Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN JIWA

“RESIKO PERILAKU KEKERASAN”

Dosen Pembimbing : Kristia Novia, Ns.,M.Kep

Di SusunOleh :

Nama : Meti Patiung

Nim : NS2014901098

PROGRAM PROFESI NERS SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHETAN

STELLA MARIS MAKASSAR

2020
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA
PASIEN DENGAN RESIKO PERILAKU KEKERASAN

A. MASALAH UTAMA
Resiko Perilaku Kekerasan
B. PROSES TERJADINNYA MASALAH
1. Definisi
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik pada dirinya sendiri
maupun orang lain, disertai dengan amuk dan gaduh, gelisah tak terkontrol
(Amimi dkk, 2020).
Perilaku kekerasan merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan
untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis. Berdasarkan
defenisi tersebut maka perilaku kekerasan dapat dilakukan secara verbal,
diarahkan pada diri sendiri, orang lain dan lingkungan [ CITATION Put18 \l
1033 ].
Resiko perilaku kekerasan merupakan perilaku seseorang yang
menunjukkan bahwa ia dapat membahayakan diri sendiri atau orang lain atau
lingkungan, baik secara fisik, emosional, seksual, dan verbal (Nanda, 2016).
2. Penyebab
a. Faktor Predisposisi
Menurut Stuart (2013), masalah perilaku kekerasan dapat
disebabkan oleh adanya faktor predisposisi (faktor yang melatarbelakangi
munculnya masalah) dan faktor presipitasi (faktor yang memicu adanya
masalah). Menurut [ CITATION Abd15 \l 1033 ] berbagai pengalaman
yang dialami tiap orang merupakan faktor predisposisi, artinya mungkin
terjadi/mungkin tidak terjadi perilaku kekerasan jika faktor berikut dialami
oleh individu. Menurut Sutejo (2019); [ CITATION Abd15 \l 1033 ] di dalam
faktor predisposisi terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya
masalah perilaku kekerasan.
Didalam faktor predisposisi, terdapat beberapa faktor yang
menyebabkan terjadinya masalah perilaku kekerasan seperti faktor
biologis, psikologis, dan sosiokultural.
1) Faktor Biologis
a) Teori dorongan naluri ( Instinctual drive theory )
Teori ini menyatakan bahwa perilaku kekerasan disebabkan oleh
suatu dorongan kebutuhan dasar yang kuat.
b) Teori Psikomatik ( Psycomatic theory )
Pengalaman marah dapat diakibatkan oleh respons psikologis
terhadap stimulus eksternal maupun internal. Sehingga, sistem
limbik memiliki peran sebagai pusat untuk mengekspresikan maupun
menghambat rasa marah
c) Biochemistry factor
Neurotransmitter diotak (norepinephrine, dopamine, asetilkolin,
serotonin) sangat berpengaruh dalam penyampaian informasi
melalui sistem persyarafan dalam tubuh, adanya stimulus dari luar
tubuh yang dianggap mengancam atau membahayakan akan
dihantar melalui impuls neurotransmitter ke otak dan meresponnya
melalui serabut efferent. Peningkatan hormone norepinephrine dan
penurunan hormone serotonin dapat menjadi faktor predisposisi
terjadinya proses agresif.
d) Brain area disorder
Gangguan pada sistem limbic, trauma otak ditemukan sangat
berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.
2) Faktor Psikologis
a) Teori agresif frustasi ( Frustasion aggresion theory )
Hal ini dapat terjadi apabila keinginan individu untuk mencapai
sesuatu gagal atau terhambat. Keadaan frustasi dapat mendorong
individu untuk berperilaku agresif karena perasaan frustasi akan
berkurang melalui perilaku kekerasan. Agresivitas dan kekerasan
dapat dipengaruhi oleh riwayat tumbuh kembang seseorang. Teori ini
menjelaskan bahwa adanya ketidakpuasan fase oral antara usia 0-2
tahun dimana anak tidak mendapat kasih sayang dan pemenuhan
kebutuhan air susu yang cukup cenderung mengembangkan sikap
agresif dan bermusuhan setelah dewasa sebagai komponen adanya
ketidakpercayaan pada lingkungannya. Tidak terpenuhinya
kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak
berkembangnya ego dan membuat konsep diri yang yang rendah
(Mukripah Damaiyanti, 2012).
b) Imitation, modeling, and information processing theory
Menurut teori ini perilaku kekerasan dapat berkembang dalam
lingkungan yang menolelir kekerasan. Adanya contoh, model dan
perilaku yang ditiru dari media atau lingkungan sekitar
memungkinkan individu meniru perilaku tersebut.
c) Learning theory
Perilaku kekerasan merupakan hasil belajar individu terhadap
lingkungan terdekatnya.Ia mengamati bagaimana respon ayah saat
menerima kekecewaan dan mengamati bagaimana respon ibu saat
marah. Ia juga belajar bahwa dengan agresivitas lingkungan sekitar
menjadi peduli, bertanya, menanggapi, dan menganggap bahwa
dirinya eksis dan patut untuk diperhitungkan.
3) Teori Biologis
a) Neurologic Faktor
Beragam komponen dari sistem syaraf seperti sinap,
neurotransmitter, dendrit, akson terminalis mempunyai peran
memfasilitasi atau menghambat rangsangan dan pesan-pesan yang
mempengaruhi sifat agresif. Sistem limbik sangat terlibat dalam
menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan respon agresif
(Mukripah Damaiyanti, 2012). Lobus frontalis memegang peranan
penting sebagai penengah antara perilaku yang berarti dan
pemikiran rasional, yang merupakan bagian otak dimana terdapat
interaksi antara rasional dan emosi.Kerusakan pada lobus frontal
dapat menyebabkan tindakan agresif yang berlebihan (Nuraenah,
2012).
b) Genetic Faktor
Adanya faktor gen yang diturunkan melalui orang tua, menjadi
potensi perilaku agresif. Menurut penelitian yang dilakukan Kazuo
Murakami (2007) dalam gen manusia terdapat dorman (potensi)
agresif yang sedang tidur yang akan bangun jika terstimulasi oleh
faktor eksternal. Menurut penelitian genetik tipe karyotype XYY, pada
umumnya dimiliki oleh penghuni pelaku tindak kriminal serta orang-
orang yang tersangkut hukum akibat perilaku agresif (Mukripah
