Anda di halaman 1dari 33

KEPEMIMPINAN

PRS 12
Kepemimpinan Etis dan Lintas Budaya serta Keberagaman dalam Organisasi

Dosen Pengampu :
I Gusti Made Suwandana, S.E.,M.M.

Kelompok 2
Dyimas Anggoro Ratri Kurniawan (1707522041)
Ni Kadek Yuliantari Dewi (1707522048)
Ni Kadek Lisa Luciana (1707522070)
I Putu Gian Resyananda (1707522074)

Program Studi Sarjana Manajemen


Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Udayana
2019
A. Kepemimpinan Etis
Konsep Kepemimpinan yang Etis
Terlepas dari minat yang meningkat pada kepemimpinan etis, ada
ketidaksepakatan yang luar biasa tentang cara yang tepat untuk mendefinisikan dan
menilainya. Dalam bidang ilmiah yang menghargai objektivitas, membicarakan subjek ini
bahkan menyebabkan beberapa orang merasa tidak suka. Tetapi, seperti Heifetz (1994)
menjelaskan, tidak ada dasar yang netral secara etika untuk teori kepemimpinan, karena
teori ini selalu melibatkan nilai dan asumsi implisit tentang bentuk pengaruh yang tepat.
Mendefinisikan Kepemimpinan yang Etis
Kepemimpinan yang etis telah didefinisikan dengan cara yang berbeda, dan
definisi bisa mencakup nilai,sifat, dan perilaku. Ketika diminta menjelaskan pemimpin
yang etis, pimpinan puncak mengidentifikasikan sejumlah aspek perilaku dan motif
(misal,jujur, dapat dipercaya, tidak egois,dll), tetapi mereka juga mengidentifikasikan
aspek perilaku yang mencakup upaya untuk memengaruhi perilaku etis orang lain
(Trevino, Brown, & Hartman,2003). Beberapa jenis pengaruh bisa digunakan pemimpin,
termasuk pernyataan tentang manfaat etika, penyebaran paduan etis bagi anggota
organisasi, teladan perilaku etis untuk menetapkan contoh nyata bagi yang lain, termasuk
perilaku etis penilaian kinerja, dan menilai atau menghukum perilaku yang tidak etis.
Kepemimpinan etis merupakan gagasan yang ambigu yang terlihat meliputi beragam
elemen yang berbeda-beda. Amatlah berguna membuat perbedaan antara etika pemimpin
tertentu dengan etika pemimpin individu dan etika jenis perilaku tertentu pemimpin
(Bass&Steidlmeier, 1999). Kedua jenis etika itu sulit dievaluasi.
Beberapa kriteria adalah relevan untuk menilai pemimpin individu, yang
mencakup nilai orang, tahapan perkembangan moral, niat yang disadari, kebebasan
memilih, penggunaan perilaku yang etis dan tidak etis, serta jenis pengaruh yang
digunakan. Pemimpin yang terkenal biasanya memiliki perpaduan kekuatan dan
kelemahan terkait kriteria ini. Satu kesulitan dalam mengevaluasi moralitas pemimpin
adalah subjektivitas yang termasuk dalam menentukan kriteria yang digunakan dan
kegunaan relatif kriteria itu. Evaluasi akhir bisa dipengaruhi oleh kualitas hakim dan oleh
kualitas pemimpin.
Penilaian mengenai etika keputusan atau tindakan tertentu biasanya
mempertimbangkan maksud (tujuan), batasan sejauh mana perilaku itu konsisten dengan
standar moral (cara), dan konsekuensi bagi diri sendiri dan orang lain (hasil). Ketiga
kriteria itu biasanya dianggap saling berubungan, dan masalah umumnya adalah batasan
sejauh mana tujuan membenarkan caranya.
Standar moral yang digunakan untuk mengevaluasi cara meliputi batasan sejauh
mana perilaku pemimpin melanggar hukum dasar di masyarakat, menyangkal hak orang
lain, membahayakan kesehatan dan kehidupan orang lain, atau melibatkan upaya menipu
dan mengeksploitasi orang lain demi keuntungan pribadi.
Integritas Pribadi dan Kepemimpinan yang Etis
Integritas pribadi adalah karakteristik yang membantu menjelaskan keefektifan
kepemimpinan. Kepemimpinan yang efektif adalah integritas yang tergantung pada
kejujuran dan konsistensi perilaku dengan nilai yang dimiliki. Dalam penelitian lintas
budaya dalam karakteristik yang penting untuk kepemimpinan yang efeketif, integritas
adalah karakteristik yang sangat penting dalam semua budaya.
Dilema dalam Menilai Kepemimpinan yang Etis
Memegaruhi komitmen dan optimisme pengikut adalah aspek inti dari
kebanyakan teori mengenai kepemimpinan efektif. Para pemimpin biasanya diharapkan
memengaruhi komitmen para pengikut terhadap tugas yang ada atau aktivitas baru.
Masalah untuk mengevaluasi kepemimpinan etis adalah menentukan kapan pengaruhi
tertentu itu tepat. Lebih mudah untuk mengevaluasi kepemimpinan yang etis ketika minat
pemimpin,pengikut,dan organisasi selaras serta bisa didapat dengan tindakan yang tidak
melibatkan banyak resiko atau biaya dari pihak lain. Tetapi, dalam banayk situasi,proses
pengaruh bisa melibatkan (1) penciptaan antusiasme atas strategi atau proyek yang
beresiko, (2) mendorong bawahan untuk mengubah keyakinan dan nilai dasaer
mereka,dan (3) memengaruhi keputusan yang akan menguntungkan sebagian orang
dengan mengorbankan orang lain. Masing-masing jenis pengaruh melibatkan sejumlah
dilema etis.
Memengaruhi Harapan
Tanggung jawab kepemimpinan yang penting adalah menerjemahkan peristiwa
yang membingungkan dan membangun konsensus disekitar strategi untuk menghadapi
ancaman dan kesempatan. Terkadang keberhasilan membutuhkan strategi atau proyek
yang amat berani dan inovatif. Usaha yang beresiko dapat mengakibatkan manfaat yang
besar bagi para pengikut jika diselesaikan dengan berhasil,tetapi biayanya juga bisa
sangat tinggi, khususnya jika proyek itu gagal, dihentikan, atau memakan waktu yang
jauh lebih lama daripada yang diperkirakan. Bagaimana pemimpin memengaruhi persepsi
pengikut mengenai risiko dan prospek keberhasilan adalah relevan untuk mengevaluasi
kepemimpinan etis.
Kebanyakan orang akan setuju bahwa tidaklah etis bila secara sengaja
memanipulasi pengikut untuk melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kepentingan
diri mereka dengan membuat janji palsu atau mncurangi mereka mengenai kemungkinan
hasilnya. Satu standar yang diusulkan untuk kepemimpinan yang etis dalam kasus usaha
yang berisiko adalah, pemimpin sepenuhnya menginformasikan kepada para pengikutnya
mengenai kemungkinan biaya dan manfaatnya menginformasikan kepada para
pengikutnya mengenai kemungkinan dan manfaat serta meminta pengikut untuk
membuat keputusan yang disadari bahwa uapaya itu berharga. Namun, sering sulit bagi
pemimpin untuk menemukan dasar objektif untuk memprediksikan kemungkinan hasil
dari strategi dan proyek tertentu yang inovatif. Jika telah ada krisis yang jelas bagi
kelompok atau organisasi, memperlihatkan keraguan dan berbagi informasi lengkap dapat
menciptakan kepanikan dan memastikan keggagalan. Para pemimpin yang efektif tidak
terlalu lama terpaku pada resiko atau halangan tetapi malah menekankan apa yang dapat
dicapai dengan upaya bersama. Harapan dan optimisme pada akhirnya dapat menjadi
kenyataan jika dikombinasikan dengan pemecahan masalah yang efektif.
Memengaruhi Nilai dan Keyakinan
Yang lebih kontroversial adalah usaha untuk mengubah nilai dan keyakinan yang
mendasari masing-masing pengikut. Beberapa penulis menyatakan bahwa jenis pengaruh
pemimpin ini jelas tidak etis, bahkan ketika hasil yang dimaksudkan adalah untuk
menguntungkan pengikut dan juga organisasi. Para penulis ini mempertanyakan asumsi
implisit bahwa pemimpin mengetahui apa yang terbaik bagi pengikut, dan ada
kekhawatiran khusus mengenai penyalahgunaan pengaruh dan kendali atas informasi
untuk membelokkan persepsi tentang masalah dan peristiwa tertentu. Kekhawatiran
khusus adalah pengaruh para pemimpin kharismatik terhadap pengikut yang lemah dan
merasa tidak aman.
Pandangan yang berlawanan adalah bahwa pemimpin memiliki tanggung jawab
untk menerapkan perubahan besar organisasi jika diperlukan untuk memastikan
kelangsungan hidup dan keefektifan organisasi. Perubahan organisasi skala besar tidak
akan berhasil tanpa perubahan keyakinan dan persepsi anggota. Para pemimpin yang
efektif melibatkan para anggota dan pemangku kepentingan lainnya dalam pembicaraan
untuk menentukan jenis perubahan apa yang diperlukan dan benar secara moral bagi
organisasi. Prosesnya dapat (atau mungkin tidak) menghasilkan kemunculan sekumpulan
keyakinan dan nilai bersama yang baru.
Berbagai Pemangku Kepentingan dan Berbagai Nilai yang Bersaing
Kesulitan dalam mengevaluasi keefektifan kepemimpinan meliputi berbagai
kriteria ketika ada pertukaran yang rumit dan para pemangku kepentingan sebagai
memiliki kepentingan yang saling bertentangan. Konsekuensi yang beragam dari
keputusan dan tindakan pemimpin tertentu merumitkan evaluasi kepemimpinan etis.
Tindakan sama yang melayani kepentingan beberapa pengikut bisa berlawanan dengan
kepentingan pengikut lainnya. Hal yang terbaik bagi pemangku kepentingan mungkin
bukan yang terbaik bagi pihak lain. Upaya untuk menyeimbangkan nilai dan kepentingan
yang bersaing ini melibatkan penilaian subjektif mengenai hak, akuntabilitas, undang-
undang, dan tanggung jawab sosial. Saat kepentingan para pemangku kepentingan itu
bertentangan adalah lebih sulit untuk mengevaluasi kepemimpinan etis.
Perspektif tradisional adalah bahwa para manajer dalam organisasi bisnis
merupakan agen yang mewakili kepentingan para pemilik dalam mencapai keberhasilan
ekonomi organisasi. Dari perspektif ini, kepemimpinan etis dipuaskan dengan
memaksimalkan hasil ekonomis yang menguntungkan pemilik sambil tidak melakukan
apa pun yang dilarang oleh UU dan standar moral.
Perspektif yang amat berbeda adalah para manjer harus melayani berbagai
pemangku kepentingan di dalam dan luar organisasi. Dari perspektif ini, penilaian tentang
kepemimpinan yang etis harus memperhitungkan keluasan sejauh mana pemimpin
menyeimbangkan dan mengintegrasikan kepentingan pemangku kepentingan berbeda di
dalam batasan yang dikenakan oleh kewajiban hukum dan kewajiban berdasarkan
kontrak yang ada. Orientasi integratif terlihat lebih etis bagi pemimpin dari pada
mendukung grup yang akan memberikan keuntungan pribadi yang tertinggi bagi
pemimpin, mempermainkan pemangku kepentingan antara satu sama lain atau berusaha
mengabaikan konflik kepentingan yang substantif.
Faktor Penentu dan Konsekuensi Kepemimpinan yang Etis
Masing-masing Faktor Penentu Kepemimpinan Etis
Satu penjelasan diberikan oleh teori perkembangan moral kognisi. Kohlberg
(1984) mengusulkan model untuk menjelaskan bagaimana orang melalui enam rangkaian
tahapan perkembangan moral ketika mereka bertumbuh dari anak menjadi dewasa. Pada
tiap-tiap tahapan yang berturutan itu, orang mengembangkan pemahaman yang lebih luas
atas prinsip keadilan, tanggung jawab sosial dan hak asasi manusia. Pada tungkat
terendah perkembangan moral, motivasi utamanya adalah kepentingan diri sendiri dan
pemenuhan kebutuhan pribadi. Pada tungkat menengah perkembangan moral, motivasi
