Disusun oleh :
19017
Tingkat 2A
Kelompok 6
Harga Diri Rendah Kronis Harga diri rendah merupakan perasaan tidak berharga, tidak
berharga, tidak berarti, rendah diri, yang menjadikan evaluasi negatif terhadap diri sendiri
dan kemampuan diri (Keliat, 2011).
Harga diri rendah merupakan evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau kemampuan diri
yang negatif terhadap diri sendiri, hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa gagal
dalam mencapai keinginan (Direja, 2011)
Harga diri rendah merupakan keadaan dimana individu mengalami evaluasi diri negatif
tentang kemampuan dirinya (Fitria, 2012).
Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa harga diri rendah yaitu dimana individu
mengalami gangguan dalam penilaian terhadap dirinya sendiri dan kemampuan yang
dimiliki, yang menjadikan hilangnya rasa kepercayaan diri akibat evaluasi negatif yang
berlangsung dalam waktu yang lama karena merasa gagal dalam mencapai keinginan.
Menurut Carpenito dalam keliat (2011), perilaku yang berhubungan dengan harga diri
rendah antara lain :
a. Data subjektif
Pasien mengungkapkan tentang:
1) Hal negatif diri sendiri atau orang lain
2) Perasaan tidak mampu
3) Pandangan hidup yang pesimis
4) Penolakan terhadap kemampuan diri
b. Data objektif
1) Penurunan produktifitas
2) Tidak berani menatap lawan bicara
3) Lebih banyak menundukkan kepala saat berinteraksi
4) Bicara lambat dengan nada suara rendah (Eko, 2014 :106)
Ciri khas dari harga diri rendah menurut Damainyanti (2008), tanda
dan gejala harga diri rendah kronik adalah sebagai berikut :
1) Mengkritik diri sendiri
2) Perasaan tidak mampu
3) Pandangan hidup yang pesimistis
4) Tidak menerima pujian
5) Penurunan produktivitas
6) Penolakan terhadap kemampuan diri
7) Kurang memperhatikan perawatan diri
8) Berpakaian tidak rapi
9) selera makan kurang
10) Tidak berani menatap lawan bicara
11) Lebih banyak menunduk
12) Bicara lambat dengan nada suara lemah
Selaian data diatas, dapat juga mengamati penampilan seseorangdengan harga diri
rendah, terlihat darikurang memperhatikan perawatan diri, berpakaian tidak rapi, selera
makan kurang, tidak berani menatap lawan bicara, lebbih banyak menunduk, bicara
lambat dengan suara nada lemah. (Iskandar, 2014: 40)
Tingkatan
Perasaan negatif terhadap diri berlangsung lama, yaitu sebelum sakit/di rawat. Klien ini
mempunyai cara berfikir negatif. Kejadian sakit dan dirawat akan menambah persepsi
negatif terhadap dirinya. Kondisi ini mengakibatkan respon mal yang adaktif. Kondisi ini
dapat ditemukan pada klien gangguan fisik yang kronik atau klien pada gangguan jiwa.
(Iskandar, 2014:39)
Klasifikasi
a) Hrga diri rendah situasional adalah keadaan dimana individu yang sebelumnya,
memiliki harga diri positif mengalami perasaan negative mengenai diri dalam
berespon, terhadap suatu kejadian (kehilangan, perubahan)
b) Harga diri rendaah kronik adalah keadaan dimana individu mengalami evaluasi
diri yang negatif mengenai diri atau kemampuan dalam waktu lama.
B. Rentang Respon
Adaptif Maladaptif
a) Respon adaptif
a. Respon Maladaptif
Respon maladaptif adalah respon yang diberikan individu krtika dia tidakmampu lagi
menyelesaikan masalah yang dihadapi.
1. Harga diri rendah adalah individu yang cenderung untuk menilai dirinya
yang negatif dan merasa lebih rendah dari orang lain.
2. Kerancuan identitas adalah identitas diri kacau atau tidak jelas sehingga
tidak memberikan kehidupan dalam mencapai tujuan.
3. Depersonalisasi (tidak mengenal diri) tidak mengenal diri yaitu
mempunyai kepribadian yang kurang sehat, tidak mampu berhubungan
dengan orang lain secara intim. Tidak ada rasa percaya diri atau tidak
dapat membina hubungan baik dengan orang lain. (Eko, 2014:102)
Berbagai faktor menunjang terjadinya perubahan dalam konsep diri seseorang. Menurut
Kemenkes RI (2012) faktor predisposisi ini dapat dibagi sebagai berikut:
a. Faktor Biologis
Pengaruh faktor biologis meliputi adanya faktor herediter anggota keluarga yang mengalami
gangguan jiwa, riwayat penyaakit atau trauma kepala.
b. Faktor psikologis
Pada pasien yang mengalami harga diri rendah, dapat ditemukan adanya pengalaman masa lalu
yang tidak menyenangkan, seperti penolakan dan harapan orang tua yang tidak realisitis,
kegagalan berulang, kurang mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang
lain,penilaian negatif pasien terhadap gambaran diri, krisis identitas, peran yang terganggu, ideal
diri yang tidak realisitis, dan pengaruh penilaian internal individu.
Pengaruh sosial budaya meliputi penilaian negatif dari lingkungan terhadap pasien yang
mempengaruhi penilaian pasien, sosial ekonomi rendah, riwayat penolakan lingkungan pada tahap
tumbuh kembang anak,dan tingkat pendidikan rendah.
Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah biasanya adalah kehilangan bagian tubuh,
perubahan penampilan/bentuk tubuh, kegagalan atau produktifitas yang menurun. Secara umum
gangguan konsep diri harga diri rendah ini dapat terjadi secara situasional atau kronik. Secara
situsional misalnya karena trauma yang muncul tiba-tiba, sedangkan yang kronik biasanya
dirasakan klien sebelum sakit atau sebelum dirawat klien sudah memiliki pikiran negatif dan
memingkat saat dirawat (yosep, 2009)
Menurut Kemenkes RI (2012) faktor presipitasi harga diri rendah antara lain:
1) Trauma: penganiayaan seksual dan psikologis atau menyaksikan peristiwa yang mengancam
kehidupan
2) Ketegangan peran: berhubungan dengan peran atau posisi yang diharapkan dan individu
mengalaminya sebagai frustasi
b) Transisi peran situasi: terjadi dengan bertambah atau berkurangnya anggota keluarga melalui
kelahiran atau kematian
c) Transisi peran sehat-sakit: sebagai akibat pergeseran dari keadaan sehat dan keadaan sakit.
Transisi ini dapat dicetuskan oleh kehilangan bagian tubuh; perubahan ukuran, bentuk,
penampilan atau fungsi tubuh; perubahan fisik yang berhubungan dengan tumbuh kembang
normal; prosedur medis dan keperawatan
Mekanisme koping pasien harga diri rendah menurut Ridhyalla Afnuhazi (2015) adalah:
a. Jangka pendek
1) Kegiatan yang dilakukan untuk lari sementara dari krisis:pemakaian obat-obatan, kerja keras,
nonton TV terus menerus.
b. Jangka panjang
1) Menutup identitas
2) Identitas negatif: asumsi yang bertentangan dengan nilai dan harapan masyarakat
Effect
Core Problem
Causa
(Iskandar, 2014:45)
2. Pengkajian dan Analisa Data
A. Pengkajian
1. Wawancara
a. Tanyakan identitas klien
b. Tanyakan masalah klien
c. Tanyakan ideal diri klien
d. Tanyakan gambaran diri klien
e. Tanyakan peran klien
f. Tanyakan harga diri klien
g. Tanyakan keinginan klien
h. Tanyakan mengapa dia mengatakan hal yang negative tentang dirinya
i. Tanyakan apa yang menjadi penyebab klien bersikap malu, minder, dan merasa
bersalah
j. Tanyakan kemampuan apa saja yang bisa klien lakukan
k. Tanyakan tentang sikap keluarganya
2. Pengkajian
a. Kontak mta kurang, tidak ada
b. Pasif dan hipoaktif
c. Bimbang dan ragu-ragu
d. Lesu
e. Tidak aktif
f. Bergantung pada orang lain
g. Selalu menyalahkan diri sendiri
h. Mengatak hal yang negatif tentang dirinya
i. Mengatak minder, malu, bersalah
j. Membolak umpan balik positif dan membesarkan umpan balik negatif mengenai
dirinya
k. Pengkajian fisik peristiwa persistem, TD,BB
3. Pemeriksaan Diagnostik
a. EKG
b. Psikotes
c. Laboratorium
d. MRI
NO DATA MASALAH
1. DS: Harga Diri Rendah
1. Ungkapan yang menegatifkan diri
2. Mengevaluasi diri yang tak mampu
untuk menghadapi berbagai
peristiwa
3. Menolak umpan balik yang positif,
menyebutkan umpan balik yang
negative tentang dirinya
4. Rasionalisasi kegagalan pribadi
DO:
DO:
apa berinteraksi
adanya
g. Berikan
perhatia
n kepada
klien
dan
perhatik
an
kebutuha
n dasar
Perubahan TUK 2 Setelah - Diskusikan - Mengetahui
nutrisi dilakukan kemampuan kemampuan
Klien dapat
kurang interaksi 1x15 dan aspek yang dimiliki
mengidentifi
dari menit positif yang klien
kasi
kebutuhan diharapkan dimiliki -mengetahui
kemampuan
tubuh b.d klien dapat klien berbagai macam
dan aspek
intake menyebutkan kemampuan
positif yang - Bersama
yang tidak aspek positif yang dimiliki
dimiliki klien buatt
adekuat. dan klien
klien daftar
kemampuan
tentang - Pujian akan
yang dimiliki
aspek menambah
klien
positif dan motivasi klien
kemampuan untuk
yang mengungkapkan
dimiliki kemampuannya
klien
- Beri pujian
realistif dan
hindarkan
memberi
penilaian
yang negatif
TUK 3 Setelah - Berikan - Mengetahui
dilakukan kesempa kemampuan
Klien dapat
interaksi 1x15 tan pada klien dalam
melakukan
menit klien melakukan
Tindakan
diharapkan untuk suatu
sesuai
klien mencob kegiatan
kondisi sakit melakukan a - Menamba
dan kegiatan yang kegiatan hkan
kemampuan telah dilatih, yang motivasi
nya mampu telah klien
melakukan direncan untuk
beberapa akan melakuka
kegiatan secara n
- Berikan
mandiri kegiatan
pujian
lain
atas
keberhas
ilan
klien
Disusun oleh :
19017
Tingkat 2A
Kelompok 6
1. Masalah utama
Isolasi Sosial
A. Definisi
Pengertian
Isolasi sosial adalah keadaan dimana individu mengalami penurunan atau bahkan sama
sekali tidak mampu berinteaksi dengan orang lain disekitarnya (Damaiyanti, 2012).
