Anda di halaman 1dari 53

TUGAS

KEPERAWATAN JIWA I

Disusun Oleh :

Kelompok IV

1. RAHMADINI NIM.1502186
2. ARI PUTRA PRATAMA NIM.1502169
3. DONA DELVINA NIM.1502172
4. INDRI SAPUTRI NIM.1502179
5. SUCY APRIFA ZEN NIM.1502189
6. WILDA WANTI NIM.1502192

Dosen Pembimbing : Ns. Monalia Arisandi, S.Kep.

STIKes SYEDZA SAINTIKA PADANG

PRODI S1 ILMU KEPERAWATAN

2017
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada ALLAH SWT, karena atas

berkat dan limpahan rahmatnya maka kami telah menyelesaikan sebuah karya

tulis dengan tepat waktu.

Berikut ini penulis mempersembahkan sebuah makalah dengan judul

“Rentang Asuhan Keperawatan Jiwa” yang menurut kami dapat memberikan

manfaat yang besar bagi kita untuk mempelajari Ilmu Keperawatan Jiwa I.

Melalui kata pengantar ini penulis lebih dahulu meminta maaf dan

memohon permakluman bila mana isi makalah ini ada keterangan dan ada tulisan

kami buat kurang tepat atau menyinggung perasaan pembaca.

Dengan ini kami mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa

terima kasih dan semoga ALLAH SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat

memberikan manfaat.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Padang, 20 Oktober 2017

“Penulis”

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................... i

DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 1

A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 1

C. Tujuan Penulisan ..................................................................................................... 2

D. Manfaat Penulisan ................................................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 3

I. Prevensi dan Promosi Kesehatan Jiwa .................................................................... 3

II. Intervensi Krisis dan Bencana............................................................................... 16

III. Dukungan Pemulihan dan Rehabilitasi Lingkup Keperawatan Jiwa .................... 37

IV. Role Play Intervensi Bencana ............................................................................... 40

BAB III PENUTUP .......................................................................................................... 48

A. Kesimpulan ........................................................................................................... 48

B. Saran ..................................................................................................................... 49

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 50

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Prevensi secara etimologi berasal dari bahasa latin praevenire, yang


artinya “datang sebelum” atau “ antisipasi “mempersiapkan diri sebelum
terjadi sesuatu” atau “mencegah untuk tidak terjadi sesuatu”.

Dalam pengertian yang sangat luas, prevensi dimaknakan sebagai


upaya yang secara sengaja dilakukan untuk mencegah terjadinya
gangguan, kerusakan, atau kerugian bagi seseorang atau masyarakat.

Tujuan Promosi Kesehatan Jiwa :

1. Mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan jiwa


masyarakat secara optimal menghilangkan stigma, diskriminasi,
pelanggaran hak asasi orang dengan gangguan jiwa sebagai bagian
dari masyarakat

2. Meningkatkan pemahaman dan peran serta masyarakat terhadap


Kesehatan Jiwa.

3. Meningkatkan penerimaan dan peran serta masyarakat terhadap


Kesehatan Jiwa.

B. Rumusan Masalah

1. Tinjauan Pustaka Tentang Rentang Asuhan Keperawatan Jiwa.

2. Role Play Intervensi Bencana Keperawatan Jiwa.

1
2

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk Mengetahui Tinjauan Pustaka Renyang Asuhan

Keperawatan Jiwa.

2. Untuk Mengetahui Role Play Intervensi Bencana dalam

Keperawatan Jiwa

D. Manfaat Penulisan

Menambah Wawasan bagi Mahasiswa tentang Tinjauan Pustaka

Rentang Asuhan Keperawatan Jiwa dan Contoh Role Play Intervensi

Bencana.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. Prevensi dan Promosi Kesehatan Jiwa

A. Defenisi Prevensi

Prevensi secara etimologi berasal dari bahasa latin praevenire,


yang artinya “datang sebelum” atau “ antisipasi “mempersiapkan diri
sebelum terjadi sesuatu” atau “mencegah untuk tidak terjadi sesuatu”.

Dalam pengertian yang sangat luas, prevensi dimaknakan sebagai


upaya yang secara sengaja dilakukan untuk mencegah terjadinya
gangguan, kerusakan, atau kerugian bagi seseorang atau masyarakat.

B. Prinsip Prevensi

1. Menekankan pada praktik di masyarakat dibandingkan dengan


lembaga khusus seperti rumah sakit jiwa.
2. Berusaha untuk meningkatkan pelayanan dan program yang
diarahkan kepada masyarakat secara keseluruhan
dibandingkan terhadap pasien individual.
3. Pelayanan pencegahan diberikan sebagai prioritas tertinggi
dibandingkan dengan usaha terapi.
4. Petugas memberikan pelayanan tidak langsung seperti
konsultasi, pendidikan mental, pelatihan padapembina
masyarakat (guru, perawat kesehatan masyarakat, dll)
dibandingkan dengan bekerja secara langsung dengan pasien,
sekaligus mencakup jumlah populasi yang lebih besar.
5. Strategi klinis yang inovatif yang dikembangkan agar dapat
lebih cepat menemukan kebutuhan kesehatan mental untuk

3
4

anggota masyarakat yang lebih besar cakupannya dari pada


sebelumnya. Misalnya intervensi krisis.
6. Lebih menggunakan dasar-dasar rasional untuk
mengembangkan program spesifik, didasarkan atas analisis
demografik masyarakat yang dilayani, menemukan kebutuhan
kesehatan mental, identifikasi orang-orang yang berada pada
resiko tinggi bagi munculnya gangguan tingkah laku.
7. Menggunakan tenaga-tenaga baru semi professional untuk
melengkapi pelayanan yang diberikan oleh psikiater, psikolog
klinis, dan perawat psikiatris.
8. Ada ketertarikan untuk “mengendalikan masyarakat”, dengan
membangun masyarakat melalui program-programnya.
9. Mengidentifikasi sumber-sumber stress dalam masyarakat dan
tidak meremehkan terjadinya gangguan yang bersifat
individual.
10. Jika karakteristik gerakan kesehatan mental itu dijadikan
acuan untuk membandingkan antara pendekatan prevensi
dengan pendekatan prevensi terap konvensional.

C. Tiga Macam Prevensi

1. Prevensi Primer

Usaha yang lebih progresif lagi dalam usaha pencegahan kesehatan


mental adalah dengan mencegah terjadinya suatu gangguan dalam masyarakat.
Jadi kesehatan mental masyarakat diproteksi sehingga tidak terjadi suatu
gangguan. Hal demikian ini akan lebih baik jika dibandingkan dengan
melakukan penanganan setelah terjadi. Prevensi jenis ini desebut sebagai
prevensi primer.

Prevensi primer merupakan aktivitas yang didesain untuk mengurangi


insidensi gangguan atau kemugkinan terjadi insiden dalam resiko. Tujuan
5

prevennsi primer ada dua macam: (1) mengurangi resiko terjadinya gangguan
mental dan (2) menunda atau mneghindari munculnya gangguan mental.

Menurut cowen (shaw,1984) secara prinsipil prevensi primer dibatasi


sebagai berikut:

a) Prevensi harus lebih berorientasi pada kelompok masyarakat


daripada secara individual, meskipun untuk beberapa aktivitas
dapat merupakan kontak individual
b) Prevensi harus suatu kualitas dari fakta-fakta sebelumnya, yaitu
ditargetkan pada kelompok yang belum mengalami gangguan.
c) Prevensi primer harus disengaja, yang bersandar pada dasar-dasar
pengetahuan yyang mendalam yang termanifestasi ke dalam
program-program yang ditentukan untuk meningkatkan kesehatan
psikologisnya atau mencegah perilaku maladaptive.

Terdapat dua cara yang digunakan untuk melakukan program prevensi


ini, yaitu memodifikasi lingkungan dan memperkuat kapasitas individu atau
masyarakat dalam menangani situasi.

2. Prevensi Sekunder

Gangguan mental yang dialami masyarakat sedapat mungkin secepatnya


dicegah, dengan jalan mengurangi durasi suatu gangguan. Jika suatu gangguan
misalnya berlangsung dalam durasi satu bulan, maka sebaliknya dicegah dan
diupayakan diperpendek durasi gangguan itu. Pencegahan ini disebut dengan
prevensi sekunder.

Prevensi sekunder berarti upaya pencegahan yang dilakukan untuk


mengurangi durasi kasus gangguan mental. Gangguan mental yang di alami ini
baik karena kegagalan dalam usaha pencegahan primer maupun tanpa adanya
usaha pencegahan primer sebelumnya. Sesuai dengan sekunder ini, maka saran
pokoknya adalah penduduk atau sekelompok populasi yang sudah menderita
suatu gangguan mental.
6

Dengan memperpendek durasi suatu gangguan mental yan ada di


masyarakat, maka dapat membantu mengurangi angka prevalensi gangguan
mental dimasyarakat.

Menurut caplan (1963, 1967), terdapat dua kegiatan utama prevensi


sekunder, yaitu diagnosis awal dan penanganan secepatnya dan seefektif
mungkin.

a) Diagnosis awal

Diagnosis awal maksudnya pemeriksaan yang dilakukan terhadap


penderita gangguan mental, untuk diketahui factor-faktor penyebabnya, dan
kemugkinan cara penanganannya. Diagnosis ini dapat dilakukan dengan
skrining (pemeriksaan dengan alat-alat tersedia) sebagai bentuk seleksi awal
terhadap masyarakat yang diduga mengalami suatu gangguan. Berdasarkan
pemeriksaan awal ini, selanjutnya masyarakat yang mengalami gangguan
mental dapat direferal kepada pihak-pihak yang kompeten untuk memperoleh
penanganan.

b) Penanganan secepatnya

Penanganan secepatnya dan secara efektif dilakukan oleh pihak yang


dipandang mampu menanganinya. Namun demikian, prevensi sekunder tidak
selalu dilakukan dengan hospitalsasi, dan menjadi lebih baik jikadilakukan
dengan non hospitalisasi.

