Lapsus SAR Minor
Lapsus SAR Minor
Oleh:
AULIA NOVITA RATNASARI
40618013
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG :-
b. Farmakologis
B2 : 25 mg Vit.C : 500 mg
B6 : 10 mg Nikotimade : 100 mg
2. Laporan Kontrol 1
Usia : 22 th
Anamnesis
Pasien datang untuk kontrol pertama hari ke-8 setelah dilakukan perawatan
pada bibir bawah dalam bagian kiri. Pasien mengaku sariawan tersebut sudah tidak
sakit. Obat minum tablet yang diberikan diminum sesuai instruksi operator sehingga
tersisa 2 tablet, sedangkan obat oles tidak digunakan secara teratur, pasien mengaku
lupa mengoleskan saat siang hari karena ada kegiatan kuliah sehingga tersisa ¾ tube.
Pemeriksaan
EO : Normal
IO : Pada mukosa labial bawah sinistra terdapat makula berwarna putih, single,
diameter 2 mm, batas jelas tidak ada peninggian, tepi kemerahan dan tidak sakit.
Assesment : Stomatitis Aphtous Recurrent Minor belum sembuh.
Usia : 22 th
Anamnesis
Pasien datang untuk kontrol kedua hari ke 9 setelah kontrol pertama perawatan
sariawan pada bibir bawah dalam bagian kiri. Pasien mengaku sariawan sudah tidak
sakit. Obat tablet yang diberikan diminum secara teratur dan sesuai instruksi serta obat
telah habis, sedangkan obat oles tersisa ¼ tube, pasien mengaku menggunakan obat
oles secara teratur. Keadaan saat ini sariawan sudah sembuh.
Pemeriksaan
EO : Normal
IO : Normal
Assesment : Traumatic Ulser Sembuh
VIII. PEMBAHASAN
a. Definisi Stomatitis Aftosa Rekuren
Sampai saat ini, etiologi SAR masih belum diketahui dengan pasti.
Ulser pada SAR bukan karena satu faktor saja tetapi multifaktorial yang
memungkinkannya berkembang menjadi ulser. Faktor-faktor ini terdiri dari
pasta gigi dan obat kumur sodium lauryl sulphate (SLS), trauma, genetik,
gangguan immunologi, alergi dan sensitifitas, stres, defisiensi nutrisi,
hormonal, merokok, infeksi bakteri, penyakit sistemik, dan obat-obatan.
Kasus SAR yang dialami oleh pasien diatas diduga terjadi karena faktor
stres ( Langlais, 2009).
c. Klasifikasi SAR
Tipe minor mengenai sebagian besar pasien SAR yaitu 75% sampai
dengan 85% dari keseluruhan SAR, yang ditandai dengan adanya ulser
berbentuk bulat dan oval, dangkal, dengan diameter 1-10 mm, dan dikelilingi
oleh pinggiran yang eritematous. Ulserasi dari tipe minor cenderung mengenai
daerah-daerah non-keratin, seperti mukosa labial, mukosa bukal dan dasar
mulut.Ulserasi biasa tunggal atau merupakan kelompok yang terdiri atas 4-5
ulser dan akan sembuh dalam waktu 10-14 hari tanpa meninggalkan bekas
jaringan parut (Glick, 2015).
Gambar 1. Stomatitis aftosa rekuren tipe minor
2. SAR Tipe Mayor
Tipe mayor diderita 10%-15% dari penderita SAR dan lebih parah dari
tipe minor. Ulser biasanya tunggal, berbentuk oval dan berdiameter sekitar 1-
3 cm, berlangsung selama 2 minggu atau lebih dan dapat terjadi pada bagian
mana saja dari mukosa mulut, termasuk daerah-daerah berkeratin. Ulser yang
besar, dalam serta bertumbuh dengan lambat biasanya terbentuk dengan
bagian tepi yang menonjol serta eritematous dan mengkilat, yang
menunjukkan bahwa terjadi edema. Selalu meninggalkan jaringan parut
setelah sembuh dan jaringan parut tersebut terjadi karena keparahan dan
lamanya ulser (Glick, 2015).
