Anda di halaman 1dari 48

METHOD OF TEACHING

method of teaching english


1.multiple inteligences
2. grammar translation method (GTM)
3. whole language
4.audio lingual method
5.self-directed learning
6. direct method
7. content based instructions
8. competency based language teaching
9.community language teaching
10. community language learning
11. contextual teaching learning
12. cooperative learning
13. inquiry based learning
14. lexical approach
15. sustained silent reading
16. task based instructions
17. total physical response
18.project based learning
19.silent way
20. suggestopedia
21. participatory approach
22. problem based learning
23. neurolinguistics programming 
24. learning strategy trainning
25. natural approach
26. blended learning

EXPLAINATION=)

METODE PENGAJARAN BAHASA INGGRIS


  I.            GRAMMAR TRANSLATION METHOD  
Pada awal nya  metode ini dinamakan Classical Method karena metode
ini pertama kali digunakan dalam mengajarkan bahasa-bahasa klasik,
Latin dan Greek (Chastain 1988). Kini, metode ini digunakan sebagai
tujuan untuk menolong siswa membaca dan mengapersiasi literatur
bahasa asing. Metode ini juga diharapkan, melalui pembelajaran
grammar dari bahasa asing, siswa menjadi familiar dengan grammar
bahasanya sendiri dan kefamiliaran ini akan menolongnya untuk
berbicara dan menulis bahasanya sendiri dengan benar. Akhirnya,
metode pengajaran ini akan membuat siswa tumbuh secara intelektual;
metode pengajaran ini juga akan membuat siswa mungkin tidak pernah
menggunakan bahasa yang asing yang dipelajari, tetapi latihan-latihan di
dalam metode ini akan sangat berguna kedepannya.
Tujuan Penggunaan GTM
Menurut guru yang mengunakan Grammar-tanslation Method, tujuan
fundamental dari pengajaran sebuah bahasa asing adalah untuk bisa
membaca literatur tertulis dari bahasa tersebut. Untuk melakukannya,
siswa membutuhkan belajar tentang peraturan grammar dan vocabulary
atau kosakata dari bahasa asing tersebut.
Peran Guru dan Siswa Dalam GTM
Peran pada metode ini sangat tradisional. Peran guru adalah sebagai
pemegang kekuasaan di kelas. Dan peran siswa hanya menuruti apa
yang guru ajarkan, siswa melakukan apa yang yang guru katakan, siswa
belajar apa yang pengajar tahu.
Karakteristik Proses Pembelajaran Dalam GTM
Siswa disuruh untuk mengartikan teks dari satu bahasa ke bahasa yang
lain. Seringnya apa yang mereka artikan adalah bacaan-bacaan dari
bahasa asing yang dipelajari tentang beberapa aspek kebudayaan dari
komunitas atau pengguna asli bahasa asing tersebut. Pelajar atau siswa
belajar grammar secara deduktif, yaitu pengajar memberi peraturan-
peraturan grammar dan contohnya, kemudian siswa disuruh untuk
menghafalnya, dan kemudian disuruh untuk menggunakan peraturan
tersebut ke contoh yang lain. Siswa juga belajar paradigma-paradigma
dalam grammar seperti noun, verb, adverb, dan lain sebagainya. Siswa
menghafal padanan kata dari bahasa aslinya sendiri dengan kosakata dari
bahasa asing yang dipelajari.
Interaksi Guru-siswa Dalam GTM
Kebanyakan interaksi yang terjadi di ruangan kelas adalah antara guru
terhadap siswa. Sedangkan interaksi siswa terhadap guru dan interaksi
sesama siswa sangat minim.
Language Skill Dalam GTM
Vocabulary dan grammar sangat ditekankan sekali dalam metode ini.
Reading dan writing adalah primary skill atau kemampuan utama yang
siswa lakukan. Terdapat sedikit perhatian yang tertuju pada speaking
dan listening, begitu juga terhadap pronunciation.
Evaluasi Dalam GTM
Test tertulis sering digunakan untuk mengevaluasi siswa dengan
mengartikan bahasa asing yang dipelajari ke bahasa aslinya sendiri atau
sebaliknya. Pertanyaan yang menyangkut peraturan grammar dair
bahasa asing yang dipelajari atau bahasa asli siswa juga sering dijumpai.

II.        DIRECT METHOD
Metode ini mempunyai tujuan instruksional bahwa pembelajaran
bahasa asing ditujukan agar bisa berkomunikasi. Sejak grammar
translation method tidak sangat efektif dalam menyiapkan siswa untuk
mengguanakan bahasa yang dipelajari (target lanugage) secara
komunikatif, Direct Method menjadi sangat populer.
Direct Method memiliki satu peraturan dasar yaitu tidak
diperbolehkannya jenis terjemahan. Asal kata Direct Method faktanya
karena pengajaran bahasa jika dengan menggunakan metode ini
disampaikan secara langsung (direct) dengan bantuan visual tanpa
adanya penggunaan bahasa asal (native language) siswa.

Tujuan Penggunaan Direct Method


Guru yang menggunakan Direct Method menginginkan siswanya belajar
bagaimana berkomunikasi dengan mengguanakan bahasa yang dipelajari
(target language). Agar harapan itu terwujud, siswa haru belajar berfikir
mengguankan bahasa yang dipelajari (target language) dengan tidak
diperbolehkannya bahasa asil (native language) muncul selama
pelajaran.
Peran Guru-siswa Dalam Direct Method
Walaupun peran guru pada metode ini adalah sebagai 'director' kelas,
peran siswa lebih aktif jika dibandingkan pada Grammar Tranlation Method. Guru dan
siswa lebih seperti partners dalam preose pembelajaran/ pengajaran.

Karakteristik Proses Pembelajaran Dalam Direct Method


Guru yang menggunakan metode ini memaksa siswa untuk memahami
arti dari bahasa sasaran (target language) secara langsung. Untuk
melakukannya, ketika guru mengenalkan sebuah kata atau phrase bahasa
sasaran, guru mendemonstrasikan artinya melalui penggunaan realia,
gamba, atau pantomim; guru tidak boleh mengartikannya secara
langusung ke bahasa asli (native language) siswa.

Interaksi Guru-siswa Dalam Direct Method


Interaksi antara guru dengan siswa berjalan dari dua arah, baik dari guru
ke siswa atau dari siswa ke guru, tetapi kebanyakan interaksi berjalan
dari guru ke siswa. Interaksi antar siswa juga banyak terjadi dalam
metode ini.
Language Skill Dalam Direct Method
Vocabulary sangat ditekankan melebihi grammar. Meskipun metode ini
dapat berkerja pada semua basic skills bahasa Inggris seperti reading,
writing, speaking, dan listening dari awal pembelajaran, tetapi
komunikasi secara lisan dilihat sebagai basic skill. Pronunciation juga
mendapatkan tempat dalam metode ini, dari awal pembelajaran hingga
akhir pembelajaran.
Evaluasi Dalam Direct Method
Formal evaluation tidak begitu banyak dijumpai dalam metode ini, tatapi
dalam Direct Method, siswa diminta untuk menggunakan target
language bukan untuk menjelaskan pengetahuan mereka tentang target
language. Siswa diminta untuk menggunkan target language baik secara
lisan atau tulisan. Sebagai contoh evaluasi dalam metode ini, siswa
mungkin diwawancarai secara langsung oleh guru atau mungkin diminta
untuk menuliskan secara langsung sebuah paragraph tentang sesuatu
yang telah mereka pelajari.

III.            METODE AUDIO-LINGUAL
1.       Pengertian Metode Audio-Lingual
Pada dasarnya metode Audio-Lingual hampir sama dengan metode
lainnya. Adapun metode yang muncul sebelum metode ini adalah
metode Direct (Direct Method). The Audio-Lingual method is the
method which focuses in repetition some words to memorize.
Audio-Lingual method is a method which use drills and pattern
practice in teaching language.
Adapun Jill Kerper Mora dari San Diego University menyebutkan:
"This method26 is based on the principles of behavior psychology. It
adapted many of the principles and procedures of the Direct Method, in
part as a reaction to the lack of speaking skills of the Reading
Approach"
Metode Audio-Lingual ini merupakan sebuah metode yang
pelaksanaannya terfokus pada kegiatan latihan, drill, menghafal kosa
kata, dialog, teks bacaan. Adapun dalam praktiknya siswa diajak belajar
(dalam hal ini bahasa Inggris secara langsung) tanpa harus
mendatangkan native language
Dasar dan prosedur pengajaran dalam metode ini juga banyak diambil
dari metode yang telah ada sebelumnya yaitu metode langsung (Direct
Method). Selain itu, tujuan Audio-Lingual pun juga tidak berbeda
dengan Direct Method yaitu untuk menciptakan kompetensi komunikatif
dalam diri siswa.
Sebagaimana diketahui, pengucapan (pronunciation), susunan serta
aspekaspek lain antara bahasa asing dan bahasa ibu sangatlah berbeda.
Oleh karenanya, dalam pembelajaran bahasa asing (dalam hal ini bahasa
Inggris) para siswa diharuskan mengucapkan dan atau membaca
berulang-ulang kata demi kata yang diberikan oleh guru agar sebisa
mungkin tidak terpengaruh dengan bahasa ibu.
Pengulangan-pengulangan yang dilakukan lama-kelamaan akan
menjadi sebuah kebiasaan (habit). Begitu juga dalam hal melafalkan
kata-kata bahasa asing (bahasa Inggris), jika hal tersebut sudah menjadi
kebiasaan, siswa akan secara otomatis dan refleks dapat melakukannya.
Sehingga dalam pelaksanaannya, agar usaha tersebut dapat berjalan
lancar maka diperlukan memerlukan keseriusan baik dari guru maupun
siswa.
2.       Teknik Pengajaran yang Digunakan dalam Metode Audio-
Lingual
Teknik pengajaran yang digunakan dalam metode Audio-Lingual
adalah sebagai berikut:
a.     Menghafal Dialog (Dialog Memorization)
Dalam teknik ini siswa menghafalkan dialog atau percakapan
pendek antara dua orang pada awal pelajaran. Dalam praktiknya siswa
memerankan satu orang peran dalam dialog, sedangkan guru
memerankan tokoh pasangannya. Setelah siswa belajar percakapan atau
dialog dari satu tokoh, guru dan siswa berganti peran. Kemudian siswa
menghafalkan dialog baru. Cara lainnya yang bisa digunakan adalah
dengan membagi siswa menjadi dua kelompok. Masing-masing
kelompok memerankan satu peran dan menghafalkan dialog tersebut.
Setelah masing-masing kelompok mampu menghafalkan dialog, mereka
diminta untuk untuk berganti peran. Setelah seluruh siswa hafal dialog,
guru meminta siswa untuk mempraktikkan dialog secara berpasangan di
depan kelas.
b.     Backward Bulld-up (Expansion) Drill
Drill digunakan ketika siswa mengalami kesulitan dalam
menghafalkan dialog panjang. Caranya adalah guru membagi dialog
panjang menjadi beberapa potong bagian. Guru pertmama kali
memberikan contoh kemudian siswa menirukan bagian kalimat
(bisaanya pada frasa akhir).

