Anda di halaman 1dari 722

CHECKLIST MATERI PARAMETER UKMPPD COURSE

No Materi Checklist
1 Anestesi √
2 Bedah 1
3 Bedah 2
4 Dermatovenerologi
5 Forensik √
6 Ginekologi √
7 IPD – 1 √
8 IPD – 2 √
9 IPD - 3
10 Neurologi √
11 Pediatri 1 √
12 Pediatri 2
13 Psikiatri √
14 Obstetri 1 √
15 Obstetri 2 √
16 THT √
17 Ilmu Kesehatan Masyarakat – CRP
18 Mata
ANESTESI
TRIAGE
Kode Warna Internasional Dalam Triage :

 HITAM : Prioritas 0
o Tidak ada respon terhadap segala rangsangan
o Tidak ada respirasi spontan
o Tidak ada bukti aktivitas jantung
o Hilangnya respon pupil terhadap cahaya
 MERAH : Prioritas 1 (Emergency)
o Pasien dengan kondisi mengancam nyawa
o Perlu evaluasi dan intervensi segera
o Pasien dibawa ke ruang resusitasi
 KUNING : Prioritas 2 (Urgent)
o Pasien dengan penyakit yang akut
o Mungkin membutuhkan trolley, kursi roda, atau jalan kaki
o Waktu tunggu 30 menit Area Critical Care
 HIJAU : Prioritas 3 (Non-urgent)
o Pasien yang biasanya dapat berjalan
o Masalah medis yang minimal
o Kondisi yang timbul sudah lama
o Area Ambulatory

BASIC LIFE SUPPORT (BLS)

Basic life support (BLS) adalah dasar pertolongan pertama pasien dengan henti jantung. Aspek
utama BLS adalah diagnosa sudden cardiac arrest (SDA), aktivasi emergency response system (ERS), dan
resusitasi jantung paru serta defibrilasi dengan automated external defibrillator (AED).
Pada saat seseorang menemukan orang dewasa tidak sadarkan diri atau seseorang tiba-tiba
pingasan, selalu pastikan lingkungan aman untu melakukan pertolongan. Cek kesadaran pasien dengan
menggoyang dan memanggil pasien keras. Jika tidak sadar, segera minta bantuan; di RSHS dengan
menekan tombol 3210 atau nomer RSHS 255-1198 atau 255-1191. Selalu jelaskan situasi (lokasi, kejadian
insiden, jumlah dan kondisi korban, dan penanganan awal yang akan dilakukan.
ADVANCE CARDIAC LIFE SUPPORT

ALS bertujuan untuk mencegah henti jantung termasuk penanganan jalan napas, bantuan ventilasi,
serta penanganan bradikardi dan takikardi. Pada penanganan henti jantung, ACLS dilakukan berdasarkan
algoritme BLS hingga terjadi peningkatan ROSC (return of spontaneous circulation) dengan bantuan alat,
obat, dan monitoring yang baik.
ACLS adalah algoritme intervensi untuk gawat darurat pada kondisi henti jantung, stroke, dan
kegawatan lain. Henti jantung dapat disebabkan oleh 4 kelainan ritme yaitu ventricular fibrilation (VF),
pulseless ventricular tachycardia (VT), pulseless electric activity (PEA), dan asistol. Prinsip ACLS adalah
memberikan CRP berkualitas dan defibrilasi sesegera mungkin (<1 menit). Jeda diantara CPR harus
seminimal mungkin dan hanya dilakukan pada saat memeriksa ritem, memberikan shock VF/VT,
pengecekan nadi, atau memasang jalan napas. CPR dilakukan 100x/menit dengan 30 kompresi 2 ventilasi.
Setelah dilakukan pemasangan supraglottic airway / ETT, kompresi dilakukan 100x/menit tanpa jeda
hingga ventilasi. Ventilasi diberikan 1 napas setiap 6 – 8 detik (8-10 napas / menit).
Selain RJP berkualitas, terapi ritme hanya dihasilan dengan defibrilator VF/VT sehingga intervensi ini
termasuk kedalam RJP cycle pada saat terjadi kelainan ritme. Intervensi ACLS pada henti jantung berkaitan
dengan peningkatan ROSC. Selama melakukan RJP, sebaiknya dilakukan juga pemasangan akses
pembuluh darah untuk memasukan obat.
Perlu diketahui diagnosis dan penanganan penyebab henti jantung. Pada saat melakukan
penanganan, kita perlu memikirkan 4H dan 4T untuk mengidentifikasi dan mengobati faktor yang dapat
menjadi peneyabab atau bahkan mempersulit penanganan. ROSC ditandai dengan kembalinya denyut dan
tekanan darah serta penigkatan PETCO2 > 40mmHg. Jika pasien sudah mencapai ROSC, periksa EKG 12
sadapan, pastikan oksigenasi dan ventilasi jaga suhu tubuh, dan terapi perfusi, kemudian sangat penting
dilakukan post-cardiac arrest care untuk mencegah kondisi ulang.
SHOCK

Shock adalah sindroma klinis akibat kegagalan sirkulasi dalam mencukupi kebutuhan oksigen
jaringan tubuh.

Stadium shock
1. Stadium Kompensasi
Pada stadium ini fungsi organ vital dipertahankan melalui mekanisme kompensasi fisiologis tubuh
dengan cara meningkatkan refleks simpatis, sehingga terjadi :
a. Resistensi sistemik meningkat
b. Heart rate meningkat  cardiac output meningkat
c. Sekresi vasopressin, RAA meningkat  ginjal menahan air dan sodium dalam sirkulasi
Manifestasi klinis : takikardia, gelisah, kulit pucat dan dingin, pengisian kapiler lambat (lebih dari
2 detik)
2. Stadium Dekompensasi
Pada stadium ini telah terjadi :
a. Perfusi jaringan semakin memburuk sehingga O2 ke jaringan semakin menurun. Hal ini
menyebabkan terjadinya metabolisme yang anaerob di jaringan  terjadi peningkatan laktat
dan menyebabkan laktat asidosis yang diperberat dengan penumpukan CO2  Acidemia 
menghambat kontraktilitas miokardium.
b. Gangguan metabolisme pompa Na/K ATP-ase  menyebabkan kerusakan sel
c. Aliran darah lambat dan terbentuk agregasi trombosit
d. Pelepasan mediator vaskuler : histamin, serotonin, cytokines (TNF-α dan interleukin I).
Pelepasan mediator oleh makrofag menyebabkan vasodilatasi arteriol dan permeabilitas kapiler
meningkat  venous return turun  preload turun  cardiac output turun.
Manifestasi klinis : takikardia, tekanan darah sangat turun, perfusi perifer buruk, acidosis,
oligouria, dan kesadaran menurun.
3. Stadium Irreversible
Syok yang berlanjut akan menyebabkan kerusakan dan kematian sel dan berujung pada multiple
organ failure. Cadangan ATP akan habis terutama di jantung dan hepar, sehingga menyebabkan
tubuh kehabisan energi.
Manifestasi klinis : nadi tak teraba, tekanan darah tak terukur. Anuria dan tanda-tanda kegagalan
organ.
Klasifikasi shock berdasarkan penyebabnya

1. Hypovolemic shock (volume intravaskuler berkurang)


2. Cardiogenic shock (pompa jantung terganggu)
3. Obstructive shock (hambatan sirkulasi menuju jantung)
4. Distributive shock (vasomotor terganggu), terdiri atas : septic shock, neurogenic shock, dan
anaphylactic shock.
Tabel 1. Klasifikasi shock
Hypovolemic shock Cardiogenic shock Obstructive Septic shock Neurogenic shock Anaphylactic shock
shock

Penyebab Volume intravaskuler Gangguan Terdapat Systemic Ketidakseimbangan Reaksi antigen-antibodi


berkurang akibat kontraktilitas hambatan aliran Inflammatory antara stimulasi (hipersensitivitas)
perdarahan, kehilangan miokardium (post darah yang Response Syndrome simpatik dan
cairan (diare, luka bakar, operasi jantung, menuju jantung akibat adanya infeksi parasimpatik terhadap
muntah-muntah) disritmia, efusi (venous return), otot polos vaskuler
pericardial) misalnya karena sehingga terjadi
tension vasodilatasi yang
pneumothorax masif.
atau cardiac
Kondisi-kondisi yang
tamponade.
dapat menyebabkan hal
tersebut: cervical atau
high thoracic spinal
cord injury.

Kelainan ↓ CO, BP, SVR, dan CVP ↓ CO dan BP ↓ CO dan BP ↓ CO, BP, SVR ↓ CO, BP, SVR ↓ CO, BP, SVR
hemodinamik
↑ SVR dan CVP ↑ SVR

Karakteristik 1) Perfusi tidak adekuat : 1) Kulit 1) Demam 3) Hipotensi disertai Gejala: pruritus, urtikaria,
akral dingin, CRT >2”, abu/sianosis, 2) Hipotensi bradikardia. angioedema, palpitasi,
pucat, oligo/anuria, akral dingin, (tekanan sistolik 4) Gangguan dyspnea, dan syok.
gelisah dan penurunan mottled skin <90 mmHg) dan neurologis :
kesadaran tanda-tanda paralisis flasid,
2) Simpatetis ↑ : 2) Nadi cepat dan hipoperfusi refleks ekstremitas
takikardi, tekanan nadi lemah meskipun telah hilang dan
menyempit, nadi 3) Distensi vena dilakukan priapismus.
lemah, berkeringat jugular resusitasi cairan
3) Asidosis metabolik : 4) Muffled heart secara adekuat
takipnea sound

Tujuan terapi Restorasi volume Memperbaiki Menghilangkan Menangani penyebab Menstabilkan Menstabilkan
intravaskuler dengan target fungsi miokardium sumbatan yang yaitu infeksi dan hemodinamik hemodinamik dan reaksi
optimalkan tekanan darah, dan sirkulasi menghambat menstabilkan hipersensitivitas
nadi dan perfusi organ. aliran darah hemodinamik
menuju jantung
Bila hipovolemia telah
teratasi baru boleh diberikan
vasoactive agent (dopamine,
dobutamine).

Terapi Dehidrasi 1) Infus cairan 1) Cairan 1) Antibiotik (dosis 1) Resusitasi cairan : 1) Hentikan obat yang
untuk kristaloid tinggi, IV) NaCl 0,9% bolus menyebabkan reaksi
memperbaiki isotonik 2) Cairan (koloid cepat 250-500 cc anafilaksis
1) Tentukan defisit (lihat di sirkulasi untuk dengan berat 2) Vasopresor : 2) Baringkan pasien
tabel 2) 2) Inotropik : mempertaha molekul sedang dopamin (> 10 dengan posisi syok
Dobutamine nkan seperti FIMA mcg/jg/menit), (kaki lebih tinggi).
2) Atasi shock : cairan infus
5ug/kg/min volume HES 200) norepinefrin, 3) Adrenaline: dewasa
20 ml/kg dalam 1 jam, dapat
intravaskula 3) Vasopresor dobutamin 0,3-0,5 mg SC; anak
diulang Pada keadaan di
r (norepinephrine 0,01 mg/kg (1:1000)
mana tekanan darah
2) Pembedahan 4) Inotropik Dapat diulang tiap 15
sangat rendah, obat
(dobutamine) menit
yang diberikan
3) Sisa defisit : 50% dalam 8 adalah inotropik untuk 4) Infus NaCl 0,9%
jam pertama, dan 50% lagi dan vasopresor menstabilkan 5) Kortikosteroid:
dalam 16 jam berikutnya. seperti epinephrine. hemodinamik dexamethasone 0,2
5) Oksigen mg/kg BB secara IV
Cairan : Ringer laktat atau
6) Jika terjadi
NaCl 0,9%
bronchospasme bisa
Telah rehidrasi bila urine : diberikan
0,5 – 1 ml/kg/jam aminophylline 5-6
mg/kg BB IV bolus
perlahan-lahan
Perdarahan (syok kemudian lanjutkan
hemoragik)  klasifikasi dengan drip 0,4-0,9
lihat tabel 3. mg/kg/min

1) Transfusi darah

Pada dewasa dilakukan bila


perdarahan > 15% EBV,
sedangkan pada bayi dan
anak bila perdarahan > 10%
EBV.

Transfusi dengan :

1. Whole blood : (Hbx –


Hbpasien) x BB x 6
2. Packed Red Cell : (Hbx –
Hbpasien) x BB x 3

2) Cairan kristaloid : 3x
volume darah yang
hilang
3) Cairan koloid : sesuai
dengan jumlah darah
yyang hilang

Tabel 2. Defisit cairan pada dehidrasi


Dewasa Bayi dan Anak

Dehidrasi ringan Fluid deficit 4% BB Fluid deficit 5% BB

Dehidrasi sedang Fluid deficit 6% BB Fluid deficit 10% BB

Dehidrasi berat Fluid deficit 8% BB Fluid deficit 15% BB

Tabel 3. Klasifikasi Syok Hemoragik

Klasifikasi Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV


Kehilangan darah (ml)- s/d 750 (15%) 750 – 1500 1500 – 2000 (30% > 2000 (> 40%)
%volume darah (15% - 30%) - 40%)

Denyut nadi < 100 > 100 > 120 > 140

Tekanan darah normal normal menurun Menurun

Tekanan nadi Normal/naik menurun menurun Menurun

Frekuensi pernafasan 14 - 20 20 - 30 30 - 40 >35

Produksi urin (ml/jam) >30 20 - 30 5 - 15 Tidak berarti

Status mental Sedikit cemas Agak cemas Cemas, bingung Bingung, lethargi

Penggantian cairan (3:1) kristaloid kristaloid Kristaloid+ darah Kristaloid+ darah


KERACUNAN

Agen toksik Antidotum

Opioid Naloxone

Organofosfat (insektisida, baygon) Atropin sulfat

Sianida (singkong) Oksigen, dicobalt edate, Hydroxycobalamine, Sodium nitrate, Sodium thiosulfate

Arsen Dimercarpol (BAL), DMPS (Dimercaptopropane Sulfonate atau unithiol)

Alumunium Desferrioxamine

Iron salt Desferrioxamine

Tembaga D-Penicillamine, N-acetylcystein, DMPS

Thalium Berlin (Prussian) blue

Asam jengkolat Natrium Bicarbonat

Antikoagulan (oral) Vitamin K

Heparin Protamine Sulfat

CO (karbon monoksida), CO2 Oxygen 100%

Digoxin Digoxin spesifik antibodi

Benzodiazepine Flumazenil

Beta-blocker Atropin, glukagon

Ethylein glycol Ethanol, fomepizole

Lead (Inorganik) Sodium Calc, Edetate, DMSA (dimercaptosuccinic acid atau succimer)

Methaemoglobinemia Methylthioninium chloride (methylene blue)

Methanol Ethanol, fomepizole

Paracetamol N-acetylcystein

Aspirin (asetilsalisilat) Natrium Bicarbonat

Botulisme, Tempe Bongkrek Guanidin hydrocloride


(Bacterium Cocovenas)
KESEIMBANGAN ASAM BASA
Keseimbangan asam basa dalam tubuh manusia diatur oleh dua sistem organ yaitu paru
dan ginjal. Paru berperan dalam pelepasan/ekskresi CO2 dan ginjal berperan dalam pelepasan
asam (HCO3 / bikarbonat)

ANALISIS GAS DARAH (nilai normal, berbeda tergantung institusi)

Sumber : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK507807/

pH : 7,35 – 7,45

PCO2 : 35-45

HCO3 : 22-26

PO2 : 75-100

SpO2 : >95%

MNEMONIC

R : Respiratory

O : Opposite :

pH ↑ ; PCO2 ↓ = Alkalosis

pH ↓ ; PCO2 ↑ = Acidosis

M : Metabolic

E : Equal :

pH ↑ ; HCO3 ↑ = Alkalosis

pH ↓ ; HCO3 ↓ = Acidosis
pH PCO2 HCO3

Respiratory acidosis

Acute (tanpa < 7,35 ↑ N


kompensasi)

Partly compensated < 7,35 ↑ ↑ (kompensasi)

Compensated N ↑ ↑ (kompensasi)

Respiratory alkalosis

Acute (tanpa >7,45 ↓ N


kompensasi)

Partly compensated >7,45 ↓ ↓ (kompensasi)

Compensated N ↓ ↓ (kompensasi)

Metabolic acidosis

Acute (tanpa < 7,35 N ↓


kompensasi)

Partly compensated < 7,35 ↓ (kompensasi) ↓

Compensated N ↓ (kompensasi) ↓

Metabolic alkalosis

Acute (tanpa >7,45 N ↑


kompensasi)

Partly compensated >7,45 ↑ (kompensasi) ↑

Compensated N ↑ (kompensasi) ↑

Cara Analisis Gangguan Asam Basa :

1. Lihat pH, apakah ada acidosis atau alkalosis?


2. Lihat apakah kadar PCO2 tidak normal? Jika ya, apakah ada perubahan komponen yang
sesuai dengan pH. Misalnya, jika acidosis, apakah CO2 naik? Jika ya berarti acidosis
respiratorik.
3. Lihat apakah kadar HCO3 tidak normal? Jika ya, apakah sesuai dengan pH? Jika ya
berarti suatu gangguan metabolik.

Source : http://www.ferronfred.eu/files/Pathophysiology-of-acid-base-balance.pdf
FORENSIK
FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
Kedokteran Forensik merupakan cabang spesialistik ilmu kedokteran yang mempelajari
pemanfaatan ilmu kedokteran untuk kepentingan penegakan hukum dan keadilan.

Ruang lingkup Kedokteran forensik yaitu menerapkan ilmunya untuk melakukan pemeriksaan
terhadap barang bukti biologis, manusia, bagian tubuh dari manusia baik korban hidup maupun
mati dan terbagi menjadi forensik patologi, forensik klinik dan forensik laboratorium.

Seorang dokter mempunyai kewajiban membuat keterangan ahli yang diatur dalam Pasal 133
KUHAP. Keterangan ahli ini kemudian dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah di depan sidang
pengadilan (Pasal 184 KUHAP).

Adapun pengertian keterangan ahli adalah sesuai dengan bunyi pasal 1 butir 28

KUHAP yaitu, ”Keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang
hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan
pemeriksaan”.

Keterangan ahli ini dapat diberikan secara lisan di depan sidang pengadilan (Pasal 186 KUHAP),
atau dapat pula diberikan pada masa penyidikan dalam bentuk laporan penyidik (Penjelasan
Pasal 186 KUHAP), atau dapat juga diberikan dalam bentuk keterangan tertulis di dalam suatu
surat (Pasal 187 KUHAP).

VISUM ET REPERTUM
1. Pengertian Visum et Repertum (VeR)
Visum et Repertum adalah keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter atas permintaan
tertulis resmi dari penyidik yang berwenang mengenai fakta temuan hasil pemeriksaan
medik dan pendapat terhadap manusia, baik korban hidup atau korban mati ataupun bagian
atau diduga bagian dari tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah,
untuk kepentingan peradilan.

2. Jenis VeR
Jenis Visum et Repertum dapat dibagi berdasarkan korbannya adalah sebagai berikut:
a. Visum Et Repertum Korban Mati
b. Visum et Tepertum Korban Hidup, yang terdiri atas :
1) Visum et Repertum Kejahatan susila ;
2) Visum et Repertum Penganiyaan / Perlukaan ;
3) Visum et Repertum Psikiatri
Sedangkan berdasarkan waktunya, maka Visum et Repertum dapat dibagi menjadi Visum et
Repertum Sementara dan Visum et Repertum Definitif.

3. Tata cara permintaan VeR


Korban mati yang dimintakan Visum et Repertum adalah korban yang diduga akibat
kematian tidak wajar. Adapun kematian tidak wajar merupakan dugaan kematian akibat
pembunuhan, bunuh diri, keracunan, kecelakaan lalu lintas dan kematian di tempat yang
tidak wajar.

a. Dasar Hukum
Prosedur permintaan Visum et Repertum mayat (korban mati) telah diatur dalam Pasal
133 dan 134 KUHAP. Dengan merujuk kedua pasal dalam KUHAP tersebut dapat
diartikan bahwa Permintaan Visum et Repertum mayat berupa bedah jenazah, maka
hukumnya mutlak atau tidak dapat ditolak.
Apabila diperlukan pemeriksaan bedah mayat dan keluarga keberatan, maka penyidik
wajib menjelaskan kepada keluarga korban hingga keluarga korban dapat memahami
tujuan dan kepentingan pemeriksaan. Penyidik juga masih dapat menerapkan Pasal 222
KUHP yang akan memberikan sangsi pidana apabila keluarga menghalang- halangi guna
pemeriksaan jenazah untuk keadilan;

b. Beritahu Keluarga Korban Bukan Meminta Persetujuan


Berdasarkan Pasal 134 KUHAP maka seorang penyidik hanya mempunyai kewajiban
menerangkan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan diadakannya pemeriksaan
bedah mayat tersebut. Keluarga korban hanya diberitahu mengenai maksud dan tujuan
bedah mayat sehingga tidak meminta persetujuan dari keluarga korban

c. Pembuatan Surat Permintaan Visum


1) Surat Permintaan Visum (SPV) ini ditujukan kepada RS Bhayangkara di daerah
setempat atau RSUD atau RS Swasta jika tidak ada ;
2) Dalam SPV tertulis dengan jelas jenis pemeriksaannya, apakah pemeriksaan
mayat atau bedah mayat. Pemeriksaan mayat saja tidak dapat menentukan
penyebab kematiannya, sehingga seharusnya perihal isi surat adalah
permintaan pemeriksaan bedah mayat ;
3) Dalam SPV tertulis jelas identitas mayat, atau jika belum diketahui identitasnya
maka dapat ditulis ”Mr.X” atau Mrs. X” ;
4) Dalam SPV dituliskan pula keterangan singkat mengenai kejadian, waktu
ditemukan, keterangan di TKP, cara kematian sementara dan lain- lain.
5) SPV dicap dengan cap dinas dan pejabat yang menandatangani Visum et
Repertum adalah penyidik seperti diatur telah dalam undang-undang (Pasal 2
dan 3 PP No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP).
d. Mayat dikirim ke Rumah Sakit
1) Pengiriman mayat ini harus sesegara mungkin, oleh karena semakin lama maka
proses pembusukan juga berlangsung dan hasil pemeriksaan menjadi kurang
optimal ;
2) Pengirim mayat harus diantar oleh penyidik sendiri.
3) Penyidik mengikuti pemeriksaan mayat oleh dokter. Dengan penyidik ikut
dalam mengantar mayat dan turut serta selama dalam pemeriksaan akan
memberikan keuntungan kepada penyidik oleh karena penyidik dapat memberi
keterangan terkait kasusnya dan mendapatkan informasi yang terkini dari dokter
pemeriksa. Hal tersebut juga sudah tertuang di dalam Instruksi Kapolri No.
20/E/INS/IX/75.

4. Peran dan fungsi VeR


Visum et repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana tertulis dalam pasal
184 KUHAP.
Visum et repertum turut berperan dalam proses pembuktian suatu perkara pidana terhadap
kesehatan dan jiwa manusia. Visum et repertum menguraikan segala sesuatu tentang hasil
pemeriksaan medik yang tertuang di dalam bagian Pemberitaan, yang karenanya dapat
dianggap sebagai pengganti benda bukti.
Visum et repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil
pemeriksaan medik tersebut yang tertuang di dalam bagian Kesimpulan.
Dengan demikian visum et repertum secara utuh telah menjembatani ilmu kedokteran
dengan ilmu hukum, sehingga dengan membaca Visum et Repertum, dapat diketahui
dengan jelas apa yang telah terjadi pada seseorang dan para praktisi hukum dapat
menerapkan norma-norma hukum pada perkara pidana yang menyangkut tubuh/jiwa
manusia.

5. Bagian VeR
a. Kata Pro justitia: ditulis di bagian atas visum, sudah dianggap sama dengan
materai. Kata pro justitia berarti demi keadilan, mengandung arti laporan yang
dibuat untuk tujuan peradilan
b. Bagian pendahuluan: berisi tentang waktu dan tempat pemeriksaan, atas
permintaan siapa dan no serta tanggal surat, dokter dan pembantu yang
memeriksa, identitas pemeriksaan
c. Bagian pemberitahuan :dan ditemukan korban, dan alasan berisikan apa yang
dilihat
Hidup ➔ Hasil pemeriksaan medis, mulai dari PF, penunjang, tatalaksana
Mati ➔ mulai dari pakaian dst sesuai dengan medrek jenazah yg biasa ditulis
d. Bagian kesimpulan: memuat inti sari dari hasil pemeriksaan, disertai pendapat
dokter yang memeriksa/menyimpulkan kelainan yang terjadi pada korban, jenis
luka/cedera yang ditemukan. Jenis kekerasan, derajat Iuka, atau sebab kematian
e. Bagian penutup: memuat pernyatan VeR dibuat atas sumpah dokter, menurut
pengetahuan yang sebaik baiknya dan sebenarnya. Cantumkan lembaran Negara
no. 350 tahun 1937 atau berdasarkan KUHAP

SURAT KEMATIAN
1. Definisi
2. Landasan Hukum
Peraturan bersama Mendagri dan Menkes no 15 tahun 2010 no 162/MENKES/PB/I/2010
tentang pelaporan kematian dan penyebab kematian

Pasal 2

(1) Setiap kematian wajib dilaporkan oleh keluarganya atau yang mewakili kepada
Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak
tanggal kematian.

(2) Pelaporan kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melampirkan
persyaratan: a. surat pengantar dari RT dan RW untuk mendapatkan surat keterangan
kepala desa/lurah; dan/atau b. KK dan/atau KTP yang bersangkutan; c. Surat keterangan
kematian dari dokter yang berwenang dari fasilitas pelayanan kesehatan terdekat.

(3) Dalam hal tidak ada dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (2), surat keterangan
kematian dapat diberikan oleh perawat atau bidan.

(4) Dalam hal kematian terjadi ditempat domisili, pelaporan kematian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi
Pelaksana melalui petugas registrasi di desa/kelurahan.

Pasal 6

(1) Setiap kematian yang terjadi diluar fasilitas pelayanan kesehatan harus dilakukan
penelusuran penyebab kematian.

(2) Penelusuran penyebab kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan metode otopsi verbal .

(3) Otopsi verbal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh dokter.

(4) Dalam hal tidak ada dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (3) otopsi verbal dapat
dilakukan oleh bidan atau perawat yang terlatih.
(5) Otopsi verbal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4) dilakukan melalui
wawancara dengan keluarga terdekat dari almarhum atau pihak lain yang mengetahui
peristiwa kematian.

(6) Pelaksanaan otopsi verbal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikoordinasikan oleh
fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah setempat.

3. Sebab, Cara, dan Mekanisme Kematian


Sebab Kematian: penyakit/ cedera/luka yang bertanggungjawab atas terjadinya kematian.
Menurut WHO:

 Part I: a. immediate cause; b. intermediate cause; c. underlying cause


 Part II: kondisi lain yang signifikan yg tidak berhubungan dengan underlying cause
Cara kematian: macam kematian yang menimbulkan penyebab kematian

 Wajar: bila kematian terjadi sebagai akibat luka/cedera pada seseorang yg semula
telah mengidap suatu penyakit
 Tidak wajar: akibat kecelakaan, bunuh diri, pembunuhan, tidak tertentukan.
Mekanisme kematian: gangguan fisiologik dan atau biokimiawi yg ditimbulkan oleh
penyebab kematian sedemikian rupa sehingga seseorang tidak dapat terus hidup

4. Bagian Surat Kematian


 Kop
 Nomor surat
 Identitas dokter yang menyatakan
 Identitas yang meninggal: nama, umur, JK, agama,
 Alamat, kewarganegaraan
 Tanggal dinyatakan meninggal
 Sebab kematian
5. Fungsi Surat Kematian
Perintah mengubur; untuk kepentingan asuransi, warisan; untuk kepentingan transplantasi
organ

TANATOLOGI
Kematian adalah berhentinya tanda-tanda kehidupan secara permanen.
1. Macam kematian
Mati somatis (mati klinis): terhentinya fungsi tiga sistem penunjang kehidupan
(susunan saraf pusat, sistem kardiovaskular, sistem pernapasan) yang menetap atau
ireversibel.
Tanda-tanda secara klinis:

1) Refleks-refleks tidak ditemukan


2) EEG mendatar
3) Nadi tidak teraba
4) Denyut jantung tidak terdengar
5) Tidak ada gerak pernapasan
6) Suara nafas tidak terdengar saat auskultasi
Mati suri (suspended animation, apparent death): terhentinya ketiga fungsi
tersebut yang ditentukan dengan alat kedokteran sederhana. Jika menggunakan
alat kedokteran canggih, masih dapat dibuktikan bahwa ketiga fungsi tersebut
masih berfungsi
Mati seluler: kematian organ atau jaringan tubuh yang timbul beberapa saat setelah
kematian somatis. Daya tahan hidup masing-masing organ atau jaringan berbeda-
beda, sehingga kematian seluler pada setiap organ atau jaringan tidak bersamaan.
Pegetahuan ini penting jika akan melakukan transplantasi organ.
Mati serebral: kerusakan kedua hemispehere otak yang ireversibel, kecuali batang
otak dan serebelum. Fungsi pernafasan dan kardiovaskular masih bekerja dengan
bantuan alat.
Mati otak (mati batang otak): telah terjadi kerusakan seluruh isi neronal intrakranial
yang ireversibel, termasuk batang otak dan serebelum.

2. Tanda-tanda kematian
a. Tanda tidak pasti :
1) Pernapasan berhenti dinilai selama 10 menit
2) Terhentinya sirkulasi dinilai selama 15 menit, nadi karotis tidak teraba.
3) Kulit pucat dan tonus otot menghilang
4) Segmentasi pada pembuluh darah retina
5) Kornea terlihat keruh karena kering
b. Tanda-tanda pasti
1) Penurunan suhu mayat (algor mortis).
Pada saat pertama kematian, suhu tubuh akan turun sangat lambat. Bila orang yang
sudah meninggal diraba masih hangat, maka paling sedikit matinya sudah 2 jam, dan
bila sudah dingin, maka kematian sudah berlangsung paling sedikit 8 jam.
2) Lebam mayat (livor mortis).
Lebam mayat timbul 20-30 menit setelah kematian sebagai bercak-bercak kebiruan,
setelah 6-8 jam lebam terbentuk sempurna. Warna lebam menentukan penyebab
kematian seperti keracunan gas CO berwarna merah muda. Lebam mayat juga bisa
digunakan sebagai petunjuk saat kematian, posisi korban dan sebab kematian.
3) Kaku Mayat (rigor mortis)
Kaku mayat dibuktikan dengan memeriksa persendian. Kaku mayat mulai tampak
setelah 2 jam kematian klinis, dimulai dari bagian luar tubuh (otot-otot kecil) ke arah
dalam. Setelah mati klinis 12 jam, kaku mayat menjadi lengkap. Setelah itu
kekakuan mayat dipertahankan selama 12 jam, dan akan menghilang dalam urutan
yang sama.
Tahap setelah mati: relaksasi primer/flaccid primer → onset kekakuan → relaksasi
sekunder/flaccid sekunder.
Yang dilihat dari kaku mayat
 Sebagian (otot kecil, 1-4 jam)/seluruh (otot besar, 3-36 jam)
 Lengkap (24-36 jam)/belum lengkap (1-12 jam), dipertahankan (12-24 jam)
 Mudah dilawan (1-12 jam, 24-36 jam)/susah dilawan (12-24 jam)
Faktor-faktor yang mempercepat terjadinya kaku mayat:
 aktivitas fisik sebelum mati
 suhu tubuh yang tinggi
 bentuk tubuh kurus dengan otot kecil
 suhu lingkungan tinggi
Terdapat kekakuan pada mayat yang menyerupai kaku mayat:

Cadaveric spasm: bentuk kekakuan otot yang terjadi pada saat kematian dan
menetap. Kekakuan dengan intensitas sangat kuat tanpa didahului oleh relaksasi
primer. Disebabkan oleh habisnya cadangan glikogen dan ATP yang bersifat
setempat saat mati klinis karena kelelahan atau emosi yang hebat sesaat sebelum
meninggal.

Heat Stiffening: kekakuan otot akibat koagulasi protein otot oleh panas. Dijumpai
pada korban yang mati terbakar. Serabut otot memendek sehingga menimbulkan
fleksi leher, siku, paha, dan lutut membentuk sikap petinju (pugilistic attitude).
Cold stiffening: kekakuan tubuh akibat lingkungan dingin, sehingga

terjadi pembekuan cairan tubuh termasuk cairan sendi, pemadatan jaringan lemak
subkutan dan otot, sehingga bila sendi ditekuk akan terdengar bunyi pecahnya es
dalam rongga sendi.

4) Pembusukan
Pembusukan mulai terjadi setelah 24 jam kematian. Pembusukan dimulai di daerah
perut sebelah kanan bawah berwarna kehijauan yang kemudian menjalar keseluruh
perut dan sela-sela iga. Warna kehijauan ini disebabkan oleh terbentuknya sulf-met
hemoglobin. Warna hijau ini kemudian akan menyebar ke seluruh perut dan dada,
dan bau busuk pun mulai tercium. Pembuluh darah bawah kulit akan tampak seperti
melebar dan berwarna hijau kehitaman. Selanjutnya kulit ari akan terkelupas atau
membentuk gelembung berisi cairan kemerahan berbau busuk.
Setelah 2x24 jam terjadi penggembungan akibat pembentukan gas hasil penguraian
oleh kuman. Darah menjadi media bagi bakteri untuk tumbuh. Sebagian besar
bakteri berasal dari usus, Clostridium weichii. Pada proses pembusukan tersebut,
terbentuk gas (HS, HCN), asam amino, dan asam lemak.
Gas yang terdapat di dalam jaringan dinding tubuh akan mengakibatkan krepitasi.
Gas tersebut akan menyebabkan pembengkakan terutama di daerah jaringan
longgar seperti skrotum dan payudara.
Akibat pembusukan, rambut menjadi mudah dicabut, kuku mudah terlepas, wajah
menggembung berwarna ungu kehijauan, kelopak mata membengkak, pipi
membesar, bibir menebal, lidah membengkak.
Larva lalat akan ditemukan setelah pembentukan gas pembusukan, sekitar 36-48
jam post-mortem. Kumpulan telur dapat ditemukan di alis mata, sudut mata, lubang
hidung, dan diantara bibir. Telur lalat akan menetas dalam waktu 24 jam. Identifikasi
spesies lalat dan pengukuran panjang larva dapat digunakan untuk memperkirakan
saat kematian, dengan asumsi lalat biasanya secepatnya meletakkan telur setelah
seseorang meninggal dunia.
Siklus hidup lalat:
Telur (menetas dalam waktu 1 hari) ➔ instar 1 (1 hari, 2-5 mm) ➔ instar 2 (1 hari,
6-14 mm) ➔ instar 3 (2 hari, 15-20 mm) ➔ pre pupa (4 hari) ➔ pupa (10 hari) ➔
lalat (>10 hari)
Faktor: Pembusukan akan timbul lebih cepat ketika suhu lingkungan optimal (sekitar
26.5℃- 37℃), kelembaban udara yang cukup, terdapat banyak bakteri pembusuk,
tubuh yang gemuk atau menderita penyakit infeksi dan sepsis. Mayat yang terdapat
di udara akan lebih cepat membusuk dibanding dengan yang terdapat dalam air
atau dalam tanah dengan perbandingan kecepatan pembusukan dalam
tanah:air:udara yaitu 1:2:8. (Casper formula)
5) Adiposera
Definisi: terbentuknya zat berwarna keputihan, lunak, atau berminyak, berbau
tengik di dalam jaringan lunak tubuh post-mortem.
Terdiri dari asam lemak tidak jenuh post-mortem yang tercampur dengan sisa otot,
jaringan ikat, jaringan saraf yang termumifikasi.
Biasanya perubahan berbentuk bercak, dapat terlihat di pipi, payudara, atau
bokong, bagian tubuh atau ekstremitas. Seluruh jaringan lemak tubuh berubah
menjadi adiposera. Adiposera dapat membuat gambaran permukaan luar tubuh
dapat bertahan hingga bertahun-tahun, sehingga identifikasi mayat dan perkiraan
sebab kematian masih memungkinkan.
Faktor yang mempermudah pembentukan adiposera yaitu kelembaban dan lemak
tubuh yang cukup. Sedangkan faktor penghambat yaitu air mengalir yang dapat
membuang elektrolit.
6) Mumifikasi
Definisi: proses penguapan cairan atau dehidrasi jaringan yang cukup cepat
sehingga terjadi pengeringan jaringan yang selanjutnya dapat menghentikan
pembusukan.
Jaringan berubah menjadi lebih keras dan kering, berwarna gelap, timbul keriput,
dan tidak membusuk dikarenakan kuman tidak dapat berkembang pada lingkungan
yang kering.
Mumifikasi terjadi bila kelembaban rendah, suhu hangat, aliran udara baik, dan
tubuh dehidrasi dalam waktu yang lama (12-14 minggu).

3. Perkiraan waktu kematian


Selain perubahan pada mayat tersebut di atas, beberapa perubahan lain dapat digunakan
untuk memperkirakan saat mati.
a. Perubahan pada mata.
Pada mata yang terkena udara yang kering, sklera akan berwarna kecoklatan dan
dalam beberapa jam akan terbentuk taches noires sclerotiques (segitiga dengan
dasar di tepi kornea). Kornea akan mengeruh dan menetap setelah 6 jam pasca mati.
30 menit post-mortem: kekeruhan makula dan memucatnya diskus optikus.
2 jam pertama post-mortem: retina pucat dan daerah sekitar diskus menjadi kuning.
Warna kuning juga tampak disekitar makula yang menjadi lebih gelap. Pola vaskular
koroid yang tampak sebagai bercak-bercak dengan latar belakang merah dengan
pola segmentasi yang jelas
3 jam post mortem: pola segmentasi menjadi kabur
5 jam post mortem: homogen dan menjadi pucat
6 jam post mortem: kekeruhan kornea menetap, batas diskus optikus kabur.
7-10 jam post-mortem: tepi retina dan batas diskus sangat kabur
12 jam post-mortem: diskus hanya dapat dikenali dengan adanya konvergensi
beberapa segmen pembuluh darah yang tersisa.
15 jam post-mortem: tidak ditemukan lagi gambaran pembuluh darah retina dan
diskus, hanya makula saja yang tampak berwarna coklat gelap.
b. Perubahan pada rambut
Cara ini hanya dapat digunakan bagi pria yang mempunyai kebiasaan mencukur
kumis atau jenggotnya dan diketahui saat terakir mencukur dengan berasumsi
kecepatan tumbuh rambut rata• rata adalah 0.4mm/hari.
c. Perubahan pada kuku
Hal ini dapat digunakan untuk memperkiraan saat kematian apabila dapat
mengetahui saat terakhir yang bersangkutan memotong kuku dengan asumsi
pertumbuhan kuku sekitar 0.1 mm/hari.
d. Perubahan dalam cairan serebrospinal
Kadar nitrogen asam amino <14mg% menunjukkan kematian belum lewat 10 jam,
kadar nitrogen nonprotein <80mg% menunnjukkan kematian belum 24 jam. Kadar
kreatin <5mg% dan 10mg% masing-masing menunjukkan kematian belum mencapai
10 jam dan 30 jam.
e. Perubahan pada cairan vitreus
Terjadi peningkatan kadar kalium yang cukup akurat untuk memperkirakan saat
kematian antara 24-100 jam post-mortem.
f. Reaksi supravital
Reaksi supravital adalah reaksi jaringan tubuh sesaat post-mortem klinis yang masih
sama seperti reaksi jaringan tubuh pada seseorang yang hidup. Beberapa uji dapat
dilakukan terhadap mayat yang masih segar, misal rangsang listrik masih dapat
menimbulkan kontraksi otot mayat hingga 90-120 menit post-mortem dan
mengakibatkan sekresi kelenjar keringat sampai 60-90 menit post-mortem.
Sedangkan trauma masih dapat menimbulkan perdarahan bawah kulit sampai 1 jam
post-mortem.

4. Kematian mendadak
Definisi: Kematian dalam kurun waktu 24 jam setelah munculnya gejala, namun
dalam praktik forensik biasanya hanya dalam detik hingga menit setelah munculnya
gejala. Mati mendadak juga mengandung pengertian kematian yang tidak terduga,
tidak ada unsur trauma dan keracunan, tidak ada tindakan yang dilakukan sendiri
yang dapat menyebabkan kematian dan kematian tersebut disebabkan oleh
penyakit dengan gejala yang tidak jelas atau gejalanya muncul dalam waktu yang
mendadak kemudian korban mati
Penyebab mati mendadak dapat diklasifikasikan menurut sistem tubuh, yaitu sistem
susunan saraf pusat, sistem kardiovaskular, sistem pernapasan, system
gastrointestinal, sistem haemopoietik dan sistem endokrin. Dari sistem-sistem
tersebut, yang paling banyak menjadi penyebab kematian adalah system
kardiovaskular, dalam hal ini penyakit jantung.
OTOPSI
1. Definisi
Otopsi adalah pemeriksaan terhadap tubuh mayat, yang meliputi pemeriksaan terhadap
bagian luar maupun dalam, dengan tujuan merumuskan proses penyakit dan atau adanya
cedera, melakukan interpretasi atas penemuan-penemuan tersebut, menerangkan
penyebab kematian serta mencari hubungan sebab akibat antara kelainan-kelainan yang
ditemukan dengan penyebab kematian.

2. Jenis otopsi
Otopsi klinik
Dilakukan terhadap mayat seorang yang diduga terjadi akibat suatu penyakit,
tujuannya untuk menentukan penyebab kematian yang pasti, menganalisis
kesesuaian antara diagnosis klinis dengan diagnosis postmortem, patogenesis
penyakit dan sebagainya. Untuk otopsi ini diperlukan izin keluarga terdekat mayat
tersebut.

Otopsi forensik/medikolegal
Dilakukan terhadap mayat seseorang yang diduga meninggal akibat suatu sebab
yang tidak wajar seperti pada kasus kecelakaan, pembunuhan maupun bunuh diri.
Tujuan pemeriksaan ini adalah:
 Membantu penentuan identitas mayat
 Menentukan sebab pasti kematian, mekanisme kematian dan saat
kematian
 Mengumpulkan dan memeriksa benda bukti untuk penentuan identitas
benda penyebab dan pelaku kejahatan
 Membuat laporan tertulis yang objektif berdasarkan fakta dalam bentuk
visum et repertum
Otopsi Anatomi
Dilakukan terhadap mayat korban meninggal akibat penyakit, oleh mahasiswa
kedokteran dalam rangka belajar mengenai anatomi manusia. Untuk otopsi ini
diperlukan izin dari korban (sebelum meninggal) atau keluarganya. Dalam keadaan
darurat, jika dalam 2 x 24 jam seorang jenazah tidak ada keluarganya maka
tubuhnya dapat dimanfaatkan untuk otopsi anatomi

3. Teknik otopsi
Teknik pemeriksaan luar

Dalam teknik pemeriksaan luar yang diperiksa adalah bagian luar mayat seperti pakaian
yang dipakai, perhiasan, benda yang ada disamping mayat, perubahan tanatologi, identitas
mayat, tanda-tanda khusus, warna kulit, rambut, perkiraan umur, ras, mata, bagian wajah,
alat kelamin, tanda-tanda kekerasan/luka.

Teknik pemeriksaan dalam

Dalam teknik pemeriksaan dalam organ tubuh yang diperiksa dimulai dari lidah, tonsil,
kelenjar gondok, kerongkongan (esofagus), batang tenggorok (trakea), tulang lidah, rawan
gondok (kartilago tiroidea), rawan cincin (kartilago krikoidea), arteri karotis interna, kelenjar
kacangan (timus), paru-paru, jantung, aorta torakalis, aorta abdominalis, anak ginjal
(kelenjar suprarenalis), ginjal, ureter, kandung kencing, hati, kandung empedu, limpa,
kelenjar getah bening, lambung, usus halus, usus besar, kelenjar liur perut, otak besar, otak
kecil, batang otak, alat kelamin dalam (genitalia interna).

PERLUKAAN
1. Pengertian Perlukaan
Perlukaan pada jaringan tubuh dapat terjadi karena kekerasan mekanis, fisik dan kimiawi
atau bentuk gabungan. Luka terjadi bila kekuatan kekerasan yang sampai pada tubuh
melampaui batas ambang ketahanan jaringan tubuh.

2. Ruang Lingkup Perlukaan


Informasi yang didapat dari pola perlukaan dapat digunakan untuk mengetahui /
memperkirakan :

 Jenis kekerasan
Wujud luka menggambarkan persesuaian antara alat dengan penyebabnya,
misalnya benda tajam, runcing, permukaan kasar.

 Arah kekerasan
Lokasi dan distribusi perlukaan di bagian belakang tubuh menunjukkan bahwa arah
kekerasan lebih mungkin dari belakang. Bentuk luka dan saluran luka terutama pada
luka tembak menunjukkan arah kekerasan yang telah terjadi.

 Jarak
Pada luka tembak, luka kelim yang terdapat pada tubuh korban menunjukkan
perkiraan dekat atau jauhnya jarak tembak.

 Kebiasaan pelaku
Distribusi perlukaan yang lebih banyak didapatkan pada bagian kanan korban dapat
dicurigai bahwa pelakunya kidal.

 Profesi / pekerjaan
Korban kekerasan asam keras dapat diduga bahwa pelaku mungkin pekerjaannya
adalah pedagang aki mobil.
 Keadaan kejiwaan
Pelaku pada kasus dimana tubuh korban terpotong-potong mencerminkan keadaan
kejiwaan pelakunya, contoh kasus mayat terpotong menjadi 13 menunjukkan
bermacam-macam kekerasan sering merupakan perwujudan dendam, kejiwaan
yang sadis pada pelaku.

 Cara kematian
Pembunuhan, kecelakaan dan bunuh diri kadang-kadang dapat diperkirakan dari
pola perlukaan tubuh, mialnya luka iris pada pergelangan tangan atau leher yang
sejajar lebih berorientasi pada suatu bunuh diri. Adanya beberapa luka sejajar
dengan sebuah luka yang fatal disebut luka percobaan (tentative wounds). Dari
informasi tersebut diatas dapat dilakukan rekonstruksi yang mendekati kejadian
sesungguhnya.

3. Jenis Kekerasan
Sesuai dengan jenis kekerasan penyebabnya perlukaan dapat dibagi menjadi luka akibat:

a. Kekerasan mekanis
1) Kekerasan tumpul
a) Luka memar: Pada tempat luka terlihat pembengkakan berwarna kebiru-
biruan, hal ini disebabkan karena pengumpulan darah di bawah kulit akibat
pecahnya pembuluh darah halus.
b) Luka lecet: Hilangnya sebagian atau seluruh lapisan kulit ari yang
disebabkan karena terjadinya pergeseran dengan benda tumpul pada
permukaan tubuh, banyak pada kasus lalu lintas.
c) Luka robek: Robekan pada kulit meliputi seluruh lapisan kulit, dapat sampai
ke otot bahkan sampai tulang, Merupakan luka terbuka dengan tepi tidak
rata, dinding dalam yang tidak teratur dan kadang-kadang dijumpai
jembatan jaringan yaitu serat-serat jaringan yang masih utuh.
2) Kekerasan tajam
a) Luka tusuk: Luka ini disebabkan benda tajam atau benda runcing, yang
mengenai tubuh dengan arah tegak lurus atau kurang lebih tegak lurus. Luka
tusuk merupakan luka terbuka dengan dalam luka yang lebih besar daripada
lebar luka, tepi luka biasanya rata dengan sudut luka yang runcing pada sisi
tajam benda penyebab luka tusuk.
Luka tusuk mempunyai sifat bahwa dalam luka menunjukan ukuran minimal
panjang senjata dan lebar luka menunjukkan ukuran maksimal lebar
senjata.
b) Luka iris: Diakibatkan benda tajam yang mengenai tubuh dengan arah
kurang lebih sejajar dengan permukaan tubuh. Panjang luka biasanya lebih
besar daripada dalamnya luka. Akar rambut pada tepi luka biasanya ikut
terpotong dan tidak dijumpai jembatan jaringan.
c) Luka bacok: Semacam luka iris yang terjadi akibat benda tajam yang lebih
besar dengan mengerahkan tenaga yang lebih besar pula.
3) Kekerasan akibat tembakan senjata api.
a) Luka tembak masuk jarak jauh (>60 cm): hanya kelim lecet
b) Luka tembak masuk jarak dekat (15-30 cm): semua kecuali kelim api dan
jelaga
c) Luka tembak jarak sangat dekat (<15 cm): semua, khasnya kelim api dan
jelaga
d) Luka tembak masuk tempel: hanya jejas laras
e) Luka tembak keluar.

b. Kekerasan fisis
1) Luka akibat Suhu Tinggi (Panas)
Disebut juga luka bakar, terdiri dari 4 tingkat/derajat:

a) Tingkat 1: Berupa kulit kemerahan, tidak ada gelembung.


b) Tingkat 2: Terdapat gelembung cairan dengan warna jernih.
c) Tingkat 3: Gelembung cairan berwarna merah kecoklatan
d) Tingkat 4: Berwarna hangus/hitam.
Pada derajat 1 dan 2 bila sembuh tidak menimbulkan cacat, sedangkan derajat
3 dan 4 meninggalkan cacat berupa jaringan parut.

Ciri-ciri dari korban mati terbakar:

a) Warna jaringan merah cerah (Cherry Red), hal ini karena pengaruh
keracunan gas CO yang masuk bersama udara pernafasan.
b) Didapatakan jelaga pada saluran nafas bagian atas.
c) Pada korban laki-laki posisi kaku mayat seperti pada posisi petinju (boxer),
sedangkan korban wanita kaku mayat seperti posisi orang senggama. Kaku
mayat ini sifatnya tetap.
2) Luka akibat Suhu Rendah (Dingin)
Disebut juga Frostbite yang mengakibatkan kematian jaringan karena rusaknya
sistem peredaran darah dan pernafasan.

3) Luka akibat Sengatan Listrik


a) Mempunyai gambaran yang khas. Pada tempat kontak, kulit menunjukan
luka bakar dengan tepi luka sedikit meninggi.

b) Sekitar luka tampak daerah pucat (halo) dan luarnya lagi terdapat daerah
kemerahan.

c) Pada tempat keluarnya arus listrik terdapat luka lecet atau luka robek.

c. Kekerasan kimiawi
a. Luka akibat Asam Kuat (Pekat).
Luka tampak sebagai bagian yang kering dan teraba keras, jarang menyebabkan
kematian dan biasanya karena kecelakaan.

b. Luka akibat Basa Kuat.


a) Basa kuat akan memasuki cairan dalam sel dan terjadi reaksi penyabunan,
hal ini menyebabkan sel menggembung dan basah.
b) Pada perabaan luka akan teraba basah dan licin seperti kena sabun. Jarang
menyebabkan kematian, biasanya karena kecelakaan.

4. Derajat luka
Luka ringan dalam KUHP pasal 352. Luka berat dalam KUHP pasal 90

Luka berat berarti:

a. Jatuh sakit atau mendapat Iuka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama
sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut
b. Tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan
pencarian
c. Kehilangan salah satu pancaindera
d. Mendapat cacat berat
e. Menderita sakit lumpuh
f. Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih
g. Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan

IDENTIFIKASI FORENSIK
Identifikasi forensik merupakan upaya yang dilakukan dengan tujuan membantu penyidik untuk
menentukan identitas seseorang.

Peran ilmu kedokteran forensik dalam identifikasi terutama pada jenazah tidak dikenal, jenazah
yang telah membusuk, rusak, hangus terbakar dan pada kecelakaan masai, bencana alam atau
huru-hara yang mengakibatkan banyak korban mati, serta potongan tubuh manusia atau
kerangka. Selain itu identifikasi forensik juga berperan dalam berbagai kasus lain seperti
penculikan anak, bayi yang tertukar atau diragukan orang tuanya.

Identitas seseorang dipastikan bila paling sedikit dua metode yang digunakan memberikan
hasil positif (tidak meragukan).

Penentuan identitas personal dapat menggunakan metode identifikasi sidik jari, visual,
dokumen, pakaian dan perhiasan, medik, gigi, serologic, identifikasi DNA dan secara eksklusi.

1. Primer
a. Pemeriksaan sidik jari
Membandingkan gambaran sidik jari jenazah dengan data sidik jari ante mortem.

b. Pemeriksaan gigi
Seperti halnya dengan sidik jari, setiap individu memiliki susunan gigi yang khas.
Maka dapat dilakukan identifikasi dengan cara membandingkan data temuan
dengan data pembanding ante mortem.

c. Identifikasi DNA
Membandingkan DNA jenazah dengan data antemortem (jika ada), atau dibandingkan
dengan DNA keluarga inti (ayah/ibu/anak kandung) jenazah.
Sampel DNA
1) Lengkap, belum busuk: darah, apusan mukosa bukal
2) Termutilasi, belum busuk: darah, jaringan otot dalam
3) Lengkap, sudah busuk/termutilasi: gigi sehat (terutama molar), tulang kompak
panjang, atau tulang lain dengan jaringan padat
4) Terbakar hebat: gigi impaksi/akar gigi/apusan kandung kemih
Sampel DNA biasanya diambil dari jenazah → ekstraksi → jumlah sampel → DNA (dalam
nanogram) → amplifikasi menggunakan PCR → ditranslasikan menggunakan
electropherogram (EPG)

2. Sekunder
a. Metode visual
Metode ini dilakukan dengan cara memperlihatkan jenazah pada orang-orang yang
merasa kehilangan anggota keluarga atau temannya. Cara ini hanya efektif pada jenazah
yang belum membusuk sehingga masih mungkin dikenali wajah dan bentuk tubuhnya
oleh lebih dari satu orang.

b. Pemeriksaan dokumen
Dokumen seperti kartu identifikasi (KTP SIM. Paspor dsb.) yang kebetulan dijumpai
dalam saku pakaian yang dikenakan akan sangat membantu mengenali jenazah
tersebut.

c. Pemeriksaan pakaian dan perhiasan


Dari pakaian dan perhiasan yang dikenakan jenazah, mungkin dapat diketahui merek
atau nama pembuat, ukuran, inisial nama pemilik, badge, yang semuanya dapat
membantu identifikasi walaupun telah terjadi pembusukan pada jenazah tersebut.
Khusus anggota ABRI, masalah identifikasi dipermudah dengan adanya nama serta NRP
yang tertera pada kalung logam yang dipakainya.

d. Antropologi
Metode ini menggunakan data tinggi badan, berat badan, warna rambut, warna mata,
cacat/kelainan khusus, tato (rajah). Metode ini mempunyai nilai tinggi karena selain
dilakukan oleh seorang ahli dengan menggunakan berbagai cara/modifikasi (termasuk
pemeriksaan dengan sinar-X), sehingga ketepatannya cukup tinggi. Bahkan pada
tengkorak/kerangkapun masih dapat dilakukan metode identifikasi ini. Melalui metode
ini, diperoleh data tentang jenis kelamin, ras, perkiraan umur dan tinggi badan, kelainan
pada tulang dan sebagainya.

e. Pemeriksaan serologis
Pemeriksaan serologis bertujuan untuk menentukan golongan darah jenazah.
Penentuan golongan darah pada jenazah yang telah membusuk dapat dilakukan dengan
memeriksa rambut, kuku dan tulang.

3. Metode eksklusi
Metode ini digunakan pada kecelakaan masal yang melibatkan sejumlah orang yang dapat
diketahui identitasnya, misalnya penumpang pesawat udara, kapal laut dan sebagainya. Bila
sebagian besar korban telah dapat dipastikan identitasnya dengan menggunakan metode-
metode identifikasi lain, sedangkan identitas sisa korban tidak dapat ditentukan dengan
metode- metode tersebut di atas, maka sisa korban diidentifikasi menurut daftar
penumpang.

ASFIKSIA
1. Definisi
a. Asphyxia: semua keadaan dimana tubuh gagal menerima kebutuhan oksigen
b. Suffocation (mati lemas): terminology luas yang merujuk kepada minimalnya kadar
oksigen di lingkungan, misal: ruang kedap udara, pembekapan
c. Smothering (pembekapan): asfiksia karena sumbatan jalan napas di atas epiglottis,
termasuk mulut, hidung, dan faring.
d. Choking (cekik): asfiksia karena sumbatan jalan napas di bawah epiglottis.
e. Mechanical asphyxia: asfiksia akibat terbatasnya gerak napas, baik karena posisi
tubuh maupun kompresi dada dari luar.
f. Positional or postural asphyxia: tipe asfiksia dimana posisi tubuh menyebabkan
kemampuan seseorang bernapas menjadi terganggu.
g. Traumatic asphyxia: tipe asfiksia akibat kompresi dada oleh benda berat.
h. Strangulation (penjeratan): asfiksia karena tertutupnya jalan napas dan/atau
pembuluh darah akibat tekanan eksternal pada leher.
Metode strangulasi:
1) Manual: penekanan pada leher menggunakan tangan
2) Chokehold atau head lock: gerakan mengunci dimana seseorang mengapit
erat leher korban di lipatan sikunya. Kuatnya tekanan pada leher ditentukan
oleh besarnya fleksi sudut siku.
3) Ligature: strangulasi dengan menggunakan ikatan yang erat pada leher,
dikencangkan tidak dengan gaya berat tubuh, misal; selendang atau ikat
pinggang yang dikencangkan di leher.
4) Hanging: strangulasi dengan menggunakan ikatan pada leher, yang
tekanannya dipengaruhi gaya gravitasi terhadap berat tubuh, misalnya pada
hukum gantung atau bunuh diri menggunakan tali yang digantung.
2. Temuan pada pemeriksaan
a. Pemeriksaan luar
 Sianosis pada bibir, ujung jari, kuku
 Lebam mayat lebih gelap
 Busa halus pada hidung dan mulut
 Tardieu spot pada konjungtiva bulbi dan palpebra
 Tanda kekerasan dan perlawanan
b. Pemeriksaan dalam
 Darah lebih gelap dan encer
 Busa halus di saluran pernapasan
 Perbendungan sirkulasi pada organ
 Tardieu spot pada mukosa organ dalam (pericardium, mukosa epiglottis, subglotis)
 Edema paru
 Tanda kekerasan

TENGGELAM
1. Definisi
Asfiksia akibat masuknya cairan ke dalam saluran pernapasan. Mencakup penyakit yang
terjadi akibat terbenamnya korban dalam air yang menyebabkan kehilangan kesadaran dan
mengancam jiwa.

Beberapa istilah drowning

a. Wet drowning. Pada keadaan ini cairan masuk ke dalam saluran pernapasan setelah
korban tenggelam.
b. Dry drowning. Pada keadaan ini cairan tidak masuk ke dalam saluran pernapasan,
akibat spasme laring.
c. Secondary drowning. Terjadi gejala beberapa hari setelah korban tenggelam (dan
diangkat dari dalam air) dan korban meninggal akibat komplikasi.
d. Immersion syndrome. Korban tiba-tiba meninggal setelah tenggelam dalam air
dingin akibat refleks vagal. Alkohol dan makan terlalu banyak merupakan faktor
pencetus.

2. Tenggelam dalam air tawar


Pada keadaan ini terjadi absorpsi cairan yang masif. Karena konsentrasi elektrolit dalam air
tawar lebih rendah daripada konsentrasi dalam darah, maka akan terjadi hemodilusi darah,
air masuk ke dalam aliran darah sekitar alveoli dan mengakibatkan pecahnya sel darah
merah (hemolisis).

Akibat pengenceran darah yang terjadi, tubuh mencoba mengatasi keadaan ini dengan
melepaskan ion kalium dari serabut otot antung sehingga kadar ion Kalium dalam plasma
meningkat. Perubahan keseimbangan ion K+ dan Ca++ dalam serabut otot jantung dapat
mendorong terjadinya fibrilasi ventrikel dan penurunan tekanan darah, yang kemudian
menyebabkan timbulnya kematian akibat anoksia otak. Kematian terjadi dalam waktu 5
menit.

3. Tenggelam dalam air asin (hipertonik)


Konsentrasi elektrolit cairan air asin lebih tinggi daripada dalam darah, sehingga air akan
ditarik dari sirkulasi pulmonal ke dalam jaringan interstisial paru yang akan menimbulkan
edema pulmoner, hipovolemi dan kenaikan kadar magnesium dalam darah.
Hemokonsentrasi akan mengakibatkan sirkulasi menjadi lambat dan menyebabkan
terjadinya gagal jantung. Kematian terjadi dalam waktu 8-9 menit setelah tenggelam.

4. Mekanisme kematian pada korban tenggelam


 Asfiksia akibat spasme laring.
 Asfiksia karena gagging dan choking.
 Refleks vagal.
 Fibrilasi ventrikel (dalam air tawar).
 Edema pulmoner (dalam air asin).
Pada pemeriksaan mayat akibat tenggelam, pemeriksaan harus seteliti mungkin agar
mekanisme kematian dapat ditentukan, karena seringkali mayat ditemukan sudah dalam
keadaan membusuk.

5. Temuan pada pemeriksaan


a. Pemeriksaan luar
 Mayat basah, mungkin berlumuran pasir dan lumpur
 Busa halus pada hidung dan mulut
 Mata setengah terbuka atau tertutup
 Kutis anserina
 Washer woman’s hand
 Cadaveric spasm
 Luka lecet akibat gesekan benda dalam air
b. Pemeriksaan dalam
 Busa halus dan benda asing seperti pasir pada saluran pernapasan
 Paru-paru membesar dan memberat
 Paltauf spot pada paru-paru
 Pembendungan organ dalam (otak, ginjal, hati)
 Lambung membesar berisi air dan lumpur

ABORSI
1. Definisi
Hukum: pengguguran kandungan/tindakan menghentikan kehamilan/ mematikan janin
sebelum waktu kelahiran tanpa memperhatikan usia kandungan maupun kondisi bayi lahir
hidup/mati.

Medis: keluarnya hasil pembuahan secara spontan sebelum mampu bertahan hidup (<20
minggu, <500gr)

2. Klasifikasi
Abortus spontan: akibat infeksi sistemik, hipertensi, kelainan darah, trauma tumpul perut,
cemas, malformasi kongenital, abnormalitas genetik

Abortus provokatus

 Terapeutikus: dilakukan oleh tenaga kesehatan dibawah hukum


 Kriminalis: aborsi tidak dilakukan dibawah hukum
- Dengan consent wanita hamil → penjara 3-7 tahun
- Tanpa consent wanita hamil → penjara 10 tahun
- Tanpa consent wanita hamil + menyebabkan kematian wanita → penjara
seumur hidup
- Dengan consent wanita + menyebabkan kematian wanita tsb → penjara
lebih dari 10 tahun
3. Dasar hukum abortus provokatus kriminalis
KUHP pasal 346

Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau


menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

KUHP pasal 347

(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita
tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut diancam dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun.

KUHP pasal 348


(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita
dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam
bulan.

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana
penjara paling lama tujuh tahun.

KUHP pasal 349

Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan
pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang
diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat
ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam
mana kejahatan dilakukan.

KUHP pasal 283

Barangsiapa mempertunjukkan alat/cara menggugurkan kandungan kepada anak dibawah


usia 17 tahun/di bawah umur … (hukuman maksimum 9 bulan)

KUHP pasal 299

(1) Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh supaya diobati,
dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan bahwa karena pengobatan itu hamilnya
dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana
denda paling banyak empat puluh lima ribu rupiah

KUHP pasal 535

Barangsiapa mempertunjukkan secara terbuka alat/cara menggugurkan kandungan (KUHP


pasal 535) hukuman maksimal 3 bulan.

UU no 36 tahun 2009 ttg kesehatan

Pasal 75

(1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.


(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:
a) indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik
yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit
genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki
sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
b) kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis
bagi korban perkosaan.
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui
konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca
tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan,
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 76

Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan: sebelum kehamilan
berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal
kedaruratan medis; oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan
yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri; dengan persetujuan ibu hamil yang
bersangkutan; dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan penyedia layanan
kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 194

Setiap orang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 75 ayat(2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)

PP RI no 61 tahun 2014 ttg Kesehatan Reproduksi

Pasal 31-35

Pasal 31

(1) Tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan: a. indikasi kedaruratan medis; atau
b. kehamilan akibat perkosaan

(2) Tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya
dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung
sejak hari pertama haid terakhir

Pasal 32

(1) Indikasi kedaruratan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf a
meliputi: a. kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu; dan/atau b. kehamilan
yang mengancam nyawa dan kesehatan janin, termasuk yang menderita penyakit genetik
berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan
bayi tersebut hidup di luar

Pasal 33

(1) Penentuan adanya indikasi kedaruratan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32
dilakukan oleh tim kelayakan aborsi.

(2) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri dari 2 (dua) orang tenaga
kesehatan yang diketuai oleh dokter yang memiliki kompetensi dan kewenangan.
(3) Dalam menentukan indikasi kedaruratan medis, tim sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus melakukan pemeriksaan sesuai dengan standar.

(4) Berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tim sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) membuat surat keterangan kelayakan aborsi.

Pasal 34

(1) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b
merupakan kehamilan hasil hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak
perempuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Kehamilan akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan: a.
usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan, yang dinyatakan oleh surat keterangan
dokter; dan b. keterangan penyidik, psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya dugaan
perkosaan.

Pasal 35

(1) Aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan harus
dilakukan dengan aman, bermutu, dan bertanggung jawab.

(2) Praktik aborsi yang aman, bermutu, dan bertanggung jawab sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi: a.dilakukan oleh dokter sesuai dengan standar; b.dilakukan di fasilitas
pelayanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri; c.atas
permintaan atau persetujuan perempuan hamil

yang bersangkutan d.dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; e.tidak diskriminatif; dan
f. tidak mengutamakan imbalan materi.

Pasal 37

(1) Tindakan aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat
perkosaan hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling

Pasal 39

(1) Setiap pelaksanaan aborsi wajib dilaporkan kepada kepala dinas kesehatan

kabupaten/kota dengan tembusan kepala dinas kesehatan provinsi.

(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pimpinan fasilitas
pelayanan kesehatan.

4. Metode Aborsi
Metode medis

Metode operasi: vakum, DC, histerotomi, histerektomi

Metode abortus provokatus kriminalis

 Obat-obatan: ecbolics, emmenagogues, irritant, racun sistemik, pil aborsi


 Kekerasan: umum, local
 Unskilled abortion
5. Komplikasi Aborsi
Perdarahan, syok, emboli udara, inhibisi vagus, keracunan obat abortivum, infeksi dan
sepsis, lain-lain

6. Kepentingan Medikolegal
Dokter harus dapat mengetahui: (a) Apakah wanita tersebut baru melakukan aborsi (b)
Pemeriksaan pada jenazah wanita yang meninggal karena tindakan aborsi kriminal

7. Pemeriksaan Korban Abortus (Pada Korban Hidup)


Wanita yang baru melakukan aborsi memiliki tanda-tanda yang sama dengan wanita hamil.
Pada serviks terdapat cairan/duh tubuh/sekret dan sedikit terbuka. Beberapa robekan
vagina dapat terlihat. Robekan tersebut dapat disebabkan oleh alat yang digunakan saat
dilakukan aborsi.

 Tanda kehamilan
 Usaha penghentian kehamilan: kekerasan pada genitalia interna dan eksterna, serta
perut bagian bawah
 Toksikologik: untuk mengetahui obat/zat yang menyebabkan abortus
 Pemeriksaan intra-uterine fetal death: pemeriksaan mikroskopik sisa jaringan
 Kaitan genetik janin dengan tersangka ibu
8. Pemeriksaan Jenazah Wanita yang Meninggal disebabkan Abortus Provokatus
Kriminalis
Tanda-tanda kehamilan pada tubuh jenazah wanita korban aborsi kriminal juga dapat
ditemukan, seperti pembesaran payudara. Tubuh wanita terlihat lebih pucat, yang
menandakan kematian disebabkan oleh syok hemorrhagik. Pada pemeriksaan vagina dan
uterus, dapat ditemukan priduk konsepsi, benda asing seperti pin, stik aborsi, cairan/duh
tubuh/sekret dan lain-lain. Jika wanita tersebut meninggal karena sepsis, dapat ditemukan
pus di dalam kavum uterus. Kadang, perforasi uterus atau usus juga dapat ditemukan.

 Pemeriksaan luar seperti biasa


 Otopsi: dianjurkan pembukaan abdomen sebagai langkah pertama. Periksa
pembesaran uterus, krepitasi, luka atau perforasi. Lakukan tes emboli udara pada
vena kava inferior dari jantung dan urin untuk uji toksikologik, urin untuk
pemeriksaan kehamilan
 Mikroskopik: untuk menemukan sel polimorfonuklear sebagai tanda intravitalitas
 Umur janin atau usia kehamilan
 Kaitan genetik janin/aborsi dengan ibu
9. Pemeriksaan Fetus
Pemeriksaan usia, jenis kelamin dan perkembangan fetus juga harus dilakukan. Untuk
menentukan usia fetus, digunakan Haase’s rule, yang menyatakan panajng dari fetus dalam
centimeter dibagi 5 adalah usia kehamilan dalam bulan (usia fetus).

Usia janin Panjang Berat (gr) Ciri perkembangan Pusat osifikasi


(bulan ke-) (sm)

1 1 Ukuran mirip gumpalan


darah

2 4 Mulut dan hidung terpisah Mandibula,


klavikula, costa,
vertebra

3 9 <100 Plasenta mulai terbentuk, Mayoritas


jenis kelamin belum jelas, tulang
jantung 2 kamar

4 16 100 Jenis kelamin sudah dapat Tulang


dibedakan tengkorak

5 25 300 Rambut mulai tumbuh, Os pubis


empedu terlihat

6 30 700 Bulu mata mulai muncul Sternum

7 35 1400 Secara keseluruhan terlihat Talus

8 40 2000 Sudah dapat hidup di luar Tulang belakang


uterus terakhir dan
sakrum

9 45 2500 Skrotum memiliki 2 testis Epifisis femur

10 50 3000 Sudah matur

PEMBUNUHAN ANAK SENDIRI


1. Definisi
Pembunuhan anak sendiri adalah pembunuhan yang dilakukan oleh seorang ibu atas
anaknya (ibu) ketika dilahirkan atau tidak lama setelah dilahirkan (waktu), karena takut
ketahuan bahwa ia melahirkan anak (psikis)

2. Dasar hukum
KUHP pasal 341

Seorang ibu yang karena takut akan ketahuan melahirkan anak pada saat anak dilahirkan
atau tidak lama kemudian, dengan sengaja merampas nyawa anaknya, diancam karena
membunuh anak sendiri, dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.

KUHP pasal 342

Seorang ibu yang untuk melaksanakan niat yang ditentukan karena takut akan ketahuan
bahwa ia akan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian
merampas nyawa anaknya, diancam karena melakukan pembunuhan anak sendiri dengan
rencana, dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.

KUHP pasal 343

kejahatan yang diterangkan dalam pasal 341 dan 342 dipandang bagi orang lain yang turut
serta melakukan sebagai pembunuhan atau pembunuhan dengan rencana. Pasal KUHP lain
yg berhubungan dengan pembuangan anak lahir mati atau penelantaran anak

KUHP pasal 181

barang siapa mengubur, menyembunyikan, membawa lari atau menghilangkan mayat


dengan maksud menyembunyikan kematian atau kelahirannya, diancam dengan pidana
penjara selama 9 bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah

KUHP pasal 305

Barang siapa menempatkan anak yang umurnya belum tujuh tahun untuk ditemukan atau
meninggalkan anak itu dengan maksud untuk melepaskan diri daripadanya, diancam dengan
pidana penjara paling lama 5 tahun 6 bulan.

KUHP pasal 306

Jika salah satu perbuatan berdasarkan pasal 304 dan 305 mengakibatkan lukaluka berat,
yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun 6 bulan; Jika
mengakibatkan kematian, pidana penjara paling lama 9 tahun.

KUHP pasal 308

Jika seorang ibu karena takut akan diketahui orang tentang kelahiran anaknya, tidak lama
sesudah melahirkan, menempatkan anaknya untuk ditemukan atau meninggalkannya
dengan maksud untuk melepaskan diri daripadanya, maka maksimum pidana tersebut
dalam pasal 305 dan 306 dikurangi separuh.

3. Pemeriksaan Jenazah Bayi


Membedakan bayi lahir hidup dengan lahir mati (bukan infanticide)

Tanda bayi lahir hidup ialah dada sudah mengembang dan diafragma turun sampai sela iga.
Secara pemeriksaan makroskopik, paru sudah mengisi rongga dada dan menutupi sebagian
kandung jantung, berwarna merah muda tidak merata dengan pleura tegang, gambaran
mozaik dan marmer, konsistensi seperti spons, teraba derik udara, serta uji apung paru
positif. Secara pemeriksaan mikroskopik, paru tampak alveoli mengembang sempurna
dengan atau tanpa emfisema obstruktif serta tidak terlihat adanya projection. Pada saluran
cerna tampak udara pada foto rontgen atau adanya makanan di lambung.

Tanda bayi lahir mati adalah adanya tanda-tanda maserasi, yaitu pembusukan intrauterine
yang terjadi setelah 8-10 hari in-utero, vesikel dan bula berisi cairan kemerahan (kematian
inutero 3-4 hari), epidermis berwarna putih dan berkeriput, bau “tengik”, perlunakan tubuh,
dada terlihat mendatar, sendi,lengan dan tungkai lunak, paru-paru berwarna kelabu ungu,
padat, tidak teraba derik udara, serta uji apung paru negatif.

Penentuan umur bayi ekstrauterin, dilakukan dengan melihat hal-hal berikut:

 Udara dalam saluran cerna: Dalam lambung-duodenum: hidup beberapa saat. Usus
halus: 1-2 jam. Usus besar: 5-6 jam. Rektum: hidup > 12 jam atau dengan tanda
lainnya.
 Mekonium: keluar semua 24 jam setelah lahir
 Hilangnya eritrosit berinti: 24 jam
 Deposit asam urat di ginjal: hari ke-2 hingga 4
 Perubahan tali pusat: apabila dipotong maka koagulasi terjadi dalam 2 jam,
mengering dalam 24 jam, dan mengalami penyembuhan dalam 10-12 hari
 Perubahan sirkulasi darah (obliterasi arteri vena umbilicus 3-4 hari, duktus venosus
3- 4 minggu, foramen ovale menutup 3 minggu-1 bulan)
Ada tidaknya tanda perawatan. Melihat keberadaan tanda perawatan antara lain
pemotongan dan perawatan tali pusat, pembersihan lemak bayi dan bekas darah, serta
adanya pakaian atau penutup tubuh bayi

KEJAHATAN SEKSUAL
1. Definisi
Menurut WHO, kejahatan seksual merupakan semua tindakan seksual, percobaan tindakan
seksual, komentar yang tidak diinginkan, perdagangan seks, dengan menggunakan paksaan,
ancaman, paksaan fisik oleh siapa saja tanpa memandang hubungan dengan korban, dalam
situasi apa saja, termasuk tapi tidak terbatas pada rumah dan pekerjaan.

2. Bentuk kejahatan seksual


 Perkosaan
 Penyiksaan secara seksual (sexual torture),
 Perbudakan seksual (sexual slavery),
 Pelecehan seksual (sexual harassment)
 Pedagangan manusia untuk prostitusi (trafficking for purpose of forced
prostitution),
 Paparan terhadap pornografi secara paksa (forced exposure to pornography),
 Pemaksaan kehamilan (forced pregnancy),
 Pemaksaan sterilisasi (forced sterilization),
 Pemaksaan aborsi (forced abortion),
 Pemaksaan pernikahan (forced marriage),
 Mutilasi alat kelamin perempuan,
 Tes keperawanan.
3. Pemeriksaan Persetubuhan
Anamnesis
1) Rincian terhadap pelaku
Tanggal, waktu, lokasi, termasuk deskripsi tempat terjadinya kejahatan

Nama, identitas dan jumlah pelaku.

Kontak fisik dan rincian kekerasan yang dilakukan

Penggunaan senjata. Penggunaan obat-obatan, alkohol, dan substansi yang


dihirup.

Penggunaan kondom dan dan cairan lubrikasi

2) Rincian mengenai aktivitas seksual


Penetrasi vagina oleh pelaku seperti; penis, jari, objek lainnya terhadap
korban.

Apakah terdapat penetrasi anal terhadap korban.

Adakah terdapat penetrasi oral terhadap korban.

Adakah terdapat kontak oral mulut pelaku terhadap wajah, tubuh, atau
bagian genito-anal korban.

Adakah pemaksaan kontak mulut korban terhadap wajah, tubuh atau


bagian genitoranal pelaku.
Adakah terdapat ejakulasi pada vagina korban ataupun tubuh korban saat
kejadian.

3) Gejala yang ditimbulkan setelah kejadian


Pendarahan genital, keluarnya cairan, gatal-gatal, dan rasa nyeri. Gejala
berkemih

Nyeri anal ataupun pendarahan.

Nyeri pada perut.

4) Tindakan yang dapat mengubah bukti


Mandi
Membersihkan daerah genitoanal
Mengganti pakaian.
Bagaimana cara pakaian dilepaskan.
Pemeriksaan Pemeriksaan Fisik Umum
 Tingkat kesadaran
 Keadaan umum
 Tanda vital
 Penampilan (rapih atau tidak, dandan,dan lain-lain)
 Afek (keadaan emosi, apakah tampak sedih, takut, dan sebagainya)
 Pakaian (apakah ada kotoran, robekan,atau kancing yang terlepas)
 Status generalis
 Tinggi badan dan berat badan
 Rambut (tercabut/rontok)
 Gigi dan mulut (terutama pertumbuhan gigi molar kedua dan ketiga)
 Kuku (apakah ada kotoran atau darah di bawahnya, apakah ada kuku yang
tercabut atau patah)
 Tanda-tanda perkembangan seksual sekunder
 Tanda-tanda intoksikasi NAPZA
 Status lokalis dari luka-luka yang terdapat pada bagian tubuh selain daerah
kemaluan
Pemeriksaan Fisik Khusus
 Daerah pubis
 Daerah vulva dan kulit sekitar vulva
 Labia majora dan minora
 Vestibulum dan fourchette posterior
 Hymen (selaput dara)
 Vagina
 Serviks dan porsio
 Uterus
 Anus dan daerah perianal
 Mulut
 Daerah-daerah erogen (leher, payudara, paha, dan lain-lain)
 Tanda-tanda kehamilan pada payudara dan perut
 Pemeriksaan pakaian
Laboratorium
Sampel yang diambil adalah dari:
 Anus: air mani, lubrikan
 Darah: obat, DNA (Korban)
 Pakaian: material yang menempel
 Genital: air mani
 Rambut: perbandingan dengan rambut yang ada di lokasi lain
 Mulut: air mani, DNA (korban)
 Kuku: kulit, darah, serat pakaian pelaku
 Pembalut/Tampon: material asing
 Kulit: air mani, air liur, material asing
 Urin: obat

TOKSIKOLOGI FORENSIK
1. Definisi
Toksikologi ialah ilmu yang mempelajari sumber, sifat serta khasiat racun, gejala-gejala dan
pengobatan pada keracunan, serta kelainan yang didapatkan pada korban yang meninggal.

Racun ialah zat yang bekerja pada tubuh secara kimiawi dan fisiologik yang dalam dosis
toksik akan menyebabkan gangguan kesehatan atau mengakibatkan kematian.

2. Penggolongan
No. Dasar penggolongan Contoh racun
1 Sumber  Tumbuh-tumbuhan: opium, kokain, aflatoksin
 Hewan: bisa ular, laba-laba, hewan laut
 Mineral: arsen, timah hitam
 Sintetis: heroin

2 Tempat ditemukan  Alam bebas: gas racun


 Rumah tangga: deterjen, desinfektan, cleaning
agent,
 Pertanian: insektisida, pestisida, herbisida
 Industri dan lab: asam dan basa kuat, logam berat.
 Makanan: CN dalam singkong, toksin botulinum,
bahan pengawet

3 Organ tubuh yang  Hepatotoksik


dipengaruhi  Nefrotoksik
 Neurotoksik

4 Mekanisme kerja  Racun yang mengikat gugus -SH: Pb


 Membentuk methemoglobin: nitrat dan nitrit

5 Cara kerja/efek yang  Peradangan dan korosi lokal: H2SO4, HNO3, NaOH,
timbul KOH; golongan halogen seperti fenol, lisol dan
senyawa logam, membuat nyeri hingga
menyebabkan syok neurogenik
 Efek sistemik dan mempunyai afinitas terhadap
salah satu sistem: barbiturat, alkohol, morfin
(terhadap susunan saraf pusat), digitalis, asam
oksalat (terhadap jantung), CO terhadap
hemoglobin darah.
 Racun yang mempunyai efek lokal dan sistemik
sekaligus: asam karbol menyebabkan erosi
lambung dan sebagian yang diabsorpsi akan
menimbulkan depresi susunan saraf pusat.
 Efek iritasi dan hemolisis akut: tetra-etil lead yang
masih terdapat dalam campuran bensin

3. Faktor yang mempengaruhi keracunan


 Cara masuk.
Keracunan paling cepat terjadi jika masuknya racun secara inhalasi. Cara masuk lain,
berturut-turut ialah intravena, intramus kular, intraperitoneal, subkutan, peroral dan
paling lambat ialah bila melalui kulit yang sehat.
 Umur.
Kecuali untuk beberapa jenis racun tertentu, orang tua dan anak-anak lebih sensitif
misalnya pada barbiturat.
 Kondisi tubuh.
Penderita penyakit ginjal umumnya lebih mudah mengalami keracunan. Pada
penderita demam dan penyakit lambung, absorpsi dapat terjadi dengan lambat.
Bentuk fisik dan kondisi fisik, misalnya lambung berisi atau kosong. Kebiasaan sangat
berpengaruh pada racun golongan alkohol dan morfin, sebab dapat terjadi toleransi,
tetapi toleransi tidak dapat menetap, jika pada suatu ketika dihentikan, maka toleransi
akan menurun lagi.
 Pengaruh langsung racun tergantung pada takaran.
Makin tinggi takaran akan makin cepat (kuat) keracunan. Konsentrasi berpengaruh
pada racun yang bekerja secara lokal, misalnya asam sulfat. Struktur kimia, misalnya
calomel (Hg2Cl2) jarang menimbulkan keracunan sedangkan Hg sendiri dapat
menyebabkan kematian. Morfin dan nalorfin yang mempunyai struktur kimia hampir
sama merupakan antagonis. Terjadi addisi antara alkohol dan barbiturat atau alkohol
dan morfin.
 Waktu pemberian.
Untuk racun yang ditelan, jika ditelan sebelum makan, absorpsi terjadi lebih baik
sehingga efek akan timbul lebih cepat. Jangka pemberian untuk waktu lama (kronik)
atau waktu singkat/sesaat.

4. Prinsip pengobatan
Pengobatan terhadap kasus keracunan terutama berdasarkan cara masuk racun ke dalam
tubuh.

 Bila racun ditelan, keluarkan racun tersebut sebanyak mungkin, dengan jalan
memuntahkan (dengan merangsang dinding faring atau pemberian emetik). Aspirasi
dan bilas lambung, merupakan indikasi untuk mengeluarkan racun nonkorosif dan racun
yang menekan susunan saraf pusat. Jika kesadaran sangat menurun, atau racun bersifat
korosif atau terlarut dalam minyak, maka usaha untuk memuntahkan merupakan
kontraindikasi. Mempercepat ekskresi dengan dialisis (pemberian diuretik) juga
merupakan kontraindikasi. Dapat pula dengan pemberian antidotum spesifik, misal
pada keracunan morfin, diberikan nalorfin.
Demulcent dalam bentuk pemberian putih telur sebanyak 3 Butir yang dilarutkan dalam
500 cc air/susu dengan maksud untuk menghambat absorbsi.

Pengobatan simptomatik dan suportif perlu dipertimbangkan, Tergantung dari gejala


yang timbul. Jika terdapat gejala berupa kejang jangan diberikan barbiturat tetapi
sebaiknya benzodiazepam.
 Bila racun masuk secara inhalasi, keluarkan korban dari ruang agar terhindar dari
inhalasi lebih lanjut.
 Bila secara parenteral pertimbangkan pemasangan tourniquet.
 Bila masuk melalui kulit atau mengenai mata, bersihkan dengan air mengalir.
5. Kriteria diagnostik
Diagnosa keracunan didasarkan atas adanya tanda dan gejala sesuai dengan racun
penyebab. Dengan analisis kimiawi dapat dibuktikan adanya racun pada sisa barang bukti.
Yang terpenting pada penegakan diagnosis keracunan adalah dapat ditemukan racun/sisa
racun dalam tubuh/cairan tubuh korban.

6. Pemeriksaan korban keracunan


Korban mati akibat keracunan umumnya dapat dibagi menjadi 2 golongan, yang sejak
semula sudah dicurigai kematian diakibatkan oleh keracunan dan kasus yang sampai saat
sebelum otopsi dilakukan, belum ada kecurigaan terhadap kemungkinan keracunan.

Harus dipikirkan kemungkinan kematian akibat keracunan bila pada pemeriksaan setempat
(scene investigation) terdapat kecurigaan akan keracunan, bila pada otopsi ditemukan
kelainan yang lazim ditemukan pada keracunan dengan zat tertentu, misalnya lebam mayat
yang tidak biasa (cherry pink colour pada keracunan CO; merah terang pada keracunan CN;
kecoklatan pada keracunan nitrit, nitrat, anilin, fenasetin dan kina); luka bekas suntikan
sepanjang vena dan keluarnya buih dari mulut dan hidung (keracunan morfin); bau almond
(keracunan CN) atau bau kutu busuk (keracunan malathion) serta bila pada otopsi tak
ditemukan penyebab kematian.

SUMBER
 Dettmeyer RB. Forensic histopathology: fundamentals and perspectives. Springer; 2018
May 18.
 Hanafiah MJ. Etika kedokteran dan hukum kesehatan ed 4. EGC.2014
 Kompilasi Peraturan Perundang-undangan terkait Praktik Kedokteran. Jakarta:
Departemen Ilmu Kedokteran Forensik Medikolegal Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2014.
 Payne-James J, Jones RM, editors. Simpson's forensic medicine. CRC Press; 2019 Oct 16.
 Saukko P, Knight B. Knight's forensic pathology. CRC press; 2015 Nov 4.
 Stark MM, editor. Clinical forensic medicine: a physician's guide. Springer Nature; 2019.
 Tim Penyusun Modul Badan Diklat Kejaksaan RI. Modul kedokteran forensik Badan
Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Republik Indonesia Jakarta 2019
 WHO and United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC). Strengthening the
Medico-Legal Response to Sexual Violence. Geneva; 2015
 World Health Organization. Guidelines for Medico-legal Care for Victims of Sexual
Violence. France; 2003.
GINEKOLOGI
NEOPLASMA
Neoplasma adalah pertumbuhan jaringan yang tidak normal atau berlebihan.
Berdasarkan sifatnya terbagi menjadi dua yaitu jinak (benign) dan ganas (maligna).

Neoplasma Vulva

1. Kista Bartholin
Etiologi : Sumbatan kelenjar bartholin
S&S : Benjolan/massa pada posterior labia mayora (pada palpasi posisi jam 4
atau jam 8), nyeri, dispareunia
Tx : Marsupialisasi, insisi drainase
Dapat menimbulkan komplikasi abses
2. Fibroma Vulva
Etiologi : Proliferasi jaringan fibriblast pada labia mayora
S&S : Benjolan/ massa pada vulva atau labia mayora, nyeri, gangguan berkemih,
dyspareunia
Tx : Eksisi

Neoplasma Vagina

1. Kista Gartner
Lokasi : dinding anterolateral vagina
S&S : Benjolan di vagina
Tx : Insisi dan eksisi
2. Fibroma Vagina
Etiologi : Proliferasi jaringan fibroblast
S&S : Benjolan, dyspareunia
Tx : Eksisi

Neoplasma Serviks

1. Kista Nabothian
Etiologi : retensi cairan/mucus pada area endoserviks
S&S : asimptomatik, vesikel pada endoserviks
Tx : tidak ada
2. Polip Serviks
Etiologi : Proliferasi lapisan stroma pada endo-ektoserviks
S&S : Massa bertangkai, mudah berdarah, merah/pucat, dyspareunia
Tx : Ekstirpasi, kuretase, kauterisasi
3. Mioma Serviks
Etiologi : Proliferasi jaringan otot uterus
S&S : Benjolan, perdarahan tidak normal, dyspareunia
Tx : ekstirpasi, eksisi, histerektomi
4. Kanker Serviks
Etiologi : Infeksi HPV tipe 16,18
RF : Multi-sexual partner, IMS, koitus pada usia muda
Skrining : IVA test/PAP Smear
Diagnosis : Biopsi
S&S: asimtomatik (pre-invasive stage), perdarahan abnormal, dyspareunia, post-
coital bleeding, discharge (early invasive), nyeri panggul, BB turun, anoreksia,
anemia (advance stage)

Neoplasma Uteri

1. Leiomyoma/Uterine vibroid
Etiologi : proliferasi jaringan otot polos myometrium
RF : estrogen, negroid, nullipara
RF : estrogen, negoid, mullipara]
S&S : menorrhagia, pelvic pressre, dyspareunia, benjolan
Tx : observasi untuk myoma kecil, myomectomy or hysterectomy untuk tipe
besar.

SIKLUS MENSTRUASI ABNORMAL

Menstruasi
Siklus menstruasi normal terdiri dari 2 fase: fase folikular dan fase luteal. Haid terjadi
pada awal fase folikular yang dapat berlangsung dalam 12-14 hari. Sementara fase
luteal mulai pada saat ovulasi dan berlangsung selama 14 hari.

Dysmenorrhea (nyeri menstruasi)

- Primary Dysmenorrhea
o Nyeri abdomen berulang yang terjadi sesaat sebelum dan atau saat
menstruasi tanpa adanya penemuan patologis terkait dengan gejala
- Secondary Dysmenorrhea
o Nyeri abdomen berulang yang terjadi sesaat sebelum dan atau saat
menstruasi dengan adanya kondisi tertentu (e.g. endometriosis, Pelvic
Inflammatry Disease, IUD, uterine leiomyoma etc.)

