Anda di halaman 1dari 37

Laporan Kasus

KARSINOMA SERVIKS

Oleh:

Gina Anisah Mujahidah (013.06.0022)

Pembimbing:

dr.I Made Oka Sedana Yoga, Sp.OG

DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN / SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR

RSU BANGLI

2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat rahmat-Nya lah laporan kasus ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Laporan ini dibuat dalam rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian/SMF
Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar, di RSU
Bangli .
Pada Kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. IGN Yuliastina, Sp.OG, selaku kepala SMF Obstetri dan Ginekologi
RSU Bangli,
2. dr.I Made Oka Sedana Yoga, Sp.OG, selaku pembimbing dalam laporan
kasus ini,
3. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan ini
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan ini masih jauh dari kata
sempurna, karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki.
Untuk itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari para
pembaca.

Bangli, 12 Januari 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

Halaman
COVER..........................................................................................................................i
KATA PENGANTAR....................................................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. KANKER SERVIKS
2.1 Anatomi Serviks...................................................................................6
2.2 Definisi ...............................................................................................8
2.3 Klasifikasi......................................................................................................8
2.4 Etiologi.........................................................................................................12
2.5Faktor Resiko ...............................................................................................12
2.6 Patofisiologi.................................................................................................24
2.7 Manifestasi Klini..........................................................................................25
2.7 Diagnosis .....................................................................................................26
2.8 Penatalaksanaan ..........................................................................................28
BAB III LAPORAN KASUS
4.1 Identitas Pasien............................................................................................30
4.2 Anamnesis....................................................................................................30
4.3 Pemeriksaan Fisik........................................................................................31
4.4 Hasil Pemeriksaan Penunjang......................................................................33
4.5 Diagnosis.....................................................................................................34
4.6 Penatalaksanaan...........................................................................................34
4.7 Follow Up Ruangan.....................................................................................35
BAB IV PENUTUP
5.1 Simpulan......................................................................................................36
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................37

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kanker Leher Rahim (Kanker Serviks) adalah tumor ganas yang tumbuh
di dalam leher rahim/serviks (bagian terendah dari rahim yang menempel pada
puncak vagina. Kanker serviks biasanya menyerang wanita berusia 35-55 tahun.
90% dari kanker serviks berasal dari sel skuamosa yang melapisi serviks dan 10%
sisanya berasal dari sel kelenjar penghasil lendir pada saluran servikal yang
menuju ke dalam rahim. Karsinoma serviks biasanya timbul pada zona
transisional yang terletak antara epitel sel skuamosa dan epitel sel kolumnar yang
biasanya disebut sebagai squamo columnar junction (SCJ).
Hingga saat ini kanker serviks merupakan penyebab kematian terbanyak
akibat penyakit kanker di negara berkembang. Sesungguhnya penyakit ini dapat
dicegah bila program skrining sitologi dan pelayanan kesehatan diperbaiki.
Diperkirakan setiap tahun dijumpai sekitar 500.000 penderita baru di seluruh
dunia dan umumnya terjadi di negara berkembang. Penyakit ini berawal dari
infeksi virus yang merangsang perubahan perilaku sel epitel serviks. Pada saat ini
sedang dilakukan penelitian vaksinasi sebagai upaya pencegahan dan terapi utama
penyakit ini di masa mendatang. Risiko terinfeksi Human Papiloma Virus (HPV)
dan beberapa kondisi lain seperti perilaku seksual, kontrasepsi, atau merokok
akan mempromosi terjadinya kanker serviks. Mekanisme timbulnya kanker
serviks ini merupakan suatu proses yang kompleks dan sangat variasi hingga sulit
untuk dipahami.
Insiden dan mortalitas kanker serviks di dunia menempati urutan kedua
setelah kanker payudara. Sementara itu, di negara berkembang masih menempati
urutan pertama sebagai penyebab kematian akibat kanker pada usia reproduktif.
Hampir 80% kasus berada di negara berkembang. Sebelum tahun 1930, kanker

4
servik merupakan penyebab utama kematian wanita dan kasusnya turun secara
drastis semenjak diperkenalkannya teknik skrining pap smear oleh Papanikolau.
Namun, sayangnya hingga kini program skrining belum memasyarakat di negara
berkembang, hingga mudah dimengerti mengapa insiden kanker serviks masih
tetap tinggi.
Hal terpenting menghadapi penderita kanker serviks adalah menegakkan
diagnosis sedini mungkin dan memberikan terapi yang efektif sekaligus prediksi
prognosisnya. Hingga saat ini pilihan terapi masih terbatas pada operasi, radiasi
dan kemoterapi, atau kombinasi dari beberapa modalitas terapi ini. Namun, tentu
saja terapi ini masih berupa “simptomatis” karena masih belum menyentuh dasar
penyebab kanker yaitu adanya perubahan perilaku sel. Terapi yang lebih
mendasar atau imunoterapi masih dalam tahap penelitian.
Saat ini pilihan terapi sangat tergantung pada luasnya penyebaran penyakit
secara anatomis dan senantiasa berubah seiring dengan kemajuan teknologi
kedokteran. Penentuan pilihan terapi dan prediksi prognosisnya atau untuk
membandingkan tingkat keberhasilan terapi baru harus berdasarkan pada
perluasan penyakit. Secara universal disetujui penentuan luasnya penyebaran
penyakit melalui sistem stadium.

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Anatomi Serviks


Serviks merupakan bagian terendah dari uterus yang menonjol ke
vagina bagian atas. Bagian atas vagina berakhir mengelilingi serviks sehingga
serviks terbagi menjadi bagian (supravaginal) dan bagian bawah (portio). Di
anterior bagian batas atas serviks yaitu ostium interna kurang lebih tingginya
sesuai dengan batas peritoneum pada kandung kemih. Kanalis servikalis
berbentuk fusiformis dengan lubang kecil pada kedua ujungnya, yaitu
orifisium interna yang bermuara ke dalam uterus dan orifisium eksterna yang
bermuara ke dalam vagina.

Gambar 2.1 Anatomi Servix

6
Gambar 2.2 Zona Transformasi Serviks

Pada serviks terdapat zona transformasi (transformation zone), yaitu:


area terjadinya perubahan fisiologis sel-sel skuamos dan kolumnar epitel
serviks. Pertemuan epitel silindris endoserviks dengan epitel skuamos
eksoserviks disebut taut skuamokolumnar (squamocolumnar junction, SCJ).
Epitel serviks mengalami beberapa perubahan selama perkembangannya sejak
lahir hingga usia lanjut. Sehingga, letak taut skuamokolumnar ini juga
berbeda pada perkembangannya.
a. Saat lahir: ektoserviks dilapisi oleh epitel skuamos.
b. Saat dewasa muda: terjadi pertumbuhan ke bawah epitel silindris di bawah
os ektoserviks; karena itu, SCJ menjadi terletak di bawah ektoserviks.
c. Saat dewasa: terjadi regenerasi epitel skuamos dan kolumnar sehingga
epitel skuamos kembali melapisi seluruh ektoserviks dan letak SCJ
kembali ke tempat awal.
d. Saat menopause atau paparan lama progestin menyebabkan atrofi serviks
dan SCJ mundur ke kanalis servikalis. Area tempat tumbuhnya kembali
epitel skuamos atau tempat antara letak SCJ saat lahir dan dewasa muda
disebut zona transformasi.

