No Materi Checklist
1 Anestesi √
2 Bedah 1
3 Bedah 2
4 Dermatovenerologi
5 Forensik √
6 Ginekologi √
7 IPD – 1 √
8 IPD – 2 √
9 IPD - 3
10 Neurologi √
11 Pediatri 1 √
12 Pediatri 2
13 Psikiatri √
14 Obstetri 1 √
15 Obstetri 2 √
16 THT √
17 Ilmu Kesehatan Masyarakat – CRP
18 Mata
ANESTESI
TRIAGE
Kode Warna Internasional Dalam Triage :
HITAM : Prioritas 0
o Tidak ada respon terhadap segala rangsangan
o Tidak ada respirasi spontan
o Tidak ada bukti aktivitas jantung
o Hilangnya respon pupil terhadap cahaya
MERAH : Prioritas 1 (Emergency)
o Pasien dengan kondisi mengancam nyawa
o Perlu evaluasi dan intervensi segera
o Pasien dibawa ke ruang resusitasi
KUNING : Prioritas 2 (Urgent)
o Pasien dengan penyakit yang akut
o Mungkin membutuhkan trolley, kursi roda, atau jalan kaki
o Waktu tunggu 30 menit Area Critical Care
HIJAU : Prioritas 3 (Non-urgent)
o Pasien yang biasanya dapat berjalan
o Masalah medis yang minimal
o Kondisi yang timbul sudah lama
o Area Ambulatory
Basic life support (BLS) adalah dasar pertolongan pertama pasien dengan henti jantung. Aspek
utama BLS adalah diagnosa sudden cardiac arrest (SDA), aktivasi emergency response system (ERS), dan
resusitasi jantung paru serta defibrilasi dengan automated external defibrillator (AED).
Pada saat seseorang menemukan orang dewasa tidak sadarkan diri atau seseorang tiba-tiba
pingasan, selalu pastikan lingkungan aman untu melakukan pertolongan. Cek kesadaran pasien dengan
menggoyang dan memanggil pasien keras. Jika tidak sadar, segera minta bantuan; di RSHS dengan
menekan tombol 3210 atau nomer RSHS 255-1198 atau 255-1191. Selalu jelaskan situasi (lokasi, kejadian
insiden, jumlah dan kondisi korban, dan penanganan awal yang akan dilakukan.
ADVANCE CARDIAC LIFE SUPPORT
ALS bertujuan untuk mencegah henti jantung termasuk penanganan jalan napas, bantuan ventilasi,
serta penanganan bradikardi dan takikardi. Pada penanganan henti jantung, ACLS dilakukan berdasarkan
algoritme BLS hingga terjadi peningkatan ROSC (return of spontaneous circulation) dengan bantuan alat,
obat, dan monitoring yang baik.
ACLS adalah algoritme intervensi untuk gawat darurat pada kondisi henti jantung, stroke, dan
kegawatan lain. Henti jantung dapat disebabkan oleh 4 kelainan ritme yaitu ventricular fibrilation (VF),
pulseless ventricular tachycardia (VT), pulseless electric activity (PEA), dan asistol. Prinsip ACLS adalah
memberikan CRP berkualitas dan defibrilasi sesegera mungkin (<1 menit). Jeda diantara CPR harus
seminimal mungkin dan hanya dilakukan pada saat memeriksa ritem, memberikan shock VF/VT,
pengecekan nadi, atau memasang jalan napas. CPR dilakukan 100x/menit dengan 30 kompresi 2 ventilasi.
Setelah dilakukan pemasangan supraglottic airway / ETT, kompresi dilakukan 100x/menit tanpa jeda
hingga ventilasi. Ventilasi diberikan 1 napas setiap 6 – 8 detik (8-10 napas / menit).
Selain RJP berkualitas, terapi ritme hanya dihasilan dengan defibrilator VF/VT sehingga intervensi ini
termasuk kedalam RJP cycle pada saat terjadi kelainan ritme. Intervensi ACLS pada henti jantung berkaitan
dengan peningkatan ROSC. Selama melakukan RJP, sebaiknya dilakukan juga pemasangan akses
pembuluh darah untuk memasukan obat.
Perlu diketahui diagnosis dan penanganan penyebab henti jantung. Pada saat melakukan
penanganan, kita perlu memikirkan 4H dan 4T untuk mengidentifikasi dan mengobati faktor yang dapat
menjadi peneyabab atau bahkan mempersulit penanganan. ROSC ditandai dengan kembalinya denyut dan
tekanan darah serta penigkatan PETCO2 > 40mmHg. Jika pasien sudah mencapai ROSC, periksa EKG 12
sadapan, pastikan oksigenasi dan ventilasi jaga suhu tubuh, dan terapi perfusi, kemudian sangat penting
dilakukan post-cardiac arrest care untuk mencegah kondisi ulang.
SHOCK
Shock adalah sindroma klinis akibat kegagalan sirkulasi dalam mencukupi kebutuhan oksigen
jaringan tubuh.
Stadium shock
1. Stadium Kompensasi
Pada stadium ini fungsi organ vital dipertahankan melalui mekanisme kompensasi fisiologis tubuh
dengan cara meningkatkan refleks simpatis, sehingga terjadi :
a. Resistensi sistemik meningkat
b. Heart rate meningkat cardiac output meningkat
c. Sekresi vasopressin, RAA meningkat ginjal menahan air dan sodium dalam sirkulasi
Manifestasi klinis : takikardia, gelisah, kulit pucat dan dingin, pengisian kapiler lambat (lebih dari
2 detik)
2. Stadium Dekompensasi
Pada stadium ini telah terjadi :
a. Perfusi jaringan semakin memburuk sehingga O2 ke jaringan semakin menurun. Hal ini
menyebabkan terjadinya metabolisme yang anaerob di jaringan terjadi peningkatan laktat
dan menyebabkan laktat asidosis yang diperberat dengan penumpukan CO2 Acidemia
menghambat kontraktilitas miokardium.
b. Gangguan metabolisme pompa Na/K ATP-ase menyebabkan kerusakan sel
c. Aliran darah lambat dan terbentuk agregasi trombosit
d. Pelepasan mediator vaskuler : histamin, serotonin, cytokines (TNF-α dan interleukin I).
Pelepasan mediator oleh makrofag menyebabkan vasodilatasi arteriol dan permeabilitas kapiler
meningkat venous return turun preload turun cardiac output turun.
Manifestasi klinis : takikardia, tekanan darah sangat turun, perfusi perifer buruk, acidosis,
oligouria, dan kesadaran menurun.
3. Stadium Irreversible
Syok yang berlanjut akan menyebabkan kerusakan dan kematian sel dan berujung pada multiple
organ failure. Cadangan ATP akan habis terutama di jantung dan hepar, sehingga menyebabkan
tubuh kehabisan energi.
Manifestasi klinis : nadi tak teraba, tekanan darah tak terukur. Anuria dan tanda-tanda kegagalan
organ.
Klasifikasi shock berdasarkan penyebabnya
Kelainan ↓ CO, BP, SVR, dan CVP ↓ CO dan BP ↓ CO dan BP ↓ CO, BP, SVR ↓ CO, BP, SVR ↓ CO, BP, SVR
hemodinamik
↑ SVR dan CVP ↑ SVR
Karakteristik 1) Perfusi tidak adekuat : 1) Kulit 1) Demam 3) Hipotensi disertai Gejala: pruritus, urtikaria,
akral dingin, CRT >2”, abu/sianosis, 2) Hipotensi bradikardia. angioedema, palpitasi,
pucat, oligo/anuria, akral dingin, (tekanan sistolik 4) Gangguan dyspnea, dan syok.
gelisah dan penurunan mottled skin <90 mmHg) dan neurologis :
kesadaran tanda-tanda paralisis flasid,
2) Simpatetis ↑ : 2) Nadi cepat dan hipoperfusi refleks ekstremitas
takikardi, tekanan nadi lemah meskipun telah hilang dan
menyempit, nadi 3) Distensi vena dilakukan priapismus.
lemah, berkeringat jugular resusitasi cairan
3) Asidosis metabolik : 4) Muffled heart secara adekuat
takipnea sound
Tujuan terapi Restorasi volume Memperbaiki Menghilangkan Menangani penyebab Menstabilkan Menstabilkan
intravaskuler dengan target fungsi miokardium sumbatan yang yaitu infeksi dan hemodinamik hemodinamik dan reaksi
optimalkan tekanan darah, dan sirkulasi menghambat menstabilkan hipersensitivitas
nadi dan perfusi organ. aliran darah hemodinamik
menuju jantung
Bila hipovolemia telah
teratasi baru boleh diberikan
vasoactive agent (dopamine,
dobutamine).
Terapi Dehidrasi 1) Infus cairan 1) Cairan 1) Antibiotik (dosis 1) Resusitasi cairan : 1) Hentikan obat yang
untuk kristaloid tinggi, IV) NaCl 0,9% bolus menyebabkan reaksi
memperbaiki isotonik 2) Cairan (koloid cepat 250-500 cc anafilaksis
1) Tentukan defisit (lihat di sirkulasi untuk dengan berat 2) Vasopresor : 2) Baringkan pasien
tabel 2) 2) Inotropik : mempertaha molekul sedang dopamin (> 10 dengan posisi syok
Dobutamine nkan seperti FIMA mcg/jg/menit), (kaki lebih tinggi).
2) Atasi shock : cairan infus
5ug/kg/min volume HES 200) norepinefrin, 3) Adrenaline: dewasa
20 ml/kg dalam 1 jam, dapat
intravaskula 3) Vasopresor dobutamin 0,3-0,5 mg SC; anak
diulang Pada keadaan di
r (norepinephrine 0,01 mg/kg (1:1000)
mana tekanan darah
2) Pembedahan 4) Inotropik Dapat diulang tiap 15
sangat rendah, obat
(dobutamine) menit
yang diberikan
3) Sisa defisit : 50% dalam 8 adalah inotropik untuk 4) Infus NaCl 0,9%
jam pertama, dan 50% lagi dan vasopresor menstabilkan 5) Kortikosteroid:
dalam 16 jam berikutnya. seperti epinephrine. hemodinamik dexamethasone 0,2
5) Oksigen mg/kg BB secara IV
Cairan : Ringer laktat atau
6) Jika terjadi
NaCl 0,9%
bronchospasme bisa
Telah rehidrasi bila urine : diberikan
0,5 – 1 ml/kg/jam aminophylline 5-6
mg/kg BB IV bolus
perlahan-lahan
Perdarahan (syok kemudian lanjutkan
hemoragik) klasifikasi dengan drip 0,4-0,9
lihat tabel 3. mg/kg/min
1) Transfusi darah
Transfusi dengan :
2) Cairan kristaloid : 3x
volume darah yang
hilang
3) Cairan koloid : sesuai
dengan jumlah darah
yyang hilang
Denyut nadi < 100 > 100 > 120 > 140
Status mental Sedikit cemas Agak cemas Cemas, bingung Bingung, lethargi
Opioid Naloxone
Sianida (singkong) Oksigen, dicobalt edate, Hydroxycobalamine, Sodium nitrate, Sodium thiosulfate
Alumunium Desferrioxamine
Benzodiazepine Flumazenil
Lead (Inorganik) Sodium Calc, Edetate, DMSA (dimercaptosuccinic acid atau succimer)
Paracetamol N-acetylcystein
Sumber : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK507807/
pH : 7,35 – 7,45
PCO2 : 35-45
HCO3 : 22-26
PO2 : 75-100
SpO2 : >95%
MNEMONIC
R : Respiratory
O : Opposite :
pH ↑ ; PCO2 ↓ = Alkalosis
pH ↓ ; PCO2 ↑ = Acidosis
M : Metabolic
E : Equal :
pH ↑ ; HCO3 ↑ = Alkalosis
pH ↓ ; HCO3 ↓ = Acidosis
pH PCO2 HCO3
Respiratory acidosis
Compensated N ↑ ↑ (kompensasi)
Respiratory alkalosis
Compensated N ↓ ↓ (kompensasi)
Metabolic acidosis
Compensated N ↓ (kompensasi) ↓
Metabolic alkalosis
Compensated N ↑ (kompensasi) ↑
Source : http://www.ferronfred.eu/files/Pathophysiology-of-acid-base-balance.pdf
FORENSIK
FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
Kedokteran Forensik merupakan cabang spesialistik ilmu kedokteran yang mempelajari
pemanfaatan ilmu kedokteran untuk kepentingan penegakan hukum dan keadilan.
Ruang lingkup Kedokteran forensik yaitu menerapkan ilmunya untuk melakukan pemeriksaan
terhadap barang bukti biologis, manusia, bagian tubuh dari manusia baik korban hidup maupun
mati dan terbagi menjadi forensik patologi, forensik klinik dan forensik laboratorium.
Seorang dokter mempunyai kewajiban membuat keterangan ahli yang diatur dalam Pasal 133
KUHAP. Keterangan ahli ini kemudian dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah di depan sidang
pengadilan (Pasal 184 KUHAP).
Adapun pengertian keterangan ahli adalah sesuai dengan bunyi pasal 1 butir 28
KUHAP yaitu, ”Keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang
hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan
pemeriksaan”.
Keterangan ahli ini dapat diberikan secara lisan di depan sidang pengadilan (Pasal 186 KUHAP),
atau dapat pula diberikan pada masa penyidikan dalam bentuk laporan penyidik (Penjelasan
Pasal 186 KUHAP), atau dapat juga diberikan dalam bentuk keterangan tertulis di dalam suatu
surat (Pasal 187 KUHAP).
VISUM ET REPERTUM
1. Pengertian Visum et Repertum (VeR)
Visum et Repertum adalah keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter atas permintaan
tertulis resmi dari penyidik yang berwenang mengenai fakta temuan hasil pemeriksaan
medik dan pendapat terhadap manusia, baik korban hidup atau korban mati ataupun bagian
atau diduga bagian dari tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah,
untuk kepentingan peradilan.
2. Jenis VeR
Jenis Visum et Repertum dapat dibagi berdasarkan korbannya adalah sebagai berikut:
a. Visum Et Repertum Korban Mati
b. Visum et Tepertum Korban Hidup, yang terdiri atas :
1) Visum et Repertum Kejahatan susila ;
2) Visum et Repertum Penganiyaan / Perlukaan ;
3) Visum et Repertum Psikiatri
Sedangkan berdasarkan waktunya, maka Visum et Repertum dapat dibagi menjadi Visum et
Repertum Sementara dan Visum et Repertum Definitif.
a. Dasar Hukum
Prosedur permintaan Visum et Repertum mayat (korban mati) telah diatur dalam Pasal
133 dan 134 KUHAP. Dengan merujuk kedua pasal dalam KUHAP tersebut dapat
diartikan bahwa Permintaan Visum et Repertum mayat berupa bedah jenazah, maka
hukumnya mutlak atau tidak dapat ditolak.
Apabila diperlukan pemeriksaan bedah mayat dan keluarga keberatan, maka penyidik
wajib menjelaskan kepada keluarga korban hingga keluarga korban dapat memahami
tujuan dan kepentingan pemeriksaan. Penyidik juga masih dapat menerapkan Pasal 222
KUHP yang akan memberikan sangsi pidana apabila keluarga menghalang- halangi guna
pemeriksaan jenazah untuk keadilan;
5. Bagian VeR
a. Kata Pro justitia: ditulis di bagian atas visum, sudah dianggap sama dengan
materai. Kata pro justitia berarti demi keadilan, mengandung arti laporan yang
dibuat untuk tujuan peradilan
b. Bagian pendahuluan: berisi tentang waktu dan tempat pemeriksaan, atas
permintaan siapa dan no serta tanggal surat, dokter dan pembantu yang
memeriksa, identitas pemeriksaan
c. Bagian pemberitahuan :dan ditemukan korban, dan alasan berisikan apa yang
dilihat
Hidup ➔ Hasil pemeriksaan medis, mulai dari PF, penunjang, tatalaksana
Mati ➔ mulai dari pakaian dst sesuai dengan medrek jenazah yg biasa ditulis
d. Bagian kesimpulan: memuat inti sari dari hasil pemeriksaan, disertai pendapat
dokter yang memeriksa/menyimpulkan kelainan yang terjadi pada korban, jenis
luka/cedera yang ditemukan. Jenis kekerasan, derajat Iuka, atau sebab kematian
e. Bagian penutup: memuat pernyatan VeR dibuat atas sumpah dokter, menurut
pengetahuan yang sebaik baiknya dan sebenarnya. Cantumkan lembaran Negara
no. 350 tahun 1937 atau berdasarkan KUHAP
SURAT KEMATIAN
1. Definisi
2. Landasan Hukum
Peraturan bersama Mendagri dan Menkes no 15 tahun 2010 no 162/MENKES/PB/I/2010
tentang pelaporan kematian dan penyebab kematian
Pasal 2
(1) Setiap kematian wajib dilaporkan oleh keluarganya atau yang mewakili kepada
Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak
tanggal kematian.
(2) Pelaporan kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melampirkan
persyaratan: a. surat pengantar dari RT dan RW untuk mendapatkan surat keterangan
kepala desa/lurah; dan/atau b. KK dan/atau KTP yang bersangkutan; c. Surat keterangan
kematian dari dokter yang berwenang dari fasilitas pelayanan kesehatan terdekat.
(3) Dalam hal tidak ada dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (2), surat keterangan
kematian dapat diberikan oleh perawat atau bidan.
(4) Dalam hal kematian terjadi ditempat domisili, pelaporan kematian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi
Pelaksana melalui petugas registrasi di desa/kelurahan.
Pasal 6
(1) Setiap kematian yang terjadi diluar fasilitas pelayanan kesehatan harus dilakukan
penelusuran penyebab kematian.
(2) Penelusuran penyebab kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan metode otopsi verbal .
(3) Otopsi verbal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh dokter.
(4) Dalam hal tidak ada dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (3) otopsi verbal dapat
dilakukan oleh bidan atau perawat yang terlatih.
(5) Otopsi verbal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4) dilakukan melalui
wawancara dengan keluarga terdekat dari almarhum atau pihak lain yang mengetahui
peristiwa kematian.
(6) Pelaksanaan otopsi verbal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikoordinasikan oleh
fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah setempat.
Wajar: bila kematian terjadi sebagai akibat luka/cedera pada seseorang yg semula
telah mengidap suatu penyakit
Tidak wajar: akibat kecelakaan, bunuh diri, pembunuhan, tidak tertentukan.
Mekanisme kematian: gangguan fisiologik dan atau biokimiawi yg ditimbulkan oleh
penyebab kematian sedemikian rupa sehingga seseorang tidak dapat terus hidup
TANATOLOGI
Kematian adalah berhentinya tanda-tanda kehidupan secara permanen.
1. Macam kematian
Mati somatis (mati klinis): terhentinya fungsi tiga sistem penunjang kehidupan
(susunan saraf pusat, sistem kardiovaskular, sistem pernapasan) yang menetap atau
ireversibel.
Tanda-tanda secara klinis:
2. Tanda-tanda kematian
a. Tanda tidak pasti :
1) Pernapasan berhenti dinilai selama 10 menit
2) Terhentinya sirkulasi dinilai selama 15 menit, nadi karotis tidak teraba.
3) Kulit pucat dan tonus otot menghilang
4) Segmentasi pada pembuluh darah retina
5) Kornea terlihat keruh karena kering
b. Tanda-tanda pasti
1) Penurunan suhu mayat (algor mortis).
Pada saat pertama kematian, suhu tubuh akan turun sangat lambat. Bila orang yang
sudah meninggal diraba masih hangat, maka paling sedikit matinya sudah 2 jam, dan
bila sudah dingin, maka kematian sudah berlangsung paling sedikit 8 jam.
2) Lebam mayat (livor mortis).
Lebam mayat timbul 20-30 menit setelah kematian sebagai bercak-bercak kebiruan,
setelah 6-8 jam lebam terbentuk sempurna. Warna lebam menentukan penyebab
kematian seperti keracunan gas CO berwarna merah muda. Lebam mayat juga bisa
digunakan sebagai petunjuk saat kematian, posisi korban dan sebab kematian.
3) Kaku Mayat (rigor mortis)
Kaku mayat dibuktikan dengan memeriksa persendian. Kaku mayat mulai tampak
setelah 2 jam kematian klinis, dimulai dari bagian luar tubuh (otot-otot kecil) ke arah
dalam. Setelah mati klinis 12 jam, kaku mayat menjadi lengkap. Setelah itu
kekakuan mayat dipertahankan selama 12 jam, dan akan menghilang dalam urutan
yang sama.
Tahap setelah mati: relaksasi primer/flaccid primer → onset kekakuan → relaksasi
sekunder/flaccid sekunder.
Yang dilihat dari kaku mayat
Sebagian (otot kecil, 1-4 jam)/seluruh (otot besar, 3-36 jam)
Lengkap (24-36 jam)/belum lengkap (1-12 jam), dipertahankan (12-24 jam)
Mudah dilawan (1-12 jam, 24-36 jam)/susah dilawan (12-24 jam)
Faktor-faktor yang mempercepat terjadinya kaku mayat:
aktivitas fisik sebelum mati
suhu tubuh yang tinggi
bentuk tubuh kurus dengan otot kecil
suhu lingkungan tinggi
Terdapat kekakuan pada mayat yang menyerupai kaku mayat:
Cadaveric spasm: bentuk kekakuan otot yang terjadi pada saat kematian dan
menetap. Kekakuan dengan intensitas sangat kuat tanpa didahului oleh relaksasi
primer. Disebabkan oleh habisnya cadangan glikogen dan ATP yang bersifat
setempat saat mati klinis karena kelelahan atau emosi yang hebat sesaat sebelum
meninggal.
Heat Stiffening: kekakuan otot akibat koagulasi protein otot oleh panas. Dijumpai
pada korban yang mati terbakar. Serabut otot memendek sehingga menimbulkan
fleksi leher, siku, paha, dan lutut membentuk sikap petinju (pugilistic attitude).
Cold stiffening: kekakuan tubuh akibat lingkungan dingin, sehingga
terjadi pembekuan cairan tubuh termasuk cairan sendi, pemadatan jaringan lemak
subkutan dan otot, sehingga bila sendi ditekuk akan terdengar bunyi pecahnya es
dalam rongga sendi.
4) Pembusukan
Pembusukan mulai terjadi setelah 24 jam kematian. Pembusukan dimulai di daerah
perut sebelah kanan bawah berwarna kehijauan yang kemudian menjalar keseluruh
perut dan sela-sela iga. Warna kehijauan ini disebabkan oleh terbentuknya sulf-met
hemoglobin. Warna hijau ini kemudian akan menyebar ke seluruh perut dan dada,
dan bau busuk pun mulai tercium. Pembuluh darah bawah kulit akan tampak seperti
melebar dan berwarna hijau kehitaman. Selanjutnya kulit ari akan terkelupas atau
membentuk gelembung berisi cairan kemerahan berbau busuk.
Setelah 2x24 jam terjadi penggembungan akibat pembentukan gas hasil penguraian
oleh kuman. Darah menjadi media bagi bakteri untuk tumbuh. Sebagian besar
bakteri berasal dari usus, Clostridium weichii. Pada proses pembusukan tersebut,
terbentuk gas (HS, HCN), asam amino, dan asam lemak.
Gas yang terdapat di dalam jaringan dinding tubuh akan mengakibatkan krepitasi.
Gas tersebut akan menyebabkan pembengkakan terutama di daerah jaringan
longgar seperti skrotum dan payudara.
Akibat pembusukan, rambut menjadi mudah dicabut, kuku mudah terlepas, wajah
menggembung berwarna ungu kehijauan, kelopak mata membengkak, pipi
membesar, bibir menebal, lidah membengkak.
Larva lalat akan ditemukan setelah pembentukan gas pembusukan, sekitar 36-48
jam post-mortem. Kumpulan telur dapat ditemukan di alis mata, sudut mata, lubang
hidung, dan diantara bibir. Telur lalat akan menetas dalam waktu 24 jam. Identifikasi
spesies lalat dan pengukuran panjang larva dapat digunakan untuk memperkirakan
saat kematian, dengan asumsi lalat biasanya secepatnya meletakkan telur setelah
seseorang meninggal dunia.
Siklus hidup lalat:
Telur (menetas dalam waktu 1 hari) ➔ instar 1 (1 hari, 2-5 mm) ➔ instar 2 (1 hari,
6-14 mm) ➔ instar 3 (2 hari, 15-20 mm) ➔ pre pupa (4 hari) ➔ pupa (10 hari) ➔
lalat (>10 hari)
Faktor: Pembusukan akan timbul lebih cepat ketika suhu lingkungan optimal (sekitar
26.5℃- 37℃), kelembaban udara yang cukup, terdapat banyak bakteri pembusuk,
tubuh yang gemuk atau menderita penyakit infeksi dan sepsis. Mayat yang terdapat
di udara akan lebih cepat membusuk dibanding dengan yang terdapat dalam air
atau dalam tanah dengan perbandingan kecepatan pembusukan dalam
tanah:air:udara yaitu 1:2:8. (Casper formula)
5) Adiposera
Definisi: terbentuknya zat berwarna keputihan, lunak, atau berminyak, berbau
tengik di dalam jaringan lunak tubuh post-mortem.
Terdiri dari asam lemak tidak jenuh post-mortem yang tercampur dengan sisa otot,
jaringan ikat, jaringan saraf yang termumifikasi.
Biasanya perubahan berbentuk bercak, dapat terlihat di pipi, payudara, atau
bokong, bagian tubuh atau ekstremitas. Seluruh jaringan lemak tubuh berubah
menjadi adiposera. Adiposera dapat membuat gambaran permukaan luar tubuh
dapat bertahan hingga bertahun-tahun, sehingga identifikasi mayat dan perkiraan
sebab kematian masih memungkinkan.
Faktor yang mempermudah pembentukan adiposera yaitu kelembaban dan lemak
tubuh yang cukup. Sedangkan faktor penghambat yaitu air mengalir yang dapat
membuang elektrolit.
6) Mumifikasi
Definisi: proses penguapan cairan atau dehidrasi jaringan yang cukup cepat
sehingga terjadi pengeringan jaringan yang selanjutnya dapat menghentikan
pembusukan.
Jaringan berubah menjadi lebih keras dan kering, berwarna gelap, timbul keriput,
dan tidak membusuk dikarenakan kuman tidak dapat berkembang pada lingkungan
yang kering.
Mumifikasi terjadi bila kelembaban rendah, suhu hangat, aliran udara baik, dan
tubuh dehidrasi dalam waktu yang lama (12-14 minggu).
4. Kematian mendadak
Definisi: Kematian dalam kurun waktu 24 jam setelah munculnya gejala, namun
dalam praktik forensik biasanya hanya dalam detik hingga menit setelah munculnya
gejala. Mati mendadak juga mengandung pengertian kematian yang tidak terduga,
tidak ada unsur trauma dan keracunan, tidak ada tindakan yang dilakukan sendiri
yang dapat menyebabkan kematian dan kematian tersebut disebabkan oleh
penyakit dengan gejala yang tidak jelas atau gejalanya muncul dalam waktu yang
mendadak kemudian korban mati
Penyebab mati mendadak dapat diklasifikasikan menurut sistem tubuh, yaitu sistem
susunan saraf pusat, sistem kardiovaskular, sistem pernapasan, system
gastrointestinal, sistem haemopoietik dan sistem endokrin. Dari sistem-sistem
tersebut, yang paling banyak menjadi penyebab kematian adalah system
kardiovaskular, dalam hal ini penyakit jantung.
OTOPSI
1. Definisi
Otopsi adalah pemeriksaan terhadap tubuh mayat, yang meliputi pemeriksaan terhadap
bagian luar maupun dalam, dengan tujuan merumuskan proses penyakit dan atau adanya
cedera, melakukan interpretasi atas penemuan-penemuan tersebut, menerangkan
penyebab kematian serta mencari hubungan sebab akibat antara kelainan-kelainan yang
ditemukan dengan penyebab kematian.
2. Jenis otopsi
Otopsi klinik
Dilakukan terhadap mayat seorang yang diduga terjadi akibat suatu penyakit,
tujuannya untuk menentukan penyebab kematian yang pasti, menganalisis
kesesuaian antara diagnosis klinis dengan diagnosis postmortem, patogenesis
penyakit dan sebagainya. Untuk otopsi ini diperlukan izin keluarga terdekat mayat
tersebut.
Otopsi forensik/medikolegal
Dilakukan terhadap mayat seseorang yang diduga meninggal akibat suatu sebab
yang tidak wajar seperti pada kasus kecelakaan, pembunuhan maupun bunuh diri.
Tujuan pemeriksaan ini adalah:
Membantu penentuan identitas mayat
Menentukan sebab pasti kematian, mekanisme kematian dan saat
kematian
Mengumpulkan dan memeriksa benda bukti untuk penentuan identitas
benda penyebab dan pelaku kejahatan
Membuat laporan tertulis yang objektif berdasarkan fakta dalam bentuk
visum et repertum
Otopsi Anatomi
Dilakukan terhadap mayat korban meninggal akibat penyakit, oleh mahasiswa
kedokteran dalam rangka belajar mengenai anatomi manusia. Untuk otopsi ini
diperlukan izin dari korban (sebelum meninggal) atau keluarganya. Dalam keadaan
darurat, jika dalam 2 x 24 jam seorang jenazah tidak ada keluarganya maka
tubuhnya dapat dimanfaatkan untuk otopsi anatomi
3. Teknik otopsi
Teknik pemeriksaan luar
Dalam teknik pemeriksaan luar yang diperiksa adalah bagian luar mayat seperti pakaian
yang dipakai, perhiasan, benda yang ada disamping mayat, perubahan tanatologi, identitas
mayat, tanda-tanda khusus, warna kulit, rambut, perkiraan umur, ras, mata, bagian wajah,
alat kelamin, tanda-tanda kekerasan/luka.
Dalam teknik pemeriksaan dalam organ tubuh yang diperiksa dimulai dari lidah, tonsil,
kelenjar gondok, kerongkongan (esofagus), batang tenggorok (trakea), tulang lidah, rawan
gondok (kartilago tiroidea), rawan cincin (kartilago krikoidea), arteri karotis interna, kelenjar
kacangan (timus), paru-paru, jantung, aorta torakalis, aorta abdominalis, anak ginjal
(kelenjar suprarenalis), ginjal, ureter, kandung kencing, hati, kandung empedu, limpa,
kelenjar getah bening, lambung, usus halus, usus besar, kelenjar liur perut, otak besar, otak
kecil, batang otak, alat kelamin dalam (genitalia interna).
PERLUKAAN
1. Pengertian Perlukaan
Perlukaan pada jaringan tubuh dapat terjadi karena kekerasan mekanis, fisik dan kimiawi
atau bentuk gabungan. Luka terjadi bila kekuatan kekerasan yang sampai pada tubuh
melampaui batas ambang ketahanan jaringan tubuh.
Jenis kekerasan
Wujud luka menggambarkan persesuaian antara alat dengan penyebabnya,
misalnya benda tajam, runcing, permukaan kasar.
Arah kekerasan
Lokasi dan distribusi perlukaan di bagian belakang tubuh menunjukkan bahwa arah
kekerasan lebih mungkin dari belakang. Bentuk luka dan saluran luka terutama pada
luka tembak menunjukkan arah kekerasan yang telah terjadi.
Jarak
Pada luka tembak, luka kelim yang terdapat pada tubuh korban menunjukkan
perkiraan dekat atau jauhnya jarak tembak.
Kebiasaan pelaku
Distribusi perlukaan yang lebih banyak didapatkan pada bagian kanan korban dapat
dicurigai bahwa pelakunya kidal.
Profesi / pekerjaan
Korban kekerasan asam keras dapat diduga bahwa pelaku mungkin pekerjaannya
adalah pedagang aki mobil.
Keadaan kejiwaan
Pelaku pada kasus dimana tubuh korban terpotong-potong mencerminkan keadaan
kejiwaan pelakunya, contoh kasus mayat terpotong menjadi 13 menunjukkan
bermacam-macam kekerasan sering merupakan perwujudan dendam, kejiwaan
yang sadis pada pelaku.
Cara kematian
Pembunuhan, kecelakaan dan bunuh diri kadang-kadang dapat diperkirakan dari
pola perlukaan tubuh, mialnya luka iris pada pergelangan tangan atau leher yang
sejajar lebih berorientasi pada suatu bunuh diri. Adanya beberapa luka sejajar
dengan sebuah luka yang fatal disebut luka percobaan (tentative wounds). Dari
informasi tersebut diatas dapat dilakukan rekonstruksi yang mendekati kejadian
sesungguhnya.
3. Jenis Kekerasan
Sesuai dengan jenis kekerasan penyebabnya perlukaan dapat dibagi menjadi luka akibat:
a. Kekerasan mekanis
1) Kekerasan tumpul
a) Luka memar: Pada tempat luka terlihat pembengkakan berwarna kebiru-
biruan, hal ini disebabkan karena pengumpulan darah di bawah kulit akibat
pecahnya pembuluh darah halus.
b) Luka lecet: Hilangnya sebagian atau seluruh lapisan kulit ari yang
disebabkan karena terjadinya pergeseran dengan benda tumpul pada
permukaan tubuh, banyak pada kasus lalu lintas.
c) Luka robek: Robekan pada kulit meliputi seluruh lapisan kulit, dapat sampai
ke otot bahkan sampai tulang, Merupakan luka terbuka dengan tepi tidak
rata, dinding dalam yang tidak teratur dan kadang-kadang dijumpai
jembatan jaringan yaitu serat-serat jaringan yang masih utuh.
2) Kekerasan tajam
a) Luka tusuk: Luka ini disebabkan benda tajam atau benda runcing, yang
mengenai tubuh dengan arah tegak lurus atau kurang lebih tegak lurus. Luka
tusuk merupakan luka terbuka dengan dalam luka yang lebih besar daripada
lebar luka, tepi luka biasanya rata dengan sudut luka yang runcing pada sisi
tajam benda penyebab luka tusuk.
Luka tusuk mempunyai sifat bahwa dalam luka menunjukan ukuran minimal
panjang senjata dan lebar luka menunjukkan ukuran maksimal lebar
senjata.
b) Luka iris: Diakibatkan benda tajam yang mengenai tubuh dengan arah
kurang lebih sejajar dengan permukaan tubuh. Panjang luka biasanya lebih
besar daripada dalamnya luka. Akar rambut pada tepi luka biasanya ikut
terpotong dan tidak dijumpai jembatan jaringan.
c) Luka bacok: Semacam luka iris yang terjadi akibat benda tajam yang lebih
besar dengan mengerahkan tenaga yang lebih besar pula.
3) Kekerasan akibat tembakan senjata api.
a) Luka tembak masuk jarak jauh (>60 cm): hanya kelim lecet
b) Luka tembak masuk jarak dekat (15-30 cm): semua kecuali kelim api dan
jelaga
c) Luka tembak jarak sangat dekat (<15 cm): semua, khasnya kelim api dan
jelaga
d) Luka tembak masuk tempel: hanya jejas laras
e) Luka tembak keluar.
b. Kekerasan fisis
1) Luka akibat Suhu Tinggi (Panas)
Disebut juga luka bakar, terdiri dari 4 tingkat/derajat:
a) Warna jaringan merah cerah (Cherry Red), hal ini karena pengaruh
keracunan gas CO yang masuk bersama udara pernafasan.
b) Didapatakan jelaga pada saluran nafas bagian atas.
c) Pada korban laki-laki posisi kaku mayat seperti pada posisi petinju (boxer),
sedangkan korban wanita kaku mayat seperti posisi orang senggama. Kaku
mayat ini sifatnya tetap.
2) Luka akibat Suhu Rendah (Dingin)
Disebut juga Frostbite yang mengakibatkan kematian jaringan karena rusaknya
sistem peredaran darah dan pernafasan.
b) Sekitar luka tampak daerah pucat (halo) dan luarnya lagi terdapat daerah
kemerahan.
c) Pada tempat keluarnya arus listrik terdapat luka lecet atau luka robek.
c. Kekerasan kimiawi
a. Luka akibat Asam Kuat (Pekat).
Luka tampak sebagai bagian yang kering dan teraba keras, jarang menyebabkan
kematian dan biasanya karena kecelakaan.
4. Derajat luka
Luka ringan dalam KUHP pasal 352. Luka berat dalam KUHP pasal 90
a. Jatuh sakit atau mendapat Iuka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama
sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut
b. Tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan
pencarian
c. Kehilangan salah satu pancaindera
d. Mendapat cacat berat
e. Menderita sakit lumpuh
f. Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih
g. Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan
IDENTIFIKASI FORENSIK
Identifikasi forensik merupakan upaya yang dilakukan dengan tujuan membantu penyidik untuk
menentukan identitas seseorang.
Peran ilmu kedokteran forensik dalam identifikasi terutama pada jenazah tidak dikenal, jenazah
yang telah membusuk, rusak, hangus terbakar dan pada kecelakaan masai, bencana alam atau
huru-hara yang mengakibatkan banyak korban mati, serta potongan tubuh manusia atau
kerangka. Selain itu identifikasi forensik juga berperan dalam berbagai kasus lain seperti
penculikan anak, bayi yang tertukar atau diragukan orang tuanya.
Identitas seseorang dipastikan bila paling sedikit dua metode yang digunakan memberikan
hasil positif (tidak meragukan).
Penentuan identitas personal dapat menggunakan metode identifikasi sidik jari, visual,
dokumen, pakaian dan perhiasan, medik, gigi, serologic, identifikasi DNA dan secara eksklusi.
1. Primer
a. Pemeriksaan sidik jari
Membandingkan gambaran sidik jari jenazah dengan data sidik jari ante mortem.
b. Pemeriksaan gigi
Seperti halnya dengan sidik jari, setiap individu memiliki susunan gigi yang khas.
Maka dapat dilakukan identifikasi dengan cara membandingkan data temuan
dengan data pembanding ante mortem.
c. Identifikasi DNA
Membandingkan DNA jenazah dengan data antemortem (jika ada), atau dibandingkan
dengan DNA keluarga inti (ayah/ibu/anak kandung) jenazah.
Sampel DNA
1) Lengkap, belum busuk: darah, apusan mukosa bukal
2) Termutilasi, belum busuk: darah, jaringan otot dalam
3) Lengkap, sudah busuk/termutilasi: gigi sehat (terutama molar), tulang kompak
panjang, atau tulang lain dengan jaringan padat
4) Terbakar hebat: gigi impaksi/akar gigi/apusan kandung kemih
Sampel DNA biasanya diambil dari jenazah → ekstraksi → jumlah sampel → DNA (dalam
nanogram) → amplifikasi menggunakan PCR → ditranslasikan menggunakan
electropherogram (EPG)
2. Sekunder
a. Metode visual
Metode ini dilakukan dengan cara memperlihatkan jenazah pada orang-orang yang
merasa kehilangan anggota keluarga atau temannya. Cara ini hanya efektif pada jenazah
yang belum membusuk sehingga masih mungkin dikenali wajah dan bentuk tubuhnya
oleh lebih dari satu orang.
b. Pemeriksaan dokumen
Dokumen seperti kartu identifikasi (KTP SIM. Paspor dsb.) yang kebetulan dijumpai
dalam saku pakaian yang dikenakan akan sangat membantu mengenali jenazah
tersebut.
d. Antropologi
Metode ini menggunakan data tinggi badan, berat badan, warna rambut, warna mata,
cacat/kelainan khusus, tato (rajah). Metode ini mempunyai nilai tinggi karena selain
dilakukan oleh seorang ahli dengan menggunakan berbagai cara/modifikasi (termasuk
pemeriksaan dengan sinar-X), sehingga ketepatannya cukup tinggi. Bahkan pada
tengkorak/kerangkapun masih dapat dilakukan metode identifikasi ini. Melalui metode
ini, diperoleh data tentang jenis kelamin, ras, perkiraan umur dan tinggi badan, kelainan
pada tulang dan sebagainya.
e. Pemeriksaan serologis
Pemeriksaan serologis bertujuan untuk menentukan golongan darah jenazah.
Penentuan golongan darah pada jenazah yang telah membusuk dapat dilakukan dengan
memeriksa rambut, kuku dan tulang.
3. Metode eksklusi
Metode ini digunakan pada kecelakaan masal yang melibatkan sejumlah orang yang dapat
diketahui identitasnya, misalnya penumpang pesawat udara, kapal laut dan sebagainya. Bila
sebagian besar korban telah dapat dipastikan identitasnya dengan menggunakan metode-
metode identifikasi lain, sedangkan identitas sisa korban tidak dapat ditentukan dengan
metode- metode tersebut di atas, maka sisa korban diidentifikasi menurut daftar
penumpang.
ASFIKSIA
1. Definisi
a. Asphyxia: semua keadaan dimana tubuh gagal menerima kebutuhan oksigen
b. Suffocation (mati lemas): terminology luas yang merujuk kepada minimalnya kadar
oksigen di lingkungan, misal: ruang kedap udara, pembekapan
c. Smothering (pembekapan): asfiksia karena sumbatan jalan napas di atas epiglottis,
termasuk mulut, hidung, dan faring.
d. Choking (cekik): asfiksia karena sumbatan jalan napas di bawah epiglottis.
e. Mechanical asphyxia: asfiksia akibat terbatasnya gerak napas, baik karena posisi
tubuh maupun kompresi dada dari luar.
f. Positional or postural asphyxia: tipe asfiksia dimana posisi tubuh menyebabkan
kemampuan seseorang bernapas menjadi terganggu.
g. Traumatic asphyxia: tipe asfiksia akibat kompresi dada oleh benda berat.
h. Strangulation (penjeratan): asfiksia karena tertutupnya jalan napas dan/atau
pembuluh darah akibat tekanan eksternal pada leher.
Metode strangulasi:
1) Manual: penekanan pada leher menggunakan tangan
2) Chokehold atau head lock: gerakan mengunci dimana seseorang mengapit
erat leher korban di lipatan sikunya. Kuatnya tekanan pada leher ditentukan
oleh besarnya fleksi sudut siku.
3) Ligature: strangulasi dengan menggunakan ikatan yang erat pada leher,
dikencangkan tidak dengan gaya berat tubuh, misal; selendang atau ikat
pinggang yang dikencangkan di leher.
4) Hanging: strangulasi dengan menggunakan ikatan pada leher, yang
tekanannya dipengaruhi gaya gravitasi terhadap berat tubuh, misalnya pada
hukum gantung atau bunuh diri menggunakan tali yang digantung.
2. Temuan pada pemeriksaan
a. Pemeriksaan luar
Sianosis pada bibir, ujung jari, kuku
Lebam mayat lebih gelap
Busa halus pada hidung dan mulut
Tardieu spot pada konjungtiva bulbi dan palpebra
Tanda kekerasan dan perlawanan
b. Pemeriksaan dalam
Darah lebih gelap dan encer
Busa halus di saluran pernapasan
Perbendungan sirkulasi pada organ
Tardieu spot pada mukosa organ dalam (pericardium, mukosa epiglottis, subglotis)
Edema paru
Tanda kekerasan
TENGGELAM
1. Definisi
Asfiksia akibat masuknya cairan ke dalam saluran pernapasan. Mencakup penyakit yang
terjadi akibat terbenamnya korban dalam air yang menyebabkan kehilangan kesadaran dan
mengancam jiwa.
a. Wet drowning. Pada keadaan ini cairan masuk ke dalam saluran pernapasan setelah
korban tenggelam.
b. Dry drowning. Pada keadaan ini cairan tidak masuk ke dalam saluran pernapasan,
akibat spasme laring.
c. Secondary drowning. Terjadi gejala beberapa hari setelah korban tenggelam (dan
diangkat dari dalam air) dan korban meninggal akibat komplikasi.
d. Immersion syndrome. Korban tiba-tiba meninggal setelah tenggelam dalam air
dingin akibat refleks vagal. Alkohol dan makan terlalu banyak merupakan faktor
pencetus.
Akibat pengenceran darah yang terjadi, tubuh mencoba mengatasi keadaan ini dengan
melepaskan ion kalium dari serabut otot antung sehingga kadar ion Kalium dalam plasma
meningkat. Perubahan keseimbangan ion K+ dan Ca++ dalam serabut otot jantung dapat
mendorong terjadinya fibrilasi ventrikel dan penurunan tekanan darah, yang kemudian
menyebabkan timbulnya kematian akibat anoksia otak. Kematian terjadi dalam waktu 5
menit.
ABORSI
1. Definisi
Hukum: pengguguran kandungan/tindakan menghentikan kehamilan/ mematikan janin
sebelum waktu kelahiran tanpa memperhatikan usia kandungan maupun kondisi bayi lahir
hidup/mati.
Medis: keluarnya hasil pembuahan secara spontan sebelum mampu bertahan hidup (<20
minggu, <500gr)
2. Klasifikasi
Abortus spontan: akibat infeksi sistemik, hipertensi, kelainan darah, trauma tumpul perut,
cemas, malformasi kongenital, abnormalitas genetik
Abortus provokatus
(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita
tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut diancam dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana
penjara paling lama tujuh tahun.
Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan
pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang
diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat
ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam
mana kejahatan dilakukan.
(1) Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh supaya diobati,
dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan bahwa karena pengobatan itu hamilnya
dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana
denda paling banyak empat puluh lima ribu rupiah
Pasal 75
Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan: sebelum kehamilan
berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal
kedaruratan medis; oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan
yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri; dengan persetujuan ibu hamil yang
bersangkutan; dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan penyedia layanan
kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 194
Setiap orang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 75 ayat(2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
Pasal 31-35
Pasal 31
(1) Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan: a. indikasi kedaruratan medis; atau
b. kehamilan akibat perkosaan
(2) Tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya
dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung
sejak hari pertama haid terakhir
Pasal 32
(1) Indikasi kedaruratan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf a
meliputi: a. kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu; dan/atau b. kehamilan
yang mengancam nyawa dan kesehatan janin, termasuk yang menderita penyakit genetik
berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan
bayi tersebut hidup di luar
Pasal 33
(1) Penentuan adanya indikasi kedaruratan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
dilakukan oleh tim kelayakan aborsi.
(2) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri dari 2 (dua) orang tenaga
kesehatan yang diketuai oleh dokter yang memiliki kompetensi dan kewenangan.
(3) Dalam menentukan indikasi kedaruratan medis, tim sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus melakukan pemeriksaan sesuai dengan standar.
(4) Berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tim sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) membuat surat keterangan kelayakan aborsi.
Pasal 34
(1) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b
merupakan kehamilan hasil hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak
perempuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan: a.
usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang dinyatakan oleh surat keterangan
dokter; dan b. keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan
perkosaan.
Pasal 35
(1) Aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan harus
dilakukan dengan aman, bermutu, dan bertanggung jawab.
(2) Praktik aborsi yang aman, bermutu, dan bertanggung jawab sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi: a.dilakukan oleh dokter sesuai dengan standar; b.dilakukan di fasilitas
pelayanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri; c.atas
permintaan atau persetujuan perempuan hamil
yang bersangkutan d.dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; e.tidak diskriminatif; dan
f. tidak mengutamakan imbalan materi.
Pasal 37
(1) Tindakan aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat
perkosaan hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling
Pasal 39
(1) Setiap pelaksanaan aborsi wajib dilaporkan kepada kepala dinas kesehatan
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pimpinan fasilitas
pelayanan kesehatan.
4. Metode Aborsi
Metode medis
6. Kepentingan Medikolegal
Dokter harus dapat mengetahui: (a) Apakah wanita tersebut baru melakukan aborsi (b)
Pemeriksaan pada jenazah wanita yang meninggal karena tindakan aborsi kriminal
Tanda kehamilan
Usaha penghentian kehamilan: kekerasan pada genitalia interna dan eksterna, serta
perut bagian bawah
Toksikologik: untuk mengetahui obat/zat yang menyebabkan abortus
Pemeriksaan intra-uterine fetal death: pemeriksaan mikroskopik sisa jaringan
Kaitan genetik janin dengan tersangka ibu
8. Pemeriksaan Jenazah Wanita yang Meninggal disebabkan Abortus Provokatus
Kriminalis
Tanda-tanda kehamilan pada tubuh jenazah wanita korban aborsi kriminal juga dapat
ditemukan, seperti pembesaran payudara. Tubuh wanita terlihat lebih pucat, yang
menandakan kematian disebabkan oleh syok hemorrhagik. Pada pemeriksaan vagina dan
uterus, dapat ditemukan priduk konsepsi, benda asing seperti pin, stik aborsi, cairan/duh
tubuh/sekret dan lain-lain. Jika wanita tersebut meninggal karena sepsis, dapat ditemukan
pus di dalam kavum uterus. Kadang, perforasi uterus atau usus juga dapat ditemukan.
2. Dasar hukum
KUHP pasal 341
Seorang ibu yang karena takut akan ketahuan melahirkan anak pada saat anak dilahirkan
atau tidak lama kemudian, dengan sengaja merampas nyawa anaknya, diancam karena
membunuh anak sendiri, dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.
Seorang ibu yang untuk melaksanakan niat yang ditentukan karena takut akan ketahuan
bahwa ia akan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian
merampas nyawa anaknya, diancam karena melakukan pembunuhan anak sendiri dengan
rencana, dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.
kejahatan yang diterangkan dalam pasal 341 dan 342 dipandang bagi orang lain yang turut
serta melakukan sebagai pembunuhan atau pembunuhan dengan rencana. Pasal KUHP lain
yg berhubungan dengan pembuangan anak lahir mati atau penelantaran anak
Barang siapa menempatkan anak yang umurnya belum tujuh tahun untuk ditemukan atau
meninggalkan anak itu dengan maksud untuk melepaskan diri daripadanya, diancam dengan
pidana penjara paling lama 5 tahun 6 bulan.
Jika salah satu perbuatan berdasarkan pasal 304 dan 305 mengakibatkan lukaluka berat,
yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun 6 bulan; Jika
mengakibatkan kematian, pidana penjara paling lama 9 tahun.
Jika seorang ibu karena takut akan diketahui orang tentang kelahiran anaknya, tidak lama
sesudah melahirkan, menempatkan anaknya untuk ditemukan atau meninggalkannya
dengan maksud untuk melepaskan diri daripadanya, maka maksimum pidana tersebut
dalam pasal 305 dan 306 dikurangi separuh.
Tanda bayi lahir hidup ialah dada sudah mengembang dan diafragma turun sampai sela iga.
Secara pemeriksaan makroskopik, paru sudah mengisi rongga dada dan menutupi sebagian
kandung jantung, berwarna merah muda tidak merata dengan pleura tegang, gambaran
mozaik dan marmer, konsistensi seperti spons, teraba derik udara, serta uji apung paru
positif. Secara pemeriksaan mikroskopik, paru tampak alveoli mengembang sempurna
dengan atau tanpa emfisema obstruktif serta tidak terlihat adanya projection. Pada saluran
cerna tampak udara pada foto rontgen atau adanya makanan di lambung.
Tanda bayi lahir mati adalah adanya tanda-tanda maserasi, yaitu pembusukan intrauterine
yang terjadi setelah 8-10 hari in-utero, vesikel dan bula berisi cairan kemerahan (kematian
inutero 3-4 hari), epidermis berwarna putih dan berkeriput, bau “tengik”, perlunakan tubuh,
dada terlihat mendatar, sendi,lengan dan tungkai lunak, paru-paru berwarna kelabu ungu,
padat, tidak teraba derik udara, serta uji apung paru negatif.
Udara dalam saluran cerna: Dalam lambung-duodenum: hidup beberapa saat. Usus
halus: 1-2 jam. Usus besar: 5-6 jam. Rektum: hidup > 12 jam atau dengan tanda
lainnya.
Mekonium: keluar semua 24 jam setelah lahir
Hilangnya eritrosit berinti: 24 jam
Deposit asam urat di ginjal: hari ke-2 hingga 4
Perubahan tali pusat: apabila dipotong maka koagulasi terjadi dalam 2 jam,
mengering dalam 24 jam, dan mengalami penyembuhan dalam 10-12 hari
Perubahan sirkulasi darah (obliterasi arteri vena umbilicus 3-4 hari, duktus venosus
3- 4 minggu, foramen ovale menutup 3 minggu-1 bulan)
Ada tidaknya tanda perawatan. Melihat keberadaan tanda perawatan antara lain
pemotongan dan perawatan tali pusat, pembersihan lemak bayi dan bekas darah, serta
adanya pakaian atau penutup tubuh bayi
KEJAHATAN SEKSUAL
1. Definisi
Menurut WHO, kejahatan seksual merupakan semua tindakan seksual, percobaan tindakan
seksual, komentar yang tidak diinginkan, perdagangan seks, dengan menggunakan paksaan,
ancaman, paksaan fisik oleh siapa saja tanpa memandang hubungan dengan korban, dalam
situasi apa saja, termasuk tapi tidak terbatas pada rumah dan pekerjaan.
Adakah terdapat kontak oral mulut pelaku terhadap wajah, tubuh, atau
bagian genito-anal korban.
TOKSIKOLOGI FORENSIK
1. Definisi
Toksikologi ialah ilmu yang mempelajari sumber, sifat serta khasiat racun, gejala-gejala dan
pengobatan pada keracunan, serta kelainan yang didapatkan pada korban yang meninggal.
Racun ialah zat yang bekerja pada tubuh secara kimiawi dan fisiologik yang dalam dosis
toksik akan menyebabkan gangguan kesehatan atau mengakibatkan kematian.