Contoh:
Guru    : It is a beautiful scenery
Guru    : It is a beautiful ………
Siswa   : It is a beautiful scenery
c.      Repetition Drill
Siswa diminta untuk menirukan guru seakurat dan secepat
mungkin.
Contoh:
Guru    : This is the seventh month
Siswa   : This is the seventh month
d.     Chain Drill
Drill ini dilakukan dengan cara meminta siswa untuk duduk
melingkar di dalam ruangan, kemudian satu persatu siswa bertanya dan
menjawab pertanyaan. Guru memulai drill ini dengan dengan menyapa
atau bertanya pada salah satu siswa. Kemudian siswa tersebut menjawab
pertanyaan tadi, kemudian ia bertanya pada teman di sampingnya. Siswa
yang ditanya tadi kemudian menjawab dan bertanya lagi kepada teman
di sampingnya, begitu seterusnya.
e.     Single Slot Subtitution
Guru membaca satu baris dari dialog, kemudian siswa
mengucapkan satu kata atau kelompok kata. Siswa diminta untuk
menirukan dengan cara memasukkan kata atau kelompok kata tersebut
secara tepat ke dalam bait dialog tadi.
Contoh:
Guru    : I know Him. (Hardly)
Siswa   : I hardly know him
f.      Multiple Slot Subtitution Drill
Drill ini sama dengan drill single slot substitution, tapi lebih luas.
Tidak hanya satu bait dialog, akan tetapi satu dialog penuh.
g.     Transformational Drill
Guru memberi siswa kalimat, kemudian siswa diminta untuk
merubah kalimat tersebut menjadi bentuk yang berbeda seperti:
interrogatif, negatif, positif, pasif, imperative dan sebagainya.
h.     Question and Answer Drill
Drill model ini melatih siswa menajwab pertanyaan dengan tepat.
i.       Use Minimal Pairs
Guru menggunakan pasangan kata yang berbeda satu bunyi, misal:
ship dan sheep. Siswa diminta untuk menemukan perbedaan dua kata
tersebut, kemudian berlatih untuk mengucapkan kata tersebut dengan
benar.
j.      Complete the Dialog
Beberapa kata dalam sebuah dialog dihapus, kemudian siswa
diminta untuk melengkapi dialog tersebut
k.     Grammar Game
Game ini mirip dengan game supermarket alphabet, didesain untuk
melatih grammar siswa dalam suatu konteks. Dengan begitu siswa bias
mengekspresikan dirinya sendiri, walaupun dalam porsi yang terbatas.
Dari berbagai teknik yang disebutkan di atas dapat disimpulkan
dalam pelaksanaan metode Audio-Lingual seorang guru akan memberi
contoh tentang model yang benar, dalam hal ini melafalkan (pronounce)
dan bagaimana melafalkan (how to pronounce) sebuah kalimat dan
siswa harus menirukan. Kemudian dalam kesempatan lain guru akan
melanjutkan dengan mengenalkan kata-kata baru dengan struktur kata
yang sama. Pokok dari metode ini dan kaitannya dengan
pembelajaran pronunciation adalah bagaimana melatih siswa untuk
terus berlatih melafalkan dengan benar sampai mereka dapat
melakukannya secara spontan. Oleh karena itu seperti telah dijelaskan di
awal, siswa hanya diberi kosakata secukupnya (khususnya yang sering
dipakai dalam kehidupan sehari-hari) agar pelaksanaan metode ini dapat
berjalan dengan lancar.
3.       Penerapan Metode Audio-Lingual
Metode Audio-Lingual sangat mengutamakan drill. Metode ini
muncul karena terlalu lamanya waktu yang ditempuh dalam bahasa dan
target. Padahal,untuk kepentingan tertentu, perlu penguasaan bahasa
dengan cepat misalnya perang, kunjungan dan seterusnya. Dalam Audio-
Lingual yang berdasarkan pendekatan struktural itu, bahasa yang
diajarkan dicurahkan pada lafal kata dan pelatihan berkali-kali secara
intensif pada pola-pola kalimat. Guru dapat memaksa siswa untuk
mengulang sampai tanpa kesalahan.
a.     Langkah-langkah Pembelajaran dalam Metode Audio-Lingual
Di dalam metode Audio-Lingual terdapat beberapa langkah yang
biasa dilakukan dalam proses pembelajaran. Adapun langkah-langkah
tersebut antara lain adalah:
Adapun langkah-langkah yang bisaa dilakukan adalah:
a)     Penyajian teks dialog atau teks pendek yang dibacakan guru berulang-
ulang dan siswa menyimak tanpa melihat teks yang dibaca.
b)     Peniruan dan penghafalan teks itu secara serentak dan siswa
menghafalkannya.
c)     Penyajian kalimat dilatih dengan pengulangan.
d)     Dramatisasi dialog atau teks yang dilatihkan kemudian siswa
memperagakan di depan kelas.
e)     Pembentukan kalimat lain yang sesuai dengan yang dilatihkan.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya metode ini memberikan
perhatian utama kepada kegiatan latihan, drill, menghafal kosa kata,
dialog, teks bacaan, dan pada sisi lain lebih mengutamakan bentuk luar
bahasa (pola, struktur, kaidah) dari pada kandungan isinya, dan
mengutamakan kesahihan dan akurasi dari kemampuan siswa untuk
berinteraksi dan berkomunikasi.
Penerapan metode ini hampir sama dengan penerapan pengajaran
bahasa pertama pada anak-anak, anak-anak menguasai bahasa ibunya
melalui peniruan. Peniruan itu biasanya diikuti oleh pujian atau
perbaikan. Melalui kegiatan itulah anak-anak mengembangkan
pengetahuannya mengenai struktur, pola kebiasaan bahasa ibunya. Maka
hal yang sama juga dapat diberlakukan dalam pengajaran bahasa kedua
atau bahasa asing. Melalui cara peniruan dan penguatan, para siswa
mengidentifikasi hubungan antara stimulus dan responsi yang
merupakan kebiasaan dalam berbahasa kedua atau bahasa asing.
b.     Evaluasi Metode Audio-Lingual
Sebagaimana telah dijelaskan di awal bahwasanya penelitian ini
dikhususkan pada pembahasan penggunaan metode Audio-Lingual
dalam pembelajaran pronunciation. Adapun dalam metode Audio-
Lingual sendiri tidak disebutkan secara jelas tentang evaluasinya. Satu
hal yang dikemukakan adalah jika diselenggarakan tes maka masing-
masing pertanyaan akan difokuskan pada point apa yang dipelajari pada
saat itu (adapun dalam hal ini adalah pronunciation).
Dalam penelitian ini peneliti memberikan oral test untuk
mengukur peningkatan pronunciation siswa. Selain itu, karena
penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui
peningakatanpronunciation siswa maka peneliti akan melakukan
penilaian pada kemampuan untuk melafalkan (skill to pronounce).
Adapaun hal-hal yang dinilai meliputi sounds (mendiskriminasikan
bunyi), ritme dan penekanan (rythm and word stress), intonasi
(intonation) dan kelancaran (fluency).
5.       Kelebihan dan Kekurangan Metode Audio-Lingual
Metode Audio-Lingual memiliki kelebihan dan juga memiliki
kekurangan di sisi lainnya. Adapun kelebihan dari metode ini antara lain
adalah:[11]
a.      Audio-Lingual mungkin merupakan teori pengajaran bahasa pertama
yang secara terbuka mengklaim terbentuk dari gabungan linguistik dan
psikologi.
b.     Metode Audio-Lingual mencoba membuat pembelajaran bahasa
menjadi lebih mudah diakses oleh pembelajar dalam jumlah besar (kelas
besar). Hal tersebut menyebabkan partisipasi pembelajar melalui teknik
drill dapat dimaksimalkan.
c.      Secara positif drill dapat membantu siswa dalam mengembangkan
kemampuan oralnya.
d.     Teknik pengajaran dalam metode Audio-Lingual dengan
menggunakan tape recording dan laboratorium bahasa menawarkan
latihan kecakapan berbicara dan mendengar yang merupakan hal paling
penting dalam pembelajaran bahasa. Pola-pola drill memberikan siswa
lebih banyak latihan.
e.      Metode Audio-Lingual mengembangkan kemampuan berbahasa ke
dalam "peralatan pedagogig" yaitu mendengar (menyimak), membaca
dan menulis. Metode Audio-Lingual secara spesifik memperkenalkan
desain teknik pendengaran (listening) dan latihan oral (speaking). Hal
tersebut menunjukkan kesuksesan dalam mengembangkan pemahaman
aural (listening) dan kelancaran berbicara (speaking).
Sedangkan kekurangan dalam metode Audio-Lingual antara lain adalah:
a.      Teknik yang digunakan dalam metode Audio-Lingual seperti drill,
penghafalan, dan lain sebagainya mungkin bisa membuat bahasa
menjadi sebuah kelakuan (kebisaaan), tetapi hal tersebut tidak
menghaslikan kompetensi yang diharapkan.
b.     Dengan metode Audio-Lingual mungkin guru akan mengeluhkan
tentang banyaknya waktu yang dibutuhkan (lama), dan para siswa akan
mengeluh tentang kebosanan yang disebabkan oleh pola drill yang terus-
menerus digunakan.
c.      Peran dan keaktifan guru merupakan hal yang penting dalam metode
Audio-Lingual, jadi guru lebih banyak mendominasi kelas.
 Adapun menurut Roestiyah kelemahan suatu metode atau teknik
pembelajaran yang menggunakan drill adalah sebagai berikut:
a.      Sering terjadi cara-cara atau gerak yang tidak dapat berubah, karena
merupakan cara yang telah dibakukan, maka hal tersebut dapat
menghambat bakat dan inisiatif siswa.
b.     Para siswa tidak boleh menggunakan cara lain atau cara menurut
pikirannya sendiri.
c.      Keterampilan yang diperoleh siswa umumnya juga menetap/paati,
yang akan merupakan kebiasaan kaku/keterampilan yang salah.
d.     Suatu latihan yang dijalankan dengan cara tertentu yang telah
dianggap baik dan tepat; sehingga tidak boleh diubah; mengakibatkan
keterampilan yang diperoleh siswa umumnya juga menetap/pasti, yang
akan merupakan kebiasaan yang kaku; atau keterampilan yang salah.
Sehingga, jika situasi berubah siswa akan sukar sekali
menyesuaikan diri atau tidak bisa mengubah caranya latihan untuk
mengatasi keadaan yang lain itu.
Masih menurut Roestiyah, agar latihan tersebut dapat berhasil,
instruktur perlu memilki cara/teknik lain yang menunjang teknik latihan
tersebut, sehingga kelemahannya bisa disempurnakan/dilengkapi dengan
teknik lain. 

IV.        SUGESTOPEDIA
Sugestopedia adalah metode pengajaran, yang berfokus pada bagaimana
menangani hubungan antara potensi mental dan efektivitas belajar dan
sangat tepat untuk digunakan dalam berbicara pengajaran bagi
pembelajar bahasa muda (Xue, 2005. Metode ini diperkenalkan oleh
seorang psikolog dan pendidik Bulgaria, George Lazanov pada tahun
1975 Maleki (2005) percaya bahwa kita mampu belajar lebih banyak
dari yang kita pikirkan, asalkan kita menggunakan kekuatan otak kita
dan kapasitas batin. Selain itu, DePorter (2008) diasumsikan bahwa otak
manusia dapat memproses jumlah besar bahan jika diberikan kondisi
yang tepat untuk belajar dalam keadaan relaksasi dan menyatakan bahwa
sebagian besar siswa hanya menggunakan 5 sampai 10 persen dari
kapasitas mental mereka. Lazanov dibuat Sugestopedia untuk belajar
yang memanfaatkan keadaan rileks pikiran untuk bahan retensi
maksimum. Dengan menggunakan semacam ini methof, YLLs bisa
mendapatkan menghafal 25 kali lebih cepat daripada metode
konvensional (Bowen, 2009).
Sugestopedia adalah metode input yang efektif berbasis dipahami
dengan kombinasi desuggestion dan saran untuk mencapai pembelajaran
super. Tujuan yang paling penting dari Sugestopedia adalah untuk
memotivasi lebih banyak potensi mental siswa untuk belajar dan yang
diperoleh dengan sugesti. Desuggestion berarti bongkar bank memori,
atau cadangan, kenangan yang tidak diinginkan atau memblokir. Saran
maka berarti loading bank memori dengan kenangan yang diinginkan
dan memfasilitasi.
Lazanov (1978) dikutip dalam Lica (2008) berpendapat bahwa peserta
didik memiliki kesulitan dalam memperoleh bahasa Inggris sebagai
bahasa kedua karena takut para siswa untuk membuat kesalahan. Ketika
peserta didik berada dalam kondisi ini, jantung
danmeningkatkan tekanan darah. Ia percaya bahwa ada mental block
dalam otak peserta didik '(filter afektif). Ini blok filter input, sehingga
peserta didik mengalami kesulitan untuk menguasai bahasa yang
disebabkan oleh ketakutan mereka. Kombinasi desuggestion dan saran
adalah untuk menurunkan filter afektif dan memotivasi potensi mental
siswa untuk belajar, yang bertujuan untuk mempercepat proses dimana
mereka belajar untuk memahami dan menggunakan bahasa target untuk
komunikasi untuk mencapai pembelajaran super. Ini adalah tujuan akhir
dari Sugestopedia
Richard dan Rogers (1998) menyatakan bahwa ada beberapa komponen
teori di mana desuggestion dan saran beroperasi:
Key Features of Suggestopedia: Fitur utama dari Sugestopedia:
Comfortable environment ( Lingkungan nyaman )
Dalam jenis metode pengajaran, kelas ini sangat berbeda dari kelas
umum. Di dalam kelas, kursi-kursi diatur setengah lingkaran dan
menghadap papan hitam atau putih untuk membuat siswa lebih
memperhatikan dan lebih santai. Lampu di dalam kelas redup untuk
membuat pikiran siswa lebih santai (Xue, 2005).
Penggunaan musik
Salah satu keunikan yang paling dari metode ini adalah penggunaan
musik Barok selama proses belajar. Ostrander dan Schroeder dikutip
dalam Harmer (1998) mengatakan bahwa musik Barok, dengan 60
ketukan per menit dan irama yang spesifik, menciptakan semacam
keadaan rileks pikiran untuk retensi maksimum dari bahan . Hal ini
diyakini bahwa musik Barok menciptakan tingkat konsentrasi santai
yang memfasilitasi asupan dan retensi dalam jumlah besar bahan. Barok
musik membantu siswa sugestopedia untuk mencapai negara tertentu
relaksasi, di mana penerimaan meningkat (Radle, 2008 Peningkatan
potensi belajar dimasukkan ke peningkatan otak alfa dan penurunan
preasure darah dan denyut jantung. Musik yang digunakan juga
tergantung pada keterampilan yang diharapkan dari siswa: tata bahasa,
latihan imajinasi, membuat rencana masa depan, diskusi, dll
Peripheral Learning
Para siswa memperoleh bahasa Inggris tidak hanya dari instruksi
langsung tetapi juga dari instruksi langsung. Hal ini didorong melalui
kehadiran dalam lingkungan belajar poster dan dekorasi yang
menampilkan bahasa target dan informasi gramatikal berbagai. Dengan
melakukan ini, siswa bisa belajar banyak hal undirectly di kelas atau
ruang kelas di luar. Misalnya, YLLs dapat membuat produksi lisan
sederhana dengan menggunakan poster atau informasi gramatikal di
dinding.
Free Errors
Dalam proses belajar mengajar berbicara,. Penekanannya adalah pada
konten tidak strukturTata bahasa dan kosakata disajikan dan diberikan
pengobatan dari guru, tetapi tidak tinggal di.
Homework is limited PR terbatas
YLLs membaca ulang materi yang diberikan di kelas sekali sebelum
mereka pergi tidur di malam hari dan sekali di pagi hari sebelum mereka
bangun.
Musik, drama dan seni yang terintegrasi dalam proses pembelajaran
Mereka terintegrasi sesering mungkin
Suggestopedia in the Classroom Sugestopedia di dalam Kelas
Pengajaran berbicara untuk YLLs menggunakan Sugestopedia, guru
harus mengambil tiga langkah (Lazanov, 1982) dikutip dalam Xue
(2005):
 Presentasi 
Presentasi adalah dasar dari melakukan Sugestopedia di kelas berhasil.
Tujuan utama dalam tahap ini adalah untuk membantu siswa santai dan
pindah ke kerangka berpikir positif, dengan perasaan bahwa belajar akan
menjadi mudah dan lucu. Desuggestion dan saran terjadi pada tahap ini
pada waktu yang sama.
The first concert
Hal ini melibatkan presentasi aktif dari material yang akan dipelajari.
Bentuk asli dari Sugestopedia disajikan oleh Lozanov terdiri dari
penggunaan dialog diperpanjang, sering beberapa halaman panjang,
disertai dengan daftar kosakata dan pengamatan pada poin tata bahasa.
Biasanya dialog ini akan dibaca keras-keras untuk YLLs dengan iringan
musik.
Second Concert Kedua Konser
. Para siswa sekarang dibimbing untuk rileks dan mendengarkan
beberapa musik Barok Pilihan terbaik dari musik sesuai dengan
Lozanov, dengan teks yang sedang dipelajari sangat tenang di latar
belakang. Selama kedua jenis membaca, pembelajar akan duduk di kursi
yang nyaman, kursi daripada kursi-kursi kelas, dalam lingkungan yang
nyaman. Setelah pembacaan ini dialog yang panjang dengan iringan
musik, guru akan memanfaatkan dialog untuk pekerjaan bahasa yang
lebih konvensional. Musik membawa siswa ke dalam kondisi mental
yang optimal untuk akuisisi usaha material. Para siswa, kemudian,
membuat dan praktik dialog setelah mereka menghafal isi material.
 Praktek
Penggunaan berbagai permainan peran, permainan, teka-teki, dll untuk
meninjau dan mengkonsolidasikan pembelajaran. Berikut adalah contoh
berbicara mengajar menggunakan memainkan peran:
Guru menyapa siswa dengan bahasa Inggris atau bahasa asli mereka dan
mengatakan kepada mereka bahwa mereka akan memiliki pengalaman
baru dan menarik dalam pembelajaran bahasa.
Guru meminta siswa untuk menutup mata mereka dan memberitahu
mereka bahwa mereka akan pergi ke negara yang berbahasa Inggris.
Misalnya, mereka berada di bandara. "Sekarang, Anda berada di bandara
Amerika, mendengarkan orang-orang di sekitar Anda Mereka berbicara
dengan pejabat imigrasi ", kata guru itu. Guru meminta mereka untuk
membuka mata mereka dan membawa kesadaran mereka ke kelas. Dia
mengatakan, "Selamat datang ke Inggris!".
Kemudian, guru mengatakan kepada mereka bahwa mereka akan
memiliki nama baru dan identitas dengan menunjukkan poster
menampilkan nama-nama bahasa Inggris. Para siswa akan mengucapkan
nama dengan mengulangi guru. Guru membantu mereka dengan
melakukan pantomim untuk membantu mereka memahami tentang
identitas baru mereka seperti dokter, perawat, polisi, dll
nt using his name and ask some questions in English about his
occupation. Guru menyapa setiap siswa menggunakan nama dan
mengajukan beberapa pertanyaan dalam bahasa Inggris tentang
pekerjaannya.. Melalui tindakannya, para siswa memahami makna dan
mereka menjawab 'ya' dan  tidak'.
 Guru mengajarkan mereka sebuah dialog singkat tentang ucapan dalam
bahasa Inggris Setelah itu, siswa akan praktek. Guru memberitahu siswa
bahwa mereka sedang mengadakan pesta dan mereka harus
memperkenalkan satu sama lain dengan nama baru mereka dan identitas.
Selanjutnya, guru mengumumkan bahwa kelas selesai dan mereka akan
memiliki kegiatan lain yang menarik besok dan mereka tidak memiliki
pekerjaan rumah.
 Keuntungan
 Sebagai metode tertentu, Sugestopedia menawarkan beberapa manfaat
untuk digunakan dalam ruang kelas bahasa kedua untuk YLLs. Ada
beberapa manfaat dalam menggunakan Sugestopedia:
Sebuah masukan comprehesible berdasarkan dessugestion dan prinsip
saran
Dengan menggunakan metode pengajaran, YLLs dapat menurunkan
filter afektif mereka Sugestopedia kelas, di samping itu, diadakan di
kamar biasa dengan kursi yang nyaman, sebuah praktik yang juga dapat
membantu mereka rileks Guru dapat melakukan banyak hal-hal lain
untuk menurunkan filter afektif. Menurut Kharsen (1989) dikutip dalam
Xue (2005) kegiatan yang memungkinkan siswa untuk mendapatkan
lebih mengenal satu sama lain dapat membantu kecemasan lebih rendah
dan membuat siswa untuk mengadopsi nama baru untuk durasi kursus
bahasa mungkin memiliki efek yang sama.
Konsep Otoritas
Siswa ingat terbaik dan yang paling dipengaruhi oleh informasi yang
datang dari sumber otoritatif, guru.
Double-planedness teori
Hal ini mengacu pada belajar dari dua aspek. Mereka adalah aspek sadar
dan satu bawah sadar. YLLs dapat memperoleh tujuan instruksi
pengajaran dari kedua instruksi langsung dan lingkungan di mana
mengajar berlangsung.
Peripheral belajar
Sugestopedia mendorong siswa untuk menerapkan bahasa yang lebih
mandiri, mengambil tanggung jawab lebih pribadi untuk belajar mereka
sendiri dan mendapatkan lebih percaya diri. Informasi perifer juga dapat
membantu mendorong siswa untuk menjadi lebih eksperimental, dan
melihat ke sumber-sumber selain guru untuk masukan bahasa. Sebagai
contoh, siswa dapat membuat beberapa kalimat dengan menggunakan
struktur gramatikal ditempatkan di dinding ruang kelas itu,
menggambarkan tempat tertentu dalam suatu negara berbahasa Inggris
dengan melihat poster di dinding, dll Ketika para siswa berhasil dalam
melakukan self-kegiatan , mereka akan lebih percaya diri.
Kekurangan
Hal ini tidak adil untuk menganalisis hanya dari aspek manfaat
Sugestopedia juga memiliki keterbatasan karena tidak ada metode
pengajaran tunggal yang chategorized sebagai yang terbaik didasarkan
pada beberapa pertimbangan seperti: kurikulum, motivasi siswa,
keterbatasan keuangan, jumlah siswa, dll
      : Kelemahan utama dari Sugestopedia adalah sebagai berikut:
Lingkungan pembatasan
Sebagian besar sekolah di negara-negara Each class consists of 30 to 40
students. Setiap kelas terdiri dari 30 sampai 40 siswa. Salah satu masalah
yang dihadapi dalam menggunakan metode ini adalah jumlah siswa di
kelas. Harus ada 12 siswa di kelas (Adamson, 1997).
Penggunaan hipnosis
Beberapa orang mengatakan bahwa Sugestopedia menggunakan
hipnosis, sehingga memiliki efek yang mendalam buruk bagi manusia.
Lazanov membantah keras tentang hal itu.

Infantilization belajar
Sugestopedia kelas dikondisikan menjadi anak-seperti situasi. Ada
beberapa siswa yang tidak suka diperlakukan seperti ini karena mereka
berpikir bahwa Thay dewasa.
Menggunakan Sugestopedia tidak mudah terutama di negara-negara di
mana tingkat pendidikan masih rendah. Ini membutuhkan guru yang
profesional dan berpengalaman. Sangat sedikit guru yang bekerja berada
dalam posisi di mana mereka dapat menggunakan sistem ini (Adamson,
1997). Para guru harus mengambil lebih banyak pelatihan dalam rangka
pemanfaatan Sugestopedia di dalam kelas. Richards dan Rogers (1998)
dikutip dalam Xue (2005) menyatakan bahwa dalam melakukan
Sugestopedia untuk YLLs, ada beberapa saran:
(1) Guru menunjukkan kepercayaan mutlak dalam metode.
 (2) Guru menampilkan perilaku pemilih dalam perilaku dan pakaian.
(3)  Mengajar mengatur dengan benar dan ketat mengamati tahap awal
dari proses pengajaran. Ini termasuk pilihan dan memutar musik, serta
ketepatan waktu.
(4) Guru memelihara sikap serius terhadap sesi.
(5) Guru memberikan tes dan merespon dengan bijaksana ke kertas
miskin (jika ada).
(6) Stres global daripada sikap analitis terhadap materi.
(7) Guru memelihara antusiasme sederhana
V.            CT L(Contextual Teaching and Learning)
Sekilas tentang Metode Kontekstual CTL (Contextual Teaching and
Learning) cms-formulasi Penerapan pembelajaran kontekstual
(Contextual Teaching and Learning) di Amerika Serikat bermula dari
pandangam ahli pendidikan klasik John Dewey yang pada tahun 1916
mengajukan teori kurikulum dan metodologi pengajaran yang
berhubungan dengan pengalaman dan minat siswa. Filosofi
pembelajaran kontekstual berakar dari paham progressivisme John
Dewey. Intinya, siswa akan belajar dengan baik apabila apa yang
mereka pelajari berhubungan dengan apa yang telah mereka ketahui,
serta proses belajar akan produktif jika siswa terlibat dalam proses
belajar di sekolah. Pokok-pokok pandangan progressivisme antara lain:
1. Siswa belajar dengan baik apabila mereka secara aktif dapat
mengkonstruksi sendiri.
2. Siswa harus bebas agar dapat berkembang wajar.
3. Penumbuhan minat melalui pengalaman langsung untuk merangsang
belajar.
4. Guru sebagai pembimbing dan peneliti.
5. Harus ada kerja sama antara sekolah dan masyarakat.
6. Sekolah progresif harus merupakan laboratorium untuk melakukan
eksperimen.
 Selain teori progressivisme John Dewey, teori kognitif
melatarbelakangi pula filosofi pembelajaran kontekstual. Siswa akan
belajar dengan baik apabila mereka terlibat secara aktif dalam segala
kegiatan di kelas dan berkesempatan untuk menemukan sendiri. siswa
menunjukkan belajar dalam bentuk apa yang mereka ketahui dan apa
yang dapat mereka lakukan. Belajar dipendang sebagai usaha atau
kegiatan intelektual untuk membangkit ide-ide yang masih laten melalui
kegiatan introspeksi. Sejauh ini pendidikan kita masih di dominasi oleh
pandangan bahawa pengetahuan sebagai perangkat fakta-fakta yang
harus dihafal. Kelas masih berfokus pada guru sebagai sumber utama
pengetahuan, kemudian ceramah sebagai pilihan utama strategi belajar.
Untuk itu, diperlukan sebuah strategi belajar baru yang lebih
memberdayakan siswa. Sebuah strategi belajar yang tidak mengharuskan
siswa menghapal fakta-fakta, tetapi sebuah strategi yang mendorong
siswa mengkontruksi pengetahuan di benak mereka sendiri. metode+ctl
Berpijak pada dua pandangan itu, filosofi konstruksivisme berkembang.
Dasarnya pengetahuan dan keterampilan siswa diperoleh dari konteks
yang terbatas dan sedikit demi sedikit. Siswa yang harus
mengkontruksikan sendiri pengetahuannya. Melalui landasan filosofi
konstruksivisme, CTL dipromosikan menjadi alternatif strategi belajar
yang baru. Melalui strategi, siswa diharapkan belajar melalui mengalami
bukan menghafal. Menurut filosofi konstruktivisme, pengetahuan
bersifat non-objektif, temporer, dan selalu berubah. Segala sesuatu
bersifat temporer, berubah dan tidak menentu. Belajar adalah
pemaknaan pengetahuan, bukan perolehan pengetahuan dan mengajar
diartikan sebagain kegiatan atau menggali makna, bukan memindahkan
pengetahuan kepada orang yang belajar. Otak atau akal manusia
berfungsi sebagai alat untuk melakukan interpretasi sehingga muncul
makna yang unik. Dengan paham kontruksivisme, siswa diharapkan
dapat membangun pemahaman sendiri dari pengalaman/pengetahuan
terdahulu. Pemahaman yang mendalam dikembangkan melalui
pengalaman-pengalam belajar bermakna. Siswa diharapkan memapu
mempraktikkan pengetahuan/pengalaman yang telah diperoleh dalam
konteks kehidupan. Siswa diharapkan juga melakukan refleksi terhadap
strategi pengembangan pengetahuan tersebut. Dengan demikian, siswa
dapat memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan yang
dipelajari. Pemahaman ini diperoleh siswa karena ia dihadapkan kepada
lingkungan belajar yang bebas yang merupakan unsur yang sangat
esensial. Hakikat teori kontruksivisme adalah bahwa siswa harus
menjadikan informasi itu menjadi miliknya sendiri. teori kontruksivisme
memandang siswa secara terus menerus memeriksa informasi-informasi
baru yang berlawanan dengan aturan-aturan lama dn memperbaiki
aturan-aturan yang tidak sesuai lagi. Teori konstruksivis menuntut siswa
berperan aktif dalam pembelajaran mereka sendiri. Karena
penekanannya pada siswa aktif, maka strategi kontruksivis sering
disebut pengajaran yang berpusat pada siswa (student-centered
instruction). Di dalam kelas yang pengajarannya terpusat kepada siswa,
peranan guru adalah membantu siswa menemukan fakta, konsep, atau
prinsip bagi diri mereka sendiri, bukan memberikan ceramah atau
mengendalikan seluruh kegiatan di kelas.
Beberapa proposisi yang dapat dikemukakan sebagai implikasi dari
teori kontruktivistik dalam praktek pembeljaran di sekolah-sekolah kita
sekarang adalah sebagai berikut:
1. Belajar adalah proses pemaknaan informasi baru
 2. Kebebasan merupakan unsur esensial dalam lingkungan belajar.
3. Strategi belajar yang digunakan menentukan proses dan hasil
belajar.
4. Belajar pada hakikatnya memiliki aspeksosial dan budaya.
5. Kerja kelompok dianggap sangat berharga.
Dalam pandangan kontruksivistik, kebebasan dipandangan sebagai
penentu keberhasilan karena kontrol belajar dipegang oleh siswa sendiri.
Tujuan pembelajaran konstruktivistik menekankan pada penciptaan
pemahaman yang menuntut aktivitas yang kreatif dan produktif dalam
konteks nyata. Dengan demikian, paham konstruktivistik menolak
pandangan behavioristik. 

VI.        TPR (Totally Physical Response)


Bahasa merupakan kunci penentu menuju keberhasilan dan
memiliki peran sentral, khususnya dalam perkembangan intelektual,
sosial, dan emosional seseorang dan dalam mempelajari semua bidang
studi. Bahasa diharapkan bisa membantu seseorang dalam hal ini yang
saya bicarakan adalah peserta didik untuk mengenal dirinya, budayanya
dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan,
berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut,
menemukan serta menggunakan kemampuan-kemampuan analitis dan
imaginative dalam dirinya.
Ada beberapa macam metode yang biasa digunakan seorang guru atau
instruktur dalam meningkatkan kemampuan belajar peserta didiknya
seperti metode diskusi, ceramah, Inquiry dan lain-lain. Saya ingin
memperkenalkan salah satu metode yakni metode TPR (Total Physical
Response) sebagai salah satu teknik penyajian dalam pengajaran
khususnya dalam pembelajaran bahasa asing, baik itu bahasa Inggris,
Jepang, Perancis, dan lain-lain.
Metode pembelajaran adalah suatu ilmu yang membicarakan tentang
cara-cara menyampaikan bahan pelajaran, sehingga dikuasai oleh
peserta didik dengan kata lain ilmu tentang guru mengajar dan murid
belajar.

1.Pengertian Metode TPR (Total Physical Response)


          Menurut Richards J dalam bukunya Approaches and Methods in
Language Teaching, TPR didefinisikan:
“a language teaching method built around the coordination of speech
and action; it attempts to teach language through physical (motor)
activity”.
Jadi metode TPR (Total Physical Response) merupakan suatu metode
pembelajaran bahasa yang disusun pada koordinasi perintah (command),
ucapan (speech) dan gerak (action); dan berusaha untuk mengajarkan
bahasa melalui aktivitas fisik (motor).
Sedangkan menurut Larsen dan Diane dalam Technique and Principles
in Language Teaching, TPR atau disebut juga ”the comprehension
approach” atau pendekatan pemahaman yaitu suatu metode pendekatan
bahasa asing dengan instruksi atau perintah.
Metode ini dikembangkan oleh seorang professor psikologi di
Universitas San Jose California yang bernama Prof. Dr. James J.
Asher yang telah sukses dalam pengembangan metode ini pada
pembelajaran bahasa asing pada anak-anak. Ia berpendapat bahwa
pengucapan langsung pada anak atau siswa mengandung suatu perintah,
dan selanjutnya anak atau siswa akan merespon kepada fisiknya sebelum
mereka memulai untuk menghasilkan respon verbal atau ucapan.
Metode TPR ini sangat mudah dan ringan dalam segi penggunaan
bahasa dan juga mengandung unsur gerakan permainan sehingga dapat
menghilangkan stress pada peserta didik karena masalah-masalah yang
dihadapi dalam pelajarannya terutama pada saat mempelajari bahasa
asing, dan juga dapat menciptakan suasana hati yang positif pada peserta
didik yang dapat memfasilitasi pembelajaran sehingga dapat
meningkatkan motivasi dan prestasi siswa dalam pelajaran tersebut.
Makna atau arti dari bahasa sasaran dipelajari selama melakukan aksi.
Guru atau instruktur memiliki peran aktif dan langsung dalam
menerapkan metode TPR ini. Menurut Asher ”The instructor is the
director of a stage play in which the students are the actors”, yang
berarti bahwa guru (instruktur) adalah sutradara dalam pertunjukan
cerita dan di dalamnya siswa sebagai pelaku atau pemerannya. Guru
yang memutuskan tentang apa yang akan dipelajari, siapa yang
memerankan dan menampilkan materi pelajaran.
Siswa dalam TPR mempunyai peran utama sebagai pendengar dan
pelaku. Siswa mendengarkan dengan penuh perhatian dan merespon
secara fisik pada perintah yang diberikan guru baik secara individu
maupun kelompok.

