Anda di halaman 1dari 21

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadhirat allah yang maha esa karena atas
limpahan rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
kami yang berjudul “ sifat yang wajib bagi allah wujud dan qidam” . Shalawat
bermahkotakan salam semoga tetap tercurahkan kepada penghulu kita yaitu
revolusi islam sedunia baginda besar nabi muhammad al mushtafa saw.
Pada makalah ini kami banyak mengambil dari berbagai sumber dan
referensi dan pengarah dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, dalam kesempatan ini
kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini sangat jauh dari
sempurna, untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran bersifat
membangun guna kesempurnaan laporan ini.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan semoga makalah ini
dapat bermanfaat untuk semua pihak yang membaca.

Matangglumpangdua, 02 Maret 2020


Penulis,

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i


DAFTAR ISI ............................................................................................. ii
BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 2
C. Tujuan Masalah .................................................................................... 2
D. Manfaat ............................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 3
A. Sifat Yang Wajib Bagi Allah ............................................................... 3
B. Pengertian sifat Wujud dan Qidam ...................................................... 5
C. Dalil Aqli dan Naqli ............................................................................. 10
BAB III PENUTUP ........................................................................................ 18
A. Kesimpulan .......................................................................................... 18
B. Saran ............................................................................................. 18
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 19

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Allah Ta’ala adalah Sang Khaliq yang menciptakan segala makhluk baik
yang ada didunia ini maupun yang ada dilangit. Maka oleh sebab itu sudah
sepatutnya kita sebagai makhluk-Nya untuk beribadah kepada-Nya, di dalam Al-
Qur’an juga sudah dijelaskan pada surat Adz-Dzariyat ayat 56 yang artinya: “Dan
Aku tidak menciptakan Jin dan Manusia melainkan supaya mereka beribadah
kepada-Ku”.
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa Allah menciptakan kita manusia
hanya untuk menyembah/beribadah kepada-Nya. Kemudian yang harus kita
pahami bahwa Allah menciptakan kita manusia adalah sebuah faedah bukan
tujuan. Hal ini dikarenakan jika Allah menciptakan kita manusia adalah sebuah
tujuan, maka rugilah Allah disaat kita tidak mau beribadah kepada-Nya. Akan
tetapi, Allah Ta’ala tidak pernah merasa rugi atau kurang sedikitpun disaat
seorang hamba tidak mau beribadah kepada-Nya justru sebaliknya yang rugi
adalah kita sebagai hamba yang tidak mau beribadah. Oleh sebab itu, marilah kita
menyembah Allah supaya nanti di Yaumil Akhir tidak mendapat siksaan yang
sangat pedih.
Namun sebelum kita menyembah Allah SWT terlebih dahulu kita harus
mengenal-Nya karena tidak mungkin kita menyembah Allah jika Allah saja kita
tidak kenal. Lantas bagaimana caranya agar bisa mengenal Allah yaitu dengan
cara mengenal sifat-sifat-Nya. Dalam i’tiqad Ahlusunnah Wal Jamaah untuk
mengenal Allah dan Rasul-Nya dengan mudah seperti kita yang baru belajar
dengan cara mempelajari sifat-sifat yang wajib, mustahil, dan jaiz bagi Allah.
Wajib hukumnya bagi setiap muslim mukallaf (yang telah dibebankan
hukum syariat) laki laki atau perempuan, baik dari golongan awam, hamba sahaya
maupun pembantu untuk mengetahui beberapa sifat kesempurnaan yang tidak
terhingga bagi allah, sifat sifat wajib bagi allah, yang mustahil atau yang jaiz bagi
allah. Firman Allah dalam Al-Qur’an yang artinya :
“Maka ketahuilah, bahwasanya tiada tuhan selain Allah”.

1
Seorang mukallaf memliki kewajiban individu (fardhu ain) untuk
mengenal aqidah beserta dalilnya secara global, baik dalil secara naqli maupun
aqli karena sesungguhnya kesempurnaan ilmu hanya milik Allah dan ilmu mereka
tidak bisa meliputi ilmu Allah.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka ini dapat
dirumuskan sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan sifat yang wajib bagi Allah?
2. Apa pengertian sifat Wujud dan Qidam?
3. Apa dalil dari sifat Wujud dan Qidam?

C. Tujuan Pembahasan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan
pembahasan ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui apa itu sifat yang wajib bagi Allah.
2. Untuk mengetahui apa pengertian sifat Wujud dan Qidam bagi Allah.
3. Untuk mengetahui dalil aqli dan dalil naqli dari sifat Wujud dan Qidam.

D. Manfaat Pembahasan
1. Manfaat secara teoritis, terutama dalam memperkaya dan mengembangan
khazanah ilmu pengetahuan dalam bidang ilmu tauhid terutama dapat
dijadikan teori-terio dan kajian-kajian dalam forum agama.
2. Manfaat secara praktis, khususnya bahan masukan bagi kita sebagai
seorang hamba supaya lebih mengenal sang penciptana yakni Allah SWT,
menguatkan keimanan, dan selalu beribadah kepada-Nya.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sifat Yang Wajib Bagi Allah


