Disusun Oleh:
Kelas A
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
2
3. Mengetahui patogenesis diare dan kolera
3
BAB II
ISI
Diare adalah buang air besar dengan konsistensi lembek atau cair,
bahkan dapat berupa air saja dengan frekuensi lebih sering dari biasanya (tiga
kali atau lebih) dalam satu hari (Depkes RI 2011). Diare adalah buang air
besar pada balita lebih dari 3 kali sehari disertai perubahan konsistensi tinja
menjadi cair dengan atau tanpa lendir dan darah yang berlangsung kurang
dari satu minggu (Juffrie dan Soenarto, 2012).
a. Faktor Infeksi
1) Infeksi enteral: infeksi saluran pencernaan makanan yang
merupakan penyebab utama diare pada anak. Meliputi infeksi
enteral sebagai berikut :
4
● Infeksi bakteri: Vibrio’ E coli, Salmonella, Shigella,
Campylobacter, Yersinia, aeromonas, dan sebagainya.
● Infeksi virus: Enterovirus (virus ECHO, Coxsacki,
Poliomyelitis) Adeno-virus, Rotavirus, astrovirus, dan
lain-lain.
● Infeksi parasit: cacing (Ascaris, Trichuris, Oxcyuris,
Strongyloides) protozoa (Entamoeba histolytica, Giardia
lamblia, Trichomonas hominis), jamur (Candida albicans)
2) Infeksi parenteral ialah infeksi di luar alat pencernaan makanan
seperti: otitits media akut (OMA), tonsillitis/tonsilofaringitis,
bronkopneumonia, ensefalitis, dan sebagainya. Keadaan ini
terutama terdapat pada bayi dan anak berumur di bawah 2
tahun.
b. Faktor Malabsorbsi
1) Malabsorbsi karbohidrat disakarida (intoleransi laktosa, maltose
dan sukrosa), monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa,dan
galaktosa). Pada bayi dan anak yang terpenting dan tersering
(intoleransi laktosa).
2) Malabsorbsi lemak
3) Malabsornsi protein
c. Faktor makanan, makanan basi,beracun, alergi, terhadap makanan.
d. Faktor psikologis, rasa takut dan cemas (jarang, tetapi dapat terjadi
pada anak yang lebih besar).
1. Patogenesis Diare
a. Gangguan osmotik
Akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan
menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meninggi
sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit ke dalam rongga usus.
Isi rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus untuk
mengeluarkanya sehingga timbul diare.
b. Gangguan sekresi
6
Akibat rangsangan tertentu (misalnya toksin) pada dinding usus
akan terjadi peningkatan sekresi air dan elektrolit ke dalam rongga
usus dan selanjutnya timbul diare karena terdapat peningkatan isi
rongga usus.
2. Patogenesis Kolera
7
prostaglandin dapat dilihat dalam tinja penderita kolera. Tidak adanya
sel-sel leukosit, eritrosit, dan protein ini mencerminkan penyakit yang
sifatnya noninflamatorik dan noninvasif. Vibrio Cholerae tidak bersifat
invasif terhadap mukosa intestinal, sehingga tidak menyebabkan
terjadinya repons inflamatorik pada penderita-penderita dan suhu badan
biasanya normal atau subnormal, namun mungkin terjadi demam derajat
rendah pada sekitar 20% penderita, terutama pada anak-anak, yang
mungkin disebabkan karena adanya vasokonstruksi perifer.
1. Penularan Diare
8
minuman yang tercemar tinja dan atau kontak langsung dengan tinja
penderita. Beberap perilaku yang dapat menyebabkan penyebaran kuman
enteric dan meningkatkan resiko terjadinya dire yaitu: tidak memberikan
ASI secara penuh 4-6 bulan pada pertama kehidupan, menggunakan
botol susu, menyimpan makanan masak pada suhu kamar, menggunakan
air minum yang tercemar, tidak mencuci tangan sesudah membuang tinja
anak, tidak mencuci tangan sebelum dan sesudah menyuapi anak dan
tidak membuang tinja termasuk tinja bayi yang benar.