Damaiyanti, 2012). Orang yang mengalami gangguan jiwa sebagian
besar memiliki riwayat keturunan gangguan jiwa, mereka
mendapatkan gangguan jiwa dari keturunan langsung yang berasal
dari ibu atau ayahnya (Wahyuningsih, 2015).
c) Cycardian Rhytm
Irama sikardian memegang peranan individu. Menurut penelitian
pada jam sibuk seperti menjellang masuk kerja dan menjelang
berakhirnya kerja ataupun pada jam tertentu akan menstimulasi
orang untuk lebih mudah bersikap agresif (Mukripah Damaiyanti,
2012).
d) Faktor Biokimia
Faktor biokimia tubuh seperti neurotransmitter di otak contohnya
epineprin, norepenieprin, dopamin dan serotonin sangat berperan
dalam penyampaian informasi melalui sistem persyarafan dalam
tubuh. Apabila ada stimulus dari luar tubuh yang dianggap
mengancam atau membahayakan akan dihantarkan melalui impuls
neurotransmitter ke otak dan meresponnya melalui serabut efferent.
Peningkatan hormon androgen dan norepineprin serta penurunan
serotonin dan GABA (Gamma Aminobutyric Acid) pada cerebrospinal
vertebra dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya perilaku agresif
( Mukripah Damaiyanti, 2012).
4) Perilaku, reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan,
sering mengobservasi kekerasan dirumah atau diluar rumah, semua
aspek ini menstiumulasi individu mengadopsi perilaku kekerasan (Eko
Prabowo, 2014).
5) Sosial budaya, proses globalisasi dan pesatnya kemajuan teknologi
informasi memberikan dampak terhadap nilai-niali sosial dan budaya
pada masyarakat. Di sisi lain, tidak semua orang mempunyai
kemampuan yang sama untuk mnyesuaikan dengan berbagai
perubahan, serta mengelola konflik dan stress (Nuraenah, 2012).
b. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi ini berhubungan dengan pengaruh stresor yang
mencetuskan perilaku kekerasan bagi setiap individu. Stresor dapat
disebabkan dari luar maupun dari dalam. Stresor yang berasal dari luar
dapat berupa serangan fisik, serangan secara psikis, kehilangan,
kematian dan lain-lain. Stresor yang berasal dari dalam dapat berupa
merasa gagal dalam bekerja, merasa kehilangan orang yang dicintai,
ketakutan terhadap penyakit fisik, penyakit dalam dan lain-lain. Selain itu,
lingkungan yang kurang kondunsifseperti penuh penghinaan, tindak
kekerasan dapat memicu perilaku kekerasan (Sutejo,2019).
Menurut [ CITATION Abd15 \l 1033 ], secara umum seorang akan
mengeluarkan respon marah jika dirinya merasa terancam. Ancaman
tersebut dapat berupa luka fisik, psikis, atau ancaman konsep diri.
Beberapa faktor pencetus perilaku kekerasan adalah sebagai berikut :
1) Klien : kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, masa lalu
yang tidak menyenangkan, kurang percaya diri.
2) Interaksi : penghinaan, kekerasan, kehilangan orang yang berarti,
konflik, merasa terancam baik internal dari permasalahan diri klien
sendiri maupun eksternal dari lingkungan.
3) Lingkungan :Bising, padat, dan panas
c. Faktor Resiko
NANDA, (2016) menyatakan faktor-faktor risiko dari risiko perilaku
kekerasan terhadap diri sendiri dan risikon kekerasan terhadap orang lain.
1) Risiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri (risk for self-directed
violence).
a) Usia ≥ 45 tahun
b) Usia 15-19 tahun
c) Isyarat tingkah laku (menulis cacatan cinta yang sedih, menyatakan
pesan bernada kemarahan kepada orang tertentu yang telah
menolah individu tersebut, dll)
d) Konflik mengenai orientasi seksual
e) Konsflik dalam hubungan interpersonal
f) Pengangguran atau kehilangan pekerjaan (masalah pekerjaan).
g) Terlibat dalam tindakan seksual autoerotic
h) Sumber daya personal yang tidak memadai
i) Status perkawinan (sendiri, menjanda, bercerai)
j) Isu kesehatan mental (depresi, psikosis, gangguan kepribadian,
penyalahgunaan zat)
k) Pekerjaan (professional, eksekutif, administrator atau pemilik bisnis,
dll)
l) Pola kesulitan dalam keluarga (riwayat bunuh diri, sesuatu yang
bersifat kekerasan atau konfliktual)
m)Isu kesehatan fisik
n) Gangguan psikologis
o) Isolasi sosial
p) Ide bunuh diri
q) Rencana bunuh diri
r) Riwayat upacara bunuh diri berulang
s) Isyarat verbal (membicarakan kematian, menanyakan tentang dosis
mematikan suatu obat, dll).
2) Risiko perilaku kekerasan terhadap orang lain (risk for other-directed
violence)
a) Akses atau ketersediaan senjata
b) Alterasi (gangguan) fungsi kognitif
c) Perlakuan kejam terhadap binatang
d) Riwayat kekerasan masa kecil, baik secara fisik, psikologis, maupun
seksual
e) Riwayat penyalahgunaan zat
f) Riwayat menyaksikan kekerasan dalam keluarga
g) Impulsif
h) Pelanggaran atau kejahatan kendaraan bermotor (seperti,
pelanggaran lalu lintas, penggunaan kendaraan bermotor untuk
melampiaskan amarah)
i) Bahasa tubuh negative (seperti kekakuan, mengepalkan tinju/
pukulan, hiperaktivitas, dll)
j) Gangguan neurologis (trauma kepala, gangguan serangan, kejang,
dll).
k) Intoksikasi patologis
l) Riwayat melakukan kekerasan tidak langsung
m)Pola perilaku kekerasan terhadap orang lain
n) Polan ancaman kekerasan
o) Pola perilaku kekerasan antisocial
p) Komplikasi perinatal
q) Komplikasi prenatal
r) Menyalakan api
s) Gangguan psikosis
t) Perilaku bunuh diri
3. Manifestasi Klinik
Menurut Sutejo, (2019) tanda dan gejala perilaku kekerasan dapat
dinilai dari ungkapan pasien dan didukung dengan hasil observasi.
a. Data subjektif
1) Ungkapan berupa ancaman
2) Ungkapan kata – kata kasar
3) Ungkapan ingin memukul/ melukai
b. Data objektif
1) Wajah memerah dan tegang
2) Pandangan tajam
3) Mengatupkan rahang dengan kuat
4) Mengepalkan tangan
5) Bicara kasar
6) Suara tinggi menjerit atau berteriak
7) Mondar mandir
8) Melempar atau memukul benda/ orang lain

