Proposal Penelitian Water Content Astm D 95 PDF
Proposal Penelitian Water Content Astm D 95 PDF
PENDAHULUAN
1
1.1 Latar Belakang Penelitian
Water Content ASTM D 95 adalah salah satu dari beberapa pengujian yang
dilakukan oleh Laboratorium Minyak Bumi, dimana dalam melakukan pengujian
water content untuk produk minyak seperti minyak IFO (industrial Fuel Oil) dan
MFO (marine fuel oil) selalu diperlukan suatu reagen standar yang digunakan untuk
mengekstrak kandungan air yang terdapat di minyak, yaitu Xylene.
Jika terdapat diklat, baik diklat aparatur maupun non aparatur maka kebutuhan
reagen standar ini bervariasi tergantung jumlah jam praktek yang dilaksanakan. Untuk
sekali praktek/analisis diperlukan sekitar 100 – 200 ml reagen Xylene (ASTM D 95-
05 (2010)). Tentunya dengan harga Xylene yang mahal akan mempengaruhi biaya
diklat yang harus diperhitungkan dalam kegiatan praktikum, sedangkan harga Solven
Pertamina rata-rata hanya berharga Rp. 7500 per liter di tingkat Dealer.
Penggunaan solven Pertamina jenis Pertasol CC selama ini telah digunakan
oleh analis di laboratorium uji PPSDM Migas sebagai pengganti dari reagen Xylene,
tetapi sampai dengan saat ini belum pernah dikaji kemampuan solven Pertamina jenis
Pertasol CC bila dibandingkan dengan reagen Xylene terutama untuk sample uji jenis
IFO dan MFO. Berdasarkan teori extraksi bahwa perbedaan densitas yang cukup
besar akan mempengaruhi jumlah extrak yang diperoleh pada proses ekxtraksi
(Treybal, 1981).
Praktikum pengujian Minyak Bumi dan produk-produknya yang dilakukan di
laboratorium Minyak Bumi selama ini dilakukan oleh para instruktur Laboratorium
Minyak Bumi PPSDM Migas yang telah berpengalaman. Dalam melakukan proses
Transfer Knowledge ke peserta diklat di Laboratorium, para instruktur Laboratorium
PPSDM Migas selama ini selalu melakukannya dengan simulasi atau memeragakan
tanpa menggunakan reagen standar tetapi menggunakan solven Pertamina. Tentunya
penggunaan reagen yang tidak sesuai ini akan memberikan interpretasi yang berbeda
bila dipahami oleh peserta diklat, sementara di satu sisi belum pernah dilakukan
penelitian tentang keakurasian dan kemampuan solven Pertamina jenis Pertasol CC
sebagai pengganti Xylene untuk reagen pada pengujian Water Content ASTM D 95.
2
1.2 Rumusan Masalah
Masalah yang dicoba untuk dicari penyelesaiannya adalah apakah reagen
solven Pertamina bisa menggantikan reagen standar Xylen untuk pengujian Water
Content ASTM D 95.
3
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Diagram segitiga kelarutan untuk sistem 3 cairan yang berlangsung secara isotherm
seperti disajikan pada gambar berikut ini :
4
Diagram segitiga kelarutan pada gambar 2.1 (a) diatas menggambarkan bahwa
cairan C melarut sempurna di cairan A dan B, tetapi banyaknya cairan A yang
melarut di cairan B adalah sebagian saja begitu pula sebaliknya. Pada titik L akan
disebut dengan cairan A rich (cairan kaya A) karena pada titik ini jumlah cairan A
yang melarut lebih banyak dari pada cairan B, tetapi tidak ada cairan C yang
melarut sama sekali di cairan A maupun di cairan B. Begitu pula sebaliknya di
titik K yang disebut dengan cairan B rich (cairan kaya B), dimana pada titik K ini
jumlah cairan B yang melarut lebih banyak dari pada cairan A, tetapi tidak ada
cairan C yang melarut sama sekali di cairan A maupun di cairan B. Kurva LRPEK
umumnya disebut dengan binodal solubility curve (kurva kesetimbangan
liquid/caran), yaitu kurva yang mengindikasikan perubahan kelarutan cairan A
terhadap cairan B (atau sebaliknya) bilamana ditambahkan cairan C. Area yang
berada diluar kurva LRPEK adalah area cairan homogen satu fasa, sedangkan area
yang berada di bawah kurva (misal : pada titik M) adalah area dimana terdapat 2
cairan yang tidak saling melarut.
Pengaruh Temperatur
Pada sistem ini temperatur sangat mempengaruhi kelarutan dari cairan A, B dan C
seperti ditunjukkan pada gambar berikut :
5
Gambar 2.2 menggambarkan bahwa kesetimbangan cairan bergeser seiring
dengan perubahan temperatur operasi ekstraksi. Semakin tinggi temperatur
sampai dengan T4, maka kelarutan cairan A teradap cairan B semakin meningkat,
sehingga cairan A dan cairan B akan melarut sempurna. Kondisi ini akan sulit
untuk dipisahkan meskipun telah ditambahkan cairan C.
Pengaruh Tekanan
Pengaruh tekanan terhadap kesetimbangan cairan sangatlah kecil, kecuali jika
ekstraksi dioperasikan pada tekanan yang sangat tinggi. Semua diagram
kesetimbangan cairan yang ada dianggap telah diplot pada tekanan operasi yang
cukup tinggi untuk menghindari terjadinya penguapan cairan pada proses extraksi,
sehingga tekanan operasi extraksi paling tinggi adalah diatas tekanan uap cairan
cairan tersebut. Bila tekanan operasi extraksi dibawah tekanan uap cairan tersebut
maka cairan-cairan tersebut akan menguap dan akan mengganggu proses extraksi.
Gambar 2.3 : Sistem 3 cairan dimana terdaat 2 pasangan cairan yang saling melarut
sebagian, yaitu cairan A – B dan cairan B - C
6
Pada temperatur tertentu titik K dan J menunjukkan mutual solubility cairan A
dan B, sedangkan titik H dan L menunjukkan mutual solubility cairan B dan
C. Kurva KRH disebut sebagai kurva A rich, yaitu kurva dengan komponen
cairan A yang terbanyak, sedangkan kurva JEL adalah kurva dengan
komponen B yang terbanyak. Kurva KRH dan JEL disebut dengan kurva
ternary solubility curve, sedangkan area yang berada diantara dua kurve ini
(yaitu titik M) adalah campuran cairan heterogeneous 2 fasa yang
berkesetimbangan pada titik E dan titik R, dan untuk area yang berada di luar
kurve adalah cairan homogenous 1 fasa.
Pengaruh Temperatur
Meningkatnya temperatur operasi ekstraksi umumnya akan meningkatkan
kelarutan dari cairan cairan tersebut. Diagram pengaruh temperatur ini
digambarkan seperti pada gambar 2.4. Jika temperatur dinaikkan hingga
mencapai T4 (lihat gambar 2.4), maka sistem cairan ini akan memiliki
karakter kelarutan seperti pada gambar 2.1.
7
Disamping pengaruh suhu dan tekanan, densitas solvent, viskositas solvent, interfacial
tension, tekanan uap, dan freezing point solvent ikut mempengaruhi pula laju kelarutan
antar cairan (Treybal, 1981), sedangkan waktu kontak proses extraksi liquid-liquid
tidaklah berpengaruh karena waktu kontak untuk proses extraksi liquid-liquid adalah 0,05
– 1 detik (Rydberg, 2004) .
8
Gambar 2.5 : Metode ASTM D 86
sebagai contoh prinsip dasar Simple
Batch Distillation
Fractional Distillation
Fractional Distillation adalah Distilasi yang dilakukan secara bertingkat (Winkle, 1967),
dimana umumnya distilasi fractional ini selalu dilakukan di suatu kolom tinggi (bejana
tinggi) baik bertekanan, atmosferik, maupun vacuum. Pada kolom distilasi bertingkat ini
dilengkapi dengan beberapa plate yang disusun secara bertingkat. Tujuan dari
pemasangan plate bertingkat ini adalah agar terjadi kesetimbangan uap-cairan. Gambar
2.6 adalah contoh dari kolom tinggi untuk fractional distillation.
9
Gambar 2.6 : Metode ASTM D 86 sebagai
contoh prinsip dasar Distilasi Batch
Extractive Distillation
Etractive distillation adalah gabungan dari dua proses yaitu proses extraksi liquid-liquid
dan distilasi. Extractive distillation ini umumnya dilakukan untuk memisahkan dua cairan
yang sulit terpisahkan dengan cara distilasi biasa karena dua cairan ini memiliki sifat sifat
yang sama (tekanan dan temperatur kritis). Kondisi dimana dua cairan yang memiliki
tekanan dan temperatur krisitis yang sama saling melarut dan tidak bisa dipisahkan
dengan cara distilasi biasa disebut dengan Azeotropic (Winkle, 1967). Untuk
memisahakan dua cairan dalam kondisi Azeotropic perlu ditambahkan cairan ketiga
(disebut dengan entrainer) sebagai pengekstrak dari salah satu cairan yang mengalami
kondisi azeotropic. Setelah salah satu cairan yang mengalami azeotropic tersebut melarut
di cairan entrainer, maka cairan yang melarut di entrainer ini akan bersifat lebih volatil
atau sebaliknya. Selanjutnya setelah proses extraksi dilakukan proses distilasi untuk
memisahkan dua cairan tersebut. Kondisi dua cairan Azeotropic ini digambarkan seperti
gambar 2.7 berikut :
10
Sumber : Marzal P, Morton J. B, Rodrigo M. A, J. Chem Eng Data 41(3), 608-611, 1996
Extractive distillation untuk produk-produk minyak bumi pada uji ASTM D 95 bisa
menggunakan solvent petroleum distillate. Solvent petroleum distilat adalah solvent yang
telah dikenakan proses cut point pada 5% boiling di temperatur antara 90 and 100°C (194
and 212°F) dan 90% boiling di bawah temperatur 210°C (410°F) (ASTM D 95-05
(Reapproved 2010)). Treatment cut point pada solvent sebelum digunakan untuk extraksi
bertujuan untuk menurunkan berat molekul dari solvent (Chevron, 2009). Dengan
menurunnya berat molekul solvent maka proses extraksi dapat berlangsung dengan baik
(Yeh, 1985).
11
Gambar 2.8 : Metode ASTM D 95 sebagai
contoh prinsip dasar Extractive Distillation
Solphy - 2
SOLPHY – 2 adalah Solvent hidrokarbon yang merupakan salah satu bahan / produk
yang bersifat ramah lingkungan dan menjadi alternative pengganti Bahan Perusak Ozon
(BPO), sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk meratifikasi Konvensi Wina dan
Protocol Montreal terkait penghapusan penggunaan bahan – bahan perusak lapisan ozon.
12
SOLPHY-2 diproduksi oleh kilang PERTAMINA RU II Dumai dan dikemas dalam
kaleng (pail) ukuran 20 liter.
Kegunaan Solphy-2 adalah sebagai solvent pembersih pada kegiatan pre-cleaning,
general cleaning dan degreasing di mesin-mesin pesawat terbang. Parts yang dibersihkan
meliputi Engine/APU parts (termasuk bearings dan bolts), landing gear components,
ELMO-components, airframe metal parts dan lain-lainnya. Produk Solphy-2 dapat juga
diaplikasikan dengan baik pada kegiatan general cleaning di mesin-mesin lainnya, seperti
mesin kereta api, kapal, crane, mesin Industri dan alat berat dengan berbagai metoda
cleaning, yakni spraying, dipping, brushing dan swabbing. Selain sebagal metal cleaning,
Solphy-2 dapat menjadi substitusi produk Stoddard Solvent yang banyak diaplikasikan
pada industri cat, coating dan dry cleaning.
LAWS 5
Merupakan solvent yang dihasilkan di kilang PERTAMINA RU V di Balikpapan dengan
boiling range antara 140oC — 190oC. Senyawa hidrokarbon yang membentuk solvent
LAWS merupakan campuran dari paraffins, cycloparaffins, dan aromatic hydrocarbon.
Sifat yang menonjol adalah tidak korosif dan bersifat stabil dengan warna yang jernih.
Adapun kegunaan dari solvent jenis ini adalah :
13
d. Bahan baku untuk memproduksi pelapis sepatu, lantai, dan furnitur
e. Bahan baku untuk industri resin
f. Pelarut untuk pembersih logam
Paraxylene
Paraxylene adalah senyawa hidrokarbon aromatic yang dihasilkan dari proses aromatisasi
dari heavy naptha dalam unit platformer yang kemudian dipisahkan untuk memproduksi
benzene dengan ekstraksi dan paraxylene dengan absorbsi. Paraxylene dihasilkan oleh
Kilang Paraxylene PERTAMINA IV Cilacap. Adapun kegunaan dari Paraxylene adalah
sebagai berikut :
14
2.4 Konsep Kunci
Etractive distillation adalah proses yang digunakan untuk memisahkan dua cairan yang
sulit terpisahkan dengan menggunakan proses distilasi biasa. Proses extractive distillation
ini didahului dengan proses extraksi. Dimana pada proses extraksi ini diperlukan cairan
ketiga yaitu solvent pertamina untuk mengikat salah satu dari dua cairan yang sulit
dipisahkan. Setelah dilakukan proses extraksi dilanjutkan dengan proses distilasi untuk
memisahkan antara extrak dan raffinate.
2.4.1 Densitas
Denistas adalah massa cairan per unit volume yang diukur pada suhu 15 oC dan tekanan
101,325 kPa dengan unit satuan standar kilogram per meter kubik (ASTM D 1298-12b).
Dengan semakin kecilnya perbedaan densitas antara solvent dengan cairan yang akan
diekstrak maka semakin mudah proses ekstraksi tersebut berlangsung (Treybal, 1981)
2.4.2 Cut Point
Cut Point didefinisikan sebagai range temperatur kurva distilasi crude oil yang memiliki
batasan teratas dan terbawah untuk fraksi-fraksi yang dihasilkannya (Jones, 2006). Istilah
cut point ini banyak diadopsi untuk menyatakan cut point dari beberapa solvent seperti
pada ASTM D 95. Proses cut point solvent akan menyebabkan berat molecul dari solvent
akan lebih kecil (Chevron, 2009). Dengan menurunnya berat molekul solvent maka
proses extraksi dapat berlangsung dengan baik (Yeh, 1985).
Densitas Solven
15
2.6 Hipotesis
Salah satu variabel yang mempengaruhi keberhasilan suatu proses extraksi adalah
densitas dan cut point solvent. Dimana semakin semakin pendek cut poin solvent
yang digunakan pada proses operasi extraksi maka semakin mudah cairan ketiga
(solven Pertamina) untuk mengikat salah satu cairan yang akan dipisahkan dengan
metode distilasi, sedangkan semakin kecil perbedaan densitas solvent dengan
densitas salah satu cairan yang akan diextrak maka semakin mudah cairan ketiga
(solven Pertamina) untuk melarut di salah satu cairan yanga akan dipisahkan
melalui metode distilasi.
16
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Pada bab ini akan menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan pelaksanaan penelitian
yang meliputi : metode penelitian, pengumpulan data, pengolahan data.
Sumber data adalah data primer yang diambil dengan melakukan beberapa percobaan.