Penanganan kesehatan mental dengan prevensi sekunder tetap


mengeluarkan biaya social dan ekonomi yang juga berat. Sekalipun pencegahan
ini diharapkan mampu mengurangi prevalensi gangguan mental, tetapi tidak
dapat mengurangi angka insidensi gangguan mental.
7

3. Prevensi Tersier

Orang yang mengalami gangguan, apalagi gangguan tersebut sampai


pada terganggunya kemampuan fungsional seseorang, maka diperlukan
prevensi untuk:

a) Mempertahankan kemampuan yang masih tersisa,


b) Mencegah agar gangguannya tidak terus berlangsung, dan
c) Seseorang tersebut harus segera pulih dan berfungsi sebagaimana
mestinya. Prevensi jenis ini yang disebut sebagai prevensi tersier.

Sasaran dalam prevensi tersier ini adalah kelompok masyarakat yang


mengalami gangguan yang bersifat jangka panjang atau orang yang telah
mengalami gangguan mental yang akut dan berakibat penurunan kapasitasnya
dalam kaitannya dengan kerja, hubungan social, maupun personalnya.

Prevensi tersier memiliki pengertian yang sama dengan rehabilitasi.


Namun penekanan kedua hal ini berbeda. Menurut caplan (1963), rehabilitasi
lebih bersifat individual dan mengacu pada pelayanan medis. Sementara
prevensi tersier lebih menekankan pada aspek komunitas, sasarannya adalah
masyarakat. Tentunya dalam prevensi tersier merupakan intervensi yang anti-
hospitalisasi.

D. Defenisi Promosi Kesehatan Jiwa

Promosi kesehatan jiwa merupakan konsep sebagai memberi kuasa,


memberikan partisipasi dan berkerja sama dengan orang-orang lain untuk
meningkatkan pengendalian penuh terhadap kesehatan jiwa mereka (Barry MM,
2007).

Prinsip-Prinsip kerangka kerja promosi kesehatan mental:

1. Melibatkan populasi sebagai sebuah kelompok besar di dalam


konteks kehidupan sehari-hari, dibandingkan memfokuskan kepada
seseorang yang lebih beresiko terkena gangguan kesehatan mental.
8

2. Terfokus pada kator-faktor perlindungan untuk meningkatkan


kualitas hidup yang lebih baik.

3. Pengalamatan sosial, fisik, dan lingkungan sosial ekonomi yang


menentukan kesehatan mental dari sebuah populasi dan individu.

4. Mengadopsi pendekatan penglengkapan dan strategi terintegritas,


penyelenggaraan dari individu ke tingkat lingkungan sosial.

5. Melibatkan aksi perpanjangan dari berbagai bidang ke bidang


kesehatan. Didasari pada partispasi umum, mengikutsertakan dan
pemberi kuasaan.

E. Tujuan Upaya Promkes Jiwa

4. Mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan jiwa


masyarakat secara optimal menghilangkan stigma, diskriminasi,
pelanggaran hak asasi orang dengan gangguan jiwa sebagai
bagian dari masyarakat

5. Meningkatkan pemahaman dan peran serta masyarakat terhadap


Kesehatan Jiwa.

6. Meningkatkan penerimaan dan peran serta masyarakat terhadap


Kesehatan Jiwa.

Upaya promosi kesehatan dapat dilaksanakan, meliputi :

a) Upaya promotif di lingkungan keluarga yang dilaksanakan


dalam bentuk pola asuh dan pola komunikasi dalam keluarga
yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan jiwa yang
sehat.

b) Upaya promotif di lingkungan lembaga pendidikan yang


dilaksanakan dalam bentuk:

 Menciptakan suasana belajar-mengajar yang kondusif


bagi pertumbuhan dan perkembangan jiwa.

 Keterampilan hidup terkait Kesehatan Jiwa bagi peserta


didik sesuai dengan tahap perkembangannya.
9

c) Upaya promotif di lingkungan tempat kerja yang dilaksanakan


dalam bentuk komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai
kesehatan jiwa, serta menciptakan tempat kerja yang kondusif
untuk perkembangan jiwa yang sehat agar tercapai kinerja
yang optimal.

d) Upaya promotif di lingkungan masyarakat dilaksanakan dalam


bentuk komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai
kesehatan jiwa, serta menciptakan lingkungan masyarakat
yang kondusif untuk pertumbuhan dan perkembangan jiwa
yang sehat.

e) Upaya promotif di lingkungan fasilitas pelayanan kesehatan


yang dilaksanakan dalam bentuk komunikasi, informasi, dan
edukasi mengenai kesehatan jiwa dengan sasaran kelompok
pasien, kelompok keluarga, atau masyarakat di sekitar fasilitas
pelayanan kesehatan.

f) Upaya promotif di media massa yang dilaksanakan dalam


bentuk:

 Penyebarluasan informasi bagi masyarakat mengenai


kesehatan jiwa, pencegahan, dan penanganan gangguan
jiwa di masyarakat dan fasilitas pelayanan di bidang
kesehatan jiwa

 Pemahaman yang positif mengenai gangguan jiwa dan


ODGJ dengan tidak membuat program pemberitaan,
penyiaran, artikel, dan/atau materi yang mengarah pada
stigmatisasi dan diskriminasi terhadap ODGJ

 Pemberitaan, penyiaran, program, artikel, dan/atau


materi yang kondusif bagi pertumbuhan dan
perkembangan kesehatan jiwa.

g) Upaya promotif di lingkungan lembaga keagamaan dan


tempat ibadah yang dilaksanakan dalam bentuk komunikasi,
informasi, dan edukasi mengenai kesehatan jiwa yang
diintegrasikan dalam kegiatan keagamaan.

h) Upaya promotif di lingkungan lembaga pemasyarakatan dan


rumah tahanan yang dilaksanakan dalam bentuk:

 Peningkatan pengetahuan dan pemahaman warga binaan


pemasyarakatan tentang kesehatan jiwa.
10

 Pelatihan kemampuan adaptasi dalam masyarakat.

 Menciptakan suasana kehidupan yang kondusif untuk


Kesehatan Jiwa warga binaan pemasyarakatan.

F. Metode Promosi Kesehatan

Promosi atau pendidikan kesehatan pada hakikatnya adalah suatu


kegiatan atau usaha menyampaikan pesan kesehatan kepada masyarakat,
kelompok atau individu. Dengan harapan bahwa dengan adanya pesan tersebut,
maka masyarakat, kelompok atau individu dapat memperoleh pengetahuan
tentang kesehatan yang lebih baik. Pengetahuan tersebut pada akhirnya
diharapkan dapat berpengaruh terhadap perilaku. Dengan kata lain dengan
adanya promosi kesehatan tersebut diharapkan dapat membawa akibat terhadap
perubahan perilaku kesehatan dari sasaran.

Promosi/pendidikan kesehatan juga sebagai suatu proses dimana proses


tersebut mempunyai masukan (input) dan keluaran (output). Di dalam suatu
proses pendidikan kesehatan yang menuju tercapainya tujuan promosi, yakni
perubahan perilaku, dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor yang
mempengaruhi suatu proses pendidikan di samping faktor masukannya sendiri
juga faktor metode, faktor materi atau pesannya, pendidik atau petugas yang
melakukannya, dan alat-alat bantu atau media yang digunakan untuk
menyampaikan pesan. Agar dicapai suatu hasil yang optimal, maka faktor-
faktor tersebut harus bekerjasama secara harmonis. Hal ini berarti bahwa untuk
masukan (sasaran pendidikan) tertentu harus menggunakan cara tertentu pula.
Materi juga harus disesuaikan dengan sasaran. Demikian juga alat bantu
pendidikan disesuaikan. Untuk sasaran kelompok, maka metodenya harus
berbeda dengan sasaran massa dan sasaran individual dan sebagainya.
11

Di bawah ini akan diuraikan beberapa metode promosi atau pendidikan


individual, kelompok dan massa (publik).

1. Metode Promosi Individual (Perorangan)

Dalam promosi kesehatan, metode yang bersifat individual ini


digunakan untuk membina perilaku baru, atau membina seseorang yang telah
mulai tertarik kepada suatu perubahan perilaku atau inovasi. Dasar
digunakannya pendekatan individual ini karena setiap orang mempunyai
masalah atau alasan yang berbeda-beda sehubungan dengan penerimaan atau
perilaku baru tersebut. Agar petugas kesehatan mengetahui dengan tepat serta
membantunya maka perlu menggunakan metode (cara) ini.

Bentuk pendekatan ini, antara lain:

a. Bimbingan dan penyuluhan (guidance and counceling)

Dengan cara ini, kontak antara klien dan petugas lebih intensif. Setiap
masalah yang dihadapi oleh klien dapat dikorek dan dibantu penyelesaiannya.
Akhirnya klien akan dengan sukarela, berdasarkan kesadaran, dan penuh
pengertian akan menerima perilaku tersebut (mengubah perilaku).

b. Wawancara (interview)

Cara ini sebenarnya merupakan bagian dari bimbingan penyuluhan.


Wawancara antara petugas kesehatan dengan klien untuk menggali informasi
mengapa ia tidak atau belum menerima perubahan, ia tertarik atau belum
menerima perubahan, untuk mempengaruhi apakah perilaku yang sudah atau
yang akan diadopsi itu mempunyai dasar pengertian dan kesadaran yang kuat.
Apabila belum maka perlu penyuluhan yang lebih mendalam lagi.