utamanya adalah memenuhi nilai dan prinsip moral internalnya. Seseorang yang berada
pada tingkat ini dapat menyimpang dari norma dan risiko penolakan sosial, kerugian
ekonomis, dan hukuman fisik untuk mencapai tujuan etis yang penting.
Tidak seperti kematangan fisik, perkembangan moral dapat tidak terjadi, dan
beberapa orang menjadi terpaku pada tahap perkembangan tertentu. Seorang pemimpin
yang ada di tingkat perkembangan yang lebih tinggi biasanya dianggap sebagai lebih etis
daripada orang di tingkat perkembangan yang lebih rendah.
Orang dengan identitas diri yang kuat termotivasi untuk bertindak dalam cara
yang konsisten dengan nilai dan keyakinan etis. Identitas diri yang bermoral tidak
sepenting faktor penentu perilaku dalam situasi ketika ada konsensus yang kuat tentang
perilaku etis. Banyak orang akan mengikuti norma sosial, bahkan ketika mereka tidak
memiliki indentitas diri yang bermoral dan kuat. Tetapi ketika tidak ada konsensus
tentang isu moral, lalu penilaian tentang konsekuensi tindakan menjadi lebih penting
sebagai faktor penentu perilaku.
Keputusan tentang perilaku moral juga dipengaruhi oleh nilai yang melibatkan
konsekuensi perilaku dan kepatuhan terhadap peraturan resmi, kebijakan, hukum, atau
praktik tradisional. Orang yang menganggap konsekuensi tindakannya sangat penting
memilih tindakan yang kemungkinan besar akan menghasilkan manfaat terbesar bagi
semua pihak yang terpengaruh. Orang yang menganggap formalisme sangat penting
cenderung mematuhi peraturan dan kebijakan. Identitas moral biasanya menekankan satu
nilai di atas yang lain, dan dampak nilai terhadap perilaku sangat terlihat ketika ada
peraturan atau tradisi tentang perilaku yang pantas, tetapi tidak ada konsensus moral
yang kuat tentang hal itu. Dalam situasi ini, orang dengan identitas moral yang kuat dan
perhatian yang utama teradap konsekuensi akan sangat mungkin memilih perilaku yang
akan menhasilkan manfaat bagi orang lain, bahka bila hal itu melangar aturan resmi atau
hukum. Sebalikya, orang dengan identitas moral dan kepedulian yang kuat terutama pada
formalitas akan sangat munkin mematuhi peraturan atau hukum yang ada, meskipun
perilaku itu memiliki kemungkinan konsekuensi yang sebaliknya bagi beberapa orang.
Kepemimpinan etis juga terkait dengan ciri kepribadian dan kebutuhan pemimpin.
Banyak ciri individu yang terbuktu terkait dengan kepemimpinan yang efektif juga terkait
dengan kepemimpinan etis. Kepemimpinan yang tidak etis dan kasar lebih mungkin bagi
orang yang memiliki kepedulian yang rendah, kematangan emosi yang rendah,
neurotisisme yang tinggi, narsisme yang tinggi, orientasi kontrol eksternal dan orientasi
kekuasaan yang telah mempribadi. Jenis pemimpin ini lebih mungkin menganggap orang
lain tidak bisa dipercaya dan melihat mereka sebagai objek untuk dimanipulasi bagi
keuntungan pribadi. Pemimpin menggunakan kekuasaan untuk mengeksplotasi orang lain
dan mencapai tujuan pribadi, bukannya demi keuntungan orang lain dan untuk mencapai
tujuan organisasi.
Pengaruh Situasi terhadap Kepemimpinan Etis
Perilaku etis terjadi dalam konteks sosial dan dapat amat dipengaruhi oleh aspek
situasi. Budaya organisasi dan sistem imbalan resmi dapat mendorong dan mendukung
perilaku yang etis dan tidak etis oleh pemimpin dan anggota. Perilaku yang tidak etis
akan lebih mungkin terjadi ketika tujuan kinerja sangat sulit, tekanan tinggi untuk
meningkatkan produktivitas, kompetisi yang ketat tentang penghargaan dan kemajuan,
dan organisasi tidak memiliki nilai dan norma budaya yang kuat mengenai perilaku etis
dan tanggung jawab individu. Nilai dan keyakinan budaya dalam komunitas atau negara
tertentu adalah pengaruh lain pada perilaku etis.
Karakteristik bawahan adalah aspek lain situasi yang bisa mendorong
kepemimpinan yang tidak etis. Kepemimpinan yang tidak etis lebih mungkin terjadi
ketika bawahan percaya bahwa pemimpin resmi mereka seharusnya memiliki kekuasaan
posisi yang kuat, dan kepatuhan pada wewenang itu diperlukan. Keyakinan ini umum
dimasyarakat dengan nilai budaya yang kuat tentang penghindaran ketidakpastian dan
jarak kekuasaan. Pengikut lebih mungkin menerima secara pasif pemimpin yang kasar
dan mendominasi bila mereka tidak memiliki keyakinan diri dan kapasitas diri serta tidak
memiliki banyak keyakinan atas kemampuan mereka sendiri untuk mengatasi ancaman
dan kesulitan.
Dalam organisasi yang tidak memiliki mekanisme untuk membatasi kekuasaan
CEO, pemimpin yang kasar lebih sulit diberhentikan atau dipindahkan begitu mereka
telah diangkat atau dipilih. Keperibadian pemimpin dan perkembangan moral kognisi
berinteraksi dengan aspek situasi dalam penentuan perilaku yang etis dan tidak etis. Oleh
karena itu, perilaku yang etis bisa dijelaskan secara lebih baik dengan pertimbangan
pemimpin dan situasi masing-masing daripada oleh variabel itu sendiri. Pemimpij dewasa
dengan perkembangan emoasi yang matang dan tingkat moral kognisi yang tinggi lebih
mungkin menolak godaan untuk menggunakan kekuasaan mereka guna mengeksploitasi
orang lain, dan merka kecil kemungkinannya melakukan praktik yang tidak etis untuk
mencapai sasaran.
Konsekuensi dari Kepemimpinan yang Etis dan yang Tidak Etis
Banyak teori kepemimpinan etis menekankan kegunaan pengaruh pemimpin
terhadap pengikut dan iklim etis organisasi. Banyak ukurang yang berbeda telah
digunakan untuk menilai dampak kepemimpinan etis pada pengikut, dan ukuran itu
mencakup sejumlah kriteria yang jarang digunakan dalam penelitian kepemimpinan
terdahulu. Teori ini agak berbeda terkait dengan kriteria yang digunakan untuk menilai
dampak kepemimpinan etis.
Penyelia yang kasar mencakup penggunaan kekuasaan dan wewenang untuk
mempermalukan, menghina, menindas, dan bahkan menyakiti bawahan. Perilaku seperti
itu biasanya dianggap sebagai bentuk kepemimpinan yang tidak etis, dan penelitian
tentang hak itu menghasilkan konsekuensi negatif bagi pengikut dan organisasi.
Penyeliaan yang kasar menghasilkan perilaku karyawan yang kurang memiliki tanggung
jawab sosial, dan juga menghasilkan lebih banyak dendam dan agresi yang keliru
terhadap teman kerja dan organisasi.
Dalam banyak teori kepemimpinan, fokus utama ketika menilai konsekuensi
adalah pada konsekuensi bagi individu seperti karyawan, bukan dampak pada kinerja
organisasi. Terkadang dampak ini konsisten. Tetapi, praktik etis tidak selalu
meningkatkan ukuran kinerja finansial yang ada, terutama ketika praktik itu
meningkatkan biaya. Demikian pula, konsekuensi sebaliknya dari perilaku yang tidak etis
mungkin tidak tercermin secara akurat dalam ukuran kinerja pemimpin atau kinerja
organisasi jangka pendek. Praktik yang tidak etis bisa digunakan untuk meningkatkan
ukuran kinerja jangka pendek ketika sulit memeriksa akurasu ukuran itu. Praktik lain
yang tidak jelas adalah meningkatkan ukuran kinerja tujuan jangka pendek dengan
mengurangi biaya aktual untuk aktivitas yang tidak akan memiliki dampak yang
berlawanan hingga beberapa waktu ke depan.
Meningkatkan Mutu Penelitian Kepemimpinan yang Etis
Minat yang semakin meningkat dalam kepemimpinan etis telah merangsang lebih
banyak penelitian pada subjek itu, tetapi banyak penelitian itu sangat semu. Untuk
memahami faktor penentu dan konsekuensi kepemimpinan etis akan membutuhkan lebih
dari sekedar model linier sederhana dengan penyebab yang tidak langsung. Pemimpin
dan pengikut saling memengaruhi nilai dan perilaku etis. Dari waktu ke waktu, proses
pengaruh timbal balik bisa menghasilkan dampak yang sinergis. Pengaruh yang timbal
balik juga terjadi antara pemimpin dan budaya organisasi. Kepemimpinan etis bisa
diperkuat oleh nilai budaya yang kuat dan sistem imbalan yang tepat, tetapi nilai budaya
dan sistem manajemen juga dipengaruhi oleh keputusan dan tindakan pemimpin.
Kahn (1990) telah mengusulkan agenda pertanyaan penelitian yang akan
membantu menghasilkan pengetahuan yang memperkuat teori dan praktik tindakan etis di
organisasi.Beberapa pertanyaan penelitian yang menarik, yang mencakup hingga sejauh
mana perilaku yang etis terkait dengan tingkat wewenang pemimpin, jumlah kekuasaan
posisi dan jenis posisi; hingga sejauh mana kepemimpinan etis oleh eksekutif puncak
mencakup perilaku etis oleh manajer tingkat menengah dan bawah serta oleh karyawan
non mnajerial, serta hingga sejauh ana kepemimpinan etis terkait dengan hasil yang
berbeda, seperti kepuasan, komitmen, perilaku dan kinerja pengikut.
Reynolds (2006a, 2006b) merekomendasikan penelitian untuk mengekplorasi
proses kognisi yang tampak relevan untuk memahami mengapa peniliaan keputusan yang
etis adalah, prganisasi perlu memberi lebih banyak panduan untuk membantu manajer
mengatasi situasi unik yang sulit menentukan apa pilihan yang etis dan tepat.
B. Kepemimpinan Lintas Budaya
Kegunaan Penelitian Lintas Budaya
Penelitian lintas budaya tentang kepemimpinan penting untuk sejumlah alasan
(Dorfman, 1996; House, Wright, & Aditya, 1997). Peningkatan globalisasi organisasi
meningkatkan alasan untuk mempelari kepemimpinan yang efektif di budaya yang
berbeda. Pemimpin semakin dihadapkan pada perlunya memengaruhi orang dari budaya
lain, dan pengaruh yang sukses membutuhkan pemahaman yang bagus akan budaya ini.
Pemimpin juga harus mampu memahami bagaimana orang dari budaya yang berbeda
melihat hal tersebut dan memahami tindakan mereka. Untuk memahami masalah ini,
penting untuk membuktikan teori kepemimpinan dalam budaya yang berbeda dari budaya
di tempat teori itu dikembangkan. Beberapa aspek teori kepemimpinan bisa relevan untuk
semua budaya, tetapi aspek yang lain mungkin hanya bisa diterapkan untuk beberapa
jenis budaya.
Pengaruh Budaya terhadap Perilaku Kepemimpinan
Nilai dan tradisi budaya dapat memengaruhi sikap dan perilaku manajer dalam
sejumlah cara yang berbeda (Adler, 1997; Fu & Yukl, 2000; House et al., 1997; Lord &
Maher, 1991). Nilai ini kemungkinan diinternalisasi (dihayati) oleh manajer yang tumbuh
dalam budaya tertentu, dan nilai ini akan memengaruhi sikap dan perilaku mereka dalam
cara yang mungkin tidak disadari. Tambahan lagi, nilai budaya dicerminkan ke dalam
norma sosial tentang cara orang saling berhubungan. Norma budaya menyebutkan bentuk
perilaku kepemimpinan yang dapat diterima dan dalam beberapa kasus dapat dirumuskan
sebagai hukum sosial yang membatasi penggunaan kekuasaan untuk memengaruhi
keputusan dan tindakan orang lain. Apa pun cara mereka menginternalisasikan nilai
budaya tentang perilaku memengaruhi, kebanyakan manajer akan setuju dengan norma
sosial mengenai perilaku ini. Satu alasannya adalah bahwa penyimpangan dari norma
