Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

MACAM-MACAM KONSEP KURIKULUM

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengembangan Kurikulum PAI
Dosen Pengampu : Siti Nurjanah, M.Pd.I.

Kelas : PAI VI A
Kelompok 4
1. Rosi Nariyana R. (20172505088)
2. Siti Masruroh (20172505110)
3. Winda Astutik (20172505155)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA (IAINU) TUBAN
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami sampaikan kehadirat Allah Swt yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini.
Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada manusia paling mulia Nabi
Muhammad Saw. Dengan kebaikan beliau telah membawa kita dari jaman kebodohan ke
dalam jaman yang berilmu pengetahuan.
Makalah yang berjudul “Macam-Macam Konsep Kurikulum” ini penulis buat guna
memenuhi tugas mata kuliah Pengembangan Kurikulum PAI yang diberikan oleh bapak/ibu
dosen di IAINU Tuban. Dengan adanya makalah ini, penulis berharap bisa meningkatkan
semangat penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya untuk memahami dan
mempelajari tentang pentingya mempelajari tentang konsep kurikulum agar kita sebagai calon
pendidik dapat mengembangkan kurikulum sesuai dengan perkembangan jaman.
Sebagai manusia biasa, penulis menyadari bahwa pembuatan makalah ini masih jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang konstruktif dari para pembaca sangat
penulis butuhkan demi kesempurnaan pembuatan makalah-makalah selanjutnya.

Tuban, 3 Oktober 2020


Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL......................................................................................................
KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii
DAFTAR ISI......................................................................................................................iii
BAB I : PENDAHULUAN................................................................................................1
1.1. Latar Belakang..............................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah.........................................................................................................1
1.3. Tujuan Penulisan..........................................................................................................2
BAB II : PEMBAHASAN.................................................................................................3
2.1. Kurikulum Subjek Akadenis........................................................................................3
2.2. Kurikulum Humanistik.................................................................................................8
2.3. Kurikulum Rekonstruksi Sosial....................................................................................11
2.4. Kurikulum Teknologi...................................................................................................15
BAB III : PENUTUP.........................................................................................................18
3.1. Kesimpulan...................................................................................................................18
REFERENSI...................................................................................................................... 20

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pendidikan berintikan interaksi antara pendidik dengan peserta didik dalam upaya
membantu peserta didik menguasai tujuan-tujuan pendidikan. Interaksi pendidikan dapat
berlangsung dalam lingkungan keluarga, sekolah, ataupun masyarakat. Pendidikan dalam
lingkungan sekolah lebih bersifat formal. Guru sebagai pendidik di sekolah telah
dipersiapkan secara formal dalam lembaga pendidikan guru. Ia telah mempelajari ilmu,
keterampilan, dan seni sebagai guru. Ia juga telah dibina untuk memiliki kepribadian
sebagai pendidik.
Permasalahan kurikulum yang ada pada saat ini adalah kurang menyesuaikan
dengan perkembangan jaman dan kebutuhan masyarakat secara luas. Penggunaan
kruikulum banyak menggunakan model-model lama. Hal ini kemungkinan didasari oleh
kurangnya pengetahuan dan pemahaman pengembang kurikulum mengenai macam-
macam konsep kurikulum.
Namun, seiring dengan perkembangan jaman hal tersebut dapat diminimalisir
dengan cara lebih banyak belajar dan mencoba menggunakan model-model kurikulum
yang lebih modern oleh pengembang kurikulum. Model-model kurikulum tersebut terdiri
dari kurikulum subjek akademis, kurikulum humanistik, kurikulum rekonstruksi sosial,
dan kurikulum teknologi.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka penulis membuat makalah dengan
judul “Macam-Macam Konsep Kurikulum”. Makalah ini ditujukan agar pembaca dapat
memahami pentingnya mempelajari konsep kurikulum sebagai alat untuk
mengembangkan kurikulum sesuai perkembangan jaman.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang dapat diajukan
adalah sebagai berikut :
1.2.1. Bagaimana penjelasan tentang kurikulum subjek akademis?
1.2.2. Bagaimana penjelasan tentang kurikulum humanistik?
1.2.3. Bagaimana penjelasan tentang kurikulum rekonstruksi sosial?
1.2.4. Bagaimana penjelasan tentang kurikulum teknologi?

1
1.3. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penulisannya adalah sebagai
berikut :
1.3.1. Untuk menjelaskan tentang kurikulum subjek akademis
1.3.2. Untuk menjelaskan tentang kurikulum humanistik
1.3.3. Untuk menjelaskan tentang kurikulum rekonstruksi sosial
1.3.4. Untuk menjelaskan tentang kurikulum teknologi

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Kurikulum Subjek Akademis (Rasionalisasi)


Model konsep kurikulum ini adalah model yang tertua, sejak sekolah yang pertama
berdiri, kurikulumnya mirip dengan tipe ini. Sampai sekarang, walaupun telah
berkembang tipe-tipe lain, umumnya sekolah tidak dapat melepaskan tipe ini. Mengapa
demikian? Kurikulum ini sangat praktis, mudah disusun, mudah digabungkan dengan tipe
lainnya.
Kurikulum subjek akademis bersumber dari pendidikan klasik (perenialisme dan
esensialisme) yang berorientasi pada masa lalu. Semua ilmu pengetahuan dan nilai-nilai
telah ditemukan oleh para pemikir masa lalu. Fungsi pendidikan memelihara dan
mewariskan hasil-hasil budaya masa lalu tersebut. Kurikulum ini lebih mengutamakan isi
pendidikan. Belajar adalah berusaha menguasai ilmu sebanyak-banyaknya. Orang yang
berhasil dalam belajar adalah orang yang menguasai seluruh atau sebagian besar isi
pendidikan yang diberikan atau disiapkan oleh guru.
Kurikulum subjek akademis ini mengalami perkembangan menjadi 3 struktur
disipliin, yaitu :
a. Aliran yang melanjutkan disiplin struktur. Aliran ini menonjolkan proses penelitian
ilmiah, baik masalah sosial, nilai-nilai kebijaksanaan tokoh-tokoh pemerintah
b. Pelajaran terpadu. Dalam memahami masalah yang kompleks, aliran ini
menggunakan beberapa disiplin ilmu yang terpadu. Oleh karena itu, pendekatannya
adalah interdisipliner
c. Pendidikan fundamental. Aliran ini mementingkan isi dan materi, di samping cara-
cara dan proses berpikir (Adu, 2013 : 83-84)
Sekurang-kurangnya ada tiga pendekatan dalam perkembangan kurikulum subjek
akademis, yaitu :
a. Melanjutkan pendekatan struktur pengetahuan. Murid-murid belajar bagaimana
memperoleh dan menguji fakta-fakta dan bukan sekedar mengingat-ingatnya.
b. Studi yang bersifat integratif. Pendekatan ini merupakan respons terhadap
perkembangan masyarakat yang menuntut model-model pengetahuan yang lebih
komprehensif-terpadu. Pelajaran tersusun atas satuan-satuan pelajaran, dalam
satuan-satuan pelajaran tersebut batas-batas ilmu menjadi hilang. Pengorganisasian
tema-tema pengajaran didasarkan atas fenomena-fenomena alam, proses kerja
ilmiah dan problema-problema yang ada.

