Anda di halaman 1dari 29

ASUHAN KEBIDANAN PADA BAYI NY.

T USIA 6 HARI DENGAN


IKTERUS FISIOLOGIS DI RUMAH SAKIT HARAPAN BUNDA
KOTA BATAM

Diajukan Sebagai Laporan Tugas Kelompok Praktik Klinik


Sarjana Kebidanan Tingkat II Semester IV

DISUSUN OLEH:

FITRI YUNARTI (616080619007)


HELINDA CLARA AGUSTINA (616080619010)

DOSEN : Andi Wilda Arianggara, S.TR.Keb., M.Keb.

PRODI SARJANA KEBIDANAN DAN PENDIDIKAN PROFESI BIDAN


INSTITUT KESEHATAN MITRA BUNDA
TA.2020/2021
KATA PENGANTAR

Assalamu‟alaikumwarahmatullahi wabarakatuh
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan laporan praktik klinik ini dengan tepat waktu.
Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan
laporan praktik klink ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah
curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad Salallahu Alaihi
Wassalam yang kita nanti-natikan syafa‟atnya di akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat
sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis
mampu untuk menyelesaikan pembuatan laporan praktik klinik dengan judul
“Pada Bayi Ny.T Usia 6 Hari Dengan Ikterus Fisiologis di Rumah Sakit Harapan
Bunda Kota Batam”.
Penulis tentu menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya
laporan ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian
apabila terdapat banyak kesalahan pada laporan praktik klinik ini penulis mohon
maaf yang sebesar-besarnya.
Demikian, semoga laporan praktik klinik ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Batam, 07 Juli 2021

Penulis

i
LEMBAR PERSETUJUAN
ASUHAN KEBIDANAN PADA BAYI NY.T USIA 6 HARI DENGAN
IKTERUS FISIOLOGIS DI RUMAH SAKIT HARAPAN BUNDA
KOTA BATAM TAHUN 2021

Disusun Oleh :

Fitri Yunarti (616080619007)

Helinda Clara Agustina (616080619010)

Telah diselesaikan Laporan Praktik Klinik dan telah disetujui oleh pembimbing
klinik dan pembimbing pendidikan.

Pada Tanggal :
Pembimbing Lahan (CI) Pembimbing Pendidikan

(Fifit Lestari., S.Kep) (Andi Wilda Arianggara, S.TR.Keb.,M.Keb)

Mengetahui,
Ka.Prodi Sarjana Kebidanan dan
Pendidikan Profesi Bidan

(Desi Ernita Amru,. S.ST.,MKM)

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................iii
LEMBAR PERSETUJUAN...................................................................................iii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iii
BAB I - PENDAHULUAN.....................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................5
C. Tujuan...........................................................................................................5
D. Manfaat.........................................................................................................6
BAB II - TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................7
A. Pengertian Ikterus Fisiologis.........................................................................7
B. Etiologi..........................................................................................................8
C. Patofisiologi Ikterus Fisiologis..................................................................10
D. Tanda-tanda Ikterus Fisiologis.................................................................11
E. Faktor Resiko...............................................................................................11
F. Penanganan Bayi Ikterus Fisiologis..........................................................12
BAB III - ASUHAN (SOAP)................................................................................15
A. Data Subjektif..............................................................................................15
B. Data Objektif...............................................................................................16
C. Assesment....................................................................................................17
D. Planning.......................................................................................................17
BAB IV - PEMBAHASAN...................................................................................20
BAB V- PENUTUP...............................................................................................22
A. Kesimpulan.................................................................................................22
B. Penutup........................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................24

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berdasarkan Data World Health Organization (WHO) tahun 2017
disebutkan bahwa Angka Kematian Bayi (AKB) di Dunia tahun 2017
sebesar 59 per 1000 kelahiran hidup, sedangkan menurut Profil Kesehatan
Indonesia tahun 2018, AKB di Indonesia mengalami penurunan yaitu
25,23 per 1000 kelahiran hidup yang artinya sudah hampir mencapai target
MDGs 2017 yaitu sebesar 25 per 1000 kelahiran hidup. Meski mengalami
penurunan dari tahun sebelumnya, jumlah tersebut masih terbilang cukup
tinggi (WHO, 2017). Pada Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
(SDKI) tahun 2017 didapatkan angka kematian neonatus pada tahun 2017
sebesar 19 per 1000 kelahiran hidup dan 78,5% kematian neonatus terjadi
pada usia 0-6 hari. Komplikasi terbanyak pada neonatus adalah asfiksia,
ikterus, hipotermia, tetanus, infeksi, trauma lahir, berat badan lahir rendah,
sindroma gangguan pernafasan, dan kelainan kongenital (SDKI, 2017).
AKB Provinsi Kepulauan Riau dari tahun 2010-2014 menunjukkan
penurunan berdasarkan kematian yang dilaporkan (tidak melalui data
survey). Pada tahun 2010 AKB sebesar 20,5 per 1.000 kelahiran hidup,
turun menjadi 16 per 1.000 kelahiran hidup. Angka tersebut telah melebihi
target MDGs untuk AKB sebesar 23 per 1.000 kelahiran hidup. AKB yang
relatif kecil disebabkan karena pelaporan rutin kematian bayi, hanya pada
tingkat fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah sehingga dimungkinkan
banyak kasus yang tidak terlaporkan. Oleh sebab itu, disepakati sumber
data AKB yang dipakai adalah hasil Survei Demografi Kependudukan
(Badan Pusat Statistik) untuk penetapan target indikator AKB Tahun
2016-2021, dengan data awal AKB sebesar 35 per 1.000 KH (SDKI Tahun
2012). Kematian pada bayi antara lain disebabkan oleh asfeksia, BBLR,
Tetanus Neonatorum (TN), Sepsis, Kelainan conginital, dan Ikterus.