sosial dapat mengakibatkan berkurangnya rasa hormat dan tekanan social dari anggota
organisasi yang lainnya. Alasan lain untuk mengikuti norma sosial adalah bahwa
penggunaan perilaku yang tidak dapat diterima kemungkinan akan mengurangi
keefektifan perilaku itu.
Perilaku kepemimpinan dipengaruhi oleh variable situasi lain selain budaya
nasional (Bass,1990; Houes et al,1997). Beberapa contohnya meliputi karakteristik
organisasi (misalnya, organisasi yang berorientasi profit vs nirlaba, perusahaan negara vs
perusahaan swasta), jenis industri (misal, retail, layanan keuangan, manufaktur,
telekomunikasi, dll), dan karakteristik posisi manajerial (misalnya, tingkatan dan fungsi
manajer, kekuasaan posisi, dan kewenangan). Para manajer yang memiliki sedikit
pengalaman dengan jenis perilaku kepemimpinan tertentu mungkin tidak memahami
bagaimana efektifnya hal itu (House et al, 1997). Akhirnya, amatlah penting untuk
mengingat bahwa nilai dan tradisi dalam budaya nasional tertentu dapat berubah seiring
waktu, seperti yang terjadi dalam budaya organisasi. Sebagai contoh, negara yang sistem
politis otokratis tradisionalnya digantikan dengan sistem demokratis akan mungkin
menjadi lebih menerima kepemimpinan partisipatif dan pemberdayaan organisasi.
Penelitian tentang Kepemimpinan Lintas Budaya: Jenis dan Kesulitan
Jenis Penelitian Lintas Budaya
Seperti dalam kasus penelitian kepemimpinan yang dilakukan dalam budaya
tertentu, kebanyakan penelitian lintas budaya mengenai kepemimpinan melibatkan
perilaku, keterampilan, dan sifat pemimpin. Sejumlah jenis Pertanyaan penelitian berbeda
telah dijelajahi dalam kelompok penelitian lintas budaya yang makin berkembang (Brett,
Tinsley, Janssens, Bamess Lytle, 1997). Beberapa penelitian menganalisis perbedaan
lintas budaya tentang keyakinan terhadap perilaku, keterampilan, dan sifat kepemimpinan
yang efektif. Perbedaan pola perilaku kepemimpinan yang sebenarnya antara negara yang
satu dan yang lain adalah jenis penelitian lain. Jenis penelitian lain itu menganalisis
perbedaan hubungan perilaku, keterampilan, sifat kepemimpinan, dan hasil, seperti
kepuasan, motivasi, dan kinerja bawahan.
Masalah Metodologi
Beberapa masalah metodologi membuat penelitian lintas budaya amatlah sulit: (1)
kurangnya ekuivalensi makna untuk ukuran yang dikembangkan di negara tertentu dan
kemudian digunakan di negara lainnya; (2) pengaruh yang membaurkan variabel
demografi dan situasi yang tidak dikendalikan oleh penentuan sampel atau dengan
analisis kovarian; (3) bias respons yang berbeda lintas budaya (misalnya, kecenderungan
yang lebih terpusat di beberapa negara Asia); (4) kurangnya sampel yang representatif
untuk menggeneralisasi negara-negara dengan perbedaan regional yang besar; dan (5)
masalah tingkat analisis yang disebabkan oleh penggunaan nilai budaya secara
keseluruhan sebagai pemerkira (misal, dimensi nilai) tetapi perilaku dan sikap individu
sebagai variabel dependen. Penggunaan banyak studi lintas budaya dibatasi oleh
kegagalan sudi tersebut dalam mengakui masalah ini dan menghadapinya dengan cara
yang memadai.
Bahkan untuk studi yang dirancang dengan baik, interpretasi hasilnya sering sulit.
Banyak mahasiswa gagal menyertakan variabel yang akan menjelaskan alasan perbedaan
lintas budaya kepemimpinan. Interpretasi hasil juga diperumit oleh perbedaan budaya
tentang nilai dan asumsi yang mendasarinya mengenai sifat manusia dan organisasi
(Boyacigiller & Adler, 1991). Untuk meminimalkan jenis masalah ini, disarankan agar
memiliki tim penelitian dengan perwakilan yang memenuhi syarat dari budaya berbeda
yang termasuk ke dalam penelitian ini.
Akhirnya, kerangka kerja konseptual yang digunakan untuk menjelaskan dimensi
budaya memengaruhi interpretasi hasil penelitian kepemimpinan lintas budaya.
Identifikasi dimensi nilai yang tepat itu sendiri merupakan tantangan yang sulit.
Kumpulan dimensi yang berbeda-beda telah diusulkan (misalnya, Hofstede, 1980, 1993;
House et al., 1997; Schwartz, 1992; Trompenaars, 1993), tetapi para pakar belum sepakat
mengenai manfaat relatifnya. Semua taksonomi saat ini memiliki keterbatasan, dan para
peneliti terus mencari cara yang lebih komprehensif dan berguna untuk menjelaskan
dimensi budaya.
Penelitian Lintas Budaya tentang Perbedaan Perilaku
Banyak penelitian lintas budaya menganalisis perbedaan antara negara yang satu
dan yang lain terkait dengan pola perilaku kepemimpinan dan penggunaan praktik
manajerial tertentu. Beberapa perbedaan lintas budaya melibatkan analisis kuantitatif
tentang peringkat pada kuesioner perilaku untuk menentukan apakah jenis perilaku
tertentu lebih sering digunakan di satu negara daripada negara yang lain. Sebagai contoh,
Dorfman dan rekan (1997) menemukan bahwa para manajer Amerika lebih menggunakan
kepemimpinan partisipatif dibandingkan dengan para manajer di Meksiko atau Korea.
Namun, rata-rata perbandingan kuantitatif skala yang ada di kuesioner deskripsi
perilaku diperumit oleh masalah metodologi seperti pembauran (confounding) dan tidak
adanya ekuivalensi (Peng, Peterson, & Shyi, 1991). Contohnya, nilai yang lebih rendah
bisa didapat di satu negara karena skala perilaku itu memiliki perbedaan makna di sini,
atau karena responden di dalam budaya itu biasanya menggunakan penilaian ekstrem
pada kuesioner tertentu.
Sedikit Penelitian lintas budaya berupaya mengidentifikasi perbedaan kualitatif
jenis perilaku tertentu yang ada di tiap-tiap negara. Contohnya, satu penelitian
(Podsakoff, Dorfman, Howell, & Todor, 1986) mendapati bahwa perilaku penghargaan
positif penting bagi keefektifan kepernimpinan dalam budaya berbeda, tetapi jenis
perilaku yang diberikan penghargaan dan cara penghargaan itu digunakan berbeda di
budaya yang satu dan yang lain. Studi lain (Smith, Misumi, Tayeb, Peterson, & Bond,
1989) telah menemukan perbedaan cara manajer mengomunikasikan perintah dan umpan
balik ke bawahan. Manajer Amerika lebih mungkin menggunakan rapat tatap muka untuk
memberikan perintah ke bawahan dan memberikan umpan balik negatif (kecaman),
sementara manajer Jepang lebih suka menggunakan memo untuk perintah dan
menyampaikan umpan balik negatif melalui teman.
Contoh Penelitian tentang Dampak dari Perilaku
Penelitian lintas budaya juga menganalisis perbedaan hubungan perilaku
kepemimpinan dengan hasil, seperti kepuasan dan kinerja bawahan. Contohnya,
Scandura, Von Glinow, dan Lowe (1999) mendapati bahwa perilaku pemimpin yang
mendukung sangat terkait dengan kepuasan bawahan dan keefektifan kepemimpinan di
AS, tetapi tidak di dua negara Timur Tengah (Yordania dan Arab Saudi). Sebaliknya,
perilaku pemimpin yang membangun sangat terkait dengan dua variabel kriteria di negara
Timur Tengah tetapi tidak di AS.
Penelitian lain (Dorfman et al.,1997) menemukan bahwa kepemimpinan yang
mengarahkan ternyata berhubungan dengan komitmen organisasi di Meksiko dan Taiwan,
tetapi tidak di Amerika Serikat, Korea Selatan, atau Jepang. Kepemimpinan yang
mendukung berhubungan dengan kepuasan manajer dalam kelima negara itu, tetapi
terdapat perbedaan lintas budaya dalam hubungan kepemimpinan yang mendukung
dengan kinerja bawahan dan komitmen organisasi. Penghargaan pemimpin yang terkait
situasi berhubungan dengan komitmen organisasi bawahan di Amerika Serikat, Meksiko,
dan Jepang, tetapi tidak di Korea atau Taiwan. Kepemimpinan partisipatif berhubungan
dengan kinerja bawahan di Amerika Serikat tetapi tidak di Meksiko atau Korea Selatan.
Penelitian oleh Schaubroeck, Lam, dan Cha (2007) menganalisis kepemimpinan
oleh manajer kantor cabang bank di AS dan Hong Kong. Mereka mendapati bahwa
kepemimpinan transformasi dari manajer kantor cabang (dinilai oleh bawahan) terkait
dengan kinerja kantor cabang (dinilai oleh manajemen yang lebih tinggi) di kedua negara.
Dampak kepemimpinan transformasi di kinerja kantor cabang ditingkatkan oleh nilai
jarak kekuasaan dan kolektivisme, yang lebih tinggi di Hong Kong daripada di AS.
Proyek GLOBE
Proyek GLOBE adalah studi lintas budaya mengenai kepemimpinan di 60 negara
berbeda yang mewakili semua regional utama dunia (House et al, 2004). Akronim
GLOBE berarti "Global Leadership and Organizational Behavior Effectiveness" atau
Keefektifan Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi Global. Proyek itu meliputi lebih
dari 150 peneliti di negara berbeda yang bekerja bersama dalam upaya jangka panjang
yang terkoordinasi.
Peneliti berharap mengembangkan teori berbasis empiris yang menjelaskan
hubungan antara budaya sosial, proses organisasi, dan kepemimpinan. Pertanyaan
penelitian mencakup sejauh mana kepemimpinan yang efektif serupa atau berbeda di
antara budaya yang berbeda, dan alasan perbedaan ini. Proyek GLOBE juga menganalisis
bagaimana kepemimpinan dan nilai budaya di pengaruhi oleh variabel situasi yang
berbeda, yang mencakup jenis industri, perkembangan ekonomi, jenis pemerintah, agama
dominan, dan jenis kondisi iklim negara tertentu.
Salah satu pertanyaan penelitian terpenting dalam proyek GLOBE adalah sejauh
mana ada keyakinan yang seragam tentang karakteristik pemimpin yang efektif. Peneliti
meminta responden di negara berbeda untuk menilai kegunaan beragam keterampilan
serta ciri kepemimpinan yang efektif. Jumlah varian peringkat rata-rata lintas negara diuji
dan karakteristik pemimpin yang dinilai hampir sama di tiap-tiap negara yang
diidentifikasi. Hasil untuk karakteristik efektif yang seragam ini ditunjukkan dalam tabel.
Penelitian juga menemukan sejumlah karakteristik pemimpin yang secara luas dinilai
sebagai tidak efektif dan karakter itu biasanya lawan dari yang positif (misal, kasar, tidak
kooperatif, diktator, egois, membela diri). Relevansi karakteristik lain didapati terlalu
beragam lintas budaya, dan karakteristik ini juga ditunjukkan dalam tabel.
Tujuan penelitian penting lainnya adalah menjelaskan perbedaan lintas budaya
pada keyakinan dan perilaku kepemimpinan. Penjelasan melibatkan pengaruh bersama
nilai budaya dan nilai organisasi. Peneliti memperluas taksonomi dimensi nilai yang
dikembangkan oleh Hofstede (1980, 1993), dan mereka mengidentifikasikan sembilan
dimensi nilai. Taksonomi baru mencakup beberapa hal yang tidak diidentifikasi oleh
Hofstede dan beberapa hal yang didapat dengan memecah kembali dimensi sebelumnya.
Inovasi lain adalah membedakan antara nilai budaya yang ada dan nilai ideal, perbedaan
antara negara yang satu dan yang lain untuk nilai ideal adalah jauh lebih kecil daripada
yang sebenarnya, dan cara untuk memaknai hasil nilai ideal tidak jelas.