3
c. Pendekatan yang dilaksanakan pada sekolah-sekolah fundamental. Mereka tetap
mengajar berdasarkan mata pelajaran dengan menekankan membaca, menulis, dan
memecahkan masalah-masalah sistematis. Pelajaran-pelajaran lain seperti ilmu
kealaman, ilmu sosial, dan lain-lain dipelajari tanpa dihubungkan dengan
kebutuhan praktis pemecahan masalah dalam kehidupan.
Mereka mengembangkan suatu model kurikulum yang terintegrasi (integrated
curriculum ). Ada beberapa ciri model kurikulum yang dikembangkan.
a. Menentukan tema-tema yang membentuk satu kesatuan (unifying theme), yang
dapat terdiri atas ide atau konsep besar yang dapat mencakup semua ilmu atau suatu
proses kerja ilmu, fenomena alam, atau masalah sosial yang membutuhkan
pemecahan secara ilmiah.
b. Menyatukan kegiatan belajar dari beberapa disiplin ilmu. Kegiatan belajar
melibatkan isi dan proses dari satu atau beberapa ilmu sosial atau perilaku yang
mempunyai hubungan dengan tema yang dipilih/ dikerjakan.
c. Menyatukan berbagai cara/metode belajar. Kegiatan belajar ditekankan pada
pengalaman konkret yang bertolak dari minat dan kebutuhan murid serta
disesuaikan dengan keadaan setempat.
Pendekatan ketiga, adalah pendekatan yang dilaksanakan pada sekolah-sekolah
fundamentalis. Mereka tetap mengajar berdasarkan mata-mata pelajaran dengan
menekankan membaca, menulis, dan memecahkan masalah-masalah matematis.
Pelajaran-pelajaran lain seperti ilmu kealaman, ilmu sosial, dan lain-lain dipelajari tanpa
dihubungkan dengan kebutuhan praktis pemecahan masalah dalam kehidupan.

2.1.1. Ciri-ciri Kurikulum Subjek Akademis


Kurikulum subjek akademis mempunyai beberapa ciri berkenaan dengan tujuan,
metode, organisasi isi dan evaluasi. Tujuan kurikulum subjek akademis adalah pemberian
pengetahuan yang solid serta melatih para siswa menggunakan ide-ide dan proses
“penelitian”. Dengan berpengetahuan dalam berbagai disiplin ilmu, para siswa
diharapkan memiliki konsep-konsep dan cara-cara yang dapat terus dikembangkan dalam
masyarakat yang lebih luas. Para siswa harus belajar menggunakan pemikiran dan dapat
mengontrol dorongan-dorongannya. Sekolah harus memberikan kesempatan kepada para
siswa untuk merealisasikan kemampuan mereka menguasai warisan budaya dan jika
mungkin memperkayanya.
Metode yang paling banyak digunakan dalam kurikulum kurikulum subjek
akademis adalah metode eksositori dan inkuiri. Ide-ide diberikan guru kemudian

4
dielaborasi (dilaksanakan) siswa sampai mereka kuasai. Konsep utama disusun secara
sistematis, dengan ilustrasi yang jelas untuk selanjutnya dikaji. Dalam materi disiplin
ilmu yang diperoleh, dicari berbagai masalah penting, kemudian dirumuskan dan dicarri
cara pemecahannya.
Melalui proses tersebut para siswa akan menemukan, bahwa kemampuan berpikir
dan mengamati digunakan dalam ilmu kealaman, logika digunakan dalam matematika,
bentuk dan perasaan digunakan dalam seni dan koherensi dalam sejarah. Mereka
mempelajari buku-buku standar untuk memperkaya pengetahuan, dan untuk memahami
budaya masa lalu dan mengerti keadaan masa kini.
Ada beberapa pola organisasi isi (materi pelajaran) kurikulum subjek akademis.
Pola-pola organisasi yang terpenting diantaranya :
1. Correlated curriculum adalah pola organisasi materi atau konsep yang dipelajari
dalam suatu pelajaran dikorelasikan dengan pelajarann lainnya tanpa
menghilangkan perbedaan esensia dari setiap mata pelajaran.
2. Unified atau Concentrated Curriulum adalah pola organisasi bahan pelajaran
tersusun dalam tema-tema pelajaran tertentu, yang mencakup materi dari berbagai
pelajaran disiplin ilmu. Salah satu aplikasi kurikulum saat ini terdapat pada
pembelajaran yang sifatnya tematik. Dari satu tema yang diajukan misalnya
“lingkungan” selanjutnya dikaji dari berbagai disiplin ilmu misalnya, sains,
matematika, sosial, dan bahasa
(https://www.academia.edu/36738577/MAKALAH_EDISI_REVISI_MACAM_M
ACAM_MODEL_KONSEP_KURIKULUM, diakses pada 12 Oktober 2020).
3. Intregated curriculum. Pola organisasi kurikulum ini memperhatikan warna disiplin
ilmu. Bahan ajar diintegrasikan menjadi satu keseluruhan yang disajikan dalam
bentuk satuan unit. Dalam satu unit terdapat hubungan atara pelajaran serta
berbagai kegiatan siswa. Dengan keterpaduan bahan pelajaran tersebut diharapkan
siswa mempunyai pemahaman materi secara utuh. Oleh karena itu, inti yang
diajarkan kepada siswa harus memenuhi kebutuhan hidup di lingkungan
masyarakat.
4. Problem Solving curriculum adalah pola organisasi isi yang berisi topik pemecahan
masalah sosial yang dihadapi dalam kehidupan dengan menggunakan pengetahuan
dan keterampilan yang diperoleh dari berbagai mara pelajaran atau disiplin ilmu.
Pada kurikulum model ini guru lebih dimaknai sebagai seseorang yang harus
“digugu” dan “ditiru”.

