Anda di halaman 1dari 89

LAPORAN PENDAHULUAN

HARGA DIRI RENDAH (HDR)


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Praktek Belajar Klinik ( PBK )
Keperawatan jiwa

Dosen Pembimbing : Junaedi,ners.,m.kep

Disusun oleh :

FUTRI SIFA KHOERUN NISSA

19017

Tingkat 2A

Kelompok 6

Jl.walet No.21,Kertawinangun,Kedawung Cirebon,Jawa Barat 45153

STIKES AHMAD DAHLAN CIREBON


1. Masalah Utama
HDR (Harga Diri Rendah)
A. Definisi
 Pengertian

Harga Diri Rendah Kronis Harga diri rendah merupakan perasaan tidak berharga, tidak
berharga, tidak berarti, rendah diri, yang menjadikan evaluasi negatif terhadap diri sendiri
dan kemampuan diri (Keliat, 2011).

Harga diri rendah merupakan evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau kemampuan diri
yang negatif terhadap diri sendiri, hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa gagal
dalam mencapai keinginan (Direja, 2011)

Harga diri rendah merupakan keadaan dimana individu mengalami evaluasi diri negatif
tentang kemampuan dirinya (Fitria, 2012).

Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa harga diri rendah yaitu dimana individu
mengalami gangguan dalam penilaian terhadap dirinya sendiri dan kemampuan yang
dimiliki, yang menjadikan hilangnya rasa kepercayaan diri akibat evaluasi negatif yang
berlangsung dalam waktu yang lama karena merasa gagal dalam mencapai keinginan.

 Tanda Dan Gejala

Menurut Carpenito dalam keliat (2011), perilaku yang berhubungan dengan harga diri
rendah antara lain :
a. Data subjektif
Pasien mengungkapkan tentang:
1) Hal negatif diri sendiri atau orang lain
2) Perasaan tidak mampu
3) Pandangan hidup yang pesimis
4) Penolakan terhadap kemampuan diri
b. Data objektif
1) Penurunan produktifitas
2) Tidak berani menatap lawan bicara
3) Lebih banyak menundukkan kepala saat berinteraksi
4) Bicara lambat dengan nada suara rendah (Eko, 2014 :106)
Ciri khas dari harga diri rendah menurut Damainyanti (2008), tanda
dan gejala harga diri rendah kronik adalah sebagai berikut :
1) Mengkritik diri sendiri
2) Perasaan tidak mampu
3) Pandangan hidup yang pesimistis
4) Tidak menerima pujian
5) Penurunan produktivitas
6) Penolakan terhadap kemampuan diri
7) Kurang memperhatikan perawatan diri
8) Berpakaian tidak rapi
9) selera makan kurang
10) Tidak berani menatap lawan bicara
11) Lebih banyak menunduk
12) Bicara lambat dengan nada suara lemah
Selaian data diatas, dapat juga mengamati penampilan seseorangdengan harga diri
rendah, terlihat darikurang memperhatikan perawatan diri, berpakaian tidak rapi, selera
makan kurang, tidak berani menatap lawan bicara, lebbih banyak menunduk, bicara
lambat dengan suara nada lemah. (Iskandar, 2014: 40)

 Tingkatan

Perasaan negatif terhadap diri berlangsung lama, yaitu sebelum sakit/di rawat. Klien ini
mempunyai cara berfikir negatif. Kejadian sakit dan dirawat akan menambah persepsi
negatif terhadap dirinya. Kondisi ini mengakibatkan respon mal yang adaktif. Kondisi ini
dapat ditemukan pada klien gangguan fisik yang kronik atau klien pada gangguan jiwa.
(Iskandar, 2014:39)

 Klasifikasi

Menurut Fitria (2009), Harga diri rendah dibedakan menjadi 2.yaitu:

a) Hrga diri rendah situasional adalah keadaan dimana individu yang sebelumnya,
memiliki harga diri positif mengalami perasaan negative mengenai diri dalam
berespon, terhadap suatu kejadian (kehilangan, perubahan)
b) Harga diri rendaah kronik adalah keadaan dimana individu mengalami evaluasi
diri yang negatif mengenai diri atau kemampuan dalam waktu lama.
B. Rentang Respon

Bagan rentang respon


Respon Respon

Adaptif Maladaptif

Aktualisasi Konsep Diri Harga Diri Keracunan Depersonalisasi


Diri Positif Rendah Identitas
(Iskandar, 2014:38)

a) Respon adaptif

Respon adaptif adalah kemampuan individu dalam menyelesaikan masalah yang


dihadapinya
1. Aktualisasi diri adalah pernyataan diri tentang konsep diri yang positif
dengan latar belakang pengalaman nyata yang sukses dan dapat diterima.
2. Konsep diri positif adalah apabila individu mempunyai pengalaman yang
positif dalam beraktualisasi diri dan menyadari hal-hal positif maupun
yang negatif dari dirinya.
(Eko, 2014: 102)

a. Respon Maladaptif

Respon maladaptif adalah respon yang diberikan individu krtika dia tidakmampu lagi
menyelesaikan masalah yang dihadapi.
1. Harga diri rendah adalah individu yang cenderung untuk menilai dirinya
yang negatif dan merasa lebih rendah dari orang lain.
2. Kerancuan identitas adalah identitas diri kacau atau tidak jelas sehingga
tidak memberikan kehidupan dalam mencapai tujuan.
3. Depersonalisasi (tidak mengenal diri) tidak mengenal diri yaitu
mempunyai kepribadian yang kurang sehat, tidak mampu berhubungan
dengan orang lain secara intim. Tidak ada rasa percaya diri atau tidak
dapat membina hubungan baik dengan orang lain. (Eko, 2014:102)

C. Faktor Predisposisi Harga Diri Rendah

Berbagai faktor menunjang terjadinya perubahan dalam konsep diri seseorang. Menurut
Kemenkes RI (2012) faktor predisposisi ini dapat dibagi sebagai berikut:

a. Faktor Biologis

Pengaruh faktor biologis meliputi adanya faktor herediter anggota keluarga yang mengalami
gangguan jiwa, riwayat penyaakit atau trauma kepala.

b. Faktor psikologis

Pada pasien yang mengalami harga diri rendah, dapat ditemukan adanya pengalaman masa lalu
yang tidak menyenangkan, seperti penolakan dan harapan orang tua yang tidak realisitis,
kegagalan berulang, kurang mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang
lain,penilaian negatif pasien terhadap gambaran diri, krisis identitas, peran yang terganggu, ideal
diri yang tidak realisitis, dan pengaruh penilaian internal individu.

c. Faktor sosial budaya

Pengaruh sosial budaya meliputi penilaian negatif dari lingkungan terhadap pasien yang
mempengaruhi penilaian pasien, sosial ekonomi rendah, riwayat penolakan lingkungan pada tahap
tumbuh kembang anak,dan tingkat pendidikan rendah.

D. Faktor Presipitasi Harga Diri Rendah

Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah biasanya adalah kehilangan bagian tubuh,
perubahan penampilan/bentuk tubuh, kegagalan atau produktifitas yang menurun. Secara umum
gangguan konsep diri harga diri rendah ini dapat terjadi secara situasional atau kronik. Secara
situsional misalnya karena trauma yang muncul tiba-tiba, sedangkan yang kronik biasanya
dirasakan klien sebelum sakit atau sebelum dirawat klien sudah memiliki pikiran negatif dan
memingkat saat dirawat (yosep, 2009)

Menurut Kemenkes RI (2012) faktor presipitasi harga diri rendah antara lain:

1) Trauma: penganiayaan seksual dan psikologis atau menyaksikan peristiwa yang mengancam
kehidupan

2) Ketegangan peran: berhubungan dengan peran atau posisi yang diharapkan dan individu
mengalaminya sebagai frustasi

a) Transisi peran perkembangan: perubahan normatif yang berkaitan dengan pertumbuhan

b) Transisi peran situasi: terjadi dengan bertambah atau berkurangnya anggota keluarga melalui
kelahiran atau kematian

c) Transisi peran sehat-sakit: sebagai akibat pergeseran dari keadaan sehat dan keadaan sakit.
Transisi ini dapat dicetuskan oleh kehilangan bagian tubuh; perubahan ukuran, bentuk,
penampilan atau fungsi tubuh; perubahan fisik yang berhubungan dengan tumbuh kembang
normal; prosedur medis dan keperawatan

E. Mekanisme Koping Harga Diri Rendah Kronis

Mekanisme koping pasien harga diri rendah menurut Ridhyalla Afnuhazi (2015) adalah:

a. Jangka pendek

1) Kegiatan yang dilakukan untuk lari sementara dari krisis:pemakaian obat-obatan, kerja keras,
nonton TV terus menerus.

2) Kegiatan mengganti identitas sementara (ikut kelompok sosial, keagaman, politik).

3) Kegiatan yang memberi dukungan sementara (kompetisi olahraga kontes popularitas).

4) Kegiatan mencoba menghilangkan identitas sementara (penyalahgunaan obat).

b. Jangka panjang

1) Menutup identitas

2) Identitas negatif: asumsi yang bertentangan dengan nilai dan harapan masyarakat

II. Pohon Masalah


Isolasi social :

Effect

Harga Diri Rendah Kronik

Core Problem

Koping Individu Tidak Efektif

Causa

(Iskandar, 2014:45)
2. Pengkajian dan Analisa Data
A. Pengkajian
1. Wawancara
a. Tanyakan identitas klien
b. Tanyakan masalah klien
c. Tanyakan ideal diri klien
d. Tanyakan gambaran diri klien
e. Tanyakan peran klien
f. Tanyakan harga diri klien
g. Tanyakan keinginan klien
h. Tanyakan mengapa dia mengatakan hal yang negative tentang dirinya
i. Tanyakan apa yang menjadi penyebab klien bersikap malu, minder, dan merasa
bersalah
j. Tanyakan kemampuan apa saja yang bisa klien lakukan
k. Tanyakan tentang sikap keluarganya
2. Pengkajian
a. Kontak mta kurang, tidak ada
b. Pasif dan hipoaktif
c. Bimbang dan ragu-ragu
d. Lesu
e. Tidak aktif
f. Bergantung pada orang lain
g. Selalu menyalahkan diri sendiri
h. Mengatak hal yang negatif tentang dirinya
i. Mengatak minder, malu, bersalah
j. Membolak umpan balik positif dan membesarkan umpan balik negatif mengenai
dirinya
k. Pengkajian fisik peristiwa persistem, TD,BB
3. Pemeriksaan Diagnostik
a. EKG
b. Psikotes
c. Laboratorium
d. MRI

III. Analisa Data

NO DATA MASALAH
1. DS: Harga Diri Rendah
1. Ungkapan yang menegatifkan diri
2. Mengevaluasi diri yang tak mampu
untuk menghadapi berbagai
peristiwa
3. Menolak umpan balik yang positif,
menyebutkan umpan balik yang
negative tentang dirinya
4. Rasionalisasi kegagalan pribadi

DO:

1. Kontak mata kurang, tidak ada


2. Tidak asertif
3. Pasif dan hipoaktif
4. Bimbang dan ragu-ragu
5. Lesu
6. Minder
7. Penolakan partisipasi therapi
8. Tergantung pada orang lain
9. Menangis berlebihan, bergantian
dengan ekspresi marah
2. DS: Isolasi Sosial: Menarik
1. Klien mengatakan dirinya ingin Diri
dimengerti perawat.
2. Ada ungkapan tidak ingin
berbicara dengan orang lain
karena tidak nyaman dalam
situasi sosial
3. Meminta untuk sendiri
4. Mengalami perasaan berbeda
dengan orang lain
5. Merasa tidak aman ditengah
orang lain

DO:

1. Sedih, efek tumpul


2. Menjadi tidak komunikatif,
menarik diri, kosong kontak
mata kurang
3. Asik dengan pikiran-pikiran
sendiri, menolak Tindakan yang
bermakna
4. Mengekspresikan perasaan
kesedihan
5. Tidak kooperatif
6. Disfungsi interaktif dengan
teman sebaya, keluarga dan
orang lain
IV. Diagnosa Keperawatan
1. Harga Diri Rendah berhubungan dengan koping individu tidak efektif
2. Isolasi Sosial: Menarik Diri

V. Rencana Tindakan Keperawatan

Diagnosa Rencana Keperawatan


N Tujuan Kriteria Tindakan
Keperawa Rasional
o Evaluasi Keperawatan
tan
1. Harga Diri TUK 1: Setelah - Bina - Hubungan
Rendah dilakukan hubungan saling percaya
Klien dapat
Kronik interaksi saling menjadi dasar
membina
selama 1x15 percaya keterbukaan
hubungan
menit kondisi a. Sapa klien kepada
saling
klien di baik perawat
percaya
harapkan dapat dengan a. Memulai
membaik nama pertemuan
dengan kriteria baik dengan menyapa
hasil : verbal klien dengan
maupun sopan
- Ekspresi
non
wajah b. Saling
verbal
klien berkenalan akan
b. Perkanal
bersahaba menimbulkan
kan diri
t, rasa keakraban
dengan
menunjuk dengan klien
sopan
kan rasa
c. Tanyaka c. menimbukjan
senang,
n nama rasa kenyamanan
ada
lengkap klien saat
kontak
klien berinteraksi
mata,
dengan d. klien mengerti
mau
nama maksud perawat
berjabat
panggila melakukan
tangan,
n yang interaksi
mau
disukai dengannya
menjawa
klien
b salam, e. menambahkan
d. Jelaskan
mau rasa percaya
duduk tujuan klien kepada
berdampi pertemu perawat
ngan an
f. menimbulkan
dengan e. Jujur
kenyamanan
perawat, dan
klien karena
mau menepati
perawat merima
mengutar janji
keadaan mereka
akan f. Tunjukk
masalah an sikap g. Dengan

yang empati memberikan

dihadapi dan perhatian, klien

menerim akan merasa

a klien nyaman saat

apa berinteraksi

adanya
g. Berikan
perhatia
n kepada
klien
dan
perhatik
an
kebutuha
n dasar
Perubahan TUK 2 Setelah - Diskusikan - Mengetahui
nutrisi dilakukan kemampuan kemampuan
Klien dapat
kurang interaksi 1x15 dan aspek yang dimiliki
mengidentifi
dari menit positif yang klien
kasi
kebutuhan diharapkan dimiliki -mengetahui
kemampuan
tubuh b.d klien dapat klien berbagai macam
dan aspek
intake menyebutkan kemampuan
positif yang - Bersama
yang tidak aspek positif yang dimiliki
dimiliki klien buatt
adekuat. dan klien
klien daftar
kemampuan
tentang - Pujian akan
yang dimiliki
aspek menambah
klien
positif dan motivasi klien
kemampuan untuk
yang mengungkapkan
dimiliki kemampuannya
klien
- Beri pujian
realistif dan
hindarkan
memberi
penilaian
yang negatif
TUK 3 Setelah - Berikan - Mengetahui
dilakukan kesempa kemampuan
Klien dapat
interaksi 1x15 tan pada klien dalam
melakukan
menit klien melakukan
Tindakan
diharapkan untuk suatu
sesuai
klien mencob kegiatan
kondisi sakit melakukan a - Menamba
dan kegiatan yang kegiatan hkan
kemampuan telah dilatih, yang motivasi
nya mampu telah klien
melakukan direncan untuk
beberapa akan melakuka
kegiatan secara n
- Berikan
mandiri kegiatan
pujian
lain
atas
keberhas
ilan
klien

