Anda di halaman 1dari 14

Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih

Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Fiqh dan Ushul Fiqh


A.    SEJARAH PERTUMBUHAN FIQH ISLAM
          Pertumbuhan Fiqh atau Hukum Islam sampai sekarang dapat dibedakan kepada
beberapa periode, seperti dibawah ini:
1.      Periode Rasulullah, yaitu periode insya’ dan takwin (pertumbuhan dan pembentukan) yang
berlangsung selama 22 tahun dan beberapa bulan, yaitu terhitung sejak dari kebangkitan
Rasulullah tahun 610 M sampai dengan kewafatan beliau pada tahun 632 M.
Sejarah pertumbuhan hukum islam dimasa Rasulullah berdasarkan wahyu yang Allah
turunkan kepada Nabi Muhammad SAW, melalui malaikat Jibril secara berangsur-angsur
yang dimulai dari Mekkah dan diakhiri di Madinah, kalau belum turun ayat al-Qur’an
mengenai sesuatu masalah, maka Nabi mengadakan ijtihad yang mendalam, sehingga
akhirnya ijtihad beliau sesuai dengan ayat al-Qur’an, yang diturunkan kemudian. Berarti
ijtihad Rasul dan sunnahnya tidak ada yang berlawanan dengan wahyu Allah. Disamping
Nabi sendiri adalah sebagai sumber hukum, sebab segala sesuatu yang dilakukan Nabi adalah
contoh yang baik bagi umatnya.
2.      Periode Sahabat, yaitu periode tafsir dan takmil (penjelasan dan penyempurnaan) yang
berlangsung selama 90 tahun kurang lebihnya, yaitu terhitung mulai awal kewafatan Rasul
pada tahun 11 H sampai dengan akhir abad pertama Hijriah (101 H atau 632-720 M).
Pertumbuhan hukum Islam pada masa sahabat, adalah karena Nabi telah meninggal, maka
persoalan hukum atau fiqh dikembalikan kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Di masa
sahabat para penganut islam telah bertambah banyak dan daerahnya telah bertambah luas.
Pada tempat-tempat yang baru memeluk Agama Islam itu terjadi berbagai masalah. Untuk
menyelesaikan masalah itu para sahabat kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah. Apabila
masalah hukum/fiqh tidak dijumpai penyelesaiannya di dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi,
maka para sahabat mengadakan ijtihad yang mendalam. Dan hasil dari ijtihad para sahabat
dapat dipercaya dan menjadi sumber hukum syara’ atau fiqh islam.
3.      Periode Tadwin (pembukuan) dan munculnya para imam mujtahid, dan zaman
perkembangan serta kedewasaan hukum, yaitu berlangsung selama 250 tahun, yaitu terhitung
mulai tahun 100 H sampai tahun 350 H (720-961 M).
Pada saat ini adalah zaman kemajuan di bidang hukum Islam. Ini disebabkan banyaknya
masalah-masalah hukum yang harus diselesaikan, yang terjadi pada beberapa daerah Islam
yang meluas itu. Para Tabiin-tabiin dimasa ini banyak yang berijtihad, sehingga mereka
menjadi mujtahid-mujtahid besar dalam Islam. Semuanya itu telah menjadi sebab bagi
tumbuhnya suatu golongan ahli dalam ilmu Islam, yang kemudian terkenal dengan sebutan
“faqih” (lebih dari satu fuqaha’) yang mempunyai pengaruh besar dalam perkembangan
Islam selanjutnya.
Di antara mujtahid-mujtahid yang terkenal itu adalah:
a.       Imam Abu Hanifah, seorang ‘alim keturunan Persia, lahir di Basrah tahun 80 H (699 M)
bekerja dikuffah dan meninggal tahun 150 H (767 M). Abu hanifah terkenal sebagai Ahli al
Ra’yu.
b.      Imam Malik ibn Anas, lahir di Madinah tahun 93 H (713 M) dan meninggal tahun 179 H
(795 M). Imam Malik terkenal sebagai ahli Hadits. Bukunya yang terkenal/termasyhur ialah
yang bernama “Muwaththa”.
