Anda di halaman 1dari 29

BAB II

LAPORAN KASUS

2.1. Indirect Pulp Capping dengan Follow Up Restorasi Kelas IV Komposit

Gigi 23

Data Umum Pasien

Nama : Tn. S

Umur : 72 tahun

Alamat : Bandung

Jenis Kelamin : Laki-laki

Status : Sudah Menikah

No. Rekam Medis : 2019-001xxx

Pekerjaan : Pensiunan PNS

Tanggal Pemeriksaan : 24 Mei 2019

Anamnesis

Pasien datang dengan keluhan gigi depan rahang atas berlubang sejak

kurang lebih 2 tahun yang lalu. Gigi tersebut sudah pernah ditambal, namun

tambalan lepas sehingga gigi pasien terasa ngilu terutama saat makan dan minum

dingin. Tidak ada faktor yang memperingan. Pasien terakhir ke dokter gigi 1

minggu yang lalu untuk tambal gigi. Riwayat penyakit sistemik, alergi, dan

keluarga disangkal. Pasien ingin giginya dirawat.


Kondisi Umum

Keadaan Umum          : Baik                                  Tensi             :120/80 mmHg

Kesadaran                   : Compos Mentis                 Pernafasan    : TDL

Suhu                           : Afebris                                  Nadi              : TDL

Pemeriksaan Ekstra Oral

Wajah : Simetris, profil cembung

Mata  : Sklera non-ikterik, Konjungtiva non-anemis, Pupil isokor

Hidung : TAK

Telinga : TAK

TMJ : TAK

Pemeriksaan Intra Oral

Kebersihan Mulut : Sedang                                 

Mukosa Bukal : TAK

Mukosa Labial : TAK

Palatum : TAK

Frenulum : Normal

Lidah                       : Normal

Tonsil : T1-T1

Gingiva : Oedem

Dasar Mulut : TAK


Odontogram
CM

O : Karies
: Gigi hilang
: Tambalan komposit

Foto Klinis

Pulpitis reversibel gigi 23

Status Lokalis
Gigi 16
Dingin +
Perkusi -
Tekan -
Mobiliti 0
Diagnosis

D/ Pulpitis reversibel gigi 23

DD/ Pulpitis ireversibel

Rencana Perawatan

1. Pro pulp capping gigi 23

2. Pro penambalan kelas IV komposit gigi 23

Perawatan Pulp Capping Gigi 23

Tanggal 24 Mei 2019

1. Ekskavasi pada gigi 23

2. Aplikasi pulp capping

3. Tutup dengan glass ionomer


4. Instruksikan kepada pasien untuk datang kembali setelah 6 minggu untuk

kontrol

Kontrol dan Follow Up Restorasi Kelas IV Komposit Gigi 23

1. Bongkar glass ionomer dan dycal (bahan pulp capping) dengan ekskavator

setelah 6 minggu aplikasi bahan pulp capping (5 Juli 2019)

2. Preparasi gigi 23 dilanjutkan restorasi kelas IV komposit gigi 23

3. Instruksikan kepada pasien untuk datang kembali setelah 1 minggu untuk

kontrol dan pemolesan komposit

4. Pasien datang kembali pada tanggal 23 Juli 2019 dan dilakukan kontrol dan

pemolesan komposit pada gigi 23


BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Pulp Capping

Konsekuensi dari pulpa yang terekspos akibat karies, trauma atau kesalahan

preparasi gigi bisa menjadi parah, dengan akibat nyeri dan infeksi. Dalam

menghadapi kasus dengan lesi karies yang dalam, beberapa ahli menganjurkan

tindakan pulp capping. Perawatan pulp capping sesuai definisi dari American

Association of Endodontists (AAE) adalah suatu prosedur perawatan pulpa gigi

menggunakan dental (seperti: kalsium hidroksida (Ca(OH)2) atau Mineral

Trioxide Aggregate (MTA)) yang diletakkan di atas pulpa yang mengalami cedera

untuk merangsang terbentuknya dentin reparatif (Budiartie, 2018).

3.1.1. Klasifikasi

1. Direct pulp capping

Direct pulp capping merupakan perawatan yang dilakukan pada

pulpa yang terbuka namun masih vital (Budiartie, 2018). Indikasinya

adalah sebagai berikut (Mouawad et al., 2014):

 Pulpa masih vital

 Pulpa terbuka (<1mm2) karena faktor mekanis atau trauma

 Pasien yang berusia dibawah 30 tahun dan tidak terdapat invasi bakteri

maupun kontaminasi saliva

 Perdarahan dapat dikendalikan


 Tidak ada kelainan periapikal

Direct pulp capping melibatkan aplikasi bahan medikamen,

dressing, atau material dental pada pulpa yang terbuka untuk memelihara

vitalitas pulpa. Sel progenitor dari pulpa harus diinduksi untuk

berdiferensiasi menjadi sel odontoblast-like yang bertanggung jawab

untuk sekresi matriks dentin yang baru karena sel odontoblas pada area

pulpa yang terbuka akan hilang (Putrianti, 2019).

