Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

BAB 4 ALQURAN DAN HADIST

Disusun Oleh Kelompok 2 :

1. Muhammad Yahya
2. Siti Afifah
3. Muhammad Yoga Al-azhar

SMA NEGERI 1 MARTAPURA


2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Segala puji syukur kita panjatkan kepada Allah subhanallahu wa


ta’ala. Karena dengan limpahan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya lah penulis dapat
menyelesaikan pengerjaan makalah ini. Tak lupa pula penulis haturkan shalawat serta
salam kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam, Semoga kita
diberi keistiqomahan agar tetap berjalan diatas sunnahnya.

Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas yang diberikan. Pada makalah ini
diuraikan tentang materi ALQUR’AN dan HADITS beserta penjelasannya.

Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan
makalah ini ataupun penyusunan makalah selanjutnya. Demikianlah makalah ini di buat,
semoga dapat bermanfaat bagi pembaca umum dan khususnya bagi para mahasiswa.

Martapura, 11 Januari 2022

KELOMPOK 2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………. 1
1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………… 1
1.3 Tujuan Penulisan……………………………………………………… 2
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Memahami Al-Qur’an dan Hadits……………………………………… 3


2.2 Metode Yang Tepat Dalam Memahami Al-Qur’an…………………….. 12
BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan……………………..……………………..………………… 17
3.2 Saran……………………..……………………..……………………….. 18
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Al-Qur’an dan Hadits bukan sumber ilmu semata, Ia petunjuk dan
inspirasi kebenaran yang tak pernah kering dan habis. Al-Qur’an mukjizat
islam yang abadi dimana semakin maju ilmu pengetahuan, semakin tampak
validitas kemukjizatannya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan Al-Qur’an demi
membebaskan manusia dari berbagai kegelapan hidup menuju cahaya Ilahi,
dan membimbing mereka ke jalan yang lurus.

Dibalik kemuliaan Al-Qur’an sebagai kitab suci, dan tata bahasa yang
indah serta makna yang amat mendalam, tidak sedikit orang-orang yang salah
memahami maksud Al-Qur’an. Hal ini tidak mengisyaratkan kesalahan
terletak pada Al-Qur;an dan Hadits, melainkan cara dan metode memahami
yang keliru digunakan orang-orang tersebut.

Munculnya aliran-aliran dan paham-paham tertentu yang sesat dan


menyesatkan merupakan satu contoh produk dari kesalahan dalam memahami
Al-Qur’an dan Hadits, seperti lahirnya kelompok radikal Negara Islam Irak
dan Suriah (ISIS) yang saat ini menjadi negara islam dinilai akibat kesalahan
dalam memahami ayat tentang jihad di dalam Al-Qur’an. Kita berlindung
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kesesatan tersebut. Wal-iyadzubillah.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah pada makalah ini
adalah :
1. Metoda apa yang tepat dalam memahami Al-Qur’an dan Hadits serta
dampak kesalahan dalam memahami Al-Qur’an dan Hadits ?

1
2. Apakah ijitihad dapat dijadikan sebagai upaya memahami alquran dan
hadist ?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui bagaimana memahami alquran dan hadist
2. Untuk mengetahui ijitihad sebagai upaya memahami alquran dan hadist

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Memahami Al-Qur’an dan Hadits

1. Memahami Al-Qur’an

Memahami Al-Qur’an dengan niat mendekatkan diri kepada Allah


Subhana wa Ta’ala memberikan manfaat yang besar bagi pelakunya. Selain
itu, ada jaminan dari Allah dan Rasul-Nya, bahwa mereka tidak akan sesat
selama mengikuti petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, berpegang-teguh
kepada Alquran dan al Hadits. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

٣٢١ –‫ض ُّل َو ََل يَ ْش ٰقى‬ ْ


َ ‫فَ ِا َّما يَأتِ َينَّ ُك ْم ِ ِّم ِنِّ ْي ُهدى ەۙ َف َم ِن اتَّبَ َع ُه ٰد‬
ِ َ‫ي فَ ََل ي‬

‫ش ُر ٗه يَ ْو َم ْال ِق ٰي َم ِة‬ َ ‫ي فَا َِّن لَهٗ َم ِع ْيشَة‬


ُ ‫ض ْنكا َّون َْح‬ ْ ‫ض َع ْن ِذ ْك ِر‬
َ ‫َو َم ْن اَع َْر‬
٣٢١ - ‫اَعْمٰ ى‬

Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa


yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan ia tidak akan celaka.
Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya
baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya
pada hari Kiamat dalam keadaan buta. (Q.S Thaha: 123, 124).