2. Metode Promosi Kelompok

Dalam memilih metode promosi kelompok, harus mengingat besarnya


kelompok sasaran serta tingkat pendidikan formal daro sasaran. Untuk
kelompok yang besar, metodenya akan lain dengan kelompok kecil.
Efektivitasnya suatu metode akan tergantung pula besarnya sasaran pendidikan.
12

a. Kelompok Besar

Yang dimaksud kelompok besar di sini adalah apabila peserta


penyuluhan itu lebih dari 15 orang. Metode yang baik untuk kelompok besar
ini, antara lain ceramah dan seminar.

 Ceramah

Metode ini baik untuk sasaran yang berpendidikan tinggi maupun


rendah. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan metode ceramah
antara lain:
Persiapan:

1) Ceramah yang berhasil apabila penceramah itu sendiri menguasaai


materi apa yang akan diceramahkan. Untuk itu penceramah harus
mempersiapkan diri.

2) Mempelajari materi dengan sistematika yang baik. Lebih baik lagi


kalau disusun dengan diagram atau skema.

3) Mempersiapkan alat-alat bantu pengajaran, misalnya makalah


singkat, slide, transparan, sound sistem, dan sebagainya.

Pelaksanaan:
Kunci dari keberhasilan pelaksanaan ceramah adalah apabila
penceramah dapat menguasai sasaran ceramah. Untuk dapat menguasai
sasaran (dalam arti psikologis), penceramah dapat melakukan hal-hal
sebagai berikut:

1) Sikap dan penampilan yang meyakinkan, tidak boleh bersikap


ragu-ragu dan gelisah.

2) Suara hendaknya cukup keras dan jelas.


- Pandangan harus tertuju ke seluruh peserta ceramah.
- Berdiri di depan (di pertengahan), seyogyanya tidak duduk.
- Menggunakan alat-alat bantu lihat (AVA) semaksimal mungkin.
13

 Seminar

Metode ini hanya cocok untuk sasaran kelompok besar dengan


pendidikan menengah ke atas. Seminar adalah suatu penyajian (presentasi)
dari seorang ahli atau beberapa orang ahli tentang suatu topik yang
dianggap penting dan dianggap hangat di masyarakat.

b. Kelompok Kecil

Apabila peserta kegiatan itu kurang dari 15 orang biasanya kita sebut
kelompok kecil. Metode-metode yang cocok untuk kelompok kecil ini antara
lain:

 Diskusi Kelompok

Dalam suatu kelompok agar semua anggota kelompok dapat bebas


berpartisipasi dalam diskusi, maka formasi duduk para peserta diatur
sedemikian rupa sehingga mereka dapat berhadap-hadapan atau saling
memandang satu sama lain, misalnya dalam bentuk lingkaran atau segi empat.
Pimpinan diskusi juga duduk diantara peserta sehingga tidak menimbulkan
kesan ada yang lebih tinggi. Dengan kata lain mereka harus merasa dalam taraf
yang sama sehingga tiap anggota kelompok mempunyai kebebasan/keterbukaan
untuk mengeluarkan pendapat.

Untuk memulai diskusi, pemimpin diskusi harus memberikan


pancingan-pancingan yang dapat berupa pertanyaan-pertanyaan atau kasus
sehubungan dengan topik yang dibahas. Agar terjadi diskusi yang hidup maka
pemimpin kelompok harus mengarahkan dan mengatur sedemikian rupa
sehingga semua orang dapat kesempatan berbicara, sehingga tidak
menimbulkan dominasi dari salah seorang peserta.

 Curah Pendapat (Brain Storming)

Metode ini merupakan modifikasi dari metode diskusi kelompok.


Prinsipnya sama dengan metode diskusi kelompk. Bedanya, pada permulaan
pemimpin kelompok memancing dengan satu masalah dan kemudian tiap
14

peserta memberikan jawaban atau tanggapan (curah pendapat). Tanggapan atau


jawaban-jawaban tersebut ditampung dan ditulis dalam flipchart atau papan
tulis. Sebelum semua peserta mencurahkan pendapatnya, tidak boleh
dikomentari siapapun. Baru setelah semua anggota mengeluarkan pendapatnya,
tiap anggota dapat mengomentari, dan akhirnya terjadi diskusi.

 Memainkan Peranan (Role Play)

Dalam metode ini beberapa anggota kelompok ditunjuk sebagai


pemegang peran tertentu untuk memainkan peranan, misalnya sebagai dokter
Puskesmas, sebagai perawat atau bidan, dan sebagainya, sedangkan anggota
yang lain sebagai pasien atau anggota masyarakat.

Mereka memperagakan, misalnya bagaimana interaksi atau


berkomunikasi sehari-hari dalam melaksanakan tugas.

3. Metode Promosi Massa

Metode pendidikan atau promosi kesehatan secara massa dipakai untuk


mengkomunikasikan pesan-pesan kesehatan yang ditujukan kepada masyarakat
yang sifatnya massa atau publik. Dengan demikian cara yang paling tepat ialah
pendekatan massa. Oleh karena sasaran promosi ini bersifat umum, dalam arti
tidak membedakan golongan umur, jenis kelamin, pekerjaan, status sosial
ekonomi, tingkat pendidikan, dan sebagainya, maka pesan-pesan kesehatan
yang akan disampaikan harus dirancang sedemikian rupa sehingga dapat
ditangkap oleh massa tersebut. Pendekatan ini biasanya digunakan untuk
menggugah awareness atau kesadaran masyarakat terhadap suatu inovasi, dan
belum begitu diharapkan untuk sampai pada perubahan perilaku. Namun
demikian, bila kemudian dapat berpengaruh terhadap perubahan perilaku juga
merupakan hal yang wajar. Pada umumnya bentuk pendekatan massa ini tidak
langsung. Biasanya dengan menggunakan atau melalui media massa.
15

Beberapa contoh metode promosi kesehatan secara massa ini, antara


lain:

a. Ceramah umum (public speaking)

` Pada acara-acara tertentu, misalnya pada Hari Kesehatan Nasional,


Menteri Kesehatan atau pejabat kesehatan lainnya berpidato di hadapan massa
rakyat untuk menyampaikan pesan-pesan kesehatan. Safari KB juga merupakan
salah satu bentuk pendekatan massa.

b. Pidato-pidato/diskusi tentang kesehatan melalui media elektronik,


baik TV maupun radio, pada hakikatnya merupakan bentuk
promosi kesehatan massa.

c. Simulasi, dialog antara pasien dengan dokter atau petugas


kesehatan lainnya tentang suatu penyakit atau masalah kesehatan
adalah juga merupakan pendekatan pendidikan kesehatan massa.

d. Tulisan-tulisan di majalah atau koran, baik dalam bentuk artikel


maupun tanya jawab atau konsultasi tentang kesehatan dan
penyakit adalah merupakan bentuk pendekatan promosi kesehatan
massa.

e. Bill Board, yang dipasang di pinggir jalan, spanduk, poster, dan


sebagainya juga merupakan bentuk promosi kesehatan massa.
Contoh: billboard Ayo ke Posyandu.
16

II. Intervensi Krisis dan Bencana

A. Defenisi Krisis

Krisis adalah reaksi berlebihan terhadap situasi yang mengancam


saat kemampuan menyelesaikan masalah yang dimiliki klien dan
respons kopingnya tidak adekuat untuk mempertahankan keseimbangan
psikologis.

B. Jenis Krisis

1. Krisis perkembangan

Terjadi sebagai respons terhadap transisi dari satu tahap maturasi


ke tahap lain dalam siklus kehidupan (misalnya, beranjak dari manja ke
dewasa).

Perkembangan (maturasi) : Mulai sekolah, Pubertas, Lulus


sekolah, Menikah, Melahirkan anak, Anak-anak meninggalkan rumah,
pensiun.

2. Krisis situasional

Terjadi sebagai respons terhadap kejadian yang tiba-tiba dan


tidak terduga dalam kehidupan seseorang. Kejadian tersebut biasanya
berkaitan dengan pengalaman kehilangan (misalnya, kematian orang
yang dicintai).

Situasional : Bercerai, Kematian, Kehilangan pekerjaan,


Kegagalan akademik, Diagnosis penyakit serius .

3. Krisis adventisius

Terjadi sebagai respons terhadap trauma berat atau bencana


alam. Krisis ini dapat memengaruhi individu, masyarakat, bahkan
negara.
17

Adventisius: Banjir, Gempa bumi, Perang, Kejahatan dengan


kekerasan, Perkosaan, Pembunuhan, Penculikan, Tindakan teroris.

C. Intervensi Krisis

Adalah metode pemberian bantuan terhadap mereka yang


tertimpa krisis, di mana masalah yang membutuhkan penanganan yang
cepat dapat segera diselesaikan dan keseimbangan psikis yang
dipulihkan.