Klien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina
hubungan yang berarti dengan orang lain (Keliat, 2011). Isolasi sosial juga merupakan
kesepian yang dialami individu dan dirasakan saat didorong oleh keberadaan orang
lain sebagai pernyataan negatif atau mengancam (NANDA-I dalam Damaiyanti,
2012).
Isolasi sosial merupakan suatu gangguan interpersonal yang terjadi akibat adanya
kepribadian yang tidak fleksibel menimbulkan perilaku maladaptif dan mengganggu
fungsi seseorang dalam hubungan sosial (DepKes, 2000 dalam Direja, 2011). Isolasi
sosial merupakan upaya Klien untuk menghindari interaksi dengan orang lain,
menghindari hubungan dengan orang lain maupun komunikasi dengan orang lain
(Trimelia, 2011).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa isolasi sosial merupakan keaadaan seseorang yang
mengalami penurunan bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain
karena mungkin merasa ditolak, kesepian dan tidak mampu menjalin hubungan yang
baik antar sesama.
4. Klien menyendiri dan tidak mau berinteraksi dengan orang yang terdekat.
5. Klien tampak sedih, ekspresi datar dan dangkal.
6. Kontak mata kurang.
7. Kurang spontan.
8. Apatis
9. Ekspresi wajah kurang berseri.
10. Mengisolasi diri
11. Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitar.
12. Aktivitas menurun.
Perilaku ini biasanya disebabkan karena seseorang menilai dirinya rendah, segera
timbul perasaan malu untuk berinteraksi dengan orang lain. Bila tidak dilakukan intervensi
lebih lanjut, maka akan menyebabkan perubahan persepsi sensori: halusinasi dan resiko
mencederai diri, orang lain, bahkan lingkungan (Herman Ade, 2011).
Tingkatan
1. Bayi
Bayi sangat tergantung pada orang lain dalam memenuhi kebutuhan biologis
dan psikologisnya. Bayi umumnya menggunakan komunikasi yang sangat
sederhana dalam menyampaikan kebutuhannya, misalnya menangis untuk
semua kebutuhan. Konsisten ibu dan anak seperti stimulus sentuhan, kontak
mata, komunikasi yang hangat merupakan aspek penting yang harus di bina
sejak dini karena akan menghasilkan rasa aman dan rasa percaya yang
mendasar. Kegagalan pemenuhan kebutuhan bayi melalui ketergantungan pada
orang lain kan mengakibatkan rasa tidak percaya diri sendiri dan orang lain
serta menarik diri(Abdul Muhith,2015).
2. Prasekolah
Materson menamakan masa antara usia 18 bulan – 3 tahun yang merupakan
taraf masa pemisahan pribadi. Anak prasekolah mulai memperluas hubungan
sosialnya di luar lingkungan keluarga,khususnya ibu (pengasuh). Anak
menggunakan kemampuan berhubungan yang telah di miliki untuk
berhubungan dengan lingkungan di luar keluarga. Dalam hal ini,anak
membutuhkan dukungan dan bantuan dari keluarga khususnya pemberian
pengakuan yang positif terhadap perilaku yang adaptif. Hal ini merupakan
dasar otonomi anak yang berguna untuk mengembangkan kemampuan
hubungan interdependen. Kegagalan anak dalam berhubungan dengan
lingkungannya disertai respon keluarga yang negatif akan mengakibatkan anak
menjadi tidak mampu mengontrol diri ,tidak mandiri, ragu, menarik diri dari
lingkungan, kurang percaya diri, pesimis, takut perilakunya salah(Abdul
Muhith,2015)
3. Anak anak
Anak mulai mengembangkan dirinya sebagai individu yang mandiri dan mulai
mengenal lingkungan lebih luas,dimana anak mulai membina hubungan
dengan teman temanny. Pada usia ini anak mulai mengenal kerjasama,
kompetisi, dan kompromi. Konflik sering terjadi dengan orang tua karena
pembatasan dan dukungan yang tidak konsisten. Teman dengan orang dewasa
di luar keluarga (guru,orang tua teman) merupakan sumber pendukung yang
penting bagi anak. Kegagalan dalam membina hubungan dengan teman di
sekolah, kurangnya dukungan guru dan pembatasan serta dukungan yang tidak
konsisten dari orang tua mengakibatkan frustasi terhadap kemampuannya ,
putus asa,merasa tidak mampu, dan menarik diri dari lingkungan(Abdul
muhith,2015)
4. Remaja
Pada usia ini, individu mempertahankan hubungan interdependen dengan orang
tua dan teman sebaya. Individu belajar mengalami keputusan dengan
mempertahatikan saran dan pendapat orang lain seperti memilih
pekerjaan,memilih karier,dan melangsungkan pernikahan. Kegagalan individu
menghindari hubungan intim,menjauhi orang lain, dan putus asa akan karier.
5. Dewasa Muda
Pada usia ini, individu mempertahankan hubungan interdependen dengan orang
tua dan teman sebaya. Individu belajar mengambil keputusan dengan
mempertahatikan saran dan pendapat orang lain, seperti memilih
pekerjaan,memilih karier, dan melangsungkan pernikahan. Kegagalan individu
dalam melanjutkan sekolah,pekerjaan,pernikahan mengakibatkan individu
menghindari hubungan intim,menjauhi orang lain,dan putus asa akan karier.
6. Dewasa Tengah
Individu pada usia dewasa tengah umumnya telah pisah tempat tinggal dengan
orang tua, khususnya individu telah menikah. Jika ia telah menikah,maka peran
menjadi orang tua dan mempunyai hubungan antar orang dewasa merupakan
situasi tempat menguji kemampuan hubungan interdependen. Kegagalan pisah
tempat tinggal dengan orang tua,membina hubungan yang baru dan tidak
mendapatkan dukungan dari orang dewasa lain akan mengakibatkan perhatian
hanya tertuju pada diri sendiri,produktivitas dan kreativitas berkurang, dan
perhatian pada orang lain berkurang.
7. Dewasa Lanjut
Pada masa ini, individu akan mengalami kehilangan,baik kehilangan fungsi
fisik, kegiatan, pekerjaan, teman hidup (teman sebaya dan pasangan), anggota
keluarga(kematian orang tua). Individu tetap memerlukan hubungan yang
memuaskan dengan orang lain. Individu yang mempunyai perkembangan yang
baik dapat menerima kehilangan yang terjadi dalam kehidupannya dan
mengakui bahwa dukungan orang lain dapat membantu dalam menghadapi
kehilangannya. Kegagalan dalam masa ini dapat menyebabkan individu merasa
tidak berguna,tidak di hargai, dan hal lain dapat membuat individu menarik diri
dan rendah diri(Abdul muhith,2015)
Klasifikasi
Terdapat banyak klasifikasi gangguan kejiwaan dengan tingkatan tertentu yang
memerlukan penanganan. Salah satunya adalah Isolasi sosial. Ada 5 tahap.
Pada tahap pengkajian, data yang dikumpulkan berupa data biologis, psikologis, sosial
dan spiritual. Data subjektif yang mungkin muncul adalah rasa malas berinteraksi,
penolakan dari orang lain dan perasaan tidak berguna. Pada data objektif yang
mungkin timbul adalah keenggaan dan kurangnya insiatif untuk membangun sebuah
percakapan dengan orang lain, mondar-mandir tanpa tujuan, afek tumpul dan kontak
mata kurang. Berdasarkan data-data tersebut dapat dibentuk pohon masalah (Dalami et
al., 2009).
