Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

Laboratorium Minyak Bumi adalah Laboratorium Ilmu Dasar dan


Laboratorium Pengujian yang berlokasi di PPSDM Migas (Pusat Pengembangan
Sumber Daya Minyak dan Gas Bumi). Sebagai sarana pendidikan dan pelatihan,
Laboratorium Minyak Bumi selalu dimanfaatkan sebagai tempat pelaksanaan
praktikum, baik praktikum dari mahasiswa luar maupun sebagai sarana praktikum
bagi peserta diklat, khususnya diklat di bidang minyak dan gas bumi untuk Program
Diklat Aparatur Negara. Disamping Laboratorium Minyak Bumi sebagai sarana
praktikum untuk Pendidikan dan Pelatihan Bidang Minyak dan Gas Bumi di PPSDM
Migas, laboratorium Minyak Bumi juga memberikan jasa teknologi yaitu jasa
pengujian BBM dan Non BBM.
Pengujian BBM dan Non BBM yang dilakukan oleh laboratorium Minyak
Bumi adalah density, viskositas, water content, ash content, carbon residue, distilasi D
86, foaming tendency, flash point, pour point, RVP, sediment content, lubricity avtur,
lubricity solar, dan lain-lain.
Diklat Penyegaran Laboratorium Pengujian Migas, Diklat Penyediaan dan
Penyaluran BBM Bersubsidi, Diklat Pengawasan dan Pengelolaan SPBU, Diklat
Biofuel, Diklat BBM Industri, Diklat Industri Hilir Migas dan lain-lain adalah diklat-
diklat Aparatur Negara yang telah memanfaatkan fasilitas di Laboratorium Minyak
Bumi.
Keberadaan laboratorium Minyak Bumi sebagai laboratorium penguji
sangatlah penting mengingat jumlah laboratorium pengujian minyak dan gas di
wilayah Indonesia bagian timur masih dirasa kurang. Adapun pengguna jasa
pengujian laboratorium Minyak Bumi adalah Polres Blora, KNKT Jakarta, Pertamina
EP, Kilang Pusdiklat Migas dan perusahaan – perusahaan di Jawa Timur seperti PT.
Trans Wahana Universal (TWU), PT. Sido Muncul, PT. White Oil Nusantara, serta
beberapa Universitas swasta maupun negeri seperti UGM, Unesa, Unibraw, serta
masyarakat umum yang ingin mengembangkan usahanya di bidang transportasi
minyak.

1
1.1 Latar Belakang Penelitian
Water Content ASTM D 95 adalah salah satu dari beberapa pengujian yang
dilakukan oleh Laboratorium Minyak Bumi, dimana dalam melakukan pengujian
water content untuk produk minyak seperti minyak IFO (industrial Fuel Oil) dan
MFO (marine fuel oil) selalu diperlukan suatu reagen standar yang digunakan untuk
mengekstrak kandungan air yang terdapat di minyak, yaitu Xylene.
Jika terdapat diklat, baik diklat aparatur maupun non aparatur maka kebutuhan
reagen standar ini bervariasi tergantung jumlah jam praktek yang dilaksanakan. Untuk
sekali praktek/analisis diperlukan sekitar 100 – 200 ml reagen Xylene (ASTM D 95-
05 (2010)). Tentunya dengan harga Xylene yang mahal akan mempengaruhi biaya
diklat yang harus diperhitungkan dalam kegiatan praktikum, sedangkan harga Solven
Pertamina rata-rata hanya berharga Rp. 7500 per liter di tingkat Dealer.
Penggunaan solven Pertamina jenis Pertasol CC selama ini telah digunakan
oleh analis di laboratorium uji PPSDM Migas sebagai pengganti dari reagen Xylene,
tetapi sampai dengan saat ini belum pernah dikaji kemampuan solven Pertamina jenis
Pertasol CC bila dibandingkan dengan reagen Xylene terutama untuk sample uji jenis
IFO dan MFO. Berdasarkan teori extraksi bahwa perbedaan densitas yang cukup
besar akan mempengaruhi jumlah extrak yang diperoleh pada proses ekxtraksi
(Treybal, 1981).
Praktikum pengujian Minyak Bumi dan produk-produknya yang dilakukan di
laboratorium Minyak Bumi selama ini dilakukan oleh para instruktur Laboratorium
Minyak Bumi PPSDM Migas yang telah berpengalaman. Dalam melakukan proses
Transfer Knowledge ke peserta diklat di Laboratorium, para instruktur Laboratorium
PPSDM Migas selama ini selalu melakukannya dengan simulasi atau memeragakan
tanpa menggunakan reagen standar tetapi menggunakan solven Pertamina. Tentunya
penggunaan reagen yang tidak sesuai ini akan memberikan interpretasi yang berbeda
bila dipahami oleh peserta diklat, sementara di satu sisi belum pernah dilakukan
penelitian tentang keakurasian dan kemampuan solven Pertamina jenis Pertasol CC
sebagai pengganti Xylene untuk reagen pada pengujian Water Content ASTM D 95.