Pertimbangan Umum :

1. Krisis terjadi pada semua individu pada satu saat atau saat yang
lain.
2. Krisis tidak selalu bersifat patologis; krisis dapat menjadi stimulus
pertumbuhan dan pembelajaran.
3. Krisis sangat terbatas dalam hal waktu dan biasanya teratasi
dengan satu atau lain cara dalam periode yang singkat (4 sampai 6
minggu).
Penyelesaian krisis dapat dikatakan berhasil bila fungsi kembali
pulih atau ditingkatkan melalui pembelajaran baru. Penyelesaian
krisis dinyatakan gagal bila fungsi tidak kembali pulih ke tingkat
sebelum krisis, dan individu mengalami penurunan tingkat
fungsional.
4. Persepsi individu terhadap masalah yang dihadapi dapat
menentukan krisis. Setiap individu memiliki respons yang unik
terhadap masalah yang dialaminya.
5. Faktor penyeimbang merupakan hal yang penting dalam
memprediksi hasil dari respons individu terhadap krisis. Beberapa
faktor telah diidentifikasi sebagai prediktor hasil yang baik
(Aguilera, 1998).
- Persepsi terhadap kejadian pencetus bersifat realistis bukan
terdistorsi.
18

- Dukungan situasional (misalnya., keluarga, teman) tersedia bagi


individu tersebut.
- Mekanisme koping yang mengurangi ansietas.

Urutan perkembangan krisis :

 Periode prakrisis : individu memiliki keseimbangan emosional.


 Periode krisis : individu memiliki pengalaman subjektif berupa
kekecewaan, gagal melakukan mekanisme koping yang biasa, dan
mengalami berbagai gejala.
 Periode pascakritis : resolusi krisis

Intervensi Krisis :

1. Bantuan

Bantuan untuk individu yang mengalami krisi meliputi konseling


melalui telepon, hotlines, dan konseling krisis singkat (1 sampai 6 sesi).
Bantuan untuk kelompok atau komunitas yang mengalami krisis.

 Tim bantuan krisis

Tim interdisipliner inimemberikan layanan bagi kelompok atau


komunitas yang mengalami kejadian krisis tertentu.

 Tim bantuan bencana

Tim ini memiliki rencana yang terorganisir untuk membantu


segmen-segmen besar populasi yang terkena bencana alam.

 Konseling stres akibat krisis

Bantuan ini ditujukan untuk kelompok profesional, seperti


petugas rumah sakit, polisis dan pemadam kebakaran, yang terlibat
dalam situasi krisis.
19

2. Peran perawat

Perawat memberikan layanan langsung pada orang-orang yang


mengalami krisis da bertindak sebagai anggota tim intervensi krisis
(ANA, 1994).

Perawat di lingkungan rumah sakit akut dan kronik membantu


individu dan keluarga berespons terhadap krisis penyakit yang serius,
hospitalisasi, dan kematian.

Perawat di lingkunagn masyarakat (mis., kantor, klinik rumah,


sekolah, kantor) memnerikan bantuan pada individu dan keluarga yang
mengalami krisis situasional dan perkembangan.

Perawat yang bekerja dengan sekelompok klien tertentu harus


mengantisipasi situasi dimana krisis dapat terjadi.

 Keperawatan ibu dan anak. Perawat harus mengantisipasi


krisis seperti kelahiran bayi prematur atau lahir mati,
keguguran dan lahir abnormal.
 Keperawatan pediatrik. Perawat harus mengantisipasi krisis
seperti awitan penyakit serius, penyakit kronis atau
melemahkan, cedera traumatik, atau anak menjelang ajal.
 Keperawatan medikal-bedah. Perawat harus mengantisipasi
krisis seperti diagnosis penyakit serius, penyakit yang
melemahkan, hospitalisasi karena penyakit akut atau kronis,
kehilangan bagian atau fungsi tubuh, kematian dan menjelang
ajal.
 Keperawatan gerontologi. Perawat harus mengantisipasi krisis
seperti kehilangan kumulatif, penyakit yang melemahkan,
ketergantungan, dan penempatan di rumah perawatan.
20

 Keperawatan darurat. Perawat harus mengantisispasi krisis


seperti trauma fisik, penyakit akut, krisis perkosaan, dan
kematian.
 Keperawatan psikiatri. Perawat harus mengantisipasi krisis
seperti hospitalisasi akibat penyakit jiwa, stressor kehidupan
karena sakit jiwa yang serius, dan bunuh diri.

Perawat bekerja sama dengan anggota tim kesehatan lain untuk


membantu individu mengatasi situasi krisis.

D. Gejala Umum Individu yang Mengalami Krisis

1. Gejala Fisik :

Keluhan somatik (mis., sakit kepala, gastrointestinal, rasa sakit)


Gangguan nafsu makan (mis., peningkatan atau penurunan berat
badan yang signifikan)
Gangguan tidur (mis., insomnia, mimpi buruk)
Gelisah; sering menangis; iritabilitas

2. Gejala Kognitif

Konfusi sulit berkonsentrasi.


Pikiran yang kejar mengejar.
Ketidakmampuan mengambil keputusan.

3. Gejala Perilaku

Disorganisasi
Impulsif ledakan kemarahan
Sulit menjalankan tanggung jawab peran yang biasa
Menarik diri dari interaksi sosial
21

4. Gejala Emosional

Ansietas; marah, merasa bersalah


Sedih; depresi
Paranoid; curiga
Putus asa; tidak berdaya

E. Prinsip Intervensi Krisis

1. Tujuan intervensi krisis adalah mengembalikan individu ke


tingkat fungsi sebelum krisis.

2. Penekanan intervensi ini adalah memperkuat dan mendukung


aspek-aspek kesehatan dari fungsi individu.

3. Dalam intervensi krisis, pendekatan pemecahan masalah


digunakan secara sistematis (serupa dengan proses
keperawatan), yang meliputi:

a. Mengkaji persepsi individu terhadap masalah, serta


mengkaji: kelebihan dan kekurangan sistem pendukung
individu dan keluarga.

b. Merencanakan hasil yang spesifik dan tujuan yang


didasarkan pada prioritas.

c. Memberikan penanganan langsung(mis., menyediakan


rumah singgah bila klien diusir rumah, merujuk klien ke
”rumah perlindungan” bila terjadi penganiyaan oleh
suami atau istri).

d. Mengevaluasi hasil dari intervensi.

4. Hierarki Maslow. Kerangka kerja hierarki Maslow tentang


kebutuhan dapat membantu menentukan prioritas intervensi.
22

a. Sumber daya fisik diperlukan untuk bertahan hidup (mis.,


makanan, rumah singgah, keselamatan).

b. Sumber daya sosial diperlukan untuk mendapatkan


kembali rasa memiliki (mis., dukungan keluarga, jaringan
kerja sosial, dukungan komunitas).

c. Sumber daya psikologis diperlukan untuk mendapatkan


kembali harga diri (mis., penguatan yang positif,
pencapaian tujuan).

5. Petugas intervensi krisis. Peran petugas intervensi krisis


mencakup berbagai fungsi beriut ini.

a. Membentuk hubungan dan mengomunikasikan harapan


serta optimisme.

b. Melaksanakan peran yang aktif dan mengarahkan, bila


perlu.

c. Memberikan anjuran dan alternatif (mis., membuat


rujukan ke lembaga yang tepat, seperti lembaga
kesejahteraan anak atau klinik medis).

d. Membantu klien memilih alternatif.

e. Bekerja sama dengan profesional lain untuk mendapatkan


layanan dan sumber daya yang diperlukan klien.

F. Masalah Kesehatan Mental Akibat Bencana

Bencana alam yang bersifat mendadak dan menelan korban jiwa


dan harta benda yang besar jumlahnya selalu diikuti masalah kesehatan
mental pada sisa penduduk yang menjadi korban (“victims”) tetapi
23

selamat. Contoh bencana alam yang besar dan mendadak: tsunami di


Aceh dan gempa bumi di DIY dan sekitarnya

Masalah kesehatan mental, akibat “over loaded stresses” setelah


adanya bencana adalah:

1. Mental distress
2. Post Traumatic Stress Disorder (PTSD): hostility, anxiety and
depression.
3. Bentuk PTSD bisa:

 Passive-Aggressive Reaction
 Anxiety Reaction
 Mask Depression- Somatisasi
 Retard Depression
 Agitated Depresion
 Smilling depression
 Pseudo- Psikotik

G. Intervensi atau Penanganan Kesehatan Mental Sebelum Maupun


Sesudah Bencana

1. Menilai dan memonitor cakupan kebutuhan kesehatan mental,


melakukan penilaian cepat dan monitoring laporan kesehatan
mental secara berkelanjutan:

 Mengidentifikasi kebutuhan pelayanan kesehatan mental


dan melakukan pemetaan siapa melakukan apa dan di
mana.
 Mengidentifikasi sumber daya dan pelayanan kesehatan
mental yang telah ada.

2. Membangun koordinasi dengan semua stake holder di bidang


kesehatan mental.
24

3. Memperkuat kapasitas kesehatan mental di komunitas dan


sistem kesehatan:

 Melakukan training kesehatan mental.


 Mengembangkan sistem referal yang sesuai.
 Mengembangkan protokol dan pedoman penanganan
kesehatan mental.

4. Mengembangkan model pelayanan kesehatan mental


komunitas yang komprehensif bekerja sama dengan stake
holder di bidang kesehatan mental yang sesuai dengan daerah
tersebut (edukasi, promosi dan advocacy kesehatan mental).

H. Dampak Psikososial Dalam Bencana

a. Dampak psikologis pada individu

Dalam bencana tidak ada patokan yang kaku tentang tahapan


dalam merespon bencana, ada banyak variasi pada setiap tahap dan
tahap tumpang tindih. Oleh karena itu munculnya gejala gangguan
psikologis dapat bervariasi, tergantung banyak factor, namun bisa
mencapai 90% atau bahkan lebih korbanakan menunjukkan setidaknya
beberapa gejala psikologis yang negatifsetelah beberapa jam paska
bencana. Jika tidak diatasi dan diselesaikan dengan tepat dan cepat,
reaksi tersebut dapat menjadi gangguan psikologis yang serius.