2. Penularan Kolera
9
tinggi. Dan transmisi oleh lalat belum ada bukti dan laporan terjadinya,
secara teoritis lalat dapat mengontaminasi makanan di mana Vibrio
Cholerae berkembang biak sampai jumlah dosis infektif, tetapi belum
ada bukti dan laporan terjadinya wabah kolera yang berkaitan dengan
transmisi oleh lalat.
1. Diagnosis Diare
10
d) Pemeriksaan CT scan bagi pasien yang mengalami nyeri perut hebat,
untuk mengetahui adanya perforasi usus.
2. Diagnosis Kolera
a) Pemeriksaan Anamnesa
b) Pemeriksaan Laboratorium
11
suhu kamar (Pusat Penelitian Biomedis dan Farmasi, Badan Litbang
Kesehatan, 2009) dalam penelitian Nelly P, (2011).
Menurut Jufrri dan Soenarto (2012), ada beberapa faktor resiko diare
yaitu :
a. Faktor umur yaitu diare terjadi pada kelompok umur 6-11 bulan pada
saat diberikan makanan pendamping ASI. Pola ini menggambarkan
kombinasi efek penurunan kadar antibody ibu, kurangnya kekebalan
aktif bayi, pengenalan makanan yang mungkin terkontaminasi
bakteri tinja.
b. Faktor musim: variasi pola musim diare dapat terjadi menurut letak
geografis. Di Indonesia diare yang disebabkan oleh rotavirus dapat
terjadi sepanjang tahun dengan peningkatan sepanjang musim
kemarau, dan diare karena bakteri cenderung meningkat pada
musim hujan.
c. Faktor lingkungan, meliputi kepadatan perumahan, kesediaan sarana
air bersih (SAB), pemanfaatan SAB, kualitas air bersih.
2. Faktor Risiko Kolera
12
a. Faktor umur, di daerah yang endemik puncak kasus-kasus kolera
banyak dijumpai pada anak-anak berumur 2-9 tahun dan wanita
masa produktif antara 15-35 tahun. Sedangkan pada anak-anak di
bawah 1 tahun derajat infeksinya rendah mungkin karena sedikitnya
mereka berada dalam paparan infeksi atau karena adanya efek
protektif dari air susu ibu. Pada wanita usia produktif, diperkirakan
bahwa meningkatnya jumlah kasus pada golongan ini disebabkan
karena penurunan imunitas pada saat mengurus anak. Sebaliknya, di
daerah dimana kolera menyerang penduduk yang paparannya
rendah, penyakit cenderung untuk mengenai semua kelompok umur
dengan frekuensi yang sama besarnya.
b. Faktor musim, pada banyak daerah endemik kolera menunjukkan
adanya pola musiman di mana pada bulan-bulan tertentu
insidensnya tinggi dan pada bulan lain insidensnya rendah. Di
Indonesia pola persebaran kolera sangat berbeda dengan bagian
barat dengan timur. Mirip dengan keadaan di Bangladesh, kolera
sporadik ataupun epidemik di bagian barat Indonesia berkaitan
dengan periode curah hujan yang subnormal, yaitu pada bulan
September dan Oktober, sedangkan di Indonesia bagian timur
kasus-kasus kolera mencapai puncaknya justru pada musim hujan,
yaitu Februari dan April.
c. Faktor lingkungan meliputi kepadatan perumahan, kesediaan sarana
air bersih (SAB), pemanfaatan SAB, rendahnya kualitas air bersih
dan pengolahan makanan yang kurang bersih. Lingkungan yang
kotor akan memudahkan penyebaran bakteri Vibrio Cholerae.
1. Pengobatan Diare
a. Terapi Nonfarmakologi
13
1) Terapi Rehidrasi Oral
2) Oralit
Oralit bermanfaat untuk meredakan dehidrasi, terutama yang
disebabkan oleh diare. Oralit aman untuk dikonsumsi oleh siapa
saja, baik oleh bayi, anak-anak, maupun orang dewasa. Larutan
oralit yang lama tidak dapat menghentikan diare. Hal ini
disebabkan formula oralit lama dikembangkan dari kejadian
outbreak diare di Asia Selatan yang disebabkan oleh bakteri.
