Anda di halaman 1dari 67

MAKALAH GAWAT DARURAT

TENTANG PERAWATAN DI LAPANGAN

Diajukan untuk memenuhi tugas GAWAT DARURAT


Dosen Pembimbing : Agus Hariyanto, S.Kep. Ns. M.Kes

Disusun oleh : kelompok 4


Tingkat : 2B / D3 Keperawatan

1. Olivia D.P (201804041)


2. Nafi’ Atu A (201804044)
3. Reni N.E.P (201804048)
4. Siti Khodiyah (201804052)
5. Asmaul Chusniah (201804066)
6. Lailatul Nuraini (201804067)
7. Putri Aji A.Z.I (201804068)
8. Safira K.R (201804078)
9. Sabichisma Arsita (201804080)
10. M Aji Setya B (201804081)
11. Septiwan R.W (201804084)

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) BINA SEHAT PPNI
MOJOKERTO
TAHUN AJARAN 2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-
Nya kami masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa terimakasih
ucapan kepada dosen Gawat Darurat dan teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam
menyelesaikan makalah ini. Makalah ini disusun bertujuan agar pembaca dapat memperluas ilmu
tentang Perawatan Di Lapangan yang kami sajikan berdasarkan berbagai sumber.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan,
oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik an saran yang membangun. Dan semoga
dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada
pembaca, Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun mohon untuk
saran dan kritiknya.

Terimakasih.

Mojokerto, 05 April 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................................................................................iii
BAB I............................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.........................................................................................................................................1
1.1 LATAR BELAKANG.........................................................................................................................1
1.2 RUMUSAN MASALAH....................................................................................................................2
1.3 TUJUAN PEMBAHASAN.................................................................................................................2
BAB II...........................................................................................................................................................3
PEMBAHASAN...........................................................................................................................................3
2.1 PELAYANAN KESEHATAN DI PENGUNGSIAN.........................................................................3
2.2 ASSESMENT....................................................................................................................................31
2.3 DESAIGN SHELTERING................................................................................................................43
2.4 IMPLEMENTASI.............................................................................................................................51
2.5 MONEY.............................................................................................................................................52
2.6 EXIT STRATEGI..............................................................................................................................55
BAB III........................................................................................................................................................57
PENUTUP...................................................................................................................................................57
3.1 KESIMPULAN.................................................................................................................................57
3.2 SARAN..............................................................................................................................................58
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................................59
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Pola pengungsian di Indonesia sangat beragam mengikuti jenis bencana, lama
pengungsian dan upaya persiapannya. Pengungsian pola sisipan yaitu pengungsi menumpang di
rumah sanak keluarga. Pengungsian yang terkonsentrasi di tempat-tempat umum atau di barak-
barak yang telah disiapkan. Pola lain pengungsian yaitu di tenda-tenda darurat disamping kanan
kiri rumah mereka yang rusak akibat bencana.

Apapun pola pengungsian yang ada akibat bencana tetap menimbulkan masalah
kesehatan. Masalah kesehatan berawal dari kurangnya air bersih yang berakibat pada buruknya
kebersihan diri dan sanitasi lingkungan yang menyebabkan perkembangan beberapa penyakit
menular. Persediaan pangan yang tidak mencukupi juga memengaruhi pemenuhan kebutuhan
gizi seseorang serta akan memperberat proses terjadinya penurunan daya tahan tubuh terhadap
berbagai penyakit.

Pengambilan keputusan yang efektif dan efisien dalam merespon bencana mutlak
ditopang oleh informasi yang didapat oleh pihak pengambil keputusan. Jika informasi tidak
benar, bisa dipastikan keputusan akan salah dan intervensi yang dilakukan juga tidak tepat (tidak
efektif), juga sangat dimungkinkan menghambur-hamburkan sumberdaya dan sumberdana (tidak
efisien). Selain kebenaran dan ketepatan, informasi harus up to date. Pengambil keputusan harus
menggunakan informasi terbaru dan real-time. Jika informasinya using, juga bisa dipastikan
keputusan akan salah dan intervensi yang dilakukan juga tidak tepat (tidak efektif), juga sangat
dimungkinkan menghambur-hamburkan sumberdaya dan sumberdana (tidak efisien). Oleh
karena itu diperlukan system penggalian informasi (assessment) yang baku dan efektif bagi
LPB/MDMC sebagai salah satu pengambil keputusan saat tanggap darurat bencana.

Sebagai profesional yang terlibat dalam penyediaan shelter bagi masyarakat terdampak
bencana, penting untuk menjelaskan makna shelter dalam konteks kemanusiaan. Istilah ‘shelter'
memang sangat luas, mencakup semuanya dari tempat berlindung sementara dari badai, misalnya
di bawah pohon, hingga ke tenda, gubuk, gedung publik, atau rumah. Hampir semua objek fisik
yang dapat digunakan untuk berlindung dari marabahaya dapat disebut sebagai shelter. Yang
paling penting juga, shelter adalah sebuah proses, dan seringnya disebut sebagai proses
penyediaan 'shelter' (sheltering), hal ini sama pentingnya dengan objek shelter itu sendiri.

Koordinasi dan pengendalian di lapangan pasca kerawanan bencana. Koordinasi dan


pengendalian merupakan hal yang sangat diperlukan dalam penanggulangan dilapangan, karena
dengan koordinasi yang baik diharapkan menghasilkan output/ keluaran yang maksimal sesuai
sumber daya yang ada meminimalkan kesenjangan dan kekurangan dalam pelayanan, adanya
kesesuaian pembagian tanggung jawab demi keseragaman langkah dan tercapainya standard
penanggulangan bencana dilapangan yang diharapkan. Koordinasi yang baik akan menghasilkan
keselarasan dan kerjasama yang efektif dari organisasi-organisasi yang terlibat penanggulangan
bencana di lapangan.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Bagaimana Pelayanan Kesehatan Di Pengungsian Pada Perwatan Di Lapangan?
2. Bagaimana Assessment Dalam Perawatan Di Lapangan?
3. Bagimana Desaign Sheltering Pada Perawatan Di Lapangan?
4. Bagaimana Implementasi Pada Perawatan Di Lapangan?
5. Bagaimana Money Pada Perwatan Di Lapangan?
6. Bagaimana Exit Strategi Pada Perawatan Di Lapangan?

1.3 TUJUAN PEMBAHASAN

1. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Bagaimana Pelayanan Kesehatan Di Pengungsian Pada


Perwatan Di Lapangan
2. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Bagaimana Assessment Dalam Perawatan Di Lapangan
3. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Bagaimana Desaign Sheltering Pada Perawatan Di
Lapangan
4. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Bagaimana Implementasi Pada Perawatan Di Lapangan
5. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Bagaimana Pada Perwatan Di Lapangan
6. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Bagaimana Exit Strategi Pada Perawatan Di Lapangan
BAB II

PEMBAHASAN

1. PELAYANAN KESEHATAN DI PENGUNGSIAN

1.1. Pengertian

Pola pengungsian di Indonesia sangat beragam mengikuti jenis bencana, lama


pengungsian dan upaya persiapannya. Pengungsian pola sisipan yaitu pengungsi
menumpang di rumah sanak keluarga. Pengungsian yang terkonsentrasi di tempat-tempat
umum atau di barak-barak yang telah disiapkan. Pola lain pengungsian yaitu di tenda-
tenda darurat disamping kanan kiri rumah mereka yang rusak akibat bencana.

Apapun pola pengungsian yang ada akibat bencana tetap menimbulkan masalah
kesehatan. Masalah kesehatan berawal dari kurangnya air bersih yang berakibat pada
buruknya kebersihan diri dan sanitasi lingkungan yang menyebabkan perkembangan
beberapa penyakit menular.

Persediaan pangan yang tidak mencukupi juga memengaruhi pemenuhan kebutuhan gizi
seseorang serta akan memperberat proses terjadinya penurunan daya tahan tubuh terhadap
berbagai penyakit.

Dalam pemberian pelayanan kesehatan di pengungsian sering tidak memadai akibat dari
tidak memadainya fasilitas kesehatan, jumlah dan jenis obat serta alat kesehatan,
terbatasnya tenaga kesehatan. Kondisi ini makin memperburuk masalah kesehatan yang
akan timbul. Penanggulangan masalah kesehatan di pengungsian merupakan kegiatan
yang harus dilakukan secara menyeluruh dan terpadu serta terkoordinasi baik secara
lintasprogram maupun lintas-sektor.

Dalam penanganan masalah kesehatan di pengungsian diperlukan standar minimal yang


sesuai dengan kondisi keadaan di lapangan sebagai pegangan untuk merencanakan,
memberikan bantuan dan mengevaluasi apa yang telah dilakukan oleh instansi pemerintah
maupun LSM dan swasta lainnya.

Pelayanan kesehatan dasar yang diperlukan pengungsi meliputi:

1. Pelayanan pengobatan

Bila pola pengungsian terkonsentrasi di barak-barak atau tempat-tempat umum,


pelayanan pengobatan dilakukan di lokasi pengungsian dengan membuat pos pengobatan.
Pelayanan pengobatan dilakukan di Puskesmas bila fasilitas kesehatan tersebut masih
berfungsi dan pola pengungsianya tersebar berada di tenda-tenda kanan kiri rumah
pengungsi.

2. Pelayanan imunisasi
Bagi pengungsi khususnya anak-anak, dilakukan vaksinasi campak tanpa
memandang status imunisasi sebelumnya. Adapun kegiatan vaksinasi lainnya tetap
dilakukan sesuai program untuk melindungi kelompokkelompok rentan dalam
pengungsian.

3. Pelayanan kesehatan ibu dan anak

Kegiatan yang harus dilaksanakan adalah:

 Kesehatan Ibu dan Anak (pelayanan kehamilan, persalinan, nifas dan pasca-
keguguran)
 Keluarga berencana (KB)
 Deteksi dini dan penanggulangan IMS dan HIV/AIDS
 Kesehatan reproduksi remaja
4. Pelayanan gizi

Tujuannya meningkatkan status gizi bagi ibu hamil dan balita melalui pemberian
makanan optimal. Setelah dilakukan identifikasi terhadap kelompok bumil dan balita,
petugas kesehatan menentukan strategi intervensi berdasarkan analisis status gizi.Pada
bayi tidak diperkenan diberikan susu formula, kecuali bayi piatu, bayi terpisah dari
ibunya, ibu bayi dalam keadaan sakit berat.

5. Pemberantasan penyakit menular dan pengendalian vektor

Beberapa jenis penyakit yang sering timbul di pengungsian dan memerlukan


tindakan pencegahan karena berpotensi menjadi KLB antara lain: campak, diare, cacar,
malaria, varicella, ISPA, tetanus. Pelaksanaan pengendalian vektor yang perlu
mendapatkan perhatian di lokasi pengungsi adalah pengelolaan lingkungan, pengendalian
dengan insektisida, serta pengawasan makanan dan minuman. Pada pelaksanaan kegiatan
surveilans bila menemukan kasus penyakit menular, semua pihak termasuk LSM
kemanusiaan di pengungsian harus melaporkan kepada Puskesmas/Pos Yankes di bawah
koordinasi Dinas Kesehatan Kabupaten sebagai penanggung jawab pemantauan dan
pengendalian.

6. Pelayanan kesehatan jiwa

Pelayanan kesehatan jiwa di pos kesehatan diperlukan bagi korban bencana,


umumnya dimulai pada hari ke-2 setelah kejadian bencana. Bagi korban bencana yang
memerlukan pertolongan pelayanan kesehatan jiwa dapat dilayani di pos kesehatan untuk
kasus kejiwaan ringan. Sedangkan untuk kasus berat harus dirujuk ke Rumah Sakit
terdekat yang melayani kesehatan jiwa.

7. Pelayanan promosi kesehatan

Kegiatan promosi kesehatan bagi para pengungsi diarahkan untuk membiasakan


perilaku hidup bersih dan sehat. Kegiatan ini mencakup:
 Kebersihan diri
 Pengolahan makanan
 Pengolahan air minum bersih dan aman
 Perawatan kesehatan ibu hamil (pemeriksaan rutin, imunisasi)

Kegiatan promosi kesehatan dilakukan melekat pada kegiatan kesehatan lainnya. Standar
minimal mencakup:

1. Pelayanan kesehatan
a) Pelayanan kesehatan masyarakat Berfungsi untuk mencegah pertambahan
(menurunkan) tingkat kematian dan jatuhnya korban akibat penyakit
1. Menggunakan standar pelayanan puskesmas
2. 1 (satu) Pusat Kesehatan Pengungsi untuk 20.000 orang
3. 1 (satu) Rumah Sakit untuk 200.000 orang
b) Kesehatan reproduksi Kegiatan yang harus dilaksanakan mencakup:
1. Keluarga Berencana (KB)
2. Kesehatan Ibu dan Anak: pelayanan kehamilan, persalinan, nifas dan
pasca keguguran
3. Deteksi dini dan penanggulangan IMS dan HIV/AIDS
4. Kesehatan reproduksi remaja
c) Kesehatan jiwa

Bentuk kegiatan berupa penyuluhan, bimbingan dan konseling yang


dilakukan pada kelompok besar (>20 orang), kelompok kecil (5-20 orang)
dan Konseling perorangan.

1.2. Pencegahan dan pemberantasan penyakit menular

1) Vaksinasi

Sebagai prioritas pada situasi pengungsian, bagi semua anak usia 6 bulan – 15
tahun menerima vaksin campak dan vitamin A dengan dosis yang tepat.

2) Masalah umum kesehatan di pengungsian

Beberapa jenis penyakit yang sering timbul di pengungsian memerlukan


tindakan pencegahan. Contoh penyakit tersebut antara lain, diare, cacar,
penyakit pernafasan, malaria, meningitis, tuberkulosa, tifoid, cacingan,
scabies, xeropthal-mia, anemia, tetanus, hepatitis, IMS/HIV-AIDS

3) Manajemen kasus

Semua anak yang terkena penyakit menular selayaknya dirawat agar


terhindar dari risiko penularan termasuk kematian.

4) Surveilans
Dilakukan terhadap beberapa penyakit menular dan bila menemukan kasus
penyakit menular, semua pihak termasuk LSM kemanusiaan di pengungsian,
harus melaporkan kepada Puskesmas dibawah koordinasi Dinas Kesehatan
Kabupaten sebagai penanggung jawab pemantauan dan pengendalian.

1.3. Menjamin Pelayanan Kesehatan Bagi Pengungsi

Apabila kamp penampungan diatur dengan baik dan memiliki sanitasi, air dan
suplai makanan standar yang cukup, kondisi kesehatan dapat disamakan dengan populasi
pada umumnya. Namun, penyediaan standar kesehatan yang lebih tinggi bagi penduduk
di pengungsian dibandingkan dengan populasi secara umum harus dihindari, kecuali
terdapat alasan medis yang jelas.

Pelayanan kesehatan dapat disediakan dengan menugaskan relawan dan pekerja


kesehatan pemerintah yang berada di pengungsian atau meluaskan kapasitas dari fasilitas
pelayanan kesehatan terdekat. Fokus dari pelayanan kesehatan harus tertuju kepada
pencegahan penyakit menular yang spesifik dan pengadaan sistem informasi kesehatan.

Apabila pengungsi dalam jumlah besar dikondisikan untuk tetap tinggal di penampungan
sementara untuk jangka panjang, terutama di daerah yang tidak terlayani dengan baik
oleh fasilitas kesehatan yang ada, maka pengaturan khusus harus diadakan.

1.4. Pengawasan dan Pengendalian Penyakit

Penyakit menular merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian besar,


mengingat potensi munculnya KLB penyakit menular pada periode paska bencana yang
besar sebagai akibat banyaknya faktor risiko yang memungkinkan terjadinya penularan
bahkan KLB penyakit.

Upaya pemberantasan penyakit menular pada umumnya diselenggarakan untuk mencegah


KLB penyakit menular pada periode pascabencana. Selain itu, upaya tersebut juga
bertujuan untuk mengidentifikasi penyakit menular yang perlu diwaspadai pada kejadian
bencana dan pengungsian, melaksanakan langkah-langkah upaya pemberantasan penyakit
menular, dan melaksanakan upaya pencegahan kejadian luar biasa (KLB) penyakit
menular.

Permasalahan penyakit menular ini terutama disebabkan oleh:

1. Kerusakan lingkungan dan pencemaran.


2. Jumlah pengungsi yang banyak, menempati suatu ruangan yang sempit, sehingga
harus berdesakan.
3. Pada umumnya tempat penampungan pengungsi tidak memenuhi syarat
kesehatan.
4. Ketersediaan air bersih yang seringkali tidak mencukupi jumlah maupun
kualitasnya.
5. Diantara para pengungsi banyak ditemui orang-orang yang memiliki risiko tinggi,
seperti balita, ibu hamil, berusia lanjut.
6. Pengungsian berada pada daerah endemis penyakit menular, dekat sumber
pencemaran, dan lain-lain.

Potensi munculnya penyakit menular yang sangat erat kaitannya dengan faktor risiko,
khususnya di lokasi pengungsian dan masyarakat sekitar penampungan pengungsi,
adalah:
Penyakit Campak

Penyakit Diare

Penyakit Pnemonia

Penyakit Malaria

Penyakit Menular Lain Spesifik Lokal


1.4.1. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Diare

Penyakit Diare merupakan penyakit menular yang sangat potensial terjadi di


daerah pengungsian maupun wilayah yang terkena bencana, yang biasanya sangat
terkait erat dengan kerusakan, keterbatasan penyediaan air bersih dan sanitasi dan
diperburuk oleh perilaku hidup bersih dan sehat yang masih rendah.

Pencegahan penyakit diare dapat dilakukan sendiri oleh para pengungsi, antara
lain:

a. Gunakan air bersih yang memenuhi syarat.


b. Semua anggota keluarga buang air besar di jamban.
c. Buang tinja bayidan anak kecil di jamban.
d. Cucilah tangan dengan sabun sebelum makan, sebelum
menjamah/memasak makanan dan sesudah buang air besar.
e. Berilah Air Susu Ibu (ASI) saja sampai bayi berusia 6 bulan.
f. Berilah makanan pendamping ASI dengan benar setelah bayi berusia 6
bulan dan pemberian ASI diteruskan sampai bayi berusia 24 bulan.

Penyediaan air bersih yang cukup dan sanitasi lingkungan yang


memadai merupakan tindakan pencegahan penyakit diare,
sedangkan pencegahan kematian akibat diare dapat dilakukan
melalui penatalaksanaan kasus secara tepat dan kesiapsiagaan
akan kemungkinan timbulnya KLB diare
A. Tatalaksana penderita

Bilamana ditemukan adanya penderita Diare di lokasi bencana atau


penampungan pengungsi, pertama-tama yang harus dikerjakan pada waktu
memeriksa penderita diare adalah:

1. menentukan derajat dehidrasi


2. menentukan pengobatan dehidrasi yang tepat setiap penderita diare yang
mengalami dehidrasi harus diobati dengan oralit. Seluruh petugas
kesehatan harus memiliki keterampilan dalam menyiapkan oralit dan
memberikan dalam jumlah besar. Sesuai dengan derajat dehidrasinya,
penderita diberikan terapi sebagai berikut:
 Rencana Terapi A: untuk mengobati penderita diare tanpa dehidrasi.
 Rencana Terapi B: untuk mengobati penderita diare dengan dehidrasi
ringan/sedang.
 Rencana Terapi C: untuk mengobati penderita dengan dehidrasi berat.

