Anda di halaman 1dari 8

DAKWAH ISLAM PADA ASALNYA HARUS DISAMPAIKAN DENGAN LEMAH LEMBUT.

Ini merupakan asas dalam berdakwah. Dasarnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
‫ِيل َرب ّ َِك اِب لْ ِحمْك َ ِة َوالْ َم ْو ِع َظ ِة الْ َح َسنَ ِة ۖ َو َجا ِدلْه ُْم اِب لَّيِت يِه َ َأ ْح َس ُن ۚ َّن َرب َّ َك ه َُو‬
ِ ‫ا ْد ُع ىَل ٰ َسب‬
‫ِإ‬ ْ ‫ِإ‬
ِ
‫َأ ْعمَل ُ ِب َم ْن ضَ َّل َع ْن َس ِبيهِل ۖ َوه َُو َأ ْع ُ اِب ل ُمهْ َت ِد َين‬
‫مَل‬
Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah
mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabbmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa
yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk. [An-Nahl/16:125]

Ibnu Katsîr berkata dalam tafsirnya: “Dalam ayat ini Allah Azza wa Jalla memerintahkan Rasul-Nya,
Muhammad n agar menyeru manusia kepada agama Allah Azza wa Jalla dengan cara hikmah.”

Firman Allah Azza wa Jalla , “Dan bantahlah mereka dengan cara yang baik” yakni, apabila perlu
dilakukan dialog dan tukar pikiran, hendaklah dilakukan dengan cara yang baik, lemah lembut dan
dengan tutur kata yang baik. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla dalam ayat yang lain:

‫َواَل جُت َا ِدلُوا َأ ْه َل ْال ِكتَ ِاب اَّل اِب لَّيِت يِه َ َأ ْح َس ُن اَّل اذَّل ِ َين َظلَ ُموا ِمهْن ُ ْم‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali
dengan orang-orang zhalim di antara mereka.” [al-Ankabût/29:46]

Ini merupakan landasan penting yang wajib dipegang oleh setiap juru dakwah pada zaman sekarang
ini dalam mengajak manusia kepada agama Allah Azza wa Jalla . Sebab, lemah lembut dalam
berdakwah disertai pengajaran yang baik, jauh dari sikap congkak dan tidak mengklaim secara
serampangan orang yang berseberangan dengan vonis fasik atau kafir.

Al-Khalâl telah meriwayatkan dengan sanad yang shahîh dari Imam Ahmad ketika beliau ditanya
tentang masalah dakwah ini. Beliau menjawab: "Sahabat-sahabat Abdullâh berkata : “berdakwahlah
dengan berlemah lembut, semoga Allah Azza wa Jalla merahmati kamu, berlemah lembutlah!" [1]

ANTARA DAKWAH DAN JURU DAKWAH

Allah Azza wa Jalla berfirman:

‫ُق ْل َهٰ ِذ ِه َس ِبييِل َأ ْد ُعو ىَل اهَّلل ِ ۚ عَىَل ٰ ب َ ِص َري ٍة َأاَن َو َم ِن ات َّ َب َعيِن ۖ َو ُس ْب َح َان اهَّلل ِ َو َما َأاَن ِم َن‬
‫ِإ‬
‫الْ ُمرْش ِ ِك َني‬
Katakanlah: "Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu)
kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang
musyrik". [Yûsuf/12:108]

Dakwah adalah tugas yang berat dan pekerjaan yang serius yang hanya bisa dipikul oleh orang-orang
yang mulia. Juru dakwah yang mengajak kepada agama Allah Azza wa Jalla pasti menghadapi
gangguan dalam dakwah sebagaimana yang dihadapi oleh siapa saja yang mengemban tugas
dakwah ini, dari dahulu sampai sekarang. Itu sudah menjadi sunnatullâh pada orang-orang terdahulu
dan sekarang. Para nabi juga telah menghadapi gangguan serupa berupa penentangan, penolakan,
keengganan dan kesombongan dari berbagai pihak dan tingkatan manusia.

Maka dalam mengemban tugas dakwah yang berat dan penuh resiko ini seorang juru dakwah harus
menghiasi dirinya dengan sikap santun dan sabar, bijaksana dan arif.

