Anda di halaman 1dari 6

PENDAHULUAN

HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah retrovirus yang menginfeksi sistem
imunitas seluler, mengakibatkan kehancuran ataupun gangguan fungsi sistem tersebut. Jika
kerusakan fungsi imunitas seluler berlanjut, akan menimbulkan berbagai infeksi ataupun gejala
sindrom Acquired ImmunoDeficiency Syndrome (AIDS). 1 The Joint United Nations
Programme on HIV/ AIDS (UNAIDS) melaporkan pada akhir tahun 2016 terdapat 36,7 juta
orang di dunia hidup dengan infeksi HIV, 2,1 juta di antaranya berusia kurang dari 15 tahun.
Diperkirakan pula bahwa 1,8 juta orang baru terinfeksi HIV setiap tahunnya dan 1,4 juta wanita
dengan infeksi HIV hamil setiap tahun.

Sejak tahun 2006, CDC telah menganjurkan pemeriksaan HIV pada semua ibu hamil,
diulang pada trimester 3 pada wanita berisiko tinggi dan tinggal di daerah berprevalensi tinggi.
Ibu hamil risiko tinggi adalah pengguna narkoba injeksi, prostitusi, dengan pasangan seksual
yang diduga atau diketahui terinfeksi HIV, berganti-ganti pasangan seksual, adanya komorbiditas
dengan infeksi menular seksual (IMS) lain. Skrining HIV pada kunjungan prenatal pertama
meningkatkan kemungkinan terdiagnosisnya infeksi HIV, sedangkan pemeriksaan HIV pada
trimester 3 meningkatkan kemungkinan teridentifikasinya infeksi HIV baru. Menurut Surat
Edaran Menteri Kesehatan No.001/GK/2013, pemeriksaan HIV dianjurkan pada semua ibu hamil
di daerah epidemi, terkonsentrasi dalam pelayanan antenatal sejak kunjungan pertama dan
menjelang persalinan. Untuk daerah epidemi rendah, tes HIV diprioritaskan untuk ibu hamil
dengan IMS dan tuberkulosis (TB).Pemeriksaan HIV juga harus diikuti dengan skrining infeksi
menular seksual dan hepatitis pada semua ibu hamil. Pemeriksaan yang dianjurkan untuk
skrining awal adalah immunoassay antigen/ antibodi generasi ke-4 walaupun beberapa
laboratorium masih menggunakan generasi ke-3 yang kurang sensitif. Pemeriksaan generasi ke-4
diketahui dapat mendeteksi antigen p24 serta antibodi IgG dan IgM HIV-1/2. Antibodi dapat
dideteksi pada kebanyakan pasien dalam 1 bulan infeksi, sehingga pemeriksaan antibodi tidak
dapat mengeksklusi infeksi awal.8 Jika pemeriksaan awal reaktif, dilanjutkan dengan
pemeriksaan diferensiasi antibody immunoassay HIV-1/HIV2. Pemeriksaan dilanjutkan dengan
tes asam nukleat HIV-1 apabila tes diferensiasi antibodi HIV-1 negatif atau indeterminate
dengan hasil antibodi HIV-2 negatif. Di Indonesia, pemeriksaan yang dianjurkan adalah tes
cepat, tes EIA (Enzyme Immunoassay) atau ELISA, dan Western Blot Tes ELISA memerlukan
tenaga lebih, waktu lebih lama, peralatan lebih banyak, dan tenaga berpengalaman. Kemampuan
tes cepat dan ELISA kurang lebih sama. Beberapa strategi PMTCT (Prevention Motherto-Child
Transmission) telah dikembangkan untuk menekan insidens transmisi, antara lain penggunaan
kondom, skrining kedua pasangan, dan tatalaksana infeksi menular seksual. Selain strategi
tersebut, PrEP (PreExposure Prophylaxis) oral menggunakan ARV merupakan salah satu strategi
yang ditetapkan WHO. PrEP juga dianjurkan sebagai salah satu pendekatan preventif tambahan
untuk wanita hamil dan menyusui jika terpapar risiko HIV. PrEP diketahui efektif menekan
angka transmisi HIV sebanyak 92-96% pada pasangan heteroseksual jika pasangan yang terkena
HIV telah tersupresi virusnya selama 6 bulan.