2. Penggolongan
No. Dasar penggolongan Contoh racun
1 Sumber Tumbuh-tumbuhan: opium, kokain, aflatoksin
Hewan: bisa ular, laba-laba, hewan laut
Mineral: arsen, timah hitam
Sintetis: heroin
5 Cara kerja/efek yang Peradangan dan korosi lokal: H2SO4, HNO3, NaOH,
timbul KOH; golongan halogen seperti fenol, lisol dan
senyawa logam, membuat nyeri hingga
menyebabkan syok neurogenik
Efek sistemik dan mempunyai afinitas terhadap
salah satu sistem: barbiturat, alkohol, morfin
(terhadap susunan saraf pusat), digitalis, asam
oksalat (terhadap jantung), CO terhadap
hemoglobin darah.
Racun yang mempunyai efek lokal dan sistemik
sekaligus: asam karbol menyebabkan erosi
lambung dan sebagian yang diabsorpsi akan
menimbulkan depresi susunan saraf pusat.
Efek iritasi dan hemolisis akut: tetra-etil lead yang
masih terdapat dalam campuran bensin
4. Prinsip pengobatan
Pengobatan terhadap kasus keracunan terutama berdasarkan cara masuk racun ke dalam
tubuh.
Bila racun ditelan, keluarkan racun tersebut sebanyak mungkin, dengan jalan
memuntahkan (dengan merangsang dinding faring atau pemberian emetik). Aspirasi
dan bilas lambung, merupakan indikasi untuk mengeluarkan racun nonkorosif dan racun
yang menekan susunan saraf pusat. Jika kesadaran sangat menurun, atau racun bersifat
korosif atau terlarut dalam minyak, maka usaha untuk memuntahkan merupakan
kontraindikasi. Mempercepat ekskresi dengan dialisis (pemberian diuretik) juga
merupakan kontraindikasi. Dapat pula dengan pemberian antidotum spesifik, misal
pada keracunan morfin, diberikan nalorfin.
Demulcent dalam bentuk pemberian putih telur sebanyak 3 Butir yang dilarutkan dalam
500 cc air/susu dengan maksud untuk menghambat absorbsi.
Harus dipikirkan kemungkinan kematian akibat keracunan bila pada pemeriksaan setempat
(scene investigation) terdapat kecurigaan akan keracunan, bila pada otopsi ditemukan
kelainan yang lazim ditemukan pada keracunan dengan zat tertentu, misalnya lebam mayat
yang tidak biasa (cherry pink colour pada keracunan CO; merah terang pada keracunan CN;
kecoklatan pada keracunan nitrit, nitrat, anilin, fenasetin dan kina); luka bekas suntikan
sepanjang vena dan keluarnya buih dari mulut dan hidung (keracunan morfin); bau almond
(keracunan CN) atau bau kutu busuk (keracunan malathion) serta bila pada otopsi tak
ditemukan penyebab kematian.
SUMBER
Dettmeyer RB. Forensic histopathology: fundamentals and perspectives. Springer; 2018
May 18.
Hanafiah MJ. Etika kedokteran dan hukum kesehatan ed 4. EGC.2014
Kompilasi Peraturan Perundang-undangan terkait Praktik Kedokteran. Jakarta:
Departemen Ilmu Kedokteran Forensik Medikolegal Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2014.
Payne-James J, Jones RM, editors. Simpson's forensic medicine. CRC Press; 2019 Oct 16.
Saukko P, Knight B. Knight's forensic pathology. CRC press; 2015 Nov 4.
Stark MM, editor. Clinical forensic medicine: a physician's guide. Springer Nature; 2019.
Tim Penyusun Modul Badan Diklat Kejaksaan RI. Modul kedokteran forensik Badan
Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Republik Indonesia Jakarta 2019
WHO and United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC). Strengthening the
Medico-Legal Response to Sexual Violence. Geneva; 2015
World Health Organization. Guidelines for Medico-legal Care for Victims of Sexual
Violence. France; 2003.
GINEKOLOGI
NEOPLASMA
Neoplasma adalah pertumbuhan jaringan yang tidak normal atau berlebihan.
Berdasarkan sifatnya terbagi menjadi dua yaitu jinak (benign) dan ganas (maligna).
Neoplasma Vulva
1. Kista Bartholin
Etiologi : Sumbatan kelenjar bartholin
S&S : Benjolan/massa pada posterior labia mayora (pada palpasi posisi jam 4
atau jam 8), nyeri, dispareunia
Tx : Marsupialisasi, insisi drainase
Dapat menimbulkan komplikasi abses
2. Fibroma Vulva
Etiologi : Proliferasi jaringan fibriblast pada labia mayora
S&S : Benjolan/ massa pada vulva atau labia mayora, nyeri, gangguan berkemih,
dyspareunia
Tx : Eksisi
Neoplasma Vagina
1. Kista Gartner
Lokasi : dinding anterolateral vagina
S&S : Benjolan di vagina
Tx : Insisi dan eksisi
2. Fibroma Vagina
Etiologi : Proliferasi jaringan fibroblast
S&S : Benjolan, dyspareunia
Tx : Eksisi
Neoplasma Serviks
1. Kista Nabothian
Etiologi : retensi cairan/mucus pada area endoserviks
S&S : asimptomatik, vesikel pada endoserviks
Tx : tidak ada
2. Polip Serviks
Etiologi : Proliferasi lapisan stroma pada endo-ektoserviks
S&S : Massa bertangkai, mudah berdarah, merah/pucat, dyspareunia
Tx : Ekstirpasi, kuretase, kauterisasi
3. Mioma Serviks
Etiologi : Proliferasi jaringan otot uterus
S&S : Benjolan, perdarahan tidak normal, dyspareunia
Tx : ekstirpasi, eksisi, histerektomi
4. Kanker Serviks
Etiologi : Infeksi HPV tipe 16,18
RF : Multi-sexual partner, IMS, koitus pada usia muda
Skrining : IVA test/PAP Smear
Diagnosis : Biopsi
S&S: asimtomatik (pre-invasive stage), perdarahan abnormal, dyspareunia, post-
coital bleeding, discharge (early invasive), nyeri panggul, BB turun, anoreksia,
anemia (advance stage)
Neoplasma Uteri
1. Leiomyoma/Uterine vibroid
Etiologi : proliferasi jaringan otot polos myometrium
RF : estrogen, negroid, nullipara
RF : estrogen, negoid, mullipara]
S&S : menorrhagia, pelvic pressre, dyspareunia, benjolan
Tx : observasi untuk myoma kecil, myomectomy or hysterectomy untuk tipe
besar.
Menstruasi
Siklus menstruasi normal terdiri dari 2 fase: fase folikular dan fase luteal. Haid terjadi
pada awal fase folikular yang dapat berlangsung dalam 12-14 hari. Sementara fase
luteal mulai pada saat ovulasi dan berlangsung selama 14 hari.
- Primary Dysmenorrhea
o Nyeri abdomen berulang yang terjadi sesaat sebelum dan atau saat
menstruasi tanpa adanya penemuan patologis terkait dengan gejala
- Secondary Dysmenorrhea
o Nyeri abdomen berulang yang terjadi sesaat sebelum dan atau saat
menstruasi dengan adanya kondisi tertentu (e.g. endometriosis, Pelvic
Inflammatry Disease, IUD, uterine leiomyoma etc.)
INFERTILITAS
Definisi : Kegagalan dalam konsepsi bagi pasangan suami-istri yang telah melakukan
hubungan seksual secara regular tanpa kontrasepsi setelah :
Analisis Sperma
INFEKSI KONGENITAL
- Abnormalitas facial
- Keratitis interstitial
- Sensorineural
deafness
- Saber shins
Listeriosis - Aborsi spontan dan - Kultur bakteria - Ampicillin dan
kelahiran premature Gentamicin
- Meningitis, sepsi
- Lesi kulit vesicular
dan pustular
(granulomatosis
infantiseptica)
Varicella zoster - IUGRm kelahiran - Direct - Varicella-zoster
virus (VZV) premature fluorescent immune globuline
- Chorioretinitis, antigen test (VZIG)
Katarak (DFA) - Acyclovir
- Ensefalitis - PCR untuu
- Pneumonia DNA VZV
- Abnormalitas CNS - Serologi (IgM
- Hypoplastic limbs antibody)
Parvovirus B19 - Anemia aplastic - PCR DNA - Transfuse darah
- Hidrops fetalis parvovirus intrauterine jika
B19 diindikasikan
- Ultrasonografi
untuk melihat
hidrops fetalis
Rubella - Ptechiae dan purpura - Kultur virus - Perawatan
(blueberry muffin - Serologi (IgM suportif
rash) antibody)
- Congenital rubella - PCR RNA
syndrome; rubella
IUGR, sensorineural
deafness, katarak,
defek jantung,
abnormalitas CNS,
hepatitis
Cytomegalo virus - Jaundice, - Kultur virus - Ganciclovir dan
(CMV) hepatosplenomegaly - PCR DNA valganciclovir
- IUGR CMV - Perawatan
- Chorioretinitis suportif
- Sensorineural
deafness
- Periventricular
calcifications
- Petechiae dan
purpura (blueberry
muffin rash)
- Microcephaly
- Kejang
Herpes simplex - Kelahiran premature, - Kultur virus - Acyclovir
virus (HSV) IUGR - PCR untuk - Perawatan
- Lesi vesicular pada DNA HSV suportif
kulit, mata, mulut,
keratoconjunctivitis
- Lesi CNS lokal,
meningitis
IPD – ENDOKRIN
Diabetes Melitus
A. Definisi
Kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.
B. Patogenesis
C. Klasifikasi
Diabetes Melitus Tipe 2 (4A)
A. Tanda dan Gejala
1. Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
2. Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi
pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
B. Kriteria Diagnosis
C. Klasifikasi Prediabetes
1. Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma
puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam <140
mg/dl (normal).
2. Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2-jam
setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100 mg/dl
(normal).
D. Tatalaksana
Dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat (terapi nutrisi medis dan aktivitas fisik)
bersamaan dengan intervensi farmakologis dengan obat anti hiperglikemia secara oral
dan/atau suntikan. Obat anti hiperglikemia oral dapat diberikan sebagai terapi tunggal
atau kombinasi.
2. Aktivitas Jasmani
Latihan jasmani dilakukan secara secara teratur sebanyak 3-5 kali perminggu
selama sekitar 30-45 menit, dengan total 150 menit perminggu.
Jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut.
Dianjurkan: latihan aerobik dengan intensitas sedang (50- 70% denyut jantung
maksimal) seperti: jalan cepat, bersepeda santai, jogging, dan berenang.
3. Terapi Farmakologis
a. Obat Antihiperglikemik Oral
Prinsip tatalaksana: Jika dalam 3 bulan dengan komplians yang baik tidak tercapai
target naikkan regimen terapi.
E. Kriteria Pengendalian
F. Komplikasi
1. Akut
Krisis Hiperglikemia: Ketoasidosis Diabetik (KAD), Status Hiperglikemi
Hiperosmolar (SHH)
Hipoglikemia
2. Kronis
Makroangiopati
- Pembuluh darah jantung: penyakit jantung koroner
- Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer claudicatio intermittent,
ulkus iskemik pada kaki
- Pembuluh darah otak: stroke iskemik atau stroke hemoragik
Mikroangiopati
- Retinopati diabetik
- Nefropati diabetik
- Neuropati hilangnya sensasi distal risiko tinggi ulkus kaki
meningkatkan risiko amputasi.
G. Resep
R/ Metformin 500 mg tab No. XXX
S 3 dd tab I p.c
R/ Glibenclamide 5 mg tab No. X
S 1 dd tab I ½ h a.c. o.m
R/ Novorapid pen inj No. I
S 3 dd 8 IU
B. Faktor Risiko
Pencetus tersering adalah infeksi. Pencetus lain: menghentikan atau mengurangi insulin,
infark miokard, stroke akut, pankreatitis, dan obat-obatan.
C. Tanda dan Gejala
Tanda-tanda dehidrasi, takikardi, hipotensi atau syok, flushing, penurunan berat
badan.
Pemeriksaan dasar gula darah, elektrolit, analisis gas darah, keton darah dan urin,
osrnolalitas serum, darah perifer lengkap dengan hitung jenis, anion gap, EKG,
dan foto polos dada.
KAD
- Nafas Kussmaul jika asidosis berat.
- Trias biokimiawi pada KAD: hiperglikemia, ketonemia dan atau ketonuria,
serta asidosis metabolik.
SHH: dehidrasi berat, hiperglikemia berat, dan seringkali disertai gangguan
neurologis (disorientasi, hemiparesis, kejang atau koma).
D. Tatalaksana
Rawat di High Care Unit
Rehidrasi dengan NaCl 0,9%, lakukan pemasangan akses IV dua jalur
Regulasi glukosa darah dengan insulin
Regulasi gangguan asam basa elektrolit
Oksigen bila PO2 <80 mmHg
Antibiotik yang adekuat
Pantau tanda vital, kesadaran, keseimbangan cairan
Manajemen faktor pencetus dan penyakit penyerta
Hipoglikemia (Ringan 4A dan Berat 3B)
A. Definisi
Menurunya kadar glukosa darah <70 mg/dl dengan atau tanpa adanya gejala-gejala sistem
otonom, seperti adanya whipple’s triad:
Terdapat gejala-gejala hipoglikemia
Kadar glukosa darah yang rendah
Gejala berkurang dengan pengobatan
B. Faktor Pencetus
Penggunaan sulfonilurea dan insulin atau penggunaan obat-obatan lain.
Latihan jasmani dengan intensitas menengah hingga sedang.
Asupan makanan tidak adekuat.
Penyakit kritis, gagal ginjal, gagal hati.
C. Klasifikasi
Hipoglikemia ringan: gejala ringan atau tidak ada gejala.
Hipoglikemia sedang: terdapat gejala tetapi dapat diatasi sendiri oleh pasien.
Hipoglikemia berat: membutuhkan bantuan orang lain untuk mengatasinya.
E. Tatalaksana
Mencari dan mengatasi penyebab
Koreksi hipoglikemia
1. Hipoglikemia Ringan
- Glukosa 15–20 g (2-3 sendok makan) yang dilarutkan dalam air jika
pasien masih sadar.
- Pemeriksaan glukosa darah dengan glukometer setelah 15 menit
pemberian upaya terapi:
o Masih hipoglikemia: pengobatan dapat diulang kembali.
o Glukosa darah sudah normal; pasien diminta untuk makan atau
mengkonsumsi snack untuk mencegah berulangnya hipoglikemia.
2. Hipoglikemia Berat
- Injeksi dextore 20% atau 40% sesuai kadar glukosa, diikuti infus D5%
atau D10%.
- Periksa glukosa darah 15 menit setelah pemberian IV tersebut. Bila kadar
glukosa darah belum mencapai target, dapat diberikan ulang pemberian
dextrose 40%.
- Monitoring glukosa darah setiap 1-2 jam
- Lakukan evaluasi terhadap pemicu hipoglikemia
OAD/insulin dapat dimulai lagi bila penyebab hipoglikemia sudah diketahui.
Bila hipoglikemia belum teratasi, dapat dipertimbangkan pemberian steroid.
B. Klasifikasi
1. Diabetes Insipidus Sentral
Disebabkan oleh kegagalan pelepasan horrnon antidiuretik (ADH) yang secara
fisiologi dapat merupakan kegagalan sintesis atau penyimpanan.
2. Diabetes Insipidus Nefrogenik
Disebabkan oleh ginjal tidak responsif terhadap ADH eksogen. ADH berada
dalam jumlah yang cukup dan berfungsi normal.
C. Tanda dan Gejala
Gejala utama: poliuria dan polidipsia.
Berat jenis urin biasanya sangat rendah, berkisar antara 1 001-1 005 atau 50-200
mOsmol/kgBB.
B. Etiologi
Terutama disebabkan oleh adenoma yang menghasilkan GH di kelenjar pituitari.
Adenoma hipotalamus atau sekresi GHRH ektopik dari tumor neuroendokrin di
paru atau pankreas.
Sekresi GH ektopik dari keganasan abdomen atau hematopoietik.
Sindrom genetik yang berhubungan dengan hipersekresi GH: multiple endocrine
neoplasia-1 (MEN-1), neurofibromatosis, Carney complex, dan sindrom
McCune-Albright.
Familial idiopathic pituitary adenomas (FIPA): disebabkan oleh mutasi yang
menyebabkan akromegali familial.
C. Tanda dan Gejala
1. Akromegali
Peningkatan ukuran ekstremitas
Hiperhidrosis dan skin tag
Acromegalic facies: supraorbital ridge menonjol, hidung lebar, jerawat, bibir
besar, pembesaran lidah.
Muskuloskeletal: kelemahan menyeluruh, letargi, pemanjanan dagu,
maloklusi gigi, nyeri sendi temporomandibula, carpal tunnel syndrome
(akibat pembengkakan nervus medianus), osteoarthritis onset dini.
Suara berat dan obstructive sleep apnea: akiat pembengkakan jaringan lunak
di saluran pernapasan atas dan pembesaran lidah.
2. Gigantisme
Tinggi 3 SD di atas normal atau 2 SD di atas adjusted mean parental height.
Seringkali berhubungan dengan neurofibromatosis, Carney complex, and
sindrom McCune Albright evaluasi adanya neurofibromas, cafe au lait
spots, optic gliomas.
Acromegalic facies Neurofibroma Café-au-lait spot
Kelenjar paratiroid berjumlah empat buah dan terletak di permukaan posterior kedua
lobus lateral kelenjar tiroid. Menghasilkan hormone paratiroid (PTH).
Fungsi PTH:
Meningkatkan kalsium dalam darah
Menghambat reabsorpsi fosfat di ginjal menurunkan kadar fosfat
Hiperparatiroid (1)
A. Definisi
Penyakit yang disebabkan karena hipersekresi dari PTH.
B. Klasifikasi
1. Primer
Sekresi PTH oleh kelenjar paratiroid meningkat. Disebabkan oleh:
Adenoma kelenjar paratiroid
Hiperplasia kelenjar paratiroid difus
Sindrom multiple endorine neoplasia (MEN)
2. Sekunder
Sekresi PTH berlebih akibat berbagai penyakit yang menyebabkan hipokalsemia
kronis. Ditandai dengan peningkatan PTH dan serum kalsium normal atau rendah.
Penyebab:
Gagal ginjal kronis
Defisiensi atau malabsorpsi vitamin D
3. Tersier
Komplikasi dari hiperparatiroid sekunder: kadar kalsium yang dibutuhkan untuk
menghambat produksi PTH oleh kelenjar paratiroid menjadi meningkat
peningkatan aktivitas kelenjar paratiroid hiperkalsemia.
C. Tanda dan Gejala
Dehidrasi, kehausan, lemah badan
Gejala hiperkalsemia (lihat pada gambar): bones, stones, groans (nyeri), psychic
moans (gangguan kesadaran dan mental).
Osteomalasia (dewasa) dan rikets (anak).
D. Pemeriksaan Penunjang
Lab: Hiperkalsemia, hipofosfatemia, dan peningkatan PTH
EKG: pemendekan QT interval
Pemeriksaan fungsi ginjal
Radiografi: resopsi tulang subperiosteal, deteksi adenoma, nefrolitiasis akibat
hiperkalsemia.
Hipoparatiroid (3A)
A. Definisi
Penyakit yang disebabkan karena defisiensi dari PTH sehingga menyebabkan
hipokalsemia.
B. Etiologi
Penyebab utama:
• Komplikasi operasi tiroid atau paratiroid
• Defisiensi kongenital: DiGeorge Syndrome
• Hipoparatiroid idiopatik: autoimun
• Pseudohipoparatiroid: resistensi PTH kongenital
E. Pemeriksaan Penunjang
Lab:
- Utama: Hipokalsemia, hiperfosfatemia, dan penurunan PTH
- Vitamin D: defisiensi vitamin D dapat menyebabkan hipokalsemia
- Hipomagnesemia dapat menyebabkan defisiensi PTH
- Hiperkalsiuria
EKG: pemanjangan QT interval
F. Tatalaksana
Koreksi hipokalsemia: pemberian kalsium dan vitamin D (400-800 IU/hari)
Jika terdapat hiperkalsiuria: pertimbangkan penurunan intake kalsium, diet
restriksi natrium, atau pemberian diuretik thiazide.
Tidak disarankan pemberian rutin PTH replacement.
Hipertiroid (3A)
A. Definisi
Hipertiroid: keadaan yang disebabkan kelenjar tiroid memproduksi hormon tiroid
berlebihan.
Tirotoksikosis (3B): gejala klinis yang disebabkan oleh peningkatan kadar
hormon tiroid di dalam darah.
Thyroid Storm atau Thyrotoxicosis Strom: eksaserbasi akut dari gejala
tirotoksikosis yang sering disebabkan oleh operasi tiroid, infeksi, infark
miokardium, dan lainnya.
B. Klasifikasi
Primer: kelainan pada kelenjar tiroid.
Sekunder: kelainan pada kelenjar pituitari.
C. Etiologi
Grave’s disease: penyakit autoimun.
Produksi antibodi terhadap reseptor TSH pada sel folikular merangsang
kelenjar tiroid untuk membentuk hormon tiroid terus-menerus.
Goiter multinodular toksik: nodul yang menghasilkan hormon tiroid, sering
ditemukan pada pasien usia tua dan populasi dengan intake yodium yang kurang.
Adenoma toksik: tumor jinak yang menghasikan hormon tiroid.
Tiroiditis (2):
- Akut: disebabkan oleh infeksi supuratif pada tiroid. Pada anak dan dewasa
muda, penyebab paling sering adalah adanya piriform sinus, sisa dari
branchial pouch yang menghubungkan orofaring dan tiroid.
- Subakut (de Quervain’s thyroiditis): disebabkan oleh virus, termasuk mumps,
coxsackie, influenza, adenovirus, echovirus.
Obat: amiodarone, overdosis tiroksin
2. Grave’s disease
Trias: tirotoksikosis, struma difus, oftalmopati.
Sistem skoring oftalmopati “NO SPECS”:
0 : No signs or symptoms
1 : Only signs (lid retraction or lag), gejala (-)
2 : Soft tissue involvement (edema periorbital)
3 : Proptosis (>22 mm)
4: Extraocular muscle involvement (diplopia)
5 : Corneal involvement
Gejala lain: dermopati (myxedema local), akropakia (clubbing pada jari-jari)
Oftalmopati Dermopati Akropakia
3. Tiroiditis
Akut
Nyeri tiroid sering menjalar ke tenggorokan atau telinga, goiter kecil, nyeri
tekan (+), asimetris. Demam, disfagia, eritema pada tiroid, limfadenopati.
Subakut (de Quervain’s thyroiditis):
Gejala dapat menyerupai faringitis, lebih sering terjadi pada wanita, usia
paling sering 30-50 tahun.
E. Pemeriksaan Penunjang
Lab: pemeriksaan TSH dan FT4, FT3 dilakukan pada kondisi tirotoksikosis
namun FT4 normal.
- TSH meningkat: gangguan pada kelenjar pituitari sekunder
- TSH rendah: gangguan pada kelenjar tiroid primer
EKG: sinus takikardia atau fibrilasi atrial dan deteksi penyakit penyerta.
Skrining antibodi
Pemeriksaan radioisotop: mengetahui ukuran kelenjar tiroid dan hot area seperti
pada adenoma toksik.
F. Tatalaksana
Tatalaksana Umum
1. Obat Antitiroid
- Tionamid: Propiltiourasil (PTU) dosis awal 300-600 mg/hari
- Imidazol: Metimazol, Tiamazol dosis awal 20-40 mg/hari
2. Radioiodin: bertujuan untuk menghancurkan sel-sel tiroid secara progresif.
Dibrikkan pada pasien relaps setelah pengobatan obat antitiroid.
Kontraindikasi: ibu hamil dan menyusui.
3. Tindakan Pembedahan: pengangkatan kelenjar tiroid, untuk pasien relaps.
Komplikasi: perdarahan, edema laring, hipoparatiroidisme, cedera nervus
laringeus rekurens.
Tiroiditis
- Aspirin (600 mg tiap 4-6 jam) atau NSAID lain.
- Jika NSAID tidak adekuat diberikan glukokortikoid. Dosis awal
prednisone 15-40 mg.
- Obat antitiroid tidak berperan mengatasi fase tirotoksikosis untuk tiroiditis
subakut.
Hipotiroid (3A)
A. Definisi
Keadaan yang disebabkan karena defisiensi hormon tiroid.
B. Etiologi
Kongenital: kelainan pada mekanisme produksi hormon tiroid.
Kurang konsumsi yodium
Yodium merupakan bahan dasar sintesis hormon tiroid.
Penyakit autoimun: Hashimoto’s thyroiditis
Mekanisme: Terdapat autoantibodi yang menyerang reticulum endoplasma
kasar atau tiroglobulin. Lab: antibodi antitiroid peroksidase (anti-TPO) +. PA:
peningkatan inflitrasi limfosit ke dalam jaringan kelejnar tiroid yang
mengakibatkan terbentuknya inti "germina" dan sel-sel besar eosinofilik.
Hashimoto’s Thyroiditis (Orphan annie eyes)
Penyebab iatrogenik: pengobatan hipertiroid, tindakan pembedahan.
Goiter (3A)
A. Definisi
Pembengkakan pada leher akibat pembesaran dari kelenjar tiroid.
B. Etiologi
Gangguan biosintesis dan defisiensi yodium
Penyakit autoimun: Grave’s disease, Hashimoto’s thyroiditis
Nodul tiroid: pertumbuhan abnormal dari sel tiroid, dapat bersifat hiperplasia atau
neoplasia.
C. Klasifikasi
1. Berdasarkan pola pertumbuhan
B. Pemeriksaan Penunjang
Biopsi Aspirasi Jarum Halus/Fine Needle Aspiration Biopsy (BAJAH/FNAB)
Pencitraan: USG, CT Scan atau MRI, sidik tiroid
Penentuan status fungsi: pemeriksaan kadar TSHs dan hormon tiroid
C. Tatalaksana
Terapi supresi dengan hormon levotiroksin
Pembedahan
Iodium radioaktif
Suntikan ethanol (percutaneous ethanol injection)
Terapi laser dengan panduan USG
Observasi, bila yakin nodul tidak ganas
B. Karakteristik
Konsistensi keras dan sukar digerakkan, walaupun nodul ganas dapat mengalami
degenerasi kistik dan kemudian menjadi lunak;
Nodul dengan konsistensi lunak lebih sering jinak;
lnfiltrasi nodul ke jaringan sekitarnya, walaupun tidak selalu;
20% nodul soliter bersifat ganas sedangkan nodul multipel jarang yang ganas;
Nodul yang muncul tiba-tiba atau cepat membesar perlu dicurigai ganas.
Nodul dicurigai ganas bila disertai dengan pembesaran kelenjar getah bening
regional atau perubahan suara menjadi serak.
C. Klasifikasi
D. Pemeriksaan Penunjang
Sama dengan adenoma tiroid
Karakteristik histopatologi tiap tipe karsinoma:
1. Karsinoma papiler
Psammoma bodies: kalsifikasi
lamellar konsentrik
Orphan annie eyes
Nuclear grooves
2. Karsinoma folikular
Folikel uniform
Invasi vaskular/kapsula
3. Karsinoma meduler
Sel ovoid (C cell origin)
Amyloid pada stroma
4. Karsinoma aplasik
Undifferentiated giant cell (osteoclast-like)
Disertai nekrosis dan perdarahan
B. Etiologi
1. ACTH-dependent
Dipengaruhi oleh produksi ACTH berlebih dari kelenjar pituitari.
2. ACTH-independent
Tidak dipengaruhi oleh produksi ACTH berlebih.
E. Tatalaksana
Disesuaikan dengan etiologi dan penyakit yang mendasari.
Operasi pengangkatan tumor diperlukan replacement hidrokortison.
Jika setelah operasi relaps, maka dapat dilakukan operasi kembali, radioterapi,
dan adrenalektomi bilateral.
Farmakologis: obat yang menghambat sintesis kortisol. Metyrapone (dosis
awal 3x500 mg) dan ketoconazole (3x200 mg).
Krisis Adrenal (3B)
A. Definisi
Komplikasi dari insufisiensi adrenal akut, yang disebut juga krisis adrenal, atau krisis
Addison, merupakan kondisi medis gawat darurat dengan manifestasi hipotensi dan gagal
sirkulasi akut.
Klasifikasi insufisiensi adrenal:
Primer: etiologi berasal dari kelenjar adrenal. Contoh: Addison’s disease,
operasi, penyakit kongenital.
Sekunder: gangguan dari kelenjar pituitari. Contoh: penggunaan glukokortikoid
eksternal, tumor pituitari, operasi pituitari, trauma kepala.
Tersier: gangguan pada hipotalamus
B. Etiologi
Infeksi Penyakit gastrointestinal
Trauma Suhu udara panas
Kehamilan Dehidrasi
Operasi Intoksikasi alcohol
Stress emosional Migraine berat
Aktivitas fisik berlebihan Kejang
Obat: obat antiadrenal, obat Acute myeloid leukemia
antifungal
E. Tatalaksana
100 mg hidrokortison IV selanjutnya 100-300 mg hidrokortison IV tiap 6-8 jam
selama 2-3 hari atau hingga sembuh.
Rehidrasi dengan NaCl 0,9% 1 L dalam 1 jam pertama lalu pantau hemodinamik.
Koreksi hipoglikemia dan elektrolit.
Hindari koreksi cepat dari hiponatremia untuk menghindari sindom demielinasi
osmotik.
Pantau urine output.
B. Etiologi
Disebabkan oleh destruksi progresif dari korteks adrenal akibat autoimun, infeksi
(tuberkulosis, fungi), atau tumor.
3. Perempuan
Tanda sindrom Turner: limfedema, gangguan jantung atau ginjal, tubuh pendek.
Postpubertal: galaktorea atau tanda kelebihan androgen, seperti jerawat atau
hirsutism.
D. Pemeriksaan Penunjang
Lab:
- Kadar LH, FSH, testosterone, progesteron
- Evaluasi penyakit kronis: darah lengkap, LED, panel metabolik, fungsi tiroid,
urinalisis
Pencitraan: USG, MRI
Pemeriksaan genetik
Prolaktinemia (1)
A. Definisi
Kondisi peningkatan kadar prolaktin dalam darah.
B. Etiologi
Fisiologis: kehamilan, laktasi, stress
Patologis
- Penyakit hipotalamus-pituitari: adenoma, gioma, kraniofaringioma.
- Tidak disebabkan penyakit hipotalamus-pituitari: prolaktinoma (paling sering),
adenoma pituitari.
- Penyakit sistemik
- Obat
- Idiopatik
Note:
Infertilitas terjadi karena prolaktin mengganggu sekresi GnRH menghambat sekresi
LH dan FSH hipogonadisme.
Pemeriksaan TSH dilakukan karena peningkatan TRH menyebabkan peningkatan TSH
dan prolaktin.
Defisiensi Vitamin (4A)
Vit Peran Defisiensi Catatan
B. Klasifikasi
Dislipidemia primer: akibat kelainan genetik.
Dislipidemia sekunder: terjadi akibat suatu penyakit lain misalnya hipotiroidisme,
sindroma nefrotik, diabetes melitus, dan sindroma metabolik.
C. Pemeriksaan Penunjang
Total kolesterol
Kolesterol LDL
Trigliserida: pasien puasa 12 jam
Kolesterol HDL
D. Tatalaksana
1. Terapi Nonfarmakologis
a. Aktivitas Fisik
Setidaknya 30 menit dengan intensitas sedang (4 sampai 6 kali seminggu).
Kegiatan yang disarankan meliputi jalan cepat, bersepeda statis, ataupaun
berenang.
b. Nutrisi
Diet rendah kalori yang terdiri dari buah-buahan dan sayuran (≥ 5 porsi /
hari), biji-bijian (≥ 6 porsi / hari), ikan, dan daging tanpa lemak.
Asupan lemak jenuh, lemak trans, dan kolesterol harus dibatasi.
Makronutrien yang menurunkan kadar LDL-C harus mencakup tanaman
stanol/sterol (2 g/ hari) dan serat larut air (10-25 g /hari).
c. Berhenti Merokok
2. Terapi Farmakologis
a. Statin: mengurangi pembentukan kolesterol di liver dengan menghambat secara
kompetitif kerja dari enzim HMG-CoA reduktase. Obat utama pencegahan risiko
kardiovaskuler.
b. Asam Fibrat: gemfibrozil, bezafibrat, ciprofibrat, dan fenofibrat. Obat ini
menurunkan trigliserid plasma, selain menurunkan sintesis trigliserid di hati.
c. Asam nikotinik: menghambat enzim hormone sensitive lipase di jaringan
adiposa.
d. Ezetimibe: menghambat absorbsi kolesterol oleh usus halus.
3. Klasifikasi Kelompok Risiko dan Pilihan Terapi
a. Alur Satu
Faktor Risiko:
Perokok
Hipertensi (TD >140/90 atau sedang mendapat terapi antihipertensi)
Kolesterol HDL-C <40 mg/dl
Riwayat keluarga adanya PJK dini (pria <55 tahun, wanita <65 tahun)
Usia (pria <45 tahun, perempuan >55 tahun)
Jika didapatkan masalah berupa PJK/setara PJK risiko tinggi
Jika faktor risiko multipel, terutama diabetes risiko sangat tinggi.
a. Alur Dua
Identifikasi adanya bukti klinis ASCVD: sindroma koroner akut, riwayat infark
miokard, angina stabil maupun angina unstabil, riwayat revaskularisasi koroner,
stroke atau penyakit arteri perifer.
Kelompok Kategori Jenis Statin
>1 bukti klinis ASCVD <75 tahun Intensitas tinggi
>75 tahun Intensitas sedang
E. Evaluasi
Pemantauan pertama dilakukan 6 minggu setelah awal pengelolaan.
Hal-hal yang dipantau: LDL dan kemungkinan adanya komplikasi (peningkatan
AST/ALT dan Creatinine Phospokinase (CPK).
Apabila target LDL belum tercapai pemantauan selanjutnya dapat dilakukan setiap 6
bulan sampai target tercapai.
Jika target LDL telah tercapai, dapat dilakukan pemantauan dengan interval 6-12
bulan.
B. Patofisiologi
Mutasi akumulasi dan peningkatan ekskresi porfirin dan prekusornya.
Jika defek enzim terjadi pada mekanisme awal metabolisme akumulasi
aminolevulinic acid (ALA) dan porphobilinogen (PBG) disfungsi neurologis dan
nyeri.
Jika defek enzim terjadi pada mekanisme akhir metabolisme akumulasi porfirin
lesi kulit yang diinduksi oleh sinar matahari (fotosensitivitas).
D. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan urin: terdapat peningkatan PBG dan ALA pada fase akut.
Porfiria perkutan: kadar porfirin plasma.
Aktivitas erythrocyte uroporphyrinogen decarboxylase diagnosis untuk porphyria
cutanea tarda.
Hiperurisemia (4A)
A. Definisi
Peningkatan kadar asam urat darah di atas normal. Merupakan mekanisme yang mendasari
terjadinya gout. Batas hiperurisemia:
Laki-laki: 7 mg/dL
Perempuan: 6 mg/dL
B. Klasifikasi
1. Primer
Terjadi karena adanya kelainan molekular dan kelainan enzim spesifik. Bisa terjadi
karena dua mekanisme:
Underexcretion (80-90%): faktor genetik gangguan pengeluaran asam urat.
Kemungkinan karena gangguan sekresi asam urat dari tubulus ginjal.
Overproduction (10-20%): gangguan pada enzim untuk metabolisme purin
yang menghasilkan asam urat.
2. Sekunder: disebabkan oleh penyakit lain.
3. Idiopatik
C. Tanda dan Gejala
Tanda-tanda anemia atau phletora, pembesaran organ limfoid, keadaan karidovaskular dan
tekanan darah, keadaan tana kelainan ginjal, kelainan sendi (gout).
D. Pemeriksaan Penunjang
Darah: asam urat, kreatinin
Urin: asam urat dan kreatinin urat 24 jam
Jika sudah terdapat gout:
- Analisis cairan sendi: kristal monosodium urat, kondisi inflamasi (leukosit
meningkat, predominan neutrofil, kultur negatif)
- Radiologi
E. Tatalaksana
1. Farmakologis
a. Fase Akut
Pengobatan gout untuk mengatasi nyeri sendi dan peradangan.
Kolkisin 0,5-0,6 mg setiap 2 jam maksimal 6-8 mg. profilaksis: 2x0,5mg.
NSAID: indometasin 150-200mg/hari selama 2-3 hari selanjtnya 75-100
mg/hari.
Kortikosteroid: oral atau parenteral jika kontraindikasi NSAID. Prednison 20-
40 mg/hari atau setara selama 3-4 hari.
b. Menjaga Kadar Asam Urat
Tidak diberikan saat serangan akut, kecuali pasien sudah rutin minum obat.
Penghambat xanthine oxidase: allopurinol. Dosis maksimal 800mg/hari.
Obat urikosurik: probenesid pastikan fungsi ginjal baik. Dosis awal
0,5g/hari.
2. Nonfarmakologis
Penurunan berat badan
Pengaturan diet rendah purin: hindari daging merah, bayam, alkohol
Olahraga ringan
Hindari obat-obatan yang mengakibatkan terjadinya hiperurisemia: loop diuretic,
tiazid, salisilat dosis rendah, siklosporin, niasin, etambutol, pirazinamid.
F. Resep
R/ Allopurinol 100 mg tab No. X
S 1 dd tab I
R/ Kolkisin 0,5 mg tab No. XX
S 2 dd tab I
Obesitas (4A)
A. Definisi
Keadaan dengan akumulasi lemak yang tidak normal atau berlebihan di jaringan adiposa.
B. Klasifikasi
1. WHO
2. Asia Pasifik
C. Tatalaksana
1. Penurunan Berat Badan
Batas yang masuk akal untuk penurunan berat badan: 8-10% dalam 6 bulan.
BMI 27-25, penurunan kalori hingga 500 kcal/hari menyebabkan penurunan
berat badan 0,5-1kg/minggu
2. Terapi Diet
Defisit kalori 500-750 kcal/hari dari total kalori pasien biasanya.
Pengurangan lemak jenuh, total lemak < 30% dari total kalori.
Banyak makan makanan yang mengandung whole grain, buah, sayur, dan serat.
Kurangi natrium <2.300/hari.
Konsumsi produk mengandung susu yang bebas lemak atau rendah lemak.
Gula tambahan dan lemak jenuh <10% total kalori per hari.
3. Aktivitas Fisik
150 menit aktivitas aerob moderate atau 75 menit aktivitas berat dalam seminggu,
minimal 10 menit tiap episode.
4. Terapi Perilaku
Cognitive behavioural therapy, manajemen stress, pemecahan masalah, dukungan
sosial.
5. Farmakologi:
Dipertimbangkan pada pasien dengan BMI > 30 atau > 27 dengan komorbid yang
tidak berhasil dengan terapi diet dan aktivitas fisik.
Sibutramine dan orlistat
6. Pembedahan:
Pasien dengan BMI >40 atau >35 dengan kondisi komorbid.
Alternatif terakhir untuk pasien yang gagal dengan farmakoterapi.
Teknik: bypass gastric
Sindrom Metabolik (3B)
A. Definisi
Sindrom metabolik adalah kelompok kondisi yang meningkatkan faktor risiko terjadinya
penyakit kardiovaskular: diabetes dan peningkatan glukosa darah puasa, obesitas sentral,
kolesterol tinggi, dan tekanan darah tinggi.
B. Kriteria
Kriteria sindrom metabolik berdasarkan IDF:
C. Tatalaksana
Terdiri dari 2 pilar: tatalaksana penyebab dan tatalaksana faktor risiko lipid dan non lipid.
Penatalaksanaan tetap diawali dengan pengaturan diet dan aktifitas fisik.
1. Obesitas
Target penurunan berat badan 5-10% dalam tempo 6-12 bulan, dapat dicapai
dengan mengurangi asupan kalori sebesar 500-1000 kalori per hari.
Aktifitas fisik yang disarankan: selama 30 menit atau lebih setiap hari.
Dua obat yang dapat digunakan: sibutramin dan orlistat.
2. Hipertensi
Bila modifikasi gaya hidup tidak berhasil terapi farmakologis.
Disarankan ACE inhibitor. Bila tidak toleran dapat diganti denga ARB.
3. Gangguan Toleransi Glukosa
Direkomendasikan: tiazolidindion dan metformin.
4. Dislipidemia
Sesuai tatalaksana dislipidemia.
Pada konsentrasi trigliserida + 200 mg/dl, maka target terapi adalah non
kolesterol HDL setelah kolesterol LDL terkoreksi.
Gemfibrozil memperbaiki profil lipid + dapat menurunkan risiko
kardiovaskular.
Fenofibrat secara khusus digunakan untuk menurunkan trigliserida,
meningkatkan kolesterol HDL, dan menurunkan konsentrasi fibrinogen.
Kombinasi fenofibrat dan statin memperbaiki konsentrasi trigliserida, kolesterol
HDL dan LDL.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mescher AL. Junqueira's basic histology: text and atlas. McGraw-Hill Education; 2018.
2. Jameson JL. Harrison's principles of internal medicine 20th ed. McGraw-Hill Education; 2018.
3. Murphy R, O'Neill R. Crash Course Endocrinology E-Book. Elsevier Health Sciences; 2012 Jul 30.
4. Appleton A, Vanbergen O. Crash Course: Metabolism and Nutrition E-Book. Elsevier Health Sciences;
2012 Aug 21.
5. Purnamasari D. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi Ke-6. Jakarta: Papdi. 2014.
6. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Kapita selekta kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.
2014:329-0.
7. Perkeni. Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia (The Consensus
of Control and Prevention of Type 2 Diabetes Mellitus). Jakarta: Perkeni (Indonesian Society of
Endocrinology). 2015.
8. Perkeni. Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia (The Consensus
of Control and Prevention of Type 2 Diabetes Mellitus). Jakarta: Perkeni (Indonesian Society of
Endocrinology). 2015.
9. Bello MO, Garla VV. Gigantism And Acromegaly. 2019
10. Elshimy G, Alghoula F, Jeong JM. Adrenal crisis. 2019
IPD –
PULMONOLOGI
Asma Bonkial (4A)
A. Definisi
Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran napas yang
menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang ditandai dengan
gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak napas, dan rasa berat di dada terutama
pada malam dan atau dini hari yang umumnya bersifat reversibel baik dengan atau tanpa
pengobatan.
B. Faktor Risiko
D. Diagnosis
1. Riwayat Gejala Pernapasan yang Bervariasi
Biasanya lebih dari 1 gejala
Gejala terjadi bervariasi dari waktu ke waktu dan intensitasnya
Gejala memberat pada malam hari atau saat bangun di pagi hari
Gejala terjadi atau memberat dengan infeksi virus.
2. Bukti Limitasi Aliran Napas Ekspirasi yang Bervariasi
Minimal 1x didapatkan FEV1/FVC di bawah normal.
Variasi pada fungsi paru lebih besar dari populasi normal:
- FEV1 meningkat >200 mL dan >12% nilai dasar setelah pemberian
bronkodilator uji reversibilitas bronkodilator signifikan.
- Variabilitas PEF harian >10%
- FEV1 meningkat >12% dan 200 mL nilai dasar setelah 4 minggu pemberian
NSAID.
Note:
FEV1: jumlah udara yang dikeluarkan maksimal dalam 1 detik.
FVC: total udara yang dikeluarkan selama pemeriksaan.
E. Klasifikasi
Asma saat tanpa serangan dapat diklasifikasikan menjadi intermitten, persisten ringan,
persisten sedang, dan persisten berat.
F. Tatalaksana
1. Serangan Akut
Pada serangan asma obat-obat yang digunakan adalah:
Bronkodilator (β2 agonis kerja cepat (SABA) dan ipratropium bromida)
Kortikosteroid sistemik
2. Jangka Panjang
Reliever (Obat Pelega): obat saat serangan asma.
Controller (Obat Pengontrol):
- Inhalasi kortikosteroid (ICS) - Antileukotrien
- β2 agonis kerja panjang - Teofilin lepas lambat
3. Nonfarmakologis
Berhenti merokok dan hindari paparan rokok
Aktivitas fisik: senam asma
Hindari paparan allergen
Memulai pengobatan asma:
Sebagian besar pasien diawali dengan Step 2: ICS dosis rendah, atau ICS-formoterol
dosis rendah saat dibutuhkan (jika tidak tersedia, ICS dosis rendah tiap SABA
digunakan).
Diawali Step 3 jika pada pemeriksaan awal, pasien memiliki gejala asma yang
mengganggu hampir setiap hari, atau terbangun karena asma >1 kali/minggu. Diberikan
ICS-LABA (β2 agonis kerja panjang) dosis rendah atau ICS dosis sedang.
Diawali Step 4 pasien memiliki asma berat yang tidak terkontrol atau datang saat
serangan akut. Diberikan ICS-LABA dosis sedang dan kortikosteroid oral jangka
pendek.
Step 1 direkomendasikan untuk:
- Pasien dengan gejala < 2 kali/bulan dan tidak ada faktor risiko eksaserbasi.
- Step down untuk pasien Step 2 yang sudah terkontrol.
G. Evaluasi
Nilai kembali kondisi pasien setelah 2-3 bulan.
Pertimbangkan step down atau step up setelah menilai kembali kondisi pasien dalam
3 bulan.
Step up jangka pendek (1-2 minggu) jika mengalami infeksi virus atau paparan
allergen.
Evaluasi:
Tingkatkan dosis controller selama 2-4 mingggu untuk mengurangi risiko serangan asma
berikutnya. Reliever diberikan jika dibutuhkan.
Pasien diperiksa kembali dalam 2-7 hari setelah serangan asma.
Bronkitis Akut (4A)
A. Definisi
Inflamasi dari saluran pernapasan besar (bronkus) dari paru.
B. Etiologi
Infeksi: terutama virus (paling sering, bersifat self-limiting), bakteri (jarang)
Alergen, iritan (asap rokok, polusi udara, debu)
D. Pemeriksaan Penunjang
Tanda-tanda vital: nadi, suhu, respirasi, saturasi oksigen jika normal tidak perlu
pemeriksaan penunjang lanjutan.
Rontgen thorax: tidak spesifik dan biasanya normal. Diperiksa jika: nadi
>100/menit, respirasi >24/menit, suhu 38°C.
Darah lengkap jika demam. Leukosit bisa meningkat, bisa terdapat tanda
dehidrasi.
E. Tatalaksana
Biasanya bersifat self-limiting dan hanya simtomatik dan suportif.
Antitusif: dextromethorphan, kodein, guaiafenesin.
Jika terdapat mengi β-agonis
Analgesik dan antipiretik
Prednisone atau steroid lain jangka pendek pada pasien dengan penyakit penyerta
seperti PPOK atau asma.
Penggunaan rutin antibiotik tidak disarankan.
Perubahan gaya hidup: berhenti merokok, hindari alergen dan polutan.
Vaksin flu dan pneumonia terutama direkomendasikan pada kelompok usia >65
tahun, anak <2 tahun, wanita hamil.
F. Resep
R/ Guaiafenesin 100 mg tab No. X
S 3 dd tab I
R/ Paracetamol 500 mg tab No. X
S 3 dd tab I
Bronkiektasis (3A)
A. Definisi
Dilatasi bronkus yang bersifat abnormal dan permanen.
B. Etiologi
Bronkiektasis fokal: obstruksi jalur napas
- Ekstrinsik: kompresi akibat limfadenopati atau massa tumor.
- Intrinsik: tumor saluran napas, benda asing, scarring saluran napas, atresia
kongeital.
Bronkiektasis difus: penyakit sistemik atau infeksi.
C. Tanda dan Gejala
Batuk produktif dengan sputum mukoid, mukopurulen, kental, atau campuran
ketiganya (sputum tiga lapis). Bisa juga batuk berdarah.
Sesak, mengi, demam, nyeri ada pleuritik.
Riwayat keluhan yang kronik.
Pemeriksaan fisik: crackles dan wheezing saat auskultasi, bisa didapatkan clubbing
jari-jari.
D. Pemeriksaan Penunjang
Rontgen toraks: gambaran seperti jalur tram, cincin lusen (honey comb appearance),
garis paralel, dan struktur tublular.
Nonfarmakologis
Bedah: jika reseksi pada region paru local atau embolisasi pada lesi luas.
B. Etiologi
1. Faktor Risiko Prenatal
Kurangnya pemberian steroid Hipoksia
antenatal Infesi maternal
Ibu perokok Genetik
Hipertensi dalam kehamilan Kelainan kongenital
2. Faktor Risiko Postnatal
Paru yang belum matang
Nutrisi yang buruk
Penggunaan ventilasi mekanik
Injury akibat oksigen
Infeksi atau sepsis
B. Klasifikasi
Karsinoma keganasan paru yang berasal dari epitel. Dibagi menjadi:
- Small cell lung cancer (SCLC) prognosis buruk dan lebih sering metastasis
- Non small cell lung cancer (NSCLC)
Metastasis dari kanker lainnya.
C. Faktor Risiko
Merokok, paparan terhadap berbagai agen tertentu.
E. Pemeriksaan Penunjang
Rontgen toraks: menilai karakteristik parenkim tumor, mendeteksi ateletaksis atau
efusi pleura. Gambaran khas metastasis: nodul multipel berbagai ukuran menyerupai
koin (coin lesion).
CT Scan atau MRI: menentukan stadium dan metastasis.
PET-Scan: menilai metastasis jauh.
Pemeriksaan histopatologi.
Coin Lesion
Pneumonia (4A)
A. Definisi
Infeksi dari parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolous
respiratorius dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan
pertukaran gas.
B. Klasifikasi
1. Community Acquired Pneumonia
Pasien yang sakit di RS atau <48 jam setelah masuk RS.
2. Hospital Acquired Pneumonia
Terjadi >48 jam setelah dirawat di RS tanpa intubasi.
3. Ventilator Associated Pneumonia
Terjadi >48 jam setelah intubasi endotrakeal atau ventilasi mekanik.
4. Health Care Associated Pneumonia
Terjadi di luar RS namun terdapat kontak dengan sistem perawatan kesehatan.
Terapi IV 30 hari sebelumnya
Tinggal di fasilitas kesehatan jangka panjang
Dirawat di RS 90 hari sebelunya
Pasien rawat jalan atau hemodialisis 30 hari sebelumnya
C. Etiologi
D. Tanda dan Gejala
Trias: batuk, sesak napas, demam tinggi.
Bisa disertai nyeri dada jika melibatkan pleura.
Gejala GI: mual, muntah, diare.
Lemah badan, nyeri kepala, myalgia, arthralgia.
Pemeriksaan Fisik:
- Peningkatan laju pernapasan, penggunaan otot bantu pernapasan.
- Palpasi: penurunan (cairan) atau peningkatan (konsolidasi) taktil fremitus
- Perkusi: dull hingga flat
- Auskultasi: ronki, suara napas bronkial, bisa terdapat pleural friction rub
E. Pemeriksaan Penunjang
Lab: leukositosis (infeksi bakteri), leukosit normal atau menurun (infeksi virus), LED
meningkat, periksa GDS, ureum, kreatinin, SGOT, SGPT, AGD
Rontgen toraks: konsolidasi (terutama pneumonia lobaris) atau bercak infiltrat
Lobar Pneumonia Bronchopneumonia
Mikrobiologi
Pewarnaan gram sputum, kultur sputum, kultur darah, uji resistensi, PCR
F. Tatalaksana
1. Indikasi Rawat Jalan dan Rawat Inap
2. Antibiotik
a. CAP
b. VAP
G. Resep
Untuk kasus CAP rawat jalan:
R/ Clarithromycin 500 mg tab No. X
S 2 dd tab I
R/ Paracetamol 500 mg tab No. XV
S 3 dd tab I prn demam
R/ Ambroxol 30 mg tab No. XV
S 3 dd tab I
B. Faktor Risiko
Penurunan kesadaran, gangguan neurologis, gangguan motilitas esofagus, obstruksi
lambung, prosedur medis yang dilakukan pada saluran napas.
Bakteri terutama basil gram negatif dan bakteri anaerob.
D. Pemeriksaan Penunjang
Lab: AGD menentukan pH dan oksigenasi
Rontgen toraks: infiltrat. Letak tergantung pada posisi saat aspirasi terjadi:
- Lobus bawah posisi tegak
- Lobus atas posisi berbaring
Bronchoscopy: jika tersedak makanan
E. Tatalaksana
Perhatikan posisi pasien head up 45°.
Lakukan suction dan pemasangan NGT.
Pemberian oksigen, intubasi jika diperlukan.
Bronchoscopy fleksibel diindikasikan jika aspirasi dalam jumlah banyak untuk
membersihkan sekret dan pengambilan sampel.
Antibiotik:
- Community acquired aspiration pneumonia: ampicillin sulbactam, clindamycin
jika alergi.
- Hospital acquired aspiration pneumonia: kombinasi vancomycin dan
piperacillin-tazobactam.
b. Poliresistan (TB PR): terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain
Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan.
c. Multi drug resistan (TB MDR): terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R)
secara bersamaan, dengan atau tanpa diikuti resitan OAT lini pertama lainnya.
d. Extensive drug resistan (TB XDR): TB MDR yang sekaligus juga terhadap
salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini
kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin).
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Bakteriologi
a. Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
Untuk menegakkan diagnosis dan keberhasilan pengobatan. 2 sampel uji dahak:
S (Sewaktu): dahak ditampung di fasyankes.
TB aktif:
TB Milier
Jika pasien tidak konversi atau pasien gagal lakukan pemeriksaan dengan tes cepat
molekuler TB, apabila hasilnya resisten rujuk ke RS rujukan MDR dan lakukan
pemeriksaan biakan dan uji kepekaan.
