Anda di halaman 1dari 23

TUGAS TERSTRUKTUR MAKALAH

“Epidemiologi Penyakit Menular Diare dan Kolera”

Guna memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Epidemiologi Penyakit Menular

Dosen pengampu: Devi Oktaviana, S.Si, M.Kes

Disusun Oleh:
Kelas A

Ghina Roudhatul Jannah I1A019059


Febianti Rahayu I1A019060

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT
PURWOKERTO
2020
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1


A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 2
C. Tujuan .......................................................................................................... 2
BAB II ISI .............................................................................................................. 4
A. Pengertian Diare dan Kolera ........................................................................ 4
B. Etiologi Diare dan Kolera ............................................................................ 4
C. Patogenesis Diare dan Kolera ...................................................................... 6
D. Penularan Diare dan Kolera ......................................................................... 8
E. Diagnosis Penyakit Diare dan Kolera ........................................................ 10
F. Faktor Risiko Diare dan Kolera ................................................................. 12
G. Pengobatan Diare dan Kolera..................................................................... 13
H. Pencegahan Diare dan Kolera .................................................................... 15
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 19
A. Kesimpulan ................................................................................................ 19
B. Saran ........................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 20
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang


cukup besar di negara berkembang. Secara global terjadi peningkatan kejadian
diare dan kematian akibat diare pada balita dari tahun 2015-2017. Pada tahun
2015, diare menyebabkan sekitar 688 juta orang sakit dan 499.000 kematian di
seluruh dunia tejadi pada anak-anak dibawah 5 tahun. Data WHO (2017)
menyatakan, hampir 1,7 miliar kasus diare terjadi pada anak dengan angka
kematian sekitar 525.000 pada anak balita tiap tahunnya. Di negara
berkembang seperti Indonesia jumlahnya besar karena morbiditas dan
mortalitas-nya yang masih tinggi. Survei morbiditas yang dilakukan oleh
Subdit Diare, Departemen Kesehatan dari tahun 2000 s/d 2010 terlihat
kecenderungan insidens naik. Pada tahun 2000 IR penyakit Diare 301/ 1000
penduduk, tahun 2003 naik menjadi 374 /1000 penduduk, tahun 2006 naik
menjadi 423 /1000 penduduk dan tahun 2010 menjadi 411/1000 penduduk.
Kejadian Luar Biasa (KLB) diare juga masih sering terjadi, dengan CFR yang
masih tinggi. Pada tahun 2008 terjadi KLB di 69 Kecamatan dengan jumlah
kasus 8133 orang, kematian 239 orang (CFR 2,94%). Tahun 2009 terjadi KLB
di 24 Kecamatan dengan jumlah kasus 5.756 orang, dengan kematian 100 orang
(CFR 1,74%), sedangkan tahun 2010 terjadi KLB diare di 33 kecamatan dengan
jumlah penderita 4204 dengan kematian 73 orang (CFR 1,74 %.).

Seiring dengan diare penyakit kolera merupakan diare akut yang


disebabkan oleh bakteri Vibrio Cholerae. Pada tahun 2014 total kasus kolera
sebanyak 190.549 dilaporkan ke WHO oleh 42 negara, 55% dari kasus berasal
dari Afrika, 30% dari Asia dan 15% dari Hispaniola. Total kasus kematian
akibat kolera sebanyak 2231 kematian yang dilaporkan oleh 24 negara.
Diduga terdapat lebih dari 2 juta kasus dan hampir seratus ribu kematian
karena kolera setiap tahunnya (WHO 2015). Diperkirakan ada 5,5 juta kasus
kolera terjadi setiap tahunnya di Asia dan Afrika. Sekitar 8% dari pada
kasus-kasus ini cukup berat sehingga memerlukan perawatan rumah sakit dan
1
20% dari kasus-kasus berat ini berakhir dengan kematian sehingga jumlah
kematian besarnya 120.000 per tahun (Murad L, 2004).

Di banyak daerah endemik, kolera menunjukkan adanya pola musiman


di mana pada bulan-bulan tertentu insidensnya tinggi dan pada bulan lain
insidensnya rendah. Di Indonesia pola persebaran kolera sangat berbeda
dengan bagian barat dengan timur. Mirip dengan keadaan di Bangladesh,
kolera sporadik ataupun epidemik di bagian barat Indonesia berkaitan dengan
periode curah hujan yang subnormal, yaitu pada bulan September dan
Oktober, sedangkan di Indonesia bagian timur kasus-kasus kolera mencapai
puncaknya justru pada musim hujan, yaitu Februari dan April. Kejadian KLB
Kolera di Papua pada tahun 2008 juga disebabkan tercemarnya sumber air
yang berasal dari penampungan air hujan. Selain itu pada kejadian KLB di
jember, menewaskan 4 orang dan menyerang 747 orang selama kurun waktu 1
bulan sejak pertengahan agustus 2010.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian diare dan kolera?

