Anda di halaman 1dari 7

Tugas Parasitologi

Modul 3.1
Kelas A

Disusun oleh :
1. Indira Diva Kinanti P. 22010115120029
2. Teresia Maharani P. 22010115120030
3. Swara Wida Shakti 22010115120031
4. Putri Gayatri 22010115120032
5. Muhammad Rizky Caniago 22010115120033
6. Resha Febryani Dwi Putri 22010115120034
7. Dian Kafahasindaya 22010115120035
8. Ainun Nida Dusturia 22010115120075

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2016
1. Macam-macam Jenis Insektisida

Insektisida adalah bahan yang mengandung persenyawaan kimia yang


digunakan untuk membunuh serangga. Insektisida merupakan kelompok pestisida
yang terbesar dan terdiri atas beberapa sub kelompok kimia yang berbeda yaitu :
a. Organoklorin
Merupakan insektisida chlorinated hydrocarbon, secara kimiawi
tergolong insektisida yang relatif stabil dan kurang reaktif, ditandai dengan
dampak residunya yang lama terurai di lingkungan. Salah satu insektisida
organo klorin yang terkenal adalah DDT. Pestisida ini telah menimbulkan
banyak perdebatan.
Kelompok organo klorin merupakan racun terhadap susunan syaraf
baik pada serangga maupun mamalia. Keracunan dapat bersifat akut atau
kronis. Keracunan kronis bersifat karsinogenik (kanker).

b. Organofosfat
Insektisida ini merupakan ester asam fosfat atau asam tiofosfat.
Pestisida ini umumnya merupakan racun pembasmi serangga yang paling
toksik secara akut terhadap binatang bertulang belakang seperti ikan, burung,
cicak dan mamalia.
Pestisida ini mempunyai efek memblokade penyaluran impuls syaraf
dengan cara mengikat enzim asetilkolin esterase. Keracunan kronis pestisida
golongan organo fosfat berpotensi karsinogenik. Contohnya adalah malation,
fenitrotion, temefos, metil-pirimifos, dan lain lain.

c. Karbamat
Kelompok ini merupakan ester asam N-metilkarbamat. Bekerja
menghambat asetilkolin esterase. Tetapi pengaruhnya terhadap enzim tersebut
tidak berlangsung lama, karena prosesnya cepat
 reversibel. Kalau timbul
gejala, gejala itu tidak bertahan lama dan cepat kembali normal. Pada
umumnya, pestisida kelompok ini dapat bertahan dalam tubuh antara 1 sampai
24 jam sehingga cepat diekskresikan.Contohnhya bendiocarb, propoksur, dan
lain-lain.

d. Piretroid dan yang berasal dari tanaman lainnya


Piretroid berasal dari piretrum diperoleh dari bunga Chrysanthemum
cinerariaefolium. Insektisida tanaman lain adalah nikotin yang sangat toksik
secara akut dan bekerja pada susunan saraf. Piretrum mempunyai toksisitas
rendah pada manusia tetapi dapat menimbulkan alergi pada orang yang peka.
Contohya yaitu metoflutrin, transflutrin, d-fenotrin, lamda-sihalotrin,
permetrin, sipermetrin, deltametrin, etofenproks, dan lain-lain.
e. Insect Growth Regulator (IGR)
Kelompok senyawa yang dapat mengganggu proses perkembangan dan
pertumbuhan serangga. IGR terbagi dalam dua klas yaitu :
 Juvenoid atau sering juga dikenal dengan Juvenile Hormone Analog
(JHA)
Pemberian juvenoid pada serangga berakibat pada
perpanjangan stadium larva dan kegagalan menjadi pupa. Contoh JHA
adalah fenoksikarb, metopren, piriproksifen dan lain-lain.
 Penghambat Sintesis Khitin atau Chitin Synthesis Inhibitor (CSI)
Mengganggu proses ganti kulit dengan cara menghambat pembentukan
kitin. Contoh CSI yaitu diflubensuron, heksaflumuron, dan lain-lain.

f. Mikroba
Kelompok Insektisida ini berasal dari mikroorganisme yang berperan
sebagai insektisida. Contoh: Bacillus thuringiensisvarisraelensis (Bti),
Bacillus sphaericus (BS), abamektin, spinosad, dan lain-lain. BTI bekerja
sebagai racun perut, setelah tertelan kristal endotoksin larut yang
mengakibatkan sel epitel rusak dan serangga berhenti makan lalu mati. BS
bekerjasama dengan BTI, namun bakteri ini diyakini mampu mendaur ulang
diri di air akibat proliferasi dari spora dalam tubuh serangga, sehingga
mempunyai residu jangka panjang. BS stabil pada air kotor atau air dengan
kadar bahan organik tinggi. Abamektin adalah bahan aktif insektisida yang
dihasilkan oleh bakteri tanah Streptomyces avermitilis. Sasaran dari abamektin
adalah reseptor γ-aminobutiric acid (GABA) pada sistem saraf tepi. Insektisida
ini merangsang pelepasan GABA yang mengakibatkan kelumpuhan pada
serangga. Spinosad dihasilkan dari fermentasi jamur aktinomisetes
Saccharopolyspora spinosa, sangat toksik terhadap larva Aedes and Anopheles
dengan residu cukup lama. Spinosad bekerja pada post synaptic nicotonic
acetylcholine dan GABA reseptor yang mengakibatkan tremor, paralisis dan
kematian serangga.