Adanya penuaan normal dari pulpa gigi, maka kesuksesan pulp

capping berkurang seiring bertambahnya usia seseorang. Pulpa pada

pasien yang masih muda memiliki lebih banyak sel punca dan pembuluh

darah, sedangkan pada pasien yang lebih tua jaringan pulpa memiliki lebih

sedikit sel dan pembuluh darah, terdapat peningkatan jaringan fibrous dan

deposit yang terkalsifikasi, serta berkurangnya ruang pulpa (Hoummadi et

al., 2019; Putrianti, 2019)

Semakin besar pulpa yang terbuka, maka prognosis dari perawatan

akan semakin buruk untuk pulp capping. Terbukanya pulpa dalam

diamater yang besar mengakibatkan semakin banyak jaringan pulpa yang

terinflamasi dan semakin besar kesempatan terkontaminasinya pulpa oleh

bakteri (Putrianti, 2019)

Terbukanya pulpa karena prosedur mekanis memiliki prognosis yang

lebih baik daripada terbukanya pulpa karena proses karies. Di sisi lain,

paparan pulpa setelah karies menimbulkan kontaminasi bakteri yang kuat

dan berkepanjangan. Selain itu, selama ekskavasi karies, terdapat risiko


memperburuk lesi dengan mendorong dentin yang terinfeksi ke dalam

pulpa (Putrianti, 2019).

2. Indirect pulp capping

Indirect pulp capping adalah perawatan yang diberikan pada pulpa

gigi tidak terbuka atau masih tertutup oleh lapisan dentin yang tipis,

kemudian diberi bahan pelindung (Kurniasari, 2017).

Indikasi indirect pulp capping terbatas pada gigi yang tidak memiliki

tanda patologi pulpa ireversibel berdasarkan pemeriksaan klinis dan

radiografi menyeluruh dan evaluasi langsung dari preparasi kavitas.

Fistula, pembengkakan jaringan periodontal, atau peningkatan mobilitas

yang tidak dapat dijelaskan oleh proses eksfoliasi merupakan

kontraindikasi indirect pulp capping. Secara radiografi, diagnosis

radiolusen interradikuler atau periapikal atau resorpsi akar

internal/eksternal yang tidak berhubungan dengan proses eksfoliasi normal

juga merupakan kontraindikasi perawatan indirect pulp capping (Falster et

al., 2002).

Perawatan indirect pulp capping dapat dibagi menjadi dua:

Dengan teknik indirect pulp capping one step technique, biasanya

semua atau sebagian besar karies dihilangkan pada saat ekskavasi pada

kunjungan awal, bahan pulp capping ditempatkan mendekati tetapi tidak

bersentuhan langsung dengan pulpa, dan restorasi akhir ditempatkan,

semua dalam satu janji temu. Salah satu teknik yang umum adalah
menghilangkan hanya "infected dentin" (dentin yang mengalami

demineralisasi dengan kolagen yang terdenaturasi, terdapat bakteri, dan

dentin rusak yang tidak dapat diperbaiki kembali) sambil membiarkan

"dentin affected" pada tempatnya (dentin yang juga mengalami

demineralisasi tetapi dengan struktur kolagen masih sebagian besar utuh,

bebas bakteri, dan masih memiliki potensi remineralisasi). Biasanya,

dentin affected kemudian ditutup dengan base dan/atau liner dengan

harapan lama kelamaan akan mengalami remineralisasi, membentuk

dentin yang bebas bakteri. Kriteria keberhasilan dari teknik adalah tidak

ada rasa sakit, tidak ada fraktur atau karies sekunder, tidak ada

pembengkakan, kemerahan, fistula atau abscess di jaringan sekitar, tidak

ada kegoyangan patologis pada gigi. Teknik ini disarankan untuk

digunakan pada pasien dengan low caries risk (Alex, 2018; Milcheva &

Kabaktchieva, 2018).

Teknik perawatan indirect pulp capping dengan two-stage atau

stepwise technique, semua dentin karies biasanya dikeluarkan dari dinding

dan dentinoenamel junction dari preparasi kavitas. Lapisan dentin karies


dalam, yang biasanya berubah warna tetapi keras, dapat ditinggalkan di

lantai preparasi jika pengangkatannya dapat menyebabkan eksposur pulpa.

Biasanya, liner seperti kalsium hidroksida Ca(OH)2 kemudian

ditempatkan dan dilapisi oleh restorasi sementara seperti zinc oxide

eugenol atau glass ionomer. Teknik ini meninggalkan bahan pulp capping

selama 6-8 minggu di dalam kavitas yang sudah ditutup menggunakan GI

(Alex, 2018; (Nina Milcheva et al., 2016).

Setelah beberapa bulan, dan dengan asumsi semua berjalan dengan

baik selama periode kunjugan pertama (yaitu, tidak ada tanda atau gejala

nyeri atau patologi), pasien kembali untuk langkah kedua dari prosedur

pulp capping indirek dua tahap. Meskipun ada variasi dalam bahan dan

teknik, restorasi sementara biasanya dihilangkan, sisa karies diangkat dari

jaringan keras, dan restorasi akhir ditempatkan. Harapannya adalah bahwa

beberapa derajat remineralisasi dentin, bersama dengan pembentukan

dentin reparatif dan jembatan dentin, terjadi selama interval waktu antara

kunjungan pertama dan kedua yang memungkinkan pengangkatan sisa

karies selama pengangkatan kedua tanpa mengekspos pulpa (Alex, 2018).