5. Hasil Pengobatan
F. Resep
R/ Rifampicin 450 mg tab No. XXX
S 1 dd tab I
R/ Isoniazid 300 mg tab No. XXX
S 1 dd tab I
R/ Pirazinamid 500 mg tab No. XC
S 1 dd tab III
R/ Ethambutol 250 mg tab No. XC
S I dd tab III
3. Riwayat pengobatan TB yang tidak standar serta menggunakan kuinolon dan obat
injeksi lini kedua paling sedikit selama 1 bulan.
C. Tatalaksana
Pengobatan dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap awal dan tahap lanjutan.
Tahap awal:
- Menggunakan obat suntikan (kanamisin atau kapreomisin) minimal selama 6
bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan.
- Jumlah obat oral yang diberikan dan ditelan minimal 168 dosis dan suntikan
minimal 120 dosis.
Tahap lanjutan:
- Tahap pengobatan setelah selesai pengobatan tahap awal dan pemberian suntikan
dihentikan.
- Obat per oral ditelan selama 6 (enam) hari dalam seminggu
Lama pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan paling sedikit 18 bulan setelah terjadi
konversi biakan.
Note: 1 bulan = 4 minggu = 28 hari.
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Rontgen Toraks
Sudut kostofrenikus tumpul,
perselubungan homogen radioopak
dengan permukaan atas cekung
(Meniscus sign +), jantung dan trakea
terdorong menjauhi sisi yang terkena
efusi.
2. USG Toraks
3. Pungsi Pleura
Analisis cairan pleura tipe eksudat jika memenuhi 1 kriteria:
Protein cairan pleura/serum protein >0,5
LDH cairan pleura/LDH serum >0,6
LDH cairan pleura >200 IU atau 2/3 batas atas nilai normal dalam serum
E. Tatalaksana
Torakosentesis dan memperbaiki penyakit yang mendasari.
Atelektasis (2)
A. Definisi
Kolapsnya sebagian atau seluruh bagian paru sehingga menyebabkan gangguan pertukaran
udara.
B. Etiologi
1. Non-obstruktif:
Kompresi akibat peningkatan tekanan terhadap paru.
Adesi akibat defisiensi atau disfungsi surfaktan.
Pembentukan jaringan parut di paru akibat penyakit kronis.
Hilangnya kontak antara pleura parietal dan visceral (pada pneumotoraks, efusi).
Tergantinya jaringan paru dengan tumor.
2. Obstruktif: tumor intratoraks, sumbatan mukus, benda asing.
3. Postoperatif: akibat efek dari anestesi umum.
4. Rounded: sering pada asbestosis jaringan yang mengalami atelektasis terlipat ke
pleura.
C. Pemeriksaan Penunjang
Lab: polisitemia (hiposia koronis), AGD
Rontgen toraks: gambaran emfisema
- Paru hiperinflasi atau hiperlusen
- Diafragma mendatar
- Corakan bronkovaskuler meningkat
- Jantung pendulum
Mikrobiologi sputum: pemilihan antibiotik bila eksaserbasi.
Spirometri: pengukuran setelah pemberian bronkodilator menunjukkan FEV1/FVC
<0,70 (tanda obstruktif).
D. Klasifikasi
Gejala klinis:
1. Ringan: dengan atau tanpa batuk, dengan atau tanpa produksi sputum sesak napas
derajat 0-1.
2. Sedang: dengan atau tanpa batuk, dengan atau tanpa produksi sputum sesak napas
derajat 2.
3. Berat: sesak napas derajat 3-4 dengan gagal napas kronik, lebih sering terjadi
eksaserbasi disertai komplikasi kor pulmonale atau gagal jantun kanan.
E. Tatalaksana
1. Farmakologis
Obat-obatan pada PPOK: sesuai grup ABCD
a. Bronkodilator
Dianjurkan dalam bentuk inhalasi.
Beta Agonist
- Short Acting Beta Agonist (SABA): salbutamol
- Long Acting Beta Agonist (LABA): formoterol, salmeterol
Muscarinic Antagonist
- Short Acting Muscarinic Antagonist (SAMA): ipratropium, oxitroprium
- Long Acting Muscarinic Antagonist (LAMA): tiotropium, aclidinium,
glycopyrronium bromide, umeclidinum
Methylxanthine: theophylline
b. Anti-inflamasi
ICS: budesonide, fluticasone
Kortikosteroid oral: metilprednisolon atau prednisone
c. Antibiotik: digunakan saat eksaserbasi
d. Mukolitik (ambroxol) dan Antioksidan (N-acetylcysteine)
2. Nonfarmakologis
Berhenti merokok
Vaksinasi: influenza, pneumokokus
Rehabilitasi paru
Operasi paru
C. Klasifikasi
Berdasarkan klinis:
Kriteria Tanpa Gagal Gagal Napas Akut- Gagal Napas Akut-
Napas Tidak Mengancam Mengancam Jiwa
Jiwa
Berdasarkan pengobatan:
Ringan: teratasi dengan SABA
Sedang: teratasi dengan SABA + antibiotik dan/atau kortikosteroid oral
Berat: butuh perawatan di RS
D. Tatalaksana
Nilai keparahan penyakit, AGD, rontgen toraks
Berikan oksigen dan pantau saturasi.
SABA dengan atau tanpa SAMA sebagai tatalaksana awal.
Pertimbangkan LABA jika pasien sudah stabil
Kortikosteroid sistemik oral: 40 mg prednisone/hari selama 5-7 hari.
Antibiotik oral: jika ada indikasi tiga gejala cardinal: sesak memberat, volume
sputum meningkat, sputum purulent. Aminopenicillin+asam klavulanat, macrolide
tetracycline selama 5-7 hari.
Ventilasi mekanik non-invasif merupakan mode ventilasi pertama untuk pasien
PPOK dengan gagal napas akut yang tidak memiliki kontraindikasi absolut.
Edema Paru (3B)
A. Definisi
Akumulasi abnormal dari cairan ekstravaskular di parenkim paru sehingga mengganggu
pertukaran gas di alveolus dan dapat menyebabkan gagal napas.
B. Etiologi
1. Kardiogenik
Karena peningkatan cepat pada tekanan hidrostatik di kapiler paru. Biasanya
disebabkan gangguan pada:
Fungsi sistolik dan diastolik ventrikel kiri: infark miokard, miokarditis akut
Fungsi katup: regurgitasi dan stenosis katup aorta/mitral
Ritme: fibrilasi atrial dengan respon ventrikel cepat, takikardia ventrikel, AV
block.
2. Nonkardiogenik
Disebabkan kerusakan paru sehingga terjadi peningkatan permeabilitas vaskular
akumulasi cairan di alveolus dan intersisial. Contoh: pneumonia, trauma inhalasi,
sepsis, pankreatitis akut, trauma berat dengan syok, transfuse darah berulang.
D. Pemeriksan Penunjang
1. Lab: BNP, troponin, albumin, elektrolit, fungsi ginjal
2. Rontgen toraks:
Kardiogenik: infiltrat sentral, efusi pleura, garis Kerley B, peribronchial cuffing,
pembesaran jantung. (gambar 1 dan 2)
E. Tatalaksana
Diuretik: furosemide
Vasodilator: nitrogliserin (TD harus >110 mmHg)
Inotropik: dobutamine, dopamine jika terdapat tekanan darah rendah dan tanda
hipoperfusi.
Penggunaan ventilator jika kondisi berat.
B. Etiologi
Emboli paru, infeksi, keganasan, operasi, amyloidosis, sickle cell disease, vaskulitis
C. Tanda dan Gejala
Sesak napas, nyeri dada, bengkak ekstremitas bawah, demam, batuk darah.
D. Pemeriksaan Penunjang
Pencitraan: rontgen toraks, CT-Scan
B. Etiologi
Primer: aspirasi, bakteri anaerob
Sekunder: post obstruksi (benda asing atau tumor) atau proses sistemik (infeksi HIV
atau imunokompromais lainnya).
C. Tanda dan Gejala
Demam, batuk, produksi sputum, nyeri dada
Keringat malam, lemah badan, dan anemia sering ditemukan pada abses anaerobik.
Pemeriksaan fisik:
- Febris
- Kesehatan mulut yang kurang dan/atau penyakit gingiva, refleks gag bisa
menghilang
- Nyeri tekan lokal pada dada, perkusi redup, auskultasi penurunan suara napas,
suara napas bronkial, ronki, atau suara amforik
- Jari tabuh
D. Pemeriksaan Penunjang
Lab:
- Leukosit dapat meningkat, dominan PMN, bila abses lama bisa ditemukan
anemia dan peningkatan LED.
- Pemeriksaan dahak dari aspirasi transtrakeal, transtorakal, torakosintesis, atau
bilas bronkus (tidak biasa dilakukan)
- Kultur darah
Pencitraan
- Rontgen toraks: gambaran
radiolusen dalam bayangan
infiltrat yang padat, air fluid
level (+)
- CT-Scan
Bronkoskopi
Aspirasi jarum perkutan
E. Tatalaksana
Abses primer:
- Klindamisin (600 mg IV 3x/hari, lalu setelah klinis membaik diganti dengan
300 mg PO 4x/hari).
- Β-lactam dengan kombinasi B-lactamase IV, lalu setelah klinis membaik
diganti dengan amoxicillin-clavulanate.
Abses sekunder: sesuai dengan patogen penyebab.
Jika tidak respon antibiotik operasi reseksi atau drainase perkutan.
Emboli Paru (1)
A. Definisi
Keadaan terjadinya obstruksi sebagian atau total sirkulasi arteri pulmonalis atau cabangnya
akibat tersangkutnya emboli.
B. Etiologi
Trombus pada pembuluh darah, umumnya dari pembuluh vena di tungkai bawah atau jantung
kanan.
D. Pemeriksaan Penunjang
Lab: peningkatan fibrinogen degradation product, AGD hipoksemia.
EKG:
- Strain ventrikel kanan: T inversi precordial kanan.
- rS atau RS pada V1 sampai V5/V6 dan qR pada V1 dan V2.
- Tanda klasik: S1Q3 atau S1Q3T3, QR pada aVF dan III, elevasi ST
- RBBB
- Gelombang P pulmonal pada II, III, aVF
Rontgen toraks:
- Tanda Westermark hiperlusen paru
- Tanda Hampton’s hump densitas
bulat dengan batas tidak jelas di atas
diafragma
Sidikan paru perfusi dan ventilasi
Angiografi paru
D. Pemeriksaan Penunjang
Uji keringat: peningkatan kadar dari klorida.
Rontgen toraks: hiperinflasi, diafragma
mendatar, bronkiektasis, atelektasis, perubahan
kista, bisa terlihat seperti nodul.
Uji faal paru: gambaran obstruktif.
Pemeriksaan genetik
Bronchoalveolar lavage: peningkatan
neutrofil, pemeriksaan mikrobiologi.
Tumor Mediastinum (2)
A. Definisi
Sebagian besar adalah metastasis dari tempat lain, limfoma, tumor neurogenik, teratoma,
timoma, dan lipoma.
B. Klasifikasi
C. Tanda dan Gejala
Suara serak: tumor menekan N. laringeus.
Superior vena kava sindrom: edema daerah muka dan lengan akibat penekanan
vena kava superior.
Nyeri torak lokal invasi tumor ke dinding toraks.
Batuk, batuk darah, sesak
Regurgitasi, refluks, disfagia, odinofagia kelainan esophagus.
D. Pemeriksaan Penunjang
Rontgen toraks anterior, lateral, oblik
CT-Scan
Mediastinoskopi
Pemeriksaan histopatologi
Pneumokoniosis (2)
A. Definisi
Penyakit parenkim paru yang disebabkan oleh inhalasi debu (biasanya inorganic) akibat
pekerjaan.
B. Etiologi
Debu mineral: asbes, silika, batu bara
Debu metal: berilium, nikel, kobalt, aluminium
Gas inorganik: karbon monoksida, klorin, nitrogen oksida
C. Pemeriksaan Penunjang
Pencitraan: foto toraks, CT-Scan
Uji faal paru
Pemeriksaan histopatologis
D. Jenis
1. Asbestosis:
Gejala: sesak napas, batuk tidak
produktif
Pemeriksaan fisik: ronki basah di basal
kedua paru, jari tabuh.
Rontgen toraks: gambaran garis-garis
opasitas kecil di basis paru dan dapat
meluas sampai pleura.
2. Silikosis
Dibagi menjadi
- Silokosis simpel: biasanya asimtomatik, batuk, sesak napas, kelainan faal
paru tipe restriktif.
- Silikosis kompleks: penyakit mengalami progresivitas atau menderita
infeksi tuberkulosis atau jamur, nodul dapat bergabung menjadi satu
(membentuk massa fibrosis yang besar), kelainan faal paru tipe restriktif
dan obstuktif.
Rontgen toraks: konsolidasi bilateral dan/atau ground-glass opacities yang
sering muncul di perihilar (eggshell calcification).
B. Etiologi
Inhalasi debu inorganik, organik, gas beracun, iritan
Penyakit autoimun
Obat
Idiopatik: fibrosis paru idiopatik, sarkoidosis, pneumonitis hipersensitivitas
D. Pemeriksaan Penunjang
Lab: anemia (pada SLE), eosinophilia (akibat obat), fungsi hati, ginjal, serologi.
Rontgen toraks: pola reticular, infiltrat di perifer paru
CT-Scan
DAFTAR PUSTAKA
1. Jameson JL. Harrison's principles of internal medicine 20th ed. McGraw-Hill Education;
2018.
2. Purnamasari D. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi Ke-6. Jakarta: Papdi. 2014.
3. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Kapita selekta kedokteran. Jakarta: Media
Aesculapius. 2014:329-0.
4. Bousquet J, Clark TJ, Hurd S, Khaltaev N, Lenfant C, O'byrne P, Sheffer A. GINA
guidelines on asthma and beyond. Allergy. 2020.
5. Fromer L, Cooper CB. A review of the GOLD guidelines for the diagnosis and treatment
of patients with COPD. International journal of clinical practice. 2020.
6. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan asma di
Indonesia. Jakarta: PDPI. 2008.
7. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. PPOK Pedoman Diagnosa dan Penatalaksanaan di
Indonesia. 2008.
8. Grott K, Dunlap JD. Atelectasis. InStatPearls [Internet] 2019. StatPearls Publishing.
9. Malek R, Soupi S. Pulmonary Edema. InStatPearls [Internet] 2019. StatPearls
Publishing.
10. Emerling A, Cook J. Pulmonary Infarction. InStatPearls [Internet] 2020 Jan 23.
StatPearls Publishing.
11. DeLight N, Sachs H. Pneumoconiosis. InStatPearls [Internet] 2020 Mar 24. StatPearls
Publishing.
12. Antoine M, Mlika M. Interstitial Lung Disease. 2019. StatPearls Publishing.
IPD –
GASTROENTEROHEPAT
OLOGI
GASTRITIS (4A)
A. Definisi
Proses inflamasi pada mukosa dan submukosa lambung.
D. Pemeriksaan Penunjang
Endoskopi: identifikasi kelainan struktural dan mukosa dan pengambilan biopsi
jaringan.
Urease breath test: gold standard untuk pemeriksaan H. pylori.
USG: menilai kelainan pankreatobilier.
Pencitraan: melihat kelainan struktur mukosa atau adanya massa.
E. Tatalaksana
Infeksi H. pylori
Obat 1 Obat 2 Obat 3 Obat 4 Durasi
Lini Pertama
Simtomatik
Bila prevalensi infesi H. pylori rendah, pasien dengan H. pylori negatif dapat
diberikan:
- PPI dosis standar 1x sehari selama 4-8 minggu.
- Obat lain: ARH2 (contoh: ranitidine), sitoproteksi (contoh: sucralfat), prokinetik
(metoklopramid, domperidone).
F. Resep
R/ Omeprazole 20 mg tab No. X
S 1 dd tab I
Atau
R/ Ranitidine 150 mg tab No. XX
S 2 dd tab I
Bila mual muntah:
R/ Domperidone 10 mg tab No. XV
S 3 dd tab I
B. Klasifikasi
1. Berdasarkan durasi:
Akut: <14 hari
Kronis: >14 hari
2. Berdasarkan mekanisme:
Diare osmotik:
- Makanan tidak diabsorpsi dengan baik di usus halus tekanan osmotik
intralumen meningkat menarik cairan plasma ke lumen.
- Etiologi: intoleransi laktosa, konsumsi laksatif atau antasida yang
mengandung magnesium.
Diare sekretorik:
- Gangguan transpor elektrolit dan cairan melewati mukosa enterokolon
sekresi berlebih dan absorpsi berkurang.
- Etiologi: toksin bakteri (contoh: kolera), penggunaan laksatif non-osmotik,
penyakit mukosa usus.
Diare invasif:
- Inflamasi dan kerusakan mukosa usus.
- Etiologi: infeksi bakteri yang bersifat invasif (contoh: C. jejuni, Shigella,
Salmonella, amoeba) atau non-infeksi (inflammatory bowel disease, radiasi).
C. Etiologi
Paling banyak disebabkan oleh infeksi.
Infeksi Non-infeksi
D. Tanda dan Gejala
Berasarkan lokasi anatomis infeksi:
- Usus halus: biasanya tidak invasif, banyak, cair, berhubungan dengan
malabsorpsi.
- Usus besar: biasanya invasif, frekuensi sangat meningkat, disertai lendir dan
darah segar, nyeri perut.
Gejala lain: mual, muntah (paling sering infeksi virus), demam, tenesmus.
Pemeriksaan fisik:
- Nilai tanda dehidrasi: kesadaran, denyut jantung, pernapasan, mata
cekung/tidak, air mata, mukosa mulut dan lidah, turgor kulit, CRT, ekstremitas,
output urin.
- Abdomen: nyeri tekan, defans muskular.
E. Pemeriksaan Penunjang
Feses rutin, kultur feses
Pemeriksaan darah, urin, ureum, kreatinin, elektrolit, gula darah
F. Tatalaksana
1. Rehidrasi
Oral: dehidrasi ringan dan bisa minum. Menggunakan oralit.
Enteral: dengan NGT bila terus-menerus muntah.
Parenteral: dengan dehidrasi sedang-berat atau komplikasi lain.
2. Nutrisi
Dimulai 4 jam setelah rehidrasi. Diberikan dalam small and frequent feeding.
3. Simtomatik
a. Antimotilitas: loperamide 4 mg dosis awal lalu dilanjutkan 2 mg tiap diare
tidak diberikan pada diare berdarah atau diare invasif (demam, nyeri perut hebat)
b. Antisekretorik: bismuth subsalisilat untuk anak-anak.
c. Pengeras feses:
Attapulgit 2 tab 630 mg tiap diare.
Smektit 9 g/24 jam dibagi dalam 3 dosis.
Kaolin-pektin
4. Antibiotik
Indikasi:
Traveller’s diarrhea Sindrom disentri
Patogen telah berhasil Pasien usia lanjut
diketahui Imunokomproais
Analisis feses menunjukkan Sepsis
tanda inflamasi
G. Resep
R/ Loperamide 2 mg tab No. XX
S prn tab 1 (jika mencret)
Atau
R/ Attapulgit 630 mg tab No. XX
S prn tab 2 (jika mencret)
R/ Oralit sch No. VI
S ad lib (jika mencret)
D. Pemeriksaan Penunjang
Endoskopi: ditemukan mucosal break (erosi atau eritema berbatas tegas). Esofagus
Barret: lidah mukosa kemerahan dimulai dari daerah gastroesophageal junction ke
arah proksimal.
Pemeriksaan histopatologi: Esofagus Barret terlihat sebagai metaplasia kolumnar
intestinal dengan atau tanpa displasia.
Esofagografi dengan barium enema: menilai striktur atau adanya hiatus hernia.
Pemantauan pH 24 jam: pengukuran pH pada esophagus bagian distal. Positif bila
pH <4 pada jarak 5 cm di atas LES.
E. Tatalaksana
1. Modifikasi Gaya Hidup
Meninggikan posisi kepala saat tidur dan menghindari makan sebelum tidur.
Berhenti merokok dan konsumsi alcohol (karena menurunkan tonus).
Mengurangi konsumsi lemak serta jumlah makanan yang dimakan.
Menurunkan berat badan pada pasien kegemukan.
Menghindari makanan/minuman seperti coklat, teh, peppermint, kopi, minuman
bersoda (dapat menstimulasi sekresi asam).
Hindari obat yang menurunkan tonus LES
2. Farmakologis
PPI: pilihan utama. Terapi diberikan 2x/hari. Jika membaik bisa diturunkan
1x/hari.
Antagonis reseptor H2: ranitidine, simetidine, farmotidine, nizatidine. Efektif
jika diberikan dosis 2 kali lebih tinggi, hanya efektif untuk derajat ringan-sedang
tanpa komplikasi.
Prokinetik: metoklopramid, domperidon.
Antasida: sebagai penetral asam lambung.
H. Resep
R/ Omeprazole 20 mg tab No. XX
S 2 dd tab I
Atau
R/ Ranitidine 150 mg tab No. XL
S 4 dd tab I
Bila mual muntah:
R/ Domperidone 10 mg tab No. XV
S 3 dd tab I
B. Etiologi
Infeksi H. pylori
Penggunaan NSAID
Infeksi herpes simpleks, CMV, tuberculosis
Obat: klopidogrel, kortikosteroid, bifosfonat, kokain, HCl
Serosis hepatis, penyakit Crohn, gagal ginjal kronis, trauma, stress akibat operasi
Stres psikologis
D. Pemeriksaan Penunjang
Esofagogastroduodenoskopi: visualisasi mukosa gastroduodenum dan pengambilan
biopsi.
Barium kontras ganda (kurang sensitif)
Pemeriksaan untuk H. pylori
E. Tatalaksana
1. Jika H. pylori berikan terapi eradikasi sesuai untuk H. pylori
2. Hentikan penggunaan NSAID
3. Obat:
ARH2 + antasida: supresi asam lambung
Sukralfat: membentuk barrier pelindung untuk mukosa
PPI
4. Pembedahan jika terapi farmakologis gagal
C. Pemeriksaan Penunjang
Darah perifer: leukopenia/leukositosis/normal, anemia ringan, trombositopenia,
peningkatan LED, peningkatan SGOT/SGPT
Uji Widal: titer antibodi O >1:320 atau antibodi antibodi H >1:160.
Uji Tubex: deteksi antibodi semikuantitatif
Uji Typhidot: deteksi IgM dan IgG
Uji IgM dipstick
Kultur darah
D. Tatalaksana
1. Istirahat dan perawatan: tirah baring, menjaga kebersihan
2. Diet lunak dan terapi suportif (antipiretik, antiemetik, cairan yang adekuat)
3. Antibiotik
Kloramfenikol 4x500 mg/hari hingga 7 hari bebas demam
Tiamfenikol 4x500 mg
Kotrimoksazol 2x960 mg selama 2 minggu
Ampisilin dan amoksisilin: 50-150 mg/kgB selama 2 minggu
Sefalosporin generasi ketiga: seftriakson 3-4 gram 1x/hari selama 3-5 hari.
Fluorokuinolon
Azitromisin: 2x500 mg
4. Kortikosteroid
Hanya pada toksik tifoid atau syok septik dexametason 3x5 mg.
E. Resep
R/ Kloramfenikol 500 mg tab No. XXC
S 4 dd tab I
R/ Paracetamol 500 mg tab No. XXX
S 3 dd tab I
Bila mual muntah:
R/ Ranitidine 150 mg tab No. X
S 2 dd tab I
R/ Domperidone 10 mg tab No. XV
S 3 dd tab I
Klasifikasi
Perdarahan Saluran Makan Bagian Atas (PSMBA)
A. Definisi
Perdarahan saluran makanan proksimal dari ligamentum Treitz.
B. Etiologi
Pecahnya varises esophagus
Ulkus peptikum
Gastopati kongestif
Keganasan
C. Tanda dan Gejala
Hematemesis berwarna hitam atau merah gelap dengan gumpalan darah.
Melena: BAB hitam seperti ter.
Stigmata penyakit hati kronik
Bisa terjadi syok: hipotensi, nadi lemah, akral dingin.
Pantau adanya penurunan kesadaran dan produksi urin.
D. Pemeriksaan Penunjang
Lab: pemeriksaan darah lengkap
Endoskopi: diagnostik dan terapeutik
Radiografi dengan barium
Perdarahan Saluran Makan Bagian Bawah (PSMBB)
A. Definisi
Perdarahan saluran makanan distal dari ligamentum Treitz.
B. Etiologi
Hemoroid, polip kolon, kanker kolon, kolitis, infeksi, diverticular Meckel, intususepsi,
hipertensi portal varises di ileukolon dan anorektal, ulkus rektal atau sekum.
C. Tanda dan Gejala
Hematokezia: darah segar yang keluar melalui anus.
Nyeri abdomen atau diare kolitis atau neoplasma
Keganasan: penurunan berat badan, anoreksia, limfadenopati
D. Pemeriksaan Penunjang
Kolonoskopi
Angiografi
Barium enema
B. Etiologi
Defisiensi enzim atau adanya gangguan pada mukosa usus.
C. Tanda dan Gejala
Diare kronis, feses cair
Jika malabsorpsi lemak feses berminyak (steatorea)
D. Pemeriksaan Penunjang
Darah: anemia/tidak, defisiensi Fe akibat malabosrpsi Fe, jika MCV tinggi
defisiensi folat atau vitamin B12, fungsi pankreas
Pemeriksaan lemak feses (fecal fat)
Radiologi: rontgen polos abdomen atau USG abdomen
Esofagogastroduodenoskopi
Histopatologi
E. Tatalaksana
Pembatasan nutrisi, suplementasi vitamin dan mineral, suplementasi enzim
pankeas
Obat: antidiare, kortikosteroid, antibiotik disesuaikan dengan kondisi pasien
B. Definisi
1. Infeksi
2. Non-infeksi
a. Bahan kimia beracun: pestisida, timah, merkuri, dan cadmium
b. Toksin dari tanaman: jamur, singkong, kentang hijau
D. Pemeriksaan Penunjang
Sama seperti pada diare akut.
E. Tatalaksana
Menangani racun penyebab: mengurangi absorbsi racun dari saluran cerna
tablet karbon aktif, susu (jika tidak diare)
Simtomatik dan suportif: mengontrol keseimbangan cairan tubuh dan nutrisi,
cairan infus, pemberian obat simtomatik.
BOTULISME (3B)
A. Definisi
Penyakit neuroparalitik yang disebabkan oleh toksin botulinum.
B. Etiologi
Toksin botunium dihasilkan oleh 4 spesies clostridia: Clostridium botulinum, Clostridium
argentinense, Clostridium baratii, dan Clostridium butyricum. Penyebaran:
Makanan yang terkontaminasi (makanan kaleng)
Luka yang terkontaminasi
Kolonisasi Clostridium di usus halus yang menghasilkan toksin
Inhalasi
Bioterorisme
D. Pemeriksaan Penunjang
Deteksi toksin pada sampel serum, feses, aspirasi lambung, atau sampel makanan.
Kultur luka
E. Tatalaksana
Antitoksin botulinum
Perawatan intensif
Jika disebabkan oleh luka perawatan luka
HEPATITIS A (4A)
A. Definisi
Infeksi virus hepatitis A pada hati yang bersifat akut.
B. Transmisi
Penyebaran terjadi secara fekal-oral.
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Serologi
IgM anti-HAV (+): infeksi akut
IgG anti-HAV (+): infeksi lampau
2. Biokimia hati: peningkatan SGOT, SGPT, bilirubin. Alkalin fosfatase normal atau
meningkat sedikit.
3. USG abdomen: menilai penyakit penyerta batu empedu.
E. Tatalaksana
1. Farmakologis
Simtomatik: analgetik, antiemetik, antipruritus.
2. Nonfarmakologis
Dukungan asupan kalori dan cairan adekuat.
Hindari konsumsi alkohol dan obat-obatan yang terakumulasi di hati.
Tirah baring setidaknya sampai setelah 10 hari dari onset ikterik.
Indikasi rawat inap: muntah hebat, dehidrasi, gagal hati akut
F. Resep
R/ Paracetamol 500 mg tab No. XX
S 3 dd tab I
R/ Domperidone 10 mg tab No. XX
S 3 dd tab I
HEPATITIS B (3A)
A. Definisi
Infeksi virus hepatitis B pada hati yang bersifat akut atau kronis.
B. Transmisi
Infeksi perinatal
Kontak langsung cairan tubuh: darah, saliva, cairan serebrospinal, cairan
peritoneum, cairan pleura, cairan amnion, semen, cairan vagina.
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Serologi
HBsAg Anti-HBs Anti-HBc HBeAg Anti-HBe DNA-HBV
Akut + - IgM + - +
Imunisasi - + - - - -
Kronis + - IgG + - +
HBeAg
(+)
Kronis + - IgG - + +/-
HBeAg (-)
E. Tatalaksana
1. Hepatitis B Akut
Suportif: tirah baring, nutrisi dan cairan adekuat
Komplikasi hepatitis fulminant lamivudine 100-150 mg/hari hingga 3 bulan
setelah serokonversi atau setelah muncul anti-HBe pada pasien HBsAg positif
2. Hepatitis B Kronis
Indikasi pengobatan:
- Penyakit hati yang aktif (SGPT >2 dalam 2 kali pengukuran selang minimal
1 bulan)
- Biopsi hati menunjukkan kerusakan yang signifikan.
Modalitas terapi: pegylated-interferon (peg-IFN), analog nukleosida
(lamivudine, telbivudin, entecavir), analog nukleotida (adefovir, tenefovir).
HEPATITIS C (2)
A. Definisi
Infeksi virus hepatitis C pada hati yang umumnya bersifat kronis.
B. Transmisi
Seperti hepatitis B
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Serologi
Anti- HCV RNA Interpretasi
HCV
+ - Resolusi
- - Tidak terinfeksi
2. Biokimia Hati
Serum SGPT >10x batas atas normal tanpa riwayat penyebab lain. Pemeriksaan
lain: SGOT, alkalin fosfatase, bilirubin, albumin, globulin, waktu protrombin.
ABSES HEPAR AMOEBA (3A)
A. Definisi
Penimbunan atau akumulasi debris nekro-inflamatori purulen di dalam parenkim hati
yang disebabkan oleh amoeba, terutama Entamoeba hystolitica.
B. Patogenesis
Infeksi umumnya dimulai di kolon karena tertelan kista akibat air atau sayur yang
tekontaminasi kisa ruptur tropozoit metakistik menyebar ke hati melalui vena
porta.
D. Pemeriksaan Penunjang
Lab:
- Leukositosis, peningkatan alkalin fosfatase, SGOT SGPT, bilirubin,
peningkatan LED.
- Uji serologis
Pencitraan:
- USG: lesi hipoekoik dengan internal echoes.
- CT-scan: mendiagnosis abses yang lebih kecil.
Mikrobiologi: kultur hasil cairan aspirasi (gold standard).
E. Tatalaksana
1. Farmakologis: metronidazole 3x750 mg PO selama 7-10 hari.
2. Aspirasi jarum perkutan
3. Drainase perkutan abses
PERLEMAKAN HEPAR (3A)
A. Definisi
Akumulasi trigliserida dan jenis lemak lainnya di hepatosit hingga lebih dari 5% dari
seluruh berat hati.
B. Klasifikasi
1. Alcoholic Liver Disease (ALD)
Konsekuensi awal dan reversible dari konsumsi alkohol yang berlebihan.
2. Non-Alcoholic Liver Disease (NALD)
Seluruh spektrum penyakit perlemakan hati tanpa konsumsi alkohol yang
signifikan, dimulai perlemakan hati sederhana (simple steatosis),
steatohepatosis non alkoholik (NASH), fibrosis hati, dan sirosis hati.
Faktor risiko: sindrom metabolik
D. Pemeriksaan Penunjang
Lab:
- Kadar insulin dan gula darah puasa, hiperlipidemia, saturasi transferin
- Peningkatan kadar SGOT dan SGPT
Pencitraan
- USG:
o ALD: gambaran ekogenik yang difus
o NAFLD: hiperekogenik
- CT-Scan: untuk memantau perjalanan penyakit
Pemeriksaan histopatologi baku emas. Terlihat akumulasi droplet emak.
E. Tatalaksana
ALD: Berhenti konsumsi alkohol dan diet yang adekuat.
NALD:
- Penurunan berat badan hingga 10%
- Jangan konsumsi alkohol
- Vitamin E 800 IU/hari
- Asam lemak omega 3
- Statin untuk tatalaksana dislipidemia
Olahraga minimal 20 menit 5-7 kali seminggu.
Tiazolidindion mengurangi inflamasi di hati.
SIROSIS HEPATIS (2)
A. Definisi
Perubahan arsitektur jaringan yang ditandai dengan regenerasi nodular yang bersifat difus
dan dikelilingi oleh septa-septa fibrosis peningkatan aliran darah portal, disfungsi
sintesis hepatosit, serta meningkatkan risikokarsinoma hepatoseluler.
B. Etiologi
Seluruh penyakit hati yang bersifat kronis: paling sering hepatitis B kronis, hepatitis C
kronis, konsumsi alkohol.
Stigmata sirosis:
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Lab
2. USG, CT-Scan/MRI: deteksi nodul hati atau tanda hipertensi portal.
3. Esofagogastrodudenoskopi: deteksi varises esofagus.
4. Pemeriksaan histopatologi: gold standard.
E. Tatalaksana
1. Umum
a. Farmakologis:
Sesuai etiologi
Terapi defisiensi besi zink sulfat 2x200 mg PO
Antipruritus: antihistamin, agen topikal
b. Nonfarmakologis:
Diet seimbang 35-40 kkal/kgbb dengan protein 1,2-1,5 g/kgbb/hari
Aktivitas fisik
Stop konsumsi alkohol dan merokok
Pembatasan obat-obatan hepatotoksik
2. Sirosis Dekompensata
a. Sesuai Manifestasi Klinis
Hipertensi porta dan varises esophagus bisa ruptur menyebabkan
PSMBA hematemesis melena. Terapi: somatostatin, endoskopi,
bedah.
Asites: restriksi garam, spironolakton dan furosemide, parasentesis.
Peritonitis bakterialis spontan: antibiotik spektrum luas.
Ensefalopati hepatikum: pemberian laktulosa, suplementasi asam amino
rantai bercabang, diet rendah asam amino lisin, metionin, triptofan.
Koagulopati dan gangguan hematologi: pertimbangkan transfusi.
b. Atasi Faktor Pencetus: sepsis, hipotensi, penggunaan obat
c. Transplantasi Hati
F. Derajat
B. Klasifikasi
1. Akut (Fulminant)
Ensefalopati hepatiku terjadi dalam 2-3 minggu sejak gejala pertama dari
insufisiensi hati.
Etiologi: paling banyak overdosis parasetamol dan infeksi virus.
Manifestasi klinis: ensefalopati hepatikum, ikterik (kecuali disebabkan
sindrom Reye), nyeri pada perut kanan atas, mual muntah, malaise,
pembengkakan perut, hepatomegali pada fase awal
Ensefalopati hepatikum terjadi karena hati gagal mengeliminasi produk
toksik dari bakteri di usus bekerja sebagai transmitter palsu gangguan
sistem saraf pusat.
2. Kronik
Kapasitas fungsional hati tidak dapat mempertahankan kondisi fisiologis
normal.
Gejala klinis mirip dengan sirosis.
Etiologi: infeksi, penyakit vaskular hati
C. Pemeriksaan Penunjang
Lab: darah rutin, SGOT, SGPT, bilirubin, fungsi ginjal, panel metabolik,
serologi virus, skrining toksikologi, penanda autoimun, AGD.
USG, CT-Scan: melihat penyakit hati yang mendasari, melihat adanya sirosis.
B. Etiologi
Karsinogen kimia
Hepatitis: paling sering infeksi hepatitis B dan C
Hemokromatosis, Wilson’s disease, defisiensi antitripsin alfa 1.
D. Pemeriksaan Penunjang
USG abdomen, CT-Scan, MRI.
KOLELITIASIS (2)
A. Definisi
Deposit kristal empedu yang ditemukan di dalam kantung empedu.
B. Faktor Risiko
Obesitas, penurunan berat badan yang cepat pada pasien obesitas, usia menengah ke atas,
wanita, penggunaan kontrasepsi oral, penyakit di kantung empedu, pankreas, atau usus,
kadar HDL yang rendah dan hipertrigliseridemia, genetik
D. Pemeriksaan Penunjang
USG: posterior acoustic shadow dari opasitas pada lumen kantung empedu.
Rontgen polos: deteksi batu yang mengandung kalsium.
Endoskopi atau percutaneous cholangiography
KOLESISTITIS (3B)
A. Definisi
Inflamasi dinding kantung empedu, dapat bersifat akut maupun kronis.
B. Etiologi
Batu empedu
Iskemia kantung kemih (terutama pada pasien penyakit kritis)
Infeksi bakteri atau parasit
Striktur saluran empedu
Neoplasma
D. Pemeriksaan Penunjang
Lab:
- Darah perifer: leukositosis
- Enzim hati: peningkatan alkalin fosfatase, SGOT, SGPT, bilirubin.
- Enzim pankreas: peningkatan kadar serum amilase.
Pencitraan
- USG: dilatasi kantung empedu disertai penebalan dinding dan dikelilingi
oleh edema.
- CT-Scan abdomen: kecurigaan diagnosis lain.
E. Tatalaksana
1. Penanganan Awal: tirah baring, cairan adekuat, tunda asupan per oral, nutrisi
parenteral.
2. Farmakologis: antibiotik, analgesik, antipiretik, antispasmodik bila perlu
3. Pembedahan: dalam 72 jam pertama pada kolesistitis akut.
KOLEDOKOLITIASIS (2)
A. Definisi
Adanya batu empedu pada duktus sistikus.
D. Pemeriksaan Penunjang
Leukositosis, kultur darah biasanya positif.
PANKREATITIS (2)
A. Definisi
Peradangan pankreas yang menyebabkan aktivasi enzim-enzim pankreas di dalam sel-sel
pankreas, sehingga menyebabkan kerusakan jaringan.
B. Etiologi
Obstruksi: batu empedu, askariasis, keganasan, stenosis, striktur
Konsumsi alkohol
Trauma: terutama iatrogenik setelah pembedahan
Metabolik: hipertrigliserideia, hiperkalsemia
Toksin: toksin kalajengking, keracunan organofosfat
Obat
Infeksi
Kelainan kongenital, mutasi genetik
Penyakit vaskular
C. Tanda dan Gejala
Nyeri epigastrium atau bagian tengah yang hebat, akut, persisten, dapat menjalar
ke punggung.
Mual, muntah, gelisah, agitasi
Pemeriksaan fisik:
- Demam, takikardia, syok, atau koma pada kasus berat
- Distensi abdomen (terutama di epigastrium) dan defans muskular
- Dispneu: iritasi diafragma
- Grey-Turner’s sign: ekimosis pada pinggang
- Cullen’s sign: ekomosis region periumbilikal
- Ikterik: bila obstruksi duktur bilier.
- Teraba massa di epigastrium
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Lab
Amilase serum: meningkat setelah 6-12 jam onset hingga 3-5 hari.
Lipase serum: lebih spesifik, meningkat hingga 12 hari.
2. Pencitraan
Rontgen abdomen: dapat ditemukan gambaran ileus dari segmen usus halus
“sentinel loop” atau colon cutoff sign (sejumlah udara pada kolon distal).
Rontgen toraks: elevasi hemidiafragma, efusi pleura, ateletaksis basal,
infiltrat paru.
USG abdomen: pembesaran difus dari pankreas hipoekoik.
CT-Scan abdoen: untuk diagnosis pasti dan menilai komplikasi.
C. Pemeriksaan Penunjang
Ultrasound endoskopik, CT-Scan kontras, MRI kontras,
Pemeriksaan histopatologi
2. Penyakit Crohn
a. Definisi
Proses inflamasi yang dapat mengenai sepanjang traktus gastrointestinal,
segmental dan dapat diselingi jaringan sehat di sekitarnya, ulserasi
transmural, asimetris.
b. Manifestasi Khas:
Diare kronis, darah dan lendir jarang ditemukan
Nyeri perut lebih dominan, mual, muntah
Malabsorpsi dan malnutrisi karena melibatkan usus halus
Malabsorpsi empedu dan lemak steatorrhea dan kembung
Jika striktur obstipasi tanpa flatus dan feses
IRRITABLE BOWEL SYNDROME (3A)
A. Definisi
Kumpulan gejala nyeri atau rasa tidak nyaman di perut yang dihubungkan dengan
abnormalitas fungsi dan pergerakan usus besar tanpa kelainan struktural.
B. Etiologi
Tidak ada kelainan organik yang mendasari.
Faktor predisposisi: peristiwa traumatik secara emosional, diare infeksi lama,
toksisitas bakteri, jenis kelamin perempuan, depresi, hipokondriasis.
Mekanisme: gangguan motilitas usus, hipersensitivitas viseral, dan
psikopatologi.
D. Tatalaksana
1. Modifikasi Diet
Hindari makanan yang mungkin mencetuskan gejala.
Contoh: kopi, susu, gandum, pemanis buatan yang mengandung fruktosa,
kacang-kacangan, dan kol.
Batasi konsumsi makanan karbohidrat rantai pendek yang sulit diabsorpsi
di usus
2. Farmakoterapi
Obat diberikan berdasarkan gejala yang dominan, antibiotik jangka pendek saat
diare, pemberian probiotik.
3. Psikoterapi
KANKER KOLON (2)
A. Faktor Risiko
C. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah samar pada feses (jika tidak ada perdarahan makroskopis)
Lab: kadar carcinoembryonic antigen (CEA) serum staging dan tipe tumor
Barium enema: apple core appearance
Kolonoskopi
Pemeriksaan histopatologi
C. Pemeriksaan Penunjang
CT-Scan, endoskopi, pemeriksaan histopatologi
DAFTAR PUSTAKA
11. Jameson JL. Harrison's principles of internal medicine 20th ed. McGraw-Hill
Education; 2018.
12. Battista E, Horton-Szar D, Page CP. Crash Course. Elsevier Health Sciences UK;
2012.
13. McCance KL, Huether SE. Pathophysiology-E-book: the biologic basis for disease
in adults and children. Elsevier Health Sciences; 2018 Jan 10.
14. Purnamasari D. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi Ke-6. Jakarta: Papdi. 2014.
15. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Kapita selekta kedokteran. Jakarta:
Media Aesculapius. 2014:329-0.
16. Lopes D, Samant H. Hepatic Failure. 2019
17. Patel N, Shackelford KS. Irritable Syndrome Syndrome. 2018
IPD – GINJAL
HIPERTENSI
INFEKSI SALURAN KEMIH (4A)
A. Definisi
Invasi mikroorganisme pada saluran kemih, mulai dari uretra hingga ginjal.
B. Etiologi
Biasanya bakteri batang gram negatif enterik yang migrasi ke saluran kemih.
Eischericia coli (80%)
Staphylococcus saprophyticus
Klebsiella, Proteus, Entercoccus, Enterobacter, Citrobacter
Pseudomonas aeruginosa pada pasien yang mengalami prosedur urologi atau
obstruksi saluran kemih.
C. Klasifikasi
1. Berdasarkan Lokasi
a. Atas: pyelonephritis, urethritis
b. Bawah: sistitis, urethritis, prostatitis, epididimitis
2. Berdasarkan Manifestasi Klinis
a. Bakteriuria Asimtomatik
Tidak ada gejala tetapi kultur urine ditemukan bakteri.
b. Simtomatik
Nonkomplikata
Pada sistem saluran kemih yang berfungsi normal dan tanpa disertai
faktor komplikasi lain.
Komplikata
Adanya kelainan stuktural atau fungsional atau penyakit lain:
- Pemakaian kateter atau adanya stent pada saluran kemih
- Obstruksi: batu, tumor, neurogenic bladder
- Refluks vesikoureter
- Paparan zat kimia atau radiasi
- Perioperatif dan pascaoperatif
- Gangguan ginjal, DM, imunokompromais
- Laki-laki, usia lanjut, kehamilan, anak, gejala >7 hari
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Urinalisis: piuria, bakteriuria, hematuria, nitrit (+), leukosit >5/LPB, leukosit
esterase (+)
2. Kultur urin, kultur darah
3. Pencitraan:
a. USG memeriksa pyelonephritis: akumulasi gas di sekitar ginjal, hipoekoik
berarti edema, hiperekoik berarti perdarahan.
b. CT-Scan
c. Sistografi
F. Tatalaksana
1. Farmakologis
a. Bakteriuria Asimtomatik
Obat hanya untuk wanita hamil, sebelum tindakan beda urologi, dan setelah
transplantasi ginjal
b. Sistitis Akut Nonkomplikata
Kotrimoksazol 2x960 mg 3 hari
Siprofloksasin 2x250 mg 3 hari
Nitrofurantoin 2x100 mg 7 hari
Co-amoxiclav 2x625 mg 7 hari
c. Sistitis Akut Rekurens
Kotrimoksazol sampai 6 bulan
Pencegahan:
- Nitrofurantoin 50 mg/hari
- Kotrimoksazol 240 mg/hari
- Infeksi saat diberikan profilaksis: siprofloksasin 125 mg/hari
d. Pyelonefritis Akut Nonkomplikata
Indikasi rawat:
- Gagal rehidrasi dan antibiotik oral: muntah
- Sakit berat, toksisitas sistemik: demam tinggi, dehidrasi, sepsis
- Terdapat komorbid
Antibiotik:
- Parenteral:
o Seftriakson 1x1 g atau Levofloksasin 4x500 mg atau
Siproflokasin 2x400 mg selama 7-14 hari.
o Diberikan IV dalam 3 hari ada perbaikan diganti peroral.
- Peroral untuk gejala ringan: Siproflokasin 2x250 mg 7 hari
- Peroral untuk gejala berat: Siproflokasin 2x250 mg 14 hari
e. ISK Komplikata
Fluoroquinolone, aminopenicillin-beta lactamase inhibitor, sefalosporin
generasi 3, aminoglikosida sampai 3-5 hari setelah afebris.
f. ISK pada Laki-Laki
Kotrimoksazol atau Siproflokasin selama 7 hari.
g. ISK pada Wanita Hamil
Co-amoxiclav, nitrofurantoin, sefalosporin oral.
Pyelonefritis: dirawat di RS, IV sefalosporin atau gentamisin.
2. Nonfarmakologis
Asupan cairan yang banyak
Menjaga kebersihan daerah uretra dan sekitarnya
Penggantian kateter yang teratur pada pasien
G. Resep
R/ Kotrikomsazol 480 mg tab No. XII
S 2 dd tab II
Atau
R/ Siprofloksasin 500 mg tab No. III
S 2 dd tab ½
Atau
R/ Nitrofurantoin 100 mg tab No. XIV
S 2 dd tab I
R/ Paracetamol 500 mg tab No. XV
S 3 dd tab I
GLOMERULONEFRITIS (3A)
A. Definisi
Penyakit inflamasi atau non-inflamasi pada glomerulus yang menyebabkan perubahan
permeabilitas, perubahan struktur, dan fungsi glomerulus.
B. Klasifikasi
Akut: kerusakan mendadak dan berat, fungsi ginjal yang terjadi dalam beberapa
hari atau minggu.
Kronik: proteinuria persisten dengan atau tanpa hematuria disertai penurunan
fungsi ginjal progresif lambat.
C. Etiologi
Sebagian besar idiopatik.
Infeksi beta streptokokus
Infeksi virus hepatitis C
Obat, pajanan toksin
E. Pemeriksaan Penunjang
Lab:
- Urinalisis: hematuria, silinder eritrosit, proteinuria
- Darah: gula darah, serum albumin, profil lemak, fungsi ginjal
- Serologi: ASTO, C3, C4, ANA, anti-dsDNA, antibodi anti-GBM, ANCA
USG: menilai ukuran ginjal dan menyingkirkan kelainan lain.
Biopsi ginjal
F. Tatalaksana
Tatalaksana spesifik untuk penyebab.
Kontrol tekanan darah dan proteinuria: ACE-I atau ARB, asupan protein 0,8
g/kg/hari
Imunosupresif: kortikosteroid (prednisone 1 mg/kgbb/hari), siklofosfamid,
klorambusil, dan azatioprin.
C. Pemeriksaan Penunjang
Urinalisis, sitologi urin
Pencitraan:
- Rontgen toraks
- CT-Scan abdomen dan pelvis, CT-Scan toraks jika ada kecurigaan
metastasis dari rontgen toraks
- MRI: evaluasi inferior vena cava pada kecurigaan invasi thrombus atau jika
CT-Scan kontras dikontraindikasikan.
TUMOR WILMS (2)
A. Definisi
Tumor embrional dari ginjal yang menyebabkan proliferasi abnormal dari sel punca ginjal
(metanephric blastema). Disebut juga nephroblastoma.
B. Etiologi
Dibagi menjadi 3 kelompok: prerenal, intrinsik (renal), postrenal.
E. Diagnosis
F. Derajat
1. RIFLE
B. Klasifikasi
Berdasarkan GFR. Perhitungan GFR:
C. Etiologi
1. Penyakit Ginjal Primer
Glomerulonefritis
Pyelonefritis
Hipoplasia kongenital
2. Penyebab Sekunder
Diabetes mellitus nefropati diabetic
Hipertensi
Uropati obstruktif: urolitiasis, tumor
SLE
Obat-obatan
D. Tanda dan Gejala
Berdasarkan penyakit yang mendasari
Sindrom uremia: lemah, letargi, mual muntah, nokturia, volume overload
(edema perifer, efusi pleura, hipertensi, JVP meningkat, asites), neuropati
perifer, pruritus, uremic frost, fetor uremikum, kejang sampai dengan koma.
Gejala komplikasi: hipertensi, anemia, gagal jantung, asidosis metabolik,
gangguan keseimbangan elektrolit.
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Darah lengkap: anemia, ureum kreatinin meningkat
2. Elektrolit: hiperkalemia, hipokalsemia, hiperfosfatemia, hipermagnesemia,
hiponatremia, hiper/hipokloremia
3. Glukosa darah dan profil lipid
4. Analisis gas darah: asidosis metabolik (pH menurun, HCO3 menurun)
5. Urinalisis: proteinuria, albuminuria, hematuria, sedimen urin, leukosuria
6. Pencitraan: USG ginjal, BNO-IVP, renogram, rontgen toraks
7. Biopsi ginjal
8. Lain-lain: EKG, ekokardiografi
B. Etiologi
B. Etiologi
1. Glomerulonefritis
a. Infeksi
Pasca infeksi streptokokus
Pasca infeksi non-streptokokus
- Bakteri: endokarditis infektif, sepsis, pneumonia oleh pneumokokus,
demam tifoid, meningokoksemia, sifilis sekunder.
- Virus: hepatitis B, mononucleosis, campak, varisela, coxsackievirus
- Parasit: malaria, toksoplasmosis
b. Non-Infeksi
Penyakit ginjal primer: contoh IgA nephropathy (Berger’s disease)
Penyakit sistemik: SLE, vaskulitis, Henoch-Schonlein purpura,
poliarteritis nodosa, sindrom Goodpasture
2. Penyebab lain
Guillain-Barre Syndrome, radiasi tumor Wilms, vaksin DPT yang diberikan
sendiri.
B. Klasifikasi
JNC 8
WHO/ISH
C. Etiologi
1. Hipertensi Primer (4A)
Interaksi faktor genetik dan lingkungan.
2. Hipertensi Sekunder (3A)
Dicurigai pada pasien usia <30 tahun atau >55 tahun. Penyebab:
Penyakit ginjal
Penyakit endokrin: hiperaldosteronisme, hipertiroid, Cushing syndrome,
hiperparatiroidisme
Penyakit vaskular: stenosis aorta renalis, koarksio aorta
Kehamilan, penyakit lain, stress akut, obat, neoplasma
2. Pemeriksaan Fisik
a. Tekanan darah
b. Antropometri: BB, TB, lingkar pinggang, body fat
c. Leher: JVP, palpasi dan auskultasi karotis, pemeriksaan tiroid
d. Paru: bisa terdapat ronki pada edema paru
e. Jantung: ukuran, ritme, suara tambahan
f. Abdomen: massa ginjal, bruit pada aorta atau renal arteri
g. Ekstremitas: Pulsasi arteri perifer, edema, pemeriksaan neurologis
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Lab: darah rutin, gula darah, profil lipid, asam urat, fungsi ginjal, elektrolit,
pemeriksaan hormon (jika ada kecurigaan penyakit endokrin)
2. Urinalisis: protein, glukosa
3. EKG, rontgen toraks, ekokardiografi
4. USG ginjal
F. Tatalaksana
1. Nonfarmakologis
Kontrol berat badan
Diet DASH: banyak konsumsi buah, sedikit lemak
Konsumsi garam <6 g/hari
Batasi konsumsi alkohol
Berhenti merokok
Kontrol glukos darah dan lipid
Aktivitas fisik aerobik sedang-berat 3-4x/minggu sekitar 40 menit tiap sesi.
2. Farmakologis
Prinsip umum:
Dosis rendah pada awal terapi.
Kombinasi obat untuk efikasi yang maksimal dan meminimalisasi efek
samping.
Ganti kelas obat apabila respon sedikit atau tidak toleran sebelum
meningkatkan dosis atau menambah obat kedua.
Gunakan obat yang 1x/hari meningkatkan kepatuhan pasien.
Dikonsumsi seumur hidup.
Evaluasi tiap bulan hingga target tekanan darah tercapai.
Jika target tercapai frekuensi kontrol 3-6 bulan sekali.
D. Resep
R/ Amlodipin 5 mg tab No. XXX
S 1 dd tab I o.n
R/ Captopril 12,5 mg tab No. XC
S 3 dd tab I
HIPERTENSI PULMONAL (1)
A. Definisi
Peningkatan tekanan sistolik arteri pulmonalis, yaitu rerata tekanan arteri pulmonalis >22
mmHg atau tekanan sistolik >36 mmHg.