Ahlusunnah Wal Jamaah menyakini bahwa Allah itu bersifat dengan sifat
sifat yang sempurna, dan Allah memiliki sifat yang wajib, mustahil,dan jaiz.
Konsep sifat wajib, mustahil, dan jaiz adalah untuk membuktikan eksistensi
mayoritas sifat tersebut meskipun terdapat dalil naqli berupa al-quran dan hadist
yang merupakan sumber aqidah. Namun tetap saja membutuhkan penalaran akal
sehat yang dalam konteks ini dikenal dengan hukum aqli. Adapun hukum aqli ada
3 yaitu: wajib, mustahil, dan jaiz. Hal ini sebagaimana djelaskan di dalam kita
Kifayatul Mubtabi bahwa tidak sempurna mengenal Allah Ta’ala(Ma’rifah)
sebelum seseorang itu mengetahui hukum aqli yang 3 tersebut.
Kemudian dijelaskan bahwa syarat mengenal Allah Ta’ala ada 3 perkara,
yaitu:
1) Yakin dengan sepenuh hati tanpa ada keraguan
2) Sepakat dan setuju dengan hukum-hukum yang benar sesuai syariat
3) Al-qur’an, hadist, dan pemikiran dijadikan sebagai dalil naqli dan aqli, tidak
boleh menuruti perkataan orang lain (taqlid) tanpa didasari oleh suatu lmu
pengetahuan dan keyakinan sendiri.
Oleh sebab itu, bagi orang yang sama sekali belum percaya terhadap
ekssistensi Allah sebagai Tuhan yang patut untuk disembah harus menggunakan
hukum aqli, hukum syaraiat, dan hukum adat, supaya sempurna mengenal Allah
Ta’ala (ma’rifah).
Hukum Aqli ada 3 yaitu:
1) Wajib
Wajib adalah sesuatu yang tidak dapat diterima oleh akal yang sehat akan
ketiadaannya.
2) Mustahil
Mustahil adalah sesuatu yang tidak dapat diterima oleh akal akan wujudnya

3
3) Jaiz
Jaiz adalah sesuatu yang dapat diterima oleh akal akan wujudnya dan
ketiadaanya.
Adapun maksud istilah dalil aqli adalah segala hal yang menurut akal pasti
adanya atau tidak dapat diterima ketiadaanya, maksud mustahil aqli adalah segala
hal yang menurut akal pasti tidak ada atau tiak diterima adanya, sedangkan jaiz
aqli adalah segala hal yang menurut akal bisa saja ada maupun tidak, atau diterima
ada maupun ketidaanya. Sifat gerak dan diam bagi makhluk dapat dijadikan
permisalan dalam hal ini. Ilustrasi wajib, mustahil, dan jaiz aqli secara berurutan
adalah:
1) Akal pasti mengharuskan salah satu dari diam dan bergerak terjadi pada
makhluk hidup.
2) Akal tidak akan membenarkan keduanya secara bersamaaan tidak terjadi
padanya.
3) Akal menerima akan ada dan ketiadaan salah satunya dari mahluk.
Demikian anatara lain dijelaskan Syekh Muhammad As-Sanusi, dalam
Syarh Umm Al-Barahain.
Subtansi sifat-sifat wajib bagi Allah telah menjadi kajian ulama
Ahlussunnah Wal Jama’ah dalam rentang sejarah sejak masa Abu al-Hasan Al-
Asy'ari (260-324 H/874-936 M) dan Abu Manshur Al-Maturudi (238-333
H/852¬-944 M), Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqillani (338-403 H/950-1013 M), dan
Imam Al-Haramain (419-478 H/1028-1085 M), hingga sekarang. Namun yang
merumuskan secara praktis menjadi 20 Sifat Wajib bagi Allah adalah al-Imam
Muhammad bin Yusuf bin Umar bin Syu’aib As-Sanusi Al-Hasani (832-895
H/1428-1490 M), asal kota Tilmisan (Tlemcen) Aljazair, seorang yang
multidisipliner: muhaddits, mutakalllim, manthiqi, muqri’, dan pakar keilmuan
lainnya.
Dalam Al-Aqidah As-Sughra yang terkenal dengan judul Umm al-
ِ َ‫فَ ِم َّما َي ِجبُ ِل َم ْو ََلنَا َج َّل َو َع َّز ِع ْش ُرون‬. “Maka
Barahain Imam As-Sanusi mengatakan: ‫صفَة‬
di antara sifat wajib bagi Allah Tuhan Kita-Yang Maha Agung dan Maha Perkasa-
adalah 20 sifat.”

4
Dalam ranah keimanan terhadap Allah secara umum setiap mukallaf
wajib meyakini sifat wajib, mustahil, dan jaiz bagi-Nya. Sehingga ia harus:
1) Meyakini secara mantap tanpa keraguan, bahwa Allah pasti bersifat dengan
segala kesempurnaan yang layak bagi keagungan-Nya.
2) Meyakini secara mantap tanpa keraguan, bahwa Allah mustahil bersifat dengan
segala sifat kekurangan yang tidak layak bagi keagungan-Nya.
3) Meyakini secara mantap tanpa keraguan, bahwa Allah boleh saja melakukan
atau meninggalkan segala hal yang bersifat jaiz(mumkin), seperti
menghidupkan manusia dan membinasakannya. Inilah akidah yang harus
diyakini secara umum.
Selain itu, setiap mukallaf wajib meyakini secara terperinci sifat wajib 20
yang menjadi sifat-sifat pokok kesempurnaan (shifat asâsiyyah kamâliyyah) Allah
sebagai Tuhan, 20 sifat mustahil, dan satu sifat Jaiz bagi-Nya. Namun hal ini
bukan berarti membatasi sifat Allah sebagaimana disalahpahami sebagian orang,
tetapi karena sifat-sifat ini yang sering diperdebatkan di sepanjang sejarah umat
Islam, maka dengan menetapkannya menjadi jelas bahwa Allah bersifat dengan
segala kesempurnaan dan tersucikan dari segala kekurangan.