2. Bagaimana etiologi diare dan kolera?

3. Bagaimana patogenesis diare dan kolera?

4. Bagaimana penularan diare dan kolera?

5. Bagaimana diagnosis penyakit diare dan kolera?

6. Bagaimana faktor risiko diare dan kolera?

7. Bagaimana pengobatan diare dan kolera?

8. Bagaimana pencegahan diare dan kolera?

C. Tujuan

1. Mengetahui pengertian diare dan kolera

2. Mengetahui etiologi terjadinya diare dan kolera

2
3. Mengetahui patogenesis diare dan kolera

4. Mengetahui penularan diare dan kolera

5. Mengetahui diagnosis penyakit diare dan kolera

6. Mengetahui faktor risiko diare dan kolera

7. Mengetahui pengobatan diare dan kolera

8. Mengetahui pencegahan diare dan kolera

3
BAB II
ISI

A. Pengertian Diare dan Kolera

Diare adalah buang air besar dengan konsistensi lembek atau cair,
bahkan dapat berupa air saja dengan frekuensi lebih sering dari biasanya (tiga
kali atau lebih) dalam satu hari (Depkes RI 2011). Diare adalah buang air
besar pada balita lebih dari 3 kali sehari disertai perubahan konsistensi tinja
menjadi cair dengan atau tanpa lendir dan darah yang berlangsung kurang
dari satu minggu (Juffrie dan Soenarto, 2012).

Sedangkan kolera adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh


bakteri Vibrio Cholerae yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan dan
minuman yang dikonsumsi oleh penderita. Bakteri tersebut mengeluarkan
racunnya pada saluran usus sehingga terjadi diare (diarrhoea) disertai muntah
yang hebat. Akibatnya seseorang kehilangan cairan tubuh yang banyak dan
masuk pada kondisi dehidrasi. Apabila dehidrasi tidak segera ditangani akan
menyebabkan kematian (Maisura, dkk, 2018). Menurut Sawasvirojwong,
dkk, (2013) Kolera merupakan penyakit infeksi usus yang disebabkan oleh
bakteri Vibrio Cholerae ditandai dengan diare yang hebat disertai tinja
menyerupai menyerupai air cucian beras dan dengan cepat dapat
menimbulkan dehidrasi. Dalam usus halus bakteri Vibrio cholerae ini akan
bereaksi dengan cara mengeluarkan toksin pada saluran usus, sehingga
terjadilah diare disertai muntah yang akut dan hebat.

B. Etiologi Diare dan Kolera

1. Etiologi Penyakit Diare

Etiologi menurut Ngastiyah (2014) antara lain

a. Faktor Infeksi
1) Infeksi enteral: infeksi saluran pencernaan makanan yang
merupakan penyebab utama diare pada anak. Meliputi infeksi
enteral sebagai berikut :
4
● Infeksi bakteri: Vibrio’ E coli, Salmonella, Shigella,
Campylobacter, Yersinia, aeromonas, dan sebagainya.
● Infeksi virus: Enterovirus (virus ECHO, Coxsacki,
Poliomyelitis) Adeno-virus, Rotavirus, astrovirus, dan
lain-lain.
● Infeksi parasit: cacing (Ascaris, Trichuris, Oxcyuris,
Strongyloides) protozoa (Entamoeba histolytica, Giardia
lamblia, Trichomonas hominis), jamur (Candida albicans)
2) Infeksi parenteral ialah infeksi di luar alat pencernaan makanan
seperti: otitits media akut (OMA), tonsillitis/tonsilofaringitis,
bronkopneumonia, ensefalitis, dan sebagainya. Keadaan ini
terutama terdapat pada bayi dan anak berumur di bawah 2
tahun.
b. Faktor Malabsorbsi
1) Malabsorbsi karbohidrat disakarida (intoleransi laktosa, maltose
dan sukrosa), monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa,dan
galaktosa). Pada bayi dan anak yang terpenting dan tersering
(intoleransi laktosa).
2) Malabsorbsi lemak
3) Malabsornsi protein
c. Faktor makanan, makanan basi,beracun, alergi, terhadap makanan.
d. Faktor psikologis, rasa takut dan cemas (jarang, tetapi dapat terjadi
pada anak yang lebih besar).

