Anda di halaman 1dari 71

PENGARUH LATIHAN BLADDER TRAINING TERHADAP KEMAMPUAN

MENGONTROL BERKEMIH PADA PASIEN POST OPERASI BENIGN


PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH) DI RUANG BEDAH RSUD
TOTO KABILA KABUPATEN BONE BOLANGO

MINI RISET

Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam mengikuti


Ujian Profesi Ners

OLEH

Jusniati S. Timumun S.Kep


NIM : 841 718 097

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
TAHUN 2020
PENGARUH LATIHAN BLADDER TRAINING TERHADAP KEMAMPUAN
MENGONTROL BERKEMIH PADA PASIEN POST OPERASI BENIGN
PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH) DI RUANG BEDAH RSUD
TOTO KABILA KABUPATEN BONE BOLANGO

MINI RISET

Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam mengikuti


Ujian Profesi Ners

OLEH

Jusniati S. Timumun S.Kep


NIM : 841 718 097

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
TAHUN 2020

i
HALAMAN PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa mini riset yang

disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menempuh ujian akhir di

Universitas Negeri Gorontalo, merupakan hasil karya saya sendiri.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan yang saya kutip dari hasil

karya orang lain telah dituliskan sumbernya dengan jelas sesuai dengan norma,

kaidah, etika, penulisan ilmiah dan buku pedoman karya ilmiah Universitas Negeri

Gorontalo.

Apabila dikemudian hari ditemukan seluruh atau bagian mini riset ini bukan

hasil karya saya sendiri atau plagiat dalam bagian-bagian tertentu maka saya bersedia

menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi lainnya

sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Gorontalo, 04 Januari 2020

Jusniati S. Timumun, S.Kep


NIM : 841 718 097

ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Mini Riset yang berjudul :


“Pengaruh Latihan Bladder training Terhadap Kemampuan Mengontrol
Berkemih pada Pasien Post Operasi Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)
di Ruang Bedah RSUD Toto Kabila Kabupaten Bone Bolango”

OLEH:
JUSNIATI S. TIMUMUN, S.Kep
841 718 097
Telah Diperiksa dan Disetujui untuk Diuji

1. Pembimbing Akademik
Ns Dewi Suryaningsi Hiola, S.Kep., M.Kep 1...........................................
NUPN: 9900981061
2. Pembimbing Klinik I
Ns. Alfitri Mustapa, S.Kep 2. .........................................
NIP: 19800226 200604 2 019
3. Pembimbing Klinik II
Ns. I Made Santika, S.Kep 3. .........................................
NIP : 19820819 201101 1 001

Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan

Ns Yuniar M. Soeli S.Kep, M.Kep., Sp.Kep.J


NIP : 19850621 200812 003

iii
LEMBAR PENGESAHAN

Mini Riset yang berjudul


“Pengaruh Latihan Bladder training Terhadap Kemampuan Mengontrol
Berkemih pada Pasien Post Operasi Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)
di Ruang Bedah RSUD Toto Kabila Kabupaten Bone Bolango”

Oleh :
JUSNIATI S. TIMUMUN, S.Kep
841718097

Telah dipertahankan di depan dewan penguji


Hari/Tanggal : Sabtu, 04-01-2020
Waktu : 09.00 Wita
Penguji :
1. Ns Dewi Suryaningsi Hiola, S.Kep., M.Kep 1...........................................
NUPN: 9900981061
2. Ns. Alfitri Mustapa, S.Kep 2. .........................................
NIP: 19800226 200604 2 019
3. Ns. I Made Santika, S.Kep 3. .........................................
NIP : 19820819 201101 1 001
4. Ns. Ita Sulistiani Basir, S.Kep., M.Kep 4. ..........................................
NUPN : 9900981044

Gorontalo, 04 Januari 2020


Ketua Program Ilmu Keperawatan

Ns Yuniar M. Soeli S.Kep, M.Kep., Sp.Kep.J


NIP : 198506212008122003

iv
ABSTRAK
Jusniati S. Timumun, 2019. Pengaruh Latihan Bladder training Terhadap
Kemampuan Mengontrol Berkemih pada Pasien Post Operasi Benign Prostatic
Hyperplasia (BPH) di Ruang Bedah RSUD Toto Kabila Kabupaten Bone
Bolango. Mini Riset. Program Studi Profesi Ners, Fakultas Olahraga dan Kesehatan,
Universitas Negeri Gorontalo. Pembimbing Akademik Ns. Dewi Suryaningsi Hiola,
M.Kep Pembimbing Klinik Ns Alfitri Mustafa, S.Kep dan Ns I Made Santika, S.Kep

BPH (Benign Prostatic Hyperplasia) merupakan pertumbuhan nodul-nodul


fibroadenomatosa majemuk dalam prostat. Kasus BPH ini salah satu penanganannya
adalah dengan prosedur pembedahan yang biasa disebut dengan prosedur TURP
(Transurethral Resection of the Prostate) yang seringkali menimbulkan gangguan
fungsi berkemih. Perawatan post operasi yang dilakukan untuk mengatasi retensi urin
adalah dengan tindakan bladder training untuk mengembalikan fungsi kandung
kencing. Tujuan penelitian ini adalah untuk Mengetahui Pengaruh Latihan Bladder
training Terhadap kemampuan mengontrol berkemih pada Pasien Post Operasi
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) di Ruang Bedah RSUD Toto Kabila Kabupaten
Bone Bolango.

Penelitian ini merupakan penelitian pre eksperimen dengan rancangan one group pre-
post test. Sampel pada penelitian ini sebanyak 4 responden dengan tekhnik
pengambilan sampel consecutive sampling.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan uji statistic menggunakan uji


wilcoxon signed ranks test didapatkan nilai P value = 0,046 (p < 0,05) yang berarti
terdapat pengaruh latihan bladder training terhadap kemampuan mengontol berkemih
pada Pasien Post Operasi Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) di Ruang Bedah
RSUD Toto Kabila Kabupaten Bone Bolango

Kata Kunci : Bladder Training, BPH Post Operasi, Kemampuan Berkemih

v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Waktu Bagaikan Pedang Jika Engkau Tidak Memanfaatkannya Dengan Baik,


Maka Ia Yang Akan Memanfaatkanmu
(Hadis Riwayat Muslim)

Rahasia Kesuksesan Adalah Melakukan Hal Yang Biasa


Secara Tak Biasa
(John D. Rockefeller Jr)

Sekses Adalah Saat Persiapan Diri


Dan Kesempatan Bertemu

Kupersembahkan karya kecil ini untuk kedua orang tuaku yang selalu berdoa untuk
keberhasilanku.
Teruntuk
Ayah dan Ibuku tercinta
Suardi D. Timumun Dan Jubaeda M. Tambanga
Kakak-kakakku tercinta
Armin S. Timumun‚ Masni S. Timumun‚ Sarini Hasyim dan Agussalim Naota

Sebuah persembahan yang mungkin tidak seberapa besar dari perjuangan kalian
membesarkanku dan menyekolakanku. Terima kasih untuk setiap doa, kasih sayang,
dukungan serta motivasi yang tak pernah ada henti dari kalian.

ALMAMATERKU TERCINTA
TEMPATKU MENIMBA ILMU PENGETAHUAN DAN PENGALAMAN
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

vi
Segala puji bagi Allah SWT, atas karunia dan rahmat-Nya yang mengizinkan

penulis sehingga dapat menyelesaikan mini riset yang berjudul “Pengaruh Latihan

Bladder training Terhadap kemampuan mengontrol berkemih pada Pasien Post

Operasi Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) di Ruang Bedah RSUD Toto Kabila

Kabupaten Bone Bolango”.

Penyusunan mini riset ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan

menyelesaikan pendidikan Ners pada Jurusan Keperawatan, Fakultas Olahraga dan

Kesehatan, Universitas Negeri Gorontalo. Dalam penyusunan mini riset ini, banyak

mendapat dukungan, bantuan serta doa dari berbagai pihak. Dengan penuh rasa

sayang dan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada ayah tercinta Suardi D.

Timumun dan ibu Jubaeda M. Tambanga atas segala do’a yang tiada henti untuk

kesuksesan anaknya dan dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis

ini. Kemudian kepada Pembimbing Akademik Ns. Dewi Suryaningsi Hiola, M.Kep

Pembimbing Klinik Ns Alfitri Mustafa, S.Kep dan Ns I Made Santika, S.Kep yang

telah membimbing penulis dengan baik, penuh rasa sabar dan ikhlas dalam

membimbing. Selain itu dengan segala kerendahan hati penulis juga mengucapkan

terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Eduart Wolok, ST., MT. selaku Rektor Universitas Negeri Gorontalo.

2. Dr. Harto S. Malik, M.Hum Selaku Wakil Rektor I, Dr. France M. Wantu, SH.,

MH selaku Wakil Rektor II, Karmila Machmud, S.Pd., M.A.,Ph.D dan Prof. Dr.

Ikhfan Haris, M.Sc Selaku Wakil Rektor IV Universitas Negeri Gorontalo

vii
3. Dr. Hj. Herlina Jusuf, Dra., M.Kes selaku Dekan Fakultas Olahraga dan

Kesehatan Universitas Negeri Gorontalo.

4. Dr. Hartono Hadjarati, S.Pd., M.Pd. selaku Wakil Dekan I, dr. Zuhriana K.

Yususf, M.Kes selaku wakil dekan II, dan Ruslan S.Pd, M.Pd selaku wakil

Dekan III Universitas Negeri Gorontalo

5. Ns. Yuniar M. Soeli, M.Kep, Sp. Kep. J selaku Ketua Program Studi Profesi

Ners Fakultas Olahraga dan Kesehatan Universitas Negeri Gorontalo yang telah

memberikan dorongan dan semangat untuk segera menyelesaikan mini riset ini.

6. Ns. Wirda Y. Dulahu, S.Kep.,M.Kep selaku Sekretaris Program Studi Profesi

Ners Fakultas Olahraga dan Kesehatan Universitas Negeri Gorontalo.

7. Ns. Dewi Suryaningsi Hiola, M.Kep selaku pembimbing akademik terima kasih

atas masukan dan bimbingan kepada peneliti demi kesempurnaan mini riset ini.

8. Alfitri Mustafa, S.Kep dan Ns I Made Santika, S.Kep selaku pembimbing klinik

terima kasih atas masukan dan bimbingan kepada peneliti demi kesempurnaan

mini riset ini.

9. Seluruh Staff Dosen Program Studi Profesi Ners Fakultas Olahraga dan

Kesehatan Universitas Negeri Gorontalo. Terima kasih atas ilmu bermanfaat

yang telah diberikan selama ini.

