Disusun Oleh:
Skenario Kasus
Laki-laki usia 41 tahun dibawa ke IGD setelah jatuh mengendarai sepeda. Pasien
mengatakan tidak mampu berkemih. Hasil pengkajian didapatkan darah pada meatus
uretra, pembengkakan pada skrotum dan ada ekimosis pada area skrotum dextra. Hasil
pemeriksaan laboratorium, Hb 10,1 gr/dL, Leukosit 16.000 sel/mm3, TD 100/70
mmHg, Nadi 84x/menit, RR 26 x/menit, Suhu 37,4 oC. Tindakan pemasangan DC
tidak dilakukan karena selang DC tidak bisa masuk.
D. STEP IV (Skema)
TRAUMA
Penunjang Komplikasi
BLEDDER
Darah Urinalisis USG Syok Sepsis
rutin
Pembedahan
Trauma Bledder
b. Anti spasmodik
a. Uroflowmetri
Uroflowmetri adalah alat untuk mengetahui pancaran urin secara obyektif.
Derasnya pancaran diukur dengan membagi volume urin saat berkemih,
dibagi dengan lama proses berkemih. Kecepatan pancaran normal adalah
20 ml/detik. Jika kecepatan pancaran <10 ml/detik menandakan adanya
obstruksi.
b. Uretrigram Retrograde
Dilakukan uretrigram retrograde untuk mengevaluasi cedera uretral. Klien
dilakukan kateterisasi setelah uretrogram untuk meminimalkan risiko
gangguan uretral dan komplikasi jangka panjang yang luas, seperti
striktur, inkontinensia (tidak dapat menahan berkemih) dan impoten.
c. USG (Ultrasonografi)
USG cukup berguna dalam mengevaluasi striktur pada pars bulbosa.
Dengan alat ini kita juga bisa mengevaluasi panjang striktur dan derajat
luas jaringan parut, contohnya spongiofibrosis. Ini membantu kita memilih
jenis tindakan operasi yang akan dilakukan kepada pasien. Kita dapat
mengetahui jumlah residual urin dan panjang striktur secara nyata,
sehingga meningkatkan keakuratan saat operasi.
d. MRI (Magneting Resonance Imaging)
MRI sebaiknya dilakukan sebelum operasi karena dapat mengukur secara
pasti panjang striktur, derajat fibrosis, dan pembesaran prostat. Namun,
alat ini belum tersedia secara luas dan biayanya sangat mahal sehingga
jarang digunakan (Suharyanto, 2009).
a. Syok
b. Sepsis
Respon imunologi pada trauma berat dimulai saat awal kejadian dengan
dimulai aktifitas monosit. Aktifitas ini menyebabkan peningkatan sintesa
dan pelepasan mediatormediator inflamasi baik itu yang bersifat pro
inflamasi maupun anti inflamasi. Kelebihan respon pada trauma
menginduksi SIRS dan MOF yang terjadi 30% pada semua trauma berat
(Suharyanto, 2009).
a. Ruptur intraperitoneal
Peritoneum pariental, simfisis, promantorium, cedera dinding perut yang
mengakibatkan rupture intraperitoneal kandung kemih yang penuh, tidak
terdapat perdarahan retroperitoneal kandung kemih yang penuh, tidak
terdapat perdarahan retroperitoneal kecuali bila disebabkan patah tulang
pinggul.
b. Ruptur retroperitoneal
Peritoneum parietal, simfisis, promantorium, cedera panggul yang
menyebabkan patah tulang sehingga terjadi rupture buli-buli retro atau
intraperitoneal. Darah dan urin dijaringan lunak diluar rongga perut, perut
terbebas darah dan urin (Sjamsuhidayat, 1998).