Menjelaskan kedua maksud ayat di atas, Abdullah bin Abbas


berkata, “Allah menjamin kepada siapa saja yang membaca Alquran dan
mengikuti apa-apa yang ada di dalamnya, bahwa dia tidak akan sesat di
dunia dan tidak akan celaka di akhirat.” [Tafsir ath Thabari, 16/225].

Selain itu, mendukung penjelasan Abdullah bin Abbas diatas, Nabi


Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ُ ‫سنَّةَ َر‬
‫س ْو ِل ِه‬ َّ ‫ت َ َر ْكتُ فِ ْي ُك ْم أ َ ْم َري ِْن لَ ْن ت َ ِضلُّ ْوا َما ت َ َم‬
َ َ ‫ ِكت‬: ‫س ْكت ُ ْم بِ ِه َما‬
ُ ‫اب هللاِ َو‬

3
Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan
sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah
Rasul-Nya. (Hadits Shahih Lighairihi, H.R. Malik; al-Hakim, al-Baihaqi,
Ibnu Nashr, Ibnu Hazm.
Dishahihkan oleh Syaikh Salim al-Hilali di dalam At Ta’zhim wal
Minnah fil Intisharis Sunnah, hlm. 12-13).
Dalam islam, ilmu yang membahas tentang kandungan Al-Qur’an
ialah ilmu Tafsir. Tafsir secara bahasa berarti menjelaskan dan mengung-
kapkan. Adapun menurut istilah, al-Qattan mengartikan dengan mengutip
pendapat dari Abu Hayyan sebagai ilmu yang membahas tentang cara
mengungkapkan lafaz­lafaz Al­Qur’an, makna­makna yang
ditunjukkannya dan hukum- hukumnya, baik ketika berdiri sendiri atau
tersusun, serta makna-makna yang dimungkinkannya ketika dalam keadaan
tersusun.
Menurut buku Pengantar Studi Al-Qur’an yang dikarang oleh
Abdul Hamid, Lc., M.A. diitinjau dari sumbernya Tafsir terbagi menjadi
dua macam
a. Tafsir Bi al-Ma’tsur atau Bi ar-Riwayah (Berdasarkan dalil)
b. Tafsir Bi ar-Ra’yi atau dirayah (dengan akal)

a. Tafsir Bi al-Ma’tsur atau Bi ar-Riwayah (Berdasarkan dalil)

Tafsir Bi al­Ma’tsur adalah penafsiran Al­Qur’an berda­ sarkan


Hadis atau ucapan sahabat untuk menjelaskan kepada sesuatu yang
dikehendaki Allah SWt. tafsir ini dibagi menjadi tiga, yaitu tafsir
Al­Qur’an dengan Al­Qur’an, Al­Qur’an dengan as-Sunnah, Al-Qur’an
dengan penafsiran sahabat (atsar). Alquran merupakan penjelas yang
membenarkan satu bagian dengan bagian lainnya. Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

4
"Allah menurunkan kitab-Nya untuk saling membenarkan satu sama
lain" (HR Bukhari).

Al-Hafizh Ibnu Katsir menyatakan, jalan yang paling benar dalam


menafsirkan Al Quran ialah:

Pertama, Al-Qur’an ditafsirkan dengan Al-qur’an. Karena apa yang


disebutkan oleh Alquran secara global di satu tempat, terkadang telah
dijelaskan pula dalam Alquran secara luas di tempat yang lain. Jika hal
itu menyusahkanmu ( yakni Anda tidak mendapatkan penjelasan ayat
dari ayat lainnya) maka wajib me-rujuk kepada as-Sunnah, karena ia
merupakan penjelas bagi Al-Qur’an.

