Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH APRESIASI PROSA

Dosen Pengampu : Muhammad Ilham S.S.M.Pd

Disusun Oleh :

Kelompok 4 :

1. Adi Gunawan (2040602086)


2. Cindy Fatika Putri (2040602020)
3. Isnaini Ariska (2040602055)
4. Kharunia Indah (2040602043)
5. Nethania Aureliana (2040602040)
6. Silvana Regina Sari (2040602019)

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
UNIVERSITAS BORNEO TARAKAN
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat serta hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah Apresiasi Prosa dengan baik. Tak lupa
sholawat dan Salam semoga tetap terlimpahkan pada junjungan kita Nabi Besar Muhammad
SAW, karena beliaulah suri dan tauladan bagi setiap langkah kita.

Fungsi makalah ini guna untuk memenuhi tugas mata kuliah Apresiasi Prosa. Perihal
yang disajikan dalam makalah ini memfokuskan pada Bahasa Sastra sebagai Fenomena, Stlie
dan Statistika, Nada dan Stile, Unsur Stile Leksikal, Gramatikal, Retorika dan Kohesi, Narasi
dan Dialog, Unsur Pragmatik dalam Percakapan, Unsur Moral dan Fiksi, Jenis dan Wujud Pesan
Moral, Pesan Religius dan Sosial.
Akhir kata diucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah ini. Sehubungan dengan keterbatasan yang ada pada makalah ini, segala
bentuk kritik dan saran yang datang dan bersifat membantu serta positif akan kami
pertimbangkan demi kemajuan dan perkembangan ilmu sastra untuk mencapai kesempurnaan,
khususnya bidang semiotika.

