Anda di halaman 1dari 8

LEGALISASI BUKAN SOLUSI TERBAIK UNTUK LGBT

“Memahami Konflik Psikologis Same Sex Attraction (SSA) sebagai Awal Perilaku
Homoseksual serta Peran Pemerintah dalam menanggapi LGBT”

Karya ini Disusun untuk Mengikuti


Lomba Esai Nasional Kelompok Penulis Muda 2018
“Peran Pemuda sebagai Pemimpin Masa Depan dalam Mengatasi
Permasalahan Indonesia”

Disusun oleh :

Feri Indra Irawan

BANDUNG

2018
Pendahuluan
Pada tahun 2017 lalu, Indonesia sempat dihadapkan dengan adanya suatu tuntutan
terhadap legalisasi LGBT. Tuntutan tersebut menimbulkan beberapa reaksi dari
masyarakat, seperti unjuk rasa penolakan aksi LGBT dari Aliansi Pergerakan Islam,
audiensi penolakan di kabupaten Ciamis, aksi solidaritas aktivis HAM dan kaum LGBT
di Jakarta, dan aksi masyarakat yang lainnya. Dalam aksi masyarakat yang menolak akan
LGBT, mereka menyuarakan LGBT sebagai suatu hasrat yang menyimpang, perilaku
yang dapat yang menimbulkan adzab, pendosa, dan sebagainya. Pandangan masyarakat
tersebut muncul karena Indonesia merupakan suatu negara yang mayoritas
masyarakatnya menjungjung tinggi nilai moral beragama yang tidak menerima perilaku
LGBT. Walau demikian, LGBT saat ini semakin berani menunjukan eksistensinya di
tengah norma masyarakat yang menentang. Seperti saat kita mencari suatu komunitas
LGBT di media sosial, hal itu serasa tidak sulit, baik itu untuk menemukan komunitas
Gay, Lesbian, atau Transgender. Bahkan ada beberapa diantaranya secara terang-terangan
mengungkap identitas asli siapa dirinya.
LGBT merupakan istilah untuk singkatan dari Lesbian, Gay, Biseksual, dan
Transgender. Orang yang termasuk ke dalam LGBT berjumlah sedikit jika dibanding
dengan heteroseksual. Oleh karena itu, sangat rentang bagi LGBT untuk terkena
diskriminasi dan di cap sebagai seseorang yang “berbeda”. Direktur Wahid Foundation
Yenny Wahid mengungkapkan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) menjadi
minoritas yang paling tidak disukai di Indonesia dan disusul oleh kelompok lainnya yang
tidak disukai juga seperti komunis dan yahudi, data tersebut terungkap dari hasil survei
Wahid Foundation bersama Lembaga Survei Indonesia pada Maret-April 2016 (Hamdi,
2017).
Pandangan masyarakat yang hanya melihat dari perilaku yang nampak, tanpa melihat
proses atau konflik psikologis dari individu yang LGBT, membuat mayoritas masyarakat
mencela dan melakukan tindakan diskriminatif (Papilaya, 2016). Oleh karena itu penting
bagi kita sebagai masyarakat dan pemerintah dalam memandang LGBT secara
menyeluruh, terutama dari aspek psikologis yang melatarbelakanginya. Hal itu
diharapkan supaya adanya suatu sikap saling memahami serta tindakan solutif yang
maslahat bagi kedua pihak dan menghindari perilaku yang tidak diinginkan.
Berdasarkan hasil wawancara pada 6 orang (1 Lesbian, 3 Gay (2 SSA dan 1 Gay), 1
