Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PRAKTIKUM IMUNOSEROLOGI

(Pemeriksaan RF Metode Kualitatif & Semi Kuantitatif)

Nama : Devi Permatasari

NIM : PO714203191040

Kelas : B1

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN MAKASSAR

JURUSAN ANALIS KESEHATAN

PRODI SERJANA TERAPAN TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS

TAHUN 2021
Hari/Tanggal Praktikum : Kamis, 8 April 2021 (Metode Kualitatif)

Jum’at, 16 April 2021 (Metode Semi Kuantitatif)

Judul Praktikum : Pemeriksaan RF Metode Kualitatif dan Semi

Kuantitatif

Tujuan Pemeriksaan : Untuk mendeteksi Antibodi RF yang terdapat

dalam sampel serum penderita dan membantu

diagnosa rheumatoid Arthritis (RA) dengan

menggunakan metode kualitatif dan semi

kuantitatif

A. Dasar Teori

RF adalah imunoglobulin yang bereaksi dengan molekul IgG

(Widmann, 1995). Sebagaimana ditunjukkan namanya, RF terutama dipakai

untuk mendiagnosa dan memantau rheumatoid arthritis (Sacher, 2004). Semua

penderita dengan Rheumatoid Arthritis (RA) menunjukkan antibodi terhadap

IgG yang disebut faktor rheumatoid atau antiglobulin (Roitt, 1985).

Rheumatoid Factor adalah imunoglobulin yang bereaksi dengan

molekul IgG. Pemeriksaan rheumatoid factor dipakai untuk mendiagnosa

ataupun memantau Rheumatoid Arthritis. Semua penderita Rheumatoid

Arthritis (RA) menunjukkan antibodi terhadap IgG yang disebut faktor

rheumatoid atau antiglobulin. (Agnes Sri Harti, Dyah Yuliana, 2007).

Rheumatoid arthritis sendiri merupakan suatu penyakit sistemik kronis

yang ditandai dengan peradangan ringan jaringan penyambung. Sekitar 80-


85% penderita RA mempunyai autoantibodi yang dikenal dengan

nama Rheumatoid faktor dalam serumnya dan menunjukkan RF positif. Faktor

ini merupakan suatu faktor anti-gammaglobulin. Kadar RF yang sangat tinggi

menandakan prognosis buruk dengan kelainan sendi yang berat dan

kemungkinan komplikasi sistemik. (Price, 1999 dan Widmann, 1995).

Reumatoid artritis (RA) merupakan penyakit inflamasi sistem kronis

yang tidak diketahui penyebabnya, namun menurut beberapa sumber RA

merupakan penyakit autoimun dari jaringan ikat terutama sinovial dan

kausanya multifaktor (Lukman, 2009).

Secara singkat, kelainan sendi yang dijumpai pada reumatoid artritis

pada hakikatnya terjadi akibat pertumbuhan sel-sel sinovial yang merusak

tulang dan tulang rawan. Penyakit ini diawali dengan aktivasi sel T autoreaktif

yang kemudian bermigrasi ke dalam rongga sinovial dan menginduksi aktivasi

sel-sel efektur seperti sel sinovial dan sel B, melalui sitokin yang diproduksi

oleh sel T. Membran sinovial kemudian menjadi hiperselular karena

penimbunan sejumlah besar limfosit dalam berbagai stadium aktivasi, sel

plasma, dan makrofag. Semua sel menujukan aktivasi yang tinggi dan

interaksi antara sel-sel itu menyebabkan pembentukan immunoglobulin dan

faktor rheumatoid (Utama, 2013).

Gejala klinis reumatoid artritis bervariasi pada setiap orang,

diantaranya yaitu kekakuan sendi di pagi hari, pembengkakan dan nyeri sendi,

terdapat nodul (benjolan), penumpukan cairan terutama pada pergelangan

kaki, dan gejala seperti flu (Salma, 2014)


Pada umumnya penyakit RA awalnya yang terserang adalah sendi

tangan dan kaki disertai rasa nyeri. Menurut buku Asuhan Keperawatan pada

Klien Lanjut Usia, Kusharyadi (2010) Rheumatoid Artritis merupakan

penyakit inflamasi sistemik kronis yang tidak diketahui penyebabnya. Kadar

RF yang sangat tinggi menandakan prognosis buruk dengan kelainan sendi

yang berat dan kemungkinan komplikasi sistemik. (Agnes Sri Harti, Dyah

Yuliana, 2007)

Untuk uji skrining terhadap pemeriksaan rheumatoid factor dapat

dilakukan dengan metode aglutinasi dimana darah dicampurkan dengan

partikel lateks yang dilapisi oleh antibody IgG manusia. Jika darah tersebut

mengandung factor rheumatoid, larutan lateks tersebut akan membentuk

gumpalan atau aglutinasi sehingga sampel serum yang diperiksa mengandung

RF, maka akan terbentuk aglutinasi (Aletaha D, dkk. 2010).