Abnormal Uterine Bleeding

Penyebab AUB berdasarkan FIGO diklasifikasikan menjadi

o Penyebab struktural: polip, adenomyosis, leiomyoma,


malignancy/hyperplasia (PALM)
o Penyebab non-struktural: coagulopathy, ovulatory dysfunction,
endometrial, iatrogenic, not yet classified (COEIN)

 Amenorrhea- tidak terjadi perdarahan pada beberapa saat


 Menorrhaggia – Jumlah perdarahan yang banyak (>80ml/siklus) atau durasi
yang memanjang >7 hari
 Metrorrhagia – Perdarahan yang terjadi secara irregular namun dengan interval
yang lebih sering
 Menometrorrhagia – Perdarahan irregular, banyak, dengan perpanjangan waktu
perdaran
 Oligomenorrhea – Interval >36-40 hari, waktu regular jumlah sedikit
 Polymenorrhea – Interval <21 hari, waktu regular frekuensi sering

INFERTILITAS

Definisi : Kegagalan dalam konsepsi bagi pasangan suami-istri yang telah melakukan
hubungan seksual secara regular tanpa kontrasepsi setelah :

- Usia wanita <35 tahun – melewati durasi 12 bulan


- Usia wanita >35 tahun – melewati durasi 6 bulan

Klasifikasi : 1. Primer 2. Sekunder

Analisis Sperma

- Normozoospermia = Jumlah sperma >= 15 juta/ml


- Oligozoospermia = Jumlah sperma <15 juta/ml
- Astenozoospermia = Motilitas sperma A <32 % atau A+B <40%
 A= bergerak cepat dan lurus
 B= bergerak lambat dan tidak lurus
 C= bergerak ditempat
 D= tidak bergerak
- Teratozoospermia = Morfologi sperma normal <4%
- Azoopernia = 0 sperma + plasma semen
- Aspermia = 0 sperma + 0 plasma semen
-

INFEKSI KONGENITAL

Infeksi TORCH pada kehamilan dapat menyebabkan infeksi vertikal melalui


plasenta ataupun jalan lahir dan menular ke janin. Infeksi ini terdiri atas infeksi
Toxoplasmosis, Others (e.g. sifilis varicella, parvovirus, listeriosis), Rubella,
Cytomegaly (CMV), Herpes simplex virus (HSV).

Infeksi Gejala Klinis Diagnosis Pengobatan

Toksoplasmosis - Triad Klasik - T.gondii- - Pyrimethamine,


1.Chorioretinitis specigic IgM sulfadiazine, dan
2.Hydrocephalus antibody folinic acid
3.Intracranial - PCR DNA
calcifications (ring- T.gondii
enhancing lesion) - Ring-enhanced
- Petechiae dan lesion pada
purpura (blueberry MRI kepala
muffin rash)

Sifilis - Early congenital - VDRL atau - Penicilin


sifilis ( onset <2 RPR
tahun ) - Dark-field
- Jaundice dan microscopy
hepatosplenomegaly - PCR
- Lymphadenopathy
- Nasal discharge
- Maculopapular rash
- Abnormalitas
skeletal

Late congenital sifilis


(onset >2 tahun)

- Abnormalitas facial
- Keratitis interstitial
- Sensorineural
deafness
- Saber shins
Listeriosis - Aborsi spontan dan - Kultur bakteria - Ampicillin dan
kelahiran premature Gentamicin
- Meningitis, sepsi
- Lesi kulit vesicular
dan pustular
(granulomatosis
infantiseptica)
Varicella zoster - IUGRm kelahiran - Direct - Varicella-zoster
virus (VZV) premature fluorescent immune globuline
- Chorioretinitis, antigen test (VZIG)
Katarak (DFA) - Acyclovir
- Ensefalitis - PCR untuu
- Pneumonia DNA VZV
- Abnormalitas CNS - Serologi (IgM
- Hypoplastic limbs antibody)
Parvovirus B19 - Anemia aplastic - PCR DNA - Transfuse darah
- Hidrops fetalis parvovirus intrauterine jika
B19 diindikasikan
- Ultrasonografi
untuk melihat
hidrops fetalis
Rubella - Ptechiae dan purpura - Kultur virus - Perawatan
(blueberry muffin - Serologi (IgM suportif
rash) antibody)
- Congenital rubella - PCR RNA
syndrome; rubella
IUGR, sensorineural
deafness, katarak,
defek jantung,
abnormalitas CNS,
hepatitis
Cytomegalo virus - Jaundice, - Kultur virus - Ganciclovir dan
(CMV) hepatosplenomegaly - PCR DNA valganciclovir
- IUGR CMV - Perawatan
- Chorioretinitis suportif
- Sensorineural
deafness
- Periventricular
calcifications
- Petechiae dan
purpura (blueberry
muffin rash)
- Microcephaly
- Kejang
Herpes simplex - Kelahiran premature, - Kultur virus - Acyclovir
virus (HSV) IUGR - PCR untuk - Perawatan
- Lesi vesicular pada DNA HSV suportif
kulit, mata, mulut,
keratoconjunctivitis
- Lesi CNS lokal,
meningitis
IPD – ENDOKRIN
Diabetes Melitus
A. Definisi
Kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.

B. Patogenesis

C. Klasifikasi
Diabetes Melitus Tipe 2 (4A)
A. Tanda dan Gejala
1. Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
2. Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi
pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

B. Kriteria Diagnosis

C. Klasifikasi Prediabetes
1. Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma
puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam <140
mg/dl (normal).
2. Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2-jam
setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100 mg/dl
(normal).
D. Tatalaksana
Dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat (terapi nutrisi medis dan aktivitas fisik)
bersamaan dengan intervensi farmakologis dengan obat anti hiperglikemia secara oral
dan/atau suntikan. Obat anti hiperglikemia oral dapat diberikan sebagai terapi tunggal
atau kombinasi.

1. Terapi Nutrisi Medis


Komposisi makanan:
a. Karbohidrat
 45-65% total asupan energi. Terutama karbohidrat yang berserat tinggi.
 Dianjurkan makan tiga kali sehari dan dapat diberikan makanan selingan
seperti buah atau makanan lain sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
b. Lemak
 20-25% kebutuhan kalori
 Komposisi yang dianjurkan:
- Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori
- Lemak tidak jenuh ganda < 10 %
- Selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal
- Konsumsi kolesterol dianjurkan < 200 mg/hari
c. Protein
 10 – 20% total asupan energi
 Pasien dengan nefropati diabetic perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8
g/kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan energi.
 Kecuali pada penderita DM yang sudah menjalani hemodialisis  asupan
protein menjadi 1-1,2 g/kg BB perhari.
d. Natrium: <2.300 mg perhari
e. Serat: 25-30 gram/hari yang berasal dari berbagai sumber bahan makanan.

2. Aktivitas Jasmani
 Latihan jasmani dilakukan secara secara teratur sebanyak 3-5 kali perminggu
selama sekitar 30-45 menit, dengan total 150 menit perminggu.
 Jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut.
 Dianjurkan: latihan aerobik dengan intensitas sedang (50- 70% denyut jantung
maksimal) seperti: jalan cepat, bersepeda santai, jogging, dan berenang.

3. Terapi Farmakologis
a. Obat Antihiperglikemik Oral

Obat Cara Kerja Efek Samping Perhatian


Sulfonilurea Meningkatkan BB naik Hati-hati pada pasien
sekresi insulin dengan risiko tinggi
Contoh: Hipoglikemia
hipoglikemia (orang
glibenklamid,
tua, gangguan faal hati,
glimepiride
dan ginjal).

Glinid Meningkatkan BB naik Hati-hati pada pasien


sekresi insulin dengan risiko tinggi
Contoh: Repaglinid, Hipoglikemia
hipoglikemia (orang
nateglinid
tua, gangguan faal hati,
dan ginjal).

Metformin Menekan Dispepsia, diare, Tidak diberikan pada:


produksi glukosa asidosis laktat GFR<30, adanya
hati & gangguan hati berat,
menambah serta pasien dengan
sensitifitas kecenderungan
terhadap insulin
hipoksemia (penyakit
serebrovaskular,
sepsis, renjatan,
PPOK, gagal jantung
[NYHA FC III-IV]).

Tiazolidindion Menambah Edema dikontraindikasikan


sensitifitas pada pasien dengan
Contoh: Pioglitazone
terhadap insulin gagal jantung (NYHA
FC III-IV), hati-hati
pada gangguan faal
hati

Penghambat Menghambat Flatulen, tinja Tidak digunakan pada


absorpsi glukosa lembek keadaan: GFR≤30,
Alfa-Glukosidase
gangguan faal hati
Contoh: Acarbose yang berat, irritable
bowel syndrome.

Penghambat DPP- Meningkatkan Sebah, muntah Pengawasan ketat pada


IV sekresi insulin, gangguan fungsi ginjal
menghambat
Contoh: Sitagliptin,
Linagliptin sekresi glukagon

Penghambat Menghambat Dehidrasi, Gangguan fungsi


infeksi saluran ginjal
SGLT-2 penyerapan
kemih
kembali glukosa
Contoh:
di tubuli distal
Canagliflozin,
ginjal
Dapagliflozin

b. Obat Antihiperglikemik Suntik


Insulin diperlukan pada keadaan:
 HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolic
 Penurunan berat badan yang cepat
 Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
 Krisis Hiperglikemia
 Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
 Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)
 Kehamilan dengan DM/Diabetes mellitus gestasional yang tidak terkendali
dengan perencanaan makan
 Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
 Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
 Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi

Jenis dan Lama Kerja Insulin


Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 5 jenis, yakni :
 Insulin kerja cepat (Rapid-acting insulin)  Humalog, Novorapid
 Insulin kerja pendek (Short-acting insulin)  humulin R, Actrapid
 Insulin kerja menengah (Intermediateacting insulin)  humulin N, Insulatard
 Insulin kerja panjang (Long-acting insulin)  Lantus, Levemir
 Insulin kerja ultra panjang (Ultra longacting insulin)  Tresiba
 Insulin campuran tetap, kerja pendek dengan menengah dan kerja cepat
dengan menengah (Premixed insulin)  Humalogmix, Novomix, Premix

Dasar pemikiran terapi insulin:


 Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial.
 Defisiensi insulin:
- Defisiensi insulin basal  hiperglikemia pada keadaan puasa.
- Defisiensi insulin prandial  hiperglikemia setelah makan.
 Sasaran pertama terapi hiperglikemia: mengendalikan glukosa darah basal
(puasa, sebelum makan)  insulin basal (insulin kerja sedang atau panjang).
 Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai, sedangkan HbA1c
belum mencapai target  pengendalian glukosa darah prandial (mealrelated)
 insulin kerja cepat (rapid acting) yang disuntikan 5-10 menit sebelum
makan atau insulin kerja pendek (short acting) yang disuntikkan 30 menit
sebelum makan.

Prinsip tatalaksana: Jika dalam 3 bulan dengan komplians yang baik tidak tercapai
target  naikkan regimen terapi.

E. Kriteria Pengendalian
F. Komplikasi
1. Akut
 Krisis Hiperglikemia: Ketoasidosis Diabetik (KAD), Status Hiperglikemi
Hiperosmolar (SHH)
 Hipoglikemia
2. Kronis
 Makroangiopati
- Pembuluh darah jantung: penyakit jantung koroner
- Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer  claudicatio intermittent,
ulkus iskemik pada kaki
- Pembuluh darah otak: stroke iskemik atau stroke hemoragik
 Mikroangiopati
- Retinopati diabetik
- Nefropati diabetik
- Neuropati  hilangnya sensasi distal  risiko tinggi ulkus kaki 
meningkatkan risiko amputasi.

G. Resep
R/ Metformin 500 mg tab No. XXX
S 3 dd tab I p.c
R/ Glibenclamide 5 mg tab No. X
S 1 dd tab I ½ h a.c. o.m
R/ Novorapid pen inj No. I
S 3 dd 8 IU

Krisis Hiperglikemia (3B)


A. Definisi
 Ketoasidosis Diabetik (KAD): komplikasi akut diabetes yang ditandai:
- Peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dl).
- Tanda dan gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat.
- Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/ml).
- Terjadi peningkatan anion gap.
 Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH):
- Peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600-1200 mg/dl)
- Tanpa tanda dan gejala asidosis.
- Osmolaritas plasma sangat meningkat (330-380 mOs/ml)
- Plasma keton (+/-)
- Anion gap normal atau sedikit meningkat.

B. Faktor Risiko
Pencetus tersering adalah infeksi. Pencetus lain: menghentikan atau mengurangi insulin,
infark miokard, stroke akut, pankreatitis, dan obat-obatan.
C. Tanda dan Gejala
 Tanda-tanda dehidrasi, takikardi, hipotensi atau syok, flushing, penurunan berat
badan.
 Pemeriksaan dasar gula darah, elektrolit, analisis gas darah, keton darah dan urin,
osrnolalitas serum, darah perifer lengkap dengan hitung jenis, anion gap, EKG,
dan foto polos dada.
 KAD
- Nafas Kussmaul jika asidosis berat.
- Trias biokimiawi pada KAD: hiperglikemia, ketonemia dan atau ketonuria,
serta asidosis metabolik.
 SHH: dehidrasi berat, hiperglikemia berat, dan seringkali disertai gangguan
neurologis (disorientasi, hemiparesis, kejang atau koma).

D. Tatalaksana
 Rawat di High Care Unit
 Rehidrasi dengan NaCl 0,9%, lakukan pemasangan akses IV dua jalur
 Regulasi glukosa darah dengan insulin
 Regulasi gangguan asam basa elektrolit
 Oksigen bila PO2 <80 mmHg
 Antibiotik yang adekuat
 Pantau tanda vital, kesadaran, keseimbangan cairan
 Manajemen faktor pencetus dan penyakit penyerta
Hipoglikemia (Ringan 4A dan Berat 3B)
A. Definisi
Menurunya kadar glukosa darah <70 mg/dl dengan atau tanpa adanya gejala-gejala sistem
otonom, seperti adanya whipple’s triad:
 Terdapat gejala-gejala hipoglikemia
 Kadar glukosa darah yang rendah
 Gejala berkurang dengan pengobatan

B. Faktor Pencetus
 Penggunaan sulfonilurea dan insulin atau penggunaan obat-obatan lain.
 Latihan jasmani dengan intensitas menengah hingga sedang.
 Asupan makanan tidak adekuat.
 Penyakit kritis, gagal ginjal, gagal hati.
C. Klasifikasi
 Hipoglikemia ringan: gejala ringan atau tidak ada gejala.
 Hipoglikemia sedang: terdapat gejala tetapi dapat diatasi sendiri oleh pasien.
 Hipoglikemia berat: membutuhkan bantuan orang lain untuk mengatasinya.

Klasifikasi berdasarkan PERKENI 2015


 Hipoglikemia berat: pasien membutuhkan bantuan orang lain untuk pemberian
karbohidrat, glukagon, atau resusitasi lainnya.
 Hipoglikemia simtomatik: GDS < 70mg/dL disertai gejala hipoglikemia.
 Hipoglikemia asimtomatik: GDS <70mg/dL tanpa gejala hipoglikemia.
 Hipoglikemia relatif: GDS > 70mg/dL dengan gejala hipoglikemia.
 Probable hipoglikemia: gejala hipogllikemia tanpa pemeriksaan GDS.

D. Tanda dan Gejala

E. Tatalaksana
 Mencari dan mengatasi penyebab
 Koreksi hipoglikemia
1. Hipoglikemia Ringan
- Glukosa 15–20 g (2-3 sendok makan) yang dilarutkan dalam air jika
pasien masih sadar.
- Pemeriksaan glukosa darah dengan glukometer setelah 15 menit
pemberian upaya terapi:
o Masih hipoglikemia: pengobatan dapat diulang kembali.
o Glukosa darah sudah normal; pasien diminta untuk makan atau
mengkonsumsi snack untuk mencegah berulangnya hipoglikemia.
2. Hipoglikemia Berat
- Injeksi dextore 20% atau 40% sesuai kadar glukosa, diikuti infus D5%
atau D10%.
- Periksa glukosa darah 15 menit setelah pemberian IV tersebut. Bila kadar
glukosa darah belum mencapai target, dapat diberikan ulang pemberian
dextrose 40%.
- Monitoring glukosa darah setiap 1-2 jam
- Lakukan evaluasi terhadap pemicu hipoglikemia
 OAD/insulin dapat dimulai lagi bila penyebab hipoglikemia sudah diketahui.
 Bila hipoglikemia belum teratasi, dapat dipertimbangkan pemberian steroid.

Diabetes Insipidus (1)


A. Definisi
Penyakit yang diakibatkan oleh berbagai penyebab yang dapat mengganggu mekanisrne
neurohypophysealrenal reflex sehingga rnengakibatkan kegagalan tubuh dalarn
rnengkonversi air.

B. Klasifikasi
1. Diabetes Insipidus Sentral
Disebabkan oleh kegagalan pelepasan horrnon antidiuretik (ADH) yang secara
fisiologi dapat merupakan kegagalan sintesis atau penyimpanan.
2. Diabetes Insipidus Nefrogenik
Disebabkan oleh ginjal tidak responsif terhadap ADH eksogen. ADH berada
dalam jumlah yang cukup dan berfungsi normal.
C. Tanda dan Gejala
 Gejala utama: poliuria dan polidipsia.
 Berat jenis urin biasanya sangat rendah, berkisar antara 1 001-1 005 atau 50-200
mOsmol/kgBB.

Akromegali dan Gigantisme (1)


A. Definisi
Penyakit yang diakibatkan oleh hipersekresi dari growth hormone (GH).
 Akromegali: hipersekresi GH terjadi setelah fusi dari epifisis  ekstremitas besar
dan perubahan wajah.
 Gigantisme: hipersekresi GH terjadi sebelum fusi dari epifisis  tubu yang tinggi.

B. Etiologi
 Terutama disebabkan oleh adenoma yang menghasilkan GH di kelenjar pituitari.
 Adenoma hipotalamus atau sekresi GHRH ektopik dari tumor neuroendokrin di
paru atau pankreas.
 Sekresi GH ektopik dari keganasan abdomen atau hematopoietik.
 Sindrom genetik yang berhubungan dengan hipersekresi GH: multiple endocrine
neoplasia-1 (MEN-1), neurofibromatosis, Carney complex, dan sindrom
McCune-Albright.
 Familial idiopathic pituitary adenomas (FIPA): disebabkan oleh mutasi yang
menyebabkan akromegali familial.
C. Tanda dan Gejala
1. Akromegali
 Peningkatan ukuran ekstremitas
 Hiperhidrosis dan skin tag
 Acromegalic facies: supraorbital ridge menonjol, hidung lebar, jerawat, bibir
besar, pembesaran lidah.
 Muskuloskeletal: kelemahan menyeluruh, letargi, pemanjanan dagu,
maloklusi gigi, nyeri sendi temporomandibula, carpal tunnel syndrome
(akibat pembengkakan nervus medianus), osteoarthritis onset dini.
 Suara berat dan obstructive sleep apnea: akiat pembengkakan jaringan lunak
di saluran pernapasan atas dan pembesaran lidah.

2. Gigantisme
 Tinggi 3 SD di atas normal atau 2 SD di atas adjusted mean parental height.
 Seringkali berhubungan dengan neurofibromatosis, Carney complex, and
sindrom McCune Albright  evaluasi adanya neurofibromas, cafe au lait
spots, optic gliomas.
Acromegalic facies Neurofibroma Café-au-lait spot

Kelainan Kelenjar Paratiroid


Anatomi dan Fisiologi

Kelenjar paratiroid berjumlah empat buah dan terletak di permukaan posterior kedua
lobus lateral kelenjar tiroid. Menghasilkan hormone paratiroid (PTH).

Fungsi PTH:
 Meningkatkan kalsium dalam darah
 Menghambat reabsorpsi fosfat di ginjal  menurunkan kadar fosfat
Hiperparatiroid (1)
A. Definisi
Penyakit yang disebabkan karena hipersekresi dari PTH.

B. Klasifikasi
1. Primer
Sekresi PTH oleh kelenjar paratiroid meningkat. Disebabkan oleh:
 Adenoma kelenjar paratiroid
 Hiperplasia kelenjar paratiroid difus
 Sindrom multiple endorine neoplasia (MEN)
2. Sekunder
Sekresi PTH berlebih akibat berbagai penyakit yang menyebabkan hipokalsemia
kronis. Ditandai dengan peningkatan PTH dan serum kalsium normal atau rendah.
Penyebab:
 Gagal ginjal kronis
 Defisiensi atau malabsorpsi vitamin D
3. Tersier
Komplikasi dari hiperparatiroid sekunder: kadar kalsium yang dibutuhkan untuk
menghambat produksi PTH oleh kelenjar paratiroid menjadi meningkat 
peningkatan aktivitas kelenjar paratiroid  hiperkalsemia.
C. Tanda dan Gejala
 Dehidrasi, kehausan, lemah badan
 Gejala hiperkalsemia (lihat pada gambar): bones, stones, groans (nyeri), psychic
moans (gangguan kesadaran dan mental).
 Osteomalasia (dewasa) dan rikets (anak).
D. Pemeriksaan Penunjang
 Lab: Hiperkalsemia, hipofosfatemia, dan peningkatan PTH
 EKG: pemendekan QT interval
 Pemeriksaan fungsi ginjal
 Radiografi: resopsi tulang subperiosteal, deteksi adenoma, nefrolitiasis akibat
hiperkalsemia.

Hipoparatiroid (3A)
A. Definisi
Penyakit yang disebabkan karena defisiensi dari PTH sehingga menyebabkan
hipokalsemia.

B. Etiologi
Penyebab utama:
• Komplikasi operasi tiroid atau paratiroid
• Defisiensi kongenital: DiGeorge Syndrome
• Hipoparatiroid idiopatik: autoimun
• Pseudohipoparatiroid: resistensi PTH kongenital

C. Tanda dan Gejala


• Lemas
• Gejala hipokalsemia seperti tetanus: spasme otot, spasme laring, spasme bronkus
• Perubahan status mental: cemas, hiperiritabilitas, depresi, halusinasi
• Gejala ekstrapiramidal (jika kronis): gejala parkinsonisme, distonia
Tanda khusus:
Chvostek Sign (+): bagian otot wajah ipsilateral memicing ketika diketuk pada nervus
fasialis
Trousseau Sign (+): spasme karopedal ketika mengoklusi arteri brakialis dengan cuff
spigmomanometer selama 3 menit.
Chvostek Sign Trousseau Sign

E. Pemeriksaan Penunjang
 Lab:
- Utama: Hipokalsemia, hiperfosfatemia, dan penurunan PTH
- Vitamin D: defisiensi vitamin D dapat menyebabkan hipokalsemia
- Hipomagnesemia dapat menyebabkan defisiensi PTH
- Hiperkalsiuria
 EKG: pemanjangan QT interval
F. Tatalaksana
 Koreksi hipokalsemia: pemberian kalsium dan vitamin D (400-800 IU/hari)
 Jika terdapat hiperkalsiuria: pertimbangkan penurunan intake kalsium, diet
restriksi natrium, atau pemberian diuretik thiazide.
 Tidak disarankan pemberian rutin PTH replacement.

Kelainan Kelenjar Tiroid


Anatomi dan Fisiologi
Kelenjar tiroid memiliki dua jenis sel yang menghasilkan hormon yang berbeda:
1. Sel Folikular: Aksis: TRH (hipotalamus)  TSH (pituitari)  T3 dan T4. Fungsi:
meningkatkan laju metabolisme.
2. Sel Parafolikular: calcitonin  menurunkan kadar kalsium dalam darah
(berlawanan dengan PTH)

Hipertiroid (3A)
A. Definisi
 Hipertiroid: keadaan yang disebabkan kelenjar tiroid memproduksi hormon tiroid
berlebihan.
 Tirotoksikosis (3B): gejala klinis yang disebabkan oleh peningkatan kadar
hormon tiroid di dalam darah.
 Thyroid Storm atau Thyrotoxicosis Strom: eksaserbasi akut dari gejala
tirotoksikosis yang sering disebabkan oleh operasi tiroid, infeksi, infark
miokardium, dan lainnya.

B. Klasifikasi
 Primer: kelainan pada kelenjar tiroid.
 Sekunder: kelainan pada kelenjar pituitari.
C. Etiologi
 Grave’s disease: penyakit autoimun.
Produksi antibodi terhadap reseptor TSH pada sel folikular  merangsang
kelenjar tiroid untuk membentuk hormon tiroid terus-menerus.
 Goiter multinodular toksik: nodul yang menghasilkan hormon tiroid, sering
ditemukan pada pasien usia tua dan populasi dengan intake yodium yang kurang.
 Adenoma toksik: tumor jinak yang menghasikan hormon tiroid.
 Tiroiditis (2):
- Akut: disebabkan oleh infeksi supuratif pada tiroid. Pada anak dan dewasa
muda, penyebab paling sering adalah adanya piriform sinus, sisa dari
branchial pouch yang menghubungkan orofaring dan tiroid.
- Subakut (de Quervain’s thyroiditis): disebabkan oleh virus, termasuk mumps,
coxsackie, influenza, adenovirus, echovirus.
 Obat: amiodarone, overdosis tiroksin

D. Tanda dan Gejala


1. Gejala Umum
Gejala: tanda metabolism meningkat  hiperaktivitas, iritabilitas, disforia, tidak
tahan terhadap panas, keringan berlebihan, palpitasi, mudah lelah, penurunan
berat badan namun nafsu makan meningkat, diare.
Pemeriksaan fisik:
 Memeriksa pembesaran kelenjar tiroid
 Pemeriksaan neurologi: peningkatan refleks, wasting otot, fasikulasi (-)

2. Grave’s disease
Trias: tirotoksikosis, struma difus, oftalmopati.
Sistem skoring oftalmopati “NO SPECS”:
0 : No signs or symptoms
1 : Only signs (lid retraction or lag), gejala (-)
2 : Soft tissue involvement (edema periorbital)
3 : Proptosis (>22 mm)
4: Extraocular muscle involvement (diplopia)
5 : Corneal involvement
Gejala lain: dermopati (myxedema local), akropakia (clubbing pada jari-jari)
Oftalmopati Dermopati Akropakia

3. Tiroiditis
 Akut
Nyeri tiroid sering menjalar ke tenggorokan atau telinga, goiter kecil, nyeri
tekan (+), asimetris. Demam, disfagia, eritema pada tiroid, limfadenopati.
 Subakut (de Quervain’s thyroiditis):
Gejala dapat menyerupai faringitis, lebih sering terjadi pada wanita, usia
paling sering 30-50 tahun.

Perjalanan Klinis Tiroiditis Subakut

E. Pemeriksaan Penunjang
 Lab: pemeriksaan TSH dan FT4, FT3 dilakukan pada kondisi tirotoksikosis
namun FT4 normal.
- TSH meningkat: gangguan pada kelenjar pituitari  sekunder
- TSH rendah: gangguan pada kelenjar tiroid  primer
 EKG: sinus takikardia atau fibrilasi atrial dan deteksi penyakit penyerta.
 Skrining antibodi
 Pemeriksaan radioisotop: mengetahui ukuran kelenjar tiroid dan hot area seperti
pada adenoma toksik.
F. Tatalaksana
 Tatalaksana Umum
1. Obat Antitiroid
- Tionamid: Propiltiourasil (PTU)  dosis awal 300-600 mg/hari
- Imidazol: Metimazol, Tiamazol  dosis awal 20-40 mg/hari
2. Radioiodin: bertujuan untuk menghancurkan sel-sel tiroid secara progresif.
Dibrikkan pada pasien relaps setelah pengobatan obat antitiroid.
Kontraindikasi: ibu hamil dan menyusui.
3. Tindakan Pembedahan: pengangkatan kelenjar tiroid, untuk pasien relaps.
Komplikasi: perdarahan, edema laring, hipoparatiroidisme, cedera nervus
laringeus rekurens.
 Tiroiditis
- Aspirin (600 mg tiap 4-6 jam) atau NSAID lain.
- Jika NSAID tidak adekuat  diberikan glukokortikoid. Dosis awal
prednisone 15-40 mg.
- Obat antitiroid tidak berperan mengatasi fase tirotoksikosis untuk tiroiditis
subakut.

Hipotiroid (3A)
A. Definisi
Keadaan yang disebabkan karena defisiensi hormon tiroid.

B. Etiologi
 Kongenital: kelainan pada mekanisme produksi hormon tiroid.
 Kurang konsumsi yodium
Yodium merupakan bahan dasar sintesis hormon tiroid.
 Penyakit autoimun: Hashimoto’s thyroiditis
Mekanisme: Terdapat autoantibodi yang menyerang reticulum endoplasma
kasar atau tiroglobulin. Lab: antibodi antitiroid peroksidase (anti-TPO) +. PA:
peningkatan inflitrasi limfosit ke dalam jaringan kelejnar tiroid yang
mengakibatkan terbentuknya inti "germina" dan sel-sel besar eosinofilik.
Hashimoto’s Thyroiditis (Orphan annie eyes)
 Penyebab iatrogenik: pengobatan hipertiroid, tindakan pembedahan.

C. Tanda dan Gejala


D. Pemeriksaan Penunjang
Lab: pengukuran kadar TSH dan FT4
E. Tatalaksana
Pemberian Levotiroksin (T4) 100-150 mcg/hari. Penambahan sebesar 12.5 - 25 mcg/hari
dilakukan setiap 2 bulan (sesuai dengan pemeriksaan kadar TSH). Penurunan dosis
sebesar 12.5 - 25 mcgg/hari juga dilakukan apabila kadar TSH menurun dibawah normal
sebagai akibat adanya penekanan produksi TSH.

Goiter (3A)
A. Definisi
Pembengkakan pada leher akibat pembesaran dari kelenjar tiroid.

B. Etiologi
 Gangguan biosintesis dan defisiensi yodium
 Penyakit autoimun: Grave’s disease, Hashimoto’s thyroiditis
 Nodul tiroid: pertumbuhan abnormal dari sel tiroid, dapat bersifat hiperplasia atau
neoplasia.
C. Klasifikasi
1. Berdasarkan pola pertumbuhan

2. Berdasarkan gejala klinis


Note: Goiter difusa non-toksik paling sering disebabkan oleh:
 Defisiensi yodium dan disebut goiter endemik apabila diderita oleh >5%
populasi. Tatalaksana: pemberian suplemen yodium.
 Pada masa remaja dan kehamilan

Adenoma Tiroid (2)


A. Definisi
Suatu pertumbuan jinak jaringan baru dari struktur kelenjar tiroid.

B. Pemeriksaan Penunjang
 Biopsi Aspirasi Jarum Halus/Fine Needle Aspiration Biopsy (BAJAH/FNAB)
 Pencitraan: USG, CT Scan atau MRI, sidik tiroid
 Penentuan status fungsi: pemeriksaan kadar TSHs dan hormon tiroid
C. Tatalaksana
 Terapi supresi dengan hormon levotiroksin
 Pembedahan
 Iodium radioaktif
 Suntikan ethanol (percutaneous ethanol injection)
 Terapi laser dengan panduan USG
 Observasi, bila yakin nodul tidak ganas

Karsinoma Tiroid (2)


A. Definisi
Suatu pertumbuan ganas jaringan baru dari struktur kelenjar tiroid.

B. Karakteristik
 Konsistensi keras dan sukar digerakkan, walaupun nodul ganas dapat mengalami
degenerasi kistik dan kemudian menjadi lunak;
 Nodul dengan konsistensi lunak lebih sering jinak;
 lnfiltrasi nodul ke jaringan sekitarnya, walaupun tidak selalu;
 20% nodul soliter bersifat ganas sedangkan nodul multipel jarang yang ganas;
 Nodul yang muncul tiba-tiba atau cepat membesar perlu dicurigai ganas.
 Nodul dicurigai ganas bila disertai dengan pembesaran kelenjar getah bening
regional atau perubahan suara menjadi serak.

C. Klasifikasi
D. Pemeriksaan Penunjang
Sama dengan adenoma tiroid
Karakteristik histopatologi tiap tipe karsinoma:
1. Karsinoma papiler
 Psammoma bodies: kalsifikasi
lamellar konsentrik
 Orphan annie eyes
 Nuclear grooves
2. Karsinoma folikular
 Folikel uniform
 Invasi vaskular/kapsula

3. Karsinoma meduler
 Sel ovoid (C cell origin)
 Amyloid pada stroma

4. Karsinoma aplasik
 Undifferentiated giant cell (osteoclast-like)
 Disertai nekrosis dan perdarahan

Kelainan Kelenjar Adrenal


Anatomi dan Fisiologi

Kelenjar adrenal (atau suprarenal) merupakan


sepasang organ yang terletak di bagian superior
dari ginjal, tertanam di dalam jaringan adiposa
perirenal.
Hormon yang dihasilkan kelenjar adrenal sesuai bagian kelenjar adrenal:
 Korteks
- Zona glomerulosa (paling luar)  mineralokortikoid (terutama aldosterone)
- Zona fasciculate (tengah)  glukokortikoid (terutama kortisol)
- Zona reticularis (paling dalam)  glukokortikoid dan androgen (terutama
DHEA)
 Medulla  katekolamin (adrenalin dan noradrenalin)
Cushing’s Disease (3B)
A. Definisi
 Cushing’s Syndrome: kumpulan gejala dan tanda klinis yang disebabkan oleh
paparan kronis dari glukokortikoid yang berlebihan akibat berbagai etiologi.
 Cushing’s Disease: Cushing’s syndrome yang disebabkan oleh adenoma pituitari
yang menyebabkan produksi glukokortikoid secara berlebihan.

B. Etiologi
1. ACTH-dependent
Dipengaruhi oleh produksi ACTH berlebih dari kelenjar pituitari.
2. ACTH-independent
Tidak dipengaruhi oleh produksi ACTH berlebih.

C. Tanda dan Gejala


Efek berlebih dari kortisol  peningkatan regulasi glukoneogenesis, lipolisis, dan
katabolisme protein.
Khas: moon face, buffalo hump, striae, hirsutism, truncal obesity, edema
D. Pemeriksaan Penunjang
 Lab:
- Overnight dexamethasone suppression test:
o Low-dose: kortisol plasma dinilai sebelum pemberian dexamethasone
oral 1 mg pukul 11 malam dan besoknya pada pukul 8 pagi.
 Normal: supresi kortisol plasma.
 Cushing’s syndrome: kortisol tetap tinggi.
o High-dose: kadar kortisol dinilai pada pagi hari. Selanjutnya diberikan
dexamethasone 8 mg pada pukul 11 malam. Besoknya pukul 8 pagi
kadar kortisol dinilai kembali. Tujuan: membedakan apakah
Cushing’s syndrome merupakan ACTH-independent atau ACTH-
dependent.
 ACTH-independent: kadar kortisol rendah  etiologi pada
kelenjar adrenal.
 ACTH-independent: kadar kortisol normal atau tinggi  etiologi
pada kelenjar pituitari atau ektopik.
- 24 jam kortisol bebas urine: menunjukkan banyaknya sekresi kortisol di urin
dalam 24 jam.
- Midnight cortisol: kadar kortisol pada malam hari normalnya paling rendah.
Pada Cushing’s syndrome tetap meningkat.
- Midnight salivary cortisol: perubahan konsentrasi kortisol di darah akan
segera diikuti oleh perubahan konsentrasi kortisol saliva. Pada orang
normal, kortisol saliva pada saat antara pukul 23.00 dan 24.00 selalu
dibawah 145 ng/dl ( 4 nmol/L ).
- Kadar ACTH:
o ACTH < 10 pg/mL  ACTH-independent
o ACTH > 15 pg/mL  ACTH-dependent
 Pencitraan: CT-Scan dan MRI untuk mengetahui adanya tumor.

E. Tatalaksana
 Disesuaikan dengan etiologi dan penyakit yang mendasari.
 Operasi pengangkatan tumor  diperlukan replacement hidrokortison.
 Jika setelah operasi relaps, maka dapat dilakukan operasi kembali, radioterapi,
dan adrenalektomi bilateral.
 Farmakologis: obat yang menghambat sintesis kortisol. Metyrapone  (dosis
awal 3x500 mg) dan ketoconazole (3x200 mg).
Krisis Adrenal (3B)
A. Definisi
Komplikasi dari insufisiensi adrenal akut, yang disebut juga krisis adrenal, atau krisis
Addison, merupakan kondisi medis gawat darurat dengan manifestasi hipotensi dan gagal
sirkulasi akut.
Klasifikasi insufisiensi adrenal:
 Primer: etiologi berasal dari kelenjar adrenal. Contoh: Addison’s disease,
operasi, penyakit kongenital.
 Sekunder: gangguan dari kelenjar pituitari. Contoh: penggunaan glukokortikoid
eksternal, tumor pituitari, operasi pituitari, trauma kepala.
 Tersier: gangguan pada hipotalamus

B. Etiologi
 Infeksi  Penyakit gastrointestinal
 Trauma  Suhu udara panas
 Kehamilan  Dehidrasi
 Operasi  Intoksikasi alcohol
 Stress emosional  Migraine berat
 Aktivitas fisik berlebihan  Kejang
 Obat: obat antiadrenal, obat  Acute myeloid leukemia
antifungal

C. Tanda dan Gejala


 Mual, muntah, nyeri perut, demam
 Penurunan kesadaran
 Hipotensi postural yang dapat memburuk menjadi syok hipovolemik
D. Pemeriksaan Penunjang
 Lab
- Hematologis: anemia normositik, limfositosis relatif, eosinophilia.
- Stimulasi adrenal dengan ACTH: pemeriksaan kortisol 60 menit setelah
pemberian cosyntropin 250 pg IM atau IV. Kadar kortisol harus melebihi 495
nmol/L (18 pg/dL).
Insufisiensi sekunder (tidak pada primer)  peningkatan aldosteron normal
[> 150 pmol/L (5 ng/dL)].
- Kadar ACTH:
o Primer: ACTH tinggi
o Sekunder: ACTH rendah
- Kadar natrium, klorida, glukosa, dan bicarbonat menurun.
- Kadar kalium dan kalsium serum meningkat.
- Gagal ginjal prerenal  peningkatan kadar kreatinin.
- TSH dapat meningkat karena hipotiroid yang terjadi bersamaan atau efek
inhibisi yang rendah pada kortisol.
 EKG: gambaran yang tidak spesifik.
 EEG: penurunan dan perlambatan gelombang yang menyeluruh.

E. Tatalaksana
 100 mg hidrokortison IV selanjutnya 100-300 mg hidrokortison IV tiap 6-8 jam
selama 2-3 hari atau hingga sembuh.
 Rehidrasi dengan NaCl 0,9% 1 L dalam 1 jam pertama lalu pantau hemodinamik.
 Koreksi hipoglikemia dan elektrolit.
 Hindari koreksi cepat dari hiponatremia untuk menghindari sindom demielinasi
osmotik.
 Pantau urine output.

Addison’s Disease (1)


A. Definisi
Insufisiensi primer dari korteks adrenal, ditandai dengan defisiensi dari glukokortikoid
dan mineralokortikoid.

B. Etiologi
Disebabkan oleh destruksi progresif dari korteks adrenal akibat autoimun, infeksi
(tuberkulosis, fungi), atau tumor.

C. Tanda dan Gejala


 Hiperpigmentasi: akibat stimulasi ACTH pada melanosit.
 Nyeri perut, mual, muntah
 Mudah lelah, lemah otot
 Penurunan berat badan
 Hipotensi postural
 Lab: hiponatremia, hiperkalemia, hiperkalsemia, hipoglikemia, peningkatan
sedikit dari TSH.
Hipogonadisme (2)
A. Definisi
Kondisi yang disebabkan karena testis atau ovarium menghasilkan sedikit atau tidak
menghasilkan hormon.

B. Klasifikasi dan Etiologi


1. Hipergonadotropik (Primer)
Disebabkan karena kelainan pada kelenjar gonad.
Etiologi:
 Sindrom Klinefelter
 Mutasi genetic
 Kemoterapi, radioterapi
 Gonadektomi
 Anorkisme, cryptorchidisme
 Gangguan biosintesis testis
 Disgenesis gonad
 Sertolli cell only syndrome
 Resistensi LH
2. Hipogonadotropik
Disebabkan karena kegagalan LHRH atau ketidakmampuan kelenjar pituitari untuk
merespon dan menghasilan LH dan FSH.
Etiologi
 Gangguan CNS: tumor dan gangguan pada pituitari atau hipotalamus.
 Genetik: sindrom Kallmann.
 Penyakit kongenita: sindrom Prader-Willi, sindrom Laurence-Moon, sindrom
Bardet-Biedl, penyakit Gaucher.
 Penyakit yang didapat: diinduksi olahraga, psikogenik, hiperprolaktinemia,
Cushing’s syndrome, HIV-AIDS, diabetes melitus.

C. Tanda dan Gejala


1. Gejala Umum
 Ada atau tidaknya abnormalitas genital saat lahir
 Pubertas yang terlambat
 Riwayat keluarga keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan
 Riwayat penyakit kronis (seringkali nyeri kepala), penurunan berat badan
2. Laki-laki
 Gangguan genital: hipospadia, mikropenis, cryptorchidism.
 Riwayat etiologi: orkitis akibat mumps, trauma, radiasi, kemoterapi, transfusi
berulang.
 Penggunaan obat: spironolactone, cyproterone, kortisol, marijuana, heroin,
methadone.

3. Perempuan
 Tanda sindrom Turner: limfedema, gangguan jantung atau ginjal, tubuh pendek.
 Postpubertal: galaktorea atau tanda kelebihan androgen, seperti jerawat atau
hirsutism.
D. Pemeriksaan Penunjang
 Lab:
- Kadar LH, FSH, testosterone, progesteron
- Evaluasi penyakit kronis: darah lengkap, LED, panel metabolik, fungsi tiroid,
urinalisis
 Pencitraan: USG, MRI
 Pemeriksaan genetik

Prolaktinemia (1)
A. Definisi
Kondisi peningkatan kadar prolaktin dalam darah.

B. Etiologi
 Fisiologis: kehamilan, laktasi, stress
 Patologis
- Penyakit hipotalamus-pituitari: adenoma, gioma, kraniofaringioma.
- Tidak disebabkan penyakit hipotalamus-pituitari: prolaktinoma (paling sering),
adenoma pituitari.
- Penyakit sistemik
- Obat
- Idiopatik

C. Tanda dan Gejala


1. Perempuan
 Oligomenore, amenore, galaktore
 Penurunan libido, infertilitas
 Penurunan massa tulang
 Tanda hiperandrogen: hirsutism, jerawat
2. Laki-Laki
 Disfungsi ereksi, penurunan libido, infertilitas
 Galaktore (jarang), ginekomastia
 Penurunan massa tulang
3. Prolaktinoma
Gejala neurologis: nyeri kepala, gangguan lapang pandang, hipopituitarisme, kejang,
rinore CSF.
D. Pemeriksaan Penunjang
 Lab: prolaktin, TSH
 Pencitraan: MRI, CT-Scan

Note:
 Infertilitas terjadi karena prolaktin mengganggu sekresi GnRH  menghambat sekresi
LH dan FSH  hipogonadisme.
 Pemeriksaan TSH dilakukan karena peningkatan TRH menyebabkan peningkatan TSH
dan prolaktin.
Defisiensi Vitamin (4A)
Vit Peran Defisiensi Catatan

A Visual, diferensiasi Buta senja, kulit kering Teratogenik


epitel (labiopalatoskisis)
Retinol

B1 Kofaktor dalam enzim Beri-beri, Wernicke- Pada manutrisi dan


metabolisme Korsakoff syndrome, akoholisme
Tiamin
polineuritis

B2 Kofaktor redoks Inflamasi bibir, scaling,


fisura (cheilosis)
Riboflavin

B3 Kofaktor redoks Glositis, pellagra, 3D Kelebian: kemerahan


(diare, dermatitis, pada wajah
Niasin
demensia)

B6 Kofaktor transaminasi Neuropati perifer Akibat isoniazid dan


kontrasepsi oral
Piridoksin

B9 Terlibat dalam sintesis Anemia makrositik Sering pada


DNA/RNA (megaloblastik) alkoholisme dan
Folat
kehamilan

B12 Terlibat dalam enzim Anemia makrositik, Tes Schilling untuk


kofaktor kelainan neurologi mengetahui defisiensi
Kobalamin
(parestesia, degenerasi)

C Penyerapan besi, Skorbut (gusi bengkak,


kofaktor mudah berdarah,
Asam
gangguan penyembuhan
askorbat
luka), imun tubuh
menurun
D Meningkatkan Rikets (anak), Kelebihan:
penyerapan kalsium osteomalasia (dewasa), hiperkalsemia,
Kalsiferol
dan fosfat tetanus, hipokalsemia hiperkalsiuria

E Antioksidan Gangguan eritrosit


(anemia hemolitik)

K Protein pembekuan Perdarahan Koagulasi, sintesis


darah (pemanjangan PT) faktor II, VIII, IX, X,
protein C, dan protein
S

Defisiensi Mineral (4A)


Dislipidemia (4A)
A. Definisi
Kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan maupun penurunan fraksi
lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid yang utama adalah kenaikan kadar kolesterol total
(Ktotal), kolesterol LDL (K-LDL), trigliserida (TG), serta penurunan kolesterol HDL (K-
HDL).

B. Klasifikasi
 Dislipidemia primer: akibat kelainan genetik.
 Dislipidemia sekunder: terjadi akibat suatu penyakit lain misalnya hipotiroidisme,
sindroma nefrotik, diabetes melitus, dan sindroma metabolik.

C. Pemeriksaan Penunjang
 Total kolesterol
 Kolesterol LDL
 Trigliserida: pasien puasa 12 jam
 Kolesterol HDL
D. Tatalaksana
1. Terapi Nonfarmakologis
a. Aktivitas Fisik
 Setidaknya 30 menit dengan intensitas sedang (4 sampai 6 kali seminggu).
 Kegiatan yang disarankan meliputi jalan cepat, bersepeda statis, ataupaun
berenang.
b. Nutrisi
 Diet rendah kalori yang terdiri dari buah-buahan dan sayuran (≥ 5 porsi /
hari), biji-bijian (≥ 6 porsi / hari), ikan, dan daging tanpa lemak.
 Asupan lemak jenuh, lemak trans, dan kolesterol harus dibatasi.
 Makronutrien yang menurunkan kadar LDL-C harus mencakup tanaman
stanol/sterol (2 g/ hari) dan serat larut air (10-25 g /hari).
c. Berhenti Merokok

2. Terapi Farmakologis
a. Statin: mengurangi pembentukan kolesterol di liver dengan menghambat secara
kompetitif kerja dari enzim HMG-CoA reduktase. Obat utama pencegahan risiko
kardiovaskuler.
b. Asam Fibrat: gemfibrozil, bezafibrat, ciprofibrat, dan fenofibrat. Obat ini
menurunkan trigliserid plasma, selain menurunkan sintesis trigliserid di hati.
c. Asam nikotinik: menghambat enzim hormone sensitive lipase di jaringan
adiposa.
d. Ezetimibe: menghambat absorbsi kolesterol oleh usus halus.
3. Klasifikasi Kelompok Risiko dan Pilihan Terapi
a. Alur Satu
Faktor Risiko:
 Perokok
 Hipertensi (TD >140/90 atau sedang mendapat terapi antihipertensi)
 Kolesterol HDL-C <40 mg/dl
 Riwayat keluarga adanya PJK dini (pria <55 tahun, wanita <65 tahun)
 Usia (pria <45 tahun, perempuan >55 tahun)
Jika didapatkan masalah berupa PJK/setara PJK  risiko tinggi
Jika faktor risiko multipel, terutama diabetes  risiko sangat tinggi.

Kelompok Risiko Pemberian Statin Target K-LDL

Sangat Tinggi Segera <70 mg/dL

Tinggi K-LDL >130 mg/dL <100 mg/dL

> 2 faktor risiko K-LDL >130 mg/dL <130 mg/dL

2 faktor risiko K-LDL >160 mg/dL <130 mg/dL

0-1 faktor risiko K-LDL >190 mg/dL <160 mg/dL

a. Alur Dua
Identifikasi adanya bukti klinis ASCVD: sindroma koroner akut, riwayat infark
miokard, angina stabil maupun angina unstabil, riwayat revaskularisasi koroner,
stroke atau penyakit arteri perifer.
Kelompok Kategori Jenis Statin
>1 bukti klinis ASCVD <75 tahun Intensitas tinggi
>75 tahun Intensitas sedang

Bukti klinis ASCVD (-)


K-LDL ≥ 190 mg/dl Intensitas tinggi
K-LDL 70-189 mg/dl + Perhitungan skor risiko
diabetes ASCVD:
<7,5% Intensitas sedang
>7,5% Intensitas tinggi

K-LDL 70-189 mg/dl, Perhitungan skor risiko


diabetes (-), usia 40-75 ASCVD:
tahun <7,5%: Diberikan pada
pertimbangan tertentu 
K-LDL ≥ 160 mg/dl atau
hiperlipidemia secara
genetik, riwayat
keluarga dengan
ASCVD dini

>7,5% Intensitas sedang

E. Evaluasi
 Pemantauan pertama dilakukan 6 minggu setelah awal pengelolaan.
 Hal-hal yang dipantau: LDL dan kemungkinan adanya komplikasi (peningkatan
AST/ALT dan Creatinine Phospokinase (CPK).
 Apabila target LDL belum tercapai pemantauan selanjutnya dapat dilakukan setiap 6
bulan sampai target tercapai.
 Jika target LDL telah tercapai, dapat dilakukan pemantauan dengan interval 6-12
bulan.

Skor risiko Firmingham:


F. Resep
R/ Simvastatin 20 mg tab No. X
S 1 dd tab I o.n.
Atau
R/ Atorvastatin 10 mg tab No. X
S 1 dd tab I o.n.
Porfiria (1)
A. Definisi
Sindrom, seringkali herediter, yang menyebabkan defek pada porfirin (enzim yang terlibat
dalam sintesis heme). Dapat bersifat akut maupun kronis.

B. Patofisiologi
 Mutasi  akumulasi dan peningkatan ekskresi porfirin dan prekusornya.
 Jika defek enzim terjadi pada mekanisme awal metabolisme  akumulasi
aminolevulinic acid (ALA) dan porphobilinogen (PBG)  disfungsi neurologis dan
nyeri.
 Jika defek enzim terjadi pada mekanisme akhir metabolisme  akumulasi porfirin
 lesi kulit yang diinduksi oleh sinar matahari (fotosensitivitas).

C. Tanda dan Gejala


1. Gejala Akut:
 Nyeri perut
 Otot lemas
 Defisit neurologis fokal (contoh: tetraparesis)
 Nyeri ekstremitas
 Gejala psikiatri (contoh: psikosis, ansietas)
 Urine berwarna merah atau gelap
2. Gejala Kronis: manifestasi kulit akibat fotosensitivitas. Bisa terjadi blister pada
porphyria cutanea tarda.

D. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan urin: terdapat peningkatan PBG dan ALA pada fase akut.
 Porfiria perkutan: kadar porfirin plasma.
 Aktivitas erythrocyte uroporphyrinogen decarboxylase  diagnosis untuk porphyria
cutanea tarda.

Hiperurisemia (4A)
A. Definisi
Peningkatan kadar asam urat darah di atas normal. Merupakan mekanisme yang mendasari
terjadinya gout. Batas hiperurisemia:
 Laki-laki: 7 mg/dL
 Perempuan: 6 mg/dL

B. Klasifikasi
1. Primer
Terjadi karena adanya kelainan molekular dan kelainan enzim spesifik. Bisa terjadi
karena dua mekanisme:
 Underexcretion (80-90%): faktor genetik  gangguan pengeluaran asam urat.
Kemungkinan karena gangguan sekresi asam urat dari tubulus ginjal.
 Overproduction (10-20%): gangguan pada enzim untuk metabolisme purin
yang menghasilkan asam urat.
2. Sekunder: disebabkan oleh penyakit lain.
3. Idiopatik
C. Tanda dan Gejala
Tanda-tanda anemia atau phletora, pembesaran organ limfoid, keadaan karidovaskular dan
tekanan darah, keadaan tana kelainan ginjal, kelainan sendi (gout).

D. Pemeriksaan Penunjang
 Darah: asam urat, kreatinin
 Urin: asam urat dan kreatinin urat 24 jam
 Jika sudah terdapat gout:
- Analisis cairan sendi: kristal monosodium urat, kondisi inflamasi (leukosit
meningkat, predominan neutrofil, kultur negatif)
- Radiologi
E. Tatalaksana
1. Farmakologis
a. Fase Akut
Pengobatan gout untuk mengatasi nyeri sendi dan peradangan.
 Kolkisin 0,5-0,6 mg setiap 2 jam maksimal 6-8 mg. profilaksis: 2x0,5mg.
 NSAID: indometasin 150-200mg/hari selama 2-3 hari selanjtnya 75-100
mg/hari.
 Kortikosteroid: oral atau parenteral jika kontraindikasi NSAID. Prednison 20-
40 mg/hari atau setara selama 3-4 hari.
b. Menjaga Kadar Asam Urat
Tidak diberikan saat serangan akut, kecuali pasien sudah rutin minum obat.
 Penghambat xanthine oxidase: allopurinol. Dosis maksimal 800mg/hari.
 Obat urikosurik: probenesid  pastikan fungsi ginjal baik. Dosis awal
0,5g/hari.
2. Nonfarmakologis
 Penurunan berat badan
 Pengaturan diet rendah purin: hindari daging merah, bayam, alkohol
 Olahraga ringan
 Hindari obat-obatan yang mengakibatkan terjadinya hiperurisemia: loop diuretic,
tiazid, salisilat dosis rendah, siklosporin, niasin, etambutol, pirazinamid.

F. Resep
R/ Allopurinol 100 mg tab No. X
S 1 dd tab I
R/ Kolkisin 0,5 mg tab No. XX
S 2 dd tab I

Obesitas (4A)
A. Definisi
Keadaan dengan akumulasi lemak yang tidak normal atau berlebihan di jaringan adiposa.
B. Klasifikasi
1. WHO

2. Asia Pasifik

C. Tatalaksana
1. Penurunan Berat Badan
 Batas yang masuk akal untuk penurunan berat badan: 8-10% dalam 6 bulan.
 BMI 27-25, penurunan kalori hingga 500 kcal/hari menyebabkan penurunan
berat badan 0,5-1kg/minggu
2. Terapi Diet
 Defisit kalori 500-750 kcal/hari dari total kalori pasien biasanya.
 Pengurangan lemak jenuh, total lemak < 30% dari total kalori.
 Banyak makan makanan yang mengandung whole grain, buah, sayur, dan serat.
 Kurangi natrium <2.300/hari.
 Konsumsi produk mengandung susu yang bebas lemak atau rendah lemak.
 Gula tambahan dan lemak jenuh <10% total kalori per hari.
3. Aktivitas Fisik
150 menit aktivitas aerob moderate atau 75 menit aktivitas berat dalam seminggu,
minimal 10 menit tiap episode.
4. Terapi Perilaku
Cognitive behavioural therapy, manajemen stress, pemecahan masalah, dukungan
sosial.
5. Farmakologi:
 Dipertimbangkan pada pasien dengan BMI > 30 atau > 27 dengan komorbid yang
tidak berhasil dengan terapi diet dan aktivitas fisik.
 Sibutramine dan orlistat
6. Pembedahan:
 Pasien dengan BMI >40 atau >35 dengan kondisi komorbid.
 Alternatif terakhir untuk pasien yang gagal dengan farmakoterapi.
 Teknik: bypass gastric
Sindrom Metabolik (3B)
A. Definisi
Sindrom metabolik adalah kelompok kondisi yang meningkatkan faktor risiko terjadinya
penyakit kardiovaskular: diabetes dan peningkatan glukosa darah puasa, obesitas sentral,
kolesterol tinggi, dan tekanan darah tinggi.

B. Kriteria
Kriteria sindrom metabolik berdasarkan IDF:
C. Tatalaksana
Terdiri dari 2 pilar: tatalaksana penyebab dan tatalaksana faktor risiko lipid dan non lipid.
Penatalaksanaan tetap diawali dengan pengaturan diet dan aktifitas fisik.
1. Obesitas
 Target penurunan berat badan 5-10% dalam tempo 6-12 bulan, dapat dicapai
dengan mengurangi asupan kalori sebesar 500-1000 kalori per hari.
 Aktifitas fisik yang disarankan: selama 30 menit atau lebih setiap hari.
 Dua obat yang dapat digunakan: sibutramin dan orlistat.
2. Hipertensi
 Bila modifikasi gaya hidup tidak berhasil  terapi farmakologis.
 Disarankan ACE inhibitor. Bila tidak toleran dapat diganti denga ARB.
3. Gangguan Toleransi Glukosa
Direkomendasikan: tiazolidindion dan metformin.
4. Dislipidemia
 Sesuai tatalaksana dislipidemia.
 Pada konsentrasi trigliserida + 200 mg/dl, maka target terapi adalah non
kolesterol HDL setelah kolesterol LDL terkoreksi.
 Gemfibrozil  memperbaiki profil lipid + dapat menurunkan risiko
kardiovaskular.
 Fenofibrat secara khusus digunakan untuk menurunkan trigliserida,
meningkatkan kolesterol HDL, dan menurunkan konsentrasi fibrinogen.
 Kombinasi fenofibrat dan statin memperbaiki konsentrasi trigliserida, kolesterol
HDL dan LDL.
DAFTAR PUSTAKA

1. Mescher AL. Junqueira's basic histology: text and atlas. McGraw-Hill Education; 2018.
2. Jameson JL. Harrison's principles of internal medicine 20th ed. McGraw-Hill Education; 2018.
3. Murphy R, O'Neill R. Crash Course Endocrinology E-Book. Elsevier Health Sciences; 2012 Jul 30.
4. Appleton A, Vanbergen O. Crash Course: Metabolism and Nutrition E-Book. Elsevier Health Sciences;
2012 Aug 21.
5. Purnamasari D. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi Ke-6. Jakarta: Papdi. 2014.
6. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Kapita selekta kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.
2014:329-0.
7. Perkeni. Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia (The Consensus
of Control and Prevention of Type 2 Diabetes Mellitus). Jakarta: Perkeni (Indonesian Society of
Endocrinology). 2015.
8. Perkeni. Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia (The Consensus
of Control and Prevention of Type 2 Diabetes Mellitus). Jakarta: Perkeni (Indonesian Society of
Endocrinology). 2015.
9. Bello MO, Garla VV. Gigantism And Acromegaly. 2019
10. Elshimy G, Alghoula F, Jeong JM. Adrenal crisis. 2019
IPD –
PULMONOLOGI
Asma Bonkial (4A)
A. Definisi
Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran napas yang
menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang ditandai dengan
gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak napas, dan rasa berat di dada terutama
pada malam dan atau dini hari yang umumnya bersifat reversibel baik dengan atau tanpa
pengobatan.

B. Faktor Risiko

C. Tanda dan Gejala


1. Anamnesis
 Mengi, batuk, sesak napas, dan rasa berat di dada yang fluktuatif (hilang timbul)
 Riwayat rhinitis alergi atau eksim
2. Pemeriksaan Fisik
 Nafas cepat (pursed lip breathing), gerakan otot pernapasan tambahan.
 Auskultasi: ekspirasi memanjang, wheezing saat ekspirasi, wheezing dapat tidak
terdengar saat eksaserbasi berat (silent chest)
3. Pemeriksaan Penunjang
 Spirometer: pemeriksaan fungsi paru untuk menilai hambatan aliran udara.
 Peak Expiratory Flow (PEF): pemeriksan arus puncak respirasi.
 Uji reversibiltas dengan bronkodilator.
 Skin Prick Test: menilai ada tidaknya alergi.
 Rontgen toraks: menyingkirkan penyakit lain.

D. Diagnosis
1. Riwayat Gejala Pernapasan yang Bervariasi
 Biasanya lebih dari 1 gejala
 Gejala terjadi bervariasi dari waktu ke waktu dan intensitasnya
 Gejala memberat pada malam hari atau saat bangun di pagi hari
 Gejala terjadi atau memberat dengan infeksi virus.
2. Bukti Limitasi Aliran Napas Ekspirasi yang Bervariasi
 Minimal 1x didapatkan FEV1/FVC di bawah normal.
 Variasi pada fungsi paru lebih besar dari populasi normal:
- FEV1 meningkat >200 mL dan >12% nilai dasar setelah pemberian
bronkodilator  uji reversibilitas bronkodilator signifikan.
- Variabilitas PEF harian >10%
- FEV1 meningkat >12% dan 200 mL nilai dasar setelah 4 minggu pemberian
NSAID.
Note:
FEV1: jumlah udara yang dikeluarkan maksimal dalam 1 detik.
FVC: total udara yang dikeluarkan selama pemeriksaan.
E. Klasifikasi
Asma saat tanpa serangan dapat diklasifikasikan menjadi intermitten, persisten ringan,
persisten sedang, dan persisten berat.
F. Tatalaksana
1. Serangan Akut
Pada serangan asma obat-obat yang digunakan adalah:
 Bronkodilator (β2 agonis kerja cepat (SABA) dan ipratropium bromida)
 Kortikosteroid sistemik
2. Jangka Panjang
 Reliever (Obat Pelega): obat saat serangan asma.
 Controller (Obat Pengontrol):
- Inhalasi kortikosteroid (ICS) - Antileukotrien
- β2 agonis kerja panjang - Teofilin lepas lambat
3. Nonfarmakologis
 Berhenti merokok dan hindari paparan rokok
 Aktivitas fisik: senam asma
 Hindari paparan allergen
Memulai pengobatan asma:
 Sebagian besar pasien diawali dengan Step 2: ICS dosis rendah, atau ICS-formoterol
dosis rendah saat dibutuhkan (jika tidak tersedia, ICS dosis rendah tiap SABA
digunakan).
 Diawali Step 3  jika pada pemeriksaan awal, pasien memiliki gejala asma yang
mengganggu hampir setiap hari, atau terbangun karena asma >1 kali/minggu. Diberikan
ICS-LABA (β2 agonis kerja panjang) dosis rendah atau ICS dosis sedang.
 Diawali Step 4  pasien memiliki asma berat yang tidak terkontrol atau datang saat
serangan akut. Diberikan ICS-LABA dosis sedang dan kortikosteroid oral jangka
pendek.
 Step 1 direkomendasikan untuk:
- Pasien dengan gejala < 2 kali/bulan dan tidak ada faktor risiko eksaserbasi.
- Step down untuk pasien Step 2 yang sudah terkontrol.
G. Evaluasi
 Nilai kembali kondisi pasien setelah 2-3 bulan.
 Pertimbangkan step down atau step up setelah menilai kembali kondisi pasien dalam
3 bulan.
 Step up jangka pendek (1-2 minggu) jika mengalami infeksi virus atau paparan
allergen.

Tingkat keparahan asma berdasarkan step pengobatan:


 Ringan: terkontrol dengan step 1-2
 Sedang: terkontrol dengan step 3
 Berat: terkontrol dengan step 4-5
H. Resep
R/ Ventolin Inhaler No. I  SABA
S prn puff 1-2 (jika sesak)
R/ Budesonide Inhaler No.I  ICS
S 2 dd puff 2
R/ Symbicort Inhaler No. I  kandungan budesonide (ICS) + formoterol (LABA)
S 2 dd puff 2

Serangan Asma Berat (3B)


A. Definisi
 Serangan asma: episode yang ditandai dengan peningkatan gejala secara progresif
dan penurunan progresif fungsi paru.
 Status asmatikus (serangan asma berat): serangan asma akut yang tidak respon
terhadap tatalaksana awal dengan bronkodilator.

B. Klasifikasi dan Tatalaksana


 Nilai derajat beratnya serangan asma bersamaan dengan pemberian SABA dan
oksigen.
 Pertimbangkan penyebab lain dari sesak nafas.
 Pertimbangkan untuk rujuk apabila terdapat serangan asma berat  kesadaran
menurun, silent chest.
 Tatalaksana berdasarkan derajat serangan:
- Ringan: inhalasi SABA, dapat dikombinasikan dengan teofilin/aminofilin oral.
Kortikosteroid oral dapat diberikan dalam waktu singkat 3-5 hari apabila terdapat
riwayat serangan berat sebelumnnya.
- Sedang: inhalasi SABA dan kortikosteroid oral. Dapat ditambahkan ipratropium
bromida inhalasi dan aminofilin IV.
- Berat: diberikan oksigen, cairan IV, inhalasi SABA + ipratropium bromida,
kortikosteroid IV, dan aminofilin IV. Langsung rujuk ICU

Evaluasi:
 Tingkatkan dosis controller selama 2-4 mingggu untuk mengurangi risiko serangan asma
berikutnya. Reliever diberikan jika dibutuhkan.
 Pasien diperiksa kembali dalam 2-7 hari setelah serangan asma.
Bronkitis Akut (4A)
A. Definisi
Inflamasi dari saluran pernapasan besar (bronkus) dari paru.

B. Etiologi
 Infeksi: terutama virus (paling sering, bersifat self-limiting), bakteri (jarang)
 Alergen, iritan (asap rokok, polusi udara, debu)

C. Tanda dan Gejala


 Batuk produktif: seringkali jernih atau berwarna kekuningan, biasanya bertahan 10-
20 hari dan dapat mencapai 4 minggu.
 Lemah badan, sesak nafas, mengi
 Gejala prodromal infeksi saluran nafas akut: rinore, nyeri tenggorokan, demam tidak
terlalu tinggi.
 Pemeriksaan fisik: dapat terjadi mengi, takikardia dapat terjadi karena demam atau
dehidrasi akibat infeksi virus.

D. Pemeriksaan Penunjang
 Tanda-tanda vital: nadi, suhu, respirasi, saturasi oksigen  jika normal tidak perlu
pemeriksaan penunjang lanjutan.
 Rontgen thorax: tidak spesifik dan biasanya normal. Diperiksa jika: nadi
>100/menit, respirasi >24/menit, suhu 38°C.
 Darah lengkap  jika demam. Leukosit bisa meningkat, bisa terdapat tanda
dehidrasi.

E. Tatalaksana
 Biasanya bersifat self-limiting dan hanya simtomatik dan suportif.
 Antitusif: dextromethorphan, kodein, guaiafenesin.
 Jika terdapat mengi  β-agonis
 Analgesik dan antipiretik
 Prednisone atau steroid lain jangka pendek  pada pasien dengan penyakit penyerta
seperti PPOK atau asma.
 Penggunaan rutin antibiotik tidak disarankan.
 Perubahan gaya hidup: berhenti merokok, hindari alergen dan polutan.
 Vaksin flu dan pneumonia terutama direkomendasikan pada kelompok usia >65
tahun, anak <2 tahun, wanita hamil.

F. Resep
R/ Guaiafenesin 100 mg tab No. X
S 3 dd tab I
R/ Paracetamol 500 mg tab No. X
S 3 dd tab I

Bronkiektasis (3A)
A. Definisi
Dilatasi bronkus yang bersifat abnormal dan permanen.

B. Etiologi
 Bronkiektasis fokal: obstruksi jalur napas
- Ekstrinsik: kompresi akibat limfadenopati atau massa tumor.
- Intrinsik: tumor saluran napas, benda asing, scarring saluran napas, atresia
kongeital.
 Bronkiektasis difus: penyakit sistemik atau infeksi.
C. Tanda dan Gejala
 Batuk produktif dengan sputum mukoid, mukopurulen, kental, atau campuran
ketiganya (sputum tiga lapis). Bisa juga batuk berdarah.
 Sesak, mengi, demam, nyeri ada pleuritik.
 Riwayat keluhan yang kronik.
 Pemeriksaan fisik: crackles dan wheezing saat auskultasi, bisa didapatkan clubbing
jari-jari.

D. Pemeriksaan Penunjang
 Rontgen toraks: gambaran seperti jalur tram, cincin lusen (honey comb appearance),
garis paralel, dan struktur tublular.

 CT Scan toraks: gold standard. Menggambarkan dilatasi saluran napas.


 Pemeriksaan sputum, kultur sputum, pewarnaan: dapat ditemukan neutrofilia dan
kolonisasi., bisa dilakukan tes resistensi
 Fungsi paru: obstruksi saluran napas ringan hingga sedang.
E. Tatalaksana
Farmakologis
1. Antibiotik
 Eksaserbasi Akut
Antibiotik empiris 10-14 hari  pada perburukan keadaan umum mendadak:
batuk bertabah, volume sputum meningkat, sesak, batuk berdarah.
 Jangka Panjang
Indikasi antibiotik jangka panjang: keluhan sangat berat dan sering (eksaserbasi
akut >3x/tahun)
2. Bronkodilator
3. Mukolitik
4. Rehabilitasi: posisi tidur, cara mengeluarkan dahak

Nonfarmakologis
Bedah: jika reseksi pada region paru local atau embolisasi pada lesi luas.

Displasia Bronkopulmonal (1)


A. Definisi
Penyakit paru kronis pada bayi prematur. Alveoli menjadi lebih tebal  lebih sulit untuk
pertukaran udara

B. Etiologi
1. Faktor Risiko Prenatal
 Kurangnya pemberian steroid  Hipoksia
antenatal  Infesi maternal
 Ibu perokok  Genetik
 Hipertensi dalam kehamilan  Kelainan kongenital
2. Faktor Risiko Postnatal
 Paru yang belum matang
 Nutrisi yang buruk
 Penggunaan ventilasi mekanik
 Injury akibat oksigen
 Infeksi atau sepsis

C. Tanda dan Gejala


 Takipneu
 Tanda distress pernapasan: retraksi, ronki, peningkatan otot bantu pernapasan

Kanker Paru (2)


A. Definisi
Pertumbuhan keganasan pada paru

B. Klasifikasi
 Karsinoma  keganasan paru yang berasal dari epitel. Dibagi menjadi:
- Small cell lung cancer (SCLC)  prognosis buruk dan lebih sering metastasis
- Non small cell lung cancer (NSCLC)
 Metastasis dari kanker lainnya.

C. Faktor Risiko
Merokok, paparan terhadap berbagai agen tertentu.

D. Tanda dan Gejala


 Batuk, sesak, mengi, stridor, hemoptisis, nyeri dada, efusi pleura
 Penurunan berat badan dan nafsu makan, lemas, demam
 Tanda metastasis: limfadenopati, nyeri tulang, nyeri punggung, hepatomegaly, nyeri
kepala, kelemahan ekstremitas, defisit neurologis, perubahan kesadaran.

E. Pemeriksaan Penunjang
 Rontgen toraks: menilai karakteristik parenkim tumor, mendeteksi ateletaksis atau
efusi pleura. Gambaran khas metastasis: nodul multipel berbagai ukuran menyerupai
koin (coin lesion).
 CT Scan atau MRI: menentukan stadium dan metastasis.
 PET-Scan: menilai metastasis jauh.
 Pemeriksaan histopatologi.
Coin Lesion
Pneumonia (4A)
A. Definisi
Infeksi dari parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolous
respiratorius dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan
pertukaran gas.

B. Klasifikasi
1. Community Acquired Pneumonia
Pasien yang sakit di RS atau <48 jam setelah masuk RS.
2. Hospital Acquired Pneumonia
Terjadi >48 jam setelah dirawat di RS tanpa intubasi.
3. Ventilator Associated Pneumonia
Terjadi >48 jam setelah intubasi endotrakeal atau ventilasi mekanik.
4. Health Care Associated Pneumonia
Terjadi di luar RS namun terdapat kontak dengan sistem perawatan kesehatan.
 Terapi IV 30 hari sebelumnya
 Tinggal di fasilitas kesehatan jangka panjang
 Dirawat di RS 90 hari sebelunya
 Pasien rawat jalan atau hemodialisis 30 hari sebelumnya

C. Etiologi
D. Tanda dan Gejala
 Trias: batuk, sesak napas, demam tinggi.
 Bisa disertai nyeri dada jika melibatkan pleura.
 Gejala GI: mual, muntah, diare.
 Lemah badan, nyeri kepala, myalgia, arthralgia.
 Pemeriksaan Fisik:
- Peningkatan laju pernapasan, penggunaan otot bantu pernapasan.
- Palpasi: penurunan (cairan) atau peningkatan (konsolidasi) taktil fremitus
- Perkusi: dull hingga flat
- Auskultasi: ronki, suara napas bronkial, bisa terdapat pleural friction rub

E. Pemeriksaan Penunjang
 Lab: leukositosis (infeksi bakteri), leukosit normal atau menurun (infeksi virus), LED
meningkat, periksa GDS, ureum, kreatinin, SGOT, SGPT, AGD
 Rontgen toraks: konsolidasi (terutama pneumonia lobaris) atau bercak infiltrat
Lobar Pneumonia Bronchopneumonia

 Mikrobiologi
Pewarnaan gram sputum, kultur sputum, kultur darah, uji resistensi, PCR

F. Tatalaksana
1. Indikasi Rawat Jalan dan Rawat Inap
2. Antibiotik
a. CAP
b. VAP
G. Resep
Untuk kasus CAP rawat jalan:
R/ Clarithromycin 500 mg tab No. X
S 2 dd tab I
R/ Paracetamol 500 mg tab No. XV
S 3 dd tab I prn demam
R/ Ambroxol 30 mg tab No. XV
S 3 dd tab I

Pneumonia Aspirasi (3B)


A. Definisi
Infeksi paru yang disebabkan adanya cairan abnormal yang masuk ke dalam paru.

B. Faktor Risiko
 Penurunan kesadaran, gangguan neurologis, gangguan motilitas esofagus, obstruksi
lambung, prosedur medis yang dilakukan pada saluran napas.
 Bakteri terutama basil gram negatif dan bakteri anaerob.

C. Tanda dan Gejala


 Sesak napas tiba-tiba, demam, hipoksemia
 Pemeriksaan fisik: ronki

D. Pemeriksaan Penunjang
 Lab: AGD  menentukan pH dan oksigenasi
 Rontgen toraks: infiltrat. Letak tergantung pada posisi saat aspirasi terjadi:
- Lobus bawah  posisi tegak
- Lobus atas  posisi berbaring
 Bronchoscopy: jika tersedak makanan
E. Tatalaksana
 Perhatikan posisi pasien  head up 45°.
 Lakukan suction dan pemasangan NGT.
 Pemberian oksigen, intubasi jika diperlukan.
 Bronchoscopy fleksibel diindikasikan jika aspirasi dalam jumlah banyak untuk
membersihkan sekret dan pengambilan sampel.
 Antibiotik:
- Community acquired aspiration pneumonia: ampicillin sulbactam, clindamycin
jika alergi.
- Hospital acquired aspiration pneumonia: kombinasi vancomycin dan
piperacillin-tazobactam.

Tuberkulosis Paru (4A)


A. Definisi
Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium
tuberculosis. Definisi kasus TB terdiri dari dua:
 Pasien TB yang terkonfirmasi bakteriologis
 Pasien TB terdiagnosis secara klinis
B. Klasifikasi
1. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit:
a. Tuberkulosis paru: berlokasi pada parenkim (jaringan) paru. Pasien yang
menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB ekstra paru, diklasifikasikan
sebagai pasien TB paru.
b. Tuberkulosis ekstraparu: terjadi pada organ selain paru.
2. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:
a. Pasien baru TB: belum pernah mendapatkan pengobatan TB sebelumnya atau
sudah pernah menelan OAT ˂ dari 28 dosis.
b. Pasien yang pernah diobati TB: sebelumnya pernah menelan OAT selama 1
bulan atau ≥ dari 28 dosis. Selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil
pengobatan TB terakhir:
 Pasien kambuh: pernah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap dan
saat ini didiagnosis TB.
 Pasien yang diobati kembali setelah gagal: pernah diobati dan dinyatakan
gagal pada pengobatan terakhir.
 Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up):
pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up.
 Lain-lain: pernah diobati namun hasil akhir pengobatan sebelumnya tidak
diketahui.
c. Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
3. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
a. Monoresistan (TB MR): terhadap satu jenis OAT lini pertama saja.

b. Poliresistan (TB PR): terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain
Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan.

c. Multi drug resistan (TB MDR): terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R)
secara bersamaan, dengan atau tanpa diikuti resitan OAT lini pertama lainnya.
d. Extensive drug resistan (TB XDR): TB MDR yang sekaligus juga terhadap
salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini
kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin).

e. Resistan Rifampisin (TB RR): terhadap Rifampisin dengan atau tanpa


resistensi terhadap OAT lain.

4. Klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV


a. Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TB/HIV)
b. Pasien TB dengan HIV negatif:
c. Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui:

C. Tanda dan Gejala


 Batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih. Dapat diikuti dengan gejala tambahan
yaitu dahak bercampur darah.
 Sesak nafas
 Badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise
 Berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik
 Demam meriang lebih dari satu bulan
 Pemeriksaan fisik: suara napas bronkial, suara napas melemah, ronki, amforik

D. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Bakteriologi
a. Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
Untuk menegakkan diagnosis dan keberhasilan pengobatan. 2 sampel uji dahak:
 S (Sewaktu): dahak ditampung di fasyankes.

 P (Pagi): dahak ditampung pada pagi segera setelah bangun tidur.

b. Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM) TB  untuk penegakan diagnosis.


c. Pemeriksaan Biakan: dengan media padat (Lowenstein-Jensen) dan media cair
(Mycobacteria Growth Indicator Tube).

2. Pemeriksaan foto toraks

 TB aktif:

- TB primer: Ghon focus, limfadenopati perihilar

- Infiltrat, kavitas, efusi pleura

TB Primer Infiltrat Kavitas

 TB tenang: fibrotik, kalsifikasi, schwarte (penebalan pleura)

 Destroyed lung: atelektasis, bronkiektasis, fibrosis, multikavitas

TB Milier

3. Pemeriksaan uji kepekaan obat


E. Tatalaksana
1. Tahap Pengobatan
a. Tahap Awal: Pengobatan diberikan setiap hari, harus diberikan selama 2 bulan.
b. Tahap Lanjutan: membunuh sisa sisa kuman yang masih ada dalam tubuh dan
mencegah terjadinya kekambuhan.
2. Jenis OAT
1. OAT Lini Pertama

Paduan yang digunakan adalah:


1. Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3 atau 2(HRZE)/4(HR).

2. Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 atau 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)E.


2. OAT Lini Kedua
3. Paduan OAT
a. OAT Lini Pertama
Dapat diberikan dengan dosis harian maupun dosis intermiten (diberikan 3 kali
perminggu).

b. OAT Lini Kedua


Diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati sebelumnya
(pengobatan ulang) yaitu:
 Pasien kambuh.
 Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya.
 Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up).
4. Pemantauan Pengobatan
Pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis (sewaktu dan pagi).

Jika pasien tidak konversi atau pasien gagal  lakukan pemeriksaan dengan tes cepat
molekuler TB, apabila hasilnya resisten  rujuk ke RS rujukan MDR dan lakukan
pemeriksaan biakan dan uji kepekaan.

5. Hasil Pengobatan
F. Resep
R/ Rifampicin 450 mg tab No. XXX
S 1 dd tab I
R/ Isoniazid 300 mg tab No. XXX
S 1 dd tab I
R/ Pirazinamid 500 mg tab No. XC
S 1 dd tab III
R/ Ethambutol 250 mg tab No. XC
S I dd tab III

TB dengan HIV (3A)


 Pasien TB dengan HIV positif diberikan OAT dan ARV dengan mendahulukan
pengobatan TB.
 Pengobatan ARV sebaiknya dimulai segera dalam waktu 2- 8 minggu pertama setelah
dimulainya pengobatan TB dan dapat ditoleransi baik .
 Bila pasien sedang dalam pengobatan ARV, sebaiknya pengobatan TB tidak dimulai di
fasilitas pelayanan kesehatan dasar (strata I), rujuk pasien tersebut ke RS rujukan
pengobatan ARV.

Multi Drug Resistant Tuberculosis (2)


A. Terduga Resisten Obat (TB-RO)
1. Gagal pengobatan kategori 2.

2. Pengobatan kategori 2 yang tidak konversi setelah 3 bulan pengobatan.

3. Riwayat pengobatan TB yang tidak standar serta menggunakan kuinolon dan obat
injeksi lini kedua paling sedikit selama 1 bulan.

4. Gagal pengobatan kategori 1.

5. Pengobatan kategori 1 yang tidak konversi setelah 2 bulan pengobatan.

6. Kasus kambuh (relaps), dengan pengobatan OAT kategori 1 dan kategori 2.

7. Kembali setelah loss to follow-up (lalai berobat/default).

8. Riwayat kontak erat dengan pasien TB- RO.

9. Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak respons terhadap pemberian OAT.


B. Pemeriksaan Penunjang
Uji kepekaan M. Tuberculosis: metode tes cepat molekuler TB dan metode konvensional
(Lowenstein Jensen) dan MGIT.

C. Tatalaksana

 Pengobatan dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap awal dan tahap lanjutan.
 Tahap awal:
- Menggunakan obat suntikan (kanamisin atau kapreomisin) minimal selama 6
bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan.
- Jumlah obat oral yang diberikan dan ditelan minimal 168 dosis dan suntikan
minimal 120 dosis.
 Tahap lanjutan:
- Tahap pengobatan setelah selesai pengobatan tahap awal dan pemberian suntikan
dihentikan.
- Obat per oral ditelan selama 6 (enam) hari dalam seminggu
 Lama pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan paling sedikit 18 bulan setelah terjadi
konversi biakan.
Note: 1 bulan = 4 minggu = 28 hari.

Efusi Pleura (2)


A. Definisi
Terdapat cairan berlebih di dalam rongga pleura.
B. Klasifikasi
 Transudatif
- Konsentrasi protein dan molekul besar lainnya rendah.
- Disebabkan faktor sistemik: gagal jantung ventrikel kiri, sirosis, sindrom
nefrotik, hidronefrosis.
 Eksudatif
- Kandungan protein lebih tinggi.
- Penyebab utama: pneumonia bakteri, keganasan, infeksi virus, emboli paru.

C. Tanda dan Gejala


 Inspeksi: pergerakan dada tidak simetris
 Perkusi: redup, fremitus menghilang, suara napas melemah, trakea terdorong
kontralateral.

D. Pemeriksaan Penunjang
1. Rontgen Toraks
Sudut kostofrenikus tumpul,
perselubungan homogen radioopak
dengan permukaan atas cekung
(Meniscus sign +), jantung dan trakea
terdorong menjauhi sisi yang terkena
efusi.

2. USG Toraks
3. Pungsi Pleura
Analisis cairan pleura  tipe eksudat jika memenuhi 1 kriteria:
 Protein cairan pleura/serum protein >0,5
 LDH cairan pleura/LDH serum >0,6
 LDH cairan pleura >200 IU atau 2/3 batas atas nilai normal dalam serum

E. Tatalaksana
Torakosentesis dan memperbaiki penyakit yang mendasari.

Atelektasis (2)
A. Definisi
Kolapsnya sebagian atau seluruh bagian paru sehingga menyebabkan gangguan pertukaran
udara.

B. Etiologi
1. Non-obstruktif:
 Kompresi akibat peningkatan tekanan terhadap paru.
 Adesi akibat defisiensi atau disfungsi surfaktan.
 Pembentukan jaringan parut di paru akibat penyakit kronis.
 Hilangnya kontak antara pleura parietal dan visceral (pada pneumotoraks, efusi).
 Tergantinya jaringan paru dengan tumor.
2. Obstruktif: tumor intratoraks, sumbatan mukus, benda asing.
3. Postoperatif: akibat efek dari anestesi umum.
4. Rounded: sering pada asbestosis  jaringan yang mengalami atelektasis terlipat ke
pleura.

C. Tanda dan Gejala


 Biasanya asimtomatik.
 Bisa didapatkan batuk berdahak, sesak napas, penurnan ekspansi dada, penurunan
suara napas, ronki.
D. Pemeriksaan Penunjang
 Lab: AGD  hipoksemia, respirasi alkalosis
 Rontgen toraks: perubahan letak fisura
lobaris, peningkatan opasitas, elevasi
diafragma, penarikan mediastinum dan
trakea ke arah atelektaasis, hiperaerasi dari
paru yang normal, penyempitan sela iga.
 CT-Scan

Penyakit Paru Obstruksi Kronik/PPOK (3A)


A. Definisi
Penyakit yang ditanda dengan gejala pernapasan dan hambatan aliran udara yang persisten
akibat abnormalitas jalan napas dan/atau alveolus karena paparan partikel atau gas yang
berbahaya.

B. Tanda dan Gejala


 Gejala khas:
- Sesak napas: progresif, memberat dengan aktivitas, persisten
- Batuk kronis: hilang timbul, mengi berulang
- Produksi sputum kronis
 Infeksi saluran napas bagian bawah berulang
 Riwayat faktor risiko: abnormalitas perkembangan paru, rokok, paparan polusi
 Riwayat keluarga dan masa kecil: BBLR, infeksi saluran napas saat kecil
 Pemeriksaan fisik
- Inspeksi: purse lips breathing, pelebaran sela iga, bentuk dada barrel chest
- Perkusi: hipersonor
- Auskultasi: fremitus melemah, suara napas vesikuler melemah atau normal,
ekspirasi memanjang, mengi (biasanya saat eksaserbasi), ronki.

C. Pemeriksaan Penunjang
 Lab: polisitemia (hiposia koronis), AGD
 Rontgen toraks: gambaran emfisema
- Paru hiperinflasi atau hiperlusen
- Diafragma mendatar
- Corakan bronkovaskuler meningkat
- Jantung pendulum
 Mikrobiologi sputum: pemilihan antibiotik bila eksaserbasi.
 Spirometri: pengukuran setelah pemberian bronkodilator menunjukkan FEV1/FVC
<0,70 (tanda obstruktif).

D. Klasifikasi
Gejala klinis:
1. Ringan: dengan atau tanpa batuk, dengan atau tanpa produksi sputum sesak napas
derajat 0-1.
2. Sedang: dengan atau tanpa batuk, dengan atau tanpa produksi sputum sesak napas
derajat 2.
3. Berat: sesak napas derajat 3-4 dengan gagal napas kronik, lebih sering terjadi
eksaserbasi disertai komplikasi kor pulmonale atau gagal jantun kanan.

E. Tatalaksana
1. Farmakologis
Obat-obatan pada PPOK: sesuai grup ABCD
a. Bronkodilator
Dianjurkan dalam bentuk inhalasi.
 Beta Agonist
- Short Acting Beta Agonist (SABA): salbutamol
- Long Acting Beta Agonist (LABA): formoterol, salmeterol
 Muscarinic Antagonist
- Short Acting Muscarinic Antagonist (SAMA): ipratropium, oxitroprium
- Long Acting Muscarinic Antagonist (LAMA): tiotropium, aclidinium,
glycopyrronium bromide, umeclidinum
 Methylxanthine: theophylline
b. Anti-inflamasi
 ICS: budesonide, fluticasone
 Kortikosteroid oral: metilprednisolon atau prednisone
c. Antibiotik: digunakan saat eksaserbasi
d. Mukolitik (ambroxol) dan Antioksidan (N-acetylcysteine)

2. Nonfarmakologis
 Berhenti merokok
 Vaksinasi: influenza, pneumokokus
 Rehabilitasi paru
 Operasi paru

Penyakit Paru Obstruksi Kronik/PPOK Eksaserbasi Akut (3B)


A. Definisi
Perburukan akut dari gejala respirasi yang menyebabkan penambahan terapi.

B. Tanda dan Gejala


 Sputum semakin purulent dan banyak, sesak napas memberat, batuk makin sering,
keterbatasan aktivitas, dapat disertai gagal napas atau penurunan kesadaran.
 Biasanya dicetuskan oleh infeksi saluran pernapasan.

C. Klasifikasi
Berdasarkan klinis:
Kriteria Tanpa Gagal Gagal Napas Akut- Gagal Napas Akut-
Napas Tidak Mengancam Mengancam Jiwa
Jiwa

Respirasi 20-30 >30 >30

Penggunaan otot (-) (+) (+)


bantu pernapasan

Kesadaran Baik Baik Penurunan

Hipoksemia Membaik dengan Membaik dengan Tidak membaik


venturi mask 28- venturi mask 24- dengan venturi mask
35% FiO2 35% FiO2 FiO2 >40

PaCO2 Tidak meningkat Hiperkarbia, 50-60 >60 mmHg atau


mmHg asidosis (pH <7,25)

Berdasarkan pengobatan:
 Ringan: teratasi dengan SABA
 Sedang: teratasi dengan SABA + antibiotik dan/atau kortikosteroid oral
 Berat: butuh perawatan di RS

D. Tatalaksana
 Nilai keparahan penyakit, AGD, rontgen toraks
 Berikan oksigen dan pantau saturasi.
 SABA dengan atau tanpa SAMA sebagai tatalaksana awal.
 Pertimbangkan LABA jika pasien sudah stabil
 Kortikosteroid sistemik oral: 40 mg prednisone/hari selama 5-7 hari.
 Antibiotik oral: jika ada indikasi  tiga gejala cardinal: sesak memberat, volume
sputum meningkat, sputum purulent. Aminopenicillin+asam klavulanat, macrolide
tetracycline selama 5-7 hari.
 Ventilasi mekanik non-invasif merupakan mode ventilasi pertama untuk pasien
PPOK dengan gagal napas akut yang tidak memiliki kontraindikasi absolut.
Edema Paru (3B)
A. Definisi
Akumulasi abnormal dari cairan ekstravaskular di parenkim paru sehingga mengganggu
pertukaran gas di alveolus dan dapat menyebabkan gagal napas.

B. Etiologi
1. Kardiogenik
Karena peningkatan cepat pada tekanan hidrostatik di kapiler paru. Biasanya
disebabkan gangguan pada:
 Fungsi sistolik dan diastolik ventrikel kiri: infark miokard, miokarditis akut
 Fungsi katup: regurgitasi dan stenosis katup aorta/mitral
 Ritme: fibrilasi atrial dengan respon ventrikel cepat, takikardia ventrikel, AV
block.
2. Nonkardiogenik
Disebabkan kerusakan paru sehingga terjadi peningkatan permeabilitas vaskular 
akumulasi cairan di alveolus dan intersisial. Contoh: pneumonia, trauma inhalasi,
sepsis, pankreatitis akut, trauma berat dengan syok, transfuse darah berulang.

C. Tanda dan Gejala


 Sesak napas yang memberat, batuk dengan sputum berbusa
 Pemeriksaan fisik: napas cepat, ronki
- Kardiogenik: S3 gallop, murmur, peningkatan JVP, edema perifer.
- Nonkardiogenik: demam, sesak, riwayat trauma, transfuse darah

D. Pemeriksan Penunjang
1. Lab: BNP, troponin, albumin, elektrolit, fungsi ginjal
2. Rontgen toraks:
 Kardiogenik: infiltrat sentral, efusi pleura, garis Kerley B, peribronchial cuffing,
pembesaran jantung. (gambar 1 dan 2)

 Nonkardiogenik: infiltar di perifer dan terdapat ground-glass opacities serta


konsolidasi dengan air bronchogram. (gambar 3)
3. Ekokardiografi
4. USG Paru
5. Kateterisasi Arteri Pulmonal: gold standard  menentukan resistensi vaskular
sistemik, curah jantung, dan filling pressure.

E. Tatalaksana
 Diuretik: furosemide
 Vasodilator: nitrogliserin (TD harus >110 mmHg)
 Inotropik: dobutamine, dopamine  jika terdapat tekanan darah rendah dan tanda
hipoperfusi.
 Penggunaan ventilator jika kondisi berat.

