Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN SEVEN JUMP TRAUMA BLADDER

Keperawatan Gawat Darurat II

Disusun Oleh:

1. Siti Muslikhah (A11601372)


2. Siti Nurjannah (A11601373)
3. Suryani (A11601376)
4. Syaifa Alhaq (A11601379)
5. Syamsul Bahri (A11601380)
6. Tuhfah Faridatunnisa (A11601386)
7. Uswatun Khasanah (A11601390)
8. Yetty Bayuana (A11601397)
9. Yunita Ekawati (A11601399)
10. Zulfa Nurganda Sari (A11601404)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH GOMBONG


2018
Modul 3

Skenario Kasus

Laki-laki usia 41 tahun dibawa ke IGD setelah jatuh mengendarai sepeda. Pasien
mengatakan tidak mampu berkemih. Hasil pengkajian didapatkan darah pada meatus
uretra, pembengkakan pada skrotum dan ada ekimosis pada area skrotum dextra. Hasil
pemeriksaan laboratorium, Hb 10,1 gr/dL, Leukosit 16.000 sel/mm3, TD 100/70
mmHg, Nadi 84x/menit, RR 26 x/menit, Suhu 37,4 oC. Tindakan pemasangan DC
tidak dilakukan karena selang DC tidak bisa masuk.

Tahapan Seven Jumps:

A. STEP I (Klasifikasi Kata-kata Sulit)

1. Meatus uretra : Saluran keluarnya urin


2. Ekimosis : Memar/ lebam

B. STEP II (Menentukan Masalah)


1. Mengapa pasien tidak mampu berkemih?
2. Apa yang menyebabkan tidak dipasang DC?
3. Apa yang mrnyebabkan terdapat darah pada meatus uretra?
4. Apa yang menyebabkan scortum membengkak?
5. apa yang menyebabkan RR meningkat?
6. Apa yang menyebbakan leukosit meningkat?
7. Tindakan apa yang dilakukan pada pasien tersebut?
8. Apa DX Keperawatan yang muncul pada kasus?
9. Apa Dx Medis yang muncul pada kasus?
10. Apa saja Terapi Farmakologi?
11. Apa saja Terapi non farmakolgi?
12. Apakah perlu dilakukan tindakan pembedahan ?
13. Apa Px penunjang pada kasus tersebut?
14. Komplikasi apa yang dapat terjadi pada kasus tersebut?
15. Apa patofisiologi pada kasus tersebut?
16. Apa klasifikasi pada kasus tersebut?

C. STEP III (Brainstorm)

1. Karena terjadi trauma pada saluran kemih


2. Karena adanya pembengkakan pada scrotum sehingga mendesak meatus uretra
3. Karena adanya trauma benturan sehingga terjadi kerusaka pada scrotum dextra
4. Karena adanya trauma sehingga menyebabkan luka
5. Karena adanya perdarahan sehingga suplai darah pasien berkurang yang
menyebabkan suplai O2 menurun sehingga pasien mengalami hipoksia
6. Adanya proses infeksi yang menyebabkan inflamasi
7. Dilakukan pemasangan:
a. Foley kateter
b. Kateter supraphubic
c. Terapi konservatif
d. Tindakan pembedahan
8. a. Ketidakefektifan Pola Nafas
b. Nyeri
c. Gangguan Eliminasi
d. Inkontensia Urin
e. Intoleransi Aktifitas
f. Perdarahan
9. Trauma Bladder
10. Diberi obat analgesic dan antibiotik
11. Dilakukan:
a. Distraksi relaksasi
b. Posisikan semi flower
c. Terapi nafas dalam
12. Perlu, dilakukan pembedahan jika terjadi robekan pada uretra yaitu
pembedahan untuk dilakukan hecting pada bagian yang robek
13. a. Dilakukan Lab darah rutin
b. Monitoring Urinalisis
c. USG Abdomen
d. Rontgen Pelvis
14. a. Syok
b. Sebsis
c. SIRS (Sistemic Infamantory Respon Syindrom)
15. Cedera kandung kemih sehingga menyebabkan kontusio, hal tersebut
menimbulkan manifestasi klinis hematuria, nyeri.
16. Klasifikasi dibagi menjadi 3:
a. Intraperitoneal ruptur
b. Ekstaperitonial ruptur