10. Pihak-pihak terkait yakni perawat ruangan Bedah RSUD Toto Kabila Kabupaten

Bone Bolango dan seluruh pasien, keluarga pasien yang telah bersedia menjadi

responden dalam penelitian ini, terima kasih atas partisipasinya.

viii
11. Kakak-kakak dan teman-teman seangkatan Profesi Ners Angkatan X yang tidak

dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih atas bantuan dan motivasinya.

12. Seluruh keluarga besarku yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah

ikut membantu baik secara moril maupun material dalam menyelesaikan studi.

13. Untuk Arianto M. Manang S.Kep sebagai pasangan yang tetap tegar berdiri

dalam suka maupun duka, terima kasih atas bantuan yang tak terhingga serta

senantiasa memberikan doa dan dukungan semangat dalam menyelesaikan studi

profesi Ners ini.

14. Keluargaku di perumahan civika Ahmad Assel S.Pd, Moh. Andi J. Morad S.Pd,

Sri Indriyanti M. Manang, dan Saprin Morad, yang selalu memberikan, dukuan

dan semangat selama menyelesaikan studi.

15. Teman seperjuangan sekaligus sahabatku Fatra Mokodompit, Sri Amelia Ulama,

Warda Kewu, Rekawandri Hermanto, Eka Fukun Hasan, Terima kasih atas

bantuan yang tak terhingga, Terima kasih atas ukiran kata bermakna

persahabatan yang tulus selalu sepanjang masa pendidikan awal di Program Studi

Keperawatan sampai dengan program profesi Ners.

Semoga segala bantuan, bimbingan, dukungan serta do’a yang telah diberikan

mendapat imbalan pahala dari Allah Azza Wa Jalla. Semoga mini riset ini

bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Aamiin ya Rabbal’alamin..

Wassalamu’alaikum Warohamatullahi Wabarakatuh.

ix
Penulis

Jusniati S. Timumun S.Kep

DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL.......................................................................................i
SURAT PERNYATAAN...................................................................................ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING.......................................................................iii
LEMBAR PENGESAHAN................................................................................iv
ABSTRAK..........................................................................................................v

x
MOTO DAN PERSEMBAHAN........................................................................vi
KATA PENGANTAR........................................................................................vii
DAFTAR ISI.......................................................................................................x
DAFTAR TABEL...............................................................................................xiii
DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................................xiv
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar belakang 1
1.2 Tujuan penelitian 4
1.3 Manfaat penelitian 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6
2.1 Kajian teoritis 6
2.1.1 Benign Prostate Hyperplasia (BPH) 6
A. Pengerian 6
B. Etiologi 7
C. Faktor Resiko 10
D. Tanda dan Gejala 16
E. Klasifikasi 17
F. Patofisiologi 18
G. Penatalaksanaan 19
H. Komplikasi 22
2.1.2 Transurethral resection of the prostate (TURP) 22
2.1.3 Bladder Training 23
A. Pengertian 23
B. Tujuan 25
C. Indikasi 26
D. Sop Bladder Training 26
BAB III METODE MINI RISET 30
3.1. Desain Mini Riset 30

xi
3.2 Lokasi Dan Waktu Mini Riset 31
3.3 Populasi Dan Sampel 31
3.4 Definisi Operasional 32
3.5 Instrumen Mini Riset 33
3.6 Pengolahan Data 34
3.7 Analisa Data 34
3.8 Teknik Pengumpulan Data 35
3.9 Etika Mini Riset 35
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 37
4.1. Hasil mini riset 37
4.1.1Gambaran Umum lokasi Penelitian 37
4.1.2 Karakteristik responden 38
4.2 Hasil Penelitian 39
4.2.1 Distribusi responden sebelum (pre) dilakukan bladder training 39
4.2.2 Distribusi responden sesudah (post) dilakukan bladder training 40
4.3 Analisa Data 41
4.3.1 Distribusi Responden Sebelum (Pre) dan Sesudah (Post) dilakukan
Blader Training 42
4.4 Pembahasan 42
4.4.1 Kemampuan Mengontrol Berkemih Sebelum Dilakukan Bladder
Trainig Pada Pasien Post Op Opersi Benign Prostatic Hyperplasia
(BPH) di Ruang Bedah RSUD Toto Kabila 42
4.4.2 Kemampuan Mengontrol Berkemih Sesudah Dilakukan Bladder
Trainig Pada Pasien Post Op Opersi Benign Prostatic Hyperplasia
(BPH) di Ruang Bedah RSUD Toto Kabila 44
4.4.3 Pengaruh Latihan Bladder Training Terhadap Kemampuan
Mengontrol Berkemih Pada Pasien Post Op Opersi Benign
Prostatic Hyperplasia (BPH) di Ruang Bedah RSUD Toto Kabila 46

xii
4.5 Keterbatasan Penelitian 46
BAB V PENUTUP 48
5.1. Kesimpulan 48
5.2. Saran 48
DAFTAR PUSTAKA 50
LAMPIRAN

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Tabel Halaman


Tabel 3.1 Definisi Operasional ..............................................................................................32
Tabel 4.1 Distribusi Responden Berdasarkan Umur ...............................................................39
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Responden Pre Bladder Training di Ruang

xiii
Bedah RSUD Toto Kabila Kabupaten Bone Bolango 40
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Responden Post Bladder Training di Ruang
Bedah RSUD Toto Kabila Kabupaten Bone Bolango 40
Tabel 4.4 Uji normalitas Shapiro-wilk 41
Tabel 4.5 Uji Wilcoxon Signed Ranks Test 42
Tabel 4.6 Distribusi frekuensi responden pre post Bladder Training di Ruang
Bedah RSUD Toto Kabila Kabupaten Bone Bolango 42

DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Lampiran

Lampiran 1 Lembar Persetujuan Menjadi Responden .......................................


Lampiran 2 Lembar Permohonan Menjadi Responden......................................
Lampiran 3 Lembar Observasi ...........................................................................
Lampiran 4 Master Tabel ...................................................................................
Lampiran 5 Dokumentasi Penelitian ..................................................................

xiv
Lampiran 6 Analisis Data Menggunakan SPSS .................................................

xv
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit pembesaran prostat jinak (PPJ) atau benign prostatic hiperplasia

(BPH) sampai saat ini masih menjadi problem kesehatan di bidang urologi yang

selalu dibahas oleh pakar nasional maupun internasional karena jumlahnya yang

semakin meningkat sesuai dengan semakin meningkatnya angka harapan hidup di

dunia termasuk di Indonesia. Benigna prostat hiperplasia (BPH) merupakan

pembesaran kelenjar prostat yang memanjang ke atas kedalam kandung kemih dan

menyumbat aliran urine dengan menutupi orifisium uretra akibatnya terjadi dilatasi

ureter (hidroureter) dan ginjal (hidronefrosis) secara bertahap (Smeltzer dan Bare,

2012).

Pembesaran kelenjar prostat ini merupakan salah satu masalah genitourinari

yang prevalensi dan insidennya meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Angka

kejadian BPH diketahui terjadi pada 70 persen pria berusia 60-69 tahun di Amerika

Serikat dan 80 persen pada pria berusia 70 tahun ke atas. Insiden BPH diperkirakan

akan meningkat mencapai 20 persen pada pria berusia 65 tahun ke atas atau mencapai

20 juta pria pada tahun 2030 (Nurhasanah & Hamza, 2017).

Penyebab BPH sampai saat ini belum diketahui. Tanda dan gajala yang bisa

muncul pada pasien dengan BPH yaitu salah satunya retensi urin. Penatalaksanaan

medik yang sering dilakukan untuk mengatasi masalah kesulitan buang air kencing

(retensi urin) pada pasien BPH yaitu dengan pembedahan. Transurethral resection

1
prostase (TURP) menjadi salah satu pilihan tindakan pembedahan yang paling umum

dan sering dilakukan untuk mengatasi pembesaran prostat. Prosedur yang dilalukan

dengan bantuan alat yang disebut resektoskop ini bertujuan untuk menurunkan

tekanan pada kandung kemih dengan cara menghilangkan kelebihan jaringan prostat.

TURP menjadi ilihan utama pembedahan karena lebih efektif untuk menghilangkan

gejala dengan cepat dibandingkan dengan penggunaan obat-obatan [ CITATION Ris19 \l

1033 ].

Pembedahan yang dilakukan dapat menimbulkan efek samping bagi pasien

yaitu terjadinya inkontinensia urine akibat dari insufisiensi sfingter uretra dan

disfungsi kandung kemih. Data menunjukkan 56 % dari 52 pasien post operasi BPH

mengalami inkontinensia urine setelah 3 bulan akibat disfungsi kandung kemih. Pada

pasien yang lebih dari usia 70 tahun memiliki resiko dua kali kemungkinan terjadi

inkontinensia urin pasca operasi, disfungsi kandung kemih naik 5,3 % setiap tahun

(Campbell-Walsh, 2012)

Data di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 10-12 juta orang dewasa

mengalami inkontinesia urin. Tingkat keparahannya meningkat seiring bertambahnya

usia dan paritas. Di Indonesia jumlah penderita inkontinensia urin sangat signifikan.

Pada tahun 2015 diperkirakan sekitar 5,8% dari jumlah penduduk mengalami

inkontinensia urin, tetapi penanganannya masih sangat kurang. Pada tahun 2014

survey inkontinensia urin yang dilakukan oleh Departemen Urologi Unair RSU Dr.

Soetomo terhadap 793 penderita, didapatkan hasil angka kejadian inkontinesia urin

2
pada pria 3,02% sedangkan pada wanita 6,79%. Di provinsi Gorontalo berdasarkan

data dinas kesehatan Provinsi tahun 2013 tercatat sebanyak 2,371 lansia pernah

berobat ke rumah sakit dengan masalah inkontinensia urin [ CITATION Hil17 \l 1033 ]

Salah satu cara mengembalikan fungsi berkemih pada pasien post operasi

BPH adalah dengan tindakan bladder training. Bladder Training dilakukan

mengembalikan pola normal perkemihan dengan menghambat atau menstimulasi

pengeluaran air kemih. Sebelum kateterisasi dihentikan, kateter urin secara bergantian

dijepit dengan klem dan dilepas jepitannya setiap beberapa jam sekali. Tindakan ini

memungkinkan kandung kemih terisi urin dan otot detrusor berkontraksi. Pelepasan

klem memungkinkan kandung kemih mengosongkan isinya (Smeltzer & Bare, 2012).