HIKMAH SEORANG JURU DAKWAH

Allah Azza wa Jalla berfirman: 

‫يُ ْؤيِت الْ ِحمْك َ َة َم ْن يَشَ ا ُء ۚ َو َم ْن يُ ْؤ َت الْ ِحمْك َ َة فَ َق ْد ُأويِت َ َخرْي ً ا َك ِث ًريا ۗ َو َما ي َ َّذكَّ ُر اَّل ُأولُو‬
‫ِإ‬
‫اَأْللْ َب ِاب‬
Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang diberi hikmah,
sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali
orang-orang yang berakal. [al-Baqarah/2:269]

Hikmah adalah sebuah ungkapan tentang bagaimana menyelesaikan setiap masalah dengan ilmu
yang benar. Hikmah identik dengan fiqh dan pemahaman. Hikmah digunakan juga untuk berbagai
makna, seperti as-Sunnah, akal, kebijaksanaan dan lain-lainnya. Hikmah juga bisa berarti meletakkan
sesuatu pada tempatnya dan mengerjakan sesuatu pada momentum yang tepat. Hikmah juga
berarti menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah baru. Menyelesaikan masalah dengan
menimbulkan masalah lain atau masalah yang lebih besar lagi merupakan bukti ketiadaan hikmah.

Di antara perkara yang memperkeruh dakwah kepada agama Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah
dakwah yang dilakukan dengan keras, kasar dan arogan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda

$ُ ‫ َّن ّ ِالرفْ َق َال يَ ُك‬ 


‫ون يِف يَش ْ ٍء الَّ َزان َ ُه َو َال يُزْن َ ُع ِم ْن يَش ْ ٍء الَّ َشان َ ُه‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬ ‫ِإ‬
“Sesungguhnya kelembutan tidaklah berada pada sesuatu melainkan akan membuatnya lebih bagus,
dan tidak akan tercabut sesuatu darinya kecuali akan membuatnya jelek.” [HR. Muslim]

Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

َ ‫ َم ْن حُي ْ َر ِم ّ ِالرفْ َق حُي ْ َر ِم الْ َخرْي‬ 


“Barangsiapa yang diharamkan baginya, maka ia diharamkan dari kebaikan”.[HR. Muslim]

Hendaklah seorang da’i (juru dakwah) meniru akhlak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
dakwahnya, di antara akhlak yang paling agung itu adalah kelembutan.

Syaikh Bin Bâz berkata, “Kewajiban kita adalah berdakwah kepada agama Allah Azza wa Jalla .
Memberi nasihat dan pengarahan kepada perkara yang baik tanpa kekerasan. Sebab kekerasan
hanya akan membuka pintu keburukan terhadap kaum Muslimin dan akan mempersulit dakwah.”
[2]

Syaikh al-Albâni berkata, “Tidak ragu lagi, ini merupakan perkara pertama yang dituntut dari seorang
da’i, yaitu bersikap lemah lembut dan santun. Ia tidak boleh bersikap kasar terhadap orang-orang
yang berseberangan. Apalagi bila orang itu masih berada dalam satu ushûl dakwah dengannya, yaitu
dakwah kepada al-Qur'an dan Sunnah.” [3]

Sikap lemah lembut dan hikmah ini tidaklah meniadakan ketegasan dalam memegang prinsip dan
menyatakan sikap yang syar’i, misalnya ketika melihat kehormatan Islam dilecehkan. Ada momen-
momen tertentu yang mana kita harus memperlihatkan ketegasan dalam bersikap. Maka dari itu kita
harus membedakan antara mudârât dan mudâhanah.

APA ITU MUDARAT DAN MUDHAHAH?

Banyak orang yang tidak bisa membedakan antara mudârât dan mudâhanah. Mudârât adalah salah
satu sikap bijaksana dalam mu'amalah yang menyampaikan kepada tujuan, dengan tetap menjaga
kehormatan dan martabat. Adapun mudâhanah adalah perilaku tercela yang dibungkus dengan
kebohongan dan memungkiri janji.

Ibnu Baththâl berkata: "Mudârât adalah akhlak mukmin, yaitu merendahkan diri kepada orang lain,
melunakkan perkataan dan meninggalkan sifat kasar. Mudârât adalah sebab paling kuat terciptanya
persatuan. Sebagian orang mengira bahwa mudârât sama dengan mudâhanah. Itu sangat keliru!
Karena mudârât adalah sifat yang dianjurkan sementara mudâhanah adalah sifat yang diharamkan.
Bedanya, mudâhahah diambil dari kata ad-dahân, yaitu menampakkan sesuatu secara lahiriyah tapi
menyembunyikan batinnya. Para ulama mengidentikkannya dengan pergaulan dengan orang fasiq,
menunjukkan persetujuan terhadap kefasikannya tanpa mengingkarinya sedikitpun.

