kualitas guru, adanya kesamaan visi misi
dalam merealisasikan pendidikan. (2) Pada tataran praksisnya,
harus ada komitmen bersama yang terumuskan secara jelas,
sederhana dan operasional. Di samping itu bentuk komitmen
juga bisa dievaluasi untuk melahirkan komitmen baru yang lebih
sesuai dengan lingkungan sekolah.
3. Memiliki orientasi khusus, yakni: Terbentuknya budaya sekolah
berbasis nilai, setiap orang yang ada dilingkungan sekolah mampu
meresapi dan menghayati nilai-nilai kehidupan, terciptanya pola
kehidupan di lingkungan sekolah yang berkualitas.
4. Adanya tindak lanjut sebagai langkah untuk: (1) Menciptakan
pembaharuan dan peneguhan, (2) menjaring keterlibatan orang
tua dan masyarakat, agar orang yang berada diluar sekolah
sekalipun ada rasa memiliki (sense of belonging), (3) terbentuknya
bimbingan yang berkelanjutan, (4) terjalin kominukasi yang
positif, (5) terbentuknya up date soft skill dan keterampilan hidup.
5. Model dan Pola Evaluasi/Penilaian Pendidikan Nilai di Sekolah
Bagaimanakah model dan pola evaluasi/
penilaian pendidikan nilai di sekolah ?
Model dan pola evaluasi terhadap pendidikan nilai di sekolah
mencakup tiga ranah:
a. Ranah Kognitif.
Evaluasi pada ranah kognitif berkenaan dengan hasil
belajar intelektual yang terdiri dari pengetahuan atau
ingatan, pemahaman, serta analisis. Dalam hal ini, pendidik
mengevaluasi peserta didiknya yang mencakup; pengetahuan,

482
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

pemahaman, dan analisis mereka terhadap materi pelajaran.


b. Ranah Afektif
Evaluasi pada ranah afektif berkenaan dengan penerimaan
(receiving/attending: emoting & feeling), jawaban atau respon
siswa terhadap situasi dan kondisi ketika proses pembelajaran
dan pengajaran berlangsung (responding:minding), valuing:
spiritualizing/taking role, dan organizing:taking position.
c. Ranah Psikomotor
Sedangkan evaluasi dalam bentuk ranah psikomotor
yakni mencakup gerakan refleks, keterampilan gerakan
dasar, dan kemampuan perseptual. Secara faktual, bentuk
penilaian pendidikan hari ini masih pincang dalam pola
mengembangkan potensi peserta didik. Penilaian terhadap
peserta didik hanya ditinjau dari satu asfek saja yaitu asfek
kognitif. Hal itu terbukti dengan adanya standar kelulusan
yang diberlakukan pada Ujian Nasional (UN) yang hanya
tertuju pada asfek kognitif semata.

Kurikulum dan Pembelajaran di Sekolah Dasar


Ketentuan UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 37 ayat 1 menyebutkan
bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:
(a) pendidikan agama, (b) pendidikan kewarganegaraan, (c) bahasa,
(d) matematika, (e) ilmu pengetahuan alam, (f) ilmu pengetahuan
sosial, (g) seni dan budaya, (h) pendidikan jasmani dan olahraga, (i)
keterampilan/kejuruan serta (j) muatan lokal. Dalam pengembangan
kurikulum tersebut, selanjutnya guru merancang dan merumuskan
secara operasional dengan tetap mengacu pada standar nasional
pendidikan yang ditujukan untuk kepentingan mewujudkan tujuan
pendidikan nasional.
Dalam implementasinya, pengembangan kurikulum khususnya
pada jenjang pendidikan dasar (SD/MI) disusun dengan tetap
disesuaikan untuk kepentingan dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia dengan memperhatikan aspek-aspek mendasar
antara lain: (a) peningkatan iman dan takwa, (b) peningkatan akhlak
mulia, (c) peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta
didik, (d) keragaman potensi daerah dan lingkungan, (e) tuntutan
pembangunan daerah dan nasional, (f) tuntutan dunia kerja, (g)
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; (h) agama, (i)
dinamika perkembangan global; dan (j) persatuan nasional dan nilai-
nilai kebangsaan.
Integrasi pendidikan nilai ke dalam pembelajaran SD/MI
melalui penanaman dan pembinaan pendidikan karakter, watak dan

483
Professional Learning untuk Indonesia Emas

kepribadian tidak diartikan sempit hanya sebagai domain pendidikan


agama atau pendidikan kewarganegaraan melainkan terintegrasi
dan terinternalisasi ke dalam seluruh mata pelajaran seperti IPS,
IPA, bahasa, matematika, seni dan budaya dan pendidikan jasmani
dan kesehatan. Orientasi pendidikan nilai melalui sebaran mata
pelajaran tersebut ialah berupaya menggali, menemukan, memahami,
mengaplikasikan dan menghayati nilai-nilai yang terkandung dari
sebaran mata pelajaran tersebut untuk dimanfaatkan dalam kehidupan
sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran di SD/MI akan jauh lebih
bermakna (meaningfull) baik bagi pendidik maupun anak didik sebagai
dua pelaku utama pendidikan.
Setiap mata pelajaran pada prinsipnya memiliki bahan ajar
(instructional materials) berdimensi pengetahuan, keterampilan dan
sikap/nilai. Depdiknas (2006) mengartikan bahan ajar atau materi
pembelajaran secara garis besar terdiri dari pengetahuan, keterampilan,
dan sikap yang harus dipelajari siswa dalam rangka mencapai standar
kompetensi yang telah ditentukan. Mata pelajaran apapun termasuk
yang ada di SD/MI sarat dengan kandungan dimensi penanaman
dan pembinaan sikap/nilai yang melekat dalam setiap aktivitas
pembelajaran. Jadi, dalam hal ini pendidikan nilai atau budi pekerti
tidak lagi terspesialisasi pada mata pelajaran tertentu yang seringkali
pada prakteknya terjebak pada tradisi hafalan atau sekedar tahu.
Nursid Sumaatmadja (2005) mengemukakan bahwa nilai-nilai
yang dapat dikembangkan dalam IPS meliputi: nilai edukatif, nilai
praktis, nilai teoritis, nilai filsafat dan nilai ketuhanan. Lebih rinci,
dijelaskan sebagai berikut.
1. Nilai edukatif, melalui pendidikan IPS, perasaan, kesadaran,
penghayatan, sikap, kepeduliaan, dan tanggung jawab sosial
peserta didik ditingkatkan. Kepeduliaan dan tanggungjawab
sosial, secara nyata dikembangkan dalam pendidikan IPS untuk
mengubah perilaku peserta didik bekerja sama, gotong royong
dan membantu pihak-pihak yang membutuhkan;
2. Nilai praktis, dalam hal ini tentunya harus disesuaikan dengan
tingkat umur dan kegiatan peserta didik sehari-hari. Pengetahuan
IPS yang praktis tersebut bermanfaat dalam mengikuti
berita, mendengakan radio, membaca majalah, menghadapi
permasalahan kehidupan sehari-hari
3. Nilai teoritis, peserta didik dibina dan dikembangkan kemampuan
nalarnya kearah dorongan mengetahui kenyataan (sense of reality),
dan dorongan menggali sendiri dil apangan (sense or discovery).
Kemamuan menyelidiki, meneliti dengan mengajukan berbagai
pernyataan (sense of inquiry).

484
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

4. Nilai filsafat, peserta didik dikembangkan kesadaran dan


penghayatan terhadap keberadaanya di tengah-tengah masyarakat,
bahkan ditengah-tengah alam raya ini. Dari kesadaran keberadaan
tadi, mereka disadarkan pula tentang peranannya masing-
masing terhasap masyarakat, bahkan terhadap lingkungan secara
keseluruhan
5. Nilai ketuhanan, menjadi landasan kita mendekatkan diri dan
meningkatkan IMTAK kepada-Nya. Kekaguman kita selaku
manusia kepada segala ciptaan-Nya, baik berupa fenomena fisik-
alamiah maupun fenomena kehidupan.

Akhir-akhir ini maraknya fenomena kenakalan anak dan remaja


yang sering dilansir media surat kabar maupun televisi tanah air
merupakan bukti telah terjadi kecenderungan pelecehan terhadap nilai-
nilai kemanusian, terlebih kenyataan ini dilakukan oleh anak-anak usia
sekolah bahkan diantaranya dilakukan oleh anak sekolah dasar (SD)
seperti peristiwa pemerasan yang dilakukan oleh sekumpulan anak
SD dimana mereka terlibat secara terorganisir layaknya orang dewasa
dan menamakan dirinya dalam sebuah geng. Lantas, apa yang salah
dengan dunia pendidikan kita?Akan seperti apa wajah pendidikan
kita ke depan?Mampukan pendidikan kita menghantarkan anak
didiknya menjadi insan yang diamanatkan dalam UUD 1945 dan
dicita-citakan dalam UU Sisdiknas? Tentu masih banyak pertanyaan
lain yang perlu diajukan sekaligus kita jawab. Potret ini tentu menjadi
bagian kegelisahan dan keprihatinan kita bersama, terutama oleh para
pelaku pendidikan. Selanjutnya sebagai bentuk refleksi, apa mungkin
kemunduran bangsa ini disebabkan karena adanya kesalahan dalam
desain pendidikan kita. Apa mungkin dewasa ini pada praktiknya
pendidikan kita termasuk pada jenjang pendidikan dasar masih
berorientasi kepada ratio atau pencapaian kemampuan intelektual
sementara kemampuan lain diabaikan bahkan dianggap tidak penting.
Di sadari dan diakui atau tidak, kenyataan tersebut masih terus
berlangsung sampai saat ini baik yang dilakukan oleh pihak sekolah
maupun orangtua/keluarga. Dalam implementasi kurikulum dan
pembelajaran di SD, komponen tujuan pembelajarannya yang
dituangkan dalam Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar (SK-
KD) lebih berorientasi terhadap pencapaian aspek kognitif/intelektual
sementara pencapaian pada aspek sikap atau nilai masih terbatas
bahkan tidak nampak. Bahan ajar (subject matter) dalam pembelajaran
di SD masih kental dengan bobot materi pengetahuan, terlebih materi
tersebut bersifat fakta yang memiliki konsekuensi menjadi tradisi
hafalan. Metode/pendekatan/model pembelajaran tidak jarang masih

485
Professional Learning untuk Indonesia Emas

terjebak pada aktivitas CBSA (baca: Catat Buku Sampai Habis) sehingga
kecenderungan yang terjadi masih diterapkannya metode hafalan.
Komponen evaluasi yang digunakan guru masih ditujukan untuk
mengukur dan menilai kemampuan kognitif dan jenis dan bentuknya
bersifat test, sementara pengukuran dan penilaian terhadap aspek
sikap/nilai dan penggunaan alat non-test seringkali terlupakan
bahkan terabaikan.
Agar tujuan esensi dan kandungan dimensi pendidikan nilai dapat
diwujudkan, sudah tentu memerlukan strategi/metode/pendekatan/
model pembelajaran yang tepat atau metodologi pembelajaran. Upaya
ini selalu berkaitan dengan bagaimana cara yang harus dilakukan
dalam rangka pencapaian tujuan. Jika strategi yang berpusat pada
siswa dinamakan student centered, sedangkan strategi yang berpusat
pada guru dinamakan teacher centered.
Menurut teori perkembangan kepribadian, setiap individu
tumbuh dan berkembang dipengaruhi oleh beberapa faktor utama
diantaranya faktor pengalaman (proses belajar), faktor kebudayaan
dan faktor lingkungan keluarga yang meliputi sikap/kondisi sosial
ekonomi keluarga, posisi anak dalam kelurga serta bagaimana sifat
dan perlakuan orangtua. Terdapat beberapa kecenderungan arah
perkembangan kepribadian yang dipengaruhi oleh faktor-faktor di
atas diantaranya yaitu (1) bila anak hidup di dalam suasana penuh
dengan kritik, dia belajar untuk menyalahan orang; (2) bila anak hidup
di dalam suasana penuh kekerasan, dia belajar untuk berkelahi; (3)
bila anak hidup di dalam suasana penuh olok-olok, dia belajar untuk
menjadi seorang yang pemalu; (4) bila anak hidup di dalam suasana
yang memalukan, dia belajar untuk selalu merasa bersalah; (5) bila
anak hidup di dalam suasana yang penuh dengan toleransi, dia belajar
untuk menjadi seorang penyabar. (6) bila anak hidup di dalam suasana
yang penuh dengan dukungan, dia belajar untuk menjadi seorang
yang percaya diri; (7) bila anak hidup di dalam suasana penuh pujian
& penghargaan, dia belajar untuk menghargai orang lain; (8) bila anak
hidup di dalam suasana kejujuran, dia belajar mengenai keadilan;
(9) bila anak hidup di dalam suasana yang aman, dia belajar untuk
mempercayai orang lain; (10) bila anak hidup di dalam suasana yang
memuaskan jiwanya, dia belajar untuk menyenangi dirinya; serta (11)
bila anak hidup di dalam suasana yang penuh dengan penerimaan &
persahabatan, dia belajar untuk mendapatkan kasih sayang di dalam
dunia ini.

Penutup

486
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

Tugas utama pendidikan dasar adalah membangun karakter


anak didik yaitu bertujuan agar anak didik sejak dini tidak gagal
menjadi sosok manusia, karena jika manusia gagal untuk menjadi
manusia maka kualitasnya tidak berbeda bahkan lebih rendah
dibandingkan hewan. Dengan demikian, di sinilah letak letak nilai
strategis pendidikan dasar yaitu sebagai pondasi bagi pertumbuhan
dan perkembangan anak pada tahap-tahap berikutnya, di mana kita
yakini bahwa tantangan ke depan akan besar dan kompleks. Jika pada
tahapan ini gagal dilalui, maka surat jalan atau paspor yang sangat
penting ini tidak akan dimiliki anak. Konsekuensinya, tentu anak
akan kesulitan untuk memasuki kehidupan selanjutnya mulai dari
konteks lingkungan terdekat keluarga, masyarakat setempat, sampai
masyarakat dunia, termasuk di dalamnya lembaga satuan pendidikan.

Daftar Pustaka

Bank, A. James, 1990. Teaching Strategies for The Social Studies-Inquiry,


Valuing, and Decision Making. Longman New York and London.
Balitbang Puskur Depdiknas, 2007. Naskah Akademik Kajian Kebijakan
Kurikulum SD. Jakarta
Bohlin, K.,DFarmer& K. Ryan (2001). Building Character in Schools:
resource Guide, Californis: Jossey-Bass.
Djahiri, A. K (1985). Strategi Belajar Mengajar Afeksi Model Belajar
Mengajar VCT. Bandung: PT; Granesia.
Djahiri, A. K (1996). Menelusuri Dunia Afeksi-Nilai Moral dan Pendidikan
Nilai Moral. Bandung: Lab. Pengajaran PMP IKIP Bandung.
Fraenkel, J. R. 1977. How to Teach About Values: an Analytic Approach.
New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Gagne, R.N (1977) The Conditions of Learning. New York: Holt, Rinehart
& Winston.
Hers, R. H., Miller J. P., Fielding, G.D. (1980). Model of Moral Education.
New York: Longman Inc.
Kardiman, Yuyus. 2008. Membangun Kembali Karakter Bangsa Melalui
Situs-situs Kewarnegaraan : Studi Fenomenologi terhadap
Pelatihan Manajeman Qalbu, pelatihan Emotional Spiritual
dan Majelis Taklim di Bandung (tesis), sekolah Pasca Sarjana
Universitas Pendidikan Indoneisa.
Kemendiknas. 2010. Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah
Pertama, Jakarta

487
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Mulyana, Rohmat, 2004. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung:


Alfabeta.
Sanjaya, Wina, 2007. Kurikulum dan Pembelajaran Sekolah Dasar.
Bandung: SPs UPI.
Sauri, Sofyan, 2009. Implementasi Pendidikan Nilai dalam Pedagogik
dan Penyusunan Unsur-unsurnya. Bandung: SPs PU UPI.
Skeel, J. Dorothy, 1995. Elementery Social Studies-Challenges for
Tomorrows World. Harcourt Brace College Publishers.
Sumaatmadja, Nursid, 2005. Konsep Dasar IPS. Jakarta: Pusat Penerbitan
Universitas Terbuka.
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
Waini Rasyidin, 2007. Landasan Filosofis Pendidikan Dasar. Bandung:
SPs UPI.
Yusuf, Syamsu dan Nurihsan, Juntika, 2007. Teori Kepribadian. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.

488
URGENSI PENDIDIKAN KARAKTER
Rika Sadiyah
Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ)
Email: ikafina@gmail.com

Abstract : Basically, education serves to develop skill and form


the character and civilization of nations in order to make people
smart and dignified life of the nation, as well as improve human
resource capabilities in order to become an independent human
being that is based on the noble values of the nations. Based on
this, the problem in this paper is: what shoul be done to build
human character? what is an effective approach?, and who can
give the education of character? Character education aims to
improve the quality of the nation to have the noble character
in the life of society, nation and state. Character education can
the effective if is conducted in the environment of work, family,
community, and school. Caracters that must the instilled is the
value of faith and good fearing, honest, intelligent, tough and
caring, if these values are instilled in the attitudes of individuals
and implemented in each environment is already having an
intelligent character.

Keywords: character, education

Pendahuluan
Fenomena sosial yang terjadi pada bangsa kita ditayangkan melalui
media cetak dan elektronik memuat penyimpangan yang dilakukan
oleh pemerintah, seperti; korupsi, ketidakadilan, penegakkan
supremasi hukum, dan lain-lain yang berkaitan kinerja pemerintah,
sehingga merangsang anggota masyarakan untuk melakukan aksi
demontrasi, selain itu ada tawuran, pengrusakan yang tidak sedikit
mengorbankan materi bahkan korban nyawa, demikian sadisnya.
Pemandangan ini sudah terbiasa. Pelakunya dari kalangan muda, ada
yang mengatasnamakan organisasi, ada juga yang mengatasnamakan
kelompok. Fenomena-fenomena ini terjadi di mana-mana mulai
dari pusat ibu kota sampai ke pelosok desa. Tuntutan mereka tidak
semuanya salah. Tuntutan yang baik merupakan gambaran generasi
yang memiliki rasa tanggung jawab atas kehidupan berbangsa, akan
tetapi ada pula yang tidak bertanggung jawab dan cenderung merusak.

489
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Fakta yang dikemukakan oleh Aan Hasanah (2009) dalam Jurnal


Pendidikan dan Kebudayaan (2010 : 230) berbagai fenomena sosial
yang muncul akhir-akhir ini cukup menghawatirkan. Fenomena
kekerasan dalam menyelesaikan masalah menjadi hal yang umum.
Pemaksaan kebijakan terjadi hampir pada setiap level institusi.
Manipulasi informasi menjadi hal yang lumrah. Penekanan dan
pemaksaan kehendak satu kelompok terhadap kelompok lain
dianggap biasa. Hukum begitu jeli pada kesalahan, tetapi buta pada
keadilan. Sepertinya karakter masyarakat Indonesia yang santun dalam
berperilaku, musyawarah mufakat dalam menyelesaikan masalah,
local wisdom yang kaya dengan pluralitas, toleransi dan gotong-
royong, telah berubah wujud menjadi hegemoni kelompok-kelompok
baru yang saling menyalahkan. Apakah pendidikan telah kehilangan
fungsi utamanya? Berkaca pada kondisi ini, sudah sepantasnya jika
kita bertanya secara kritis, inikah hasil dari proses pendidikan yang
seharusnya menjadi alat transformasi nilai-nilai luhur peradaban?
Jangan-jangan pendidikan telah tereduksi menjadi alat secara mekanik
hanya menciptakan anak didik yang pintar menguasai bahan ajar
untuk sekedar lulus ujian nasional. Kalau begitu, pendidikan sedang
memperlihatkan sisi gelapnya.
Berbagai kesenjangan dan ketidaknyamanan mewarnai
kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan. Peristiwa atau suasana
yang sesungguhnya tidak dikehendaki terjadi itu justru dimediakan,
sehingga menyebar, masyarakat memaknai kejadian-kejadian itu amat
beragam, pendidikan yang tidak berhasil, orang tua dan sekolah yang
gagal, termasuk pemerintah. Pendidikan tidak berhasil mendidik dan
mengembangkan sumber daya manusia yang menjunjung nilai-nilai
falsafah bangsa. Pancasila yang digelorakan sejak revolusi kemerdekaan
mengalami kemunduran dalam makna keluhuran nilai-nilai bagi
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Akibatnya yang
dapat dirasakan tidak membahagiakan/mensejahterakan rakyat,
bahkan suasana kehidupan cenderung semakin meresahkan dan
menghawatirkan, Pancasila kehilangan rohnya.
Sementara itu, bangsa Indonesia tengah dihadapkan dengan arus
globalisasi yang tak dapat dihindari sebagai akibat perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang amat pesat, terutama
teknologi komunikasi dan informasi yang dapat mengubah dunia
menjadi kampung besar (global village). Kondisi yang demikian itu
berdampak pada seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara. Selain itu, dapat pula mempengaruhi pola pikir dan pola
tindak seperti yang digambarkan di atas. Bangsa Indonesia semakin
terbelakang. Globaliasi akan memicu perubahan tatanan pemenuhan

490
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

kebutuhan secara mendasar sesuai dengan karakteristik mobile, plural,


dan kompetitif. Akibat langsung dari proses-proses globalisasi, maka
pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan sebagai satu
program pendidikan yang diselenggarakan secara resmi oleh Negara
hendaknya mampu membangun kesadaran seluruh warga Negara
sebagai anggota kewarganegaraan yang multi-dimensi dan religius.
Pertanyaannya, apa yang harus dilakukan? apakah menerima apa
adanya, atau menolak? bagaimana caranya?
Strategi dan implementasi yang tepat dalam merespon apapun
tantangannya adalah peranan pendidikan. UUD tahun 1945 pasal 1
ayat 3, pemerintah mengusa-hakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional guna meningkatkan keimanan dan ketakwaan
serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Penjabarannya dalam Undang-undang Nomor 20, tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan; pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Bab II pasal 2
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, dinyatakan; Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan
Undang-undang Dasar 1945. Pasal 3; Pendidikan Nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta beradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
berbangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
Sesungguhnya bangsa Indonesia mendambakan generasi mudanya
yang dipersiapkan untuk menjadi warganegara yang baik dan dapat
berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat dan negaranya.
Memperhatikan kompleksnya masalah yang dihadapi bangsa,
pendidikan karakter, maka pelaksanaannya mulai dari mana?
bagaimana sistem pelaksanaannya? Jika pendidikan karakter hanya
diberikan pada generasi, mulai dari usia dini, maka masalahnya; Apa
yang harus dilakukan dalam membentuk manusia yang berkarakter?
Apa pendekatan yang efektif? dan Siapa yang dapat memberikan
pendidikan karakter? Jika pendidikan karakter dimulai dari bawah
dengan kompetensi pendidik yang handal sekalipun akan menjadi sia-
sia dan akan luntur dimakan teladan yang tidak berkarakter terutama
lingkungan di luar rumah dan sekolah seperti melalui media, situasi

491
Professional Learning untuk Indonesia Emas

sosial kemasyarakat. Karakter, bukan dalam hafalan, akan tetapi


perbuatan yang mudah ditiru dan dapat dipengaruhi.

Hakikat Pendidikan
Hakikat pendidikan dapat dipahami dari Undang-undang Nomor
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidiksn Nasional seperti yang
dikemukakan di atas, yaitu mengembangkan potensi kemanusiaan,
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, berakhlak mulia, keterampilan yang diperlukan diri dan
masyarakat, bangsa dan Negara. Prayitno (2009) dalam Prayitno dan
Khaidir (2011 : 56) basis keilmuan pendidikan dilaksanakan dari, untuk,
dan oleh manusia berisi hal-hal yang menyangkut perkembangan
dan kehidupan manusia; serta diselenggarakan dalam hubungannya
antar manusia itu sendiri, pemahaman yang paling mendasar tentang
manusia dan implementasinya menjadi rumusan dalam kaidah-
kaidah keilmuan pendidikan, yang selanjutnya melandasi praktik
pendidikan. Lebih jauh, kajian dan pemahaman tentang manusia,
yang memberikan gambaran tentang kesejatian sosok kemanusiaan
manusia, menjadi basis bagi teori, praksis, dan praktik pendidikan.
Selanjutnya, Azyumardi Azra (2002) dalam Jurnal Pendidikan dan
Kebudayaan (2010 : 231), pendidikan adalah merupakan suatu proses
di mana suatu bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk
menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi tujuan hidup secara
efektif dan efisien. Bahkan, ia menegaskan, bahwa pendidikan lebih
sekedar pengajaran, artinya bahwa pendidikan adalah suatu proses
di mana suatu bangsa atau negara membina dan mengembangkan
kesadaran diri di antara individu-individu. Jadi, pendidikan pada
dasarnya adalah upaya meningkatkan kemampuan sumber daya
manusia supaya dapat menjadi manusia yang mandiri serta dapat
berkontribusi terhadap masyarakat dan bangsanya. Efek dari
pendidikan dapat berupa perubahan dalam perilaku yang biasa
disebut akhlak atau moral. Akhlak atau moral yang baik itu adalah
adanya keseimbangan perilaku antara dorongan dari dalam diri
seseorang dengan tuntutan lingkungannya. Semiawan (1997) mengutip
pendapat Khatena dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan (2010 :
233) moral adalah akibat dari adanya interaksi potensi individual dan
pengaruh social kultural dengan kajian tertentu, meskipun dalam
perkembangan moral kemampuan intelektual dan kemampuan
memproses masukan ikut menentukan perkembangan itu, perilaku
yang diwarnai dimensi moral pada diri seseorang memegang peranan
penting. Perkembangan moral berkorelasi dengan kehidupan individu
dalam kelompok tertentu. Jadi, akhlak adalah keseluruhan kebiasaan

492
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

manusia yang berasal dari dalam diri yang didorong oleh keinginan
secara sadar dan dicerminkan dalam perbuatan yang baik. Akhlak
merupakan pondasi yang kokoh bagi terciptanya hubungan baik
antara al-Kholiq sebagai pencipta dan manusia sebagai ciptaan-Nya.
Tujuan pendidikan itu adalah meletakkan dasar nilai-nilai berupa
pengetahuan, pengalaman-pengalaman yang diekspresikan dalam
kecerdasan, kepribadian, akhlak, keterampilan, yang menggambarkan
seseorang sebagai sosok yang mandiri. Sesungguhnya pendidikan
karakter merupakan kalimat yang rancu, sebab tujuan akhir dari
pendidikan atau hakikat pendidikan adalah nilai dalam wujud pola
tingkah laku yaitu karakter itu sendiri. Pendidikan merupakan proses
internalisasi melalui sikap dan persepsi seseorang terhadap sosial
kultural. Pendidikan karakter bagi generasi merupakan tanggung
jawab semua pihak, tanggung jawab mendewasakan. Pendidikan
adalah proses pemberian pertolongan atau bimbingan dari orang
dewasa (orang tua, guru, masyarakat, pemerintah) kepada yang belum
dewasa agar mencapai kedewasaan (memiliki: kepribadian, budi
pekerti yang luhur dan berakhlak mulia). Pendidikan dapat dilakukan
melalui lingkungan yang bertanggung jawab, yaitu: lingkungan
keluarga, lingkungan persekolahan, dan lingkungan masyarakat.
Jacques Delors, dalam Emzir (2010: 100) mengisyaratkan bahwa
ada 4 pilar pendidikan universal yang ditetapkan UNESCO, yaitu:
learning to know (belajar untuk mengetahui), learning to do (belajar
untuk berbuat), learning to be (belajar untuk menjadi diri sendiri), dan
learning to live together (belajar untuk hidup bersama dengan orang
lain). Selintas dijelaskan sebagai berikut:
1. Learning to know (belajar untuk mengetahui); Jenis belajar ini
menekankan perolehan pengetahuan adalah suatu proses yang
tidak pernah berakhir dan dapat diperkaya oleh semua bentuk
pengalaman. Perluasan bidang pengetahuan yang memampukan
manusia untuk memahami lebih baik berbagai aspek lingkungan
yang menimbulkan rasa ingin tahu intelektual, merangsang pikiran
kritis dan memampukan manusia untuk lebih memahami realitas
dengan memperoleh kemandirian di dalam mengambil keputusan.
2. Learning to do (belajar untuk berbuat); Belajar berbuat terkait
dengan bagaimana mengajar peserta didik untuk mempraktikkan
apa yang sudah dipelajarinya dan bagaimana pendidikan dapat
diadaptasikan dengan pekerjaan pada masa depan. Untuk keperluan
yang lebih luas kompetensi peserta didik yang berkenaan dengan
berbagai situasi kerja dalam tim perlu dikembangkan. Hal ini dapat
terwujud apabila peserta didik berkesempatan untuk mencoba
sendiri dan mengembangkan kemampuan dengan jalan terlibat di

493
Professional Learning untuk Indonesia Emas

dalam pengalaman kerja atau pekerjaan sosial pada waktu mereka


menghayati proses pendidikan.
3. Learning to be (belajar menjadi diri sendiri); Belajar jenis ini
menekankan bahwa pendidikan hendaknya menyumbang pada
perkembangan seutuhnya dari setiap orang, jiwa dan raganya,
intelegensinya, kepekaannya, rasa estetikanya, tanggung jawab
pribadi dan nilai-nilai spiritual, berpikir mandiri dan kritis, dan
membuat keputusan sendiri dalam rangka menentukan bagi
mereka apa yang diyakini harus dilaksanakan didalam berbagai
keadaan kehidupan. Jadi pendidikan memampukan setiap orang
untuk memecahkan masalah-masalahnya sendiri, mengambil
keputusan sendiri dan memikul tanggung jawabnya sendiri.
4. Learning to live together (belajar untuk hidup bersama dengan orang
lain); Belajar jenis ini menekankan bahwa sebelum memahami
orang lain, seseorang harus mengutamakan pengenalan dirinya
sendiri. Seseorang harus berusaha untuk selalu ber-DDCT (Deep
Dialog and Critical Thinking), yaitu berdialog yang mendalam
dengan dirinya sendiri untuk menghasilkan pikiran kritis melalui
siapa, apa, kapan, dimana, mengapa, dan bagaimana. Setelah
seseorang mampu memahami siapa dirinya (who he is), apa yang
harus diperbuat (what he should do), kapan ia harus berbuat (when he
should do), di mana ia harus berbuat (where he should do), bagaimana
cara melakukannya (how should he do), ia diharapkan mampu
masuk ke wilayah yang lebih luas, yaitu lingkungan sosial pada
era mendatang, tingkat intelektual perorangan tidak cukup. Kerja
tim, sinergitas, dan interdependensi (saling ketergantungan) sangat
diperlukan untuk menyelesaikan berbagai aspek kehidupan (team
work is better for all) walaupun dalam kompleksitas keadaan saat ini
diperlukan kompetisi (to compete), disamping juga harus bersanding
(to cooperate).

Karakter
Karakter dapat didefinisikan sebagai kecenderungan tingkah laku
yang konsisten secara lahiriah dan batiniah. Karakter adalah hasil
kegiatan yang sangat mendalam dan kekal yang nantinya akan membawa
ke arah perkembangan sosial. Perkembangan sosial merupakan
kegiatan manusia sejak lahir, dewasa, sampai akhir hidupnya akan
terus melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan sosialnya yang
menyangkut norma-norma dan sosial budaya. Selanjutnya, kesadaran
dan karakter sosial merupakan hasil perkembangan dari kegiatan
individu yang konsisten dengan dasar dan taraf dari keseluruhan pola
dan arah pertumbuhannya, sehingga perkembangan itu akan berjalan

494
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

nenurut situasi lingkungan untuk mencapai kedewasaan (Djaali 2007 :


48). Thomas Lickona dalam Educating for Character: How Our Scholls Can
Teach Respect and Responsibility (1991) dalam Winarno (1009 : 13) bahwa
karakter mengandung tiga bagian yang saling berhubungan, yaitu;
mengetahui hal yang baik (knowing the good), menginginkan hal yang
baik (desiring the good), dan melakukan hal yang baik (doing the good).
Margaret Stimmann Branson dalam tulisannya yang berjudul From
Character Development and Democratic Citizenship, Character Count (2007)
ada 6 pilar karakter bagi kewarganegaraan demokratis, yaitu; (1) Trust
worthiness (rasa percaya), (2) Respect (rasa hormat), (3) Responsibility
(tanggungjawab), (4) Fairness (kejujuran), (5) Caring (kepedulian), dan
(6) Citizenship (kewarganegraan).
Karakter privat (individual) meliputi; pertanggung jawaban moral,
disiplin diri, penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia.
Karakter public meliputi; taat terhadap sikap kritis, sopan, kesediaan
mendengar, kemauan bernegosiasi dan kompromi. Kriteria manusia
Indonesia yang baik adalah manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis,
serta bertanggung jawab (Pasal 3 Undang-undang No.20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional) sedangkan visi Indonesia masa
depan, karakter bangsa yang diidealkan adalah terwujudnya bangsa
yang religius, manusiawi, adil, bersatu, demokratis, adil dan sejahtera,
maju, mandiri, baik dan bersih dalam penyelenggaraan Negara.
Menurut Hamdan Mansoer (2005) dalam Winarno (2009 : 17) bangsa
atau masyarakat yang demikian merupakan ciri dari masyarakat
madani di Indonesia. Prayitno dan Kadir (2010 : 27-28) mengidentifikasi
karakter warga negara Indonesia menjadi 5 kandungan fokus nilai-
nilai karakter yang disebut karakter cerdas, yaitu: A. beragama
dan bertakwa; (1) beragama: percaya kepada Tuhan yang maha
Esa (2) menjalankan perintah dan menjauhi larangan Tuhan sesuai
dengan agama yang dianut, yaitu berbuat kebaikan/kebajikan dan
menghindari berbuat salah atau jahat (3) amanah (4) bersyukur (5)
ikhlas B. jujur: (6) berkata apa adanya, (7) berbuat atas kebenaran, (8)
membela kebenaran (9) bertanggung jawab, (10) memenuhi kewajiban
dan menerima hak, (11) lapang dada, (12) memegang janji C. cerdas:
(13) aktif; dinamis (14) terarah/berpikir logis, (15) analisis dan objektif
(16) mampu memecahkan masalah, menemukan solusi, (17) kreatif;
menciptakan hal baru (18) berpikir maju, (19) konsisten, (20) berpikir
positif (21) terbuka D. tangguh, (22) teliti (23) sabar/mengendalikan
diri (24) disiplin, (25) ulet/tidak putus asa, (26) bekerja keras (27)
terampil (28) produktif, (29) berorientasi nilai tambah, (30) berani

495
Professional Learning untuk Indonesia Emas

berkorban, (31) tahan uji, (32) berani menanggung resiko (33) menjaga
K3 (kelengkapan, kesehatan, dan keselamatan kerja, E Peduli: (34)
mematuhi peraturan, hukum yang berlaku, (35) soapan santun, (36)
loyal dengan mentaati perintah sesuai tugas dan kewajiban, (37)
demokratis, (38) sikap kekeluargaan (3) gotong royong (40) toleransi,
suka menolong (41) musyawarah, (42) tertib, menjaga ketertiban, (43)
damai, anti kekerasan, (44) pemaaf, (45) menjaga kerahasiaan.

Pembahasan
Pengembangan kemampuan dan pembentukkan watak yang
dimaksudkan itu melalui pendidikan. Pendidikanlah yang pada
dasarnya membawa kehidupan manusia sesuai dengan kehendak
Maha Pencipta, sesuai fitrah kehidupan manusia itu sendiri. Dalam
kaitan dengan itu, ilmu pendidikan yang menghimpun berbagai kaidah
keilmuan pendidikan secara langsung diarahkan implementasinya
untuk mengem-bangkan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Pendidikan
dalam semua jenjang satuan pendidikan dasar, menengah dan
pendidikan tinggi membangun karakter melalui tindak pendidikan
yang melakukan transfer ilmu pengetahuan. Proses pembelajaran yang
sesunguhnya tidak hanya terkait dengan pengubahan tingkah laku,
apa lagi proses pembiasaan atau kondisioning justru dikerdilkan oleh
praktik menghafal. Pendekatan interdisipliner yang mengamanatkan
agar permasalahan pendidikan dilihat secara lebih luas. Pembelajaran
yang mengarah kepada pembangunan karakter bangsa juga terhalang.
Penguasaan siswa terhadap dasar Negara, lembang Negara sebagai
simbol kebangsaan baru sebatas pengetahuan, sementara penerapan
nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari tampak semakin
kabur dan semakin jauh dari harapan, tidak mengangkat harkat
dan martabat manusia. Sebaliknya nilai-nilai global dan dunia maya
merasuk kehidupan pada siswa diabaikan, dan pendidikan tidak
memberikan kepedulian untuk mencegah. Dengan paradigm bahwa
pendidikan pada dasarnya adalah upaya memuliakan kemanusiaan
manusia, maka harkat dan martabat manusia yang merupakan
karakteristik dasar kemanusiaan manusia menjadi basis sosok manusia
seutuhnya dimulai untuk mewujudkannya, meningkatkan harkat dan
martabat manusialah pendidikan ditujukan, dan dengan orientasi
harkat dan martabat manusialah pendidikan diselenggarakan.
Dengan paradigma itu, maka pendidikan mengunggulkan harkat
dan martabat manusia menuju terbangun manusia seutuhnya yang
berkarakter berlandaskan nilai-nilai luhur bangsa.
Pendidikan dalam lingkungan merupakan sarana esensial
untuk membangun karakter anak-anak dan generasi muda bangsa.

496
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

Lingkungan pendidikan ini melibatkan semua elemen; rumah tangga


dan keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat luas. Rumah tangga
dan keluarga sebagai satuan pendidikan informal sekaligus sebagai
satuan pembentuk karakter harus diberdayakan. Suasana pendidikan
dalam keluarga menjadi satuan pendidikan untuk mengembangkan
cinta sejati dan kasih sayang. Pembentukkan karakter melalui
lingkungan ini, selain melakukan pembelajaran pengetahuan, tetapi
lebih dari itu, yaitu lebih berfokus pada moral, nilai-nilai etika, estetika,
budi pekerti yang luhur, yang semuanya itu tergabung dalam nilai-
nilai karakter cerdas. Kemampuan keluarga itu berkenaan dengan
teknik operasional pendidikan.
Pendidikan non-formal berfungsi sebagai penyeimbang atau
komplemen, penambah atau suplemen, dan pengganti atau substitusi
dari pendidikan formal. Kedudukannya disetarakan dengan
pendidikan formal. Pendidikan non-formal juga berfungsi untuk
membangun karaktar peserta didik. Dalam hal ini pendidikan non-
formal memerlukan perencanaan yang matang dalam isi programnya,
prasarana dan sarananya, sumber belajarnya serta aktivitas pendidik
dan peserta didiknya, yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan.
Pendidikan formal, non-formal dan informal diindentifikasi
sebagai berikut:
1. Pendidikan formal lebih mengarah kepada pengembangan
ranah kognitif, lebih disempitkan lagi menjadi hafalan, kurang
menjangkau pengembangan karakter.
2. Meskipun sudah disetarakan dengan pendidikan formal tingkat
pendidikan dasar dan menengah, namun masih dikesankan bahwa
pendidikan non-formal masih sempit dan lebih rendah dibanding
dengan pendidikan formal.
3. Pendidikan informal belum efektif, karena terhambat oleh
kualitas pendidikan formal dan pendidikan non-formal yang
kurang berkarakter, rendah nilai-nilai dan perilaku karakter.
Kesempatan pengasuhan sehat terhadap anak-anak dalam
keluarga tidak memadai, sehingga karakter generasi cenderung
ada penyimpangannya.

Penutup
Pendidikan karakter adalah usaha sadar dan terencana untuk
mengembangkan potensi diri untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, keterampilan
yang diperlukan masyarakat bangsa dan Negara. Untuk meningkatkan
kualitas karakter generasi muda, peranan lembaga pendidikan sangat
diutamakan sesuai fungsinya dan peranannya, semuanya sama-

497
Professional Learning untuk Indonesia Emas

sama meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang berbudi


pekerti, takwa, cerdas, terampil, dan kreatif. Komponen bangsa perlu
memberikan keteladanan yang berkarakter. Untuk meningkatkan
kualitas manusia Indonesia perlu mengkaji aspek-aspek: agama,
kejujuran, kecerdasan, ketangguhan, dan kepedulian yang dilandasi
nilai-nilai luhur bangsa yaitu; butir-butir wujud pengamalan Pancasila.

Daftar Pustaka

Djaali; Psikologi Pendidikan; Bumi Aksara, Jakarta, 2007


Emzir dan Sam M. Chan; Isu-isu Kritis Kebijakan Pendidikan Era Otonomi
Daerah, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2010.
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Badan Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Pendidikan Nasional, Jakarta, Mei 2010
Prayitno dan Khaidir, Afriva; Model Pendidikan Karakter Cerdas,
Universitas Negeri Padang, Padang, 2010
Winarno, Kewarganegaraan Indonesia dari Sosiologi menuju Yuridis,
Afabeta, Bandung, 2009
Undang-undang Sisdiknas, Fokesmedia, Bandung, 2009

498
6
STANDAR
KEUNGGULAN
KOMPETENSI GURU
UNTUK INDONESIA
EMAS
Professional Learning untuk Indonesia Emas

500
PROFESIONALISME GURU MELALUI
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI GURU
(PPG) DI LEMBAGA PENDIDIK DAN TENAGA
KEPENDIDIKAN
Fauzan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Email: fauzan@uinjkt.ac.id

Abstrak: Peningkatan mutu pendidikan melalui peningkatan


mutu profesionalisme tenaga pendidik (guru dan dosen) diakui
sebagai langkah paling strategis dan menentukan, karena para
tenaga pendidiklah yang berada pada barisan terdepan dalam
mengantar peserta didik menuju keunggulan kemampuan dan
daya saing di tengah percaturan global. Ada banyak langkah
kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan
kualitas guru Indonesia, salah satunya dilakukan dengan
mengembangkan program Pendidikan Profesi Guru (PPG).
Keberadaan PPG menjadi tuntutan setelah Undang-undang
Guru dan Dosen (UUGD) mempersyaratkan guru profesional
memiliki sertifikat pendidik. Pendidikan profesi berisi kegiatan
praktik menerapkan kemampuan akademik kependidikan
dalam kegiatan profesional guru di sekolah disertai mekanisme
pembimbingan dan supervisi yang sistematis dan dalam waktu
yang relatif memadai (sekurang-kurangnya satu tahun atau dua
semester).

Kata kunci : profesionalisme guru, pendidikan profesi guru

Pendahuluan
Komponen terpenting dan sangat menentukan keberhasilan
pendidikan adalah guru. Dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, guru dianggap sebagai tenaga
pendidik professional yang terlibat dan ikut bertanggung jawab
terhadap proses pembelajaran. Dalam istilah pendidikan, pendidik
atau guru merupakan orang yang dengan sengaja memengaruhi orang
lain untuk mencapai tingkat kemanusiaan yang lebih tinggi. Dengan
kata lain, pendidik adalah orang yang lebih dewasa yang mampu
membawa peseta didik ke arah kedewasaan.
Secara terminologis, pendidik adalah tenaga kependidikan

501
Professional Learning untuk Indonesia Emas

yang berasal dari anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan


diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan yang
berkualitas sebagai pendidik, tutor, instruktur, fasilitator, dan
sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi
dalam menyelenggarakan pendidikan. Dengan demikian, pendidik
merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan
melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran,
melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian
dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada
pendidikan tinggi. Artinya, pendidik harus memiliki kualifikasi
minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan
mengajar, sehat jasmani dan ruhani, serta memiliki kemampuan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Pendidik dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kategori, yakni
pendidik menurut kodrat, yaitu orang tua dan pendidik menurut
jabatan, yakni guru atau dosen. Orang tua sebagai pendidik menurut
kodrat adalah pendidik pertama dan utama, karena secara kodrati
anak manusia dilahirkan oleh orang tuanya (ibunya) dalam keadaan
tidak berdaya. Hanya dengan pertolongan dan layanan orang tua
(terutama ibu) bayi (anak manusia) itu dapat hidup dan berkembang
makin dewasa. Hubungan orang tua dengan anaknya dalam hubungan
edukatif, mengandung dua unsur dasar, yakni unsur kasih sayang
pendidik terhadap anak, dan unsur kesadaran dan tanggung jawab
dari pendidik untuk menuntun perkembangan anak.
Dalam konteks pengajaran, keberadaan seorang guru dituntut
untuk dapat menunjukkan dirinya sebagai sosok yang professional
dengan kompetensi dan kualifikasi yang dimilikinya. Dengan kata lain,
guru yang bermutu merupakan syarat mutlak hadirnya sistem dan
praktik pendidikan yang berkualitas, hampir semua bangsa di dunia
ini selalu mengembangkan kebijakan yang mendorong keberadaan
guru yang berkualitas.
Guru berkualitas berarti guru yang secara administratif memenuhi
kualifikasi S1 (Sarjana) serta memiliki kemampuan dalam bidang
pengajaran sebagaimana diatur dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen. Kualifikasi dapat berarti (1) pedidikan khusus
untuk memperoleh suatu keahlian; (2) keahlian yang diperlukan
untuk melakukan sesuatu (menduduki jabatan, dsb); (3) tingkatan;
(4) pembatasan atau penyisihan olahraga. Berdasarkan pengertian
guru dan kualifikasi yang telah dijabarkan sebelumnya, dapat
ditarik kesimpulan mengenai kualifikasi guru sebagai keahlian yang
diperlukan seseorang untuk menjalankan profesi guru.
Dengan kualifikasi sarjana, diharapkan para guru memiliki bekal

502
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

kemampuan yang mencukupi, baik konten materi yang diajarkan


maupun konsep kependidikan yang diperoleh di perguruan tinggi,
sehingga dengan bekal pengalaman tersebut guru semakin matang
dan cakap dalam melahirkan generasi-generasi masa depan.

Kriteria Guru Kompeten


Kompetensi (competency) adalah kecakapan atau kemampuan
(Muhibbin, 2004: 229). Menururt Uzer Usman kompetensi berarti
suatu hal yang menggambarkan kualifikasi atau kemampuan
seseorang, baik yang kualitatif maupun yang kuantitatif (Uzer U,
2000 : 4). Pengertian tersebut lebih melihat dari segi administratif
keilmuan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kompetensi
adalah kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan (memutuskan)
sesuatu. Ada beragam definisi dari kompetensi, di antaranya adalah
sebagai berikut:
Muhammad Surya mengungkapkan bahwa kompetensi adalah
keseluruan kemampuan pengetahuan, sikap, dan keterampilan
yang diperlukan oleh seseorang dalam kaitan dengan tugas tertentu
(M. Surya, 2004: 92). Sejalan dengan itu, Finch dan Cruncilton
sebagaimana dikutip oleh Mulyasa mengartikan kompetensi sebagai
penguasaan terhadap suatu tugas, keterampilan, sikap dan apresiasi
yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan (Mulyasa, 2003:
38). Hal tersebut menunjukkan bahwa kompetensi mencakup tugas,
keterampilan, sikap dan apresiasi yang harus dimiliki oleh guru
atau pendidik untuk menjalankan tugas-tugasnya guna mencapai
suatu tugas tertentu yang telah ditentukan.
Di samping bermakna kemampuan, oleh Mc Load kompetensi
juga bermakna sebagai the state of being usually competent or
qualified, yaitu keadaan berwewenang atau memenuhi syarat
menurut ketentuan hukum (Muhibbin, 2004). Ungkapan tersebut
dapat dipahami bahwa orang yang memiliki kompetensi harus
memiliki wewenang dan syarat sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku, misalnya seorang dokter merupakan suatu jabatan yang
diharuskan memiliki kemampuan dalam bidangnya. Dia memiliki
kewenangan dan syarat-syarat sebagai dokter yang didasarkan atas
hukum yang berlaku, yaitu harus lulusan fakultas kedokteran. Jadi
guru pun demikian, harus memiliki kompetensi. Munurut Barlow
dalam Muhibin Syah berpendapat bahwa kompetensi guru (teacher
competency), ialah the ability of a teacher to responsibly perform his or
her duties appropriately, yaitu, merupakan suatu kemampuan guru
dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban secara bertanggung
jawab dan layak.