Bila penderita dalam keadaan dehidrasi berat rehidrasi harus segera


dimulai. Setelah itu pemeriksaan lainnya dapat dilanjutkan.

3. Mencari masalah lain, seperti, kurang gizi, adanya darah dalam tinja diare
lebih dari 14 hari. Selain diperiksa status dehidrasinya harus pula diperiksa
gejala lainnya untuk menentukan adanya penyakit lain seperti adanya
darah dalam tinja, panas, kurang gizi dan lain sebagainya. (Lihat Lampiran
15.)
 Bila tinja penderita mengandung darah berarti penderita mengalami
disentri yang memerlukan pengobatan antibiotik.
 Bila penderita diare 14 hari atau lebih berarti menderita diare persisten
dan perlu diobati.
 Bila penderita panas (>38°C) dan berumur >2 bulan dapat diberikan
obat penurun panas.
 Bila didaerah tersebut endemik malaria dan anak ada riwayat panas
sebelumnya dapat diberikan pengobatan sesuai program malaria.
Keterangan lengkap tentang masalah lain lihat pada gambar tatalaksana
penderita diare.
B. Pertolongan penderita Diare di rumah tangga dan tempat pengungsian

Langkah-langkah pertolongan penderita diare di rumah tangga, antara lain:

1. Berikan segera oralit atau cairan yang tersedia di rumah dan tempat
pengungsian, seperti air teh, tajin, kuah sayur dan air sup.
2. Teruskan pemberian makanan seperti biasa, tidak pedas dan tidak
mengandung serat.
3. Bawalah segera ke pos kesehatan terdekat atau ke Puskesmas terdekat, bila
ada suatu tanda sebagai berikut:
 Diare bertambah banyak/sering
 Muntah berulang-ulang
 Ada demam
 Tidak bisa minum dan makan
 Kelihatan haus sekali
 Ada darah dalam tinja
 Tidak membaik sampai 2 hari
C. Pertolongan penderita Diare di sarana kesehatan atau pos kesehatan

Langkah-langkah pertolongan penderita diare di sarana kesehatan atau pos


kesehatan, antara lain:

a. Rehidrasi oral dengan oralit


b. Pemberian cairan intravena dengan Ringer Lactate untuk penderita diare
dehidrasi berat dan penderita tidak bisa minum.
c. Penggunaan antibiotik secara rasional
d. Memberikan nasehat pada keluarga tentang pentingnya meneruskan
pemberian makanan, rujukan dan upaya pencegahan.
D. Kesiapsiagaan terhadap kemungkinan KLB

Pada fase ini Tim Reaksi Cepat melakukan kesipasiagaan yang berupa
kegiatan yang dilakukan terus menerus dengan kegiatan utamanya:

1. Mempersiapkan masyarakat pengungsi untuk pertolongan pertama bila


terjadi diare seperti Rencana Terapi A.
2. Membuat dan menganalisa kasus harian diare.
3. Menyiapkan kebutuhan logistik khususnya oralit cairan IV-RL,
antibiotika, tetrasiklin, kotrimoxazole dan peralatan lainnya.
4. Mengembangkan prosedur sederhana kewaspadaan dini di masyarakat
pengungsi.

1.4.2. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit ISPA

Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan salah satu penyebab
utama kematian bayi dan anak balita. Kematian tersebut diakibatkan oleh penyakit
Pneumonia berat yang tidak sempat terdeteksi secara dini dan mendapat
pertolongan tepat dari petugas kesehatan.

Setiap kejadian penderita pneumonia pada anak balita di


lokasi bencana dan pengungsian harus dapat ditanggulangi
dengan tatalaksana kasus pneumonia yang benar.
A. Penatalaksanaan penderita

Klasifikasi penyakit ISPA pada anak usia 2 bulan sampai belum dilanjutkan.
Anak yang mempunyai salah satu ‘tanda bahaya’, harus segera dirujuk ke
Puskesmas/Rumah Sakit secepat mungkin:

1. Sebelum anak meninggalkan Puskesmas, petugas kesehatan dianjurkan


memberi pengobatan seperlunya (misal atasi demam, kejang, dsb), tulislah
surat rujukan ke Rumah Sakit dan anjurkan pada ibu agar anaknya dibawa
ke rumah sakit sesegera mungkin
2. Berikan satu kali dosis antibiotik sebelum anak dirujuk (bila
memungkinkan)
B. Pengobatan kasus ISPA

ISPA dapat diobati dengan antibiotika. Antibiotika yang dipakai untuk


pengobatan pnemonia adalah tablet kotrimoksasol dengan pemberian selama 5
hari. Anti-biotika yang dapat dipakai sebagai pengganti kotrimok-sasol adalah
ampisilin, amoksilin, prokain penisilin.

Catatan: Bila anak tidak mungkin diberi antibiotika oral (misalnya anak tidak

bisa minum atau tidak sadar), harus dipakai antibiotika perenteral (suntikan).
Kalau tidak ada petugas yang bisa memberikan suntikan, rujuklah secepat
mungkin tanpa pemberian antibiotika dosis pertama.

PERHATIAN dalam Pemberian ANTIBIOTIKA


- Jangan memberikan kotrimoksasol pada bayi yang ikterik atau
bayi prematur usia kurang dari 1 tahun.
- Jangan memberikan amoksisilin, ampisilin, prokain penisilin
atau benzatin penisilin bila anak ada riwayat mengalami
anafilaksis/alergi
Tabel 3. Klasifikasisetelah pemberian
penyakit penisilin
ISPA pada anak usia 2 bulan sampai

 Langkah-langkah pemberian antibiotika, antara lain:


1. Tentukan dosis yang tepat sesuai dengan usia anak
2. Campurkan tablet antibiotika yang telah digerus dengan makanan
untuk mempermudah anak menelannya. Bila anak minum ASI,
mintalah ibu untuk mencampurkan puyer dengan ASI secukupnya
pada mangkuk yang bersih.
3. Persilahkan ibunya untuk mencoba memberi antibiotika tersebut pada
anaknya biasanya lebih mudah disuapi oleh ibunya. Hal ini juga
merupakan cara untuk memastikan bahwa ibunya sudah bisa
memberikan antibiotika sebelum meninggalkan Puskesmas. Bila anak
memuntahkan obat yang diminum sebelum setengah jam, ulangi
pemberian antibiotikanya.
 Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemeriksaan ulang 2 hari
kemudian pada anak dengan pneumonia yang diberi antibiotika, antara
lain:
1. Setiap anak dengan penyakit pnemonia yang mendapat antibiotika,
harus dibawa kembali 2 hari kemudian. Pemeriksaan kedua sama
dengan pemeriksaan pertama, untuk menentukan apakah penyakitnya:
tidak membaik, tetap sama atau membaik.
2. Penyakit anak memburuk bila anak menjadi sulit bernafas, tak mampu
minum, timbul tarikan dinding dada kedalam, atau tanda bahaya yang
lain. Anak yang demikian dirujuk untuk rawat tinggal.
3. Anak yang membaik pernafasannya akan melambat. Tanda-tanda lain
juga akan berkurang, misalnya demam menurun atau menghilang,
nafsu makan bertambah. Mungkin masih batuk. Beritahu ibunya untuk
meneruskan pemberian antibitika sampai 5 hari.
4. Bila keadaan anak masih tetap sama seperti pada pemeriksaan
sebelumnya, tanyakan tentang pemberian antibitikanya. Mungkin ada
masalah yang mengakibatkan anak belum minum antibiotika tersebut,
atau minum dengan takaran dan jadwal pemberian yang kurang
semestinya. Apabila demikian teruskan lagi pemberian antibiotika
yang sama. Bila anak telah minum antibiotik dengan benar, obat
tersebut harus diganti dengan antibiotika yang lain (kalau tersedia).
Kalau tidak ada antibiotika yang lain, rujuk ke Rumah Sakit.
C. Saran bagi ibu tentang pengobatan ISPA di rumah Perawatan di rumah sangat
penting dalam penatalaksanaan anak dengan penyakit ISPA, dengan cara:
1. Pemberian makanan
 Berilah makanan secukupnya selama sakit
 Tambahlah jumlahnya setelah sembuh
 Bersihkan hidung agar tidak mengganggu pemberian makanan
2. Pemberian cairan
 Berilah anak minuman lebih banyak
 Tingkatkan pemberian ASI
3. Pemberian obat pelega tenggorokan dan pereda batuk dengan ramuan yang
aman dan sederhana
4. Paling penting: Amatilah tanda-tanda pneumonia

Bawalah kembali ke petugas kesehatan, bila:

 Nafas menjadi sesak


 Nafas menjadi cepat
 Anak tidak mau minum
 Sakit anak lebih parah

1.4.3. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Malaria

Di lokasi penampungan pengungsi penyakit malaria sangat mungkin


terjadi. Hal ini terutama penampungan pengungsi terletak pada daerah yang
endemis malaria atau pengungsi dari daerah endemis datang ke lokasi
penampungan pengungsi pada daerah yang tidak ada kasusnya tetapi terdapat
vektor (daerah reseptif malaria).

a. Pencegahan penyakit Malaria Pencegahan penyakit menular dapat dilakukan


melalui beberapa cara berikut:
a. Pencegahan gigitan nyamuk

Beberapa cara pencegahan penularan malaria antara lain, mencegah


gigitan nyamuk dengan cara:

 Tidur Dalam Kelambu (kelambu biasa atau yang berinsektisida)


 Memasang Kawat Kasa
 Menggunakan Repelen
 Membakar Obat Nyamuk
 Pencegahan dengan obat anti malaria (Profilaksis)

Pengobatan pencegahan malaria diberikan kepada kelompok berisiko


tertular malaria seperti:

 pendatang dan perorangan atau sekelompok orang yang non-imun


yang akan dan sedang di daerah endemis malaria
 Ibu Hamil
 Sasarannya adalah ibu hamil di daerah endemis malaria.
b. Pengelolaan Lingkungan
Pengelolaan lingkungan dapat mencegah, mengurangi atau
menghilangkan tempat perindukan vektor, antara lain:

 Pengeringan
 Pengaliran
 Pembersihan lumut
 Kegiatan ini dilakukan untuk mencegah perkembangan larva nyamuk
Anopheles sundaicus, yang merupakan vektor utama malaria di daerah
pantai. Larva nyamuk ini suka hidup pada lumut di lagun-lagun daerah
pantai. Dengan pembersihan lumut ini, maka dapat mencegah
perkembangan nyamuk An. sundaicus.

Pemberantasan malaria melalui pengobatan penderita


yang tersangka malaria atau terbukti positif secara
laboratorium, serta pengendalian nyamuk melalui
perbaikan lingkungan.

B. Penatalaksanaan kasus Malaria

Langkah-langkah dalam penatalaksanaan malaria ringan/tanpa komplikasi,


antara lain:

1. Anamnesa
Pada anamnesa sangat penting diperhatikan, adalah:
 Keluhan utama, adanya:
a. Demam
b. Menggigil
c. Berkeringat
d. Dapat disertai oleh sakit kepala, mual atau muntah atau disertai
oleh gejala khas daerah, seperti diare pada balita dan nyeri otot
atau pegal-pegal pada orang dewasa
 Riwayat bepergian 1 – 2 minggu yang lalu kedaerah malaria
 Riwayat tinggal didaerah malaria
 Pernah menderita malaria (untuk mengetahui imunitas)
 Riwayat pernah mendapat pengobatan malaria (untuk mengetahui
pernah mendapat obat pencegahan atau pengobatan terapeutik)
2. Pemeriksaan fisik
 Suhu 38ºC
 Adanya pembesaran limpa (splenomegali)
 Pembesaran hati (hepatomegaly)
 Anemia
3. Pengambilan sediaan darah
Puskesmas Pembantu dapat melakukan pengambilan sediaan darah dan
dikirim ke Puskesmas untuk pemeriksaan laboratorium.

4. Diagnosa malaria
 Secara klinis (tanpa pemeriksaan laboratorium): malaria klinis
ringan/tanpa komplikasi dan malaria klinis berat/dengan komplikasi.
 Secara Laboratorium (Dengan pemeriksaan sediaan darah):
a. Malaria klinis ringan/tanpa komplikasi
o Malaria Falciparum (Tropika), disebabkan oleh parasit
plasmodium falciparum
o Malaria Vivax/Ovale (Tertiana, disebabkan oleh parasit
plasmodium vivax/ovale)
o Malaria Malariae, disebabkan oleh parasit plasmodium
falciparum
b. Malaria berat/komplikasi, disebabkan oleh parasit plasmodium
falciparum.
5. Diagnosa banding
Diagnosis banding untuk penyakit malaria, antara lain:
 Demam tifoid
Demam terus menerus 5 – 7 hari dengan keluhan abdominal (diare,
obstipasi) lidah kotor, bradikardi relatif, roseola, leukopenia,
limfositosis relatif.
 Demam dengue
Demam lebih 5 hari, disertai manifestasi sakit kepala, nyeri tulang,
perdarahan pada kulit (patehai, purpura, hematom).
 ISPA (infeksi saluran pernapasan akut)
Penyakit yang disertai dengan gejala batuk, beringus, dan sakit
menelan.
6. Pengobatan malaria klinis

Penatalaksanaan malaria berat atau dengan komplikasi

a. Anamnesa
 Adanya gejala malaria ringan disertai dengan gejala malaria
berat/dengan komplikasi di atas.
 Riwayat bepergian/tinggal didaerah malaria 1 – 2 minggu yang
lalu.
 Riwayat pernah dapat pengobatan malaria.
 Riwayat pernah menderita malaria.
 Pernah dikunjungi oleh orang yang datang dari daerah malaria.
b. Pemeriksaan Fisik
 Temperatur 40º C.
 Nadi cepat dan lemah / kecil
 Frekuensi nafas 35 x per menit pada orang dewasa atau >40 x per
menit pada balita, anak dibawah 1 tahun >50 x per menit.
 Tanda dehidrasi (mata cekung, turgor dan elastisitas berkurang,
lidah kering, produksi urine berkurang).
 Tanda-tanda anemia berat (konjungtiva pucat, telapak tangan
pucat, lidah pucat dan lain-lain).
 Pembesaran limpa dan atau hepar.
 Gagal ginjal ditandai dengan oliguri sampai dengan uria.
 Terlihat mata kuning.
 Tanda-tanda perdarahan di kulit (peteki, purpura, hematom).
c. Pemeriksaan Laboratorium
Tidak dilaksanakan di Pustu, petugas Pustu mengambil sediaan
darah untuk diperiksa di Puskesmas.
d. Diagnosa Malaria Berat
Ditemukan Plamodium falciparum asexual dengan salah satu
manifestasi malaria berat, tanpa penyakit lain yang tidak
menyebabkan manifestasi diatas.
e. Diagnosa Banding
 Meningitis/ensefalitis
 Stroke (gangguan cerebro vaskuler)
 Hepatitis
 Leptospirosis
 Tipoid ensefalitis
 Adanya gejala demam tifoid ditandai dengan penurunan kesadaran
dan tanda-tanda tifoid lainnya.
 Sepsis Adanya demam dengan fokal infeksi yang jelas, penurunan
kesadaran, gangguan sirkulasi, lekositosis dengan toksik granula
didukung hasil biakan mikrobiologi.
 Gagal ginjal
f. Pengobatan
1. Tindakan Umum
Persiapan penderita malaria berat sebelum dirujuk ke Puskesmas
atau Rumah Sakit.
o Perbaiki keadaan umum penderita (beri cairan, nutrisi dan
perawatan umum).
o Ukur suhu, nadi, nafas dan tekanan darah/tensi setiap 30 menit..
2. Pemberian obat anti-malaria
Sebelum penderita dirujuk ke Puskesmas atau Rumah Sakit
bila memungkinkan dilakukan pengobatan sebagai berikut: Kina
HCl 25% (1 ampul berisi 500ml/2cc) Sebelum dirujuk, 1 ampul
Kina HCl, dosis 10 mg/kg BB dilarutkan dalam 500 ml dektrose
5% diberikan selama 8 jam diulang dengan cairan yang sama
setiap 8 jam sampai penderita sadar atau dapat minum obat.
Apabila tidak dapat dilakukan infus, Kina HCL dapat juga
diberikan secara intramuskuler tiap 8 jam pada dosis yang sama
dengan pemberian intravena (infus).
3. Tindakan komplikasi organ umum
Apabila ada kejang-kejang, tindakan Phenobarbital (luminal) 100
mg intramuskuler 1 kali atau Diazepam 10 – 20 mg
(intramuskuler/intravenus).
g. Prognosa
o Prognosa malaria berat tergantung kecepatan diagnosa dan
ketepatan dan kecepatan pengobatan.
o Prognosa malaria berat dengan kegagalan satu fungsi organ lebih
baik daripada kegagalan 2 fungsi organ.
o Mortalitas dengan kegagalan 3 fungsi organ adalah >50%.
o Mortalitas dengan kegagalan 4 atau lebih fungsi organ adalah
>75%.
o Kepadatan parasit lebih 100.000 mortalitas >1%, kepadatan
500.000 mortalitas lebih 50%.
h. . Rujukan Penderita
1. Tingkat rujukan
 Semua penderita malaria berat dirujuk ke Puskesmas atau RS
Kabupaten/Kota
 Apabila penderita tidak bersedia dirujuk ke Rumah Sakit
paling kurang maupun dirujuk ke Puskesmas rawat inap.
2. Cara merujuk
 Setiap merujuk penderita harus disertakan surat rujukan yang
berisi tentang diagnosa, riwayat penyakit, pemeriksaan yang
telah dilakukan dan tindakan yang sudah diberikan.
 Apabila dibuat preparat sediaan darah malaria harus
diikutsertakan.
1.4.4. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Campak
a. Pencegahan penyakit Campak pada bencana
Pada dasarnya upaya pencegahan penyakit campak adalah
pemberian imunisasi pada usia yang tepat. Pada saat bencana,
kerawanan terhadap penyakit ini meningkat karena:
1) Memburuknya status kesehatan, terutama status gizi anak-anak.
2) Konsentrasi penduduk pada suatu tempat/ruang (pengungsi).
3) Mobilitas penduduk antar wilayah meningkat (kunjungan
keluarga).
4) Cakupan imunisasi rendah yang akan meningkatkan kerawanan
yang berat.
Oleh karena itu pada saat bencana tindakan pencegahan terhadap
penyakit campak ini dilakukan dengan melaksanakan imunisasi,
dengan kriteria:

1. Jika cakupan imunisasi campak didesa yang mengalami bencana


80%, tidak dilaksanakan imunisasi massal (sweeping).
2. Jika cakupan imunisasi campak di desa bencana meragukan maka
dilaksanakan imunisasi tambahan massal (crash program) pada
setiap anak usia kurang dari 5 tahun (6–59 bulan), tanpa
memandang status imunisasi sebelumnya dengan target cakupan
95%.