Penghitungan kadar RF (IU/ml) = pengenceran tertinggi reaksi positif

x sensitivitas reagen (8,0 IU/ml). Sekitar 80-85% penderita RA mempunyai

autoantibodi yang dikenal dengan nama Rheumatoid faktor dalam serumnya.

Faktor ini merupakan suatu factor anti- gammaglobulin. Titer RF yang tinggi

belum tentu selalu mencerminkan aktivitas penyakit tersebut, tetapi biasanya

ada kaitannya dengan rheumatoid nodul, penyakit yang parah, vaskulitis dan

prognosis yang jelek. Meskipun test RF dapat membantu menentukan

diagnosis, tetapi bukan test yang spesifik untuk RA. RF dapat ditemukan pada

penyakit jaringan penyambung lain (misalnya sistemik lupus eritematous,

skleroderma, dermatomiositis), juga pada sebagian kecil (3-5%) masyarakat


normal. Pada masyarakat normal, sero positif ini semakin meningkat sesuai

dengan lanjutnya usia, sebanyak 15-20% dari mereka yang berusia diatas 60

mempunyai RF positif yang titernya rendah. Darah juga dapat ditest untuk

mengetahui apakah laju endap darahnya meningkat. Ini merupakan suatu

tanda yang tidak spesifik adanya peradangan. Pasien penderita RA mungkin

juga menderita anemia. Cairan sinovial yang normal merupakan cairan kuning

muda yang jernih dengan jumlah leokosit kurang dari 200 sel per millimeter

kubik. Karena proses peradangan yang terjadi dalam sendi kasus RA, maka

cairan sinovial kehilangan viskositasnya sedangkan jumlah leukosit meningkat

sampai 5000-50.000 per millimeter kubik,sehingga cairan tampak keruh

(Price, 1999 dan Widmann, 1995)

B. Prosedur Pemeriksaan
1. Pra Analitik

a. Persiapan pasien

Tidak membutuhkan persiapan yang khusus. Jangan lupa untuk

memberikan identitas pada sampel pasien agar tidak tertukar dengan

pasien lain.

b. Persiapan Sampel

 Menyiapkan Alat & Bahan : Spoit, tourniquet, kapas alkohol,

alkohol swab, tabung reaksi, pipet tetes dan centrifuge

 Mengambil darah vena sesuai yang dibutuhkan

 Memindahkan darah ke dalam tabung melalui dinding tabung

 Sentrifuge sampel selama 10 menit dengan kecepatan 3500 rpm


 Mengambil serum pada tabung yaitu cairan yang berwarna kuning

bening yang berada di bagian atas eritrosit. Serum bebas dari

darah, lemak, dan kontaminasi. Serum dapat disimpan pada suhu 1-

8⁰C selama 48 jam jika tidak segera dikerjakan.

 Sampel siap digunakan.

c. Prinsip Pemeriksaan

Prinsip pemeriksaan ini adalah reagen RF mengandung partikel

latex yang dilapisi dengan gamma globulin manusia. Ketika reagen

yang dicampur dengan serum yang mengandung RF pada level yang

lebih besar dari 8,0 IU/ml maka pada partikel akan terjadi aglutinasi.

Hal ini menunjukkan reaksi positif pada sampel terhadap RF. Dan

harus dilakukan pemeriksaan secara semi kuantitatif untuk mengetahui

titernya.

d. Persiapan Alat dan Bahan

Alat:

- Tip kuning

- Mikropipet

- Batang pengaduk

- Slide test

- Rotator

- Rak tabung

- Tabung reaksi

- Timer
Bahan:

1. Sampel serum

2. Larutan buffer/saline/NaOH 0,9%

3. Kontrol positif

4. Kontrol negatif

5. RF latex

2. Analitik
Prosedur Kerja:
a. Pemeriksaan RF Metode Kualitatif

1) Menyiapkan alat dan bahan

2) Menghomogenkan reagen lateks.

3) Satu tetes sampel serum ditambahkan pada black slide test 1.

4) Kemudian, satu tetes sampel kontrol positif ditambahkan pada


black slide test 2.

5) Satu tetes sampel kontrol negatif ditambahkan pada black slide test
3.

6) Satu tetes reagen latex ditambahkan disebelah sampel serum,


kontrol positif dan negatif

7) Sampel serum dan reagen diaduk memenuhi lingkaran slide.

8) Slide test dihomogenkan dengan cara manual selama 2 menit,


kemudian hasil dibaca

9) Hasil positif ditandai dengan adanya aglutinasi.


 Pemeriksaan RF Metode Semi Kuantitatif

1) Menyiapkan 4 buah tabung serologi, masing-masing tabung


diberi label ½, ¼, 1/8, dan 1/16.

2) Memipet larutan salin/ NaCl sebanyak 100 µL dan dimasukkan


pada masing-masing tabung.

3) Tabung 1 dimasukkan 100 µL sampel serum kemudian


dihomogenkan.

4) Dari tabung 1 dipipet 100 µL kemudian dimasukkan ke tabung


2 dan dihomogenkan, dan dilanjukan hingga ke tabung 4

5) Dari tabung 4 diambil 100 µL kemudian dibuang.