B. Pengertian Wujud dan Qidam


1. Sifat Wujud
Sifat wujud diperselisihkan maknanya, selain Imam Abu Hasan Al-Asy’ari
dan para ulama yang mengikutinya mengatakan wujud adalah hal (keadaan) yang
wajib (past ada) bagi zat selama zat itu masih ada, keadaan ini tidak disebabkan
dengan sebuah sebab. Sedangkan Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan para ulama
yang mengikutinya mengatakan : wujud (ada) adalah maujud (yang ada) itu
sendiri, maka menurut pendapat ini wujud/adanya Allah adalah zat Allah bukan
lebih dari zat dilihat dari luar, wujudnya mahluk adalah zat makhluk itu sendiri.
Berdasarkan hal tersebut, tidaklah jelas menganggap wujud itu sebagai
sifat karena wujud itu adalah zat itu sendiri, sedangkan sifat adalah selain zat.
Lain halnya atas pendapat yang pertama. Maka sesungguhnya menjadikan wujud
itu sebagai sifat adalah jelas. Dan makna wajibnya wujud bagi Allah berdasarkan
pendapat yang pertama adalah bahwa sifat nafsiayah itu berupa suatu hal tetap

5
bagi Allah. Maknanya berdasarkan pendapat yang kedua adalah bahwa zat Allah
itu maujud serta tahqiq (dapat dipastikan dengan dalil). Dengan kata lain, jika
Allah membukakan hijab untuk kita manusia niscaya kita dapat melihatnya. Oleh
karena itu, zat Allah tersebut adalah tahqiq (berdasarkan dari 2 pendapat tersebut).
Akan tetapi, wujud adalah selain zat menurut pendapat yang pertama dan zat itu
adalah wujud menurut pendapat yang kedua .
Wujud juga dikelompokkan dalam kelompok sifat yang nafsiyah, artinya :
1) Disetiap yang berdiri dengan zat dalam keadaan tidak disebabkan dengan satu
sebab.
2) Suatu zat tidak bisa dipahami dengan tanpa adanya dalil, wujudnya Allah
adalah baharu alam ini dengan kata lain adanya alam semesta sesudah tidak
ada. Dan alam adalah ajram ( jamak dari jirmun) seperti zat-zat dan aradh
(jama dari aradhun) seperti gerakan, diam dan warna warna.
Wujud adalah sifat nafsiyah yakni sifat yang berhubungan dengan diri
atau zat. Hal ini disebabkan karena diri atau zat baru dapat dimengerti dengan
sifat tersebut. Maka tidaklah dimengerti akan satu zat kecuali dengan wujudnya.
Defenisi ulama tentang sifat nafsiyah adalah sifat yang tetap, yang penyifatan
dengannya menunjuk terhadap zat itu sendiri tanpa ada makna yang lebih atasnya.
Pengertiaan aradh secara hakikat adalah sesuatu yang berdiri dengan
selainnya berupa sifat-sifat yang baharu. Adapun pengertian dengan tamsil adalah
seperti yang terdapat dalam ibarat yakni bergerak, diam dan warna warna, dimana
smua ini adalah sifat sifat yang baharu yang harus berdiri dengan elainnya (
yakni zat). Hanya saja baharunya alam ini sebagai dalil wujudnya Allah karena
tidaklah sah bahwa alam ini baharu dengan sendirinya, dengan tanpa (pencipta
yang menciptakannya), karena alam ini sebelum wujudnya, adalah wujudnya itu
sama dengan adamnya (ketiadaanya). Maka takkala didapatkan alam ini dan telah
lenyap adamnya barulah kita tau bahwa wujudnya menjadi lebih unggul atas
adamnya, sedangkang dahulu itu sama bagi adam, maka tidaklah sah bahwa
wujudnya tersebut menjadi lebih unggul atas adam dengan sendirinya.
Wujud artinya ada, dan wajib menyakini dengan sepenuh hati bahwa
Allah itu ada dan tidak boleh tidak ada karena akal tidak dapat menerima bahwa
Allah itu tidak ada. Wujud (ada) adalah satu sifat yang sangat sulit untuk

6
dipahami, karena meskipun kita mengakui bahwa diri (zat) itu wujud, akan tetapi
sangat sulit untuk membedakan antara zat dengan sifat sehingga timbul pendapat
yang mengatakan zat adalah wujud, wujud adalah zat. Sehingga tidak ada
perbedaan antara zat dengan wujud, mungkin ada juga yang berpendapat bahwa
zat bukanlah wujud, wujud bukanlah zat, akan tetapi wujud adalah suatu sifat
yang bersarang dan bertempat pada zat dan zat adalah suatu tempat untuk wujud.
Hal ini tidak ada bedanya, baik wujud yang terdapat pada Allah maupun
yang terdapat pada makhluk (hawadist). Oleh karena demikiaan timbulah beragam
pendapat dikalangan filosof tentang makna wujud, diantaranya :
1) Menurut Imam Al-Asy’ari, wujud adalah diri zat (ainun zat) bukan sifat,
karena zat bukan sifat dan sifat bukan zat, maka wujud bukan sifat yang
berbeda dan selain diri zat (laisa bi zaizi alaiha), akan tetapi wujud adalah zat
dan zat adalah wujud, maka wujud dan zat merupakan dua kata yang
bersamaan artinya (taraduf) diri (ain) dalam bahasa arab disebut dengan nafsi.
Dikarenakan wujud bermakna diri zat sebagaimana terjemahan dari nafsi,
sehingga wujud tersebut dikatakan dengan sifat nafsiyah yang digabungkan (
nisbah) kepada kalimat nafsi. Maka berdasarkan pendapat ini yang
mengkatagorikan wujud sebagai sifat adalah majaz (kiasan).
2) Menurut Imam Fakrul Raziy, wujud adalah sifat tsubutiyah, beliau
mendefenisikan “satu keadaan yang wajib dan mesti ada pada zat, pada
keadaan tersebut tidak dikarenakan dengan suatu karena”.