D. STEP IV (Skema)

TRAUMA
Penunjang Komplikasi
BLEDDER
Darah Urinalisis USG Syok Sepsis

rutin

Darah Pada Meatus Uretra Pembengkakan Scrotum Contusia

HB Turun Ekimosis di Penyempitan Nyeri Hematuria

O2 turun scrotum dextra saluran uretra Farma- non farm-

Hambatan eliminasi urin kologi kologi

Dispnea Penurunan Foley Cateter Suprapubis Analgesik Antibiotik

fungsi otak Cateter

Ketidakefektifan Resiko Syok Klasifikasi

Pola Nafas Intraperitonial ruptur Ekstraperitonial ruptur

Pembedahan

Hecting pada yang robek

E. STEP V (Tujuan Belajar)

1. Untuk mengetahui mengapa pasien tidak mampu berkemih


2. Untuk mengetahui mengapa pasien tidak dipasang DC
3. Untuk mengetahui mengapa pasien terdapat darah pada meatus uretra
4. Untuk mengetahui penyebab scortum membengkak
5. Untuk mengetahui penyebab RR meningkat
6. Untuk mengetahui penyebab leukosit meningkat
7. Untuk mengetahui tindakan dilakukan pada pasien tersebut
8. Untuk mengetahui Dx Keperawatan yang muncul pada kasus tersebut
9. Untuk mengetahui Dx Medis yang muncul pada kasus tersebut
10. Untuk mengetahui Terapi Farmakologi pada pasien tersebut
11. Untuk mengetahui Terapi non farmakologi pada pasien tersebut
12. Untuk mengetahui perlukah dilakukan tindakan pembedahan pada pasien
tersebut
13. Untuk mengetahui Px penunjang pada kasus tersebut
14. Untuk mengetahui komplikasi apa yang dapat terjadi pada kasus tersebut
15. Untuk mengetahui patofisiologi pada kasus tersebut.
16. Untuk mengetahui klasifikasi pada kasus tersebut.

F. STEP VI (Diskusi Mandiri)

G. STEP VII (Hasil Diskusi)

1. Menurut Rodriguez (2018) pasien yang mengalami bladder trauma mengalami


kesulitan dalam berkemih karena saluran kemih (uretra) mengalami kerusakan.
Kerusakan tersebut diakibatkan oleh adanya cedera yang berasal dari luar yang
cukup keras yang mengakibatkan perlukaan pada area bladder. Sedangkan
diketahui bladder sendiri terhubung dengan uretra, maka ketika bladder
mengalami trauma kemungkinan uretra juga akan mengalami kerusakan baik
berupa robekan maupun perdarahan yang mengakibatkan kesulitan berkemih.
2. Selang DC tidak dapat dipasang untuk pasien bladder trauma diakibatkan
karena kondisi saluran kemih (uretra) mngalami kerusakan (robek) sehingga
ketika selang DC dipaksa untuk dimasukkan ke saluran kemih maka akan
mengakibatkan kerusakan yang lebih parah pada area tersebut. (Eliastam,
2000)
3. Terdapatnya darah pada meatus pasien dengan bladder trauma disebabkan
oleh karena benturan yang keras yang mengenai sekitar uretra menyebabkan
meatus uretra terluka. (Rodriguez, 2018)
4. Penyebab pembengkakan pada scrotum (Rahmah, 2008) :
a. Cedera
b. Penyakit jantung bawaan
c. Kanker testis
d. Testis terpuntir
e. Epididymitis
f. Orchitis
g. Varicocele
5. RR meningkat karena adanya gangguan kecemasan (anxiety disorder),
perasaan itu muncul saat seseorang mengalami ancaman, bahaya atau secara
alami sebagai reaksi tubuh terhadap stress. Kondisi ini bisa menyebabkan
pasien mengalami sesak napas dan palpasi jantung atau sensasi yang dirasakan
saat jantung berdebar sangat kuat atau tidak beraturan.
(https://hellosehat.com/hidup-sehat/fakta-unik/penyebab-sesak-napas-jantung-
bedebar/amp/)
6. Kadar leukosit (sel darah putih) yang tinggi paling sering disebabkan oleh
infeksi yang tejadi di tubuh. Selain infeksi, tingginya kadar leukosit juga terjadi
karena beberapa sebab lain seperti peradangan atau keganasan darah seperti
leukimia alias kanker darah.Kadar leukosit tinggi banyak ditemukan pada
pasien yang mengalami infeksi sistem urine, terutama pada infeksi saluran
kemih, infeksi kandung kemih, infeksi ginjal, atau bahkan tumor. Leukosit yang
tinggi dalam urine menjadi indikasi adanya infeksi mikroorganisme dalam
tubuh. (Muttaqin, 2008).