Klien dengan perilaku kekerasan sering menunjukan adanya (Kartika


Sari, 2015) :
a. Klien mengeluh perasaan terancam, marah dan dendam
b. Klien menguungkapkan perasaan tidak berguna
c. Klien mengungkapkan perasaan jengkel
d. Klien mengungkapkan adanya keluhan fisik seperti dada berdebar-debar,
rasa tercekik dan bingung
e. Klien mengatakan mendengar suara-suara yang menyuruh melukai diri
sendiri, orang lain dan lingkungan
f. Klien mengatakan semua orang ingin menyerangnya.

4. Rentang respon
Perilaku kekerasan didefenisikan sebagai bagian dari rentang respons
marah yang paling maladaptif yaitu amuk. Marah merupakan perasaan
jengkel yang timbul sebagai respons terhadap ansietas (kebutuhan yang
tidak terpenuhi)yang dirasakan sebagai ancaman. Amuk merupakan respons
kemarahan yang paling maladaptif yang ditandai dengan perasaan marah
dan bermusuhan yang kuat dan merupakan bentuk perilaku destruktif yang
tidak dapat dikontrol.Hal ini disertai dengan hilangnya kontrol di mana
individu dapat merusak diri sendiri, orang lain, atau lingkungan[ CITATION
Yos14 \l 1033 ].
Berikut ini merupakan beberapa istilah perilaku kekerasan (Sutejo,
2019):
Asertif : Kemarahan yang diungkapkan tanpa menyakiti
orang lain
Frustasi : Kegagalan mencapai tujuan karena tidak realitas
atau terhambat
Pasif : Respons lanjut klientidak mampu mengungkapkan
perasaan
Agresif : Perilaku dekstruksi masih terkontrol
Amuk : Perilaku dekstruktif dan tidak terkontrol

Adaptif Maladaptif

Asertif frustasi Pasif Agresif Amuk

a. Respon Adaptif
Respon adaprif adalah respon yang dapat diterima norma-norma
sosial budaya yang berlaku. Dengan kata lain, individu tersebut dalam
batas normal jika menghadapi suatu masalah akan dapat memecahkan
masalah tersebut, respon adaptif (Mukripah Damaiyanti, 2012) :
1) Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan
2) Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan
3) Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari
pengalaman
4) Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas
kewajaran
5) Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan
lingkungan
b. Respon Maladaptif
1) Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan
walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan
kenyataan sosial
2) Perilaku kekerasan merupakan status rentang emosi dan ungkapan
kemarahan yang dimanifestasiakn dalam bentuk fisik
3) Kerusakan proses emosi adalah perubahan status yang timbul dari hati
4) Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu perilaku yang tidak teratur
(Mukripah Damaiyanti, 2012).
Setelah didapatkan respon perilaku pasien, selanjutnya perlu melihat
hirarki perilaku kekerasan untuk mengetahui rendah dan tingginya resiko
perilaku kekerasan pasien melalui tingkah laku pasien, menurut [ CITATION
Nur16 \l 1033 ] :

Rendah

No Hierarki perilaku kekerasan


1. Memperlihatkan permusuhan rendah
2 Keras menuntut
3 Mendekati orang lain dengan ancaman
4 Memberi kata-kata ancaman tanpa niat melukai
5 Menyentuh orang dengan cara menakutkan
6 Memberi kata-kata ancaman dengan rencana
melukai
7 Melukai dalam tingkat ringan tanpa membutuhkan
perawatan medis
8 Melukai dalam tingkat serius dan memerlukan
perawatan medis
Tinggi