Bila pada daerah tersebut belum melaksanakan imunisasi campak secara


rutin pada anak sekolah, imunisasi dasar juga diberikan pada kelompok
usia sekolah dasar kelas 1 sampai 6.

Seringkali karena suasana pada saat dan pasca-bencana tidak


memungkinkan dilakukan imunisasi massal, maka diambil langkah sebagai
berikut:

1) Pengamatan ketat terhadap munculnya penderita campak.


2) Jika ditemukan satu penderita campak di daerah bencana, imunisasi
massal harus dilaksanakan pada kelompok pengungsi tersebut,
dengan sasaran anak usia 5–59 bulan dan anak usia sekolah kelas 1
sampai 6 SD (bila belum melaksanakan BIAS campak) sampai
hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan penderita positif
terkena campak. Imunisasi tambahan massal yang lebih luas
dilakukan sesuai dengan kriteria imunisasi tersebut.
3) Jika diterima laporan adanya penderita campak di luar daerah
bencana, tetapi terdapat kemudahan hubungan (kemudahan
penularan) dengan daerah bencana, penduduk di desa tersebut dan
daerah bencana harus diimunisasi massal (sweeping) sesuai kriteria
imunisasi.
b. Sistem tatalaksana penderita Campak
Berikut adalah sistem tatalaksana penderita campak.
1) Rujukan Penderita Campak dari Masyarakat – Pos Kesehatan
Pada saat bencana, setiap keluarga, kepala ketua kelompok
pengungsi, kepala desa mendorong setiap anggota keluarganya
yang menderita sakit panas untuk segera berobat ke pos kesehatan
terdekat (termasuk penderita campak).
Petugas menetapkan diagnosis dan tatalaksana penderita
campak dengan benar dan segera melaporkan ke petugas
pengamatan penyakit.
2) Tatalaksana Kasus
Batasan Kasus Campak:
 Menderita sakit panas (diraba atau diukur dengan
termometer 39C)
 Bercak kemerahan. Dengan salah satu gejala tambahan:
batuk, pilek, mata merah, diare
 Komplikasi berat campak
 Bronchopneumonia
 Radang telinga tengah
 Diare
3) Langkah-Langkah Tatalaksana
 Penetapan diagnosa berdasarkan batasan diagnosa dan
komplikasi.
 Panas kurang dari 3 hari, atau panas tanpa bercak
kemerahan dan tidak diketahui adanya diagnosa lain, maka:
a. Berikan: obat penurun panas (parasetamol)
b. Anjuran:
1. Makan dan minum yang banyak
2. Membersihkan badan
3. Jika timbul bercak kemerahan atau sakitnya
semakin
memberat/belum sembuh, berobat kembali ke
pos kesehatan.
 Panas dan bercak kemerahan dengan salah satu gejala
tambahan (panas 3 – 7 hari).
a. Berikan:
1. Penurun panas (parasetamol)
2. Antibiotik (ampisilin, kotrimoksa-sol), lihat
tatalaksana ISPA
3. Vitamin
4. AOralit
b. Anjuran:
1. Makan dan banyak minum
2. Membersihkan badan
3. Jika timbul komplikasi: diare hebat, sesak
napas atau radang telinga tengah (menangis, rewel),
segera kembali ke pos kesehatan.
4. Jika 3 hari pengobatan belum membaik,
segera kembali ke pos kesehatan.

c. Penyelidikan dan Penanggulangan KLB Campak

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyelidikan dan


penanggulangan KLB campak, antara lain:
1. Sumber informasi kasus campak
 Pelaksanaan pengamatan penyakit.
 Laporan petugas penanggulangan bencana.
 Laporan masyarakat (kepala desa, ketua kelompok pengungsi
atau anggota masyarakat lain).
2. Kriteria KLB

Satu kasus di daerah bencana pada keadaan bencana adalah KLB


(masa darurat, masa rehabilitasi).

3. Langkah-Langkah Penyelidika

 Penetapan diagnosa.
 Mencari kasus tambahan dengan pelacakan lapangan, informasi
semua kepala desa, ketua kelompok pengungsi dan keluarga di
daerah bencana.
 Membuat grafik penderita berdasarkan waktu kejadian kasus.
 Membuat pemetaan kasus.
 Menetapkan daerah dan kelompok yang banyak penderita.
 Menetapkan daerah atau kelompok yang terancam penularan,
karena alasan kemudahan hubungan dan alasan rendahnya
cakupan imunisasi.
 Melaksanakan upaya pencegahan dan melaksanakan sistem
tatalaksana penderita campak.

Catatan: Pada saat imunisasi massal, pisahkan antara yang sakit


dan yang sehat.

4. Melaksanakan pengamatan (surveilans) ketat selama KLB


berlangsung, dengan sasaran pengamatan:
 Penderita: peningkatan kasus, wilayah penyebar-an dan
banyaknya komplikasi dan kematian.
 Cakupan imunisasi setelah imunisasi massal.
 Kecukupan obat dan sarana pendukung penanggulangan
KLB.
5. Penggerakkan kewaspadaan terhadap penderita campak dan
pentingnya pencegahan:
 Kepala Wilayah: pengarahan penggerakkan kewaspadaan.
 Menyusun sistem tatalaksana penderita campak.
 Dukungan upaya pencegahan (imunisasi massal).

1.4.5. Pemberantasan Penyakit Menular Spesifik Lokal

Penyakit spesifik lokal di Indonesia cukup bervariasi berdasarkan


daerah Kabupaten/Kota, seperti penyakit hepatitis, leptospirosis, penyakit
akibat gangguan asap, serta penyakit lainnya. Penyakit ini dideteksi
keberadaannya apabila tersedia data awal kesakitan dan kematian di suatu
daerah.

1.5. Air Bersih dan Sanitasi

Seperti diketahui air merupakan kebutuhan utama bagi kehidupan, demikian juga
dengan masyarakat pengungsi harus dapat terjangkau oleh ketersediaan air bersih yang
memadai untuk memelihara kesehatannya. Bilamana air bersih dan sarana sanitasi telah
tersedia, perlu dilakukan upaya pengawasan dan perbaikan kualitas air bersih dan sarana
sanitasi.

Tujuan utama perbaikan dan pengawasan kualitas air adalah untuk mencegah
timbulnya risiko kesehatan aki-bat penggunaan air yang tidak memenuhi persyaratan.

Pada tahap awal kejadian bencana atau pengungsian ketersediaan air bersih bagi
pengungsi perlu mendapat perhatian, karena tanpa adanya air bersih sangat berpengaruh
terhadap kebersihan dan mening-katkan risiko terjadinya penularan penyakit seperti diare,
typhus, scabies dan penyakit lainnya.

1. Standar minimum kebutuhan air bersih

 Prioritas pada hari pertama/awal kejadian bencana atau pengungsian


kebutuhan air bersih yang harus disediakan bagi pengungsi adalah 5
liter/orang/hari. Jumlah ini dimaksudkan hanya untuk memenuhi
kebutuhan minimal, seperti masak, makan dan minum. Hari I
pengungsian: 5 liter/org/hari

 Pada hari kedua dan seterusnya harus segera diupayakan untuk


meningkatkan volume air sampai sekurang kurangnya 15–20 liter/orang/
hari. Volume sebesar ini diperlukan untuk meme-nuhi kebutuhan minum,
masak, mandi dan mencuci. Bilamana hal ini tidak terpenuhi, sangat besar
potensi risiko terjadinya penularan penyakit, terutama penyakt penyakit
berbasis lingkungan. Hari berikutnya: 20 liter/org/hari

 Bagi fasilitas pelayanan kesehatan dalam rangka melayani korban


bencana dan pengungsian, volume sir bersih yang perlu disediakan di
Puskesmas atau rumah sakit: 50 liter/org/hari.

2. Sumber air bersih dan pengolahannya

 Bila sumber air bersih yang digunakan untuk pengungsi berasal dari
sumber air permukaan (sungai, danau, laut, dan lain-lain), sumur gali,
sumur bor, mata air dan sebagainya, perlu segera dilakukan pengamanan
terhadap sumber-sumber air tersebut dari kemungkinan terjadinya pence-
maran, misalnya dengan melakukan pemagaran ataupun pemasangan
papan pengumuman dan dilakukan perbaikan kualitasnya.
 Bila sumber air diperoleh dari PDAM atau sumber lain yang cukup jauh
dengan tempat pengung-sian, harus dilakukan pengangkutan dengan mobil
tangki air.

 Untuk pengolahan dapat menggunakan alat penyuling air (water


purifier/water treatment plant).

3. Beberapa cara pendistribusian air bersih berdasarkan sumbernya

 Air Permukaan (sungai dan danau)

a. Diperlukan pompa untuk memompa air ke tempat pengolahan air


dan kemudian ke tangki penampungan air di tempat penampungan
pengungsi

b. Area disekitar sumber harus dibebaskan dari kegiatan manusia


dan hewan  Sumur gali

a. Lantai sumur harus dibuat kedap air dan dilengkapi dengan


SPAL (saluran pembuangan air limbah)

b. Bilamana mungkin dipasang pompa untuk menyalurkan air ke


tangki tangki penampungan air

 Sumur Pompa Tangan (SPT)

a. Lantai sumur harus dibuat kedap air dan dilengkapi dengan


SPAL (saluran pembuangan air limbah)

b. Bila lokasinya agak jauh dari tempat penampungan pengungsi


harus disediakan alat pengangkut seperti gerobak air dan
sebagainya

 Mata Air

a. Perlu dibuat bak penampungan air untuk kemudian disalurkan


dengan pompa ke tangki air

b. Bebaskan area sekitar mata air dari kemungkinan pencemaran

4. Tangki penampungan air bersih di tempat pengungsian

Tempat penampungan air di lokasi pengungsi dapat berupa tangki air yang
dilengkapi dengan kran air. Untuk mencegah terjadinya antrian yang panjang dari
pengungsi yang akan mengambil air, perlu diperhatikan jarak tangki air dari tenda
pengungsi minimum 30 meter dan maksimum 500 meter.
Untuk keperluan penampungan air bagi kepentingan sehari hari keluarga
pengungsi, sebaiknya setiap keluarga pengungsi disediakan tempat penampungan
air keluarga dalam bentuk ember atau jerigen volume 20 liter.

1.5.1. Perbaikan dan Pengawasan Kualitas Air Bersih

Pada situasi bencana dan pengungsian umumnya sulit memperoleh air


bersih yang sudah memenuhi persya-ratan, oleh karena itu apabila air yang
tersedia tidak memenuhi syarat, baik dari segi fisik maupun bakteriologis,
perlu dilakukan:

Buang atau singkirkan bahan pencemar dan lakukan hal berikut.

a. Lakukan penjernihan air secara cepat apabila tingkat kekeruhan air


yang ada
cukup tinggi.
b. Lakukan desinfeksi terhadap air yang ada dengan menggunakan
bahanbahan desinfektan untuk air
c. Periksa kadar sisa klor bilamana air dikirim dari PDAM
d. Lakukan pemeriksaan kualitas air secara berkala pada titik-titik
distribusi

1.5.2. Perbaikan Kualitas Air

Bilamana air yang tersedia tidak memenuhi syarat, baik dari segi fisik
maupun bakteriologis dapat dilakukan upaya perbaikan mutu air seprti
berikut:

1. Penjernihan Air Cepat, menggunakan:

 Alumunium Sulfat (Tawas)

Cara Penggunaan:

1. Sediakan air baku yang akan dijernihkan dalam ember 20 liter


2. Tuangkan/campuran tawas yang sudah digerus sebanyak ½
sendok teh dan langsung diaduk perlahan selama 5 menit
sampai larutan merata
3. Diamkan selama 10–20 menit sampai terbentuk gumpalan/flok
dari kotoran/lumpur dan biarkan mengendap. Pisahkan bagian
air yang jernih yang berada di atas endapan, atau gunakan
selang plastik untuk mendapatkan air bersih yang siap
digunakan
4. Bila akan digunakan untuk air minum agar terlebih dahulu
direbus sampai mendidih atau didesinfeksi dengan aquatabs.

 Poly Alumunium Chlorida (PAC)


Lazim disebut penjernih air cepat yaitu polimer dari garam
alumunium chloride yang dipergunakan sebagai koagulan dalam
proses penjernihan air sebagai pengganti alumunium sulfat.
Kemasan PAC terdiri dari:

a. Cairan yaitu koagulan yang berfungsi untuk menggumpalkan


kotoran/ lumpur yang ada di dalam air
b. Bubuk putih yaitu kapur yang berfungsi untuk menetralisir pH

Cara Penggunaan:

1) Sediakan air baku yang akan dijernihkan dalam ember


sebanyak 100 liter
2) Bila air baku tersebut pH nya rendah (asam), tuangkan
kapur (kantung bubuk putih) terlebih dahulu agar pH air tersebut
menjadi netral (pH=7). Bila pH air baku sudah netral tidak perlu
digunakan lagi kapur
3) Tuangkan larutan PAC (kantung A) kedalam ember yang
berisi air lalu aduk perlahan lahan selama 5 menit sampai larutan
tersebut merata
4) Setelah diaduk merata biarkan selama 5 – 10 menit sampai
terbentuk gumpalan/flok flok dari kotoran/lumpur dan mengendap.
Pisahkan air yang jernih dari endapan atau gunakan selang plastik
untuk mendapatkan air bersih yang siap digunakan
5) Bila akan digunakan sebagai air minm agar terlebih dahulu
direbus sampai mendidih atau di desinfeksi dengan aquatabs.

2. Desinfeksi Air

Proses desinfeksi air dapat menggunakan

 Kaporit (Ca(OCl)2)

1) Air yang telah dijernihkan dengan tawas atau PAC perlu dilakukan
desinfeksi agar tidak mengandung kuman patogen. Bahan
desinfektan untuk air yang umum digunakan adalah kaporit (70%
klor aktif).
2) Kaporit adalah bahan kimia yang banyak digunakan untuk
desinfeksi air karena murah, mudah didapat dan mudah dalam
penggunaanya.
3) Banyaknya kaporit yang dibutuhkan untuk desinfeksi 100 liter air
untuk 1 KK (5 orang) dengan sisa klor 0,2 mg/liter adalah sebesar
71,43 mg/hari (72 mg/hari).

 Aquatabs (Aqua tablet)


1) Sesuai namanya aquatabs berbentuk tablet, setiap tablet aquatabs
(8,5 mg) digunakan untuk mendesinfeksi 20 liter air bersih, dengan
sisa klor yang dihasilkan 0,1 – 0,15 mg/liter
2) Setiap 1 KK (5 jiwa) dibutuhkan 5 tablet aquatabs per hari untuk
mendesinfeksi 100 liter air bersih.

 Air rahmat, merupakan bahan desinfeksi untuk memperbaiki kualitas air


bersih.

1.5.3. Pengawasan Kualitas Air

Pengawasan kualitas air dapat dibagi menjadi beberapa tahapan, antara


lain:

1. Pada awal distribusi air

 Air yang tidak dilakukan pengolahan awal, perlu dilakukan


pengawasan mikrobiologi, tetapi untuk melihat secara visual
tempatnya, cukup menilai ada tidaknya bahan pencemar disekitar
sumber air yang digunakan.

 Perlu dilakukan test kekeruhan air untuk menentukan perlu tidaknya


dilakukan pengolahan awal.

 Perlu dilakukan test pH air, karena untuk desinfeksi air memerlukan


proses lebih lanjut bilamana pH air sangat tinggi (pH >5).

 Kadar klor harus tetap dipertahankan agar tetap 2 kali pada kadar
klor di kran terakhir (rantai akhir), yaitu 0,6 – 1 mg/liter air.

2. Pada distribusi air (tahap penyaluran air), seperti di mobil tangki air
perlu dilakukan pemeriksaan kadar sisa klor.

3. Pada akhir distribusi air, seperti di tangki penampungan air, bila air
tidak mengandung sisa klor lagi perlu dilakukan pemeriksaan bakteri
Coliform.

Pemeriksaan kualitas air secara berkala perlu dilakukan meliputi:

a) Sisa klor
Pemeriksaan dilakukan beberapa kali sehari pada setiap tahapan
distribusi untuk air yang melewati pengolahan
b) Kekeruhan dan pH
Pemeriksaan dilakukan mingguan atau bilamana terjadi perubahan
cuaca, misalkan hujan.
c) Bakteri E. coli tinja
Pemeriksaan dilakukan mingguan disaat KLB diare dan periode
emergency dan pemeriksaan dilakukan bulanan pada situasi yang
sudah stabil dan pada periode paska bencana.