Diagnosa keperawatan menyangkut respons perilaku terhadap stress yang disebabkan
dari hubungan sosial misalnya pada pasien isolasi sosial. Pada tahap perencanaan,
perawat membuat tujuan baik umum maupun khusus dan rencana tindakan yang akan
diberikan (Riyadi & Purwanto, 2009).
Pada tahap implementasi, tindakan dikelompokan untuk individu dan keluarga
misalnya dengan memberikan terapi sosialisasi untuk pasien isolasi sosial dan terapi
social skill training (SST) dan terapi suportif untuk pasien skizofrenia (Harkomah, Arif
& Basmanelly, 2018, hlm. 66). Begitupula yang dilakukan pada tahap evaluasi.
B. Rentang Respon
Menurut Stuart Sundeen dalam Sutejo tentang respon klien ditinjau dari interaksinya
dengan lingkungan sosial merupakan suatu kontinum yang terbentang antara respon adaptif
dengan maladaptive sebagai berikut:
Adaptif Maladaptif
Manipulasi,
Menyendiri, Otonomi, Kesepian, menarik
kebersamaan, saling
ketergantungan ketergantungan
a. Respon Adaptif
Menurut Sutejo (2017) respon adaptif adalah respon yang masih dapat diterima oleh
norma-norma sosial dan kebudayan secara umum yang berlaku. Dengan kata lain individu
tersebut masih dalam batas normal ketika menyelesaikan masalah. Berikut adalah sikap yang
termasuk respon adaptif:
C. Faktor Predisposisi
Predisposisi adalah ada juga faktor presipitasi yang menjadi penyebab antara lain adanya
stressor sosial budaya serta stressor psikologis yang dapat menyebabkan klien mengalami
kecemasan (Arisandy, 2017).
a. Aspek Biologis
Sebagian besar faktor predisposisi pada klien yang diberikan terapi latihan ketrampilan
sosial adalah adanya riwayat genetik yaitu sebanyak 66,7%. Faktor genetik memiliki peran
terjadinya gangguan jiwa pada klien yang menderita skizofrenia
b. Aspek Psikologis
Faktor predisposisi pada aspek psikologis sebagian besar akibat adanya riwayat
kegagalan/kehilangan (77,8%). Pengalaman kehilangan dan kegagalan akan mempengaruhi
respon individu dalam mengatasi stresornya
c. Aspek sosial budaya
Dimana pada klien kelolaan didapatkan aspek sosial budaya sebagian besar adalah
pendidikan menengah dan sosial ekonomi rendah masing-masing
D. Faktor Presipitasi
Menurut Herman Ade (2011) terjadinya gangguan hubungan sosial juga dipengaruhi oleh
faktor internal dan eksternal seseorang. Faktor stressor presipitasi dapat dikelompokan
sebagai berikut:
1. Stressor Sosial Budaya
Stress dapat ditimbulkan oleh beberapa faktor antara faktor lain dan faktor keluarga
seperti menurunnya stabilitas unit keluarga dan berpisah dari orang yang berarti
dalam kehidupannya, misalnya karena dirawat dirumah sakit.
2. Stressor Psikologi
Tingkat kecemasan berat yang berkepanjangan terjadi bersamaan dengan
keterbatasan kemampuan untuk mengatasinya. Tuntutan untuk berpisah dengan
orang dekat atau kegagalan orang lain untuk memenuhi kebutuhan ketergantungan
dapat menimbulkan kecemasan tingkat tinggi.
E. Mekanisme Koping
Mekanisme koping digunakan klien sebagai usaha mengatasi kecemasan yang merupakan
suatu kesepian nyata yang mengancam dirinya. Mekanisme koping yang sering digunakan
adalah proyeksi, splitting (memisah) dan isolasi. Proyeksi merupakan keinginan yang tidak
mampu ditoleransi dan klien mencurahkan emosi kepada orang lain karena kesalahan
sendiri. Splitting merupakan kegagalan individu dalam menginterpretasikan dirinya dalam
menilai baik buruk. Sementara itu, isolasi adalah perilaku mengasingkan diri dari orang
lain maupun lingkungan (Sutejo, 2017).
I. Pohon Masalah
Resiko Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi (effect)
ISOLASI SOSIAL
(core problem)
ANALISA DATA
a. Isolasi sosial
b. Gangguan konsep diri : Harga diri rendah
c. Resiko perubahan persepsi sensori: halusinasi
Tuk III : klien dapat menyebutkan keuntungan berinteraksi dengan orang lain
dan kerugian berinteraksi dengan orang lain
Intervensi :
Mengkaji pengetahuan klien tentang keuntungan memiliki teman
Mendiskusikan tentang :
Tum :Klien dapat berhubungan dengan orang lain secara optimal dan mampu
meningkatkan harga dirinya.
Tuk I : klien dapat membina hubungan saling percaya.
Intervensi :
Bersalaman panggil nama
Tuk II : Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
Intervensi :
Tuk V :Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi klien dan kemampuannya.
Intervensi :
Tum :Klien dapat berinteraksi dengan orang lain sehingga tidak terjadi halusinasi.
Tuk :
V. DAFTAR PUSTAKA
Direja, Ade Herman Surya. 2011. Buku Asuhan Keperawatan Jiwa. Nuha Medika, Yogyakarta.
Erlinafsiah. 2010. Modal Perawat Dalam Praktik Keperawayan Jiwa. Trans Info Media, Jakarta.
Fitria, Nita. Dkk. 2013. Laporan Pendahuluan Tentang Masalah Psikososial. Salemba Medika,
Jakarta.
Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahukuan dan Stratrgi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan. Salemba Medika, Jakarta.
http://www.dnet.net.id/kesehatan/beritasehat/detail.php.id=2254
Keliat, Budu Anna. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. EGC, Jakarta.
Keliat, Budu Anna. 2004. Keperawatan Jiwa Terapi Aktifitas Kelompok. EGC, Jakarta.
Keliat , Budu Anna. 2005. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. EGC. Jakarta.3
Kusuma, Farida dan Hartono, Yudi. 2010. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Salemba Medika,
Jakarta.
Nanda, 2012. Diagnosa Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Buku Kedokteran
:EGC.
Nurjannah. I. 2004. Pedoman Pada Gangguan Jiwa. MocoMedia. Yogyakarta. Rekam Medik,
Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta.2013.
Yosep, Iyus. 2007. Keperawatan Jiwa. PT. Refika Aditama, Bandung.
LAPORAN PENDAHULUAN
RESIKO PERILAKU KEKERASAN ( RPK)
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Praktek Belajar Klinik ( PBK ) Keperawatan jiwa
Disusun oleh :
19017
Tingkat 2A
Kelompok 6
Perilaku kekerasan adalah salah satu respons marah yang diespresikan dengan melakukan
ancaman, mencederai orang lain, dan merusak lingkungan. Respons ini dapat menimbulkan
kerugian baik bagi diri sendiri, orang lain, dan lingkungan (Keliat,dkk, 2011).
Perilaku kekerasan merupakan suatu rentang emosi dan ungkapan kemarahan yang
dimanisfestasikan dalam bentuk fisik. Kemarahan merupakan suatu komunikasi atau proses
penyampaian pesan individu. Orang yang mengalami kemarahan sebenarnya ingin menyampaian
pesan bahwa ia “tidak setuju, merasa tersinggung, merasa tidak dianggap, merasa tidak dituntut
atau diremehkan” (Yosep, 2011).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat
membahayakan secara fisik, baik pada dirinya sendiri maupun orang lain, disertai dengan amuk
dan gaduh gelisah yang tidak terkontrol (Kusumawati, 2010).
Data objektif :
-Mata merah
-Pandangan tajam
-Otot tegang
-Suka berdebat
Data subyektif :
Tingkatan
A.Ringan
Merupakan perilaku kekerasan yang di perlihatkan pasien dengan gangguan jiwa hanya sebatas
intimidasi terhadap orang orang disekitarnya .Pasien belum melakukan kekerasan verbal tetapi
sudah menunjukan kekerasan emosional. Bentuknya merupakan emosional verbal seperti mata
melotot, melihat dengan tajam atau mengepalkan tangan
B.Menengah (sedang )
Merupakan perilaku kekerasan yang sudah dilakukan pasien tetapi tidak mengakibatkan cedera
yang berarti pasien dengan gangguan jiwa sudah menyerang dengan intensitas yang rendah,
misalnya memukul tapi dengan jenis pukulan yang tidak terlalu keras.
C. Berat
Merupakan perilaku kekerasan yang benar benar dilakukan pasien dengan gangguan jiwa dalam
intensitas yang berat.Biasanya akan mengakibatkan cedera serius pada orang yang diserang.