Tabel Keyakinan Budaya tentang Karakteristik Pemimpin Ideal


Dinilai Efektif di Banyak Budaya Dinilai Beragam di Budaya yang Berbeda
Visioner Ambisius
Tegas Hati-hati
Dinamis Simpatik
Dapat diandalkan Mendominasi
Mendorong dan positif Resmi
Berorientasi kehebatan Rendah hati (tidak sombong)
Jujur dan dapat dipercaya Mandiri
Administrator yang handal Pengambil risiko
Pengintegrasi tim Mengorbankan diri

Dimensi Nilai Budaya dan Kepemimpinan

Desain penelitian yang paling umum untuk memelajari hubungan di antara nilai
budaya dan kepemimpinan adalah studi komparatif yang mencakup survei responden di
negara dengan nilai budaya yang berbeda. Peneliti menguji bagaimana dimensi nilai
budaya nasional terkait dengan keyakinan, perilaku, danpraktik pengembangan
kepemimpinan. Dimensi nilai yang akan/ didiskusikan adalah (1) jarak kekuasaan, (2)
penghindaran ketidakpastian, (3) individualisme/kolektivisme, (4) kesetaraan jender, (5)
orientasi kinerja, dan (6) orientasi kemanusiaan.

1. Jarak Kekuasaan

Jarak kekuasaan didefinisikan sebagai sejuah mana orang menerima distribusi


kekuasaan dan status yang tidak setara dalam organisasi dan institusi. Dalam budaya
dengan jarak kekuasaan yang tinggi, orang mengharapkan para pemimpin memiliki
kewenangan yang lebih banyak, dan mereka lebih mungkin mematuhi peraturan dan
perintah tanpa mempertanyakan atau menentangnya (Dickson et al., 2003). Bawahan
tidak terlalu ingin menentang bos atau mengekspresikan ketidaksepakatan dengan mereka
(Adsit, London, Crom, & Jones, 1997).
Kepemimpinan partisipatif dianggap sebagai karakteristik kepemimpinan yang
lebih menguntungkan di budaya dengan jarak kekuasaan yang rendah, seperti Eropa
Barat, New Zealand, dan AS daripada di negara dengan jarak kekuasaan yang tinggi,
seperti Rusia, Cina, Taiwan, Meksiko, Venezuela (Dorfman, Hanges, & Brodbeck, dalam
proses cetak). Kebijakan resmi dan peraturan yang ditetapkan oleh manajemen puncak
sering digunakan untuk mengatasi peristiwa tertentu, dan manajer tidak sering
berkonsultasi dengan bawahan ketika membuat keputusan (Smith, Peterson, Schwartz,
Ahmad, et al., 2002).
Di negara dengan jarak kekuasaan tinggi, kepemimpinan transformasi
(mendukung dan inspiratif) kemungkinan dikombinasikan dengan gaya pengambilan
keputusan yang mengarahkan dan otokratis, yang di negara dengan jarak kekuasaan
rendah, lebih mungkin dikombinasikan dengan gaya pengambilan keputusan partisipatif
(Den Hartog et al., 1999). Di negara berkembang dengan budaya jarak kekuasaan yang
tinggi, orang sering lebih memilih gaya "paternalistik" yang mengombinasikan keputusan
otokratis dengan perilaku yang mendukung (Dickson et al., 2003; Dorfman et al., 1997).
2. Penghindaran Ketidakpastian
Penghindaran ketidakpasatian adalah sejauh mana orang merasa tidak nyaman
dengan situasi ambigu dan ketidakmampuan untuk memprediksi peristiwa mendatang.
Dalam budaya dengan penghindaran ketidakpastian yang tinggi, terdapat lebih banyak
ketakutan akan hal yang tidak diketahui, dan orang lebih menginginkan keamanan,
kestabilan, dan keteraturan. Norma sosial, tradisi, kesepakatan rinci, dan keahlian
bersertifikasi lebih dihargai, karena hal itu menawarkan cars untuk menghindari
ketidakpastian dan ketidakteraturan (Dickson et al., 2003; Den Hartog et al., 1999).
Contoh negara dengan penghindaran ketidakapstian yang tinggi mencakup Prancis,
Spanyol, Jerman, Swiss, Rusia, dan India. Beberapa negara dengan kepedulian yang lebih
rendah tentang penghindaran ketidakpastian mencakup AS, Inggris, Kanada, Denmark,
dan Swedia.
Ketika ada penghindaran ketidakpastian yang tinggi, kualitas yang bernilai bagi
manajer mencakup dapat diandalkan, teratur, dan hati-hati, bukan fleksibel, inovatif, dan
menyukai risiko. Manajer ini menggunakan perencanaan yang lebih rinci, peraturan resmi
dan prosedur standar, serta memantau aktivitas, dan tidak terlalu banyak delegasi
(Offerman & Hellmann, 1997). Kontrol atas keputusan tentang perubahan atau inovasi
lebih tersentralisasi. Contohnya, satu penelitian menemukan bahwa manajer di Inggris
mengharapkan lebih banyak inovasi dan ide dari bawahan, padahal manajer di Jerman
lebih mengharapkan keterandalan dan ketepatan waktu (Stewart, Barsoux, Kieser, Canter,
& Walgenbach, 1994). Penelitian itu juga menemukan bahwa pengembangan manajemen
di Jerman menekankan kepemilikan pengetahuan dan pengalaman khusus di bidang
fungsional, sementara di Inggris, ada lebih banyak penekanan pada keterampilan umum
yang didapat dari beragam pengalaman kerja.
3. Individualisme (vs. Kolektivisme)
Individualisme adalah sejauh mana kebutuhan dan kewenangan perorangan lebih
penting dibandingkan kebutuhan kolektif grup, organisasi, atau masyarakat. Dalam
budaya yang individualistis, hak individu adalah lebih penting dibandingkan dengan
tanggung jawab sosial, dan orang diharapkan mengurusi diri mereka sendiri (Dickson et
al., 2003; Gelfand, Bhawuk, Nishi, & Bechtold, 2004; Hofstede, 1980). Contoh negara
dengan nilai individualisme yang kuat mencakup AS, Australia, Inggris, dan Belanda.
Implikasi dari nilai kolektif sebagian tergantung pada apakah nilai itu lebih
penting bagi dalam grup atau masyarakat yang lebih luas, tetapi banyak penelitian lintas
budaya menekankan kolektivisme dalam grup. Dalam grup bisa didasarkan pada ikatan
keluarga, latar belakang agama atau etnis, keanggotaan dalam partai politik, atau
hubungan bisnis yang stabil dan kolaboratif. Dalam budaya kolektif, keanggotaan di
dalam grup yang kohesif merupakan aspek penting dari identitas diri seseorang, dan
loyalitas ke grup itu penting. Orang ini kemungkinan kecil berganti pekerjaan, dan
anggota kemungkinan besar meluangkan waktunya secara sukarela untuk melakukan
pekerjaan tambahan dan "perilaku tanggung jawab sosial organisasi" (Jackson, Colquitt,
Wesson, & Zapata-Phelan, 2006). Pada gilirannya, grup diharapkan mengurusi anggota
mereka. Contoh negara dengan nilai kolektif yang kuat mencakup Cina, Argentina,
Meksiko, dan Swedia.
Karena orang lebih termotivasi untuk memuaskan kepentingan diri mereka dan
tujuan pribadi mereka dalam budaya individualistis, lebih sulit bagi pemimpin untuk
menginspirasi komitmen yang kuat bagi tim atau tujuan organisasi (Jung & Avolio, 1999;
Triandis, 1995). Pilihan atas imbalan yang didasarkan pada pencapaian dan kinerja juga
membuat lebih sulit bagi pemimpin untuk menggunakan imbalan dan pengakuan berbasis
tim (Kirkman & Shapiro, 2000). Penekanan pada hak dan otonomi individu membuat
lebih sulit menciptakan budaya kuat dengan nilai bersama yang mencakup tanggung
jawab sosial, kerja sama, dan perilaku etis. Karena sifat karier yang bersifat sementara,
seleksi kemungkinan lebih penting daripada pelatihan dan pengembangan untuk
memastikan bahwa orang memiliki keterampilan yang memadai.
4. Kesetaraan Jender
Kesetaraan jender adalah sejauh mana pria dan wanita menerirna perlakuan yang
sama,dan kedua karakter maskulin dan feminin itu dianggap penting dan diinginkan.
Dalam budaya dengan kesetaraan jender yang tinggi, peran jenis kelamin tidak jelas
dibedakan, pekerjaan tidak dipisahkan berdasarkan jender. Perempuan memiliki peluang
yang lebih setara guna dipilih untuk posisi kepemimpinan yang penting, walaupun akses
tetap lebih besar untuk posisi sektor publik daripada di perusahaan bisnis. Jika peran
jender tidak dibeda-bedaskaarnu, laki-laki dan perempuan kurang dibatasi perilaku
mereka, dan ada sedikit bias tentang bagairnana perilaku mereka dievaluasi oleh bawahan
dan bos. Contoh tentang negara dengan nilai kesetaraan jender yang kuat mencakup
Norwegia, Swedia, Denmark, dan Belanda. Negara dengan tingkat kesetaraan jender
yang rendah mencakup Jepang, Italia, Meksiko, dan Swiss.
Nilai budaya tentang kesetaraan jender memiliki dampak bagi seleksi dan evaluasi
pemimpin, dan jenis perilaku kepemimpinan yang dianggap diinginkan dan diterima
secara sosial (Dickson et al., 2003; Emrich et al., 2004). Dalam budaya dengan nilai
"maskulin" yang kuat dengan ketegaran dan ketegasan, karakter "feminin" seperti
kebaikan hati, empati, dan intuisi tidak dianggap penting bagi kepemimpinan yang efektif
(Den Hartog, 2004; Den Hartog et al., 1999). Pemimpin lebih mungkin menggunakan
bentuk pengaruh hubungan antarpribadi yang langsung dan konfrontatif daripada bentuk
pengaruh yang tidak langsung dan tidak terlihat (misal, Fu & Yukl, 2000; Holt raves
1997). Pemimpin yang tindakannya menampilkan kerendahan hati, kebaikan hati, atau
konsiliasi lebih mungkin dilihat sebagai pemimpin yang lemah dan tidak efektif dalam
