Makalah Aswajah Fiks
Makalah Aswajah Fiks
KONSEP ASWAJAH
Prodi D3 KEPERAWATAN
Kelompok 2
DAFTAR ISI
Bab I Pendahuluan
Bab II Pembahasan
ْبعُوْ نَ فِىN ا ِن َو َسNNَ َدةٌ فِى ْال َجنَّ ِة َوثِ ْنتNةً فَ َوا ِحN َث َو َس ْب ِع ْينَ فِرْ ق ُ َوالّ ِذيْ نَ ْفسُ ُم َح َّم ٍد بِيَ ِده لَتَ ْفت َِر
ٍ َق اُ َّمتِى َعلَى ثَال
()رواه الطبرانى اَ ْه ُل ال ُسنَّ ِة َو ْال َج َما َع ِة: َم ْن هُ ْم يَا َرسُوْ َل هللاِ ؟ قَا َل: ارقِ ْي َل ِ َّالن
Pada masa Rasulullah SAW. masih hidup, istilah Aswaja sudah pernah
ada tetapi tidak menunjuk pada kelompok tertentu atau aliran tertentu. Yang
dimaksud dengan Ahlus sunnah wal Jama‟ah adalah orang-orang Islam
secara keseluruhan. Ada sebuah hadits yang mungkin perlu dikutipkan
telebih dahulu, Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
“Sesungguhnya bani Israil akan terpecah menjadi 70 golongan dan
ummatku terpecah menjadi 73 golongan dan semuanya masuk neraka kecuali
satu golongan. Para Shohabat bertanya : Siapa yang satu golongan itu?
Rasulullah SAW. menjawab : yaitu golongan dimana Aku dan Shahabatku
berada.” Ahlus sunnah wal jama‟ah adalah suatu golongan yang menganut
syariat islam yang berdasarkan pada al qur`an dan al hadis dan beri`tikad
apabila tidak ada dasar hukum pada alqur`an dan hadis.
Inilah kemudian kita sampai pada pengertian Aswaja. Pertama kalau kita
melihat ijtihadnya para ulama-ulama merasionalkan dan memecahkan
masalah jika didalam alqur`an dan hadis tidak menerangkanya. Definisi
kedua adalah (melihat cara berpikir dari berbagai kelompok aliran yang
bertentangan); orangorang yang memiliki metode berpikir keagamaan yang
mencakup aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar moderasi menjaga
keseimbangan dan toleransi. Ahlus sunnah wal Jama‟ah ini tidak mengecam
Jabariyah, Qodariyah maupun Mu‟tazilah akan tetapi berada di tengah-
tengah dengan mengembalikan pada ma anna alaihi wa ashabihi. Nah itulah
latar belakang sosial dan latar belakang politik munculnya paham Aswaja.
Jadi tidak muncul tiba-tiba tetapi karena ada sebab, ada ekstrim mu‟tazilah
yang serba akal, ada ekstrim jabariyah yang serba taqdir, aswaja ini di
tengah-tengah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Aswaja sebagai
sebuah paham keagamaan (ajaran) maupun 2 sebagai aliran pemikiran
(manhajul fiqr) kemunculannya tidak bisa dilepaskan dari pengaruh dinamika
sosial politik pada waktu itu, lebih khusus sejak peristiwa Tahqim yang
melibatkan Sahabat Ali dan sahabat Muawiyyah sekitar akhir tahun 40 H.
Ahli sunnah wal jamaah pemikiranya menggunakan pemikiran al asyari
dan hukum fiqihnya menggunakan imam madzhab sehingga golongan aswaja
inilah golongan yang sifatnya luas. Dari uraian diatas maka penulis tertarik
mengangkat tema ASWAJA (Ahlus sunnah wal jama‟ah).
PEMBAHASAN
Definisi Ahlus sunnah Wal jama‟ah ada dua bagian yaitu: definisi secara
umum dan definisi secara khusus:
1. Definisi Aswaja Secara umum adalah satu kelompok atau golongan
yang senantiasa komitmen mengikuti sunnah Nabi SAW. Dan Thoriqoh
parashabatnya dalam hal aqidah, amaliyah fisik (fiqih) dan hakikat
(Tasawwufdan Akhlaq).
2. Definisi Aswaja secara khusus adalah Golongan yang mempunyai
I‟tikad keyakinan yang searah dengan keyakinan jamaah Asya‟iroh dan
Maturidiyah.