Perbedaan antara sifat tsubutiyah dengan sifat maujudat, kalau tsubutiyah


berada antara ada dan tiada. Sifat itu ada tetapi tidak dapat dilihat yang tingkatan
wujudnya berada pada kharijil az azhan tidak ada pada kharijil a`yan, untuk
sifat ini dalam bahasa diibaratkan dengan sabit bizz zat, akan tetapi kalau sifat
maujudat diibaratkan dengan qaimah biz zat, yaitu nyata bisa diraba dan dapat
dilihat walau harus dibuka hijab terlbih dahulu.
Wujud berdasarkan pendapat ini termasuk kedalam sifat bukan diri zat
(ainun zat), sifat yang dimaksudkan disini adalah sifat hal atau tsubutiyah yang
berada antara ada dan tidak, sifat tersebut akan tetapi tidak dapat dilihat karena
posisisnya tidak berada pada kharijil a`yan. Sifat hal wujud brbeda dengan sifat

7
hal pada maknawiyah karena wujud Allah tidak didahului dengan sebab dan tidak
ada zat lain yang menciptakannya akan retapi Allah ada dengan sendirinya , dalam
istilah tauhid disebut dengan wujud zatiy, sifat maknawiyah wujudnya dengan
ada ma`ani seperti qadirun dengan sebab ada qudrah, muridun dengan ada iradah
dst.
Imam Al-Asy’ari dan Imam Fakrul Raziy berbeda tentang pengertian
wujud, namun keduanya sepakat bahwa Allah itu ada, kita tidak wajib mendalami
makna hakikat wujud karena kita tidak mengerti hakikat wujud yang terpenting
adalah menyakini bahwa Allah itu ada, tidak boleh dengan tidak ada karena
demikian sehingga keduanya masih digolongkan kedalam aqidah Ahlussunnah
Wal Jamaah.

2. Sifat Qidam
Sifat yang kedua bagi Allah adalah qidam dan maknanya adalah tidak
berpermulaan. Makna keadaan Allah itu qadim adalah tidak ada permulaan bagi
wujudnya. Lain halnya dengan manusia, maka wujudnya itu memiliki permulaan
yaitu penciptaan dari setetes air mani (nutfah) yang dia diciptakan darinya. Dalil
atas qidamnya Allah adalah seseungguhnya jika Allah tidak qadim maka dia itu
hadist karena tidak ada perantara (sesuatu yang di tengah-tengah) antara qadim
dengan hadist. Maka setiap sesuatu yang tidak ada qidam padanya tetapalah
baginya baharu.dan jika Allah itu hadist niscaya dia membutuhkan kepada
muhdist dan menjadikannya baharu dan muhdistnya pun membutuhkan kepada
muhdist yang lain dan begitu seterusnya. Maka jika tidak berhenti-hentinya
muhidts muhdist itu niscaya lazimlah tasalsul yakni berturut-turutnya. Dalam arti
kata tasalsul itu mustahil karena tidak ada penghabisan.
Adapun dauru bisa terjadi dengan hanya satu perantara (wasithah) kalau
muhdistnya hanya dua atau lebih dari satu wasithah dengan sebab muhditsnya
lebih dari dua maka kesimpulan dari dalil itu adalah bahwa anda bekata kalau
Allah itu tidak qadim dalam arti kata baharu (hadist) niscaya dia membutuhkan
kepada muhdist. Maka lazimlah daur dan tasalsul dan keduanya adalah mustahil.
Dalam Ummul Barahin (76) Imam Sanusy mendefinisikan Qidam dengan
3 istilah, yaitu:

8
1) Qidam adalah kata lain dari pada menafikan tiada yang mendahului anda
2) Qidam adalah dari pada awal wujud
3) Qidam adalah singkatan dari pada tiada permulaan wujud
Ketiga macam definisi qidam tersebut mempunyai maksud yang sama
yaitu menyatakan bahwa wujud Allah tidak diawali oleh tidak ada yang kemudian
baru ada, dengan kata lain tiada satu saatpun telah terlewati tanpa adanya Allah,
Allah senantiasa ada dari dahulu sampai sekarang dengan tidak di dahului oleh
proses penciptaan. Hal ini berbeda dengan alam, alam diciptakan dari ketiadaan,
pertama tidak ada sekali, kemudian diciptakan oleh Allah maka ia ada, muncul
alam tersebut setelah tidak ada, ada masa masa yang telah lewat yang kosong dari
pada alam kemudian alam tersebut ada, sebagaimana yang ada diri kita sendiri,
kita tidak ada sebelum kita dilahirkan dan kemudian secara tiba tiba kita muncul
di muka bumi justru karena sifat alam seperti demikian sehingga disebut baharu,
dan baharu tersebut mustahil pada Allah.
Qidam merupakkan sifat yang pertama dari sifat salbiyah, yaitu sifat yang
menafikan hal-hal yang tidak layak dengan Allah, menafikan baharu pada Allah.
Wujud Allah tidak terkait dengan zaman, sebab zaman itu ciptaan Allah, sebelum
wujud zaman Allah telah wujud. Wujud Allah tidak terkait dengan tempat, artinya
wujud Allah tidak berada dalam tempat sebab wujud Allah tidak berada dalam
tempat dan tidak berada dalam zaman.
Syekh Thahir Al-Jazairi di dalam kitabnya Jawahirul Kalamiyah Fi
Idhahil Aqidah Al-Islamyyah mengatakan bahwa cara beriman atau menyakini
sifat qidam Allah Ta’la adalah sebagai berikut:
“Kita meyakini bahwa allah itu maha dahulu,yakni dia ada sebelum segala
sesuatu dan dia tidak di dahului tidak ada di suatu waktu dari waktu waktu
yang ada,dan wujudnya tidak ada awalnya”
Berdasarkan keterangan syekh thahir tersebut maka dapat di simpulkan
sebagai berikut;
1) Kita wajib meyakini bahwa Allah SWT emikliki sifat qidam yakni Allah SWT
ada sudah sejak dulu.
2) Adanya Allah SWT itu sebelum segala sesuatu itu ada.berbeda dengan
makhluk yang ada setelah yang lainnya ada.