Klasifikasi
-Irritable agression
Merupakan tindak kekerasan akibat ekspresi perasaan marah. Agresi ini dipicu oleh oleh frustasi
dan terjadi karena sirkuit pendek pada proses penerimaan dan memahami informasi dengan
intensitas emosional yang tinggi (directed against an available target)
-Instrumental agression
Suatu tindak kekerasan yang dipakai sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu. Misalnya untuk
mencapai tujuan politik tertentu dilakukan tindak kekerasan secara sengaja dan terencana.
- Mass agression
Suatu tindak agresi yang dilakukan oleh massa sebagai akibat kehilangan individualitas dari
masing-masing individu. Pada saat orang berkumpul terdapat kecenderungan berkurangnya
individualitas, bila ada ada seseorang yang mempelopori tindak kekerasan maka secara otomatis
semua akan ikut melakukan kekerasan yang dapat semakin meninggi karena saling
membangkitkan. Pihak yang menginisiasi tindak kekerasan tersebut bisa saja melakukan agresi
instrumental (sebagai provokator) maupun agresi permusuhan karena kemarahan tidak terkendali
(Keliat, 1996 dalam Muhith, 2015)
B. Rentang Respon
Menurut Yosep ( 2007 ) perilaku kekerasan dianggap sebagai suatu akibat yang ekstrim dari
marah atau ketakutan ( panik ).
Setiap orang mempunyai kapasitas berperilaku asertif, pasif dan agresif sampai kekerasan. Dari
gambar tersebut dapat disimpulkan bahwa
Menurut Sujono dan Teguh ( 2009 ) faktor-faktor yang mendukung terjadinya perilaku kekerasan
adalah
a. Faktor biologis
1) Intinctual drive theory (teori dorongan naluri) Teori ini menyatakan
bahwa perilaku kekerasan disebabkan oleh suatu dorongan kebutuhan
dasar yang kuat.
2) Psycomatic theory (teori psikomatik) Pengalaman marah adalah akibat
dari respon psikologis terhadap stimulus eksternal, internal maupun
lingkungan. Dalam hal ini sistem limbik berperan sebagai pusat untuk
mengekspresikan maupun menghambat rasa marah
b. Faktor psikologis
1) Frustasion aggresion theory ( teori argesif frustasi) Menurut teori ini
perilaku kekerasan terjadi sebagai hasil akumulasi frustasi yang terjadi
apabila keinginan individu untuk mencapai sesuatu gagal atau terhambat.
Keadaan tersebut dapat mendorong individu berperilaku agresif karena
perasaan frustasi akan berkurang melalui perilaku kekerasan.
2) Behavioral theory (teori perilaku) Kemarahan adalah proses belajar, hal ini
dapat dicapai apabila tersedia fasilitas atau situasi yang mendukung
reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan, sering
mengobservasi kekerasan di rumah atau di luar rumah. Semua aspek ini
menstimulai individu mengadopsi perilaku kekerasan.
3) Existential theory (teori exsistensi) Bertindak sesuai perilaku adalah
kebutuhan yaitu kebutuhan dasar manusia apabila kebutuhan tersebut tidak
dapat dipenuhi melalui perilaku konstruktif maka individu akan memenuhi
kebutuhannya melalui perilaku destruktif
c. Faktor sosio kultural
1) Social enviroment theory ( teori lingkungan ) Lingkungan sosial akan
mempengaruhi sikap individu dalam mengekspresikan marah. Budaya
tertutup dan membalas secara diam (pasif agresif) dan kontrol sosial yang
tidak pasti terhadap perilaku kekerasan akan menciptakan seolah-olah
perilaku kekerasan diterima.
2) Social learning theory ( teori belajar sosial ) Perilaku kekerasan dapat
dipelajari secara langsung maupun melalui proses sosialisasi.
D. Faktor presipitasi
Stressor yang mencetuskan perilaku kekerasan bagi setiap individu bersifat buruk.
Stressor tersebut dapat disebabkan dari luar maupun dalam. Contoh stressor yang
berasal dari luar antara lain serangan fisik, kehilangan, kematian, krisis dan lain-
lain. Sedangkan dari dalam adalah putus hubungan dengan seseorang yang berarti,
kehilangan rasa cinta, ketakutan terhadap penyakit fisik, hilang kontrol,
menurunnya percaya diri dan lain-lain.Selain itu lingkungan yang terlalu ribut,
padat, kritikan yang mengarah pada penghinaan, tindakan kekerasan dapat memicu
perilaku kekerasan.
E. Mekanisme koping
1) Konstruktif Mekanisme konstruktif terjadi ketika kecemasan diperlakukan
sebagai sinyal peringatan dan individu menerima sebagai tantangan untuk
menyelesaikan masalah, menggunakan kata-kata yang dapat dimengerti dan
diterima tanpa menyakiti orang lain akan memberikan kelegaan pada individu
(Yusuf, 2015)
2) Destruksif Mekanisme koping destruksif menghindari kecemasan tanpa
menyelesaikan konflik. Pada pasien dengan risiko perilaku kekerasan , apabila
perasaan marah diekspresikan dengan perilaku agresif dan menentang, biasanya
dilakukan karena ia merasa kuat. Cara ini menimbulkan masalah yang
berkepanjangan dan dapat menimbulkan tingkah laku yang destruktif dan amuk
(Yusuf, 2015)
Effect
Perilaku kekerasan
Core problem
Harga diri rendah kronis
Causa
N Data Masalah
o
http://repository.ump.ac.id/514/3/INDRI%20MULYANI%20BAB%20II.pdf
Joyal, Christian C, Gendron, Catherine, Cote, Gilles 2008, ‘Nature and Frequency
Aggressive Behaviours Among Long-Term Inpatients With Schizophrenia: A 6-Months
Report Using The Modified Overt Aggression Scale’, Canadian Journal of Psychiatry,
vol. 53, no. 7, diakses 03 September 2015, < http://media.proquest.com/>.
LAPORAN PENDAHULUAN
DEFISIT PERAWATAN DIRI (DPD)
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Praktek Belajar Klinik ( PBK ) Keperawatan jiwa
Disusun oleh :
19017
Tingkat 2A
Kelompok 6
Defisit perawatan diri adalah suatu kondisi pada seseorang yang mengalami kelemahan
kemampuan dalam melakukan atau melengkapi aktifitas perawatan diri secara mandiri seperti
mandi (hygiene) , berpakaian / berhias, makan dan BAB atau BAK (toileting). (Sumber:Nita
Fitria, 2009)
Defisit perawatan diri adalah Salah satu kemampuan dasar manusia dalam memenuhi
kebutuhannya guna mempertahankan hidupnya, kesehatannya, dan kesejaterannya, sesuai dengan
kondisi kesehatannya.Klien dinyatakan terganggu perawatan dirinya jika tidak dapat melakukan
perawatan dirinya.(Sumber:Dr.Amino Gondohutomo, 2008)
Perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam memenuhi kebutuhannya
guna mempertahankan kehidupannya, kesehatan dan kesejahteraan sesuai dengan kondisi
kesehatannya, klien dinyatakan terganggu keperawatan dirinya jika tidak dapat melakukan
perawatan diri (Depkes 2000).Defisit perawatan diri adalah gangguan kemampuan untuk
melakukan aktifitas perawatan diri (mandi, berhias, toileting) (Nurjannah, 2004).
Menurut Potter Perry (2005), personal hygiene adalah suatu tindakan untuk
memelihara kebersihan dan kesehatan sesorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis, kurang
perawatan diri adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu melakukan perawatan kebersihan
untuk dirinya (Tarwoto dan Wartonah, 2000).
Tanda Dan Gejala
Adapun tanda dan gejala defisit perawatan diri menurut fitria (2009) adalah sebagai berikut :
A.Mandi/hygine
Klien mengalami ketidakmampuan dalam membersihkan badan, memperoleh atau mendapatkan
suber air, mengatur suhu atau aliran air mandi, mendapatkan perlengkapan mandi, mengeringkan
tubuh, serta masuk dan keluar kamar mandi.
B.Berpakaian/berhias
Klien mempunyai kelemahan dalam meletakan atau mengambil potongan pakaian, menenggalkan
pakaian serta memperoleh atau menukar pakaian. Len juga memiliki ketidakmampuan dalam
mengenakan pakaian dalam, memilih pakaian, menggunakan alat tambahan, menggunakan
kancing tarik, melepaskan pakaian, menggunakan kaos kaki, mempertahankan penampilan pada
tingkat yang memuaskan, mengambil pakain dan mengenakan sepatu.
C.Makan
Klien mempunyai ketidakmampuan dalam menelan makanan, mempersiapkan makanan,
menangani perkakas, mengunyah makanan, menggunakan alat tambahan, mendapatkan makanan,
memanipulasi makanan dalam mulut, mengambil makanan dari wadah dan memasukannya ke
dalam mulut, mengambil cangkir atau gelas, serta mencerna cukup makanan dengan aman.
D.Eliminasi
Klien memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan dalam mendapatkan jamban atau kamar kecil,
duduk atau bangkit dari jamban, memanipulasi pakaian untuk toileting, membersihkan diri setelah
BAB/BAK dengan tepat dan menyiram toilet atau kamar kecil.