Infark Paru (1)


A. Definisi
Biasanya merupakan komplikasi dari penyakit lain, paling sering adalah emboli paru.

B. Etiologi
Emboli paru, infeksi, keganasan, operasi, amyloidosis, sickle cell disease, vaskulitis
C. Tanda dan Gejala
Sesak napas, nyeri dada, bengkak ekstremitas bawah, demam, batuk darah.

D. Pemeriksaan Penunjang
Pencitraan: rontgen toraks, CT-Scan

Abses Paru (3A)


A. Definisi
Infeksi destruktif berupa lesi nekrotik pada jaringan paru yang terlokalisir sehingga
membentuk kavitas yang berisi nanah (pus/debris nekrotik) dalam parenkim paru.

B. Etiologi
 Primer: aspirasi, bakteri anaerob
 Sekunder: post obstruksi (benda asing atau tumor) atau proses sistemik (infeksi HIV
atau imunokompromais lainnya).
C. Tanda dan Gejala
 Demam, batuk, produksi sputum, nyeri dada
 Keringat malam, lemah badan, dan anemia sering ditemukan pada abses anaerobik.
 Pemeriksaan fisik:
- Febris
- Kesehatan mulut yang kurang dan/atau penyakit gingiva, refleks gag bisa
menghilang
- Nyeri tekan lokal pada dada, perkusi redup, auskultasi penurunan suara napas,
suara napas bronkial, ronki, atau suara amforik
- Jari tabuh
D. Pemeriksaan Penunjang
 Lab:
- Leukosit dapat meningkat, dominan PMN, bila abses lama bisa ditemukan
anemia dan peningkatan LED.
- Pemeriksaan dahak dari aspirasi transtrakeal, transtorakal, torakosintesis, atau
bilas bronkus (tidak biasa dilakukan)
- Kultur darah
 Pencitraan
- Rontgen toraks: gambaran
radiolusen dalam bayangan
infiltrat yang padat, air fluid
level (+)
- CT-Scan

 Bronkoskopi
 Aspirasi jarum perkutan

E. Tatalaksana
 Abses primer:
- Klindamisin (600 mg IV 3x/hari, lalu setelah klinis membaik diganti dengan
300 mg PO 4x/hari).
- Β-lactam dengan kombinasi B-lactamase IV, lalu setelah klinis membaik
diganti dengan amoxicillin-clavulanate.
 Abses sekunder: sesuai dengan patogen penyebab.
 Jika tidak respon antibiotik  operasi reseksi atau drainase perkutan.
Emboli Paru (1)
A. Definisi
Keadaan terjadinya obstruksi sebagian atau total sirkulasi arteri pulmonalis atau cabangnya
akibat tersangkutnya emboli.

B. Etiologi
Trombus pada pembuluh darah, umumnya dari pembuluh vena di tungkai bawah atau jantung
kanan.

C. Tanda dan Gejala


 Emboli Paru Masif:
- Sinkop, tanda syok, nyeri dada, sesak napas mendadak, bisa terjadi penurunan
kesadaran.
- JVP meningkat, hepatojugular reflux (+), bunyi jantung P2 mengeras
 Emboli Paru Ukuran Sedang:
- Nyeri pleura, sesak napas, demam, hemoptisis
- Tanda pleuritis (nyeri pleura, pleura friction rub), gerak napas yang terkena
berkurang, perkusi redup, suara napas berkurang
 Emboli Paru Ukuran Kecil:
Sesak napas saat aktivitas, jika terjadi kronis maka keluhan mudah lelah, sinkop, dan
angina pektoris.

D. Pemeriksaan Penunjang
 Lab: peningkatan fibrinogen degradation product, AGD hipoksemia.
 EKG:
- Strain ventrikel kanan: T inversi precordial kanan.
- rS atau RS pada V1 sampai V5/V6 dan qR pada V1 dan V2.
- Tanda klasik: S1Q3 atau S1Q3T3, QR pada aVF dan III, elevasi ST
- RBBB
- Gelombang P pulmonal pada II, III, aVF

 Rontgen toraks:
- Tanda Westermark  hiperlusen paru
- Tanda Hampton’s hump  densitas
bulat dengan batas tidak jelas di atas
diafragma
 Sidikan paru perfusi dan ventilasi
 Angiografi paru

Kistik Fibrosis (1)


A. Definisi
Penyakit genetik yang bersifat resesif heterogen dengan mutasi pada gen cystis fibrosis
transmembrane conductance (CFTR). Ditandai dengan infeksi saluran napas kronik yang
akhirnya menimbulkan bronkiektasis dan brokiolektasis.
B. Etiologi
Mutasi menyebabkan penurunan sekresi klorida dan peningkatan resorpsi natrium ke ruang
seluler  peningkatan resorpsi air  mucus menjadi lebih tebal pada lapisan epitel dan
sekresi lebih banyak dari jaringan eksokrin (sinus paru, pancreas, sistem hepatobilier, usus,
dan kelenjar keringat.

C. Tanda dan Gejala


 Batuk yang kronik dan berdahak, purulent kadang bercampur darah.
 Anoreksia, berat badan menurun, demam.
 Sesak napas, bisa menyebabkan hipertensi paru dan kor pulmonal diikuti gagal
napas.
 Bisa terjadi pneumotoraks dan hemoptisis.
 Allergic bronchopulmonary aspergilosis (ABPA): mengi, obstruksi saluran napas
yang reversible pada tes faal paru.
 Kelainan di luar paru: diabetes melitus, pankreatitis, obstruksi usus, intususepsi,
kolelitiasis, sirosis bilier, azoospermia.
 Pemeriksaan fisik: barrel chest, penggunaan otot bantu pernapasan, sianosis, ronki,
wheezing.

D. Pemeriksaan Penunjang
 Uji keringat: peningkatan kadar dari klorida.
 Rontgen toraks: hiperinflasi, diafragma
mendatar, bronkiektasis, atelektasis, perubahan
kista, bisa terlihat seperti nodul.
 Uji faal paru: gambaran obstruktif.
 Pemeriksaan genetik
 Bronchoalveolar lavage: peningkatan
neutrofil, pemeriksaan mikrobiologi.
Tumor Mediastinum (2)
A. Definisi
Sebagian besar adalah metastasis dari tempat lain, limfoma, tumor neurogenik, teratoma,
timoma, dan lipoma.

B. Klasifikasi
C. Tanda dan Gejala
 Suara serak: tumor menekan N. laringeus.
 Superior vena kava sindrom: edema daerah muka dan lengan  akibat penekanan
vena kava superior.
 Nyeri torak lokal  invasi tumor ke dinding toraks.
 Batuk, batuk darah, sesak
 Regurgitasi, refluks, disfagia, odinofagia  kelainan esophagus.

D. Pemeriksaan Penunjang
 Rontgen toraks anterior, lateral, oblik
 CT-Scan
 Mediastinoskopi
 Pemeriksaan histopatologi

Pneumokoniosis (2)
A. Definisi
Penyakit parenkim paru yang disebabkan oleh inhalasi debu (biasanya inorganic) akibat
pekerjaan.
B. Etiologi
 Debu mineral: asbes, silika, batu bara
 Debu metal: berilium, nikel, kobalt, aluminium
 Gas inorganik: karbon monoksida, klorin, nitrogen oksida

C. Pemeriksaan Penunjang
 Pencitraan: foto toraks, CT-Scan
 Uji faal paru
 Pemeriksaan histopatologis

D. Jenis
1. Asbestosis:
 Gejala: sesak napas, batuk tidak
produktif
 Pemeriksaan fisik: ronki basah di basal
kedua paru, jari tabuh.
 Rontgen toraks: gambaran garis-garis
opasitas kecil di basis paru dan dapat
meluas sampai pleura.

2. Silikosis
 Dibagi menjadi
- Silokosis simpel: biasanya asimtomatik, batuk, sesak napas, kelainan faal
paru tipe restriktif.
- Silikosis kompleks: penyakit mengalami progresivitas atau menderita
infeksi tuberkulosis atau jamur, nodul dapat bergabung menjadi satu
(membentuk massa fibrosis yang besar), kelainan faal paru tipe restriktif
dan obstuktif.
 Rontgen toraks: konsolidasi bilateral dan/atau ground-glass opacities yang
sering muncul di perihilar (eggshell calcification).

3. Coal Workers’ Pneumoconiosis (Black Lung)


 Akibat penimbunan debu batu bara.
 Gejala dan tanda:
- Simpel: biasanya asimtomatis, faal paru masih normal
- Komplikata: sesak, bisa berlanjut menjadi insufisiensi paru.
- Sindrom Caplan: disertai rematoid artritis
 Rontgen toraks: opasitas bulat bervariasi, dibagi menjadi
- Simpel: opasitas kecil, bulat, dan ukuran <1 cm,
- Komplikata: opasitas satu atau multipel, ukuran >1 cm
4. Berylliosis
 Gejala dan tanda:
- Akut: bronkitis, bronkopneumonia
- Kronis: sesak napas saat aktivitas,
batuk, nyeri dada, ronki kering,
akrosianosis, jari tabuh
 Rontgen toraks: bercak infiltrat, bentuk
kronis  nodul-nodul kecil, bisa
menjadi besar, gambaran retikular difus.

Penyakit Paru Intersisial (1)


A. Definisi
Kelompok penyakit yang melibatkan dinding alveolus, jaringan sekitar alveolus, dan jaringan
penunjang lain di paru.

B. Etiologi
 Inhalasi debu inorganik, organik, gas beracun, iritan
 Penyakit autoimun
 Obat
 Idiopatik: fibrosis paru idiopatik, sarkoidosis, pneumonitis hipersensitivitas

C. Tanda dan Gejala


 Sesak napas gradual, batuk, bisa nyeri dada, batuk darah.
 Pemeriksaan fisik: ronki bilateral, jari tabuh, tanda hipertensi paru seperti
peningkatan suara P2 pada kondisi berat.

D. Pemeriksaan Penunjang
 Lab: anemia (pada SLE), eosinophilia (akibat obat), fungsi hati, ginjal, serologi.
 Rontgen toraks: pola reticular, infiltrat di perifer paru
 CT-Scan

DAFTAR PUSTAKA
1. Jameson JL. Harrison's principles of internal medicine 20th ed. McGraw-Hill Education;
2018.
2. Purnamasari D. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi Ke-6. Jakarta: Papdi. 2014.
3. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Kapita selekta kedokteran. Jakarta: Media
Aesculapius. 2014:329-0.
4. Bousquet J, Clark TJ, Hurd S, Khaltaev N, Lenfant C, O'byrne P, Sheffer A. GINA
guidelines on asthma and beyond. Allergy. 2020.
5. Fromer L, Cooper CB. A review of the GOLD guidelines for the diagnosis and treatment
of patients with COPD. International journal of clinical practice. 2020.
6. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan asma di
Indonesia. Jakarta: PDPI. 2008.
7. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. PPOK Pedoman Diagnosa dan Penatalaksanaan di
Indonesia. 2008.
8. Grott K, Dunlap JD. Atelectasis. InStatPearls [Internet] 2019. StatPearls Publishing.
9. Malek R, Soupi S. Pulmonary Edema. InStatPearls [Internet] 2019. StatPearls
Publishing.
10. Emerling A, Cook J. Pulmonary Infarction. InStatPearls [Internet] 2020 Jan 23.
StatPearls Publishing.
11. DeLight N, Sachs H. Pneumoconiosis. InStatPearls [Internet] 2020 Mar 24. StatPearls
Publishing.
12. Antoine M, Mlika M. Interstitial Lung Disease. 2019. StatPearls Publishing.
IPD –
GASTROENTEROHEPAT
OLOGI
GASTRITIS (4A)
A. Definisi
Proses inflamasi pada mukosa dan submukosa lambung.

B. Klasifikasi dan Etiologi


1. Akut
Reaksi inflamasi akut pada mukosa superfisial.
 Obat: NSAID
 Alkohol
 Zat toksik
2. Kronis
Perubahan inflamasi kronis di mukosa yang menyebabkan atrofi dan metaplasia
epitel.
 Autoimun: anemia perniciosa  gastritis autoimun + anemia makrositik karena
antibodi menyerang sel parietal dan factor intrinsik di lambung.
 Infeksi bakteri: disebaban terutama oleh Helicobacter pylori.
 Refluks: regurgitasi isi dudodenum ke lambung melalui pylorus, seringkali
disebabkan gangguan motilitas pilorus atau duodenum.

C. Tanda dan Gejala


 Nyeri panas dan pedih di ulu hati
 Rasa tidak nyaman di perut
 Mual, muntah

D. Pemeriksaan Penunjang
 Endoskopi: identifikasi kelainan struktural dan mukosa dan pengambilan biopsi
jaringan.
 Urease breath test: gold standard untuk pemeriksaan H. pylori.
 USG: menilai kelainan pankreatobilier.
 Pencitraan: melihat kelainan struktur mukosa atau adanya massa.

E. Tatalaksana
 Infeksi H. pylori
Obat 1 Obat 2 Obat 3 Obat 4 Durasi

Lini Pertama

PPI dosis ganda: Amoksisilin Klaritromisin 7 hari


Rabeprazole 20 2x1g 2x500 mg
mg tiap 12 jam
atau
Lansoprazole 30 Amoksisilin Klaritromisin 10 hari
mg/omeprazole 20 2x1g 2x500 mg
mg/pantoprazole
40
mg/esomeprazole
40 mg tiap 12 jam
Lini Kedua

PPI (sama seperti Metronidazole Tetrasiklin Bismuth 14 hari


di atas) 4x250 mg 4x500 mg subsalisilat
4x525 mg
PPI (sama seperti Amoksisilin Levofloksasin 10 hari
di atas) 2x1g 2x500 mg

 Simtomatik
Bila prevalensi infesi H. pylori rendah, pasien dengan H. pylori negatif dapat
diberikan:
- PPI dosis standar 1x sehari selama 4-8 minggu.
- Obat lain: ARH2 (contoh: ranitidine), sitoproteksi (contoh: sucralfat), prokinetik
(metoklopramid, domperidone).

F. Resep
R/ Omeprazole 20 mg tab No. X
S 1 dd tab I
Atau
R/ Ranitidine 150 mg tab No. XX
S 2 dd tab I
Bila mual muntah:
R/ Domperidone 10 mg tab No. XV
S 3 dd tab I

DIARE AKUT (4A)


A. Definisi
 Defekasi dengan tinja berbentuk cair atau setengah cair, kandungan air tinja lebih
banyak dari biasanya >200 gram atau 200 ml/24 jam.
 Buang air besar encer >3x/hari.
 Disentri: diare yang disertai dengan darah.

B. Klasifikasi
1. Berdasarkan durasi:
 Akut: <14 hari
 Kronis: >14 hari
2. Berdasarkan mekanisme:
 Diare osmotik:
- Makanan tidak diabsorpsi dengan baik di usus halus  tekanan osmotik
intralumen meningkat  menarik cairan plasma ke lumen.
- Etiologi: intoleransi laktosa, konsumsi laksatif atau antasida yang
mengandung magnesium.
 Diare sekretorik:
- Gangguan transpor elektrolit dan cairan melewati mukosa enterokolon 
sekresi berlebih dan absorpsi berkurang.
- Etiologi: toksin bakteri (contoh: kolera), penggunaan laksatif non-osmotik,
penyakit mukosa usus.
 Diare invasif:
- Inflamasi dan kerusakan mukosa usus.
- Etiologi: infeksi bakteri yang bersifat invasif (contoh: C. jejuni, Shigella,
Salmonella, amoeba) atau non-infeksi (inflammatory bowel disease, radiasi).

C. Etiologi
Paling banyak disebabkan oleh infeksi.
Infeksi Non-infeksi
D. Tanda dan Gejala
 Berasarkan lokasi anatomis infeksi:
- Usus halus: biasanya tidak invasif, banyak, cair, berhubungan dengan
malabsorpsi.
- Usus besar: biasanya invasif, frekuensi sangat meningkat, disertai lendir dan
darah segar, nyeri perut.
 Gejala lain: mual, muntah (paling sering infeksi virus), demam, tenesmus.
 Pemeriksaan fisik:
- Nilai tanda dehidrasi: kesadaran, denyut jantung, pernapasan, mata
cekung/tidak, air mata, mukosa mulut dan lidah, turgor kulit, CRT, ekstremitas,
output urin.
- Abdomen: nyeri tekan, defans muskular.
E. Pemeriksaan Penunjang
 Feses rutin, kultur feses
 Pemeriksaan darah, urin, ureum, kreatinin, elektrolit, gula darah

F. Tatalaksana
1. Rehidrasi
 Oral: dehidrasi ringan dan bisa minum. Menggunakan oralit.
 Enteral: dengan NGT bila terus-menerus muntah.
 Parenteral: dengan dehidrasi sedang-berat atau komplikasi lain.
2. Nutrisi
Dimulai 4 jam setelah rehidrasi. Diberikan dalam small and frequent feeding.
3. Simtomatik
a. Antimotilitas: loperamide 4 mg dosis awal lalu dilanjutkan 2 mg tiap diare 
tidak diberikan pada diare berdarah atau diare invasif (demam, nyeri perut hebat)
b. Antisekretorik: bismuth subsalisilat  untuk anak-anak.
c. Pengeras feses:
 Attapulgit 2 tab 630 mg tiap diare.
 Smektit 9 g/24 jam dibagi dalam 3 dosis.
 Kaolin-pektin
4. Antibiotik
Indikasi:
 Traveller’s diarrhea  Sindrom disentri
 Patogen telah berhasil  Pasien usia lanjut
diketahui  Imunokomproais
 Analisis feses menunjukkan  Sepsis
tanda inflamasi

Indikasi pasien dirawat:


 Dehidrasi sedang-berat  Lansia
 Vomitus persisten  Pasien imunokompromais
 Diare yang progresif dan memberat  Terdapat komplikasi lain
dalam 48 jam
Pilihan antibiotik:
1. Bakteri: kuinolon, kotrimoksazol, kloramfenikol, macrolide
Vibrio cholera: tetrasiklin 4x500 mg 3 hari, doksisiklin 300 mg dosis tunggal,
fluorokuinolon
2. Parasit: metronidazole, azitromisin, kotrimoksazol
Non-infeksi:
1. Intoleransi laktosa:
 Stop dan hindari makanan yang mengandung laktosa.
 Pemberian enzim lactase buatan (lactaid).
 Probiotik (untuk merangsang pembentukan laktase).
2. Alergi dan hipersensitivitas makanan
 Hindari makanan dan minuman yang mengandung allergen
 Kortikosteroid dan antihistamin
3. Intoleransi makanan: hindari makanan yang menimbulkan intoleransi

G. Resep
R/ Loperamide 2 mg tab No. XX
S prn tab 1 (jika mencret)
Atau
R/ Attapulgit 630 mg tab No. XX
S prn tab 2 (jika mencret)
R/ Oralit sch No. VI
S ad lib (jika mencret)

REFLUKS GASTROESOFAGEAL (4A)


A. Definisi
Keadaan ketika cairan lambung refluks ke dalam esophagus dan menyebabkan gejala
dan/atau komplikasi (esofagitis, perdarahan, striktur, esofagitis Barret, adenokarsinoma)
yang mengganggu.
B. Etiologi
Disebabkan adanya gangguan tonus lower esophageal sphincter (LES), peningkatan tekanan
intra-abdomen, gangguan peristaltik esofagus, dan terhambatnya pengosongan lambung.
Faktor risiko:
 Kehamilan atau obesitas
 Lemak, coklat, kopi, alkohol
 Makanan dalam porsi besar
 Merokok
 Obat antikolinergik, antagonis kanal kalsium, nitrate
 Hiatus hernia

C. Tanda dan Gejala


 Rasa terbakar di daerah ulu hati yang naik hingga ke retrosternal.
 Regurgitasi: sensasi asam atau pahit di mulut.
 Kembung, mual, cepat kenyang, bersendawa, disfagia
 Sindrom ekstraesofageal: batuk kronis, asma, laringitis, suara serak terutama pagi
hari, nyeri dada.

D. Pemeriksaan Penunjang
 Endoskopi: ditemukan mucosal break (erosi atau eritema berbatas tegas). Esofagus
Barret: lidah mukosa kemerahan dimulai dari daerah gastroesophageal junction ke
arah proksimal.
 Pemeriksaan histopatologi: Esofagus Barret terlihat sebagai metaplasia kolumnar
intestinal dengan atau tanpa displasia.
 Esofagografi dengan barium enema: menilai striktur atau adanya hiatus hernia.
 Pemantauan pH 24 jam: pengukuran pH pada esophagus bagian distal. Positif bila
pH <4 pada jarak 5 cm di atas LES.
E. Tatalaksana
1. Modifikasi Gaya Hidup
 Meninggikan posisi kepala saat tidur dan menghindari makan sebelum tidur.
 Berhenti merokok dan konsumsi alcohol (karena menurunkan tonus).
 Mengurangi konsumsi lemak serta jumlah makanan yang dimakan.
 Menurunkan berat badan pada pasien kegemukan.
 Menghindari makanan/minuman seperti coklat, teh, peppermint, kopi, minuman
bersoda (dapat menstimulasi sekresi asam).
 Hindari obat yang menurunkan tonus LES
2. Farmakologis
 PPI: pilihan utama. Terapi diberikan 2x/hari. Jika membaik bisa diturunkan
1x/hari.
 Antagonis reseptor H2: ranitidine, simetidine, farmotidine, nizatidine. Efektif
jika diberikan dosis 2 kali lebih tinggi, hanya efektif untuk derajat ringan-sedang
tanpa komplikasi.
 Prokinetik: metoklopramid, domperidon.
 Antasida: sebagai penetral asam lambung.
H. Resep
R/ Omeprazole 20 mg tab No. XX
S 2 dd tab I
Atau
R/ Ranitidine 150 mg tab No. XL
S 4 dd tab I
Bila mual muntah:
R/ Domperidone 10 mg tab No. XV
S 3 dd tab I

ULKUS GASTER DAN DUODENUM (3A)


A. Definisi
Ulkus: hilangnya lapisan epitel mukosa hingga submukosa dengan kedalaman >5 mm. Ulkus
peptikum terdiri dari ulkus gaster dan ulkus duodenum.

B. Etiologi
 Infeksi H. pylori
 Penggunaan NSAID
 Infeksi herpes simpleks, CMV, tuberculosis
 Obat: klopidogrel, kortikosteroid, bifosfonat, kokain, HCl
 Serosis hepatis, penyakit Crohn, gagal ginjal kronis, trauma, stress akibat operasi
 Stres psikologis

C. Tanda dan Gejala


 Nyeri di epigastrium
- Ulkus gaster: nyeri muncul segera setelah makan.
- Ulkus duodenum: 2-3 jam setelah makan.
 Rasa terbakar di ulu hati, cepat kenyang, rasa penuh di ulu hati, kembung, mual,
muntah
 Hematemesis, melena
 Pemeriksaan fisik:
- Nyeri tekan di epigastrium atau sebelah kiri garis tengah  mengarah ulkus
gaster
- Nyeri tekan di sebelah kanan garis tengah  mengarah ulkus duodenum
- Tanda jika peritonitis: muscular defans, nyeri tekan difus, bising usus (-)

D. Pemeriksaan Penunjang
 Esofagogastroduodenoskopi: visualisasi mukosa gastroduodenum dan pengambilan
biopsi.
 Barium kontras ganda (kurang sensitif)
 Pemeriksaan untuk H. pylori

E. Tatalaksana
1. Jika H. pylori  berikan terapi eradikasi sesuai untuk H. pylori
2. Hentikan penggunaan NSAID
3. Obat:
 ARH2 + antasida: supresi asam lambung
 Sukralfat: membentuk barrier pelindung untuk mukosa
 PPI
4. Pembedahan  jika terapi farmakologis gagal

DEMAM TIFOID (4A)


A. Definisi
Infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh Salmonella enterik serotype typhi atau paratyphi.
B. Tanda dan Gejala
 Minggu pertama: demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah,
obstipasi atau diare, batuk. Demam meningkat perlahan-lahan terutama sore hingga
malam hari.
 Minggu kedua: demam, bradikardia relatif, lidah kotor, hepatosplenomegali,
meteorismus, gangguan kesadaran, roseolae/rose spot.

C. Pemeriksaan Penunjang
 Darah perifer: leukopenia/leukositosis/normal, anemia ringan, trombositopenia,
peningkatan LED, peningkatan SGOT/SGPT
 Uji Widal: titer antibodi O >1:320 atau antibodi antibodi H >1:160.
 Uji Tubex: deteksi antibodi semikuantitatif
 Uji Typhidot: deteksi IgM dan IgG
 Uji IgM dipstick
 Kultur darah

D. Tatalaksana
1. Istirahat dan perawatan: tirah baring, menjaga kebersihan
2. Diet lunak dan terapi suportif (antipiretik, antiemetik, cairan yang adekuat)
3. Antibiotik
 Kloramfenikol 4x500 mg/hari hingga 7 hari bebas demam
 Tiamfenikol 4x500 mg
 Kotrimoksazol 2x960 mg selama 2 minggu
 Ampisilin dan amoksisilin: 50-150 mg/kgB selama 2 minggu
 Sefalosporin generasi ketiga: seftriakson 3-4 gram 1x/hari selama 3-5 hari.
 Fluorokuinolon
 Azitromisin: 2x500 mg
4. Kortikosteroid
Hanya pada toksik tifoid atau syok septik  dexametason 3x5 mg.

E. Resep
R/ Kloramfenikol 500 mg tab No. XXC
S 4 dd tab I
R/ Paracetamol 500 mg tab No. XXX
S 3 dd tab I
Bila mual muntah:
R/ Ranitidine 150 mg tab No. X
S 2 dd tab I
R/ Domperidone 10 mg tab No. XV
S 3 dd tab I

PERDARAHAN GASTROINTESTINAL (3B)

Klasifikasi
Perdarahan Saluran Makan Bagian Atas (PSMBA)
A. Definisi
Perdarahan saluran makanan proksimal dari ligamentum Treitz.

B. Etiologi
 Pecahnya varises esophagus
 Ulkus peptikum
 Gastopati kongestif
 Keganasan
C. Tanda dan Gejala
 Hematemesis berwarna hitam atau merah gelap dengan gumpalan darah.
 Melena: BAB hitam seperti ter.
 Stigmata penyakit hati kronik
 Bisa terjadi syok: hipotensi, nadi lemah, akral dingin.
 Pantau adanya penurunan kesadaran dan produksi urin.

D. Pemeriksaan Penunjang
 Lab: pemeriksaan darah lengkap
 Endoskopi: diagnostik dan terapeutik
 Radiografi dengan barium
Perdarahan Saluran Makan Bagian Bawah (PSMBB)
A. Definisi
Perdarahan saluran makanan distal dari ligamentum Treitz.

B. Etiologi
Hemoroid, polip kolon, kanker kolon, kolitis, infeksi, diverticular Meckel, intususepsi,
hipertensi portal  varises di ileukolon dan anorektal, ulkus rektal atau sekum.
C. Tanda dan Gejala
 Hematokezia: darah segar yang keluar melalui anus.
 Nyeri abdomen atau diare  kolitis atau neoplasma
 Keganasan: penurunan berat badan, anoreksia, limfadenopati

D. Pemeriksaan Penunjang
 Kolonoskopi
 Angiografi
 Barium enema

Tatalaksana PSMBA dan PSMBB


1. Resusitasi cairan: pemasangan IV kristaloid
2. Pemasangan NGT dan kateter
3. Transfusi darah bila diperlukan
4. Vitamin K pada penyakit hati
5. PPI dosis tinggi, sukralfat, antasida, ARH2 untuk ulkus peptikum
6. Vasopressin, somatostatin, octreotide
7. Endoskopi atau angiografi terapeutik
8. Pembedahan: pilihan terakhir
MALABSORPSI (3A)
A. Definisi
Keadaan terdapatnya gangguan pada proses absorpsi dan digesti secara normal pada satu
atau lebih zat gizi.

B. Etiologi
Defisiensi enzim atau adanya gangguan pada mukosa usus.
C. Tanda dan Gejala
 Diare kronis, feses cair
 Jika malabsorpsi lemak  feses berminyak (steatorea)

D. Pemeriksaan Penunjang
 Darah: anemia/tidak, defisiensi Fe akibat malabosrpsi Fe, jika MCV tinggi 
defisiensi folat atau vitamin B12, fungsi pankreas
 Pemeriksaan lemak feses (fecal fat)
 Radiologi: rontgen polos abdomen atau USG abdomen
 Esofagogastroduodenoskopi
 Histopatologi
E. Tatalaksana
 Pembatasan nutrisi, suplementasi vitamin dan mineral, suplementasi enzim
pankeas
 Obat: antidiare, kortikosteroid, antibiotik  disesuaikan dengan kondisi pasien

KERACUNAN MAKANAN (4A)


A. Definisi
Penyakit yang ditimbulkan karena mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi.

B. Definisi
1. Infeksi

2. Non-infeksi
a. Bahan kimia beracun: pestisida, timah, merkuri, dan cadmium
b. Toksin dari tanaman: jamur, singkong, kentang hijau

C. Tanda dan Gejala


Kram perut, muntah, diare, pusing, sakit kepala, lemas, demam, dehidrasi

D. Pemeriksaan Penunjang
Sama seperti pada diare akut.

E. Tatalaksana
 Menangani racun penyebab: mengurangi absorbsi racun dari saluran cerna 
tablet karbon aktif, susu (jika tidak diare)
 Simtomatik dan suportif: mengontrol keseimbangan cairan tubuh dan nutrisi,
cairan infus, pemberian obat simtomatik.

BOTULISME (3B)
A. Definisi
Penyakit neuroparalitik yang disebabkan oleh toksin botulinum.

B. Etiologi
Toksin botunium dihasilkan oleh 4 spesies clostridia: Clostridium botulinum, Clostridium
argentinense, Clostridium baratii, dan Clostridium butyricum. Penyebaran:
 Makanan yang terkontaminasi (makanan kaleng)
 Luka yang terkontaminasi
 Kolonisasi Clostridium di usus halus yang menghasilkan toksin
 Inhalasi
 Bioterorisme

C. Tanda dan Gejala


 Palsi nervus kranialis bilateral: diplopia, disartria, disfonia, ptosis,
oftalmoplegia, paralisis wajah, gangguan gag reflex.
 Palasis flasid bilateral descending, releks fisiologis bisa normal atau menurun
 Konstipasi karena ileus paralitik
 Retensi urine
 Gagal napas akibat paralisis diafragma
 Mual, muntah, nyeri perut akibat toksin pada makanan

D. Pemeriksaan Penunjang
 Deteksi toksin pada sampel serum, feses, aspirasi lambung, atau sampel makanan.
 Kultur luka

E. Tatalaksana
 Antitoksin botulinum
 Perawatan intensif
 Jika disebabkan oleh luka  perawatan luka

HEPATITIS A (4A)
A. Definisi
Infeksi virus hepatitis A pada hati yang bersifat akut.

B. Transmisi
Penyebaran terjadi secara fekal-oral.

C. Tanda dan Gejala


 Fase Pre-Ikterik: gejala konstitusional  anoreksia, mual, muntah, malaise,
mudah lelah, atralgia, myalgia, nyeri kepala, fotofobia, faringitis, batuk.
 Fase Ikterik: ikterus, nyeri perut kanan atas, urin seperti teh, hepatomegali
 Fase Perbaikan: nafsu makan kembali dan secara umum pasien menjadi lebih
sehat.

D. Pemeriksaan Penunjang
1. Serologi
 IgM anti-HAV (+): infeksi akut
 IgG anti-HAV (+): infeksi lampau
2. Biokimia hati: peningkatan SGOT, SGPT, bilirubin. Alkalin fosfatase normal atau
meningkat sedikit.
3. USG abdomen: menilai penyakit penyerta batu empedu.

E. Tatalaksana
1. Farmakologis
Simtomatik: analgetik, antiemetik, antipruritus.
2. Nonfarmakologis
 Dukungan asupan kalori dan cairan adekuat.
 Hindari konsumsi alkohol dan obat-obatan yang terakumulasi di hati.
 Tirah baring setidaknya sampai setelah 10 hari dari onset ikterik.
Indikasi rawat inap: muntah hebat, dehidrasi, gagal hati akut

F. Resep
R/ Paracetamol 500 mg tab No. XX
S 3 dd tab I
R/ Domperidone 10 mg tab No. XX
S 3 dd tab I
HEPATITIS B (3A)
A. Definisi
Infeksi virus hepatitis B pada hati yang bersifat akut atau kronis.

B. Transmisi
 Infeksi perinatal
 Kontak langsung cairan tubuh: darah, saliva, cairan serebrospinal, cairan
peritoneum, cairan pleura, cairan amnion, semen, cairan vagina.

C. Tanda dan Gejala


1. Hepatitis B Akut
 Fase Pre-Ikterik: gejala konstitusional  anoreksia, mual, muntah, malaise,
mudah lelah, atralgia, myalgia, nyeri kepala, fotofobia, faringitis, batuk,
demam yang tidak terlalu tinggi
 Fase Ikterik: ikterus, nyeri perut kanan atas, urin seperti teh, hepatomegali.
 Fase Perbaikan: gejala konstitusional menghilang, masih ditemukan
hepatomegali dan abnormalitas pemeriksaan kimia hati.
2. Hepatitis B Kronis
Bervariasi: asimtomatik, gejala hepatitis akut, tanda gejala sirosis dan gagal hati.

D. Pemeriksaan Penunjang
1. Serologi
HBsAg Anti-HBs Anti-HBc HBeAg Anti-HBe DNA-HBV
Akut + - IgM + - +

Window - - IgM +/- +/- +


period
Sembuh - + IgG - +/- -

Imunisasi - + - - - -
Kronis + - IgG + - +
HBeAg
(+)
Kronis + - IgG - + +/-
HBeAg (-)

2. Biokimia hati: peningkatan SGOT, SGPT, bilirubin. Bila sirosis  penurunan


albumin, peningkatan globulin, pemanjangan waktu protrombin, penurunan
jumlah trombosit.
3. USG dan biopsi hati

E. Tatalaksana
1. Hepatitis B Akut
 Suportif: tirah baring, nutrisi dan cairan adekuat
 Komplikasi hepatitis fulminant  lamivudine 100-150 mg/hari hingga 3 bulan
setelah serokonversi atau setelah muncul anti-HBe pada pasien HBsAg positif
2. Hepatitis B Kronis
 Indikasi pengobatan:
- Penyakit hati yang aktif (SGPT >2 dalam 2 kali pengukuran selang minimal
1 bulan)
- Biopsi hati menunjukkan kerusakan yang signifikan.
 Modalitas terapi: pegylated-interferon (peg-IFN), analog nukleosida
(lamivudine, telbivudin, entecavir), analog nukleotida (adefovir, tenefovir).

HEPATITIS C (2)
A. Definisi
Infeksi virus hepatitis C pada hati yang umumnya bersifat kronis.

B. Transmisi
Seperti hepatitis B

C. Tanda dan Gejala


1. Hepatitis C Akut
 Fase Pre-Ikterik: gejala konstitusional  anoreksia, mual, muntah, malaise,
atralgia, myalgia, nyeri kepala, fotofobia, faringitis, batuk, flu, demam. Dapat
muncul urin yang berwarna gelap dan feses pucat.
 Fase Ikterik: ikterus, nyeri perut kanan atas, hepatomegali.
 Fase Perbaikan
3. Hepatitis C Kronis
Umumnya asimtomatis. Pada kondisi lanjut: komplikasi sirosis hati  edema
ekstremitas, asites, hematemesis melena, perubahan status mental.

D. Pemeriksaan Penunjang
1. Serologi
Anti- HCV RNA Interpretasi
HCV

+ + Akut atau kronis, bergantung gejala klinis

+ - Resolusi

- + Infeksi akut awal; kronis pada pasien


imunokompromais; positif palsu

- - Tidak terinfeksi

2. Biokimia Hati
Serum SGPT >10x batas atas normal tanpa riwayat penyebab lain. Pemeriksaan
lain: SGOT, alkalin fosfatase, bilirubin, albumin, globulin, waktu protrombin.
ABSES HEPAR AMOEBA (3A)
A. Definisi
Penimbunan atau akumulasi debris nekro-inflamatori purulen di dalam parenkim hati
yang disebabkan oleh amoeba, terutama Entamoeba hystolitica.

B. Patogenesis
Infeksi umumnya dimulai di kolon karena tertelan kista akibat air atau sayur yang
tekontaminasi  kisa ruptur  tropozoit metakistik  menyebar ke hati melalui vena
porta.

C. Tanda dan Gejala


 Nyeri perut kanan atas, mual, muntah, anoreksia, demam (pola intermiten)
 Malaise, myalgia, artalgia
 Riwayat penyakit diare atau disentri
 Ikterik, hepatomegali (konsistensi lunak, permukaan rata, nyeri tekan)

D. Pemeriksaan Penunjang
 Lab:
- Leukositosis, peningkatan alkalin fosfatase, SGOT SGPT, bilirubin,
peningkatan LED.
- Uji serologis
 Pencitraan:
- USG: lesi hipoekoik dengan internal echoes.
- CT-scan: mendiagnosis abses yang lebih kecil.
 Mikrobiologi: kultur hasil cairan aspirasi (gold standard).

E. Tatalaksana
1. Farmakologis: metronidazole 3x750 mg PO selama 7-10 hari.
2. Aspirasi jarum perkutan
3. Drainase perkutan abses
PERLEMAKAN HEPAR (3A)
A. Definisi
Akumulasi trigliserida dan jenis lemak lainnya di hepatosit hingga lebih dari 5% dari
seluruh berat hati.

B. Klasifikasi
1. Alcoholic Liver Disease (ALD)
Konsekuensi awal dan reversible dari konsumsi alkohol yang berlebihan.
2. Non-Alcoholic Liver Disease (NALD)
 Seluruh spektrum penyakit perlemakan hati tanpa konsumsi alkohol yang
signifikan, dimulai perlemakan hati sederhana (simple steatosis),
steatohepatosis non alkoholik (NASH), fibrosis hati, dan sirosis hati.
 Faktor risiko: sindrom metabolik

C. Tanda dan Gejala


 Bisa asimtomatik
 Malaise, lemah, anoreksia, mual, tidak nyaman di abdomen.
 Pada kondisi progresif: asites, edema, jaundice
 Pemeriksaan fisik: hepatomegali, muscle wasting, jika sudah sirosis 
splenomegali, stigmata hipertensi.

D. Pemeriksaan Penunjang
 Lab:
- Kadar insulin dan gula darah puasa, hiperlipidemia, saturasi transferin
- Peningkatan kadar SGOT dan SGPT
 Pencitraan
- USG:
o ALD: gambaran ekogenik yang difus
o NAFLD: hiperekogenik
- CT-Scan: untuk memantau perjalanan penyakit
 Pemeriksaan histopatologi  baku emas. Terlihat akumulasi droplet emak.

E. Tatalaksana
 ALD: Berhenti konsumsi alkohol dan diet yang adekuat.
 NALD:
- Penurunan berat badan hingga 10%
- Jangan konsumsi alkohol
- Vitamin E 800 IU/hari
- Asam lemak omega 3
- Statin untuk tatalaksana dislipidemia
 Olahraga minimal 20 menit 5-7 kali seminggu.
 Tiazolidindion  mengurangi inflamasi di hati.
SIROSIS HEPATIS (2)
A. Definisi
Perubahan arsitektur jaringan yang ditandai dengan regenerasi nodular yang bersifat difus
dan dikelilingi oleh septa-septa fibrosis  peningkatan aliran darah portal, disfungsi
sintesis hepatosit, serta meningkatkan risikokarsinoma hepatoseluler.

B. Etiologi
Seluruh penyakit hati yang bersifat kronis: paling sering hepatitis B kronis, hepatitis C
kronis, konsumsi alkohol.

C. Tanda dan Gejala


1. Sirosis Kompensata
 Kebanyakan asitomatik
 Gejala non-spesifik: penurunan libido, gangguan tidur
2. Sirosis Dekompensata
Ditemukan satu manifestasi berikut: ikterus, asites dan edema perifer,
hematemesis melena, ikterus, ensefalopati.

Stigmata sirosis:
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Lab
2. USG, CT-Scan/MRI: deteksi nodul hati atau tanda hipertensi portal.
3. Esofagogastrodudenoskopi: deteksi varises esofagus.
4. Pemeriksaan histopatologi: gold standard.

E. Tatalaksana
1. Umum
a. Farmakologis:
 Sesuai etiologi
 Terapi defisiensi besi  zink sulfat 2x200 mg PO
 Antipruritus: antihistamin, agen topikal

b. Nonfarmakologis:
 Diet seimbang 35-40 kkal/kgbb dengan protein 1,2-1,5 g/kgbb/hari
 Aktivitas fisik
 Stop konsumsi alkohol dan merokok
 Pembatasan obat-obatan hepatotoksik
2. Sirosis Dekompensata
a. Sesuai Manifestasi Klinis
 Hipertensi porta dan varises esophagus  bisa ruptur  menyebabkan
PSMBA  hematemesis melena. Terapi: somatostatin, endoskopi,
bedah.
 Asites: restriksi garam, spironolakton dan furosemide, parasentesis.
 Peritonitis bakterialis spontan: antibiotik spektrum luas.
 Ensefalopati hepatikum: pemberian laktulosa, suplementasi asam amino
rantai bercabang, diet rendah asam amino lisin, metionin, triptofan.
 Koagulopati dan gangguan hematologi: pertimbangkan transfusi.
b. Atasi Faktor Pencetus: sepsis, hipotensi, penggunaan obat
c. Transplantasi Hati

F. Derajat

GAGAL HEPAR (2)


A. Definisi
Ketidakmampuan hati untuk melakukan fungsi sintesis dan metabolik fisiologis.
Insufisiensi hati:
 Gangguan fungsi sintesis: hipoalbumin, defisiensi vitamin, gangguan koagulasi,
gangguan endokrin.
 Gangguan fungsi ekskresi: ikterus, hiperamonemia, ensefalopati.
 Gangguan fungsi metabolisme: gangguan keseimbangan glukosa, malabsorpsi
vitamin D dan kalsium.

B. Klasifikasi
1. Akut (Fulminant)
 Ensefalopati hepatiku terjadi dalam 2-3 minggu sejak gejala pertama dari
insufisiensi hati.
 Etiologi: paling banyak overdosis parasetamol dan infeksi virus.
 Manifestasi klinis: ensefalopati hepatikum, ikterik (kecuali disebabkan
sindrom Reye), nyeri pada perut kanan atas, mual muntah, malaise,
pembengkakan perut, hepatomegali pada fase awal
 Ensefalopati hepatikum terjadi karena hati gagal mengeliminasi produk
toksik dari bakteri di usus  bekerja sebagai transmitter palsu  gangguan
sistem saraf pusat.
2. Kronik
 Kapasitas fungsional hati tidak dapat mempertahankan kondisi fisiologis
normal.
 Gejala klinis mirip dengan sirosis.
 Etiologi: infeksi, penyakit vaskular hati

C. Pemeriksaan Penunjang
 Lab: darah rutin, SGOT, SGPT, bilirubin, fungsi ginjal, panel metabolik,
serologi virus, skrining toksikologi, penanda autoimun, AGD.
 USG, CT-Scan: melihat penyakit hati yang mendasari, melihat adanya sirosis.

NEOPLASMA HEPAR (2)


A. Definisi
Keganasan hati primer yang berasal dari hepatosit terdiri dari karsinoma hepatoseluler
(HCC)  85%, karsinoma fibrolamelar, dan hepatoblastoma. Sel mesenkim juga dapat
berkembang menjadi angiosarkoma dan leiomiosarkoma.

B. Etiologi
 Karsinogen kimia
 Hepatitis: paling sering infeksi hepatitis B dan C
 Hemokromatosis, Wilson’s disease, defisiensi antitripsin alfa 1.

C. Tanda dan Gejala


 Ikterus, hematemesis, nyeri tulang, penurunan berat badan, muscle wasting,
gejala seperti sirosis
 Pemeriksaan fisik: hepatomegali, splenomegali, asites, bruit di abdomen,

D. Pemeriksaan Penunjang
USG abdomen, CT-Scan, MRI.

KOLELITIASIS (2)
A. Definisi
Deposit kristal empedu yang ditemukan di dalam kantung empedu.

B. Faktor Risiko
Obesitas, penurunan berat badan yang cepat pada pasien obesitas, usia menengah ke atas,
wanita, penggunaan kontrasepsi oral, penyakit di kantung empedu, pankreas, atau usus,
kadar HDL yang rendah dan hipertrigliseridemia, genetik

C. Tanda dan Gejala


 Dapat asimtomatik
 Kelainan khas berupa kolik bilier:
- Nyeri kuadran kanan atas atau epigastrium
- Episodik, remiten, mendadak
- Berlangsung 15 menit-5 jam
- Hilang perlahan dengan sendirinya
- Disertai mual muntah
 Dicetuskan dengan makanan berlemak, makanan porsi besar, seringkali pada
malam hari.

D. Pemeriksaan Penunjang
 USG: posterior acoustic shadow dari opasitas pada lumen kantung empedu.
 Rontgen polos: deteksi batu yang mengandung kalsium.
 Endoskopi atau percutaneous cholangiography

KOLESISTITIS (3B)
A. Definisi
Inflamasi dinding kantung empedu, dapat bersifat akut maupun kronis.

B. Etiologi
 Batu empedu
 Iskemia kantung kemih (terutama pada pasien penyakit kritis)
 Infeksi bakteri atau parasit
 Striktur saluran empedu
 Neoplasma

C. Tanda dan Gejala


 Kolik bilier progresif
 Nyeri kuadran kanan atas atau epigastrium
 Menetap hingga 60 menit tanpa perbaikan
 Demam, mual, muntah, ikterus (jarang pada fase awal)
 Murphy sign: inspirasi terhenti sejenak dengan penekanan pada daerah
subkosta.

D. Pemeriksaan Penunjang
 Lab:
- Darah perifer: leukositosis
- Enzim hati: peningkatan alkalin fosfatase, SGOT, SGPT, bilirubin.
- Enzim pankreas: peningkatan kadar serum amilase.
 Pencitraan
- USG: dilatasi kantung empedu disertai penebalan dinding dan dikelilingi
oleh edema.
- CT-Scan abdomen: kecurigaan diagnosis lain.

E. Tatalaksana
1. Penanganan Awal: tirah baring, cairan adekuat, tunda asupan per oral, nutrisi
parenteral.
2. Farmakologis: antibiotik, analgesik, antipiretik, antispasmodik bila perlu
3. Pembedahan: dalam 72 jam pertama pada kolesistitis akut.

KOLEDOKOLITIASIS (2)
A. Definisi
Adanya batu empedu pada duktus sistikus.

B. Tanda dan Gejala


Dapat bersifat asimtomatik, dapat masuk ke duodenum secara spontan, kolik bilier,
ikterus.
KOLANGITIS (2)
A. Definisi
Inflamasi pada sistem saluran empedu.

C. Tanda dan Gejala


 Charcot’s triad: kolik bilier, ikterus, demam tinggi menggigil.
 Reynod’s pentad: Charcot triad + konfusi + hipotensi
 Feses pucat, urin lebih gelap, mual muntah

D. Pemeriksaan Penunjang
Leukositosis, kultur darah biasanya positif.
PANKREATITIS (2)
A. Definisi
Peradangan pankreas yang menyebabkan aktivasi enzim-enzim pankreas di dalam sel-sel
pankreas, sehingga menyebabkan kerusakan jaringan.

B. Etiologi
 Obstruksi: batu empedu, askariasis, keganasan, stenosis, striktur
 Konsumsi alkohol
 Trauma: terutama iatrogenik setelah pembedahan
 Metabolik: hipertrigliserideia, hiperkalsemia
 Toksin: toksin kalajengking, keracunan organofosfat
 Obat
 Infeksi
 Kelainan kongenital, mutasi genetik
 Penyakit vaskular
C. Tanda dan Gejala
 Nyeri epigastrium atau bagian tengah yang hebat, akut, persisten, dapat menjalar
ke punggung.
 Mual, muntah, gelisah, agitasi
 Pemeriksaan fisik:
- Demam, takikardia, syok, atau koma pada kasus berat
- Distensi abdomen (terutama di epigastrium) dan defans muskular
- Dispneu: iritasi diafragma
- Grey-Turner’s sign: ekimosis pada pinggang
- Cullen’s sign: ekomosis region periumbilikal
- Ikterik: bila obstruksi duktur bilier.
- Teraba massa di epigastrium

D. Pemeriksaan Penunjang
1. Lab
 Amilase serum: meningkat setelah 6-12 jam onset hingga 3-5 hari.
 Lipase serum: lebih spesifik, meningkat hingga 12 hari.
2. Pencitraan
 Rontgen abdomen: dapat ditemukan gambaran ileus dari segmen usus halus
“sentinel loop” atau colon cutoff sign (sejumlah udara pada kolon distal).
 Rontgen toraks: elevasi hemidiafragma, efusi pleura, ateletaksis basal,
infiltrat paru.
 USG abdomen: pembesaran difus dari pankreas hipoekoik.
 CT-Scan abdoen: untuk diagnosis pasti dan menilai komplikasi.

KARSINOMA PANKREAS (2)


A. Faktor Risiko
Merokok, konsumsi alkohol berlebihan, riwayat keluarga dengan kanker pankrea,
pankreatitis kronis.

B. Tanda dan Gejala


 Asimtomatik hingga terjadi obstruksi duktus atau invasi ke jaringan sekitar.
 Nyeri perut atau punggung tengah.
 Ikterus jika terjadi obstruksi duktus biliaris.
 Malabsorpsi lemak dan protein  penurunan berat badan.
 Diabetes mellitus

C. Pemeriksaan Penunjang
 Ultrasound endoskopik, CT-Scan kontras, MRI kontras,
 Pemeriksaan histopatologi

INFLAMMATORY BOWEL DISEASE (1)


A. Definisi
Kelompok penyakit inflamasi kronik pada usus. Dua tipe yang paling sering ditemukan:
Kolitis Ulseratif dan Penyakit Crohn.
B. Klasifikasi
1. Kolitis Ulseratif
a. Definisi
Proses inflamasi mukosa yang terlokalisasi di kolon, dimulai dari rektum ke
arah proksimal, bersifat difus dan kontinu.
b. Manifestasi Khas: diare kronis volume kecil, berdarah, mengandung mukus.

2. Penyakit Crohn
a. Definisi
Proses inflamasi yang dapat mengenai sepanjang traktus gastrointestinal,
segmental dan dapat diselingi jaringan sehat di sekitarnya, ulserasi
transmural, asimetris.
b. Manifestasi Khas:
 Diare kronis, darah dan lendir jarang ditemukan
 Nyeri perut lebih dominan, mual, muntah
 Malabsorpsi dan malnutrisi  karena melibatkan usus halus
 Malabsorpsi empedu dan lemak  steatorrhea dan kembung
 Jika striktur  obstipasi tanpa flatus dan feses
IRRITABLE BOWEL SYNDROME (3A)
A. Definisi
Kumpulan gejala nyeri atau rasa tidak nyaman di perut yang dihubungkan dengan
abnormalitas fungsi dan pergerakan usus besar tanpa kelainan struktural.

B. Etiologi
 Tidak ada kelainan organik yang mendasari.
 Faktor predisposisi: peristiwa traumatik secara emosional, diare infeksi lama,
toksisitas bakteri, jenis kelamin perempuan, depresi, hipokondriasis.
 Mekanisme: gangguan motilitas usus, hipersensitivitas viseral, dan
psikopatologi.

C. Tanda dan Gejala


 Eksaserbasi akut sering setelah makan atau stress emosional.
 Nyeri abdomen, rasa tidak nyaman atau kram perut episodik.
 Diare atau konstipasi bergantian namun salah satu mendominasi.

Kriteria diagnosis berdasarkan ROME III:


Rasa nyeri atau tidak nyaman di abdomen yang rekuren, minimal 3 hari dalam 1
bulan dalam 3 bulan terakhir, disertai >2 keadaan berikut:
1. Perbaikan setelah defekasi
2. Onset yang diasosiasikan dengan perubahan frekuensi feses
3. Onset yang diasosiasikan dengan perubahan konsistensi feses
4. Dengan catatan gejala sudah pernah dialami setidaknya 6 bulan sebelum
diagnosis.

D. Tatalaksana
1. Modifikasi Diet
 Hindari makanan yang mungkin mencetuskan gejala.
 Contoh: kopi, susu, gandum, pemanis buatan yang mengandung fruktosa,
kacang-kacangan, dan kol.
 Batasi konsumsi makanan karbohidrat rantai pendek yang sulit diabsorpsi
di usus
2. Farmakoterapi
Obat diberikan berdasarkan gejala yang dominan, antibiotik jangka pendek saat
diare, pemberian probiotik.
3. Psikoterapi
KANKER KOLON (2)
A. Faktor Risiko

B. Tanda dan Gejala


 Perubahan pola BAB lebih dari 6 minggu, nyeri perut kolik, teraba massa,
penurunan berat badan
 Tumor di sebelah kanan (sekum hingga ascending):
- Pada awalnya sering asimtomatik
- Nyeri perut, massa teraba di kuadran kanan bawah, anemia, lemah badan,
feses berdarah.
- Tumor dapat menjadi besar dengan nekrosis dan ulserasi  hilangnya darah
merah gelap secara persisten dan anemia.
- Jarang obstruksi
 Tumor di sebelah kiri (descending):
- Sering terjadi obstruksi  feses menjadi kecil-kecil.
- Distensi abdomen progresif, nyeri muntah, konstipasi, kram, feses berdara
merah terang.

C. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan darah samar pada feses (jika tidak ada perdarahan makroskopis)
 Lab: kadar carcinoembryonic antigen (CEA) serum  staging dan tipe tumor
 Barium enema: apple core appearance
 Kolonoskopi
 Pemeriksaan histopatologi

GASTROINTESTINAL STROMAL TUMOR (2)


A. Definisi
Keganasan mesenkimal gastrointestinal yang paling banyak ditemukan.

B. Tanda dan Gejala


 Asimtomatik hingga mencapai ukuran besar.
 Gejala nonspesifik: nyeri perut, lemah badan, dispepsia, mual, anoreksia,
penurnan berat badan, demam.
 Ulserasi mukosa atau ruptur tumor  perdarahan.
 Massa yang teraba (jarang)
 Gejala obstruksi berdasarkan lokasi tumor:
- Esofagus  disfagia
- Kolorektal  konstipasi, distensi dan nyeri abdomen
- Duodenum  ikterus obstruktif

C. Pemeriksaan Penunjang
CT-Scan, endoskopi, pemeriksaan histopatologi
DAFTAR PUSTAKA

11. Jameson JL. Harrison's principles of internal medicine 20th ed. McGraw-Hill
Education; 2018.
12. Battista E, Horton-Szar D, Page CP. Crash Course. Elsevier Health Sciences UK;
2012.
13. McCance KL, Huether SE. Pathophysiology-E-book: the biologic basis for disease
in adults and children. Elsevier Health Sciences; 2018 Jan 10.
14. Purnamasari D. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi Ke-6. Jakarta: Papdi. 2014.
15. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Kapita selekta kedokteran. Jakarta:
Media Aesculapius. 2014:329-0.
16. Lopes D, Samant H. Hepatic Failure. 2019
17. Patel N, Shackelford KS. Irritable Syndrome Syndrome. 2018
IPD – GINJAL
HIPERTENSI
INFEKSI SALURAN KEMIH (4A)
A. Definisi
Invasi mikroorganisme pada saluran kemih, mulai dari uretra hingga ginjal.

B. Etiologi
Biasanya bakteri batang gram negatif enterik yang migrasi ke saluran kemih.
 Eischericia coli (80%)
 Staphylococcus saprophyticus
 Klebsiella, Proteus, Entercoccus, Enterobacter, Citrobacter
 Pseudomonas aeruginosa  pada pasien yang mengalami prosedur urologi atau
obstruksi saluran kemih.

C. Klasifikasi
1. Berdasarkan Lokasi
a. Atas: pyelonephritis, urethritis
b. Bawah: sistitis, urethritis, prostatitis, epididimitis
2. Berdasarkan Manifestasi Klinis
a. Bakteriuria Asimtomatik
Tidak ada gejala tetapi kultur urine ditemukan bakteri.
b. Simtomatik
 Nonkomplikata
Pada sistem saluran kemih yang berfungsi normal dan tanpa disertai
faktor komplikasi lain.
 Komplikata
Adanya kelainan stuktural atau fungsional atau penyakit lain:
- Pemakaian kateter atau adanya stent pada saluran kemih
- Obstruksi: batu, tumor, neurogenic bladder
- Refluks vesikoureter
- Paparan zat kimia atau radiasi
- Perioperatif dan pascaoperatif
- Gangguan ginjal, DM, imunokompromais
- Laki-laki, usia lanjut, kehamilan, anak, gejala >7 hari

D. Tanda dan Gejala


1. Uretritis
Disuria, frekuensi, piuria
2. Sistitis
 Trias: disuria, frekuensi, urgensi
 Nyeri suprapubik, nokturia, hesitancy
 Urin keruh dan berbau tidak sedap, urin berdarah
 Kemerahan pada uretra atau area suprapubik
3. Prostatitis
 Akut: nyeri perineum, demam, dan prostat yang membengkak pada
pemeriksaan.
 Kronis: gejala serupa sistitis, pancaran urin lemah, sulit memulai BAK
4. Pyelonefritis
 Demam, menggigil, mual dan muntah, nyeri abdomen, diare
 Nyeri tekan dan kemerahan sudut kostrovertebra atau palpasi abdomen dalam
 Urin purulen

E. Pemeriksaan Penunjang
1. Urinalisis: piuria, bakteriuria, hematuria, nitrit (+), leukosit >5/LPB, leukosit
esterase (+)
2. Kultur urin, kultur darah
3. Pencitraan:
a. USG  memeriksa pyelonephritis: akumulasi gas di sekitar ginjal, hipoekoik
berarti edema, hiperekoik berarti perdarahan.
b. CT-Scan
c. Sistografi

F. Tatalaksana
1. Farmakologis
a. Bakteriuria Asimtomatik
Obat hanya untuk wanita hamil, sebelum tindakan beda urologi, dan setelah
transplantasi ginjal
b. Sistitis Akut Nonkomplikata
 Kotrimoksazol 2x960 mg 3 hari
 Siprofloksasin 2x250 mg 3 hari
 Nitrofurantoin 2x100 mg 7 hari
 Co-amoxiclav 2x625 mg 7 hari
c. Sistitis Akut Rekurens
 Kotrimoksazol sampai 6 bulan
 Pencegahan:
- Nitrofurantoin 50 mg/hari
- Kotrimoksazol 240 mg/hari
- Infeksi saat diberikan profilaksis: siprofloksasin 125 mg/hari
d. Pyelonefritis Akut Nonkomplikata
 Indikasi rawat:
- Gagal rehidrasi dan antibiotik oral: muntah
- Sakit berat, toksisitas sistemik: demam tinggi, dehidrasi, sepsis
- Terdapat komorbid
 Antibiotik:
- Parenteral:
o Seftriakson 1x1 g atau Levofloksasin 4x500 mg atau
Siproflokasin 2x400 mg selama 7-14 hari.
o Diberikan IV  dalam 3 hari ada perbaikan  diganti peroral.
- Peroral untuk gejala ringan: Siproflokasin 2x250 mg 7 hari
- Peroral untuk gejala berat: Siproflokasin 2x250 mg 14 hari
e. ISK Komplikata
Fluoroquinolone, aminopenicillin-beta lactamase inhibitor, sefalosporin
generasi 3, aminoglikosida sampai 3-5 hari setelah afebris.
f. ISK pada Laki-Laki
Kotrimoksazol atau Siproflokasin selama 7 hari.
g. ISK pada Wanita Hamil
 Co-amoxiclav, nitrofurantoin, sefalosporin oral.
 Pyelonefritis: dirawat di RS, IV sefalosporin atau gentamisin.
2. Nonfarmakologis
 Asupan cairan yang banyak
 Menjaga kebersihan daerah uretra dan sekitarnya
 Penggantian kateter yang teratur pada pasien
G. Resep
R/ Kotrikomsazol 480 mg tab No. XII
S 2 dd tab II
Atau
R/ Siprofloksasin 500 mg tab No. III
S 2 dd tab ½
Atau
R/ Nitrofurantoin 100 mg tab No. XIV
S 2 dd tab I
R/ Paracetamol 500 mg tab No. XV
S 3 dd tab I

GLOMERULONEFRITIS (3A)
A. Definisi
Penyakit inflamasi atau non-inflamasi pada glomerulus yang menyebabkan perubahan
permeabilitas, perubahan struktur, dan fungsi glomerulus.

B. Klasifikasi
 Akut: kerusakan mendadak dan berat, fungsi ginjal yang terjadi dalam beberapa
hari atau minggu.
 Kronik: proteinuria persisten dengan atau tanpa hematuria disertai penurunan
fungsi ginjal progresif lambat.

C. Etiologi
 Sebagian besar idiopatik.
 Infeksi beta streptokokus
 Infeksi virus hepatitis C
 Obat, pajanan toksin

D. Tanda dan Gejala


 Edema tungkai dan periorbita, asites, efusi pleura.
 Hipoalbuminemia  kuku terlihat pucat dan membentuk pita putih.
 Hiperlipidemia  xantelasma

E. Pemeriksaan Penunjang
 Lab:
- Urinalisis: hematuria, silinder eritrosit, proteinuria
- Darah: gula darah, serum albumin, profil lemak, fungsi ginjal
- Serologi: ASTO, C3, C4, ANA, anti-dsDNA, antibodi anti-GBM, ANCA
 USG: menilai ukuran ginjal dan menyingkirkan kelainan lain.
 Biopsi ginjal

F. Tatalaksana
 Tatalaksana spesifik untuk penyebab.
 Kontrol tekanan darah dan proteinuria: ACE-I atau ARB, asupan protein 0,8
g/kg/hari
 Imunosupresif: kortikosteroid (prednisone 1 mg/kgbb/hari), siklofosfamid,
klorambusil, dan azatioprin.

KARSINOMA SEL RENAL (2)


A. Klasifikasi
B. Tanda dan Gejala
 Gejala yang sering ditemukan: hematuria, nyeri pinggang atau abdomen, teraba
massa pada pinggang atau abdomen.
 Gejala lain: demam, penurunan berat badan, anemia, varicocele.
 Sindrom paraneoplastik: eritrositosis, hiperkalsemia, gangguan hati
nonmetastasis (sindrom Stauffer), disfibrinogenemia

C. Pemeriksaan Penunjang
 Urinalisis, sitologi urin
 Pencitraan:
- Rontgen toraks
- CT-Scan abdomen dan pelvis, CT-Scan toraks jika ada kecurigaan
metastasis dari rontgen toraks
- MRI: evaluasi inferior vena cava pada kecurigaan invasi thrombus atau jika
CT-Scan kontras dikontraindikasikan.
TUMOR WILMS (2)
A. Definisi
Tumor embrional dari ginjal yang menyebabkan proliferasi abnormal dari sel punca ginjal
(metanephric blastema). Disebut juga nephroblastoma.

B. Tanda dan Gejala


 Massa abdomen atas yang terus membesar
 Nyeri perut, hematuria, demam, hipertensi
 Pemeriksaan fisik: tumor terasa padat, tidak nyeri, permukaan rata, massa soliter
di satu sisi abdomen.
C. Pemeriksaan Penunjang
 Lab dan pencitraan
 Pemeriksaan histopatologi
GANGGUAN GINJAL AKUT (2)
A. Definisi
Kerusakan fungsi ginjal yang mendadak (dalam beberapa jam hingga beberapa minggu),
diikuti oleh retensi sisa metabolisme nitrogen (urea, kreatinin) dan non-nitrogen yang
normalnya diekskresikan oleh ginjal.

B. Etiologi
Dibagi menjadi 3 kelompok: prerenal, intrinsik (renal), postrenal.

C. Tanda dan Gejala


1. Prerenal
 Riwayat muntah, diare
 Rasa haus, seperti ingin jatuh
 Hipotensi ortostatik, takikardia, turgor kulit menurun, mukosa kering,
penurunan JVP
 Stigmata sirosis hati dan hipertensi portal
 Tanda-tanda gagal jantung
 Sepsis
2. Renal (Intrinsik)
Bergantung pada etiologi yang mendasari:
 Gangguan tubulus: riwayat hipovolemia, syok sepsis, operasi besar
 Hipertensi maligna
 Glomerulonefritis: oliguria, edema, hipertensi, hematuria
 Iskemia pembuluh darah ginjal: nyeri pinggang
3. Postrenal
 Nyeri suprapubik, nyeri perut
 Obstruksi ureter: nyeri kolik
 Gangguan prostat: nokturia, frekuensi, pembesaran prostat
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Lab:
 Darah: darah perifer lengkap, ureum kreatinin, elektrolit, asam urat
 Urinalisis: jumlah urin, berat jenis urin, sedimen, hematuria, piuria
2. Radiologi: USG ginjal, CT-Scan, MRI
3. Biopsi ginjal: jika dicurigai etiologi intrinsik renal

E. Diagnosis

F. Derajat
1. RIFLE

2. AKIN dan KDIGO


PENYAKIT GINJAL KRONIS (2)
A. Definisi
Kelainan struktural atau fungsional pada ginjal yang berlangsung minimal 3 bulan.

B. Klasifikasi
Berdasarkan GFR. Perhitungan GFR:
C. Etiologi
1. Penyakit Ginjal Primer
 Glomerulonefritis
 Pyelonefritis
 Hipoplasia kongenital
2. Penyebab Sekunder
 Diabetes mellitus  nefropati diabetic
 Hipertensi
 Uropati obstruktif: urolitiasis, tumor
 SLE
 Obat-obatan
D. Tanda dan Gejala
 Berdasarkan penyakit yang mendasari
 Sindrom uremia: lemah, letargi, mual muntah, nokturia, volume overload
(edema perifer, efusi pleura, hipertensi, JVP meningkat, asites), neuropati
perifer, pruritus, uremic frost, fetor uremikum, kejang sampai dengan koma.
 Gejala komplikasi: hipertensi, anemia, gagal jantung, asidosis metabolik,
gangguan keseimbangan elektrolit.
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Darah lengkap: anemia, ureum kreatinin meningkat
2. Elektrolit: hiperkalemia, hipokalsemia, hiperfosfatemia, hipermagnesemia,
hiponatremia, hiper/hipokloremia
3. Glukosa darah dan profil lipid
4. Analisis gas darah: asidosis metabolik (pH menurun, HCO3 menurun)
5. Urinalisis: proteinuria, albuminuria, hematuria, sedimen urin, leukosuria
6. Pencitraan: USG ginjal, BNO-IVP, renogram, rontgen toraks
7. Biopsi ginjal
8. Lain-lain: EKG, ekokardiografi

SINDROM NEFROTIK (2)


A. Definisi
Tanda patognomonik penyakit glomerular yang ditandai dengan:
 Proteinuria masif >3,5 g/hari
 Hipoalbuminemia <3,5 g/hari
 Hiperlipidemia, hiperkolesterolemia, lipiduria
 Edema anasarka

B. Etiologi

C. Tanda dan Gejala


 Lemas, urin berbusa, anoreksia
 Hipertensi
 Hipoalbuminemia  garis putih pada
kuku (muehrcke’s band)
 Edema anasarka
D. Pemeriksaan Penunjang
 Darah perifer lengkap, hipoalbumin, profil lipid, elektrolit, fungsi hati, fungsi
koagulasi, gula darah.
 Urinalisis: proteinuria, albuminuria, hematuria, sedimen urin, oval fat bodies
 Pemeriksaan titer ANA, anti-dsDNA, HBsAg, anti-HCV, anti-HIV
 Biopsi ginjal

SINDROM NEFRITIK (1)


A. Definisi
Terdiri dari hipertensi, hematuria, gangguan fungsi ginjal ditandai dengan adanya silinder
eritrosit dan proteinuria ringan sampai sedang.

B. Etiologi
1. Glomerulonefritis
a. Infeksi
 Pasca infeksi streptokokus
 Pasca infeksi non-streptokokus
- Bakteri: endokarditis infektif, sepsis, pneumonia oleh pneumokokus,
demam tifoid, meningokoksemia, sifilis sekunder.
- Virus: hepatitis B, mononucleosis, campak, varisela, coxsackievirus
- Parasit: malaria, toksoplasmosis
b. Non-Infeksi
 Penyakit ginjal primer: contoh IgA nephropathy (Berger’s disease)
 Penyakit sistemik: SLE, vaskulitis, Henoch-Schonlein purpura,
poliarteritis nodosa, sindrom Goodpasture
2. Penyebab lain
Guillain-Barre Syndrome, radiasi tumor Wilms, vaksin DPT yang diberikan
sendiri.

C. Tanda dan Gejala


 Urin berwarna kecoklatan (cola urine, urin seperti air cucian daging)
 Oliguria, nyeri abdomen
 Anoreksia, pruritus, kelelahan, mual muntah, mudah memar, mimisan, bengkak
pada wajah dan kaki, sesak napas
 Pemeriksaan fisik:
- Volume overload: edema periorbital dan kaki, hipertensi, edema paru (ronki
halus), JVP meningkat, asites, efusi pleura
- Ruam kulit, pucat, nyeri ketok CVA, pembengkakan sendi
HIPERTENSI (4A)
A. Definisi
Peningkatan tekanan darah distolik > 140 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik >90
mmHg secara kronis pada individu yang tidak menggunakan obat anti hipertensi.

B. Klasifikasi

JNC 8

WHO/ISH
C. Etiologi
1. Hipertensi Primer (4A)
Interaksi faktor genetik dan lingkungan.
2. Hipertensi Sekunder (3A)
Dicurigai pada pasien usia <30 tahun atau >55 tahun. Penyebab:
 Penyakit ginjal
 Penyakit endokrin: hiperaldosteronisme, hipertiroid, Cushing syndrome,
hiperparatiroidisme
 Penyakit vaskular: stenosis aorta renalis, koarksio aorta
 Kehamilan, penyakit lain, stress akut, obat, neoplasma

D. Tanda dan Gejala


1. Anamnesis
a. Gejala peningkatan tekanan arteri: sakit kepala, tekanan di belakang kepala,
mual muntah, berdebar-debar, mudah lelah.
b. Gejala target organ damage:
 Serebrovaskular: vertigo, lemah badan satu sisi, defisit neurologis
 Mata: pandangan buram
 Kardiovaskular: dada berdebar, nyeri dada, bengkak di kaki, sesak napas
 Nefropati: urin keruh, BAK sedikit, bengkak
 Vaskulopati: kaki dingin

2. Pemeriksaan Fisik
a. Tekanan darah
b. Antropometri: BB, TB, lingkar pinggang, body fat
c. Leher: JVP, palpasi dan auskultasi karotis, pemeriksaan tiroid
d. Paru: bisa terdapat ronki pada edema paru
e. Jantung: ukuran, ritme, suara tambahan
f. Abdomen: massa ginjal, bruit pada aorta atau renal arteri
g. Ekstremitas: Pulsasi arteri perifer, edema, pemeriksaan neurologis

E. Pemeriksaan Penunjang
1. Lab: darah rutin, gula darah, profil lipid, asam urat, fungsi ginjal, elektrolit,
pemeriksaan hormon (jika ada kecurigaan penyakit endokrin)
2. Urinalisis: protein, glukosa
3. EKG, rontgen toraks, ekokardiografi
4. USG ginjal
F. Tatalaksana
1. Nonfarmakologis
 Kontrol berat badan
 Diet DASH: banyak konsumsi buah, sedikit lemak
 Konsumsi garam <6 g/hari
 Batasi konsumsi alkohol
 Berhenti merokok
 Kontrol glukos darah dan lipid
 Aktivitas fisik aerobik sedang-berat 3-4x/minggu sekitar 40 menit tiap sesi.
2. Farmakologis
Prinsip umum:
 Dosis rendah pada awal terapi.
 Kombinasi obat untuk efikasi yang maksimal dan meminimalisasi efek
samping.
 Ganti kelas obat apabila respon sedikit atau tidak toleran sebelum
meningkatkan dosis atau menambah obat kedua.
 Gunakan obat yang 1x/hari  meningkatkan kepatuhan pasien.
 Dikonsumsi seumur hidup.
 Evaluasi tiap bulan hingga target tekanan darah tercapai.
 Jika target tercapai  frekuensi kontrol 3-6 bulan sekali.
D. Resep
R/ Amlodipin 5 mg tab No. XXX
S 1 dd tab I o.n
R/ Captopril 12,5 mg tab No. XC
S 3 dd tab I
HIPERTENSI PULMONAL (1)
A. Definisi
Peningkatan tekanan sistolik arteri pulmonalis, yaitu rerata tekanan arteri pulmonalis >22
mmHg atau tekanan sistolik >36 mmHg.

B. Etiologi

C. Tanda dan Gejala


 Sesak saat aktivitas, lemah
badan, sinkop, nyeri dada
 Hemoptisis (pecahnya
pembuluh darah paru)
 Fenomena Raynaud: konstriksi
pembuluh arteri kecil
menyebabkan menurunnya
suplai darah
DAFTAR PUSTAKA

18. Jameson JL. Harrison's principles of internal medicine 20th ed. McGraw-Hill
Education; 2018.
19. Battista E, Horton-Szar D, Page CP. Crash Course. Elsevier Health Sciences UK;
2012.
20. McCance KL, Huether SE. Pathophysiology-E-book: the biologic basis for disease
in adults and children. Elsevier Health Sciences; 2018 Jan 10.
21. Purnamasari D. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi Ke-6. Jakarta: Papdi. 2014.
22. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Kapita selekta kedokteran. Jakarta:
Media Aesculapius. 2014:329-0.
23. Armstrong C. JNC8 guidelines for the management of hypertension in adults.
American family physician. 2014 Oct 1;90(7):503-4.
IPD – KARDIOLOGI
EKG
H. Definisi
Alat untuk mengukur aktivitas elektrik jantung.

I. Kertas EKG
 1 kotak besar terdiri dari 5x5 kotak kecil.
 Bagian kotak yang vertikal menghitung voltase/amplitudo. 1 kotak kecil = 0.1
mV  1 kotak besar=0.5 mV.
 Bagian kotak yang horizontal menghitung waktu. 1 kotak kecil = 0.04 s  1
kotak besar=0.2 s.
 Baca identitas pasien: nama, jenis kelamin, umur, tanggal dan waktu.
 Kalibrasi dan paper speed. Biasanya tertulis di bawah kertasnya. Biasanya
kalibrasi: 10 mm/mV. Paper speed: 25 mm/s.
J. Gelombang EKG

Gelombang:
 P wave: Kontraksi atrium. P wave dibagi 2, ½ awal=kontraksi atrium kanan, ½
akhir= kontraksi atrium kiri.
 Q wave: Depolarisasi interventricular septum.
 R wave: Depolarisasi ventrikel.
 S wave
Secara keseluruhan, QRS complex: Kontraksi ventrikel.
 T wave: Repolarisasi ventrikel.
Segmen dan interval: Segmen  garis saja; interval  gelombang+garis.
 PR segment: Relaksasi atrium.
 PR interval: Total seluruh aktivitas atrium.
 QRS interval: Depolarisasi ventrikel.
 ST segment: Ventrikel mulai relaksasi.
 QT interval: Total seluruh aktivitas ventrikel.

K. Membaca EKG
1. Regularitas: Lihat jarak antara R wave satu dan yang lainnya (paling nyaman di
lead V5). Sama/tidak jaraknya?
 Sama=Reguler; tidak sama=irreguler.
 Variasinya boleh sekitar 0.06 s/1,5 kotak kecil.
 Metode: Bisa menggunakan penggaris atau kertas lain yang ditandai jarak R-R
nya.
2. Heart rate
 Reguler: (1500/kotak kecil R ke R) atau (300/kotak besar R ke R)
 Irreguler: Hitung jumlah R wave dalam 30 kotak besar dikali 10.
Jumlah HR normal: 60-100 bpm.
3. Ritme: Sumber listrik jantung. Normalnya dari SA node/sinus rhythm.
Disebut sinus bila:
 P wave diikuti oleh QRS complex di semua lead.
 Di lead II P wavenya naik, di lead aVR P wavenya turun.
 PR interval >0.12 s.
4. P wave:
 Nilai Kontur: Halus/tidak? Ada notch? [Normal: Halus], monophasic
(puncaknya 1)/biphasic (1 puncak 1 lembah)? [Boleh biphasic di lead III.]
 Morfologi: (+)/naik di lead: I, aVF, aVL, V4-V6 ; (-)/turun di lead aVR ; biphasic
di lead III.
 Durasi: 0.12 s (3 kotak kecil). LIHAT DI LEAD II.
 Amplitudo: <0.25 mV (2-3 kotak kecil). LIHAT DI LEAD II.

5. PR interval: LIHAT DI LEAD II. Normal: 0,11-0.20 s (3-5 kotak kecil).


6. Q wave
 Tidak boleh ada di lead V1, V2, dan V3; harus ada di lead V5 dan V6 ;
 Boleh sebesar apapun di lead III dan aVR.
 Selain lead yang disebutkan ada Q wave  abnormal.
 Durasi: <0.04 s (1 kotak kecil). LIHAT DI LEAD V5 DAN V6.
 Amplitudo: < ¼ dari amplitudo R wave. LIHAT DI LEAD V5 DAN V6.
7. R wave: LIHAT DI LEAD V1-V6.
 Dari lead V1-V4/V5 akan ada peningkatan amplitudo R wave (biasanya di
lead V4/V5 R wavenya paling tinggi) dan akan memendek di lead V6.
 Dilihat secara keseluruhan, kalau secara keseluruhan semakin naik berarti
normal.
8. S wave: LIHAT DI LEAD V1-V6.
 Pada lead V1 dan V2 S wavenya besar (paling tinggi bisa di V1/V2), lalu
terjadi penurunan amplitudo di lead V3-V6, bahkan bisa sampai tidak ada
sama sekali.
 Dilihat secara keseluruhan, kalau secara keseluruhan semakin turun berarti
normal.
9. R/S amplitude ratio: LIHAT DI LEAD V1 & V2.
 Hitung rasio amplitudo R wave dan S wave; bandingkan.
 Normal: <1, karena di lead V1 dan V2 normalnya S wave lebih besar
dibanding R wave.
10. QRS duration: LIHAT DI LEAD II. Normal: 0.07-0.11 (<3 kotak kecil).
11. QRS amplitudo:
 Hitung amplitudo R wave di lead V5/V6 (ambil yang paling tinggi) dan S
wave di lead V1/V2 (ambil yang paling tinggi).
 Amplitudo R wave + S wave tersebut harus <35 kotak kecil.
12. QRS axis: LIHAT DI LEAD I DAN aVF.
 Bandingkan amplitudo R wave dan S wavenya; kalau amplitudo R > S = (+);
amplitudo R < S = (-).
 Interpretasi:
- Lead I (+), aVF (+): Normal.
- Lead I (+), aVF (-): Left axis deviation.
Jika aVF (-), cek dulu ke lead II. Jika lead II (+): Normal; (-): Abnormal.
- Lead I (-), aVF (+): Right axis deviation.
- Lead I (-), aVF (-): Extreme right axis deviation.
Keterangan gambar:
 Lead I (+): ke kiri, aVF (+): ke bawah ; lead I (-): ke kanan, aVF (-): ke atas.
 Normal: Resultan geraknya akan di kuadran kiri bawah (warna hijau).
 LAD: Lead I nya ke kiri (+),aVFnya ke atas (-)  resultan geraknya ke
kuadran kiri atas (warna merah).
 RAD: Lead I ke kanan (-), aVF ke bawah (+)  resultan geraknya ke kuadran
kanan bawah (warna biru).
 Extreme axis: Lead I nya ke kanan (-), aVFnya ke atas (-)  resultan
geraknya ke kanan kiri atas (warna abu-abu).
13. ST segment: LIHAT DI SEMUA LEAD.
 Normalnya sejajar PR segment (isoelectric). Variasi <0.2 mV.
 Bisa naik (upsloping), bisa turun (downsloping).
 Cara tahu elevasi/depresi: Lihat J-point (titik pertemuan antara akhir S wave
dan ST segment).
14. T wave: LIHAT DI SEMUA LEAD.
 T wave (+) di semua lead kecuali lead aVR. Biphasic di V1.
 Amplitudonya 1/3-2/3 dari R-wave.
Note: Kalau misal di suatu lead T wave (-), lead selanjutnya (+), selanjutnya
lagi (-) itu tidak masalah. Tapi kalau berurutan (lebih dari 2), itu abnormal. Jadi
sebenarnya tidak mutlak semua lead (+) T wavenya.
15. U wave: Repolarisasi purkinje fibers.
 Setelah T wave.
 Biasanya tidak ada; tanda dari hipokalemia.
 Paling menonjol di lead V1 dan V2.

16. QTc interval: Normal: <0.46 s.


17. Kesimpulan:
 Ritme? Regularitas? HR? Wave (Ada gelombang abnormal? [Jika ya]
Dimana?)
 Pasien memiliki ritme ______, regularitas ______ dengan heart rate ___ bpm.
Gelombang-gelombangnya normal, jadi pasien ini normal.

RADANG PADA DINDING JANTUNG (2)

ENDOKARDITIS
A. Definisi
Infeksi pada permukaan endotel jantung, dapat melibatkan satu atau lebih katup jantung,
endokardium mural, atau defek septal.

B. Etiologi
1. Abnormalitas pada endokardium
2. Mikroorganisme:
 Staphylococci: paling sering S. aureus
 Streptococci: S. viridans, Enterocci, S. gallolyticus
 Gram negatif: kelompok HACEK (Haemophilus, Actinobacillus,
Cardiobacterium, Eikenella, dan Kingella)
 Fungi: Candida

C. Klasifikasi
1. Akut
 Biasanya menyerang katup jantung normal
 Biasanya disebabkan oleh organisme yang sangat virulent dan invasif
 Gejala: demam tinggi, menggigil
2. Subakut
 Biasanya disebabkan oleh organisme yang tidak terlalu virulent
 Paling sering terjadi pada individu dengan kerusakan jantung sebelumnya
 Gejala: demam rendah, lelah, anoreksia, lemas, myalgia, keringat malam
D. Tanda dan Gejala
 Demam, menggigil, nyeri dada, mual muntah
 Faktor risiko: pengguna obat suntik/infus intravena, pengguna katup prostetik,
gangguan jantung, prosedur pembedahan, prosedur gigi
 Gejala muskuloskeletal: arthralgia, myalgia
 Efek emboli sistemik:
- Gejala neurologis (stroke, perdarahan intrakranial, kejang, ensefalopati)
- cGinjal: hematuria, gagal ginjal
- Emboli paru
- Ruptur arteri karena arteritis septik
 Pemeriksaan fisik:
- Murmur
- Lesi kulit: ptechiae (konjungtiva palpebral, mukosa palatal dan bukal,
ekstremitas), subungual hemorrhage, nodus Osler, Lewi Janeway, Roth Spot
E. Pemeriksaan Penunjang
 Lab: anemia, leukositosis, LED meningkat, CRP meningkat
 Kultur darah
 EKG: blok jantung, aritmia
 Ekokardiografi: disfungsi katup, obstruksi vegetasi, pembentukan abses, gagal
jantung
F. Diagnosis
MIOKARDITIS
A. Definisi
Penyakit inflamasi pada miokardium.

B. Etiologi
 Primer
- Infeksi virus akut
- Respon autoimun pasca infeksi virus
 Sekunder
- Bakteri, spiroseta, riketsia, jamur, protozoa
- Penyakit inflamasi: SLE
- Obat, bahan kimia, radiasi, heat stroke, hipotermia

C. Tanda dan Gejala


 Gejala prodromal virus: demam, arthralgia, lemah badan
 Sesak napas, orthopnea, edema ekstremitas, palpitasi, sinkop
 Bisa menyebabkan aritmia, syok kardiogenik
 Pemeriksaan fisik: bisa normal hingga menunjukkan tanda seperti gagal jantung
(S3 gallop, distensi vena jugular, edema perifer, takikardia), murmur regurgitasi
mitral

D. Diagnosis
 Lab: darah perifer lengkap, LED dan CRP bisa meningkat, troponin, BNP
 EKG: perubahan ST nonspesifik, sinus takikardia, atau aritmia ventrikular
 Ekokardiografi
 Pemeriksaan histopatologi  gold standard

PERIKARDITIS
A. Definisi
Penyakit inflamasi pada perikardium.

B. Etiologi

C. Tanda dan Gejala


 Nyeri dada, nyeri pleuritik yang memberat saat menarik napas dan berbaring.
 Sesak napas, batuk, cegukan.
 Pemeriksaan fisik:
- Pasien tampak gelisah
- Demam tidak terlalu tinggi
- Friction rub

D. Pemeriksaan Penunjang
1. EKG
Evolusi:
 Depresi segmen PR dan/atau elevasi segmen ST difus (di seluruh lead kecuali
aVR dan seringkali V1)
 Normalisasi segmen ST
 Inversi gelombang T dengan atau tanpa depresi segmen ST
 Normalisasi
EKG dapat berubah tanpa melalui keempat tahap tersebut

2. Lab: peningkatan CRP.


3. Rontgen toraks: bisa disertai efusi perikardial, atau temuan lain yang mengarah
ke etiologi.
4. Ekokardiografi: biasanya normal kecuali jika sudah berat dan mengganggu
fungsi ventrikel.

ANGINA PEKTORIS (3B)


A. Definisi
Angina Pektoris Stabil (APS) terdiri atas seluruh situasi dalam spektrum penyakit arteri
koroner selain kejadian sindrom koroner akut.

B. Klasifikasi
Karakteristik nyeri dada pada APS dibagi atas angina tipikal, angina atipikal dan
nyeri dada non-angina.
 Angina tipikal memenuhi ketiga karakteristik berikut:
- Rasa tidak nyaman pada substernal dada dengan kualitas dan durasi
tertentu
- Diprovokasi oleh aktivitas fisik dan stres emosional
- Hilang setelah beberapa menit istirahat dan atau dengan nitrat
 Angina atipikal: dua dari tiga karakter di atas.
 Nyeri dada non-anginal: hanya satu atau tidak memiliki satu pun dari ketiganya.

C. Tanda dan Gejala


 Rasa tidak nyaman pada dada, di dekat sternum, atau di lain tempat dekat
epigastrium hingga ke rahang bawah maupun gigi bawah, di antara belikat atau di
lengan hingga pergelangan tangan dan jari-jari.
 Dideskripsikan sebagai seperti ditekan, sesak, maupun terasa berat, terkadang
terasa seperti dicekik, diikat kuat, atau rasa terbakar.
 Sesak nafas, lemah badan, rasa mau pingsan, mual, terbakar, gelisah, maupun rasa
seperti mau mati.
 Durasi cepat, tidak lebih dari 10 menit dalam sebagian besar kasus
 Gejala umumnya diperberat dengan peningkatan intensitas aktivitas, dan cepat
hilang dalam hitungan menit jika faktor-faktor ini dihentikan atau dihilangkan.
D. Pemeriksaan Penunjang
 Elektrokardiografi (EKG) istirahat:
- Saat serangan: depresi segmen ST horizontal atau downsloping sementara dan
inversi atau pendataran gelombang T.
- Cepat kembali normal dengan hilangnya gejala.

 Uji latih EKG


Kriteria diagnostik iskemia miokard respon iskemia positif:
- Depresi segmen ST ≥ 1 mm dibawah garis isoelektrik pada 60 milidetik
setelah J point (bila segmen ST depresi horizontal atau downsloping).
- Depresi segmen ST ≥ 1.5 mm dibawah garis isoelektrik pada 60 milidetik
setelah J point (bila depresi segmen ST upsloping).
- Elevasi segmen ST (dan elevasi J point) ≥ 1 mm pada 80 milidetik setelah J
point.
- Elevasi segmen ST di aVR. Kondisi ini dianggap seperti depresi segmen ST
yang horizontal.
 Pemeriksaan laboratorium darah: hemoglobin terglikasi (HbA1c), profil lipid
 Ekokardiografi
 Rontgen toraks
 Angiografi koroner
E. Tatalaksana
1. Farmakologis
a. Pereda angina:
 Nitrat: Nitrogliserin sublingual (0,3-0,6 mg) tiap 5 menit hingga nyeri
hilang atau maksimal 1,2 mg telah dikonsumsi dalam 15 menit.
 Β-blocker (Penyekat Beta)
 Penyekat kanal kalsium (CCB)
b. Pencegahan:
 Antiplatelet: Aspirin dosis rendah (75-100 mg/hari) merupakan pilihan
dan Clopidogrel (75 mg/hari) dapat dipertimbangkan untuk beberapa
pasien.
 Lipid Lowering Agents: statin. Target kadar LDL adalah <70 mg/dL atau
penurunan LDL >50%.
 Obat Penghambat Sistem Renin Angiotensin Aldosterone: ACEI, atau
ARB sebagai alternatif
2. Nonfarmakologis
 Berhenti merokok
 Diet: meningkatkan konsumsi PUFA melalui konsumsi ikan
 Aktivitas fisik: latihan aerobik intensitas sedang-berat ≥3 kali seminggu dan
30 menit setiap sesi.
 Managemen massa tubuh: mempertahankan (atau mencapai) massa tubuh
yang sehat, yaitu <25mg/m2
 Hipertensi: mempertahankan tekanan darah sistolik <140 mmHg dan
diastolik <90 mmHg pada pasien dengan hipertensi
 Diabetes dan komorbid lain: target HbA1C <7% secara umum
 Revaskularisasi
SINDROM KORONER AKUT (3B)
A. Definisi
Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh darah koroner
yang koyak atau pecah. Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis
juga dapat menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard).

B. Klasifikasi
1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment elevation
myocardial infarction)
2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST segment
elevation myocardial infarction)  depresi segmen ST, inversi gelombang T,
gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-normalization, atau bahkan tanpa
perubahan. Enizm jantung (+)
3. Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)  EKG seperti
NSTEMI. Enzim jantung (-)

C. Tanda dan Gejala


 Nyeri dada tipikal (angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen).
 Angina tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal menjalar ke lengan
kiri, leher, area interskapuler, bahu, atau epigastrium; berlangsung intermiten
atau persisten (>20 menit); sering disertai diaphoresis, mual/muntah, nyeri
abdominal, sesak napas, dan sinkop.
 Pemeriksaan fisik: regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaphoresis, ronkhi
basah halus atau edema paru.

D. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan EKG 12 sadapan: bisa normal, nondiagnostik, LBBB (Left Bundle
Branch Block) baru/persangkaan baru, elevasi segmen ST yang persisten (≥20
menit) maupun tidak persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi
gelombang T.
 Pemeriksaan marka jantung. Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T.
Kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan SKA pemeriksaan hendaknya
diulang 8-12 jam setelah awitan angina
 Pemeriksaan laboratorium: tes darah rutin, gula darah sewaktu, status elektrolit,
koagulasi darah, tes fungsi ginjal, dan panel lipid.
 Rontgen toraks: membuat diagnosis banding, identifikasi komplikasi dan
penyakit penyerta.