5. Mekanisme Koping
Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada pasien marah untuk
melindungi diri antara lain:
a. Sublimasi
Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia. Artinya dimata
masyarakat untuk suatu dorongan yang megalami hambatan
penyalurannya secara normal. Misalnya seseorang yang sedang marah
melampiaskan kemarahannya pada objek lain seperti meremas remas
adonan kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk
mengurangi ketegangan akibat rasa amarah (Mukhripah Damaiyanti,
2012).
b. Proyeksi
Menyalahkan orang lain kesukarannya atau keinginannya yang tidak baik,
misalnya seorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai
perasaan seksual terdadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa
temannya tersebut mencoba merayu, mencumbunya (Mukhripah
Damaiyanti, 2012).
c. Represi
Mencegah pikiran yang menyakitkan atau bahayakan masuk ke alam
sadar. Misalnya seorang anak yang sangat benci pada orang tuanya yang
tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang
diterimanya sejak kecil bahwa membenci orang tua merupakan hal yang
tidak baik dan dikutuk oleh tuhan. Sehingga perasaan benci itu ditekannya
dan akhirnya ia dapat melupakanya (Mukhripah Damaiyanti, 2012).
d. Reaksi formasi
Mencegah keinginan yang berbahaya bila di ekspresika.dengan melebih
lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakan sebagai
rintangan misalnya sesorangan yang tertarik pada teman suaminya,akan
memperlakukan orang tersebut dengan kuat (Mukhripah Damaiyanti,
2012).
e. Deplacement
Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan pada objek
yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang
membangkitkan emosi itu ,misalnya: timmy berusia 4 tahun marah karena
ia baru saja mendapatkan hukuman dari ibunya karena menggambar
didinding kamarnya. Dia mulai bermai perang-perangan dengan temanya
(Mukhripah Damaiyanti, 2012).

6. Perilaku
Klien denngan gangguan perilaku kekerasan memiliki beberapa perilaku
yang perlu diperhatikan. Perilaku klien dengan gangguan perilaku kekerasan
dapat membehayakan bagi dirinya sendiri, orang lain, maupun lingkungan
sekitar. Sutejo, (2019) memaparkan adapun perilaku yang harus dikenali dari
klien gangguan risiko perilaku kekerasan, antara lain :
a. Menyerang atau menghindari
Pada keadaan ini respon fisiologis timbul karena kegiatan sistem syaraf
otonom bereaksi terhadap sekresi ephineprin yang menyebabkan tekanan
darah meningkat, thakikardi, wajah memerah, pupil melebar, mual, sekresi
HCL meningkat, disertai ketegangan otot seperti; rahang terkatup, tangan
mengepal, tubuh menjadi kaku dan disertai reflek cepat.
b. Menyatakan secara asertif
Perilaku yang sering ditampilkan individu dalam mengekspresikan
kemarahannya, ayitu perilaku pasif, agresif, dan asertif. Perilaku asertif
merupakan cara terbaik individu untuk mengekspresikan rasa marahnya
tanpa menyakiti orang lain secara fisik maupun psikologis. Dengan
perilaku tersebut, individu juga dapat mengembangkan diri.
c. Memberontak
Perilaku yang muncul biasanyaa disertai kekerasan akibat konflik perilaku
untuk menarik perhatian orang lain.
d. Perilaku kekerasan
Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan kepada diri sendiri, orang
lain, maupun lingkungan.
7. Mekanisme Perilaku Agresi
Ciri kepribadian seseorang sejak masa balita hingga remaja berkembang
melalui tahapan perkembangan kognitif, respon perasaan dan pola perilaku
yang terbentuk melalui interaksi, karakter tempramen dan faktor pola asuh,
pendidikan, kondisi sosial lingkungan yang membentuk ciri kepribadiannya di
masa dewasa. Pola kepribadian tersebut yang membentuk refleks respon
pikiran dan perasaan seseorang saat menerima stimulus dari luar, khususnya
pada saat kondisi menerima stimulus “ancaman”. Bila refleks yang telah
terpola berupa tindakan kekerasan, maka saat menghadapi situasi
“ancaman” respon yang muncul adalah tindak kekerasan.
Area di otak manusia yang menjadi pusat emosi adalah pada sirkuit
sistem limbik yang meliputi thalamus, hypothalamus, amygdala, hypocampus.
Amigdala menjadi organ pusat perilaku agresi. Penelitian Bauman dkk
menunjukkan bahwa stimulasi pada amygdala mencetuskan perilaku agresi
sedangkan organ hypothalamus berperan dalam pengendali berita agresi.
Setiap stimulus dari luar yang diterima melalui reseptor panca indera manusia
diolah lalu dikirim dalam bentuk pesan ke thalamus lalu ke hypothalamus,
selanjutnya ke amygdala (sirkuit sistem limbic) yang kemudian menghasilkan
respon tindakan. Dalam keadaan darurat, misalnya pada saat panic atau
marah, pesan stimulus yang datang di thalamus terjadi hubungan pendek
sehingga langsung ke amygdala tanpa pengolahan rasional di hypothalamus.
Amygdala mengolah sesuai isi memori yang biasa direkamnya, sebagai
contoh : bila sejak kecil anak-anak diberi input kekerasan, maka amygdala
sebagai pusat penyimpan memori emosional akan merekam dan
menciptakan reaksi pada saat terjadi sirkuit pendek sesuai pola yang telah
direkamnya yakni tindak kekerasan, Keliat (2002) dalam [ CITATION Abd15 \l
1033 ].