Penelitian yang dilakukan (Riyanto, 2018) dengan judul Pengaruh Bladder

Training Terhadap Fungsi Berkemih Pada Pasien Post Operasi BPH di RSU Dr

Wahidin Sudiro Husodo Kota Mojokerto dari hasil penelitian dengan jumlah sampel

20 sebagian besar responden fungsi berkemihnya normal sebelum bladder training,

yaitu 12 orang (60%), dan hampir seluruh responden fungsi berkemihnya normal

sesudah bladder training yaitu 17 orang (85%). Hal ini menunjukkan bahwa bladder

training memiliki pengaruh signifikan terhadap peningkatan fungsi berkemih pada

pasien post operasi BPH.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk melakukan

penelitian mini riset tentang “Pengaruh Latihan Bladder training Terhadap

3
Kemampuan Mengontrol Berkemih pada Pasien Post Operasi Benign Prostatic

Hyperplasia (BPH) di Ruang Bedah RSUD Toto Kabila Kabupaten Bone Bolango”.

1.2. Tujuan Penelitian

1.2.1 Tujuan Umum

Mengetahui Pengaruh Latihan Bladder training Terhadap kemampuan

mengontrol berkemih pada Pasien Post Operasi Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)

di Ruang Bedah RSUD Toto Kabila Kabupaten Bone Bolango.

1.2.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi kemampuan mengontrol berkemih sebelum latihan Bladder

training pada Pasien Post Operasi Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)

2. Mengidentifikasi kemampuan mengontrol berkemih sesudah latihan Bladder

training pada Pasien Post Operasi Benign Prostatic Hyperplasia (BPH).

3. Menganalisis Pengaruh Latihan Bladder training Terhadap kemampuan

mengontrol berkemih pada Pasien Post Operasi Benign Prostatic Hyperplasia

(BPH) di Ruang Bedah RSUD Toto Kabila Kabupaten Bone Bolango.

1.3. Manfaat penelitian

1.3.1. Bagi Pasien

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk dijadikan sebagai salah satu

terapi untuk menangani kemampuan untuk mengontrol berkemih pada pasien benign

prostatic hiperplasia (BPH).

1.3.2. Bagi Perawat

4
Dapat menambah wawasan pengetahuan perawat tentang terapi untuk

menangani kemampuan mengontrol berkemih pada pasien benign prostatic

hiperplasia (BPH).

1.3.3. Bagi Rumah Sakit

Dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam upaya peningkatan pelayanan

khususnya wawasan dan ketrampilan tenaga keperawatan dalam menangani

kemampuan mengontrol berkemih pada pasien benign prostatic hiperplasia (BPH)

selain terapi farmakologis.

1.3.4. Bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengalaman dan pengetahuan

dalam hal penanganan kemampuan mengontrol berkemih pada pasien benign

prostatic hiperplasia (BPH).

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kajian Teori

2.1 1 Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)

A. Pengertian

Gambar 2.1 pembesaran kelenjar prostat

BPH (Benign Prostatic Hyperplasia) merupakan pembesaran kelenjar prostat,

memanjang ke atas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan

menutupi orifisium uretra akibatnya terjadi dilatasi ureter (hidroureter) dan ginjal

(hidronefrosis) secara bertahap (Smeltzer dan Bare, 2012).

Pendapat lain mengenai pengertian BPH adalah merupakakan pertumbuhan

nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai

dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan

kelenjar normal yang tersisa, prostat tersebut mengelilingi uretra, dan pembesaran

bagian periuretral menyebabkan obstruksi leher kandung kemih dan uretra

6
parsprostatika yang menyebabkan aliran kemih dari kandung kemih (Price dan

Wilson, 2016).

Teori lainnya menjelaskan bahwa BPH merupakan suatu keadaan yang sering

terjadi pada pria umur 50 tahun atau lebih yang ditandai dengan terjadinya perubahan

pada prostat yaitu prostat mengalami atrofi dan menjadi nodular, pembesaran dari

beberapa bagian kelenjar ini dapat mengakibatkan obstruksi urine (Purnomo, 2011).

BPH merupakan sejenis keadaan di mana kelenjar prostat membesar dengan

cepat. Tanda klinis terpenting dalam BPH adalah ditemukannya pembesaran pada

pemeriksaan colok dubur atau digital rectal examination (DRE). BPH prostat teraba

membesar dengan konsistensi kenyal, ukuran dan konsistensi prostat perlu diketahui,

walaupun ukuran prostat yang ditentukan melalui DRE tidak berhubungan dengan

derajat obstruksi. Prediksinya adalah jika teraba indurasi atau terdapat bagian yang

teraba keras, perlu dipikirkan kemungkinan prostat stadium 1 dan 2 (Purnomo, 2011).

B. Etiologi

Etiologi atau penyebab terjadinya BPH hingga saat ini belum diketahui secara

pasti, namun beberapa hipotesisi menyebutkan bahwa BPH erat kaitanya dengan

peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses menua. Terdapat perubahan

mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30-40 tahun. Perubahan

mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan patologik anatomi yang ada

pada pria usia 50 tahun, dan angka kejadiannya sekitar 50%, untuk usia 80 tahun

angka kejadianya sekitar 80%, dan usia 90 tahun sekitar 100% (Purnomo, 2014).

7
Etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang diduga

menjadi penyebab timbulnya Benigna Prosat. Teori tentang penyebab BPH meliputi:

Teori Dehidrotestosteron (DHT), teori hormon (ketidakseimbangan antara estrogen

dan testosteron), faktor interaksi stroma dan epitel-epitel, teori berkurangnya

kematian sel (apoptosis), teori sel stem (Purnomo, 2011).

1. Teori Dehidrotestosteron (DHT)

Dehidrotestosteron (DHT) adalah metabolit androgen yang sangat

penting pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Aksis hipofisis testis dan

reduksi testosteron menjadi dehidrotestosteron (DHT) dalam sel prostad

merupakan factor terjadinya penetrasi DHT kedalam inti sel yang dapat

menyebabkan inskripsi pada RNA, sehingga dapat menyebabkan terjadinya

sintesis protein yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat. Pada berbagai

penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda dengan

kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim 5alfa –

reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini

menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih sensitive terhadap DHT sehingga

replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal

(Purnomo, 2011).

2. Teori hormon ( ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron)

Usia yang semakin tua, menyebabkan terjadinya penurunan kadar

testosteron sedangkan kadar estrogen relative tetap, sehingga terjadi

perbandingan antara kadar estrogen dan testosterone relatif meningkat.

8
Hormon estrogen didalam prostat memiliki peranan dalam terjadinya

poliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan jumlah reseptor

androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis).

Rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan testosterone

meningkat, akan menyebabkan sel-sel prostat yang telah ada mempunyai

umur yang lebih panjang sehingga masa prostat jadi lebih besar (Purnomo,

2011).

3. Faktor interaksi Stroma dan epitel epitel.

Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung

dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator yang disebut Growth

factor. DHT dan estradiol menstimulasi sel-sel stroma setelah itu sel-sel

stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-

sel stroma itu sendiri intrakrin dan autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel

parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya poliferasi sel-sel epitel

maupun sel stroma. Basic Fibroblast Growth Factor (bFGF) dapat

menstimulasi sel stroma dan ditemukan dengan konsentrasi yang lebih besar

pada pasien dengan pembesaran prostad jinak. bFGF dapat diakibatkan oleh

adanya mikrotrauma karena miksi, ejakulasi atau infeksi (Purnomo, 2011).

4. Teori berkurangnya kematian sel (apoptosis)

Progam kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme

fisiologik untuk mempertahankan homeostatis kelenjar prostat. Kondensasi

dan fragmentasi sel terjadi pada apoptosis ini, yang selanjutnya sel-sel yang

9
mengalami apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel di sekitarnya, kemudian

didegradasi oleh enzim lisosom. Terdapat keseimbangan antara laju poliferasi

sel dengan kematian sel pada jaringan normal. Pertumbuhan prostat sampai

pada prostat dewasa terjadi, penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan

yang mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat baru

dengan prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat

secara keseluruhan menjadi meningkat, sehingga terjadi pertambahan masa

prostat (Purnomo, 2011).

5. Teori sel stem

Sel-sel yang telah apoptosis selalu dapat diganti dengan sel-sel baru.

Istilah tersebut di dalam kelenjar prostat dikenal dengan suatu sel stem yaitu

sel yang mempunyai kemampuan berpoliferasi sangat ekstensif. Kehidupan

sel ini sangat tergantung pada keberadaan hormone androgen, sehingga jika

hormone androgen kadarnya menurun, akan terjadi apoptosis. Terjadinya

poliferasi sel-sel BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem

sehingga terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel

(Purnomo, 2011).

C. Faktor Resiko

Menurut Purnomo (2014) terdapat beberapa faktor risiko yang mempengaruhi

terjadinya BPH antara lain:

10
a. Kadar Hormon

Kadar hormon testosteron yang tinggi berhubungan dengan resiko

BPH. Testosteron akan diubah menjadi andogen yang lebih poten yaitu

dihydrotestosteron (DHT) oleh enzim 5α- reductase, yang memegang peran

penting dalam proses pertumbuhan sel- sel prostat

b. Usia

Terjadi kelemahan umum pada usia tua termasuk kelemahan pada buli

(otot detrusor) dan penurunan fungsi persarafan. Perubahan karena pengaruh

usia tua menurunkan kemampuan buli-buli dalam mempertahankan aliran

urin pada proses adaptasi oleh adanya obstruksi karena pembesaran prostat,

sehingga menimbulkan gejala. Testis menghasilkan beberapa hormon seks

pria, yang secara keseluruhan dinamakan androgen. Hormon tersebut

mencakup testosteron, dihidrotestosteron dan androstenesdion.

Testosteron sebagian besar dikonversikan oleh enzim 5- alfa-

reduktase menjadi dihidrotestosteron yang lebih aktif secara fisiologis di

jaringan sasaran sebagai pengatur fungsi ereksi. Tugas lain testosteron

adalah pemacu libido, pertumbuhan otot dan mengatur deposit kalsium di

tulang. Sesuai dengan pertambahan usia, kadar testosteron mulai menurun

secara perlahan pada usia 30 tahun dan turun lebih cepat pada usia 60 tahun

keatas

11
c. Ras

Orang dari ras kulit hitam memiliki risiko 2 kali lebih besar untuk

terjadi BPH dibanding ras lain. Orang-orang Asia memiliki insidensi BPH

rendah

d. Riwayat keluarga

Riwayat keluarga pada penderita BPH dapat meningkatkan risiko

terjadinya kondisi yang sama pada anggota keluarga yang lain. Semakin

banyak anggota keluarga yang mengidap penyakit ini, semakin besar risiko

anggota keluarga yang lain untuk dapat terkena BPH. Resiko meningkat 2

kali bagi orang lain apabila dalam satu keluarga ada satu anggota yang

mengidap penyakit ini. . Bila 2 anggota keluarga, maka risiko meningkat

menjadi 2-5 kali.

e. Obesitas

Obesitas akan membuat gangguan pada prostat dan kemampuan

seksual, tipe bentuk tubuh yang mengganggu prostat adalah tipe bentuk

tubuh yang membesar di bagian pinggang dengan perut buncit, seperti buah

apel. Beban di perut itulah yang menekan otot organ seksual, sehingga lama-

lama organ seksual kehilangan kelenturannya, selain itu deposit lemak

berlebihan juga akan mengganggu kinerja testis. Penderita dengan obesitas

terjadi peningkatan kadar estrogen yang berpengaruh terhadap pembentukan

BPH melalui peningkatan sensitisasi prostat terhadap androgen dan

menghambat proses kematian sel-sel kelenjar prostat

12
Pola obesitas pada laki-laki biasanya berupa penimbunan lemak pada

abdomen. Salah satu cara pengukuran untuk memperkirakan lemak tubuh

adalah teknik indirek, di antaranya yang banyak dipakai adalah Body Mass

Indeks (BMI) dan waist to hip ratio (WHR). BMI diukur dengan cara berat

badan (kg) dibagi dengan kuadrat tinggi badan (m). Interpretasinya (WHO)

adalah overweight (BMI 25-29,9 kg/m2), obesitas (BMI > 30 kg/m2).