E. Diagnosis
1. Angina tipikal.
2. EKG dengan gambaran elevasi yang diagnostik untuk STEMI, depresi ST atau
inversi T yang diagnostik sebagai keadaan iskemia miokard, atau LBBB
baru/persangkaan baru.
3. Peningkatan marka jantung.

F. Tatalaksana
a. Tatalakana Awal:
MONACO (tidak harus diberikan semua atau bersamaan):
1. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi pasien
yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis nitrogliserin sublingual.
2. Suplemen oksigen dapat diberikan pada semua pasien SKA dalam 6 jam
pertama, tanpa mempertimbangkan saturasi O2 arteri.
3. Nitrogliserin: dapat diulang setiap lima menit sampai maksimal tiga kali.
4. Aspirin 160-320 mg
5. Clopidogrel 300 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 75 mg/hari atau
ticagrelor 180 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/hari.
b. Tatalakana Lanjutan:

GAGAL JANTUNG (3B)


A. Definisi
Abnormalitas struktur atau fungsi jantung yang menyebabkan jantung gagal untuk
memompa darah sesuai dengan kebutuhan metabolisme jaringan. Ditandai dengan:
 Gejala gagal jantung (nafas pendek yang tipikal saat istrahat atau saat melakukan
aktifitas disertai/tidak kelelahan);
 Tanda retensi cairan (kongesti paru atau edema pergelangan kaki);
 Adanya bukti objektif dari gangguan struktur atau fungsi jantung saat istrahat.

B. Terminologi
1. Gagal jantung kronis (3A): pasien yang sudah mengalami gagal jantung dalam
jangka waktu yang lama.
2. Gagal jantung akut (3B): gejala muncul secara cepat (<24 jam).
3. Acute Decompensated Heart Failure: perburukan pada gagal jantung kronis yang
stabil.
4. Gagal jantung kongestif: ada tanda kongesti (retensi Na dan air)
5. Gagal jantung hipertensif: disebabkan oleh tekanan darah tinggi.

C. Tanda dan Gejala


D. Pemeriksaan Penunjang
 EKG: dilakukan pada semua pasien gagal jantung.
 Lab: darah perifer lengkap (hemo-globin, leukosit, trombosit), elektrolit,
kreatinin, laju filtrasi glomerulus (GFR), glukosa, tes fungsi hati, NT pro-BNP,
enzim jantung, dan urinalisis.
 Rontgen toraks: mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura dan dapat
mendeteksi penyakit atau infeksi paru
 Ekokardiografi: pengukuran fraksi ejeksi ventrikel kiri untuk membedakan
antara pasien disfungsi sistolik dengan pasien dengan fungsi sistolik normal
adalah (normal > 45 - 50%).
E. Klasifikasi

F. Tatalaksana
1. Farmakologis
a. Akut
Diuretik: furosemide 20-40 mg IV
Vasodilator: nitrogliserin, ISDN, nitropursside, nesiritide

Inotropik: dobutamine, dopamine, norepinephrine, epinephrine


Jika edema paru: LMNOP
L: Lasix (furosemide), M: Morphine, N: Nitrat, O: Oksigen, P: posisi
(setengah duduk)
b. Jangka Panjang
 ACEI atau ARB
 Penyekat beta
 Antagonis aldosterone
 Diuretik
2. Nonfarmakologis
a. Pemantauan berat badan
Jika terdapat kenaikan berat badan > 2 kg dalam 3 hari  menaikan dosis
diuretik.
b. Asupan cairan
Restriksi cairan 1,5 - 2 Liter/hari dipertimbangkan terutama pada pasien
dengan gejala berat yang disertai hiponatremia.
c. Diet rendah garam
d. Berhenti merokok dan konsumsi akool
e. Pengurangan berat badan pasien obesitas
f. Latihan fisik: kepada semua pasien gagal jantung kronik stabil  target 70-
80% denyut jantung maksimal

KELAINAN KATUP JANTUNG (2)


Stenosis Mitral
A. Etiologi
Demam reumatik, kongenital, kalsifikasi, endokarditis (vegetasi yang mengobstruksi
katup).

B. Tanda dan Gejala


 Jika sudah berat  sesak napas dan penurunan kapasitas untuk aktivitas.
 Bisa terdapat tanda kongesti paru: orthopnea, paroxysmal nocturnal dyspnea,
mudah lelah.
 Kondisi berat  tanda gagal jantung kanan: distensi vena jugular,
hepatomegali, asites, edema perifer.
 Pemeriksaan fisik:
- Palpasi pada dada anterior kiri dapat merasakan “tap” ventrikel kalanan.
- Suara S1 kencang, hight-pitched opening snap S2.
- Murmur diastolic frekuensi rendah.
C. Pemeriksaan Penunjang
 EKG: pembesaran atrium kiri, hipertrofi ventrikel kanan jika terjadi hipertensi
pulmonal, bisa didapatkan fibrilasi atrium.
 Rontgen toraks: pembesaran atrium kiri, edema interstisial, garis Kerley B
akibat edema paru.
 Ekokardiografi: penebalan katup mitral.

Regurgitasi Mitral
A. Etiologi
Abnormalitas struktural dari annulus mitral (kalsifikasi), katup (demam reumatik,
endocarditis, kardiomiopati hipertrofi), chordae tendinae (ruptur endocarditis), atau
otot papiler (disfungsi atau ruptur).

B. Tanda dan Gejala


 Mudah lelah, lemah badan.
 Tanda kongesti paru: orthopnea, paroxysmal nocturnal dyspnea.
 Kondisi berat  tanda gagal jantung kanan: distensi vena jugular,
hepatomegali, asites, edema perifer.
 Pemeriksaan fisik: murmur pansistolik yang radiasi ke axilla, pada kondisi
kronis dapat ditemukan S3.

C. Pemeriksaan Penunjang
 EKG: pembesaran atrium kiri pada kondisi kronis, hipertrofi ventrikel kiri.
 Rontgen toraks: edema paru pada kondisi akut, pembesaran ventrikel atrium
kiri pada kondisi kronis.
 Ekokardiografi: mengetahui etiologi dan menilai derajat keparahan.

Stenosis Aorta
A. Etiologi
Kalsifikasi akibat penuaan, penyakit katup jantung reumatik kronis.

B. Tanda dan Gejala


 Angina, sinkop, gagal jantung kongestif.
 Pemeriksaan fisik: murmur sistolik, suara jantung S4

C. Pemeriksaan Penunjang
 EKG: bisa didapatkan hipertrofi ventrikel kiri.
 Ekokardiografi: penebalan ventrikel kiri.

Regurgitasi Aorta
A. Etiologi

B. Tanda dan Gejala


 Sesak saat aktivitas, mudah lelah, lemah badan, degup jantung yang keras.
 Pemeriksaan fisik: murmur diastolik awal di batas sternum kiri.

C. Pemeriksaan Penunjang
 Rontgen toraks: pembesaran ventrikel kiri pada kondisi kronis, kongesti paru
pada kondisi akut.
 Ekokardiografi: mengetahui etiologi dan menilai derajat keparahan.

Stenosis Trikuspid
A. Etiologi
Demam reumatik jangka panjang.

B. Tanda dan Gejala


 Murmur diastolik di dekat sternum dan mengeras saat inspirasi.
 Distensi vena leher, distensi abdomen, hepatomegali.

Regurgitasi Trikuspid
A. Etiologi
Pembesaran ventrikel kanan.

B. Tanda dan Gejala


 Murmur sistolik di batas sternum kiri bawah dan mengeras saat inspirasi.
 Pulsasi hati.

Stenosis Pulmonal
A. Etiologi
Deformitas kongenital.

B. Tanda dan Gejala


Murmur ejeksi sistolik.
Regurgitasi Pulmonal
A. Etiologi
Hipertensi paru yang berat dan menyebabkan dilatasi katup pulmonal akibat
pembesaran arteri pulmonal.

B. Tanda dan Gejala


 Biasanya asimtomatik kecuali pada kondisi berat
 Murmur diastolik di batas sternum kiri.

Note:
Mnemonic untuk murmur kelainan katup jantung: When you PASS, you get PAID
 Pulmonary, Aortic Stenosis  Sistolik
 Pulmonary, Aortic Insufficiency/Regurgitaion  Diastolik
 Mitral dan tricuspid berkebalikan dengan pulmonary dan aortic:
- Stenosis  diastolik
- Regurgitasi  sistolik

TAKIKARDIA SUPRAVENTRIKULAR (3B)


A. Definisi
Takiaritmia yang berasal dari atrium atau nodus AV, dengan respon ventrikel yang
cepat, regular, dan kompleks QRS sempit.

B. Etiologi
Kafein, alkohol, obat-obatan (contoh: digoksin), hipertiroid.

C. Tanda dan Gejala


 Berdebar, dapat tidak bergejala.
 Dapat terjadi gangguan hemodinamik  pusing, pingsan, sulit bernapas.
 Dapat terjadi rasa tidak nyaman pada dada.
 Riwayat konsumsi obat-obatan stimulan.
D. Pemeriksaan Penunjang
Gambaran EKG:
 Laju atrium antara 150 dan 250 kali/menit.
 Kompleks QRS sempit
 Gelombang P tersembunyi di di kompleks QRS

E. Tatalaksana
 Identifikasi penyebab serta mengobati penyebab.
 Terapi definitif: studi elektrofisiologis dengan disertai ablasi
 Terapi farmakologis:
TAKIKARDIA VENTRIKULAR (3B)
A. Definisi
Terdapat tiga buah atau lebih premature ventricular contraction atau ventricular
extrasystole berturut-turut.

B. Etiologi
Idiopatik, kardiomiopati dilatasi, iskemia/infark.

C. Klasifikasi
1. Berdasarkan durasi
 Sustained VT: bertahan lebih dari 30 detik, menyebabkan gejala berat seperti
sinkop, atau membutuhkan terminasi dengan kardioversi atau pemberian
antiaritmua.
 Nonsustained VT: menghilang dengan sendirinya.
2. Berdasarkan morfologi
 Monomorfik: kompleks QRS seragam pada tiap denyut jantung  fokus
aritmia yang sama.
 Polimorfik: kompleks QRS berubah-ubah bentuk dan amplitudonya  fokus
aritmia yang beragam. VT polimorfik dengan pemanjangan QT disebut
torsades de pointes.

D. Tanda dan Gejala


 Dada berdebar
 Sustained VT  curah jantung rendah  sinkop, edema paru, henti jantung.

E. Pemeriksaan Penunjang
Gambaran EKG:
 Gelombang P tidak berhubungan dengan QRS atau sulit dinilai.
 Laju 120-300x/menit irama teratur atau hampir teratur.
 Kompleks QRS lebar (>0,12s)
 Morfologi QRS dapat menunjukkan gambaran RBBB atau LBBB.
F. Tatalaksana
 Denyut nadi tidak teraba  resusitasi jantung paru
 Kardioversi
 Obat antiaritmia: amiodarone, procainamide, lidocaine

FIBRILASI ATRIAL (3A)


A. Definisi
Terdiri dari:
 Interval RR ireguler yang absolut
 Tidak ditemukan gelombang P yang jelas
 Interval gelombang P ireguler dengan nadi >300 kali pemenit

B. Etiologi
Idiopatik, usia, hipertensi, gagal jantung, stenosis atau regurgitasi katup mitral, atrial
septal defect, infark miokad akut, obesitas, PPOK, diabetes melitus, gagal ginjal
kronik, hipertiroid, intoksikasi alkohol, operasi mayor.

C. Tanda dan Gejala


 Palpitasi, mudah lelah, angina, kongesti paru, hipotensi, sinkop
 Pemeriksaan fisik: denyut nadi ireguler, pulse deficit

D. Pemeriksaan Penunjang
Gambaran EKG:
 Gelombang P hampir tidak dapat diidentifikasi
 Respon ventrikel ireguler bisa normal, cepat, atau bahkan bradikardia

E. Tatalaksana
 Kontrol laju ventrikel: beta blocker atau calcium channel blocker
nondihiropiridin (verapamil, diltiazem).
 Dengan gagal jantung: digoxin bersama furosemide dan amiodaron.
 Antikoagulan sebagai profilaksis tromboemboli: heparin IV, warfarin oral.
 Gagal jantung akut: kardioversi

ATRIAL FLUTTER (3B)


Laju depolarisasi atrium antara 240-400x/menit dengan gambaran gelombang P seperti
gergaji (sawtooth). Irama ventrikel dapat reguler maupun ireguler. Etiologi, gejala, dan
terapi mirip dengan fibrilasi atrial.
FIBRILASI VENTRIKULAR (3A)
A. Definisi
Keadaan ketika gelombang P, kompleks QRS, dan segmen ST sangat tidak beraturan
dan tidak dapat dikenali.

B. Etiologi
Infark miokard akut, asidosis berat, hipokalemia atau hiperkalemia, hipoksia.

C. Tanda dan Gejala


Dapat mengalami pingsan atau henti napas dalam hitungan detik karena penurunan
curah jantung.

D. Gambaran EKG
 VF kasar (coarse): aritmia baru terjadi.
 VF kasar (fine): aritmia sudah berlangsung lebih lama.
E. Tatalaksana
 Defibrilasi
 Mengatasi pencetus: imbalans elektrolit, hipoksemia, asidosis
 Antiaritmia IV

EKSTRASISTOL SUPRAVENTRIKULAR (3A)


A. Definisi
Berasal dari automatisitas atau reentry di fokus atrium di luar nodus SA dan diperparah
oleh stimulasi simpatis.

B. Etiologi
Infeksi, inflamasi, iskemia miokard, obat-obatan, stress, rokok, alkohol, kafein.

C. Tanda dan Gejala


Biasanya asimtomatik, bisa terdapat pause setela kontraksi prematur, palpitasi.

D. Pemeriksaan Penunjang
Gambaran EKG:
 Gelombang P yang premature dengan bentuk yang biasanya abnormal.
 Interval PR melebihi 120 ms.
 Kompleks QRS biasanya normal.

E. Tatalaksana
 Hanya membutukan tatalaksana jika simtomatik.
 Hindari zat yang menginduksi: kafein, alkohol, rokok, stress emosional.
 Farmakologis: beta blocker atau calcium channel blocker.

EKSTRASISTOL VENTRIKULAR (3A)


A. Definisi
Berasal dari fokus ventrikel ektopik yang menghasilkan potensial aksi.
B. Etiologi
Faktor risiko: usia, laki-laki, imbalans elektrolit, iskemia atau inflamasi miokard,
hipoksia, anstesi, operasi, stimulan (rokok, kafein, alkohol).

C. Tanda dan Gejala


 Palpitasi, rasa tidak nyaman di leher atau dada.
 Kronis  dapat menyebabkan angina, hipotensi, gagal jantung.

D. Pemeriksaan Penunjang
Gambaran EKG:
 Kompleks QRS yang melebar dan tidak berhubungan dengan gelombang P.
 Bigemini: ekstrasistol ventrikular tiap satu gelombang EKG normal.
 Trigemini: ekstrasistol ventrikular tiap dua gelombang EKG normal.
 Kouplet: dua ekstrasistol ventrikular berurutan.
 Triplet: tiga ekstrasistol ventrikular berurutan.

E. Tatalaksana
 Pada pasien tanpa kelainan jantung: tenangkan pasien, jika simtomatik bisa
diberikan beta blocker.
 Pada pasien dengan kelainan jantung berat: pemasangan implantable
cardioverter defibrillator.

BUNDLE BRANCH BLOCK (2)


A. Definisi
Hambatan konduksi pada cabang berkas kanan (right bundle branch block/LBBB) atau
kiri (left bundle branch block/LBBB) menyebabkan depolarisasi kedua ventrikel tidak
selaras dan gambaran QRS melebar (>120 ms).

B. Pemeriksaan Penunjang
Gambaran EKG:
1. RBBB
 Durasi QRS melebar dan morfologi rSR` (seperti telinga kelinci) di aVR
dan V1.
 Gelombang S melebar dan tumpul di I, aVL, V5, V6.
2. LBBB
 Durasi QRS melebar dan berbentuk seperti huruf M di lead lateral (I,
aVL,V5, dan V6).
 Kadang disertai depresi segmen ST dan inversi T di lead lateral.
ARITMIA LAINNYA (2)
KARDIOMIOPATI (2)
Definisi
Kelainan struktur dan fungsi jantung tanpa disertai penyakit jantung koroner,
hipertensi, penyakit katup atau penyakit jantung kongenital yang menyebabkan
kelainan tersebut.
Kardiomiopati Dilatasi
A. Definisi
Pembesaran ruang jantung disertai gagal jantung kongestif yang disebabkan oleh
menurunnya fungsi sistolik dan peningkatan volume akhir sistolik dan diastolik.

B. Etiologi
Faktor risiko: infeksi virus, penggunaan alkohol berlebih, penyakit metabolik, kelainan
genetik.

C. Tanda dan Gejala


 Gejala gagal jantung kongestif: sesak, orthopnea, PND, mudah lelah saat
aktivitas, pembengkakan
 Nyeri dada yang tidak khas
 Pemeriksaan fisik: S3 gallop, murmur pansistolik

D. Pemeriksaan Penunjang
 EKG: hipertrofi ventrikel kiri kelainan gelombang ST dan T.
 Rontgen toraks: pembesaran jantung, kongesti paru.
 Ekokardiografi: pembesaran dan disfungsi ventrikel kiri, kelainan pergerakan
katup.

Kardiomiopati Hipertrofi
A. Definisi
Hipertrofi otot jantung tanpa adanya stress hemodinamik signifikan yang dapat
menyebabkan kondisi tersebut.

B. Etiologi
Sebagian besar kasus diturunkan secara genetik.
C. Tanda dan Gejala
 Bisa tidak menyebabkan gejala, sesak napas, nyeri dada
 Sinkop, palpitasi, hingga kematian mendadak
 Pemeriksaan fisik: pembesaran jantung, murmur sistolik, S4 gallop

E. Pemeriksaan Penunjang
 EKG: hipertrofi ventrikel kiri, pembesaran atrium kiri, LBBB, deviasi aksis ke
kiri, gelombang Q abnormal, poor R wave progression.
 Rontgen toraks: pembesaran jantung.
 Ekokardiografi: hipertrofi ventrikel kiri.

Kardiomiopati Restriktif
A. Definisi
Perubahan komposisi otot jantung sehingga menjadi lebih kaku.

B. Etiologi
Penyakit yang menginfiltrasi otot jantung, seperti amyloidosis, hemokromatosis,
sarkoidosis.

C. Tanda dan Gejala


 Lemah sesak napas, bengkak
 Pemeriksaan fisik: pembesaran jantung, S3 atau S4 gallop, regurgitasi mitral
atau trikuspid.

D. Pemeriksaan Penunjang
 EKG: low voltage.
 Ekokardiografi: dinding ventrikel kiri menebal serta penambahan massa di
dalam ventrikel.
KOR PULMONALE (3B)
A. Definisi
Dilatasi dan hipertrofi ventrikel kanan akibat penyakit pada vaskularisasi pulmonal
dan/atau parenkim paru.

B. Etiologi

C. Tanda dan Gejala


 Sesak napas, bisa terjadi disfungsi ventrikel kiri (orthopnea, PND)
 Sinkop yang berhubungan dengan aktivitas
 Nyeri perut, asites, bengkak ekstremitas
 Pemeriksaan fisik: takipnea, peningkatan JVP, hepatomegali, edema
ekstremitas, murmur holosistolik akibat regurgitasi trikuspid.

D. Pemeriksaan Penunjang
 Lab: AGD  hipoksemia atau hiperkapnia
 EKG: P pulmonale, right axis deviation, hipertrofi ventrikel kanan.
 Rontgen toraks: pembesaran ateri pulmonal dan pembuluh darah hilus.
 Spirometri: defek obstruktif atau restriktif.
 Ekokardiografi: mengukur ketebalan ventrikel kanan, dimensi ruang jantung,
dan anatomi katup pulmonal dan trikuspid.

E. Tatalaksana
 Pemberian oksigen dan koreksi asidosis respiratorik.
 Diuretik
 Digoxin: bila disertai gagal jantung kiri.

PENYAKIT RAYNAUD (2)


A. Definisi
1. Fenomena Raynaud: vasospasme berulang dari jari kaki dan tangan yang
biasanya terjadi akibat respon terhadap stress atau dingin. Dibagi menjadi 2
kategori, yaitu penyakit Raynaud (idiopatik) atau disebabkan oleh penyakit
lain.
2. Penyakit Raynaud: fenomena Raynaud yang bersifat idiopatik tanpa adanya
penyebab sekunder.

B. Etiologi
Penyebab fenomena Raynaud:
C. Tanda dan Gejala
 Perubahan warna jari-jari menjadi pucat atau sianosis, rasa seperti terikat,
hingga bisa terasa nyeri.
 Setelah dihangatkan kembali, terjadi hiperemia reaktif  warna kembali
kemerahan, terasa seperti berdenyut, dan nyeri.

OKLUSI ARTERI AKUT


A. Definisi
Oklusi pembuluh darah arteri yang menyebabkan berhentinya aliran darah ke
ekstremitas secara mendadak.

B. Etiologi
1. Emboli (1)
Sumber utama emboli arteri: jantung, aorta, arteri besar. Penyakit jantung
yang menyebabkan emboli: fibrilasi atrial, infark miokard, aneurisma
ventrikel, kardiomiopati, endokarditis infektif,
2. Trombosis (2)
Disebabkan pembentukan plak aterosklerosis pada pembuluh darah arteri.

C. Tanda dan Gejala


 Nyeri hebat, parestesia, mati rasa, dan ekstremitas terasa dingin.
 Paralisis jika iskemia berat dan persisten.
 Pemeriksaan fisik: hilangnya pulsasi distal dari oklusi, sianosis atau pucat,
penurunan suhu kulit, otot kaku, hilangnya sensorik, kelemaan, hilangnya
reflex tendon dalam.

KOARKTASIO AORTA (1)


A. Definisi
Penyempitan dari aorta, paling sering setelah arteri subklavian sinistra.
B. Etiologi
Konstriksi aorta pada bagian ductus arteriosus yang paten atau ductal ligamentum.

C. Tanda dan Gejala


 Pada bayi dapat ditemukan malas menyusu, takipnea, letargi.
 Nyeri kepala, nyeri dada, lemas, klaudikasio (jarang)
 Pemeriksaan fisik:
- Hipertensi ekstremitas atas (perbedaan >20 mmHg tekanan darah antara
ekstremitas atas dan bawah).
- Gallop, murmur sistolik di region infrascapular kiri.
- Palpasi pulsasi arteri femoral dan dorsalis pedis lemah.

PENYAKIT BUERGER/THROMBOANGITIS OBLITERANS (2)


A. Definisi
Penyakit vaskular oklusif inlamatorik yang melibatkan arteri dan vena kecil atau
medium pada ekstremitas distal atas dan bawah.

B. Etiologi
Faktor risiko: merokok.

C. Tanda dan Gejala


 Trias: klaudikasio (nyeri hilang timbul saat pasien berjalan, menghilang saat
pasien beristirahat), fenomena Raynaud, tromboflebitis vena superfisial
migratorik.
 Pada iskemia berat: ulkus dan gangrene pada ujung jari.
 Pemeriksaan fisik: pulsasi arteri radialis, ulnar, dan/atau tibial menurun atau
hilang, suhu kulit lebih rendah.

D. Pemeriksaan Penunjang
Arteriografi

ATEROSKLEROSIS (1)
A. Definisi
Kondisi inflamasi kronis yang melibatkan lipid, thrombosis, bagian dari dinding
pembuluh darah, dan sel imun.
B. Etiologi
Faktor risiko:
 Dapat dimodifikasi: dislipidemia, merokok, hipertensi, sindrom metabolik,
tidak olahraga.
 Tidak dapat dimodifikasi: usia, laki-laki, genetik.

C. Patogenesis
1. Fatty Streak
 Disfungsi endotel
- Stres hemodinamik: gangguan aliran darah pada percabangan arteri
 mengganggu fungsi ateroprotektif endotel.
- Iritan kimia: rokok, kadar lipid sirkulasi yang abnormal, diabetes.
 Modifikasi dan masuknya lipoprotein
Permeabilitas endotel meningkat  masuknya LDL ke intima  oksidasi
LDL
 Pengumpulan leukosit
 Pembentukan foam cell
Makrofag memfagosit LDL  pembentukan foam cell  terakumulasi.
2. Progresivitas Plak
Remodeling dari dinding arteri
 Migrasi sel otot polos: proliferasi sel otot polos di dalam intima dan
sekresi matriks ekstraseluler oleh sel otot polos.
 Gangguan sintesis dan degradasi matriks.
 Pembentukan lipid core.
3. Pecahnya Plak
 Gangguan integritas plak: akumulasi dari foam cell dan limfosit T
mempercepat degradasi matriks ekstraseluler.
 Pembentukan trombus: ruptur plak  trombosis.
SUBCLAVIAN STEAL SYNDROME (1)
A. Definisi
Terjadinya aliran balik pada arteri vertebra ipsilateral akibat stenosis atau oklusi pada
arteri subklavian.

B. Etiologi
 Aterosklerosis (paling sering)
 Takayasu arteritis (vaskulitis granulomatous pada pembuluh darah besar)
 Kompresi arteri subklavian
 Adanya costa servikal (kosta tambahan yang berasal dari vertebra C7)
 Operasi untuk memperbaiki koarktasio aorta
 Abnormalitas kongenital
C. Tanda dan Gejala
 Asimtomatik pada sebagian besar pasien.
 Nyeri pada lengan, lemas, mati rasa, parestesia.
 Gejala neurologis akibat insufisiensi vertebrobasiler: pusing, pandangan
buram, sinkop, vertigo, gangguan keseimbangan, ataksia, tinnitus, hilangnya
pendengaran.
 Pemeriksaan fisik:
- Perbedaan minimal 15 mmHg antara lengan yang mengalami gangguan
dan lengan yang normal.
- Penurunan dan terlambatnya pulsasi radial lengan yang terganggu.

ANEURISMA AORTA (1)


A. Definisi
Dilatasi patologis dari segmen aorta.

B. Etiologi
C. Tanda dan Gejala
1. Aneurisma Aorta Torakal
 Sebagian besar asimtomatik.
 Jika terjadi kompresi jaringan sekitar: nyeri dada, sesak napas, batuk, suara
serak, disfagia.
 Aneurisma aorta asendens: gagal jantung kongestif akibat regurgitasi aorta.
 Kompresi vena cava superior: kongesti pada kepala, leher, dan ekstremitas
atas.
 Jika aneurisma besar: bisa terasa nyeri, pulsasi kuat di perut, nyeri di dada,
punggung bawah, atau skrotum.
2. Aneurisma Aorta Abdominal
 Biasanya asimtomatik.
 Pemeriksaan fisik:
- Massa yang terpalpasi, berpulsasi, bisa berekspansi, dan tidak nyeri.
- Rupture aneurisma: nyeri akut dan hipotensi.

DISEKSI AORTA (1)


A. Definisi
Terjadinya pemisahan lapisan aorta.
B. Etiologi
Faktor risiko:
 Hipertensi, peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba (mengangkat beban
berat dan penggunaan agen simpatomimetik seperti kokain, ekstasi, atau
minuman berenergi).
 Kondisi genetik
 Aneurisma aorta
 Kehamilan dan persalinan
 Riwayat keluarga
 Penggunaan instrument dan operasi di aorta
 Penyakit inflamasi atau infeksi yang menyebabkan vaskulitis.

C. Klasifikasi
1. Klasifikasi DeBakey
a. Tipe 1: berasal dari aorta asendens hingga minimal lengkung aorta
b. Tipe 2: hanya pada aorta asendens
c. Tipe 3: berasal dari aorta desendens
 3a: hingga ke atas diafragma
 3b: hingga ke bawah diafragma
2. Klasifikasi Stanford
a. Tipe A: melibatkan aorta asendens
b. Tipe B: melibatkan aorta desendens

D. Tanda dan Gejala


 Nyeri sangat berat yang mendadak di dada depan atau belakang, seringkali di
daerah interskapula.
 Berkeringat, sinkop, sesak napas, lemah badan.
 Pemeriksaan fisik: hipertensi atau hipotensi, hilangnya pulsasi, regurgitasi
aorta, edema paru, gangguan neurologis akibat obstruksi arteri karotis
(hemiplegia, hemianestesia) atau iskemia medula spinalis (paraplegia).

TROMBOFLEBITIS (3A)
A. Definisi
Inflamasi dan trombosis dari vena superfisial di bawah kulit.

B. Etiologi
Tomboflebitis superfisial berhubungan dengan pemasangan infus dan kateter IV,
varises, dan trombosis vena dalam.

C. Tanda dan Gejala


 Nyeri lokal pada daerah trombus.
 Pemeriksaan fisik: eritema, hangat, nyeri tekan di pada vena superfisial, daerah
sekitar trombus dapat menjadi eritema dan terdapat edema.

D. Pemeriksaan Penunjang
USG kompresif

E. Tatalaksana
 Tirah baring dengan elevasi kaki.
 Pemberian kompres hangat.
 NSAID
 Trombosis greater saphenous vein di paha dan meluas hingga sapenofemoral
vein junction  terapi antikoagulan untuk mencegah trombosis vena dalam dan
emboli paru.

VARISES (2)
A. Definisi
Pelebaran vena superfisial yang berkelok-kelok akibat gangguan struktur dan fungsi
katup vena, kelemahan dinding vena tekanan intralumen yang tinggi atau fistula
arteriovena.

B. Klasifikasi
1. Primer
Berasal dari sistem vena superfisial.
2. Sekunder
Berasal dari insufisiensi vena dalam dan inkompetensi vena perforata atau
oklusi vena dalam yang menyebabkan pembesaran vena superfisial yang
berperan sebagai kolateral.

C. Tanda dan Gejala


 Nyeri tumpul atau rasa tertekan di kaki setelah berdiri lama dan membaik
dengan elevasi kaki.
 Kaki terasa berat dan bisa terjadi edema pergelangan kaki.
 Varises yang luas dapat menyebabkan ulserasi di dekat pergelangan kaki.

TROMBOSIS VENA DALAM (2)


A. Definisi
Trombus pada vena superfisial atau dalam disertai dengan respon inflamasi pada
dinding pembuluh darah.
B. Etiologi

C. Tanda dan Gejala


 Dapat bersifat asimtomatik.
 Rasa tidak nyaman di betis atau paha ketika berdiri atau berjalan.
 Pembengkakan dan edema kaki unilateral.
 Rasa hangat dan eritema lokal.
 Nyeri tekan
 Homan sign: pasien berbaring, ekstensikan kaki pasien sekitar 10 derajat, lalu
dorsifleksi kaki pasien dan tekan otot betis pasien secara bersamaan. (+): nyeri.
D. Pemeriksaan Penunjang
 D-dimer test (+): produk degradasi fibrin
 USG kompresi vena
 Venografi

EMBOLI VENA (2)


A. Definisi
Terlepasnya DVT ke aliran pembuluh darah yang dapat menyebabkan obstruksi di
pembuluh darah paru (emboli paru).

B. Tanda dan Gejala


 Sesak napas, nyeri dada pleuritik, batuk, batuk darah, sinkop.
 Pemeriksaan fisik: takipnea, distensi vena jugular, peningkatan komponen P
pada suara jantung kedua.

C. Pemeriksaan Penunjang
 EKG:
- Strain ventrikel kanan: T inversi precordial kanan.
- rS atau RS pada V1 sampai V5/V6 dan qR pada V1 dan V2.
- Tanda klasik: S1Q3 atau S1Q3T3, QR pada aVF dan III, elevasi ST
- RBBB
- Gelombang P pulmonal pada II, III, aVF

 Rontgen toraks:
- Tanda Westermark 
hiperlusen paru
- Tanda Hampton’s hump 
densitas bulat dengan batas tidak
jelas di atas diafragma
 Sidikan paru perfusi dan ventilasi
 Angiografi paru

INSUFISIENSI VENA KRONIS (3A)


A. Definisi
Kelainan yang meliputi telangiektasia, varises, edema di pergelangan kaki, serta
perubahan kulit dan ulkus varikosum.

B. Etiologi
 Kongenital: tidak terbentuknya katup vena superfisial dan komunikans sejak
lahir.
 Didapat: pembentukan trombus, jejas kronis yang tidak menyembuh,
insufisiensi katup vena dalam, trombosis vena dalam.
C. Tanda dan Gejala
 Gatal, panas, edema, pelebaran vena perifer.
 Kaku, tegang, kelelahan pada otot.
 Telangiektasia, varises vena, pigmentasi, eksim, ulserasi.
 Pemeriksaan fisik: pemeriksaan Trendelenburg.
- Pasien berbaring dengan tungkai yang akan diperiksa ditinggikan 30-450
untuk mengosongkan vena.
- Pasang turniket pada paha tepat di bawah percabangan vena safeno-
femoral.
- Katup berfungsi baik: vena baru berisi setelah 25-30 detik dan arah
pengisian dari bawah.
- Kegagalan katup penghubung: vena terisi <20 detik dan arah pengisian dari
atas.
- Ikatan dibuka  lihat kegagalan katup vena tepi: pengisian vena bertambah
cepat dan dari atas.
D. Klasifikasi
E. Tatalaksana
 Pasien disarankan aktif bergerak dan tidak mempertahankan satu posisi dalam
waktu yang terlalu lama.
 Elevasi kaki saat beristirahat.
 Mengurangi berat badan jika berlebih.
 Menggunakan kaos kaki untuk kompresi.
 Olahraga teratur, hindari yang intensitas terlalu berat.
 Fisioterapi
 Suplemen hidrosmin 3x200 mg PO.
 Prosedur invasif: skin laser, skleroterapi, flebektomi, ablasi vena.

LIMFANGITIS (3A)
A. Definisi
Inflamasi pembuluh limfa yang terjadi akibat infeksi pada bagian lebih distal.

B. Etiologi
Infeksi: group A beta-hemolytic streptococci (GABHS) Staphylococcus aureus,
Pseudomonas, Streptococcus pneumonia, Pasteurella multocida, batang Gram negatif,
fungi, Aeromonas hydrophila, Wuchereria bancrofti.

C. Tanda dan Gejala


 Riwayat trauma minor di kulit distal dari lokasi infeksi.
 Demam, menggil, malaise, nyeri kepala, hilang nafsu makan, nyeri otot.
 Pemeriksaan fisik: garis eritema dari lokasi infeksi hingga nodus limfa sesuai
drainase regional, bisa disertai nyeri tekan dan teraba hangat. Nodus limfa
regional bisa membesar dan nyeri.

D. Pemeriksaan Penunjang
Lab: darah lengkap (leukositosis), kultur darah dan abses.

E. Tatalaksana
Antibiotik dan analgetik.

LIMFEDEMA (3A)
A. Definisi
Kondisi edema non pitting yang disebabkan oleh kelainan aliran pembuluh limfatik.

B. Etiologi
Dibagi menjadi primer dan sekunder.
C. Tanda dan Gejala
 Nyeri dan rasa penuh di ekstremitas
 Edema non pitting
 Bisa menyebabkan dermatitis statis, hiperpigmentasi, dan varises vena
superfisial.

D. Pemeriksaan Penunjang
 USG abdomen dan pelvis, CT Scan: deteksi lesi obstruktif seperti neoplasma.
 MRI: identifikasi nodus limfa dan pembuluh limfa yang melebar.
 Lymphoscintigraphy dan lymphangiography.
E. Tatalaksana
 Menjaga kebersian kulit, menggunakan pelembab.
 Antibiotik profilaksis
 Melakukan aktivitas fisik, terapi fisik
 Kompresi

DAFTAR PUSTAKA

1. Lily LS. Pathophysiology of heart diseases: a collaborative project of medical


student and faculty. London: William&Wilkim. 2010.
2. Loscalzo J. Harrison's Cardiovascular Medicine 2/E. McGraw-Hill Education;
2013.
3. Zipes DP, Libby P, Bonow RO, Mann DL, Tomaselli GF. Braunwald's Heart
Disease E-Book: A Textbook of Cardiovascular Medicine. Elsevier Health
Sciences; 2018 Jan 9.
4. Purnamasari D. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi Ke-6. Jakarta: Papdi.
2014.
5. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Kapita selekta kedokteran. Jakarta:
Media Aesculapius. 2014:329-0.
NEUROLOGI
ANATOMI DAN FISIOLOGI

Sistem Saraf Pusat


Otak
Otak dibagi menjadi cerebrum, cerebellum, dan batang otak.
1. Cerebrum
Cerebrum dibagi menjadi lobus frontal, parietal, oksipital, dan temporal. Jika ada
kerusakan pada lobus tertentu, maka bisa dilihat dari klinis pasien yang mengalami
gangguan sesuai fungsi lobus tersebut.

Fungsi tiap lobus otak:


Homunculus

Manifestasi klinis sesuai gangguan pada lobus otak:


Letak Lesi Gangguan

Lobus Frontal Fungsi utama: kontrol motorik, perilaku, berpikir


Gejala dominan: mono/hemiparesis kontralateral, afasia
motorik, kelemahan wajah, perubahan perilaku, refleks
primitif (+), apraxia

Lobus Parietal Fungsi utama: sensorik, persepsi, bahasa, atensi


Gejala dominan: gangguan sensorik, afasia sensorik

Lobus Fungsi utama: pendengaran, bahasa, memori


Temporal Gejala dominan: gangguan pendengaran, gangguan bahasa,
gangguan ingatan, gangguan emosi

Lobus Oksipital Fungsi utama: penglihatan, persepsi


Gejala dominan: gangguan pengliatan, halusinasi visual

Cerebellum Fungsi utama: keseimbangan, koordinasi gerakan


Gejala dominan: ataxia, dysarthria, nystagmus,
dysdiadokokinesis
2. Nervus Kranialis

Keluar dari mesensefalon: CN III, IV


Keluar dari pons: CN V, VI, VII, VIII
Keluar dari medulla oblongata: CN IX, X, XI, XII

Hanya sensorik: CN I, II, VIII


Hanya motorik: CN III, IV, VI, XI, XII
Campuran: CN V, VII, XI, X

Rangkuman gerak bola mata:


RL6SO4
CN VI: otot rektus lateral
CN IV: otot superior oblik
CN III: otot lainnya

CN Fungsi Gangguan
I (Olfaktori) Sensorik: penciuman Anosmia
II (Optikus) Sensorik: penglihatan Buta, refleks cahaya
bilateral (-)
III (Okulomotor) Motorik: gerak bola mata, Ophthalmoplegia, refleks
konstriksi pupil, levator palpebra cahaya ipsilateral (-),
ptosis
IV (Trochlear) Motorik: gerak bola mata Diplopia: ekstorsi, lemah
saat depresi
V (Trigeminal) Sensorik: bagian wajah Hemianestesi wajah,
kelemahan dagu, refleks
Motorik: otot mastikasi
kornea (-)
Refleks kornea
VI (Abdusens) Motorik: gerak bola mata Diplopia: deviasi medial

VII (Fasialis) Sensorik: rasa 2/3 anterior lidah Parase wajah, hilang
pengecapan di 2/3 anterior
Motorik: otot wajah
lidah

VIII (Vestibulo- Sensorik: pendengaran dan Gangguan pendengaran,


koklrearis) keseimbangan vertigo, nistagmus,
gangguan keseimbangan

IX Sensorik: rasa 1/3 posterior lidah Hilang pengecapan di 1/3


(Glossofaringeus) posterior lidah, disfagia,
Motorik: elevasi faring, menelan
gag refleks (-)
Gag refleks

X (Vagus) Sensorik: sensasi organ dalam Disfagia, disfonia,


dysarthria, deviasi
Motorik: kontraksi otot soft palate
kontralateral uvula

XI (Aksesorius) Motorik: rotasi kepala dan angkat Kelemahan bahu dan


bahu menegok leher
XII (Hipoglossus) Motorik: gerakan otot lidah Atrofi ipsilateral, deviasi
ipsilateral, fasikulasi

Vaskularisasi Otak
Pembagian pembuluh darah yang menyuplai bagian otak:
A. Sistem Karotis (Anterior)
 Arteri serebri anterior: serebrum frontal dan media
Gangguan: hemiparesis kontralateral, ekstremitas bawah lebih berat
 Arteri serebri media: hemisfer lateral
Gangguan: hemiparesis kontralateral, terutama wajah dan ekstremitas atas,
hemianopia homonim
 Arteri serebri posterior: lobus oksipital
Gangguan: hemianopia homonim dengan macular sparing
B. Sistem Vertebrobasiler (Posterior)
Menyuplai terutama batang otak.
Gangguan: diplopia, vertigo, nistagmus (gangguan nervus kranialis), gangguan
keseimbangan.

Refleks
Refleks dan saraf yang terlibat:
Biseps Triseps Patella Achilles

C5-C6 C7-C8 L3-L4 S1-S2


Dermatom

Daerah Dermatom

Klavikula C3-C4

Ibu jari C6

Jari tengah C7

Kelingking C8

Puting payudara T4

Processus xyphoideus T7

Umbilikus T10
Kaki medial (ibu jari) L4-L5

Kaki lateral (kelingking) L5-S1

Perineum S2-S4

Lesi UMN vs LMN


Tanda UMN LMN

Tipe Paralisis Spastik Flasid

Tonus Meningkat Menurun

Atrofi (-) (+)

Refleks Fisiologis Dalam Meningkat (-)

Refleks Fisiologis (-) (+)


Superfisial

Refleks Patologis (+) (-)

Fasikulasi (-) Dapat terjadi

GANGGUAN NEUROLOGIS PEDIATRIK

Duchene Muscular Dystrophy (1)


A. Definisi
Penyakit otot pada anak-anak yang disebabkan kelainan genetic X-linked berupa
mutasi gen dystrophin.

B. Tanda dan Gejala


 Kondisi awal: kelambatan perkembangan, riwayat keluarga dengan kelumpuhan,
peningkatan kadar serum keratin.
 Kelumpuhan otot proksimal: kesulitan memanjat anak tangga, kesulitan bangkit
dari posisi duduk, kesulitan menyisir rambut
 Gangguan jantung (kardiomiopati)
 Prestasi belajar yang menurun
 Kelumpuhan lower motor neuron
 Atrofi otot terutama bagian proksimal
 Pseudo hypertrofi otot betis
 Gower’s sign, waddling gait, toe walking

. Waddling Gait, Toe Walking Gower’s sign

INFEKSI SISTEM SARAF

Meningitis (3B)
A. Definisi
Infeksi yang menyerang meningen, suatu lapisan yang berisi cairan serebrospinal yang
menyelimuti otak, otak kecil, dan sumsum tulang belakang.

B. Etiologi
1. Bakterialis: Neisseria meningitidis (meningokokus), Streptococcus pneumonia
(pneumokokus), Hemophylus influenza
2. Viral: enterovirus, virus herpes simpleks, coxsackievirus, cytomegalovirus 
biasanya pada anak
3. Tuberkulosis: Mycobacterium tuberculosis
4. Jamur: Cryptococcus neoformans, Cryptococcus gatii (kriptokokus) 
biasanya pada pasien imunokompromais

C. Tanda dan Gejala


Trias meningitis: demam tinggi, nyeri kepala, kaku kuduk.
1. Bakterialis: perjalanan penyakit cepat dan progresif. Penurunan kesadaran,
mual, muntah, fotofobia, kejang, bisa komplikasi TTIK.
Khas:
 Riwayat infeksi saluran pernapasan atas yang baru
 Riwayat faktor predisposisi: pneumonia, sinusitis, otitis media, gangguan
imunologi tubuh, alkoholisme, dan DM.
 Pada meningkokemia: ruam makulopapular difus pada kulit, petekie
2. Viral: gejala lebih ringan. Fotofobia, nyeri saat menggerakkan bola mata, gejala
konstitusional (lemas, myalgia, anoreksia, mual, muntah, nyeri perut, diare).
3. Tuberkulosis: bersifat subakut. Kelainan saraf kranial, keringat malam, kejang,
penurunan kesadaran. Klasifikasi klinis meningitis TB berdasarkan British
Medical Research:

Stadium I GCS 15, defisit neurologis (-)

Stadium II GCS 11-14 atau GCS 15 dengan defisit neurologis fokal

Stadium III GCS < 10 dengan hemiplegia atau paraplegi, kejang,


gerakan abnormal
4. Jamur: demam tidak terlalu tinggi, malaise, penurunan kesadaran, riwayat
imunokompromais (seringkali HIV/AIDS). Gejala klinis sering tidak jelas.

Waspadai tanda TTIK: nyeri kepala, muntah proyektil, penurunan kesadaran, diplopia,
papilledema, Cushing’s triad (hipertensi, bradikardia, pernapasan ireguler).

D. Pemeriksaan Fisik
 Tanda vital dan pemeriksaan fisik menyeluruh.
 Pemeriksaan neurologis: pemeriksaan GCS (penurunan kesadaran),
pemeriksaan kaku kuduk dan rangsang meningen (+), pemeriksaan nervus
kranialis, pemeriksaan kekuatan motorik.
 Funduskopi: pada stadium lanjut dapat dijumpai tanda hidrosefalus seperti
papiledema.
E. Pemeriksaan Penunjang
 Lumbal punksi: karakteristik berbeda pada tiap etiologi.
 PCR, kultur darah dan likuor, tes resistensi antibiotik, pengecatan gram pada
darah dan likuor.
 X-Ray thorax: untuk mengetaui adanya TB, GeneXpert (TB)
 Pencitraan: CT scan kepala + kontras, MRI kepala + Kontras
F. Tatalaksana
1. Periksa dan tangani jalan napas, pernapasan, serta sirkulasi.
2. Sesuai etiologi: antibiotik, antiviral, OAT
3. Jika ada TTIK: manitol 20%
4. Kortikosteroid
5. Terapi simtomatik: antipiretik, H2 bloker, antikonvulsan jika kejang, penuhi
kebutuhan nutrisi dan cairan

Ensefalitis (3B)
A. Definisi
Proses inflamasi yang terjadi pada parenkim otak.

B. Etiologi
 Virus: Herpes simpleks tipe 1 dan 2 (paling sering), varicella zoster, Epstein-
Barr, CMV, enterovirus, paramyxovirus.
 Noninfeksi: penyakit sistemik, obat-obatan, keganasan.

C. Tanda dan Gejala


Demam, nyeri kepala, perubahan kesadaran, malaise, flu like syndrome, fotofobia,
perubahan kepribadian, kadang disertai kejang.

D. Pemeriksan Fisik
 Kesadaran menurun
 Suhu tubuh meningkat
 Dapat didapatkan kaku kuduk
 Dapat didapatkan defisit neurologis fokal atau global
E. Pemeriksaan Penunjang
 Darah lengkap dan kimia klinik: limfositosis relatif, leukopenia atau
trombositopenia pada infeksi virus hemoragis.
 Lumbal punksi: pleositosis dominan sel mononuclear, peningkatan kadar
protein
 Pemeriksaan serologi: dari darah dan CSF untuk HSV, CMV, Japanesse
encephalitis
 PCR: HSV, CMV, HHV-6
 Pencitraan: CT scan kepala + kontras, MRI kepala + Kontras

F. Tatalaksana
 Waspadai tanda-tanda vital dan TTIK. Jika terdapat TTIK  manitol 20% dosis
awal 1-1,5 mg/kgBB selama 20 menit, dilanjutkan dosis 0,25-0,5 g/kg berat
badan setiap 4-6 jam.
 Hindari cairan hipotonis intravena.
 Terapi suportif: antipiretik atau antikonvulsan bila perlu.
 Asiklovir 10 mg/kg setiap 8 jam selama 2-3 minggu sebagai terapi empiris
(karena paling banyak disebabkan oleh virus).

Tetanus (4A)
A. Definisi
Penyakit pada sistem saraf yang disebabkan oleh tetanospasmin (neurotoksin) yang
dihasilkan oleh Clostridium tetani.

B. Tanda dan Gejala


 Pertanyaan seputar luka: waktu terkena luka, waktu dari luka sampai muncul
gejala, lokasi luka, jenis luka (kotor atau bersih).
 Port d’entrée: penggunaan jarum suntik, OMSK berulang.
 Manifestasi klinis tetanus terdiri atas 4 macam yaitu :
1. Tetanus lokal
Kekakuan dan spasme yang menetap disertai rasa sakit pada otot disekitar
atau proksimal luka.
2. Tetanus sefalik
- Mengenai wajah dengan masa inkubasi 1-2 hari, disebabkan oleh luka
pada daerah kepala atau otitis media kronis.
- Trismus (kaku rahang, sulit membuka mulut), disfagia, rhisus sardonikus
(kontraksi otot wajah), dan disfungsi nervus kranial.
3. Tetanus umum/generalisata
Trismus, iritable, kekakuan leher, susah menelan, kekakuan dada dan perut
(opistotonus), rasa sakit dan kecemasan yang hebat, serta kejang umum yang
dapat terjadi dengan rangsangan ringan seperti sinar, suara dan sentuhan
dengan kesadaran yang tetap baik.
4. Tetanus neonatorum
- Terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali pusat.
- Tidak mau menetek, mulut mencucu, kelemahan, irritable, kekakuan dan
spasme, trismus sampai kejang yang hebat.
 Tes spatula positif: sentuh dinding faring posterior dengan spatula. (+): refleks
spasme dari otot masseter.
Opistotonus

Tes Spatula

C. Grading
Kriteria Pattel Joag:
Kriteria 1 rahang kaku, spasme terbatas, disfagia dan kekakuan otot tulang
belakang

Kriteria 2 spasme saja

Kriteria 3 Inkubasi < 7 hari

Kriteria 4 Onset < 48 jam

Kriteria 5 Kenaikan suhu rektal sampai 100ºF atau aksila sampai 99 ºF (37,6 ºC)
Dari kriteria tersebut dibuat derajat sebagai berikut:
Derajat 1 Minimal 1 kriteria

Derajat 2 Minimal 2 kriteria (K1+K2), biasanya inkubasi > 7 hari, onset > 48
jam

Derajat 3 Minimal 3 kriteria, biasanya inkubasi < 7 hari, onset < 48 jam

Kriteria 4 Minimal 4 kriteria

Kriteria 5 5 kriteria, termasuk tetanus neonatorum dan tetanus puerperium

D. Tatalaksana
1. Non farmakologis
 Pembersihan luka yang kotor
 Ruang rawat yang gelap
 Diet dengan NGT bila diperlukan. Diet tinggi kalori.
 Pencegahan ulkus dekubitus
2. Farmakologis
 Anti tetanus serum (ATS), tetanus toksoid (TT), tetanus immunoglobulin
(TIg).
 Antibiotika: prokain penisilin (1,2 juta unit/hari selama 10 hari), atau
tetrasiklin (2 g/hari selama 10 hari), atau metronidazole (4x500 mg selama
10 hari).
 Antikonvulsan: diazepam atau magnesium sulfat.
 Suportif dan simtomatik: keseimbangan cairan dan elektrolit, antipiretik.

E. Resep
R/ Anti Tetanus Serum inj amp No. I
S imm
R/ Tetanus Toksoid inj vial No. I
S imm
R/ Tetanus Immunoglobulin inj vial No. I
S imm
R/ Prokain Penisilin inj vial No. I
S imm
R/ Metronidazole 500 mg infus fls No. I
S imm

Toksoplasmosis Serebral (2)


A. Definisi
Ensefalitis toxoplasma adalah penyakit perdangan pada jaringan otak yang disebabkan
oleh protozoa Toxoplasma gondii.

B. Tanda dan Gejala


 Manifestasi klinis utama: demam, sakit kepala, defisit neurologik fokal
(hemiparesis, paresis saraf kranial), kesadaran menurun.
 Gejala lain: kejang, ataksia, afasia, parkinsonisme, choreaathetosis dan
gangguan lapangan pandang.
 Faktor Risiko HIV (+)
C. Pemeriksaan Penunjang
 Pencitraan: lesi hipodens pada CT Scan dan hipointens pada MRI. Seringkali
multipel, menyengat kontras, berbentuk cincin, disertai edema.
 Analisa cairan serebrospinal
 Kultur+ resistensi (aerob & anaerob), pemeriksaan serologis
 Diagnosis definitif: pemeriksaan histologis biopsi jaringan otak.

D. Tatalaksana
 Semua ODHA dengan lesi massa intrakranial dengan gejala neurologik yang
progresif dapat diberikan terapi empirik anti-toksoplasma selama 2 minggu.
 Terapi empirik: pirimetamin dan klindamisin.

Abses Otak (2)


A. Definisi
Penumpukan materi piogenik yang terlokalisir di dalam/di antara parenkim otak.

B. Etiologi
 Bakteri: Staphylococcus aureus, Streptococcus anaerob, Streptococcus β
hemolitikus, Streptococcus α hemolitikus, E.coli, Bacteroides.
 Jamur: N.asteroids, Candida, Aspergillus, Actinomycetes
 Parasit : E.Histolitika, Cystisercosis, Schistosomiasis

C. Tanda dan Gejala


 Demam, nyeri kepala, perubahan kesadaran, dapat disertai kejang dan defisit
neurologis fokal.
 Ditemukan fokus: otitis media, sinusitis, endokarditis, pneumonia, selulitis.

D. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan darah rutin: 50-60% didapati leukositosis, 70-95% LED
meningkat.
 CT Scan kepala dengan kontras: massa hipodens dengan penyangatan cincin
pada tepinya.

E. Tatalaksana
 Terapi antibiotik empirik diberikan hingga didapatkan antibiotik yang sesuai
dengan hasil tes sensitivitas kuman.
 Antiedema: dexamethason/manitol sesuai indikasi.
 Operasi bila tindakan konservatif gagal atau abses berdiameter >2,5 cm.

Infeksi HIV pada SSP (3A)


A. Definisi
Manifestasi infeksi HIV pada SSP dibagi menjadi:
 Komplikasi primer: HIV-demensia, HIV-neuropati sensorik.
 Komplikasi sekunder (penyakit oportunistik): ensefalitis toksoplasma,
meningitis TB, meningitis kriptokokus
B. Tatalaksana
 Terapi antiretroviral
 Pengobatan infeksi oportunistik

Poliomielitis (3B)
A. Definisi
Penyakit kelumpuhan syaraf yang bersifat akut yang disebabkan karena virus polio
golongan Enterovirus. Penularan tersering terjadi secara infeksi droplet dari
orofaring/saliva (jarang) atau tinja penderita yang infeksius.

B. Tanda dan Gejala


Predileksi virus polio pada sel kornu anterior medula spinalis  kelumpuhan serta
atrofi otot. Manifestasi klinis paparan virus polio pada manusia ada 4 bentuk yaitu:
1. Inapparent infection: tanpa gejala klinis.
2. Minor Illness (Abortif Poliomielitis): panas yang tidak terlalu tinggi, lemas,
tidak ada nafsu makan dan sakit pada tenggorokan, gangguan gastrointestinal,
dan nyeri kepala ringan. Pemeriksaan fisik dan penunjang dalam batas normal.
Sembuh dalam waktu 24-72 jam.
3. Non Paralitik Poliomielitis (Meningitis Aseptik):
- Demam tinggi, sakit kepala, nyeri pada otot, hiperestesi dan parestesi,
tidak ada nafsu makan, mual, muntah, konstipasi atau diare dapat timbul.
- Rangsang meningen (+)
- Refleks mulai menurun
4. Paralitik Poliomielitis: kelumpuhan pada satu atau dua ekstremitas dan
hilangnya refleks. Onset terjadinya paralisis tiba tiba.
5. Post Polio Sindrom: bentuk manifestasi lambat (15-40 tahun) setelah infeksi
virus polio dengan gejala klinik polio paralitik yang akut. Gejala yang timbul
adalah nyeri otot, paralisis rekuren, atau timbul paralisis baru.
C. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan darah: leukositosis dengan predominan PMN pada fase akut.
 Lumbal pungsi: kenaikan sel, pada permulaan PMN (polimorfonuklear)
kemudian berubah menjadi mononuklear, protein normal atau sedikit
meningkat dan kadar glukosa normal.
 Pemeriksaan serologi: peningkatan titer antibodi 4x atau lebih antara fase
akut dan konvalesens.
 Diagnosis pasti: isolasi virus dari feses, faring, urin, ataupun cairan
serebrospinal (jarang).
 Elektromiografi (EMG): membedakan kelumpuhan karena kelainan di
otot.

D. Tatalaksana
 Penderita polio paralitik harus dirawat di rumah sakit sampai fase akut dilewati.
 Perawatan fisioterapi dan rehabilitasi diberikan pada masa konvalesens.
 Tidak ada pengobatan yang spesifik  suportif dan pencegahan terjadinya
cacat, tindakan pencegahan dengan pemberian Imunisasi.
 Imunisasi polio: OPV di bulan ke-1, bulan ke-2, bulan ke-3, dan bulan ke-4
disertai IPV minimal 1x bersamaan dengan OPV-3.

Rabies (3B)
A. Definisi
Penyakit infeksi akut sistem saraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies yang
menginfeksi manusia melalui gigitan hewan yang terinfeksi (anjing, monyet, kucing,
serigala, kelelawar).

B. Tanda dan Gejala


 Penderita terdapat riwayat tergigit, tercakar atau kontak dengan anjing, kucing,
atau binatang lainnya. Pada saat pemeriksaan, luka gigitan mungkin sudah
sembuh bahkan mungkin telah dilupakan.
 Stadium:
- Stadium prodromal: demam, malaise, mual dan rasa nyeri di tenggorokan
terkadang seperti tercekik.
- Stadium sensoris: nyeri, merasa panas disertai kesemutan pada tempat
bekas luka, cemas, dan reaksi yang berlebihan terhadap rangsang sensoris.
- Stadium eksitasi: tonus otot dan aktivitas simpatis menjadi meninggi dan
gejala hiperhidrosis, hipersalivasi, hiperlakrimasi, dan pupil dilatasi.
Munculnya macam-macam fobia, tindak tanduk penderita tidak rasional
kadang maniacal disertai dengan responsif. Sebagian besar pasien
meninggal pada stadium ini.
- Stadium paralisis: apabila fase eksitasi terlewati. Paresis otot yang terjadi
secara progresif karena gangguan pada medulla spinalis.
 Diagnosis ditegakkan dengan riwayat gigitan (+) dan hewan yang menggigit
mati dalam 1 minggu.

C. Tatalaksana
 Isolasi pasien  menghindari rangsangan-rangsangan yang bisa menimbulkan
spasme otot, mencegah penularan.
 Fase awal: Luka gigitan harus segera dicuci dengan air sabun (detergen) 5-10
menit kemudian dibilas dengan air bersih, dilakukan debridement dan diberikan
desinfektan.
 Fase lanjut: penanganan hanya berupa tindakan suportif dalam penanganan
gagal jantung dan gagal nafas.
 Pemberian Serum Anti Rabies (SAR) dan Vaksin Anti Rabies (VAR)

Dosis Cara Pemberian Hari


SAR Heterolog: 40 IU/ kgBB infiltrasi pada luka Ke-0
sebanyak-banyaknya,
Homolog: 20 IU/ kgBB
sisanya disuntikkan secara
IM

VAR 0,5 ml IM pada otot deltoid atau Ke-0, 7, 21


anterolateral paha

Catatan:
Sudah mendapat vaksin rabies 5 tahun terakhir  VAR cukup diberikan 2 dosis
pada hari 0 dan 3, namun bila gigitan berat vaksin diberikan lengkap.

Spondilitis TB (3A)
A. Definisi
Infeksi tulang belakang oleh Mycobacterium tuberculosis. Paling sering ditemukan
pada vertebra torakalis bawah dan lumbalis.

B. Tanda dan Gejala


 Lemas, berkurangnya nafsu makan dan berat badan, demam terutama pada sore
hari, keringat malam.
 Gejala extra-skeletal tuberculosis: batuk, benjolan pada leher, diare, dan
distensi abdomen.
 Nyeri punggung dan spasme otot.
 Tulang belakang: kifosis (gibbus), nyeri lokal, spasme otot paravertebral, cold
abscess (stadium lanjut).
 Pemeriksaan neurologis: clumsiness walking, spontaneous muscle twitching,
nerve palsy, sampai hemiplegia, atau paraplegia spastik, keluhan sensorik,
bladder/bowel involvement.

C. Pemeriksaan Penunjang
 Lab: kurang membantu. Bisa ditemukan leukositosis perifer, peningkatan LED.
 Foto rontgen vertebra: osteolitis, kombinasi antara lesi litik dan sklerotik,
destruksi korpus vertebra
 Pemeriksaan mikrobiologi: pewarnaan langsung dengan ZN, kultur Ogawa,
GeneXpert
 Pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS): protein tinggi, glukosa menurun,
pleositosis limfositik pada 30-50% pasien.
 Mielografi: filling defect sepanjang Medula Spinalis.
 MRI: kompresi medulla spinalis atau kauda equina.

D. Tatalaksana
 Obat anti TB oral
 Steriod: dexamethasone IV, dilanjut PO
 Edukasi: pengobatan jangka panjang, perawatan di rumah, diet tinggi kalori dan
protein

TUMOR SISTEM SARAF PUSAT

Tumor SSP (2)


A. Definisi
Tumor sistem saraf pusat dibagi menjadi primer jika berasal dari sel SSP sendiri atau
sekunder jika metastasis dari tempat lain.

B. Tanda dan Gejala


 Sakit kepala yang memburuk terutama di malam hari, mual dan muntah
 Penurunan kesadaran
 Paresis saraf-saraf kranialis
 Perubahan mood, memori, atau kemampuan untuk berkonsentrasi
 Gangguan fungsi kognitif dan memori
 Kejang
 Kelemahan dan/atau rasa baal, tingling pada ekstremitas.

C. Pemeriksaan Penunjang
 Pencitraan: CT Scan dengan kontras, MRI dengan kontras
 EEG/EMG/BAEP atas indikasi
 Tumor marker dan biopsi tumor
 Sitologi cairan serebrospinal

PENURUNAN KESADARAN

Koma dan Penurunan Kesadaran (3B)


A. Definisi
Keadaan di mana pasien dalam keadaan tidur dalam dan tidak dapat dibangunkan
secara adekuat dengan stimulus kuat yang sesuai.

B. Tanda dan Gejala


 Penurunan kesadaran, dapat disertai oleh TTIK maupun defisit neurologis.
 Dapat terjadi mendadak atau bertahap.
 Dapat disebabkan oleh gangguan neurologis atau gangguan metabolik.

C. Pemeriksaan Penunjang
 Gangguan metabolik: pemeriksaan elektrolit, glukosa, kalsium, osmolaritas,
toksik obat-obatan (NAPZA), dan fungsi ginjal/ hati.
 Analisis gas darah arterial: pasien dengan penyakit paru dan kelainan asam
basa.
 Pencitraan CT-scan atau MRI kranial

D. Tatalaksana
 Pastikan oksigenasi, pertahankan sirkulasi
 Turunkan tekanan intrakranial
 Sesuai kondisi: kendalikan gula darah, kejang, kelainan asam basa dan
elektrolit, suhu tubuh, berikan antidotum spesifik
 Obati infeksi

Mati Batang Otak (2)


 Skor GCS 3
 Pupil yang tidak reaktif
 Hilangnya reflex batang otak: okulosefalik (dolls eyes), kornea,
 Tidak ada usaha nafas spontan

NYERI KEPALA

Nyeri Kepala Primer


Tidak disebabkan oeh proses intrakranial yang spesifik. Harus disingkirkan penyebab
sekunder.

TTH Migraine Cluster


Karakteristik Bilateral, Unilateral, berdenyut Unilateral daerah
menekan/mengikat orbita, supraorbita
dan/atau temporal
Intensitas Ringan-sedang Sedang-berat Sedang-berat

Durasi 30 menit-1 minggu 4 – 72 jam 15-80 menit


Gejala Mual muntah (-) Mual muntah (+) Gejala parasimpatik
penyerta atau ipsilateral
Fotofobia atau
fonobia (hanya 1) Fotofobia fonobia (+)
Aura atau tanpa aura

Tension Type Headache (4A)


A. Tanda dan Gejala
 Nyeri kepala paling tidak terdapat 2 gejala khas:
1. Lokasi bilateral.
2. Menekan/mengikat (tidak berdenyut).
3. Intensitasnya ringan atau sedang.
4. Tidak diperberat oleh aktivitas rutin seperti berjalan atau naik tangga.
 Tidak didapatkan:
1. Mual atau muntah (bisa anoreksia).
2. Lebih dari satu keluhan: foto fobia atau fonofobia.
 Dapat disertai/tidak adanya nyeri tekan perikranial (pericranial tenderness):
nyeri tekan pada otot perikranial (otot frontal, temporal, masseter, pteryangoid,
sternokleidomastoid, splenius dan trapezius) pada waktu palpasi manual.

B. Tatalaksana
Farmakologis
1. Serangan akut:
 Aspirin 1000 mg/hari, paracetamol 1000 mg/hari, NSAIDs (Naproxen 660-
750 mg/hari, ketoprofen 25-50 mg/hari, asam mefenamat, ibuprofen 800
mg/hari, diklofenak 50-100 mg/hari).
 Kafein (analgetik ajuvan) 65 mg.
 Kombinasi: 325 aspirin, asetaminofen + 40 mg kafein.
2. Tipe kronis: antidepresan, antiansietas

Nonfarmakologis
 Kontrol diet
 Pengobatan fisik: latihan postur dan posisi, massage, ultrasound, manual
terapi, kompres panas/dingin, akupuntur TENS (transcutaneus electrical
stimulation).
 Hindari pemakaian harian obat analgetik, sedatif dan ergotamine
 Behaviour treatment
C. Resep
R/ Paracetamol 500 mg tab no. XX
S 3dd tab I
atau
R/ Asam Mefenamat 500 mg tab no. XX
S 3dd tab I
atau
R/ Ibuprofen 400 mg tab no. XV
S 2dd tab I

Migren (4A)
A. Tanda dan Gejala
 Serangan nyeri kepala berlangsung selama 4 – 72 jam.
 Nyeri kepala mempunyai sedikitnya dua di antara karakteristik berikut :
1. Lokasi unilateral
2. Kualitas berdenyut
3. Intensitas nyeri sedang atau berat
4. Keadaan bertambah berat oleh aktivitas fisik atau penderita menghindari
aktivitas fisik rutin (seperti berjalan atau naik tangga).
 Selama nyeri kepala disertai salah satu dibawah ini :
1. Mual dan atau muntah
2. Fotofobia dan fonofobia
 Dapat disertai aura (classic) atau tanpa aura (common).
D. Tatalaksana
Farmakologis
1. Terapi Abortif:
 Non spesifik: analgetik, NSAID  aspirin 500-1000 mg per 4-6 jam,
ibuprofen 400 – 800 mg per 6 jam, parasetamol 500-1000 mg per 6-8 jam,
kalium diklofenak (powder) 50 -100 mg per hari dosis tunggal.
 Spesifik: triptan, dihidroergotamin, ergotamin  jika analgetik atau NSAID
tidak ada respon. Sumatriptan 25-100mg, ergotamine 1-2mg.
 Antimuntah: metokloperamid 10mg atau domperidone 10mg oral dan 30mg
rektal.
2. Terapi Profilaksis:
 Beta bloker
- Propanolol 80-240 mg per hari (lini pertama)
- Timolol 10-15 mg dua kali/hari, metropolol 45- 200 mg/hari
 Antiepilepsi:
- Topiramat 25-200 mg per hari.
- Asam valproat 400-1000 mg per hari  migraine episodik.
 Antidepresi: amitriptilin 10-75mg
 NSAID: Ibuprofen 200 mg 2 kali sehari.

E. Resep
R/ Ibuprofen 400 mg tab no. XXX
S 4 dd tab I
atau
R/ Paracetamol 500 mg tab no. XX
S 3dd tab I
atau
R/ Sumatriptan 50 mg tab no. XX
S prn tab I-II (jika nyeri)
atau
R/ Ergotamine 1 mg tab no. XX
S prn tab I-II (jika nyeri)

Cluster Headache (3A)


A. Tanda dan Gejala
 Nyeri hebat pada daerah orbita, supraorbita dan/atau temporal yang
berlangsung antara 15-180 menit jika tidak ditangani.
 Nyeri kepala disertai setidaknya satu gejala berikut:
1. Injeksi konjungtiva dan/atau lakrimasi pada mata ipsilateral
2. Kongesti nasal dan/atau rhinorrhea ipsilateral
3. Edema palpebra ipsilateral
4. Berkeringat pada daerah dahi dan wajah ipsilateral
5. Miosis dan/atau ptosis ipsilateral
6. Gelisah atau agitasi
7. Frekuensi serangan 1-8 kali/hari
 Fokus pemeriksaan: kesadaran, saraf kranialis, motorik, sensorik, otot-otot
perikranial.

B. Tatalaksana
Farmakologis
1. Terapi Akut:
 Inhalasi oksigen 100% 7 liter/menit selama 15 menit.
 Dihidroergotamin (DHE) 0,5–1,5 mg IV.
 Sumatriptan injeksi subkutan 6 mg.
2. Profilaksis:
 Verapamil (pilihan pertama), nimodipin atau nifedipin.
 Steroid: prednisone
 Pilihan lainnya: lithium, methysergide, divalproat sodium, chlorpromazine,
clonidine, ergotamin tartrat, dihydroergotamin, sumatriptan atau triptan
lainnya, indometasin.

Trigeminal Neuralgia (3A)


A. Definisi
Rasa nyeri tajam di daerah persarafan nervus trigeminus (CN V). Disebut juga tic
doloreaux.
B. Tanda dan Gejala
 Serangan nyeri paroksismal durasi beberapa detik sampai 2 menit, mengenai
satu atau lebih daerah persarafan cabang saraf trigeminal.
 Nyeri harus memenuhi satu dari dua kriteria berikut:
1. Intensitas tinggi, tajam, terasa di permukaan, atau seperti ditusuk-tusuk.
2. Berawal dari trigger zone atau karena sentuhan pemicu (sikat gigi, bicara,
makan)
3. Pola serangan sama terus.
 Tidak ada defisit neurologis.
C. Tatalaksana
 Antikonvulsan: Karbamazepine 200-1200 mg/hari, Oxkarbazepine,
Gabapentine, Phenitoin, Phenobarbital.
 Rehabilitasi medik

PENYAKIT NEUROVASKULAR

Transient Ischemic Attack (3B)


A. Definisi
Episode yang terjadi sementara yang disebabkan oleh iskemia disfungsi neurologis
fokal dari serebral, medula spinalis, retina tanpa adanya infark akut.

B. Tanda dan Gejala


 Defisit neurologi akut yang terjadi sementara  pulih sempurna dalam waktu
kurang dari 24 jam.
 Penilaian tingkat kegawatan dan risiko terjadinya stroke dengan skor ABCD2
(0 – 3 : risiko rendah ; 4 – 5 : sedang ; 6 – 7: tinggi).
C. Tatalaksana
 Anti agregasi platelet: aspirin, klopidogrel dosis 75 mg, dipiridamol dosis 200
mg, cilostazol dosis 100 mg
 Antikoagulan untuk TIA kardioemboli : warfarin 2 mg
 Neuroprotektan
 Penatalaksanaan faktor risiko: antihipertensi, antidiabetika, antidislipidemia

Stroke (3B)
A. Definisi
Defisit neurologis mendadak baik fokal maupun atau global yang disebabkan semata-
mata oleh gangguan pembuluh darah otak yang bertahan > 24 jam atau menyebabkan
kematian.
B. Klasifikasi

C. Tanda dan Gejala


 Gangguan global: gangguan kesadaran
 Gangguan fokal (lesi khas UMN) yang muncul mendadak, dapat berupa:
- Kelumpuhan sesisi/kedua sisi, kelumpuhan satu extremitas,
kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata, kelumpuhan otot-otot
untuk proses menelan, wicara, dan sebagainya
- Gangguan fungsi keseimbangan
- Gangguan fungsi penghidu
- Gangguan fungsi penglihatan
- Gangguan fungsi pendengaran
- Gangguan fungsi Somatik Sensoris
 Gangguan Neurobehavioral: gangguan atensi, memori, afasia, pengenalan
ruang

Gejala Berdasarkan Pembuluh Darah yang Terkena:


Anterior Cerebral Artery  Kelemahan kontralateral dan hilang sensorik di
ekstremitas bawah
 Inkontinensia
 Refleks grasp dan refleks primitif kontralateral
Middle Cerebral Artery  Kelemahan kontralateral: termasuk bagian bawah
wajah, ekstremitas bawa lebih ringan
 Hilangnya sensorik kontralateral
 Afasia
 Homonimus hemianopia kontralateral
 Deviasi mata (ke arah lesi)
Posterior Cerebral Artery  Proximal: Weber’s syndrome, palsi CN III,
hemiplegia kontralateral
 Thalamus atau lobus temporal: konfusi, gangguan
ingatan, gangguan hemisensorik
 Pembuluh kortikal: homonimus hemianopia
dengan macular sparing
 Oklusi bilateral: Anton’s syndrome (buta tetapi
tidak merasa)

Gejala Berdasarkan Sistem Pembuluh Darah:


Karotis Vertebrobasiler
Hemiparesis Kontralateral lesi Kontralateral antara CN (searah
lesi) dan ekstremitas
Ipsilateral antara CN dan
ekstremitas

Fungsi luhur Afasia, agnosia (gangguan (-)


menginterpretasi sensasi atau
mengenali benda)

Gejala lain Gangguan keseimbangan,


vertigo, diplopia, tinitus

Siriraj Stroke Score


>1 hemoragik; <-1 infark

Skor Gajah Mada


D. Tatalaksana Umum
 Stabilisasi jalan nafas dan pernapasan
 Stabilisasi hemodinamik (infus kristaloid)
 Pengendalian tekanan intrakranial (manitol jika diperlukan)
 Pengendalian kejang (terapi anti kejang jika diperlukan)
 Analgetik dan antipiterik, jika diperlukan
 Gastroprotektor, jika diperlukan
 Manajemen nutrisi
 Pencegahan DVT dan emboli paru : heparin atau LMWH

Stroke Iskemik (3B)


A. Definisi
Disebabkan oleh berkurangnya atau hilangnya aliran darah akibat oklusi pembuluh
darah pada parenkim otak, retina atau medulla spinalis.

B. Klasifikasi
 Aterotrombotik: penyempitan lumen akibat aterosklerosis  gejala biasanya
muncul bertahap.
 Emboli: gejala biasanya langsung memberat
- Kardioemboli: emboli dari jantung  terdapat penyakit jantung
penyerta: gangguan irama jantung (AF), gangguan katup jantung,
gangguan dinding jantung. Onset tiba-tiba dengan gejala maksimal.
- Tromboemboli: emboli dari fragmen ateromatous plak yang menyumbat
arteri yang lebih distal.

C. Pemeriksaan Penunjang
 CT Scan: daerah hipodens

 EKG dan echocardiography: melihat gangguan jantung


 Doppler Carotis: mendengar bruit

D. Tatalaksana Spesifik
 Trombolisis intravena: alteplase dosis 0.6-0.9 mg/kgBB, pada stroke iskemik
onset <6 jam
 Terapi endovascular : trombektomi mekanik, pada stroke iskemik dengan
oklusi karotis interna atau pembuluh darah intrakranial, onset <8 jam
 Manajemen hipertensi: diturunkan jika TD >220/120 dengan antihipertensi IV.
Batas penurunan: MAP 25%.
 Manajemen gula darah (insulin, anti diabetik oral)
 Pencegahan stroke sekunder (antiplatelet: aspirin, clopidogrel, cilostazol atau
antikoagulan : warfarin, dabigatran, rivaroxaban)
 Neroprotektor (citicholin, piracetam, pentoxyfiline, DLBS 1033)
 Perawatan di Unit Stroke
 Neurorestorasi / Neurorehabilitasi

Stroke Hemoragik (3B)


A. Definisi
Disebabkan adanya darah di parenkim otak atau ventrikel.

B. Tanda dan Gejala


 Gejala prodomal: peningkatan tekanan intrakranial  sakit kepala, muntah-
muntah, kesadaran menurun.
 Gejala penekanan parenkim otak (perdarahan intraserebral)  gejala
tergantung daerah otak yang tertekan/terdorong oleh bekuan darah

C. Pemeriksaan Penunjang
 CT Scan: daerah hiperdens

D. Tatalaksana Spesifik
 Koreksi koagulopati (PCC/Prothrombine Complex Concentrate)  jika
perdarahan karena antikoagulan
 Manajemen hipertensi: dengan antihipertensi IV jika TD >180/105 mmHg.
 Manajemen gula darah (insulin, anti diabetik oral)
 Pencegahan stroke hemoragik (manajemen faktor risiko)
 Neuroprotektor (citicholin, piracetam, pentoxyfiline, DLBS 1033)
 Perawatan di Unit Stroke
 Neurorestorasi / Neurorehabilitasi
 Tindakan Operatif: kraniotomi evakuasi hematom, kraniotomi dekompresi, VP
Shunt / external drainage

LESI KRANIAL DAN BATANG OTAK


Bell’s Palsy (4A)
A. Definisi
Kejadian akut, unilateral, paralisis saraf fasial type LMN (perifer).

B. Etiologi
 Kemungkinan virus, inflamasi, autoimun, dan etiologi iskemik.
 Peningkatan kejadian pada infeksi HSV tipe I dan reaktivasi herpes zoster dari
ganglia nervus kranialis.

C. Tanda dan Gejala


 Onset mendadak, dan gejala mencapai puncaknya < 48 jam. Kebanyakan
terjadi pada pagi hari.
 Kelemahan wajah satu sisi (atas dan bawah)  Lesi CN VII perifer
 Mata: tidak mampu menutup mata, nyeri ocular, penglihatan kabur, epiphora
 Telinga: nyeri tajam pada telinga dan mastoid, hiperakusis
 Perubahan pengecapan
 Kesemutan pada dagu dan mulut
D. Pemeriksaan Penunjang
 Darah rutin, ureum, kreatinin, Gula darah
 EMG
 MRI kepala + Kontras (jika curiga lesi sentral)

E. Tatalaksana
1. Pengobatan inisial
 Steroid: prednison dosis: 1 mg/kg atau 60 mg/hari selama 6 hari, diikuti
penurunan bertahap total selama 10 hari.
 Antiviral: asiklovir diberikan dengan dosis 400 mg oral 5 kali sehari
selama 10 hari. Jika virus varicella zoster dicurigai, dosis tinggi 800 mg
oral 5 kali/hari.
2. Lindungi mata
artifisial air mata pada siang hari.
3. Fisioterapi atau akupunktur

F. Resep
R/ Prednisone 4 mg tab No. CXII
S 4 dd tab IV
R/ Asiklovir 400 mg tab No. L
S 5 dd tab I

GANGGUAN SISTEM KESEIMBANGAN

Meniere’s Disease (3A)


A. Definisi
Kelainan telinga dalam berupa hidrops endolimfe idiopatik.
B. Tanda dan Gejala
Trias: vertigo, tinnitus, tuli senosineural

C. Pemeriksaan Penunjang
Audiologi: tuli sensorineural

D. Tatalaksana
Farmakologis
1. Simtomatik
 Antihistamin: dimenhidrinat, difenhidramin, meklizin, prometazin
 Benzodiazepin: lorazepam, klonazepam, diazepam
 Antiemetik: metoklopramid, ondansetron
2. Diuretik: hidroklorotiazid, triamterene
3. Steroid
 Untuk serangan akut  metilprednisolon IM/IV dilanjutkan prednisone 1
mg/kg PO per hari selama 10-14 hari lalu diturunkan bertahap.
 Deksametason 4 mg PO selama 4 hari

Nonfarmakologi
1. Diet rendah natrium (<1500 mg/hari).
2. Diet rendah kafein, nikotin, alcohol, dan makanan mengandung teofilin,
misalnya coklat.
3. Pembedahan  jika terapi farmakologi selama 3-6 bulan gagal.

Benign Paroxysmal Positional Vertigo (4A)


A. Definisi
Gangguan keseimbangan perifer berupa vertigo yang mendadak muncul setelah
perubahan posisi kepala. Vertigo adalah persepsi yang salah dari gerakan seseorang
atau lingkungan sekitarnya.
B. Tanda dan Gejala
 Vertigo sangat berat yang timbul mendadak akibat gerakan kepala tertentu,
berlangsung sangat singkat (10-20 detik).
 Mual, muntah, keringat dingin
 Tanpa nistagmus spontan  (+) pada pemeriksaan Dix-Hallpike
 Tanpa defisit neurologis

Perasat Dix-Hallpike:
 Pasien duduk, menoleh 45º ke satu sisi, lalu dijatuhkan sehingga kepalanya
menggantung 15º di bawah bidang datar. Amati ada nistagmus atau tidak.
 Pasien ditegakkan kembali dan diamati ada nistagmus atau tidak.
 Pemeriksaan yang sama dilakukan pada sisi yang lainnya.
C. Tatalaksana
Farmakologis
1. Antihistamin (dimenhidrinat, difenhidramin, meksilin, siklisin)
 Dimenhidrinat dosis 25 mg – 50 mg (1 tablet), 4 kali sehari.
 Difenhidramin HCl dosis 25 mg (1 kapsul) – 50 mg 4 kali sehari per oral.
2. Senyawa Betahistin (suatu analog histamin):
 Betahistin Mesylate dengan dosis 12 mg, 3 kali sehari per oral.
 Betahistin HCl dengan dosis 8-24 mg, 3 kali sehari.
3. Kalsium Antagonis
Cinnarizine, dosis 15-30 mg, 3 kali sehari atau 1x75 mg sehari.
Nonfarmakologis
1. Manuver Epley
Paling sering digunakan pada kanal vertical.
Pasien menolehkan kepala ke sisi yang sakit 45º  pasien berbaring dengan
kepala tergantung selama 1-2 menit  kepala ditolehkan 90º ke sisi
sebaliknya  berubah posisi dari supinasi menjadi lateral dekubitus dan
dipertahan 30-60 detik  mengistirahatkan dagu pada pundaknya  kembali
ke posisi duduk secara perlahan

2. Prosedur Semont
Pengobatan cupulolithiasis kanan posterior.
Pasien duduk tegak  kepala dimiringkan 45º ke sisi yang sehat  secara
cepat bergerak ke posisi berbaring selama 1-3 meni.  pasien pindah ke
posisi berbaring di sisi yang berlawanan tanpa duduk lagi.

3. Metode Brand Daroff


Pasien duduk tegak  berbaring ke kenan dengan kepala miring 45º ke arah
atas selama 30 detik  lakukan pada sisi sebelah kiri.
D. Resep
R/ Dimenhidrinat 50 mg tab no. XX
S 4dd tab I
atau
R/ Betahistin mesylate 6 mg tab no. XXX
S 3dd tab II

DEFISIT MEMORI

Demensia (3A)
A. Definisi
Sindrom penurunan fungsi intelektual dibanding sebelumnya yang cukup berat
sehingga mengganggu aktivitas sosial dan professional yang tercermin dalam aktivitas
hidup keseharian, biasanya ditemukan juga perubahan perilaku dan tidak disebabkan
oleh delirium maupun gangguan psikiatri mayor.
B. Klasifikasi
 Demensia Alzheimer
Perjalanan gradual. Faktor risiko utama usia dan riwayat keluarga. Temuan
patologis: atrofi lobus otak, neurofibrillary tangles, deposisi amyloid.
 Demensia Vaskular
Adanya riwayat stroke dan penyakit serebrovaskuler. Faktor risiko utama usia
dan hipertensi. Dapat disertai defisit neurologi.
 Demensia Pick
Ditandai dengan atrofi lobus frontal dan lobus temporal. Gejala berupa
gangguan tingkah laku, emosi, dan kepribadian.
 Demensia dengan Lewy Body
Perubahan postur dan cara berjalan. Terkait dengan penyakit Parkinson.

C. Kriteria Diagnosis
1. Mengganggu kemampuan fungsional di pekerjaan atau aktivitas keseharian;
dan
2. Merupakan penurunan dari tingkat fungsi dan performa sebelumnya; dan
3. Tidak dapat disebabkan oleh delirium atau gangguan psikiatri mayor;
4. Gangguan kognisi dideteksi dan didiagnosis melalui kombinasi dari (1)
pengambilan riwayat penyakit dari pasien dan informan yang mengetahui
kondisi pasien dan (2) pemeriksaan objektif kognisi baik berupa pemeriksaan
status mental bedside maupun berupa tes neuropsikologi.
5. Gangguan kognisi dan perilaku mencakup minimum dua dari domain-domain
berikut:
 Gangguan kemampuan untuk mendapatkan dan mengingat informasi baru
 Gangguan logika dan penanganan tugas kompleks, pengambilan keputusan
yang buruk
 Gangguan kemampuan visuospasial
 Gangguan fungsi berbahasa
 Gangguan kepribadian, perilaku atau penampilan

D. Pemeriksaan Penunjang
Mini Mental State Examination (MMSE), Clinical Dementia Rating (CDR), Global
Deterioration Scale, Geriatric Depression Scale (GDS), Neuropsychiatric Inventory
(NPI)

E. Tatalaksana
1. Demensia Alzheimer
Penyekat Kolinesterase: Donepezil. Dosis awal 1x 2,5 - 5 mg, Rivastigmin
patch. Dosis awal patch 4,6mg/24jam, Galantamin. Dosis awal 2x4mg
2. Demensia Vaskular
Penyekat Kolinesterase, kontrol faktor risiko vaskuler
3. Demensia Pick
Tidak dianjurkan Penyekat Kolinesterase atau Memantine
4. Demensia dengan Lewy Body
Penyekat Kolinesterase terutama Rivastigmin

GANGGUAN PERGERAKAN

Parkinson (3A)
A. Definisi
Penyakit akibat penurunan jumlah dopamine di otak yang berperan dalam mengontrol
gerakan akibat kerusakan sel saraf di substansia nigra pars kompakta di batang otak.

B. Tanda dan Gejala


TRAP:
 Tremor: saat istirahat, frekuensi lambat
 Rigiditas (cog-wheel): tubuh kaku dan berat
 Akinesia/Bradikinesia: gerakan lambat, tulisan kecil, arm swing berkurang,
face mask, kaki diseret saat berjalan, suara bicara pelan dan sulit dimengerti
 Postural Change: membungkuk
Gejala lain:
 Kurang bergairah
 Berkurang fungsi
penghidu / penciuman
 Keluar air liur berlebihan
 Faktor yang memperingan
gejala: istirahat, tidur,
suasana tenang
 Faktor yag memperberat
gejala: kecemasan, kurang
istirahat

Note: tanyakan riwayat penyakit lain dan penggunaan obat (terutama antipsikotik)
Pemeriksaan instabilitas postural / tes retropulsi: pasien ditarik dari belakang pada
kedua bahunya untuk melihat apakah pasien tetap mampu mempertahankan posisi
tegak.

C. Tatalaksana
Stadium penyakit awal:
 Nutrisi: diet yang sehat berupa buah-buahan dan sayur-sayuran.
 Aktifitas: edukasi, aerobik, penguatan, peregangan, latihan.
 Fisioterapi

Farmakolologi
Terapi simptomatis awal (motorik): Levodopa, MAO-B inhibitor (selegiline,
rasagiline), agonis dopamin (pramipexol, ropinirole, rotigotine).
Untuk yang dominan tremor <70 tahun (tanpa akinesia/bradikinesia), pilihan
utama biasanya antikolinergik (triheksifenidil).
EPILEPSI DAN KEJANG LAINNYA

Kejang (3B)
A. Definisi
Terjadinya tanda/gejala yang bersifat sesaat akibat aktivitas neuronal yang abnormal
dan berlebihan di otak.

B. Klasifikasi
Berdasarkan proses akut dalam tubuh yang menyebabkan kejang:
 Kejang dengan provokasi (provoked seizures atau acute symptomatic seizures):
terjadi bersamaan atau berdekatan waktunya dengan gangguan saraf pusat akut
akibat gangguan metabolik, toksik, infeksi, stroke, trauma kepala, dan
inflamasi.
 Kejang tanpa provokasi (unprovoked seizures): tanpa adanya gangguan saraf
pusat akut.

Berdasarkan klasifikasi ILAE 2017


 Kejang fokal: dimulai dari bagian otak hanya pada sebagian tubuh.
- Sederhana: gangguan kesadaran (-)
- Komplek: gangguan kesadaran (+)
- Kejang fokal berlanjut menjadi kejang umum
 Kejang umum: melibatkan seluruh otak sejak awal.

C. Tatalaksana
 Injeksi diazepam IV 10 mg bolus dengan kecepatan maksimal 5 mg/menit
(dimasukkan paling cepat 2 menit)  efek samping depresi nafas.
 Dapat diulang 10 menit setelah pemberian pertama.

Epilepsi (3A)
A. Definisi
Definisi Konseptual
Kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan untuk menimbulkan bangkitan
epileptik yang terus menerus, dan konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis, dan
sosial.

Definisi Operasional
Penyakit otak yang ditandai oleh gejala atau kondisi sebagai berikut:
1. Setidaknya ada dua kejang tanpa provokasi atau dua bangkitan refleks yang
berselang lebih dari 24 jam.
2. Satu bangkitan tanpa provokasi atau satu bangkitan refleks dengan adanya
kemungkinan besar bangkitan berulang (riwayat stroke, infeksi otak, cedera
kepala, tumor otak).

Bangkitan refleks: bangkitan yang muncul akibat induksi oleh faktor pencetus tertentu
yang selalu serupa, dapat berupa visual, auditorik, kegiatan seperti makan, sikat gigi,
BAK, dan sebagainya.

B. Etiologi
 Idiopatik: tidak terdapat lesi struktural di otak. Predisposisi genetik dan
umumnya pada usia muda.
 Kriptogenik: penyebab belum diketahui.
 Simtomatik: kelainan/lesi struktural pada otak.

C. Pemeriksaan Penunjang
Elektroensefalografi (EEG)

D. Tatalaksana
1. Obat Anti Epilepsi (OAE)
 Kejang fokal: karbamazepin 400-1200 mg/hari, fenitoin, asam valproat
 Kejang umum:
- Tonik klonik: karbamazepin 400-1200 mg/hari, asam valproat,
fenitoin
- Myoklonik: asam valproat
- Absans: asam valproat, ethosuximide, lamotigrine
2. Hindari faktor pencetus
3. Asam folat 1-5 mg/hari, terutama pada pasien dalam masa reproduktif untuk
mencegah cacat janin.

Status Epileptikus (3B)


A. Definisi
Definisi Konseptual
Bangkitan yang berlangsung lebih dari 30 menit, atau adanya dua bangkitan atau
lebih di mana di antara bangkitan-bangkitan tadi tidak terdapat pemulihan kesadaran.
.
Definisi Operasional
Adalah bangkitan dengan durasi lebih dari 5 menit, atau bangkitan berulang 2 kali
atau lebih tanpa pulihnya kesadaran diantara bangkitan.

Definisi status epileptikus non konvulsif


Perubahan kesadaran maupun perilaku tanpa disertai manifestasi motorik yang jelas
namun didapatkan aktivitas bangkitan elektrografik pada EEG.