c.       Imam Muhammad ibn Idris Al Syafei. Dilahirkan di Palestina tahun 150 H (767 M) dan
meninggal pada tahun 204 H (802 M) di Mesir. Beliau adalah pendiri Mazhab Imam Syafe’i,
terkenal seorang yang besar jasanya, terutama bukunya yang terkenal sampai
sekarang ialah Al-Umm. Buku inilah yang menjadi dasar dari ilmu yang dikembangkannya
bernama “Ushul Al Fiqh”.
d.      Imam Ahmad ibn Hambali, lahir di Bagdad tahun 164 H (776 M) dan meninggal tahun 241
H (855 M). Ia terkenal sebagai ahli Hadits. Bukunya yang terkenal bernama “Musnad Ahmad
ibn Hambal”, yang berisi 30.000 hadits. Beliau adalah pendiri Mazhab Hambali.
4.      Periode Taqlid, yaitu periode kebekuan dan statis yang berlangsung mulai pertengahan abad
empat hijriah (351 H) dan hanya Allah yang mengetahui kapan berakhirnya periode ini.
Periode taqlid lahir pada abad ke 4 H (tahun ke 12 M), yang berarti sebagai penutupan
periode ijtihad atau periode tadwin (pembukuan). Mula-mula masa kemunduran dalam
bidang kebudayaan Islam, kemudian berhentilah perkembangan hukum Islam atau fiqh Islam.
Sebelum periode taqlid, dikenal dengan masa periode ijtihad. Pengertian ijtihad secara sempit
menurut imam Syafe’i ialah ijtihad dengan Qiyas. Ijtihad itu menjalankan Qiyas terhadap
sesuatu hukum kepada hukum yang lainnya.
Pengertian ijtihad secara luas antara lain:
1.      Kata ahli Tahqieq: Ijtihad itu, ialah: Qiyas dan mengeluarkan (mengistimbathkan) hukum
dari kaidah-kaidah syara’ yang umum.
2.      Kata sebagian ulama Ushul: Ijtihad itu, ialah mempergunakan segala kesanggupan untuk
mengeluarkan hukum syara’ dari Kitabullah dan Hadits Rasul.
Untuk memahami periode taqlid, maka lebih dahulu akan dikemukakan pengertian taqlid
yang berlangsung pada masa periodenya. Maka pengertian taqlid dalam abad taqlid ialah:
“Menerima hukum yang dikumpulkan oleh seseorang mujtahid dan memandang pendapat
mereka seolah-olah nash Syara’ sendiri.
Dalam periode taqlid ini, kegiatan para ulama Islam banyak mempertahankan ide dan
mazhabnya masing-masing. Perasaan taqlid telah meresap di dalam jiwa mereka dan ruh
taqlid.
Sebab-sebab timbulnya periode taqlid ini adalah sebagaimana dikemukakan oleh Abdul
Wahab Kallaf dalam kitabnya Khulusul Tarikh Al Tasyri’ Al Islami, terjemahan H. A. Aziz
Masykuri, yang intinya disebutkan sebagai berikut:
1.      Terbagi-baginya Daulah Islamiyah ke dalam sejumlah kerajaan-kerajaan yang saling
bermusuhan para rajanya, penguasanya dan personil/rakyatnya.
2.      Sesudah terpecah-pecahnya para imam mujtahid dalam periode ketiga menjadi beberapa
golongan dan masing-masing golongan memiliki suatu aliran hukum sendiri.
3.      Sesudah umat Islam mengaturkan perundang-undangan, dan mereka tidak meletakkan
peraturan yang menjamin, seperti dibenarkan mujtahid kecuali yang di pandang ahli untuk
itu.
4.      Bahwasanya sudah tersebar luas di kalangan para ulama berbagai penyakit moral yang
menghalangi mereka dari ketinggian derajat ijtihad. Dikalangan mereka sudah merata
penyakit saling menghasut dan egoism (mementingkan diri sendiri).
Ijtihad ulama yang bukan mujtahid akhirnya membawa kemunduran dan kekacauan di bidang
hukum Islam. Orang-orang pada masa itu kembali kepada tradisional, bukan kepada al-
Qur’an dan Sunnah. Ulama yang mujtahid tidak menutup ijtihad, tetapi karena besarnya
pengaruh taqlid tersebut akhirnya menimbulkan paham statis dalam hukum Islam yang
pengaruhnya masih ada dirasakan pengaruhnya sampai sekarang di kalangan masyarakat
Islam.