VI. Daftar Pustaka


Iskandar, ,. d. (2012). Auhan Keperawatan Jiwa. Bandung : PT Refika Aditama.
Kartika Sari Wijayaningsih, S. N. (2015). Panduan Lengkap Praktik Klinik Keperawatan
Jiwa. Jakarta: CV.Trans Info Media.
Prabowo, E. (2014). Konsep &Aplikasi ASUHAN Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Afnuhazi, Ridhyalla. 2015. Komunikasi Terapeutik Dalam keperawatan Jiwa.
Yogyakarta: Gosyen Publishing
Badan PPSDM.2012. Modul pelatihan Kesehatan Jiwa Masyarakat. Jakarta:
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
Dermawan, D. 2013. Keperawatan Jiwa, Konsep dan Kerangka Kerja Asuhan
Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Pustaka Biru
Direja, Ade Herman Surya. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa.
Yogyakarta: Nuha Medika
Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan
dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta:
Salemba Medika
Fitria, Nita. 2012. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan
dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta:
Salemba Medika
Friedman, Marilyn m, dkk. 2010. Buku Ajar Keperawatan Keluarga Riset, Teori,
dan Praktik. Jakarta : EGC.
LAPORAN PENDAHULUAN
ISOLASI SOSIAL ( ISOS )
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Praktek Belajar Klinik ( PBK ) Keperawatan jiwa

Dosen Pembimbing : Junaedi,ners.,m.kep

Disusun oleh :

FUTRI SIFA KHOERUN NISSA

19017

Tingkat 2A

Kelompok 6

Jl.walet No.21,Kertawinangun,Kedawung Cirebon,Jawa Barat 45153

STIKES AHMAD DAHLAN CIREBON

1. Masalah utama
Isolasi Sosial
A. Definisi
 Pengertian
Isolasi sosial adalah keadaan dimana individu mengalami penurunan atau bahkan sama
sekali tidak mampu berinteaksi dengan orang lain disekitarnya (Damaiyanti, 2012).
Klien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina
hubungan yang berarti dengan orang lain (Keliat, 2011). Isolasi sosial juga merupakan
kesepian yang dialami individu dan dirasakan saat didorong oleh keberadaan orang
lain sebagai pernyataan negatif atau mengancam (NANDA-I dalam Damaiyanti,
2012).
Isolasi sosial merupakan suatu gangguan interpersonal yang terjadi akibat adanya
kepribadian yang tidak fleksibel menimbulkan perilaku maladaptif dan mengganggu
fungsi seseorang dalam hubungan sosial (DepKes, 2000 dalam Direja, 2011). Isolasi
sosial merupakan upaya Klien untuk menghindari interaksi dengan orang lain,
menghindari hubungan dengan orang lain maupun komunikasi dengan orang lain
(Trimelia, 2011).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa isolasi sosial merupakan keaadaan seseorang yang
mengalami penurunan bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain
karena mungkin merasa ditolak, kesepian dan tidak mampu menjalin hubungan yang
baik antar sesama.

 Tanda Dan Gejala


Menurut Yosep (2009) tanda dan gejala klien isolasi sosial bisa dilihat dari dua cara
yaitu secara objektif dan subjektif. Berikut ini tanda dan gejala klien dengan isolasi sosial:
a. Gejala subjektif
1. Klien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain.
2. Klien merasa tidak aman berada dengan orang lain.
3. Respons verbal kurang dan sangat singkat.
4. Klien mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain.
5. Klien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu.
6. Klien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan.
7. Klien merasa tidak berguna.
b. Gejala objektif
1. Klien banyak diam dan tidak mau bicara.
2. Tidak mengikuti kegiatan.
3. Klien berdiam diri di kamar.

4. Klien menyendiri dan tidak mau berinteraksi dengan orang yang terdekat.
5. Klien tampak sedih, ekspresi datar dan dangkal.
6. Kontak mata kurang.
7. Kurang spontan.
8. Apatis
9. Ekspresi wajah kurang berseri.
10. Mengisolasi diri
11. Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitar.
12. Aktivitas menurun.
Perilaku ini biasanya disebabkan karena seseorang menilai dirinya rendah, segera
timbul perasaan malu untuk berinteraksi dengan orang lain. Bila tidak dilakukan intervensi
lebih lanjut, maka akan menyebabkan perubahan persepsi sensori: halusinasi dan resiko
mencederai diri, orang lain, bahkan lingkungan (Herman Ade, 2011).

 Tingkatan
1. Bayi
Bayi sangat tergantung pada orang lain dalam memenuhi kebutuhan biologis
dan psikologisnya. Bayi umumnya menggunakan komunikasi yang sangat
sederhana dalam menyampaikan kebutuhannya, misalnya menangis untuk
semua kebutuhan. Konsisten ibu dan anak seperti stimulus sentuhan, kontak
mata, komunikasi yang hangat merupakan aspek penting yang harus di bina
sejak dini karena akan menghasilkan rasa aman dan rasa percaya yang
mendasar. Kegagalan pemenuhan kebutuhan bayi melalui ketergantungan pada
orang lain kan mengakibatkan rasa tidak percaya diri sendiri dan orang lain
serta menarik diri(Abdul Muhith,2015).
2. Prasekolah
Materson menamakan masa antara usia 18 bulan – 3 tahun yang merupakan
taraf masa pemisahan pribadi. Anak prasekolah mulai memperluas hubungan
sosialnya di luar lingkungan keluarga,khususnya ibu (pengasuh). Anak
menggunakan kemampuan berhubungan yang telah di miliki untuk
berhubungan dengan lingkungan di luar keluarga. Dalam hal ini,anak
membutuhkan dukungan dan bantuan dari keluarga khususnya pemberian
pengakuan yang positif terhadap perilaku yang adaptif. Hal ini merupakan
dasar otonomi anak yang berguna untuk mengembangkan kemampuan
hubungan interdependen. Kegagalan anak dalam berhubungan dengan
lingkungannya disertai respon keluarga yang negatif akan mengakibatkan anak
menjadi tidak mampu mengontrol diri ,tidak mandiri, ragu, menarik diri dari
lingkungan, kurang percaya diri, pesimis, takut perilakunya salah(Abdul
Muhith,2015)
3. Anak anak
Anak mulai mengembangkan dirinya sebagai individu yang mandiri dan mulai
mengenal lingkungan lebih luas,dimana anak mulai membina hubungan
dengan teman temanny. Pada usia ini anak mulai mengenal kerjasama,
kompetisi, dan kompromi. Konflik sering terjadi dengan orang tua karena
pembatasan dan dukungan yang tidak konsisten. Teman dengan orang dewasa
di luar keluarga (guru,orang tua teman) merupakan sumber pendukung yang
penting bagi anak. Kegagalan dalam membina hubungan dengan teman di
sekolah, kurangnya dukungan guru dan pembatasan serta dukungan yang tidak
konsisten dari orang tua mengakibatkan frustasi terhadap kemampuannya ,
putus asa,merasa tidak mampu, dan menarik diri dari lingkungan(Abdul
muhith,2015)
4. Remaja
Pada usia ini, individu mempertahankan hubungan interdependen dengan orang
tua dan teman sebaya. Individu belajar mengalami keputusan dengan
mempertahatikan saran dan pendapat orang lain seperti memilih
pekerjaan,memilih karier,dan melangsungkan pernikahan. Kegagalan individu
menghindari hubungan intim,menjauhi orang lain, dan putus asa akan karier.
5. Dewasa Muda
Pada usia ini, individu mempertahankan hubungan interdependen dengan orang
tua dan teman sebaya. Individu belajar mengambil keputusan dengan
mempertahatikan saran dan pendapat orang lain, seperti memilih
pekerjaan,memilih karier, dan melangsungkan pernikahan. Kegagalan individu
dalam melanjutkan sekolah,pekerjaan,pernikahan mengakibatkan individu
menghindari hubungan intim,menjauhi orang lain,dan putus asa akan karier.
6. Dewasa Tengah
Individu pada usia dewasa tengah umumnya telah pisah tempat tinggal dengan
orang tua, khususnya individu telah menikah. Jika ia telah menikah,maka peran
menjadi orang tua dan mempunyai hubungan antar orang dewasa merupakan
situasi tempat menguji kemampuan hubungan interdependen. Kegagalan pisah
tempat tinggal dengan orang tua,membina hubungan yang baru dan tidak
mendapatkan dukungan dari orang dewasa lain akan mengakibatkan perhatian
hanya tertuju pada diri sendiri,produktivitas dan kreativitas berkurang, dan
perhatian pada orang lain berkurang.
7. Dewasa Lanjut
Pada masa ini, individu akan mengalami kehilangan,baik kehilangan fungsi
fisik, kegiatan, pekerjaan, teman hidup (teman sebaya dan pasangan), anggota
keluarga(kematian orang tua). Individu tetap memerlukan hubungan yang
memuaskan dengan orang lain. Individu yang mempunyai perkembangan yang
baik dapat menerima kehilangan yang terjadi dalam kehidupannya dan
mengakui bahwa dukungan orang lain dapat membantu dalam menghadapi
kehilangannya. Kegagalan dalam masa ini dapat menyebabkan individu merasa
tidak berguna,tidak di hargai, dan hal lain dapat membuat individu menarik diri
dan rendah diri(Abdul muhith,2015)
 Klasifikasi
Terdapat banyak klasifikasi gangguan kejiwaan dengan tingkatan tertentu yang
memerlukan penanganan. Salah satunya adalah Isolasi sosial. Ada 5 tahap.
Pada tahap pengkajian, data yang dikumpulkan berupa data biologis, psikologis, sosial
dan spiritual. Data subjektif yang mungkin muncul adalah rasa malas berinteraksi,
penolakan dari orang lain dan perasaan tidak berguna. Pada data objektif yang
mungkin timbul adalah keenggaan dan kurangnya insiatif untuk membangun sebuah
percakapan dengan orang lain, mondar-mandir tanpa tujuan, afek tumpul dan kontak
mata kurang. Berdasarkan data-data tersebut dapat dibentuk pohon masalah (Dalami et
al., 2009).
Diagnosa keperawatan menyangkut respons perilaku terhadap stress yang disebabkan
dari hubungan sosial misalnya pada pasien isolasi sosial. Pada tahap perencanaan,
perawat membuat tujuan baik umum maupun khusus dan rencana tindakan yang akan
diberikan (Riyadi & Purwanto, 2009).
Pada tahap implementasi, tindakan dikelompokan untuk individu dan keluarga
misalnya dengan memberikan terapi sosialisasi untuk pasien isolasi sosial dan terapi
social skill training (SST) dan terapi suportif untuk pasien skizofrenia (Harkomah, Arif
& Basmanelly, 2018, hlm. 66). Begitupula yang dilakukan pada tahap evaluasi.
B. Rentang Respon

Menurut Stuart Sundeen dalam Sutejo tentang respon klien ditinjau dari interaksinya
dengan lingkungan sosial merupakan suatu kontinum yang terbentang antara respon adaptif
dengan maladaptive sebagai berikut:

Adaptif Maladaptif

Manipulasi,
Menyendiri, Otonomi, Kesepian, menarik
kebersamaan, saling
ketergantungan ketergantungan

Skema 2.1 Rentang respon isolasi sosial

(sumber: Sutejo, 2017)

a. Respon Adaptif

Menurut Sutejo (2017) respon adaptif adalah respon yang masih dapat diterima oleh
norma-norma sosial dan kebudayan secara umum yang berlaku. Dengan kata lain individu
tersebut masih dalam batas normal ketika menyelesaikan masalah. Berikut adalah sikap yang
termasuk respon adaptif:

1. Menyendiri, respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa yang


telah terjadi di lingkungan sosialnya.
2. Otonomi, kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan ide,
pikiran, dan perasaan dalam hubungan sosial.
3. Kebersamaan, kemampuan individu dalam hubungan interpersonal yang saling
membutuhkan satu sama lain.
4. Saling ketergantungan (Interdependen), suatu hubungan saling ketergantungan
antara individu dengan orang lain
b. Respon Maladaptif
Menurut Sutejo (2017) respon maladaptif adalah respon yang menyimpang dari norma
sosial dan kehidupan di suatu tempat. Berikut ini adalah perilaku yang termasuk respon
maladaptif:
1. Manipulasi, kondisi dimana individu cenderung berorientasi pada diri sendiri.
2. Impulsif merupakan respon sosial yang ditandai dengan individu sebagai subjek
yang tidak dapat diduga, tidak dapat dipercaya dan tidak mampu melakukan
penilaian secara objektif.
3. Narsisisme, kondisi dimana individu merasa harga diri rapuh, dan mudah marah.

C. Faktor Predisposisi
Predisposisi adalah ada juga faktor presipitasi yang menjadi penyebab antara lain adanya
stressor sosial budaya serta stressor psikologis yang dapat menyebabkan klien mengalami
kecemasan (Arisandy, 2017).
a. Aspek Biologis
Sebagian besar faktor predisposisi pada klien yang diberikan terapi latihan ketrampilan
sosial adalah adanya riwayat genetik yaitu sebanyak 66,7%. Faktor genetik memiliki peran
terjadinya gangguan jiwa pada klien yang menderita skizofrenia
b. Aspek Psikologis
Faktor predisposisi pada aspek psikologis sebagian besar akibat adanya riwayat
kegagalan/kehilangan (77,8%). Pengalaman kehilangan dan kegagalan akan mempengaruhi
respon individu dalam mengatasi stresornya
c. Aspek sosial budaya
Dimana pada klien kelolaan didapatkan aspek sosial budaya sebagian besar adalah
pendidikan menengah dan sosial ekonomi rendah masing-masing

D. Faktor Presipitasi
Menurut Herman Ade (2011) terjadinya gangguan hubungan sosial juga dipengaruhi oleh
faktor internal dan eksternal seseorang. Faktor stressor presipitasi dapat dikelompokan
sebagai berikut:
1. Stressor Sosial Budaya
Stress dapat ditimbulkan oleh beberapa faktor antara faktor lain dan faktor keluarga
seperti menurunnya stabilitas unit keluarga dan berpisah dari orang yang berarti
dalam kehidupannya, misalnya karena dirawat dirumah sakit.
2. Stressor Psikologi
Tingkat kecemasan berat yang berkepanjangan terjadi bersamaan dengan
keterbatasan kemampuan untuk mengatasinya. Tuntutan untuk berpisah dengan
orang dekat atau kegagalan orang lain untuk memenuhi kebutuhan ketergantungan
dapat menimbulkan kecemasan tingkat tinggi.

E. Mekanisme Koping
Mekanisme koping digunakan klien sebagai usaha mengatasi kecemasan yang merupakan
suatu kesepian nyata yang mengancam dirinya. Mekanisme koping yang sering digunakan
adalah proyeksi, splitting (memisah) dan isolasi. Proyeksi merupakan keinginan yang tidak
mampu ditoleransi dan klien mencurahkan emosi kepada orang lain karena kesalahan
sendiri. Splitting merupakan kegagalan individu dalam menginterpretasikan dirinya dalam
menilai baik buruk. Sementara itu, isolasi adalah perilaku mengasingkan diri dari orang
lain maupun lingkungan (Sutejo, 2017).