1
Jumlah kematian bayi tertinggi berada di Kota Batam, dan terendah di
Kabupaten Kepulauan Anambas (Dinkes prov.Kepri 2017).
Jika dibandingkan dengan target AKB Tahun 2019 pada renstra
Dinas Kesehatan Provinsi Kepulauan Riau (32 per 1.000 kelahiran hidup),
capaian AKB Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2019 termasuk dalam
kategori “sangat baik”. Jumlah kematian bayi pada tahun 2019 juga
mengalami penurunan berbanding tahun 2018 yaitu dari 299 kasus
menjadi 267 kasus kematian bayi. Penyebab terbesar kematian bayi pada
tahun 2019 adalah BBLR dan asfiksia pada bayi usia 0 – 28 hari (neonatal)
dan pneumonia dan diare pada bayi usia 29 hari – 11 bulan (post neonatal).
Berdasarkan distribusi kabupaten/kota diketahui bahwa ada 3
kabupaten yang mengalami peningkatan jumlah kematian bayi jika
dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu Kabupaten Bintan, Lingga
dan Natuna. Sedangkan 4 kabupaten/kota lainnya mengalami penurunan
jumlah kematian bayi (Dinkes kepri 2019).
Komplikasi pada neonatus adalah penyakit dan kelainan yang
dapat menyebabkan kesakitan, kecacatan dan kematian seperti : asfiksia,
ikterus, hipotermi, tetanus neonaturum, infeksi/sepsis. Trauma jalan lahir,
BBLR, sindroma gangguan pernafasan dan kelainan congenital yang
terjadi pada anak usia 0-28 hari. Komplikasi neonatus diperkirakan
sebanyak 15% dari jumlah bayi baru lahir. Cakupan komplikasi neonatus
yang ditangani di kota Batam pada tahun 2017 sebesar 27,88 % terjadi
peningkatan dibanding tahun 2016 lalu sebesar 18,8 % dari sasaran yang
diperkirakan (4.523 Bayi baru lahir) (Dinkes kota batam 2018).
Ikterus fisiologis adalah kondisi kuning yang dialami bayi pada
usia 2-3 hari. Ikterus dapat terlihat di wajah bayi ketika kadar dalam serum
mencapai sekitar 5 mg/dl. Ikterus ini juga bisa terlihat pada abdomen
tengah jika kadar bilirubin kurang lebih 15 ml/dl, dan di tumit kaki jika
kadarnya sekitar 20 ml/dl. Pada hari kelima hingga ketujuh, kadarnya
berkurang menjadi sekitar 2 mg/dl (Komalasari, 2010). Kadar bilirubin
serum pada bayi cukup bulan tidak lebih dari 12 ml/dl dan BBLR (Bayi
Berat Lahir Rendah) 10 mg/dl dan akan abnormal pada hari ke 14
(Sembiring, 2017).
Ikterus fisiologis adalah ikterus yang timbul pada hari kedua
danhari ke tiga sertatidak mempunyai dasar patologis atau tidak
mempunyai potensi menjadi kern ikterus. Kadar bilirubin inderek tidak
melebihi 10 mg% pada neonatus kurang bulan dan akan hilang paling lama
pada hari ke-14 (Dewi, 2010).
Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah,
sehingga kulit (terutama) dan atau sklera bayi (neonatus) tampak
kekuningan. Pada sebagian besar neonatus, ikterus akan ditemukan dalam
minggu pertama kehidupannya. Etika mengungkapkan bahwa angka
kejadian ikterus terdapat pada 60% bayi cukup bulan dan 80% bayi
prematur (Etika, 2016).
Faktor penyebab ikterus pada bayi baru lahir dikarenakan fungsi
usus dan hati yang belum bekerja secara sempurna sehingga banyak
bilirubin yang tidak terkonjugasi dan tidak terbuang dari tubuh. Selain itu,
ikterus dapat terjadi dikarenakan kurangnya ASI pada 2-3 hari pertama
setelah kelahiran (Abata, 2016).
ASI mampu menurunkan angka kesakitan dan kematian bayi,
pemberian ASI secara optimal dapat mencegah kematian balita. Pemberian
ASI awal yang tidak sesuai kebutuhan dapat mengakibatkan pengurangan
asupan kalori, penurunan berat badan yang berlebihan dan peningkatan
bilirubin serum yang tinggi dalam hari pertama kehidupan.Kurangnya
asupan kalori, meningkatkan sirkulasi enterohepatik dan mekanisme
menyusui yang memadai diperkirakan mengurangi intensitas kenaikan
bilirubin di kehidupan awal adalah karena pengeluaran awal mekonium
dari saluran pencernaan sehingga mencegah resirkulasi bilirubin dari
saluran pencernaan melalui portal sistem ke sirkulasi sistemik. Untuk
mengendalikan kadar bilirubin pada bayi baru lahir dapat dilakukan
pemberian ASI sedini mungkin. Pemberian ASI pada bayi dianjurkan 2-3
jam sekali atau 8-12 kali dalam sehari. Dengan Pemberian ASI yang lebih
sering mencegah Bayi mengalami dehidrasi dan kekurangan asupan
kalori.Terlambatnya bayi mendapatkan nutrisi (ASI) mengakibatkan
bilirubin direk yang sudah mencapai usus tidak terikat oleh makanan dan
tidak dikeluarkan melalui anus bersama makanan. Di dalam usus, bilirubin
direk ini diubah menjadi bilirubin indirek yang akan diserap kembali ke