7. Tindakan yang dilakukan pada Trauma Bledder:


Sistografi yaitu dengan memasukkan kontras ke dalam buli-buli
sebanyak 300-400 ml secara gravitasi (tanpa tekanan) melalui kateter per-
uretram. Kemudian dibuat beberapa foto, yaitu foto pada saat buli-buli terisi
kontras dalam posisi anterior-posterior (AP), Pada posisi oblik, dan wash out
film yaitu foto setelah kontras dikeluarkan dari buli-buli. Jika didapatkan
robekan pada buli-buli, terlihat ekstravasasi kontras di dalam rongga
perivesikal yang merupakan tanda adanya robekan ekstraperitoneal. Jika
terdapat kontras yang berada di sela-sela usus berarti ada robekan buli-buli
intraperitoneal. Pada perforasi yang kecil seringkali tidak tampak adanya
ekstravasasi (negatif palsu) terutama jika kontras yang dimasukkan kurang
dari 250 ml (Purnomo, 2007).

Penanganan ruptur traumatik kandung kemih meliputi:

a. Bedah eksplorasi dan perbaikan laserasi


b. Drainase suprapublik dari kandung kemih
c. Memasang kateter urin
d. Perawatan umum pasca bedah dipantau dengan ketat untuk menjamin
drainase yang adekuat sampai terjadi penyembuhan. Pasien ruptur
kandung kemih mungkin mengalami perdarahan hebat untuk beberapa
hari setelah perbaikan (Suharyanto, 2009).

8. Dx. Keperawatan pada Trauma Bledder (Nanda, 2015-2017) :

a. Resiko Syok b.d Faktor Resiko Sepsis


b. Hambatan Eliminasi Urin b.d Penyebab Multiple (Trauma bladder)

9. Dx. Medis pada kasus tersebut (Nanda, 2015-2017) :

Trauma Bledder

10. Terapi Farmakologi pada Trauma Bledder:


a. Anti kolinergik
Anti kolinergik efektif dalam mengobatiinkontinensiakarena
merekamenghambatkontraksikandung kemihinvolunterdan memperbaiki
fungsi penampungan air kemih oleh kandung kemih. Misalnya, Hiosiamin
(Levbid) 0.125 mg,Dicyclomine hydrochloride (Bentyl) 10-20 mg.