budaya "maskulin." Kepemimpinan partisipatif, kepemimpinan yang mendukung, dan
aspek berorientasi hubungan pada kepemimpinan transformasi dianggap kurang
menguntungkan dalam budaya seperti itu.
5. Orientasi Kinerja
Sejauh mana kinerja dan pencapaian tinggi individu dihargai disebut orientasi
kinerja (Javidan, 2004). Nilai dan karakteristik yang terkait mencakup kerja keras,
tanggung jawab, ke-efektifan, keuletan, inisiatif, pragmatisme, dan kepemilikan
keterampilan baru. Dalam masyarakat dengan nilai orientasi kinerja yang kuat, hasil lebih
ditekankan daripada orang. Apa yang Anda lakukan lebih penting daripada siapa diri
Anda (misal, jender, latar belakang keluarga atau etnis), dan pencapaian individu bisa
menjadi sumber penting status dan harga diri. Pencapaian tugas secara efektif dianggap
sebagai prioritas, yang melebihi kebutuhan individu atau loyalitas keluarga.
Orientasi kinerja dipengaruhi oleh iklim negara tertentu dan cenderung berada di
dataran yang lebih tinggi dengan iklim yang lebih dingin, mungkin karena pada satu
waktu kelangsungan hidup manusia lebih tergantung pada hal itu. Dalam abad-abad
sebelumnya, nilai orientasi kinerja, iuga secara kuat terkait dengan agama, dan negara
dengan "etika protestan" yang kuat (missal AS, Inggris, Jerman, Belanda) memiliki
perkembangan industri yang lebih cepat daripada negara di tempat agama Katolik
dominan (misal, Francis, Italia, Spanyol, Meksiko). Orientasi kinerja memiliki implikasi
untuk kepemimpinan, karena beberapa jenis perilaku kepemimpinan lebih relevan untuk
meningkatkan kinerja dan efisiensi. Contoh mencakup penentuan tujuan atau standar
yang menantang, mengembangkan rencana tindakan dengan jadwal dan tenggat waktu,
mengekspresikan keyakinan bahwa bawahan bisa memperbaiki kinerja, mengembangkan
keterampilan terkait pekerjaan dalam diri bawahan, mendorong inisiatif, dan
rnernberikan pujian serta imbalan atas pencapaian. Perilaku yang relevan bagi pemimpin
tim juga mencakup perencanaan dan penjadwal pekerjaan untuk meningkatkan
koordinasi, memantau kegiatan untuk mendeteksi masalah yang perlu dipecahkan, dan
memfasilitasi pekerjaan dengan mendapatkan sumber daya serta inforrnasi yang
diperlukan. Dalam budaya orientasi kinerja, pemilihan anggota untuk tim dengan tugas
penting kemungkinan didasarkan pada kemampuan, bukan pada hubungan pertemanan
dan keluarga.
Tidak ada hubungan sederhana antara keyakinan tentang kepemimpinan yang
efektif dan nilai budaya terkait orientasi kinerja. Kepedulian yang kuat terhadap kinerja
tugas dipercaya secara luas sebagai persyaratan bagi kepemimpinan yang efektif, bahkan
dalam sejumlah negara, yang tidak memiliki nilai orientasi kinerja yang kuat.
Pembangunan ekonomi dibantu oleh orientasi kinerja yang kuat, tetapi kepedulian untuk
meningkatkan kinerja mungkin lebih kuat di negara yang pembangunannya cepat
daripada di negara yang di situ kesejahteraan telah ada secara luas (Javidan, 2004). Nilai
budaya mungkin memiliki pengaruh yang lebih kecil terhadap perilaku pemimpin yang
berorientasi kinerja daripada terhadap budaya organisasi dan kebutuhan individu serta
sifat kepribadian pemimpin (misal, motivasi pencapaian, pusat kendali internal).
Kesimpulannya, faktor ini membantu menjelaskan ketiadaan hasil yang konsisten dalam
penelitian lintas budaya tentang hubungan di antara orientasi kinerja dan kepemimpinan.
6. Orientasi Kemanusiaan
Orientasi kemanusiaan berarti perhatian yang besar bagi kesejahteraan orang lain
dan keinginan untuk mengorbankan kepentingan pribadi guna membantu orang lain.
Nilai utama mencakup altruisme, keinginan untuk berbuat baik, kemurahan hati, simpati,
cinta, dan ketiadaan niat untuk berbuat jahat. Nilai-nilai ini cenderung dikaitkan dengan
kebutuhan yang lebih kuat akan afiliasi dan kepemilikan daripada kesenangan,
pencapaian, atau kekuasaan. Altruisme dan kebaikan tidak terbatas bagi keluarga
seseorang atau dalamgrup etnis/agama, tetapi malah mencakup kepedulian yang
manusiawi bagi semua orang. Nilai kemanusiaan individu sangat dipengaruhi oleh
pengalaman keluarga, pengasuhan, dan pengajaran agama serta norma budaya.
Masyarakat dengan orientasi kemanusiaan yang kuat mendorong dan menghargai
individu karena telah ramah, peduli, murah hati, dan baik kepada orang lain (Kabasakai
Bodur, 2004). Masyarakat seperti itu kemungkinan menginvestasikan lebih banyak
sumber daya untuk mendidik dan melatih orang demi karier dan memberi layanan
kesehatan serta layanan sosial bagi orang.
Nilai orientasi kemanusiaan mendorong perilaku kepemimpinan yang mendukung
seperti peduli dengan kebutuhan dan perasaan bawahan, menunjukkan simpati ketika
bawahan kesal, memberi pendampingan dan pelatihan ketika diperlukan, menawarkan
untuk memberikan bantuan ketika diperlukan untuk mengatasi masalah pribadi, dan
bertindak dengan ramah serta terbuka. Pemimpin dengan nilai orientasi kemanusiaan
yang kuat kemungkinan lebih toleran, sabar, dan membantu bawahan yang membuat
kesalahan atau mengalami kesulitan untuk memelajari tugas baru. Nilai orientasi
kemanusiaan juga terkait dengan kepemimpinan partisipatif, kepemimpinan yang
melayani, perilaku pembentukan tim (mendorong kerja sama dan rasa saling percaya).
Nilai utama ini konsisten dengan gaya diplomatis dan yang mendamaikan pada
manajemen konflik yang berusaha mempertahankan hubungan harmonis dan memuaskan
kebutuhan penting masing-masing pihak. Minat dalam membangun hubungan yang
bersahabat dan kooperatif bisa diperluas ke orang di luar tim atau unit pemimpin itu,
seperti mengembangkan jejaring hubungan eksternal dengan bersosialisasi dengan orang
dan memberi bantuan bagi mereka. Dalam beberapa negara orientasi kemanusiaan juga
bisa berbentuk hal lain, seperti bersosialiasi secara informal dengan bawahan dan
bertindak paternalistik, terkait dengan karier dan kesejahteraan sosial bawahan dan
keluarga mereka.
7. Kelompok Budaya
Dimensi nilai budaya cukup saling terkait, dan upaya untuk menganalisis
perbedaan satu dimensi nilai tunggal tanpa mengontrol dimensi nilai yang lain membuat
sulit untuk menentukan dampak independen dimensi itu pada keyakinan dan perilaku
kepemimpinan. Contoh, di negara yang memiliki jatak kekuasaan yang tinggi dan
toleransi terhadap ketidakpastian yang rendah, tidak jelas seberapa banyak tiap-tiap nilai
itu memengaruhi penekanan pada keputusan tersentral bagi perusahaan tertentu. Untuk
alasan ini, peneliti telah mengelompokkan negara ke dalam kelompok-kelompok
berdasarkan kedekatan regional dan kesamaan latar belakang etnis/agama (Gupta,
Hanges, & Dorfman, 2002; Gupta & Hanges, 2004). Peneliti GLOBE mengelompokkan
60 negara ke dalam 10 kelompok dengan didasarkan pada kedekatan regional dan
kesamaan bahasa, latar belakang etnis, dan agama. Lalu, analisis diskriminan memastikan
bahwa klasifikasi negara ke dalam kelompok itu merefleksikan secara akurat perbedaan
sembilan nilai budaya bagi tiap-tiap negara. Didasarkan pada Dorfman et al. (2004)
a. Eropa Timur (Albania, Georgia, Yunani, Hungaria, Kazakhstan, Polandia Rusia,
Slovenia)
b. Amerika Latin (Argentina, Bolivia, Brazil, Kolombia, Kosta Rica, Ekuador, El
Salvador, Guatemala, Meksiko, Venezuela)
c. Anglo (Australia, Kanada, Irlandia, Selandia Baru, Afrika Selatan (putih), Inggris
Raya, AS)
d. Eropa Nordik (Denmark, Finlandia, Swedia)
e. Afrika Sub-sahara (Namibia, Nigeria, Afrika Selatan (hitam), Zambia, Zimbabwe)
f. Asia Konfusian (Cina, Hong Kong, Jepang, Singapura, Korea Selatan, Taiwan)
g. Eropa Latin (Prancis, Israel, Italia, Portugal, Spanyol, Swiss (Prancis))
h. Eropa Jerman (Austria, Jerman, Belanda, Swiss)
i. Timur Tengah (Mesir, Kuwait, Maroko, Qatar, Turki)
j. Asia Selatan (India, Indonesia, Iran, Malaysia, Filipina, Thailand)
Kelompok-kelompok itu dibandingkan menurut keyakinan kepemimpinan, dan
perbedaan ditemukan di antara kelompok itu untuk beberapa keyakinan tentang
kepemimpinan yang efektif. Contoh, kepemimpinan partisipatif dianggap lebih penting di
kelompok Anglo, Eropa Jerman, dan Eropa Nordik daripada di kelompok Eropa Timur,
Asia Selatan, Asia Konfusian, dan Timur Tengah. Di kelompok Asia Selatan dan Afrika
Sub-Sahara, hal yang dianggap lebih penting bagi kepemimpinan yang efektif adalah
dengan menunjukkan kepedulian yang manusiawi bagi orang lain. Tetapi, hal tersebut
tidak berlaku di kelompok Eropa Jerman atau Eropa Latin. Penelitian selanjutnya akan
melihat lebih saksama perbedaan perilaku kepemimpinan aktual yang berhubungan
dengan perbedaan teori implisit tentang kepemimpinan efektif.