dalam darah dan kondisi tersebut akan mengakibatkan menetapnya kondisi
hiperbilirubin (Indanah, 2019).
Faktor resiko penyebab ikterus neonatorum di wilayah Asia
terutama Asia Tenggara yaitu dari faktor ibu (maternal) dan faktor bayi
(perinatal). Faktor maternal seperti usia gestasi, komplikasi kehamilan
(inkompatibilitas golongan darah ABO dan Rh dan DM), jenis persalinan,
ras. Faktor perinatal seperti asfiksia,infeksi, trauma lahir, rendahnya
asupan ASI, Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR), kelahiran prematur, jenis
kelamin bayi, dan penggunaan obat-obatan (Bhutani et al, 2016).
Ikterus neonatorum terjadi pada sebagian besar neonatus berjenis
kelamin laki-laki dibandingkan neonatus berjenis kelamin perempuan
akibat adanya kebalikan respon pada hubungan antara aktivitas G6PD dan
ikterus neonatorum pada bayi laki-laki (Tazami, 2013). Bayi dengan berat
badan <2500 gram lebih mudah mengalami ikterus karena pembentukan
hepar yang belum sempurna, selain itu persalinan dengan sectio caesarea
menyebabkan ibu menunda untuk menyusui bayinya dan berdampak pada
lambatnya pemecahan kadar bilirubin (Downs and Gourley, 2018).
Salah satu cara agar mekonium dikeluarkan lebih cepat adalah
melalui pemberian ASI. Idealnya frekuensi pemberian ASI sebesar 8
sampai 12 kali setiap hari, sehingga frekuensi buang air besar pada bayi
akan lebih dari 4 kali sehari. Pemberian air susu ibu (ASI) sangat penting
bagi tumbuh kembang yang optimal baik fisik maupun mental dan
kecerdasan bayi. Oleh karena itu, pemberian ASI perlu mendapat perhatian
para ibu dan tenaga kesehatan agar proses menyusui dapat terlaksana
dengan benar. Selain itu, pemberian ASI dapat menurunkan risiko
kematian bayi. Bayi yang diberi ASI memiliki peluang 25 kali lebih
rendah untuk meninggal dunia pada bulan pertama kelahirannya
dibandingkan dengan bayi yang diberi selain ASI. Bayi juga akan
terhindar dari risiko infeksi telinga, alergi makanan, anemia, dan obesitas
di masa yang akan datang (Haryono, 2014).
Ikterus fisiologi memiliki tanda-tanda, antara lain sebagai berikut:
warna kuning akan timbul pada hari kedua atau ketiga setelah bayi lahir
dan tampak jelas pada hari ke-5 sampai ke-6 dan menghilang sampai hari
ke-10, bayi tampak bias, minum baik, berat badan naik biasa, kadar
bilirubin serum pada bayi cukup bulan tidak lebih dari 12 mg/dl dan pada
BBLR 10 mg/dl dan akan hilang pada hari ke-14 (Maulida, 2014: 39).
Penanganan ikterus fisiologis yaitu dengan cara memberikan ASI
setiap dua jam sekali. Dapat juga menggunakan terapi sinar biru (blue light
therapy). Bisa juga diganti dengan cara dijemur secara langsung di bawah
sinar matahari pagi selama ± 15 menit. Beberapa manfaat menjemur bayi
yaitu dapat menurunkan kadar bilirubin dalam darah, membuat tulang bayi
lebih kuat, memberikan efek kehangatan pada bayi dan menghindarkan
bayi dari stress (Apriati, 2019).
Berdasarkan latar belakang diatas penulis menuliskan asuhan pada
Bayi Baru Lahir dengan Ikterus Fisiologis Di Rumah Sakit Harapan Bunda
Batam
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, rumusan masalah pada
penelitian ini adalah bagaimana asuhan kebidanan pada bayi dengan
ikterus fisiologi di RS Harapan Bunda Batam.
C. Tujuan
Dapat melaksanakan asuhan kebidanan pada bayi dengan ikterus
fisiologi berdasarkan pendekatan manajemen asuhan kebidanan di RS
Harapan Bunda Batam sesuai dengan wewenang bidan.
D. Manfaat
a. Manfaat Teoritis
Dapat memperkaya konsep atau teori yang menyokong perkembangan
ilmu pengetahuan kebidanan khususnya yang terkait dengan hubungan
bayi baru lahir terhadap bayi Ikterus Fisiologi.
b. Manfaat Praktis
1) Manfaat bagi profesi
Untuk menambah informasi bagi bidan dan tenaga kesehatan
lainnya dalam memberikan asuhan bayi baru lahir dengan Ikterus
Fisiologi sesuai dengan manajemen atau prosedur yang sudah ada.
2) Manfaat bagi institusi
Sebagai bahan masukan atau pertimbangan bagi rekan-rekan
mahasiswa Sarjana Kebidanan Institut Kesehatan Mitra Bunda,
dalam pelaksanaan asuhan kebidanan
3) Manfaat bagi penulis
Dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan penulis dalam
penanganan bayi dengan ikterus fisiologis dan dapat memperluas
wawasan keilmuan
4) Manfaat bagi penulis selanjutnya
Sebagai salah satu sumber literatur untuk penelitian lebih lanjut
terkait dengan ikterus fisiologi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Ikterus Fisiologis


