Anda di halaman 1dari 63

BAB I

PENDAHULUAN

A. 1.1. Latar Belakang

Anak adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang harus dijaga

karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai

manusia yang harus dijunjung tinggi. Anak adalah masa depan bangsa dan

generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas

kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak

atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil

dan kebebasan.

Anak merupakan titipan Tuhan yang harus disyukuri serta menjadi

tanggung jawab untuk memenuhi setiap kebutuhan hidupnya.

Sebagaimana orang dewasa, begitu juga anak memerlukan perhatian, kasih

sayang dan juga rasa aman. Kebutuhan dasar dari setiap manusia menurut

Abraham Maslow ada 5 yaitu kebutuhan fisiologis, rasa aman dan

keselamatan, cinta dan memiliki, harga diri, daan aktualisasi diri ( Atoilah

et al, 20182013). Anak dengan segala karakteristiknya memiliki peluang

yang lebih besar untuk mengalami sakit jika dikaitkan dengan respon imun

dan kekuatan pertahanan dirinya yang belum optimal sehingga gampang

terkena sakit dan harus menjalani perawatan di Rumah Sakit. (Ramdaniati,

20172016).

1
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), anak adalah

keturunan kedua. Dalam konsideran UU No. 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak, dikatakan bahwa anak adalah amanah dan karunia

Tuhan Yang Maha Esa, yang dlam dirinya melekat harkat dan martabat

sebagai menusia seutuhnya, lebih lanjut dikatakan bahwa anak adalah

tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa,

memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang

menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.

Oleh karena itu agar setiap anaka kelak mampu memikul tanggung jawab

tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk

tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial,

dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk

mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap

pemenuhan hakhaknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.

Pengertian anak secara khusus dapat diartikan menurut Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 ayat

(1), bahwa dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia

18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam

kandungan.Anak sebagai generasi penerus dan pengelola masa depan

bangsa perlu dipersiapkan sejak dini melalui pemenuhan hak-haknya yakni

hak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar

sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

2
Anak dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai

keturunan,anak juga mengandung pengertian sebagai manusia yang masih

kecil. Selain itu,anak pada hakekatnya seorang yang berada pada satu

masa perkembangan tertentu dan mempunyai potensi untuk menjadi

dewasa.

Anak merupakan individu yang unik dan bukan orang dewasa

mini. Anak juga bukan merupakan harta atau kekayaan orang tua yang

dapat dinilai secara sosial ekonomi, melainkan masa depan bangsa yang

berhak atas pelayanan kesehatan secara individual dan masih bergantung

pada orang dewasa dan lingkungannya, artinya membutuhkan lingkungan

yang dapat memfasilitasi dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dan untuk

belajar mandiri (Supartini, 2018).

Ditinjau dari aspek yuridis, maka pengertian “anak” dimata hukum

positif di Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa

(minderjaring atau person under age), orang yang dibawah umur atau

keadaan dibawah umur (minderjaringheid atau inferionity) atau kerap juga

disebut sebagai anak yang dibawah pengawasan wali (minderjarige

onvervoodij).

Seperti kita ketahui bahwa anak adalah potensi dan penerus cita-

cita bangsa, yang dasarnya telah diletakkan oleh generasi sebelumnya.

Melalui proses pertumbuhan dan perkembangan sistem susunan saraf

pusat pada anak, maka anak mempunyai peningkatan keterampilan.

3
Kemampuan untuk menggunakan keterampilan ini dapat menciptakan

interaksi dengan lingkungan (Suherman, 2017).

Pada anak usia prasekolah, kecemasan yang paling besar dialami

adalah ketika pertama kali mereka masuk sekolah dan kondisi sakit yang

dialami anak. Apabila anak mengalami kecemasan tinggi saat dirawat di

rumah sakit maka besar kemungkinan anak akan mengalami disfungsi

perkembangan. Anak akan mengalami gangguan, seperti gangguan

somatik, emosional dan psikomotor (Nelsson, 2019). Reaksi terhadap

penyakit atau masalah diri yang dialami anak pra sekolah seperti

perpisahan, tidak mengenal lingkungan atau lingkungan yang asing,

hilangnya kasih sayang, body image maka akan bereaksi seperti regresi

yaitu hilangnya kontrol, displacement, agresi (menyangkal), menarik diri,

tingkah laku protes, serta lebih peka dan pasif seperti menolak makan dan

menolak tindakan invasive yang diberikan perawat sehingga akan

memperlambat proses penyembuhan anak (Alimul, 2016).

Hospitalisasi merupakan pengalaman yang mengancam bagi setiap

orang. Penyakit yang diderita akan menyebabkan perubahan perilaku

normal sehingga klien perlu menjalani perawatan (Hospitalisasi) (Asmadi,

2018).