Al-Bukhâri telah membuat bab dalam shahîhnya, beliau berkata: "Bab: Mudârât dalam
bermu'amalah dengan orang lain. Kemudian beliau membawakan hadits 'Aisyah Radhiyallahu
anhuma bahwa seorang lelaki meminta izin bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu beliau
berkata: "Berilah izin kepadanya, seburuk-buruk putera kabilah atau saudara kabilah." Ketika ia
masuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara dengan lunak kepadanya. 'Aisyah bertanya-tanya:
"Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, engkau tadi mengatakan begini dan begitu,
kemudian engkau berbicara lemah lembut kepadanya?"

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: "Hai 'Aisyah, seburuk-buruk manusia di sisi Allah Azza wa
Jalla adalah yang ditinggalkan atau dijauhi orang lain karena menghindari kekejiannya." [Muttafaqun
'alaihi].

Mudârât adalah berlaku lembut terhadap orang jahil dalam memberikan pengajaran dan terhadap
orang fasik ketika melarang perbuatan fasiknya, tidak bersikap kasar terhadapnya. Yang mana ia
tidak menunjukkan kemarahannya. Mengingkarinya dengan perkataan dan memperlakukannya
dengan lembut. [4]

DI ANTARA CONTOH HIKMAH DALAM DAKWAH

Berikut ini beberapa contoh hikmah dalam dakwah yang apabila diabaikan bisa memicu timbulnya
konflik di tengah masyarakat.

1. Memperhatikan Kondisi Orang Yang Didakwahi.

Seorang da’i harus memperhatikan kondisi orang yang didakwahinya. Jangan main
pukul rata saja. Ia harus memperhatikan cara yang paling bermanfaat dalam
mendakwahi mereka. Cara yang bermanfaat untuk masyarakat umum belum tentu
cocok untuk mendakwahi raja atau penguasa atau orang yang terpandang, seperti
tokoh masyarakat misalnya. Allah Azza wa Jalla telah berkata kepada Musa dan
Harun ketika mengutus mereka kepada Fir’aun:

ٰ ‫فَ ُقواَل هَل ُ قَ ْواًل لَ ِ ّينًا لَ َعهَّل ُ ي َ َت َذكَّ ُر َأ ْو خَي ْىَش‬


Maka berbicalah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut
mudah-mudahan ia ingat atau takut". [Thaha/20:44]

Cara dakwah yang bermanfaat bagi kaum pedagang keliling, belum tentu
bermanfaat jika digunakan untuk mendakwahi kaum intelektual dan terpelajar.
Salah satu bentuk hikmah adalah memperhatikan cara yang paling bermanfaat yang
dapat memperbaiki bermacam-macam jenis manusia yang berasal dari berbagai
tingkatan dan golongan. 

2. Memperhatikan Waktu Dan Kondisi Dalam Berdakwah.


Tidak arif bila mendatangi seorang yang sedang tidur, lalu membangunkannya untuk
didakwahi. Dan tidak bijaksana bila mendatangi seseorang yang sedang emosi untuk
berceramah di hadapannya. Andaikata dalam kondisi normal tentulah orang itu akan
mau mendengar kata-kata kita. Pilihlah waktu dan kondisi yang tepat untuk
berdakwah. Ketika suasana atau kondisi sedang tegang atau keruh hindarilah
perdebatan maupun dialog hingga ketegangan mereda. Sebab bila dipaksakan bisa
menimbulkan hasil yang kontra produktif (tidak menguntungkan). Dan kalau
seandainya kebenaran itu baru bisa diterima melalui lisan orang lain mengapa harus
memaksakannya melalui lisan kita?