Ikterus Fisiologis adalah kondisi kuning yang dialami bayi pada
usia 2-3 hari. Ikterus dapat terlihat di wajah bayi ketika kadar dalam serum
mencapai sekitar 5 mg/dl. Ikterus ini juga bisa terlihat pada abdomen
tengah jika kadar bilirubin kurang lebih 15 ml/dl, dan di tumit kaki jika
kadarnya sekitar 20 ml/dl. Pada hari kelima hingga ketujuh, kadarnya
berkurang menjadi sekitar 2 mg/dl (Komalasari, 2010). Kadar bilirubin
serum pada bayi cukup bulan tidak lebih dari 12 ml/dl dan BBLR (Bayi
Berat Lahir Rendah) 10 mg/dl dan akan abnormal pada hari ke 14
(Sembiring, 2017).
Ikterus adalah warna kuning di kulit, sklera, dan mukosa yang
terjadi karena peningkatan kadar bilirubin dalam darah. Ikterus mulai
tampak jika kadar bilirubin dalam serum ≥5 mg/dl dan dimulai pada
daerah wajah (Tando, 2018).
Ikterus merupakan suatu keadaan yang sering terjadi pada
neonatus. Salah satu penyebab mortalitas pada bayi baru lahir adalah
ensefalopati bilirubin yang merupakan komplikasi Ikterus Neonatorum
yang paling berat. Ikterus merupakan gambaran klinis berupa pewarnaan
kuning pada kulit dan mukosa karena unconjugated bilirubin yang tinggi
(Dewi, Kardana, dan Suarta, 2016).
Ikterus pada bayi baru lahir yang terjadi pada hari ke 2-3 dikarena
organ hati pada bayi baru lahir belum matang dengan sempurna, sehingga
mengakibatkan kuning pada kulit atau organ lain karena penumpukan
bilirubin (Yuliana, 2018).
Ikterus fisiologi adalah tidak melewati kadar yang membahayakan
atau yang mempunyai potensi menjadi kern ikterus dan tidak
menyebabkan suatu morbiditas pada bayi. Ikterus fisiologi bisa juga
disebabkan karena hati dalam bayi tersebut belum matang, atau
disebabkan kadar penguraian sel darah merah yang cepat. Adanya
metabolisme normal bilirubin pada bayi baru lahir usia minggu pertama.
Peningkatan kadar bilirubin pada hari-hari pertama kehidupan dapat terjadi
pada sebagian besar neonatus. Hal ini disebabkan karena tingginya kadar
eritrosit neonatus dan umur eritrosit yang lebih pendek (80-90 hari) dan
fungsi hepar yang belum matang. Peningkatan bilirubin ini tidak melebihi
10mg/dl pada bayi cukup bulan dan 12mg/dl pada bayi kurang bulan yang
terjadi pada hari 2-3, dan mencapai puncaknya pada hari ke 5-7, kemudian
menurun kembali pada hari ke-14, Selain itu bisa karena pemberian
minum yang belum mencukupi. Bayi yang puasa panjang atau asupan
kalori/cairan yang belum mencukupi akan menurunkan kemampuan hati
untuk memproses bilirubin (Saleha,2012).
B. Etiologi
Penyebab ikterik neonatus dapat berdiri sendiri ataupun dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, secara garis besar etiologi ikterik
neonatus (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017) :
1. Penurunan berat badan abnormal (7-8% pada bayi baru lahir yang
menyusuiASI, >15% pada bayi cukup bulan)
2. Pola makan tidak ditetapkan dengan baik
3. Kesulitan transisi ke kehidupan ekstra uterin
4. Usia kurang dari 7 hari
5. Keterlambatan pengeluaran feses (mekonium)
6. Ikterus akibat air susu ibu (ASI)
Bayi yang diberi ASI masih mengalami ikterus, hal ini disebut dengan
Breastmilk Jaundice atau kuning yang disebabkan oleh ASI.
Breastmilk jaundice disebabkan karena bilirubin yg telah diolah susu
terserap kembali oleh tubuh. Belum diketahui secara pasti apa yang
menyebaban kondisi ini, namun kalangan medis mencurigai bahwa
Beta Glucuronidase yang terkandung dalam ASI sebagai penyebab
Breastmilk jaundice. Breastmilk jaundice merupakan sesuatu yang
normal dan tidak harus menghentikan pemberian ASI. Sudah jelas,
cara terbaik untuk mencegah sakit kuning karena ASI adalah dengan
mulai menyusui dengan benar dan adekuat. ASI terdiri dari cairan
Foremilk dan Hindmilk. Foremilk (ASI depan) adalah cairan yang
pertama kali keluar dari payudara, warnanya agak bening dan encer.
Kandungan dari Foremilk itu adalah protein dan rendah lemak,
Sedangkan Hindmilk (ASI belakang) adalah ASI yang kaya akan
lemak, warnanya lebih putih dan lebih kental (Yuliana, 2018).
7. Jumlah sel darah merah neonatus lebih banyak
Pada neonatus produksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi
dibanding orang dewasa normal. Hal ini dapat terjadi karena jumlah
eritrosit pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek.
(Musuchan, 2017)
8. Lama hidup sel darah merah pada neonatus lebih singkat (80-90hari)
Peningkatan kadar bilirubin pada hari-hari pertama kehidupan dapat
terjadi pada sebagian besar neonatus. Hal ini disebabkan karena
tingginya kadar eritrosit neonatus dan umur eritrosit yang lebih pendek
(80-90 hari) dan fungsi hepar yang belum matang. Peningkatan
bilirubin ini tidak melebihi 10 mg/dl pada bayi cukup bulan dan
12mg/dl pada bayi kurang bulan yang terjadi pada hari 2-3, dan
mencapai puncaknya pada hari ke 5-7, kemudian menurun kembali
pada hari ke-14, Selain itu bisa karena pemberian minum yang belum
mencukupi. Bayi yang puasa panjang atau asupan kalori/cairan yang
belum mencukupi akan menurunkan kemampuan hati untuk
memproses bilirubin (Saleha,2012).
9. Jumlah albumin pada neonatus untuk mengikat bilirubin lebih sedikit
Transpor bilirubin ke hati untuk konjugasi menurun karena konsentrasi
albumin yang rendah pada bayi prematur, penurunan kemampuan
mengikat bilirubin-albumin (yang dapat terjadi jika bayi mengalami
asidosis), dan kemungkinan persaingan untuk mendapatkan tempat
memikat albumin dengan beberapa obat. Jika tempat ikatan albumin
yang tersedia digunakan, kadar bilirubin yang tidak berikatan, tidak
terkonjugasi, dan larut-lemak dalam darah akan meningkat, serta
mencari jaringan dengan afisitas lemak, seperti kulit dan otak (Frasen
dan Cooper, 2010;h.814)
10. Fungsi hati yang belum sempurna (terutama pada bayi prematur)
Bayi prematur lebih sering mengalami ikterus dibandingkan bayi
cukup bulan. Hal ini disebabkan oleh faktor kematangan hepar
sehingga konjugasi bilirubin indirek menjadi bilirubin direk belum
sempurna. Banyak bayi baru lahir, terutama bayi kecil (bayi dengan
berat lahir <2500 gram atau usia gestasi <37 minggu) mengalami
ikterus pada minggu-minggu pertama kehidupannya.
11. Sirkulasi enterohepatik yang meningkat
Proses ini meningkat dalam usus bayi baru lahir karena kurangnya
jumlah bakteri enterik normal yang memecahkan bilirubin menjadi
urobilinogen, bakteri ini juga meningkatkan aktivitas enzim beta-
glukoronidase yang menghidrolisis bilirubin terkonjugasi kembali ke
kondisi tak-terkonjugasi (jika bilirubin ini diabsorbsi kembali ke dalam
sistem). Jika pemberian susu ditunda, motilitas usus juga menurun,
selanjutnya mengganggu akskresi bilirubin tak-terkonjugasi. Bayi asia
memiliki sirkulasi enterohepatik bilirubin yang lebih tinggi, puncak
konsentrasi bilirubin lebih tinggi, dan ikterus yang lebih lama (Frasen
dan Cooper, 2010;h. 842)
C. Patofisiologi Ikterus Fisiologi
Ikterus pada neonatus disebabkan oleh stadium maturase
fungsional (fisiologis) atau manifestasi dari suatu penyakit (patologik).