Hal tersebut menyebabkan berkurangnya lebih banyak elektrolit
tubuh terutama natrium pada diare yang lebih banyak dijumpai
belakangan ini adalah diare karena virus. Karenanya para ahli
mengembangkan formula baru dengan tingkat osmoralitas yang
lebih rendah.
b. Terapi Farmakologi
Selain menggunakan cara pengobatan nonfarmakologi, pengobatan
diare menggunakan obat-obatan seperti loperamida, defenoksilat,
kaolin, karbon adsorben, attapulgite, dioctahedral smectite,
pemberian zink dan antimikroba sangat diperlukan.
2. Pengobatan Kolera
14
elektrolit merupakan hal yang paling penting di dalam pengobatan
penderita kolera. Pemberian cairan secara dini dapat menghindarkan
terjadinya dehidrasi. Apabila sudah dehidrasi penting untuk memulihkan
keseimbangan cairan dan menghindarkan kematian. Terapi cairan dibagi
dua fase, yaitu fase rehidrasi dan fase maintenance. Pada fase rehidrasi di
mana air dan elektrolit yang hilang karena dehidrasi diganti, sedangkan
pada fase maintenance, cairan tinja yang keluar diganti. Terapi cairan
intravena atau intravenous fluid therapy (IVFD) merupakan pengobatan
terpilih untuk rehidrasi penderita dehidrasi berat dan untuk penggantian
cairan pada penderita dengan muntah yang persisten. Sedangkan cairan
per oral diberikan pada penderita dengan dehidrasi ringan atau sedang
yang tidak mengalami muntah hebat dan sebagai maintenance hidrasi
setelah keadaan dehidrasi terkoreksi (Lesmana, 2004).
1. Pencegahan Diare
a. Pemberian ASI
15
perlindungan terhadap diare pada bayi yang baru lahir. Pemberian
ASI eksklusif mempunyai daya lindung 4 kali lebih besar terhadap
diare daripada pemberian ASI yang disertai dengan susu botol. Flora
usus pada bayi-bayi yang disusui mencegah tumbuhnya bakteri
penyebab diare. Pada bayi yang tidak diberi ASI secara penuh pada 6
bulan pertama kehidupan, risiko terkena diare adalah 30 kali lebih
besar. Pemberian susu formula merupakan cara lain dari menyusui.
Penggunaan botol untuk susu formula biasanya menyebabkan risiko
tinggi terkena diare sehingga bisa mengakibatkan terjadinya gizi
buruk.
2. Pencegahan Kolera
16
Terdapat dua jenis vaksin secara oral yang tersedia saat ini yaitu an
attenuated live vaccine berdasarkan genetically modified Vibrio
Cholerae galur O1 (Orochol) yang diberikan dalam dosis tunggal dan sel
dari galur O1 Vibrio Cholerae yang sudah dimatikan dengan purified
cholera toxin (Dukoral) yang memberikan pencegahan yang sangat kuat
diberikan dalam 2 dosis 1-6 minggu secara terpisah. (Wier E, dkk 2004).
Namun vaksin masih terus dikembangkan dan diuji keefektivannya.
Orochol diberikan untuk mereka yang mempunyai risiko tinggi seperti
petugas kesehatan yang bertugas di derah endemik. Cara pencegahan
dengan vaksin dianggap kurang efektif, terutama di daerah berkembang
yang ekonominya rendah karena perlunya biaya yang tinggi untuk
vaksinasi.
a) Sterilisasi: Membuang dengan benar sisa defek fecal dan air yang
dihasilkan oleh pasien yang menderita kolera.
17
d) Water purification: Semua air yang digunakan untuk minum,
mencuci, dan memasak, harus disterilisasi dengan cara merebus,
memberi klorin, ataupun pemberian ozon.
18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
19
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI. (2011) Buku Saku Diare Edisi 2011. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI
20
Octa,D. R. L., Maita, E., Maya S. & Yulfiana,R., (2014), Buku Ajar Asuhan
Kebidanan Neonatus, Bayi/Balita dan Anak Prasekolah Untuk Para
Bidan. Yogyakarta: CV Budi Utama
Puspandari, N., Sariadji, K., & Wati, M. (2010). Identifikasi penyebab kejadian
luar biasa kolera di Papua terkait kontak jenazah dan
sanitasi. Widyariset, 13(2), 69-74.
Wijoyo. 2013. Diare Pahami Penyakit dan Obatnya. Yogyakarta: Citra Aji
21