B.     SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN ILMU USHUL FIQH


          Ushul fiqh asal artinya sumber atau dasar. Dasar dari fiqh adalah Ushul Fiqh, berarti
Ushul Fiqh itu asas atau dalil fiqh yang diambil dari al-Qur’an dan Sunnah. Ushul Fiqh ini
sebenarnya sudah ada semenjak Rasulullah SAW.
1.      Orang yang Mula-mula Menciptakan Ilmu Ushul Fiqh
          Orang yang mula-mula menciptakan ilmu Ushul fiqh adalah Imam Syafe’i. Beliau
menulis sebuah risalah yang dijadikannya sebagai Muqaddimah bukunya yang
bernama Kitab Al-Umm. Jadi dengan demikian Imam Syafe’i adalah pendiri dan pencipta
utama tentang Ilmu Ushul Fiqh.
          Usahanya itu diikuti oleh tiga orang ulama yang termasyhur diantaranya:
a.       Abul Hassan Muhammad bin ‘Alal Bashariy As Syafe’iy yang meninggal pada tahun 463 H,
sedangkan bukunya bernama Al-Mu’tamad.
b.      Abu Ali Abdul Malik bin Abdullah An Naisaburiy yang dikenal dengan Imam Harmaini,
meninggal pada tahun 478 H, dengan bukunya “Al-Burhan”.
c.       Abu Hamid Al-Ghazaliy, meninggal pada tahun 505 H, bukunya “Al-Mushtasfa”.
          Sesudah tiga orang tersebut di atas diiringi oleh dua orang ulama yang terkenal, dia
menyimpulkan isi buku-buku para ulama terdahulu itu dalam buku mereka masing-masing di
antara mereka itu adalah:
a.       Imam Raziy, meninggal pada tahun 606 H, bukunya “Al-Mahsul” dan
b.      Imam Amadi, meninggal pada tahun 631 H, bukunya “Al-Ahkam”.
          Selanjutnya Ulama-ulama ini diiringi pula oleh ulama lainnya untuk membuat karya,
sedangkan karyanya itu bukan bersifat kutipan, tetapi masing-masing mereka mengemukakan
pendapat mereka yang kadang-kadang tidak sesuai dengan pendapat-pendapat para ulama
sebelumnya itu adalah: Murid Imam Syafe’i, mereka buat satu cara terpenting/tertentu untuk
menerapkan dalil-dalil hukum yang buatnya sendiri tanpa mengacuhkan dan mencari
persesuaian dengan furu’-furu’ mazhab ataupun menyalahinya.
          Dan yang lain, dari murid-murid Hanafi, cara mereka menyusun adalah dengan
mengusahakan untuk menyesuaikan furu’-furu’ Mazhab yang mereka susun itu dengan
peraturan-peraturan yang telah ditetapkan satu undang-undang, maka mereka berusaha untuk
menyesuaikannya, tetapi sungguhpun begitu, sekarang kita lihat kenyataannya Ushul
Hanafiyah dipenuhi dengan furu’ (cabang) yang banyak.
          Pada zaman Mutaakhirin sekarang ini golongan Syafe’i dan yang lainnya, mereka
menulis dalam sebuah kesimpulan dan kumpulan buku serta dipenuhi dengan pendapat-
pendapat, antara pendapat golongan Syafe’i dan golongan Hanafiy. Di antara mereka yang
mengumpulkan itu adalah:
a.       Tajuddin As-Subkiy dalam bukunya Jam’ul Jawami.
b.      Ibnul Himan dalam bukunya “At-Thahrir”, sedangkan penulisnya tidak menambah
keterangan-keterangan yang telah berlalu itu, malahan membahas mengenai kalimat-
kalimatnya
          Kemudian disusul pula oleh seorang Ulama pengarang Ilmu Ushul Fiqh Qadhi
Muhammad bin Ali bin Muhammad As-Syaukaniy yang meninggal pada tahun 1255 H, nama
bukunya Irsyadul Fuhul ila Tabaqquqi min Ushulil Fiqh isinya yang terpenting dalam
bukunya itu dalil-dalil (alasan) ahli ushul dengan menyalahi pendapat-pendapat yang
terdahulu, menetapkan hukum terhadap yang telah benar dan menguatkan yang telah kuat
dalam bentuk pemikirannya dengan tidak menyebutkan pendapat si anu dan yang lain-
lainnya.
          Dengan tiba-tiba datang lagi seorang murid dari Qadhi Muhammad bin Ali bernama
As-Said Muhammad Shadi Hasan yang menghianatinya kemudian dinyatakannya dalam
Hushulul Ma’mul min ‘Ilmi Ushul.
http://dhaichi.blogspot.com/2011/08/sejarah-pertumbuhan-dan-perkembangan.html

Taqlid dan Sedikit Penjelasan Tentang


Perbedaannya dengan Ittiba'
Diposkan oleh Abu Al-Jauzaa' : di 07.48 
Label: Manhaj
Definisi Taqlid

Kata taqliid (‫ )َت ْقلِ ْي ٌُُد‬adalah mashdar dari qallada – yuqallidu (‫ ُي َقلِّ ُد‬- ‫) َقلَّ َد‬. Secara
bahasa, ia adalah bermakna :

‫وضع الشيء في العنق محيطاً به كالقالدة‬

”Meletakkan sesuatu di leher dengan melilitkannya seperti kalung” [ Al-Ushul


min ’Ilmil-Ushuloleh Ibnu ’Utsaimin hal. 49 – Maktabah Al-Misykah. Definisi
yang serupa dikatakan pula oleh Asy-Syinqithi dalam Mudzakaratu Ushuulil-
Fiqh hal. 305 – Cet. Multaqaa Ahlil-Hadiits].

Adapun secara istilah (syari’at) taqliid bermakna :

‫قبول قول الغير من غير معرفة دليله‬

”Menerima satu perkataan tanpa mengetahui dalilnya” [Mudzakaratu Ushuulil-


Fiqh hal. 306 – Cet. Multaqaa Ahlil-Hadiits].

‫اتباع من ليس قوله حجة‬

”Mengikuti orang yang perkataannya bukan hujjah” [Al-Ushul min ’Ilmil-


Ushul oleh Ibnu ’Utsaimin hal. 49 – Maktabah Al-Misykah].

‫العمل بقول الغير من غير حجة‬

”Satu perbuatan yang didasarkan oleh satu perkataan tanpa hujjah”


[Irsyaadul-Fuhuul oleh Asy-Syaukani juz 2 hal. 51 – Maktabah Al-Misykah].

Al-Amidy mendefinisikan hal yang mirip dengan Asy-Syaukani [Ihkaamul-


Ahkaam 4/220].

Apakah taqlid itu terpuji dalam ilmu ?