Evaluasi Penelitian Lintas Budaya


Penelitian tentang nilai budaya menemukan perbedaan penting yang relevan
dengan keyakinan tentang kepemimpinan efektif dan perilaku nyata pemimpin. Tetapi,
banyak penelitian terdahulu menggunakan teknik sampel berdasarkan kenyamanan
(convenience) dari hanya beberapa negara, bukan sampel dari banyak negara berbeda
dengan kontrol untuk jenis organisasi dan kumpulan responden yang representatif di tiap-
tiap negara. Banyak penelitian menggunakan sampel besar yang membuat perbedaan
nyata mudah ditemukan tetapi terlalu lemah untuk memiliki banyak makna praktis.
Penelitian itu tidak konsisten dalam melaporkan besarnya dampak budaya.

Pendekatan yang lebih sistematis untuk penelitian lintas budaya pada


kepemimpinan diambil dalam proyek GLOBE, dan penentuan sampel yang sistematis
dan terkontrol membuat hasilnya lebih mudah dimaknai. Tetapi, penggunaan perilaku
kepemimpinan yang didefinisikan secara luas membuat penelitian itu lebih sulit
mendapatkan gambaran yang jelas tentang perbedaan perilaku lintas budaya. Seperti
dinyatakan dalam bab sebelumnya, kategori perilaku yang luas seperti kepemimpinan
yang murah hati, transformasi, dan partisipatif cenderung menyamarkan perbedaan
penting antar perilaku-perilaku kecil. Ketika peneliti menganalisis pengaruh bersama dari
nilai budaya dan organisasi di perilaku kepemimpinan nyata, penting untuk mengukur
aspek spesifik perilaku ini selain mengukur kategori umum. Walaupun begitu, karena
kesulitan yang dimiliki orang dalam menilai perilaku pemimpin melalui kuesioner,
penelitian kualitatif yang menguji deskripsi perilaku kepemimpinan aktual (misal,
peristiwa, kasus) lebih mungkin menghasilkan pemikiran yang lebih berguna daripada
perbandingan kuantitatif yang didasarkan pada penilaian perilaku yang didefinisikan
dengan luas.

Banyak pertanyaan penelitian perlu dianalisis dengan lebih saksama di masa


depan. Contoh mencakup hal berikut: tentang pertanyaan relevan untuk penelitian
kepemimpinan lintas budaya di masa mendatang

1. Bagaimana perbedaan perilaku nyata pemimpin lintas kelompok nilai budaya dan
negara yang berbeda?
2. Bagaimana nilai dan perilaku pemimpin dipengaruhi secara bersama oleh kepribadian
(dan pengalaman pengembangan), budaya perusahaan, dan budaya nasional?
3. Seberapa bergunanya perbedaan antara nilai budaya nyata dan ideal untuk memahami
teori implisit tentang kepemimpinan dan pola perilaku kepemimpinan?
4. Seberapa sulitkah mengubah nilai budaya organisasi ketika nilai itu tidak konsisten
dengan nilai sosial di tempat a fasilitas organisasi berada?
5. Seberapa cepat nilai budaya berubah, dan apakah faktor penentu utama perubahan
budaya yang relevan untuk kepemimpinan?
6. Apakah jenis sifat, keterampilan, dan pengalaman pengembangan kepemimpinan
yang paling berguna untuk mempersiapkan seseorang guna penugasan kepemimpinan
di budaya yang berbeda?
C. Gender dan Kepemimpinan
Topik paling menarik dikalangan para praktisi dan juga para akademisi adalah
kemungkinan perbedaan antara pria dan wanita dalam prilaku dan keefektivan
kepemimpinan.Alasan diskriminasi yang berkelanjutan terhadap wanita dalam sleksi
kepemimpinan merupakan topic terkait yang amat penting.
Diskriminasi berdasarkan jenis kelamin
Diskriminasi yang meluas telah terbukti jenis dalam sejumlah kecil wanita yang
memegang posisi kepemimpinan tingkat tinggi yang penting dalam sebagian besar jenis
organisasi.Kecendrungan kuat untuk lebih menguntungkan pria daripada wanita dalam
pengisian posisi kepemimpinan tingkat tinggi telah disebut dengan “langit-langit kaca
(glass eiling)”.
Selama abad ke-20 diskriminasiberdasarkan jenis kelamin didukung oleh
keyakinan lama bahwa pria lebih memenuhi syarat daripada wanita untuk peran
kepemimpinan.Keyakinan ini melibatkan asumsi mengenai ciri dan keterampilan yang
dibutuhkan untuk kepemimpinan efektif dalam organisasi (teori implisit),asumsi
mengenai perbedaan yang sudah melekat antara pria dan wanita (stereotip jender),dan
asumsi mengenai perilaku yang tepat bagi pria dan wanita (harapan peran).seperti telah
dinyatakan sebelumnya,teori implisit dan stereotip jender dipengaruhi oleh nilai budaya
untuk kesetaraan jender.
Penjelasan atas langit-langit kaca
Keyakinan yang biasa mengenai keterampilan dan perilaku yang diperlukan untuk
kepemimpinanyang efektif adalah satu alas an diskriminasi berdasarkan jenis
kelamin.Telah diasumsikan sejak lama bahwa pemimpin yang efektif haruslah percaya
diri,berorientasi tugas,kompetitif,objektif,tegas dan asertif,yang biasanya dipandang
sebagai karakteristik maskulin (Schein,1975, Stogdill 1974)
Diskriminasi berbasis jenis kelamin dalam pemilihan kepemimpinan juga
merefrensikan pengaruh dari stereotip dan harapan peran laki-laki dan perempuan
(Heilman,2001).Untuk waktu yang lama,perempuan diasumsikan orang yang tidak dan
tidak bersedia menggunakan perilaku maskulin yang dianggap penting untuk
kepemimpinan efektif.Alasan lain yang mungkin ada untuk langit-langit kaca telah
disarankan juga (Ragins et al, 1998, Schein, 2001, Threnou, latimer dan
Conroy,1994)Penjelasan yang mencakup :
1. Ketiadaan peluang untuk mendapatkan pengalaman dan visibilitas dalam jenis
posisi yang akan memfasilitasi kemajuan
2. Standard kinerja yang lebih tinggi untuk perempuan daripada untuk laki-laki
3. Pengecualian perempuan dari jejaring informal yang membantu promosi
4. Ketiadaan dukungan dan peluang untuk aktivitas pengembangan
5. Ketiadaan peluang untuk pendamping yang efektif
6. Ketiadaan upaya yang kuat untuk mendapatkan akses ke posisi kepemimpinan
7. Kesulitan yang diciptakan oleh tuntutan keluarga yang saling bersaing
8. Ketiadaan tindakan yang kuat oleh manajemen puncak untuk memastikan peluang
yang setara
9. Bisa untuk menyeleksi dan memperomosikan individu yang serupa ke manajer
yang membuat keputusan
10. Upaya yang disengaja oleh sejumlah manusia untuk mempertahankan control
posisi yang paling digdaya bagi diri mereka sendiri
Teori keunggulan feminine
Kontroversi yang lebih baru dipicu oleh pernyataan bahwa wanita lebih mungkin
memiliki nilai dan keterampilan yang diperlukan untuk kepemimpinan efektif dalam
organisasi modern dibandingkan dengan pria..Perbedaan itu adalah hasil dari masa
kecil,interaksi anak orang tua dan praktik sosialisasi yang merefrensikan stereotip peran
jenis kelamin dan keyakinan tentang perbedaan jender dan posisi yang tepat bagi laki-laki
dan perempuan (Cockburn,1991).Pengalaman ini mendukung nilai “feminine” seperti
kebaikan hati,simpati,pengasuhan dan sikap untuk berbagi.
Pendukung keunggulan feminin mengklaim bahwa karakter kepemimpinan yang
berubah dalam organisasi telah meningkatkan relevansi ketrampilan dan nilai yang lebih
kuat dalam perempuan daripada laki-laki.Tetapi,seperti pernyataan sebelumnya bahwa
pria lebih memenuhi syarat sebagai pemimpin,pernyataan bahwa perempuan lebih
memenuhi syarat tanpa didasarkan pada asumsi yang lemah dan stereotip jender yang
dibesar-besarkan.
Temuan penelitian mengenai perbedaan jender
Banyak studi telah membandingkan para pemimpin pria dan wanita terkait dengan
perilaku kepemimpinan mereka .Tinjauan atas penelitian mengenai jender dan
kepemimpinan itu tidak sepakat hasilnya.Beberapa peninjauan telah menyimpulkan
bahwa tidak ada bukti bahwa pebedaan jender yang penting dalam perilaku dan
keterampilan kepemimpinan.Peninjauan lainnya telah menyimpulkan bahwa terdapat
perbedaan yang behubungan dengan jender bagi beberapa keterampilan atau perilaku
dalam beberapa situasi.Debat terbaru yang di publikasikan dalam leadership quarterly
menunjukan kompleksitas masalah dan sejauh mana ketidakspakatan para akademisi.
Banyak peneliti terdahulu tentang perbedaan jender dalam perilaku
kepemimpinan melibatkan perilaku tugas dan hubungan.Melakukan metanalisis atas
study jender dengan para manajer dan menemukan tidak ada perbedaan jender dalam
penggunaan perilaku yang berorientasi tugas atau yang mendukungnya.Tetapi,penelitian
mendapati bahwa kepemimpinan partisipatif sedikit lebih sering digunakan oleh
perempuan daripada oleh laki-laki.Dalam metanalisis berikutnya perempuan agak lebih
banyak menggunakan perilaku kepemimpinan transformasi daripada oleh laki-laki dan
perbedaan utama adalah pertimbangan individu,yang mencakup perilaku yang
mendukung dan dukungan untuk mengembangkan keterampilan dan keyakinan
bawahan.Hasil tentang kepemimpinan transaksi adalah campur aduk,perempuan agak
lebih banyak menggunakan perilaku imbalan yang tergantung lingkungan dan laki-laki
menggunakan manajemen pengecualian dengan sedikit lebig pasif.