2
1.2 Rumusan Masalah
Masalah yang dicoba untuk dicari penyelesaiannya adalah apakah reagen
solven Pertamina bisa menggantikan reagen standar Xylen untuk pengujian Water
Content ASTM D 95.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian


1.3.1 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian studi penggunaan Solven Pertamina untuk penentuan
water content ASTM D 95 ini adalah untuk mengetahui kemampuan solven Pertamina
sebagai solven extraktor bila dibandingkan dengan reagen Xylene.

1.3.2 Manfaat Penelitian


Adapun manfaat dari penelitian studi penggunaan Solven Pertamina untuk penentuan
water content ASTM D 95 di Laboratorium adalah sebagai berikut :
1. Diharapkan solven Pertamina bisa menggantikan reagen Xylene untuk
pengujian ASTM D 95.
2. Menghemat penggunaan reagen Xylene pada pengujian Water Content
ASTM D 95, baik dengan maksud menguji sample maupun untuk
pelaksanaan praktikum diklat di laboratorium.
3. Memberikan tambahan pengetahuan untuk para instruktur dalam
melakukan proses Transfer Knowledge sehingga instruktur memiliki
kepercayaan diri yang tinggi dalam menjelaskan secara ilmiah penggantian
reagen Xylene dengan solven Pertamina.

3
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Kesetimbangan Cairan


Pada proses ekstraksi umumnya melibatkan penggunaan beberapa cairan yang
setidaknya terdiri atas 3 komponen, yang mana salah satu dari komponen adalah
komponen yang tidak mudah melarut serta secara kimia. Dalam extraksi cairan- cairan
terdapat beberapa sistem kesetimbangan (Treybal, 1981), yaitu :
1. Sistem 3 cairan – 1 pasang cairan saling melarut sebagian
Sistem ini adalah tipe sistem yang paling banyak dijumpai di proses ekstraksi.
Contoh yang umum adalah sistem :
a. Water (A) –Chloroform (B) – Aceton (C)
b. Benzen (A) – Water (B) – Acetic acid (C)

Diagram segitiga kelarutan untuk sistem 3 cairan yang berlangsung secara isotherm
seperti disajikan pada gambar berikut ini :