5
Berdasarkan uraian tersebut, tujuan dan sifat mata pelajaran merupakan dua hal
yang mempengaruhi model evaluasi kurikulum subjek akademis. Ilmu yang termasuk
kategori ilmu-ilmu alam mempunyai model evaluasi yang berbeda dengan ilmu-ilmu
sosial. Kurikulum ini bersumber dari pendidikan klasik. Konsep pendidikan ini bertolak
dari asumsu bahwa seluruh warisan budaya, yaitu pengetahuan, ide-ide, atau nilai-nilai
telah ditemukan oleh para pemikir terdahulu.
Tentang kegiatan evaluasi, kurikulum subjek akademis menggunakan bentuk
evaluasi yang bervariasi disesuaikan dengan tujuan dan sifat mata pelajaran. Dalam
bidang studi humaniora lebih banyak digunakan bentuk uraian (essay test) daripada tes
objektif. Bidang studi tersebut membutuhkan jawaban yang merefleksikan logika,
koherensi, dan integrasi secara menyeluruh. Bidang studi seni yang sifatnya ekspresi
membutuhkan penilaian subjektif yang jujur, disamping standar keindahan dan cita rasa.
Lain halnya dengan matematika, nilai tertinggi diberikan bila siswa menguasai landasan
aksioma serta cara perhitungannya benar. Dalam ilmu kealaman penghargaan tertinggi
bukan hanya diberikan kepada jawaban yang benar tetapi juga pada proses berpikir yang
digunakan siswa.
Para ahli disiplin ilmu sering memiliki sifat ambivalen terhadap evaluasi. Satu
pihak melihatnya sebagai suatu kegiatan yang sangat berharga, yang dapat memberikan
informasi yang dibutuhkan. Pada pihak lain mereka mengkhawatirkan kegiatan evaluasi
dapat mempengaruhi hubungan antara guru dan siswa. Evaluasi yang dilakukan dalam
waktu singkat tidak akan memberikan gambaran yang benar tentang perkembangan dan
penguasaan siswa. Kekhawatiran mereka dapat sedikit dikurangi dengan
dikembangkannya model evaluasi formatif dan sumatif.
Pendidikan berfungsi untuk memelihara, mengawetkan, dan meneruskan budaya
tersebut kepada generasi berikutnya, sehingga kurikulum ini lebih mengutamakan isi
pendidikan. Oleh karenanya kurikulum ini lebih bersifat intelektual.
Kelemahan dari kurikulum subjek akademis ini adalah :
1. Teralu menonjolkan domain kognitif-akademis sehingga domain afektif,
psikomotor, sosial, emosional menjadi terabaikan
2. Konsep yang dikembangkan oleh para ahli belum tentu sesuai dengan minat dan
kebutuhan anak
3. Tidak semua peserta didik dapat memahami dan menggunakan metode ilmiah
untuk mempelajari disiplin ilmu
4. Tidak semua anak akan menjadi ilmuan profesional

6
5. Guru tidak atau jarang terlibat dalam penelitian karena tidak menguasai metode
ilmiah (scientific method) (Arifin, 2014 : 129)

2.1.2. Pemilihan Disiplin Ilmu


Masalah besar yang dihadapi oleh para pengembang kurikulum subjek akademis
adalah bagaimana memilih materi pelajaran dari sekian banyak disiplin ilmu yang ada.
Apabila ingin memiliki penguasaan yang cukup mendalam maka jumlah didiplin ilmunya
harus sedikit. Apabila hanya mempelajari sedikit disiplin ilmu maka penguasaan para
siswa akan sangat terbatas, sukar menerapkannya dalam kehidupan masyarakat secara
luas. Apabila disiplin ilmunya cukup banyak, maka tahap penguasaannya hanya sedikit-
sedikit (tidak mendalam).
Ada beberapa saran untuk mengatasi masalah tersebut, yaitu :
1. Mengusahakan adanya penguasaan yang menyeluruh (comprehensiveness) dengan
menekankan pada bagaimana cara menguji kebenaran atau mendapatkan
pengetahuan.
2. Mengutamakan kebutuhan masyarakat (social utility), memilih dan menentukan
aspek-aspek dari disiplin ilmu yang sangat diperlukan dalam kehidupan
masyarakat.
3. Menekankan pengetahuan dasar, yaitu pengetahuan-pengetahuan yang menjadi
dasar (prerequisite) bagi penguasaan disiplin-disiplin ilmu yang lainnya.

2.1.3. Penyesuaian Mata Pelajaran dengan Perkembangan Anak


Para pengembang kurikulum subjek akademis, lebih mengutamakan penyusunan
bahan secara logis dan sistematis daripada menyalaraskan urutan bahan dengan
kemampuan berpikir anak. Mereka umumnya kurang memperhatikan bagaimana siswa
belajar dan lebih mengutamakan susunan isi, yaitu apa yang akan diajarkan. Proses
belajar yang ditempuh oleh siswa sama pentingnya dengan penguasaan konsep, prinsip-
prinsip dan generalisasi. Para ahli kurikulum subjek akademis juga memandang materi
yang akan diajarkan bersifat universal, mereka mengabaikan karakteristik siswa dan
kebutuhan masyarakat setempat.
Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan diatas dalam perkembangan selanjutnya
dilakukan konsep penyempurnaan. Pertama, untuk mengimbangi penekanannya pada
proses berpikir, mereka mulai mendorong penggunaan intuisi dan tebakan-tebakan.
Keduanya, adanya upaya-upaya untuk menyesuaikan pelajaran dengan perbedaan

7
indiviidu dan kebutuhan setempat. Ketiga, pemanfaatan fasilitas dan sumber daya yang
ada pada masyarakat.