Biseksual, 1 Transgender). Diperoleh hasil bahwa secara umum mereka pernah
mengalami konflik yang cukup serius terkait orientasinya. Hal itu diperparah dengan
gunjingan masyarakat yang melihatnya berbeda dengan sebayanya, dan bahkan 2
diantaranya pernah berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Pandangan mereka terkait
legalisasi yaitu 4 orang tidak setuju (2 Gay SSA, 1 Lesbian, 1 Biseks), dengan alasan
mereka ingin hidup sesuai kodrat walaupun masih belum tahu bagaimana caranya.
Sedangkan 2 orang lainnya setuju (Gay dan Transgender), dengan alasan mereka
membutuhkan pengakuan dan persamaan derajat, walaupun sebenarnya mereka ingin
kembali ke jatidirinya. Olehkarena itu legalisasi terhadap LGBT bukan solusi terbaik,
karena jika legalisasi LGBT dilaksanakan, para SSA akan memandang suatu LGBT
menjadi suatu perbuatan yang sehat secara mental.
Lesbian dan Gay (Homoseksual) menjadi suatu hal yang paling disoroti oleh
masyarakat terkait LGBT. Namun ketika kita paham akan proses psikologis terbentuknya
Lesbian dan Gay, kemungkinan besar kita dapat mencegah serta menekan kemungkinan
munculnya perilaku tersebut. Mayoritas Homoseksual akan melewati kondisi same sex
attraction (SSA). Berbeda dengan Lesbian atau Gay, same-sex attraction merupakan
kecenderungan atau sebatas ketertarikan individu dalam hal hubungan cinta, menyukai,
atau sejenisnya terhadap gender yang sama. Sedangkan Lesbian atau Gay merupakan
identitas gender yang diakui oleh orang tersebut akibat dari hasil identifikasi perilakunya.
Jadi tidak semua orang SSA menjadi LGBT, tapi sudah dipastikan bahwa LGBT
mempunyai SSA. Namun sebenarnya pada tahap ini lah konflik terbesar yang dirasakan
oleh orang tersebut sebelum akhirnya dia memutuskan untuk menjadi Lesbian atau Gay
(Mctavish, 2015).
Perhatian pemerintah terhdap SSA dirasa penting, karena SSA kemungkinan besar
masih dapat kembali ke “normal” namun sangat rentan menuju perilaku “berbeda”.
Tindakan seperti kampanye kesehatan mental, indahnya membangun keluarga harmonis,
pendidikan seks, program bimbingan di setiap sekolah, pemblokiran unsur LGBT di
internet, dan lainnya, akan sangat membantu mereka. Sedangkan untuk orang yang telah
menjadi pelaku LGBT, perlu dibentuk suatu lembaga yang ramah LGBT, menciptakan
kultur non diskriminasi, dan bertindak secara terstruktur untuk mengembalikan perilaku
mereka ke perilaku yang sesuai dengan norma masyarakat.
•Suci dan bersih
Live Event •Tertarik/mencintai sosok
•Perilaku dibentuk oleh pribadi dengan jenis kelamin yang sama
dan lingkungannya •Mengalami kejadian khusus •Merasa ada yang salah
yang membentuk sikap dan •Konflik dengan norma yang
perilakunya (contoh : berlaku di masyarakat
pelecehan, kekerasan, dll) •Mencari tahu
•Kondisi psikologis tidak stabil