7
2.2. Definisi Kanker Serviks
Kanker serviks adalah tumor ganas primer yang berasal dari
metaplasia epitel di daerah skuamokolumner junction yaitu daerah peralihan
mukosa vagina dan mukosa kanalis servikalis. Kanker serviks merupakan
kanker yang terjadi pada serviks atau leher rahim, suatu daerah pada organ
reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim, letaknya
antara rahim (uterus) dan liang senggama atau vagina. Kanker leher rahim
biasanya menyerang wanita berusia 35-55 tahun. Sebanyak 90% dari kanker
leher rahim berasal dari sel skuamosayang melapisi serviks dan 10% sisanya
berasal dari sel kelenjar penghasil lendir pada saluran servikal yang menuju ke
rahim (Prawirohardjo, 2010).
2.3. Stadium Kanker Serviks
Berdasarkan sistem tahapan dari International Federation of
Gynecology and Obstetrics (FIGO), tahapan kanker serviks terbagi dalam
tahap 1-4, semakin tinggi angka maka semakin kanker menyebar. Sistem ini
didasarkan pada sistem TNM, yakni T berarti menggambarkan ukuran tumor
primer dan jika telah tumbuh menjadi jaringan di sekitar leher rahim,
diberikan nilai 1-4 yang artinya semakin tinggi angka maka tumor semakn
lebih besar atau telah tumbuh lebih dalam ke jaringan di dekatnya atau
keduanya. Huruf N berarti menggambarkan kelenjar getah bening di panggul,
sedangkan untuk huruf M berarti menjelaskan apakah kanker telah menyebar,
atau metastasis, ke bagian lain di dalam tubuh. Berikut tahapan kanker
serviks: (CCS, 2015).

1. Tahap Awal
a. Stadium IA
Pada stadium IA berdasarkan TNM yaitu, T1a, N0, M0 yang artinya
tumor tidak lebih dari 5 mm mendalam dan atau kurang dari 7 mm
pada bagian terlebar. N0 berati kanker belum menyebar ke kelenjar
getah bening, sedangkan M0 berarti kanker belum menyebar ke bagian

8
tubuh lain. Kanker ini dianggap invasif karena sel-sel kanker telah
memasuki jaringan stroma (lapisan jaringan ikat penyangga leher
rahim). Sel-sel kanker hanya dapat didiagnosis dengan mikroskop.
Pada stadium IA1 berdasarkan TNM yaitu, T1a1, N0, M0.
Tumor telah tumbuh menjadi, atau menginvasi, stroma. Hal ini tidak
lebih dari 3 mm mendalam dan atau kurang dari 7 mm pada bagian
terlebar.
Pada stadium IA2 berdasarkan TNM yaitu, T1a2, N0, M0.
Tumor telah tumbuh menjadi stroma. Hal ini lebih dari 3 mm, tetapi
tidak lebih dari 5 mm, dalam dan atau kurang dari 7 mm pada bagian
terlebar.
b. Stadium IB
Pada stadium IB berdasarkan TNM yaitu, T1b, N0, M0 yang
artinya tumor dapat dilihat pada serviks tanpa mikroskop atau hanya
dapat dilihat dengan mikroskop tetapi lebih besar dari stadium IA2
tumor. Kanker belum menyebar ke kelenjar getah bening dan kanker
belum menyebar bagian tubuh lain. Pada stadium IB1 dengan TNM
yaitu T1b1, N0, M0. Tumor dapat dilihat tanpa mikroskop dan kurang
dari 4 cm di bagian terlebar. Kanker belum menyebar ke kelenjar getah
bening dan belum menyebar kebagian tubuh lain.
Pada stadium IB2 dengan TNM yaitu T1b2, N0, M0. Tumor
dapat dilihat tanpa mikroskop dan lebih dari 4 cm di bagian terlebar.
Kanker belum menyebar ke kelenjar getah bening dan belum
menyebar ke bagian tubuh lain.
c. Stadium IIA
Pada stadium IIA dengan TNM yaitu T2a, N0, M0. Tumor
telah tumbuh melampaui rahim tetapi tidak ke dinding panggul atau
sepertiga bagian bawah vagina. Kanker belum menyebar ke jaringan
ikat longgar di sekitar leher rahim dan rahim (tidak ada invasi
parametrium). Pada tahap ini kanker belum menyebar ke kelenjar
getah bening dan belum menyebar ke bagian tubuh lain.

9
Pada stadium IIA1 dengan TNM yaitu T2a1, N0, M0. Tumor
dapat dilihat tanpa mikroskop dan kurang dari 4 cm di bagian terlebar.
Pada tahap ini juga kanker belum menyebar ke kelenjar getah bening
dan belum menyebar ke bagian tubuh lain.
Pada stadium IIA2 dengan TNM yaitu T2a2, N0, M0. Tumor
dapat dilihat tanpa mikroskop dan lebih dari 4 cm di bagian terlebar.
2. Tahap Lokal Lanjutan
a. Stadium IIB
Pada stadium IIB dengan TNM yaitu T2b, N0, M0. Tumor
telah tumbuh melampaui rahim tetapi tidak ke dinding panggul atau
sepertiga bagian bawah vagina. Kanker telah menyebar ke sekitar
jaringan serviks (invasi parametrium). Pada tahap ini kanker belum
menyebar ke kelenjar getah bening dan belum menyebar ke bagian
tubuh lain.
b. Stadium IIIA
Pada stadium IIIA dengan TNM yaitu T3a, N0, M0. Tumor
telah berkembang ke sepertiga bagian bawah vagina namun tidak ke
dinding panggul. Pada tahap ini kanker belum menyebar ke kelenjar
getah bening dan belum menyebar ke bagian tubuh lain.
c. Stadium IIIB
Pada stadium IIIB dengan TNM yaitu T3b, setiap N, M0 yang
berarti tumor telah tumbuh ke dinding panggul. Pada tahap ini
memungkinkan terjadinya perdarahan hebat saat disentuh. Tumor
menghalangi ureter sehingga menyebabkan ginjal membesar
(hidronefrosis) atau kerja ginjal berhenti berhenti (ginjal tidak
berfungsi) sehingga timbul gejala gangguan berkemih dan buang air
besar. Pada stadium ini kanker bisa jadi telah menyebar atau tidak ke
kelenjar getah bening di panggul, namun belum menyebar ke organ
tubuh lain.
d. Stadium IVA
Pada stadium IVA dengan TNM yaitu T4, setiap N, M0 yang
berarti tumor telah tumbuh pada lapisan (mukosa) dari kandung kemih

10
atau rektum, atau kanker yang telah menyebar ke luar panggul. Pada
tahap ini kanker bisa jadi telah menyebar atau tidak ke kelenjar getah
bening di panggul, namun belum menyebar ke organ tubuh lain.
3. Stadium Lanjut
a. Stadium IVB
Pada stadium IVB dengan TNM yaitu setiap T, setiap N, M1
yang berarti tumor dapat ukuran dan mungkin atau mungkin tidak
telah tumbuh menjadi salah jaringan sekitarnya. Pada tahap ini kanker
bisa jadi telah menyebar atau tidak ke kelenjar getah bening di
panggul, terdapat metastasis yang jauh (kanker telah menyebar ke
bagian tubuh lain, seperti paru-paru, hati atau tulang).
Metastasis jauh, termasuk yang melibatkan nodus para aortic,
organ yang jauh, atau struktur sekitar seperti kandung kemih atau
rektum, biasanya terjadi setelah penyakit tersebut berlangsung lama.
Pengecualian terjadi pada tumor neuroendokrin yang bersifat lebih
agresif.