B. Tatalaksana
1. Stadium 1 (0−10 menit)  SE Dini
 Diazepam 10 mg IV bolus lambat dalam 5 menit. Bila masih kejang dapat
diulang 1 kali lagi atau Midazolam 0.2 mg/kgBB IM.
 Pertahankan patensi jalan napas dan resusitasi, berikan oksigen, periksa
fungsi kardiorespirasi, pasang infus.
2. Stadium 2 (0−30 menit)
 Monitor pasien
 Pemeriksaan emergensi laboratorium: AGD, glukosa, fungsi liver, fungsi
ginjal, elektrolit, fungsi hemostasis.
 Berikan glukosa (D50% 50 ml) dan/atau thiamine 250 mg i.v  kecurigaan
penyalahgunaan alkohol atau defisiensi nutrisi.
 Terapi asidosis  asidosis berat.
3. Stadium 3 (0−60 menit)  SE Menetap
 Siapkan untuk rujuk ke ICU.
 Identifikasi dan terapi komplikasi medis yang terjadi.
 Vasopressor bila diperlukan.
 Phenytoin i.v dosis of 15–18 mg/kg dengan kecepatan pemberian 50
mg/menit dan/atau bolus Phenobarbital 10–15 mg/kg i.v.dengan kecepatan
pemberian100 mg/menit.
4. Stadium 4 (30−90 menit)  SE Refrakter
 Pindah ke ICU, perawatan intensif, dan monitor EEG.
 Anestesi umum: propofol, midazolam, thiopental sodium.
 Monitor tekanan intrakranial bila dibutuhkan.
 Berikan antiepilepsi rumatan jangka panjang.

PENYAKIT DEMIELINISASI

Multipel Sklerosis (1)


A. Definisi
Penyakit demielinisasi pada sistem saraf pusat yang diakibatkan oleh proses autoimun.

B. Tanda dan Gejala


Pola remisi eksaserbasi:
 Menurunnya ketajaman penglihatan pada satu mata yang dapat disertai dengan
nyeri pergerakan mata.
 Pandangan ganda
 Gangguan sensorik atau kelemahan
 Gangguan keseimbangan
 Lhermitte sign positif: rasa seperti tersetrum ketika leher difleksikan dan sering
menjalar ke tulang belakang.

PENYAKIT PADA TULANG BELAKANG DAN SUMSUM TULANG


BELAKANG

Cedera Medula Spinalis


A. Definisi
Kerusakan pada medulla spinalis akibat trauma atau non trauma yang akan
menimbulkan gangguan pada sistem motorik, sistem sensorik, dan vegetatif.

B. Sindroma
1. Sindroma Medula Spinalis Anterior (Anterior Cord Syndrome)
 Kelumpuhan otot dan hilangnya sensasi nyeri dan suhu pada kedua sisi.
 Sensasi raba dan posisi tidak terganggu.
2. Sindroma Medula Spinalis Posterior (Posterior Cord Syndrome)
 Gangguan propriosepsi dan getar di bawah segmen yang rusak.
 Motorik, sensasi nyeri, dan suhu tidak terganggu.

3. Sindroma Medula Spinalis Sentral (Central Cord Syndrome)


 Paresis lengan lebih berat dari tungkai.
 Gangguan sensorik suhu dan nyeri di bawah tingkat lesi.
4. Sindroma Hemilesi Brown Sequard (Brown Sequard Syndrome)
 Ipsilateral: paresis UMN, gangguan proprioseptif (raba dan getar).
 Kontralateral: gangguan sensasi nyeri dan suhu 3 segmen di bawah lesi.
5. Sindroma Konus Medularis (Conus Syndrome)
 Gangguan sensorik di daerah bokong, perineum, retensio urin, disfungi
defekasi, dan impotensi.
 Refleks anal dan refleks bulbokavernosa (-).
6. Sindroma Kauda Equina (Cauda Syndrome) (2)
 Paralisis flasid dan atrofi.
 Gangguan sensorik sesuai dermatom.
 Retensio urine et alvi dan impotensi  jika mengenai radiks S2-4.
 Saddle anesthesia
7. Sindroma Radikuler (Radicular Syndrome) (3A)
Atrofi, fasikulasi, gangguan sensoris komplit, nyeri, gangguan motorik.
8. Kompresi Medula Spinalis (3B)
 Fase syok spinal: paralisis flasid, nyeri radikuler setinggi lesi, retensi
urine, gangguan sensasi.
 Setelah beberapa minggu: spastik kandung kemih, paraparesis spastik,
urgensi berkemih, inkontinensia, gangguan sensorik.
9. Transeksi Medula Spinalis Komplit (Complete Spinal Transection) (3B)
 Gangguan seluruh fungsi neurologis di bawah lesi.
 Paralisis flasid lengkap di bawah lesi  dalam beberapa minggu menjadi
spastik.
 Lesi UMN: klonus, refleks meningkat, refleks patologis (+).
 Refleks spasme spinkter, distensi kandung kemih, spasme fleksor
involunter.
 Lesi regio servikal  tetraplegia
 Lesi region thorakal, lumbal, sakral  paraplegia
10. Dorsal Root Syndrome (2)
Gangguan sensorik baik nyeri, suhu, dan propioseptif, gait ataxia, areflexia.
11. Hematomielia
Perdarahan akut pada massa abu-abu medulla spinalis.
 Nyeri akut di lokasi lesi + paralisis.
 Atrofi otot setingkat lesi, paraparesis spastik di bawa lesi, gangguan
sensasi dan suhu setinggi dermatom yang terkena.
12. Siringomielia (2)
 Munculnya kista di medulla spinalis
 Kelemahan otot, atrofi, refleks (-), gangguan sensitivitas
13. Syok Neurogenik
 Terjadi keadaan vasoparalysis (tonus simpatis)
 Trias: hipotensi, bradikardia, vasodilatasi perifer
14. Syok Spinal
 Flasid, hilangnya refleks, dan kontrol otonom dalam 24-72 jam
 Hipotensi, bradikardia, hiperemia pada kulit, akral hangat, gangguan
kontrol suhu.

Anterior Cord Syndrome Central Cord Syndrome Posterior Cord Syndrome


Brown Sequard Syndrome Complete Spinal Transection

Myelopati (2)
Sesuai letak tinggi lesi:
C. Pemeriksaan Penunjang
Radiologi: Foto polos vertebra, CT Scan Vertebra, MRI Vertebra; Pungsi lumbal;
Somato Sensory Evoked Potential (SSEP) dan Motor Evoked Potential (MEP)

D. Tatalaksana
1. ABC: pertahankan jalan nafas, beri oksigen bila sesak, beri cairan infus 2 jalur
untuk mencegah terjadinya syok.
2. Immobilisasi dan stabilkan leher menggunakan cervical collar.
3. Stabilisasi Medis: pada penderita tetraparesis atau tetraplegia  pasang NGT,
pasang kateter urin.
4. Pemberian megadose methylprednisolone dalam kurun waktu 8 jam setelah
kecelakaan dapat memperbaiki konntusio medula spinalis.
5. Mempertahankan posisi normal vertebra (Spinal Alignment).
6. Dekompresi dan Stabilisasi Spinal.
7. Rehabilitasi: bladder training, bowel training, latihan otot pernafasan,
pencapaian optimal fungsi-fungsi neurologik dan program kursi roda bagi
penderita paraparesis/paraplegia.

Herniasi Nukleus Pulposus (3A)


A. Definisi
Herniasi materi inti dari annulus ke kanalis spinalis vertebra.

B. Tanda dan Gejala


 Daerah servikal:
- Nyeri menjalar di area lengan pada distribusi radiks, diperburuk dengan
ekstensi leher, rotasi ipsilateral, dan fleksi lateral.
- Tanda dan gejala lesi LMN dan hipestesi sesuai dermatom
- Tanda cervical radiculopathy: Spurling test (+)  leher diekstensikan
maksimal lalu dirotasi ke sisi yang nyeri sambil pemeriksa memberi
tekanan di atas kepala.

 Daerah Lumbar
- Nyeri menjalar dari punggung hingga ke tungkai bawah.
- Gerakan punggung terbatas karena nyeri.
- Nyeri diperberat dengan batuk, bersin, atau mengejan.
- Tanda peradangan pada radiks:
o Laseque test (straight leg raise)  keterlibatan radiks L5, S1.
o Femoral stretch test  keterlibatan radiks L2-L4.
- Kelemahan motorik dan tanda lesi LMN
- Perubahan sensorik: baal, kesemutan, rasa panas, seperti ditusuk-tusuk
- Jika sudah berat dapat disertai gangguan otonom seperti retensi urine.

Spurling Test Lasique Test Femoral stretch test

C. Pemeriksaan Penunjang
Rontgen vertebra, CT-Scan, MRI (gold standard)

D. Tatalaksana
 NSAID: ibuprofen, paracetamol.
 Modifikasi aktivitas, edukasi pasien mengenai postur tubuh, fisioterapi,
program olahraga.
 Collar neck atau korset lumbal sementara selama 2 minggu.
 Injeksi kortikosteroid epidural (jika nyeri radikuler hebat di lumbal).
 Pembedahan

PENYAKIT NEUROMUSKULAR DAN NEUROPATI

Sindrom Horner (2)


A. Definisi
Gangguan suplai saraf simpatis pada mata.

B. Tanda dan Gejala


Trias: miosis, ptosis parsial, anhidrosis (tidak berkeringat) hemifasial.

Carpal Tunner Syndrome (3A)


A. Definisi
Neuropati akibat tekanan terhadap nervus medianus di dalam terowongan karpal pada
pergelangan tangan, tepatnya di bawah fleksor retinakulum.
B. Tanda dan Gejala
 Gejala awal: parestesia, baal, seperti terkena aliran listrik pada jari 1-3 dan
setengah sisi radial jari 4 sesuai dengan distribusi sensorik nervus medianus.
 Nyeri di tangan yang juga dirasakan lebih berat pada malam hari.
 Tes provokasi:
- Phalen's test: pasien diminta fleksi tangan secara maksimal. (+): dalam
waktu 60 detik timbul gejala seperti CTS.
- Tinel's sign: (+) timbul parestesia atau nyeri pada daerah distribusi
nervus medianus jika dilakukan perkusi pada terowongan karpal dengan
posisi tangan sedikit dorsofleksi.

 Pemeriksaan sensibilitas: (+) bila penderita tidak dapat membedakan dua titik
(two-point discrimination) pada jarak lebih dari 6 mm di daerah nervus
medianus.
 Pemeriksaan fungsi otonom: apakah ada perbedaan keringat, kulit yang kering
atau licin yang terbatas pada daerah inervasi nervus medianus.
C. Pemeriksaan Penunjang
 Elektromiografi (EMG)
 Sinar-X pergelangan tangan  membantu melihat fraktur atau artritis.
 Foto polos leher  menyingkirkan adanya penyakit lain pada vertebra.

D. Tatalaksana
 Istirahatkan pergelangan tangan.
 NSAID
 Pemasangan bidai pada posisi netral pergelangan tangan. Bidai dapat
dipasang terus-menerus atau hanya pada malam hari selama 2-3 minggu.
 Injeksi steroid. Deksametason 1-4 mg/ml atau hidrokortison 10-25 mg atau
metilprednisolon 20-40 mg diinjeksikan ke dalam terowongan karpal.
 Fisioterapi
 Operasi

Tarsal Tunner Syndrome (3A)


A. Definisi
Neuropati tibia posterior akibat penekanan pada nervus tibialis posterior.
B. Tanda dan Gejala
 Nyeri, kesemutan, baal, dan gangguan sensoris pada daerah yang dipersarafi
nervus tibialis posterior. Nyeri juga dirasakan lebih berat pada malam hari.
 Tes provokasi:
- Tinel's sign: (+) timbul parestesia atau nyeri jika dilakukan perkusi pada
nervus tibialis posterior.
- Dorsiflexion-Eversion Test: (+) timbul parestesia jika telapak kaki
pasien didorsifleksi dan eversi selama 15 detik.

Tinel’s sign Dorsiflexion-Eversion Test


 Pemeriksaan sensibilitas: (+) bila penderita tidak dapat membedakan dua titik
(two-point discrimination).

C. Pemeriksaan Penunjang
 Elektromiografi (EMG)
 Sinar-X pergelangan kaki  membantu melihat fraktur atau penyakit lain.

D. Tatalaksana
 Konservatif: istirahat, penggunaan walker boat, kortikosteroid, NSAID.
 Pemasangan penopang pada arkus medialis plantar pedis.
 Fisioterapi
 Operasi
Peroneal Palsy (3A)
A. Definisi
Penekanan pada nervus peroneal di caput fibula.

B. Tanda dan Gejala


 Foot drop.
 Kelemahan saat eversi dan dorsifleksi.
 Hilangnya sensorik pada bagian anterolateral tulang kering dan dorsum kaki.

Tanda mononeuropati lainnya:


N. Medianus Ape hand
(C6-T1)

N. Ulnaris Claw hand


(C7-T1)

N. Radialis Wrist and finger drop


(C5-T1)
Nervus Ulnar Nervus Radialis

Brachial Plexus Injury


Sering akibat trauma jalan lahir pada anak makrosomia atau distosia.
1. Erb’s Palsy
Kerusakan pada upper brachial plexus. Tanda: waiter’s tip hand.
2. Klumpke’s Palsy
Kerusakan pada lower brachial plexus. Berhubungan dengan Sindrom Horner.
Tanda: claw hand.
Guillain Barre Syndrome (3B)
A. Definisi
Sistem kekebalan tubuh seseorang menyerang sistem saraf tepi dan menyebabkan
kelemahan otot, apabila parah dapat mengakibatkan kelumpuhan, bahkan otot-otot
pernapasan

B. Tanda dan Gejala


 Riwayat infeksi saluran pencernaan (seringkali Campylobacter jejuni) atau
ISPA sebelumnya.
 Kelemahan asenden dan simetris  anggota gerak bawah baru menjalar ke atas.
 Kelemahan akut dan progresif yang ditandai arefleksia.
 Puncak defisit 4 minggu.
 Pemulihan 2-4 minggu pasca onset.
 Gangguan sensorik pada umumnya ringan.
 Gangguan otonom dapat terjadi.
 Gangguan saraf kranial: III, IV, VI, VII, IX, X
 Gangguan otot-otot nafas
 Miller-Fisher syndrome: melibatkan otot ocular dan berhubungan dengan
areflexia dan ataxia.

C. Pemeriksaan Penunjang
 EMG
 Lumbal Pungsi: protein meningkat, sel inflamasi (-).
 Pencitraan dan lab: untuk menyingkirkan diagnosis banding lain.

D. Tatalaksana
 Monitoring dan terapi suportif: terutama pada pasien ancaman gagal nafas.
 Pemberian IVIG 0,4 gram/ kg BB/ hari selama 5 hari atau plasma exchange
(lini pertama).
 Plasmaparesis 40-50ml/kg 4 kali dalam seminggu.
 Kombinasi methylprednisolone dosis tinggi dan IVIG memiliki manfaat
singkat
 Tindakan rehabilitasi disesuaikan dengan derajat kelemahan dan disabilitas
pasien.

Miastenia Gravis (3B)


A. Definisi
Kelainan transmisi neuromuskular primer akibat autoantibodi terhadap reseptor
asetilkolin. Krisis miastenia: memburuknya kelemahan otot, mengakibatkan kegagalan
pernafasan yang membutuhkan intubasi dan ventilasi mekanis.

B. Tanda dan Gejala


Kelemahan bersifat fluktuatif (terutama di sore hari ketika lelah) dan membaik
dengan pemberian asetilkolinesterase inhibitor sebelumnya.
 Kelemahan otot mata  ptosis dan diplopia.
 Kesulitan menelan dan bicara pelo.
 Kelemahan pada tangan, kaki, dan leher.
 Dapat mengenai otot-otot pernapasan.
 Pemeriksaan khusus:
- Wartenberg test: memandang objek di atas bidang antara kedua bola mata
>30 detik  (+) terjadi ptosis
- Edrophonium chloride (Tensilon) test: injeksi dengan edrophonium 1 cc
 (+) ptosis membaik
- Ice pack: meletakkan ice pack di mata yang ptosis selama + 2 menit  (+)
ptosis akan membaik

C. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan antibody antiMuSK dan antibody AchR-ab, EMG

D. Tatalaksana
 Antikolinesterase: piridostigmin 1x60 mg, neostigmine, edrofonium
 Kortikosteroid: prednisone mulai dari 5 mg/hari hingga 50 mg/hari
 Imunomodulasi: immunoglobulin intravena (IVIg), plasma exchange
 Azatioprin atau siklosporin
 Bedah: timektomi

Jika krisis miastenia:


 Rawat ICU
 Observasi tanda-tanda gagal nafas
 Lakukan intubasi trakea dan bersihkan sekret trakea secara berkala

Poliomiositis (1)
A. Definisi
Kelainan otot akibat inflamasi idiopatik.

B. Tanda dan Gejala


 Kelemahan otot proksimal simetris ekstremitas atas dan bawah
 Peningkatan enzim otot skeletal
 Nyeri, disfagia, arthralgia
 Kelemahan otot fleksor leher  sulit mengangkat kepala
 Keterlibatan jantung dapat menyebabkan kardiomiopati

C. Pemeriksaan Penunjang
 Lab: leukositosis atau trombositosis, LED atau CRP meningkat, kadar enzim
otot meningkat, myoglobinuria, autoantibodi, faktor rheumatoid (+)
 EMG
 Pemeriksaan histopatologi

Neurofibromatosis (Von Recklaing Hausen Disease) (2)


A. Definisi
Penyakit genetik multisistem yang ditandai denan temuan di kulit, displasia skeletal,
tumor jinak atau ganas di sistem saraf, terutama neurofibroma.

B. Tanda dan Gejala


 Café-au-lait spot: titik berwarrna kecoklatan di berbagai tempat.
 Freckles di ketiak atau lipat paha.
 Neurofibroma: tumor berwarna merah muda.
 Nodul Lisch: di iris mata
 Pheochromocytoma  tekanan darah tinggi
 Giloma: tumor nervus optikus
Nodul Lisch
 Abnormalitas tulang, perawakan pendek
 Gangguan belajar: ADHD, autism spectrum disorder
Café-au-lait spot Freckles Neurofibroma

C. Tatalaksana
Tidak ada tatalaksana spesifik. Tatalaksana disesuaikan dengan temuan klinis pasien.

GANGGUAN NEUROBEHAVIOUR

Mild Cognitive Impairment (2)


A. Definisi
1. Pasien tidak normal, namun tidak demensia.
2. Adanya bukti deteriorasi kognitif sesuai usia:
- Penurunan hasil uji kognitif secara objektif.
- Laporan subyektif mengenai penurunan kognitif oleh pasien dan/atau
orang lain dan adanya defisit kognitif secara obyektif.
3. Mampu melakukan aktivitas sehari-hari dan minimal tidak terjadi gangguan
fungsi instrumental secara kompleks.

B. Tanda dan Gejala


Domain gangguan kognitif dapat bersifat tunggal maupun multiple, meliputi gangguan
atensi, bahasa, visuopasial, memori, dan fungsi eksekutif.
C. Klasifikasi
DAFTAR PUSTAKA

1. Adams RD, Victor M, Ropper AH. Principles of neurology. Adams And Victor’s
Principles Of Neurology. 9th ed. New York: McGraw-Hill Medical. 2009.
2. Yogarajah M. Crash Course: Neurology-E-Book. Elsevier Health Sciences; 2013
Jul 29.
3. Young PA, Young PH. Basic clinical neuroanatomy. Williams & Wilkins; 1997.
4. Moore KL, Dalley AF, Agur AM. Clinically oriented anatomy. Lippincott
Williams & Wilkins; 2013 Feb 13.
5. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Panduan praktik klinis neurologi.
Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2016.
6. Departemen Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran.
Kegawatdaruratan neurologi. Bandung: 2018.
7. Departemen Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran.
neurology in daily practice. Bandung: 2018.
8. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Kapita selekta kedokteran. Jakarta:
Media Aesculapius. 2014:329-0.
9. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Pedoman tatalaksana epilepsi.
Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2016.
PEDIATRI 1
ENDOKRIN

HIPOGLIKEMIA

Disebut hipoglikemia apabila kadar gula darah kurang dari 40mg% pada bayi dan anak.
Hipoglikemia dapat asimptomatik atau disertai dengan gejala gangguan susunan saraf
pusat dan kardiopulmonal. Kadar glukosa harus berkisar 70-100 mg/dL (normal) untuk
mencegah terjadinya komplikasi. Keterlambatan terapi dapat berpengaruh pada
perkembangan dan fungsi otak.

Penyebab Hipoglikemia:

1. Peningkatan pemakaian glukosa: hiperinsulin


- Neonatus dari ibu penderita diabetes
- Besar masa kehamilan (BMK)
- Neonatus yang menderita eritroblastosis fetalis (isoimunisasi Rh-berat)
- Neonatus dengan sindrom Beckwith-Weidemann (makrosomia, mikrosefali
ringan, omfalokel, makroglosia, hipoglikemia, dan viseroamegali).
- Neonatus dengan nesidioblastosis atau adenoma pankreatik
- Malposisi kateter arteri umbilikalis
- Ibu yang mendapatkan terapi tokolitik seperti terbutalin, klorpropamid,
thiazide
- Setelah (pasca) transfuse tukar
2. Penurunan produksi/simpanan glukosa
- Prematur
- IUGR (intrauterine growth restriction)
- Asupan kalori yang tidak adekuat
- Penundaan pemberian asupan (susu/minum)
3. Peningkatan pemakaian glukosa dan atau penurunan produksi glukosa
- Stres perinatal: sepsis, syok, adfiksia, hipoterimi, Repiratory distress, Pasca
resusitasi
- Defek metabolism karbohidrat: penyakit penyimpanan glikogen, intoleransi
fruktosa, galaktosemia
- Defisiensi endokrin: insufisiensi adrenal, defisiensi hipotalamus,
hipopituitarisme kongenital, defisiensi glucagon, defisiensi epinefrin
- Defisiensi metabolism asam amino: Maple syrup urine disease, Asidemia
proprinar, Asidemia Metilmalonat, Tirosinemia, Asidemia glutarat tipe II,
Ethylmalonic adipic aciduria
- Polisitemia
- Ibu yang mendapat terapi B-Blocker (labetalol/propanolol) atau steroid
Pemeriksaan Fisik:

Pada hari pertama atau kedua setelah kelahiran, hipoglikemia mungkin asimptomatik.
Gejala hipoglikemia pada bayi mungkin didapatkan gejala neuroglikopenik yang berat,
namun tetapi kadang tidak spesifik meliputi:
- Gelisah/rewel
- Sianosis
- Apneu
- Distres respirasi
- Malas minum
- Kejang mioklonik
- Wilting spells atau myoclonic
jerks
- Jitteriness
- Kejang
- Somnolen, letargi, apatis
- Temperatur subnormal
- Berkeringat
- Hipotonia
Manifestasi klinis pada anak:
- Simpatomimetik: pucat, keringat dingin, kehilangan nafsu makan--
- Neuroglikopenik: disorientasi, perubahan perilaku, nyeri kepala, strabismus,
letargi --atau somnolen, kejang, koma
Terapi:
1. Apabila pasien sadar, dapat minum dan menelan dengan baik. Segera diberikan
karbohidrat yang cepat diserap dengan baik (glukosa tablet, jelly glukosa, larutan
gula, perasan buah-buahan, atau madu.
2. Bila pasien tidak bisa diberikan oral. berikan secara IV bolus glukosa D10% 1-
2mL/kgBB (dextrose 0,25-0,5 mg/kgBB), diikuti dengan glukosa 10% 3-5
ml/kgBB/jam (6-8,g/kgBB.menit).

Algoritma penanganan hipoglikemia:


(sumber: PPM IDAI 2011)
GROWTH HORMONE
Growth Hormone (GH):
1. Kelebihan GH: Gigantisme dan Akromegali (2A)

Gigantisme Akromegali

Definisi Growth hormone yang Growth hormone yang


berlebih dan terjadi saat berlebih dan terjadi saat
masa pre-pubertas, sebelum masa post-pubertas, biasanya
lempeng epifisis tertutup terjadi di usia 20-40 tahun,
setelah lempeng epifisis
tertutup

Karakteristik - Petumbuhan tulang - Pertumbuhan jaringan


berlebih kartilago, tangan, kaki,
- Sanggat tinggi (>7feet/2 ridge eyebrow, dagu, dan
meter) lidah masih terjadi
- Makrocephal - Terjadi efek metabolic
- Obesitas - Peningkatan gula darah
- Frontal bossing - Penyimpitan arteri
- Hiperhidrosis
- Soft tissue hypertrophy
A. Gigantisme (SKDI 2)

Gagel RF, McCutcheon IE. Pituitary gigantism. New England Journal of Medicine. 1999 Feb
18;340(7):524-.

B. Akromegali (SKDI 2)

2. Kekurangan GH: Dwarfism dan Creatinism


Dwarfism Creatinism

Definiti The condition of being a Creatinism is the condition


dwarf due to hereditary and of severe physical and
metabolic disorders mental retardation due to
deficiency of thyroid
hormones during early
pregnancy

Hormon Hipopituitarism Hipotiroidisme

Penurunan GH Penurunan T4 dan T3

IQ Mental normal (Normal Retardasi mental (IQ


IQ) rendah)

Karakteristik - Bagian tubuh - Bagian tubuh tidak


proporsional proporsional
- Perawakan pendek - Perawakan pendek
- smart look - Ekspresi datar, ugly
- Fertile look
- Infertile

A. Dwarfism (SKDI )
B. Creatinism (SKDI )
THYROID HORMONE
HIPOTIROID (SKDI 2)
1. Anamnesis
- Ikterus/kuning lama
- Letargi
- Sulis BAB / konstipasi
- Tidak mau makan/minum/menetek
- Tubuh teraba dingin
- Kelahiran postdate
- Retardari perkembangan
- Gagal tumbuh/pendek
- Suara menangis serak
- Riwayat lahir di daerah endemic kekurangan iodium
2. Pemeriksaan Fisik
- Skin mottling
- Hernia umbilikalis
- Wajah khas  pseudohipertelorism
- Ikterus
- Makroglosia
- Frontanel dan sutura melebar
- Abdomen membuncit
- Hipotonia, kulit kering/cutis
- marmorata
- Refleks lambat
- Goiter
3. Pemeriksaan Penunjang
- Laboratorium penunjang: TSH meningkat fT4 turun
- Bone age
- USG kelenjar tiroid
- Sidik tiroid
4. Skoring dan algoritma Hipotiroid Kongenital
Nilai normal <3, jika ≥4 maka dilakukan pemeriksaan laboratorium sebagai berikutL

HIPERTIROID (SKDI 2)
1. Anamnesis
- Emosi labil
- Mudah lelah
- cemas
- Intoleransi panas
- Penurunan performa di sekolah
- Otot lemah
- Tremor
- Mudah berkeringan
- Nafsu makan meningkat namun BB turun
- Sering buang air besar
- Menstruasi tidak teratur atau amenore
- Terdapat riwayat di keluarga
2. Pemeriksaan Fisik
- Gelisah, emosi labil, banyak berkeringat, wajah
kemerahan (flushing), tremor
- Kardiovaskular: takikardia, palpitasi, tekanan darah
tinggi, bising sistol di apeks
- Optalmologi: proptosis, mata merah, lid-lag, dan
lid retraction
- Kelenjar tiroid: goiter difus, simestri dan tidak
nyeri, ada thyroid bruit
- Refleks tendon meningkat
3. Pemeriksaan Penunjang
- Laboratorium: T3 dan T4 meningkat, TSH turun
- EKG: right axis deviation, takikardia
- Bone age: lebih dari usia kronologis
- Sidik tiroid
- USG tiroid
- MRI tiroid
- Biopsi
Diabetes Melitus (SKDI 2)

Sebagian besar DM pada anak masuk pada diabetes mellitus tipe 1, yang merupakan
penyakit autoimun kronik. Terjadi kerusakan sel B pancreas sehingga produksi insulin
berkurang atau bahkan terhenti. Faktor genetik sangat menentukan kondisi ini terutama
pada gen HLA. namun keadaan ini juga dapat dipresipitasi oleh fakator liingkungan
seperti virus, bahan kimia atau racun lingkungan.

1. Anamnesis
- Badan lemas dan lesu
- Sering BAK atau mengompol
- Makan banyak tetapi badan semakin kurus
- Air kencing dikerubungi semut
2. Pemeriksaan Fisik
- Haambatan pertumbuhan TB dan BB saat ploying
- Ganggian maturitas kelamin
- Tanda dehidrasi dan asidosis metabolic
- Tanda infeksi, penyakit autoimun atau sindrom genetic lainnya
3. Pemeriksaan Penunjang
- Gula darah: Jika GDP >126mg/dL atau GDS >200mg/dL
- HbA1C meningkat
- C-peptide menurun
- Urin: reduksi (+), keton (+) bila terjadi ketoasidosis, mikroalbuminuria jika ada
penyulit ginjal
KELAINAN GENETIK

A. Sindrom Turner
B. Sindroma Klinefter
C. Sindroma Marfan
D. Sindroma Jacobs
E. Sindroma Down
F. Sindroma Patau
G. Sindroma Edward
H. Sindrom Cri-di-chat
I. Duchenne Muscular Dystrophy

Sindrom Karakteristik

Sindrom - Perempuan, 45 XO
Turner - Gonad tidak berfungsi
dengan baik dan
dilahirkan tanpa
ovarium dan uterus
- ciri: tubuh pendek,
kehilangan lipatan kulit
di sekitar leher, wajah
anak kecil, tangan kaki
bengkak
Sindrom - Laki-laki, 47 XXY
Klinefelter - Infertilitas,
keterbelakangan mental,
gangguan perkembangan
- ciri fisik: ginekomastia

Sindrom - Kelainan genetik pada


Marfan jaringan ikat
- ciri: ekstrimitas panjang,
jari-jari panjang,
kelainan katup jantung
dan aorta
Sindrom - laki-laki, XXY
Jacobs - Ciri: pertumbuhan pesat,
lebih tinggi dari rata-rata

Sindrom - Kelainan pada


Down kromosom 21
- Ciri: microcephaly, sela
hidung datar,
makroglosia, terbentuk
epicanthal folds, yangan
pendek, jarak antara jari
pertama dan kedua
melebar, simian
line/crease
Sindrom - Kelainan pada
Patau kromosom 13
- Defek pusat, retardasi
mental
- Sumbing bibir, palatum
dan polidaktili
- Anomali pola dermis
- Abnormal jantung dan
genital

Sindrom - Kelainan pada


Edward kromosom 18
- Retardasi mental berat
- Gangguan pertumbuhan
- Ukuran kepala dan
pinggul yang kecil
- Kelainan pada tangan
dan kaki
Sindrom Cri- - Kelainan delesi parsial
du-chat kromosom autosomal
- Tangisan melengking
seperti kucing
- Retardasi mental
- Mikrosefali
- Kelainan bentuk wajah:
wajah bundar penuh pipi,
hipertelorisme, epicantal
fold, posisi telinga
sedikit inferior
- Kegagalan tumbuh
kembang

Duchenne - Kelainan genetic X-


Muscular linked recessive
Dystrophy - Degenerasi dan
(DMD) kelemahan otot secara
progresif
- Ciri: kesulitan berjalan,
kontraktur pada otot,
kesulitan motoris,
hiperlordosis, gower sign
(+)
PUBERTAS PREKOKS (SKDI 2)
Pubertas prekoks didefinisikan sebagai timbulnya tanda-tanda perkembangan seks
sekunder pada usia kurang dari 8 tahun untuk anak perempuan dan usia kurang dari 9
tahun untuk anak laki-laki.
Rencana diagnostic yang dapat dilakukan:
PUBERTAS TERLAMBAT (SKDI 2)
Definisi pubertas yang terlambat diterapkan bila munculnya tanda-tanda pubertas pada
anak wanita terjadi lebih dari 13 tahun dan pada anak laki-laki lebih dari 14 tahun. Hal
ini sering menjadi alasan orangtua untuk membawa anaknya berkonsultasi pada dokter.
Penyebab tersering adalah keterlambatan pubertas yang idiopatik/konstitusional
(Constitutional delay of Growth & Puberty = CDGP) dan mereka akan mencapai
kematangan pubertas pada waktunya meskipun agak lambat.

Diagnosis pubertas terlambat gejalanya dapat berupa :

Anak Perempuan:
- Payudara belum tumbuh pada usia 13 tahun
- Jarak antara tumbuhnya payudara dan haid pertama lebih dari 5 tahun
- Rambut pubis belum tumbuh pada usia 14 tahun
- Belum menstruasi pada usia 16 tahun

Anak Laki-laki:
- Tidak ada pembesaran testis pada usia 14 tahun
- Rambut pubis belum tumbuh sampai usia 15 tahun
- Dibutuhkan lebih dari 5 tahun untuk pembesaran genital
1. Anamnesis
- Adanya penyakit kronik
- Anoreksi/bulemia
- Olah raga berlebihan
- Adanya riwayat keluarga dengan pubertas terlambat-
- Riwayat lahir adanya kelainan kongenital
- Riwayat operasi, kemoterapi
- Gejala-gejala neurologis (gangguan visus, gangguan penciuman)
- Obat-obatan atau zat-zatkimiawi yg pernah terpapar
- Trauma kepala
2. Pemeriksaan Fisik dan penunjang
- Pengukuran pertumbuhan: eunuchoid, perawakan pendek, obesitas, kahektis
- Pembesaran testis (>2,5 mL) pada anak laki diukur menggunakan Prader
Orchidometer atau pembesaran payudara pada anak wanita,.
- Rambut pubis tidak serta merta menunjukkan proses pubertas berjalan
- Evaluasi terhadap kemungkinan mikropenis
- Pelvis ultrasonografi untuk menentukan perkembangan uterus dan ovarium
- Pemeriksaan kelenjar tiroid
- Pemeriksaan neurologis: sensori penciuman, pendengaran, medan penglihatan,
diskus optik (fundus okuli)
- Perkembangan kognitif/perilaku abnormal
- Periksa berbagai stigmata untuk kemungkinan sindrom: Turner, Klinefelter,
Prader Willi, Kallmann’s.
GASTROHEPATOLOGI
DIARE (SKDI 4)
A. DEFINISI

Diare adalah buang air besar (BAB) dengan konsistensi yang lebih lunak dan cair
yang terjadi dengan frekuensi 3 kali atau lebih dalam 24 jam

B. KLASIFIKASI
1. Berdasarkan klinis : ada atau tidaknya darah
- Disentriform: Shigella sp, Salmonella sp, Campylobacter, Entamoeba hystolitica
- Non-disentriform: rotavirus
2. Berdasarkan waktu
- Akut: Diare yang terjadi mendadak dan dapat berlangsung beberapa hari sampei
< 14 hari
- Persisten: Diare akut yang terus berlangsung sampai >14 hari dan umumnya
disebabkan agen infeksius
- Kronis: Diare dengan durasi ≥ 14 hari dan umumnya disebabkan agen non-
infeksius
3. Berdasarkan patomekanisme
- Invasive
- Sekretorik
- Osmotik
C. ETIOLOGI
1. Infeksi
- Virus  rotavirus, Norwalk-like virus, enteric adenovirus, astrovirus, calicivirus
- Bakteri  shigella sp, salmonella sp, campylobacter, E.Coli
- Parasit  Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Cryptosporidium
2. Non-infeksi
- Intoleransi karbohidrat
- Malabsorpsi: karbohidrat, lemak, protein
- Alergi makanan
- Keracunan makanan
- Sindroma usus pendek
- Drug-induced
- Imunodefisiensi

D. PATOMEKANISME
(1) Diare sekretorik
Diare sekretorik adalah diare yang terjadi akibat aktifnya enzim adenil siklase
yang akan mengubah adenosine triphosphate (ATP) menjadi cyclic adenosine
monophosphate (cAMP). Akumulasi cAMP intraselular menyebabkan sekresi aktif air,
ion klorida, natrium, kalium, dan bikarbonat ke dalam lumen usus. Adenil siklase ini
diaktifkan oleh toksin yang dihasilkan dari mikroorganisme antara lain Vibrio cholera,
Enterotoxigenic Eschericia coli (ETEC), Shigella, Clostridium, Salmonella, dan
Campylobacter.

(2) Diare invasif


Diare invasive adalah diare yang terjadi akibat invasi mikroorganisme ke dalam
mukosa usus sehingga terjadi kerusakan mukosa usus. Diare invasif disebabkan oleh virus
(rotavirus), bakteri (Shigella, Salmonella, Campylobacter, Entero Invasive Eschericia
Coli (EIEC) dan Yersinia, atau parasit (Amoeba).
Diare invasif terdapat dalam 2 bentuk yaitu:
 Diare non-disentriform
Diare yang tidak berdarah, biasanya disebabkan oleh rotavirus. Pada diare yang
disebabkan oleh rotavirus, sesudah masuk ke dalam saluran cerna, virus akan
berkembang biak dan masuk ke dalam apikal usus halus menyebabkan kerusakan
pada bagian apikal dari vili yang selanjutnya diganti oleh bagian kripta yang belum
matang (imatur, berbentuk kuboid atau gepeng). Sel yang masih imatur ini tidak
dapat berfungsi normal karena tidak dapat menghasilkan enzim laktase. Diare yang
disebabkan rotavirus paling sering terjadi pada anak usia < 2 tahun berupa diare cair,
muntah, disertai batuk pilek.
 Diare disentriform
Diare berdarah yang biasanya disebabkan oleh bakteri Shigella, Salmonella, dan
EIEC. Pada diare karena Shigella, sesudah bakteri melewati barrier asam lambung,
selanjutnya masuk ke dalam usus halus dan berkembang biak serta mengeluarkan
enterotoksin. Enterotoksin ini merangsang enzim adenil siklase mengubah ATP
menjadi cAMP sehingga terjadi diare sekretorik. Bakteri ini akan sampai di kolon
karena peristaltik usus dan melakukan invasi membentuk mikroulkus yang disertai
dengan serbuan sel-sel radang PMN dan menimbulkan BAB yang berlendir dan
berdarah.

(3) Diare osmotik


Diare osmotik adalah diare yang disebabkan oleh tekanan osmotik yang tinggi di
dalam lumen usus sehingga menarik cairan dari intraseluler ke dalam lumen usus
yang menimbulkan watery diarrhea. Diare osmotik paling sering disebabkan oleh
malabsorpsi karbohidrat. Laktosa akan diubah menjadi glukosa dan galaktosa oleh
enzim laktase, kemudian diabsorbsi di dalam usus halus. Apabila terjadi defisiensi
enzim laktase maka akumulasi laktosa pada lumen usus akan menimbulkan tekanan
osmotik yang tinggi sehingga terjadi diare.
E. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
- Lama, frekuensi dan volume diare
- Konsistensi tinja, warna, bau, lendir
- Jika ada muntah tanyakan volume dan frekuensi
- Buang air kecil
- Makanan dan minuman selama diare
- Gejala lain penyerta lainnya: panas, batuk, pilek, campak
- Pengobatan yang telah dilakukan
- Imunisasi
- Kebersihan diri dan lingkungan
2. Pemeriksaan Fisik
- Berat badan
- Tanda vital
- Tanda dehidrasi
- Tanda tambahan: Pernapasan cepat dan dalam, bising usus menurun, perianal rash
3. Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan darah: leukosit, hitung jenis leukosit, elektrolit
- Pemeriksaan feses rutin
- Pemeriksaan kultur feses
F. TATALAKSANA

5 Pilar tatalaksana diare:


1. Rehidrasi
2. Pemberian zink 10-14 hari
3. ASI dan makanan lain tetap diteruskan
4. Antibiotik selektif
5. Nasihat dan penyuluhan orang tua

1. Rehidrasi
A. Diare tanpa dehidrasi: rencana terapi A
B. Diare dehidrasi ringan sedang: rencana terapi B
C. Diare dehidrasi berat: rencana terapi C
2. Pemberian zink 10-14 hari
Bertujuan untuk memperpendek lamanya diare dan mengurangi tingkat keparahan.
- Dosis: diberikan selama 10-14 hari
< 6 bulan: 10 mg
≥ 6 bulan: 20 mg
- Sediaan: tablet 20mg, syrup 20mg/5ml
- Mekanisme : mengambah c-AMP activated K channel  mengurangi sekresi
air. Meningkatkan regenerasi epitel intestinal. Meningkatkan border enzyme.
3. ASI dan makanan lain tetap diteruskan
- ASI tetap diberikan, jangan dipuasakan
- Diet makanan lunak (sesuai usia): rendah serat, porsi kecil namun sering
- Dapat diberikan jus atau pisang yang dihaluskan untuk memberikan asupan
kalium
- Untuk bayi ≥ 6 bulan diberikan makanan yang dimasak dan dihaluskan
4. Antibiotik selektif
Antibiotik hanya diberikan bila ada indikasi
a. Disentri
BAB cair yang disertai darah. Paling sering disebabkan oleh Shigella, namun
dapat juga disebabkan oleh amoeba.
- Shigellosis: disertai nyeri perut, demam, kejang, letargis, prolapse rectum.
ciri lying-down dystenry
- Amoeba: Walking dysentery. pemeriksaan feces terdapat trofozoit

b. Giardiasis
BAB cair yang disebabkan oleh parasite Giardia lamblia. Gejala khas: feces
berminyak (steatorhea), biasanya disertai dengan absorbs lemak, laktosa,
vitamin A dan B12 terganggu sehingga BB dan nafsu makan menurun bahkan
dapat menyebabkan tumbuh kembang yang terhambat. Pemeriksaan feces
terdapat trofozoit

c. Balantidiasis
Infeksi yang disebabkan oleh Balantidium Coli dan menyerang kolon. Host
primernya adalah babi. Manifestasi klinis dapat menyebabkan diare akut
bahkan sampai persisten. BAB cair, berdarah dan bermukosa, disertai dengan
kekurangan cairan yang parah (resembling dysentery). Pemeriksaan fisik
terdapat trofozoit. Terapi: Metronidazole 35-50mg/kgBB/hari dalam 3 dosis
selama 5 hari.

d. Kolera
Diare akut yang disebabkan oleh bakteria Vibrio Cholerae. Ciri:
- Diare air cucian beras yang sering dan banyak dan cepat menimbulkan
dehidrasi berar
- Diare dengan dehidrasi berat selama terjadi KLB kolera
- Diare dnegan hasil kultur tinja positif untuk V. cholera O1 atau O139
e. E.coli
Diare akut yang disebabkan oleh Escherichia coli. Trasmisinya berlangsung
secara water borne atau food borne. Terdapat 5 jenis E.Coli yang dapat
menyebabkan diare:
- ETEC (Entero Toxigenic E. Coli)
Biasa disebut dengan Traveler diarrhea, gejalanya: diare cair tanpa
demam. Memproduksi heat-labile enterotoxin (LT) dan hear stable toxin
(ST). Penyebab diare pada pengunjung Negara berkembang.
- EPEC (Entero Pathogenic E. Coli)
Biasanya diare yang terjadi pada pengunjung Negara Meksiko dan Afrika
Utara.
- EIEC (Enteroinvasive E. Coli)
Diare uang menyerupai disentri namun disertai dengan demam.
- EHEC (Enteroharmorrhagic E. Coli)
Diare yang biasanya menyebabkan herorrhagic colitis (radang usus besar),
diare berdarah tanpa demam, menyebabkan hemolytic uremic syndrome
(HUS)

5. Nasihat dan penyuluhan orang tua


Edukasi pengobatan rehidrasi, zinc, ASI dan makanan, antibiotic
Edukasi tanda-tanda harus kembali :
- Anak tidak mau minum, makan atau menyusui
- Keadaan memburuk
- Ada demam
- BAB berdarah
- Tanda bahaya : kejang, lemas, sesak, muntah-muntah persisten, biru, tangan dan kaki
dingin
6. Probiotik
Probiotik adalah suplemen oral atau produk makanan yang mengandung sejumlah
mikroorganisme yang dapat mempengaruhi mikroflora host dan memiliki efek yang
menguntungkan bagi kesehatan. Mikroorganisme probiotik biasanya merupakan
golongan Lactobacillus, Bifidobacterium, dan Streotococcus.
Dapat diberikan L-Bio 2x ½-1 sach.
G. PENCEGAHAN
- ASI eksklusif 6 bulan
- Asupan gizi yang baik
- Penggunaan air bersih
- Cuci tangan dan mencuci bahan makanan
- Imunisasi campak
- Imunisasi rotavirus
H. KOMPLIKASI
- Dehidrasi
- Malnutrisi
- Gangguan Elektrolit
- Demam
- Kejang
- Defisiensi Vitamin A
INTOLERANSI LAKTOSA
Merupakan kelainan akibat defisiensi enzim lactase sehingga tidak dapat mencerna
laktosa Fermentasi laktosa yang tidak terhidrolisis dalam usus akan menghasilkan asam
laktat, gas hydrogen, dan peningkatan tekanan osmosis intralumen yang menyebabkan
distensi usus dan nyeri. Gejala intoleransi laktosa mencangkup:
- Diare cair
- Flatus berlebihan
- Distensi abdomen
- Nyeri perut
- Ruam perianal (karna feses berbau asam)

Diagnosisnya ditegakkan melalui Hidrogen breath test. Tatalaksana sesuai dengan


tatalaksana diare dan menghindari produk susu dan olahan yang mengandung laktosa.

KONSTIPASI
Konstipasi adalah kesulitan atau jarang buang air besar yang terjadi selama setidaknya 2
minggu.
Klasifikasi
a. Berdasarkan durasi
- Konstipasi akut: <4 minggu
- Konstipasi kronis ≥ 4 minggu
b. Berdasarkan etiologi
- Konstipasi Organik: terdapat warning sign
- Konstipasi fungsiona;: tanpa warning sign
Menurut kriteria Rome III, diagnosis konstipasi fungsional bila bayi dan anak usia
<4 tahun, dalam 1 bulan minimal memperlihatkan 2 gejala berikut:
1. Defekasi dua kali atau kurang per minggu
2. Minimal 1 episode inkontinens/minggu (setelah anak terlatih ke toilet)
3. Riwayat retensi feses yang berlebihan
4. Riwayat mengedan yang sulit atau sangat sakit
5. Adanya massa feses yang besar pada rektum
6. Riwayat adanya feses dengan diameter besar sehingga menyumbat toilet

Impaksi merupakan keadaan dimana terdapat massa keras pada abdomen kiri bawah yang
teridentifikasi saat pemeriksaan fisis atau teraba tinjak yang banyak dank eras aat
pemeriksaan rectum, atau kumpulan tinja berlebihan pada kolon distal saat pemeriksaan
radiologi. Disimpaksi umumnya dilakukan dengan menggunakan rejimen rektal yang
memberikan efikasi cepat dalam beberapa jam, pada anak biasanya diberikan larutal
elektrolit polietilen glikol (PEG).

Tatalaksana:

1. Bayi (hanya untuk tatalaksana disimpaksi)


- Gliserin supp.
- Enema: 6ml/kgBB (max. 135ml) 1-3x/hari
2. Anak
Untuk Disimpaksi:
- PEG 1-1,5 g/kgBB/hari, maksimal 6 hari berturut-turut
- Enema: 6ml/kgBB (max. 135ml) 1-3x/hari
Untuk maintenance:
- PEG 0,2-0,8 g/kgBB/hari, maksimal 6 hari
- Oral Lactulosa 1-2g/kgBB, 1-2x/hari
- Bisacodyl 5mg 1-2x/hari

GASTRITIS DAN REFLUKS GASTRO-ESOFAGUS

Regurgitasi adalah dikeluarkannya isi refluks dari esofagus ke dalam rongga


mulut dan kemudian dikeluarkan dari rongga mulut. Refluks gastroesogfagus (RGE)
adalah kembalinya isi lambung (makanan, minuman, asam, pepsin, asam empedu, dsb)
ke dalam esofagus tanpa terlihat upaya bayi untuk mengeluarkannya. Sebagian besar isi
refluks tersebut masuk ke dalam rongga mulut sebagai regurgitasi. Isi refluks asam yang
terlalu lama dan sering berada di dalam esofagus dapat menyebabkan kerusakan mukosa
esofagus dan berlanjut menyebabkan berbagai komplikasi. Keadaan ini disebut sebagai
esofagitis atau penyakit RGE (PRGE). Penyakit RGE merupakan kondisi patologis RGE
atau regurgitasi.
Bayi umumnya tidak mengalami regusgitasi dibawah usia 7 hari, bilapun
mengalami regurgitasi tidak melebih 4 kali sehari. Setiap bayi dengaan gejala regurgitasi
harus ditapis terhadap gangguan organ atau RGE patologis dengan melihat tanda bahaya.
GIZI
PEMRIKSAAN STATUS GIZI
Pemeriksaan status gizi didapat dengan pemeriksaan antropometri. Kemudian Plotting
pada grafik z-score WHO:
- Usia 0-2 tahun: PB/U, BB/U, BB/PB, LK/U
- 2-5 tahun: TB/U, BB/U, BB/TB, LK/U
- 5-10 tahun: BB/U, IMT/U
- 11-19 tahun: IMT/U

GIZI BURUK (SKDI 4)


A. Definisi

KEP (kurang Energi Protein): Suatu kondisi patologis yang diakibatkan kegagalan
kronik dan kumulatif terpenuhinya kebutuhan fisiologis energi dan protein (tidak
mencapai angka kecukupan gizi).

B. Klasifikasi

KEP yang dilakukan dengan menimbang BB anak dibandingkan dengan umur dan
menggunakan KMS dan Tabel BB/U Baku Median WHO-NCHS:
1. KEP ringan: bila hasil penimbangan berat badan pada KMS terletak pada pita
warna kuning
2. KEP sedang: bila hasil penimbangan berat badan pada KMS terletak di Bawah
Garis Merah (BGM).
3. KEP berat/gizi buruk: bila hasil penimbangan BB/U <60% baku median WHO-
NCHS. Pada KMS tidak ada garis pemisah KEP berat/Gizi buruk dan KEP
sedang, sehingga untuk menentukan KEP berat/gizi buruk digunakan Tabel BB/U
Baku Median WHO-NCH
C. KEP Berat

Gejala klinis KEP berat/gizi buruk secara garis besar dapat dibedakan sebagai
marasmus, kwashiorkor atau marasmic-kwashiorkor. Tanpa mengukur/melihat BB bila
disertai edema yang bukan karena penyakit lain adalah KEP berat/Gizi buruk tipe
kwasiorkor.

a. Kwashiorkor
 Edema, umumnya seluruh tubuh, terutama pada punggung kaki (dorsum pedis)
 Wajah membulat dan sembab
 Pandangan mata sayu
 Rambut tipis, kemerahan seperti warna rambut jagung, mudah dicabut tanpa rasa
sakit, rontok
 Perubahan status mental, apatis, dan rewel
 Pembesaran hati
 Otot mengecil (hipotrofi), lebih nyata bila diperiksa pada posisi berdiri atau
duduk
 Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah warna
menjadi coklat kehitaman dan terkelupas (crazy pavement dermatosis)
 Sering disertai penyakit infeksi (umumnya akut), anemia, diare.

b. Marasmus:
 Tampak sangat kurus, tinggal tulang terbungkus kulit
 Wajah seperti orang tua
 Cengeng, rewel
 Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada (baggy
pant/pakai celana longgar)
 Perut cekung
 Iga gambang
 Sering disertai: penyakit infeksi (umumnya kronis berulang), diare kronik atau
konstipasi/susah buang air

c. Marasmik-Kwashiorkor:
Gambaran klinik merupakan campuran dari beberapa gejala klinik Kwashiorkor dan
Marasmus, dengan BB/U <60% baku median WHO-NCHS disertai edema yang tidak
mencolok.

D. Etiologi
- Primer : Kekurangan konsumsi makanan
- Sekunder : Akibat penyakit lain seperti penyakit infeksi, ginjal, hati,
jantung, paru, dll
E. Faktor risiko
- Sosial Ekonomi
- Pendidikan orangtua
- Bayi dengan berat badan lahir rendah
- Kurang atau tidak diberi ASI
- Penyakit infeksi
- Faktor lingkungan (banjir, gempa)
F. Diagnosis
1. Anamnesis
- Tanya tentang keluhan utama (onset, progressivity, quality, reliver factor,
aggravating factor, severity, timing)
- Ada keluhan seperti muntah, demam, dll
- Apakah ada keluhan pada BAK dan BAB
- Tanda-tanda komplikasi : dehidrasi, penurunan kesadaran, panas yang sangat
tinggi
- Riwayat pengobatan dan penyakit
- Riwayat makan (food recall)
- Riwayat imunisasi
- Riwayat tumbuh kembang
- Riwayat keluarga
- Riwayat kelahiran
- Cari penyebab primer/sekunder KEP
2. Pemeriksaan Fisis
- Keadaan umum, kesadaran
- Tanda-tanda vital, anthropometric dan status gizi *PLOTTING
- Head to toe examination (ada tanda- tanda dehidrasi, makro dan mikronutrient
defisiensi, etc)
3. Pemeriksaan Penunjang
- Lab rutin (Hb, hct, thrombosit, leukosit, diff count)
- Electrolyte (Na, K, Mg , Cl, Bicarbonate)
- Gula darah
- Total protein, albumin
- Ureum, creatinin
- C-reactive protein
- Stool examination
G. Tatalaksana
a. 10 Langkah utama pada tatalaksana KEP berat:

1. Pengobatan atau pencegahan hipoglikemia (kadar gula dalam darah rendah)


Hipoglikemia merupakan salah satu penyebab kematian pada anak dengan KEP
berat/Gizi buruk. Pada hipoglikemia, anak terlihat lemah, suhu tubuh rendah. Jika anak
sadar dan dapat menerima makanan usahakan memberikan makanan saring/cair 2-3 jam
sekali. Jika anak tidak dapat makan (tetapi masih dapat minum) berikan air gula dengan
sendok. Jika anak mengalami gangguan kesadaran, berikan infus cairan glukosa dan
segera rujuk ke RSU kabupaten.

2. Pengobatan dan pencegahan hipotermia (suhu tubuh rendah)


Hipotermia ditandai dengan suhu tubuh yang rendah dibawah 36 0 C. Pada keadaan ini
anak harus dihangatkan. Cara yang dapat dilakukan adalah ibu atau orang dewasa lain
mendekap anak di dadanya lalu ditutupi selimut (Metode Kanguru). Perlu dijaga agar
anak tetap dapat bernafas.
Cara lain adalah dengan membungkus anak dengan selimut tebal, dan meletakkan
lampu didekatnya. Lampu tersebut tidak boleh terlalu dekat apalagi sampai menyentuh
anak. Selama masa penghangatan ini dilakukan pengukuran suhu anak pada dubur (bukan
ketiak) setiap setengah jam sekali. Jika suhu anak sudah normal dan stabil, tetap
dibungkus dengan selimut atau pakaian rangkap agar anak tidak jatuh kembali pada
keadaan hipothermia.

3. Pengobatan dan Pencegahan kekurangan cairan


Tanda klinis yang sering dijumpai pada anak penderita KEP berat/Gizi buruk dengan
dehidrasi adalah :
 Ada riwayat diare sebelumnya
 Anak sangat kehausan
 Mata cekung
 Nadi lemah
 Tangan dan kaki teraba dingin
 Anak tidak buang air kecil dalam waktu cukup lama.
Tindakan yang dapat dilakukan adalah :

 Jika anak masih menyusui, teruskan ASI dan berikan setiap setengah jam sekali tanpa
berhenti. Jika anak masih dapat minum, lakukan tindakan rehidrasi oral dengan
memberi minum anak 50 ml (3 sendok makan) setiap 30 menit dengan sendok.
Cairan rehidrasi oral khusus untuk KEP disebut ReSoMal (lampiran 4).
 Jika tidak ada ReSoMal untuk anak dengan KEP berat/Gizi buruk dapat
menggunakan oralit yang diencerkan 2 kali. Jika anak tidak dapat minum,
lakukankan rehidrasi intravena (infus) cairan Ringer Laktat/Glukosa 5 % dan NaCL
dengan perbandingan 1:1.
4. Koreksi Gangguan Keseimbangan Elektrolit
 Ketidakseimbangan elektrolit ini ikut berperan dalam edema, berikan:
- K 2–4 mEq/kgBB/hr (150–300 mg KCl/kgBB/hr)
- Mg 0,3–0,6 mEq/kgBB/hr (7,5–15 mg MgCl 2 /kgBB/hr)
 Untuk rehidrasi, beri cairan rendah Na (resomal/pengganti)
 Siapkan makanan tanpa diberi garam
 Tambahan K dan Mg dapat disiapkan dalam bentuk larutan yang ditambahkan
langsung dalam makanan. Penambahan 20 mL larutan pada 1 L formula dapat
memenuhi kebutuhan K dan Mg.

5. Pengobatan dan Pencegahan Infeksi


Pada KEP berat, tanda yang biasanya menunjukkan infeksi seperti demam sering kali
tidak tampak, sehingga pada semua KEP berat diberikan secara rutin:
 Antibiotik spektrum luas
 Vaksinasi campak bila usia anak >6 bl dan belum pernah diimunisasi, bila
keadaan anak sudah memungkinkan (paling lambat sebelum anak dipulangkan)
 Ulangi pemberian vaksin sesudah keadaan gizi anak membaik
 Beberapa ahli memberikan metronidazol (7,5 mg/kgBB setiap 8 jam selama 7 hr)
sebagai tambahan pada antibiotik spektrum luas untuk mempercepat perbaikan
mukosa usus dan mengurangi risiko kerusakan oksidatif dan infeksi sistemik
akibat pertumbuhan bakteri anaerob dalam usus halus

Pilihan antibiotik spektrum luas yang dapat diberikan disesuaikan dengan kondisinya,
sebagai berikut:
a. Bila tanpa penyulit
 Kotrimoksazol 5 mL suspensi pediatri p.o. 2×/hr selama 5 hr (2,5 mL bila BB
<4 kg)
b. Bila anak sakit berat (apatis, letargi) atau ada penyulit (hipoglikemia, hipotermia,
infeksi kulit, saluran respiratori atau kemih), berikan:
 Ampisilin 50 mg/kgBB i.m./i.v. setiap 6 jam selama 2 hr, kemudian p.o.
amoksisilin 15 mg/kgBB setiap 8 jam selama 5 hr
 Bila amoksisilin tidak ada, teruskan ampisilin 50 mg/kgBB setiap 6 jam p.o.
dan Gentamisin 7,5 mg/kgBB/hr i.m./i.v. selama 7 hr
 Bila dalam 48 jam tidak terdapat kemajuan klinis, tambahkan kloramfenikol
25 mg/kg/BB i.m./i.v. setiap 6 jam selama 5 hr
 Bila terdeteksi infeksi kuman yang spesifik, tambahkan antibiotik spesifik
yang sesuai. Tambahkan obat anti malaria bila pemeriksaan darah untuk
malaria (+)
 Bila anoreksia menetap sesudah 5 hr pengobatan antibiotik, lengkapi
pemberian hingga 10 hr. Bila masih tetap ada, nilai kembali keadaan anak
secara lengkap, termasuk lokasi infeksi, kemungkinan terdapat organisme
yang resisten, serta apakah vitamin dan mineral sudah diberikan dengan benar

6. Koreksi Defisiensi Mikronutrien


Semua KEP berat menderita kekurangan vitamin dan mineral. Namun apabila
keadaan anemia dijumpai, jangan terburu-buru memberikan preparat besi (Fe), tetapi
tunggu sampai anak mau makan dan BB-nya mulai ↑ (biasanya sesudah mgg ke-2).
Pemberian besi pada masa awal dapat memperburuk keadaan infeksinya. Berikan
setiap hari:
 Multivitamin
 Asam folat 1 mg/hr (5 mg pada hr pertama)
 Seng (Zn) 2 mg/kgBB/hr
 Tembaga (Cu) 0,2 mg/kgBB/hr
 Bila BB mulai ↑: Fe 3 mg/kgBB/hr atau sulfas ferosus 10 mg/kgBB/hr
 Vitamin A oral pada hr ke-1
- Anak >1 th : 200.000 SI
- 6–12 bl : 100.000 SI
- 0–5 bl : 50.000 SI (jangan berikan bila sebelumnya anak sudah pasti
mendapat vit. A)

7. Inisiasi Pemberian Makanan

Pada awal fase stabilisasi, perlu pendekatan yang sangat hati- hati karena keadaan faali
anak sangat lemah dan kapasitas homeostatik berkurang. Pemberian makanan harus
dimulai segera sesudah anak dirawat dan dirancang sedemikian rupa sehingga energi dan
protein cukup untuk memenuhi metabolisme basal. Formula khusus seperti F WHO 75
yang dianjurkan dan jadwal pemberian makanan harus disusun sedemikian rupa agar
dapat mencapai prinsip tersebut di atas.
a. Berikan formula dengan cangkir/gelas. Bila anak terlalu lemah, berikan dengan
sendok/pipet
b. Pada anak dengan selera makan baik tanpa edema, jadwal pemberian makanan
pada fase stabilisasi dapat diselesaikan dalam 2–3 hr (1 hr/tahap). Bila masukan
makanan <80 kkal/kgBB/hr, berikan sisa formula nasogastrik. Jangan mem-
berikan makanan >100 kkal/kgBB/hr pada fase stabilisasi ini
c. Pantau dan catat:
 Jumlah yang diberikan dan sisanya
 Muntah
 Frekuensi BAB dan konsistensi feses
 BB harian
d. Selama fase stabilisasi, diare secara perlahan ↓ dan BB mulai ↑. Tetapi pada
penderita dengan edema, BB akan ↓ dulu bersamaan dengan menghilangnya
edema, baru kemudian BB mulai ↑.

8. Perhatikan Tumbuh Kejar

Pada masa rehabilitasi, dibutuhkan berbagai pendekatan secara gencar agar tercapai
masukan makanan yang tinggi dan pertambahan BB >10 g/kgBB/hr. Awal fase
rehabilitasi ditandai dengan kemunculan selera makan, biasanya 1–2 mgg sesudah
dirawat. Transisi secara perlahan dianjurkan untuk menghindari risiko gagal jantung yang
dapat terjadi bila anak mengonsumsi makanan dalam jumlah banyak secara mendadak.
Pada periode transisi dianjurkan untuk merubah secara perlahan-lahan dari formula
khusus awal ke formula khusus lanjutan.
 Ganti formula khusus awal (energi 75 kkal dan protein 0,9–1,0 g/100 mL) dengan
formula khusus lanjutan (energi 100 kkal dan protein 2,9 g/100 mL) dalam jangka
waktu 48 jam
 Modifikasi bubur/makanan keluarga dapat digunakan asalkan dengan kandungan
energi dan protein yang sama
 Kemudian naikkan dengan 10 mL/kali sampai hanya sedikit formula tersisa,
biasanya pada saat tercapai jumlah 30 mL/kgBB/kali (= 200 mL/kgBB/hr)
 Pemantauan pada masa transisi (cek frekuensi napas dan frekuensi denyut nadi_
 Bila terjadi peningkatan detak napas >5×/mnt dan denyut nadi >25×/mnt dalam
pemantauan setiap 4 jam berturut-turut, kurangi volume pemberian formula
 Sesudah normal kembali, ulangi menaikkan volume seperti diatas
 Sesudah periode transisi dilampaui, anak diberi:
- Makanan/formula dengan jumlah tidak terbatas dan sering
- Energi: 150–220 kkal/kgBB/hr
- Protein 4–6 g/kgBB/hr
 Bila anak masih mendapat ASI, teruskan, tetapi berikan juga formula, karena
energi dan protein ASI tidak akan mencukupi untuk tumbuh kejar

Pemantauan sesudah periode transisi


 Kemajuan dinilai berdasarkan kecepatan pertambahan BB
 Timbang anak setiap pagi sebelum anak diberi makan
 Setiap mgg, kenaikan BB dihitung (g/kgBB/hr)

Bila kenaikan BB:


 Kurang (<5 g/kgBB/hr) → reevaluasi menyeluruh
 Sedang (5–10 g/kgBB/hr) → evaluasi apakah masukan makanan mencapai target
atau apakah infeksi sudah dapat diatasi

9. Stimulasi Sensorik dan Dukungan Emosional


Pada KEP berat, terjadi keterlambatan perkembangan mental dan perilaku, berikan:
 Kasih sayang dan lingkungan yang ceria
 Terapi bermain terstruktur selama 15–30 mnt/hr
 Aktivitas fisik segera sesudah sembuh
 Keterlibatan ibu (memberikan makan, memandikan, bermain, dsb.)

10. Tindak Lanjut di Rumah


Bila BB anak sudah mencapai 80% BB/U, dapat dikatakan anak sembuh. Pola
pemberian makan yang baik dan stimulasi harus tetap dilanjutkan di rumah sesudah
penderita dipulangkan. Kemudian, peragakan juga kepada orang tua hal-hal berikut:
 Pemberian makan yang sering dengan kandungan energi dan nutrien yang padat
 Terapi bermain terstruktur
 Sarankan
 Membawa anaknya kembali untuk kontrol secara teratur
 Pemberian suntikan/imunisasi dasar dan ulangan (booster)
 Pemberian vit. A setiap 6 bulan

b. Pengobatan penyakit Penyerta:


1.Defisiensi Vitamin A

Bila terdapat tanda defisiensi vit. A pada mata → vit. A pada hr ke-1, 2, dan 14 p.o.
dengan dosis:
- Usia >1 th : 200.000 SI/kali
- 6–12 bl : 100.000 SI/kali
- 0−5 bl : 50.000 SI/kali
Bila terdapat ulserasi pada mata dapat ditambahkan perawatan lokal untuk
mencegah prolaps lensa berupa:
- Tetes mata kloramfenikol /salep mata tetrasiklin setiap 2–3 jam selama 7–10
hr
- Tetes mata atropin 1 tetes 3×/hr selama 3–5 hr
- Tutup mata dengan kasa yang dibasahi larutan Nacl

2. Dermatosis
Ditandai hipo/hiperpigmentasi, deskuamasi/kulit mengelupas, lesi ulserasi
eksudatif yang menyerupai luka bakar dan sering disertai infeksi sekunder oleh
kandida; umumnya terdapat defisiensi Zinc sehingga sebagai terapinya diberikan
suplementasi Zn dan ketika dermatosis membaik,penyembuhan akan lebih cepat bila
diberikan:
- Kompres bagian kulit yang terkena dengan larutan KMnO4 1%selama 10
menit
- Salep/krim (Zn dengan minyak kastor)
- Usahakan daerah perineum tetap kering

3. Parasit dan Diare


 Parasit/cacing diberikan Mebendazol 100 mg p.o. 2x/hr selama 3 hr
 Diare berlanjut
- Diare biasa menyertai KEP berat, tetapi akan berkurang dengan sendirinya
pada pemberian makanan secara hati-hati.
- Intoleransi laktosa tidak jarang sebagai penyebab diare.
- Diobati hanya bila diare berlanjut dan tidak ada perbaikan keadaan umum
- Berikan formula bebas/rendah laktosa Metronidazol 7,5 mg/kgBB p.o. setiap 8
jam selama 7 hr
- Sering kerusakan mukosa usus dan giardiasis merupakan penyebab lain
berlanjutnya diare. Bila mungkin, lakukan pemeriksaan feses mikroskopik.
HEMATO-ONKOLOGI

ANEMIA DEFISIENSI BESI (SKDI 4)

1. Definisi

Anemia definisi besi (ADB) adalah anemia akibat kekurangan zat besi untuk

sintesis hemoglobin.

2. Diagnosis

a. Anamnesis

- Pucat

- Mudah lelah, lemas, mudah marah, tidak nafsu makan, daya tahan tubuh buruk,

gangguan perilaku dan prestasi belajar

- Gemar memakan makanan yang tidak biasa (pica) seperti es batu, kertas, tanah,

rambut

- Sering memakan bahan makanan yang kurang zat besi atau menghambat

penyerapan zat besi seperti kalsium dan fitat (beras, gandum)

- Infeksi malaria, infestasi parasite seperti ankylostoma dan schistosoma

b. Pemeriksaan Fisik

- Pucat (hanya ditemukan bila kadar Hb <7 g/dL)

- Tanpa organomegali

- Koilonikia, glostitis, stomatitis angularis, takikardia, gagal jantung, protein-

losing enteropathy

- Rentan terhadap infeksi

- Gangguan pertumbuhan
- Penurunan aktivitas kerja

c. Pemeriksaan Penunjang

- Hemoglobin rendah

- MCV, MCH, MCHC rendah

- Red Cell distribution width (RDW) > 14.5%

- Ratio MCV/RBC (Metzer index) >13

- Apusan darah tepi: mikrositik, hipokromik, anisostosis, dan poikilositosis

- Kadar besi serum rendah, TIBC, serum ferritin <12 ng/mL

3. Tatalaksana

a. Preparat besi

Perparat yang tersedia ferrous sulfat, ferrous glukonat, ferrous fumarat, dan

ferrous suksinat. Dosis besi elemental 4-6mg/kgBB/hari. Respon terapi dengan

menilai kenaikan kadar Hb/Ht setelah satu bulan, yaitu kenaikan kadar Hb sebesar

2g/dL atau lebih. Bila respon, terapi dilanjurkan sampai 2-3 bulan.

- Ferous fumarat: 33% besi elemental

- Ferous glukonas: 11,6% besi elemental

- Ferous sulfat: 20% besi elemental

b. Transfusi darah

Hanya diberikan transfuse PRC pada keadaan anemia berat dengan Hb <4g/dL.

4. Pencegahan

a. Pencegahan primer

- ASI ekslusif 6 bulan, menunda penggunaan susu sapi sampai usia 1 tahun
- Pemberian vitamin C seperti jeruk, apel pada waktu makan dan minum preparat

besi untuk meningkatkan absorbs besi. Menghindari bahan yang menghambat

absorbs besi seperti the, fosfatm dan fitat pada makanan.

- Menghindari minum susu yang berlebihan dan meningkatkan makanan yang

mengandung kadar besi yang berasal dari hewani

- Pendidikan kebersihan lingkungan

b. Pencegahan sekunder

- Skrining ADB: pemeriksaan Hb atau Ht pada saat usia 9-12 bulan, 24 bulan.

- Skrining pemeriksaan MCV, RDWm ferritin serum dan trial terapi besi

- Sumplemen esi pada daerang yang prevalensi tinggi. Dosis besi elemental:

Bayi berat lagir normal: 1 mg/kgBB/hari, sejak 6 bulan

Bayi 1,5-2,0 kg: 2 mg/kgBB/hari, sejak usia 2 minggu

Bayi 1,0-1,5 kg:3 mg/kgBB/hari, sejak usia 2 minggu

Bayi <1 kg: 4 mg/kgBB/hari, sejak usia 2 minggu


THALASEMIA (SKDI 3A)

1. Definisi

Penyakit anemia hemilitik herediter yang disebabkan oleh defek genetic pada

pembentukan rantai globin.

2. Diagnosis

a. Anamnesis

- Pucat yang lama (kronis)

- Terlihat kuning

- Mudah infeksi

- Perut membesar akibat hepatosplenomegali

- Pertumbuhan terhambat/pubertas terlambat

- Riwayat transfuse berulang

- Riwayat keluarga yang menderita talasemia

b. Pemeriksaan fisik

- Anemia/pucat

- Ikterus

- Facies cooley

- Hepatosplenomagali

- Gizi kurang/buruk

- Perawakan pendek

- Hiperpigmentasi kulit

- Pubertas terlambat

c. Pemeriksaan penunjang
- Hb turun

- Sediaan apus darah tepi: mikrositer, hipokrom, anisositosis, poikilositosis,

normoblas, fragmentosit, sel target

- MCV, MCH dan MCHC menurun. RDW meningkat

- Elektroforesis hemoglobin: tidak ditemukannya HbA dan meningkatnya

HbA2 dan HbF

3. Tatalaksana

- Transfusi darah bila Hb <7

- Transfusi darah (Hb ≥ 7) disertai gejala klinis: facies cooley, gangguan tumbuh

kembang, curiga adanya hematopoietic ekstrameduler.


HEMOFILIA (SKDI 3A)

1. Definisi

Hemofilia adalah penyakit gangguan pembekuan darah yang bersifat herediter dan

diturunkan secara sex (X)-linked recessive.

2. Klasifikasi

- Hemofilia A disebabkan kekurangan faktor VIII

- Hemofilia B disebabkan kekurangan faktor IX

3. Diagnosis

a. Anamnesis

- Pendarahan spontan/post trauma

- Perdarahan sendi (hamartrosis)

- Perdarahan intracranial

- Perdarahan mata, saluran cerna, dsb

- Riwayat yang serupa pada keluarga

b. Pemeriksaan Fisik

Tergantung letak perdarahan, misalnya:

- Perdarahan sendi: bengkak dan nyeri daerah sendi

- Perdarahan intracranial: tanda peningkatan tekanan intracranial

- Pada perdarahan berat dapat berupa pucat, syok hipovolemik dan penurunan

kesadaran
c. Pemeriksaan Penunjang

- Hb dapat menurun

- Pemanjangan masa pembekuan (clotting time) dan masa tromboplastin

parsial (activated partial thromboplastin time/APTT) dangan masa

protrombin (prothrombin time/PT) yang normal

- Pemeriksaan faktor VIII dan faktor IX

4. Tatalaksana

a. Tatalaksana Umum

- Cegah perdarahan

- Terapi perdarahan akut sedini mungkin <2 jam

- Terapi perdarahan berat di RS dengan pelayanan hemophilia

- Minimalisir suntikan IM atau pengambilan darah vena/arteri

- Hindari pemberian aspirin, NSAID


- Berikan faktor VIII/IX sebelum prosedur invasfi

- Hentikan perdarahan dengan asam traneksamat

b. Perdarahan Akut

- RICE

- Replacement therapy
Henoch-Schoelein purpura (SKDI 2)

1. Definisi

Henoch-Schonlein Purpura (HSP) merupakan penyakit akut yang dimediasi oleh

Immunoglobulin A (IgA) yang ditandai oleh adanya vaskulitis pada pembuluh

darah kecil pada dermis, gastrointestinal, ginjal, persendian, paru-paru, atau sistem

saraf pusat.

2. Gejala dan Tanda

- Prodromal: Demam, Sakit kepala, anorexia

- Lesi kulit: Makula eritem yang berlanjut menjadi papule-purpura. Simetris

tersebar secara tipikal pada tungkai bawah dan ankle pada anak

- GI: Abdominal pain, melena, bloody diarrhea, hematemesis, duodenal ulcers,

massive GI hemorrhage
Immune Trombositopenia Purpura (SKDI 3A)

1. Definisi

Immune trombocytipenic purpura (ITP) atau morbus wirlhof atau purpura

hemorrhagica merupakan kelainan perdarahan akibat destruksi premature

trombosit yang meningkat akibat autoantibodi yang mengikat antigen trombosit.

Umumnya terjadi pada anak usia 2-4 tahun.

2. Diagnosis

a. Anamnesis

- Umumnya terjadi 1-3 minggu setelah infeksi, bisa juga terjadi setelah

vaksinasi rubella, rubeola, varisela atau setelah vaksinasi dengan virus

hidup

- Perdarahan berupa ptekie hingga lebam, dirasakan mendadak

- Setelah pemakaian obat-obatan: heparin, sulfonamide, kuinidin/kuinin,

aspirin.

b. Pemeriksaan Fisik

- Perdarahan purpura pada kulit dan mukosa (hidung, gusi, saluran cerna

dan traktus urogenital)

- Dapat terjadi pembesaran kimpa

c. Pemeriksaan Penunjang

- Morfologi eritrosit, leukosit dan retikulosit normal

- Hemoglobin, indeks eritrosir dan leukosit normal

- Trombositopenia
- Masa perdarahan memanjang (Bleeding Time)

- Pemeriksaan aspirasi sumsum tulang

3. Tatalaksana

a. Kortikosteroid diberikan bila:

- Perdarahan mukosa dengan jumlah trombosit <20.000/ uL

- Perdarahan ringan dengan jumlah trombosit <10.000/ uL

Prednison 1-2mg/kgBB/hari  evaluasi 1-2 minggu  responsive: dosis

diturunkan perlahan sampai trombosit 30.000-50.000/ uL

b. Pemberian suspense trombosit dilakukan bila:

- Trombosit <20.000 dengan perdarahan mukosa berulang

- Perdarahan retina

- Perdarahan berat

- Kecurigaan/pasti perdarahan intra kranial


c. Obat-obatan lain:
TUMBUH KEMBANG

Penilaian Tumbuh Kembang (SKDI 4)


Gangguan Tumbuh Kembang (SKDI 1)
1. Definisi

- Pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran dan jumlah sel serta jaringan

interselulear, berarti bertambahnya ukuran fisik dan struktur tubuh sebagian

atau keseluruhan, sehingga dapat diukur dengan satuan panjang dan berat

- Perkembangan adalah bertambahnya struktur dan fungsi tubuh yang lebih

kompleks dalam kemampuan gerak kasar, gerak halus dan bahasa serta social

dan kemandirian.

2. Faktor yang mempengaruhi

a. Faktor Internal

- Perbedaan ras/etnik/bangsa

- Keluarga

- Umur

- Jenis kelamin

- Kelainan genetik/kromososom

b. Faktor Eksternal

- Prenatal: gizi, mekanik, zat kimia, endokrin, radiasi, infeksi, kelainan

imunologi, anoksia embria, psikologis ibu

- Persalinan: trauma kepala, asfiksia


- Post natal: gizi, penyakit kronis/kelainan kongenital, endokrin,

lingkungan fisik dan kimia, sosioekonomi, lingkungan pengasuhan,

stimulasi, obat-obatan, psikologis.

3. Pertumbuhan

Pertumbuhan dapat dinilai dengan melakukan pemeriksaan status gizi anak. Kemudian
Plotting pada grafik z-score WHO:
- Usia 0-2 tahun: PB/U, BB/U, BB/PB, LK/U
- 2-5 tahun: TB/U, BB/U, BB/TB, LK/U
- 5-10 tahun: BB/U, IMT/U
- 11-19 tahun: IMT/U

4. Perkembangan

a. Umur 0-3 bulan

b. Umur 3-6 bulan


c. Umur 6-9 bulan

d. Umur 9-12 bulan

e. Umur 12-18 bulan


f. Umur 18-24 bulan

g. Umur 24-36 bulan

h. Umur 36-48 bulan

i. Umur 48-60 bulan


j. Umur 60-72 bulan
IMUNISASI

Pemberian Imunisasi (SKDI 4)

1. Klasifikasi

- Vaksin Hidup: Vaksin hidup yang dilemahkan. Mereka akan tumbuh dalam tubuh

penerima vaksin tetapi tidak akan menyebabkan sakit atau hanya sakit ringan,

karena sudah dilemahkan

- Vaksin mati/Inaktif: Vaksin yang diinaktivasi dibuat dari mikroorganisme (virus,

bakteri dan lain-lain) yang telah dimatikan dengan proses menggunakan bahan

kimia tertentu atau secara fisik

Vaksin Hidup Vaksin Mati

Bakteri - BCG - Diphteria


- Oral thypoid - Tetanis
- Pertusis
- Kolera
- Meningoccocal
- Pneumoccocal
- HiB
- Thypoid Vi
Virus - MMR - Influenca
- Campak - IPV
- OPV - Hepatitis A
- Yellow Fever - Hepatitis B
- Rabies

2. Kontraindikasi Vaksin

a. Absolut

- Anafilaksis atau hipersensitifitas pada bahan vaksin

- Ensefalopati dalam 7 hari pasca vaksin DPT


- AIDS (tidak diberikan vaksin BCG, OPV, dan yellow fever)

- Immunodefisiensi atau pasien yang mendapat terapi imunosupresan

b. Relatif

- Lve vaccine: kehamilan, mendapat transfuse darah atau immunoglobulin dalam 3-

11 bulan, trombositopenia

- Moderate/severe acute illness

- Demam >40,5’C, syok, kejang, menangis >3jam dalam 48 jam pasca vaksin DPT

sebelumnya

- sindrom GBS dalam 6 minggu pasca vaksinasi

- Prematur atau BBLR: berat badan harus >2kg atau usia 2 bulan
3. Waktu Pemberian (Rekomendasi IDAI 2017)
4. Cara Pemberian

5. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)


KIPI merupakan setiap kejadian medis yang tidak diinginkan, terjadi setelah

pemberian imunisasi yang diduga disebabkan oleh imunisasi yang diberikan.

a. Reaksi ringan

- Sakit, bengkak, dan kemerahan  kompres dingin pada lokasi suntikan, dapat

diberikan paracetamol

- Demam >38’C  Berikan minum yang banyak, berikan pakaian yang sejuk dan

nyaman, berikan spons hangat, paracetamol

- rewel, malaise dan gejala sistemik lainnya berikan minum yang banyak

b. Reaksi berat

- Kolaps/syok anafilaksis

- Sepsis

- Ensefalitis

- Kejang

- Kelemahan otot/kelumpuhan

- Sindrom Guillain-Barre, Neuritis Brakialis

REFERENSI
1. IKA PANTER

2. PPM IDAI jilid 2

3. PPM IDAI jilid 1

4. Buku Saku Pelayanan Kesehayan Anak di Rumah Sakit WHO

5. Tatalaksana Anak Gizi Buruk Kemenkes 2011

6. PMK no.12 tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Imunisasi

7. Nelson textbook of pediatric


OBSTETRI 2
Materi Obstetri 2
PARAMETER UKMPPD Course
PATOLOGI KEHAMILAN TRIMESTER AWAL

Abortus

Abortus adalah berakhirnya kehamilan pada usia kehamilan <20 minggu atau berat <500
gram.

Secara klinis, abortus dapat dibedakan menjadi:

1. Abortus iminens (keguguran mengancam/threatened abortion): merupakan kondisi


dimana terjadi perdarahan pada wanita dengan usia kehamilan <20 minggu.
Perdarahan biasanya tidak banyak dan masih ada harapan untuk mempertahankan
janin.
2. Abortus insipiens (keguguran berlangsung/inevitable abortion): abortus yang sedang
berlangsung dan tidak dapat dicegah lagi.
3. Abortus inkomplit (incomplete abortion): sebagian hasil konsepsi telah dilahirkan
tetapi terdapat sebagian (biasanya plasenta) yang masih tertinggal di rahim.
4. Abortus komplit (complete abortion): seluruh hasil konsepsi telah dilahirkan lengkap
5. Abortus tertunda (missed abortion): janin telah mati sebelum minggu ke-20 tetapi
bertahan di dalam rahim.
6. Abortus habitualis (keguguran berulang): abortus terjadi ≥3 kali berturut-turut.

DIAGNOSIS

Abortus Iminens

Anamnesis: perdarahan dari jalan lahir (biasanya sedikit), nyeri perut ringan/tidak ada

Pemeriksaan dalam: terdapat fluksus, ostium uteri tertutup, ukuran uterus sesuai usia
kehamilan

Pemeriksaan penunjang: USG dapat menunjukkan bahwa hasil konsepsi masih utuh dan
terdapat tanda kehidupan janin; meragukan; atau tidak baik dan janin/embrio sudah
mati/tidak ada.

Abortus Insipiens
Anamnesis: perdarahan dari jalan lahir disertai nyeri/kontraksi rahim

Pemeriksaan dalam: ostium uteri terbuka, hasil konsepsi masih terdapat di dalam rahim,
dan ketuban teraba utuh dan mungkin menonjol

Abortus inkomplit

Anamnesis: perdarahan dari jalan lahir, biasanya banyak, disertai nyeri/kontraksi rahim,
bisa terdapat syok bila perdarahan banyak

Pemeriksaan dalam: ostium uteri terbuka dan sisa jaringan hasil konsepsi dapat teraba

Abortus febrilis

Abortus febrilis merupakan abortus inkomplit atau insipiens yang disertai infeksi.

Anamnesis: riwayat perdarahan, demam, upaya pengguguran, infeksi jalan lahir.

Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan dalam: Pasien mungkin menderita syok septik saat
masuk rumah sakit. Ostium uteri umumnya terbuka dan sisa jaringan teraba, perabaan
uterus dan adneksa menimbulkan nyeri, fluksus berbau

Abortus komplit

Ananmesis: perdarahan dari jalan lahir (biasanya tidak lebih dari 10 hari), nyeri perut
sedikit/tidak ada

Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan dalam: ostium uteri terbuka/tertutup, uterus lebih
kecil dari usia gestasi

Abortus tertunda

Anamnesis: perdarahan pervaginam sedikit, rahim mengecil

Pemeriksaan fisik: ostium uteri tertutup, uterus lebih kecil dari usia gestasi

TATALAKSANA
Tatalaksana umum

 Lakukan penilaian secara cepat mengenai keadaan umum ibu termasuk tanda-tanda
vital (nadi, tekanan darah, pernapasan, suhu).
 Periksa tanda-tanda syok (akral dingin, pucat, takikardi, tekanan sistolik <90 mmHg).
Jika terdapat syok, lakukan tatalaksana awal syok.
 Bila terdapat tanda-tanda sepsis atau dugaan abortus dengan komplikasi, berikan
kombinasi antibiotika sampai ibu bebas demam untuk 48 jam:
• Ampicillin 2 g IV/IM kemudian 1 g diberikan setiap 6 jam
• Gentamicin 5 mg/kgBB IV setiap 24 jam
• Metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam
 Segera rujuk ibu ke rumah sakit .
 Semua ibu yang mengalami abortus perlu mendapat dukungan emosional dan
konseling kontrasepsi pasca keguguran.

Tatalaksana khusus

Abortus komplit (SKDI 4A)

 Tidak diperlukan evakuasi lagi.


 Lakukan konseling untuk memberikan dukungan emosional dan menawarkan
kontrasepsi pasca keguguran.
 Observasi keadaan ibu.
 Apabila terdapat anemia sedang, berikan tablet sulfas ferosus 600 mg/ hari selama 2
minggu, jika anemia berat berikan transfusi darah.
R/ sulfas ferosus 200 mg tab No. XLII
S 3 dd tab 1 pc
 Evaluasi keadaan ibu setelah 2 minggu.

Kehamilan Ektopik
Kehamilan ektopik merupakan kehamilan yang terjadi di luar uterus. Apabila terjadi
ruptur di lokasi implantasi kehamilan, maka akan terjadi keadaan perdarahan masif dan
nyeri abdomen akut yang disebut kehamilan ektopik terganggu.

DIAGNOSIS

Kehamilan ektopik yang belum mengalami ruptur umumnya ditegakkan melalui USG
dan pada kondisi yang belum ruptur pasien biasanya tidak mengeluhkan gejala. Gejala
biasanya baru muncul bila sudah terjadi ruptur yaitu pada kondisi kehamilan ektopik
terganggu (KET). Triase gejala meliputi amenorea, nyeri, dan perdarahan pervaginam.

Anamnesis:

 Faktor risiko:
o Riwayat kehamilan ektopik sebelumnya
o Riwayat operasi di daerah tuba dan/atau tubektomi
o Riwayat penggunaan AKDR
o Infertilitas
o Riwayat inseminasi buatan atau teknologi bantuan reproduktif (assisted
reproductive technology/ART)
o Riwayat infeksi saluran kemih dan pelvic inflammatory disease/PID
o Merokok
o Riwayat abortus sebelumnya
o Riwayat promiskuitas
o Riwayat seksio sesarea sebelumnya
 Perdarahan pervaginam dari bercak hingga berjumlah sedang
 Nyeri perut, dapat bersifat unilateral atau bilateral di bagian bawah perut dan
terkadang terasa sampai ke bagian atas perut
 Amenorea

Pemeriksaan fisik:

 Kesadaran menurun
 Pucat
 Hipotensi dan hipovolemia
 Pembesaran uterus tetapi umumnya sedikit lebih kecil dibandingkan dengan uterus
pada kehamilan intrauterin yang berusia sama
 Nyeri goyang porsio
 Serviks tertutup

Penegakkan diagnosis dibantu dengan pemeriksaan USG.

TATALAKSANA

Tatalaksana umum:

 Restorasi cairan tubuh dengan cairan kristaloid NaCl 0,9% atau Ringer Laktat (500
mL dalam 15 menit pertama) atau 2 L dalam 2 jam pertama.
 Segera rujuk ibu ke rumah sakit.

Mola Hidatidosa

Mola hidatidosa adalah bagian dari penyakit trofoblastik gestasional, yang disebabkan
oleh kelainan pada villi khorionik yang disebabkan oleh proliferasi trofoblastik dan villi
dan edema stroma.

Mola hidatidosa dapat dibedakan menjadi mola hidatidosa komplit dan mola hidatidosa
parsial/inkomplit.

Mola Hidatidosa Komplit

Mola hidatidosa komplit merupakan kehamilan abnormal tanpa embrio, terjadi ketika
kromosom ovum absen atau mengalami inaktivasi sehingga kromosom pada mola
hidatidosa komplit adalah 46,XX yang terbentuk akibat androgenesis

Mola Hidatidosa Parsial


Pada mola hidatidosa parsial unsur janin selalu ada namun janin tidak bertahan lama dan
mati, terjadi apabila 2 sperma membuahi 1 ovum. Kromosom pada mola hidatidosa
inkomplit adalah 69,XXX atau 69,XXY.

Patogenesis A) Mola hidatidosa komplit; B) Mola hidatidosa parsial

DIAGNOSIS

Anamnesis:

 Perdarahan pervaginam berupa bercak hingga berjumlah banyak


 Mual dan muntah hebat
 Keluar jaringan seperti anggur
 Nyeri perut

Pemeriksaan fisik:

 Takikardi, berdebar-debar (tanda-tanda tirotoksikosis)


 Ukuran uterus lebih besar dari usia kehamilan
 Tidak ditemukan janin intrauteri
 Serviks terbuka

Pemeriksaan penunjang:

 Nilai β-hCG meningkat dibandingkan nilai normal untuk usia kehamilan ibu
 USG:
o Snowstorm appearance pada mola komplit
o Pada mola inkomplit terdapat gambaran crinkling atau scalloping villi dan
inklusi trofoblas di strom (stromal trophoblastic inclusion) serta ditemukan
jaringan embrionik atau janin

Hiperemesis Gravidarum

Mual dan muntah yang terjadi pada kehamilan hingga usia 16 minggu. Pada keadaan
muntah-muntah yang berat, dapat terjadi dehidrasi, gangguan asam-basa dan elektrolit
dan ketosis; keadaan ini disebut hiperemesis gravidarum.