503
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Dari beberapa definisi tersebut di atas dapat diambil kesimpulan


bahwa kompetensi mempersyaratkan beberapa hal, antara lain:
(1) Adanya karakteristik yang menunjukkan kemampuan atau
kewenangan, (2) Kemampuan tersebut tecermin dalam bentuk
pengetahuan, ketrampilan dan sikap, (3) Diperoleh melalui
pengalaman belajar, (4) Terwujud dalam bentuk kinerja (performance).
Pengertian kompetensi ini jika dikaitkan dengan dengan profesi
guru, maka kompetensi guru merupakan gambaran hakikat kualitatif
dari perilaku guru atau tenaga kependidikan yang tampak sangat
berarti. Selanjutnya dijelaskan bahwa kemampuan merupakan
perilaku yang rasional untuk mencapai tujuan yang dipersyaratkan
sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Dikatakan rasional karena
mempunyai arah atau tujuan tertentu.
Kompetensi guru mengandung arti kemampuan seseorang
dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban secara bertanggung
jawab dan layak atau kemampuan dan kewenangan guru dalam
melaksanakan profesi keguruannya (Uzer U, 2005: 14). Menurut
Kunandar, pengertian kompetensi guru adalah seperangkat
penguasaan kemampuan yang harus ada dalam diri guru agar
dapat mewujudkan kinerjanya secara tepat dan efektif (Kunandar,
2007 : 55). Dengan demikian, kompetensi guru merupakan kapasitas
internal yang dimiliki guru dalam melaksanakan tugas profesinya.
Tugas profesional guru bisa diukur dari seberapa jauh guru
mendorong proses pelaksanaan pembelajaran yang efektif dan
efisien.
Ada banyak rumusan mengenai dimensi atau macam-
macam kompetensi guru yang dikemukakan para ahli. Cooper
mengemukakan empat kompetensi guru, yakni (a) mempunyai
pengetahuan tentang belajar dan tingkah laku manusia, (b)
mempunyai pengetahuan dan menguasai bidang studi yang
dibinanya, (c) mempunyai sikap yang tepat tentang diri sendiri,
sekolah, teman sejawat, dan bidang studi yang dibinanya, serta (d)
mempunyai keterampilan teknik mengajar.
Pendapat yang sama dikemukakan oleh Grasser. Menurutnya,
ada empat hal yang harus dikuasai guru, yakni (a) menguasai
bahan pelajaran, (b) kemampuan mendiagnosis tingkah laku
siswa, (c) kemampuan melaksanakan proses pembelajaran, dan (d)
kemampuan mengukur hasil belajar siswa.
Menurut George J. Mouly yang dikutip oleh Sudjana, kompetensi
guru terdiri dari kognitif, sikap dan perilaku. Ketiga bidang
kompetensi ini tidak berdiri sendiri, tetapi saling berhubungan dan
saling memengaruhi satu sama lain. Ketiga bidang kompetensi ini

504
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

juga mempunyai hubungan hirarkis dalam arti saling mendasari


satu sama lain.
Bagi Oemar Hamalik, guru profesional harus memiliki
persyaratan yang meliputi: 1) memiliki bakat sebagai guru, 2)
memliki keahlian sebagai guru, 3) memiliki keahlian yang baik dan
terintegrasi, 4) memiliki mental yang sehat, 5) berbadan sehat, 6)
memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas, 7) guru adalah
manusia berjiwa pancasila, dan 8) guru adalah seorang warga
negara yang baik. (Oemar Hamalik: 2001, h. 118)
Konsepsi lain menyatakan bahwa untuk dapat mengemban
tugas sebagai pendidik formal di sekolah, guru disyaratkan memiliki
sepuluh kemampuan dasar, yaitu (1) menguasai bahan, (2) mengelola
program belajar mengajar, (3) mengelola kelas, (4) menguasai media
atau sumber belajar, (5) menguasai landasan kependidikan, (6)
mengelola interaksi belajar mengajar, (7) menilai prestasi siswa, (8)
mengenal fungsi dan program bimbingan penyuluhan, (9) mengenal
dan menyelenggarakan administrasi sekolah, serta (10) memahami
prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil penelitian untuk keperluan
pendidikan dan pengajaran (Kunandar: 2007: 58).

Whats Professional Job? Analisis Guru dan Dokter


Sebutan profesional sangat identik dengan seseorang yang
dapat menyelesaikan tugas, pekerjaan sesuai dengan komitmen yang
sepakati. Kriteria atau ketentuan yang melekat pada sebuah pekerjaan
dimaknai sebagai batasan apakah sebuah pekerjaan itu profesional
atau tidak profesional. Tukang ojeg misalnya, secara prinsipal
merupakan pekerjaan yang tidak memerlukan aturan, semua orang
bisa menjadi tukang ojeg selama perangkat yang dibutuhkan seperti
motor, helm, SIM terpenuhi.
Berbeda halnya dengan profesi guru dan dokter. Kedua profesi
tersebut lahir seiring dengan tuntutan kebutuhan masyarakat. Guru
bisa disebut pekerjaan paling tua. Pekerjaan guru sudah ada sejak
manusia mampu berpikir dan mengenal ilmu pengetahuan. Sepanjang
sejarah kehidupan, guru selalu berada di tengah masyarakatnya
dengan posisi dan peran yang sangat terhormat. Guru mengajarkan
banyak ilmu pengetahuan untuk membuat manusia menjadi mudah
dalam menjalankan kehidupan. Masyarakat tidak bisa menyangkal
jika hanya pekerjaan guru yang dapat mengantarkan anak-anaknya
menjadi sosok yang berilmu pengetahuan, berkeadaban, dan skill
yang mumpuni. Kepribadian, kesantunan, kecerdasan, pembentukan
moralitas suatu bangsa sangat ditentukan oleh baik tidaknya guru
melakukan proses pendidikan. Sama halnya dengan profesi guru,

505
Professional Learning untuk Indonesia Emas

masyarakat juga memandang bahwa hanya dokterlah yang bisa


memberikan resep obat, membantu masyarakat menyembuhkan
segala penyakit yang diderita. Kedua profesi tersebut (guru dan
dokter) memiliki tujuan yang sama, yakni bagaimana agar masyarakat
sehat jasmani dan rohani.
Pekerjaan dokter dalam mengobati penyakit seseorang hanya
memerlukan waktu sekian hari untuk mendiagnosa dan memberikan
obat, jika obat yang diberikan tepat, maka tidak butuh lama seseorang
akan sembuh; namun sebaliknya jika obat yang diberikan tidak
sesuai dengan hasil diagnosa, maka seseorang akan merasakan efek
yang ditimbulkan pada saat itu. Berbeda dengan tugas guru dalam
mendidik, membimbing, dan membentuk karakter masyarakat
membutuhkan waktu yang cukup panjang. Menjadikan manusia
bertaqwa, berakhlak karimah, disiplin, berilmu pengetahuan, sehat
jasmani rohani, serta menjadi warga negara yang bertanggung jawab
dan demokratis bukanlah kerjaan mudah, perlu waktu puluh tahun
untuk sampai tujuan tersebut.
Menjadi sebuah ironis, ketika pekerjaan guru dengan implikasi
besar dalam pembentukan mental dan karakter sebuah bangsa, begitu
terbuka bagi lulusan Sarjana yang berkualifikasi S1. UUGD telah
meligitimasi penyebutan guru profesional dengan kriteria, antara
lain (1) memiliki kompetensi, (2) bersertifikasi, dan (3) berkualifikasi
S1 tanpa embel-embel kependidikan. Artinya, semua lulusan Sarjana
S1 di luar latar belakang kependidikan, dengan bekal kemauan
dan kesempatan bisa berprofesi sebagai guru profesional setelah
dinyatakan lulus mengikuti program Pendidikan Profesi Guru (PPG).
Padahal, dalam perspektif profesi yang lain,lagi-lagi bicara profesi
dokter, hakim, akuntan, apoteker, pengacara, dan perawat; semuanya
mensyaratkan kualifikasi akademik S1 sesuai bidang yang diampu.
Tidak sembarang semua lulusan S1 dapat berprofesi sebagai dokter,
hakim, akuntan, apoteker, pengacara, dan perawat.

PPG: Antara Permasalahan dan Alternatif Solusi


Besarnya perhatian dan dukungan pemerintah terhadap
peningkatan mutu pendidikan, karena mau tidak mau dunia
pendidikan selain menjadi sarana utama yang strategis untuk
meningkatkan sumber daya manusia, juga karena dunia pendidikan
harus menjawab tantangan globalisasi yang mengharuskan dunia
pendidikan dikelola secara profesional yang didukung oleh sumber
daya manusia yang profesional pula. Tanpa upaya tersebut, maka
sumber daya manusia akan kehilangan kemampuan untuk meraih
peluang dalam percaturan dunia yang makin ketat.

506
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

Peningkatan mutu pendidikan melalui peningkatan mutu


profesionalisme tenaga pendidik (guru dan dosen) diakui sebagai
langkah paling strategis dan menentukan, karena para tenaga
pendidiklah yang berada pada barisan terdepan dalam mengantar
peserta didik menuju keunggulan kemampuan dan daya saing di
tengah percaturan global. Karena demikian penting dan strategis fungsi
dan peran tenaga pendidik hingga ada pendapat yang mengatakan,
bahwa sekalipun komponen lainnya tidak ada, namun jika komponen
guru tersedia dengan baik, maka proses pendidikan akan tetap
berjalan. (Nana Saodih Sukmadinata: 1998, 89) Ada banyak langkah
kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kualitas
guru Indonesia, salah satunya dilakukan dengan mengembangkan
program Pendidikan Profesi Guru.
Keberadaan PPG menjadi tuntutan setelah UUGD
mempersyaratkan guru profesional memiliki sertifikat pendidik.
Sertifikat pendidik harus menjadi jaminan seorang guru memiliki
kualifikasi akademik, kompetensi, sehat jasmani dan rohani, sehingga
mampu mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Arahan pasal tersebut mengandung implikasi bahwa untuk
mewujudkan pembelajaran yang mendidik harus didukung oleh
keutuhan penguasaan kompetensi akademik dan profesional
kependidikan. Pendidikan profesi berisi kegiatan praktik menerapkan
kemampuan akademik kependidikan dalam kegiatan profesional
guru di sekolah disertai mekanisme pembimbingan dan supervisi
yang sistematis dan dalam waktu yang relatif memadai (sekurang-
kurangnya satu tahun atau dua semester). (Direktorat Pendidik dan
Tenaga Kependidikan Dikti Kemendikbud RI, 2013: 43)
Kebijakan program PPG telah memperjelas dan memberikan nilai
kemaslahatan bagi profesi guru sebagai tenaga profesional dengan
lisensi sertifikat, tapi pada saat yang lain PPG juga telah memberikan
madharat bahkan membawa pandangan kontroversial bahwa untuk
menjadi guru tidak lagi harus berlama-lama kuliah di Fakultas Ilmu
Kependidikan (FKIP) atau Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
(FITK), karena menurut UUGD program PPG hanya mensyaratkan
lulusan dengan kualifikasi S1 (kependidikan dan non kependidikan).
Lahirnya UUGD juga telah merubah pola pendidikan guru councurrent
atau terintegrasi ke pola pendidikan guru concecutive. (Direktorat
Pendidik dan Tenaga Kependidikan Dikti Kemendikbud RI, 2013:
32) Pola pendidikan guru councurrent yaitu sistem pendidikan guru
yang mengintegrasikan antara kompetensi akademik kependidikan
dan kompetensi akademik bidang studi, sekaligus mengintegrasikan
pendidikan akademik dan pendidikan profesi, lulusannya diberikan

507
Professional Learning untuk Indonesia Emas

hak dan kewenangan mengajar yang melekat, dengan ditandai


pemberian ijazah diploma atau sarjana sekaligus dengan akta mengajar.
Bagi pandangan councurrent, menjadi pendidik haruslah orang yang
matang, bukan hanya ditunjukkan dengan sebuah penguasaan materi
yang diajarkan, tapi secara keilmuan, teori dan konsep kependidikan,
teaching skill juga menjadi tuntutan utamanya. Lahirnya Sekolah
Pendidikan Guru (SPG), Pendidikan Guru Agama (PGA) pada
tingkat sekolah menengah atas membuktikan bahwa menjadi seorang
guru tidaklah mudah, harus dimulai dari panggilan hati jika yang
bersangkutan hendak menjadi guru profesional. Pola penjenjangan
pendidikan guru yang pernah ada di Indonesia membuktikan bahwa
profesi guru harus sesuai dengan latar belakang kualifikasi akademik,
dan kompetensi seseorang.
Sementara pola pendidikan guru concecutive adalah pola
pendidikan guru yang membuka lebar ruang bagi lulusan Sarjana
(kependidikan dan non kependidikan) untuk menjadi tenaga pendidik
profesional. Dalam pandangan concecutive, pendidikan akademik
yang dipersiapkan LPTK/FITK hanya disebut sebagai upaya
mempersiapkan calon guru dengan bekal keilmuan pedagogis dan
konten materi yang akan diajarkan, tetapi belum dapat memberikan
pengalaman mengajar yang sebenarnya ketika terjun ke sekolah/
madrasah. Oleh karenanya, perlu diberikan pengalaman-pengalaman
edukatif yang riil (riil teaching) melalui praktik pengajaran yang
sebenarnya dan sesuai dengan dosis waktu yang dibutuhkan.
Ada dua model PPG yang dikembangkan, yaitu 1) PPG dalam
Jabatan dan 2) PPG Pra Jabatan. Program PPG dalam Jabatan adalah
program pendidikan profesi guru untuk menghasilkan guru yang
memiliki kemampuan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab. Tujuan khusus program
PPG dalam Jabatan adalah untuk menghasilkan guru profesional
yang memiliki kompetensi: (a) merencanakan, melaksanakan, dan
menilai pembelajaran; (b) menindaklanjuti hasil penilaian dengan
melakukan pembimbingan, dan pelatihan peserta didik; dan (c)
mampu melakukan penelitian dan mengembangkan keprofesian
secara berkelanjutan. Sasaran PPG dalam Jabatan adalah guru-guru
yang belum tersertifikasi dengan pengabdian minimal sudah 5 tahun
mengajar dan berasal dari sarjana. PPG model ini disebut juga sebagai
kebijakan pengganti dari penilaian portofolio serta Pendidikan dan
Latihan Profesi Guru (PLPG) yang dianggap sebagian besar masyarakat

508
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

kurang memberikan dampak positif dalam melahirkan tenaga-tenaga


pendidik profesional.
Secara teoretik, PPG model ini disinyalir banyak memberikan
nilai kemaslahatan bagi guru untuk mendalami konten pedagogi
(bagi guru non kependidikan) dan penguatan materi ajar (bagi guru
kependidikan) yang dibutuhkan. Namun kenyataan di lapangan,
pelaksanaan program ini pun tidak sesuai dengan konsep perundang-
undangan. Banyak di antara guru (berasal dari pendidikan dan non
kependidikan) memperoleh perlakuan sama, baik dari segi konten
materi yang diajarkan, maupun waktu yang dibutuhkan selama
program PPG berlangsung. Artinya, sebenarnya semakin tidak jelas
pemilahan mana guru yang berasal dari fakultas kependidikan dan non
kependidikan, karena semua dianggap sama, bahkan perlakuannya
pun dipukul rata.
Dalam pandangan peserta PPG FITK tahun 2013, PPG model
ini jauh lebih punya makna ketimbang PLPG yang hanya sepuluh
hari. Bagi guru, kegiatan PPG telah memberikan penguatan materi
pedagogi dan bahan ajar yang dibutuhkan mereka. Hanya pemilihan
sekolah/madrasah sebagai tempat mikro teaching peserta guru PPG
masih belum representatif dengan kebutuhan teori yang diterima
sewaktu perkuliahan (lihat hasil penelitian Efektifitas PPG FITK UIN
Jakarta, 2013)
Sementara PPG Pra Jabatan berarti pelaksanaan kegiatan PPG
yang diikuti oleh calon-calon guru yang sudah memenuhi tuntutan
kualifikasi akademik Sarjana. Program Pendidikan Profesi Guru
Pra jabatan adalah program pendidikan yang diselenggarakan
untuk mempersiapkan lulusan S1 Kependidikan dan S1/D-IV Non-
kependidikan yang memiliki bakat dan minat menjadi guru agar
menguasai kompetensi secara utuh sesuai dengan standar nasional
pendidikan.
PPG Pra jabatan bisa disebut juga program lanjutan untuk
memberikan labelisasi seseorang sebagai guru profesional dengan
implikasi sertifikat dan tunjangan profesi. Program PPG Pra Jabatan
bisa disebut sebagai program pilihan, ketika seorang sarjana
pendidikan atau lulusan LPTK/FITK ingin menjadi guru profesional.
Artinya, tidak semua lulusan LPTK/FITK harus mengikuti program
PPG Pra Jabatan.
Ada beberapa persoalan mendasar ketika PPG Pra Jabatan
dilaksanakan, yaitu 1) apakah peserta PPG Pra Jabatan terbuka secara
umum (alumni LPTK/FITK dan non LPTK). 2) bagaimana desain PPG
Pra Jabatan diterapkan? Jika PPG Pra Jabatan khusus bagi LPTK/FITK,
apakah diterapkan secara terintegratif melalui kegiatan real teaching

509
Professional Learning untuk Indonesia Emas

sebagai penguat teori pendididikan yang diperoleh di perkuliahan


atau dilakukan secara terpisah menunggu gelar S1 diperoleh. Belum
lagi persoalan kurikulum, proses pelaksanaan yang berbeda antara
PPG dengan Pendidikan Sarjana.

Penutup
Kompetensi guru merupakan gambaran hakikat kualitatif dari
perilaku guru atau tenaga kependidikan yang tampak sangat berarti.
Guru profesional harus memiliki persyaratan yang meliputi:
1) memiliki bakat sebagai guru, 2) memiliki keahlian sebagai
guru, 3) memiliki keahlian yang baik dan terintegrasi, 4) memiliki
mental yang sehat, 5) berbadan sehat, 6) memiliki pengalaman dan
pengetahuan yang luas, 7) guru adalah manusia berjiwa pancasila,
dan 8) guru adalah seorang warga negara yang baik.
PPG dalam jabatan disinyalir banyak memberikan nilai
kemaslahatan bagi guru untuk mendalami konten pedagogi (bagi
guru non kependidikan) dan penguatan materi ajar (bagi guru
kependidikan) yang dibutuhkan.
Kenyataan di lapangan, pelaksanaan program PPG belum sesuai
dengan konsep perundang-undangan. Banyak di antara guru (berasal
dari pendidikan dan non kependidikan) memperoleh perlakuan sama,
baik dari segi konten materi yang diajarkan, maupun waktu yang
dibutuhkan selama program PPG berlangsung.

Daftar Pustaka

Abdurrahman, Meaningful Learning Re-Invensi: Kebermaknaan


Pembelajaran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), cet. I.
Al-Abrasyi, Muhammad Athiyah, al-Tarbiyah al-Islamiyah wa
Fulasifatuha, Mesir: al-Halabi, 1969).
Bek, al-Sayyid, Ahmad al-Hasyimi, Mukhtar al-Ahadits al-Nabawiyah
wa Hukm al-Muhammadiyah, (Mesir: Mathbaah Hijazy, 1367
H./1947 M), cet. VI.
Buchori, Mochtar, Pendidikan Antisipatoris, (Yogyakarta: Yayasan
Kanisius, 2001), cet. I.
-----------, Ilmu Pendidikan & Praktek Pendidikan dalam Renungan,
(Jakarta:IKIP Muhammadiyah Jakarta Press, 1994), cet. I.
Departemen Agama Republik Indonesa, Al-Quran dan Terjemahnya,
(Jakarta: Departemen Agama RI, 1984/1985).
Departemen Pendidikan Nasional, Undang-undang Republik Indonesia

510
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, (Jakarta:


Depdiknas, 2006).
----------, Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005-
2009), (Jakarta: Depdiknas, 2005).
Al-Maraghy, Ahmad Musthafa, Tafsir al-Maraghy, Jilid II, Juz IV,
(Beirut: Dar al-Fikr, tp.th.).
John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta:
Gramedia, 2003
M. Echols, John dan Hassan Shadili, Kamus Inggris Indonesia: An English-
Indonesian Dictionary, (Jakarta: Gramedia, 2003), cet. XXVII.
Mochtar Buchori, Pendidikan Antisipatoris, (Yogyakarta: Kanisius, 2001)
Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:
Kencana Prenada Media, 2006), cet. I.
Nana Saodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, (Bandung:
Rosda Karya, 1998),
Poerwadarmina, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1991), cet. XII.
Sudirman, dkk, Ilmu Pendidikan, (Bandung Remaja Karya, 1989), cet. I.
Wehr, Hans, A Dictionary of Modern Written Arabic,(ed) by J. Milton
Cowan, (Beirut: Librarie du Liban & London: Macdonald &
Evans Ltd, 1974).

511
PENINGKATAN KUALITAS MADRASAH
IBTIDAIYAH MELALUI PROFESIONALISME
GURU DAN PENDIDIKAN KARAKTER SISWA
Sita Ratnaningsih
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Email: sita@uinjkt.ac.id

Abstrak: Proses pengembangan Madrasah Ibtidaiyah (MI)


selain menjadi tanggung jawab internal Madrasah, juga harus
didukung oleh perhatian yang serius dari proses pembangunan
pemerintah. Meningkatkan dan mengembangkan peran serta
Madrasah dalam proses pembangunan merupakan langkah
strategis dalam membangun masyarakat, daerah, bangsa, dan
negara. Sehubungan dengan kualitas Madrasah, berdasarkan
data kelulusan dan nilai UAN yang tersedia menunjukkan
bahwa secara nasional hasil belajar siswa Madrasah lebih rendah
dari sekolah umum. Proporsi siswa Madrasah yang tidak tidak
lulus ujian akhir 7-10% lebih besar dari proporsi siswa sekolah
umum. Hal tersebut merupakan suatu keprihatinan tersendiri
bagi dunia pendidikan, dan merupakan masalah cukup serius
yang harus dicarikan jalan keluarnya.
Salah satu upaya peningkatan kualitas pendidikan di Madrasah
tersebut adalah mengubah paradigma pendidikan, khususnya
pada tingkat dasar (Madrasah Ibtidaiyah) dari pengajaran yang
berpusat pada guru ( teacher centered ) kearah pembelajaran yang
berpusat pada siswa ( student centered ). Paradigma ini menuntut
para guru MI agar lebih kreatif dalam mengembangkan
pembelajaran, sehingga memungkinkan siswa dapat berprestasi
melalui kegiatan-kegiatan nyata yang menyenangkan dan
mampu mengembangkan potensi secara optimal. Pembelajaran
tersebut harus didukung dengan adanya pendidikan karakter
yang menjadikan siswa MI menjadi siswa yang cerdas dan
berakhlak mulia.
Sehingga dalam membangun dan menerapkan pendidikan yang
baik maka peningkatan kualitas Madrasah Ibtidaiyah dapat di
peroleh melalui Profesionalisme Guru dan Pendidikan Karakter
bagi siswanya, karena kedua faktor ini memiliki hubungan yang

512
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

sangat erat untuk mencapai tujuan pendidikan dalam prespektif


pembaharuan di dunia pendidikan yang lebih baik.

Kata kunci : Peningkatan kualitas Madrasah Ibtidaiyah,


Profesionalisme Guru, Pendidikan Karakter Siswa.

Pendahuluan
Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi
jenjang pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk Sekolah
Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang
sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah
Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.
Dalam perkembangannya Madrasah berlangsung sangat cepat.
Pada pertengahan tahun 1960-an, terdapat 13.057 Madrasah Ibtidaiyah
(MI), pendidikan setingkat sekolah dasar (SD) pada sistem pendidikan
umum. Paling tidak terdapat 1.927.777 siswa yang mendaftarkan diri
di MI. Pada pendidikan tingkat lanjutan pertama atau Madrasah
Tsanawiyah (MTs) terdapat 776 madrasah dengan 87.932 siswa.
Sedangkan di tingkat berikutnya atau Madrasah Aliyah (MA)
terdapat 16 madrasah dengan 1.881 siswa. Jumlah peserta pendidikan
ini merupakan angka yang luar biasa bagi sejarah pendidikan di
Indonesia.
Di tahun 1966, pemerintah mengizinkan Madrasah swasta
berubah statusnya menjadi Madrasah Negeri. Dengan kebijakan
pemerintah tersebut maka, ada 123 MI, 182 MTs, dan 42 MA yang
berstatus swasta menjadi Madrasah Negeri. Konsekuensinya,
manajemen Madrasah secara total bergeser dari masyarakat ke
pemerintah. Meskipun demikian, sekitar 90 persen Madrasah masih
dikelola masyarakat setempat dengan bentuk yayasan. Secara legal,
Madrasah sudah terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional
sejak di-berlakukannya Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun
1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Perkembangan madrasah
kemudian berlangsung cepat. Di tingkat MI, siswanya mencapai 11
persen dari total siswa tingkat dasar. Di tahun 2000-an, terdapat 21.454
MI dan sekitar 93,2 persennya diselenggarakan oleh pihak swasta.
Tahun 1999 terdapat 9.860 ma-drasah dan sekitar 88,1 persennya
merupakan madrasah milik swasta. Melihat kenyataan tersebut
sudah tidak diragukan lagi bahwa Madrasah Ibtidaiyah (MI) memiliki
kontribusi nyata dalam pembangunan pendidikan. Apalagi dilihat
secara historis, Madrasah memiliki pengalaman yang luar biasa dalam

513
Professional Learning untuk Indonesia Emas

membina dan mengembangkan masyarakat. Bahkan, Madrasah


mampu meningkatkan perannya secara mandiri dengan menggali
potensi yang dimiliki masyarakat di sekelilingnya.
Proses pengembangan Madrasah Ibtidaiyah (MI) selain menjadi
tanggung jawab internal Madrasah, juga harus didukung oleh perhatian
yang serius dari proses pembangunan pemerintah. Meningkatkan dan
mengembangkan peran serta Madrasah dalam proses pembangunan
merupakan langkah strategis dalam membangun masyarakat, daerah,
bangsa, dan negara. Terlebih, dalam kondisi yang tengah mengalami
krisis (degradasi) moral. Madrasah sebagai lembaga pendidikan yang
membentuk dan mengembangkan nilai-nilai moral, harus menjadi
pelopor sekaligus inspirator pembangkit moral bangsa. Sehingga,
pembangunan tidak menjadi hampa melainkan lebih bernilai dan
bermakna. Sehubungan dengan kualitas Madrasah , berdasarkan
data kelulusan dan nilai UAN yang tersedia menunjukkan bahwa
secara nasional hasil belajar siswa Madrasah lebih rendah dari sekolah
umum. Proporsi siswa Madrasah yang tidak tidak lulus ujian akhir
7-10% lebih besar dari proporsi siswa sekolah umum, walaupun rata-
rata nasional nilai seluruh mata pelajaran masih di bawah 6 di kedua
jenis pendidikan tersebut. Hal tersebut merupakan suatu keprihatinan
tersendiri bagi dunia pendidikan, dan merupakan masalah cukup
serius yang harus dicarikan jalan keluarnya.
Tugas pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah adalah mengarahkan
peserta didik di tingkat dasar untuk dapat berkembang menjadi
manusia yang berkualitas, sehingga mampu dan proaktif menjawab
tantangan zaman yang selalu berubah. Sedangkan peningkatan
kualitas pendidikan merupakan prioritas utama dalam proses
pendidikan. Salah satu upaya peningkatan kualitas pendidikan
tersebut adalah mengubah paradigma pendidikan khususnya pada
tingkat dasar (Madrasah Ibtidaiyah) dari pengajaran yang berpusat
pada guru ( teacher centered ) kearah pembelajaran yang berpusat
pada siswa ( student centered ). Paradigma ini menuntut para guru
agar lebih kreatif dalam mengembangkan pembelajaran, sehingga
memungkinkan siswa dapat berprestasi melalui kegiatan-kegiatan
nyata yang menyenangkan dan mampu mengembangkan potensi
secara optimal. Pembelajaran tersebut harus didukung dengan adanya
pendidikan karakter yang menjadikan siswa MI menjadi siswa yang
cerdas dan berakhlak mulia.
Sehingga dalam membangun dan menerapkan pendidikan
yang baik maka peningkatan kualitas Madrasah Ibtidaiyah dapat
di peroleh melalui Profesionalisme Guru dan Pendidikan Karakter
bagi siswanya, karena kedua faktor ini memiliki hubungan yang

514
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

sangat erat untuk mencapai tujuan pendidikan dalam prespektif


pembaharuan di dunia pendidikan yang lebih baik. Akan tetapi pada
kenyataannya apabila dilihat dari kenyataan yang ada, maka kondisi
riil guru MI dilapangan kebanyakan sebagai berikut : masih banyak
guru yang belum memiliki kualifikasi dan kompetensi sebagai guru
MI; sebagian guru MI merasa puas dengan kondisi dan kemampuan
yang telah dimiliki; ikhtiar guru MI untuk meningkatkan kompetensi
diri sangat terbatas, banyak waktu dihabiskan di ruang kelas sekedar
untuk mengejar target kurikulum, di luar kelas waktunya banyak
dihabiskan untuk kepentingan non-akademik; kontak akademik antar
guru MI sangat terbatas; sifat kerja guru MI individual non-kolaboratif;
kontak antar guru MI lebih banyak bersifat non-akademik; kerja
guru MI jarang mendapatkan feedback (dari atasan, kolega, siswa,dll);
banyak guru MI kurang memberikan perhatian serius kepada peserta
didik; guru MI banyak menghasilkan peserta didik yang lulus tetapi
tidak mendapatkan pendidikan secara maksimal.
Menurut data statistik banyak guru MI yang masih dibawah standar
kualifikasi walaupun beberapa diantaranya telah berpengalaman lama
dan mengikuti berbagai penataran kemampuan, tetapi hasil penataran
dan kemampuan ini tidak diukur seberapa jauh meningkatkan
kompetensi mengajarnya. Sebagian guru Madrasah Ibtidaiyah
juga mengajar tidak sesuai dengan latar belakang bidang studinya.
Upaya penataran, studi lanjut, dan studi alih bidang sudah banyak
dilakukan tetapi dalam statistik tidak jelas berapa diantaranya yang
telah berhasil memenuhi kompetensi mengajar yang sesuai dengan
bidangnya. Padahal seharusnya seorang guru Madrasah Ibtidaiyah
wajib memiliki kewajiban untuk melaksanakan serangkaian tugas
sesuai dengan fungsi yang harus dijalankannya secara profesional.
Guru MI berkewajiban memberikan pelayanan kepada siswanya,
terutama dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Guru tanpa menguasai
bahan pelajaran, strategi belajar mengajar, mendorong siswa belajar
untuk mencapai prestasi yang tinggi maka segala upaya peningkatan
kualitas pendidikan tidak akan mencapai hasil yang maksimal, oleh
karena itu, untuk guru MI diperlukan seorang guru yang Profesional,
agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan dapat mencapai
tujuan pendidikan seperti yang diharapkan. Sedangkan pendidikan
karakter sangat perlu di terapkan karena dengan pertimbangan
melalui pendidikan karakter maka akan mampu membina peserta
didik menuju kearah manusia yang berahlak mulia, dan mempunyai
budi pekerti yang lebih baik dalam menjalankan proses pendidikan.
Untuk pembentukan karakter yang baik pada siswa MI ini, maka
secara langsung maupun tidak langsung guru MI yang profesional-

515
Professional Learning untuk Indonesia Emas

lah yang akan membawa kearah perubahan peserta didik MI yang


lebih berkarakter sebagai bangsa Indonesia yang berbudi luhur dan
berakhlak mulia sebagaimana tercantum dalam tujuan pendidikan
Nasional dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003.

Pembahasan
Ciri-ciri dan Syarat Guru Profesional
Guru sebagai salah satu elemen penting dalam pendidikan
selain harus menunjukkan eksistensinya juga diharapkan
memiliki sikap dan perilaku profesional. Sebagaimana yang
dikemukakan Sudarminta dalam Idochi (2000) bahwa, citra
guru masa depan adalah guru yang : (1) sadar dan tanggap akan
perubahan zaman; (2) berkualifikasi profesional; (3) rasional,
demokratis, dan berwawasan nasional; (4) bermoral tinggi dan
beriman.
Guru profesional mempunyai tanggung jawab pribadi, sosial,
intelektual, moral, dan spiritual. Tanggung jawab pribadi yang
mandiri yang mampu memahami dirinya, mengelola dirinya,
mengendalikan dirinya, dan menghargai serta mengembangkan
dirinya. Tanggung jawab sosial diwujudkan melalui kompetensi
guru dalam memahami dirinya sebagai bagian yang tak
terpisahkan dari lingkungan sosial serta memiliki kemampuan
interaktif yang efektif. Tanggung jawa intelektual diwujudkan
melalui penguasaan berbagai perangkat pengetahuan dan
keterampilan yang diperlukan untuk menunjang tugas-tugasnya.
Tanggung jawab spiritual dan moral diwujudkan melalui
penampilan guru sebagai makhluk beragama yang perilakunya
senantiasa tidak menyimpang dari norma-norma agama dan
moral.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa
Profesionalisme guru adalah kecakapan yang dimiliki oleh
seorang guru dalam melaksanakan tugasnya. Dimensi yang dikaji
dari variabel profesionalisme adalah (1) keahlian, (2) otonomi dan
tanggung jawab dan (3) kesejawatan.
Indikator dari dimensi keahlian, indikator mencakup ; penguasaan
isi pengajaran, pemahaman konsep pengajaran, pemahaman psikologi
pengajaran, keterampilan pengajaran dan seni dalam pengajaran.
Indikator dari dimensi otonomi/ mandiri mencakup ; kemandirian
dalam pengembangan ilmu dan keahlian, kemandirian dalam
pengembangan tugas, mampu menciptakan pembelajaran aktif,
kratif dan menyenangkan, mampu mengambil dan menentukan

516
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

keputusan dan bertanggung Jawab atas keputusan. Indikator dari


dimensi kesejawatan/ pengembangan diri mencakup ; pengalaman
pada organisasi profesi, memiliki kemampuan dan motivasi sebagai
guru, memiliki komitmen dalam profesi, memiliki kemampuan
mengatasi permasalahan pengajaran dan mampu membantu kepala
sekolah dalam administrasi lembaga, manajemen kelas dan program
pengajaran.
Adapun syarat untuk menjadi Guru yang profesional adalah :
Pendidikan S1 / D4, mewujudkan tujuan Pendidikan Nasional, memiliki
Sertifikat Pendidik, menguasai kompetensi Pedagogik, menguasai
kompetensi Profesional, menguasai kompetensi sosial, menguasai
kompetensi Kepribadian. Sedangkan ciri-ciri profesionalisme guru
adalah : Sistem Seleksi dan sertifikasi, berdasarkan kompetensi,
militansi Individual & memiliki Organisasi Profesi, memiliki Landasan
Pengetahuan yang kuat, memiliki sistem Sanksi Profesi, memiliki
Prinsip sesuai Kode Etik, memiliki Kesadaran Profesional yang tinggi,
kerjasama antar teman sejawat yang profesional.

Prespektif Pendidikan melalui Pendidikan Karakter


Menurut Muslich (2011), karakter bangsa merupakan aspek
penting dari kualitas Sumber Daya Manusia ( SDM ) karena kualitas
karakter bangsa menentukan kemajuan suatu bangsa, karakter yang
berkualitas perlu dibentuk dan di bina sejak usia dini, karena usia
dini merupakan masa kritis bagi pembentukan karakter seseorang.
Menurut Freud kegagalan penanaman kepribadian yang baik di usia
dini ini akan membentuk pribadi yang bermasalah dimasa dewasa
kelak, kesuksesan orang tua membimbing anak nya dalam mengatasi
konflik kepribadian di usia dini sangat menentukan kesuksesan anak
dalam kehidupan sosial di masa dewasanya kelak.
Pendidikan karakter atau pendidikan watak sejak awal
munculnya pendidikan oleh para ahli dianggap sebagai suatu hal
yang sangat penting. Contoh misalnya, John Dewey pada tahun 1916
yang mengatakan bahwa sudah merupakan hal yang lumrah dalam
teori pendidikan bahwa pembentukan watak merupakan tujuan
umum pengajaran dan pendidikan budi pekerti di sekolah. Menurut
Simon Philips karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada
suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan prilaku yang di
tampilkan. Sementara menurut Kesuma (2011) Mengemukakan bahwa
pendidikian karakter sama dengan kepribadian dianggap sebagai ciri
atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang
bersumber dari bentuk-bentuk yang di terima dari lingkungan,misalnya
keluarga pada masa kecil dan juga bawaan dari sejak lain, Zubaedi

517
Professional Learning untuk Indonesia Emas

(2011) Menyatakan bahwa karakter adalah cara berpikir dan berprilaku


yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama
baik dalam lingkungan keluarga,masyarakat,bangsa dan Negara.
Sedangkan menurut Imam Ghozali menganggap bahwa karakter lebih
dekat dengan ahklak yaitu spontanitas manusia dalam bersikap atau
perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika
muncul tidak perlu dipikirkan lagi dengan demikiankarakter bangsa
sebagai kondisi watak yang merupakan sebagai identitas bangsa.
Pendidikan karakter berarti sebagai usaha sengaja untuk
mewujudkan kebajikan, yaitu kualitas kemanusiaan yang baik secara
obyektif, bukan hanya baik untuk individu perseorangan tapi juga
baik untuk masyarakat secara keseluruhan. Raharjo (2011) memaknai
pendidikan karakter sebagai suatu proses pendidikan secara holistic
yang menghubungkan dimensi moral dengan ranah sosial dalam
kehidupan peserta didik sebagai fondasi bagi terbentuknya generasi
yang berkualitas yang mampu hidup mandiri dan memiliki prinsip
suatu kebenaran yang dapat di pertanggung jawabkan.
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan
karakter itu berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi positif, jadi
orang berkarakter adalah orang yang mempunyai kualitas moral positif
dengan demikian pendidikan adalah membangun karakter yang secara
implisit mengandung arti membangun sifat atau pola prilaku yang di
dasari yang berkaitan dengan dimensi moral yang positif atau yang baik
Pendidikan karakter dapat diartikan sebagai suatu sistem penanaman
nilai-nilai budi pekerti,moral kepada warga sekolah yang meliputi
komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk
melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa
(YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga
menjadi manusia insan kamil.
Tujuan Pendidikan Pendidikan Karakter Bangsa menurut Fathul
Muin (2011) diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Mengembangkan
potensi afektif peserta didik sebagai manusia dan Warga Negara yang
memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa, 2. Menanamkan jiwa
kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi
penerus bangsa, 3. Mengembangkan kemampuan peserta didik
menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan dan,
selanjutnya 4. Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah
sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan
persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh
kekuatan.
Mulai tahun ajaran 2011, seluruh tingkat pendidikan di Indonesia
harus menyisipkan pendidikan berkarakter tersebut dalam proses

518
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

pendidikannya. Adapun penjelasan dari ke-18 nilai-nilai dalam


pendidikan karakter menurut Diknas adalah sebagai berikut : Religius,
Jujur, Toleransi, Disiplin, Kerja Keras, Kreatif, Mandiri, Demokratis,
Rasa Ingin Tahu, Semangat Kebangsaan, Cinta Tanah Air, Menghargai
Prestasi, Bersahabat/Komunikatif, Cinta Damai, Gemar Membaca,
Peduli Lingkungan, Peduli Sosial, dan Tanggung Jawab.

Karakter Nabi Muhammad SAW
Oleh karena Madrasah Ibtidaiyah merupakan sekolah Islam,
maka sebagaimana aturan dalam Agama Islam, siswa pada sekolah MI
sebagai seorang Muslim harus mempunyai seorang figure yang dapat
dijadikan panutan dalam kehidupannya. Didalam Islam panutan
karakter yang sebaiknya diikuti adalah karakter dari Nabi Muhammad
SAW yang merupakan seorang Nabi yang amat sopan dalam bertutur
kata, jujur, tidak pernah berdusta serta luhur budi pekertinya.
Dalam suatu hadist Rosullullah SAW yang berbunyi bahwa
Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan budi pekerti (HR
Ahmad). Dari hadist tersebut dijelaskan bahwa Rosullullah SAW di
utus menjadi Rosul untuk menyempurnakan akhlak umatnya, dalam
arti sebagai umat manusia memiliki kewajiban untuk memperbaiki
akhlak yang selama ini kita miliki.Maka dari itu Pendidikan karakter
siswa di MI merupakan suatu sistem penamaan nilai-nilai karakter
budi pekerti,ahklak dan moral yang meliputi komponen pengetahuan,
kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-
nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri,
sesama, lingkungan, maupun kebangsaan yang berusaha di berikan
dan ditanamkan dengan sungguh-sungguh pada pribadi-pribadi
siswa di MI.
Seperti yang diketahui secara umum Nabi Muhammad SAW
mempunyai perilaku dan akhlak yang sangat mulia terhadap sesama
manusia, khususnya terhadap umatnya tanpa membedakan atau
memandang seseorang dari status sosial, warna kulit, suku bangsa atau
golongan. Beliau selalu berbuat baik kepada siapa saja bahkan kepada
orang jahat atau orang yang tidak baik kepadanya. Oleh kerana itu Nabi
Muhammad SAW di dalam Al-Quran, beliau disebut sebagai manusia
yang memiliki akhlak yang paling agung, yang dapat dijadikan panutan.
Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan
kedatangan hari kiamat, dia banyak menyebut-menyebut Asma
Allah sebagai Tuhan seru sekalian alam. (QS.Al-Ahzab:21).
Karakter atau sifat-sifat Nabi Muhammad SAW tersebut, yang
seharusnya di berikan pada siswa MI adalah sebagai berikut :

519
Professional Learning untuk Indonesia Emas

1. Siddiq
Siddiq artinya benar. Benar adalah suatu sifat yang mulia
yang menghiasi akhlak seseorang yang beriman kepada Allah
dan kepada perkara-perkara yang ghaib. Ia merupakan sifat
pertama yang wajib dimiliki para Nabi dan Rasul yang dikirim
Tuhan ke alam dunia ini bagi membawa wahyu dan agamanya.
Pada diri Rasulullah SAW, bukan hanya
perkataannya yang benar, akan tetapi perbuatannya
juga benar, yakni sejalan dengan ucapannya.
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut
kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah
wahyu yang diwahyukan kepadanya. (QSAn-Najm:4-5)

2. Amanah
Amanah artinya benar-benar dapat dipercayai. Jika satu urusan
diserahkan kepadanya, niscaya orang percaya bahawa urusan itu
akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itulah
penduduk Makkah memberikan gelar kepada Nabi Muhammad
SAW dengan gelar Al-Amin yang bermaksud terpercaya,
jauh sebelum beliau diangkat jadi seorang Rasul. Apapun yang
diucapkan oleh Nabi Muhammad SAW, maka selalu dipercayai
dan diyakini penduduk Makkah karena beliau terkenal sebagai
seorang yang tidak pernah berdusta.
Aku menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepadamu
dan aku hanyalah pemberi nasihatyangterpercayabagimu.(Q
SAl-Araaf:68).

3. Tabligh
Tabligh artinya menyampaikan. Segala firman Allah
SWT yang ditujukan oleh manusia, maka selalu
akan disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW.
Supaya Dia mengetahui, bahwa sesungguhnya rasul-rasul itu
telah menyampaikan risalah-risalah Tuhannya, sedang ilmu-Nya
meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala
sesuatu satu persatu. (QS Al-Jin: 28).

4. Fathonah
Fathonah artinya bijaksana. Dalam menyampaikan ayat Al-
Quran dan kemudian menjelaskannya dalam puluhan ribu hadis
memerlukan kebijaksanaan yang luar biasa. Nabi Muhammad
SAW harus mampu menjelaskan firman-firman Allah SWT
kepada kaumnya, sehingga mereka bersedia memeluk Islam

520
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

dengan sunggguh-sungguh. Dengan sifat bijaksananya Nabi


Muhammad SAW mampu mengatur umatnya sehingga berjaya
mentransformasikan bangsa Arab jahiliah yang asalnya bodoh,
kasar/bengis, berpecah-belah serta sentiasa berperang antara
suku, menjadi satu bangsa yang berbudaya dan berpengetahuan.

Keempat karakter Nabi Muhammad SAW diatas seharusnya


diimplementasikan juga pada setiap pembelajaran yang di berikan
pada siswa MI, dengan cara guru MI memberikan pengertian dan
contoh-contoh yang nyata di lapangan, dengan bahasa yang di
pahami oleh siswa. Dengan demikian mereka akan mempunyai figure
yang baik dan tepat yang dapat diterapkan pada kehidupan mereka
sehari-hari. Dalam pengembangan pendidikan karakter, guru harus
juga bekerja sama dengan keluarga atau orang tua/wali peserta didik.
Guru dan orang tua perlu membuat kesepakatan tentang nilai-nilai
utama apa yang perlu dibelajarkan misalnya: respect for self, others,
honesty; self-control/discipline. Sehingga dengan demikian, akan terjadi
kerjasama yang baik antara guru dan orang tua dalam mendidik siswa
MI menjadi siswa yang berkarakter mulia sebagai bangsa Indonesia
dan sebagaimana telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Penutup
Dalam upaya peningkatan kualitas Madrasah Ibtidaiyah banyak
hal yang harus dilakukan, salah satu faktor penting tersebut salah
satunya adalah melalui profesionalisme guru dan pendidikan karakter
bagi siswa MI.
Adapun syarat untuk menjadi Guru yang profesional sehingga
dapat mendukung tercapainya tujuan pendidikan adalah : Pendidikan
S1 / D4, mewujudkan tujuan Pendidikan Nasional, memiliki Sertifikat
Pendidik, menguasai kompetensi Pedagogik, menguasai kompetensi
Profesional, menguasai kompetensi sosial, menguasai kompetensi
Kepribadian, yang masing-masing potensi ini di tinjau dari perspektif
psikologi pendidikan.
Sedangkan ciri-ciri profesionalisme guru yang dapat mendukung
tercapainya peningkatan kualitas MI yaitu meliputi hal-hal sebagai
berikut : Sistem Seleksi dan sertifikasi, berdasarkan kompetensi,
militansi Individual & memiliki Organisasi Profesi, memiliki
Landasan Pengetahuan yang kuat, memiliki sistem Sanksi Profesi,
memiliki Prinsip sesuai Kode Etik, memiliki Kesadaran Profesional
yang tinggi, kerjasama antar teman sejawat yang profesional. Upaya
Pemerintah dalam mewujudkan Program Pendidikan Karakter bagi
peserta didik, termasuk didalamnya siswa MI sudah sesuai dengan

521
Professional Learning untuk Indonesia Emas

tujuan Pendidikan Karakter Bangsa Indonesia, untuk pendidikan


karakter di MI sebaiknya didukung dengan penanaman karakter Nabi
Muhammad SAW yang meliputi 4 hal, yaitu : Siddiq, Amanah, Tabliq,
dan Fathonah.
Apabila di dalam proses pendidikan di MI di lakukan berbagai
hal dalam peningkatan kualitas MI, maka dengan adanya guru yang
profesional dan karakter siswa yang baik dan sesuai dengan standar
pendidikan karakter bangsa Indonesia ditambah dengan karakter dari
Nabi Muhammad SAW, maka diharapkan Madrasah Ibtidaiyah dapat
menjadi tempat yang paling tepat dalam mendidik anak Indonesia
dalam mencapai bangsa yang cerdas, bermartabat dan berakhlak
mulia.