Setiap wanita hamil dengan HIV sebaiknya diberi konseling mengenai pilihan pemberian
makanan bagi bayi, persalinan aman serta KB pasca-persalinan, pemberian profilaksis ARV dan
kotrimoksazol pada anak, asupan gizi, dan hubungan seksual selama kehamilan (termasuk
penggunaan kondom secara teratur dan benar). Semua metode kontrasepsi dapat digunakan oleh
perempuan dengan HIV, kecuali kontrasepsi hormonal tertentu yang mengurangi efektivitas
ARV.Pemberian ARV untuk menurunkan angka transmisi vertikal paling efektif dimulai sejak
awal kehamilan. Pemberian ARV maternal sebelum trimester ketiga akan menurunkan risiko
transmisi hingga kurang dari 5 dari 1000 kelahiran.Pemberian ARV saat persalinan atau
beberapa jam setelah melahirkan, dapat menurunkan transmisi hingga 50%. Perlu ditekankan
kepatuhan konsumsi ARV untuk menekan angka virus dan meminimalkan transmisi
perinatal.Apabila seorang wanita hamil ditemukan terinfeksi HIV, terapi ARV dapat langsung
diberikan tanpa memperhitungkan jumlah CD4 dan umur kehamilan, selama seumur hidup tanpa
terputus. Regimen terapi ARV pada wanita hamil pada dasarnya mirip dengan pasien tidak
hamil. Wanita yang telah mengonsumsi ARV sebelum kehamilan disarankan melanjutkan
regimennya (hindari stavudine, didanosin, ritonavir dosis penuh). Wanita yang belum pernah
menerima regimen ARV diberi ARV terlepas dari usia gestasinya. Bagi wanita yang sudah tidak
lagi mengonsumsi ARV disarankan menjalani uji resistensi HIV; pemilihan regimen ARV dapat
menyesuaikan dengan regimen awal
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS PADA BAYI TERKENA HIV
1. Pengkajian
a) Identitas pasien
Pada tahap ini perawat perlu mengetahui tentang nama, umur, jenis kelamin, alamat
rumah, agama atau kepercayaan, suku bangsa, bahasa yang dipakai, status pendidikan
dan pekerjaan pasien.
b) Keluhan utama
Keluhan utama merupakan faktor utama yang mendorong pasien mencari
pertolongan atau berobat ke rumah sakit. Biasanya pada pasien dengan effusi pleura
didapatkan keluhan berupa sesak nafas, rasa berat pada dada, nyeri pleuritik akibat
iritasi pleura yang bersifat tajam dan terlokasilir terutama pada saat batuk dan
bernafas.
c) Riwayat penyakit sekarang
Pasien dengan effusi pleura biasanya akan diawali dengan adanya tanda-tanda seperti
batuk, sesak nafas, nyeri pleuritik, rasa berat pada dada, berat badan menurun dan
sebagainya. Perlu juga ditanyakan mulai kapan keluhan itu muncul. Apa tindakan
yang telah dilakukan untuk menurunkan atau menghilangkan keluhan-keluhannya
tersebut.
d) Riwayat penyakit dahulu
Tanyakan kepada pasien apakah pasien pernah menderita penyakit seperti TBC paru,
pneumoni, gagal jantung, trauma, asites dan sebagainya. Hal ini diperlukan untuk
mengetahui kemungkinan adanya faktor predisposisi.
e) Riwayat penyakit keluarga
Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit-penyakit
yang disinyalir sebagai penyebab effusi pleura seperti Ca paru, asma, TB paru dan
lain sebagainya.
f) Pengkajian Pola-Pola Fungsi Kesehatan
1. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Adanya tindakan medis dan perawatan di rumah sakit mempengaruhi
perubahan persepsi tentang kesehatan, tapi kadang juga memunculkan
persepsi yang salah terhadap pemeliharaan kesehatan. Kemungkinan adanya
riwayat kebiasaan merokok, minum alkohol dan penggunaan obat-obatan bisa
menjadi faktor predisposisi timbulnya penyakit.
2. Pola nutrisi dan metabolisme
Mengukur tinggi badan dan berat badan untuk mengetahui status nutrisi
pasien, selain juga perlu ditanyakan kebiasaan makan dan minum sebelum dan
selama MRS pasien dengan effusi pleura akan mengalami penurunan nafsu
makan akibat dari sesak nafas.
3. Pola eliminasi
Dalam pengkajian pola eliminasi perlu ditanyakan mengenai kebiasaan
defekasi sebelum dan sesudah MRS. Karena keadaan umum pasien yang
lemah, pasien akan lebih banyak bed rest sehingga akan menimbulkan
konstipasi, selain akibat pencernaan pada struktur abdomen menyebabkan
penurunan peristaltik otot-otot tractus degestivus.
4. Pola aktivitas dan latihan
Karena adanya sesak napas pasien akan cepat mengalami kelelahan pada saat
aktivitas. Pasien juga akan mengurangi aktivitasnya karena merasa nyeri di
dada.
5. Pola tidur dan istirahat
Pasien menjadi sulit tidur karena sesak naps dan nyeri. Hospitalisasi juga
dapat membuat pasien merasa tidak tenang karena suasananya yang berbeda
dengan lingkungan di rumah.
6. Pola hubungan dan peran
Karena sakit, pasien akan mengalami perubahan peran. Baik peran dalam
keluarga ataupun dalam masyarakat. Contohnya: karena sakit pasien tidak lagi
bisa mengurus anak dan suaminya.
7. Pola persepsi dan konsep diri
Persepsi pasien terhadap dirinya akan berubah. Pasien yang tadinya sehat, tiba
- tiba mengalami sakit, sesak nafas, nyeri dada. Sebagai seorang awam, pasien
mungkin akan beranggapan bahwa penyakitnya adalah penyakit berbahaya
dan mematikan. Dalam hal ini pasien mungkin akan kehilangan gambaran
positif terhadap dirinya.
8. Pola sensori dan kognitif
Fungsi panca indera pasien tidak mengalami perubahan, demikian juga
dengan proses berpikirnya.
9. Pola reproduksi seksual
Kebutuhan seksual pasien dalam hal ini hubungan seks akan terganggu untuk
sementara waktu karena pasien berada di rumah sakit dan kondisi fisiknya
masih lemah.
10. Pola koping
Pasien bisa mengalami stress karena belum mengetahui proses penyakitnya.
Mungkin pasien akan banyak bertanya pada perawat dan dokter yang
merawatnya atau orang yang mungkin dianggap lebih tahu mengenai
penyakitnya.
11. Pola tata nilai dan kepercayaan
Kehidupan beragama klien dapat terganggu karena proses penyakit.