Berikut contoh ayat yang ditafsirkan dengan ayat lain adalah


sebagai berikut. Dalam potongan surah al-Fatihah ayat 7, disebutkan,

‫علَ ْي ِه ْم‬ َ ‫ط الَّ ِذيْنَ ا َ ْن َع ْم‬


َ ‫ت‬ َ ‫ص َرا‬
ِ
"(Yaitu) orang-orang yang telah Engkau berikan nikmat kepada
mereka." Dalam ayat ini, tidak dijelaskan siapakah orang-orang yang
diberikan nikmat itu.

Maka, Allah Subhana wa ta’ala menjelaskan dalam surah An-Nisa


ayat 69,
ٰۤ ُ
‫ش َهدَ ۤا ِء‬ ِّ ِ ‫علَ ْي ِه ْم ِ ِّمنَ النَّبِ ّٖيِّنَ َوال‬
ُّ ‫ص ِدِّ ْي ِقيْنَ َوال‬ ‫ول ِٕى َك َم َع الَّ ِذيْنَ ا َ ْنعَ َم ه‬
َ ُ‫ّٰللا‬ ‫فَا‬
َ‫ص ِل ِحيْن‬
‫َوال ه‬
artinya, "Mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang
dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada,
dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah sebaikbaik teman."

Kedua, memahami Alquran dengan Sunnah Nabi SAW yang


shahih. Ibnu Taimiyyah berkata, "Cara yang paling sahih dalam
memahami Alquran adalah menafsirkan Alquran dengan Alquran. Jika

5
engkau tidak menemukan itu, engkau mengambil sunnah karena ia
(sunnah) adalah penjelas Alquran."

Imam Syafi'i mengatakan, seluruh yang dihukumkan oleh


Rasulullah SAW adalah dari apa yang beliau peroleh dari Alquran.
Contoh pemahaman Alquran dengan sunah sebagai berikut :

Contoh tafsir Al­Qur’an dengan Sunnah, seperti firman Allah QS. al-
An’aam (6) ayat 82:

ٰۤ ُ ْ ُ
َ ْ ‫ول ِٕى َك لَ ُه ُم‬
.‫اَل ْم ُن َو ُه ْم ُّم ْهتَد ُْون‬ ُ ‫اَلَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْوا َولَ ْم َي ْل ِب‬
‫س ْْٓوا اِ ْي َمانَ ُه ْم ِبظل ٍم ا‬
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman
mereka dengan syirik, mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa
aman dan mereka mendapat petunjuk.”

Yang dimaksud dengan zulm di atas dijelaskan olen nabi SAW


melalui Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:

“Dari ‘Abdullah berkata; ‘Ketika turun firman Allah ta’ala

yang artinya: (Orang-orang yang beriman dan tidak


mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman…) (QS. al-
An’aam [8] ayat 82), membuat kaum Muslimin men-jadi ragu lalu
mereka berkata: Wahai rasulullah SAW, adakah orang di antara kami
yang tidak menzalimi diri- nya? Maka beliau berkata: Bukan itu
maksudnya. Sesung- guhnya yang dimaksud dengan kezaliman pada
ayat itu adalah syirik. Apakah kalian belum pernah mendengar apa yang
diucapkan Luqman kepada anaknya saat dia memberi pelajaran: (Wahai
anakku, janganlah kamu ber- buat syirik (menyekutukan Allah), karena
sesungguhnya syirik itu benar-benar kezaliman yang besar). (QS
Luqman [31] ayat 13). (Hr. Bukhari) (Abdul Hamid, (2016). Pengantar
Studi Al-Qur’an. Jakarta : Kencana. hal.165).