2.2. Kurikulum Humanistik (Aktualisasi Diri)


Kurikulum humanistik dikembangkan oleh para ahli pendidikan humanistik.
Kurikulum ini berdasarkan konsep aliran pendidikan pribadi (Personalized Education)
yaitu John Dewey (Progressive Education) dan J.J Rousseau (Romantic Education).
Aliran ini lebih memberikan tempat utama kepada siswa. Mereka bertolak dari asumsi
bahwa anak atau siswa adalah yang pertama dan utama dalam pendidikan. Ia adalah
subjek yang menjadi pusat kegiatan pendidikan. Mereka percaya bahwa siswa
mempunyai potensi, punya kemampuan, dan kekuatan untuk berkembang. Para pendidik
humanis yang berpegang pada konsep Gestalt, bahwa individu atau anak merupakan satu
kesatuan yang menyeluruh. Pendidikan diarahkan kepada membina manusia yang utuh
bukan saja segi fisik dan intelektual tetapi juga segi sosial dan afektif (emosi, sikap,
perasaan, nilai, dan lain-lain).
Pandangan mereka berkembang sebagai reaksi terhadap pendidikan yang lebih
menekankan segi intelektual dengan peran utama dipegang oleh guru. Pendidikan
humanistik menekankan peranan siswa. Pendidikan merupakan suatu upaya untuk
menciptakan situasi yang permisif, rileks, dan akrab. Berkat situasi tersebut anak
mengembangkan segala potensi yang dimilikinya. Menurut Mc Neil, “The new
humanists are self actualizers who see curriculum as a liberating process that can meet
the need for growth and personal integrity” (John D. Mc Neil, 1997 : 1). Tugas guru
adalah menciptakan situasi yang permisif dan mendorong siswa untuk mencari dan
mengembangkan pemecahan sendiri.
Pendidikan mereka lebih menekankan bagaimana mengajar siswa (mendorong
siswa), dan bagaimana merasakan atau bersikap terhadap sesuatu. Tujuan pengajaran
adalah memperluas kesadaran diri sendiri dan mengurangi kerenggangan dan
keterasingan dari lingkungan. Ada beberapa aliran yang termasuk dalam pendidikan
humanistic, yaitu Konfluen, Kritikisme Radikal, dan Mistikisme Modern.
Pendidikan konfluen menekankan keutuhan pribadi, individu harus merespons
secara utuh (baik segi pikiran, perasaan, maupun tindakan), terhadap kesatuan yang harus
menyeluruh dari lingkungan. Pendidikan konfluen kurang menekankan pengetahuan yang
mengandung segi afektif.
Kritikisme radikal bersumber dari aliran naturalism atau romantisme Rousseau.
Mereka memandang pendidikan sebagai upaya untuk membantu anak menemukan dan

8
mengembangkan sendiri segala potensi yang dimilikinya. Pendidikan merupakan upaya
untuk menciptakan situasi yang memungkinkan anak berkembang optimal. Pendidik
adalah ibarat petani yang berusaha menciptakan tanah yang gembur, air dan udara yang
cukup, terhindar dari berbagai hama, untuk tumbuhnya tanaman yang penuh dengan
berbagai potensi. Dalam pendidikan tidak ada pemaksaan, yang ada adalah dorongan dan
rangsangan untuk berkembang.
Mitikisme modern adalah aliran yang menekankan latihan dan pengembangan
kepekaan perasaan, kehalusan budi pekerti, melalui sensitivity training, yoga, meditasi,
dan sebagainya.
Kurikulum humanistik didasarkan pada aliran pendidikan humanisme atau pribadi.
Aliran pendidikan ini bertolak dari asumsi bahwa peserta didik adalah yang pertama dan
utama dalam pendidikan. Peserta didik adalah subjek yang menjadi pusat kegiatan
pendidikan yang mempunyai potensi, kemampuan, dan kekuatan untuk bekembang
(Arifin, 2014 : 132). Tugas individu yang berkaitan dengan konsep ini adalah membantu
individu dalam upaya mencapai perwujudan diri melalui pengembangan potensi yang
dimiliki. Dalam hal ini, pendidikan bukan hanya sekadar memberi tetapi menumbuhkan
keberanian kepada siswa untuk berbuat atau melakukan sesuatu (Ali, 1992 : 11).
Dengan demikian, prioritas pendekatan ini adalah pengalaman belajar yang
diarahkan terhadap tanggapan minat, kebutuhan, dan kemampuan siswa. Pendekatan ini
berpusat pada siswa dan mengutamakan perkembangan unsur efeksi. Pendidikan ini
diarahkan kepada pembinaan manusia yang utuh, bukan saja segi fisik dan intelektual
tetapi juga segi sosial dan afeksi.

2.2.1. Karakteristik Kurikulum Humanistik


Kurikulum humanistik mempunyai beberapa karakteristik, berkenaan dengan
tujuan, metode, organisasi isi, dan evaluasi. Menurut para humanis, kurikulum berfungsi
menyediakan pengalaman (pengetahuan-red) berharga untuk membantu memperlancar
perkembangan pribadi murid. Bagi mereka tujuan pendidikan adalah proses
perkembangan pribadi yang dinamis yang diarahkan pada pertumbuhan, integritas, dan
otonomi kepribadian, sikap yang sehat terhadap diri sendiri, orang lain, dan belajar.
Semua itu merupakan bagian dari cita-cita perkembangan manusia yang teraktualisasi
(self actualizing person). Seseorang yang telah mampu mengaktualisasikan diri adalah
orang yang telah mencapai keseimbangan (harmoni) perkembangan seluruh aspek
pribadinya baik aspek kognitif, estetika, maupun moral. Seorang dapat bekerja dengan
baik bila memiliki karakter yang baik pula.