Same-sex
Anak Lahir
attraction

Gambar1. Alur terjadinya SSA


Pembahasan
Rick Fitzgibbons mengidentifikasi SSA pada pria dengan kehilangan hubungan
baik dengan sosok ayah atau teman sebaya (sesama pria) atau saudara pria, poor body
image, mistrust terhadap relasi dengan ibu, dihianati oleh sosok wanita, dan narsistik.
Sedangkan SSA pada Wanita diidentifikasi dengan rasa sedih dan mistrust pada
hubungan dengan sosok Ayah, kehilangan hubungan baik dengan sosok ibu, dihianati
oleh sosok pria yang mempunyai arti penting bagi dirinya sehingga menjadi takut untuk
menjalin hubungan dengan pria, kepercayaan diri rendah, ditolak oleh teman sebaya
sesama wanita, marah terhadap pria, dan kesendirian terhadap perasaan cinta (Mctavish,
2015). Kurangnya rasa percaya diri sering menjadi penyebab masalah tersebut. Hal itu
dibuktikan dengan sebuah studi 2011 oleh Parkes dari 10.000 remaja laki-laki dengan
beberapa pengalaman sesama jenis, dari laporan tersebut diperoleh kurangnya harga diri
sebagai penyebab perilaku tersebut (Parkes et al, 2011dalam Mctavish, 2015).
Dari hasil wawancara dengan 2 orang Gay (RN 20 tahun dan ED 35 tahun), RN
mengalami SSA dikarenakan saat kecil menjadi bahan bualan teman-temannya akan
kondisinya yang miskin, dia memiliki tingkat percaya diri yang rendah, hubungan kurang
baik dengan sosok ibu yang cenderung over protective, namun saat itu dia sangat dekat
dan menyukai sesosok pria yang lebih tua darinya dikarenakan dia selalu menjadi
penolong saat dirinya terpuruk. Sedangkan untuk ED dia menjadi SSA karena
diperlakukan seperti perempuan saat dia kecil, menjadi bahan bualan teman-temannya,
dan dia selalu dilecehkan sebagai lelaki yang lemah.
Perkembangan seksual pada manusia tidak akan terlepas dari tuntutan norma dan
nilai sosial. Perkembangan seksual dituntut secara sosial untuk berperan sesuai dengan
jenis kelaminnya, bila seseorang tidak bisa memerankan jenis kelamin dan seksual yang
ia miliki, maka dia akan mengalami diskriminasi terhadap peran seksual yang tidak sesuai
dengan jenis kelaminnya. Sikap diskriminatif ini lebih kuat di antara anak laki-laki
daripada anak perempuan. Salah satu cap atau label terburuk yang dapat dilekatkan
kepada anak laki-laki ialah julukan “kewanitaan”.
Seseorang yang mempunyai dorongan SSA atau lebih tertarik dengan sesama jenis
kelaminnya, maka secara sosial ia tidak bisa diterima. Hal ini membuat dia akan
mengalami konflik moral secara psikologis dengan dirinya dan norma yang ada dalam
masyarakat, maka dia dituntut harus menyesuaikan perilaku dengan konsep dan aturan-
aturan sosial di lingkungan. Seperti yang terjadi pada IN (21 tahun), dia seorang SSA
yang mempunyai ketertarikan ke sesama jenis (pria). Dia mengaku memiliki perasaan
cinta pada teman pria nya, namun harus menahan perasaannya tersebut karena dia tahu
hal itu merupakan perbuatan yang salah, dia cemas dengan masa depannya nanti terkait
pernikahannya, merasa bersalah pada diri dan orangtuanya, dan akhirnya dia menjadi
sosok yang penyendiri serta tidak ada keinginan untuk bergaul dengan siapa pun.
Konflik selanjutnya disebabkan oleh perasaan akan kekhawatiran gaya hidup yang
tidak sehat. Seperti yang telah diketahui dan telah menyebar di kalangan masyarakat,
bahwa gaya hidup homoseksual aktif menyebabkan infeksi HIV di kalangan laki-laki
serta mengakibatkan infeksi lain, seperti hepatitis B, Gonore, dan Sifilis. Kekhawatiran
tersebut mengakibatkan dorongan akan hasrat ditekan ke dalam dirinya dan muncul
perasaan tidak berdaya, tidak berharga, serta kehilangan kepercayaan diri yang cukup
signifikan. Ketika hasrat tersebut berhasil ditekan ke dalam dirinya, suatu saat dorongan
tersebut akan berontak dan ingin terpenuhi. Hal tersebut disebabkan letak hasrat sex
berada pada insting dasar kehidupan yaitu pada area biologis sejajar dengan keinginan
untuk makan dan minum. Di saat hal itu terjadi, individu dengan SSA akan mencari cara
untuk berusaha memenuhi kebutuhan tersebut.
Same-sex attraction (SSA) menjadi suatu perasaan berdosa bagi manusia terutama
pada penganut atau kepercayaan agama Kristen, Yahudi, Islam, dan Hindu (Benoit,
2005). Makna pendosa ini yang terus menerus menjadi suatu momok bagi kehidupannya.
Di sisi lain dia ingin memenuhi kebutuhan seksualnya namun di sisi lain juga keyakinan
akan dosa terus menghantui. Mayoritas keyakinan dalam beragama menyebut same-sex
attraction sebagai perbuatan asusila (Shauna K. Lauricella, Russell, & Eric, 2017). Oleh
karena itu, tidak mengherankan bahwa seseorang dengan SSA akan mengalami
kesulitan/konflik ketika harus dihadapkan dengan aturan agama, yang mana hal tersebut
membuat dirinya terlihat berada pada suatu keadaan yang tidak sehat secara mental.
Peran Pemerintah dalam Menanggapi LGBT
Pemerintah sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan dalam membentuk
kebijakan sangat berpengaruh terhadap perkembangan perilaku LGBT. Kebijakan
pemerintah yang dapat membantu penurunan tingkat LGBT digambarkan dalam bagan
berikut :

Masyarakat Umum
Kampanye Kesehatan Mental dan Kesejahteraan
Penjaringan Internet
keluarga

Siswa Sekolah
Bimbingan Konseling terkait pencarian jati diri
Pendidikan seks / agama
dan karakter