8. Penatalaksanaan
a. Farmakoterapi
Pasien dengan ekspresi marah perlu perawatan dan pengobatan
mempunyai dosis efektif tinggi contohnya: clorpromazine HCL yang
berguna untuk mengendalikan psikomotornya. Bila tidak ada dapat
bergunakan dosis efektif rendah. Contohnya trifluoperasineestelasine, bila
tidak ada juga maka dapat digunakan transquilizer bukan obat anti
psikotik seperti neuroleptika, tetapi meskipun demikian keduanya
mempunyai efek anti tegang,anti cemas,dan anti agitasi (Eko Prabowo,
2014).
b. Terapi okupasi
Terapi ini sering diterjemahkan dengan terapi kerja terapi ini buka
pemberian pekerjaan atau kegiatan itu sebagai media untuk melakukan
kegiatan dan mengembalikan kemampuan berkomunikasi, karena itu
dalam terapi ini tidak harus diberikan pekerjaan tetapi segala bentuk
kegiatan seperti membaca koran, main catur dapat pula dijadikan media
yang penting setelah mereka melakukan kegiatan itu diajak berdialog atau
berdiskusi tentang pengalaman dan arti kegiatan uityu bagi dirinya. Terapi
ni merupakan langkah awal yang harus dilakukan oleh petugas terhadap
rehabilitasi setelah dilakukannya seleksi dan ditentukan program
kegiatannya (Eko Prabowo, 2014).
c. Peran serta keluarga
Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberikan
perawatan langsung pada setiap keadaan (sehat-sakit) pasien. Perawat
membantu keluarga agar dapat melakukan lima tugas kesehatan, yaitu
mengenal masalah kesehatan, membuat keputusan tindakan kesehatan,
memberi perawatan pada anggota keluarga, menciptakan lingkungan
keluarga yang sehat, dan menggunakan sumber yang ada pada
masyarakat. Keluarga yang mempunyai kemampuan mengtasi masalah
akan dapat mencegah perilaku maladaptif (pencegahan primer),
menanggulangi perilaku maladaptif (pencegahan skunder) dan
memulihkan perilaku maladaptif ke perilakuadaptif (pencegahan tersier)
sehinnga derajat kesehatan pasien dan keluarga dapat ditingkatkan
secara optimal (Eko Prabowo, 2014).
d. Terapi somatik
Menurut depkes RI 2000 hal 230 menerangkan bahwa terapi somatic
terapi yang diberikan kepada pasien dengan gangguan jiwa dengan
tujuan mengubah perilaku yang maladaptif menjadi perilaku adaptif
dengan melakukan tindakan yang ditunjukkan pada kondisi fisik pasien,
terapi adalah perilaku pasien itu sendiri (Eko Prabowo, 2014).
e. Terapi kejang listrik
Terapi kejang listrik atau electronic convulsive therapy (ECT) adalah
bentuk terapi kepada pasien dengan menimbulkan kejang grand mall
dengan mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang menangani
skizofrenia membutuhkan 20-30 kali terapi biasanya dilaksanakan adalah
setiap 2-3 hari sekali (seminggu 2 kali) (Eko Prabowo, 2014).
9. Pohon Masalah

Resiko mencederai diri sendiri,


EFEK
orang lain, dan lingkungan

Resiko perilaku kekerasan CORE PROBLEM

Perilaku kekerasan CAUSA

Gangguan konsep diri: harga diri


rendah
C. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas klien
Perilaku kekerasan jenis kelamin terbanyak dominan laki-laki, usia rata-rata
yang melakukan perilaku kekerasan 30 sampai 50 tahun
b. Alasan Masuk
Marah-marah, memukul orang lain, membanting suatu benda, bertengkar
dengan orang lain
c. Faktor presdiposisi
Mengalami penganiayaan fisik, seksual, penolakan dari lingkungan,
kekerasan dalam keluarga, dan tindakan kriminal. Menanyakan kepada
klien tentang faktor predisposisi, faktor predisposisi klien dari pengalaman
masa lalu yang tidak menyenangkan, adanya riwayat anggota keluarga
yang gangguan jiwa dan adanya riwayat penganiayaan
d. Pemeriksaan Fisik
Klien dengan perilaku kekerasan pemeriksaan fisik biasanya tekanan darah
naik, nadi naik, dan dengan kondisi fisik muka merah, otot wajah tegang
e. Psikososial

1) Genogram

Genogram menggambarkan klien dengan keluarga, dilihat dari pola


komunikasi, pengambilan keputusan dan pola asuh. Pada klien
perilaku kekerasan perlu dikaji pola asuh keluarga dalam
menghadapi klien
2) Konsep diri

a) Gambaran diri

Klien dengan perilaku kekerasan mengenai gambaran dirinya ialah


pandangan tajam, tangan mengepal dan muka merah
b) Identitas diri
Klien dengan PK baisanya identitas dirinya ialah moral yang kurang
karena menujukkan pendendam, pemarah dan bermusuhan
c) Fungsi peran
Fungsi peran pada klien perilaku kekerasan terganggu karena adanya
perilaku mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
d) Ideal diri
Klien dengan perilaku kekerasan jika kenyataannya tidak sesuai
dengan harapan maka ia cenderung menunjukkan amarahnya.
e) Harga diri
Harga diri yang dimiliki oleh klien perilaku kekerasan ialah harga diri
rendah karena penyebab awal PK marah yang tidak biasa menerima
kenyataan dan memiliki sifat labil yang tidak terkontrol beranggapan
dirinya tidak berharga.
3) Hubungan sosial
Hubungan sosial pada perilaku kekerasan terganggu karena adanya
resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan serta memiliki
amarah yang tidak dapat terkontrol
4) Spiritual
Nilai dan kenyakinan dan ibadah pada pasien perilaku kekerasan
mengangap tidak ada gunanya menjalankan ibadah
5) Status mental
a) Penampilan