1. Tahap Tanggap Darurat

Tahap ini adalah masa beberapa jam atau hari setelah bencana.
Pada tahap ini kegiatan bantuan sebagian besar difokuskan pada
menyelamatkan penyintas dan berusaha untuk menstabilkan situasi.
Penyintas harus ditempatkan pada lokasi yang aman dan terlindung,
pakaian yang pantas, bantuan dan perhatian medis, serta makanan dan
air yang cukup.
25

Gejala-gejala dibawah ini dapat muncul pada tahap tanggap


darurat :

 Kecemasan berlebihan

Korban menunjukkan kecemasan, mudah terkejut bahkan oleh


hal-hal yang sederhana,tidak mampu untuk bersantai, atau tidak mampu
untuk membuat keputusan.

 Rasa bersalah

Korban yang selamat, namun anggota keluarganya meninggal,


seringkali kemudian menyalahkan diri sendiri. Mereka merasa malu
karena telah selamat, ketika orang yang dikasihinya meninggal.

 Ketidaksatbilan emosi dan pikiran

Beberapa korban mungkin menunjukkan kemarahan tiba-tiba


dan bertindak agresif atau sebaliknya, mereka menjadi apatis dan tidak
peduli, seakan kekurangan energi. Mereka menjadi mudah lupa ataupun
mudah menangis.

 Kadang-kadang, korban muncul dalam keadaan kebingungan,


histerisataupungejala psikotik seperti delusi, halusinasi, bicara
tidak teratur, dan terlalu perilaku tidak teratur juga dapat
muncul.

2. Tahap Pemulihan

Setelah situasi telah stabil, perhatian beralih ke solusi jangka


panjang. Disisi lain, euforia bantuan mulai menurun, sebagian
sukarelawan sudah tidak datang lagi dan bantuan dari luar secara
bertahap berkurang. Para korban mulai menghadapi realitas. Pada tahap
ini berbagai gejala pasca-trauma muncul, misalnya "Pasca Trauma
26

Stress Disorder,""Disorder Kecemasan Generalized,""Abnormal


Dukacita, " dan " Post Traumatic Depresi ".

Akut Stress Paska Trauma

Gejala-gejala dibawah ini adalah normal, sebagai reaksi atas


kejadian yang tidak normal (traumatik). Biasanya gejala-gejala diawah
ini akan menghilang seiring dengan berjalannya waktu.

 Emosi

Mudah menangis ataupun kebalikkannya yakni mudah marah,


emosinya labil, mati rasa dan kehilangan minat untuk melakukan
aktivitas, gelisah, perasaan ketidakefektifan, malu danputus asa.

 Pikiran

Mimpi buruk, mengalami halusinasi ataupun disasosiasi, mudah


curiga (pada penyintas kasus bencana karena manusia), sulit konsentrasi,
menghindari pikiran tentang bencana dan menghindari tempat, gambar,
suara mengingatkan penyintas bencana ; menghindari pembicaraan
tentang hal itu.

 Tubuh

Sakit kepala, perubahan siklus mensruasi, sakit punggung,


sariawan atau sakit magh yang terus menerus sakit kepala, berkeringat
dan menggigil, tremor, kelelahan, rambut rontok, perubahan pada siklus
haid, hilangnya gairah seksual, perubahan pendengaran atau
penglihatan, nyeri otot.

 Perilaku

Menarik diri, sulit tidur, putus asa, ketergantungan, perilaku


lekat yang berlebihan atau penarikan social, sikap permusuhan,
27

kemarahan, merusak diri sendiri, perilaku impulsif dan mencoba


bunuh diri.

Post Trauma Stress Disorder(PTSD)

Meliputi: Jika setelah lebih dari dua bulan gejala gejala di atas
(ASPT) masih ada maka, maka dapat diduga mengalami PTSD, jika
memunjukkan gejala ini selepas 2 bulan dari kejadian bencana:

 Reecperience atau mengalami kembali

Korban akan mengalami kembali peristiwa traumatic yang


mengganggu; misalnya melalui mimpi buruk setiap tidur, merasa
mendengar, melihat kembali kejadian yang berhubungan dengan
bencana, dalam pikirannya kejadian bencana terus menerus sangat
hidup, apapun yang dilakukan tidak mampu mengalihkan pikirannya
dari bencana. Pada anak-anak korhan konflik senjata, mereka bermain
perang-perangan berulang-ulang.

 Avoidance atau menghindar

Hal-hal yang berkaitan dengan ingatan akan bencana,


misalnyamenghindari pikiran atau perasaan atau percakapan tentang
bencana; menghindari aktivitas, tempat, atau orang yang mengingatkan
korban dari trauma, ketidakmampuan untuk mengingat bagian penting
dari bencana, termenung terus dengan tatapan dan pikiran yang kosong.

 Hyperarusal atau rangsangan yang berlebihan

Misalnya kesulitan tidur; sangat mudah marah atau kesulitan


berkonsentrasi; jantung mudah berdebar-debar, keringat dingin, panik
dan nafas terengah-engah saat teringat kejadian, kesulitan konsentrasi
dan mudah terkejut.
28

Generalized Anxiety Disorder

Meliputi: Kecemasan yang berlebihan dan khawatir tentang


berbagai peristiwa ataupun kegiatan (tidak terbatas bencana). Cemas
berlebihan saat air tidak mengalir, seseorang tidak muncul tepat waktu

Dukacita Eksrim

Biasanya, setelah kematian orang yang dicintai.Seringkali respon


pertama adalah penyangkalan. Kemudian, mati rasa dan kadang
kemarahan.

Post Trauma Depresi

Depresi berkepanjangan adalah salah satu temuan yang paling


umum dalam penelitan terhadap penyintas trauma. Gangguanini sering
terjadi dalam kombinasi dengan Post Traumatic Stress Disorder. Gejala
umum depresi termasuk kesedihan, gerakan yang lambat, insomnia
(ataupun kebalikannya hipersomnia), kelelahan atau kehilangan energi,
nafsu makan berkurang (atau berlebihan nafsu makan), kesulitan dengan
konsentrasi, apatis dan perasaan tak berdaya, anhedonia (tidak
menunjukkan minat atau kesenangan dalam aktivitas hidup), penarikan
sosial, pikiran negatif, perasaan putus asa, ditinggalkan, dan mengubah
hidup tidak dapat dibatalkan, dan lekas marah.

3. Tahap Rekonstruksi.

Satu tahun atau lebih setelah bencana, fokus bergeser lagi. Pola
kehidupan yang stabil mungkin telah muncul. Selama fase ini, walaupun
banyak korbanmungkin telah sembuh, namun beberapa yang tidak
mendapatkan pertolongan dengan tepat menunjukkan gejala kepribadian
yang serius dan dapat bersifat permanen. Pada tahap ini risiko bunuh
diri dapat meningkat, kelelahan kronis, ketidakmampuan untuk
bekerja, kehilangan minat dalam kegiatan sehari-hari, dan kesulitan
berpikir dengan logis. Mereka menjadi pendendam dan mudah
menyerang orang lain termasuk orang-orang yang ia sayangi. Gangguan
29

ini pada akhirnya merusak hubungan korban dengan keluarga dan


komunitasnya.

b. Dampak Bencana Pada Komunitas

Bencana tidak hanya berdampak pada pribadi tapi juga pada


komunitas. Paska bencana dapat saja tercipta masyarakat yang mudah
meminta (padahal sebelumnya adalah pekerja yang tangguh),
masyarakat yang saling curiga (padahal sebelumnya saling peduli),
masyarakat yang mudah melakukan kekerasan (padahal sebelumnya
cinta damai). Bencana yang tidak ditangani dengan baik akan mampu
merusak nilai-nilai luhur yang sudah dimiliki masyarakat.

Saat korban dipaksa untuk meninggalkan tanah mereka dan


bermigrasi di tempat lain, tanpa pelatihan dan bekal yang memadai,
tidak hanya kehidupan mereka yang terancam, namun juga identitas
dirinya. Mereka dipaksa menjadi peladang padahal sepanjang hidupnya
adalah nelayan, ataupun sebaliknya. Sebagai akibat jangka panjangnya,
konflik perkawinan meningkat, kenaikan tingkat perceraian pada tahun-
tahun setelah bencana dapat terjadi dan juga meningkatnya kekerasan
intra-keluarga (kekerasan pada anak dan pasangan).

Pemberian bantuan yang tidak terpola pada akhirnya merusak


etos kerja mereka dan terjadi ketergantungan pada pemberi bantuan.
Bencana fisik bisa menghancurkan lembaga masyarakat, seperti sekolah
dan komunitas agama, atau dapat mengganggu fungsi mereka karena
efek langsung dari bencana pada orang yang bertanggung jawab atas
lembaga-lembaga, seperti guru atau imam. Saat guru, tokoh adat atau
tokoh agama menjadi korban dari bencana dan tidak dapat mejalankan
fungsinya, maka sarana dukungan sosial dalam komunitas menjadi
terganggung.
30

I. Dampak Psikologis Bencana Pada Wanita

Kondisi psikososial didaerah bencana khususnya bagi kaum


perempuan mengakibatkan berbagai goncangan psikologis seperti
hilangnya rasa percaya diri, muncul kekhawatir bahkan memunculkan
gejala phobia yaitu perasaan takut yang berlebihan. Individu dan
komunitas mengalami trauma dan tekanan hidup bertubi-tubi dan
berkelanjutan.