Al-Hafidh Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah dalam kitabnya yang masyhur : Jami’u


Bayanil-‘Ilmi wa Fadhlihi juz 2 hal. 36-37 mengatakan :
‫العلم عند العلماء المتكلمين في هذا المعنى هو ما استيقنته وتبينته وكل من استقن شيئا وتبينه فقد علمه وعلى هذا من لم يستيقن الشيء‬
‫وقال به تقليدا أفلم يعلمه والتقليد عند جماعة العلماء غير االتباع ألن االتباع هو ان تتبع القائل على ما بان لك من فضل قوله وصحة‬
‫مذهبه والتقليد أن تقول بقوله وأنت ال تعرفه وال وجه القول وال معناه‬

“Definisi ilmu menurut ulama adalah : Sesuatu yang kamu perdalami dan
kamu pahami, dan setiap orang yang mendalami sesuatu dan memahaminya
maka sesungguhnya dia mengetahui. Atas dasar ini, maka orang yang tidak
mendalami sesuatu, lalu ia mengatakannya karena taqlid, maka dia tidak
mengetahuinya. Sedangkan taqlid menurut ulama adalah bukan ittiba’
(mengikuti). Sebab ittiba’ adalah bila kamu mengikuti orang yang berpendapat
tentang sesuatu yang telah kamu ketahui keshahihan (kebenaran)
pendapatnya. Sedangkan taqlid adalah bila kamu mengatakan pendapat
seseorang dan kamu tidak mengetahui arah dan arti pendapat tersebut”
[selesai].

Bahkan Ibnu Abdil-Barr menulis dalam kitabnya tersebut satu bab khusus
yang berjudul : Kerusakan Taqlid dan Penafikannya; Serta Perbedaan Antara
Taqlid dan Ittiba’ [ ‫]باب فساد التقليد ونفيه والفرق بين التقليد واالتباع‬. Pada bab tersebut beliau
menukil perkataan salah seorang pembesar ulama Malikiyyah yang bernama :
Abu Abdillah bin Khuwaiz Mindad Al-Bashri Al-Maliki :

‫وقال أبو عبد اهلل بن خويز منداد البصري المالكي التقليد معناه في الشرع الرجوع إلى قول ال حجة لقائله عليه وذلك ممنوع منه في‬
‫الشريعة واالتباع ما ثبت عليه حجة وقال في موضع آخر من كتابه كل من ابتعت قوله من غير أن يجب عليك قوله لدليل يوجب ذلك‬
‫فأنت مقلده والتقليد في دين اهلل غير صحيح وكل من أوجب عليك الدليل اتباع قوله فأنت متبعه واالتباع في الدين مسوغ والتقليد‬
‫ممنوع‬

Dan berkata Abu ‘Abdillah bin Khuwaiz Mindad Al-Bashri Al-Maliki : “Makna
taqlid dalam syari’at adalah merujuk suatu pendapat yang tidak memiliki
hujjah, dan yang demikian itu adalah dilarang dalam syari’at. Sedangkan
ittiba’ adalah (merujuk) pada satu pendapat yang disertai hujjah (dalil)”. Dan
beliau berkata di tempat yang lain : “Setiap orang yang Engkau ikuti
perkataannya tanpa ada dalil yang mengharuskan hal itu, maka Engkau
adalah orang yang taqlid kepadanya. Sementara taqlid tidaklah dibenarkan
dalam agama Allah. Setiap orang yang Engkau ikuti karena adanya dalil yang
mengharuskan Engkau mengikuti pendapatnya, maka Engkau dianggap ittiba’
(mengikutinya). Ittiba’ adalah hal yang diperkenankan dalam agama
sedangkan taqlid adalah hal yang dilarang” [selesai – lihat Jami’u
Bayanil-‘Ilmi wa Fadhlihi2/117].

Imam As-Suyuthi berkata : “Sesungguhnya orang yang taqlid itu tidak


dinamakan orang yang berilmu” [Dinukil As-Sindi dalam hasyiyah-nya/
terhadap Sunan Ibni Majah 1/7 dan dia menetapkannya].

Bagaimana bisa seorang yang taqlid (muqallid) dinamakan sebagai orang yang
berilmu padahal ia hanya mendasarkan perkataan dan perbuatannya hanya
dengan konsep “ikut-ikutan” ? Hakekat seorang muqallid , tidaklah
membangun amalnya dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan pengetahuan ijma’. 
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/07/taqlid-dan-sedikit-penjelasan-tentang.html

Pengantar Fiqih (bagian ke-4): Sejarah Perkembangan


Fiqih Islam, Taqlid, dan Talfiq

Rubrik: Tarikh Tasyri', Ushul Fiqih | Oleh: Tim Kajian Manhaj


Tarbiyah - 02/03/12 | 08:30 | 09 Rabbi al-Thanni 1433 H

 Belum ada komentar


 3.666 Hits

Ilustrasi (muxlim.com)

4. Sejak Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah Sampai Hari Ini

dakwatuna.com - Fase ini ditandai dengan semakin luasnya


perbedaan antara dua madrasah fiqih:

1. Al Madrasah Al Madzhabiyyah: yaitu madrasah pengikut


empat mazhab yang menganggap telah tertutupnya pintu
ijtihad, dan keharusan seorang muslim untuk konsisten
dengan salah satu dari empat mazhab.
2. Al Madrasah as Salafiyah, yaitu madrasah yang
menghendaki kembali langsung kepada Al Qur’an dan As
Sunnah, melarang seorang muslim taqlid dalam masalah
furu’, mewajibkannya berijtihad, mengkaji dan mengambil
langsung dari teks Al Qur’an dan Sunnah.
Memang pertarungan ini sudah ada sejak fase sebelumnya, akan
tetapi pada fase ini pertarungan itu semakin tajam dan meluas,
dan menjadi tema penting dalam diskusi-diskusi antara para
ulama dan pencari ilmu, bahkan di kalangan awam. Pendukung
masing-masing madrasah menulis buku, menyebarkan artikel
untuk mendukung pandangannya.

Luasnya ruang dialog berdampak luas bagi mundurnya masing-


masing pendukung madrasah itu dari sikap sektariannya, dan
dapat mempersempit ruang perbedaan, dan bahkan terjadi
pencairan, kalau saja tidak ada orang-orang yang
ta’ashshub/fanatik terhadap masing-masing madrasah, yang
terus mempertahankan sikap sektariannya yang mengundang
reaksi pihak lainnya.

Kami akan berusaha untuk mengambil batas-batas qaidah syar’i,


yang memungkinkan dua madrasah itu bertemu, dan jauh dari
sikap sektarian dan fanatik, yaitu:

a. Masyru’iyyah (disyariatkannya) Taqlid

Taqlid artinya mengikuti pendapat seorang ulama tanpa


mengetahui dalil kebenaran pendapat itu. Hal ini disyariatkan
bagi kaum muslimin yang awam dalam masalah-masalah fiqih.
Dalilnya antara lain:

1. Firman Allah: “… maka bertanyalah kepada orang yang


mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,” (QS. An
Nahl: 43)

Perintah Allah ini pada orang yang tidak mengetahui hokum


agama untuk bertanya kepada ahludz dzikr, yaitu orang-orang
yang mengetahuinya. Dan yang terendah dalam perintah ini
adalah al ibahah/boleh. Kesimpulannya: diperbolehkan bagi orang
awam untuk bertanya kepada ulama dan mengikuti pendapatnya.

2. Firman Allah:  “Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang


mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak
pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang
untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan
untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka
telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya.” (QS. At Taubah: 122)
Ayat ini dengan tegas menjelaskan bahwa tidak mungkin seluruh
kaum muslimin mempelajari fiqih, akan tetapi ada sekelompok
orang yang focus, kemudian mengajarkannya kepada saudara-
saudaranya. Jika memungkinkan atau semua umat Islam disuruh
mendalami fiqih dalam setiap masalah furu’iyah maka Allah tidak
memberikan larangan di atas.

Realitas sahabat RA yang merupakan generasi terbaik, hanya


terdapat sedikit fuqaha, dan mayoritas mereka meruju’ kepada
para fuqaha yang minoritas itu untuk mendapatkan fatwa
masalah-masalah agamanya. Menerima fatwanya tanpa
menanyakan apa dalilnya, kecuali dalam kondisi tertentu.

Rasulullah saw mengutus seorang ulama, atau qari’ (pembaca Al


Qur’an) dari kalangan sahabat ke satu qabilah untuk mengajarkan
Islam dan Al Qur’an. Kabilah itu menerima saja dari sahabat itu
tanpa menanyakan apa dalilnya.

Demikianlah ijma’ (kesepakatan) sahabat tentang


diperbolehkannya orang awam mengikuti seorang mujtahid. [1]

Logis dan riilnya: Apa yang bias dilakukan oleh seorang muslim
yang awam, dan tersibukkan dengan urusan pekerjaan? Apa yang
bisa dilakukan seorang arsitek, dokter, dll jika menghadapi
masalah agama? Apakah kita mengharuskannya untuk mengkaji
buku-buku tafsir, dan hadits untuk mendapatkan nash atau tidak?
Lalu jika tidak menemukan maka harus merujuk kepada buku-
buku bahasa, agar memahaminya. Jika menemukan lebih dari
satu nash maka harus mentarjih salah satunya. Dan ini tidak akan
terjadi kecuali setelah melakukan kajian panjang, mengetahui
nasakh mansukh, dll. Jika tidak menemukan nash, kita haruskan
berijtihad. Sementara seseorang tidak akan bisa berijtihad jika
tidak memiliki kemampuan ijtihad.

Dan ketika kita perketat syarat ijtihad maka kebanyakan orang


tak akan mampu, sebagaimana yang terjadi sekarang ini, atau
akan terjadi ijtihad tanpa batasan syar’i, tanpa ilmu. Dan ini lebih
berbahaya daripada mengembalikan mereka kepada ulama yang
telah menfokuskan diri untuk menggali hukum.