Gambar 2.1 : Sistem kesetimbangan 3 cairan dimana cairan C melarut sebagian


di A dan B sebagian

4
Diagram segitiga kelarutan pada gambar 2.1 (a) diatas menggambarkan bahwa
cairan C melarut sempurna di cairan A dan B, tetapi banyaknya cairan A yang
melarut di cairan B adalah sebagian saja begitu pula sebaliknya. Pada titik L akan
disebut dengan cairan A rich (cairan kaya A) karena pada titik ini jumlah cairan A
yang melarut lebih banyak dari pada cairan B, tetapi tidak ada cairan C yang
melarut sama sekali di cairan A maupun di cairan B. Begitu pula sebaliknya di
titik K yang disebut dengan cairan B rich (cairan kaya B), dimana pada titik K ini
jumlah cairan B yang melarut lebih banyak dari pada cairan A, tetapi tidak ada
cairan C yang melarut sama sekali di cairan A maupun di cairan B. Kurva LRPEK
umumnya disebut dengan binodal solubility curve (kurva kesetimbangan
liquid/caran), yaitu kurva yang mengindikasikan perubahan kelarutan cairan A
terhadap cairan B (atau sebaliknya) bilamana ditambahkan cairan C. Area yang
berada diluar kurva LRPEK adalah area cairan homogen satu fasa, sedangkan area
yang berada di bawah kurva (misal : pada titik M) adalah area dimana terdapat 2
cairan yang tidak saling melarut.

Pengaruh Temperatur
Pada sistem ini temperatur sangat mempengaruhi kelarutan dari cairan A, B dan C
seperti ditunjukkan pada gambar berikut :

Gambar 2.2 : Pengaruh temperatur terhadap kelarutan cairan

5
Gambar 2.2 menggambarkan bahwa kesetimbangan cairan bergeser seiring
dengan perubahan temperatur operasi ekstraksi. Semakin tinggi temperatur
sampai dengan T4, maka kelarutan cairan A teradap cairan B semakin meningkat,
sehingga cairan A dan cairan B akan melarut sempurna. Kondisi ini akan sulit
untuk dipisahkan meskipun telah ditambahkan cairan C.

Pengaruh Tekanan
Pengaruh tekanan terhadap kesetimbangan cairan sangatlah kecil, kecuali jika
ekstraksi dioperasikan pada tekanan yang sangat tinggi. Semua diagram
kesetimbangan cairan yang ada dianggap telah diplot pada tekanan operasi yang
cukup tinggi untuk menghindari terjadinya penguapan cairan pada proses extraksi,
sehingga tekanan operasi extraksi paling tinggi adalah diatas tekanan uap cairan
cairan tersebut. Bila tekanan operasi extraksi dibawah tekanan uap cairan tersebut
maka cairan-cairan tersebut akan menguap dan akan mengganggu proses extraksi.

2. Sistem 3 Cairan – 2 pasang cairan saling melarut sebagian


Sistem cairan ini dapat dicontohkan pada sistem cairan Chlorobenzen (A) – Water
(B) – Methyl Ethyl Keton (C). Pada sistem ini dimana cairan A dan C melarut
sempurna, sedangkan pasangan cairan A-B saling melarut sebagian, dan pasangan
cairan B-C juga saling melarut sebagian. Diagram sistem cairan ini (pada kondisi
isotherm) dapat dilihat pada gambar 2.3 berikut :

Gambar 2.3 : Sistem 3 cairan dimana terdaat 2 pasangan cairan yang saling melarut
sebagian, yaitu cairan A – B dan cairan B - C

6
Pada temperatur tertentu titik K dan J menunjukkan mutual solubility cairan A
dan B, sedangkan titik H dan L menunjukkan mutual solubility cairan B dan
C. Kurva KRH disebut sebagai kurva A rich, yaitu kurva dengan komponen
cairan A yang terbanyak, sedangkan kurva JEL adalah kurva dengan
komponen B yang terbanyak. Kurva KRH dan JEL disebut dengan kurva
ternary solubility curve, sedangkan area yang berada diantara dua kurve ini
(yaitu titik M) adalah campuran cairan heterogeneous 2 fasa yang
berkesetimbangan pada titik E dan titik R, dan untuk area yang berada di luar
kurve adalah cairan homogenous 1 fasa.

Pengaruh Temperatur
Meningkatnya temperatur operasi ekstraksi umumnya akan meningkatkan
kelarutan dari cairan cairan tersebut. Diagram pengaruh temperatur ini
digambarkan seperti pada gambar 2.4. Jika temperatur dinaikkan hingga
mencapai T4 (lihat gambar 2.4), maka sistem cairan ini akan memiliki
karakter kelarutan seperti pada gambar 2.1.

