Anda di halaman 1dari 6

kaidah lil wasail hukmul maqosid

Sebagaimana dimaklumi perbuatan mukallaf terkadang diposisikan sebagai


wasilah dalam menggapai tujuan tertentu. Terkenal dengan istilah ‘Lil Wasail
Hukmul Maqashid’. Kaidah fiqih ini berkelindan dengan banyak kaidah lain
semisal ‘Ma La Yutimmul Wajib illa bihi Fahuwa Wajib’, atau ’Yughtafaru fil
Washail Ma La Yughtafaru fil Maqashid’, dan ‘adh Dharar Tubihul Mahdzurat’,
lalu juga ‘Maqashid’ perspektif asy-Syatibi, serta ‘Sadd Dzari’ah’ dalam perpektif
Malikiyah. Dengan demikian elaborasi kaidah ini bercabang-cabang.

Namun pembahasan dalam tulisan ini akan mengerucut pada ‘wasail’ semata.
Karena ranah inilah yang sering diperdebatkan. Contohnya saja ketika para salafi
membenturkan kaidah washilah dengan pameo ‘al-Ghayat La Tubarrirul Wasilah’
(Tujuan Itu Tidak Membenarkan Cara).

Abu Bakar ibn ‘Ashim al-Andalusi dalam nadzam Murtaqa al-Wushul-nya berkata:
‫وكل فعل للعباد يوجد‬# ‫اما وسيلة و اما مقصد‬
“Setiap tindakan hamba akan didapati # adakalanya wasilah adakalanya maksud.”

Dengan lebih lugas Imam al-Qarafi menjelaskan bahwa motif hukum (mauridul
ahkam) itu berkisar pada maqashid dan wasail, dimana hukum wasail baik haram
ataupun halal didasarkan pada maqashid. Hanya derajat amalnya saja yang
berbeda. (al-Furuq 3/46)

ِ‫اص ُد و ِهي ا أل ُمتض ِمنةُ ِل ألمصا ِلح‬ ‫ومو ِار ُد أاْل أحك ِام على قِ أ‬
ِ ‫سم أي ِن مق‬
‫ق ا أل ُم أف ِضيةُ إل أيها و ُح أك ُمها‬ ُّ ‫س ِد فِي أ أنفُسِها ووسائِ ُل و ِهي ال‬
ُ ‫ط ُر‬ ِ ‫وا ألمفا‬
‫ض ُرتأبةً ِم أن‬ ُ ‫ضت إل أي ِه ِم أن ت أح ِر ٍيم وت أح ِلي ٍل غ أير أنَّها أ أخف‬‫ُح أك ُم ما أف أ‬
ِ ‫ا ألمق‬
‫اص ِد فِي ُح أك ِمها‬
Dari uraian di atas, al-Qarafi telah mencantumkan juga pengertian maqashid dan
wasail, yakni:
1. Maqashid: Sesuatu yang mengandung mashlahah dan mafsadah karena dirinya
sendiri.
2. Wasail: Sesuatu yang menjadi jalan untuk sampai pada maqashid.

