Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

KONSEP ASWAJAH

Dosen pembimbing : Siti Maiumunah.S.Ag.,M.Pd,i

Disusun oleh kelompok 2:

1. Ayu Jazilatur rohma 1150019002


2. Siti Kurnia Indra Yanti 1150019061
3. Anik Mulazamah 1150019031
4. M.Gian Maghribi al Shohin 1150019016
5. Abid Ali Ahmadi 1150019046

Prodi D3 KEPERAWATAN

Fakultas Keperawatan dan Kebidanan

Universitas Nahdatul Ulama Surabaya 2020


KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur Kita Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulisan
dapat menyusun makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini membahas
tentang “Konsep ASWAJAH”. Dalam penyusunan makalah ini, penulisan
banyak mendapat tantangan dan hambatan akan tetapi tantangan itu bisa
teratasi.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari


kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik
konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan
makalah selanjutnya. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat kepada kita sekalian.

Surabaya,27 Oktober 2020

Kelompok 2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar …………………………………………………………… ii

Daftar Isi ………………………………………………………………… iii

Bab I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang …………………………………………………... 1


1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………….. 3
1.3 Tujuan …………………………………………………………… 3

Bab II Pembahasan

2.1 Pengertian dan Sejarah Aswajah ………………………………... 4


2.2 Doktrin Aswajah ………………………………………………… 9
2.3 Sumber Doktrin Aswajah ……………………………………….. 18
2.4 Tokoh – tokoh Aswajah ………………………………………… 22

Bab III Penutup

3.1 Kesimpulan ………………………………………………………. 29


3.2 Saran …………………………………………………………....... 29

Daftar Pustaka …………………………………………………………… 30


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam istilah masyarakat Indonesia, aswaja adalah singkatan dari
ahlussunnah waljamaah. Menurut bahasa (etimologi), ada tiga kata yang
membentuk istilah tersebut :
1.      Ahl, berarti keluarga, golongan atau pengikut
2.      Al-Sunnah, segala sesuatu yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW.
maksudnya, semua yang datang dari nabi SAW, berupa perbuatan, ucapan
dan pengakuan Nabi SAW, (Fath al-Bari, juz XII, hal. 245)
3.      Al-Jamaah, yakni apa yang telah disepakati oleh para sahabt rasulullah
SAW pada masa khulafaur Rasyidin (khalifah Abu Bakr, Umar bin Al-
Khatab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib)

Sedangkan menurut istilah (terminologi), Ahlussunnah Waljamaah berasal


dari hadits-hadits Nabi SAW yang antara lain

‫ ْبعُوْ نَ فِى‬N ‫ا ِن َو َس‬NNَ‫ َدةٌ فِى ْال َجنَّ ِة َوثِ ْنت‬N‫ةً فَ َوا ِح‬N َ‫ث َو َس ْب ِع ْينَ فِرْ ق‬ ُ ‫َوالّ ِذيْ نَ ْفسُ ُم َح َّم ٍد بِيَ ِده لَتَ ْفت َِر‬
ٍ َ‫ق اُ َّمتِى َعلَى ثَال‬
(‫)رواه الطبرانى‬ ‫ اَ ْه ُل ال ُسنَّ ِة َو ْال َج َما َع ِة‬: ‫ َم ْن هُ ْم يَا َرسُوْ َل هللاِ ؟ قَا َل‬: ‫ارقِ ْي َل‬ ِ َّ‫الن‬

Artinya : “demi Tuhan yang memegang jiwa Muhammad ditangan-Nya akan


terpecah-pecah ummatku sebanyak 73 firqah : “Yang satu masuk surga dan
yang lainnya masuk neraka”. Bertanya para sahabat: “Siapakah firqah (yang
tidak masuk neraka) itu ya Rasulallah?” Nabi menjawab : “Ahlussunnah
Waljamaah” (hadits ini diriwayatkan oleh Imam Thabrani)

ِ َّ‫ب ِْع ْينَ ِملَّةً ُكلُّهُ ْم فِى الن‬N‫ث َو َس‬


‫ار‬ ٍ ‫ق اُ َّمتِى َعلَى ثَاَل‬ ِ Nَ‫ ْب ِع ْينَ ِملَّةً َوتَ ْفت‬N‫ت َعلَى ثِ ْنتَي ِْن َو َس‬
ُ ‫ر‬N ْ َ‫اِ َّن بَنِى اِ ْس َرائِ ْي َل تَفَ َّرق‬
(‫)رواه الترمذي‬ ‫ َمااَنَا َعلَ ْي ِه َواَصْ َحابِى‬: ‫اِاَّل ِملَّةً َوا ِح َدةً قَالُوْ ا َو َم ْن ِه َي يَا َرسُوْ َل هللا قَ َل‬

Artinya : “bahwasanya Bani Israil telah berfirqah. Firqah sebanyak 72 millah


(firqah) dan akan berfirqah ummatku sebanyak 73 firqah. Semuanya masuk
neraka kecuali satu, sahabat-sahabat yang mendengar ucapan ini bertanya :
“Siapakah yang satu itu ya Rasulallah ?” Nabi menjawab : “Yang satu itu
ialah orang yang berpegang (beri’tiqad) senbagai peganganku (istiqadku)
dan pegangan sahabat-sahabatku” (hadits ini diriwayatkan oleh Imam
Turmudzi)
menurut istilah (terminologi) ialah kaum atau orang-orang yang menganut
ajaran Islam yang murni sebagaimana yang diajarkan dan diamalkan oleh
Rosulullah SAW, sahabat-sahabatnya.

Pada masa Rasulullah SAW. masih hidup, istilah Aswaja sudah pernah
ada tetapi tidak menunjuk pada kelompok tertentu atau aliran tertentu. Yang
dimaksud dengan Ahlus sunnah wal Jama‟ah adalah orang-orang Islam
secara keseluruhan. Ada sebuah hadits yang mungkin perlu dikutipkan
telebih dahulu, Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
“Sesungguhnya bani Israil akan terpecah menjadi 70 golongan dan
ummatku terpecah menjadi 73 golongan dan semuanya masuk neraka kecuali
satu golongan. Para Shohabat bertanya : Siapa yang satu golongan itu?
Rasulullah SAW. menjawab : yaitu golongan dimana Aku dan Shahabatku
berada.” Ahlus sunnah wal jama‟ah adalah suatu golongan yang menganut
syariat islam yang berdasarkan pada al qur`an dan al hadis dan beri`tikad
apabila tidak ada dasar hukum pada alqur`an dan hadis.
Inilah kemudian kita sampai pada pengertian Aswaja. Pertama kalau kita
melihat ijtihadnya para ulama-ulama merasionalkan dan memecahkan
masalah jika didalam alqur`an dan hadis tidak menerangkanya. Definisi
kedua adalah (melihat cara berpikir dari berbagai kelompok aliran yang
bertentangan); orangorang yang memiliki metode berpikir keagamaan yang
mencakup aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar moderasi menjaga
keseimbangan dan toleransi. Ahlus sunnah wal Jama‟ah ini tidak mengecam
Jabariyah, Qodariyah maupun Mu‟tazilah akan tetapi berada di tengah-
tengah dengan mengembalikan pada ma anna alaihi wa ashabihi. Nah itulah
latar belakang sosial dan latar belakang politik munculnya paham Aswaja.
Jadi tidak muncul tiba-tiba tetapi karena ada sebab, ada ekstrim mu‟tazilah
yang serba akal, ada ekstrim jabariyah yang serba taqdir, aswaja ini di
tengah-tengah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Aswaja sebagai
sebuah paham keagamaan (ajaran) maupun 2 sebagai aliran pemikiran
(manhajul fiqr) kemunculannya tidak bisa dilepaskan dari pengaruh dinamika
sosial politik pada waktu itu, lebih khusus sejak peristiwa Tahqim yang
melibatkan Sahabat Ali dan sahabat Muawiyyah sekitar akhir tahun 40 H.
Ahli sunnah wal jamaah pemikiranya menggunakan pemikiran al asyari
dan hukum fiqihnya menggunakan imam madzhab sehingga golongan aswaja
inilah golongan yang sifatnya luas. Dari uraian diatas maka penulis tertarik
mengangkat tema ASWAJA (Ahlus sunnah wal jama‟ah).

1.2 Rumusan Malah


Berdasakan pemaparan latar belakang di atas, maka rumusan masalah
dalam penulisan makalah ini sebagai berikut:
1. Apa pengertian dan Sejarah Aswaja?
2. Apa saja Doktrin Aswaja ?
3. Bagaimana Sumber- Sumber Doktrin Aswaja?
4. Siapa saja Tokoh ulama dalam Aswaja?
1.3 Tujuan
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui Pengertian dan Sejarah dari Aswaja
2. Untuk mengetahui tentang Doktrin Aswaja
3. Untuk menegtahui Sumber – sumber Doktrin Aswaja
4. Untuk mengetahui siapa saja Tokoh ulama dalam Aswaja
BAB II

PEMBAHASAN

1.1. Pengertian dan Sejarah Aswaja


A. Pengertian Aswaja (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah)
Pengertian Ahlu Sunnah wal Jama„ah (Aswaja) dapat dilihat dari dua aspek
penting, pertama dari segi bahasa atau etimologi, kedua dari segiperistilahan
atau terminologi. Secara etimologi, Aswaja berasal dari bahasa Arab artinya
keluarga. Al-sunnah, berarti jalan, tabi„at dan perilaku kehidupan.Sedangkan
al- jama„ah, berarti sekumpulan.
ASWAJA adalah kepanjangan kata dari “Ahlus sunnah wal jama‟ah”.Ahlus
sunnah berarti orang-orang yang menganut atau mengikuti sunnah
NabiMuhammad SAW, dan Wal Jama‟ah berarti mayoritas umat atau
mayoritassahabat Nabi Muhammad SAW. Jadi definisi Ahlus sunnah wal
jama‟ah yaitu; “Orang-orang yang mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW
dan mayoritassahabat (maa ana alaihi waashhabi), baik di dalam syariat
(hukum Islam) maupun akidah dan tasawuf.