Menurut Depkes (2000) Tanda dan gejala klien dengan defisit perawatan diri adalah:
a.Fisik
1.Badan bau, pakaian kotor
2.Rambut dan kulit kotor
3.Kuku panjang dan kotor
4.Gigi kotor disertai mulut bau
5.Penampilan tidak rapi.
b.Psikologis
1.Malas, tidak ada inisiatif
2.Menarik diri, isolasi diri
3.Merasa tak berdaya, rendah diri dan merasa hina.
c.Sosial
1.Interaksi kurang
2.Kegiatan kurang
3.Tidak mampu berperilaku sesuai norma
4.Cara makan tidak teratur
5.BAK dan BAB di sembarang tempat, gosok gigi dan mandi tidak mampu mandiri.
a. Data subyektif
1) Pasien merasa lemah.
2) Malas untuk beraktivitas.
3) Merasa tidak berdaya.
b. Data obyektif
1) Rambut kotor, acak-acakan.
2) Bdan dan pakaian kotor dan bau.
3) Mulut dan gigi bau.
4) Kulit kusam dan kotor.
5) Kuku panjang dan tidak terawat.
Tingkatan
Menurut Herdman (2015), batasan karakteristik Pasien dengan Defisit perawatan diri adalah:
1.Defisit perawatan diri : mandi
Kalisifikasi
1.Kurang perawatan diri : Mandi atau kebersihan
Kurang perawatan diri (mandi) adalah gangguan kemampuan untuk melakukan
aktivitas mandi/ kebersihan diri.
2.Kurang perawatan diri : Mengenakan pakaian
Kurang perawatan diri (mengenkan pakaian) adalah gangguan kemampuan memakai
pakaian dan aktivitas dandan sendiri.
3.Kurang perawatan diri : Makan
Kurang perwatan diri (makan) adalah gangguan kemampuan untuk menunjukkan
aktivitas makan.
4.Kurang perawatan diri : Toileting
Kurang perawatan diri (toileting) adalah gangguan kemampuan untuk melakukan atau
menyelesaikan aktivitas toileting sendiri (Nurjanah : 2004)
B.Rentang Respon
1.Rentang Respon
Pola perawatan diri seimbang, saat klien mendapatkan stresor dan mampu untuk berprilaku
adaptif, maka pola perawatan yang dilakukan klien seimbang, klien masih melakukan perawatan
diri.
Kadang perawatan diri kadang tidak, saat klien mendapatkan stresor kadang kadang klien tidak
memperhatikan perawatan dirinya,
Tidak melakukan perawatan diri, klien mengatakan dia tidak peduli dan tidak bisa melakukan
perawatan saat stresor.
2. Jenis- jenis
C.Faktor prediposisi
1) biologis: penyakit fisik dan mental yang menyebabkan pasien tidak mampu melakukan
perawatan diri dan faktor herediter.
2) psikologis: faktor perkembangan dimana keluarga terlalu melindungi dan memanjakan pasien
sehingga perkembangan inisiatif terganggu. Kemampuan realitas turun, pasien gangguan jiwa
yang kemampuan realitas kurang menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk
perawatan diri.
3) sosial: kurang dukungan dan situasi lingkungan mempengaruhi kemampuan dalam perawatan
diri
D.Faktor Presipitasi
Faktor presiptasi defisit perawatan diri adalah kurang penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau
perceptual, cemas, lelah atau lemah yang dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang
mampu melakukan perawatan diri.
Menurut Tarwoto & Wartonah (2003: 59) faktor faktor yang mempengaruhi personal hygiene
adalah:
1.Body image
Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan diri misalnya
dengan adanya perubahan fisik sehingga individu tidak peduli dengan kebersihan dirinya.
2.Praktik social
Pada anak anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka kemungkinan akan terjadi
perubahan pola personal hygiene.
3.Status sosial ekonomi
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi, sikat gigi, shampo,
alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk menyediakannya.
4.Pengetahuan
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan yang baik dapat
meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien penderita diabetes mellitus ia harus
menjaga kebersihan kakinya.
5.Budaya
Disebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh dimandikan.
Kebiasaan seseorang
Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk tertentu dalam perawatan diri seperti
penggunaan sabun, sampo dan lain-lain.
6.Kondisi fisik atau psikis
Pada keadaan tertentu / sakit kemampuan untuk merawat diri berkurang dan perlu
bantuan untuk melakukannya.
E.Mekanisme Koping
Mekanisme koping berdasarkan penggolongannya dibagi menjadi 2 (Stuart & Sundeen, 2000) yaitu:
1.Mekanisme koping adaptif
Mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan.
Kategorinya adalah klien bisa memenuhi kebutuhan perawatan diri secara mandiri
2. Mekanisme koping maladaptive
Mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah pertumbuhan, menurunkan
otonomi dan cenderung menguasai lingkungan.Kategorinya adalah tidak mau merawat diri.
II.Pohon masalah
-Klien mengatakan
‘saya tidak tahu
apa-apa’
-Klien mengatakan
Penurunan kemampuan dan motivasi
‘saya bodoh’
merawat diri
-Klien mengkritik
diri sendiri
-Klien
mengungkapkan
perasaan malu
terhadap diri
sendiri
DO :
-Klien lebih terlihat
suka sendiri
-Klien bingung bila
disuruh memilih
alternative tindakan
2. Ds : Faktor predisposisi dan faktor presitipasi Defisit perawatan diri
-Klien mengatakan
dirinya malas
mandi Karen airnya Koping individu tidak efektif
dingin atau di RS
tidak tersedia alat
mandi Harga diri rendah
-Klien mengatakan
dirinya malas
berdandan
Menarik diri
-Klien mengatakan
ingin disuapi
makan
-Klien mengatakan
jarang
membersihkan alat
kelaminnya stelah Defisit perawatan diri
BAK/BAB
DO :
-Rambut klien
kotor,gigi
kotor,kulit
berdaki,dan
berbau,serta kuku
panjang dan kotor
-Klien tidak
mampu
berpakaian/berhias
ditandai denga
rambut acak-
acakan,pakaian
kotor dan tidak
rapi,pakaian tidak
sesuai,tidak
bercukur (laki-
laki),atau tidak
Berdandan ( wanita
)
3. DS : Koping individu tidak efektif Isolasi sosial :
menarik diri
-Klien mengatakan
saya tidak berguna
Gangguan konsep diri :harga diri rendah
-Klien mengatakan
tidak bisa
melakuan apa-apa
Isolasi sosial : menarik diri
-Klien mengatakan
malu pada diri
sendiri
DO :
-Klien tampak
tidak bisa memilih
keputusan
sederhana
-Klien tampak
murung
Klien tidak mau
berjabat tangan
-Klien tampak
tidak mau
berinteraksi
-Penampilan klien
kurang rapih
IV.Diagnosa Keperawatan
Berdasakan data yang didapat ditetapkan diagnosa keperawatan defisit perawat diri (kebersihan
diri, makan, berdandan, defekasi/berkemih).
1.Penurunan kemampuan dan motivasi merawat diri.
2.Defisit perawatan diri
3.Isolasi sosial : menarik diri
TUK III : Klien dapat melakukan kebersihan diri dengan bantuan perawat.
Intervensi :
a.Motivasi klien untuk mandi.
b.Beri kesempatan untuk mandi, beri kesempatan klien untuk mendemonstrasikan cara
memelihara kebersihan diri yang benar.
c.Anjurkan klien untuk mengganti baju setiap hari.
d.Kaji keinginan klien untuk memotong kuku dan merapikan rambut.
e.Kolaborasi dengan perawat ruangan untuk pengelolaan fasilitas perawatan kebersihan diri,
seperti mandi dan kebersihan kamar mandi.
f.Bekerjasama dengan keluarga untuk mengadakan fasilitas kebersihan diri seperti odol, sikat gigi,
shampoo, pakaian ganti, handuk dan sandal.
TUK III : Klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain dan
kerugian tidak berhubungan dengan orang lain.
Intervensi :
a.Kaji pengetahuan klien tentang manfaat dan keuntungan berhubungan dengan orang
lain.
b.Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan tentang keuntungan
berhubungan dengan prang lain.
c.Diskusikan bersama klien tentang manfaat berhubungan dengan orang lain.
d.Beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan perasaan tentang
keuntungan berhubungan dengan orang lain.
e.Kaji pengetahuan klien tentang kerugian bila tidak berhubungan dengan orang lain.
f.Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan dengan orang lain.
g.Diskusikan bersama klien tentang kerugian tidak berhubungan dengan orang lain.
h.Beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan perasaan tentang
kerugian tidak berhubungan dengan orang lain.