2.Bentuk Aktivitas dengan Metode TPR dalam PBM (Proses Belajar


Mengajar).
          Dalam proses belajar mengajar dengan menggunakan metode TPR
ini banyak sekali aktivitas yang dapat dilakukan oleh guru dan siswa
antara lain:
a.Latihan dengan menggunakan perintah (Imperative Drill ), merupakan
aktivitas utama yang dilakukan guru di dalam kelas dari metode TPR.
Latihan berguna untuk memperoleh gerakan fisik dan aktivitas dari
siswa.
b.Dialog atau percakapan (conversational dialogue).
c.Bermain peran (Role Play), dapat dipusatkan pada aktivitas sehari-hari
seperti di sekolah, restoran, pasar, dll.
d.Presentasi dengan OHP atau LCD
e.Aktivitas membaca (Reading) dan menulis (Writing) untuk menambah
perbendaharaan kata (vocabularies) dan juga melatih pada susunan
kalimat berdasarkan tenses dan sebagainya.
3.Teori pembelajaran TPR
Teori pembelajaran bahasa TPR yang diterapkan pertama kali oleh
Asher ini mengingatkan pada beberapa pandangan para psikolog,
misalnya Arthur Jensen yang pernah mengusulkan sebuah model 7-
langkah unutk mendeskripsikan perkembangan pembelajaran verbal
anak. Model ini sangat mirip dengan pandangan Asher tentang
penguasaan bahasa anak. Asher menyajikan 3 hipotesa pembelajaran
yang berpengaruh yaitu:
1.Terdapat bio-program bawaan yang spesifik untuk pembelajaran
bahasa yang menggambarkan sebuah alur yang optimal untuk
pengembangan bahasa pertama dan kedua.
2.Lateralisasi otak menggambarkan fungsi pembelajaran yang berbeda
pada otak kiri dan kanan.
3.Stres mempengaruhi aktivitas pembelajaran dan apa yang akan
dipelajari oleh peserta didik, stress yang lebih rendah kapasitasnya maka
pembelajaran menjadi lebih baik.

VII.        COMMUNICATIVE APPROACH (Communicative Language


Teaching)
          Mumbly (1978) menyebut Pendekatan Komunikatif sebagai
‘Communicative Syllabus’. Widdowson menyebutnya sebagai
‘Communicative Approach’, sedangkan Richards & Rogers
menyebutnya ‘Communicative Language Teaching’ (CLT). Istilah-
istilah seperti Notionol- Functional Approach atau Functional Approach.
Communicative Aproach/ CA (Communicative Language Teaching)
berasal dari perubahan pada tradisi pengajaran bahasa di Inggris pada
akhir tahun 1960 dan kemunculannya dipertegas oleh: Kegagalan Audio
Lingual Method yang menghasilkan penutur-penutur bahasa asing atau
baha ysa kedua yang baik dan fasih tetapi tidak mampu menggunakan
bahasa yang dipelajari dalam interaksi yang bermakna. Pandangan
Chomsky tentang kreatifitas dan keunikan kalimat sebagai ciri dasar
sebuah bahasa. CA bertujuan untuk menjadikan kompetensi komunikatif
(communicative competence) sebagai tujuan pengajaran bahasa dan
untuk mengembangkan teknik-teknik dan prosedur pengajaran
ketrampilan bahasa yang didasarkan atas aspek saling bergantung antara
bahasa dan komunikasi. Kompetensi Komunikatif mencakup kompetensi
gramatika, sosiolinguistik, dan strategi. Kemampuan komunikatif
berbahasa (communicative language ability) meliputi pengetahuan atau
kompetensi dan kecakapan dalam penerapan kompetensi tersebut dalam
penggunaan bahasa yang komunikatif, kontekstual, dan sesuai. Beberapa
pemerian mengenai kompetensi komunikatif secara umum
berpandangan bahwa makna profisiensi dalam sebuah bahasa tidak
hanya sekedar mengetahui sistem kaidah-kaidah gramatikal (fonologi,
sintaksis, kosakata, dan semantik). Fokus metode ini pada dasarnya
adalah elaborasi dan implementasi program dan metodologi yang
menunjang kemampuan bahasa fungsional melalui pertisipasi
pembelajaran dalam kegiatan-kegiatan
Communicative Language Teaching
Hal inilah yang sering didengungkan oleh dosen di kampus dulu. Bahwa
paradigma pengajaran bahasa hendaknya diubah. Jika melihat buku-
buku teks sekolah pada tahun 1970-1990an akan tampak bahwa
pengajaran bahasa dalam hal ini Bahasa Inggris sangat kentara
menekankan pada tata bahasa, atau grammar bahasa yang dipelajari
(Grammatical competence).
Akan tetapi, bahasa adalah alat untuk berkomunikasi bukan sekedar
seperangkat aturan. Jadi pengajaran bahasa sebaiknya berpedoman pada
prinsip “Teach the learners to use the language” bukan “Teach the
learners about the language”. Mengajarkan kepada siswa bagaimana
menggunakan bahasa. Bukan mengajarkan siswa tentang bahasa yang
dipelajari.
Implikasinya nanti pada akhir pengajaran evaluasi akan mengacu pada
“Apa yang bisa kamu lakukan dengan bahasa (yang dipelajari)” bukan
“Apa yang kamu tahu tentang bahasa (yang dipelajari)”. Jadi,
Communicative Language teaching bermuara atau mempunyai tujuan
akhir pada pencapaian communicative competence (kemampuan
komunikasi dengan bahasa) melalui proses atau pendekatan komunikatif
(Communicative approach).
Communicative approach adalah pendekatan yang dipakai di kelas
dalam konteks CLT. Pendekatan itu diantaranya adalah berupa jenis-
jenis aktifitas kelas yang mengarahkan siswa pada penggunaan bahasa.
Seperti role play, interviews, information gap, games, language
exchanges, surveys, pair work, learning by teaching, dan lain-lain.
Kesadaran akan prinsip communicative language teaching ini mulai
dapat dilihat dalam pengajaran bahasa sekarang dimana buku-buku teks
Bahasa Inggris telah menekankan pada pengajaran yang mengacu pada
genre-based. Sehingga tampak bahwa siswa diajarkan tentang
penggunaan bahasa yang mungkin mereka dapatkan di kehidupan
sehari-hari.
Namun, ternyata CLT tidak serta merta harus diterapkan di semua
konteks pengajaran bahasa Inggris. Dalam situasi kelas dimana tujuan
siswa/peserta didik adalah untuk menguasai aspek tertentu dari bahasa
Inggris (misalnya kelas persiapan tes bahasa inggris, toefl preparation,
structure, dll) pengajaran menjadi lebih fleksibel.
Jika dalam kelas tertentu peserta didik memang bertujuan untuk belajar
tentang tata bahasa (grammar) inggris, pengajar sebaiknya focus akan
kegiatan drilling (latihan berulang-ulang). Dalam hal ini penjelasan
tentang bahasa bisa dilakukan secara deduktif. Dan tidak kalah
pentingnya, melatih siswa/peserta didik untuk memproduksi bahasa
sesuai dengan struktur yang dipelajari merupakan salah satu cara agar
pengajaran bahasa tersebut tidak hanya bermuara pada kemampuan
‘mengenal’ bahasa tapi juga ‘menggunakan’ bahasa.

THE APPROACHES, METHODS, TECHNIQUES IN


LANGUAGE LEARNING
A. DEFINITION OF APPROACHES, METHODS AND
TECHNIQUES
1. APPROACHES
An approach describes how language is used and how its constituent
parts interlock. In other words it offers a model of language competence.
An approach describes how people acquire their knowledge of the
language and makes statements about the condition which will promote
successful language learning.
2. METHODS
A method is the practical realization of an approach. The originators of a
method have arrived at decisions about types of activities, roles of
teachers and learners, the kind of material which will be helpful, and
some model of syllabus organization. Methods include various
procedure and techniques as a part of their standard fare. When methods
have fixed procedure, informed by a clearly articulated approach, they
are easy to describe. The more all embracing they become, however, the
more difficult it is to categories them as real methods in their own right.
3. TECHNIQUES
A way of carrying out a particular task, especially the execution or
performance of an artistic work or a scientific procedure.
B. KIND OF APPROACHES
VIII.        CONTENT BASED INSTRUCTION
The focus of a CBI lesson is on the topic or subject matter. During the
lesson students are focused on learning about something. This could be
anything that interests them from a serious science subject to their
favorite pop star or even a topical news story or film. They learn about
this subject using the language they are trying to learn, rather than their
native language, as a tool for developing knowledge and so they develop
their linguistic ability in the target language. This is thought to be a more
natural way of developing language ability and one that corresponds
more to the way we originally learn our first language.
There are many ways to approach creating a CBI lesson. This is one
possible way.
· Preparation
o Choose a subject of interest to students.
o Find three or four suitable sources that deal with different aspects of
the subject. These could be websites, reference books, audio or video of
lectures or even real people.
· During the lesson
o Divide the class into small groups and assign each group a small
research task and a source of information to use to help them fulfill the
task.
o Then once they have done their research they form new groups with
students that used other information sources and share and compare their
information.
o There should then be some product as the end result of this sharing of
information which could take the form of a group report or presentation
of some kind.
IX.            TASK BASED APPROACH
Task -based learning offers an alternative for language teachers. In a
task-based lesson the teacher doesn’t pre-determine what language will
be studied, the lesson is based around the completion of a central task
and the language studied is determined by what happens as the students
complete it. The lesson follows certain stages.
Pre-task
The teacher introduces the topic and gives the students clear instructions
on what they will have to do at the task stage and might help the students
to recall some language that may be useful for the task. The pre-task
stage can also often include playing a recording of people doing the task.
This gives the students a clear model of what will be expected of them.
The students can take notes and spend time preparing for the task.
Task
The students complete a task in pairs or groups using the language
resources that they have as the teacher monitors and offers
encouragement.
Planning
Students prepare a short oral or written report to tell the class what
happened during their task. They then practice what they are going to
say in their groups. Meanwhile the teacher is available for the students to
ask for advice to clear up any language questions they may have.
Report
Students then report back to the class orally or read the written report.
The teacher chooses the order of when students will present their reports
and may give the students some quick feedback on the content. At this
stage the teacher may also play a recording of others doing the same task
for the students to compare.

Analysis
The teacher then highlights relevant parts from the text of the recording
for the students to analysis. They may ask students to notice interesting
features within this text. The teacher can also highlight the language that
the students used during the report phase for analysis.
Practice
Finally, the teacher selects language areas to practice based upon the
needs of the students and what emerged from the task and report phases.
The students then do practice activities to increase their confidence and
make a note of useful language.
The advantages of Task Based Approach
 the students are free of language control. In all three stages they
must use all their language resources rather than just practising one pre-
selected item.
 The students will have a much more varied exposure to language
with TBL. They will be exposed to a whole range of lexical phrases,
collocations and patterns as well as language forms.
 The language explored arises from the students’ needs. This need
dictates what will be covered in the lesson rather than a decision made
by the teacher or the course book.
 It is a strong communicative approach where students spend a lot
of time communicating.
 It is enjoyable and motivating.

X.        PARTICIPATORY APPROACH
Participatory approach started being widely discussed in the language
teaching literature. In some ways the participatory approach is similar to
the content based approach in that it begins with content that is
meaningful to the students and any forms that are worked upon emerge
from that content. It is not the content of subject matter texts, but rather
content that is based on issues of concern to students.
The Principles of  Participatory Approach  :
 What happens in the classroom should be connected with what
happens outside that has relevance to the students.
 The curriculum is not a predetermined product, but the result of an
ongoing context specific problem posing process.
 Education is most effective when it is experience centered, when it
relates to students’ real needs.
 Student learn to see themselves as social and political beings.
 Language skills are taught in service of action for change, rather
than isolati
 A goal of the participatory approach is for students to be
evaluating their own learning and to increasingly direct it themselves.

XI.            PBL (PROBLEM BASED LEARNING)


Problem Based Learning adalah proses pembelajaran yang titik awal
pembelajaran berdasarkan masalah dalam kehidupan nyata dan lalu dari
masalah ini siswa dirangsang untuk mempelajari masalah ini
berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang telah mereka punyai
sebelumnya (prior knowledge) sehingga dari prior knowledge ini akan
terbentuk pengetahuan dan pengalaman baru. Diskusi dengan
menggunakan kelompok kecil merupakan poin utama dalam penerapan
PBL.
Fitur PBL :
-         Guru berperan sebagai fasilitator
-         Kerja kelompok
-         Learning by doing
-         Soal terbuka (open ended)
-         Tujuan tidak ditetapkan
Karakteristik kelompok :
-         Dibagi secara acak
-         Terdiri dari 5-8 orang
-         Heterogen
Fase PBL :
Fase 1                : apa yang diketahui ?
Fase 2                : Apa yang tidak diketahui ?
Fase 3                :  Apa yang harus dilakukan ?