Daftar Pustaka

Abdul, Madjid, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, Bandung :


Rosdakarya, 2011.
Dharma, Kesuma, Cepi Triatna dan Johar Permana, Pendidikan Karakter
Kajian Teori dan Praktek di Sekolah, Bandung : PT Remaja
Rosdakarya, 2011.
Fathul, Muin, Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoritik dan Praktik
(Jogjakarta: Ar Ruzz, 2011
http://my-world-ly2k.blogspot.com/2012/02/definisi-nilai-dan-
norma.html. ( di akses pada tanggal 17 Mei 2015 )
http://perpustakaan.kemdiknas.go.id/download/Pendidikan%20
Karakter.pdf. (di akses pada tanggal 17 Mei 2015 )
Kemendiknas 2009, Kebijakan Nasional Pendidikan Karakter Bangsa,
Jakarta: Puskur Litbang Kemendiknas.
Martini, Jamaris, 2010. Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan,
Yayasan Penamas Murni, Jakarta.
Masnur, Muslich, Pendidikan Karakter Menjawab tantangan Krisis
Multidimensional , Jakarta : Bumi Aksara, 2011.
Moch, Idochi Anwar, Administrasi Pendidikan dan Manajemen Biaya
Pendidikan, Bandung : Affabeta. 2004.
Mochtar, Buchori, Evolusi Pendidikan di Indonesia, Yogjakarta: Insist
Press, 2007.
Nurdin, Syafruddin, Guru Profesional & Implementasi Kurikulum, Jakarta
: Quantum Teaching. 2013.
Piet, A.Sahertian, Profil Pendidik Profesional, Yogyakarta : Andi

522
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

Offset.1994
Raharjo, Pendidikan Karakter sebagai Upaya Menciptakan Akhlak
Mulia Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, (Jakarta: Balitbang
Kementrian Pendidikan Nasional, Vol.16 No.3 Mei 2010)
Said Hamid Hasan, dkk. Pengembangan Pendidikan Budaya dan
Karakter Bangsa Bahan Pelatihan Penguatan Metode Pembelajaran
Brdasarkan Nilai-nilai Bangsa, (Jakarta: Puskur Balitbang
Kemendiknas, 2010)
Surya, Muhammad, Membangun Manusia Unggul Perlu Profesionalisme
dan Kesejahteraan Guru, Majalah Gema Widyakarya, PGRI DKI
Jakarta, No.9/Th.IV/199. 1999.
Undang - Undang RI No.14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen.
Undang - Undang RI No 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan
Nasional, Pasal 3.
Yamin, Martinis H, Profeseionalisasi Guru & Implementasi KTSP, Jakarta
: Gaung Persada Press.2007.
Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter Konsep dan Aplikasinya dalam
Lembaga Pendidikan, Jakarta Kencana, 2011.

523
PROFESSIONAL ENGLISH TEACHER :
INSPIRING EFL CLASSROOM
Fahriany
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Email : fahriany@ymail.com

Abstract : One factor influences the success of EFL Class is the


teacher. To conduct EFL Class the English teacher must have a
good competences. One of the competences is professionalism
besides pedagogical personality and social competences.
This article discusses the professional English teacher who can
inspire the students motivation to learn English well. It includes
how the English teachers motivate the student, inspiring teachers
can admire for quite distinct personal qualities, kindness,
patience, and relationship between student and teacher.

Keywords : teacher, professional , insipiring, EFL classroom

Introduction
The word inspire has its origins in medieval beliefs about the
power of supernatural beings to breathe spirit into earth-bound
mortals; contemporary understandings of the term are reflected in the
first two definitions found in the Chambers 21st Century Dictionary
(2011 : 1. ...to stimulate (someone) into activity, especially into artistic
or creative activity 2. to fill someone with a feeling of confidence,
encouragement and exaltation. Being innately subjective, human
inspiration is not easy to predict, measure or describe. Furthermore, it
may be only much later that a person or event is recognised as being
inspiring. Perhaps for these reasons, inspiration is not a term much used
in the research literature on second language (L2) motivation, nor in
well known guides for new English language teachers such as Harmer
(2007) and Scrivener (2011), which understandably focus on describing
professional methods and techniques that can be predicted to develop
their learners L2 knowledge and skills in a broadly motivating way.
Yet all teachers need to think about the longer term impact of their
work. Language learning is never accomplished in a single classroom
or course but inevitably involves years of sustained effort in diverse
contexts. The motivation required to sustain that effort in the face of

524
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

inevitable challenges and distractions may come from many sources


but for younger learners one of the most significant is surely the
teacher, the person officially charged with mediating the subject matter
for their pupils. Teachers are the most frequently cited motivational
influence mentioned by learners in Shoaib and Drnyeis (2005) study
of lifelong language learning, for example. Arguably this long-term
motivational effect what we shall call here inspiration is especially
important in the state-school systems of developing countries,where
official provision is most constrained in terms of number of contact
hours, available resources and a heavy assessment burden, and which
are still characterized by high levels of failure and frustration (Nunan,
2003; Graddol, 2006).

Motivation In Language Teaching


Given that it is widely recognized as a central component of
effective language teaching (e.g.Bell, 2005; Brown, 2009), it is perhaps
surprising that researchers have only recently started investigating
what makes teaching motivating. For many years L2 motivation
research, influenced by the social psychological theories of Gardner
and Lambert (1972) among others, tended to focus on learner motivation
(e.g. whether they were instrumentally or integratively oriented to the
L2), rather than on how they were affected by classroom experiences.
As theorists and researchers became more aware of the situated and
dynamic nature of learner motivation, however, more attention was
given to how it was, or could be, shaped by pedagogy. One approach
taken by researchers has been to draw pedagogical implications from
psychological theory. For example, in their influential book Williams
and Burden (1997) elaborated a social constructivist view of motivation
and derived 12 principles for motivating teaching, starting with a
recognition of its complexity; Wu (2003) and Jones, Llacer-Arastia and
Newbill (2009), among others, used self-determination theory to design
interventions that successfully boosted language learners intrinsic
motivation, in elementary school and university classes respectively;
Egbert (2003) draws on flow theory to suggest ways teachers could
design more motivating classroom tasks; and Magid and Chan (2012)
used the concept of the ideal L2 self to help students clarify their goals
and boost their efforts to learn English. Other researchers have focused
on the all-too-common phenomenon of demotivation, and considered
what teachers can do to prevent it (e.g. Chambers, 1999; Littlejohn,
2008;Sakui and Cowie, 2012). The line of research most closely related
to our study, however, is that initiated by Drnyei and Csizrs (1998)
report on Hungarian English-language teachers views about what

525
Professional Learning untuk Indonesia Emas

motivated their learners. Their celebrated list of ten commandments


for motivating language learners which placed setting a personal
example with your own behaviour on top was further elaborated by
Drnyei (2001) who created a taxonomy of 35 macrostrategies
organized according to where in the teaching/learning process they
occurred. Thus, providing a pleasant learning environment is an
important part of creating the basic motivational conditions; helping
learners to set personal goals helps in generating initial motivation;
maintaining and protecting motivation is served by well-designed
classroom tasks and promoting learner autonomy, for example; while
providing constructive feedback helps in encouraging positive
retrospective self-evaluation. Recognising that such a long detailed
list could be intimidating to teachers, Drnyei and Ushioda (2011)
stress that a reasonable professional aim is to be a good enough
motivator using a few well-chosen strategies that suit both the teacher
and the learners (p. 134).Since then, a handful of researchers have
carried out empirical studies to find whether Drnyeis strategies do
actually motivate. Guilloteaux and Drnyei (2008) devised a classroom
observation instrument and used it in tandem with a learner
questionnaire to measure the motivational impact of various teaching
strategies; they found that, even in the relatively constrained context of
Korean school classrooms, what the teachers did mattered learners in
classrooms where teachers used motivational strategies, such as
connecting lesson content to pupils lives and using pair or groupwork,
tended to have more positive attitudes and to display more motivational
learning behaviour (e.g. participating in class activities). Abdollahzadeh
(2012) obtained similar results in Iranian classrooms, while Moskovsky
et al. (2012) went a step further by setting up a quasi-experiment in
Saudi Arabian classrooms, producing results that indicated a direct
causal link between the teachers motivational strategies and the
learners motivation over the eight-week period. In a separate line of
enquiry, based on a distinction between traditional and innovative
teaching strategies, Bernaus and Gardner (2008) found that Spanish
learners perceptions of their teachers strategy use was what affected
their L2 motivation and achievement, rather than the actual use of the
strategies. There are at least two reasons why we should be cautious
in drawing pedagogical principles from it for advising novice teachers.
When systematic study of teaching methodology was in its infancy,
Kharma (1977) warned of the tendency to generalize about motivation;
This seems to be very dangerous indeed. Motivating factors may vary
so widely from one community to another that what applies to one
situation may not apply at all to another (p. 103). Drnyei (2001, 2007)

526
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

himself has always stressed the need for his motivational strategies to
be interpreted in the light of local sociocultural realities. Chen, Warden
and Chang (2005) argued that in Confucian Heritage Cultures (CHC)
such as China learners of English often have a required motivation
pressing them to meet familial expectations and succeed in exams
that may obviate the need or even desirability of Western-produced
motivating teaching strategies. Cheng and Drnyei (2007) addressed
this question directly by comparing Taiwanese and Hungarian
teachers views of motivational strategies, and found that although
both nationalities agreed on the need to promote learner self-
confidence and create a pleasant classroom climate, for example,
they gave different priority to other methods such as promoting
learner autonomy (favoured by the Europeans) and recognising
students efforts (favoured by the Asians). Sugita and Takeuchi (2010)
provide further evidence from Japan that teachers may prioritize
different motivational strategies from their Western counterparts.
Following Kharma (1977), however, we must be careful not to
generalize from cultures to other Asian cultures such as the Malay-
Indonesian, where other educational values may prevail. The second
caveat regarding the motivational strategies approach concerns the
possible assumption that stimulating classroom experiences have long-
term effects on pupils motivation. The lists of strategies used by
researchers originate either in theory or in previous teacher surveys,
e.g. Drnyei and Csizrs (1998). Even if the strategies do constitute
motivational pedagogy for learners, as some of the above research
studies confirm, we cannot be certain that they lead to learners
investing effort in learning the language outside the classroom, over
the long term the kind of motivation that one would expect correlates
most closely to the achievement of L2 communicative competence,
especially in state-school systems where time is limited and lesson
content constrained by assessment practices. In particular, and as
Abdollahzadeh (2012) acknowledge, the teachers motivational
practice might influence learners classroom behaviour in a positive
way, encouraging attention, participation and volunteering, but not
necessarily touch on deeper levels of motivated behaviour
(e.g.self-regulatory capacity) (p. 588), which are essential for initiating
and guiding independent study of the language. Drnyei and Ushioda
(2011) point out there is a critical difference between motivating
students and developing their motivation, defining the latter as
socializing and generating healthy forms of internally driven
motivation (p136). Further, one hears anecdotally of learners inspired
by negative experiences, such as public dressing downs or exam failure

527
Professional Learning untuk Indonesia Emas

(just as sportsmen and women may recount a distant past defeat as the
inspiration for present success). We would therefore argue that it is
necessary to complement the current research on motivational
strategies and their effect on learners immediate classroom behaviour,
with a more open ended inquiry into inspirational teaching and its
longer-term effect on pupils learning behavior beyond the classroom.

Discussion
When inspired, however, learners are stimulated into activity,
mostly independent learning outside the classroom for the learners
this often related back to what they did in the classroom, it tended to
involve other kinds of activity. Broadly speaking, the study contributes
evidence to support Moskovsky et al.s (2012) claim for a causal link
between motivational teaching and enhanced learner motivation, and
for a further link to intensified learning behaviour .
We must acknowledge that this desirable association is probably
more honoured in the breach than the observance, but nevertheless the
study is an endorsement of Anderman and Andermans (2010) most
important conclusionTeachers can and do impact student motivation!
(p.2). As the results have shown us, the effects on learner motivation are
extremely varied and almost all the learners mentioned more than one.
In fact, rather than a linear sequence of cause and effect, the complex
process is probably better represented as a virtuous circle of interacting
factors, whose effects build on each other gradually over time (cf.
Lamb, 2011). For example, a learner starts to find the teachers lessons
interesting, and participates more their teacher notices them more,
asks them to do more, and they feel a sense of progress in the language;
their growing competence then allows them to find uses for the language
outside class, which in turn increases their awareness of the significance
of English and so on. As indicated above, not all the effortful learning
described was truly autonomous, for some it is indicated a continuing
dependence on the teacher; for these respondents, it is possible that
the inspiration was temporary and the effects will wear off. But in
describing these effects a deepening interest in the language, a sense
of progress, increased confidence even these younger learners are
showing awareness of their agency, which as McCombs (1994) argues
is the basis of self-determination and a precondition for the kind of
long-term self-regulated effort that language learning demands. As for
learners, describing teachers of several years ago, we must assume that
their effort and engagement with the language is now self-motivated
rather than done to please their former teacher. As regards the
inspiring teaching, it is interesting that the tri-partite division we found

528
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

corresponds roughly to that put forward 35 years ago by Girard (1977),


on the basis of his survey of French pupils ideal English teacher: he/
she has to offer a good model (both personal and professional), they
have to be a good technician of language teaching, and they also need
to be a good psychologist (p. 102). The inspiring teacher has many
of the qualities of a good teacher. There is also a clear overlap with
several of the key motivational strategies prioritized by teachers. For
example, the number-one strategy for both Hungarian and Taiwanese
teachers setting a personal example with your behaviour (Drnyei
& Csizer, 1998; Cheng and Drnyei, 2007) is reflected in praise
for their teachers professionalism, while other advice present the
tasks properly, make the learning tasks stimulating, create a pleasant
atmosphere would clearly be endorsed by our learners even if the
realization of such strategies will differ according to the local context
(see below). As Drnyei (2001) himself has stressed, no teacher can
possibly use all these strategies, and instead they have to adopt those
that suit their style of teaching and their learners own preferences;
and our results attest to the very diverse ways in which teachers can
motivate. However, if there is one dominant theme in the testaments
offered by the learners, it is the human connection that was made by the
teacher something in them, or something that they consistently did,
struck a chord in the learner that still reverberates. The teachers have
all achieved what many regard as the professions greatest reward a
personal transformation in their learners and they have accomplished
this by leaving a lasting impression in their minds, whether a distinctive
methodology, an exemplary professionalism, or the quality of their care
for individuals. In doing so, they remind us of the socially mediated
nature of motivation, of the importance of supportive interpersonal
processes which foster the development of autonomy and the growth
and regulation of motivation from inside (Ushioda, 2003: 100), and of
the fact that these processes may not be strategic pedagogical decisions,
or even something that the teacher does consciously, but the product
of innumerable personal interactions over time. There are discernible
differences in the responses of learners, which support the view that
socio-cultural factors influence perceptions of motivational teaching.
Firstly, there are some similarities view teachers in Cheng and Drnyei
(2007). We also found little evidence of Chinese teachers actively
promoting learner autonomy, rather learners valued their advice
on how to study the class materials more effectively. Further, while
they appreciated enthusiastic teaching, they appeared to value most
highly instruction that helped them achieve curriculum goals (above
all, scoring well in exams). Indonesian learners had different priorities;

529
Professional Learning untuk Indonesia Emas

for them fun definitely had a positive connotation, and novel teaching
techniques, especially those that emphasized humor, game-playing
and spoken language, were inspiring and memorable.

Conclusions
The relatively of the dataset, the fact that a few teachers received
multiple nominations and so may have skewed the distribution of
responses, and the inevitable fallibility of human memory means
we should be cautious in interpreting of the study. Nevertheless we
believe there are some lessons to be learned about when and how
teachers influence language learners long-term motivation:
While good or professional teaching may be commonplace,
inspirational teaching the kind that learners remember for positive
reasons years later is probably quite rare.
However, even in the relatively constrained context of developing-
country state schools, teachers can be very positive long-term
influences on their learners.
The sources of inspiration are many and varied: any teacher,
implementing any kind of methodology, has the potential to inspire,
if they can make a personal connection with a learner.
The personal and professional qualities that are most likely to
inspire learners will vary according to the educational culture.
There are also probably universal motivational qualities that have
broad appeal. These include : patience and kindness, attention to
individual learner needs, an encouraging manner, professional
diligence, impressive subject knowledge.
Inspiring teaching can change the relationship of a learner to a
subject, making it seem enjoyable to learn, important in their lives
and also something that they can do well.
The effects of inspiring teaching are often mutually sustaining:
learners who develop an interest in the subject put extra effort into
learning it; the extra effort then generates a sense of progress, which
builds self-confidence. For other learners, the starting point might
be the self-confidence that a teacher inspired,which then fuels
interest and effort.

Some of the teachers captured may only have been successful in


inspiring the individual who responded; being realistic, teachers will
rarely inspire a whole class anyway, because the process is always
subjective. Other teachers, though, garnered multiple nominations from
previous pupils; in the second some of them in their schools, and describe
their teaching and how they said that they learned to be inspiring.

530
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

Reference

Anderman, EM and Anderman, LH (2010) Classroom Motivation. Upper


Saddle River, NJ:Pearson Education.
Bell, TR (2005) Behaviors and Attitudes of Effective Foreign Language
Teachers: Results of a Questionnaire Study. Foreign Language
Annals 38/2: 259270.
Bernaus, M and Gardner, RC (2008) Teacher Motivation Strategies,
Student Perceptions,
Student Motivation, and English Achievement. The Modern Language
Journal 92/ii: 387401.
Brown, AV (2009) Students and Teachers Perceptions of Effective
Foreign Language Teaching:A Comparison of Ideals. The
Modern Language Journal 93/1: 4660.
Chambers English Dictionary (2011) Available online at www.
chambers.co.uk/search.
php?query=inspire&title=21st
Chambers, G (1999) Motivating Language Learners. Clevedon:
Multilingual Matters.
Chen, J, Warden, C, and Chang, H (2005) Motivators that do not
motivate: The Curse of Chinese EFL Learners and the Influence
of Culture on Motivation. TESOL Quarterly 39/4.
Cheng, H-F and Drnyei, Z (2007) The use of motivational strategies
in language instruction: The case of EFL teaching in Taiwan.
Innovation in Language Learning and Teaching 1/1: 153174.
Drnyei, Z (2001) Motivational Strategies in the Language Classroom.
Cambridge: CUP.
Drnyei , Z (2007) Creating a Motivating Classroom Environment
in Cummins, J and Davison, C (eds) International Handbook of
English Language Teaching. Springer US.
Drnyei, Z and Csizer, K (1998) Ten commandments for motivating
language learners: results of an empirical study. Language
Teaching Research 2/3: 203229.
Drnyei, Z and Ushioda, E (2011) Teaching and Researching Motivation
(2nd ed). Harlow:Pearson Education.
Egbert, J (2003) A Study of Flow Theory in the Language Classroom.
The Modern Language Journal 87/iv: 499518.
Gardner, R and Lambert, WE (1972) Attitudes and Motivation in Second
Language Learning. Rowley MA: Newbury House.

531
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Girard, D (1977) Motivation: Responsibility of the Teacher. ELT Journal,


XXXI/2: 97102.
Graddol, D (2006). English Next. Plymouth:The British Council.
Guilloteaux, MJ and Drnyei, Z (2008) Motivating Language Learners: A
Classroom-Oriented Investigation of the Effects of Motivational
Strategies on Student Motivation. TESOL Quarterly 42: 5577.
Harmer, J (2007) The Practice of English Language Teaching (4th ed).
Harlow: Pearson.
Jones, BD, Llacer-Arrastia, S and Newbill, PB (2009) Motivating foreign
language students using selfdetermination theory. Innovation in
Language Learning and Teaching 3/2: 171189.
Kharma, N (1977) Motivation and the Young Foreign-Language
Learner. ELT Journal 31/2: 103 111.
Lamb, M (2011) A Matthew Effect in English language education in
a developing country context in Coleman, H (ed), Dreams and
Realities: Developing Countries and the English Language (pp. 186
206).London: The British Council.
Littlejohn, A (2008) The Tip of the Iceberg: Factors Affecting Learner
Motivation. RELC Journal 39/2:214225.
Magid, M and Chan, L (2012) Motivating English learners by helping
them visualise their Ideal L2 Self:lessons from two motivational
programmes. Innovation in Language Learning and Teaching 6/2:
113125.
McCombs, B (1994) Strategies for assessing and enhancing motivation: keys
to promoting self-regulated learning and performance in ONeil, HF
and Drillings, M (eds), Motivation: Theory and Practice. Hillsdale,
NJ:Lawrence Erlbaum.
Moskovsky, C, Alrabai, F, Paolini, S and Ratcheva, S (2012) The Effects
of Teachers Motivational Strategies on Learners Motivation:
A Controlled Investigation of Second Language Acquisition.
Language Learning 63/1: 3462.
Noels, K, Pelletier, L, Clement, R and Vallerand, R (2000) Why are you
learning a second language? Motivational Orientations and
Self-determination theory. Language Learning 50/1: 5785.
Nunan, D (2003) The Impact of English as a Global Language on
Educational Policies and Practices in the Asia-Pacific Region.
TESOL Quarterly 37/4: 589613.
Papi, M and Abdollahzadeh, E (2012) Teacher Motivational Practice,
Student Motivation, and Possible L2 Selves: An Examination in

532
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

the Iranian EFL Context. Language Learning 62/2: 571594.


Park, GP and Lee HW (2006) The characteristics of effective English
teachers as perceived by high school teachers and students in
Korea. Asia Pacific Education Review 7/2: 236248.
Sakui, K and Cowie, N (2012) The dark side of motivation: teachers
perspectives on unmotivation. ELT Journal 66/2: 205213.
Scrivener, J (2011) Learning Teaching (3rd ed).Oxford: Macmillan.
Shoaib, A and Dornyei, Z (2005) Affect in life-long learning: Exploring
L2 motivation as a dynamic process in Benson, P and Nunan,
D (eds), Learners Stories (pp. 2241). Cambridge:University of
Cambridge.
socialbakers (2012) Facebook Statistics by Country. Available online at
ww.socialbakers.com/facebookstatistics/
Sugita, M and Takeuchi, O (2010) What can teacher do to motivate
their students? A classroom research on motivational strategy
use in Japanese EFL context.Innovation in Language Learning and
Teaching 4/1: 2135).
Taleb, NN (2007) The Black Swan. New York:Random House.
Ushioda, E (2003) Motivation as a socially mediated process in Little,
D, Ridley, J and Ushioda, E (eds) Learner Autonomy in the Foreign
Language Classroom (pp. 90102). Dublin: Authentik.
Williams, M and Burden, RL (1997) Psychology for Language Teachers.
Cambridge: Cambridge University Press.
Wu, X (2003) Intrinsic motivation and young language learners: the
impact of the classroom environment. System 31: 501517.

533
PENINGKATAN KEMAMPUAN
KOMUNIKASI GURU DALAM RANGKA
MENCIPTAKAN PROFESSIONAL LEARNING
Zahruddin
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Email : zahruddin din@yahoo.co.id

Abstract: Learning is a process of cooperation between teachers


and pupils in making use of all existing potentials and resorces
whether coming from pupils themselves such as interest, talent
and basic competency owned including style of studying or
coming from outside them such as environment, tools and
source of studying in order to achieve the defined goal of
learning. Learning will be professional if a teacher as one of some
components in the whole system of education, can perform his
duty as well as possible. For this purpose, a teacher should have
a good communication skill. A message in the form of content
of subject that is sent by teacher as communicator cant be
understood by pupil as recevier well if it doesnt consider the
condition of receiver.

Keywords: professional learning, communication

Pendahuluan
Guru merupakan komponen paling menentukan dalam sistem
pendidikan secara keseluruhan, yang harus mendapat perhatian
sentral, pertama dan utama. Figur yang satu ini akan senantiasa
menjadi sorotan strategis ketika berbicara masalah pendidikan,
karena guru selalu terkait dengan komponen manapun dalam sistem
pendidikan. Guru memegang peran utama dalam pembangunan
pendidikan, khususnya yang diselenggarakan secara formal di
sekolah. Guru juga sangat menetukan keberhasilan peserta didik,
terutama dalam kaitannya dengan proses belajar-mengajar. Dari
hasil beberapa penelitian, ada beberapa indikator yang menunjukkan
lemahnya kinerja guru dalam melaksanakan tugas utamanya
mengajar (teaching), yaitu a) rendahnya pemahaman tentang strategi
pembelajaran, b) kurangnya kemahiran dalam mengelola kelas, c)
rendahnya kemampuan melakukan dan memanfaatkan penelitian

534
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

tindakan kelas, d) rendahnya motivasi berprestasi, e) kurang disiplin,


f) rendahnya komitmen profesi, g) serta rendahnya kemampuan
manajemen waktu (Mulyasa: 2012:9). Oleh karena itu, upaya perbaikan
apapun yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan
tidak akan memberikan sumbangan yang berarti tanpa didukung oleh
guru yang profesional dan berkualitas. Dengan kata lain perbaikan
kualitas pendidikan harus berpangkal dari guru dan berujung pada
guru pula.
Untuk itu, pemerintah melakukan berbagai upaya untuk
mengembangkan standar kompetensi dan sertifikasi guru, antara
lain dengan disahkannya Undang-Undang Guru dan Dosen (UUGD).
Ada empat kompetensi yang harus dimiliki oleh guru sesuai dengan
undang-undang yang tertuang pada pasal 28 yaitu kompetensi
pedagogik, kepribadian, profesional dan sosial. Khusus kompetensi
sosial, seorang guru dituntut untuk mempunyai kemampuan
komunikasi yang baik yang mencakup komunikasi lisan, tertulis
dan isyarat. Dalam proses pembelajaran, kemampuan komunikasi
guru berpengaruh besar kepada pemahaman peserta didik sebagai
komunikan terhadap materi yang disampaikan oleh guru sebagai
komunikator. Pesan berupa materi yang disampaikan oleh guru akan
dapat dicerna dengan baik oleh peserta didik sebagai komunikan kalau
guru sebagai komunikator mempunyai pengetahuan dan keterampilan
yang cukup tentang komunikasi. Banyak kasus menunjukkan bahwa
guru mempunyai kelemahan terkait dengan kemampuan komunikasi
seperti mengajar dengan menggunakan istilah-istilah ilmiah
yang kurang dapat dipahami oleh komunikan atau peserta didik,
menjelaskan materi terlalu cepat tanpa memperdulikan keragaman
tingkat intelejensi komunikan atau peserta didik, menggunakan kata-
kata yang tidak etis dalam memarahi peserta didik atau komunikan
dan banyak lagi yang lain.
Atas dasar realitas tersebut, makalah ini dibuat untuk menjadi
masukan dan solusi yang dapat dipandang sederhana namun diyakini
mempunyai pengaruh dan kontribusi yang luar biasa dalam rangka
menciptakan pembelajaran yang profesional (professional learning) dan
menyongsong dan menyukseskan Indonesia Emas sebagaimana yang
telah dicanangkan oleh pemerintah pada tahun 2045.

Professional learning
Pengertian professional learning
Istilah pembelajaran merupakan terjemahan yang digunakan
oleh banyak orang untuk kata learning. Menurut Kamus Webster,
learning is the activity or process of gaining knowledge or skill by studying,

535
Professional Learning untuk Indonesia Emas

practicing, being taught, or experiencing something. Sedangkan menurut


Kamus Besar Bahasa Indonesia, pembelajaran berasal dari kata belajar
berarti berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu. Dalam bahasa
sederhana kata belajar dimaknai sebagai menuju ke arah yang lebih
baik dengan cara yang sistematis (Iskandarwasid & Sunendar: 2011:4).
Menurut Wina Sanjaya(2008:26), pembelajaran dapat diartikan sebagai
Proses kerja sama antara guru dan peserta didik dalam
memanfaatkan segala potensi dan sumber yang ada baik potensi yang
bersumber dari dalam peserta didik itu sendiri seperti minat, bakat,
dan kemampuan dasar yang dimiliki termasuk gaya belajar maupun
potensi yang ada diluar diri peserta didik seperti lingkungan, sarana,
dan sumber belajar sebagai upaya mencapai tujuan belajar tertentu.
Sedangkan menurut Rusman (2011:19), pembelajaran pada hakikatnya
merupakan suatu proses interaksi antara guru dengan peserta didik,
baik interaksi secara langsung seperti kegiatan tatap muka maupun
secara tidak langsung, yaitu dengan menggunakan berbagai media
pembelajaran.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
merupakan aktivitas yang bersifat interaktif antara guru dan peserta
didik yangmana peserta didik sebagai sentral sedangkan guru hanya
sebagai fasilitator dalam mewujudkan tujuan yang hendak dicapai
yaitu peserta didik yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan
dan sikap.
Sementara itu, istilah professional merupakan kata sifat dari
kata profesi yang merupakan bentuk kata bendanya. Banyak ahli
memberikan pengertian terkait kata tersebut. Menurut Nurdin
(2002:15), profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan
keterampilan, kejujuran dan sebagainya. Sedangkan kata professional
menurut Danim (1995:60), mengacu kepada sifat khusus yang harus
ditampilkan oleh orang yang memegang profesi tertentu.
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa professional
learning adalah proses atau aktivitas yang interaktif antara guru dan
peserta didik dalam rangka menggali dan mengembangkan potensi
peserta didik untuk mencapai tujuan pembelajaran yang didukung
oleh kemampuan-kemampuan khusus yang dimiliki guru. Di sini
korelasinya dengan pembahasan yang diangkat yang mana salah satu
kemampuan khusus tersebut adalah kemampuan komunikasi guru.

Bentuk-bentuk Pembelajaran
Pembelajaran sebagai aktivitas yang sangat kompleks memiliki
bentuk-bentuk. Bentuk tersebut merupakan pengembangan oleh para
ahli seiring dengan perubahan realitas yang dihadapi di lapangan

536
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

agar pembelajaran tetap relevan dan bermanfaat besar bagi peserta


didik sebagai individu maupun peserta didik sebagai bagian dari
masyarakat yang lebih luas. Menurut Hakim (2009:53), ada beberapa
bentuk pembelajaran dinataranya:
a. pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran aktif yang
menekankan aktivitas peserta didik bersama-sama secara
kelompok dan tidak individual.
b. Pembelajaran aktif adalah kegiatan mengajar yang memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk berinteraksi dengan
mata pelajaran yang dipelajarinya.
c. Pembelajaran langsung atau interaktif adalah model
pembelajaran secara langsung diarahkan oleh guru melalui
tugas-tugas spesifikasi yang harus dilengkapi oleh peserta
didik dibawah pengawasan guru secara langsung.
d. Pembelajaran inquiry dalam pelaksanaan tahapan yang
ditempuh dalam pembelajaran inqury diantaranya
adalah pemunculan data, pengumpulan data (verifikasi),
pengumpulan data (eksperimen), mengorganisasi dalam
memformulasikan pernyatan analsis.
e. Pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang
membantu guru mengaitkan materi pembelajaran yang
diajarkan dengan situasi dunia nyata peserta didik dan
mendorong peserta didik membantu hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dan penerapannya dalam
kehidupan mereka sehari-hari.

Di sisi lain pembelajaran sebagai aktivitas yang kompleks


tentunya juga memerlukan strategi. Strategi dibutuhkan agar apa
yang menjadi tujuan pembelajaran dapat tercapai. Strategi itu sendiri
dapat dipahami sebagai suatu rencana yang cermat tentang cara-
cara pendayagunaan dan penggunaan sumber daya yang ada untuk
meningkatkan efektifitas dan efisiensi dalam mencapai sasaran
tertentu. di sini professional learning akan terwujud apabila dalam
implementasinya selalu mempertimbang strategi. Menurut Isjoni
(2007:11) bentuk-bentuk strategi pembelajaran yang aktif agar dapat
meghasilkan pembelajaran yang bermutu diantaranya:
a. Critical incident (pengalaman penting)
Strategi ini digunakan untuk memulai pelajaran, tujuan dari
penggunaan strategi ini untuk melibatkan peserta didik sejak
awal dengan melihat pengalaman mereka.
b. Prediction guide (tebak pelajaran)
Strategi ini digunakan untuk melibatkan peserta didik dalam

537
Professional Learning untuk Indonesia Emas

proses pembelajaran secara aktif dari awal sampai akhir.


c. Group resume (resume kelompok)
Biasanya sebuah resume menggambarkan hasil dicapai oleh
individu. Resume ini akan menjadi menarik untuk dilakukan
dalam group dengan tujuan membantu peserta didik
menjadi lebih akrab atau melakukan team building (kerja
sama kelompok) yang anggotanya sudah saling mengenal
sebelumnya.
d. Assesment search (menilai kelas)
Strategi ini dapat dilakukan dalam waktu yang cepat sekaligus
melibatkan peserta didik untuk saling mengenal dan bekerja
sama.
e. Questions students have (pertanyaan dan peserta didik)
Teknik ini merupakan teknik yang mudah dilakukan dapat
dipakai untuk mengetahui kebutuhan dan harapan peserta
didik. Teknik ini menggunakan elisitas dalam memperoleh
partisipasi peserta didik secara tertulis.
f. Active knowledge sharing (saling tukar pengetahuan)
Strategi ini dapat digunakan untuk melihat tingkat
kemampuan peserta didik disamping untuk membentuk kerja
sama tim.
g. Active debate (debat aktif)
Debat dapat menjadi satu metode berharga yang dapat
mendorong pemikiran dan perenungan terutama kalau
peserta didik diharapkan dapat mempertahankan pendapat
yang bertentangan dengan keyakinan mereka sendiri. Ini
merupakan strategi yang secara aktif melibatkan semua
peserta didik dalam kelas bukan hanya pelaku debatnya saja.
h. Card sort (sortir kartu)
Strategi ini merupakan kegiatan kolaboratif yang dapat
digunakan untuk mengerjakan konsep, karakteristik,
klasifikasi, fakta tentang objek atau me-review ilmu yang telah
diberikan sebelumnya.
i. Jigsaw learning (belajar model jigsaw)
Strategi ini merupakan strategi yang menarik untuk
digunakan jika materi yang akan dipelajari dapat dibagi
menjadi beberapa bagian dan materi tidak mengharuskan
urutan penyampaiannya.
j. Student team achivement division (STAD)
Strategi ini merupakan pendekatan pembelajaran kooperatif
yang paling sederhana.
k. Every one is a teacher here (setiap orang adalah guru)

538
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

Strategi ini sangat tepat untuk mendapatkan pastisipasi kelas


secara keseluruhan dan secara individual.

Jenis-jenis pembelajaran
Menurut Gagne yang dikutip oleh Sukmadinata (2009:160-161)
menjelaskan jenis-jenis pembelajaran menjadi delapan jenis mulai dari
yang sederhana sampai yang kompleks diantaranya:
a. Belajar tanda atau signal learning
Individu belajar mengenal dan memberi respons kepada
tanda-tanda
b. Belajar perangsang jawaban atau stimuli respon learning
Belajar ini merupakan upaya membentuk hubungan antara
perangsang dengan jawaban, umpamanya: menjawab
pertanyaan yang diberikan guru
c. Rantai perbuatan atau chaining
Individu belajar melakukan suatu rentetan kegiatan yang
membentuk satu kesatuan
d. Hubungan verbal atau verbal association
Kalau dalam rantai kegiatan, hubungan ini berbentuk perilaku
maka dalam hubungan verbal ini berbentuk hubungan bahasa
e. Belajar membedakan atau discrimination learning
Individu belajar melihat perbedaan dan juga persamaan
sesuatu benda dengan lainnya
f. Belajar konsep atau concept learning
Tipe belajar ini menyangkut pemahaman konsep-konsep
g. Belajar aturan-aturan atau rule learning
Individu belajar aturan-aturan yang ada di masyarakat,
di sekolah, di rumah ataupun aturan dalam perdagangan,
pemerintahan bahkan ilmu pengetahuan.
h. Belajar pemecahan masalah atau problem solving learning
Dalam kegiatan belajar ini individu dihadapkan kepada
masalah-masalah yang harus dipecahkan.

Faktor yang mempengaruhi pembelajaran profesional


Menurut Syah yang dikutip oleh Lip Khoiru Ahmadi, Hendro
Ari Soetyono dkk (2011: 15-17), secara global faktor-faktor yang
mempengaruhi belajar peserta didik dibedakan menjadi tiga yaitu:
a. Faktor internal
Aspek fisiologis yaitu aspek yang bersifat jasmaniah atau
kondisi tubuh seperti tingkat kesehatan, indera penglihatan.
Aspek psikologis yang berpengaruh pada proses belajar
peserta didik diantaranya: intelegensi peserta didik, sikap,

539
Professional Learning untuk Indonesia Emas

bakat, minat, dan motivasi peserta didik


b. Faktor eksternal
Lingkungan sosial sekolah dianatranya guru, staff tata usaha,
teman-teman sekolah satu kelas. Lingkungan sosial di sekolah
mencakup masyarakat, teman-teman serta lingkungan di
sekitar sekolah. Namun yang paling berpengaruh adalah
lingkungan keluarga.
c. Faktor pendekatan belajar
Cara yang digunakan untuk menunjang efektifitas dan
efisiensi belajar atau dapat didefinisikan sebagai perangkat
operasional yang direkayasa sedemikian rupa untuk mencapai
tujuan pembelajaran.

Kemampuan Komunikasi
Pengertian kemampuan komunikasi
Kata komunikasi berasal dari akar kata bahasa latin yaitu
Communico yang artinya membagi. Sedangkan istilah komunikasi
berpangkal pada perkataan latin Communis yang artinya membuat
kebersamaan atau membangun kebersamaan antara dua orang atau
lebih. Para ahli berbeda-beda dalam mendefinisikan komunikasi.
Perbedaan ini ditimbulkan oleh latar belakang keilmuan para ahli
(Wiryanto: 2008:6-7). Berikut beberapa definisi:
a. Sarah Trenholm dan Arthur Jensen (1996:4) mendefiniskannya:
A process by which a source transmits a message to a reciever
through some channel. (komunikasi adalah suatu proses di
mana sumber mentransmisikan pesan kepada penerima
melalui beragam saluran.)
b. Hoveland (1948:371) mendefinisikannya: the process by which
an individual (the communicator) transmits stimuli (ussually verbal
symbols) to modify, the behaviour of other individu. (komunikasi
adalah proses di mana individu mentransmisikan stimulus
untuk mengubah perilaku individu yang lain).
c. Everett M. Rogers dan Lawrence Kincaid (1981:18)
mendefinisikannya: komunikasi adalah suatu proses di mana
dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran
informasi antara satu sama lain, yang pada gilirannya terjadi
saling pengertian yang mendalam.

Definisi-definisi yang dikemukakan oleh para ahli di atas paling


tidak memberikan gambaran tentang apa yang dimaksud dengan
komunikasi. Pada dasarnya komunikasi yang terjadi di dunia nyata
tidak sesederhana itu, tapi lebih kompleks. Sedangkan pengertian

540
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

kemampuan atau kompetensi diungkapkan secara beragam.


Kompetensi adalah pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar
yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Arti lain
dari kompetensi adalah spesifikasi dari pengetahuan, keterampilan,
dan sikap yang dimiliki seseorang serta penerapannya didalam
pekerjaan, sesuai standar kinerja yang dibutuhkan oleh lapangan
(Fatuhrohmah dan Suryana: 2012:32). Pengertian lain dari kemampuan
atau kompetensi adalah karakteristik yang menonjol bagi seseorang
dan mengindikasikan cara-cara berperilaku, berfikir dalam segala
situasi yang berlangsung terus-menerus dalam periode waktu yang
lama (Uno: 2008:78).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kemampuan
komunikasi adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap seseorang
terkait dengan komunikasi yang diimplementasikannya dalam
menjalankan tugasnya secara konsisten.

Unsur-unsur komunikasi
Dari beberapa pengertian komunikasi yang telah dikemukakan,
jelas bahwa antar manusia hanya terjadi, jika ada seseorang yang
menyampaikan pesan kepada orang lain dengan tujuan tertentu.
Oleh karena itu komunikasi terjadi kalau terdapat unsur-unsur yang
mendukungnya.
Terkait dengan unsur-unsur komunikasi, terdapat beberapa
macam pandangan tentang banyaknya unsur yang mendukung
terjadinya komunikasi, mulai dari yang paling sedikit yaitu tiga unsur
yaitu sumber, pesan dan penerima sampai yang paling banyak yaitu
yang lebih dari lima unsur. Kelima unsur tersebut yaitu sumber, pesan,
media, penerima, dan efek (Cangara,1998:22-23). Berikut pandangan-
pandangan tersebut:
a. Aristoteles, ahli filsafat Yunani kuno dalam bukunya Rhetorica
menyebutkan bahwa suatu proses komunikasi memerlukan
tiga unsur yang mendukungnya, yakni siapa yang berbicara,
apa yang dibicarakan dan siapa yang mendengarkannya.
Pandangan ini menurut sebagian besar pakar komunikasi
dinilai lebih tepat disebut proses komunikasi publik dalam
bentuk pidato atau retorika.
b. Claude E. Shannon dan Warren Weaver (1949), dua orang
insinyur listrik menyatakan bahwa terjadinya proses
komunikasi memerlukan lima unsur yang mendukungnya,
yaitu pengirim, transmitter, signal, penerima, dan tujuan.
c. Charles Osgood, Gerald Miller dan Melvin L. De Fleur
menambahkan lagi unsur efek dan umpan balik (feedback)

541
Professional Learning untuk Indonesia Emas

sebagai pelengkap dalam membangun komunikasi yang


sempurna. Kedua unsur ini dikembangkan pada proses
komunikasi antar pribadi & komunikasi massa.
d. Joseph de Vito, K. Sereno dan Erika Vora memandang faktor
lingkungan merupakan unsur yang tidak kalah pentingnya
dalam mendukung terjadinya proses komunikasi.

Berikut dibawah ini gambar ketujuah unsur tersebut dan


dilanjutkan dengan penjelasan singkatnya:

Gambar 1

Sumber
Semua peristiwa komunikasi akan melibatkan sumber sebagai
pembuat atau pengirim informasi. Dalam komunikasi antar manusia,
sumber kemungkinan terdiri dari satu orang dan kemungkinan juga
berbentuk kelompok misalnya partai, organisasi dan lain-lain. Sumber
sering disebut pengirim, komunikator atau dalam bahasa inggrisnya
disebut source, sender atau encoder.

Pesan
Pesan yang dimaksud dalam proses komunikasi adalah sesuatu
yang disampaikan pengirim kepada penerima. Isinya bisa berupa ilmu
pengetahuan, hiburan, informasi, nasihat atau propaganda. Dalam
bahasa inggris pesan biasanya diterjemahkan dengan kata message,
content atau information.

Media
Media yang dimaksud di sini ialah alat yang digunakan untuk
memindahkan pesan dari sumber kepada penerima. Media atau
saluran dapat bermacam-macam bentuknya. Pancaindra dianggap
sebagai media komunikasi antar pribadi. Selain itu, telepon, surat,
sms termasuk media atau saluran yang dapat digunakan dalam
komunikasi antar pribadi. Sedangkan dalam komunikasi massa, media
yang digunakan untuk menghubungkan antara sumber dan penerima
yang sifatnya terbuka, dimana setiap orang dapat melihat, membaca

542
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

dan mendengar dapat dibedakan atas dua macam yaitu media cetak
dan media elektronik. Media cetak seperti surat kabar, majalah,
buku, leaflet, brosur, stiker, buletin, hand out, poster, spanduk dan
sebagainya. Sedangkan media elektronik seperti radio, film, televisi,
video recording, komputer, dan sebagainya.
Selain media komunikasi seperti di atas, kegiatan dan tempat-
tempat tertentu dapat juga dipandang sebagai media komunikasi
sosial misalnya, rumah-rumah ibadah, balai desa, arisan, panggung
kesenian dan sebagainya.

Penerima
Penerima adalah pihak yang menjadi sasaran pesan yang dikirim
oleh sumber. Penerima dapat terdiri satu orang atau lebih, dapat dalam
bentuk kelompok, partai dan sebagainya. Penerima disebut dengan
berbagai macam istilah, seperti khalayak, sasaran, komunikan, atau
dalam bahasa inggris disebut audience atau recevier.

Pengaruh
Pengaruh atau efek adalah perbedaan antara apa yang dipikirkan,
dirasakan, dan dilakukan oleh penerima sebelum dan sesudah
menerima pesan. Pengaruh ini dapat terjadi pengetahuan, sikap dan
tingkah laku seseorang.

Tanggapan balik
Ada yang berpandangan bahwa tanggapan balik sebenarnya
adalah satu bentuk daripada pengaruh yang berasal dari penerima.
Tanggapan balik dapat juga berasal dari unsur lain seperti pesan dan
media, seperti konsep surat yang memerlukan perubahan sebelum
dikirim atau alat yang digunakan untuk menyampaikan pesan
mengalami gangguan sebelum sampai ke tujuan.

Lingkungan
Lingkungan atau situasi adalah faktor-faktor tertentu yang dapat
mempengaruhi jalannya komunikasi. Faktor ini dapat digolongkan
atas empat macam, yaitu dimensi fisik, dimensi sosial budaya, dimensi
psikologis dan dimensi waktu.
Dimensi fisik dapat menjadi rintangan bagi terjadinya proses
komunikasi seperti geografis berupa faktor jarak yang jauh di mana
tidak tersedia fasilitas komunikasi seperti telepon, kantor pos dan
sebagainya.
Dimensi sosial budaya dapat menjadi kendala bagi terjadinya
proses komunikasi, seperti bahasa, kepercayaan, adat istiadat, status

543
Professional Learning untuk Indonesia Emas

sosial dan sebagainya.


Dimensi psikologis yaitu pertimbangan kejiwaan, dapat menjadi
kendala bagi terjadinya proses komunikasi seperti materi yang tidak
sesuai dengan usia penerima atau kritik yang dapat menyinggung
perasaan orang lain.
Dimensi waktu yaitu sitausi yang tepat untuk melakukan kegiatan
komunikasi sehingga pesan atau informasi itu menjadi bernilai.

Tipe komunikasi
Perbedaan pandangan tidak hanya terjadi pada definisi
komunikasi, namun juga pada klasifikasi tipe atau bentuk komunikasi.
Karena para pakar mengklasifikasi berdasarkan pengalaman dan latar
belakang keilmuan (Cangara: 1998:29-30). Berikut uraiannya:
a. Kelompok sarjana komunikasi amerika dalam karyanya
human communication (1980) membagi komunikasi atas
lima macam bentuk komunikasi antar pribadi (intrapersonal
communication), komunikasi kelompok kecil (small group
communication), komunikasi organisasi (organizational
communication), komunikasi massa (mass communication) dan
komunikasi publik (public communication).
b. Joseph A. DeVito, seorang profesor komunikasi di City
University of New York dalam karyanya communicology (1982)
membagi komunikasi atas empat macam, yaitu komunikasi
antar pribadi, komunikasi kelompok kecil, komunikasi publik
dan komunikasi massa.
c. R. Wayne Pace dengan teman-temanya dari Brigham
Young University dalam bukunya Techniques For Effective
Communication (1979) membagi komunikasi atas tiga macam,
yaitu komunikasi dengan diri sendiri, komunikasi antarpribadi
dan komunikasi publik.
d. Beberapa sarjana komunikasi aliran eropa hanya membagi
komunikasi atas dua macam, yaitu komunikasi antar pribadi
dan komunikasi massa.

Penutup
Dari kajian teoritis diatas sangat jelas bahwa kemampuan
komunikasi guru berdampak besar pada penguasaan peserta didik
terhadap materi yang disampaikan. Dari perspektif ilmu komunikasi,
guru sebagai komunikator agar pesannya berupa materi pelajaran dapat
diterima dan dipahami, harus mempertimbangkan peserta didik sebagai
komunikan. Faktor-faktor yang mesti dipertimbangkan tersebut dalam
studi komunikasi dikenal dengan unsur lingkungan yang mencakup

544
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

fisik, sosial-budaya, psikologis, dan waktu. Di samping itu media yang


digunakan juga merupakan unsur yang tidak kalah pentingnya yang
juga perlu dipertimbangkan oleh guru sebagai komunikator dalam
proses pembelajaran agar menghasilkan professional learning.

Daftar Pustaka

Cangara, Hafied, 1998. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Rajawali


Press.
Fatuhrohmah, Pupuh dan Suryana, Aa, 2012. Guru Profesional.
Bandung: PT Radika Aditama.
Hakim, Lukman, 2009. Perencanaan Pembelajaran. Bandung: Wacana
Prima.
Isjoni, 2007. Pembelajaran Visioner. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Iskandarwasid dan Sunendar, Dadang, 2011. Strategi Pembelajaran
Bahasa. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Ahmadi, Lip khoiru, dkk., 2009. Pembelajaran Akselerasi. Jakarta:
Prestasi Pusaka.
Mulyasa, 2012. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Nurdin, Syafruddin, 2002. Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum.
Jakarta: Ciputat Press.
Rusman, 2011. Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme
Guru. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sanjaya, Wina, 2008. Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran.
Jakarta: Kencana Permada Media Group.
Slameto, 2010. Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi. Jakarta: PT
Remaja Rhineka Cipta.
Sudarman Danim, Sudarman, 1995. Media Komunikasi Pendidikan.
Jakarta: Bumi Aksara.
Sukmadinata, Nana Syaodih, 2009. Landasan Psikologi Proses Pendidikan.
Bandung: Rosda Karya.
Uno, Hamzah B., 2008. Model Pembelajaran. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Wiryanto, 2008. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia.