9
3) Adanya Allah SWT tidak di dahului tidak ada berbeda dengan makhluk yang
adanya di dahului dengan tidak ada.
4) Adanya Allah SWT itu tidak ada awalnya artinya Allah SWT adalah yang
pertama tidak ada yang mendahuluinya.

C. Dalil Naqli dan Aqli


Dalil wujud dan qidam
Dalil dalam ilmu tauhid adalah keterangan yang dapat menumbuhkan
keyakinan dalam hati seseorang, sehingga tidak bisa diragukan oleh orang lain.
Dalil tersebut dibagi dua :
1) Dalil ijmali
Dalil ijmali adalah dalil yang singkat yang dapat menyampaikan seseorang
kepada kenyakinan, namun dalil ini tidak merincikan sehingga sampai kepada
yang ia yakini. .
Contohnya : si a bertanya kepada si b
A: apakah engkau yakin ada tuhan?
B: saya yakin ada tuhan.
A: apa dalil atau keterangan sebagai peganganmu?
B: ada ini makhluk sebagai bukti adanya tuhan.
A: bagaimana kamu tau ada alam ini menjadi bukti adanya tuhan?, coba kamu
terangkan jalannya!
2) Dalil Tafsili
Dalil tafsili adalah dalil yang terperinci yang membawa seseorang kepada
keyakinan dan pula sanggup menolak syubhat yang didatangkan oleh pihak
lain yang ingin menggoyahkan keyakinannya.
Contohnya : si a bertanya kepada si b.
A: bagaimana engkau tau adanya makhluk ini bisa menjadi bukti adanya
tuhan?, coba kamu terangakan jalannya!
B: makhluk ini sudah ada, adanya bukannlah satu kepastian ( wajib), tapi
adanya merupakan satu keharusan ( jaiz), setiap yang harus ada, tentu saja
harus tiada, maka adanya dan tiadanya merupakan dua perkara sama sama
harus, tidak mungkin kuat salah satunya dengan sendirinya tanpa sebb lain.

10
Kenyataan makhluk ini telah ada, pastiah ada yang menentukan adanya, dan
yang menentukannya ada ialah tuhan yang menciptakannya.

Jikalau mungkin makhluk ini ada dengan sendirinya, mungkin ia juga tiada
dengan sendirinya, karena kedua-duanya sama-sama harus. Perbandingannya dua
daun neraca yang sama berat, pasti keduanya sejajar, tidak mungkin tiba-tiba
berat sebelah dengan tanpa ada yang memberatkannya, kalaupun berat sebelah
pastilah ada yang memberatakannya.
Dengan demikian si b telah menguasai dalil tafsili yang mampu menilai
syubhat yang didatangkan kepadanya. Yang wajib diketahui oleh setiap mukallaf
dan berdosa bila ia tidak mengetahuinya ialah dalil ijmali bagi setiap aqidah yang
ia imani, karena ini hukumnya fardhu `ain dan tentu saja dosanya besar. Dalil
atau bukti bahwa allah itu wujud atau ada itu adalah hudustusul `alam, adanya
alam yang sebelumnya tidak ada. Sedangakan yang dinamakan alam adalah
segala sesuatu yang maujud selain allah Allah SWT. Sifat dari alam sendiri adalah
baharu atau hudust, maksudnya alam itu ada atau maujud setelah ia tidak adam
atau adam. Sedangkan tuntutannya dalil atau bukti bahwa Allah itu wujud adalah
bahwa itu baharu, dan setiap sesuatu yang baharu pasti ada yang yang
menciptakannya. Oleh sebab itu, dapat diambil kesimpulan bahwa “alam itu
mempunyai zat yang menciptakan“. Dan tuntutan bukti ini dinamakan aqli ijmali
atau bukti secara akal secara umum yang mana dalil aqli ijmali inilah yang wajib
diketahui oleh setiap mukallaf.
Sedangkan pengambilan nama untuk zat yang menciptakan, yaitu Allah
SWT. Hal itu tidak bisa diambil dari dalil aqli, karena akal tidak bisa
mengeluarkan sebuah kesimpulan tentang nama. Tetapi namanya sang pencipta
itu bisa diambil dari hambarnya seseorang yang kabarnya orang tersebut akan
selalu dipertanggung jawabkan, yaitu dari para rasul yang mengabarkan bahwa
zat yang maha menciptakan itu namanya adalah Allah SWT.
Dijadikannya baharunya alam atau hudustnya alam sebagai bukti akan
adanya sifat wujud Allah itu karena alam, sebelum dijadikan itu merupakan
sesuatu yang mungkin. Maksudnya wujud (ada)-Nya alam dan juga adam (tidak
ada)-Nya mempunyai batas yang sama, maka adanya alam itu sama dengan tidak