B. Etiologi
18. Jameson JL. Harrison's principles of internal medicine 20th ed. McGraw-Hill
Education; 2018.
19. Battista E, Horton-Szar D, Page CP. Crash Course. Elsevier Health Sciences UK;
2012.
20. McCance KL, Huether SE. Pathophysiology-E-book: the biologic basis for disease
in adults and children. Elsevier Health Sciences; 2018 Jan 10.
21. Purnamasari D. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi Ke-6. Jakarta: Papdi. 2014.
22. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Kapita selekta kedokteran. Jakarta:
Media Aesculapius. 2014:329-0.
23. Armstrong C. JNC8 guidelines for the management of hypertension in adults.
American family physician. 2014 Oct 1;90(7):503-4.
IPD – KARDIOLOGI
EKG
H. Definisi
Alat untuk mengukur aktivitas elektrik jantung.
I. Kertas EKG
1 kotak besar terdiri dari 5x5 kotak kecil.
Bagian kotak yang vertikal menghitung voltase/amplitudo. 1 kotak kecil = 0.1
mV 1 kotak besar=0.5 mV.
Bagian kotak yang horizontal menghitung waktu. 1 kotak kecil = 0.04 s 1
kotak besar=0.2 s.
Baca identitas pasien: nama, jenis kelamin, umur, tanggal dan waktu.
Kalibrasi dan paper speed. Biasanya tertulis di bawah kertasnya. Biasanya
kalibrasi: 10 mm/mV. Paper speed: 25 mm/s.
J. Gelombang EKG
Gelombang:
P wave: Kontraksi atrium. P wave dibagi 2, ½ awal=kontraksi atrium kanan, ½
akhir= kontraksi atrium kiri.
Q wave: Depolarisasi interventricular septum.
R wave: Depolarisasi ventrikel.
S wave
Secara keseluruhan, QRS complex: Kontraksi ventrikel.
T wave: Repolarisasi ventrikel.
Segmen dan interval: Segmen garis saja; interval gelombang+garis.
PR segment: Relaksasi atrium.
PR interval: Total seluruh aktivitas atrium.
QRS interval: Depolarisasi ventrikel.
ST segment: Ventrikel mulai relaksasi.
QT interval: Total seluruh aktivitas ventrikel.
K. Membaca EKG
1. Regularitas: Lihat jarak antara R wave satu dan yang lainnya (paling nyaman di
lead V5). Sama/tidak jaraknya?
Sama=Reguler; tidak sama=irreguler.
Variasinya boleh sekitar 0.06 s/1,5 kotak kecil.
Metode: Bisa menggunakan penggaris atau kertas lain yang ditandai jarak R-R
nya.
2. Heart rate
Reguler: (1500/kotak kecil R ke R) atau (300/kotak besar R ke R)
Irreguler: Hitung jumlah R wave dalam 30 kotak besar dikali 10.
Jumlah HR normal: 60-100 bpm.
3. Ritme: Sumber listrik jantung. Normalnya dari SA node/sinus rhythm.
Disebut sinus bila:
P wave diikuti oleh QRS complex di semua lead.
Di lead II P wavenya naik, di lead aVR P wavenya turun.
PR interval >0.12 s.
4. P wave:
Nilai Kontur: Halus/tidak? Ada notch? [Normal: Halus], monophasic
(puncaknya 1)/biphasic (1 puncak 1 lembah)? [Boleh biphasic di lead III.]
Morfologi: (+)/naik di lead: I, aVF, aVL, V4-V6 ; (-)/turun di lead aVR ; biphasic
di lead III.
Durasi: 0.12 s (3 kotak kecil). LIHAT DI LEAD II.
Amplitudo: <0.25 mV (2-3 kotak kecil). LIHAT DI LEAD II.
ENDOKARDITIS
A. Definisi
Infeksi pada permukaan endotel jantung, dapat melibatkan satu atau lebih katup jantung,
endokardium mural, atau defek septal.
B. Etiologi
1. Abnormalitas pada endokardium
2. Mikroorganisme:
Staphylococci: paling sering S. aureus
Streptococci: S. viridans, Enterocci, S. gallolyticus
Gram negatif: kelompok HACEK (Haemophilus, Actinobacillus,
Cardiobacterium, Eikenella, dan Kingella)
Fungi: Candida
C. Klasifikasi
1. Akut
Biasanya menyerang katup jantung normal
Biasanya disebabkan oleh organisme yang sangat virulent dan invasif
Gejala: demam tinggi, menggigil
2. Subakut
Biasanya disebabkan oleh organisme yang tidak terlalu virulent
Paling sering terjadi pada individu dengan kerusakan jantung sebelumnya
Gejala: demam rendah, lelah, anoreksia, lemas, myalgia, keringat malam
D. Tanda dan Gejala
Demam, menggigil, nyeri dada, mual muntah
Faktor risiko: pengguna obat suntik/infus intravena, pengguna katup prostetik,
gangguan jantung, prosedur pembedahan, prosedur gigi
Gejala muskuloskeletal: arthralgia, myalgia
Efek emboli sistemik:
- Gejala neurologis (stroke, perdarahan intrakranial, kejang, ensefalopati)
- cGinjal: hematuria, gagal ginjal
- Emboli paru
- Ruptur arteri karena arteritis septik
Pemeriksaan fisik:
- Murmur
- Lesi kulit: ptechiae (konjungtiva palpebral, mukosa palatal dan bukal,
ekstremitas), subungual hemorrhage, nodus Osler, Lewi Janeway, Roth Spot
E. Pemeriksaan Penunjang
Lab: anemia, leukositosis, LED meningkat, CRP meningkat
Kultur darah
EKG: blok jantung, aritmia
Ekokardiografi: disfungsi katup, obstruksi vegetasi, pembentukan abses, gagal
jantung
F. Diagnosis
MIOKARDITIS
A. Definisi
Penyakit inflamasi pada miokardium.
B. Etiologi
Primer
- Infeksi virus akut
- Respon autoimun pasca infeksi virus
Sekunder
- Bakteri, spiroseta, riketsia, jamur, protozoa
- Penyakit inflamasi: SLE
- Obat, bahan kimia, radiasi, heat stroke, hipotermia
D. Diagnosis
Lab: darah perifer lengkap, LED dan CRP bisa meningkat, troponin, BNP
EKG: perubahan ST nonspesifik, sinus takikardia, atau aritmia ventrikular
Ekokardiografi
Pemeriksaan histopatologi gold standard
PERIKARDITIS
A. Definisi
Penyakit inflamasi pada perikardium.
B. Etiologi
D. Pemeriksaan Penunjang
1. EKG
Evolusi:
Depresi segmen PR dan/atau elevasi segmen ST difus (di seluruh lead kecuali
aVR dan seringkali V1)
Normalisasi segmen ST
Inversi gelombang T dengan atau tanpa depresi segmen ST
Normalisasi
EKG dapat berubah tanpa melalui keempat tahap tersebut
B. Klasifikasi
Karakteristik nyeri dada pada APS dibagi atas angina tipikal, angina atipikal dan
nyeri dada non-angina.
Angina tipikal memenuhi ketiga karakteristik berikut:
- Rasa tidak nyaman pada substernal dada dengan kualitas dan durasi
tertentu
- Diprovokasi oleh aktivitas fisik dan stres emosional
- Hilang setelah beberapa menit istirahat dan atau dengan nitrat
Angina atipikal: dua dari tiga karakter di atas.
Nyeri dada non-anginal: hanya satu atau tidak memiliki satu pun dari ketiganya.
B. Klasifikasi
1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment elevation
myocardial infarction)
2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST segment
elevation myocardial infarction) depresi segmen ST, inversi gelombang T,
gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-normalization, atau bahkan tanpa
perubahan. Enizm jantung (+)
3. Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris) EKG seperti
NSTEMI. Enzim jantung (-)
D. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan EKG 12 sadapan: bisa normal, nondiagnostik, LBBB (Left Bundle
Branch Block) baru/persangkaan baru, elevasi segmen ST yang persisten (≥20
menit) maupun tidak persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi
gelombang T.
Pemeriksaan marka jantung. Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T.
Kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan SKA pemeriksaan hendaknya
diulang 8-12 jam setelah awitan angina
Pemeriksaan laboratorium: tes darah rutin, gula darah sewaktu, status elektrolit,
koagulasi darah, tes fungsi ginjal, dan panel lipid.
Rontgen toraks: membuat diagnosis banding, identifikasi komplikasi dan
penyakit penyerta.
E. Diagnosis
1. Angina tipikal.
2. EKG dengan gambaran elevasi yang diagnostik untuk STEMI, depresi ST atau
inversi T yang diagnostik sebagai keadaan iskemia miokard, atau LBBB
baru/persangkaan baru.
3. Peningkatan marka jantung.
F. Tatalaksana
a. Tatalakana Awal:
MONACO (tidak harus diberikan semua atau bersamaan):
1. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi pasien
yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis nitrogliserin sublingual.
2. Suplemen oksigen dapat diberikan pada semua pasien SKA dalam 6 jam
pertama, tanpa mempertimbangkan saturasi O2 arteri.
3. Nitrogliserin: dapat diulang setiap lima menit sampai maksimal tiga kali.
4. Aspirin 160-320 mg
5. Clopidogrel 300 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 75 mg/hari atau
ticagrelor 180 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/hari.
b. Tatalakana Lanjutan:
B. Terminologi
1. Gagal jantung kronis (3A): pasien yang sudah mengalami gagal jantung dalam
jangka waktu yang lama.
2. Gagal jantung akut (3B): gejala muncul secara cepat (<24 jam).
3. Acute Decompensated Heart Failure: perburukan pada gagal jantung kronis yang
stabil.
4. Gagal jantung kongestif: ada tanda kongesti (retensi Na dan air)
5. Gagal jantung hipertensif: disebabkan oleh tekanan darah tinggi.
F. Tatalaksana
1. Farmakologis
a. Akut
Diuretik: furosemide 20-40 mg IV
Vasodilator: nitrogliserin, ISDN, nitropursside, nesiritide
Regurgitasi Mitral
A. Etiologi
Abnormalitas struktural dari annulus mitral (kalsifikasi), katup (demam reumatik,
endocarditis, kardiomiopati hipertrofi), chordae tendinae (ruptur endocarditis), atau
otot papiler (disfungsi atau ruptur).
C. Pemeriksaan Penunjang
EKG: pembesaran atrium kiri pada kondisi kronis, hipertrofi ventrikel kiri.
Rontgen toraks: edema paru pada kondisi akut, pembesaran ventrikel atrium
kiri pada kondisi kronis.
Ekokardiografi: mengetahui etiologi dan menilai derajat keparahan.
Stenosis Aorta
A. Etiologi
Kalsifikasi akibat penuaan, penyakit katup jantung reumatik kronis.
C. Pemeriksaan Penunjang
EKG: bisa didapatkan hipertrofi ventrikel kiri.
Ekokardiografi: penebalan ventrikel kiri.
Regurgitasi Aorta
A. Etiologi
C. Pemeriksaan Penunjang
Rontgen toraks: pembesaran ventrikel kiri pada kondisi kronis, kongesti paru
pada kondisi akut.
Ekokardiografi: mengetahui etiologi dan menilai derajat keparahan.
Stenosis Trikuspid
A. Etiologi
Demam reumatik jangka panjang.
Regurgitasi Trikuspid
A. Etiologi
Pembesaran ventrikel kanan.
Stenosis Pulmonal
A. Etiologi
Deformitas kongenital.
Note:
Mnemonic untuk murmur kelainan katup jantung: When you PASS, you get PAID
Pulmonary, Aortic Stenosis Sistolik
Pulmonary, Aortic Insufficiency/Regurgitaion Diastolik
Mitral dan tricuspid berkebalikan dengan pulmonary dan aortic:
- Stenosis diastolik
- Regurgitasi sistolik
B. Etiologi
Kafein, alkohol, obat-obatan (contoh: digoksin), hipertiroid.
E. Tatalaksana
Identifikasi penyebab serta mengobati penyebab.
Terapi definitif: studi elektrofisiologis dengan disertai ablasi
Terapi farmakologis:
TAKIKARDIA VENTRIKULAR (3B)
A. Definisi
Terdapat tiga buah atau lebih premature ventricular contraction atau ventricular
extrasystole berturut-turut.
B. Etiologi
Idiopatik, kardiomiopati dilatasi, iskemia/infark.
C. Klasifikasi
1. Berdasarkan durasi
Sustained VT: bertahan lebih dari 30 detik, menyebabkan gejala berat seperti
sinkop, atau membutuhkan terminasi dengan kardioversi atau pemberian
antiaritmua.
Nonsustained VT: menghilang dengan sendirinya.
2. Berdasarkan morfologi
Monomorfik: kompleks QRS seragam pada tiap denyut jantung fokus
aritmia yang sama.
Polimorfik: kompleks QRS berubah-ubah bentuk dan amplitudonya fokus
aritmia yang beragam. VT polimorfik dengan pemanjangan QT disebut
torsades de pointes.
E. Pemeriksaan Penunjang
Gambaran EKG:
Gelombang P tidak berhubungan dengan QRS atau sulit dinilai.
Laju 120-300x/menit irama teratur atau hampir teratur.
Kompleks QRS lebar (>0,12s)
Morfologi QRS dapat menunjukkan gambaran RBBB atau LBBB.
F. Tatalaksana
Denyut nadi tidak teraba resusitasi jantung paru
Kardioversi
Obat antiaritmia: amiodarone, procainamide, lidocaine
B. Etiologi
Idiopatik, usia, hipertensi, gagal jantung, stenosis atau regurgitasi katup mitral, atrial
septal defect, infark miokad akut, obesitas, PPOK, diabetes melitus, gagal ginjal
kronik, hipertiroid, intoksikasi alkohol, operasi mayor.
D. Pemeriksaan Penunjang
Gambaran EKG:
Gelombang P hampir tidak dapat diidentifikasi
Respon ventrikel ireguler bisa normal, cepat, atau bahkan bradikardia
E. Tatalaksana
Kontrol laju ventrikel: beta blocker atau calcium channel blocker
nondihiropiridin (verapamil, diltiazem).
Dengan gagal jantung: digoxin bersama furosemide dan amiodaron.
Antikoagulan sebagai profilaksis tromboemboli: heparin IV, warfarin oral.
Gagal jantung akut: kardioversi
B. Etiologi
Infark miokard akut, asidosis berat, hipokalemia atau hiperkalemia, hipoksia.
D. Gambaran EKG
VF kasar (coarse): aritmia baru terjadi.
VF kasar (fine): aritmia sudah berlangsung lebih lama.
E. Tatalaksana
Defibrilasi
Mengatasi pencetus: imbalans elektrolit, hipoksemia, asidosis
Antiaritmia IV
B. Etiologi
Infeksi, inflamasi, iskemia miokard, obat-obatan, stress, rokok, alkohol, kafein.
D. Pemeriksaan Penunjang
Gambaran EKG:
Gelombang P yang premature dengan bentuk yang biasanya abnormal.
Interval PR melebihi 120 ms.
Kompleks QRS biasanya normal.
E. Tatalaksana
Hanya membutukan tatalaksana jika simtomatik.
Hindari zat yang menginduksi: kafein, alkohol, rokok, stress emosional.
Farmakologis: beta blocker atau calcium channel blocker.
D. Pemeriksaan Penunjang
Gambaran EKG:
Kompleks QRS yang melebar dan tidak berhubungan dengan gelombang P.
Bigemini: ekstrasistol ventrikular tiap satu gelombang EKG normal.
Trigemini: ekstrasistol ventrikular tiap dua gelombang EKG normal.
Kouplet: dua ekstrasistol ventrikular berurutan.
Triplet: tiga ekstrasistol ventrikular berurutan.
E. Tatalaksana
Pada pasien tanpa kelainan jantung: tenangkan pasien, jika simtomatik bisa
diberikan beta blocker.
Pada pasien dengan kelainan jantung berat: pemasangan implantable
cardioverter defibrillator.
B. Pemeriksaan Penunjang
Gambaran EKG:
1. RBBB
Durasi QRS melebar dan morfologi rSR` (seperti telinga kelinci) di aVR
dan V1.
Gelombang S melebar dan tumpul di I, aVL, V5, V6.
2. LBBB
Durasi QRS melebar dan berbentuk seperti huruf M di lead lateral (I,
aVL,V5, dan V6).
Kadang disertai depresi segmen ST dan inversi T di lead lateral.
ARITMIA LAINNYA (2)
KARDIOMIOPATI (2)
Definisi
Kelainan struktur dan fungsi jantung tanpa disertai penyakit jantung koroner,
hipertensi, penyakit katup atau penyakit jantung kongenital yang menyebabkan
kelainan tersebut.
Kardiomiopati Dilatasi
A. Definisi
Pembesaran ruang jantung disertai gagal jantung kongestif yang disebabkan oleh
menurunnya fungsi sistolik dan peningkatan volume akhir sistolik dan diastolik.
B. Etiologi
Faktor risiko: infeksi virus, penggunaan alkohol berlebih, penyakit metabolik, kelainan
genetik.
D. Pemeriksaan Penunjang
EKG: hipertrofi ventrikel kiri kelainan gelombang ST dan T.
Rontgen toraks: pembesaran jantung, kongesti paru.
Ekokardiografi: pembesaran dan disfungsi ventrikel kiri, kelainan pergerakan
katup.
Kardiomiopati Hipertrofi
A. Definisi
Hipertrofi otot jantung tanpa adanya stress hemodinamik signifikan yang dapat
menyebabkan kondisi tersebut.
B. Etiologi
Sebagian besar kasus diturunkan secara genetik.
C. Tanda dan Gejala
Bisa tidak menyebabkan gejala, sesak napas, nyeri dada
Sinkop, palpitasi, hingga kematian mendadak
Pemeriksaan fisik: pembesaran jantung, murmur sistolik, S4 gallop
E. Pemeriksaan Penunjang
EKG: hipertrofi ventrikel kiri, pembesaran atrium kiri, LBBB, deviasi aksis ke
kiri, gelombang Q abnormal, poor R wave progression.
Rontgen toraks: pembesaran jantung.
Ekokardiografi: hipertrofi ventrikel kiri.
Kardiomiopati Restriktif
A. Definisi
Perubahan komposisi otot jantung sehingga menjadi lebih kaku.
B. Etiologi
Penyakit yang menginfiltrasi otot jantung, seperti amyloidosis, hemokromatosis,
sarkoidosis.
D. Pemeriksaan Penunjang
EKG: low voltage.
Ekokardiografi: dinding ventrikel kiri menebal serta penambahan massa di
dalam ventrikel.
KOR PULMONALE (3B)
A. Definisi
Dilatasi dan hipertrofi ventrikel kanan akibat penyakit pada vaskularisasi pulmonal
dan/atau parenkim paru.
B. Etiologi
D. Pemeriksaan Penunjang
Lab: AGD hipoksemia atau hiperkapnia
EKG: P pulmonale, right axis deviation, hipertrofi ventrikel kanan.
Rontgen toraks: pembesaran ateri pulmonal dan pembuluh darah hilus.
Spirometri: defek obstruktif atau restriktif.
Ekokardiografi: mengukur ketebalan ventrikel kanan, dimensi ruang jantung,
dan anatomi katup pulmonal dan trikuspid.
E. Tatalaksana
Pemberian oksigen dan koreksi asidosis respiratorik.
Diuretik
Digoxin: bila disertai gagal jantung kiri.
B. Etiologi
Penyebab fenomena Raynaud:
C. Tanda dan Gejala
Perubahan warna jari-jari menjadi pucat atau sianosis, rasa seperti terikat,
hingga bisa terasa nyeri.
Setelah dihangatkan kembali, terjadi hiperemia reaktif warna kembali
kemerahan, terasa seperti berdenyut, dan nyeri.
B. Etiologi
1. Emboli (1)
Sumber utama emboli arteri: jantung, aorta, arteri besar. Penyakit jantung
yang menyebabkan emboli: fibrilasi atrial, infark miokard, aneurisma
ventrikel, kardiomiopati, endokarditis infektif,
2. Trombosis (2)
Disebabkan pembentukan plak aterosklerosis pada pembuluh darah arteri.
B. Etiologi
Faktor risiko: merokok.
D. Pemeriksaan Penunjang
Arteriografi
ATEROSKLEROSIS (1)
A. Definisi
Kondisi inflamasi kronis yang melibatkan lipid, thrombosis, bagian dari dinding
pembuluh darah, dan sel imun.
B. Etiologi
Faktor risiko:
Dapat dimodifikasi: dislipidemia, merokok, hipertensi, sindrom metabolik,
tidak olahraga.
Tidak dapat dimodifikasi: usia, laki-laki, genetik.
C. Patogenesis
1. Fatty Streak
Disfungsi endotel
- Stres hemodinamik: gangguan aliran darah pada percabangan arteri
mengganggu fungsi ateroprotektif endotel.
- Iritan kimia: rokok, kadar lipid sirkulasi yang abnormal, diabetes.
Modifikasi dan masuknya lipoprotein
Permeabilitas endotel meningkat masuknya LDL ke intima oksidasi
LDL
Pengumpulan leukosit
Pembentukan foam cell
Makrofag memfagosit LDL pembentukan foam cell terakumulasi.
2. Progresivitas Plak
Remodeling dari dinding arteri
Migrasi sel otot polos: proliferasi sel otot polos di dalam intima dan
sekresi matriks ekstraseluler oleh sel otot polos.
Gangguan sintesis dan degradasi matriks.
Pembentukan lipid core.
3. Pecahnya Plak
Gangguan integritas plak: akumulasi dari foam cell dan limfosit T
mempercepat degradasi matriks ekstraseluler.
Pembentukan trombus: ruptur plak trombosis.
SUBCLAVIAN STEAL SYNDROME (1)
A. Definisi
Terjadinya aliran balik pada arteri vertebra ipsilateral akibat stenosis atau oklusi pada
arteri subklavian.
B. Etiologi
Aterosklerosis (paling sering)
Takayasu arteritis (vaskulitis granulomatous pada pembuluh darah besar)
Kompresi arteri subklavian
Adanya costa servikal (kosta tambahan yang berasal dari vertebra C7)
Operasi untuk memperbaiki koarktasio aorta
Abnormalitas kongenital
C. Tanda dan Gejala
Asimtomatik pada sebagian besar pasien.
Nyeri pada lengan, lemas, mati rasa, parestesia.
Gejala neurologis akibat insufisiensi vertebrobasiler: pusing, pandangan
buram, sinkop, vertigo, gangguan keseimbangan, ataksia, tinnitus, hilangnya
pendengaran.
Pemeriksaan fisik:
- Perbedaan minimal 15 mmHg antara lengan yang mengalami gangguan
dan lengan yang normal.
- Penurunan dan terlambatnya pulsasi radial lengan yang terganggu.
B. Etiologi
C. Tanda dan Gejala
1. Aneurisma Aorta Torakal
Sebagian besar asimtomatik.
Jika terjadi kompresi jaringan sekitar: nyeri dada, sesak napas, batuk, suara
serak, disfagia.
Aneurisma aorta asendens: gagal jantung kongestif akibat regurgitasi aorta.
Kompresi vena cava superior: kongesti pada kepala, leher, dan ekstremitas
atas.
Jika aneurisma besar: bisa terasa nyeri, pulsasi kuat di perut, nyeri di dada,
punggung bawah, atau skrotum.
2. Aneurisma Aorta Abdominal
Biasanya asimtomatik.
Pemeriksaan fisik:
- Massa yang terpalpasi, berpulsasi, bisa berekspansi, dan tidak nyeri.
- Rupture aneurisma: nyeri akut dan hipotensi.
C. Klasifikasi
1. Klasifikasi DeBakey
a. Tipe 1: berasal dari aorta asendens hingga minimal lengkung aorta
b. Tipe 2: hanya pada aorta asendens
c. Tipe 3: berasal dari aorta desendens
3a: hingga ke atas diafragma
3b: hingga ke bawah diafragma
2. Klasifikasi Stanford
a. Tipe A: melibatkan aorta asendens
b. Tipe B: melibatkan aorta desendens
TROMBOFLEBITIS (3A)
A. Definisi
Inflamasi dan trombosis dari vena superfisial di bawah kulit.
B. Etiologi
Tomboflebitis superfisial berhubungan dengan pemasangan infus dan kateter IV,
varises, dan trombosis vena dalam.
D. Pemeriksaan Penunjang
USG kompresif
E. Tatalaksana
Tirah baring dengan elevasi kaki.
Pemberian kompres hangat.
NSAID
Trombosis greater saphenous vein di paha dan meluas hingga sapenofemoral
vein junction terapi antikoagulan untuk mencegah trombosis vena dalam dan
emboli paru.
VARISES (2)
A. Definisi
Pelebaran vena superfisial yang berkelok-kelok akibat gangguan struktur dan fungsi
katup vena, kelemahan dinding vena tekanan intralumen yang tinggi atau fistula
arteriovena.
B. Klasifikasi
1. Primer
Berasal dari sistem vena superfisial.
2. Sekunder
Berasal dari insufisiensi vena dalam dan inkompetensi vena perforata atau
oklusi vena dalam yang menyebabkan pembesaran vena superfisial yang
berperan sebagai kolateral.
C. Pemeriksaan Penunjang
EKG:
- Strain ventrikel kanan: T inversi precordial kanan.
- rS atau RS pada V1 sampai V5/V6 dan qR pada V1 dan V2.
- Tanda klasik: S1Q3 atau S1Q3T3, QR pada aVF dan III, elevasi ST
- RBBB
- Gelombang P pulmonal pada II, III, aVF
Rontgen toraks:
- Tanda Westermark
hiperlusen paru
- Tanda Hampton’s hump
densitas bulat dengan batas tidak
jelas di atas diafragma
Sidikan paru perfusi dan ventilasi
Angiografi paru
B. Etiologi
Kongenital: tidak terbentuknya katup vena superfisial dan komunikans sejak
lahir.
Didapat: pembentukan trombus, jejas kronis yang tidak menyembuh,
insufisiensi katup vena dalam, trombosis vena dalam.
C. Tanda dan Gejala
Gatal, panas, edema, pelebaran vena perifer.
Kaku, tegang, kelelahan pada otot.
Telangiektasia, varises vena, pigmentasi, eksim, ulserasi.
Pemeriksaan fisik: pemeriksaan Trendelenburg.
- Pasien berbaring dengan tungkai yang akan diperiksa ditinggikan 30-450
untuk mengosongkan vena.
- Pasang turniket pada paha tepat di bawah percabangan vena safeno-
femoral.
- Katup berfungsi baik: vena baru berisi setelah 25-30 detik dan arah
pengisian dari bawah.
- Kegagalan katup penghubung: vena terisi <20 detik dan arah pengisian dari
atas.
- Ikatan dibuka lihat kegagalan katup vena tepi: pengisian vena bertambah
cepat dan dari atas.
D. Klasifikasi
E. Tatalaksana
Pasien disarankan aktif bergerak dan tidak mempertahankan satu posisi dalam
waktu yang terlalu lama.
Elevasi kaki saat beristirahat.
Mengurangi berat badan jika berlebih.
Menggunakan kaos kaki untuk kompresi.
Olahraga teratur, hindari yang intensitas terlalu berat.
Fisioterapi
Suplemen hidrosmin 3x200 mg PO.
Prosedur invasif: skin laser, skleroterapi, flebektomi, ablasi vena.
LIMFANGITIS (3A)
A. Definisi
Inflamasi pembuluh limfa yang terjadi akibat infeksi pada bagian lebih distal.
B. Etiologi
Infeksi: group A beta-hemolytic streptococci (GABHS) Staphylococcus aureus,
Pseudomonas, Streptococcus pneumonia, Pasteurella multocida, batang Gram negatif,
fungi, Aeromonas hydrophila, Wuchereria bancrofti.
D. Pemeriksaan Penunjang
Lab: darah lengkap (leukositosis), kultur darah dan abses.
E. Tatalaksana
Antibiotik dan analgetik.
LIMFEDEMA (3A)
A. Definisi
Kondisi edema non pitting yang disebabkan oleh kelainan aliran pembuluh limfatik.
B. Etiologi
Dibagi menjadi primer dan sekunder.
C. Tanda dan Gejala
Nyeri dan rasa penuh di ekstremitas
Edema non pitting
Bisa menyebabkan dermatitis statis, hiperpigmentasi, dan varises vena
superfisial.
D. Pemeriksaan Penunjang
USG abdomen dan pelvis, CT Scan: deteksi lesi obstruktif seperti neoplasma.
MRI: identifikasi nodus limfa dan pembuluh limfa yang melebar.
Lymphoscintigraphy dan lymphangiography.
E. Tatalaksana
Menjaga kebersian kulit, menggunakan pelembab.
Antibiotik profilaksis
Melakukan aktivitas fisik, terapi fisik
Kompresi
DAFTAR PUSTAKA
CN Fungsi Gangguan
I (Olfaktori) Sensorik: penciuman Anosmia
II (Optikus) Sensorik: penglihatan Buta, refleks cahaya
bilateral (-)
III (Okulomotor) Motorik: gerak bola mata, Ophthalmoplegia, refleks
konstriksi pupil, levator palpebra cahaya ipsilateral (-),
ptosis
IV (Trochlear) Motorik: gerak bola mata Diplopia: ekstorsi, lemah
saat depresi
V (Trigeminal) Sensorik: bagian wajah Hemianestesi wajah,
kelemahan dagu, refleks
Motorik: otot mastikasi
kornea (-)
Refleks kornea
VI (Abdusens) Motorik: gerak bola mata Diplopia: deviasi medial
VII (Fasialis) Sensorik: rasa 2/3 anterior lidah Parase wajah, hilang
pengecapan di 2/3 anterior
Motorik: otot wajah
lidah
Vaskularisasi Otak
Pembagian pembuluh darah yang menyuplai bagian otak:
A. Sistem Karotis (Anterior)
Arteri serebri anterior: serebrum frontal dan media
Gangguan: hemiparesis kontralateral, ekstremitas bawah lebih berat
Arteri serebri media: hemisfer lateral
Gangguan: hemiparesis kontralateral, terutama wajah dan ekstremitas atas,
hemianopia homonim
Arteri serebri posterior: lobus oksipital
Gangguan: hemianopia homonim dengan macular sparing
B. Sistem Vertebrobasiler (Posterior)
Menyuplai terutama batang otak.
Gangguan: diplopia, vertigo, nistagmus (gangguan nervus kranialis), gangguan
keseimbangan.
Refleks
Refleks dan saraf yang terlibat:
Biseps Triseps Patella Achilles
Daerah Dermatom
Klavikula C3-C4
Ibu jari C6
Jari tengah C7
Kelingking C8
Puting payudara T4
Processus xyphoideus T7
Umbilikus T10
Kaki medial (ibu jari) L4-L5
Perineum S2-S4
Meningitis (3B)
A. Definisi
Infeksi yang menyerang meningen, suatu lapisan yang berisi cairan serebrospinal yang
menyelimuti otak, otak kecil, dan sumsum tulang belakang.
B. Etiologi
1. Bakterialis: Neisseria meningitidis (meningokokus), Streptococcus pneumonia
(pneumokokus), Hemophylus influenza
2. Viral: enterovirus, virus herpes simpleks, coxsackievirus, cytomegalovirus
biasanya pada anak
3. Tuberkulosis: Mycobacterium tuberculosis
4. Jamur: Cryptococcus neoformans, Cryptococcus gatii (kriptokokus)
biasanya pada pasien imunokompromais
Waspadai tanda TTIK: nyeri kepala, muntah proyektil, penurunan kesadaran, diplopia,
papilledema, Cushing’s triad (hipertensi, bradikardia, pernapasan ireguler).
D. Pemeriksaan Fisik
Tanda vital dan pemeriksaan fisik menyeluruh.
Pemeriksaan neurologis: pemeriksaan GCS (penurunan kesadaran),
pemeriksaan kaku kuduk dan rangsang meningen (+), pemeriksaan nervus
kranialis, pemeriksaan kekuatan motorik.
Funduskopi: pada stadium lanjut dapat dijumpai tanda hidrosefalus seperti
papiledema.
E. Pemeriksaan Penunjang
Lumbal punksi: karakteristik berbeda pada tiap etiologi.
PCR, kultur darah dan likuor, tes resistensi antibiotik, pengecatan gram pada
darah dan likuor.
X-Ray thorax: untuk mengetaui adanya TB, GeneXpert (TB)
Pencitraan: CT scan kepala + kontras, MRI kepala + Kontras
F. Tatalaksana
1. Periksa dan tangani jalan napas, pernapasan, serta sirkulasi.
2. Sesuai etiologi: antibiotik, antiviral, OAT
3. Jika ada TTIK: manitol 20%
4. Kortikosteroid
5. Terapi simtomatik: antipiretik, H2 bloker, antikonvulsan jika kejang, penuhi
kebutuhan nutrisi dan cairan
Ensefalitis (3B)
A. Definisi
Proses inflamasi yang terjadi pada parenkim otak.
B. Etiologi
Virus: Herpes simpleks tipe 1 dan 2 (paling sering), varicella zoster, Epstein-
Barr, CMV, enterovirus, paramyxovirus.
Noninfeksi: penyakit sistemik, obat-obatan, keganasan.
D. Pemeriksan Fisik
Kesadaran menurun
Suhu tubuh meningkat
Dapat didapatkan kaku kuduk
Dapat didapatkan defisit neurologis fokal atau global
E. Pemeriksaan Penunjang
Darah lengkap dan kimia klinik: limfositosis relatif, leukopenia atau
trombositopenia pada infeksi virus hemoragis.
Lumbal punksi: pleositosis dominan sel mononuclear, peningkatan kadar
protein
Pemeriksaan serologi: dari darah dan CSF untuk HSV, CMV, Japanesse
encephalitis
PCR: HSV, CMV, HHV-6
Pencitraan: CT scan kepala + kontras, MRI kepala + Kontras
F. Tatalaksana
Waspadai tanda-tanda vital dan TTIK. Jika terdapat TTIK manitol 20% dosis
awal 1-1,5 mg/kgBB selama 20 menit, dilanjutkan dosis 0,25-0,5 g/kg berat
badan setiap 4-6 jam.
Hindari cairan hipotonis intravena.
Terapi suportif: antipiretik atau antikonvulsan bila perlu.
Asiklovir 10 mg/kg setiap 8 jam selama 2-3 minggu sebagai terapi empiris
(karena paling banyak disebabkan oleh virus).
Tetanus (4A)
A. Definisi
Penyakit pada sistem saraf yang disebabkan oleh tetanospasmin (neurotoksin) yang
dihasilkan oleh Clostridium tetani.
Tes Spatula
C. Grading
Kriteria Pattel Joag:
Kriteria 1 rahang kaku, spasme terbatas, disfagia dan kekakuan otot tulang
belakang
Kriteria 5 Kenaikan suhu rektal sampai 100ºF atau aksila sampai 99 ºF (37,6 ºC)
Dari kriteria tersebut dibuat derajat sebagai berikut:
Derajat 1 Minimal 1 kriteria
Derajat 2 Minimal 2 kriteria (K1+K2), biasanya inkubasi > 7 hari, onset > 48
jam
Derajat 3 Minimal 3 kriteria, biasanya inkubasi < 7 hari, onset < 48 jam
D. Tatalaksana
1. Non farmakologis
Pembersihan luka yang kotor
Ruang rawat yang gelap
Diet dengan NGT bila diperlukan. Diet tinggi kalori.
Pencegahan ulkus dekubitus
2. Farmakologis
Anti tetanus serum (ATS), tetanus toksoid (TT), tetanus immunoglobulin
(TIg).
Antibiotika: prokain penisilin (1,2 juta unit/hari selama 10 hari), atau
tetrasiklin (2 g/hari selama 10 hari), atau metronidazole (4x500 mg selama
10 hari).
Antikonvulsan: diazepam atau magnesium sulfat.
Suportif dan simtomatik: keseimbangan cairan dan elektrolit, antipiretik.
E. Resep
R/ Anti Tetanus Serum inj amp No. I
S imm
R/ Tetanus Toksoid inj vial No. I
S imm
R/ Tetanus Immunoglobulin inj vial No. I
S imm
R/ Prokain Penisilin inj vial No. I
S imm
R/ Metronidazole 500 mg infus fls No. I
S imm
D. Tatalaksana
Semua ODHA dengan lesi massa intrakranial dengan gejala neurologik yang
progresif dapat diberikan terapi empirik anti-toksoplasma selama 2 minggu.
Terapi empirik: pirimetamin dan klindamisin.
B. Etiologi
Bakteri: Staphylococcus aureus, Streptococcus anaerob, Streptococcus β
hemolitikus, Streptococcus α hemolitikus, E.coli, Bacteroides.
Jamur: N.asteroids, Candida, Aspergillus, Actinomycetes
Parasit : E.Histolitika, Cystisercosis, Schistosomiasis
D. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah rutin: 50-60% didapati leukositosis, 70-95% LED
meningkat.
CT Scan kepala dengan kontras: massa hipodens dengan penyangatan cincin
pada tepinya.
E. Tatalaksana
Terapi antibiotik empirik diberikan hingga didapatkan antibiotik yang sesuai
dengan hasil tes sensitivitas kuman.
Antiedema: dexamethason/manitol sesuai indikasi.
Operasi bila tindakan konservatif gagal atau abses berdiameter >2,5 cm.
Poliomielitis (3B)
A. Definisi
Penyakit kelumpuhan syaraf yang bersifat akut yang disebabkan karena virus polio
golongan Enterovirus. Penularan tersering terjadi secara infeksi droplet dari
orofaring/saliva (jarang) atau tinja penderita yang infeksius.
D. Tatalaksana
Penderita polio paralitik harus dirawat di rumah sakit sampai fase akut dilewati.
Perawatan fisioterapi dan rehabilitasi diberikan pada masa konvalesens.
Tidak ada pengobatan yang spesifik suportif dan pencegahan terjadinya
cacat, tindakan pencegahan dengan pemberian Imunisasi.
Imunisasi polio: OPV di bulan ke-1, bulan ke-2, bulan ke-3, dan bulan ke-4
disertai IPV minimal 1x bersamaan dengan OPV-3.
Rabies (3B)
A. Definisi
Penyakit infeksi akut sistem saraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies yang
menginfeksi manusia melalui gigitan hewan yang terinfeksi (anjing, monyet, kucing,
serigala, kelelawar).
C. Tatalaksana
Isolasi pasien menghindari rangsangan-rangsangan yang bisa menimbulkan
spasme otot, mencegah penularan.
Fase awal: Luka gigitan harus segera dicuci dengan air sabun (detergen) 5-10
menit kemudian dibilas dengan air bersih, dilakukan debridement dan diberikan
desinfektan.
Fase lanjut: penanganan hanya berupa tindakan suportif dalam penanganan
gagal jantung dan gagal nafas.
Pemberian Serum Anti Rabies (SAR) dan Vaksin Anti Rabies (VAR)
Catatan:
Sudah mendapat vaksin rabies 5 tahun terakhir VAR cukup diberikan 2 dosis
pada hari 0 dan 3, namun bila gigitan berat vaksin diberikan lengkap.
Spondilitis TB (3A)
A. Definisi
Infeksi tulang belakang oleh Mycobacterium tuberculosis. Paling sering ditemukan
pada vertebra torakalis bawah dan lumbalis.
C. Pemeriksaan Penunjang
Lab: kurang membantu. Bisa ditemukan leukositosis perifer, peningkatan LED.
Foto rontgen vertebra: osteolitis, kombinasi antara lesi litik dan sklerotik,
destruksi korpus vertebra
Pemeriksaan mikrobiologi: pewarnaan langsung dengan ZN, kultur Ogawa,
GeneXpert
Pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS): protein tinggi, glukosa menurun,
pleositosis limfositik pada 30-50% pasien.
Mielografi: filling defect sepanjang Medula Spinalis.
MRI: kompresi medulla spinalis atau kauda equina.
D. Tatalaksana
Obat anti TB oral
Steriod: dexamethasone IV, dilanjut PO
Edukasi: pengobatan jangka panjang, perawatan di rumah, diet tinggi kalori dan
protein
C. Pemeriksaan Penunjang
Pencitraan: CT Scan dengan kontras, MRI dengan kontras
EEG/EMG/BAEP atas indikasi
Tumor marker dan biopsi tumor
Sitologi cairan serebrospinal
PENURUNAN KESADARAN
C. Pemeriksaan Penunjang
Gangguan metabolik: pemeriksaan elektrolit, glukosa, kalsium, osmolaritas,
toksik obat-obatan (NAPZA), dan fungsi ginjal/ hati.
Analisis gas darah arterial: pasien dengan penyakit paru dan kelainan asam
basa.
Pencitraan CT-scan atau MRI kranial
D. Tatalaksana
Pastikan oksigenasi, pertahankan sirkulasi
Turunkan tekanan intrakranial
Sesuai kondisi: kendalikan gula darah, kejang, kelainan asam basa dan
elektrolit, suhu tubuh, berikan antidotum spesifik
Obati infeksi
NYERI KEPALA
B. Tatalaksana
Farmakologis
1. Serangan akut:
Aspirin 1000 mg/hari, paracetamol 1000 mg/hari, NSAIDs (Naproxen 660-
750 mg/hari, ketoprofen 25-50 mg/hari, asam mefenamat, ibuprofen 800
mg/hari, diklofenak 50-100 mg/hari).
Kafein (analgetik ajuvan) 65 mg.
Kombinasi: 325 aspirin, asetaminofen + 40 mg kafein.
2. Tipe kronis: antidepresan, antiansietas
Nonfarmakologis
Kontrol diet
Pengobatan fisik: latihan postur dan posisi, massage, ultrasound, manual
terapi, kompres panas/dingin, akupuntur TENS (transcutaneus electrical
stimulation).
Hindari pemakaian harian obat analgetik, sedatif dan ergotamine
Behaviour treatment
C. Resep
R/ Paracetamol 500 mg tab no. XX
S 3dd tab I
atau
R/ Asam Mefenamat 500 mg tab no. XX
S 3dd tab I
atau
R/ Ibuprofen 400 mg tab no. XV
S 2dd tab I
Migren (4A)
A. Tanda dan Gejala
Serangan nyeri kepala berlangsung selama 4 – 72 jam.
Nyeri kepala mempunyai sedikitnya dua di antara karakteristik berikut :
1. Lokasi unilateral
2. Kualitas berdenyut
3. Intensitas nyeri sedang atau berat
4. Keadaan bertambah berat oleh aktivitas fisik atau penderita menghindari
aktivitas fisik rutin (seperti berjalan atau naik tangga).
Selama nyeri kepala disertai salah satu dibawah ini :
1. Mual dan atau muntah
2. Fotofobia dan fonofobia
Dapat disertai aura (classic) atau tanpa aura (common).
D. Tatalaksana
Farmakologis
1. Terapi Abortif:
Non spesifik: analgetik, NSAID aspirin 500-1000 mg per 4-6 jam,
ibuprofen 400 – 800 mg per 6 jam, parasetamol 500-1000 mg per 6-8 jam,
kalium diklofenak (powder) 50 -100 mg per hari dosis tunggal.
Spesifik: triptan, dihidroergotamin, ergotamin jika analgetik atau NSAID
tidak ada respon. Sumatriptan 25-100mg, ergotamine 1-2mg.
Antimuntah: metokloperamid 10mg atau domperidone 10mg oral dan 30mg
rektal.
2. Terapi Profilaksis:
Beta bloker
- Propanolol 80-240 mg per hari (lini pertama)
- Timolol 10-15 mg dua kali/hari, metropolol 45- 200 mg/hari
Antiepilepsi:
- Topiramat 25-200 mg per hari.
- Asam valproat 400-1000 mg per hari migraine episodik.
Antidepresi: amitriptilin 10-75mg
NSAID: Ibuprofen 200 mg 2 kali sehari.
E. Resep
R/ Ibuprofen 400 mg tab no. XXX
S 4 dd tab I
atau
R/ Paracetamol 500 mg tab no. XX
S 3dd tab I
atau
R/ Sumatriptan 50 mg tab no. XX
S prn tab I-II (jika nyeri)
atau
R/ Ergotamine 1 mg tab no. XX
S prn tab I-II (jika nyeri)
B. Tatalaksana
Farmakologis
1. Terapi Akut:
Inhalasi oksigen 100% 7 liter/menit selama 15 menit.
Dihidroergotamin (DHE) 0,5–1,5 mg IV.
Sumatriptan injeksi subkutan 6 mg.
2. Profilaksis:
Verapamil (pilihan pertama), nimodipin atau nifedipin.
Steroid: prednisone
Pilihan lainnya: lithium, methysergide, divalproat sodium, chlorpromazine,
clonidine, ergotamin tartrat, dihydroergotamin, sumatriptan atau triptan
lainnya, indometasin.
PENYAKIT NEUROVASKULAR
Stroke (3B)
A. Definisi
Defisit neurologis mendadak baik fokal maupun atau global yang disebabkan semata-
mata oleh gangguan pembuluh darah otak yang bertahan > 24 jam atau menyebabkan
kematian.
B. Klasifikasi
B. Klasifikasi
Aterotrombotik: penyempitan lumen akibat aterosklerosis gejala biasanya
muncul bertahap.
Emboli: gejala biasanya langsung memberat
- Kardioemboli: emboli dari jantung terdapat penyakit jantung
penyerta: gangguan irama jantung (AF), gangguan katup jantung,
gangguan dinding jantung. Onset tiba-tiba dengan gejala maksimal.
- Tromboemboli: emboli dari fragmen ateromatous plak yang menyumbat
arteri yang lebih distal.
C. Pemeriksaan Penunjang
CT Scan: daerah hipodens
D. Tatalaksana Spesifik
Trombolisis intravena: alteplase dosis 0.6-0.9 mg/kgBB, pada stroke iskemik
onset <6 jam
Terapi endovascular : trombektomi mekanik, pada stroke iskemik dengan
oklusi karotis interna atau pembuluh darah intrakranial, onset <8 jam
Manajemen hipertensi: diturunkan jika TD >220/120 dengan antihipertensi IV.
Batas penurunan: MAP 25%.
Manajemen gula darah (insulin, anti diabetik oral)
Pencegahan stroke sekunder (antiplatelet: aspirin, clopidogrel, cilostazol atau
antikoagulan : warfarin, dabigatran, rivaroxaban)
Neroprotektor (citicholin, piracetam, pentoxyfiline, DLBS 1033)
Perawatan di Unit Stroke
Neurorestorasi / Neurorehabilitasi
C. Pemeriksaan Penunjang
CT Scan: daerah hiperdens
D. Tatalaksana Spesifik
Koreksi koagulopati (PCC/Prothrombine Complex Concentrate) jika
perdarahan karena antikoagulan
Manajemen hipertensi: dengan antihipertensi IV jika TD >180/105 mmHg.
Manajemen gula darah (insulin, anti diabetik oral)
Pencegahan stroke hemoragik (manajemen faktor risiko)
Neuroprotektor (citicholin, piracetam, pentoxyfiline, DLBS 1033)
Perawatan di Unit Stroke
Neurorestorasi / Neurorehabilitasi
Tindakan Operatif: kraniotomi evakuasi hematom, kraniotomi dekompresi, VP
Shunt / external drainage
B. Etiologi
Kemungkinan virus, inflamasi, autoimun, dan etiologi iskemik.
Peningkatan kejadian pada infeksi HSV tipe I dan reaktivasi herpes zoster dari
ganglia nervus kranialis.
E. Tatalaksana
1. Pengobatan inisial
Steroid: prednison dosis: 1 mg/kg atau 60 mg/hari selama 6 hari, diikuti
penurunan bertahap total selama 10 hari.
Antiviral: asiklovir diberikan dengan dosis 400 mg oral 5 kali sehari
selama 10 hari. Jika virus varicella zoster dicurigai, dosis tinggi 800 mg
oral 5 kali/hari.
2. Lindungi mata
artifisial air mata pada siang hari.
3. Fisioterapi atau akupunktur
F. Resep
R/ Prednisone 4 mg tab No. CXII
S 4 dd tab IV
R/ Asiklovir 400 mg tab No. L
S 5 dd tab I
C. Pemeriksaan Penunjang
Audiologi: tuli sensorineural
D. Tatalaksana
Farmakologis
1. Simtomatik
Antihistamin: dimenhidrinat, difenhidramin, meklizin, prometazin
Benzodiazepin: lorazepam, klonazepam, diazepam
Antiemetik: metoklopramid, ondansetron
2. Diuretik: hidroklorotiazid, triamterene
3. Steroid
Untuk serangan akut metilprednisolon IM/IV dilanjutkan prednisone 1
mg/kg PO per hari selama 10-14 hari lalu diturunkan bertahap.
Deksametason 4 mg PO selama 4 hari
Nonfarmakologi
1. Diet rendah natrium (<1500 mg/hari).
2. Diet rendah kafein, nikotin, alcohol, dan makanan mengandung teofilin,
misalnya coklat.
3. Pembedahan jika terapi farmakologi selama 3-6 bulan gagal.
Perasat Dix-Hallpike:
Pasien duduk, menoleh 45º ke satu sisi, lalu dijatuhkan sehingga kepalanya
menggantung 15º di bawah bidang datar. Amati ada nistagmus atau tidak.
Pasien ditegakkan kembali dan diamati ada nistagmus atau tidak.
Pemeriksaan yang sama dilakukan pada sisi yang lainnya.
C. Tatalaksana
Farmakologis
1. Antihistamin (dimenhidrinat, difenhidramin, meksilin, siklisin)
Dimenhidrinat dosis 25 mg – 50 mg (1 tablet), 4 kali sehari.
Difenhidramin HCl dosis 25 mg (1 kapsul) – 50 mg 4 kali sehari per oral.
2. Senyawa Betahistin (suatu analog histamin):
Betahistin Mesylate dengan dosis 12 mg, 3 kali sehari per oral.
Betahistin HCl dengan dosis 8-24 mg, 3 kali sehari.
3. Kalsium Antagonis
Cinnarizine, dosis 15-30 mg, 3 kali sehari atau 1x75 mg sehari.
Nonfarmakologis
1. Manuver Epley
Paling sering digunakan pada kanal vertical.
Pasien menolehkan kepala ke sisi yang sakit 45º pasien berbaring dengan
kepala tergantung selama 1-2 menit kepala ditolehkan 90º ke sisi
sebaliknya berubah posisi dari supinasi menjadi lateral dekubitus dan
dipertahan 30-60 detik mengistirahatkan dagu pada pundaknya kembali
ke posisi duduk secara perlahan
2. Prosedur Semont
Pengobatan cupulolithiasis kanan posterior.
Pasien duduk tegak kepala dimiringkan 45º ke sisi yang sehat secara
cepat bergerak ke posisi berbaring selama 1-3 meni. pasien pindah ke
posisi berbaring di sisi yang berlawanan tanpa duduk lagi.
DEFISIT MEMORI
Demensia (3A)
A. Definisi
Sindrom penurunan fungsi intelektual dibanding sebelumnya yang cukup berat
sehingga mengganggu aktivitas sosial dan professional yang tercermin dalam aktivitas
hidup keseharian, biasanya ditemukan juga perubahan perilaku dan tidak disebabkan
oleh delirium maupun gangguan psikiatri mayor.
B. Klasifikasi
Demensia Alzheimer
Perjalanan gradual. Faktor risiko utama usia dan riwayat keluarga. Temuan
patologis: atrofi lobus otak, neurofibrillary tangles, deposisi amyloid.
Demensia Vaskular
Adanya riwayat stroke dan penyakit serebrovaskuler. Faktor risiko utama usia
dan hipertensi. Dapat disertai defisit neurologi.
Demensia Pick
Ditandai dengan atrofi lobus frontal dan lobus temporal. Gejala berupa
gangguan tingkah laku, emosi, dan kepribadian.
Demensia dengan Lewy Body
Perubahan postur dan cara berjalan. Terkait dengan penyakit Parkinson.
C. Kriteria Diagnosis
1. Mengganggu kemampuan fungsional di pekerjaan atau aktivitas keseharian;
dan
2. Merupakan penurunan dari tingkat fungsi dan performa sebelumnya; dan
3. Tidak dapat disebabkan oleh delirium atau gangguan psikiatri mayor;
4. Gangguan kognisi dideteksi dan didiagnosis melalui kombinasi dari (1)
pengambilan riwayat penyakit dari pasien dan informan yang mengetahui
kondisi pasien dan (2) pemeriksaan objektif kognisi baik berupa pemeriksaan
status mental bedside maupun berupa tes neuropsikologi.
5. Gangguan kognisi dan perilaku mencakup minimum dua dari domain-domain
berikut:
Gangguan kemampuan untuk mendapatkan dan mengingat informasi baru
Gangguan logika dan penanganan tugas kompleks, pengambilan keputusan
yang buruk
Gangguan kemampuan visuospasial
Gangguan fungsi berbahasa
Gangguan kepribadian, perilaku atau penampilan
D. Pemeriksaan Penunjang
Mini Mental State Examination (MMSE), Clinical Dementia Rating (CDR), Global
Deterioration Scale, Geriatric Depression Scale (GDS), Neuropsychiatric Inventory
(NPI)
E. Tatalaksana
1. Demensia Alzheimer
Penyekat Kolinesterase: Donepezil. Dosis awal 1x 2,5 - 5 mg, Rivastigmin
patch. Dosis awal patch 4,6mg/24jam, Galantamin. Dosis awal 2x4mg
2. Demensia Vaskular
Penyekat Kolinesterase, kontrol faktor risiko vaskuler
3. Demensia Pick
Tidak dianjurkan Penyekat Kolinesterase atau Memantine
4. Demensia dengan Lewy Body
Penyekat Kolinesterase terutama Rivastigmin
GANGGUAN PERGERAKAN
Parkinson (3A)
A. Definisi
Penyakit akibat penurunan jumlah dopamine di otak yang berperan dalam mengontrol
gerakan akibat kerusakan sel saraf di substansia nigra pars kompakta di batang otak.