g. Neonikotinoid
Insektisida ini mirip dengan nikotin, bekerja pada sistem saraf pusat
serangga yang menyebabkan gangguan pada reseptor post synaptic
acetilcholin. Contoh: imidakloprid, tiametoksam, klotianidin, dan lain-lain.

h. Fenilpirasol
Insektisida ini bekerja memblokir celah klorida pada neuron yang
diatur oleh GABA, sehingga berdampak perlambatan pengaruh GABA pada
sistem saraf serangga. Contohnya fipronil dan lain-lain.
i. Nabati
Insektisida nabati merupakan kelompok Insektisida yang berasal dari
tanaman. Contohnya adalah piretrum atau piretrin, nikotin, rotenon, limonen,
azadirachtin, serehwangi, dan lain-lain.

j. Repelen
Repelen adalah bahan yang diaplikasikan langsung ke kulit, pakaian
atau lainnya untuk mencegah kontak dengan serangga. Contohnya DEET, etil-
butil-asetil aminopropionat dan ikaridin. Repelen dari bahan alam adalah
minyak sereh atau sitronela (citronella oil) dan minyak eukaliptus (lemon
eucalyptus oil).

2. Gejala dan Tanda Keracunan Insektisida dan Cara


Penanganannya

a. Gejala dan Tanda Keracunan


Keracunan ditandai dengan adanya iritasi dan kerusakan jaringan yang
terkena pada keracunan lokal, dan jaringan yang dilewatinya terutama jaringan
paru pada keracunan sistemik.
i. Saluran Pencernaan
Rasa terbakar pada mulut dan tenggorokan, mual, muntah, nyeri abdomen,
diare.
ii. Mata
Gatal, rasa terbakar, mata berair, gangguan penglihatan / kabur, pupil
dapat menyempit atau melebar.
iii. Kulit
Rasa terbakar, iritasi, keringat berlebihan, bercak pada kulit.
iv. Saluran Pernafasan
Batuk, nyeri dada dan sesak, susah bernafas dan nafas berbunyi /wheezing
(Munaf, 1995).

Beberapa insektisida mempunyai tanda dan gejala klinis yang spesifik


apabila pasien mengalami keracunan, yaitu sebagai berikut.
 Organoklorin
Gejala dan tanda yang dapat muncul yaitu mual, muntah, gelisah, pusing,
lemah, rasa geli, atau menusuk pada kulit, kejang otot, hilang koordinasi,
dan ketidaksadaran.
 Organofosfat dan karbamat
Gejala dan tandanya berupa lelah, sakit kepala, pusing, hilang selera
makan, mual, kejang perut, diare, penglihatan kabur, keluar air mata,
keringat, air liur berlebih, tremor, pupil mengecil, denyut jantung lambat,
kejang otot (kedutan), tidak sanggup berjalan, rasa tidak nyaman, dan
sesak, buang air besar dan kecil tidak terkontrol, inkontinensi, tidak sadar
dan kejang-kejang.

 Piretroid simetrik
Gejala dan tandanya berupa iritasi kulit, pedih, rasa terbakar, gatal-gatal,
rasa geli, mati rasa, inkoordinasi, tremor, salivasi, muntah, diare, iritasi
pada pendengaran dan perasa.

 Piretroid derivat tanaman : piretrum dan piretrin


Gejala dan tandanya berupa alergi, iritasi kulit, dan asma.

 Insektisida anorganik Asam borat dan borat


Gejala dan tandanya iritasi kulit : kulit kemerahan, pengelupasan, gatal-
gatal pada kaki, bokong dan kemaluan. Iritasi saluran pernapasan dan
sesak napas.

 Insektisida mikroba : Bacillus thuringiensis


Gejala dan tandanya berupa radang saluran pencernaan.

 DEET repellent
Gejala dan tandanya berupa iritasi kulit, kulit kemerahan, melepuh hingga
nyeri, iritasi mata, pusing, perubahan emosi.

b. Cara Penanganan
 Apabila gejala keracunan mulai timbul dan gejala mulai dirasakan,
segeralah berhenti kontak dengan paparan insektisida dan segera pergi ke
dokter untuk mendapatkan pertolongan lebih lanjut.
 Bila insektisida tertelan dan penderita sadar, segera lakukan induksi
muntah yang dapat dilakukan dengan mengorek dinding belakang faring
dengan jari atau dengan larutan garam dapur 1 sendok makan penuh dalam
1 gelas air hangat. Induksi muntah tidak boleh dikerjakan bila penderita
tidak sadar, karena bahaya terjadia spirasi muntah ke paru-paru.
 Bila terdapat henti napas, segera lakukan pernafasan buatan. Bersihkan
mulut penderita dari air ludah, lendir atau makanan yang menyumbat jalan
nafas. Bila Insektisida tertelan, jangan lakukan pernafasan dari mulut ke
mulut.
 Bila larutan insektisida mengenai kulit, pakaian yang terkena segera
tanggalkan, dan kulit dicuci dengan sabun dan air yang banyak.
 Bila larutan insektisida mengenai mata, segera cuci dengan banyak air
selama 15 menit (Lubis, 2002).