Tujuh puluh lima persen dari bilirubin yang ada pada neonatus berasal dari
penghancuran hemoglobin dan dari myoglobin sitokorm, katalase dan
triptofan pirolase. Satu gram hemoglobin yang hancur akan menghasilkan
35 mg bilirubin. Bayi cukup bulan akan menghancurkan eritrosit sebanyak
1 gram /hari dalam bentuk bentuk bilirubin indirek yang terikat dengan
albumin bebas (1 gram albumin akan mengikat 16 mg Bilirubin). Bilirubin
indirek dalam lemak dan bila sawar otak terbuka , bilirubin akan masuk ke
dalam otak dan terjadi Kern Ikterus. Yang memudahkan terjadinya hal
tersebut adalah imaturitas, asfiksia/ hipoksia, trauma lahir, BBLR (kurang
dari 2000 gr), Infeksi, hipoglikemia, hiperkarbia, dan lain-lain, di dalam
hepar bilirubin akan diikat oleh enzim glucuronil transverase menjadi
bilirubin direk yang larut dalam air, kemudian diekskresi ke system
empedu selanjutnya masuk ke dalam usus dan menjadi sterkobilin.
Sebagian diserap kembali dan keluar melalui urine urobilinogen. Pada
Neonatus bilirubin direk dapat diubah menjadi bilirubin indirek di dalam
usus karena disini terdapat beta-glukoronidase yang berperan penting
terhadap perubahan tersebut. Bilirubin indirek ini diserap kembali ke hati
yang disebut siklus Intrahepatik (Mendri, 2017).
D. Tanda-Tanda Ikterus Fisiologi
Ikterus fisiologis menurut Ridha (2014) memiliki tanda-tanda
sebagai berikut :
1. Warna kuning akan timbul pada hari kedua atau ketiga setelah
bayilahir dan tampak jelas pada hari kelima sampai keenam dan
menghilang sampai hari kesepuluh.
2. Kadar billirubin indirek tidak lebih dari 10 mg/dlpada neonatus kurang
bulan dan 12,5 mg/dl pada neonatus cukup bulan.
3. Kecepatan peningkatan kadar billirubin tidak lebih dari 5mg/dl per
hari.
4. Kadar billirubin direk tidak lebih dari 1 mg/dl.
5. Tidak memiliki hubungan dengan keadaan patologis yang berpotensi
menjadi kern ikterus (ensefalopati billiaris adalah suatu kerusakan otak
akibat perlengketan billirubin indirek pada otak).
E. Faktor Resiko
1. ASI yang kurang
Bayi yang tidak mendapat ASI cukup dapat bermasalah karena tidak
cukupnya asupan ASI yang masuk ke usus untuk memproses
pembuangan bilirubin dari dalam tubuh. Hal ini dapat terjadi pada
bayiyang ibunya tidak memproduksi cukup ASI karena pada hari
pertama kehidupan produksi ASI belum banyak sehingga masih
didapati tingginya kadar bilirubin dalam tubuh bayi. Peningkatan
jumlah sel darah merah.
2. Peningkatan jumlah sel darah merah dengan penyebab apapun beresiko
untuk terjadinya hiperbilirubinemia. Sebagai contoh bayi yang
memiliki golongan darah yang berbeda dengan ibunya, lahir dengan
anemia akibat abnormalitas eritrosit (antara lain eliptositosis) atau
mendapat transfusi darah; kesemuanya beresiko tinggi akan mengalami
hiperbilirubinemia.
3. Infeksi/Inkompabilitas ABO-Rh
Bermacam infeksi yang dapat terjadi pada bayi atau ditularkan dari ibu
ke janin di dalam rahim dapat meningkatkan resiko hiperbilirubinemia.
Kondisi ini dapat meliputi infeksi kongenital virus herpes, sifilis
kongenital, rubela dan sepsis (Mathindas dkk, 2013, S7).
4. Prematur (Bayi Kurang Bulan)
Ikterus pada bayi prematur disebabkan karena organ hati yang imatur,
sehingga hepar bekerja lebih lambat untuk mengubah bilirubin dan
dengan hasil dalam jumlah lebih sedikit. Hal ini mengakibatkan
bilirubin yang tidak diubah tetap berada dalam sirkulasi darah,
kemudian diendapkan dalam jaringan tubuh sehingga tubuh tampak
berwarna kuning. Bayi prematur akan tetap berwarna kuning sampai
fungsi hati dapat berjalan dengan lancer (Radis, 2012).
F. Penanganan Bayi Ikterus Fisiologi
1. Menyusui bayi dengan ASI
Mempercepat metabolisme pengeluaran bilirubin dengan early breast
feeding yaitu menyusui bayi dengan ASI. Pemberian makanan dini
dapat mengurangi terjadinya Ikterus Fisiologis pada neonatus, karena
dengan pemberian makanan yang dini itu terjadi pendorongan
geraakan usus dan mekonium lebih cepat dikeluarkan, sehingga
peredaran enterohepatik bilirubin berkurang. Bilirubin dapat dipecah
jika bayi banyak mengeluarkan feses dan urine. Untuk itu bayi harus
mendapat cukup ASI, seperti yang diketahui ASI memiliki zat-zat
terbaik bagi bayi yang dapat memperlancar BAB dan BAK. Akan
tetapi pemberian ASI juga harus di bawah pengawasan dokter. Untuk
mengurangi terjadinya ikterus dini bayi diletakan di atas dada ibu
selama 30-60 menit, posisi bayi pada payudara harus benar, berikan
kolostrum karena dapat membantu untuk membersihkan mekonium
segera. Mekonium yang mengandung bilirubin tinggi bila tidak segera
dikeluarkan, bilirubinnya dapat diabsorbsi kembali sehingga
meningkatkan kadar bilirubin dalam darah, bayi jangan diberi air putih,
air gula atau apapun sebelum ASI keluar karena akan mengurangi
asupan susu, memonitor kecukupan produksi ASI dengan melihat
buang air kecil bayi paling kurang 6-7 kali sehari dan buang air besar
paling kurang 3-4 kali sehari (Yuliawati, Ni Eka dkk, 2018 : 523).
ASI mampu menurunkan angka kesakitan dan kematian bayi,
pemberian ASI secara optimal dapat mencegah kematian balita.
Pemberian ASI awal yang tidak sesuai kebutuhan dapat
mengakibatkan pengurangan asupan kalori, penurunan berat badan
yang berlebihan dan peningkatan bilirubin serum yang tinggi dalam
hari pertama kehidupan. Kurangnya asupan kalori, meningkatkan
sirkulasi enterohepatik dan mekanisme menyusui yang memadai
diperkirakan mengurangi intensitas kenaikan bilirubin di kehidupan
awal adalah karena pengeluaran awal mekonium dari saluran
pencernaan sehingga mencegah resirkulasi bilirubin dari saluran
pencernaan melalui portal sistem ke sirkulasi sistemik. Untuk
mengendalikan kadar bilirubin pada bayi baru lahir dapat dilakukan
pemberian ASI sedini mungkin. Pemberian ASI pada bayi dianjurkan
2 - 3 jam sekali atau 8 - 12 kali dalam sehari. Dengan Pemberian ASI
yang lebih sering mencegah Bayi mengalami dehidrasi dan kekurangan
asupan kalori. Terlambatnya bayi mendapatkan nutrisi (ASI)
mengakibatkan bilirubin direk yang sudah mencapai usus tidak terikat
oleh makanan dan tidak dikeluarkan melalui anus bersama makanan.
Di dalam usus, bilirubin direk ini diubah menjadi bilirubin indirek
yang akan diserap kembali ke dalam darah dan kondisi tersebut akan
mengakibatkan menetapnya kondisi hiperbilirubin (Indanah, 2019).
2. Terapi sinar matahari
Penanganan Ikterus Fisiologis yaitu selain dengan cara memberikan
ASI setiap dua jam sekali, dapat juga menggunakan terapi sinar biru
(blue light therapy). Bisa juga diganti dengan cara dijemur secara
langsung di bawah sinar matahari pagi selama ± 15 menit. Beberapa
manfaat menjemur bayi yaitu dapat menurunkan kadar bilirubin dalam
darah, membuat tulang bayi lebih kuat, memberikan efek kehangatan
pada bayi dan menghindarkan bayi dari stress (Apriati, 2019).
Sehingga sinar matahari direkomendasikan sebagai salah satu
alternative mengatasi ikterus. Bayi dianjurkan dijemur sinar matahari
antara pukul 7-8 pagi (Tando, 2018).
BAB III
ASUHAN (SOAP)