3. Meletakkan Skala Prioritas Yang Tepat.

Seorang da’i harus bisa menempatkan skala prioritas yang benar dalam dakwah.
Hendaklah ia mendahulukan perkara yang paling penting, tidak sepantasnya ia
mendahulukan perkara-perkara yang kecil lalu ia meninggalkan perkara yang lebih
besar dan lebih berbahaya. Salah dalam meletakkan skala prioritas bisa
mengakibatkan penyimpangan dalam dakwah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah menjelaskan kepada kita contoh dari skala prioritas tersebut. Ketika beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Muadz Radhiyallahu anhu ke negeri Yaman,
beliau berkata kepadanya

‫ز‬$َّ $‫ا َد ُة اهَّلل ِ َع‬$$‫ ِه ِع َب‬$‫د ُعومُه ْ لَ ْي‬$ْ $َ‫ا ت‬$$‫ن ََّك تَ ْقدَ ُم عَىَل قَ ْو ٍم َأه ِْل ِك َت ٍاب فَلْ َي ُك ْن َأ َّو َل َم‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
ِ َ َ
‫ومه ِْم‬$ْ $َ ‫َو َج َّل فَ َذا َع َرفُوا اهَّلل َ فََأ ْخرِب ْ مُه ْ َأ َّن اهَّلل َ فَ َر َض عَلهْي ِ ْم مَخ ْ َس َصل َو ٍات يِف ي‬
‫َ ِإ‬
ِ ْ ِ ُ َ ‫مُه‬ ُ
‫اهِئ ِ ْم‬$‫ذ م ْن َأغن َي‬$َ‫ر َض عَلهْي ِ ْم َزاَك ًة ت ُْؤخ‬$َ $َ‫د ف‬$ْ َ‫َول ْيلَهِت ِ ْم فَ ذا فَ َعلوا فََأ ْخرِب ْ ْ َأ َّن اهَّلل َ ق‬
َ
‫ِإ‬
ِ‫واله ِْم‬$َ $‫رامِئ َ َأ ْم‬$َ $ ‫و َّق َك‬$َ $ َ‫ذ ِمهْن ُ ْم َوت‬$ْ $‫ا فَ ُخ‬$$ َ ‫ ا ُعوا هِب‬$‫ط‬$َ ‫ َذا َأ‬$ $َ‫راهِئ ِ ْم ف‬$َ $ ‫فَرُت َ ُّد عَىَل فُ َق‬ 
‫ِإ‬
“ Engkau bakal mendatangi suatu kaum dari kalangan ahli kitab, maka jadikanlah
awal dakwahmu kepada mereka adalah peribadatan kepada Allah semata. Jika
mereka telah mengenali Allah, sampaikanlah kepada mereka bahwa Allah
mewajibkan atas mereka shalat lima waktu sehari semalam. Jika mereka
melakukannya maka sampaikan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas
mereka zakat yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada fakir
miskin diantara mereka. Jika mereka mentaatinya maka ambillah harta-harta itu dari
mereka, dan hindarilah harta-harta kesayangan mereka.” [5]

4. Tidak Memandang Rendah Orang Yang Didakwahi.

Sikap meremehkan ini dapat membuat orang yang didakwahi tidak mau mendengar
dakwah kita. Janganlah sekali-kali mengesankan dirimu lebih baik daripadanya. Atau
memandang dirimu lebih istimewa darinya. Atau membuatnya marah pada kesan
pertama. Mu’tamir bin Sulaiman meriwayatkan bahwa ia mendengar ayahnya
berkata, “Jangan harap orang yang telah engkau buat marah mau mendengarkan
kata-katamu.” [6] Namun beri kesan bahwa engkau adalah saudara baginya.
Hindarilah cepat-cepat menjatuhkan vonis secara membabi buta dan serampangan
karena cara itu sama sekali tidak hikmah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
menjelaskan bagaimana sikap seorang muslim kepada orang yang lebih tua dan yang
lebih muda darinya. Yaitu menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih
muda. Sikap menghargai orang lain terutama dalam konteks dakwah dapat
mempermudah diterimanya dakwah kita. 

5. Meninggalkan Perkara Mustahab (Sunat) Untuk Kekhawatiran Akan Menimbulkan


Kemudharatan Yang Lebih Besar.