2. Anamnesa
1) Data Subjektif, mencakup:
a. Pengetahuan klien tentang AIDS
b. Data nutrisi, seperti masalah cara makan, BB turun
c. Dispneu (serangan)
d. Ketidaknyamanan (lokasi, karakteristik, lamanya)
2) Data Objektif, meliputi:
a. Kulit, lesi, integritas terganggu
b. Bunyi nafas
c. Kondisi mulut dan genetalia
d. BAB (frekuensi dan karakternya)
e. Gejala cemas
3) Pemeriksaan Fisik
a. Pengukuran TTV
b. Pengkajian Kardiovaskuler
c. Suhu tubuh meningkat, nadi cepat, tekanan darah meningkat. Gagal
jantung kongestif sekunder akibat kardiomiopati karena HIV.
d. Pengkajian Respiratori
e. Batuk lama dengan atau tanpa sputum, sesak napas, takipnea, hipoksia,
nyeri dada, napas pendek waktu istirahat, gagal napas.
f. Pengkajian Neurologik
g. Sakit kepala, somnolen, sukar konsentrasi, perubahan perilaku, nyeri
otot, kejang-kejang, enselofati, gangguan psikomotor, penurunan
kesadaran, delirium, meningitis, keterlambatan perkembangan.
h. Pengkajian Gastrointestinal
i. Berat badan menurun, anoreksia, nyeri menelan, kesulitan menelan,
bercak putih kekuningan pada mukosa mulut, faringitis, candidisiasis
esophagus, candidisiasis mulut, selaput lender kering, pembesaran hati,
mual, muntah, colitis akibat diare kronis, pembesaran limfa.
j. Pengkajain Renal
k. Pengkajaian Muskuloskeletal
l. Nyeri otot, nyeri persendian, letih, gangguan gerak (ataksia)
m. Pengkajian Hematologik
n. Pengkajian Endokrin
4) Kaji status nutrisi
a. Kaji adanya infeksi oportunistik
b. Kaji adanya pengetahuan tentang penularan

Anda mungkin juga menyukai