1.5.4. Pembuangan Kotoran

Langkah langkah yang diperlukan:

1. Pada awal terjadinya pengungsian perlu dibuat jamban umum yang dapat
menampung kebutuhan sejumlah pengungsi. Contoh jamban yang sederhana
dan dapat disediakan dengan cepat adalah jamban kolektif (jamban jamak).
Pada awal pengungsian:
1 (satu) jamban dipakai oleh 50 – 100 orang
Pemeliharaan terhadap jamban harus dilakukan dan diawasi secara ketat dan
lakukan desinfeksi di area sekitar jamban dengan menggunakan kapur, lisol
dan lain-lain.
2. Pada hari hari berikutnya setelah masa emergency berakhir, pembangunan
jamban darurat harus segera dilakukan dan 1 (satu) jamban disarankan dipakai
tidak lebih dari 20 orang.
1 (satu) jamban dipakai oleh 20 orang
Jamban yang dibangun di lokasi pengungsi disarankan:
o Ada pemisahan peruntukannya khusus laki laki dan wanita
o Lokasi maksimal 50 meter dari tenda pengungsi dan minimal 30 meter dari
sumber air.
o Konstruksi jamban harus kuat dan dilengkapi dengan tutup pada lubang
jamban agar tidak menjadi tempat berkembang biak lalat

1.5.5. Sanitasi Pengelolaan Sampah

Kegiatan yang dilakukan dalam upaya sanitasi pengelolaan sampah, antara lain:

1) Pengumpulan Sampah
o Sampah yang dihasilkan harus ditampung pada tempat sampah keluarga
atau sekelompok keluarga
o Disarankan menggunakan tempat sampah yang dapat ditutup dan mudah
dipindahkan/diangkat untuk menghindari lalat serta bau, untuk itu dapat
digunakan potongan drum atau kantung plastik sampah ukuran 1 m x 0,6
m untuk 1 – 3 keluarga
o Penempatan tempat sampah maksimum 15 meter dari tempat hunian
o Sampah ditempat sampah tersebut maksimum 3(tiga) hari harus sudah
diangkut ke tempat pembuangan akhir atau tempat pengumpulan
sementara.
2) Pengangkutan Sampah Pengangkutan sampah dapat dilakukan dengan gerobak
sampah atau dengan truk pengangkut sampah untuk diangkut ke tempat
pembuangan akhir.
3) Pembuangan Akhir Sampah Pembuangan akhir sampah dapat dilakukan
dengan beberapa cara, seperti pembakaran, penimbunan dalam lubang galian
atau parit dengan ukuran dalam 2 meter lebar 1,5 meter dan panjang 1 meter
untuk keperluan 200 orang. Perlu diperhatikan bahwa lokasi pembuangan
akhir harus jauh dari tempat hunian dan jarak minimal dari sumber air 10
meter.
4) Pengawasan dan Pengendalian Vektor
Jenis vektor yang perlu mendapatkan perhatian di lokasi pengungsi adalah
lalat, tikus serta nyamuk. Upaya yang dilakukan berupa:
 Pembuangan sampah/sisa makanan dengan baik
 Bilamana diperlukan dapat menggunakan insektisida
 Tetap menjaga kebersihan individu selama berada di lokasi pengungsi
 Penyediaan sarana pembuangan air limbah (SPAL) dan pembuangan
sampah yang baik
 Kebiasaan penanganan makanan secara higienis

Pelaksanaan pengendalian vektor pada kejadian bencana dapat dilakukan


melalui:

1) Pengelolaan Lingkungan
 Menghilangkan tempat perindukan vektor seperti genangan air,
tumpukan sampah
 Bersama sama pengungsi melakukan :
1) Memberi tutup pada tempat sampah
2) Menimbun sampah yang dapat menjadi sarang nyamuk
3) Membuat saluran air limbah
4) Menjaga kebersihan lingkungan
5) Membersihkan dan menjaga kebersihan jamban
2) Pengendalian dengan bahan kimia
 Dilakukan dengan cara penyemprotan, pengasapan/pengkabutan
diluar tenda pengungsi dengan menggunakan insektisida
 Penyemprotan dengan insektisida sedapat mungkin dihindari dan
hanya dilakukan untuk menurunkan populasi vektor secara drastis
apabila dengan cara lain tidak memungkinkan
 Frekuensi penyemprotan, pengasapan/peng-kabutan serta jenis
insektisida yang digunakan sesuai dengan rekomendari dari Dinas
Kesehatan setempat

1.5.6. Pengawasan dan Pengamanan Makanan dan Minuman

Pengawasan tata cara pengolahan dan penyediaan makanan minuman bagi


pengungsi bertujuan mencegah terjadinya penularan penyakit melalui
makanan dan minuman. Upaya yang dilakukan antara lain:
1) Menjaga kebersihan pengolahan makanan yang memenuhi syarat
kesehatan dengan cara cara penanganan yang benar
2) Penyimpanan bahan makanan maupun makanan matang dilakukan
secara baik dan benar agar tidak menjadi media perkembang biakan
vektor serta bibit penyakit.

4.6. Surveilans Penyakit dan Faktor Risiko

Surveilans penyakit dan faktor risiko pada umumnya merupakan suatu


upaya untuk menyediakan informasi kebutuhan pelayanan kesehatan di lokasi
bencana dan pengungsian sebagai bahan tindakan kesehatan segera. Secara
khusus, upaya tersebut ditujukan untuk menyediakan informasi kematian dan
kesakitan penyakit potensial wabah yang terjadi di daerah bencana;
mengidentifikasikan sedini mungkin kemungkinan terjadinya peningkatan jumlah
penyakit yang berpotensi menimbulkan KLB; mengidentifikasikan kelompok
risiko tinggi terhadap suatu penyakit tertentu; mengidentifikasikan daerah risiko
tinggi terhadap penyakit tertentu; dan mengidentifikasikan status gizi buruk dan
sanitasi lingkungan.

Langkah-langkah surveilans penyakit di daerah bencana meliputi:

1. Pengumpulan data

 Data kesakitan dan kematian


a. Data kesakitan yang dikumpulkan meliputi jenis penyakit yang
diamati berdasarkan kelompok usia (lihat Lampiran 8 dan 10 untuk
form BA-3 dan BA-5)
b. Data kematian adalah setiap kematian pengungsi, penyakit yang
kemungkinan menjadi penyebab kematian berdasarkan kelompok
usia (lihat Lampiran 11 dan 12 untuk form BA-6 dan BA-7)
c. Data denominator (jumlah korban bencana) diperlukan untuk
menghitung pengukuran epidemiologi, misalnya angka insidensi,
angka kematian, dsb
 Sumber data Data dikumpulkan melalui laporan masyarakat, petugas pos
kesehatan, petugas Rumah Sakit, koordinator penanggulangan bencana
setempat.
 Jenis form
a. Form BA-3: Register Harian Penyakit pada Korban Bencana
b. Form BA-4: Rekapitulasi Harian Penyakit Korban Bencana
c. Form BA-5: Laporan Mingguan Penyakit Korban Bencana
d. Form BA-6: Register Harian Kematian Korban Bencana
e. Form BA-7: Laporan Mingguan Kematian Korban Bencana

2. Pengolahan dan penyajian data


Data surveilans yang terkumpul diolah untuk menyajikan informasi epidemiologi
sesuai kebutuhan. Penyajian data meliputi deskripsi maupun grafik data kesakitan
penyakit menurut umur dan data kematian menurut penyebabnya akibat bencana.

3. Analisis dan interpretasi

Kajian epidemiologi merupakan kegiatan analisis dan interpretasi data


epidemiologi yang dilaksanakan oleh tim epidemiologi.

Langkah-langkah pelaksanaan analisis:

 Menentukan prioritas masalah yang akan dikaji


 Merumuskan pemecahan masalah dengan memperhatikan efektifitas dan
efisiensi kegiatan
 Menetapkan rekomendasi sebagai tindakan korektif.

4. Penyebarluasan informasi Penyebaran informasi hasil analisis disampaikan


kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

4.6.1. Proses Kegiatan Surveilans

A. Kegiatan di Pos Kesehatan

Kegiatan surveilans yang dilakukan di pos kesehatan, antara lain:

1) Pengumpulan data kesakitan penyakit yang diamati dan kematian melalui


pencatatan harian kunjungan rawat jalan (form BA-3 dan BA-6).
2) Validasi data agar data menjadi sahih dan akurat, Pengolahan data kesakitan
menurut jenis penyakit dan golongan umur per minggu (form BA-4).
3) Pembuatan dan pengiriman laporan (form BA-5 dan BA-7). Dalam kegiatan
pengumpulan data kesakitan penyakit yang ditujukan pada penyakit-penyakit
yang mempunyai potensi menimbulkan terjadinya wabah, dan masalah
kesehatan yang bisa memberikan dampak jangka panjang terhadap kesehatan
dan/atau memiliki fatalitas tinggi.
Jenis penyakit yang diamati , antara lain:
a. Diare berdarah
b. Campak
c. Diare
d. Demam berdarah dengue
e. Pnemonia
f. Lumpuh layuh akut (AFP)
g. ISPA non-pneumonia
h. Tersangka hepatitis
i. Malaria klinis
j. Gizi buruk, dsb.
Apabila petugas kesehatan di pos kesehatan, maupun puskesmas
menemukan atau mencurigai kemungkinan adanya peningkatan kasus-
kasus tersangka penyakit yang ditularkan melalui makanan (foodborne
diasease) ataupun penyakit lain yang jumlahnya meningkat dalam kurun
waktu singkat, maka petugas yang bersangkutan harus melaporkan
keadaan tersebut secepat mungkin ke Puskesmas terdekat atau Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota.

B. Kegiatan di Puskesmas

Kegiatan surveilans yang dilakukan di puskesmas, antara lain:

a. Pengumpulan data kesakitan penyakit-penyakit yang diamati dan kematian


melalui pencatatan harian kunjungan rawat jalan dan rawat inap pos
kesehatan yang ada di wilayah kerja (form BA-3, BA-6).
b. Validasi data agar data menjadi sahih dan akurat.
c. Pengolahan data kesakitan menurut jenis penyakit, golongan usia dan tempat
tinggal per minggu (form BA4).
d. Pembuatan dan pengiriman laporan (form BA-5 dan BA7).
C. Kegiatan di Rumah Sakit

Kegiatan surveilans yang dilakukan di Rumah Sakit, antara lain:

1) Pengumpulan data kesakitan penyakit yang diamati dan kematian melalui


pencatatan rujukan kasus harian kunjungan rawat jalan dan rawat inap
dari para korban bencana (form BA-3, BA-6).
2) Validasi data agar data menjadi sahih dan akurat.
3) Pengolahan data kesakitan menurut jenis penyakit, golongan usia dan
tempat tinggal per minggu (form BA-4).
4) Pembuatan dan pengiriman laporan (form BA-5 dan BA-7).
D. Kegiatan di Kabupaten/Kota

Kegiatan surveilans yang dilakukan di tingkat Kabupaten/Kota, antara lain:

1) Pengumpulan data berupa jenis bencana, keadaan bencana, kerusakan sarana


kesehatan, angka kesakitan penyakit yang diamati dan angka kematian
korban bencana yang berasal dari puskesmas, Rumah Sakit, atau Poskes
khusus (form BA-1, BA-2).
2) Pengumpulan data berupa jenis bencana, keadaan bencana, kerusakan sarana
kesehatan, angka kesakitan penyakit yang diamati dan angka kematian
korban bencana yang berasal dari Puskesmas, Rumah Sakit atau Poskes
khusus (form BA-1, BA-2)
3) Surveilans aktif untuk penyakit tertentu (form BA-3 dan BA-6)
4) Validasi data agar data menjadi sahih dan akurat
5) Pengolahan data kesakitan menurut jenis penyakit, golongan umur dan
tempat tinggal per minggu (form BA-4)
6) Pertemuan tim epidemiologi kabupaten/kota untuk melakukan analisis data
dan merumuskan rekomendasi rencana tindak lanjut Penyebar-luasan
informasi.
E. Kegiatan di Provinsi

Kegiatan surveilans yang dilakukan di tingkat Provinsi, antara lain:

1) Pengumpulan data kesakitan penyakit-penyakit yang diamati dan kematian


korban bencana yang berasal dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (form
BA-1, BA-2, BA-6 dan BA-7).
2) Surveilans aktif untuk penyakit-penyakit tertentu.
3) Validasi data agar data menjadi sahih dan akurat.
4) Pengolahan data kesakitan menurut jenis penyakit, golongan umur dan
tempat tinggal per minggu (form BA-4).
5) Pertemuan tim epidemiologi provinsi untuk melakukan analisis data dan
merumuskan rekomendasi rencana tindak lanjut. > Penyebarluasan
informasi > Pembuatan dan pengiriman laporan (form BA-5 dan form BA-
7).
F. Keluaran

Adanya rekomendasi dari hasil kajian analisis data oleh tim epidemiologi
diharapkan dapat menetapkan rencana kegiatan korektif yang efektif dan efisien
sesuai dengan kebutuhan. Rencana kegiatan korektif ini tentunya dapat menekan
peningkatan penyakit khususnya penyakit menular di lokasi bencana yang
akhirnya menekan angka kematian akibat penyakit pada pasca bencana.

4.6.2.Surveilans Faktor Risiko

Survailans faktor risiko dilakukan terhadap kondisi lingkungan disekitar lokasi


bencana atau lokasi penampungan pengungsi yang dapat menjadi faktor ririko
timbulnya atau persebaran penyakit terhadap pengungsi. Kegiatan ini dilakukan
dengan cara mengidentifikasi:

1) Cakupan pelayanan air bersih.


2) Cakupan pemanfaatan sarana pembuangan kotoran.
3) Pengelolaan sampah.
4) Pengamanan makanan.
5) Tingkat kepadatan vektor.
6) Kebersihan lingkungan.
7) Tempat-tempat yang berpotensi menjadi tempat perindukan vektor (genangan
air, sumber pencemaran, dll)

4.7. Surveilans Gizi Darurat

4.7.1. Registrasi Pengungsi


Registrasi perlu dilakukan secepat mungkin untuk mengetahui jumlah Kepala
Keluarga, jumlah jiwa, jenis kelamin, usia dan kelompok rawan (balita, bumil,
buteki, dan usila). Di samping itu diperlukan data penunjang lainnya misalnya:
luas wilayah, jumlah camp, dan sarana air bersih. Data tersebut digunakan untuk
menghitung kebutuhan bahan makanan pada tahap penyelamatan dan
merencanakan tahapan surveilans berikutnya.

4.7.2. Pengumpulan Data Dasar Gizi

Data yang dikumpulkan adalah data antropometri yang meliputi, berat badan,
tinggi badan dan umur untuk menentukan status gizi, dikumpulkan melalui survei
dengan metodologi surveilans atau survei cepat.

Disamping itu diperlukan data penunjang lainnya seperti, diare, ISPA, Pneumonia,
campak, malaria, angka kematian kasar dan kematian balita. Data penunjang ini
diperoleh dari sumber terkait lainnya, seperti survei penyakit dari P2PL. Data ini
digunakan untuk menentukan tingkat kedaruratan gizi dan jenis intervensi yang
diperlukan.

4.7.3. Penapisan

Penapisan dilakukan apabila diperlukan intervensi PMT darurat terbatas dan PMT
terapi. Untuk itu dilakukan pengukuran antropometri (BB/TB) semua anak untuk
menentukan sasaran intervensi. Pada kelompok rentan lainnya seperti bumil,
buteki dan usila, penapisan dilakukan dengan melakukan pengukuran Lingkar
Lengan Atas/LILA.

Untuk keperluan surveilans gizi pengungsi, beberapa hal yang perlu disiapkan
adalah:

a. Petugas pelaksana adalah tenaga gizi (Ahli gizi atau tenaga pelaksana gizi)
yang sudah mendapat latihan khusus penanggulangan gizi dalam keadaan
darurat. Jumlah petugas pelaksana gizi minimal tiga orang tenaga gizi terlatih,
agar surveilans dapat dilakukan secepat mungkin. Tenaga pelaksana gizi ini
akan bekerja secara tim dengan surveilans penyakit atau tenaga kedaruratan
lainnya.
b. Alat untuk identifikasi, pengumpulan data dasar, pemantauan dan evaluasi:
o Formulir untuk registrasi awal dan pengumpulan data dasar dan
screening/penapisan; dan juga formulir untuk pemantauan dan evaluasi
secara periodik.
o Alat ukur antropometri untuk balita dan kelompok umur golongan rawan
lainnya. Untuk balita diperlukan timbangan berat badan (dacin/salter), alat
ukur panjang badan (portable), dan medline (meteran).
o Monitoring pertumbuhan untuk balita (KMS).
o Jika memungkinkan disiapkan komputer yang dilengkapi dengan sistem
aplikasi untuk pemantauan setiap individu.
3. Melakukan kajian data surveilans gizi dengan mengintegrasikan informasi dari
surveilans lainnya (penyakit dan kematian).

Peran LSM Internasional dan Lokal

LSM internasional maupun lokal yang mempunyai pos kesehatan untuk


memberikan pelayanan kesehatan kepada para korban bencana sangat diharapkan
bisa menginformasikan kepada petugas kesehatan yaitu melaporkan penyakit-
penyakit yang telah disebut dalam petunjuk teknis ini kepada Puskesmas atau
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat sesuai dengan format yang ada dalam
buku petunjuk ini.

2. ASSASEMENT

2.1. Pengertian Asesmen

Asesmen adalah identifikasi atas sebuah analisis dari situasi tertentu yang menjadi
landasan bagi sebuah proyek, program, atau kegiatan.

2.2 Tujuan asesmen

• Mengidentifikasi dampak suatu bencana/konflik,

• Mengumpulkan informasi dasar,

• mengidentifikasi kelompok yang paling rentan di antara para korban,

• Melakukan upaya mengobservasi situasi sekarang (apa yang berubah, dinamika


situasi di lapangan),

• Mengidentifikasi kemampuan respons pemerintah/LSM/organisasi keagamaan/PMI.

 Periode asesmen

o Situasi normal.

o Situasi bencana/konflik.

o Situasi paska bencana/konflik.

Catatan Penting
Asesmen bertujuan mencari tahu apakah suatu intervensi diperlukan atau tidak, bukan
mengidentifikasi (sebuah) intervensi.Di setiap fase bencana, proses asesmen dapat
dilakukan dengan sarana dan tujuan yang berbeda.Hal yang sering terjadi, asesmen
diberikan saat akan dilakukan intervensi. Tujuannya adalah agar pemberian bantuan yang
bermanfaat, tepat sasaran dan tepat manfaat.

2.3 Saat Situasi Tanggap Darurat Bencana/Konflik


A. Rapid Assessment/ Asesmen Cepat

Asesmen dilakukan setelah terjadi perubahan besar, seperti gempa bumi atau
terjadi pengungsian mendadak. Asesmen memberikan informasi tentang kebutuhan,
jenis intervensi/bantuan yang memungkinkan, dan sumber daya yang dibutuhkan.
Asesmen cepat (rapid assessment) biasanya hanya berlangsung seminggu atau kurang,
dilanjutkan dengan detail assessment.Informasi yang dibutuhkan, antara lain lokasi,
jumlah penduduk sebelum bencana alam/konflik, jumlah korban (yang meninggal,
terluka, dan mengungsi), tingkat keparahan wilayah, pihak terkait yang akan/sudah
memberikan bantuan, situasi keamanan dan keselamatan, kebutuhan yang paling
mendesak per lokasi, fasilitas yang tersedia (air bersih dan pengadaan pangan) dan
lokasinya, serta narahubung (contact person).

B. Detail Assessment

Detail assessment dilakukan berdasarkan beberapa alasan, antara lain rapid


assessment telah dilaksanakan, tetapi detail informasi masih dibutuhkan.

C. Continual Assessment

Asesmen lanjutan (continual assessment) dilakukan ketika PMI telah melakukan


kegiatan detail assessment dan sedang melakukan operasi. Asesmen lanjutan
merupakan sebuah proses saat informasi terbaru dibutuhkan.

Normalnya, asesmen pada saat tanggap darurat mengikuti siklus yang ada (lihat
gambar di bawah).

Detail Assessment--Continual Assessment/ Asesmen Lanjutan--Rapid Assessment/


Asesmen Cepat

2.4. Ringkasan Dari Pendekatan yang Digunakan Dalam Setiap Jenis Asesmen

Asesmen cepat Detail asesmen Asesmen


lanjutan

Waktu Kurang dari Kurang dari satu Informasi


seminggu. bulan dikumpulkan

secara reguler
melalui

periode operasi.

Akses sumber Terbatas Memungkinkan Seluruh Akses


informasi Tidak cukup waktu mengunjungi dapat dilalui
untuk mengunjungi seluruh lokasi
seluruh lokasi dan dan melakukan
berbicara dengan wawancara
seluruh sumber seluruh sumber
informasi. Keamanan informasi.
dan keselamatan
membatasi gerakan
dan akses ke
masyarakat.

Jenis dan sumber Data sekunder, Data sekunder, Data sekunder,


informasi pelayanan lokal seluruh informasi sumber informasi
(kesehatan, air dll) tertentu,
NGO, pemerintah, indikator,
masyarakat yang relawan, serta
terkena staf Palang
dampak/kunjungan Merah dan Bulan
keluarga (contoh Sabit Merah.
kecil).