Pengukuran BMI mudah dilakukan, murah dan mempunyai akurasi tinggi.

WHR diukur dengan cara membandingkan lingkar pinggang dengan lingkar

panggul. Pengukurannya dengan cara penderita dalam posisi terlentang,

lingkar pinggang diambil ukuran minimal antara xyphoid dan umbilicus dan

lingkar pinggul diambil ukuran maksimal lingkar gluteus - simfisis pubis.

Pada laki-laki di nyatakan obesitas jika lingkar pinggang > 102 cm atau

WHR > 0,90.19

f. Pola Diet

Kekurangan mineral penting seperti seng, tembaga, selenium

berpengaruh pada fungsi reproduksi pria. Seng adalah yang paling penting

karena defisiensi seng berat dapat menyebabkan pengecilan testis yang

selanjutnya berakibat penurunan kadar testosteron. Makanan tinggi lemak

dan rendah serat juga membuat penurunan kadar testosterol. Penumpukan

lemak diperut akan terjadi apabila kelebihan kadar kolesterol dalam tubuh

yang pada akhirnya akan menekan otot-otot seksual dan mengganggu testis,

sehingga kelebihan lemak tersebut justru dapat menurunkan kemampuan

13
seksual. Kemampuan seksual yang menurun ini diakibatkan oleh penurunan

produksi testosteron, yang nantinya mengganggu prostat

Suatu studi menemukan adanya hubungan antara penurunan risiko

BPH dengan mengkonsumsi buah dan makanan mengandung kedelai yang

kaya akan isoflavon. Kedelai sebagai estrogen lemah mampu untuk

memblokir reseptor estrogen dalam prostat terhadap estrogen. Estrogen yang

kuat ini dapat menyebabkan BPH jika sampai menstimulasi reseptor dalam

prostat. Studi demografik menunjukkan adanya insidensi yang lebih sedikit

timbulnya penyakit prostat ini pada laki-laki Jepang atau Asia yang banyak

mengkonsumsi makanan dari kedelai. Isoflavon kedelai yaitu genistein dan

daidzein, secara langsung mempengaruhi metabolisme testosteron.

Mekanisme pencegahan dengan diet makanan berserat terjadi akibat

dari waktu transit makanan yang dicernakan cukup lama di usus besar

sehingga akan mencegah proses inisiasi atau mutasi materi genetik di dalam

inti sel. Mekanisme yang multifaktor terdapat juga didalam sayuran dimana

di dalamnya dijumpai bahan atau substansi anti karsinogen seperti

karoteniod, selenium dan tocopherol. Diet makanan berserat atau karoten ini

diharapkan mengurangi pengaruh bahan-bahan dari luar dan akan

memberikan lingkungan yang akan menekan berkembangnya sel- sel

abnormal.

14
g. Aktivitas Seksual

Kalenjar prostat adalah organ yang bertanggung jawab untuk

pembentukan hormon laki-laki. BPH dihubungkan dengan kegiatan seks

berlebihan dan alasan kebersihan. Kelenjar prostat akan mengalami

peningkatan tekanan darah pada saat kegiatan seksual sebelum terjadi

ejakulasi. Kelenjar prostat akan mengalami bengkak permanen jika suplai

darah ke prostat selalu tinggi dan akan terjadi hambatan prostat. Seks yang

tidak bersih akan mengakibatkan infeksi prostat yang mengakibatkan BPH.

Aktivitas seksual yang tinggi juga berhubungan dengan meningkatnya kadar

hormon testosteron

h. Kebiasaan merokok

Nikotin dan konitin (produk pemecahan nikotin) pada rokok

meningkatkan aktifitas enzim perusak androgen, sehingga menyebabkan

penurunan kadar testosteron

i. Kebiasaan minum-minuman beralkohol

Konsumsi alkohol akan menghilangkan kandungan zink dan vitamin

B6 yang penting untuk prostat yang sehat. Zink sangat penting untuk

kelenjar prostat. Prostat menggunakan zink 10 kali lipat dibandingkan

dengan organ yang lain. Zink membantu mengurangi kandungan prolaktin

di dalam darah. Prolaktin meningkatkan penukaran hormon testosteron

kepada DHT

15
j. Olah raga

Para pria yang tetap aktif berolahraga secara teratur, berpeluang lebih

sedikit mengalami gangguan prostat, termasuk BPH. Kadar

dihidrotestosteron dapat diturunkan dengan cara aktif berolahraga sehingga

dapat memperkecil risiko gangguan prostat. Olahraga juga akan mengontrol

berat badan agar otot lunak yang melingkari prostat tetap stabil. Olahraga

yang dianjurkan adalah jenis yang berdampak ringan dan dapat memperkuat

otot sekitar pinggul dan organ seksual.

Olahraga yang baik apabila dilakukan tiga kali dalam seminggu dalam

waktu 30 menit setiap berolahraga, olahraga yang dilakukan kurang dari tiga

kali dalam seminggu terdapat sedikit sekali perubahan pada kebugaran fisik

tetapi tidak ada tambahan keuntungan yang berarti. Kadar kolesterol akan

turun apabila latihan olah raga dilakukan lebih dari tiga kali dalam

seminggu.

k. Penyakit Diabetes Mellitus

Laki-laki yang mempunyai kadar glukosa dalam darah > 110 mg/dL

mempunyai risiko tiga kali terjadinya BPH, sedangkan untuk laki-laki

dengan penyakit DM mempunyai risiko dua kali terjadinya BPH

dibandingkan dengan laki-laki dengan kondisi normal

D. Tanda dan gejala

Menurut Widayati & Nuari (2017) terdapat beberapa tanda dan gejala pada

pasien dengan BPH :

16
1. Gejala BPH dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu gejala obstruktif

dan gejala iritatif :

a. Gejala obstruktif meliputi hesitancy, pancaran BAK lemah (loss of

force), pancaran BAK terputus-putus (intermitency), tidak tuntas saat

selesai berkemih (sense of residual urine), rasa ingin BAK lagi

sesudah BAK (double voiding) dan keluarnya sisa BAK pada akhir

berkemih (terminal dribbling).

b. Gejala iritatif adalah frekuensi BAK yang tidak normal (polakisuria),

terbangun di tengah malam karena sering BAK (nocturia), sulit

menahan BAK (urgency), dan rasa sakit waktu BAK (disuria), kadang

juga terjadi BAK berdarah (hematuria).

2. Tanda

Tanda klinis terpenting BPH adalah ditemukannya pembesaran

konsistensi kenyal pada pemeriksaan colok dubur/digital rectal examination

(DRE). Hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan apabila teraba indurasi atau

terdapat bagian yang teraba keras, perlu dipikirkan kemungkinan prostat

stadium 1 dan 2

E. Klasifikasi

Berdasarkan perkembangan penyakitnya secara klinis penyakit BPH dibagi

menjadi 4 gradiasi menurut (Smeltzer dan Bare, 2012) :

17
1. Derajat 1

Ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur ditemukan penonjolan

prostat, batas atas mudah teraba dan sisa urin kurang dari 50 ml.

2. Derajat 2

Ditemukan penonjolan prostat lebih jelas pada colok dubur dan batas atas

dapat dicapai, sedangkan sisa volum urin 50- 100 ml.

3. Derajat 3

Saat dilakukan pemeriksaan colok dubur batas atas prostat tidak dapat diraba

dan sisa volum urin lebih dari 100 ml.

4. Derajat 4

Sudah terjadi retensi urine total

F. Patofisiologi

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra

prostatika dan menghambat aliran urine (Purnomo, 2011). Keadaan ini

menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Buli-buli harus berkontraksi

lebih kuat dalam mengeluarkan urin guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang

terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomik buli-buli berupa hipertrofi

otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli.

Perubahan struktur pada bulu-buli tersebut dikeluhkan pasien pada saluran kemih

sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal

dengan gejala prostatismus.

18
Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-

buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter

ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi

refluks vesiko ureter. Keadaan keadaan ini jIka berlangsung terus akan

mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam

gagal ginjal (Purnomo, 2011).

Obstruksi yang diakibatkan oleh hiperplasia prostat benigna tidak

hanya disebabkan oleh adanya massa prostat yang menyumbat uretra posterior,

kondisi ini juga disebabkan oleh tonus otot polos yang pada stroma prostat,

kapsul prostat, dan otot polos pada leher buli-buli. Otot polos itu dipersarafi

oleh serabut simpatis yang berasal dari nervus pudendus. Tahap awal setelah

terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher buli-buli dan daerah prostat

meningkat, serta otot detrusor menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi

atau divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi. Kondisi ini

menyebabkan detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan

tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensio urin yang

selanjutnya dapat menyebabkan hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas

(Purnomo, 2011)

G. Penatalaksanaan

1. Terapi medikamentosa

Tujuan dari obat-obat yang diberikan pada penderita BPH adalah:

19
a. Mengurangi pembesaran prostat dan membuat otot-otot berelaksasi untuk

mengurangi tekanan pada uretra

b. Mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan alfa

blocker (penghambat alfa adrenergenik)

c. Mengurangi volum prostat dengan menentuan kadar hormone

testosterone/ dehidrotestosteron (DHT). Adapun obat-obatan yang sering

digunakan pada pasien BPH, menurut Purnomo (2011) diantaranya :

penghambat adrenergenik alfa, penghambat enzin 5 alfa reduktase,

fitofarmaka.