9
Kurikulum humanistik menuntut hubungan emosional yang baik anata guru dan
murid. Guru selain harus mampu menciptakan hubungan yang hangat dengan murid, juga
mampu menjadi sumber. Ia harus mampu memberikan materi yang menarik dan mampu
menciptakan situasi yang memperlancar proses belajar guru harus memberikan dorongan
kepada murid atas dasar saling percaya. Peran mengajar bukan saja dilakukan oleh guru
tetapi juga oleh murid. Guru tidak memaksakan sesuatu yang tidak disenangi murid.
Sesuai prinsip yang dianut, kurikulum humanistik menekankan integrasi, yaitu
kesatuan perilaku bukan saja yang bersifat intelektual tetapi juga emosional dan tindakan.
Kurikulum humanistik juga menekankan keseluruhan. Kurikulum harus mampu
memberikan pengalaman yang menyeluruh, bukan pengalaman yang terpenggal-penggal.
Kurikulum ini kurang menekankan sekuens, karena dengan sekuens murid-murid kurang
mempunyai kesempatan untuk memperluas dan memperdalam aspek-aspek
perkembangannya. Penyusunan sekuens dalam pengajaran yang sifatnya afektif,
dilakukan oleh Shiflett (Shifflet, 1975 : 121-139) dengan langkah-langkah sebagai
berikut :
1. Menyusun kegiatan yang dapat memunculkan sikap, minat atau perhatian tertentu.
2. Memperkenalkan bahan-bahan yang akan dibahas dalam setiap kegiatan.
Didalamnya tercakup topik-topik, bahan ajar serta kegiatan belajar yang akan
membantu siswa dalam merumuskan apa yang ingin mereka pelajari. Kegiatan
yang diutamakan adalah yang akan membangkitkan rasa ingin tahu dari
pemahaman.
3. Pelaksanaan kegiatan, para siswa diberi pengalaman yang menyenangkan baik
berupa gerakan-gerakan maupun penghayatan.
4. Penyempurnaan, pembahasan hasil-hasil yang telah dicapai, penyempurnan hasil
serta upaya tindak lanjutnya.
Dalam evaluasi, kurikulum humanistik berbeda dengan yang biasa. Model lebih
mengutamakan proses daripada hasil. Kalau kurikulum yang biasa terutama subjek
akademis mempunyai kriteria pencapaian, maka dalam kurikulum humanistik tidak ada
kriteria. Sasaran mereka adalah perkembangan anak supaya menjadi manusia yang lebih
terbuka, lebih berdiri sendiri. Kegiatan yang mereka lakukan hendaknya bermanfaat bagi
siswa. Kegiatan belajar yang baik adalah memberikan pengalaman yang akan membantu
para siswa memperluas kesadaran akan dirinya dan orang lain dan dapat
mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya. Penilaiannya bersifat subjektif baik
dari guru maupun para siswa.

10
2.3. Kurikulum Rekonstruksi Sosial
Kurikulum rekonstruksi sosial berbeda dengan model-model kurikulum lainnya.
Kurikulum ini lebih memusatkan perhatian pada problema-problema yang dihadapinya
dalam masyarakat. Kurikulum ini bersumber pada aliran pendidikan interaksional.
Menurut mereka pendidikan bukan upaya sendiri, melainkan kegiatan bersama, interaksi,
dan kerjasama. Kerjasama atau interkasi tidak hanya terjadi antara murid dan guru, tetapi
juga antara siswa dengan siswa, siswa dengan orang-orang di lingkungannya, dan dengan
sumber belajar lainnya. Melalui interaksi dan kerjasama ini siswa berusaha memecahkan
problema-problema yang dihadapinya dalam masyarakat menuju pembentukan
masyarakat yang lebih baik.
Pandangan rekonstruksi sosial di dalam kurikulum dimulai sekitar tahun 1920-an.
Harold Rug mulai melihat dan menyadarkan kawan-kawannya bahwa selama ini terjadi
kesenjangan antara kurikulum dengan masyarakat. Ia menginginkan para siswa dengan
pengetahuan dan konsep-konsep baru yang diperolehnya dapat mengidentifikasi dan
memecahkan masalah-masalah sosial untu kemudian dapat menciptakan masyarakat baru
yang lebih stabil (Sukmadinata, 2009 : 91).
Konsep kurikulum ini menekankan pentingnya kurikulum sebagai alat untuk
melakukan rekonstruksi atau penyusunan kembali corak kehidupan dan kebudayaan
masyarakat. Di dalam kurikulum disusun rencana yang berkaitan dengan bagaimana
menata kembali kehidupan masyarakat menuju tatanan yang dipandang lebih baik.
Tatanan ini meliputi segi-segi sosial, politik, ekonomi, mental, dan spiritual. Melalui
pendidikan di sekolah yang merupakan implementasi kurikulum siswa diajak untuk
mengenali berbagai permasalahan yang muncul di masyarakat sesuai dengan tingkat
kemampuan berfikirnya kemudian berupaya mencari alternatif pemecahannya (Ali,
1992 : 11-12).
Kurikulum ini pada dasarnya menghendaki adanya proses belajar yang
menghasilkan perubahan secara relatif tetap dalam perilaku, yaitu dalam berpikir, merasa,
dan melakukan. Kurikulum ini memiliki hubungan dengan kegiatan kemasyarakatan yang
di dalamnya terdapat kegiatan interaksi. Kurikulum ini dikembangkan oleh aliran
interaksional. Pakar di bidang ini berpendapat bahwa pendidikan merupakan upaya
bersama dari berbagai pihak untuk menumbuhkan adanya interaksi dan kerjsama. Tujuan
utama kurikulum jenis ini adalah mempersiapkan peserta didik untuk dapat menghadapi
tantangan, termasuk di dalamnya ancaman dan hambatan. Tantangan dianggap sebagai
bidang garapan salah satu disiplin ilmu, namun perlu juga didekati dengan ilmu-ilmu lain.

11
Dalam praktiknya, perancang kurikulum rekonstruksi sosial selalu berusaha
menyelaraskan antara tujuan nasional dengan tujuan siswa. Kerjasama antarindividu
maupun kelompok merupakan kegiatan yang sangat dominan dalam pengajaran yang
menggunakan kurikulum jenis ini. Dengan demikian, kompetisi antarindividu maupun
kelompok bukan hal yang diprioritaskan. Ahli kurikulum yang berorientasi pada
kemajuan di masa yang akan datang menyarankan pentingnya kurikulum yang
difokuskan pada hal terkait kehidupan sosial kemasyarakatan.

