Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Ilmu Fiqih Dan Ushul Fiqih
Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Ilmu Fiqih Dan Ushul Fiqih
Kata taqliid ( )َت ْقلِ ْي ٌُُدadalah mashdar dari qallada – yuqallidu ( ُي َقلِّ ُد- ) َقلَّ َد. Secara
bahasa, ia adalah bermakna :
“Definisi ilmu menurut ulama adalah : Sesuatu yang kamu perdalami dan
kamu pahami, dan setiap orang yang mendalami sesuatu dan memahaminya
maka sesungguhnya dia mengetahui. Atas dasar ini, maka orang yang tidak
mendalami sesuatu, lalu ia mengatakannya karena taqlid, maka dia tidak
mengetahuinya. Sedangkan taqlid menurut ulama adalah bukan ittiba’
(mengikuti). Sebab ittiba’ adalah bila kamu mengikuti orang yang berpendapat
tentang sesuatu yang telah kamu ketahui keshahihan (kebenaran)
pendapatnya. Sedangkan taqlid adalah bila kamu mengatakan pendapat
seseorang dan kamu tidak mengetahui arah dan arti pendapat tersebut”
[selesai].
Bahkan Ibnu Abdil-Barr menulis dalam kitabnya tersebut satu bab khusus
yang berjudul : Kerusakan Taqlid dan Penafikannya; Serta Perbedaan Antara
Taqlid dan Ittiba’ [ ]باب فساد التقليد ونفيه والفرق بين التقليد واالتباع. Pada bab tersebut beliau
menukil perkataan salah seorang pembesar ulama Malikiyyah yang bernama :
Abu Abdillah bin Khuwaiz Mindad Al-Bashri Al-Maliki :
وقال أبو عبد اهلل بن خويز منداد البصري المالكي التقليد معناه في الشرع الرجوع إلى قول ال حجة لقائله عليه وذلك ممنوع منه في
الشريعة واالتباع ما ثبت عليه حجة وقال في موضع آخر من كتابه كل من ابتعت قوله من غير أن يجب عليك قوله لدليل يوجب ذلك
فأنت مقلده والتقليد في دين اهلل غير صحيح وكل من أوجب عليك الدليل اتباع قوله فأنت متبعه واالتباع في الدين مسوغ والتقليد
ممنوع
Dan berkata Abu ‘Abdillah bin Khuwaiz Mindad Al-Bashri Al-Maliki : “Makna
taqlid dalam syari’at adalah merujuk suatu pendapat yang tidak memiliki
hujjah, dan yang demikian itu adalah dilarang dalam syari’at. Sedangkan
ittiba’ adalah (merujuk) pada satu pendapat yang disertai hujjah (dalil)”. Dan
beliau berkata di tempat yang lain : “Setiap orang yang Engkau ikuti
perkataannya tanpa ada dalil yang mengharuskan hal itu, maka Engkau
adalah orang yang taqlid kepadanya. Sementara taqlid tidaklah dibenarkan
dalam agama Allah. Setiap orang yang Engkau ikuti karena adanya dalil yang
mengharuskan Engkau mengikuti pendapatnya, maka Engkau dianggap ittiba’
(mengikutinya). Ittiba’ adalah hal yang diperkenankan dalam agama
sedangkan taqlid adalah hal yang dilarang” [selesai – lihat Jami’u
Bayanil-‘Ilmi wa Fadhlihi2/117].
Bagaimana bisa seorang yang taqlid (muqallid) dinamakan sebagai orang yang
berilmu padahal ia hanya mendasarkan perkataan dan perbuatannya hanya
dengan konsep “ikut-ikutan” ? Hakekat seorang muqallid , tidaklah
membangun amalnya dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan pengetahuan ijma’.
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/07/taqlid-dan-sedikit-penjelasan-tentang.html
Ilustrasi (muxlim.com)
Logis dan riilnya: Apa yang bias dilakukan oleh seorang muslim
yang awam, dan tersibukkan dengan urusan pekerjaan? Apa yang
bisa dilakukan seorang arsitek, dokter, dll jika menghadapi
masalah agama? Apakah kita mengharuskannya untuk mengkaji
buku-buku tafsir, dan hadits untuk mendapatkan nash atau tidak?
Lalu jika tidak menemukan maka harus merujuk kepada buku-
buku bahasa, agar memahaminya. Jika menemukan lebih dari
satu nash maka harus mentarjih salah satunya. Dan ini tidak akan
terjadi kecuali setelah melakukan kajian panjang, mengetahui
nasakh mansukh, dll. Jika tidak menemukan nash, kita haruskan
berijtihad. Sementara seseorang tidak akan bisa berijtihad jika
tidak memiliki kemampuan ijtihad.
Ada yang mengatakan bahwa hal ini bukan taqlid tetapi ittiba’
karena pengikut itu mengetahui dalilnya dan menerimanya. Kami
katakana: Mengapa para ulama itu tidak mengenali dalil ulama
lain dan menerimanya? Apakah ketika seseorang menerima dalil
salah seorang ulama dianggap tidak ada nilainya karena berbeda
dengan ulama lainnya? Apa bedanya hal ini dengan para pengikut
yang menerima dalil yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip
yang benar, dengan para pengikut taqlid tanpa bertanya tentang
dalilnya, karena dia menyadari ketidakmampuannya untuk
menerima atau menolak dalil?
f. Diperbolehkan Talfiq
– Bersambung
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/03/02/19156/penganta
r-fiqih-bagian-ke-4-sejarah-perkembangan-fiqih-islam-taqlid-dan-
talfiq/#ixzz3GE0lOekk
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook
http://www.dakwatuna.com/2012/03/02/19156/pengantar-fiqih-bagian-ke-4-sejarah-
perkembangan-fiqih-islam-taqlid-dan-talfiq/#axzz3GDoETfMU