Al-Bukhâri telah membuat sebuah bab yang berjudul: “Meninggalkan perkara


mustahab karena khawatir orang-orang salah memahami sehingga jatuh kepada
kerusakan yang lebih parah lagi”. Kemudian beliau membawakan hadits 'Aisyah
Radhiyallahu anhuma, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya:

‫يث َعهْدُ مُه ْ قَا َل ا ْب ُن ُّالزبَرْي ِ ِب ُك ْف ٍر لَنَ َقضْ ُت ْال َك ْع َب َة فَ َج َعلْ ُت‬
ٌ ‫اَي عَائِشَ ُة لَ ْو َال قَ ْو ُم ِك َح ِد‬
‫ون‬َ ‫اس َواَب ٌب خَي ْ ُر ُج‬$ُ َّ‫لَهَا اَب بَنْي ِ اَب ٌب ي َ ْدخ ُُل الن‬.
"Wahai 'Aisyah, jika bukan karena menimbang kaummu yang baru – Ibnu Az-Zubair
berkata, "Yakni baru meninggalkan kekufuran,"- niscaya aku sudah merombak
Ka'bah, aku akan buat dua pintu, pintu masuk dan pintu keluar." 
Ibnu Hajar menyebutkan beberapa faedah dari hadits tersebut, di antaranya:
Dibolehkan meninggalkan sebuah maslahat demi mengindari mudharat dan tidak
mengingkari kemungkaran jika khawatir akan menimbulkan kemungkaran yang lebih
parah.

6. Berbicara Kepada Manusia Sesuai Dengan Daya Nalar Mereka Dalam


Memahaminya.
Ini sangat penting diperhatikan untuk menghindari kesalahpahaman yang
berpotensi memicu konflik. Demikian pula dalam menyampaikan ilmu agama
kepada manusia, harus diperhatikan tingkat pemahaman mereka dalam mencerna
apa yang akan disampaikan, jangan sampai kata-kata kita menimbulkan fitnah bagi
masyarakat awam. Al-Bukhâri telah membuat bab dalam shahîhnya, bab
mengkhususkan sebuah ilmu kepada suatu kaum yang tidak disampaikan kepada
kaum yang lain karena khawatir mereka tidak dapat memahaminya. Kemudian
beliau membawakan perkataan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu , "Berbicaralah
kepada orang banyak dengan apa yang dapat mereka fahami, sukakah kalian bila
mereka nanti mendustai Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ?" Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bâri mengatakan, “Hadits ini
menunjukkan, sesuatu perkara yang masih samar tidak layak disebarkan ke tengah
masyarakat awam. Perkataan Ali ini mirip seperti perkataan Ibnu Mas'ûd, "Tidaklah
kamu menyampaikan sesuatu yang tidak dapat dicerna oleh akal suatu kaum,
melainkan akan menimbulkan fitnah bagi sebahagian mereka." Hadits tersebut
diriwayatkan oleh Muslim. Diantara pembicaraan yang menurut imam Ahmad
makruh disampaikan kepada suatu kaum tetapi boleh disampaikan kepada kaum
yang lain adalah pembicaraan tentang hadits yang makna tekstualnya membolehkan
pemberontakan terhadap penguasa. Menurut Imam Mâlik, hadits-hadits yang
bercerita tentang sifat Allah Azza wa Jalla . Menurut Abu Yusuf, hadits-hadits gharîb.
Sebelumnya Abu Hurairah juga berpendapat demikian, seperti yang disebutkan
sebelumnya tentang dua kantung hadits, satu kantung tidak disampaikan oleh
beliau karena khawatir akan membahayakan keselamatan beliau. Demikian juga dari
Hudzaifah dan dari al-Hasan bahwa mereka berdua mengingkari tindakan Anas yang
menceritakan kisah 'Uraniyîn kepada semua jama'ah haji, karena hal akan dijadikan
dalih untuk berlebihan dalam menumpahkan darah seseorang. Secara tekstual
hadits tersebut terlihat seperti menguatkan kebid'ahan, padahal maksud hadits
tersebut tidak sebagaimana yang difahami secara tekstual. Oleh sebab itu, jangan
menyampaikan hal-hal seperti ini kepada orang-orang awam yang hanya bisa
memahaminya secara tekstual saja. Wallâhu a’lam.”

Pedoman ini sangat penting diperhatikan oleh setiap juru dakwah, khususnya di
Indonesia, agar bisa menekan potensi timbulnya fitnah di tengah masyarakat yang
mayoritas belum memahami agama dengan benar.