6
Ketiga, memahami Alquran dengan pemahaman para sahabat dan
tabiin (atsar). Menafsirkan Al­Qur’an dengan pendapat sahabat
yaitu bila tidak ditemukan dalam al­Qur’am dan Sunnah maka yang
digunakan adalah pendapat sahabat, karena mereka adalah orang yang
paling mengetahui soal-soal penafsir- an serta yang paling mengetahui
ketika diturunkan ayat Al­Qur’an itu. Seperti penafsiran Siti Aisya r.a.
dalam surah an-Nisaa’ (4) ayat 3 yang artinya :

“Dari Ibn Syihab, ia berkata; Urwah bin Zubair mengabarkan


kepadaku bahwa ia bertanya kepada Aisyah mengenai firman Allah
SWT: ‘Jika kalian takut tidak berbuat adil kepada anak yatim maka
nikahilah apa yang kalian suka dari wanita', ia berkata 'wahai anak
saudariku yang dimaksud adalah seorang gadis yatim, yang berada di
peliharaan walinya, ia membantu dengan hartanya, lalu walinya takjub
dengan harta dan kecantikannya dan ia ingin menikahinya namun tidak
disertai berbuat adil dalam maharnya seperti adat yang berlaku dengan
memberinya seperti yang diberikan oleh orang selainnya. Maka mereka
dilarang untuk menikahi gadis-gadis itu keauali jika berbuat adil dan
memberi sebaik-baik mahar kepada mereka, sehingga mereka bisa
memperoleh setinggi-tinggi mahar seukuran kondisi yang berlaku.
Maka mereka diperintahkan untuk menikahi wanita yang baik selain
anak-anak perempuan yatim itu." (HR. An-Nasa'i) (Abdul Hamid,
(2016). Pengantar Studi Al-Qur’an. Jakarta : Kencana. hal.164).

Demikian juga Rasulullah bersama mereka, sehingga para sahabat


dapat menanyakan ayat-ayat yang susah difahami. Adapun generasi
setelah sahabat tidak mendapatkan hal-hal seperti di atas. Juga karena
para sahabat memiliki pemahaman yang sempurna, ilmu yang benar,
dan amal yang shalih. Terlebih para ulama sahabat dan para pembesar
mereka, seperti imam empat, yaitu khulafaur rasyidin, para imam yang

7
mengikuti petunjuk dan mendapatkan petunjuk, Abdullah bin Mas’ud,
juga al-habrul al-bahr (seorang ‘alim dan banyak ilmunya) Abdullah bin
Abbas.

Adapun kewajiban berpegang sesuai dengan pemahaman Salafush


Shalih, yaitu para sahabat, tabi’in, dan para imam yang mengikuti jalan
mereka, maka dalil-dalilnya sangat banyak, antara lain :

Firman Allah Ta’ala,

‫س ِب ْي ِل‬ َ ‫س ْو َل ِم ْۢ ْن َب ْع ِد َما تَ َبيَّنَ لَهُ ْال ُه ٰدى َو َيت َّ ِب ْع‬


َ ‫غي َْر‬ ُ ‫الر‬
َّ ‫ق‬ ِ ‫َو َم ْن يُّشَا ِق‬
٣٣٥ - ࣖ ‫صيْرا‬ ْ ‫س ۤا َء‬
ِ ‫ت َم‬ ْ ُ‫ْال ُمؤْ ِم ِنيْنَ نُ َو ِلِّ ّٖه َما ت َ َولهى َون‬
َ ‫ص ِل ّٖه َج َهنَّ َۗ َم َو‬

“Dan barangsiapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran


baginya. dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin,
Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu
dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-
buruknya tempat kembali.” (Q.S an-Nisaa` : 115).

b. Tafsir Bi ar-Ra’yi atau dirayah (dengan akal)