Gambar 2.4 : Pengaruh temperatur terhadap sistem 3 cairan yang mana 2


cairan berpasangan saling melarut sebagian

7
Disamping pengaruh suhu dan tekanan, densitas solvent, viskositas solvent, interfacial
tension, tekanan uap, dan freezing point solvent ikut mempengaruhi pula laju kelarutan
antar cairan (Treybal, 1981), sedangkan waktu kontak proses extraksi liquid-liquid
tidaklah berpengaruh karena waktu kontak untuk proses extraksi liquid-liquid adalah 0,05
– 1 detik (Rydberg, 2004) .

2.2 Dasar Teori Distilasi


Distilasi adalah suatu proses pemisahan secara fisis berdasarkan besar dan kecilnya
titik didih dari suatu campuran zat cair. Pada prinsipnya proses distilasi ini terdiri dari
proses penguapan dan proses pengembunan. Proses penguapan adalah proses pemanasan
cairan hingga menjadi uap sedang proses pengembunan adalah proses menjadikan uap
tersebut menjadi cair kembali. Secara umum, distilasi ada 3 macam :
1. Simple Batch Distillation (atau Differential Distillation)
2. Fractional Distillation (Distilasi bertingkat)
3. Extractive Distillation

Simple Batch Distillation


Simple Batch Distillation adalah distilasi yang dilaksanakan dengan cara memanaskan
cairan di suatu flask (bejana) kemudian dipanaskan dengan menggunakan heater
(Geankoplis, 1983). Uap cairan yang terbentuk akan terkondensasi di kondensor dan
menetes di gelas ukur menjadi kondensat. Prinsip Batch Distilasi ini dapat dilihat seperti
pada gambar berikut :

8
Gambar 2.5 : Metode ASTM D 86
sebagai contoh prinsip dasar Simple
Batch Distillation

Fractional Distillation
Fractional Distillation adalah Distilasi yang dilakukan secara bertingkat (Winkle, 1967),
dimana umumnya distilasi fractional ini selalu dilakukan di suatu kolom tinggi (bejana
tinggi) baik bertekanan, atmosferik, maupun vacuum. Pada kolom distilasi bertingkat ini
dilengkapi dengan beberapa plate yang disusun secara bertingkat. Tujuan dari
pemasangan plate bertingkat ini adalah agar terjadi kesetimbangan uap-cairan. Gambar
2.6 adalah contoh dari kolom tinggi untuk fractional distillation.

9
Gambar 2.6 : Metode ASTM D 86 sebagai
contoh prinsip dasar Distilasi Batch

Extractive Distillation
Etractive distillation adalah gabungan dari dua proses yaitu proses extraksi liquid-liquid
dan distilasi. Extractive distillation ini umumnya dilakukan untuk memisahkan dua cairan
yang sulit terpisahkan dengan cara distilasi biasa karena dua cairan ini memiliki sifat sifat
yang sama (tekanan dan temperatur kritis). Kondisi dimana dua cairan yang memiliki
tekanan dan temperatur krisitis yang sama saling melarut dan tidak bisa dipisahkan
dengan cara distilasi biasa disebut dengan Azeotropic (Winkle, 1967). Untuk
memisahakan dua cairan dalam kondisi Azeotropic perlu ditambahkan cairan ketiga
(disebut dengan entrainer) sebagai pengekstrak dari salah satu cairan yang mengalami
kondisi azeotropic. Setelah salah satu cairan yang mengalami azeotropic tersebut melarut
di cairan entrainer, maka cairan yang melarut di entrainer ini akan bersifat lebih volatil
atau sebaliknya. Selanjutnya setelah proses extraksi dilakukan proses distilasi untuk
memisahkan dua cairan tersebut. Kondisi dua cairan Azeotropic ini digambarkan seperti
gambar 2.7 berikut :