                Model  Problem Based Learning  adalah model pembelajaran 


dengan pendekatan pembelajaran siswa pada masalah autentik sehingga 
siswa dapat  menyusun pengetahuannya sendiri, menumbuh 
kembangkan  keterampilan yang  lebih tinggi dan inkuiri, memandirikan
siswa dan meningkatkan kepercayaan diri sendiri (menurut Arends
dalam Abbas, 2000:13).
Model ini bercirikan penggunaan masalah kehidupan nyata sebagai
sesuatu yang harus dipelajari siswa untuk melatih dan meningkatkan
ketrampilan berfikir kritis dan pemecahan masalah serta mendapatkan
pengetahuan konsep- konsep penting, dimana tugas guru harus
memfokuskan diri untuk membantu siswa mencapai ketrampilan
mengarahkan diri. Pembelajaran berbasis masalah penggunaannya di
dalam tingkat berfikir yang lebih tinggi, dalam situasi berorientasi pada
masalah, termasuk bagaimana belajar.
Problem Based Learning  atau Pembelajaran berbasis masalah meliputi
pengajuan pertanyaan atau  masalah, memusatkan pada keterkaitan antar
disiplin, penyelidikan autentik, kerjasama dan menghasilkan karya serta
peragaan. Pembelajaran berbasis masalah tidak dirancang untuk
membantu guru memberikan informasi sebanyak-banyaknya pada siswa.
Pembelajaran berbasis masalah antara lain bertujuan untuk membantu
siswa mengembangkan
ketrampilan berfikir dan ketrampilan pemecahan masalah (Ibrahim 2002
: 5).
Dalam pembelajaran berbasis masalah, perhatian pembelajaran tidak
hanya pada perolehan pengetahuan deklaratif, tetapi juga perolehan
pengetahuan prosedural. Oleh karena itu penilaian tidak hanya cukup
dengan tes. Penilaian dan evaluasi yang sesuai dengan model
pembelajaran berbasis masalah adalah menilai pekerjaan yang dihasilkan
oleh siswa sebagai hasil pekerjaan mereka dan mendiskusikan hasil
pekerjaan secara bersama-sama. Penilaian proses dapat digunakan untuk
menilai pekerjaan siswa tersebut, penilaian ini antara lain 7
1. asesmen kerja, asesmen autentik dan portofolio. Penilaian proses
bertujuan agar guru dapat melihat bagaimana siswa merencanakan
pemecahan masalah, melihat bagaimana siswa menunjukkan
pengetahuan dan ketrampilannya. Airasian dalam  Diah Eko Nuryenti
(2002) menyatakan bahwa penilaian kinerja memungkinkan siswa
menunjukkan apa yang dapat mereka lakukan dalam situasi yang
sebenarnya. Sebagian masalah dalam kehidupan nyata bersifat dinamis
sesuai dengan perkembangan zaman dan konteks atau lingkungannya,
maka disamping pengembangan kurikulum juga perlu dikembangkan
model pembelajaran yang sesuai tujuan kurikulum yang memungkinkan
siswa dapat secara aktif mengembangkan kerangka berfikir dalam
memecahkan masalah serta kemampuannya untuk bagaimana belajar
(learning how to learn). Dengan kemampuan atau kecakapan tersebut
diharapkan siswa akan mudah beradaptasi. Dasar pemikiran
pengembangan strategi pembelajaran tersebut sesuai dengan pandangan
kontruktivis yang menekankan kebutuhan siswa untuk menyelidiki
lingkungannya dan membangun pengetahuan secara pribadi
pengetahuan bermakna (Ibrahim, 2000:19).
Ketika siswa masuk kelas mereka tidak dalam keadaan kosong,
melainkan mereka telah memiliki pengetahuan awal.
Berdasarkan pemikiran tersebut maka pembelajaran Pekerjaan Dasar
Konstruksi Bangunan perlu diawali dengan mengangkat permasalahan
yang sesuai dengan lingkungannya (permasalahan kontekstual). Menurut
Arends (dalam Abbas, 2000:13), pertanyaan dan masalah yang diajukan
haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut.
a.  Autentik,  yaitu masalah harus lebih berakar pada kehidupan dunia
nyata siswa dari pada berakar pada prinsip-prinsip disiplin ilmu tertentu.
b.  Jelas, yaitu masalah dirumuskan dengan jelas, dalam arti tidak
menimbulkan masalah baru bagi siswa yang pada akhirnya
menimbulkan masalah baru bagi siswa yang pada akhirnya menyulitkan
penyelesaian siswa.
c.  Mudah dipahami, yaitu masalah yang diberikan hendaknya mudah
dipahami siswa. Selain itu masalah disusun dan dibuat sesuai dengan
tingkat perkembangan siswa. 8
d.  Luas dan sesuai dengan tujuan pembelajaran, yaitu masalah yang
disusun dan dirumuskan hendaknya bersifat luas, artinya masalah
tersebut mencakup seluruh materi pelajaran yang akan diajarkan sesuai
dengan waktu, ruang dan sumber yang tersedia.  Selain itu, masalah
yang telah disusun tersebut harus didasarkan pada tujuan pembelajaran
yang telah ditetapkan.
e.  Bermanfaat,  yaitu masalah yang telah disusun dan dirumuskan
haruslah bermanfaat, baik siswa sebagai pemecah masalah maupun guru
sebagai pembuat masalah. Masalah yang bermanfaat adalah masalah
yang dapat meningkatkan kemampuan berfikir memecahkan masalah
siswa, serta membangkitkan motivasi belajar siswa.
             Pengajaran berbasis masalah menuntut siswa untuk
menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau artefak dan
peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah
yang mereka temukan.  Produk itu dapat berupa transkip debat, laporan,
model fisik, video atau program komputer (Ibrahim & Nur, 2000:5-7
dalam Nurhadi, 2003:56) Pengajaran berbasis masalah dicirikan oleh
siswa bekerja sama satu sama
lain (paling sering secara berpasangan atau dalam kelompok kecil).
Bekerja sama memberikan motivasi untuk secara berkelanjutan terlibat
dalam tugas-tugas kompleks dan memperbanyak peluang untuk berbagi
inkuiri dan dialog dan untuk mengembangkan keterampilan sosial dan
keterampilan berfikir.
                  Menurut Lepinski (2005) tahap-tahap pemecahan masalah
sebagai berikut ini, yaitu:
 1) penyampaian ide  (ideas),
 2) penyajian fakta yang diketahui  (known facts),
3) mempelajari masalah (learning issues),
4) menyusun rencana tindakan, (action plan) dan
5) evaluasi (evaluation).

Tahap 1: Penyampaian Ide  (Ideas)


Pada tahap ini dilakukan secara curah pendapat (brainstorming).
Pebelajar merekam semua daftar masalah (gagasan,ide) yang akan
dipecahkan. Mereka kemudian diajak untuk melakukan penelaahan
terhadap ide-ide yang
dikemukakan atau mengkaji pentingnya relevansi ide berkenaan dengan
masalah yang akan dipecahkan (masalah actual, atau masalah yang
relevan dengan 9  kurikulum), dan menentukan validitas masalah untuk
melakukan proses kerja melalui masalah.

Tahap 2: Penyajian Fakta yang Diketahui  (Known Facts)


Pada tahap ini, mereka  diajak mendata sejumlah fakta pendukung sesuai
dengan masalah yang telah diajukan. Tahap ini membantu
mengklarifikasi kesulitan yang diangkat dalam masalah. Tahap ini
mungkin juga mencakup pengetahuan yang telah dimiliki oleh mereka 
berkenaan dengan isu-isu khusus, misalnya pelanggaran kode etik,
teknik pemecahan konflik, dan sebagainya.

Tahap 3: Mempelajari Masalah  ( Learning Issues)


Pebelajar diajak menjawab pertanyaan tentang, “Apa yang perlu kita
ketahui untuk memecahkan masalah yang kita hadapi?”  Setelah
melakukan diskusi dan konsultasi, mereka melakukan penelaahan atau
penelitian dan mengumpulkan informasi. Pebelajar melihat kembali ide-
ide awal untuk menentukan mana yang masih dapat dipakai. Seringkali,
pada saat para pebelajar menyampaikan masalah-masalah, mereka
menemukan cara-cara baru untuk
memecahkan masalah. Dengan demikian, hal ini dapat menjadi sebuah
proses atau tindakan untuk mengeliminasi ide-ide yang tidak dapat
dipecahkan atau sebaliknya ide-ide yang dapat dipakai untuk
memecahkan masalah.

Tahap 4: Menyusun Rencana Tindakan (Action Plan)


Pada tahap ini, pebelajar diajak mengembangkan sebuah rencana
tindakan yang didasarkan atas hasil temuan mereka. Rencana tindakan
ini berupa sesuatu (rencana) apa yang mereka akan  lakukan atau berupa
suatu rekomendasi saran-
saran untuk memecahkan masalah.

Tahap 5: Evaluasi
Tahap evaluasi ini terdiri atas tiga hal:
1) bagaimana pebelajar dan evaluator   menilai produk   (hasil akhir)  
proses,
2) bagai-mana mereka menerapkan tahapan   PBM untuk bekerja
melalui masalah, dan
3) bagaimana pebelajar akan menyampaikan pengetahuan hasil
pemecahakan masalah atau sebagai bentuk pertanggung jawaban
mereka.
XII.        BLANDED LEARNING
Blanded Learning adalah sistem pendidikan yang menggunakan aplikasi
elektronik untuk mendukung belajar mengajar dengan media Internet,
jaringan komputer,maupun komputer standalone.E-learning dalam arti
luas bisa mencakup pembelajaran yang dilakukan di media elektronik
(internet) baik secara formal maupun informal. E-learning secara formal
misalnya adalah pembelajaran dengan kurikulum, silabus, mata
pelajaran dan tes yang telah diatur dan disusun berdasarkan jadwal yang
t ... Blended Learning itu?Sesuai namanya, blended learning adalah
metode pembelajaran yang memadukan pertemuan tatap muka dengan
materi online secara harmonis. Perpaduan antara training konvensional
di mana trainer dan trainee bertemu langsung dengan training online
yang bisa diakses kapan saja, di mana saja 24 jam sehari, 7 hari
seminggu. Adapun bentuk lain dari blended learning adalah pertemuan
virtual antara trainer dengan trainee. Mereka mungkin saja berada di dua
dunia berbeda, namun bisa salin ... Learning, merupakan cara baru
dalam proses belajar mengajar yang menggunakan media elektronik
khususnya internet sebagai sistem pembelajarannya. E-learning
merupakan dasar dan konsekuensi logis dari perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi. Beberapa ahli mencoba menguraikan
pengertian e-learning menurut versinya masing-masing, diantaranya E.
Hartley menyatakan:eLearning merupakan suatu jenis belajar mengajar
yang memungkinkan tersampaikannya bahan ajar ke siswa dengan
menggunakan media ... 
Apa itu e-Learning?E-learning merupakan singkatan dari
ElektronicLearning, merupakan cara baru dalam proses belajar
mengajar yang menggunakan media elektronik khususnya internet
sebagai sistem pembelajarannya. E-learning merupakan dasar dan
konsekuensi logis dari perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi. Beberapa ahli mencoba menguraikan pengertian e-learning
menurut versinya masing-masing, diantaranya E. Hartley
menyatakan:eLearning merupakan suatu jenis belajar mengajar yang
memungkinkan tersampaikannya bahan ajar ke siswa dengan
menggunakan media Internet, Intranet atau media jaringan komputer
lain.LearnFrame.Com dalam Glossary of eLearning Terms
menyatakansuatu definisi yang lebih luas bahwa: eLearning adalah
sistem pendidikan yang menggunakan aplikasi elektronik untuk
mendukung belajar mengajar dengan media Internet, jaringan
komputer,maupun komputer standalone.E-learning dalam arti luas bisa
mencakup pembelajaran yang dilakukan di media elektronik (internet)
baik secara formal maupun informal. E-learning secara formal misalnya
adalah pembelajaran dengan kurikulum, silabus, mata pelajaran dan tes
yang telah diatur dan disusun berdasarkan jadwal yang telah disepakati
pihak-pihak terkait (pengelola e-learning dan pembelajar sendiri).
Pembelajaran seperti ini biasanya tingkat interaksinya tinggi dan
diwajibkan oleh perusahaan pada karyawannya atau pembelajaran jarak
jauh yang dikelola oleh universitas dan perusahaan-perusahaan
(biasanya perusahaan konsultan) yang memang bergerak dibidang
penyediaan jasa e-learning untuk umum.Walaupun sepertinya e-
Learning diberikan hanya melalui perangkat komputer, e-Learning
ternyata disiapkan, ditunjang, dikelola oleh tim yang terdiri dari .

XIII.        Multiple Intelligences

Melalui pengenalan akan Multiple Intelligences, kita dapat mempelajari


kekuatan / kelemahan anak dan memberikan mereka peluang untuk
belajar melalui kelebihan-kelebihannya.
Tujuan: anak memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi dunia,
bekerja dengan ketrampilan sendiri dan mengembangkan
kemampuannya sendiri.
1. Kecerdasan Linguistik
 Mampu membaca, mengerti apa yang dibaca.
 Mampu mendengar dengan baik dan memberikan respons dalam
suatu komunikasi verbal.
 Mampu menirukan suara, mempelajari bahasa asing, mampu
membaca karya orang lain.
 Mampu menulis dan berbicara secara efektif.
 Tertarik pada karya jurnalism, berdebat, pandai menyampaikan
cerita atau melakukan perbaikan pada karya tulis.
 Mampu belajar melalui pendengaran, bahan bacaan, tulisan dan
melalui diskusi, ataupun debat.
 Peka terhadap arti kata, urutan, ritme dan intonasi kata yang
diucapkan.
 Memiliki perbendaharaan kata yang luas, suka puisi, dan
permainan kata.
Profesi: pustakawan, editor, penerjemah, jurnalis, tenaga bantuan
hukum, pengacara, sekretaris, guru bahasa, orator, pembawa acara di
radio / TV, dan sebagainya.

2. Kecerdasan Logika – Matematika


 Mengenal dan mengerti konsep jumlah, waktu dan prinsip sebab-
akibat.
 Mampu mengamati objek dan mengerti fungsi dari objek tersebut.
 Pandai dalam pemecahan masalah yang menuntut pemikiran logis.
 Menikmati pekerjaan yang berhubungan dengan kalkulus,
pemograman komputer, metode riset.
 Berpikir secara matematis dengan mengumpulkan bukti-bukti,
membuat hipotesis, merumuskan dan membangun argumentasi kuat.
 Tertarik dengan karir di bidang teknologi, mesin, teknik, akuntansi,
dan hukum.
 Menggunakan simbol-simbol abstrak untuk menjelaskan konsep
dan objek yang konkret.
Profesi: auditor, akuntan, ilmuwan, ahli statistik, analisis / programer
komputer, ahli ekonomi, teknisi, guru IPA / Fisika, dan sebagainya.
3. Kecerdasan Intrapersonal
 Mengenal emosi diri sendiri dan orang lain, serta mampu
menyalurkan pikiran dan perasaan.
 Termotivasi dalam mengejar tujuan hidup.
 Mampu bekerja mandiri, mengembangkan kemampuan belajar
yang berkelanjutan dan mau meningkatkan diri.
 Mengembangkan konsep diri dengan baik.
 Tertarik sebagai konselor, pelatih, filsuf, psikolog atau di jalur
spiritual.
 Tertarik pada arti hidup, tujuan hidup dan relevansinya dengan
keadaaan saat ini.
 Mampu menyelami / mengerti kerumitan dan kondisi manusia.
Profesi: ahli psikologi, ulama, ahli terapi, konselor, ahli teknologi,
perencana program, pengusaha, dan sebagainya.
4. Kecerdasan Interpersonal
 Memiliki interaksi yang baik dengan orang lain, pandai menjalin
hubungan sosial.
 Mampu merasakan perasaan, pikiran, tingkah laku, dan harapan
orang lain.
 Memiliki kemampuan untuk memahami orang lain dan
berkomunikasi dengan efektif, baik secara verbal maupun non-verbal.
 Mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan dan kelompok yang
berbeda, mampu menerima umpan balik yang disampaikan orang lain,
dan mampu bekerja sama dengan orang lain.
 Mampu berempati dan mau mengerti orang lain.
 Mau melihat sudut pandang orang lain.
 Menciptakan dan mempertahankan sinergi.
Profesi: administrator, manager, kepala sekolah, pekerja bagian
personalia / humas, penengah, ahli sosiologi, ahli antropologi, ahli
psikologi, tenaga penjualan, direktur sosial, CEO, dan sebagainya.