2.3.1. Desain Kurikulum Rekonstruksi Sosial


Ada beberapa ciri dari desain kurikulum ini, yaitu sebagai berikut :
1. Asumsi. Tujuan utama kurikulum rekonstruksi sosial adalah menghadapkan para
siswa pada tantangan, ancaman, hambatan-hambatan, atau gangguan-gangguan
yang dihadapi manusia. Tantangan-tantangan tersebut merupakan bidang garapan
studi sosial yang perlu didekati dari bidang-bidang lain seperti ekonomi, sosiologi
psikologi, estetika, bahkan pengetahuan alam, dan matematika. Masalah-masalah
masyarakat bersifat universal dan hal ini dapat dikaji dalam kurikulum.
2. Masalah-masalah sosial yang mendesak. Kegiatan belajar dipusatkan pada masalah-
masalah sosial yang mendesak. Masalah-masalah tersebut dirumuskan dalam
pertanyaan, seperti : Dapatkah kehidupan seperti sekarang ini memberikan
kekuatan untuk menghadapi ancaman-ancaman yang akan mengganggu integritas
kemanusiaan? Dapatkah tata ekonomi dan politik yang ada dibangun kembali agar
setiap orang dapat memanfaatkan sumber-sumber daya alam dan sumber daya
manusia seadil mungkin? Pertanyaan-pertanyaan tersebut mengundang
pengungkapan lebih mendalam, bukan saja dari buku-buku dan kegiatan
laboratorium tetapi juga dari kehidupaan nyata dalam masyarakat.
3. Pola-pola organisasi. Pada tingkat sekolah menengah, pola organisasi kurikulum
disusun seperti sebuah roda. Di tengah-tengahnya sebagai poros dipilih sesuatu
masalah yang menjadi tema utama dan dibahas secara pleno. Dari tema utama
dijabarkan sejumlah topik yang dibahas dalam diskusi-diskusi kelompok, latihan-
latihan, kunjungan, dan lain-lain. Topik-topik dengan berbagai kegiatan kelompok
ini merupakan jari-jari. Semua kegiatan jari-jari tersebut dirangkum menjadi satu
kesatuan sebagai bingkai atau velk.

12
2.3.2. Komponen Kurikulum Rekonstruksi Sosial
Kurikulum rekonstruksi sosial memiliki komponen-komponen yang sama dengan
model kurikulum lain tetapi isi dan bentuk-bentuknya berbeda.
1. Tujuan dan isi kurikulum. Tujuan program pendidikan setiap tahun berubah. Dalam
program pendidikan ekonomi-politik, umpamanya tahun pertama tujuannya
membangun kembali dunia ekonomi-politik. Kegiatan yang dilakukan untuk
mencapai tujuan tersebut adalah :
a. Mengadakan survai secara kritis terhadap masyarakat
b. Mengadakan studi tentang hubungan antara keadaan ekonomi lokal dan
ekonomi nasional serta dunia
c. Mengadakan studi tentang latar belakang historis dan kecenderungan-
kecenderungan perkembangan ekonomi, hubungannya dengan ekonomi lokal
d. Mengkaji praktik politik dalam hubungannya dengan faktor ekonomi
e. Memantapkan rencana perubahan praktik politik
f. Mengevaluasi semua rencana dengan kriteria, apakah telah memenuhi
kepentingan sebagian besar orang
2. Metode. Dalam pengajaran rekonstruksi sosial para pengembang kurikulum
berusaha mencari keselarasan antara tujuan-tujuan nasional dengan tujuan siswa.
Guru-guru berusaha membantu para siswa menemukan minat dan kebutuhannya.
Sesuai dengan minat masing-masing siswa, baik dalam kegiatan pleno maupun
kelompok-kelompok berusaha memecahkan masalah sosial yang dihadapinya.
Kerja sama baik antara individu dalam kegiatan kelompok, maupun antar kelompok
dalam kegiatan pleno sangat mewarnai metode rekonstruksi sosial. Kerja sama ini
juga terjadi antara para siswa dengan manusia sumber dari masyarakat. Bagi
rekonstruksi sosial, belajar merupakan kegiatan bersama, ada kebergantungan
antara seorang dengan yang lainnya. Dalam kegiatan belajar tidak ada kompetisi,
yang ada adalah kooperasi atau kerja sama, saling penegrtian dan konsensus. Anak-
anak sejak sekolah dasarpun diharuskan turut serta dalam survai kemasyarakatan
seta kegiatan-kegiatan sosial lainnya. Untuk kelas-kelas tinggi selain mereka
dihadapkan kepada situasi nyata juga mereka diperkenalkan degan situasi-situasi
ideal. Denga hal itu diharapkan para siswa dapat menciptakan model-model kasar
dari situasi yang akan datang.
3. Evaluasi. Dalam kegiatan evaluasi para siswa juga libatkan. Keterlibatan mereka
terutama dalam memilih, menyusun, dan menilai bahan yang akan diujikan. Soal-
soal yang akan diujikan dinilai lebih dulu baik ketepatan maupun keluasan isinya,

13
juga keampuhan menilai pencapaian tujuan-tujuan pembangunan masyarakat yang
sifatnya kualitatif. Evaluasi tidak hanya menilai apa yang telah dikuasai siswa,
tetapi juga menilai pengaruh kegiatan sekolah terhadap masyarakat. Pengaruh
tersebut terutama menyangkut perkembangan masyarakat dan peningkatan taraf
kehidupan masyarakat.

2.3.3. Pelaksanaan Pengajaran Rekonstruksi Sosial


Pengajaran rekonstruksi sosial banyak dilaksanakan di daerah-daerah yang
tergolong belum maju dan tingkat ekonominya juga belum tinggi. Pelaksanaan
pengajaran ini diarahkan untuk meningkatkan kondisi kehidupan mereka. Sesuai dengan
potensi yang ada dalam masyarakat, sekolah mempelajari potensi-potensi tersebut,
dengan bantuan biaya dari pemerintah sekolah berusaha mengembangkan potensi
tersebut. Di daerah pertanian umpamanya sekolah mengambangkan bidang pertanian dan
peternakan , di daerah industri mengembangkan bidang-bidang industri.
Salah satu badan yang banyak mengembangkan baik teori maupunpraktik
pengajaran rekonstruksi sosial adalah Paulo Freize. Mereka banyak membantu
pengembangan di daerah-daerah di Amerika Latin. Untuk memerangi kebodohan dan
keterbelakangan mereka menggalakkan gerakan budaya akal budi (conscientization).
Conscientization merupakan suatu proses pendidikan atau pengajaran dimana siswa tidak
diperlakukan sebagai penerima tetapi sebagai pelajar yang aktif. Mereka berusaha
membuka diri, memperluas kesadaran tentang realitas sosial budaya dan dengan segala
kemampuannya berupaya mengubah dan meningkatkannya.
Sekolah berusaha memberikan penerangan dan melatih kemampuan untuk melihat
dan mengatasi hambatan-hambatan yang dihadapi, meningkatkan kemmapuan
memecahkan masalah-masalah yang dihadapi. Dengan gerakan Conscientization mereka
membantu masyarakat memahami fakta-fakta dan masalah-masalah yang dihadapinya
dalam konteks kondisi masyarakat mereka. Keterbatasan dan potensi yang mereka miliki.
Bertolak dari kenyataan-kenyataan tersebut mereka membina diri dan membangun
masyarakat.
Harold G. Shane seorang profesor dari Universitas Indiana Amerika Serikat,
mewakili teman-temannya para Futurolog menggunakan perencanaan masa yang akan
datang (future planning) sebagai dasar penyusunan kurikulum. Ia menggalakkan
perencanaan masa akan datang, dari bukan perencanaan untuk masa yang akan datang.
Shane menegaskan peranan individu dalam menemukan masa depannya sendiri, mereka
tidak dapat melepaskan diri dari perkembangan tetapi harus menyesuaikannya.