Hospitalisasi adalah suatu keadaan krisis pada anak, saat anak sakit

dan dirawat di rumah sakit. Keadaan ini terjadi karena anak berusaha

untuk beradaptasi dengan lingkungan asing dan baru yaitu rumah sakit,

4
sehingga kondisi tersebut menjadi faktor stressor bagi anak baik terhadap

anak maupun orang tua dan keluarga (Wong, 2019).

Hospitalisasi merupakan suatu proses karena alasan berencana atau

darurat yang mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit untuk

menjalani terapi dan perawatan. Meskipun demikian dirawat di rumah

sakit tetap merupakan masalah besar dan menimbulkan ketakutan, cemas,

bagi anak (Supartini, 2018). Hospitalisasi juga dapat diartikan adanya

beberapa perubahan psikis yang dapat menjadi sebab anak dirawat di

rumah sakit (Stevens, 2019).

Dijelaskan dulu apa itu hospitalisasi dan dampaknya terhadap anak

Berdasarkan data Perhimpunan Nasional Rumah Sakit Anak di

Amerika, sebanyak 6,5 juta anak/tahun menyebutkan bahwa 30 % dari 180

anak berusia 6-12 tahun mempunyai pengalaman dengan Rumah Sakit karena

harus dirawat untuk penyakit demam berdarah, gastro enteritis, dan operasi

amandel (sumber ..???)

Berdasarkan survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun

2014 jumlah usia prasekolah di Indonesia sebesar 20,72% dari jumlah

penduduk Indonesia. Berdasarkan hasil survey kesehatan ibu dan anak di

Indonesia tahun 2013 didapatkan hasil dari 1,425 anak yang mengalami

dampak hospitalisasi, 32,2% diantaranya mengalami dampak hospitalisasi

berat, 41,6% dampak hospitalisasi sedang dan 25.5 dampak hospitalisasi

ringan (Puspasari, 2014). Ambil data terbaru, ini sdh 6 tahun lalu

5
Berdasarkan data Rekam Medis Rumah Sakit Sumber Hidup, anak

yang dirawat pada tahun 2016 sejak bulan Mei – Desember berjumlah 196

anak, kemudian pada tahun 2017 berjumlah 416 anak, dan pada tahun 2018

sejak bulan Januari – September jumlah anak yang dirawat 315 anak. Rata-

rata jumlah anak yang masuk per bulan adalah 35 anak. Dengan rata-rata

lama rawat 1 - 14 hari. Ini rencana penelitian di RS Bhayangkara atau

RSSH??

Perawatan di rumah sakit (hospitalisasi) dapat menimbulkan stres

pada anak. Hospitalisasi merupakan pengalaman yang tidak

menyenangkan bagi sebagian besar anak. Mereka akan terpaksa berpisah

dari lingkungan yang dirasakannya aman, penuh kasih sayang, dan

menyenangkan, yaitu rumah,permainan, dan teman sepermainannya

(Supartini, 20182014).

Hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan

yang berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di Rumah

Sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke

rumah. Selama proses hospitalisasi diartikan adanya beberapa penelitian

dengan pengalaman yang sangat traumatik dan penuh dengan kecemasan,

namun tidak setiap anak mengalami kecemasan akibat hospitalisasi.

Kecemasan yang dialami oleh masing-masing anak sangat bervariasi dan

membawa dampak yang berbeda-beda sesuai dengan tahapan usia

perkembangan anak, terlebih anak usia prasekolah. (Potter dan Perry,

2017)

6
Hospitalisasi merupakan suatu proses karena suatu alasan yang

terencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di Rumah Sakit,

menjalani perawatan sampai pemulangannya kembali ke rumah.

Hospitalisasi menimbulkan krisis utama yang tampak pada anak, karena

anak yang dirawat di Rumah Sakit mengalami perubahan status kesehatan

dan juga lingkungan seperti ruangan perawatan yang asing, petugas

kesehatan yang memakai seragam putih, dan alat-alat kesehatan (Priyoto,

2018).

Hospitalisasi merupakan suatu proses yang mengharuskan anak

tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangan

kembali ke rumah. Selama proses tersebut, anak dan orang tua mengalami

berbagai kejadian dengan pengalaman yang sangat traumatik dan penuh

dengan stres (Supartini, 2019). Hospitalisasi merupakan pengalaman

penuh stres baik bagi anak usia 1-3 tahun maupun keluarganya. Stressor

bagi keluarga dapat berupa rasa takut, cemas, bersalah, tidak percaya bila

22 anak sakit, dan frustasi (Hallstrom dkk, 2018). Hospitalisasi bagi

keluarga dan anak dapat dianggap sebagai pengalaman yang mengancam

dan stressor, keduanya dapat menimbulkan krisis bagi anak dan keluarga.

Bagi anak hal ini mungkin terjadi karena anak tidak memahami mengapa

anak dirawat, dan terluka, stress dengan adanya perubahan akan status

kesehatan, lingkungan, dan kebiasaan sehari-hari. Juga keterlambatan

mekanisme koping. Jika anak harus menjalani hospitalisasi akan

7
memberikan pengaruh terhadap anggota keluarga dan fungsi keluarga

(Wong & Whaley, 2019).