Yaitu tafsir Al­Qur’an yang didasarkan atas sumber ijti- had dan
pemikiran Mufasir. Cara ditempuh melalui pengua- saan bahasa
Al­Qur’an, kesusasteraannya dan teori ilmu pengetahuan. tafsir ini
dibagi menjadi dua, yaitu mahmud dan madzmum. Mahmud adalah
penafsiran seseorang yang tahu betul terhadap kaidah bahasa Arab,
tanggap dengan uslub-uslub-nya, serta mengetahui aturan syariat.
Sebagian ulama masih memperbolehkan tafsir dengan cara ini.
Adapun madz- mum adalah bersumber dari pemikirannya sendiri,
tanpa melalui proses intelektual, tidak memahami kaidah bahasa
Arab,yang hanya menunjukkan kebodohannya sendiri, dan para sangat
melarang tafsir madzmum ini. namun menurut al-Qattan tafsir yang
berdasarkan ijtihad dan kemampuan pemikiran ini hukumnya haram,
berdasarkan firman Allah SWt, “Dan janganlah kamu mengikuti apa

8
yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggunganjawabnya.” (QS. al-Israa’ [17]: 36); dan juga
berdasarkan pada Hadis nabi SAW, “Barangsiapa yang berpendapat
(menafsirkan) dalam Al­Qur’an ini dengan berdasarkan akalnya (tidak
berdasarkan dalil), maka bersiap- lah menempati tempatnya di
neraka”. (Hr. tirmidzi, Abu Dawud, nasa’i). Dalam Hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Malik, nabi SAW bersabda, “Barangsiapa
yang berpendapat (menafsirkan) dalam Al­Qur’an ini dengan
berdasarkan akal- nya (tidak berdasarkan dalil), walaupun benar maka
sungguh ia telah melukakan kesalahan.

2. Memahami Hadits
Menurut para ulama, hadis adalah segala ucapan, perbuatan dan
keadaan Nabi Muhammad SAW atau segala berita yang bersumber dari
Rasulullah berupa ucapan, perbuatan, takrir (peneguhan kebenaran
dengan alasan) maupun deskripsi sifat-sifat Nabi SAW. Menurut ahli
ushul fikih, hadis berarti sehala berkataan, perbuatan dan takris Nabi SAW
yang bersangkut paut dengan hukum.
Istilah lain untuk sebutan hadis ialah sunah, kabar, dan asar.
Menurut sebagian ulama, cakupan sunah lebih luas karena ia diberi
pengertian segala yang dinukilkan dari Nabi SAW, baik berupa perkataan,
perbuatan, takrir, maupun pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup,
baik itu terjadi sebelum masa kerasulan maupun sesudahnya. Selain itu,
titik berat penekanan sunah adalah kebiasaan normatif Nabi SAW.
Asar yang juga berarti nukilan, lebih sering digunakan untuk
sebutan bagi perkataan sahabat Nabi, meskipun kadang-kadang
dinisbahkan kepada Nabi SAW. Misalnya, doa yang dinukilkan dari Nabi
SAW disebut doa ma'sur. Dalam lingkup pengertian yang sudah
dijelaskan, kata 'tradisi' juga dipakai sebagai padanan kata hadis.

9
Dilihat dari segi sumbernya, hadis dapat dibedakan menjadi dua
macam, yakni hadis qudsi dan hadis nabawi. Hadis qudsi yang juga
disebut dengan istilah hadis Ilahi atau hadis rabbani, adalah suatu hadis
yang berisi firman Allah SWT yang disampaikan kepada Nabi SAW,
kemudian Nabi menerangkannya dengan menggunakan susunan katanya
sendiri serta menyandarkannya kepada Allah SWT.
Dengan kata lain, hadis qudsi ialah hadis yang maknanya berasal
dari Allah SWT, sedangkan lafalnya berasal dari Nabi SAW. Dengan
begitu, hadis qudsi berbeda dengan hadis nabawi yaitu hadis yang lafal
maupun maknanya berasal dari Rasulullah sendiri.
Dari segi nilai sanad, hadis ada tiga macam, yaitu sahih, hasan dan
daif. Hadis sahih adalah hadis yang memenuhi persyaratan, pertama,
sanadnya bersambung, kedua, diriwayatkan oleh rawi yang adil, memiliki
sifat istiqamah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga muruah (kahormatan
dirinya) dan dabit/, ketiga, matan-nya tidak syazz (tidak mengandung
kejanggalan-kejanggalan) serta tidak ber-illat (sebab-sebab yang
tersembunyi atau tidak nyata yang mencacatkan hadis).
Hadis yang memiliki syarat-syarat tersebut juga disebut sahih li
zatih. Tetapi bila kurang salah satu syarat tersebut, namun bisa ditutupi
dengan cara lain, ia dinamakan sahih li gairih.
Hadis hasan adalah hadis yang sanadnya bersambung,
diriwayatkan oleh rawi yang adil, tetapi tidak sempurna dabit-nya, serta
matan-nya tidak syazz dan ber-illat. Hadis hasan dengan syarat-syarat
demikian disebut hasan li zatih/.
Adapun hadis daif (lemah) ialah hadis yang tidak memenuhi syarat
sahih dan hasan. Pembagian hadis daif tidak sesederhana pembagian hadis
sahih dan hasan karena kemungkinan kekurangan persyaratan sahih dan
hasan itu sangat bervariasi. Karena itu, Ibnu Hibban, ahli hadis,
menyebutkan bahwa hadis daif ada 49 macam.