545
ANALISIS KEMAMPUAN LITERASI SAINS GURU
MADRASAH IBTIDAIYAH PROGRAM DUAL
MODE SYSTEM DAN SARJANA KE-2
Burhanudin Milama
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Email: burhanmilama@yahoo.com

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan


literasi sains guru MI. Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode deskriptif dengan teknik random sampling yang
terdiri dari 40 responden dengan rincian 20 responden program
DMS dan 20 responden program S1 ke-2. Hasil penelitian
menunjukan bahwa rata-rata kemampuan literasi sains guru
program DMS (pendidikan SMA/MA) 46,34 sedangkan
programm S1 ke-2 35,37. Hasil penelitian berdasarkan jenis
kelamin, pada program DMS guru perempuan 51,95 dan guru
laki-laki 40,73, sedangkan pada program S1 ke-2 guru laki-laki
36,83 dan guru perempuan33,90. Hasil penelitian berdasarkan
konten literasi sains, program DMS memiliki rata-rata nilai
tertinggi 55,75 pada konten materi sedangkan program S1
ke-2 memiliki rata-rata tertinggi 41 pada konten materi. Hasil
penelitian berdasarkan proses literasi sains, rata-rata tertinggi
program DMS adalah 60 pada kompetensi menggunakan bukti
ilmiah sedangkan nilai tertinggi pada program S1 ke-2 adalah
44,58 pada kompetensi mengidentifikasi ilmiah. Kesimpulan
dari penelitian ini bahwa program DMS memilki kemampuan
yang lebih baik berdasarkan tingkat pendidikan, jenis kelamin,
konten literasi sains, dan proses literasi sains dibandingkan
dengan program S1 ke-2.

Kata kunci : literasi sains, Dual Mode system, S1 ke-2

Pendahuluan
Salah satu tantangan yang berusaha dijawab oleh Kurikulum 2013
yaitu rendahnya tingkat literasi sains anak Indonesia. Hasil penelitian
Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2003
mengenai tingkat literasi sains terhadap siswa Indonesia yang berusia
15 tahun menunjukkan peringkat ke 38 dari 41 negara peserta. Hasil

546
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

survey tahun 2006 menempatkan Indonesia pada peringkat 54 dari 57


negara dengan skor rata-rata 393. Selanjutnya, hasil survey tahun 2009
menempatkan Indonesia pada peringkat 60 dari 65 negara peserta
dengan rata-rata 383. Secara keseluruhan peringkat Indonesia selama
tiga tahun berturut-turut masih di bawah rata-rata internasional.
Rendahnya tingkat literasi sains menurut Firman (2006: 24-26)
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (1) Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan yang digunakan di Indonesia memiliki konten
yang berbeda dengan kurikulum kebanyakan negara-negara lain, (2)
Strategi yang digunakan guru dalam PBM masih cenderung menghafal
apa yang ada dalam buku dan kurang menekankan pada aspek
proses ilmiah dan pemecahan masalah, (3) Sedikitnya pendidikan
dan pelatihan yang diberikan untuk mengembangkan kemampuan
mengajar guru sehingga berdampak kepada proses belajar mengajar
yang dilakukan.
Guru menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kemampuan
literasi sains siswa. Kemampuan guru dalam literasi sains akan
diaplikasikan dalam kegiatan belajar mengajar sehingga akan
menghasilkan siswa-siswa yang mempunyai kemampuan literasi
sains yang baik. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian yang
bertujuan untuk mengetahui kemampuan guru dalam menjawab soal-
soal literasi sains. Dalam penelitian ini, guru yang terlibat adalah guru
Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang sedang mengikuti program kerjasama
antara Kementerian Agama dengan FITK UIN Jakarta yaitu DMS dan
S1 ke-2. Program DMS diperuntukkan bagi guru-guru MI yang belum
memenuhi kualifikasi sarjana, sehingga lulusan dari program ini akan
mendapatkan gelar akademik Sarjana Pendidikan. Sedangkan pada
program S1 ke-2 adalah program yang diperuntukkan bagi guru-guru
sarjana agama yang nanti ditugaskan untuk menjedi guru kelas.

Definisi Literasi Sains


Literasi didefinisikan sebagai kemampuan untuk menggunakan
bahasa sesuai dengan fungsi kepentingan yang diharapkan secara
efektif dalam lingkungan masyarakat (Jarman & McClune, 2007:
2). Konsep literasi menurut PISA adalah kemampuan seseorang
mengakses dokumen tertulis, menggunakan, menyerap, dan
mengevaluasi dokumen untuk membantunya berpartisipasi secara
efektif dalam kegiatan sosial dan berkontribusi terhadap masyarakat
dengan cara meningkatkan pengetahuan dasar dan potensi yang
dimilikinya (Sulun, Yurttas, dan Ekiz, 2009: 723).
Literasi sains menurut Organisation for Economic Cooperation and
Development (OECD) PISA tahun 1999 (Harlen & Qualter, 2004: 63;

547
Professional Learning untuk Indonesia Emas

MCEETYA, 2006: 58; dan Holbrook & Rannikmae, 2009: 280) yakni
kapasitas untuk menggunakan pengetahuan ilmiah, mengidentifikasi
pertanyaan dan menarik kesimpulan berdasarkan fakta untuk
memahami alam semesta dan membuat keputusan terhadap perubahan
yang terjadi pada alam akibat aktivitas manusia. Sedangkan dokumen
NRC (1996) yang berjudul US National Science Education Standards
(Jarman dan Mc Clune, 2007: 2) mendefinisikan literasi sains sebagai
pengetahuan dan pemahaman terhadap konsep-konsep serta proses
sains yang diperlukan seseorang dalam membuat keputusan,
berpartisipasi dalam hubungan masyarakat dan kependudukan, serta
dalam produktivitas ekonomi.
Berdasarkan beberapa pengertian literasi sains di atas, maka
literasi sains tidak semata-mata ditunjukkan dengan pengetahuan
akan fakta-fakta ilmiah dasar, konsep ilmiah, dan terminologi atau
istilah ilmiah. Lebih lanjut lagi, seseorang yang memiliki literasi sains
adalah yang memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan dunia
sekitar dengan memfungsikan konsep-konsep ilmiah dengan rasa
percaya diri, mampu memandang sesuatu kejadian atau fenomena
secara ilmiah secara logis; serta sadar akan hakikat (dan keterbatasan)
pengetahuan ilmiah dan peranan nilai sains bagi generasi mendatang
(Harlen dan Qualter, 2004:63).

Komponen Literasi Sains


Harlen dan Qualter (2004: 64) mengemukakan komponen literasi
sains dalam hubungannya dengan pendidikan IPA SD sebagai berikut.
a. Konsep atau ide-ide sains, yang membantu siswa memahami
aspek ilmiah mengenai dunia di sekelilingnya dan menjelaskan
pengalaman baru secara rasional dengan menghubungkannya
dengan pengetahuan yang telah dimiliki;
b. Proses sains, mencakup keterampilan mental dan fisik
dalam memperoleh, menafsirkan, dan menggunakan bukti
mengenai alam sekitar untuk memperoleh pengetahuan dan
membangun pemahaman;
c. Sikap atau keinginan, yang mengindikasikan keinginan dan
kepercayaan diri untuk berpartisipasi dalam kegiatan inkuiri,
debat, dan pembelajaran;
d. Pemahaman akan alam (dan keterbatasan) pengetahuan
ilmiah.
Adapun komponen literasi sains menurut Norris dan
Philips (Holbrook & Rannikmae (2009: 276) terdiri atas:
pengetahuan tentang konten sains penting berdasarkan
fakta dan kemampuan membedakan konten sains dari hal-

548
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

hal nonilmiah; pemahaman tentang sains dan aplikasinya;


pengetahuan tentang hal-hal yang termasuk ke dalam
sains; kebebasan mempelajari sains; kemampuan berpikir
ilmiah; kemampuan menggunakan pengetahuan ilmiah
dalam pemecahan masalah; pengetahuan yang diperlukan
untuk berpartisipasi dalam komunitas intelektual berkaitan
dengan isu-isu sains; pemahaman tentang hakikat Sains dan
hubungannya dengan kebudayaan; rasa menghargai, merasa
nyaman dengan sains, serta memiliki rasa ingin tahu terhadap
sains; pengetahuan tentang resiko dan manfaat sains, serta
kemampuan berpikir kritis tentang sains dan memiliki
keterampilan sebagai ahli dalam bidang sains tingkat lanjut.

Berdasarkan kedua pendapat para ahli di atas, dapat dikatakan
bahwa literasi sains memiliki komponen sebagai berikut.
a. Pengetahuan dan pemahaman akan konsep, fakta, teori dan
hukum sains untuk mempelajari alam sekitar, benda, objek,
kejadian atau fenomena alam.
b. Kemampuan dan keterampilan mengaplikasikan konsep
sains dalam memecahkan permasalahan yang berhubungan
dengan diri sendiri, lingkungan alam, sosial, masyarakat, dan
ekonomi.
c. Memiliki sikap ingin tahu dan kepercayaan diri dalam bentuk
partisipasi dalam forum ilmiah yang membahas isu-isu sains.
d. Kemampuan berpikir kritis dan ilmiah dalam mengatasi
berbagai permasalahan.
e. Keterampilan melakukan proses sains untuk memperoleh
pengetahuan dan bukti-bukti ilmiah serta memberikan
penjelasan atasnya.
f. Memiliki rasa menghargai terhadap konsep sains yang
telah ditemukan para ilmuwan, tanpa mengesampingkan
kesadaran dan keterbukaan bahwa sains bersifat tentatif dan
dapat berubah jika ditemukan bukti baru.
g. Pemahaman akan hakikat sains sebagai produk, proses serta
sikap dan nilai ilmiah.

Dimensi Literasi Sains


Dimensi literasi Sains yang dikemukakan oleh OECD PISA tahun
2007 (Holbrook & Rannikmae, 2009: 280) adalah sebagai berikut.
a. Konsep ilmiah, yang diperlukan dalam memahami fenomena
alam tertentu dan perubahan alam yang terjadi akibat kegiatan
manusia. Aspek ini dapat dikaitkan dengan tiga area aplikasi

549
Professional Learning untuk Indonesia Emas

utama, yaitu kehidupan dan kesehatan, ilmu pengetahuan


bumi dan lingkungan, serta sains dalam bidang teknologi.
b. Proses ilmiah, yang ditekankan pada kemampuan untuk
memperoleh, menafsirkan, dan melakukan tindakan
berdasarkan bukti ilmiah. Proses ilmiah yang dirumuskan
PISA meliputi kemampuan mengenali pertanyaan
ilmiah, mengidentifikasi bukti ilmiah, menarik serta
mengkomunikasikan kesimpulan, dan menunjukkan
pemahaman terhadap konsep-konsep ilmiah.
c. Situasi atau konteks ilmiah, berhubungan dengan peristiwa
dalam kehidupan sehari-hari mulai dari konteks personal,
masyarakat, hingga tingkat global.

Penilaian Literasi Sains


Penilaian literasi sains dilakukan untuk memonitor sejauh mana
siswa di berbagai negara dapat menggunakan pengetahuan dan
keterampilan ilmiahnya dalam setting dunia nyata dan seberapa
kompeten mereka dalam menggunakan pengetahuan dan keterampilan
tersebut untuk mengajukan solusi terhadap isu-isu terkini. Hal tersebut
merefleksikan penilaian terhadap tiga dimensi besar literasi Sains
yang diambil dari OECD PISA meliputi konten sains, proses sains,
dan konteks aplikasi Sains. Firman (2006: 3-8) menjelaskan ketiga
aspek literasi sains yang diukur dalam survey Nasional PISA tahun
2006 sebagai komplemen terhadap hasil survey PISA Internasional
sebelumnya untuk mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif
mengenai tingkat literasi sains siswa sekolah menengah di Indonesia.
a. Penilaian terhadap konten sains mengukur kemampuan siswa
dalam memahami konsep-konsep yang berasal dari bidang
fisika, biologi, dan ilmu pengetahuan bumi dan antariksa baik
secara terpadu maupun terpisah.
b. Penilaian terhadap proses sains meliputi penilaian kompetensi
siswa dalam mengidentifikasi pertanyaan ilmiah, menjelaskan
fenomena secara ilmiah, dan menggunakan bukti ilmiah.
Ketiga kompetensi tersebut selanjutnya dijabarkan ke dalam
indikator-indikator sebagai berikut.

550
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

Tabel 1. Proses Sains dalam PISA Nasional 2006


Kategori Cakupan Proses Sains
M e n g i d e n t i f i k a s i a. Mengenal pertanyaan yang mungkin
pertanyaan ilmiah diselidiki secara ilmiah
b. Mengidentifikasi kata-kata kunci
untuk mencari informasi ilmiah
c. Mengenal fitur-fitur kunci
penyelidikan ilmiah
Menjelaskan fenomena a. Mengaplikasikan pengetahuan sains
secara ilmiah dalam situasi yang diberikan
b. Mendeskripsikan atau
menginterpretasi fenomena secara
ilmiah dan memprediksi perubahan
c. Mengidentifikasi deskripsi,
eksplanasi dan prediksi yang
memadai
Menggunakan bukti a. Menafsirkan bukti ilmiah dan
ilmiah menarik kesimpulan
b. Memberikan alasan untuk
mendukung atau menolak
kesimpulan dan mengidentifikasi
asumsi-asumsi yang dibuat dalam
mencapai kesimpulan
c. Mengkomunikasikan kesimpulan
dan bukti serta penalaran di balik
kesimpulan

c. Penilaian terhadap aspek konteks maksudnya adalah menilai


pengetahuan, kompetensi (termasuk kecakapan berpikir
kritis) dan sikap pada konteks yang dipilih. Soal yang diujikan
pada siswa berfokus pada situasi ilmiah diawali dari tingkat
kehidupan personal (individu, keluarga, dan pertemanan),
sosial (komunitas masyarakat), dan global (lintas negara).
Butir soal PISA Nasional 2006 disesuaikan dengan kurikulum
dan kehidupan di Indonesia.

Hasil Penelitian
a. kemampuan literasi sains guru MI berdasarkan tingkat
pendidikan/jenis program
Kemampuan literasi sains guru MI berdasarkan tingkat

551
Professional Learning untuk Indonesia Emas

pendidikan terdiri dari dua jenis program yang diselenggarakan


oleh FITK, yaitu program DMS (program strata 1) dan program S1
ke-2 (sarjana agama yang mengambil program guru kelas) yang
masing-masing terdiri dari 20 responden. Kemampuan literasi
sains guru MI dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Pesentase kemampuan literasi sains


berdasarkan tingkat pendidikan
Jenis Nilai Nilai Rata-rata Kategori
Program terendah tertinggi (%)
DMS 14,63 69,90 46,34 Cukup
S1 ke-2 17,07 58,54 35,37 Cukup

Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa kemampuan literasi sains


program DMS memperoleh nilai terendah 14,63, nilai tertinggi
69,90 dengan rata-rata persentasi 46,34%, sedangkan pada program
S1 ke-2 memperoleh nilai terendah 17,07, nilai tertinggi 58,54
dengan rata-rata persentasi 35,37%. Rata-rata kemampuan literasi
sains program DMS lebih besar dari program S1 ke-2. Meskipun
demikian, dapat disimpulkan bahwa kedua jenis program masih
dikategorikan cukup dalam kemampuan literasi sains.

b. Kemampuan literasi sains guru MI berdasarkan jenis kelamin


Salah satu variabel yang mempengaruhi kemampuan literasi
sains adalah jenis kelamin. Dalam penelitian ini pengambilan
data jenis kelamin dilakukan baik pada program DMS maupun
program S1 ke-2. Program DMS terdiri dari 10 responden laki-
laki dan 10 responden perempuan. Program S1 ke-2 terdiri dari
10 responden Llaki-laki dan 10 responden perempuan. Rata-rata
kemampuan literasi sains guru MI berdasarkan jenis kelamin
dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Persentase kemampuan literasi sains berdasarkan jenis


kelamin
Jenis Jenis Nilai Nilai Rata-rata Kategori
Program Kelamin terendah tertinggi (%)
Laki-laki 14,63 60,98 40,73 Cukup
DMS
Perempuan 29,27 68,29 51,95 Baik
Laki-laki 17,07 51,22 36,83 Cukup
S1 ke-2
Perempuan 17,07 43,90 33,90 Cukup

552
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

Dari tabel di atas, dapat dijelaskan bahwa kemampuan literasi


sains guru MI pada program DMS yang laki-laki nilai terendah
14,63, nilai tertinggi 60,98 dengan rata-rata persentasi 40,73%,
sedangkan yang perempuan nilai terendah 29,27, nilai tertinggi
68,29, dengan rata-rata presentasi 51,95%. Pada program S1 ke-
2, laki-laki memperoleh nilai terendah 17,07, nilai tertinggi 51,22,
dengan rata-rata persentasi 36,83%, sedangkan perempuan nilai
terendah 17,07, nilai tertinggi 43,90, dengan rata-rata persentasi
33,90%. Pada program DMS, rata-rata guru laki-laki memperoleh
kategori cukup dalam kemampuan literasi sains, sedangkan
perempuan dikategorikan baik. Pada program S1 ke-2, rata-
rata guru laki-laki dan guru perempuan memperoleh kategori
cukup dalam hal kemampuan literasi sains. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa pada program DMS, guru perempuan
memiliki kemampuan literasi sains yang lebih baik dibandingkan
dengan guru laki-laki, sedangkan pada program S1 ke-2 baik guru
laki-laki memiliki kemampuan literasi sains yang lebih baik dari
guru perempuan walaupun masih tergolong cukup.

c. Kemampuan literasi sains dilihat dari konten literasi sains


Kemampuan literasi sains dilihat dari konten literasi sains,
terdiri dari 4 topik utama yaitu Bumi dan Antariksa (IPBA),
Makhluk Hidup (Biologi), Energi dan Gaya (Fisika), Materi
(Kimia). Rata-rata kemampuan literasi sains berdasarkan konten
literasi sains dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Persentase kemampuan literasi sains berdasarkan konten


Aspek Konten Jenis Rata-rata
Kategori
literasi sains program (%)
DMS 42,25 Cukup
Bumi dan Antariksa
(IPBA) S1 ke-2 32,78 Cukup
DMS 35,00 Cukup
Makhluk Hidup
(Biologi) S1 ke-2 28,83 Cukup
DMS 45,00 Cukup
Energi dan Gaya
(Fisika) S1 ke-2 36,00 Cukup
DMS 55,75 Baik
Materi (Kimia)
S1 ke-2 41,00 Cukup

553
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Dari tabel di atas dapat dielaskan bahwa pada konten bumi


dan antariksa program DMS memperoleh rata-rata persentasi
42,25%, program S1 ke-2 memperoleh rata-rata persentasi 32,78%.
Pada konten makhluk hidup, program DMS memperoleh rata-
rata persentasi 35,00%, program S1 ke-2 memperoleh rata-
rata persentasi 28,83%. Pada konten energi dan gaya, program
DMS memperoleh rata-rata persentasi 45,00%, program S1 ke-2
memperoleh rata-rata persentasi 36,00%. Pada konten materi,
program DMS memperoleh rata-rata persentasi 55,75% dan
program S1 ke-2 memperoleh rata-rata persentasi 41,00%.
Program DMS memiliki rata-rata persentasi terendah pada
konten Makhluk Hidup dan rata-rata persentasi tertinggi pada
konten Materi. Program S1 ke-2 memiliki rata-rata persentasi
terendah pada konten Makhluk Hidup dan rata-rata persentasi
tertinggi pada konten Bumi dan Antariksa. Program DMS memiliki
satu kategori baik, sedangkan program S1 ke-2 keseluruhan
memiliki kategori cukup

d. Kemampuan literasi sains dilihat dari proses literasi sains


Proses literasi sains meliputi penilaian kompetensi siswa
dalam mengidentifikasi pertanyaan ilmiah, menjelaskan fenomena
secara ilmiah, dan menggunakan bukti ilmiah. Rata-rata persentasi
kemampuan literasi sains dilihat dari proses, dapat dilihat pada
tabel 6.

Tabel 6. Persentase kemampuan literasi sains berdasarkan konten


Aspek proses literasi Jenis Rata-rata
Kategori
sains program (%)
Mengidentifikasi DMS 35,66 Cukup
pertanyaan ilmiah
S1 ke-2 27,33 Cukup
Menjelaskan fenomena DMS 50,84 Baik
secara ilmiah
S1 ke-2 44,58 Cukup
Menggunakan bukti DMS 60,00 Baik
ilmiah
S1 ke-2 37,73 Cukup

Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa pada pada proses


mengidentifikasi masalah, program DMS memperoleh rata-rata
persentasi 35,66% dan program S1 ke-2 memperoleh rata-rata

554
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

persentasi 27,33%. Pada proses menjelaskan fenomena secara


ilmiah, program DMS memperoleh rata-rata persentasi 50,84% dan
program S1 ke-2 memperoleh rata-rata persentasi 44,58%. Pada
proses menggunakan bukti ilmiah, program DMS memperoleh
rata-rata persentasi 60% dan program S1 ke-2 memperoleh rata-
rata persentasi 37,73%.
Program DMS memperoleh rata-rata persentasi terendah
pada proses mengidentifikasi pertanyaan ilmiah dan rata-rata
persentasi tertinggi pada proses menggunakan bukti ilmiah.
Sedangkan pada program S1 ke-2 memperoleh rata-rata persentasi
terendah pada proses mengidentifikasi pertanyaan ilmiah dan
rata-rata persentasi tertinggi pada proses menjelaskan fenomen
secara ilmiah.
Berdasarkan kategori, program DMS memperoleh dua
kategori baik yaitu pada proses menjelaskan fenomen secara
ilmiah dan menggunakan bukti ilmiah, sedangkan pada program
S1 ke-2 memperoleh kategori cukup pada ketiga proses literasi
sains.

Pembahasan
Data hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kemampuan
literasi sains mahasiswa program DMS lebih baik dari program S1 ke-
2, walaupun demikian kedua program belum menunjukkan hasil yang
memuaskan baik bedasarkan tingkat pendidikan, jenis kelamin, aspek
konten literasi sains dan proses literasi sains rata-rata memberikan
hasil yang belum memuaskan.
Kemampuan literasi sains berdasarkan tingkat pendidikan
menunjukkan bahwa program DMS memiliki rata-rata kemampuan
literasi sains yang lebih tinggi dibandingkan program S1 ke-2, ini
berarti bahwa guru-guru MI yang latar belakang pendidikan SMA/
MA memiliki kemampuan literasi sains yang lebih baik dibandingkan
guru-guru MI yang telah mendapatkan gelar sarjana. Hal ini memang
menimbulkan pertanyaan seharusnya guru-guru yang mendapatakan
gelar sarjana memiliki kemampuan yang lebih baik. Beberapa alasan
yang menyebabkan kemampuan literasi sains guru MI program
DMS lebih baik yaitu selama mengikuti program DMS banyak mata
kuliah sains yang telah mereka dapatkan seperti konsep dasar sains,
praktikum, lingkungan, pembelajaran sains, ilmu pengetahuan bumi
dan antariksa sehingga membuat mereka sudah memiliki pengetahuan
yang lebih banyak tentang sains. Sedangkan guru MI yang mengikuti
program S1 ke-2 hanya mendapatkan mata kuliah konsep dasar sains,
pembelajaran sains. Di samping itu, guru-guru yang mengambil

555
Professional Learning untuk Indonesia Emas

program DMS sebagian besar sudah menjadi guru kelas sehingga


terbiasa mengajarkan konsep-konsep sains sedangkan pada program
S1 ke-2 sebagian kecil mereka adalah guru agama, sedangkan sisanya
adalah mereka yang baru akan dipersiapkan menjadi guru kelas
setelah lulus mengikuti program S1 ke-2 sehingga belum mengenal
konsep-konsep sains secara utuh.
Kemampuan literasi sains berdasarkan jenis kelamin,
menunjukkan bahwa guru MI yang perempuan baik pada program
DMS maupun S1 ke-2 memiliki kemampuan literasi sains yang lebih
baik baik dari guru laki-laki baik pada program DMS maupun S1 ke-2.
Kemampuan guru perempuan yang lebih baik disebabkan keinginan
untuk selalu mencari informasi-informasi yang berhubungan dengan
sains. Penyebab lain karena guru MI yang perempuan mengajarkan
metode pembelajaran yang berorientasi pada pembelajaran sains
seperti metode eksperimen, demonstrasi.

Penutup
Setelah semua tahapan penelitian dilakukan mulai dari tahapan
membuat proposal sampai pada tahapan pengolahan dan analisis data,
pada akhirnya peneliti dapat menyimpulkan hasil penelitian tentang
analisis kemampuan literasi sains guru MI program dual mode system
(DMS) dan S1 ke-2, yakni: pertama, berdasarkan tingkat pendidikan
program dual mode system (lulusan SMA/MA) memiliki kemampuan
literasi sains yang lebih baik dari program S1 ke-2 (lulusan sarjana
agama). Hal ini dapat dilihat dari rata-rata kemampuan literasi sains
program dual mode system 46,34, sedangkan program S1 ke-2 35,37.
Walaupun keduanya masih dikategorikan cukup.; kedua, berdasarkan
jenis kelamin, rata-rata kemampuan literasi sains guru perempuan
pada program DMS 51,95 sedangkan guru laki-laki 40,73, artinya
guru perempuan memiliki kemampuan literasi sains yang lebih
baik dari guru laki-laki. Sedangkan pada program S1 ke-2, rata-rata
kemampuan literasi sains guru laki-laki 36,83, guru perempuan 33,90,
artinya kemampuan literasi sains guru laki-laki lebih baik dari guru
perempuan walaupun tidak berbeda jauh; ketiga, berdasarkan konten
literasi sains, baik pada program DMS maupun program S1 ke-2
memiliki rata-rata yang paling tinggi pada konten materi yaitu 55,75
pada program DMS dan 41 pada program S1 ke-2; keempat, berdasarkan
proses literasi sains, program DMS memiliki rata-rata tertinggi pada
kompetensi menggunakan bukti ilmih dengan rata-rata 60, sedangkan
pada program S1 ke-2, memiliki rata-rata tertinggi pada kompetensi
menjelaskan fenomena secara ilmiah dengan rata-rata 44,58.

556
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

Daftar Pustaka

Arikunto, S.2008.Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan.Jakarta: Bumi


Aksara
Firman, H. 2007. Laporan Analisis Literasi Sains Berdasarkan Hasil
Pisa NAsional TAhuan 2006, (Jakarta: Puspendik Balitbang
Kemendiknas)
Harlen & Qualter. 2004. The Teaching of Science in Primary School.4th
Edition. London: David Fulton Publishers
Holbrook & Rannikmae. 2009. The Meaning of Scientific Literacy.
International Journal of Environmental & Science Education. Vol.
4, nomor 3, 2009
Nazir, M.1998. Metode Penelitian.Jakarta: Ghalia Indonesia
Jarman & McClune.2007. Developing Scientific Literacy Using News Media
in The Classroom. New York: McGraw Hills Company
MCEETYA. (2008). National Assessment Program Science Literacy Year 6
School Release Materials 2006. Carlton South: MCEETYA
Sulun et.al. 2009. Determination of Science Literacy Levels of The
Classroom Teachers (A case in Mugla City in Turkey). Procedia
Social and Behavioural Science. 1, 723-730. Tersedia di www.
sciencedirect.com. [10 September 2009]
Tim Pisa Indonesia.2011. Survey Internasioal PISA. Balitbang
kemendiknas. (http://litbang.kemdikbud.go.id/index.php/
survei-internasional-pisa)

557
A COMPARATIVE ANALYSIS ON SANGUINE
AND PHLEGMATIC STUDENTS CONCERNING
THEIR ENGLISH SPEAKING SKILL
(A COMPARATIVE STUDY AT THE SECOND YEAR
STUDENTS OF SMP WIJAYAKUSUMA)

Ratna Sari Dewi, Muchamad Yusuf


Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta
Email: ratna@uinjkt.ac.id

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah


siswa sanguin mendapatkan nilai berbahasa Inggris lebih baik
dari pada siswa plegmatis dalam aktivitas berbicara pada siswa
kelas 2 SMP Wijayakusuma. Penelitian ini dimulai dengan
mengumpulkan teori pendukung, kemudian memberikan tes
kepribadian yang diambil dari tes standar dalam Personality
Plus yang ditulis oleh Florence Littauer pada siswa kelas 2
SMP Wijayakusuma, kemudian ia memisahkan siswa sanguin
dari siswa plegmatis. Setelah itu kedua kepribadian siswa itu
diukur keterampilan berbicaranya. Materi berbicara siswa akan
dipilih satu topik, dan setelah penulis berdiskusi dengan Ibu
Ririn selaku guru siswa kelas 2 SMP Sekolah Wijayakusuma,
kami menentukan bahwa topic yang terbaik adalah wawancara.
Masing-masing harus diungkapkan dengan katakata mereka
sendiri dengan sebaik-baiknya. Setelah keterampilan berbicara
siswa direkam, mereka dinilai langsung oleh guru bahasa
Inggris mereka sendiri. Ketika semua nilai selesai, dia merancang
distribusi frekuensi dan analisis komparatif dengan dua sampel
independen. Sedangkan perhitungan T-test digunakan untuk
membuktikan data yang signifikan. Dan langkah terakhir yang
harus dilakukan adalah menjawab hipotesis penelitian. Hasil
penelitian menyatakan bahwa perbedaan kepribadian siswa
secara statistik tidaklah mempunyai perbedaan yang signifikan
terhadap kemampuan berbicara bahasa inggris mereka.
Karenanya siswa sanguin ataupun siswa plegmatik dapat
berbicara bahasa inggris lebih baik dengan cara belajar mereka
sendiri.

Key Words: English Speaking Skill, Sanguine Personality, and


Phlegmatic Personality

558
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

Introduction
English as a compulsory subject to learn in formal school in
Indonesia was concentrated on the four skills: listening, speaking,
reading, and writing. Beside that, one of the four skills which play a
significant role in mastering English is speaking. As a skill, speaking
is the most used skill by people rather than the three other skills.
According to Richards, Learners consequently often evaluate their
success in language learning as well as the effectiveness of their English
course on the basis of how well they feel they have improved in their
spoken proficiency.2 From the statement, the writer would say that
most language learners study English in order to develop proficiency
in speaking. Besides, many language learners regard speaking ability
as the measure of knowing a language. These learners define fluency
as the ability to converse with others, much more than the ability to
read, write, or comprehend oral language. They regard speaking as the
most important skill they can acquire, and they assess their progress in
terms of their accomplishments in spoken communication.
If we consider the reaction of various persons to the same
experience, we will find that it is different degrees of excitability,
is what we call temperament. According to Socrates, one of the
most renowned of the Greek sages, there are four temperaments: the
sanguine, the choleric, the melancholic, and the phlegmatic.
The first two are also called extroverts which have active trait, and
the last two are introverts which have passive trait. The active trait and
the passive trait affect an individual willingness to speak, of course
the extrovert students are more talkative than the introvert students
which rather like to keep silent. As English teacher, we are required to
understand students through their personality. And in this case, the
discussion merely narrowed to the sanguine and the phlegmatic.
Based on the theory, the sanguine students including their
traits generally have a potency to be better in speaking ability than
the phlegmatic students with their special traits. To test the theory,
the students with the sanguine and the phlegmatic personality will
be compared by their English speaking score which describe their
competence in speaking.

Speaking Skill
Speaking is significant to an individuals living processes and
experiences as are the ability of seeing and walking. Speaking is also
the most natural way to communicate. Without speaking, people
must remain in almost total isolation from any kind of society. For
most people, the ability to speak a language is the same with knowing

559
Professional Learning untuk Indonesia Emas

a language since the speech is the most basic means of human


communication. Speaking is significant to an individuals living
processes and experiences as are the ability of seeing and walking.
Speaking is also the most natural way to communicate. Without
speaking, people must remain in almost total isolation from any kind
of society. For most people, the ability to speak a language is the same
with knowing a language since the speech is the most basic means of
human communication.
According to Noah Webster, speaking has a variety of meanings:
a) To tell, to say, to make known or as by speaking, to declare; to
announce
b) To proclaim; to celebrate
c) To use or be able to use (a given language) in speaking
d) To address.

Meanwhile, Henry G. Tarigan defines that, speaking is a skill of


conveying words or sounds of articulation to express or to deliver ideas,
opinions, or feelings.29 Don Bryne states that, oral communication
(or speaking) is a two way process between speaker and listener
and involves the productive skill of speaking and the receptive skill
of understanding.30 Based on the previous four definitions, it can
be synthesized that speaking is the process of sharing with another
person, or with other persons, ones knowledge, interests, attitudes,
opinions or ideas. Delivery of ideas, opinions, or feelings is some
important aspects of the process of speaking which a speakers idea
become real to him and his listeners.

Sanguine personality
The cheerful sanguine is temperament which a warm, vibrant, lively
and fun. He can receive all the circumstances, and the impressions
that seen can be easily affected his heart that quickly responded. His
decisions are more determined by feeling than thinking. The Sanguine
type requires a great deal of personal space and cannot tolerate
restrictions of personal freedom. While usually not bossy, they cannot
tolerate being bossed and always want to work on their own terms.
They like the outdoors and physical activity. They often act before
they think, not naturally thinkers. They are acquisitive, territorial, and
action oriented. The sanguine is the creative, fun-loving, high-spirited
sanguinesnatural tendency to look on the bright side, to enjoy people,
and to seek out adventure sometimes results in a label of superficiality
and frivolity, more joyful place because of the inspiration, enthusiasm,
and fellowship he provides.

560
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

The sanguine person is carefree and full of hope; attribute


great importance to what ever he may be dealing with at the
moment, butmay have forgotten all about it the next. He means to
keep his promisesbut fails to do so because he never considered
deeply enoughbeforehand whether he would be able to keep
them. He is good-natured enough to helps others but is a bad
debtor and constantly asks for time to pay. He is very sociable,
given to pranks, contented, does not take anything very seriously,
and has many, many friends. He is not vicious but difficult to
convert from his sins; he may repent but this contrition(which
never becomes a felling of guilt) is soon forgotten. He is easily
fatigued and bored by work but is constantly engaged in mere
games these carry with them constant change, and persistence
is not his forte.

The Strength of the Sanguine Students


The points below are from the book of Personality Plus
authored by Florence Littaure, they are traits which appear in variety
of quantity. A trait is the representative of personality structure,12 as
Springer defined. All the structures construct a personality. The traits
may not find totally once in a while.
Animated Delightful
Playful Cheerful
Sociable Inspiring
Convincing Demonstrative
Refreshing Mixes-easily
Spirited Talker
Promoter Lively
Spontaneous Cute
Optimistic Popular
Funny Bouncy

Strengths of a Sanguine
The Extrovert | The Talker | The Optimist

The Sanguines Emotions The Sanguine At Work


Appealing personality Volunteers for Jobs
Talkative, Storyteller Thinks up new activities
Life of the Party Looks great on the Surface
Good sense of humor Creative and colorful
Memory for color Has energy and enthusiasm

561
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Physically holds on to listener Starts in a flashy way


Emotional and demonstrative Inspires others to join
Enthusiastic and expressive Charms others to work
Cheerful and bubbling over
Curious The Sanguine As A Friend
Good on stage Makes friends easily
Wide-eyed and innocent Loves People
Lives in the present Thrives on compliments
Changeable disposition Seems exciting
Sincere at heart Envied by others
Always being a child Doesnt hold grudges
Apologizes quickly
The Sanguine As A Parent Prevents dull moments
Makes Home Fun Likes spontaneous activities
Is liked by childrens friends
Turns disaster into humor
Is the circus master

The strength of the sanguine is his ability to live in the present


moment; he has a very optimistic, joyful attitude toward life. The
sanguine is often adventuresome, enterprising, and creative - and
is a source of inspiration to others.14 A person with a sanguine
temperament is affectionate, loving, cheerful, optimistic, hopeful, and
confident. The Sanguine has more natural inner-beauty qualities than
the other temperaments. They can work on calmness and on controlling
their tongue. They are emotional and demonstrative by nature. At
work they provide a positive atmosphere and often volunteer to
help out. Their creative and enthusiastic energy can inspire others.
The sanguine child learns quickly, although he might have difficulty
memorizing. Continually discovering some new interest, sanguine can
find it difficult to attain great depth in one area of study. It is not that
they do not have the intellectual capacity, but rather that their attention
is so easily captured by something new.

The Weakness of the Sanguine Students


Traits below are the negative of the sanguine in some ways of
the student type when he interacts in school environment. Florence
Littaure mentioned the traits as follow:

Brassy Wants credits


Undisciplined Talkative
Repetitious Disorganized

562
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

Forgetful Inconsistent
Interrupts Messy
Unpredictable Show-off
Haphazard Loud
Permissive Scatter brained
Angered easily Restless
Nave Changeable15

Weaknesses of a Sanguine
The Sanguines Emotions The Sanguine At Work
Compulsive talker Would rather talk
Exaggerates and elaborates Forgets obligations
Dwells on trivia Doesnt follow through
Good sense of humor Confidence fades fast
Scares others off Undisciplined
Too happy for some Priorities out of order
Has restless energy Decides by feelings
Egotistical Easily distracted
Blusters and complains Wastes time talking
Naive, gets taken in
Has loud voice and laugh The Sanguine As A Friend
Controlled by circumstances Hates to be alone
Gets angry easily Needs to be center stage
Seems phony to some Wants to be popular
Never Grows Up Looks for credit
Dominates conversations
The Sanguine As A Parent Interrupts and doesnt listen
Keeps home in a frenzy Answers for others
Forgets childrens appointments Fickle and forgetful
Disorganized Makes excuses
Doesnt listen to the whole story Repeats stories

Weaknesses of the sanguine temperament include the tendency


toward superficiality, inconstancy, and sensuality because he places
such a high value on relationships and pleasing others, he often
tempted to forsake what he knows is right in order to fit in with the
crowd. Sanguine are frequently not disciplined, and this is, of course,
very difficult for the third personality type called melancholy to
understand. Sanguine wear their heart on their sleeve, but they very
easily forgive and forget. They are emotional and demonstrative by
nature, but can tend towards arrogance and self-indulgence. At work
they can be day dreamers and battle to complete work, juggling many

563
Professional Learning untuk Indonesia Emas

tasks at once. They tend to lose focus on the task when the novelty
wears off.
From all description about the sanguine personality, we can look
at the examples of the famous sanguine actors such as Tukul Arwana,
Indra Bekti, Paris Hilton, etc. By knowing these famous people, it
makes our understanding easier to draw and remind the personality
of the sanguine in our mind.

Phlegmatic Personality
The Phlegmatic is the peaceful person who wants to stay out of
trouble, keep life on an even plane and get along with everybody.
Phlegmatic like to rest and show steadiness. Phlegmatic also a very
calm and relaxed so that he never seemed bothered, how ever the
circumstance of his surroundings. Hes hard to angry and rarely to vent
his temper. The phlegmatic is Peaceful Person, Born-follower, Likes
harmony and rest, Loves to relax, Wants to calm people down, Gets
along with everyone, Needs peace and sense of worth, Has little self-
motivation, Getsdepressed over conflict, Controls by procrastination.
Phlegmatic are reserved, prudent, sensible, reflective,
respectful, and dependable. They are not easily insulted
or provoked to anger, nor are they given to exuberance or
exaggeration in speech. They are loyal and committed, tolerant
and supportive. They possess a hidden will of iron that is often
overlooked, because they are such agreeable people. They have
a knack for diffusing tense situations. Phlegmatic make superb
diplomats and military strategists. They also make excellent
firefighters, police officers, and military officers; they excel in
professions where being calm under pressure is key.

The following are the explanation to the fundamental phlegmatic


traits that should be considered in understanding the phlegmatic
personality.

The Strength of the Phlegmatic Students


Adaptable Diplomatic
Peaceful Consistent
Submissive Inoffensive
Controlled Dry humor
Reserved Mediator
Satisfied Tolerant
Patient Listener
Shy Contented

564
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

Obliging Pleasant
Friendly Balanced20

The 20 traits above are still based on Florence Littauer. Through


points, the phlegmatic personality can be observed simply. The
following are some strengths of phlegmatic personality:

Strengths of a Phlegmatic
The Introvert | The Watcher | The Pessimist

The Phlegmatics Emotions The Phlegmatic At Work


Low-key personality Competent and steady
Easygoing and relaxed Peaceful and agreeable
Calm, cool and collected Has administrative ability
Patient well balanced Mediates problems
Consistent life Avoids conflicts
Quiet but witty Good under pressure
Sympathetic and kind Finds the easy way
Keeps emotions hidden
Happily reconciled to life ThePhlegmatic As A Friend
All-purpose person Easy to get along with
Pleasant and enjoyable
The Phlegmatic As A Parent Inoffensive
Makes a good parent Good listener
Takes time for the children Dry sense of humor
Is not in a hurry Enjoys watching people
Can take the good with the bad Has many friends
Doesnt get upset easily Has compassion and concern

They are known for their easy-going nature. They possess a great
deal of common sense and mental balance. They are excellent listeners
and have great empathy for others. They are supportive friends,
patient with difficult people and situations, and considerate at all
times. On the job, phlegmatic are dependable, punctual, and orderly;
they can bring harmony to almost any group. Everyone loves the low-
key nature of the inoffensive phlegmatic, and though they are not loud
like the Sanguine, they do have a witty sense of humor. They often lean
while standing and sit in comfortable recliner chairs if at all possible.
Conrad Hock said in his book called The Four Temperament that
there are many bright sides of the phlegmatic temperaments, those are:
1. The phlegmatic works slowly, but perseveringly, if his work
does not require much thinking.

565
Professional Learning untuk Indonesia Emas

2. He is not easily exasperated either by offenses, or by failures


or sufferings. He remains composed, thoughtful, deliberate,
and has a cold, sober, and practical judgment.
3. He has no intense passions and does not demand much of life.

The Weakness of the Phlegmatic Students


Numerous traits below are the simple descriptions to know about
the weaknesses of the phlegmatic personality. Florence Littaure
mentioned the traits are:
Blank Worrier
Unenthusiastic Timid
Reticent Doubtful
Fearful Indifferent
Indecisive Mumbles
Uninvolved Slow
Hesitant Lazy
Plain Sluggish
Aimless Reluctant
Nonchalant Compromising

Weaknesses of a Phlegmatic
The Phlegmatics Emotions The Phlegmatic At Work
Unenthusiastic Not goal oriented
Fearful and worried Lacks self motivation
Indecisive Hard to get moving
Avoids responsibility Resents being pushed
Quiet will of iron Lazy and careless
Selfish Discourages others
To shy and reticent Would rather watch
Too compromising
Self-righteous ThePhlegmatic As A Friend
Dampens enthusiasm
The Phlegmatic As A Parent Stays uninvolved
Lax on discipline Is not exciting
Doesnt organize home Indifferent to plans
Takes life to easy Judges others
Sarcastic and teasing
Resists change

Several kinds of description about the phlegmatic main weakness


traits is written through points, they are:
1. He is very much inclined to ease, to eating and drinking; is lazy

566
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

and neglects his duties.


2. He has no ambition, and does not aspire to lofty things, not
even in his piety.

The phlegmatic is a super introvert. It is difficult to rouse them to


action. At times they can be selfish and stubborn. On the job, they do
not seek out the power or the limelight,25 because of their reserved
natures, phlegmatic are sometimes accused of being unassertive, or
of lacking enthusiasm and spontaneity. The phlegmatic is known for
avoiding things: conflict among people. The phlegmatic might defer to
peer pressure in order to keep the peace or to avoid conflict.

Research Methodology
The approach of the research is a quantitative research which
implements the testing of theory, quantitative research generates
statistics through the use of large-scale survey research, using
instruments such as questionnaires and structured interviews. The
technique of analyzing data is the use of comparative analysis. The
research may be about two similar things that have crucial differences.
The things may not correlate each other. Comparative analysis ideals
for someone who needs to hold a research in getting the problem
belonged to two or more independent variables. Husein Umar stated
the research to the group of empirical studies where the researcher
cannot control the independent variable because the problem
happened, or characteristics cannot be manipulated. Comparative
analysis technique is one of quantitative analysis technique or one of
statistical technique that can be used to test hypothesis concerns about
whether or not there is a difference between or among variable tested.
If the difference is found, researcher will need to ensure whether it is
significant or only by chance.3 It makes the data and the result could
be more objective.
The technique of collecting data is the use of personality test which
identifies students personality through examining personality based
on list of traits. It is suitable to classify personalities for the reason that
the test is taken from standardized assessment written by Florence
Littauer. The test is arranged based on the 40 question numbers from
all four personalities; sanguine, choleric, melancholic, and phlegmatic.

Research Finding
The following two tables are the students who have been
categorized to the sanguine and the phlegmatic personality. They are
the students who become the research object and the following are their

567
Professional Learning untuk Indonesia Emas

English speaking scores which was obtained from their performance.

The Sanguine Students


The second Grade of SMP Wijayakusuma

No Name Speaking Score


1 Student 1 60
2 Student 2 65
3 Student 3 60
4 Student 4 60
5 Student 5 70
6 Student 6 75
7 Student 7 70
8 Student 8 65
9 Student 9 70
10 Student 10 78
11 Student 11 80
12 Student 12 70

Average 68.58

The Phlegmatic Students


The second Grade of SMP Wijayakusuma

No Name Speaking Score


1 Student 13 70
2 Student 14 70
3 Student 15 65
4 Student 16 60
5 Student 17 60
6 Student 18 75
7 Student 19 75
8 Student 20 65
9 Student 21 60
10 Student 22 60
11 Student 23 60
12 Student 24 60

Average 65.00

568
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

The 24 students are the sanguine students and the phlegmatic


students. From the total number of students at second grade, the
researcher has tested 70 students from the second grade population.
The other 46 students belong to the other personalities and their
combination. They are neither the sanguine students nor the phlegmatic
students.

Percentage Range of Sanguine Students


No CS F P
1 The high score 1 8.33%
2 The middle score 11 91.66%
3 The low score 0 0%

Total 12 100%

Percentage Range of Phlegmatic Students


No CS F P
1 The high score 0 0%
2 The middle score 12 100%
3 The low score 0 0%

Total 12 100%

CS = Classification of Scores
F = Frequency
P = Percentage

Conclusion
This research seems not completely break the theory on the
concept of personality that the sanguine is better than the phlegmatic
in speaking. The sanguine tends to speak vocally. He likes to be a
good speaker through his talker soul. In contrary the phlegmatic
does not really like to speak and he likes to be a good listener. The
data interpret that the sanguine students get higher average English
speaking score and the phlegmatic students have lower average score.
The sanguine students do not always possess higher competency of
English speaking skill which is because of his natural willingness to
speak than the phlegmatic students. Sometimes the introvert student
may overlap the extrovert students. Through sequence of calculation
at the previous chapter the hypotheses of the research shows that the

569
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Null Hypotheses (Ho) which states there is no difference in English


speaking ability between the sanguine and the phlegmatic students
is accepted. It means that the students personality has no statically
significant difference to the students English speaking score. The
possibility of error in this research may be highlighted from the
decision taking while the students are doing the personality test and
there is also the possibility of inappropriateness on giving score which
is influenced by the students, they might not show their best ability in
English speaking performance at that time.

References

Allen, Steve, How to Make a Speech, New York: McGraw-Hill, 1986.


Allport, G. W., Personality: a psychology interpretation, New York: Henry
Holt & Co., 1937.
Arikunto, Suharsimi, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Bumi
aksara, 2003.
Bennet, Art LMFT and Bennet, Laraine, The Temperament God Gave You,
Manchester, New Hampshire: Shopia Institute Press, 2005.
Byrne Donn, Teaching Oral English, New York: Longman, 1998.
Celce-Murcia, Marianne, Teaching English As A Second or Foreign
Language, Boston: Heinly and Heinle, a Division of Thomson
Learning, Inc.2001.
Eysenck, Hans, Fact and Fiction in Psychology, Baltimore: Penguins
Book. 1965. Fauziati, Endang, Testing Speaking Skill, A paper of
the49th International TEFLIN Conference, English: A Prerequisite
for Global Communication, Denpasar: English Department,
Faculty of Letters, Universityof Udayana.
Hall, Calvin Springer and Linzey, Gardner, Theories of Personality. 3rd
ed., Toronto: John Wiley & Sons, Inc., 1987.
Harris, David P, Testing English as A Second Language, New York:
McGraw-Hill Book Company, 1969.
Hock, Rev. Conrad, The Four Temperaments, Wisconsin: Catholic
Apostolate Press Milwaukee, 1934.
Larsen, Randy J. and Buss, David M., Personality Psychology, 2nd ed.,
New York: McGraw-Hill, 2005.
Littaure, Florence, Personality Plus, Jakarta: Binarupa Aksara, 1996.
Lundin, Robert W, Personality, A Behavioral Analysis, London: The

570
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

macmillan Company, Collier-Macmillan Limited, 1969.