5. Kecerdasan Musikal
 Menyukai banyak jenis alat musik dan selalu tertarik untuk
memainkan alat musik.
 Mudah mengingat lirik lagu dan peka terhadap suara-suara.
 Mengerti nuansa dan emosi yang terkandung dalam sebuah lagu.
 Senang mengumpulkan lagu, baik CD, kaset, atau lirik lagu.
 Mampu menciptakan komposisi musik.
 Senang improvisasi dan bermain dengan suara.
 Menyukai dan mampu bernyanyi.
 Tertarik untuk terjun dan menekuni musik, baik sebagai penyanyi
atau pemusik.
 Mampu menganalisis / mengkritik suatu musik.
Profesi: DJ, musikus, pembuat instrumen, tukang stem piano, ahli terapi
musik, penulis lagu, insinyur studio musik, dirigen orkestra, penyanyi,
guru musik, penulis lirik lagu, dan sebagainya.
6. Kecerdasan Visual – Spasial
 Senang mencoret-coret, menggambar, melukis dan membuat
patung.
 Senang belajar dengan grafik, peta, diagram, atau alat bantu visual
lainnya.
 Kaya akan khayalan, imaginasi dan kreatif.
 Menyukai poster, gambar, film dan presentasi visual lainnya.
 Pandai main puzzle, mazes dan tugas-lugas lain yang berkaitan
dengan manipulasi.
 Belajar dengan mengamati, melihat, mengenali wajah, objek,
bentuk, dan warna.
 Menggunakan bantuan gambar untuk membantu proses mengingat.
Profesi: insinyur, surveyor, arsitek, perencana kota, seniman grafis,
desainer interior, fotografer, guru kesenian, pilot, pematung, dan
sebagainya.
7. Kecerdasan Kinestetik – Jasmani
 Merupakan kecerdasan yang berhubungan dengan kemampuan
dalam menggunakan tubuh kita secara trampil untuk mengungkapkan
ide, pemikiran, perasaan, dan mampu bekerja dengan baik dalam
menangani objek.
 Memiliki kontrol pada gerakan keseimbangan, ketangkasan, dan
keanggunan dalam bergerak.
 Menyukai pengalaman belajar yang nyata seperti field trip, role
play, permainan yang menggunakan fisik.
 Senang menari, olahraga dan mengerti hidup sehat.
 Suka menyentuh, memegang atau bermain dengan apa yang
sedang dipelajari.
 Suka belajar dengan terlibat secara langsung, ingatannya kuat
terhadap apa yang dialami atau dilihat.
Profesi: ahli terapi fisik, ahli bedah, penari, aktor, model, ahli mekanik /
montir, tukang bangunan, pengrajin, penjahit, penata tari, atlet
profesional, dan sebagainya.

8. Kecerdasan Naturalis
 Suka mengamati, mengenali, berinteraksi, dan peduli dengan objek
alam, tanaman atau hewan.
 Antusias akan lingkungan alam dan lingkungan manusia.
 Mampu mengenali pola di antara spesies.
 Senang berkarir di bidang biologi, ekologi, kimia, atau botani.
 Senang memelihara tanaman, hewan.
 Suka menggunakan teleskop, komputer, binocular, mikroskop
untuk mempelajari suatu organisme.
 Senang mempelajari siklus kehidupan flora dan fauna.
 Senang melakukan aktivitas outdoor, seperti: mendaki gunung,
scuba diving (menyelam).
Profesi: dokter hewan, ahli botani, ahli biologi, pendaki gunung,
pengurus organisasi lingkungan hidup, kolektor fauna / flora, penjaga
museum zoologi / botani dan kebun binatang, dan sebagainya.
Kita semua berbeda karena kita semua memiliki kombinasi kepandaian
yang berbeda. Bila kita mampu mengenalinya, saya kira kita akan
mempunyai setidaknya sebuah kesempatan yang bagus untuk mengatasi
berbagai masalah yang kita hadapi di dunia.

XIV.            Cooperative Learning
Cooperative Learning adalah suatu strategi belajar mengajar yang
menekankan pada sikap atau perilaku bersama dalam bekerja atau
membantu di antara sesama dalam struktur kerjasama yang teratur dalam
kelompok, yang terdiri dari dua orang atau lebih. Dimana pada tiap
kelompok tersebut terdiri dari siswa-siswa berbagai tingkat kemampuan,
melakukan berbagai kegiatan belajar untuk meningkatkan pemahaman
mereka tentang materi pelajaran yang sedang dipelajari. Setiap anggota
kelompok bertanggung jawab untuk tidak hanya belajar apa yang
diajarkan tetapi juga untuk membantu rekan belajar, sehingga bersama-
sama mencapai keberhasilan. Semua Siswa berusaha sampai semua
anggota kelompok berhasil memahami dan melengkapinya. Model
pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-
tidaknya tiga tujuan pembelajaran yaitu Hasil belajar akademik,
penerimaan terhadap perbedaan individu, dan pengembangan
keterampilan sosial.
Prinsip model pembelajaran kooperatif  yaitu 1) saling ketergantungan
positif; 2) tanggung jawab perseorangan; 3) tatap muka; 4) komunikasi
antar anggota; dan 5) evaluasi proses kelompok (Lie, 2000).
      Manfaat dari Cooperative Learning antara lain: meningkatkan
aktivitas belajar siswa dan prestasi akademiknya, membantu siswa
dalam mengembangkan keterampilan berkomunikasi secara lisan,
mengembangkan keterampilan sosial siswa, meningkatkan rasa percaya
diri siswa, membantu meningkatkan hubungan positif antar siswa.
Model pembelajaran kooperatif memiliki basis pada teori psikologi
kognitif dan teori pembelajaran sosial. Fokus pembelajaran kooperatif
tidak saja tertumpu pada apa yang dilakukan peserta didik tetapi juga
pada apa yang dipikirkan peserta didik selama aktivitas belajar
berlangsung. Informasi yang ada pada kurikulum tidak ditransfer begitu
saja oleh guru kepada peserta didik, tetapi peserta didik difasilitasi dan
dimotivasi untuk berinteraksi dengan peserta didik lain dalam kelompok,
dengan guru dan dengan bahan ajar secara optimal agar ia mampu
mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Dalam model pembelajaran
kooperatif, guru berperan sebagai fasilitator, penyedia sumber belajar
bagi peserta didik, pembimbing peserta didik dalam belajar kelompok,
pemberi motivasi peserta didik dalam memecahkan masalah,  dan
sebagai pelatih peserta didik agar memiliki ketrampilan kooperatif.
@Langkah-langkah dalam Cooperative Learning
                        Langkah-langkah pembelajaran cooperative learning
dapat dituliskan dalam table sebagai berikut:
Langkah Indikator Tingkah Laku Guru
Langkah 1 Menyampaikan tujuan Guru menyampaikan tujuan
dan memotivasi siswa. pembelajaran dan
mengkomunikasikan kompetensi
dasar yang akan dicapai serta
memotivasi siswa.
Langkah 2 Menyajikan informasi Guru menyajikan informasi
kepada siswa
Langkah 3 Mengorganisasikan siswa Guru menginformasikan
ke dalam kelompok- pengelompokan siswa
kelompok belajar
Langkah 4 Membimbing kelompok Guru memotivasi serta
belajar memfasilitasi kerja siswa dalam
kelompokkelompok belajar
Langkah 5 Evaluasi Guru mengevaluasi hasil belajar
tentang materi pembelajaran yang
telah  dilaksanakan
Langkah 6 Memberikan penghargaa Guru memberi penghargaan
n hasil belajar individual dan
kelompok.
@ Pengelolaan Kelas Menurut Model Cooperative Learning
1.     Pengelompokan
1.     Kelompok homogen (Ability grouping) adalah praktik memasukkan
beberapa siswa dengankemampuan yang setara dalam kelompok yang
sama.
2.     Pengelompokan heterogenitas (kemacam-ragaman),dibentuk dengan
memperhatikan keanekaragaman gender, latar belakang sosioekonomi
dan etnik, serta kemampuan akademis.
2.     Semangat gotong-royong
                 Dalam proses pembelajaran ini, agar berjalan secara efektif
maka semua anggota kelompok hendaknya mempunyai semangat
bergotong royong yaitu dengan cara membina niat dan semangat dalam
bekerja sama yaitu dengan beberapa cara: a. Kesamaan Kelompok. b.
Identitas Kelompok c. Sapaan dan Sorak Kelompok.
1.      Penataan ruang kelas
                 Dalam hal ini keputusan guru dalam penataan ruang
disesuaikan dengan kondisi dan situasi ruang kelas dan sekolah.
Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan adalah: a) Ukuran ruang
kelas, b) Jumlah siswa, c)  Tingkat kedewasaan siswa, f) Pengalaman
guru dan siswa dalam melaksanakan metode pembelajaran gotong
royong.
@  Model Evaluasi belajar Cooperative Learning
            Dalam model pembelajaran cooperative learning terdapat tiga
model evaluasi, ketiga model  evaluasi tersebut adalah sebagai berikut:
1.     Model Evaluasi Kompetisi
            Pada sistem peringkat jelas menanamkan jiwa kompetitif, karena
sejak masa awal pendidikan formal, siswa dipacu agar bisa menjadi
lebih baik dari teman-teman sekelas, sehingga siswa yang jauh melebihi
kebanyakan siswa yang dianggap berprestasi, yang kemampuannya
berada di bawah rata-rata kelas dianggap gagal atau tidak berprestasi.
1.     Model Evaluasi Individual                         
            Dalam sistem ini, sistem siswa belajar dengan pendekatan dan
kecepatan yang sesuai dengan kemampuan mereka sendiri. Anak didik
tak bersaing dengan siapa-siapa, kecuali bersaing dengan diri mereka
sendiri. Teman-teman satu kelas dianggap tidak ada karena jarang
interaksi antar siswa di kelas. Berbeda dengan sistem penilaian
peringkat, dalam penyajian individual guru menetapkan standar untuk
setiap murid.
1.     Model Evaluasi Cooperative Learning
            Sistem ini menganut pemahaman  homohomini soclus. Falsafah
ini menekankan saling ketergantungan antar makhluk hidup.
Kerjasama  merupakan kebutuhan yang sangat penting artinya bagi
kelangsungan hidup. Prosedur sistem penilaian Cooperative
Learning   diantaranya adalah tanggung jawab pribadi dan kelompok.
Jadi siswa mendapat nilai pribadi dan nilai kelompok.