2. Pembedahan.

Pembedahan adalah tindakan pilihan, keputusan untuk dilakukan

pembedahan didasarkan pada beratnya obstruksi, adanya ISK, retensio urin

berulang, hematuri, tanda penurunan fungsi ginjal, ada batu saluran kemih dan

perubahan fisiologi pada prostat. Waktu penanganan untuk tiap pasien

bervariasi tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi. Intervensi bedah

yang dapat dilakukan meliputi : pembedahan terbuka dan pembedahan

endourologi.

a. Pembedahan terbuka, beberapa teknik operasi prostatektomi terbuka yang

biasa digunakan adalah :

1) Prostatektomi suprapubik Adalah salah satu metode mengangkat

kelenjar melalui insisi abdomen.

20
2) Prostatektomi perineal adalah suatu tindakan dengan mengangkat

kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum.

3) Prostatektomi retropubik adalah tindakan lain yang dapat dilakukan,

dengan cara insisi abdomen rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu

antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung

kemih.

b. Pembedahan endourologi, pembedahan endourologi transurethral dapat

dilakukan dengan memakai tenaga elektrik diantaranya:

1) Transurethral Prostatic Resection (TURP) Merupakan tindakan

operasi yang paling banyak dilakukan, reseksi kelenjar prostat

dilakukan dengan transuretra menggunakan cairan irigan (pembilas)

agar daerah yang akan dioperasi tidak tertutup darah.

2) Transurethral Incision of the Prostate (TUIP) Tindakan ini dilakukan

apabila volume prostat tidak terlalu besar atau prostat fibrotic.

c. Terapi invasive minimal

Terapai invasive minimal dilakukan pada pasien dengan resiko tinggi

terhadap tindakan pembedahan. Terapi invasive minimal diantaranya

Transurethral Microvawe Thermotherapy (TUMT), Transuretral Ballon

Dilatation (TUBD), Transuretral Needle Ablation/Ablasi jarum

Transuretra (TUNA), Pemasangan stent uretra atau prostatcatt (Purnomo,

2011).

21
H. Komplikasi

Komplikasi BPH antara lain:

1. Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi

2. Infeksi saluran kemih

3. Involusi kontraksi kandung kemih

4. Refluk kandung kemih

5. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus

berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urin

yang akan mengakibatkan tekanan intravesika meningkat.

6. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi

7. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat terbentuk

batu endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah keluhan iritasi. Batu

tersebut dapat pula menibulkan sistitis, dan bila terjadi refluks dapat

mengakibatkan pielonefritis.

2.1 2 Transurethral Resection of the Prostate (TURP)


Transurethral Resection of the Prostate (TURP) adalah suatu

pengangkatan jaringan prostat lewat uretra menggunakan resektroskop, dimana

resektroskop merupakan endoskop dengan tabung 10-3-F untuk pembedahan

uretra yang dilengkapi dengan alat pemotong dan counter yang disambungkan

dengan arus listrik. Tindakan ini memerlukan pembiusan umum maupun spinal

dan merupakan tindakan invasive yang masih dianggap aman dan tingkat

morbiditas minimal (Widayati & Nuari, 2017).

22
Transurethral Resection of the Prostate (TURP) merupakan operasi

tertutup tanpa insisi serta tidak mempunyai efek merugikan terhadapa potensi

kesembuhan. Operasi ini dilakukan pada prostat yang mengalami pembesaran

antara 30-60 gram, kemudian dilakukan reseksi. Cairan irigasi digunakan secara

terus menerus dengan cairan isotonis selama prosedur. Setelah dilakukan reseksi,

penyembuhan terjadi dengan granula dan reepitelisasi uretra pars prostatika

(Widayati & Nuari, 2017).

Setelah dilakukan Transurethral Resection of the Prostate (TURP),

dipasang kateter foley tiga saluran nomer 24 yang dilengkapi balon 30 ml, untuk

memperlancar pembuangan gumpalan darah dari kandung kemih. Irigasi

kandung kemih yang konstan dilakukan setelah 24 jam bila tidak keluar bekuan

darah lagi. Kemudian kateter dibilas tiap 4 jam sampai cairan jernih. Kateter

setelah 3-5 hari setelah operasi dan pasien sudah berkemih dengan lancar

(Widayati & Nuari, 2017)

2.1 3 Bladder Training

A. Pengertian

Bladder training adalah salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi

kandung kemih yang mengalami gangguan ke keadaan normal atau ke fungsi

optimal neurogenik Bladder training merupakan salah satu terapi yang efektif di

antara terapi nonfarmakologi. Pengendalian kandung kemih dan sfingter dilakukan

agar terjadi pengeluaran urin secara kontinen. Latihan kandung kemih harus

dimulai dahulu untuk mengembangkan tonus kandung kemih saat mempersiapkan

23
pelepasan kateter yang sudah terpasang dalam waktu lama, dengan tindakan ini

bisa mencegah retensi (Price dan Wilson, 2016).

Terdapat tiga macam metode bladder training, yaitu kegel exercises

(latihan pengencangan atau penguatan otot-otot dasar panggul), Delay

urination (menunda berkemih), dan scheduled bathroom trips (jadwal

berkemih) Latihan kegel (kegel execises) merupakan aktifitas fisik yang tersusun

dalam suatu program yang dilakukan secara berulang-ulang guna meningkatkan

kebugaran tubuh. Latihan kegel dapat meningkatkan mobilitas kandung kemih dan

bermanfaat dalam menurunkan gangguan pemenuhan kebutuhan eliminasi urin.

Latihan otot dasar panggul dapat membantu memperkuat otot dasar panggul untuk

memperkuat penutupan uretra dan secara refleks menghambat kontraksi kandung

kemih (Price dan Wilson, 2016).

Bladder training dapat dilakukan dengan latihan menahan kencing

(menunda untuk berkemih). Bladder training dapat dilakukan pada pasien yang

terpasang kateter urin dengan mengklem aliran urin ke urin bag. Bladder training

dilakukan sebelum kateterisasi diberhentikan. Tindakan ini dapat dilakukan

dengan menjepit kateter urin dengan klem kemudian jepitannya dilepas setiap

beberapa jam sekali. Tindakan menjepit kateter ini memungkinkan kandung kemih

terisi urin dan otot destrusor berkontraksi sedangkan pelepasan klem

memungkinkan kandung kemih untuk mengosongkan isinya (Price dan Wilson,

2016).

24
B. Tujuan

Tujuan dari bladder training adalah untuk melatih kandung kemih dan

mengembalikan pola normal perkemihan dengan menghambat atau menstimulasi

pengeluaran air kemih. Terapi ini bertujuan memperpanjang interval berkemih

yang normal dengan berbagai teknik distraksi atau teknik relaksasi sehingga

frekuensi berkemih dapat berkurang, hanya 6-7 kali per hari atau 2-3 jam sekali.

Melalui latihan, penderita diharapkan dapat menahan sensasi berkemih. Latihan

ini dilakukan pada pasien pasca bedah yang di pasang kateter. Tujuan dilakukan

bladder training yaitu membantu pasien mendapat pola berkemih yang rutin,

mengembangkan tonus otot kandung kemih, memperpanjang interval waktu

berkemih, meningkatkan kapasitas kandung kemih (Purnomo, 2014).

Secara umum bladder training dilakukan sejak sebelum kateter dilepas

hingga setelah kateter dilepas. Pada pasien dengan kateter menetap dapat

dilakukan tindakan bladder training rutin setiap hari. Bladder training yang

dilakukan rutin setiap hari, hasilnya sangat membantu dalam mempertahankan

kondisi normal maupun mengembalikan ke keadaan semula pada pasien

gangguan pola berkemih akibat kateterisasi.

Pada pasien yang dikateterisasi meskipun telah dilakukan

bladder training sebelum dibuka, belum mendapatkan pola berkemih yang

optimal karena kemunduran akibat pengaruh kateterisasi belum dapat

dikembalikan. Kurangnya latihan pada otot-otot destrusor di kandung kemih

menyebabkan kemampuan kandung kemih untuk mengembang berkurang

25
sehingga kapasitas dalam kandung kemih pun menjadi menurun (Purnomo,

2014).

C. Indikasi

Bladder training dapat dilakukan pada pasien yang mengalami retensi

urin, pada pasien yang terpasang kateter dalam waktu yang lama sehingga

fungsi spingter kandung kemih terganggu. Bladder training juga bisa

dilakukan pada pasien yang menggunakan kateter yang lama, dan pasien yang

mengalami inkontinensia urin (Purnomo, 2011).

D. Sop Bladder Training

BLADDER TRAINING
Nama Klien :
Umur :
Jenis Kelamin :

PENGERTIAN Salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi kandung


kemih yang mengalami gangguan ke keadaan normal atau ke
fungsi optimal neurogenik.

TUJUAN 1. Melatih kandung kemih dan mengembalikan pola normal


perkemihan dengan menghambat atau menstimulasi
pengeluaran air kemih.
2. Mengembangkan tonus otot kandung kemih
3. Memperpanjang interval waktu berkemih
4. Meningkatkan kapasitas kandung kemih
5. Mengurangi atau menghilangkan inkontinensia
6. Meningkatkan kemandirian dalam manajemen kandung
kemih

INDIKASI 1. Pasien yang mengalami retensi urin


2. Pasien yang terpasang kateter dalam waktu yang lama
sehingga fungsi spingter kandung kemih terganggu
3. Pasien yang mengalami inkontinensia urin

26
PERSIAPAN 1. Berikan salam, perkenalkan diri, dan identitas klien dengan
PASIEN memeriksa identitas klien secara cermat.
2. Kaji kondisi pasien
3. Ajarkan kepada pasien dan keluarga mengenai tindakan
yang akan dilakukan dengan prosedur yang benar

PERSIAPAN 1. Handscone
ALAT DAN 2. Klem (khusus klien yang memakai kateter)
BAHAN 3. Jam Tangan
4. Air minum dalam tempatnya
5. Alat tulis

TAHAP KERJA TAHAP PRE INTERAKSI


1. Baca catatan medis klien dan daftar intake dan output
2. Siapkan alat dan privacy ruangan
3. Cuci tangan
TAHAP ORIENTASI
1. Berikan salam, panggil klien dengan namanya
2. Memberitahu pasien tentang hal yang akan dilakukan
TAHAP KERJA
Pasien dengan terpasang kateter :
1. Tentukan pola waktu biasanya klien berkemih
2. Rencanakan waktu toilet terjadwal berdasarkan pola dari
klien, bantu seperlunya
3. Berikan pasien sejumlah cairan untuk diminum pada waktu
yang dijadwalkan secara teratur (2500 ml/hari) sekitar 30
menit sebelum waktu jadwal untuk berkemih
4. Beritahu klien untuk menahan berkemih (pada pasien yang
terpasang kateter, klem selang kateter 1-2 jam, disarankan
bisa mencapai waktu 2 jam kecuali pasien merasa
kesakitan)
5. Kosongkan urine bag
6. Cek dan evaluasi kondisi pasien, jika pasien merasa
kesakitan dan tidak toleran terhadap waktu 2 jam yang
ditentukan, maka kurangi waktunya dan tingkatkan secara
bertahap
7. Lepaskan klem setelah 2 jam dan biarkan urine mengalir
dari kandung kemih menuju urine bag hingga kandung
kemih kosong
8. Biarkan klem tidak terpasang 15 menit, setelah itu klem
lagi 1-2 jam