VI.Daftar Pustaka
Keliat. B.A. 2006. Modul MPKP Jiwa UI. Jakarta : EGC Tersedia di
https://id.scribd.com/document/401867029/LAPORAN-PENDAHULUAN-defisit-perawatan-diri-
docx
Keliat. B.A. 2006. Proses Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC Tersedia di
https://id.scribd.com/document/401867029/LAPORAN-PENDAHULUAN-defisit-perawatan-diri-
docx
Perry, Potter. 2005 . Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta : EGC Tersedia di
https://id.scribd.com/document/401867029/LAPORAN-PENDAHULUAN-defisit-perawatan-diri-
docx
LAPORAN PENDAHULUAN
HALUSINASI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Praktek Belajar Klinik ( PBK ) Keperawatan jiwa
19017
Tingkat 2A
Kelompok 6
I. Masalah Utama
Halusinasi
A. Definisi
Pengertian
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien mengalami
perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan,
pengecapan, parabaan atau penghiduan. Klien merasakan stimulus yang sebetul-
betulnya tidak ada (Damaiyanti, 2012).
Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan
rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien memberi
persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang
nyata. Sebagai contoh klien mengatakan mendengar suara padahal tidak ada orang
yang berbicara (Direja, 2011).
Halusinasi adalah pencerapan tanpa adanya rangsang apapun pada panca
indera seorang pasien, yang terjadi dalam keadaan sadar/bangun, dasarnya mungkin
organik, fungsional, psikotik ataupun histerik (Trimelia, 2011).
Tanda dan Gejala
Tanda dan Gejala Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi menurut
Prabowo (2014), adalah sebagai berikut :
a. Data Objektif
1) Bicara, senyum, dan ketawa sendiri
2) Menggerakan bibir tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, dan respon
verbal yang lambat
3) Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan dan tekanann darah
4) Sulit berhubungan dengan orang lain Ekspresi muka tegang, mudah
tersinggung, jengkel dan marah.
b. Data Subjektif
1) Menarik diri dari orang lain, dan berusaha untuk menghindari diri dari orang
2) Tidak dapat membedakan antara keadaan nyata dan keadaan yang tidak
nyata
3) Curiga, bermusuhan, merusak (diri sendiri, orang lain dan lingkungannya),
dan takut
4) Perhatian dengan lingkungan yang kurang atau hanya beberapa detik dan
berkonsentrasi dengan pengalaman sensorinya.
Tingkatan
Menurut Damayanti, M., & Iskandar.(2012), Tingkatan halusinasi ada 4,
yaitu :
1) Halusinasi bersifat menyenangkan, tingkat ansietas pasien sedang. Pada tahap ini
halusinasi secara umum menyenangkan. Karakteristik :
Karakteristik tahap ini ditandai dengan adanya perasaan bersalah dalam diri
pasien dan timbul perasaan takut. Pada tahap ini pasien mencoba menenangkan
pikiran untuk mengurangi ansietas. Individu mengetahui bahwa pikiran dan
sensori yang dialaminya dapat dikendalikan dan bisa diatasi (non psikotik).
Perilaku yang teramati :
Menyeringai / tertawa yang tidak sesuai
Menggerakkan bibirnya tanpa menimbulkan suara
Respon verbal yang lambat
Diam dan dipenuhi oleh sesuatu yang mengasyikan.
2) Halusinasi bersifat menyalahkan, pasien mengalami ansietas tingkat berat dan
halusinasi bersifat menjijikkan untuk pasien. Karakteristik :
Pengalaman sensori yang dialami pasien bersifat menjijikkan dan
menakutkan, pasien yang mengalami halusinasi mulai merasa kehilangan kendali,
pasien berusaha untuk menjauhkan dirinya dari sumber yang dipersepsikan,
pasien merasa malu karena pengalaman sensorinya dan menarik diri dari orang
lain (nonpsikotik). Perilaku yang teramati :
Peningkatan kerja susunan saraf otonom yang menunjukkan timbulnya
ansietas seperti peningkatan nadi, tekanan darah dan pernafasan
Kemampuan kosentrasi menyempit
Dipenuhi dengan pengalaman sensori, mungkin kehilangan kemampuan
untuk membedakan antara halusinasi dan realita.
3) Pada tahap ini halusinasi mulai mengendalikan perilaku pasien, pasien berada
pada tingkat ansietas berat. Pengalaman sensori menjadi menguasai pasien.
Karakteristik :
Pasien yang berhalusinasi pada tahap ini menyerah untuk melawan
pengalaman halusinasi dan membiarkan halusinasi menguasai dirinya. Isi
halusinasi dapat berupa permohonan, individu mungkin mengalami kesepian jika
pengalaman tersebut berakhir (Psikotik) Perilaku yang teramati :
Lebih cenderung mengikuti petunjuk yang diberikan oleh halusinasinya dari
pada menolak
Kesulitan berhubungan dengan orang lain
Rentang perhatian hanya beberapa menit atau detik, gejala fisik dari ansietas
berat seperti : berkeringat, tremor, ketidakmampuan mengikuti petunjuk.
4) Halusinasi pada saat ini, sudah sangat menaklukkan dan tingkat ansietas berada
pada tingkat panik. Secara umum halusinasi menjadi lebih rumit dan saling
terkait dengan delusi. Karakteristik :
Pengalaman sensori menakutkan jika individu tidak mengikuti perintah
halusinasinya. Halusinasi bisa berlangsung dalam beberapa jam atau hari apabila
tidak diintervensi (psikotik). Perilaku yang teramati :
Perilaku menyerang - teror seperti panik
Sangat potensial melakukan bunuh diri atau membunuh orang lain
Amuk, agitasi dan menarik diri
Tidak mampu berespon terhadap petunjuk yang komplek
Tidak mampu berespon terhadap lebih dari satu orang.
Klasifikasi
Menurut farida (2010), Halusinasi dibedakan menjadi 7, yaitu :
1) Halusinasi Pendengaran (Auditif, Akustik)
Paling sering dijumpai dapat berupa bunyi mendenging atau suara bising
yang tidak mempunyai arti, tetapi lebih sering terdengar sebagai sebuah kata atau
kalimat yang bermakna, biasanya suara tersebut ditunjukan pada penderita
bertengkar dan berdebat dengan suara-suara tersebut.
2) Halusinasi Pengelihatan (Visual, Optic)
Stimulus visual dalam betuk kilatan atau cahaya, gambaran atau bayangan
yang rumit dan kompleks. Bayangan bisa menyenangkan atau menakutkan.
3) Halusinasi Penghidung (Olfaktorik)
Halusinasi ini biasanya berupa mencium sesuatu bau tertentu dan dirasakan
tidak enak, melambangkan rasa bersalah pada penderita. Bau dilambangkan
sebagai pengalaman yang dianggap penderita sebagai suatu kombinasi moral.
4) Halusinasi Pengecapan (Gustatorik)
Walaupun jarang terjadi, biasanya bersamaan dengan halusinasi penciuman.
Penderita merasa mengecap sesuatu seperti darah, urin atau feses.
5) Halusinasi Perabaan (Taktil)
Merasa mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas.
Rasa tersetrum listrik yang datang dari tanah, benda mati atau orang lain.
6) Halusinasi Cenesthetik
Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau arteri, pencernaan
makan atau pembentukan urine.
7) Halusinasi kinestetika
Penderita merasa badannya bergerak-gerak dalam suatu ruang atau anggota
badannya bergerak-gerak. Misalnya “phantom Phenomenom”.
B. Rentang Respon
Bagan Rentang Respon Halusinasi
2. Respon Psikososial
a. Proses fikir terganggu.
b. Ilusi adalah interprestasi atau penilaian yang salah tentang penerapan yang benar-
benar terjadi (objek nyata) karena rangsangan panca indera.
c. Emosi berlebihan atau berkurang.
d. Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi batas
kewajaran.
e. Menarik diri yaitu percoban untuk menghindar interaksi dengan orang lain.
C. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi adalah faktor risiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah
sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stres. Diperoleh baik dari
klien maupun keluarganya, mengenai faktor perkembangan sosisal kultural, biokimia,
psikologis, dan genetik yaitu faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber
yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stres.
Faktor Predisposisi klien halusinasi menurut (Damaiyanti dkk, 2012) :
1. Faktor Perkembangan
Tugas perkembangan klien terganggu misalnya rendahnya kontrol dan kehangatan
keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil, mudah frustasi, hilang
percaya diri.
2. Faktor Sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima dilingkungan sejak bayi akan merasa
disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungan.
3. Faktor Biologis
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress yang
berlebihan dialami seseorang maka didalam tubuh akan dihasilkan suatu zat yang
dapat bersifat halusinogen neurokimia. Akibat stress berkepanjangan menyebabkan
teraktivasinya neurotransmitter otak.
4. Faktor Psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus pada
penyalahgunaan zat adikitif. Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan klien dalam
mengambil keputusan yang tepat demi masa depannya, klien lebih memilih
kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam khayal.
5. Faktor Genetik dan Pola Asuh
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orang tua schizofrenia
cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi menunjukkan bahwa faktor keluarga
menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.
D. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi merupakan stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai
tantangan, ancaman, atau tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk menghadapinya.
Seperti adanya rangsangan dari lingkungan, misalnya partisipasi klien dalam kelompok,
terlalu lama tidak diajak komunikasi, objek yang ada di lingkungan dan juga suasana sepi
atau terisolasi, sering menjadi pencetus terjadinya halusinasi.