11
adanya alam tersebut, dan tidak adanaya alam tersebut itu juga sama dengan
adanya alam tersebut. Maka ketika alam dijadikan dan sifat tidak adanya itu
hilang, maka kita mengetahui bahwa sifat ada (wujud)-Nya alam itu mengungguli
akan sifat tidak alam (adam)-Nya. Dan tidak patut utuk dikatakan bahwa
unggulnya sifat ada (wujud) pada alam tersebut ”unggul secara sendiri”. Tetapi
unggulnya sifat wujud pada alam itu memerlukan “zat yang mengunggulkan “,
yaitu zat yang telah menjadikannya yaitu zat Allah SWT.
‫هللا َل اله ا َل هوالحي القيوم‬

Dalil Aqli dan Naqli


1) Dalil Aqli
Kata 'aqli secara bahasa berasal dari kata bahasa Arab (‫)عقل‬: akal yang
mempunyai beberapa makna, di antaranya: (‫)الدية‬: denda, (‫)الحكمة‬: kebijakan,
dan (‫)حسن التصرف‬: tindakan yang baik atau tepat.
Secara istilah akal memiliki beberapa definisi diantaranya:
a) Cahaya nurani, yang dengannya jiwa bisa mengetahui perkara-perkara
yang penting dan fitrah.
b) Aksioma-aksioma rasional dan pengetahuan-pengetahuan dasar yang ada
pada setiap manusia.
c) Kesiapan bawaan yang bersifat instinktif dan kemampuan yang matang.

Akal merupakan bagian dari indera dan insting yang ada dalam diri
manusia yang memiliki sifat berubah-rubah, yakni bisa ada dan bisa hilang. Hal
ini sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah saw dalam salah satu sabdanya: "...dan
termasuk orang gila sampai ia kembali berakal. Dan akal merupakan indera yang
diciptakan oleh oleh Allah swt dengan kelebihan diberikannya muatan tertentu
berupa kesiapan dan kemampuan yang dapat melahirkan sejumlah aktivitas
pemikiran yang berguna bagi kehidupan manusia yang telah dimuliakan Allah,
sebagaimana dalam firman-Nya: "Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-
anak Adam, Kami angkat mereka di daratan dan di lautan”.

12
Oleh karena itu, syari’at Islam telah memberikan nilai dan urgensi yang
amat tinggi terhadap akal manusia, sebagaimana dapat dilihat pada beberapa point
berikut ini:
a) Allah mengkhususkan penyampain kalam-Nya hanya kepada orang yang
berakal, karena hanya mereka yang dapat memahami agama dan syariat-Nya.
Allah swt berfirman: "…dan merupakan peringatan bagi orang-orang yang
mempunyai akal".
b) Syarat utama yang harus ada dalam diri manusia untuk dapat menerima taklif
(beban kewajiban) dari Allah swt yang berkenaan dengan hukum-hukum
syari’at Islam adalah akal. Oleh karena itu ketika ia kehilangan akalnya
dikarenakan gila misalnya, maka ia tidak tidak menerima taklif itu.
Rasulullah saw bersabda: "Pena (catatan pahala dan dosa) diangkat
(dibebaskan) dari tiga golongan; orang yang tidur sampai bangun, anak kecil
sampai bermimpi, orang gila sampai ia kembali sadar (berakal)"
c) Allah swt mencela orang yang tidak menggunakan akalnya. Misalnya celaan
Allah terhadap ahli Neraka yang tidak menggunakan akalnya. Allah swt
berfirman: "Dan mereka berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau
memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-
penghuni Neraka yang menyala-nyala".
d) Banyak disebutkan di dalam al-Qur-an mengenai anjuran-anjuran Allah
kepada manusia agar mempergunakan akalnya untuk berfikir, seperti:
tadabbur, tafakkur, ta-aqqul dan lainnya. Diantaranya seperti kalimat: ‫لعلكم‬
‫( تتفكرون‬mudah-mudahan kamu berfikir), ‫(أفال تعقلون‬apakah kamu tidak
berakal) dan ‫( أفال يتدبرون القرآن‬apakah mereka tidak mentadabburi/merenungi
isi kandungan al-Qur'an), dan lainnya.
e) Islam mencela hal-hal yang dapat membatasi dan melumpuhkan fungsi dan
kerja akal, seperti taqlid buta yang hanya menerima pendapat orang lain tanpa
dilandasi oleh dalil.
Kata 'Aqli ketika dihubungkan dengan kajian ilmu-ilmu agama identik
dengan dalil-dalil yang berdasarkan akal fikiran manusia yang sehat dan obyektif,
tidak dipengaruhi oleh keinginan, ambisi atau kebencian dari emosi. Dan ketika
'Aqli dihubungkan secara khusus dengan disiplin ilmu tafsir, maka disebut tafsir