I. Pohon Masalah
Resiko Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi (effect)

ISOLASI SOSIAL

(core problem)

Gangguan konsep diri: Harga diri rendah (causa)

Skema 2.2 Pohon Masalah Diagnosa Isolasi Sosial

(Sumber: Sutejo, 2017)

II. Analisa Data Dan Data Fokus Pengkajian


a. Identitas
Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, agama, pekerjaan, status
mental, suku bangsa, alamat, nomor rekam medis, ruang rawat, tanggal masuk rumah sakit,
tanggal pengkajian, diagnosis medis.Identitas penanggung jawab : nama, umur, jenis
kelamin, pendidikan, pekerjaan, agama, hubungan dengan klien, alamat.
b. Alasan Masuk
1. Apa penyebab klien datang ke RSJ?
2. Apa yang sudah dilakukan keluarga?
3. Bagaimana hasilnya?
c. Faktor Predisposisi
Kehilangan, perpisahan, penolakan orangtua, harapan orang tua yang tidak realistis,
kegagalan/frustasi berulang, tekanan dari kelompok sebaya; perubahan struktur sosial.
Terjadi trauma yang tiba-tiba misalnya harus dioperasi, kecelakaan dicerai suami, putus
sekolah, PHK, perasaan malu karena sesuatu yang terjadi (korban perkosaan, dituduh
KKN, dipenjara tiba-tiba) perlakuan orang lain yang tidak menghargai Klien/perasaan
negatif terhadap diri sendiri yang berlangsung lama.
d. Fisik
Pemeriksaan fisik mencakup semua sistem yang ada hubungannya dengan klien depresi
berat didapatkan pada sistem integumen klien tampak kotor, kulit lengket di karenakan
kurang perhatian terhadap perawatan dirinya bahkan gangguan aspek dan kondisi klien .
e. Psikososial
Konsep Diri:
1) Gambaran Diri : Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang berubah atau
tidak menerima perubahan tubuh yang telah terjadi atau yang akan terjadi. Menolak
penjelasan perubahan tubuh, persepsi negatif tentang tubuh. Preokupasi dengan
bagian tubuh yang hilang, mengungkapkan keputus asaan, mengungkapkan
ketakutan.
2) Ideal Diri : Mengungkapkan keputus asaan karena penyakitnya: mengungkapkan
keinginan yang terlalu tinggi.
3) Harga Diri : Perasaan malu terhadap diri sendiri, rasa bersalah terhadap diri sendiri,
gangguan hubungan sosial, merendahkan martabat, mencederai diri, dan kurang
percaya diri.
4) Penampilan Peran : Berubah atau berhenti fungsi peran yang disebabkan penyakit,
proses menua, putus sekolah, PHK.
5) Identitas Personal : Ketidakpastian memandang diri, sukar menetapkan keinginan dan
tidak mampu mengambil keputusan.
f. Hubungan Sosial
Klien mempunyai gangguan / hambatan dalam melakukan hubungan sosial dengan orang
lain terdekat dalam kehidupan, kelompok yang diikuti dalam masyarakat.
g. Spiritual
Nilai dan keyakinan klien, pandangan dan keyakian klien terhadapap gangguan jiwa sesuai
dengan norma dan agama yang dianut pandangan masyarakat setempat tentang gangguan
jiwa. Kegiatan ibadah : kegiatan di rumah secara individu atau kelompok.
h. Status Mental
Kontak mata klien kurang/tidak dapat mepertahankan kontak mata, kurang dapat memulai
pembicaraan, klien suka menyendiri dan kurang mampu berhubungan dengan orang lain,
adanya perasaan keputusasaan dan kurang berharga dalam hidup.
1) Penampilan
Biasanya pada Klien menarik diriklien tidak terlalu memperhatikan penampilan,
biasanya penampilan tidak rapi, cara berpakaian tidak seperti biasanya (tidak tepat).
2) Pembicaraan
Cara berpakaian biasanya di gambarkan dalam frekuensi, volume dan karakteristik.
Frekuansi merujuk pada kecepatan Klien berbicara dan volume di ukur dengan
berapa keras klien berbicara. Observasi frekuensi cepat atau lambat, volume keras
atau lambat, jumlah sedikit, membisu, dan di tekan, karakteristik gagap atau kata-
kata bersambungan.
3) Aktifitas Motorik
Aktifitas motorik berkenaan dengan gerakan fisik klien. Tingkat aktifitas : letargik,
tegang, gelisah atau agitasi. Jenis aktifitas : seringai atau tremor. Gerakan tubuh
yang berlebihan mungkin ada hubunganya dengan ansietas, mania atau
penyalahgunaan stimulan. Gerakan motorik yang berulang atau kompulsif bisa
merupakan kelainan obsesif kompulsif.
4) Alam Perasaan
Alam perasaan merupakan laporan diri klien tentang status emosional dan cerminan
situasi kehidupan klien. Alam perasaan dapat di evaluasi dengan menanyakan
pertanyaan yang sederhana dan
hari ini” apakah klien menjawab bahwa ia merasa sedih, takut, putus asa, sangat
gembira atau ansietas.
5) Afek
Afek adalah nada emosi yang kuat pada klien yang dapat di observasi oleh perawat
selama wawancara. Afek dapat digambarkan dalam istilah sebagai berikut :
batasan, durasi, intensitas, dan ketepatan. Afek yang labil sering terlihat pada
mania, dan afek yang datar,tidak selaras sering tampak pada skizofrenia.
6) Persepsi
Ada dua jenis utama masalah perseptual : halusinasi dan ilusi. Halusinasi di
definisikan sebagai kesan atau pengalaman sensori yang salah. Ilusi adalah persepsi
atau respon yang salah terhadap stimulus sensori. Halusinasi perintah adalah yang
menyuruh klien melakukan sesuatu seperti membunuh dirinya sendiri, dan melukai
diri sendiri.
7) Interaksi Selama Wawancara
Interaksi menguraikan bagaimana klien berhubungan dengan perawat. Apakah
klien bersikap bermusuhan,tidak kooperatif, mudah tersinggung, berhati-hati,
apatis, defensive,curiga atau sedatif.
8) Proses Pikir
Proses pikir merujuk “ bagaimana” ekspresi diri klien proses diri klien diobservasi
melalui kemampuan berbicaranya. Pengkajian dilakukan lebih pada pola atas
bentuk verbalisasi dari pada isinya.
9) Isi Pikir
Isi pikir mengacu pada arti spesifik yang diekspresikan dalam komunikasi klien.
Merujuk pada apa yang dipikirkan klien walaupun klien mungkin berbicara
mengenai berbagai subjek selama wawancara, beberapa area isi harus dicatat dalam
pemeriksaan status mental. Mungkin bersifat kompleks dan sering disembunyikan
oleh klien.
10) Tingkat Kesadaran
Pemeriksaan status mental secara rutin mengkaji orientasi klien terhadap situasi
terakhir. Berbagai istilah dapat digunakan untuk menguraikan tingkat kesadaran
klien seperti bingung, tersedasi atau stupor.
11) Memori
Pemeriksaan status mental dapat memberikan saringan yang cepat tehadap
masalah-masalah memori yang potensial tetapi bukan merupakan jawaban definitif
apakah terdapat kerusakan yang spesifik. Pengkajian neurologis diperlukan untuk
menguraikan sifat dan keparahan kerusakan memori. Memori didefinisikan sebagai
kemampuan untuk mengingat pengalaman lalu.
12) Tingkat Konsentrasi Dan Kalkulasi
Konsentrasi adalah kemampuan klien untuk memperhatikan selama jalannya
wawancara. Kalkulasi adalah kemampuan klien untuk mengerjakan hitungan
sederhana.
13) Penilaian
Penilaian melibatkan perbuatan keputusan yang konstruktif dan adaptif termasuk
kemampuan untuk mengerti fakta dan menarik kesimpulan dari hubungan.
14) Daya Titik Diri
Penting bagi perawat untuk menetapkan apakahklien menerima atau mengingkari
penyakitnya.
i. Kebutuhan Persiapan Pulang
Pengkajian diarahkan pada klien dan keluarga klien tentang persiapan keluarga, lingkungan
dalam menerima kepulangan klien. Untuk menjaga klien tidak kambuh kembali diperlukan

adanya penjelasan atau pemberian pengetahuan terhadap keluarga yang mendukung


pengobatan secara rutin dan teratur.

ANALISA DATA

Data Masalah Keperawatan

DS: Gangguan isolasi sosial


Klien hanya diam saja tidak mau
berinteraksi dengan orang lain
DO:
1. Klien tampak diam, tidak mau
bersosialisasi dengan orang lain
2. Pasien tampak menyendiri
3. Pasien tampak tidak kooperatif

III. Diagnosa Keperawatan


Menurut Sutejo (2017) diagnosis keperawatan dirumuskan berdasarkan tanda dan
gejala isolasi sosial yang ditemukan. Jika hasil pengkajian menunjukkan tanda dan gejala
isolasi sosial, maka diagnosis keperawatan yang ditegakkan adalah:

a. Isolasi sosial
b. Gangguan konsep diri : Harga diri rendah
c. Resiko perubahan persepsi sensori: halusinasi

IV. Rencana Tindakan keperawatan

A. Diagnosa I : Isolasi sosial


Tum : klien dapat berinteraksi dengan orang lain. Tuk I
:klien dapat membina hubungan saling percaya
Intervensi :
 Beri salam terapeutik

 Perkenalkan nama, nama panggilan perawat, dan tujuan perawat


berkenalan

 Tanyakan dan panggil nama kesukaan klien

 Tunjukkan sikap jujur dan menepati janji setiap berinteraksi

 Tanyakan perasaan klien dan masalah yang dihadapi klien

 Buat kontak interaksi yang jelas


Tuk II : klien dapat menyebutkan penyebab menarik diri
Intervensi :
 Mengkaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri

 Memberi kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan


perasaan yang menyebabkan klien tidak mau bergaul.
 Berikan pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan
perasaannya

Tuk III : klien dapat menyebutkan keuntungan berinteraksi dengan orang lain
dan kerugian berinteraksi dengan orang lain
Intervensi :
 Mengkaji pengetahuan klien tentang keuntungan memiliki teman

 Memberi kesempatan klien untuk berinteraksi dengan orang lain

 Mendiskusikan dengan klien tentang keuntungan berinteraksi dengan orang


lain
 Memberi pujian terhadap kemampuan mengungkapkan perasaan tentang
keuntungan berinteraksi dengan orang lain tentan kerugian apabila tidak
 Mengkaji pengetahuan klien berinteraksi dengan orang lain

Tuk IV : Klien Dapat Melaksanakan Interaksi Sosial secara bertahap.


Intervensi :
 Mengkaji kemapuan klien membina hubungan dengan orang lain

 Memperagakan cara berhubungan atau berinteraksi dengan orang lain


 Mendorong klien untuk berinteraksi dengan orang lain

 Memberi pujian klien terhadap keberhasilan yang telah dicapai

 Membantu klien mengevaluasi keuntungan menjalin hubungan sosial


 Mendiskusikan jadwal harian dapat dilakukan bersama klien dalam mengisi
waktu, yaitu berinteraksi dengan orang lain
Tuk V :Klien Dapat Mengungkapkan Perasaannya setelah berinteraksi dengan
orang lain.
Intervensi :

 Mendorong klien mengungkapkan perasaannya bila berinteraksi dengan


orang lain
 Mendiskusikan bersama klien tentang perasaannya setelah
berinteraksi dengan orang lain
 Memberi pujian atas kemampuan klien mengungkapkan perasaan
keuntungan berinteraksi dengan orang lain

Tuk VI : Klien dapat menggunakan system pendukung atau keluarga.


Intervensi :
 Membina hubungan saling percaya kepada keluarga

 Mendiskusikan tentang :

a. Perilaku menarik diri

b. Penebab perilaku menarik diri

c. Akibat yang terjadi apabila perilaku menarik diri tidak


ditanggapi
d. Cara keluarga menghadapi perilaku menarik diri

e. Mendorong anggota keluarga untuk memberi dukungan kepada


klien dalam berkomunikasi dengan orang lain

Diagnosa 2 : Gangguan konsep diri: Harga Diri Rendah

Tum :Klien dapat berhubungan dengan orang lain secara optimal dan mampu
meningkatkan harga dirinya.
Tuk I : klien dapat membina hubungan saling percaya.
Intervensi :
 Bersalaman panggil nama

 Menyebutkan nama perawat sambil berjabat tangan

 Menjelaskan maksud hubungan interaksi

 Menjelaskan kontrak yang akan dibahas

 Melakukan kontak singkat tapi sering

Tuk II : Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
Intervensi :

 Mendiskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien

 Setiap bertemu hindarkan diri memberi penilaian negatif

 Mengutamakan memberi pujian positif

Tuk III :Kklien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan.


Intervensi :
 Mendiskusikan dengan klien kemampuan yang masih dimiliki dapat
digunakan sebelum sakit
 Mendiskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkan     penggunaannya

Tuk IV :Klien dapat menetapkan, merencanakan kegiatan sesuai dengan


kemampuan yang dimiliki
Intervensi :

 Merencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari


sesuai dengan kemampuan
 Mengingatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien
 Memberi contoh pelaksanaan kegiatan yang boleh dilakukan

Tuk V :Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi klien dan kemampuannya.
Intervensi :

 Merencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari


sesuai dengan kemampuan
 Memberi kesempatan pada klien untuk melakukan kegiatan yang
direncanakan.
 Memberi pujian atas keberhasilan klien

Tuk V I : Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada.


Intervensi :
 Mendiskusikan mengenai tanda-tanda harga diri rendah

 Menganjurkan keluarga klien mengenal tanda-tanda dan cara menghargai


klien
 Keluarga tidak membedakan dengan anggota keluarga yang lain

Diagnosa 3 : Gangguan persepsi sensori :Halusinasi

Tum :Klien dapat berinteraksi dengan orang lain sehingga tidak terjadi halusinasi.
Tuk :

1. Klien dapat membina hubungan saling percaya

2. Klien dapat mengenal halusinasinya

3. Klien dapat mengontrol halusinasi

4. Klien memiliki cara mengatasi seperti yang telah didiskusi


5. Klien dapat dukungan dari keluarga dalam mengontrol halusinasi

6. Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik


Intervensi :
 Membina hubungan saling percaya dengan mengungkapkan prinsip
komunikasi terapeutik
 Menyapa dengan ramah klien

 mempererkenalkan diri dengan sopan

 Bertanya nama lengkap klien

 Menjelaskan tujuan pertemuan

 Jujur dan tepat janji

 Menunjunjukkan sikap empati

 Memberi perhatian pada klien

 Membantu antu klien mengenal halusinasi

 Mendiiskusikan dengan klien situasi yang menimbulkan halusinasi

 Mengidentifikasi bersama klien cara tindakan yang dilakukan jika terjadi


halusinasi
 Memberi beri pujian pada klien

 Mendiiskusikan cara lain untuk memutus halusinasi

V. DAFTAR PUSTAKA

Direja, Ade Herman Surya. 2011. Buku Asuhan Keperawatan Jiwa. Nuha Medika, Yogyakarta.
Erlinafsiah. 2010. Modal Perawat Dalam Praktik Keperawayan Jiwa. Trans Info Media, Jakarta.
Fitria, Nita. Dkk. 2013. Laporan Pendahuluan Tentang Masalah Psikososial. Salemba Medika,
Jakarta.
Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahukuan dan Stratrgi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan. Salemba Medika, Jakarta.
http://www.dnet.net.id/kesehatan/beritasehat/detail.php.id=2254
Keliat, Budu Anna. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. EGC, Jakarta.
Keliat, Budu Anna. 2004. Keperawatan Jiwa Terapi Aktifitas Kelompok. EGC, Jakarta.
Keliat , Budu Anna. 2005. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. EGC. Jakarta.3
Kusuma, Farida dan Hartono, Yudi. 2010. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Salemba Medika,
Jakarta.
Nanda, 2012. Diagnosa Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Buku Kedokteran
:EGC.
Nurjannah. I. 2004. Pedoman Pada Gangguan Jiwa. MocoMedia. Yogyakarta. Rekam Medik,
Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta.2013.
Yosep, Iyus. 2007. Keperawatan Jiwa. PT. Refika Aditama, Bandung.
LAPORAN PENDAHULUAN
RESIKO PERILAKU KEKERASAN ( RPK)
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Praktek Belajar Klinik ( PBK ) Keperawatan jiwa

Dosen Pembimbing : Junaedi,ners.,m.kep

Disusun oleh :

FUTRI SIFA KHOERUN NISSA

19017

Tingkat 2A

Kelompok 6

Jl.walet No.21,Kertawinangun,Kedawung Cirebon,Jawa Barat 45153

STIKES AHMAD DAHLAN CIREBON


I. Kasus (Masalah Utama )
Perilaku Kekerasan
A. Definisi
 Pengertian

Perilaku kekerasan adalah salah satu respons marah yang diespresikan dengan melakukan
ancaman, mencederai orang lain, dan merusak lingkungan. Respons ini dapat menimbulkan
kerugian baik bagi diri sendiri, orang lain, dan lingkungan (Keliat,dkk, 2011).