Hal tersebut dapat meningkatkan stress dan kecemasan yang merangsang tubuh
mengeluarkan zat halusinogenik (Fitria 2012). Penyebab Halusinasi dapat dilihat dari lima
dimensi yaitu :
1. Dimensi Fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang
luar biasa, penggunaaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan
kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.
2. Dimensi Emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi
merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa perintah
memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut
hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.
3. Dimensi Intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan halusinasi akan
memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan
usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, namun merupakan suatu
hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien
dan tidak jarang akan mengontrol semua perilaku klien.
4. Dimensi Sosial
Klien mengalami interaksi sosial dalam fase awal dan comforting, klien meganggap
bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata sangat membahayakan. Klien asyik dengan
Halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan
interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak didapatkan dakam dunia nyata.
5. Dimensi Spiritual
Secara sepiritual klien Halusinasi mulai dengan kehampaan hidup, rutinitas tidak
bermakna, hilangnya aktifitas ibadah dan jarang berupaya secara sepiritual untuk
menyucikan diri. Saat bangun tidur klien merasa hampa dan tidak jelas tujuan
hidupnya. Individu sering memaki takdir tetapi lemah dalam upaya menjemput rezeki,
menyalahkan lingkungan dan orang lain yang menyebabkan takdirnya memburuk.
(Damayanti dkk, 2012).
E. Mekanisme Koping
Menurut Prabowo (2014) ada 3 mekanisme koping pada pasien halusinasi yaitu :
1. Regresi : Menjadi malas beraktivitas sehari-hari
2. Proyeksi : Menjelaskan perubahan suatu persepsi dengan berusaha untuk
mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain
3. Menarik Diri : Sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus internal.
Effect
Core Problem
Isolasi Sosial
Causa
III. Analisa data Dan Data Fokus Pengkajian
A. Pengkajian
1. Identitas klien
2. Keluhan utama atau alasan masuk
3. Factor perdisposisi
4. Aspek fisik atau biologis
5. Aspek psikososial
6. Status mental
7. Kebutuhan persiapan pulang
8. Mekanisme koping
9. Masalah psikososial dan lingkungan
10. Pengetahuan
11. Aspek medic.
Kemudian data yang sudah dicakup dapat di kelompokan menjadi dua
macam sebagai berikut :
1. Data Objektif
Ialah data yang diperoleh dari hasil pengamatan langsung pada klien. Data
ini didapatkan dari hasil pemeriksaan langsung oleh perawat.
2. Data Subjektif
Ialah data yang diperoleh dari secara langsung yang disampaikan secara
lisan kepada klien atau keluatga. Data ini diperoleh melalui wawancara perawat
kepada klien dan keluarga. Data yang langsung didapat oleh perawat disebut sebagai
data primer, dan data yang diambil dari hasil catatan tim kesehatan lain sebagai data
sekunder.
B. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan darah dan urine, untuk melihat kemungkinan infeksi serta
penyalahgunaan alcohol dan NAPZA.
2. EEG (Elektroensefalogram), yaitu pemeriksaan aktivitas listrik otak untuk melihat
apakah halusinasi disebabkan oleh epilepsi.
3. Pemindaian CT Scan dan MRI, untuk mendeteksi stroke serta kemungkinan adanya
cedera atau tumor di otak.
C. Analisa Data
DO :
1. Kontak mata kurang saat
berbicara.
2. Klien saat diajak berbicara, Gangguan Persepsi
berbicara lambat dengan Sensori :
nada lemah dan terkadang Halusinasi.
suka berbicara ngelantur.
3. Bicara atau tertawa sendiri
Marah-marah tanpa sebab
Menyedengkan telinga ke
arah tertentu Menutup
telinga.
4. Menunjuk-nunjuk ke arah
tertentu Ketakutan dengan
pada sesuatu yang tidak jelas.
5. Menghidu seperti sedang
membaui bau-bauan tertentu.
Menutup hidung.
6. Sering meludah Muntah.
7. Menggaruk-garuk
permukaan kulit.
DO :
1. Klien terkadang bicara Perilaku kekerasan.
ngelantur.
2. Klien berbicara dengan suara
cukup keras dan jelas.
Risiko menciderai
diri sendiri, orang
lain dan
lingkungan.
b. Kriteria Hasil :
1) KH 1 :
Ekspresi wajah bersahabat
Menunjukkan rasa senang
Ada kontak mata atau mau jabat tangan
Mau menyebutkan nama
Mau menyebut dan menjawab salam
Mau duduk berdampingan dengan perawat
Mau mengutarakan masalah yang dihadapan.
2) KH 2 :
Pasien dapat menyebutkan isi halusinasi
Pasien dapat menyebutkan waktu halusinasi
Pasien dapat menyebutkan frekuensi halusinasi
Pasien dapat menyebutkan situasi dan kondisi yang menimbulkan halusinasi.
3) KH 3 :
Klien dapat menyebutkan tindakan yang biasa dilakukan untuk
mengendalikan halusinasinya
Klien mampu menyebutkan cara baru mengontrol halusinasi
Klien dapat memilih dan mendemonstrasi kan cara mengatasi halusinasi
Klien dapat melaksanakan cara yang di pilih untuk mengendalikan
halusinasinya.
Pasien mengikuti terapi aktivitas kelompok.
4) KH 4 :
Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat
Keluarga dapat menyebutkan pengertian, tanda dan kegiatan untuk
mengendalikan halusinasi.
5) KH 5 :
Klien dan keluarga dapat menyebutkan manfaat, dosis dan efek samping obat
Klien dapat mendemonstrasi kan penggunaa obat secara benar
Klien dapat memahami akibat berhenti minum obat tampa konsultasi dengan
dokter.
c. Tindakan Keperawatan :
1) TK 1 :
Bina hubungan saling percaya dengan prinsip komunikasi terapetik.
Sapa klien dengan ramah baik secara verbal maupun non verbal.
Perkenalkan diri dengan sopan.
Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien.
Jelaskan tujuan pertemuan.
Jujur dan menepati janji.
Tunjukkan sikap empati dan terima klien apa adanya.
Beri perhatian kepada klien dan perhatikan kebutuhan dasar klien.
2) TK 2 :
Adakah kontak sering dan singkat secara bertahap.
Observasi tingkah laku yang terkait dengan halusinasi (verbal maupun non
verbal).
Bantu klien mengenali halusinasinya :
Jika menemukan yang sedang halusinasi, tanyakan apakah ada suara
yang didengar atau melihat bayangan tanpa wujud atau mersakan
sesuatu yang tidak ada.
Jika pasien menjawab ada, lanjutkan : apa yang dikatakan/ yang di
alaminya.
Katakana bahwa perawat percaya klien mendengar suara itu, namun
peerawat sendiri tidak mendengarnya (dengan nada bersahabat tanpa
menuduh atau menghakimi).
Katakan bahwa ada pasien lain yang mengalami seperti klien.
Jika pasien tidak sedang halusinasi, klarifikasi tentang adanya pengalaman
halusinasi, diskusikan dengan pasien: isi, waktu dan frekuensi, halusinasi
(pagi, siang, sore , malam atau sering, jarang) situasi dan kondisi yang dapat
memicu mencul tidaknya halusinasi.
Diskusikan dengan pasien tentang apa yang dirasakan saat terjadi halusinasi.
Diskusikan tentang dampak yang akan di alami jiak pasien menikmati
halusinasinya.
3) TK 3 :
Identifikasi bersama klien cara tindakan yang dilakukan jika terjadi
halusinasi.
Diskusikan manfaat cara yang digunakan klien :
jika cara tersebut adaptif beri pujian.
Jika mal adaptif diskusikan dengan klien kerugian cara tersebut.
Diskusikan cara baru untuk memutus atau mengontrol halusinasi :
Menghardik halusinasi katakan pada diri sendiri bahwa ini tidak nyata.
“saya saya tidak mau dengar kamu” (pada saat halusinasi terjadi).
Menemuai orang lain (perawat/teman/an ggota keluarga) untuk
bercakapcakap atau mengatakan halusinasinya terdengar.
Membuat jadwal kegiatan seharihari yang sudah di susun agar halusinasi
tidak muncul.
Memberikan pendidikan kesehatan tentang menggunaan obat untuk
mengendalikan halusinasinya.
Bantu klien memilih cara yang sudah di anjurkan dan melatihuntuk
mencobanya.
Pantau pelaksanaan tindakan yang telah di pilih dan dilatih, jika berhasil beri
pujian.
Libatkan pasien dalam terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi yaitu :
Sesi I pasien mengenal halusinasi.
Sesi II pasien mengontrol halusinasi dengan menghardik.
Sesi III pasien mengontrol halusinasi dengan becakap-cakap.
Sesi IV pasien mengontrol halusinasi dengan cara melakukan aktivitas.
Sesi V pasien mengontrol halusinasi dengan cara patuh minum obat.
4) TK 4 :
Anjurkan klien untuk member tahu keluarga jka mengalami halusinasi.
Diskusikan denga keluarga (pada saat berkunjung/pada saat berkunjungan
rumah) :
Gejala halusinasi yang dialami klien.