Pada klien dengan perilaku kekerasan biasanya klien tidak mampu


merawat penampilannya, biasanya penampilan tidak rapi ,
penggunaan pakaian tidak sesuai, cara berpakaian tidak seperti
biasanya, rambut kotor, rambut tidak seperti biasanya , rambut
kotor, rambut seperti tidak pernah disisir, gigi kotor dan kuning,
kuku panjang dan hitam

b) Pembicaran

Pada klien perilaku kekerasan cara bicara klien kasar, suara tinggi,
membentak, ketus, berbicara dengan kata-kata kotor

c) Aktivitas motorik
Klien perilaku kekerasan terlihat tegang dan gelisah, muka merah
dan jalan mondar mandir
d) Afek dan Emosi
Untuk klien perilaku kekerasan efek dan emosinya labil, emosi klien
cepat berubah–ubah cenderung mudah mengamuk, membating
barang- barang/melukai diri sendiri, orang lain maupun sekitar dan
berteriak-teriak
e) Interaksi selama wawancara
Klien perilaku kekerasan selama interaksi wawancara biasanya
mudah marah, defensive bahwa pendapatnya paling benar, curiga,
sinis dan menolak dengan kasar. Bermusuhan: dengan kata-kata atau
pandangan yang tidak bersahabat atau tidak ramah. Curiga dengan
menunjukkan sikap atau peran tidak percaya kepada pewawancara
atau orang lain
f) Presepsi /sensori
Pada klien perilaku kekerasan resiko untuk mengalami presepsi
sensori sebagai penyebabnya
g) Proses pikir
i. Proses pikir (arus pikir)
Proses pikir klien perilaku kekerasan yaitu hidup dalam pikirannya
sendiri, hanya memuaskan keinginannya tanpa peduli sekitarnya,
menandakan ada distorsi arus asosiasi dalam diri klien yang
dimanefestasikan dengan lamunan, fantasi, waham dan
halusinasinya yang cenderung menyenangkan dirinya
ii. Isi pikirannya
Pada klien dengan perilaku kekerasan klien memiliki pemikiran
curiga, dan tidak percaya dengan orang lain dan merasa dirinya
tidak aman

h) Tingkat kesadaran
Tidak sadar, bigung, dan apatis. Terjadi disorientasi orang, tempat dan
waktu. Klien perilaku kekerasan tingkat keasadarannya bigung sendiri
untuk menghadapi kenyataan dan mengalami kegelisahan.
i) Memori
Klien dengan perilaku kekerasan masih mengingat kejadian jangka
pendek dan panjang
j) Tingkat konsentrasi
Tingkat konsentrasi klien perilaku kekerasan mudah beralih dari satu
objek ke objek lainnya. Klien selalu menatap penuh kecemasan,
tegang dan kegelisahan
k) Kemampuan penilaian / pengambilan keputusan
Klien dengan perilaku kekerasan tidak mampu mengambil keputusan
yang kontruktif dan adaptif
l) Daya tilik
Klien dengan perilaku kekerasan biasanya mengingkari penyakit yang
diderita klien tidak menyadari gejala penyakit (perubahan fisik dan
emosi) pada dirinya dan merasa tidak perlu minta pertolongan/klien
menyangkal keadaan penyakitnya. Menyalahkan hal-hal diluar dirinya
yang menyababkan timbulnya penyakit atau masalah
m)Mekanisme koping
Klien dengan perilaku kekerasan menghadapi suatu permasalahan,
dengan menggunakan cara maldatif seperti minum alkohol, merokok
reaksi lambat/berlebihan, menghindar, mencederai diri atau lainnya