Keterbatasan penelitian tentang perbedaan jender


Keterbatasan serius dalam sebagian besar penelitian mengenai perbedaan jender
merumitkan interpretasi hasilnya (Lefkowitz,1994).Satu masalah utama adalah ketiadaan
definisi yang jelas tentang jender (Ely dan Padavic,2007).Dalam sejumlah kasus,definisi
itu merujuk pada jenis kelamin anatomis (laki-laki vs perempuan),dalam hal lain merujuk
pada sekumpulan karakteristik pribadi yang lebih sering dikaitkan dengan satu jenis
kelamin dari pada dengan jenis kelamin lainnya.Konsepsi karakteristik jender ini tidak
konstan antara penelitian yang satu dan yang lain,dan hal itu jarang terlihat jelas berapa
banyak dukungan empiris yang ada atas perbedaan yang kuat antara laki-laki dan
perempuan.
Jender sering dikorelasikan dengan variabel lainnya yang diketahui
mempengaruhi perilaku pemimpin misalnya,tingkatan,fungsi,masa jabatan,jenis
organisasi.Banyak penelitian tentang perbedaan jender dalam kepemimpinan tidak
mengontrol dampak diferensial organisasi dan variabel budaya pada pemimpin laki-laki
dan perempuan.Ketiadaan perhatian terhadap dampak variabel organisasi bisa
menghasilkan beberapa jenos masalah.Orang bisa terpikat pada profesi tertentu
misalnya,perempuan untuk mengasuh,laki-laki untuk pekerjaan polisi,karena hal itu
melibatkan penggunaan keterampilan dan perilaku alamiah atau karena peluang,mereka
terbatas dan pilihan mereka dipengaruhi oleh stereotip peran jenis kelamin yang
kuat.Distribusi yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan untuk banyak jenis posisi
dan kepemimpinan bisa membuat hasilnya menjadi bisa untuk penelitian komparatif
pemimpin laki-laki dan perempuan.Contoh,bila penelitian mencakup lebih banyak
perempuan daripada laki-laki dalam jenis posisi kepemimpinan yang membutuhkan
banyak perilaku yang mendukung dan berpatisipatif,maka jenis posisi bisa dikontrol
hasilnya akan tampak mengindikasikan bahwa pemimpin perempuan umumnya lebih
bersifat mendukung dan partisipatif.Bila penelitian memiliki banyak laki-laki dalam jenis
posisi kepemimpinan yang membutuhkan perilaku tegas dan pasti,maka hasilnya akan
tampak mengindikasikan bahwa laki-laki umumnya memiliki lebih banyak ciri
ini.Sayang,banyak penelitian komparatif yang melaporkan perbedaan laki-laki dan
perempuan tidak mengontrol jenis kontaminasi ini.
Kegunaan metanalisis untuk memaknai penelitian pada perbedaan jender adalah
terbatas jika hasilnya dalam literatur yang diterbitkan tidaklah bersifat
mewakili.Penelitian atas perbedaan jender jarang menjadi tujuan utama untuk melakukan
study lapangan mengenai kepemimpinan,karena perbedaan jender merupakan topic yang
popular,hubungan yang penting akan lebih sering dilaporkan daripada hubungan yang
tidak penting.Jadi,perbedaan jender yang kecil tetapi nyata dalam metanalisis bisa
dihasilkan dari penentuan sampel penelitian yang tidak representative dan juga dari
kebingungan dalam sejumlah penelitian.
Mengidentifikasi sebab dan mengurangi diskriminasi
Banyak penelitian tentang jender dan kepemimpinan terfokus pada penentuan
apakah ada perbedaanlaki-laki dan perempuan,bukan pada penentuan penyebab.Bila
penelitian mampu menemukan perbedaan dengan kegunaan statistic dan praktif,serta
kebingungan bisa di selesaikan,maka penting untuk menyelesaikan perbedaanSatu
penjelasan yang mungkin mencakup perbedaan biologis yang diciptakan oleh proses
evolusioner yang terjadi selama ribuan tahun dalam waktu primitive
(Browne,2006,Geary,1998).Penjelasan lain adalah perlakuan yang bebeda selama masa
kanak-kanak menyebabkan perempuan dan laki-laki memiliki nilai,ciri,keterampilan dan
cara menghadapi situasi yang berbeda.Penjelasan ini menyebabkan dampak yang berbeda
untuk pemilihan dan pelatihan pemimpin serta penghilangan diskriminasi yang tidak
adil.Sayangnya banyak peneliti tentang perbedaan jender dalam kepemimpinan memberi
sedikit informasi tentang alas an adanya banyak perbedaan yang ditemukan dalam
keterampilan,nilai atau perilaku.Dalam ketiadaan bukti seperti ini,orang lebih mungkin
melibatkan perbedaan jender pada faktor biologis yang melekat pada hal-hal lain yang
bisa berubah.
Tetapi,segala manfaat jender kemungkinan hanya kecil,yang berarti bahwa
banyak anggota dari jender yang lain tetap memenuhi kualitas untuk posisi
tertentu.Penelitian mengindikasikan bahwa untuk banyak jenis posisi
kepemimpinan,kandidat perempuan lebih mungkin di nilai kurang memenuhi syarat dari
pada kandidat laki-laki kecualiinformasi akurat tantang kualifikasi setiap orang di
kumpulkan dan di gunakan dalam keputusan seleksi (Heilman,2001, Heilman dan
Haynes,2005).Untuk menghindari bisa dari stereotip dan prasangka jender,upaya khusus
di buat untuk memastikan bahwa keterampilan dan kompetensi yang relevan pada
kandidat yang ada untuk posisi kepemimpinan di niali secara akurat.Bila
memungkinkan,keputusan pemilihan dan promosi seharusnya di buat oleh orang yang
memahami cara menghindari bisa yang dihasilkan dari asumsi dan stereotip.
Rangkuman penelitian jender pemimpin
Penelitian yang lebih sistematis dan komprehensif diperlukan untuk menentukan
sejauh mana perbedaan jender dalam kepemimpinan itu ada dan alasan perbedaan
itu.Penting untuk menganalisis bagaimana faktor organisasi dan budaya memengaruhi
persepsi serta perlakuan konsisten pada perbedaan jender dalam kepemimpinan dan
banyak keterbatasan penelitian ini ,kesimpulan yang di raih oleh powell (1990,hlm 74)
masih terlihat tepat :
Hanya,sedikit alasan untuk meyakini bahwa baik wanita atau pria menjadi
manajer yang superior,atau bahkan pria dan wanita adalah jenis manajer yang
berbeda.Malahan terdapat kemungkinan untuk menjadi pelaku tugas manajerial yang luar
biasa,rata-rata, dan buruk didalam setiap jenis kelamin.Keberhasilan dalam pasar yang
amat kompetitif saat ini meminta organisasi untuk menggunakan sebaik mungkin semua
bakat yang tersedia lagi mereka.Untuk melakukan hal ini,mereka harus
mengidentifikasi,mengembangkan,mendorong,dan mempromosikan manajer yang paling
efektif,apapun jenis kelaminnya.
D. Mengelola Keberagaman

Keragaman dapat mengambil banyak bentuk, yang mencakup perbedaan ras,


identitas etnis, usia, jender, pendidikan, tingkat social ekonomi, dan orientasi
seksual. Jumlah keragaman tenaga kerja makin meningkat di Amerika Serikat (Miliken
dan Martins 1996). Makin banyak wanita yang memasuki pekerjaan yang sebelumnya
dipegang pria, jumlah pekerja yang lebih tua juga meningkat, dan ada lebih banyak orang
dari etnis, agama, dan latar belakang ras yang berbeda. Meningkatnya jumlah
joint venture, marger, dan aliansi strategi telah mengumpulkan orang dari jenis organisasi
dan budaya nasional yang berbeda.

Keragaman menawarkan potensi manfaat dan biaya bagi kelompok atau


organisasi tertentu (Cox & Blake, 1991; Kochan et al., 2003; Milliken & Martins, 1996;
Triandis et al., 1994). Makin beragamnya perspektif meningkatkan kreativitas, dan
pemanfaatan penuh atas tenaga kerja yang beragam akan meningkatkan jumlah bakat
yang tersedia untuk memenuhi pekerjaan yang penting. Namun, keragaman juga dapat
mengakibatkan makin banyaknya rasa tidak percaya dan konflik, kepuasan yang lebih
rendah dan pergantian karyawan yang lebih tinggi. Organisasi tidak terlalu mungkin
memiliki nilai bersama dan komitmen anggota yang kuat jika ada banyak anggota
beragam yang terutama diidentifikasikan menurut subkelompok mereka sendiri. Jadi,
mengelola keragaman itu merupakan tanggung jawab pemimpin yang penting tetapi sulit
dalam abad ke-21.

Memupuk Apresiasi dan Toleransi Keragaman

Para pemimpin dapat melakukan banyak hal untuk memupuk apresiasi dan
toleransi keragaman. Beberapa langkah tindakan yang direkomendasikan bagi tiap-tiap
pemimpin yaitu :

 Tetapkan contoh perilaku Anda tentang penghargaan atas keragaman.


 Dorong penghormatan terkait perbedaan individu.
 Promosikan pemahaman tentang nilai, keyakinan, dan tradisi yang berbeda.
 Jelaskan manfaat keragaman bagi tim atau organisasi.
 Dorong dan dukung orang lain yang mempromosikan toleransi keragaman.
 Tentang penggunaan stereotip unuk menggambarkan orang.
 Identifikasi keyakinan dan harapan peran yang bias bagi perempuan atau
minoritas.
 Tentang orang yang membuat komentar yang berprasangka.
 Utarakan protes atas perlakuan yang tidak adil yang didasarkan pada prasangka.
 Lakukan tindakan pendisiplinan untuk menghentikan pelecehan terhadap
perempuan atau minoritas.

Tindakan ini dapat dibagi menjadi dua kategori yang serupa dengan perbedaan
yang dilakukan sebelumnya untuk perilaku kepemimpinan yang etis. Beberapa tindakan
berusaha mendorong toleransi dan apresiasi, sedangkan tindakan lainnya menentang
diskriminasi dan ketiadaan toleransi.