13
bi al-ma'qul atau bi ar-ra'yi, yaitu penafsiran al-Qur'an yang lebih dititikberatkan
kepada kemampuan akal fikiran yang sehat dan obyektif (ijtihad) daripada
disandarkan kepada periwayatan-periwayatan. Dalam hal ini seorang mufassir
akan menggunakan kemampuan akalnya (ijtihadnya) dengan bantuan ilmu-ilmu
bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur'an, hadits dan ilmu hadits, ushul fikih
dan ilmu-ilmu lain untuk menerangkan maksud ayat dan mengembangkannya
dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada, sehingga
tersusunlah bentuk tafsir yang sesuai dengan masa dimana mufassir tersebut
hidup. Beberapa tafsir yang terkenal dalam bentuk ini antara lain: Tafsir Al-
Jalalain, Tafsir Ar-Razi, Tafsir Al-Baidhawi,
2) Dalil Naqli
Naqli menurut bahasa adalah dari (‫ )نقل الشيء‬yakni mengambil sesuatu dari
satu tempat ke tempat lain, dan (‫ )نَقَلَة الحديث‬yakni mereka yang menuliskan hadist-
hadist dan menyalinkannya dan menyandarkannya kepada sumber-
sumbernya.Dikatakan pada dalil-dalil dari Al-qur'an dan hadist: dalil naqli. Oleh
karena itu naqli secara istilah identik dengan dalil-dalil yang di nukil atau di ambil
dari Kitab Allah yang Maha Mulya dan dari sunnah yang suci atau dalil-dalil yang
diriwayatkan kepada kita oleh naqalah al-hadist dan perawi-perawi.
Diantara landasan utama ditetapkannya al-Qur'an dan sunnah sebagai dalil
naqli oleh para ulama adalah sebuah hadist Rasulullah saw:

2[‫ كتاب هللا وسنة نبيه‬:‫]تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما‬

Artinya: "Telah aku tinggalkan dua perkara, yang apabila kalian berpegang
kepada keduanya maka kalian tidak akan tersesat: Kitab Allah (al-Qur'an) dan
Sunnah Nabi-Nya".

Namun ketika naqli dihubungkan dengan ilmu tafsir maka disebut tafsir bi
al-manqul atau bi al-ma'tsur, yaitu penafsiran al-Qur'an yang disandarkan kepada
riwayat-riwayat yang sahih secara tertib, atau dengan cara menafsirkan al-Qur'an
dengan al-Qur'an atau menafsirkannya dengan as-Sunnah atau menafsirkannya
dengan riwayat-riwayat yang di terima dari para sahabat atau para tabi'in[3],

14
seperti penafsirannya At-Thabari dan Ibnu Katsir.Al-qur'an (‫ )القرآن‬adalah kitab
suci umat Islam yang secara bahasa merupakan masdar (kata benda) dari kata
kerja (‫ قراءة – قرآنا‬- ‫)قرأ‬, yang berwazan [4]‫فُ ْعالن‬. Allah swt berfirman:

5[ُ‫ فَإِذَا قَ َرأْنَاهُ فَاتَّ ِب ْع قُ ْرآنَه‬.ُ‫إن َعلَ ْينَا َج ْم َعهُ وقَ ُرآنَه‬
َّ ]

Artinya: "Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di


dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai
membacakannya maka ikutilah bacaannya itu".

Adapun secara istilah adalah kalam Allah, yang diturunkan kepada


Muhammad saw, yang membaca setiap hurufnya adalah ibadah[6]. Atau secara
lengkapnya adalah kalam Allah yang bermukjizat, diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw melalui perantaraan Malaikat Jibril dalam bahasa Arab,
diriwayatkan secara mutawatir dan membaca setiap hurufnya adalah ibadah,
bermula dari surah al-Fatihah dan berakhir dengan surah an-Naas.
Oleh karena itu al-Quran merupakan Kitab Suci umat Islam yang
keotentikannya tidak diragukan lagi; baik dari segi asal-usulnya, turunnya,
riwayatnya, ayat-ayatnya, dst. sehingga umat Islam menjadikanya sebagai sumber
utama dalam mempelajari, memahami, dan menjalankan ajaran (syariat) Islam
juga dalam mengambil dalil-dalil mengenai perkara-perkara atau permasalahan-
permasalahan yang ada kaitannya dengan keimanan dan amal ibadah mereka.
Sedangkan sunnah (‫ )السنة‬secara bahasa bermakna (‫)السيرة الحسنة أو القبيحة‬:
jalan hidup yang baik atau jelek, juga bermakna (‫)الطريقة‬: jalan. Adapun secara
istilah sunnah memiliki beberapa definisi, diantaranya:
a) Sunnah menurut muhadditsun (ahli hadits) adalah apa yang disandarkan
kepada Rasulullah saw dari segi perkataan atau perbuatan atau pengakuan
atau sifat akhlak (peribadi) dari permulaan diutusnya sampai wafatnya[8].
b) Sunnah menurut ulama usul adalah perkataan-perkataan Rasulullah saw dan
perbuatan-perbuatannya serta pengakuan-pengakuannya yang diriwayatkan
kepada kita dengan periwayatan yang sahih.

15
Sunnah Rasul saw adalah sumber rujukan umat Islam kedua setelah al-
Qur'an, dimana kedudukannya dalam Islam adalah sesuatu yang tidak dapat
diragukan kerana terdapat penegasan yang banyak di dalam al Quran tentang
sunnah tersebut, bahkan di dalam beberapa tempat sunnah disebutkan bersamaan
dengan al Kitab ataupun al Quran, dan disebutkan juga ketaatan terhadap
Rasulullah saw setelah ketaataan kepada Allah swt. Hal ini sebagaimana yang
ditegaskan di dalam firman-Nya seperti:“Dan taatilah Allah dan RasulNya, jika
kamu adalah orang-orang yang beriman”[10]. Dan firman-Nya:“Dan tidaklah
patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mukminah, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan
ada bagi mereka pilihan yang lain bagi urusan mereka”[11]. Juga firman-
Nya:“Apa yang diberikan Rasul kepada kamu, maka ambillah ia, dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah
Dengan penegasan al Quran di atas, jelaslah bahawa sunnah tidak dapat
dipisahkan penggunaannya di dalam segala hal yang berkaitan dengan Islam.
Sehingga fungsi sunnah di dalam Islam, diantaranya:
 Penguat dan penyokong hukum-hukum yang terdapat di dalam al-Quran
seperti dalam perkara pensyariatan shalat, puasa dan haji.
 Penghurai dan pentafsir ayat-ayat al-Quran yang umum seperti
memperjelaskan mengenai tata cara perlaksanaan shalat, kaedah jual beli,
menunaikan zakat dan haji dan sebagainya yang mana perkara-perkara
tersebut hanya disebutkan secara umum oleh al-Quran.
 Menjadi keterangan tasyri’ yaitu menentukan sesuatu hukum yang tidak
disebutkan di dalam al-Quran seperti dalam hal memakan haiwan yang
ditangkap oleh hewan pemburu terlatih seperti anjing yang mana buruan
tersebut terdapat kesan dimakan oleh hewan pemburu terlatih tadi dan kesan
tersebut menunjukkan bahwa hewan pemburu tadi menangkap buruan untuk
dirinya sendiri. Di dalam al-Quran hanya dibenarkan memakan buruan yang
ditangkap oleh hewan pemburu terlatih. Maka dalam hal ini, hadith
menerangkan bahawa buruan yang mempunyai kesan dimakan oleh hewan
pemburu adalah haram dimakan.

16
 Menasakhkan hukum yang terdapat di dalam al Quran. sebagian ulama
berpandangan bahawa hadith yang dapat menasakhkan hukum al Quran itu
mestilah sekurang-kurangnya bertaraf Mutawatîr, Masyhûr ataupun
Mustafhîdh.
 Menerangkan mengenai ayat yang telah dinasakh dan ayat mana yang telah
dimansukhkan
Kita meyakini bahwa Allah itu Maha Dahulu, yakni Dia ada sebelum
segala sesuatu dan Dia tidak didahului tidak ada di suatu waktu dari waktu-waktu
yang ada, dan wujudNya tidak ada awalnya. Berdasarkan keterangan Syekh
Thahir tersebut maka dapat disimpulkan sebagai berikut.
 Kita wajib meyakini bahwa Allah Swt. memiliki sifat Qadim, yakni Allah
Swt. ada sudah sejak dulu.
 Adanya Allah Swt. itu sebelum segala sesuatu itu ada. Berbeda dengan
makhluk yang ada setelah yang lainnya ada.
 Adanya Allah Swt. tidak didahului tidak ada. Berbeda dengan makhluk yang
adanya didahului dengan tidak ada.
 Adanya Allah Swt. itu tidak ada awalnya. Artinya Allah Swt. lah yang
pertama. Tidak ada yang mendahuluiNya. Sebagaimana termaktub dalam Al-
Qur’an:
َ ‫اط ُۚنُ َوه َُو ِب ُك ِل‬
‫ش ْيءٍ َع ِليْم‬ ِ َ‫ظاه ُِر َو ْالب‬ ٰ ْ ‫ه َُو ْاَلَ َّو ُل َو‬
َّ ‫اَل ِخ ُر َوال‬
Dialah Yang Awal, Yang Akhir, Yang Zahir dan Yang Batin; dan Dia Maha
Mengetahui segala sesuatu.(Q.S. Al-Hadid/57: 3)

Di dalam salah satu hadis yang berisikan doa juga disebutkan sebagai berikut.
‫ (رواه مسلم‬.… ‫َىء‬
ْ ‫ْس بَ ْعدَكَ ش‬ ِ َ‫ش ْىء َوأ َ ْنت‬
َ ‫اآلخ ُر فَلَي‬ َ ‫)اللَّ ُه َّم أ َ ْنتَ األ َ َّو ُل فَلَي‬
َ َ‫ْس قَ ْبلَك‬
“….Ya Allah, Engkaulah yang pertama, tidak ada sesuatupun yang
mendahuluiMu, dan Engkaulah yang terakhir, tidak ada sesuatupun yang
setelahMu…” (H.R. Muslim)

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bawah:
 Mengenal Allah Ta’ala adalah permulaan agama, karena segala ibadah
yang kita lakukan didunia ini tanpa mengenal Allah maka ibadah tersebut
ditolak/tidak diterima (mardud). Cara mengenal Allah adalah dengan
mempelajari sifat-sifat yang wajib bagi Allah, mustahil, dan jaiz.
 Allah Ta’ala bersifat dengan wujud yang artinya ada. Sifat wujud dan zat
Allah itu tidak bisa dipisahkan. Hal ini sebagaimana dijelasakan oleh
Imam Hasan Al-Asy’ari bahwa wujud itu adalah zat dan zat itu adalah
wujud. Kemudian Allah juga bersifat Qadim yang arti Allah telah lebih
dulu ada sebelum alam semesta ada.
 Dalil untuk menguatkan tentang wujud dan qadim Allah itu ada dua, yaitu
dalil aqli yang menggunakan akal pikiran dan dalil naqli yang bersumber
dari Al-qur’an dan Hadist

B. Saran
Penulis melalui makalah ini ingin mengajak semua manusia supaya lebih
mendekatkan diri kepada Allah, dan lebih mengenal Allah melalui sifat-sifat-Nya.
Selain itu, menjadi bahan masukan dan pelajaran yang sangat berharga bagi kita
umat manusia dalam memperkaya ilmu tauhid agar tidak salah ber’itiqad yang
benar dan sesuai dengan ajaran kita Ahlussunnah Wal Jamaah.

18
DAFTAR PUSTAKA

H. Abdurrahman bin Muhammad Ali “Kifayatul mubtadin fi i’tiqadil mukmin.


H. Abdurrahman bin Muhammad Ali “Kifayatul awam.

19

Anda mungkin juga menyukai