27
9. Lanjutkan prosedur ini hingga 24 jam pertama
1. Lakukan bladder training ini hingga pasien mampu
mengontrol keinginan untuk berkemih
2. Jika klien memakai kateter, lepas kateter jika klien sudah
merasakan keinginan untuk berkemih

HASIL 1. Evaluasi respon pasien


2. Berikan reinforcement positif
3. Lakukan kontrak untuk kegiatan selanjutnya
4. Mengakhiri kegiatan dengan baik

DOKUMENTA 1. Catat kegiatan yang telah dilakukan dalam catatan


SI keperawatan
2. Catat respon klien
3. Tanda tangan dan nama perawat

28
BAB III

METODE MINI RISET

3.1 Desain Mini Riset

Desain mini riset adalah sesuatu yang vital dalam penelitian, yang

memungkinkan pemaksimalan kontrol beberapa faktor yang bisa mempengaruhi

akurasi suatu hasil. Istilah desain penelitian digunakan dalam dua hal yakni desain

penelitian merupakan suatu strategi penelitian dalam mengidentifikasi permasalahan

sebelum perencanaan akhir pengumpulan data, dan desain penelitian digunakan untuk

mendefinisikan struktur dimana penelitian dilaksanakan (Notoatmodjo, 2012).

Penelitian menggunakan desain pre eksperimen dengan rancangan one group

pre-post test. Desain pre eksperimen merupakan desain penelitian yang bertujuan

menguji hubungan sebab akibat dengan mengungkapkan hubungan sebab akibat

dengan melibatkan satu kelompok subjek/tidak memiliki variabel control (Burns &

Grove, 2003 Dalam Zaidin, 2010).

Untuk pelaksanaan dari penelitian ini yaitu dalam 1 hari 6x intervensi dan

diberikan selama 1 hari. Jadi 1 responden diberikan 6 kali intervensi. Penelitian ini

akan melihat Pengaruh Latihan Bladder training Terhadap kemampuan mengontrol

berkemih pada Pasien Post Operasi Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) di Ruang

Bedah RSUD Toto Kabila Kabupaten Bone Bolango.

29
3.2 Lokasi dan Waktu Mini Riset

1.2.1 Lokasi Mini Riset

Mini riset ini dilaksanakan di ruang Bedah RSUD Toto Kabila Kabupaten

Bone Bolango.

1.2.2 Waktu Mini Riset

Mini riset ini dilaksanakan pada tanggal 23-28 Desember 2019.

3.3 Populasi dan Sampel

1.1.1 Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas : objek/subjek yang

mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk

dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. (Sugiyono, 2011)

Populasi pada penelitian ini adalah pasien di ruang Bedah RSUD Toto Kabila

Kabupaten Bone Bolango.

1.1.2 Sampel

Menurut Nursalam (2016) sampel terdiri atas bagian populasi terjangkau yang

dapat dipergunakan melalui sampling. Sedangkan sampling adalah proses

menyeleksi porsi dari populasi yang dapat mewakili populasi yang ada. Jumlah

sampel yang akan dilakukan intervensi yaitu 4 sampel.

Teknik pengambilan sampel adalah consecutive sampling dimana subjek yang

datang memenuhi kriteria inklusi dimasukan kedalam penelitian sampai jumlah

sampel terpenuhi (Sugiyono, 2011). Dalam mini riset ini sampel yang digunakan

30
adalah pasien dengan Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) di ruang Bedah RSUD

Toto Kabila Kabupaten Bone Bolango dengan kriteria sebagai berkut :

A. Kriteria Inklusi :

1. Pasien dengan diagnosa BPH

2. Pasien denga post operasi TURP

3. Pasien yang terpasang kateter urin hari pertama post TURP

4. Pasien yang kooperatif

B. Kriteria ekslusi :

1. Pasien yang menolak untuk dilakukan intervensi

2. Pasien dengan penurunan kesadaran

3.4 Definisi Operasional

Definisi operasional dalam penelitian ini mencakup dua variabel yaitu variabel

independen Bladder Training serta variabel dependen yaitu Kemampuan mengontrol

berkemih pada pasien BPH di ruangan Bedah RSUD Toto Kabila Kabupaten Bone

Bolango.

Tabel 3.1 Definisi Operasional

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur


Variabel
independen

Bladder Training Bladder training SOP - -


adalah salah satu Bladder
upaya untuk training
mengembalikan
fungsi kandung
kemih yang

31
mengalami
gangguan ke
keadaan normal
Variabel
dependen

Kemampuan Kemampuan Lembar 1 : tidak Nominal


Mengontrol mengontrol berkemih observasi dapat
berkemih merupakan suatu mengontrol
proses seseorang rasa ingin
dalam mengontrol berkemih
rasa ingin berkemih
setelah penggunaan 2 : dapat
kateter dalam jangka mengontrol
waktu lama rasa ingin
berkemih

3.5 Instrumen Mini Riset

Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam mini riset ini

menggunakan lembar observasi yang berisi penilaian tentang bladder training dan

Kemampuan mengontrol berkemih pada pasien benign prostatic hyperplasia dengan

kemampuan mengontrol berkemih. Alat yang digunakan untuk mini riset ini yakni

klem (karet), lembar observasi, alat tulis.

Bladder training dilakukkan dengan mengklem kateter pada hari ke 2 pasien

post operasi BPH atas persetujuan dokter. Latihan dilakukan sebanyak 5 kali perhari

dimulai dari kemampuan menahan buang air kecil selama 1 jam pada hari 1 post

operasi selanjutnya dilanjutkan dengan menahan buang air kecil 2 jam dan

seterusnya ditingkatkan lebih lama kemampuan menahan buang air kecilnya pada

hari-hari berikutnya.

32
3.6 Pengolahan Data

3.5.1 Teknik Pengolahan Data

Menurut Sugiyono (2015), setelah data dikumpulkan, kemudian data diolah

dengan tahapan sebagai berikut :

1. Editing

Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang diperoleh

atau dikumpulkan.

2. Coding

Coding adalah kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap data yang

terdiri beberapa kategori. Pemberian kode ini sangat penting bila pengolahan dan

analisa data menggunakan komputer.

3. Entry

Entry data adalah kegiatan memasukan data yang telah dikumpulkan kedalam

master table atau data base computer, kemudian membuat distribusi frekuensi

sederhana atau dengan membuat tabel kontigensi.

4. Tabulating

Mengelompokan data sesuai variabel yang akan diteliti guna memudahkan

analisis data.

3.7 Analisa Data

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Analisis Univariat

33
Analisis univariat dilakukan untuk menggambarkan distribusi frekuensi masing -

masing variabel, baik variabel bebas, variabel terikat dan karakteristik responden.

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan dengan uji Wilcoxon Signed Ranks Test untuk

mengetahui pengaruh yang signifikan antara masing-masing variabel bebas

dengan variabel terikat. Dasar pengambilan hipotesis penelitian berdasarkan pada

tingkat signifikan (nilai p), yaitu:

a. Jika nilai p > 0,05 maka hipotesis penelitian ditolak.

b. Jika nilai p ≤ 0,05 maka hipotesis penelitian diterima.

3.8 Teknik Pengumpulan Data

3.8.1 Cara Pengumpulan Data

1. Data Primer

Data primer didapatkan dengan menggunakan lembar observasi yang berisi

data demografi pasien dan poin kategori yang menjadi bukti pengamatan

peneliti pada responden.

2. Data Sekunder

Data sekunder di peroleh dari ruangan tempat praktek mahasiswa profesi ners

yakni ruang Bedah RSUD Toto Kabila Kabupaten Bone Bolango

3.9 Etika Mini Riset

Menurut Hidayat (2014) masalah etika penelitian yang harus diperhatikan antara

lain adalah sebagai berikut :

1. Informed Consent (Persetujuan)

34
Informed Consent merupakan bentuk pesetujuan antara peneliti dengan

responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Tujuan dari

informed consent adalah agar subjek mengerti maksud dari tujuan penelitian, dan

mengetahui dampaknya. Jika subjek bersedia, maka mereka harus

menandatangani lembar persetujuan dan jika subjek tidak bersedia, maka peneliti

harus menghormati hak subjek.

2. Anonimity (Tanpa Nama)

Masalah Etika Keperawatan merupakan masalah yang memberikan jaminan

dalam penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak memberikan atau

mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan

kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang akan disajikan

3. Confidentiality ( Kerahasiaan)

Masalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan kerahasiaan

penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah lainnya. Semua informasi

yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaanya oleh peneliti, hanya kelompok

data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil riset.

35
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Mini Riset

4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

1. Letak Geografis RSUD Toto Kabila

RSUD Toto Kabila Kabupaten Bone Bolango terletak di Desa Permata

Kecamatan Tilongkabila memiliki luas tanah 8 Ha, terdiri dari 6 Ha areal

persawahan adan 2 Ha bangunan gedung. RSUD Toto Kabila terletak di Desa

Permata Kec. Tilongkabila Kabupaten Bone Bolango dengan batas-batas sebagai

berikut :

a. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Huntu Utara Kec. Bolango Selatan

b. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Bongoime Kec. Tilongkabila

c. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Toto Utara Kec. Tilongkabila

d. Sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Dulomo Kota Gorontalo

2. Visi, Misi, Motto, Falsafah, Tujuan dan Nilai RSUD Toto Kabila

Visi : “Rumah Sakit Terkemuka di Provinsi Gorontalo dan Sekitarnya”

Misi : a. Memberikan kesehatan paripurna, bermutu dan terjangkau yang

berorientasi pada kepuasan pelanggan. b. Meningkatkan kualitas sumber daya

manusia yang profesional. c. Mengelola seluruh sumber daya secara transparan,

efektif, dan efisien, dan akuntabel. d. Meningkatkan kualitas dan kuantitas

sarana/prasarana pelayanan di semua bidang secara terus-menerus dan

berkesinambungan.