b. Anti spasmodik

Anti spasmodik melepaskan otot polos kandung kemih. Obat anti


spasmodic telah dilaporkan untuk meningkatkan kapasitas kandung kemih
dan efektif mengurangi atau menghilangkan inkontinensia. Misalnya
Oksibutinin (Ditropan XL) 5-15 mg, Tolterodin (detrol) 2 mg.
c. Obat Betanekol klorida (urecholine)
Suatu obat kolinergik yang bekerja langsung, bekerja pada reseptor
muskarinik (kolonergik) dan terutama di pakai untuk meningkatkan
berkemih. dan mengobat retensi urin. Merupakan agonis kolinergik yang
digunakan untuk meningkatkan kontraksi detrusorObat ini membantu
menstimulasi kontraksi bladder pada pasien yang menyimpan urin.
Betanekol klorida 10-50 mg 3-4 kali dalam sehari. (Dr. Jumraini Tamasse,
Sp.S, 2016)

11. Terapi non Farmakologi pada Trauma Bledder:

Salah satu terapi non farmakologi yang efektif adalah bledder


training. Bledder trining adalah latihan yang dilakukan untuk
mengembalikan tonus otot kandung kemih agar fungsinya kembali
normal.Bladder training adalah salah satu upaya untuk mengembalikan
fungsi kandung kemih yang mengalami gangguan ke keadaan normal atau ke
fungsi optimal neurogenik. Tujuan dari bladder training adalah untuk melatih
kandung kemih dan mengembalikan pola normal perkemihan dengan
menghambat atau menstimulasi pengeluaran air kemih.
Terdapat tiga macam metode bladder training, yaitu kegel exercises
(latihan pengencangan atau penguatan otot-otot dasar panggul), Delay
urination (menunda berkemih), dan scheduled bathroom trips (jadwal
berkemih). Latihan kegel (kegel execises) merupakan aktifitas fisik yang
tersusun dalam suatu program yang dilakukan secara berulang-ulang guna
meningkatkan kebugaran tubuh. Latihan kegel dapat meningkatkan mobilitas
kandung kemih dan bermanfaat dalam menurunkan gangguan pemenuhan
kebutuhan eliminasi urin. Latihan otot dasar panggul dapat membantu
memperkuat otot dasar panggul untuk memperkuat penutupan uretra dan
secara refleks menghambat kontraksi kandung kemih.

Bladder training dapat dilakukan dengan latihan menahan kencing


(menunda untuk berkemih). Pada pasien yang terpasang kateter, Bladder
training dapat dilakukan dengan mengklem aliran urin ke urin bag. Bladder
training dilakukan sebelum kateterisasi diberhentikan. Tindakan ini dapat
dilakukan dengan menjepit kateter urin dengan klem kemudian jepitannya
dilepas setiap beberapa jam sekali. Kateter di klem selama 20 menit dan
kemudian dilepas. Tindakan menjepit kateter ini memungkinkan kandung
kemih. Terapi ini bertujuan memperpanjang interval berkemih yang normal
dengan berbagai teknik distraksi atau teknik relaksasi sehingga frekuensi
berkemih dapat berkurang, hanya 6-7 kali per hari atau 3-4 jam sekali.10
Langkah-langkah bladder training:

a. Klem selang kateter sesuai dengan program selama 1 jam yang


memungkinkan kandung kemih terisi urin dan otot destrusor berkontraksi,
supaya meningkatkan volume urin residual.

b. Anjurkan klien minum (200-250 cc).

c. Tanyakan pada klien apakah terasa ingin berkemih setelah 1 jam.

d. Buka klem dan biarkan urin mengalir keluar.


e. Lihat kemampuan berkemih klien. (Dr. Jumraini Tamasse, Sp.S, 2016)

12. Perlu dilakukan penanganan ruptur traumatik kandung kemih meliputi:

a. Bedah eksplorasi dan perbaikan laserasi

b. Drainase suprapublik dan kandung kemih

c. Memasang kateter urin

d. Perawatan umum pasca bedah dipantau dengan ketat untuk menjamin


drainase yang adekuat sampai terjadi penyembuhan. Pasien ruptur
kandung kemih mungkin mengalami perdarahan hebat untuk beberapa
hari setelah perbaikan (Suharyanto, 2009)