Mc Donough, Jo and Shaw, Christopher, Material and methods in ELT; a
Teachers Guide, Oxford: Blackwell Publishers Ltd, 1993.
Premuzic, Thomas Chamorro and Furnham, Adrian, Personality
and Intelectual Competence, New Jersey: Lawrence Erlbaum
Associates, Inc., Publisher, 2005.
Riyanti, Rahayu Dwi, dkk, Cross Cultural Understanding, Universitas
Terbuka, 2007.
Sarwono, Sarlito Wirawan, Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-
tokoh Psikologi, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2002.
Scrivener, Jim, Learning Teaching: A Guidebook for English language
Teachers. The Teacher Development Series, Oxford: Heinemann
ELT, 1994.
Sukmadinata, Nana Syaodih, landasan Psikologi Proses Pendidikan,
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007.
Suryabrata, Sumadi, Psikologi Kepribadian, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2007. Sudijono, Drs. Anas, Pengantar Satistik Pendidikan,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995.
Sugiyono, Statistika untuk Penelitian, Bandung: CV. Alfabeta, 2008.
Tarigan, Henry G, Berbicara Sebagai Suatu Ketrampilan Berbahasa,
Bandung: Angkasa, 1981.

571
PENINGKATAN KEMAMPUAN GURU BAHASA
INGGRIS MEMANFAATKAN PERMAINAN
KOMUNIKATIF MELALUI SUPERVISI KLINIS
DI SMPN 2 BATIPUH
Lastrawati
Pengawas SLTP/SM Dinas Pendidikan Kabupaten Tanah Datar,
Sumatera Barat

Abstrak : Peningkatan Kemampuan Guru Bahasa Inggris Dalam


Memamfaatkan Permainan Komunikatif Dalam Pembelajaran
Melalui Supervisi Klinis Di SMPN 2 Batipuh adalah sebuah
penelitian tindakan sekolah yang dilatar belakangi oleh upaya
peningkatan kinerja guru oleh pengawas dalam melaksanakan
profesinya. Permasalahanya adalah Apakah kemampuan
guru bahasa Inggris dalam mempergunakan permainan
komunikatifdapat meningkat melalui supervisi klinis ? Setelah
kegiatan penelitian dilaksanakan ternyata kemampuan guru
dalam menggunakan permainan meningkat menjadi lebih baik.
Dengan demikian peneliti merekomendasikan agar supervisi
klinis dapat digunakan untuk meningkat kemampuan guru
dalam mengajar.

Kata kunci: supervisi klinis, kemampuan guru, permainan


komunikatif

Pendahuluan
Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 dan Peraturan Mentri
Dinas Pendidikan NasionalNomor 41 tahun 2007 menyatakan guru
memerlukan strategi baru terutama dalam kegiatan pembelajaran.
Pendekatan pembelajaran yang sebelumnya lebih banyak didominasi
oleh peran guru (teacher centered) hendaknya diperbaharui dengan
sistem pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (student
centered). Dalam implementasi KTSP guru harus mampu memilih
dan menerapkan model, motode atau setrategi pembelajaran
yang sesuai dengan karakteristik peserta didik, materi sehingga
mampu mengembangkan daya nalar peserta didik secara optimal.
Dengan demikian dalam pembelajaran, guru tidak hanya terpaku
dengan pembelajaran di dalam kelas dengan mengunakan teknik

572
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

yang konvensional, melainkan guru harus mampu melaksanakan


pembelajaran dengan motode yang variatif.
Disamping itu sesuai dengan pendekatan PAIKEM (Pembelajaran
Aktif Inovatif Kreatif dan Menyenangkan), guru harus mampu
melibatkan peserta didik dalam pembelajaran. Salah satu strategi
pembelajaran yang sesuai dengan pendekatan PAIKEM yang
memungkinkan bisa mengembangkan kreativitas, motivasi dan
partisipasi peserta didik dalam pembelajaran adalah dengan
memanfaatkan permainan yang komunikatif sebagai sumber belajar .
Dari hasil pantauan peneliti selaku pengawas sekolah, selama
ini kemampuan guru dalam menggunakan permainan komunikatif
rendah. Permainan komunikatif belum digunakan oleh sebagai
sumber belajar untuk meningkatkan keterlibatan peserta didik dalam
proses mengajar. Sebagai seorang guru menganggap permainan
komunikatif tidak efektif untuk meningkat keberhasilan peserta
didikdalam pembelajaran dan diangggap tidak bisa peserta didik
meningkatkan hasil belajar.
Seperti observasi awal yang dilakukan di SMPN 2 Batipuh , guru-
guru di sekolah tersebut tidak memanfaatkan permainan komunikatif
yang ada disekitar peserta didik sebagai sumber belajar . Guru lebih
sering menyajikan pelajaran di dalam kelas dengan ceramah atau dan
tanya jawab dengan peserta didik. Dari wawancara yang dilakukan
peneliti, sebagian besar guru mengaku enggan mengajak peserta didik
belajar dengan memamfaatkan permainan komunikatif karena guru
menganggap permainan tidak efektif untuk mencapai keberhasilan
peserta didik , disamping itu , alasan guru susah untuk diterapkan
dalam PBM karena kelas sering ribut PBM.dan banyak guru
menyatakan tidak mampu mencari atau memamfaatkan permainan
komunikatif untuk dalam kelas karena keterbatasan waktu karena
menyatakan banyak jam mengajar.
Untuk mengatasi hal tersebut peneliti tertarik untuk memecahkan
masalah guru ini dengan supervisi klinis. Dimana melalui supervisi
klinis ini guru dan pengawas bisa mendiskusikan permasalahan guru
dalam mengajar , dan dalam supervisi klinis pengawas sebagai peneliti
berbagi pengalaman dalam memamfaatkan permainan komunikatif
sebagai sumber berlajar yang dapat meningkatkan kemapuan guru
dalam melibatkan peserta didiknya dalam pembelajaran. Melalui
supervisi klinis tersebut guru dan peneliti, guru dengan guru dapat
mendiskusikan masalah pemanfaatan permainan komunikatif sebagai
sumber belajar untuk mencapai hasil belajar yang optimal. Dengan
supervisi klinis memiliki dampak yang amat positif bagi guru yang tingkat
pengalamannya rendah maupun yang tingkat pengalamannya tinggi.

573
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Kemampuan Guru Dalam Proses Belajar Mengajar


Seorang guru merupakan ujung tombak berlansungnya kegiatan
pembelajaran, sehingga memiliki peran dan fungsi penting sebagai
sumber belajar dan bahkan sering mendominasi proses transformasi
nilai ilmu pengetahuan kepada peserta didik.
Selanjutnya ada beberapa pendapat para ahli dalam Khalifah
(2009), mereka menyatakan bahwa seorang guru yang dicintai
seharusnya melakukan dan memikili hal sebagai berikut: menjadikan
pengajaran sesuatu yang dirindukan, menguasai dengan sangat baik
materi pelajaran yang menjadi spesifikasinya, mampu berbicara
dengan semangat dan penuh antusiasme, memotivasi dan mensupport
murid- muridnya, memberikan kesempatan kepada murid untuk
berdiskusi dan bertanya menjelaskan pelajaran dengan gambling dan
menggunakan contoh, memiliki jiwa humoris, penjelasannya mudah
dipahami, tidak melukai hati muridnya, emberikan jawaban- jawaban
yang masuk akal, kata-katanya mampu memberikan kenyamanan
dalam jiwa, memiliki keterampilan yang dalam mengajar, memiliki
jiwa yang memikat dan melam menjelaskan pelajaran, mampu
beriteraksi baik dengan murid- muridnya.
Semua ini juga berhubungan dengan Peraturan Mentri Dinas
Pendidikan Nasional Nomor 16 2007 seorang guru yang professional
harus memiliki yaitu :kompetensi pedagogik, kepribadian,
sosial, dan professional . Dimana standar kompetensi guru ini
dikembangkan secara utuhdari empat kompetensi utama tersebut.
Keempat kompetensitersebut terintegrasi dalam kinerja guru. Pada
kopetensi pedagogik seorang guru seharusnya menguasai karak-
teristik peserta didikdari aspek fisik, moral, spiritual, sosial,kultural,
emosional,dan intelektual, menguasai teori belajar dan prinsip-
prinsip pembelajaran yang mendidik, memfasilitasi pengembangan
potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang
dimiliki, melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas
pembelajaran. Sedangkan pada kopetensi kepribadian seorang guru
harus bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, so-sial, dan
kebudayaan nasional Indonesia. Menampilkan diri sebagai pribadi
yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi pesertadidik dan
masyarakat.menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakh-lak
mulia, dan te-ladan bagi peserta didik dan masyarakat. Menunjukkan
etoskerja, tanggung jawab yang tinggi,rasa bangga menjadi guru, dan
rasapercaya diri. Menjunjung tinggi kode etik profesiguru. Selanjut
kopentensi sosial seorang guru seharusnya bersikap inklusif,
bertindak objektif, serta tidak diskriminatif karena pertimbangan jenis
kelamin, agama, ras, kondisi fisik, latar belakang keluarga, dan status
sosial ekonomi berkomunikasi secara efektif, empatik,dan santun

574
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

dengan sesama pendidik,tenaga kependidikan,orang tua, dan ma-


syarakat, Beradaptasi di tem-pat bertugas di se-luruh wilayah Republik
Indonesia yangmemiliki keragam-an sosial budaya, Berkomunikasi
dengan komunitas pro-fesi sendiri dan profesi lain secara lisan dan
tulisan atau bentuk lain. Terakhir kompetensi profesional dimana
seorang guru seharusnya menguasai materi, struktur, konsep, dan
pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu,
Menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran
yangdiampu, Mengembangkan materi pembelajaran yang diampu
secara kreatif, mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan
dengan melakukan tindakan reflektif. Memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi untuk mengembangkan diri.

Permainan komunikatif dalam pembelajaran Bahasa Inggris


Hakikat permainan komunikatif
Banyak para ahli yang mendefinisikan tentang permainan.
Hardfield (1989:4) menyatakan bahwa permainan itu adalah sebuah
kegiatan yang punya aturan, tujuan dan kegiatan yang menyenangkan.
Dia juga menambahkan permainan itu ada dua macam yaitu :
competitive game ( permainan kompetitif ) dan cooperative game (
permainan koperatif), competitive game ( permainan kompetitif )
adalah permainan yang pemainnya atau tim tersebut harus menjadi
yang pertama untuk mencapai tujuan sedangkan cooperative game (
permainan koperatif) adalah permainan yang mana pemainnya atau
timnya bekerja sama untuk mencapai tujuan umum.
Berdasarkan defenisi permainan diatas dalam pengajaran
bahasa , permainan adalah suatu kegiatan yang berisi atmosfir yang
menyenangkan, menghibur, komunikatif, kompetitif dan butuh
pemahaman untuk mencapai suatu sebuah target. Ini juga didukung
oleh pendapat Uberman ( 1998: 28) bahwa permainan itu tidak hanya
lucu tetapi bisa menolong pengertian peserta didik dalam proses
belajar mengajar untuk menguasai bahasa sebagai penguna bahasa
kedua maupun sebagai bahasa asing.
Selanjutnya Morrow di Freeman ( 1985:132) juga menyatakan ada
jenis permainan yang lain seperti permainan komunikatif. Menurut
dia permainan komunikatif adalah permainan yang bisa membuat
peserta didik berbicara dan permainan yang member peserta didik
latihan yang komunikatif dan bernilai. Kemudian dia menambah ada
tiga ciri ciri permainan komunikatif yaitu adanya : information
gap, pilihan dan umpan balik. Jadi dari penyataan diatas dapat
disimpulkan bahwa tidak semua permainan yang komunikatif.
Sehubungan dengan permainan komunikatif ini Gibbon di Herrel
(2000:38) mendefinisikan communicative games are activities set up in

575
Professional Learning untuk Indonesia Emas

the classroom for the purpose of creating opportunities and purposes for verbal
communication practices.Disini terlihat bahwa permainan komonikatif
adalah permainan yang bisa menciptakan kesempatan bagi peserta
didik untuk berbicara dikelas bahasa Inggris.

Manfaat permainan komunikatif


Ada beberapa manfaat permainan komunikatif yang dinyatakan
oleh parah ahli. Shameem (1999) mengatakan permainan komunikatif
membuat peserta didik senang dalam belajar dan ada interaksi antara
siswa, peserta didik dan guru. Kemudian Herell ( 2004:41) menyatakan
permainan komunikatif juga memberikan kesempatan kepada
peserta didik untuk melatih bahasa Inggris mereka, dan disamping
itu Permainan komunikatif juga menurun stress peserta didik dalam
belajar. Dia juga menambahkan permainan komunikatif bisa membuat
peserta didikbekerja sama dan berkomunikasi satu sama lain dalam
memecahkan permasalahan. Hal ini juga didukung oleh pendapat
Freeman ( 1985: 136) yang menyatakan communicative game make
students and find them enjoyable and give valuable communicative practice.
Dari para ahli seperti Kim, lee Su( 1995), Leggeng and
Marcher(1997), Uberman (1998), Ersoz ( 2000), Huyen (2003) Meir
(2005:206) dapat diambil kesimpulan mamfaat permainan komunikatif
sebagai berikut: meningkatkan kemampuan berbicara, melibatkan
peserta didik dalam belajar, meningkatkan interaksi peserta didik
antar siswa, meningkatkan percaya diri peserta didik dalam berbicara,
meningkatkan motivasi peserta didik dalam belajar, membuat peserta
didik puas dalam belajar bahasa Inggris

Macam macam permainan komunikatif


Berdasarkan pendapat para ahli, permainan komunikatif yang
peneliti maksud dalam penelitian adalah : a. Hot candy, b. Hot board
marker, c. Ls card, d. Guessing word seperti : Who am I, guessing
picture, dan guessing word.
Hot candy dan hot board marker adalah permainan yang
peneliti ciptakan sewaktu menjadi guru bahasa Inggris. Permainan ini
tujuannya untuk membuat peserta didik terlibat dalam pembelajaran
( students oriented)
dan langkahnya sebagai berikut:1.Guru menyampaikan Standar
Kompetensi, Kopetensi Dasar, 2. Peserta didik duduk dalam bentuk
Letter U atau L atau setengah lingkaran,3. Peserta didik pertama
diberi candy(permen) atau bord marker ( spidol), 4. Setelah itu
music dibunyikan melalui HP, dan permen atau spidol tadi harus
diberikan kepada teman sebelahnya. 5. Kemudian bila music berhenti
maka permen atau spidol juga berhenti, dan dimana dia berhenti
maka peserta didik yang pegang permen atau spidol tersebut

576
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

harus melakukan sesuatu sesuai dengan yang diperintahkan atau


berdasarkan kesepakatan yang dibuat sebelum permainan dimulai.
Ls card juga suatu permainan kartu yang diciptakan oleh peneliti
.ia berupa kartu yang terdiri dari huruf yang berasal dari nama
seseorang atau orang terkenal dan huruf itu harus ditebak oleh peserta
didik berdasarkan deskripsi yang sudah disediakan.
Langkah- langkahnya seperti berikut:1. Sampaikan Standar
Kopentensi, Kopentensi dasar, dan indicator, 2. Bagi mereka
berkelompok,3. Sampaikan mereka main LScard, 4. Berikan
peraturannya, 5. Panggil ketua kelompok untuk membacakan kartu,
6. Peserta didik yang menebak kelompok dapat point, 7. Setelah
semua kartu terjawab hitung point dan keolmpok yang kalah harus
melakukan sesuatu dalam bahasa Inggris.

Hakikat Supervisi Klinis


Menurut Sudrajat ( 2008) dan Mukhtar (2009:60) menyatakan
bahwa Supervisi klinis adalah supervisi yang difokuskan pada
perbaikan pembelajaran melalui siklus yang sistematis mulai dari
tahap perencanaan, pengamatan dan analisis yang intesif terhadap
penampilan pembelajarannya dengan tujuan untuk memperbaiki
proses pembelajaran.
Piet A. Sahertian (2008) Supervisi klinis adalah bentuk supervisi
yang difokuskan pada peningkatan mengajar dengan melalui siklus
sistematik dalam perencanaan , pengamatan serta analisis yang intensif
dan cermat tentang penampilan mengajar yang nyata serta bertujuan
mengadakanperubahan dengan cara yang rasional.
Pelaksanaan supervisi klinis berlangsung dalam suatu siklus yang
terdiri dari tiga tahap berikut :
a. Tahap perencanaan awal. Pada tahap ini beberapa hal yang
harus diperhatikan adalah: (1) menciptakan suasana yang intim
dan terbuka, (2) mengkaji rencana pembelajaran yang meliputi
tujuan, metode, waktu, media, evaluasi hasil belajar, dan lain-
lain yang terkait dengan pembelajaran, (3) menentukan fokus
observasi, (4) menentukan alat bantu (instrumen) observasi,
dan (5) menentukan teknik pelaksanaan obeservasi.
b. Tahap pelaksanaan observasi. Pada tahap ini beberapa hal
yang harus diperhatikan, antara lain: (1) harus luwes, (2)
tidak mengganggu proses pembelajaran, (3) tidak bersifat
menilai, (4) mencatat dan merekam hal-hal yang terjadi dalam
proses pembelajaran sesuai kesepakatan bersama, dan (5)
menentukan teknik pelaksanaan observasi.
c. Tahap akhir (diskusi balikan). Pada tahap ini beberapa hal
yang harus diperhatikan antara lain: (1) memberi penguatan:
(2) mengulas kembali tujuan pembelajaran: (3) mengulas

577
Professional Learning untuk Indonesia Emas

kembali hal-hal yang telah disepakati bersama, (4) mengkaji


data hasil pengamatan, (5) tidak bersifat menyalahkan, (6) data
hasil pengamatan tidak disebarluaskan, (7) penyimpulan, (8)
hindari saran secara langsung, dan (9) merumuskan kembali
kesepakatan-kesepakatan sebagai tindak lanjut proses
perbaikan.

Pembahasan

Rekap Hasil supervisi kegiatan pembelajaran pra siklus
No Kode guru Hasil
1 1 63,7
2 2 72,6
3 3 71,8
Jumlah rata-rata 69,4

Dari tabel 1 terlihat hasil supervisi kegiatan pembelajaran guru


pada pra siklus guru 1 nilainya adalah 63,7 , guru 2 nilainya adalah
72,6 dan guru 3 nilainya adalah 71,8.Secara keseluruhan rata-rata
hasil superivisi adalah 69,4.

Rekap Hasil supervisi kegiatan pembelajaran siklus I


No Kode guru Hasil
1 1 72.6
2 2 81.5
3 3 76.6
Jumlah rata-rata 76.9

Dari tabel diatas hasil kemampuan guru 1 dalam kegiatan


pembelajaran adalah 72,6, guru 2 adalah 81.5 dan guru 3 adalah 76.9.
Sedangkan rata- rata secara keseluruhan 76,9.

Rekap Hasil supervisi kegiatan pembelajaran siklus II


No Kode guru Hasil
1 1 77.4
2 2 88.7
3 3 81.5
Jumlah rata-rata 82.5

578
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

Dari tabel diatas hasil kemampuan guru 1 dalam kegiatan


pembelajaran adalah 74.4 , guru 2 adalah 88.7 dan guru 3 adalah 81.5
Sedangkan rata- rata secara keseluruhan 82.5
Diagram 1: Rekap Rata- rata hasil supervisi kegiatan pembelajaran
guru dari Pra siklus s/d Siklus II

Dari diagram diatas dapat dilihat rata- rata hasil supervisi


kegiatan pembelajaran guru pada pra siklus adalah 69.3, pada akhir
Siklus I adalah 76.9 dan pada akhir Siklus II adalah 82.5.
Dan peningkatan kemampuan guru dalam menggunakan
permainan komunikatif dalam pembelajaran bahasa inggris juga juga
dapat dari diagram batang dibawah ini:
Diagram 2: Rekap Rata- rata hasil supervisi kegiatan pembelajaran
guru 1.Guru 2.dan guru 3
Mulai Pra siklus s/d Siklus II

Dari diagram 2, dapat dilihat bahwa ada peningkatan


kemampuan guru dalam kegiatan pembelajaran pada setiap siklusnya.
Guru 1(warna biru) pada pra siklus hasilnya adalah 63.7, akhir Siklus

579
Professional Learning untuk Indonesia Emas

1 adalah 72.6 dan akhir siklus II adalah 77.4. Kemudian guru 2 (


warna merah) pada pra siklus hasilnya adalah 72.6, akhir Siklus 1
adalah 81.5 dan akhir siklus II adalah 88.7. terakhir guru 3 ( warna
hijau) pada pra siklus hasilnya adalah 71.8, akhir Siklus 1 adalah 76.6
dan akhir siklus II adalah 81.5.

Penutup
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan
bahwa supervisi klinis dapat meningkatkan kemampuan guru dalam
menggunakan pemainan komunikatif dan meningkatkan kemampuan
guru dalam kegiatan pembelajaran. Ini dilihat dari rekap rata- rata
hasil supervisi kegiatan pembelajaran dari pra siklus, siklus I dan
siklus II. Dengan supervisi klinis tercipta hubungan yang akrab antara
pengawas (supervisor) dengan guru sehingga dengan terciptanya
jembatan hati ini maka guru dalam mengajar penuh percaya diri, dan
tidak merasa terbebani sewaktu diamati dalam mengajar. Dan dengan
meningkatnya kemampuan guru dalam menggunakan permainan
komunikatif melalui supervisi klinis maka kemampuan peserta didik
juga meningkat. Peserta didik senang, percaya diri, termotivasi dan
tidak lagi malu dalam mengungkapkan idenya dalam belajar bahasa
Inggris. Dan disamping itu supervisi klinis sangat bermamfaat untuk
pelaksanaan program di sekolah dapat berjalan sesuai dengan yang
diharapkan. Dan lingkungan belajar di sekolah menjadi semakin baik
yang pada gilirannya kualitas sekolah menjadi semakin baik pula.

Daftar Pustaka
Brown, H.Dauglas .1994. Teaching by Principle an interactive Approach to
pedagogic. New york: Prentice Hall, Inc.
Deporter, Bobbi, et.al. 2005. Mengorkestrasi Kesuksesan Siswa
Quantum Teaching: Mempraktekan Quantum Learning diruang
Kelas .Bandung : Kaifa.
Freeman,Diane Larsen. 1985. Techniques and Principles in Language
Teaching.Hong Kong: Oxford university Press.
Gay,L.R And Arasian.peter.2000. Educational Research: Competencies
for Analysis and Application. New York: Merill publishing
Company
Herrel, Adrienne l. 2000.Fifty strategies for teaching English language
learners, Columbus : prentice hall,inc.
Huyen,nguyen thi thanh and khuat thi thu nga. 2003. From learning
vocabulary through Games. Asian EFL Journal. Retrieved July,
25.2007 http://www//Tefl games.com/why.html

580
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

Johnson, Andrew P. 2005. A short guide to action research. Boston:


Pearson
Kayi, Hayriye. November 2006. Teaching speaking: activities to
promote in second language The Internet TESL Journal, Vol.
XII, 11, retrieved mai, 21. 2007. http://iteslj.org/article/kayi-
teaching speaking .html
Kim, Lee su . March 1995. From creative Games for The Language
Class English teaching Forum vol 33; 1.
http://www//Tefl games.com/why.html
Meier, Dave. 2005. The accelarated Learning Hand book: Paduan kreatif
dan efektif merancang pendidikan danpelatihan (6th.ed) Bandung
: Kaifa.
Piet.A. Suhertian. 2008. Konsep Dasar dan Teknik supervisi pendidikan
dalam rangka pengembangan sumber daya manusia .Jakarta:
Rineka Cipta
Shameem, Nikhat and makhan tickoo.1999.New ways in using
Communicative Games in language Teaching. Http://tesl-ej.org/
ej15/r12.html retrieved july,23. 2007
Uberman , Agnieszka. March 1998. From the Use of Games for
Vocabulary Presentation and Revision.English Teaching Forum,
33; 1:20.
http://exchange, state.gov/forum/vols.vol36/nol/p.20.htm

581
MENGUBAH POLA PIKIR GURU
Ahmad Royani
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

Pendahuluan
Ada ungkapan yang menyatakan bahwa : Pendidikan adalah kehidupan
itu sendiri, bukan persiapan untuk hidup.
Manusia adalah makhluk yang bisa berkembang dan berproduksi.
Proses produksi manusia tidak hanya secara kuantitatif tapi juga harus
secara kualitatif. Agar perkembangan manusia menjadi manusia itu
manusiawi di butuhkan upaya humanisasi. Ada pendapat mengatakan
bahwa salah satu upaya untuk memanusiakan manusia adalah melalui
proses pendidikan.
Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial, jadi dalam
kehidupannya dia selalu berinteraksi dengan manusia yang lainnya.
Upaya humanisasi manusia melalui proses pendidikan melibatkan
banyak manusia lainnya. Di rumah yang berperan besar adalah orang
tua. Di sekolah yang berperan besar adalah para guru, sedangkan
di lingkungan masyarakat yang berperan dalam pendidikan adalah
teman pergaulannya. Selain itu faktor individu juga berperan juga
menentukan hasil dari upaya tersebut.
Dalam proses pendidikan, perubahan adalah sebuah keniscayaan.
Perubahan ini dibutuhkan untuk dapat mengatasi masalah-masalah
pendidikan termasuk kelancaran proses pendidikan. Guru sebagai
actor utama dalam proses pendidikan harus dapat menyesuaikan diri
dengan perubahan yang terjadi.

Konsep Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar dan sistematis yang dilakukan
oleh orang-orang yang diserahi tanggung jawab untuk mempengaruhi
peserta didik agar mempunyai sifat dan tabiat sesuai dengan cita-cita
pendidikan.
Mendidik adalah membantu anak dengan sengaja (dengan jalan
membimbing, membantu dan memberi pertolongan) agar ia menjadi
manusia dewasa, susila, bertanggungjawab dan mandiri. Dewasa
yang dimaksud adalah:
Dewasa pedagogis (menyadari dan mengenali diri sendiri atas
tanggung jawab sendiri)
Dewasa biologis (mampu mengadakan keturunan)

582
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

Dewasa psikologis (fungsi kejiwaan telah matang)


Dewasa sosiologis (telah memenuhi syarat untuk hidup bersama
yang telah ditentukan masyarakat)

Pandangan tersebut memberi makna bahwa pendidikan


adalah segala situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan
individu sebagai pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala
lingkungan dan sepanjang hidup. Dalam arti sempit pendidikan
adalah pengajaran yang diselenggarakan umumnya di sekolah sebagai
lembaga pendidikan formal.
Ada beberapa konsep dasar tentang pendidikan, yaitu:
1. Pendidikan berlangsung seumur hidup (lifelong education).
2. Keluarga, masyarakat dan pemerintah bertanggungjawab atas
pendidikan.
3. Pendidikan merupakan keharusan.

Pendidikan pada hakikatnya mencakup kegiatan mendidik,


mengajar dan melatih. Oleh karena itu pendidikan erat kaitannya
dengan pengajaran dan pelatihan.
Pendidikan = kegiatan mengolah hati anak didik.
Pengajaran = kegiatan mengolah otak anak didik.
Pelatihan = kegiatan mengolah lidah dan tangan anak didik.

Kegiatan tersebut dilaksanakan sebagai usaha mentransformasikan


nilai-nilai yaitu mencakup nilai-nilai religi, budaya, pengetahuan,
teknologi dan keterampilan.
Dalam dunia pendidikan kemudian tumbuh konsep pendidikan
seumur hidup (long life education) yang berarti pendidikan
berlangsung sampai mati, yaitu pendidikan berlangsung seumur hidup
dalam setiap saat selama ada pengaruh lingkungan. Untuk memberi
pemahaman akan batasan pendidikan berikut ini dikemukakan
sejumlah batasan pendidikan yang dikemukan para ahli yaitu :
1. Pendidikan ialah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang
atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia
melalui upaya pengajaran dan pelatihan ( Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 1991 ).
2. Dalam pengertian yang sempit pendidikan berarti perbuatan atau
proses perbuatan untuk memperoleh pengetahuan ( McLeod,
1989).
3. Pendidikan ialah segala pengalaman belajar yang berlangsung
dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup serta pendidikan
dapat diartikan sebagai pengajaran yang diselenggarakan di

583
Professional Learning untuk Indonesia Emas

sekolah sebagai lembaga pendidikan formal (Mudyahardjo,


2001:6)
4. Dalam arti luas pendidikan meliputi semua perbuatan dan
usaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya,
pengalamannya, kecakapannya, dan ketrampilannya kepada
generasi muda sebagai usaha menyiapkannya agar dapat
memenuhi fungsi hidupnya baik jasmani maupun rohani. Artinya
pendidikan adalah usaha secara sengaja dari orang dewasa untuk
dengan pengaruhnya meningkatkan si anak ke kedewasaan yang
selalu diartikan mampu menimbulkan tanggung jawab moril dari
segala perbuatannya (Poerbakawatja dan Harahap, 1981 ).

UU SISDIKNAS
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional menerangkan bahwa pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual
keagamaan, pengenalan diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional
Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab
Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia bertujuan mencerdaskan
kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia lndonesia
seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan
dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang
mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan
kebangsaan.
Sistem pendidikan juga harus menumbuhkan jiwa patriotik dan
mempertebal rasa cinta tanah air, meningkatkan semangat kebangsaan
dan kesetiakawanan sosial, dan sikap menghargai jasa para pahlawan
serta berkeinginan untuk maju. Iklim belajar mengajar yang dapat

584
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

menumbuhkan rasa percaya diri sendiri dan budaya belajar di


kalangan masyarakat terus dikembangkan agar tumbuh sikap dan
perilaku yang kreatif, inovatif, dan berorientasi ke masa depan.

Hakikat Pendidikan
Ketika kita mencari suatu hakikat maka kita akan mulai menyelami
sebuah ontologi dalam filsafat. Dalam membicarakan pendidikan
maka kita akan mengenal filsafat pendidikan yang dalam pembicaraan
tentang filsafat pendidikan tidak dapat dilepaskan dari gagasan kita
tentang manusia . Mencari hakikat pendidikan adalah menelusuri
manusia itu sendiri sebagai bagaian pendidikan.
Melihat pendidikan dan prosesnya kepada manusia, sebetulnya
pendidikan itu sendiri adalah sebagai suatu proses kemanusiaan dan
pemanusiaan. Istilah kemanusiaan secara leksikal bermakna sifat-
sifat manusia, berperilaku selayaknya perilaku normal manusia,
atau bertindak dalam logika berpikir sebagai manusia. Pemanusiaan
secara leksikal bermakna proses menjadikan manusia agar memeliki
rasa kemanusiaan, menjadi manusia dewasa, manusia dalam makna
seutuhnya. Artinya dia menjadi riil manusia yang mampu menjalankan
tugas pokok dan fungsinya secara penuh sebagai manusia
Hakikat Pendidikan itu sendiri lebih berorientasi kepada
terbentuknya karakter (kepribadian/jati diri) seseorang. Setiap
tahapan pendidikan dievaluasi dan dipantau dengan saksama sehingga
menjadi jelas apa yang menjadi potensi positif seseorang yang harus
dikembangkan dan apa yang menjadi faktor negatif seseorang yang
perlu disikapi. Akar dari karakter ada dalam cara berfikir dan cara
merasa seseorang.
Sebagaimana diketahui, manusia terdiri dari tiga
unsur pembangun yaitu hatinya (bagaimana ia merasa),
fikirannya (bagaimana ia berfikir) dan fisiknya (bagaimana
ia bersikap). Oleh karena itu, langkah-langkah untuk membentuk
atau merubah karakter juga harus dilakukan dengan menyentuh dan
melibatkan unsur-unsur tersebut.

Pendekatan Pendidikan
Pendekatan pendidikan menurut paham kognitif. menurut
Piaget (Hetherington & Parke, 1975) menyebutkan bahwa kognitif
adalah bagaimana anak beradaptasi dan menginterpretasikan objek
dan kejadian-kejadian di sekitarnya. Pieget memandang bahwa
anak memainkan peran aktif di dalam menyusun pengetahuannya
mengenai realitas, anak tidak pasif menerima informasi. Selanjutnya
walaupun proses berpikir dan konsepsi anak mengenai realitas telah

585
Professional Learning untuk Indonesia Emas

dimodifikasi oleh pengalamannya dengan dunia sekitar dia, namun


anak juga aktif menginterpretasikan informasi yang ia peroleh dari
pengalaman, serta dalam mengadaptasikannya pada pengetahuan
dan konsepsi.

Pengertian kognitif menurut Menurut Chaplin (2002)


Menurut Chaplin (2002) dikatakan bahwa kognisi adalah
konsep umum yang mencakup semua bentuk mengenal, termasuk
di dalamnya mengamati, melihat, memperhatikan, memberikan,
menyangka, membayangkan, memperkirakan, menduga, dan menilai.
Teori Belajar Penemuan (Discovery Learning). Teori ini
disampaikan oleh Jerome Bruner (1966). Merupakan suatu pendekatan
dalam belajar, dimana siswa berinteraksi dengan lingkungannya
dengan jalan mengeksplor dan memanipulasi obyek, bergulat dengan
sejumlah pertanyaan dan kontroversi atau melakukan percobaan. Ide
dasar dari teori ini adalah siswa akan mudah mengingat suatu konsep
jika konsep tersebut mereka dapatkan sendiri melalui proses belajar
penemuan. (Prinsip belajar : selidiki/inquiri dan temukan/discovery).

Hakikat Belajar, Mengajar dan Pembelajaran


Belajar adalah berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu,
berlatih, berubah tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh
pengalaman. Belajar juga diartikan sebagai aktivitas pengembangan
diri melalui pengalaman,bertumpu pada kemampuan diri belaja
dibawah bimbingan pengajar
Belajar pada hakikatnya merupakan aktivitas yang utama dalam
serangkaian proses pendidikan di sekolah. Hal ini dapat dipahami
karena berhasil atau tidaknya tujuan pendidikan adalah dominan
bergantung pada bagaimana proses belajar mengajar itu berlangsung.
Oleh karena itu proses belajar selalu menjadi sorotan utama khususnya
bagi para ahli pendidikan. Namun pada hakikat belajar secara luas
tidak hanya diartikan sebagai proses yang berlangsung di sekolah
antara pendidik dan peserta didik, melainkan segala sesuatu dalam
kehidupan ini yang dapat membuat seseorang yang dahulunya tidak
tahu, menjadi tahu.
Para ahli psikologi senantiasa berusaha menentukan berbagai
fakta atau unsurunsur pokok dari proses belajar, mengenai
hubungannya dengan dasar-dasar psikologi serta kondisi untuk
mempertinggi efisiensi belajar. Dalam kaitan ini belajar ditujukan
kepada pengumpulan pengetahuan, pemahaman konsep dan
kecekatan, pembentukan sikap dan perbuatan.
Belajar merupakan komponen ilmu pendidikan yang berkenaan

586
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

dengan tujuan dan bahan acuan interaksi, baik yang bersifat


eksplisit maupun implisit (tersembunyi). Untuk menangkap isi dan
pesan belajar, maka dalam belajar tersebut individu menggunakan
kemampuan pada ranah-ranah Kognitif, Afektif dan Psikomotorik.
Setiap perilaku belajar ditandai oleh ciri-ciri perubahan yang
spesifik antara lain :
Belajar menyebabkan perubahan yang disadari dan disengaja
(intensional).
Perubahan yang berkesinambungan (continue).
Belajar hanya terjadi dari pengalaman yang bersifat individual
atau menghasilkan perubahan yang fungsional.
Belajar merupakan kegiatan yang bertujuan kearah yang ingin
dicapai / Perubahan yang bersifat positif
Belajar menghasilkan Perubahan yang bersifat aktif
Belajar menghasilkan perubahan yang menyeluruh
Belajar menghasilkan Perubahan yang bersifat pemanen
Belajar menghasilkan Perubahan yang bertujuan dan terarah
Belajar adalah proses interaksi dan belajar berlangsung dari yang
paling sederhana sampai pada yang kompleks.

Mengajar diartikan sebagai aktivitas mengarahkan,memberikan


kemudahan bagaimana cara menemukan sesuatu(bukan memberi
sesuatu)berdasarkan kemampuan yang dimiliki pengajar. Mengajar
pada hakikatnya merupakan proses transfer atau pengalihan
pengetahuan, informasi, norma, nilai dan lain sebagainya dari seorang
pengajar kepada peserta didik. Kunci keberhasilan pendidikan
adalah keterlibatan penuh peserta didik sebagai warga belajar dalam
proses pembelajaran. Keterlibatan yang dimaksud disini adalah
Pengalaman keterlibatan seluruh potensi dari peserta didik mulai
dari telinga, mata, hingga aktivitas dan mengalami langsung.
Konsep-konsep yang harus diterapkan di dalam proses
mengajar adalah prinsip belajar itu sendiri. Seorang guru akan dapat
melaksanakan tugasnya dengan baik apabila ia dapat menerapkan
cara mengajar yang sesuai dengan prinsip-prinsip orang belajar.
Dengan kata lain supaya dapat mengotrol sendiri apakah tugas-tugas
mengajar yang dilakukannya telah sesuai dengan prinsip-prinsip
belajar maka guru perlu memahami prinisp-prinsip belajar itu.

Kondisi dan Prinsip Pembelajaran


Ada berbagai prinsip belajar yang dikemukan oleh para ahli
psikologi pendidikan terjadi dan diikuti dengan keadaan memuaskan
maka hubungan itu diperkuat, Spread of effect yaitu emosional

587
Professional Learning untuk Indonesia Emas

yang mengiringi kepuasan itu tidak terbatas kepada sumber utama


pemberi kepuasan tetapi kepuasan mendapat pengetahuan baru, law
of exercice yaitu hubungan antara perangsang dan reaksi diperkuat
dengan latihan dan penguasaan, dan law of primacy yaitu hasil belajar
yang diperoleh melalui kesan pertama akan sulit digoyahkan.
Prinsip belajar adalah konsep-konsep yang harus diterapkan
didalam proses belajar mengajar . Seorang guru akan dapat
melaksanakan tugasnya dengan baik apabila ia dapat menerapkan cara
mengajar yang sesuai dengan prinsip-prinsip orang belajar. Dengan
kata lain supaya dapat mengotrol sendiri apakah tugas-tugas mengajar
yang dilakukannya telah sesuai dengan prinsip-prinsip belajar maka
guru perlu memahami prinisp-prinsip belajar itu. Pentingnya guru
memahami prinsip dari teori belajar mempunyai alasan yaitu Teori
belajar ini membantu guru untuk memahami proses belajar yang
terjadi di dalam diri siswa.
Dengan kondisi ini guru dapat mengerti kandisi-kondisi dan
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi, memperlancar atau
menghambat proses belajar, Teori ini memungkinkan guru melakukan
prediksi yang cukup akurat tentang hasil yang dapat diharapkan
suatu aktifitas belajar. Teori belajar merupakan sumber hipotesis atau
dugaan-dugaan tentang proses belajar yang telah diuji kebenarannya
melalui experimen dan penelitian. Dengan mempelajari teori belajar
pengertian seseorang tentang bagaimana terjadinya proses belajar
akan meningkat , Oleh karenanya sangatlah penting bagi seorang guru
untuk memiliki pengetahuan tentang prinsip-prinsip dari berbagai
teori belajar.
Ada banyak teori-teori belajar , setiap teori memiliki konsep atau
prinsip sendiri tentang belajar. Berdasarkan berbedaan sudat pandang
ini maka teori belajar tersebut dapat dikelompokan. Teori belajar yang
terkemuka diabad 20 ini dapat dikelompokkan dalam dua kelompok
yaitu kelompok teori bahaviorisme dan kelompok teori kognitivisme.
Menurut kelompok teori behaviorisme, manusia sangat
dipengaruhi oleh kejadian-kejadian di dalam lingkungannya yang
akan memberikan pengalaman-pengalamn belajar. Belajar adalah
proses perubahan tingkah laku yang terjadi karena adanya stimuli
dan respon yang dapat diamati. Menurut teori ini manupulasi
lingkungan sangat penting agar dapat diperoleh perubahan tingkah
laku yang diharapkan. Teori behaviorisme ini sangat menekankan
pada apa yang dapat dilihat yaitu tingkah laku, tidak memperhatikan
apa yang terjadi didalam fikiran manusia. Para ahli pendidikan
menganjurkan untuk menerapkan prinsip penguatan (reinforcement)
untuk mengidentifikasi aspek situasi pendidikan yang penting

588
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

dan mengatur kondisi pembelajaran sedemikian rupa sehingga


siswa berhasil mencapai tujuan. Dalam menerapkan teori ini yang
terpenting adalah guru harus memahami karakteristik si belajar dan
karakteristik lingkungan belajar agar tingkat keberhasilan siswa
selama kegiatan pembelajaran dapat diketahui. Tuntutan dari teori
ini adalah pentingnya merumuskan tujuan belajar secara jelas dan
spesifik supaya mudah dicapai dan diukur.
Prinsip-prinsip teori behaviorisme beranggapan bahwa Proses
belajar dapat terjadi dengan baik bila siswa ikut serta dengan aktif
didalam proses belajar mengajar. Materi pelajaran disusun dalam
urutan yang logis supaya siswa dapat dengan mudah mempelajarinya
dan dapat memberikan respon tertentu pada siswa.
Tiap-tiap respon harus diberi umpan balik secara langsung
supaya siswa dapat mengetahui apakah respon atau timbal balik
yang diberikan oleh siswa telah benar atau salah. Setiap kali siswa
memberikan respon yang benar maka ia perlu diberi penguatan.
Prinsip-prinsip bihaviorisme diatas telah banyak digunakan dan
diterapkan dalam berbagai program pendidikan. Misalnya dalam
pengajaran berprogram dan prinsip belajar tuntas (mastery learning).
Dalam pengajaran berprogram materi pelajaran disajikan dalam
bentuk unit-unit terkecil yang mudah dipelajari siswa, bila setiap
unit selesai siswa akan mendapatkan umpanbalik secara langsung.
Sedangkan dalam mastery learing materi dipecah perunit, dimana
siswa tidak dapat pindah keunit di atasnya bila belum menguasai unit
yang dibawahnya.
Dan Kelompok teori kognitif beranggapan bahwa belajar adalah
pengorganisasian aspek-aspek kognitif dan perseptual untuk
memperoleh pemahaman. Dalam model ini tingkah laku seseorang
ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang
berhubungan dengan tujuan dan perubahan tingkahlaku sangat
dipengaruhi oleh proses berfikir internal yang terjadi selama proses
belajar.
Prinsip-prinsip teori kognitifisme; menurut teori kognitivisme,
belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu
dapat terlihat sebagai tingkah laku. Teori ini menekankan pada
gagasan bahwa bagian-bagian suatu situasi saling berhubungan
dengan kontek situasi secara keseluruhan. Maksudnya perkembangan
kognitif merupakan suatu proses genetik yaitu proses yang didasarkan
atas mekanisme biologis yaitu perkembangan sistem syaraf. Dengan
bertambahnya umur maka susunan syaraf seseorang akan semakin
komplek dan ini memungkinkan kemampuannya meningkat (Traves
dalam Toeti 1992:28). Oleh karena itu proses belajar seseorang akan

589
Professional Learning untuk Indonesia Emas

mengikuti pola dan tahap perkembangan tertentu sesuai dengan


umurnya. Perjenjangan ini bersifat hierarkis yaitu melalui tahap-tahap
tertentu sesuai dengan umurnya. Seseorang tidak dapat mempelajari
sesuatu diluar kemampuan kognitifnya.
Sedangkan Menurut Arthur W. Chickering dan Zelda F. Gamson
mengetengahkan tentang tujuh prinsip praktik pembelajaran
yang baik yang dapat dijadikan sebagai panduan dalam upaya
meningkatkan kualitas pembelajaran, baik bagi guru, siswa, kepala
sekolah, pemerintah, maupun pihak lainnya yang terkait dengan
pendidikan.

1. Mendorong Kontak Antara Siswa dan Sekolahan


Frekuensi kontak antara guru dengan siswa, baik di dalam
maupun di luar kelas merupakan faktor yang amat penting untuk
meningkatkan motivasi dan keterlibatan siswa dalam belajar.
Dengan seringnya kontak antara guru-siswa ini, guru dapat
lebih meningkatkan kepedulian terhadap siswanya. Guru dapat
membantu siswa ketika melewati masa-masa sulitnya. Begitu juga,
guru dapat berusaha memelihara semangat belajar, meningkatkan
komitmen intelektual siswa, mendorong mereka untuk berpikir
tentang nilai-nilai mereka sendiri serta membantu menyusun
rencana masa depannya.
2. Mengembangkan timbal balik dan kerjasama antara siswa
Upaya meningkatkan belajar siswa lebih baik dilakukan secara tim
dibandingkan melalui perpacuan individual (solo race). Belajar
yang baik tak ubahnya seperti bekerja yang baik, yakni kolaboratif
dan sosial, bukan kompetitif dan terisolasi. Melalui bekerja dengan
orang lain, siswa dapat meningkatkan keterlibatannya dalam
belajar. Saling berbagi ide dan mereaksi atas tanggapan orang
lain dapat semakin mempertajam pemikiran dan memperdalam
pemahamannya tentang sesuatu.
3. Mendorong pembelajaran aktif
Belajar bukanlah seperti sedang menonton olahraga atau
pertunjukkan film. Siswa tidak hanya sekedar duduk di kelas
untuk mendengarkan penjelasan guru, menghafal paket materi
yang telah dikemas guru, atau menjawab pertanyaan guru. Tetapi
mereka harus berbicara tentang apa yang mereka pelajari dan
dapat menuliskannya, mengaitkan dengan pengalaman masa
lalu, serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Mereka harus menjadikan apa yang mereka pelajari sebagai bagian
dari dirinya sendiri.
4. Umpan balik dan penguatan

590
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

Siswa membutuhkan umpan balik yang tepat dan memadai


atas kinerjanya sehingga mereka dapat mengambil manfaat dari
apa yang telah dipelajarinya. Ketika hendak memulai belajar,
siswa membutuhkan bantuan untuk menilai pengetahuan
dan kompetensi yang ada. Di kelas, siswa perlu sering diberi
kesempatan tampil dan menerima saran agar terjadi perbaikan.
Dan pada bagian akhir, siswa perlu diberikan kesempatan untuk
merefleksikan apa yang telah dipelajari, apa yang masih perlu
diketahui, dan bagaimana menilai dirinya sendiri.
5. Menekankan waktu ditugas
Waktu dan energi untuk belajar. Memanfaatkan waktu dengan
sebaik-baiknya merupakan sesuatu yang sangat penting bagi
siswa. Siswa membutuhkan bantuan dalam mengelola waktu
efektif belajarnya. Mengalokasikan jumlah waktu yang realistis
artinya sama dengan belajar yang efektif bagi siswa dan pengajaran
yang efektif bagi guru. Sekolah seyogyanya dapat mendefinisikan
ekspektasi waktu bagi para siswa, guru, kepala sekolah, dan staf
lainnya untuk membangun kinerja yang tinggi bagi semuanya
6. Harapan yang besar
Berharap lebih dan Anda akan mendapatkan lebih. Harapan yang
tinggi merupakan hal penting bagi semua orang. Mengharapkan
para siswa berkinerja atau berprestasi baik pada gilirannya akan
mendorong guru maupun sekolah bekerja keras dan berusaha
ekstra untuk dapat memenuhinya
7. Menghormati bakat dan cara belajar siswa yang beragam
Ada banyak jalan untuk belajar. Para siswa datang dengan
membawa bakat dan gaya belajarnya masing-masing Ada yang
kuat dalam matematika, tetapi lemah dalam bahasa, ada yang
mahir dalam praktik tetapi lemah dalam teori, dan sebagainya.
Dalam hal ini, siswa perlu diberi kesempatan untuk menunjukkan
bakatnya dan belajar dengan cara kerja mereka masing-masing.
Kemudian mereka didorong untuk belajar dengan cara-cara
baru, yang mungkin ini bukanlah hal mudah bagi guru untuk
melakukannya.