36
Motto : “Melayani dengan senyum”

Falsafah : “Pelayanan Kesehatan Diselenggarakan dengan Berlandaskan Etika

dan Profesionalitas”

Tujuan : Menjadi Rumah Sakit yang Mampu Memberikan Pelayanan Prima dan

Inovatif dengan didukung oleh Sumber Daya Manusia yang Handal dan

Profesional”

Nilai : Senyum, Integritas, Responsibilitas, Pengetahuan, Komitmen, Kasih

Sayang, Empati

RSUD Toto Kabila saat ini dilengkapi dengan ruangan bedah. Ruangan bedah

merupakan salah satu ruangan yang ada di RSUD toto kabila, Ruang bedah

berkapasitas tempat tidur 45 tempat tidur. Dengan jumlah perawat 15 orang, dengan

tingkat pendidikan Sarjana Keperawatan Ners sebanyak 8 orang, dan DIII

keperawatan 7 orang. Tenaga adminstrasi 1 orang. Saat ini RSUD Toto Kabila

memiliki layanan unggulan dibidang kulit, hemodialisa dan urologi. Rumah sakit

Toto Kabila merupakan rumah sakit memiki satu-satunya dokter urologi pertama di

gorontalo.

4.1.2 Karateristik Responden

Dalam penelitian ini, responden yang terpilih adalah 5 orang responden pasien

dengan post operasi Transurethral Resection of the Prostate (TURP) di ruang Bedah

RSUD Toto Kabila Kabupaten Bone Bolango dalam rentang waktu antara 23-28

Desember 2019.

37
a. Distribusi Responden Berdasarkan Umur

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan gambaran karakteristik responden

berdasarkan umur di ruang Bedah RSUD Toto Kabila sebagaimana dalam tabel

berikut :

Tabel 4.1 : Distribusi frekuensi responden berdasarkan usia di ruang Bedah RSUD
Toto Kabila Kabupaten Bone Bolango
No Usia Jumlah (n) Persentasi (%)
1 46-55 tahun 1 25
2 65 tahun ke atas 3 75
Total 4 100
Sumber : Data Primer 2019

Dari tabel 4.1 di atas dapat dilihat bahwa responden dengan usia 46-55 tahun

berjumlah 1 orang (25%), dan responden usia 65 tahun ke atas berjumlah 3 orang

(75%). Berdasarkan penjelasan di atas‚ maka responden yang terbanyak dalam

penelitian ini yaitu responden dengan usia 65 tahun keatas berjumlah 3 orang (75%).

4.2 Hasil penelitian

4.2.1 Distribusi responden sebelum (pre) dilakukan bladder training

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil responden sebelum dilakukan

bladder training di ruang Bedah RSUD Toto Kabila sebagaimana dalam tabel

berikut:

38
Tabel 4.2 : Distribusi frekuensi responden pre bladder training di ruang Bedah
RSUD Toto Kabila Kabupaten Bone Bolango
No Pre Bladder Training Jumlah (n) Persentasi (%)
1 Tidak dapat mengontrol rasa 4 100
ingin berkemih
2 Dapat mengontrol rasa ingin 0 0
berkemih
Total 4 100
Sumber : Data Primer 2019

Dari tabel 4.2 di atas dapat dilihat bahwa semua responden sebelum dilakukan

bladder training tidak dapat mengontrol rasa ingin berkemih dengan jumlah 4

responden dengan persentasi (100%)

4.2.2 Distribusi responden setelah (post) dilakukan bladder training


Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil responden setelah dilakukan

bladder training di ruang Bedah RSUD Toto Kabila sebagaimana dalam tabel

berikut:

Tabel 4.3 : Distribusi frekuensi responden post bladder training di ruang Bedah
RSUD Toto Kabila Kabupaten Bone Bolango
No Post Bladder Training Jumlah (N) Persentasi (%)
1 Tidak dapat mengontrol rasa ingin 0 0
berkemih
2 Dapat mengontrol rasa ingin 4 100
berkemih
Total 4 100
Sumber : Data Primer 2019

Dari tabel 4.3 di atas dapat dilihat bahwa responden setelah dilakukan

bladder training rata-rata responden setelah di lakukan bladder training sudah dapat

mengontrol rasa ingin berkemih yaitu 4 reponden dengan presentasi (100%).

39
4.3 Analisa Data

Analisis data dibuat untuk mengetahui distribusi data dan untuk mengetahui

hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat. Tujuan penelitian ini adalah

untuk mengetahui Pengaruh Latihan Bladder training Terhadap kemampuan

mengontrol berkemih pada Pasien Post Operasi Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)

di Ruang Bedah RSUD Toto Kabila Kabupaten Bone Bolango. Pengujian hipotesis

penelitian ini menggunakan uji normalitk menentukan apakah data dalam penelitian

ini berdistribusi normal atau tidak. Tampilan uji normalitas dapat dilihat pada tabel:

Tabel 4.4 uji normalitas Shapiro-wilk

Shapiro-Wilk Statistic df Sig


Post 0.552 4 0.000
Data Primer 2019

Berdasarkan tabel hasil uji normalitas menggunakan uji Shapiro-wilk

menunjukan bahwa data tidak berdistribusi normal, dibuktikan dengan nilai p value

post yaitu 0.000. Karena nilai p value < 0,05 maka data tidak berdistribusi normal.

Pada hasil perhitungan distribusi data menggunakan uji normalitas Shapiro-

Wilk didapatkan data dalam penelitian ini tidak berdistribusi normal, sehingga

selanjutnya dalam menganalisis pengaruh anata variabel dependen dan independen

maka akan menggunakan uji wilcoxon signed ranks test. Hasil pengujian untuk

menganalisa pengaruh variabel dependen yakni kemampuan mengontrol berkemih,

diuraikan sebagai berikut :

40
Tabel 4.5 uji Wilcoxon Signed Ranks Test
Asymp. Sig (2-Tailed)
Pre-post 0.046
Data Primer 2019

Berdasarkan tabel hasil uji ditemukan bahwa nilai sig (2-tailed) dari analisis

Statistic wilcoxon signed ranks test sebesar 0,046. Nilai signifiknsi (P-value) ini

masih lebih kecil dibandingkan dengan nilai alpha yang digunakan (0,05) sehingga

Ha diterima dan H0 ditolak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat

Pengaruh latihan bladder training terhadap kemampuan mengontol berkemih pada

Pasien Post Operasi Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) di Ruang Bedah RSUD

Toto Kabila Kabupaten Bone Bolango tahun 2019

4.3.1 Distribusi responden sebelum (pre) dan sesudah (post) dilakukan bladder
training
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil responden sebelum dan sesudah

dilakukan bladder training di ruang Bedah RSUD Toto Kabila sebagaimana dalam

tabel berikut:

Tabel 4.6 : Distribusi frekuensi responden pre post bladder training di ruang Bedah
RSUD Toto Kabila Kabupaten Bone Bolango
Pre Post p-value
Variabel
N % N %
Dapat mengontrol 0 0 4 100
berkemih
Tidak dapat mengontrol 4 100 0 0 0,046
berkemih
Sumber : Data Primer 2019

Dari tabel 4.6 di atas dapat dilihat bahwa semua responden sebelum dilakukan

bladder training tidak dapat mengontrol rasa ingin berkemih dengan jumlah 4

41
responden dengan persentasi (100%) serta dapat dilihat pula bahwa responden setelah

dilakukan bladder training responden yang dapat mengontrol rasa ingin berkemih

yaitu 4 reponden dengan presentasi (100%). Berdasarkan penjelasan di atas‚ maka

dapat dilihat bahwa semua responden sebelum dilakukan bladder training tidak dapat

mengontrol rasa ingin berkemih dengan jumlah 4 responden dengan persentasi

(100%) dan setelah dilakukan bladder training semua responden sudah dapat

mengontrol rasa ingin berkemih yaitu 4 responden (100%).

4.4 Pembahasan

4.4.1 Kemampuan Mengontrol Berkemih Sebelum dilakukan latihan Bladder


Training Pada Pasien Post Operasi Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) di
Ruang Bedah RSUD Toto Kabila

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 4 responden didapatkan

semua responden dengan presentasi (100%) yang dilakukan pembedahan TURP

(Transurethral Resection of the Prostate) tidak dapat mengontrol berkemih karena

terpasang kateter. Responden dalam penelitian ini keseluruhan masih terpasang kateter

sehingga sulit untuk diteliti fungsi berkemihnya karena semua responden menyatakan

tidak ada keluhan saat berkemih karena urine akan keluar begitu saja melalui kateter

sehingga tidak ada sensasi rasa panas, nyeri, perasaan tidak lega (Smeltzer dan Bare,

2012).

Dilihat dari rata-rata jumlah responden penelitian ini, ditemukan bahwa

jumlah responden yang paling banyak adalah diusia 65 tahun keatas berjumlah 3

orang (75%). Berdasarkan hasil penelitian dilapangan yang dilakukan oleh peneliti,

mayoritas penderita dengan kasus BPH di RSUD Toto Kabila Bone Bolango

42
merupakan kalangan lanjut usia (> 60 tahun keatas). Biasanya mereka yang datang

memang kebanyakan adalah kaum pria yang berusia diatas 60 tahun. Sangat jarang

sekali pasien dengan BPH yang berusia kurang dari 60 tahun, walaupun mungkin ada

namun prevalensinya cukup jarang.

Salah satu masalah kesehatan yang sering dijumpai pada pria diatas 60 tahun

adalah Benign Prostatic Hyperplasia atau BPH, keadaan ini di alami oleh 50% pria

yang berusia 60 tahun, dan kurang lebih 80% pria yang berusia 80 tahun. Hal ini

sesuai dengan teori bahwa salah satu faktor resiko terjadinya kasus BPH adalah faktor

usia. Dimana kadar testosteron mulai menurun secara perlahan pada usia 30 tahun

dan turun lebih cepat pada usia 60 tahun keatas (Tarwoto & Wartonah, 2012).

4.4.2 Kemampuan Mengontrol Berkemih Sesudah dilakukan latihan Bladder


Training Pada Pasien Post Operasi Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) di
Ruang Bedah RSUD Toto Kabila

Dari tabel di atas didapatkan data bahwa pada saat setelah dilakukan bladder

training, didapatkan yaitu semua responden dapat mengontrol berkemih yaitu 4

responden (100%). 4 responden yang dapat mengontrol berkemih yaitu responden

yang dilakukan bladder training sebannyak 5 kali dalam sehari, banyaknyanya

perlakuan yang diberikan berpengaruh terhadap fungsi berkemih sehingga responden

setelah dilakukan bladder training sudah mampu mengontrol berkemih.

Tindakan bladder training ini dilakukan oleh peneliti yaitu dihari kedua pasca

operasi TURP, dimana pada hari kedua tersebut biasanya tindakan irigasi bladder

sudah akan dihentikan. Sebelum tindakan bladder training dilakukan, penderita

dilakukan pemeriksaan kondisinya apakah ada keluhan atau tanda tanda yang

43
mengarah ke kondisi retensi urin. Kemudian setelah itu penderita dilakukan dan

diajarkan bagaimana tindakan bladder training tersebut dilakukan. Responden

diajarkan untuk mengeklem selang kateter urin mereka dengan karet gelang selama 1

jam pertama, dan sebelumnya responden diminta minum air putih 100-250 cc setiap

kali akan diklem. Bila sudah terasa penuh dikandung kemih dan ingin BAK maka

klem selang kateter dapat dibuka dan dibiarkan selama 15 menit. Setelah itu selang

diklem kembali seperti itu selama 2-3 jam dimulai dari pagi hari sampai malam hari.