Realitas madrasah salafiyah sendiri –sudah tidak rahasia lagi-


bahwa ulama madrasah ini banyak berbeda pendapat satu
dengan yang lainnya dalam masalah hukum Islam, bisa karena
perbedaan penafsiran, atau mentashih hadits, atau dalam
menggali hukum, dan setiap ulama itu memiliki pengikut
pendapatnya.

Ada yang mengatakan bahwa hal ini bukan taqlid tetapi ittiba’
karena pengikut itu mengetahui dalilnya dan menerimanya. Kami
katakana: Mengapa para ulama itu tidak mengenali dalil ulama
lain dan menerimanya? Apakah ketika seseorang menerima dalil
salah seorang ulama dianggap tidak ada nilainya karena berbeda
dengan ulama lainnya? Apa bedanya hal ini dengan para pengikut
yang menerima dalil yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip
yang benar, dengan para pengikut taqlid tanpa bertanya tentang
dalilnya, karena dia menyadari ketidakmampuannya untuk
menerima atau menolak dalil?

Terakhir, telah berlangsung ijma’ tentang diperbolehkannya taqlid


sejak abad pertama, meskipun ada sebagian sectarian pengikut
madrasah salafiyah yang berbeda pendapat. Pada kenyataannya
mereka menerima taqlid itu dengan bentuk lain.

b. Taqlid bukanlah kewajiban

Di antara kesalahan populis pada fase fanatic mazhab adalah


terbaginya kaum muslimin pada mujtahid dan muqallid, lalu
tertutupnya pintu ijtihad, sehingga setiap orang menjadi muqallid
termasuk para ulama dan pencari ilmu. Karena itulah melemah
atau hilang semangat untuk mengkaji, diskusi, dan pendalaman.
Obsesi para ulama muqallid hanya terbatas pada pembelaan
pendapat mazhabnya meskipun dengan dalil yang lemah,
meskipun mereka tidak berhak karena statusnya sebagai
muqallid, untuk berbeda dengan mazhab. Al Iz ibn Abdussalam
dalam kitabnya: “Qawa’idul Ahkam” mengkritik para fuqaha yang
menyikapi kelemahan dalil imamnya, lalu berusaha mencari
pembenarannya, dan tidak menemukan pembelaan
kelemahannya, tetapi masih saja mengikutinya dengan
meninggalkan Al Kitab, As Sunnah dan qiyas yang shahih, karena
mempertahankan kejumudan taqlid imamnya.

Kalimat ini tidak kami maksudkan untuk membuka pintu ijtihad


yang bisa dimasuki siapa saja tanpa kemampuan yang cukup.
Kami hanya bertujuan untuk mengatakan bahwa taqlid dan
urgensinya adalah dalam batas mubah dan boleh, tidak akan
berubah menjadi wajib, kecuali pada orang awam yang sama
sekali tidak memiliki kemampuan pengkajian dan penelitian.
Sedangkan bagi orang yang mampu mempelajari dan meneliti,
atau mumpuni untuk berpindah dari taqlid (mengikuti pendapat
ulama tanpa mengetahui dalilnya) kepada ittiba’ (mengikuti
pendapat ulama setelah mengetahui dalilnya). Mengetahui dalil
dan menerimanya tidak berarti melegitimasinya menjadi ahli
ijtihad, hanya memperbolehkannya, bisa jadi dalam satu masalah
ketika mempelajari dalil-dalil mazhabnya kemudian menemukan
kelemahan dalil itu mengharuskannya untuk mengambil
pendapat mazhab lain yang lebih kuat. Posisi ini dapat disebut –
sebagaimana Imam Hasan Al Banna- menyebutnya: “Level
mengkaji hukum agama” atau level orang yang mampu mengkaji
hukum-hukum agama, memahaminya, mengenali dalilnya, dan
merujuk kepada sumber utama untuk menilainya.

c. Taqlid tidak terbatas pada empat Mazhab

Masalah populer yang ada di masa fanatic mazhab adalah


pembatasan taqlid pada empat mazhab saja. Hal ini tidak
berdasar pada dalil syar’i yang melarang taqlid ulama lainnya.

Dasarnya hanyalah bahwa mazhab empat itu telah lengkap


pembukuan dan penjelasannya, yang dapat diperoleh dengan
berurutan, terbagi menurut bab yang rapi, dan tersedia para
ulama yang mengajarkan, sehingga bisa dengan mudah
meyakinkan dan menisbatkan pendapat itu kepada aslinya,
imamnya atau mazhabnya.

Sedangkan mazhab lainnya maka sangat sulit untuk menemukan


nisbat pendapat itu kepada yang berhak. Kalau toh bisa
ditemukan nisbatnya, pendapat-pendapat itu tidak didukung oleh
para pengikut mazhab yang menjelaskannya ketika
membutuhkan penjelasan.

Atas dasar sebab-sebab teknis di atas itulah kemudian para


ulama membatasi taqlid hanya pada empat mazhab saja.