Tarakan, Maret 2021

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................................................2
DAFTAR ISI...................................................................................................................................................3
BAB I............................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN...........................................................................................................................................4
Latar Belakang.........................................................................................................................................4
Rumusan Masalah...................................................................................................................................5
Tujuan Penulisan.....................................................................................................................................5
BAB II...........................................................................................................................................................7
KAJIAN TEORI...............................................................................................................................................7
Bahasa Sastra sebagai Fenomena............................................................................................................7
Stile dan Stilistika.....................................................................................................................................8
Stile dan Hakikat Stile..........................................................................................................................8
Stilistika dan Hakikat Stilistika..............................................................................................................8
Nada dan Stile..........................................................................................................................................9
Unsur Stile : Leksikal, Gramatikal, Retorika,dan Kohesi.........................................................................10
Leksikal..............................................................................................................................................10
Gramatikal.........................................................................................................................................11
Kohesi................................................................................................................................................13
Narasi dan Dialog...................................................................................................................................13
Pragmatik dalam Percakapan................................................................................................................14
Unsur Moral dalam Fiksi........................................................................................................................14
Jenis dan Wujud Pesan Moral................................................................................................................15
Pesan Religius dan Sosial.......................................................................................................................16
Pesan Religius dan Keagamaan..........................................................................................................16
Pesan Kritik Sosial..............................................................................................................................17
BAB III........................................................................................................................................................19
PENUTUP...................................................................................................................................................19
Kesimpulan............................................................................................................................................19
Saran......................................................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................................21
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Prosa dalam pengertian kesusastraan disebut fiksi (fiction), teks naratif atau
wacana naratif. Istilah fiksi dalam pengertian ini berarti cerita rekaan atau cerita
khayalan. Fiksi menceritakan atau melukiskan kehidupan, baik fisik maupun psikis,
jasmani maupun rohani. Fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan dalam
interaksinya dengan lingkungan sendir, maupun dengan Tuhan. Fiksi merupakan hasil
dialog, kontemplasi dan reaksi pengarang terhadap lingkungan dan kehidupan. Walau
berupa khayalan, fiksi dihasilkan dari perenungan terhadap hakikat hidup dan kehidupan
yang dilakukan dengan penuh kesadaran oleh pengarangnya.
Karya fiksi, seperti halnya dalam kesusastraan Inggris dan Amerika, merujuk
pada karya yang berwujud novel dan cerita pendek. Menurut The American College
Dictionary novel adalah suatu cerita prosa yang fiktif dalam panjang tertentu, yang
melukiskan para tokoh, gerak serta adegan kehidupan nyata yang representatif dalam
suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau dan kusut. Dewasa ini istilah novella dan
novele mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia “Novellet”. Menurut
Abrams novellet adalah sebuah karya sastra yang tidak terlalu panjang, namun juga tidak
terlalu pendek. Menurut Watt berpendapat, novel adalah suatu ragam sastra yang
memberikan gambaran pengalaman manusia, kebudayaan manusia, yang disusun
berdasarkan peristiwa, tingkah laku tokoh, waktu dan plot, suasana dan latar.
Memperhatikan pengertian novel di atas, dapat dikemukakan bahwa novel merupakan
karya sastra yang mengungkapkan sisi kehidupan para pelaku dan cerita dalam novel
tidak harus panjang.
Dari pengertian tentang prosa dan novel, dapat ditarik kesimpulan bahwa di dalam
kehidupan khususnya karya sastra sisi kehidupan pelaku dapat diangkat di dalamnya.
Untuk melukiskan peristiwa yang terjadi dalam novel maka digunakan bahasa sebagai
sarana pengungkapannya. Bahasa sebagai medium dalam novel, memegang peranan
penting dalam kehidupan. Tanpa bahasa manusia tidak akan bisa berbahasa dengan
manusia yang lain. Jadi, bahasa memegang peran penting sebagai sarana komunikasi
dalam kehidupan manusia. Bahasa adalah salah satu cirri pembeda utama manusia
dengan makhluk hidup lainnya.
Bahasa sebagai bidang ilmu memiliki berbagai cabang, yaitu fonologi, morfologi,
sintaksis dan pragmatic. Fonologi adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari bunyi
menurut fungsinya. Morfologi adalah cabang ilmu bahasa yang mengkaji seluk beluk
kata. Sintaksis adalah ilmu bahasa yang mengkaji kalimat. Dibalik bunyi, kata dan
kalimat terdapat makna yang tersirat yang sangat bergantung pada kapan, dimana, siapa
yang berbicara, siapa lawan bicara dan dalam situasi apa. Kajian seperti ini, memerlukan
cabang bahasa tertentu untuk mengkajinya. Cabang ilmu kebahasaan yang dimaksud
adalah pragmatik.
Istilah pragmatik berasal dari pragmatika. Menurut Morris, pragmatika adalah
ilmu tentang pragmatik yang mengkaji hubungan antara tanda dengan penggunaannya.
Pragmatik adalah language in use, studi terhadap makna ujaran dalam situasi tertentu.
Sifat-sifat bahasa dapat dimengerti melalui pragmatik, yakni bagaimana bahasa
digunakan dalam komunikasi. Makna ujaran yang dimaksudkan adalah di sini adalah
makna yang ada dalam komunikasi. Banyak yang tidak mengetahui maksud dari
pembicaraan karena tidak mengerti makna dalam sebuah pembicaraan tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Bahasa Sastra sebagai Fenomena?
2. Apa yang dimaksud dengan Stile dan Stilistika?
3. Apa yang dimaksud dengan Nada dan Stile?
4. Apa yang dimaksud dengan Unsur Stile : Leksikal, Gramatikal, Retorika,dan
Kohesi?
5. Apa yang dimaksud dengan Narasi dan Dialog?
6. Apa saja Unsur Pragmatik dalam Percakapan?
7. Apa saja Jenis Unsur Moral dalam Fiksi?
8. Apa saja Jenis dan Wujud Pesan Moral?
9. Apa yang dimaksud dengan Pesan Religius dan Sosial?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Bahasa Sastra sebagai Fenomena.
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Stile dan Stilistika.
3. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Nada dan Stile.
4. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Unsur Stile: Leksikal, Gramatikal,
Retorika, dan Kohesi.
5. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Narasi dan Dialog.
6. Untuk mengetahui apa saja Unsur Pragmatik dalam Percakapan.
7. Untuk mengetahui Jenis Unsur Moral dalam Fiksi.
8. Untuk mengetahui Jenis dan Wujud Pesan Moral.
9. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Pesan Religius dan Sosial.
10. Sebagai bahan untuk membuat makalah guna untuk memenuhi tugas mata kuliah
Apresiasi Prosa.
BAB II

KAJIAN TEORI

1. Bahasa Sastra sebagai Fenomena


Pada umumnya orang beranggapan bahwa bahasa sastra berbeda dengan bahasa
nonsastra, bahasa yang dipergunakan bukan dalam tujuan pengucapan sastra. Namun
perbedaannya itu sendiri tidak bersifat mutlak, atau bahkan sulit diidentifikasikan.
Bagaimanapun perlu diakui eksistensinya, keberadaannya sebab tidak dapat disangkal
lagi. Bahasa sastra mungkin dicirikan sebagai bahasa (yang mengandung unsur) emotif
dan bersifat konotatif, sebagai kebalikan bahasa non sastra. Ciri adanya unsur pikiran
bukan monopoli bahasa nonsastra, bukan pula sebaliknya unsur emotif juga bukan
monopoli bahasa sastra. Unsur pikiran dan perasaan akan sama-sama terlihat dalam
berbagai ragam penggunaan bahasa.
Demikian pula halnya dengan makna denotatif dan konotatif. Bahasa sastra tidak
mungkin secara mutlak menyaran pada makna konotatif tanpa melibatkan makna
denotative. Penuturan yang demikian akan tidak memberi peluang kepada pembaca untuk
memahaminya.
Bahasa sastra menurut kaum formalis Rusia adalah bahasa yang mempunyai ciri
deotomatisasi, penyimpangan dari cara penuturan yang telah bersifat otomatis, rutin,
biasa, dan wajar. Penyimpangan dalam bahasa sastra dapat dilihat secara sinkronik, yang
berupa penyimpangan dari bahasa sehari-hari, dan secara deakronik yang berupa
penyimpangan dari karya sastra sebelumnya. Pengarang melakukan penyimpangan
kebahasaan, tentunya bukan semata-mata bertujuan ingin aneh, lain daripada yang lain,
melainkan dimaksudkan untuk memeroleh efek keindahan yang lain disamping juga ingin
mengedepankan. Apa yang dikemukakan diatas betapa tidak mudahnya untuk mencirikan
bahasa sastra walau kita sendiri mengakui eksisitensinya. Bagaimanapun juga pencirian
haruslah berdasarkan diri dan mempertimbangkan konteks di samping juga ciri-ciri
struktur kebahasaan, dan gaya bahasa yang terdapat pada karya yang bersangkutan.
2. Stile dan Stilistika
a. Stile dan Hakikat Stile
Stile adalah cara mengungkapkan bahasa dalam bahasa prosa, stile di tandai oleh
ciri-ciri formal kebahasaan seperti pilihan kata, struktur kalimat, bentuk-entuk bahasa
figuratif. Makna stile menurut Leech & Short (1981: 10), suatu hal yang pada
umumnya tidak lagi mengandung sifat controversial, menyaran pada pengertian cara
penggunaan bahasa dalam teks tertentu, oleh pengarang tertentu untuk tujuan tertentu
dan sebagainya.
Stile pada hakikatnya merupakan teknik, teknik pemilihan ungkapan kebahasaan
yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang akan diungkapkan. Stile dalam masalah
struktur lahir bentuk ungkapan kebahasaan, seperti yang terlihat di novel merupakan
bentuk peformansi kebahasaan seseorang pengarang, ia merupakan pernyataan
lahiriah dari sesuatu yang bersifat batiniah. Jika hal itu dikaitkan dengan teori
kabahasaanya Saussure, yang membedakan antara langue dengan parole, stile
merupakan suatu bentuk parole. Langue merupakan sisitem kaidah yang berlaku
dalam suatu bahasa, sedangkan parole merupakan penggunaan dan perwujudan
sistem, selesi tehadap sistem yang dapat dipergunakan oleh penutur sesuai dengan
konteks dan atau situasi. Parole adalah bentuk performasi kebahasaan yang telah
melewati proses seleksi dari keseluruhan bentuk kebahasaan. Membaca baris-baris
kalimat sebuah novel berarti kita berhadapan dengan struktur lahir, dengan bentuk
performasi kebahasaan pengarang. Dengan demikian, berdasarkan teori Chomsky
stile tidak lain adalah struktur lahir.
b. Stilistika dan Hakikat Stilistika
Stilistika menyaran pada pengertian studi tentang stile (Lecch & Short, 1981: 13),
kajian terhadap performansi kebahasaan. Kajian stilistika sebenarnya dapat ditujukan
terhadap berbagai ragam penggunaan bahasa, tidak terbatas pada sastra saja
(Chapaman, 1973: 13).
Stilistika kesastraan merupakan sebuah analisis stile teks kesastraan yang bersifat
objektif dan ilmiah. Analisis dilakukan dengan mengkaji berbagai bentuk tanda-tanda
linguistik yang dipergunakan seperti terlihat seperti struktur lahir.
Kajian stalistika juga dimaksudkan untuk menunjukkan hubungan antara apresiasi
estetis (perhatian kritikus) di satu dengan deskripsi linguistik di pihak lain. Ada
kelompok yang berpandangan bahwa stile merupakan cara menulis, cara berekspresi,
dan membedakannya dengan unsur dengan unsur isi disebut aliran dualisme.
Sebaliknya, kelompok yang tidak membedakan unsur bentuk dan isi serta
memandang keduanya sebagai satu kesatuan bentuk dan isi disebut aliran monoisme (
Lecch & Short, 1981: 15).
Aliran dualisme memandang stile sebagai dress of thought, bungkus pikiran, atau
sebagai manner of exspression, cara berekspresi, dan karenanya dapat dipisahkan dan
dibedakan dengan isi. Isi yang sama dapat di ekspresikan dengan berbagai bentuk.
Jadi bentuk mempengaruhi isi, dan isi menentukan bentuk. Pendekatan pluralism
mendasarkan diri pada fungsi bahasa.
Analisis stalistika, metode kuantitatif berbagai tanda linguistik yang terwujud
dalam bentuk ungkapan bahasa fiksi, seperti dikemukakan di atas, menjadi sarana
pembentuk stile dan hal itulah yang menjadi objek analisis stilistika.
Analisis stalistika menurut Wellek & Warren (1956:180), dapat dilakukan
melalui dua cara. Pertma, ia mulai dengan analisis secara sistematik terhadap sistem
dan melalui tanda-tanda linguistikdan kenudian menginterpretasikannya sebagai satu
keseluruhan makna, kedua, bukan analisi dilakukan debgan mengkaji semua bentuk
linguistik yang menyimpang dari sistem yang berlaku umum.
3. Nada dan Stile
Nada pengarang adalah sebagai pendirian atau sikap yang diambil pengarang
terhadap pembaca dan terhadap masalah yang dikemukakan (Leech & Short, 1981: 280).
Kenny mengemukakan bahwa stile adalah sarana, sedangkan nada adalah tujuan dan
konstribusi dari stile adalah untuk membangkitkan nada (Kenny, 1966: 57).
Nada memang ada hubungannya dengan intonasi, lagu dan tekanan kalimat,
walau dalam bahasa tulis sekalipun. Orang yang membaca novel walau dalam hati akan
memberikan intonasi secara berbeda terhadap kalimat-kalimat dengan ekspresi yang
berbeda pula. Misalya, berhadapan dengan kalimat pernyataan atau berita tentu akan
diintonasikan secara berbeda dengan kalimat tanya.
4. Unsur Stile: Leksika, Gramatikal, Retorika dan Kohesi
Stile sebuah novel, yang berupa wujud pengungkapan bahasa seperti
dikemukakan di atas, mencakup seluruh penggunaan unsur bahasa dalam novel itu
termasuk unsur grafologisnya. Unsur stile demikian berupa berbagai unsur yang
mendukung terwujudnya bentuk lahir pengungkapan bahasa tersebut.
Kajian stile sebuah novel biasanya dilakukan dengan menganalisis unsur-
unsurnya, khususnya untuk mengetahui masing-masing unsur untuk mencapai efek estetis
dan unsur apa saja yang dominan. Kajian stile yang tanpa disertai analisis unsur-unsur
merupakan kajian secara holistik dan bersifat impresionalistik.
Abrams (1981: 193) mengemukakan bahwa unsure stile, ia menyebutnya dengan
istilah stylistics features yang terdiri dari unsure fonologi, sintaksis, leksikal, retorika
(berupa katrakteristik penggunaan bahasa figuratif, pencitraan, dan sebagainya). Analisis
unsur stile, misalnya dilakukan dengan mengidentifikasi masing-masing unsure dengan
tanpa mengabaikan konteks, menghitung frekuensi kemunculannya, menjumlahkan, dan
kemudian menafsirkan dan mendeskripsikankontribusinya bagi stile karya fiksi secara
keseluruhan.
a. Leksikal
Unsur leksikal sama pengertiannya dengan unsur diksi, yaitu mengacu pada
penggunaan kata-kata tertentu yang sengaja dipilih oleh pengarang. Mengingat dari
segi makna, yaitu apakah diksi mampu mengkomunikasikan makna, pesan, dan
mampu mengungkapkan gagasan seperti dimaksudkan oleh pengarang. Masalah
pembinaan kata menurut Chapman (1973: 61), dapat melalui pertimbangan-
pertimbangan formal tertentu.
Pilihan kata juga behubungan dengan masalah sintagmatik dan paradigmatic.
Sigamatik berkaitan dengan hubungan antar kata secara linier untuk membentuk
sebuah kalimat. Bentuk-bentuk kalimat yang diinginkan dan disusun, misalnya
sederhana , lazim, unik, atau lain dari yang lain dalam hal yang akan mempengaruhi
kata khususnya bentuk kata. Dalam hal ini mestinya pengarang memilih kata yang
berkonotasi paling tepat untuk mengungkapkan gagasannya, yang mampu
membangkitkan asosiasi tertentu walau kata yang dipilihnya itu mungkin dari bahasa
lain.
b. Gramatikal
Unsur gramatikal yang dimaksud menyaran pada pengertian struktur kalimat.
Dalam kegiatan komunikasi bahasa, juga jika dilihat dari kepentingan stile, kalimat
lebih penting dan bermakna daripada sekedar kata walau kegayaan kalimat dalam
banyak hal juga banyak dipengaruhi oleh pilihan katanya. Sebuah gagasan, pesan
dapat diungkapkan ke dalam berbagai bentuk kalimat yang berbeda-beda struktur dan
kosa katanya. Penggunaan bentuk struktur kalimat tertentu apakah mempunayai efek
tertentu bagi karya yang bersangkutan, baik efek yang bersifat estetis maupun dalam
hal pemyampaian pesan. Apakah struktur kalimat itu lebih memperjelas makna yang
ingin disampaikan, adakah penekanan terhadap makna tertentu, dan sebagainya
Dalam sastra pengarang mempunyai kebebasan bahasa penuh dalam
mengkreasikan bahasa, adanya berbagai bentuk penyimpangan kebahasaan, termasuk
penyimpangan struktur kalimat merupakan hal yang wajar dan sering terjadi.
Penyimpangan struktur kalimat itu sendiri dapat bermacam-macam wujudnya,
mungkin berupa pembalikan, pemendekan, pengulangan, penghilangan unsur
tertentu. Yang kesemuanya tentu dimaksudkan untuk mendapatkan efek estetis
tertentu disamping juga untuk menekankan pesan tertentu.
c. Retorika

Retorika merupakan suatu cara penggunaan bahasa untuk memperoleh efek


estetis yang dapat diperoleh melalui kreativitas pengungkapan bahasa, yaitu
bagaimana pengarang menyiasati bahasa sebagai sarana untuk mengungkapkan
gagasannya.

Retorika sebenarnya berkaitan dengan pendayagunaan semua unsur bahasa,


baik yang menyangkut masalah pilihan kata dan ungkapan, struktur kalimat,
segmentase, penyusunan dan penggunaan bahasa kias, pemanfaatan bentuk citraan,
dan lain-lain.

Pembicaraan unsur retorika meliputi bentuk-bentuk pemajasan, penyiasatan


struktur dan pencitraan.

1) Pemajasan (Figure of Thought)


Merupakan teknik pengungkapan bahasa, penggayabahasaan, yang
maknanya tidak menunjuk pada makna harfiah kta-kata yag mendukungnya,
melainkan pada makna yang ditambahkan, makna yang tersirat. Jadi ia merupakan
gaya sengaja mendayagunakan penuturan dengan memanfaatkan bahasa kias.

Goris Keraf (1981) membedakan gaya bahasa berdasarkan langsung


tidaknya makna kedalam dua kelompok: (1) gaya bahasa retoris dan kiasan. Gaya
retoris yaitu gaya bahasa yang maknanya harus diartikan menurut nilai lahirnya.
Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa yang mengandung kelangsungan
makna. (2) gaya bahasa kias adalah bahasa yang maknanya tidak dapat ditafsirkan
sesuai dengan makna kata-kata dan bentuknya.

Bentuk-bentuk pemajasan yang sering digunakan pengarang adalah bentuk


perbandingan, yaitu membandingkan sesuatu dengan yang lain melalui ciri-ciri
kesamaan antara keduanya, misalnya berupa ciri fisik, sifat, sikap, keadaan,
suasana, tingkah laku, dan sebagainya. Bentuk-bentuk perbandingan tersebut
dapat dilihat dari sikap kelangsungan pembandingan persamaannya dapat
dibedakan ke dalam bentuk simile, metafora, dan personifikasi.

2) Penyiasatan Struktur

Ada bermacam gaya bahasa yang terlahir dari penyiasatan struktur


kalimat. Salah satu gaya yang banyak dipergunakan orang adalah yang berangkat
dari bentuk pengulangan, baik yang berupa pengulangan kata, bentukan kata,
frase, kalimat, maupun bentuk-bentuk yang lain, misalnya gaya repitisi,
paralelisme, anaphora, polisidenton, dn asindenton, sedangkan bentuk-bentuk
yang lain misalnya alitrasi, antitesis, klimaks, antiklimaks, dan pertanyaan retoris.

3) Pencitraan

Pencitraan merupakan suatu gaya penuturan yang banyak dimanfaatkan


dalam penulisan sastra. Ia dapat dipergunakan untuk mengkonkretkan
pengungkapan gagasan-gagasan yang sebenarnya abstrak melalui kata-kata dan
ungkapan yang mudah mambangkitkan tanggapan imajinasi. Dengan daya
tanggapan indera imajinasinya, pembaca akan dapat dengan mudah
membayangkan, merasakan, dan menangkap pesan yang ingin disampaikan
pengarang.

d. Kohesi
Kohesi adalah keserasian hubungan antara unsur yang satu dengan unsur yang
lain sehingga tercipta susunan kata yang bagus, sedap di dengar dan dibaca. Dalam
bahasa, kohesi merujuk pada perpaduan dan keserasian dalam memilih kata dan
menyambungkan kalimat. Dimana semua unsur lahir dalam penggalan teks tersebut
terpadu, baik secara leksikal maupun gramatikal.
Antara bagian kalimat yang satu dengan bagian yang lain, yang satu dengan yang
lain, terdapat hubungan yang bersifat mangaitkan antarbagian kalimat atau kalimat
itu. Penanda kohesi yang berupa sambungan dalam bahasa Indonesia ada banyak
sekali dan berbeda-beda fungsinya. Ia dapat berupa kata-kata seperti: “dan, kemudian,
sedang, tetapi, namun, melainkan, bahwa, sebab, jika, maka”, dan sebagainya yang
menghubungkan antarbagian kalimat, sebagai preposisi ataupun konjungsi. Penanda
kohesi yang menghubungkan antarkalimat biasanya berupa kata atau kelompok kata
seperti: jadi, dengan demikian, akan tetapi, oleh karena itu, di samping itu”, dan
sebagainya.
5. Narasi dan Dialog
Gaya dialog dapat memberikan kesan realistis, sungguh, dan memberi penekanan
terhadap cerita, atau kejadian yang dituturkan dengan gaya narasi. Sebaliknya gaya
dialog pun hanya akan terasa hidup dan terpahami dalam konteks situasi yang dicipta dan
dikisahkan lewat gaya narasi.
6. Pragmatik dalam Percakapan
Istilah pragmatik itu sendiri diartikan beberapa pengertian yang berbeda, namun
intinya adalah mengacu pada telaah penggunaan bahasa yang mencerminkan kenyataan.
Makna sebuah percakapan dalam banyak hal lebih ditentukan oleh konteks pragmatiknya,
dan hal itu tidak di ungkapkan langsung dengan unsur bahasa, melainkan hanya lewat
kode-kodetertent (budaya) yang menjadi milik pembaca.
Pemahaman terhadap percakapan seperti tersebut dalam konteks pragmatik
disebut implikatur. konsep implikatur merupakan hal yang esensial dalam pragmatik
implikatur merupakan sebuah contoh pragmatik dari hakikat dan kekuatan penjelasan
pragmatik terhadap fenomena linguistik. Ia memberikan penafsiran pragmatis yang
mampu melewati dan menembus batas-batas struktur linguistik.
Percakapan yang hidup dan wajar, walau itu terdapat dalam sebuah novel, adalah
percakapan yang sesuai dengan konteks pemakaiannya, percakapan yang mirip dengan
situasi nyata penggunaan bahasa. Bentuk percakapan yang demikian bersifat pragmatik.
Pemahaman terhadap percakapan seperti konteks pragmatik disebut implikatur
(implicature, yang sebenarnya merupakan kepekaan dari conversational implicature,
‘implikatur percakapan’) (Levinson, 1984: 94-100).
7. Unsur Moral dalam Fiksi
Moral merupakan unsur inti karya sastra. Moral adalah sesuatu yang ingin
disampaikan oleh pengarang kepada pembaca, merupakan makna yang terkandung dalam
sebuah karya, makna yang disarankan lewat cerita. Moral, kadang-kadang diidentikkan
pengertiannya dengan tema, walaupun sebenarnya tidak selalu menyarankan pada bentuk
yang sama. Moral dan tema, keduanya merupakan sesuatu yang terkandung, dapat
ditafsirkan, dan diambil dari cerita. Namun, tema bersifat lebih kompleks daripada moral,
disamping tidak memiliki nilai langsung sebagai saran yang ditunjukkan kepada
pembaca. Moral, dengan demikian, dapat dipandang sebagai salah satu wujud tema dalam
bentuk yang sederhana, namun tidak semua tema merupakan moral (Kenny, 1966: 89)
Secara umum moral menyaran pada pengertian (ajaran tentang) baik buruk yang
diterima mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak, budi pekerti,
susila (KBBI, 1994).
Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang
yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin
disampaikan kepada pembaca. Moral dalam cerita (Kenny (1966: 89), biasanya
dimaksudkan sebagai saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat
praktis, yang dapat diambil dan ditafsirkan lewat cerita oleh pembaca. Ia merupakan
“petunjuk” yang sengaja diberikan oleh pengarang tentang berbagai hal yang
berhubungan dengan masalah kehidupan, seperti sikap, tingkah laku, dan sopan santun
pergaulan.
Melalui cerita, sikap, dan tingkah laku tokoh-tokoh itulah pembaca diharapkan
dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan moral yang disampikan, yang diamanatkan.
Moral dalam karya satra dipandang sebagai amanat, pesan, massage. Bahkan, unsur
amanat itu sebenarnya merupakan gagasan yang mendasari diciptakannya karya sastra
sebagai pendukung pesan.
Moral dalam karya sastra, atau hikmah yang diperoleh pembaca lewat karya
sastra, selalu dalam pengertian yang baik. Jika dalam sebuah karya ditampilkan sifat atau
tingkah laku tokoh yang kurang terpuji atau buruk, maupun protagonis, bukan berarti
pengarang menyarankan kepada pembaca untuk bersikap dan bertindak secara demikian.
Sikap dan tingkah laku tersebut hanyalah model, yang sengaja ditampilkan justru agar
tidak diikuti, atau minimal tidak dicenderungi oleh pembaca. Pembaca diharapkan
mengambil hikmah sendiri dari tokoh antagonis itu.
8. Jenis dan Wujud Pesan Moral
Dalam karya fiksi banyak sekali jenis dan wujud ajaran moral yang dipesankan.
Jenis dan wujud pesan moral yang terdapat dalam karya sastra akan bergantung pada
keyakinan, keinginan, dan interes pengarang yang bersangkutan. Jenis ajaran moral boleh
dikatakan bersifat tidak terbatas. Ia dapat mencakup seluruh persoalan hidup dan
kehidupan, seluruh persoalan yang menyangkut harkat dan martabat manusia.
Sebuah novel tentu saja dapat mengandung dan menawarkan pesan moral itu
salah satu, dua, atau ketiganya sekaligus, masing-masing dengan wujud detil khususnya.
Secara garis besar persoalan hidup dan kehidupan manusia mencakup tiga hal, (1)
hubungan manusia dengan diri sendiri, (2) hubungan manusia dengan manusia lain,
termasuk hubungan dengan lingkungan alam, dan (3) hubungan manusia dengan Tuhan-
Nya.
Persoalan manusia dengan dirinya sendiri dapat bermacam-macam jenis dan
intensitasnya. Hal itu tentu saja juga tidak lepas dengan persoalan hubungan antarsesama
dengan Tuhan. Misalnya: masalah-masalah seperti eksensi diri, harga diri, percaya diri,
takut, maut, rindu, dendam, kesepian, dan lain-lain yang bersifat melibatkan ke dalam diri
dan kejiwaan seorang individu.
Masalah-masalah yang berupa hubungan antarmanusia itu antara lain dapat
berwujud: persahabatan, kesetiaan, penghianatan, kekeluargaan: hubungan suami-istri,
orang tua-anak, hubungan buruh-majikan, cinta tanah air, dan lain-lain yang melibatkan
interaksi antarmanusia.
Sedangkan masalah-masalah yang berupa hubungan manusia dengan Tuhannya,
misalnya tentang keimanan, ibadah, dosa, dan lain sebagainya.
9. Pesan Religius dan Sosial
Pesan moral yang berwujud religius, termasuk di dalamnya yang bersifat
keagamaan, dan kritik sosial banyak ditemukan dalam karya fiksi. Kedua hal tersebut
merupakan “lahan” inspirasi bagi para penulis. Hal itu disebabkan karena banyaknya
masalah kehidupan yang tidak sesuai dengan yang diharapkan, kemudian mereka
mencoba menawarkan sesuatu yang diidealkan.
a. Pesan Religius dan Keagamaan
Kehadiran unsur relegius dan keagamaan dalam sastra adalah suatu keberadaan
sastra itu sendiri. Bahkan sastra tumbuh dari suatu yang bersifat relegius. Pada awal
mula segala sastra adalah relegious (Mangunwijaya, 1982: 11). Istilah “relegius”
berarti membawa konotasi pada makna agama. Relegius dan agama memang erat dan
berkaitan, berdampingan, bahkan dapat melebur dalam kesatuan, namun sebenarnya
keduanya menyaran pada makna yang berbeda.
Agama lebih menunjukkan pada kelambagaan kebaktian pada Tuhan dengan
hukum-hukum yang resmi. Sedangkan Religiositas, melihat aspek dari lubuk hati,
riak getaran nurani pribadi, totalitas kedalaman pribadi manusia. Dengan demikian,
religius bersifat mengatasi, lebih dalam, dan lebih luas dari agama yang tampak
dormal dan resmi (Mangunwijaya, 1982: 11-12).
Seorang religius adalah orang yang mencoba memahami dan menghayati hidup
dan kehidupan ini lebih dari sekedar yang lahiriah saja. Dia tidak terikat pada agama
tertentu yang ada di dunia ini. Seorang penganut agama tertentu, Islam misalnya,
idealnya sekaligus religius, namun tidak demikian kenyataannya. Banyak penganut
agama tertentu, misalnya seperti yang terlihat dalam KTP, namun sikap dan tingkah
lakunya tidak religius. Moral religius menjunjung tinggi sifat-sifat manusiawi, hati
nurani yang dalam, harkat, dan martabat serta kebebasan pribadi yang dimiliki
manusia.
Masalah religius dan keagamaan misalnya dalam cerpen Robohnya Surau Kami,
menceritakan kehidupan seseorang penunggu surau yang hanya beribadah melulu dan
melupakan urusan dunia, yang akhirnya bunuh diri. Cerpen tersebut ingin
menyampaikan pesan keagamaan, bahwa kehidupan dunia-akhirat harus dijalani
secara seimbang. Orang boleh saja, dan mesti demikian, beribadah secara sungguh-
sungguh dan selalu ingat kepada Tuhan, namun selama masih di dunia, ia tidak akan
dapat menghindar dari kebutuhan duniawi.
b. Pesan Kritik Sosial
Hampir semua novel Indonesia sejak awal pertumbuhannya hingga sekarang ini,
boleh dikatakan mengandung unsur pesan kritik sosial walau dengan tingkat
intensitas yang berbeda. Wujud kehidupan sosial yang dikritik bermacam-macam
seluas lingkup kehidupan sosial itu sendiri. Banyak karya sastra yang bernilai tinggi
yang didalamnya menampilkan pesan-pesan kritik sosial.
Namun, perlu ditegaskan bahwa karya-karya tersebut menjadi bernilai bukan
lantaran pesan itu, melainkan lebih ditentukan oleh kohereni semua unsur
intrinsiknya. Pesan moral hanya merupakan salah satu unsur pembangaun karya fiksi
saja. Selain itu, pesan moral, khususnya kritik sosial, dapat mempengaruhi aktualisasi
karya yang bersangkutan.
Sastra yang mengandung kritik sosial, juga dapat disebut sastra kritik. Biasanya
akan lahir di tengah masyarakat jika terjadi hal-hal yang kurang beres dalam
kehidupan sosial dan masyarakat. Paling tidak, hal itu ada dalam penglihatan dan
dapat dirasakan oleh pengarang yang berperasaan peka. Pengarang umumnya tampil
sebagai pembela kebenaran dan keadilan, ataupun sifat-sifat luhur kemanusiaan yang
lain. Ia tidak akan diam, dan lewat karangannya itu akan memperjuangkan hal-hal
yang diyakini kebenarannya.
Banyak karya sastra, jadi tidak hanya fiksi saja, yang memperjuangkan nasib
rakyat kecil yang memang perlu dibela, rakyat kecil yang seperti dipermainkan oleh
tangan-tangan kekuasaan, kekuasaan yang kini lebih berupa kekuatan ekonomi.
Berbagai penderitaan rakyat itu antara lain berupa menjadi korban kesewenangan,
penggusuran, penipuan, atau yang selalu dipandang, diperlakukan, dan diputuskan
sebagai pihak yang selalu di bawah, kalah, dan dikalahkan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hampir semua novel Indonesia sejak awal pertumbuhannya hingga sekarang ini,
boleh dikatakan mengandung unsur pesan kritik sosial walau dengan tingkat
intensitas yang berbeda. Wujud kehidupan sosial yang dikritik bermacam-macam
seluas lingkup kehidupan sosial itu sendiri. Banyak karya sastra yang bernilai tinggi
yang didalamnya menampilkan pesan-pesan kritik sosial.
Namun, perlu ditegaskan bahwa karya-karya tersebut menjadi bernilai bukan
lantaran pesan itu, melainkan lebih ditentukan oleh kohereni semua unsur
intrinsiknya. Pesan moral hanya merupakan salah satu unsur pembangaun karya fiksi
saja. Selain itu, pesan moral, khususnya kritik sosial, dapat mempengaruhi aktualisasi
karya yang bersangkutan.
Sastra yang mengandung kritik sosial, juga dapat disebut sastra kritik. Biasanya
akan lahir di tengah masyarakat jika terjadi hal-hal yang kurang beres dalam
kehidupan sosial dan masyarakat. Paling tidak, hal itu ada dalam penglihatan dan
dapat dirasakan oleh pengarang yang berperasaan peka. Pengarang umumnya tampil
sebagai pembela kebenaran dan keadilan, ataupun sifat-sifat luhur kemanusiaan yang
lain. Ia tidak akan diam, dan lewat karangannya itu akan memperjuangkan hal-hal
yang diyakini kebenarannya.
Banyak karya sastra, jadi tidak hanya fiksi saja, yang memperjuangkan nasib
rakyat kecil yang memang perlu dibela, rakyat kecil yang seperti dipermainkan oleh
tangan-tangan kekuasaan, kekuasaan yang kini lebih berupa kekuatan ekonomi.
Berbagai penderitaan rakyat itu antara lain berupa menjadi korban kesewenangan,
penggusuran, penipuan, atau yang selalu dipandang, diperlakukan, dan diputuskan
sebagai pihak yang selalu di bawah, kalah, dan dikalahkan.

B. Saran
Setelah kita mengetahui dan memahami bahasa dan unsur moral dalam fiksi,
persoalan dalam hidup dan kehidupan manusia itu dapat dibedakan kedalam
persoalan hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan
manusia lain dalam lingkup sosial termasuk hubunganya dengan lingkungan alam,
dan hubungan manusia dengan tuhanya agar bisa berjalan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA

http://eprints.umm.ac.id diunggah pada tanggal 14 Maret 2021 pukul 09.08 WITA

https://osf.io/u9dre/#:~:text=Description%3A%20Unsur%20moral%20dalam%20karya,hidup
%20yang%20disampaikan%20kepada%20pembaca.&text=Jenis%20ajaran%20moral%20boleh
%20dikatakan%20bersifat%20tidak%20terbatas diunggah pada tanggal 14 Maret 2021 pukul
09.28 WITA

http://singa-selatan1.blogspot.com/2014/03/makalah-kohesi.html?m=1 diunggah pada tanggal 14


Maret 2021 pukul 11.19 WITA

http://blognagara6.blogspot.com/2017/03/stilistika.html?m=1 diunggah pada tanggal 14 Maret


2021 pukul 11.26 WITA

http://mama-diyah.blogspot.com/2013/11/makalah-moral-dalam-fiksi.html?m=1 diunggah pada


tanggal 14 Maret 2021 pukul 12.29 WITA

http://repository.uir.ac.id/421/1/bab1.pdf diunggah pada tanggal 15 Maret 2021 pukul 07.55


WITA

https://www.evaluasi.or.id/2019/07/makalah-paragraf-narasi-jenis-contoh.html?m=1diunggah
pada tanggal 15 Maret 2021 pukul 08.12 WITA

http://mama-diyah.blogspot.com/2013/11/makalah-apresiasi-fiksi-tentang-bahasa.html?m=1
diunggah pada tanggal 16 Maret 2021 pukul 21.45 WITA

Anda mungkin juga menyukai