XV. WHOLE LANGUAGE (PENDEKATAN HOLISTIK )


  Whole language adalah suatu pendekatan pembelajaran bahasa yang didasari oleh paham constructivism. Dalam whole language bahasa
diajarkan secara utuh, tidak terpisah-pisah; menyimak, berbicara, membaca, dan menulis diajarkan secara terpadu (integrated) sehingga siswa
dapat melihat bahasa sebagai suatu kesatuan.
Jika guru berniat menerapkan whole language guru harus memahami dulu komponen-komponen whole language agar pembelajaran dapat
dilakukan secara maksimal. Komponen whole language adalah reading aloud, jurnal writing, sustain silent reading, shared reading, guided
reading, guided writing, independent reading, dan independent writing. Kelas yang menerapkan whole languagemerupakan kelas yang kaya
dengan barang cetak,  seperti buku, majalah, koran, dan buku petunjuk. Di samping itu, kelas whole language dibagi-bagi dalam sudut-sudut yang
memungkinkan siswa melakukan kegiatan secara individual di sudut-sudut tersebut. Selanjutnya, kelas whole languagemenerapkan penilaian
yang menggunakan portofolio dan penilaian  informal
Whole language adalah dua kata yang telah melalui pengamatan selama pembelajaran berlangsung menjadi simbol munculnya sebuah gebrakan
yang mampu mengubah kurikulum seantero dunia. Dua kata yang mempunyai segudang makna (Watson, 1989). Berikut ini adalah berbagi
karakteristik whole language menurut beberapa para ahli.
1.   Whole language adalah sebuah pandangan positif tentang pembelajar
Konsep whole language beranjak dari pernyataan Dewey tentang hakekat pembelajar. Para penganut whole language berpendapat bahwa 
pembelajar memilki kekuatan, kesanggupan, dan keinginan untuk belajar. Pembelajar adalah peribadi yang kreatif. Ia mampu menyusun,
menciptakan, dan menemukan pemecahan terhadap berbagai persoalan secara aktif. Piaget dan kawan-kawannya telah membuktikan dalam
sebuah penelitiannya bahwa anak-anak terlibat secara aktif dalam memahami dunianya dan berusaha mencoba untuk menjawab berbagai
pertanyaan dan memecahkan berbagai persoalan yang dihadapinya. Lebih lanjut Piaget menjelaskan bagaimana anak-anak memahmai suatu
konsep, ide, dan moral. Seorang anak tidak menunggu seseorang untuk menstansmisikan pengetahuannya kepada mereka, tetapi mereka belajar
melalui aktivitas dan keterlibatan mereka dengan objek-objek di luar dirinya dan menyusun kategori-kategori pemikiran mereka sendiri
sementara mereka mengorganisasikan dunianya. Anak-anak berusaha untuk mengembangkan konse-konsep mereka sendiri, yang kadangkala
terlihat aneh menurut jalan pikiran orang dewasa.
Para penganut whole language mengakui adanya perbedaan di antara pembelajar,  dilihat dari segi budaya, sistem nilai, pengalaman, kebutuhan,
minat, dan bahasa. Perbedaan-perbedaan tersebut bersifat personal sebagai refleksi dari keberagaman manusia, bisa juga bersifat sosial sebagai
refleksi dari suku-suku, budaya, dan sistem budaya dari kelompok sosial di mana pembelajar berada. Oleh karena itu, guru-guru di kelas whole
language menghargai perbedaan di antara para pembelajar. Pembelajar diberi kewenangan untuk bertanggung jawab terhadap apa yang mereka
pelajari dan mendapat dukungan penuh dalam mengembangkan dan memenuhi tujuan pembelajarannya.
2.   Whole language memberikan penegasan tentang peran guru dalam proses pembelajarn.
Para guru penganut whole language menerima pandangan bahawa guru sebagai mediator yang menyediakan fasilitas kepada pembelajar dalam
melaksanakan transaksi dengan duni luar. Guru adalah tenaga profesioanal yang memahami kondisi pembelajar, teori belajar, dan kegiatan
belajar mengajar. Mereka mendukung kegiatan pembelajaran tetapi mereka tidak bertindak sebagai pengontrol dalam pembelajara. Mereka
dengan tegas menolak definisi yang menyebutkan bahwa guru adalah teknisi yang mengelola berbagai macam teknologi untuk disajikan kepada
pembelajar. Meskipun para guru di kelas-kelas whole language adalah yang bertanggung jawab terhadap pertumbuhan para pembelajar, namun
mereka tetap memiliki kewenangan dalam merencanakan, mengorganisasikan, dan memilih sumber-sumber belajar yang diperlukan oleh
pembelajar.
Di kelas-kelas whole language, guru mengajar dengan dan dari pembelajar, guru hanya menyampaikan pengetahuan kepada pembelajar tetapi
juga bersama-sama dengan pembelajar memecahkan berbagai persoalan dan mencari jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan. Para guru
penganut whole language menolak model-model pengajaran efektif yang bersifat membatasi karena mereka memandang bahwa mengajar jauh
lebih kompleks dan komprehensif dari sekedar menerapakan model-model tertentu.
3.   Whole language memandang bahasa sebagai pusat pembelajaran
Keberadaan bahasa disebabkan oleh dua alasan. Pertama, karena manusia sanggup berpikir secara simbolik, mereka mempresentasikan sesuatu
dengan sesuatu yang lain, mereka mampu menciptakan sistem-sistem semiotik. Kedua, karena manusia adalah makhluk sosial yang
menggunakan bahasa sebagai sarana komunikasi dalam kehidupannya. Komunikasi sosial antarmanusia memiliki peranan penting dalam
kehidupan manusia. Dengan dua alasan tersebut, jelaslah bahwa bahasa bagi manusia adalah pusat komunikasi dan berpikir. Vigotsky (1978)
menunjukkan bahwa manusia menginternalisasi bahasa dari interaksi sosial. Dan Hallidy (1975) menyebut belajar bahasa sebagi “belajar
bagaimana memaknai” karena dalam proses belajar bahasa, manusia mempelajari makna sosial bahasa yang terjadi secara simultan, yaitu belajar
bahasa, belajar melalui bahasa, dan belajar tentang bahasa.
Baik di dalam maupun di luar lingkungan sekolah, bahasa lisan dan tulis akan lebih baik dan mudah dipelajari dalam akivitas berbahasa yang
otentik dan dalam peristiwa berbahasa sesuai dengan fungsi bahasa yang sesungguhnya. Dengan alasan ini maka whole language program
menolak pandangan bahwa perkembangan bahasa berawal dari bagian ke keseluruhan. Hal ini berlaku juga untuk aktivitas membaca dan menulis
permulaan. Selain itu, pengajaran membaca, menulis, berbicara, dan menyimak tidak terpisah tetapi terpadu.
4.   Whole language menerapakan kurikulum ganda
Halliday (1984) menyimpulkan bahwa sebenarnya kita belajar melalui bahasa sementara kita belajar bahasa. Kesimpulan inilah yang mendasari
penyusunan kurikulum whole language, yaitu kurikulum ganda, setiap aktivitas, pengalaman, atau unit memiliki kesepakatan dalam
pengembangan linguistik dan sekaligus kognitif. Bahasa dan pikiran berkembang, namun pada saat yang bersamaan pengetahuan dan konsep
dikembangkan sementara skema dibangun.
Para guru penganut whole language menggunakan unit tematik untuk menerapakan penggunaan kurikulum ganda. Mereka bertindak sebagai
“pengamat anak-anak”, memonitor perkembangan bahasa anak-anak pada saat anak-anak atau pembelajar memecahkan persoalan atau menjawab
berbagai pertanyaan. Sebenarnya ini bukan hal baru dalam dunia pendidikan karena whole languagehanya menegaskan kembali konsep “belajar
samabil bekerja” yang dikemukakan oleh Dewey  dan Metode Proyek yang dikembangkan oleh Willian Heard Kilpatrick (dalam Goodman,
1989). Namun para penganut whole language memperbaruinya dengan berdasarkan pada teori-teori dari hasil penelitian, dan kolaborasi
merupakan hal-hal yang sangat mendasar. Dan istilah whole language itu sendiri memilki dua makan, yakni tidak dibagi/tidak terpisah, dan
terpadu.
Pembelajaran whole language mempunyai beberapa strategi dalam pelaksanaannya. Strategi itu antara lain adalah sebagi berikut:
1.  Pencelupan (immersion)
Guru menciptakan lingkungan yang memungkinkan pembelajar melaksanakan program celup dalam kegiatan pembelajaran mereka    sehari-hari
dengan menggunakan: bahasa guru, bahasa teman sebaya, bahasa yang terdapat dalam buku-buku, percakapan informal, bahasa di kelas formal,
bahasa yang terdapat dalam lagu-lagu dan berbagai cerita.
2.  Demonstrasi/peragaan
Guru secara aktif terlibat dalam peragaan pemakaian bahasa, sebagai sumber pengayaan dan data bagi pembelajar dalam memformulasikan
bunyi-bunyi, struktur kalimat, mengembangkan makna, dan memperoleh berbagai konvensi sosial pemakaian bahasa di masyarkat (pragmatic).
Membaca nyaring adalah salah satu aktivitas yang dapat dilakukan oleh guru. Materi bacaan diambildari buku-buku sastra yang bagus dengan
struktur bahasa yang sederhana dan dekat dengan bahasa pembelajar, buku-buku cerita dengan struktur yang kompleks pun perlu di pilih. Dengan
menyimak bahasa yang terdapat dalam cerita, pembelajar mencoba memproduksi bahasa mereka sendiri dan akhirnya kelak mereka dapat
memahani struktur bahasa yang mereka gunakan. Demikian juga ilustrasi dan peristiwa-peristiwa yang dilukiskan dalam buku cerita, meskipun
menggunakan struktur bahasa yang kompleks namun semua berada dalam suatu konteks, sehingga memungkinkan pembelajar menangkap
maknanya. Strikcklan (1973) membuktikan bahwa program membaca nyaring yang dilaksanakan di taman kanak-kanak mampu meningkatkan
kemampuan anak-anak Afrika-Amerika dalam menggunakan bahasa Inggris standar.
Buku-buku alphabet dan buku-buku gambar tanpa kata, buku-buku nonfiksi, lagu-lagu,dan buku-buku yang selaras dengan pengalaman
pembelajar, buku-buku dengan  berbagai gambar yang indah dan menarik dapat dijadikan bahan untuk kegiatan membaca nyaring di kelas-kelas
awal. Buku-buku tersebut juga dapat dijadikan saran untuk melibatkan siswa dalam kegiatan percakapan di antara mereka.
3.  Keterlibatan
Pembelajar harus dilibatkan secara aktif dalam kegiatan pembelajaran. Cambourne menemukan bahwa pembelajar akan senang terlibat dalam
kegiatan pembelajaran apabila: a)  mereka merasa yakin pada kemampuan mereka sendiri, b) mereka percaya bahwa apa yang dilakukan akan
berguna untuk kehidupannya kelas, c) mereka yakin bahwa aktivitas yang dilakukan menyenangkan, dan d) mereka merasa aman, tidak merasa
takut jika berbuat kesalahan
Perasaan “aman sangat penting dalam pembelajarn bahasa. Pembelajar yang berbuat kesalahan kemudian ditertawakan atau diejek oleh teman-
temannya, atau ditegur, disalahkan oleh guru di hadapan teman-tamannya akan menjadikan ia enggan untuk berpartisipasi dalam kegiatan
pembelajaran karena malu dan takut selalu menghantuinya. Di kelas-kelas whole languagediharapkan perasaan aman dalam diri pembelajar ini
harus dijaga agar pembelajar berani mencoba hal-hal baru yang menantang.
4. Harapan
Dalam program whole language, guru seharusnya memiliki harapan yan tinggi bahwa pembelajar akan dapat melaksanakan kegiatan
pembelajaran selaras dengan pola atau frase perkembangan mereka. Guru harus mengkomunikasikan kepada pembelajar bahwa mereka percaya
para pembelajar mampu melaksanakan semua aktivitas pembeljaran. Harapan yang tinggi ini perlu selalu dicanangkan. Namun perlu diingat
bahwa harapan-harapan tersebut harus bersifat realistk dan selaras dengan fase perkembangan belajar.
5.  Tanggung jawab
Keterlibatan pembelajar dalam kegiatan pembelajaran akan semakin meningkat jika tanggung jawab, aproksimasi, dan respon juga hadir alam
kegiatan pembelajaran. Pembelajar harus diberi kesempatan untuk menentukan apa yang mereka pelajari. Tidak seorang pun dapat secara pasti
apa yang seharusnya dipelajari kemudian karena lingkungan dan bakat pembelajar menjadi kendalanya. Pembelajar dan lingkungan yang berbeda
kemungkinan memiliki kecenderungan belajar yang berbeda. Tanggung jawab adalah tentang kapan dan bagaimana mereka harus belajar.
6.  Pemakaian
Belajar bahasa diawali dengan memahami bahasa tersebut, mencoba menggunakannya dan pembelajar juga mempelajari bahasa tersebut pada
saat bahasa tersebut digunakan. Ketiga aktivitas tersebut terjadi secara serentak. Ide inilah yang dipraktekkan di kelas whole language. Di kelas-
kelas whole language, praktek penggunaan bahasa biasanya dilaksanakan secara terpisah dan ditekankan pada ketepatan respon. Sebaliknya, di
kelas whole language praktek penggunaan bahasa dalam konteks yang bermakna lebih ditekankan. Guru melibatkan pembelajar dalam akitivitas
pemakaian bahasa.
Kesempatan untuk berbicara di depan kelas merupakan kondisi yang harus selalu diciptakan karena manfaat bagi pembelajar untuk mempelajari
aspek-aspek pragmatik dan aspek-aspek lainnya dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa. Untuk mengembangkan kemampuan menggunakan
bahasa ini pembelajar memerlukan konteks yang bermakana, misalnya berbicara dengan guru dan kelompok, bermain peran, bercerita, membawa
sesuatu dari rumah dan menceritakannya di kelas.
7.  Aproksimasi
Aproksimasi sangat penting dalam belajar berbicara. Orang tua biasanya menikmati dan senang mendengarkan ucapan-ucapan seorang anak yang
berbicara dengan tata bahasa dan ucapan yang kurang tepat. Orang tua tahu bahwa itu adalah suatu kekeliruan yang merupakan pertanda bahwa ia
sedang dalam proses belajar atau pertanda bahwa anak sedang bereksperimen untuk menggunakan bahasa yang jauh lebih kompleks.
Konsep belajar bahasa seperti itulah yang diterapkan di kelas-kelas whole language. Para guru yakin bahwa kekeliruan merupakan hal yang wajar
dalam proses belajar bahasa. Kekeliruan yang dibuat oleh pembelajar merupakan pertanda bahwa pembelajar sedang dalam proses belajar,
8.   Respon dan umpan balik
Respon dan umpan balik yang diberikan oleh guru memiliki peranan penting dalam proses aproksimasi. Hal ini karena pembelajar yang mencoba
menggunakan bahasa dengan menggunakan cara-cara mereka sendiri untuk menemukan makna tidak akan takut berbuat salah. Keterlibatan guru
secara aktif dalam percakapan dengan pembelajar dapat menjadi model untuk pengembangan sintaksis, semantik, dan pragmatik. Model-model
kebahasaan yang ditampilkan oleh guru dapat membantu pembelajar dalam menumbuhkembangkan kemampuan berbahasa mereka.
Dalam pelaksanaannya, pembelajaran holistik (whole language) mempunyai ciri-ciri tertentu yang antara lain:Respon yang diberikan oleh guru di
kelas hendaknya tidak bersifat mengancam dan menakutkan. Artinya respon tersebut tidak boleh menjadikan siswa merasa malu atau takut untuk
melakukan kegiatan berbahasa pada tahap berikutnya. Untuk itu respon atau umpan balik yang dibrikan oleh guru hendaknya dikaitkan dengan
aktivitas bermakna.
Dalam pelaksanaannya, pembelajaran holistik (whole language) mempunyai ciri-ciri tertentu yang antara lain:
1. murid lebih banyak menggauli sastra
2. murid merasa semakin senang dalam belajar dan menunjukkan tingkat keterlibatan yang semakin tinggi
3. guru berhubungan dengan murid sebagai pembaca dan penulis

XVI.   Sustained Silent Reading


Sustained silent reading adalah kegiatan membaca dalam hati yang dilakukan oleh
siswa. Dalam kegiatan ini siswa diberi kesempatan untuk memilih sendiri buku
atau materi yang akan dibacanya. Pesan yang ingin disampaikan kepada siswa
melalui kegiatan ini adalah :
a.       Membaca adalah kegiatan penting yang menyenangkan;
b.      Membaca dapat dilakukan oleh siapa pun;
c.       Membaca berarti kita berkomunikasi dengan pengarang buku tersebut;
d.      Siswa dapat membaca dan berkonsentrasi pada bacaannya dalam waktu yang
cukup lama;
e.       Guru percaya bahwa siswa memahami apa yang mereka baca;
f.       Siswa dapat berbagi pengetahuan yang menarik dari materi yang dibacanya
setelah kegiatan sustained silent reading berakhir.
SELF DIRECTED LEARNING
Kemandirian (self-direction) merupakan konsep organisasi untuk pendidikan tinggi; dengan demikian kemandirian berkaitan erat
dengan politik pendidikan. SDL memiliki komitmen demokratis terhadap perubahan posisi dan peran peserta didik di mana peserta didik
memegang kontrol yang lebih besar terhadap dirinya sendiri dalam hal konseptualisasi, perancangan, pelaksanaan, dan evaluasi belajar serta
penetapan cara-cara pemanfaatan sumber belajar guna proses belajar lebih lanjut.

Independent learning
Konsep ini mempunyai konotasi belajar dalam keadaan “terisolasi”, atau menggambarkan  peserta didik belajar “sendiri” yang seluruh
kegiatannya (menentukan tujuan belajar, isi, usaha, waktu, evaluasi, dan sebagainya) ditentukan sendiri olehnya. Bantuan dari pihak lain dapat
diterima atau ditolak oleh peserta didik sesuai dengan standar atau kemauan peserta didik tersebut.

Psychological control
Konsep ini mengandung konotasi pentingnya arti psychological independence dalam definisi SDL daripada elemen sosial atau
kurikulum. Konsep ini ada dalam definisi berikut ini: SDL adalah suatu proses mental yang bertujuan, biasanya disertai dan disokong oleh
aktivitas perilaku yang terlibat di dalam identifikasi dan pencarian informasi. Individu secara sadar menerima tanggung jawab untuk menentukan
keputusan tentang tujuan dan usaha, dan dengan demikian menjadi agen perubahan pembelajaran bagi diri sendiri.

Spektrum SDL
Spektrum ini merupakan rentang antara teacher-directed learning (TDL) sampai SELF DIRECTED-LEARNING(SDL). Pada TDL
guru atau instruktur memilih dan menentukan apa saja yang akan diajarkan (dipelajari oleh peserta didik), mengapa hal itu perlu dipelajari,
bagaimana peserta didik mempelajari hal tersebut, kapan, di mana, dan untuk golongan umur berapa.

Incidental self-directed learning


PM model ini dikenalkan pada kursus atau program yang bercirikan TDL, misalnya pada proyek individual atau kursus singkat.