ASUHAN KEBIDANAN BAYI BARU LAHIR DENGAN IKTERUS


FISIOLOGI DI RS HARAPAN BUNDA BATAM

Tanggal : 06 Juli 2021 Pukul : 11.30 WIB

A. DATA SUBJEKTIF
1. Identitas / Biodata
Nama Bayi : Bayi Ny.T Nama Ibu : Ny.T
Tanggal Lahir : 30 Juni 2021 Umur : 33 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki Agama : Islam
Anak Ke : 3 (Tiga) Pekerjaan : IRT
Umur Saat Dikaji : 6 Hari Alamat : Batam Center

2. Alasan Datang/Kunjungan
a. Ibu mengatakan ingin mengecek keadaan bayinya
b. Ibu mengatakan matanya agak sedikit kuning
c. Ibu mengatakan memberikan susu formula kepada bayinya karena
ASInya hanya keluar sedikit
d. Ibu mengatakan bayinya tidak dijemur pada pagi hari

3. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat KesehatanMaternal
1) Penyakit Jantung : tidak ada
2) Diabetes Militus : tidak ada
3) Penyakit Ginjal : tidak ada
4) Penyakit Hati : tidak ada
5) Hipertensi : tidak ada
6) Hepatitis : tidak ada
b. Riwayat Penyakit Keluarga
1) Hipertensi : tidak ada
2) Diabetes Militus : tidak ada
3) Asma : tidak ada

4. Riwayat Persalinan Sekarang


G2 P1 A0 UK : 38 minggu
Tanggal Persalinan : 30 Juni 2021
Tempat Persalinan : RSHB
Penolong Persalinan : Dokter
Jenis Persalinan : SC
Komplikasi Persalinan : KPD (Ketuban Pecah Dini)

B. DATA OBJEKTIF
1. Pemeriksaan Umum
a. Keadaan Umum : Baik
b. Kesadaran : Composmentis
c. Jenis Kelamin : Laki-Laki
d. Tanda-Tanda Vital
1) Laju Jantung : 125x/menit
2) Pernapasan : 48x/menit
3) Suhu Tubuh : 37⁰C
2. Pemeriksaan Antropometri
a. Berat Badan Lahir : 3100gr
b. Berat Badan Sekarang : 3000gr
3. Pemeriksaan Refleks
a. Reflek moro : baik
b. Reflex rooting : baik
c. Reflex graps : baik
d. Reflex sucking : baik
e. Reflex tonicneck : baik
4. Pemeriksaan Fisik
a. Kepala : Rambut tipis, berwarna hitam dan tidak ada caput
sucsadenum.
b. Wajah : Tidak ada oedema.
c. Mata : Kunjungtiva merah muda, sklera tampak kuning.
d. Hidung : Tidak ada sekret.
e. Mulut : Bibir kering, tidak ada kelainan.
f. Telinga : Simetris kiri dan kanan, tidak ada serumen.
g. Leher : Tidak ada benjolan .
h. Dada : Pernapasan sesuai gerakan dada.
i. Abdomen : Tidak ada kelainan pada perut, tampak tali pusat tampak
bersih, kering,serta terbungkus kasa sterildan tidak ada
penonjolan pada perut.
j. Genitalia : Testis sudah turun semua, terdapat lubang pada penis
k. Ekstremitas : Jari-jari lengkap, tidak ada kelainan.
l. Anus : Lubang anus ada dan tidak ada kelainan pada anus
m. Eliminasi
1) BAK : 5-7 x/hari, warna kuning, konsistensi cair.
2) BAB : 2-3 x/hari, warna kuning, konsistensi lembek.

C. ASSESMENT
Bayi Ny.T lahir cukup bulan usia 6 hari dengan Ikterus Fisiologis

D. PLANNING
1. Memberitahu hasil pemeriksaan bayi kepada ibu
Hasil : Laju Jantung : 125x/menit
Pernapasan : 48x/menit

Suhu Tubuh : 37⁰C


Ibu sudah mengetahui keadaan umum bayinya baik dan tanda-tanda
vitalnya dalam batas normal.
2. Memberitahu Pendidikan Kesehatan (Pendkes) kepada ibu tentang ikterus
fisiologis. Menjelaskan kepada ibu bahwa kuning pada bayi termasuk hal
yang normal pada bayi, karena timbul pada hari ketiga atau hari keempat
dan akan menghilang setelah sepuluh hari atau saat terakhir minggu kedua.
Ibu mengerti penjelasan yang diberikan.
3. Memberitahu Pendkes kepada ibu tentang Pemenuhan ASI ekslusif pada
bayi. Menganjurkan pada ibu untuk memberikan ASI pada bayinya
minimal 2-3 jam sekali atau 8-12 kali dalam sehari. Dengan Pemberian
ASI yang lebih sering mencegah Bayi mengalami dehidrasi dan
kekurangan asupan kalori. Terlambatnya bayi mendapatkan nutrisi (ASI)
mengakibatkan bilirubin direk yang sudah mencapai usus tidak terikat oleh
makanan dan tidak dikeluarkan melalui anus bersama makanan. Di dalam
usus, bilirubin direk ini diubah menjadi bilirubin indirek yang akan diserap
kembali ke dalam darah dan kondisi tersebut akan mengakibatkan
menetapnya kondisi hiperbilirubin.
Ibu mengerti dan mau menyusui anaknya minimal 2 jam sekali.
4. Memberitahu Pendkes kepada ibu tentang tanda bahaya pada BBL.
Memberitahukan kepada ibu tanda bahaya pada bayi seperti demam, tidak
mau menyusui, nafas lebih cepat, hiportermi, mengantuk terus, tali pusat
berdarah atau berbau.
Ibu mengerti dan paham tentang tanda bahaya pada BBL
5. Memberitahu Pendkes pada ibu tentang cara menangani Ikterus Fisiologis
pada bayi dengan menjemur bayi di bawah sinar matahari pagi pukul
07.00 atau pukul 08.00 pagi selama kurang lebih 10-15 menit dengan cara
membuka seluruh pakaian bayi kecuali alat vital, dan menutup bagian
mata. Selanjutnya merubah posisi bayi agar sinar matahari dapat merata
keseluruh tubuh. Sinar matahari merupakan tindakan pencegahan untuk
mengantisipasi terjadinya penimbunan bilirubin dalam darah yang
berlebihan dan sinar matahari juga baik untuk penumbuhan tulang pada
bayi karena terdapat Vit D pada sinar matahari.
Ibu mengerti dan mau menjemur bayinya pada pagi hari.
6. Menganjurkan kepada ibu untuk kontrol tumbuh kembang bayi dan
memberikan imunisasi sesuai
Ibu bersedia dan akan datang sesuai pada jadwal imunisasi yang diberikan
BAB IV
PEMBAHASAN