10
Sumber : Marzal P, Morton J. B, Rodrigo M. A, J. Chem Eng Data 41(3), 608-611, 1996

Gambar 2.7 : Kondisi Azeotropic pada dua cairan (biner)

Extractive distillation untuk produk-produk minyak bumi pada uji ASTM D 95 bisa
menggunakan solvent petroleum distillate. Solvent petroleum distilat adalah solvent yang
telah dikenakan proses cut point pada 5% boiling di temperatur antara 90 and 100°C (194
and 212°F) dan 90% boiling di bawah temperatur 210°C (410°F) (ASTM D 95-05
(Reapproved 2010)). Treatment cut point pada solvent sebelum digunakan untuk extraksi
bertujuan untuk menurunkan berat molekul dari solvent (Chevron, 2009). Dengan
menurunnya berat molekul solvent maka proses extraksi dapat berlangsung dengan baik
(Yeh, 1985).

11
Gambar 2.8 : Metode ASTM D 95 sebagai
contoh prinsip dasar Extractive Distillation

2.3. Solven Pertamina


Beberapa solvent produksi Pertamina saat ini yang ada (Pertamina, 2016) adalah sebagai
berikut :
a. Solphy – 2
b. LAWS 5
c. Paraxylene
d. Spesial Boiling Point (SBP) XX
e. SBP 2
f. LAWS 1, LAWS 2, LAWS 3, LAWS 4
g. Minarex A, Minarex B, Minarex H
h. Minasol 1, Minasol 2, Minasol 3
i. Pertasol 1, Pertasol 2
j. Pertasol CA, Pertasol CB, Pertasol CC
k. Solvent Cemara

Solphy - 2
SOLPHY – 2 adalah Solvent hidrokarbon yang merupakan salah satu bahan / produk
yang bersifat ramah lingkungan dan menjadi alternative pengganti Bahan Perusak Ozon
(BPO), sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk meratifikasi Konvensi Wina dan
Protocol Montreal terkait penghapusan penggunaan bahan – bahan perusak lapisan ozon.

12
SOLPHY-2 diproduksi oleh kilang PERTAMINA RU II Dumai dan dikemas dalam
kaleng (pail) ukuran 20 liter.
Kegunaan Solphy-2 adalah sebagai solvent pembersih pada kegiatan pre-cleaning,
general cleaning dan degreasing di mesin-mesin pesawat terbang. Parts yang dibersihkan
meliputi Engine/APU parts (termasuk bearings dan bolts), landing gear components,
ELMO-components, airframe metal parts dan lain-lainnya. Produk Solphy-2 dapat juga
diaplikasikan dengan baik pada kegiatan general cleaning di mesin-mesin lainnya, seperti
mesin kereta api, kapal, crane, mesin Industri dan alat berat dengan berbagai metoda
cleaning, yakni spraying, dipping, brushing dan swabbing. Selain sebagal metal cleaning,
Solphy-2 dapat menjadi substitusi produk Stoddard Solvent yang banyak diaplikasikan
pada industri cat, coating dan dry cleaning.

Tabel 2.1 : Typical solvent Solphy-2

No. PROPERTIES TYPICAL UNITS METHODS

1. Kauri Butanol Value 27 - 45 - ASTM D – 1133


2. Specific Gravity at 60/60F 0,760 – 0,820 - ASTM D – 1298
3. Distillation ASTM D – 86
- IBP Min 145 °C
- Dry Point Max 212 °C
4. Flash Point PMCC 366 °C ASTM D – 93
5. ColourSaybolt + 25 ASTM D – 156
6. Acidity 0,10 %Wt ASTM D – 1218
7. Copper Strip Corrosion, No. 1B ASTM D – 130
2h/212 °F