2. Etiologi Penyakit Kolera

Penyakit kolera adalah penyakit epidemi dan endemik yang


disebabkan oleh bakteri Vibrio Cholerae. Umumnya bakteri Vibrio
Cholerae yang menyebabkan kolera adalah tipe O1 dan O139. Secara
garis besar, Vibrio Cholerae dibedakan atas O1 dan non-O1 menurut
antigen somatiknya, namun secara biokimiawi keduanya tidak dapat
dibedakan satu sama lain Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, Ogawa
dijumpai sebagai serotipe yang paling dominan di Indonesia (Lesmana S,
dkk, 1997).
5
Gambar bakteri Vibrio Cholera

Vibrio Cholera adalah bakteri gram negatif, berbentuk koma,


bersifat an aerobik fakultatif. Bakteri ini pathogen fakultatif intraseluler
yang tidak hanya ditemukan pada manusia namun juga pada hewan
primata. Menurut Huq A., dkk (1990) dalam penelitian Murad, di alam
bebas, Vibrio Cholerae ditemukan hidup di lingkungan akuatik, baik di
daerah yang tidak ditemukan kolera maupun daerah yang endemik.
Beberapa laporan baru-baru ini menunjukan bahwa Vibrio patogen dapat
beradaptasi dengan baik pada lingkungan air yang tidak mengalir,
bersuhu hangat dengan konsentrasi kegaraman (salinity) dan nutrien
yang tinggi.

C. Patogenesis Diare dan Kolera

1. Patogenesis Diare

Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare menurut


Ngastiyah (2014):

a. Gangguan osmotik

Akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan
menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meninggi
sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit ke dalam rongga usus.
Isi rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus untuk
mengeluarkanya sehingga timbul diare.

b. Gangguan sekresi

6
Akibat rangsangan tertentu (misalnya toksin) pada dinding usus
akan terjadi peningkatan sekresi air dan elektrolit ke dalam rongga
usus dan selanjutnya timbul diare karena terdapat peningkatan isi
rongga usus.

c. Gangguan motilitas usus


Hiperperistaltik akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus
untuk menyerap makanan sehingga timbul diare. Sebaliknya bila
peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri tumbuh
berlebihan, selanjutnya timbul diare pula.

2. Patogenesis Kolera

Masa inkubasi infeksi bakteri Vibrio Cholerae berkisar antara 12


sampai 72 jam setelah makan atau minum yang terkontaminasi masuk ke
saluran pencernaan. Usus halus adalah tempat primer infeksi Vibrio
Cholerae dan merupakan asal terjadinya diare sekretorik. Patogenesis
bakteri Vibrio Cholerae untuk menimbulkan suatu penyakit, secara
umum ada dua tahap. Pada tahap pertama bakteri akan melakukan
pelekatan ke sel inang, pada pelekatan awal diperankan oleh pili dan sifat
pelekatannya adalah anchoring, setelah itu dilanjutkan dengan pelekatan
melalui outer membrane sel, yang pelekatannya bersifat doching. Setelah
melakukan pelekatan maka bakteri akan berkembang biak disertai
dengan produksi bahan-bahan metabolisme bakteri yang dapat
merugikan sel inang (Salyer and Whitt 2002). Dalam melakukan
pathogenesis, Vibrio Cholerae mengeluarkan cholera toxin (CT) dan
toxin coregulated philus (TCP). Cholera toxin (CT) dan toxin
coregulated philus (TCP) diproduksi oleh pili dan outer membrane
protein (OMP) (Guli M, 2016). Toxin ini yang menginfeksi usus dan
menyebabkan gangguan kesehatan.

Efek utama dari infeksi Vibrio Cholerae adalah meningkatnya


secara aktif sekresi klorida dan bikarbonat, dan menurunnya absorpsi
sodium klorida. Terjadi peningkatan kadar prostaglandin, sehingga
meningkatkan sekresi cairan intestinal secara in vitro. Peningkatan

7
prostaglandin dapat dilihat dalam tinja penderita kolera. Tidak adanya
sel-sel leukosit, eritrosit, dan protein ini mencerminkan penyakit yang
sifatnya noninflamatorik dan noninvasif. Vibrio Cholerae tidak bersifat
invasif terhadap mukosa intestinal, sehingga tidak menyebabkan
terjadinya repons inflamatorik pada penderita-penderita dan suhu badan
biasanya normal atau subnormal, namun mungkin terjadi demam derajat
rendah pada sekitar 20% penderita, terutama pada anak-anak, yang
mungkin disebabkan karena adanya vasokonstruksi perifer.

Awal terjadinya gejala penyakit dapat terjadi secara mendadak,


ditandai dengan diare air yang hebat. Didahului oleh perasaan tidak enak
perut, mual, dan diare ringan. Kejang otot dapat terjadi disertai rasa nyeri
yang mengganggu. Mulanya tinja masih mengandung masa dan
berwarna kuning cokelat, tetapi dengan berkembangnya bakteri penyakit,
tinja akan menjadi lebih encer dan berwarna abu-abu pucat, dan
selanjutnya akan menyerupai air cucian beras. Terjadi diare akut yang
sering diikuti muntah, terutama pada awal penyakit. Pada beberapa
penderita, muntah dapat sangat hebat. Bentuk manifestasi klinisnya yang
khas adalah dehidrasi, berlanjut dengan renjatan hipovolemia dan
asidosis metabolik yang tercapai dalam waktu yang amat singkat dan
dapat berakhir dengan kematian bila tidak ditanggulangi dengan baik.
Beberapa ciri fisik penderita kolera, yaitu nadi perifer tidak teraba, dan
tekanan darah tidak dapat diukur. Turgor kulit menurun sehingga
memberi kesan kulit seperti adonan kue, mata cekung dan kaki tangan
keriput seperti terendam lama di air (washerwoman’s hands). Suara
penderita serak, penderita menjadi gelisah dan merasa sangat haus
(Lesmana M, 2004).