2. Masalah Keperawatan
Diagnosis keperawatan dirumuskan berdasarkan tanda dan gejala yang
diperoleh pada pengkajian. Berdasarkan data-data tersebut dapat ditegakkan
diagnos keperawatan sebagai berikut (Nurhalimah, 2015):
a. Resiko perilaku kekerasan
b. Perilaku kekerasan
c. Gangguan konsep diri : harga diri rendah
3. Rencana Keperawatan (Sutejo, 2019)
Tujuan Umum :
Klien dan keluarga mampu mengatasi atau mengendalikan risiko perilaku
kekerasan.
a. TUK I : Klien dapat membina hubungan saling percaya
Kriteria evaluasi : klien menunjukkan tanda-tanda percaya kepada perawat
melalui :
1) Ekspresi wajah cerah, tersenyum
2) Mau berkenalan
3) Bersedia menceritakan perasaannya
4) Bersedia mengungkapkan masalah
Intervensi
Bina hubungan saling percaya dengan mengemukakan prinsip komunikasi
terapeutik :
1) Mengucapkan salam terapeutik. Sapa klien dengan ramah, baimverbal
maupun non verbal.
2) Berjabat tangan dengan klien
3) Perkenalkan diri dengan sopan
4) Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien
5) Jelaskan tujuan pertemuan
6) Membuat kontrak topic, waktu, dan tempat setiap kali bertemu klien
7) Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya
8) Beri perhatian kepada klien dan perhatian kebutuhan dasar klien
b. TUK II : Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
yang dilakukannya
Kriteria evaluasi : Setelah 3 x intervensi, klien dapat:
1) Menceritakan penyebab perilaku kekerasan yang dilakukannya
2) Menceritakan penyebab perasaan jengkel/ kesal, baik dari diri sendiri
maupun lingkungannya
Intervensi
Bantu klien mengungkapkan perasaan marahnya:
1) Diskusikan bersama klien untuk menceritakan penyebab rasa kesal atau
rasa jengkelnya
2) Dengarkan penjelasan saat klien tanpa menyela atau member penilaian
pada setiap ungkapan perasaan klien.
c. TUK III : Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan
Kriteria Evaluasi : Setelah 3 x intervensi, klien dapat menceritakan tanda-
tanda perilaku kekerasan secara :
1) Fisik : mata merah, tangan mengepal, ekspresi tegang, dan lain-lain.
2) Emosional : perasaan marah, jengkel, bicara kasar
3) Sosial : bermusuhan yang dialami saat terjadi perilaku kekerasan.
Intervensi:
Membantu klien mengungkapkan tanda-tanda perilaku kekerasan yang
dialaminya :
1) Diskusikan dan motivasi klien untuk menceritakan kondisi fisik saat
perilaku kekerasan terjadi
2) Diskusikan dan motivasi klien untuk menceritakan kondisi emosinya saat
terjadi perilaku kekerasan
3) Diskusikan dan motivasi klien untuk menceritakan kondisi psikologis saat
terjadi perilaku kekersan.
4) Diskusikan dan motivasi klien untuk menceritakan kondisi hubungan
dengan orang lain saat terjadi perilaku kkerasan
d. TUK IV : Klien dapat mengidentifikasi jenis perilaku kekerasan yang
pernah dilakukannya
Klien Evaluasi : Setelah 3 x intervensi, klien menjelaskan:
1) Jenis-jenis ekspresi kemarahan yang selama ini telah dilakukannya.
2) Perasaannya saat melakukan kekerasan
3) Efektivitas cara yang dipakai dalam menyelesaikan masalah.
Intervensi
Diskusikan dengan klien seputar perilaku kekerasan yang dilakukannya
selama ini.
1) Diskusikan dengan klien seputar perilaku kekerasan yang dilakukannya
selama ini
2) Motivasi klien menceritakan jenis-jenis tindak kekerasan yang selama ini
pernah dilakukannya
3) Motivasi klien menceritakan perasaan klien setelah tindak kekerasan
tersebut terjadi.
4) Diskusikan apakah dengan tindak kekerasan yang dilakukannya,
masalah yang dialami teratasi.
e. TUK V : Klien dapat mengidentifikasi akibat dari perilaku kekerasan
Kriteria Evaluasi : Setelah dilakukan 3 x intervensi, klien menjelaskan akibat
yang timbul dari tindak kekerasan yang dilakukannya:
1) Diri sendiri : luka, dijauhi teman, dll
2) Orang lain/ keluarga: luka, tersinggung, ketakutan, dll
3) Lingkungan: barang atau benda-benda rusak, dll.
Intervensi
Diskusikan dengan klien akibat negative atau kerugian dari cara atau
tindakan kekerasan yang dilakukan pada :
1) Diri sendiri
2) Orang lain/ keluarga
3) Lingkungan
f. TUK VI : Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif atau cara-cara
sehat dalam mengungkapkan kemarahan
Kriteria Evaluasi : Setelah 3 x intervensi, klien dapat menjelaskan 3: cara-
cara sehat dalam mengungkapkan marah
Intervensi
Diskusikan dengan klien seputar :
1) Apakah klien mau mempelajari cara baru mengungkapkan marah yang
sehat
2) Jelaskan berbagai alternative pilihan untuk mengungkapkan kemarahan
selain perilaku kekerasan yang diketahui klien
3) Jelaskan cara-cara sehat untuk mengungkapkan kemarahan:
a) Cara fisik : nafas dalam, pukul bantal atau kasur, olahraga
b) Verbal : mengungkapkan bahwa dirinya sedang kesal kepada orang
lain
c) Sosial : latihan asertif dengan orang lain
d) Spiritual : sembah yang/ doa, zikir, meditasi, dsb sesuai dengan
keyakinan agamanya masing-masing.
g. TUK VII : Klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku
kekerasan
Kriteria Evaluasi : Setelah 3 x intervensi, klien memperagakan cara
mengontrol perilaku kekerasan secara fisik, verbal dan spiritual dengan
cara berikut :
1) Fisik : tarik nafas dalam, memukul bantal/ kasur.
2) Verbal : mengungkapkan perasaan verbal/ jengkel pada orang lain tanpa
menyakiti
3) Spiritual : zikir/ doa, meditasi sesuai dengan agamanya
Intervensi
1) Diskusikan cara yang mungkin dipilih serta anjurkan klien memilih cara
yang mungkin diterapkan untuk mengungkapkan kemarahannya
2) Latih klien memperagakan cara yang dipilih dengan melaksanakan cara
yang dipilih.
3) Jelaskan manfaat cara tersebut
h. TUK VIII : Klien mendapat dukungan keluarga untuk mengontrol resiko
perilaku kekerasan
Kriteria Evaluasi : setelah 3 x intervensi, keluarga mampu:
1) Menjelaskan cara merawat klien dengan resiko perilaku kekerasan
2) Mengungkapkan rasa puas dalam merawat klien dengan resiko perilaku
kekerasan.
Intervensi
1) Diskusikan pentingnya peran serta keluarga sebagai pendukung, klien
dalam mengatasi resiko perilaku kekerasan
2) Diskusikan potensi keluarga untuk membantu klien mengatasi perilaku
kekerasan
3) Jelaskan pengertian, penyebab, akibat, dan cara merawat klien risiko
perilaku kekerasan yang dapat dilaksanakan oleh keluarga
4) Peragakan cara merawat klien (menanganai PK)
5) Beri kesempatan keluarga untuk memperagakan untuk cara perawatn
terhadap klien
6) Beri pujian kepada keluarga setelah peragaan
7) Tanyakan perasaan keluarga setelah mencoba cara yang dilatihkan.
i. TUK IX : Kien menggunakan obat sesuai programyang telah
ditetapkan.
Kriteria Evaluasi : Setelah 3 x intervensi, klien bisa menjelaskan:
1) Manfaat minum obat
2) Kerugian tidak minum obat
3) Nama obat
4) Bentuk dan warna obat
5) Dosis yang diberikan kepadanya
6) Waktu oemakaian
7) Cara pemakaian
8) Efek yang dirasakan
9) Klien menggunakan obat sesuai program
Intervensi :
1) Jelaskan manfaat menggunakan obat secara teratur dan kerugian jika
tidak menggunakan obat
2) Jelaskan kepada klien :
a) Jenis obat (nama, dan bentuk obat)
b) Dosis yang tepat untuk klien
c) Waktu pemakaian
d) Efek yang akan dirasakan klien
3) Anjurkan klien untuk:
a) Minta dan menggunakan obat tepat waktu.
b) Lapor ke perawat/ dokter jika mengalami efek yang tidak biasa
4) Beri pujian terhadap kedisiplinan klien menggunakan obat