13. Pemeriksaan Penunjang Pada Trauma Bledder:

Pemeriksaan penunjang berguna untuk konfirmasi diagnosis dan


menyingkirkan diagnosis banding. Berikut adalah pemeriksaan penunjang
yang dapat dilakukan pada trauma kandung kemih :

a. Uroflowmetri
Uroflowmetri adalah alat untuk mengetahui pancaran urin secara obyektif.
Derasnya pancaran diukur dengan membagi volume urin saat berkemih,
dibagi dengan lama proses berkemih. Kecepatan pancaran normal adalah
20 ml/detik. Jika kecepatan pancaran <10 ml/detik menandakan adanya
obstruksi.
b. Uretrigram Retrograde
Dilakukan uretrigram retrograde untuk mengevaluasi cedera uretral. Klien
dilakukan kateterisasi setelah uretrogram untuk meminimalkan risiko
gangguan uretral dan komplikasi jangka panjang yang luas, seperti
striktur, inkontinensia (tidak dapat menahan berkemih) dan impoten.

c. USG (Ultrasonografi)
USG cukup berguna dalam mengevaluasi striktur pada pars bulbosa.
Dengan alat ini kita juga bisa mengevaluasi panjang striktur dan derajat
luas jaringan parut, contohnya spongiofibrosis. Ini membantu kita memilih
jenis tindakan operasi yang akan dilakukan kepada pasien. Kita dapat
mengetahui jumlah residual urin dan panjang striktur secara nyata,
sehingga meningkatkan keakuratan saat operasi.
d. MRI (Magneting Resonance Imaging)
MRI sebaiknya dilakukan sebelum operasi karena dapat mengukur secara
pasti panjang striktur, derajat fibrosis, dan pembesaran prostat. Namun,
alat ini belum tersedia secara luas dan biayanya sangat mahal sehingga
jarang digunakan (Suharyanto, 2009).

14. Komplikasi Pada Trauma Bledder:

a. Syok

Terjadi karena penurunan tekanan darah dan terjadinya perdarahan. Pada


penderita syok sepsis 40-60% terdapat bakteremia. Hubungan antara
bakteremia dan sepsis dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain
imunitas dan kondisi penyakit. Secara umum bakteri aerobik gram negatif
sering dihubungkan dengan keadaan sepsis. Akhir-akhir ini bakteri gram
positif juga banyak ditemukan sebagai pemicu sepsis. Perjalanan sepsis
akibat bakteri diawali oleh proses infeksi yang ditandai dengan bakteremia
selanjutnya berkembang menjadi SIRS (Systemic Inflamatory Respon
Syndrome) dilanjutkan sepsis, sepsis berat, syok sepsis dan berakhir
MODS. Syok terjadi pada 40% pasien sepsis ( Prayogo, 2011).

b. Sepsis

Komplikasi pada luka traumatik biasanya disebabkan oleh oranisme aerob


endogen, terutama P. Aeruginosa, S. Aureus, E.coli, Proteus spp, acino
bacter dan lain – lain (Putranto, 2014). Ketika luka akibat trrauma tidak
dirawat dengan baik maka bakteri masuk kedalam saluran kemih maka
terjadilah infeksi saluran kemih.

Respon imunologi pada trauma berat dimulai saat awal kejadian dengan
dimulai aktifitas monosit. Aktifitas ini menyebabkan peningkatan sintesa
dan pelepasan mediatormediator inflamasi baik itu yang bersifat pro
inflamasi maupun anti inflamasi. Kelebihan respon pada trauma
menginduksi SIRS dan MOF yang terjadi 30% pada semua trauma berat
(Suharyanto, 2009).