10
Meskipun ini bukanlah pendapat mayoritas ulama hadis, hal itu
dapat menggambarkan banyaknya macam hadis daif. Kebanyakan
kepustakaan menyebutkan jumlahnya terbatas.

3. Dampak kesalahan dalam memahami Al-Qur’an dan Hadits

Lahirnya kelompok radikal Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang
saat ini menjadi Negara Islam (IS) dinilai akibat dari salah satu dampak
kesalahan dalam memahami ayat tentang jihad di dalam Alquran.

Pakar Alquran dan hadis, Sahiron Syamsudin, mengatakan, akibat


kesalahpahaman terhadap ayat-ayat perang (jihad) dalam Alquran, Islam
pun dipersepsikan mengajarkan kekerasan. Padahal, terdapat konteks
sejarah dalam ayat-ayat tersebut.

Kelompok radikal dinilai memahami ayat Alquran hanya bersifat


literal. Dia menjelaskan, untuk menafsirkan ayat Alquran, harus
menggunakan analisis yang tepat. Selain analisis bahasa (linguistik), kata
Sahiron, Alquran juga harus menggunakan analisis konteks sejarah.

Lebih lanjut, Sahiron menjelaskan, perang diperbolehkan apabila


dalam situasi khusus, yakni jika tidak dimungkinkan cara damai dilakukan.
Sahiron menambahkan, beberapa ayat tentang perang di dalam Alquran
hanya mengacu kepada situasi dan keadaan penindasan.

Pada surah al-Hajj ayat 39-40, misalnya. Ayat tersebut berbunyi,


"Diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi karena
sesungguhnya mereka dizalimi. Dan, sungguh, Allah Mahakuasa menolong
mereka itu (39), (yaitu) orang-orang yang diusir dari kampung halamannya
tanpa alasan yang benar, hanya karena mereka berkata, ‘Tuhan kami ialah
Allah.’ Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia
dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani,
gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi, dan masjid-masjid yang

11
di dalamnya banyak disebut nama Allah. Allah pasti akan menolong orang
yang menolong (agama)-Nya. Sungguh, Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa
(40)."

Menurutnya, ayat dalam surah al-Hajj tersebut dimaknai bahwa Nabi


Muhammad mengizinkan pengikutnya berperang karena dalam kondisi
terjadi penindasan. Dia menjelaskan, diizinkannya umat Islam ketika itu
karena kaum musyrik Makkah mengusir umat Muslim tanpa alasan yang
jelas. Selain itu, kata Sahiron, pada waktu itu tidak ada kebebasan beragama.