Perilaku kekerasan merupakan suatu rentang emosi dan ungkapan kemarahan yang
dimanisfestasikan dalam bentuk fisik. Kemarahan merupakan suatu komunikasi atau proses
penyampaian pesan individu. Orang yang mengalami kemarahan sebenarnya ingin menyampaian
pesan bahwa ia “tidak setuju, merasa tersinggung, merasa tidak dianggap, merasa tidak dituntut
atau diremehkan” (Yosep, 2011).

Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat
membahayakan secara fisik, baik pada dirinya sendiri maupun orang lain, disertai dengan amuk
dan gaduh gelisah yang tidak terkontrol (Kusumawati, 2010).

 Tanda dan Gejala

Data objektif :

-Mata merah

-Pandangan tajam

-Otot tegang

-Nada suara tinggi

-Suka berdebat

-Sering memaksakan kehendak

-Suka merebut makanan : memukul jika tidak senang

Data subyektif :

-Sering merasa terancam


-Mengungkapkan perasaan tak berguna

-Mengungkapkan perasaan jengkel

-Mengungkapkan adanya keluhan fisik ,berdebar-debar, merasa tercekik,sesak, dan bingung.

 Tingkatan

Tingkat perilaku kekerasan menurut Jeffrey dkk (2006)

A.Ringan

Merupakan perilaku kekerasan yang di perlihatkan pasien dengan gangguan jiwa hanya sebatas
intimidasi terhadap orang orang disekitarnya .Pasien belum melakukan kekerasan verbal tetapi
sudah menunjukan kekerasan emosional. Bentuknya merupakan emosional verbal seperti mata
melotot, melihat dengan tajam atau mengepalkan tangan

B.Menengah (sedang )

Merupakan perilaku kekerasan yang sudah dilakukan pasien tetapi tidak mengakibatkan cedera
yang berarti pasien dengan gangguan jiwa sudah menyerang dengan intensitas yang rendah,
misalnya memukul tapi dengan jenis pukulan yang tidak terlalu keras.

C. Berat

Merupakan perilaku kekerasan yang benar benar dilakukan pasien dengan gangguan jiwa dalam
intensitas yang berat.Biasanya akan mengakibatkan cedera serius pada orang yang diserang.

 Klasifikasi

-Irritable agression

Merupakan tindak kekerasan akibat ekspresi perasaan marah. Agresi ini dipicu oleh oleh frustasi
dan terjadi karena sirkuit pendek pada proses penerimaan dan memahami informasi dengan
intensitas emosional yang tinggi (directed against an available target)

-Instrumental agression

Suatu tindak kekerasan yang dipakai sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu.  Misalnya untuk
mencapai tujuan politik tertentu dilakukan tindak kekerasan secara sengaja dan terencana.

- Mass agression

Suatu tindak agresi yang dilakukan oleh massa sebagai akibat kehilangan individualitas dari
masing-masing individu. Pada saat orang berkumpul terdapat kecenderungan berkurangnya
individualitas, bila ada ada seseorang yang mempelopori tindak kekerasan maka secara otomatis
semua akan ikut melakukan kekerasan yang dapat semakin meninggi karena saling
membangkitkan. Pihak yang menginisiasi tindak kekerasan tersebut bisa saja melakukan agresi
instrumental (sebagai provokator) maupun agresi permusuhan karena kemarahan tidak terkendali
(Keliat, 1996 dalam Muhith, 2015)

B. Rentang Respon

Menurut Yosep ( 2007 ) perilaku kekerasan dianggap sebagai suatu akibat yang ekstrim dari
marah atau ketakutan ( panik ).

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan

Setiap orang mempunyai kapasitas berperilaku asertif, pasif dan agresif sampai kekerasan. Dari
gambar tersebut dapat disimpulkan bahwa

a. Asertif : individu dapat mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang lain


dan memberikan ketenangan.
b. Frustasi : individu gagal mencapai tujuan kepuasan saat marah dan tidak dapat
menemukan alternatif.
c. Pasif : indivi du tidak dapat mengungkapkan perasaannya.
d. Agresif : perilaku yang menyertai marah terdapat dorongan untuk menuntut
tetapi masih terkontrol.
e. Kekerasan : perasaan marah dan bermusuhan yang kuat serta hilangnya kontrol.
Perilaku kekerasan merupakan suatu rentang emosi dan ungkapan kemarahan
yang dimanivestasikan dalam bentuk fisik. Kemarahan tersebut merupakan
suatu bentuk komunikasi dan proses penyampaian pesan dari individu. Orang
yang mengalami kemarahan sebenarnya ingin menyampaikan pesan bahwa ia
”tidak setuju, tersinggung, merasa tidak dianggap, merasa tidak dituruti atau
diremehkan.” Rentang respon kemarahan individu dimulai dari respon normal
(asertif) sampai pada respon yang tidak normal (maladaptif).
C. Faktor predisposisi

Menurut Sujono dan Teguh ( 2009 ) faktor-faktor yang mendukung terjadinya perilaku kekerasan
adalah

a. Faktor biologis
1) Intinctual drive theory (teori dorongan naluri) Teori ini menyatakan
bahwa perilaku kekerasan disebabkan oleh suatu dorongan kebutuhan
dasar yang kuat.
2) Psycomatic theory (teori psikomatik) Pengalaman marah adalah akibat
dari respon psikologis terhadap stimulus eksternal, internal maupun
lingkungan. Dalam hal ini sistem limbik berperan sebagai pusat untuk
mengekspresikan maupun menghambat rasa marah
b. Faktor psikologis
1) Frustasion aggresion theory ( teori argesif frustasi) Menurut teori ini
perilaku kekerasan terjadi sebagai hasil akumulasi frustasi yang terjadi
apabila keinginan individu untuk mencapai sesuatu gagal atau terhambat.
Keadaan tersebut dapat mendorong individu berperilaku agresif karena
perasaan frustasi akan berkurang melalui perilaku kekerasan.
2) Behavioral theory (teori perilaku) Kemarahan adalah proses belajar, hal ini
dapat dicapai apabila tersedia fasilitas atau situasi yang mendukung
reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan, sering
mengobservasi kekerasan di rumah atau di luar rumah. Semua aspek ini
menstimulai individu mengadopsi perilaku kekerasan.
3) Existential theory (teori exsistensi) Bertindak sesuai perilaku adalah
kebutuhan yaitu kebutuhan dasar manusia apabila kebutuhan tersebut tidak
dapat dipenuhi melalui perilaku konstruktif maka individu akan memenuhi
kebutuhannya melalui perilaku destruktif
c. Faktor sosio kultural
1) Social enviroment theory ( teori lingkungan ) Lingkungan sosial akan
mempengaruhi sikap individu dalam mengekspresikan marah. Budaya
tertutup dan membalas secara diam (pasif agresif) dan kontrol sosial yang
tidak pasti terhadap perilaku kekerasan akan menciptakan seolah-olah
perilaku kekerasan diterima.
2) Social learning theory ( teori belajar sosial ) Perilaku kekerasan dapat
dipelajari secara langsung maupun melalui proses sosialisasi.
D. Faktor presipitasi
Stressor yang mencetuskan perilaku kekerasan bagi setiap individu bersifat buruk.
Stressor tersebut dapat disebabkan dari luar maupun dalam. Contoh stressor yang
berasal dari luar antara lain serangan fisik, kehilangan, kematian, krisis dan lain-
lain. Sedangkan dari dalam adalah putus hubungan dengan seseorang yang berarti,
kehilangan rasa cinta, ketakutan terhadap penyakit fisik, hilang kontrol,
menurunnya percaya diri dan lain-lain.Selain itu lingkungan yang terlalu ribut,
padat, kritikan yang mengarah pada penghinaan, tindakan kekerasan dapat memicu
perilaku kekerasan.
E. Mekanisme koping
1) Konstruktif Mekanisme konstruktif terjadi ketika kecemasan diperlakukan
sebagai sinyal peringatan dan individu menerima sebagai tantangan untuk
menyelesaikan masalah, menggunakan kata-kata yang dapat dimengerti dan
diterima tanpa menyakiti orang lain akan memberikan kelegaan pada individu
(Yusuf, 2015)
2) Destruksif Mekanisme koping destruksif menghindari kecemasan tanpa
menyelesaikan konflik. Pada pasien dengan risiko perilaku kekerasan , apabila
perasaan marah diekspresikan dengan perilaku agresif dan menentang, biasanya
dilakukan karena ia merasa kuat. Cara ini menimbulkan masalah yang
berkepanjangan dan dapat menimbulkan tingkah laku yang destruktif dan amuk
(Yusuf, 2015)

II. Pohon Masalah

Risiko perilaku kekerasan (pada


diri sendiri, orang
lain,lingkungan, dan verbal)

Effect

Perilaku kekerasan

Core problem
Harga diri rendah kronis

Causa

III. Analisa data

N Data Masalah
o

1. Data Suyektif : Perilaku kekerasan


Pasien mengatakan merasa
terancam dengan Orang baru dan
benda-benda yang dipegang oleh
perawat jengkel, menyalahkan
orang lain, dendam, dan benci
terhadap seseorang.
Data obyektif :
- Tatapan mata tajam
- Marah-marah saat dikaji
- Mengamuk
- Wajah tegang
- Gelisah
- Nada bicara kasar dengan suara
tinggi serta membentak dan
menggunakan kata-kata kotor
- Pasien mudah terlihat curiga

2. Data subyektif : Gangguan presepsi


Pasien mengatakan mendengar sensori : halusinasi
bisikan yang mengatakan ingin pendengaran
membunuhnya dan suara itu tidak
sering muncul
Data obyektif :
- Pasien tampak marahmarah
- Mudah tersinggung
- Terlihat bicara sendiri dan
tertawa sendiri

3. Data subyektif Resiko mencederai


Pasien mengatakan merasa diri sendiri, orang
terancam dengan Orang baru dan lain dan
benda-benda yang dipegang oleh lingkungan
perawat jengkel, menyalahkan
orang lain, dendam, dan benci
terhadap seseorang
Data obyetif :
- Tatapan mata tajam
- Marah-marah saat dikaji
- Mengamuk
- Wajah tegang
- Gelisah
- Nada bicara kasar dengan suara
tinggi serta membentak dan
menggunakan katakata kotor,
Pasien mudah terlihat curiga

IV. Diagnosa keperawatan


1. Resiko mencederai: diri sendiri, orang lain dan lingkungan
2. Perilaku kekerasan
3. Gangguan presepsi sensori : halusinasi penglihatan

V. Rencana tindakan keperawatan

N Diagn Perencanaan Intervensi Rasional


o osa Tujuan .kriteria hasil

1. Perilak 1. Klien dapat 1. Klien mau 1. Beri Hubungan


u membina membalas salam/panggil saling
kekera hubungan saling salam nama klien percaya
san percaya 2. Klien mau 2. Sebut nama merupakan
menjabat perawat sambil landasan
tangan jabat tangan utama
3. Klien mau 3.Jelaskan maksud dalam
menyebutkan hubungan interaksi rencana
nama 4. Jelaskan tentang intervensi
4. Klien mau kontrak yang akan keperawatan
tersenyum dibuat selanjutnya.
5. Klien mau 5. Beri rasa aman
kontak mata dan sikap
6. Klien 6. Lakukan kontrak
mengetahui singkat tapi sering
nama

2. Klien dapat 1. Klien dapat 1. Beri kesempatan Menentukan


mengidentifikasi mengungkapk untuk mekanisme
penyebab an perasaanya mengungkapkan koping yang
perilaku 2. Klien dapat perasaannya dimiliki
kekerasan. menggungkap 2. Bantu klien oleh klien
kan penyebab untuk dalam
perasaan mengungkapkan menghadapi
jengkel/kesal penyebab masalah
(dari diri jengkel/kesal selain itu
sendiri, dari 3. Dengarkan sebagai
lingkungan/ora penjelasan klien landasan
ng lain). tanpa menyela atau awal dalam
member penilaian menyusun
pada setiap intervensi
ungkapan perasaan berikutnya
klien.

3. klien dapat 1. Anjurkan 1. anjurkan klien - Untuk


mengidentifikasi klien mengungkapkan mengetahui
atau mengungkapk apa yang Dialami hal yang
mengungkapkan an apa yang saat marah/jengkel dialami dan
perasaan saat dialami saat 2. Observasi tanda dirasa saat
mara/jengkel marah/jengkel. perilaku kekerasan jengkel
tanda perilaku 2. Observasi pada klien - Untuk
kekerasan dan tanda perilaku 3. Simpulkan mengetahui
menyimpulkann kekerasan bersama klien tanda-tanda
ya tanda-tanda klien
pada klien jengkel/kesal yang jengkel/kesa
3. Simpulkan dialami klien l
bersama klien - Deteksi
tanda-tanda dini dapat
jengkel/kesal y mencegah
tindakan
yang bisa
membahaya
kan klien
dan
lingkungan
sekitar
- Menarik
kesimpulan
bersama
klien supaya
klien
mengetahui
secara garis
besar
tandatanda
marah/kesal

4. klien dapat 1. klien dapat 1. Anjurkan klien -


mengidentifikasi mengungkapk untuk mengekplor
perilaku an perilaku mengungkapkan asi perasaan
kekerasan yang kekerasan perilaku kekerasan klien
pernah di yang pernah di yang pernah terhadap
lakukan. lakukan dilakukan klien perilaku
2. Klien dapat 2. Ajak klien untuk kekerasan
mengetahui menceritakanperasa yang biasa
cara yang an setelah tindakan dilakukan
biasa kekerasan terjadi - Untuk
dilakukan 3. Bicarakan mengetahui
3. Klien dapat dengan klien perilaku
mengetahui apakah cara yang kekerasan
cara yang klien lakukan yang biasa
biasa dapat masalahnya selesai dilakukan
menyesuaikan dan dengan
masalah atau bantuan
tidak. perawat bisa
membedaka
n perilaku
konstruksi
an destruktif
- Dapat
membantu
klien dapat
menemukan
cara yang
dapat
menyelesaik
an masalah.