LAWS 5
Merupakan solvent yang dihasilkan di kilang PERTAMINA RU V di Balikpapan dengan
boiling range antara 140oC — 190oC. Senyawa hidrokarbon yang membentuk solvent
LAWS merupakan campuran dari paraffins, cycloparaffins, dan aromatic hydrocarbon.
Sifat yang menonjol adalah tidak korosif dan bersifat stabil dengan warna yang jernih.
Adapun kegunaan dari solvent jenis ini adalah :

a. Pelarut cat dan varnish


b. Pelarut tinta
c. Insecticide & pesticide

13
d. Bahan baku untuk memproduksi pelapis sepatu, lantai, dan furnitur
e. Bahan baku untuk industri resin
f. Pelarut untuk pembersih logam

Tabel 2.2 : Typical solvent LAWS 5


No. PROPERTIES TYPICAL UNITS METHODS

1. Density at 15°C 770 - 810 Kg/m3 ASTM D – 1298


2. Distillation ASTM D – 86
- IBP Min 140 °C ASTM D – 86
- FBP Max 190 °C
3. Flash Point ABEL 28 °C ASTM D – 93
4. ColourSaybolt +25 ASTM D – 156
5. Refractive Index - ASTM D – 1218
6. Copper Strip Corrosion No. 1B ASTM D – 130
7. Aromatic Content Max 10 %Vol ASTM D – 1319
8. Doctor Test Negative ASTM D – 4952

Paraxylene

Paraxylene adalah senyawa hidrokarbon aromatic yang dihasilkan dari proses aromatisasi
dari heavy naptha dalam unit platformer yang kemudian dipisahkan untuk memproduksi
benzene dengan ekstraksi dan paraxylene dengan absorbsi. Paraxylene dihasilkan oleh
Kilang Paraxylene PERTAMINA IV Cilacap. Adapun kegunaan dari Paraxylene adalah
sebagai berikut :

- Sebagai Bahan Baku Pure Terephthalic Acid (PTA)


- Sebagai Bahan Baku terephthalic acid (TPA)
- Sebagai Bahan Baku Dimethyl Terephthalate (DMT)
- Sebagai Bahan Baku Polyesters
- Sebagai Solvent,
- Sebagai Bahan Baku Di-Paraxylene dan Herbisida

14
2.4 Konsep Kunci
Etractive distillation adalah proses yang digunakan untuk memisahkan dua cairan yang
sulit terpisahkan dengan menggunakan proses distilasi biasa. Proses extractive distillation
ini didahului dengan proses extraksi. Dimana pada proses extraksi ini diperlukan cairan
ketiga yaitu solvent pertamina untuk mengikat salah satu dari dua cairan yang sulit
dipisahkan. Setelah dilakukan proses extraksi dilanjutkan dengan proses distilasi untuk
memisahkan antara extrak dan raffinate.
2.4.1 Densitas
Denistas adalah massa cairan per unit volume yang diukur pada suhu 15 oC dan tekanan
101,325 kPa dengan unit satuan standar kilogram per meter kubik (ASTM D 1298-12b).
Dengan semakin kecilnya perbedaan densitas antara solvent dengan cairan yang akan
diekstrak maka semakin mudah proses ekstraksi tersebut berlangsung (Treybal, 1981)
2.4.2 Cut Point
Cut Point didefinisikan sebagai range temperatur kurva distilasi crude oil yang memiliki
batasan teratas dan terbawah untuk fraksi-fraksi yang dihasilkannya (Jones, 2006). Istilah
cut point ini banyak diadopsi untuk menyatakan cut point dari beberapa solvent seperti
pada ASTM D 95. Proses cut point solvent akan menyebabkan berat molecul dari solvent
akan lebih kecil (Chevron, 2009). Dengan menurunnya berat molekul solvent maka
proses extraksi dapat berlangsung dengan baik (Yeh, 1985).