Asumsi yang Tinggi Rendah Sedang.


digunakan Keterbatasan waktu Waktu yang Asumsi
untuk cukup untuk berdasarkan
mengumpulkan wawancara indikator dan
informasi. Harus kepada seluruh sumber
menggunakan asumsi sumber informasi, tetapi
berdasarkan informasi. dapat diverifikasi
pengalaman dari sumber lain.
sebelumnya

Tim asesmen Generalis/non Generalisnon Staff Palang


spesialis yang spesialis, Merah Bulan
berpengalaman, memungkinkan Sabit Merah
dengan pengalaman didukung dengan (generalist) yang
sebelumnya dari spesialis. melaksanakan
jenis bencana yang aktivitas normal.
sama.

2.5. Langkah-langkah Proses Assasement

2.5.1 Langkah 1 : sebelum ke lapangan

a. Pengumpulan Informasi Awal

b. Apakah Asesmen Dibutuhkan?

Jika Tidak: Proses Dihentikan


Jika Ya: Asesmen Dipersiapkan:

 Tentukan tujuan asesmen/buat kerangka acuan jika diperlukan


 Tentukan jenis asesmen yang akan dilakukan
 Putuskan apakah perlu melibatkan mitra dari luar atau tidak
 Kesimpulan atas data sekunder
 Daftar informasi yang dibutuhkan
 Identifikasi area yang akan dikunjungi dan populasi target
 Mengorganisir data yang ada
 Mengumpulkan sumber daya (HR, waktu, logistik, dan lain-lain)

A. Langkah 1: Sebelum Ke Lapangan

Mengulas

1) Informasi Sekunder
Data yang merupakan informasi yang telah dikumpulkan, baik itu dari komponen
Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional maupun organisasi lain. Data
sekunder dapat berupa informasi mengenai keadaan pada waktu yang telah lalu maupun
saat ini. Data ini bisa dalam bentuk tulisan (laporan dan lainnya) ataupun lisan (diskusi
dan lainnya). Buatlah ulasan dan analisis dari data sekunder yang ada untuk membantu
Anda memutuskan sebuah asesmen perlu dilaksanakan atau tidak. Periksa laporan media,
hubungi agensi kemanusiaan lainnya dan pemerintah, tanyakan pula orang-orang yang
baru saja kembali dari lokasi yang terkena dampak. Kemudian rumuskan beberapa hal di
bawah ini.
 Kondisi alami dari bencana (atau saat bencana cenderung akan terjadi).
 Keadaan yang mendesak.
 Ketidakjelasan informasi.

2) Apakah Asesmen Dibutuhkan

Anda bisa memutuskan melakukan asesmen dengan beragam alasan sebagai berikut ;

 Di sebuah perubahan mendadak terjadi bencana, seperti banjir bandang atau tanah
longsor.
 Anda merasakan kondisi darurat akan terjadi pada masa yang akan datang, contohnya
meningkatnya ketidakstabilan politik atau timbul kekeringan.
 Anda membutuhkan informasi lengkap mengenai kondisi darurat yang ada.

Anda bahkan harus dapat memutuskan untuk tidak melaksanakan asesmen dengan
beragam alasan, seperti berikut ini ;

 Akses ke lokasi bencana tidak memungkinkan.


 Informasi yang ada (berdasarkan laporan agensi lain) cukup memuaskan sehingga
tidak perlu melaksanakan asesmen lagi.
 Banyak agensi sudah melaksanakan asesmen dan ada kecenderungan kelelahan
asesmen di tengah-tengah komunitas.
3) Persiapan Asesmen

Jika kebutuhan terhadap asesmen telah diputuskan, ada beberapa hal yang perlu dilakukan
sebelum turun ke lapangan, antara lain sebagai berikut ;

a. Tentukan Tujuan dan Kerangka Acuan

Mengapa Anda ingin melaksanakan asesmen? Uraikan tujuan secara menyeluruh.


Paparkan pula pertanyaan yang harus dijawab dan aktivitas yang mesti dilakukan.
Apabila memungkinkan, jabarkan pula hal yang spesifik dan hasil yang diharapkan.
Semuanya harus realistis. Harus diketahui pula sekecil apakah yang dibutuhkan untuk
meraih hasil yang diminta. Hal tersebut dapat mengacu pada orang yang akan
menggunakan informasi tersebut dan kebutuhan informasi apa yang diinginkan. Pengguna
informasi tersebut biasanya seperti yang tertera di bawah ini ;

• Staf operasional dan program.


• Pencari dana.
• Departemen komunikasi dan media.
• Pengurus/atasan.

Jika diperlukan, buatlah kerangka acuan. Jelaskan dengan tepat hal yang diharapkan dari
tim asesmen dalam melaksanakan tugas.
b. Tentukan tipe asesmen yang akan digunakan, asesmen cepat (rapid), detail (detailed),
atau lanjutan (continual).
c. Putuskan Perlu atau Tidaknya Melibatkan Mitra dari Luar
Putuskan asesmen akan dilakukan sendiri atau melibatkan PMI dengan mitra dari luar
(asesmen gabungan). Akan ada kemungkinan terjadi pelaksanaan asesmen gabungan
dengan organisasi lain (pemerintah atau NGO) atau dengan perusahaan dalam satu
grup perusahaan. Ini mengingat kerja sama tersebut memiliki manfaat sebagai berikut.
 Terciptanya kerja sama dan koordinasi dalam perencanaan dan implementasi proyek.
 Efisiensi sumber daya, termasuk pembagian tugas dan jumlah orang yang dibutuhkan
dalam asesmen.
 Pengurangan kelelahan dalam asesmen. Ada berbagai cara membagi tugas selama
melakukan asesmen gabungan, yakni.
 Agensi/pihak organisasi kemanusiaan, seperti PMI atau lainnya, yang memiliki
spesialisasi tertentu akan membagi tugasnya. Sebagai contoh, asesmen lapangan dan
koordinasi tim dari agensi tersebut menilai persediaan air dan akses kesehatan,
sementara UNICEF (Badan Internasional PBB yang menangani anak-anak) menilai
kebutuhan pendidikan dari pengungsi anak-anak.
 Agensi dengan spesialisasi yang sama membagi wilayah secara geografis. Sebagai
contoh, perusahaan distribusi makanan A dan perusahaan logistik B telah membagi
area asesmen dengan tujuan menilai kebutuhan pangan. Asesmen gabungan akan
sesuai apabila.
• Setiap organisasi yang berpartisipasi berbagi hal tentang nilai yang ada dan prinsip
operasional.
• Setiap organisasi yang berpartisipasi menggunakan metodologi yang sama atau
sesuai. Dalam kondisi bencana, beberapa hal akan membuat asesmen gabungan tidak
berjalan baik. Sebagai contoh,
• Asesmen tersebut merupakan mandat khusus, seperti penanganan korban konflik
agama/SARA.
• Nilai-nilai organisasi dan prinsip tidak sama.
• Kolaborasi merusak prinsip-prinsip netralitas dan imparsial.
• Setiap organisasi bahkan individu merasakan kecurigaan.

Apabila memungkinkan, buatlah kesepakatan formal yang menyatakan secara spesifik


mengenai peran dan tanggung jawab setiap organisasi ketika melaksanakan asesmen. Jika
hasil asesmen gabungan tidak sesuai, sangatlah penting mengetahui organisasi lain yang
melaksanakan asesmen.Pengulangan asesmen di wilayah yang sama tidak akan efisien,
cenderung melelahkan, dan berdampak negatif pada ketepatan dan keamanan. Mengulas
laporan asesmen dari organisasi lain bisa menjadi bagian berharga sebagai ulasan data
sekunder.

4) Kesimpulan Berkenaan dengan Data Sekunder

Salah satu tugas ketua tim adalah mempelajari laporan dari data sekunder untuk mencari
informasi tentang
• Latar belakang informasi dari area yang dikunjungi.
• Informasi secara langsung yang berkaitan dengan pertanyaan yang diajukan dalam
kerangka acuan.
• Informasi tentang penyebab dan dampak dari bencana yang terjadi. Data sekunder dapat
membantu membuat ide awal atas dugaan permasalahan. Data ini juga berguna
merencanakan wawancara untuk pertama kali di lapangan. Sebagai contoh, jika lahan
pertanian terkena kekeringan, hendaknya Anda mendiskusikan kerugian tanam dengan
petani.

Contoh data sekunder meliputi beberapa hal, antara lain


• Laporan asesmen lapangan dari PMI atau agensi/organisasi/perusahaan lain,
• Laporan media,
• Laporan tentang kondisi sosial dan ekonomi yang ada di pemerintah, sivitas akademika,
atau sekelompok peneliti,
• Survei teknis yang dikerjakan kementerian, sivitas akademika, NGO, dan UN,
• Hasil VCA dari PMI,
• Data sensus penduduk,
• Data meteorologi,
• Peta,
• Saksi mata meteorologi (orang-orang yang baru kembali dari lapangan), dan
• Komunikasi verbal dengan para ahli di lapangan atau isu teknis yang berkaitan. Ada
beberapa sumber lain yang memungkinkan bisa digunakan. Dalam setiap situasi,
perhatikan informasi yang akan berguna dan asal diperolehnya.

5) Daftar Informasi Yang Dibutuhkan

Ini bergantung pada informasi yang telah ada (yang dapat dipercaya dan objektif) dari
asesmen.

6) Identifikasi Area Yang Akan Dikunjungi Dan Populasi Target

Asesmen seharusnya memilih daerah yang bisa mewakili lokasi yang terkena bencana.
Namun, kemungkinan ini sangat jarang dapat dilakukan dalam kondisi darurat. Hal
tersebut dapat menyebabkan metode statistik menjadi tidak layak dilakukan karena alasan
waktu dan akses. Oleh karena itu, gunakan data sekunder untuk mengidentifikasi area dan
populasi yang cocok dengan kriteria di bawah ini.
• Prioritas 1
Area dan populasi yang terkena dampak langsung. Sebagai contoh, pilihlah sebuah lokasi
gempa atau area konflik militer, atau bahkan populasi yang terpaksa meninggalkan
rumah.
• Prioritas 2
Area dan populasi yang secara tidak langsung terkena bencana. Contohnya adalah sebuah
wilayah yang berdampak secara ekonomis dari konflik yang ditimbulkan wilayah
sekitarnya.
• Prioritas 3
Area dan populasi yang tidak terkena dampak atau berdampak kecil. Kondisi darurat di
tempat tersebut tidak memiliki dampak nyata terhadap masyarakat dan mata
pencahariannya (sangat berguna sebagai perbandingan dengan daerah yang terkena
bencana).

Dalam asesmen cepat (rapid) biasanya hanya dimungkinkan mengunjungi suatu wilayah
dan populasi dalam Prioritas 1, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Pada asesmen
detail atau lanjutan, ketiga kategori proritas tersebut seharusnya dilakukan. Terkadang
saat melaksanakan asesmen cepat, perolehan akses pada area di Prioritas 1 tidak
memungkinkan. Jika ini masalahnya, cobalah menggali informasi dan bertanyalah kepada
orang-orang yang baru saja mengunjungi daerah tersebut.
Jelaskan alasan Anda memilih suatu area dalam laporan asesmen. Daftar area yang akan
dikunjungi mungkin berubah setelah kunjungan pertama ke lapangan. Dengan melakukan
kegiatan dan kunjungan ke lapangan, Anda akan mendapatkan gambaran tentang
permasalahan penting yang dihadapi pada beberapa daerah yang terkena dampak.
Mungkin bisa dilakukan kunjungan ke daerah lainnya. Apabila Anda telah memiliki
kerangka waktu yang jelas, berarti beberapa area lain dapat diabaikan dari daftar
kunjungan.

7) Metode Penyampelan (Sampling)


Jika daerah yang ditentukan sangat luas―terbagi menjadi sejumlah desa atau kota
madya―diperlukan cara untuk menentukan langkah di tingkat berikutnya. Ada dua cara
yang bisa dilakukan, yakni ;
a. Penyampelan acak
Lakukan ini ketika area yang ditentukan relatif sama. Buatlah daftar lokasi dan pilih
secara acak daerah yang hendak dikunjungi.
b. Penyampelan tujuan
Jika lokasi sangat berbeda, pilihlah daerah yang lebih memiliki dampak/karakteristik
(etnik, ekonomi, kota/desa, dan lain lain). Pada dasarnya, jauh lebih baik mengunjungi
lebih banyak lokasi dan kurangi wawancara dengan masyarakat di setiap tempat;
dibandingkan mengunjungi sedikit lokasi, namun dengan melakukan banyak
wawancara di tempat tersebut.

8) Pendekatan yang Lain Untuk Penyampelan Acak

 Jika rumah berada di beberapa jalan, tentukan jalan yang hendak dijadikan
sampel, kemudian hitung rumah-rumah seperti yang dijelaskan pada Langkah 2.
 Jika memiliki data populasi, rumah tangga dapat dipilih secara acak dari nama-
nama yang ada di daftar data. Penyampelan Berdasarkan KebutuhanGunakan
penyampelan ini jika ada perbedaan signifikan di antara rumah tangga-rumah
tangga. Sebagai contoh, Anda ingin mewawancarai beberapa rumah tangga karena
ada yang berada di daerah pinggiran atau karena mereka memiliki mata
pencaharian yang berbeda. Ada dua cara pengambilan contoh untuk kasus
demikian.
 Kelompok rumah tangga yang dituju berada di daerah tertentu dalam lingkungan
pedesaan atau perkotaan. Lakukan penyampelan acak, seperti yang dijelaskan
sebelumnya.
 Kelompok rumah tangga yang dituju terpisah dengan desa atau kota. Dengan
memakai hasil sensus desa atau kota, Anda dapat mengidentifikasi rumah tangga-
rumah tangga yang dituju. Lakukan penyampelan acak dari data sensus tersebut.
Jika tidak ada data sensus, tanyakan informasi dari masyarakat setempat untuk
membantu mengidentifikasi jumlah rumah tangga berdasarkan kelompoknya.
9) Mengorganisir Data yang Ada

Tim asesmen menyusun sebuah daftar (checklist) informasi dan sumber daya yang
dibutuhkan sebelum pergi ke lapangan. Hal ini merupakan bagian penting dari asesmen,
yang berfungsi mengarahkan diskusi tim. Daftar berkaitan dengan spesifik asesmen.
Sebuah daftar standar asesmen tidak dibutuhkan karena beberapa hal di bawah ini ;

• Setiap kondisi bencana berbeda.


• Proses membuat daftar sangat penting. Daftar kebutuhan diubah setiap hari selama
asesmen berlangsung. Perubahan dilakukan berdasarkan informasi baru yang diterima dan
analisis tim dari informasi tersebut.
Daftar persiapan seharusnya memasukkan informasi seperti berikut.
• Pertanyaan yang diajukan.
• Metode pengumpulan informasi.
• Sumber (kelompok atau individu).
• Lokasi kunjungan.
• Tanggung jawab dari anggota tim (setiap anggota bertanggung jawab untuk sekian
pertanyaan yang ada).

10) Mengumpulkan Sumber Daya

Tunjuk seseorang menjadi ketua dan tentukan formasi tim. Dapat juga mengikuti formasi
berikut.
• Generalis; satu orang atau lebih yang berpengalaman, tetapi tidak memiliki spesialisasi
teknis tertentu.

• Spesialis; satu orang atau lebih yang memiliki pengalaman spesifik dan keahlian.
• Multidisiplin; sekelompok spesialis mewakili seluruh sektor dalam tugas PMI (insinyur,
pekerja kesehatan, dan lain-lain).

Manfaat dan kelemahan tiga jenis formasi tim di atas dapat dilihat dalam tabel di bawah
ini.

Susunan Tim Manfaat Kelemahan

Generalis Tim dapat berkumpul dengan Kekurangan orang–orang yang


cepat (karena tidak memiliki pengetahuan khusus
membutuhkan orang-orang yang berarti membutuhkan
yang memiliki pengetahuan asessment lanjutan apabila ada
khusus).Oleh karena itu sangat masalah teknis yang
berguna untuk rapid asesmen. terindentifikasi.

Memberikan gambaran analisis Masalah teknis mungkin diabaikan


umum situasi dengan baik.
Dalam situasi yang gawat, tim
Dapat dilakukan setiap orang, asesmen memungkinkan
sangat pas untuk asessment memberikan bantuan pula (seperti
lanjutan halnya dalam kondisi konflik)

Spesialis Dapat mengidentifikasi masalah Bisa jadi hanya fokus pada isu
dengan cepat pada bidang yang yang diketahuinya saja sehingga
ditekuninya. mengabaikan hal lain secara
umum.
Masalah teknis dapat diketahui
dengan detail, sehingga Sulit untuk mengumpulkan
kebutuhan akan tindakan orangorangnya; sebab itu asesmen
lanjutan bisa dihindari. tidak sering dilakukan dengan
susunan tim ini.
Pengalaman yang beragam
memberikan dasar yang luas Mungkin tidak membutuhkan
untuk sebuah analisa banyak spesialis.

Multi-disiplin Sulit untuk mengkoordinir tim


(penggunaan metodelogi yang
kurang sesuai, kebutuhan logisitik
yang sulit dan lain-lain)
Tim yang besar dapat
menghadirkan ancaman dari segi
keamanan dan dapat
mengintimidasi komunitas kecil.

Pilihlah formasi tim yang sesuai berdasarkan situasi dan kondisi lapangan, terutama
kebutuhan jenis informasi apa saja yang ingin dikumpulkan. Setelah itu, pikirkan hal-hal
berikut.
• Jika memungkinkan, libatkan orang setempat. Libatkan seorang penerjemah untuk
setiap anggota tim yang tidak dapat berbahasa setempat.
• Usahakan melibatkan pria dan wanita di dalam tim.

• Terkadang sangat berguna jika melibatkan wakil populasi yang berasal dari area yang
terkena dampak.
• Semua orang bias; persepsi mereka berdasarkan latar belakang budaya, pengalaman,
pelatihan profesional, dan banyak lagi faktor lainnya. Waspada terhadap hal ini dan
cobalah meyakinkan perspektif tiap individu dalam tim untuk berimbang.Apabila
memungkinkan, sangat baik melibatkan staf yang berasal dari kantor setempat atau area
yang akan diasesmen. Artinya, asesmen dapat dilakukan lebih sering, hemat biaya (biaya
perjalanan dan lainnya), dan meningkatkan hubungan dalam melakukan asesmen,
mematangkan perencanaan proyek dan implementasi.