Istilah herpetiformis pada tipe ini dipakai karena bentuk klinisnya (yang
dapat terdiri dari 100 ulser kecil-kecil pada satu waktu) mirip dengan
gingivostomatitis herpetik primer, tetapi virus-virus herpes tidak mempunyai
peran etiologi pada SAR tipe herpetiformis. SAR tipe herpetiformis jarang
terjadi yaitu sekitar 5%-10% dari kasus SAR. Setiap ulser berbentuk bulat atau
oval, mempunyai diameter 0,5- 3,0 mm dan bila ulser bergabung bentuknya
tidak teratur. Setiap ulser berlangsung selama satu hingga dua minggu dan
tidak akan meninggalkan jaringan parut ketika sembuh (Glick, 2015).
(Hernawati, 2013)
e. Diagnosa
Diagnosis SAR didasarkan pada anamnesa dan gambaran klinis dari
ulser. Biasanya pada anamnesa, pasien akan merasakan sakit dan terbakar
ditanyakan sejak dari umur berapa terjadi, lama (durasi), serta frekuensi ulser.
pemeriksaan fisik dapat ditemukan ulser pada bagian mukosa mulut dengan
bentuk yang oval dengan lesi ±1 cm yang jumlahnya dapat single atau multipel.
f. Diagnosa Banding
Traumatik Ulser
1. Persamaan :
a. Ulser
b. Tepi kemerahan
d. Sakit
e. Terapi
2. Perbedaan :
Perbedaan SAR TU
(Regezi, 2012).
g. Perawatan
Dalam upaya melakukan perawatan terhadap pasien SAR, tahapannya
adalah :
1. Edukasi bertujuan untuk memberikan informasi mengenai penyakit yang
dialami yaitu SAR agar mereka mengetahui dan menyadarinya.
2. Instruksi bertujuan agar dapat dilakukan tindakan pencegahan dengan
menghindari faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya SAR.
3. Pengobatan bertujuan untuk mengurangi gejala yang dihadapi agar pasien
dapat mendapatkan kualitas hidup yang menyenangkan (Soeprapto,
2016).
Tindakan pencegahan timbulnya SAR dapat dilakukan diantaranya
dengan menjaga kebersihan rongga mulut, menghindari stres serta
mengkonsumsi nutrisi yang cukup, terutama yang mengandung vitamin B12
dan zat besi. Menjaga kebersihan rongga mulut dapat juga dilakukan dengan
berkumur-kumur menggunakan air garam hangat atau obat kumur. SAR juga
dapat dicegah dengan mengutamakan konsumsi makanan kaya serat seperti
sayur dan buah yang mengandung vitamin C, B12, dan mengandung zat besi.
Perawatan pasien SAR yang berhubungan dengan stres psikologis, dapat
dilakukan dengan mengurangi tingkat stres yang diamati, dengan cara
konseling dan psikoterapi pada kasus SAR yang parah dan dukungan sosial
teman atau keluarga pada kasus yang kurang parah (Soeprapto, 2016).
Pada kasus tersebut dilakukan pemberian antiseptik topikal berupa
Periokin gel serta pemberian multivitamin Becom C. Periokin gel mengandung
Chlorhexidine 0,2%. Pemberian antiseptik bertujuan untuk menghambat atau
merusak mikroorganisme di permukaan suatu jaringan hidup sehinga dapat
mencegah infeksi (Ardi, 2013). Komposisi dari Becom C antara lain Vitamin
B1 50 mg, Vit B2 25 mg, Vit B6 10 mg, Vit B12 5 mg, Calcium Pantotenate
18,4 mg, Nicotinamide (Vit B3) 100 mg, Vit C 500 mg. Pemberian vitamin C
secara oral berfungsi dalam pembentukan kolagen. Kolagen merupakan
senyawa protein yang mempengaruhi integritas struktur di jaringan ikat
sehingga berperan dalam penyembuhan luka (Almatsier, 2002).
IX. KESIMPULAN