Diagnosis hiperemesis gravidarum:

Anamnesis dan pemeriksaan fisik:

 Mual dan muntah hebat


 Haus, mulut kering
 Foetor ex ore (mulut berbau)
 Berat badan turun > 5% dari berat badan sebelum hamil
 Dehidrasi
 Keadaan umum menurun
 Suhu bertambah
 Ikterus
 Gangguan serebral (kesadaran menurun, delirium)
Pemeriksaan penunjang:

 Pada urin ditemukan protein, aseton, urobilinogen, pertambahan porfirin, dan silinder
positif
 Ketidakseimbangan elektrolit
 Asidosis

Tatalaksana:

 Sedapat mungkin, pertahankan kecukupan nutrisi ibu, termasuk suplementasi vitamin


dan asam folat di awal kehamilan.
 Anjurkan istirahat yang cukup dan hindari kelelahan.
 Bila perlu, berikan 10 mg doksilamin dikombinasikan dengan 10 mg vitamin B6
hingga 4 tablet/hari (misalnya 2 tablet saat akan tidur, 1 tablet saat pagi, dan 1 tablet
saat siang).
 Bila masih belum teratasi, tambahkan dimenhidrinat 50-100 mg per oral atau
supositoria, 4-6 kali sehari (maksimal 200 mg/hari bila meminum 4 tablet
doksilamin/piridoksin), ATAU prometazin 5-10 mg 3-4 kali sehari per oral atau
supositoria.
 Bila masih belum teratasi, tapi tidak terjadi dehidrasi, berikan salah satu obat di bawah
ini:
• Klorpromazin 10-25 mg per oral atau 50-100 mg IM tiap 4-6 jam
• Proklorperazin 5-10 mg per oral atau IM atau supositoria tiap 6-8 jam
• Prometazin 12,5-25 mg per oral atau IM tiap 4-6 jam
• Metoklopramid 5-10 mg per oral atau IM tiap 8 jam
• Ondansetron 8 mg per oral tiap 12 jam
 Bila masih belum teratasi dan terjadi dehidrasi, pasang kanula intravena dan berikan
cairan sesuai dengan derajat hidrasi ibu dan kebutuhan cairannya, lalu:
• Berikan suplemen multivitamin IV
• Berikan dimenhidrinat 50 mg dalam 50 ml NaCl 0,9% IV selama 20 menit,
setiap 4-6 jam sekali
• Bila perlu, tambahkan salah satu obat berikut ini:
- Klorpromazin 25-50 mg IV tiap 4-6 jam
- Proklorperazin 5-10 mg IV tiap 6-8 jam
- Prometazin 12,5-25 mg IV tiap 4-6 jam
- Metoklopramid 5-10 mg tiap 8 jam per oral
• Bila perlu, tambahkan metilprednisolon 15-20 mg IV tiap 8 jam ATAU
ondansetron 8 mg selama 15 menit IV tiap 12 jam atau 1 mg/ jam terus-
menerus selama 24 jam.

Kriteria rawat inap pada hiperemesis gravidarum:

 Semua yang dimakan dan diminum dimuntahkan, apalagi bila telah berlangsung lama
 BB turun >10% BB normal
 Dehidrasi
 Adanya aseton dalam urin
HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

Hipertensi Kronik

Merupakan hipertensi tanpa proteinuria yang timbul dari sebelum kehamilan dan menetap
setelah persalinan

Diagnosis:

 Tekanan darah ≥140/90 mmHg


 Sudah ada riwayat hipertensi sebelum hamil, atau diketahui adanya hipertensi pada
usia kehamilan <20 minggu
 Tidak ada proteinuria (diperiksa dengan tes celup urin)
 Dapat disertai keterlibatan organ lain, seperti mata, jantung, dan ginjal

Hipertensi gestasional

Merupakan hipertensi tanpa proteinuria yang timbul setelah kehamilan 20 minggu dan
menghilang setelah persalinan.

Diagnosis:

 Tekanan darah ≥140/90 mmHg


 Tidak ada riwayat hipertensi sebelum hamil, tekanan darah normal di usia kehamilan
<20 minggu
 Tidak ada proteinuria (diperiksa dengan tes celup urin)
 Dapat disertai tanda dan gejala preeklampsia, seperti nyeri ulu hati da trombositopenia
 Tekanan darah kembali normal setelah 12 inggu pascapersalinan, diagnosis pasti
ditegakkan pascapersalinan

Preeklamsia
Merupakan hipertensi dan proteinuria yang terjadi pada usia kehamilan >20 minggu pada
ibu hamil yang sebelumnya normotensif.

Diagnosis preeklamsia ringan:

 Tekanan darah ≥140/90 mmHg pada usia kehamilan > 20 minggu


 Tes celup urin menunjukkan proteinuria 1+ atau pemeriksaan protein kuantitatif
menunjukkan hasil >300 mg/24 jam

Preeklamsia disebut berat apabila:

 Tekanan darah >160/110 mmHg


 Tes celup urin menunjukkan proteinuria ≥2+ atau pemeriksaan protein kuantitatif
menunjukkan hasil >5 g/24 jam
 Atau disertai keterlibatan organ lain:
• Trombositopenia (<100.000 sel/uL), hemolisis mikroangiopati
• Peningkatan SGOT/SGPT, nyeri abdomen kuadran kanan atas
• Sakit kepala , skotoma penglihatan
• Pertumbuhan janin terhambat, oligohidramnion
• Edema paru dan/atau gagal jantung kongestif
• Oliguria (< 500ml/24jam), kreatinin > 1,2 mg/dl

Pencegahan:

Pemberian kalsium 1,5-2,0 gram/hari selama kehamilan

Aspirin 75 mg/hari dimulai sejak usia kehamilan <20 minggu

Tatalaksana preeklamsia ringan:

 Sebaiknya pasien dirujuk ke RS.


 Rawat jalan: istirahat cukup, diet cukup protein-rendah karbohidrat dan lemak,
roboransia, pasien kontrol tiap minggu
 Rawat inap: pasien dirawat apabila timbul ≥1 gejala preeklamsia berat atau pada
pasien preeklamsia ringan gejala tidak membaik setelah 2 minggu

Indikasi perawatan aktif preeklamsia berat:

1. Ibu:
a. Kehamilan >37 minggu
b. Terdapat tanda dan gejala impending eclampsia (nyeri kepala hebat,
penglihatan kabur, nyeri ulu hati, gelisah dan hiperrefleksia, gagal terapi
konservatif, peningkatan tekanan darah dalam 6 jam sejak terapi medisinal
dimulai, gagal perbaikan setelah 24 jam sejak terapi medisinal dimulai)
2. Janin: gawat janin, pertumbuhan janin terhambat
3. Laboratorik: sindrom HELLP (Hemolysis, Elevated Liver enzyme, Low Platelet
count)

Superimposed preeklampsia pada hipertensi kronik

Diagnosis:

 Ibu dengan riwayat hipertensi kronik (sudah ada sebelum usia kehamilan 20 minggu)
 Tes celup urin menunjukkan proteinuria >+1 atau trombosit <100.000 sel/uL pada
usia kehamilan > 20 minggu

Eklamsia

Diagnosis:

 Kejang umum dan/atau koma


 Ada tanda dan gejala preeklampsia
 Tidak ada kemungkinan penyebab lain (misalnya epilepsi, perdarahan subarakhnoid,
dan meningitis)
Pemeriksaan penunjang tambahan pada hipertensi dalam kehamilan:

 Hitung darah perifer lengkap (DPL)


 Golongan darah ABO, Rh, dan uji pencocokan silang
 Fungsi hati (LDH, SGOT, SGPT)
 Fungsi ginjal (ureum, kreatinin serum)
 Profil koagulasi (PT, APTT, fibrinogen)
 USG (terutama jika ada indikasi gawat janin/pertumbuhan janin terhambat)

Tatalaksana umum hipertensi dalam kehamilan:

Pencegahan dan tatalaksana kejang

 Bila terjadi kejang, perhatikan jalan napas, pernapasan (oksigen), dan sirkulasi (cairan
intravena).
 MgSO4 diberikan secara intravena kepada ibu dengan eklampsia (sebagai tatalaksana
kejang) dan preeklampsia berat (sebagai pencegahan kejang).
 Pada kondisi di mana MgSO4 tidak dapat diberikan seluruhnya, berikan dosis awal
(loading dose) lalu rujuk ibu segera ke fasilitas kesehatan yang memadai.
Cara pemberian MgSO4
o Berikan dosis awal 4 g MgSO4 sesuai prosedur untuk mencegah kejang atau
kejang berulang.
CARA PEMBERIAN DOSIS AWAL
• Ambil 4 g larutan MgSO4 (10 ml larutan MgSO4 40%) dan larutkan dengan
10 ml akuades
• Berikan larutan tersebut secara perlahan IV selama 20 menit
• Jika akses intravena sulit, berikan masing-masing 5 g MgSO4 (12,5 ml
larutan MgSO4 40%) IM di bokong kiri dan kanan
o Sambil menunggu rujukan, mulai dosis rumatan 6 g MgSO4 dalam 6 jam.
CARA PEMBERIAN DOSIS RUMATAN
Ambil 6 g MgSO4 (15 ml larutan MgSO4 40%) dan larutkan dalam 500 ml
larutan Ringer Laktat/Ringer Asetat, lalu berikan secara IV dengan kecepatan
28 tetes/menit selama 6 jam, dan diulang hingga 24 jam setelah persalinan
atau kejang berakhir (bila eklampsia)

Syarat pemberian MgSO4:

• Tersedia Ca Glukonas 10%


• Frekuensi napas ≥16x/menit
• Ada refleks patella
• Jumlah urin minimal 0,5ml/kg BB/jam

Keterangan tambahan:

- Yang perlu dipantau selama pemberian MgSO4: tekanan darah, frekuensi


nadi, frekuensi pernapasan, refleks patella, dan jumlah urin.
- Pemberian MgSO4 dihentikan bila: frekuensi pernapasan < 16 x/menit,
dan/atau tidak didapatkan refleks tendon patella, dan/atau terdapat oliguria
(produksi urin <0,5 ml/kg BB/jam)
- Jika terjadi depresi napas, berikan Ca glukonas 1 g IV (10 ml larutan 10%)
bolus dalam 10 menit.
 Lakukan intubasi jika terjadi kejang berulang dan segera kirim ibu ke ruang ICU (bila
tersedia) yang sudah siap dengan fasilitas ventilator tekanan positif

Antihipertensi pada hipertensi dalam kehamilan:

 Ibu dengan hipertensi berat selama kehamilan perlu mendapat terapi antihipertensi.
 Pilihan terapi antihipertensi:
 Ibu yang mendapat terapi antihipertensi di masa antenatal dianjurkan untuk
melanjutkan terapi antihipertensi hingga persalinan.
 Antihipertensi golongan ACE inhibitor (misalnya kaptopril), ARB (misalnya
valsartan), dan klorotiazid dikontraindikasikan pada ibu hamil.

Pertimbangan persalinan/terminasi kehamilan

 Pada ibu dengan eklampsia, bayi harus segera dilahirkan dalam 12 jam sejak
terjadinya kejang
 Induksi persalinan dianjurkan bagi ibu dengan preeklampsia berat dengan janin yang
belum viable atau tidak akan viable dalam 1-2 minggu.
 Pada ibu dengan preeklampsia berat, di mana janin sudah viable namun usia
kehamilan belum mencapai 34 minggu, manajemen ekspektan dianjurkan, asalkan
tidak terdapat kontraindikasi (lihat algoritma di halaman berikut). Lakukan
pengawasan ketat.
 Pada ibu dengan preeklampsia berat, di mana usia kehamilan antara 34 dan 37
minggu, manajemen ekspektan boleh dianjurkan, asalkan tidak terdapat hipertensi
yang tidak terkontrol, disfungsi organ ibu, dan gawat janin. Lakukan pengawasan
ketat.
 Pada ibu dengan preeklampsia berat yang kehamilannya sudah aterm, persalinan dini
dianjurkan.
 Pada ibu dengan preeklampsia ringan atau hipertensi gestasional ringan yang sudah
aterm, induksi persalinan dianjurkan.
PERDARAHAN ANTEPARTUM

Merupakan perdarahan pervaginam pada usia kehamilan 20 minggu atau lebih

Plasenta previa

Anamnesis:

 Perdarahan tanpa nyeri atau keluhan lain, usia kehamilan>20 minggu


 Darah segar yang keluar sesuai dengan beratnya anemia
 Bisa disertai faktor predisposisi: Kehamilan dengan ibu berusia lanjut, Multiparitas,
Riwayat seksio sesarea sebelumnya

Pemeriksaan Fisik:

 Bisa terjadi syok


 Tidak ada kontraksi uterus
 Bagian terendah janin tidak masuk pintu atas panggul
 Kondisi janin normal atau terjadi gawat janin
 Inspekulo: perdarahan berasal dari ostium uteri
 Perabaan fornises: teraba bantalan lunak pada presentasi kepala (catatan: pemeriksaan
dalam hanya boleh dilakukan di kamar operasi)

Pemeriksaan penunjang (USG)

Plasenta previa dapat dibagi menjadi:

 Plasenta previa totalis: seluruh ostium internum tertutup oleh plasenta


 Plasenta previa lateralis/parsialis: sebagian ostium tertutup oleh plasenta
 Plasenta previa marginalis: hanya di pinggir ostium terdapat jaringan plasenta
 Plasenta letak rendah: implantasi plasenta rendah tapi tidak sampai ke ostium dengan
tepi plasenta berjarak <5 cm dari pinggir ostium
Solusio plasenta (Abruptio plasenta)

Adalah terlepasnya plasenta dari tempat implantasinya.

Diagnosis:

Anamnesis:

 Perdarahan dengan nyeri intermiten atau menetap


 Warna darah kehitaman dan cair, tetapi mungkin ada bekuan jika solusio relatif baru
 Uterus tegang terus menerus dan nyeri
 Bisa terdapat faktor predisposisi: Hipertensi, Versi luar, Trauma abdomen,
Hidramnion, Gemelli, Defisiensi besi

Pemeriksaan fisik:

 Syok tidak sesuai dengan jumlah darah keluar (tersembunyi)


 Anemia berat
 Uterus keras dan sulit untuk dipalpasi
 Fundus uteri semakin lama semakin naik
 Gawat janin atau hilangnya denyut jantung janin
 Pemeriksaan dalam: teraba ketuban yang tegang
Derajat solusio plasenta:

a. Ringan : Perdarahan kurang dari 100-200cc, uterus tidak tegang, belum ada tanda
renjatan, janin hidup, pelepasan plasenta kurang dari 1/6 bagian permukaan, kadar
fibrinogen plasma lebih dari 250 mg %

b. Sedang : Perdarahan lebih dari 200 cc, uterus tegang, terdapat tanda pra renjatan, gawat
janin atau jenin telah mati, pelepasan plasenta sampai 2/3 bagian permukaan, kadar
fibrinogen plasma 120-150 mg%

c. Berat : Uterus tegang dan berkontraksi tetanik, terdapat tanda renjatan, biasanya janin
telah mati, pelepasan plasenta bisa terjadi pada lebih dari 2/3 bagian permukaan atau
keseluruhan bagian permukaan.

Perdarahan ke luar Perdarahan tersembunyi


(Revealed hemorrhage) (Concealed hemorrhage)

 Pelepasan biasanya inkomplit  Pelepasan biasanya komplit


 Jarang disertai preeklamsia  Sering disertai preeklamsia
 80% dari perdarahan pada solusio  20% dari perdarahan pada solusio
plasenta plasenta
Vasa Previa

Tali pusat berinsersi pada selaput ketuban dimana pembuluh darahnya berjalan di antara
lapisan amnion dan korion melalui pembukaan serviks.

Diagnosis:

 Tes Apt positif (terdapat darah janin)


 Dapat diraba pembuluh darah janin melalui pembukaan serviks
 Dapat terlihat vasa previa melalui spekulum/Amnioskopi
 Diagnosis pasti biasanya dengan USG doppler
KETUBAN PECAH DINI (KPD)

KPD adalah pecahnya selaput ketuban sebelum terjadinya persalinan. Ketuban pecah dini
dapat terjadi pada atau setelah usia gestasi 37 minggu dan disebut KPD aterm atau
premature rupture of membranes (PROM) dan sebelum usia gestasi 37 minggu atau KPD
preterm atau preterm premature rupture of membranes (PPROM).

Anamnesis:

 Penderita merasa keluar cairan yang banyak secara tiba-tiba.


 Usia kehamilan ≥37 minggu: PROM, usia kehamilan <37 minggu: PPROM
 Terdapat faktor risiko: riwayat ketuban pecah dini pada kehamilan sebelumnya,
infeksi traktus genital, perdarahan antepartum, merokok

Pemeriksaan obstetri:

 Tidak terdapat tanda-tanda persalinan


 Inspekulo : adanya cairan yang keluar dari serviks atau menggenang di forniks
posterior. Cairan tersebut memiliki bau khas ketuban. Jika tidak ada, gerakkan sedikit
bagian terbawah janin, atau minta ibu untuk mengedan/batuk

Pemeriksaan dalam sebaiknya tidak dilakukan kecuali akan dilakukan penanganan aktif
(melahirkan bayi) karena dapat mengurangi latensi dan meningkatkan kemungkinan
infeksi

Pemeriksaan penunjang:

 Tes Nitrazin: lihat apakah kertas lakmus berubah dari merah menjadi biru.
 Gambaran pakis yang terlihat di mikroskop ketika mengamati sekret servikovaginal
yang mengering.

Tatalaksana umum:

 Eritromisin 4x250 mg selama 10 hari


R/erythromycin 250 mg caps No. XL
S 4dd caps I pc
 Rujuk ke RS
INFEKSI INTAUTERIN: KORIOAMNIONITIS

Korioamnionitis adalah infeksi pada korion dan amnion

Diagnosis

Korioamnionitis adalah diagnosis klinis yang ditegakkan bila ditemukan demam >38 0C
dengan 2 atau lebih tanda berikut ini:

 leukositosis >15.000 sel/mm3


 denyut jantung janin >160 kali/menit
 frekuensi nadi ibu >100 kali/menit
 nyeri tekan fundus saat tidak berkontraksi
 cairan amnion berbau

Faktor predisposisi

 Persalinan prematur
 Persalinan lama
 Ketuban pecah lama
 Pemeriksaan dalam yang dilakukan berulang-ulang
 Adanya bakteri patogen pada traktus genitalia (IMS, BV)
 Alkohol
 Rokok

Tatalaksana:

Tatalaksana Umum

 Rujuk pasien ke rumah sakit.


 Beri antibiotika kombinasi: ampisilin 2 g IV tiap 6 jam ditambah gentamisin 5
mg/kgBB IV setiap 24 jam.
PERSALINAN PREMATUR

Persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu.

Faktor Predisposisi

 Usia ibu <18 tahun atau >40 tahun


 Hipertensi
 Perkembangan janin terhambat
 Solusio plasenta
 Plasenta previa
 Ketuban pecah dini
 Infeksi intrauterine
 Bakterial vaginosis
 Serviks inkompetens
 Kehamilan ganda
 Penyakit periodontal
 Riwayat persalinan preterm sebelumnya
 Kurang gizi
 Merokok

Kriteria Diagnosis

 Usia kehamilan <37 minggu


 Terjadi kontraksi 4 kali dalam 20 menit atau 8 kali dalam 60 menit diikuti dengan
perubahan serviks yang progresif
 Pembukaan serviks ≥ 2 cm

Tatalaksana

Tatalaksana umum:
 Berbaring dengan posisi miring ke kiri dan pemberian cairan bila perlu
 Mengobati bakteriuria asimtomatik
 Menghilangkan/mengurangi faktor risikodengan istirahat, perbaikan gizi, mengobati
anemia, dll
 Tidak berhubungan seksual
 Memantau kontraksi uterus

Tatalaksana medisinal:

Lakukan terapi konservatif (ekspektan) dengan tokolitik, kortikosteroid, dan antibiotika


jika syarat berikut ini terpenuhi:

• Usia kehamilan antara 24-34 minggu


• Dilatasi serviks kurang dari 3 cm
• Tidak ada korioamnionitis (infeksi intrauterin), preeklampsia, atau perdarahan aktif
• Tidak ada gawat janin
a. Tokolitik
Tokolitik hanya diberikan pada 48 jam pertama untuk memberikan kesempatan
pemberian kortikosteroid. Tokolitik tidak perlu diberikan pada kondisi:
o Usia kehamilan di bawah 24 dan di atas 34 minggu
o Pembukaan > 3 cm
o Ada tanda korioamnionitis (infeksi intrauterin), preeklampsia, atau
perdarahan aktif
o Ada gawat janin
o Janin meninggal atau adanya kelainan kongenital yang kemungkinan
hidupnya kecil
Obat yang diberikan:
o Nifedipin: 3 x 10 mg per oral, ATAU
o Terbutalin sulfat 1000 μg (2 ampul) dalam 500 ml larutan infus NaCl 0,9%
dengan dosis awal pemberian 10 tetes/menit lalu dinaikkan 5 tetes/menit tiap
15 menit hingga kontraksi hilang, ATAU
o Salbutamol: dosis awal 10 mg IV dalam 1 liter cairan infus 10 tetes/ menit.
Jika kontraksi masih ada, naikkan kecepatan 10 tetes/menit setiap 30 menit
sampai kontraksi berhenti atau denyut nadi >120/ menit kemudian dosis
dipertahankan hingga 12 jam setelah kontraksi hilang
b. Kortikosteroid
• Deksametason 6 mg IM setiap 12 jam sebanyak 4 kali, ATAU
• Betametason 12 mg IM setiap 24 jam sebanyak 2 kali
c. Antibitiotik, diberikan hingga bayi lahir
• Ampisilin: 2 g IV setiap 6 jam, ATAU
• Penisilin G 2 juta unit IV setiap 6 jam, ATAU
• Klindamisin: 3 x 300 mg PO (jika alergi terhadap penisilin)
Pada KPD antibiotik yang diberikan adalah eritromisin
PATOLOGI PADA PROSES PERSALINAN

Patologi Kala 1 dan 2

Disebabkan oleh distosia. Distosia adalah persalinan sulit yang ditandai dengan hambatan
kemajuan persalinan.

Penyebab distosia dapat dibagi kedalam 3 macam factor (3P):

1. Power (kekuatan)
a. Kelainan his
b. Kekuatan mengejan kurang kuat (misalkan kelainan dinding perut akibat luka
parut baru, diastasis muskulus rektus abdominis, kelelahan ibu)
2. Passanger (janin)
a. Kelainan letak janin
b. Kelainan presentasi janin
c. Kelainan posisi janin
d. Kehamilan ganda
e. Bayi besar (makrosomia)
f. Cacat bawaan (hidrosefalus, dll)
3. Passage (kelainan ukuran atau bentuk panggul/jalan lahir)

DISTOSIA KARENA TIDAK MEMADAINYA KEKUATAN (POWER)

Kelainan His

Inersia uteri

Inersia uteri adalah pemanjangan fase laten atau aktif atau keduanya. Inersia uteri
diklasifikasikan menjadi:

1. Inersia uteri hipotonis: kontraksi terkoordinasi tapi lemah.


2. Inersia uteri hipertonis: kontraksi tidak terkoordinasi

Hipotonis Hipertonis
Waktu Fase aktif Fase laten
Nyeri Tidak nyeri Nyeri berlebih
Gawat janin Lambat terjadi Cepat terjadi
Reaksi terhadap oksitosin baik Tidak baik
Pengaruh sedatif sedikit besar

Partus presipitatus

Merupakan persalinan yang lebih pendek dari 3 jam, terjadi akibat his yang kuat dan
kurangnya tahanan jalan lahir.

DISTOSIA KARENA KELAINAN PADA PASSENGER

Kelainan Posisi

Pada 90% kasus, rotasi spontan dapat terjadi

Kelainan Presentasi
Presentasi muka: pada posisi ini, leher hiperekstensi sehingga oksiput kontak dengan
punggung dan yang teraba adalah dagu.

 Pemeriksaan abdominal: lekukan akan teraba antara daerah oksiput dan punggung
(sudut Fabre), denyut jantung janin sepihak dengan bagian kecil janin
 Pemeriksaan dalam: teraba orbita, hidung, tulang pipi, mulut, dan dagu.

Presentasi dahi:

 Pemeriksaan abdominal: kepala janin lebih separuhnya di atas pelvis, denyut jantung
janin sepihak dengan bagian kecil
 Pemeriksaan dalam, teraba sutura frontalis, ubun-ubun besar, pinggir orbita, dan
pangkal hidung.

Presentasi majemuk: Prolaps ekstremitas bersamaan dengan bagian terendah janin


(kepala/bokong)

Malpresentasi: A. Presentasi wajah; B. Presentasi dahi; C. Presentasi majemuk

Kelainan Letak

Letak lintang (presentasi bahu):

 Inspeksi: perut melebar ke samping,fundus uteri lebih rendah


 Palpasi: fundus uteri dan bagian bawah rahim kosong, kepala dan bokong teraba di
samping kiri-kanan
 Pemeriksaan dalam: sisi toraks teraba sebagai susunan tulang-tulang yang sejajar,
pada pembukaan yang besar teraba skapula dan klavikula

Letak sungsang: letak memanjang dengan bokong sebagai bagian terendah

a. Presentasi bokong murni (frank breech): bagian depan bokong, kedua tungkai lurus
ke atas
b. Presentasi bokong kaki (complete breech): disamping bokong, kaki teraba. Disebut
semourna bila kedua kaki ikut teraba dan tidak sempurna bila hanya teraba satu kaki
c. Presentasi kaki (incomplete breech)

Janin Besar (Makrosomia)

Definisi: berat lahir janin >4000 g.

Faktor predisposisi: diabetes mellitus, genetik, multiparitas, kehamilan lewat waktu, usia
ibu tua, janin laki-laki
Persalinan pada makrosomia:

 Persalinan pervaginam dapat dicoba untuk taksiran berat janin hingga 5000 gram
pada ibu tanpa diabetes.
 Seksio sesarea dipertimbangkan untuk taksiran berat janin >5000 gram pada ibu
tanpa diabetes, dan >4500 gram pada ibu dengan diabetes.
 Seksio sesarea menjadi indikasi bila taksiran berat janin >4500 gram dan terjadi
perpanjangan kala II persalinan atau terhentinya penurunan janin di kala II
persalinan.

Distosia Bahu

Distosia bahu adalah suatu keadaan dimana setelah kepala dilahirkan, bahu anterior tidak
dapat lewat di bawah simfisis pubis.

Diagnosis:

 Kesulitan melahirkan wajah dan dagu


 Kepala bayi tetap melekat erat di vulva atau bahkan tertarik kembali (turtle sign)
 Kegagalan paksi luar kepala bayi
 Kegagalan turunnya bahu

Faktor predisposisi:
Tatalaksana distosia bahu dengan ALARMER:

A: Ask for help

L: Lift/hyperflex Legs (manuver McRoberts)


A: Anterior shoulder disimpaction

Pendekatan abdominal dengan perasat Mazzanti: penekanan di suprapubis oleh


bagian heel dari tangan)

Pendekatan vaginal dengan perasat Rubin: bahu didorong menuju dada atau
tekanan diberikan ke skapula bahu anterior

R: Rotation of the posterior shoulder (perasat Woods): bahu depan diputar 1800
sehingga bahu depan dan bahu belakang yang sudah diputar ke depan akan lahir
dibawah simfisis

M: Manual removal posterior arm

E: Episiotomy

R: Roll over onto “all fours” (manuver Gaskin)

DISTOIA KARENA KELAINAN JALAN LAHIR (PASSAGE)

Panggul Sempit

Panggul sempit harus diwaspadai pada kondisi:

 Arkus pubis <900


 Teraba promontorium
 Teraba spina iskhiadika
 Teraba linea innominata
 Pada primigravida bagian terbawah tidak masuk ke pintu atas panggul pada usia > 36
minggu

PERSALINAN LAMA

Kriteria diagnosis persalinan lama:


Distosia pada kala I fase aktif: grafik pembukaan serviks pada partograf berada di antara
garis waspada dan garis bertindak, atau sudah memotong garis bertindak, ATAU

Fase ekspulsi (kala II) memanjang: tidak ada kemajuan penurunan bagian terendah janin
pada persalinan kala II. Dengan batasan waktu:

- Maksimal 2 jam untuk nulipara dan 1 jam untuk multipara, ATAU

- Maksimal 3 jam untuk nulipara dan 2 jam untuk multipara bila pasien menggunakan
analgesia epidural

PROLAPS TALI PUSAT

Diagnosis

Prolaps tali pusat dapat dipastikan bila:


• Tali pusat tampak atau teraba pada jalan lahir lebih rendah dari bagian terendah janin
(tali pusat terkemuka, saat ketuban masih utuh)

• Tali pusat tampak pada vagina setelah ketuban pecah (tali pusat menumbung, ketuban
sudah pecah)

Patologi Kala 3 dan 4

Kelainan pada kala 3 dan 4 ditandai dengan perdarahan pascasalin. Perdarahan pascasalin
didefinisikan sebagai kehilangan darah dari saluran genitalia >500 ml setelah melahirkan
pervaginam atau >1000 ml setelah melahirkan secara seksio sesarea.

Klasifikasi perdarahan pascasalin berdasarkan waktu:


1. Perdarahan pascasalin dini/primer: terjadi dalam 24 jam pertama setelah persalinan
(etiologi paling sering: atonia uteri, trauma jalan lahir, retensio plasenta, gangguan
koagulopati)
2. Perdarahan pascasalin lambat/sekunder: terjadi setelah 24 jam persalinan (etiologi
paling sering: sisa plasenta)

Tingkat keparahan perdarahan pascasalin:

 Ringan (minor): 500-1000 ml


 Sedang:1000-2000 ml
 Berat: >2000 ml

Etiologi (4T):

o Tone: atonia uteri (kelemahan tonus uterus untuk menghentikan perdarahan dari
bekas insersi plasenta)
o Trauma: robekan jalan lahir dari perineum, vagina, sampai uterus
o Tissue: sisa plasenta atau bekuan darah yang menghalangi kontraksi uterus yang
adekuat
o Thrombin: gangguan faktor pembekuan darah

Faktor Risiko:

o Kelainan implantasi dan pembentukan plasenta: plasenta previa, solutio plasenta,


plasenta akreta/inkreta/perkreta, kehamilan ektopik, mola hidatidosa
o Trauma saat kehamilan dan persalinan: episiotomi, persalinan per vaginam dengan
instrumen (forsep di dasar panggul atau bagian tengah panggul), bekas SC atau
histerektomi
o Volume darah ibu yang minimal, terutama pada ibu berat badan kurang, preeklamsia
berat/eklamsia, sepsis, atau gagal ginjal
o Gangguan koagulasi
o Pada atonia uteri, penyebabnya antara lain uterus overdistensi (makrosomia,
kehamilan kembar, hidramnion atau bekuan darah), induksi persalinan, penggunaan
agen anestetik (agen halogen atau anastesia dengan hipotensi), persalinan lama,
korioamnionitis, persalinan terlalu cepat dan riwayat atonia uteri sebelumnya

Tatalaksana: prinsip “HAEMOSTASIS”:

 Ask for HELP


 ASSESS (vital parameter, blood loss), and Resusitate
o Nilai tingkat kesadaran, nadi, tekanan darah, dan bila fasilitas memungkinkan,
saturasi oksigen harus dimonitor.
o Saat memasang jalur infus dengan abocath 14G-16G, harus segera diambil
spesimen darah untuk memeriksa hemoglobin, profil pembekuan darah,
elektrolit, penentuan golongan darah, serta crossmatch
o Prinsip: RIMOT = Resusitasi, Infus 2 jalur, Monitoring keadaan umum, nadi
dan tekanan darah, Oksigen, dan Team approach).
o Diberikan cairan kristaloid dan koloid secara cepat sambil menunggu hasil
crossmatch.

Jumlah cairan yang diberikan berdasarkan klinis pasien:

 ESTABLISH ETIOLOGY, Ensure availability of blood, Ecbolics (Oxytocin,


Ergometrin or Syntometrine bolus IV/ IM)
Cara menentukan penyebab perdarahan uterus:
Jika penyebab perarahan adalah atonia uteri, lakukan langkah berikut:

 MASSAGE the uterus


 OXYTOCIN infusion/ prostaglandins – IV/ per rectal/ IM/ intramyometrial
Cara pemberian uterotonika:
o Berikan 20-40 IU oksitosin dalam 1000 ml larutan NaCl 0,9%/RL dengan
kecepatan 60 tetes/menit dan 10 IU IM. Lanjutkan infus oksitosin 20 IU
dalam 1000 ml larutan NaCl 0,9%/RL dengan kecepatan 40 tetes/menit
hingga perdarahan berhenti.
Catatan: Jangan berikan lebih dari 3 liter larutan intravena yang mengandung
oksitosin
o Bila tidak tersedia oksitosin atau bila perdarahan tidak berhenti, berikan
ergometrin 0,2 mg IM atau IV (lambat), dapat diikuti pemberian 0,2 mg IM
setelah 15 menit, dan pemberian 0,2 mg IM/IV (lambat) setiap 4 jam bila
diperlukan. JANGAN BERIKAN LEBIH DARI 5 DOSIS (1 mg)
Kontraindikasi: hipertensi berat/ tidak terkontrol, penderita sakit jantung dan
penyakit pembuluh darah tepi
o Bila perdarah masih tidak berhasil diatasi, dapat diberikan misoprostol per
rektal 800-1000ug.
o Jika perdarahan berlanjut, berikan 1 g asam traneksamat IV (bolus selama 1
menit, dapat diulang setelah 30 menit)
o Bila perdarahan masif, transfusi
 SHIFT TO THEATRE – exclude retained products and trauma/ bimanual
compression (konservatif; non-pembedahan)
Cara melakukan kompresi bimanual:
o Masukkan tangan dalam posisi obstetri ke dalam lumen vagina, ubah menjadi
kepalan, dan letakkan dataran punggung jari telunjuk hingga kelingking pada
forniks anterior dan dorong segmen bawah uterus ke kranio-anterior.
o Upayakan tangan luar mencakup bagian belakang korpus uteri sebanyak
mungkin.
o Lakukan kompresi uterus dengan mendekatkan telapak tangan luar dan
kepalan tangan dalam.
o Tetap berikan tekanan sampai perdarahan berhenti dan uterus berkontraksi.
o Jika uterus sudah mulai berkontraksi, pertahankan posisi tersebut hingga
uterus berkontraksi dengan baik, dan secara perlahan lepaskan kedua tangan
lanjutkan pemantauan secara ketat.
o Jika uterus tidak berkontraksi setelah 5 menit, lakukan kompresi bimanual
eksternal oleh asisten/anggota keluarga:
Tekan dinding belakang uterus dan korpus uteri di antara genggaman ibu jari
dan keempat jari lain, serta dinding depan uterus dengan kepalan tangan yang
lain.
Kompresi bimanual interna (kiri) dan kompresi bimanual eksterna (kanan)

 TAMPONADE BALLOON/ uterine packing (konservatif; non-pembedahan)


Pemasangan tamponade bisa menggunakan kondom kateter.
Langkah-langkah pemasangan kondom kateter :
1. Baringkan ibu dalam posisi litotomi.
2. Cuci tangan.
3. Gunakan sarung tangan steril.
4. Masukkan kateter ke dalam kondom.
5. Ikat dengan tali dekat dengan mulut kondom.
6. Pertahankan buli dalam keadaan kosong dengan kateter Foley.
7. Masukkan kondom yang sudah terikat dengan kateter ke dalam rongga uterus.
8. Biarkan ujung dalam kateter di dalam kondom.
9. Ujung luar kateter dihubungkan dengan set infus.
10. Kondom dikembangkan dengan 250-500 ml larutan NaCl 0,9 %.
11. Observasi perdarahan. Jika berkurang, hentikan pengembangan kondom lebih
lanjut. Ujung luar kondom dilipat dan diikat dengan tali.
Pemasangan kondom kateter

 APPLY COMPRESSION SUTURES – B-Lynch/ modified (pembedahan


konservatif)
 SYSTEMATIC PELVIC DEVASCULARIZATION – uterine/ ovarian/ quadruple/
internal iliac (pembedahan konservatif)

Diagnosis dan Tatalaksana Trauma Jalan Lahir

 Ruptur perineum
Derajat ruptur:

1: robekan hanya di epitel vagina atau kulit perineum

2: robekan hingga perineum yang tidak melibatkan kompleks anak sphinter tetapi
melibatkan otot perineum (bulbospongiosus dan superficial transverse perineal
muscles)

3a: <50% external anal sphincter

3b: >50% external anal sphincter, internal anal sphincter masih intak

3c: robekan pada external anal sphincter dan internal anal sphincter
4: robekan pada perineal body, seluruh kompleks anal sphincter, dan mukosa
anorektal

Tatalaksana:
1. Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi sumber perdarahan.
2. Lakukan irigasi pada tempat luka dan bersihkan dengan antiseptik.
3. Hentikan sumber perdarahan dengan klem kemudian ikat dengan benang yang
dapat diserap.
4. Lakukan penjahitan.
5. Bila perdarahan masih berlanjut, berikan 1 g asam traneksamat IV (bolus selama
1 menit, dapat diulang setelah 30 menit) lalu rujuk pasien.
 Ruptur serviks
Paling sering terjadi pada bagian lateral bawah kiri dan kanan dari porsio.
Tatalaksana:
1. Jepitkan klem ovum pada lokasi perdarahan.
2. Jahitan dilakukan secara kontinu dimulai dari ujung atas robekan kemudian ke
arah luar sehingga semua robekan dapat dijahit
3. Bila perdarahan masih berlanjut, berikan 1 g asam traneksamat IV (bolus
4. selama 1 menit, dapat diulang setelah 30 menit) lalu rujuk pasien.
 Ruptur uteri (HARUS DIRUJUK!)
Gejala ancaman (indikasi untuk segera menyelesaikan persalinan, pada saat
menunggu persalinan ibu diberikan morfin 20 mg untuk mengurangi kekuatan his):
o Lingkaran retraksi patologis/lingkaran Bandl yang tinggi, mendekati pusat
dan naik terus
o Kontraksi rahim kuat dan terus menerus
o Penderita gelisah, nyeri di perut bagian bawah, juga diluar his
o Palpasi segmen bawah rahim (diatas simfisis) menimbulkan nyeri
o Ligamen rotundum tegang bahkan ketika tidak ada his
o BJA biasanya tidak terdengar atau tidak baik
o Hematuria
Gejala bila ruptur uteri sudah terjadi:
o Dalam kontraksi kuat, pasien tiba-tiba merasa nyeri ketika dipalpasi
o Segmen bawah rahim terasa sangat nyeri saat dipalpasi
o His berhenti/hilang
o Ada perdarahan pervaginam
o Bagian anak mudah diraba
o Terkadang disamping anak teraba tumor (rahim yang mengecil)
o Pemeriksaan dalam: bagian depan mudah ditolak keatas bahkan kadang tidak
teraba lagi
o BJA tidak ada
o Pasien mengalami syok
o Bila sudah lama terjadi, seluruh perut nyeri dan gembung
o Hematuria

Tatalaksana Retensio Plasenta

 Berikan 20-40 IU oksitosin dalam 1000 ml larutan NaCl 0,9%/Ringer Laktat dengan
kecepatan 60 tetes/menit dan 10 IU IM. Lanjutkan infus oksitosin 20 IU dalam 1000
ml larutan NaCl 0,9%/RL dengan kecepatan 40 tetes/menit hingga perdarahan
berhenti
 Lakukan tarikan tali pusat terkendali
 Bila tarikan tali pusat terkendali tidak berhasil, lakukan plasenta manual
Cara melakukan manual plasenta:
1. Berikan sedatif diazepam 10 mg IM/IV.
2. Antibiotika dosis tunggal (profilaksis):
 Ampisilin 2 g IV + metronidazol 500 mg IV, ATAU
 Cefazolin 1 g IV + metronidazol 500 mg IV
3. Cuci tangan dan pasang sarung tangan panjang steril.
4. Jepit tali pusat dengan klem dan tegangkan sejajar dengan lantai.
5. Masukkan tangan dalam posisi obstetri dengan menelusuri bagian bawah tali
pusat
6. Tangan sebelah dalam menyusuri tali pusat hingga masuk ke dalam kavum uteri,
sedangkan tangan di luar menahan fundus uteri, untuk mencegah inversio uteri.
7. Menggunakan lateral jari tangan, disusuri dan dicari pinggir perlekatan (insersi)
plasenta.
8. Tangan obstetri dibuka menjadi seperti memberi salam, lalu jari-jari dirapatkan.
9. Tentukan tempat implantasi plasenta, temukan tepi plasenta yang paling bawah.
10. Gerakkan tangan kanan ke kiri dan kanan sambil bergeser ke arah kranial hingga
seluruh permukaan plasenta dilepaskan.
11. Pegang plasenta dan keluarkan tangan bersama plasenta.
12. Pindahkan tangan luar ke suprasimfisis untuk menahan uterus saat plasenta
dikeluarkan.
13. Eksplorasi untuk memastikan tidak ada bagian plasenta yang masih melekat pada
dinding uterus.
14. Periksa plasenta lengkap atau tidak, bila tidak lengkap, lakukan eksplorasi ke
dalam kavum uteri.
 Berikan antibiotika profilaksis dosis tunggal (ampisilin 2 g IV dan metronidazol 500
mg IV).
 Segera atasi atau rujuk ke fasilitas yang lebih lengkap bila terjadi komplikasi
perdarahan hebat atau infeksi.

Tatalaksana Sisa Plasenta

 Berikan 20-40 IU oksitosin dalam 1000 ml larutan NaCl 0,9%/Ringer Laktat dengan
kecepatan 60 tetes/menit dan 10 IU IM. Lanjutkan infus oksitosin 20 IU dalam 1000
ml larutan NaCl 0,9%/RL dengan kecepatan 40 tetes/menit hingga perdarahan
berhenti
 Lakukan eksplorasi digital (bila serviks terbuka) dan keluarkan bekuan darah dan
jaringan. Bila serviks hanya dapat dilalui oleh instrumen, RUJUK
 Berikan antibiotika profilaksis dosis tunggal (ampisillin 2 g IV DAN metronidazole
500 mg).
 Jika perdarahan berlanjut, tatalaksana seperti kasus atonia uteri.

Tatalaksana Inversio Uteri

 Segera reposisi uterus. Namun jika reposisi tampak sulit, apalagi jika inversio telah
terjadi cukup lama, bersiaplah untuk merujuk ibu.
Cara reposisi manual:
Pegang uterus pada daerah insersi tali pusat dan masukkan kembali melalui serviks,
dimulai dari bagian fundus. Gunakan tangan lain untuk membantu menahan uterus
dari dinding abdomen. Jika plasenta masih belum terlepas, lakukan plasenta manual
setelah tindakan reposisi.
 Jika ibu sangat kesakitan, berikan petidin 1 mg/kgBB (jangan melebihi 100 mg) IM
atau IV secara perlahan atau berikan morfin 0,1 mg/kgBB IM.
 Jika reposisi gagal, RUJUK
PATOLOGI NIFAS

Metritis

Metritis ialah infeksi pada uterus setelah persalinan. Keterlambatan terapi akan menyebabkan
abses, peritonitis, syok, trombosis vena, emboli paru, infeksi panggul kronik, sumbatan tuba,
infertilitas.

Diagnosis:

 Demam >380C dapat disertai menggigil


 Nyeri perut bawah
 Lokia berbau dan purulen
 Nyeri tekan uterus
 Subinvolusi uterus
 Dapat disertai perdarahan pervaginam dan syok

Tatalaksana:

 Berikan antibiotika sampai dengan 48 jam bebas demam:


o Ampisilin 2 g IV setiap 6 jam
o Ditambah gentamisin 5 mg/kgBB IV tiap 24 jam
o Ditambah metronidazol 500 mg IV tiap 8 jam
o Jika masih demam 72 jam setelah terapi, kaji ulang diagnosis dan tatalaksana
 Kriteria pulang: suhu < 37,50 C selama minimal 48 jam dan hasil pemeriksaan leukosit <
11.000/mm3.

Mastitis

Mastitis adalah infeksi atau inflamasi pada payudara

Diagnosis:
 Faktor predisposisi:
o Menyusui selama beberapa minggu setelah melahirkan
o Puting yang lecet
o Menyusui hanya pada satu posisi, sehingga drainase payudara tidak sempurna
o Menggunakan bra yang ketat dan menghambat aliran ASI
o Riwayat mastitis sebelumnya saat menyusui
 Payudara (biasanya unilateral) keras, memerah, dan nyeri
 Dapat disertai demam >380 C
 Paling sering terjadi di minggu ke-3 dan ke-4 postpartum, namun dapat terjadi kapan saja
selama menyusui

Tatalaksana:

 Berikan antibiotika :
o Kloksasilin 500 mg per oral per 6 jam selama 10-14 hari
R/kloksasilin 500 mg caps No. XL
S 4dd caps 1 ac
o ATAU eritromisin 250 mg per oral 3 kali sehari selama 10-14 hari
R/eritromisin 250 mg tab No. XXX
S 3dd tab 1 pc
 Dorong ibu untuk tetap menyusui, dimulai dengan payudara yang tidak sakit. Bila payudara
yang sakit belum kosong setelah menyusui, pompa payudara untuk mengeluarkan isinya.
 Kompres dingin pada payudara untuk mengurangi bengkak dan nyeri.
 Berikan parasetamol 3 x 500 mg per oral.
 Sangga payudara ibu dengan bebat atau bra yang pas.
 Lakukan evaluasi setelah 3 hari.

Bendungan payudara

Bendungan payudara adalah bendungan yang terjadi pada kelenjar payudara oleh karena ekspansi
dan tekanan dari produksi dan penampungan ASI.
Diagnosis:

 Faktor predisposisi:
o Posisi menyusui yang tidak baik
o Membatasi menyusui
o Membatasi waktu bayi dengan payudara
o Memberikan suplemen susu formula untuk bayi
o Menggunakan pompa payudara tanpa indikasi sehingga menyebabkan suplai
berlebih
o Implan payudara
 Payudara bengkak dan keras
 Nyeri pada payudara
 Terjadi 3 – 5 hari setelah persalinan
 Kedua payudara terkena

Tatalaksana:

 Sangga payudara ibu dengan bebat atau bra yang pas.


 Kompres payudara dengan menggunakan kain basah/hangat selama 5 menit.
 Urut payudara dari arah pangkal menuju puting.
 Keluarkan ASI dari bagian depan payudara sehingga puting menjadi lunak.
 Susukan bayi 2-3 jam sekali sesuai keinginan bayi (on demand feeding) dan pastikan bahwa
perlekatan bayi dan payudara ibu sudah benar.
 Pada masa-masa awal atau bila bayi yang menyusu tidak mampu mengosongkan payudara,
mungkin diperlukan pompa atau pengeluaran ASI secara manual dari payudara.
 Letakkan kain dingin/kompres dingin dengan es pada payudara setelah menyusui atau
setelah payudara dipompa
 Bila perlu, berikan parasetamol 3 x 500 mg per oral untuk mengurangi nyeri.
 Evaluasi setelah 3 hari

Abses Payudara
Diagnosis:

 Abses payudara harus dicurigai bila:


o Tidak terjadi perbaikan pada pasien mastitis yang sudah diobati selama 48-72 jam
o Terdapat massa yang dapat dipalpasi
 Penegakkan diagnosis bisa dibantu dengan USG

Tatalaksana: drainase abses

Inverted Nipple

Grade inverted nipple:


Grade 1
 Puting tampak datar atau masuk ke dalam
 Puting dapat dikeluarkan dengan mudah dengan tekanan jari pada atau sekitar areola.
 Terkadang dapat keluar sendiri tanpa manipulasi
 Saluran ASI tidak bermasalah, dan dapat menyusui dengan biasa.
Grade 2
 Dapat dikeluarkan dengan menekan areola, namun kembali masuk saat tekanan dilepas
 Terdapat kesulitan menyusui.
 Terdapat fibrosis derajat sedang.
 Saluran ASI dapat mengalami retraksi namun pembedahan tidak diperlukan.
 Pada pemeriksaan histologi ditemukan stromata yang kaya kolagen dan otot polos.
Grade 3
 Puting sulit untuk dikeluarkan pada pemeriksaan fisik dan membutuhkan pembedahan untuk
dikeluarkan.
 Saluran ASI terkonstriksi dan tidak memungkinkan untuk menyusui
 Dapat terjadi infeksi, ruam, atau masalah kebersihan
 Secara histologis ditemukan atrofi unit lobuler duktus terminal dan fibrosis yang parah

Tatalaksana:

 Jka retraksi tidak dalam, susu dapat diperoleh dengan menggunakan pompa payudara.
 Jika puting masuk sangat dalam, suatu usaha harus dilakukan untuk mengeluarkan puting
dengan jari pada beberapa bulan sebelum melahirkan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Pelayanan Antenatal Terpadu. Jakarta: Kementerian


Kesehatan RI; 2010.
2. Dashe Js, Bloom Sl, Spong Cy, Hoffman Bl. Williams Obstetrics 25th Ed. Mcgraw Hill
Professional; 2018
3. Padjadjaran TFKU. In: Martaadisoebrata D WF, Effendi JS, editor. Obstetri Patologi: Ilmu

Kesehaan Reproduksi. Ed.3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2017.

4. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran

Ketuban Pecah Dini. POGI;2016.

5. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran

Perdarahan Pascasalin. POGI;2018.

6. The Society of Obstetricians and Gynaecologists of Canada. Advances in Labour and Risk
Management Course Manual. 22nd ed. SCOG;2016.
THT
TELINGA
GANGGUAN PENDENGARAN (TULI)

DEFINISI

Gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan secara sebagian ataupun keseluruhan untuk


mendengarkan suara pada salah satu maupun kedua telinga.

JENIS GANGGUAN PENDENGARAN

Tuli terbagi menjadi tiga, yaitu tuli konduktif (conductive deafness), tuli sensorineural
(sensorineural deafness), dan tuli campur (mixed deafness). Pada tuli konduktif terdapat gangguan
hantaran suara yang disebabkan oleh kelainan atau penyakit di telinga luar atau di telinga tengah.
Pada tuli sensorineural kelainan terdapat pada koklea (telinga dalam), nervus VIII atau di pusat
pendengaran, sedangkan tuli campur disebabkan oleh kombinasi tuli konduktif dan tuli
sensorineural.

ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO

1. Kebisingan
Seseorang berisiko terkena gangguan pendengaran jika bekerja dengan intensitas
kebisingan lebih dari 85 dBA selama 8 jam/hari atau lebih.
2. Umur
Gangguan pendengaran akibat bertambahnya umur disebabkan oleh perubahan patologi
pada organ auditor.
3. Penggunaan obat-obatan yang bersifat ototoksik, contoh: antibiotik golongan
aminoglikosida selama 14 hari.
4. Riwayat infeksi telinga.
5. Kebiasaan merokok.

DIAGNOSIS

1. Anamnesis
a. Onset terjadinya gangguan pendengaran.
b. Progresivitas gangguan pendengaran.
c. Tiba-tiba atau perlahan.
d. Terjadi pada salah satu atau kedua telinga.
e. Riwayat kelainan atau penyakit pada telinga sebelumnya, riwayat trauma, riwayat
penggunaan obat-obatan jangka panjang yang bersifat ototoksik, riwayat bekerja di
lingkungan bising dalam jangka waktu cukup lama, dan lain-lain.
f. Gejala yang menyertai seperti nyeri telinga, tinitus, pusing berputar, dan lain-lain.
2. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan pemeriksaan fisik yang bertujuan untuk mencari penyebab gangguan
pendengaran dan jenis gangguan pendengaran.
a. Inspeksi dan palpasi bagian pre aurikular, aurikular, dan post aurikular.
b. Inspeksi canalis acusticus externa dengan menggunakan headlamp dan otoskop.
c. Inspeksi membran timpani dengan menggunakan otoskop.
d. Tes pendengaran sederhana
Dilakukan tes bisik/tes suara, terjadi penurunan fungsi dengar.
e. Tes pendengaran dengan menggunakan garpu tala (Tes Rinne, Tes Weber, Tes
Schwabach).
Pada tuli konduktif: Tes Rinne -, Tes Weber lateralisasi ke arah telinga yang
bermasalah, Tes Schwabach memanjang.
Pada tuli sensorineural: Tes Rinne +, Tes Weber lateralisasi ke arah telinga yang sehat,
Tes Schwabach memendek.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Audiometri, untuk mengetahui jenis dan derajat gangguan pendengaran.
b. CT scan kepala dan MRI, untuk mengetahui apakah ada kelainan seperti neuroma
akustik dan malformasi tulang temporal.
c. Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui kemungkinan terjadi infeksi.

TATALAKSANA

1. Rujuk ke Sp.THT-KL untuk mengatasi gangguan pendengaran.


2. Mengatasi penyebab dari gangguan pendengaran tersebut.
3. Pemasangan alat bantu dengar.

REFERENSI
1. Buku ajar ilmu THT-KL FK UI Edisi 7
2. Bailey's Head and Neck Surgery - Otolaryngology Volume 1&2 Edisi 5
3. Boies Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6

INFLAMASI PADA AURIKULAR

DESKRIPSI

Inflamasi pada aurikular dapat berupa trauma pada aurikular maupun infeksi pada aurikular.
Trauma aurikular dapat disebabkan oleh cidera traumatika yang menyebabkan terjadinya
hematoma. Penanganan hematoma aurikular yang tidak steril dapat menyebabkan infeksi yang
ditandai dengan radang pada tulang rawan aurikular, menyebabkan penumpukan pus yang dikenal
dengan perikondritis.

ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO

1. Etiologi
a. Trauma pada daun telinga, baik trauma tumpul maupun tajam.
b. Proses tindakan medis yang tidak steril pada telinga.
c. Pada perikondritis: keterlibatan bakteri seperti Pseudomonas aeruginosa,
Staphylococcus sp., dan Streptococcus sp.
2. Faktor risiko
a. Pekerjaan: seperti petinju dan atlet bela diri.
b. Penanganan trauma aurikular yang tidak adekuat.

DIAGNOSIS

1. Anamnesis
a. Hematoma aurikular
 Riwayat trauma pada telinga.
 Muncul benjolan pada telinga.
 Telinga terasa sakit.
 Penurunan pendengaran dapat terjadi.
b. Perikondritis
 Riwayat perawatan trauma telinga yang tidak steril.
 Telinga terasa sakit.
 Dapat disertai demam.
 Penurunan pendengaran dapat terjadi.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Hematoma aurikular
 Benjolan pada aurikular.
 Hiperemis pada benjolan.
 Terasa lunak dan terdapat fluktuasi.
 Nyeri saat dilakukan palpasi.
 Jika dilakukan aspirasi dengan spuit steril, pada punctum akan terdapat darah
(othematoma) atau serosa (pseudohematoma) – GOLD STANDARD.

b. Perikondritis
 Edema luas pada aurikular.
 Hiperemis aurikular.
 Nyeri saat dilakukan palpasi.
 Suhu tubuh dapat meningkat.
 Jika terdapat supurasi, akan terasa fluktuasi saat palpasi.
 Jika sudah terjadi nekrosis akan terlihat deformitas daun telinga.
 Jika abses pecah, akan keluar pus bercampur darah dari lokasi luka.
3. Pemeriksaan Penunjang
Tidak rutin dilakukan.

TATALAKSANA

1. Hematoma aurikular
a. Drainase secara steril menggunakan spuit yang steril.
b. Balut tekan pada daerah hematoma agar tidak terjadi pengumpulan cairan berulang.
c. Beri antibiotik untuk mencegah infeksi.
d. Beri analgetik.
2. Perikondritis
a. Jika terbentuk abses, lakukan drainase abses.
b. Beri analgetik seperti parasetamol atau ibuprofen.
c. Beri antibiotik (Kloksasilin 4x500 mg peroral atau Gentamisin 2x80 mg
intramuskular).
d. Bila terjadi sengatan serangga yang menimbulkan alergi, dapat diberikan antihistamin
oral atau steroid topikal.
e. Dapat dilakukan eksisi jika terdapat nekrosis.

PENULISAN RESEP

R/ Kloksasilin 500 mg tab No. XX


S 4dd tab I po
R/Parasetamol 500 mg tab No. X
S 3dd tab I po prn nyeri
R/ Cetirizine 10 mg tab No. V
S 1dd tab I po

REFERENSI

1. Buku ajar ilmu THT-KL FK UI Edisi 7


2. Bailey's Head and Neck Surgery - Otolaryngology Volume 1&2 Edisi 5
3. Boies Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6

HERPES ZOSTER PADA TELINGA

DEFINISI

Herpes zoster otikus atau dikenal juga sebagai Ramsay Hunt Syndrome tipe 1, merupakan infeksi
virus Varicella zoster yang mengenai ganglion genikullatum.

ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO

1. Etiologi
Herpes zoster otikus disebabkan oleh virus Varicella zoster yang mengalami reaktivasi dari
infeksi sebelumnya.
2. Faktor Risiko
a. Imunokompromais.
b. Pasien dengan usia tua.

DIAGNOSIS

1. Anamnesis
a. Gejala prodromal seperti demam, sakit kepala dan malaise.
b. Nyeri pada telinga.
c. Rasa terbakar disekitar wajah, bersifat unilateral di tempat lesi herpes tersebut, rasa
terbakar juga bisa dirasakan di sekitar mulut dan lidah.
d. Mual dan muntah.
e. Gangguan pendengaran.
f. Telinga berdenging.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Tampak vesikel pada liang telinga, konka, dan daun telinga.
b. Bintik-bintik kemerahan pada kulit di belakang telinga, dinding lateral hidung, palatum
molle, dan lidah bagian anterolateral.
c. Dapat terjadi paralisis saraf fasialis.
d. Uji penala: tuli sensoris.

3. Pemeriksaan Penunjang
Dilakukan tes PCR untuk mendeteksi VZV di eksudat telinga.

TATALAKSANA

1. Berikan antiviral terapi


a. Acyclovir 5x800 mg selama 5-7 hari.
b. Valacyclovir 3x1000 mg selama 10-14 hari.
c. Famcyclovir 3x500 mg selama 10 hari.
2. Berikan terapi simptomatis seperti analgetik dan antiinflamasi.

PENULISAN RESEP

R/ Acyclovir 400 mg tab No. L


S 5dd tab II po
R/ Ibuprofen 200 mg tab No. XV
S 3dd tab I po
R/ Dexamethasone 0.5 mg tab No. X
S 3dd tab I po
REFERENSI

1. Buku ajar ilmu THT-KL FK UI Edisi 7


2. Bailey's Head and Neck Surgery - Otolaryngology Volume 1&2 Edisi 5

FISTULA PREAURIKULAR

DESKRIPSI

Fistula preaurikular merupakan kelainan herediter yang dominan. Fistula dapat ditemukan di
depan tragus, berbentuk bulat atau lonjong, dengan ukuran seujung pensil. Dari muara fistula
sering keluar sekret yang berasal dari kelenjar sebasea.

DIAGNOSIS

1. Anamnesis
a. Terdapat lubang kecil di dekat tragus.
b. Keluar sekret.
c. Jika mengalami infeksi tampak ada tanda peradangan pada bagian fistula.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Tampak ada lubang seukuran ujung pensil di dekat tragus.
b. Tampak ada sekret yang keluar dari fistula.
c. Jika mengalami infeksi, tampak ada tanda peradangan seperti nyeri dan hiperemis.

3. Pemeriksaan penunjang
Untuk menentukan panjang fistel dilakukan pemeriksaan radiologik yaitu fistulografi.

TATALAKSANA

Bila tidak terdapat keluhan tidak diperlukan tindakan operasi. Tindakan operasi dilakukan jika
sering timbul infeksi atau keluarnya sekret yang berkepanjangan sehingga mengganggu aktivitas.
Jika dilakukan operasi fistel, harus diangkat seluruhnya untuk mencegah kekambuhan.

REFERENSI

1. Buku ajar ilmu THT-KL FK UI Edisi 7


2. Bailey's Head and Neck Surgery - Otolaryngology Volume 1&2 Edisi 5

LABIRINTITIS

DEFINISI

Labirintitis merupakan infeksi yang terjadi pada bagian vestibula labirin. Labirintitis yang
mengenai seluruh bagian labirin disebut labirintitis umum atau difus. Sedangkan labirintitis yang
terbatas disebut juga labirintitis sirkumskripta.

ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI

Labirintitis terjadi karena adanya penyebaran infeksi ke ruang perilimfa. Terdapat dua bentuk
labirintitis, yaitu labirintitis serosa dan labirintitis supuratif. Labirintitis serosa dapat berbentuk
labirintitis serosa difus dan labirintitis serosa sirkumskripta. Labirintitis supuratif dibagi dalam
bentuk labirintitis supuratif akut difus dan labirintitis supuratif kronik difus.

GEJALA

Labirintitis umum atau difus memiliki gejala vertigo berat dan tuli sangat berat. Sedangkan
labirintitis terbatas atau sirkumskripta menyebabkan terjadinya vertigo saja atau tuli saraf saja.
TATALAKSANA

Rujuk ke Sp.THT-KL untuk dilakukan tindakan operasi. Tindakan operasi harus segera dilakukan
untuk menghilangkan infeksi dari telinga tengah. Kadang-kadang diperlukan juga drainase pus
dari labirin untuk mencegah terjadinya meningitis.

REFERENSI

1. Buku ajar ilmu THT-KL FK UI Edisi 7


2. Bailey's Head and Neck Surgery - Otolaryngology Volume 1&2 Edisi 5

OTITIS EKSTERNA

DEFINISI

Otitis eksterna merupakan suatu peradangan atau infeksi pada kanalis auditorius eksternal dan atau
daun telinga. Kondisi ini merupakan salah satu kondisi medis yang paling umum terjadi pada atlet
air.

KLASIFIKASI

1. Otitis Eksterna Sirkumskripta


2. Otitis Ekserna Difusa
3. Otitis Eksterna Kronik
4. Otitis Externa Nekrotika/Maligna

OTITIS EKSTERNA SIRKUMSKRIPTA

DEFINISI

Otitis eksterna sirkumskripta dikenal juga sebagai bentuk furunkel/bisul, merupakan peradangan
pada sepertiga luar liang telinga yang mengandung adneksa kulit seperti folikel rambut, kelenjar
sebasea dan kelenjar serumen.
ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO

1. Etiologi
a. Staphylococcus aureus
b. Staphylococcus albus
2. Faktor Predisposisi
a. Perubahan pH kulit kanalis menjadi lebih basa
b. Perubahan lingkungan, terutama peningkatan suhu dan kelembaban
c. Trauma ringan karena membersihkan telinga secara berlebihan

DIAGNOSIS

1. Anamnesis
a. Nyeri telinga yang muncul saat membuka mulut
b. Gangguan pendengaran, jika furunkel menyumbat liang telinga
c. Cairan keluar dari liang telinga bila furunkel pecah
2. Pemeriksaan Fisik
a. Nyeri tekan tragus
b. Liang telinga hiperemis dan terdapat furunkel di sepertiga bagian luar liang telinga
c. Terdapat abses jika furunkel pecah
3. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan

TATALAKSANA

Sebelum fase supurasi

1. Terapi topikal: Antibiotik dan Antiseptik


2. Terapi simptomatik: Analgetik

Setelah terbentuk abses

1. Insisi dan drainase


2. Aspirasi steril untuk mengeluarkan pus
3. Salep antibiotik topikal
4. Antibiotik oral jika dibutuhkan
PENULISAN RESEP

 Fase supurasi

R/ Polimiksin B eardrop fl No. I


S 3dd gtt I AD/AS
R/ Asam asetat 2-5% sol fl No. I
S 3dd gtt IV AD/AS
R/ Mefenamic acid 500 mg tab No. XV
S 3dd tab I po
 Fase terbentuk abses

R/ Polimiksin B eardrop fl No. I


S 3dd gtt I AD/AS

OTITIS EKSTERNA DIFUSA

DEFINISI

Otitis eksterna difusa merupakan infeksi pada duapertiga kulit dalam liang telinga, ditandai dengan
keadaan liang telinga hiperemis dan edema yang tidak berbatas tegas.

ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO

1. Etiologi
a. Pseudomonas aeruginosa
b. Staphylococcus aureus
c. Staphylococcus albus
d. Eschericia coli
e. Proteus mirabilis
2. Faktor Predisposisi
a. Sering berenang
b. Iklim hangat dan lembab
c. Benda asing dalam liang telinga
d. Trauma liang telinga
e. Pemakaian alat bantu dengar
f. Diabetes melitus

DIAGNOSIS

1. Anamnesis
a. Nyeri telinga saat membuka mulut.
b. Gatal liang telinga
c. Telinga terasa penuh
d. Gangguan pendengaran
e. Adanya sekret yang keluar dari liang telinga dan berbau tidak sedap
2. Pemeriksaan Fisik
a. Nyeri tekan tragus
b. Nyeri tarik daun telinga
c. Liang telinga hiperemis, sempit, terdapat edema dengan batas tidak tegas
d. Sekret berbau
e. KGB preaurikular, servikal anterior dapat membesar dan nyeri
3. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan

TATALAKSANA

1. Bersihkan liang telinga


2. Antiseptik
3. Antibiotik tetes dan oral
4. Terapi simptomatik: Analgetik atau pemberian steroid

PENULISAN RESEP

R/ Asam asetat 2-5% sol fl No. I


S 3dd gtt IV AD/AS
R/ Polimiksin B eardrop fl No. I
S 3dd gtt I AD/AS
R/ Amoxiclav 625 mg tab No. XXI
S 3dd tab I po
R/ Mefenamic acid 500 mg tab No. XV
S 3dd tab I po

OTITIS EKSTERNA KRONIK

DEFINISI

Otitis eksterna kronik merupakan infeksi dan radang difus kronik atau penyembuhan tidak
sempurna pada liang telinga selama lebih dari tiga bulan yang dapat menimbulkan jaringan parut
dan memicu terjadinya penyempitan liang telinga permanen.

ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO

1. Otitis eksterna yang tidak ditangani secara adekuat


2. Iritasi kulit akibat sekret dari otitis media
3. Trauma liang telinga berulang
4. Benda asing
5. Pemakaian alat bantu dengar

DIAGNOSIS

1. Anamnesis
a. Rasa gatal pada liang telinga
2. Pemeriksaan Fisik
a. Kulit liang telinga terlihat kering
b. Hipertrofi liang telinga
c. Penyempitan liang telinga
3. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan

TATALAKSANA
1. Bersihkan liang telinga secara rutin
2. Antiseptik
3. Antibiotik tetes telinga
4. Terapi simptomatik untuk mengurangi rasa gatal
5. Rujuk untuk dilakukan pembedahan berupa operasi rekonstruksi liang telinga, kanalplasti
dan skin graft.

PENULISAN RESEP

R/ Asam asetat 2-5% sol fl No. I


S 3dd gtt IV AD/AS
R/ Polimiksin B eardrop fl No. I
S 3dd gtt I AD/AS
R/ Triamsinolon-nistatin cream tube No. I
S 3dd zalf I AD/AS

OTITIS EKSTERNA NEKROTIKA/MALIGNA

DEFINISI

Otitis eksterna nekrotika merupakan infeksi difus di liang telinga luar dan struktur lain di
sekitarnya. Biasanya terjadi pada orang tua dengan penyakit diabetes melitus. Peradangan meluas
secara progresif ke lapisan subkutis, tulang rawan dan tulang di sekitarnya, sehingga timbul
kondritis, osteitis, dan osteomielitis yang menghancurkan tulang temporal.

ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO

1. Infeksi Pseudomonas aeruginosa


2. Pasien berusia lanjut dengan diabetes melitus
3. Pasien imunokompromais

DIAGNOSIS

1. Anamnesis
a. Rasa gatal pada liang telinga
b. Nyeri di liang telinga dan meluas ke area temporal
c. Sekret telinga yang banyak
d. Pembengkakan liang telinga
2. Pemeriksaan Fisik
a. Jaringan granulasi pada dinding liang telinga
b. Paralisis saraf fasialis
c. Sindrom foramen jugular
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Kultur sekret telinga: + Pseudomonas aeruginosa
b. Uji sensitivitas antipseudomonas
c. LED meningkat
d. Biopsi jaringan granulasi
e. Evaluasi keadaan jaringan dengan MRI/ CT scan

TATALAKSANA

1. Tangani penyakit yang mendasari.


2. Antibiotik yang disesuaikan dengan hasil kultur uji sensitivitas atau siprofloksasin dosis
tinggi peroral sebagai terapi empiris.
3. Penanganan nyeri.
4. Rujuk ke Sp.THT-KL untuk dilakukan pembedahan berupa debridement radikal,
mastoidektomi dengan dekompresi saraf fasialis, ataupun reseksi ulang temporal parsial.

PENULISAN RESEP

R/ Ciprofloxacin 500 mg tab No. XX


S 2dd tab II po
R/ Mefenamic acid 500 mg tab No. XV
S 3dd tab I po

REFERENSI

1. Buku ajar ilmu THT-KL FK UI Edisi 7


2. Bailey's Head and Neck Surgery - Otolaryngology Volume 1&2 Edisi 5
3. Boies Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6

OTITIS MEDIA AKUT

DEFINISI

Otitis eksterna akut adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba
eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid yang terjadi dalam waktu kurang dari 3 minggu.

ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO

1. Etiologi
a. Bakteri
 Streptococcus pneumonia (42% etiologi tersering pada orang dewasa)
 Haemophilus influenza (etiologi utama pada anak dibawah 5 tahun)
 Moraxella catarrhalis (10-20%)
 Staphylococcus aureus
b. Virus
 Respiratory syncytial virus
 Parainfluenza (tipe 1,2 dan 3)
 Rhinovirus
c. Lain-lainnya
 Chlamydia
 Mycoplasma
2. Faktor Predisposisi
a. Bayi dan anak
b. Infeksi saluran nafas atas berulang
c. Kelainan kongenital, misalnya sumbing langit-langit, palatoskisis
d. Imaturitas sistem imun
e. Alergi
f. Tingkat sosioekonomi rendah
g. Merokok
DIAGNOSIS

1. Anamnesis
STADIUM ANAMNESIS
Oklusi tuba  Telinga terasa penuh atau sedikit nyeri
 Pendengaran dapat berkurang
Hiperemis  Nyeri telinga semakin intens
 Demam
 Rewel dan gelisah (pada anak)
 Nafsu makan hilang
Supurasi  Nyeri telinga hebat
 Demam tinggi
 Rewel dan gelisah (pada anak)
 Kejang dapat terjadi
 Anak sering memegang telinga karena nyeri
Perforasi  Nyeri mereda
 Demam mereda
 Keluar sekret dari liang telinga
Resolusi  Setelah sekret keluar, keluhan seperti demam dan nyeri akan
mereda
 Bila perforasi permanen, pendengaran tetap berkurang

2. Pemeriksaan Fisik
a. Suhu dapat meningkat
b. Tes garpu tala: dapat ditemukan tuli konduktif
c. Pemeriksaan menggunakan otoskopi
STADIUM PEMERIKSAAN FISIK KETERANGAN
Oklusi tuba  Retraksi membran timpani
 Membran timpani dapat keruh, pucat,
atau normal
 Refleks cahaya dapat menurun atau
hilang
Hiperemis  Membran timpani hiperemis
 Edema membran timpani
 Bisa terdapat sekret serosa

Supurasi  Edema pada mukosa telinga tengah


 Membran timpani menonjol ke arah luar
(bulging)
 Terlihat sekret berupa eksudat purulen
yang mendesak membran timpani ke
arah luar
 Terlihat daerah nekrosis berwarna
kekuningan yang mudah ruptur pada
membran timpani
 Demam dengan suhu mencapai 39.5°C
 Anak terlihat rewel dan gelisah
 Kejang
 Paralisis saraf fasialis
Perforasi  Terdapat lubang pada membran timpani
 Otorea (akibat ruptur membran timpani)
 Demam dan nyeri mereda

Resolusi  Otorea mengering dan berkurang


 Jika setelah 3 minggu otorea +,
kemungkinan terjadi mastoiditis
 Jika perforasi tidak membaik, otorea
hilang timbul selama 2 bulan,
kemungkinan terjadi Otitis Media
Supuratif Kronis

3. Pemeriksaan Penunjang

Audiometri nada murni: dapat ditemukan tuli konduktif (BC < 25 dB atau normal, AC ˃
25 dB, terdapat gap antara AC dan BC).

TATALAKSANA
1. Stadium oklusi
Terapi bertujuan untuk membuka sumbatan tuba eustachius, obat yang diberikan adalah
dekongestan, analgetik dan antibiotik jika etiologinya bakteri.
2. Stadium hiperemis
Obat yang diberikan adalah dekongestan, analgetik dan antibiotik jika etiologinya bakteri.
3. Stadium supurasi
Berikan terapi simptomatik dan rujuk ke Sp.THT-KL untuk dilakukan miringotomi.
4. Stadium perforasi
Bersihkan telinga dengan aural toilet, antiseptik dan antibiotik tetes atau oral jika
diperlukan.

PENULISAN RESEP

1. Stadium oklusi

R/ Efedrin HCl 1% fl No. I


S 3dd gtt II AD/AS
R/ Amoksisilin 500 mg tab No. XXI
S 3dd tab I po
R/ Paracetamol 500 mg tab No. XV
S 3dd tab I po prn nyeri

2. Stadium hiperemis

R/ Pseudoefedrin HCl 30 mg tab No. XV


S 3dd tab I po
R/ Amoxiclav 625 mg tab No. XXI
S 3dd tab I po
R/ Paracetamol 500 mg tab No. XV
S 3dd tab I po prn nyeri
3. Stadium supurasi (terapi simptomatik)

R/ Paracetamol 500 mg tab No. XV


S 3dd tab I po prn nyeri

4. Stadium perforasi

R/ H2O2 3% sol fl No. I


S 3dd gtt IV AD/AS
R/ Asam asetat 2-5% sol fl No. I
S 3dd gtt IV AD/AS
R/ Amoxiclav 625 mg tab No. XXI
S 3dd tab I po
R/ Ofloxacin eardrop fl No. I
S 2dd gtt V-X AD/AS

REFERENSI

1. Buku ajar ilmu THT-KL FK UI Edisi 7


2. Bailey's Head and Neck Surgery - Otolaryngology Volume 1&2 Edisi 5
3. Boies Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6

OTITIS MEDIA SEROSA

DEFINISI

Otitis media serosa adalah peradangan di telinga tengah dengan pengumpulan cairan di rongga
telinga tengah. Tidak terdapat tanda infeksi akut dan tidak ada perforasi membran timpani.

ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO

1. Etiologi
a. Gangguan fungsi tuba eustachius
b. Alergi
c. Otitis media akut yang belum sembuh sempurna
d. Barotrauma
e. Infeksi virus
2. Faktor risiko
a. Kelainan anatomis: hipertrofi adenoid, celah palatum, anomamli kraniofasial
b. Faktor fungsional: cerebral palsy, Down syndrome
c. Faktor lingkungan: bottle feeding, asap rokok

KLASIFIKASI

1. Otitis media serosa akut


Sekret terbentuk secara tiba-tiba di telinga tengah akibat gangguan fungsi tuba dengan
disertai rasa nyeri pada telinga.
2. Otitis media serosa kronik (glue ear)
Pada keadaan kronis sekret terbentuk secara bertahap tanpa disertai rasa nyeri dengan
gejala pada telinga yang berlangsung lama.

DIAGNOSIS

1. Anamnesis
a. Telinga terasa penuh
b. Terasa sensasi cairan mengalir di dalam telinga
c. Terdengar suara dalam telinga ketika menelan
d. Pendengaran menurun
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan menggunakan otoskopi ditemukan:
a. Membran timpani tampak suram dan berwarna kekuningan
b. Retraksi membran timpani
c. Refleks cahaya memudar atau hilang
d. Sikatrik pada membran timpani akibat peradangan kronis
e. Terdapat air fluid level atau gelembung pada OME yang berisi cairan serosa
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pneumatic otoscope, gerakan membran timpani menurun atau hilang.
b. Impedance audiometry, digunakan untuk mengukur perubahan impedans akustik
sistem membran timpani melalui perubahan tekanan udara di telinga luar.
c. Pure tone audiometry, ditemukan tuli konduktif pada telinga yang sakit.

TATALAKSANA

1. Otitis media serosa akut


a. Perasat valsava jika tidak ada infeksi saluran nafas bagian atas
b. Pemberian antihistamin
c. Pemberian dekongestan nasal
d. Pemberian mukolitik
e. Jika terbukti terdapat infeksi bakteri, dapat diberikan antibiotik
f. Rujuk ke Sp.THT-KL untuk dilakukan miringotomi dan pemasangan tube ventilasi
(Grommet’s tube)
2. Otitis media serosa kronik
a. Tangani penyakit dasar
b. Tahap awal, berikan dekongestan tetes hidung dan kombinasi antihistamin-
dekongestan oral selama 3 bulan
g. Jika tahap awal gagal, rujuk ke Sp.THT-KL untuk dilakukan miringotomi dan
pemasangan tube ventilasi (Grommet’s tube)

PENULISAN RESEP

1. Otitis media serosa akut

R/ Cetirizine 10 mg tab No. VII


S 1dd tab I po
R/ Efedrin HCl 1% fl No. I
S 3dd gtt II AD/AS
R/ Ambroxol 30 mg tab No. XXI
S 3dd tab I po
R/ Amoxiclav 625 mg tab No. XXI
S 3dd tab I po
2. Otitis media serosa kronik

R/ Efedrin HCl 1% fl No. I


S 3dd gtt II AD/AS
R/ Cetirizine 10 mg tab No. VII
S 1dd tab I po
R/ Pseudoefedrin HCl 30 mg tab No. XV
S 3dd tab I po

REFERENSI

1. Buku ajar ilmu THT-KL FK UI Edisi 7


2. Bailey's Head and Neck Surgery - Otolaryngology Volume 1&2 Edisi 5
3. Boies Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6

OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK

DEFINISI

Otitis media supuratif kronik adalah peradangan kronik telinga tengah dengan perforasi membran
timpani dan riwayat keluarnya sekret dari telinga selama lebih dari 12 minggu, baik terus menerus
maupun hilang timbul.

ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO

1. Etiologi
a. Pseudomonas aeruginosa (43,2%)
b. Staphylococcus aureus
c. Staphylococcus pneumonia
d. Haemophilus influenza
e. Staphylococcus albus
2. Faktor risiko
a. Penanganan OMA yang tidak adekuat atau terlambat
b. Higienitas kurang
c. Gizi buruk
d. Infeksi saluran napas bagian atas berulang
e. Daya tahan tubuh rendah
f. Berprofesi sebagai penyelam

KLASIFIKASI

1. OMSK tipe aman/benign


a. Ditandai dengan adanya perforasi sentral pada membran timpani (pada pars tensa
dikelilingi sisa membran timpani di tepi).
b. Tidak terdapat kolesteatoma
2. OMSK tipe bahaya/malignant
a. Tahap awal
 Perforasi marginal: sebagian tepi perforasi berhubungan langsung dengan suklus
timpanikum/annulus.
 Perforasi atik: perforasi pada bagian pars flaksida.
b. Tahap lanjut
 Mengenai tulang dinding liang telinga luar.
 Abses/fistula retroaurikuler
 Polip/jaringan granulasi di liang telinga
 Terdapat kolesteatoma (kista epitel gepeng berisi deskuamasi epitel di telinga
tengah)

DIAGNOSIS

1. Anamnesis
a. Keluar cairan dari liang telinga secara terus menerus atau hilang timbul selama lebih
dari 12 minggu
b. Riwayat keluar cairan dari liang telinga sebelumnya
c. Cairan berwarna kuning kehijauan atau bisa bercampur darah dan berbau
d. Penurunan pendengaran di bagian telinga yang sakit
e. Demam, vertigo, dan rasa nyeri
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan menggunakan otoskopi ditemukan:
a. OMSK tipe aman/benign
 Perforasi sentral atau pada pars tensa
 Sekret mukoid dan tidak terlalu berbau
 Mukosa kavum timpani tidak terdapat edema, hipertrofi maupun jaringan granulasi
b. OMSK tipe bahaya/malignan
 Perforasi atik, marginal, atau total
 Sekret purulen dan sangat berbau
 Terdapat kolesteatoma dan jaringan granulasi.

3. Pemeriksaan penunjang
a. Tes garpu tala: menunjukkan tuli konduktif
b. Audiometri nada murni: dapat ditemukan tuli konduktif (BC < 25 dB atau normal, AC
˃ 25 dB, terdapat gap antara AC dan BC).
c. Apusan sekret telinga tengah untuk kultur bakteri dan uji sensitivitas.
d. Foto X-Ray mastoid untuk melihat apakah ada destruksi tulang mastoid.
e. CT scan jika dicurigai adanya invasi ke intrakranial.
TATALAKSANA

1. OMSK tipe aman/benign


a. Bersihkan sekret telinga dengan aural toilet selama 3-5 hari.
b. Jika sekret berkurang, beri kombinasi antibiotik topikal dan steroid selama 1-2 minggu.
c. Antibiotik oral.
d. Observasi selama 2 bulan, jika perforasi menetap maka rujuk ke Sp. THT-KL untuk
dilakukan mastoidektomi sederhana, miringoplasti atau timpanoplasti.
2. OMSK tipe bahaya/malignan
Rujuk ke Sp. THT-KL untuk dilakukan tindakan pembedahan (mastoidektomi).

PENULISAN RESEP

R/ H2O2 3% sol fl No. I


S 3dd gtt IV AD/AS
R/ Asam asetat 2-5% sol fl No. I
S 3dd gtt IV AD/AS
R/ Ofloxacin eardrop fl No. I
S 2dd gtt V-X AD/AS
R/ Amoxiclav 625 mg tab No. XXI
S 3dd tab I po
R/ Dexamethasone 0.5 mg tab No. X
S 3dd tab I po
REFERENSI

1. Buku ajar ilmu THT-KL FK UI Edisi 7


2. Bailey's Head and Neck Surgery - Otolaryngology Volume 1&2 Edisi 5
3. Boies Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6

MASTOIDITIS

DEFINISI
Mastoiditis adalah suatu peradangan pada telinga tengah yang merupakan bentuk komplikasi dari
otitis media supuratif kronis.

ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO

1. Etiologi
a. Staphylococcus aureus
b. Staphylococcus pneumonia
c. Streptococcus pyogenes
2. Faktor risiko
a. Penanganan OMSK yang tidak adekuat atau terlambat
b. Daya tahan tubuh rendah

KLASIFIKASI

1. Mastoiditis akut
a. Berhubungan dengan OMA.
b. Kerusakan struktur mastoid terlihat seperti sarang lebah yang membentukan kavitas
yang menyerupai abses.
2. Mastoiditis kronis
a. Berhubungan dengan OMSK.
b. Disertai dengan pembentukan kolesteatoma yang tumbuh dan mengganggu struktur
dan fungsi normal dari jaringan disekitarnya.

DIAGNOSIS

1. Anamnesis
a. Nyeri telinga menetap dan berdenyut
b. Nyeri di daerah belakang telinga
c. Keluar cairan dari telinga yang persisten selama lebih dari 3 minggu
d. Riwayat otitis media sebelumnya
e. Demam
f. Sakit kepala
g. Penurunan pendengaran
2. Pemeriksaan fisik
a. Suhu meningkat
b. Telinga menonjol
c. Pembengkakan retroaurikuler
d. Otoskopi: gambaran OMA dengan atau tanpa perforasi
e. Tes garpu tala: tuli konduktif
3. Pemeriksaan penunjang
a. Darah lengkap: leukositosis, LED meningkat
b. Kultur balteri dan uji sensitivitas
c. Audiometri nada murni: dapat ditemukan tuli konduktif (BC < 25 dB atau normal, AC
˃ 25 dB, terdapat gap antara AC dan BC).
d. Foto polos mastoid proyeksi standar adalah posisi Lateral atau Schuller dan Oblique,
atau Stenver. Dapat ditemukan adanya gambaran perselubungan yang tidak homogen
pada daerah antrum mastoid dan sel udara mastoid.
e. CT scan
f. MRI

TATALAKSANA

1. Antibiotik
a. Sefotaksim (IV): 50-180 mg/kgBB/hari maksimal 1 g per dosis setiap 4 jam
b. Seftriakson (IV): 50-75 mg/kgBB/hari masksimal 1 g per dosis setiap 12 jam
c. Vankomisin (untuk infeksi mastoid dengan osteitis) 2 g IV per hari dibagi 2-4 dosis/hari
2. Steroid dosis tinggi (IV)
3. Analgetik dan antipiretik
4. Rujuk ke Sp. THT-KL bila tidak ada perbaikan setelah terapi medikamentosa atau bila
terdapat komplikasi

PENULISAN RESEP

R/ Ceftriaxone 1 gr vial No. I


S 2dd vial I IV
R/ Dexamethasone 5 mg amp No. I
S 3dd amp I IV
R/ Paracetamol 500 mg tab No. III
S 3dd tab I po

REFERENSI

1. Buku ajar ilmu THT-KL FK UI Edisi 7


2. Bailey's Head and Neck Surgery - Otolaryngology Volume 1&2 Edisi 5
3. Boies Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6

MIRINGITIS BULLOSA

DEFINISI

Miringitis bullosa merupakan peradangan primer pada membran timpani. Proses infeksi
melibatkan lapisan tengah membran timpani yang ditandai dengan adanya bula berwarna merah
atau ungu pada membran timpani dan dinding kanalis di dekatnya.

ETIOLOGI

Bakteri piogenik yang menyebabkan otitis media akut seperti Streptococcus haemolyticus,
Staphylococcus aureus, Haemophylus influenza, Pneumococcus (pada anak-anak), dan
Mycoplasma pneumonia (pada dewasa).

DIAGNOSIS

1. Anamnesis
a. Nyeri telinga
b. Pendengaran menurun
c. Riwayat otitis media akut atau otitis media supuratif kronis sebelumnya
2. Pemeriksaan fisik
a. Pada pemeriksaan menggunakan otoskopi dapat ditemukan adanya bleb (bula)
berwarna merah atau ungu pada membran timpani dan dinding kanalis di dekatnya.
Bula mengandung cairan serosa, darah atau keduanya.
b. Pemeriksaan menggunakan garpu tala menunjukkan Tes Rinne +, Tes Weber
menunjukkan lateralisasi kontralateral, Tes Schwabach memendek (tuli sensorineural).

3. Pemeriksaan penunjang
a. Audiometri nada murni: sensorineural hearing loss nada tinggi
b. Timpanometri: tipe C

TATALAKSANA

1. Berikan antibiotik apabila terdapat manifestasi sistemik.


2. Berikan analgetik.
3. Rujuk ke Sp.THT-KL untuk dilakukan miringotomi.

PENULISAN RESEP

R/ Eritromisin 500 mg tab No. XL


S 4dd tab I po
R/ Mefenamic acid 500 mg tab No. XV
S 3dd tab I po prn nyeri

REFERENSI

1. Buku ajar ilmu THT-KL FK UI Edisi 7


2. Boies Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6

BENDA ASING TELINGA

DEFINISI
Benda asing di telinga adalah benda yang dalam keadaan normal tidak ada di dalam telinga.

ETIOLOGI

1. Berasal dari luar tubuh (eksogen)


a. Benda hidup: serangga, cacing, semut, dan lainnya
b. Benda mati: organik (kacang, daun, dan lainnya), dan non-organik (batu, manik-manik,
dan lainnya)
2. Berasal dari dalam tubuh (endogen), contohnya serumen

FAKTOR RISIKO

1. Usia anak-anak
2. Retardasi mental
3. Dalam kondisi kesadaran menurun menyebabkan faktor kecerobohan

DIAGNOSIS

1. Anamnesis
a. Rasa tidak nyaman pada telinga
b. Rasa tersumbat pada telinga
c. Nyeri telinga
d. Pendengaran terganggu
e. Bisa tidak muncul keluhan apapun
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan menggunakan lampu kepala atau otoskop terlihat adanya benda asing di
liang telinga luar
3. Pemeriksaan penunjang
Foto X-Ray (jika benda logam)

TATALAKSANA

1. Benda asing serangga harus dimatikan terlebih dahulu dengan meneteskan minyak, air
garam, eter atau alkohol kedalam liang telinga dan kemudian diekstraksi dengan
menggunakan forsep. Hindari penggunaan alkohol jika terdapat perforasi karena alkohol
bersifat ototoksik.
2. Benda asing organik yang kecil dapat diekstraksi dengan pengait benda asing atau forsep.
3. Benda asing organik higroskopis mudah mengembang bila terkena cairan, maka hindari
supaya tidak terkena cairan.
4. Benda asing anorganik yang terlihat dapat diekstraksi dengan pengait kecil atau loop
serumen, dan bila tidak terlihat cukup disemprot dengan cairan (irigasi).

REFERENSI

1. Buku ajar ilmu THT-KL FK UI Edisi 7


2. Boies Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6

PERFORASI MEMBRAN TIMPANI

DEFINISI

Perforasi membran timpani adalah suatu lubang pada membran timpani yang dapat menutup
spontan atau tidak dapat menutup secara spontan. Perforasi membran timpani harus dinilai:

1. Letak: sentral, marginal, atik


2. Besar perforasi: 20%, 50%, dsb
3. Tepi: rata (akibat trauma tajam), tidak rata (perforasi spontan)
4. Warna: hiperemis (akut), tidak hiperemis (kronik)

ETIOLOGI

1. Perforasi membran timpani biasanya disebabkan oleh trauma atau infeksi. Sumber trauma
meliputi fraktur tulang temporal, cedera ledakan, atau hantaman keras pada telinga.
2. Perforasi lebih jarang bisa disebabkan oleh benda asing (misalnya cotton bud, peniti, dan
lainnya) yang didorong terlalu dalam ke bagian kanalis auditorius eksternus.
3. Perforasi juga bisa disebabkan oleh infeksi, membran timpani dapat mengalami ruptur
spontan bila tekanan dalam telinga tengah lebih besar dari tekanan atmosfer dalam kanalis
auditorius eksternus.
4. Perforasi akibat terkumpulnya cairan dalam kavum timpani yang menekan membran
timpani.

DIAGNOSIS

1. Anamnesis
a. Nyeri telinga
b. Keluar cairan atau darah dari telinga
c. Demam (apabila disebabkan oleh infeksi)
d. Telinga berdenging
e. Pusing berputar
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan menggunakan lampu kepala dan otoskop dapat terlihat lubang pada
membran timpani, dapat pula disertai dengan darah pada CAE.