Sedangkan menurut Muhaimin prinsip-prinsip pembelajaran itu


ada lima, yaitu :
1. Prinsip kesiapan
Proses belajar sangat dipengaruhi oleh kesiapan individu sebagai
subjek yang malakukan kegiatan belajar. Kesiapan belajar
adalah kondisi fisik-psikis (jasmani-mental) individu yang
memungkinkansubjek dapat melakukan belajar

591
Professional Learning untuk Indonesia Emas

2. Prinsip motivasi
Motivasi dapat diartikan sebagai tenaga pendorong atau penarik
yang menyebabkan adanya tingkah laku kea rah suatu tujuan
tertentu. Jadi agar pembelajaran sukses, harus adanya motivasi
pada siswwa. Baik itu motivasi internal atau pun eksternal.
3. Prinsip perhatian
Dalam proses pembelajaran, perhatian merupakan factor yang
besar pengaruhnya. Kalau peserta didik mempunyai perhatian
yang besar dapat membuat peserta didik untuk : mengarahkan
diri pada tugas yang akan diberikan, melihat masalah-maslah
yang diberikan, memilih dan memberikan focus pada masalah
yang harus diselesaikan, dan mengabaikan hal-hal lain yang tida
relevan.
4. Prinsip persepsi/keyakinan
Setiap peserta didik memiliki perspsi dan keyakinan yang telah
ditanamkan oleh gurunya. Keyakinan akan hakikat bahasa dan
pembelajarannya akan tumbuh terus seiring pertumbuhan fisik
dan psikologis siswa.

Mengubah Pola Pikir Guru


Guru merupakan faktor penting yang besar pengaruhnya,
bahkan sangat menentukan berhasil tidaknya peserta didik dalam
belajar. Perubahan kurikulum antara lain ingin mengubah pola
pendidikan dari orientasi hasil dan materi (sebelum kurikulum
2004) ke pendidikan proses (KBK, KTSP, dan K13). Oleh karena itu,
pembelajaran harus banyak melibatkam peserta didik, agar mereka
mampu bereksplorasi untuk membentuk kompetensi dengan
menggali berbagai potensi, dan kebenaran secara ilmiah (Mulyasa,
2006:76). Dalam hal inilah perlunya perubahan pola pikir guru agar
meraka mampu menjadi fasilitator dan mitra belajar peserta didiknya.
Sehubungan dengan itu, untuk mengoptimalkan perubahan
kurikulum yang ada, hal yang paling esensi yaitu mengubah pola
pikir guru, sesuai dengan kebutuhan perkembangan jaman. Tugas
guru tidak hanya menyampaikan informasi kepada peserta didik,
tetapi harus dilatih sebagai fasilitator untuk memberikan kemudahan
belajar kepada seluruh peserta didik. Agar mereka dapat belajar dalam
suasana yang menyenangkan, gembira, penuh semangat, dan berani
mengemukakan pendapatnya secara terbuka dan pastinya tujuan
pembelajaran pun tersampaikan. Semua hal ini merupakan modal
dasar bagi peserta didik untuk tumbuh dan berkembang menjadi
manusia yang siap beradaptasi, menghadapi berbagai kemungkinan,
dan memasuki era globalisasi (perubahan) yang penuh tantangan.

592
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

Menurut Rogers (Mulyasa, 2006:78), guru sebagai fasilitator


setidaknya harus memiliki 7 sikap sikap yaitu sebagai berikut.
1. Tidak berlebihan mempertahankan pendapat dan
keyakinannya, atau kurang terbuka.
2. Dapat lebih mendengarkan peserta didik, terutama tentang
aspirasi dan perasaannya.
3. Mau dan mampu menerima ide peserta didik yang inovatif,
kreatif, bahkan yang sulit sekalipun.
4. Lebih meningkatkan perhatian terhadap hubungan dengan
peserta didik seperti halnya terhadap bahan pembelajaran.
5. Dapat menerima balikan (feedback), baik yang sifatnya positif
maupun negatif, dan menerimanya sebagai pandangan yang
konstruktif terhadap diri dan perilakunya.
6. Toleransi terhadap kesalahan yang diperbuat peserta didik
selama proses pembelajaran.
7. Mengahargai prestasi peserta didik, meskipun
biasanya mereka sudah tahu prestasi yang dicapainya.

Pembinaan kemampuan profesional guru juga dapat


dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada guru
untuk melakukan berbagai kegiatan, memberi saran, menegur,
membimbing, menjadi wakil sekolah dengan kegiatan
ekstrakulikuler dan kegiatan kegiatan kemasyarakatan.
Guru harus memahami materi yang hendak diajarkannya dan
mengetahui tentang bagaimana mengolahnya menjadi suatu kegiatan
belajar mengajar yang mampu mengembangkan kompetensi siswa-
siswanya. Hal ini dapat dilakukan hanya dengan ke-profesional-an
seorang guru. Profesionalisme guru akan dapat berkembang, apabila
ia membiasakan diri untuk berunding dan bertukar pikiran dengan
siswa,dan terbuka terhadap pendapat mereka, belajar terus dengan
membaca literatur yang terkait dengan profesinya, bertukar pikiran
dan pengalaman dengan teman guru-guru lainnya atau dengan
kepala sekolah. Sikap keterbukaan ini memungkinkannya belajar dari
murid, dari buku, dan dari orang lain. Perkembangan profesionalisme
akan terbantu bila sekolah secara berkala mengadakan rapat atau
diskusi khusus untuk membicarakan hal-hal yang terkait dengan
kurikulum serta perbaikannya. Sebagian dari waktu libur sekolah
dapat dimanfaatkan untuk membicarakan kekurangan-kekurangan
dalam penyelenggaraan kurikulum dan secara bersama.
Contoh perubahan pola pikir guru terhadap kurikulum

593
Professional Learning untuk Indonesia Emas

No Kurikulum Lama Kurikulum Baru

1 Materi yang diajarkan MMateri yang dijarkan ditekankan


ditekankan pada pada kompetensi berbahasa
tatabahasa/struktur bahasa sebagai alat komunikasi untuk
menyampaikan gagasan dan
pengetahuan
2 Siswa tidak dibiasakan Siswa dibiasakan membaca dan
membaca dan memahami memahami makna teks serta
makna teks yang disajikan meringkas dan menyajikan ulang
dengan bahasa sendiri
3 Siswa tidak dibiasakan Siswa dibiasakan menyusun
menyusun teks yang teks yang sistematis, logis, dan
sistematis, logis, dan efektif efektif melalui latihan-latihan
penyusunan teks
4 Siswa tidak dikenalkan Siswa dikenalkan dengan aturan-
tentang aturan-aturan aturan teks yang sesuai sehingga
teks yang sesuai dengan tidak rancu dalam proses
kebutuhan penyusunan teks (sesuai dengan
situasi dan kondisi: siapa, apa,
dimana)
5 Kurang menekankan Siswa dibiasakan untuk dapat
pada pentingnya ekspresi mengekspresikan dirinya dan
dan spontanitas dalam pengetahuannya dengan bahasa
berbahasa yang meyakinkan secara spontan

Penutup
Agar pola pikir guru berubah, Guru harus professional yaitu
bukan hanya menguasai materi yang harus disampaikannya kepada
siswa dan kaitannya dengan tujuan pendidikan nasional secara
filosofis maupun praktis. Ia juga harus paham hal-hal mendasar
seperti prinsip-prinsip belajar, mampu mengakses dan memanfaatkan
internet sebagai wahana belajar. Guru profesional bukan hanya harus
well-performed, tapi juga harus well-trained, well-equipped, dan
tentunya juga well-paid.
Selain itu syarat utama bagi guru untuk dapat mengajar dengan
baik adalah guru yang memiliki kapasitas penguasaan materi yang
telah memadai. Guru harus benar-benar kompeten dengan materi
yang akan diberikannya. Guru yang tidak kompeten tentu tidak akan
dapat menghasilkan siswa yang kompeten.

594
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

Daftar Pustaka

Amri Sofan ,Ahmadi K,Iif.2010. Konstruksi Pengembangan Pembelajaran.


Jakarta: Prestasi Pustakaraya
Tirtaahardja Umar dan Drs. La Sula. 2000. Pengantar Pendidikan,Jakarta:
Rineka cipta
Winkel, W.S. 2007. psikologi pengajaran.yogyakarta:media abadi
Http://www.scribd.com/doc/849837/prinsip-prinsip
pembelajaranpeta-minda.
http://massofa.wordpress.com/2009/01/30/prinsip-prinsip-
belajar/
Dharma, http://satriadharma.com/index.php/2009/02/05/apapun-
kurikulumnya-mutu-guru-kuncinya/

595
KOMPETENSI BAHASA ARAB
UNTUK CALON GURU MI

Raswan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Email : raswan@uinjkt.ac.id

Pendahuluan
Paper ini dilatarbelakangi oleh pengalaman penulis menjadi
guru MI selama kurang lebih 5 tahun sejak 2006 hingga 2011.
Perasaan satu hati dengan guru-guru MI serta jurusan PGMI lah yang
membangkitkan dan kemudian penulis terpancing untuk menulis satu
paper sederhana. Banyak problematika di MI khususnya mengenai
pembelajaran bahasa Arab padahal bahasa Arab merupakan materi
inti/tuan rumah MI menurut sejarahnya.
Masalah yang utama adalah mengenai berbagai kebijakan di MI,
diantaranya kualifikasi guru dan kompetensinya. Guru kelas di MI
sebelumnya banyak bukan merupakan alumni PGMI, kini guru kelas
wajib atau dianjurkan merupakan lulusan PGMI. Imbasnya kemenag
membuka program S1 kedua bagi guru PAI yang terlanjur sudah
mendapatkan sertfikasi guru kelas. Untuk guru bahasa Arab di MI,
banyak simpang siur informasi, bahkan ada isu bahwa guru bahasa
Arab MI bukan merupakan guru mata pelajaran seperti di M.Ts dan
MA, sehingga sejak tahun 2009, di madrasah pembangunan saja tidak
ada lagi peserta sertifikasi guru bahasa Arab untuk MI. Bahkan guru
bahasa Arab alumni PBA, karena mengajar sebagai guru kelas maka
sertifikasinya dilibatkan sebagai profesional guru kelas MI.
Kesimpangsiuran itu alhamdulillah terjawab sudah setelah penulis
melakukan beberapa wawancara dengan peserta PLPG bahasa Arab
tahun 2014, Bahwa diantara peserta PLPG ada guru bahasa Arab MI-
nya. Meskipun di Madrasah pembangunan sebagai tempat penulis
pernah mengembangkan diri belum ada lagi sertifikasi guru bahasa
Arab MI. Namun penulis melihat bahwa bahasa tidak akan berhasil
jika tidak dibudayakan dan dibiasakan. Jika guru bahasa Arab hanya
masuk kelas 2 JP dalam satu minggu, dan guru kelaslah yang lebih
sering ketemu dengan siswa, maka tidak akan mungkin pembelajaran

596
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

bahasa Arab tanpa pelibatan guru kelas dalam membudayakan


siswa. untuk mensukseskannya guru kelas harus memiliki komptensi
minimal dalam bahasa Arab meski bukan sebagai guru mata pelajaran
Atas dasar itu, penulis tertarik untuk mendiskusikan beberapa
hal diantaranya pertama, siapa yang berhak mengajar bahasa Arab MI
berdasarkan aturan yang berlaku?, Kedua, apa tujuan pembelajaran
bahasa Arab di MI secara umum yang sesungguhnya?, ketiga, apakah
poisi lingkungan bahasa itu penting dilakukan dengan sinergi guru
bahasa Arab dengan guru kelas, dan bagaimana jika lingkungan
bahasa Arab tidak tercipta? Jika penting apakah guru kelas yang
alumni PGMI perlu diberikan bekal yang lumayan bahasa Arab
minimal untuk mencipta lingkungan bahasa Arab di MI? Jika itu
tuntutannya bagaimana seharusnya kurikulum dan silabus di PGMI
terkait dengan bahasa Arab dan pembelajaran bahasa Arab di MI
atau minimal kompetensi bahasa Arab apa yang harus dimiliki
guru kelas MI atau calon guru kelas MI? Insya Allah paper ini akan
berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Paper yang
dimaksud bertajuk Kompetensi Bahasa Arab untuk Calon Guru MI

Urgensi Bahasa Arab di Madrasah untuk Pendidikan Indonesia


Pendidikan berupaya mencipatakan generasi muda untuk siap
menghadapi tantangan zaman. Tentunya empat kompetensi menjadi
tumpuan dalam pelaksanaan pendidikan mulai dari kompetensi
spiritual, kompetensi sosial, kompetensi pengetahuan dan kompetensi
keterampilan. Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa pendidikan
nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan Pasal 3-nya menegaskan
bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab. (Lihat Matsna dan
Raswan 2015: 84).
Kompetensi spiritual atau dalam undang-undang disebut
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak

597
Professional Learning untuk Indonesia Emas

mulia merupakan kompetensi yang erat kaitannya dengan nilai-nilai


Agama. Lembaga yang paling konsen dengan kompetensi spiritual
di Indonesia khususnya agama Islam adalah madrasah. Madrasah
Ibtidaiyyah (MI) merupakan madrasah yang setara dengan Sekolah
Dasar (SD) plus materi agama dan bahasa Arab. Jika agama di SD hanya
satu bidang studi, di MI terdiri dari empat bidang studi yakni Quran
Hadits, Akidah Akhlak, Fiqh dan Sejarah Kebudayaan Islam plus
bahasa Arab. Jika materi agama minimal ada 7 jam pelajaran ditambah
bahasa Arab 2 jam pelajaran, maka materi plus bagi MI sesungguhnya
ada 7 JP. Kenapa bahasa Arab, karena kesempurnaan pemahaman
agama sangat erat kaitannya dengan pemahaman bahasa Arab.
Bagaimanapun guru MI harus plus dari SD, dari namanya saja
beda MI hanya pada bahasa meskipun sesungguhnya ada salah kaprah
penamaan, karena sudah terlanjur ya tidak apa-apa. Jika guru MI tidak
plus untuk apa, plus-nya harus dalam bidang agama dan bahasa Arab,
Agama yang dimaksud terdiri dari al-Quran al-Hadits, Fiqh, SKI dan
Akidah Akhlak plus bahasa Arab.
Dalam pembahasan dan kajian ilmiah bahasa Arab beda dengan
PAI, meski menurut pandangan umum orang awam, keduanya mirip.
Walau demikian tidak menapikan bahwa pemaham agama Islam yang
mumpuni akan terjadi hanya jika memahami bahasa Arab dengan baik.
Bahkan semua bidang kajian agama Islam mewajibkan pengetahuan
dan kemahiran bahasa Arab.
Dengan demikian rasanya tidak berlebihan jika kemampuan
bahasa Arab penting untuk meningkatkan keimanan dan akhlak siswa
khususnya yang beragama Islam. Bagaimana pun membaca al Quran
dengan pemahaman makna akan lebih efektif dibanding dengan
hanya membaca tanpa faham makna. Demikian juga shalat yang akan
menjauhkan muslim dari perbuatan keji dan munkar diawali dengan
shalat yang difahami maknanya dan bukan sekedar ritual saja.

Kualifikasi Guru Bahasa Arab di MI


Siapa yang mengajar bahasa Arab di MI? alumni PBA, PAI atau
PGMI?
Jurusan pendidikan Bahasa Arab menargetkan alumninya untuk
mencetak guru bahasa untuk tingkat M.Ts dan MA plus SMA program
bahasa. Artinya sejak awal PBA tidak menyiapkan alumninya untuk
mengajar ditingkat MI secara formal- walaupun kenyataan di
lapangan banyak diantaranya alumni PBA yang menjadi guru bahasa

598
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

Arab di MI, terutama di lembaga swasta. Lalu pertanyaannya siapa


yang berwenang mengajar bahasa Arab jika guru alumni PBA tidak
bisa? Jawaban sepintas mungkin akan mengarah ke guru Agama,
karena ada anggapan bahasa Arab dekat dengan agama menurut
orang awam.
Oleh karenanya, tak berlebihan kiranya jika guru MI atau alumni
PGMI atau calon guru MI harus bisa mengajarkan bahasa Arab. Permen
no 16 tahun 2007 secara jelas menyatakan bahwa guru MI adalah
sarjana PGMI dan psikologi meski dipandang paradok dengan PP
standar nasional pendidikan no19 tahun 2005 yang menyatakan bahwa
kualifikasi guru MI bukan hanya sarjana PGMI atau psikologi namun
juga sarjana kependidikan lainnya. Meski, jika dilihat hirarkinya PP
lebih tinggi dari Permen. Akan tetapi dari waktu lahirnya terkesan
bahwa permen telah menghapus PP tersebut terutama dalam hal
kualifikasi kependidikan lainnya dalam mengajar siswa MI.
Akibat pemahamahan ini pula kemenag membuka program
sarjana ke dua bagi guru PAI yang ingin linear untuk mengajar di
MI dengan sertifikat profesinya yang sudah terlanjur di guru kelas.
Padahal diantaranya ada yang sudah bergelar magister seperti M.
Faiz, MA, guru MI Pembangunan UIN Jakarta yang ikut kembali
dalam program sarjana kedua bagi guru PAI.
Jika sertifikasi guru bahasa Arab alumni bahasa Arab akan
bermasalah di MI atau paling tidak lebih sulit dengan hanya berbekal
sarjana pendidikan bahasa Arab bukan sarjana PGMI, kecuali yang
sudah terlanjur mendapatkan sertifikasi, maka ke depan guru bahasa
Arab di MI mutlak harus diajar oleh guru MI/kelas/alumni PGMI
atau paling tidak guru agama. Karena di SD/MI mewajibkan minimal
ada guru tambahan olahraga dan agama (PMA), bisa saja difahami
bahwa guru bahasa Arab bagian dari guru kelas.
Ini semua memberikan argumen kuat pentingnya kompetensi
bahasa Arab guru MI /calon guru MI/mahasiswa PGMI, Apalagi
mata kuliah bahasa Arab menjadi salah satu mata kuliah wajib di
UIN Jakarta. Implikasinya adalah bahwa guru PGMI harus disiapkan
mengenai hal itu melalui mata kuliah wajib ke-UIN-an atau perlu
diberikan vitamin tambahan.
Sebab jika kebijakan mahasiswa PGMI hanya mendapatkan dua SKS
dengan logika apapun tidak akan mampu menciptakan guru yang bisa
mengajar siswa MI sesuai dengan materi yang ada di SD plus juga bisa
membelajarkan bahasa Arab. Dengan demikian Silabus bahasa Arab

599
Professional Learning untuk Indonesia Emas

perlu disesuaikan dengan kebutuhan mereka sesuai standar mahasiswa


UIN juga untuk bekal mengajar bahasa Arab kepada siswa MI.
Menurut Prof. Dr. Aziz Fachrurrozi, MA bahwa guru yang
mengajar bahasa Arab seharusnya alumni pendidikan bahasa Arab
bukan alumni lainnya. Bukan alumni PGMI, karena sangat ceroboh
jika mengamanatkan bahasa Arab kepada alumni PGMI apalagi
hanya dibekali dengan beberapa SKS. Begitupun jika bahasa Arab
diajarkan oleh alumni PAI, akan sangat membahayakan. Jika PAI
diajar oleh PBA masih mungkin. Jadi sesungguhnya kesalahan atau
kekurangperhatian berada pada tataran kementrian agama dalam
memposisikan guru bahasa Arab MI sebagai mata pelajaran karena ia
memiliki kesulitan khusus.
Oleh karena kurikulum K.13 yang tetap dipakai oleh kemenag
menjadikan bahasa Arab sebagai materi wajib sejak kelas 1 yang
sebelumnya di KTSP hanya diwajibkan sejak kelas IV meski beberapa
madrasah sudah menjadikannya mulok sejak kelas 1 di kurikulum
KTSP maka tentunya pertimbangan pengembangan silabusnya pun
harus disesuaikan dengan kurikulum yang ada. Meski tidak untuk
menjadi guru bahasa Arab, minimal bisa menjadi guru pengganti
bahasa Arab, serta membantu guru bahasa Arab dalam menciptakan
budaya bahasa Arab di madrasah. Pada paper ini penulis hanya akan
batasi pada aspek materi yang urgen dikuasai mahasiswa PGMI untuk
bisa membelajarkan atau mencipta lingkungan bahasa Arab di MI.
Diskusi dengan Iriani Apriliani, salah satu guru bahasa Arab
MI di DKI Jakarta melalui media facebook dan dengan Hj. Istianah,
M.Pd, yang tahun 2013 ikut PLPG di kemenag melalui BBM, dengan
Ustadz. Zakaria, MA melalui SMS, serta kepala MI Pembangunan
UIN Jakarta melalui inbox facebook memberikan sedikit pencerahan
bahwa guru bahasa Arab di MI bukan termasuk materi guru kelas.
Meskipun akhir-akhir ini di Madrasah Pembangunan beberapa guru
bahasa Arab MI justru sertipikat pendidiknya mengikuti jalur guru
kelas. Beberapa sumber tersebut khususnya tiga pertama menunjukan
bahwa di tahun 2014 peserta sertifikasi itu di dalamnya ada guru
bahasa tingkat Madrasah Ibtidaiyah. Jadi mitos bahwa di MI tidak ada
lagi sertifikasi guru bahasa Arab sudah terpecahkan. Meski demikian
untuk mencipatakan lingkungan bahasa sebagai syarat mutlak
keberhasilan pembelajaran bahasa Arab di MI, guru kelas harus
dibekali kompetensi minimal yang mengarah ke situ.

600
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

Kualifikasi Guru MI dalam dokumen


Pasal 1 Permendiknas nomor 16 tahun 2007 disebutkan bahwa
(1) Setiap guru wajib memenuhi standar kualifikasi akademik dan
kompetensi guru yang berlaku secara nasional. (2) Standar kualifikasi
akademik dan kompetensi guru sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini. Pasal 2-nya
menjelaskan Ketentuan mengenai guru dalam jabatan yang belum
memenuhi kualifikasi akademik diploma empat (D-IV) atau sarjana
(S1) akan diatur dengan Peraturan Menteri tersendiri. (Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun
2007 Tentang Standar Kualifikasi Akademik Dan Kompetensi Guru)
Selanjutnya Kualifikasi Akademik Guru SD/MI Guru pada SD/MI,
atau bentuk lain yang sederajat, harus memiliki kualifikasi akademik
pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) dalam
bidang pendidikan SD/MI (D-IV/S1 PGSD/PGMI) atau psikologi
yang diperoleh dari program studi yang terakreditasi. (Lampiran
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor
16 Tahun 2007 Tentang Standar Kualifikasi Akademik Dan Kompetensi
Guru, hal. 3)
Hal itu berbeda dengan PP no 19 tahun 2005 yang dengan tegas
menjelaskan bahwa Pendidik pada SD/MI atau bentuk la in ya ng s ede
rajat memiliki: a) kua fika s i akademik pendidikan minimum diploma
empa t (D-IV) a tau s arjana (S1); b) Latar belakang pendidikan tinggi
di bidang pendidikan SD /MI , kependidikan la in, atau psikologi; dan
c). sertifikat profesi guru untuk SD/MI. (Pasal 29 PP no 19 tahun 2005
tentang Sisdiknas)
Sementara Komptensi Guru Bahasa Arab pada SMA/MA, SMK/
MAK* adalah pertama, memiliki pengetahuan tentang berbagai aspek
kebahasaan dalam bahasa Arab (linguistik, wacana, sosiolinguistik
dan strategis). Kedua, menguasai bahasa Arab lisan dan tulis, reseptif
dan produktif dalam segala aspek komunikatifnya (linguistik,
wacana, sosiolinguistik, dan strategis). (Lampiran Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007
Tentang Standar Kualifikasi Akademik Dan Kompetensi Guru, hal.
30).
Dalam permendiknas no 16 tahun 2007 tidak ada penjelasan
mengenai kualifikasi guru bahasa Arab pada MI. ditambah dengan
pernyataan bahwa kualifikasi guru MI adalah diploma IV atau sarjana
(S1) program studi PGMI atau psikologi. Meski dalam PMA no 90

601
Professional Learning untuk Indonesia Emas

tahun 2013 disebutkan bahwa minimal ada guru tambahan olahraga


dan agama di MI selain guru kelas, yang bisa saja difahami bahwa
guru bahasa Arab bagian dari guru kelas atau bagian dari guru agama,
walaupun bisa juga ada guru lain selain guru kelas akan tetapi tidak
menjadi proioritas sehingga guru bahasa Arab bisa diambil alih guru
agama atau guru kelas tadi.

Problem alumni PGMI di Lapangan


Oleh karena MI 90% lebih adalah swasta maka pembukaan
lowongan CPNS untuk guru MI sangat terbatas. Hal itu jauh dengan
lowongan CPNS guru pada SD bagi alumni PGSD. Meski secara
kurikulum dan keilmuan antara PGMI dan PGSD sama, bahkan PGMI
merupakan PGSD plus artinya kurikulumnya merupakan kurikulum
PGSD plus kurikulum khas PGMI akan tetapi dalam kerja di lapangan
ada dikotomi yang sangat signifikan.
Guru dengan ijzah PGMI tidak sedikit ditolak untuk melamar di
instansi SD. Sehingga problem ini menimbulkan masalah tersendiri
bagi alumni PGMI. Sebagai contoh ada berita bertajuk Alumni
PGMI Ditolak Lamar CPNS dalam http://www.jambiekspres.co.id/
berita-163-alumni-pgmi-ditolak-lamar-cpns.html. Kejadian serupa
pernah terjadi di Brebes dimana alumni PGMI tidak diperbolehkan
melamar CPNS guru kelas SD yang kebetulan lowongan CPNS yang
formasinya paling besar adalah untuk guru kelas SD.

Pentingnya Bahasa Arab di MI


Pepatah Arab mengatakan bahwa :

artinya belajar di waktu kecil bagaikan mengukir di atas batu, dan


belajar di waktu besar bagaikan mengukir di atas air. Maknanya sangat
jelas, bahwa mempelajari apapun jika dilakukan di usia kecil maka
meski bisa jadi membelajarkannya butuh waktu dan energi ekstra
akan tetapi hasilnya akan awet dan membekas. Sementara belajar di
saat sudah dewasa, meski prosesnya lebih mudah akan tetapi daya
bekasnya cepat hilang.
Tujuan materi bahasa Arab di Madrasah Ibtidaiyyah menurut
Permenag no. 2 tahun 2008 sebagai berikut: a. Mengembangkan
kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Arab, baik lisan maupun
tulis, yang mencakup empat kecakapan berbahasa, yakni menyimak

602
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

(istima), berbicara (kalam), membaca (qiraah), dan menulis (kitabah).


b. Menumbuhkan kesadaran tentang pentingnya bahasa Arab sebagai
salah satu bahasa asing untuk menjadi alat utama belajar, khususnya
dalam mengkaji sumber-sumber ajaran Islam. Dan c. Mengembangkan
pemahaman tentang saling keterkaitan antara bahasa dan budaya
serta memperluas cakrawala budaya. Dengan demikian, peserta didik
diharapkan memiliki wawasan lintas budaya dan melibatkan diri
dalam keragaman budaya. (Lihat Matsna dan Raswan 2015: 86-87).
Sementara dalam Standar Isi K.13_, dijelaskan bahwa mata
pelajaran bahasa Arab merupakan materi yang berkaitan dengan
materi agama islam yang empat. Dimana bahasa Arab merupakan
bahasa pengantar untuk memahami ajaran Islam. Dengan bahasa
Arab ajaran Islam dapat difahami secara benar dan mendalam dari
sumber utamanya, yakni al Quran dan Hadits ditambah literatur
pendukungnya yang berbahasa Arab. Ia merupakan mapel bahasa
yang diupayakan untuk mendorong, membimbing, mengembangkan,
dan membina kemampuan serta menumbuhkan sikap positif terhadap
bahasa Arab, reseptfi (menyimak dan membaca) dan produktif
(bercakap dan menulis). (Lamp. SK-Dirjen-No.2676-2013 hal. 44)
Bahasa Arab di MI, adalah pondasi untuk pembelajaran bahasa
Arab tingkat selanjutnya. Oleh karena di MI baru pondasi maka
penanaman kecintaan terhadap bahasa Arab harus menjadi prioritas.
Oleh karena pada dasarnya tidak ada siswa yang menyukai pelajaran
apapun, termasuk pelajaran bahasa Arab, maka harus ada usaha untuk
men-cinta-kan siswa terhadap bahasa Arab. Untuk menanamkan
kecintaan itu maka harus ada budaya bahasa yang didukung oleh
semua pihak yang ada di MI. Metode pembelajaran pun harus
mengikuti perkembangan dan interes siswa di usia tersebut. Termasuk
di dalamnya media pembelajaran dan lain sebagainya. Guru harus
berusaha masuk ke dunia anak sehingga apapun yang dia tawarkan
kepada anak akan dengan mudah diterima oleh anak.
Guru kelas memiliki peranan utama karena merekalah yang paling
banyak bertatap muka dengan siswa. Dan penumbuhan motivasi
belajar dan minat bahasa Arab akan lebih mudah dilakukan jika
dibantu dengan pelibatan dan kerjasama dengan guru kelas. Sehingga
pada tahap selanjutnya siswa akan tertarik untuk belajar bahasa Arab,
terus belajar dan terus meningkatkan kemampuan bahasa Arab.

603
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Mencipta Lingkungan Bahasa Arab ( )


Faktor utama keberhasilan pembelajaran bahasa adalah
lingkungan bahasa yang memadai.lingkungan yang dimaksud adalah
lingkungan dengar dan lingkungan pandang, lingkungan formal dan
non-formal, bergerak dan statis. Untuk mencipta lingkungan bahasa
di suatu lembaga tidaklah gampang, harus ada satu pemahaman dan
kesepakatan antar lini yang ada di lembaga tersebut.
Untuk Madrasah Ibtidaiyyah maka harus ada kerjasama antara
kepala, guru, satpam, TU dan lain sebagainya. Guru memiliki peranan
yang paling vital dalam hal ini. Artinya gurulah yang paling harus
menjadi terdepan dalam membudayakan berbahasa Arab dalam
setiap kesempatan di Madrasah. Dan guru kelaslah yang paling sering
bertemu dengan siswa dibandingkan dengan guru-guru lain dalam
setiap waktunya. Oleh karenanya maka guru kelas, minimal harus
memiliki bekal minimal agar pada tahap selanjutnya dapat menjalankan
lingkungan bahasa khususnya ketika terjadi pembelajaran materi kelas
di madrasah. Dengan itu maka diharapkan lingkungan bahasa Arab
akan tercipta dan pada tahap selanjutnya keberhasilan pembelajaran
bahasa Arab di MI sebagai dasar untuk jenjang lanjutannya akan
menjadi kenyataan.

Materi Pelajaran MI pada Kurikulum 2013


Berbagai kalangan pakar bahasa Arab memberikan kesimpulan
yang mirip, bahwamateri bahasa Arab itu dengan kurikulum apapun
materinya gak jauh berbeda. Mungkin perbedaan hanya pada posisi
penyajian pembelajaran saja. Pada sisi kompetensi atau kemahiran
bahasa yang menjadi arah tetap sampai kapanpun ada empat yakni
menyimak, berbicara, membaca dan menulis (Murtado 2015).
Berdasarkan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia
Nomor 0001512 tahun 2013 tentang Kurikulum Madrasah 2013 Mata
Pelajaran Pendidikan Agma Islam dan Bahasa Arab termakub bahwa
Materi Bahasa Arab untuk Siswa MI yang bisa dieksplor dalam silabus
Pembelajaran bahasa Arab untuk calon guru MI di PGMI terdiri dari
enam jenjang yakni kelas 1 s.d kelas 6 dan disetiap kelas ada dua
semester, setiap semester antara 3-4 tema, dan di setiap semester pula
dibelajarkan gramatikal bahasa Arab sejak kelas 4 hingga kelas 6 dan
dibelajaran ungkapan komunikatif dari mulai kelas 1 hingga kelas 3.
Berikut adalah jabaran materi bahasa Arab yang dibelajarkan di
MI mulai kelas 1 hingga kelas 6:

604
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

605
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Materi Bahasa Arab PGMI, Sebuah Usulan.


Pengembangan silabus bahasa Arab untuk PGMI harus dirancang
sedemikian rupa sehingga memenuhi kompetensi minimal bahasa
Arab guru MI. jika tidak untuk menjadi guru mata pelajaran bahasa
Arab, minimal untuk menjadi guru yang akan menciptakan lingkungan
bahasa Arab di luar pembelajaran bahasa Arab di jam pelajaran bahasa
Arab atau sesekali menjadi guru pengganti bahasa Arab.
Dengan demikian diantara yang harus menjadi fokus bahasa Arab
dan pembelajaran bahasa Arab di PGMI adalah materi-materi yang
memuat tema-tema yang terkait dengan kurikulum bahasa Arab MI,
tarkib (gramatikal) yang menjadi fokus di MI, ungkapan komunikatif
yang dibelajarkan di MI serta berbagai metode pembelajaran bahasa
Arab di MI.
Materi yang dimaksud minimal tema-tema seputar

ungkapan komunkatifnya adalah sebagai berikut:

606
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

tarkib/gramatika bahasa Arab sebagai berikut:

Sementara metodologi pembelajaran bahasa Arab, minimal


dibelajarkan mengenai berbagai model praktis pembelajaran
kemahiran bahasa dan komponen-komponen bahasa. Termasuk
didalamnya berbagai permainan bahasa yang tepat diterapkan untuk
siswa tingkat madrasah Ibtidaiyah (MI).

PPG untuk Guru MI


Program PPG guru MI prajabatan belum pernah dilakukan. FITK
sebagai LPTK dengan LPTK-LPTK lain dibawah kementrian agama
pernah melaksanakan dua kali PPG dalam jabatan. Namun baru pada
materi pendidikan agama islam dan bahasa Arab. Pada PPG pertama
semua kuota yang ada dalam 4 materi pendidikan agama Islam dan
bahasa Arab, bahkan ada penyaringan karena jumlah pendaftar
membludak sementara kuota terbatas. Artinya terpenuhi 5 kelas
belajar PPG. Sementara di PPG kedua hanya diikuti oleh 4 materi,
karena salah satu materi agama kuotanya tidak mencukupi. Bahkan
materi lain pun jumlah peserta perkelas tidak sampai tiga puluh.
Seperti bahasa Arab jumlah pesertanya hanya 25.
Merosotnya ketertarikan guru pada program PPG sendiri
disebabkan oleh berbagai alasan. Diantaranya adalah adanya
diskriminasi pelaksanaan PPG dengan PLPG, dimana PPG full
setahun sementara PLPG hanya 9 atau 10 hari. Sementara hasilnya
sama-sama mendapatkan sertifikat profesi pendidik. Alasan lainnya
adalah kesulitan madrasah ketika banyak gurunya setahun full ikut
program PPG. Banyak guru yang meninggalkan madrasah setahun
dan ujungnya diberhentikan oleh yayasan meski secara hormat. Belum
lagi mencari pengganti untuk hanya setahun sulit dilakukan, maka
jalan terakhirnya adalah mencari guru lain yang menggantikan guru
yang ikut dalam pelaksanakan PPG. Masih banyak alasan lain kenapa
PPG hilang daya tariknya di kalangan guru.
Bagi guru kelas MI, PPG baru akan dilakukan. Lagi-lagi program

607
Professional Learning untuk Indonesia Emas

ini pun mendapat kritik dari pemerhati PGMI sperti dalam penelitian.
Karena dari jurusan luar Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyyah bisa
mengikuti program PPG. Sehingga sangat merugikan lulusan PGMI
dan pasti akan berdampak buruk terhadap kualitas pendidikan di
Madrasah Ibtidaiyyah. Pada gilirannya PPG hanya untuk menjadi
pelarian para sarjana bukan PGMI, agar bisa mendapatkan pekerjaan
sebagai seorang guru MI setelah mengikuti program PPG selama dua
tahun.
Memang ada baiknya PPG merupakan program yang hanya
untuk alumni PGMI bukan alumni jurusan lainnya. Sebagaimana
pendidikan profesi yang dilakukan terhadap calon dokter hanya
untuk sarjana program dokter bukan lulusan selainnya. Jika gaya di
pendidikan profesi seperti program dokter maka kualitas pendidikan
di Madrasah Ibtidaiyyah akan mendapatkan angin segar ke depannya.

Penutup
Guru MI adalah guru SD plus agama dan bahasa Arab. Khusus untuk
bahasa Arab, guru MI atau calon guru MI harus punya kemampuan
materi khusus untuk siswa MI meski bukan untuk menjadi guru kelas
minimal bisa menjadi guru pengganti dan mampu bahu-membahu
menciptakan lingkungan bahasa Arab sebagai materi tuan rumah di
madrasah. Dengan demikian di jurusan PGMI sangat urgen kiranya
menyiapkan alumni PGMI, guru MI dengan kompetensi guru SD
plus guru agama (SKI, Quran Hadits, Fiqh dan Akidah Akhlak) dan
bahasa Arab. Bahkan materi agama dan bahasa Arab sesungguhnya
merupakan tuan rumah MI, artinya MI adalah agama dan bahasa
Arab plus SD.
Materi bahasa Arab untuk mahasiswa menurut penulis tidak cukup
bahkan kurang hanya dalam 2 SKS untuk bisa membekali mahasiswa
bisa mengajarakan bahasa Arab untuk siswa atau mencipta lingkungan
bahasa Arab di MI. Bahasa Arab yang dimaksud perlu dikemas dalam
mata kuliah khusus, selain mata kuliah bahasa Arab yang saat ini
diterima mahasiswa sebanyak 2 SKS. Arah pengembangan silabusnya
pun fokus ke pendalaman materi bahasa Arab untuk MI terdiri dari
kosa kata, ungkapan komunikatif dan tarkib. Penulis yakin bahwa MI
hanya akan plus jika kemampuan bahasa Arabnya diperhatikan serius.
Jika tidak maka MI tak akan plus dari SD bahkan bisa jadi dalam
bidang umum pun akan dipandang lebih rendah dibanding dengan
SD karena meninggalkan jatidirinya.

608
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

Kesimpulan ini juga dapat diintisarikan pertama, yang berhak


mengajar bahasa Arab di MI adalah alumni PBA atau alumni PAI dan
PGMI dengan syarat telah dibekali beberapa kompetensi minimal,
Kedua, tujuan pembelajaran bahasa Arab di MI secara umum adalah
menumbuhkan kemampuan serta mencipta sikap positif siswa terhadap
bahasa Arab sebagai sarana untuk mendalami agama Islam langsung
dari sumber utamanya, ketiga, lingkungan bahasa Arab sangat vital
dalam memberhasilkan pembelajaran bahasa Arab. Keempat, calon guru
kelas penting untuk diberikan bekal bahasa Arab yang cukup untuk
menciptakan lingkungan bahasa Arab di madrasah (bisa juga bahasa
Arab menjadi bagian dari materi tematik di MI) disamping sebagai
guru pengganti bahasa Arab atau bahkan menjadi guru bahasa Arab itu
sendiri. Kelima, silabus bahasa Arab di PGMI disarankan agar diarahkan
ke pembelajaran bahasa Arab di MI plus pendalaman materi bahasa
Arab berbasis kurikulum. Dengan itu semoga ke depan MI semakin jaya
dan berkontribusi bagi masa depan bangsa.

Daftar Pustaka

Matsan HS, Moh. dan Raswan, Evaluasi Pembelajaran Bahasa Arab I,


Jakarta: UIN Press, 2015.
Murtadho, Nurul, Pengembangan Model E-Learning Bahasa Arab Berbasis
Riset, disampaikan pada Studium General Jurusan Pendidikan
Bahasa Arab, FITK UIN Jakarta, Rabu, 15 April 2015.
Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 0001512 tahun
2013 tentang Kurikulum Madrasah 2013 Mata Pelajaran
Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor
16 tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan
Kompetensi Guru.
Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan
Standar Isi K.13_Lamp. SK-Dirjen-No.2676-2013.KI-KD-PAI 2013
rivised16Juni2014.
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional

609
GURU PROFESIONAL MENUJU
INDONESIA EMAS

Didi Suprijadi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Email : didisuprijadi@yahoo.co.id

Abstrak : Masalah dan tantangan Indonesia menuju Indonesia


Emas dalam bidang pendidikan dilihat dari segi Akses, mutu
dan relevansi yang selama ini di programkan oleh Pemerintah
dalam hal ini Kementrian Pendidikan Nasionl adalah adanya
perbedaan yang besar antar daerah, baik ekonomi,sosial dan
kependudukan. Daya tampung dan layanan yang terbatas,
peningkatan layanan sarana prasarana pendidikan serta kualitas
dan distribusi guru.
Kualitas dan distribusi guru saat ini sangat mentukan mutu
pendidikan dalam menuju Indonesia Emas. Peraturan perundang
undangan menyebutkan guru profesional adalah guru yang
sesuai dengan kualifikasai dan mempunyai sertifikat pendidik.
Kualifikasi dan sertifikasi belum lah cukup untuk menjadikan
guru itu profesional manakala kualitas dan distribusi guru masih
belum tertata benar. Kualitas dan distribusi guru bisa dilihat
dari masalah masalah sekitar guru yang ada sekarang seperti
belum optimalnya penyelenggaraan lembaga pendidikan tenaga
kependidikan ( LPTK), seleksi guru, data guru, kekurangan guru
dan guru honorer.
Masalah - masalah guru seperti dikemukakan diatas bisa jadi
merupakan tantangan dunia pendidikan dalam mewujudkan
Indonesia Emas. Apabila dalam lima tahun kedepan masalah
kualitas dan distribusi serta masalah guru lainnya tidak
diselesaikan maka ditakutkan apa yang menjadi impian bangsa
Indonesia di tahun 2045 disaat bangsa ini merayakan ulang
tahun 100 kemerdekaannya hanya lah tinggal sebuah mimpi.
Untuk itu perlu diadakan perombakan yang serius disegala hal
yang menyangkut dunia Pendidikan, perlu paradigma baru
dunia pendidikan untuk menuju Indonesia Emas, diperlukan
arah yang jelas dalam hal keterjangkauan dan ketersediaan akses
pendidikan, perlu arah dan kebijakan yang terencana dalam

610
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

peningkatan kualitas dan distribusi guru serta perlu tata kelola


yang efesien dan efektif.

Kata kunci : Masalah dan tantangan Indonesia menuju Indonesia


Emas, sarana prasarana pendidikan, peningkatan kualitas dan
distribusi guru.

Pendahuluan
Indonesia dewasa ini masih mengalami banyak kekurangan
dan kemunduran bila dibandingkan dengan Negara-negara lain
baik tingkat Asean maupun Dunia. Hal ini bisa dilihat dari ketiga
indikator kesejahteraan yang ada saat ini. Pertama, Masih rendahnya
Human Development Index ( HDI), Indonesia pada tahun 2013 berada
diurutan 121 dari 187 negara, di bawah rata rata PBB. Bahkan dibawah
Singapura ( 19), Brunei ( 30 ), Malaysia (65). Ini membuktikan tidak
Kompetitifnya pekerja Indonesia di dunia kerja baik di dalam atau
pun di luar negeri. Proporsi Jumlah Dokter dan Kapasitas Rumah
Sakit terhadap penduduk dan Proposi GDP untuk kesehatan, lebih
kecil dari Laos atau Vietnam.
Kedua, Masih rendahnya Education Development Index (EDI), EDI
Indonesia pada tahun 2012 berada pada urutan 64 dari 129 negara.
Di atas China (71), Kamboja (100), India (102) namun di bawah Korea
Selatan ( 39 ), UK (4), Perancis (8) dan Jerman ( 21). Begitu juga dengan
Jumlah Doktor (S3) hanya 97 orang per 1 juta penduduk, masih sangat
rendah bahkan bila dibandingkan dengan Malaysia (509), India (1.410)
dan Jepang (6.438). Lain lagi dengan tenaga kerja di Indonesia yang
bekerja di sektor formal hanya 65 % pekerja formal terdidik dari total
pekerja yang ada.
Ketiga, Rendahnya kesejahteraan bangsa Indonesia bisa dilihat dari
GDP perkapita penduduk Indonesia, Pada tahun 2012 GDP perkapita
jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan Negara tetangga. Hanya
34 % dibandingkan dengan Malaysia. Bahkan hanya 7% dari Singapura.
Belum lagi kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin lebar ,
hal ini ditunjukan dengan Index gini yang terus naik dari 4,1 sekarang
mendekati 4,4.
Rendahnya kesejahteraan masyarakat Indonesia tidak terlepas dari
persoalan pendidikan yang berlaku saat ini, Banyak masalah-masalah
pendidikan yang sampai saat ini belum terselesaikan. Berbicara
masalah pendidikan di Indonesia tidak terlepas dari persoalan

611
Professional Learning untuk Indonesia Emas

kurikulum, guru dan anggaran.


Berbagai upaya untuk memperbaiki kurikulum dalam
rangka meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia dari zaman
kemerdekaan sampai saat ini telah dilakukan perubahan - perubahan
sebanyak 11 kali. Pergantian kurikulum 13 ke Kurikulum 2006 sangat
menghebohkan. Kurikulum 13 baru berjalan satu tahun sudah kembali
lagi ke kurikulum sebelumnya. Kurikulum yang dijalankan masih
belum sempurna sudah diganti di tengah jalan, sering ada kesan
ganti Menteri ganti kurikulum, terlihat pemerintah kurang dalam
perencanaan, lemahnya koordinasi dan minim sosialisasi.
Guru sebagai ujung tombak sekaligus ujung tombok dalam dunia
pendidikan sampai saat ini persoalannya belum terselesaikan. Dari
mulai pemerataan distribusi guru, kesejahteraan, jaminan sosial sampai
ke guru bantu dan guru honorer. Belum lagi persoalan kompetensi
akademik guru, hasil uji kompetensi guru yang diharapkan standarnya
mencapai 70, namun yang sekarang baru 44,5.
Anggaran pendidikan walau sudah ditetapkan 20 % dari APBN
dan APBD nyatanya masih belum sesuai dengan ketentuan, hal ini
bisa dilihat masih banyaknya sekolah yang belum sesuai standar
nasional. Masih 75 persen sekolah di Indonesia tidak memenuhi
standar layanan minimal pendidikan. Terdapat 40.000 sekolah pada
2012, diketahui bahwa standar isi, proses, fasilitas, dan pengelolaan
sebagian sekolah belum sesuai standar pendidikan yang baik seperti
diamanatkan undang-undang.
Pendidikan memegang peran penting untuk menghantarkan bangsa
Indonesia tampil di arena global dan memenangkannya. Pendidikan
dengan berbasiskan guru yang profesional akan menghantarkan menuju
Indonesia Emas di tahun 2045. Untuk menuju cita cita Indonesia Emas
Kementerian Pendidikan Nasional tidak bisa melaksanakannya sendiri.
Koordinasi berbagai sektor publik pendukung kebjakan pendidikan
perlu disinergikan, komitmen bersama antara legeslatif dan eksekutif
serta kerjasama antara pemerintah pusat dan daerah merupakan modal
penting untuk majunya bangsa dalam bidang pendidikan. Dengan
kebersamaan semua pihak dan dimotori oleh Kemendikbud, bersama-
sama kita songsong bersama tahun 2045 yang menjadi tonggak sejarah
Bangsa Indonesia menuju Indonesia Emas.
Indonesia Emas 2045 adalah cita-cita yang akan kita wujudkan
bersama, dimana pada tahun 2045 bangsa Indonesia sudah terlepas
dari krisis moral dan seluruh komponen bangsa telah berhati emas dan
mengaplikasikan 7(tujuh) nilai dasar yaitu jujur, visioner, tanggung

612
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

jawab, disiplin, kerjasama, adil dan peduli. Jadi yang kita tuju dalam
Indonesia Emas 2045 adalah kejayaan secara moral dan spiritual,
bukan hanya kejayaan secara ekonomi semata.
Indonesia Emas yang kita impikan bersama dimana tahun itu tepat
100 tahun umur Indonesia Merdeka. Impian bersama itu bisa terwujud
bisa juga hanya sekedar impian. Impian tersebut bisa terwujud salah
satu penentunya adalah Kualitas Pendidikan, Pendidikan di Indonesia
masih belum bisa dikatakan sesuai harapan manakala persoalan
persoalan Kurikulum, Guru dan Sarana masih jauh dari standar sesuai
dengan aturan.
Menuju Indonesia Emas hanya tinggal 30 tahun lagi,sedangkan
masalah guru di Indonesia sampai saat ini belum teruraikan . Dalam
makalah ini penulis akan membatasi masalah dalam pendidikan
Indonesia menuju Indonesia Emas ditinjau dari guru profesional saat
ini yang ada dan tersedia di Indonesia.Masalah Kualitas dan distribusi
guru termasuk masalah masalah guru lainnya, diantaranya Lembaga
pendidikan guru,data guru,kekurangan guru,seleksi guru dan guru
honorer.