5. Klien dapat 1. Klien dapat 1. Bicarakan - Membantu


mengidentifikasi menjelaskan akibat/keru klien untuk
akibat perilaku akibat dari giaan dari menilai
kekerasan cara cara yang perilaku
kekerasan dilakukkan kekerasan
yang klien yang
digunakannya terhadap dilakukkann
baik diri diri sendir ya
sendiri, orang orang lain - Dengan
lain, dan dan mengetahui
lingkungan lingkungan akibat
sekitar sekitar. perilaku
2. Bersama kekerasan
klien diharapkan
menyimpul klien dapat
kan akibat merubah
yang perilaku
digunakan destruktif
oleh klien yang
dilakukanny
a menjadi
perilaku
yang
konduktif

6. Klien dapat 1. Klien dapat 1. Tanyakan pada - Agar klien


mengidentifikasi menjelaskanca klien apakah ingin dapat
cara respon racara sehat mempelajari cara memepelaja
konstrukif dalam baru yang sehat ri cara-cara
dalam mengungkapk 5. Jelaskan cara- sehat dalam
kemarahan an marahnya. cara sehat mengungka
2. mengungkapkan pkan
kemarahannya. kemarahann
6. Berikan pujian ya
jika klien - Dengan
mengetahui cara mengidentif
lain yang sehat ikasi cara
Secara fisik : yang
- tarik nafas dalam konstruktif
jika sedang kesal/ dalam
memukul bantal/ merespon
kasur atau olaraga terhadap
atau pekerjaan kemarahan
yang memerlukan dapat
tenaga Secara membantu
verbal : katakan klien
bahwa anda sedang menemukan
kesal/tersing-gung/ cara yang
jengkel (saya kesal baik untuk
anda berkata mengurangi
seperti itu; saya kejengkelan
marah karena nya yang
mama tidak berpotensi
memenuhi menciderai
keinginan saya). diri sendiri,
Secara social : orang lain
lakukan dalam dan
kelompok cara-cara lingkungan.
marah yang sehat; -
latihan asentif Retoforcem
latihan manajemen ent positif
perilaku kekerasan. dapat
- Secara spiri- tual; memotivasi
anjurkan klien klien dan
sembayang berdoa meningkatk
ibadat lain; an harga
meminta pada dirinya
tuhan untuk diberi - Berdiskusi
kesabaran, dengan
mengadu pada klien untuk
memilih
cara yang
lain sesuei
dengan
kemampuan
klien

7. Klien dapat 1. Klien 1. Bantu klien - Membantu


memperagakan memperagaka memilih cara yang klien dalam
cara mengontrol n cara paling tepat membuat
perilaku mengontrol 2. Bantu klien keputusan
kekerasan perilaku mengodentifikasi terhadap
kekerasan. manfaat cara cara yang
fisik : dipilih 3. Bantu telah
-tarik napas keluarga klien dipilihnya
dalam, untuk menstimulasi dengan
olahraga cara tersebut melihat
verbal : roleplay manfaatnya
- secara 4.Beweinforcement - Agar klien
langsung positif atau mengetahui
dengan tidak keberhasilan klien cara marah
menyakiti mensti-mulasi cara yang
spiritual : tersebut konstruktif
sembayang 5. Anjurkan klien -Pujian
atau berdoa untuk dapat
serta kegiatan menggunakan cara meningkatk
ibadah lain. yang telah an motivasi
Dipelajari saat dan harga
Jengkel/marah diri klien
- Agar klien
dapat
melaksanak
an cara yang
telah dipilih
nya jika ia
sedang
kesal

8. Klien 1. Keluarga 1. Identifikasi -


mendapat mampu kemampuan Kemampua
dukungan dari mengerti dan keluarga merawat n keluarga
keluarga. ikut klien dari sikap apa dalam
Dapat : keluarga berpartisipasi yang telah mengidentif
dalam dalam dilakukan keluarga i- kasi akan
menyebutkan perawatan terhadap klien memungkin
mengontrol cara pasien selam ini. kan
perilaku 2.Jelaskan peran keluarga
kekerasan serta keluaraga untuk
merawat klien melakukan
3. Jelaskan cara penilaian
merawat klien: terhadap
terkait dengan cara perilaku
mengontrol kekerasan
perilaku marah -
secara kontruktif, Meningkatk
sikap tenang bicara an
tenang dan pelan, pengetahuan
memebantu klien keluarga
mengenal tentang cara
penyebab masalah merawat
4. Bantu klien
keluargamendemos sehingga
trasikan cara keluarga
merawat klien terlibat
5. Bantu dalam
kelurgamengu perawatan
ngkapkan klien
perasaannya setelah - Agar
melakukan keluarga
demonstrasi dapat
merawat
klien
dengan
perilaku
kekerasan
- Agar
keluarga
mengetahui
cara
merawat
klien
melalui
demonstrasi
yang dilihat
keluarga
secara
langsung
-
Mengeksplo
lasi
perasaan
keluarga
setelah
melakukan
demonstrasi

9. . Klien dapat 1. Klien dapat 1. Jelaskan jenis - Klien dan


mengunakan/me menyebuitkan obat yang diminum keluarga
nyebut obat- jenis, dosis, klien pada klien dapat
obatan yang di waktu dan keluarga mengetahui
minum dan efek 2. Diskusikan nama-nama
kegunananya sampingnya. manfaat minum obat yang
(jenis, waktu, 2. Klien obat dan diminum
dan dosis). memperagaka kerugianberhentimi oleh klien
Klien dapat n num obat tanpa - Klien dan
minum obat kepatuhan seizin dokter keluarga
sesuai program minum obat 3. Jelaskan prinsip dapat
pengobatan sesuai jadwal benar minum obat mengetahui
yang di baca nama yang kegunaan
tetapakan. tertera pada botol obat yang
3. obat,dosis dikonsumsi
mengevaluasi obat,waktu dan klien
kemampuan cara minum - Klien dan
dalam 4. Apakah klien keluaraga
mematuhi minta obat dan mengetahui
meminum minum tepat waktu prinsip
obat. 5. Anjurkan klien benar agar
melaporkan pada tidak terjadi
perawat/dokter jika kesalahan
merasakan efek dalam
yang tidak mengomsu
menyenangkan msi obat
6. Beri pujian,jika - Klien
klien minum obat dapat
dengan benar. memiliki
kesadaran
pentingnya
minum obat
dan dengan
kesadaran
sendiri
-
Mengetahui
efek
samping
sendiri
mungkin
sehingga
tindakan
dapat
dilakukan
segera
mungkin
untuk
menghindari
komplikasi
-
Beweinfoec
emen t
positif dapat
memotivasi
keluarga
danklien
serta dapat
meningkatk
an harga diri

VI. Daftar pustaka

http://repository.ump.ac.id/514/3/INDRI%20MULYANI%20BAB%20II.pdf

Direja, A. H. (2011). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika.

Fontaine, K. (2009). Mental Health Nursing (7th ed.). New Jersey: Pearson Education.

Joyal, Christian C, Gendron, Catherine, Cote, Gilles 2008, ‘Nature and Frequency
Aggressive Behaviours Among Long-Term Inpatients With Schizophrenia: A 6-Months
Report Using The Modified Overt Aggression Scale’, Canadian Journal of Psychiatry,
vol. 53, no. 7, diakses 03 September 2015, < http://media.proquest.com/>.

Keliat, B. A., Akemat, Helena, N., & Nurhaeni, H. (2012). Keperawatan Kesehatan


Jiwa Komunitas: CMHN (Basic Course). Jakarta: EGC.
Muhith, Abdul 2015, Pendidikan Keperawatan Jiwa Teori dan Aplikasi, edisi 1, CV
Andi Offset, Yogyakarta.

Patel, S. C., & Jakopac, K. A. (2012). Manual of Psychiatric Nursing Skills. Canada:


Jones & Bartlett Learning.

Putri, Dewi Eka 2010, ‘Pengaruh Rational Emotive Behaviour Therapy Terhadap Klien


Perilaku Kekerasan di Ruang Rawat Inap RSMM Bogor’ , tesis Magister, Universitas
Indonesia, Jakarta, diakses 18 September 2015, < http://lib.ui.ac.id/>.

Stuart, G. (2009). Principles and Practice of Psychiatric Nursing (9th ed.). St. Louis:


Mosby Year Book.

Stuart, G., & Laraia, M. T. (2005). Principles and Practice of Psychiatric Nursing (7th


ed.). St. Louis: Mosby Year Book.

LAPORAN PENDAHULUAN
DEFISIT PERAWATAN DIRI (DPD)
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Praktek Belajar Klinik ( PBK ) Keperawatan jiwa

Dosen Pembimbing : Junaedi,ners.,m.kep

Disusun oleh :

FUTRI SIFA KHOERUN NISSA

19017

Tingkat 2A
Kelompok 6

Jl.walet No.21,Kertawinangun,Kedawung Cirebon,Jawa Barat 45153

STIKES AHMAD DAHLAN CIREBON

I. Kasus (Masalah Utama)


Defisit Perawatan Diri
A.Definisi
 Pengertian

Defisit perawatan diri adalah suatu kondisi pada seseorang yang mengalami kelemahan
kemampuan dalam melakukan atau melengkapi aktifitas perawatan diri secara mandiri seperti
mandi (hygiene) , berpakaian / berhias, makan dan BAB atau BAK (toileting). (Sumber:Nita
Fitria, 2009)
Defisit perawatan diri adalah Salah satu kemampuan dasar manusia dalam memenuhi
kebutuhannya guna mempertahankan hidupnya, kesehatannya, dan kesejaterannya, sesuai dengan
kondisi kesehatannya.Klien dinyatakan terganggu perawatan dirinya jika tidak dapat melakukan
perawatan dirinya.(Sumber:Dr.Amino Gondohutomo, 2008)
Perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam memenuhi kebutuhannya
guna mempertahankan kehidupannya, kesehatan dan kesejahteraan sesuai dengan kondisi
kesehatannya, klien dinyatakan terganggu keperawatan dirinya jika tidak dapat melakukan
perawatan diri (Depkes 2000).Defisit perawatan diri adalah gangguan kemampuan untuk
melakukan aktifitas perawatan diri (mandi, berhias, toileting) (Nurjannah, 2004).
Menurut Potter Perry (2005), personal hygiene adalah suatu tindakan untuk
memelihara kebersihan dan kesehatan sesorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis, kurang
perawatan diri adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu melakukan perawatan kebersihan
untuk dirinya (Tarwoto dan Wartonah, 2000).
 Tanda Dan Gejala
Adapun tanda dan gejala defisit perawatan diri menurut fitria (2009) adalah sebagai berikut :
A.Mandi/hygine
Klien mengalami ketidakmampuan dalam membersihkan badan, memperoleh atau mendapatkan
suber air, mengatur suhu atau aliran air mandi, mendapatkan perlengkapan mandi, mengeringkan
tubuh, serta masuk dan keluar kamar mandi.
B.Berpakaian/berhias
Klien mempunyai kelemahan dalam meletakan atau mengambil potongan pakaian, menenggalkan
pakaian serta memperoleh atau menukar pakaian. Len juga memiliki ketidakmampuan dalam
mengenakan pakaian dalam, memilih pakaian, menggunakan alat tambahan, menggunakan
kancing tarik, melepaskan pakaian, menggunakan kaos kaki, mempertahankan penampilan pada
tingkat yang memuaskan, mengambil pakain dan mengenakan sepatu.
C.Makan
Klien mempunyai ketidakmampuan dalam menelan makanan, mempersiapkan makanan,
menangani perkakas, mengunyah makanan, menggunakan alat tambahan, mendapatkan makanan,
memanipulasi makanan dalam mulut, mengambil makanan dari wadah dan memasukannya ke
dalam mulut, mengambil cangkir atau gelas, serta mencerna cukup makanan dengan aman.
D.Eliminasi
Klien memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan dalam mendapatkan jamban atau kamar kecil,
duduk atau bangkit dari jamban, memanipulasi pakaian untuk toileting, membersihkan diri setelah
BAB/BAK dengan tepat dan menyiram toilet atau kamar kecil.
Menurut Depkes (2000) Tanda dan gejala klien dengan defisit perawatan diri adalah:

a.Fisik
1.Badan bau, pakaian kotor
2.Rambut dan kulit kotor
3.Kuku panjang dan kotor
4.Gigi kotor disertai mulut bau
5.Penampilan tidak rapi.

b.Psikologis
1.Malas, tidak ada inisiatif
2.Menarik diri, isolasi diri
3.Merasa tak berdaya, rendah diri dan merasa hina.

c.Sosial
1.Interaksi kurang
2.Kegiatan kurang
3.Tidak mampu berperilaku sesuai norma
4.Cara makan tidak teratur
5.BAK dan BAB di sembarang tempat, gosok gigi dan mandi tidak mampu mandiri.

Data yang biasa ditemukan dalam defisit perawatan diri adalah :

a. Data subyektif
1) Pasien merasa lemah.
2) Malas untuk beraktivitas.
3) Merasa tidak berdaya.
b. Data obyektif
1) Rambut kotor, acak-acakan.
2) Bdan dan pakaian kotor dan bau.
3) Mulut dan gigi bau.
4) Kulit kusam dan kotor.
5) Kuku panjang dan tidak terawat.

 Tingkatan
Menurut Herdman (2015), batasan karakteristik Pasien dengan Defisit perawatan diri adalah:
1.Defisit perawatan diri : mandi

1) ketidakmampuan untuk mengakses kamar mandi,


2) ketidakmampuan mengeringkan tubuh,
3) ketidakmampuan mengambil perlengkapan mandi,
4) ketidakmampuan menjangkau sumber air,
5) ketidakmampuan mengatur air mandi,
6) ketidakmampuan membasuh tubuh.

2.Defisit perawatan diri: Berpakaian;

1) ketidakmampuan mengancing pakaian,


2) ketidakmampuan mendapatkan pakaian,
3) ketidakmampuan mengenakan atribut pakaian,
4) ketidakmampuan mengenakan sepatu,
5) ketidakmampuan mengenakan kaus kaki,
6) ketidakmampuan melepaskan atribut pakaian,
7) ketidakmampuan melepas sepatu,
8) ketidakmampuan melepas kaus kaki
9) hambatan memilih pakaian

3.Defisit perawatan diri : Makanan;

1) ketidakmampuan menambil makanan dan mengambil kemulut,


2) ketidakmampuan mengunyah makanan
3) ketidakmampuan menghabiskan makanan
4) ketidakmampuan menempatakan makanaan ke perlengkapan makanan
5) ketidakamapuan menggunakan perlengkapan makanan,
6) ketidakmampuan memakan makanan dalam cara yang dapat diterima secara sosial
7) ketidakmampuan memakan maakan dengan cara yang aman
8) ketidakmampuan memakanan dalam jumlah memadai

4. Defisit perawatan diri : BAB/BAK

1) Ketidakmampuan melakukan hyginie eliminasi yang tepat


2) Ketidakmampuan menyiram toilet/kursi buang air ( commode)
3) Ketidakmampuan naik ke toilet atau commode
4) Ketidakmampuan memanipulasi pakaian untuk eliminasi
5) Ketidakmampuan berdiri dari toilet atau commode
6) Ketidakmampuan untuk duduk di toilet atau commode

 Kalisifikasi
1.Kurang perawatan diri : Mandi atau kebersihan
Kurang perawatan diri (mandi) adalah gangguan kemampuan untuk melakukan
aktivitas mandi/ kebersihan diri.
2.Kurang perawatan diri : Mengenakan pakaian
Kurang perawatan diri (mengenkan pakaian) adalah gangguan kemampuan memakai
pakaian dan aktivitas dandan sendiri.
3.Kurang perawatan diri : Makan
Kurang perwatan diri (makan) adalah gangguan kemampuan untuk menunjukkan
aktivitas makan.
4.Kurang perawatan diri : Toileting
Kurang perawatan diri (toileting) adalah gangguan kemampuan untuk melakukan atau
menyelesaikan aktivitas toileting sendiri (Nurjanah : 2004)
B.Rentang Respon

1.Rentang Respon

Pola perawatan diri seimbang, saat klien mendapatkan stresor dan mampu untuk berprilaku
adaptif, maka pola perawatan yang dilakukan klien seimbang, klien masih melakukan perawatan
diri.
Kadang perawatan diri kadang tidak, saat klien mendapatkan stresor kadang – kadang klien tidak
memperhatikan perawatan dirinya,
Tidak melakukan perawatan diri, klien mengatakan dia tidak peduli dan tidak bisa melakukan
perawatan saat stresor.

2. Jenis- jenis

Menurut Nanda-I (2012), jenis perawatan diri terdiri dari :


a. Defisit perawatan diri: Mandi Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan
mandi/beraktivitas perawatan diri untuk diri sendiri.
b. Defisit perawatan diri: Berpakaian Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan
aktivitas berpakaian dan berias untuk diri sendiri.
c. Defisit perawatan diri: Makan Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan
aktivitas sendiri.
d. Perawatan diri: Eliminasi :Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan
aktivitas eliminasi sendiri (Nurjannah, 2004).

C.Faktor prediposisi
1) biologis: penyakit fisik dan mental yang menyebabkan pasien tidak mampu melakukan
perawatan diri dan faktor herediter.
2) psikologis: faktor perkembangan dimana keluarga terlalu melindungi dan memanjakan pasien
sehingga perkembangan inisiatif terganggu. Kemampuan realitas turun, pasien gangguan jiwa
yang kemampuan realitas kurang menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk
perawatan diri.