D. Penularan Diare dan Kolera

1. Penularan Diare

Menurut departemen Kesehatan RI (2005), kuman penyebab diare


biasanya menyebar melalui fecal oral antara lain melalui makanan atau

8
minuman yang tercemar tinja dan atau kontak langsung dengan tinja
penderita. Beberap perilaku yang dapat menyebabkan penyebaran kuman
enteric dan meningkatkan resiko terjadinya dire yaitu: tidak memberikan
ASI secara penuh 4-6 bulan pada pertama kehidupan, menggunakan
botol susu, menyimpan makanan masak pada suhu kamar, menggunakan
air minum yang tercemar, tidak mencuci tangan sesudah membuang tinja
anak, tidak mencuci tangan sebelum dan sesudah menyuapi anak dan
tidak membuang tinja termasuk tinja bayi yang benar.

2. Penularan Kolera

Sumber utama penularan kolera adalah dari makanan dan minuman.


Air sumur dan mata air dapat terkontaminasi dengan Vibrio Cholerae
sehingga dapat menjadi tempat hidup sekaligus transmisi dari bakteri
tersebut, air yang disimpan di tempat penyimpanan yang bermulut lebar
seperti tempayan, dapat terkontaminasi melalui tangan atau benda-benda
lain yang digunakan untuk mengambil air. Selain air, makanan yang
tidak dimasak atau setengah matang merupakan sumber penularan.
Dalam makanan, Vibrio Cholerae dapat hidup antara 2-14 hari dan
ketahanan hidup ini menjadi lebih baik bila makanan dimasak terlebih
dahulu sebelum terjadi kontaminasi. Dalam penelitian Murad L, (2004)
kolera dapat disebabkan karena binatang laut seperti kerang, tiram dan
remis, serta udang dan kepiting, dapat juga menjadi perantara (vehicle)
transmisi yang penting untuk infeksi Vibrio. Binatang-binatang laut itu
dapat terkontaminasi oleh Vibrio Cholerae melalui air di mana kuman itu
secara persisten sudah berada di sana, atau karena air terkontaminasi oleh
tinja manusia.

Terdapat berbagai penelitian menunjukan adanya derajat infeksi


asimtomatik yang tinggi terhadap kontak di dalam keluarga penderita
kolera di daerah-daerah endemik kolera. Faktor lain yang berperan dalam
penyebabnya yaitu imunitas, infeksi asimtomatik dan rute penyebaran
yang multipel. Pernyebaran kolera melalui transmisi langsung dari orang
ke orang sangat kecil kemungkinannya karena dosis infeksi kolera yang

9
tinggi. Dan transmisi oleh lalat belum ada bukti dan laporan terjadinya,
secara teoritis lalat dapat mengontaminasi makanan di mana Vibrio
Cholerae berkembang biak sampai jumlah dosis infektif, tetapi belum
ada bukti dan laporan terjadinya wabah kolera yang berkaitan dengan
transmisi oleh lalat.

E. Diagnosis Penyakit Diare dan Kolera

1. Diagnosis Diare

Pemeriksaan laboratorium yang intensif perlu dilakukan untuk


mengetahui adanya diare yang disertai kompikasi dan dehidrasi. Menurut
William (2005), pemeriksaan darah perlu dilakukan untuk mengetahui
Analisa Gas Darah (AGD) yang menunjukan asidosis metabolic.
Pemeriksaan feses juga dilakukan untuk mengetahui:

a. Leukosit polimorfonuklear, yang membedakan antara infeksi bakteri


dan infeksi virus.

b. Kultur feses positif terhadap organisme yang merugikan.

c. Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dapat menegaskan


keberatan rotavirus dalam feses.

d. Nilai pH feses dibawah 6 dan adanya substansi yang berkurang


dapat diketahui adanya malaborbsi karbohidrat.

Menurut Cahyono (2014), terdapat beberapa pemeriksaan laboratorium


untuk penyakit diare, diantaranya:

a) Pemeriksaan darah rutin, LED (laju endap darah), atau CPR


(C-reactive protein). memberikan informasi mengenai tanda infeksi
atau inflamasi.

b) Pemeriksaan fungsi ginjal dan elektrolit untuk menilai gangguan


keseimbangan cairan dan elektrolit.

c) Pemeriksaan kolonoskopi untuk mengetahui penyebab diare.