Pada malam hari, responden diminta istirahat dan pagi harinya baru dicek kembali

oleh peneliti. Setelah 1 x 24 jam dilakukan, kemudian penderita dilakukan

pemeriksaan kembali (Wiyono, 2016)

Penelitian ini sejalan dengan Heriyanto (2018) dengan judul Pengaruh

Bladder Training Terhadap Fungsi Berkemih Pada Pasien Post Operasi Benign

Prostate Hyperplasia (BPH) Di RSU Dr.Wahidin Sudiro Husodo Mojokerto dari

hasil penelitian dengan jumlah sampel 20 sebagian besar responden fungsi

berkemihnya normal sebelum bladder training, yaitu 12 orang (60%), dan hampir

seluruh responden fungsi berkemihnya normal sesudah bladder training yaitu 17

orang (85%). Hal ini menunjukkan bahwa bladder training memiliki pengaruh

signifikan terhadap peningkatan fungsi berkemih pada pasien post operasi BPH.

4.4.3 Pengaruh Latihan Bladder Training Terhadap Kemampuan Mengontrol


Berkemih Pada Pasien Post Operasi Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) di
Ruang Bedah RSUD Toto Kabila

44
Berdasarkan tabel ditemukan bahwa nilai sig (2-tailed) dari analisis Statistic

wilcoxon signed ranks test sebesar 0,046. Nilai signifiknsi (P-value) ini masih lebih

kecil dibandingkan dengan nilai alpha yang digunakan (0,05) sehingga Ha diterima

dan H0 ditolak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat Pengaruh latihan

bladder training terhadap kemampuan mengontrol berkemih pada Pasien Post

Operasi Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) di Ruang Bedah RSUD Toto Kabila

Kabupaten Bone Bolango tahun 2019. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan

oleh Dadi Santosa, (2015) juga menjelaskan bahwa tindakan Bladder Training dan

muscle pelvic exercise terbukti efektif memperbaiki fungsi eliminasi berkemih pada

pasien BPH pasca operasi.

Penelitian ini sejalan dengan teori yang menjelaskan bahwa tindakan bladder

training ini adalah merupakan salah satu terapi yang efektif diantara terapi non

farmakologi yang ada untuk mencegah atau menurunkan resiko retensi urin. Dimana

tindakan ini adalah untuk mengembalikan fungsi kandung kemih yang mengalami

gangguan ke keadaan normal atau fungsi neurogenik (Potter & Perry, 2010).

Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Anita Widyastuti, (2012)

menjelaskan bahwa ada pengaruh yang signifikan dengan adanya tindakan bladder

training yang dilakukan setiap hari terhadap kejadian inkontinensia bila dibandingkan

dengan bladder training yang hanya dilakukan pada satu hari sebelum kateter dilepas.

Hasil uji statistik menunjukkan nilai p value < α (0,000 < 0,05) maka H0 ditolak.

Selain itu penelitian lain yaitu oleh Sri Wulandari, (2012) juga menjelaskan

bahwa ada pengaruh yang jelas terlihat dari tindakan bladder training yang dilakukan

45
terhadap penurunan inkontinensia pada lansia dimana sebelum dilakukan tindakan,

antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol tidak terdapat perbedaan

penurunan inkontinensia secara signifikan. Namun setelah dilakukan tindakan

bladder training, antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol penelitian

menunjukan perbedaan yang cukup signifikan, dimana terjadi penurunan kejadian

inkontinensia pada kelompok perlakuan sedangkan kelompok kontrol tetap. Hasil uji

statistik menunjukkan hasil pada pre test ditemukan nilai t hitung sebesar 0,343

dengan nilai p value 0,735 maka H0 diterima, yang artinya tidak ada pengaruh.

Sedangkan pada post test ditemukan nilai t hitung sebesar 7,348 dengan nilai p value

0,000 maka H0 ditolak sehingga ada pengaruh tindakan Bladder training terhadap

penurunan inkontinensia pada lansia.

4.5 Ketebatasan penelitian

Adapun keterbatasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penelitian ini menggunakan desain pre-experiomental dengan pendekatan

pre-post test design. Dalam penelitian ini hanya terdiri dari kelompok

intervensi tanpa adanya kelompok kontrol.

2. Jumlah sampel yang terbatas yaitu 4 sampel, hal ini disebabkan oleh

keterbatasan waktu penelitian sehingga subjek yang didapatkan terbatas.

46
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan tentang Pengaruh Latihan

Bladder training Terhadap Kemampuan Mengontrol Berkemih pada Pasien Post

Operasi Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) di Ruang Bedah RSUD Toto Kabila

Kabupaten Bone Bolango tahun 2019, maka didapatkan kesimpulan sebagai berikut:

1. Sebelum dilakukan bladder training didapatkan semua responden yaitu 4 (100%)

yang tidak dapat mengontrol berkemih

2. Setelah dilakukan bladder training 5 kali semua responden yaitu 4 (100%) sudah

dapat mengontrol berkemih

3. Terdapat Pengaruh Latihan Bladder training Terhadap Kemampuan Mengontrol

Berkemih pada Pasien Post Operasi Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) di

Ruang Bedah RSUD Toto Kabila Kabupaten Bone Bolango tahun 2019 dengan

nilai sig (2-tailed) dari analisis Statistic wilcoxon signed ranks test sebesar nilai

p=0,046.

5.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian ini maka peneliti merekomendasikan

kepada :

47
5.2.1 Bagi Pasien

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk dijadikan sebagai salah satu

terapi untuk menangani kemampuan untuk mengontrol berkemih pada pasien

benign prostatic hiperplasia (BPH).

5.2.2 Bagi Perawat

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan pengetahuan perawat

tentang terapi untuk menangani ketidakmampuan mengontrol berkemih pada

pasien benign prostatic hiperplasia (BPH).

5.2.3 Bagi Rumah Sakit

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam upaya

peningkatan pelayanan khususnya wawasan dan ketrampilan tenaga

keperawatan dalam menangani ketidakmampuan mengontrol berkemih pada

pasien benign prostatic hiperplasia (BPH) selain terapi farmakologis.

5.2.4 Bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengalaman dan pengetahuan dalam

hal penanganan ketidakmampuan mengontrol berkemih pada pasien benign

prostatic hiperplasia (BPH).

48
DAFTAR PUSTAKA

Amadea, R. A. (2019). Benign Prostatic Hyperlasia (BPH). Jurnal Medical


Profession (MedPro) Vol 1 No 2 , 172-176.

Anita Widiastuti. (2012). Perbedaan Kejadian Inkontinensia Urin pada Pasien post
kateterisasi yang dilakukan Bladder Training setiap hari dengan Bladder
Training sehari sebelum Kateter dibuka di BPK RSU Tidar Magelang

Campbell-Walsh. (2012). Urology 10th Edition, Philadelphia, WB Saunders and


imprint of Elsevier Inc.

Dadi Santosa. (2015). Efektivitas Kombinasi Bladder Training dan Muscle Pelvic
Exercise terhadap Fungsi Eliminasi berkemih pada Pasien Benign Prostate
Hyperplasia Pasca operasi Trans Vesical Prostatectomy

Hidayat, A. A. A. (2014). Metodelogi Penelitian Kesehatan : Paradigma Kuantitif.


(M. Uliyah, Ed.) (1st ed.). Surabaya: Health Books.

Nurhasanah, T., & Hamza, A. (2017). Bladder trainingBerpengaruh Terhadap


Penurunan Kejadian Inkontinensia Urine pada Pasien Post Operasi BPH Di
Ruang Rawat Inap RSUD Soreang . jurnal ilmu dan teknologi kesehatan, vol 5
no 1 , 79-91.

Nursalam. (2016). Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.


Edisi 4. Jakarta : Salemba Medik

Moa, H. M. (2017). Pengaruh Bladder Training Terhadap Inkontinensia Urin


Pada Lanjut Usia Di Posyandu Lansia Desa Sumberdem Kecamatan Wnosari
Malang. Nursing Ners Vol 2 No 2 , 514-523

Pamungkas, M. R., Nurhayati, & Musiana. (2013). Pengaruh Latihan Kandung


Kemih (Bladder Training) Terhadap Interval Berkemih Wanita Lanjut Usia
(Lansia) Dengan Inkontonensia Urin. Jurnal Keperawatan, Volume IX, no. 2, ,
214-219.

Potter & Perry. (2010). Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta : EGC

Purnomo B. (2011).Dasar dasar Urologi. Edisi ketiga. Jakarta: CV Sagung Seto

49
Purnomo, B. (2014). Dasar Dasar Urologi (3th ed.). Sagung Seto

Riyanto, M. S. (2018). Pengaruh Bladder Training Terhadap Fungsi Berkemih Pada


Pasien Post Operasi Benign Prostate Hyperplasia (BPH) Di RSU Dr.Wahidin
Sudiro Husodo

Smeltzer, S.C., &Bare, B.B. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Volume 1. Jakarta : EGC

Sugiyono. (2015). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfa Beta

Sri Wulandari. (2012). Pengaruh Latihan Bladder trainingterhadap Penurunan


Inkontinensia pada Lanjut Usia di Panti Wreda Dharma Bakti Surakarta

Sjamsuhidajat dan De jong. 2015. Buku Ajar Ilmu Bedah, Jakarta : EGC

Shabrini, L. A. (2015). Efektifitas Bladder training Sejak Dini Dan Sebelum


Pelepasan Kateter Urin Terhadap Terjadinya Inkontinensia Urine Pada Pasien
Paska Operasi Di SMC RS Telogorejo. jurnal ilmu keperawatan dan kebidanan
vol II no 3 , 144-151.

Suharyanto, T., & Madjid, A. (2013). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan
Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: CV. Trans Info Medika.

Tarwoto & Wartonah. 2012. Kebutuhan Dasar Manusia dalam Proses Keperawatan.
Jakarta: Salemba Medika.

Widayati, D., & Nuari, N. A. (2017). Gangguan Pada Sistem Perkemihan &
Penatalaksanaan Keperawatan. Yogyakarta: cv budi utama

Wiyono, D. (2016). Efektivitas Bladder training Terhadap Retensi Urin Pada Pasien
Post Operasi BPH Di Ruang Mawar RSUD Dr Soehadi Prijonegoro Sragen.
Skripsi

50
51
52
53
54

Anda mungkin juga menyukai