Situasi demikian dapat menurunkan motivasi untuk


mempertahankan hidup selanjutnya. Selain implikasi psikososial yang
pada umumnya muncul dikalangan perempuan, biasanya mereka
mengalami pengalaman traumatis dimana daya penyesuaian satu individu
dengan individu lainnya akan mengalami kendala. Hal tersebut akan
dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya:

a. Gambaran umum tentang dirinya.

b. Dukungan sosial yang diterimanya.

c. Kapasitas berpikir dan penyesuaian diri.

d. Tingkat keparahan.

e. Pengalaman traumatik

Selain itu korban bencana akan mengalami perubahan dalam


kepribadian yang berpengaruh pada tingkat fungsi dan hubungan dengan
lingkungan sekitarnya dan bahkan mereka tidak mampu menata kembali
hidup mereka. Sebagian besar dari korban bencana mengalami gejala
temporer. Gejala yang paling popular adalah stres dan stres paska
trauma yang seringkali menghinggapi korban-korban bencana. Stres
terjadi karena adanya situasi eksternal atau internal yang memunculkan
tekanan atau gangguan pada keseimbangan hidup individu.

Kaum perempuan di daerah bencana karena hidup dengan


kondisi yang lebih lebih buruk dari sebelumnya maka memunculkan
31

perasaan gelisah, sedih, tak berdaya dan bingung. Harapan hidupnya


seolah-olah hilang. Depresi akan mucul akibat ketidakmampuan
melakukan perubahan. Individu dan komunitas mengalami situsi belajar
dari pengalaman dan situasi hidup bahwa mereka tidak mampu
mengatasinya. Trauma yang muncul ini bersifat kolektif dan
memberikan dampak psikososial.

Beberapa gejala yang pada umumnya muncul akibat bencana


adalah sebagai berikut:

1) Ingatan yang senantiasai mencengkeram berbagai bayangan


tentang trauma.
2) Perasaan seolah-olah trauma muncul kembali.
3) Mimpi buruk.
4) Gangguan tidur.
5) Gangguan makan (muntah/mual).
6) Gangguan saat mengingat trauma
7) Ketakutan.
8) Kewaspadaan yang berlebih.
9) Kesulitan mengendalikan emosi.
10) Kesulitan berkonsentrasi.

J. Dampak Psikologis Bencana Pada Lansia

Para lansia telah mengalami penurunan kemampuan fisik dan


mental. Kemampuan adaptasi yang dimiliki juga sudah sangat jauh
berkurang, sehingga sangat rentan terhadap perubahan. Selain itu kaum
lanjut usia ini juga telah kehilangan peran, sehingga merasa dirinya tidak
berarti dan tidak dibutuhkan lagi oleh keluarganya. Mereka juga rentan
terhadap kemungkinan diabaikan oleh keluarga.

K. Aktivitas Psikososial Dalam Menanggulangi Dampak Psikososial


32

1. Aktivitas Psikososial Berdasarkan Tahap Bencana

Tahap Tanggap Darurat : Pasca dampak-langsung

 Menyediakan pelayanan intervensi krisis untuk pekerja


bantuan, misalnya defusing dan debriefing untuk mencegah
secondary trauma.
 Memberikan pertolongan emosional pertama (emotional first
aid), misalnya berbagai macam teknik relaksasi dan terapi
praktis.
 Berusahalah untuk menyatukan kembali keluarga dan
masyarakat.
 Menghidupkan kembali aktivitas rutin bagi anak.
 Menyediakan informasi, kenyamanan, dan bantuan praktis.

Tahap Pemulihan: Bulan pertama

 Lanjutkan tahap tanggap darurat.


 Mendidik profesional lokal, relawan, dan masyarakat
sehubungan dengan efek trauma.
 Melatih konselor bencana tambahan.
 Memberikan bantuan praktis jangka pendek dan dukungan
kepada penyintas.
 Menghidupkan kembali aktivitas sosial dan ritual masyarakat

Tahap Pemulihan akhir: Bulan kedua

 Lanjutkan tugas tanggap bencana.


 Memberikan pendidikan dan pelatihan masyarakat tentang
reseliensi atau ketangguhan.
 Mengembangkan jangkauan layanan untuk mengidentifikasi
mereka yang masih membutuhkan pertolongan psikologis.
 Menyediakan "debriefing" dan layanan lainnya untuk
penyintas bencana yang membutuhkan.
33

 Mengembangkan layanan berbasis sekolah dan layanan


komunitas lainnya berbasis lembaga.

Fase Rekonstruksi

 Melanjutkan memberikan layanan psikologis dan


pembekalan bagi pekerja kemanusiaan dan penyintas bencana.
 Melanjutkan program reseliensi untuk antisipasi datangnya
bencana lagi.
 Pertahankan "hot line" atau cara lain dimana penyintas bisa
menghubungi konselor jika mereka membutuhkannya.
 Memberikan pelatihan bagi profesional dan relawan lokal
tentang pendampingan psikososial agar mereka mampu
mandiri.

2. Aktivitas Psikososial pada orang dewasa.

a. Ajak untuk perbanyak melakukan kegiatan agama.


b. Temani mereka.
c. Ajak bicara tentang apa saja sehingga ia tidak merasa
sendiri.
d. Menjadi pendengar yang baik terutama saat ia
menceritakan perasaannya tentang bencana yang
menimpa.
e. Dorong korban untuk banyak beristirahat dan makan yang
cukup.
f. Ajak korban melakukan aktifitas yang positif .
g. Ajak korban untuk melakukan kegiatan rutin sehari-hari.
h. Ajak Ibu-ibu/Bapak dengan menggunakan humor ringan.
i. Ajak berbincang-bincang tentang kondisi saat ini diluar.
j. Membantu menemukan sanak saudara yang masih
terpisah.
k. Memberikan informasi yang dibutuhkan sehingga
menimbulkan harapan.
34

3. Aktivitas Psikososial pada wanita.

Dalam memulihkan diri sendiri :

a. Mengungkap masalah yang dirasakan kepada orang yang


dipercayai.
b. Merawat dan menjaga kesehatan diri, baik fisik maupun
psikis.
c. Melakukan aktivitas-aktivitas yang disukai yang dapat
mengalihkan dari pikiranpikiran akan kejadian, baik
dilakukan sendiri maupun secara berkelompok.

4. Belajar Ketrampilan Baru.

5. Mencoba iklas dan mendekatkan diri kepada-Nya.

Membantu keluarganya dalam memulihkan kondisi pasca bencana

1) Memberikan pengetahuan dan informasi mengenai bencana


(gempa, banjir, tsunami, longsor dll) kepada anak dan
keluarga

2) Saling mendukung dan memperhatikan sesama anggota


keluarga, serta memberikan perhatian lebih kepada anggota
keluarga yang masih memiliki masalah akibat bencana dan
peristiwa sulit

3) Memberikan dukungan kepada anak untuk melakukan


kegiatan baik di sekolah maupun di luar sekolah

4) Apabila dia berperan sebagai orang tua tunggal, maka dia


bekerja untukmencari nafkah bagi keluarga sesuai dengan
kemampuan/ketrampilan yang dimiliki.
35

Memulihkan sesama perempuan dalam komunitas:

1) Saling memberikan perhatian kepada sesama perempuan


korban bencana yang tinggal di sekitarnya.

2) Saling bercerita dan berbagi perasaan antar sesama perempuan


di komunitas

3) Saling memberi informasi kepada sesama perempuan baik


dalam hal mengembangkan usaha (industri kecil) bersama-sama
dan dapat berupa informasi lainnya.

4) Mengajak rekan perempuan dalam komunitas agar lebih


percaya diri, dan aktif dalam kegiatan-kegiatan kelompok

5) Bersama-sama ikut memberikan pendapat dalam rapat atau


pertemuan penyelesaian masalah karena suara perempuan juga
penting.

6. Aktivitas Psikososial pada lansia

1) Berikan keyakinan yang positif

2) Dampingi pemulihan fisiknya dengan melakukan


kunjungan berkala

3) Berikan perhatian yang khusus untuk mendapatkan


kenyamanan pada lokasi penampungan

4) Bantu untuk membangun kembali kontak dengan keluarga


maupun lingkungan sosial lainnya

5) Dampingi untuk menapatkan pengobatan dan bantuan


keuangan
36

7. Trauma Healing

Untuk mengatasi trauma pada korban bencana, maka


dilaksanakan program trauma healing. Trauma healing merupakan salah
satu program yang bertujuan untuk penyembuhan luka trauma yang
dialami oleh korban bencana, mulai dari anak-anak, dewasa, dan lansia.
Beberapa program trauma healing yang dapat dilaksanakan yaitu:

 Diskusi kelompok

Diskusi kelompok dapat dijalankan dengan membentuk FGD


(Focus Group Discussion) dimana dalam kelompok ini, peserta
mendiskusikan sebuah topic masalah kemudian mencari pemecahan
masalah dari topic yang diangkat dan disepakati.

 Kegiatan ibadah

Kegiatan ibadah sangat membantu korban bencana dalam


menerima apa yang dialaminya dengan ikhlas dan lapang dada. Selain,
fisik, rohani korban juga perlu diberikan siraman agar korban tetap tegar
dalam menjalani kondisinya saat pasca bencana. Salah satu kegiatan
ibadah yang dapat dijalankan untuk korban dewasa yaitu majelis taklim.

 Kesenian dan keterampilan

Kegiatan kesenian dan keterampilan yang dilakukan hendaknya


kegiatan yang dapat menghasilkan uang, sehingga kegiatan ini
memberikan manfaat bagi korban dewasa. Diantara kegiatan kesenian
dan keterampilan yang dapat dilakukan, yaitu: menyulam, merajut,
memasak, dan lain-lain.
37

 Terapi Aktivitas dan exercise pada lansia

Melakukan latihan fisik secara teratur dengan tujuan


meningkatkan kesehatan, bisa dilakukan individu dan kelompok.