Note: tanyakan riwayat penyakit lain dan penggunaan obat (terutama antipsikotik)
Pemeriksaan instabilitas postural / tes retropulsi: pasien ditarik dari belakang pada
kedua bahunya untuk melihat apakah pasien tetap mampu mempertahankan posisi
tegak.
C. Tatalaksana
Stadium penyakit awal:
Nutrisi: diet yang sehat berupa buah-buahan dan sayur-sayuran.
Aktifitas: edukasi, aerobik, penguatan, peregangan, latihan.
Fisioterapi
Farmakolologi
Terapi simptomatis awal (motorik): Levodopa, MAO-B inhibitor (selegiline,
rasagiline), agonis dopamin (pramipexol, ropinirole, rotigotine).
Untuk yang dominan tremor <70 tahun (tanpa akinesia/bradikinesia), pilihan
utama biasanya antikolinergik (triheksifenidil).
EPILEPSI DAN KEJANG LAINNYA
Kejang (3B)
A. Definisi
Terjadinya tanda/gejala yang bersifat sesaat akibat aktivitas neuronal yang abnormal
dan berlebihan di otak.
B. Klasifikasi
Berdasarkan proses akut dalam tubuh yang menyebabkan kejang:
Kejang dengan provokasi (provoked seizures atau acute symptomatic seizures):
terjadi bersamaan atau berdekatan waktunya dengan gangguan saraf pusat akut
akibat gangguan metabolik, toksik, infeksi, stroke, trauma kepala, dan
inflamasi.
Kejang tanpa provokasi (unprovoked seizures): tanpa adanya gangguan saraf
pusat akut.
C. Tatalaksana
Injeksi diazepam IV 10 mg bolus dengan kecepatan maksimal 5 mg/menit
(dimasukkan paling cepat 2 menit) efek samping depresi nafas.
Dapat diulang 10 menit setelah pemberian pertama.
Epilepsi (3A)
A. Definisi
Definisi Konseptual
Kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan untuk menimbulkan bangkitan
epileptik yang terus menerus, dan konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis, dan
sosial.
Definisi Operasional
Penyakit otak yang ditandai oleh gejala atau kondisi sebagai berikut:
1. Setidaknya ada dua kejang tanpa provokasi atau dua bangkitan refleks yang
berselang lebih dari 24 jam.
2. Satu bangkitan tanpa provokasi atau satu bangkitan refleks dengan adanya
kemungkinan besar bangkitan berulang (riwayat stroke, infeksi otak, cedera
kepala, tumor otak).
Bangkitan refleks: bangkitan yang muncul akibat induksi oleh faktor pencetus tertentu
yang selalu serupa, dapat berupa visual, auditorik, kegiatan seperti makan, sikat gigi,
BAK, dan sebagainya.
B. Etiologi
Idiopatik: tidak terdapat lesi struktural di otak. Predisposisi genetik dan
umumnya pada usia muda.
Kriptogenik: penyebab belum diketahui.
Simtomatik: kelainan/lesi struktural pada otak.
C. Pemeriksaan Penunjang
Elektroensefalografi (EEG)
D. Tatalaksana
1. Obat Anti Epilepsi (OAE)
Kejang fokal: karbamazepin 400-1200 mg/hari, fenitoin, asam valproat
Kejang umum:
- Tonik klonik: karbamazepin 400-1200 mg/hari, asam valproat,
fenitoin
- Myoklonik: asam valproat
- Absans: asam valproat, ethosuximide, lamotigrine
2. Hindari faktor pencetus
3. Asam folat 1-5 mg/hari, terutama pada pasien dalam masa reproduktif untuk
mencegah cacat janin.
B. Tatalaksana
1. Stadium 1 (0−10 menit) SE Dini
Diazepam 10 mg IV bolus lambat dalam 5 menit. Bila masih kejang dapat
diulang 1 kali lagi atau Midazolam 0.2 mg/kgBB IM.
Pertahankan patensi jalan napas dan resusitasi, berikan oksigen, periksa
fungsi kardiorespirasi, pasang infus.
2. Stadium 2 (0−30 menit)
Monitor pasien
Pemeriksaan emergensi laboratorium: AGD, glukosa, fungsi liver, fungsi
ginjal, elektrolit, fungsi hemostasis.
Berikan glukosa (D50% 50 ml) dan/atau thiamine 250 mg i.v kecurigaan
penyalahgunaan alkohol atau defisiensi nutrisi.
Terapi asidosis asidosis berat.
3. Stadium 3 (0−60 menit) SE Menetap
Siapkan untuk rujuk ke ICU.
Identifikasi dan terapi komplikasi medis yang terjadi.
Vasopressor bila diperlukan.
Phenytoin i.v dosis of 15–18 mg/kg dengan kecepatan pemberian 50
mg/menit dan/atau bolus Phenobarbital 10–15 mg/kg i.v.dengan kecepatan
pemberian100 mg/menit.
4. Stadium 4 (30−90 menit) SE Refrakter
Pindah ke ICU, perawatan intensif, dan monitor EEG.
Anestesi umum: propofol, midazolam, thiopental sodium.
Monitor tekanan intrakranial bila dibutuhkan.
Berikan antiepilepsi rumatan jangka panjang.
PENYAKIT DEMIELINISASI
B. Sindroma
1. Sindroma Medula Spinalis Anterior (Anterior Cord Syndrome)
Kelumpuhan otot dan hilangnya sensasi nyeri dan suhu pada kedua sisi.
Sensasi raba dan posisi tidak terganggu.
2. Sindroma Medula Spinalis Posterior (Posterior Cord Syndrome)
Gangguan propriosepsi dan getar di bawah segmen yang rusak.
Motorik, sensasi nyeri, dan suhu tidak terganggu.
Myelopati (2)
Sesuai letak tinggi lesi:
C. Pemeriksaan Penunjang
Radiologi: Foto polos vertebra, CT Scan Vertebra, MRI Vertebra; Pungsi lumbal;
Somato Sensory Evoked Potential (SSEP) dan Motor Evoked Potential (MEP)
D. Tatalaksana
1. ABC: pertahankan jalan nafas, beri oksigen bila sesak, beri cairan infus 2 jalur
untuk mencegah terjadinya syok.
2. Immobilisasi dan stabilkan leher menggunakan cervical collar.
3. Stabilisasi Medis: pada penderita tetraparesis atau tetraplegia pasang NGT,
pasang kateter urin.
4. Pemberian megadose methylprednisolone dalam kurun waktu 8 jam setelah
kecelakaan dapat memperbaiki konntusio medula spinalis.
5. Mempertahankan posisi normal vertebra (Spinal Alignment).
6. Dekompresi dan Stabilisasi Spinal.
7. Rehabilitasi: bladder training, bowel training, latihan otot pernafasan,
pencapaian optimal fungsi-fungsi neurologik dan program kursi roda bagi
penderita paraparesis/paraplegia.
Daerah Lumbar
- Nyeri menjalar dari punggung hingga ke tungkai bawah.
- Gerakan punggung terbatas karena nyeri.
- Nyeri diperberat dengan batuk, bersin, atau mengejan.
- Tanda peradangan pada radiks:
o Laseque test (straight leg raise) keterlibatan radiks L5, S1.
o Femoral stretch test keterlibatan radiks L2-L4.
- Kelemahan motorik dan tanda lesi LMN
- Perubahan sensorik: baal, kesemutan, rasa panas, seperti ditusuk-tusuk
- Jika sudah berat dapat disertai gangguan otonom seperti retensi urine.
C. Pemeriksaan Penunjang
Rontgen vertebra, CT-Scan, MRI (gold standard)
D. Tatalaksana
NSAID: ibuprofen, paracetamol.
Modifikasi aktivitas, edukasi pasien mengenai postur tubuh, fisioterapi,
program olahraga.
Collar neck atau korset lumbal sementara selama 2 minggu.
Injeksi kortikosteroid epidural (jika nyeri radikuler hebat di lumbal).
Pembedahan
Pemeriksaan sensibilitas: (+) bila penderita tidak dapat membedakan dua titik
(two-point discrimination) pada jarak lebih dari 6 mm di daerah nervus
medianus.
Pemeriksaan fungsi otonom: apakah ada perbedaan keringat, kulit yang kering
atau licin yang terbatas pada daerah inervasi nervus medianus.
C. Pemeriksaan Penunjang
Elektromiografi (EMG)
Sinar-X pergelangan tangan membantu melihat fraktur atau artritis.
Foto polos leher menyingkirkan adanya penyakit lain pada vertebra.
D. Tatalaksana
Istirahatkan pergelangan tangan.
NSAID
Pemasangan bidai pada posisi netral pergelangan tangan. Bidai dapat
dipasang terus-menerus atau hanya pada malam hari selama 2-3 minggu.
Injeksi steroid. Deksametason 1-4 mg/ml atau hidrokortison 10-25 mg atau
metilprednisolon 20-40 mg diinjeksikan ke dalam terowongan karpal.
Fisioterapi
Operasi
C. Pemeriksaan Penunjang
Elektromiografi (EMG)
Sinar-X pergelangan kaki membantu melihat fraktur atau penyakit lain.
D. Tatalaksana
Konservatif: istirahat, penggunaan walker boat, kortikosteroid, NSAID.
Pemasangan penopang pada arkus medialis plantar pedis.
Fisioterapi
Operasi
Peroneal Palsy (3A)
A. Definisi
Penekanan pada nervus peroneal di caput fibula.
C. Pemeriksaan Penunjang
EMG
Lumbal Pungsi: protein meningkat, sel inflamasi (-).
Pencitraan dan lab: untuk menyingkirkan diagnosis banding lain.
D. Tatalaksana
Monitoring dan terapi suportif: terutama pada pasien ancaman gagal nafas.
Pemberian IVIG 0,4 gram/ kg BB/ hari selama 5 hari atau plasma exchange
(lini pertama).
Plasmaparesis 40-50ml/kg 4 kali dalam seminggu.
Kombinasi methylprednisolone dosis tinggi dan IVIG memiliki manfaat
singkat
Tindakan rehabilitasi disesuaikan dengan derajat kelemahan dan disabilitas
pasien.
C. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan antibody antiMuSK dan antibody AchR-ab, EMG
D. Tatalaksana
Antikolinesterase: piridostigmin 1x60 mg, neostigmine, edrofonium
Kortikosteroid: prednisone mulai dari 5 mg/hari hingga 50 mg/hari
Imunomodulasi: immunoglobulin intravena (IVIg), plasma exchange
Azatioprin atau siklosporin
Bedah: timektomi
Poliomiositis (1)
A. Definisi
Kelainan otot akibat inflamasi idiopatik.
C. Pemeriksaan Penunjang
Lab: leukositosis atau trombositosis, LED atau CRP meningkat, kadar enzim
otot meningkat, myoglobinuria, autoantibodi, faktor rheumatoid (+)
EMG
Pemeriksaan histopatologi
C. Tatalaksana
Tidak ada tatalaksana spesifik. Tatalaksana disesuaikan dengan temuan klinis pasien.
GANGGUAN NEUROBEHAVIOUR
1. Adams RD, Victor M, Ropper AH. Principles of neurology. Adams And Victor’s
Principles Of Neurology. 9th ed. New York: McGraw-Hill Medical. 2009.
2. Yogarajah M. Crash Course: Neurology-E-Book. Elsevier Health Sciences; 2013
Jul 29.
3. Young PA, Young PH. Basic clinical neuroanatomy. Williams & Wilkins; 1997.
4. Moore KL, Dalley AF, Agur AM. Clinically oriented anatomy. Lippincott
Williams & Wilkins; 2013 Feb 13.
5. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Panduan praktik klinis neurologi.
Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2016.
6. Departemen Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran.
Kegawatdaruratan neurologi. Bandung: 2018.
7. Departemen Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran.
neurology in daily practice. Bandung: 2018.
8. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Kapita selekta kedokteran. Jakarta:
Media Aesculapius. 2014:329-0.
9. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Pedoman tatalaksana epilepsi.
Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2016.
PEDIATRI 1
ENDOKRIN
HIPOGLIKEMIA
Disebut hipoglikemia apabila kadar gula darah kurang dari 40mg% pada bayi dan anak.
Hipoglikemia dapat asimptomatik atau disertai dengan gejala gangguan susunan saraf
pusat dan kardiopulmonal. Kadar glukosa harus berkisar 70-100 mg/dL (normal) untuk
mencegah terjadinya komplikasi. Keterlambatan terapi dapat berpengaruh pada
perkembangan dan fungsi otak.
Penyebab Hipoglikemia:
Pada hari pertama atau kedua setelah kelahiran, hipoglikemia mungkin asimptomatik.
Gejala hipoglikemia pada bayi mungkin didapatkan gejala neuroglikopenik yang berat,
namun tetapi kadang tidak spesifik meliputi:
- Gelisah/rewel
- Sianosis
- Apneu
- Distres respirasi
- Malas minum
- Kejang mioklonik
- Wilting spells atau myoclonic
jerks
- Jitteriness
- Kejang
- Somnolen, letargi, apatis
- Temperatur subnormal
- Berkeringat
- Hipotonia
Manifestasi klinis pada anak:
- Simpatomimetik: pucat, keringat dingin, kehilangan nafsu makan--
- Neuroglikopenik: disorientasi, perubahan perilaku, nyeri kepala, strabismus,
letargi --atau somnolen, kejang, koma
Terapi:
1. Apabila pasien sadar, dapat minum dan menelan dengan baik. Segera diberikan
karbohidrat yang cepat diserap dengan baik (glukosa tablet, jelly glukosa, larutan
gula, perasan buah-buahan, atau madu.
2. Bila pasien tidak bisa diberikan oral. berikan secara IV bolus glukosa D10% 1-
2mL/kgBB (dextrose 0,25-0,5 mg/kgBB), diikuti dengan glukosa 10% 3-5
ml/kgBB/jam (6-8,g/kgBB.menit).
Gigantisme Akromegali
Gagel RF, McCutcheon IE. Pituitary gigantism. New England Journal of Medicine. 1999 Feb
18;340(7):524-.
B. Akromegali (SKDI 2)
A. Dwarfism (SKDI )
B. Creatinism (SKDI )
THYROID HORMONE
HIPOTIROID (SKDI 2)
1. Anamnesis
- Ikterus/kuning lama
- Letargi
- Sulis BAB / konstipasi
- Tidak mau makan/minum/menetek
- Tubuh teraba dingin
- Kelahiran postdate
- Retardari perkembangan
- Gagal tumbuh/pendek
- Suara menangis serak
- Riwayat lahir di daerah endemic kekurangan iodium
2. Pemeriksaan Fisik
- Skin mottling
- Hernia umbilikalis
- Wajah khas pseudohipertelorism
- Ikterus
- Makroglosia
- Frontanel dan sutura melebar
- Abdomen membuncit
- Hipotonia, kulit kering/cutis
- marmorata
- Refleks lambat
- Goiter
3. Pemeriksaan Penunjang
- Laboratorium penunjang: TSH meningkat fT4 turun
- Bone age
- USG kelenjar tiroid
- Sidik tiroid
4. Skoring dan algoritma Hipotiroid Kongenital
Nilai normal <3, jika ≥4 maka dilakukan pemeriksaan laboratorium sebagai berikutL
HIPERTIROID (SKDI 2)
1. Anamnesis
- Emosi labil
- Mudah lelah
- cemas
- Intoleransi panas
- Penurunan performa di sekolah
- Otot lemah
- Tremor
- Mudah berkeringan
- Nafsu makan meningkat namun BB turun
- Sering buang air besar
- Menstruasi tidak teratur atau amenore
- Terdapat riwayat di keluarga
2. Pemeriksaan Fisik
- Gelisah, emosi labil, banyak berkeringat, wajah
kemerahan (flushing), tremor
- Kardiovaskular: takikardia, palpitasi, tekanan darah
tinggi, bising sistol di apeks
- Optalmologi: proptosis, mata merah, lid-lag, dan
lid retraction
- Kelenjar tiroid: goiter difus, simestri dan tidak
nyeri, ada thyroid bruit
- Refleks tendon meningkat
3. Pemeriksaan Penunjang
- Laboratorium: T3 dan T4 meningkat, TSH turun
- EKG: right axis deviation, takikardia
- Bone age: lebih dari usia kronologis
- Sidik tiroid
- USG tiroid
- MRI tiroid
- Biopsi
Diabetes Melitus (SKDI 2)
Sebagian besar DM pada anak masuk pada diabetes mellitus tipe 1, yang merupakan
penyakit autoimun kronik. Terjadi kerusakan sel B pancreas sehingga produksi insulin
berkurang atau bahkan terhenti. Faktor genetik sangat menentukan kondisi ini terutama
pada gen HLA. namun keadaan ini juga dapat dipresipitasi oleh fakator liingkungan
seperti virus, bahan kimia atau racun lingkungan.
1. Anamnesis
- Badan lemas dan lesu
- Sering BAK atau mengompol
- Makan banyak tetapi badan semakin kurus
- Air kencing dikerubungi semut
2. Pemeriksaan Fisik
- Haambatan pertumbuhan TB dan BB saat ploying
- Ganggian maturitas kelamin
- Tanda dehidrasi dan asidosis metabolic
- Tanda infeksi, penyakit autoimun atau sindrom genetic lainnya
3. Pemeriksaan Penunjang
- Gula darah: Jika GDP >126mg/dL atau GDS >200mg/dL
- HbA1C meningkat
- C-peptide menurun
- Urin: reduksi (+), keton (+) bila terjadi ketoasidosis, mikroalbuminuria jika ada
penyulit ginjal
KELAINAN GENETIK
A. Sindrom Turner
B. Sindroma Klinefter
C. Sindroma Marfan
D. Sindroma Jacobs
E. Sindroma Down
F. Sindroma Patau
G. Sindroma Edward
H. Sindrom Cri-di-chat
I. Duchenne Muscular Dystrophy
Sindrom Karakteristik
Sindrom - Perempuan, 45 XO
Turner - Gonad tidak berfungsi
dengan baik dan
dilahirkan tanpa
ovarium dan uterus
- ciri: tubuh pendek,
kehilangan lipatan kulit
di sekitar leher, wajah
anak kecil, tangan kaki
bengkak
Sindrom - Laki-laki, 47 XXY
Klinefelter - Infertilitas,
keterbelakangan mental,
gangguan perkembangan
- ciri fisik: ginekomastia
Anak Perempuan:
- Payudara belum tumbuh pada usia 13 tahun
- Jarak antara tumbuhnya payudara dan haid pertama lebih dari 5 tahun
- Rambut pubis belum tumbuh pada usia 14 tahun
- Belum menstruasi pada usia 16 tahun
Anak Laki-laki:
- Tidak ada pembesaran testis pada usia 14 tahun
- Rambut pubis belum tumbuh sampai usia 15 tahun
- Dibutuhkan lebih dari 5 tahun untuk pembesaran genital
1. Anamnesis
- Adanya penyakit kronik
- Anoreksi/bulemia
- Olah raga berlebihan
- Adanya riwayat keluarga dengan pubertas terlambat-
- Riwayat lahir adanya kelainan kongenital
- Riwayat operasi, kemoterapi
- Gejala-gejala neurologis (gangguan visus, gangguan penciuman)
- Obat-obatan atau zat-zatkimiawi yg pernah terpapar
- Trauma kepala
2. Pemeriksaan Fisik dan penunjang
- Pengukuran pertumbuhan: eunuchoid, perawakan pendek, obesitas, kahektis
- Pembesaran testis (>2,5 mL) pada anak laki diukur menggunakan Prader
Orchidometer atau pembesaran payudara pada anak wanita,.
- Rambut pubis tidak serta merta menunjukkan proses pubertas berjalan
- Evaluasi terhadap kemungkinan mikropenis
- Pelvis ultrasonografi untuk menentukan perkembangan uterus dan ovarium
- Pemeriksaan kelenjar tiroid
- Pemeriksaan neurologis: sensori penciuman, pendengaran, medan penglihatan,
diskus optik (fundus okuli)
- Perkembangan kognitif/perilaku abnormal
- Periksa berbagai stigmata untuk kemungkinan sindrom: Turner, Klinefelter,
Prader Willi, Kallmann’s.
GASTROHEPATOLOGI
DIARE (SKDI 4)
A. DEFINISI
Diare adalah buang air besar (BAB) dengan konsistensi yang lebih lunak dan cair
yang terjadi dengan frekuensi 3 kali atau lebih dalam 24 jam
B. KLASIFIKASI
1. Berdasarkan klinis : ada atau tidaknya darah
- Disentriform: Shigella sp, Salmonella sp, Campylobacter, Entamoeba hystolitica
- Non-disentriform: rotavirus
2. Berdasarkan waktu
- Akut: Diare yang terjadi mendadak dan dapat berlangsung beberapa hari sampei
< 14 hari
- Persisten: Diare akut yang terus berlangsung sampai >14 hari dan umumnya
disebabkan agen infeksius
- Kronis: Diare dengan durasi ≥ 14 hari dan umumnya disebabkan agen non-
infeksius
3. Berdasarkan patomekanisme
- Invasive
- Sekretorik
- Osmotik
C. ETIOLOGI
1. Infeksi
- Virus rotavirus, Norwalk-like virus, enteric adenovirus, astrovirus, calicivirus
- Bakteri shigella sp, salmonella sp, campylobacter, E.Coli
- Parasit Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Cryptosporidium
2. Non-infeksi
- Intoleransi karbohidrat
- Malabsorpsi: karbohidrat, lemak, protein
- Alergi makanan
- Keracunan makanan
- Sindroma usus pendek
- Drug-induced
- Imunodefisiensi
D. PATOMEKANISME
(1) Diare sekretorik
Diare sekretorik adalah diare yang terjadi akibat aktifnya enzim adenil siklase
yang akan mengubah adenosine triphosphate (ATP) menjadi cyclic adenosine
monophosphate (cAMP). Akumulasi cAMP intraselular menyebabkan sekresi aktif air,
ion klorida, natrium, kalium, dan bikarbonat ke dalam lumen usus. Adenil siklase ini
diaktifkan oleh toksin yang dihasilkan dari mikroorganisme antara lain Vibrio cholera,
Enterotoxigenic Eschericia coli (ETEC), Shigella, Clostridium, Salmonella, dan
Campylobacter.
1. Rehidrasi
A. Diare tanpa dehidrasi: rencana terapi A
B. Diare dehidrasi ringan sedang: rencana terapi B
C. Diare dehidrasi berat: rencana terapi C
2. Pemberian zink 10-14 hari
Bertujuan untuk memperpendek lamanya diare dan mengurangi tingkat keparahan.
- Dosis: diberikan selama 10-14 hari
< 6 bulan: 10 mg
≥ 6 bulan: 20 mg
- Sediaan: tablet 20mg, syrup 20mg/5ml
- Mekanisme : mengambah c-AMP activated K channel mengurangi sekresi
air. Meningkatkan regenerasi epitel intestinal. Meningkatkan border enzyme.
3. ASI dan makanan lain tetap diteruskan
- ASI tetap diberikan, jangan dipuasakan
- Diet makanan lunak (sesuai usia): rendah serat, porsi kecil namun sering
- Dapat diberikan jus atau pisang yang dihaluskan untuk memberikan asupan
kalium
- Untuk bayi ≥ 6 bulan diberikan makanan yang dimasak dan dihaluskan
4. Antibiotik selektif
Antibiotik hanya diberikan bila ada indikasi
a. Disentri
BAB cair yang disertai darah. Paling sering disebabkan oleh Shigella, namun
dapat juga disebabkan oleh amoeba.
- Shigellosis: disertai nyeri perut, demam, kejang, letargis, prolapse rectum.
ciri lying-down dystenry
- Amoeba: Walking dysentery. pemeriksaan feces terdapat trofozoit
b. Giardiasis
BAB cair yang disebabkan oleh parasite Giardia lamblia. Gejala khas: feces
berminyak (steatorhea), biasanya disertai dengan absorbs lemak, laktosa,
vitamin A dan B12 terganggu sehingga BB dan nafsu makan menurun bahkan
dapat menyebabkan tumbuh kembang yang terhambat. Pemeriksaan feces
terdapat trofozoit
c. Balantidiasis
Infeksi yang disebabkan oleh Balantidium Coli dan menyerang kolon. Host
primernya adalah babi. Manifestasi klinis dapat menyebabkan diare akut
bahkan sampai persisten. BAB cair, berdarah dan bermukosa, disertai dengan
kekurangan cairan yang parah (resembling dysentery). Pemeriksaan fisik
terdapat trofozoit. Terapi: Metronidazole 35-50mg/kgBB/hari dalam 3 dosis
selama 5 hari.
d. Kolera
Diare akut yang disebabkan oleh bakteria Vibrio Cholerae. Ciri:
- Diare air cucian beras yang sering dan banyak dan cepat menimbulkan
dehidrasi berar
- Diare dengan dehidrasi berat selama terjadi KLB kolera
- Diare dnegan hasil kultur tinja positif untuk V. cholera O1 atau O139
e. E.coli
Diare akut yang disebabkan oleh Escherichia coli. Trasmisinya berlangsung
secara water borne atau food borne. Terdapat 5 jenis E.Coli yang dapat
menyebabkan diare:
- ETEC (Entero Toxigenic E. Coli)
Biasa disebut dengan Traveler diarrhea, gejalanya: diare cair tanpa
demam. Memproduksi heat-labile enterotoxin (LT) dan hear stable toxin
(ST). Penyebab diare pada pengunjung Negara berkembang.
- EPEC (Entero Pathogenic E. Coli)
Biasanya diare yang terjadi pada pengunjung Negara Meksiko dan Afrika
Utara.
- EIEC (Enteroinvasive E. Coli)
Diare uang menyerupai disentri namun disertai dengan demam.
- EHEC (Enteroharmorrhagic E. Coli)
Diare yang biasanya menyebabkan herorrhagic colitis (radang usus besar),
diare berdarah tanpa demam, menyebabkan hemolytic uremic syndrome
(HUS)
KONSTIPASI
Konstipasi adalah kesulitan atau jarang buang air besar yang terjadi selama setidaknya 2
minggu.
Klasifikasi
a. Berdasarkan durasi
- Konstipasi akut: <4 minggu
- Konstipasi kronis ≥ 4 minggu
b. Berdasarkan etiologi
- Konstipasi Organik: terdapat warning sign
- Konstipasi fungsiona;: tanpa warning sign
Menurut kriteria Rome III, diagnosis konstipasi fungsional bila bayi dan anak usia
<4 tahun, dalam 1 bulan minimal memperlihatkan 2 gejala berikut:
1. Defekasi dua kali atau kurang per minggu
2. Minimal 1 episode inkontinens/minggu (setelah anak terlatih ke toilet)
3. Riwayat retensi feses yang berlebihan
4. Riwayat mengedan yang sulit atau sangat sakit
5. Adanya massa feses yang besar pada rektum
6. Riwayat adanya feses dengan diameter besar sehingga menyumbat toilet
Impaksi merupakan keadaan dimana terdapat massa keras pada abdomen kiri bawah yang
teridentifikasi saat pemeriksaan fisis atau teraba tinjak yang banyak dank eras aat
pemeriksaan rectum, atau kumpulan tinja berlebihan pada kolon distal saat pemeriksaan
radiologi. Disimpaksi umumnya dilakukan dengan menggunakan rejimen rektal yang
memberikan efikasi cepat dalam beberapa jam, pada anak biasanya diberikan larutal
elektrolit polietilen glikol (PEG).
Tatalaksana:
KEP (kurang Energi Protein): Suatu kondisi patologis yang diakibatkan kegagalan
kronik dan kumulatif terpenuhinya kebutuhan fisiologis energi dan protein (tidak
mencapai angka kecukupan gizi).
B. Klasifikasi
KEP yang dilakukan dengan menimbang BB anak dibandingkan dengan umur dan
menggunakan KMS dan Tabel BB/U Baku Median WHO-NCHS:
1. KEP ringan: bila hasil penimbangan berat badan pada KMS terletak pada pita
warna kuning
2. KEP sedang: bila hasil penimbangan berat badan pada KMS terletak di Bawah
Garis Merah (BGM).
3. KEP berat/gizi buruk: bila hasil penimbangan BB/U <60% baku median WHO-
NCHS. Pada KMS tidak ada garis pemisah KEP berat/Gizi buruk dan KEP
sedang, sehingga untuk menentukan KEP berat/gizi buruk digunakan Tabel BB/U
Baku Median WHO-NCH
C. KEP Berat
Gejala klinis KEP berat/gizi buruk secara garis besar dapat dibedakan sebagai
marasmus, kwashiorkor atau marasmic-kwashiorkor. Tanpa mengukur/melihat BB bila
disertai edema yang bukan karena penyakit lain adalah KEP berat/Gizi buruk tipe
kwasiorkor.
a. Kwashiorkor
Edema, umumnya seluruh tubuh, terutama pada punggung kaki (dorsum pedis)
Wajah membulat dan sembab
Pandangan mata sayu
Rambut tipis, kemerahan seperti warna rambut jagung, mudah dicabut tanpa rasa
sakit, rontok
Perubahan status mental, apatis, dan rewel
Pembesaran hati
Otot mengecil (hipotrofi), lebih nyata bila diperiksa pada posisi berdiri atau
duduk
Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah warna
menjadi coklat kehitaman dan terkelupas (crazy pavement dermatosis)
Sering disertai penyakit infeksi (umumnya akut), anemia, diare.
b. Marasmus:
Tampak sangat kurus, tinggal tulang terbungkus kulit
Wajah seperti orang tua
Cengeng, rewel
Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada (baggy
pant/pakai celana longgar)
Perut cekung
Iga gambang
Sering disertai: penyakit infeksi (umumnya kronis berulang), diare kronik atau
konstipasi/susah buang air
c. Marasmik-Kwashiorkor:
Gambaran klinik merupakan campuran dari beberapa gejala klinik Kwashiorkor dan
Marasmus, dengan BB/U <60% baku median WHO-NCHS disertai edema yang tidak
mencolok.
D. Etiologi
- Primer : Kekurangan konsumsi makanan
- Sekunder : Akibat penyakit lain seperti penyakit infeksi, ginjal, hati,
jantung, paru, dll
E. Faktor risiko
- Sosial Ekonomi
- Pendidikan orangtua
- Bayi dengan berat badan lahir rendah
- Kurang atau tidak diberi ASI
- Penyakit infeksi
- Faktor lingkungan (banjir, gempa)
F. Diagnosis
1. Anamnesis
- Tanya tentang keluhan utama (onset, progressivity, quality, reliver factor,
aggravating factor, severity, timing)
- Ada keluhan seperti muntah, demam, dll
- Apakah ada keluhan pada BAK dan BAB
- Tanda-tanda komplikasi : dehidrasi, penurunan kesadaran, panas yang sangat
tinggi
- Riwayat pengobatan dan penyakit
- Riwayat makan (food recall)
- Riwayat imunisasi
- Riwayat tumbuh kembang
- Riwayat keluarga
- Riwayat kelahiran
- Cari penyebab primer/sekunder KEP
2. Pemeriksaan Fisis
- Keadaan umum, kesadaran
- Tanda-tanda vital, anthropometric dan status gizi *PLOTTING
- Head to toe examination (ada tanda- tanda dehidrasi, makro dan mikronutrient
defisiensi, etc)
3. Pemeriksaan Penunjang
- Lab rutin (Hb, hct, thrombosit, leukosit, diff count)
- Electrolyte (Na, K, Mg , Cl, Bicarbonate)
- Gula darah
- Total protein, albumin
- Ureum, creatinin
- C-reactive protein
- Stool examination
G. Tatalaksana
a. 10 Langkah utama pada tatalaksana KEP berat:
Jika anak masih menyusui, teruskan ASI dan berikan setiap setengah jam sekali tanpa
berhenti. Jika anak masih dapat minum, lakukan tindakan rehidrasi oral dengan
memberi minum anak 50 ml (3 sendok makan) setiap 30 menit dengan sendok.
Cairan rehidrasi oral khusus untuk KEP disebut ReSoMal (lampiran 4).
Jika tidak ada ReSoMal untuk anak dengan KEP berat/Gizi buruk dapat
menggunakan oralit yang diencerkan 2 kali. Jika anak tidak dapat minum,
lakukankan rehidrasi intravena (infus) cairan Ringer Laktat/Glukosa 5 % dan NaCL
dengan perbandingan 1:1.
4. Koreksi Gangguan Keseimbangan Elektrolit
Ketidakseimbangan elektrolit ini ikut berperan dalam edema, berikan:
- K 2–4 mEq/kgBB/hr (150–300 mg KCl/kgBB/hr)
- Mg 0,3–0,6 mEq/kgBB/hr (7,5–15 mg MgCl 2 /kgBB/hr)
Untuk rehidrasi, beri cairan rendah Na (resomal/pengganti)
Siapkan makanan tanpa diberi garam
Tambahan K dan Mg dapat disiapkan dalam bentuk larutan yang ditambahkan
langsung dalam makanan. Penambahan 20 mL larutan pada 1 L formula dapat
memenuhi kebutuhan K dan Mg.
Pilihan antibiotik spektrum luas yang dapat diberikan disesuaikan dengan kondisinya,
sebagai berikut:
a. Bila tanpa penyulit
Kotrimoksazol 5 mL suspensi pediatri p.o. 2×/hr selama 5 hr (2,5 mL bila BB
<4 kg)
b. Bila anak sakit berat (apatis, letargi) atau ada penyulit (hipoglikemia, hipotermia,
infeksi kulit, saluran respiratori atau kemih), berikan:
Ampisilin 50 mg/kgBB i.m./i.v. setiap 6 jam selama 2 hr, kemudian p.o.
amoksisilin 15 mg/kgBB setiap 8 jam selama 5 hr
Bila amoksisilin tidak ada, teruskan ampisilin 50 mg/kgBB setiap 6 jam p.o.
dan Gentamisin 7,5 mg/kgBB/hr i.m./i.v. selama 7 hr
Bila dalam 48 jam tidak terdapat kemajuan klinis, tambahkan kloramfenikol
25 mg/kg/BB i.m./i.v. setiap 6 jam selama 5 hr
Bila terdeteksi infeksi kuman yang spesifik, tambahkan antibiotik spesifik
yang sesuai. Tambahkan obat anti malaria bila pemeriksaan darah untuk
malaria (+)
Bila anoreksia menetap sesudah 5 hr pengobatan antibiotik, lengkapi
pemberian hingga 10 hr. Bila masih tetap ada, nilai kembali keadaan anak
secara lengkap, termasuk lokasi infeksi, kemungkinan terdapat organisme
yang resisten, serta apakah vitamin dan mineral sudah diberikan dengan benar
Pada awal fase stabilisasi, perlu pendekatan yang sangat hati- hati karena keadaan faali
anak sangat lemah dan kapasitas homeostatik berkurang. Pemberian makanan harus
dimulai segera sesudah anak dirawat dan dirancang sedemikian rupa sehingga energi dan
protein cukup untuk memenuhi metabolisme basal. Formula khusus seperti F WHO 75
yang dianjurkan dan jadwal pemberian makanan harus disusun sedemikian rupa agar
dapat mencapai prinsip tersebut di atas.
a. Berikan formula dengan cangkir/gelas. Bila anak terlalu lemah, berikan dengan
sendok/pipet
b. Pada anak dengan selera makan baik tanpa edema, jadwal pemberian makanan
pada fase stabilisasi dapat diselesaikan dalam 2–3 hr (1 hr/tahap). Bila masukan
makanan <80 kkal/kgBB/hr, berikan sisa formula nasogastrik. Jangan mem-
berikan makanan >100 kkal/kgBB/hr pada fase stabilisasi ini
c. Pantau dan catat:
Jumlah yang diberikan dan sisanya
Muntah
Frekuensi BAB dan konsistensi feses
BB harian
d. Selama fase stabilisasi, diare secara perlahan ↓ dan BB mulai ↑. Tetapi pada
penderita dengan edema, BB akan ↓ dulu bersamaan dengan menghilangnya
edema, baru kemudian BB mulai ↑.
Pada masa rehabilitasi, dibutuhkan berbagai pendekatan secara gencar agar tercapai
masukan makanan yang tinggi dan pertambahan BB >10 g/kgBB/hr. Awal fase
rehabilitasi ditandai dengan kemunculan selera makan, biasanya 1–2 mgg sesudah
dirawat. Transisi secara perlahan dianjurkan untuk menghindari risiko gagal jantung yang
dapat terjadi bila anak mengonsumsi makanan dalam jumlah banyak secara mendadak.
Pada periode transisi dianjurkan untuk merubah secara perlahan-lahan dari formula
khusus awal ke formula khusus lanjutan.
Ganti formula khusus awal (energi 75 kkal dan protein 0,9–1,0 g/100 mL) dengan
formula khusus lanjutan (energi 100 kkal dan protein 2,9 g/100 mL) dalam jangka
waktu 48 jam
Modifikasi bubur/makanan keluarga dapat digunakan asalkan dengan kandungan
energi dan protein yang sama
Kemudian naikkan dengan 10 mL/kali sampai hanya sedikit formula tersisa,
biasanya pada saat tercapai jumlah 30 mL/kgBB/kali (= 200 mL/kgBB/hr)
Pemantauan pada masa transisi (cek frekuensi napas dan frekuensi denyut nadi_
Bila terjadi peningkatan detak napas >5×/mnt dan denyut nadi >25×/mnt dalam
pemantauan setiap 4 jam berturut-turut, kurangi volume pemberian formula
Sesudah normal kembali, ulangi menaikkan volume seperti diatas
Sesudah periode transisi dilampaui, anak diberi:
- Makanan/formula dengan jumlah tidak terbatas dan sering
- Energi: 150–220 kkal/kgBB/hr
- Protein 4–6 g/kgBB/hr
Bila anak masih mendapat ASI, teruskan, tetapi berikan juga formula, karena
energi dan protein ASI tidak akan mencukupi untuk tumbuh kejar
Bila terdapat tanda defisiensi vit. A pada mata → vit. A pada hr ke-1, 2, dan 14 p.o.
dengan dosis:
- Usia >1 th : 200.000 SI/kali
- 6–12 bl : 100.000 SI/kali
- 0−5 bl : 50.000 SI/kali
Bila terdapat ulserasi pada mata dapat ditambahkan perawatan lokal untuk
mencegah prolaps lensa berupa:
- Tetes mata kloramfenikol /salep mata tetrasiklin setiap 2–3 jam selama 7–10
hr
- Tetes mata atropin 1 tetes 3×/hr selama 3–5 hr
- Tutup mata dengan kasa yang dibasahi larutan Nacl
2. Dermatosis
Ditandai hipo/hiperpigmentasi, deskuamasi/kulit mengelupas, lesi ulserasi
eksudatif yang menyerupai luka bakar dan sering disertai infeksi sekunder oleh
kandida; umumnya terdapat defisiensi Zinc sehingga sebagai terapinya diberikan
suplementasi Zn dan ketika dermatosis membaik,penyembuhan akan lebih cepat bila
diberikan:
- Kompres bagian kulit yang terkena dengan larutan KMnO4 1%selama 10
menit
- Salep/krim (Zn dengan minyak kastor)
- Usahakan daerah perineum tetap kering
1. Definisi
Anemia definisi besi (ADB) adalah anemia akibat kekurangan zat besi untuk
sintesis hemoglobin.
2. Diagnosis
a. Anamnesis
- Pucat
- Mudah lelah, lemas, mudah marah, tidak nafsu makan, daya tahan tubuh buruk,
- Gemar memakan makanan yang tidak biasa (pica) seperti es batu, kertas, tanah,
rambut
- Sering memakan bahan makanan yang kurang zat besi atau menghambat
b. Pemeriksaan Fisik
- Tanpa organomegali
losing enteropathy
- Gangguan pertumbuhan
- Penurunan aktivitas kerja
c. Pemeriksaan Penunjang
- Hemoglobin rendah
3. Tatalaksana
a. Preparat besi
Perparat yang tersedia ferrous sulfat, ferrous glukonat, ferrous fumarat, dan
menilai kenaikan kadar Hb/Ht setelah satu bulan, yaitu kenaikan kadar Hb sebesar
2g/dL atau lebih. Bila respon, terapi dilanjurkan sampai 2-3 bulan.
b. Transfusi darah
Hanya diberikan transfuse PRC pada keadaan anemia berat dengan Hb <4g/dL.
4. Pencegahan
a. Pencegahan primer
- ASI ekslusif 6 bulan, menunda penggunaan susu sapi sampai usia 1 tahun
- Pemberian vitamin C seperti jeruk, apel pada waktu makan dan minum preparat
b. Pencegahan sekunder
- Skrining ADB: pemeriksaan Hb atau Ht pada saat usia 9-12 bulan, 24 bulan.
- Skrining pemeriksaan MCV, RDWm ferritin serum dan trial terapi besi
- Sumplemen esi pada daerang yang prevalensi tinggi. Dosis besi elemental:
1. Definisi
Penyakit anemia hemilitik herediter yang disebabkan oleh defek genetic pada
2. Diagnosis
a. Anamnesis
- Terlihat kuning
- Mudah infeksi
b. Pemeriksaan fisik
- Anemia/pucat
- Ikterus
- Facies cooley
- Hepatosplenomagali
- Gizi kurang/buruk
- Perawakan pendek
- Hiperpigmentasi kulit
- Pubertas terlambat
c. Pemeriksaan penunjang
- Hb turun
3. Tatalaksana
- Transfusi darah (Hb ≥ 7) disertai gejala klinis: facies cooley, gangguan tumbuh
1. Definisi
Hemofilia adalah penyakit gangguan pembekuan darah yang bersifat herediter dan
2. Klasifikasi
3. Diagnosis
a. Anamnesis
- Perdarahan intracranial
b. Pemeriksaan Fisik
- Pada perdarahan berat dapat berupa pucat, syok hipovolemik dan penurunan
kesadaran
c. Pemeriksaan Penunjang
- Hb dapat menurun
4. Tatalaksana
a. Tatalaksana Umum
- Cegah perdarahan
b. Perdarahan Akut
- RICE
- Replacement therapy
Henoch-Schoelein purpura (SKDI 2)
1. Definisi
darah kecil pada dermis, gastrointestinal, ginjal, persendian, paru-paru, atau sistem
saraf pusat.
tersebar secara tipikal pada tungkai bawah dan ankle pada anak
massive GI hemorrhage
Immune Trombositopenia Purpura (SKDI 3A)
1. Definisi
2. Diagnosis
a. Anamnesis
- Umumnya terjadi 1-3 minggu setelah infeksi, bisa juga terjadi setelah
hidup
aspirin.
b. Pemeriksaan Fisik
- Perdarahan purpura pada kulit dan mukosa (hidung, gusi, saluran cerna
c. Pemeriksaan Penunjang
- Trombositopenia
- Masa perdarahan memanjang (Bleeding Time)
3. Tatalaksana
- Perdarahan retina
- Perdarahan berat
atau keseluruhan, sehingga dapat diukur dengan satuan panjang dan berat
kompleks dalam kemampuan gerak kasar, gerak halus dan bahasa serta social
dan kemandirian.
a. Faktor Internal
- Perbedaan ras/etnik/bangsa
- Keluarga
- Umur
- Jenis kelamin
- Kelainan genetik/kromososom
b. Faktor Eksternal
3. Pertumbuhan
Pertumbuhan dapat dinilai dengan melakukan pemeriksaan status gizi anak. Kemudian
Plotting pada grafik z-score WHO:
- Usia 0-2 tahun: PB/U, BB/U, BB/PB, LK/U
- 2-5 tahun: TB/U, BB/U, BB/TB, LK/U
- 5-10 tahun: BB/U, IMT/U
- 11-19 tahun: IMT/U
4. Perkembangan
1. Klasifikasi
- Vaksin Hidup: Vaksin hidup yang dilemahkan. Mereka akan tumbuh dalam tubuh
penerima vaksin tetapi tidak akan menyebabkan sakit atau hanya sakit ringan,
bakteri dan lain-lain) yang telah dimatikan dengan proses menggunakan bahan
2. Kontraindikasi Vaksin
a. Absolut
b. Relatif
11 bulan, trombositopenia
- Demam >40,5’C, syok, kejang, menangis >3jam dalam 48 jam pasca vaksin DPT
sebelumnya
- Prematur atau BBLR: berat badan harus >2kg atau usia 2 bulan
3. Waktu Pemberian (Rekomendasi IDAI 2017)
4. Cara Pemberian
a. Reaksi ringan
- Sakit, bengkak, dan kemerahan kompres dingin pada lokasi suntikan, dapat
diberikan paracetamol
- Demam >38’C Berikan minum yang banyak, berikan pakaian yang sejuk dan
- rewel, malaise dan gejala sistemik lainnya berikan minum yang banyak
b. Reaksi berat
- Kolaps/syok anafilaksis
- Sepsis
- Ensefalitis
- Kejang
- Kelemahan otot/kelumpuhan
REFERENSI
1. IKA PANTER
Abortus
Abortus adalah berakhirnya kehamilan pada usia kehamilan <20 minggu atau berat <500
gram.
DIAGNOSIS
Abortus Iminens
Anamnesis: perdarahan dari jalan lahir (biasanya sedikit), nyeri perut ringan/tidak ada
Pemeriksaan dalam: terdapat fluksus, ostium uteri tertutup, ukuran uterus sesuai usia
kehamilan
Pemeriksaan penunjang: USG dapat menunjukkan bahwa hasil konsepsi masih utuh dan
terdapat tanda kehidupan janin; meragukan; atau tidak baik dan janin/embrio sudah
mati/tidak ada.
Abortus Insipiens
Anamnesis: perdarahan dari jalan lahir disertai nyeri/kontraksi rahim
Pemeriksaan dalam: ostium uteri terbuka, hasil konsepsi masih terdapat di dalam rahim,
dan ketuban teraba utuh dan mungkin menonjol
Abortus inkomplit
Anamnesis: perdarahan dari jalan lahir, biasanya banyak, disertai nyeri/kontraksi rahim,
bisa terdapat syok bila perdarahan banyak
Pemeriksaan dalam: ostium uteri terbuka dan sisa jaringan hasil konsepsi dapat teraba
Abortus febrilis
Abortus febrilis merupakan abortus inkomplit atau insipiens yang disertai infeksi.
Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan dalam: Pasien mungkin menderita syok septik saat
masuk rumah sakit. Ostium uteri umumnya terbuka dan sisa jaringan teraba, perabaan
uterus dan adneksa menimbulkan nyeri, fluksus berbau
Abortus komplit
Ananmesis: perdarahan dari jalan lahir (biasanya tidak lebih dari 10 hari), nyeri perut
sedikit/tidak ada
Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan dalam: ostium uteri terbuka/tertutup, uterus lebih
kecil dari usia gestasi
Abortus tertunda
Pemeriksaan fisik: ostium uteri tertutup, uterus lebih kecil dari usia gestasi
TATALAKSANA
Tatalaksana umum
Lakukan penilaian secara cepat mengenai keadaan umum ibu termasuk tanda-tanda
vital (nadi, tekanan darah, pernapasan, suhu).
Periksa tanda-tanda syok (akral dingin, pucat, takikardi, tekanan sistolik <90 mmHg).
Jika terdapat syok, lakukan tatalaksana awal syok.
Bila terdapat tanda-tanda sepsis atau dugaan abortus dengan komplikasi, berikan
kombinasi antibiotika sampai ibu bebas demam untuk 48 jam:
• Ampicillin 2 g IV/IM kemudian 1 g diberikan setiap 6 jam
• Gentamicin 5 mg/kgBB IV setiap 24 jam
• Metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam
Segera rujuk ibu ke rumah sakit .
Semua ibu yang mengalami abortus perlu mendapat dukungan emosional dan
konseling kontrasepsi pasca keguguran.
Tatalaksana khusus
Kehamilan Ektopik
Kehamilan ektopik merupakan kehamilan yang terjadi di luar uterus. Apabila terjadi
ruptur di lokasi implantasi kehamilan, maka akan terjadi keadaan perdarahan masif dan
nyeri abdomen akut yang disebut kehamilan ektopik terganggu.
DIAGNOSIS
Kehamilan ektopik yang belum mengalami ruptur umumnya ditegakkan melalui USG
dan pada kondisi yang belum ruptur pasien biasanya tidak mengeluhkan gejala. Gejala
biasanya baru muncul bila sudah terjadi ruptur yaitu pada kondisi kehamilan ektopik
terganggu (KET). Triase gejala meliputi amenorea, nyeri, dan perdarahan pervaginam.
Anamnesis:
Faktor risiko:
o Riwayat kehamilan ektopik sebelumnya
o Riwayat operasi di daerah tuba dan/atau tubektomi
o Riwayat penggunaan AKDR
o Infertilitas
o Riwayat inseminasi buatan atau teknologi bantuan reproduktif (assisted
reproductive technology/ART)
o Riwayat infeksi saluran kemih dan pelvic inflammatory disease/PID
o Merokok
o Riwayat abortus sebelumnya
o Riwayat promiskuitas
o Riwayat seksio sesarea sebelumnya
Perdarahan pervaginam dari bercak hingga berjumlah sedang
Nyeri perut, dapat bersifat unilateral atau bilateral di bagian bawah perut dan
terkadang terasa sampai ke bagian atas perut
Amenorea
Pemeriksaan fisik:
Kesadaran menurun
Pucat
Hipotensi dan hipovolemia
Pembesaran uterus tetapi umumnya sedikit lebih kecil dibandingkan dengan uterus
pada kehamilan intrauterin yang berusia sama
Nyeri goyang porsio
Serviks tertutup
TATALAKSANA
Tatalaksana umum:
Restorasi cairan tubuh dengan cairan kristaloid NaCl 0,9% atau Ringer Laktat (500
mL dalam 15 menit pertama) atau 2 L dalam 2 jam pertama.
Segera rujuk ibu ke rumah sakit.
Mola Hidatidosa
Mola hidatidosa adalah bagian dari penyakit trofoblastik gestasional, yang disebabkan
oleh kelainan pada villi khorionik yang disebabkan oleh proliferasi trofoblastik dan villi
dan edema stroma.
Mola hidatidosa dapat dibedakan menjadi mola hidatidosa komplit dan mola hidatidosa
parsial/inkomplit.
Mola hidatidosa komplit merupakan kehamilan abnormal tanpa embrio, terjadi ketika
kromosom ovum absen atau mengalami inaktivasi sehingga kromosom pada mola
hidatidosa komplit adalah 46,XX yang terbentuk akibat androgenesis
DIAGNOSIS
Anamnesis:
Pemeriksaan fisik:
Pemeriksaan penunjang:
Nilai β-hCG meningkat dibandingkan nilai normal untuk usia kehamilan ibu
USG:
o Snowstorm appearance pada mola komplit
o Pada mola inkomplit terdapat gambaran crinkling atau scalloping villi dan
inklusi trofoblas di strom (stromal trophoblastic inclusion) serta ditemukan
jaringan embrionik atau janin
Hiperemesis Gravidarum
Mual dan muntah yang terjadi pada kehamilan hingga usia 16 minggu. Pada keadaan
muntah-muntah yang berat, dapat terjadi dehidrasi, gangguan asam-basa dan elektrolit
dan ketosis; keadaan ini disebut hiperemesis gravidarum.
Pada urin ditemukan protein, aseton, urobilinogen, pertambahan porfirin, dan silinder
positif
Ketidakseimbangan elektrolit
Asidosis
Tatalaksana:
Semua yang dimakan dan diminum dimuntahkan, apalagi bila telah berlangsung lama
BB turun >10% BB normal
Dehidrasi
Adanya aseton dalam urin
HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN
Hipertensi Kronik
Merupakan hipertensi tanpa proteinuria yang timbul dari sebelum kehamilan dan menetap
setelah persalinan
Diagnosis:
Hipertensi gestasional
Merupakan hipertensi tanpa proteinuria yang timbul setelah kehamilan 20 minggu dan
menghilang setelah persalinan.
Diagnosis:
Preeklamsia
Merupakan hipertensi dan proteinuria yang terjadi pada usia kehamilan >20 minggu pada
ibu hamil yang sebelumnya normotensif.
Pencegahan:
1. Ibu:
a. Kehamilan >37 minggu
b. Terdapat tanda dan gejala impending eclampsia (nyeri kepala hebat,
penglihatan kabur, nyeri ulu hati, gelisah dan hiperrefleksia, gagal terapi
konservatif, peningkatan tekanan darah dalam 6 jam sejak terapi medisinal
dimulai, gagal perbaikan setelah 24 jam sejak terapi medisinal dimulai)
2. Janin: gawat janin, pertumbuhan janin terhambat
3. Laboratorik: sindrom HELLP (Hemolysis, Elevated Liver enzyme, Low Platelet
count)
Diagnosis:
Ibu dengan riwayat hipertensi kronik (sudah ada sebelum usia kehamilan 20 minggu)
Tes celup urin menunjukkan proteinuria >+1 atau trombosit <100.000 sel/uL pada
usia kehamilan > 20 minggu
Eklamsia
Diagnosis:
Bila terjadi kejang, perhatikan jalan napas, pernapasan (oksigen), dan sirkulasi (cairan
intravena).
MgSO4 diberikan secara intravena kepada ibu dengan eklampsia (sebagai tatalaksana
kejang) dan preeklampsia berat (sebagai pencegahan kejang).
Pada kondisi di mana MgSO4 tidak dapat diberikan seluruhnya, berikan dosis awal
(loading dose) lalu rujuk ibu segera ke fasilitas kesehatan yang memadai.