Akan tetapi pada zaman sekarang ini, ketika buku-buku klasik


Islam telah dicetak dan telah berada di tangan kaum muslimin,
dan pendapat para sahabat dan tabiin serta para mujtahid -baik
fase sebelum era empat mazhab, atau yang semasa mereka, atau
sesudahnya- telah tersebar dan sangat mudah untuk
menisbatkan kepada pemilik aslinya. Maka tidak ada lagi
halangan untuk bertaqlid kepada mereka dalam satu masalah
atau yang lainnya jika berkemampuan untuk mengkaji dalil-
dalilnya. Apalagi jika ditemukan bahwa dalil-dalil mereka lebih
kuat dari dalil yang sedang diamalkan sekarang ini.
Al Izz bin Abdussalam berkata: .. Maka ketika ada mazhab yang
menurutnya lebih kuat, maka bagi orang yang taqlid itu
diperbolehkan mengikutinya meskipun di luar empat mazhab.”

d. Diperbolehkan iltizam/konsisten dengan satu mazhab


bagi orang awam

Di antara kesalahan yang menyebar di kalangan kaum muslimin


pada masa ta’ashshub mazhab adalah kewajiban iltizam dengan
satu mazhab saja, dan haram intiqal/berpindah ke mazhab
lainnya. Dan jawaban dari pandangan yang sektarian ini adalah
larangan iltizam dengan satu mazhab. Kedua pendapat ini tanpa
dalil.

Kewajiban iltizam dengan satu mazhab dan larangan intiqal


mazhab lain baik secara umum maupun dalam masalah tertentu,
baik sebelum atau sesudah mengamalkannya, tidak ada dalil
syar’inya. Sebab yang wajib adalah yang diwajibkan oleh Allah
dan Rasul-Nya, yaitu iltizam dengan hukum syar’i, dan
memperbolehkan kita jika tidak mengetahuinya langsung dari Al
Qur’an dan As Sunnah untuk bertanya kepada ahludzdzikri tanpa
ada pembatasan satu persatunya. Para sahabat bertanya kepada
para fuqaha’nya, adan fuqaha menjawab pertanyaan mereka, dan
tidak seorang pun dari sahabat yang ditanya itu mewajibkannya
untuk tidak bertanya lagi kepada yang lain baik dalam masalah
itu maupun masalah yang lainnya. Demikianlah kaum muslimin di
sepanjang masa, sampai di masa empat imam mazhab itu sendiri.
Tidak ada seorang pun dari mereka yang melarang muridnya
mengambil pendapat ulama lain, tidak pernah ada pemikiran
yang mewajibkan iltizam dan melarang intiqal kecuali pada masa
belakangan saja.

Demikian juga pendapat yang mengharamkan iltizam dengan


satu mazhab dan menganggapnya sebagai syirik, juga tidak ada
dalilnya. Jika ada seseorang yang merasa cocok dengan salah
satu ulama karena ketaqwaannya, dan selalu lebih ia sukai
fatwanya, maka dalam Islam juga tidak ada dalil yang
melarangnya, baik ulama itu dari kalangan empat mazhab atau
selainnya. Yang tidak boleh adalah meyakini bahwa iltizam itu
hukumnya wajib syar’i. Kemudian jika suatu saat ingin intiqal ke
mazhab lain, maka tidak ada yang menghalanginya, (dengan
memperhatikan penjelasan berikut tentang talfiq).
e. Kewajiban mengikuti dalil bagi pengikut yang mampu
mengkaji

Sedangkan seorang muslim pengikut mazhab yang sudah mampu


mempelajari hukum syar’i maka kewajibannya adalah mencari
dalil setiap masalah yang dikajinya, mendalaminya, memahami
pendapat yang berbeda dan dalil-dalilnya, kemudian memilih
yang paling dekat dengan Kitabullah dan As Sunnah, meskipun
sikap ini membuatnya mengambil mazhab ini dan itu, bahkan jika
mengharuskannya untuk berijtihad sendiri dalam masalah-
masalah baru yang belum dibahas oleh ulama sebelumnya.

Walau demikian, tidak ada larangan syar’i bagi seorang muslim


pengikut mazhab untuk mengikuti satu mazhab sehingga dia
mampu mempelajari seluruh masalah dengan keharusan
mengikuti dalil yang lebih kuat dan bertahan pada dasar mazhab
pilihannya dalam masalah lain. Karena Allah tidak pernah
memberikan taklif kepada seseorang kecuali sebatas
kemampuannya. Terkadang seorang muslim harus berbulan-
bulan tafarrugh (menfokuskan diri) untuk mempelajari satu
masalah sehingga dapat menemukan dalil yang lebih kuat yang
memuaskannya. Maka tidak salah kalau dia masih menjadi
muqallid (taqlid) dengan salah satu imam, sehingga ia mampu
mempelajari masalah. Lalu ketika telah menemukan dalilnya
masih bersama dengan imam yang diikutinya, ia bisa bertahan di
situ. Dan jika mendapatkan dalil yang kuat ada pada imam lain,
maka ia akan pindah ke pendapat lain.

f. Diperbolehkan Talfiq

Talfiq artinya mengambil dari berbagai mazhab untuk satu


masalah dan sampai kepada cara mazhab itu berpendapat. Akan
kami jelaskan masalah talfiq dengan singkat berikut ini:

Mengambil satu masalah dari satu mazhab, dan mengambil


masalah lain dari mazhab lain yang tidak berhubungan dengan
masalah pertama diperbolehkan menurut jumhurul ulama yang
tidak mewajibkan iltizam dengan satu mazhab dan
memperbolehkan intiqal ke mazhab lain. Seperti seorang muslim
yang shalat dengan mazhab Syafi’iy, kemudian zakatnya dengan
mazhab Hanafi, atau puasa dengan mazhab Maliki.