3. Mekanisme Terjadinya Resistensi

Serangga dikatakan telah resisten terhadap suatu insektisida jika dengan dosis
yang biasa digunakan, serangga tersebut tidak dapat dibunuh (Soedarto, 2008).
Resistensi yang kadangkala diindikasikan oleh menurunnya efektivitas suatu
teknologi pengendalian tidak terjadi dalam waktu singkat (Untung, 2004). Lamanya
proses resistensi pada serangga terhadap insektisida sangat bervariasi, dari hanya satu
sampai dua tahun, hingga puluhan tahun. Resistensi insektisida berkembang setelah
adanya proses seleksi yang berlangsung selama banyak generasi. Resistensi
merupakan suatu fenomena evolusi yang diakibatkan oleh seleksi pada serangga yang
diberi perlakuan insektisida secara terus menerus.

Di alam frekuensi alel individu rentan lebih besar dibandingkan frekuensi alel
individu resisten, dan frekuensi alel homosigot resisten (RR) berkisar antara 10-2
sampai 10-13. Karena adanya seleksi yang terus menerus jumlah individu yang peka
dalam suatu populasi semakin sedikit. Individu resisten kawin satu dengan lainnya,
sehingga menghasilkan keturunan yang resisten pula. Populasi yang tetap hidup pada
aplikasi insektisida permulaan akan menambah proporsi individu yang tahan terhadap
senyawa dan meneruskan sifat ini pada keturunan mereka (Untung, 2004).

Beberapa serangga telah resisten terhadap DDT. Setelah DDT ditemukan,


serangga yang tidak memiliki resistensi bawaan dan terkena zat kimia ini akan punah
dari populasinya. Sejalan dengan waktu, serangga resisten yang sebelumnya sedikit
menjadi bertambah banyak. Akhirnya, seluruh spesies tersebut menjadi populasi
dengan anggota-anggota yang resisten terhadap DDT. Ketika ini terjadi DDT menjadi
tidak efektif lagi terhadap spesies serangga tersebut (Yahya, 2004).

Pengguna insektisida sering menganggap bahwa serangga yang tetap hidup


belum menerima dosis letal, sehingga mereka meningkatkan dosis dan frekuensi
aplikasi. Tindakan ini yang mengakibatkan semakin menghilangnya proporsi
serangga yang peka dan meningkatkan proporsi serangga yang tahan dan tetap hidup.
Dari generasi ke generasi proporsi individu resisten dalam suatu populasi akan
semakin meningkat dan akhirnya populasi tersebut akan didominasi oleh individu
yang resisten. Resistensi tidak akan menjadi masalah sampai suatu populasi
didominasi oleh individu-individu yang resisten, sehingga pengendalian serangga
menjadi tidak efektif lagi.
Salah satu faktor yang mempengaruhi laju perkembangan resistensi adalah
tingkat tekanan seleksi yang diterima oleh suatu populasi serangga. Pada kondisi
yang sama, suatu populasi yang menerima tekanan yang lebih keras akan
berkembang menjadi populasi yang resisten dalam waktu yang lebih singkat
dibandingkan populasi yang menerima tekanan seleksi yang lemah.

Menurut Untung (2004), mekanisme resistensi suatu serangga terhadap


insektisida dapat dibagi menjadi 3 yaitu:

a) Peningkatan detoksifikasi insektisida oleh karena bekerjanya ensim-ensim


tertentu.
Dichloro Diphenyl Trichloroethane didetoksifikasi menjadi DDE, DDA, atau
kelthane oleh karena bekerjanya ensim dehidroklorinase (Beament &
Treherne, 2003).
b) Penurunan kepekaan tempat sasaran insektisida pada tubuh serangga.
Diperkirakan bahwa kepekaan terhadap DDT di tempat sasaran dapat berubah
oleh karena perubahan suhu. Pada penelitian menggunakan neuron sensori
pada kaki lipas menunjukkan bahwa DDT lebih efektif merangsang sel sensori
pada suhu rendah (160C) dari pada suhu tinggi (300C) (Beament & Treherne,
2003).
c) Penurunan laju penetrasi insektisida melalui kulit atau integumen.
Dalam bentuk suspensi, DDT bekerja lebih kuat terhadap larva nyamuk pada
suhu rendah dari pada suhu tinggi. Namun, jika diinjeksikan pada larva, DDT
bekerja lebih kuat pada suhu tinggi dari pada suhu rendah. Berdasarkan
pengamatan tersebut, disimpulkan bahwa DDT diabsorbsi lebih banyak pada
suhu rendah dari pada suhu tinggi (Beament & Treherne, 2003).

Anda mungkin juga menyukai