11) Mengorganisir Perjalanan


a. Sebelum turun ke lapangan, ketua tim harus memastikan semua anggota tim telah
diberikan pengarahan mengenai.
• Kerangka acuan atau hal yang diharapkan dari asesmen yang akan dilakukan;
• Rencana kerja, termasuk metodologi yang akan digunakan dan kerangka waktu;
• Pembagian tugas masing-masing anggota tim, pelaporan, dan lain-lain;
• Pengaturan logistik untuk asesmen, seperti transportasi dan akomodasi;
• Keamanan, menyangkut situasi terkini dan prosedur selama asesmen; dan Hal-hal
lain yang berkaitan dengan asesmen.
• Mengumpulkan Sumber Daya
b. Sebelum turun ke lapangan, tim hendaknya memastikan.
• Waktu yang tersedia, seperti waktu efektif di lapangan, dengan tujuan asesmen;
• Ketepatan periode (periode dalam setahun)
• Pengurusan semua hal mengenai logistik dan administrasi telah diselesaikan.

B. Langkah 2: Sebelum Ke Lapangan

1) Prinsip-prinsip Kerja Di Lapangan

Prinsip-prinsip ini seharusnya diikuti selama bekerja di lapangan, yakni sebagai berikut.

o Konsultasi dengan masyarakat yang terkena bencana menjadi hal penting.


o Membangkitkan semangat masyarakat yang terkena bencana dengan memakai bahasa
dan waktu yang mereka miliki. Bahkan, pada kondisi bencana yang terjadi dengan
cepat, masih selalu ada kemungkinan melibatkan pendapat masyarakat lokal.
o Perhatikan kebutuhan-kebutuhan yang mendesak dari kelompok dan individu yang
berbeda (laki-laki, perempuan, orang tua, anak-anak, dan lain-lain).
o Perhatikan kejelasan informasi yang diterima. Informasi bisa saja nyata (benar) atau
opini, tergantung perspektif orang yang memberi informasi. Bisa juga muncul rumor
berdasarkan informasi yang belum jelas.
o Bias. Setiap orang bias, mengingat perspektif dari pemberi informasi dan mereka
yang melaksanakan asesmen.
o Carilah kelompok marginal dan pastikan ketertarikan mereka. Siapa pihak yang kuat
dan suara siapa yang diabaikan. Golongan marginal dapat dikelompokkan
berdasarkan gender, etnis, status sosial, dan karakteristik lain.
o Carilah perubahan dan tren yang memengaruhi masyarakat. Cobalah memahami
penyebab terjadinya perubahan.
o Perhatikan hal yang terjadi di luar dugaan. Siapkan asumsi yang dibutuhkan.
Perhatikan dan temukan isu yang paling penting dalam masyarakat dan dengan siapa
Anda berbicara.
o Perhatikan dampak dari isu-isu yang ada di masyarakat sebagai sebuah kesatuan.
Sebagai contoh, HIV/AIDS tidak hanya menyangkut kesehatan. Di sebagian besar
negara, isu tersebut berdampak luas terhadap ekonomi dan sosial.
o Melalui hasil asesmen, pikirkan cara informasi digunakan dan jenisjenis program apa
saja yang sesuai. Hal ini berkenaan dengan efek positif dan negatif dari program-
program tersebut (Better Programming Initiative–BPI dapat menjadi panduan yang
baik).
o Pikirkan waktu yang dibutuhkan dalam kunjungan ke lapangan. Hindari waktu
kunjungan saat masyarakat sedang sibuk atau sedang ada acara/kegiatan. Perhatikan
pula musim yang sedang berlangsung. Beberapa orang dari masyarakat biasanya tidak
ada dalam komunitas untuk suatu musim tertentu. Aktivitas dan kerentanan juga
cenderung berubah-ubah dari musim ke musim.
2.5.2 Langkah 2 : saat dilapangan
a. Observasi :(gunakan panca indra)
b. Wawancara :
 Wawancara dengan sumber informasi atau tidak?
 Wawancara dengan individu atau kelompok?
c. Wawancara terstruktur, semistruktur atau tidak terstruktur?
A. Bekerja Di Lapangan: Kegiatan

Setiap hari kondisi di lapangan berbeda dan harus direncanakan dengan baik. Langkah-
langkah yang telah ditentukan tidak selamanya harus sesuai seperti rencana. Beberapa
langkah bisa dilakukan pada saat yang bersamaan jika jumlah tim asesmen cukup banyak.
Terkadang perlu mengulang beberapa langkah apabila terdapat hal yang bertentangan dan
tidak konsisten.
Berikut Langkah-Langkah Yang Biasa Dilakukan

1. Langkah 1
Rencana harian
Kegiatan di lapangan seharusnya direncanakan dengan hati-hati setiap hari. Tim
asesmen sebaiknya membuat persiapan (biasanya dilakukan pada malam hari).
Persiapan tersebut antara lain menyangkut.
• Lokasi yang dikunjungi;
• Daftar informasi yang dibutuhkan;
• Kesepakatan terhadap metode wawancara dan sumber informasi (dapat dilakukan
pada saat kegiatan berlangsung);
• Pembagian tanggung jawab (siapa yang melakukan wawancara).
2. Langkah 2
Bicara dengan pemerintah setempat

Dapatkan informasi melalui pemerintah setempat dan beberapa orang penting ketika
tiba di lokasi. Jelaskan siapa Anda, alasan kunjungan, dan metodologi yang akan
dilakukan. Akan sangat berguna apabila Anda memberikan kartu nama organisasi
kepada mereka karena ini memberikan bentuk transparansi dan pertanggungjawaban.

3. Langkah 3
Pengamatan

Lakukan pengamatan di lokasi bersama masyarakat setempat. Kunjungan lapangan


yang dilanjutkan dengan pengamatan (lihat bagian 5.1) akan memberikan kesan awal
yang baik kepada masyarakat.

4. Langkah 4
Wawancara
Pilih individu (dari rumah tangga, sektor informal, dan lainnya) atau kelompok
(umum, mata pencaharian, sektor, dan lainnya) dengan tujuan mendapatkan informasi
yang dibutuhkan.
5. Langkah 5
Pertemuan tim
Tim asesmen harus bertemu secara reguler di lapangan selama melakukan asesmen
(saat siang atau sore hari). Ini untuk memberikan kesempatan berbagi pengalaman dan
kesepakatan apabila terjadi perubahan jadwal asesmen.
6. Langkah 6
Pertemuan dengan komunitas
Pada saat yang memungkinkan, buatlah pertemuan dengan perwakilan masyarakat di
akhir kegiatan asesmen. Jelaskan yang telah Anda kerjakan dan kesimpulan yang
dibuat. Namun, jangan membuat komitmen atau janji yang berkaitan dengan
pemberian bantuan.

2.5.3 Langkah 3: Setelah Dari Lapangan


a. Analisis data/informasi dan rekomendasi
b. Pelaporan

a. Analisis
Analisis merupakan proses saat seluruh informasi yang diperoleh dari segala sumber
yang berbeda disatukan dan dipelajari. Hal ini dilakukan untuk memungkinkan Anda
menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam asesmen, antara lain sebagai berikut. Analisis
1. Apa Masalah Utamanya?
No. Masalah Lokasi 1 Lokasi 2 Lokasi 3 dst.
2. Siapa yang Terkena Dampaknya?
No. Terdampak Lokasi 1 Lokasi 2 Lokasi 3 dst.
3. Apa Kapasitas Dari Masyarakat yang Terkena Dampaknya?
No. Kapasitas Lokasi 1 Lokasi 2 Lokasi 3 dst.
4. Apakah Ada Bantuan yang Tersedia?
No. Jenis Bantuan Lokasi 1 Lokasi 2 Lokasi 3 dst.
5. Apakah Memerlukan Intervensi Dari Pemerintah/Organisasi/Perusahaan? Jika Ya,
Intervensi Seperti Apa yang Diminta?
No. Masalah Lokasi 1 Lokasi 2 Lokasi 3 dst.

Satu pengecualian pada hal penting di atas, yakni perhatikan analisis informasi di
sektor-sektor tertentu. Jika sebuah tim asesmen tidak memiliki spesialis, informasi
yang ada dianalisis setelah asesmen selesai oleh seorang spesialis.
Generalis/nonspesialis sebaiknya tidak mencoba menganalis informasi yang spesifik
selama di lapangan karena akan menyebabkan kesalahan yang nyata dalam pemberian
informasi.Hal-hal yang dapat dilakukan dalam proses analisis, antara lain
• Perbaikan kesalahan pada informasi yang diperoleh;
• Ringkasan dari informasi;
• Penyatuan informasi dari berbagai sumber untuk mencapai suatu kesimpulan;
Pembuatan proposal program.

b. Ketidaktepatan Informasi

Dalam setiap asesmen, Anda akan menghadapi permasalahan ketidaktepatan informasi.


Ini terjadi ketika pemberi informasi memberikan beragam jawaban terhadap pertanyaan
yang sama.
Contoh:
• Seseorang mengatakan kepada Anda bahwa sumber air kering
selama dua bulan dalam tahun ini, sedangkan orang lain mengatakan tidak pernah kering.
• Seseorang mengatakan kepada Anda bahwa ternak di desa mati, sedangkan orang lain
mengatakan sebagian ternak masih hidup dan mencari rumput di tempat yang jauh.
Bagian ini menjelaskan langkah-langkah yang dilakukan untuk mengurangi perolehan
informasi yang tidak tepat.
Langkah Pertama
Pikirkan informasi yang Anda peroleh. Hal ini akan mengidentifikasi kesalahan.
Tanyakan pada diri Anda pertanyaan berikut.
• Apakah informasi terbaru mendukung atau bertentangan dengan data sekunder?
• Apakah informasi yang diperoleh dari sebuah sumber mendukung atau bertentangan
dengan yang lain?

• Apakah informasi yang diperoleh berbeda dengan yang didapat anggota tim asesmen
lain?
• Apakah informasi tersebut masuk akal, misalnya saat seseorang mengatakan kepada
Anda bahwa hasil panen gagal, sementara Anda melihat dengan jelas ada jagung hasil
panen di desa. Ini adalah kesalahan.
Menjawab pertanyaan-pertanyaan di langkah pertama menuntun Anda untuk memikirkan
pertanyaan-pertanyaan baru guna dijawab atau mencari sumber informasi yang lain untuk
mengklarifikasinya. Dalam hal ini, pengamatan sering kali sangat dibutuhkan.

B. Langkah Kedua
Diskusikan temuan secara reguler dengan anggota tim, menyangkut hal-hal di bawah
ini.
• Selama di lapangan, bicarakan sekurang-kurangnya sekali selama berada di
lapangan (biasanya malam hari). Bandingkan informasi yang ada, diskusikan yang
tidak tepat dan kesepakatan untuk mengubah jadwal wawancara.
• Setiap hari setelah kerja di lapangan, diskusikan informasi yang ada dan berikan
kesimpulan.
• Setelah bekerja di lapangan, semua anggota tim bertemu guna membuat kesimpulan
akhir.
Langkah Ketiga
Memperhatikan alasan ketidaktepatan. Ada tiga hal yang biasa dan memungkinkan
hal ini terjadi, yakni
• Persepsi; selalu tidak ada jawaban yang benar. Interpretasi orangorang pada suatu
kejadian tergantung kondisi yang dialaminya.
• Akses mendapatkan informasi; beberapa orang lebih paham mengenai suatu hal
ketimbang orang lain.
• Kesalahpahaman; terkadang seseorang sengaja memberikan informasi yang tidak
sesuai. Tentukan apakah ketidaktepatan informasi akan berdampak pada kesimpulan
asesmen dan proposal untuk program-program selanjutnya atau tidak. Jika
ketidaktepatan bukan hal yang kritis untuk programprogram selanjutnya, cobalah
memperbaikinya, tetapi jangan membuang waktu terlalu lama. Jika tidak dapat
memperbaikinya, Anda seharusnya menempatkan sebuah catatan penjelasan di
laporan akhir.

Jika ketidaktepatan informasi tidak berdampak signifikan terhadap kesimpulan akhir,


cobalah putuskan dengan pilihan beberapa hal di bawah ini.
• Memutuskan dari tiga alasan yang ada dan yang berkaitan (bisa dikombinasikan.
• Memperhatikan alasan munculnya perbedaan informasi.
• Bandingkan keyakinan Anda pada setiap satu sumber, mungkin salah satu sumber lebih
berkredibilitas dari yang lain.
• Cek informasi, entah itu pertanyaan dari mana asal informasi diterima atau identifikasi
sumber baru yang mungkin bisa diklarifikasi. Jika langkah-langkah di atas tidak
menyelesaikan perbedaan, Anda harus membuat sebuah keputusan. Dalam hal ini, ketua
tim membuat keputusan dengan diskusi bersama anggota tim dan memperhatikan semua
informasi yang tersedia. Ingatlah hal-hal penting di bawah ini.
• Kesimpulan didasari keputusan yang telah diidentifikasi dalam laporan asesmen dengan
asumsi yang jelas.
• Membuat rekomendasi untuk kelanjutannya. Tim asesmen tidak diharapkan membuat
desain program yang lengkap. Bagaimanapun, ide dari tim sangatlah berguna untuk
merencanakan program. Ada tiga kemungkinan kesimpulan dari asesmen.
1. Tidak ada kebutuhan untuk intervensi (masyarakat yang terkena dampak berkapasitas
mengatasinya).
2. Ada kebutuhan untuk intervensi, tetapi PMI atau perusahaan/organisasi Anda bukanlah
organisasi yang tepat untuk melakukan intervensi.
3. Ada kebutuhan untuk intervensi dan PMI/perusahaan Anda merupakan organisasi yang
tepat.

2.7 Laporan Asesmen

Bagian ini menghadirkan sebuah format untuk rapid dan detail assessment. Untuk setiap
asesmen, susunlah sebuah laporan berdasarkan informasi yang diberikan. Angka yang
detail dari setiap informasi akan bergantung keadaan yang ada dari setiap
asesmen.Penting untuk menghadirkan kesimpulan dari sebuah asesmen sejelas mungkin.
Penggunaan format standar membantu pembaca mengetahui dengan cepat informasi,
sebagaimana mereka terbiasa dengan tampilannya.

A. Kerangka Kerja Pelaporan

Rapid Dan Detail Assessment


Bagian I
1. Ringkasan
2. Tanggal laporan
3. Alasan melakukan asesmen
4. Tanggal dan jenis bencana
5. Lokasi bencana
6. Jumlah orang yang terkena dampak bencana
Ringkasan dari kesimpulan asesmen
Berikan penjelasan (kurang lebih setengah halaman) berupa ringkasan dari permasalahan
dan populasi yang terkena bencana. Jika ada, kebutuhannya apa? Apakah
PMI/perusahaan Anda direkomendasikan melakukan intervensi?Jika ada, berikan garis
besarnya.Apakah direkomendasikan untuk melakukan asesmen lanjutan?Jika ada,
berikan detail dan waktunya.

Bagian 2
1. Latar belakang informasi
2. Tim asesmen: nama, organisasi, profesi/keahlian/jabatan setiap tim.
3. Lokasi yang dikunjungi: nama daerah dan jelaskan alasan dipilihnya.

4. Perjalanan yang dilakukan: lokasi yang dikunjungi setiap harinya.


5. Sumber informasi: masyarakat dan wawancara kelompok dalam setiap hari.
6. Sumber data sekunder: detail dokumen dan pemberi informasi yang dikonsultasikan.
7. Hambatan yang dialami dalam melakukan asesmen (waktu, akses, keamanan, dan
lainnya).
Bagian 3
DetailNarasi: Berikan penjelasan (antara setengah sampai satu halaman) dengan
menjelaskan beberapa hal berikut ini.
• Penyebab bencana.
• Perkiraan ke depan. Garis besarkan (satu hingga dua halaman) situasi keseluruhan dan
dampak bencana berdasarkan informasi yang diperoleh melalui wawancara kelompok
umum dan informasi yang relevan lainnya, seperti:
• Struktur sosial;
• Pergerakan masyarakat;
• Mata pencaharian;
• Lingkungan;
• Pelayanan; dan
• Hal lain.

3. DESIGN SHELTER
3.1 PENGERTIAN
Sebagai profesional yang terlibat dalam penyediaan shelter bagi masyarakat terdampak
bencana, penting untuk menjelaskan makna shelter dalam konteks kemanusiaan.

Istilah ‘shelter' memang sangat luas, mencakup semuanya dari tempat berlindung
sementara dari badai, misalnya di bawah pohon, hingga ke tenda, gubuk, gedung publik, atau
rumah. Hampir semua objek fisik yang dapat digunakan untuk berlindung dari marabahaya dapat
disebut sebagai shelter. Yang paling penting juga, shelter adalah sebuah proses, dan seringnya
disebut sebagai proses penyediaan 'shelter' (sheltering), hal ini sama pentingnya dengan objek
shelter itu sendiri.

Dalam konteks kemanusiaan istilah shelter merujuk secara khusus pada ruang fisik yang
dapat ditinggali oleh orang yang menjadi pengungsi akibat bencana. Ruang fisik yang digunakan
untuk shelter kemanusiaan sangat beragam bergantung pada faktor-faktor seperti konteks budaya
dan politik, ketersediaan struktur dan bahan, serta profil bencana.

Komunitas yang mencari shelter sesudah terjadi bencana mungkin akan ditampung oleh
keluarga dan teman, mungkin akan mengungsi ke bangunan publik, dalam tenda-tenda yang
tersebar atau kompleks penampungan, atau bahkan di puing-puing rumahnya sendiri. Bantuan
shelter dapat berbentuk aneka ragam, termasuk: shelter sementara, pusat penampungan kolektif,
rumah sewa, intervensi pasar, pelatihan, bahan bangunan, dll.

Yang tetap sama adalah hak atas shelter yang layak dan memadai, memastikan keluarga
terdampak dapat hidup dengan bermartabat dan selamat semenjak rumah/shelter mereka tidak
dapat dihuni hingga saat mereka dapat kembali atau berpindah ke rumah yang permanen dan
aman.

Hampir semua struktur fisik dapat digunakan untuk shelter, tetapi apa yang membuat
sebuah struktur dianggap sesuai untuk ditinggali manusia sementara yang lain dianggap tidak
sesuai atau tidak layak? Apa yang dibutuhkan oleh masyarakat terdampak? Jawaban atas
pertanyaanpertanyaan tersebut dapat memberikan panduan bagi upaya penyediaan yang kita
lakukan.