III. Dukungan Pemulihan dan Rehabilitasi Lingkup Keperawatan Jiwa

A. Dukungan Pemulihan

Para korban suatu bencana biasanya akan mengalami trauma psikologis


akibat kejadian yang menimpanya. Trauma tersebut bisa berupa kesedihan yang
mendalam, ketakutan dan kehilangan berat. Tidak sedikit trauma ini menimpa
wanita, ibu ibu, dan anak anak yang sedang dalam massa pertumbuhan.
Sehingga apabila hal ini terus berkelanjutan maka akan mengakibatkan stress
berat dan gangguan mental bagi para korban bencana. Hal yang dibutukan
dalam penanganan situasi seperti ini adalah pemulihan kesehatan mental yang
dapat dilakukan oleh perawat. Pada orang dewasa, pemulihannya bisa dilakukan
dengan sharing dan mendengarkan segala keluhan keluhan yang dihadapinya,
selanjutnya diberikan sebuah solusi dan diberi penyemangat untuk tetap
bangkit. Sedangkan pada anak anak, cara yang efektif adalah dengan
mengembalikan keceriaan mereka kembali, hal ini mengingat sifat lahiriah anak
anak yang berada pada masa bermain. Perawat dapat mendirikan sebuah taman
bermain, dimana anak anak tersebut akan mendapatkan permainan, cerita lucu,
dan lain sebagainnya. Sehinnga kepercayaan diri mereka akan kembali seperti
sedia kala.
38

B. Rehabilitasi

Selain dari segi fisik, bencana juga meninggalkan trauma psikologis


terhadap korban bencana. Rehabilitasi psikologis lebih di fokuskan kepada
penanganan rasa trauma psikologis yang dialami oleh korban bencana.
Gangguan stress pasca trauma merupakan gangguan mental pada seseorang
yang muncul setelah mengalami suatu pengalaman traumatikdalam kehidupan
jika tidak diobati bisa memperburuk gangguan stres pasca trauma atau post
traumatic stress disorder (PTSD) (Budiarto, 2010). Menurut Cut Husna (2010),
perawat harus menyiapkan keahlian dalam penanganan kejadian disaster salah
satunya dalam penanganan mental health atau PTSD. Nozumo (2013)
menjelasakan Evidence Based Treatment untuk PTSD yaitu Trauma-Focused
Cognitive Behavioral Therapy (TF-CBT), Exposure-based therapy, Cognitive
therapy, dan Pengobatan.
Budiarto menyebutkan dalam penelitiannya (2010), didapatkan
sebanyak 83% respondenya mengalami trauma pasca bencana tsunami di Aceh.
Dalam penelitian juga disebutkan perawat melakukan intervensi psikososial
untuk mengatasi trauma pasca bencana pada anak-anak dan remaja. Intervensi
psikososial dapat berupa pemberian terapi seni atau drama, sehingga gejala
PTSD dapat segera teratasi untuk pemulihan rehabilitasi di Aceh. Perawat juga
bisa melakukan pemulihan kesehatan mental melalui sharing dan mendengarkan
segala keluhan keluhan yang dihadapinya, selanjutnya diberikan sebuah solusi
dan diberi penyemangat untuk tetap bangkit. Sedangkan pada anak anak, cara
yang efektif adalah dengan mengembalikan keceriaan mereka kembali, hal ini
mengingat sifat lahiriah anak anak yang berada pada masa bermain. Perawat
dapat mendirikan sebuah taman bermain, dimana anak anak tersebut akan
mendapatkan permainan, cerita lucu, dan lain sebagainnya. Sehingga
kepercayaan diri mereka akan kembali seperti sedia kala. Budiarto (2010) juga
menyebutkan pemulihan PTSD pada korban bencana memerlukan waktu
delapan tahun lebih bagi mereka yang mengalami stress pasca bencana tsunami.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Bryant (2006), manajemen
kesehatan mental yang efektif meliputi identifikasi awal dari orang yang
beresiko tinggi mengembangkan gangguan kejiwaan ketika mereka mengalami
39

reaksi stres sementara pasca bencana dan intervensi pengobatan yang tepat
mungkin menjadi kunci positif keberhasilan jangka panjang
Selain itu, rehabilitasi dari segi komunitas perawat bisa melakukan kerja
sama dengan lintas sektoral dalam berbagai bidang ilmu untuk memulihkan
kembali keadaan korban bencana. Kondisi masyarakat di sekitar daerah yang
terkena musibah pasca bencana biasanya akan menjadi terkatung-katung tidak
jelas akibat memburuknya keaadaan pasca bencana akibat kehilangan harta
benda yang mereka miliki, sehinnga banyak diantara mereka yang patah arah
dalam menentukan hidup selanjutnya. Hal yang bisa menolong membangkitkan
keadaan tersebut adalah melakukan pemberdayaan masyarakat (PNPM, 2008).
Masyarakat perlu mendapatkan fasilitas dan skill yang dapat menjadi bekal bagi
mereka kelak. Perawat dapat melakukan pelatihan pelatihan keterampilan yang
difasilitasi dan berkolaborasi dengan instansi ataupun LSM yang bergerak
dalam bidang itu. Sehinnga diharapkan masyarakat di sekitar daerah bencana
akan mampu membangun kehidupannya kedepan lewat kemampuan yang miliki
seperti yang telah dilakukan di Aceh dan Nias pasca bencana Tsunami
(Sosesilowati, 2010).
Partisipasi warga masyarakat dalam rehabilitasi dan rekontruksi akan
mempengaruhi keberhasilan dalam program rehabilitasi dan rekontruksi seperti
rehabilitasi daerah Nias yang melibatkan masyarakat dan stakeholder terkait
dalam rehabilitasi dan rekontruksi daerah (Muktiali, 2008). Penanggulangan
bencana berbasis komunitas merupakan suatu upaya untuk mengkolaborasikan
penanggulangan bencana sebagai upaya bersama antara masyarakat, LSM,
swasta dan Pemerintah pada saat pra bencana, bencana dan pasca bencana
(PNPM, 2008).
40

IV. Role Play Intervensi Bencana

Prolog :

Tanggal 24 Oktober 2017, Gempa terjadi di Kota Padang dan


mengakibatkan banyaknya bangunan Runtuh. Sehingga ada kelompok relawan
yang terdiri dari mahasiswa keperawatan STIKes Syedza Saintika Padang,
datang untuk membantu korban bencana yang mengalami gangguan mental
seperti stress akibat bencana dan lainnya.

Mahasiswa menemukan banyak anak yang mengalami trauma dan


mahasiswa memilih anak bernama WW siswa dari sekolah x kelas VIII SMA
yang terlihat ketakutan dari wajahnya pucat akibat bencana tersebut.

Deskpripsi Pasien :

WW adalah anak pertama dari tiga bersaudara. WW berbicara ke


perawat dan mengatakan ia merasa takut dan ia melihat langsung bangunan
runtuh di depan matanya akibat gempa. Saat berbicara WW menangis dan
selalu memegangi tangan perawat. Maka perawat menyarankan kepada
keluarga WW untuk membawa nya berobat ke rumah sakit untuk berkonsultasi
dengan dokter.

Intervensi bencana yang dapat dilakukan oleh perawat adalah teknik


relaksasi, berupa reknik nafas dalam dan teknik relaksasi otot. Untuk
mengurangi stress dan tegangnya fikiran sehingga pasien merasakan rileks.
41

Pelaksanaan Kegiatan :

1. Topik

Jenis terapi trauma healing : Terapi Menarik Nafas Dalam

2. Sasaran

Anak korban gempa bumi dengan usia 14-16 tahun

3. Metode

Diskusi

4. Media dan Alat : Tidak Ada

5. Waktu dan Tempat

Hari Tanggal : Selasa / 24 Oktober 2017

Waktu : 11.20-11.50 WIB

Tempat : Rumah Sakit .

Tokoh Bermain Peran atau Role Play :

Penulis : Rahmadini dan Dona Delvina

Narator : Ari Putra Pratama

Perawat : Rahmadini

Dokter : Dona Delvina

Pasien : Wilda Wanti

Ibu Pasien : Indri Saputri


42

Skenario :

Pasien dan Ibu Pasien : Assalamualaikum wr.wb.Selamat siang sus.

Perawat : Waalaikumsalam wr.wb. Siang ibu, Ada yang


bisa saya bantu ibu?

Ibu pasien : Begini sus,anak saya sering merasakan takut


dan jantung nya sering berdebar kencang dan bisa
sampai pingsan jikaterjadi gempa sus. Jadi saya
datang kesini untuk konsultasi dengan dokter
bagaimana keadaan anak saya.

Perawat : Baiklah ibu, bisa ibu menyebutkan identitas


lengkap anak ibu?

Ibu pasien : Nama anak saya, WW Sus(..... Terus


menyebutkan identitas lengkap dari anaknya)

Perawat :Baiklah buk,mohon tunggu sebentar saya akan


panggilkan dokternya.(perawat berjalan menuju
ruangan dokter)

Perawat : (Tok tok tok, perawat mengetuk pintu).Permisi


dok, didepan ada pasien yang ingin berkonsultasi
dengan dokter. Menurut saya pasien tersebut
mengalami trauma akibat bencana kemarin.

Dokter : Baik sus, tolong panggilkan pasien dan


keluarganya untuk masuk keruangan saya.

Perawat : Baik dok. (berjalan keluar dari ruangan)

Perawat : Ibu saya sudah beritahu dokter DDbagaimana


dari anak ibu, dan dokter meminta ibuk untuk
masuk keruangan nya..