2.5 Kerangka Berpikir

Densitas Solven

Banyaknya extract air


Solven dengan cut
point

15
2.6 Hipotesis
Salah satu variabel yang mempengaruhi keberhasilan suatu proses extraksi adalah
densitas dan cut point solvent. Dimana semakin semakin pendek cut poin solvent
yang digunakan pada proses operasi extraksi maka semakin mudah cairan ketiga
(solven Pertamina) untuk mengikat salah satu cairan yang akan dipisahkan dengan
metode distilasi, sedangkan semakin kecil perbedaan densitas solvent dengan
densitas salah satu cairan yang akan diextrak maka semakin mudah cairan ketiga
(solven Pertamina) untuk melarut di salah satu cairan yanga akan dipisahkan
melalui metode distilasi.

16
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

Pada bab ini akan menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan pelaksanaan penelitian
yang meliputi : metode penelitian, pengumpulan data, pengolahan data.

3.1 Metode Penelitian

Metode penelitian ini menggunakan metode experimental dengan pendekatan kuantitatif.


Menurut Gay (1981: 207-208) menyatakan bahwa metode penelitian eksperimental
merupakan satu-satunya metode penelitian yang dapat menguji secara benar hipotesis
menyangkut hubungan kausal (sebab-akibat). Dalam penelitian eksperimen dilakukan
manipulasi paling sedikit satu variabel, mengontrol varibel lain yang relevan dan
mengobservasi efek atau pengaruhnya terhadap satu atau lebih variabel terikat.

3.2 Pengumpulan Data

3.2.1 Sumber Data

Sumber data adalah data primer yang diambil dengan melakukan beberapa percobaan.
Adapun bahan dan peralatan penelitian dalam pengumpulan data primer adalah sebagai
berikut :

a. Bahan penelitian :
- IFO (industrial Fuel Oil)
- MFO (marine Fuel Oil)
- Solven Pertamina
b. Peralatan penelitian :
- Gelas ukur kapasitas 100 ml dan 1000 ml
- Labu distilasi kapasitas 500 ml
- Heater elektrik
- Kondensor air
- Elektrik stirer
- Stopwatch
- Termometer
- Hydrometer
- Gelas Beker kapasitas 500 ml

17
Gambar 3.1 : Rangkaian peralatan penelitian
ASTM D 95

c. Locus penelitian :
Penelitian dilakukan di laboratorium uji PPSDM Migas, tepatnya di Laboratorium
Ilmu Dasar

3.2.2 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah cara pelaksanaan penelitian yang dapat dilihat
dengan flow chart (alur pelaksanaan penelitian) sebagai berikut :

Hasil percobaan Solven


Pertamina pada ASTM D 95

Dibandingkan dengan solven


Xylene pada ASTM D95

Hipotesis Kesimpulan Akhir :

Ditolak Tidak bisa menggantikan


Xylene

Diterima

Kesimpulan Akhir :

Bisa menggantikan Xylene

18
3.3 Pengolahan Data
3.3.1 Ukuran Sample

Pengolahan data dilakukan untuk diambil kesimpulan akhir guna menyatakan apakah solven
Pertamina bisa dianggap menggantikan reagen Xylen pada analisis ASTM D 95. Menurut
Roscoe (1975) yang dikutip Uma Sekaran (2006) bahwa penelitian experimental sederhana
dengan kontrol experimen yang ketat, penelitian yang sukses adalah dengan ukuran sample
kecil antara 10 – 20 data.

3.3.2 Analisis Data

Analisis data statistik dengan membandingkan dua kelompok data untuk penelitian ini adalah
menggunakan uji t independen yaitu menguji perbedaan rata-rata dari dua kelompok yang
tidak berpasangan. Uji t independen digunakan untuk mengetahui perbedaan rata-rata antara
dua kelompok yang berbeda berdasarkan suatu variabel dependen (Siregar, 2005) dengan
asumsi :