Individu SSA atau LGBT


Unit layanan konseling dan terapi bagi LGBT Unit peduli dinamisasi remaja

Gambar 2. Sasaran Program Pemerintah Tanggap LGBT

Dalam membuat kebijakan terkait tanggap LGBT. Pemerintah dapat membagi ke


dalam tiga sasaran, yaitu masyarakat umum, siswa sekolah, dan individu yang sudah
merasa sebagai SSA atau LGBT.
a. Masyarakat
1) Kampanye kesehatan mental dapat memberikan kesadaran kepada masyarakat
akan pentingnya memiliki mental yang sehat, serta mendorong individu yang
merasa butuh bantuan akan masalah psikologisnya untuk dapat bertindak. Selain
kampanye kesejahteraan keluarga dapat mendorong keluarga untuk memberikan
pengasuhan terbaik bagi anak-anaknya, dan mendorong masyarakat untuk dapat
memiliki keluarga yang bahagia (menyadarkan LGBT akan indahnya pernikahan
dan memiliki keturunan). Selainhjin itu, penting untuk memberikan kampanye
kepada seluruh masyarakat terkait stop perilaku bully, diskriminasi, dan
pentingnya perilaku peduli.
2) Penjaringan internet berfungsi sebagai pengendali akan rasa ingin tahu pada masa
milenial ini. Dengan menjaring lebih ketat konten-konten yang berbau LGBT
membuat individu SSA akan lebih banyak mendapatkan informasi positif.
b. Siswa Sekolah
Siswa sekolah sebagian besar berisi anak-anak dan remaja. Pada masa ini, anak-anak
rentan akan pergaulan tidak baik dan rasa ingin tahu yang tinggi terutama terkait seks.
Dengan adanya pendidikan seks yang tepat akan dapat memperkecil kemungkinan
anak untuk mencari informasi di luar sekolah. Selain itu pendidikan agama sangat
penting untuk membangun pondasi agama yang kuat untuk menjadi kontrol
perilakunya. Dan bimbingan konseling menjadi suatu program wajib untuk
membantu siswa menyelesaikan konflik atau pun masalahnya terkait apa yang terjadi
pada dirinya.
c. Individu SSA atau LGBT
1) Unit layanan konseling yang ramah bagi LGBT akan sangat membantu dalam
proses pemberian pemahaman akan perilakunya serta membantu pemberian
program terkait merubah perilaku tersebut. Karena sejatinya orang dengan SSA
ataupun LGBT ingin berperilaku sesuai dengan norma dan diterima oleh
masyarakat pada umumnya.
2) Unit peduli dinamiasi remaja penting karena seluruh karakter kehidupan
seseorang ditentukan saat pencarian jati diri pada masa remaja. Unit ini
diharapkan dapat memberikan suatu bantuan terkait bagaimana cara mencari jati
diri yang benar dan bagaimana cara menyelesaikan tugas perkembangan agar
terciptanya mental yang sehat.
Penutup
Same-sex attraction (SSA) merupakan kecenderungan atau sebatas ketertarikan
individu dalam hal hubungan cinta, menyukai, atau sejenisnya terhadap gender yang
sama. Sedangkan Lesbian atau Gay merupakan identitas gender yang diakui oleh orang
tersebut akibat dari hasil identifikasi perilakunya. SSA menjadi penting untuk
diperhatikan karena mayoritas LGBT berawal dari SSA, dan pada masa SSA ini konflik
individu sangat besar dan rentan untuk memiliki perilaku “berbeda”. Pembentukan
perilaku LGBT melalui suatu proses psikologis yang sulit (konflik) baik itu dengan diri,
norma, maupun spiritual. Pemahaman masyarakat dan pemerintah dalam memahami
keadaan psikologis LGBT menjadi penting untuk menentukan suatu kebijakan dan
menghindari suatu pelecehan serta diskriminasi. Peran Pemerintah terkait pemangku
kebijakan sangat berpengaruh dalam menanggapi secara tepat kasus LGBT. Program
tersebut dimulai dari cakupan masyarakat luas, siswa sekolah, dan individu terkait LGBT.
Saran untuk Pemerintah dan masyarakat umum untuk dapat menghargai dan sama-
sama peduli terkait orang dengan LGBT. Legalisasi bukan solusi terbaik, karena jika
legalisasi LGBT dilaksanakan, para SSA akan memandang suatu LGBT menjadi suatu
perbuatan yang sehat secara mental. Dan untuk orang dengan SSA atau LGBT dimohon
untuk dapat berkonsultasi dengan orang yang tepat, menumbuhkan karakter positif yang
kuat, dan yakinlah manusia pada dasarnya memiliki suatu sifat yang baik, dan LGBT
bukanlah suatu hal yang alamiah.

Daftar Pustaka
Benoit, M. (2005). Conflict Between Religious. ETHICS & BEHAVIOR, 309-325.
Hamdi, I. (2017, Februari 17). Hasil Survei, Orang Indonesia Paling Intoleran dengan
LGBT. Retrieved from Tempo.co: https://nasional.tempo.co/read/847431/hasil-
survei-orang-indonesia-paling-intoleran-dengan-lgbt
Mctavish, J. (2015). Spiritual accompaniment for persons with same sex attraction. The
Linacre Quarterly, 323-331.
Papilaya, J. O. (2016). Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender. Jurnal Humaniora
Yayasan Bina Dharma, 25-34.
Shauna K. Lauricella, Russell, E. P., & Eric, F. D. (2017). Religious Coping with
Sexual Stigma in Young Adults. J Relig Health.

Anda mungkin juga menyukai