3) sosial: kurang dukungan dan situasi lingkungan mempengaruhi kemampuan dalam perawatan
diri

D.Faktor Presipitasi
Faktor presiptasi defisit perawatan diri adalah kurang penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau
perceptual, cemas, lelah atau lemah yang dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang
mampu melakukan perawatan diri.
Menurut Tarwoto & Wartonah (2003: 59) faktor – faktor yang mempengaruhi personal hygiene
adalah:
1.Body image
Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan diri misalnya
dengan adanya perubahan fisik sehingga individu tidak peduli dengan kebersihan dirinya.
2.Praktik social
Pada anak anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka kemungkinan akan terjadi
perubahan pola personal hygiene.
3.Status sosial ekonomi
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi, sikat gigi, shampo,
alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk menyediakannya.
4.Pengetahuan
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan yang baik dapat
meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien penderita diabetes mellitus ia harus
menjaga kebersihan kakinya.
5.Budaya
Disebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh dimandikan.
Kebiasaan seseorang
Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk tertentu dalam perawatan diri seperti
penggunaan sabun, sampo dan lain-lain.
6.Kondisi fisik atau psikis
Pada keadaan tertentu / sakit kemampuan untuk merawat diri berkurang dan perlu
bantuan untuk melakukannya.

E.Mekanisme Koping
Mekanisme koping berdasarkan penggolongannya dibagi menjadi 2 (Stuart & Sundeen, 2000) yaitu:
1.Mekanisme koping adaptif
Mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan.
Kategorinya adalah klien bisa memenuhi kebutuhan perawatan diri secara mandiri
2. Mekanisme koping maladaptive
Mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah pertumbuhan, menurunkan
otonomi dan cenderung menguasai lingkungan.Kategorinya adalah tidak mau merawat diri.

II.Pohon masalah

III.Analisa data Dan Data Fokus Pengkajian


No Data Etiologi Masalah
1. DS : Harga diri rendah Penurunan
kemampuan dan
-Klien mengatakan
‘saya tidak mampu’ motivasi merawat diri
-Klien mengatakan
‘saya tidak bisa’ Defisit perawatan diri

-Klien mengatakan
‘saya tidak tahu
apa-apa’
-Klien mengatakan
Penurunan kemampuan dan motivasi
‘saya bodoh’
merawat diri
-Klien mengkritik
diri sendiri
-Klien
mengungkapkan
perasaan malu
terhadap diri
sendiri
DO :
-Klien lebih terlihat
suka sendiri
-Klien bingung bila
disuruh memilih
alternative tindakan
2. Ds : Faktor predisposisi dan faktor presitipasi Defisit perawatan diri
-Klien mengatakan
dirinya malas
mandi Karen airnya Koping individu tidak efektif
dingin atau di RS
tidak tersedia alat
mandi Harga diri rendah
-Klien mengatakan
dirinya malas
berdandan
Menarik diri
-Klien mengatakan
ingin disuapi
makan
-Klien mengatakan
jarang
membersihkan alat
kelaminnya stelah Defisit perawatan diri
BAK/BAB
DO :
-Rambut klien
kotor,gigi
kotor,kulit
berdaki,dan
berbau,serta kuku
panjang dan kotor
-Klien tidak
mampu
berpakaian/berhias
ditandai denga
rambut acak-
acakan,pakaian
kotor dan tidak
rapi,pakaian tidak
sesuai,tidak
bercukur (laki-
laki),atau tidak
Berdandan ( wanita
)
3. DS : Koping individu tidak efektif Isolasi sosial :
menarik diri
-Klien mengatakan
saya tidak berguna
Gangguan konsep diri :harga diri rendah
-Klien mengatakan
tidak bisa
melakuan apa-apa
Isolasi sosial : menarik diri
-Klien mengatakan
malu pada diri
sendiri
DO :
-Klien tampak
tidak bisa memilih
keputusan
sederhana
-Klien tampak
murung
Klien tidak mau
berjabat tangan
-Klien tampak
tidak mau
berinteraksi
-Penampilan klien
kurang rapih
IV.Diagnosa Keperawatan
Berdasakan data yang didapat ditetapkan diagnosa keperawatan defisit perawat diri (kebersihan
diri, makan, berdandan, defekasi/berkemih).
1.Penurunan kemampuan dan motivasi merawat diri.
2.Defisit perawatan diri
3.Isolasi sosial : menarik diri

V.Rencana Tindakan keperawatan


Diagnosa 1 : Penurunan kemampuan dan motivasi merawat diri.
Tujuan Umum : Klien dapat meningkatkan minat dan motivasinya untuk memperhatikan
kebersihan diri.
Tujuan Khusus :
TUK I : Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat
Intervensi :
a.Berikan salam setiap berinteraksi.
b.Perkenalkan nama, nama panggilan perawat dan tujuan perawat berkenalan.
c.Tanyakan nama dan panggilan kesukaan klien.
d.Tunjukan sikap jujur dan menepati janji setiap kali berinteraksi.
e.Tanyakan perasaan dan masalah yang dihadapi klien.
f.Buat kontrak interaksi yang jelas.
g.Dengarkan ungkapan perasaan klien dengan empati.
h.Penuhi kebutuhan dasar klien.

TUK II : Klien dapat mengenal tentang pentingnya kebersihan diri.


Intervensi :
a Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi terapeutik.
Diskusikan bersama klien pentingnya kebersihan diri dengan cara menjelaskan b.pengertian
tentang arti bersih dan tanda- tanda bersih.
c.Dorong klien untuk menyebutkan 3 dari 5 tanda kebersihan diri.
d.Diskusikan fungsi kebersihan diri dengan menggali pengetahuan klien terhadap hal yang
berhubungan dengan kebersihan diri.
e.Bantu klien mengungkapkan arti kebersihan diri dan tujuan memelihara kebersihan diri.
f.Beri reinforcement positif setelah klien mampu mengungkapkan arti kebersihan diri.
g.Ingatkan klien untuk memelihara kebersihan diri seperti: mandi 2 kali pagi dan sore, sikat gigi
minimal 2 kali sehari (sesudah makan dan sebelum tidur), keramas dan menyisir rambut, gunting
kuku jika panjang.

TUK III : Klien dapat melakukan kebersihan diri dengan bantuan perawat.
Intervensi :
a.Motivasi klien untuk mandi.
b.Beri kesempatan untuk mandi, beri kesempatan klien untuk mendemonstrasikan cara
memelihara kebersihan diri yang benar.
c.Anjurkan klien untuk mengganti baju setiap hari.
d.Kaji keinginan klien untuk memotong kuku dan merapikan rambut.
e.Kolaborasi dengan perawat ruangan untuk pengelolaan fasilitas perawatan kebersihan diri,
seperti mandi dan kebersihan kamar mandi.
f.Bekerjasama dengan keluarga untuk mengadakan fasilitas kebersihan diri seperti odol, sikat gigi,
shampoo, pakaian ganti, handuk dan sandal.

TUK IV : Klien dapat melakukan kebersihan perawatan diri secara mandiri.


Intervensi :
a.Monitor klien dalam melakukan kebersihan diri secara teratur, ingatkan untuk mencuci rambut,
menyisir, gosok gigi, ganti baju dan pakai sandal.

TUK V : Klien dapat mempertahankan kebersihan diri secara mandiri.


Intervensi :
a.Beri reinforcement positif jika berhasil melakukan kebersihan diri.

TUK VI : Klien dapat dukungan keluarga dalam meningkatkan kebersihan diri.


Intervensi :
a.Jelaskan pada keluarga tentang penyebab kurang minatnya klien menjaga kebersihan diri.
b.Diskusikan bersama keluarga tentang tindakanyang telah dilakukan klien selama di RS dalam
menjaga kebersihan dan kemajuan yang telah dialami di RS.
c.Anjurkan keluarga untuk memutuskan memberi stimulasi terhadap kemajuan yang telah dialami
di RS.
d.Jelaskan pada keluarga tentang manfaat sarana yang lengkap dalam menjaga kebersihan diri
klien.
e.Anjurkan keluarga untuk menyiapkan sarana dalam menjaga kebersihan diri.
f.Diskusikan bersama keluarga cara membantu klien dalam menjaga kebersihan diri.
g.Diskusikan dengan keluarga mengenai hal yang dilakukan misalnya: mengingatkan pada waktu
mandi, sikat gigi, mandi, keramas, dan lain-lain.

Diagnosa 2 : Defisit Perawatan Diri (kebersihan diri, berdandan, makan,


BAB/BAK).
Tujuan Umum :Pasien tidak mengalami defisit perawatan diri.
Tujuan Khusus :
TUK I : Pasien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri
Intervensi :
a.Menjelasan pentingnya menjaga kebersihan diri
b.Menjelaskan alat-alat untuk menjaga kebersihan diri
c.Menjelaskan cara-cara melakukan kebersihan diri
d.Melatih pasien mempraktekkan cara menjaga kebersihan diri

TUK II :Pasien mampu melakukan berhias/berdandan secara baik


Intervensi :
Untuk pasien laki laki, latihannya meliputi :
a.Berpakaian
b.Menyisir rambut
c.Bercukur
Untuk pasien wanita, latihannya meliputi :
a.Berpakaian
b.Menyisir rambut
c.Berhias

TUK III: Pasien mampu melakukan makan dengan baik


Intervensi :
a.Menjelaskan cara mempersiapkan makan
b.Menjelaskan cara makan yang tertib
c.Menjelaskan cara merapihkan peralatan makan setelah makan
d.Praktek makan sesuai dengan tahapan makan yang baik

TUK IV :Pasien mampu melakukan BAB/BAK secara mandiri


Intervensi :
a.Menjelaskan tempat BAB/BAK yang sesuai
b.Menjelaskan cara membersihkan diri setelah BAB dan BAK
c.Menjelaskan cara membersihkan tempat BAB dan BAK

Diagnosa 3 : Isolasi Sosial


Tujuan Umum : Klien tidak terjadi perubahan sensori persepsi.
Tujuan Khusus :
TUK I : Klien dapat membina hubungan saling percaya.
Intervensi :
a Bina hubungan saling percaya: salam terapeutik, memperkenalkan diri, jelaskan tujuan interaksi,
ciptakan lingkungan yang tenang, buat kesepakatan dengan jelas tentang topik, tempat dan waktu.
b.Beri perhatian dan penghaargaan: temani klien walau tidak menjawab.
c Dengarkan dengan empati: beri kesempatan bicara, jangan terburu-buru, tunjukkan bahwa
perawat mengikuti pembicaraan klien.

TUK II : Klien dapat menyebutkan penyebab menarik diri.


Intervensi :
a.Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan tanda-tandanya.
b.Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan penyebab menarik diri atau mau
bergaul.
c.Diskusikan bersama klien tentang perilaku menarik diri, tanda-tanda serta penyebab yang
muncul.
d.Berikan pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaannya.

TUK III : Klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain dan
kerugian tidak berhubungan dengan orang lain.
Intervensi :
a.Kaji pengetahuan klien tentang manfaat dan keuntungan berhubungan dengan orang
lain.
b.Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan tentang keuntungan
berhubungan dengan prang lain.
c.Diskusikan bersama klien tentang manfaat berhubungan dengan orang lain.
d.Beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan perasaan tentang
keuntungan berhubungan dengan orang lain.
e.Kaji pengetahuan klien tentang kerugian bila tidak berhubungan dengan orang lain.
f.Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan dengan orang lain.
g.Diskusikan bersama klien tentang kerugian tidak berhubungan dengan orang lain.
h.Beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan perasaan tentang
kerugian tidak berhubungan dengan orang lain.

TUK IV : Klien dapat melaksanakan hubungan sosial.


Intervensi :
a.Kaji kemampuan klien membina hubungan dengan orang lain.
b.Dorong dan bantu kien untuk berhubungan dengan orang lain.
c.Beri reinforcement positif terhadap keberhasilan yang telah dicapai.
d.Bantu klien untuk mengevaluasi manfaat berhubungan.
e.Diskusikan jadwal harian yang dilakukan bersama klien dalam mengisi waktu.
f.Motivasi klien untuk mengikuti kegiatan ruangan.
g.Beri reinforcement positif atas kegiatan klien dalam kegiatan ruangan.

TUK IV : Klien dapat mengungkapkan perasaannya setelah berhubungan dengan


orang lain.
Intervensi :
a.Dorong klien untuk mengungkapkan perasaannya bila berhubungan dengan orang lain.
b.Diskusikan dengan klien tentang perasaan masnfaat berhubungan dengan orang lain.
c.Beri reinforcement positif atas kemampuan klien mengungkapkan perasaan manfaat
berhubungan dengan oranglain.

VI.Daftar Pustaka

Keliat. B.A. 2006. Modul MPKP Jiwa UI. Jakarta : EGC Tersedia di
https://id.scribd.com/document/401867029/LAPORAN-PENDAHULUAN-defisit-perawatan-diri-
docx
Keliat. B.A. 2006. Proses Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC Tersedia di
https://id.scribd.com/document/401867029/LAPORAN-PENDAHULUAN-defisit-perawatan-diri-
docx

Perry, Potter. 2005 . Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta : EGC Tersedia di
https://id.scribd.com/document/401867029/LAPORAN-PENDAHULUAN-defisit-perawatan-diri-
docx
LAPORAN PENDAHULUAN
HALUSINASI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Praktek Belajar Klinik ( PBK ) Keperawatan jiwa

Dosen Pembimbing : Junaedi,ners.,m.kep


Disusun oleh :

FUTRI SIFA KHOERUN NISSA

19017

Tingkat 2A

Kelompok 6

Jl.walet No.21,Kertawinangun,Kedawung Cirebon,Jawa Barat 45153

STIKES AHMAD DAHLAN CIREBON

I. Masalah Utama
Halusinasi
A. Definisi
 Pengertian
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien mengalami
perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan,
pengecapan, parabaan atau penghiduan. Klien merasakan stimulus yang sebetul-
betulnya tidak ada (Damaiyanti, 2012).
Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan
rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien memberi
persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang
nyata. Sebagai contoh klien mengatakan mendengar suara padahal tidak ada orang
yang berbicara (Direja, 2011).
Halusinasi adalah pencerapan tanpa adanya rangsang apapun pada panca
indera seorang pasien, yang terjadi dalam keadaan sadar/bangun, dasarnya mungkin
organik, fungsional, psikotik ataupun histerik (Trimelia, 2011).
 Tanda dan Gejala
Tanda dan Gejala Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi menurut
Prabowo (2014), adalah sebagai berikut :
a. Data Objektif
1) Bicara, senyum, dan ketawa sendiri
2) Menggerakan bibir tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, dan respon
verbal yang lambat
3) Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan dan tekanann darah
4) Sulit berhubungan dengan orang lain Ekspresi muka tegang, mudah
tersinggung, jengkel dan marah.
b. Data Subjektif
1) Menarik diri dari orang lain, dan berusaha untuk menghindari diri dari orang
2) Tidak dapat membedakan antara keadaan nyata dan keadaan yang tidak
nyata
3) Curiga, bermusuhan, merusak (diri sendiri, orang lain dan lingkungannya),
dan takut
4) Perhatian dengan lingkungan yang kurang atau hanya beberapa detik dan
berkonsentrasi dengan pengalaman sensorinya.