(Perawat dan Pasien dan ibu pasien berjalan menuju ruangan dokter)

Pasien dan ibu pasien : Assalamu’alaimum, pagi dokter.

Dokter : Ya waalaikumsalam.Silahkan duduk buk, dan


adik. Ada yang bisa saya bantu?

Ibu Pasien : Begini dok, anak saya sepertinya trauma akibat


bencana kemarin yang melanda kota padang. Jadi
saya khawatir dengan keadaaannya karna wajah
43

nya terlihat pucat sekali dan WW juga bilang


jantung nya berdebar kencang. Untuk itu saya
ingin konsultasi kepada dokter.

Dokter : Baiklah ibuk sesuai dengan apa yg telah ibu


jelaskan tadi, saya menyimpulkan keadaan anak
ibu saat ini adalah trauma pasca bencana, bisa jadi
karna anak ibu sebelumnya tidak pernah melihat
bencana yang terjadi kemarin. Mengakibatkan
anak ibu tegang dan ketakutan.

Ibu Pasien : Jadi bagaimana sebaiknya dok? Bagaimana cara


menyembuhkannya? (Ibu sembari memegangi
tangan anaknya)

WW (Pasien) : WW (diam dan tidak berkata apa-apa).


(Terlihat murung)

Dokter : Saya akan memberikan terapi untuk


menghilangkan trauma pada anak ibuk,disini
saya akan memberikan terapi trauma healing,
terapi ini bertujuan untuk penyembukan luka
trauma yang biasanya terjadi pada korban
bencana.

Ibu Pasien : Terapinya berupa apa dok?

Dokter : Terapi yang akan saya berikan berupa teknik


relaksasi seperti menarik nafas dalam, tujuan nya
agar anak ibuk dapat mengontrol trauma tersebut.
Jadi seandainya ada pemicu yang membuat anak
ibu trauma dia telah dapat mengatasi nya terlebih
dahulu.

Ibu Pasien : Apakah anak saya akan sembuh dok?

Dokter : Tentu ibu,tetapi kita lihat perkembangan nya


pada terapi pertama ini dulu ya buk,mudah-
mudahan pada terapi pertama ini anak ibuk
memperlihatkan perubahan sesuai yang kita
inginkan ya buk.

Ibu Pasien : Ya dok.


44

Dokter : Terapi ini akan di lakukan oleh perawat saya ini


ya buk. Tolong suster bawa adik ini keruangan
terapi ya.

Perawat : Baik Dokter. Mari Ibu. (sembari membawa


pasien dan ibunya keruang terapi).

Sesampainya diruangan terapi....

Perawat : Begini ibu, saya akan melakukan terapi kepada


ibu, dan sebaiknya ibu menunggu diruangbtunggu
ya bu, supaya anak ibu dapat lebih berkonsentrasi
dengan terapinya.

Ibu Pasien : Baik sus.

Perawat : Silahkan duduk adik, disini kami menyiapkan


kursi khusus untuk terapi supaya adik nyaman
menggunakannya. Jadi rileks saja ya. Jangan
fikirkan apapun, dan adik akan nyaman diruangan
ini.

Pasien (WW) : WW (awalnya hanya diam, tetapi ww mulai


berbicara, karena ia senang dengan gaya bicara
perawat)

Perawat : Nah adik, siapa namanya?

Pasien (WW) : WW sus.

Perawat : Tidak apa, panggil saja saya kakak ya, jadi adik
tidak kaku dengan saya. Baiklah adik disini akan
kakak ajarkan terapi menarik nafas dalam.
Apakah adik pernah, mendengar terapi ini
sebelumnya?

Pasien (WW) : Belum kak, apakah seperti menarik nafas biasa?

Perawat : Ya bagus sekali, memang benar terapi ini seperti


menarik nafas dalam. Hanya saja ada teknik-
tekniknya yang akan kakak ajarkan ya WW,
tujuannya untuk membuat WW rileks ya. Apakah
WW setuju dengan terapi ini?

Pasien (WW) : Setuju kak.


45

Perawat : Baiklah mari kita mulai terapinya. Dan


sebelumnya kakak akan mengajarkannya dan
WW perhatikan dulu.

1. WW tutup mata dan rileks, jangan fikirkan


apapun yang terjadi disekitar ya.

2. Usahakan tetap rileks dan tenang.

3. WW dapat menarik nafas dalam dari hidung


tahan sebentar dengan hitungan 1 2 3
kemudian perlahan-lahan hembuskan
melalui mulut.

4. WW rasakan rileksnya saat menarik nafas


dalam dan menghembuskannya.

5. Dalam teknik ini usahakan WW tetap


konsentrasi ya dan terus pejam kan mata.

Bagaimana WW? Apakah paham dengan apa


yang kakak ajarkan?

Pasien (WW) : Paham kak.

Perawat : Sekarang kita coba lagi ya terapinya. WW ikuti


cara kakak tadi ya dan kita cobakan.

Pasien (WW) : Baik kak.

1. WW tutup mata dan rileks, jangan fikirkan


apapun yang terjadi disekitar.

2. Usahakan tetap rileks dan tenang.

3. WW dapat menarik nafas dalam dari hidung


tahan sebentar dengan hitungan 1 2 3
kemudian perlahan-lahan hembuskan
melalui mulut.

4. WW rasakan rileksnya saat menarik nafas


dalam dan menghembuskannya.

Perawat : Bagus sekali WW, kamu bisa melakukannya,


baiklah kita lakukan 10 kali berulang ya, nanti
kita lihat apakah ada perubahannya.

Pasien (WW) : Baik kak (Terapi diulangi)


46

Perawat : Sudah selesai ya WW, bagaimana perasaan WW


setelah kia melakukan terapi? Apakah WW masih
merasa tegang dan takut?

Pasien (WW) : Tidak kak, sudah mulai berkurang, saat WW


menutup mata tadi dan menarik nafas, rasanya
apa yang ada difikiran WW mulai berkurang. Dan
WW merasa rileks saat melakukannya.

Perawat : Alhamdulillah, berarti ada kemajuan ya WW,


untuk itu kita akan melakukan terapi ini 2 kali
seminggu ya WW. WW datang lagi 3 hari lagi ya.

Pasien (WW) : Baik kak.

Perawat : Kakak sarankan kapan ada waktu luang WW


lakukan terapi yang kakak ajarkan tadi. Supaya
WW cepat sembuh dan trauma nya berkurang.

Pasien (WW) : Iya kak, makasi atas bantuannya dan selamat


siang.

Perawat : Selamat siang.

Pasien (WW) : (ww keluar dari ruangan terapi) bu, mari kita
pulang.

Ibu Pasien : Sudah selesai nak?

Pasien (WW) : Sudah bu, dan WW rasa terapi ini bagus untuk
WW. (sambil tersenyum)

Ibu Pasien : Alhamdulillah, ibu senang melihatmu


tersenyum. nak jika terjadi bencana itu adalah
kehendak ALLAH SWT, jadi kamu jangan terlalu
memikirkannya dan berserah diri kepada-
Nya. ALLAH pasti melindungi kita.

Pasien (WW) : Baik bu, WW mengerti, makasi bu telah


membawa WW berobat.
47
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Intervensi atau Penanganan Kesehatan Mental Sebelum Maupun


Sesudah Bencana

1. Menilai dan memonitor cakupan kebutuhan kesehatan mental,


melakukan penilaian cepat dan monitoring laporan kesehatan
mental secara berkelanjutan:

 Mengidentifikasi kebutuhan pelayanan kesehatan mental


dan melakukan pemetaan siapa melakukan apa dan di mana.
 Mengidentifikasi sumber daya dan pelayanan kesehatan
mental yang telah ada.

2. Membangun koordinasi dengan semua stake holder di bidang


kesehatan mental.
3. Memperkuat kapasitas kesehatan mental di komunitas dan
sistem kesehatan:

 Melakukan training kesehatan mental.


 Mengembangkan sistem referal yang sesuai.
 Mengembangkan protokol dan pedoman penanganan
kesehatan mental.

4. Mengembangkan model pelayanan kesehatan mental komunitas


yang komprehensif bekerja sama dengan stake holder di bidang
kesehatan mental yang sesuai dengan daerah tersebut (edukasi,
promosi dan advocacy kesehatan mental).

48
49

B. Saran

Semoga dengan adanya makalah ini bisa menambah wawasan dan


pengetahuan tentang tinjauan pustaka rentang asuhan keperawatan jiwa. Perawat
sebaiknya sudah harus memahami dan mengerti tentang role play intervensi
bencana dengan rehabilitasi keperawatan jiwa agar dapat menerapkannya dan
dapat memberikan pelayanan yang baik kepada pasien dan keluarga.
DAFTAR PUSTAKA

Nasir, Abdul. 2011. Dasar Keperawatan Jiwa. Jakarta : Salemba Medika


http://www.bencana-
kesehatan.net/images/regional/tt_6/bacaan/kesehatan_mental.pdf

http://tirtojiwo.org/wp-content/uploads/2014/02/bab3-dasardasarpemulihan.pdf

http://saigai-kokoro.ncnp.go.jp/document/pdf/mental_info_guide_in.pdf

http://www.ners.unair.ac.id/materikuliah/buku%20ajar%20keperawatan%20keseh
atan%20jiwa.pdf

http://erepo.unud.ac.id/10067/3/83457d260b631b3cdcac0020f8820fb5.pdf

http://psikiatri.forumid.net/t63-promosi-kesehatan-jiwa

https://www.slideshare.net/uweschaeruman/modul-2-kb-2-post-traumatic-stres-
disorder-ptsd

50

Anda mungkin juga menyukai