Dari data subjektif yang ditemukan yaitu ibu mengatakan bahwa mata
bayinya yang sedikit berwarna kuning muncul pada hari ke-3 setelah bayi lahir,
ibu mengatakan memberikan susu formula dikarenakan ASInya hanya keluar
sedikit dan bayinya tidak pernah dijemur dibawah sinar matahari pagi. Setelah
dilakukan pemeriksaan, ditemukan data objektif bahwa terjadi warna kuning pada
sklera bayi. Tanda vital dalam batas normal, Berat Badan 3000 gram, reflek
menghisap dan menelan baik dan gerakan aktif. Hal ini selaras dengan teori yang
ditemukan dari Tando (2018) yang menyebutkan bahwa Ikterus adalah warna
kuning di kulit dan sklera yang terjadi karena meningkatnya kadar bilirubin dalam
darah. Ditambah lagi dengan teori dari Dewi (2010) yang memaparkan bahwa
Ikterus fisiologis adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan hari ke tiga serta
tidak mempunyai dasar patologis atau tidak mempunyai potensi menjadi kern
ikterus. Kadar bilirubin inderek tidak melebihi 10 mg% pada neonatus kurang
bulan dan akan hilang paling lama pada hari ke-14.
Untuk asuhan kebidanan bayi dengan Ikterus Fisiologis selanjutnya
penulis memberikan asuhan dengan menganjurkan ibu untuk memberikan ASI
ekslusif selama 6 bulan tanpa Mp ASI, dan menyusui bayinya minimal 2 jam
sekali atau tanpa batasan. Hal ini selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh
(Indanah, 2019) ASI mampu menurunkan angka kesakitan dan kematian bayi,
pemberian ASI secara optimal dapat mencegah kematian balita. Pemberian ASI
awal yang tidak sesuai kebutuhan dapat mengakibatkan pengurangan asupan
kalori, penurunan berat badan yang berlebihan dan peningkatan bilirubin serum
yang tinggi dalam hari pertama kehidupan. Kurangnya asupan kalori,
meningkatkan sirkulasi enterohepatik dan mekanisme menyusui yang memadai
diperkirakan mengurangi intensitas kenaikan bilirubin di kehidupan awal adalah
karena pengeluaran awal mekonium dari saluran pencernaan sehingga mencegah
resirkulasi bilirubin dari saluran pencernaan melalui portal sistem ke sirkulasi
sistemik. Untuk mengendalikan kadar bilirubin pada bayi baru lahir dapat
dilakukan pemberian ASI sedini mungkin. Pemberian ASI pada bayi dianjurkan
2-3 jam sekali atau 8-12 kali dalam sehari. Dengan Pemberian ASI yang lebih
sering mencegah Bayi mengalami dehidrasi dan kekurangan asupan kalori.
Terlambatnya bayimendapatkan nutrisi (ASI) mengakibatkan bilirubin direk yang
sudah mencapai usus tidak terikat oleh makanan dan tidak dikeluarkan melalui
anus bersama makanan. Di dalam usus, bilirubin direk ini diubah menjadi
bilirubin indirek yang akan diserap kembali ke dalam darah dan kondisi tersebut
akan mengakibatkan menetapnya kondisi hiperbilirubin. Terbukti bahwa
pemberian ASI tiap 2 jam maupun 3 jam sama sama efektif terhadap penurunan
kadar bilirubin. Namun berdasarkan besarnya rata rata penurunan kadar bilirubin
terlihat bahwa bayi yang diberikan ASI tiap 2 jam menunjukkan penurunan kadar
bilirubin yang lebih besar dibandingkan kadar bilirubin pada kelompok bayi
yang diberikan ASI tiap 3 jam (Indanah,2019). Jadi antara teori dan lahan tidak
terjadi kesenjangan.
Asuhan yang selanjutnya adalah dengan menganjurkan ibu untuk
menjemur bayinya dibawah sinar matahari pagi pada pukul 07.00 pagi atau pukul
8.1 pagi selama 10-15 menit. Hal ini selaras dengan teori (Apriati, 2019) yaitu
menjemur bayi secara langsung dibawah sinar matahari pagi selama kuarang lebih
15 menit dapat menurunkan kadar bilirubin dalam darah, membuat tulang bayi
lebih kuat, memberikan efek kehangatan pada bayi dan menghindarkan bayi dari
stress. Sehingga sinar matahari direkomendasikan sebagai salah satu alternatif
mengatasi ikterus. Bayi dianjurkan dijemur sinar matahari antara pukul 7-8 pagi
(Tando, 2018). Jadi antara teori dan lahan tidak terjadi kesenjangan.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam melakukan pengumpulan data dasar pada bayi “Ny T” usia
6 hari dengan Ikterus Fisiologis dilaksanakan dengan mengumpulkan data
subjektif yang diperoleh dari hasil wawancara dimana ibu pasien
mengatakan mata bayinya kuning, ibu memberikan susu formula karena
ASInya hanya keluar sedikit dan tidak pernah dijemur pada pagi hari. Data
objektif diperoleh dari pemeriksaan fisik seperti sklera bayi tampak
kuning, refleks hisap dan menelan bayi baik. Asuhan yang diberikan
adalah menganjurkan kepada ibu untuk memberikan ASI minimal 2 jam
sekali dan menganjurkan kepada ibu untuk menjemur bayinya pada pagi
hari selama 10-15 menit di jam 07.00 atau 08.00 pagi.
B. Saran
1. Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan dengan disusunnya studi kasus ini keefektifan proses
belajar dapat ditingkatkan. Serta lebih meningkatkan kemampuan,
keterampilan dan pengetahuan mahasiswa dalam hal penanganan
kasus bayi yang mengalami ikterus fisiologi. Serta kedepan dapat
menerapkan dan mengaplikasikan hasil dari studi yang telah didapat
pada lahan kerja. Selain itu diharapkan juga dapat menjadi sumber
ilmu dan bacaan yang dapat memberi informasi terbaru serta menjadi
sumber referensi yang dapat digunakan sebagai pelengkap dalam
pembuatan studi kasus pada semester akhir berikutnya.
2. Bagi Penulis
Diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang penatalaksanaan
ikterus fisiologi dan dapat digunakan sebagai bahan perbandingan
antara teori yang di dapat di bangku kuliah dan di lahan praktek
3. Bagi Lahan Praktik
Diharapkan Sebagai bahan masukan bagi tenaga kesehatan agar lebih
meningkatkan keterampilan dalam memberikan asuhan kebidanan,
khususnya pada kasus bayi dengan ikterus fisiologis dan dengan
adanya studi kasus ini diharapkan dapat lebih meningkatakan kualitas
pelayanan secara komprehensif khususnya dalam menangani bayi baru
lahir dengan Ikterus Fisiologi.
4. Kepada mahasiswa khususnya (khususnya mahasiswa kebidanan) atau
pembaca disarankan agar dapat mengambil pelajaran dari kasus Ikterus
Fisiologis Neonatorum.
DAFTAR PUSTAKA