Program pelatihan keragaman memberikan pendekatan formal untuk mendorong


toleransi, pemahaman, dan apresiasi (Cox & Blake, 1991). Satu jenis pelatihan berusaha
menciptakan pemahaman yang lebih baik atas masalah keragaman dan perlunya
kesadaran diri mengenai pembuatan stereotip dan ketiadaan toleransi. Jenis pelatihan
keragaman lainnya berusaha mendidik karyawan tentang perbedaan budaya dan
bagaimana meresponnya di tempat kerja. Aspek keragaman khusus yang disertakan itu
beragam, bergantung pada programnya (misalnya, latar belakang etnis, agama, budaya
nasional, perbedaan usia, jenis kelamin karyawan, orientasi seksual, ketidakmampuan
fisik). Kedua jenis pelatihan keberagaman itu dapat digunakan sendiri-sendiri atau
bersama-sama.

Masalah dengan beberapa program pelatihan keragaman adalah penekanan


program itu pada menempatkan kesalahan tentang diskriminasi bukannya peningkatan
kesadaran diri dan pemahaman bersama (Nemetz & Christensen, 1996). Para pemimpin
yang menerapkan pelatihan keragaman, harus memastikan bahwa isi program itu tetap
konsisten dengan visi yang menarik tentang apa makna apresiasi, keragaman bagi semua
anggota organisasi.
Mekanisme structural untuk mengungkapkan diskriminasi dan toleransi
penghargaan juga membantu. Contohnya meliputi:

1. Kriteria penilaian yang meliputi masalah keragaman,


2. Satuan tugas atau komite penasehat untuk membantu mengenali diskriminasi atau
ketiadaan toleransi dan mengembangkan perbaikannya,
3. Ukuran yang memungkinkan pengawasan sistematik atas kemajuannya, dan
4. Saluran telepon khusus atau mekanisme khusus lainnya yang memudahkan
karyawan melaporkan diskriminasi dan ketiadaan toleransi.

Upaya mengubah sikap akan lebih dapat berhasil jika pelatihan keragaman
diarahkan pada orang yang belum membentuk prasangka yang kuat, dan terdapat budaya
organisasi yang mendukung apresiasi keragaman (Nemetz & Christensen, 1996).

Memberikan Kesempatan yang Sama

Untuk menggunakan sepenuhnya bakat yang diwakili oleh berbagai anggota


organisasi, amatlah penting untuk menghilangkan batasan yang menghalangi orang yang
memenuhi syarat untuk seleksi posisi yang penting. Ada banyak hal yang dapat dilakukan
untuk memfasilitasi kesempatan yang sama dan mengurangi diskriminasi keputusan
personalia (Cox, 1991). Survei tentang sikap karyawan bisa digunakan untuk
mengidentifikasikan masalah dan menilai kemajuan. Media komunikasi organisasi bisa
digunakan untuk menggambarkan apa yang telah dilakukan guna mempromosikan
peluang yang setara dan melaporkan pencapain.

Diskriminasi yang tidak adil bisa dikurangi dengan penggunaan seleksi berbasis
kriteria pada ketrampilan yang relevan, bukan konsepsi yang bias. Penilain yang
digunakan untuk keputusan seleksi dan promosi akan lebih akurat bila penilai yang
membuat penilain itu terlatih atau bila tidak membantu mengurangi bias yang di
sebabkan oleh stereotip peran ras atau jender. Contoh, jenis bias ini bisa dikurangi dengan
intervensi “ingatan yang gratis dan terstruktur” (Baltes, Bauer, & Frensch, 2007; Bauer &
Baltes, 2002). Penilai diminta mengingat contoh tentang perilaku positif dan negative
oleh orang tertentu sebelum membuat penilaian mereka tentang orang itu.

Promosi yang dialami oleh perempuan dan minoritas difasilitasi oleh program
pendampingan yang memberi nasihat, dukungan, dan pemberian bantuan. Program
pengembangan kepemimpinan seharusnya memberikan peluang yang setara bagi orang
yang ingin memelajari keterampilan yang relevan dan mendapatkan pengalaman yang
bernilai. Program tindakan yang wajib bisa berguna bila program itu didesain dengan
baik dan diterapkan (Harrison, Kravitz, Mayer, Leslie, & Lev-Arey, 2006). Program
kemungkinan tidak terlalu kontroversial dan lebih sukses bila kebutuhan akan hal itu
dipahami dengan jelas oleh anggota organisasi, dan ditemukan cara untuk mendukung
tindakan wajib tanpa menampilkan diskriminasi yang berlawanan.

Depertemen SDM biasanya memiliki tanggung jawab utama untuk banyak proses
yang memengaruhi keragaman dan peluang yang setara, seperti perekrutan, seleksi,
orientasi karyawan, penilaian kinerja, pelatihan dan pendampingan. Tetapi, tanggung
jawab untuk memberi peluang yang setara seharusnya tidak hanya ditimpakan kepada
staf ahli SDM. Upaya yang sukses untuk meningkatkan keragaman dan peluang yang
setara membutuhkan dukungan yang kuat oleh manajemen puncak dan oleh manajer di
semua tingkatan organisasi.

KASUS

Kepemimpinan yang Tidak Etis di Enron

Enron adalah perusahaan energi dan komunikasi yang tumbuh dengan sangat cepat
setelah deregulasi 1998 tentang pasar energi di AS. Pada awal 2001, perusahaan itu
mempekerjakan sekitar 22.000 orang, dan pada saat itu, Kenneth Lay adalah Ketua Dewan
Direksi dan CEO adalah Jeffrey Skilling. Majalah Fortune menyebut Enron sebagai “Perusahaan
Paling Inovatif di Amerika” selama enam tahun berturut-turut, dari 1996-2001. Perusahaan itu
ada dalam daftar 100 perusahaan terbaik yang beroperasi di Amerika versi majalah Fortune pada
tahun 2000. Dan, perusahaan itu dipuji banyak pihak karena memiliki tunjangan yang baik dank
arena manajemen yang efektif. Tetapi, citra publik tentang kebaikan dan manajemen yang efektif
adalah palsu, dan perusahaan itu tidak sesukses yang terlihat.

Dengan bantuan dari akuntan dan pengacara, CEO menciptakan kantor cabang yang
terlihat seperti rekanan, dan membuat kantor cabang tersebut bisa menjual asset dan menciptakan
pendapat palsu. Organisasi di luar negeri digunakan untuk menghindari pajak, meningkatkan aset
dan laba, serta menyembunyikan kerugian. Perusahaan baru yang penuh risiko didirikan, seperti
EnronOnline, layanan berbasis web untuk kontrak pembelian, penjualan, dan perdagangan
energi. Peraturan dengan konflik kepentingan mendorong informalitas yang memungkinkan
eksekutif mendapat manfaat secara pribadi dari perusahaan yang tidak dapat dipercaya yang
dalam sebagian kasus menguras habis dana perusahaan itu dan menghasilkan kerugian.
Kebohongan finansial yang tumpang tindih digunakan untuk menyembunyikan kerugian dan
menciptakan ilusi laba miliaran dolar. Praktik ini menaikkan harga saham Enron ke tingkat yang
baru, dan pada tahun 2000, saham mencapai nilai tertingginya, $90.

Praktik yang tidak etis tidak terbatas pada tingkat CEO, dan budaya perusahaan tentang
individualisme, inovasi, dan upaya untuk mendapat keuntungan yang tidak terkontrol menggerus
perilaku etis banyak karyawan Enron. Dalam satu skema yang digunakan untuk meningkatkan
laba, energi ditransfer ke California untuk menciptakan kegelapan total dan meningkatkan harga
listrik. Lalu, energi ditransfer kembali ke California dan dijual dengan harga lebih tinggi, yang
menghasilkan laba tambahan miliaran dolar. Di bawah Skilling, Enron mulai menggunakan
praktik akuntansi yang mengantisipasi laba masa depan dari kesepakatan apa pun yang dihitung
sebagai pendapatan nyata dalam periode pelaporan terbaru. Untuk mencapai tujuan laba yang
tidak masuk akal dan meningkatkan bonus mereka, karyawan didorong untuk memperbesar
perkiraan laba dari penjualan masa depan. Karyawan yang terlibat dalam pengaturan penjualan
ditekan untuk bekerja mati-matian bila memungkinkan. Setiap tahun, 15-20% karyawan dengan
kinerja terendah dipecat dan digantikan dengan karyawan baru. Siapa pun yang mempertanyakan
praktik yang tidak etis atau konflik kepentingan di Enron dipecat, ditempatkan kembali di posisi
baru, atau tidak mendapat promosi.

CEO di Enron yang tahu tentang pembohongan finansial dan kerugian yang semakin
besar mulai menjual saham perusahaan mereka sendiri senilai jutaan dolar. Pada saat yang sama,
mereka memberi tahu investor dan karyawan untuk membeli saham karena akan terus meningkat
harganya. Ketika eksekutif menjual saham mereka, harga mulai jatuh, tetapi Kenneth Lay
menenangkan para investor dan memastikan bahwa Enron menuju kearah yang benar. Skilling
mundur pada Agustus 2001 untuk “alasan pribadi” dan diperbolehkan menjual banyak sahamnya
dengan harga yang bagus. Sebagai CEO, dia digantikan oleh Kenneth Lay, yang menjanjikan
kepada publik bahwa tidak ada masalah tersembunyi di Enron. Pada 15 Agustus 2001, harga
saham turun hingga 15%, tetapi banyak investor tetap mempercayai Lay dan terus
mempertahankan saham mereka atau bahkan membeli lebih banyak saham. Kejatuhan akhir nilai
saham terjadi setelah penemuan bahwa aset dan laba yang dicatat Enron digelembungkan dan
utang serta kerugian perusahaan tidak dilaporkan dengan akurat. Pada titik itu, beberapa
eksekutif berupaya menutupi tindakan tidak etis mereka dengan merusak catatan yang bisa
digunakan sebagai bukti untuk melawan mereka, dan mereka berupaya menyalahkan pihak lain
atas masalah itu.

Enron mencatatkan kebangkrutannya pada Desember 2001. Hal itu adalah kasus
kebangkrutan terbesar dan paling rumit dalam sejarah AS, dan hal itu memiliki dampak yang
menyengsarakan ribuan karyawan dan investor. Skandal itu juga menyebabkan kebangkrutan
Arthur Anderson, salah satu perusahaan akuntan terbesar pada saat itu, setelah karyawan
perusahaan itu terpergok memusnahkan dokumen terkait audit keuangan Enron. Anderson
seharusnya berfungsi sebagai auditor independen untuk masalah keuangan Enron sambil
menagih jutaan dolar sebagai tarif konsultan manajemen. Konflik kepentingan ini bisa
menjelaskan mengapa pengecualian finansial Enron tidak diungkapkan oleh audit Anderson.

DAFTAR PUSTAKA

Gary A. Yukl, Leadership in Organizations (7th edition), Pearson Education

Anda mungkin juga menyukai