Cara pemberian MgSO4
o Berikan dosis awal 4 g MgSO4 sesuai prosedur untuk mencegah kejang atau
kejang berulang.
CARA PEMBERIAN DOSIS AWAL
• Ambil 4 g larutan MgSO4 (10 ml larutan MgSO4 40%) dan larutkan dengan
10 ml akuades
• Berikan larutan tersebut secara perlahan IV selama 20 menit
• Jika akses intravena sulit, berikan masing-masing 5 g MgSO4 (12,5 ml
larutan MgSO4 40%) IM di bokong kiri dan kanan
o Sambil menunggu rujukan, mulai dosis rumatan 6 g MgSO4 dalam 6 jam.
CARA PEMBERIAN DOSIS RUMATAN
Ambil 6 g MgSO4 (15 ml larutan MgSO4 40%) dan larutkan dalam 500 ml
larutan Ringer Laktat/Ringer Asetat, lalu berikan secara IV dengan kecepatan
28 tetes/menit selama 6 jam, dan diulang hingga 24 jam setelah persalinan
atau kejang berakhir (bila eklampsia)
Keterangan tambahan:
Ibu dengan hipertensi berat selama kehamilan perlu mendapat terapi antihipertensi.
Pilihan terapi antihipertensi:
Ibu yang mendapat terapi antihipertensi di masa antenatal dianjurkan untuk
melanjutkan terapi antihipertensi hingga persalinan.
Antihipertensi golongan ACE inhibitor (misalnya kaptopril), ARB (misalnya
valsartan), dan klorotiazid dikontraindikasikan pada ibu hamil.
Pada ibu dengan eklampsia, bayi harus segera dilahirkan dalam 12 jam sejak
terjadinya kejang
Induksi persalinan dianjurkan bagi ibu dengan preeklampsia berat dengan janin yang
belum viable atau tidak akan viable dalam 1-2 minggu.
Pada ibu dengan preeklampsia berat, di mana janin sudah viable namun usia
kehamilan belum mencapai 34 minggu, manajemen ekspektan dianjurkan, asalkan
tidak terdapat kontraindikasi (lihat algoritma di halaman berikut). Lakukan
pengawasan ketat.
Pada ibu dengan preeklampsia berat, di mana usia kehamilan antara 34 dan 37
minggu, manajemen ekspektan boleh dianjurkan, asalkan tidak terdapat hipertensi
yang tidak terkontrol, disfungsi organ ibu, dan gawat janin. Lakukan pengawasan
ketat.
Pada ibu dengan preeklampsia berat yang kehamilannya sudah aterm, persalinan dini
dianjurkan.
Pada ibu dengan preeklampsia ringan atau hipertensi gestasional ringan yang sudah
aterm, induksi persalinan dianjurkan.
PERDARAHAN ANTEPARTUM
Plasenta previa
Anamnesis:
Pemeriksaan Fisik:
Diagnosis:
Anamnesis:
Pemeriksaan fisik:
a. Ringan : Perdarahan kurang dari 100-200cc, uterus tidak tegang, belum ada tanda
renjatan, janin hidup, pelepasan plasenta kurang dari 1/6 bagian permukaan, kadar
fibrinogen plasma lebih dari 250 mg %
b. Sedang : Perdarahan lebih dari 200 cc, uterus tegang, terdapat tanda pra renjatan, gawat
janin atau jenin telah mati, pelepasan plasenta sampai 2/3 bagian permukaan, kadar
fibrinogen plasma 120-150 mg%
c. Berat : Uterus tegang dan berkontraksi tetanik, terdapat tanda renjatan, biasanya janin
telah mati, pelepasan plasenta bisa terjadi pada lebih dari 2/3 bagian permukaan atau
keseluruhan bagian permukaan.
Tali pusat berinsersi pada selaput ketuban dimana pembuluh darahnya berjalan di antara
lapisan amnion dan korion melalui pembukaan serviks.
Diagnosis:
KPD adalah pecahnya selaput ketuban sebelum terjadinya persalinan. Ketuban pecah dini
dapat terjadi pada atau setelah usia gestasi 37 minggu dan disebut KPD aterm atau
premature rupture of membranes (PROM) dan sebelum usia gestasi 37 minggu atau KPD
preterm atau preterm premature rupture of membranes (PPROM).
Anamnesis:
Pemeriksaan obstetri:
Pemeriksaan dalam sebaiknya tidak dilakukan kecuali akan dilakukan penanganan aktif
(melahirkan bayi) karena dapat mengurangi latensi dan meningkatkan kemungkinan
infeksi
Pemeriksaan penunjang:
Tes Nitrazin: lihat apakah kertas lakmus berubah dari merah menjadi biru.
Gambaran pakis yang terlihat di mikroskop ketika mengamati sekret servikovaginal
yang mengering.
Tatalaksana umum:
Diagnosis
Korioamnionitis adalah diagnosis klinis yang ditegakkan bila ditemukan demam >38 0C
dengan 2 atau lebih tanda berikut ini:
Faktor predisposisi
Persalinan prematur
Persalinan lama
Ketuban pecah lama
Pemeriksaan dalam yang dilakukan berulang-ulang
Adanya bakteri patogen pada traktus genitalia (IMS, BV)
Alkohol
Rokok
Tatalaksana:
Tatalaksana Umum
Persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu.
Faktor Predisposisi
Kriteria Diagnosis
Tatalaksana
Tatalaksana umum:
Berbaring dengan posisi miring ke kiri dan pemberian cairan bila perlu
Mengobati bakteriuria asimtomatik
Menghilangkan/mengurangi faktor risikodengan istirahat, perbaikan gizi, mengobati
anemia, dll
Tidak berhubungan seksual
Memantau kontraksi uterus
Tatalaksana medisinal:
Disebabkan oleh distosia. Distosia adalah persalinan sulit yang ditandai dengan hambatan
kemajuan persalinan.
1. Power (kekuatan)
a. Kelainan his
b. Kekuatan mengejan kurang kuat (misalkan kelainan dinding perut akibat luka
parut baru, diastasis muskulus rektus abdominis, kelelahan ibu)
2. Passanger (janin)
a. Kelainan letak janin
b. Kelainan presentasi janin
c. Kelainan posisi janin
d. Kehamilan ganda
e. Bayi besar (makrosomia)
f. Cacat bawaan (hidrosefalus, dll)
3. Passage (kelainan ukuran atau bentuk panggul/jalan lahir)
Kelainan His
Inersia uteri
Inersia uteri adalah pemanjangan fase laten atau aktif atau keduanya. Inersia uteri
diklasifikasikan menjadi:
Hipotonis Hipertonis
Waktu Fase aktif Fase laten
Nyeri Tidak nyeri Nyeri berlebih
Gawat janin Lambat terjadi Cepat terjadi
Reaksi terhadap oksitosin baik Tidak baik
Pengaruh sedatif sedikit besar
Partus presipitatus
Merupakan persalinan yang lebih pendek dari 3 jam, terjadi akibat his yang kuat dan
kurangnya tahanan jalan lahir.
Kelainan Posisi
Kelainan Presentasi
Presentasi muka: pada posisi ini, leher hiperekstensi sehingga oksiput kontak dengan
punggung dan yang teraba adalah dagu.
Pemeriksaan abdominal: lekukan akan teraba antara daerah oksiput dan punggung
(sudut Fabre), denyut jantung janin sepihak dengan bagian kecil janin
Pemeriksaan dalam: teraba orbita, hidung, tulang pipi, mulut, dan dagu.
Presentasi dahi:
Pemeriksaan abdominal: kepala janin lebih separuhnya di atas pelvis, denyut jantung
janin sepihak dengan bagian kecil
Pemeriksaan dalam, teraba sutura frontalis, ubun-ubun besar, pinggir orbita, dan
pangkal hidung.
Kelainan Letak
a. Presentasi bokong murni (frank breech): bagian depan bokong, kedua tungkai lurus
ke atas
b. Presentasi bokong kaki (complete breech): disamping bokong, kaki teraba. Disebut
semourna bila kedua kaki ikut teraba dan tidak sempurna bila hanya teraba satu kaki
c. Presentasi kaki (incomplete breech)
Faktor predisposisi: diabetes mellitus, genetik, multiparitas, kehamilan lewat waktu, usia
ibu tua, janin laki-laki
Persalinan pada makrosomia:
Persalinan pervaginam dapat dicoba untuk taksiran berat janin hingga 5000 gram
pada ibu tanpa diabetes.
Seksio sesarea dipertimbangkan untuk taksiran berat janin >5000 gram pada ibu
tanpa diabetes, dan >4500 gram pada ibu dengan diabetes.
Seksio sesarea menjadi indikasi bila taksiran berat janin >4500 gram dan terjadi
perpanjangan kala II persalinan atau terhentinya penurunan janin di kala II
persalinan.
Distosia Bahu
Distosia bahu adalah suatu keadaan dimana setelah kepala dilahirkan, bahu anterior tidak
dapat lewat di bawah simfisis pubis.
Diagnosis:
Faktor predisposisi:
Tatalaksana distosia bahu dengan ALARMER:
Pendekatan vaginal dengan perasat Rubin: bahu didorong menuju dada atau
tekanan diberikan ke skapula bahu anterior
R: Rotation of the posterior shoulder (perasat Woods): bahu depan diputar 1800
sehingga bahu depan dan bahu belakang yang sudah diputar ke depan akan lahir
dibawah simfisis
E: Episiotomy
Panggul Sempit
PERSALINAN LAMA
Fase ekspulsi (kala II) memanjang: tidak ada kemajuan penurunan bagian terendah janin
pada persalinan kala II. Dengan batasan waktu:
- Maksimal 3 jam untuk nulipara dan 2 jam untuk multipara bila pasien menggunakan
analgesia epidural
Diagnosis
• Tali pusat tampak pada vagina setelah ketuban pecah (tali pusat menumbung, ketuban
sudah pecah)
Kelainan pada kala 3 dan 4 ditandai dengan perdarahan pascasalin. Perdarahan pascasalin
didefinisikan sebagai kehilangan darah dari saluran genitalia >500 ml setelah melahirkan
pervaginam atau >1000 ml setelah melahirkan secara seksio sesarea.
Etiologi (4T):
o Tone: atonia uteri (kelemahan tonus uterus untuk menghentikan perdarahan dari
bekas insersi plasenta)
o Trauma: robekan jalan lahir dari perineum, vagina, sampai uterus
o Tissue: sisa plasenta atau bekuan darah yang menghalangi kontraksi uterus yang
adekuat
o Thrombin: gangguan faktor pembekuan darah
Faktor Risiko:
Ruptur perineum
Derajat ruptur:
2: robekan hingga perineum yang tidak melibatkan kompleks anak sphinter tetapi
melibatkan otot perineum (bulbospongiosus dan superficial transverse perineal
muscles)
3b: >50% external anal sphincter, internal anal sphincter masih intak
3c: robekan pada external anal sphincter dan internal anal sphincter
4: robekan pada perineal body, seluruh kompleks anal sphincter, dan mukosa
anorektal
Tatalaksana:
1. Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi sumber perdarahan.
2. Lakukan irigasi pada tempat luka dan bersihkan dengan antiseptik.
3. Hentikan sumber perdarahan dengan klem kemudian ikat dengan benang yang
dapat diserap.
4. Lakukan penjahitan.
5. Bila perdarahan masih berlanjut, berikan 1 g asam traneksamat IV (bolus selama
1 menit, dapat diulang setelah 30 menit) lalu rujuk pasien.
Ruptur serviks
Paling sering terjadi pada bagian lateral bawah kiri dan kanan dari porsio.
Tatalaksana:
1. Jepitkan klem ovum pada lokasi perdarahan.
2. Jahitan dilakukan secara kontinu dimulai dari ujung atas robekan kemudian ke
arah luar sehingga semua robekan dapat dijahit
3. Bila perdarahan masih berlanjut, berikan 1 g asam traneksamat IV (bolus
4. selama 1 menit, dapat diulang setelah 30 menit) lalu rujuk pasien.
Ruptur uteri (HARUS DIRUJUK!)
Gejala ancaman (indikasi untuk segera menyelesaikan persalinan, pada saat
menunggu persalinan ibu diberikan morfin 20 mg untuk mengurangi kekuatan his):
o Lingkaran retraksi patologis/lingkaran Bandl yang tinggi, mendekati pusat
dan naik terus
o Kontraksi rahim kuat dan terus menerus
o Penderita gelisah, nyeri di perut bagian bawah, juga diluar his
o Palpasi segmen bawah rahim (diatas simfisis) menimbulkan nyeri
o Ligamen rotundum tegang bahkan ketika tidak ada his
o BJA biasanya tidak terdengar atau tidak baik
o Hematuria
Gejala bila ruptur uteri sudah terjadi:
o Dalam kontraksi kuat, pasien tiba-tiba merasa nyeri ketika dipalpasi
o Segmen bawah rahim terasa sangat nyeri saat dipalpasi
o His berhenti/hilang
o Ada perdarahan pervaginam
o Bagian anak mudah diraba
o Terkadang disamping anak teraba tumor (rahim yang mengecil)
o Pemeriksaan dalam: bagian depan mudah ditolak keatas bahkan kadang tidak
teraba lagi
o BJA tidak ada
o Pasien mengalami syok
o Bila sudah lama terjadi, seluruh perut nyeri dan gembung
o Hematuria
Berikan 20-40 IU oksitosin dalam 1000 ml larutan NaCl 0,9%/Ringer Laktat dengan
kecepatan 60 tetes/menit dan 10 IU IM. Lanjutkan infus oksitosin 20 IU dalam 1000
ml larutan NaCl 0,9%/RL dengan kecepatan 40 tetes/menit hingga perdarahan
berhenti
Lakukan tarikan tali pusat terkendali
Bila tarikan tali pusat terkendali tidak berhasil, lakukan plasenta manual
Cara melakukan manual plasenta:
1. Berikan sedatif diazepam 10 mg IM/IV.
2. Antibiotika dosis tunggal (profilaksis):
Ampisilin 2 g IV + metronidazol 500 mg IV, ATAU
Cefazolin 1 g IV + metronidazol 500 mg IV
3. Cuci tangan dan pasang sarung tangan panjang steril.
4. Jepit tali pusat dengan klem dan tegangkan sejajar dengan lantai.
5. Masukkan tangan dalam posisi obstetri dengan menelusuri bagian bawah tali
pusat
6. Tangan sebelah dalam menyusuri tali pusat hingga masuk ke dalam kavum uteri,
sedangkan tangan di luar menahan fundus uteri, untuk mencegah inversio uteri.
7. Menggunakan lateral jari tangan, disusuri dan dicari pinggir perlekatan (insersi)
plasenta.
8. Tangan obstetri dibuka menjadi seperti memberi salam, lalu jari-jari dirapatkan.
9. Tentukan tempat implantasi plasenta, temukan tepi plasenta yang paling bawah.
10. Gerakkan tangan kanan ke kiri dan kanan sambil bergeser ke arah kranial hingga
seluruh permukaan plasenta dilepaskan.
11. Pegang plasenta dan keluarkan tangan bersama plasenta.
12. Pindahkan tangan luar ke suprasimfisis untuk menahan uterus saat plasenta
dikeluarkan.
13. Eksplorasi untuk memastikan tidak ada bagian plasenta yang masih melekat pada
dinding uterus.
14. Periksa plasenta lengkap atau tidak, bila tidak lengkap, lakukan eksplorasi ke
dalam kavum uteri.
Berikan antibiotika profilaksis dosis tunggal (ampisilin 2 g IV dan metronidazol 500
mg IV).
Segera atasi atau rujuk ke fasilitas yang lebih lengkap bila terjadi komplikasi
perdarahan hebat atau infeksi.
Berikan 20-40 IU oksitosin dalam 1000 ml larutan NaCl 0,9%/Ringer Laktat dengan
kecepatan 60 tetes/menit dan 10 IU IM. Lanjutkan infus oksitosin 20 IU dalam 1000
ml larutan NaCl 0,9%/RL dengan kecepatan 40 tetes/menit hingga perdarahan
berhenti
Lakukan eksplorasi digital (bila serviks terbuka) dan keluarkan bekuan darah dan
jaringan. Bila serviks hanya dapat dilalui oleh instrumen, RUJUK
Berikan antibiotika profilaksis dosis tunggal (ampisillin 2 g IV DAN metronidazole
500 mg).
Jika perdarahan berlanjut, tatalaksana seperti kasus atonia uteri.
Segera reposisi uterus. Namun jika reposisi tampak sulit, apalagi jika inversio telah
terjadi cukup lama, bersiaplah untuk merujuk ibu.
Cara reposisi manual:
Pegang uterus pada daerah insersi tali pusat dan masukkan kembali melalui serviks,
dimulai dari bagian fundus. Gunakan tangan lain untuk membantu menahan uterus
dari dinding abdomen. Jika plasenta masih belum terlepas, lakukan plasenta manual
setelah tindakan reposisi.
Jika ibu sangat kesakitan, berikan petidin 1 mg/kgBB (jangan melebihi 100 mg) IM
atau IV secara perlahan atau berikan morfin 0,1 mg/kgBB IM.
Jika reposisi gagal, RUJUK
PATOLOGI NIFAS
Metritis
Metritis ialah infeksi pada uterus setelah persalinan. Keterlambatan terapi akan menyebabkan
abses, peritonitis, syok, trombosis vena, emboli paru, infeksi panggul kronik, sumbatan tuba,
infertilitas.
Diagnosis:
Tatalaksana:
Mastitis
Diagnosis:
Faktor predisposisi:
o Menyusui selama beberapa minggu setelah melahirkan
o Puting yang lecet
o Menyusui hanya pada satu posisi, sehingga drainase payudara tidak sempurna
o Menggunakan bra yang ketat dan menghambat aliran ASI
o Riwayat mastitis sebelumnya saat menyusui
Payudara (biasanya unilateral) keras, memerah, dan nyeri
Dapat disertai demam >380 C
Paling sering terjadi di minggu ke-3 dan ke-4 postpartum, namun dapat terjadi kapan saja
selama menyusui
Tatalaksana:
Berikan antibiotika :
o Kloksasilin 500 mg per oral per 6 jam selama 10-14 hari
R/kloksasilin 500 mg caps No. XL
S 4dd caps 1 ac
o ATAU eritromisin 250 mg per oral 3 kali sehari selama 10-14 hari
R/eritromisin 250 mg tab No. XXX
S 3dd tab 1 pc
Dorong ibu untuk tetap menyusui, dimulai dengan payudara yang tidak sakit. Bila payudara
yang sakit belum kosong setelah menyusui, pompa payudara untuk mengeluarkan isinya.
Kompres dingin pada payudara untuk mengurangi bengkak dan nyeri.
Berikan parasetamol 3 x 500 mg per oral.
Sangga payudara ibu dengan bebat atau bra yang pas.
Lakukan evaluasi setelah 3 hari.
Bendungan payudara
Bendungan payudara adalah bendungan yang terjadi pada kelenjar payudara oleh karena ekspansi
dan tekanan dari produksi dan penampungan ASI.
Diagnosis:
Faktor predisposisi:
o Posisi menyusui yang tidak baik
o Membatasi menyusui
o Membatasi waktu bayi dengan payudara
o Memberikan suplemen susu formula untuk bayi
o Menggunakan pompa payudara tanpa indikasi sehingga menyebabkan suplai
berlebih
o Implan payudara
Payudara bengkak dan keras
Nyeri pada payudara
Terjadi 3 – 5 hari setelah persalinan
Kedua payudara terkena
Tatalaksana:
Abses Payudara
Diagnosis:
Inverted Nipple
Tatalaksana:
Jka retraksi tidak dalam, susu dapat diperoleh dengan menggunakan pompa payudara.
Jika puting masuk sangat dalam, suatu usaha harus dilakukan untuk mengeluarkan puting
dengan jari pada beberapa bulan sebelum melahirkan.
DAFTAR PUSTAKA
6. The Society of Obstetricians and Gynaecologists of Canada. Advances in Labour and Risk
Management Course Manual. 22nd ed. SCOG;2016.
THT
TELINGA
GANGGUAN PENDENGARAN (TULI)
DEFINISI
Tuli terbagi menjadi tiga, yaitu tuli konduktif (conductive deafness), tuli sensorineural
(sensorineural deafness), dan tuli campur (mixed deafness). Pada tuli konduktif terdapat gangguan
hantaran suara yang disebabkan oleh kelainan atau penyakit di telinga luar atau di telinga tengah.
Pada tuli sensorineural kelainan terdapat pada koklea (telinga dalam), nervus VIII atau di pusat
pendengaran, sedangkan tuli campur disebabkan oleh kombinasi tuli konduktif dan tuli
sensorineural.
1. Kebisingan
Seseorang berisiko terkena gangguan pendengaran jika bekerja dengan intensitas
kebisingan lebih dari 85 dBA selama 8 jam/hari atau lebih.
2. Umur
Gangguan pendengaran akibat bertambahnya umur disebabkan oleh perubahan patologi
pada organ auditor.
3. Penggunaan obat-obatan yang bersifat ototoksik, contoh: antibiotik golongan
aminoglikosida selama 14 hari.
4. Riwayat infeksi telinga.
5. Kebiasaan merokok.
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
a. Onset terjadinya gangguan pendengaran.
b. Progresivitas gangguan pendengaran.
c. Tiba-tiba atau perlahan.
d. Terjadi pada salah satu atau kedua telinga.
e. Riwayat kelainan atau penyakit pada telinga sebelumnya, riwayat trauma, riwayat
penggunaan obat-obatan jangka panjang yang bersifat ototoksik, riwayat bekerja di
lingkungan bising dalam jangka waktu cukup lama, dan lain-lain.
f. Gejala yang menyertai seperti nyeri telinga, tinitus, pusing berputar, dan lain-lain.
2. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan pemeriksaan fisik yang bertujuan untuk mencari penyebab gangguan
pendengaran dan jenis gangguan pendengaran.
a. Inspeksi dan palpasi bagian pre aurikular, aurikular, dan post aurikular.
b. Inspeksi canalis acusticus externa dengan menggunakan headlamp dan otoskop.
c. Inspeksi membran timpani dengan menggunakan otoskop.
d. Tes pendengaran sederhana
Dilakukan tes bisik/tes suara, terjadi penurunan fungsi dengar.
e. Tes pendengaran dengan menggunakan garpu tala (Tes Rinne, Tes Weber, Tes
Schwabach).
Pada tuli konduktif: Tes Rinne -, Tes Weber lateralisasi ke arah telinga yang
bermasalah, Tes Schwabach memanjang.
Pada tuli sensorineural: Tes Rinne +, Tes Weber lateralisasi ke arah telinga yang sehat,
Tes Schwabach memendek.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Audiometri, untuk mengetahui jenis dan derajat gangguan pendengaran.
b. CT scan kepala dan MRI, untuk mengetahui apakah ada kelainan seperti neuroma
akustik dan malformasi tulang temporal.
c. Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui kemungkinan terjadi infeksi.
TATALAKSANA
REFERENSI
1. Buku ajar ilmu THT-KL FK UI Edisi 7
2. Bailey's Head and Neck Surgery - Otolaryngology Volume 1&2 Edisi 5
3. Boies Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6
DESKRIPSI
Inflamasi pada aurikular dapat berupa trauma pada aurikular maupun infeksi pada aurikular.
Trauma aurikular dapat disebabkan oleh cidera traumatika yang menyebabkan terjadinya
hematoma. Penanganan hematoma aurikular yang tidak steril dapat menyebabkan infeksi yang
ditandai dengan radang pada tulang rawan aurikular, menyebabkan penumpukan pus yang dikenal
dengan perikondritis.
1. Etiologi
a. Trauma pada daun telinga, baik trauma tumpul maupun tajam.
b. Proses tindakan medis yang tidak steril pada telinga.
c. Pada perikondritis: keterlibatan bakteri seperti Pseudomonas aeruginosa,
Staphylococcus sp., dan Streptococcus sp.
2. Faktor risiko
a. Pekerjaan: seperti petinju dan atlet bela diri.
b. Penanganan trauma aurikular yang tidak adekuat.
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
a. Hematoma aurikular
Riwayat trauma pada telinga.
Muncul benjolan pada telinga.
Telinga terasa sakit.
Penurunan pendengaran dapat terjadi.
b. Perikondritis
Riwayat perawatan trauma telinga yang tidak steril.
Telinga terasa sakit.
Dapat disertai demam.
Penurunan pendengaran dapat terjadi.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Hematoma aurikular
Benjolan pada aurikular.
Hiperemis pada benjolan.
Terasa lunak dan terdapat fluktuasi.
Nyeri saat dilakukan palpasi.
Jika dilakukan aspirasi dengan spuit steril, pada punctum akan terdapat darah
(othematoma) atau serosa (pseudohematoma) – GOLD STANDARD.
b. Perikondritis
Edema luas pada aurikular.
Hiperemis aurikular.
Nyeri saat dilakukan palpasi.
Suhu tubuh dapat meningkat.
Jika terdapat supurasi, akan terasa fluktuasi saat palpasi.
Jika sudah terjadi nekrosis akan terlihat deformitas daun telinga.
Jika abses pecah, akan keluar pus bercampur darah dari lokasi luka.
3. Pemeriksaan Penunjang
Tidak rutin dilakukan.
TATALAKSANA
1. Hematoma aurikular
a. Drainase secara steril menggunakan spuit yang steril.
b. Balut tekan pada daerah hematoma agar tidak terjadi pengumpulan cairan berulang.
c. Beri antibiotik untuk mencegah infeksi.
d. Beri analgetik.
2. Perikondritis
a. Jika terbentuk abses, lakukan drainase abses.
b. Beri analgetik seperti parasetamol atau ibuprofen.
c. Beri antibiotik (Kloksasilin 4x500 mg peroral atau Gentamisin 2x80 mg
intramuskular).
d. Bila terjadi sengatan serangga yang menimbulkan alergi, dapat diberikan antihistamin
oral atau steroid topikal.
e. Dapat dilakukan eksisi jika terdapat nekrosis.
PENULISAN RESEP
REFERENSI
DEFINISI
Herpes zoster otikus atau dikenal juga sebagai Ramsay Hunt Syndrome tipe 1, merupakan infeksi
virus Varicella zoster yang mengenai ganglion genikullatum.
1. Etiologi
Herpes zoster otikus disebabkan oleh virus Varicella zoster yang mengalami reaktivasi dari
infeksi sebelumnya.
2. Faktor Risiko
a. Imunokompromais.
b. Pasien dengan usia tua.
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
a. Gejala prodromal seperti demam, sakit kepala dan malaise.
b. Nyeri pada telinga.
c. Rasa terbakar disekitar wajah, bersifat unilateral di tempat lesi herpes tersebut, rasa
terbakar juga bisa dirasakan di sekitar mulut dan lidah.
d. Mual dan muntah.
e. Gangguan pendengaran.
f. Telinga berdenging.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Tampak vesikel pada liang telinga, konka, dan daun telinga.
b. Bintik-bintik kemerahan pada kulit di belakang telinga, dinding lateral hidung, palatum
molle, dan lidah bagian anterolateral.
c. Dapat terjadi paralisis saraf fasialis.
d. Uji penala: tuli sensoris.
3. Pemeriksaan Penunjang
Dilakukan tes PCR untuk mendeteksi VZV di eksudat telinga.
TATALAKSANA
PENULISAN RESEP
FISTULA PREAURIKULAR
DESKRIPSI
Fistula preaurikular merupakan kelainan herediter yang dominan. Fistula dapat ditemukan di
depan tragus, berbentuk bulat atau lonjong, dengan ukuran seujung pensil. Dari muara fistula
sering keluar sekret yang berasal dari kelenjar sebasea.
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
a. Terdapat lubang kecil di dekat tragus.
b. Keluar sekret.
c. Jika mengalami infeksi tampak ada tanda peradangan pada bagian fistula.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Tampak ada lubang seukuran ujung pensil di dekat tragus.
b. Tampak ada sekret yang keluar dari fistula.
c. Jika mengalami infeksi, tampak ada tanda peradangan seperti nyeri dan hiperemis.
3. Pemeriksaan penunjang
Untuk menentukan panjang fistel dilakukan pemeriksaan radiologik yaitu fistulografi.
TATALAKSANA
Bila tidak terdapat keluhan tidak diperlukan tindakan operasi. Tindakan operasi dilakukan jika
sering timbul infeksi atau keluarnya sekret yang berkepanjangan sehingga mengganggu aktivitas.
Jika dilakukan operasi fistel, harus diangkat seluruhnya untuk mencegah kekambuhan.
REFERENSI
LABIRINTITIS
DEFINISI
Labirintitis merupakan infeksi yang terjadi pada bagian vestibula labirin. Labirintitis yang
mengenai seluruh bagian labirin disebut labirintitis umum atau difus. Sedangkan labirintitis yang
terbatas disebut juga labirintitis sirkumskripta.
Labirintitis terjadi karena adanya penyebaran infeksi ke ruang perilimfa. Terdapat dua bentuk
labirintitis, yaitu labirintitis serosa dan labirintitis supuratif. Labirintitis serosa dapat berbentuk
labirintitis serosa difus dan labirintitis serosa sirkumskripta. Labirintitis supuratif dibagi dalam
bentuk labirintitis supuratif akut difus dan labirintitis supuratif kronik difus.
GEJALA
Labirintitis umum atau difus memiliki gejala vertigo berat dan tuli sangat berat. Sedangkan
labirintitis terbatas atau sirkumskripta menyebabkan terjadinya vertigo saja atau tuli saraf saja.
TATALAKSANA
Rujuk ke Sp.THT-KL untuk dilakukan tindakan operasi. Tindakan operasi harus segera dilakukan
untuk menghilangkan infeksi dari telinga tengah. Kadang-kadang diperlukan juga drainase pus
dari labirin untuk mencegah terjadinya meningitis.
REFERENSI
OTITIS EKSTERNA
DEFINISI
Otitis eksterna merupakan suatu peradangan atau infeksi pada kanalis auditorius eksternal dan atau
daun telinga. Kondisi ini merupakan salah satu kondisi medis yang paling umum terjadi pada atlet
air.
KLASIFIKASI
DEFINISI
Otitis eksterna sirkumskripta dikenal juga sebagai bentuk furunkel/bisul, merupakan peradangan
pada sepertiga luar liang telinga yang mengandung adneksa kulit seperti folikel rambut, kelenjar
sebasea dan kelenjar serumen.
ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO
1. Etiologi
a. Staphylococcus aureus
b. Staphylococcus albus
2. Faktor Predisposisi
a. Perubahan pH kulit kanalis menjadi lebih basa
b. Perubahan lingkungan, terutama peningkatan suhu dan kelembaban
c. Trauma ringan karena membersihkan telinga secara berlebihan
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
a. Nyeri telinga yang muncul saat membuka mulut
b. Gangguan pendengaran, jika furunkel menyumbat liang telinga
c. Cairan keluar dari liang telinga bila furunkel pecah
2. Pemeriksaan Fisik
a. Nyeri tekan tragus
b. Liang telinga hiperemis dan terdapat furunkel di sepertiga bagian luar liang telinga
c. Terdapat abses jika furunkel pecah
3. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan
TATALAKSANA
Fase supurasi
DEFINISI
Otitis eksterna difusa merupakan infeksi pada duapertiga kulit dalam liang telinga, ditandai dengan
keadaan liang telinga hiperemis dan edema yang tidak berbatas tegas.
1. Etiologi
a. Pseudomonas aeruginosa
b. Staphylococcus aureus
c. Staphylococcus albus
d. Eschericia coli
e. Proteus mirabilis
2. Faktor Predisposisi
a. Sering berenang
b. Iklim hangat dan lembab
c. Benda asing dalam liang telinga
d. Trauma liang telinga
e. Pemakaian alat bantu dengar
f. Diabetes melitus
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
a. Nyeri telinga saat membuka mulut.
b. Gatal liang telinga
c. Telinga terasa penuh
d. Gangguan pendengaran
e. Adanya sekret yang keluar dari liang telinga dan berbau tidak sedap
2. Pemeriksaan Fisik
a. Nyeri tekan tragus
b. Nyeri tarik daun telinga
c. Liang telinga hiperemis, sempit, terdapat edema dengan batas tidak tegas
d. Sekret berbau
e. KGB preaurikular, servikal anterior dapat membesar dan nyeri
3. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan
TATALAKSANA
PENULISAN RESEP
DEFINISI
Otitis eksterna kronik merupakan infeksi dan radang difus kronik atau penyembuhan tidak
sempurna pada liang telinga selama lebih dari tiga bulan yang dapat menimbulkan jaringan parut
dan memicu terjadinya penyempitan liang telinga permanen.
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
a. Rasa gatal pada liang telinga
2. Pemeriksaan Fisik
a. Kulit liang telinga terlihat kering
b. Hipertrofi liang telinga
c. Penyempitan liang telinga
3. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan
TATALAKSANA
1. Bersihkan liang telinga secara rutin
2. Antiseptik
3. Antibiotik tetes telinga
4. Terapi simptomatik untuk mengurangi rasa gatal
5. Rujuk untuk dilakukan pembedahan berupa operasi rekonstruksi liang telinga, kanalplasti
dan skin graft.
PENULISAN RESEP
DEFINISI
Otitis eksterna nekrotika merupakan infeksi difus di liang telinga luar dan struktur lain di
sekitarnya. Biasanya terjadi pada orang tua dengan penyakit diabetes melitus. Peradangan meluas
secara progresif ke lapisan subkutis, tulang rawan dan tulang di sekitarnya, sehingga timbul
kondritis, osteitis, dan osteomielitis yang menghancurkan tulang temporal.
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
a. Rasa gatal pada liang telinga
b. Nyeri di liang telinga dan meluas ke area temporal
c. Sekret telinga yang banyak
d. Pembengkakan liang telinga
2. Pemeriksaan Fisik
a. Jaringan granulasi pada dinding liang telinga
b. Paralisis saraf fasialis
c. Sindrom foramen jugular
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Kultur sekret telinga: + Pseudomonas aeruginosa
b. Uji sensitivitas antipseudomonas
c. LED meningkat
d. Biopsi jaringan granulasi
e. Evaluasi keadaan jaringan dengan MRI/ CT scan
TATALAKSANA
PENULISAN RESEP
REFERENSI
DEFINISI
Otitis eksterna akut adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba
eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid yang terjadi dalam waktu kurang dari 3 minggu.
1. Etiologi
a. Bakteri
Streptococcus pneumonia (42% etiologi tersering pada orang dewasa)
Haemophilus influenza (etiologi utama pada anak dibawah 5 tahun)
Moraxella catarrhalis (10-20%)
Staphylococcus aureus
b. Virus
Respiratory syncytial virus
Parainfluenza (tipe 1,2 dan 3)
Rhinovirus
c. Lain-lainnya
Chlamydia
Mycoplasma
2. Faktor Predisposisi
a. Bayi dan anak
b. Infeksi saluran nafas atas berulang
c. Kelainan kongenital, misalnya sumbing langit-langit, palatoskisis
d. Imaturitas sistem imun
e. Alergi
f. Tingkat sosioekonomi rendah
g. Merokok
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
STADIUM ANAMNESIS
Oklusi tuba Telinga terasa penuh atau sedikit nyeri
Pendengaran dapat berkurang
Hiperemis Nyeri telinga semakin intens
Demam
Rewel dan gelisah (pada anak)
Nafsu makan hilang
Supurasi Nyeri telinga hebat
Demam tinggi
Rewel dan gelisah (pada anak)
Kejang dapat terjadi
Anak sering memegang telinga karena nyeri
Perforasi Nyeri mereda
Demam mereda
Keluar sekret dari liang telinga
Resolusi Setelah sekret keluar, keluhan seperti demam dan nyeri akan
mereda
Bila perforasi permanen, pendengaran tetap berkurang
2. Pemeriksaan Fisik
a. Suhu dapat meningkat
b. Tes garpu tala: dapat ditemukan tuli konduktif
c. Pemeriksaan menggunakan otoskopi
STADIUM PEMERIKSAAN FISIK KETERANGAN
Oklusi tuba Retraksi membran timpani
Membran timpani dapat keruh, pucat,
atau normal
Refleks cahaya dapat menurun atau
hilang
Hiperemis Membran timpani hiperemis
Edema membran timpani
Bisa terdapat sekret serosa
3. Pemeriksaan Penunjang
Audiometri nada murni: dapat ditemukan tuli konduktif (BC < 25 dB atau normal, AC ˃
25 dB, terdapat gap antara AC dan BC).
TATALAKSANA
1. Stadium oklusi
Terapi bertujuan untuk membuka sumbatan tuba eustachius, obat yang diberikan adalah
dekongestan, analgetik dan antibiotik jika etiologinya bakteri.
2. Stadium hiperemis
Obat yang diberikan adalah dekongestan, analgetik dan antibiotik jika etiologinya bakteri.
3. Stadium supurasi
Berikan terapi simptomatik dan rujuk ke Sp.THT-KL untuk dilakukan miringotomi.
4. Stadium perforasi
Bersihkan telinga dengan aural toilet, antiseptik dan antibiotik tetes atau oral jika
diperlukan.
PENULISAN RESEP
1. Stadium oklusi
2. Stadium hiperemis
4. Stadium perforasi
REFERENSI
DEFINISI
Otitis media serosa adalah peradangan di telinga tengah dengan pengumpulan cairan di rongga
telinga tengah. Tidak terdapat tanda infeksi akut dan tidak ada perforasi membran timpani.
1. Etiologi
a. Gangguan fungsi tuba eustachius
b. Alergi
c. Otitis media akut yang belum sembuh sempurna
d. Barotrauma
e. Infeksi virus
2. Faktor risiko
a. Kelainan anatomis: hipertrofi adenoid, celah palatum, anomamli kraniofasial
b. Faktor fungsional: cerebral palsy, Down syndrome
c. Faktor lingkungan: bottle feeding, asap rokok
KLASIFIKASI
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
a. Telinga terasa penuh
b. Terasa sensasi cairan mengalir di dalam telinga
c. Terdengar suara dalam telinga ketika menelan
d. Pendengaran menurun
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan menggunakan otoskopi ditemukan:
a. Membran timpani tampak suram dan berwarna kekuningan
b. Retraksi membran timpani
c. Refleks cahaya memudar atau hilang
d. Sikatrik pada membran timpani akibat peradangan kronis
e. Terdapat air fluid level atau gelembung pada OME yang berisi cairan serosa
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pneumatic otoscope, gerakan membran timpani menurun atau hilang.
b. Impedance audiometry, digunakan untuk mengukur perubahan impedans akustik
sistem membran timpani melalui perubahan tekanan udara di telinga luar.
c. Pure tone audiometry, ditemukan tuli konduktif pada telinga yang sakit.
TATALAKSANA
PENULISAN RESEP
REFERENSI
DEFINISI
Otitis media supuratif kronik adalah peradangan kronik telinga tengah dengan perforasi membran
timpani dan riwayat keluarnya sekret dari telinga selama lebih dari 12 minggu, baik terus menerus
maupun hilang timbul.
1. Etiologi
a. Pseudomonas aeruginosa (43,2%)
b. Staphylococcus aureus
c. Staphylococcus pneumonia
d. Haemophilus influenza
e. Staphylococcus albus
2. Faktor risiko
a. Penanganan OMA yang tidak adekuat atau terlambat
b. Higienitas kurang
c. Gizi buruk
d. Infeksi saluran napas bagian atas berulang
e. Daya tahan tubuh rendah
f. Berprofesi sebagai penyelam
KLASIFIKASI
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
a. Keluar cairan dari liang telinga secara terus menerus atau hilang timbul selama lebih
dari 12 minggu
b. Riwayat keluar cairan dari liang telinga sebelumnya
c. Cairan berwarna kuning kehijauan atau bisa bercampur darah dan berbau
d. Penurunan pendengaran di bagian telinga yang sakit
e. Demam, vertigo, dan rasa nyeri
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan menggunakan otoskopi ditemukan:
a. OMSK tipe aman/benign
Perforasi sentral atau pada pars tensa
Sekret mukoid dan tidak terlalu berbau
Mukosa kavum timpani tidak terdapat edema, hipertrofi maupun jaringan granulasi
b. OMSK tipe bahaya/malignan
Perforasi atik, marginal, atau total
Sekret purulen dan sangat berbau
Terdapat kolesteatoma dan jaringan granulasi.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Tes garpu tala: menunjukkan tuli konduktif
b. Audiometri nada murni: dapat ditemukan tuli konduktif (BC < 25 dB atau normal, AC
˃ 25 dB, terdapat gap antara AC dan BC).
c. Apusan sekret telinga tengah untuk kultur bakteri dan uji sensitivitas.
d. Foto X-Ray mastoid untuk melihat apakah ada destruksi tulang mastoid.
e. CT scan jika dicurigai adanya invasi ke intrakranial.
TATALAKSANA
PENULISAN RESEP
MASTOIDITIS
DEFINISI
Mastoiditis adalah suatu peradangan pada telinga tengah yang merupakan bentuk komplikasi dari
otitis media supuratif kronis.
1. Etiologi
a. Staphylococcus aureus
b. Staphylococcus pneumonia
c. Streptococcus pyogenes
2. Faktor risiko
a. Penanganan OMSK yang tidak adekuat atau terlambat
b. Daya tahan tubuh rendah
KLASIFIKASI
1. Mastoiditis akut
a. Berhubungan dengan OMA.
b. Kerusakan struktur mastoid terlihat seperti sarang lebah yang membentukan kavitas
yang menyerupai abses.
2. Mastoiditis kronis
a. Berhubungan dengan OMSK.
b. Disertai dengan pembentukan kolesteatoma yang tumbuh dan mengganggu struktur
dan fungsi normal dari jaringan disekitarnya.
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
a. Nyeri telinga menetap dan berdenyut
b. Nyeri di daerah belakang telinga
c. Keluar cairan dari telinga yang persisten selama lebih dari 3 minggu
d. Riwayat otitis media sebelumnya
e. Demam
f. Sakit kepala
g. Penurunan pendengaran
2. Pemeriksaan fisik
a. Suhu meningkat
b. Telinga menonjol
c. Pembengkakan retroaurikuler
d. Otoskopi: gambaran OMA dengan atau tanpa perforasi
e. Tes garpu tala: tuli konduktif
3. Pemeriksaan penunjang
a. Darah lengkap: leukositosis, LED meningkat
b. Kultur balteri dan uji sensitivitas
c. Audiometri nada murni: dapat ditemukan tuli konduktif (BC < 25 dB atau normal, AC
˃ 25 dB, terdapat gap antara AC dan BC).
d. Foto polos mastoid proyeksi standar adalah posisi Lateral atau Schuller dan Oblique,
atau Stenver. Dapat ditemukan adanya gambaran perselubungan yang tidak homogen
pada daerah antrum mastoid dan sel udara mastoid.
e. CT scan
f. MRI
TATALAKSANA
1. Antibiotik
a. Sefotaksim (IV): 50-180 mg/kgBB/hari maksimal 1 g per dosis setiap 4 jam
b. Seftriakson (IV): 50-75 mg/kgBB/hari masksimal 1 g per dosis setiap 12 jam
c. Vankomisin (untuk infeksi mastoid dengan osteitis) 2 g IV per hari dibagi 2-4 dosis/hari
2. Steroid dosis tinggi (IV)
3. Analgetik dan antipiretik
4. Rujuk ke Sp. THT-KL bila tidak ada perbaikan setelah terapi medikamentosa atau bila
terdapat komplikasi
PENULISAN RESEP
REFERENSI
MIRINGITIS BULLOSA
DEFINISI
Miringitis bullosa merupakan peradangan primer pada membran timpani. Proses infeksi
melibatkan lapisan tengah membran timpani yang ditandai dengan adanya bula berwarna merah
atau ungu pada membran timpani dan dinding kanalis di dekatnya.
ETIOLOGI
Bakteri piogenik yang menyebabkan otitis media akut seperti Streptococcus haemolyticus,
Staphylococcus aureus, Haemophylus influenza, Pneumococcus (pada anak-anak), dan
Mycoplasma pneumonia (pada dewasa).
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
a. Nyeri telinga
b. Pendengaran menurun
c. Riwayat otitis media akut atau otitis media supuratif kronis sebelumnya
2. Pemeriksaan fisik
a. Pada pemeriksaan menggunakan otoskopi dapat ditemukan adanya bleb (bula)
berwarna merah atau ungu pada membran timpani dan dinding kanalis di dekatnya.
Bula mengandung cairan serosa, darah atau keduanya.
b. Pemeriksaan menggunakan garpu tala menunjukkan Tes Rinne +, Tes Weber
menunjukkan lateralisasi kontralateral, Tes Schwabach memendek (tuli sensorineural).
3. Pemeriksaan penunjang
a. Audiometri nada murni: sensorineural hearing loss nada tinggi
b. Timpanometri: tipe C
TATALAKSANA
PENULISAN RESEP
REFERENSI
DEFINISI
Benda asing di telinga adalah benda yang dalam keadaan normal tidak ada di dalam telinga.
ETIOLOGI
FAKTOR RISIKO
1. Usia anak-anak
2. Retardasi mental
3. Dalam kondisi kesadaran menurun menyebabkan faktor kecerobohan
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
a. Rasa tidak nyaman pada telinga
b. Rasa tersumbat pada telinga
c. Nyeri telinga
d. Pendengaran terganggu
e. Bisa tidak muncul keluhan apapun
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan menggunakan lampu kepala atau otoskop terlihat adanya benda asing di
liang telinga luar
3. Pemeriksaan penunjang
Foto X-Ray (jika benda logam)
TATALAKSANA
1. Benda asing serangga harus dimatikan terlebih dahulu dengan meneteskan minyak, air
garam, eter atau alkohol kedalam liang telinga dan kemudian diekstraksi dengan
menggunakan forsep. Hindari penggunaan alkohol jika terdapat perforasi karena alkohol
bersifat ototoksik.
2. Benda asing organik yang kecil dapat diekstraksi dengan pengait benda asing atau forsep.
3. Benda asing organik higroskopis mudah mengembang bila terkena cairan, maka hindari
supaya tidak terkena cairan.
4. Benda asing anorganik yang terlihat dapat diekstraksi dengan pengait kecil atau loop
serumen, dan bila tidak terlihat cukup disemprot dengan cairan (irigasi).
REFERENSI
DEFINISI
Perforasi membran timpani adalah suatu lubang pada membran timpani yang dapat menutup
spontan atau tidak dapat menutup secara spontan. Perforasi membran timpani harus dinilai:
ETIOLOGI
1. Perforasi membran timpani biasanya disebabkan oleh trauma atau infeksi. Sumber trauma
meliputi fraktur tulang temporal, cedera ledakan, atau hantaman keras pada telinga.
2. Perforasi lebih jarang bisa disebabkan oleh benda asing (misalnya cotton bud, peniti, dan
lainnya) yang didorong terlalu dalam ke bagian kanalis auditorius eksternus.
3. Perforasi juga bisa disebabkan oleh infeksi, membran timpani dapat mengalami ruptur
spontan bila tekanan dalam telinga tengah lebih besar dari tekanan atmosfer dalam kanalis
auditorius eksternus.
4. Perforasi akibat terkumpulnya cairan dalam kavum timpani yang menekan membran
timpani.
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
a. Nyeri telinga
b. Keluar cairan atau darah dari telinga
c. Demam (apabila disebabkan oleh infeksi)
d. Telinga berdenging
e. Pusing berputar
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan menggunakan lampu kepala dan otoskop dapat terlihat lubang pada
membran timpani, dapat pula disertai dengan darah pada CAE.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Audiometri nada murni: Tes Rinne -, Tes Weber lateralisasi ke arah ipsilateral, Tes
Schwabach memanjang (tuli konduktif).
b. Timpanometri: tipe B (flat).
TATALAKSANA
PENULISAN RESEP
REFERENSI
OTOSKLEROSIS
DESKRIPSI
Otosklerosis merupakan penyakit pada kapsul tulang labirin yang mengalami spongiosis di daerah
kaki stapes, sehingga stapes menjadi kaku dan tidak dapat menghantarkan getaran suara ke labirin
dengan baik. Manifestasi klinik baru muncul bila penyakit sudah cukup luas mengenai ligamen
anulus kaki stapes. Pada awal penyakit akan timbul tuli konduktif dan dapat menjadi tuli campur
atau tuli saraf bila penyakit telah menyebar ke koklea.
ETIOLOGI
Penyebab penyakit ini belum dapat dipastikan. Diperkirakan beberapa faktor ikut sebagai
penyebab seperti faktor keturunan dan gangguan pendarahan pada stapes.
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
a. Pendengaran terasa berkurang secara progresif
b. Pasien merasa pendengaran terdengar lebih baik dalam ruangan bising (Paracusis
Willisii)
c. Tinitus
d. Vertigo
2. Pemeriksaan fisik
a. Pemeriksaan menggunakan otoskop menunjukkan membran timpani utuh dan dalam
kondisi normal atau bisa juga terdapat kemerahan pada membran timpani akibat
pelebaran pembuluh darah promontium (Schwarte’s sign)
b. Tuba biasanya paten dan tidak terdapat riwayat penyakit telinga atau trauma kepala
atau telinga sebelumnya.
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan audiometri nada murni dan pemeriksaan impedance.
TATALAKSANA
1. Rujuk ke Sp. THT-KL untuk dilakukan tindakan operasi stapedektomi atau stapedotomi.
2. Pada kasus yang tidak dapat dilakukan tindakan operasi, alat bantu dengar dapat digunakan
sementara untuk membantu pendengaran pasien.
REFERENSI
TIMPANOSKLEROSIS
DEFINISI
Etiologi dari timpanosklerosis belum diketahui pasti, mungkin dibentuk dari sisa inflamasi kronis
telinga tengah. Faktor lain yang mungkin berhubungan antara lain:
KLASIFIKASI
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
a. Secara klinis terdapat sedikit atau tidak ada gangguan pendengaran
b. Memiliki riwayat OMA atau OMSK sebelumnya
c. Memiliki riwayat trauma pada telinga sebelumnya
d. Memiliki riwayat pemasangan ventilasi tube atau tindakan pembedahan membran
timpani lainnya.
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan menggunakan otoskop, tampak gambaran semisirkuler atau seperti
sepatu kuda yang berwarna putih pada membran timpani.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Audiometri nada murni
b. Timpanometri
c. CT scan, bila disertai dengan kelainan pada kavitas telinga tengah
TATALAKSANA
REFERENSI
KOLESTEATOMA
DEFINISI
Kolesteatoma adalah massa kistik dengan epitel skuamosa, berisi keratin yang proliferatif dan bisa
menyebabkan terjadinya destruksi tulang.
PATOGENESIS
1. Teori invaginasi: kolesteatoma terjadi akibat proses invaginasi sel epitel kulit kedalam
telinga tengah.
2. Teori migrasi: kolesteatoma terjadi akibat migrasi epitel kulit kedalam telinga tengah.
3. Teori implantasi: kolesteatoma terjadi akibat implantasi epitel kulit secara iatrogenik
kedalam telinga tengah sewaktu operasi, setelah blust injury, pemasangan pipa ventilasi
atau setelah miringotomi.
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
a. Telinga berair
b. Telinga terasa gatal
c. Telinga terasa penuh
d. Telinga berdenging
e. Nyeri telinga
f. Penurunan pendengaran
g. Riwayat otitis media akut yang tidak ditangani dengan adekuat
h. Riwayat otitis media supuratif kronis sebelumnya
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan dengan menggunakan otoskop tampak adanya kondisi infeksi pada telinga
tengah atau perforasi membran timpani. Bisa juga tampak adanya massa putih yang berbau.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Audiometri nada murni menunjukkan tuli konduktif.
b. CT scan mastoid menunjukkan adanya massa jaringan lunak di kanalis akustikus
eksternus yang berhubungan dengan erosi tulang.
c. Pemeriksaan histopatologi menunjukkan adanya epitel berkeratin dan epitel skuamosa
bertingkat.
TATALAKSANA
REFERENSI
DEFINISI
Presbiakusis adalah tuli sensorineural frekuensi tinggi, terjadi pada usia lanjut (biasanya usia 60
tahun), simetris kanan dan kiri, disebabkan oleh proses degenerasi pada telinga dalam.
Presbiakusis disebabkan oleh proses degenerasi pada telinga dalam. Faktor risikonya antara lain:
1. Faktor herediter
2. Pola makan
3. Metabolisme
4. Gaya hidup
5. Paparan bising
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
a. Pendengaran berkurang secara perlahan, progresif, dan simetris pada kedua telinga
b. Telinga berdenging
c. Terkadang disertai pusing berputar
d. Pasien dapat mendengar percakapan tapi tidak dapat memahaminya terutama pada
suasana bising (cocktail party deafness).
e. Jika mendengar suara dengan intensitas tinggi akan timbul nyeri
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan otoskopi didapatkan membran timpani tampak suram dan mobilitas
berkurang.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan garpu tala didapatkan tuli sensorineural.
b. Audiometri nada murni menunjukkan adanya penurunan tajam (sloping) setelah 2000
Hz (pada tahap awal), penurunan ambang dengar pada semua frekuensi (tahap lanjut).
c. Audiometri tutur menunjukkan gangguan diskriminasi wicara (speech discrimination).
TATALAKSANA
REFERENSI
SERUMEN PROP
DESKRIPSI
Serumen merupakan hasil produksi kelenjar sebasea, kelenjar seruminosa, epitel kulit yang
terlepas dan partikel debu. Dalam keadaan normal serumen dapat ditemukan di sepertiga luar liang
telinga karena kelenjar tersebut hanya ditemukan di daerah ini. Konsistensinya biasanya lunak,
terkadang kering. Serumen dapat keluar sendiri dari liang telinga akibat migrasi epitel kulit yang
bergerak dari arah membran timpani menuju keluar serta dibantu oleh gerakan rahang sewaktu
mengunyah.