No Pasien Keluarga

SPIP SPIK

1 Identifikasi penyebab, tanda & Diskusikan masalah yang


gejala, PK yang dilakuan, akibat dirasakan dalam merawat
PK pasien

2 Jelaskan cara mngontrol Pk: fisik, Jelaskan pengertian,tanda &


obat, verbal, spritual gejala, dan proses terjadinya PK
(gunakan booklet)

3 Latihan cara mengontrol PK Jelaskan cara merawat PK


secara fisik: tarik nafas dalam
dan pukul kasur dan bantal

4 Masukkan pada jadual kegiatan Latih satu cara merawat pasien


untuk latihan fisik PK dengan melakukan kegiatan
fisik: tarik nafas dalam dan
pukul kasur dan bantal

5 Anjurkan membantu pasien


sesuai jadual dan memberikan
pujian

SPIIP SPIIK

1 Evaluasi kegiatan latihan fisik. Evaluasi kegiatan keluarga


Beri pujian dalam merawat/melatih pasien
secara fisik. Beri pujian

2 Latih cara mengontrol PK dengan Jelaskan 6 benar cara


obat (jelaskan 6 benar:: jenis, membimbing minum obat
guna, dosis, frekuensi, cara,
kontinuitas minum obat)

3 Masukkan pada jadual kegiatan Latih cara


untuk latihan fisik dan minum memberikan/membimbing
obat minum obat

4 Anjurkan membantu pasien


sesuai jadual dan beri pujian

SPIIIP SPIIIK

1 Evaluasi kegiatan latihan fisik dan Evaluasi kegiatan keluarga


minum obat. Beri pujian dalam merawat/melatih pasien
secara fisik dan memberikan
obat. Beri pujian

2 Latih cara mengontrol PK secara Latih cara membimbing: cara


verbal (3 cara, yaitu: bicara yang aik
mengungkapkan, meminta,
menolak dengan benar)

3 Masukkan pada jadual kegiatan Latih cara membimbing kegiatan


untuk latihan fisik, minum obat, spritual
dan verbal

4 Anjurkan membantu pasien


sesuai jadual dan bei pujian

SPIVP SPIVK

1 Evaluasi kegiatan latihan fisik, Evaluasi kegiatan keluarga


minum obat dan verbal. Beri dalam merawat/melatih pasien
pujian secara fisik, memberikan obat,
latihan bicara yang baik dan
kegiatan spritual. Beri pujian

2 Latih cara mengontrol PK secara Jelaskan follow up ke RSJ/PKM,


spritual ( 2 kegiatan) tanda kambuh, rujukan

3 Masukkan pada jadual kegiatan Anjurkan membantu pasien


untuk latihan fisik, minum obat, sesuai jadual dan memberikan
verbal dan spiritual pujian
SPVP SPVK

1 Evaluasi kegiatan latihan fisik 1,2, Evaluasi kegiatan keluarga


minum obat, verbal, dan dalam merawat/melatih pasien
spritual. Beri pujian secara fisik, memberikan obat,
latihan bicara yang baik dan
kegiatan spritual dan follow up.
Beri pujian

2 Nilai kemampuan yang telah Nilai kemampuan keluarga


mandiri merawat pasien

3 Nilai apakah PK terkontrol Nilai kemampuan keluarga


melakukan kontrol ke RSJ/PKM
DAFTAR PUSTAKA

Amimi, R., Malsafari, E.,Febtrina, R., & Maulinda, D. (2020). Analisa Tandan dan Gejala
Resiko Perilaku Kekerasan pada Pasien Skizofrenia. Jurnal Ilmu Keperawatan
Jiwa, 65-74.

Eko Prabowo. (2014). Konsep & Aplikasi ASUHAN KEPERAWATAN JIWA.Yogyakarta:


Nuha Medika.
Keliat, B. A. (2016). Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC
Muhith, A. (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa (Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: CV
ANDI OFFSET.

Mukhripah Damaiyanti. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa.Samarinda: Refka Aditama.


Murakami, K. (2007). “The Devine Message of DNA”: Keajaiban Gen yang Terpendam.
PT Mizan Pustaka
Nuraenah.(2012). Hubungan Dukungan Keluarga dan Beban Keluarga dalam Merawat
Anggota dengan Riwayat Perilaku Kekerasan di RS. Jiwa Islam Klender Jakarta
Timur, 29-37.

Nurhalima. (2016). Keperawatan Jiwa. Jakarta Selatan : Pusdik SDM Kesehatan

Putri, V. S., Mella, R., & Fitrianti, S. (2018). pengaruh strategi pelaksanaan komunikasi
terapeutik terhadap resiko perilaku kekerasan pada pasien gangguan jiwa di
rumah sakit jiwa provinsi Jambi. jurnal Akademika Baiturrahim Jambi,138-147.

Sari, K. (2015).Panduan Lengkap Praktik Klinik Keperawatan Jiwa. Jakarta: Trans Info
MEdia.

Sutejo. (2019). Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Pustaka Baru Press

Wahyuningsih, S. (2015). Hubungan Faktor Keturunan Dengan Kejadian Gangguan


Jiwa Di Desa Banaran Galur Kulor Progo Yogyakarta.

Yosep, I., & Sutini, T. (2014). BUKU AJAR KEPERAWATAN JIWA. Bandung: PT Refika
Aditama

Anda mungkin juga menyukai