3. Pemeriksaan penunjang
a. Audiometri nada murni: Tes Rinne -, Tes Weber lateralisasi ke arah ipsilateral, Tes
Schwabach memanjang (tuli konduktif).
b. Timpanometri: tipe B (flat).
TATALAKSANA

1. Jika ada infeksi, berikan antibiotik sistemik, analgetik dan antiinflamasi


2. Antibiotik juga dapat diberikan sebagai profilaksis terjadinya infeksi
3. Rujuk ke Sp. THT-KL untuk pertimbangan miringoplasti setelah 3 bulan membran timpani
belum menutup

PENULISAN RESEP

1. Perforasi membran timpani pada otitis media akut stadium perforasi


R/ H2O2 3% sol fl No. I
S 3dd gtt IV AD/AS
R/ Asam asetat 2-5% sol fl No. I
S 3dd gtt IV AD/AS
R/ Amoxiclav 625 mg tab No. XXI
S 3dd tab I po
R/ Ofloxacin eardrop fl No. I
S 2dd gtt V-X AD/AS
2. Antibiotik profilaksis
R/ Amoksisilin 500 mg tab No. XV
S 3dd tab I po

REFERENSI

1. Buku ajar ilmu THT-KL FK UI Edisi 7


2. Boies Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6

OTOSKLEROSIS

DESKRIPSI

Otosklerosis merupakan penyakit pada kapsul tulang labirin yang mengalami spongiosis di daerah
kaki stapes, sehingga stapes menjadi kaku dan tidak dapat menghantarkan getaran suara ke labirin
dengan baik. Manifestasi klinik baru muncul bila penyakit sudah cukup luas mengenai ligamen
anulus kaki stapes. Pada awal penyakit akan timbul tuli konduktif dan dapat menjadi tuli campur
atau tuli saraf bila penyakit telah menyebar ke koklea.

ETIOLOGI

Penyebab penyakit ini belum dapat dipastikan. Diperkirakan beberapa faktor ikut sebagai
penyebab seperti faktor keturunan dan gangguan pendarahan pada stapes.

DIAGNOSIS

1. Anamnesis
a. Pendengaran terasa berkurang secara progresif
b. Pasien merasa pendengaran terdengar lebih baik dalam ruangan bising (Paracusis
Willisii)
c. Tinitus
d. Vertigo
2. Pemeriksaan fisik
a. Pemeriksaan menggunakan otoskop menunjukkan membran timpani utuh dan dalam
kondisi normal atau bisa juga terdapat kemerahan pada membran timpani akibat
pelebaran pembuluh darah promontium (Schwarte’s sign)
b. Tuba biasanya paten dan tidak terdapat riwayat penyakit telinga atau trauma kepala
atau telinga sebelumnya.
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan audiometri nada murni dan pemeriksaan impedance.

TATALAKSANA

1. Rujuk ke Sp. THT-KL untuk dilakukan tindakan operasi stapedektomi atau stapedotomi.
2. Pada kasus yang tidak dapat dilakukan tindakan operasi, alat bantu dengar dapat digunakan
sementara untuk membantu pendengaran pasien.

REFERENSI

1. Buku ajar ilmu THT-KL FK UI Edisi 7


2. Bailey's Head and Neck Surgery - Otolaryngology Volume 1&2 Edisi 5
3. Boies Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6

TIMPANOSKLEROSIS

DEFINISI

Timpanosklerosis merupakan penyakit pada membran timpani yang menunjukkan gambaran


bercak-bercak putih tebal atau menjadi putih dan tebal seluruhnya akibat timbunan kolagen
terhialinisasi pada bagian tengahnya. Keadaan ini ditandai dengan adanya hialinisasi dan deposit
kalsium pada membran timpani, telinga tengah, atau keduanya. Sering muncul sebagai akibat dari
inflamasi atau trauma dan juga sering didapati setelah episode rekuren dari otitis media akut, otitis
media dengan efusi, dan insersi ventilasi tuba.

ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO

Etiologi dari timpanosklerosis belum diketahui pasti, mungkin dibentuk dari sisa inflamasi kronis
telinga tengah. Faktor lain yang mungkin berhubungan antara lain:

1. Otitis media supuratif kronis dan otitis media efusi


2. Insersi Grommet’s tube
3. Sklerosis sistemik
4. Atheroma karotis atau aterosklerosis
5. Adanya kolesteatoma

KLASIFIKASI

Timpanosklerosis diklasifikasikan menjadi dua

1. Myringosclerosis (hanya mengenai membran timpani)


2. Intratympanic tympanosclerosis (mengenai bagian telinga tengah lain)

DIAGNOSIS
1. Anamnesis
a. Secara klinis terdapat sedikit atau tidak ada gangguan pendengaran
b. Memiliki riwayat OMA atau OMSK sebelumnya
c. Memiliki riwayat trauma pada telinga sebelumnya
d. Memiliki riwayat pemasangan ventilasi tube atau tindakan pembedahan membran
timpani lainnya.
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan menggunakan otoskop, tampak gambaran semisirkuler atau seperti
sepatu kuda yang berwarna putih pada membran timpani.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Audiometri nada murni
b. Timpanometri
c. CT scan, bila disertai dengan kelainan pada kavitas telinga tengah

TATALAKSANA

Rujuk ke Sp. THT-KL untuk dilakukan timpanoplasti dan rekonstruksi osikular.

REFERENSI

1. Buku ajar ilmu THT-KL FK UI Edisi 7

KOLESTEATOMA

DEFINISI

Kolesteatoma adalah massa kistik dengan epitel skuamosa, berisi keratin yang proliferatif dan bisa
menyebabkan terjadinya destruksi tulang.

PATOGENESIS

1. Teori invaginasi: kolesteatoma terjadi akibat proses invaginasi sel epitel kulit kedalam
telinga tengah.
2. Teori migrasi: kolesteatoma terjadi akibat migrasi epitel kulit kedalam telinga tengah.
3. Teori implantasi: kolesteatoma terjadi akibat implantasi epitel kulit secara iatrogenik
kedalam telinga tengah sewaktu operasi, setelah blust injury, pemasangan pipa ventilasi
atau setelah miringotomi.

DIAGNOSIS

1. Anamnesis
a. Telinga berair
b. Telinga terasa gatal
c. Telinga terasa penuh
d. Telinga berdenging
e. Nyeri telinga
f. Penurunan pendengaran
g. Riwayat otitis media akut yang tidak ditangani dengan adekuat
h. Riwayat otitis media supuratif kronis sebelumnya
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan dengan menggunakan otoskop tampak adanya kondisi infeksi pada telinga
tengah atau perforasi membran timpani. Bisa juga tampak adanya massa putih yang berbau.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Audiometri nada murni menunjukkan tuli konduktif.
b. CT scan mastoid menunjukkan adanya massa jaringan lunak di kanalis akustikus
eksternus yang berhubungan dengan erosi tulang.
c. Pemeriksaan histopatologi menunjukkan adanya epitel berkeratin dan epitel skuamosa
bertingkat.

TATALAKSANA

Rujuk ke Sp.THT-KL untuk dilakukan tindakan pembedahan.

REFERENSI

1. Buku ajar ilmu THT-KL FK UI Edisi 7


2. Bailey's Head and Neck Surgery - Otolaryngology Volume 1&2 Edisi 5
PRESBIAKUSIS

DEFINISI

Presbiakusis adalah tuli sensorineural frekuensi tinggi, terjadi pada usia lanjut (biasanya usia 60
tahun), simetris kanan dan kiri, disebabkan oleh proses degenerasi pada telinga dalam.

ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO

Presbiakusis disebabkan oleh proses degenerasi pada telinga dalam. Faktor risikonya antara lain:

1. Faktor herediter
2. Pola makan
3. Metabolisme
4. Gaya hidup
5. Paparan bising

DIAGNOSIS

1. Anamnesis
a. Pendengaran berkurang secara perlahan, progresif, dan simetris pada kedua telinga
b. Telinga berdenging
c. Terkadang disertai pusing berputar
d. Pasien dapat mendengar percakapan tapi tidak dapat memahaminya terutama pada
suasana bising (cocktail party deafness).
e. Jika mendengar suara dengan intensitas tinggi akan timbul nyeri
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan otoskopi didapatkan membran timpani tampak suram dan mobilitas
berkurang.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan garpu tala didapatkan tuli sensorineural.
b. Audiometri nada murni menunjukkan adanya penurunan tajam (sloping) setelah 2000
Hz (pada tahap awal), penurunan ambang dengar pada semua frekuensi (tahap lanjut).
c. Audiometri tutur menunjukkan gangguan diskriminasi wicara (speech discrimination).
TATALAKSANA

Rujuk ke Sp.THT-KL untuk dilakukan:

1. Rehabilitasi dengan menggunakan alat bantu dengar


2. Latihan membaca ujaran (speech reading)
3. Latihan mendengar (auditory training)
4. Dilakukan oleh ahli terapi wicara (speech therapist)
5. Sangat penting dalam membangun mental

REFERENSI

1. Buku ajar ilmu THT-KL FK UI Edisi 7


2. Bailey's Head and Neck Surgery - Otolaryngology Volume 1&2 Edisi 5
3. Boies Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6

SERUMEN PROP

DESKRIPSI

Serumen merupakan hasil produksi kelenjar sebasea, kelenjar seruminosa, epitel kulit yang
terlepas dan partikel debu. Dalam keadaan normal serumen dapat ditemukan di sepertiga luar liang
telinga karena kelenjar tersebut hanya ditemukan di daerah ini. Konsistensinya biasanya lunak,
terkadang kering. Serumen dapat keluar sendiri dari liang telinga akibat migrasi epitel kulit yang
bergerak dari arah membran timpani menuju keluar serta dibantu oleh gerakan rahang sewaktu
mengunyah.

DEFINISI DAN ETIOLOGI

Gumpalan serumen yang menumpuk di liang telinga tengah hingga menimbulkan sumbatan
disebut dengan serumen prop/serumen obturans/impacted serumen. Proses penyumbatan ini
dipengaruhi oleh bentuk kanalis yang sempit dan berkelok-kelok, kekentalan serumen, produksi
serumen yang berlebihan, iritasi yang berulang akibat kebiasaan mengorek kanalis auditoris
eksternus, atau serumen yang terdorong terlalu jauh akibat terlalu sering membersihkan serumen
menggunakan cotton bud.

DIAGNOSIS

1. Anamnesis
a. Penurunan pendengaran
b. Telinga terasa penuh
c. Gatal pada telinga
d. Riwayat masuknya benda asing ke dalam liang telinga
e. Nyeri telinga
f. Telinga berdenging
g. Riwayat telinga kemasukan air dan muncul keluhan telinga tersumbat
h. Pasien sering mengorek telinga menggunakan cotton bud
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan menggunakan otoskop tampak ada massa berwarna coklat yang
menutupi kanalis auditorius eksternus sehingga membran timpani terhalang dari
pandangan.

3. Pemeriksaan penunjang
Tidak dilakukan.

TATALAKSANA

1. Irigasi telinga menggunakan air dengan suhu yang sesuai dengan temperatur tubuh.
2. Lakukan ekstraksi serumen dengan menggunakan loop cerumen.
3. Berikan edukasi untuk tidak mengorek telinga dengan tangan atau benda apapun dan tidak
boleh membersihkan telinga dengan menggunakan cotton bud terlalu dalam.

REFERENSI

1. Buku ajar ilmu THT-KL FK UI Edisi 7

MABUK PERJALANAN

DEFINISI

Motion Sickness atau dikenal dengan mabuk perjalanan adalah suatu kondisi dimana adanya
ketidaksesuaian antara gerakan visual yang dirasakan dan sistem vestibular dari gerakan.

KLASIFIKASI

Mabuk perjalanan dibagi menjadi 3 kategori

1. Gerakan yang dirasakan tetapi tidak terlihat


a. Mabuk udara
b. Mabuk laut
c. Sentrifugal
2. Gerakan yang terlihat tetapi tidak terasa
a. Gerakan karena suatu film dan video
b. Gerakan saat bermain game atau stimulator
3. Disebabkan ketika kedua sistem mendeteksi gerakan yang tidak sesuai. Pada saat mata
melihat maju, namun sistem vestibular mendeteksi naik.

DIAGNOSIS

1. Anamnesis
Pasien akan mengeluh pusing, kelelahan dan mual hingga muntah.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik umumnya dalam batas normal, dan bisa juga dilakukan pemeriksaan
keseimbangan:
a. Uji romberg
b. Tes tandem gait
c. Past pointing test
d. Uji berjalan
3. Pemeriksaan penunjang
Tidak dilakukan.

TATALAKSANA

Pemberian obat antikolinergik atau antihistamin generasi pertama dengan sediaan oral yang
diminum 30 menit sebelum terpapar gerakan boleh diulang pemberiannya setiap 6 jam sekali.

PENULISAN RESEP

R/ Dimenhydrinate 50 mg tab No. IV

S 4dd tab I po

REFERENSI

1. Buku ajar ilmu THT-KL FK UI Edisi 7


2. Boies Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6

TRAUMA AKUSTIK AKUT

DEFINISI DAN ETIOLOGI

Trauma akustik adalah gangguan dengar yang disebabkan oleh paparan gelombang suara tunggal
nada tinggi dengan waktu singkat yang dapat menimbulkan penurunan pendengaran secara
permanen tanpa didahului perubahan ambang dengar sementara. Rentang frekuensi 2-4 kHz
dengan anplitudo ˃110 dB dalam waktu singkat dapat menyebabkan kerusakan pada telinga tengah
dan dalam.

FAKTOR RISIKO
1. Pekerjaan
2. Pencemaran lingkungan

DIAGNOSIS

1. Anamnesis
a. Gangguan pendengaran
b. Riwayat terpapar suara keras sebelumnya
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan telinga luar dan otoskopi tidak ada kelainan
3. Pemeriksaan penunjang
a. Tes audiometri nada murni: sensorineural hearing loss frekuensi tinggi
b. Pemeriksaan garpu tala: Tes Rinne +, Tes Weber lateralisasi kontralateral, Tes
Schwabach memendek (tuli sensorineural).

TATALAKSANA

Rujuk ke Sp.THT-KL untuk diberi penatalaksanaan:

1. Menggunakan alat bantu dengar multi channel dapat mengeraskan bunyi yang spesifik
pada frekuensi yang mengalami gangguan saja
2. Diberikan latihan mendengar atau gerak mulut
3. Diberikan terapi wicara
4. Diberikan latihan membaca ujaran

REFERENSI

1. Buku ajar ilmu THT-KL FK UI Edisi 7


2. Bailey's Head and Neck Surgery - Otolaryngology Volume 1&2 Edisi 5
3. Boies Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6
HIDUNG
DEVIASI SEPTUM HIDUNG

DESKRIPSI

Bentuk septum normal adalah lurus di tengah rongga hidung tetapi pada orang dewasa biasanya
septum nasi tidak lurus sempurna di garis tengah. Deviasi septum yang ringan tidak akan
mengganggu, akan tetapi bila deviasi itu cukup berat dapat menyebabkan penyempitan pada satu
sisi hidung. Hal tersebut dapat mengganggu fungsi hidung dan menyebabkan komplikasi.

ETIOLOGI
Penyebab yang paling sering adalah trauma. Trauma dapat terjadi sesudah lahir, pada waktu partus
atau bahkan pada masa janin intrauterin. Penyebab lainnya adalah ketidakseimbangan
pertumbuhan. Tulang rawan septum nasi terus tumbuh, meskipun batas superior dan inferior telah
menetap. Dengan demikian terjadilah deviasi septum nasi.

JENIS BENTUK DEFORMITAS

Bentuk deformitas septum ialah:

1. Deviasi, biasanya berbentuk huruf C atau S


2. Dislokasi, yaitu bagian bawah kartilago septum keluar dari krista maksila dan masuk ke
dalam rongga hidung.
3. Penonjolan tulang atau tulang rawan septum, bila memanjang dari depan ke belakang
disebut krista, dan bila sangat runcing dan pipih disebut spina.
4. Bila deviasi atau krista septum bertemu dan melekat dengan konka dihadapannya disebut
sinekia. Bentuk ini akan menambah beratnya obstruksi.

DIAGNOSIS

1. Anamnesis
a. Hidung tersumbat pada salah satu maupun kedua lubang hidung
b. Nyeri kepala
c. Nyeri di sekitar mata
d. Penciuman terganggu
e. Sering mengalami sinusitis
2. Pemeriksaan fisik
a. Terdapat obstruksi pasase nasal
b. Pemeriksaan menggunakan spekulum hidung tampak perbedaan ukuran kavum nasi
3. Pemeriksaan penunjang
a. Nasal inspiratory flow meter
b. Rhinomanometri
c. Rhinometri akustik
TATALAKSANA

1. Bila tidak ada keluhan atau terdapat keluhan yang sangat ringan, maka tidak perlu
dilakukan tindakan koreksi septum
2. Bila terdapat keluhan yang sangat mengganggu, maka rujuk ke Sp.THT-KL untuk
dilakukan tindakan pembedahan, yaitu reseksi mukosa dan septoplasti atau reposisi
septum.

REFERENSI

1. Buku ajar ilmu THT-KL FK UI Edisi 7


2. Bailey's Head and Neck Surgery - Otolaryngology Volume 1&2 Edisi 5

FURUNKEL PADA HIDUNG

DEFINISI DAN ETIOLOGI

Furunkel adalah infeksi dari kelenjar sebasea atau folikel rambut hidung yang melibatkan jaringan
subkutan. Biasanya disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus.

FAKTOR RISIKO

1. Higienitas personal yang buruk


2. Memiliki kebiasaan mengorek hidung
3. Memiliki riwayat rhinitis kronis
4. Sosioekonomi yang rendah
DIAGNOSIS

1. Anamnesis
a. Bisul di dalam hidung
b. Nyeri dan tidak nyaman pada hidung
c. Kadang disertai dengan gejala rhinitis
2. Pemeriksaan fisik
Pada lubang hidung terlihat adanya furunkel, paling sering terdapat pada lateral vestibulum
nasi yang memiliki rambut hidung.
3. Pemeriksaan penunjang
Tidak dilakukan.

TATALAKSANA

1. Non farmakologi
a. Kompres hangat
b. Lakukan insisi bila sudah terbentuk abses
2. Farmakologi
a. Antibiotik topikal, seperti salep Bacitrasin dan Polimiksin B
b. Antibiotik oral selama 7-10 hari

PENULISAN RESEP

R/ Bacitracin-Polymyxin B ointment tube No. I

S 3dd zalf I

R/ Amoksisilin 500 mg tab No. XXI

S 3dd tab I po

RHINITIS AKUT

DEFINISI
Rhinitis akut adalah peradangan pada mukosa rongga hidung yang terjadi selama kurang dari 4
minggu.

ETIOLOGI

1. Infeksi saluran pernapasan akut oleh virus dan infeksi sekunder bakteri
2. Rinogenik: rhinitis alergi, rhinitis vasomotor, rhinitis medikamentosa
3. Obstruksi rongga hidung
4. Kelainan anatomi hidung
5. Pajanan lingkungan: polusi udara, iritan dan rokok
6. Trauma sinus, fraktur
7. Tonsilitis

FAKTOR RISIKO

1. Riwayat kelainan anatomis kompleks osteomeatal seperti deviasi septum


2. Riwayat rhinitis alergi maupun non alergi
3. Kelainan keadaan umum seperti imunokompromais, gangguan silia atau mukosilier
4. Kebiasaan merokok

DIAGNOSIS

1. Anamnesis
a. Keluar sekret dari hidung atau post nasal discharge yang purulen
b. Hidung tersumbat
c. Hiposmia/anosmia
d. Sakit kepala
e. Bisa terdapat demam
f. Rasa lemah (fatigue)
2. Pemeriksaan fisik
a. Suhu dapat meningkat
b. Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior, ditemukan:
 Edema dan/atau obstruksi mukosa di meatus medius
 Sekret mukopurulen
 Bisa ditemukan kelainan anatomis sebagai faktor predisposisi, seperti deviasi
septum, polip nasal, atau hipertrofi konka.
c. Pada pemeriksaan rhinoskopi posterior, ditemukan:
 Bisa terdapat sekret purulen pada nasofaring
d. Lakukan pemeriksaan otoskopi untuk mendeteksi adanya komplikasi pada telinga,
misalnya oklusi tuba, efusi ruang telinga tengah, atau kelainan pada membran timpani
(tanda peradangan)
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium: peningkatan LED dan CRP
b. Pemeriksaan penunjang untuk menyingkirkan adanya sinusitis
 Transiluminasi
 Pencitraan radiologi: foto polos posisi Waters, untuk menilai air fluid level dan
opasifikasi sinus yang terlibat

TATALAKSANA

1. Non farmakologi
a. Istirahat cukup
b. Makan dan minum dengan menu yang sehat dan teratur
c. Melakukan pengobatan dengan adekuat
2. Farmakologi
a. Antibiotik (Amoksisilin 3x500 mg selama 7-10 hari)
b. Antipiretik&analgetik (Parasetamol 3x500 mg jika dibutuhkan)
c. Dekongestan (Pseudoefedrin HCl 3x30 mg)

TATALAKSANA
R/ Amoksisilin 500 mg tab No. XXI
S 3dd tab I p.o
R/ Parasetamol 500 mg tab No.XV
S 3dd tab I p.o prn demam
R/ Pseudoefedrin HCl 30 mg tab No. XV
S/ 3dd tab I p.o
REFERENSI

1. Buku ajar ilmu THT-KL FK UI Edisi 7


2. Bailey's Head and Neck Surgery - Otolaryngology Volume 1&2 Edisi 5

RHINITIS VASOMOTOR

DEFINISI

Rhinitis vasomotor adalah terdapatnya gangguan fisiologik lapisan mukosa hidung yang
disebabkan oleh bertambahnya aktivitas parasimpatis. Ditandai dengan adanya edema yang
persisten dan hipersekresi kelenjar pada mukosa hidung apabila terpapar oleh iritan spesifik.
Kelainan ini merupakan keadaan yang non-infektif dan non-alergi.

ETIOLOGI

Etiologi yang pasti belum diketahui, tetapi diduga sebagai akibat gangguan keseimbangan fungsi
vasomotor dimana sistem saraf parasimpatis lebih dominan. Keseimbangan vasomotor ini
dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berlangsung temporer, seperti emosi, posisi tubuh,
kelembaban udara, perubahan suhu luar, latihan jasmani dan sebagainya, yang pada keadaan
normal faktor-faktor tadi tidak dirasakan sebagai gangguan oleh individu tersebut.

FAKTOR RISIKO

1. Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis seperti Ergotamin,
Klorpromazine, obat anti hipertensi, dan obat vasokonstriktor topikal.
2. Faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban udara yang tinggi,
serta bau yang menyengat misalnya parfum.
3. Faktor endokrin, seperti kehamilan, masa pubertas, pemakaian kontrasepsi oral, dan
hipotiroidisme
4. Faktor psikis, seperti cemas, tegang dan stress.

DIAGNOSIS
1. Anamnesis
a. Hidung tersumbat bergantian kanan dan kiri tergantung posisi tidur, memburuk bila
pagi hari dan jika terpajan lingkungan non spesifik seperti perubahan suhu atau
kelembaban udara, asap rokok, dan bau menyengat.
b. Rinore yang bersifat serosa atau mukus, terkadang jumlahnya cukup banyak
c. Bersin-bersin lebih jarang dibanding rhinitis alergi.
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior, ditemukan:
a. Gambaran konka inferior membesar (edema atau hipertrofi), berwarna merah gelap
atau merah tua
b. Terlihat adanya sekret serosa
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan rhinitis alergi,
yaitu:
a. Kadar eosinofil pada darah tepi atau sekret hidung
b. Skin prick test: didapatkan hasil negatif atau positif lemah
c. Pemeriksaan IgE total serum (nilai normal tanpa alergi <100 IU/ml)

TATALAKSANA

1. Non farmakologi
Kauterisasi konka yang hipertrofi dapat menggunakan larutan AgNO3 25% atau
trikloroasetat pekat.
2. Farmakologi
a. Kortikosteroid topikal, contoh budesonide 1-2 kali/hari dengan dosis 100-200 µg/hari.
dosis dapat ditingkatkan sampai 400 µg/hari. Hasil akan terlihat setelah 2 minggu
pemakaian.
b. Tatalaksana terapi oral yaitu pemberian dekongestan dengan atau tanpa kombinasi
antihistamin.

PENULISAN RESEP

R/ Budesonide nasal spray fl No. I


S 2dd nasal spray IV
R/ Pseudoefedrin HCl 30 mg tab No. XV
S 3dd tab I po
R/ Cetirizine 10 mg tab No. VII
S 1dd tab I po

REFERENSI

1. Buku ajar ilmu THT-KL FK UI Edisi 7


2. Bailey's Head and Neck Surgery - Otolaryngology Volume 1&2 Edisi 5
3. Boies Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6

RHINITIS ALERGI

DEFINISI

Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang
sebelumnya sudah tersensitisasi oleh alergen yang sama serta dilepaskan suatu mediator kimia
ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Ditandai dengan gejala bersin-
bersin, rinorea, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai
oleh IgE.

ETIOLOGI

Peningkatan kadar IgE terhadap alergen tertentu menyebabkan degranulasi sel mast yang
berlebihan. Degranulasi sel mast melepaskan mediator inflamasi dan sitokin yang menimbulkan
reaksi inflamasi lokal.

FAKTOR RISIKO

1. Memiliki riwayat atopi


2. Lingkungan dengan kelembaban yang tinggi merupakan faktor risiko untuk tumbuhnya
jamur
3. Terpapar debu, tungau yang biasanya terdapat pada karpet, sprei, tempat tidur, dan lain-
lain
4. Paparan suhu ekstrim (terlalu dingin atau terlalu panas)

KLASIFIKASI

Menurut Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma (AIRA), berdasarkan karakteristik rhinitis
alergi dapat dibagi menjadi:

a. Ringan (mild), harus memenuhi SEMUA hal berikut ini:


 Tidak ada gangguan tidur
 Tidak ada gangguan aktivitas harian, olahraga, dan rekreasi
 Tidak ada gangguan saat belanja dan bekerja
b. Sedang-berat (moderate-severe), terdapat SATU ATAU LEBIH dari hal berikut:
 Gangguan tidur
 Gangguan aktivitas harian, olahraga, dan rekreasi
 Gangguan saat belanja dan bekerja

Berdasarkan frekuensi timbul gejala:

a. Intermiten: kurang dari 4 hari dalam seminggu ATAU kurang dari 4 minggu berturut-turut
b. Persisten: lebih dari 4 hari dalam seminggu DAN lebih dari 4 minggu berturut-turut.

DIAGNOSIS

1. Anamnesis
a. Keluar ingus encer dari hidung (rinorea)
b. Bersin-bersin
c. Hidung tersumbat
d. Rasa gatal pada hidung
e. Mata gatal dan mengeluarkan air mata
2. Pemeriksaan fisik
a. Perhatikan adanya allergic salute, yaitu gerakan pasien menggosok hidung dengan
tangannya karena gatal.
b. Wajah
 Allergic shiners, yaitu daerah yang menghitam di sekitar mata yang berhubungan
dengan vasodilatasi atau obstruksi hidung.
 Nasal crease, yaitu lipatan horizontal yang melalui setengah bagian bawah hidung
akibat kebiasaan menggosok hidung keatas menggunakan tangan.
 Mulut sering terbuka dengan lengkungan langit-langit yang tinggi, sehingga
menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid).

c. Faring
 Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance).
 Dinding lateral faring menebal
 Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue)
d. Rhinoskopi anterior
 Mukosa edema, basah, berwarna pucat atau kebiruan (livide) disertai sekret encer,
tipis dan banyak.
 Pada rinitis alergi kronis atau penyakit granulomatous, dapat terlihat adanya deviasi
atau perforasi septum.
 Pada rongga hidung dapat ditemukan massa seperti polip atau tumor, atau dapat
juga ditemukan pembesaran konka inferior yang dapat berupa edema atau
hipertrofik.
e. Pada kulit mungkin dapat ditemukan tanda dermatitis atopi
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan phadiatop
b. Skin prick test
d. Pemeriksaan IgE total serum (nilai normal tanpa alergi <100 IU/ml)

TATALAKSANA

1. Konservatif
a. Menghindari alergen spesifik
b. Pemeliharaan dan peningkatan kebugaran jasmani
2. Farmakologi
a. Antihistamin oral untuk gejala ringan
b. Kortikosteroid intranasal untuk gejala sedang/berat
c. Dekongestan intranasal (penggunaan dibatasi <5 hari agar tidak terjadi rhinitis
medikamentosa), digunakan jika terdapat obstruksi nasal.
3. Terapi lainnya dapat berupa operasi terutama bila terdapat kelainan anatomi, selain itu
dapat dilakukan juga imunoterapi jika gejala tidak merespon dengan terapi farmakologi

PENULISAN RESEP

R/ Cetirizine 10 mg tab No. VII

S 1dd tab I po

R/ Fluticasone propionate nasal spray fl No. I

S 2dd nasal spray II

R/ Pseudoefedrin HCl fl No. I

S 3dd gtt II

REFERENSI

1. Buku ajar ilmu THT-KL FK UI Edisi 7


2. Bailey's Head and Neck Surgery - Otolaryngology Volume 1&2 Edisi 5
3. Boies Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6

RHINITIS KRONIK

DEFINISI

Rhinitis kronik merupakan peradangan pada mukosa hidung yang berlangsung lebih dari 1 bulan.
Pembagian rhinitis kronik berdasarkan ada tidaknya peradangan sebagai penyebabnya. Rhinitis
kronik yang disebabkan adanya peradangan yaitu rhinitis hipertrofi, rhinitis sika, rhinitis spesifik
(difteri, sifilis, tuberkulosa). Rhinitis kronik yang bukan disebabkan peradangan adalah rhinitis
alergi, rhinitis vasomotor, rhinitis medikamentosa.
FAKTOR RISIKO

1. Pekerjaan
2. Infeksi
3. Pemakaian obat terlalu berlebihan
4. Riwayat atopi
5. Merokok

DIAGNOSIS

1. Anamnesis
a. Rhinitis hipertrofi
Keluhan: sumbatan di hidung, sekret banyak dan mukopurulen, nyeri kepala
b. Rhinitis sika
Keluhan: mukosa hidung kering, kadang terdapat epistaksis
c. Rhinitis difteri
Keluhan: demam, hidung terasa meler
d. Rhinitis alergi
Keluhan: keluar cairan dari hidung, hidung tersumbat, hidung gatal dan bersin.
e. Rhinitis vasomotor
Keluhan: obstruksi hidung, rinorea, dan bersin
f. Rhinitis medikamentosa
Keluhan: hidung tersumbat, rinorea, riwayat penggunaan obat intranasal jangka
panjang.
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior, didapatkan:
a. Rhinitis hipertrofi
Konka inferior hipertrofi, permukaan berbenjol
b. Rhinitis sika
Mukosa hidung kering, terdapat krusta, kadang terdapat epistaksis
c. Rhinitis difteri
Sekret hidung bercampur darah, ditemukan pseudomembran putih, terdapat krusta
d. Rhinitis alergi
Mukosa edema berwarna pucat atau kebiruan, basah, adanya sekret berlebih, hipertrofi
konka inferior
e. Rhinitis vasomotor
Edema konka dan sekret hidung berlebih
f. Rhinitis medikamentosa
Edema konka dan sekret hidung berlebih
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan sitologi hidung
Mengandung eosinofil atau tidak, untuk indikasi rhinitis alergi
b. Skin prick test
c. Darah rutin
d. Kultur bakteri dari sekret hidung

TATALAKSANA

1. Rhinitis hipertrofi
a. Mengobati penyebab dasar
b. Kauterisasi dengan zat kimia (nitras argenti atau asam trikloroasetat)
2. Rhinitis sika
a. Mengobati penyebab dasar
b. Lakukan cuci hidung
3. Rhinitis difteri
Diberikan obat Anti Difteri Serum (ADS)
4. Rhinitis alergi
a. Antihistamin
b. Kortikosteroid intranasal
c. Dekongestan
5. Rhinitis vasomotor
a. Antihistamin
b. Steroid topikal
c. Dekongestan
6. Rhinitis medikamentosa
Hentikan penggunaan obat intranasal yang berlebihan

PENULISAN RESEP

1. Rhinitis alergi
R/ Cetirizine 10 mg tab No. VII
S 1dd tab I po
R/ Fluticasone propionate nasal spray fl No. I
S 2dd nasal spray II
R/ Pseudoefedrin HCl fl No. I
S 3dd gtt II AD/AS

2. Rhinitis vasomotor
R/ Budesonide nasal spray fl No. I
S 2dd nasal spray IV
R/ Pseudoefedrin HCl 30 mg tab No. XV
S 3dd tab I po
R/ Cetirizine 10 mg tab No. VII
S 1dd tab I po

REFERENSI

1. Buku ajar ilmu THT-KL FK UI Edisi 7


2. Bailey's Head and Neck Surgery - Otolaryngology Volume 1&2 Edisi 5
3. Boies Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6

RHINITIS MEDIKAMENTOSA

DESKRIPSI

Rhinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung berupa gangguan respon normal vasomotor
sebagai akibat dari pemakaian vasokonstriktor topikal (obat tetes hidung atau obat semprot hidung)
dalam waktu yang lama dan jumlah yang berlebihan, sehingga menyebabkan sumbatan yang
menetap dan ireversibel.

Pemakaian topikal vasokonstriktor yang lama dan berulang akan menyebabkan terjadinya fase
dilatasi berulang (rebound dilatation) setelah vasokonstriksi, sehingga terjadi gejala obstruksi. Hal
ini menyebabkan pasien makin sering menggunakan vasokonstriktor topikal kembali, sehingga
kadar agonis alfa adrenergik di mukosa hidung tinggi, diikuti dengan penurunan sensitivitas
reseptor alfa adrenergik di pembuluh darah sehingga terjadi toleransi. Hal ini menyebabkan dilatasi
dan kongesti mukosa hidung (rebound congestion).

DIAGNOSIS

1. Anamnesis
a. Hidung tersumbat terus menerus
b. Hidung berair
c. Riwayat penggunaan obat vasokonstrikor intranasal berkepanjangan
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior didapatkan hipertrofi konka dan adanya sekret yang
berlebihan.
3. Pemeriksaan penunjang
Dilakukan jika pemeriksaan rinoskopi anterior hasilnya kuras jelas atau meragukan dalam
menilai hipertrofi konka, pemeriksaan penunjang yang digunakan adalah nasoendoskopi,
X-Ray dan CT scan.

TATALAKSANA

1. Kortikosteroid topikal selama 2 minggu, lalu dosis diturunkan bertahap (tappering off).
2. Dekongestan oral

PENULISAN RESEP

R/ Fluticasone propionate nasal spray fl No. I

S 2dd nasal spray II


R/ Pseudoefedrin HCl 30 mg tab No. XV
S 3dd tab I po

REFERENSI

1. Buku ajar ilmu THT-KL FK UI Edisi 7


2. Bailey's Head and Neck Surgery - Otolaryngology Volume 1&2 Edisi 5
3. Boies Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6

SINUSITIS

DEFINISI

Sinusitis adalah inflamasi mukoperiosteum sinus paranasal. Mukosa hidung dan sinus secara
embriologis berhubungan, sehingga sinusitis merupakan kelanjutan dari rhinitis (one way one
disease). Istilah sinusitis juga dikenal dengan rhinosinusitis.

ETIOLOGI

1. Virus: Rhinovirus
2. Bakteri: Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza, Staphylococcus sp.

FAKTOR RISIKO

Sinusitis terjadi karena faktor risiko:

1. Kelainan/obstruksi pada komplek osteomeatal


Merupakan celah sempit sebagai unit drainase fungsional hidung. Terletak di meatus
media. Terdiri atas bula ethmoid, processus uncinatius, infundibulum ethmoid, hiatus
semilunaris, ostium sinus maksila, dan resesus frontalis.
2. Bakteri dalam rongga sinus
3. Adanya faktor predisposisi:
a. Obstruksi sinus akibat infeksi dan alergi.
b. Variasi anatomi (deviasi septum, konka bulosa), gangguan klirens mukosa (pada kistik
fibrosis, sindrom Kartagener), imunosupresi, kebiasaan merokok, dan hipertrofi
adenoid.
4. Infeksi gigi rahang atas (periodontitis, infeksi periapikal), menyebar secara langsung ke
sinus maksila maupun lewat pembuluh darah dan limfe.

KLASIFIKASI

Menurut EPPPOS 2012 (European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps), disebut
rhinosinusitis akut jika gejala muncul selama ≤ 12 minggu, dan disebut rhinosinusitis kronis jika
gejala muncul ≥ 12 minggu. Sedangkan menurut Konsensus 2004, sinusitis akut terjadi jika gejala
muncul selama < 4 minggu, sinusitis subakut 4 minggu - 3 bulan, dan sinusitis kronis ˃ 3 bulan.

DIAGNOSIS

1. Anamnesis
a. Hidung berair yang tidak kunjung membaik
b. Keluar sekret yang kental berwarna kehijauan
c. Hidung tersumbat
d. Nyeri wajah (sesuai letak sinus)
e. Nyeri kepala
f. Bau mulut
g. Penciuman berkurang
h. Demam
i. Batuk
j. Suara kadang sengau

Kriteria Saphiro dan Rachelefsky (1992):

Dikatakan sinusitis jika memenuhi 2 gejala mayor atau 1 mayor dan 2 minor atau lebih.

 Gejala mayor:
o Rinorea purulen
o Post nasal drainage
o Batuk
 Gejala minor
o Demam
o Nyeri kepala dan nyeri sinus
o Halitosis

Kriteria task Force AAOA dan ARS (1997)

Dikatakan sinusitis jika memenuhi 2 gejala mayor atau 1 mayor dan 2 minor atau lebih.

 Gejala mayor
o Nyeri wajah (pipi, dahi, hidung)
o Hidung tersumbat
o Sekret purulen
o Gangguan penciuman
 Gejala minor
o Sakit kepala
o Demam
o Halitosis
o Rasa lemah (fatigue)
o Sakit gigi
o Sakit atau rasa penuh di telinga
o Batuk
2. Pemeriksaan fisik
a. Suhu dapat meningkat
b. Inspeksi dan palpasi luar hidung dan sinus terdapat bengkak dan nyeri sinus
 Sinus maksila: nyeri pipi
 Sinus frontal: nyeri di dahi atau seluruh kepala
 Sinus etmoid: nyeri di antara atau di belakang kedua bola mata
 Sinus sfenoid: nyeri di vertex, oksipital, belakang kepala dan mastoid
c. Pemeriksaan rinoskopi anterior menunjukkan adanya mukosa hidung edema dan
hiperemi, tampak sekret mukopurulen kental berwarna kuning kehijauan pada kavum
nasi dan meatus media.
d. Pada orofaring tampak post nasal drip
e. Pemeriksaan transiluminasi: sinus yang sakit tampak suram (cahaya tidak terang)
3. Pemeriksaan penunjang
a. Nasoendoskopi
b. Pemeriksaan mikrobiologi kultur bakteri dan pemeriksaan resistensi antibiotik
c. Foto polos posisi Waters, PA, dan lateral untuk melihat gambaran sinus paranasal. Pada
sinusitis tampak ada gambaran perselubungan dan air fluid level serta penebalan
mukosa.
d. CT scan untuk melihat komplek osteomeatal.

TATALAKSANA

1. Sinusitis akut
a. Antibiotik spektrum luas selama 10-14 hari
b. Dekongestan oral/topikal
c. Mukolitik
d. Antihistamin/kortikosteroid topikal (jika ada riwayat alergi)
e. Analgetik/antipiretik
2. Sinusitis kronis
a. Antibiotik sesuai kultur selama 10-14 hari
b. Dekongestan topikal
c. Mukolitik
d. Kortikosteroid sistemik
e. Jika tidak tertangani, rujuk ke Sp.THT-KL untuk dilakukan tindakan.

PENULISAN RESEP

1. Sinusitis akut
R/ Amoksisilin 500 mg tab No. XXX
S 3dd tab I po
R/ Pseudoefedrin HCl 30 mg tab No. XXI
S 3dd tab I po
R/ Ambroxol 30 mg tab No. XXI
S 3dd tab I po
R/ Fluticasone propionate nasal spray fl No.I
S 2dd nasal spray II
R/ Paracetamol 500 mg tab No. XV
S 3dd tab I po

2. Sinusitis kronis
R/ Amoksisilin 500 mg tab No. XXX
S 3dd tab I po
R/ Pseudoefedrin HCl fl No. I
S 3dd gtt II
R/ Ambroxol 30 mg tab No. XXI
S 3dd tab I po
R/ Dexamethasone 0.5 mg tab No. X
S 3dd tab I po

REFERENSI
1. Buku ajar ilmu THT-KL FK UI Edisi 7
2. Bailey's Head and Neck Surgery - Otolaryngology Volume 1&2 Edisi 5
3. Boies Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6

BENDA ASING PADA HIDUNG

DESKRIPSI

Benda asing atau corpus alienum adalah benda yang berasal dari luar atau dalam tubuh yang dalam
keadaan normal tidak ada pada tubuh. Benda asing dalam suatu organ dapat terbagi atas benda
asing eksogen (dari luar tubuh) dan benda asing endogen (dari dalam tubuh).

ETIOLOGI

Berdasarkan jenis bendanya, etiologi corpus alienum di hidung dapat dibagi menjadi:

1. Benda asing hidup (benda organik)


a. Larva lalat: Chryssonya bezziana
b. Lintah: Hirudinaria javanica
c. Cacing: Ascaris lumbricoides
2. Benda asing tak hidup (benda anorganik)
Benda asing tak hidup yang tersering adalah manik-manik, baterai logam, dan kancing
baju. Kasus baterai logam di hidung merupakan salah satu kegawatan yang harus segera
dikeluarkan karena kandungan zat kimianya yang dapat bereaksi terhadap mukosa hidung.

DIAGNOSIS

1. Anamnesis
Gejala sumbatan benda asing tergantung pada lokasi benda asing, derajat sumbatan (total
atau sebagian), sifat, bentuk, dan ukuran benda asing. Benda asing di hidung anak sering
luput dari perhatian orang tua karena tidak ada gejala dan bertahan untuk waktu yang lama.
Gejala yang paling sering adalah:
a. Hidung tersumbat
b. Rinorea unilateral
c. Keluar cairan kental dan berbau.
d. Kadang disertai rasa nyeri
e. Demam
f. Epistaksis
g. Bersin dan sekretnya disertai bekuan darah
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan rhinoskopi anterior menunjukkan adanya
a. Mukosa hidung menjadi lunak dan mudah berdarah
b. Edema mukosa hidung
c. Benda asing biasanya tertutupi oleh mukopus
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan radiologik
b. Nasoendoskopi

TATALAKSANA

1. Penatalaksanaan benda asing hidung yang tidak hidup


a. Lakukan ekstraksi benda asing menggunakan pengait. Pertama-tama, pengait
menyusuri bagian atap kavum nasi hingga terletak di belakang benda asing tersebut,
kemudian tarik ke arah luar.
b. Suction (teknik tekanan negatif) biasanya digunakan apabila ekstraksi dengan pengait
tidak berhasil, dan juga digunakan pada benda asing berbentuk bulat.
c. Apabila tidak terdapat peralatan atau instrumen, pasien dapat menghembuskan napas
kuat-kuat melalui hidung sementara lubang hidung yang satunya ditutup.
2. Penatalaksanaan benda asing hidung yang hidup
a. Pertama, masukkan kloroform 25% ke dalam hidung untuk membunuh benda asing
hidup tersebut. Hal ini mungkin harus kembali dilakukan 2-3 kali perminggu selama 6
minggu hingga benda asing mati. Setelah benda asing tersebut mati, ekstraksi dapat
dilakukan dengan cara suction, irigasi, dan kuretase.
b. Setelah proses ekstraksi selesai, pastikan untuk mengekslusi adanya benda asing lain.
REFERENSI

1. Buku ajar ilmu THT-KL FK UI Edisi 7

EPISTAKSIS

DEFINISI

Epistaksis adalah perdarahan yang mengalir keluar dari hidung yang berasal dari rongga hidung
atau nasofaring. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan. Hampir
90% epistaksis dapat berhenti sendiri.

ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO

Berikut etiologi dan faktor risiko epistaksis

1. Trauma
2. Adanya penyakit hidung yang mendasari, misalnya rhinosinusitis, rhinitis alergi
3. Penyakit sistemik, seperti kelainan pembuluh darah, nefritis kronik, demam berdarah
dengue
4. Riwayat penggunaan obat-obatan seperti NSAID, aspirin, warfarin, heparin, tiklodipin,
semprot hidung kortikosteroid
5. Tumor, baik jinak maupun ganas yang terjadi di hidung, sinus paranasal, atau nasofaring
6. Kelainan kongenital, misalnya hereditary hemorrhagis teleangiectasia/Osler’s disease
7. Adanya deviasi septum
8. Pengaruh lingkungan, misalnya tinggal di daerah yang sangat tinggi, tekanan udara rendah,
atau lingkungan dengan udara yang sangat kering
9. Kebiasaan mengorek hidung menggunakan benda keras termasuk jari

KLASIFIKASI

1. Epistaksis anterior
Epistaksis anterior berasal dari pleksus Kiesselbach yang terdiri dari ujung-ujung arteri
etmoidalis, arteri sfenopalatina, arteri paltine mayor, dan arteri labialis superior.
Merupakan sumber perdarahan yang paling sering dijumpai pada anak-anak. Perdarahan
dapat berhenti spontan dan dapat dikendalikan dengan tindakan sederhana.
2. Epistaksis posterior
Epistaksis posterior berasal dari arteri sfenopalatina atau arteri etmoidalis posterior.
Epistaksis posterior sering terjadi pada orang dewasa yang menderita hipertensi,
arteriosklerosis, atau penyakit kardiovaskuler. Perdarahan biasanya hebat dan jarang
berhenti spontan.

DIAGNOSIS

1. Anamnesis
a. Harus ditanyakan secara spesifik mengenai:
 Lokasi keluarnya darah (depan rongga hidung atau ke tenggorok)
 Banyaknya perdarahan
 Frekuensi
 Lamanya perdarahan
 Sisi yang mengalami perdarahan
 Kemungkinan masuknya benda asing pada pasien anak
 Penggunaan obat antitrombosit atau antikoagulan
b. Riwayat keluar darah dari hidung sebelumnya
c. Riwayat trauma
2. Pemeriksaan fisik
a. Rhinoskopi anterior
Pemeriksaan dapat dilakukan dengan bantuan tampon adrenalin 1/5000 atau 1/10000
dan larutan anestesi lokal (pantokain) untuk menemukan titik perdarahan.
b. Rhinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring untuk menyingkirkan kemungkinan neoplasma.
c. Pengukuran tekanan darah
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena
hipertensi dapat menyebabkan epistaksis posterior yang hebat dan sering berulang.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Darah perifer lengkap
b. Skrining terhadap koagulopati
c. Pencitraan radiologis: MRI atau CT scan untuk pasien dengan kecurigaan keganasan
atau benda asing yang sulit dilihat dengan pemeriksaan fisik

TATALAKSANA

Prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis:

1. Menghentikan perdarahan
2. Mencegah komplikasi
3. Mencegah berulangnyaa epistaksis

Prosedur tatalaksana epistaksis anterior:

1. Pegang nasal speculum hidung dengan cara : ibu jari pada ‘joint’, jari telunjuk diletakkan
pada dorsum hidung dan jari lainnya pada batang spekulum untuk memegang.
2. Masukkan speculum ke nostril kiri/kanan, speculum harus selalu terbuka dan diarahkan
ke superior dan jangan ke lantai hidung.
3. Dipasang tampon kapas yang telah diberi larutan pantocaine 1% atau lidocaine (dengan
atau tanpa 1-2 tetes larutan epinefrin 1 : 1.000) disimpan di rongga hidung selama 3-5
menit. Evaluasi sumber perdarahan setelah tampon kapas dibuka.
4. Pasanglah tampon hidung anterior yang telah dilapisi salep antibakteri ke dalam rongga
hidung.
5. Tampon dipasang dengan cara berlapis-lapis (layering) mulai dari dasar hidung ke koana
di belakang dan sampai setinggi konka media di atas.
6. Setelah tampon terpasang dengan baik di dalam rongga hidung, pasanglah kasa + plester
di anterior untuk menahan tampon supaya tidak keluar.
Tampon yang dipasang harus menekan sumber perdarahan dan dapat dipertahankan selama 2x24
jam. Selama pemakaian tampon, diberikan antibiotik sistemik dan analgetik.

Prosedur tatalaksana epistaksis posterior:


1. Masukkan kateter karet melalui nares anterior dari hidung yang berdarah sampai tampak
di orofaring, lalu tarik keluar melalui mulut.
2. Ikatkan ujung kateter pada 2 buah benang tampon Bellocq, kemudian tarik kembali
kateter itu melalui hidung.
3. Tarik kedua ujung benang yang sudah keluar melalui nares posterior dengan bantuan jari
telunjuk, dorong tampon ke nasofaring. Jika dianggap perlu, jika masih nampak
perdarahan keluar dari rongga hidung, maka dapat pula dimasukkan tampon anterior ke
dalam kavum nasi.
4. Ikat kedua benang yang keluar dari nares anterior pada sebuah gulungan kain kassa di
depan lubang hidung, supaya tampon yang terletak di nasofaring tidak bergerak.
5. Lekatkan benang yang terdapat di rongga mulut dan terikat pada sisi lain dari tampon
Bellocq pada pipi pasien. Gunanya adalah untuk menarik tampon keluar melalui mulut
setelah 2-3 hari.
6. Berikan juga obat hemostatik selain dari tindakan penghentian perdarahan.

REFERENSI

1. Buku ajar ilmu THT-KL FK UI Edisi 7


2. Bailey's Head and Neck Surgery - Otolaryngology Volume 1&2 Edisi 5

ETMOIDITIS AKUT

DEFINISI

Etmoiditis adalah infeksi dari sinus-sinus ethmoid yang biasanya timbul dari penyebaran infeksi
sinus-sinus lain. Etmoiditis merupakan kasus yang jarang dan dapat terjadi pada semua umur.

ETIOLOGI

Etmoiditis sering merupakan komplikasi dari infeksi saluran nafas atas seperti influenza.
Gangguan drainase karena sumbatan ostium juga dapat menjadi penyebabnya, seperti polip, benda
asing, deviasi septum, tumor, imunokompromais, trauma, dan abnormalitas dari motilitas silia
mukosa.
Etmoiditis sering terjadi karena bakteri. Bakteri paling banyak dilaporkan adalah Streptococcus
pneumoniae dan Haemophilus influenza. Bakteri lainnya termasuk Staphylococcus aureus dan
Streptococcus pyogenes. Bakteri anaerob dapat ditemukan juga pada pasien dengan
imunokompromais.

DIAGNOSIS

1. Anamnesis
a. Nyeri di bagian bawah antara mata dan hidung
b. Sedikit kemerahan, nyeri dan bengkak di sekitar sudut mata
c. Demam
d. Nyeri kepala
e. Hiposmia atau anosmia
f. Lemas badan
g. Sekret dari lubang hidung mungkin ada dan bersifat purulen
h. Hidung tersumbat
2. Pemeriksaan fisik
a. Peningkatan suhu tubuh
b. Mukosa nasal edema dan hiperemis
c. Eritema nasofaring dan orofaring
3. Pemeriksaan penunjang
a. Nasal endoskopi
b. CT scan, untuk menunjukkan berat ringannya kerusakan mukosa sinus dan
penyebarannya ke organ/jaringan lain
c. Kultur dan tes resistensi dari sekret nasal
d. Pemeriksaan darah: leukosit dan hitung jenis (differential count) untuk menentukan
stadium penyakit

TATALAKSANA

Rujuk ke Sp.THT-KL untuk dilakukan tatalaksana.

1. Farmakologi
a. Terapi etmoiditis akut diarahkan kepada eradikasi infeksi, membuka ostium,
mengembalikan fungsi mukosiliar dan menghilangkan rasa nyeri. Terapi empiris
dengan antibiotik spektrum luas selama 10 hari, diberikan juga dekongestan oral untuk
mengerutkan mukosa, dan nyeri diatasi bila perlu.
b. Bila pasien tidak merespon hasil pengobatan empiris, maka hasil kultur dan tes
resistensi dapat digunakan untuk terapi selanjutnya.
2. Non farmakologi
Operasi drainase dilakukan bila sudah terbentuk pus.

PENULISAN RESEP

R/ Amoksisilin 500 mg tab No. XXX


S 3dd tab I po
R Pseudoefedrin HCl 30 mg tab No. XXI
S 3dd tab I po
R/ Paracetamol 500 mg tab No. XV
S 3dd tab I prn nyeri

REFERENSI

1. Buku ajar ilmu THT-KL FK UI Edisi 7

POLIP HIDUNG

DEFINISI

Polip hidung adalah massa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam rongga hidung,
berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi mukosa. Polip dapat timbul pada laki-
laki maupun perempuan di usia berapapun.

ETIOLOGI
Sebelumnya diduga predisposisi timbulnya polip nasi adalah rhintis alergi atau penyakit atrofi,
tetapi semakin banyak penelitian yang mengungkapkan berbagai teori bahwa etiologi polip nasi
masih belum diketahui dengan pasti.

DIAGNOSIS

1. Anamnesis
a. Hidung tersumbat sebagai keluhan utama
b. Rinonea, mulai dari jernih sampai purulen
c. Hiposmia atau anosmia
d. Bersin-bersin
e. Rasa nyeri pada hidung
f. Nyeri kepala di daerah frontal
g. Bila disertai infeksi sekunder maka dapat ditemukan post nasal drip dan rinorea purulen
h. Gejala sekunder, seperti bernafas lewat mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur,
dan penurunan kualitas hidup.
2. Pemeriksaan fisik
a. Polip nasi yang masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga hidung
tampak mekar karena pelebaran batang hidung.
b. Pemeriksaan rhinoskopi anaterior tampak ada massa berwarna pucat yang berasal dari
meatus medius dan mudah digerakkan.
c. Pembagian stadium polip menurut Mackay dan Lund (1997)
 Stadium 1: polip masih terbatas di meatus medius
 Stadium 2: polip sudah keluar dari meatus medius, tampak di rongga hidung tapi
belum memenuhi rongga hidung
 Stadium 3: polip yang masif
3. Pemeriksaan penunjang
a. Naso-endoskopi
b. CT scan

TATALAKSANA

Rujuk ke Sp.THT-KL untuk dilakukan tatalaksana. Tujuan utama pengobatan pada kasus polip
adalah menghilangkan keluhan-keluhan, mencegah komplikasi dan mencegah rekurensi polip.

1. Farmakologi
Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi (polipektomi medikamentosa)
dapat diberikan topikal atau sistemik. Jika dengan terapi medikamentosa polip tidak
kunjung membaik maka dipertimbangkan untuk terapi bedah.
2. Non farmakologi
Dapat dilakukan ekstraksi polip (polipektomi)

REFERENSI

1. Buku ajar ilmu THT-KL FK UI Edisi 7


2. Bailey's Head and Neck Surgery - Otolaryngology Volume 1&2 Edisi 5
TENGGOROKAN

FARINGITIS

DEFINISI DAN ETIOLOGI

Faringitis merupakan peradangan pada dinding faring yang disebabkan oleh virus, bakteri, alergi,
trauma, iritan, dan lain-lain.

KLASIFIKASI

1. Faringitis akut
a. Faringitis viral
b. Faringitis bakterial
c. Faringitis fungal
d. Faringitis gonorea
2. Faringitis kronik
a. Faringitis kronik hiperplastik
b. Faringitis kronik atrofi
3. Faringitis spesifik
a. Faringitis tuberkulosis, merupakan proses sekunder dari tuberkulosis paru
b. Faringitis luetika, disebabkan oleh infeksi Treponema palidum di daerah faring.
ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO

1. Etiologi
a. Virus: Rhinovirus, Adenovirus, Epstein Barr virus (EBV), Influenza, Cytomegalovirus,
Herpes simplex virus
b. Bakteri: Group A Beta Haemolytic Streptococcus, Streptococcus gonorrhea,
Treponema palidum
c. Fungal: Candida sp.

2. Faktor Risiko
a. Usia 3-14 tahun
b. Menurunnya daya tahan tubuh
c. Konsumsi makanan yang mengiritasi faring
d. Gizi kurang
e. Iritasi kronik oleh rokok, minum alkohol, refluks asam lambung, inhalasi uap yang
merangsang mukosa faring
f. Paparan udara dingin

DIAGNOSIS

1. Anamnesis
a. Nyeri tenggorokan
b. Demam
c. Sekret dari hidung
d. Dapat disertai atau tanpa batuk
e. Nyeri kepala
f. Mual
g. Muntah
h. Rasa lemas pada seluruh tubuh
i. Nafsu makan berkurang
2. Pemeriksaan fisik
a. Faringitis viral
 Faring dan tonsil hiperemis
 Eksudat, jika etiologinya virus Influenza
b. Faringitis bakterial
 Faring dan tonsil hiperemis, dan terdapat eksudat di permukaannya
 Beberapa hari kemudian timbul petechiae pada palatum dan faring
 Pembesaran KGB colli yang kenyal dan nyeri pada penekanan
c. Faringitis fungal
 Plak putih pada orofaring dan pangkal lidah
 Mukosa faring hiperemis
d. Faringitis kronik hiperplastik
 Tampak kelenjar limfa dibawah mukosa faring
 Hiperplasia lateral band
 Mukosa dinding posterior tidak rata dan bergranular (cobblestone appearance)
e. Faringitis kronik atrofi
 Mukosa faring tampak ditutupi oleh lendir kental, dan bila terangkat tampak
mukosa kering
f. Faringitis tuberkulosis
 Tampak granuloma perkejuan pada mukosa faring dan laring
g. Faringitis luetika
 Stadium primer: bercak keputihan pada palatum mole, tonsil, dan dinding posterior
faring. Bila infeksi berlanjut, timbul ulkus yang tidak nyeri, didapatkan juga
pembesaran KGB mandibular.
 Stadium sekunder: jarang ditemukan, pada dinding faring terdapat eritema yang
menjalar ke laring.
 Stadium tersier: terdapat guma, predileksi pada tonsil dan palatum.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Darah perifer lengkap
b. Pemeriksaan mikroskopik dengan pewarnaan Gram
c. Pada dugaan infeksi jamur, dilakukan pemeriksaan mikroskopik swab mukosa faring
dengan KOH.
TATALAKSANA

Tatalaksana umum:

1. Istirahat yang cukup


2. Meningkatkan frekuensi minum air mineral
3. Berkumur dengan air hangat atau obat kumur antiseptik untuk menjaga kesehatan mulut
4. Kompres dingin di leher untuk mengurangi rasa nyeri
5. Dapat diberikan analgetik seperti ibuprofen atau asetaminofen
6. Jika diperlukan dapat diberikan obat batuk antitusif atau ekspektoran

Tatalaksana khusus:

1. Faringitis viral: pada infeksi herpes simpleks dapat diberikan antivirus Isoprinosine (anak
< 5 tahun: 50 mg/kgBB dibagi 4-6 kali/hari, dewasa: 60-100 mg/kgBB dibagi 4-6 kali/hari
2. Faringitis fungal: nistatin 100.000-400.000 IU, 2 kali sehari
3. Faringitis bakteri: berikan antibiotik spektrum luas
4. Faringitis gonorea: berikan Sefalosporin generasi ke 3 seperti Seftriakson 2 gr per IV/IM
single dose
5. Faringitis kronik hiperplastik: penyakit hidung dan sinus paranasal harus diobati
6. Faringitis atrofi: pengobatan ditujukan pada rhinitis atrofi

PENULISAN RESEP

R/ Amoksisilin 500 mg tab No. XXI

S 3dd tab I po

R/ Parasetamol 500 mg tab No. XV

S 3dd tab I po prn

R/ Ambroxol 30 mg tab No. XV

S 3dd tab I po

REFERENSI
1. Buku ajar ilmu THT-KL FK UI Edisi 7
2. Bailey's Head and Neck Surgery - Otolaryngology Volume 1&2 Edisi 5
3. Boies Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6

TONSILITIS

DEFINISI

Tonsilitis adalah peradangan pada tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer
yang terdiri atas susunan jaringan limfoid yang terdapat di dalam rongga mulut.

KLASIFIKASI

1. Tonsilitis akut (gejala < 3 minggu)


a. Tonsilitis viral
b. Tonsilitis bakterial
c. Tonsilitis difteri
d. Angina Plaut-Vincent (Stomatitis Ulcer Membranosa)
2. Tonsilitis kronis (gejala ˃3 minggu), dapat terjadi setelah episode akut berulang.

ETIOLOGI

1. Tonsilitis viral: Epstein Barr virus


2. Tonsilitis bakteri: Group A Streptococcus Beta Haemolyticus, Streptococcus viridans,
Streptococcus pyogenes
3. Tonilitis difteri: Corynebacterium diphteriae
4. Angina Plaut-Vincent: Bakteri Spirochaeta atau Treponema
5. Tonsilitis kronis: Streptococcus alfa dan beta hemolitikus, Staphylococcus aureus,
Haemophilus influenza, Bacteroides

FAKTOR RISIKO

1. Usia, terutama anak-anak


2. Penurunan daya tahan tubuh
3. Rangsangan menahun, misalnya rokok, makanan tertentu
4. Hygiene rongga mulut yang kurang baik
5. Riwayat alergi

DIAGNOSIS

1. Anamnesis
a. Rasa kering di tenggorokan
b. Nyeri tenggorokan
c. Nyeri menjalar ke telinga
d. Demam
e. Sakit kepala, lesu, nafsu makan berkurang
f. Hot potato voice: suara pasien terdengar seperti orang yang mulutnya berisi makanan
panas.
g. Halitosis
h. Pada tonsilitis kronik, pasien mengeluh seperti ada yang mengganjal di bagian
tenggorokan, tenggorokan kering dan bau mulut.
2. Pemeriksaan fisik
a. Tonsilitis akut (non difteri)
 Tonsil hipertrofik dengan ukuran ≥ T2
 Tonsil hiperemis
 Kripta tidak melebar
 Bisa terdapat detritus. Bercak detritus dapat melebar membentuk pseudomembran
yang menutupi ruang antar kedua tonsil sehingga tampak menyempit
 Edema palatum mole, arkus anterior, dan arkus posterior
 KGB di daerah leher membesar dan nyeri
b. Tonsilitis kronis
 Tonsil membesar dengan permukaan tidak rata
 Kripta melebar
 Detritus yang mengisi kripta
 Pembesaran KGB submandibular
 Tonsil mengalami perlengketan
c. Tonsilitis difteri
 Tonsil membesar ditutupi bercak putih keabuan yang semakin lama semakin
meluas
 Tampak pseudomembran yang melekat erat pada dasar tonsil sehingga bila
diangkat mudah berdarah
d. Ukuran tonsil
Berdasarkan perbandingan rasio tonsil dan orofaring, dengan mengukur jarak antara
kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua tonsil, maka
didapatkan gradasi berupa:
 T0: tonsil sudah diangkat
 T1: <25% volume tonsil bila dibandingkan dengan volume orofaring atau batas
medial tonsil melewati pilar anterior ¼ jarak pilar anterior uvula
 T2: 25-50% volume tonsil bila dibandingkan dengan volume orofaring atau batas
medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior uvula sampai ½ jarak pilar anterior-
uvula
 T3: 50-75% volume tonsil bila dibandingkan dengan volume orofaring atau batas
medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior uvula sampai ¾ jarak pilar anterior-
uvula
 T4: ˃75% volume tonsil bila dibandingkan dengan volume orofaring atau batas
medial tonsil melewati ¾ jarak pilar anterior uvula sampai uvula atau lebih
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium darah lengkap
b. Swab tonsil untuk pemeriksaan mikroskopik dengan pewarnaan Gram

TATALAKSANA

Tatalaksana umum:

1. Istirahat yang cukup


2. Meningkatkan frekuensi minum air mineral
3. Makan makanan yang lunak dan tidak mengiritasi tenggorok
4. Berkumur dengan air hangat atau obat kumur antiseptik untuk menjaga kesehatan mulut
5. Dapat diberikan analgetik seperti ibuprofen atau asetaminofen

Tatalaksana khusus:

1. Tonsilitis viral
Antivirus metisoprinol:
a. Dewasa: 60-100 mg/kgBB dibagi 4-6 kali/hari
b. Anak < 5 tahun: 50 mg/kgBB dibagi 4-6 kali/hari

2. Tonsilitis bakteri (jika dicurigai disebabkan oleh GABHS)


a. Antibiotik
 Penisilin G benzatin 50.000 IU/kgBB/IM dosis tunggal
 Amoksisilin 50 mg/kgBB terbagi 3 dosis selama 10 hari
 Eritromisin 4 x 500 mg/hari
b. Kortikosteroid
 Dexamethasone, dewasa 3 x 0,5 mg selama 3 hari. anak 0.01 mg/kgBB/hari terbagi
dalam 3 dosis selama 3 hari
3. Tonsilitis difteri
a. Anti difteri serum (segera): 20.000-100.000 unit
b. Antibiotik: penisilin atau eritromisin 25-50 mg/kgBB/hari
4. Angina Plaut-Vincent
a. Antibiotik spektrum luas selama 1 minggu
b. Pemberian vitamin C dan B kompleks
5. Rujuk ke Sp.THT-KL untuk dilakukan tindakan pembedahan (tonsilektomi)

PENULISAN RESEP

1. Tonsilitis bakteri
R/ Amoksisilin 500 mg tab No. XXX
S 3dd tab I po
R/ Dexamethasone 0.5 mg tab No. X
S 3dd tab I po
R/ Parasetamol 500 mg tab No. XV
S 3dd tab I po

2. Tonsilitis difteri
R/ ADS 20.000 IU fl No. I
S Imm
R/ Amoksisilin 500 mg tab No. XXX
S 3dd tab I po

REFERENSI
1. Buku ajar ilmu THT-KL FK UI Edisi 7
2. Bailey's Head and Neck Surgery - Otolaryngology Volume 1&2 Edisi 5
3. Boies Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6

LARINGITIS

DEFINISI

Laringitis adalah peradangan pada laring yang sering menyebabkan suara serak atau bahkan
kehilangan suara.

ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO

1. ETIOLOGI
a. Laringitis akut
 Rhinovirus
 Adenovirus
 Influenza
 Parainfluenza
 Streptococcus pneumonia
 Streptococcus pyogenes
 Staphylococcus aureus
b. Laringitis kronik
 Laringitis akut berulang
 Rhinosinusitis kronis
 Deviasi septum berat
 Polip hidung
 Bronchitis kronik
 Refluks laringofaring
 Pajanan iritan bersifat konstan seperti merokok
 Penyalahgunaan vokal (vocal abuse)
2. FAKTOR RISIKO
a. Penyalahgunaan suara yang berlebihan
b. Pajanan terhadap zat iritatif seperti asap rokok dan minuman beralkohol
c. Refluks laringofaringeal, bronchitis dan pneumonia
d. Rhinitis alergi
e. Perubahan suhu secara tiba-tiba
f. Malnutrisi
g. Penurunan daya tahan tubuh

KLASIFIKASI

1. Laringitis akut
Laringitis akut adalah radang akut pada laring, dapat disebabkan oleh virus dan bakteri.
Laringitis akut memiliki gejala yang berlangsung < 3 minggu.
2. Laringitis kronik
Laringitis kronik dapat terjadi setelah laringitis akut yang berulang. Gejala laringitis kronik
berlangsung dan menetap ˃ 3 minggu.
3. Laringitis spesifik
 Laringitis tuberkulosis
Penyakit ini disebabkan oleh tuberkulosis paru. Laringitis tuberkulosis membutuhkan
waktu yang lebih lama karena struktur mukosa laring sangat lekat pada kartilago serta
vaskularisasinya tidak sebaik paru.
Stadium laringitis tuberkulosis:
o Stadium infiltrasi
o Stadium ulserasi
o Stadium perikondritis
o Stadium fibrotuberkulosis
 Laringitis luetika
Radang menahun, jarang ditemukan.

DIAGNOSIS
1. Anamnesis
a. Suara serak atau hilang (afonia)
b. Sesak napas dan stridor
c. Nyeri tenggorokan
d. Gejala common cold seperti bersin-bersin, hidung tersumbat, nyeri kepala, batuk dan
demam
e. Obstruksi jalan napas dapat terjadi bila ada edema laring
f. Laringitis kronik ditandai dengan afonia yang persisten
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan dilakukan menggunakan laringoskop indirek
a. Mukosa laring tampak hiperemis dan membengkak terutama di daerah dekat vocal cord
b. Pada laringitis kronik, ditemukan nodul, ulkus dan penebalan mukosa vocal cord
c. Pada laringitis tuberkulosa, hasil pemeriksaan akan sesuai dengan stadiumnya.
 Stadium infiltrasi
Mukosa laring membengkak dan hiperemis, terbentuk tuberkel di daerah
submukosa yang tampak sebagai bintik kebiruan. Tuberkel dapat membesar dan
bersatu sehingga mukosa diatasnya meregang, jika pecah akan terbentuk ulkus.
 Stadium ulserasi
Ulkus membesar, dangkal, dasarnya ditutupi perkejuan dan terasa nyeri
 Stadium perikondritis
Ulkus mengenai kartilago laring, dan terbentuk nanah yang berbau.
 Stadium fibrotuberkulosis
Terbentuk fibrotuberkulosis pada dinding posterior, vocal cord dan subglotik

3. Pemeriksaan penunjang
a. Foto rontgen soft tissue leher AP lateral: bisa tampak pembengkakan jaringan subglotik
(steeple sign)
b. Foto thoraks AP, dapat digunakan untuk mengetahui keterlibatan infeksi tuberkulosis
atau infeksi paru lainnya.
c. Pemeriksaan laboratorium darah lengkap
TATALAKSANA

1. Non medikamentosa
a. Istirahat suara (vocal rest)
b. Rehabilitasi suara (voice therapy) bila diperlukan
c. Meningkatkan asupan cairan
d. Bila terdapat sumbatan laring, dilakukan pemasangan pipa endotrakeal atau
trakeostomi
2. Medikamentosa
a. Antibiotik spektrum luas
b. Analgetik dan antipiretik
c. Kortikosteroid pada laringitis berat
d. Proton pump inhibitor pada laringitis yang disebabkan oleh refluks laringofaringeal
e. Laringitis tuberkulosis: obat antituberkulosis
f. Laringitis luetika: penisilin dosis tinggi

PENULISAN RESEP

R/ Amoksisilin 500 mg tab No. XXI


S 3dd tab I po
R/ Parasetamol 500 mg tab No. XV
S 3dd tab I po
R/ Dexamethasone 0.5 mg tab No. X
S 3dd tab I po
R/ Omeprazole 20 mg tab No. X
S 2dd tab I po

REFERENSI

1. Buku ajar ilmu THT-KL FK UI Edisi 7


2. Bailey's Head and Neck Surgery - Otolaryngology Volume 1&2 Edisi 5
3. Boies Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6
HIPERTROFI ADENOID

DESKRIPSI

Adenoid adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid yang terletak pada dinding posterior
nasofaring, termasuk dalam rangkaian cincin Waldeyer. Secara fisiologik adenoid ini membesar
pada anak usia 3 tahun dan kemudian akan mengecil dan hilang sama sekali pada usia 14 tahun.
Bila sering terjadi infeksi saluran napas bagian atas maka dapat terjadi hipertrofi adenoid.

DIAGNOSIS

1. Anamnesis
a. Hidung tersumbat yang menyebabkan bernapas lewat mulut
b. Gangguan tidur
c. Tidur mendengkur
d. Gangguan menelan
e. Gangguan berbicara
f. Memiliki riwayat otitis media akut berulang atau mengalami otitis media supuratif
kronis
2. Pemeriksaan fisik
a. Fasies adenoid, yaitu tampak hidung kecil, gigi insisivus kedepan, arkus faring tinggi
yang menyebabkan kesan wajah tampak seperti orang bodoh
b. Pemeriksaan rhinoskopi anterior
c. Pemeriksaan rhinoskopi posterior
d. Pemeriksaan digital untuk meraba adenoid
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan radiologik posisi lateral

TATALAKSANA

Rujuk ke Sp.THT-KL untuk dilakukan tindakan pembedahan adenoidektomi.

Indikasi adenoidektomi

1. Sumbatan
a. Sumbatan hidung yang menyebabkan bernapas lewat mulut
b. Sleep apnea
c. Gangguan menelan
d. Gangguan berbicara
e. Kelainan bentuk wajah dan gigi (adenoid face)
2. Infeksi
a. Adenoiditis berulang/kronik
b. Otitis media efusi berulang/kronik
c. Otitis media akut berulang
3. Kecurigaan neoplasma jinak/ganas.

REFERENSI

1. Buku ajar ilmu THT-KL FK UI Edisi 7


2. Bailey's Head and Neck Surgery - Otolaryngology Volume 1&2 Edisi 5

ABSES PERITONSILAR

DEFINISI

Abses peritonsilar atau dikenal juga dengan Quinsy merupakan suatu infeksi akut yang diikuti
dengan terkumpulnya pus pada jaringan ikat longgar antara muscle konstriktor faring dengan tonsil
pada fossa tonsil. Infeksi ini menembus kapsul tonsil (biasanya pada kutub atas). Abses peritonsilar
seringkali merupakan komplikasi dari tonsilitis akut.

ETIOLOGI
Beberapa penelitian menunjukkan bakteri terbanyak yang menyebabkan abses peritonsilar adalah
Streptococcus viridans, diikuti oleh Streptococcus beta hemolyticus grup A. Bakteri anaerob dan
streptococcus gram positif telah diidentifikasi sebagai agen etiologi umum.

DIAGNOSIS

1. Anamnesis
a. Nyeri tenggorokan, semakin lama semakin berat hingga tidak mau makan
b. Nyeri terlokalisasi
c. Nyeri menjalar ke telinga
d. Demam dapat sangat tinggi, sakit kepala, lesu dan nafsu makan berkurang
e. Plummy voice/hot potato voice: suara pasien terdengar seperti orang yang mulutnya
berisi makanan panas
f. Mulut berbau dan air liur menumpuk pada kavum oris
g. Odinofagi
h. Hipersalivasi
i. Regurgitasi (muntah)
j. Trismus dapat muncul bila infeksi meluas
2. Pemeriksaan fisik
a. Peningkatan suhu dapat mencapai 40°C
b. Dapat ditemukan adanya trismus
c. Edema pada palatum, unilateral
d. Uvula edema
e. Tonsil tampak bengkak, hiperemis, dengan atau tanpa detritus
f. Uvula terdorong ke sisi kontralateral
g. Pembesaran KGB submandibular
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium darah lengkap: leukositosis
b. Aspirasi dengan jarum pada daerah yang paling fluktuatif, atau pungsi merupakan
tindakan diagnosis yang akurat untuk memastikan abses peritonsiler (baku emas).
c. USG: didapatkan gambaran “echo tree cavity” atau cincin isoechoid dengan gambaran
sentral hypoechoic.
d. CT scan

TATALAKSANA

1. Menjaga jalan napas tetap adekuat


2. Kortikosteroid dapat diberikan pada pasien dengan obstruksi jalan napas (Dexamethasone
0.75-9 mg/hari dalam dosis terbagi).
3. Aspirasi harus dilakukan untuk membuktikan adanya abses
4. Jika sudah terbukti adanya abses, lakukan aspirasi, insisi, dan drainase. Tujuan utama
tindakan ini adalah mendapatkan drainase abses yang adekuat dan terlokalisir secara cepat.
Lokasi insisi biasanya dapat diidentifikasi pada pembengkakan di daerah pilar-pilar tonsil
atau dipalpasi pada daerah yang paling fluktuatif.
5. Antibiotik, diberikan selama 10 hari:
a. Benzatin Penisilin G 1 x 1,2 juta unit secara intramuskular
b. Amoxiclav 2 x 625 mg peroral
c. Klindamisin 3-4 x 150-450 mg peroral
d. Jika dalam 24 jam pemberian penisilin tidak ada perubahan, dapat dikombinasikan
dengan Metronidazole 3 x 500 mg
6. Analgetik dan antipiretik
a. Ibuprofen 3 x 400 mg peroral
b. Asetaminofen 3 x 500 mg peroral
7. Rujuk ke Sp.THT-KL untuk dilakukan tindakan bedah tonsilektomi, terutama pada pasien
tonsilitis kronik dan berulang. Dapat dilakukan bersamaan dengan tindakan drainase abses
ataupun beberapa hari setelah dilakukan drainase.

PENULISAN RESEP

R/ Amoxiclav 625 mg tab No. XX


S 2dd tab I po
R/ Metronidazole 500 mg tab No. XXX
S 3dd tab I po
R/ Ibuprofen 400 mg tab No. XXI
S 3dd tab I po
R/ Dexamethasone 0.5 mg tab No. X
S 3dd tab I po

REFERENSI

1. Buku ajar ilmu THT-KL FK UI Edisi 7


2. Bailey's Head and Neck Surgery - Otolaryngology Volume 1&2 Edisi 5
3. Boies Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6

PSEUDO CROUP ACUTE EPIGLOTITIS

DEFINISI

Pseudo croup acute epiglotitis merupakan suatu sindroma “croup”. Kedua penyakit ini mempunyai
manifestasi klinik yang sama yaitu obstruksi saluran nafas atas, namun memiliki penyebab dan
patofisiologi yang berbeda.

Pseudo croup adalah penyakit sistemik respiratorik akut yang menyerang mukosa dan
menyebabkan inflamasi dan edema pada daerah laring dan vocal cord, terkadang juga mengenai
trakea dan cabang bronkus. Saluran laring menjadi sempit akibat edema, dyspnea bisa muncul
secara cepat dengan suara serak, kasar, seperti batuk pada croup dan bisa mengancam jiwa
terutama pada anak-anak.

ETIOLOGI

Virus adalah penyebab tersering pseudo croup (sekitar 60% kasus) adalah Human Parainfluenza
virus tipe 1 (HPIV-1), HPIV-2, HPIV-3, HPIV-4, virus Influenza A dan B, Adenovirus, Respiratory
Synctial virus (RSC), dan virus campak. Meskipun jarang, pernah juga ditemukan Mycoplasma
pneumonia.

DIAGNOSIS

1. Anamnesis
a. Batuk menggonggong
b. Suara serak
c. Stridor inspirasi, dengan atau tanpa adanya obstruksi jalan napas
d. Diawali dengan demam yang tidak begitu tinggi selama 12-72 jam, hidung berair, nyeri
menelan, dan batuk ringan.
e. Malaise
f. Bila keadaannya berat dapat terjadi sesak napas, stridor inspiratori yang berat, retraksi,
anak tampak gelisah, dan keluhan bertambah berat pada malam hari.
2. Pemeriksaan fisik
a. Pasien tampak gelisah, cemas
b. Terdengar stridor
c. Tampak adanya retraksi dan sianosis
d. Hipersalivasi akibat nyeri menelan

Berdasarkan derajat kegawatan, dibagi menjadi 4 kategori:

a. Ringan: ditandai dengan adanya batuk keras menggonggong yang kadang-kadang muncul,
stridor yang tidak terdengar ketika pasien beristirahat/tidak beraktivitas, dan retraksi ringan
dinding dada.
b. Sedang: ditandai dengan batuk menggonggong yang sering timbul, stridor mudah didengar
ketika pasien beristirahat/tidak beraktivitas, retraksi dinding dada sedikit terlihat, namun
tidak ada gawat napas.
c. Berat: ditandai dengan batuk menggonggong yang sering timbul, stridor inspirasi yang
terdengar jelas ketika pasien beristirahat, dan kadang disertai dengan stridor ekspirasi,
retraksi dinding dada, dan gawat napas.
d. Gagal napas mengancam: batuk kadang-kadang tidak jelas, terdengar stridor (kadang-
kadang sangat jelas ketika pasien beristirahat), gangguan kesadaran dan letargi.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium darah rutin: leukosit ˃20.000/mm yang didominasi oleh
PMN
b. Pemeriksaan radiologis leher posisi posteroanterior ditemukan gambaran udara steeple
sign (seperti menara) yang menunjukkan adanya penyempitan kolumna subglotis

c. Pemeriksaan CT scan dapat lebih jelas menggambarkan penyebab obstruksi pada


pasien dengan keadaan klinis yang lebih berat, seperti adanya stridor sejak usia di
bawah 6 bulan.

TATALAKSANA

Tatalaksana utama bagi pasien pseudo croup adalah mengatasi obstruksi jalan napas

1. Terapi inhalasi
2. Nebulisasi epinefrin, diberikan kepada anak dengan pseudo croup gerajat sedan berat dan
membutuhkan intubasi, serta kepada anak yang tidak mengalami perbaikan setelah
diberikan terapi uap dingin. Efek terapi nebulisasi epinefrin ini timbul dalam waktu 30
menit dan bertahan selama 2 jam.
3. Kortikosteroid
Kortikosteroid mengurangi edema pada laring. Berikan dexamethasone dengan dosis 0,6
mg/kgBB peroral atau intramuskular sebanyak satu kali. Selain dexamethasone dapat juga
diberikan prednison atau prednisolon dengan dosis 1-2 mg/kgBB.
4. Intubasi endotrakeal
Dilakukan pada pasien pseudo croup berat yang tidak responsif dengan terapi lain. Intubasi
endotrakeal merupakan terapi alternatif selain trakeostomi untuk mengatasi obstruksi jalan
napas.

PENULISAN RESEP
R/ Epinephrine 1:1000 amp No. I
S Imm
R/ Dexamethasone 5 mg amp No. I
S Imm

REFERENSI

1. Bailey's Head and Neck Surgery - Otolaryngology Volume 1&2 Edisi 5

KARSINOMA LARING

DEFINISI

Karsinoma laring merupakan salah satu tumor ganas kepala dan leher yang paling sering terjadi.
Tumor ganas laring sebagian besar berasal dari bagian glotis diikuti supraglotis kemudian
subglotis.

ETIOLOGI

1. Asap rokok dan konsumsi alkohol


2. Karsinogen lingkungan seperti arsen, asbes, gas mustar, serbuk nikel, polisiklik
hidrokarbon, vinil klorida, dan nitrosamin.
3. Infeksi laring kronis
4. Infeksi Human papilloma virus (HPV)
5. Genetik

KLASIFIKASI

Klasifikasi Tumor Ganas Laring (AJCC dan UICC 1988)

Tumor primer (T)


1. Supraglotis
 Tis: karsinoma insitu
 T1: tumor terdapat pada satu sisi suara/pita suara palsu (gerakan masih baik)
 T2: tumor sudah menjalar ke 1 dan 2 sisi daerah supraglotis dan glotis masih bisa
bergerak (tidak terfiksir)
 T3: tumor terbatas pada laring dan sudah terfiksir atau meluas ke daerah krikoid bagian
belakang, dinding medial dari sinus piriformis, dan kearah rongga preepiglotis
 T4: tumor sudah meluas ke luar laring, menginfiltrasi orofaring jaringan lunak pada
leher atau sudah merusak tulang rawan tiroid
2. Glotis
 Tis: karsinoma insitu
 T1: tumor mengenai satu atau dua sisi pita suara, tetapi gerakan pita suara masih baik,
atau tumor sudah terdapat pada komissura anterior atau posterior
 T2: tumor meluas ke daerah supraglotis atau subglotis, pita suara masih dapat bergerak
atau sudah terfiksir
 T3: tumor meliputi laring dan pita suara sudah terfiksir
 T4: tumor sangat luas dengan kerusakan tulang rawan tiroid atau sudah keluar dari
laring
3. Subglotis
 Tis: karsinoma insitu
 T1: tumor terbatas pada daerah subglotis
 T2: tumor sudah meluas ke pita suara, pita suara masih dapat bergerak atau sudah
terfiksir
 T3: tumor sudah mengenai laring dan pita suara sudah terfiksir
 T4: tumor yang luas dengan destruksi tulang rawan atau perluasan ke luar laring atau
keduanya.

Penjalaran ke kelenjar limfe (N)

 Nx: kelenjar limfe tidak teraba


 N0: secara klinis kelenjar tidak teraba
 N1: secara klinis teraba satu kelenjar limfe dengan ukuran diameter 3 cm homolateral
 N2: teraba kelenjar limfe tunggal, ipsilateral dengan ukuran diameter 3-6 cm
 N2a: satu kelenjar limfe ipsilateral, diameter lebih dari 3 cm tapi tidak lebih dari 6 cm
 N2b: multipel kelenjar limfe ipsilateral, diameter tidak lebih dari 6 cm
 N2c: metastasis bilateral atau kontralateral, diameter tidak lebih dari 6 cm
 N3: metastasis kelenjar limfe lebih dari 6 cm

Metastasis jauh (N)

 Mx: tidak terdeteksi


 M0: tidak ada metastasis jauh
 M1: terdapat metastasis jauh

Stadium/staging

 ST I : T1 N0 M0
 ST II : T2 N0 M0
 ST III : T3 NO M0, atau
T1/T2/T3 N1 M0
 ST IV : T4 N0/N1 M0
T1/T2/T3/T4 N2/N3
T1/T2/T3/T4 N1/N2/N3 M1

DIAGNOSIS

1. Anamnesis
a. Suara serak
b. Suara bergumam akibat nyeri pada laring
c. Dyspnea dan stridor akibat sumbatan jalan napas oleh massa tumor
d. Nyeri tenggorokan
e. Disfagia
f. Batuk dan hemoptisis
g. Nyeri tekan laring
h. Riwayat perokok berat
i. Riwayat konsumsi alkohol jangka panjang
2. Pemeriksaan fisik
a. Dari pemeriksaan fisik sering didapatkan tidak adanya tanda yang khas dari luar,
terutama pada stadium dini/permulaan, tetapi bila tumor sudah menjalar ke kelenjar
limfe leher, terlihat perubahan kontur leher.
b. Pemeriksaan laringoskop indirek untuk melihat lokasi tumor, penyebaran tumor yang
terlihat dan untuk melakukan tindakan biopsi
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium darah
b. Pemeriksaan radiologis
 Foto thoraks untuk menilai keadaan paru apakah ada metastasis di paru
 Foto jaringan lunak (soft tissue) leher dari lateral kadang-kadang dapat menilai
besarnya dan letaknya tumor
 CT scan laring dapat memperlihatkan keadaan tumor dan laring lebih seksama
seperti penjalaran tumor ke daerah sekitarnya serta metastase kelenjar getah
bening leher
c. Biopsi laring dan biopsi jarum-halus pada pembesaran kelenjar limfe di leher untuk
menegakkan diagnosis pasti.

TATALAKSANA

Rujuk ke Sp.THT-KL untuk dilakukan tindakan pembedahan (laringektomi parsial/total), radiasi


dan sitostatika, ataupun kombinasi, tergantung pada stadium penyakit dan keadaan umum pasien.

REFERENSI

1. Buku ajar ilmu THT-KL FK UI Edisi 7


2. Bailey's Head and Neck Surgery - Otolaryngology Volume 1&2 Edisi 5
KARSINOMA NASOFARING

DEFINISI

Karsinoma nasofaring merupakan salah satu tumor ganas di daerah kepala dan leher yang paling
sering ditemukan. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring,
diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%), dan tumor ganas laring (16%).

ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO

Penyebab karsinoma nasofaring adalah Epstein Barr Virus, karena pada semua pasien karsinoma
nasofaring didapatkan titer antivirus EBV yang cukup tinggi. Tetapi virus ini bukan satu-satunya
faktor, karena banyak faktor lain yang sangat memengaruhi kemungkinan timbulnya tumor ini,
seperti letak geografis, ras, jenis kelamin, genetik, pekerjaan, lingkungan, kebiasaan hidup,
kebudayaan, sosial ekonomi, infeksi kuman atau parasit. Faktor lingkungan yang berpengaruh
adalah iritasi bahan kimia, asap jenis kayu tertentu, kebiasaan masak dan bahan tertentu, dan
kebiasaan makan makanan yang terlalu panas.

DIAGNOSIS

1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik


Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi kedalam 4 kelompok, yaitu gejala nasofaring,
gejala telinga, gejala mata dan saraf, serta metastasis atau gejala di leher.
a. Gejala nasofaring, hasil anamnesis menunjukkan:
 Epistaksis ringan
 Hidung tersumbat

Pemeriksaan fisik nasofaring dilakukan dengan nasofaringoskop untuk melihat ada


tidaknya massa.

b. Gejala pada telinga, merupakan gejala dini yang timbul karena tempat asal tumor dekat
dengan muara tuba Eustachius (fossa Rosenmuller).
 Tinitus
 Rasa tidak nyaman di telinga
 Rasa nyeri telinga (otalgia)
c. Gejala mata dan saraf
 Diplopia
 Trigeminal neuralgia
d. Metastasis atau gejala di leher
 Terdapat benjolan di leher
2. Pemeriksaan penunjang
a. CT scan
b. Pemeriksaan serologis IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi virus Epstein Barr
c. Biopsi nasofaring sebagai pemeriksaan baku emas untuk menegakkan diagnosis secara
pasti

STADIUM

Untuk menentukkan stadium menggunakan sistem TNM menurut UICC (2002)

T = Tumor primer

 T0: tidak tampak tumor


 T1: tumor terbatas di nasofaring
 T2: tumor meluas ke jaringan lunak
 T2a: perluasan tumor ke orofaring dan/atau rongga hidung tanpa perluasan ke parafaring
 T2b: disertai perluasan ke parafaring
 T3: tumor menginvasi struktur tulang dan/atau sinus paranasal
 T4: tumor dengan perluasan intrakranial dan/atau terdapat keterlibatan saraf kranial, fossa
infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang mastikator

N = Pembesaran kelenjar getah bening regional

 Nx: pembesaran kelenjar getah bening tidak dapat dinilai


 N0: tidak ada pembesaran
 N1: metastasis kelenjar getah bening unilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama
dengan 6 cm, diatas fossa supraklavikula
 N2: metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama
dengan 6 cm, diatas fossa supraklavikula
 N3: metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran lebih besar dari 6 cm, atau
terletak di dalam fossa supraklavikula
 N3a: ukuran lebih dari 6 cm
 N3b: di dalam fossa supraklavikula

M = metastasis jauh

 Mx: metastasis jauh tidak dapat dinilai


 M0: tidak ada metastasis jauh
 M1: terdapat metastasis jauh

Stadium 0 : T1s N0 M0

Stadium I : T1 N0 M0

Stadium IIA : T2a N0 M0

Stadium IIB : T1 N1 M0 / T2a N1 M0 / T2b


N0,N1 M0

Stadium III : T1 N2 M0 / T2a,T2b N2 M0


/ T3 N2 M0

Stadium IVa : T4 N0,N1,N2 M0

Stadium IVb : semua T N3 M0

Stadium IVc : semua T semua N M1


TATALAKSANA

Rujuk ke Sp.THT-KL untuk dilakukan penatalaksanaan.

a. Stadium I: Radioterapi
b. Stadium II dan III: Kemoradiasi
c. Stadium IV dengan N <6cm: Kemoradiasi
d. Stadium IV dengan N ˃6cm: Kemoterapi dosis penuh dilanjutkan dengan
kemoradiasi

REFERENSI

1. Buku ajar ilmu THT-KL FK UI Edisi 7


2. Bailey's Head and Neck Surgery - Otolaryngology Volume 1&2 Edisi 5
PSIKIATRI
GANGGUAN MENTAL ORGANIK

Delirium

Delirium adalah sindrom yang ditandai dengan gangguan kesadaran dan kognisi yang
terjadi secara akut dan berfluktuasi

Manifestasi klinis:

 Berkurangnya atensi, defisit memori, disorientasi, gangguan berbahasa


 Gangguan psikomotor
 Gangguan persepsi
 Gangguan emosi
 Kekacauan arus dan isi pikir
 Gangguan siklus tidur-bangun
 Terjadi dalam periode waktu yang pendek dan cenderung berfluktuasi dalam sehari

Kriteria diagnosis (berdasarkan ICD-10 dan PPDGJ-III):

A. Gangguan kesadaran
B. Adanya perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi, gangguan berbahasa)
atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan dengan demensia
C. Gangguan psikomotor berupa hipoaktivitas atau hiperaktivitas, pengalihan aktivitas
yang tidak terduga, waktu bereaksi yang lebih panjang, arus pembicaraan yang
bertambah atau berkurang, reaksi terperanjat yang meningkat
D. Gangguan siklus tidur berupa insomnia, atau pada kasus yang berat tidak dapat tidur
sama sekali atau siklus tidurnya terbalik yaitu mengantuk siang hari. Gejala
memburuk pada malam hari dan mimpi yang mengganggu atau mimpi buruk yang
dapat berlanjut menjadi halusinasi setelah bangun tidur.
E. Gangguan emosional berupa depresi, ansietas, takut, lekas marah, euforia, apatis dan
rasa kehilangan akal.