Gumpalan serumen yang menumpuk di liang telinga tengah hingga menimbulkan sumbatan
disebut dengan serumen prop/serumen obturans/impacted serumen. Proses penyumbatan ini
dipengaruhi oleh bentuk kanalis yang sempit dan berkelok-kelok, kekentalan serumen, produksi
serumen yang berlebihan, iritasi yang berulang akibat kebiasaan mengorek kanalis auditoris
eksternus, atau serumen yang terdorong terlalu jauh akibat terlalu sering membersihkan serumen
menggunakan cotton bud.
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
a. Penurunan pendengaran
b. Telinga terasa penuh
c. Gatal pada telinga
d. Riwayat masuknya benda asing ke dalam liang telinga
e. Nyeri telinga
f. Telinga berdenging
g. Riwayat telinga kemasukan air dan muncul keluhan telinga tersumbat
h. Pasien sering mengorek telinga menggunakan cotton bud
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan menggunakan otoskop tampak ada massa berwarna coklat yang
menutupi kanalis auditorius eksternus sehingga membran timpani terhalang dari
pandangan.
3. Pemeriksaan penunjang
Tidak dilakukan.
TATALAKSANA
1. Irigasi telinga menggunakan air dengan suhu yang sesuai dengan temperatur tubuh.
2. Lakukan ekstraksi serumen dengan menggunakan loop cerumen.
3. Berikan edukasi untuk tidak mengorek telinga dengan tangan atau benda apapun dan tidak
boleh membersihkan telinga dengan menggunakan cotton bud terlalu dalam.
REFERENSI
MABUK PERJALANAN
DEFINISI
Motion Sickness atau dikenal dengan mabuk perjalanan adalah suatu kondisi dimana adanya
ketidaksesuaian antara gerakan visual yang dirasakan dan sistem vestibular dari gerakan.
KLASIFIKASI
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Pasien akan mengeluh pusing, kelelahan dan mual hingga muntah.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik umumnya dalam batas normal, dan bisa juga dilakukan pemeriksaan
keseimbangan:
a. Uji romberg
b. Tes tandem gait
c. Past pointing test
d. Uji berjalan
3. Pemeriksaan penunjang
Tidak dilakukan.
TATALAKSANA
Pemberian obat antikolinergik atau antihistamin generasi pertama dengan sediaan oral yang
diminum 30 menit sebelum terpapar gerakan boleh diulang pemberiannya setiap 6 jam sekali.
PENULISAN RESEP
S 4dd tab I po
REFERENSI
Trauma akustik adalah gangguan dengar yang disebabkan oleh paparan gelombang suara tunggal
nada tinggi dengan waktu singkat yang dapat menimbulkan penurunan pendengaran secara
permanen tanpa didahului perubahan ambang dengar sementara. Rentang frekuensi 2-4 kHz
dengan anplitudo ˃110 dB dalam waktu singkat dapat menyebabkan kerusakan pada telinga tengah
dan dalam.
FAKTOR RISIKO
1. Pekerjaan
2. Pencemaran lingkungan
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
a. Gangguan pendengaran
b. Riwayat terpapar suara keras sebelumnya
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan telinga luar dan otoskopi tidak ada kelainan
3. Pemeriksaan penunjang
a. Tes audiometri nada murni: sensorineural hearing loss frekuensi tinggi
b. Pemeriksaan garpu tala: Tes Rinne +, Tes Weber lateralisasi kontralateral, Tes
Schwabach memendek (tuli sensorineural).
TATALAKSANA
1. Menggunakan alat bantu dengar multi channel dapat mengeraskan bunyi yang spesifik
pada frekuensi yang mengalami gangguan saja
2. Diberikan latihan mendengar atau gerak mulut
3. Diberikan terapi wicara
4. Diberikan latihan membaca ujaran
REFERENSI
DESKRIPSI
Bentuk septum normal adalah lurus di tengah rongga hidung tetapi pada orang dewasa biasanya
septum nasi tidak lurus sempurna di garis tengah. Deviasi septum yang ringan tidak akan
mengganggu, akan tetapi bila deviasi itu cukup berat dapat menyebabkan penyempitan pada satu
sisi hidung. Hal tersebut dapat mengganggu fungsi hidung dan menyebabkan komplikasi.
ETIOLOGI
Penyebab yang paling sering adalah trauma. Trauma dapat terjadi sesudah lahir, pada waktu partus
atau bahkan pada masa janin intrauterin. Penyebab lainnya adalah ketidakseimbangan
pertumbuhan. Tulang rawan septum nasi terus tumbuh, meskipun batas superior dan inferior telah
menetap. Dengan demikian terjadilah deviasi septum nasi.
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
a. Hidung tersumbat pada salah satu maupun kedua lubang hidung
b. Nyeri kepala
c. Nyeri di sekitar mata
d. Penciuman terganggu
e. Sering mengalami sinusitis
2. Pemeriksaan fisik
a. Terdapat obstruksi pasase nasal
b. Pemeriksaan menggunakan spekulum hidung tampak perbedaan ukuran kavum nasi
3. Pemeriksaan penunjang
a. Nasal inspiratory flow meter
b. Rhinomanometri
c. Rhinometri akustik
TATALAKSANA
1. Bila tidak ada keluhan atau terdapat keluhan yang sangat ringan, maka tidak perlu
dilakukan tindakan koreksi septum
2. Bila terdapat keluhan yang sangat mengganggu, maka rujuk ke Sp.THT-KL untuk
dilakukan tindakan pembedahan, yaitu reseksi mukosa dan septoplasti atau reposisi
septum.
REFERENSI
Furunkel adalah infeksi dari kelenjar sebasea atau folikel rambut hidung yang melibatkan jaringan
subkutan. Biasanya disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus.
FAKTOR RISIKO
1. Anamnesis
a. Bisul di dalam hidung
b. Nyeri dan tidak nyaman pada hidung
c. Kadang disertai dengan gejala rhinitis
2. Pemeriksaan fisik
Pada lubang hidung terlihat adanya furunkel, paling sering terdapat pada lateral vestibulum
nasi yang memiliki rambut hidung.
3. Pemeriksaan penunjang
Tidak dilakukan.
TATALAKSANA
1. Non farmakologi
a. Kompres hangat
b. Lakukan insisi bila sudah terbentuk abses
2. Farmakologi
a. Antibiotik topikal, seperti salep Bacitrasin dan Polimiksin B
b. Antibiotik oral selama 7-10 hari
PENULISAN RESEP
S 3dd zalf I
S 3dd tab I po
RHINITIS AKUT
DEFINISI
Rhinitis akut adalah peradangan pada mukosa rongga hidung yang terjadi selama kurang dari 4
minggu.
ETIOLOGI
1. Infeksi saluran pernapasan akut oleh virus dan infeksi sekunder bakteri
2. Rinogenik: rhinitis alergi, rhinitis vasomotor, rhinitis medikamentosa
3. Obstruksi rongga hidung
4. Kelainan anatomi hidung
5. Pajanan lingkungan: polusi udara, iritan dan rokok
6. Trauma sinus, fraktur
7. Tonsilitis
FAKTOR RISIKO
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
a. Keluar sekret dari hidung atau post nasal discharge yang purulen
b. Hidung tersumbat
c. Hiposmia/anosmia
d. Sakit kepala
e. Bisa terdapat demam
f. Rasa lemah (fatigue)
2. Pemeriksaan fisik
a. Suhu dapat meningkat
b. Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior, ditemukan:
Edema dan/atau obstruksi mukosa di meatus medius
Sekret mukopurulen
Bisa ditemukan kelainan anatomis sebagai faktor predisposisi, seperti deviasi
septum, polip nasal, atau hipertrofi konka.
c. Pada pemeriksaan rhinoskopi posterior, ditemukan:
Bisa terdapat sekret purulen pada nasofaring
d. Lakukan pemeriksaan otoskopi untuk mendeteksi adanya komplikasi pada telinga,
misalnya oklusi tuba, efusi ruang telinga tengah, atau kelainan pada membran timpani
(tanda peradangan)
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium: peningkatan LED dan CRP
b. Pemeriksaan penunjang untuk menyingkirkan adanya sinusitis
Transiluminasi
Pencitraan radiologi: foto polos posisi Waters, untuk menilai air fluid level dan
opasifikasi sinus yang terlibat
TATALAKSANA
1. Non farmakologi
a. Istirahat cukup
b. Makan dan minum dengan menu yang sehat dan teratur
c. Melakukan pengobatan dengan adekuat
2. Farmakologi
a. Antibiotik (Amoksisilin 3x500 mg selama 7-10 hari)
b. Antipiretik&analgetik (Parasetamol 3x500 mg jika dibutuhkan)
c. Dekongestan (Pseudoefedrin HCl 3x30 mg)
TATALAKSANA
R/ Amoksisilin 500 mg tab No. XXI
S 3dd tab I p.o
R/ Parasetamol 500 mg tab No.XV
S 3dd tab I p.o prn demam
R/ Pseudoefedrin HCl 30 mg tab No. XV
S/ 3dd tab I p.o
REFERENSI
RHINITIS VASOMOTOR
DEFINISI
Rhinitis vasomotor adalah terdapatnya gangguan fisiologik lapisan mukosa hidung yang
disebabkan oleh bertambahnya aktivitas parasimpatis. Ditandai dengan adanya edema yang
persisten dan hipersekresi kelenjar pada mukosa hidung apabila terpapar oleh iritan spesifik.
Kelainan ini merupakan keadaan yang non-infektif dan non-alergi.
ETIOLOGI
Etiologi yang pasti belum diketahui, tetapi diduga sebagai akibat gangguan keseimbangan fungsi
vasomotor dimana sistem saraf parasimpatis lebih dominan. Keseimbangan vasomotor ini
dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berlangsung temporer, seperti emosi, posisi tubuh,
kelembaban udara, perubahan suhu luar, latihan jasmani dan sebagainya, yang pada keadaan
normal faktor-faktor tadi tidak dirasakan sebagai gangguan oleh individu tersebut.
FAKTOR RISIKO
1. Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis seperti Ergotamin,
Klorpromazine, obat anti hipertensi, dan obat vasokonstriktor topikal.
2. Faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban udara yang tinggi,
serta bau yang menyengat misalnya parfum.
3. Faktor endokrin, seperti kehamilan, masa pubertas, pemakaian kontrasepsi oral, dan
hipotiroidisme
4. Faktor psikis, seperti cemas, tegang dan stress.
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
a. Hidung tersumbat bergantian kanan dan kiri tergantung posisi tidur, memburuk bila
pagi hari dan jika terpajan lingkungan non spesifik seperti perubahan suhu atau
kelembaban udara, asap rokok, dan bau menyengat.
b. Rinore yang bersifat serosa atau mukus, terkadang jumlahnya cukup banyak
c. Bersin-bersin lebih jarang dibanding rhinitis alergi.
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior, ditemukan:
a. Gambaran konka inferior membesar (edema atau hipertrofi), berwarna merah gelap
atau merah tua
b. Terlihat adanya sekret serosa
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan rhinitis alergi,
yaitu:
a. Kadar eosinofil pada darah tepi atau sekret hidung
b. Skin prick test: didapatkan hasil negatif atau positif lemah
c. Pemeriksaan IgE total serum (nilai normal tanpa alergi <100 IU/ml)
TATALAKSANA
1. Non farmakologi
Kauterisasi konka yang hipertrofi dapat menggunakan larutan AgNO3 25% atau
trikloroasetat pekat.
2. Farmakologi
a. Kortikosteroid topikal, contoh budesonide 1-2 kali/hari dengan dosis 100-200 µg/hari.
dosis dapat ditingkatkan sampai 400 µg/hari. Hasil akan terlihat setelah 2 minggu
pemakaian.
b. Tatalaksana terapi oral yaitu pemberian dekongestan dengan atau tanpa kombinasi
antihistamin.
PENULISAN RESEP
REFERENSI
RHINITIS ALERGI
DEFINISI
Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang
sebelumnya sudah tersensitisasi oleh alergen yang sama serta dilepaskan suatu mediator kimia
ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Ditandai dengan gejala bersin-
bersin, rinorea, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai
oleh IgE.
ETIOLOGI
Peningkatan kadar IgE terhadap alergen tertentu menyebabkan degranulasi sel mast yang
berlebihan. Degranulasi sel mast melepaskan mediator inflamasi dan sitokin yang menimbulkan
reaksi inflamasi lokal.
FAKTOR RISIKO
KLASIFIKASI
Menurut Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma (AIRA), berdasarkan karakteristik rhinitis
alergi dapat dibagi menjadi:
a. Intermiten: kurang dari 4 hari dalam seminggu ATAU kurang dari 4 minggu berturut-turut
b. Persisten: lebih dari 4 hari dalam seminggu DAN lebih dari 4 minggu berturut-turut.
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
a. Keluar ingus encer dari hidung (rinorea)
b. Bersin-bersin
c. Hidung tersumbat
d. Rasa gatal pada hidung
e. Mata gatal dan mengeluarkan air mata
2. Pemeriksaan fisik
a. Perhatikan adanya allergic salute, yaitu gerakan pasien menggosok hidung dengan
tangannya karena gatal.
b. Wajah
Allergic shiners, yaitu daerah yang menghitam di sekitar mata yang berhubungan
dengan vasodilatasi atau obstruksi hidung.
Nasal crease, yaitu lipatan horizontal yang melalui setengah bagian bawah hidung
akibat kebiasaan menggosok hidung keatas menggunakan tangan.
Mulut sering terbuka dengan lengkungan langit-langit yang tinggi, sehingga
menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid).
c. Faring
Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance).
Dinding lateral faring menebal
Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue)
d. Rhinoskopi anterior
Mukosa edema, basah, berwarna pucat atau kebiruan (livide) disertai sekret encer,
tipis dan banyak.
Pada rinitis alergi kronis atau penyakit granulomatous, dapat terlihat adanya deviasi
atau perforasi septum.
Pada rongga hidung dapat ditemukan massa seperti polip atau tumor, atau dapat
juga ditemukan pembesaran konka inferior yang dapat berupa edema atau
hipertrofik.
e. Pada kulit mungkin dapat ditemukan tanda dermatitis atopi
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan phadiatop
b. Skin prick test
d. Pemeriksaan IgE total serum (nilai normal tanpa alergi <100 IU/ml)
TATALAKSANA
1. Konservatif
a. Menghindari alergen spesifik
b. Pemeliharaan dan peningkatan kebugaran jasmani
2. Farmakologi
a. Antihistamin oral untuk gejala ringan
b. Kortikosteroid intranasal untuk gejala sedang/berat
c. Dekongestan intranasal (penggunaan dibatasi <5 hari agar tidak terjadi rhinitis
medikamentosa), digunakan jika terdapat obstruksi nasal.
3. Terapi lainnya dapat berupa operasi terutama bila terdapat kelainan anatomi, selain itu
dapat dilakukan juga imunoterapi jika gejala tidak merespon dengan terapi farmakologi
PENULISAN RESEP
S 1dd tab I po
S 3dd gtt II
REFERENSI
RHINITIS KRONIK
DEFINISI
Rhinitis kronik merupakan peradangan pada mukosa hidung yang berlangsung lebih dari 1 bulan.
Pembagian rhinitis kronik berdasarkan ada tidaknya peradangan sebagai penyebabnya. Rhinitis
kronik yang disebabkan adanya peradangan yaitu rhinitis hipertrofi, rhinitis sika, rhinitis spesifik
(difteri, sifilis, tuberkulosa). Rhinitis kronik yang bukan disebabkan peradangan adalah rhinitis
alergi, rhinitis vasomotor, rhinitis medikamentosa.
FAKTOR RISIKO
1. Pekerjaan
2. Infeksi
3. Pemakaian obat terlalu berlebihan
4. Riwayat atopi
5. Merokok
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
a. Rhinitis hipertrofi
Keluhan: sumbatan di hidung, sekret banyak dan mukopurulen, nyeri kepala
b. Rhinitis sika
Keluhan: mukosa hidung kering, kadang terdapat epistaksis
c. Rhinitis difteri
Keluhan: demam, hidung terasa meler
d. Rhinitis alergi
Keluhan: keluar cairan dari hidung, hidung tersumbat, hidung gatal dan bersin.
e. Rhinitis vasomotor
Keluhan: obstruksi hidung, rinorea, dan bersin
f. Rhinitis medikamentosa
Keluhan: hidung tersumbat, rinorea, riwayat penggunaan obat intranasal jangka
panjang.
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior, didapatkan:
a. Rhinitis hipertrofi
Konka inferior hipertrofi, permukaan berbenjol
b. Rhinitis sika
Mukosa hidung kering, terdapat krusta, kadang terdapat epistaksis
c. Rhinitis difteri
Sekret hidung bercampur darah, ditemukan pseudomembran putih, terdapat krusta
d. Rhinitis alergi
Mukosa edema berwarna pucat atau kebiruan, basah, adanya sekret berlebih, hipertrofi
konka inferior
e. Rhinitis vasomotor
Edema konka dan sekret hidung berlebih
f. Rhinitis medikamentosa
Edema konka dan sekret hidung berlebih
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan sitologi hidung
Mengandung eosinofil atau tidak, untuk indikasi rhinitis alergi
b. Skin prick test
c. Darah rutin
d. Kultur bakteri dari sekret hidung
TATALAKSANA
1. Rhinitis hipertrofi
a. Mengobati penyebab dasar
b. Kauterisasi dengan zat kimia (nitras argenti atau asam trikloroasetat)
2. Rhinitis sika
a. Mengobati penyebab dasar
b. Lakukan cuci hidung
3. Rhinitis difteri
Diberikan obat Anti Difteri Serum (ADS)
4. Rhinitis alergi
a. Antihistamin
b. Kortikosteroid intranasal
c. Dekongestan
5. Rhinitis vasomotor
a. Antihistamin
b. Steroid topikal
c. Dekongestan
6. Rhinitis medikamentosa
Hentikan penggunaan obat intranasal yang berlebihan
PENULISAN RESEP
1. Rhinitis alergi
R/ Cetirizine 10 mg tab No. VII
S 1dd tab I po
R/ Fluticasone propionate nasal spray fl No. I
S 2dd nasal spray II
R/ Pseudoefedrin HCl fl No. I
S 3dd gtt II AD/AS
2. Rhinitis vasomotor
R/ Budesonide nasal spray fl No. I
S 2dd nasal spray IV
R/ Pseudoefedrin HCl 30 mg tab No. XV
S 3dd tab I po
R/ Cetirizine 10 mg tab No. VII
S 1dd tab I po
REFERENSI
RHINITIS MEDIKAMENTOSA
DESKRIPSI
Rhinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung berupa gangguan respon normal vasomotor
sebagai akibat dari pemakaian vasokonstriktor topikal (obat tetes hidung atau obat semprot hidung)
dalam waktu yang lama dan jumlah yang berlebihan, sehingga menyebabkan sumbatan yang
menetap dan ireversibel.
Pemakaian topikal vasokonstriktor yang lama dan berulang akan menyebabkan terjadinya fase
dilatasi berulang (rebound dilatation) setelah vasokonstriksi, sehingga terjadi gejala obstruksi. Hal
ini menyebabkan pasien makin sering menggunakan vasokonstriktor topikal kembali, sehingga
kadar agonis alfa adrenergik di mukosa hidung tinggi, diikuti dengan penurunan sensitivitas
reseptor alfa adrenergik di pembuluh darah sehingga terjadi toleransi. Hal ini menyebabkan dilatasi
dan kongesti mukosa hidung (rebound congestion).
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
a. Hidung tersumbat terus menerus
b. Hidung berair
c. Riwayat penggunaan obat vasokonstrikor intranasal berkepanjangan
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior didapatkan hipertrofi konka dan adanya sekret yang
berlebihan.
3. Pemeriksaan penunjang
Dilakukan jika pemeriksaan rinoskopi anterior hasilnya kuras jelas atau meragukan dalam
menilai hipertrofi konka, pemeriksaan penunjang yang digunakan adalah nasoendoskopi,
X-Ray dan CT scan.
TATALAKSANA
1. Kortikosteroid topikal selama 2 minggu, lalu dosis diturunkan bertahap (tappering off).
2. Dekongestan oral
PENULISAN RESEP
REFERENSI
SINUSITIS
DEFINISI
Sinusitis adalah inflamasi mukoperiosteum sinus paranasal. Mukosa hidung dan sinus secara
embriologis berhubungan, sehingga sinusitis merupakan kelanjutan dari rhinitis (one way one
disease). Istilah sinusitis juga dikenal dengan rhinosinusitis.
ETIOLOGI
1. Virus: Rhinovirus
2. Bakteri: Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza, Staphylococcus sp.
FAKTOR RISIKO
KLASIFIKASI
Menurut EPPPOS 2012 (European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps), disebut
rhinosinusitis akut jika gejala muncul selama ≤ 12 minggu, dan disebut rhinosinusitis kronis jika
gejala muncul ≥ 12 minggu. Sedangkan menurut Konsensus 2004, sinusitis akut terjadi jika gejala
muncul selama < 4 minggu, sinusitis subakut 4 minggu - 3 bulan, dan sinusitis kronis ˃ 3 bulan.
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
a. Hidung berair yang tidak kunjung membaik
b. Keluar sekret yang kental berwarna kehijauan
c. Hidung tersumbat
d. Nyeri wajah (sesuai letak sinus)
e. Nyeri kepala
f. Bau mulut
g. Penciuman berkurang
h. Demam
i. Batuk
j. Suara kadang sengau
Dikatakan sinusitis jika memenuhi 2 gejala mayor atau 1 mayor dan 2 minor atau lebih.
Gejala mayor:
o Rinorea purulen
o Post nasal drainage
o Batuk
Gejala minor
o Demam
o Nyeri kepala dan nyeri sinus
o Halitosis
Dikatakan sinusitis jika memenuhi 2 gejala mayor atau 1 mayor dan 2 minor atau lebih.
Gejala mayor
o Nyeri wajah (pipi, dahi, hidung)
o Hidung tersumbat
o Sekret purulen
o Gangguan penciuman
Gejala minor
o Sakit kepala
o Demam
o Halitosis
o Rasa lemah (fatigue)
o Sakit gigi
o Sakit atau rasa penuh di telinga
o Batuk
2. Pemeriksaan fisik
a. Suhu dapat meningkat
b. Inspeksi dan palpasi luar hidung dan sinus terdapat bengkak dan nyeri sinus
Sinus maksila: nyeri pipi
Sinus frontal: nyeri di dahi atau seluruh kepala
Sinus etmoid: nyeri di antara atau di belakang kedua bola mata
Sinus sfenoid: nyeri di vertex, oksipital, belakang kepala dan mastoid
c. Pemeriksaan rinoskopi anterior menunjukkan adanya mukosa hidung edema dan
hiperemi, tampak sekret mukopurulen kental berwarna kuning kehijauan pada kavum
nasi dan meatus media.
d. Pada orofaring tampak post nasal drip
e. Pemeriksaan transiluminasi: sinus yang sakit tampak suram (cahaya tidak terang)
3. Pemeriksaan penunjang
a. Nasoendoskopi
b. Pemeriksaan mikrobiologi kultur bakteri dan pemeriksaan resistensi antibiotik
c. Foto polos posisi Waters, PA, dan lateral untuk melihat gambaran sinus paranasal. Pada
sinusitis tampak ada gambaran perselubungan dan air fluid level serta penebalan
mukosa.
d. CT scan untuk melihat komplek osteomeatal.
TATALAKSANA
1. Sinusitis akut
a. Antibiotik spektrum luas selama 10-14 hari
b. Dekongestan oral/topikal
c. Mukolitik
d. Antihistamin/kortikosteroid topikal (jika ada riwayat alergi)
e. Analgetik/antipiretik
2. Sinusitis kronis
a. Antibiotik sesuai kultur selama 10-14 hari
b. Dekongestan topikal
c. Mukolitik
d. Kortikosteroid sistemik
e. Jika tidak tertangani, rujuk ke Sp.THT-KL untuk dilakukan tindakan.
PENULISAN RESEP
1. Sinusitis akut
R/ Amoksisilin 500 mg tab No. XXX
S 3dd tab I po
R/ Pseudoefedrin HCl 30 mg tab No. XXI
S 3dd tab I po
R/ Ambroxol 30 mg tab No. XXI
S 3dd tab I po
R/ Fluticasone propionate nasal spray fl No.I
S 2dd nasal spray II
R/ Paracetamol 500 mg tab No. XV
S 3dd tab I po
2. Sinusitis kronis
R/ Amoksisilin 500 mg tab No. XXX
S 3dd tab I po
R/ Pseudoefedrin HCl fl No. I
S 3dd gtt II
R/ Ambroxol 30 mg tab No. XXI
S 3dd tab I po
R/ Dexamethasone 0.5 mg tab No. X
S 3dd tab I po
REFERENSI
1. Buku ajar ilmu THT-KL FK UI Edisi 7
2. Bailey's Head and Neck Surgery - Otolaryngology Volume 1&2 Edisi 5
3. Boies Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6
DESKRIPSI
Benda asing atau corpus alienum adalah benda yang berasal dari luar atau dalam tubuh yang dalam
keadaan normal tidak ada pada tubuh. Benda asing dalam suatu organ dapat terbagi atas benda
asing eksogen (dari luar tubuh) dan benda asing endogen (dari dalam tubuh).
ETIOLOGI
Berdasarkan jenis bendanya, etiologi corpus alienum di hidung dapat dibagi menjadi:
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Gejala sumbatan benda asing tergantung pada lokasi benda asing, derajat sumbatan (total
atau sebagian), sifat, bentuk, dan ukuran benda asing. Benda asing di hidung anak sering
luput dari perhatian orang tua karena tidak ada gejala dan bertahan untuk waktu yang lama.
Gejala yang paling sering adalah:
a. Hidung tersumbat
b. Rinorea unilateral
c. Keluar cairan kental dan berbau.
d. Kadang disertai rasa nyeri
e. Demam
f. Epistaksis
g. Bersin dan sekretnya disertai bekuan darah
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan rhinoskopi anterior menunjukkan adanya
a. Mukosa hidung menjadi lunak dan mudah berdarah
b. Edema mukosa hidung
c. Benda asing biasanya tertutupi oleh mukopus
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan radiologik
b. Nasoendoskopi
TATALAKSANA
EPISTAKSIS
DEFINISI
Epistaksis adalah perdarahan yang mengalir keluar dari hidung yang berasal dari rongga hidung
atau nasofaring. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan. Hampir
90% epistaksis dapat berhenti sendiri.
1. Trauma
2. Adanya penyakit hidung yang mendasari, misalnya rhinosinusitis, rhinitis alergi
3. Penyakit sistemik, seperti kelainan pembuluh darah, nefritis kronik, demam berdarah
dengue
4. Riwayat penggunaan obat-obatan seperti NSAID, aspirin, warfarin, heparin, tiklodipin,
semprot hidung kortikosteroid
5. Tumor, baik jinak maupun ganas yang terjadi di hidung, sinus paranasal, atau nasofaring
6. Kelainan kongenital, misalnya hereditary hemorrhagis teleangiectasia/Osler’s disease
7. Adanya deviasi septum
8. Pengaruh lingkungan, misalnya tinggal di daerah yang sangat tinggi, tekanan udara rendah,
atau lingkungan dengan udara yang sangat kering
9. Kebiasaan mengorek hidung menggunakan benda keras termasuk jari
KLASIFIKASI
1. Epistaksis anterior
Epistaksis anterior berasal dari pleksus Kiesselbach yang terdiri dari ujung-ujung arteri
etmoidalis, arteri sfenopalatina, arteri paltine mayor, dan arteri labialis superior.
Merupakan sumber perdarahan yang paling sering dijumpai pada anak-anak. Perdarahan
dapat berhenti spontan dan dapat dikendalikan dengan tindakan sederhana.
2. Epistaksis posterior
Epistaksis posterior berasal dari arteri sfenopalatina atau arteri etmoidalis posterior.
Epistaksis posterior sering terjadi pada orang dewasa yang menderita hipertensi,
arteriosklerosis, atau penyakit kardiovaskuler. Perdarahan biasanya hebat dan jarang
berhenti spontan.
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
a. Harus ditanyakan secara spesifik mengenai:
Lokasi keluarnya darah (depan rongga hidung atau ke tenggorok)
Banyaknya perdarahan
Frekuensi
Lamanya perdarahan
Sisi yang mengalami perdarahan
Kemungkinan masuknya benda asing pada pasien anak
Penggunaan obat antitrombosit atau antikoagulan
b. Riwayat keluar darah dari hidung sebelumnya
c. Riwayat trauma
2. Pemeriksaan fisik
a. Rhinoskopi anterior
Pemeriksaan dapat dilakukan dengan bantuan tampon adrenalin 1/5000 atau 1/10000
dan larutan anestesi lokal (pantokain) untuk menemukan titik perdarahan.
b. Rhinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring untuk menyingkirkan kemungkinan neoplasma.
c. Pengukuran tekanan darah
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena
hipertensi dapat menyebabkan epistaksis posterior yang hebat dan sering berulang.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Darah perifer lengkap
b. Skrining terhadap koagulopati
c. Pencitraan radiologis: MRI atau CT scan untuk pasien dengan kecurigaan keganasan
atau benda asing yang sulit dilihat dengan pemeriksaan fisik
TATALAKSANA
1. Menghentikan perdarahan
2. Mencegah komplikasi
3. Mencegah berulangnyaa epistaksis
1. Pegang nasal speculum hidung dengan cara : ibu jari pada ‘joint’, jari telunjuk diletakkan
pada dorsum hidung dan jari lainnya pada batang spekulum untuk memegang.
2. Masukkan speculum ke nostril kiri/kanan, speculum harus selalu terbuka dan diarahkan
ke superior dan jangan ke lantai hidung.
3. Dipasang tampon kapas yang telah diberi larutan pantocaine 1% atau lidocaine (dengan
atau tanpa 1-2 tetes larutan epinefrin 1 : 1.000) disimpan di rongga hidung selama 3-5
menit. Evaluasi sumber perdarahan setelah tampon kapas dibuka.
4. Pasanglah tampon hidung anterior yang telah dilapisi salep antibakteri ke dalam rongga
hidung.
5. Tampon dipasang dengan cara berlapis-lapis (layering) mulai dari dasar hidung ke koana
di belakang dan sampai setinggi konka media di atas.
6. Setelah tampon terpasang dengan baik di dalam rongga hidung, pasanglah kasa + plester
di anterior untuk menahan tampon supaya tidak keluar.
Tampon yang dipasang harus menekan sumber perdarahan dan dapat dipertahankan selama 2x24
jam. Selama pemakaian tampon, diberikan antibiotik sistemik dan analgetik.
REFERENSI
ETMOIDITIS AKUT
DEFINISI
Etmoiditis adalah infeksi dari sinus-sinus ethmoid yang biasanya timbul dari penyebaran infeksi
sinus-sinus lain. Etmoiditis merupakan kasus yang jarang dan dapat terjadi pada semua umur.
ETIOLOGI
Etmoiditis sering merupakan komplikasi dari infeksi saluran nafas atas seperti influenza.
Gangguan drainase karena sumbatan ostium juga dapat menjadi penyebabnya, seperti polip, benda
asing, deviasi septum, tumor, imunokompromais, trauma, dan abnormalitas dari motilitas silia
mukosa.
Etmoiditis sering terjadi karena bakteri. Bakteri paling banyak dilaporkan adalah Streptococcus
pneumoniae dan Haemophilus influenza. Bakteri lainnya termasuk Staphylococcus aureus dan
Streptococcus pyogenes. Bakteri anaerob dapat ditemukan juga pada pasien dengan
imunokompromais.
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
a. Nyeri di bagian bawah antara mata dan hidung
b. Sedikit kemerahan, nyeri dan bengkak di sekitar sudut mata
c. Demam
d. Nyeri kepala
e. Hiposmia atau anosmia
f. Lemas badan
g. Sekret dari lubang hidung mungkin ada dan bersifat purulen
h. Hidung tersumbat
2. Pemeriksaan fisik
a. Peningkatan suhu tubuh
b. Mukosa nasal edema dan hiperemis
c. Eritema nasofaring dan orofaring
3. Pemeriksaan penunjang
a. Nasal endoskopi
b. CT scan, untuk menunjukkan berat ringannya kerusakan mukosa sinus dan
penyebarannya ke organ/jaringan lain
c. Kultur dan tes resistensi dari sekret nasal
d. Pemeriksaan darah: leukosit dan hitung jenis (differential count) untuk menentukan
stadium penyakit
TATALAKSANA
1. Farmakologi
a. Terapi etmoiditis akut diarahkan kepada eradikasi infeksi, membuka ostium,
mengembalikan fungsi mukosiliar dan menghilangkan rasa nyeri. Terapi empiris
dengan antibiotik spektrum luas selama 10 hari, diberikan juga dekongestan oral untuk
mengerutkan mukosa, dan nyeri diatasi bila perlu.
b. Bila pasien tidak merespon hasil pengobatan empiris, maka hasil kultur dan tes
resistensi dapat digunakan untuk terapi selanjutnya.
2. Non farmakologi
Operasi drainase dilakukan bila sudah terbentuk pus.
PENULISAN RESEP
REFERENSI
POLIP HIDUNG
DEFINISI
Polip hidung adalah massa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam rongga hidung,
berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi mukosa. Polip dapat timbul pada laki-
laki maupun perempuan di usia berapapun.
ETIOLOGI
Sebelumnya diduga predisposisi timbulnya polip nasi adalah rhintis alergi atau penyakit atrofi,
tetapi semakin banyak penelitian yang mengungkapkan berbagai teori bahwa etiologi polip nasi
masih belum diketahui dengan pasti.
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
a. Hidung tersumbat sebagai keluhan utama
b. Rinonea, mulai dari jernih sampai purulen
c. Hiposmia atau anosmia
d. Bersin-bersin
e. Rasa nyeri pada hidung
f. Nyeri kepala di daerah frontal
g. Bila disertai infeksi sekunder maka dapat ditemukan post nasal drip dan rinorea purulen
h. Gejala sekunder, seperti bernafas lewat mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur,
dan penurunan kualitas hidup.
2. Pemeriksaan fisik
a. Polip nasi yang masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga hidung
tampak mekar karena pelebaran batang hidung.
b. Pemeriksaan rhinoskopi anaterior tampak ada massa berwarna pucat yang berasal dari
meatus medius dan mudah digerakkan.
c. Pembagian stadium polip menurut Mackay dan Lund (1997)
Stadium 1: polip masih terbatas di meatus medius
Stadium 2: polip sudah keluar dari meatus medius, tampak di rongga hidung tapi
belum memenuhi rongga hidung
Stadium 3: polip yang masif
3. Pemeriksaan penunjang
a. Naso-endoskopi
b. CT scan
TATALAKSANA
Rujuk ke Sp.THT-KL untuk dilakukan tatalaksana. Tujuan utama pengobatan pada kasus polip
adalah menghilangkan keluhan-keluhan, mencegah komplikasi dan mencegah rekurensi polip.
1. Farmakologi
Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi (polipektomi medikamentosa)
dapat diberikan topikal atau sistemik. Jika dengan terapi medikamentosa polip tidak
kunjung membaik maka dipertimbangkan untuk terapi bedah.
2. Non farmakologi
Dapat dilakukan ekstraksi polip (polipektomi)
REFERENSI
FARINGITIS
Faringitis merupakan peradangan pada dinding faring yang disebabkan oleh virus, bakteri, alergi,
trauma, iritan, dan lain-lain.
KLASIFIKASI
1. Faringitis akut
a. Faringitis viral
b. Faringitis bakterial
c. Faringitis fungal
d. Faringitis gonorea
2. Faringitis kronik
a. Faringitis kronik hiperplastik
b. Faringitis kronik atrofi
3. Faringitis spesifik
a. Faringitis tuberkulosis, merupakan proses sekunder dari tuberkulosis paru
b. Faringitis luetika, disebabkan oleh infeksi Treponema palidum di daerah faring.
ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO
1. Etiologi
a. Virus: Rhinovirus, Adenovirus, Epstein Barr virus (EBV), Influenza, Cytomegalovirus,
Herpes simplex virus
b. Bakteri: Group A Beta Haemolytic Streptococcus, Streptococcus gonorrhea,
Treponema palidum
c. Fungal: Candida sp.
2. Faktor Risiko
a. Usia 3-14 tahun
b. Menurunnya daya tahan tubuh
c. Konsumsi makanan yang mengiritasi faring
d. Gizi kurang
e. Iritasi kronik oleh rokok, minum alkohol, refluks asam lambung, inhalasi uap yang
merangsang mukosa faring
f. Paparan udara dingin
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
a. Nyeri tenggorokan
b. Demam
c. Sekret dari hidung
d. Dapat disertai atau tanpa batuk
e. Nyeri kepala
f. Mual
g. Muntah
h. Rasa lemas pada seluruh tubuh
i. Nafsu makan berkurang
2. Pemeriksaan fisik
a. Faringitis viral
Faring dan tonsil hiperemis
Eksudat, jika etiologinya virus Influenza
b. Faringitis bakterial
Faring dan tonsil hiperemis, dan terdapat eksudat di permukaannya
Beberapa hari kemudian timbul petechiae pada palatum dan faring
Pembesaran KGB colli yang kenyal dan nyeri pada penekanan
c. Faringitis fungal
Plak putih pada orofaring dan pangkal lidah
Mukosa faring hiperemis
d. Faringitis kronik hiperplastik
Tampak kelenjar limfa dibawah mukosa faring
Hiperplasia lateral band
Mukosa dinding posterior tidak rata dan bergranular (cobblestone appearance)
e. Faringitis kronik atrofi
Mukosa faring tampak ditutupi oleh lendir kental, dan bila terangkat tampak
mukosa kering
f. Faringitis tuberkulosis
Tampak granuloma perkejuan pada mukosa faring dan laring
g. Faringitis luetika
Stadium primer: bercak keputihan pada palatum mole, tonsil, dan dinding posterior
faring. Bila infeksi berlanjut, timbul ulkus yang tidak nyeri, didapatkan juga
pembesaran KGB mandibular.
Stadium sekunder: jarang ditemukan, pada dinding faring terdapat eritema yang
menjalar ke laring.
Stadium tersier: terdapat guma, predileksi pada tonsil dan palatum.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Darah perifer lengkap
b. Pemeriksaan mikroskopik dengan pewarnaan Gram
c. Pada dugaan infeksi jamur, dilakukan pemeriksaan mikroskopik swab mukosa faring
dengan KOH.
TATALAKSANA
Tatalaksana umum:
Tatalaksana khusus:
1. Faringitis viral: pada infeksi herpes simpleks dapat diberikan antivirus Isoprinosine (anak
< 5 tahun: 50 mg/kgBB dibagi 4-6 kali/hari, dewasa: 60-100 mg/kgBB dibagi 4-6 kali/hari
2. Faringitis fungal: nistatin 100.000-400.000 IU, 2 kali sehari
3. Faringitis bakteri: berikan antibiotik spektrum luas
4. Faringitis gonorea: berikan Sefalosporin generasi ke 3 seperti Seftriakson 2 gr per IV/IM
single dose
5. Faringitis kronik hiperplastik: penyakit hidung dan sinus paranasal harus diobati
6. Faringitis atrofi: pengobatan ditujukan pada rhinitis atrofi
PENULISAN RESEP
S 3dd tab I po
S 3dd tab I po
REFERENSI
1. Buku ajar ilmu THT-KL FK UI Edisi 7
2. Bailey's Head and Neck Surgery - Otolaryngology Volume 1&2 Edisi 5
3. Boies Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6
TONSILITIS
DEFINISI
Tonsilitis adalah peradangan pada tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer
yang terdiri atas susunan jaringan limfoid yang terdapat di dalam rongga mulut.
KLASIFIKASI
ETIOLOGI
FAKTOR RISIKO
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
a. Rasa kering di tenggorokan
b. Nyeri tenggorokan
c. Nyeri menjalar ke telinga
d. Demam
e. Sakit kepala, lesu, nafsu makan berkurang
f. Hot potato voice: suara pasien terdengar seperti orang yang mulutnya berisi makanan
panas.
g. Halitosis
h. Pada tonsilitis kronik, pasien mengeluh seperti ada yang mengganjal di bagian
tenggorokan, tenggorokan kering dan bau mulut.
2. Pemeriksaan fisik
a. Tonsilitis akut (non difteri)
Tonsil hipertrofik dengan ukuran ≥ T2
Tonsil hiperemis
Kripta tidak melebar
Bisa terdapat detritus. Bercak detritus dapat melebar membentuk pseudomembran
yang menutupi ruang antar kedua tonsil sehingga tampak menyempit
Edema palatum mole, arkus anterior, dan arkus posterior
KGB di daerah leher membesar dan nyeri
b. Tonsilitis kronis
Tonsil membesar dengan permukaan tidak rata
Kripta melebar
Detritus yang mengisi kripta
Pembesaran KGB submandibular
Tonsil mengalami perlengketan
c. Tonsilitis difteri
Tonsil membesar ditutupi bercak putih keabuan yang semakin lama semakin
meluas
Tampak pseudomembran yang melekat erat pada dasar tonsil sehingga bila
diangkat mudah berdarah
d. Ukuran tonsil
Berdasarkan perbandingan rasio tonsil dan orofaring, dengan mengukur jarak antara
kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua tonsil, maka
didapatkan gradasi berupa:
T0: tonsil sudah diangkat
T1: <25% volume tonsil bila dibandingkan dengan volume orofaring atau batas
medial tonsil melewati pilar anterior ¼ jarak pilar anterior uvula
T2: 25-50% volume tonsil bila dibandingkan dengan volume orofaring atau batas
medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior uvula sampai ½ jarak pilar anterior-
uvula
T3: 50-75% volume tonsil bila dibandingkan dengan volume orofaring atau batas
medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior uvula sampai ¾ jarak pilar anterior-
uvula
T4: ˃75% volume tonsil bila dibandingkan dengan volume orofaring atau batas
medial tonsil melewati ¾ jarak pilar anterior uvula sampai uvula atau lebih
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium darah lengkap
b. Swab tonsil untuk pemeriksaan mikroskopik dengan pewarnaan Gram
TATALAKSANA
Tatalaksana umum:
Tatalaksana khusus:
1. Tonsilitis viral
Antivirus metisoprinol:
a. Dewasa: 60-100 mg/kgBB dibagi 4-6 kali/hari
b. Anak < 5 tahun: 50 mg/kgBB dibagi 4-6 kali/hari
PENULISAN RESEP
1. Tonsilitis bakteri
R/ Amoksisilin 500 mg tab No. XXX
S 3dd tab I po
R/ Dexamethasone 0.5 mg tab No. X
S 3dd tab I po
R/ Parasetamol 500 mg tab No. XV
S 3dd tab I po
2. Tonsilitis difteri
R/ ADS 20.000 IU fl No. I
S Imm
R/ Amoksisilin 500 mg tab No. XXX
S 3dd tab I po
REFERENSI
1. Buku ajar ilmu THT-KL FK UI Edisi 7
2. Bailey's Head and Neck Surgery - Otolaryngology Volume 1&2 Edisi 5
3. Boies Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6
LARINGITIS
DEFINISI
Laringitis adalah peradangan pada laring yang sering menyebabkan suara serak atau bahkan
kehilangan suara.
1. ETIOLOGI
a. Laringitis akut
Rhinovirus
Adenovirus
Influenza
Parainfluenza
Streptococcus pneumonia
Streptococcus pyogenes
Staphylococcus aureus
b. Laringitis kronik
Laringitis akut berulang
Rhinosinusitis kronis
Deviasi septum berat
Polip hidung
Bronchitis kronik
Refluks laringofaring
Pajanan iritan bersifat konstan seperti merokok
Penyalahgunaan vokal (vocal abuse)
2. FAKTOR RISIKO
a. Penyalahgunaan suara yang berlebihan
b. Pajanan terhadap zat iritatif seperti asap rokok dan minuman beralkohol
c. Refluks laringofaringeal, bronchitis dan pneumonia
d. Rhinitis alergi
e. Perubahan suhu secara tiba-tiba
f. Malnutrisi
g. Penurunan daya tahan tubuh
KLASIFIKASI
1. Laringitis akut
Laringitis akut adalah radang akut pada laring, dapat disebabkan oleh virus dan bakteri.
Laringitis akut memiliki gejala yang berlangsung < 3 minggu.
2. Laringitis kronik
Laringitis kronik dapat terjadi setelah laringitis akut yang berulang. Gejala laringitis kronik
berlangsung dan menetap ˃ 3 minggu.
3. Laringitis spesifik
Laringitis tuberkulosis
Penyakit ini disebabkan oleh tuberkulosis paru. Laringitis tuberkulosis membutuhkan
waktu yang lebih lama karena struktur mukosa laring sangat lekat pada kartilago serta
vaskularisasinya tidak sebaik paru.
Stadium laringitis tuberkulosis:
o Stadium infiltrasi
o Stadium ulserasi
o Stadium perikondritis
o Stadium fibrotuberkulosis
Laringitis luetika
Radang menahun, jarang ditemukan.
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
a. Suara serak atau hilang (afonia)
b. Sesak napas dan stridor
c. Nyeri tenggorokan
d. Gejala common cold seperti bersin-bersin, hidung tersumbat, nyeri kepala, batuk dan
demam
e. Obstruksi jalan napas dapat terjadi bila ada edema laring
f. Laringitis kronik ditandai dengan afonia yang persisten
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan dilakukan menggunakan laringoskop indirek
a. Mukosa laring tampak hiperemis dan membengkak terutama di daerah dekat vocal cord
b. Pada laringitis kronik, ditemukan nodul, ulkus dan penebalan mukosa vocal cord
c. Pada laringitis tuberkulosa, hasil pemeriksaan akan sesuai dengan stadiumnya.
Stadium infiltrasi
Mukosa laring membengkak dan hiperemis, terbentuk tuberkel di daerah
submukosa yang tampak sebagai bintik kebiruan. Tuberkel dapat membesar dan
bersatu sehingga mukosa diatasnya meregang, jika pecah akan terbentuk ulkus.
Stadium ulserasi
Ulkus membesar, dangkal, dasarnya ditutupi perkejuan dan terasa nyeri
Stadium perikondritis
Ulkus mengenai kartilago laring, dan terbentuk nanah yang berbau.
Stadium fibrotuberkulosis
Terbentuk fibrotuberkulosis pada dinding posterior, vocal cord dan subglotik
3. Pemeriksaan penunjang
a. Foto rontgen soft tissue leher AP lateral: bisa tampak pembengkakan jaringan subglotik
(steeple sign)
b. Foto thoraks AP, dapat digunakan untuk mengetahui keterlibatan infeksi tuberkulosis
atau infeksi paru lainnya.
c. Pemeriksaan laboratorium darah lengkap
TATALAKSANA
1. Non medikamentosa
a. Istirahat suara (vocal rest)
b. Rehabilitasi suara (voice therapy) bila diperlukan
c. Meningkatkan asupan cairan
d. Bila terdapat sumbatan laring, dilakukan pemasangan pipa endotrakeal atau
trakeostomi
2. Medikamentosa
a. Antibiotik spektrum luas
b. Analgetik dan antipiretik
c. Kortikosteroid pada laringitis berat
d. Proton pump inhibitor pada laringitis yang disebabkan oleh refluks laringofaringeal
e. Laringitis tuberkulosis: obat antituberkulosis
f. Laringitis luetika: penisilin dosis tinggi
PENULISAN RESEP
REFERENSI
DESKRIPSI
Adenoid adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid yang terletak pada dinding posterior
nasofaring, termasuk dalam rangkaian cincin Waldeyer. Secara fisiologik adenoid ini membesar
pada anak usia 3 tahun dan kemudian akan mengecil dan hilang sama sekali pada usia 14 tahun.
Bila sering terjadi infeksi saluran napas bagian atas maka dapat terjadi hipertrofi adenoid.
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
a. Hidung tersumbat yang menyebabkan bernapas lewat mulut
b. Gangguan tidur
c. Tidur mendengkur
d. Gangguan menelan
e. Gangguan berbicara
f. Memiliki riwayat otitis media akut berulang atau mengalami otitis media supuratif
kronis
2. Pemeriksaan fisik
a. Fasies adenoid, yaitu tampak hidung kecil, gigi insisivus kedepan, arkus faring tinggi
yang menyebabkan kesan wajah tampak seperti orang bodoh
b. Pemeriksaan rhinoskopi anterior
c. Pemeriksaan rhinoskopi posterior
d. Pemeriksaan digital untuk meraba adenoid
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan radiologik posisi lateral
TATALAKSANA
Indikasi adenoidektomi
1. Sumbatan
a. Sumbatan hidung yang menyebabkan bernapas lewat mulut
b. Sleep apnea
c. Gangguan menelan
d. Gangguan berbicara
e. Kelainan bentuk wajah dan gigi (adenoid face)
2. Infeksi
a. Adenoiditis berulang/kronik
b. Otitis media efusi berulang/kronik
c. Otitis media akut berulang
3. Kecurigaan neoplasma jinak/ganas.
REFERENSI
ABSES PERITONSILAR
DEFINISI
Abses peritonsilar atau dikenal juga dengan Quinsy merupakan suatu infeksi akut yang diikuti
dengan terkumpulnya pus pada jaringan ikat longgar antara muscle konstriktor faring dengan tonsil
pada fossa tonsil. Infeksi ini menembus kapsul tonsil (biasanya pada kutub atas). Abses peritonsilar
seringkali merupakan komplikasi dari tonsilitis akut.
ETIOLOGI
Beberapa penelitian menunjukkan bakteri terbanyak yang menyebabkan abses peritonsilar adalah
Streptococcus viridans, diikuti oleh Streptococcus beta hemolyticus grup A. Bakteri anaerob dan
streptococcus gram positif telah diidentifikasi sebagai agen etiologi umum.
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
a. Nyeri tenggorokan, semakin lama semakin berat hingga tidak mau makan
b. Nyeri terlokalisasi
c. Nyeri menjalar ke telinga
d. Demam dapat sangat tinggi, sakit kepala, lesu dan nafsu makan berkurang
e. Plummy voice/hot potato voice: suara pasien terdengar seperti orang yang mulutnya
berisi makanan panas
f. Mulut berbau dan air liur menumpuk pada kavum oris
g. Odinofagi
h. Hipersalivasi
i. Regurgitasi (muntah)
j. Trismus dapat muncul bila infeksi meluas
2. Pemeriksaan fisik
a. Peningkatan suhu dapat mencapai 40°C
b. Dapat ditemukan adanya trismus
c. Edema pada palatum, unilateral
d. Uvula edema
e. Tonsil tampak bengkak, hiperemis, dengan atau tanpa detritus
f. Uvula terdorong ke sisi kontralateral
g. Pembesaran KGB submandibular
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium darah lengkap: leukositosis
b. Aspirasi dengan jarum pada daerah yang paling fluktuatif, atau pungsi merupakan
tindakan diagnosis yang akurat untuk memastikan abses peritonsiler (baku emas).
c. USG: didapatkan gambaran “echo tree cavity” atau cincin isoechoid dengan gambaran
sentral hypoechoic.
d. CT scan
TATALAKSANA
PENULISAN RESEP
REFERENSI
DEFINISI
Pseudo croup acute epiglotitis merupakan suatu sindroma “croup”. Kedua penyakit ini mempunyai
manifestasi klinik yang sama yaitu obstruksi saluran nafas atas, namun memiliki penyebab dan
patofisiologi yang berbeda.
Pseudo croup adalah penyakit sistemik respiratorik akut yang menyerang mukosa dan
menyebabkan inflamasi dan edema pada daerah laring dan vocal cord, terkadang juga mengenai
trakea dan cabang bronkus. Saluran laring menjadi sempit akibat edema, dyspnea bisa muncul
secara cepat dengan suara serak, kasar, seperti batuk pada croup dan bisa mengancam jiwa
terutama pada anak-anak.
ETIOLOGI
Virus adalah penyebab tersering pseudo croup (sekitar 60% kasus) adalah Human Parainfluenza
virus tipe 1 (HPIV-1), HPIV-2, HPIV-3, HPIV-4, virus Influenza A dan B, Adenovirus, Respiratory
Synctial virus (RSC), dan virus campak. Meskipun jarang, pernah juga ditemukan Mycoplasma
pneumonia.
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
a. Batuk menggonggong
b. Suara serak
c. Stridor inspirasi, dengan atau tanpa adanya obstruksi jalan napas
d. Diawali dengan demam yang tidak begitu tinggi selama 12-72 jam, hidung berair, nyeri
menelan, dan batuk ringan.
e. Malaise
f. Bila keadaannya berat dapat terjadi sesak napas, stridor inspiratori yang berat, retraksi,
anak tampak gelisah, dan keluhan bertambah berat pada malam hari.
2. Pemeriksaan fisik
a. Pasien tampak gelisah, cemas
b. Terdengar stridor
c. Tampak adanya retraksi dan sianosis
d. Hipersalivasi akibat nyeri menelan
a. Ringan: ditandai dengan adanya batuk keras menggonggong yang kadang-kadang muncul,
stridor yang tidak terdengar ketika pasien beristirahat/tidak beraktivitas, dan retraksi ringan
dinding dada.
b. Sedang: ditandai dengan batuk menggonggong yang sering timbul, stridor mudah didengar
ketika pasien beristirahat/tidak beraktivitas, retraksi dinding dada sedikit terlihat, namun
tidak ada gawat napas.
c. Berat: ditandai dengan batuk menggonggong yang sering timbul, stridor inspirasi yang
terdengar jelas ketika pasien beristirahat, dan kadang disertai dengan stridor ekspirasi,
retraksi dinding dada, dan gawat napas.
d. Gagal napas mengancam: batuk kadang-kadang tidak jelas, terdengar stridor (kadang-
kadang sangat jelas ketika pasien beristirahat), gangguan kesadaran dan letargi.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium darah rutin: leukosit ˃20.000/mm yang didominasi oleh
PMN
b. Pemeriksaan radiologis leher posisi posteroanterior ditemukan gambaran udara steeple
sign (seperti menara) yang menunjukkan adanya penyempitan kolumna subglotis
TATALAKSANA
Tatalaksana utama bagi pasien pseudo croup adalah mengatasi obstruksi jalan napas
1. Terapi inhalasi
2. Nebulisasi epinefrin, diberikan kepada anak dengan pseudo croup gerajat sedan berat dan
membutuhkan intubasi, serta kepada anak yang tidak mengalami perbaikan setelah
diberikan terapi uap dingin. Efek terapi nebulisasi epinefrin ini timbul dalam waktu 30
menit dan bertahan selama 2 jam.