Iltizam tentang satu masalah syar’i dengan satu mazhab, lalu


intiqal ke mazhab lain dalam masalah yang sama. Seperti shalat
Zhuhur dengan satu mazhab, kemudian shalat Ashar dengan
mazhab lain. Hal ini juga diperbolehkan oleh Jumhurul Ulama
yang tidak mewajibkan iltizam dengan satu mazhab.

Bentuk talfiq yang diperselisihkan boleh tidaknya adalah talfiq


dalam satu masalah saja. Seperti seorang muslim berwudhu
mengusap sebagian kepala, sesuai dengan mazhab Syafi’iy,
kemudian menyentuh wanita dan merasa tidak batal, taqlid imam
Abu Hanifah dan imam Malik yang tidak menganggap
bersentuhan wanita tidak membatalkan wudhu, kemudian ia
shalat. Para ulama mazhab belakangan mengatakan: wudhu ini
sudah batal, karena telah bersentuhan dengan wanita, dan tidak
sah menurut Abu Hanifah karena mengusap kepalanya tidak
sampai seperempat, tidak sah menurut Imam  Malik karena tidak
mengusap seluruh kepala. Talfiq di sini menyeret kepada cara
yang tidak diajarkan oleh mazhab manapun. Inilah yang tidak
diperbolehkan.

1. Sesungguhnya talfiq jika dilakukan dengan dalil yang kuat


dari orang yang mampu mengkaji dalil-dalil hukum syar’i,
diperbolehkan. Karena kewajiban seorang muslim adalah
berijtihad untuk dirinya sendiri. Dan ini bukan sisi yang
diperselisihkan.
2. Sedangkan talfiq yang dilakukan orang awam,
diperbolehkan juga, karena mazhabnya orang awam adalah
mengikuti fatwa muftinya. Dan orang awam tidak
ditugaskan untuk mengkaji mazhab dan melihat sudut-sudut
perbedaan, sebab jika dia mampu melakukan hal ini tentu
dia menjadi muqallid, bukan awam. Para sahabat RA ketika
bertanya tentang satu masalah tidak menanyakan kepada
seluruh orang yang mengetahuinya, dan yang ditanya juga
tidak mensyaratkan jika sudah mengambil pendapatnya
dalam masalah ini agar tidak bertanya kepada orang lain
dalam masalah yang sama. Ini artinya bahwa generasi
terbaik telah melakukan talfiq, ketika mazhab dan pendapat
para sahabat belum dikumpulkan dan dibukukan. Setiap
muslim dapat bertanya kepada siapa saja sahabat yang
ditemui, lalu bertanya ke sahabat lainnya, tanpa meneliti
apakah dua pertanyaan itu berkaitan atau tidak.
3. Contoh tentang wudhu di atas, dapat kami jelaskan: Bahwa
wudhu itu telah benar menurut mazhab Syafi’iy, sudah
benar menurut pandangan Syar’i, karena mazhab Syafi’iy
bukan syariat yang berdiri sendiri, tetapi pintu yang
dipergunakan seorang muslim untuk sampai kepada syariah
Allah. Ketika sudah masuk ke mazhab itu ia sudah berada di
ruang syariah, wudhunya benar dalam pandangan syariah,
jika dia menyentuh wanita dengan mengikuti mazhab Hanafi
maka wudhunya tetap sah sesuai dengan mazhab itu,
artinya sesuai dengan syariat Islam, karena mazhab Hanafi
juga bagian dari syariat Islam
4. Kemudian talfiq yang dilakukan dengan dalil yang kuat, oleh
orang yang mumpuni, dan larangan bagi orang awam, akan
berkonotasi bahwa ada satu masalah yang haram atas
seorang muslim dan halal bagi muslim lainnya. Hal ini tidak
bisa diterima dalam hukum Islam yang di antara
karakteristiknya adalah menyeluruh. Yang telah halal dalam
syariah halal untuk semua, dan yang haram untuk dalam
syariah haram untuk semua.
5. Syeikh Ath Tharsusiy, Al Allamah Abus Su’ud, Al Allamah
Ibnu Nujaim, Al Allamah Ibnu Arafah Al Malikiy, Al Allamah Al
Adawiy dll, telah memfatwakan diperbolehkannya hukum
murakkab atau talfiq. [2]

– Bersambung

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/03/02/19156/penganta
r-fiqih-bagian-ke-4-sejarah-perkembangan-fiqih-islam-taqlid-dan-
talfiq/#ixzz3GE0lOekk 
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

http://www.dakwatuna.com/2012/03/02/19156/pengantar-fiqih-bagian-ke-4-sejarah-
perkembangan-fiqih-islam-taqlid-dan-talfiq/#axzz3GDoETfMU

Anda mungkin juga menyukai