6) Selanjutnya, dipipet 50 µL dari masing-masing tabung ke


black slide.

7) Kemudian, masing-masing lingkaran slide yang berisikan


serum berlabel ½,1/4, 1/8 dan 1/16 ditetesi dengan reagen
latex.

8) Lalu dihomogenkan dengan menggunakan batang pengaduk ke


seluruh area lingkaran slide.

9) Kemudian, dihomogenkan secara manual selama 2 menit lalu


setelah 2 menit dibaca hasil.

10) Hasil akhir ditentukan dari pengenceran tertinggi yang masih


menunjukkan hasil positif.
b. Pasca Analitik
 Interpretasi Hasil
 Hasil Positif (+) ditandai adanya aglutinasi yang artinya Kadar

RF 8 IU/ml.

 Hasil Negatif (-) ditandai dengan tidak adanya aglutinasi

artinya Kadar RF < 8 IU/ml

 Nilai normal < 8 IU/ml

1) Metode Semi Kualitatif

Hasil : Sampel negative karena tidak terdapat aglutinasi

2) Metode Semi Kuantitatif

Hasil: sampel negatif karena tidak terbentuk aglutinasi pada

pengenceran½, ¼, 1/8, dan 1/16.


 Pengenceran tertinggi yang positif sebagai hasil akhir

dalam kadar titer.

 Untuk menentukan konsentrasiRF, mengalikan titer dengan

konversi 8. Misalkan : titer RF yang didapatkan = ¼ maka

konsentrasi RF adalah 4 x 8 = 32 IU/ml

 Kelebihan dan Kekurangan Pemeriksaan RF

Kelebihan:

 Pengerjaannya sederhana sehingga hasil pemeriksaan cepat

selesai

 Pada metode semi kuantitatif dapat meunjukkan jumlah titer

RF dalam sampel serum.

 Hemat biaya

Kekurangan:

 Pada metode kualitatif tidak dapat meunjukkan jumlah titer RF

dalam sampel serum, akan tetapi hanya menunjukkan hasil

negatif dan positif.

 Waktu reaksi lebih lama dari yang ditentukan dapat

menghasilkan reaksi palsu yang jelas karena efek pengeringan

 Hanya serum sebagai sampel yang harus digunakan dalam tes

ini.
C. Kesimpulan

Berdasarkan pemeriksaan RF metode kualitatif dapat disimpulkan bahwa

sampel serum yang diperiksa negatif RF yang ditandai dengan tidak

terbentuknya aglutinasi pada sampel. Sedangkan pada pemeriksaan metode

Semi kuantitatif sampel serum yang diperiksa negatif RF karena tidak

terbentuk aglutinasi pada sampel pengenceran ½, ¼, 1/8, dan 1/16 yang

artinya kadar RF dalam sampel serum tersebut adalah kurang dari 8 UI/ml.
DAFTAR PUSTAKA

Agnes Sri Harti, Dyah Yuliana. 2007. Pemeriksaan Rheumatoid Faktor Pada

Penderita Tersangka Rheumatoid Arthritis. Jurnal STIKes Kusuma

Husada Surakarta.

Aletaha D, Neogi T, Silman A J, Funovits J, Felson DT, Bingham CO, et al. 2010

Rheumatoid Arthritis Classification Criteria. American College of

Rheumatology. Arthritis Rheum. 2010;62 (9) : 2569-81

Gordon, N. F. 2002. Radang Sendi. Jakarta: PT Raja Grafindo.

Harti, A. S. 2006. Imunologi Serologi II. Surakarta: Fakultas Biologi D III Analis

Kesehatan USB.

J Indon Med Assoc, Jusak Nugraha, dkk. 2012. Diagnostic Value of Anti-Mutated

Citrullinate Vimentin and Rheumatoid Factor With

Immunochromatographic Method in Early Rheumatoid Arthritis

Patients.Artikel Penelitian. Dep.Clinical Pathology, Medical Faculty

Airlangga University/Dr. Soetomo Hospital, Surabaya

Kushariyadi. 2010. Asuhan Keperawatan pada Klien Lanjut Usia. Salemba

Medika : Jakarta

Mansjoer, A. dkk. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius. Jakarta:

Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia.


Price, S. A. 1999. Patofisiologi 2, Jakarta: EGC.Roit, I. M. 1985. Pokok-pokok

Ilmu Kekebalan. Jakarta: EGC.

Sacher, R. A. 2004. Tinjauan Klinis Hasil Laboratorium. Jakarta: EGC.

Salma, 2014. Tetap Sehat Setelah Usia 40. Jakarta: Gema Insani

Watts, H. D.1984. Terapi Medik. Jakarta: EGC.

Widmann, F. K.1995. Tinjauan Klinis Atas Pemeriksaan Laboratorium. Jakarta:

EGC

Utama, H., 2013. Immunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. V ed.

Jakarta: Badan Penerbit FKUI

Anda mungkin juga menyukai