Hubungan antara bakteremia dan sepsis dipengaruhi oleh beberapa faktor


antara lain imunitas dan kondisi penyakit. Secara umum bakteri aerobik
gram negatif sering dihubungkan dengan keadaan sepsis. Akhir-akhir ini
bakteri gram positif juga banyak ditemukan sebagai pemicu sepsis. Ledger
dkk melaporkan mikroorganisme yang sering ditemukan antara lain
Eschericia coli,Enterococci, dan beta hemolytic streptococci (Suharyanto,
2009).

15. Patofisiologi Trauma Bledder:

Cedera kandung kemih tidak lengkap atau sebagian akan


menyebabkan robekan mukosa kandung kemih. Segmen dari dinding
kandung kemih jernih mengalami memar, mengakibatkan cedera lokal dan
hematoma. Memas atau kontusio memberikan manifestasi klinik hematuria
setelah trauma tumpul atau setelah melakukan aktivitas fisik yang ekstrem
contohnya lari jarak jauh).

Ruptur ekstraperitoneal kandung kemih. Tuptue ekstraperitonel


biasanya berhubungan dengan faktor panggul (89%-100%). Sebelumnya,
mekanisme cedera diyakini dari perforasi langsung oleh fragmen tulang
panggul. Tingkat cedera kandung kemih secara langsung berkaitan dengan
tingkat keparahan fraktur.
Beberapa kasus mungkin dengan mekanisme yang mirip dengan
pecahnya kandung kemih intraperitoneal, yang merupakan kombinasi dari
trauma dan overdistention kandung kemih. Temuan cystographic klasik
adalah ekstravasasi kontrol sekitar kandung kemih.dengan cedera yang lebih
kompleks, bahan kontras melaluas ke paha, penis, perineum, atau kedalam
dinding anterior abdomen. Ekstravasasi akan mencapai skrotum ketika fasia
superior diagfragma urogenital sendiri menjadi terganggu.

Kombinasi ruptur intraperitoneal dan ekstraperitoneal. Mekanisme


cedera penerasi memungkinkan cedera menembus kandung kemih seperti
peluru kecepatan tinggi melintasi kandung kemih atau luka tusuk abdominal
bawah. Hal tersebut akan menyebabkan intraperitoneal, ekstraperitoneal,
cedera, atau gabungan kandung kemih (Muttaqin & Sari, 2011).

16. Klasifikasi Pada Trauma Bledder:

Menurut Purnomo, 2007 Secara klinis cedera buli-buli dibedakan


menjadi kontusio buli-buli, cedera buli-buli ekstra peritoneal, dan cedera
intra peritoneal. Pada kontusio buli-buli hanya terdapat memar pada
dindingnya, mungkin didapatkan hematoma perivesikal, tetapi tidak
didapatkan ekstravasasi urine ke luar buli-buli.

Cedera intraperitoneal merupakan 25-45% dari seluruh trauma buli-


buli, sedangkan kejadian cedera buli-buli ekstraperitoneal kurang lebih 45-
60% dari seluruh trauma buli-buli. Kadang-kadang cedera buli-buli
intraperitoneal bersama cedera ekstraperitoneal (2-12%). Jika tidak
mendapatkan perawatan dengan segera 10-20% cedera buli-buli akan
berakibat kematian karena peritonitis atau sepsis.

a. Ruptur intraperitoneal
Peritoneum pariental, simfisis, promantorium, cedera dinding perut yang
mengakibatkan rupture intraperitoneal kandung kemih yang penuh, tidak
terdapat perdarahan retroperitoneal kandung kemih yang penuh, tidak
terdapat perdarahan retroperitoneal kecuali bila disebabkan patah tulang
pinggul.
b. Ruptur retroperitoneal
Peritoneum parietal, simfisis, promantorium, cedera panggul yang
menyebabkan patah tulang sehingga terjadi rupture buli-buli retro atau
intraperitoneal. Darah dan urin dijaringan lunak diluar rongga perut, perut
terbebas darah dan urin (Sjamsuhidayat, 1998).

Anda mungkin juga menyukai