Hal penting dalam shelter: Yang dibutuhkan oleh komunitas dari shelter
Keselamatan dari • Cuaca buruk - misalnya badai, banjir, kekeringan, gelombang panas
dan
gelombang dingin
• Bahaya sekunder - gempa susulan, penyakit menular
• Konflik sosial atau kerusuhan
• Pengusiran dan penggusuran (keamanan kepemilikan)
• Pelecehan, kekerasan atau ancaman kekerasan kepada individu,
termasuk
Kekerasan Berdasar Gender (GBV)

Kelayakan • Ruang - untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari, termasuk mata


pencaharian
• Privasi dan martabat - untuk berganti baju, menghabiskan waktu
bersama
keluarga
• Keamanan - dari bahaya, agar dapat kembali bekerja

Akses kepada • Layanan pemerintah: sekolah, fasilitas kesehatan, dan transportasi


umum
• Pasokan air: untuk mandi, kebersihan, dan minum
• Fasilitas sanitasi dan mencuci
• Mata Pencaharian: baik melalui pemberian kerja dan upaya lainnya
• Jejaring sosial, keluarga dan teman
• Fasilitas keagamaan dan kebudayaan
Sesuai • Ramah lingkungan
• Secara kebudayaan/sosial
• Agama/kepercayaan
• Bersuhu aman - ventilasi, hangat, teduh
• Sesuai dengan kebudayaan dan konteks bangunan setempat

Kepantasan • Perlengkapan rumah tangga untuk melanjutkan hidup, termasuk: alas


tidur, sandang, penyimpanan, peralatan masak dan kebersihan (bantuan
nonpangan untuk shelter)

Dari tabel di atas, sudah jelas bahwa tugas penyediaan shelter untuk masyarakat
terdampak bukan sekadar penyediaan ruang fisik, akan tetapi lebih pada kerja bersama dengan
komunitas terdampak untuk membantu mereka memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.
Hal ini berlaku bagi shelter perorangan dan keluarga, seiring dengan lingkungan dan
komunitasnya (pertimbangan permukiman). Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut. tidak
selalu dapat dipenuhi sebuah program shelter itu sendiri, sehingga program shelter yang efektif
harus selalu dirancang sebagai komponen yang terintegrasi dalam tindak tanggap kemanusiaan
yang lebih luas. Kebutuhan khusus dapat didukung oleh sektor atau aktor yang berbeda. Ketika
kebutuhan-kebutuhan di atas tidak terpenuhi, masyarakat tetap membutuhkan bantuan shelter.

3.2 Bantuan Shelter Harus Didasar


3.2.1 Berdasarkan Kebutuhan
Sama halnya dengan penyediaan bantuan lainnya, bantuan shelter didasarkan pada
kajian kebutuhan. Kajian kebutuhan shelter kerap membutuhkan penggunaan format
kajian shelter dengan konteks khusus. Kebutuhan teridentifikasi masyarakat terdampak
harus menjadi pusat dari sebuah program shelter. Dalam bencana berskala besar, sering
tak tersedia sumber daya pendukung shelter bagi tiap keluarga terdampak. Dukungan
shelter mungkin harus memprioritaskan bantuan untuk memenuhi kebutuhan kelompok
paling rentan, mereka yang paling tidak mampu memulihkan dirinya sendiri, atau yang
menghadapi ancaman berkonteks khusus. Organisasi kemanusiaan harus memutuskan
keluarga mana yang menjadi target pemberian bantuan, berdasarkan kebutuhan aktual dan
kerentanan khusus. Misalnya, hal tersebut bisa mencakup disabilitas yang disandang oleh
anggota keluarga yang mungkin menghambat keluarga tersebut memenuhi kebutuhan
shelter-nya sendiri. Beberapa kerentanan umum yang teridentifikasi telah terdaftar dalam
isu-isu lintas sektoral, namun
daftar tersebut tidak panjang, dan dalam tiap upaya tanggap bencana akan muncul satu set
tantangan baru untuk pemulihan.
Kebutuhan shelter akan berbeda-beda dalam masyarakat terdampak Komunitas
yang mengungsi akibat bencana mungkin butuh waktu berminggu-minggu, berbulan-
bulan atau bahkan bertahun-tahun sebelum dapat kembali ke rumah permanen yang layak
dan aman. Beberapa orang mungkin hanya mengungsi sementara, sementara yang lain
mungkin tidak akan bisa kembali ke daerah asalnya. Sifat dan lamanya waktu
pengungsian sebuah keluarga bervariasi berdasarkan beberapa faktor.

3.2.2 Kelayakan Shelter


Harus dipastikan bahwa bantuan shelter layak dalam memenuhi kebutuhan
masyarakat terdampak dan memenuhi standar shelter. Hal ini memerlukan kajian
kebutuhan dan pendekatan rancangan yang partisipatif. Dalam menentukan apa yang
layak dan tidak, terdapat beberapa poin penting yang wajib dipertimbangkan, antara lain:

Aman dari resiko


lebih lanjut

Akses terhadap Ramah lingkungan


layanan Ketahanan yang
Kelayakan hunian layak

Sesuai kebudayaan
Fasilitas yang layak setempat

Sesuai iklim

1. Aman Dari Risiko Lebih Lanjut


Lokasi dan rancangan yang aman
Keamanan dari risiko lebih lanjut bergantung pada dua prinsip:
• Jarak yang cukup jauh dari bahaya
• Membuat shelter dengan rancangan dan material yang dapat menangkal bahaya
Kajian risiko akan menentukan apakah lokasi shelter aman dari bahaya di masa
mendatang,
seperti:
• Potensi bencana di masa mendatang, misalnya kebakaran, banjir, dan longsor
• Reruntuhan bangunan dengan potensi ambruk
• Konflik sosial atau kemungkinan penggusuran dalam jangka waktu tertentu

2. Ramah Lingkungan
Ketika membantu komunitas dengan kebutuhan shelter mendesak, salah satu
pertimbangan penting adalah dampak tindakan kita terhadap lingkungan jangka pendek
dan jangka panjang. Dampak negatif terhadap lingkungan mungkin memiliki konsekuensi
yang tidak disangka-sangka, meletakkan mata pencaharian dalam risiko, atau
meningkatkan risiko bahaya di masa mendatang (misalnya risiko longsor akibat
pembalakan hutan).

Program shelter berukuran besar dengan skala masif dan kerangka waktu pendek
memiliki potensi dampak negatif yang besar juga terhadap lingkungan. Yang nampak
seperti solusi ramah lingkungan bagi satu rumah perorangan, misalnya atap rumbia atau
penggunaan kayu setempat, dapat menyebabkan kerusakan lingkungan saat diterapkan
pada puluhan ribu shelter. Mendorong penggunaan solusi shelter yang beragam dapat
mengurangi dampak terhadap lingkungan. Jika shelter dapat menggunakan material yang
sumbernya ramah
lingkungan, lihat isu lingkungan - lintas sektoral untuk rincian lebih lanjut. Jika
memungkinkan, bantuan shelter harus dapat digunakan kembali, dapat dikemas kembali,
dapat didaur ulang atau mudah terurai secara alamiah.

3. Ketahanan yang Layak


Kepemilikan
Penting untuk memastikan bahwa keluarga yang mendapatkan bantuan shelter
memiliki hak untuk menempati shelter mereka hingga terdapat alternatif shelter yang
sesuai. Memiliki shelter permanen yang resmi bukanlah syarat utama untuk
mendapatkan bantuan, karena hak untuk memberikan dan menerima bantuan adalah
inti dari prinsip-prinsip kemanusiaan. Mereka yang tidak memiliki jaminan
kepemilikan yang layak sebelum bencana seringkali menjadi salah satu pihak yang
paling rentan, dan yang paling membutuhkan bantuan kemanusiaan setelah bencana.
Di beberapa negara, kepemilikan permanen kerap tidak jelas statusnya, dengan
banyak masyarakat tinggal di lahan tanpa surat-surat atau tanpa pengaturan kontrak
sewa yang jelas. Bantuan dalam bentuk advokasi untuk hak kepemilikan, baik
permanen atau setidaknya sementara, dapat menjadi bagian penting program shelter.
Jika satu-satunya opsi adalah hak kepemilikan sementara, perjanjian yang baik adalah
mencakup periode waktu, sesuai dan memungkinkan diterapkannya solusi permanen
dengan kelonggaran jika terjadi penundaan upaya pembangunan kembali.

Kualitas material
Pilihan kualitas material akan memastikan bahwa bantuan shelter yang
diberikan mempertahankan integritas struktur yang cukup untuk perkiraan jangka
waktu huni dari shelter tersebut. Distribusi produk yang lebih tahan lama dan dapat
digunakan kembali, dijual, atau dipindahkan, dapat membantu sebuah keluarga dalam
masa peralihan ke shelter permanen meskipun harus diimbangi kecepatan
implementasi dan biaya keseluruhan.
Untuk memastikan kelayakan kualitas material, sangat baik untuk bekerja
sama dengan komunitas dan ahli teknik setempat dalam mendefinisikan spesifikasi
minimum dan pemeriksaan kontrol kualitas sederhana. Pada kasus saat pengadaan
berbasis komunitas diterapkan (lihat hal. 73 untuk informasi tambahan mengenai
implementasi berbasis komunitas), mungkin akan dibutuhkan pelatihan rumah tangga
mengenai kualitas material
atau bekerja dengan pemasok untuk memastikan standar minimum dipatuhi.

Daya Tahan
Dalam penyediaan bantuan shelter, daya tahan material harus dipertimbangkan
daya tahan bergantung pada pilihan material, kualitas material, pertimbangan
rancangan, dan kualitas konstruksi. Bantuan yang diberikan harus dirancang untuk
bertahan selama yang diperlukan oleh keluarga terdampak sebelum mereka bisa
memperoleh perumahan permanen yang aman. Jika ini tidak memungkinkan,
beberapa tahapan bantuan mungkin akan dibutuhkan selama proses shelter berjalan.
Strategi pemeliharaan
Jika shelter diperkirakan akan dihuni untuk waktu yang cukup lama, penting untuk
bekerja
sama dengan anggota komunitas dan para ahli di bidang teknis untuk merancang
strategi pemeliharaan. Agar efektif, strategi seperti ini menggunakan material dan
keahlian setempat, berbiaya rendah, didokumentasikan dengan baik dan
didistribusikan dalam komunitas.

4. Sesuai Kebudayaan Setempat


Masing-masing budaya memiliki anggapan yang berbeda akan kelayakan dan
kesesuaian shelter. Termasuk diantaranya sikap atas kegunaan shelter sehari-hari,
peran dalam pembangunan, penggunaan dan pemeliharaan, bahaya dan risiko,
adaptasi iklim, privasi, pentingnya material dan bentuk arsitektur tertentu.
Keahlian, keinginan, dan kemampuan membangun dalam gaya atau dengan
material tertentu juga akan bervariasi di antara komunitas. Shelter bambu mungkin
secara budaya sesuai di satu daerah, tetapi di komunitas tetangga mungkin akan
dianggap sebagai shelter yang tidak layak. Atap perisai mungkin dianggap aneh
secara budaya dan rumit untuk dibangun di satu wilayah, sementara beberapa ratus
kilometer dari daerah itu atap tersebut dianggap bentuk konstruksi standar.
Ini berlaku tidak hanya pada material bangunan dan tipologi konstruksi, tetapi
juga pada norma budaya dan kegiatan sosial, yang dapat sangat bervariasi di masing-
masing negara, daerah dan wilayah, dan akan mengubah keefektifan modalitas shelter
tertentu. Modalitas implementasi, misalnya apakah menggunakan layanan sukarela
komunitas atau pendekatan perseorangan, bekerja dengan kontraktor atau melalui
hibah tunai atau kupon, juga akan bergantung pada konteks setempat dan kapasitas
komunitas
Suatu aksi tanggap bencana mungkin mencakup rentang kelompok dengan
kebudayaan yang beragam dengan kebutuhan yang berbeda-beda berdasarkan
kebudayaan atau kepercayaan yang dianut. Untuk memastikan suatu intervensi shelter
memiliki kesesuaian budaya, sangat penting untuk melibatkan masyarakat terdampak
dalam tiap tahap proses perancangan dan implementasi. Kajian sosial-budaya dapat
menjadi bagian penting proses analisis kebutuhan shelter.

5. Sesuai Iklim
Satu pertimbangan penting dalam memastikan bahwa shelter layak dan nyaman
adalah efek iklim terhadap pilihan material dan rancangan. Variasi berdasarkan
wilayah dapat sangat berpengaruh dan dapat berdampak besar pada kenyamanan
penghuni shelter pascabencana sehingga menimbulkan kebutuhan akan bantuan
shelter. Karena beberapa keluarga mungkin harus tinggal dalam shelter selama lebih
dari satu tahun, pastikan shelter sesuai dengan perubahan iklim yang terjadi sepanjang
tahun.
a. Jarak dan ketinggian dari permukaan air laut
Laut berfungsi sebagai penyeimbang yang mengurangi fluktuasi suhu antara
siang dan malam. Semakin jauh suatu daerah dari laut baik dalam hal jarak maupun
ketinggian akan meningkatkan fluktuasi/perubahan suhu antara siang dan malam.
Komunitas yang tinggal di lereng pegunungan mengalami malam yang dingin dan
siang hari yang panas dibandingkan iklim pantai yang lebih stabil.
b. Jarak dari garis khatulistiwa
Jarak sebuah lokasi dari garis khatulistiwa atau kutub bumi akan memengaruhi
variasi suhu dari musim ke musim. Variasi berdasar musim, fluktuasi suhu dan pola
cuaca dapat secara drastis mengubah kebutuhan shelter dan harus dipertimbangkan
dalam menentukan jenis bantuan dan modalitas implementasi yang sesuai

6. Fasilitas yang Layak


Jumlah ruang yang dibutuhkan untuk sebuah shelter agar layak memenuhi kebutuhan
keluarga terdampak dapat sangat bervariasi tergantung cakupan dan pertimbangan yang
telah dibahas dalam panduan shelter di bab ini. Dalam fase darurat tanggap bencana saat
semua faktor di atas masih belum jelas, Sphere menyediakan indikator minimum yaitu 3.5
m2 per orang.
 Sanitasi Air dan Higienitas (WASH)
Penyediaan fasilitas WASH biasanya ditangani oleh tim spesialis WASH, sehingga
biasanya tidak termasuk tanggung jawab program shelter. Akan tetapi integrasi program
shelter dan WASH sangat penting dalam memastikan bahwa shelter layak ditinggali
manusia dan aman dari risiko penyebaran penyakit yang ditularkan oleh vektor.
Koordinasi shelter dan bantuan non-pangan (NFI) serta air, sanitasi dan kebersihan
(WASH) adalah pertimbangan yang penting. Banyak peralatan dan material yang
digunakan untuk membangun shelter kemungkinan adalah peralatan dan material yang
sama untuk membangun fasilitas WASH. NFI yang didistribusikan untuk memastikan
standar minimum shelter mungkin tumpang tindih dengan NFI yang disediakan untuk
mencapai standar minimum WASH. Pendekatan yang terkoordinasi dan terintegrasi dapat
memastikan bahwa NFI yang paling sesuai tersedia di saat yang paling tepat. Koordinasi
sangat penting ketika
bantuan WASH dan shelter diberikan oleh lembaga yang berbeda.
 Memasak
Memasak adalah bagian penting fungsi sehari-hari di rumah, sehingga memastikan
bahwa keluarga memiliki peralatan, bahan bakar (dengan opsi penyimpanan
kering/aman), dan perlengkapan memasak adalah tanggung jawab penyedia shelter.
Perlengkapan memasak dan menghidangkan seperti: panci, mangkuk, gelas,
penggorengan, sendok dan garpu adalah barang non-pangan yang biasa didistribusikan.
Cara orang memasak sangat dipengaruhi oleh kebudayaan dan keyakinan agama.
Memastikan barang non-pangan untuk memasak tersedia sesuai kebutuhan dapat dicapai,
antara lain melalui penyertaan masyarakat terdampak dalam semua tahap proses seleksi
dan spesifikasi.
Bahan bakar memasak termasuk dalam pertimbangan yang penting; ini adalah
perhatian khusus dalam bencana urban dan bencana ketika orang mengungsi ke sebuah
lokasi padat untuk waktu yang cukup lama
 Tidur
Tersedianya tempat yang aman dan nyaman untuk tidur adalah fitur penting sebuah
rumah, sehingga ini merupakan bagian penting dalam bantuan shelter.
Sangat penting untuk mempertimbangkan alas dan selimut yang sesuai secara
kebudayaan dan sesuai iklim, sekaligus memastikan perlindungan suhu dari tanah yang
panas dan dingin, serta mempertimbangkan kelambu nyamuk di area yang rentan demam
berdarah dan malaria.

7. Akses Terhadap Layanan


Solusi shelter yang ditawarkan oleh komunitas kemanusiaan terkadang ditinggalkan
oleh komunitas hanya karena komunitas tidak mendapatkan dukungan akses terhadap
layanan eksternal yang dibutuhkan untuk menjalani kehidupan sehari-hari.
Memastikan akses masyarakat terdampak terhadap semua layanan tersebut adalah
tugas yang sulit dan mungkin melampaui kapasitas atau anggaran sebuah program shelter.
Karena program shelter dalam tanggap bencana hampir tak mungkin menyertakan semua
komponen di atas, penting agar program shelter menjalin koordinasi yang erat dengan
pemerintah, komunitas setempat, dan pemangku kepentingan lainnya, serta
mengadvokasikan kebutuhan masyarakat terdampak. Membantu keluarga dan komunitas
dalam menangani isu akses dapat menjadi kunci kemampuan mereka untuk memulihkan
diri
Profil bencana - Terjadi secara cepat vs terjadi secara lambat
contoh Sifat umum Pertimbangan shelter
Terjadi Banjir bandang • Keterbatasan waktu dalam • Tantangan awal
secara Gempa bumi persiapan dan tanggap shelter
cepat Letusan gunung darurat seringkali berupa
(rapid berapi • Kemungkinan lebih besar penyediaan shelter
onset) Badai tropis kehilangan aset rumah darurat dengan cepat
Tsunami tangga • Program shelter
karena tidak ada waktu sementara dan
untuk permanen
menyelamatkannya membutuhkan fokus
• Korban jiwa dan cedera yang kuat terhadap
massal PRB
sebagai dampak langsung dan pelatihan
bahaya yang melanda saat konstruksi.
itu • Kemungkinan
juga atau dalam beberapa membutuhkan NFI
hari dalam
sesudahnya jumlah besar untuk
• Perhatian awal media dan mengganti aset
politik rumah
yang tinggi biasanya tangga
memudar
seiring waktu berjalan

Terjadi Konflik sosial • Korban jiwa biasanya • Dapat mencakup


secara (terjadi secara meningkat kehilangan aset
lambat lambat) seiring waktu. rumah
(slow Banjir • Relokasi sementara atau tangga karena dijual
onset) Gagal panen permanen karena keluarga atau
Kekeringan memilih untuk pindah ke ditinggalkan
Penyebaran penyakit daerah • Dapat
yang dianggap aman. menyebabkan
• Dapat disertai beberapa percampuran antara
bahaya pengungsian
sekunder, misalnya penyakit permanen
yang diakibatkan oleh gizi dan sementara
buruk • Kesenjangan
akibat kekeringan dampak
• Biasanya tidak punya dana yang sangat besar
dan tidak dimasukkan antara
sebagai yang kaya dan yang
prioritas, dengan perhatian miskin.
media atau politik yang • Mengurangi
rendah. kapasitas
penanganan anggota
masyarakat yang
rentan

Design Program
1 Kaji kebutuhan shelter saat ini dan tujuan shelter di masa mendatang bagi
masyarakat terdampak bencana

2 Identifikasi kapasitas utama, dan mekanisme bertahan yang positif, yang


digunakan oleh masyarakat terdampak bencana dalam menghadapi bencana kini
dan di masa lampau

3 Mengembangkan kriteria kerentanan dan target yang sesuai melalui koordinasi


dengan organisasi shelter lainnya

4 Identifikasi kelompok target, berdasarkan kriteria kerentanan, dan mengenai


kurangnya kehadiran aktor kemanusiaan setempat

5 Identifikasi kecenderungan umum serta kerumitan perumahan, tanah, dan


properti, berikut kerentanan lain terkait permukiman

6 Bersama-sama dengan masyarakat target, mengidentifikasi cakupan jenis bantuan


yang sesuai, berdasarkan berbagai jenis opsi shelter masyarakat target, dan tujuan
pembangunan kembali mereka.