Definisi Ahlus sunnah Wal jama‟ah ada dua bagian yaitu: definisi secara
umum dan definisi secara khusus:
1. Definisi Aswaja Secara umum adalah satu kelompok atau golongan
yang senantiasa komitmen mengikuti sunnah Nabi SAW. Dan Thoriqoh
parashabatnya dalam hal aqidah, amaliyah fisik (fiqih) dan hakikat
(Tasawwufdan Akhlaq).
2. Definisi Aswaja secara khusus adalah Golongan yang mempunyai
I‟tikad keyakinan yang searah dengan keyakinan jamaah Asya‟iroh dan
Maturidiyah.

Menurut pengertian istilah (terminologi)al-sunnah berarti penganutsunnah Nabi


Muhammad saw, yaitu mengikuti apa-apa yang datang dari Nabi.
Muhammad saw. baik berupa perkataan, perbuatan, dan pengakuan
(taqri‟r).Sedangkan al-jama„ah berarti penganuti„tiqad para sahabat Nabi,
yakni apa yang telah disepakati oleh para sahabat Rasulullah pada masa
khulafaur‟ al-rashidin(Abu Bakr al-Siddiq, „Umar, Ustman, dan „Ali). Jadi,
yang dimaksud dengan Aswaja adalah kaum yang mengikuti amaliah Nabi
Muhammad saw dan parasahabatnya.

 Menurut Imam Asy‟ari,Ahlus sunnah Wal Jama‟ah adalah


golongan yangberpegang teguh kepada al-Qur‟an, hadis, dan apa yang
diriwayatkan sahabat,tabi‟in, imam-imam hadis, dan apa yang
disampaikan oleh Abu Abdillah Ahmadibn Muhammad bin Hanbal.
 Menurut KH. M. Hasyim Asy‟ari, Ahlusssunnah Wal Jamaah
adalahgolongan yang berpegang teguh kepada sunnah Nabi, para sahabat,
dan mengikutiwarisan para wali dan ulama. Secara spesifik, Ahlus sunnah
Wal Jama‟ah yang berkembang di Jawa adalah mereka yang dalam fikih
mengikuti Imam Syafi‟i,dalam akidah mengikuti Imam Abu al-Hasan al-
Asy‟ari, dan dalam tasawufmengikuti Imam al-Ghazali dan Imam Abu al-
Hasan al-Syadzili.
 Menurut Muhammad Khalifah al-Tamimy,Ahlus sunnah
WalJama‟ahadalah para sahabat,tabi‟in, tabi‟ut tabi‟in dan siapa saja
yang berjalan menurutpendirian imam-imam yang memberi petunjuk dan
orang-orang yang mengikutinya dari seluruh umat semuanya.

Shaykh „Abd al-Qadir al-Jaylani (471-561 H/1077-1166 M) seorang tokoh besar


sufi legendaris menjelaskan “Al-Sunnah adalah apa yang telah dianjurkanoleh
Rasulullah saw. (meliputi ucapan, perilaku, serta ketetapan beliau).Sedangkan al-
Jama„ah adalah segala sesuatu yang telah menjadi kesepakatan.

B. Sejarah Aswajah

Ketika nabi wafat, kaum muslimin masih bersatu dalam agama yang
mereka jalani, kecuali orang-orang munafik yang luarnya menyatakan islam,
sedangkan hatinya menyembunyikan kemunafikan. Klasifikasi social yang ada
pada saat itu terdiri dari tiga golongan, orang muslim, orang kafir dan orang
munafik. Namun begitu nabi wafat, perselisihan dikalangan mereka segera terjadi
tentang seorang pemimpin yang akan menjadi pengganti nabi. Kaum anshar
menginginkan kepemimpinan berada ditangan pemimpin mereka yaitu sa’ad bin
ubadah. Sedangkan kaum muhajirin menghendaki kepemimpinan berada di
tangan abu bakar. Mereka pada kesepakatan untuk memilih abu bakar al shiddiq
sebagai khalifah.

Setelah abu bakar al-shiddiq wafat, khalifah berpindah ke tangan umar bin al
khaththab, sahabat nabi terbaik setelah abu bakar. Pada masa pemerintahan umar,
islam semakin kuat dan negri muslim semakin luas berkat proses penyebaran
islam yang berjalan dengan efektif dengan ditaklukanya negeri Persia dan romawi,
dua Negara terbesar didunia pada saat itu dan kemudian ditaklukanya negeri-
negeri di sekitarnya ke bawah naungan daulah islamiah dalam proses sejarah yang
dikenal dengan istilah al-futuhat al-islamiyyah (penaklukan-penaklukan islam),
hingga akhirnya khalifah umar menemui ajalnya setelah ditikam oleh seorng
budak Persia, yaitu abu lu’lu’ah al-majusi.

Setelah umar wafat, khalifah berpindah ketangan utsman bin affan, menantu nabi
Muhammad SAW yang menyandang gelar Dzun nurain (pemilik dua cahaya)
yaitu satu-satunya orang yang mempunyai dua seorang putri soeorang nabi,
rukiayah dan umu kultsum. Dari jalur nasab, ustman masih termasuk keponakan
rasullah, melalui jalur ibunya, Arwah binti Kuraiz yang masih sepupu rasullallah.
Disamping itu uztman juga sahabat rasullallah terbaik setelah wafatnya ummar.

Setelah 6 tahun dari masa pemerintahan utsman, gejolak politik seputar


kebijakan-kebijakan ustman mulai muncul kepermukaan dan menjadi sasaran
kritik sebagian masyarakat ustman dari jabatanya melalui gerakan yang
dibungkus dalam kemasan amar ma’ruf dan nahi munkar sehingga hal tersebut
berakhir dengan terbunuhnya ustman dikaum pembrontak. Kemudian khalifah
berpindah ketangan ali bin abi thalib menantu dan sepupu rasullallah serta
sahabat terbaik setelah wafatnya ustman. Namun beragam kekacauan yang
terjadi pada masa ustman sangat berpengaruh terhadap pemerintahan ali bin abi
thalib. Lahirnya nama ahli sunnah wal jama’ah, sebagian kalangan berasumsi
bahwa nama aswaja muncul pada masa imam madzhab yang empat, ada pula
yang berasumsi, muncul pada masa al imam dan al mathuridi. Dan ada pula yang
berasumsi muncul pada sekitar abad ketujuh hijriyah. Tentu saja asumsi itu keliru
dan tidak memiliki landasan ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan maka
pada periode akhir generasi sahabat rasullallah istilah aswaja mulai
diperbincangkan sebagai nama bagi kaum mulimin yang masih setia kepada
ajaran islam yang murni dan tidak terpengaruh pada ajaran-ajaran baru.

Pada beberapa ulama salaf mengatakan bahwa aswaja adalah mereka yang hanya
memiliki hubungan dengan sunnah nabi rasullallah kita tidak akan mampu
memastikan sejak kapan titik permulaan aswaja itu kecuali apabila kita
mengakatan permulaan ajaranya adalah titik permulaan ajaran islam itu sendiri,

Disisi lain istilah aswaja memiliki dua sasaran obyek yang berbeda

1. Aswaja dalam kontek yang bersifat umum yaitu menjadi nama bagi mereka
yang bukan pengikut aliran si’ah seperti aliran Mu’tazilah, Murjiah, Karramiyah,
Wahhabi dan lai-lain.

2. Aswaja Dlam Konteks yang bersifat khusus yaitu menjadi nama bagi
mereka yang mengikuti ajaran rasullallah dan sahabat secara penuh seperti,
Mu’tazilah, Murjiah, Karramiyah, Wahhabi,Si’ah dan lai-lain. Ahlussunnah Wal
Jama'ah (Aswaja) lahir dari pergulatan intens antara doktrin dengan sejarah. Di
wilayah doktrin, debat meliputi soal kalam mengenai status Al-Qur'an apakah ia
makhluk atau bukan, kemudian debat antara Sifat-Sifat Allah antara
ulamaSalafiyyun dengan golongan Mu'tazilah, dan seterusnya.

Di wilayah sejarah, proses pembentukan Aswaja terentang hingga zaman al-


khulafa' ar-rasyidun, yakni dimulai sejak terjadi Perang Shiffin yang melibatkan
Khalifah Ali bin Abi Thalib RA dengan Muawiyah. Bersama kekalahan Khalifah
ke-empat tersebut, setelah dikelabui melalui taktik arbitrase (tahkim) oleh kubu
Muawiyah, ummat Islam makin terpecah kedalam berbagai golongan. Di antara
mereka terdapat Syi'ah yang secara umum dinisbatkan kepada pengikut Khalifah
Ali bin Abi Thalib, golonganKhawarij yakni pendukung Ali yang membelot
karena tidak setuju dengan tahkim,dan ada pula kelompok Jabariyah yang
melegitimasi kepemimpinan Muawiyah.
Selain tiga golongan tersebut masih ada Murjiah dan Qadariah, faham bahwa
segala sesuatu yang terjadi karena perbuatan manusia dan Allah tidak turut
campur (af'al al-ibad min al-ibad) -- berlawanan dengan faham Jabariyah.

Di antara kelompok-kelompok itu, adalah sebuah komunitas yang dipelopori oleh


Imam Abu Sa'id Hasan ibn Hasan Yasar al-Bashri (21-110 H/639-728 M), lebih
dikenal dengan nama Imam Hasan al-Bashri, yang cenderung mengembangkan
aktivitas keagamaan yang bersifat kultural (tsaqafiyah), ilmiah dan berusaha
mencari jalan kebenaran secara jernih. Komunitas ini menghindari pertikaian
politik antara berbagai faksi politik (firqah) yang berkembang ketika itu.
Sebaliknya mereka mengembangkan sistem keberagamaan dan pemikiran yang
sejuk, moderat dan tidak ekstrim. Dengan sistem keberagamaan semacam itu,
mereka tidak mudah untuk mengkafirkan golongan atau kelompok lain yang
terlibat dalam pertikaian politik ketika itu.

Seirama waktu, sikap dan pandangan tersebut diteruskan ke generasi-generasi


Ulama setelah beliau, di antaranya Imam Abu Hanifah Al-Nu'man (w. 150 H),
Imam Malik Ibn Anas (w. 179 H), Imam Syafi'i (w. 204 H), Ibn Kullab (w. 204
H), Ahmad Ibn Hanbal (w. 241 H), hingg tiba pada generasi Abu Hasan Al-
Asy'ari (w 324 H) dan Abu Mansur al-Maturidi (w. 333 H). Kepada dua ulama
terakhir inilah permulaan faham Aswaja sering dinisbatkan; meskipun bila
ditelusuri secara teliti benih-benihnya telah tumbuh sejak dua abad sebelumnya.

Indonesia merupakan salah satu penduduk dengan jumlah penganut faham


Ahlussunnah wal Jama'ah terbesar di dunia. Mayoritas pemeluk Islam di
kepulauan ini adalah penganut madzhab Syafi'i, dan sebagian terbesarnya
tergabung -- baik tergabung secara sadar maupun tidak -- dalam jam'iyyah
Nahdlatul 'Ulama, yang sejak awal berdiri menegaskan sebagai pengamal Islam
ala Ahlussunnah wal-Jama'ah.
1.2. Doktrin Aswaja
DOKTRIN TEOLOGI AJARAN AHLUSSUNAH WAL JAMAAH

 Ketuhanan (Tauhid)

Dalam masalah teologi ketuhanan, Ahlussunah wal Jamaah meyakini bahwa


Tuhan memiliki banyak sifat. Sifat-sifat yang wajib diketahui oleh umat islam
adalah sebagai berikut:

1. Wujud. Allah itu ada, Mustahil ia tidak ada.


2. Allah tidak berpermulaan adaNya. Mustahil bila ada yang
mendahuluinya.
3. Baqa’. Allah kekal selama-lamanya. Mustahil bila Ia sirna.
4. Mukhalafatu lil hawadisi. Tuhan berbeda dengan makhlukNya. Mustahil
Allah menyerupai makhlukNya.
5. Qiyamuhu bi nafsihi. Allah berdiri sendiri. Mustahil bila Allah
membutuhkan perkara lain.
6. Allah Maha Esa. Mustahil Allah berbilangan.
7. Allah Mahakuasa. Mustahil Ia Lemah.
8. Allah Berkehendak. Mustahil bagi Allah
9. ‘Ilmu. Allah bersifat dengan ilmu(berpengetahuan). Mustahil bagiNya
tidak memiliki ilmu.
10. Allah hidup, Mustahil Ia mati.
11. Sama’. Allah mempunyai sifat mendengar. Mustahil Ia tuli.
12. Allah memiliki sifat melihat. Mustahil Allah buta.
13. Allah memiliki sifat berkata. Mustahil Ia bisu.
14. Kaunuhu Qadiran. Allah tetap dalam keadaan berkuasa. Mustahil ia
dalam keadaan lemah.
15. Kaunuhu Muridan. Allah tetap selalu dalam keadaan menghendaki.
Mustahil Ia dalam keadaan tidak menghendaki.
16. Kaunuhu ‘Aaliman. Allah tetap selalu dalam keadaan mengetahui.
Mustahil Ia dalam keadaan tidak mengetahui.
17. Kaunuhu Hayyan. Allah tetap selalu keadaan hidup. Mustahil Ia dalam
keadaan mati.
18. Kaunuhu Sami’an. Allah tetap selalu dalam keadaan mendengar.
Mustahil ia dalam keadaan tuli.
19. Kaunuhu Bashiran. Allah tetap selalu dalam keadaan melihat. Mustahil Ia
dalam keadaan buta.
20. Kaunuhu Mutakaliman. Allah tetap selalu dalam keadaan melihat.
Mustahil Ia bisu.

Sifat-sifat tersebut yang diyakini oleh Ahlussunah Wal Jamaah sebagai sifat
yang wajib dimiliki oleh Allah dan mustahil dimiliki Allah. Jumlah
keseluruhan sifat diatas berjumlah empat puluh, dan ditambah satu sifat lagi,
yakni sifat jaiz Allah, Allah boleh menciptakan sesuatu dan tidak
menciptakanya. Maksudnya Allah mempunyai hak preogatif atas semua
ciptaanNya. Berbeda dengan aliran Mu’tazilah, aliran
Mu’tazilah menafikan (tidak meyakini) bahwa Allah memiliki sifat-
sifat Azali , mereka mengatakan bahwa Allah tidak memiliki sifat Qudrah,
ilmu, iradah, dan  hayat.

 Malaikat

Paham aswaja (Ahlussunah Wal Jama’ah) meyakini bahwa ada makhluk yang
tidak bisa dilihat manusia, ia diciptakan dari cahaya, makhluk tersebut
bernama malaikat. Malaikat merupakan ciptaan Allah yang ditugaskan
mengatur seluruh jagat raya dengan tugas masing-masing yang diberikan
tuhanya, dan ia terhindar dari perbuatan salah. Jumlah malaikat tidak
terhitung, akan tepapi malaikat yang wajib diketahui berjumlah sepuluh,
dengan tugas masing-masng.

 Jibril, bertugas mengantarkan wahyu kepada Nabi.


 Mikail, bertugas mengatur kesejahteraan manusia, seperti mengatur hujan,
angin, tanah, dan kesuburanya.
 Isrofil, Bertugas dalam persoalan akhirat, seperti meniup terompet tanda
kiyamat, dibangkitkan dari kubur, berkumpul di padang masyar dan lain
sebagainya.
 Izra’il, bertugas mencabut nyawa.
 Munkar dan Nakir, bertugas menanyai orang yang telah mati didalam
kubur.
 Rakib, bertugas mencatat amal baik.
 ‘Atid, Bertugas mencatat amal buruk.
 Malik, Bertugas menjaga neraka.
 Ridwan, bertugas menjaga surga

Kesepuluh malaikat tersebutlah yang wajib diketahui dan diyakini oleh setiap
umat islam. Sedangkan malaikat-malaikat lain umat islam hanya wajib
mempercayai bahwa ada malaikat lain yang ditugaskan oleh Allah dengan
tugas masing-masing, seperti malaikat Rahmat yang bertugas membagikan
belas kasih Allah kepada hambaNya.

Islam, iman dan ihsan adalah trilogi agama (ad diin) yang membentuk tiga
dimensi keagamaan meliputi syari’ah sebagai realitas hukum, tharîqah sebagai
jembatan menuju haqîqah yang merupakan puncak kebenaran esensial.
Ketiganya adalah sisi tak terpisahkan dari keutuhan risalah yang dibawa
Rasulullah saw. yang menghadirkan kesatuan aspek eksoterisme (lahir) dan
esoterisme (batin).
Tiga dimensi agama ini (islam, iman dan ihsan), masing-masing saling
melengkapi satu sama lain. Keislaman seseorang tidak akan sempurna tanpa
mengintegrasikan keimanan dan keihsanan. Ketiganya harus berjalan
seimbang dalam perilaku dan penghayatan keagamaan umat, seperti yang
ditegaskan dalam firman Allah: Hai orang-orang yang beriman, masuklah
kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya. (QS. Albaqarah: 208)

Imam Izzuddin bin Abdissalam mengatakan, ”hakikat Islam adalah aktifitas


badaniah (lahir) dalam menjalankan kewajiban agama, hakikat iman adalah
aktifitas hati dalam kepasrahan, dan hakikat ihsan adalah aktifitas ruh dalam
penyaksian (musyâhadah) kepada Allah”.

Dalam perkembangan selanjutnya, kecenderungan ulama dalam menekuni


dimensi keislaman, melahirkan disiplin ilmu yang disebut fikih.
Kecenderungan ulama dalam menekuni dimensi keimanan, melahirkan
disiplin ilmu tauhid. Dan kecenderungan ulama dalam dimensi keihsanan,
melahirkan disiplin ilmu tasawuf atau akhlak. Paham Aswaja mengakomodir
secara integral tiga dimensi keagamaan tersebut sebagai doktrin dan ajaran
esensialnya. Karena praktek eksoterisme keagamaan tanpa disertai esoterisme,
merupakan kemunafikan. Begitu juga esoterisme tanpa didukung eksoterisme
adalah klenik. Semata-mata formalitas adalah tiada guna, demikian juga
spiritualitas belaka adalah sia-sia.

Imam Malik mengatakan, “Barang siapa menjalani tasawuf tanpa fikih, maka
dia telah zindiq, barang siapa memegang fikih tanpa tasawuf, maka dia telah
fasiq, dan barang siapa menyatukan keduanya, maka dia telah menemukan
kebenaran”.

Macam – macam Doktrin Aswajah sebagai berikut:

1. Doktrin Keimanan
Iman adalah pembenaran (tashdîq) terhadap Allah, Rasul dan segala risalah yang
beliau bawa dari Allah. Dalam doktrin keimanan, yang selanjutnya termanifestasi
ke dalam bidang tauhid (teologi/kalam) ini, Aswaja berpedoman pada aqidah
islamiyah (ushûluddîn) yang dirumuskan oleh Abu Alhasan Al’asy’ari (260
H./874 M. – 324 H./936 M.) dan Abu Manshur al Maturidi (w. 333 H.).

Kedua tokoh Aswaja ini nyaris sepakat dalam masalah aqidah islamiyah, meliputi
sifat-sifat wajib, mustahil dan ja’iz bagi Allah, para rasul dan malaikatNya,
kendati keduanya berbeda dalam cara dan proses penalaran. Kedua tokoh ini
hanya berbeda dalam tiga masalah yang tidak berakibat fatal, yaitu dalam masalah
istitsnâ’, takwîn, dan iman dengan taqlid.
Pertama istitsna’, atau mengatakan keimanan dengan insyaallah, seperti “Saya
beriman, insyaallah”. Menurut Maturidiyah hal itu tidak diperbolehkan,
karena istitsnâ demikian mengisyaratkan sebuah keraguan, dan keimanan batal
dengan adanya ragu-ragu. Menurut Asyâ’irah diperbolehkan, karena
maksud istisnâ’ demikian bukan didasari keraguan atas keimanan itu sendiri,
melainkan keraguan tentang akhir hidupnya dengan iman atau tidak, na’ûdzu
billah min dzalik. Atau, istitsnâ’ demikian maksudnya keraguan dan spekulasi
terhadap kesempurnaan imannya di hadapan Allah.

Kedua, sifat takwîn (mewujudkan). Menurut Asyâ’irah sifat takwîn (‫وین‬N‫ )تك‬tidak


berbeda dengan sifat Qudrah. Sedangkan menurut Maturidiyah, takwîn adalah
sifat tersendiri yang berkaitan dengan sifat Qudrah.

Ketiga, tentang imannya orang yang taqlid (ikut-ikutan tanpa mengetahui


dalilnya). Menurut Maturidi, imannya muqallid sah dan disebut arif serta masuk
surga. Sedangkan Menurut Abu Hasan al ‘Asy’ari, keimanan demikian tidak
cukup. Sedangkan Asyâ’irah (pengikut Abu Hasan al Asy’ari) berbeda pendapat
tentang imannya muqallid. Sebagian menyatakan mukmin tapi berdosa karena
tidak mau berusaha mengetahu melalui dalil; sebagian mengatakan mukmin dan
tidak berdosa kecuali jika mampu mengetahui dalil; dan sebagian yang lain
mengatakan tidak dianggap mukmin sama sekali.

Dari tingkatan tauhid ini, selanjutnya ada empat strata keimanan. Ada
iman bittaqlîd, iman biddalîl, iman bil iyyân dan iman bil haqq. Pertama,
iman bittaqlîd adalah keimanan melalui ungkapan orang lain tanpa mengetahui
dalilnya secara langsung. Keimanan seperti ini keabsahannya masih
diperselisihkan. Kedua, iman biddalîl (ilmul yaqîn) ialah keyakinan
terhadap aqâ’id lima puluh dengan dalil dan alasan filosofinya. Dua strata
keimanan ini masih terhalang (‫ )محجوب‬dalam mengetahui Allah.

Ketiga, iman bil iyyân (‘ainul yaqîn) ialah keimanan yang senantiasa


hatinya muraqabah kepada Allah. Artinya, dalam kondisi apapun, Allah tidak
hilang dari kesadaran hatinya. Dan keempat, iman bil haqq (haqqul yaqîn) yaitu
keimanan yang telah terlepas dari segala yang hadîts (baru) dan tenggelam
dalam fanâ’ billah. Mempelajari ilmu tauhid, fikih dan tasawuf, hanya akan
menghasilkan iman biddalîl (ilmul yaqîn), dan jika keimanan ini senantiasa
disertai kesadaran hati dan penghayatan amaliah, maka naik ke strata
iman bil iyyân (‘ainul yaqîn) hingga puncaknya mencapai pada iman bil
haqq (haqqul yaqîn).

Doktrin keimanan terhadap Allah, berarti tauhid atau meng-Esakan Allah


dalam af’âl (perbuatan), shifah (sifat) dan dzât. Dengan demikian, tauhid terbagi
menjadi tiga, tauhid fi’li, yaitu fana’ dari seluruh perbuatan; tauhid washfi,
yaitu fana’ dari segala sifat; dan tauhid dzati, yaitu fana’ dari segala yang
maujûd. Fana’ fi’li disebut juga dengan ilmul yaqîn, fana’ washfi disebut juga
dengan ‘ainul yaqîn, dan fana’ dzati juga disebut dengan haqqul yaqîn. Level
tauhid demikian ini merupakan puncak prestasi dari penghayatan firman Allah,
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu,”
(QS. Ashshafat: 96). Sebagian ulama ‘arif billah menyatakan, “Barang siapa
dapat menyaksikan makhluk tidak memiliki perbuatan, maka ia telah beruntung,
barang siapa menyaksikannya tidak hidup, maka itu diperbolehkan, dan barang
siapa menyaksikannya praktis tiada, maka ia telah wushul”.

Konsep tauhid Aswaja mengenai af’âl (perbuatan) Allah, berada di tengah antara


paham Jabariyah di satu pihak dan Qadariyah dan Mu’tazilah di pihak lain. Ketika
Jabariyah menyatakan paham peniadaan kebebasan dan kuasa manusia atas segala
kehendak dan perbuatannya secara mutlak, sementara Qadariyah dan Mu’tazilah
menyatakan makhluk memiliki kebebasan dan kuasa mutlak atas kehendak dan
perbuatannya. Maka lahirlah Aswaja sebagai sekte moderat di antara dua paham
ektrim tersebut. Aswaja meyakini bahwa makhluk memiliki kebebasan kehendak
(ikhtiyar) namun tidak memiliki kuasa (qudrah) perbuatan selain
sebatas kasb (upaya). Dalam keyakinan Aswaja, secara lahir manusia adalah
‘kuasa’ (memiliki qudrah), tetapi secara batin, manusia adalah majbûr (tidak
memiliki qudrah apapun).
Dalam doktrin keimanan Aswaja, keimanan seseorang tidak dianggap hilang dan
menjadi kafir, dengan melakukan kemaksiatan. Seseorang yang melakukan
maksiat ataupun bid’ah, sementara hatinya masih teguh meyakini dua kalimat
syahadat, maka Aswaja tidak akan menvonis sebagai kafir, melainkan sebagai
orang yang sesat (dhalâl) dan durhaka. Aswaja sangat berhati-hati dan tidak
gampang dalam sikap takfîr (mengkafirkan). Karena memvonis kafir seseorang
yang sejatinya mukmin akan menjadi bumerang bagi diri sendiri. Rasulullah saw.
Bersabda, “Ketika seseorang berkata kepada saudaranya, ‘Wahai seorang yang
kafir’, maka salah satunya benar-benar telah kafir. (HR. Bukhari)

Keimanan seseorang akan hilang dan menjadi kafir (murtad) apabila menafikan
wujud Allah, mengandung unsur syirik yang tidak dapat ditakwil, mengingkari
kenabian, mengingkari hal-hal yang lumrah diketahui dalam agama (ma’lûm bi
adldlarûri), dan mengingkari hal-hal mutawâtir atau mujma’ ‘alaih yang telah
lumrah diketahui. Tindakan yang menyebabkan seseorang dikategorikan kafir bisa
meliputi ucapan, perbuatan atau keyakinan, yang mengandung unsur-unsur di atas
ketika telah terbukti (tahaqquq) dan tidak bisa ditakwil.

2. Doktrin Keislaman
Doktrin keislaman, yang selanjutnya termanifestasi ke dalam bidang fikih yang
meliputi hukumhukum legal-formal (ubudiyah, mu’amalah, munakahah, jinayah,
siyasah dan lain-lain), Aswaja berpedoman pada salah satu dari empat madzhab
fikih, yaitu Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah.

Ada alasan mendasar mengenai pembatasan Aswaja hanya kepada empat


madzhab ini. Di samping alasan otentisitas madzhab yang terpercaya melalui
konsep-konsep madzhab yang terkodifikasi secara rapi dan sistematis, metodologi
pola pikir dari empat madzhab ini relatif tawâzun (berimbang) dalam
mensinergikan antara dalil aql (rasio-logis) dan dalil naql (teks-teks keagamaan).

Empat madzhab ini yang dinilai paling moderat dibanding madzhab Dawud
Adhdhahiri yang cenderung tekstualis dan Madzhab Mu’tazilah yang cenderung
rasionalis.
Jalan tengah (tawâsuth) yang ditempuh Aswaja di antara dua kutub ekstrim, yaitu
antara rasioalis dengan tekstualis ini, karena jalan tengah atau moderat diyakini
sebagai jalan paling selamat di antara yang selamat, jalan terbaik diantara yang
baik, sebagaimana yang ditegaskan Nabi saw. dalam sabdanya: Sebaik-baiknya
perkara adalah tengahnya.

Dengan prinsip inilah Aswaja mengakui bahwa empat madzhab yang memadukan
dalil Al Quran, Hadits, Ijma’ dan Qiyas (analogi), diakuinya mengandung
kemungkinan lebih besar berada di jalur kebenaran dan keselamatan. Hal ini juga
dapat berarti bahwa kebenaran yang diikuti dan diyakini oleh Aswaja hanya
bersifat kemungkinan dan bukan kemutlakan. Dalam arti, mungkin benar dan
bukan mutlak benar. Empat dalil (Al Quran, Hadis, Ijma’ dan Qiyas) ini
dirumuskan dari ayat, ”Hai orangorang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah
Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan
Rasul (sunnahnya),” (QS. Annisa’: 59)

Dalam ayat ini secara implisit ditegaskan, bahwa ada empat dalil yang bisa
dijadikan tendensi penggalian (istinbâth) hukum, yaitu Al Quran,
Hadis, Ijma’ dan Qiyas. Perintah taat kepada Allah dan utusanNya, berarti
perintah berpegang pada Al Quran dan Hadis, perintah taat kepada ulil
amri berarti  perintah berpegang pada Ijma’ (konsensus) umat (mujtahidîn), dan
perintah mengembalikan perselisihan kepada Allah dan RasulNya berarti perintah
berpegang pada Qiyas sepanjang tidak ada nash dan ijma’.
Sebab, Qiyas hakikatnya mengembalikan sesuatu yang berbeda pada hukum
Allah dan utusanNya.

Disamping itu, Aswaja juga melegalkan taqlid, bahkan mewajibkannya bagi umat


yang tidak memiliki kapasitas dan kualifikasi keilmuan yang memungkinkan
melakukan ijtihad. Taqlid hanya haram bagi umat yang benar-benar memiliki
kapasitas dan piranti ijtihad sebagaimana yang dikaji dalam kitab Ushul Fikih.
Dengan demikian, Aswaja tidak pernah menyatakan pintu ijtihad tertutup. Pintu
ijtihad selamanya terbuka, hanya saja umat Islam yang agaknya dewasa ini
‘enggan’ memasukinya.

Mewajibkan ijtihad kepada umat yang tidak memiliki kapasitas ijtihad, sama saja
memaksakan susuatu di luar batas kemampuannya. Maka kepada umat seperti
inilah taqlid dipahami sebagai kewajiban oleh Aswaja berdasarkan firman Allah,
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui,” (QS. Annahl: 43).

3. Doktrin Keihsanan
Tasawuf adalah sebuah manhaj spiritual yang bisa dilewati bukan melalui teori-
teori ilmiah semata melainkan dengan mengintegrasikan antara ilmu dan amal,
dengan jalan melepaskan (takhallî) baju kenistaan (akhlaq madzmûmah) dan
mengenakan (tahallî) jubah keagungan (akhlaq mahmûdah), sehingga Allah hadir
(tajallî) dalam setiap gerak-gerik dan perilakunya, dan inilah manifestasi konkret
dari ihsan dalam sabda Rasulullah SAW, “Ihsan adalah engkau menyembah Allah
seolah engkau melihatNya, dan jika engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia
melihatmu”.

Doktrin keihsanan, yang selanjutnya termanifestasi ke dalam bidang tasawuf atau


akhlak ini, Aswaja berpedoman pada konsep tasawuf akhlaqi atau amali, yang
dirumuskan oleh Imam al Junaid al Baghdadi dan al Ghazali. Limitasi
(pembatasan) hanya kepada kedua tokoh ini, tidak berarti manafikan tokoh-tokoh
tasawuf falsafi dari kelompok Aswaja, seperti Ibn al Arabi, al Hallaj dan tokoh-
tokoh sufi ‘kontroversial’ lainnya.

Dari uraian di atas, dapat dimengerti bahwa kelompok yang masuk kategori
Aswaja meliputi ahli tauhid (kalam), ahli fikih (syariat), ahli tasawuf (akhlak) dan
bahkan ahli hadis (muhadditsîn).
1.3. Sumber Doktrin Aswaja
Di dalam menentukan hukum fiqih, madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah
(Aswaja) bersumber kepada empat pokok; Al-Qur’an, Hadits/as-Sunnah,
Ijma’ dan Qiyas. Secara singkat, paparannya sebagai berikut;
 Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan sumber utama dan pertama dalam pengambilan
hukum. Karena Al-Qur’an adalah perkataan Allah yang merupakan
petunjuk kepada ummat manusia dan diwajibkan untuk berpegangan
kepada Al-Qur’an. Allah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 2; Al-
Maidah Ayat 44-45, 47 :
َ‫ْب فِ ْي ِه هُدًى لِ ْل ُمتَّقِ ْين‬ َ ‫ك ْال ِكت‬
َ ‫َب الَ َري‬ َ ِ‫ذل‬
<> “Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya petunjuk bagi
mereka yang bertaqwa”.
(Al-Baqarah; 2) َ‫َو َم ْن لَ ْم يَحْ ُك ْم بِ َما أَ ْن َز َل هللاُ فَأُوْ لئِكَ هُ ُم ْالكفِرُوْ ن‬
“Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka adalah golongan orang-orang kafir”. Tentu
dalam hal ini yang bersangkutan dengan aqidah, lalu;
َ ِ‫َو َم ْن لَ ْم يَحْ ُك ْم بِ َما أَ ْن َز َل هللاُ فَأُوْ لئ‬
َ‫ك هُ ُم الظّلِ ُموْ ن‬
“Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang
diturunkan Allah maka mereka adalah orang-orang yang dhalim”.
Dalam hal ini urusan yang berkenaan dengan hak-hak sesama manusia
َ ِ‫َ و َم ْن لَ ْم يَحْ ُك ْم بِ َما أَ ْن َز َل هللاُ فَأُوْ لئ‬
‫ك هُ ُم ْالف ِسقُوْ ن‬ َ
“Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang
diturunkan Allah maka mereka adalah golongan orang-orang fasik”.
Dalam hal ini yang berkenaan dengan ibadat dan larangan-larangan Allah.
 Al-Hadits/Sunnah
Sumber kedua dalam menentukan hukum ialah sunnah Rasulullah ٍSAW.
Karena Rasulullah yang berhak menjelaskan dan menafsirkan Al-Qur’an,
maka As-Sunnah menduduki tempat kedua setelah Al-Qur’an. Allah
berfirman dalam Al-Qur’an surat an-Nahl ayat 44 dan al-Hasyr ayat 7,
sebagai berikut;
َ‫اس َمانُ ِز َل اِلَ ْي ِه ْم َولَ َعلَّهُ ْم يَتَفَ َّكرُوْ ن‬ َ ‫َواَ ْن َز ْلنَا اِلَ ْي‬
ِ َّ‫ك ال ِذ ْك َر لِتُبَيِنَ لِلن‬
“Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan
kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya
mereka memikirkan”. (An-Nahl : 44)
ِ ‫ اِ َّن هللاَ َش ِد ْيد ُْا ِلعقَا‬,َ‫َو َما َءاتَ ُك ُم ال َّرسُوْ ُل فَ ُخ ُذوْ هُ َو َمانَه ُك ْم َع ْنهُ فَا ْنتَهَوْ ا َواتَّقُوْ اهللا‬
‫ب‬
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka ambillah Kedua ayat tersebut
di atas jelas bahwa Hadits atau Sunnah menduduki tempat kedua setelah
Al-Qur’an dalam menentukan hukum.
 Al-Ijma’

Yang disebut Ijma’ ialah kesepakatan para Ulama’ atas suatu hukum
setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Karena pada masa hidupnya
Nabi Muhammad SAW seluruh persoalan hukum kembali kepada Beliau.
Setelah wafatnya Nabi maka hukum dikembalikan kepada para
sahabatnya dan para Mujtahid. Kemudian ijma’ ada 2 macam : 1. Ijma’
Bayani (‫اني‬NN‫اع البي‬NN‫ ) االجم‬ialah apabila semua Mujtahid mengeluarkan
pendapatnya baik berbentuk perkataan maupun tulisan yang menunjukan
kesepakatannya. 2. Ijma’ Sukuti (‫ )االجماع السكوتي‬ialah apabila sebagian
Mujtahid mengeluarkan pendapatnya dan sebagian yang lain diam,
sedang diamnya menunjukan setuju, bukan karena takut atau malu.
Dalam ijma’ sukuti ini Ulama’ masih berselisih faham untuk diikuti,
karena setuju dengan sikap diam tidak dapat dipastikan. Adapun ijma’
bayani telah disepakati suatu hukum, wajib bagi ummat Islam untuk
mengikuti dan menta’ati. Karena para Ulama’ Mujtahid itu termasuk
orang-orang yang lebih mengerti dalam maksud yang dikandung oleh Al-
Qur’an dan Al-Hadits, dan mereka itulah yang disebut Ulil Amri Minkum
(‫اولىاالمر منكم‬  ) Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat : 59
ُ
ِ N‫“ ياأَيُّهَاالَّ ِذ ْينَ أَ َمنُوْ اأَ ِط ْيعُوْ اهللاَ َوأَ ِط ْيعُوْ اال َّرسُوْ َل َوأوْ لِى ْاألَ ْم‬Hai orang yang beriman
‫ر ِم ْن ُك ْم‬N
ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya dan Ulil Amri di antara kamu”.
Dan para Sahabat pernah melaksanakan ijma’ apabila terjadi suatu
masalah yang tidak ada dalam Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah S.A.W.
Pada zaman sahabat Abu Bakar dan sahabat Umar r.a jika mereka sudah
sepakat maka wajib diikuti oleh seluruh ummat Islam. Inilah beberapa
Hadits yang memperkuat Ijma’ sebagai sumber hokum, seperti disebut
dalam Sunan Termidzi Juz IV hal 466.

‫ َويَ ُدهللاِ َم َع ْالَ َجما َع ِة‬,‫ضالَ لَ ٍة‬


َ ‫َلى‬ ِ ‫اِ َّن هللاَ الَ يَجْ َم ُع اُ َّم‬
َ ‫تى ع‬

“Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku atas kesesatan dan


perlindungan Allah beserta orang banyak. Selanjutnya, dalam kitab
Faidlul Qadir Juz 2 hal 431

َ ‫اختِالَ فًا فَ َعلَ ْي ُك ْم بِال َّس َوا ِد ْا ألَ ْع‬


‫ظ ِم‬ ْ ‫ضالَ لَ ٍة فَا ِء َذا َرأَ ْيتُ ُم‬ ِ ‫اِ َّن اُ َّم‬.  
َ ‫تى الَتَجْ تَ ِم ُع ع‬
َ ‫َلى‬

“Sesungguhnya ummatku tidak berkumpul atas kesesatan maka apabila


engkau melihat perselisihan, maka hendaknya engkau berpihak kepada
golongan yang terbanyak”.

 Al-Qiyas Qiyas menurut bahasanya berarti mengukur, secara


etimologi kata itu berasal dari kata Qasa (‫ا س‬NN‫ق‬  ). Yang disebut
Qiyas ialah menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam
hukum karena adanya sebab yang antara keduanya. Rukun Qiyas
ada 4 macam: al-ashlu, al-far’u, al-hukmu dan as-sabab. Contoh
penggunaan qiyas, misalnya gandum, seperti disebutkan dalam
suatu hadits sebagai yang pokok (al-ashlu)-nya, lalu al-far’u-nya
adalah beras (tidak tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits), al-
hukmu, atau hukum gandum itu wajib zakatnya, as-sabab atau
alasan hukumnya karena makanan pokok. Dengan demikian, hasil
gandum itu wajib dikeluarkan zakatnya, sesuai dengan hadits Nabi,
dan begitupun dengan beras, wajib dikeluarkan zakat. Meskipun,
dalam hadits tidak dicantumkan nama beras. Tetapi, karena beras
dan gandum itu kedua-duanya sebagai makanan pokok. Di sinilah
aspek qiyas menjadi sumber hukum dalam syareat Islam. Dalam
Al-Qur’an Allah S.WT. berfirman : ‫ار‬ َ ‫“ فَا ْعتَبِرُوْ ا يأُوْ لِى ْاألَي‬Ambilah
ِ ‫ْص‬
ibarat (pelajaran dari kejadian itu) hai orang-orang yang
mempunyai pandangan”. (Al-Hasyr : 2)

‫ا ظَنَنتُ ْم أَن‬NN‫ ِر ۚ َم‬N‫ر ِه ْم أِل َ َّو ِل ْٱل َح ْش‬N ۟ ‫ر‬Nَ‫ َر َج ٱلَّ ِذينَ َكف‬N‫ى أَ ْخ‬
ِ َ‫ ِل ْٱل ِك ٰت‬N‫ُوا ِم ْن أَ ْه‬ ٓ ‫ه َُو ٱلَّ ِذ‬
ِ Nَ‫ب ِمن ِد ٰي‬
N۟ ‫ب‬NNN‫ْث لَ ْم يَحْ ت َِس‬
ۖ ‫ُوا‬ ُ ‫م ٱهَّلل ُ ِم ْن َحي‬Nُ ُ‫أَتَ ٰىه‬NNNَ‫ونُهُم ِّمنَ ٱهَّلل ِ ف‬NNN‫ُص‬ ُ ‫وا ۖ َوظَنُّ ٓو ۟ا أَنَّهُم َّمانِ َعتُهُ ْم ح‬NNNُ
N۟ ‫يَ ْخ ُرج‬
‫أ ُ ۟ولِى‬NNَٓ‫ُوا ٰي‬
N۟ ‫ٱ ْعتَبِر‬NNَ‫ؤ ِمنِينَ ف‬N
ْ N‫ بِأ َ ْي ِدي ِه ْم َوأَ ْي ِدى ْٱل ُم‬N‫ب ۚ ي ُْخ ِربُونَ بُيُوتَهُم‬ َ ‫ف فِى قُلُوبِ ِه ُم ٱلرُّ ْع‬ Nَ ‫َوقَ َذ‬
‫ْص ِر‬َ ٰ ‫ٱأْل َب‬

“Dari sahabat Mu’adz berkata; tatkala Rasulullah SAW mengutus ke


Yaman, Rasulullah bersabda bagaimana engkau menentukan apabila
tampak kepadamu suatu ketentuan? Mu’adz menjawab; saya akan
menentukan hukum dengan kitab Allah? Mu’adz menjawab; dengan
Sunnah Rasulullah s.aw. kemudian nabi bersabda; kalau tidak engkau
jumpai dalam Sunnah Rasulullah dan dalam kitab Allah? Mu’adz
menjawab; saya akan berijtihad dengan pendapat saya dan saya tidak
kembali; Mu’adz berkata: maka Rasulullah memukul dadanya, kemudian
Mu’adz berkata; Alhamdulillah yang telah memberikan taufiq kepada
utusan Rasulullah SAW dengan apa yang Rasulullah meridlai-Nya.
Kemudian Al-Imam Syafi’i memperkuat pula tentang qiyas dengan
firman Allah S.W.T dalam Al-Qur’an :

‫ل ِمنَ النَّ َع ِم‬N َ Nَ‫ا قَت‬NN‫ ُل َم‬N‫ زَا ٌء ِم ْث‬N‫ فَ َج‬N‫ ًدا‬N‫هُ ِم ْن ُك ْم ُمتَ َع ِم‬Nَ‫ص ْي َد َواَ ْنتُ ْم ُح ُر ٌم َو َم ْن قَتَل‬
َّ ‫ياأَيُّهَااَّل ِذ ْينَ َء ا َمنُوْ ا الَتَ ْقتُلُوْ اا ل‬
‫يَحْ ُك ُم بِ ِه َذ َوا َع ْد ٍل ِم ْن ُك ْم‬

 “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu membunuh binatang


buruan ketika kamu sedang ihram, barang siapa diantara kamu
membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan
binatang ternak yang seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut
putusan dua orang yang adil di antara kamu”. (Al-Maidah: 95).
Sebagaimana madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah lebih mendahulukan
dalil Al-Qur’an dan Al-Hadits dari pada akal. Maka dari itu madzhab
Ahlussunnah wal Jama’ah mempergunakan Ijma’ dan Qiyas kalau tidak
mendapatkan dalil nash yang shareh (jelas) dari Al-Qur’an danAs-
Sunnah.

1.4. Tokoh Ulama dari Aswajah

Sesungguhnya keutamaan, kemuliaan dan keagungan para pengikut adalah


menunjukan keagungan orang yang diikutinya. Seluruh ulama terkemuka di
kalangan Ahlussunnah adalah pengikut al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari, atau
pengikut al-Imâm Abu Manshur al-Maturidi. Dengan demikian tidak disangsikan
lagi bahwa kedua Imam ini adalah sebagai penegak tonggak dasar dari
berkibarnya bendera Ahlssunnah, yang oleh karenanya kedua Imam ini memiliki
keutamaan dan kemuliaan yang sangat agung.
 
Sebagaimana telah kita sebutkan di atas bahwa Ahlussunnah adalah mayoritas
umat Islam. Ini berarti dalam menuliskan tokoh-tokoh Ahlussunnah akan meliputi
berbagai sosok agung antar generasi ke generasi dan dari masa ke masa.
Melakukan “sensus” terhadap mereka tidak akan cukup dengan hanya
menuliskannya dalam satu jilid buku saja, bahkan dalam puluhan jilid sekalipun.
Sebagaimana anda lihat sekarang ini berapa banyak karya-karya para ulama
terdahulu yang ditulis dalam mengungkapkan biografi ulama Ahlussunnah,
termasuk dalam hal ini penulisan biografi yang ditulis menurut komunitas tertentu
sesuai disiplin mereka masing-masing, seperti komunitas kaum sufi, komunitas
ahli hadists, para ahli tafsir, atau lainnya. Dapat kita pastikan bahwa kebanyakan
ulama-ulama yang telah dituliskan biografinya tersebut adalah para pengikut al-
Imâm al-Asy’ari.
 
Di antara karya komprehensif dalam menuliskan biografi ulama Ahlussunnah
pengikut al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari adalah kitab karya al-Imâm al-
Hâfizh Abu al-Qasim Ibn Asakir dengan judul Tabyîn Kadzib al-Muftarî Fîmâ
Nusiba Ilâ al-Imâm Abî al-Hasan al-Asy’ari. Kitab ini ditulis Ibn Asakir untuk
membela al-Imâm al-Asy’ari dari tuduhan-tuduhan dusta yang dialamatkan
kepadanya. Di dalamnya, selain biografi al-Imâm al-Asy’ari, disebutkan pula
beberapa tokoh Ahlussunnah yang benar-benar telah “pasang badan” dalam
mengibarkan madzhab al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari ini.
 
Karya lainnya adalah tulisan al-Imâm Tajuddin as-Subki; putra dari Qâdlî al-
Qudlât al-Imâm al-Mujtahid Taqiyuddin as-Subki yang berjudul Thabaqât asy-
Syâfi’iyyah al-Kubrâ. Kitab ini sangat besar, dalam belasan jilid, berisi
penyebutan biografi para ulama terkemuka di kalangan madzhab asy-Syafi’i.
Dipastikan bahwa mayorits ulama yang disebutkan dalam kitab ini adalah para
pengikut al-Imâm al-Asy’ari. Bahkan dalam bukunya ini al-Imâm Tajuddin
membuat pasal khusus dalam penyebutan tokoh-tokoh yang memiliki andil besar
dalam penyebaran akidah Ahlussunnah madzhab al-Imâm Abu al-Hasan al-
Asy’ari.
 
Berikut ini kita sebutkan beberapa nama tokoh terkemuka yang memiliki andil
besar dalam penyebaran akidah Asy’ariyyah. Ulama kita di kalangan Ahlussunnah
mengatakan bahwa menyebut nama orang-orang saleh adalah sebab bagi turunnya
segala rahmat dan karunia Allah; Bi Dzikr ash-Shâlihîn Tatanazzal ar-Rahamât”.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa al-Imâm Ahmad ibn Hanbal berkata
tentang salah seorang yang sangat saleh bernama Shafwan ibn Sulaim: “Dia
(Shafwan ibn Sulaim) adalah orang saleh yang bila disebut namanya maka hujan
akan turun”. Karenanya, semoga dengan penyebutan orang-orang saleh berikut
ini, kita mendapatkan karunia dan rahmat dari Allah. Amin.
 
A.    Angkatan Pertama
Angkatan yang semasa dengan al-Imâm Abu al-Hasan sendiri, yaitu mereka yang
belajar kepadanya dan mengambil pendapat-pendapatnya, di antaranya: Abu al-
Hasan al-Bahili, Abu Sahl ash-Shu’luki (w 369 H), Abu Ishaq al-Isfirayini (w 418
H), Abu Bakar al-Qaffal asy-Syasyi (w 365 H), Abu Zaid al-Marwazi (w 371 H),
Abu Abdillah ibn Khafif asy-Syirazi; seorang sufi terkemuka (w 371 H), Zahir ibn
Ahmad as-Sarakhsi (w 389 H), Abu Bakr al-Jurjani al-Isma’ili (w 371 H), Abu
Bakar al-Audani (w 385 H), Abu al-Hasan Abd al-Aziz ibn Muhammad yang
dikenal dengan sebutan ad-Dumal, Abu Ja’far as-Sulami an-Naqqasy (w 379 H),
Abu Abdillah al-Ashbahani (w 381 H), Abu Muhammad al-Qurasyi az-Zuhri (w
382 H), Abu Manshur ibn Hamsyad (w 388 H), Abu al-Husain ibn Sam’un salah
seorang sufi ternama (w 387 H), Abu Abd ar-Rahman asy-Syuruthi al-Jurjani (w
389 H), Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad; Ibn Mujahid ath-Tha’i, Bundar ibn
al-Husain ibn Muhammad al-Muhallab yang lebih dikenal Abu al-Husain ash-
Shufi  (w 353 H), dan Abu al-Hasan Ali ibn Mahdi ath-Thabari.
 
B.    Angkatan Ke Dua
Di antara angkatan ke dua pasca generasi al-Imâm Abu al-Hasan al-Asy’ari
adalah; Abu Sa’ad ibn Abi Bakr al-Isma’ili al-Jurjani (w 396 H), Abu Nashr ibn
Abu Bakr Ahmad ibn Ibrahim al-Isma’ili (w 405 H), Abu ath-Thayyib ibn Abi
Sahl ash-Shu’luki, Abu al-Hasan ibn Dawud al-Muqri ad-Darani, al-Qâdlî Abu
Bakar Muhammad al-Baqillani (w 403 H), Abu Bakar Ibn Furak (w 406 H), Abu
Ali ad-Daqqaq; seorang sufi terkemuka (w 405 H), Abu Abdillah al-Hakim an-
Naisaburi; penulis kitab al-Mustadrak ‘Alâ ash-Shahîhain, Abu Sa’ad al-
Kharqusyi, Abu Umar al-Basthami, Abu al-Qasim al-Bajali, Abu al-Hasan ibn
Masyadzah, Abu Thalib al-Muhtadi, Abu Ma’mar ibn Sa’ad al-Isma’ili, Abu
Hazim al-Abdawi al-A’raj, Abu Ali ibn Syadzan, al-Hâfizh Abu Nu’aim al-
Ashbahani penulis kitab Hilyah al-Auliyâ’ Fî Thabaqât al-Ashfiyâ’ (w 430 H),
Abu Hamid ibn Dilluyah, Abu al-Hasan al-Balyan al-Maliki, Abu al-Fadl al-
Mumsi al-Maliki, Abu al-Qasim Abdurrahman ibn Abd al-Mu’min al-Makki al-
Maliki, Abu Bakar al-Abhari, Abu Muhammad ibn Abi Yazid, Abu Muhammad
ibn at-Tabban, Abu Ishaq Ibrahim ibn Abdillah al-Qalanisi.
 
C.    Angkatan Ke Tiga
Di antaranya; Abu al-Hasan as-Sukari, Abu Manshur al-Ayyubi an-Naisaburi,
Abd al-Wahhab al-Maliki, Abu al-Hasan an-Nu’aimi, Abu Thahir ibn Khurasyah,
Abu Manshur Abd al-Qahir ibn Thahir al-Baghadadi (w 429 H) penulis kitab al-
Farq Bayn al-Firaq, Abu Dzarr al-Harawi, Abu Bakar ibn al-Jarmi, Abu
Muhammad Abdulah ibn Yusuf al-Juwaini; ayah Imam al-Haramain (w 434 H),
Abu al-Qasim ibn Abi Utsman al-Hamadzani al-Baghdadi, Abu Ja’far as-Simnani
al-Hanafi, Abu Hatim al-Qazwini, Rasya’ ibn Nazhif al-Muqri, Abu Muhammad
al-Ashbahani yang dikenal dengan sebutan Ibn al-Labban, Sulaim ar-Razi, Abu
Abdillah al-Khabbazi, Abu al-Fadl ibn Amrus al-Maliki, Abu al-Qasim Abd al-
Jabbar ibn Ali al-Isfirayini, al-Hâfizh Abu Bakr Ahmad ibn al-Husain al-Bayhaqi;
penulis Sunan al-Bayhaqi (w 458 H), dan Abu Iran al-Fasi.

 
D.    Angkatan Ke Empat
Di antaranya; al-Hâfizh al-Khathib al-Baghdadi (w 463 H), Abu al-Qasim Abd al-
Karim ibn Hawazan al-Qusyairi penulis kitab ar-Risâlah al-Qusyairiyyah (w 465
H), Abu Ali ibn Abi Huraisah al-Hamadzani, Abu al-Muzhaffar al-Isfirayini 
penulis kitab at-Tabshîr Fî ad-Dîn Wa Tamyîz al-Firqah an-Nâjiyah Min al-Firaq
al-Hâlikîn (w 471 H), Abu Ishaq asy-Syirazi; penulis kitab at-Tanbîh Fî al-Fiqh
asy-Syâfi’i (w 476 H), Abu al-Ma’ali Abd al-Malik ibn Abdullah al-Juwaini yang
lebih dikenal dengan Imam al-Haramain (w 478 H), Abu Sa’id al-Mutawalli (w
478 H), Nashr al-Maqdisi, Abu Abdillah ath-Thabari, Abu Ishaq at-Tunusi al-
Maliki, Abu al-Wafa’ Ali ibn Aqil al-Hanbali (w 513 H) pimpinan ulama
madzhab Hanbali di masanya, ad-Damighani al-Hanafi, dan Abu Bakar an-Nashih
al-Hanafi.
 
E.    Angkatan Ke Lima
Di antaranya; Abu al-Muzhaffar al-Khawwafi, Ilkiya, Abu Hamid Muhammad ibn
Muhammad al-Ghazali (w 505 H), Abu al-Mu’ain Maimun ibn Muhammad an-
Nasafi (w 508 H), asy-Syasyi, Abd ar-Rahim ibn Abd al-Karim yang dikenal
dengan Abu Nashr al-Qusyairi (w 514 H), Abu Sa’id al-Mihani, Abu Abdillah ad-
Dibaji, Abu al-Abbas ibn ar-Ruthabi, Abu Abdillah al-Furawi, Abu Sa’id ibn Abi
Shalih al-Mu’adz-dzin, Abu al-Hasan as-Sulami, Abu Manshur ibn Masyadzah al-
Ashbahani, Abu Hafsh Najmuddin Umar ibn Muhammad an-Nasafi (w 538 H)
penulis kitab al-‘Aqîdah an-Nasafiyyah, Abu al-Futuh al-Isfirayini, Nashrullah al-
Mishshishi, Abu al-Walid al-Baji, Abu Umar ibn Abd al-Barr al-Hâfizh, Abu al-
Hasan al-Qabisi, al-Hâfizh Abu al-Qasim ibn Asakir (w 571 H), al-Hâfizh Abu al-
Hasan al-Muradi, al-Hâfizh Abu Sa’ad ibn as-Sam’ani, al-Hâfizh Abu Thahir as-
Silafi, al-Qâdlî ‘Iyadl ibn Muhammad al-Yahshubi (w 533 H), Abu al-Fath
Muhammad ibn Abd al-Karim asy-Syahrastani (w 548 H) penulis kitab al-Milal
Wa an-Nihal, as-Sayyid Ahmad ar-Rifa’i (w 578 H) perintis tarekat ar-
Rifa’iyyah, as-Sulthân Shalahuddin al-Ayyubi (w 589 H) yang telah
memerdekakan Bait al-Maqdis dari bala tentara Salib, al-Hâfizh Abd ar-Rahman
ibn Ali yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn al-Jawzi (w 597 H).
 

F.    Angkatan Ke Enam
Di antaranya; Fakhruddin ar-Razi al-Mufassir (w 606 H), Saifuddin al-Amidi (w
631 H), Izuddin ibn Abd as-Salam Sulthân al-‘Ulamâ’ (w 660 H), Amr ibn al-
Hajib al-Maliki (w 646 H), Jamaluddin Mahmud ibn Ahmad al-Hashiri (w 636 H)
pempinan ulama madzhab Hanafi di masanya, al-Khusrusyahi, Taqiyuddin ibn
Daqiq al-Ied (w 702 H), Ala’uddin al-Baji, al-Hâfizh Taqiyyuddin Ali ibn Abd al-
Kafi as-Subki (w 756 H), Tajuddin Abu Nashr Abd al-Wahhab ibn Ali ibn Abd
al-Kafi as-Subki (w 771 H), Shadruddin ibn al-Murahhil, Shadruddin Sulaiman
ibn Abd al-Hakam al-Maliki, Syamsuddin al-Hariri al-Khathib, Jamaluddin az-
Zamlakani, Badruddin Muhammad ibn Ibrahim yang dikenal dengan sebutan Ibn
Jama’ah (w 733 H), Muhammad ibn Ahmad al-Qurthubi penulis kitab Tafsir al-
Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’ân atau lebih dikenal dengan at-Tafsîr al-Qurthubi (w
671 H), Syihabuddin Ahmad ibn Yahya al-Kilabi al-Halabi yang dikenal dengan
sebutan Ibn Jahbal (w 733 H), Syamsuddin as-Saruji al-Hanafi, Syamsuddin ibn
al-Hariri al-Hanafi, Adluddin al-Iji asy-Syiraji, al-Hâfizh Yahya ibn asy-Syaraf
an-Nawawi; penulis al-Minhâj Bi Syarh Shahîh Muslim ibn al-Hajjâj (w 676
H), al-Malik an-Nâshir Muhammad ibn Qalawun (w 741 H), al-Hâfizh Ahmad
ibn Yusuf yang dikenal dengan sebutan as-Samin al-Halabi (w 756 H), al-
Hâfizh Shalahuddin Abu Sa’id al-Ala-i (w 761 H), Abdullah ibn As’ad al-Yafi’i
seorang sufi terkemuka (w 768 H), Mas’ud ibn Umar at-Taftazani (w 791 H).
 
G.    Angkatan Ke Tujuh
al-Hâfizh Abu Zur’ah Ahmad ibn Abd ar-Rahim al-Iraqi (w 826 H), Taqiyyuddin
Abu Bakr al-Hishni ibn Muhammad; penulis Kifâyah al-Akhyâr  (w 829 H), Amîr
al-Mu’minîn Fî al-Hadîts al-Hâfizh Ahmad ibn Hajar al-Asqalani; penulis
kitab Fath al-Bâri Syarh  Shahîh al-Bukhâri (w 852 H), Muhammad ibn
Muhammad al-Hanafi yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn Amir al-Hajj (w 879
H), Badruddin Mahmud ibn Ahmad al-Aini; penulis ‘Umdah al-Qâri’ Bi
Syarh Shahîh al-Bukhâri (w 855 H), Jalaluddin Muhammad ibn Ahmad al-
Mahalli (w 864 H), Burhanuddin Ibrahim ibn Umar al-Biqa’i; penulis kitab
tafsir Nazhm ad-Durar (w 885 H), Abu Abdillah Muhammad ibn Yusuf as-
Sanusi; penulis al-‘Aqîdah as-Sanûsiyyah (w 895 H).
 
H.   Angkatan ke Delapan 
Al-Qâdlî Musthafa ibn Muhammad al-Kastulli al-Hanafi (w 901 H), al-
Hâfizh Muhammad ibn Abd ar-Rahman as-Sakhawi (w 902 H), al-
Hâfizh Jalaluddin Abd ar-Rahman ibn Abu Bakr as-Suyuthi (w 911 H),
Syihabuddin Abu al-Abbas Ahmad ibn Muhammad al-Qasthallani; penulis Irsyâd
as-Sâri Bi Syarh Shahîh al-Bukhâri (w 923 H), Zakariyya al-Anshari (w 926
H), al-Hâfizh Muhammad ibn Ali yang lebih dikenal dengan sebutan al-
Hâfizh Ibn Thulun al-Hanafi (w 953 H).
 
I.   Angkatan Ke Sembilan Dan Seterusnya
Abd al-Wahhab asy-Sya’rani (w 973 H), Syihabuddin Ahmad ibn Muhammad
yang dikenal dengan sebutan Ibn Hajar al-Haitami (w 974 H), Mulla Ali al-Qari
(w 1014 H), Burhanuddin Ibrahim ibn Ibrahim ibn Hasan al-Laqqani;
penulis Nazham Jawharah at-Tauhîd (w 1041 H), Ahmad ibn Muhammad al-
Maqarri at-Tilimsani; penulis Nazham Idlâ’ah ad-Dujunnah (w 1041 H), al-
Muhaddits Muhammad ibn Ali yang lebih dikenal dengan nama Ibn Allan ash-
Shiddiqi (w 1057 H), Kamaluddin al-Bayyadli al-Hanafi (w 1098 H), Muhammad
ibn Abd al-Baqi az-Zurqani (w 1122 H), as-Sayyid Abdullah ibn Alawi al-Haddad
al-Hadlrami al-Husaini; penulis Râtib al-Haddâd (1132 H), Muhammad ibn Abd
al-Hadi as-Sindi; penulis kitab Syarh Sunan an-Nasâ-i (w 1138 H), Abd al-Ghani
an-Nabulsi (w 1143 H), Abu al-Barakat Ahmad ibn Muhammad ad-Dardir;
penulis al-Kharîdah al-Bahiyyah (w 1201 H), al-Hâfizh as-Sayyid Muhammad
Murtadla az-Zabidi (w 1205 H), ad-Dusuqi; penulis Hâsyiyah Umm al-
Barâhîn (w 1230 H), Muhammad Amin ibn Umar yang lebih dikenal dengan
sebutan Ibn Abidin al-Hanafi (w 1252 H). 
 
Nama-nama ulama terkemuka ini hanya mereka yang hidup sampai sekitar abad
12 hijriyyah, dan itupun hanya sebagiannya saja. Bila hendak kita sebutkan satu
persatu, termasuk yang berada di bawah tingkatan mereka dalam keilmuannya,
maka sangat banyak sekali, tidak terhitung jumlahnya, siapa pula yang sanggup
menghitung jumlah bintang di langit, membilang butiran pasir di pantai? kita akan
membutuhkan lembaran kertas yang sangat panjang.
 BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Dari pembahasan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:


1. Ahlu sunnah waljamaah berasal dari kata Ahlun yang artinya keluarga,
golongan atau pengikut. Ahlussunnah berarti orang orang yang
mengikuti sunnah (perkataan, pemikiran atau amal perbuatan Nabi
Muhammad SAW.) Sedangkan Wal Jama’ah memiliki arti Mayoritas ulama
dan jama’ah umat Islam pengikut sunnah Rasul. Aswaja berarti orang-orang
atau mayoritas para ‘Ulama atau umat Islam yang mengikuti sunnah Rasul
dan para Sahabat atau para ‘Ulama.
2.      Aswaja menurut:
a. KH. Hasyim Asyari’ adalah suatu paham berteologi Asy’ariyah dan
Maturidiyah, berfiqh madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan
Hambali) dan bertashuwf al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi. Selain itu
dalam mengimplementasikan Aswaja adalah dengan prinsip at-
Tawazun (keseimbangan), at-Tasamuh (toleran), at-Tawasuth (moderat), at-
Ta'adul (patuh pada hokum/adil), dan amar makruf nahi mungkar.
b.  KH. Said Aqil Siradj memandang Aswaja adalah sebagai Manhaj al
Fikr (landasan berpikir). Dalam hal inilah Aswaja dapat dipahami sebagai
sesuatu yang bisa ditafsiri secara kontekstual dan lebih modern.
3.2. Saran
Makalah yang kami susun masih mempunyai banyak kekurangan, oleh karena
itu kami menghadarapkan saran dan kritikan dari pembaca yang positif dan
membangun. Guna penyusunan makalah berikutnya yang lebih baik dan
ASWAJAH yang baik dan tercatat rapi, fakta akurat dan Detail dalam
pencatatan ASWAJA.

DAFTAR PUSTAKA

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/9215/4-sumber-hukum-dalam-
aswaja

Sumber: https://ayulweb.wordpress.com/2018/04/17/doktrin-aqidah-fiqih-
dan-tasawuf-ahlussunah-wal-jamaah

Sumber: https://tebuireng.online/garis-garis-besar-doktrin-ahlussunnah-
wal-jamaah/

Anda mungkin juga menyukai