14
Shane menyarankan para pengembang kurikulum, agar mempelajari kecenderungan
(trends) perkembangan. Kecenderungan utama adalah perkembangan tekono;ogi dengan
berbagai dampaknya terhadap kondisi dan perkembangan masyarakat. Kecenderungan
lain adalah perkembangan ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Dalam perkembangan
sosial yang perlu mendapatkan perhatian utama adalah perkembangan manusia, baik
sebagai individu, maupun dalam interaksinya dengan yang lain. Untuk
mengindentifikaasi dan menganalisis kecenderungan-kecenderungan tersebut diperlukan
bantuan dari para ahli disiplin ilmu. Dalam pemecahan problema sosial dan membuat
kebijaksanaan sosial diperlukan musyawarah dengan warga masyarakat.
Pandangan rekonstruksi sosial berkembang karena keyakinan pada kemampuan
manusia untuk membangun dunia yang lebih baik. Juga penekanannya tentang peranan
ilmu dalam memecahkan masalah-masalah sosial. Beberapa kritikus pendidikan menilai
pandangan ini sukar diterapkan langsung dalam kurikulum (pendidikan). Penyebabnya
adalah interpretasi para ahli tentang perkembangan dan masalah-masalah sosial berbeda.
Kemampuan warga untuk ikut serta dalam pemacahan masalah juga bervariasi.

2.4. Kurikulum Teknologi (Teknologi dan Kurikulum)


Abad 20 ditandai dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat.
Perkembangan teknologi telah mempengaruhi setiap bidang dan aspek kehidupan,
termasuk bidang dan sistem pendidikan di Indonesia. Sampai dengan tahun 1970-an,
sekolah di Indonesia masih menggunakan teknologi atau alat-alat pendidikan yang
tradisional, seprti papan tulis, kapur, dan sabak. Sekitar tahun 1980-an, komputer mulai
banyak digunakan di lingkungan pendidikan formal, terutama perguruan tinggi. Pada
awalnya komputer hanya digunakan untuk mengetik tulisan dan berhitung, tetapi
sekarang berkat kemajuan teknologi orang sudah menggunakan komputer untuk berbagai
keperluan. Dalam kurikulum lama, komputer masih merupakan muatan lokal, tetapi sejak
tahun 2004 komputer sudah menjadi mata pelajaran tersendiri yang disebut dengan
Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).
Di kalangan pendidikan, teknologi sudah dikenal dalam bentuk pembelajaran
berbasis komputer, sistem pembelajaran individu, serta kaset atau video pembelajaran.
Banyak pihak yang kurang menyadari bahwa teknologi sangat membantu menganalisis
masalah kurikulum dalam hal pembuatan, implementasi, evaluasi, dan pengelolaan
instruksional (Hamalik, 2013 : 147).
Istilah teknologi yang dimaksudkan di sini adalah suatu pendekatan sistem dalam
memecahkan masalah-masalah praktis dalam kehidupan. Konsep ini memandang bahwa

15
kurikulum merupakan suatu sistem yang dikembangkan dengan pendekatan sistem.
Sebagai suatu sistem, kurikulum mempunyai sejumlah komponen yang saling
kebergantungan dan keterkaitan dalam mengefektifkan pencapaian tujuan. Oleh karena
itu, pengembangan kurikulum yang menggunakan pendekatan sistem dimulai dari
perumusan tujuan yang akan dicapai. Berdasarkan tujuan, dirumuskan alat untuk
mengukur keberhasilan pencapaiannya. Selanjutnya, dirumuskan bahan-bahan pelajaran,
dan kegiatan-kegiatan apa yang perlu dilakukan, seperti metode dan alat yang dipandang
dapat mengantarkan siswa mencapai tujuan itu.
Terdapat korelasi yang positif antara ilmu pengetahuan dan teknologi.
Perkembangan ilmu pengetahuan akan berdampak positif terhadap teknologi yang
dihasilkan. Demikian pula sebaliknya, kemajuan teknologi juga berpengaruh besar
terhadap perkembangan model konsep kurikulum.

2.4.1. Ciri-Ciri Kurikulum Teknologi


Ciri-ciri kurikulum teknologi antara lain sebagai berikut :
1. Tujuan diarahkan pada penguasaan kompetensi yang dirumuskan dalam bentuk
perilaku hasil belajar yang dapat diukur. Tujuan yang masih bersifat umum
dijabarkan menjadi tujuan-tujuan yang lebih kecil (tujuan khusus) yang di
dalamnya terkandung aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.
2. Metode pengajaran bersifat individual. Setiap siswa menghadapi tugas sesuai
dengan kecepatan masing-masing.
3. Organisasi bahan ajar atau isi kurikulum banyak diambil dari disiplin ilmu, tetapi
telah diramu sedemikian rupa sehingga mendukung penguasaan suatu kompetensi.
Bahan ajar yang besar disusun dari bahan ajar yang lebih kecil dengan
memperhatikan urutan-urutan penyajian materi dalam pengorganisasiannya.
4. Evaluasi dilakukan kapan saja. Ketika siswa telah mempelajari suatu
topik/subtopik, ia dapat mengajukan diri untuk dievaluasi. Fungsi evaluasi ini
antara lain sebagai umpan balik bagi siswa dalam penyempurnaan penguasaan
suatu satuan pelajaran (formatif), bagi program semester (sumatif), serta bagi guru
dan pengembang kurikulum. Bentuk evaluasi umumnya berupa tes objektif
Sakah satu kelemahan kurikulum teknologi ini adalah kurangnya perhatian pada
penerapan dan dinamika inovasi. Model teknologi ini hanya menekankan pengembangan
efektifitas produk saja. Sedangkan perhatian untuk mengubah lingkungan yang lebih luas,
seperti organisasi sekolah, sikap guru, dan cara pandang masyarakat kurang.
Pengembangan kurikulum teknologi berpegang pada beberapa kriteria, yaitu :