7 Menyepakati modalitas implementasi bersama-sama dengan masyarakat target,


otoritas setempat, dan mitra koordinasi

8 . Mendapatkan ijin dari otoritas setempat dan pemimpin komunitas untuk


melaksanakan program

9 Mengumumkan kriteria seleksi penerima manfaat, bantuan dan modalitas shelter,


jadwal, dan mekanisme masukan kepada komunitas

10 Berdasarkan jumlah rumah tangga yang dituju untuk dibantu, dan modalitas
implementasi, perekrutan tim lengkap beserta transportasi dan sumber daya lain
yang diperlukan

11 Membuat intervensi rintisan dengan populasi target pertama


12 Mengembangkan kisaran alat pemantauan yang sesuai

13 Menjalankan implementasi penuh dengan rencana untuk perluasan bertahap ke


komunitas lain dengan kebutuhan shelter

14 Mengulas kemajuan dan dampak yang sesuai, melalui kegiatan pemantauan


berkala, dan pengkajian baru jika dibutuhkan

bencanaee Rumah tumbuh awal dari rumah


Shelter darurat Rumah
masa depan yang lengkap
permanen
4. IMPLEMENTASI

Implementasi promosi kesehatan dibarak pengungsian sebagai berikut :

1) pemasangan media promosi kesehatan berupa spanduk "ayo gotong royong resik-resik;
2) Posyandu (darurat) lansia di lokasi pengungsian dengan kegiatan pendataan lansia
pengukuranbberat badan lansia, pengisian KMS Lansia, pemeriksaan tekanan darah
lansia, pemeriksaan kadar gula darah, pemeriksaan kadar kolesterol;
3) Senam lansia;
4) Pembekalan "Pesan Sehat" perorangan, keluarga dan lingkungan pasca bencana;
5) Advokasi Pelaksanaan Posyandu Balita;
6) Melakukan kemitraan

Kesimpulan :

Promosi kesehatan dalam keadaan bencana sangat bermanfaat dalam menjaga dan meningkatkan
kesehatan para penyintas di barak pengungsian. Pelibatan pengunsi dalam kegiatan promosi
kesehatan sangat diperlukan untuk menjamin keberlangsungan program.

5. MONEY

5.1 Pendanaan Penanggulangan Bencana

Dalam Pasal 5 UU No. 24/2007 ditegaskan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah
bertanggung jawab dalam penyelengaraan penanggulangan bencana. Tangungjawab ini antara
lain diwujudkan dan ditegaskan dalam Pasal 6 huruf (e) dan (f), yaitu dalam bentuk
pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) yang memadai, dan pengalokasian anggaran belanja dalam bentuk dana siap
pakai. Pendanaan dalam RENAS PB ini hanya terkait untuk penyelenggaraaan PB yang menjadi
tanggung jawab Pemerintah di tingkat nasional. Penjabaran secara operasional tentang pendanaan
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan
Bantuan Bencana (PP No. 22/2008). Selanjutnya, PP tersebut dilengkapi dengan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.05/2013 tentang Mekanisme Pelaksanaan Anggaran
Penanggulangan Bencana (PMK No. 105/2013). Uraian dibawah ini merupakan subtansi dari PP
No. 22/2008.

5.2. Sumber Pendanaan

Sumber pendanaan penanggulangan bencana sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4 ayat


(2) PP No. 22/2008 berasal dari (1) Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), (2) Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah (APBD), dan atau (3) Masyarakat. Yang dimaksud dengan
masyarakat sebagaimana tercantum dalam penjelasan PP No. 22/2008 ini adalah orang
perseorangan, lembaga usaha, lembaga swadaya masyarakat baik dalam dan luar negeri.
Angggaran penanggulangan bencana yang disediakan baik melalui APBN ditingkat pusat
maupun APBD ditingkat daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 PP No. 22/2008
disediakan untuk tahap prabencana, saat bencana dan pascabencana. Selain itu, pemerintah
menyediakan pula dana kontijensi, dana siap pakai dan dana bantuan berpola hibah.

Selanjutnya, Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagaimana ditegaskan dalam Pasal ayat
(2) huruf c PP No. 22/2008, mendorong partisipasi masyarakat dalam penyediaan dana yang
bersumber dari masyarakat. Dana yang bersumber masyarakat yang diterima oleh pemerintah
dicatat dalam APBN, dan yang diterima oleh Pemerintah Daerah dicatat dalam APBD.
Pemerintah Daerah hanya dapat menerima dana yang bersumber dari masyarakat dalam negeri,
hal ini ditegaskan dalam Pasal 7 ayat 4 PP No. 22/2008. Dalam mendorong partisipasi
masyarakat,Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat (1) memfasilitasi masyarakat yang akan
memberikan bantuan dana penanggulangan bencana, (2) memfasilitasi masyarakat yang akan
melakukan pengumpulan dana Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2015-2019
penanggulangan bencana, dan (3) meningkatkan kepedulian masyarakat untuk berpartisipasi
dalam penyediaan dana. Setiap pengumpulan dana penangulangan bencana wajib mendapat izin
dari instansi/lembaga yang berwenang. Setiap izin yang diberikan oleh instansi/lembaga, maka
salinannnya disampaikan kepada BNPB atau BPBD.

5.3. Pengelolaan Dana

Pengelolaan dana PB dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, BPNB dan/atau


BPPD sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Dana penanggulangan digunakan sesuai dengan
penyelenggaraan PB yang meliputi tahap prabencana, saat tanggap daruratdan/atau
pascabencana. BNPB atau BPBD sesuai dengan kewenangannya mengarahkan penggunaan dana
penanggulangan bencana yang dialokasikan dalam APBN dan APBD.

5.3.1 Penggunaan Dana Pra Bencana

Penggunaan dana yang bersumber dari APBN atau APBD pada tahap bencana
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan
yang meliputi perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pertanggungjawabannya. Dana
penanggulangan pada tahap prabencana dialokasikan untuk kegiatan dalam situasi:

1. Tidak terjadi bencana, maka penggunaan dananya meliputi (1) fasilitasi penyusunan
rencana penanggulangan bencana, (2) program pengurangan risiko bencana, (3) program
pencegahan bencana, (4) penyusunan analisis risiko bencana, (5) fasilitasi pelaksanaan
penegakan rencana tataruang, (6) penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan
penanggulangan bencana dan, (7) penyusunan standar teknis penanggulangan bencana.

2. Terdapat potensi bencana, maka penggunaan dananya meliputi: (1) kegiatan


kesiapsiagaan yang meliputi: penyusunan dan uji coba rencana
kedaruratan,pengorganisasian,pemasangan dan pengujian sistem peringatan dini,penyediaan
dan penyiapan barang pasokan, pengorganisasian penyuluhan dan latihan tentang
mekanisme tanggap darurat, penyiapan lokasi evakuasi dan lain-lain,(2) pembangunan
sistem peringatan dini antara lain meliputi: pengamatan gejala bencana, analisis hasil
pengamatan gejala bencana, pengambilan keputusan oleh pihak yang berwenang,
penyebarluasan informasi tentang peringatan bencana dan pengambilan tindakan oleh
masyarakat, dan, (3) kegiatan mitigasi bencana antara lain meliputi pelaksanaan penataan
ruang, pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur dan tata bangunan, serta
penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan baik secara konvensional maupun
modern.

5.3.2 Penggunaan Dana Saat Bencana (Tanggap Darurat)

Dana penanggulangan bencana yang digunakan pada saat tanggap darurat meliputi: (1)
dana penanggulangan bencana yang telah dialokasikan dalam APBN atau APBD untuk
masing-masing instansi/lembaga terkait; (2) dana siap pakai yang dialokasikan dalam
anggaran BNPB; dan (3) dana siap pakai yang telah dialokasikan pemerintah daerah dalam
anggaran BPBD.

Dana Siap Pakai adalah dana yang selalu tersedia dan dicadangkan oleh Pemerintah
untuk digunakan pada Status Keadaan Darurat Bencana yang dimulai dari status Siaga
Darurat, Tanggap Darurat dan Transisi Darurat ke Pemulihan.

Penggunaan dana penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat, meliputi: (1)
pelaksanaan pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber daya;
(2) kegiatan penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana; (3) pemberian
bantuan pemenuhan kebutuhan dasar korban bencana; (4) pelaksanaan perlindungan
terhadap kelompok rentan; dan (5) kegiatan pemulihan darurat prasarana dan sarana.

Dana siap pakai digunakan sesuai dengan kebutuhan tanggap darurat bencana.
Penggunaan dana siap pakai terbatas pada pengadaan barang dan/atau jasa untuk (1)
pencarian dan penyelamatan korban bencana; (2) pertolongan darurat; (3) evakuasi korban
bencana; (4) kebutuhan air bersih dan sanitasi; (5) pangan; (6) sandang; (7) pelayanan
kesehatan; dan (8) penampungan serta tempat hunian sementara. Penggunaan dana siap
pakai dilaksanakan berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Kepala BNPB nomor
6A/2012 tentang Penggunaan Dana Siap Pakai (DSP).
Dalam hal pemerintah daerah mengalokasikan dana siap pakai dalam anggaran BPBD,
pengaturan penggunaan dana siap pakai berlaku mutatis mutandis Pasal 17 PP No. 22/2008.

5.3.3. Penggunaan Dana Pascabencana

Perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban


penggunaan dana penanggulangan bencana yang bersumber dari APBN dan APBD pada
tahap pascabencana dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

1. Kegiatan Rehabilitasi, meliputi: (1) perbaikan lingkungan daerah bencana; (2) perbaikan
prasarana dan sarana umum; (3) pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat; (4)
pemulihan sosial psikologis; (5) pelayanan kesehatan; (6) rekonsiliasi dan resolusi konflik;
(7) pemulihan sosial ekonomi budaya; (8) pemulihan keamanan dan ketertiban; (9)
pemulihan fungsi pemerintahan; atau (10) pemulihan fungsi pelayanan publik.

2. Kegiatan rekonstruksi, meliputi: (1) pembangunan kembali prasarana dan sarana; (2)
pembangunan kembali sarana sosial masyarakat; (3) membangkitan kembali kehidupan sosial
budaya masyarakat; (4) penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan
yang lebih baik dan tahan bencana; (4) partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi
kemasyarakatan, lembaga usaha dan masyarakat; (5) peningkatan kondisi sosial, ekonomi,
dan budaya; (6) peningkatan fungsi pelayanan public; atau (7) peningkatan pelayanan utama
dalam masyarakat.

3. Pemerintah dapat memberikan bantuan untuk pembiayaan pascabencana kepada


pemerintah daerah yang terkena bencana berupa dana bantuan sosial berpola hibah. Untuk
memperoleh bantuan, pemerintah daerah mengajukan permohonan tertulis kepada
Pemerintah melalui BNPB.

4. Berdasarkan permohonan, BNPB melakukan evaluasi, verifikasi, dan


mengkoordinasikannya dengan instansi/lembaga terkait. Hasil evaluasi dan verifikasi
ditetapkan oleh Kepala BNPB dan disampaikan kepada Menteri Keuangan untuk selanjutnya
diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan penggunaan
dana bantuan sosial berpola hibah.

6. STRATEGI EXIT

Koordinasi dan pengendalian di lapangan pasca kerawanan bencana. Koordinasi dan


pengendalian merupakan hal yang sangat diperlukan dalam penanggulangan dilapangan,
karena dengan koordinasi yang baik diharapkan menghasilkan output/ keluaran yang
maksimal sesuai sumber daya yang ada meminimalkan kesenjangan dan kekurangan dalam
pelayanan, adanya kesesuaian pembagian tanggung jawab demi keseragaman langkah dan
tercapainya standard penanggulangan bencana dilapangan yang diharapkan. Koordinasi yang
baik akan menghasilkan keselarasan dan kerjasama yang efektif dari organisasi-organisasi
yang terlibat penanggulangan bencana di lapangan. Dalam hal ini perlu diperhatikan
penempatan struktur organisasi yang tepat sesuai dengan tingkat penanggulanganbencana
yang berbeda, serta adanya kejelasan tugas, tanggung jawab dan otoritas dari masing-masing
komponen/ organisasi yang terus menerus dilakukan secara lintas program dan lintas sektor
mulai saat persiapan, saat terjadinya bencana dan pasca bencana.

Kegiatan pemantauan dan mobilisasi sumber daya dalam penanggulangan bencana di

lapangan pada prinsipnya adalah:

1. Melaksanakan penilaian kebutuhan dan dampak keselamatan secara cepat (Rapid


Health Assesment) sebagai dasar untuk pemantauan dan penyusunan program
mobilisasi bantuan.
2. Melaksanakan skalasi pelayanan dan mobilisasi organisasi yang terkait dalam
penanggulangan masalah akibat bencana dilapangan, mempersiapkan sarana
pendukung guna memaksimalkan pelayanan.
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Pengungsian pola sisipan yaitu pengungsi menumpang di rumah sanak keluarga.


Pengungsian yang terkonsentrasi di tempat-tempat umum atau di barak-barak yang telah
disiapkan. Pola lain pengungsian yaitu di tenda-tenda darurat disamping kanan kiri rumah
mereka yang rusak akibat bencana. Apapun pola pengungsian yang ada akibat bencana tetap
menimbulkan masalah kesehatan. Masalah kesehatan berawal dari kurangnya air bersih yang
berakibat pada buruknya kebersihan diri dan sanitasi lingkungan yang menyebabkan
perkembangan beberapa penyakit menular. Persediaan pangan yang tidak mencukupi juga
memengaruhi pemenuhan kebutuhan gizi seseorang serta akan memperberat proses terjadinya
penurunan daya tahan tubuh terhadap berbagai penyakit.

Asesmen adalah identifikasi atas sebuah analisis dari situasi tertentu yang menjadi
landasan bagi sebuah proyek, program, atau kegiatan. Asesmen dilakukan setelah terjadi
perubahan besar, seperti gempa bumi atau terjadi pengungsian mendadak. Asesmen memberikan
informasi tentang kebutuhan, jenis intervensi/bantuan yang memungkinkan, dan sumber daya
yang dibutuhkan. Asesmen cepat (rapid assessment) biasanya hanya berlangsung seminggu atau
kurang, dilanjutkan dengan detail assessment.Informasi yang dibutuhkan, antara lain lokasi,
jumlah penduduk sebelum bencana alam/konflik, jumlah korban (yang meninggal, terluka, dan
mengungsi), tingkat keparahan wilayah, pihak terkait yang akan/sudah memberikan bantuan,
situasi keamanan dan keselamatan, kebutuhan yang paling mendesak per lokasi, fasilitas yang
tersedia (air bersih dan pengadaan pangan) dan lokasinya, serta narahubung (contact person).

Sebagai profesional yang terlibat dalam penyediaan shelter bagi masyarakat terdampak
bencana, penting untuk menjelaskan makna shelter dalam konteks kemanusiaan. Istilah ‘shelter'
memang sangat luas, mencakup semuanya dari tempat berlindung sementara dari badai, misalnya
di bawah pohon, hingga ke tenda, gubuk, gedung publik, atau rumah. Hampir semua objek fisik
yang dapat digunakan untuk berlindung dari marabahaya dapat disebut sebagai shelter. Yang
paling penting juga, shelter adalah sebuah proses, dan seringnya disebut sebagai proses
penyediaan 'shelter' (sheltering), hal ini sama pentingnya dengan objek shelter itu sendiri.
Promosi kesehatan dalam keadaan bencana sangat bermanfaat dalam menjaga dan meningkatkan
kesehatan para penyintas di barak pengungsian. Pelibatan pengunsi dalam kegiatan promosi
kesehatan sangat diperlukan untuk menjamin keberlangsungan program.

Pendanaan Penanggulangan Bencana dalam Pasal 5 UU No. 24/2007 ditegaskan bahwa


Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab dalam penyelengaraan penanggulangan
bencana. Tangungjawab ini antara lain diwujudkan dan ditegaskan dalam Pasal 6 huruf (e) dan
(f), yaitu dalam bentuk pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang memadai, dan pengalokasian anggaran belanja
dalam bentuk dana siap pakai. Pendanaan dalam RENAS PB ini hanya terkait untuk
penyelenggaraaan PB yang menjadi tanggung jawab Pemerintah di tingkat nasional. Penjabaran
secara operasional tentang pendanaan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008
tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana (PP No. 22/2008). Selanjutnya, PP
tersebut dilengkapi dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.05/2013 tentang
Mekanisme Pelaksanaan Anggaran Penanggulangan Bencana (PMK No. 105/2013). Uraian
dibawah ini merupakan subtansi dari PP No. 22/2008.

Koordinasi dan pengendalian di lapangan pasca kerawanan bencana. Koordinasi dan


pengendalian merupakan hal yang sangat diperlukan dalam penanggulangan dilapangan, karena
dengan koordinasi yang baik diharapkan menghasilkan output/ keluaran yang maksimal sesuai
sumber daya yang ada meminimalkan kesenjangan dan kekurangan dalam pelayanan, adanya
kesesuaian pembagian tanggung jawab demi keseragaman langkah dan tercapainya standard
penanggulangan bencana dilapangan yang diharapkan. Koordinasi yang baik akan menghasilkan
keselarasan dan kerjasama yang efektif dari organisasi-organisasi yang terlibat penanggulangan
bencana di lapangan.

3.2 SARAN

Diharapkan mahasiswa dapat memahami tentang Perawatan Di Lapangan dan Dalam


penulisan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan oleh karena itu kami mohon saran yang
membangun. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA

Syamsul, Maarif. 2014. Rencana Nasional Penanggulangan Bencana. Jakarta


Margowiyono. 2019. Panduan Shelter Untuk Kemanusiaan. Jakarta:Fabian Prideux
Palang Merah Indonesia. 2008. Manual Logistik Palang Merah Indonesia
Palang Merah Indonesia. 2009. Pelatihan Manajemen Bencana.
Palang Merah Indonesia. 2009. Pelatihan Manajemen Tanggap Darurat Bencana.
Palang Merah Indonesia. 2012. Petunjuk Teknis tentang Tanggap Darurat Bencana Palang Merah
Indonesia.
Palang Merah Indonesia. 2012. Petunjuk Teknis Distribusi Bantuan Palang Merah Indonesia
untuk Operasi Tanggap Darurat Bencana.
Rustam S. Pakaya, dkk. 2007.Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat
Bencana. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai