Pengertian Spiritual Teaching
Pengertian Spiritual Teaching
I. PENDAHULUAN
Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Manusia memiliki
keistimewaan yang tidak dimiliki oleh makhluk Tuhan yang lain. Akal merupakan
kelebihan yang telah diberikan Tuhan kepada manusia. Dengan akal manusia mampu
belajar, berfikir, memahami serta melakukan mana yang baik dan mana yang buruk.
Mana yang boleh dan mana yang tidak. Dengan akal yang dimiliki, seorang manusia
mampu mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidupnya yaitu memaksimalkan
proses berfikir sehingga dapat dikatakan manusia dibekali kecerdasan yang luar biasa
dibanding dengan makhluk Tuhan yang lain.
Sering kita temui, para pendidik (guru) yang bekerja semata – mata untuk mencari
nafkah, memperoleh penghasilan, hanya untuk mendapatkan materi bukan untuk
mendapatkan sebuah kepuasan batin. Padahal dalam ajaran agama sendiri dijelaskan,
ketika seseorang memilih untuk bekerja apa pun itu, maka semua itu harus didasari niat
beribadah kepada Tuhan. Namun, banyak yang lupa akan hal itu sehingga menganggap
ketika dia (guru) telah memberikan pengajaran tentang suatu pengetahuan, hanya
sebatas itu saja, tanpa memikirkan bagaimana budi pekerti atau sikap perilaku anak
didiknya.
Hanya sedikit guru yang mampu memberikan pelajaran, tidak hanya memberikan ilmu
pengetahuan, tetapi juga mendidik para peserta didik agar menjadi manusia yang
berbudi. Para pendidik yang seperti ini berarti mampu mengenali dan memahami apa
hakikat dari apa yang dia lakukan tersebut yaitu menjadi seorang pendidik, panutan bagi
orang – orang di sekitarnya terutama bagi peserta didiknya.
Guru juga seorang manusia di mana masih perlu banyak belajar. Guru merupakan salah
satu profesi yang terhormat karena dari perantara seorang gurulah kita mendapatkan
berbagai macam ilmu dan pengetahuan. Guru harus mampu memberikan teladan yang
baik bagi murid-muridnya karena setiap sikap dan tingkah lakunya selalu menjadi
sorotan lingkungan sekitarnya. Untuk itu, seorang pendidik (guru) harus mampu
mengoptimalkan IQ, EQ dan SQ yang dimiliki agar nantinya mampu melahirkan para
generasi yang juga memiliki IQ, EQ dan SQ yang baik.
II. PEMBAHASAN
A. Spiritual Teaching Sebagai Konsep Yang Melibatkan IQ,EQ,SQ
Guru merupakan orang yang sangat penting dalam proses belajar mengajar tertentunya
mengetahui berbagai pengaruh yang mengitari dalam melaksanakan tugasnya. Strategi
spiritual teaching adalah rencana cermat melalui sebuah proses penyampaian dan
penanaman pengetahuan atau keterampilan yang berkaitan dengan suatu mata pelajaran
tertentu kepada siswa yang dilakukan oleh guru dalam kerangka pengabdian kepada
Allah sebagai sang Maha Pemilik Ilmu dalam praktek model pembelajaran dengan
pendekatan spiritual, dengan cara mencintai profesi dan anak didiknya. Siswa akan
mencintai guru dengan cara mengidolakannya serta menempatkan guru sebagai sosok
yang berwibawa sehingga dapat mendorong siswa semangat dan senang dalam belajar.
Dalam konsep mengajar seorang pendidik bahwa tolak ukur peranan guru bukan
sebagai pengajar, melainkan sebagai pembimbing belajar atau pemimpin belajar atau
fasilitator belajar.
Seorang guru yang dikatakan cerdas, profesional dan bermakna tidak hanya
memberikan atau menyampaikan pengetahuan (transfer of knowledge) tapi juga mampu
menyampaikan nilai-nilai moral sehingga mampu mendidik sikap dan perilaku peserta
didik menjadi lebih baik (transfer of value). Terkadang seorang pendidik hanya
mengandalkan kecerdasan intelektualnya saja dalam menyampaikan materi pelajaran,
sehingga tak jarang kita temukan seorang pendidik yang tidak bertindak tidak patut dan
semestinya. Maka dari itu sangat penting bagi para guru untuk mulai menyadari bahwa
pendidikan bukan hanya transfer ilmu pengetahuan, tetapi lebih dari itu mendidik
merupakan upaya untuk menanamkan nilai – nilai kebaikan, nilai – nilai religius.
Sebagai pribadi, salah satu tugas besar dalam hidup ini adalah berusaha
mengembangkan segenap potensi (fitrah) kemanusiaan yang kita miliki, melalui upaya
belajar/ learning to do, learning to know (IQ), learning to live together (EQ) dan
learning to be (SQ) serta berusaha untuk memperbaiki kualitas diri pribadi secara terus-
menerus, hingga pada akhirnya dapat diperoleh aktualisasi diri dan prestasi hidup yang
sesungguhnya (real achievement).
Sebagai pendidik (calon pendidik) dalam mewujudkan diri sebagai pendidik yang
profesional dan bermakna, tugas kemanusiaan kita adalah berusaha membelajarkan
peserta didik untuk dapat mengembangkan segenap potensi (fitrah) kemanusiaan yang
dimilikinya, melalui pendekatan dan proses pembelajaran yang menantang atau
problematis (Problematical Learning/IQ), menyenangkan (Joyful Learning/ EQ) dan
bermakna (Meaningful Learning/ SQ).
Seorang pendidik sejati akan menanamkan tauhid yang baik dan kokoh kepada anak
didiknya. Apapun mata pelajaran yang mereka emban, sehingga tidak ada celah bagi si
anak untuk membangkang terhadap perintah Tuhannya. Sikap dan perilaku peserta didik
akan terkontrol degan sendirinya, tanpa perlu satpam, polisi dan hansip. Dengan pribadi
yang matang dari segi keilmuan dan tauhid, maka akan secara otomatis memberi
pengaruh yang positif bagi diri dan lingkungannya.
Dalam dunia pendidikan, keseluruhan aspek kecerdasan (IQ, EQ dan SQ) perlu
mendapat perhatian yang seimbang. Kecerdasan intelektual yang tidak diiringi dengan
kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual, hanya akan menghasilkan kerusakan
dan kehancuran bagi kehidupan
Daniel Goleman dalam bukunya yang berjudul “Emotional Intelligence”, dijelaskan
bahwa kunci sukses seseorang ternyata tidak hanya disebabkan tingginya IQ
(Intelligence Quotient) saja, ada faktor lain yang dapat membawa seseorang menuju
jalan kesuksesan, yaitu EQ (Emotional Quotient) atau kecerdasan emosional. Tetapi IQ
dan EQ yang tinggi ternyata belum cukup, dibutuhkan lagi apa yang dinamakan SQ
(Spiritual Quotient). Penggabungan antara kerelegiusan dan psikologi yang sudah
mendekati kesempurnaan,bahwa manusia tidak mungkin bisa terlepas dari yang
namanya takdir dan ikhtiar untuk keberlangsungan hidupnya. Dan berikut akan
disebutkan beberapa jenis manusia berdasarkan tingkat IQ, EQ dan SQ yang
dimilikinya.
1. Jenis manusia yang mempunyai IQ bagus, EQ tidak bagus, dan SQ tidak bagus, maka
dia seorang yang rasionalis, artinya mengedapankan akal dan pikiran dalam menentukan
sesuatu (padahal akal manusia sangat terbatas jangkauannya).
2. Jenis manusia yang mempunyai IQ bagus, EQ bagus, dan SQ tidak bagus, maka dia
seorang materialis, artinya memandang sesuatu mengharapkan material.
3. Jenis manusia yang mempunyai IQ tidak bagus, EQ tidak bagus, dan SQ bagus, maka
dia seorang yang moralis, artinya terus sendiri dalam beribadah, tanpa memikirkan
bagaimana orang lain di sekelilingnya.
4. Jenis manusia yang mempunyai IQ bagus, EQ tidak bagus, dan SQ bagus, maka dia
seorang yang egois, artinya orang yang mementingkan diri sendiri.
5. Jenis manusia yang mempunyai IQ bagus, EQ bagus, dan SQ bagus, inilah manusia
yang ulul albab dan seorang yang fitrah.
Maka Seorang pendidik harus mampu menjadi manusia yang kelima, yaitu memiliki IQ,
EQ dan SQ yang bagus. Sebagai konsep siritual teaching.
B. Pengertian IQ, EQ dan SQ
1. Intelligence Quotient (IQ)
IQ (Intelligence Quotient) adalah kemampuan atau kecerdasan yang didapat dari hasil
pengerjaan soal-soal atau kemampuan untuk memecahkan sebuah pertanyaan dan selalu
dikaitkan dengan hal akademik seseorang. Banyak orang berpandangan bahwa IQ
merupakan pokok dari sebuah kecerdasan seseorang sehingga IQ dianggap menjadi
tolak ukur keberhasilan dan prestasi hidup seseorang. Padahal IQ hanyalah satu
“kemampuan dasar”. Kemampuan ini umumnya terbatas pada keterampilan standar
dalam melakukan suatu kegiatan dan tingkatnya relatif tetap. IQ (Intellegence
Quotient) / kecerdasan otak masih berorientasi pada kebendaan.
Intelligence Quotient atau yang biasa disebut dengan IQ merupakan istilah dari
pengelompokan kecerdasan manusia yang pertama kali diperkenalkan oleh Alferd
Binet, ahli psikologi dari Perancis pada awal abad ke-20. Kemudian Lewis Ternman
dari Universitas Stanford berusaha membakukan test IQ yang dikembangkan oleh Binet
dengan mengembangkan norma populasi, sehingga selanjutnya test IQ tersebut dikenal
sebagai test Stanford-Binet. Pada masanya kecerdasan intelektual (IQ) merupakan
kecerdasan tunggal dari setiap individu yang pada dasarnya hanya bertautan dengan
aspek kognitif dari setiap masing-masing individu tersebut. Tes Stanford-Binet ini
banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun.
Inti kecerdasan intelektual ialah aktifitas otak. Otak adalah organ luar biasa dalam diri
kita. Beratnya hanya sekitar 1,5 Kg atau kurang lebih 5 % dari total berat badan kita.
Namun demikian, benda kecil ini mengkonsumsi lebih dari 30 persen seluruh cadangan
kalori yang tersimpan di dalam tubuh. Otak memiliki 10 sampai 15 triliun sel saraf dan
masing-masing sel saraf mempunyai ribuan sambungan. Otak satu-satunya organ yang
terus berkembang sepanjang itu terus diaktifkan. Kapasitas memori otak yang sebanyak
itu hanya digunakan sekitar 4-5 % dan untuk orang jenius memakainya 5-6 %. Sampai
sekarang para ilmuan belum memahami penggunaan sisa memori sekitar 94 %.
Tingkat kecerdasan seorang anak yang ditentukan secara metodik oleh IQ (Intellegentia
Quotient) memegang peranan penting untuk suksesnya anak dalam belajar. Menurut
penyelidikan, IQ atau daya tangkap seseorang mulai dapat ditentukan sekitar umur 3
tahun. Daya tangkap sangat dipengaruhi oleh garis keturunan (genetic) yang dibawanya
dari keluarga ayah dan ibu di samping faktor gizi makanan yang cukup.
2. Emotional Quotient (EQ)
EQ (Emotional Quotient) / kecerdasan emosi merupakan kemampuan untuk mengelola
emosi atau perasaan. Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosi merujuk pada
kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan
memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri
dan dalam hubungan dengan orang lain. EQ masih berorientasi pada kebendaan.
Tingkat EQ dapat meningkat sepanjang kita masih hidup. Kecerdasan Emosional (EQ)
justru lebih mungkin untuk dipelajari dan dimodifikasi kapan saja dan oleh siapa saja
yang berkeinginan untuk meraih sukses atau prestasi hidup.
Daniel Golemen, dalam bukunya Emotional Intelligence (1994) menyatakan bahwa
“kontribusi IQ bagi keberhasilan seseorang hanya sekitar 20 % dan sisanya yang 80 %
ditentukan oleh serumpun faktor-faktor yang disebut Kecerdasan Emosional. Dari nama
teknis itu ada yang berpendapat bahwa kalau IQ mengangkat fungsi pikiran, EQ
mengangkat fungsi perasaan. Orang yang ber-EQ tinggi akan berupaya menciptakan
keseimbangan dalam dirinya; bisa mengusahakan kebahagian dari dalam dirinya sendiri
dan bisa mengubah sesuatu yang buruk menjadi sesuatu yang positif dan bermanfaat.
Kecerdasan emosional dapat diartikan dengan kemampuan untuk “menjinakkan” emosi
dan mengarahkannya ke pada hal-hal yang lebih positif. Seorang yang mampu
mensinergikan potensi intelektual dan potensi emosionalnya berpeluang menjadi
manusia-manusia utama dilihat dari berbagai segi.
Hubungan antara otak dan emosi mempunyai kaitan yang sangat erat secara fungsional.
Antara satu dengan lainnya saling menentukan. Otak berfikir harus tumbuh dari wilayah
otak emosional. Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa kecerdasan emosional
hanya bisa aktif di dalam diri yang memiliki kecerdasan intelektual.
3. Spiritual Quotient (SQ)
Jauh sebelum istilah Kecerdasan Spiritual atau SQ dipopulerkan, pada tahun 1938
Frankl telah mengembangkan pemikiran tentang upaya pemaknaan hidup.
Dikemukakannya, bahwa makna atau logo hidup harus dicari oleh manusia, yang di
dalamnya terkandung nilai-nilai : (1) nilai kreatif; (2) nilai pengalaman dan (3) nilai
sikap. Makna hidup yang diperoleh manusia akan menjadikan dirinya menjadi seorang
yang memiliki kebebasan rohani yakni suatu kebebasan manusia dari godaan nafsu,
keserakahan, dan lingkungan yang penuh persaingan dan konflik. Untuk menunjang
kebebasan rohani itu dituntut tanggung jawab terhadap Tuhan, diri dan manusia lainnya.
Menjadi manusia adalah kesadaran dan tanggung jawab.
III. PENUTUP
IQ, EQ dan SQ masing-masing memiliki peran yang penting dalam setiap kehidupan
manusia. Ketiganya harus berjalan secara seimbang agar didapatkan keberhasilan yang
sesungguhnya. Begitu pula bagi seorang pendidik (guru). Dia harus mampu menguasai
ketiga kecerdasan ini.
Tugas dan peranan guru sebagai pengajar yang professional , berorientasi pada kegiatan
layanan pengajaran kepada masyarakat dan upaya konsisten dalam sistem pendidikan
nasional. Seorang pendidik (calon pendidik) diharapkan memiliki tiga kecerdasan ini
(IQ, EQ dan SQ) yang baik sehingga mampu melahirkan generasi-generasi yang juga
memiliki IQ,EQ serta SQ yang luar biasa. Tidak hanya memiliki kecerdasan otak yang
tinggi tetapi juga memiliki sikap, moral dan tingkah laku yang luhur serta beriman
kepada Tuhan Yang Maha Esa (menguasai iptek dan imtak).
Sekolah Hanya Fokus IQ, EQ dan SQ Terlewatkan Sabtu, 09 Oktober 2010. Diposkan
oleh Dhink di 23.54 oleh : Eko Soenaryo SE Pendidikan sekolah bukan lagi satu-
satunya tumpuan keberhasilan seseorang dalam meraih kebahagiaan. Sistem pendidikan
yang dikenal selama ini hanya menekankan pada nilai akademik, kecerdasan otak saja.
Siswa dituntut belajar mulai sekolah dasar hingga perguruan tinggi sekedar supaya
memeroleh nilai bagus yang dapat dijadikan bekal mencari pekerjaan. Kecerdasan IQ
ditengarai tidak berjalan seimbang dengan dua kecerdasan lainnya, yakni kecerdasan
emosi dan kecerdasan spiritual. Di sisi lain, dijumpai kekerasan dan penyimpangan
perilaku. Keahlian dan pengetahuan saja tidaklah cukup, perlu ada pengembangan
kecerdasan emosi, seperti inisiatif, optimis, kemampuan beradaptasi. Emotional
Spiritual Quotient (ESQ) mencoba menjawab persoalan tersebut. Konsep ESQ yang
berlaku secara universal akan membawa seseorang pada ‘predikat memuaskan’ bagi
dirinya serta sesama. ESQ yang dicetuskan Ary Ginanjar Agustian, pendiri ESQ
Leadership Center, memandu seseorang dalam membangun prinsip hidup dan karakter
berdasar ESQ Way 165. Bagaimana konsep ESQ dalam memengaruhi keberhasilan
seseorang? Berikut petikan penuturan Eko Soenaryo SE, Koordinator ESQ Leadership
Center Cabang Malang kepada Restu Distiamardianti dari KORAN PENDIDIKAN Bisa
anda jelaskan tiga kecerdasan apa yang dimiliki diri manusia? Dan kecerdasan apa yang
tidak terlalu ditonjolkan oleh setiap manusia? Setiap manusia memiliki kecerdasan otak
(Intellectual Qoutient), kecerdasan emosi (Emosional Quotient) dan Spiritual Qoutient
atau penguasaan ruhiah vertikal. IQ berupa keahlian (skill) dan pengetahuan
(knowledge). EQ merupakan kemampuan untuk ‘merasa’ yang berpusat pada kejujuran
suara hati. SQ merupakan kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna (value),
kecerdasan untuk menilai tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna. Saya
menggambarkan EQ dengan garis hubung antara manusia dengan manusia yang lain.
Sedangkan SQ, hubungan manusia dengan Tuhan. Tiga kecerdasan tersebut tidak bisa
dipisahkan. Ketika seseorang berhasil meraih kesuksesan dengan memaksimalkan IQ
dan EQ, seringkali ada perasaan hampa dalam kehidupan batinnya, karena mereka tidak
memuat SQ. ESQ sebagai metode dan konsep merupakan jawaban atas kekosongan
batin. Ada hubungan antara duniawi, kepekaan emosi dan intelegensi yang baik, dengan
akhirat. ESQ memelihara keseimbangan antara akhirat dan duniawi, sehingga keduanya
mampu bersinergi menghasilkan kekuatan jiwa raga yang seimbang. Tidak ada
dikotomi pemikiran dunia saja atau akhirat saja. Adakah contoh kasus mengenai hal ini
dalam kehidupan masyarakat kita? Tiga kecerdasan ini seharusnya mendapat porsi yang
serupa saat diasah, sebab ketiganya menentukan keberhasilan seseorang. Selama ini
banyak orang lebih mengutamakan kecerdasan otak, Orangtua beramai-ramai
memasukkan anaknya ke sekolah, hanya supaya mereka pintar. Indonesia tidak pernah
kekurangan orang pandai, tapi orang yang tidak beretika juga tidak kalah banyak.
Permasalahan ini pernah dikaji Emotional Quotient Inventory, suatu lembaga data bank
raksasa, dengan melakukan riset IQ. Hasilnya, secara teori IQ hanya memberikan
kontribusi sebesar 20 persen bagi keberhasilan manusia. Faktanya, yang benar-benar
terjadi, sekitar 6 persen. Jadi, IQ hanya menyumbang 6-20 persen atas keberhasilan
seseorang. Kecerdasan otak baru syarat minimal mencapai meraih keberhasilan,
sedangkan kecerdasan emosi memiliki peran jauh lebih signifikan. Dengan demikian,
bagaimana anda menggambarkan kondisi masyarakat Indonesia? Masyarakat kita
banyak yang mengalami split personality (keterbelahan jiwa), banyak pribadi manusia
yang memiliki dua jiwa yang bertolak belakang. Seperti yang saya katakan tadi, bangsa
ini memang tidak kekurangan orang pintar. Juara olimpiade kimia dan fisika berasal
dari Indonesia. Banyak hacker yang canggih juga berasal dari Indonesia. Lantas, banyak
juga orang yang tidak memiliki moral dan etika. Padahal ratusan ribu jamaah Indonesia
setiap tahun menunaikan ibadah haji. Banyak orang rajin beribadah, tapi (maaf) tidak
ketinggalan melakukan kegiatan negatif. Mereka hanya menggunakan agama sebagai
simbol, sebab pemaknaan terhadap ajarannya terkesan kering yang tidak menghasilkan
kerinduan terhadap kasih sayang dan kejujuran terhadap orang lain. Padahal ini berlaku
di semua agama. Dapat dikatakan, masyarakat kita mengalami krisis moral? Iya, mereka
yang krisis moral ini hanya menempatkan agama seperti simbol. Mereka tidak mencapai
esensi spiritualitas yang berada di atas agama. Mereka yang mengalami hal ini perlu
ditetesi sedikit demi sedikit, untuk mengeluarkan Emotional Spiritual Quotient (ESQ).
Manusia kan memiliki tiga kecerdasan yang pasti ada semenjak ia lahir.
Perkembangannya, saat dewasa ada kecerdasan yang makin lama makin tidak diasah.
Inilah yang menyebabkan masyarakat kita memiliki moral rendah. Penyebab lain, ada
kalanya suara hati manusia tertutup. Mereka tidak mengakui perasaan universal saat
menyaksikan kejadian yang menonjolkan value kasih sayang. Maka yang terjadi adalah
kekerasan dan penyimpangan perilaku muncul dimana-mana. Tidak sama saat manusia
mengiyakan perasaan tersebut. Perasaan ini berasal dari God Spot yang disebut dengan
kesadaran spiritual, bahwa semua manusia itu memiliki suara hati yang sama secara
universal. Namun, ada 7 faktor yang membelenggu suara hati dan membuat manusia
menjadi buta, antara lain prasangka, prinsip-prinsip hidup, pengalaman, kepentingan,
sudut pandang, pembanding, dan literatur. Oleh karena itu, kemampuan melihat sesuatu
secara obyektif, harus didahului kemampuan mengenali faktor-faktor yang
memengaruhi. Langkahnya, dengan mengembalikan manusia pada fitrah hatinya.
Apakah seseorang bisa menemukan hubungan antara IQ, EQ dan SQ dengan sendiri
atau memerlukan bantuan, semacam pelatihan? Bisa, namun tidak semua orang bisa
memunculkan ESQ dalam dirinya. Analoginya begini, seseorang memiliki bahan baku
lengkap seperti gula, garam, dan singkong. Tetapi tidak mengetahui resep untuk
membuat bahan baku tadi menjadi makanan yang enak. Melakukan pelatihan membantu
seseorang menemukan resep tadi, juga berguna bagi seseorang untuk menyinergikan IQ,
EQ, dan SQ secara komprehensif. Patut diingat, pada umumnya IQ tidak berubah
selama masih hidup, berbeda dengan kecakapan emosi yang dapat terus meningkat
dengan motivasi dan usaha yang benar. Meningkatkan EQ yang seimbang dengan IQ,
disertai latihan dan tidak mengabaikan kecerdasan emosi dan spiritual, akan
meminimalisir kegagalan. Siapa saja yang perlu menumbuhkan kecerdasan emosi dan
spiritual? Setiap orang, mulai dari anak-anak sampai orang dewasa. Anak-anak tidak
terlepas dari masalah yang membelit, misalnya yang kita dengar ada anak-anak yang
mengalami stres kemudian bunuh diri, adapula yang melakukan kekerasan terhadap
teman sebayanya. Tekanan psikologis ini bisa dijumpai di rumah, sekolah, dan
lingkungannya. Pada orang dewasa, ini nyata terjadi semisal pada lingkungan
perusahaan. Membangun ESQ dapat meningkatkan motivasi karyawan dalam bekerja.
Bahkan bisa merubah budaya ketidakdisplinan menjadi disiplin dan meningkatkan rasa
tanggung jawab karyawan terhadap perusahaan tempat ia bekerja. Metodologi training
yang diterapkan akan menuntun peserta membangkitkan 7 nilai dasar, yakni kejujuran,
keadilan, kedisiplinan, tanggung jawab, visioner, kerjasama, dan kepedulian. Tujuh nilai
dasar itu sebenarnya sudah ada dalam diri manusia. Sehingga melalui pelatihan akan
menghasilkan peningkatan ESQ secara berkesinambungan dan berkelanjutan seumur
hidup. Mengapa anak-anak memerlukan ESQ? Apakah pendidikan di sekolah belum
mengarah ke sana? Sekolah kan merupakan pendidikan formal yang mengasah
kemampuan otak. Siswa belajar, supaya bisa membaca menulis dan berhitung. Selama
ini, masyarakat hanya mendewakan pencapaian kecerdasan intelektual, yang
berhubungan dengan kemampuan menghafal, nalar, dan logika. Pendidikan dengan pola
demikian, hanya akan menghasilkan seseorang yang berdasar intelektual komitmen.
Intelektual komitmen menyangkut hal-hal yang bersifat fisik atau materi, contohnya,
pelajar yang hanya ingin memeroleh nilai tinggi saat ujian, mengharapkan pujian atau
hadiah dari teman atau keluarga saat nilai mereka baik, termasuk menghalalkan segala
cara supaya mendapat nilai baik dengan mencontek pekerjaan teman. Ini adalah dampak
dari dunia pendidikan yang hanya mementingkan IQ dan mengenyampingkan EQ dan
SQ. Mengapa, training ESQ mengelompokkan anak-anak menjadi satu kelas tersendiri?
Ini kembali pada tujuan ESQ untuk membentuk karakter yang tangguh dengan
memadukan konsep IQ, EQ, dan SQ. Anak-anak jauh lebih sulit dikendalikan daripada
orang dewasa. Sehingga membutuhkan perhatian yang lebih besar, kelas untuk anak-
anak saja dibatasi 75-100 orang. Lagipula untuk memasuki dunia anak-anak perlu
media yang berbeda, lebih banyak permainannya dan berkesan atraktif dan
demonstratif. Pelatihan khusus anak-anak juga menyiasati bagaimana seorang trainer
menghindarkan rasa jenuh, sehingga pikiran terbuka untuk memudahkan menyerap
materi. Copy the BEST Traders and Make Money (One Click) : http://ow.ly/KNICZ
Copy the BEST Traders and Make Money (One Click) : http://ow.ly/KNICZ
BAB II
PEMBAHASAN
Istilah "egoisme" berasal dari bahasa Yunani yakni yang berarti "Diri"
atau "Saya", dan yang digunakan untuk menunjukkan filsafat. Dengan
demikian, istilah ini etimologis berhubungan sangat erat dengan egoisme.
Dalam berinteraksi dengan orang lain, di sekitar kita banyak terdapat
beranekaragam type, karakter, kepribadian manusia yang memberikan warna
tersendiri dalam kehidupan ini. Ketika berinteraksi itu tak jarang terjadi gesekan
yang bisa membuat salah satu atau semua pihak merasa tersakiti. Efeknya
dapat menimbulkan rasa kecewa, kesal dan marah. Hal ini mungkin disebabkan
karena ucapan, tulisan atau perbuatan kita yang bagi orang lain serasa telah
menyinggung. Pada saat seseorang merasa tersakiti atau kecewa, bisa saja
seketika itu juga dia bisa memaafkan orang yang menyakitinya, namun belum
tentu dia bisa melupakan (secara langsung) kejadian itu.
Seperti kata petuah bijak, "Berbuat kebaikan itu bagaikan guyuran
hujan disaat kemarau, segarnya bisa dirasakan oleh semua orang. Namun
berbuat keburukan ibarat menancapkan paku pada sebuah kayu, andai
sudah dicabut pakunya tapi bekasnya akan selalu ada”
Ego yang lapar adalah ego yang jahat. Memperbandingkan ego dengan perut
sangat tepat untuk menjelaskan mengapa orang bertindak sebagaiman yang
mereka lakukan. Seseorang yang makan kenyang tiga kali sehari tidak terlalu
memikirkan perutnya. Tetapi seseorang yang tidak makan satu atau dua hari
menjadi benar-benar lapar dan seluruh kepribadiannya tampak berubah, dari
orang yang pemurah, periang dan baik hati, dia cenderung akan menjadi suka
bertengkar dan jahat. Dia jadi lebih suka mencela. Tidak ada suatu apapun
yang memuaskannya. Tidak ada gunanya bagi teman-teanyang beritikad baik
untuk menghampirinya dan mengatakan bahwa masalahnya hanyalah bahwa
dia “terlalu pemperhatikan perutnya” dan bahwa dia harus mengalihkan pikiran
dari perutnya.
Demikian pula tidak ada manfaatnya mengatakan kepadanya bahwa dia
akan bisa mengatasi sifat “memntingkan perutnya sendiri” dan bahwa itu berarti
menyesuaikan diri dengan tuntutan alam akan kelestarian. Alam telah
menempatkan insting dalam setiap makhluk hidup yang mengatakan “Anda dan
kebutuhan dasar Anda didahulukan”. Singkatnya dia harus makan, dan
memenuhi kebutuhan dasarnya sendiri, sebelum dia bisa memberikan
perhatian kepada hal-hal lainnya.
Demikian pula halnya dengan orang yang mementingkan diri sendiri. Bagi
pribadi yang sehat jasmani dan rohani serta normal, alam menuntut takaran
tertentu penerimaan diri dan persetujuan diri. Dan tidak ada manfaatnya
mengecam orang yang mementingkan diri sendiri dan menyuruhnya
mengalihkan pikiran dari dirinya sendiri. Dia tidak bisa mengalihkan pikiran dari
dirinya sebelum dahaganya akan ego belum terpuaskan. Setelah itu, dia pasti
akan mengalihkan pikiran dari dirinya sendiri, dan memberikan perhatiannya
kepada pekerjaannya, serta kepada orang lain dan kebutuhan mereka.
B.Tentang egois !
Pada dasarnya manusia itu merupakan makhluk yang egois. Ini sudah
dijelaskan oleh berbagai ilmu pengetahuan, yang antara lain:
Hanya dapat melihat dari sudut pandangnya; tidak dapat melihat dari sudut
pandang orang lain, apa lagi merasakan apa yang orang lain rasakan. Jadi,
tidak mudah untuk berbincang dengannya kerana ia akan berusaha agar kita
menuruti pendapatnya.
Hanya memikirkan kepentingan peribadinya; jadi, apa yang dilakukannya selalu
untuk kepentingan peribadi, bukan ikhlas untuk kepentingan orang lain. Ia tidak
mengenal erti pengorbanan dan ketulusan; semua hal diperkirakan
berdasarkan untung ruginya.
Kesan Peribadi Yang Ego. Orang sekeliling sukar menerimanya kerana tidak
ada usaha darinya untuk menyesuaikan diri. Daripada terjadi konflik, pada
umumnya orang sekeling akan menjauhkan diri dari berhubungan dengannya
sehingga ia terpaksa hidup bersendirian. Malangnya, semakin kesunyian,
semakin ia menganggap bahawa orang sekeliling yang salah. Pada akhirnya
orang yang ego hidup dalam bersendirian. Sahabat pun sukar untuk
mempercayainya sebab mereka menilai ia tidak jujur. Semua yang
dikerjakannya cenderung dinilai mempunyai maksud tersembunyi di
belakangnya. Pada akhirnya hubungannya dengan yang lain tersekat dan
semakin hari semakin sedikit orang yang bersedia berkawan dengannya.
seandainya bersahabatpun, hubungan yang terjalin merupakan hubungan
timbal-balik, tanpa keikhlasan dan pengorbanan.
1.2.1. Setiap tindakan yang dilakukan dengan bebas pada dasarnya muncul
dari pilihan pelakunya untuk melakukan sesuatu yang paling ia ingini untuk
dilakukan. Misalnya seorang yang menyumbangkan uangnya ke proyek sosial
pengumpulan dana bagi para korban gempa bumi tidak dapat dikatakan bahwa
ia bersikap altruis, sedangkan yang memakainya untuk menonton film bersikap
egois. Karena pada keduanya, si pelaku hanyalah melakukan apa yang
masing-masing memang paling mereka ingin lakukan. Yang satu justru merasa
senang dan bahagia kalau dia dapat menyumbangkan uangnya pada proyek
sosial, sedangkan yang lain merasa senang dan bahagia kalau dapat
melakasanakan apa yang ia inginkan, dan dalam hal ini yang ia inginkan adalah
menonton film. Jadi kedua-duanya sebenarnya mencari apa yang
menguntungkan untuk dirinya sendiri.
1.2.2. Suatu tindakan hanya nampaknya saja tidak bersifat egois atau
altruis. Kalau motivasi sesungguhnya dapat diketahui, maka akan menjadi
nyata bahwa tindakan itu sebenarnya didasari oleh cinta diri. Misalnya orang
yang menyumbangkan uangnya ke proyek sosial tadi, setelah melakukan apa
yang ingin dia lakukan, ia merasa senang dan puas dan kemudian dapat tidur
dengan pulas di waktu malam karena merasa telah menunaikan tugasnya
dengan baik. Sedangkan kalau ia tidak menyumbangkan uangnya pada proyek
sosial, maka hatinuraninya terus merasa terganggu. Jadi dalam melakukan
pemberian dana itu sebenarnya ia mempunyai pamrih pribadi.
2. Egoisme Etis
2.1. Pendapat pokok faham egoisme etis:
(1) Setiap pribadi manusia hanya memiliki satu hidup untuk dihayati. Kalau
kita memandang setiap individu bernilai sungguh-sungguh, atau kalau setiap
individu secara moral bernilai dalam dirinya sendiri, maka kita mesti menyetujui
bahwa hidup kita yang satu ini amatlah penting untuk dipertahankan dan
dikembangkan sepenuhnya.
(3) Maka Etika Altruis tidak menganggap serius nilai hidup masing-
masing individu manusia.
Kalau kita perhatikan argumen pertama di atas secara kritis, maka akan
nampak bahwa argumen tersebut sebenarnya tidak mendukung prinsip
egoisme etis. Mengapa demikian? Alasan pokok yang diberikan dalam
argumen pertama untuk mendukung Egoisme Etis adalah bahwa kalau setiap
orang mengejar apa yang dalam jangka panjang menjadi kepentingannya
sendiri yang paling baik, maka perbaikan sosial atau terpenuhinya kepentingan
semua pihak justru akan terjamin, karena masing-masing individu lah yang
paling tahu apa yang dia butuhkan. Kalau Egoisme Etis sungguh konsisten
dengan prinsipnya, maka ia tidak perlu peduli akan perbaikan sosial atau
keterjaminan bahwa kepentingan semua pihak akan lebih terpenuhi. Kenyataan
bahwa dalam argumen pertama hal tersebut dipedulikan dan bahkan dijadikan
alasan untuk bersikap egoistik, maka walaupun Egoisme Etis menganjurkan
untuk berperilaku egoistik, prinsip dasariah yang melandasinya justru tidak
egoistik.
Paham matrealisme
Yang dimaksud Paham matrealisme disini:Seseorang memikirkan
sesuatu itu hanya dengan materi dan segala sesuatu yang ia lakukan pasti
UUD (Ujung-ujungnya Duit)dan ia melakukannya dengan menghalalkan
berbagai cara.
CONTOH KASUS: Dalam Pendidikan
Pada zaman dahulu kemampuan seseorang lebih dihargai daripada
kekayaannya,namun pada zaman sekarung uang mempunyai pengaruh yang
lebih besar.
Gaya hidup hedonis
Hedonisme yang berasal dari bahasa yunani memiliki arti hidup dalam
kesenangan dan kemewahan. Dimana kesenangan menjadi tolak ukur yang
mutlak.
Yang dimaksud Gaya Hidup Hedonis disini:seseorang menganggap
bahwa kesenangan dan kenikmatan merupakan tujuan utama hidup.
CONTOH KASUS: boros
Pikiran hedonis biasanya banyak ditemukan pada lingkungan strata
sosial ekonomi mapan, serta kurangnya pendidikan dari orang tua. Contoh
kecil, seseorang yang biasa hidup di dunia borjuis, ataupun seseorang yang
hidupnya berkutat dengan dunia narkoba, atau yang sangat jauh dari
pendidikan agama dia akan merasa bahwa kesenangan baginya adalah
hidupnya yang sebenarnya.
Hanya dapat melihat dari sudut pandangnya
Maksudnya: ia hanya melihat segala sesuatu dengan sudut pandangnya
sendiri,ia tidak dapat melihat dari sudut pandang orang lain, apalagi merasakan
apa yang orang lain rasakan. Jadi, tidak mudah untuk berdiskusi dengannya
karena ia akan
berusaha keras agar kita menuruti pendapatnya.
CONTOH KASUS:
Ketika seseorang meminta bantuan pada kita namun kita mengatakan
tidak bisa karena sedang ada keperluan yang mendesak, namun orang yang
meminta bantuan itu sontak tidak terima dan menganggap kita tidak peduli
padanya. Padahal pada keadaan lain orang yang dimintakan sedang
menghadapi musibah yang orang tidak tahu.
Hanya memikirkan kepentingan pribadinya
jadi, apa yang dikerjakannya selalu untuk kepentingan pribadi, bukan
murni untuk kepentingan orang lain. Ia tidak mengenal makna pengorbanan
dan ketulusan; semua hal diperhitungkan berdasarkan untung-ruginya.
CONTOH KASUS:
Ketika terjadi kebanjiran di jalan raya, muncul orang-orang yang tiba-tiba
ikut membantu seseorang yang kendaraannya mogok, namun sebelum mereka
membantu kita mereka meminta bayaran dengan alasan untuk sesuap nasi.
Padahal orang yang terkena banjir sedang menghadapi musibah sehingga dia
harus bersegera mencari solusi, namun orang yang membantu tidak
menghiraukan dan tetap meminta byaran.
Sifat dasar manusia yang tidak pernah puas
Dalam diri manusia mempunyai sifat utama, yaitu sifat baik dan buruk.
Maka egois adalah sifat dasar manusia yang buruk dan akan terlihat tergantung
dari manusia itu sendiri mampu mengontrol tidaknya sifat tersebut.
Selalu positive thinking pada orang lain, jangan biarkan pikiran negatif
masuk kepikiranmu.
Maksudnya,dalam berprilaku kepada orang lain walaupun orang lain
pernah melakukan salah pada kita, janganlah kita beranggapan bahwa orang
lain itu selalu salah alias kita bersuudzan tapi kita harus
berhusnuzan(berprasangka baik).
Jangan suka membanding-bandingkan diri kamu dengan orang lain.
Siapa yang enak si klo dibanding-bandingkan?makanya biar kita ga
dianggap orang egois jangan selalu membandingkan diri kita dengan orang
lain,karena setiap manusia itu tidak ada yang sempurna,pasti setiap orang itu
mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
Kembangkan empati kamu terhadap orang lain.
Kita sebagai manusia bersosialisasi tentunya harus mengembangkan
sifat empati pada orang lain,sebab dengan berempati kita akan merasakan atau
dapat berbagi kasih sayang dengan orang lain.
Kembangkan sikap melayani dan mendahulukan kepentingan orang lain.
Siapa si yang ga mau dilayani?tapi terkadang kita sendiri suka lupa
untung melayani orang lain,Sebab kita hanya memikirkan untuk selalu dilayani
orang lain.Oleh karena itu mulai sekarang mulailah untuk lebih mengutamakan
atau mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri
sendiri,sebab itu akan menjadi sebuah pahala bagi kita,tapi ingat
mengutamakannya harus dengan ikhlas alias tulus dari hati,jangan kepaksa
ya?
Senyum dunkz!
Karena orang egois identik dengan jutek,jadi mulai sekarang biar ga
disebut jutek,SENYUM donk!!!!
I.Keriteria orang yang egois
Cara mengetes diri sendiri apakah anda termasuk diri yang egois atau
tidak, diantaranya sebagai berikut :
Orang egois itu adalah orang yang merokok di angkutan umum dan dengan
cueknya menghembuskan asap rokoknya sementara orang-orang
disampingnya sudah mengap-mengap, atau orang yang tetap merokok di
tempat umum sementara sudah ada perda yang melarang merokok parahnya
lagi bila di sampingnya ada tanda DILARANG MEROKOK.
Orang egois itu adalah orang yang membuang sampah dengan seenaknya,
tanpa memikirkan kebaikan bagi lingkungan bila ia rela sedikit saja bersusah
mencari kotak sampah atau menyimpan bungkus tersebut sampai ia bertemu
kotak sampah.
Orang egois itu adalah orang yang duduk dengan cueknya di angkutan umum
sementara disebelahnya ada wanita hamil, menggendong bayi atau lansia yang
terlihat letih.
Orang egois itu adalah orang yang berharap orang lain memberikan bangkunya
pada orang-orang di atas, sementara dia sendiri keberatan memberikan
bangkunya.
Orang egois itu adalah orang yang selalu ngoceh kurangnya fasilitas sementara
dia sendiri tidak mau bayar pajak.
Orang egois itu bila dia selalu telat bayar kas dan berlagak seakan-akan dia
sudah membayar ontime .
Orang egois itu bila ada orang di aniaya sementara ia hanya melihat tanpa
memberi bantuan.
Orang egois itu adalah orang yang berfoya-foya dengan hartanya sementara di
sekitarnya ada orang miskin yang butuh dikasihani (percaya deh uangmu gak
bakal berkurang kalau sekedar memberi makan atau sesekali mebayarkan spp
anak miskin yang ingin sekolah).
Orang egois itu adalah orang yang membuang makanannya sementara banyak
orang lain kelaparan.
Orang egois itu adalah orang yang dengan mudah mencela kesalahan orang
lain sementara ia tak mau melihat kekurangan sendiri.
Orang egois itu adalah yang merusak fasilitas umum (ex. telepon umum, WC
umum, jalan) termasuk mencoret-coretnya.
Orang egois itu adalah orang yang gak peduli dengan kesulitan temannya
sementara ketika dia bermasalah dia menyalahkan karena tak ada yang
membantunya.
Orang egois itu adalah orang yang dapat kerja lewat jalur nggak beres (nyogok,
nepotisme dll) sementara orang lain bersusah payah untuk mencari kerja.
Orang egois itu adalah orang yang setelah membaca tulisan ini, dia tidak mau
berubah memperbaiki diri malah mencela tulisan tersebut.
Ketentuan :
Bila lebih dari 7 point yang ditulis ada di dalam diri anda berarti anda
termasuk orang yang sangat egois plus gak peka kalau anda egois, kalau
kurang dari 7 berarti anda egois, jadi belajarlah menguranginya.
Sekiranya anda ingin menambahkan daftar tersebut, silakan saja beri
komentar. Sekiranya tidak setuju dengan tulisan ini, tidak ada paksaan bagi
anda untuk menyetujuinya. Ini hanya sekedar tulisan agar kita mau menyadari
bersama.
Peribadi yang ego mesti menerima fakta bahwa ia egois; jangan lagi mencari
alasan dan menyalahkan orang. Ia mesti melihat hal ini sebagai dosa
keangkuhan bukan hanya karakteristik keperibadian yang unik. Perubahan @
penyesalan bermula dari pengakuan. "Tinggi hati mendahului kehancuran tetapi
kerendahan hati mendahului kehormatan."
Lihatlah apa yang diperlukan orang dan cubalah penuhinya, tanpa berkira-
kira. Peribadi yang ego tidak mempunyai ramai teman kerana tidak memikirkan
orang lain. "Seorang sahabat memberi kasih setiap waktu dan menjadi seorang
saudara dalam kesukaran."
Hiduplah berdasarkan prinsip: "Kasihilah sesama manusia seperti dirimu
sendiri" dan "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat
kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka"
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Egois adalah suatu keadaan dimana seseorang yang bersikap mementingkan
dirinya sendiri.
Kesimpulan
Egois merupakan salah satu sifat alamiah yang dimiliki oleh setiap manusia,
karena salah satu karakter manusia adalah “tidak pernah merasa cukup”;
Egois itu timbul secara naluriah, ketika manusia itu sendiri dihadapkan kepada
keinginan, kepentingan dirinya yang bersinggungan dengan kepentingan
manusia lainnya maka egois itu akan muncul;
Pendidikan moral dan agama dalam lingkungan keluarga sangat berpengaruh
terhadap tingkat keegoisan seseorang;
Sifat egois tidak dapat dihilangkan pada diri manusia, namun dapat diredam
dengan keinginan manusia itu sendiri untuk mau belajar, memaknai dan
melaksanakan nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan.
Egois berasal dari kata ego, ego itu adalah aku dalam bahasa Yunani
Jadi orang yang disebut egois orang yang memang mementingkan dirinya.
Ciri orang egois itu,seperti apa?
Hanya dapat melihat dari sudut pandangnya;
Hanya memikirkan kepentingan pribadinya.
Penyebab sifat egois itu sangatlah banyak,tapi secara garis besar dibagi
2,yaitu:
Penyebab dari diri pribadi;
Penyebab dari kehidupan (lingkungan).
Penyebab dari diri pribadi
Sifat dasar manusia yang tidak pernah puas;
Rasa trauma yang menimbulkan ketidak percayaan kepada orang lain;
Pemahaman yang dangkal tentang fungsi manusia sebagai makhluk sosial yang
saling membutuhkan.
Penyebab dari kehidupan (lingkungan)
Sikap egois ini merupakan kelanjutan dari apa yang telah diterimanya selama
ini;
Sikap egois timbul dari keadaan lingkungan yang kelaparan, kelaparan
emosional, kelaparan finansial atau kelaparan jasmaniah & rohaniah.
Ada ga dampak kalau kita mempunyai sifat egois?
Dalam mengerjakan atau berbuat sesuatu,pasti ada dampak yang akan kita
terima,yaitu:
Dampak bagi kita pribadi
Dampak bagi lingkungan
Dampak bagi kitapribadi
Lingkungan sulit menerimanya karena tidak ada usaha darinya untuk
menyesuaikan diri
Lingkungan pun sulit untuk mempercayainya sebab lingkungan menilai ia tidak
tulus.
Dampak bagi lingkungan
Akan menimbulkan suasana yang tidak harmonis dalam pergaulan
Memicu prilaku negatif pada lingkungan sekitar.
DAFTAR PUSTAKA
http:// James Rachel, The Elements of Moral Philosophy, hlm. 60-64.
http://forumkuliah.wordpress.com/2009/01/23/egoisme-memilih-yang-paling-
menguntungkan-untuk-diri-sendiri/
id.wikipedia.org/wiki/Egoisme
Sumber : http://arie5758.blogspot.com/2012/01/pada-dasarnya-manusia-
adalah-makhluk.html#ixzz1rq5LHagd
Sumber: http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/2113030-sifat-
egois/#ixzz1rq9ygksy
www.danti.blogspot.com |
http://sokhibi-iby.blogspot.com/2008/11/ciri-ciri-gambaran-orang-egois.html
altruisme.
Ada dua keluarga yang berbeda. Keluarga pertama, orangtuanya berjualan ikan,
berjualan dari pagi hingga menjelang malam. Orangtunya tidak tamat sekolah, tetapi mereka
sangat peduli dengan pendidikan anaknya. Walaupun rakyat kecil tetapi anaknya di sekolahkan
di sekolah yang berkualitas baik, dan kedua anaknya pun di les privatkan. Orangtuanya
berambisi bagaimanapun anaknya harus pintar dan tidak seperti mereka. Dan ternyata
ayahnya dari cara bicara cukup cerdas pemikirannya, hanya dahulu tidak memiliki kesempatan
dari kelas sosial.
Dan di lain sisi, keluarga kedua ayah dan ibuya seorang dosen dan kuliah lagi untuk
mendapatkan S3. Tetapi anaknya hanya di sekolahkan di sekolah biasa. Orangtuanya tidak
mementingkan pendidikan anak melainkan mementingkan pendidikan mereka sendiri.
Menurut mereka, yang penting anak mereka sekolah. Sehingga anaknya menjadi trouble
maker, karena sering main dan kurang di pedulikan pendidikannya oleh orangtua.
Jadi, sikap orangtua sangat berpengaruh, mana yang peduli pendidikan anaknya dan
mana yang tidak dari sudut pandang kelas sosial. Belum tentu orangtuanya pintar lalu anaknya
pun pintar, dan belum tentu anak yang kurang pintar itu karena orang tuanya tidak tamat
sekolah atau tidak pintar.