2.2 Ijitihad Sebagai Upaya Memahami Alquran Dan Hadist

Pengertian Ijtihad
Kata ijtihad berasal bahasa Arab ijtahada-yajtahidu-ijtihadan yang berarti
mengerahkan segala kemampuan, bersungguh-sungguh mencurahkan tenaga,
atau bekerja secara optimal. Secara istilah, ijtihad adalah mencurahkan segenap
tenaga dan pikiran secara sungguh-sungguh dalam menetapkan suatu hukum.
Orang yang melakukan ijtihad dinamakan mujtahid.
Syarat-Syarat berijtihad
Karena ijtihad sangat bergantung pada kecakapan dan keahlian para mujtahid,
dimungkinkan hasil ijtihad antara satu ulama dengan ulama lainnya berbeda
hukum yang dihasilkannya. Oleh karena itu, tidak semua orang dapat
melakukan ijtihad dan menghasilkan hukum yang tepat. Berikut beberapa syarat
yang harus dimiliki seseorang untuk melakukan ijtihad.
a. Memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam.
b. Memiliki pemahaman mendalam tentang bahasa Arab, ilmu tafsir, usul fikih,
dan tarikh (sejarah).
c. Memahami cara merumuskan hukum (istinbaţ).
d. Memiliki keluhuran akhlak mulia.
Kedudukan Ijtihad
Ijtihad memiliki kedudukan sebagai sumber hukum Islam setelah alQur’an dan
hadis. Ijtihad dilakukan jika suatu persoalan tidak ditemukan hukumnya dalam

12
al-Qur’an dan hadis. Namun demikian, hukum yang dihasilkan dari ijtihad tidak
boleh bertentangan dengan al-Qur’an maupun hadis. Hal ini sesuai dengan
sabda Rasulullah saw.:

Artinya: “Dari Mu’az, bahwasanya Nabi Muhammad saw. ketika mengutusnya


ke Yaman, ia bersabda, “Bagaimana engkau akan memutuskan suatu perkara
yang dibawa orang kepadamu?” Muaz berkata, “Saya akan memutuskan
menurut Kitabullah (al-Qur’an).” Lalu Nabi berkata, “Dan jika di dalam
Kitabullah engkau tidak menemukan sesuatu mengenai soal itu?” Muaz
menjawab, “Jika begitu saya akan memutuskan menurut Sunnah Rasulullah
saw.” Kemudian, Nabi bertanya lagi, “Dan jika engkau tidak menemukan
sesuatu hal itu di dalam sunnah?” Muaz menjawab, “Saya akan
mempergunakan pertimbangan akal pikiran sendiri (ijtihadu bi ra’yi) tanpa
bimbang sedikitpun.” Kemudian, Nabi bersabda, “Maha suci Allah Swt. yang
memberikan bimbingan kepada utusan Rasul-Nya dengan suatu sikap yang
disetujui Rasul-Nya.” (H.R. Darami)

Rasulullah saw. juga mengatakan bahwa seseorang yang berijtihad sesuai


dengan kemampuan dan ilmunya, kemudian ijtihadnya itu benar, maka ia
mendapatkan dua pahala, Jika kemudian ijtihadnya itu salah maka ia
mendapatkan satu pahala. Hal tersebut ditegaskan melalui sebuah hadis:

13
Artinya : “Dari Amr bin As, sesungguhnya Rasulullah saw. Bersabda, “Apabila
seorang hakim berijtihad dalam memutuskan suatu persoalan, ternyata
ijtihadnya benar, maka ia mendapatkan dua pahala, dan apabila dia berijtihad,
kemudian ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala.” (H.R. Bukhari dan
Muslim)
Bentuk-Bentuk Ijtihad
Ijtihad sebagai sebuah metode atau cara dalam menghasilkan sebuah hukum
terbagi ke dalam beberapa bagian, yaitu sebagai berikut.
1. Ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan para ulama ahli ijtihad dalam memutuskan suatu
perkara atau hukum. Contoh ijma’ di masa sahabat adalah kesepakatan untuk
menghimpun wahyu Ilahi yang berbentuk lembaranlembaran terpisah menjadi
sebuah mus¥af al-Qur’an yang seperti kita saksikan sekarang ini.
2. Qiyas
Qiyas adalah mempersamakan/menganalogikan masalah baru yang tidak
terdapat dalam al-Qur’an atau hadis dengan yang sudah terdapat hukumnya
dalam al-Qur’an dan hadis karena kesamaan sifat atau karakternya. Contoh
qiyas adalah mengharamkan hukum minuman keras selain khamr seperti
brendy, wisky, topi miring, vodka, dan narkoba karena memiliki kesamaan sifat
dan karakter dengan khamr, yaitu memabukkan. Khamr dalam al-Qur’an
diharamkan, sebagaimana firman Allah Swt:

Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras,


berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah

14
adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-
perbuatan) itu agar kamu beruntung.” (Q.S. al-Maidah/5:90)
3. Maslasah Mursalah
Maslaḥah mursalah artinya penetapan hukum yang menitikberatkan pada
kemanfaatan suatu perbuatan dan tujuan hakiki-universal terhadap syari’at
Islam. Misalkan, seseorang wajib mengganti atau membayar kerugaian atas
kerugian kepada pemilik barang karena kerusakan di luar kesepakatan yang
telah ditetapkan.
Pembagian Hukum Islam Para ulama membagi hukum Islam ke dalam dua
bagian, yaitu hukum taklifi dan hukum wad’i. Hukum taklifi adalah tuntunan
Allah Swt. yang berkaitan dengan perintah dan larangan. Hukum wad’i adalah
perintah Allah Swt. yang merupakan sebab, syarat, atau penghalang bagi adanya
sesuatu.

15
16
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan analisis penulis terhadap pembahasan diatas, dapat ditarik


kesimpulan bahwa memahami Al-Qur’an sebagai kitab suci dan panduan
adalah membutuhkan pemahaman yang baik dan benar, sebagaimana
pemahaman para ulama terdahulu yang mereka lebih dekat atau berdampingan
dengan Rasulullah Shallallahi alaihi wasalam.

Kajian Hadis memiliki posisi yang sangat penting, karena Hadis


merupakansumber kedua setelah Al Qur‘an. Kajian Hadis terbagi beberapa
pembahasan,diantaranya: kajian ilmu mustalah al Hadis, kritik sanad dan
matan, serta berkaitandengan pemahaman Hadis. Banyak ulama klasik dan
ulama kontemporer yang menulis buku Hadis sehingga sangat mudah
mendapatkan akses untuk melakukan pengkajian hadis. Hadis atau Sunnah
adalah segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad saw. baik
berupa perkataan, perbuatan, ketetapan maupun sifatnya baik sebelum
diangkat menjadi Rasul atau sesudahnya.

Pemahaman yang tidak sesuai dengan kaidah yang benar, akan semakin
menjerumuskan seseorang kepada gagal paham atau kesesatan. Hal ini telah
diprediksi oleh Rasulullah Shallallahi alaihi wasalam, yang pada kesimpulan
akhirnya memahami Al-Qur’an dan hadits tidaklah dianjurkan untuk
menggunakan akal semata, didalam Al-Qur’an juga terdapat Mukjizat yang
melebihi akal manusia.

17
3.2 Saran

Pemahaman terhadap Al-Qur’an dan hadits sangatlah dianjurkan, selain


kitab suci, Ia juga merupakan petunjuk yang akan menuntun seseorang kejalan
yang lurus. Dan memahami sesuai kaidah juga merupakan keharusan

Tentunya makalah ini belum merangkum apa yang diharapkan,


dikarenakan masih penuh dengan keterbatasan kemampuan dan pemahaman.
Penulis sangat membutuhkan kritik dan saran yang membangun guna
menambah kesempurnaan makalah ini. Semoga penulisan karya yang
sederhana ini bersamaan dengan Ridhonya Allah, bisa menjadi karya yang
barokah dan bermafaat bagi kita semua di dunia maupun di akhirat. Dan
khususnya kepada penulis dapat menimbulkan nilai-nilai positif bagi penulis
sendiri. Aminn

18
DAFTAR PUSTAKA

Hamid, Abdul. (2016). Pengantar Studi Al-Qur’an. Jakarta:Kencana

Ahmad, Arifuddin. Metodologi Pemahaman Hadis; Kajian Ilmu Ma’ani al Hadis.

Makassar: Alauddin University Press, 2012

Prenadamedia Grup https://republika.co.id/berita/q7zni8458/langkahlangkah-

memahami-alquran

Anda mungkin juga menyukai