Pembahasan
A. Guru Profesional Indonesia
a. Apa itu Guru
Guru setidaknya diidentikkan dengan dua definisi berikut.
Pertama, dipandang dari sudut etimologis, guru berasal dari Bahasa
Sansekerta gu yang berarti kegelapan dan ru yang berarti
membebaskan atau menyingkirkan. Jadi, dilihat dari makna asalinya
guru bermakna menyingkirkan atau menghalau kegelapan. Dalam
terang pemahaman ini, benarlah jika ada adagium yang mengatakan
bahwa guru itu pelita dalam kegelapan. Cahaya yang membersit dari
pelita akan menghalau gelap dan menunjukkan jalan yang tepat untuk
keluar dari jebakan ketidakberdayaan anak didik akibat kebodohan
(Koesoema, 2009: 13).
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. .
Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada
jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan
anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Pengakuan kedudukan guru

613
Professional Learning untuk Indonesia Emas

sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud dibuktikan dengan


sertifikat pendidik.

b. Guru Profesional
Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat
pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan
untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kualifikasi akademik
diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program
diploma empat. Kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik,
kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi
profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Sertifikat
pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan.
Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang
memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi
dan ditetapkan oleh Pemerintah. Sertifikasi pendidik dilaksanakan
secara objektif, transparan, dan akuntabel.
Profesi guru dan profesi dosen merupakan bidang pekerjaan
khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip prinsip profesional
yaitu, Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme. Memiliki
komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan,
ketakwaan, dan akhlak mulia. Memiliki kualifikasi akademik dan
latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas. Memiliki
kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas. Memiliki
tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan; memperoleh
penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja. Memiliki
kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara
berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat. Memiliki jaminan
perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan; dan
memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur
hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.

c. Masalah Guru
1) Lembaga Pendidikan Guru dan Pendidikan Profesi Guru
UUGD dalam pasal 8 mengamanatkan bahwa guru wajib memiliki
kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani
dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan
pendidikan nasional. Kompetensi guru harus diperoleh melalui
pendidikan profesi. Kompetensi guru dalam UUGD, terdiri (a)
kompetensi pedagogik, (b) kompetensi kepribadian, (c) kompetensi
sosial, (d) kompetensi profesional. Kompetensi tersebut nampak

614
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

agak rancu, kompetensi profesional lebih tepat dinamai kompetensi


akademik, karena semuanya itu merupakan kompetensi profesional.
Kompetensi tersebut diperoleh melalui lembaga pendidikan guru dan
pendidikian profesi guru.
Lembaga pendidikan guru lima tahun terakhir tumbuh semakin
pesat. Semua resmi dan berijin. Jumlah lulusan tidak sebanding dengan
jumlah pengangkatan. Mutu sangat variatif. Seharusnya pemerintah
melakukan proses penjaminan mutu dan pembinaan terhadap
LPTK swasta sebagai konsekuensi dari penerbitan ijin tersebut. Pada
kenyataannya diskriminasi negeri swasta sangat besar dirasakan.
Bahkan cenderung membiarkan LPTK mati secara perlahan dengan
menerapkan berbagai aturan yang ketat sehingga LPTK swasta tidak
akan pernah bisa bersaing dengan LPTK Negeri yang didukung secara
penuh oleh pemerintah dalam berbagai aspek.
Demikian juga terjadi diskriminasi antara LPTK Negeri dengan
Perguruan Tinggi Negeri non-LPTK. Perhatian pemerintah terhadap
LPTK negeri belum optimal dibandingkan dengan PTN non-LPTK.
Anggaran PTN eks IKIP maupun FKIP dengan PTN noneks IKIP
terlihat jelas berbeda. Dukungan tenaga, sarana, dan lainnya juga
berbeda. Pendidikan guru yang menurut UU harus berasrama
tidak mampu dilaksanakan. PPG (Program Pendidikan Guru) yang
seharusnya sudah efektif berlaku sejak tahun 2006, sampai sekarang
jumlah program studinya belum sesuai kebutuhan. Keberadaannya
layak dipersoalkan.
Dalam lembaga pendidikan guru, perlu penyadaran profesi pada
seluruh civitas akademika yang bertujuan membangun paradigma
baru dan ideologi pendidikan serta kebanggaan profesi. Pilihan
terhadap profesi guru harus disertai dengan diberikan fondasi
filosofis yang terhubung dengan eksistensi diri, misi hidup, serta
perannya dalam pencapaian tujuan pendidikan nasional (penyadaran
profesi guru sebagai pengemban misi profetik). Dari korelasi itu akan
melahirkan motivasi dan energi besar bagi guru dalam menjalankan
tugasnya. Pembelajaran di kelas disusun tidak berdasarkan pada subject
matter (mata pelajaran), tetapi tematik-integratif. Ini penting untuk
menghindarkan pendekatan sistematika-akademis. Ingat, guru
profesional bukan saintis pendidikan, tetapi praktisi, dan user dari
ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu, perlu perumusan kembali tentang filosofi, materi,
metodologi, desain, praktik pembelajaran, dan penilaian dalam
lembaga pendidikan guru. Guru harus menjadi role model sehingga

615
Professional Learning untuk Indonesia Emas

profesional. Harus ada perubahan substansi lembaga pendidikan


tenaga kependidikan. Pendekatan dan metode dalam pendidikan
profesi guru harus merepresentasikan pembelajaran efektif dan
partisipatif. Guru tak hanya diperkenalkan pada berbagai metode,
tetapi juga menguasai subject matter, dan sebanyak mungkin mengalami
keterlibatan dalam penerapan praktik pendidikan. Pemagangan
dan riset tindakan kelas(classroomaction research) haruslah menjadi
bagian penting dari aktivitas pendidikan profesi guru. Aktivitas ini
adalah upaya memelihara struktur berpikir guru , dan memberikan
keterampilan menemukan, menganalisis, dan memecahkan problem-
problem praktik kelas.

2) Data Guru
Data guru menyedihkan. Publikasi data guru sering berbeda-beda,
baik antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat, Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan dengan kementrian lainnya. Bahkan, antara
Direktorat Jenderal dengan Badan dalam Kemdikbud juga berbeda.
Wajar jika perencanaan kebutuhan, pengadaan guru, kesejahteraan,
dan pembinaan tidak sesuai kebutuhan dan tidak optimal.
Data Guru: Berbagai Indikator
JENJANG TK SD SMP SLB SMA SMK TOTAL
267,576 1,644,925 556,905 16,102 264,512 175,656 2,925,676
Jumlah
9.15% 56.22% 19.04% 0.55% 9.04% 6.00% 100.00%

PENDIDIKAN <S1 S1 TOTAL


1,424,513 1,501,163 2,925,676
Jumlah
48.69% 51.31% 100.00%

NON PNS
STATUS PNS TOTAL
GTY GTT
1,713,379 314,091 898,206 2,925,676
Jumlah
58.56% 10.74% 30.70% 100.00%

GOLONGAN II III IV TOTAL


283,010 669,533 760,836 1,713,379
Jumlah
16.52% 39.08% 44.41% 100.00%

SERTIFIKASI SUDAH KUOTA 2012 BELUM TOTAL


Rencana : 2013: 300.000
1,016,017 248,242 830,254 2,094,513 2014: 300.000
Jumlah
48.51% 11.85% 39.64% 100.00% 2015: 230.254 (SELESAI)

PENSIUN 2012 2013 2014 2015 2016 TOTAL


Jumlah 27,396 42,275 41,505 44,450 42,509 198,135
Sisa 2,898,280 2,856,005 2,814,500 2,770,050 2,727,541

Diolah dari berbagai sumber.

3) Kekurangan Guru
Berdasarkan data dari Kemdikbud sampai tahun 2018 terjadi
pensiun guru mencapai sekitar 300.000 guru, jumlah ini belum
termasuk para guru yang meninggal dunia, alih tugas profesi.

616
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

Diperkirakan kekurangan guru SD saja di seluruh tanah air mencapai


sekitar 400.000 orang.
Berdasarkan temuan di berbagai daerah, banyak SD yang
kelasnya 6, guru PNS-nya 2 dan 1 kepala sekolah. Tidak setiap SD
memiliki guru Agama dan Olah Raga. Pada tingkat SMA kekurangan
guru Bimbingan Konseling (BK), di SMK kekurangan guru Mapel
Produktif. Kekurangan itu juga terjadi di sekolah swasta, yang sering
tidak mendapat perhatian dan kepedulian dari pemerintah maupun
pemerintah daerah. Termasuk banyaknya guru di sekolah swasta
yang mismatch.
Yang menyesatkan Kemdikbud sering mengklaim bahwa guru
cukup. Bahkan sering di klaim kelebihan guru bahkan dengan rasion
yang sangat mewah yakni 1: 15 melebihi rasio guru dan siswa negara-
negara maju. Sebenarnya, kesan cukup itu karena kekurangan
tersebut diisi dan dicukupi dengan guru honorer atau guru wiyata
bakti yang secara kepegawaian maupun kesejahteraannya tidak
jelas dan sangat tidak manusiawi. Hal tersebut dapat dilihat dari
data sertifikasi guru terdapat 717.257 guru Tidak Tetap (GTT) yang
statusnya maupun penggajiannya sangat memprihatinkan. belum
lagi jumlah guru honorer yang tidak diketahui. Jumlah guru ini yang
dihitung secara total sebagai dasar dalam menghitung rasio guru dan
siswa. Perhitungan ini sungguh menyesatkan. Berdasarkan hal itulah
diklaim bahwa Indonesia tidak kekurangan guru.
Indonesia Kelebihan Jumlah Guru (Apa Benar?)
Rasio Siswa-Guru (RSG) di Indonesia sangat mewah dibanding negara lain.
Jika diberlakukan standar RSG internasional, Indonesia kelebihan pasokan
guru sebesar 20% atau sekitar 500.000 guru.
Sekolah Dasar Sekolah Menengah
Cambodia 51 Philippines 35
India 40 India 33
Philippines 34 Cambodia 29
Low & middle income 31 Low & middle income 24
World 31 World 24
Mongolia 31 Lao PDR 23
Lao PDR 30 Thailand 21
Korea, Rep. 24 Vietnam 21
Lower middle income 22 Lower middle income 19
Vietnam 20 Mongolia 19
Singapore 19 Korea, Rep. 18
China 18 China 16
Japan 18 Singapore 16
United Kingdom 17 Malaysia 15
Indonesia 17 United States 14
High Income 16 United Kingdom 14
Thailand 16 High Income 13
Malaysia 15 Japan 12
United States 14 Indonesia 12
0 10 20 30 40 50 60 0 5 10 15 20 25 30 35 40
Sumber: EdStats, World Bank [Indonesia (2008), All others: 2004 2008]

Opsi
Penataan kebijakan rekruitmen guru.
Kebijaka 8
n
Diolah dari berbagai sumber

617
Professional Learning untuk Indonesia Emas

4) Seleksi Guru
Seleksi guru yang PNS selama otonomi sampai tahun 2012
dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten dan kota. Banyak guru SMA
dan SMP yang diangkat. Proses pengangkatan banyak yang beraroma
KKN. Peran Tim Sukses Bupati dan Walikota nampak sangat dominan.
Akibatnya, saat ini kelebihan guru di SMA dan SMP. Seleksi CPNS
tahun 2012 dan 2013, terutama berkenaan dengan Tenaga Honorer K1
dan K2 menyisakan sejumlah masalah. Banyak Tenaga Honorer K1 dan
K2 yang sungguh-sungguh bekerja tidak lolos, di sisi lain, banyak
yang kurang serius bertugas dengan data bodong ternyata lolos.
Seleksi guru non-PNS, baik honorer maupun guru di sekolah
swasta kecil, tidak menggunakan sistem dan pola yang jelas. Guru
honorer di SD, misalnya, diterima karena perhatian kepala
sekolahnya saja. Bahkan, untuk masuk atau keluar sekolah, tenaga
honorer dan juga guru di sekolah swasta kecil, banyak yang tanpa
pola. Bandingkan pekerja di pabrik saja ada pola seleksi pegawai
yang jelas. Akibatnya, di sebagian sekolah guru sering tidak terjaga
persyaratan dan mutunya.
Dari aspek tenaga pengajar, program 1 desa 1 PAUD lebih
menyedihkan. Pendidik atau guru PAUD saat ini rekruitmennya
tidak diatur. Setelah diangkat pun, mutu, kesejahteraan, dan
kepegawaiannya juga tidak diurus oleh pemerintah. Kondisi
itu berdampak serius terhadap pendidikan anak usia dini, yang
sesungguhnya sangat penting.

5) Guru Honorer
Guru Honorer untuk menyebut guru tidak tetap yang mengabdi
di sekolah negeri. Banyak guru honorer yang rekruitmen dan status
kepegawaiannya tidak jelas. Keberadaan mereka juga variatif, ada yang
sangat dibutuhkan dan ada yang keberadaannya tidak memperoleh
tugas yang jelas. Tidak ada ketentuan yang dapat sebagai dasar
rekruitmen, pembinaan, dan pangaturan kepegawainnya. Pemerintah
daerah dan pemerintah pusat terkesan membiarkannya. Guru honorer
banyak yang menerima honor Rp 200.000,00 (dua ratus ribu) rupiah
per bulan. Bahkan guru TK dan pengajar di PAUD banyak yang
menerima honor Rp 100.000,00 (seratus ribu) rupiah.
Guru honorer yang telah bekerja penuh waktu, dedikasi dan
prestasi kerjanya baik serta memenuhi syarat, seharusnya memperoleh
nilai tambah dalam pengangkatan menjadi guru CPNS. Yang

618
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

memenuhi syarat tetapi tidak dapat diangkat menjadi CPNS dan yang
bersangkutan dibutuhkan, mestinya dapat diangkat sebagai pegawai
pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) yang memperoleh
penghasilan yang wajar di atas kebutuhan hidup minimum (UMK),
tetapi sampai sekarang regulasinya tidfak jelas.
Guru honorer tidak bisa ikut sertifikasi. Guru honorer yang
keberadaannya memang diperlukan, bekerja penuh waktu, beban
mengajarnya sesuai ketentuan, dan prestasinya baik, agar bisa
mengikuti sertifikasi. Guru honorer di sekolah swasta (setelah
ditetapkan sebagai guru tetap) bisa mengikuti sertifikasi.Guru
honorer Tidak bisa mengikuti sertifikasi artinya tidak memperoleh
TPG. Banyak juga guru honorer yang tidak memperoleh subsidi TFG.
Guru honorer hendaknya secara kepegawaian diperlakukan setara
dengan PNS dalam pembinaan profesi dan pengakuan pengabdian
serta kepangkatan dan jabatannya seperti yang diterapkan bagi dosen
non-PNS di PTS.

B. Indonesia Emas
Indonesia yang bangkit dari segala ketertinggalan, melesat jauh
melebihi negara lain. Indonesia emas memiliki kepribadian bangsa
yang unggul, berdasarkan penerapan syariat islam secara menyeluruh.
Indonesia emas memiliki pancaran cahaya yang akan menerangi dunia
dengan keindahan islam dan keunikan khas Indonesia. Indonesia
emas akan menjadi pusat peradaban dunia dan sebagai panutan bagi
negara lain. Masyarakat yang hidup penuh dengan kerukunan dan
keharmonisan, tak ada lagi bencana kemanusiaan yang melanda.
Islam dan Indonesia akan Berjaya, kembali memimpin dunia di abad
ke-21 ini, setelah islam seakan tertidur selama 7 abad. Islam pernah
mengalami masa kegemilangan di Eropa dari abad ketujuh sampai
abad keempatbelas. Dan saat ini islam akan kembali berjaya, di
Indonesia!
Indonesia Emas adalah Indonesia yang menjadi Negara maju,
Negara kekuatan besar menjadi Negara kekuatan 8 besar Dunia.
Negara yang mempunyai pendapatan GDP lebih 5 triliyun dolar
Amerika, Negara yang pendapatan perkapitanya melebihi 20 000 dolar
Amerika. Indonesia ditahun 2045 akan menjadi Negara yng unggul
dalam perdagangan Dunia setelah China,Rusia, India dan Brazilia.
Harapan Indonesia pada saat perayaan puncak 100 tahun
Indonesia Merdeka dalam bidang Pendidikan ditandai dengan EDI

619
Professional Learning untuk Indonesia Emas

yang meningkat, meratanya infrastruktur yang merata, kemampuan


guru dan kualitas sekolah merata antar daerah, terdapatnya system
pendidikan yang memberikan cukup ruang bagi peserta didik
untuk kreatif serta system pendidikan yang terintegrasi dengan
perekonomian. Terciptanya budaya riset dan jiwa kepemimpinan
serta terbangunnya masyarakat wirausaha.
Mengapa Indonesia Emas? Ada beberapa indikator mengapa
Indonesia ingin terbebas dari segala kemunduran dan menuju
Indonesia Emas, setidaknya ada lima indikator sebagai modal dasar
menuju Indonesia Emas yaitu, Pertama, Di tahun 2020, pendapatan
per kapita Indonesia paling rendah mencapai 9.000 US dolar. Itu
adalah skala ekonomi yang sangat besar, karena penduduk Indonesia
mencapai dua ratus lima puluh juta.Kedua, Dari sebelas negara di
ASEAN, ekonomi Indonesia sekarang ini sudah menguasai 51%. Yang
49% dibagi-bagi sepuluh negara. Indonesia saja sudah 51%, berarti kita
memang sudah mencapai satu tingkat kekuatan ekonomi yang sangat
dominan di Asia Tenggara. Ketiga, 1 diantara 6 negara yang kondisi
perekonomiannya sedang emerging. New Emerging Economics, Begitu
kata Soekarno dulu. Enam negara itu adalah BRICI: Brazil, Russia,
India, China, dan Indonesia. Negara yang tidak hanya melimpah secara
natural resources, tapi juga human resources. Ada 80 % penduduk di
usia produktif / working age (15-60) negeri ini yang akan menemukan
titik kulminasinya di tahun 2020-2050. Keempat, Indonesia memiliki
kekayaan alam yang melimpah dari mulai hasil laut, tambang, gas,
minyak bumi, perkebunan, dll. Kelima, Tidak ada satu pun negara
di dunia yang memiliki kelengkapan seperti Indonesia. Setiap aliran
pemikiran, kepercayaan, agama, budaya, suku, dan sebagainya
tumbuh subur bak cendawan di musim hujan di Indonesia ini. Ada
orang Atheis, Agnostik, liberal, sekular, agamawan, bahkan sampai
yang belum teridentifikasi kepercayaannya pun juga ada. Ada 300
lebih suku bangsa di Indonesia. Masing-masing diantaranya punya
kekhasannya masing-masing, punya patronnya masing-masing, dan
punya nilai yang harus dijunjung tinggi masing-masing (Republika on
line 20 Mei 2014).

C. Peran Guru Profesional Menuju Indonesia Emas


a. Sertifikasi Guru Profesional.
Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat
pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan

620
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Sertifikasi pendidik


diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program
pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan
oleh Pemerintah. Pelaksanaan sertifikasi guru melalui Portofolio dan
Pendidikan Profesi Guru dalam Jabatan (PPGJ) , pelaksanaan sertifikasi
melalui portofolio sudah berakhir, sedangkan sertifikasi melalui PPGJ
akan dilakukan tahun 2015 ini.
Guru calon peserta sertifikasi melalui PPGJ diwajibkan mengikuti
seleksi administrasi yang dilakukan oleh dinas Provinsi, kabupaten
kota, semua guru calon peserta yang telah memenuhi administrasi
diikutkan dalam seleksi akademik berbasis data Uji kompetensi
( UKA dan UKG ). Bagi guru yang lulus akademik dilanjutkan
dengan menyusun Rekognisi Pengalaman Lampau (RPL). Bagi guru
yang telah memiliki RPL dihargai setara dengan 10 SKS dan lebih
ditetapkan sebagai peserta workshop di LPTK. Sedangkan guru yang
sudah sekurang kurangnya 7 SKS dapat melengkapi RPL-nya dengan
durasi waktu maksimal 20 hari sejak diumumkan.
Workshop dilaksanakan selama 16 hari (168 JP) meliputi kegiatan
pendalaman materi, pengembangan perangkat pembelajaran,
Penilitian tindakan kelas (PTK), Penelitian tindakan bimbingan
konseling (BK), dan peer teaching /peer conseling dan diakhiri
dengan ujian tulis formatif (UTF), dengan instrument yang disusun
oleh LPTK, Peserta sertifikasi melalui PPGJ yang lulus UTF akan
dilanjutkan dengan pemantapan kemampuan mengajar (PKM). Di
sekolah tempat guru bertugas, bagi peserta guru sertifikasi melalui
PPGJ yang tidak lulus UTF, diberi kesempatan ulang UTF maksimal
dua kali, dan apabila setelah mengikuti ulang dua kali tidak lulus juga,
dikembalikan ke dinas provinsi kabupaten kota untuk memperoleh
pembinaan dan dapat diusulkan langsung kembali untuk mengikuti
workshop tahun berikutnya.
PKM dilaksanakan di sekolah selam 2 bulan ( diluar libur antar
semester) dengan kegiatan kegiatan sesui tugas pokok guru yang
meliputi penyususn perangkat pembelajaran, melaksanakan proses
pembelajaran/conseling/ layanan TIK, implementasi PTK/PTBK,
melaksanakan penilaian, pembimbingan, dan kegiatan persekolahan
lainnya. Uji kinerja dilakukan di akhir PKM oleh asesor LPTK
penyelenggara dan guru inti. Peserta yang belum lulus ujian kinerja
PKM diberi kesempatan dua kali mengulang. Uji tulis nasional (UTN )
dilaksanakan secara Online dan daerah tertentu secara ofline.

621
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Peserta sertifikasi yang lulus uji tulis nasional dan uji kinerja akan
memperoleh sertikat pendidik, sedangkan peserta yang belum lulus,
diberi kesempatan dua kali untuk mengulang bagi peserta yang belum
memenuhi syarata kelulusan. Bagi peserta yang tidak lulus pada
ujian ke dua peserta dikembalikan ke dinas provinsi,kab,kota untuk
memperoleh pembinaan dn dapat diusulkan mengikuti PKM tahun
berikutnya.

b. Guru Efektif dan Pembelajar.


Guru Efektif. Bransfor, dkk dalam buku How People Learn: Brain,
Mind, Experience and School (2000, 1921) menjelaskan bahwa guru yang
efektif dan profesional akan melakukan tiga elemen penting pengajaran,
yaitu: Guru yang efektif akan memanfaatkan dan memberdayakan
pengetahuan dan pemahaman yang sudah dimiliki siswa sebelumnya.
Guru yang efektif akan mengajarkan materi pelajaran secara mendalam,
memberikan beragam contohsebagai bentuk penguatan terhadap
konsep yang diajarkan, dan memberikandasar yang kuatterhadap
pengetahuan siswa melalui pengungkapan hal-hal faktual. Guru yang
efektif akan berfokus pada pengajaran keterampilan metakognitif,
yaitu mengintegrasikan berbagai keterampilan ke dalam kurikulum
dalam berbagai bidang studi.
Guru sebagai pembelajar yang professional Mempunyai beberapa
indikator diantaranya memahami arah pembelajaran profesional,
memahami tantangan-tantangan implementasi professional learning,
strategi membangun komunitas belajar yang produktif , memahami
pembelajaran integratif berbasis soft skill dan hard skill , memahami
perkembangan model pembelajaran dari masa ke masa, memahami
professional learning based on character, dan memahami standar
keunggulan kompetensi guru.

c. Tantangan Guru Profesional Menuju Indoneisa Emas.


Masalah dan tantangan Indonesia menuju Indonesia Emas dalam
bidang pendidikan dilihat dari segi Akses, mutu dan relevansi yang
selama ini di programkan oleh Pemerintah dalam hal ini Kementrian
Pendidikan Nasionl adalah adanya perbedaan yang besar antar
daerah, baik ekonomi,sosial dan kependudukan. Daya tampung
dan layanan yang terbatas, peningkatan layanan sarana prasarana
pendidikan serta kualitas dan distribusi guru.
Kualitas dan Distribusi Guru saat ini sangat mentukan mutu
pendidikan dalam menuju Indonesia Emas. Peraturan perundang

622
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

undangan menyebutkan guru profesional adalah guru yang sesuai


dengan kualifikasai dan mempunyai sertifikat pendidik. Kualifikasi
dan sertifikasi belum lah cukup untuk menjadikan guru itu profesional
manakala kualitas dan distribusi guru masih belum tertata benar.
Kualitas dan distribusi guru bisa dilihat dari masalah masalah sekitar
guru yang ada sekarang seperti belum optimalnya penyelenggaraan
lembaga pendidikan tenaga kependidikan ( LPTK), seleksi guru, data
guru, kekurangan guru dan guru honorer.
Masalah - masalah guru seperti dikemukakan diatas bisa jadi
merupakan tantangan dunia pendidikan dalam mewujudkan
Indonesia Emas. Apabila dalam lima tahun kedepan masalah kualitas
dan distribusi serta masalah guru lainnya tidak diselesaikan maka
ditakutkan apa yang menjadi impian bangsa Indonesia di tahun 2045
disaat bangsa ini merayakan ulang tahun 100 kemerdekaannya hanya
lah tinggal sebuah mimpi.
Untuk itu perlu diadakan perombakan yang serius disegala hal
yang menyangkut dunia Pendidikan, perlu paradigma baru dunia
pendidikan untuk menuju Indonesia Emas, diperlukan arah yang jelas
dalam hal keterjangkauan dan ketersediaan akses pendidikan, perlu
arah dan kebijakan yang terencana dalam peningkatan kualitas dan
distribusi guru serta perlu tata kelola yang efesien dan efektif.

C. Penutup
Menuju Indonesi Emas merupakan cita cita bersama bangsa
Indonesia, Indonesia Emas di tahun 2045 dimana Indonesia Emas
adalah Indonesia yang menjadi Negara maju, Negara kekuatan besar
menjadi Negara kekuatan 8 besar Dunia. Negara yang mempunyai
pendapatan GDP lebih 5 triliyun dolar Amerika, Negara yang
pendapatan perkapitanya melebihi 20 000 dolar Amerika. Indonesia
ditahun 2045 akan menjadi Negara yng unggul dalam perdagangan
Dunia setelah China,Rusia, India dan Brazilia.
Indonesia yang bangkit dari segala ketertinggalan, melesat jauh
melebihi negara lain. Indonesia emas memiliki kepribadian bangsa
yang unggul, berdasarkan penerapan syariat Islam secara menyeluruh.
Indonesia emas memiliki pancaran cahaya yang akan menerangi dunia
dengan keindahan Islam dan keunikan khas Indonesia. Indonesia
emas akan menjadi pusat peradaban dunia dan sebagai panutan bagi
negara lain.
Indonesia Emas yang kita impikan bersama dimana tahun itu tepat
100 tahun umur Indonesia Merdeka. Impian bersama itu bisa terwujud

623
Professional Learning untuk Indonesia Emas

bisa juga hanya sekedar impian. Impian tersebut bisa terwujud salah
satu penentunya adalah Kualitas Pendidikan, Pendidikan di Indonesia
masih belum bisa dikatakan sesuai harapan manakala persoalan
persoalan Kurikulum, Guru dan Sarana masih jauh dari standar sesuai
dengan aturan.
Untuk itu perlu paradigma baru dunia pendidikan untuk menuju
Indonesia Emas, diperlukan arah yang jelas dalam hal keterjangkauan
dan ketersediaan akses pendidikan, perlu arah dan kebijakan yang
terencana dalam peningkatan kualitas dan distribusi guru serta perlu
tata kelola yang efesien dan efektif.

Daftar Pustaka

BPMSDM dan PMP, ( 2015),Pedoman Sertifikasi Guru melalul Pendidikan


Profesi Guru dalam Jabatan, Kemndikbud
Harefa, Andreas (2000). Menjadi Makhluk Pembelajar. Jakarta: Penerbit
Buku Kompas.
Koesoema, Doni A. (2009). Pendidikan Karakter di Zaman Keblinger:
Mengembangkan Visi Guru sebagai Pelaku Perubahan dan Pendidik
Karakter. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
.., (2014) Republika on line 20 Mei 2014.
Sulistiyo, (2015) Bahan Paparan PB PGRI di Kemendikbud
Undang Undang R I Tahun 2005 nomor 14, tentang Guru dan Dosen.

624
PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN DENGAN
MEMBANGUN KOMUNITAS BELAJAR MELALUI
STRATEGI SCAFFOLDING

Neli Rahmaniah
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Email : nelirahmaniah@yahoo.com

Abstract : This paper discusses about the application of scaffolding


strategy in learning process which is aimed in realizing a
productive learning community so that it will improve the
quality of education. Learning community becomes a place that
the learning process will be more optimal for each of its members.
Thus, the vision of Golden Country can be supported through
the implementation of professional learning.
Absolute condition of success in building a professional learning
community is teachers/ educators. A good teacher becomes
an important variable in achieving good quality of education.
The indication of the capability of learning management is the
qualities of a teacher in the field. One of them is the ability to
use the variation of teaching methods and strategies including
scaffolding.
Scaffolding strategy can be defined as a technique of providing
support in a structured learning which is carried out at an early
stage to encourage students to study independently. However,
it cannot be done continuously, but it is done in line with the
increasing of students ability. Teachers gradually have to
reduce and let students study independently. The appropriate
implementation of Scaffolding strategy can improve the ability
of students thought so that it will improve learning outcomes.
Furthermore, this strategy can be used as an alternative for
teachers to use in learning process.
The implementation of Scaffolding strategy needs support from
leadership and all elements of the institute, so the learning
community that has formed will improve the quality of education.

Keywords: Scaffolding Strategy, Learning Community, Quality


Improvement in Education.

625
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Pendahuluan
Pendidikan nasional yang merupakan salah satu sektor
pembangunan nasional dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa
mempunyai visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata
sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga
negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas.
Oleh karena itu, pendidikan nasional harus berfungsi secara optimal
sebagai wahana utama dalam pembangunan bangsa yang berkarakter.
Berdasarkan hal itu perlu dipikirkan dan dirancang suatu
paradigma pendidikan yang dapat membekali generasi emas
menghadapi masa depan. Banyak paradigma pendidikan telah
dilontarkan oleh beberapa ahli, namun paradigma mana yang relevan
untuk masa depan pendidikan di Indonesia pada umumnya, perlu
sebuah analisis spekulatif berdasarkan keadaan obyektif masyarakat
kita masa depan, yakni masyarakat madani kedudukannya ditengah
masyarakat global.
Dalam merancang perubahan pendidikan, tidak hanya memikirkan
kebutuhan generasi sekarang, tetapi melihat jauh ke depan, memikirkan
apa yang akan dihadapi anak dan cucu kita di masa depan. Antisipasi
jauh ke depan sangat penting mengingat bahwa dalam zaman modern
ini perubahan kehidupan ekonomi, sosial, dan politik terjadi dengan
sangat cepat. Ini adalah akibat dari cepatnya perkembangan di bidang
ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendidikan antisipatif sangat tepat
untuk diterapkan pada masa sekarang ini dalam rangka membekali
peserta didik sebagai generasi emas untuk menghadapi masa depan
yang penuh tantangan dan kompetitif.
Pembelajaran adalah proses interaksi antara peserta didik dengan
pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Agar
proses interaksi ini dapat berjalan secara optimal dalam pencapaian
tujuan pembelajaran, maka kegiatan pembelajaran harus dikelola
dengan baik. Pengelolaan pembelajaran dimaksudkan sebagai suatu
seni dalam mengoptimalkan segala sumber-sumber daya kelas demi
terciptanya proses pembelajaran yang efektif dan efisien.
Pengelolaan pembelajaran juga diartikan sebagai upaya pendidik
untuk menciptakan dan mengendalikan kondisi belajar serta
memperbaikinya apabila terjadi gangguan maupun penyimpangan,
sehingga proses pembelajaran dapat berlangsung sesuai harapan.
Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan
secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi
peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang

626
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan


bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
Pendidikan diselenggarakan dengan memberikan keteladanan,
membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik
dalam proses pembelajaran (UU Sisdiknas no.20/2003 pasal 4, ayat 4).
Berdasarkan hal tersebuat diatas, maka diperlukan upaya
pengembangan kualitas pembelajaran. Kualitas pembelajaran banyak
tergantung pada bagaimana pembelajaran itu dirancang. Rancangan
pembelajaran biasanya dibuat berdasarkan pendekatan rancangannya
sesuai dengan teori yang dikembangkan mengenai belajar, misalnya
teori konstruktivisme yang menekankan pembelajaran student-
centered. Bentuk pelaksanaan pembelajaran berdasarkan teori ini
dilaksanakan melalui belajar aktif, belajar mandiri, belajar kooperatif
dan kolaboratif, generative learning dan problem-based learning.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan mutu pendidikan kita
rendah terletak pada unsur-unsur dari sistem pendidikan itu sendiri,
yakni paling tidak pada faktor kurikulum, sumber daya ketenagaan,
sarana dan fasilitas, manajemen sekolah, pembiayaan pendidikan, dan
kepemimpinan merupakan faktor yang perlu dicermati. Disamping itu,
faktor eksternal berupa partisipasi politik rendah, ekonomi tak berpihak
terhadap pendidikan, sosial budaya, rendahnya pemanfaatan sains
dan teknologi, juga mempengaruhi mutu pendidikan (Syafaruddin,
2002:14).
Proses pembelajaran yang berlangsung di sekolah selama ini masih
dirasa sangat membosankan. Bagi siswa ruang kelas laksana penjara
saja yang mengerangkeng kebebasan berekspresi dan berkreativitas.
Guru hanya menyuguhkan segudang teori tanpa mau peduli pada
kondisi psikologi mereka. Akibatnya, potensi-potensi anak tidak
secara utuh tersentuh. Dampaknya, hanya sedikit dari output lembaga-
lembaga pendidikan yang mampu bersaing di level internasional.
Fenomena ini tentu sangat memilukan dan mendorong banyak
pihak yang berkecimpung dalam dunia pendidikan untuk melakukan
terobosan-terobosan guna menyelesaikan masalah ini. Lalu upaya
bagaimanakah yang bisa kita lakukan untuk mewujudkan cita-cita
menjadi Indonesia Emas? Salah satunya adalah dengan membangun
komunitas belajar. Sebuah konsep yang dirasa efektif dan solutif inilah
yang merupakan pokok pembahasan tulisan ini.

627
Professional Learning untuk Indonesia Emas

Pembahasan
a. Peningkatan Mutu Pendidikan
Peningkatan berarti penciptaan suatu perubahan yang bermanfaat
secara terorganisasi; pencapaian suatu tingkat kinerja yang tak pernah
terjadi di masa lalu. Sinonimnya adalah Terobosan (Juran, 1995:31).
Sedangkan mutu, banyak ahli yang mengemukakan tentang
mutu/kualitas, seperti yang dikemukakan oleh Crosby ; Kualitas
adalah kesesuaian dengan kebutuhan yang yang telah distandarkan
(conformance to requirement) meliputi availability, delivery, maintainability,
dan cost effectiveness (Crosby,1979:58). Menurut Juran: Kualitas
adalah kesesuaian dengan tujuan atau manfaatnya (fitness for use),
sedangkan menurut Deming : Kualitas adalah kesesuaian dengan
kebutuhan pasar atau konsumen (dalam Tumiwa,2006:1-2).
Mutu adalahSebuah filsosofis dan metodologis yang membantu
institusi untuk merencanakan perubahan dan mengatur agenda
dalam menghadapi tekanan-tekanan eksternal yang berlebihan
(Sallis,2006:33). Sedangkan menurut Vincent G : Kualitas diartikan
sebagai segala sesuatu yang menentukan kepuasan pelanggan dan
upaya perubahan kearah perbaikan terus menerus sehingga dikenal
dengan istilah Q-MATCH (Quality = Meets Agreed Terms and Changes)
(Vincent,2003:3). Menurut Sudarwan Danim; mutu mengandung
makna derajat keunggulan suatu poduk atau hasil kerja, baik berupa
barang dan jasa (Sudarwan,2007:53).Sedangkan dalam dunia
pendidikan barang dan jasa itu bermakna dapat dilihat dan tidak dapat
dilihat, tetapi dan dapat dirasakan. Sedangkan Kamus Besar Bahasa
Indonesiamenyatakan Mutu adalah(ukuran ), baik buruk suatu benda,
taraf atau derajat (kepandaian, kecerdasan, dsb) kualitas.Selanjutnya
Lalu Sumayang menyatakan quality(mutu ) adalah tingkat dimana
rancangan spesifikasi sebuah produk barang dan jasa sesuai dengan
fungsidan penggunannya, disamping ituqualityadalah tingkat
di mana sebuah produk barang dan jasa sesuai dengan rancangan
spesifikasinya (Sumayang,2003:322).
Menurut kamus (terminologi bahasa), kualitas adalah tingkat
kesempurnaan yang sifatnya relative, bukan absolute. Oleh karenanya,
kualitas memiliki arti yang berbeda untuk orang-orang yang berbeda,
tetapi definisi secara garis besar dapat dibaca Kualitas adalah
keseluruhan ciri atau karakteristik yang berkaitan dengan kemampuan
memuaskan kebutuhan tertentu (Dorothea, 2003:124).
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan

628
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

bahwa mutu(quality )adalah sebuah filsosofi dan metodologi, tentang


(ukuran) dan tingkat baik buruk suatu benda, yang membantu institusi
untuk merencanakan perubahan dan mengatur agenda rancangan
spesifikasi sebuah produk barang dan jasa sesuai dengan fungsidan
penggunannya dengan menggunakan seluruh kemampuan sumber
daya manajemen sehingga menghasilkan nilai tambah bagi segenap
stakeholder.
Mutu pendidikan adalah satu faktor kunci dalam kompetisi
antarnegara di era globalisasi ini. Mutu produk dan pelayanan yang
dihasilkan berbagai lembaga pendidikan ditentukan oleh kompetensi
manajerial, kepemimpinan, visi dan integritas kepribadian para
manajer, tenaga pendidik dan kependidikan dalam mengelola
pendidikan. Dengan pengelolaan mutu yang sistematis, diharapkan
hasil yang dicapai akan lebih efektif dan efisien.
Pengelolaan mutu dilakukan melalui penggunaan tiga proses
manajemen yang sama; Perencanaan Mutu, Pengendalian Mutu, dan
Peningkatan Mutu. Tiga proses ini disebut sebagai Trilogi Juran.
Dalam konsep peningkatan mutu, terdapat metodologi yang terdiri
atas serangkaian langkah universal sebagai berikut: (Juran, :23-24)
1. Membangun prasarana yang diperlukan untuk menjamin
peningkatan mutu tahunan.
2. Mengenali kebutuhan khusus untuk proyek peningkatan.
3. Untuk setiap proyek, bentuklah satu tim proyek dengan tanggung
jawab yang jelas untuk membawa proyek meraih keberhasilan.
4. Memberikan sumber daya, motivasi, dan pelatihan yang
dibutuhkan oleh tim untuk; mendiagnosa, menetapkan cara
penanganannya, dan memppertahankan perolehannya.

Peningkatan mutu sekolah adalah suatu proses yang sistematis


yang terus menerus meningkatkan kualitas proses belajar mengajar
dan faktor-faktor yang berkaitan dengan itu, dengan tujuan agar
menjadi target sekolah dapat dicapai dengan lebih efektif dan efisien.
Peningkatan mutu berkaitan dengan target yang harus dicapai,
proses untuk mencapai dan faktor-faktor yang terkait. Dalam
peningkatan mutu ada dua aspek yang perlu mendapat perhatian,
yakni aspek kualitas hasil dan aspek proses mencapai hasil tersebut.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan dalam setiap proses
peningkatan mutu pendidikan yang dimaksud adalah dengan
membentuk komunitas belajar. Komunitas belajar saat sekarang dirasa

629
Professional Learning untuk Indonesia Emas

penting, sebab di samping dapat mempercepat proses pematangan


keilmuan, ia juga bisa membangkitkan semangat berbagi dan
menumbuhkan kesetiakawanan sosial pada peserta didik. Selain itu ia
akan mendorong keniscayaan terjadinya perubahan-perubahan yang
mengedepankan relevansi dengan tuntutan perkembangan terkini.

b. Komunitas Belajar (Learning Community)


Senge (1990) mendefinisikan Komunitas Belajar sebagai: Sebuah
organisasi dimana anggotanya mengembangkan kapasitasnya secara terus
menerus untuk mencapai hasil yang diinginkan, mendorong pola berpikir
yang baru dan luas, dan terus belajar bagaimana belajar bersama-sama.
Konsep tentang komunitas belajar adalah faktor penting
dalam kehidupan sosial di kelas dalam kaitannya dengan proses
pembelajaran. Komunitas belajar adalah suatu setting di mana pada
komunitas tersebut terdapat tujuan belajar yang sifatnya mutual
(saling menguntungkan), dan menunjukkan adanya kepedulian
terhadap pembelajaran dari setiap individu anggotanya. Komunitas
belajar menjadi sebuah wadah yang akan mendorong terjadinya
proses pembelajaran yang lebih efektif pada setiap anggotanya.
Sudah ada bukti yang makin kuat bahwa harapan yang terbaik untuk
peningkatan mutu sekolah secara signifikan adalah dengan cara
mentransformasikan sekolah menjadi suatu komunitas pembelajaran
profesional (Dufour, 1998:17).
Komunitas belajar dibangun atas dasar kesadaran untuk
membangun kemandirian, kekuatan, dan kemauan kuat tentang
peradaban baru melalui jaringan pendidikan. Nilai-nilai yang
terkandung dalam komunitas ini adalah demokratis, kemanusiaan,
substansial, esensial, dan memahami kebutuhan dengan berasaskan
bahwa belajar adalah sebuah kewajiban. Melihat hal itu maka menjadi
wajar bila komunitas belajar profesional diyakini sebagai sebuah
wahana efektif bagi keseimbangan pengembangan tiga bentuk
kecerdasaan manusia, yakni kecerdasan intelektual, emosional, dan
spiritual. Tentu hal itu masih perlu didukung oleh adanya iklim
keterbukaan, tidak adanya dominasi, adanya rotasi kepemimpinan,
tidak adanya diskriminasi, serta terbangunnya rasa empati antar
anggota komunitas (Asmani, 2014:109-115). Hanya organisasi yang
punya passion atau semangat belajar akan bisa memiliki pengaruh
yang bertahan lama (Covey,1996:149).
Agar program komunitas belajar bisa terbangun dan berjalan

630
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

harus ada kerjasama antar semua elemen dalam sekolah, wali


murid, elemen masyarakat, hingga birokrasi. Kerjasama semua
unsur itu bisa diterjemahkan dalam beberapa bentuk nyata, yaitu
meliputi memberdayakan dan memaksimalkan kemampuan
guru, mengoptimalkan berbagai model dan strategi pembelajaran,
mengotimalkan fungsi OSIS, membuat klub sesuai bakat dan minat
anak, menyusun kompetensi dasar anak didik sebagai barometer
keberhasilan, serta menyempatkan untuk mengadakan studi banding ke
lembaga kursus atau bimbingan belajar. Selain itu harus didukung oleh
lingkungan yang kondusif, perpustakaan yang memadai, berjalannya
kegiatan ekstrakurikuler, serta tersedianya pusat pengembangan dan
penelitian. Hal ini sejalan dengan pendapat Newmann dan Wehlage
bahwa Jika sekolah ingin mengembangkan kapasitas organisasi
mereka untuk meningkatkan proses pembelajaran siswa, mereka harus
membangun suatu kelompok pembelajaran profesional yang ditandai
oleh sifat berbagi tujuan, kegiatan kolaboratif, dan tanggungjawab
kolektif antara staf (Newmann and Wehlage, 1995:37).
Sementara itu seorang guru dalam konteks komunitas belajar
berfungsi sebagai pendamping, pembimbing, pendorong, serta teman
diskusi atas berbagai gagasan dari anak didik. Sehingga guru harus
bisa berperan sebagai sosok edukator, organisator, inovator, inspirator,
dinamisator, serta motivator. Seorang guru tidak lagi menjadi sosok
sentral yang mendominasi proses pembelajaran. Adapun salah satu
upaya yang dapat diterapkan dalam rangka membangun komunitas
belajar di kelas adalah dengan metode scaffolding.

c. Strategi Pembelajaran dengan Model Scaffolding sebagai Upaya


Membangun Komunitas Belajar
Strategi dan metode merupakan bagian dari komponen
kurikulum. Komponen ini merupakan komponen yang memiliki
peran yang sangat penting, sebab berhubungan dengan implementasi
kurikulum. Menurut JR. David (1976) dalam Hidayat (2013:64) strategi
diartikan sebagai a plan, method, or series os activities designed to achieves
a particular educational goal. Dengan demikian strategi pembelajaran
dapat diartikan sebagai perencanaan yang berisi tentang rangkaian
kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Sistem Pendidikan Nasional kita mengisyaratkan guru sebagai
tenaga professional yang memiliki eksistensi penting. Dalam UU
No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, guru adalah pendidik

631
Professional Learning untuk Indonesia Emas

profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,


mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada
pendidikan anak usia dini di jalur pendidikan formal, pendidikan
dasar, dan pendidikan menengah (Pasal 1 ayat 1). Sebagai tenaga
professional, sejatinya guru harus mampu memberi kontribusi yang
signifikan dalam peningkatan kualitas pembelajaran.
Strategi Pembelajaran scaffolding dapat diartikan sebagai suatu
teknik pemberian dukungan belajar secara terstruktur, yang dilakukan
pada tahap awal untuk mendorong siswa agar dapat belajar secara
mandiri. Namun pemberian dukungan belajar ini tidak dilakukan
secara terus menerus, melainkan seiring dengan terjadinya peningkatan
kemampuan siswa, secara berangsur-angsur guru harus mengurangi
dan melepaskan siswa untuk belajar secara mandiri. Jika siswa belum
mampu mencapai kemandirian dalam belajarnya, guru kembali ke
sistem dukungan untuk mem bantu siswa memperoleh kemajuan
sampai mereka benar-benar mampu mencapai kemandirian. Dengan
demikian, esensi dan prinsip kerjanya tampaknya tidak jauh berbeda
dengan scaffolding dalam konteks mendirikan sebuah bangunan.
Pembelajaran Scaffolding sebagai sebuah teknik bantuan belajar
(assisted-learning) dapat dilakukan pada saat siswa merencanakan,
melaksanakan dan merefleksi tugas-tugas belajarnya.
Menurut Lange (2001) yang dikutip oleh Cahyo (2013;130),
scaffolding terdiri dari beberapa aspek khusus yang dapat membantu
peserta didik dalam internalisasi penguasaan pengetahuan. Berikut
aspek-aspek scaffolding:
1. Intensionalitas; kegiatan ini mempunyai tujuan yang jelas terhadap
aktivitas pembelajaran berupa bantuan yang selalu diberikan
kepada setiap peserta didik yang membutuhkan.
2. Kesesuaian; peserta didik yang tidak bisa menyelesaikan sendiri
permasalahan yang dihadapinya, maka pembelajar memberikan
bantuannya.
3. Struktur; modeling dan mempertanyakan kegiatan terstruktur di
sekitar. Sebuah model pendekatan yang sesuai dengan tugas dan
mengarah pada urutan pemikiran dan bahasa.
4. Kolaborasi; pembelajar menciptakan kerjasama dengan peserta
didik dan menghargai karya yang telah dicapai oleh peserta didik.
Peran pembelajar adalah kolaborator bukan sebagai evaluator.
5. Internalisasi; eksternal scaffolding untuk kegiatan ini secara
bertahap ditarik sebagai pola yang diinternalisasi oleh peserta
didik.

632
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

Dukungan belajar yang dimaksud di sini adalah dukungan


dukungnan yang bersifat konkret dan abstrak sehingga tercipta
kebermaknaan proses belajar peserta didik.
Model penerapan dari pembelajaran ini bisa diaplikasikan dan
dimodifikasi dengan konsep belajar lain, seperti zone of proximal
development atau ZPD. Berdasarkan teori ZPD dari Vygotsky serta teoro
scaffolding dari Bruner, proses perubahan dari tahapan perkembangan
aktual ke perkembangan potensial bisa terjadi sebagai akibat adanya
interaksi antara individu satu dengan individu lain yang mempunyai
kemampuan lebih (Cahyo,2013:256).
Oleh karena itu, guru atau tenaga pendidik memegang
peranan penting dalam menciptakan suasana pembelajaran yang
dapat menunjang peningkatan pemahaman siswa, sehingga siswa
mampu mencapai perkembangan potensialnya. Agar implementasi
pembelajaran dapat mencapai hasil memuaskan, maka model
pembelajaran terbimbing dan ZPD perlu dijadikan sebagai landasan
utama.
Adapun secara sistematis langkah-langkah yang ditempuh adalah
sebagai berikut:
1. Menjelaskan materi pembelajaran.
Pada langkah ini, di awal pertemuan dosen menjelaskan mengenai
isi modul yang telah dibagikan kepada mahasiswa, bagaimana
teknik belajarnya, sistem penilaian dan sebagainya yang biasanya
disebut dengan istilah kontrak belajar, sebelum pembelajaran
dilanjutkan.
2. Menentukan zone of proximal development (ZPD) atau level
perkembangan mahasiswa berdasarkan tingkat kognitifnya
dengan melihat nilai hasil belajar sebelumnya.
Dalam langkah ini, pada pertemuan pertama dosen mengadakan
pre test yang bertujuan untuk mengetahui sejauh mana tingkat
penguasaan awal mahasiswa. Hasil pre test ini akan dijadikan
sebagai acuan untuk menentukan apakah materi yang diberikan
pada pre test tersebut terlalu mudah ataukah terlalu sulit menurut
tingkat penguasaan mahasiswa. Jika hasilnya terlalu mudah
maka dosen akan merestrukturisasi kembali isi materi yang akan
diajarka selanjutnya. Demikian halnya juga jika materi terlalu
sulit.
3. Mengelompokkan siswa berdasarkan ZPD-nya.
Selain itu juga hasil pre test akan dijadikan untuk menentukan

633
Professional Learning untuk Indonesia Emas

pembagian kelompok mahasiswa supaya dapat terbentuk


kelompok yang merata. Fungsi lainnya adalah untuk menentukan
mahasiswa yang mempunyai nilai (ZPD) tinggi untuk diberikan
tugas khusus, yakni menjadi pembimbing (mentor) bagi
mahasiswa yang memiliki nilai (ZPD) rendah.
4. Memberikan tugas belajar berupa soal-soal berjenjang yang
berkaitan dengan materi pembelajaran.
Pada langkah ini, dosen memberikan tugas mingguan secara
bergilir kepada tiap-tiap kelompok untuk mendiskusikan materi
yang terdapat pada modul.
5. Mendorong mahasiswa untuk bekerja dan belajar menyelesaikan
soal-soal secara mandiri dengan berkelompok.
Disamping tugas kelompok untuk diskusi mingguan, mahasiswa
juga diberikan tugas mandiri, misalnya menghafal kosakata
minimal 10 buah.
6. Memberikan bantuan berupa bimbingan, motivasi, pemberian
contoh, kata kunci atau hal lain yang dapat memancing mahasiswa
ke arah kemandirian belajar.
Jika ada mahasiswa yang belum bisa menyelesaikan tugasnya
meskipun dalam kelompok, maka mahasiswa diberikan kesempatan
berkonsultasi dengan dosen. Dalam proses pembelajaran, dosen
juga menggunakan metode kuis baik berupa pertanyaan langsung
maupun berupa kesempatan untuk mendapatkan nilai tambahan
bagi mahasiswa yang bersedia tampil ke depan kelas untuk
presentasi ataupun mengajukan pertanyaan.
7. Mengarahkan siswa yang memiliki ZPD yang tinggi untuk
membantu siswa yang memiliki ZPD rendah.
Langkah ini diawali dengan melihat hasil pre test mahasiswa,
selanjutnya dosen menunjuk mahasiswa yang memiliki nilai tinggi
untuk menjadi ketua kelompok, yang bertugas membimbing
teman-temannya supaya berhasil dalam belajarnya.
8. Menyimpulkan pelajaran dan memberikan tugas-tugas.
Pada akhir modul, dosen mengadakan review untuk semua materi
yang terdapat dalam modul. Jika ada bagian materi yang masih
belum dimengerti, maka akan didiskusikan kembali.

Adapun keuntungan mengimplementasikan scaffolding adalah :


a. Secara jelas menunjukkan perbedaan antara pekerjaan siswa dan
solusi standar atau yang diharapkan.

634
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

b. Mengurangi frustasi atau resiko.


c. Memberi model dan mendefinisikan dengan jelas harapan
mengenai aktivitas yang akan dilakukan.
d. Memotivasi dan mengaitkan minat siswa dengan tugas belajar.
e. Menyederhanakan tugas belajar sehingga bisa lebih terkelola dan
bisa tercapai dengan baik oleh siswa.
f. Memberi petunjuk untuk membantu siswa berfokus pada
pencapaian tujuan.
g. Membentuk suatu komunitas belajar yang sehat dan produktif.

Dari sekian banyak teori tentang strategi pembelajaran, baik


yang konvensional maupun kontemporer sesungguhhnya tidak
akan memberikan manfaat besar jika pendidik sebagau ruh dalam
pembelajaran tidak dapat menggunakan kreatifitasnya dalam
mengaplikasikan berbagai strategi tersebut. Guru yang secara
akademis berkualifikasi tinggi dalam bidang tertentu, belum tentu ia
akan pandai pula dalam mengajar. Karena seperti banyak dikatakan
bahwa teaching is art , dan di dalam art itu membutuhkan kreatifitas.
Selain itu, seorang pendidik juga harus mempunyai rasa empati
terhadap peserta didiknya.

Penutup
Berdasarkan hasil deskripsi dan analisa Penulis, maka dapat
disimpulkan bahwa :
1. Peran pendidikan dalam mempersiapkan generasi Indonesia
Emas sangat penting, sehingga peningkatan mutu pendidikan
harus terus diupayakan. Dalam rangka meningkatkan mutu
pembelajaran, perlu diupayakan untuk membangun suatu
komunitas belajar yang efektif sehingga
2. Syarat mutlak penentu keberhasilan dalam upaya membangun
komunitas belajar profesional adalah guru/tenaga pendidik.
Guru yang bermutu menjadi variabel penting dalam mewujudka
pendidikan bermutu. Kebermutuan guru di lapangan dapat
diindikasikan dengan kemampuan pengelolaan pembelajaran.
Diantaranya dengan kemampuan menggunakan berbagai metode
dan strategi dalam mengajar termasuk strategi scaffollding.
3. Kepemimpinan yang efektif bisa mengembangkan pemahaman
mendalam bagaimana cara mendukung kinerja guru, menata
kurikulum untuk meningkatkan hasil belajar siswa, dan

635
Professional Learning untuk Indonesia Emas

mentransformasi lembaga pendidikan sebagai organisasi efektif


yang mampu membangun kapasitas belajar guru yang berdampak
pada peningkatan kualitas pembelajaran bagi seluruh siswa.

Implikasinya : peran pendidik dalam sebuah proses pembelajaran


sangat besar. Menggunakan suatu strategi metode yang sesuai
dengan keadaan peserta didik secara komunal yang telah diidentifikasi
sebelumnya akan sangat berpengaruh pada hasil atau tujuan belajar.
1. Implementasi strategi scaffolding secara tepat mampu meningkatkan
kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa sehingga pada akhirnya
akan meningkatkan hasil belajar. Dengan demikian, maka teknik
ini dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif yang dapat
digunakan oleh guru di dalam proses pembelajaran.
2. Bahan ajar yang relevan. Penyajian masalah serta pemberian
bantuan harus sangat diperhatikan oleh guru. Oleh karena itu,
yang perlu dipertimbangkan oleh guru adalah kualitas konteks
permasalahn yang relevan, tepat waktu dan sasaran.
3. Strategi scaffolding dapat menumbuhkan semangat kebersamaan
sehingga akan mewujudkan sebuah komunitas belajar yang
efektif, mampu melakukan tindakan korektif diantaranya dengan
membentuk team teaching atas dukungan seluruh elemen lembaga.
4. Dalam proses pembelajaran, pendidik harus memberi peluang
seluas-luasnya agar terjadi proses dialogis antara sesama peserta
didik, dan antara peserta didik dengan pendidik, sehingga semua
pihak merasa bertanggung jawab bersama. Caranya dengan
memberikan pertanyaan-pertanyaan, tugas-tugas yang terkait
dengan topik tertentu, baik secara individual atau kolektif,
kemudian diskusi kelompok, menulis, dialog, dan presentasi di
depan teman yang lain.

Daftar Pustaka

Asmani, Jamal Ma`mur, 2014. Tips Membangun Komunitas Belajar di


Sekolah, DIVA Press, Jogjakarta.
Cahyo, Agus N,. 2013. Panduan Aplikasi Teori-Teori Belajar Mengajar
Teraktual dan Terpopuler, cet.I,Diva Press, Jogjakarta
Crosby, Philip B. (1979). Quality is Free. New York: Mc-Graw Hill Book
Inc.,

636
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

Covey S,1996. The Leader of the Future, Jossey-Bass, SanFrancisco


DuFour R, 1998. Professional Development Community at Work, Virginia,
Solution Tree Press
G Vincent , 2003. Total Quality Management, PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta
Hidayat, Sholeh, Prof. DR. M.Pd., 2013. Pengembangan Kurikulum Baru.
Bandung, PT. Remaja Rosdakarya
Juran, J.M. 1995., Kepemimpinan Mutu; pedoman peningkatan mutu untuk
meraih keunggulan kompetitif, Edisi bhs Indonesia, PT. Pustaka
Binaman Pressindo dan PPM, Jakarta
Newmann and Wehlage, 1995, Successful School Restructuring, Madison,
University of Wisconsin
Syafaruddin, 2002, Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan:
Konsep, Strategi dan Aplikasi, Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia
Sallis Edward,. 2006.Total Quality Management In Education(alih Bahasa
Ahmad Ali Riyadi ). Jogjakarta : IRCiSoD
Tumiwa Alfrits B. Dr, MM, MBA. 2006. Total Quality Management,
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti, Jakarta

637
MENGEMBANGKAN SIKAP ASERTIF KEPALA
SEKOLAH SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN
KINERJA GURU

Oleh:
Nurdelima Waruwu
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Email: delima_uin@yahoo.co.id

Abstrak: Kinerja seorang guru dapat dilihat dari tanggung


jawab dalam menjalankan tugas profesi yang diemban,
serta kepatuhan dan loyalitasnya dalam menjalankan tugas
keguruan sebagai guru. Peningkatan kinerja guru dapat
dilakukan dengan mengembangkan perilaku atau sikap asertif
kepala sekolah. Sikap asertif merupakan ungkapan, gagasan,
perasaan, pendapat seseorang secara jujur dan wajar. Sikap
asertif dalam interaksi antara kepala sekolah dan guru berarti
bahwa keduanya mengungkapkan kebutuhan, keinginan,
dan perhatian mereka. Keduanya saling mendengarkan dan
memberikan respon secara tidak mempertahankan diri. Kepala
sekolah yang mengembangkan sikap asertif mempunyai gaya
kepemimpinan yang mengutamakan pemberian kesempatan
yang mendorong guru untuk bekerja atas dasar sistem nilai
(values system) yang luhur, sehingga guru bersedia untuk
berpartisipasi secara optimal dalam mencapai visi sekolah.
Dengan demikian diharapkan dapat menjalin kerjasama yang
harmonis antara kepala sekolah dan guru yang pada akhirnya
dapat meningkatkan kinerja guru.
Kata kunci: sikap asertif, kinerja guru.

PENDAHULUAN
Sekolah merupakan suatu lembaga pendidikan formal yang
menyelenggarakan kegiatan proses belajar mengajar sebagai upaya
untuk tercapainya tujuan pendidikan. Penanggung jawab dalam proses
belajar mengajar yang dilakukan di sekolah ditentukan pula oleh
kinerja guru. Tinggi rendahnya mutu pendidikan banyak dipengaruhi
oleh kualitas proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru, karena

638
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

guru secara langsung memberikan bimbingan dan bantuan kepada


siswa dalam upaya mencapai tujuan pendidikan.
Guru merupakan unsur sumber daya yang menentukan
keberhasilan pendidikan di sekolah, karena guru merupakan unsur
manusiawi yang sangat erat hubungannya dengan siswa dalam
proses pendidikan di sekolah. Guru juga bertanggung jawab dalam
keterlaksanaan proses pembelajaran di kelas. Pemberdayaan terhadap
mutu guru perlu dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan.
Hal tersebut tentu tidak lepas dari unsur manajemen kelas. Salah satu
syarat utama yang harus diperhatikan dalam peningkatan pendidikan
agar dapat berkontribusi terhadap peningkatan kualitas sumber
daya manusia (SDM) adalah guru dan tenaga kependidikan yang
profesional.
Guru Profesional adalah guru yang mampu mengelola dirinya
sendiri dalam melaksanakan tugas sehari-hari. Seseorang akan bekerja
secara profesional bilamana orang tersebut memiliki kemampuan
(ability) dan kinerja. Maksudnya adalah seseorang akan bekerjasama
secara profesional jika memiliki kemampuan kerja yang tinggi dan
kesungguhan hati untuk mengerjakan dengan sebaik-baiknya.
Seorang guru dapat dikatakan profesional bila memiliki kemampuan
tinggi (high level of abstract) dan motivasi kerja tinggi (high level of
commitment).
Kemampuan profesi adalah salah satu unsur penunjang bagi guru
dalam mewujudkan prestasi kerja (kinerja). Istilah kinerja berasal
dari kata job performance atau actual performance (prestasi kerja
atau prestasi sesungguhnya yang dicapai oleh seseorang). Menurut
Mangkunegara kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas
yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya
sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya (Anwar
Prabu, 2007-67). Dengan kata lain kinerja guru adalah kemampuan
seorang guru untuk melakukan perbuatan sesuai dengan tujuan
yang telah ditetapkan, yang mencakup aspek perencanaan program
belajar mengajar, pelaksanaan proses belajar mengajar, penciptaan
dan pemeliharaan kelas yang optimal, pengendalian kondisi belajar
yang optimal, serta penilaian hasil belajar. Kinerja sangat penting
dalam menentukan kualitas kerja seseorang, termasuk seorang guru.
Sekolah mempunyai peranan yang sangat besar dalam mencerdaskan
kehidupan bangsa dengan memberikan pelayanan yang baik kepada
siswa. Sebelum memberikan pelayanan kepada siswa maka guru

639
Professional Learning untuk Indonesia Emas

yang terlibat dalam proses belajar mengajar juga harus diperhatikan


kinerjanya. Untuk mewujudkan tujuan tersebut diperlukan seorang
pemimpin atau kepala sekolah yang mampu me-manage sekolah
dengan baik (well manage) dan memiliki motivasi kerja yang tinggi,
serta mampu menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif sehingga
dapat mendukung kinerja guru yang berakhir pada peningkatan
prestasi siswa.
Kepala sekolah memimpin lembaga dengan peranan yang sangat
besar bagi peningkatan kemajuan sekolah. Hal ini dikarenakan tugas
kepala sekolah dalam mengawasi kegiatan yang telah diprogramkan
agar menjadi terarah, terfokus dan berhasil dengan baik. Kepala
sekolah juga berperan penting bagi peningkatan kinerja guru untuk
lebih semangat dan profesional dalam mengajar. Dengan alasan
yang sangat mendasar bahwa guru memiliki peran yang sangat
penting dalam menentukan kualitas pengajaran yang dilaksanakan,
maka kepala sekolah harus memikirkan dan membuat perencanaan
secara seksama dalam meningkatkan kesempatan belajar siswa serta
memperbaiki kualitas pengajar. Hal ini menunjukkan bahwa dengan
peran yang optimal dari kepala sekolah maka guru diharapkan
mampu berperan aktif sebagai pengelola proses belajar mengajar,
bertindak sebagai fasilitator yang berusaha menciptakan organisasi
kelas, penggunaan metode mengajar maupun sikap dan karakteristik
guru dalam mengelola belajar mengajar.
Perangkat sekolah yang terdiri dari kepala sekolah, dewan guru,
siswa, pegawai/karyawan harus saling mendukung untuk bekerja
sama mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sukses atau tidaknya
suatu organisasi (dalam hal ini sekolah) mencapai tujuan yang telah
ditentukan sangat tergantung atas kemampuan pimpinannya (kepala
sekolah) untuk menumbuhkan iklim kerja sama dan menggerakkan
sumber daya manusia yang ada, sehingga pendayagunaannya dapat
berjalan dengan efektif dan efisien. Sikap atau perilaku kepala sekolah
sebagai pemimpin tertinggi di sekolah mempengaruhi organisasi
sekolah itu sendiri secara menyeluruh karena pada dasarnya sendi
kehidupan organisasi sangat diwarnai oleh karakter pemimpinnya.
Oleh karena itu komunikasi interpersonal kepala sekolah harus
dipastikan berlangsung dengan baik, sehingga dapat menjadi angin
sejuk yang menghembus ke berbagai dimensi yang lebih luas dalam
kehidupan organisasi sekolah tersebut. Kepastian komunikasi
berlangsung dengan baik pada sisi lain dipengaruhi oleh sikap
pemimpinnya.

640
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

Dalam hubungan interpersonal, perilaku seseorang terhadap


orang lain dapat dikelompokkan menjadi perilaku asertif, perilaku
submisif, dan perilaku agresif. Contoh perilaku submisif: seorang
Kepala Sekolah cenderung menghindari memberi tugas yang cukup
rumit kepada salah seorang guru karena guru tersebut seringkali
mengajukan keberatan bila diberi tugas seperti itu. Perilaku submisif
ini cepat atau lambat akan menimbulkan rasa terancam dan tersakiti,
tidak puas, depresi, penyakit fisik, serta akan mengukuhkan
keberadaan perilaku agresif orang lain.
Perilaku agresif adalah perilaku yang self-centered (hanya
mengutamakan hak, kepentingan, pendapat, kebutuhan, dan perasaan
sendiri), mengabaikan hak orang lain. Orang-orang yang agresif
berasumsi bahwa hanya dirinyalah yang benar, sehingga perilakunya
berisi permusuhan dan kesombongan. Mereka sering menggunakan
kemarahan dan bahasa tubuh yang agresif serta perilaku mengancam
untuk menggertak, menaklukkan, dan mendominasi orang lain.
Mereka akan menggunakan bahasa yang menyakiti orang lain untuk
menyimpulkan bahwa seseorang bersalah serta mempermalukannya.
Sebagai contoh, saat seorang guru tidak bisa melaksanakan tugas
seperti yang diharapkannya, seorang kepala sekolah berkata Masa
yang begini saja tidak bisa. Saya kan sudah bilang, kerjakan saja seperti
petunjuk saya, tidak perlu cari-cari cara lain. Hal seperti inilah yang
membuat kinerja guru dan pegawai tidak bisa berkembang, karena
mereka bekerja hanya sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh
atasan.
Perilaku asertif adalah perilaku yang merupakan ekspresi
pernyataan dari minat, kebutuhan, pendapat, pikiran, dan perasaan,
yang dilakukan secara bijaksana, adil, dan efektif, sehingga hak-hak
kita bisa dipertahankan dengan tetap memperhatikan penghargaan
atas kesetaraan dan hak orang lain. Perilaku asertif membuat
seseorang menjadi lebih percaya diri dan merasa berharga, memiliki
konsep diri yang tepat, meningkatkan pengendalian diri (self-control)
dalam kehidupan sehari-hari, serta memperoleh hubungan yang adil
dengan orang lain. Perilaku asertif ini merupakan penangkal terhadap
perilaku submisif dan perilaku agresif.
Berdasarkan hal tersebut, maka dengan mengembangkan sikap
asertif kepala sekolah secara tidak langsung menciptakan adanya
gaya kepemimpinan kepala sekolah yang mampu mendorong sikap
guru yang baik, tingkat kedisiplinan guru yang positif dan kinerja
guru yang meningkat. Penciptaan tersebut akan terealisasi bila gaya

641
Professional Learning untuk Indonesia Emas

kepemimpinan kepala sekolah yang diterapkan tepat dan cocok untuk


iklim di sekolah. Hal ini diharapkan dapat menciptakan suasana kerja
yang nyaman di sekolah sehingga sikap guru, kedisiplinan guru dan
kinerja guru akan tampak baik dan positif untuk kegiatan proses
pembelajaran di sekolah.

KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH


Kepemimpinan merupakan salah satu bagian dari manajemen.
Menurut Burhanuddin dalam bukunya, kepemimpinan adalah usaha
yang dilakukan oleh seseorang dengan segenap kemampuan yang
dimilikinya untuk mempengaruhi, mendorong, mengarahkan dan
menggerakkan individu-individu supaya mereka mau bekerja dengan
penuh semangat dan kepercayaan dalam mencapai tujuan-tujuan
organisasi (Burhanuddin, 1994:63). Sedangkan menurut Suharsimi
Arikunto, kepemimpinan adalah usaha yang dilakukan untuk
mempengaruhi anggota kelompok agar mereka dengan suka rela
menyumbangkan kemampuannya secara maksimal demi pencapaian
tujuan kelompok yang telah ditetapkan (Suharsimi, 1990:183).
Kepemimpinan pada dasarnya adalah suatu proses menggerakkan,
mempengaruhi dan membimbing orang lain dalam rangka untuk
mencapai tujuan organisasi. Ada empat unsur yang terkandung dalam
pengertian kepemimpinan, yaitu unsur orang yang menggerakkan
yang dikenal dengan pemimpin, unsur orang yang digerakkan
yang disebut kelompok atau anggota, unsur situasi dimana aktifitas
penggerakan berlangsung yang dikenal dengan organisasi, dan
unsur sasaran kegiatan yang dilakukan. Kepemimpinan juga bisa
diartikan suatu upaya menanamkan pengaruh dan bukan paksaan
untuk memotivasi karyawan sehingga mereka bekerja sesuai dengan
yang manajer kehendaki yaitu pencapaian tujuan organisasi (Indriyo,
2001:217).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
kepemimpinan adalah proses kegiatan seseorang yang memiliki
kemampuan untuk mempengaruhi, mendorong, mengarahkan, dan
menggerakkan individu-individu supaya timbul kerjasama secara
teratur dalam upaya mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama.
Sekolah merupakan salah satu bentuk organisasi pendidikan.
Kepala sekolah merupakan pemimpin pendidikan di sekolah. Jika
pengertian kepemimpinan diterapkan dalam organisasi pendidikan,
maka kepemimpinan pendidikan bisa diartikan sebagai suatu usaha

642
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

untuk menggerakkan orang- orang yang ada dalam organisasi


pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan. Hal ini sesuai dengan
pendapat Imam Suprayogo, yang menyatakan bahwa menurut istilah
kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktivitas individu
atau group untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dalam situasi
yang telah ditetapkan. Dalam mempengaruhi aktifitasnya, individu
pemimpin menggunakan kekuasaan, kewenangan, pengaruh,
sifat dan karakteristik, dan tujuannya adalah untuk meningkatkan
produktivitas dan moral kelompok (Imam S., 199:161).
Dalam organisasi pendidikan yang menjadi pemimpin pendidikan
adalah kepala sekolah. Sebagai pemimpin pendidikan, kepala sekolah
memiliki sejumlah tugas dan tanggung jawab yang cukup berat. Untuk
bisa menjalankan fungsinya secara optimal, kepala sekolah perlu
menerapkan dan mengembangkan sikap atau perilaku yang tepat.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam pengelolaan Sekolah
Dasar menjelaskan, bahwa kepemimpinan pendidikan adalah
kemampuan kepala sekolah untuk memberikan pengaruh pengaruh
yang dapat menyebabkan guru tergerak untuk melaksanakan tugas
dan kegiatan secara bersama-sama dalam mencapai tujuan pendidikan
secara efesien dan efektif (Depdikbud, 1995).
Kepala sekolah terdiri dari dua kata, yakni kepala dan sekolah.
Kata kepala bisa diartikan ketua atau pemimpin dalam suatu organisasi
atau sebuah lembaga. Sedangkan sekolah adalah sebuah lembaga
dimana menjadi tempat menerima dan memberi pelajaran. Dengan
demikian, kepala sekolah dapat didefinisikan sebagai: seorang tenaga
fungsional guru yang diberi tugas untuk memimpin suatu sekolah
dimana diselenggarakan proses belajar mengajar atau tempat dimana
terjadi interaksi antara guru yang memberi pelajaran dan murid yang
menerima pelajaran.
Menurut M. Dariyanto dalam bukunya Administrasi Pendidikan
berpendapat bahwa: Kepala sekolah adalah personel sekolah yang
bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan-kegiatan sekolah
(Dariyanto, 1998:80). Kepala Sekolah sebagai pemimpin pendidikan,
dilihat dari status dan cara pengangkatannya adalah tergolong
pemimpin resmi, formal leader atau status leader. Kepala sekolah
hendaknya memiliki pengetahuan yang luas tentang penyelenggaraan
pendidikan dan kerja guru di sekolah. Dapat disimpulkan pengertian
kepala sekolah adalah seseorang yang diberikan wewenang untuk
memimpin sekolah dan mempunyai tanggungjawab untuk memajukan

643
Professional Learning untuk Indonesia Emas

sekolah serta bertanggung jawab atas semua yang dilakukan dalam


masa kepemimpinannya.
Apabila pengertian kepemimpinan dipadukan dengan pengertian
kepala sekolah, maka yang dimaksud dengan kepemimpinan kepala
sekolah yaitu sebagai satu kemampuan dan proses mempengaruhi,
mengkoordinir dan menggerakkan orang lain yang ada hubungan
dengan pengembangan ilmu pendidikan dan pelaksanaan pendidikan
dan pengajaran, agar kegiatan-kegiatan yang dijalankan dapat lebih
efisien dan efektif di dalam pencapaian tujuan-tujuan pendidikan dan
pengajaran.
Istilah Kepemimpinan Kepala Sekolah mengandung dua
arti dimana kata Kepala Sekolah merupakan personal sekolah yang
bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan-kegiatan sekolah,
ia mempunyai wewenang dan tanggung jawab penuh untuk
menyelenggarakan seluruh kegiatan pendidikan dalam lingkungan
sekolah yang dipimpinnya dengan dasar Pancasila demi tujuan
Pendidikan Nasional.
Kepala sekolah memiliki peran yang sangat besar karena
merupakan motor penggerak, penentu arah kebijakan menuju sekolah
dan pendidikan secara luas. Sebagai pengelola institusi satuan
pendidikan, kepala sekolah dituntut untuk selalu meningkatkan
efektifitas kinerjanya. Untuk mencapai mutu sekolah yang efektif,
kepala sekolah dan seluruh stakeholders harus bahu membahu
bekerjasama dengan penuh kekompakan dalam segala hal.
Kepemimpinan kepala sekolah pada hakikatnya adalah kepala
sekolah yang memahami dan menguasai kemampuan manajerial
dan kepemimpinan yang efektif seperti yang diakronimkan bahwa
kepala sekolah sebagai EMASLIM (educator, manajer, adminstrator,
supervisor, leader, inovator, dan motivator). Kepala sekolah
adalah pengelola satuan pendidikan yang bertugas menghimpun,
memanfaatkan, mengoptimalkan seluruh potensi dan SDM, sumber
daya lingkungan (sarana dan prasarana) serta sumber dana yang ada
untuk membina sekolah dan masyarakat sekolah yang dikelolanya.
Dalam kata lain, kepala sekolah merupakan top leader di sekolah.
Kebijakan-kebijakan yang diambilnya akan bisa berpengaruh kepada
maju mundurnya sekolah yang dipimpinnya. Namun, Pengaruh
tersebut tidak bersifat linier dan pasti, melainkan dinamis interaktif.
Karena, segala bentuk komunikasi yang terjadi, baik yang bersifat
formal atau yang tidak formal, internal atau eksternal merupakan

644
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

masukan yang bisa dijadikan pertimbangan bagi kepala sekolah untuk


mengambil kebijakan.
Kepala sekolah sebagai pimpinan harus senantiasa tanggap dengan
situasi yang berkembang serta selalu memberikan saran kepada para
bawahannya dan para siswa untuk menjaga semangat kerja mereka.
Mendukung tercapainya tujuan. Untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan, kepala sekolah sebagai penanggungjawab utama harus
senantiasa memberikan dukungan dengan menyediakan saran dan
prasarana yang diperlukan. Sebagai katalisator, kepala sekolah harus
senantiasa membangkitkan kembali semangat dan keyakinan para
guru, staf dan para siswa, sesuai dengan misi kepala sekolah yang
harus mampu membuat perubahan perilaku, intelektual anak didik
sesuai dengan tujuan pendidikan. Menciptakan rasa aman, kondisi
sekolah yang kondusif dan aman sangat menunjang sekali kepada
kinerja para guru serta semanagat para siswa belajar. Kepala sekolah
bertanggung jawab untuk menciptakan lingkungan sekolah, sebagai
wakil organisasi kepala sekolah harus senantiasa dapat dipercaya
dan mempunyai integritas yang tinggi serta berperilaku yang baik
karena kepala sekolah adalah menjadi acuan dasar dari sekolah yang
dipimpinyna serta mewakili kehidupan sekolahnya yang menjadi
sumber inspirasi. Kepala sekolah sebagai sumber inspirasi yang
harus senantiasa menjadi sumber semangat para guru, staf dan para
siswa, sehingga mereka menerima dan memahami tujuan sekolah
secara antusias, bekerja bertanggung jawab ke arah tercapainya
tujuan sekolah. Bersedia menghargai keberhasilan sekecil apapun
yang dicapai oleh para guru, staf dan para siswa yang patut dihargai
dan diberikan perhatian, dengan cara memberikan pengakuan dan
penghargaan.

PERILAKU ASERTIF KEPALA SEKOLAH


Perilaku atau sikap manusia berasal dari dorongan yang ada dalam
diri manusia, sedang dorongan merupakan usaha untuk memenuhi
kebutuhan yang ada dalam diri manusia. Perilaku dapat juga disebut
akhlak, karena ahklak adalah sifat-sifat yang dibawa manusia sejak
lahir yang tertanam dalam jiwanya dan selalu ada padanya (Purwanto,
1999:10).
Asertif adalah perilaku antar pribadi (Interperson Behavior)
yang melibatkan aspek kejujuran, keterbukaan pikiran dan perasaan.
Perilaku asertif ini ditandai dengan kesesuaian sosial, dan seseorang

645
Professional Learning untuk Indonesia Emas

yang mampu berperilaku asertif akan mempertimbangkan perasaan


dan kesejahteraan orang lain. selain itu, kemampuan dalam berperilaku
asertif menunjukkan adanya kemampuan untuk menyesuaikan diri
dalam hubungan antar pribadi.
Menurut Rini asertivitas adalah suatu kemampuan untuk
mengkomunikasikan apa yang diinginkan, dirasakan, dan dipikirkan
kepada orang lain namun tetap menjaga dan menghargai hak-hak
serta perasaan orang lain (Rini, 2001). Sedangkan menurut Alberti
dan Emmons perilaku asertif adalah perilaku yang membuat
seseorang dapat bertindak demi kebaikan dirinya, mempertahankan
haknya tanpa cemas, mengekspresikan perasaan secara nyaman, dan
menjalankan haknya tanpa melanggar orang lain (Alberti, 2002).
Perilaku asertif merupakan sebuah perilaku atau sikap dalam
mempertahankan pendapat atau ide saran yang berdampak positif
namun dengan cara yang dapat diterima kedua belah pihak tanpa
merasa adanya paksaan atau tekanan. Sikap asertif merupakan
tindakan seseorang agar tidak dijadikan obyek penderita oleh pihak
kedua, namun dengan membangun hubungan saling mengerti.
Perilaku asertif dapat memberikan beberapa manfaat, seperti tidak
membiarkan orang lain mengambil manfaat dari kondisi yang dialami,
dan memberikan kebebasan bagi orang lain untuk mengungkapkan
apa yang dirasakan. Hal tersebut dapat membuat kedua belah pihak
yang berkomunikasi merasa nyaman, tidak ada yang merasa ingin
menyakiti lawan bicaranya dan tidak ada yang merasa disakiti hatinya.
Dapat pula dikatakan bahwa perilaku asertif sebagai suatu
kemampuan seseorang untuk berkomunikasi dengan cara yang jujur,
langsung serta peduli terhadap lingkungannya tanpa menyinggung
perasaan orang lain sehingga ia merasa bebas untuk mengemukakan
diri sendiri, mampu berkomunikasi dengan orang lain, mempunyai
pandangan yang aktif tentang hidup, dan mampu bertindak dengan
cara yang dihormatinya sendiri. Perilaku asertif diperlukan, setidaknya
jika dilihat dari dua sudut pandang yang pertama menunjukan
komunikasi yang terbuka, dewasa, dan langsung, yang memungkinkan
orang lain untuk melihat dan mengetahui perasaan seseorang, serta
meningkatkan harga diri. Kedua merupakan cara yang tidak terlalu
mahal untuk menciptakan hubungan antara pribadi yang efektif dari
pada prilaku asertif dan agresif.
Dengan demikian, perilaku asertif berarti adanya sikap tegas
yang dikembangkan dalam berhubungan dengan banyak orang

646
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

dalam berbagai aktivitas kehidupan. Dalam artian, seseorang dapat


mengambil keputusan atau melakukan tindakan tertentu berdasarkan
hasil pemikiran sendiri, tanpa sikap emosional,meledak-ledak,
atau berperilaku buruk lainnya. Ia menegakkan kemandiriannya
tanpa bermaksud menyakiti hati orang lain. Ketegasannya penuh
kelembutan, ketegasannya tanpa arogansi, itulah ciri-ciri asertif.
Lebih jauh lagi, perilaku asertif membuat seseorang merasa
bertanggung jawab dan konsekuen untuk melaksanakan keputusannya
sendiri. Dalam hal ini, ia bebas untuk mengemukakan berbagai
keinginan, pendapat, gagasan, dan perasaan secara terbuka sambil
tetap memperhatikan juga pendapat orang lain. Citra dirinya akan
terlihat sebagai sosok yang berpendirian, dan tidak terjebak pada
eksploitasi yang merugikan dirinya sendiri. Dengan demikian, akan
timbul rasa hormat dan penghargaan orang lain yang berpengaruh
besar terhadap pemantapan eksistensinya di tengah-tengah khalayak
luas.
Perilaku asertif membuat seseorang menjadi lebih percaya diri
dan merasa berharga, memiliki konsep diri yang tepat, meningkatkan
pengendalian diri (self-control) dalam kehidupan sehari-hari, serta
memperoleh hubungan yang adil dengan orang lain. Perilaku asertif
ini merupakan penangkal terhadap perilaku submisif dan perilaku
agresif.
Sikap asertif bertujuan untuk mengajar orang tentang bagaimana
menggunakan hak mereka, untuk membantu mereka dalam
mengembangkan berbagai perilaku, dan untuk membantu mereka
bertindak menurut mana yang terbaik untuk mereka sendiri. Karena
pelatihan sikap asertif ini adalah metode perilaku (bukan metode yang
berorientasi pada pemahaman), maka tujuan ini lebih bersifat induktif
dari pada deduktif. Albert dan Emmons menyebutkan ciri-ciri seorang
yang berperilaku asertif sebgai berikut: bisa menghargai orang lain,
bisa meraih tujuan-tujuan yang diinginkannya, merasa nyaman
dengan dirinya dan ekspresif.
Beberapa ciri dari individu yang memiliki asertivitas menurut
Lange dan Jakubowski adalah sebagai berikut (Lange, 1978):
a. Memulai interaksi
b. Menolak permintaan yang tidak layak
c. Mengekspresikan ketidaksetujuan dan ketidaksenangan
d. Berbicara dalam kelompok
e. Mengekspresikan pendapat dan saran

647
Professional Learning untuk Indonesia Emas

f. Mampu menerima kecaman dan kritik


g. Memberi dan menerima umpan balik
Ditambahkan oleh Palmer dan Froener ciri-ciri individu yang
asertif adalah (Palmer, 2002):
a. Bicara jujur
b. Memperlakukan orang lain dengan hormat, begitu pula sebaliknya
c. Menampilkan diri sendiri dan menyayangi orang lain
d. Memiliki hubungan yang baik dan efektif dengan orang lain
e. Tenang dalam keseharian dan memperlihatkan selera humor dalam
menghadapi situaisituasi yang sulit

Dari uraian pendapat para ahli diatas maka dapat dikatakan


bahwa perilaku asertif itu adalah tingkah laku yang bisa dimiliki
setiap orang apabila seseorang itu mau untuk mengembangkan
dan melatih dirinya untuk dapat bersikap asertif. Sikap asertif yang
dapat dikembangkan seperti: jujur dalam mengungkapkan perasaan
kepada orang yang kita percayai, berinteraksi positif dengan orang-
orang di sekeliling, dapat mempertahankan hak kita dengan baik dan
selalu berusaha menghargai perasaan orang lain, siapapun itu. Maka
dengan mengembangkan perilaku asertif kepala sekolah sama halnya
dengan mengembangkan pemimpinan yang asertif (assertive), yakni
kepemimpinan yang sifatnya lebih agresif dan mempunyai perhatian
yang sangat besar pada pengendalian personal dibandingkan dengan
gaya kepemimpinan lainnya. Pemimpin tipe asertif lebih terbuka
dalam konflik dan kritik. Pengambilan keputusan muncul dari proses
argumentasi dengan beberapa sudut pandang sehingga muncul
kesimpulan yang memuaskan.

KINERJA GURU
Kinerja atau prestasi kerja (performance) diartikan sebagai
ungkapan kemampuan yang didasari oleh pengetahuan, sikap,
keterampilan dan motivasi untuk menghasilkan sesuatu. Kinerja guru
pada dasarnya merupakan kinerja atau unjuk kerja yang dilakukan oleh
guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik, dan kualitas
guru akan sangat menentukan kualitas hasil pendidikan, karena guru
merupakan pihak yang paling banyak bersentuhan langsung dengan
siswa dalam proses pembelajaran di lembaga pendidikan sekolah, hal
ini tidak hanya ditentukan dari salah satu faktor saja, namun banyak
hal yang ikut berpengaruh dalam menentukan peningkatan kinerja

648
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

guru tersebut.
Kinerja merupakan suatu hasil kerja yang diperoleh seseorang
baik secara kuantitatif maupun kualitatif melalui kegiatan-kegiatan
atau pengalaman-pengalaman dalam jangka waktu tertentu. Kinerja
guru juga merupakan kemampuan yang dihasilkan oleh guru dalam
melaksanakan tugas, kewajiban dan tanggung jawabnya dalam
mendidik, mengembangkan ilmu pengetahuan, menjadi orang tua
kedua dari anak didik, serta mencerdaskan dan menciptakan anak
didik yang berkualitas.
Kinerja merupakan kegiatan yang dijalankan oleh setiap individu
dalam kaitannya mencapai tujuan yang sudah direncanakan. Berkaitan
dengan hal tersebut terdapat beberapa definisi mengenai kinerja.
Menurut Rivai dalam Syaiful Sagala, kinerja merupakan seperangkat
hasil yang dicapai dan merujuk pada tindakan pencapaian serta
pelaksanaan suatu pekerjaan yang diminta, dan kinerja merupakan
suatu fungsi motivasi dan kemampuan menyelesaikan tugas
atau pekerjaan, seseorang harus memiliki kesediaan dan tingkat
kemampuan (Sagala, 2009:179).
Menurut Salfen Hasri dalam bukunya yang berjudul Sekolah
Efektif dan Guru Efektif, mengemukakan bahwa: efektivitas kinerja
guru tidak hanya berpengaruh terhadap hasil belajar, tetapi memberi
manfaat terhadap keingintahuan untuk belajar. Dengan demikian,
diharapkan kinerja guru semakin baik dalam proses belajar mengajar,
serta bisa meningkatkan motivasi siswa dalam belajar (Hasri, 2009:57).
Dari beberapa pengertian tentang kinerja tersebut di atas dapat
disimpulkan bahwa kinerja adalah prestasi kerja yang telah dicapai
oleh seseorang. Kinerja atau prestasi kerja merupakan hasil akhir dari
suatu aktifitas yang telah dilakukan seseorang untuk meraih suatu
tujuan. Pencapaian hasil kerja ini juga sebagai bentuk perbandingan
hasil kerja seseorang dengan standar yang telah ditetapkan. Apabila
hasil kerja yang dilakukan oleh seseorang sesuai dengan standar
kerja atau bahkan melebihi standar maka dapat dikatakan kinerja itu
mencapai prestasi yang baik.
Istilah kinerja guru menunjukkan pada suatu keadaan dimana
guru-guru di suatu sekolah secara sungguh-sungguh melakukan hal-
hal yang terkait dengan tugas mendidik dan mengajar di sekolah.
Kesungguhan kerja yang dimaksud terlihat dengan jelas dalam usaha
merencanakan program mengajarnya dengan baik, teratur, disiplin
masuk kelas untuk menyajikan materi pengajaran dan membimbing

649
Professional Learning untuk Indonesia Emas

kegiatan belajar siswa, mengevaluasi hasil belajar siswa dengan


tertib/teratur serta setia dan taat menjalankan atau menyelesaikan
kegiatan sekolah lainnya tepat waktu. Definisi konsep kinerja guru
merupakan hasil pekerjaan atau prestasi kerja yang dilakukan oleh
seorang guru berdasarkan kemampuan mengelola kegiatan belajar
mengajar, yang meliputi perencanaan pembelajaran, pelaksanaan
pembelajaran, evaluasi pembelajaran dan membina hubungan antar
pribadi (interpersonal) dengan siswanya.
Seiring dengan kemajuan informasi dan teknologi, saat ini
terlihat jelas bahwa pihak pengelola pendidikan baik yang berada
di tingkat pusat, daerah maupun pada level pelaksana di lapangan,
sedang melaksanakan berbagai upaya peningkatan kinerja guru.
selain itu sikap kepemimpinan kepala sekolah akan ikut menentukan
baik buruknya kinerja guru. Tujuan utama peningkatan kinerja
guru adalah untuk mewujudkan niat dan keinginan mencapai
prestasi siswa yang berkualitas baik dalam rangka merealiasikan visi
reformasi pendidikan, yaitu pendidikan harus menghasilkan manusia
yang beriman, berakhlak mulia, cerdas serta manusia yang mampu
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (Mulyasa, 2003:60).
Kegiatan peningkatan kinerja guru dapat dilaksanakan melalui dua
pendekatan yaitu kegiatan internal sekolah dan kegiatan eksternal
sekolah.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja seorang guru
berdasarkan pendapat Mulyasa antara lain (Mulyasa, 2005:140):
1. Sikap mental berupa motivasi, disiplin dan etika kerja.
2. Tingkat pendidikan, pada umumnya orang yang mempunyai
pendidikan lebih tinggi akan mempunyai wawasan yang lebih
luas.
3. Keterampilan, makin terampil tenaga kependidikan akan lebih
mampu bekerja sama serta mengguinakan fasilitas dengan baik.
4. Manajemen atau gaya kepemimpinan kepala sekolah, artikan
dengan hal yang berkaitan dengan sistem yang diterapkan oleh
pimpinan untuk mengelola dan memimpin serta mengendalikan
tenaga pendidikan.
5. Hubungan industrial, menciptakan ketenangan kerja dan
memberikan motivasi kerja, menciptakan hubungan kerja yang
serasi dan dinamis dalam bekerja dan meningkatkan harkat dan
martabat tenaga kependidikan sehingga mendorong mewujudkan
jiwa yang berdedikasi dalam upaya peningkatan kinerjanya.

650
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

6. Tingkat penghasilan atau gaji yang memadai, ini dapat


menimbulkan konsentrasi kerja dan kemampuan yang dimiliki
dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kinerjanya.
7. Kesehatan, akan meningkatkan semangat kerja.
8. Jaminan sosial yang diberikan dinas pendidikan kepada tenaga
pendidikan, dimaksudkan untuk meningkatkan pengabdian dan
semangat kerjanya.
9. Lingkungan sosial dan suasana kerja yang baik, ini akan
mendorong tenaga kerja kependidikan dengan senang bekerja dan
meningkatkan tanggung jawabnya untuk melekukan pekerjaan
yang lebih baik.
10. Kualitas sarana pembelajaran, akan berpengaruh pada peningkatan
kinerjanya.
11. Teknologi yang dipakai secara tepet akan mempercepat
penyelesaian proses pendidikan, menghasilkan jumlah lulusan
yang berkualitas serta memperkecil pemborosan.
12. Kesempatan berprestasi dapat menimbulkan dorongan psikologis
untuk meningkatkan dedikasi serta pemanfaatan potensi yang
dimiliki dalam meningkatkan kinerjanya.

KESIMPULAN
Kepala sekolah merupakan sosok sentral dalam peningkatan
mutu kualitas pendidikan di sekolah, sehingga kepala sekolah harus
mampu bertindak sebagai manajer dan pemimpin yang efektif. Sebagai
manajer ia harus mampu mengatur agar semua potensi sekolah dapat
berfungsi dan berjalan secara optimal. Dalam proses manajerial, kepala
sekolah sebagai pemimpin pendidikan diharapkan dapat menjalin
kerjasama yang harmonis dan tidak mengedepankan kewenangan
yang dimilikinya. Hal ini dapat dilakukan jika kepala sekolah sebagai
pemimpin mengembangkan sikap asertif. Dengan mengembangkan
sikap asertif maka dalam interaksi antara kepala sekolah dan guru,
dapat mengungkapkan kebutuhan, keinginan, dan perhatian mereka
yang saling mendengarkan dan memberikan respon secara tidak
mempertahankan diri. Sehingga komunikasi antara kepala sekolah
dan guru dapat terjalin dengan baik dan efektif.
Banyak faktor yang mempengaruhi kinerja guru, diantaranya
kepemimpinan dan sikap yang dikembangkan oleh kepala sekolah.
Kepala sekolah harus mampu menanamkan, memajukan dan
meningkatkan nilai moral kepada para guru. Kepala sekolah yang

651
Professional Learning untuk Indonesia Emas

mempunyai gaya kepemimpinan yang mengutamakan pemberian


kesempatan yang mendorong guru sebagai unsur atau elemen sekolah
untuk bekerja atas dasar sistem nilai (values system) yang luhur
dapat mendukung semangat guru, sehingga guru bersedia untuk
berpartisipasi secara optimal dan meningkatkan kinerjanya dalam
rangka mencapai visi sekolah. Seorang kepala sekolah harus dapat
memiliki sikap menghargai ide-ide baru, cara dan metode baru, serta
praktik-praktik baru yang dilakukan para guru dalam proses kegiatan
belajar mengajar di sekolahnya.
Guru merupakan faktor utama dalam proses pendidikan karena
guru berperan sebagai pelaksana pendidikan nasional atau disebut
juga merupakan faktor kunci. Peningkatan prestasi belajar siswa akan
dipengaruhi oleh kualitas proses pernbelajaran di kelas, oleh karena
itu untuk meningkatkan prestasi belajar siswa, proses pembelajaran di
kelas harus berlangsung dengan baik, berdaya guna dan berhasil guna.
Proses pembelajaran akan berlangsung dengan baik apabila didukung
oleh guru yang mernpunyai kompetensi dan kinerja yang tinggi. Guru
yang mempunyai kinerja yang baik akan mampu menumbuhkan
semangat dan motivasi belajar siswa yang lebih baik, yang pada
akhirnya akan mampu meningkatkan kualitas pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA
A.A. Anwar Prabu Mangkunegara, Manajemen Sumber Daya Manusia
Perusahaan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007),Cet.VII.
Alberti, R dan Emmons, R. Your Perfect Right: Panduan Praktis Hidup
Lebih Ekspresif dan Jujur pada Diri Sendiri. (Jakarta: Elex Media
Komputindo, 2002).
Burhanuddin, Analisis Administrasi Manajemen dan Kepemimpinan
Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994).
Indriyo Gitosudarmo, M.Com dan Agus Mulyono, Prinsip Dasar
Manajemen, (Yogyakarta: PT BPFE, Juni 2001).
E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2003), Cet. Ke-2.
Heri Purwanto, Pengantar Perilaku Manusia untuk Keperawatan,
(Jakarta: EGC, 1999).

652
Professional Learning Based on Caracter untuk Indonesia

Imam Suprayogo, Revormulasi Visi Pendidikan Islam, (Malang: Stain


Press, 1999), cet. I.
Lange, A dan Jakubowski, P. 1978. Responsible Assertive Behavior:
Cognitive Behavior Procedures for Trainners. USA: Research
Press.
M. Dariyanto, Administrasi Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998).
Mulyasa. Menjadi Guru Profesional. (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2005).
Palmer dan Froehner, Harga Diri Remaja: Penuntun Menumbuhken
Harga Diri Bagi Remaja, (Jakarta: Gramedia, 2002).
Rini, J. 2001. Asertivitas. Http:// www. E-Psikologi.com.
Salfen Hasri, Sekolah Efektif dan Guru Efektif, (Yogyakarta: Aditya
Media, 2009).
Suharsimi Arikuntho, Organisasi dan Administrasi Pendidikan,
(Jakrta: Rajawali Press, 1990).
Syaiful Sagala, Manajemen Strategik dalam Peningkatan Mutu
Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2009).

653

Anda mungkin juga menyukai