Teaching students to think independently


Kursus atau program yang menekankan kemampuan personal dalam kegiatan eksplorasi, penelusuran, pemecahan masalah (problem
solving) dan aktivitas kreatif (debat, studi kasus, penelitian, percobaan, dramatisasi, kerja lapangan).

Self-managed learning
Kursus atau program yang disajikan melalui panduan bejalar di mana peserta didik belajar secara independen sepenuhnya.

Self-planned learning
Kursus atau program yang memberi kesempatan sepenuhnya kepada individu untuk merancang aktivitas belajar dengan tujuan belajar
yang telah ditentukan.

Self-directed learning
Kursus atau program yang memberi kesempatan kepada individu untuk memilih outcome,merancang aktivitas mereka  sendiri dan
melaksanakan aktivitasnya sesuai  dengan pilihan mereka.

Manfaat SDL
Dari tahun ke tahun SDL makin berkembang dan kemudian bergerak dari situasi perifer menuju ke arus utama pengembangan
manajemen dan bisnis. Sebagian besar program pengembangan saat ini menggunakan elemen SDL dalam rancangan dan pelaksanaan secara
keseluruhan. Secara individual, SDL memiliki daya tarik yang spesifik misalnya kebebasan yang lebih besar untuk memilih, fleksibel, dan
mengakomodasi individu tentang apa yang dikehendaki olehnya.

Tanggung jawab pendidik dalam konteks SDL


 Pendidik mendorong individu untuk membuat pilihan tentang tujuan yang diinginkan
 Pendidik siap memberi bantuan dalam level perorangan, sesuai dengan permintaan bantuan yang bersifat spesifik
 Pendidik menyediakan materi dan sumber belajar yang diperlukan individu
 Pendidik memberi bimbingan, penyuluhan, dan bantuan individu dalam hal penggunaan sumber belajar agar diperoleh hasil yang
paling baik
Untuk individu yang baru mengenal disiplin PM maka kepada mereka perlu diberikan latihan awal yang meliputi hal-hal sebagai berikut:
 Ketrampilan belajar dalam hal perencanaan: apa, kapan, dan bagaimana cara belajar
 Tanggung jawab individu dalam manajemen pengembangan diri
 Mengenal dan memanfaatkan kesempatan untuk belajar dan pengembannya dari hari ke hari
 Menghubungan SDL dengan pekerjaan yang akan ditekuni serta pengembangannya dalam jangka panjang.
 Memilih dan menggunakan materi dan sumber lainnya secara tepat dan efektif

Resistensi pendidik terhadap SDL


Resistensi pendidik terhadap SDL bukanlah barang baru. Berbagai macam alasan dilontarkan oleh para pendidik yang menolak
diberlakukannya SDL. Namun demikian, dari berbagai macam alasan tadi dapat diringkas menjadi dua hal pokok, ialah miskonsepsi terhadap
terminologi SDL dan kesenjangan antara “kepercayaan” yang dianut dengan kenyataan di dalam praktik mengajar.

Beberapa tips berkenaan dengan SDL


 Pendidik beralih fungsi, menjadi fasilitator proses belajar dan siap membantu peserta didik, bukan lagi sebagai director of learning.
 Pada awalnya pendidik memberi sedikit pengarahan di dalam kelas, memberi tugas untuk dikerjakan oleh peserta didik, merancang
presentasi untuk suatu seminar, dan bersama-sama peserta didik menyusun tujuan belajar di mana peserta didik dapat menambah, merevisi, atau
bahkan menolaknya.
 Sebagian besar pendidik mengalami proses yang berulang. Dari pengalaman ini dapat ditarik kesan bahwa pada awalnya para peserta
didik mengalami rasa cemas atau ketidakpastian, atau kadang-kadang merasa “tertipu”.
 Peserta didik memerlukan penjelasan secara bertahap tentang SDL, khususnya tentang bagaimana caranya belajar untuk dapat menjadi
mandiri dalam belajar. Kepada para peserta didik perlud diberikan catatan tentang filosofi SDL.
 Pada awalnya peserta didik akan merasa canggung, tidak nyaman, dan bahkan bingung; pada saat itu peserta didik mengharapkan para
pengajar bertindak sebagai expert.
 Adalah hal biasa apabila pada awal proses pembelajaran ada peserta didik yang mudah marah (uring-uringan) karena mereka belum
tahu akan apa yang harus mereka kerjakan. Hal ini dapat diatasi dengan menyediakan instruksi, handout, agenda, atau arahan yang diberikan
mingguan.
 Pada awal pembelajaran sangat diperlukan adanya pertemuan dan diskusi antarpeserta didik dan antara peserta didik dengan pengajar
tentang situasi belajar yang terasa aneh bagi mereka.
 Peserta didik tertentu dapat merasa sangat canggung  dengan situasi pembelajaran yang berlaku sehingga mereka ingin mengundurkan
diri dari institusi, Hal ini dapat diatasi dengan penyuluhan secara lisan maupun melalui media cetak.
 Secara bertahap para peserta didik diberi kebebasan (otonomi) yang lebih besar dan diberi hak untuk menentukan keputusan oleh
mereka sendiri; semuanya dalam koridor deadlines for assignments.
 SDL melibatkan pengetahuan dan pengalaman terdahulu. Dengan perkataan lain, SDL memerlukan prior knowledge dan prior
experience.
 Self-evaluation merupakan bagian penting dalam pelaksanaan SDL karena self-evaluation merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
kehidupan professional dan sangat diperulakn untuk life long learning.

Ringkasan
SELF DIRECTED LEARNING merupakan proses pembelajaran yang menuntut peserta didik menjadi subyek yang harus merancang,
mengatur dan mengontrol kegiatan mereka sendiri secara bertanggung jawab. Hal ini bertolak belakang dengan prinsip pembelajaran yang
disebut sebagai teacher-directed learning. Namun demikian, institusi pendidikan tetap bertanggung jawab sepenuhnya, baik secara teknis, fisik,
dan moral, terhadap seluruh program pendidikan yang ditawarkan kepada para peserta didik.
SDL menuntut peserta didik untuk menentukan tujuan belajar mereka sendiri,  merancang strategi untuk mencapai tujuan belajar, dan
kemudian merancang metoda evaluasi terhadap hasil belajar yang telah mereka capai. Tujuan belajar merupakan hal yang sulit untuk dirancang
sehingga pengajar atau instruktur harus membantu peserta didik dalam perancangan tujuan belajar.
SDL memerlukan negosiasi dalam perancangan pembelajaran secara keseluruhan. Perancangan pembelajaran ini merupakan alat yang
fleksibel tetapi efektif untuk membantu peserta didik dalam penentuan tujuan belajar secara individual. Tanggung jawab peserta didik dan
pengajar harus dibuat secara eksplisit dalam perancangan pembelajaran. Partisipasi para peserta didik dalam penentuan tujuan belajar akan
membuat mereka menjadi committed terhadap proses pembelajaran.

Metode Alami (Natural Method)


Metode alami (Natural Method) disebut demikian karena dalam proses belajar, siswa dibawa ke alam seperti halnya pelajaran bahasa ibu sendiri
Dalam pelaksanaannya metode ini tidak jauh berbeda dengan metode langsung (direct) dimana guru menyajikan materi pelajaran langsung dalam
bahasa asing tanpa diterjemahkan sedikitpun, kecuali dalam hal-hal tertentu di mana kamus dan bahasa anak didik dapat digunakan.
Ciri Metode Natural ini antara lain :
Urutan pelajaran mula-mula diberikan melalui menyimak/mendengarkan (listening) baru kemudian percakapan (speaking), membaca (reading)
menulis atau (writing) terahir baru gramatika
Pelajaran disajikan mula-mula memperkenalkan kata-kata yang sederhana yang telah diketahui oleh anak didik, kemudian memperkenalkan
benda-benda mulai dari benda-benda yang ada di dalam kelas, dirumah dan luar kelas, bahkan mengenal luar negeri atau negara-negara asing
terutama Timur Tengah.
Alat peraga dan kamus yang dapat digunakan sewaktu-waktu sangat diperlukan, misalnya untuk menjelaskan dan mengartikan kata-kata sulit
dalam bahasa asing, dan memperbanyak perbendaharaan kata-kata atau memperkaya Vocabulary sebagai syarat utama menguasai bahasa asing
Oleh karena kemampuan dan kelancaran membaca dan bercakap-cakap sangat diutamakan dalam metode ini maka pelajaran gramatikal (tata
bahasa) kurang diperhatikan
Kebaikan Metode Natural
Kebaikan metode ini antara lain :
Pada tingkat lanjutan metode ini sangat efektif, karena setiap individu siswa dibawa ke dalam suasana lingkungan sesungguhnya untuk aktif
mendnegarkan dan menggunakan percakapan dalam bahasa asing
Pengajaran membaca dan bercakap-cakap dalam bahasa asing sangat diutamakan, sedangkan pelajaran gramatika diajarkan sewaktu-waktu saja
Pengajaran menjadi bermakna dan mudah diserap oleh siswa, karena setiap kata dan kalimat yang diajarkan memiliki konteks (hubungan) dengan
dunia (kehidupan sehari-hari) siswa/anak didik
Segi kekurangan metode ini antara lain :
Siswa merasa kesulitan belajar apabila belum memiliki bekal dasar bahasa asing terutama pada pada tingkat-tingkat pemula, sehingga
penggunaan/ pemakaian bahasa asli siswa tidak dapat dihindari. Dengan demikian tujuan semua dari metode ini untuk membaca dan bercakap-
cakap selalu dalam bahasa asing sulit diterapkan secara murni, tapi harus diterapkan secara konsekuen
Pada umumnya anak didik dan guru bersikap tradisional mengutamakan gramatika lebih dahulu daripada membaca dan percakapan sesuatu hal
yang salah secara alamiah yang amat perlu diubah
Pada umumnya pengajaran bahasa asing di sekolah-sekolah kita sangat terasa kekurangan macam-macam media/alat peraga yang diperlukan;
yang seyogyanya para guru harus aktif membuatnya
Guru yang kurang memiliki kemampuan dan pengalaman praktis dalam berbahasa asing merupakan faktor sulitnya diterapkan dan berhasil secara
baik metode tersebut. Guru haruslah seorang yang aktif berbicara di dalam bahasa asing tersebut, barulah murid-muridnya akan mampu pula aktif
di dalam belajar (praktek) bahasa.
PENGAJARAN BAHASA DENGAN METODE SILENT WAY,

1. Pendahuluan
Silent Way adalah nama suatu metode pengajaran bahasa yang ditemukan oleh Caleb Gattegno.
Hipotesis-hipotesis pembelajaran yang mendasari metode Gattegno ini adalah:
1. Pembelajaran dipermudah jika si pembelajar mendapatkan atau menciptakan hal baru dibandingkan dengan mengingat dan mengulang
apa yang harus dipelajari.
2. Pembelajaran dipermudah dengan menggunakan objek fisik.
3. Pembelajaran dipermudah dengan pemecahan masalah yang melibatkan materi yang diajarkan.
Menurut Jerome Bruner, seorang filsuf dan psikolog pendidikan, pengajar dan pembelajar berada dalam posisi yang lebih kooperatif. Pembelajar
bukanlah hanya pendengar melainkan juga ikut berperan aktif dalam pembelajaran. (Bruner 1966:83). Hal ini sesuai dengan Silent Way yang
memandang pembelajaran sebagai suatu aktivitas pencarian hal baru yang kreatif dan aktivitas pemecahan masalah, di mana si pembelajar
menjadi pelaku utama. Keuntungan dari cara pembelajaran ini adalah a) meningkatnya potensi intelektual, b) bergesernya pemahaman dari
ekstrinsik ke intrinsik, c) pembelajaran melalui penemuan oleh diri sendiri, d) membantu fungsi memori.
Silent Way juga dikaitkan dengan serangkaian premis yang disebut sebagai “pendekatan-pendekatan problem solving pada pembelajaran”.
Premis-premisnya ini terwakili oleh ucapan Benjamin Franklin:
Tell me and I forget
Teach me and I remember,
Involve me and I learn
1. Prinsip-Prinsip Dasar Silent Way dalam Pengajaran Bahasa
Seperti metode-metode lainnya, Gattegno menjadikan pemahamannya terhadap proses pembelajaran bahasa pertama sebagai dasar untuk
membuat prinsip-prinsip mengajar bahasa asing bagi orang dewasa. Gattegno menganjurkan agar pembelajar kembali ke cara bayi belajar.
Gattegno mengusulkan artificial approach yang didasarkan pada prinsip bahwa pembelajaran yang berhasil melibatkan sebuah komitmen diri
pada pemerolehan bahasa melalui kesadaran dan uji coba aktif. Penekanan Gattegno yang berulang-ulang pada lebih pentingnya pembelajaran
daripada pengajaran, menempatkan komitmen dan prioritas diri pembelajar sebagai fokus.
Diri yang dimaksud di sini terdiri atas dua sistem, yaitu sistem pembelajaran dan sistem pemerolehan. Sistem Pembelajaran diaktifkan oleh
kesadaran intelegensi. Silence dianggap sebagai cara yang terbaik untuk pembelajaran, karena dengan silence para pembelajar berkonsentrasi
pada tugas yang diselesaikan dan cara-cara potensial untuk penyelesaiannya. Silence, yang menghindari pengulangan, menjadi alat bantu bagi
kesadaran, konsentrasi, dan  kesiapan mental.
Sistem Pemerolehan memungkinkan kita untuk mengingat unsur-unsur bahasa dan prinsip-prinsipnya, dan memungkinkan komunikasi bahasa
berlangsung. Pemerolehan dengan upaya mental, kesadaran, dan kebijaksanaan lebih efisien daripada pemerolehan melalui pengulangan mekanis.
Kesadaran dapat diajarkan. Ketika seseorang belajar ‘secara sadar’, kekuatan kesadaran seseorang dan kapasitasnya untuk belajar menjadi lebih
besar. Karena itu, Silent Way menyatakan bahwa hal tersebut mempermudah apa yang disebut para psikolog sebagai Learning to
learn. Rangkaian proses yang membangun kesadaran berasal dari perhatian, penggunaan, perbaikan diri, dan penyerapan. Kegiatan koreksi diri
melalui kesadaran diri inilah yang membuat Silent Way berbeda dari metode pembelajaran bahasa yang lain.
Tetapi Silent Way bukanlah semata-mata sebuah metode pengajaran bahasa. Gattegno melihat pembelajaran bahasa melalui silent way sebagai
pengembalian potensi dan kekuatan diri. Tujuan Gattegno bukanlah sekedar pembelajaran bahasa kedua, melainkan pendidikan untuk kepekaan
dan kekuatan spiritual individu.
Tujuan umum Silent Way adalah mengajarkan pembelajar bagaimana cara belajar bahasa, dan keterampilan-keterampilan yang dikembangkan 
melalui proses pembelajaran bahasa asing atau bahasa kedua dapat digunakan untuk mempelajari segala hal lain yang belum diketahui.
1. Penutup
Meskipun karya Gatte

Anda mungkin juga menyukai