Menurut Mustafa Makhdum, dalam disertasinya untuk meraih gelar doktor


(Qawa’id al-Wasail fi asy-Syari’at al-Islamiyah), yang pertama kali menyinggung
kaidah lil wasail hukmul maqashid secara mafhum adalah Imam Syafi’ie (al-Um
4/49).
‫ف ِإ أن كان هذا هكذا ف ِفي هذا ما يُثأ ِبتُ أ َّن الذَّرائِع إلى ا ألحَل ِل‬
‫ش ِبهُ معانِي ا ألحَل ِل وا ألحر ِام‬
‫وا ألحر ِام ت ُ أ‬
Sedangkan yang pertama kali menyampaikan secara manthuq adalah Izzudin ibn
Abdis Salam (Qawaidul Ahkam 1/ 46) dengan perkataan:
‫الواجبات والمندوبات ضربان‬: ‫ والثاني‬،‫أحدهما مقاصد‬
‫ وكذلك المكروهات والمحرمات ضربان‬،‫وسائل‬: ‫أحدهما‬
‫مقاصد والثاني‬: ‫ وللوسائل أحكام المقاصد‬،‫وسائل‬
Pengambilan kaidah itu didasarkan atas QS. At-Taubah: 120, yakni
َّ ‫ب وال م أخمصةٌ فِي س ِبي ِل‬
ِ‫َّللا‬ ٌ ‫ذ ِلك ِبأنَّ ُه أم ال يُ ِصيبُ ُه أم ظمأ ٌ وال نص‬
ُ ‫وال يطأُون م أو ِطئا ً يُ ِغي‬
‫ظ ا أل ُكفَّار وال ينالُون ِم أن عد ٍُو ن أيَلً ِإ َّال ُكتِب‬
‫ل ُه أم ِب ِه عم ٌل صا ِل ٌح‬
“Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan
kelaparan pada jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang
membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana
kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu
suatu amal saleh.”
Wajhu dilalahnya: mereka diberi pahala bukan semata atas rasa haus, lelah, dan
lapar –dimana itu akibat alamiah dari sebuah perjalanan- melainkan karena
perjalanan yang mereka tempuh itu menjadi wasilah dari berjihad memerangi
musuh-musuh Allah.

Tersebut juga dalam HR. Muslim:


ٍ ‫من تطهر في بيته ثم مضى إلى بي‬
‫ت من بيوت هللا يقضي‬
‫فريضة من فرائض هللا كانت خطوتاه إحداهما تحط خطيئة‬
‫واْلخرى ترفع درجة‬
“Seseorang yang bersuci di rumahnya kemudian berangkat ke salah satu rumah
Allah untuk melaksanakan salah satu fardhu-Nya, maka setiap jengkal langkahnya
yang satu melebur dosa dan langkah yang lain mengangkat derajat.”
Sekedar melangkahkan kaki tidak akan mendapat keutamaan seperti itu, sehingga
yang dimaksud ‘melebur dosa dan mengangkat derajat’ adalah pada langkah kaki
seorang muslim yang digunakan untuk wasilah beribadah ke masjid.

Dr. Mustafa lantas membagi maqashid dan wasail ke dalam tiga bagian:
a. Maqashid mahdhah > Maqashid yang tidak tercampuri wasail, murni sebagai
maqashid dari sudut pandang manapun.
b. Wasail mahdhah > Wasail yang tidak tercampuri maqashid, murni sebagai
wasail dari sudut pandang manapun.
c. Maqashid dan Wasail Ghairu Mahdhah > Amal perbuatan yang di satu sisi
menjadi maqashid, di sisi lain sebagai wasail.

Contoh dari maqashid mahdhah misalnya shalat, puasa, jihad, haji, zina, mencuri,
dan segala amal yang memang dikerjakan untuk amal itu sendiri. Wasail mahdhah
antara lain berjalan hendak ke masjid, browsing facebook untuk dakwah,
menunggu di jalan sepi untuk merampok, tayammum untuk shalat, dan semua amal
yang murni dilakukan sebagai perantara menuju amaliyah lainnya. Sedangkan
maqashid dan wasail ghairu mahdhah bisa berupa wudhu untuk shalat, membaca
al-Qur’an untuk kelancaran rejeki, membaca shalawat Nabi untuk memperingati
maulid, mencuri uang untuk membeli narkoba, dan setiap amal yang di dalamnya
sudah terkandung mashlahat/mafsadah namun ditujukan juga untuk amaliyah
lainnya.