16
1. Prosedur pengembangan kurikulum dinilai dan disempurnakan oleh pengembang
kurikulum yang lain
2. Hasil pengembangan terutama yang berbentuk model adalah yang bisa diuji coba
ulang, dan hendaknya memberikan hasil yang sama
Inti dari pengembangan kurikulum teknologi adalah penekanan pada kompetensi.
Pengembangan dan penggunaan alat dan media pengajaran bukan hanya sebagai alat
bantu tetapi bersatu dengan program pengajaran dan ditujukan pada penguasaan
kompetensi tertentu.
Pengembangan kurikulum ini membutuhkan kerjasama dengan para penyusun
program dan penerbit media elektronik dan media cetak. Di pihak lain harus dicegah agar
jangan sampai pengembangan kurikulum ini menjadi objek bisnis. Pengembangan
pengajaran yang betul-betul berstruktur dan bersatu dengan alat dan media membutuhkan
biaya yang tidak sedikit. Inilah hambatan utama pengembangan kurikulum ini, terutama
bagi sekolah atau daerah-daerah yang kemampuan finansialnya masih rendah.
Seperti halnya model yang lain, model kurikulum ini mempunyai kelebihan dan
kekurangan. Program pengajaran yang menggunakan alat-alat yang berbau teknologi,
khususnya teknologi terbaru, secara umum lebih menyenangkan dan terkesan up to date.
Dari sisi pelaksanaannya, program pengajaran ini sangat mengedepankan efisiensi dan
efektiftas. Dengan model pengajaran seperti ini, standar penguasaan siswa jauh lebih
tinggi dibandingkan dengan model-model lain.
Model kurikulum teknologi dikembangkan berdasarkan pemikiran teknologi
pendidikan. Model ini sangat mengutamakan pembentukan dan penguasaan kompetensi
dan bukan pengawetan dan pemeliharaan budaya dan ilmu seperti pada pendidikan
klasik. Model kurikulum teknologi berorientasi pada masa sekarang dan yang akan
datang. Sedangkan pendidikan klasik berorientasi pada masa lalu.

17
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan yang telah diaparkan pada bab pembahasan di atas maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa kurikulum subjek akademis merupakan kurikulum yang
bersumber dari pendidikan klasik (perenialisme dan esensialisme) yang berorientasi pada
masa lalu. Semua ilmu pengetahuan dan nilai-nilai telah ditemukan oleh para pemikir
masa lalu. Fungsi pendidikan memelihara dan mewariskan hasil-hasil budaya masa lalu
tersebut. Kurikulum ini lebih mengutamakan isi pendidikan. Belajar adalah berusaha
menguasai ilmu sebanyak-banyaknya. Orang yang berhasil dalam belajar adalah orang
yang menguasai seluruh atau sebagian besar isi pendidikan yang diberikan atau disiapkan
oleh guru.
Kurikulum humanistik memiliki model yang lebih mengutamakan proses daripada
hasil. Kalau kurikulum yang biasa terutama subjek akademis mempunyai kriteria
pencapaian, maka dalam kurikulum humanistik tidak ada kriteria. Sasaran mereka adalah
perkembangan anak supaya menjadi manusia yang lebih terbuka, lebih berdiri sendiri.
Kegiatan yang mereka lakukan hendaknya bermanfaat bagi siswa. Kegiatan belajar yang
baik adalah memberikan pengalaman yang akan membantu para siswa memperluas
kesadaran akan dirinya dan orang lain dan dapat mengembangkan potensi-potensi yang
dimilikinya. Penilaiannya bersifat subjektif baik dari guru maupun para siswa.
Kurikulum rekonstruksi sosial memiliki ciri pengajaran yang banyak dilaksanakan
di daerah-daerah yang tergolong belum maju dan tingkat ekonominya juga belum tinggi.
Pelaksanaan pengajaran ini diarahkan untuk meningkatkan kondisi kehidupan mereka.
Sesuai dengan potensi yang ada dalam masyarakat, sekolah mempelajari potensi-potensi
tersebut, dengan bantuan biaya dari pemerintah sekolah berusaha mengembangkan
potensi tersebut. Di daerah pertanian umpamanya sekolah mengambangkan bidang
pertanian dan peternakan , di daerah industri mengembangkan bidang-bidang industri.
Kurikulum teknologi adalah kurikulum modern yang merupakan suatu pendekatan
sistem dalam memecahkan masalah-masalah praktis dalam kehidupan. Konsep ini
memandang bahwa kurikulum merupakan suatu sistem yang dikembangkan dengan
pendekatan sistem. Sebagai suatu sistem, kurikulum mempunyai sejumlah komponen
yang saling kebergantungan dan keterkaitan dalam mengefektifkan pencapaian tujuan.
Oleh karena itu, pengembangan kurikulum yang menggunakan pendekatan sistem
dimulai dari perumusan tujuan yang akan dicapai. Berdasarkan tujuan, dirumuskan alat

18
untuk mengukur keberhasilan pencapaiannya. Selanjutnya, dirumuskan bahan-bahan
pelajaran, dan kegiatan-kegiatan apa yang perlu dilakukan, seperti metode dan alat yang
dipandang dapat mengantarkan siswa mencapai tujuan itu.

19
REFERENSI

Academia. Makalah Edisi Revisi Macam-Macam Model Konsep Kurikulum, (Online),


(https://www.academia.edu/36738577/MAKALAH_EDISI_REVISI_MACAM_MACA
M_MODEL_KONSEP_KURIKULUM, diakses pada 12 Oktober 2020)
Adu, La. 2013. Ilmu Pendidikan Islam, Cetakan I. Makassar : Dua Satu Press
Ali, Mohammad. 1992. Pengembangan Kurikulum di Sekolah, Cetakan II. Bandung : CV
Penerbit Sinar Baru
Arifin, Zaenal. 2014. Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum Konsep, Teori, Prinsip,
Prosedur, Komponen, Pendekatan, Model, Evaluasi, dan Inovasi, Cetakan IV. Bandung
: PT Remaja Rosdakarya Offset
Hamalik, Oemar. 2013. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum, Cetakan V. Bandung : PT
Remaja Rosdakarya
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2015. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik, Cetakan
XVIII. Bandung : PT Remaja Rosdakarya Offset

20

Anda mungkin juga menyukai