10
d) Pemeriksaan CT scan bagi pasien yang mengalami nyeri perut hebat,
untuk mengetahui adanya perforasi usus.

2. Diagnosis Kolera

Tindakan pengobatan terhadap diare yang berat dengan dehidrasi


memang tidak perlu dan tidak boleh menunggu hasil identifikasi kuman
penyebab, akan tetapi pemeriksaan mikrobiologis untuk menemukan
Vibrio Cholerae dari bahan pemeriksaan klinis sangat penting dalam
menentukan upaya klinis dan epidemiologik.

a) Pemeriksaan Anamnesa

Sebagai langkah awal, dilakukan pemeriksaan dengan mengajukan


pertanyaan terkait gejala yang dialami penderita dan penyakit yang
pernah diderita sebelumnya. Dokter juga akan menanyakan
mengenai kesehatan anggota keluarga dan kondisi lingkungan
tempat penderita tinggal, makanan dan minuman yang dikonsumsi.
Setelah itu, dilakukan pemeriksaan fisik dan melakukan tes lanjutan.

b) Pemeriksaan Laboratorium

Bahan pemeriksaan berupa tinja atau usap dubur harus diambil


pada saat dini atau awal penyakit. Bahan pemeriksaan ini kemudian
dimasukkan ke dalam medium transport Cary-Blair dan dikirim ke
laboratorium pada suhu kamar. Usap dubur ditanamkan secara
langsung ke lempeng perbenihan thiosulfate citrate bile salts sucrose
(TCBS) agar yang merupakan medium selektif untuk Vibrio.
Sebelum ditanamkan, bahan pemeriksaan ini dimasukkan dahulu ke
dalam medium persemaian alkaline peptone water (APW).
Pengambilan sampel air dari sumber air minum dilakukan dengan
steril yang berisi media APW pekat dibuka tutupnya dan dibakar
permukaan botol dengan sulut api. Air sebanyak sekitar 200 ml
diambil dengan menggunakan gayung dan dimasukan ke dalam
botol steril yang berisi media APW pekat lalu permukaan botol
dibakar kembali, kemudian botol tersebut ditutup dan disimpan pada

11
suhu kamar (Pusat Penelitian Biomedis dan Farmasi, Badan Litbang
Kesehatan, 2009) dalam penelitian Nelly P, (2011).

Selanjutnya koloni-koloni Vibrio Cholerae pada agar TCBS


diuji secara biokoimiawi untuk identifikasi. Konfirmasi dilakukan
dengan reaksi aglutinasi dengan antiserum spesifik. Isolat yang
aglutinasinya positif dengan polivalen O1 (Vibrio Cholerae O1)
selanjutnya diuji dengan antiserum Ogawa dan Inaba untuk
menentukan serotipenya. Sedangkan, yang memberikan reaksi
biokimia Vibrio Cholerae tetapi aglutinasinya dengan antiserum
polivalen O1 negatif, dikelompokkan dalam Vibrio Cholerae
non-O1 (Lesmana M, 2004).

F. Faktor Risiko Diare dan Kolera

1. Faktor Risiko Diare

Menurut Jufrri dan Soenarto (2012), ada beberapa faktor resiko diare
yaitu :

a. Faktor umur yaitu diare terjadi pada kelompok umur 6-11 bulan pada
saat diberikan makanan pendamping ASI. Pola ini menggambarkan
kombinasi efek penurunan kadar antibody ibu, kurangnya kekebalan
aktif bayi, pengenalan makanan yang mungkin terkontaminasi
bakteri tinja.

b. Faktor musim: variasi pola musim diare dapat terjadi menurut letak
geografis. Di Indonesia diare yang disebabkan oleh rotavirus dapat
terjadi sepanjang tahun dengan peningkatan sepanjang musim
kemarau, dan diare karena bakteri cenderung meningkat pada
musim hujan.
c. Faktor lingkungan, meliputi kepadatan perumahan, kesediaan sarana
air bersih (SAB), pemanfaatan SAB, kualitas air bersih.
2. Faktor Risiko Kolera