 Tingkatan
Menurut Damayanti, M., & Iskandar.(2012), Tingkatan halusinasi ada 4,
yaitu :
1) Halusinasi bersifat menyenangkan, tingkat ansietas pasien sedang. Pada tahap ini
halusinasi secara umum menyenangkan. Karakteristik :
Karakteristik tahap ini ditandai dengan adanya perasaan bersalah dalam diri
pasien dan timbul perasaan takut. Pada tahap ini pasien mencoba menenangkan
pikiran untuk mengurangi ansietas. Individu mengetahui bahwa pikiran dan
sensori yang dialaminya dapat dikendalikan dan bisa diatasi (non psikotik).
Perilaku yang teramati :
 Menyeringai / tertawa yang tidak sesuai
 Menggerakkan bibirnya tanpa menimbulkan suara
 Respon verbal yang lambat
 Diam dan dipenuhi oleh sesuatu yang mengasyikan.
2) Halusinasi bersifat menyalahkan, pasien mengalami ansietas tingkat berat dan
halusinasi bersifat menjijikkan untuk pasien. Karakteristik :
Pengalaman sensori yang dialami pasien bersifat menjijikkan dan
menakutkan, pasien yang mengalami halusinasi mulai merasa kehilangan kendali,
pasien berusaha untuk menjauhkan dirinya dari sumber yang dipersepsikan,
pasien merasa malu karena pengalaman sensorinya dan menarik diri dari orang
lain (nonpsikotik). Perilaku yang teramati :
 Peningkatan kerja susunan saraf otonom yang menunjukkan timbulnya
ansietas seperti peningkatan nadi, tekanan darah dan pernafasan
 Kemampuan kosentrasi menyempit
 Dipenuhi dengan pengalaman sensori, mungkin kehilangan kemampuan
untuk membedakan antara halusinasi dan realita.
3) Pada tahap ini halusinasi mulai mengendalikan perilaku pasien, pasien berada
pada tingkat ansietas berat. Pengalaman sensori menjadi menguasai pasien.
Karakteristik :
Pasien yang berhalusinasi pada tahap ini menyerah untuk melawan
pengalaman halusinasi dan membiarkan halusinasi menguasai dirinya. Isi
halusinasi dapat berupa permohonan, individu mungkin mengalami kesepian jika
pengalaman tersebut berakhir (Psikotik) Perilaku yang teramati :
 Lebih cenderung mengikuti petunjuk yang diberikan oleh halusinasinya dari
pada menolak
 Kesulitan berhubungan dengan orang lain
 Rentang perhatian hanya beberapa menit atau detik, gejala fisik dari ansietas
berat seperti : berkeringat, tremor, ketidakmampuan mengikuti petunjuk.
4) Halusinasi pada saat ini, sudah sangat menaklukkan dan tingkat ansietas berada
pada tingkat panik. Secara umum halusinasi menjadi lebih rumit dan saling
terkait dengan delusi. Karakteristik :
Pengalaman sensori menakutkan jika individu tidak mengikuti perintah
halusinasinya. Halusinasi bisa berlangsung dalam beberapa jam atau hari apabila
tidak diintervensi (psikotik). Perilaku yang teramati :
 Perilaku menyerang - teror seperti panik
 Sangat potensial melakukan bunuh diri atau membunuh orang lain
 Amuk, agitasi dan menarik diri
 Tidak mampu berespon terhadap petunjuk yang komplek
 Tidak mampu berespon terhadap lebih dari satu orang.
 Klasifikasi
Menurut farida (2010), Halusinasi dibedakan menjadi 7, yaitu :
1) Halusinasi Pendengaran (Auditif, Akustik)
Paling sering dijumpai dapat berupa bunyi mendenging atau suara bising
yang tidak mempunyai arti, tetapi lebih sering terdengar sebagai sebuah kata atau
kalimat yang bermakna, biasanya suara tersebut ditunjukan pada penderita
bertengkar dan berdebat dengan suara-suara tersebut.
2) Halusinasi Pengelihatan (Visual, Optic)
Stimulus visual dalam betuk kilatan atau cahaya, gambaran atau bayangan
yang rumit dan kompleks. Bayangan bisa menyenangkan atau menakutkan.
3) Halusinasi Penghidung (Olfaktorik)
Halusinasi ini biasanya berupa mencium sesuatu bau tertentu dan dirasakan
tidak enak, melambangkan rasa bersalah pada penderita. Bau dilambangkan
sebagai pengalaman yang dianggap penderita sebagai suatu kombinasi moral.
4) Halusinasi Pengecapan (Gustatorik)
Walaupun jarang terjadi, biasanya bersamaan dengan halusinasi penciuman.
Penderita merasa mengecap sesuatu seperti darah, urin atau feses.
5) Halusinasi Perabaan (Taktil)
Merasa mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas.
Rasa tersetrum listrik yang datang dari tanah, benda mati atau orang lain.
6) Halusinasi Cenesthetik
Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau arteri, pencernaan
makan atau pembentukan urine.
7) Halusinasi kinestetika
Penderita merasa badannya bergerak-gerak dalam suatu ruang atau anggota
badannya bergerak-gerak. Misalnya “phantom Phenomenom”.

B. Rentang Respon
Bagan Rentang Respon Halusinasi

Respon Adaptif Respon Mal Adaptif


1. Pikiran logis 1. Distori pikiran ilusi 1. Gangguan pikir / delusi
2. Persepsi akurat 2. Reaksi emosi yang 2. Halusinasi
3. Emosi konsisten dengan berlebihan 3. Sulit merespon emosi
pengalaman 3. Perilaku aneh atau 4. Perilaku disorganisasi
4. Perilaku sesuai tidak biasa 5. Isolasi sosial.
5. Berhubungan sosial. 4. Menarik diri.

Rentang respon neurologis halusinasi (Damaiyanti dkk, 2012), yaitu :


1. Respon Adaptif
Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima oleh norma-norma sosial
budaya yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut dalam batas normal jika
menghadapi suatu masalah akan dapat memecahkan masalah tersebut, respon adaptif :
a. Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan.
b. Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan.
c. Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari
pengalaman.
d. Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas kewajaran.
e. Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan lingkungan.

2. Respon Psikososial
a. Proses fikir terganggu.
b. Ilusi adalah interprestasi atau penilaian yang salah tentang penerapan yang benar-
benar terjadi (objek nyata) karena rangsangan panca indera.
c. Emosi berlebihan atau berkurang.
d. Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi batas
kewajaran.
e. Menarik diri yaitu percoban untuk menghindar interaksi dengan orang lain.

3. Respon Mal Adaptif


Respon individu dalam menyelesaikan masalah yang menyimpang dari
norma-norma sosial budaya dan lingkungan. Adapun respon maladaptif meliputi :
a. Kelainan pikiran (waham) adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan
walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan bertentangan dengan kenyataan
sosial.
b. Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi eksternal yang
tidak realita atau tidak ada.
c. Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul dari hati.
d. Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu perilaku yang tidak teratur.
e. Isolasi sosial adalah kondisi dimana seseorang merasa kesepian tidak mau
berinteraksi dengan orang dan lingkungan.

C. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi adalah faktor risiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah
sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stres. Diperoleh baik dari
klien maupun keluarganya, mengenai faktor perkembangan sosisal kultural, biokimia,
psikologis, dan genetik yaitu faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber
yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stres.
Faktor Predisposisi klien halusinasi menurut (Damaiyanti dkk, 2012) :
1. Faktor Perkembangan
Tugas perkembangan klien terganggu misalnya rendahnya kontrol dan kehangatan
keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil, mudah frustasi, hilang
percaya diri.
2. Faktor Sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima dilingkungan sejak bayi akan merasa
disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungan.
3. Faktor Biologis
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress yang
berlebihan dialami seseorang maka didalam tubuh akan dihasilkan suatu zat yang
dapat bersifat halusinogen neurokimia. Akibat stress berkepanjangan menyebabkan
teraktivasinya neurotransmitter otak.
4. Faktor Psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus pada
penyalahgunaan zat adikitif. Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan klien dalam
mengambil keputusan yang tepat demi masa depannya, klien lebih memilih
kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam khayal.
5. Faktor Genetik dan Pola Asuh
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orang tua schizofrenia
cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi menunjukkan bahwa faktor keluarga
menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.

D. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi merupakan stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai
tantangan, ancaman, atau tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk menghadapinya.
Seperti adanya rangsangan dari lingkungan, misalnya partisipasi klien dalam kelompok,
terlalu lama tidak diajak komunikasi, objek yang ada di lingkungan dan juga suasana sepi
atau terisolasi, sering menjadi pencetus terjadinya halusinasi.
Hal tersebut dapat meningkatkan stress dan kecemasan yang merangsang tubuh
mengeluarkan zat halusinogenik (Fitria 2012). Penyebab Halusinasi dapat dilihat dari lima
dimensi yaitu :

1. Dimensi Fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang
luar biasa, penggunaaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan
kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.
2. Dimensi Emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi
merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa perintah
memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut
hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.
3. Dimensi Intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan halusinasi akan
memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan
usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, namun merupakan suatu
hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien
dan tidak jarang akan mengontrol semua perilaku klien.
4. Dimensi Sosial
Klien mengalami interaksi sosial dalam fase awal dan comforting, klien meganggap
bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata sangat membahayakan. Klien asyik dengan
Halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan
interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak didapatkan dakam dunia nyata.
5. Dimensi Spiritual
Secara sepiritual klien Halusinasi mulai dengan kehampaan hidup, rutinitas tidak
bermakna, hilangnya aktifitas ibadah dan jarang berupaya secara sepiritual untuk
menyucikan diri. Saat bangun tidur klien merasa hampa dan tidak jelas tujuan
hidupnya. Individu sering memaki takdir tetapi lemah dalam upaya menjemput rezeki,
menyalahkan lingkungan dan orang lain yang menyebabkan takdirnya memburuk.
(Damayanti dkk, 2012).

E. Mekanisme Koping
Menurut Prabowo (2014) ada 3 mekanisme koping pada pasien halusinasi yaitu :
1. Regresi : Menjadi malas beraktivitas sehari-hari
2. Proyeksi : Menjelaskan perubahan suatu persepsi dengan berusaha untuk
mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain
3. Menarik Diri : Sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus internal.

II. Pohon Masalah


Menurut Damaiyanti (2014), pohon masalah pada pasien halusinasi adalah sebagai
berikut :

Risiko Perilaku Kekerasan (diri sendiri,


orang lain, lingkungan dan verbal)

Effect

Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi

Core Problem

Isolasi Sosial

Causa
III. Analisa data Dan Data Fokus Pengkajian
A. Pengkajian
1. Identitas klien
2. Keluhan utama atau alasan masuk
3. Factor perdisposisi
4. Aspek fisik atau biologis
5. Aspek psikososial
6. Status mental
7. Kebutuhan persiapan pulang
8. Mekanisme koping
9. Masalah psikososial dan lingkungan
10. Pengetahuan
11. Aspek medic.
Kemudian data yang sudah dicakup dapat di kelompokan menjadi dua
macam sebagai berikut :
1. Data Objektif
Ialah data yang diperoleh dari hasil pengamatan langsung pada klien. Data
ini didapatkan dari hasil pemeriksaan langsung oleh perawat.
2. Data Subjektif
Ialah data yang diperoleh dari secara langsung yang disampaikan secara
lisan kepada klien atau keluatga. Data ini diperoleh melalui wawancara perawat
kepada klien dan keluarga. Data yang langsung didapat oleh perawat disebut sebagai
data primer, dan data yang diambil dari hasil catatan tim kesehatan lain sebagai data
sekunder.

Pengkajian dilakukan dengan cara wawancara dan observasi pada pasien


dan keluarga :
1. Tanda dan gejala halusinasi dapat ditemukan dengan wawancara, melalui pertanyaan
sebagai berikut :
a. Apakah mendengar suara-suara atau bisikan-bisikan?
b. Apakah melihat bayangan-bayangan yang menakutkan?
c. Apakah mencium bau tertentu yang menjijikkan?
d. Apakah merasakan sesuatu yang menjalar di tubuhnya?
e. Apakah merasakan sesuatu yang menjijikkan dan tidak mengenakkan?
f. Seberapa sering mendengar suara-suara atau melihat bayangan tersebut?
g. Kapan mendengar suara atau melihat bayang-bayang?
h. Pada situasi apa mendengar suara atau melihat bayang-bayang?
i. Bagaimana perasaan mendengar suara atu melihat bayangan tersebut?
j. Apa yang telah dilakukan, ketika mendengar suara dan melihat bayangan
tersebut?
2. Tanda dan gejala halusinasi di dapatkan saat observasi :
a. Tampak bicara atau tertawa sendiri
b. Marah-marah tanpa sebab
c. Memiringkan atau mengarahkan telinga ke arah tertentu atau menutup telinga
d. Menunjuk-nunjuk ke arah tertentu
e. Ketakutan pada sesuatu yang tidak jelas
f. Menghidu seperti membaui bau-bauan tertentu
g. Menutup hidung
h. Sering meludah
i. Muntah
j. Menggaruk permukaan kulit.

B. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan darah dan urine, untuk melihat kemungkinan infeksi serta
penyalahgunaan alcohol dan NAPZA.
2. EEG (Elektroensefalogram), yaitu pemeriksaan aktivitas listrik otak untuk melihat
apakah halusinasi disebabkan oleh epilepsi.
3. Pemindaian CT Scan dan MRI, untuk mendeteksi stroke serta kemungkinan adanya
cedera atau tumor di otak.

C. Analisa Data

NO. DATA ETIOLOGI MASALAH


1. DS : Isolasi Sosial : Gangguan Persepsi
1. Klien mengatakan Menarik Diri. Sensori :
mendengar suara-suara Halusinasi.
bisikan.
2. Mendengar suara yang
mengajak bercakap-cakap.
3. Mendengar suara menyuruh
melakukan sesuatu yang
berbahaya.
4. Melihat bayangan, sinar,
bentuk geometris, bentuk
kartoon, melihat hantu atau
monster.
5. Membaui bau-bauan seperti Risiko Perilaku
bau darah, urin, feses, Kekerasan (diri
kadang-kadang bau itu sendiri, orang lain,
menyenangkan. lingkungan dan
6. Merasakan rasa seperti darah, verbal).
urin atau feses.
7. Mengatakan ada serangga di
permukaan kulit Merasa
seperti tersengat listrik.

DO :
1. Kontak mata kurang saat
berbicara.
2. Klien saat diajak berbicara, Gangguan Persepsi
berbicara lambat dengan Sensori :
nada lemah dan terkadang Halusinasi.
suka berbicara ngelantur.
3. Bicara atau tertawa sendiri
Marah-marah tanpa sebab
Menyedengkan telinga ke
arah tertentu Menutup
telinga.
4. Menunjuk-nunjuk ke arah
tertentu Ketakutan dengan
pada sesuatu yang tidak jelas.
5. Menghidu seperti sedang
membaui bau-bauan tertentu.
Menutup hidung.
6. Sering meludah Muntah.
7. Menggaruk-garuk
permukaan kulit.

2. DS : Koping individu Risiko Perilaku


1. Klien mengatakan sering tidak efektif. Kekerasan (diri
emosi. sendiri, orang lain,
2. Klien mengatakan marah jika lingkungan dan
mendengar ada yang verbal).
menyuruh (bisikan-bisikan).
3. Klien mengatakan pernah Halusinasi.
mencubit cucunya karena
merasa kesal dan jengkel.

DO :
1. Klien terkadang bicara Perilaku kekerasan.
ngelantur.
2. Klien berbicara dengan suara
cukup keras dan jelas.

Risiko menciderai
diri sendiri, orang
lain dan
lingkungan.

3. DS : Koping individu Isolasi Sosial :


1. Klien mengatakan dirinya tidak efektif. Menarik Diri.
ingin dimengerti perawat.
2. Ada ungkapan tidak ingin
berbicara dengan orang lain
karena tidak nyaman dalam
situasi sosial.
3. Meminta untuk sendiri.
4. Mengalami perasaan berbeda
dengan orang lain.
5. Merasa tidak aman ditengah
orang lain. Gangguan konsep
diri : Harga diri
rendah.
DO :
1. Sedih, efek tumpul.
2. Menjadi tidak komunikatif,
menarik diri, kosong kontak
mata kurang.
3. Asik dengan pikiran-pikiran
sendiri, menolak tindakan
yang bermakna.
4. Mengekspresikan perasaan
kesedihan.
5. Tidak kooperatif.
6. Disfungsi interaktif dengan
teman sebaya, keluarga dan Isolasi sosial :
orang lain. Menarik diri.