Abata, Q. A. (2016). Merawat Bayi Baru Lahir Bagi Para Orang Tua. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

Ambarwati, F. R., & Nasution, N. (2012).BUKU PINTAR ASUHAN


KEPERAWATAN BAYI &BALITA.Yogyakarta.

Bhutani, V. K., Poland, R., Meloy, L. D., Hegyi, T., Fanaroff, A. A., & Maisels,
M. J. (2016).„Clinical Trial of Tin Mesoporphyrin to Prevent Neonatal
Hyperbilirubinemia‟, Journal of Perinatology. Nature Publishing Group,
pp. 1–7. doi: 10.1038/jp.2016.22.

Dewi.2010 Buku Ajar Neotologi. Jakarta: Badan Penerbit IDAI:147-69.

Dinas Kesehatan Provinsi Kepulauan Riau, „RENSTRA 2016-2021‟.

Dinas Kesehatan Provinsi Kepulauan Riau, Laporan Kinerja Instansi Pemerintah,


2019.

Dinas Kesehatan Kota Batam‟. Profil Kesehatan Kota Batam. 2018.

Etika, 2016. Tata Laksana Ikterus Neonatorum. Jakarta : HTA.

Haryono, 2014.Kejadian Ikterus Pada Bayi Baru Lahir 0-7 hari.Jakarta : EGC.

https://dinkes.batam.go.id/wp-content/uploads/sites/35/2019/01/PROFIL-
KESEHATAN-KOTA-BATAM-2018_oke.pdf

http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/2310/3/BAB%20II.pdf

https://e-renggar.kemkes.go.id/file2018/e-performance/1-329017-2tahunan-
163.pdf

https://ppid.kepriprov.go.id/resources/informasi_publik/13/LKIP_DINKES_2019
_FINAL_CETAK_compressed.pdf

https://prosiding.htp.ac.id/index.php/prosiding/article/view/15/8

Indanah,Yusmina dan Karyati, Sri. „Efektifitas Pemberian ASI Terhadap


Penurunan Kadar Bilirubin‟, The 10th University Research Colloqium
2019, 2019, 565–71.

Komalasari, R. (2010). Buku Saku KEBIDANAN (E. & E. W. Meiliya, ed.).


Jakarta.
Maryunani, A. 2014.Asuhan Neonates, Bayi, Balita & Anak Pra –
Sekolah.Tajurhalang : IN MEDIA.

Mathindas, S., Wilar, R., & Wahani, A. (2013). Hiperbilirubinemia pada


Neonatus.Jurnal biomedik, 5(1).

Ridha, H.N. (2014). Buku Ajar Keperawatan Anak.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

SDKI, 2017.Angka Kematian Ibu dan Bayi di Indonesia.Jakarta : Depkes RI.

Sembiring, J. B. (2017). Asuhan Neonatus, Bayi, Balita, Anak Pra Sekolah.


Yogyakarta: Deepublish.

Sudarmoko, Arief. (2011). Mengenal, Mencegah Dan Mengobati Gangguan


Kesehatan Pada Balita.Yogyakarta.

Sukadi, 2015.Buku Ajar Neonatologi.Jakarta : IDAI.

Tando, N. M. (2018). ASUHAN KEBIDANAN Neonatus, Bayi, & Anak Balita.

Vivin Indrianita, „Gambaran Tingkat Pengetahuan Ibu Terhadap Ikterus Fisiologi


Pada Bayi Baru Lahir Di Bpm Sri Wahyuni‟, NersMid,
Jurnal Keperawatan Dan Kebidanan, 2018, 66–71.

WHO, 2017.Angka Kematian Ibu dan Bayi.Jakarta : Depkes RI.

Williamson, Kenda. Buku Ajar Asuhan Neonatus. Buku Kedokteran : Jakarta.


2013.

Yuliawati, Ni Putu Eka Sadiwati,dkk. Studi Komparatif Kadar Bilirubin Pada


Bayi Baru Lahir Dengan Fototerapi Yang Diberikan ASI Eksklusif Di
RST Malang : Nursing News : Vol.3, No.1, 2018.

Yulrina Ardhiyanti, „ASUHAN KEBIDANAN PADA BAYI Ny. N DENGAN


IKTERUS FISIOLOGIS‟, Jurnal Komunikasi Kesehatan Vol.XNo.2Tahun
2019.

Yuliana, Fitri. Nurul Hidayah, and Sri Wahyuni, „Hubungan Frekuensi Pemberian
ASI Dengan Kejadian Ikterus Pada Bayi Baru Lahir Di RSUD DR. H.
Moch. Ansari Saleh Banjarmasin‟, DInamika Kesehatan, 9.1 (2018), 526–
34.

Anda mungkin juga menyukai