Ada dua tahapan pembuktian suatu amal –dalam perspektif kaidah fiqih- agar tetap
sesuai syariah ketika dimasukkan pada kaidah lil wasail hukmul maqashid:
1. Meneliti maqashidnya, apakah buruk atau baik. Bila maqashidnya buruk,
meskipun dengan wasilah yang mubah, akan tetap dihukumi terlarang. Misalnya
saja berjalan-jalan, ini mubah, tapi ketika jalan-jalannya menuju tempat judi maka
menjadi haram. Ataupun melihat, ini juga mubah, namun tatkala yang dilihat
wanita bukan mahram maka terlarang juga sebab bisa menuju maqashid berupa
zina. Sebagaimana dimaklumi, kasus yang terakhir telah mendapat pembahasan
tersendiri dalam sad adz-dzari’ah.
Sedangkan ketika maqashidnya baik maka melihat telaah wasailnya.
2. Meneliti wasailnya, apakah termasuk wasilah mubah atau wasilah yang terkait
syariah.
- Jika wasailnya mubah maka hukumnya tinggal mengikut pada maqashid. Contoh:
tidur itu mubah, namun ketika tidur agar nanti bisa shalat tahajjud maka menjadi
sunah.
- Jika wasailnya syar’ie maka ada beberapa tinjauan:
a. Tentang sah atau tidaknya wasilah dihukumi sama dengan maqashid maka
melihat apakah sebab, rukun, dan syarat pada wasilah. Bila telah sesuai maka
terhukumi sama dengan maqashid. Bila menyimpang maka hukum maqashid pun
gugur dan mendapat pahala maqashid saja, atau sekaligus dengan dosa bila
wasilahnya tercela. Misal: wudhu untuk shalat namun ada bagian yang tidak
terbasuh, maka hukum shalatnya tidak sah, sekedar mendapatkan pahala qashdu
shalat dan wudhunya sia-sia. Atau shadaqah dengan cara merampok, maka niat
shadaqahnya saja yang berpahala tapi tertutupi oleh dosa merampok.
b. Tentang bid’ah atau tidaknya wasilah. Bila bukan bid’ah maka terhukumi sama
dengan maqashid. Bila menambah/merubah sebab, syarat, dan rukun maka menjadi
bid’ah dan hukum maqashidpun gugur. Contoh: tujuannya agar lebih mengingat
Allah ketika memulai hari dari bangun tidur, namun dilakukan dengan shalat subuh
empat raka’at, maka maqashidnya pupus tertutupi oleh amaliah yang menyimpang.

Mustafa Makhdum menambahkan perspektif lain dalam meneliti wasail agar


sampai pada maqashid yang mashlahah (Qawaidh Wasail hlm. 131) dengan:
1. Pencantuman Nash
Jumlahnya terbatas sekali, hanya mengacu pada wasail yang terdapat pada jaman
Rasulullah SAW. Misalnya:
َّ ‫ب وال م أخمصةٌ فِي س ِبي ِل‬
ِ‫َّللا‬ ٌ ‫ذ ِلك ِبأنَّ ُه أم ال يُ ِصيبُ ُه أم ظمأ ٌ وال نص‬
ُ ‫وال يطأُون م أو ِطئا ً يُ ِغي‬
‫ظ ا أل ُكفَّار وال ينالُون ِم أن ع ُد ٍو ن أيَلً ِإ َّال ُك ِتب‬
‫ل ُه أم ِب ِه عم ٌل صا ِل ٌح‬- (‫التوبة‬:120)
Wasailnya berupa safar dan kesulitannya.

ٍ ‫من تطهر في بيته ثم مضى إلى بي‬


‫ت من بيوت هللا يقضي‬
‫فريضة من فرائض هللا كانت خطوتاه إحداهما تحط خطيئة‬
‫واْلخرى ترفع درجة‬- (‫)أخرجه مسلم وابن حبان والبيهقى‬
Wasailnya berupa melangkahkan kaki.

ُ‫ب أ أن يُ أبسط لهُ فِي ِر أزقِ ِه ويُ أنسأ ُ لهُ فِي أث ِر ِه ف ألي ِص أل ر ِحمه‬
َّ ‫م أن أح‬
– (‫)اخرجه الشيخان واحمد وابو داود وابن ماجه‬
Wasailnya berupa silaturrahmi.
2. Dalil ‘Aqli
Lebih banyak diaplikasikan pada wasail mubah. Misalnya ronda untuk keamanan
kampung, memperlambat laju kendaraan ketika jalan berlubang, menghindari jalan
sepi yang rawan begal saat malam hari, memilih lokasi penggalian sumur saat
musim kemarau, dan setiap hal lain yang memilahnya berdasarkan analisa akal.

3. Penelitian dan Kebiasaan


Diperlukan pada maqashid yang terkait dengan tahqiqul manath (kajian obyek) dan
kebiasaan. Misalnya saja pada penelitian alkohol sebagai perantara bahan
konsumsi memabukkan, penguasaan atas persenjataan militer ketika hendak
berjihad, kebiasaan tabung pemadam efektif menanggulangi kebakaran kecil di
gudang, maka keberadaan tabung ini menjadi perlu untuk diadakan, dan
seterusnya.