3. Kortikosteroid
Kortikosteroid mengurangi edema pada laring. Berikan dexamethasone dengan dosis 0,6
mg/kgBB peroral atau intramuskular sebanyak satu kali. Selain dexamethasone dapat juga
diberikan prednison atau prednisolon dengan dosis 1-2 mg/kgBB.
4. Intubasi endotrakeal
Dilakukan pada pasien pseudo croup berat yang tidak responsif dengan terapi lain. Intubasi
endotrakeal merupakan terapi alternatif selain trakeostomi untuk mengatasi obstruksi jalan
napas.
PENULISAN RESEP
R/ Epinephrine 1:1000 amp No. I
S Imm
R/ Dexamethasone 5 mg amp No. I
S Imm
REFERENSI
KARSINOMA LARING
DEFINISI
Karsinoma laring merupakan salah satu tumor ganas kepala dan leher yang paling sering terjadi.
Tumor ganas laring sebagian besar berasal dari bagian glotis diikuti supraglotis kemudian
subglotis.
ETIOLOGI
KLASIFIKASI
Stadium/staging
ST I : T1 N0 M0
ST II : T2 N0 M0
ST III : T3 NO M0, atau
T1/T2/T3 N1 M0
ST IV : T4 N0/N1 M0
T1/T2/T3/T4 N2/N3
T1/T2/T3/T4 N1/N2/N3 M1
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
a. Suara serak
b. Suara bergumam akibat nyeri pada laring
c. Dyspnea dan stridor akibat sumbatan jalan napas oleh massa tumor
d. Nyeri tenggorokan
e. Disfagia
f. Batuk dan hemoptisis
g. Nyeri tekan laring
h. Riwayat perokok berat
i. Riwayat konsumsi alkohol jangka panjang
2. Pemeriksaan fisik
a. Dari pemeriksaan fisik sering didapatkan tidak adanya tanda yang khas dari luar,
terutama pada stadium dini/permulaan, tetapi bila tumor sudah menjalar ke kelenjar
limfe leher, terlihat perubahan kontur leher.
b. Pemeriksaan laringoskop indirek untuk melihat lokasi tumor, penyebaran tumor yang
terlihat dan untuk melakukan tindakan biopsi
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium darah
b. Pemeriksaan radiologis
Foto thoraks untuk menilai keadaan paru apakah ada metastasis di paru
Foto jaringan lunak (soft tissue) leher dari lateral kadang-kadang dapat menilai
besarnya dan letaknya tumor
CT scan laring dapat memperlihatkan keadaan tumor dan laring lebih seksama
seperti penjalaran tumor ke daerah sekitarnya serta metastase kelenjar getah
bening leher
c. Biopsi laring dan biopsi jarum-halus pada pembesaran kelenjar limfe di leher untuk
menegakkan diagnosis pasti.
TATALAKSANA
REFERENSI
DEFINISI
Karsinoma nasofaring merupakan salah satu tumor ganas di daerah kepala dan leher yang paling
sering ditemukan. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring,
diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%), dan tumor ganas laring (16%).
Penyebab karsinoma nasofaring adalah Epstein Barr Virus, karena pada semua pasien karsinoma
nasofaring didapatkan titer antivirus EBV yang cukup tinggi. Tetapi virus ini bukan satu-satunya
faktor, karena banyak faktor lain yang sangat memengaruhi kemungkinan timbulnya tumor ini,
seperti letak geografis, ras, jenis kelamin, genetik, pekerjaan, lingkungan, kebiasaan hidup,
kebudayaan, sosial ekonomi, infeksi kuman atau parasit. Faktor lingkungan yang berpengaruh
adalah iritasi bahan kimia, asap jenis kayu tertentu, kebiasaan masak dan bahan tertentu, dan
kebiasaan makan makanan yang terlalu panas.
DIAGNOSIS
b. Gejala pada telinga, merupakan gejala dini yang timbul karena tempat asal tumor dekat
dengan muara tuba Eustachius (fossa Rosenmuller).
Tinitus
Rasa tidak nyaman di telinga
Rasa nyeri telinga (otalgia)
c. Gejala mata dan saraf
Diplopia
Trigeminal neuralgia
d. Metastasis atau gejala di leher
Terdapat benjolan di leher
2. Pemeriksaan penunjang
a. CT scan
b. Pemeriksaan serologis IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi virus Epstein Barr
c. Biopsi nasofaring sebagai pemeriksaan baku emas untuk menegakkan diagnosis secara
pasti
STADIUM
T = Tumor primer
M = metastasis jauh
Stadium 0 : T1s N0 M0
Stadium I : T1 N0 M0
a. Stadium I: Radioterapi
b. Stadium II dan III: Kemoradiasi
c. Stadium IV dengan N <6cm: Kemoradiasi
d. Stadium IV dengan N ˃6cm: Kemoterapi dosis penuh dilanjutkan dengan
kemoradiasi
REFERENSI
Delirium
Delirium adalah sindrom yang ditandai dengan gangguan kesadaran dan kognisi yang
terjadi secara akut dan berfluktuasi
Manifestasi klinis:
A. Gangguan kesadaran
B. Adanya perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi, gangguan berbahasa)
atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan dengan demensia
C. Gangguan psikomotor berupa hipoaktivitas atau hiperaktivitas, pengalihan aktivitas
yang tidak terduga, waktu bereaksi yang lebih panjang, arus pembicaraan yang
bertambah atau berkurang, reaksi terperanjat yang meningkat
D. Gangguan siklus tidur berupa insomnia, atau pada kasus yang berat tidak dapat tidur
sama sekali atau siklus tidurnya terbalik yaitu mengantuk siang hari. Gejala
memburuk pada malam hari dan mimpi yang mengganggu atau mimpi buruk yang
dapat berlanjut menjadi halusinasi setelah bangun tidur.
E. Gangguan emosional berupa depresi, ansietas, takut, lekas marah, euforia, apatis dan
rasa kehilangan akal.
Klasifikasi:
Delirium akibat kondisi medis umum (contohnya akibat penyakit sistem saraf pusat,
penyakit sistemik, penyakit jantung, gangguan metabolik, endokrin, hematologi,
hepar, renal, dll)
Gejala:
1) Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan terhadap
lingkungan) yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan memfokuskan,
mempertahankan dan mengalihkan perhatian
2) Adanya perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi, gangguan
berbahasa) atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan dengan demensia
3) Gangguan berkembang dalam periode waktu yang pendek, cenderung
berfluktuasi dalam sehari
4) Ada bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium bahwa gangguan
disebabkan oleh konsekuensi fisiologik langsung suatu KMU
Delirium akibat intoksikasi zat
Gejala:
Tatalaksana:
Farmakologis
Antipsikotika dapat dipertimbangkan bila ada tanda dan gejala psikosis, misalnya
halusinasi, waham atau sangat agitatif (verbal atau fisik) sehingga berisiko terlukanya
pasien atau orang lain.
Obat: haloperidol 2-5 mg IM/IV, dapat diulang setiap 30 menit (maksimal 20
mg/hari).
Non-farmakologis
Psikoterapi suportif, reorientasi lingkungan, edukasi keluarga untuk memberikan
dukungan kepada pasien
Demensia
Demensia merupakan sindrom akibat penyakit otak, bersifat kronik progresif, ditandai
dengan kemunduran fungsi kognitif multipel, yaitu fungsi memori, aphasia, apraksia,
agnosia, dan fungsi eksekutif. Kesadaran pada umumnya tidak terganggu. Adakalanya
disertai gangguan psikologik dan perilaku.
Manifestasi klinis:
Gejala dini: kesulitan mempelajari informasi baru dan mudah lupa terhadap kejadian yang
baru dialami
Gejala lanjut:
a. demensia pada Penyakit Alzheimer: gejala berkembang perlahan lahan, semakin lama
semakin parah, sampai pada tahap lanjut penderita menjadi tergantung penuh pada
keluarga yang merawatnya
b. demensia Vaskular: gejala muncul akut, gambaran klinis sesuai kerusakan vaskuler di
otak, kemunduran fungsi kognitif berjenjang sejalan dengan serangan kerusakan vaskular
berikutnya
Kriteria diagnosis:
Bukti adanya penurunan kemampuan, baik dalam daya ingat maupun daya pikir
seseorang sehingga mengganggu kegiatan sehari-hari
Hendaya daya ingat secara khas mempengaruhi proses registrasi, penyimpanan dan
memperoleh kembali informasi baru, tetapi ingatan yang biasa dan sudah dipelajari
sebelumnya dapat juga hilang, khususnya dalam stadium akhir.
Gejala dan hendaya di atas harus sudah nyata untuk setidak-tidaknya 6 (enam) bulan
GANGGUAN MENTAL DAN PERILAKU AKIBAT PENGGUNAAN ZAT
PSIKOAKTIF
Alkohol
1. Intoksikasi akut:
Gejala:
Bicara cadel/tak jelas
Gangguan koordinasi
Tidak stabil ketika berjalan
Nistagmus
Gangguan perhatian atau ingatan
Stupor atau koma
Tatalaksana:
Amfetamin
1. Intoksikasi akut
Gejala:
Takikardi atau bradikardi
Dilatasi pupil
Peningkatan atau penurunan tekanan darah
Banyak keringat atau kedinginan
Mual atau muntah
Penurunan berat badan
Agitasi atau retardasi motorik
Kelelahan otot, depresi sistem pernafasan, nyeri dada dan aritmia jantung
Kebingungan dan kejang-kejang, diskinesia, distonia atau koma
Gejala-gejala di atas tidak disebabkan oleh gangguan fisik atau mental lainnya
Tatalaksana:
Untuk penggunaan oral, rangsang muntah dengan activated charcoal atau kuras
lambung
antipsikotik: haloperidol 2-5 mg per kali pemberian atau klorpromazin 1 mg/kg
BB, oral, setiap 4-6 jam
Antihipertensi bila perlu (TD di atas 140/100 mmHg)
Bila ada gejala ansietas berikan ansiolitik golongan benzodiazepin; diazepam 3x5
mg atau klordiazepoksid 3x25 mg
Bila ada kejang, berikan diazepam 10-30 mg parenteral
2. Putus zat
Gejala:
Terdapat mood yang disforik dan dua (atau lebih) perubahan psikologis dibawah ini
yang berkembang dalam beberapa jam atau beberapa hari setelah penghentian
mendadak penggunaan, yaitu:
a. Fatique/kelelahan
b. Mimpi buruk atau halusinasi
c. Insomnia atau hipersomnia
d. Nafsu makan meningkat
e. Retardasi atau agitasi motorik
Tatalaksana:
antipsikotika (haloperidol 3 x 1,5-5mg, atau risperidon 2 x 1,5-3 mg), antiansietas
(alprazolam 2 x 0,25-0,5 mg, atau diazepam 3 x 5-10 mg, atau klobazam 2 x 10 mg)
atau antidepresan golongan SSRI atau trisiklik/tetrasiklik sesuai kondisi klinis
Opioid
1. Intoksikasi akut
Gejala:
Kontriksi pupil (atau dilatasi pupil akibat anoksia karena overdosis berat) dan satu
(atau lebih) gejala-gejala di bawah ini berkembang selama atau segera setelah
penggunaan opioid:
a. Mengantuk/drowsiness
b. Bicara cadel
c. Hendaya dalam perhatian atau daya ingat
Tatalaksana:
Pemberian Antidotum Naloxon HCl (Narcan/Nokoba) atau Naloxone 0.8 mg IV dan
tunggu selama 15 menit. Jika tidak ada respons, berikan Naloxone 1.6 mg IV dan
tunggu 15 menit. Jika masih tetap tidak ada respon, berikan Naloxone 3.2 mg IV dan
curigai penyebab lain. Jika pasien berespon, teruskan pemberian 0.4 mg/jam IV.
2. Putus zat
Gejala:
Terdapat 3 atau lebih gejala yang timbul akibat penghentian atau pengurangan
penggunaan opioida dalam waktu beberapa menitsampai beberapa hari, yaitu :
a. Mood disforik
b. Mual dan muntah
c. Nyeri otot
d. Lakrimasi atau rinorea
e. Dilatasi pupil, piloereksi atau berkeringat
f. Diare
g. Menguap
h. Demam
i. Insomnia
Tatalaksana:
Subtitusi golongan opioid: metadon, bufrenorfin
Substitusi golongan non-opioid: klonidin
Cannabis
1. Intoksikasi akut
Gejala (muncul dalam 2 jam setelah pemakaian, minimal 2):
Injeksi konjungtiva
Peningkatan nafsu makan
Mulut kering
Takikardia
Tatalaksana:
Umumnya tidak perlu farmakoterapi, namun bila terdapat ansietas berat dapat
diberikan lorazepam 1-2 mg PO/alprazolam 0,5-1 mg PO/chlordiazepoxine 10-50 mg
PO; bila terdapat gejala psikotik dapat diberikan haloperidol 1-2 mg PO atau IM per
20-30 menit
2. Putus zat
Gejala:
Anisetas, tidak dapat beristirahat tenang dan mudah tersinggung
Anoreksia
Tidur terganggu dan sering mengalami mimpi buruk
Gangguan gastrointestinal
Keringat malam
Tremor
Kokain
1. Intoksikasi akut
Gejala:
Stereotipi, perilaku repetitif
Ansietas/agitasi berat/panik
Agresif
Kedutan otot/hilang koordinasi
Peningkatan refleks
Gagal napas
Peningkatan tekanan darah yang bermakna
Nyeri dada/angina, iskemi miokardial dan infark
Edema paru
Gagal ginjal akut
Konvulsi
Penglihatan kabur
Stroke akut
Kebingungan/delirium
Halusinasi, terutama halusinasi dengar
Dizziness
Kekakuan oto
Lemah, nadi cepat
Aritmia jantung
Berkeringat/suhu tubuh sangat tinggi
Sakit kepala
Nyeri perut/mual/muntah
2. Putus zat
Gejala:
A. Mood disforia dan mencakup dua dari gejala:
1. Fatigue
2. Insomnia atau hipersomnia
3. Agitasi psikomotor atau retardasi
4. Craving
5. Peningkatan nafsu makan
6. Mimpi buruk
B. Gejala putus zat mencapai puncaknya dalam 2-4 hari
PSIKOSIS
Skizofrenia
Skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat yang ditandai dengan gangguan penilaian
realita (waham dan halusinasi).
Manifestasi klinis:
a. Gangguan Proses Pikir: Asosiasi longgar, intrusi berlebihan, terhambat, klang asosiasi,
ekolalia, alogia, neologisme.
b. Gangguan Isi Pikir: Waham, adalah suatu kepercayaan yang salah yang menetap yang
tidak sesuai dengan fakta dan tidak bisa dikoreksi. Jenis-jenis waham antara lain:
1) Waham kejar
2) Waham kebesaran
3) Waham rujukan
6) Waham aneh
c. Gangguan Persepsi; Halusinasi, ilusi, depersonalisasi, dan derealisasi.
d. Gangguan Emosi; ada tiga afek dasar yang sering diperlihatkan oleh penderita
skizofrenia (tetapi tidak patognomonik):
3) Afek labil
e. Gangguan Perilaku; Berbagai perilaku tak sesuai atau aneh dapat terlihat seperti
gerakan tubuh yang aneh dan menyeringai, perilaku ritual, sangat ketolol-tololan, dan
agresif serta perilaku seksual yang tak pantas.
f. Gangguan Motivasi; aktivitas yang disadari seringkali menurun atau hilang pada orang
dengan skizofrenia. Misalnya, kehilangan kehendak dan tidak ada aktivitas
Kriteria diagnosis:
Minimal satu gejala yang jelas (dua atau lebih, bila gejala kurang jelas):
a. Pikiran bergema (thought echo), penarikan pikiran atau penyisipan (thought
withdrawal atau thought insertion), dan penyiaran pikiran (thought
broadcasting).
b. Waham dikendalikan (delusionofbeingcontrol), waham dipengaruhi
(delusionofbeing influenced), atau “passivity”, yang jelas merujuk pada
pergerakan tubuh atau pergerakan anggota gerak, atau pikiran, perbuatan atau
perasaan (sensations) khusus; waham persepsi.
c. Halusinasi berupa suara yang berkomentar tentang perilaku pasien atau
sekelompok orang yang sedang mendiskusikan pasien, atau bentuk halusinasi
suara lainnya yang datang dari beberapa bagian tubuh.
d. Waham-waham menetap jenis lain yang menurut budayanya dianggap tidak
wajar serta sama sekali mustahil, seperti misalnya mengenai identitas
keagamaan atau politik, atau kekuatan dan kemampuan “manusia super”
(tidak sesuai dengan budaya dan sangat tidak mungkin atau tidak masuk akal,
misalnya mampu berkomunikasi dengan makhluk asing yang datang dari
planit lain).
Atau paling sedikit dua dari gejala berikut harus ada secara jelas:
e. Halusinasi yang menetap pada berbagai modalitas, apabila disertai baik oleh
waham yang mengambang/melayang maupun yang setengah berbentuk tanpa
kandungan afektif yang jelas, ataupun oleh ide-ide berlebihan
(overvaluedideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama
berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus
f. Arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan (interpolasi) yang
berakibat inkoheren atau pembicaraan tidak relevan atau neologisme.
g. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), sikap tubuh
tertentu (posturing), atau fleksibilitas serea, negativism, mutisme, dan stupor.
h. Gejala-gejala negatif, seperti sikap masa bodoh (apatis), pembicaraan yang
terhenti, dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya
yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya
kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan
oleh depresi atau medikasi neuroleptika.
i. Perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan dari
beberapa aspek perilaku perorangan, bermanifestasi sebagai hilangnya minat,
tak bertujuan, sikap malas, sikap berdiam diri (self absorbed attitude) dan
penarikan diri secara sosial.
Gejala tersebut berlangsung selama satu bulan atau lebih
Perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan dari beberapa
aspek perilaku perorangan, bermanifestasi sebagai hilangnya minat, tak bertujuan,
sikap malas, sikap berdiam diri (self absorbed attitude) dan penarikan diri secara
sosial.
Subtipe:
a. Skizofrenia paranoid
halusinasi/waham menonjol:
o halusinasi auditorik
o Halusinasi bau atau kecap, atau bersifat seksual, atau lain-lain perasaan
tubuh
o waham dikendalikan/dipengaruhi/passivity/kejar
Gangguan afektif, dorongan kehedak dan pembicaraan, serta gejala katatonik
secara relatif tidak nyata/tidak menonjol
Memenuhi kriteria umum skizofrenia tapi tidak memenuhi kriteria diagnosis skizofrenia
subtipe lain
e. Skizofrenia residual
f. Skizofrenia simpleks
Gejala negatif yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului riwayat
halusinasi, waham atau manifestasi lain dari episode psikotik, dan
Disertai dengan perubahan perilaku pribadi yang bermakna, bermanifestasi
sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan
hidup, dan penarikan diri secara sosial
Gejala psikotik kurang jelas dibanding subtipe skizofrenia lain
Tatalaksana:
a. Fase akut
Pada Fase akut terapi bertujuan mencegah pasien melukai dirinya atau orang lain,
mengendalikan perilaku yang merusak, mengurangi beratnya gejala psikotik dan
gejala terkait lainnya misalnya agitasi, agresi dan gaduh gelisah.
Langkah pertama: berbicara dengan pasien
Langkah kedua: keputusan pemberian obat. Pengikatan hanya selama 2-4 jam dan
digunakan untuk memulai pengobatan.
Obat injeksi:
1) Olanzapine, dosis 10 mg/injeksi, intramuskulus, dapat diulang setiap 2 jam, dosis
maksimum 30mg/hari.
2) Aripriprazol, dosis 9,75 mg/injeksi (dosis maksimal 29,25 mg/hari),
intramuskulus.
3) Haloperidol, dosis 5mg/injeksi, intramuskulus, dapat diulang setiap setengah jam,
dosis maksimum 20mg/hari.
4) Diazepam 10mg/injeksi, intravena/intramuskulus, dosis maksimum 30mg/hari.
Obat oral:
Contoh resep:
Terapi lain, ECT (terapi kejang listrik) dapat dilakukan pada Skizofrenia katatonik
dan Skizofrenia refrakter.
b. Fase stabilisasi
Tujuan fase stabilisasi adalah mempertahankan remisi gejala atau untuk mengontrol,
meminimalisasi risiko atau konsekuensi kekambuhan dan mengoptimalkan fungsi
dan proses kesembuhan (recovery).
Setelah diperoleh dosis optimal, dosis tersebut dipertahankan selama lebih kurang 8
– 10 minggu sebelum masuk ke tahap rumatan. Pada fase ini dapat juga diberikan
obat anti psikotika jangka panjang (long acting injectable), setiap 2-4 minggu.
c. Fase rumatan
Dosis mulai diturunkan secara bertahap sampai diperoleh dosis minimal yang masih
mampu mencegah kekambuhan. Bila kondisi akut, pertama kali, terapi diberikan
sampai dua tahun, bila sudah berjalan kronis dengan beberapa kali kekambuhan,
terapi diberikan sampai lima tahun bahkan seumur hidup.
Distonia akut: ditandai dengan posisi kepala dan leher abnormal (torticollis), spasme
otot rahang (trismus), gangguan menelan, bernapas, atau bicara, disfungsi lidah atau
lidah menjulur, deviasi mata, dan posisi tubuh dan anggota gerak abnormal
Parkinsonisme: ditandai dengan rigiditas dan tremor
Akathisia: ditandai dengan disforia dan restlessness
Sindrom neuroleptik maligna: ditandai dengan rigiditas otot dan demam >38 oC
Langkah pertama yaitu menurunkan dosis antipsikotika. Bila tidak dapat ditanggulangi,
berikan obat-obat antikolinergik, misalnya triheksilfenidil, benztropin, sulfas atropin atau
difenhidramin injeksi IM atau IV.
Gangguan Skizoafektif
Skizoafektif adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan dua gambaran yang berulang
yaitu gambaran gangguan skizofrenia dan episod mood baik depresi mayor maupun
bipolar.
Subtipe:
a. Gangguan skizoafektif tipe manik
Diagnosis:
Suasana perasaan harus meningkat secara menonjol atau ada peningkatan suasana
perasaan yang tak begitu mencolok dikombinasi dengan iritabilitas atau
kegelisahan yang meningkat
Dalam episode yang sama harus jelas ada sedikitnya satu, atau lebih baik lagi dua
gejala skizofrenia yang khas
Tatalaksana:
Tatalaksana:
Meliputi waham-waham yang berlangsung lama sebagai satu-satunya gejala klinis yang
khas dan tidak dapat digolongkan sebagai gangguan mental organik, skzofrenik, dan
gangguan afektif.
Kriteria diagnosis:
Merupakan satu-satunya ciri khas klinis atau gejala yang paling mencolok, sudah ada
sedikitnya 3 bulan
Gejala afektif mungkin terjadi dengan syarat waham tersebut menetap saat tidak
terdapat gangguan afektif
Tidak terdapat bukti penyakit otak, halusinasi auditorik, dan tidak ada riwayat gejala
skizofrenia
Kriteria diagnosis:
Onset akut (≤2 minggu gejala psikotik menjadi nyata dan mengganggu aspek
kehidupan dan pekerjaan)
Adanya sindrom yang khas (polimorfik/beraneka ragam dan berubah cepat,
schizophrenia-like/gejala skizofrenia yang khas)
Adanya stres akut yang berkaitan
Tanpa diketahui berapa lama gangguan akan berlangsung
GANGGUAN AFEKTIF
Episode Depresi
Diagnosis
Gejala mayor:
Afek depresif
Anhedonia (hilang minat dan kegembiraan)
Anergi (berkurangnya energi mudah lelah dan aktivitas menurun)
Gejala minor:
Ringan: 2 mayor + 2 minor, sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial
Sedang: 2 mayor + 3 minor, menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan
sosial, urusan rumah tangga & kerja
Berat, tanpa gejala psikotik: 3 mayor + 4 minor, tidak mungkin mampu meneruskan
kegiatan sosial, urusan rumah tangga & kerja
Berat, dengan gejala psikotik: kriteria episode depresif berat tanpa gejala psikotik +
disertai waham, halusinasi atau stupor depresi. Biasanya waham/halusinasi sejalan
dengan mood
Pemeriksaan penunjang
HAM-D dan MADRS (untuk menentukan derajat keparahan depresi)
Tatalaksana
Indikasi yang pasti untuk perawatan di rumah sakit adalah:
Prosedur diagnostik
Risiko bunuh diri atau pembunuhan
Kemunduran yang parah dalam kemampuan memenuhi kebutuhan makan dan
perlindungan
Cepatnya perburukan gejala
Hilangnya sistem dukungan yang biasa didapatnya
Tatalaksana farmakologis:
Contoh resep:
R/fluoksetin 20 mg caps No. X
S 1 dd caps I
Episode Manik
Pada episode manik, afek meningkat, disertai peningkatan dalam jumlah dan kecepatan
aktivitas fisik dan mental.
Kriteria diagnosis:
Mania tanpa gejala psikotik
Episode harus berlangsung sekurang-kurangnya 1 minggu dan cukup berat sampai
mengacaukan seluruh atau hampir seluruh pekerjaan dan aktivitas sosial yang biasa
dilakukan
Perubahan afek harus disertai dengan energi yang bertambah sehingga terjadi
aktivitas berlebihan, percepatan dan kebanyakan bicara, kebutuhan tidur yang
berkurang, ide-ide perihal kebesaran/grandiose ideas dan terlalu optimistik
Mania dengan gejala psikotik
Gambaran mania lebih berat daripada mania tanpa gejala psikotik
Harga diri yang membumbung dan gagasan kebesaran dapat berkembang menjadi
waham kebesaran (delusion of grandeur), iritabilitas dan kecurigaan menjadi waham
kejar (delusion of persecution). Waham dan halusinasi sesuai dengan afek (mood
congruent)
Hipomania
Derajat gangguan yang lebih ringan dari mania, afek yang meninggi atau berubah
disertai peningkatan aktivitas, menetap selama sekurang-kurangnya beberapa hari
berturut-turut, pada suatu derajat intensitas dan yang bertahan melebihi apa yang
digambarkan bagi siklotimia dan tidak disertai halusinasi atau waham
Pengaruh nyata atas kelancaran pekerjaan dan aktivitas sosial memang sesuai dengan
diagnosis hipomania, akan tetapi bila kekacauan berat atau menyeluruh, diagnosis
mania ditegakkan
Gangguan Afektif Bipolar
Gangguan afektif bipolar (GB) merupakan gangguan jiwa yang bersifat episodik dan
ditandai oleh gejala-gejala manik, hipomanik, depresi, dan campuran, biasanya rekuren
serta dapat berlangsung seumur hidup.
Gejala klinis:
Siklotimia
Diagnosis:
Ciri esensial adalah ketidakstabilan menetap dari afek, meliputi banyak periode
depresi ringan dan hipomania ringan, diantaranya adalah tidak ada yang cukup parah
atau cukup lama untuk memenuhi kriteria gangguan afektif bipolar atau gangguan
depresif berulang
Setiap episode alunan efektif (mood swings) tidak memenuhi kriteria untuk kategori
mana pun dalam episode manik atau depresif
Distimia
Diagnosis:
Ciri esensial adalah afek depresif yang berlangsung sangat lama yang tidak pernah
atau jarang sekali cukup parah untuk memenuhi kriteria gangguan depresif berulang
ringan atau sedang
Biasanya mulai pada usia dini dari masa dewasa dan berlangsung sekurang-kurangnya
beberapa tahun, kadang-kadang untuk jangka waktu tidak terbatas. Jika onsetnya pada
usia lebih lanjut, gangguan ini seringkali merupakan kelanjutan suatu episode depresif
tersendiri dan berhubungan dengan masa berkabung atau stres lain yang tampak jelas
GANGGUAN ANSIETAS
Gangguan Ansietas Fobik
Ciri:
Dicetuskan oleh situasi/objek yang jelas yang sebenarnya tidak membahayakan
Penyebab anxietas dihindari atau dihadapi dengan rasa terancam
Agorafobia
Derajat ketakutannya bisa berbeda (from anticipatory anxiety to a full panic attack)
dipengaruhi kondisi seperti ada orang lain, durasi paparan, dan elemen mengancam
lain
Gangguan Ansietas Lainnya
Ciri:
Manifestasi ansietas merupakan gejala utama dan tidak terbatas pada situasi
lingkungan tertentu saja
Dapat disertai gejala-gejala depresif dan obsesif, bahkan juga beberapa unsur dari
ansietas fobik, asal saja jelas bersifat sekunder atau ringan
Gangguan Panik (Ansietas Paroksismal Episodik)
Dalam satu bulan ditemukan adanya beberapa kali serangan ansietas berat:
a) Pada keadaan-keadaan dimana sebenarnya secara objektif tidak ada bahaya
b) Tidak terbatas pada situasi yang telah diketahui atau yang dapat diduga sebelumnya
c) Dengan keadaan yang relatif bebas dari gejala-gejala ansietas pada periode-periode
diantara serangan-serangan panik (namun masih dapat terjadi ansietas antisipatorik:
ansietas yang terjadi setelah membayangkan sesuatu yang mengkhawatirkan akan
terjadi)
Gejala serangan panik (panic attack):
Palpitasi
Berkeringat
Gemetaran
sesak napas
rasa tercekik
nyeri dada
mual/sakit perut
pusing/tidak seimbang/pingsan
rasa dingin/panas
paresthesia (baal/kesemutan)
derealisasi (rasa tidak nyata)/depersonalisasi (rasa terpisah dari tubuh)
rasa seperti akan jadi gila
takut mati
Jika terapi SSRI gagal ganti terapi, jika terdapat panik ganti dengan MAOI, jika
terdapat cemas ganti buspiron, jika terdapat depresi dengan litium, jika terdapat tik
dan waham berikan antipsikotik.
Jika masih tidak respons atau terdapat riwayat bunuh diri lakukan ECT (terapi kejang
listrik)
Terapi psikososial:
Terapi kognitif perilaku
Psikoterapi beriorientasi tilikan
Psikoedukasi
Suatu stres kehidupan yang luar biasa, yang menyebabkan reaksi stres akut, atau
Suatu perubahan penting dalam kehidupan, yang menimbulkan situasi tidak nyaman
yang berkelanjutan, dengan akibat terjadi suatu gangguan penyesuaian
Gangguan dalam kategori ini selalu merupakan konsekuensi langsung dari stres akut yang
berat atau trauma yang berkelanjutan.
Reaksi Stres Akut
Kriteria diagnosis:
Harus ada kaitan waktu kejadian yang jelas antara terjadinya pengalaman stressor luar
biasa (fisik atau mental) dengan onset gejala, biasanya setelah beberapa menit atau
segera setelah kejadian
Ditemukan gejala:
a) Terdapat gambaran gejala campuran yang biasanya berubah-ubah; selain gejala
permulaan berupa keadaan terpaku, semua hal berikut dapat terlihat: depresi,
ansietas, kemarahan, kecewa, overaktif, dan penarikan diri.
Akan tetapi tidak satupun dari gejala tersebut yang mendominasi gambaran
klinisnya untuk waktu yang lama
b) Pada kasus-kasus yang dapat dialihkan dari lingkup stressornya, gejala-gejala
dapat menghilang dengan cepat (dalam beberapa jam); dalam hal dimana stres
menjadi berkelanjutan atau tidak dapat dialihkan, gejala-gejala biasanya baru
mereda setelah 24-48 jam dan biasanya hampir menghilang setelah 3 hari
Gangguan Stres Pasca-Trauma
Gangguan stres pasca-trauma merupakan keadaan yang timbul sebagai respons
berkepanjangan dan/atau tertunda terhadap kejadian atau situasi yang bersifat stresor
katastrofik, sangat menakutkan, yang cenderung menyebabkan penderitaan pada hampir
semua orang (misalnya perang, gempa bumi, kecelakaan berat, menjadi korban
penyiksaan, terorisme, dan perkosaan).
Kriteria diagnosis:
Mengalami atau menyaksikan atau dikonfrontasi peristiwa trauma.Timbulnya
gangguan enam bulan setelah peristiwa traumatik yang bersifat katastrofik tersebut.
Bila lebih dari enam bulan masih bisa asal manifestasi klinisnya khas dan tidak
didapat gangguan lain (misalnya gangguan ansietas, obsesif-kompulsif atau episode
depresif)
Bukti adanya trauma yaitu selalu adanya dalam ingatan bayangan atau mimpi
mengenai peristiwa tersebut, secara berulang
Kriteria tambahan (tidak harus ada):
• penarikan diri secara sosial
• penumpulan perasaan
• penghindaran terhadap stimulus yg dapat mengingatkan kembali traumanya
• gangguan otonom
• gangguan suasana perasaan.
Tatalaksana:
Tatalaksana Farmakoterapi
Tergantung dari gejala yang menonjol saat itu, apakah sindrom cemas, depresif atau
disertai gejala psikotik.
1) Bila cemas, berikan Benzodiazepine, misalnya :
• Klobazam 2 x (5-10mg)
• Lorazepam 1-2 x (0,5-1 mg)
2) Bila depresif:
a) SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor), a.l:
• Sertralin, dosis awal 1 x 12,5 - 25 mg/hari, dapat dinaikkan 1x50mg
• Fluoksetin, dosis awal 1 x 5-10mg/hari, dapat dinaikan menjadi 1 x 20-40mg/hari
• Fluvoksamin, dosis awal 1 x 25mg, dapat dinaikkan menjadi 1x 50-100mg/hari
• Escitalopram, dosis awal 1x 5-10 mg/hari, dapat dinaikkan menjadi 1x20 mg/hari
b) Derivat trisiklik:
• Amitriptilin: 2x (10-25) mg
• Imipramin: 1-2 x (10-25) mg
c) Bila ada gejala psikotik, berikan antipsikotik, contohnya:
• Haloperidol, dosis 2 x 1-5mg atau
• Risperidon, dosis 2 x 1-2mg atau
• Olanzapin, 1-2 x 2,5-10mg
• Quetiapin, 50-100mg
Terapi Psikososial
Tujuan terapi menurunkan atau menghilangkan reaksi kecemasan pasien terhadap trauma
yg berkaitan dengan stimulus, terdiri atas:
1) Edukasi tentang reaksi umum terhadap trauma
2) Latihan relaksasi
3) Terapi Kognitif Perilaku
4) Eye Movement Desensitation Reprocessing (EMDR)
5) Prolonged Exposure (PE)
Gangguan Penyesuaian
Pada gangguan penyesuaian, terdapat suatu perubahan penting dalam kehidupan,
yang menimbulkan situasi tidak nyaman yang berkelanjutan
Manifestasi bervariasi, dan menakup afek depresif, ansietas, campuran ansietas-
depresif, gangguan tingkah laku, disertai adanya disabilitas dalam kegiatan rutin
sehari-hari. Tidak ada satupun dari gejala tersebut yang spesifik mndukung diagnosis
Onset biasanya terjadi dalam 1 bulan setelah terjadinya kejadian yang stressful, dan
gejala-gejala biasanya tidak bertahan melebihi 6 bulan
Amnesia Disosiatif
Ciri utama adalah hilangnya daya ingat, biasanya mengenai kejadian penting yang baru
terjadi (selektif), dan bukan disebabkan oleh gangguan mental organik dan terlalu luas
untuk dapat dijelaskan atas dasar kelupaan yang umum terjadi atau atas dasar kelelahan
Diagnosis:
a) Amnesia, baik total atau parsial, mengenai kejadian yang stressful atau traumatik
yang baru terjadi
b) Tidak ada gangguan mental organik, intoksikasi, atau kelelahan berlebihan
Diagnosis banding:
Amnesia buatan: disebabkan oleh stimulasi secara sadar (malingering). Amnesia buatan
biasanya berkaitan dengan problema yang jelas mengenai keuangan, bahaya kematian
dalam peperangan, atau kemungkinan hukuman penjara atau hukuman mati.
Fugue Disosiatif
Diagnosis:
a) Terdapat ciri-ciri amnesia disosiatif
b) Melakukan perjalanan tertentu melampaui hal yang umum dilakukannya sehari-hari
c) Kemampuan mengurus diri dasar tetap ada dan melakukan interaksi sosial sederhana
dengan orang-orang yang belum dikenal (misalkan membeli karcis atau bensin,
menanyakan arah, memesan makan)
Diagnosis banding:
Postictal fugue: biasanya terjadi setelah serangan epilepsi lobus temporalis, dapat
dibedakan dengan riwayat penyakit pasien dan tidak adanya problem atau kejadian
stressful, dan kurang jelasnya bepergian serta kegiatan dari penderita epilepsi tersebut.
Stupor Disosiatif
Diagnosis:
a) Stupor, sangat berkurangnya atau hilangnya gerakan-gerakan volunter dan respon
normal terhadap rangsangan luar sedangkan kesadaran tidak hilang
b) Tidak ditemukan adanya gangguan fisik ataupun jiwa lain
c) Adanya problem atau kejadian-kejadian baru yang stressful
Diagnosis banding:
Stupor katatonik (pada skizofrenia)
Stupor depresif atau manik (pada gangguan afektif, berkembang sangat lambat)
Sindrom Depersonalisasi-Derealisasi
Harus ada salah satu atau dua-duanya dari a) dan b) ditambah c) dan d):
a) Gejala depersonalisasi, yaitu individu merasa bahwa perasaannya dan/atau
pengalamannya terlepas dari dirinya, jauh, bukan dari dirinya, hilang, dsb
b) Gejala derealisasi, yaitu objek, orang, dan/atau lingkungan menjadi seperti tidak
sesungguhnya, jauh, semu, tanpa warna, tidak hidup, dsb
c) Memahami bahwa hal tersebut merupakan perubahan spontan dan subjektif, dan
bukan disebabkan oleh kekuatan luar atau orang lain (insight cukup baik)
d) Penginderaan tidak terganggu dan tidak ada toxic confusional state atau epilepsi
GANGGUAN SOMATOFORM
Gangguan somatoform ditandai dengan adanya keluhan fisik berulang disertai
permintaan pemeriksaan medik, walau hasil negatif dan dijelaskan dokternya, masih
mengeluh, tidak mau mendengarkan dokternya setelah dijelaskan tidak ada kelainan fisik.
Gangguan Somatisasi
a) Adanya banyak keluhan-keluhan fisik yang bermacam-macam yang tidak dapat
dijelaskan atas dasar adanya kelainan fisik, yang sudah berlangsung minimal 2 tahun
b) Tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak ada
kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhan-keluhannya
c) Terdapat disabilitas dalam fungsinya di masyarakat dan keluarga, yang berkaitan
dengan sifat keluhan-keluhannya dan dampak dari perilakunya
Gangguan Hipokondrik
a) Keyakinan yang menetap adanya sekurang-kurangnya satu penyakit fisik yang serius
yang melandasi keluhan-keluhannya meskipun pemeriksaan yang berulang tidak
menunjang adanya alasan fisik yang memadai, ataupun adanya preokupasi yang
menetap kemungkinan deformitas atau perubahan bentuk fisiknya (bukan waham)
b) Tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak
ditemukan penyakit atau abnormalitas fisik yang melandasi keluhan-keluhannya
Factitious Disorder
Pada factitious disorder, pasien melakukan pemalsuan gejala fisik atau psikologis, atau
memunculkan cedera atau penyakit yang dilakukan walau tanpa adanya manfaat yang
jelas, dan perilaku ini dilakukan walaupun tidak didapatkan keuntungan.
Diagnosis banding:
Malingering: perbedaan dengan malingering adalah pada pasien dengan malingering,
gejala dibuat-buat untuk mendapatkan keuntungan (seperti waktu libur, uang)
Tatalaksana:
Cognitive Behavioral Therapy (CBT)
Follow up tiap 1 bulan untuk memberikan dukungan pada pasien
Modifikasi gaya hidup dan reduksi stres
Umumnya tidak membutuhkan medikamentosa
GANGGUAN MAKAN
Anoreksia Nervosa
Ciri khas gangguan adalah mengurangi berat badan dengan sengaja, dipacu dan atau
dipertahankan oleh penderita
Diagnosis:
a) Berat badan tetap dipertahankan 15% dibawah yang seharusnya (baik yang berkurang
maupun yang tak pernah tercapai) atau BMI ≤17,5. Pada penderita pra-pubertas bisa
saja gagal mencapai berat badan yang diharapkan selama periode pertumbuhan
b) Berkurangnya berat badan dilakukan sendiri dengan menghindarkan makanan yang
mengandung lemak dan salah satu dari hal berikut:
Merangsang muntah oleh diri sendiri
Menggunakan pencahar
Olahraga berlebihan
Memakai obat penekan nafsu makan dan/atau diuretika
c) Terdapat distorsi ‘body image’ dalam bentuk psikopatologi yang spesifik dimana
ketakutan gemuk terus menerus menyerang penderita, penilaian yang berlebihan
terhadap berat badan yang rendah
d) Adanya gangguan endokrin yang meluas, melibatkan hypothalamic-pituitary-gonadal
axis, dengan manifestasi pada wanita adalah amenore dan pada pria adalah kehilangan
minat dan potensi seksual. Juga dapat terjadi kenaikan hormon pertumbuhan, naiknya
kadar kortisol, perubahan metabolisme periferal dari hormon tiroid, dan sekresi
insulin abnormal
e) Jika onset terjadinya pada masa pra-pubertas, perkembangan pubertas tertunda, atau
tertahan.
Bulimia Nervosa
Diagnosis:
a) Terdapat preokupasi yang menetap untuk makan, dan ketagihan (craving) terhadap
makanan yang tidak bisa dilawan; penderita tidak berdaya terhadap datangnya
episode makan berlebihan dimana makanan dalam jumlah yang besar dimakan dala
waktu yang singkat
b) Pasien berusaha melawan efek gemuk dengan cara:
Merangsang muntah oleh diri sendiri
Menggunakan pencahar berlebihan
Puasa berkala
Memakai obat-obatan seperti penekan nafsu makan, sediaan tiroid atau diuretika.
Jika terjadi pada penderita diabetes, pasien akan mengabaikan penggunaan
obatnya
c) Gejala psikopatologinya terdiri dari ketakutan yang luar biasa akan kegemukan dan
penderita mengatur sendiri batasan yang ketat dari ambang berat badannya, sangat
dibawah berat badan sebelum sakit dianggap BB yang sehat atau optimal
GANGGUAN TIDUR NON-ORGANIK
Gangguan ini meliputi:
a) Dyssomnia: kondisi psikogenik primer dimana gangguan utamanya adalah jumlah,
kualitas, waktu tidur yang disebabkan oleh hal-hal emosional (termasuk dalam
gangguan ini adalah insomnia, hipersomnia, gangguan tidur-jaga/sleep-wake
disorder)
b) Parasomnia: peristiwa episodik abnormal yang terjadi selama tidur (termasuk dalam
gangguan ini adalah somnabulisme/sleepwalking, teror tidur/night terrors, mimpi
buruk/nightmare)
Insomnia
Diagnosis:
a) Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur, atau kualitas tidur
yang buruk
b) Gangguan terjadi minimal 3 kali dalam seminggu selama minimal satu bulan
c) Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur dan peduli yang berlebihan terhadap
akibatnya pada malam hari dan sepanjang hari
d) Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur menyebabkan penderitaan
yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial dan pekerjaan
Tipe insomnia:
Early: sulit memulai tidur
Middle:sulit mempertahankan tidur (terus terbangun)
Late: terbangun terlalu awal namun sulit untuk tidur kembali
Tatalaksana:
Pasien diberikan penjelasan tentang faktor risiko yang dimilikinya dan pentingnya untuk
memulai pola hidup sehat dan mengatasi masalah penyebab insomnia
Medikamentosa: lorazepam 0,5-2 mg atau diazepam 2-5 mg pada malam hari
Resep:
R/lorazepam 0,5 mg tab No. V
S 1 dd tab I hs
Hipersomnia
Diagnosis:
a) Rasa kantuk pada siang hari yang berlebihan atau adanya serangan tidur (tidak
disebabkan oleh jumlah tidur yang kurang), dan atau transisi yang memanjang dari
saat mulai bangun tidur sampai sadar sepenuhnya
b) Gangguan tidur terjadi setiap hari selama lebih dari 1 bulan atau berulang dengan
kurun waktu yang lebih pendek, menyebabkan penderitaan yang cukup berat dan
mempengaruhi fungsi dalam sosial dan pekerjaan
c) Tidak ada gejala tambahan narcolepsy (cataplexy, sleep paralysis, hypnagogic
hallucination) atau bukti klinis untuk sleep apnoe (nocturnal breath cessation, typical
intermittent snoring sounds)
d) Tidak ada kondisi neurologis atau medis yang menunjukkan gejala rasa kantuk pada
siang hari
Somnabulisme (Sleepwalking)
Diagnosis:
a) Gejala episode bangun dari tempat tidur, biasanya pada sepertiga awal tidur malam,
dan terus berjalan-jalan
b) Selama satu episode, individu menunjukkan wajah bengong, relatif tak memberi
respons terhadap upaya orang lain untuk mempengaruhi keadaan atau untuk
berkomunikasi dengan penderita dan hanya dapat disadarkan/dibangunkan dari
tidurnya dengan susah payah
c) Pada waktu sadar/bangun, individu tidak ingat apa yang terjadi
d) Dalam kurun waktu beberapa menit setelah bangun dari episode tersebut, tidak ada
gangguan mental, walaupun dapat dimulai dengan sedikit bingung dan disorientasi
dalam waktu singkat
e) Tidak ada bukti adanya gangguan mental organik
Disfungsi Orgasme
Orgasme tidak terjadi sama sekali maupun yang sangat terlambat
Dispareunia
Dispareunia adalah keadaan nyeri pada waktu hubungan seksual, dapat terjadi pada
wanita ataupun pria
Adanya hasrat untuk hidup dan diterima sebagai anggota dari kelompok lawan
jenisnya, biasanya disertai perasaan risih, atau ketidakserasian dengan anatomi
seksualnya
Adanya keinginan untuk mendapatkan terapi hormonal dan pembedahan untuk
membuat tubuhnya semirip mungkin dengan jenis kelamin yang diinginkan
Transvertisme Fetishistik
Mengenakan pakaian dari lawan jenis dengan tujuan pokok untuk mencapai kepuasan
seksual
Diagnosis banding:
Fetishisme: pada transvertisme fetishistik pakaian sebagai objek fetish bukan hanya
sekadarr dipakai tetapi untuk menciptakan penampilan dari lawan jenis kelaminnya dan
pada transvertisme fetishistik perlengkapan yang dipakai menyeluruh
Transvertisme transsexual: pada transvertisme fetishistik adanya hubungan yang jelas
dengan bangkitnya gairah seksual dan keinginan/hasrat yang kuat untuk melepaskan baju
tersebut apabila orgasme sudah terjadi dan rangsangan seksual menurun
Ekshibisionisme
Kecenderungan yang berulang atau menetap untuk memamerkan alat kelamin kepada
asing (biasanya lawan jenis kelamin) atau kepada orang banyak di tempat umum,
tanpa ajakan atau niat untuk berhubungan lebih akrab
Hampir terbatas pada laki-laki heteroseksual yang memamerkan kepada wanita,
remaja, atau dewasa, biasanya menghadap mereka dalam jarak yang aman di tempat
umum. Apabila yang menyaksikan itu terkejut, takut, atau terpesona, kegairahan
penderita meningkat
Voyeurisme
Kecenderungan yang berulang atau menetap untuk melihat orang yang sedang
berhubungan seksual atau berperilaku intim seperti sedang menanggalkan pakaian
Biasanya menjurus kepada rangsangan seksual dan masturbaasi, yang dilakukan tanpa
orang yang diintip menyadarinya
Pedofilia
Preferensi seksual terhadap anak-anak yang berulang dan menetap, biasanya pra-pubertas
atau awal masa pubertas
Sadomasokisme
Preferensi terhadap aktivitas seksual yang melibatkan pengikatan atau menimbulkan rasa
sakit atau penghinaan (individu yang lebih suka menjadi resipien dari perangsangan:
masokisme, sebagai pelaku: sadisme)
Aktivitas sadomasokistik merupakan sumber rangsangan yang penting untuk pemuasan
seks
GANGGUAN KEPRIBADIAN
Ciri:
Mencakup kondisi klinis yang bermakna dan pola perilaku yang cenderung menetap,
dan merupakan ekspresi dari pola hidup yang khas dari seseorang dan cara-cara
berhubungan dengan diri sendiri maupun orang lain
Beberapa dari kondisi dan pola perilaku tersebut berkembang sejak dini dari masa
pertumbuhan dan perkembangan dirinya sebagai hasil interaksi faktor-faktor
konstitusi dan pengalaman hidup, sedangkan yang lainnya didapat pada masa
kehidupan selanjutnya
Sindrom Rett
Sebagian besar kasus terjadi pada onset 7-24 bulan. Pola perkembangan awal tampak normal
atau mendekati normal, diikuti dengan kehilangan sebagian atau seluruh keterampilan tangan
dan berbicara yang telah didapat bersamaan dengan terdapatnya kemunduran/perlambatan
pertumbuhan kepala (bersifat progressive motor deterioration)
Hilangnya kemampuan gerakan tangan yang bertujuan dan keterampilan manipulatif dari
motorik halus yang telah terlatih. Disertai:
– Kehilangan atau hambatan seluruh atau sebagian perkembangan bahasa
– Gerakan seperti mencuci tangan yang stereotipik dengan fleksi lengan di depan dada atau
dagu
– Membasahi tangan secara stereotipik dengan ludah
– Hambatan dalam mengunyah makanan yang baik
– Sering terjadi episode hiperventilasi
– Hampir selalu gagal dalam pengaturan BAB dan BAK
– Penjuluran lidah dan air liur yang menetes
– Kehilangan dalam ikatan sosial
Disertai kehilangan atau hambatan seluruh atau sebagian perkembangan berbahasa
Anak tetap dapat senyum sosial, menatap seseorang dengan kosong, tetapi tidak terjadi
interaksi sosial pada awal masa kanak
Cara berdiri dan berjalan cenderung melebar, otot hipotonik, koordinasi gerak tubuh
memburuk, skoliosis atau kifoskoliosis yang berkembang kemudian. Dapat timbul spastitisitas
dan rigiditas yang biasanya lebih banyak terjadi pada ekstremitas bawah
Sindrom Asperger
– Tidak adanya hambatan/keterlambatan umum dalam perkembangan berbahasa atau
perkembangan kognitif yang secara klinis jelas
– Adanya defisiensi kualitatif dalam fungsi interaksi sosial yang timbal balik
– Adanya pola perilaku, perhatian, dan aktivitas yang terbatas, berulang, dan stereotipi
GANGGUAN PEMUSATAN PERHATIAN/HIPERAKTIVITAS (GPPH)
Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) adalah suatu kondisi yang ditandai
dengan adanya gejala berkurangnya perhatian dan atau aktivitas/impulsivitas yang berlebihan.
Gangguan Hiperkinetik
1) Ciri-ciri utama ialah berkurangnya perhatian dan aktivitas berlebihan. Kedua ciri ini menjadi
syarat mutlak untuk diagnosis dan haruslah nyata ada pada lebih dari satu situasi (misalnya di
rumah, di kelas, di klinik).
2) Berkurangnya perhatian tampak jelas dari terlalu dini dihentikannya tugas dan ditinggalkannya
suatu kegiatan sebelum tuntas selesai.
3) Hiperaktivitas dinyatakan dalam kegelisahan yang berlebihan, khususnya dalam situasi yang
menuntut keadaan relatif tenang.
4) Gambaran penyerta: Kecerobohan dalam hubungan-hubungan sosial, kesembronoan dalam
situasi yang berbahaya dan sikap yang secara impulsif melanggar tata tertib sosial
Tatalaksana:
Lini pertama: psikostimulan (metilfenidat), non-stimulan (atomoxetine)
Lini kedua: antidepresan (SSRI, SNRI, trisiklik), antipsikotik, antikonvulsan, klonidin
Terapi psikososial:
1) Pelatihan keterampilan sosial bagi anak dengan GPPH
2) Edukasi bagi orang tua
3) Modifikasi perilaku
4) Edukasi dan pelatihan pada guru
5) Kelompok dukungan keluarga (family support group)
DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di
Indonesia (PPDGJ). Edisi III. Jakarta: Dirjen Pelayanan Medis RI, 1998.
2. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders: DSM-5. 5th ed., American Psychiatric
Association, 2013.
3. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa. Kementerian
Kesehatan RI, 2015.
4. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Penatalaksanaan Medik Gangguan Penggunaan
NAPZA. Kementerian Kesehatan RI, 2010.
5. Sadock, Benjamin J.,, Kaplan, Harold I.,Sadock, Virginia A. Kaplan & Sadock's
comprehensive textbook of psychiatry. 10th ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins,
2017.
6. Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Primer. 2nd ed. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia; 2014.