B. Sejarah Aswajah
Ketika nabi wafat, kaum muslimin masih bersatu dalam agama yang
mereka jalani, kecuali orang-orang munafik yang luarnya menyatakan islam,
sedangkan hatinya menyembunyikan kemunafikan. Klasifikasi social yang ada
pada saat itu terdiri dari tiga golongan, orang muslim, orang kafir dan orang
munafik. Namun begitu nabi wafat, perselisihan dikalangan mereka segera terjadi
tentang seorang pemimpin yang akan menjadi pengganti nabi. Kaum anshar
menginginkan kepemimpinan berada ditangan pemimpin mereka yaitu sa’ad bin
ubadah. Sedangkan kaum muhajirin menghendaki kepemimpinan berada di
tangan abu bakar. Mereka pada kesepakatan untuk memilih abu bakar al shiddiq
sebagai khalifah.
Setelah abu bakar al-shiddiq wafat, khalifah berpindah ke tangan umar bin al
khaththab, sahabat nabi terbaik setelah abu bakar. Pada masa pemerintahan umar,
islam semakin kuat dan negri muslim semakin luas berkat proses penyebaran
islam yang berjalan dengan efektif dengan ditaklukanya negeri Persia dan romawi,
dua Negara terbesar didunia pada saat itu dan kemudian ditaklukanya negeri-
negeri di sekitarnya ke bawah naungan daulah islamiah dalam proses sejarah yang
dikenal dengan istilah al-futuhat al-islamiyyah (penaklukan-penaklukan islam),
hingga akhirnya khalifah umar menemui ajalnya setelah ditikam oleh seorng
budak Persia, yaitu abu lu’lu’ah al-majusi.
Setelah umar wafat, khalifah berpindah ketangan utsman bin affan, menantu nabi
Muhammad SAW yang menyandang gelar Dzun nurain (pemilik dua cahaya)
yaitu satu-satunya orang yang mempunyai dua seorang putri soeorang nabi,
rukiayah dan umu kultsum. Dari jalur nasab, ustman masih termasuk keponakan
rasullah, melalui jalur ibunya, Arwah binti Kuraiz yang masih sepupu rasullallah.
Disamping itu uztman juga sahabat rasullallah terbaik setelah wafatnya ummar.
Pada beberapa ulama salaf mengatakan bahwa aswaja adalah mereka yang hanya
memiliki hubungan dengan sunnah nabi rasullallah kita tidak akan mampu
memastikan sejak kapan titik permulaan aswaja itu kecuali apabila kita
mengakatan permulaan ajaranya adalah titik permulaan ajaran islam itu sendiri,
Disisi lain istilah aswaja memiliki dua sasaran obyek yang berbeda
1. Aswaja dalam kontek yang bersifat umum yaitu menjadi nama bagi mereka
yang bukan pengikut aliran si’ah seperti aliran Mu’tazilah, Murjiah, Karramiyah,
Wahhabi dan lai-lain.
2. Aswaja Dlam Konteks yang bersifat khusus yaitu menjadi nama bagi
mereka yang mengikuti ajaran rasullallah dan sahabat secara penuh seperti,
Mu’tazilah, Murjiah, Karramiyah, Wahhabi,Si’ah dan lai-lain. Ahlussunnah Wal
Jama'ah (Aswaja) lahir dari pergulatan intens antara doktrin dengan sejarah. Di
wilayah doktrin, debat meliputi soal kalam mengenai status Al-Qur'an apakah ia
makhluk atau bukan, kemudian debat antara Sifat-Sifat Allah antara
ulamaSalafiyyun dengan golongan Mu'tazilah, dan seterusnya.
Ketuhanan (Tauhid)
Sifat-sifat tersebut yang diyakini oleh Ahlussunah Wal Jamaah sebagai sifat
yang wajib dimiliki oleh Allah dan mustahil dimiliki Allah. Jumlah
keseluruhan sifat diatas berjumlah empat puluh, dan ditambah satu sifat lagi,
yakni sifat jaiz Allah, Allah boleh menciptakan sesuatu dan tidak
menciptakanya. Maksudnya Allah mempunyai hak preogatif atas semua
ciptaanNya. Berbeda dengan aliran Mu’tazilah, aliran
Mu’tazilah menafikan (tidak meyakini) bahwa Allah memiliki sifat-
sifat Azali , mereka mengatakan bahwa Allah tidak memiliki sifat Qudrah,
ilmu, iradah, dan hayat.
Malaikat
Paham aswaja (Ahlussunah Wal Jama’ah) meyakini bahwa ada makhluk yang
tidak bisa dilihat manusia, ia diciptakan dari cahaya, makhluk tersebut
bernama malaikat. Malaikat merupakan ciptaan Allah yang ditugaskan
mengatur seluruh jagat raya dengan tugas masing-masing yang diberikan
tuhanya, dan ia terhindar dari perbuatan salah. Jumlah malaikat tidak
terhitung, akan tepapi malaikat yang wajib diketahui berjumlah sepuluh,
dengan tugas masing-masng.
Kesepuluh malaikat tersebutlah yang wajib diketahui dan diyakini oleh setiap
umat islam. Sedangkan malaikat-malaikat lain umat islam hanya wajib
mempercayai bahwa ada malaikat lain yang ditugaskan oleh Allah dengan
tugas masing-masing, seperti malaikat Rahmat yang bertugas membagikan
belas kasih Allah kepada hambaNya.
Islam, iman dan ihsan adalah trilogi agama (ad diin) yang membentuk tiga
dimensi keagamaan meliputi syari’ah sebagai realitas hukum, tharîqah sebagai
jembatan menuju haqîqah yang merupakan puncak kebenaran esensial.
Ketiganya adalah sisi tak terpisahkan dari keutuhan risalah yang dibawa
Rasulullah saw. yang menghadirkan kesatuan aspek eksoterisme (lahir) dan
esoterisme (batin).
Tiga dimensi agama ini (islam, iman dan ihsan), masing-masing saling
melengkapi satu sama lain. Keislaman seseorang tidak akan sempurna tanpa
mengintegrasikan keimanan dan keihsanan. Ketiganya harus berjalan
seimbang dalam perilaku dan penghayatan keagamaan umat, seperti yang
ditegaskan dalam firman Allah: Hai orang-orang yang beriman, masuklah
kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya. (QS. Albaqarah: 208)
Imam Malik mengatakan, “Barang siapa menjalani tasawuf tanpa fikih, maka
dia telah zindiq, barang siapa memegang fikih tanpa tasawuf, maka dia telah
fasiq, dan barang siapa menyatukan keduanya, maka dia telah menemukan
kebenaran”.
1. Doktrin Keimanan
Iman adalah pembenaran (tashdîq) terhadap Allah, Rasul dan segala risalah yang
beliau bawa dari Allah. Dalam doktrin keimanan, yang selanjutnya termanifestasi
ke dalam bidang tauhid (teologi/kalam) ini, Aswaja berpedoman pada aqidah
islamiyah (ushûluddîn) yang dirumuskan oleh Abu Alhasan Al’asy’ari (260
H./874 M. – 324 H./936 M.) dan Abu Manshur al Maturidi (w. 333 H.).
Kedua tokoh Aswaja ini nyaris sepakat dalam masalah aqidah islamiyah, meliputi
sifat-sifat wajib, mustahil dan ja’iz bagi Allah, para rasul dan malaikatNya,
kendati keduanya berbeda dalam cara dan proses penalaran. Kedua tokoh ini
hanya berbeda dalam tiga masalah yang tidak berakibat fatal, yaitu dalam masalah
istitsnâ’, takwîn, dan iman dengan taqlid.
Pertama istitsna’, atau mengatakan keimanan dengan insyaallah, seperti “Saya
beriman, insyaallah”. Menurut Maturidiyah hal itu tidak diperbolehkan,
karena istitsnâ demikian mengisyaratkan sebuah keraguan, dan keimanan batal
dengan adanya ragu-ragu. Menurut Asyâ’irah diperbolehkan, karena
maksud istisnâ’ demikian bukan didasari keraguan atas keimanan itu sendiri,
melainkan keraguan tentang akhir hidupnya dengan iman atau tidak, na’ûdzu
billah min dzalik. Atau, istitsnâ’ demikian maksudnya keraguan dan spekulasi
terhadap kesempurnaan imannya di hadapan Allah.
Dari tingkatan tauhid ini, selanjutnya ada empat strata keimanan. Ada
iman bittaqlîd, iman biddalîl, iman bil iyyân dan iman bil haqq. Pertama,
iman bittaqlîd adalah keimanan melalui ungkapan orang lain tanpa mengetahui
dalilnya secara langsung. Keimanan seperti ini keabsahannya masih
diperselisihkan. Kedua, iman biddalîl (ilmul yaqîn) ialah keyakinan
terhadap aqâ’id lima puluh dengan dalil dan alasan filosofinya. Dua strata
keimanan ini masih terhalang ( )محجوبdalam mengetahui Allah.
Keimanan seseorang akan hilang dan menjadi kafir (murtad) apabila menafikan
wujud Allah, mengandung unsur syirik yang tidak dapat ditakwil, mengingkari
kenabian, mengingkari hal-hal yang lumrah diketahui dalam agama (ma’lûm bi
adldlarûri), dan mengingkari hal-hal mutawâtir atau mujma’ ‘alaih yang telah
lumrah diketahui. Tindakan yang menyebabkan seseorang dikategorikan kafir bisa
meliputi ucapan, perbuatan atau keyakinan, yang mengandung unsur-unsur di atas
ketika telah terbukti (tahaqquq) dan tidak bisa ditakwil.
2. Doktrin Keislaman
Doktrin keislaman, yang selanjutnya termanifestasi ke dalam bidang fikih yang
meliputi hukumhukum legal-formal (ubudiyah, mu’amalah, munakahah, jinayah,
siyasah dan lain-lain), Aswaja berpedoman pada salah satu dari empat madzhab
fikih, yaitu Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah.
Empat madzhab ini yang dinilai paling moderat dibanding madzhab Dawud
Adhdhahiri yang cenderung tekstualis dan Madzhab Mu’tazilah yang cenderung
rasionalis.
Jalan tengah (tawâsuth) yang ditempuh Aswaja di antara dua kutub ekstrim, yaitu
antara rasioalis dengan tekstualis ini, karena jalan tengah atau moderat diyakini
sebagai jalan paling selamat di antara yang selamat, jalan terbaik diantara yang
baik, sebagaimana yang ditegaskan Nabi saw. dalam sabdanya: Sebaik-baiknya
perkara adalah tengahnya.
Dengan prinsip inilah Aswaja mengakui bahwa empat madzhab yang memadukan
dalil Al Quran, Hadits, Ijma’ dan Qiyas (analogi), diakuinya mengandung
kemungkinan lebih besar berada di jalur kebenaran dan keselamatan. Hal ini juga
dapat berarti bahwa kebenaran yang diikuti dan diyakini oleh Aswaja hanya
bersifat kemungkinan dan bukan kemutlakan. Dalam arti, mungkin benar dan
bukan mutlak benar. Empat dalil (Al Quran, Hadis, Ijma’ dan Qiyas) ini
dirumuskan dari ayat, ”Hai orangorang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah
Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan
Rasul (sunnahnya),” (QS. Annisa’: 59)
Dalam ayat ini secara implisit ditegaskan, bahwa ada empat dalil yang bisa
dijadikan tendensi penggalian (istinbâth) hukum, yaitu Al Quran,
Hadis, Ijma’ dan Qiyas. Perintah taat kepada Allah dan utusanNya, berarti
perintah berpegang pada Al Quran dan Hadis, perintah taat kepada ulil
amri berarti perintah berpegang pada Ijma’ (konsensus) umat (mujtahidîn), dan
perintah mengembalikan perselisihan kepada Allah dan RasulNya berarti perintah
berpegang pada Qiyas sepanjang tidak ada nash dan ijma’.
Sebab, Qiyas hakikatnya mengembalikan sesuatu yang berbeda pada hukum
Allah dan utusanNya.
Mewajibkan ijtihad kepada umat yang tidak memiliki kapasitas ijtihad, sama saja
memaksakan susuatu di luar batas kemampuannya. Maka kepada umat seperti
inilah taqlid dipahami sebagai kewajiban oleh Aswaja berdasarkan firman Allah,
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui,” (QS. Annahl: 43).
3. Doktrin Keihsanan
Tasawuf adalah sebuah manhaj spiritual yang bisa dilewati bukan melalui teori-
teori ilmiah semata melainkan dengan mengintegrasikan antara ilmu dan amal,
dengan jalan melepaskan (takhallî) baju kenistaan (akhlaq madzmûmah) dan
mengenakan (tahallî) jubah keagungan (akhlaq mahmûdah), sehingga Allah hadir
(tajallî) dalam setiap gerak-gerik dan perilakunya, dan inilah manifestasi konkret
dari ihsan dalam sabda Rasulullah SAW, “Ihsan adalah engkau menyembah Allah
seolah engkau melihatNya, dan jika engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia
melihatmu”.
Dari uraian di atas, dapat dimengerti bahwa kelompok yang masuk kategori
Aswaja meliputi ahli tauhid (kalam), ahli fikih (syariat), ahli tasawuf (akhlak) dan
bahkan ahli hadis (muhadditsîn).
1.3. Sumber Doktrin Aswaja
Di dalam menentukan hukum fiqih, madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah
(Aswaja) bersumber kepada empat pokok; Al-Qur’an, Hadits/as-Sunnah,
Ijma’ dan Qiyas. Secara singkat, paparannya sebagai berikut;
Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan sumber utama dan pertama dalam pengambilan
hukum. Karena Al-Qur’an adalah perkataan Allah yang merupakan
petunjuk kepada ummat manusia dan diwajibkan untuk berpegangan
kepada Al-Qur’an. Allah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 2; Al-
Maidah Ayat 44-45, 47 :
َْب فِ ْي ِه هُدًى لِ ْل ُمتَّقِ ْين َ ك ْال ِكت
َ َب الَ َري َ ِذل
<> “Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya petunjuk bagi
mereka yang bertaqwa”.
(Al-Baqarah; 2) ََو َم ْن لَ ْم يَحْ ُك ْم بِ َما أَ ْن َز َل هللاُ فَأُوْ لئِكَ هُ ُم ْالكفِرُوْ ن
“Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka adalah golongan orang-orang kafir”. Tentu
dalam hal ini yang bersangkutan dengan aqidah, lalu;
َ َِو َم ْن لَ ْم يَحْ ُك ْم بِ َما أَ ْن َز َل هللاُ فَأُوْ لئ
َك هُ ُم الظّلِ ُموْ ن
“Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang
diturunkan Allah maka mereka adalah orang-orang yang dhalim”.
Dalam hal ini urusan yang berkenaan dengan hak-hak sesama manusia
َ َِ و َم ْن لَ ْم يَحْ ُك ْم بِ َما أَ ْن َز َل هللاُ فَأُوْ لئ
ك هُ ُم ْالف ِسقُوْ ن َ
“Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang
diturunkan Allah maka mereka adalah golongan orang-orang fasik”.
Dalam hal ini yang berkenaan dengan ibadat dan larangan-larangan Allah.
Al-Hadits/Sunnah
Sumber kedua dalam menentukan hukum ialah sunnah Rasulullah ٍSAW.
Karena Rasulullah yang berhak menjelaskan dan menafsirkan Al-Qur’an,
maka As-Sunnah menduduki tempat kedua setelah Al-Qur’an. Allah
berfirman dalam Al-Qur’an surat an-Nahl ayat 44 dan al-Hasyr ayat 7,
sebagai berikut;
َاس َمانُ ِز َل اِلَ ْي ِه ْم َولَ َعلَّهُ ْم يَتَفَ َّكرُوْ ن َ َواَ ْن َز ْلنَا اِلَ ْي
ِ َّك ال ِذ ْك َر لِتُبَيِنَ لِلن
“Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan
kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya
mereka memikirkan”. (An-Nahl : 44)
ِ اِ َّن هللاَ َش ِد ْيد ُْا ِلعقَا,ََو َما َءاتَ ُك ُم ال َّرسُوْ ُل فَ ُخ ُذوْ هُ َو َمانَه ُك ْم َع ْنهُ فَا ْنتَهَوْ ا َواتَّقُوْ اهللا
ب
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka ambillah Kedua ayat tersebut
di atas jelas bahwa Hadits atau Sunnah menduduki tempat kedua setelah
Al-Qur’an dalam menentukan hukum.
Al-Ijma’
Yang disebut Ijma’ ialah kesepakatan para Ulama’ atas suatu hukum
setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Karena pada masa hidupnya
Nabi Muhammad SAW seluruh persoalan hukum kembali kepada Beliau.
Setelah wafatnya Nabi maka hukum dikembalikan kepada para
sahabatnya dan para Mujtahid. Kemudian ijma’ ada 2 macam : 1. Ijma’
Bayani (انيNNاع البيNN ) االجمialah apabila semua Mujtahid mengeluarkan
pendapatnya baik berbentuk perkataan maupun tulisan yang menunjukan
kesepakatannya. 2. Ijma’ Sukuti ( )االجماع السكوتيialah apabila sebagian
Mujtahid mengeluarkan pendapatnya dan sebagian yang lain diam,
sedang diamnya menunjukan setuju, bukan karena takut atau malu.
Dalam ijma’ sukuti ini Ulama’ masih berselisih faham untuk diikuti,
karena setuju dengan sikap diam tidak dapat dipastikan. Adapun ijma’
bayani telah disepakati suatu hukum, wajib bagi ummat Islam untuk
mengikuti dan menta’ati. Karena para Ulama’ Mujtahid itu termasuk
orang-orang yang lebih mengerti dalam maksud yang dikandung oleh Al-
Qur’an dan Al-Hadits, dan mereka itulah yang disebut Ulil Amri Minkum
(اولىاالمر منكم ) Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat : 59
ُ
ِ N“ ياأَيُّهَاالَّ ِذ ْينَ أَ َمنُوْ اأَ ِط ْيعُوْ اهللاَ َوأَ ِط ْيعُوْ اال َّرسُوْ َل َوأوْ لِى ْاألَ ْمHai orang yang beriman
ر ِم ْن ُك ْمN
ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya dan Ulil Amri di antara kamu”.
Dan para Sahabat pernah melaksanakan ijma’ apabila terjadi suatu
masalah yang tidak ada dalam Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah S.A.W.
Pada zaman sahabat Abu Bakar dan sahabat Umar r.a jika mereka sudah
sepakat maka wajib diikuti oleh seluruh ummat Islam. Inilah beberapa
Hadits yang memperkuat Ijma’ sebagai sumber hokum, seperti disebut
dalam Sunan Termidzi Juz IV hal 466.
ا ظَنَنتُ ْم أَنNN ِر ۚ َمNر ِه ْم أِل َ َّو ِل ْٱل َح ْشN ۟ رNَ َر َج ٱلَّ ِذينَ َكفNى أَ ْخ
ِ َ ِل ْٱل ِك ٰتNُوا ِم ْن أَ ْه ٓ ه َُو ٱلَّ ِذ
ِ Nَب ِمن ِد ٰي
N۟ بNNNْث لَ ْم يَحْ ت َِس
ۖ ُوا ُ م ٱهَّلل ُ ِم ْن َحيNُ ُأَتَ ٰىهNNNَونُهُم ِّمنَ ٱهَّلل ِ فNNNُص ُ وا ۖ َوظَنُّ ٓو ۟ا أَنَّهُم َّمانِ َعتُهُ ْم حNNNُ
N۟ يَ ْخ ُرج
أ ُ ۟ولِىNNَُٓوا ٰي
N۟ ٱ ْعتَبِرNNَؤ ِمنِينَ فN
ْ N بِأ َ ْي ِدي ِه ْم َوأَ ْي ِدى ْٱل ُمNب ۚ ي ُْخ ِربُونَ بُيُوتَهُم َ ف فِى قُلُوبِ ِه ُم ٱلرُّ ْع Nَ َوقَ َذ
ْص ِرَ ٰ ٱأْل َب
ل ِمنَ النَّ َع ِمN َ Nَا قَتNN ُل َمN زَا ٌء ِم ْثN فَ َجN ًداNهُ ِم ْن ُك ْم ُمتَ َع ِمNَص ْي َد َواَ ْنتُ ْم ُح ُر ٌم َو َم ْن قَتَل
َّ ياأَيُّهَااَّل ِذ ْينَ َء ا َمنُوْ ا الَتَ ْقتُلُوْ اا ل
يَحْ ُك ُم بِ ِه َذ َوا َع ْد ٍل ِم ْن ُك ْم
D. Angkatan Ke Empat
Di antaranya; al-Hâfizh al-Khathib al-Baghdadi (w 463 H), Abu al-Qasim Abd al-
Karim ibn Hawazan al-Qusyairi penulis kitab ar-Risâlah al-Qusyairiyyah (w 465
H), Abu Ali ibn Abi Huraisah al-Hamadzani, Abu al-Muzhaffar al-Isfirayini
penulis kitab at-Tabshîr Fî ad-Dîn Wa Tamyîz al-Firqah an-Nâjiyah Min al-Firaq
al-Hâlikîn (w 471 H), Abu Ishaq asy-Syirazi; penulis kitab at-Tanbîh Fî al-Fiqh
asy-Syâfi’i (w 476 H), Abu al-Ma’ali Abd al-Malik ibn Abdullah al-Juwaini yang
lebih dikenal dengan Imam al-Haramain (w 478 H), Abu Sa’id al-Mutawalli (w
478 H), Nashr al-Maqdisi, Abu Abdillah ath-Thabari, Abu Ishaq at-Tunusi al-
Maliki, Abu al-Wafa’ Ali ibn Aqil al-Hanbali (w 513 H) pimpinan ulama
madzhab Hanbali di masanya, ad-Damighani al-Hanafi, dan Abu Bakar an-Nashih
al-Hanafi.
E. Angkatan Ke Lima
Di antaranya; Abu al-Muzhaffar al-Khawwafi, Ilkiya, Abu Hamid Muhammad ibn
Muhammad al-Ghazali (w 505 H), Abu al-Mu’ain Maimun ibn Muhammad an-
Nasafi (w 508 H), asy-Syasyi, Abd ar-Rahim ibn Abd al-Karim yang dikenal
dengan Abu Nashr al-Qusyairi (w 514 H), Abu Sa’id al-Mihani, Abu Abdillah ad-
Dibaji, Abu al-Abbas ibn ar-Ruthabi, Abu Abdillah al-Furawi, Abu Sa’id ibn Abi
Shalih al-Mu’adz-dzin, Abu al-Hasan as-Sulami, Abu Manshur ibn Masyadzah al-
Ashbahani, Abu Hafsh Najmuddin Umar ibn Muhammad an-Nasafi (w 538 H)
penulis kitab al-‘Aqîdah an-Nasafiyyah, Abu al-Futuh al-Isfirayini, Nashrullah al-
Mishshishi, Abu al-Walid al-Baji, Abu Umar ibn Abd al-Barr al-Hâfizh, Abu al-
Hasan al-Qabisi, al-Hâfizh Abu al-Qasim ibn Asakir (w 571 H), al-Hâfizh Abu al-
Hasan al-Muradi, al-Hâfizh Abu Sa’ad ibn as-Sam’ani, al-Hâfizh Abu Thahir as-
Silafi, al-Qâdlî ‘Iyadl ibn Muhammad al-Yahshubi (w 533 H), Abu al-Fath
Muhammad ibn Abd al-Karim asy-Syahrastani (w 548 H) penulis kitab al-Milal
Wa an-Nihal, as-Sayyid Ahmad ar-Rifa’i (w 578 H) perintis tarekat ar-
Rifa’iyyah, as-Sulthân Shalahuddin al-Ayyubi (w 589 H) yang telah
memerdekakan Bait al-Maqdis dari bala tentara Salib, al-Hâfizh Abd ar-Rahman
ibn Ali yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn al-Jawzi (w 597 H).
F. Angkatan Ke Enam
Di antaranya; Fakhruddin ar-Razi al-Mufassir (w 606 H), Saifuddin al-Amidi (w
631 H), Izuddin ibn Abd as-Salam Sulthân al-‘Ulamâ’ (w 660 H), Amr ibn al-
Hajib al-Maliki (w 646 H), Jamaluddin Mahmud ibn Ahmad al-Hashiri (w 636 H)
pempinan ulama madzhab Hanafi di masanya, al-Khusrusyahi, Taqiyuddin ibn
Daqiq al-Ied (w 702 H), Ala’uddin al-Baji, al-Hâfizh Taqiyyuddin Ali ibn Abd al-
Kafi as-Subki (w 756 H), Tajuddin Abu Nashr Abd al-Wahhab ibn Ali ibn Abd
al-Kafi as-Subki (w 771 H), Shadruddin ibn al-Murahhil, Shadruddin Sulaiman
ibn Abd al-Hakam al-Maliki, Syamsuddin al-Hariri al-Khathib, Jamaluddin az-
Zamlakani, Badruddin Muhammad ibn Ibrahim yang dikenal dengan sebutan Ibn
Jama’ah (w 733 H), Muhammad ibn Ahmad al-Qurthubi penulis kitab Tafsir al-
Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân atau lebih dikenal dengan at-Tafsîr al-Qurthubi (w
671 H), Syihabuddin Ahmad ibn Yahya al-Kilabi al-Halabi yang dikenal dengan
sebutan Ibn Jahbal (w 733 H), Syamsuddin as-Saruji al-Hanafi, Syamsuddin ibn
al-Hariri al-Hanafi, Adluddin al-Iji asy-Syiraji, al-Hâfizh Yahya ibn asy-Syaraf
an-Nawawi; penulis al-Minhâj Bi Syarh Shahîh Muslim ibn al-Hajjâj (w 676
H), al-Malik an-Nâshir Muhammad ibn Qalawun (w 741 H), al-Hâfizh Ahmad
ibn Yusuf yang dikenal dengan sebutan as-Samin al-Halabi (w 756 H), al-
Hâfizh Shalahuddin Abu Sa’id al-Ala-i (w 761 H), Abdullah ibn As’ad al-Yafi’i
seorang sufi terkemuka (w 768 H), Mas’ud ibn Umar at-Taftazani (w 791 H).
G. Angkatan Ke Tujuh
al-Hâfizh Abu Zur’ah Ahmad ibn Abd ar-Rahim al-Iraqi (w 826 H), Taqiyyuddin
Abu Bakr al-Hishni ibn Muhammad; penulis Kifâyah al-Akhyâr (w 829 H), Amîr
al-Mu’minîn Fî al-Hadîts al-Hâfizh Ahmad ibn Hajar al-Asqalani; penulis
kitab Fath al-Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri (w 852 H), Muhammad ibn
Muhammad al-Hanafi yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn Amir al-Hajj (w 879
H), Badruddin Mahmud ibn Ahmad al-Aini; penulis ‘Umdah al-Qâri’ Bi
Syarh Shahîh al-Bukhâri (w 855 H), Jalaluddin Muhammad ibn Ahmad al-
Mahalli (w 864 H), Burhanuddin Ibrahim ibn Umar al-Biqa’i; penulis kitab
tafsir Nazhm ad-Durar (w 885 H), Abu Abdillah Muhammad ibn Yusuf as-
Sanusi; penulis al-‘Aqîdah as-Sanûsiyyah (w 895 H).
H. Angkatan ke Delapan
Al-Qâdlî Musthafa ibn Muhammad al-Kastulli al-Hanafi (w 901 H), al-
Hâfizh Muhammad ibn Abd ar-Rahman as-Sakhawi (w 902 H), al-
Hâfizh Jalaluddin Abd ar-Rahman ibn Abu Bakr as-Suyuthi (w 911 H),
Syihabuddin Abu al-Abbas Ahmad ibn Muhammad al-Qasthallani; penulis Irsyâd
as-Sâri Bi Syarh Shahîh al-Bukhâri (w 923 H), Zakariyya al-Anshari (w 926
H), al-Hâfizh Muhammad ibn Ali yang lebih dikenal dengan sebutan al-
Hâfizh Ibn Thulun al-Hanafi (w 953 H).
I. Angkatan Ke Sembilan Dan Seterusnya
Abd al-Wahhab asy-Sya’rani (w 973 H), Syihabuddin Ahmad ibn Muhammad
yang dikenal dengan sebutan Ibn Hajar al-Haitami (w 974 H), Mulla Ali al-Qari
(w 1014 H), Burhanuddin Ibrahim ibn Ibrahim ibn Hasan al-Laqqani;
penulis Nazham Jawharah at-Tauhîd (w 1041 H), Ahmad ibn Muhammad al-
Maqarri at-Tilimsani; penulis Nazham Idlâ’ah ad-Dujunnah (w 1041 H), al-
Muhaddits Muhammad ibn Ali yang lebih dikenal dengan nama Ibn Allan ash-
Shiddiqi (w 1057 H), Kamaluddin al-Bayyadli al-Hanafi (w 1098 H), Muhammad
ibn Abd al-Baqi az-Zurqani (w 1122 H), as-Sayyid Abdullah ibn Alawi al-Haddad
al-Hadlrami al-Husaini; penulis Râtib al-Haddâd (1132 H), Muhammad ibn Abd
al-Hadi as-Sindi; penulis kitab Syarh Sunan an-Nasâ-i (w 1138 H), Abd al-Ghani
an-Nabulsi (w 1143 H), Abu al-Barakat Ahmad ibn Muhammad ad-Dardir;
penulis al-Kharîdah al-Bahiyyah (w 1201 H), al-Hâfizh as-Sayyid Muhammad
Murtadla az-Zabidi (w 1205 H), ad-Dusuqi; penulis Hâsyiyah Umm al-
Barâhîn (w 1230 H), Muhammad Amin ibn Umar yang lebih dikenal dengan
sebutan Ibn Abidin al-Hanafi (w 1252 H).
Nama-nama ulama terkemuka ini hanya mereka yang hidup sampai sekitar abad
12 hijriyyah, dan itupun hanya sebagiannya saja. Bila hendak kita sebutkan satu
persatu, termasuk yang berada di bawah tingkatan mereka dalam keilmuannya,
maka sangat banyak sekali, tidak terhitung jumlahnya, siapa pula yang sanggup
menghitung jumlah bintang di langit, membilang butiran pasir di pantai? kita akan
membutuhkan lembaran kertas yang sangat panjang.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/9215/4-sumber-hukum-dalam-
aswaja
Sumber: https://ayulweb.wordpress.com/2018/04/17/doktrin-aqidah-fiqih-
dan-tasawuf-ahlussunah-wal-jamaah
Sumber: https://tebuireng.online/garis-garis-besar-doktrin-ahlussunnah-
wal-jamaah/