12
a. Faktor umur, di daerah yang endemik puncak kasus-kasus kolera
banyak dijumpai pada anak-anak berumur 2-9 tahun dan wanita
masa produktif antara 15-35 tahun. Sedangkan pada anak-anak di
bawah 1 tahun derajat infeksinya rendah mungkin karena sedikitnya
mereka berada dalam paparan infeksi atau karena adanya efek
protektif dari air susu ibu. Pada wanita usia produktif, diperkirakan
bahwa meningkatnya jumlah kasus pada golongan ini disebabkan
karena penurunan imunitas pada saat mengurus anak. Sebaliknya, di
daerah dimana kolera menyerang penduduk yang paparannya
rendah, penyakit cenderung untuk mengenai semua kelompok umur
dengan frekuensi yang sama besarnya.
b. Faktor musim, pada banyak daerah endemik kolera menunjukkan
adanya pola musiman di mana pada bulan-bulan tertentu
insidensnya tinggi dan pada bulan lain insidensnya rendah. Di
Indonesia pola persebaran kolera sangat berbeda dengan bagian
barat dengan timur. Mirip dengan keadaan di Bangladesh, kolera
sporadik ataupun epidemik di bagian barat Indonesia berkaitan
dengan periode curah hujan yang subnormal, yaitu pada bulan
September dan Oktober, sedangkan di Indonesia bagian timur
kasus-kasus kolera mencapai puncaknya justru pada musim hujan,
yaitu Februari dan April.
c. Faktor lingkungan meliputi kepadatan perumahan, kesediaan sarana
air bersih (SAB), pemanfaatan SAB, rendahnya kualitas air bersih
dan pengolahan makanan yang kurang bersih. Lingkungan yang
kotor akan memudahkan penyebaran bakteri Vibrio Cholerae.

G. Pengobatan Diare dan Kolera

1. Pengobatan Diare

Pengobatan pada penyakit diare dapat dilakukan dengan 2 terapi, yaitu


(Wijoyo, 2013) :

a. Terapi Nonfarmakologi

13
1) Terapi Rehidrasi Oral

Bahaya utama diare terletak pada dehidrasi, maka


penanggulangannya dengan cara mencegah timbulnya dehidrasi
dan rehidrasi intensif bila terjadi dehidrasi. Rehidrasi adalah
upaya menggantikan cairan tubuh yang keluar bersama tinja
dengan cairan yang memadai seperti oral atau parental. Cairan
rehidrasi yang dipakai oleh masyarakat biasanya seperti air
kelapa, air susu ibu, airteh encer, air taji, air perasan buah dan
larutan garam dan gula. Pemakaian cairan ini di titik beratkan
pada pencegahan timbulnya dehidrasi, bila terjadi dehidrasi
sedang atau berat sebaiknya diberi oralit.

2) Oralit
Oralit bermanfaat untuk meredakan dehidrasi, terutama yang
disebabkan oleh diare. Oralit aman untuk dikonsumsi oleh siapa
saja, baik oleh bayi, anak-anak, maupun orang dewasa. Larutan
oralit yang lama tidak dapat menghentikan diare. Hal ini
disebabkan formula oralit lama dikembangkan dari kejadian
outbreak diare di Asia Selatan yang disebabkan oleh bakteri.
Hal tersebut menyebabkan berkurangnya lebih banyak elektrolit
tubuh terutama natrium pada diare yang lebih banyak dijumpai
belakangan ini adalah diare karena virus. Karenanya para ahli
mengembangkan formula baru dengan tingkat osmoralitas yang
lebih rendah.
b. Terapi Farmakologi
Selain menggunakan cara pengobatan nonfarmakologi, pengobatan
diare menggunakan obat-obatan seperti loperamida, defenoksilat,
kaolin, karbon adsorben, attapulgite, dioctahedral smectite,
pemberian zink dan antimikroba sangat diperlukan.

2. Pengobatan Kolera

Penderita kolera harus segera mendapat penanganan segera, yaitu


dengan mengganti cairan tubuh yang hilang. Pemberian cairan dan

14
elektrolit merupakan hal yang paling penting di dalam pengobatan
penderita kolera. Pemberian cairan secara dini dapat menghindarkan
terjadinya dehidrasi. Apabila sudah dehidrasi penting untuk memulihkan
keseimbangan cairan dan menghindarkan kematian. Terapi cairan dibagi
dua fase, yaitu fase rehidrasi dan fase maintenance. Pada fase rehidrasi di
mana air dan elektrolit yang hilang karena dehidrasi diganti, sedangkan
pada fase maintenance, cairan tinja yang keluar diganti. Terapi cairan
intravena atau intravenous fluid therapy (IVFD) merupakan pengobatan
terpilih untuk rehidrasi penderita dehidrasi berat dan untuk penggantian
cairan pada penderita dengan muntah yang persisten. Sedangkan cairan
per oral diberikan pada penderita dengan dehidrasi ringan atau sedang
yang tidak mengalami muntah hebat dan sebagai maintenance hidrasi
setelah keadaan dehidrasi terkoreksi (Lesmana, 2004).