Klasifikasi:
 Delirium akibat kondisi medis umum (contohnya akibat penyakit sistem saraf pusat,
penyakit sistemik, penyakit jantung, gangguan metabolik, endokrin, hematologi,
hepar, renal, dll)
Gejala:
1) Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan terhadap
lingkungan) yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan memfokuskan,
mempertahankan dan mengalihkan perhatian
2) Adanya perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi, gangguan
berbahasa) atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan dengan demensia
3) Gangguan berkembang dalam periode waktu yang pendek, cenderung
berfluktuasi dalam sehari
4) Ada bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium bahwa gangguan
disebabkan oleh konsekuensi fisiologik langsung suatu KMU
 Delirium akibat intoksikasi zat
Gejala:

1) Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan terhadap


lingkungan) yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan memfokuskan,
mempertahankan dan mengalihkan perhatian.
2) Adanya perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi, gangguan
berbahasa) atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan dengan demensia
3) Gangguan berkembang dalam periode waktu yang pendek, cenderung
berfluktuasi dalam sehari.
4) Ada bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium, sebagai berikut:
a. Simtom 1) dan 2) terjadi selama intoksikasi zat atau penggunaan medikasi
b. Intoksikasi zat adalah etiologi terkait dengan delirium
 Delirium akibat putus zat
1) Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan terhadap
lingkungan) yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan memfokuskan,
mempertahankan dan mengalihkan perhatian.
2) Adanya perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi, gangguan
berbahasa) atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan dengan demensia
3) Gangguan berkembang dalam periode waktu yang pendek, cenderung
berfluktuasi dalam sehari.
4) Ada bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium, sebagai berikut:
a. Simtom A dan B terjadi selama atau segera setelah putus zat
 Delirium akibat etiologi beragam
 Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kewaspadaan terhadap
lingkungan) yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan memfokuskan,
mempertahankan dan mengalihkan perhatian.
 Adanya perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi, gangguan
berbahasa) atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan dengan demensia
 Gangguan berkembang dalam periode waktu yang pendek, cenderung
berfluktuasi dalam sehari.
 Ada bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium, bahwa :
a. Delirium memiliki lebih dari satu etiologi, misalnya lebih dari satu KMU,
KMU + intoksikasi zat, atau efek samping obat.
 Delirium yang tidak dapat dispesifikasi
1) Kriteria untuk tipe delirium tertentu tidak terpenuhi.
2) Delirium disebabkan oleh penyebab yang tidak tercatat pada seksi ini (deprivasi
sensorik)

Tatalaksana:

 Farmakologis
Antipsikotika dapat dipertimbangkan bila ada tanda dan gejala psikosis, misalnya
halusinasi, waham atau sangat agitatif (verbal atau fisik) sehingga berisiko terlukanya
pasien atau orang lain.
Obat: haloperidol 2-5 mg IM/IV, dapat diulang setiap 30 menit (maksimal 20
mg/hari).
 Non-farmakologis
Psikoterapi suportif, reorientasi lingkungan, edukasi keluarga untuk memberikan
dukungan kepada pasien

Demensia

Demensia merupakan sindrom akibat penyakit otak, bersifat kronik progresif, ditandai
dengan kemunduran fungsi kognitif multipel, yaitu fungsi memori, aphasia, apraksia,
agnosia, dan fungsi eksekutif. Kesadaran pada umumnya tidak terganggu. Adakalanya
disertai gangguan psikologik dan perilaku.

Manifestasi klinis:

Gejala dini: kesulitan mempelajari informasi baru dan mudah lupa terhadap kejadian yang
baru dialami

Gejala lanjut:

 disorientasi waktu dan tempat;


 kesulitan melakukan pekerjaan sehari hari;
 tidak mampu membuat keputusan;
 kesulitan berbahasa;
 kehilangan motivasi dan inisiatif;
 gangguan pengendalian emosi;
 daya nilai sosial terganggu; dan
 berbagai perubahan perilaku dan psikologis lainnya (agresif-impulsif, halusinasi,
waham).

Klasifikasi berdasarkan etiologi:

a. demensia pada Penyakit Alzheimer: gejala berkembang perlahan lahan, semakin lama
semakin parah, sampai pada tahap lanjut penderita menjadi tergantung penuh pada
keluarga yang merawatnya
b. demensia Vaskular: gejala muncul akut, gambaran klinis sesuai kerusakan vaskuler di
otak, kemunduran fungsi kognitif berjenjang sejalan dengan serangan kerusakan vaskular
berikutnya

c. demensia pada Penyakit Pick

d. demensia pada Penyakit Creutfeld-Jacob

e. demensia pada penyakit Huntington

f. demensia pada Penyakit Parkinson

g. demensia pada Penyakit HIV/AIDS

Kriteria diagnosis:

 Bukti adanya penurunan kemampuan, baik dalam daya ingat maupun daya pikir
seseorang sehingga mengganggu kegiatan sehari-hari
 Hendaya daya ingat secara khas mempengaruhi proses registrasi, penyimpanan dan
memperoleh kembali informasi baru, tetapi ingatan yang biasa dan sudah dipelajari
sebelumnya dapat juga hilang, khususnya dalam stadium akhir.
 Gejala dan hendaya di atas harus sudah nyata untuk setidak-tidaknya 6 (enam) bulan
GANGGUAN MENTAL DAN PERILAKU AKIBAT PENGGUNAAN ZAT
PSIKOAKTIF

Istilah yang sering digunakan:

 Toleransi: berkurangnya respons biologis atau perilaku terhadap penggunaan yang


berulang dari NAPZA dengan jumlah tertentu, atau kebutuhan meningkatnya jumlah
penggunaan NAPZA untuk mencapai efek yang sama.
 Ketergantungan: pola maladaptif dari penggunaan NAPZA, menimbulkan hendaya
atau penyulit/komplikasi yang berarti secara klinis dan atau fungsi sosial
 Intoksikasi akut: Suatu kondisi peralihan yang timbul akibat menggunakan alkohol
atau zat psikoaktif lain sehingga terjadi gangguan kesadaran, fungsi kognitif, persepsi,
afek atau perilaku, atau fungsi dan respons psikofisiologis lainnya.
 Putus zat: Sekelompok gejala dengan aneka bentuk dan keparahan yang terjadi pada
penghentian pemberian zat secara absolut atau relatif sesudah penggunaan zat yang
terus menerus dan dalam jangka panjang atau dosis tinggi

Alkohol

1. Intoksikasi akut:
Gejala:
 Bicara cadel/tak jelas
 Gangguan koordinasi
 Tidak stabil ketika berjalan
 Nistagmus
 Gangguan perhatian atau ingatan
 Stupor atau koma

Tatalaksana:

a. Bila terdapat hipoglikemia injeksi 50 ml dextrose 40%


b. Koma:
 Posisi menunduk untuk cegah aspirasi
 Observasi tanda vital tiap 15 menit
 Injeksi thiamine 100 mg IV untuk profilaksis Wernicke encephalopathy lalu
D40% 50 ml IV
c. Gaduh gelisah: lorazepam 1-2 mg atau haloperidol 5 mg PO atau IM
2. Overdosis
Gejala:
 Penurunan kesadaran, koma, atau stupor
 Perubahan status mental
 Kulit dingin atau lembab, suhu tubuh rendah
3. Putus zat
Gejala (biasanya terjadi 6-24 jam sesudah konsumsi alkohol yang berakhir):
1. Putus zat ringan;
 Tremor
 Khawatir dan agitasi
 Berkeringat
 Mual dan muntah
 Sakit kepala
 Takikardia
 Hipertensi
 Gangguan tidur
 Suhu tubuh meningkat
2. Putus zat berat:
 Muntah
 Agitasi berat
 Disorientasi
 Kebingungan
 Paranoia
 Hiperventilasi
 Delirium tremens, adalah suatu kondisi emergensi pada putus zat alkohol yang
tidak ditangani, muncul 3-4 hari setelah berhenti minum alkohol. Mencakup
gejala agitasi, restlessness, tremor kasar, disorientasi, ketidakseimbangan
cairan dan elektrolit, berkeringat dan demam tinggi, halusinasi lihat dan
paranoia

Tatalaksana putus zat: benzodiazepin

Amfetamin

1. Intoksikasi akut
Gejala:
 Takikardi atau bradikardi
 Dilatasi pupil
 Peningkatan atau penurunan tekanan darah
 Banyak keringat atau kedinginan
 Mual atau muntah
 Penurunan berat badan
 Agitasi atau retardasi motorik
 Kelelahan otot, depresi sistem pernafasan, nyeri dada dan aritmia jantung
 Kebingungan dan kejang-kejang, diskinesia, distonia atau koma

Gejala-gejala di atas tidak disebabkan oleh gangguan fisik atau mental lainnya

Tatalaksana:
 Untuk penggunaan oral, rangsang muntah dengan activated charcoal atau kuras
lambung
 antipsikotik: haloperidol 2-5 mg per kali pemberian atau klorpromazin 1 mg/kg
BB, oral, setiap 4-6 jam
 Antihipertensi bila perlu (TD di atas 140/100 mmHg)
 Bila ada gejala ansietas berikan ansiolitik golongan benzodiazepin; diazepam 3x5
mg atau klordiazepoksid 3x25 mg
 Bila ada kejang, berikan diazepam 10-30 mg parenteral
2. Putus zat
Gejala:
Terdapat mood yang disforik dan dua (atau lebih) perubahan psikologis dibawah ini
yang berkembang dalam beberapa jam atau beberapa hari setelah penghentian
mendadak penggunaan, yaitu:
a. Fatique/kelelahan
b. Mimpi buruk atau halusinasi
c. Insomnia atau hipersomnia
d. Nafsu makan meningkat
e. Retardasi atau agitasi motorik
Tatalaksana:
antipsikotika (haloperidol 3 x 1,5-5mg, atau risperidon 2 x 1,5-3 mg), antiansietas
(alprazolam 2 x 0,25-0,5 mg, atau diazepam 3 x 5-10 mg, atau klobazam 2 x 10 mg)
atau antidepresan golongan SSRI atau trisiklik/tetrasiklik sesuai kondisi klinis

Opioid

1. Intoksikasi akut
Gejala:
Kontriksi pupil (atau dilatasi pupil akibat anoksia karena overdosis berat) dan satu
(atau lebih) gejala-gejala di bawah ini berkembang selama atau segera setelah
penggunaan opioid:
a. Mengantuk/drowsiness
b. Bicara cadel
c. Hendaya dalam perhatian atau daya ingat
Tatalaksana:
Pemberian Antidotum Naloxon HCl (Narcan/Nokoba) atau Naloxone 0.8 mg IV dan
tunggu selama 15 menit. Jika tidak ada respons, berikan Naloxone 1.6 mg IV dan
tunggu 15 menit. Jika masih tetap tidak ada respon, berikan Naloxone 3.2 mg IV dan
curigai penyebab lain. Jika pasien berespon, teruskan pemberian 0.4 mg/jam IV.
2. Putus zat
Gejala:
Terdapat 3 atau lebih gejala yang timbul akibat penghentian atau pengurangan
penggunaan opioida dalam waktu beberapa menitsampai beberapa hari, yaitu :
a. Mood disforik
b. Mual dan muntah
c. Nyeri otot
d. Lakrimasi atau rinorea
e. Dilatasi pupil, piloereksi atau berkeringat
f. Diare
g. Menguap
h. Demam
i. Insomnia
Tatalaksana:
Subtitusi golongan opioid: metadon, bufrenorfin
Substitusi golongan non-opioid: klonidin

Cannabis

1. Intoksikasi akut
Gejala (muncul dalam 2 jam setelah pemakaian, minimal 2):
 Injeksi konjungtiva
 Peningkatan nafsu makan
 Mulut kering
 Takikardia

Tatalaksana:

Umumnya tidak perlu farmakoterapi, namun bila terdapat ansietas berat dapat
diberikan lorazepam 1-2 mg PO/alprazolam 0,5-1 mg PO/chlordiazepoxine 10-50 mg
PO; bila terdapat gejala psikotik dapat diberikan haloperidol 1-2 mg PO atau IM per
20-30 menit

2. Putus zat
Gejala:
 Anisetas, tidak dapat beristirahat tenang dan mudah tersinggung
 Anoreksia
 Tidur terganggu dan sering mengalami mimpi buruk
 Gangguan gastrointestinal
 Keringat malam
 Tremor

Kokain

1. Intoksikasi akut
Gejala:
 Stereotipi, perilaku repetitif
 Ansietas/agitasi berat/panik
 Agresif
 Kedutan otot/hilang koordinasi
 Peningkatan refleks
 Gagal napas
 Peningkatan tekanan darah yang bermakna
 Nyeri dada/angina, iskemi miokardial dan infark
 Edema paru
 Gagal ginjal akut
 Konvulsi
 Penglihatan kabur
 Stroke akut
 Kebingungan/delirium
 Halusinasi, terutama halusinasi dengar
 Dizziness
 Kekakuan oto
 Lemah, nadi cepat
 Aritmia jantung
 Berkeringat/suhu tubuh sangat tinggi
 Sakit kepala
 Nyeri perut/mual/muntah
2. Putus zat
Gejala:
A. Mood disforia dan mencakup dua dari gejala:
1. Fatigue
2. Insomnia atau hipersomnia
3. Agitasi psikomotor atau retardasi
4. Craving
5. Peningkatan nafsu makan
6. Mimpi buruk
B. Gejala putus zat mencapai puncaknya dalam 2-4 hari

PSIKOSIS

Skizofrenia

Skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat yang ditandai dengan gangguan penilaian
realita (waham dan halusinasi).

Manifestasi klinis:

a. Gangguan Proses Pikir: Asosiasi longgar, intrusi berlebihan, terhambat, klang asosiasi,
ekolalia, alogia, neologisme.

b. Gangguan Isi Pikir: Waham, adalah suatu kepercayaan yang salah yang menetap yang
tidak sesuai dengan fakta dan tidak bisa dikoreksi. Jenis-jenis waham antara lain:

1) Waham kejar

2) Waham kebesaran

3) Waham rujukan

4) Waham penyiaran pikiran

5) Waham penyisipan pikiran

6) Waham aneh
c. Gangguan Persepsi; Halusinasi, ilusi, depersonalisasi, dan derealisasi.

d. Gangguan Emosi; ada tiga afek dasar yang sering diperlihatkan oleh penderita
skizofrenia (tetapi tidak patognomonik):

1) Afek tumpul atau datar

2) Afek tak serasi

3) Afek labil

e. Gangguan Perilaku; Berbagai perilaku tak sesuai atau aneh dapat terlihat seperti
gerakan tubuh yang aneh dan menyeringai, perilaku ritual, sangat ketolol-tololan, dan
agresif serta perilaku seksual yang tak pantas.

f. Gangguan Motivasi; aktivitas yang disadari seringkali menurun atau hilang pada orang
dengan skizofrenia. Misalnya, kehilangan kehendak dan tidak ada aktivitas

g. Gangguan Neurokognitif; terdapat gangguan atensi, menurunnya kemampuan untuk


menyelesaikan masalah, gangguan memori (misalnya, memori kerja, spasial dan verbal)
serta fungsi eksekutif.

Kriteria diagnosis:

 Minimal satu gejala yang jelas (dua atau lebih, bila gejala kurang jelas):
a. Pikiran bergema (thought echo), penarikan pikiran atau penyisipan (thought
withdrawal atau thought insertion), dan penyiaran pikiran (thought
broadcasting).
b. Waham dikendalikan (delusionofbeingcontrol), waham dipengaruhi
(delusionofbeing influenced), atau “passivity”, yang jelas merujuk pada
pergerakan tubuh atau pergerakan anggota gerak, atau pikiran, perbuatan atau
perasaan (sensations) khusus; waham persepsi.
c. Halusinasi berupa suara yang berkomentar tentang perilaku pasien atau
sekelompok orang yang sedang mendiskusikan pasien, atau bentuk halusinasi
suara lainnya yang datang dari beberapa bagian tubuh.
d. Waham-waham menetap jenis lain yang menurut budayanya dianggap tidak
wajar serta sama sekali mustahil, seperti misalnya mengenai identitas
keagamaan atau politik, atau kekuatan dan kemampuan “manusia super”
(tidak sesuai dengan budaya dan sangat tidak mungkin atau tidak masuk akal,
misalnya mampu berkomunikasi dengan makhluk asing yang datang dari
planit lain).
 Atau paling sedikit dua dari gejala berikut harus ada secara jelas:
e. Halusinasi yang menetap pada berbagai modalitas, apabila disertai baik oleh
waham yang mengambang/melayang maupun yang setengah berbentuk tanpa
kandungan afektif yang jelas, ataupun oleh ide-ide berlebihan
(overvaluedideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama
berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus
f. Arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan (interpolasi) yang
berakibat inkoheren atau pembicaraan tidak relevan atau neologisme.
g. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), sikap tubuh
tertentu (posturing), atau fleksibilitas serea, negativism, mutisme, dan stupor.
h. Gejala-gejala negatif, seperti sikap masa bodoh (apatis), pembicaraan yang
terhenti, dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya
yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya
kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan
oleh depresi atau medikasi neuroleptika.
i. Perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan dari
beberapa aspek perilaku perorangan, bermanifestasi sebagai hilangnya minat,
tak bertujuan, sikap malas, sikap berdiam diri (self absorbed attitude) dan
penarikan diri secara sosial.
 Gejala tersebut berlangsung selama satu bulan atau lebih
 Perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan dari beberapa
aspek perilaku perorangan, bermanifestasi sebagai hilangnya minat, tak bertujuan,
sikap malas, sikap berdiam diri (self absorbed attitude) dan penarikan diri secara
sosial.
Subtipe:

a. Skizofrenia paranoid

Memiliki kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia dan tambahan:

 halusinasi/waham menonjol:
o halusinasi auditorik
o Halusinasi bau atau kecap, atau bersifat seksual, atau lain-lain perasaan
tubuh
o waham dikendalikan/dipengaruhi/passivity/kejar
 Gangguan afektif, dorongan kehedak dan pembicaraan, serta gejala katatonik
secara relatif tidak nyata/tidak menonjol

b. Skizofrenia disorganisasi (hebefrenik)

 Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia


 Diagnosis pertama kali ditegakkan pada usia 15-25 tahun
 Kepribadian premorbid pemalu dan senang menyendiri
 Selama 2-3 bulan keadaan berikut bertahan:
o Perilaku yang tidak bertanggug jawab dan tak dapat diramalkan,
mannerisme, ada kecenderungan untuk selalu menyendiri, dan perilaku
menunjukkan hampa tujuan dan hampa perasaan
o Afek dangkal dan tidak sesuai, sering disertai oleh cekikikan atau perasaan
puas diri, senyum sendiri, sikap tinggi hati, menyerigai, mannerisme,
bersenda gurau, keluhan hipokondriakal, dan ungkapan kata yang diulang-
ulang
o Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu serta
inkoheren
 Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir umumnya
menonjol. Halusinasi dan waham tidak menonjol. Terdapat perilaku tanpa tujuan
dan tanpa maksud. Adanya preokupasi yang dangkal dan dibuat-buat yang
mempersulit orang untuk memahami jalan pikiran pasien
c. Skizofrenia katatonik

Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia dan terdapat ≥1 perilaku yang


mendominasi:

 Stupor (amat berkurangnya reaktivitas terhadap lingkungan dan dalam gerakan


serta aktivitas spontan) atau mutisme (tidak berbicara)
 Gaduh gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang tak bertujuan, yang tidak
dipengaruhi oleh stimuli eksternal)
 Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela mengambil dan
mempertahankan posisi tubuh tertentu yang tidak wajar dan aneh)
 Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif terhadap semua
perintah atau upaya untuk menggerakkan, atau pergerakan ke arah yang
berlawanan)
 Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku untuk melawan upaya
menggerakkan dirinya)
 Fleksibilitas cerea/waxy flexibility (mempertahankan anggota gerak dan tubuh
dalam posisi yang dapat dibentuk dari luar)
 Command automatism (kepatuhan secara otomatis terhadap perintah) dan
pengulangan kata-kata serta kalimat-kalimat

d. Skizofrenia tak terinci

Memenuhi kriteria umum skizofrenia tapi tidak memenuhi kriteria diagnosis skizofrenia
subtipe lain

e. Skizofrenia residual

Harus memenuhi semua kriteria berikut:

 Gejala negatif yang menonjol


 Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa lampau yang
memenuhi kriteria diagnosis skizofrenia
 Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan
frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat berkurang
dan telah timbul sindrom negatif
 Tidak terdapat gangguan lain

f. Skizofrenia simpleks

 Gejala negatif yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului riwayat
halusinasi, waham atau manifestasi lain dari episode psikotik, dan
 Disertai dengan perubahan perilaku pribadi yang bermakna, bermanifestasi
sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan
hidup, dan penarikan diri secara sosial
 Gejala psikotik kurang jelas dibanding subtipe skizofrenia lain

Tatalaksana:

a. Fase akut
Pada Fase akut terapi bertujuan mencegah pasien melukai dirinya atau orang lain,
mengendalikan perilaku yang merusak, mengurangi beratnya gejala psikotik dan
gejala terkait lainnya misalnya agitasi, agresi dan gaduh gelisah.
Langkah pertama: berbicara dengan pasien
Langkah kedua: keputusan pemberian obat. Pengikatan hanya selama 2-4 jam dan
digunakan untuk memulai pengobatan.
Obat injeksi:
1) Olanzapine, dosis 10 mg/injeksi, intramuskulus, dapat diulang setiap 2 jam, dosis
maksimum 30mg/hari.
2) Aripriprazol, dosis 9,75 mg/injeksi (dosis maksimal 29,25 mg/hari),
intramuskulus.
3) Haloperidol, dosis 5mg/injeksi, intramuskulus, dapat diulang setiap setengah jam,
dosis maksimum 20mg/hari.
4) Diazepam 10mg/injeksi, intravena/intramuskulus, dosis maksimum 30mg/hari.

Obat oral:
Contoh resep:

R/ haloperidol 2 mg tab No.X


S 3 dd tabb I

Terapi lain, ECT (terapi kejang listrik) dapat dilakukan pada Skizofrenia katatonik
dan Skizofrenia refrakter.

b. Fase stabilisasi
Tujuan fase stabilisasi adalah mempertahankan remisi gejala atau untuk mengontrol,
meminimalisasi risiko atau konsekuensi kekambuhan dan mengoptimalkan fungsi
dan proses kesembuhan (recovery).
Setelah diperoleh dosis optimal, dosis tersebut dipertahankan selama lebih kurang 8
– 10 minggu sebelum masuk ke tahap rumatan. Pada fase ini dapat juga diberikan
obat anti psikotika jangka panjang (long acting injectable), setiap 2-4 minggu.
c. Fase rumatan
Dosis mulai diturunkan secara bertahap sampai diperoleh dosis minimal yang masih
mampu mencegah kekambuhan. Bila kondisi akut, pertama kali, terapi diberikan
sampai dua tahun, bila sudah berjalan kronis dengan beberapa kali kekambuhan,
terapi diberikan sampai lima tahun bahkan seumur hidup.

Efek samping antipsikotik (terutama generasi pertama):

 Distonia akut: ditandai dengan posisi kepala dan leher abnormal (torticollis), spasme
otot rahang (trismus), gangguan menelan, bernapas, atau bicara, disfungsi lidah atau
lidah menjulur, deviasi mata, dan posisi tubuh dan anggota gerak abnormal
 Parkinsonisme: ditandai dengan rigiditas dan tremor
 Akathisia: ditandai dengan disforia dan restlessness
 Sindrom neuroleptik maligna: ditandai dengan rigiditas otot dan demam >38 oC

Tatalaksana efek samping ekstrapiramidal dari antipsikotik:

Langkah pertama yaitu menurunkan dosis antipsikotika. Bila tidak dapat ditanggulangi,
berikan obat-obat antikolinergik, misalnya triheksilfenidil, benztropin, sulfas atropin atau
difenhidramin injeksi IM atau IV.

Gangguan Skizoafektif

Skizoafektif adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan dua gambaran yang berulang
yaitu gambaran gangguan skizofrenia dan episod mood baik depresi mayor maupun
bipolar.

Diagnosis gangguan skizoafektif hanya dibuat apabila gejala-gejala definitif adanya


skizofrenia dan gangguan afektif sama-sama menonjol pada saat yang bersamaan, atau
dalam beberapa hari yang satu sesudah yang lain, dalam satu episode penyakit yang sama,
dan sebagai konsekuensinya, episode penyakit tidak memenuhi kriteria baik skizofrenia
maupun episode manik atau depresif.

Subtipe:
a. Gangguan skizoafektif tipe manik
Diagnosis:
 Suasana perasaan harus meningkat secara menonjol atau ada peningkatan suasana
perasaan yang tak begitu mencolok dikombinasi dengan iritabilitas atau
kegelisahan yang meningkat
 Dalam episode yang sama harus jelas ada sedikitnya satu, atau lebih baik lagi dua
gejala skizofrenia yang khas

Tatalaksana:

 Antipsikotik: Olanzapin, Risperidon, Quetiapin, Aripiprazol


 Mood stabilizer: Litium, Divalproat
 Obat lain (penenang): diazepam, lorazepam
b. Gangguan skizoafektif tipe depresi
Diagnosis:
 Harus ada depresi yang menonjol, disertai oleh sedikitnya dua gejala depresif
yang khas atau kelainan perilaku seperti yang terdapat dalam kriteria episode
depresif
 Dalam episode yang sama, sedikitnya harus ada satu atau lebih dua gejala
skizofrenia yang khas

Tatalaksana:

 Antipsikotik: olazapin, aripiprazol, haloperidol


 Mood stabilizer: Litium, Divalproat
 Antidepresan, SSRI, misalnya fluoksetin
c. Gangguan skizoafektif tipe campuran
Diagnosis:
Gangguan dengan gejala-gejala skizofrenia ada secara bersama-sama dengan gejala-
gejala gangguan afektif bipolar tipe campuran
Tatalaksana: sama dengan tatalaksana skizoafektif tipe manik
Gangguan Waham Menetap

Meliputi waham-waham yang berlangsung lama sebagai satu-satunya gejala klinis yang
khas dan tidak dapat digolongkan sebagai gangguan mental organik, skzofrenik, dan
gangguan afektif.

Kriteria diagnosis:

 Merupakan satu-satunya ciri khas klinis atau gejala yang paling mencolok, sudah ada
sedikitnya 3 bulan
 Gejala afektif mungkin terjadi dengan syarat waham tersebut menetap saat tidak
terdapat gangguan afektif
 Tidak terdapat bukti penyakit otak, halusinasi auditorik, dan tidak ada riwayat gejala
skizofrenia

Gangguan Psikotik Akut dan Sementara

Kriteria diagnosis:

Urutan prioritas diagnosis:

 Onset akut (≤2 minggu gejala psikotik menjadi nyata dan mengganggu aspek
kehidupan dan pekerjaan)
 Adanya sindrom yang khas (polimorfik/beraneka ragam dan berubah cepat,
schizophrenia-like/gejala skizofrenia yang khas)
 Adanya stres akut yang berkaitan
 Tanpa diketahui berapa lama gangguan akan berlangsung
GANGGUAN AFEKTIF

Episode Depresi

Diagnosis
Gejala mayor:

 Afek depresif
 Anhedonia (hilang minat dan kegembiraan)
 Anergi (berkurangnya energi  mudah lelah dan aktivitas menurun)
Gejala minor:

 Konsentrasi dan perhatian kurang


 Harga diri & kepercayaan diri berkurang (low self esteem)
 Merasa bersalah & tidak berguna
 Pesimis
 Ide bunuh diri
 Tidur terganggu (sleep disturbance)
 Nafsu makan berkurang (eat disturbance)
Gejala harus berlangsung minimal 2 minggu untuk penegakkan diagnosis.
Tingkat keparahan episode depresif:

 Ringan: 2 mayor + 2 minor, sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial
 Sedang: 2 mayor + 3 minor, menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan
sosial, urusan rumah tangga & kerja
 Berat, tanpa gejala psikotik: 3 mayor + 4 minor, tidak mungkin mampu meneruskan
kegiatan sosial, urusan rumah tangga & kerja
 Berat, dengan gejala psikotik: kriteria episode depresif berat tanpa gejala psikotik +
disertai waham, halusinasi atau stupor depresi. Biasanya waham/halusinasi sejalan
dengan mood
Pemeriksaan penunjang
HAM-D dan MADRS (untuk menentukan derajat keparahan depresi)
Tatalaksana
Indikasi yang pasti untuk perawatan di rumah sakit adalah:

 Prosedur diagnostik
 Risiko bunuh diri atau pembunuhan
 Kemunduran yang parah dalam kemampuan memenuhi kebutuhan makan dan
perlindungan
 Cepatnya perburukan gejala
 Hilangnya sistem dukungan yang biasa didapatnya
Tatalaksana farmakologis:

Contoh resep:
R/fluoksetin 20 mg caps No. X
S 1 dd caps I
Episode Manik
Pada episode manik, afek meningkat, disertai peningkatan dalam jumlah dan kecepatan
aktivitas fisik dan mental.
Kriteria diagnosis:
Mania tanpa gejala psikotik
 Episode harus berlangsung sekurang-kurangnya 1 minggu dan cukup berat sampai
mengacaukan seluruh atau hampir seluruh pekerjaan dan aktivitas sosial yang biasa
dilakukan
 Perubahan afek harus disertai dengan energi yang bertambah sehingga terjadi
aktivitas berlebihan, percepatan dan kebanyakan bicara, kebutuhan tidur yang
berkurang, ide-ide perihal kebesaran/grandiose ideas dan terlalu optimistik
Mania dengan gejala psikotik
 Gambaran mania lebih berat daripada mania tanpa gejala psikotik
 Harga diri yang membumbung dan gagasan kebesaran dapat berkembang menjadi
waham kebesaran (delusion of grandeur), iritabilitas dan kecurigaan menjadi waham
kejar (delusion of persecution). Waham dan halusinasi sesuai dengan afek (mood
congruent)
Hipomania
 Derajat gangguan yang lebih ringan dari mania, afek yang meninggi atau berubah
disertai peningkatan aktivitas, menetap selama sekurang-kurangnya beberapa hari
berturut-turut, pada suatu derajat intensitas dan yang bertahan melebihi apa yang
digambarkan bagi siklotimia dan tidak disertai halusinasi atau waham
 Pengaruh nyata atas kelancaran pekerjaan dan aktivitas sosial memang sesuai dengan
diagnosis hipomania, akan tetapi bila kekacauan berat atau menyeluruh, diagnosis
mania ditegakkan
Gangguan Afektif Bipolar
Gangguan afektif bipolar (GB) merupakan gangguan jiwa yang bersifat episodik dan
ditandai oleh gejala-gejala manik, hipomanik, depresi, dan campuran, biasanya rekuren
serta dapat berlangsung seumur hidup.
Gejala klinis:

 Gangguan ini tersifat oleh episode berulang (sekurang-kurangnya 2 episode) dimana


afek pasien dan tingkat aktivitasnya terganggu, pada waktu tertentu terdiri dari mania
atau hipomania dan pada waktu lain terdiri dari depresi
 Biasanya ada penyembuhan sempurna antar episode
 Episode manik biasanya mulai dengan tiba-tiba dan berlangsung antara 2 minggu
sampai 4-5 bulan, episode depresi cenderung berlangsung lebih lama (rata-rata 6
bulan). Kedua episode tersebut seringkali terjadi setelah peristiwa hidup yang penuh
stres atau trauma mental lain
Klasifikasi:
 Gangguan afektif bipolar, episode kini hipomanik
 Gangguan afektif bipolar, episode kini manik tanpa gejala psikotik
 Gangguan afektif bipolar, episode kini manik dengan gejala psikotik
 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif ringan atau sedang
 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif berat tanpa gejala psikotik
 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif berat dengan gejala psikotik
 Gangguan afektif bipolar, episode kini campuran
Diagnosis:
a) Episode yang sekarang menunjukkan gejala-gejala manik, hipomanik, dan
depresif yang terampur atau bergantian dengan cepat (gejala mania/hipomania
dan depresi sama-sama mencolok selama masa terbesar dari episode penyakit
yang sekarang, dan telah berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu)
b) Harus ada sekurang-kurangnya satu episode afektif hipomanik, manik, atau
campuran di masa lampau
 Gangguan afektif bipolar, kini dalam remisi
Tidak menderita gangguan afektif yang nyata selama beberapa bulan terakhir
 Gangguan afektif bipolar lainnya
 Gangguan afektif bipolar YTT
Tatalaksana:
Gangguan bipolar agitasi akut
Injeksi aripiprazol atau olanzapin IM (lini I) atau injeksi haloperidol atau diazepam (lini
II)
Gangguan bipolar episode kini manik
• Lini I
Litium, divalproat, olanzapin, risperidon, quetiapin, quetiapin XR, aripiprazol, litium atau
divalproat+risperidon, litium atau divalproat+quetiapin, litium atau
divalproat+olanzapin, litium atau divalproat + aripiprazol
• Lini II
Karbamazepin, terapi kejang listrik (TKL), litium+divalproat, paliperidon
• Lini III
Haloperidol, klorpromazin, litium atau divalproat+haloperidol, litium+karbamazepin,
klozapin
Gangguan bipolar episode depresif
• Lini I
Litium, lamotrigin, quetiapin, quetiapin XR, litium atau divalproat+SSRI,
olanzapin+SSRI, litium+divalproat
• Lini II
Quetiapin+SSRI, divalproat, litium atau divalproat+ lamotrigin
• Lini III
Karbamazepin, olanzapin, litium+karbamazepin, litium atau divalproat+venlafaksin,
litium+MAOI, TKL, litium atau divalproat atau AA+TCA, litium atau divalproat atau
karbamazepin+SSRI+lamotrigin, penambahan topiramat
Terapi rumatan (maintenance) gangguan bipolar
• Lini I
Litium, lamotrigin
• Lini II
Divalproat, litium atau divalproat atau antipsikotika atipik + antidepresan, kombinasi dua
dari: litium, lamotrigin, divalproat, atau antipsikotika atipik
• Lini III
Karbamazepin, antipsikotika atipik, ECT

Siklotimia
Diagnosis:

 Ciri esensial adalah ketidakstabilan menetap dari afek, meliputi banyak periode
depresi ringan dan hipomania ringan, diantaranya adalah tidak ada yang cukup parah
atau cukup lama untuk memenuhi kriteria gangguan afektif bipolar atau gangguan
depresif berulang
 Setiap episode alunan efektif (mood swings) tidak memenuhi kriteria untuk kategori
mana pun dalam episode manik atau depresif

Distimia
Diagnosis:
 Ciri esensial adalah afek depresif yang berlangsung sangat lama yang tidak pernah
atau jarang sekali cukup parah untuk memenuhi kriteria gangguan depresif berulang
ringan atau sedang
 Biasanya mulai pada usia dini dari masa dewasa dan berlangsung sekurang-kurangnya
beberapa tahun, kadang-kadang untuk jangka waktu tidak terbatas. Jika onsetnya pada
usia lebih lanjut, gangguan ini seringkali merupakan kelanjutan suatu episode depresif
tersendiri dan berhubungan dengan masa berkabung atau stres lain yang tampak jelas

GANGGUAN ANSIETAS
Gangguan Ansietas Fobik
Ciri:
 Dicetuskan oleh situasi/objek yang jelas yang sebenarnya tidak membahayakan
 Penyebab anxietas dihindari atau dihadapi dengan rasa terancam
Agorafobia

 Takut/cemas timbul pada kondisi seperti menggunakan kendaraan umum, berada di


tempat terbuka (c/tempat parkir, pasar), tempat tertutup (toko, bioskop), mengantri,
berada di luar rumah sendirian
 Cemas disebabkan oleh pemikiran bahwa pada keadaan munculnya gejala panik
individu tidak dapat keluar atau pertolongan tidak bisa didapatkan atau
mempermalukan diri
Fobia Sosial
 Takut/cemas pada situasi sosial tertentu (di luar keluarga) dimana individu tersebut
kemungkinan diamati orang seperti interaksi sosial (c/bertemu orang yg tidak
dikenal), diobservasi (c/ketika makan), dan tampil di depan orang (c/berpidato)
 Ketakutan/kecemasan tersebut karena individu tersebut takut dievaluasi negatif
(c/takut memalukan, ditolak orang, membuat orang lain tersinggung)
Fobia Spesifik

 Terbatas hanya pada kondisi/objek tertentu


 Ketika berhadapan dengan kondisi/objek tersebut, langsung menyebabkan
takut/cemas

 Derajat ketakutannya bisa berbeda (from anticipatory anxiety to a full panic attack)
dipengaruhi kondisi seperti ada orang lain, durasi paparan, dan elemen mengancam
lain
Gangguan Ansietas Lainnya
Ciri:

 Manifestasi ansietas merupakan gejala utama dan tidak terbatas pada situasi
lingkungan tertentu saja
 Dapat disertai gejala-gejala depresif dan obsesif, bahkan juga beberapa unsur dari
ansietas fobik, asal saja jelas bersifat sekunder atau ringan
Gangguan Panik (Ansietas Paroksismal Episodik)
Dalam satu bulan ditemukan adanya beberapa kali serangan ansietas berat:
a) Pada keadaan-keadaan dimana sebenarnya secara objektif tidak ada bahaya
b) Tidak terbatas pada situasi yang telah diketahui atau yang dapat diduga sebelumnya
c) Dengan keadaan yang relatif bebas dari gejala-gejala ansietas pada periode-periode
diantara serangan-serangan panik (namun masih dapat terjadi ansietas antisipatorik:
ansietas yang terjadi setelah membayangkan sesuatu yang mengkhawatirkan akan
terjadi)
Gejala serangan panik (panic attack):
 Palpitasi
 Berkeringat
 Gemetaran
 sesak napas
 rasa tercekik
 nyeri dada
 mual/sakit perut
 pusing/tidak seimbang/pingsan
 rasa dingin/panas
 paresthesia (baal/kesemutan)
 derealisasi (rasa tidak nyata)/depersonalisasi (rasa terpisah dari tubuh)
 rasa seperti akan jadi gila
 takut mati

Gangguan Cemas Menyeluruh


 Ansietas merupakan gejala primer yang berlangsung hampir setiap hari untuk
beberapa minggu sampai beberapa bulan yang tidak terbatas atau hanya menonjol
pada keadaan situasi khusus tertentu saja (bersifat free floating)
 Gejala tersebut mencakup:
a) kecemasan (khawatir akan nasib buruk, merasa seperti di ujung tanduk, sulit
konsentrasi, dsb)
b) ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, gemetaran, tidak dapat santai)
c) overaktivitas otonomik (kepala terasa ringan, berkeringat, jantung berdebar-
debar, sesak napas, keluhan lambung, pusing, mulut kering, dll)
 Pada anak-anak sering terlihat adanya kebutuhan berlebihan untuk ditenangkan serta
keluhan-keluhan somatik berulang yang menonjol

Gangguan Campuran Ansietas dan Depresi


Terdapat gejala-gejala ansietas maupun depresi, dimana masing-masing tidak
menunjukkan rangkaian gejala yang cukup berat untuk menegakkan diagnosis tersendiri.
Untuk ansietas, beberapa gejala otonomik harus ditemukan walaupun tidak terus
menerus, disamping rasa cemas atau kekhawatiran berlebihan

Tatalaksana Gangguan Ansietas


Obat lini pertama: escitalopram, sertralin, venlafaksin
Contoh penulisan resep:
R/ sertralin 50 mg tab No. X
S 1dd tab I
Atau
R/ escitalopram 10 mg tab No. X
S 1dd tab I

GANGGUAN OBSESIF KOMPULSIF


Gangguan obsesif-kompulsif (GOK) merupakan salah satu kelompok gangguan ansietas
yang ditandai oleh adanya obsesi dan/atau kompulsi yang berulang, yang berlangsung
paling sedikit 1 jam sehari, dan menyebabkan penderitaan yang jelas atau gangguan
fungsi sosial dan pekerjaan
Kriteria diagnosis:
 Gejala obsesif atau tindakan kompulsif, atau kedua-duanya harus ada hampir setiap
harri selama sedikitnya dua minggu berturut-turut
 Hal tersebut merupakan sumber penderitaan atau mengganggu aktivitas pnderita
 Gejala-gejala obsesif harus mencakup hal berikut
a. Harus disadari sebagai pikiran, bayangan, atau impuls diri sendiri;
b. Sedikitnya ada 1 pikiran atau tindakan yang tidak berhasil dilawan, meskipun ada
lainnya yang tidak lagi dilawan oleh penderita.
c. Pikiran atau kompulsi tersebut bukan merupakan yang memberi kepuasan atau
kesenangan (sekedar perasaan lega dari ketegangan atau anxietas, tidak dianggap
sebagai kesenangan seperti dimaksud di atas);
d. Gagasan, bayangan pikiran atau impuls tersebut harus merupakan pengeluaran
pengulangan yang tidak menyenangkan (unpleasantly repetitive).
Klasifikasi pola gangguan pada gangguan obsesif kompulsif:

 Contamination: pasien menghindari objek yang terkontaminasi dan percaya bahwa


kontaminasi didapatkan dengan kontak orang ke orang atau dari objek bahkan dari
kontak yang sangat sedikit, sehingga biasanya pada tipe gangguan ini pasien
seringkali cuci tangan atau tidak mau meninggalkan rumah karena takut kuman.
 Pathological doubt/checking: contohnya pada pasien yang berulang kali mengecek
kompor apakah menyala atau tidak. Pasien biasanya memiliki keraguan yang obsesif
dan selalu merasa bersalah bila melupakan atau melakukan sesuatu.
 Intrusive thoughts: biasanya berupa obsesi tanpa disertai kompulsi, meliputi pikiran
mengenai perilaku seksual atau agresif
 Symmetry: butuhnya presisi atau simetri, membuat pasien lambat dalam mengerjakan
berbagai hal
Tatalaksana:
Rekomendasi terapi farmakologis:
 Klomipramin 50-250 mg/hari
 Fluoksetin 20-80 mg/hari
 Sertralin 50-200 mg/hari
 Fluvoksamin 50-300 mg/hari
Catatan:

 Jika terapi SSRI gagal ganti terapi, jika terdapat panik ganti dengan MAOI, jika
terdapat cemas ganti buspiron, jika terdapat depresi dengan litium, jika terdapat tik
dan waham berikan antipsikotik.
 Jika masih tidak respons atau terdapat riwayat bunuh diri lakukan ECT (terapi kejang
listrik)
Terapi psikososial:
 Terapi kognitif perilaku
 Psikoterapi beriorientasi tilikan
 Psikoedukasi

REAKSI TERHADAP STRES BERAT DAN GANGGUAN PENYESUAIAN


Karakteristik dari kategori ini adalah atas dasar salah satu dari dua faktor pencetus:

 Suatu stres kehidupan yang luar biasa, yang menyebabkan reaksi stres akut, atau
 Suatu perubahan penting dalam kehidupan, yang menimbulkan situasi tidak nyaman
yang berkelanjutan, dengan akibat terjadi suatu gangguan penyesuaian
Gangguan dalam kategori ini selalu merupakan konsekuensi langsung dari stres akut yang
berat atau trauma yang berkelanjutan.
Reaksi Stres Akut
Kriteria diagnosis:
 Harus ada kaitan waktu kejadian yang jelas antara terjadinya pengalaman stressor luar
biasa (fisik atau mental) dengan onset gejala, biasanya setelah beberapa menit atau
segera setelah kejadian
 Ditemukan gejala:
a) Terdapat gambaran gejala campuran yang biasanya berubah-ubah; selain gejala
permulaan berupa keadaan terpaku, semua hal berikut dapat terlihat: depresi,
ansietas, kemarahan, kecewa, overaktif, dan penarikan diri.
Akan tetapi tidak satupun dari gejala tersebut yang mendominasi gambaran
klinisnya untuk waktu yang lama
b) Pada kasus-kasus yang dapat dialihkan dari lingkup stressornya, gejala-gejala
dapat menghilang dengan cepat (dalam beberapa jam); dalam hal dimana stres
menjadi berkelanjutan atau tidak dapat dialihkan, gejala-gejala biasanya baru
mereda setelah 24-48 jam dan biasanya hampir menghilang setelah 3 hari
Gangguan Stres Pasca-Trauma
Gangguan stres pasca-trauma merupakan keadaan yang timbul sebagai respons
berkepanjangan dan/atau tertunda terhadap kejadian atau situasi yang bersifat stresor
katastrofik, sangat menakutkan, yang cenderung menyebabkan penderitaan pada hampir
semua orang (misalnya perang, gempa bumi, kecelakaan berat, menjadi korban
penyiksaan, terorisme, dan perkosaan).
Kriteria diagnosis:
 Mengalami atau menyaksikan atau dikonfrontasi peristiwa trauma.Timbulnya
gangguan enam bulan setelah peristiwa traumatik yang bersifat katastrofik tersebut.
Bila lebih dari enam bulan masih bisa asal manifestasi klinisnya khas dan tidak
didapat gangguan lain (misalnya gangguan ansietas, obsesif-kompulsif atau episode
depresif)
 Bukti adanya trauma yaitu selalu adanya dalam ingatan bayangan atau mimpi
mengenai peristiwa tersebut, secara berulang
 Kriteria tambahan (tidak harus ada):
• penarikan diri secara sosial
• penumpulan perasaan
• penghindaran terhadap stimulus yg dapat mengingatkan kembali traumanya
• gangguan otonom
• gangguan suasana perasaan.
Tatalaksana:
Tatalaksana Farmakoterapi
Tergantung dari gejala yang menonjol saat itu, apakah sindrom cemas, depresif atau
disertai gejala psikotik.
1) Bila cemas, berikan Benzodiazepine, misalnya :
• Klobazam 2 x (5-10mg)
• Lorazepam 1-2 x (0,5-1 mg)
2) Bila depresif:
a) SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor), a.l:
• Sertralin, dosis awal 1 x 12,5 - 25 mg/hari, dapat dinaikkan 1x50mg
• Fluoksetin, dosis awal 1 x 5-10mg/hari, dapat dinaikan menjadi 1 x 20-40mg/hari
• Fluvoksamin, dosis awal 1 x 25mg, dapat dinaikkan menjadi 1x 50-100mg/hari
• Escitalopram, dosis awal 1x 5-10 mg/hari, dapat dinaikkan menjadi 1x20 mg/hari
b) Derivat trisiklik:
• Amitriptilin: 2x (10-25) mg
• Imipramin: 1-2 x (10-25) mg
c) Bila ada gejala psikotik, berikan antipsikotik, contohnya:
• Haloperidol, dosis 2 x 1-5mg atau
• Risperidon, dosis 2 x 1-2mg atau
• Olanzapin, 1-2 x 2,5-10mg
• Quetiapin, 50-100mg
Terapi Psikososial
Tujuan terapi menurunkan atau menghilangkan reaksi kecemasan pasien terhadap trauma
yg berkaitan dengan stimulus, terdiri atas:
1) Edukasi tentang reaksi umum terhadap trauma
2) Latihan relaksasi
3) Terapi Kognitif Perilaku
4) Eye Movement Desensitation Reprocessing (EMDR)
5) Prolonged Exposure (PE)

Gangguan Penyesuaian
 Pada gangguan penyesuaian, terdapat suatu perubahan penting dalam kehidupan,
yang menimbulkan situasi tidak nyaman yang berkelanjutan
 Manifestasi bervariasi, dan menakup afek depresif, ansietas, campuran ansietas-
depresif, gangguan tingkah laku, disertai adanya disabilitas dalam kegiatan rutin
sehari-hari. Tidak ada satupun dari gejala tersebut yang spesifik mndukung diagnosis
 Onset biasanya terjadi dalam 1 bulan setelah terjadinya kejadian yang stressful, dan
gejala-gejala biasanya tidak bertahan melebihi 6 bulan

GANGGUAN DISOSIATIF (KONVERSI)


Gejala utama adalah kehilangan sebagian atau seluruh dari integrasi normal (dibawah
kendali kesadaran):

 Ingatan masa lalu


 Kesadaran identitas dan penginderaan
 Kontrol terhadap gerakan tubuh

Amnesia Disosiatif
Ciri utama adalah hilangnya daya ingat, biasanya mengenai kejadian penting yang baru
terjadi (selektif), dan bukan disebabkan oleh gangguan mental organik dan terlalu luas
untuk dapat dijelaskan atas dasar kelupaan yang umum terjadi atau atas dasar kelelahan
Diagnosis:
a) Amnesia, baik total atau parsial, mengenai kejadian yang stressful atau traumatik
yang baru terjadi
b) Tidak ada gangguan mental organik, intoksikasi, atau kelelahan berlebihan
Diagnosis banding:
Amnesia buatan: disebabkan oleh stimulasi secara sadar (malingering). Amnesia buatan
biasanya berkaitan dengan problema yang jelas mengenai keuangan, bahaya kematian
dalam peperangan, atau kemungkinan hukuman penjara atau hukuman mati.

Fugue Disosiatif
Diagnosis:
a) Terdapat ciri-ciri amnesia disosiatif
b) Melakukan perjalanan tertentu melampaui hal yang umum dilakukannya sehari-hari
c) Kemampuan mengurus diri dasar tetap ada dan melakukan interaksi sosial sederhana
dengan orang-orang yang belum dikenal (misalkan membeli karcis atau bensin,
menanyakan arah, memesan makan)
Diagnosis banding:
Postictal fugue: biasanya terjadi setelah serangan epilepsi lobus temporalis, dapat
dibedakan dengan riwayat penyakit pasien dan tidak adanya problem atau kejadian
stressful, dan kurang jelasnya bepergian serta kegiatan dari penderita epilepsi tersebut.

Stupor Disosiatif
Diagnosis:
a) Stupor, sangat berkurangnya atau hilangnya gerakan-gerakan volunter dan respon
normal terhadap rangsangan luar sedangkan kesadaran tidak hilang
b) Tidak ditemukan adanya gangguan fisik ataupun jiwa lain
c) Adanya problem atau kejadian-kejadian baru yang stressful
Diagnosis banding:
 Stupor katatonik (pada skizofrenia)
 Stupor depresif atau manik (pada gangguan afektif, berkembang sangat lambat)

Gangguan Trans dan Kesurupan


 Gangguan ini menunjukkan adanya kehilangan sementara aspek penghayatan dan
identitas diri dan kesadaran terhadap lingkungannya; dalam beberapa kejadian,
individu tersebut berperilaku seakan-akan dikuasai oleh kepribadian lain, kekuatan
gaib, malaikat, atau kekuatan lain
 Involunter dan bukan bukan merupakan aktivitas yang biasa, dan bukan mrupakan
kegiatan keagamaan ataupun budaya
 Tidak ada penyebab organik dan jiwa lain

Gangguan Motorik Disosiatif


Gejala: ketidakmampuan untuk menggerakkan seluruh atau sebagian dari anggota gerak,
gejala menggambarkan konsep dari penderita mengenai gangguan fisik yang berbeda
dengan prinsip fisiologik maupun anatomik.

Konvulsi Disosiatif (pseudo seizures)


Perbedaan dengan kejang epileptik: sangat jarang disertai lidah tergigit, luka serius karena
jatuh saat serangan dan mengompol, tidak disertai kehilangan kesadaran atau diganti
dengan keadaan stupor atau trans

Anestesia dan Kehilangan Sensorik Disosiatif


 Gejala anestesi pada kulit seringkali mempunyai batas-batas yang tegas
(menggambarkan pemikiran pasien mengenai fungsi tubuhnya dan bukan
menggambarkan kondisi klinis sebenarnya)
 Perbedaan antara hilangnya perasaan pada berbagai jenis modalitas penginderaan
yang tidak mungkin disebabkan oleh kerusakan neeurologis, misalnya hilangnya
perasaan dapat disertai dengan parestesia
 Kehilangan penglihatan jarang bersifat total, lebih banyak berupa gangguan
ketajaman penglihatan, kekaburan atau tunnel vision dan mobilitas penderita dan
kemampuan motoriknya seringkali masih baik
 Tuli disosiatif dan anosmia lebih jarang terjadi dibandingkan hilang rasa dan
penglihatan

Sindrom Depersonalisasi-Derealisasi
Harus ada salah satu atau dua-duanya dari a) dan b) ditambah c) dan d):
a) Gejala depersonalisasi, yaitu individu merasa bahwa perasaannya dan/atau
pengalamannya terlepas dari dirinya, jauh, bukan dari dirinya, hilang, dsb
b) Gejala derealisasi, yaitu objek, orang, dan/atau lingkungan menjadi seperti tidak
sesungguhnya, jauh, semu, tanpa warna, tidak hidup, dsb
c) Memahami bahwa hal tersebut merupakan perubahan spontan dan subjektif, dan
bukan disebabkan oleh kekuatan luar atau orang lain (insight cukup baik)
d) Penginderaan tidak terganggu dan tidak ada toxic confusional state atau epilepsi
GANGGUAN SOMATOFORM
Gangguan somatoform ditandai dengan adanya keluhan fisik berulang disertai
permintaan pemeriksaan medik, walau hasil negatif dan dijelaskan dokternya, masih
mengeluh, tidak mau mendengarkan dokternya setelah dijelaskan tidak ada kelainan fisik.

Gangguan Somatisasi
a) Adanya banyak keluhan-keluhan fisik yang bermacam-macam yang tidak dapat
dijelaskan atas dasar adanya kelainan fisik, yang sudah berlangsung minimal 2 tahun
b) Tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak ada
kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhan-keluhannya
c) Terdapat disabilitas dalam fungsinya di masyarakat dan keluarga, yang berkaitan
dengan sifat keluhan-keluhannya dan dampak dari perilakunya

Gangguan Somatoform Tak Terinci


Keluhan-keluhan fisik bersifat multipel, bervariasi, dan menetap, tetapi gambaran khas
klinis dari gangguan somatisasi tidak terpenuhi

Gangguan Hipokondrik
a) Keyakinan yang menetap adanya sekurang-kurangnya satu penyakit fisik yang serius
yang melandasi keluhan-keluhannya meskipun pemeriksaan yang berulang tidak
menunjang adanya alasan fisik yang memadai, ataupun adanya preokupasi yang
menetap kemungkinan deformitas atau perubahan bentuk fisiknya (bukan waham)
b) Tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak
ditemukan penyakit atau abnormalitas fisik yang melandasi keluhan-keluhannya

Disfungsi Otonomik Somatoform


a) Adanya gejala-gejala bangkitan otonomik seperti palpitasi, berkeringat, tremor, muka
panas/flushing, yang menetap dan mengganggu
b) Gejala subjektif tambahan mengacu pada sistem atau organ tertentu (gejala tidak
khas)
c) Preokupasi dan penderitaan mengenai kemungkinan adanya gangguan yang serius
dari sistem atau organ tertentu yang tidak terpengarruh oleh hasil pemeriksaan-
pemeriksaan berulang maupun penjelasan-penjelasan dari para dokter
d) Tidak terbukti adanya gangguan yang cukup berarti pada struktur/fungsi dari sistem
atau organ yang dimaksud
Gangguan Nyeri Somatoform Menetap
 Keluhan utama adalah nyeri berat, menyiksa, dan menetap, yang tidak dapat
dijelaskan sepenuhnya atas dasar proses fisiologik maupun adanya gangguan fisik
 Nyeri timbul dalam hubungan adanya konflik emosional atau problem psikososial
yang cukup jelas untuk dapat dijadikan alasan dalam mempengaruhi terjadinya
gangguan tersebut
 Dampaknya adalah meningkatnya perhatian dan dukungan, baik personal maupun
medis, untuk yang bersangkutan

Gangguan Somatoform Lainnya


Keluhannya tidak melalui sistem saraf otonom, dan terbatas secara spesifik pada bagian
tubuh atau sistem tertentu

Factitious Disorder
Pada factitious disorder, pasien melakukan pemalsuan gejala fisik atau psikologis, atau
memunculkan cedera atau penyakit yang dilakukan walau tanpa adanya manfaat yang
jelas, dan perilaku ini dilakukan walaupun tidak didapatkan keuntungan.
Diagnosis banding:
Malingering: perbedaan dengan malingering adalah pada pasien dengan malingering,
gejala dibuat-buat untuk mendapatkan keuntungan (seperti waktu libur, uang)

Tatalaksana:
 Cognitive Behavioral Therapy (CBT)
 Follow up tiap 1 bulan untuk memberikan dukungan pada pasien
 Modifikasi gaya hidup dan reduksi stres
 Umumnya tidak membutuhkan medikamentosa
GANGGUAN MAKAN
Anoreksia Nervosa
Ciri khas gangguan adalah mengurangi berat badan dengan sengaja, dipacu dan atau
dipertahankan oleh penderita
Diagnosis:
a) Berat badan tetap dipertahankan 15% dibawah yang seharusnya (baik yang berkurang
maupun yang tak pernah tercapai) atau BMI ≤17,5. Pada penderita pra-pubertas bisa
saja gagal mencapai berat badan yang diharapkan selama periode pertumbuhan
b) Berkurangnya berat badan dilakukan sendiri dengan menghindarkan makanan yang
mengandung lemak dan salah satu dari hal berikut:
 Merangsang muntah oleh diri sendiri
 Menggunakan pencahar
 Olahraga berlebihan
 Memakai obat penekan nafsu makan dan/atau diuretika
c) Terdapat distorsi ‘body image’ dalam bentuk psikopatologi yang spesifik dimana
ketakutan gemuk terus menerus menyerang penderita, penilaian yang berlebihan
terhadap berat badan yang rendah
d) Adanya gangguan endokrin yang meluas, melibatkan hypothalamic-pituitary-gonadal
axis, dengan manifestasi pada wanita adalah amenore dan pada pria adalah kehilangan
minat dan potensi seksual. Juga dapat terjadi kenaikan hormon pertumbuhan, naiknya
kadar kortisol, perubahan metabolisme periferal dari hormon tiroid, dan sekresi
insulin abnormal
e) Jika onset terjadinya pada masa pra-pubertas, perkembangan pubertas tertunda, atau
tertahan.

Bulimia Nervosa
Diagnosis:
a) Terdapat preokupasi yang menetap untuk makan, dan ketagihan (craving) terhadap
makanan yang tidak bisa dilawan; penderita tidak berdaya terhadap datangnya
episode makan berlebihan dimana makanan dalam jumlah yang besar dimakan dala
waktu yang singkat
b) Pasien berusaha melawan efek gemuk dengan cara:
 Merangsang muntah oleh diri sendiri
 Menggunakan pencahar berlebihan
 Puasa berkala
 Memakai obat-obatan seperti penekan nafsu makan, sediaan tiroid atau diuretika.
Jika terjadi pada penderita diabetes, pasien akan mengabaikan penggunaan
obatnya
c) Gejala psikopatologinya terdiri dari ketakutan yang luar biasa akan kegemukan dan
penderita mengatur sendiri batasan yang ketat dari ambang berat badannya, sangat
dibawah berat badan sebelum sakit dianggap BB yang sehat atau optimal
GANGGUAN TIDUR NON-ORGANIK
Gangguan ini meliputi:
a) Dyssomnia: kondisi psikogenik primer dimana gangguan utamanya adalah jumlah,
kualitas, waktu tidur yang disebabkan oleh hal-hal emosional (termasuk dalam
gangguan ini adalah insomnia, hipersomnia, gangguan tidur-jaga/sleep-wake
disorder)
b) Parasomnia: peristiwa episodik abnormal yang terjadi selama tidur (termasuk dalam
gangguan ini adalah somnabulisme/sleepwalking, teror tidur/night terrors, mimpi
buruk/nightmare)
Insomnia
Diagnosis:
a) Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur, atau kualitas tidur
yang buruk
b) Gangguan terjadi minimal 3 kali dalam seminggu selama minimal satu bulan
c) Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur dan peduli yang berlebihan terhadap
akibatnya pada malam hari dan sepanjang hari
d) Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur menyebabkan penderitaan
yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial dan pekerjaan
Tipe insomnia:
 Early: sulit memulai tidur
 Middle:sulit mempertahankan tidur (terus terbangun)
 Late: terbangun terlalu awal namun sulit untuk tidur kembali
Tatalaksana:
Pasien diberikan penjelasan tentang faktor risiko yang dimilikinya dan pentingnya untuk
memulai pola hidup sehat dan mengatasi masalah penyebab insomnia
Medikamentosa: lorazepam 0,5-2 mg atau diazepam 2-5 mg pada malam hari
Resep:
R/lorazepam 0,5 mg tab No. V
S 1 dd tab I hs

Hipersomnia
Diagnosis:
a) Rasa kantuk pada siang hari yang berlebihan atau adanya serangan tidur (tidak
disebabkan oleh jumlah tidur yang kurang), dan atau transisi yang memanjang dari
saat mulai bangun tidur sampai sadar sepenuhnya
b) Gangguan tidur terjadi setiap hari selama lebih dari 1 bulan atau berulang dengan
kurun waktu yang lebih pendek, menyebabkan penderitaan yang cukup berat dan
mempengaruhi fungsi dalam sosial dan pekerjaan
c) Tidak ada gejala tambahan narcolepsy (cataplexy, sleep paralysis, hypnagogic
hallucination) atau bukti klinis untuk sleep apnoe (nocturnal breath cessation, typical
intermittent snoring sounds)
d) Tidak ada kondisi neurologis atau medis yang menunjukkan gejala rasa kantuk pada
siang hari

Gangguan Jadwal Tidur-Jaga


Diagnosis:
a) Pola tidur-jaga dari individu tidak seirama dengan pola tidur-jaga yang normal bagi
masyarakat setempat
b) Insomnia pada waktu orang-orang tidur dan hipersomnia pada waktu kebanyakan
orang jaga, yang dialami hampir setiap haru untuk sedikitnya 1 bulan
c) Ketidakpuasan dalam kuantitas, kualitas, dan waktu tidur menyebabkan penderitaan
yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial dan pekerjaan

Somnabulisme (Sleepwalking)
Diagnosis:
a) Gejala episode bangun dari tempat tidur, biasanya pada sepertiga awal tidur malam,
dan terus berjalan-jalan
b) Selama satu episode, individu menunjukkan wajah bengong, relatif tak memberi
respons terhadap upaya orang lain untuk mempengaruhi keadaan atau untuk
berkomunikasi dengan penderita dan hanya dapat disadarkan/dibangunkan dari
tidurnya dengan susah payah
c) Pada waktu sadar/bangun, individu tidak ingat apa yang terjadi
d) Dalam kurun waktu beberapa menit setelah bangun dari episode tersebut, tidak ada
gangguan mental, walaupun dapat dimulai dengan sedikit bingung dan disorientasi
dalam waktu singkat
e) Tidak ada bukti adanya gangguan mental organik

Teror Tidur (Night Terrors)


Diagnosis:
a) Gejala utama adalah salah satu atau lebih episode bangun dari tidur, mulai dengan
berteriak karena panik, disertai ansietas yang hebat, seluruh tubuh bergetar, dan
hiperaktivitas otonomik seperti jantung berdebar-debar, napas cepat, pupil melebar,
dan berkeringat
b) Episode dapat berulang, setiap episode lamanya 1-10 menit, dan biasanya terjadi pada
sepertiga awal tidur malam
c) Secara relatif tidak bereaksi terhadap berbagai upaya orang lain untuk mempengaruhi
keadaan teror tidur dan kemudian dalam beberapa menit setelah bangun biasanya
terjadi disorientasi dan gerakan-gerakan berulang
d) Tidak ada bukti adanya gangguan mental organik
Diagnosis banding:
Mimpi buruk: biasanya terjadi setiap saat dalam tidur, mudah dibangunkan, teringat
dengan jelas kegiatannya

Mimpi Buruk (Nightmares)


a) Terbangun dari tidur malam atau tidur siang berkaitan dengan mimpi yang
menakutkan yang dapat diingat kembali dengan rinci dan jelas, terbangun dapat
terjadi kapan saja selama periode tidur, tetapi yang khas adalah pada paruh kedua
masa tidur
b) Setelah terbangun dari mimpi yang menakutkan, individu segera sadar penuh dan
mampu mengenali lingkungannya
c) Pengalaman mimpi atau akibat dari tidur yang terganggu menyebabkan penderitaan
yang cukup berat bagi individu
DISFUNGSI SEKSUAL
Disfungssi seksual meliputi berbagai gangguan dimana individu tidak mampu berperan
serta dalam hubungan seksual seperti yang diharapkannya

Kurang atau Hilangnya Nafsu Seksual


 Hilangnya nafsu seksual merupakan masalah utama dan tidak merupakan gangguan
sekunder dari kesulitan seksual lainnya
 Berkurangnya nafsu seksual tidak menyingkirkan kenikmatan atau bangkitan seksual,
tetapi menyebabkan kurangnya aktivitas awal seksual

Penolakan dan Kurangnya Kenikmatan Seksual


Penolakan Seksual (sexual aversion)
Adanya perasaan negatif terhadap interaksi seksual, sehingga aktivitas seksual
dihindarkan
Kurang Kenikmatan Seksual (Lack of sexual enjoyment)
Respons seksual berlangsung normal dan mengalami orgasme, tetapi kurang ada
kenikmatan yang memadai

Kegagalan dari Respons Genital


Pada pria: disfungsi ereksi, kesukaran untuk terjadinya atau mempertahankan ereksi yang
memadai untuk suatu hubungan seksual yang memuaskan
Wanita: kekeringan vagina atau kegagalan pelicinan/lubrikasi

Disfungsi Orgasme
Orgasme tidak terjadi sama sekali maupun yang sangat terlambat

Dorongan Seksual yang Berlebihan


Dorongan seksual yang berlebih sebagai problem dalam dirinya, biasanya remaja akhir
belasan tahun atau dewasa muda

Dispareunia
Dispareunia adalah keadaan nyeri pada waktu hubungan seksual, dapat terjadi pada
wanita ataupun pria

Gangguan Seksual yang Terjadi Hanya pada Pria:


Ejakulasi Dini
Ketidakmampuan mengendalikan ejakulasi

Gangguan Seksual pada Terjadi Hanya pada Wanita:


Vaginismus
Terjadi spasme otot vagina, menyebabkan tertutupnya pembukaan vagina. Masuknya
penis menjadi tak mungkin atau nyeri

GANGGUAN IDENTITAS JENIS KELAMIN


Transseksualisme
Gambaran berikut harus menetap selama minimal 2 bulan;

 Adanya hasrat untuk hidup dan diterima sebagai anggota dari kelompok lawan
jenisnya, biasanya disertai perasaan risih, atau ketidakserasian dengan anatomi
seksualnya
 Adanya keinginan untuk mendapatkan terapi hormonal dan pembedahan untuk
membuat tubuhnya semirip mungkin dengan jenis kelamin yang diinginkan

Transvestisme Peran Ganda


 Mengenakan pakaian lawan jenisnya sebagai bagian dari eksistensi dirinya untuk
menikmati sejenak pengalaman sebagai anggota lawan jenisnya
 Tanpa hasrat untuk mengubah jenis kelamin secara lebih permanen atau berkaitan
dengan tindakan bedah
 Tidak ada perangsangan seksual yang menyertai pemakaian pakaian lawan jenis
tersebut
GANGGUAN PREFERENSI SEKSUAL
Fetishisme
 Mengandalkan beberapa benda mati sebagai rangsangan untuk membangkitkan
keinginan seksual dan memberikan kepuasan seksual. Kebanyakan benda tersebut
adalah ekstensi dari tubuh manusia, seperti pakaian atau sepatu
 Objek fetish benar-benar merupakan sumber utama dari rangsangan seksual atau
penting sekali untuk respons seksual yang memuaskan
 Terbatas hampir hanya pada pria saja

Transvertisme Fetishistik
Mengenakan pakaian dari lawan jenis dengan tujuan pokok untuk mencapai kepuasan
seksual
Diagnosis banding:
Fetishisme: pada transvertisme fetishistik pakaian sebagai objek fetish bukan hanya
sekadarr dipakai tetapi untuk menciptakan penampilan dari lawan jenis kelaminnya dan
pada transvertisme fetishistik perlengkapan yang dipakai menyeluruh
Transvertisme transsexual: pada transvertisme fetishistik adanya hubungan yang jelas
dengan bangkitnya gairah seksual dan keinginan/hasrat yang kuat untuk melepaskan baju
tersebut apabila orgasme sudah terjadi dan rangsangan seksual menurun

Ekshibisionisme
 Kecenderungan yang berulang atau menetap untuk memamerkan alat kelamin kepada
asing (biasanya lawan jenis kelamin) atau kepada orang banyak di tempat umum,
tanpa ajakan atau niat untuk berhubungan lebih akrab
 Hampir terbatas pada laki-laki heteroseksual yang memamerkan kepada wanita,
remaja, atau dewasa, biasanya menghadap mereka dalam jarak yang aman di tempat
umum. Apabila yang menyaksikan itu terkejut, takut, atau terpesona, kegairahan
penderita meningkat

Voyeurisme
Kecenderungan yang berulang atau menetap untuk melihat orang yang sedang
berhubungan seksual atau berperilaku intim seperti sedang menanggalkan pakaian
Biasanya menjurus kepada rangsangan seksual dan masturbaasi, yang dilakukan tanpa
orang yang diintip menyadarinya
Pedofilia
Preferensi seksual terhadap anak-anak yang berulang dan menetap, biasanya pra-pubertas
atau awal masa pubertas

Sadomasokisme
Preferensi terhadap aktivitas seksual yang melibatkan pengikatan atau menimbulkan rasa
sakit atau penghinaan (individu yang lebih suka menjadi resipien dari perangsangan:
masokisme, sebagai pelaku: sadisme)
Aktivitas sadomasokistik merupakan sumber rangsangan yang penting untuk pemuasan
seks

GANGGUAN KEPRIBADIAN
Ciri:

 Mencakup kondisi klinis yang bermakna dan pola perilaku yang cenderung menetap,
dan merupakan ekspresi dari pola hidup yang khas dari seseorang dan cara-cara
berhubungan dengan diri sendiri maupun orang lain
 Beberapa dari kondisi dan pola perilaku tersebut berkembang sejak dini dari masa
pertumbuhan dan perkembangan dirinya sebagai hasil interaksi faktor-faktor
konstitusi dan pengalaman hidup, sedangkan yang lainnya didapat pada masa
kehidupan selanjutnya

GANGGUAN KEPRIBADIAN CLUSTER A


Terdiri dari:
 Gangguan kepribadian paranoid: ditandai dengan ketidakpercayaan dan kecurigaan
bahwa orang lain bermaksud jahat
 Gangguan kepribadian skizoid: ditandai dengan pengasingan dari hubungan sosial
dan kurangnya ekspresi emosi
 Gangguan kepribadian skizotipal: ditandai dengan rasa tidak nyaman dalam
hubungan yang dekat, distorsi kognitif atau persepsi, dan perilaku eksentrik

Gangguan Kepribadian Paranoid


Minimal 3 dari:
a) Kepekaan berlebihan terhadap kegagalan dan penolakan
b) Kecenderungan untuk tetap menyimpan dendam
c) Kecurigaan dan kecenderungan yang mendalam untuk mendistorsikan pengalaman
dengan menyahartikan tindakan orang lain yang netral atau bersahabat sebagai suatu
sikap permusuhan atau penghinaan
d) Perasaan bermusuhan dan ngotot tentang hak pribadi tanpa memperhatikan situasi
yang ada
e) Kecurigaan yang berulang, tanpa sadar, tentang kesetiaan seksual dari pasangannya
f) Kecenderungan untuk merasa dirinya penting secara berlebihan, yang bermanifestasi
dalam sikap yang selalu merujuk ke diri sendiri
g) Preokupasi dengan penjelasan-penjelasan yang bersekongkol dan tidak substantif dari
suatu peristiwa, baik yang menyangkut diri pasien sendiri maupun dunia pada
umumnya

Gangguan Kepribadian Skizoid


Minimal 3 dari:
a) Sedikit aktivitas yang memberikan kesenangan
b) Emosi dingin, afek mendatar, atau tak peduli
c) Kurang mampu untuk mengekspresikan kehangatan, kelembutan, atau kemarahan
terhadap orang lain
d) Tampak nyata ketidakpedulian baik terhadap pujian maupun kecaman
e) Kurang tertarik untuk mengalami pengalaman seksual dengan orang lain
f) Hampir selalu memilih aktivitas yang dilakukan sendiri
g) Preokupasi dengan fantasi dan intospeksi yang berlebihan
h) Tidak mempunyai teman dekat atau hubungan pribadi yang akrab (kalau ada hanya
satu) dan tidak ada keinginan untuk menjalin hubungan seperti itu
i) Sangat tidak sensitif terhadap norma dan kebiasaan sosial yang berlaku

Gangguan Kepribadian Skizotipal


Minimal 3-4 gejala secara terus-menerus atau episodik, sedikitnya 2 tahun lamanya:
a) Afek yang tidak wajar atau yang menyempit (individu tampak dingin dan acuh tak
acuh)
b) Perilaku atau penampilan yang aneh, eksentrik, atau ganjil
c) Hubungan sosial yang buruk dengan orang lain dan tendensi menarik diri dari
pergaulan sosial
d) Kepercayaan yang aneh atau pikiran bersifat magik, yang mempengaruhi perilaku dan
tidak serasi dengan norma-norma budaya setempat
e) Kecurigaan atau ide-ide paranoid
f) Pikiran obsesif berulang-ulang yang tak terkendali, sering dengan isi yang
dysmorphophobic (keyakinan tentang bentuk tubuh yang tidak normal/buruk dan
tidak terlihat secara objektif oleh orang lain), seksual, atau agresif
g) Persepsi-persepsi pancaindera yang tidak lazim termasuk mengenai tubuh atau ilusi
lain, depersonalisasi, atau derealisasi
h) Pikiran yang bersifat samar-samar, sirkumstansial, penuh kiasan, sangat terinci dan
ruwet, atau stereotipik, yang bermanifestasi dalam pembicaraan yang aneh atau cara
lain, tanpa inkoherensi yang jelas dan nyata
i) Sewaktu-waktu ada episode menyerupai keadaan psikotik yang bersifat sementara
dengan ilusi, halusinasi auditorik atau lainnya yang bertubi-tubi, dan gagasan yang
mirip waham, biasanya terjadi tanpa provokasi dari luar

GANGGUAN KEPRIBADIAN CLUSTER B


Terdiri dari:
 Gangguan kepribadian disosial/antisosial: ditandai dengan mengabaikan dan
pelanggaran hak orang lain
 Gangguan kepribadian emosional tak stabil (borderline): ditandai dengan
ketidakstabilan hubungan interpersonal, citra diri, dan afek, dan impulsivitas
 Gangguan kepribadian histrionik: ditandai dengan emosionalitas berlebihan dan
mencari perhatian
 Gangguan kepribadian narsisistik: ditandai dengan kebesaran (grandiosity), butuh
dipuji, dan kurangnya empati

Gangguan Kepribadian Disosial (Gangguan Kepribadian Antisosial)


Terdapat perbedaan yang besar antara perilaku dan norma sosial yang berlaku, ditandari
oleh minimal 3 dari:
a) Bersikap tidak peduli dengan perasaan orang lain
b) Sikap yang amat tidak bertanggung jawab dan berlangsung terus menerus (persisten)
serta tidak peduli terhadap norma, peraturan, dan kewajiban sosial
c) Tidak mampu memelihara suatu hubungan agar berlangsung lama, meskipun tidak
ada kesulitan untuk mengembangkannya
d) Toleransi terhadap frustrasi sangat rendah dan ambang yang rendah untuk
melampiaskan agresi, termasuk tindakan kekerasan
e) Tidak mampu mengalami rasa salah dan menarik manfaat dari pengalaman,
khususnya dari hukuman
f) Sangat cenderung menyalahkan orang lain, atau menawarkan rasionalisasi yang
masuk akal, untuk perilaku yang membuat pasien konflik dengan masyarakat
Gangguan Kepribadian Emosional Tak Stabil (Kepribadian Ambang/Borderline)
a) Terdapat kecenderungan yang mencolok untuk bertindak secara impulsif tanpa
mempertimbangkan konsekuensinya, bersamaan dengan ketidakstabilan emosional
b) Berkaitan dengan impulsivitas dan kekurangan pengendalian

Gangguan Kepribadian Histrionik


Minimal 3 dari:
a) Ekspresi emosi yang dibuat-dibuat seperti bersandiwara, yang dibesar-besarkan
b) Bersifat sugestif, mudah dipengaruhi oleh orang lain atau oleh keadaan
c) Keadaan afektif yang dangkal dan labil
d) Terus menerus mencari kegairahan, penghargaan dari orang lain, dan aktivitas dimana
pasien menjadi pusat perhatian
e) Penampilan atau perilaku merangsang (seductive) yang tidak memadai
f) Terlalu peduli dengan daya tarik fisik

Gangguan Kepribadian Narsisistik


1. Memiliki rasa mementingkan diri sendiri yang besar (mis., Melebih-lebihkan prestasi
dan bakat, berharap untuk diakui sebagai yang unggul tanpa pencapaian yang sepadan).
2. Disibukkan dengan fantasi keberhasilan, kekuatan, kecemerlangan, kecantikan, atau
cinta yang tak terbatas.
3. Percaya bahwa dia "istimewa" dan unik dan hanya dapat dipahami oleh, atau harus
bergaul dengan, orang (atau lembaga) istimewa atau berstatus tinggi lainnya.
4. Butuh dikagumi
5. Memiliki rasa bahwa dia unggul/memiliki hak khusus (yaitu, harapan yang tidak masuk
akal dari perlakuan yang menguntungkan atau kepatuhan otomatis terhadap harapannya).
6. Eksploitatif secara interpersonal (yaitu, mengambil keuntungan dari orang lain untuk
mencapai tujuannya sendiri).
7. Kurang empati: tidak mau mengenali perasaan dan kebutuhan orang lain.
8. Sering iri pada orang lain atau percaya bahwa orang lain iri padanya.
9. Menunjukkan sikap arogan atau perilaku angkuh

GANGGUAN KEPRIBADIAN CLUSTER C


Terdiri dari:
 Gangguan kepribadian anankastik (obsessive compulsive personality disorder):
ditandai dengan preokupasi dengan keteraturan, perfeksionis, dan kontrol
 Gangguan kepribadian cemas (menghindar): ditandai dengan kesulitan bersosialisasi,
merasa tidak mampu, dan cemas dievaluasi negatif
 Gangguan kepribadian dependen: ditandai dengan penurut dan menempel yang
disebabkan karena merasa memiliki kebutuhan untuk diurus

Gangguan Kepribadian Anankastik (Obsessive Compulsive Personality Disorder)


Minimal 3 dari:
a) Perasaan ragu-ragu dan hati-hati yang berlebihan
b) Preokupasi dengan hal-hal yang rinci, beraturan, daftar, urutan, organisasi atau jadwal
c) Perfeksionisme yang mempengaruhi penyelesaian tugas
d) Ketelitian yang berlebihan, terlalu hati-hati, dan keterikatan yang tidak semestinya
pada produktivitas sampai mengabaikan kepuasan dan hubungan interpersonal
e) Keterpakuan dan keterikatan yang berlebihan pada kebiasaan sosial
f) Kaku dan keras kepala
g) Pemaksaan yang tak beralasan agar orang lain mengikuti persis caranya mengerjakan
sesuatu, atau keengganan yang tak beralasan untuk mengizinkan orang lain
mengerjakan sesuatu
h) Mencampur-adukkan pikiran atau dorongan yang memaksa dan yang enggan

Gangguan Kepribadian Cemas (Menghindar)


Minimal 3 dari:
a) Perasaan tegang dan takut menetap dan pervasif
b) Merasa dirinya tak mampu, tidak menarik atau lebih rendah dari orang lain
c) Preokupasi yang berlebihan terhadap kritik dan penolakan dalam situasi sosial
d) Keengganan untuk terlibat dengan orang kecuali merasa yakin akan disukai
e) Pembatasan dalam gaya hidup karena alasan keamanan fisik
f) Menghindari aktivitas sosial atau pekerjaan yang banyak melibatkan kontak
interpersonal karena takut dikritik, tidak didukung, atau ditolak

Gangguan Kepribadian Dependen


Minimal 3 dari:
a) Mendorong atau membiarkan orang lain untuk mengambil sebagian besar keputusan
penting untuk dirinya
b) Meletakkan kebutuhan sendiri lebih rendah dari orang lain kepada siapa ia
bergantung, dan kepatuhan yang tidak semestinya terhadap keinginan mereka
c) Keengganan untuk mengajukan permintaan yang layak kepada orang dimana tempat
ia bergantung
d) Perasaan tidak enak atau tidak berdaya apabila sendirian, karena ketakutan yang
dibesar-besarkan tentang ketidakmampuan mengurus diri sendiri
e) Preokupasi dengan ketakutan akan ditinggalkan oleh orang yang dekat dengannya,
dan dibiarkan untuk mengurus dirinya sendiri
f) Terbatasnya kemampuan untuk membuat keputusan sehari-hari tanpa mendapat
nasehat yang berlebihan dan dukungan dari orang lain
RETARDASI MENTAL
Retardasi mental adalah suatu keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak lengkap, yang
terutama ditandai oleh terjadinya hendaya keterampilan selama masa perkembangan, sehingga
berpengaruh pada tingkat kecerdasar secara menyeluruh (kognitif, bahasa, motorik, sosial)
Diagnosis:

 Harus ada penurunan tingkat kecerdasan yang mengakibatkan berkurangnya kemampuan


adaptasi terhadap tuntutan dari lingkungan sosial biasa sehari-hari
 Penilaian diagnostik adalah terhadap kemampuan umum (global ability), bukan area tertentu
yang spesifik dari hendaya atau keterampilan
Keparahan retardasi mental dibagi menjadi ringan, sedang, berat, dan sangat berat
Ringan Sedang Berat Sangat Berat
IQ 50-69 IQ 35-49 IQ 20-34 IQ <20
Masih dapat Dapat mengadakan Gambaran klinis Pemahaman dan
mencapai interaksi sosial dan mirip retardasi penggunaan bahasa
kemampuan bicara percakapan mental sedang terbatas, maksimal
untuk keperluan sederhana. hanya mengerti
sehari-hari, dapat Perkembangan perintah dasar dan
mandiri penuh, bahasa bervariasi, mengajukan
namun sulit dalam mulai dari bisa permohonan
akademik, percakapan normal sederhana. Dengan
membaca, dan hingga seadanya pengawasan dan
menulis hanya untuk petunjuk mungkin
kebutuhan dasar dapat sedikit ikut
melakukan tugas
praktis dan rumah
tangga
Etiologi organik Etiologi organik Etiologi organik Etiologi organik
hanya dapat dapat diidentifikasi dapat diidentifikasi dapat diidentifikasi
diidentifikasi pada pada sebagian besar pada sebagian besar pada sebagian besar
sebagian kecil penderita penderita kasus
penderita
Keadaan penyerta Autisme atau Kebanyakan Biasanya ada
seperti autisme, gangguan penderita menderita disabilitas
gangguan perkembangan gangguan motorik neurologik dan fisik
perkembangan lain, pervasif lain yang mencolok atau lain yang berat yang
epilepsi, gangguan terdapat pada defisit lain, mempengaruhi
tingkah laku, atau sebagian kecil menunjukkan mobilitas. Sering
disabilitas fisik kasus kerusakan atau ada gangguan
dapat ditemukan penyimpangan perkembangan
dalam berbagai susunan saraf pusat pervasif dalam
proporsi bentuk sangat berat
GANGGUAN PERKEMBANGAN PERVASIF
Kelompok gangguan ini ditandai dengan kelainan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal-
balik dan dalam pola komunikasi, serta minat dan aktivitas yang terbatas, stereotipik, berulang.
Kelainan kualitatif ini menunjukkan gambaran yang pervasif dari fungsi-fungsi individu dalam
semua situasi.

Autisme Masa Kanak


 Gangguan perkembangan pervasif yang ditandai oleh adanya kelainan dan/atau hendaya
perkembangan yang muncul sebelum usia 3 tahun, dengan ciri kelainan fungsi dalam bidang
interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku yang terbatas dan berulang
 Tidak jelas ada periode perkembangan yang normal sebelumnya, tetapi bila ada, kelainan
perkembangan sudah jelas sebelum usia 3 tahun
 Selalu ada hendaya kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal-balik, dalam bentuk apresiasi
yang tidak adekuat terhadap isyarat sosio-emosional yang tampak sebagai:
– kurangnya respons terhadap emosi orang lain dan/atau kurangnya modulasi terhadap
perilaku dalam konteks sosial
– buruk dalam menggunakan isyarat sosial dan integrasi yang lemah dalam perilaku sosial,
emosional, dan komunikatif
– kurangnya respons timbal balik sosio-emosional
 Terdapat hendaya kualitatif dalam komunikasi dalam bentuk:
– kurangnya penggunaan keterampilan bahasa yang dimiliki dalam hubungan sosial
– hendaya dalam permainan imaginatif dan imitasi sosial
– keserasian yang buruk dan kurangnya interaksi timbal balik dalam percakapan
– buruknya keluwesan dalam bahasa ekspresif dan kreativitas dan fantasi dalam proses pikir
yang relatif kurang
– kurangnya respons emosional terhadap ungkapan verbal dan non-verbal orang lain
– hendaya dalam menggunakan variasi irama atau penekanan sebagai modulasi komunikatif
– kurangnya isyarat tubuh untuk menekankan atau memberi arti tambahan dalam komunikasi
lisan
 Pola perilaku, minat, dan kegiatan yang terbatas, berulang, dan stereotipik, berbentuk
kecenderungan untuk bersikap kaku dan rutin dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari
 IQ variatif, tapi ¾ kasus ditemukan retardasi mental

Sindrom Rett
 Sebagian besar kasus terjadi pada onset 7-24 bulan. Pola perkembangan awal tampak normal
atau mendekati normal, diikuti dengan kehilangan sebagian atau seluruh keterampilan tangan
dan berbicara yang telah didapat bersamaan dengan terdapatnya kemunduran/perlambatan
pertumbuhan kepala (bersifat progressive motor deterioration)
 Hilangnya kemampuan gerakan tangan yang bertujuan dan keterampilan manipulatif dari
motorik halus yang telah terlatih. Disertai:
– Kehilangan atau hambatan seluruh atau sebagian perkembangan bahasa
– Gerakan seperti mencuci tangan yang stereotipik dengan fleksi lengan di depan dada atau
dagu
– Membasahi tangan secara stereotipik dengan ludah
– Hambatan dalam mengunyah makanan yang baik
– Sering terjadi episode hiperventilasi
– Hampir selalu gagal dalam pengaturan BAB dan BAK
– Penjuluran lidah dan air liur yang menetes
– Kehilangan dalam ikatan sosial
 Disertai kehilangan atau hambatan seluruh atau sebagian perkembangan berbahasa
 Anak tetap dapat senyum sosial, menatap seseorang dengan kosong, tetapi tidak terjadi
interaksi sosial pada awal masa kanak
 Cara berdiri dan berjalan cenderung melebar, otot hipotonik, koordinasi gerak tubuh
memburuk, skoliosis atau kifoskoliosis yang berkembang kemudian. Dapat timbul spastitisitas
dan rigiditas yang biasanya lebih banyak terjadi pada ekstremitas bawah

Sindrom Asperger
– Tidak adanya hambatan/keterlambatan umum dalam perkembangan berbahasa atau
perkembangan kognitif yang secara klinis jelas
– Adanya defisiensi kualitatif dalam fungsi interaksi sosial yang timbal balik
– Adanya pola perilaku, perhatian, dan aktivitas yang terbatas, berulang, dan stereotipi
GANGGUAN PEMUSATAN PERHATIAN/HIPERAKTIVITAS (GPPH)
Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH) adalah suatu kondisi yang ditandai
dengan adanya gejala berkurangnya perhatian dan atau aktivitas/impulsivitas yang berlebihan.
Gangguan Hiperkinetik
1) Ciri-ciri utama ialah berkurangnya perhatian dan aktivitas berlebihan. Kedua ciri ini menjadi
syarat mutlak untuk diagnosis dan haruslah nyata ada pada lebih dari satu situasi (misalnya di
rumah, di kelas, di klinik).
2) Berkurangnya perhatian tampak jelas dari terlalu dini dihentikannya tugas dan ditinggalkannya
suatu kegiatan sebelum tuntas selesai.
3) Hiperaktivitas dinyatakan dalam kegelisahan yang berlebihan, khususnya dalam situasi yang
menuntut keadaan relatif tenang.
4) Gambaran penyerta: Kecerobohan dalam hubungan-hubungan sosial, kesembronoan dalam
situasi yang berbahaya dan sikap yang secara impulsif melanggar tata tertib sosial
Tatalaksana:
Lini pertama: psikostimulan (metilfenidat), non-stimulan (atomoxetine)
Lini kedua: antidepresan (SSRI, SNRI, trisiklik), antipsikotik, antikonvulsan, klonidin
Terapi psikososial:
1) Pelatihan keterampilan sosial bagi anak dengan GPPH
2) Edukasi bagi orang tua
3) Modifikasi perilaku
4) Edukasi dan pelatihan pada guru
5) Kelompok dukungan keluarga (family support group)
DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di
Indonesia (PPDGJ). Edisi III. Jakarta: Dirjen Pelayanan Medis RI, 1998.
2. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders: DSM-5. 5th ed., American Psychiatric
Association, 2013.
3. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa. Kementerian
Kesehatan RI, 2015.
4. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Penatalaksanaan Medik Gangguan Penggunaan
NAPZA. Kementerian Kesehatan RI, 2010.
5. Sadock, Benjamin J.,, Kaplan, Harold I.,Sadock, Virginia A. Kaplan & Sadock's
comprehensive textbook of psychiatry. 10th ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins,
2017.
6. Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Primer. 2nd ed. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia; 2014.

Anda mungkin juga menyukai