Yang umum dijumpai pada wasail dan maqashid adalah jumlahnya berbilang. Satu
wasail seringkali memiliki beberapa maqashid dan satu maqashid ghalib dicapai
dengan beberapa wasail. Contoh pada maqashid yang berbilang seperti pada
amaliyah nikah, memiliki tujuan memperbanyak keturunan, menjaga kehormatan
diri (dari zina), dan menjalin ukhuwwah cinta kasih antara suami-istri. Atau juga
menulis buku islami, bisa memiliki tujuan menumbangkan hujjah lawan yang tidak
sepaham, untuk sekedar tabligh ajaran Islam, dan untuk klarifikasi atas fitnah
tertentu. Contoh pada wasail yang berbilang misalnya pada dakwah ajaran Islam,
bisa dicapai dengan mengajar di madrasah, ceramah di panggung, menulis buku,
berdiskusi di facebook, dan banyak lainnya.
Sebagaimana dimaklumi pada kasus yang ta’addud seperti ini, maka gugurnya
salah satu bilangan tidak membatalkan hukum maqashid/wasail. Ambil contoh
pada nikah yang tidak memiliki keturunan, maka ia tetap mendapat hukum
keutamaan menjaga kehormatan diri dan jalinan kasih-sayang, disamping nikah itu
sendiri merupakan maqashid ghairu mahdhah yang hukum amaliyah tersendiri.
Demikian juga pada maqashid berupa dakwah Islam yang cukup dicapai dengan
salah satu wasail saja, misal dengan menulis buku.

Kaidah lil wasail hukmul maqashid merupakan kaidah aghlabiyah sehingga ada
juga pengecualiannya. Imam Ibn Abdis Salam menguraikannya secara eksplisit
(Qawa’id al-Ahkam 2/138):
‫قاعدة من المستثنيات من القواعد الشرعية‬
‫اعلم أن هللا شرع لعباده السعي في تحصيل مصالح عاجلة‬
‫ ثم استثنى منها ما في‬،‫وآجلة تجمع كل قاعدة منها علة واحدة‬
،‫مَلبسته مشقة شديدة أو مفسدة تربى على تلك المصالح‬
‫وكذلك شرع لهم السعي في درء مفاسد في الدارين أو في‬
‫ ثم استثنى منها ما‬،‫أحدهما تجمع كل قاعدة منها علة واحدة‬
،‫في اجتنابه مشقة شديدة أو مصلحة تربى على تلك المفاسد‬
‫ ويعبر عن ذلك كله‬،‫وكل ذلك رحمة بعباده ونظر لهم ورفق‬
‫بما خالف القياس‬
Maqashid yang menjadi sandaran wasail terkadang ditemukan kasus pengecualian,
dalam artian hukum wasail berbeda dengan maqashidnya, baik dari sisi:
1. Maqashid berupa mashlahah. Dikecualikan darinya setiap perkara yang di
dalamnya terdapat dharurat/masyaqqah atau mafsadah yang melebihi mashlahat-
nya maqashid. Seperti halnya berangkat ke medan jihad, namun terhalang oleh
sakit dan cacat fisik, maka orang itu tetap memperoleh pahala dan keagungan
jihad.
2. Maqashid berupa mafsadah. Dikecualikan darinya setiap persoalan yang di
dalamnya terkandung dharurat/masyaqqah dan mashlahah yang lebih besar
daripada mafsadah-nya maqashid. Misalnya saja memandang wanita bukan
mahram haram karena mengarah ke zina, namun ketika saat melamar
diperbolehkan melihatnya lantaran mashlahah yang lebih penting, yakni keyakinan
dan kasih sayang sehingga langgeng pernikahannya ke depan. Begitu juga menjual
barang yang tidak ada (ma’dum) haram karena akan menyia-nyiakan harta ( uang
pembeli), namun pada akad pesan (salam) diperbolehkan karena memandang
mashlahat akad pesan sudah dirasakan menyeluruh oleh masyarakat Arab pra-
Islam.

Wallahu a’lam.

Anda mungkin juga menyukai