Selanjutnya untuk pengobatan terhadap infeksi yang terjadi dengan


pemberian antibiotik atau antimikroba, seperti Tetrasiklin, Doxycycline
atau golongan Vibramicyn. Tetrasiklin adalah antibiotik pertama yang
secara sistematis dikaji penggunaannya dalam pengobatan kolera dan
hingga kini masih merupakan antibiotik yang paling umum digunakan
untuk kolera. Antibiotika lain yang juga efektif untuk kolera adalah
eritromisin, furazolidon, trimetoprimsulfametoksazol dan golongan
quinolon (norfloksasin) (Ramamurthy T, dkk, 1992). Pengobatan
antibiotik ini dalam waktu 48 jam dapat menghentikan diare yang terjadi.

H. Pencegahan Diare dan Kolera

1. Pencegahan Diare

Pencegahan menurut Pedoman Tatalaksana Diare Depkes RI (2006),


adalah sebagai berikut:

a. Pemberian ASI

ASI mempunyai khasiat preventif secara imunologik dengan adanya


antibodi dan zat-zat lain yang dikandungnya. ASI jugamemberikan

15
perlindungan terhadap diare pada bayi yang baru lahir. Pemberian
ASI eksklusif mempunyai daya lindung 4 kali lebih besar terhadap
diare daripada pemberian ASI yang disertai dengan susu botol. Flora
usus pada bayi-bayi yang disusui mencegah tumbuhnya bakteri
penyebab diare. Pada bayi yang tidak diberi ASI secara penuh pada 6
bulan pertama kehidupan, risiko terkena diare adalah 30 kali lebih
besar. Pemberian susu formula merupakan cara lain dari menyusui.
Penggunaan botol untuk susu formula biasanya menyebabkan risiko
tinggi terkena diare sehingga bisa mengakibatkan terjadinya gizi
buruk.

b. Menggunakan Air Bersih yang Cukup


Sebagian besar kuman infeksius penyebab diare ditularkan melalui
jalur fecal-oral. Hal tersebut dapat ditularkan dengan memasukkan
ke dalam mulut, cairan atau benda yang tercemar dengan tinja
misalnya air minum, jari-jari tangan, makanan yang disiapkan dalam
panci yang dicuci dengan air tercemar.
c. Mencuci Tangan
Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan perorangan yang
penting dalam penularan kuman diare adalah mencuci tangan.
Mencuci tangan dengan sabun, terutama sesudah buang air besar,
sesudah membuang tinja anak, sebelum menyiapkan makanan,
sebelum menyuapi anak dan sebelum makan, mempunyai pengaruh
dalam kejadian diare.
d. Menggunakan Jamban

Pengalaman di beberapa negara membuktikan bahwa upaya


penggunaan jamban mempunyai dampak yang besar dalam
penurunan risiko terhadap penyakit diare. Keluarga yang tidak
mempunyai jamban harus membuat jamban dan keluarga harus
buang air besar di jamban.

2. Pencegahan Kolera

16
Terdapat dua jenis vaksin secara oral yang tersedia saat ini yaitu an
attenuated live vaccine berdasarkan genetically modified Vibrio
Cholerae galur O1 (Orochol) yang diberikan dalam dosis tunggal dan sel
dari galur O1 Vibrio Cholerae yang sudah dimatikan dengan purified
cholera toxin (Dukoral) yang memberikan pencegahan yang sangat kuat
diberikan dalam 2 dosis 1-6 minggu secara terpisah. (Wier E, dkk 2004).
Namun vaksin masih terus dikembangkan dan diuji keefektivannya.
Orochol diberikan untuk mereka yang mempunyai risiko tinggi seperti
petugas kesehatan yang bertugas di derah endemik. Cara pencegahan
dengan vaksin dianggap kurang efektif, terutama di daerah berkembang
yang ekonominya rendah karena perlunya biaya yang tinggi untuk
vaksinasi.

Cara pencegahan dan memutuskan tali penularan penyakit kolera


yang utama adalah dengan prinsip sanitasi lingkungan, terutama
kebersihan air dan pembuangan kotoran pada tempatnya yang memenuhi
standar lingkungan. Selain itu meminum air yang sudah dimasak terlebih
dahulu, cuci tangan dengan bersih sebelum makan memakai
sabun/antiseptik, cuci sayuran dangan air bersih terutama sayuran yang
dimakan mentah, hindari memakan ikan dan kerang yang dimasak
setengah matang. Dalam penelitian Anggaraditya (2015) WHO
mengungkapkan langkah-langkah jitu dalam pencegahan kolera yang
sudah dirumuskan dalam 3SW (Sterilization, Sewage, Sources, and
Water purification), yaitu :

a) Sterilisasi: Membuang dengan benar sisa defek fecal dan air yang
dihasilkan oleh pasien yang menderita kolera.

b) Sewage: Pemberian antimikroba (klorin, ozon) di saluran-saluran


pembuangan air guna mencegah penularan kolera.

c) Sources: Peringatan mengenai kemungkinan adanya kontaminasi di


dekat sumber air yang rentan serta langkah langkah
mendekontaminasinya.