2.4. Etiologi Kanker Serviks


Penyebab kanker leher rahim adalah Human Papilloma Virus (HPV)
atau virus papiloma manusia. Virus ini ditemukan pada 95 % kasus kanker
leher rahim. Ada beberapa tipe HPV yang dapat menyebabkan kanker, yaitu
tipe 16 dan 18 ( paling sering di Indonesia ) serta tipe 31, 34, 45, dan lain-lain.
HPV dapat dengan mudah ditularkan melalui aktifitas seksual dan beberapa
sumber transmisi tidak tergantung dari adanya penetrasi, tetapi juga melalui
sentuhan kulit di wilayah genital tersebut (skin to skin genital contact).
Dengan demikian setiap wanita yang aktif secara seksual memiliki risikountuk
terkena kanker leher rahim (Manuaba,2010).
2.5. Faktor Resiko Kanker Serviks
a. Usia
Usia yang paling banyak terkena kanker serviks adalah kelompok
usia 41-65 tahun dengan grade paling banyak berada pada grade 3-4.
Meningkatnya risiko kanker leher rahim pada usia ini merupakan

11
gabungan dari meningkatnya dan bertambah lamanya waktu pemaparan
terhadap karsinogen serta makin melemahnya sistem kekebalan tubuh
akibat usia. Menurut penelitian yang dilakukan Lestari dan Sari (2011)
melaporkan bahwa wanita akan mengalami perubahan pada anatomi tubuh
serta mengalami penurunan dari fungsi dan kerja dari organ tubuhnya
sehingga wanita rawan terhadap risiko infeksi. Secara fakta, dengan
bertambahnya usia, terjadi pengurangan risiko infeksi HPV, namun pada
hasil penelitian ini risiko infeksi menetap/persisten justru meningkat pada
usia >35 tahun. Hal ini diduga karena seiring pertambahan usia, terjadi
perubahan anatomi (retraksi) dan histologi (metaplasia). Dimasa ini segala
kekuatan mulai menurun, penyakitpun seolah-olah bersahabat dengan
manusia golongan umur ini. Masa ini juga dimana wanita akan mengalami
menopause, pada masa itu sering terjadi perubahan sel-sel abnormal pada
mulut rahim. Selain itu, karena menurunnya daya tahan tubuh dan terjadi
perubahan sel-sel abnormal dalam mulut rahim, mempercepat
pertumbuhan sel kanker serviks (Widhya,2016).
b. Multi Partner Sex
Jumlah pasangan seksual >1 orang turut berkontribusi dalam
penyebaran kanker serviks. Semakin banyak jumlah pasangan seks, maka
semakin meningkat pula risiko terjadinya kanker serviks pada wanita
tersebut. Menurut Aminati (2013) mengemukakan bahwa wanita yang
berganti-ganti pasangan akan rentan terkena virus HPV. Penularan virus
ini dapat terjadi baik dengan cara tranmisi melalui organ genital ke organ
genital, oral ke genital maupun secara manual ke genital. Virus ini
akanmengubah sel-sel di permukaan mukosa hingga membelah menjadi
lebih banyak. Bila hal ini terus menerus terjadi, sel kankerpun akan terus
berkembang.
Selain itu pada prinsipnya setiap pria memiliki protein spesifik
berbedapada spermanya. Protein tersebut dapat menyebabkan kerusakan
pada sel epitel serviks. Sel epitel serviks akan mentoleransi dan mengenali

12
protein tersebut tetapi jika wanita itu melakukan hubungan dengan banyak
pria maka akan banyak sperma dengan protein spesifik berbeda yang akan
menyebabkan kerusakan tanpa perbaikan dari sel serviks sehingga akan
menghasilkan luka. Adanya luka akan mempermudah infeksi HPV. Risiko
terkena kanker serviks menjadi 10 kali lipat lebih besar pada wanita yang
mempunyai partner seksual 6 orang atau lebih (Wahyuningsih & Mulyani
2014).
c. Berhubungan Seksual Pertama Kali Diusia≤20 Tahun
Umur pertama kali melakukan hubungan seksual juga merupakan
faktor risiko terjadinya kanker leher rahim, sekitar 20% kanker leher
rahim dijumpai pada wanita yang aktif berhubungan seksual sebelum
umur 20 tahun. Periode rentan ini berhubungan dengan kiatnya proses
metaplasia pada usia pubertas, sehingga bila ada yang mengganggu proses
metaplasia tersebut misalnya infeksi akan memudahkan beralihnya proses
menjadi displasia yang lebih berpotensi untuk terjadinya keganasan
(Widhya,2016)
d. Multi Paritas
Paritas merupakan keadaan dimana seorang wanita pernah
melahirkan bayi yang dapat hidup atau tidak. Paritas yang berbahaya
adalah dengan memiliki jumlah anak lebih dari 2 orang atau jarak
persalinan terlalu dekat, karena dapat menyebabkan timbulnya perubahan
sel-sel abnormal pada mulut rahim. Jika jumlah anak yang dilahirkan
melalui jalan normal banyak menyebabkan terjadinya perubahan sel
abnormal dari epitel pada serviks dan dapat berkembang menjadi
keganasan. Menurut ACS (2014) bahwa wanita yang telah mengalami 3
atau lebih kehamilan dalam jangka penuh memiliki peningkatan risiko
untuk terjadinya kanker serviks. Penelitian telah menunjukkan bahwa
perubahan hormon selama kehamilan kemungkinan membuat perempuan
lebih rentan terhadap infeksi HPV atau pertumbuhan kanker.
(Widhya,2016)

13
Pemikiran lainnya bahwa wanita hamil mungkin memiliki sistem
kekebalan tubuh lemah, sehingga memungkinkan untuk terjadinya infeksi
HPV dan pertumbuhan kanker.

e. Penggunaan alat kontrasepsi hormonal


Penggunaan alat kontrasepsi hormonal merupakan salah satu faktor
risiko terjadinya kanker leher rahim. Pada kontrasepsi hormonal terdapat 2
hormon yang terlibat yaitu hormon estrogen sintetik dalam bentuk etinil
estradiol dan mestranol serta hormon progesteron sintetik dalam bentuk
norethrindone, noretinodrel, etinodiol, dan norgestrel. Kontrasepsi
hormonal dibedakan menjadi 2 yaitu kontrasepsi hormonal kombinasi dan
kombinasi. Kontrasepsi hormonal kombinasi menggunakan gabuangan
kedua hormon sintetik tersebut contohnya pil, implant, dan suntik 1 bulan,
sedangkan kontrasepsi non kombinasi hanya menggunakan salah satunya
(progesteron), contohnya suntik 3 bulan.
Kombinasi hormonal pada alat kontrasepsi dapat bertindak sebagai
kofaktor dalam proses infeksi kanker leher rahim. Estrogen berfungsi
untuk meningkatkan laju pembelahan sel dalam epitel duktus sehingga
meningkatkan probabilitas mutasi yang terjadi, sedangkan progesteron dan
progestagens dapat meningkatkan efek ini. Selain itu, kontrasepsi
hormonal akan membuat kekentalan lendir pada leher rahim. Kekentalan
lendir tersebut, akan memperlama keberadaan suatu agen karsinogenik di
leher rahim, yang terbawa melalui hubungan seksual, termasuk adanya
virus HPV (Widhya, 2016).
f. Merokok dan Paparan Asap Rokok
Menurut American Cancer Society [ACS] (2014) mengemukakan
bahwa wanita yang merokok sekitar dua kali lebih berisiko terjadi kanker
serviks dibandingkan dengan non-perokok. Perokok pasif juga merupakan
faktor risiko dari kanker serviks. Paparan asap rokok dapat meningkatkan
risiko terjadinya lesi prakanker leher rahim sebesar 4,8 kali dibandingkan
dengan orang yang tidak terkena paparan asap rokok (Dewi et al, 2013).