IV. Diagnosa Keperawatan


1. Gangguan Persepsi Sensori b.d Halusinasi.
2. Risiko Perilaku Kekerasan b.d diri sendiri, orang lain, lingkungan dan verbal.
3. Isolasi Sosial b.d Menarik Diri.

V. Rencana Tindakan keperawatan


1. Gangguan Persepsi Sensori b.d Halusinasi.
a. Tujuan :
 TUM : Klien dapat mengontrol halusinasi yang dialaminya.
 TUK 1 : Klien dapat membina hubungan saling percaya.
 TUK 2 : Klien dapat mengenal halusinasi.
 TUK 3 : Klien dapat mengontrol halusinasinya.
 TUK 4 : Klien dapat dukungan dari keluarga dalam mengontrol halusinasi.
 TUK 5 : Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik.

b. Kriteria Hasil :
1) KH 1 :
 Ekspresi wajah bersahabat
 Menunjukkan rasa senang
 Ada kontak mata atau mau jabat tangan
 Mau menyebutkan nama
 Mau menyebut dan menjawab salam
 Mau duduk berdampingan dengan perawat
 Mau mengutarakan masalah yang dihadapan.
2) KH 2 :
 Pasien dapat menyebutkan isi halusinasi
 Pasien dapat menyebutkan waktu halusinasi
 Pasien dapat menyebutkan frekuensi halusinasi
 Pasien dapat menyebutkan situasi dan kondisi yang menimbulkan halusinasi.

3) KH 3 :
 Klien dapat menyebutkan tindakan yang biasa dilakukan untuk
mengendalikan halusinasinya
 Klien mampu menyebutkan cara baru mengontrol halusinasi
 Klien dapat memilih dan mendemonstrasi kan cara mengatasi halusinasi
 Klien dapat melaksanakan cara yang di pilih untuk mengendalikan
halusinasinya.
 Pasien mengikuti terapi aktivitas kelompok.
4) KH 4 :
 Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat
 Keluarga dapat menyebutkan pengertian, tanda dan kegiatan untuk
mengendalikan halusinasi.
5) KH 5 :
 Klien dan keluarga dapat menyebutkan manfaat, dosis dan efek samping obat
 Klien dapat mendemonstrasi kan penggunaa obat secara benar
 Klien dapat memahami akibat berhenti minum obat tampa konsultasi dengan
dokter.

c. Tindakan Keperawatan :
1) TK 1 :
Bina hubungan saling percaya dengan prinsip komunikasi terapetik.
 Sapa klien dengan ramah baik secara verbal maupun non verbal.
 Perkenalkan diri dengan sopan.
 Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien.
 Jelaskan tujuan pertemuan.
 Jujur dan menepati janji.
 Tunjukkan sikap empati dan terima klien apa adanya.
 Beri perhatian kepada klien dan perhatikan kebutuhan dasar klien.

2) TK 2 :
 Adakah kontak sering dan singkat secara bertahap.
 Observasi tingkah laku yang terkait dengan halusinasi (verbal maupun non
verbal).
 Bantu klien mengenali halusinasinya :
 Jika menemukan yang sedang halusinasi, tanyakan apakah ada suara
yang didengar atau melihat bayangan tanpa wujud atau mersakan
sesuatu yang tidak ada.
 Jika pasien menjawab ada, lanjutkan : apa yang dikatakan/ yang di
alaminya.
 Katakana bahwa perawat percaya klien mendengar suara itu, namun
peerawat sendiri tidak mendengarnya (dengan nada bersahabat tanpa
menuduh atau menghakimi).
 Katakan bahwa ada pasien lain yang mengalami seperti klien.
 Jika pasien tidak sedang halusinasi, klarifikasi tentang adanya pengalaman
halusinasi, diskusikan dengan pasien: isi, waktu dan frekuensi, halusinasi
(pagi, siang, sore , malam atau sering, jarang) situasi dan kondisi yang dapat
memicu mencul tidaknya halusinasi.
 Diskusikan dengan pasien tentang apa yang dirasakan saat terjadi halusinasi.
 Diskusikan tentang dampak yang akan di alami jiak pasien menikmati
halusinasinya.
3) TK 3 :
 Identifikasi bersama klien cara tindakan yang dilakukan jika terjadi
halusinasi.
 Diskusikan manfaat cara yang digunakan klien :
 jika cara tersebut adaptif beri pujian.
 Jika mal adaptif diskusikan dengan klien kerugian cara tersebut.
 Diskusikan cara baru untuk memutus atau mengontrol halusinasi :
 Menghardik halusinasi katakan pada diri sendiri bahwa ini tidak nyata.
“saya saya tidak mau dengar kamu” (pada saat halusinasi terjadi).
 Menemuai orang lain (perawat/teman/an ggota keluarga) untuk
bercakapcakap atau mengatakan halusinasinya terdengar.
 Membuat jadwal kegiatan seharihari yang sudah di susun agar halusinasi
tidak muncul.
 Memberikan pendidikan kesehatan tentang menggunaan obat untuk
mengendalikan halusinasinya.
 Bantu klien memilih cara yang sudah di anjurkan dan melatihuntuk
mencobanya.
 Pantau pelaksanaan tindakan yang telah di pilih dan dilatih, jika berhasil beri
pujian.
 Libatkan pasien dalam terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi yaitu :
 Sesi I pasien mengenal halusinasi.
 Sesi II pasien mengontrol halusinasi dengan menghardik.
 Sesi III pasien mengontrol halusinasi dengan becakap-cakap.
 Sesi IV pasien mengontrol halusinasi dengan cara melakukan aktivitas.
 Sesi V pasien mengontrol halusinasi dengan cara patuh minum obat.
4) TK 4 :
 Anjurkan klien untuk member tahu keluarga jka mengalami halusinasi.
 Diskusikan denga keluarga (pada saat berkunjung/pada saat berkunjungan
rumah) :
 Gejala halusinasi yang dialami klien.
 Cara yang dapat dilakukan klien dan keluarga untuk memutus
halusinasi.
 Cara merawat anggota keluarga untuk memutus halusinasi dirumah, beri
kegiatan, jangan biarkan sendiri, makan bersama, berpergian bersama.
 Beri informasi waktu follow up atau kapan perlu mendapat bantuan:
halusinasi terkontrol dan resiko mencedrai orang lain.
5) TK 5 :
 Diskusikan dengan klien dan keluarga tentang dosis, frekuensi manfaat
obat.
 Pantau saat pasien minum obat.
 Anjurkan klien minta sendiri obat pada perawat.
 Beri reinforcemen jika pasien menggunakan obat dengan benar.
 Diskusikan akibat berhenti minum obat tanpa konsultasi dengan dokter.
 Anjurkan pasien berkonsultasi dengan tim kesahatan jika terjadi hal-hal
yang tidak di inginkan tentang efek samping obat yang dirasakan.
d. Rasional :
1) R 1 :
Hubungan saling percaya merupakan dasar untuk kelancaran hubungan interaksi
selanjutnya.
 Untuk menciptakan tras kepada pasien.
 Supaya pasien kenal dengan perawat.
 Untuk mengetahui indentitas dan nama pangilan yang di sukai pasien.
 Supaya pasien tahu tujuan kita melakukan pertemuan.
 Supaya pasien selau mempercai setian apa yang perawat katakana.
 Supaya pasien menganggap perawat juga merasakan apa yang pasien
rasakan.
 Supaya pasien merasa di perhatikan dan di hargai.
2) R 2 :
 Supaya hubungan tetap terjalin dan pasien tidak lupa pada perawat.
 Untuk mengetahui halusinasi pada pasien.
 Supaya klien tahu isi dari halusinasi dan dampak yang akan terjadi jika
pasien mengiti isi halusinasinya.
 Supaya perawat mengetahui pengalam psien tentang halusinasi, isi, waktu
dan frekuensi halusinasi.
 Supaya perawat tahu apa yang di lakukan pasien saat halusinasi terjadi.
 Supaya pasien tahu tentang dampak dari halusinasi jika mengikutinya.

3) R 3 :
 Merupakan upaya untuk memutus siklus.
 Reinforcement positif dapat meningkatkan harga diri klien.
 Memberi alternatif bagi klien untuk mengetahui cara mengontrol halusinasi
yaitu dengan menghardik, bercakap-cakap dengan orang lain, melakukan
kegiatan, dan dengan cara patuh minum obat.
 Supaya pasien bisa melakukan ketika perawat tidak ada di sampingnya saat
halusinasi datang.
 Motivasi dapat meningkatkan keinginan klien untuk mencoba memilih salah
satu cara untuk mengontrol halusinasi.
 Stimulasi persepsi dapat mengurangi perubahan interpretasi realita klien.
4) R 4 :
 Untuk mendapatkan bantuan keluarga dalam mengontrol halusnasi.
 Untuk meningkatkan pengetahuan tentang halusinasi.
5) R 5 :
 Dengan mengetahui manfaat dan dosis kliendapat patuh untuk minum obat.
 Untuk memastikan pasien minum obat atau tidak.
 Untuk membiasakan pasien mandiri minum obat.
 Reinforcemen positif dapat meningkatkan kemauan pasien untuk minum
obat.
 Pengobatan dapat bejalan sesuai rencana.
 Dengan mengetahui efek samping obat klien tahu apa yang harus dilakukan
setelah minum obat.

2. Risiko Perilaku Kekerasan b.d diri sendiri, orang lain, lingkungan dan verbal.
a. Tujuan :
 TUM : Setelah dilakukan tindakan keperawatan perilaku kekerasan tidak terjadi.
 TUK 1 : Mengalihkan kemarahan dengan pukul barang-barang lunak : Bantal.
 TUK 2 : Membimbing nafas dalam.
 TUK 3 : Memilihkan aktifitas yang sesuai dengan kemampuan.

b. Kriteria Hasil :
1) KH 1 :
Mengalihkan kemarahan dengan memukul barang-barang lunak.
2) KH 2 :
Melakukan nafas dalam.
3) KH 3 :
Melakukan aktifitas sesuai dengan kemampuannya.
4) KH 4 :
Tidak mencederai diri sendiri, keluarga, orang lain.

c. Tindakan Keperawatan :
1) TK 1 :
Diskusikan masalah yang dirasakan dengan keluarga jelaskan pengertian, tanda
dan gejala, dan penyebab perilaku kekerasan.
2) TK 2 :
Latih Klien dan keluarga cara mengatasi rasa marah- marah : latihan nafas dalam,
pukul bantal.
3) TK 3 :
Bimbing keluarga merawat marah-marah : demontrasi latihan nafas dalam, pukul
bantal .
4) TK 4 :
Diskusikan dengan keluarga untuk memilihkan kegiatan yang sesuai dengan
kemampuan klien.
5) TK 5 :
Sarankan keluarga untuk berbicara yang halus dengan Klien jangan dengan kata-
kata kasar.

d. Rasional :
1) R 1 :
Supaya keluarga paham dengan tanda & gejala yang dialami klien.
2) R 2 :
Supaya klien menjadi tenang dan rileks.
3) R 3 :
Supaya keluarga dapat mengatasi klien jika klien marah-marah.
4) R 4 :
Untuk mengalihkan klien dari rasa marah.
5) R 5 :
Supaya klien tidak terpancing emosi.

3. Isolasi Sosial b.d Menarik Diri.


a. Tujuan :
 TUM :
Klien tidak menarik diri dan mampu berhubungan dengan orang lain secara
optimal.
 TUK 1 :
Klien dapat membina hubungan saling percaya.
 TUK 2 :
Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki.
 TUK 3 :
Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan.
 TUK 4 :
Klien dapat merencanakan kegiatan harian.
 TUK 5 :
Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi dan kemampuannya.
 TUK 6 :
Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada.

b. Kriteria Hasil :
1) KH 1 :
Ekspresi wajah bersahabat.
2) KH 2 :
Tidak acuh.
3) KH 3 :
Ada kontak mata.
4) KH 4 :
Mau berjabat tangan.
5) KH 5 :
Mau menyebutkan nama.
6) KH 6 :
Mau bercakap-cakap.
7) KH 7 :
Mau mengutarakan masalah yang dihadapi.
8) KH 8 :
Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimilikinya.
9) KH 9 :
Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan.
10) KH 10 :
Klien dapat merencanakan kegiatan harian.
11) KH 11 :
Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi dan kemampuannya.
12) KH 12 :
Klien memanfaatkan sistem pendukung yang ada.
c. Tindakan Keperawatan :
1) TK 1 :
 Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun nonverbal.
 Perkenalkan diri dengan sopan.
 Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien.
 Jelaskan tujuan pertemuan.
 Jujur dan menepati janji.
 Selalu kontak mata selama interaksi.
 Tunjukkan sikap empati dan penuh perhatian pada klien.
2) TK 2 :
 Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien.
 Bantu klien mengekspresikan dan menggambarkan perasaan serta
pikirannya.
 Tentukan bahwa kekuatan untuk berubah tergantung pada klien sendiri.
 Identifikasi stressor yang relevan dan penilaian klien terhadap stressor
tersebut.
 Dukung kekuatan, keterampilan dan respon koping yang efektif.
 Utamakan memberi pujian terapeutik.
 Tingkatkan keterlibatan keluarga dan kelompok untuk memberikan
dukungan untuk mempertahankan kemajuan dan perkembangan klien.
3) TK 3 :
 Diskusikan dengan klien kemampuan yang masih dapat digunakan.
 Dukung kekuatan, keterampilan dan respon koping yang adaptif.
 Utamakan memberi pujian terapeutik.
 Libatkan keluarga dalam perawatan klien.
4) TK 4 :
 Dukung klien untuk merencanakan kegiatan harian.
 Rencanakan kegiatan bersama klien, aktivitas yang dapat dilakukan setiap
hari sesuai kemampuan (kegiatan sendiri, kegiatan dengan bantuan sebagian,
kegiatan dengan bantuan total).
 Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien.
 Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang boleh dilakukan.
 Libatkan keluarga dalam perawatan klien.
5) TK 5 :
 Beri kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang telah
direncanakan.
 Beri pujian atas keberhasilan klien.
 Beri dukungan yang sesuai dan positif untuk mempertahankan kemajuan dan
pertumbuhannya.
 Libatkan keluarga dalam perawatan klien.
6) TK 6 :
 Berikan pendidikan kesehatan kepada keluarga tentang cara merawat klien
dengan harga diri rendah.
 Bantu keluarga memberi dukungan selama klien dirawat.
 Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah sesuai dengan keadaan
klien.

d. Rasional :
1) R 1 :
Hubungan saling percaya akan menimbulkan kepercayaan klien pada perawat
sehingga akan memudahkan dalam pelaksanaan tindakan selanjutnya.
2) R 2 :
Pujian akan meningkatkan harga diri klien.
3) R 3 :
Peningkatan kemampuan mendorong klien untuk mandiri.
4) R 4 :
Pelaksanaan kegiatan secara mandiri modal awal untuk meningkatkan harga diri
rendah.

5) R 5 :
Dengan aktivitas klien akan mengetahui kemampuannya.
6) R 6 :
Perhatian keluarga dan pengertian keluarga akan dapat membantu meningkatkan
harga diri klien.
VI. Daftar Pustaka

Damayanti, M., & Iskandar.(2012). Asuhan Keperawatan Jiwa.Bandung : Refika Aditama

Fitria, Nita. 2014. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (Lp Dan Sp) untuk 7 Diagnosis
Keperawatan Jiwa Berat bagi Program S1 Keperawatan. Jakarta : Salemba
Medika

Direja, A. Herman., 2011, Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa, Yogyakarta : Nuha Medika

Anda mungkin juga menyukai