17
d) Water purification: Semua air yang digunakan untuk minum,
mencuci, dan memasak, harus disterilisasi dengan cara merebus,
memberi klorin, ataupun pemberian ozon.

18
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Penyakit diare dan kolera merupakan penyakit yang menyerang saluran


pencernaan. Diare merupakan buang air besar yang lembek bahkan cair
dengan frekuensi tiga kali atau bahkan lebih dalam satu hari. Diare dapat
menyerang semua orang apabila tidak menjaga kebiasaan hidup bersih dan
sehat. Diare dapat diobati dengan oralit maupun pemakaian obat-obatan.
Diare juga dapat dicegah dengan beberapa upaya, seperti kebiasaan mencuci
tangan dengan sabun, menggunakan jamban, penggunaan air bersih yang
memadai, dan bagi bayi dapat dicegah dengan pemberian ASI yang rutin.
Sedangkan kolera merupakan peyakit saluran pencernaan karena infeksi usus
akut oleh bakteri Vibrio Cholerae yang menyebabkan diare hebat menyerupai
beras cair, muntah dan disertai dehidrasi. Penyebabnya karena makan atau
minum air yang sudah terkontaminasi bakteri Vibrio Cholerae. Untuk
pencegahan kolera yang paling utama adalah menjaga kebersihan lingkungan
agar tidak terkontaminasi, pola hidup sehat dan bersih dan memastikan
makanan dan minuman yang kita konsumsi bersih dan sehat.

B. Saran

Baik penyakit diare maupun kolera memiliki kesamaan bahayanya jika


tidak segera diberikan pengoatan. Langkah utama yang paling penting adalah
mencegah penyakit tersebut dengan pola hidup yang sehat dan bersih serta
menjaga lingkungan sekitar.

19
DAFTAR PUSTAKA

Anggaraditya, B. A. (2015). Menekan Laju Penyebaran Kolera di Asia dengan


3SW (Sterilization, Sewage, Sources, and Water Purification). Intisari
Sains Medis, 3(1), 83-87.

Departemen Kesehatan R.I. (2005). Rencana Strategi Departemen Kesehatan.


Jakarta: Departemen Kesehatan RI

Departemen Kesehatan RI. (2006). Pedoman Penanganan Penyakit Menular.


Jakarta: Departemen Kesehatan RI

Departemen Kesehatan RI. (2011) Buku Saku Diare Edisi 2011. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI

Departemen Kesehatan RI. (2011). Situasi Diare di Indonesia. Jakarta:


Departemen Kesehatan RI

Guli, M. M. (2016). Patogenesis Penyakit Kolera pada


Manusia. Biocelebes, 10(2).

Juffrie, M, Soenarto, S. S.Y, Oeswari, H. Arief, S. Rosalina,I. & Mulyani,N.S.


(2012) Buku Ajar Gasrtoenterologi-Hepatologi. Jilid I. Jakarta: IDAI.

Latifah, H (2018) Hubungan Faktor Lingkungan dan Sosiodemografi Dengan


Kejadian Diare Pada Anak Balita (1-4 Tahun) Di Wilayah Kerja
Puskesmas Pauh Kambar Kabupaten Padang Pariaman Tahun 2018.
Diploma thesis, Universitas Andalas.

Lesmana, M. (2004). Perkembangan mutakhir infeksi kolera. J Kedokter


Trisakti, 23(3), 101-09.

MAISURA, M., SUMARNO, H., & SIANTURI, P. (2018). Model Stokastik


Penyebaran Penyakit Kolera. Journal of Mathematics and Its
Applications, 17(1), 33-46.

Ngastiyah (2014). Perawatan Anak Sakit. Edisi 2. Jakarta: EGC

20
Octa,D. R. L., Maita, E., Maya S. & Yulfiana,R., (2014), Buku Ajar Asuhan
Kebidanan Neonatus, Bayi/Balita dan Anak Prasekolah Untuk Para
Bidan. Yogyakarta: CV Budi Utama

Puspandari, N. (2011). Investigasi Penyebab Kejadian Luar Biasa Kolera di


Jember Terkait Cemaran Sumber Air. Jurnal Komunikasi Kesehatan
(Edisi 2), 2(01).

Puspandari, N., Sariadji, K., & Wati, M. (2010). Identifikasi penyebab kejadian
luar biasa kolera di Papua terkait kontak jenazah dan
sanitasi. Widyariset, 13(2), 69-74.

Schwartz MW. 2004. Pedoman Klinis Pediatri. EGC. Jakarta.

Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta WA (2014). Kapita Selekta Kedokteran.


Edisi ke 4. Jakarta: Media Aesculapius.

Wijoyo. 2013. Diare Pahami Penyakit dan Obatnya. Yogyakarta: Citra Aji

21

Anda mungkin juga menyukai