3.1.2. Bahan Pulp Capping

1. Kalsium Hidroksida

Kalsium hidroksida sejak tahun 1921 sebagai gold standard dalam

perawatan pulp capping. Bahan ini memiliki pH yang tinggi (11-13)

sehingga bersifat antibakteri dan merangsang pembentukan dentinal

bridge. Pada analisa pH dan konsentrasi ion kalsium di daerah periapikal,

diketahui bahwa diperlukan waktu 2 minggu untuk aktivitas bakterisidal

calcium hydroxide. Kemampuan antibakteri dari calcium hydroxide

bertahan selama sekitar dua bulan jika ditempatkan di bawah restorasi,

setelah itu akan mengalami degradasi menjadi kalsium oksida dan garam

kalsium yang kurang efektif (Putrianti, 2019; Trilaksana, 2015).

Menurut Kunarti.S, (2005), pH 12,5 pada kalsium hidroksida dapat

menyebabkan terjadinya nekrosis likuidasi terutama pada lapisan

superficial pulpa. Efek toksik dari kalsium hidroksida yang kelihatannya

dinetralisir pada lapisan pulpa yang lebih dalam kenyataanya justru


menyebabkan nekrosis koagulasi yang berbatasan dengan jaringan vital,

menyebabkan iritasi ringan pada pulpa (Camelia A, Cecilia GJ, Lunardhi,

2019).

Ca(OH)2 tidak dapat beradaptasi rapat dengan dentin, cenderung

akan menjadi lunak, disintegrasi dan mempunyai kelarutan yang tinggi

dalam cairan dentin sehingga pembentukan dentinal bridge dapat

membentuk defek tunnel. Tunnel defect adalah porositas yang tebentuk

pada permukaan dentin bridge sehingga dentin yang terbentuk tidak

adekuat. tunnel defect pada jembatan dentin akan memberikan jalan bagi

bakteri untuk berpenetrasi ke dalam pulpa sehingga mengaktifkan sel-sel

imun yang semakin memperparah proses inflamasi pulpa (Camelia A,

Cecilia GJ, Lunardhi, 2019; Putrianti, 2019).

2. MTA

MTA merupakan dental material yang relatif baru, diperkenalkan

pertama ke dokter gigi pada tahun 1995 oleh Torabinejad (1999) yang

menyarankan untuk menggunakan MTA sebagai bahan pengisi saluran

akar pada gigi yang telah dirawat endodontik. US Food and Drug

Administration telah menyetujui MTA pada tahun 1998 sebagai bahan

terapi endodontik yang aman untuk manusia. Saat ini penggunaan MTA

telah diperluas untuk tindakan pulp capping dan pulpotomy gigi sulung

pada anak. Komponen utamanya adalah trikalsium silikat, aluminat

trikalsium, oksida dan oksida trikalsium silikat. Selain itu juga

mengandung oksida besi, magnesium dan oksida bismut yang


ditambahkan untuk tujuan radiopacity. Beberapa keunggulan dari MTA

adalah kemampuan penyegelan yang tinggi, biokompatibilitas terhadap

jaringan, kemampuannya untuk membentuk dentinal bridge dan sementum

serta regenerasi ligament periodontal. MTA juga memiliki kemampuan

untuk merangsang pelepasan sitokin dari sel-sel tulang, sehingga memiliki

kapasitas untuk secara aktif menstimulasi pembentukan jaringan keras

(Trilaksana, 2015).

MTA dibandingkan dengan kalsium menghasilkan pembentukan

jembatan dentin yang lebih baik dan peradangan pulpa yang lebih sedikit

berdasarkan studi histologis dan telah banyak digunakan (Trilaksana &

Gappar, 2020).

Agregat mineral trioksida (MTA) telah terbukti menjadi agen pulp

capping yang baik. Ini memiliki pH tinggi mirip dengan kalsium

hidroksida saat belum mengeras dan setelah mengeras akan membentuk

bacteria-tight seal yang sangat baik. Namun MTA tidak memiliki

popularitas yang sama dengan kalsium hidroksida sebagai agen pulp

capping. Mungkin ada tiga alasan utama. Yang pertama karena MTA

membutuhkan lingkungan yang lembab setidaknya selama 6 jam agar

dapat mengeras dengan baik, perosedur menjadi prosedur dua langkah,

dibandingkan dengan prosedur satu langkah untuk medikamen lain.

Penggunaan MTA sebagai bahan pulp capping mengharuskan cotton

pellet lembab ditempatkan di atasnya sampai mengeras, dan kemudian

restorasi permanen dapat dibuat pada visit yang lain. Kemungkinan alasan
kedua adalah bahwa awalnya, MTA berwarna abu-abu dan dilaporkan

menyebabkan perubahan warna pada mahkota gigi saat digunakan sebagai

capping agent pada gigi anterior. Untuk mengatasi masalah perubahan

warna ini, MTA versi putih baru dipasarkan beberapa tahun lalu. MTA

putih jika digunakan pulpa tidak akan merespon sebaik pada MTA abu-

abu. Relatif sedikit penelitian yang telah dilakukan untuk membandingkan

MTA putih dengan yang abu-abu, studi lebih lanjut diperlukan untuk

membandingkan dua formulasi MTA untuk sepenuhnya menjelaskan

kekhawatiran yang muncul mengenai kemungkinan perbedaan. Alasan

ketiga — dan mungkin paling umum — mengapa MTA tidak digunakan

secara luas adalah biayanya yang relatif tinggi (Heymann et al., 2012).

3. ZnOE

Formulasi ZOE telah digunakan dalam kedokteran gigi selama

bertahun-tahun sebagai base, liner, semen dan bahan restorasi sementara.

Namun, penggunaannya untuk pulp capping dipertanyakan. Eugenol

bersifat sitotoksik. Diketahui bahwa ZOE melepaskan eugenol dalam

konsentrasi yang bersifat sitotoksik. ZOE juga menunjukkan kebocoran

tepi yang tinggi. ZOE menyediakan biologic seal akibat pelepasan

eugenol, harus diingat bahwa pelepasan eugenol akan turun drastis seiring

waktu, dan efektivitas ZOE dalam eliminasi bakteri berkurang saat

ditempatkan di mulut dalam waktu yang lama. ZOE tidak lagi digunakan

saat ini karena menyebabkan resorpsi internal dan tingkat kesuksesannya

55-57% (Hilton, 2009).


Pada penelitian disebutkan bahwa ZOE berperan sebagai agen pulp

capping namun semua gigi yang diaplikasikan ZOE menunjukkan

peradangan kronis, tidak ada penyembuhan pulpa dan tidak ada

pembentukan jembatan dentin hingga 12 minggu post-operatif.

Sebaliknya, semua gigi kontrol yang diaplikasikan kalsium hidroksida

menunjukkan penyembuhan dalam empat minggu (Hilton, 2009).

4. Glass Ionomer

GIC dikembangkan oleh Wilson dan Kent, pada tahun 1971, dan

diperkenalkan di pasar pada awal tahun 1970-an. Popularitasnya

disebabkan oleh fakta bahwa bahan-bahan ini memiliki beberapa sifat

penting seperti pelepasan fluorida, koefisien ekspansi termal dan modulus

elastisitas yang mirip dengan dentin, ikatan pada enamel dan dentin serta

biokompatibilitas. Terlepas dari keunggulan tersebut, GIC konvensional

memiliki keterbatasan yang terkait dengan kerentanannya terhadap

dehidrasi dan sifat fisik yang buruk, seperti kelarutan yang tinggi dan

kecepatan pengaturan yang lambat.. Kemampuan GI adalah mengikat

secara kimiawi ke struktur gigi, hal ini dapat mencegah difusi bahan yang

berpotensi beracun melalui dentin ke pulpa. Glass ionomer juga

memberikan segel bakteri yang sangat baik dan menunjukkan

biokompatibilitas yang baik bila digunakan dalam pendekatan yang dekat

tetapi tidak kontak langsung dengan pulpa (Hilton, 2009).

RMGI lebih toksik bagi sel pulpa daripada GIC konvensional. Ion

yang ada dalam GIC, seperti F-, Al3 +, Zn2 + dan Sr2 + lebih lanjut
dianalisis adanya kemungkinan sitotoksisitas. Zinc adalah satu-satunya

komponen yang ditemukan memiliki konsentrasi yang cukup tinggi untuk

menginduksi sitotoksisitas. Unsur-unsur ini mungkin telah berkontribusi

pada sitotoksisitasnya. Efek sitotoksik tinggi yang diamati dalam RMGI

disebabkan oleh monomer resin yang tidak bereaksi daripada oleh

senyawa lain seperti F-, Al3 +, Sr2 +, Zn2 + yang ada di GIC

konvensional (Modena et al., 2009). Akibatnya, penerapan RMGI secara

langsung ke sel pulpa gigi tidak dianjurkan. Pulp capping direk dengan

RMGI menunjukkan peradangan kronis dan kurangnya pembentukan

jembatan dentin hingga 300 hari pasca pulp capping, sedangkan kelompok

kontrol kalsium hidroksida menunjukkan penyembuhan pulpa yang secara

signifikan lebih baik (Hilton, 2009).

Meskipun literatur menunjukkan pandangan yang bertentangan dari

respon pulpa terhadap GI ketika digunakan dalam rongga yang lebih

dalam sebagai liner, studi terbaru tentang Vitrebond (ionomer kaca yang

dimodifikasi resin) telah menunjukkan memiliki biokompatibilitas yang

dapat diterima ketika digunakan dalam kasus klinis yang memiliki dentin

yang tersisa dengan ketebalan mulai dari 342,3 hingga 436,1 μm

(Shameem et al., 2018).

Penelitian lain menunjukkan bahwa ionomer kaca yang dimodifikasi

resin (Vitrebond ™) juga dapat digunakan sebagai agen pulp capping dan

dentin reparatif yang terbentuk sebanding dengan dentin reparatif yang

dibentuk dengan kalsium hidroksida. Tidak ada bahan yang membentuk


ikatan adhesif dengan struktur gigi, sehingga memberikan permanen seal.

Meskipun demikian, diperlukan penilaian kualitas dentin reparatif yang

terbentuk terkait dengan kedua bahan tersebut untuk kepastian hasil

(Shameem et al., 2018)

5. Biodentine

Sebagai tanggapan atas kerugian MTA, semen Biodentin berbasis

trikalsium silikat baru (Septodont, Prancis) dirilis pada tahun 2011.

Biomaterial yang relatif baru ini diklaim memiliki sifat yang mirip dengan

MTA dan saat ini sedang dieksplorasi untuk prosedur terapi pulpa yang

vital. Waktu pengerasan terjadi setelah 45 menit. Interaksi BD dengan

jaringan keras dan lunak baik pada prosedur capping direk maupun indirek

mengarah pada penutupan marginal dan memberikan perlindungan pada

pulpa di bawahnya dengan menginduksi sintesis dentin tersier dan

remineralisasi. Biodentine lebih unggul dari MTA dalam hal kemampuan

penutupan marginal. Karena kelebihannya, BD baru-baru ini menjadi agen

yang lebih disukai untuk prosedur pulp capping direk dan indirek.

Biodentin, dibandingkan dengan standar emas Ca (OH) 2 sebelumnya,

secara mekanis lebih kuat, kurang larut dan menghasilkan penutupan yang

lebih rapat (Kunert & Lukomska-Szymanska, 2020).

Pada tahap diferensiasi dan mineralisasi jembatan dentin selanjutnya,

Biodentine telah diamati memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan

MTA. Hal itu disebabkan oleh peningkatan yang mencolok dalam ekspresi

alkali fosfatase dan pembentukan nodul kalsium dibandingkan dengan


karakteristik MTA. Sifat antibakteri BD dan MTA dapat mengacu pada

pH basa yang tinggi dari bahan-bahan ini, yang memiliki efek

penghambatan terhadap pertumbuhan mikroorganisme dan menyebabkan

desinfeksi dentin (Kunert & Lukomska-Szymanska, 2020).

Biodentine tidak menunjuakkan diskolorisasi. Kekurangan dari

Biodentine™ biayanya yang tinggi dan kenyataan bahwa pasien perlu

dipanggil kembali untuk janji temu lagi (Gupta et al., 2016).

3.1.3. Peran Kalsium Hidroksida dalam Pembentukan Dentin

Reparatif

Kalsium hidroksida sejak tahun 1921 dikenal sebagai gold standard

dalam perawatan pulp capping. Kalsium hidroksida memiliki efek

antibakteri yang baik..Sifat antibakteri kalsium hidroksida dapat

menurunkan atau mengeliminasi efek inflamasi bakteri dan produk-

produknya terhadap pulpa. Kalsium hidroksida akan terurai menjadi ion

kalsium dan ion hidroksil. Ion hidroksil menyebabkan pH menjadi alkali.

Derajat keasaman yang tinggi dapat mendorong aktivitas enzim jaringan

yang berhubungan dengan proses mineralisasi. Ion hidroksil juga

mempengaruhi efek antibakteri yaitu terjadinya hidrolisis lipid

lipopolisakarida dari bakteri, meningkatkan permeabilitas membran sel,

denaturasi protein, kerusakan DNA sehingga terjadi kematian bakteri. Ion

kalsium yang dilepaskan oleh kalsium hidroksida berfungsi merangsang

sintesis fibronectin di pulpa gigi yang berkemampuan memicu differensiasi


sel-sel pulpa gigi untuk membentuk odontoblast-like cells. Odontoblast-like

cell akan mensintesis matriks dentin yang akan termineralisasi menjadi

dentin reparatif (Budiartie, 2018; Prawitasari et al., 2018; Suprastiwi, 2018)

Menurut Yammamura (2008) pembentukan dentin reparatif secara

fisiologis terbagi atas 4 tahap yaitu: (1) Tahap eksudasi (1-5 hari) ; (2)

Tahap proliferasi (3-7 hari) ; (3) Tahap pembentukan odontoblast like cells

(5-14 hari) ; (4) Tahap pembentukan dentin reparatif (>14 hari) (Budiartie,

2018).

Menurut Koike (2014) pada minggu kedua pembentukan dentin

reparatif dengan bahan pulp capping dijelaskan bahwa dentin yang

terbentuk belum melindungi atau menutupi pulpa dengan sempurna masih

terlihat celah. Pada minggu keempat pembentukan dentin reparatif dapat

terlihat jelas sudah terbentuk dan menutupi atau melindungi pulpa secara

keseluruhan, hal ini mampu menjadi pertahanan utama dari pulpa setelah

mengalami cedera. Pembentukan dentin reparatif yang termineralisasi rata-

rata terbentuk pada hari ke-21 hingga 30 (Budiartie, 2018).

3.2. Restorasi Kelas IV Komposit

3.2.1. Posisi dan Kesejajaran

Keseluruhan keselarasan dan keseimbangan senyuman sangat bergantung

pada posisi gigi yang tepat dan kesejajarannya dalam lengkung. Gigi yang

malposisi atau rotasi mengganggu bentuk lengkung dan dapat mengganggu

proporsi relatif gigi yang tampak. Perawatan ortodontik untuk defek seperti ini
selalu harus dipertimbangkan, terutama jika ada masalah posisi atau maloklusi

dalam mulut. Jika perawatan ortodontik tidak praktis atau tidak terjangkau,

namun, defek posisi minor sering dapat dirawat dengan augmentasi komposit atau

full facial veneer yang secara indirek dibuat dari komposit atau porselen. Hanya

masalah yang dapat ditangani secara konservatif tanpa perubahan signifikan dari

oklusi atau kontur gingiva gigi yang dapat ditangani dengan cara ini (Ritter et al.,

2019).

Rotasi minor dapat dikoreksi dengan mengurangi enamel di area yang

menonjol dan menambah area yang defisiensi dengan resin komposit (Gbr. 9.8A

dan B). Perawatan harus diambil untuk membatasi semua rekonturisasi area yang

menonjol pada enamel. Jika rotasi dirawat dengan veneer komposit atau porselen

indirek, disarankan untuk membuat preparasi intraenamel, dengan pengurangan

yang lebih besar di area yang menonjol. Preparasi memungkinkan restorasi

selanjutnya terhadap kontur fisiologis yang sesuai (Ritter et al., 2019).

Gigi yang malposisi dirawat dengan cara yang sama. Gigi pada linguoversi

ringan dapat dirawat dengan augmentasi dengan full facial veneer yang

ditempatkan langsung dengan komposit atau dibuat secara indirek dari komposit

atau porselen yang telah diproses (lihat Gambar 9.8C dan D). Perawatan harus

dilakukan dalam mempertahankan kontur fisiologis gingiva yang tidak mengenai


jaringan atau mengakibatkan munculnya profil restorasi yang merugikan

kesehatan gingiva. Tepi insisal fungsional harus dipertahankan dengan kontur

restorasi yang sesuai (tepi insisal yang terlalu tebal harus dihindari). Jika oklusi

memungkinkan, reduksi terbatas enamel pada aspek lingual dapat dilakukan untuk

mengurangi dimensi faciolingual dari bagian insisal gigi. Namun, area lingual

yang berpartisipasi dalam kontak fungsional protrusif tidak boleh diubah. Gigi

individu yang bergeser ke fasial (yaitu, facioversion) paling baik dirawat secara

ortodontik (Ritter et al., 2019).

3.2.2. Tekstur Permukaan

Karakter dan individualitas gigi sangat ditentukan oleh tekstur permukaan

dan karakteristik yang ada. Restorasi realistis sangat mirip dengan area halus dari

stippling, konkavitas, dan konveksitas yang biasanya terdapat pada gigi asli. Gigi

pada individu muda secara khas menunjukkan karakterisasi permukaan yang

signifikan, sedangkan gigi pada individu yang lebih tua cenderung memiliki

tekstur permukaan yang lebih halus yang disebabkan oleh keausan abrasional.

Bahkan pada pasien yang lebih tua, bagaimanapun, restorasi tanpa karakterisasi

permukaan jarang diindikasikan (Ritter et al., 2019).

Permukaan gigi asli biasanya memecah cahaya dan memantulkannya ke

berbagai arah. Akibatnya, ciri-ciri anatomi (misalnya, depresi developmental,

penonjolan, faset, perikymata) harus diperiksa dengan cermat. Area gigi yang

direstorasi harus merefleksikan cahaya seperti pada permukaan yang tidak

direstorasi. Selain itu, seperti telah disinggung sebelumnya, dengan mengontrol


area releksi cahaya dan bayangan, berbagai ilusi yang diinginkan juga dapat

dibuat (Ritter et al., 2019).

3.2.3. Warna

Warna adalah elemen artistik yang paling kompleks dan paling tidak

dipahami. Ini adalah area di mana terdapat banyak faktor yang saling bergantung,

yang semuanya berkontribusi pada hasil estetika akhir dari restorasi. Meskipun

kompleks, pengetahuan dasar tentang warna sangat penting untuk menghasilkan

restorasi estetika yang konsisten (Ritter et al., 2019).

Tiga elemen dasar warna adalah hue, value, dan chroma. Hue adalah

kualitas intrinsik atau shade dari warna. Value mengacu pada terang atau gelap

relatif suatu warna. Ini ditentukan oleh jumlah warna putih atau hitam dalam hue.

Chroma adalah intensitas dari hue tertentu. Beberapa shade guide saat ini

didasarkan pada value karena pentingnya elemen warna ini (Ritter et al., 2019).

Dokter gigi juga harus memahami pewarnaan gigi asli untuk memilih warna

bahan restorasi yang tepat secara akurat dan konsisten. Gigi biasanya terdiri dari

banyak warna. Gradasi warna biasanya terjadi dari daerah gingiva ke daerah

insisal, dengan daerah gingiva biasanya lebih gelap karena email yang lebih tipis.

Penggunaan beberapa shade bahan restorasi yang berbeda mungkin diperlukan

untuk merestorasi gigi secara estetika. Permukaan akar yang terbuka terlihat lebih

gelap (yaitu, berwarna dentin) karena tidak adanya email di atasnya. Pada

kebanyakan individu, gigi kaninus sedikit lebih gelap daripada gigi inisisif (Ritter

et al., 2019).
Individu muda dengan enamel yang tebal memiliki ciri khas gigi yang lebih

terang. Individu dengan kulit yang lebih gelap biasanya tampak memiliki gigi

yang lebih terang karena kontras yang ada antara gigi dan struktur wajah di

sekitarnya. Wanita dapat meningkatkan kecerahan gigi mereka hanya dengan

menggunakan riasan atau warna lipstik yang lebih gelap. Dengan meningkatkan

kontras antara gigi dan jaringan wajah di sekitarnya, ilusi gigi yang lebih terang

dapat dibuat (Ritter et al., 2019).

Perubahan warna yang terkait dengan penuaan juga terjadi, terutama karena

keausan. Saat enamel fasial terkikis, dentin di bawahnya menjadi lebih jelas,

menghasilkan gigi yang lebih gelap. Tepi insisal seringkali lebih gelap karena

penipisan enamel atau eksposur dentin karena atrisi normal. Area serviks juga

cenderung menjadi gelap karena abrasi (Ritter et al., 2019).

Pemahaman tentang pewarnaan gigi normal meningkatkan kemampuan

dokter gigi untuk membuat restorasi yang tampak alami. Beberapa faktor klinis

juga harus dipertimbangkan, bagaimanapun, untuk meningkatkan kualitas

pencocokan warna pada restorasi. Banyak shade guide untuk material komposit

tidak akurat. Tidak hanya sering terdiri dari bahan yang berbeda dengan komposit,

tetapi juga tidak mempertimbangkan perubahan warna yang terjadi dari batch ke

batch atau perubahan yang disebabkan oleh penuaan komposit. Pemilihan shade

yang akurat paling baik dicapai dengan mengaplikasikan dan curing sedikit bahan

restorasi komposit di area gigi yang memerlukan restorasi. Pemilihan shade harus

ditentukan sebelum mengisolasi gigi sehingga variasi warna yang dapat terjadi

akibat pengeringan dan dehidrasi gigi dapat dihindari (Ritter et al., 2019).
Masalah dalam persepsi warna juga memperumit pemilihan shade dari

bahan restorasi yang sesuai. Berbagai sumber cahaya menghasilkan persepsi

warna yang berbeda. Fenomena ini disebut sebagai metamerism. Warna

lingkungan sekitar memengaruhi apa yang terlihat dalam mulut pasien. Persepsi

warna juga dipengaruhi oleh keterbatasan fisiologis mata dokter gigi. Saat melihat

lokasi gigi tertentu dalam waktu yang lama, mata mengalami kelelahan warna,

yang mengakibatkan hilangnya kepekaan terhadap warna kuning-oranye. Dengan

melihat objek atau latar belakang biru (yaitu, warna komplementer), mata dokter

gigi akan pulih dengan cepat dan dapat kembali membedakan variasi hue dalam

warna kuning-oranye. Karena banyak faktor tidak langsung yang memengaruhi

persepsi warna, disarankan agar dokter gigi, asisten, dan terutama pasien semua

dilibatkan dalam pemilihan warna (Ritter et al., 2019).

3.2.4. Translusensi

Translusensi adalah faktor lain yang mempengaruhi kualitas estetika

restorasi. Tingkat translusensi berhubungan dengan seberapa dalam cahaya

berpenetrasi ke dalam gigi atau restorasi sebelum diteruskan ke luar. Biasanya,

cahaya penetrasi melalui email ke dalam dentin sebelum menuju ke luar (Gambar

9.9A); Hal ini memberikan karakteristik vitalitas estetik yang realistis dari gigi

normal yang tidak direstorasi. Penetrasi cahaya yang dangkal seringkali

mengakibatkan hilangnya vitalitas estetika. Fenomena ini adalah masalah umum

yang dihadapi saat merawat gigi dengan stain intrinsik seperti gigi yang terkena

tetrasiklin dengan veneer direk atau indirek. Meskipun media resin opak dapat
menutupi stain yang mendasarinya, vitalitas estetika biasanya hilang karena

berkurangnya penetrasi cahaya (lihat Gambar 9.9B) (Ritter et al., 2019).

Ilusi translusensi juga dapat dibuat untuk meningkatkan realisme restorasi.

Modifier warna (juga disebut sebagai tints) dapat digunakan untuk mendapatkan

translusensi dan mengurangi stain atau untuk karakterisasi restorasi. Gambar 9.10

menunjukkan kasus di mana gigi insisivus sentral kanan atas dengan pewarnaan

kuning intrinsik yang disebabkan oleh trauma pada gigi memerlukan restorasi.

Ketika perawatan bleaching tidak berhasil karena metamorfosis kalsifikasi, veneer

komposit direk digunakan pada pasien ini. Setelah preparasi intraenamel dan etsa

asam, modifier warna violet (warna komplementer kuning) diaplikasikan pada

permukaan fasial yang telah dipreparasi untuk mengurangi kecerahan dan

intensitas gigi kuning di bawahnya. Selain itu, campuran modifier warna abu-abu

dan ungu digunakan untuk menstimulasikan area translusensi vertikal. Restorasi

akhir ditunjukkan pada Gambar 9.10B. Modifier warna juga dapat digabungkan ke

dalam restorasi untuk menstimulasikan warna yang berubah-ubah, untuk

memeriksa garis, atau untuk permukaan bintik-bintik untuk karakterisasi lebih


lanjut. Modifier warna harus selalu ditempatkan dalam restorasi komposit, bukan

pada permukaannya (Ritter et al., 2019).


DAFTAR PUSTAKA

Alex, Gary. 2018. Direct and Indirect Pulp Capping: A Brief History, Material
Innovations, and Clinical Case Report. COPENDIUM 2018; 39(3): 182-190
Budiartie, L. A. (2018). Analisis Pembentukan Dentin Reparatif oleh Powder
Bioactive Glass Nanosilica dari Abu Ampas Tebu. In Digital Repository
Universitas Jember (Vol. 1, Issue 3).
Camelia A, Cecilia GJ, Lunardhi, A. S. (2019). Perbedaan Angiogenesis pada
Pulpa Setelah Aplikasi Ekstrak Propolis dan Kalsium Hidroksida.
Conservative Dentistry Journal, 9(1), 48–53.
Falster, C. A., Araujo, F. B., Straffon, L. H., & Nör, J. E. (2002). Indirect pulp
treatment: In vivo outcomes of an adhesive resin system vs calcium
hydroxide for protection of the dentin-pulp complex. Pediatric Dentistry,
24(3), 241–248.
Gupta, A., Makani, S., Vachhani, K., Sonigra, H., Attur, K., Nayak, R., Lecturer,
S., & Graduate Student, P. (2016). Biodentine: an effective pulp capping
material. Scholars Journal of Dental Sciences (SJDS, 3(1), 15–19.
www.saspublisher.com
Heymann, H. O., Swift, E. J., & Ritter, A. V. (2012). Sturdevant’s Art and
Science of Operative Dentistry. In Elsevier (Sixth Edit, Vol. 66).
Hilton, T. J. (2009). Keys to Clinical Success with Pulp Capping: A Review of the
Literature. Operative Dentistry, 34(5), 615–625. https://doi.org/10.2341/09-
132-0
Hoummadi, A., Nadifi, S., & Dhaimy, S. (2019). Dental Pulp Capping: A
Literature Review. J Clin Mol Pathol, 3(1), 1–8.
Kunert, M., & Lukomska-Szymanska, M. (2020). Bio-Inductive Materials in
Direct and Indirect Pulp Capping - A Review Article. Materials, 13(5).
https://doi.org/10.3390/ma13051204
Kurniasari, A. (2017). Efektivitas Pasta Biji Kopi Robusta sebagai Bahan Direct
Pulp Capping terhadap Jumlah Sel Makrofag dan Sel Limfosit Pulpa Gigi. In
Digital Repository Universitas Jember.
Milcheva, N., & Kabaktchieva, R. (2018). Indirect pulp capping, one visit
technique, for treatment of reversible pulpitis in primary teeth. Известия На
Съюза На Учените – Варна. Серия „Медицина И Екология”, 22(2), 59.
https://doi.org/10.14748/isuvsme.v22i2.5527
Milcheva, Nina, Kabaktchieva, R., & Natalia, G. (2016). Indirect Pulp Capping
for Treatment of Reversible Pulpitis in Primary Teeth-Clinical Protocol for
Two Visits Technique. Journal Bzs, 14–22.
Modena, K. C. da S., Casas-Apayco, L. C., Atta, M. T., Costa, C. A. de S.,
Hebling, J., Sipert, C. R., Navarro, M. F. de L., & Santos, C. F. (2009).
Cytotoxicity and biocompatibility of direct and indirect pulp capping
materials. Journal of Applied Oral Science, 17(6), 544–554.
https://doi.org/10.1590/S1678-77572009000600002
Mouawad, S., Artine, S., Hajjar, P., McConnell, R., Fahd, J. C., & Sabbagh, J.
(2014). Frequently asked questions in direct pulp capping of permanent teeth.
Dental Update, 41(4), 298–304. https://doi.org/10.12968/denu.2014.41.4.298
Prawitasari, P. G., Samadi, K., Subiyanto, A., Pendidikan, P., Gigi, D.,
Konservasi, S., Kedokteran, F., Universitas, G., Staf, A., Departemen, P.,
Gigi, K., Kedokteran, F., & Universitas, G. (2018). Perbedaan ketebalan
odontoblast-like cells setelah aplikasi CAPE dan Kalsium Hidroksida
( Thickness differentiation of odontoblast-like cells after the application of
CAPE dan Calcium Hydroxide ). 8(2), 118–122.
Putrianti, M. A. (2019). Perbedaan Pembentukan Dentinal Bridge Antara
Karbonat Apatit dan Kalsium Hidroksida Setelah Dilakukan Direct Pulp
Capping pada Molar Satu Maksila Tikus Wistar ( Pengamatan 2 Minggu ).
Ritter, A., Boushell, L. W., & Walter, R. (2019). Sturdevant’s Art And Science Of
Operative Dentistry. In Elsevier (7th Editio).
Shameem, A., Muliyar, S., Thankachan, R. P., Kalliath, J. T., Mangalath, U., &
Mangalath, S. (2018). Study to evaluate the efficacy of resin-modified glass
ionomer cement liner as a direct pulp capping material. Journal of
Contemporary Dental Practice, 19(9), 1065–1071.
https://doi.org/10.5005/JP-JOURNALS-10024-2382
Suprastiwi, E. (2018). Material Bioaktif dalam Ruang Lingkup Perawatan
Konservasi Gigi.
Trilaksana, A. C. (2015). Dinamika Kadar Leptin dan Fibronektin terhadap
Calcium Hydroxide dan Mineral Trioxide Aggregate sebagai Bahan Pulp
Capping. In Ekp (Vol. 13, Issue 3).
Trilaksana, A. C., & Gappar, H. (2020). Comparison between calcium hydroxide
(CH) and mineral trioxide aggregate (MTA) as pulp capping agent: A
systematic review. Systematic Reviews in Pharmacy, 11(10), 45–48.
https://doi.org/10.31838/srp.2020.10.9

Anda mungkin juga menyukai