7. Menyebarkan Sunnah Tanpa Menimbulkan Konflik.

Imam Ibnu Muflih al-Maqdisi telah membuat sebuah bab dalam kitabnya, al-Adab
asy-Syar’iyyah, “Pasal, menyebarkan sunnah dengan perkataan dan perbuatan,
tanpa menimbulkan pertengkaran dan tanpa kekerasan”. Dalam pasal ini beliau
membawakan beberapa riwayat dari para ulama di antaranya, “Seorang lelaki
pernah bertanya kepada Imam Ahmad, ia berkata, “Aku berada dalam sebuah forum
yang disinggung perkara sunnah di dalamnya, tak ada yang tahu mengenai sunnah
itu selain diriku, bolehkah aku membicarakannya?” Beliau menjawab,
“Sampaikanlah sunnah dan jangan bertengkar karenanya.”

Demikian pula Imam Mâlik, beliau menganjurkan agar menyampaikan sunnah, namun bila tidak
diterima lebih baik diam. [7]

Kesimpulan:

1. Pada asalnya dakwah harus disampaikan dengan hikmah dan lemah lembut.Lemah lembut
ini tidaklah menafikan sikap tegas dalam memegang prinsip, maka dari itu harus dibedakan
antara mudaaraah dan mudaahanah. 

2. Gangguan dan penentangan dari orang-orang jahil bisa saja muncul karena itu sudah
menjadi sunnatullah.
3. Seorang da’i harus sabar dan berlapang dada menerima cobaan yang diterimanya dalam
mengemban tugas dakwah.

4. Hikmah adalah meletakkan sesuatu sesuai pada tempatnya, menyelesaikan masalah tanpa
menimbulkan masalah baru dan berbicara sesuai situasi dan kondisi.

5. Konflik dan kontroversi bisa ditekan dan dihindari bila setiap juru dakwah memperhatikan
hikmah dalam berdakwah.

6. Sabar dan santun adalah bekal yang paling berharga dalam mengemban tugas dakwah.
Kesabaran akan melahirkan ketenangan dalam bertindak dan tidak tergesa-gesa dalam
memutuskan sesuatu. Ketenangan itu berasal dari Allah Azza wa Jalla dan ketergesa-gesaan
berasal dari setan. Dakwah yang dibangun atas sikap sembrono dan tergesa-gesa tidak akan
membuahkan hasil yang positif. Bahkan sebaliknya, menimbulkan bencana demi bencana.

7. Hindari melontarkan komentar-komentar yang provokatif yang bisa memicu pertengkaran


dan kerusuhan. Dan apabila muncul kesalahpahaman masyarakat tentang suatu isu yang
menyangkut dakwah hendaklah segera dilakukan klarifikasi supaya fitnah tidak terlanjur
menyebar dan membesar sehingga sulit terkendali.

Referensi:
1-Tafsir al-Qur'an al-‘Azhim tulisan Ibnu Katsir.
2- Shahih al-Bukhaari.
3- Fathul Baari tulisan Ibnu Hajar al-Asqalaani.
4- Al-Adab asy-Syar’iyyah tulisan Ibnu Muflih.
5- Haditsun Nafsi wa Jaulaatul Khaathir tulisan Abdul Ilaah bin Sulaiman Ath-Thayyar.
6- At-Ta'liqaat As-Saniyah Syarh Ushulu Ad-Da'wah As-Salafiyah tulisan ‘Amru Abdul Mun'im.
7-al-Adab al-Islamiyyah tulisan Abdul Aziz Sayyid Nadaa.
8- Majalah al-Buhuut al-Islaamiyyah Edisi 40.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIII/Rabiul Tsani 1430/2011M. Penerbit Yayasan
Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-
858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat kitab At-Ta'lîqâtus Saniyah Syarh Ushûlud Da'watis Salafiyah tulisan ‘Amru Abdul Mun'im.
[2]. Majalah al-Buhûtsul Islâmiyyah Edisi 40.
[3]. Dinukil dari kaset Silsilatul Hudâ wan Nûr nomor 620.
[4]. Lihat buku Hadîtsun Nafsi wa Jaulâtul Khâthir tulisan Abdul Ilâh bin Sulaiman Ath-Thayyâr.
[5]. Hadits riwayat al-Bukhâri (1458) dan Muslim (19) dari Ibnu Abbâs.
[6]. Al-Adab asy-Syar’iyyah tulisan Ibnu Muflih (I/368).
[7]. Al-Adabusy Syar’iyyah tulisan Ibnu Muflih (I/368).

Anda mungkin juga menyukai