Adapun bahan dan peralatan penelitian dalam pengumpulan data primer adalah sebagai
berikut :
a. Bahan penelitian :
- IFO (industrial Fuel Oil)
- MFO (marine Fuel Oil)
- Solven Pertamina
b. Peralatan penelitian :
- Gelas ukur kapasitas 100 ml dan 1000 ml
- Labu distilasi kapasitas 500 ml
- Heater elektrik
- Kondensor air
- Elektrik stirer
- Stopwatch
- Termometer
- Hydrometer
- Gelas Beker kapasitas 500 ml
17
Gambar 3.1 : Rangkaian peralatan penelitian
ASTM D 95
c. Locus penelitian :
Penelitian dilakukan di laboratorium uji PPSDM Migas, tepatnya di Laboratorium
Ilmu Dasar
Teknik pengumpulan data adalah cara pelaksanaan penelitian yang dapat dilihat
dengan flow chart (alur pelaksanaan penelitian) sebagai berikut :
Diterima
Kesimpulan Akhir :
18
3.3 Pengolahan Data
3.3.1 Ukuran Sample
Pengolahan data dilakukan untuk diambil kesimpulan akhir guna menyatakan apakah solven
Pertamina bisa dianggap menggantikan reagen Xylen pada analisis ASTM D 95. Menurut
Roscoe (1975) yang dikutip Uma Sekaran (2006) bahwa penelitian experimental sederhana
dengan kontrol experimen yang ketat, penelitian yang sukses adalah dengan ukuran sample
kecil antara 10 – 20 data.
Analisis data statistik dengan membandingkan dua kelompok data untuk penelitian ini adalah
menggunakan uji t independen yaitu menguji perbedaan rata-rata dari dua kelompok yang
tidak berpasangan. Uji t independen digunakan untuk mengetahui perbedaan rata-rata antara
dua kelompok yang berbeda berdasarkan suatu variabel dependen (Siregar, 2005) dengan
asumsi :
1. Variabel dependen harus diukur pada skala kontinyu, yaitu diukur pada skala interval
atau skala rasio
2. Variabel independen harus terdiri dari dua kategori
3. Harus terdapat sifat independensi antar pengamatan, yang berarti bahwa tidak ada
hubungan antara pengamatan disetiap kelompok atau antara kelompok sendiri
4. Tidak terdapat outlier. Outlier adalah titik suatu data tertentu dalam data yang tidak
mengikuti pola yang biasa. Saat asumsi ini tidak dipenuhi maka data outlier tersebut
selanjutnya tidak dapat digunakan dalam penelitian dan tidak disertakan dalam
analisis.
5. Sebaran variabel dependen harus mendekati sebaran normal. Asumsi ini dapat diuji
dengan uji Lilliefor atau Shapiro-Wilk. Saat data gagal memenuhi asumsi ini diduga
terdapat outlier dan selanjutnya perlu diperiksa apakah terdapat data yang outlier. Jika
terdapat data yang outlier (yang berarti data tidak menyebar normal), maka
selanjutnya digunakan uji non parametrik untuk mengetahui perbedaan antara dua
kelompok berbeda, yaitu uji Mann-Whitney.
6. Pada uji t independen, antara dua kelompok harus memiliki ragam yang relatif sama.
Asumsi yang demikian adalah asumsi homogenitas ragam. Asumsi homogenitas
ragam dapat diuji menggunakan uji Levene. Apabila asumsi ini tidak terpenuhi, uji t
masih bisa dialkukan tetapi dengan koreksi pada rumus uji t yang digunakan.
19
Uji t independen :
X1 X 2
t
(n1 1) S12 (n 2 1) S 22 1 1
n1 n 2 2 n1 n 2
df = n2 + n2 - 2
X1 X
t 2
2
S S2
1
2
n1 n2
df
S/ n1 S 22 / n 2
1
2
2
( S12 / n1 ) 2 ( S 22 / n 2 ) 2
n1 1 n2 1
20
DAFTAR PUSTAKA
Annual Book of ASTM Standards, “Petroeleum Products, Lubricants & Fossil Fuels”,
vol. 05.01, 2011, USA.
http://www.pertamina.com/en/our-business/downstream/marketing-and-
trading/product-and-service/business-solution/petrochemical/chemicals/
http://www.betjikdjojo.com/products-services/petrochemical
Jan Rydberg, “Solvent Principles and Practice”, 2nd edition, 2004, Marcel Dekker,
Inc., USA
Jhon T, Roscoe, “Fundamental Research Statistics For The Behavioral Sciences”, 2nd
edition, 2004, CBLS Publisher
Robert E Treybal, “Mass Transfer Operations”, 3rd edition, 1981, McGraw Hill Book
Company.
Shirley Dowdy, “Statistics for Research”, 3rd edition, 2004, John Wiley & Sons, Inc
Publication, USA
21