1. Variabel dependen harus diukur pada skala kontinyu, yaitu diukur pada skala interval
atau skala rasio
2. Variabel independen harus terdiri dari dua kategori
3. Harus terdapat sifat independensi antar pengamatan, yang berarti bahwa tidak ada
hubungan antara pengamatan disetiap kelompok atau antara kelompok sendiri
4. Tidak terdapat outlier. Outlier adalah titik suatu data tertentu dalam data yang tidak
mengikuti pola yang biasa. Saat asumsi ini tidak dipenuhi maka data outlier tersebut
selanjutnya tidak dapat digunakan dalam penelitian dan tidak disertakan dalam
analisis.
5. Sebaran variabel dependen harus mendekati sebaran normal. Asumsi ini dapat diuji
dengan uji Lilliefor atau Shapiro-Wilk. Saat data gagal memenuhi asumsi ini diduga
terdapat outlier dan selanjutnya perlu diperiksa apakah terdapat data yang outlier. Jika
terdapat data yang outlier (yang berarti data tidak menyebar normal), maka
selanjutnya digunakan uji non parametrik untuk mengetahui perbedaan antara dua
kelompok berbeda, yaitu uji Mann-Whitney.
6. Pada uji t independen, antara dua kelompok harus memiliki ragam yang relatif sama.
Asumsi yang demikian adalah asumsi homogenitas ragam. Asumsi homogenitas
ragam dapat diuji menggunakan uji Levene. Apabila asumsi ini tidak terpenuhi, uji t
masih bisa dialkukan tetapi dengan koreksi pada rumus uji t yang digunakan.

19
Uji t independen :

Jika harga simpangan deviasi 1 (S1) = harga simpangan deviasi 2 (S2)

Harga distribusi t ditentukan dengan rumusan sebagai berikut :

X1  X 2
t
 (n1  1) S12  (n 2  1) S 22   1 1
   
 n1  n 2  2   n1 n 2 

Dan harga derajad kebebasan (df) sebagai berikut :

df = n2 + n2 - 2

Jika harga simpangan deviasi 1 (S1) ≠ harga simpangan deviasi 2 (S2)

Harga distribusi t ditentukan dengan rumusan sebagai berikut :

X1  X
t  2
2
S S2
1
 2
n1 n2

Sedangkan harga derajad kebebasan (df) adalah sebagai berikut :

df 
S/ n1  S 22 / n 2
1
2

2

( S12 / n1 ) 2 ( S 22 / n 2 ) 2

n1  1 n2  1

20
DAFTAR PUSTAKA

Annual Book of ASTM Standards, “Petroeleum Products, Lubricants & Fossil Fuels”,
vol. 05.01, 2011, USA.

Christie. J. Geankoplis, “Transport Processes and Unit Operations“, 2nd edition,


1983, Allyn and Bacon, USA

Chevron, “Motor Gasoline Technical Review”, 2009, Chevron Corporation.

David S. Jones, “Handbook of Petroleum Proceesing”, 2008, Springer, USA

George C. Yeh, “Treatment and Separation of Petroleum and Related Materials”,


1985, United State Patent, Patent Number : 4,515,685

http://www.pertamina.com/en/our-business/downstream/marketing-and-
trading/product-and-service/business-solution/petrochemical/chemicals/

http://www.betjikdjojo.com/products-services/petrochemical

Jan Rydberg, “Solvent Principles and Practice”, 2nd edition, 2004, Marcel Dekker,
Inc., USA

Jhon T, Roscoe, “Fundamental Research Statistics For The Behavioral Sciences”, 2nd
edition, 2004, CBLS Publisher

Pattrick Dattalo, “Determining Sample Size : Balancing Power, Precision, and


Practicality”, 2008, Oxford University Press

Robert E Treybal, “Mass Transfer Operations”, 3rd edition, 1981, McGraw Hill Book
Company.

Matthew Van Winkle, “Distillation”, 1967, McGraw Hill Book Company

Shirley Dowdy, “Statistics for Research”, 3rd edition, 2004, John Wiley & Sons, Inc
Publication, USA

21

Anda mungkin juga menyukai