14
Merokok berpeluang untuk masuknya banyak bahan kimia
penyebab kanker yang mempengaruhi organ selain paru-paru. Zat
berbahaya ini diserap melalui paru-paru dan dibawa dalam aliran darah ke
seluruh tubuh (ACS, 2014). Zat-zat tersebut terdapat pada tembakau yang
mengandung bahan karsinogen, baik yang diisap sebagai rokok atau
dikunyah (Dewi et al, 2013). Tembakau mengandung bahan-bahan
karsinogenik. Wanita perokok memiliki konsentrasi nikotin pada getah
serviks 56 kali lebih tinggi dibandingkan di dalam serum. Efek langsung
dari bahan tersebut pada leher rahim adalah menurunkan status imun lokal
sehingga dapat menjadi karsinogen. Bahan tersebut oleh peneliti
ditemukan pada serviks yang wanita yang aktif merokok dan menjadi
kokarsinogen infeksi HPV karena bahan tersebut diketahui dapat
menyebabkan kerusakan sel epitel serviks sehingga mempermudah infeksi
HPV dan menyebabkan neoplasma (populasi sel kanker) serviks (Tay SK,
2004. Hidayat, 2001. Novel 2010 cit Wahyuningsih dan Mulyani, 2014)
Menurut ACS (2014) bahwa merokok juga membuat sistem kekebalan
tubuh kurang efektif dalam memerangi infeksi HPV.
Efek langsung bahan tersebut pada leher rahim akan menurunkan
status imun lokal, sehingga dapat menjadi ko-karsinogen. Kandungan
nikotin dalam asap rokok masuk dalam lendir yang menutupi leher rahim
sehingga menurunkan ketahanan alami sel leher rahim terhadap perubahan
abnormal. Bahan kimia tersebut dapat merusak DNA pada sel-sel leher
rahim dan berkontribusi terhadap berkembangnya kanker leher rahim
(Dewi et al, 2013).
g. Perineal Hygiene Buruk
Hygiene diri yang kurang baik juga dapat meningkatkan risiko
terjadinya lesi prakanker leher rahim sebesar 29 kali disbanding hygiene
baik (Dewi et al, 2013). Teori dimana kebersihan memiliki pengaruh
terhadap pH vagina sehingga dapat memberikan peluang untuk
pertumbuhan flora, dimana flora ini dapat memberikan perasaan gatal dan

15
menggaruk sehingga timbul radang. Radang inilah yang kemungkinan
mempercepat pertumbuhan HPV sehingga meningkatkan risiko terjadinya
kanker serviks (Sarjana, 2009 cit Dewi et al, 2013). Rahmayanti (2012)
mengemukakan bahwa organ reproduksi perempuan mudah terkena
bakteri yang menimbulkan bau tidak sedap di daerah kelamin dan infeksi.
Cara membasuh vagina yang benar yaitu dari depan ke belakang juga
berpengerauh terhadap status kebersihan wanita, karena cara membasuh
vagina yang salah dapat menyebabkan kuman masuk ke liang vagina dan
memicu infeksi sehingga HPV sebagai penyebab kanker tumbuh dengan
baik (Dewi et al, 2013).
Mengganti celana dalam minimal dua kali sehari juga merupakan
upaya dalam menjaga kesehatan dan kebersihan vagina. Celana dalam
yang digunakan harus terbuat dari bahan yang dapat menyerap keringat.
Katun adalah bahan kain terbaik yang sesuai untuk semua jenis kelit
termasuk area vagina. Menggunakan celana berbahan katun
memungkinkan organ genital perempuan untuk menghirup udara yang
segar dan selalu membantunya agar tetap kering (Dewi et al, 2013).
Penggantian pembalut ≤2 kali dalam sehari akan menyebabkan
kelembaban berlebih yang memudahkan pertumbuhan jamur atau bakteri
termasuk HPV. Jumlah darah menstruasi yang keluar kemungkinan tidak
terserap dengan baik dalam waktu lebih dari 4 jam. Adanya darah yang
tidak terserap pembalut mengakibatkan permukaan pembalut basah,
ditambah lagi aktifitas wanita seperti duduk membuat pembalut akan
tertekan dan darah yang dalam pembalut tertekan
h. Penggunaan Pembalut/Pantyliner
Menggunakan pembalut baik pantyliner atau pembalut saat
menstruasi, pembalut yang bisa menyebabkan kanker serviks adalah
pembalut yang mengandung dioksin. Dioksin merupakan bahan pencemar
lingkungan. Biasanya, dioksin digunakan sebagai pemutih yang digunakan
untuk memutihkan pembalut hasil daur ulang dari barang bekas, misalnya

16
rayon, kardus, dan lain-lain. Rayon terbuat dari serat selulosa yang berasal
dari pulp kayu (Arum, 2015).
Dioksin bisa masuk ke tubuh perempuan ketika sedang haid. Jika
perempuan sedang haid atau cairan hariannya sedang banyak, maka cairan
tersebut akan menetes ke permukaan pembalut/pantyliner yang dipakai.
Cairan tersebut bersifat asam dan terjadi penguapan. Dioksin yang salah
satu unsurnya oksigen (O) dan sifatnya oksidatif akan menguap (apalagi
jika pembalut atau pantyliner dalam kondisi basah dan kelembaban
tinggi), kemudian terbawa dalam permukaan vagina, lalu masuk ke rongga
rahim melalui leher rahim (serviks). Dioksin akan menempel dan terikat
pada jaringan lemak di dinding rahim. Dalam sel dioksin akan berikatan
dengan aryl hydrocarbon receptor (AhR) yang diproduksi oleh berbagai
organ termasuk hati, paru-paru, selkeluar sehingga limfosit dan plasenta.
Karena berikatan dengan AhR maka dioksin bergerak bebas dalam sel dan
ketika berikatan dengan DNA dia dapat mengaktifkan atau mematikan
DNA serta mengubah struktur DNA. Melalui mekanisme ini dioksin akan
merusak/mengganggu sistem reproduksi, endokrin, fungsi imun,
metabolisme hormon, faktor pertumbuhan dan memicu sel kanker (Arum,
2015).
i. Diet
Perempuan yang kurang mengkonsumsi buah-buahan dan sayuran
dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker serviks (ACS,2014).
Menurut beberapa penelitian menyimpulkan bahwa defesiensi asam folat
seperti sayuran berdaun hijau tua buah buahan jeruk dan papaya dapat
meningkatkan risiko terjadinya displasia ringan. Makanan yang juga
meningkatkan risiko terjadinya kanker serviks pada wanita adalah
makanan yang rendah beta karotene seperti wortel, ubi jalar, kubis atau
buah mangga dan labu, retinol (vitamin A) seperti wortel, bayam, tomat,
dan sebagainya, dan vitamin C seperti buah jeruk, papaya, kiwi, kubus,

17
dan sebagainya, serta vitamin E seperti pada umbi-umbian, alpukat,
brokoli, dan sebagainya (Abdurrahman, 2015).
Konsumsi makanan yang berlemak tinggi secara terus menerus
maka tubuh akan mengalami peningkatan lemak. Peningkatan lemak akan
menstimulasi seksresi asam empedu yang bertindak sebagai surfaktan
agresif pada mukosa, sehingga menstimulasi proliferasi. Faktor-faktor
yang beredar meningkatkan proliferasi dan apoptosis dari sel-sel pra-
kanker, sehingga mempromosikan pertumbuhan tumor (Calle & Kaaks,
2004 cit Aulawi, 2013). Menurut ACS (2014) mengatakan bahwa
mengkonsumsi alkohol juga dapat meningkatkan risiko penyakit kanker.
Alkohol dapat bertindak sebagai iritan dan merusak jaringan tubuh. Sel
yang rusak dapat mencoba untuk memperbaiki diri, yang dapat
menyebabkan perubahan DNA pada sel-sel yang dapat menjadi langkah
menuju kanker. Menurut Physicians Committee for Responsible Medicine
[PCRM] (2013), senyawa karsinogen pada daging yang dimasak dapat
menjadi faktor risiko timbulnya kanker. Heterocyclic amines (HCAs)
adalah senyawa perusak DNA daging yang diproduksi pada saat daging
dimasak. Memanggang, menggoreng, atau membakar daging dengan suhu
yang panas menghasilkan jumlah besar mutagen ini. Semakin lama dan
lebih panas daging yang dimasak, semakin banyak pula pembentukan
senyawa ini. Dalam beberapa penelitian, ayam panggang membentuk
konsentrasi zat penyebab kanker yang lebih tinggi dibandingkan dengan
jenis daging yang dimasak. Kelas utama HCA terbentuk dari keratin atau
kreatinin, asam amino spesifik, dan gula. Pembentukan HCA terbesar
yaitu ketika daging dimasak pada suhu tinggi, seperti yang paling umum
dengan memanggang atau menggoreng.
Memanggang dan membakar daging secara langsung pada lidah
api juga mengakibatkan lemak jatuh ke dalam api panas dan membentuk
lidah api yang mengandung Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAH).

18
PHA akan melekat pada permukaan makanan, jika makanan tersebut
semakin panas maka PHA akan semakin melekat. PHA diyakini berperan
penting dalam memberikan kontribusi untuk terjadinya kanker pada
manusia (Abdurrahman, 2015).

j. Obesitas
Sekitar 20% akibat dari semua keganasan adalah obesitas,
meskipun pengaruhnya adalah gender dan lainnya. Hubungan antara
obesitas dan risiko kanker yang lebih tinggi terutama karena parameter
antropometri dan faktor gaya hidup yang mengaktifkan mekanisme
biologis yang berbeda. Parameter antropometrik yang dapat meningkatkan
risiko kanker adalah BMI yang lebih dari 40,0, peningkatan berat badan,
dan jumlah lemak tubuh, khususnya lemak visceral. Faktor gaya hidup
yang berisiko terjadinya kanker termasuk pola diet, seperti hypercaloric
dan/atau diet yang buruk (Abdurrahman, 2015).
Menurut National Cancer Institution [NCI] (2012) mengemukakan
bahwa mekanisme yang berbuhungan dengan obesitas dan meningkatnya
risiko kanker adalah jaringan lemak yang memproduksi banyak hormon
estrogen yang berhubungan langsung dengan peningkatan kanker
payudara, kanker endometrial dan beberapa kankerlainnya. Orang yang
obesitas sering meningkatkan level insulin dan insulin seperti Growth
Factor-1 (IGF1) di dalam darahnya (akibatnya terjadi hiperinsulinemia
atau resistensi insulin), dimana berkembang untuk terjadinya tumor. Sel
lemak menghasilkan hormon, disebut adipokines, yang dapat
menstimulasi atau menghambat pertumbuhan sel. Misalnya, leptin yang
lebih banyak pada orang yang mengalami obesitas, sel ini dapat
berdampak untuk terjadinya proliferasi sel, sedangkan adiponectin, yang
kurang berlimpah pada orang yang mengalami obesitas akan berefek
menjadi antiproliferative. Sel lemak mungkin juga bisa langsung dan tidak

19
langsung berefek pada pertumbuhan tumor regulator, termasuk target
rapamycin mamalia (mTOR) dan AMP (aktifitas protein kinase)
(Abdurrahman, 2015).

k. Memiliki riwayat keluarga kanker serviks


Riwayat keluarga seperti ibu atau saudara perempuan yang
memiliki kanker serviks berpeluang untuk mengembangkan penyakit ini
sekitar 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibandingan dengan tidak memiliki
riwayat keluarga dengan kanker serviks. Beberapa peneliti menduga
beberapa contoh kecenderungan familial ini disebabkan oleh kondisi
warisan yang membuat beberapa wanita kurang mampu melawan infeksi
HPV dibandingkan dengan yang tidak memiliki riwayat tersebut. Dalam
kasus lain, perempuan dari keluarga yang sama sebagai pasien sudah
didiagnosis bisa lebih mungkin untuk memiliki satu atau lebih faktor
risiko non-genetik lainnya (ACS, 2014).
Kanker disebabkan karena adanya ketidak normalan materi genetik
dari sel karena terjadinya perubahan tersebut. Terjadinya abnormalitas dari
gen adalah terjadinya kesalahan replikasi dari DNA atau gen yang
diturunkan dari orangtuanya, sehingga gen yang salah tersebut terdapat
dalam seluruh sel tubuhnya. Penyakit kanker yang diturunkan biasanya
dipengaruhi oleh interaksi yang komplek antara pemaparan bahan
karsinogenik dengan genom penderita. Abnormalitas dari genetik pada
penderita kanker terciri pada dua kelompok gen. Onkogen yang memicu
terbentuknya kanker adalah dengan jalan mengaktifkan sel kanker, yang
menyediakan dan memfasilitasi sel tersebut untuk berkembang seperti
hiperaktif pertumbuhan dan pembelahan sel, mencegah terjadinya
program kematian sel (apoptosis), kehilangan sifat normal dari sel, dan
mampu bertahan dan berkembang dalam jaringan lingkungannya. Pada
kondisi tersebut gen yang bertugas menghambat sel tumor

20
dihambat/diinaktifkan yang mengakibatkan sel tidak berfungsi normal, hal
tersebut menyebabkan replikasi DNA yang mengontrol siklus sel tidak
bekerja (ACS, 2014).

l. Kemiskinan
Kemiskinan juga merupakan faktor risiko untuk kanker serviks.
Banyak wanita dengan pendapatan rendah tidak memiliki akses siap untuk
layanan perawatan kesehatan yang memadai, termasuk tes Pap smear. Ini
berarti mereka mungkin tidak mendapatkan skrining atau perawatan untuk
kanker serviks dan pra-kanker (ACS, 2014).
Kemiskinan erat kaitannya dengan tingkat pendidikan seseorang.
Tingkat pendidikan seseorang mempengaruhi perilaku mengenai kondisi
kesehatannya. Seseorang dengan pendidikan tinggi akan lebih mudah
menerima informasi sehingga pengetahuannya lebih baik. Pendidikan
merupakan salah satu faktor penting yang mendorong seseorang untuk
lebih peduli dan termotivasi untuk meningkatkan derajat kesehatan dirinya
dan keluarganya. Pendidikan menjadikan seseorang memiliki pengetahuan
yang luas dan pola pikir akan terbangun dengan baik, sehingga kesadaran
untuk berperilaku positif dalam hal kesehatan semakin meningkat (ACS,
2014).
Pendidikan dapat mempengaruhi perilaku seseorang untuk
membentuk pola hidup, terutama dalam memotivasi sikap untuk berperan
serta dalam pembangunan kesehatan. Makin tinggi pendidikan seseorang
umumnya makin mudah untuk menerima informasi. Wanita yang
berpendidikan rendah tidak mempunyai kesadaran dalam memperhatikan
kesehatannya terutama kesehatan reproduksi. Wanita tersebut melakukan
pemeriksaan IVA, kemungkinan karena ikut-ikutan teman atau saudara,
tanpa tahu tujuan dan manfaatnya (Suarniti et al, 2012). Tingginya angka
kemiskinan mempengaruhi pola pemenuhan kebutuhan sehari-hari,
termasuk di dalamnya adalah pemenuhan bahan makanan. Keluarga

21
miskin cenderung melewatkan makan atau mengabaikan rasa lapar atau
memakan makanan yang tidak bernutrisi saat tidak memiliki uang
sehingga berisiko untuk terjadinya kanker. Kondisi ini diperburuk jika
berada di lingkungan perkotaan dimana harga jual bahan makanan dan
bahan pokok lainnya tinggi, sehingga pemenuhan kebutuhan pokok pada
masyarakat perkotaan mengalami kesulitan, termasuk di dalamnya
pemenuhan bahan makanan (Widhya, 2016).
2.6. Patofisiologi Kanker Serviks
Karsinoma serviks biasa timbul di daerah yang disebut squamo
columnar junction (SCJ), yaitu batas antara epitel yang melapisi ektoserviks
(porsio) dan endoserviks kanalis serviks, dimana secara histologik terjadi
perubahan dari epitel ektoserviks yaitu epitel skuamosa berlapis dengan epitel
endoserviks yaitu epitel kuboid/kolumnar pendek selapis bersilia. Letak SCJ
dipengaruhi oleh faktor usia, aktivitas seksual dan paritas. Pada wanita muda
SCJ berada di luar ostium uteri eksternum, sedangkan pada wanita berusia di
atas 35 tahun SCJ berada di dalam kanalis serviks. Oleh karena itu pada
wanita muda, SCJ yang berada di luar ostium uteri eksternum ini rentan
terhadap faktor luar berupa mutagen yang akan memicu displasia dari SCJ
tersebut. Pada wanita dengan aktivitas seksual tinggi, SCJ terletak di ostium
eksternum karena trauma atau retraksi otot oleh prostaglandin (Prawirohardjo,
2010).
Pada masa kehidupan wanita terjadi perubahan fisiologis pada epitel
serviks. Epitel kolumnar akan digantikan oleh epitel skuamosa yang diduga
berasal dari cadangan epitel kolumnar. Proses pergantian epitel kolumnar
menjadi epitel skuamosa disebut proses metaplasia dan terjadi akibat
pengaruh pH vagina yang rendah. Aktivitas metaplasia yang tinggi sering
dijumpai pada masa pubertas. Akibat proses metaplasia ini maka secara
morfogenetik terdapat 2 SCJ, yaitu SCJ asli dan SCJ baru yang menjadi
tempat pertemuan antara epitel skuamosa baru dengan epitel kolumnar.

22
Daerah di antara kedua SCJ ini disebut daerah transformasi (Prawirohardjo,
2010).
Penelitian akhir-akhir ini lebih memfokuskan virus sebagai salah satu
faktor penyebab yang penting, terutama virus DNA. Pada proses
karsinogenesis asam nukleat virus tersebut dapat bersatu ke dalam gen dan
DNA sel tuan rumah sehingga menyebabkan terjadinya mutasi sel.
Sel yang mengalami mutasi tersebut dapat berkembang menjadi sel displastik
sehingga terjadi kelainan epitel yang disebut displasia. Dimulai dari displasia
ringan, displasia sedang, displasia berat dan karsinoma in-situ dan kemudian
berkembang menjadi karsinoma invasif (Prawirohardjo, 2010). Perjalanan
alamiah kanker leher rahim menurut Depkes (2015) adalah sebagai berikut:

23
2.7. Manifestasi Klinis
Gejala kanker serviks pada kondisi pra-kanker ditandai dengan Fluor
albus (keputihan) merupakan gejala yang sering ditemukan getah yang keluar
dari vagina ini makin lama akan berbau busuk akibat infeksi dan nekrosis
jaringan. Dalam hal demikian, pertumbuhan tumor menjadi ulseratif.
Perdarahan yang dialami segera setelah bersenggama (disebut sebagai
perdarahan kontak) merupakan gejala karsinoma serviks (75 80%). Pada
tahap awal, terjadinya kanker serviks tidak ada gejala-gejala khusus.
Biasanya timbul gejala berupa ketidak teraturannya siklus haid, amenorhea,
hipermenorhea, dan penyaluran sekret vagina yang sering atau perdarahan
intermenstrual, post koitus serta latihan berat. Perdarahan yang khas terjadi
pada penyakit ini yaitu darah yang keluar berbentuk mukoid.
Nyeri dirasakan dapat menjalar ke ekstermitas bagian bawah dari
daerah lumbal. Pada tahap lanjut, gejala yang mungkin dan biasa timbul lebih
bervariasi, sekret dari vagina berwarna kuning, berbau dan terjadinya iritasi
vagina serta mukosa vulva. Perdarahan pervagina akan makin sering terjadi
dan nyeri makin progresif. Perdarahan setelah koitus atau pemeriksaan dalam
(vaginal toussea) merupakan gejala yang sering terjadi. Karakteristik darah
yang keluar berwarna merah terang dapat bervariasi dari yang cair sampai
menggumpal. Gejala lebih lanjut meliputi nyeri yang menjalar sampai kaki,
hematuria dan gagal ginjal dapat terjadi karena obstruksi ureter. Perdarahan
rektum dapat terjadi karena penyebaran sel kanker yang juga merupakan
gejala penyakit lanjut. Pada pemeriksaan Pap Smear ditemukannya sel-sel
abnormal di bagian bawah serviks yang dapat dideteksi melalui, atau yang
baru-baru ini disosialisasikan yaitu dengan Inspeksi Visual dengan Asam
Asetat.
Sering kali kanker serviks tidak menimbulkan gejala. Namun bila
sudah berkembang menjadi kanker serviks, barulah muncul gejala-gejala
seperti pendarahan serta keputihan pada vagina yang tidak normal, sakit saat
buang air kecil dan rasa sakit saat berhubungan seksual (Manuaba, 2010).

24
2.8. Diagnosis Kanker Serviks
Pada tahap prakanker lesi sering tidak menimbulkan gejala. Bila ada
gejala biasanya berupa keputihan yang tidak khas, atau ada perdarahan setitik
yang bisa hilang sendiri. Pada tahap selanjutnya (kanker) dapat timbul gejala
berupa keputihan atau keluar cairan encer dari vagina yang biasanya berbau,
perdarahan diluar siklus haid, perdarahan sesudah melakukan senggama,
timbul kembali haid setelah mati haid (menopause) nyeri daerah panggul,
gangguan buang air kecil (Depkes RI, 2015).
Perubahan dini pada serviks, khususnya Carcinoma In-Situ (CIN), bisa
dideteksi sebelum berkembang menjadi kasus karsinoma invasif dengan cara
skrining dengan menggunakan Pap smear, tes HPV, dan skrining visual
dengan menggunakan asam asetat atau larutan Lugol iodin (WHO, 2013).
Untuk mendapatkan diagnosis pasti keganasan dilakukan biopsi serviks.
Biopsi jaringan pada keganasan serviks dapat dipandu baik oleh suatu lesi
yang jelas terlihat atau dengan kolposkopi. Indikasi dilakukannya kolposkopi
adalah temuan HGSIL (High Grade Squamous Intraepithelial Lesion) pada
Pap smear, termasuk di dalamnya displasia sedang, berat, dan karsinoma in
situ. Indikasi lain untuk melakukan kolposkopi adalah adanya LGSIL (Low
Grade Squamous Intraepithelial Lesion) yang persisten. Macam biopsi yang
dapat dilakukan antara lain punch biopsy, incisional biopsy, LEEP (Loop
Electrosurgical Excision Procedure), cold knife biopsy, dan laser cone biops.
Konisasi dapat digunakan juga untuk mengobati lesi prainvasif serviks seperti
displasia berat (CIN 3), terutama jika fungsi reproduksi masih dibutuhkan
(Manuaba, 2010).
Tiga komponen utama yang saling mendukung dalam menegakkan diagnosa
kanker serviks adalah:
1. Sitologi
Bila dilakukan dengan baik ketelitian melebihi 90%. Tes Pap sangat
bermanfaat untuk mendeteksi lesi secara dini. Sediaan sitologi harus
mengandung komponen ektoserviks dan endoserviks.

25
Gambar 2.3 Teknik Pap smear

2. Kolposkopi
Kolposkopi adalah pemeriksaan dengan menggunakan kolposkop,
yaitu suatu alat seperti mikroskop bertenaga rendah dengan sumber cahaya
di dalamnya. Pemeriksaan kolposkopi merupakan pemeriksaan standar
bila ditemukan pap smear yang abnormal. Pemeriksaan dengan

26
kolposkopi, merupakan pemeriksaan dengan pembesaran, melihat
kelainan epitel serviks, pembuluh darah setelah pemberian asam asetat.
Pemeriksaan kolposkopi tidak hanya terbatas pada serviks, tetapi
pemeriksaan meliputi vulva dan vagina. Tujuan pemeriksaan kolposkopi
bukan untuk membuat diagnosa histologik, tetapi untuk menentukan
kapan dan dimana biopsi harus dilakukan.

Gambar 2.3 Colposcopy Untuk Mengambil Jaringan yang Abnormal

3. Biopsi
Biopsi dilakukan di daerah abnormal di bagian yang telah
dilakukan kolposkopi. Jika kanalis servikalis sulit dinilai, sampel diambil
secara konisasi.

27
Gambar 2.4 Biopsi Serviks

2.9. Penatalaksanaan Kanker Serviks


Jika diagnosis kanker serviks telah dipastikan secara histopatologi,
maka pengobatan harus segera dilakukan. Pilihan pengobatan pada kanker
serviks dilakukan dengan mempertimbangkan berberapa faktor, diantaranya
letak dan luas lesi, usia, jumlah anak dan keinginan untuk menambah jumlah
anak lagi, adanya penyakit lain pada uterus, keadaan sosioekonomi, dan
fasilitas yang tersedia. Pengobatan kanker serviks dilakukan berdasarkan
stadium klinis penyakit, secara umum dapat digolongkan kedalam tiga
golongan terapi, yaitu:

1. Operasi
Operasi dilakukan pada stadium klinis I dan II, meliputi
histerektomi radikal, histerektomi ekstrafasial, dan limpadenoktomi. Pada
stadium klinis II, selain operasi juga dilakukan terapi radiasi.
2. Radioterapi
Radioterapi adalah terapi yang dilakukan dengan menggunakan
sinar X berkekuatan tinggi. Terapi radiasi dilakukan pada stadium klinis

28
IB. Selain radiasi, kadang juga dilakukan kemoterapi sebagai terapi
kombinasi.
3. Kemoterapi
Kemoterapi dilakukan bila terapi radiasi tidak mungkin dilakukan
karena metastasis sudah sangat jauh. Umumnya diberikan pada stadium
klinis IVB dan hanya bersifat paliatif.

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien


Nama : NWW
No MR : 281643
Usia : 43 tahun
Agama : Hindu
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Br Dinas Temukus, Karangasem
MRS : 30 Desember 2018
3.2. Anamnesis
Keluhan Utama : Susah BAB
Riwayat penyakit sekarang :

29
Pasien datang ke RSU bangli dengan keluhan susah BAB sejak 3 hari
yang lalu sebelum masuk rumah sakit, selain itu pasien mengeluhkan mual
dan muntah sejak 1 hari yang lalu sebanyak ± 3 kali, muntah berisikan ampas
makanan. Nafsu makan pasien menurun. Pasien mengaku menderita kanker
serviks stadium III B sejak ± 2 tahun yang lalu dan sedang menjalani
kemoterapi, pasien sudah menjalani kemoterapi sebanyak 5 kali. Kemoterapi
terakhir didapatkan pada tangggal 23-10-2018.
Saat ini pasien mengatakan tidak terdapat adanya perdarahan
pervaginam namun terdapat adanya keputihan yang berbau.

 Riwayat Menstruasi : pasien menarche pada usia 13 tahun, teratur 30 hari


sekali, 2 - 3 kali ganti pembalut selama 3 - 4 hari.
 Riwayat Pernikahan : pasien menikah pertama kali pada usia 25 tahun.
pasien pernah menikah 1 kali selama 18 tahun.
 Riwayat Obstetri
1. 2000/aterem/PsptB/Nakes/Laki-Laki/3000 gr
2. 2003/aterem/PsptB/Nakes/Perempuan/3200gr

 Riwayat Kontrasepsi
Pasien menggunakan kontrasepsi suntik 3 bulan selama kurang lebih 13
tahun.
 Riwayat Penyakit Terdahulu
Pasien memiliki riwayat penyakit Ca Cervix (+), Hipertensi (-), Diabetes
Meilitus (-), Penyakit Jantung (-) dan Asma (-)
 Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien menyangkal keluarga memiliki riwayat penyakit Ca Cervix,
hipertensi, diabetes mellitus, asma, dan penyakit jantung. Pasien mengaku
tidak memiliki keluarga dengan riwayat alergi obat ataupun makanan.
 Riwayat Sosial

30
Pasien tidak merokok maupun mengonsumsi minuman beralkohol. Pasien
kesehariannya ibu rumah tangga .Suami pasien juga merupakan seorang
petani. Pasien menggunakan asuransi berupa KIS.

3.3 Pemeriksaan Fisik


Status Present
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis (E4V5M6)
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 78x/menit
Respirasi : 20x/menit
Temp. Axilla : 36,6°C
Tinggi Badan : 155 cm
Berat Badan : 52 kg
IMT : 21,64 kg/m2

 Status General
Kepala : Normocephali
Mata : Anemis (-/-), Ikterus (-/-), refleks pupil (+/+)
Thorax : Cor : S1S2 tunggal reguler, murmur (-)

Pulmo : Vesikular (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)

Abdomen : ~ status obstetri

Ekstremitas : Akral hangat : ekstremitas atas +/+

ekstremitas bawah +/+

Edema : ekstremitas atas -/-

ekstremitas bawah -/-

 Status Obstetri
Abdomen
Inspeksi
Tampak perut dalam batas normal, distensi (+), luka bekas operasi (-)

Palpasi
Teraba masa (+) Nyeri tekan (+) pada daerah simfisis.

31
Auskultasi
Bising usus (+) normal

Vagina
Blood (-) slym (-), Perdarahan aktif (-), keputihan (+)

Vaginal Toucher (VT) :


Tidak dilakukan

3.4 Hasil Pemeriksaan Penunjang


Darah lengkap
Elektrolit
WBC : 11.7 10^9/L K : 4.00 mmol/L
Lym : 1.1 ^9/L Na : 176.9 mmol/L
MID : 0,6 % Cl :112.5 mmol/L
GRA : 10,0 g/dl nCa : 1.27 mmol/L
RBC : 3.68 10^12/L TCa : 2.54 mmol/L
HGB : 10,2 g/dL Glucose : 175
HCT : 33.3 % Creatinine: 0,62 mg/dL
MCV : 31.5 fL Urea UV: 46 mg/dL
PLT: 276 10^9/L

MPV : 7.3 fL

PCT : 0.20 %

PDW : 10.1 fL

3.5 Diagnosis
Ca Cervix Stadium III B Post Kemoterapi + Observasi Vomiting

32
3.6 Penatalaksanaan
Co: dr. I Sedana Yoga, Sp.OG
- Terapi Konservatif
- MRS
- Tirah baring
- IVFD RL 20 tpm
- Ranitidin 2x50 mg IV
- Ondansentron 3x4 mg IV

Co: dr. Eka Janu, Sp.PD

- Loading RL 250 cc
- Pasang DC
- Ranitidin diganti Omeprazole 2x40 mg IV
- Ondansentron 3x4 mg IV K/P
- Laxadin 3x10 cc PO
- Cek Na, K @ 12 jam
- EKG

3.7 Follow Up Ruangan

Tanggal Subjective Objective Assesment Planning


31/12/20 Pasien Ku : baik Ca Cervix IVFD RL 20
18 mengatakan Kesadaran : Stadium III
tpm
sudah bias BAB compos mentis B Post
dan Flatus, Nyeri TD : 90/70 mmHg Kemoterapi Ondancentron
sympisis(+),kepu N : 85 x / menit
3x4 mg IV
tihan(+),perdarah Tax : 36 C
an RR : 20 x / menit Omeprazole
pervaginam(-), Status generalis :
2x40 mg
muntah (-), DBN
pusing (+) Status obstetri : Laxadin syr 3x
Palpasi : nyeri
10 cc
sympisis (+)
Vagina : Cek Na, K
keputihan (+)
EKG
perdarahan (-)
1/01/201 Pasien sudah bias Ku : baik Ca Cervix IVFD RL 20
9 BAB dan flatus, Kesadaran : Satdium III
tpm
muntah (-), compos mentis B Post
Nyeri TD : 110/80 Kemoterapi Ondancentron

33
sympisis(+) mmHg 3x4 mg IV
berkurang. N : 84 x / menit
Omeprazole
Tax : 36 C
RR : 20 x / menit 2x40 mg
Status generalis :
Laxadin syr 3x
DBN
Status obstetri : 10 cc
Palpasi: nyeri
sympisis (+)
Vagina :
keputihan (+)
perdarahan (-)
2/04/201 Pasien sudah bias Ku : baik Ca Cervix BPL
8 BAB dan flatus, Kesadaran : Satdium III Antasida 3x10
muntah (-), compos mentis B Post cc
Nyeri TD : 110/80 Kemoterapi Ranitidin 2x150
sympisis(+) mmHg mg
berkurang. N : 88 x / menit Kontrol
Tax : 36 C 9/01/2019
RR : 20 x / menit
Status generalis :
DBN
Status obstetri :
Palpasi: nyeri
sympisis (+)
Vagina :
keputihan (+)
perdarahan (-)

34
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Pasien Ny.NWW usia 43 tahun datang ke RSU bangli dengan keluhan
susah BAB sejak 3 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit, selain itu
pasien mengeluhkan mual dan muntah sejak 1 hari yang lalu sebanyak ± 3
kali, muntah berisikan ampas makanan. Nafsu makan pasien menurun. Pasien
mengaku menderita kanker serviks stadium III B sejak ± 2 tahun yang lalu
dan sedang menjalani kemoterapi, pasien sudah menjalani kemoterapi
sebanyak 5 kali. Kemoterapi terakhir didapatkan pada tangggal 23-10-2018.
Saat ini pasien mengatakan tidak terdapat adanya perdarahan
pervaginam namun terdapat adanya keputihan yang berbau. Tanda vital
ketika pasien MRS, Keadaan umum: Baik, Kesadaran: Compos Mentis
(E4V5M6), Tekanan Darah : 120/80 mmHg, Nadi : 78x/menit,Respirasi :
20x/menit, Temp. Axilla: 36,6°C, Tinggi Badan : 155 cm, Berat Badan : 52
kg, IMT : 21,64 kg/m2. Dari hasil pemeriksaan status generalis masih dalam
batas normal, status obstetri palpasi nyeri sympisis (+), vagina : keputihan
(+), Perdarahan aktif (-), pemeriksaan dalam Vaginal Toucher (VT) : tidak
dilakukan. Dari hasil pemeriksaan penunjang laboratorium darah lengkap
masih dalam batas normal, elektrolit terdapat hipernatremia. Dari hasil
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang diagnosis pasien
pada kasus ini Ca Cervix Stadium III B Post Kemoterapi + Observasi
Vomiting. Keadaan pasien mulai membaik dan diperbolehkan pulang pada
tanggal 02 januari 2019.

35
DAFTAR PUSTAKA

Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka

Manuaba, IBG, dkk. 2010. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan Dan KB. Jakarta :
EGC

Widhiya Agnes P. 2016. Identifikasi Faktor Risiko Kanker Serviks Pada Mahasiswi.
Karya Tulis Ilmiah Fakultas Kedokteran Muhammadiyah Yogyakarta. Hal:
56-60

Sari, Adelia Perwati., Syahrul, Fariani. 2014. Faktor yang Berhubungan dengan
Tindakan Vaksinasi HPV pada Wanita Usia Dewasa. Jurnal Berkala
Epidemiologi. Vol 2. No. 3. Hal:321-330.

Wahyuningsih, Tri., Mulyani, Erry Yudhya. 2014. Faktor risiko terjadinya lesi
prakanker serviks melalui deteksi dini dengan metode IVA (Inspeksi Visual
dengan Asam Asetat). Forum Ilmiah. Vol. 11. Nomor 2. Hal:192-209.

Kemenkes RI. (2015). InfoDATIN Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan
RI: Perilaku Merokok Masyarakat Indonesia. Diakses 25 Mei 2016 dari
(http://www.depkes.go.id/download.php?
file=download/pusdatin/infodatin/infodatin-hari-tanpa-tembakausedunia.pdf
n)

Kemenkes RI. (2015). Info DATIN Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan
RI: Stop Kanker. Diakses 2 Juni 2015 dari (http://www.depkes
.go.id/resources/download/pusdatin/info datin/infodatin-kanker.pdf)

Abdurrahman, Fadlullah. 2014. Faktor-Faktor Pendorong Perilaku Diet Tidak Sehat


pada Wanita Usia Dewasa Awal Studi Kasus pada Mahasiswi Universitas
Mulawarman. Journal Psikologi, Vol 2, No. 2. (Hlm 163-170).

American Cancer Society. 2014. Cervical Cancer Prevention and Early Detection.
Diakses 31 Oktober 2015 dari (http://www.cancer.org/acs/groups/
cid/documents/webcont ent/003167-pdf.pdf

Dewi, I Gusti Agung Ayu Novya., Sawitri, Anak Agung Sagung., Adiputra, N.

36
2013. Paparan Asap Rokok dan Higiene Diri Merupakan Faktor Risiko Lesi
Prakanker Leher Rahim di Kota Depansar tahun 2012.Public Health and
Preventive Medicine Achieve, Vol.1. No. 1. (Hlm. 8491).

37

Anda mungkin juga menyukai