Cara yang dapat dilakukan klien dan keluarga untuk memutus
halusinasi.
Cara merawat anggota keluarga untuk memutus halusinasi dirumah, beri
kegiatan, jangan biarkan sendiri, makan bersama, berpergian bersama.
Beri informasi waktu follow up atau kapan perlu mendapat bantuan:
halusinasi terkontrol dan resiko mencedrai orang lain.
5) TK 5 :
Diskusikan dengan klien dan keluarga tentang dosis, frekuensi manfaat
obat.
Pantau saat pasien minum obat.
Anjurkan klien minta sendiri obat pada perawat.
Beri reinforcemen jika pasien menggunakan obat dengan benar.
Diskusikan akibat berhenti minum obat tanpa konsultasi dengan dokter.
Anjurkan pasien berkonsultasi dengan tim kesahatan jika terjadi hal-hal
yang tidak di inginkan tentang efek samping obat yang dirasakan.
d. Rasional :
1) R 1 :
Hubungan saling percaya merupakan dasar untuk kelancaran hubungan interaksi
selanjutnya.
Untuk menciptakan tras kepada pasien.
Supaya pasien kenal dengan perawat.
Untuk mengetahui indentitas dan nama pangilan yang di sukai pasien.
Supaya pasien tahu tujuan kita melakukan pertemuan.
Supaya pasien selau mempercai setian apa yang perawat katakana.
Supaya pasien menganggap perawat juga merasakan apa yang pasien
rasakan.
Supaya pasien merasa di perhatikan dan di hargai.
2) R 2 :
Supaya hubungan tetap terjalin dan pasien tidak lupa pada perawat.
Untuk mengetahui halusinasi pada pasien.
Supaya klien tahu isi dari halusinasi dan dampak yang akan terjadi jika
pasien mengiti isi halusinasinya.
Supaya perawat mengetahui pengalam psien tentang halusinasi, isi, waktu
dan frekuensi halusinasi.
Supaya perawat tahu apa yang di lakukan pasien saat halusinasi terjadi.
Supaya pasien tahu tentang dampak dari halusinasi jika mengikutinya.
3) R 3 :
Merupakan upaya untuk memutus siklus.
Reinforcement positif dapat meningkatkan harga diri klien.
Memberi alternatif bagi klien untuk mengetahui cara mengontrol halusinasi
yaitu dengan menghardik, bercakap-cakap dengan orang lain, melakukan
kegiatan, dan dengan cara patuh minum obat.
Supaya pasien bisa melakukan ketika perawat tidak ada di sampingnya saat
halusinasi datang.
Motivasi dapat meningkatkan keinginan klien untuk mencoba memilih salah
satu cara untuk mengontrol halusinasi.
Stimulasi persepsi dapat mengurangi perubahan interpretasi realita klien.
4) R 4 :
Untuk mendapatkan bantuan keluarga dalam mengontrol halusnasi.
Untuk meningkatkan pengetahuan tentang halusinasi.
5) R 5 :
Dengan mengetahui manfaat dan dosis kliendapat patuh untuk minum obat.
Untuk memastikan pasien minum obat atau tidak.
Untuk membiasakan pasien mandiri minum obat.
Reinforcemen positif dapat meningkatkan kemauan pasien untuk minum
obat.
Pengobatan dapat bejalan sesuai rencana.
Dengan mengetahui efek samping obat klien tahu apa yang harus dilakukan
setelah minum obat.
2. Risiko Perilaku Kekerasan b.d diri sendiri, orang lain, lingkungan dan verbal.
a. Tujuan :
TUM : Setelah dilakukan tindakan keperawatan perilaku kekerasan tidak terjadi.
TUK 1 : Mengalihkan kemarahan dengan pukul barang-barang lunak : Bantal.
TUK 2 : Membimbing nafas dalam.
TUK 3 : Memilihkan aktifitas yang sesuai dengan kemampuan.
b. Kriteria Hasil :
1) KH 1 :
Mengalihkan kemarahan dengan memukul barang-barang lunak.
2) KH 2 :
Melakukan nafas dalam.
3) KH 3 :
Melakukan aktifitas sesuai dengan kemampuannya.
4) KH 4 :
Tidak mencederai diri sendiri, keluarga, orang lain.
c. Tindakan Keperawatan :
1) TK 1 :
Diskusikan masalah yang dirasakan dengan keluarga jelaskan pengertian, tanda
dan gejala, dan penyebab perilaku kekerasan.
2) TK 2 :
Latih Klien dan keluarga cara mengatasi rasa marah- marah : latihan nafas dalam,
pukul bantal.
3) TK 3 :
Bimbing keluarga merawat marah-marah : demontrasi latihan nafas dalam, pukul
bantal .
4) TK 4 :
Diskusikan dengan keluarga untuk memilihkan kegiatan yang sesuai dengan
kemampuan klien.
5) TK 5 :
Sarankan keluarga untuk berbicara yang halus dengan Klien jangan dengan kata-
kata kasar.
d. Rasional :
1) R 1 :
Supaya keluarga paham dengan tanda & gejala yang dialami klien.
2) R 2 :
Supaya klien menjadi tenang dan rileks.
3) R 3 :
Supaya keluarga dapat mengatasi klien jika klien marah-marah.
4) R 4 :
Untuk mengalihkan klien dari rasa marah.
5) R 5 :
Supaya klien tidak terpancing emosi.
b. Kriteria Hasil :
1) KH 1 :
Ekspresi wajah bersahabat.
2) KH 2 :
Tidak acuh.
3) KH 3 :
Ada kontak mata.
4) KH 4 :
Mau berjabat tangan.
5) KH 5 :
Mau menyebutkan nama.
6) KH 6 :
Mau bercakap-cakap.
7) KH 7 :
Mau mengutarakan masalah yang dihadapi.
8) KH 8 :
Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimilikinya.
9) KH 9 :
Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan.
10) KH 10 :
Klien dapat merencanakan kegiatan harian.
11) KH 11 :
Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi dan kemampuannya.
12) KH 12 :
Klien memanfaatkan sistem pendukung yang ada.
c. Tindakan Keperawatan :
1) TK 1 :
Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun nonverbal.
Perkenalkan diri dengan sopan.
Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien.
Jelaskan tujuan pertemuan.
Jujur dan menepati janji.
Selalu kontak mata selama interaksi.
Tunjukkan sikap empati dan penuh perhatian pada klien.
2) TK 2 :
Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien.
Bantu klien mengekspresikan dan menggambarkan perasaan serta
pikirannya.
Tentukan bahwa kekuatan untuk berubah tergantung pada klien sendiri.
Identifikasi stressor yang relevan dan penilaian klien terhadap stressor
tersebut.
Dukung kekuatan, keterampilan dan respon koping yang efektif.
Utamakan memberi pujian terapeutik.
Tingkatkan keterlibatan keluarga dan kelompok untuk memberikan
dukungan untuk mempertahankan kemajuan dan perkembangan klien.
3) TK 3 :
Diskusikan dengan klien kemampuan yang masih dapat digunakan.
Dukung kekuatan, keterampilan dan respon koping yang adaptif.
Utamakan memberi pujian terapeutik.
Libatkan keluarga dalam perawatan klien.
4) TK 4 :
Dukung klien untuk merencanakan kegiatan harian.
Rencanakan kegiatan bersama klien, aktivitas yang dapat dilakukan setiap
hari sesuai kemampuan (kegiatan sendiri, kegiatan dengan bantuan sebagian,
kegiatan dengan bantuan total).
Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien.
Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang boleh dilakukan.
Libatkan keluarga dalam perawatan klien.
5) TK 5 :
Beri kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang telah
direncanakan.
Beri pujian atas keberhasilan klien.
Beri dukungan yang sesuai dan positif untuk mempertahankan kemajuan dan
pertumbuhannya.
Libatkan keluarga dalam perawatan klien.
6) TK 6 :
Berikan pendidikan kesehatan kepada keluarga tentang cara merawat klien
dengan harga diri rendah.
Bantu keluarga memberi dukungan selama klien dirawat.
Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah sesuai dengan keadaan
klien.
d. Rasional :
1) R 1 :
Hubungan saling percaya akan menimbulkan kepercayaan klien pada perawat
sehingga akan memudahkan dalam pelaksanaan tindakan selanjutnya.
2) R 2 :
Pujian akan meningkatkan harga diri klien.
3) R 3 :
Peningkatan kemampuan mendorong klien untuk mandiri.
4) R 4 :
Pelaksanaan kegiatan secara mandiri modal awal untuk meningkatkan harga diri
rendah.
5) R 5 :
Dengan aktivitas klien akan mengetahui kemampuannya.
6) R 6 :
Perhatian keluarga dan pengertian keluarga akan dapat membantu meningkatkan
harga diri klien.
VI. Daftar Pustaka
Fitria, Nita. 2014. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (Lp Dan Sp) untuk 7 Diagnosis
Keperawatan Jiwa Berat bagi Program S1 Keperawatan. Jakarta : Salemba
Medika
Direja, A. Herman., 2011, Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa, Yogyakarta : Nuha Medika