Hospitalisasi adalah masuknya individu ke rumah sakit sebagai

pasien dengan berbagai alasan seperti pemeriksaan diagnostik, prosedur

operasi, perawatan medis, pemberian obat dan menstabilkan atau

pemantauan kondisi tubuh. Hospitalisasi ini merupakan suatu keadaan

krisis pada anak, saat anak sakit dan dirawat di rumah sakit. Keadaan ini

(hospitalisasi) terjadi karena anak berusaha untuk beradaptasi dengan

lingkungan asing dan baru yaitu rumah sakit, sehingga kondisi tersebut

menjadi stresor baik terhadap anak maupun orang tua dan keluarga,

perubahan kondisi ini merupakan masalah besar yang menimbulkan

ketakutan, kecemasan bagi anak yang dapat menyebabkan perubahan

fisiologis dan psikologis pada anak jika anak tidak mampu beradaptasi

terhadap perubahan tersebut. Dampak jangka pendek dari kecemasan dan

ketakutan yang tidak segera ditangani akan membuat anak melakukan

penolakan terhadap tindakan perawatan dan pengobatan yang diberikan

sehingga berpengaruh terhadap lamanya hari dirawat, memperberat

kondisi anak dan bahkan dapat menyebabkan kematian pada anak.

Dampak jangka panjang dari anak sakit dan dirawat yang tidak segera

ditangani akan menyebabkan kesulitan dan kemampuan membaca yang

buruk memiliki gangguan bahasa dan perkembangan kognitif, menurunnya

kemampuan intelektual dan sosial serta fungsi imun.2014).

8
Selama proses tersebut, anak dan orang tua dapat mengalami

berbagai kejadian yang menurut berbagai penelitian ditunjukkan dengan

pengalaman yang sangat traumatik dan penuh dengan stress. Sehingga

anak sering menjadi tidak kooperatif terhadap perawatan dan pengobatan

di rumah sakit, anak menjadi sulit atau menolak untuk didekati oleh

petugas apalagi berinteraksi. Mereka akan menangis, berteriak-teriak,

bahkan berontak saat melihat perawat atau dokter menghampirinya

(Supartini, 20182014).

Sebagaimana stress yang dialami pada orang dewasa, stres pada

anak-anak akan berdampak negatif bila tidak tersalurkan, sehingga

mengalihkan perhatian anak dari kondisinya merupakan salah satu cara

untuk mengendalikan emosi pada anak (Novita Tandry, 2015). Tindakan

yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah stress hospitalisasi pada

anak adalah dengan terapi bermain origami. Dengan melakukan permainan

anak akan terlepas dari ketegangan stress, rasa sakit dan mendapatkan

kesenangannya. (Ratnasari, 2016).

Kecemasan akibat perpisahan merupakan stress terbesar yang

ditimbulkan oleh hospitalisasi selama masa kanak-kanak awal. Anak

prasekolah dapat menoleransi perpisahan singkat dengan orang tua dan

lebih cenderung membangun rasa percaya mengganti pada orang dewasa

lain yang bermakna untuknya. Akan tetapi, stress karena penyakit biasanya

membuat anak prasekolah menjadi kurang mampu dalam menghadapi

9
perpisahan, akibatnya mereka menunjukkan banyak tahap perilaku cemas

akibat perpisahan (Wong, 2019).

Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa

hospitalisasi adalah suatu proses karena alasan berencana maupun darurat

yang mengharuskan anak dirawat atau tinggal di rumah sakit untuk

mendapatkan perawatan yang dapat menyebabkan beberapa perubahan

psikis pada anak.

Perubahan psikis terjadi dikarenakan adanya suatu tekanan atau

krisis pada anak. Jika seorang anak di rawat di rumah sakit, maka anak

tersebut 8 akan mudah mengalami krisis yang disebabkan anak mengalami

stres akibat perubahan baik terhadap status kesehatannya maupun

lingkungannya dalam kebiasaan sehari-hari. Selain itu, anak mempunyai

sejumlah keterbatasan dalam mekanisme koping untuk mengatasi masalah

maupun kejadiankejadian yang sifatnya menekan (Nursalam,

Susilaningrum, dan Utami, 2017).

Hasil penelitian Sa,diah (20172014) menunjukan bahwa terdapat

pengaruh terapi bermain origami terhadap tingkat stres pada anak dengan

hospitalisasi. Terapi bermain origami yang diberikan pada anak prasekolah

yang dirawat di rumah sakit akan memberikan perasaan senang dan

nyaman, anak yang merasa nyaman saat menjalani rawat inap akan

membuat anak dapat beradaptasi terhadap stressor stres selama

hospitalisasi.

10
Bermain merupakan metode bagaimana anak mengenal dunia.

Bermain tidak sekedar mengisi waktu tetapi merupakan kebutuhan anak

seperti halnya makanan, perawatan dan cinta kasih. Anak memerlukan

berbagai variasi permainan untuk kesehatan fisik, mental dan

perkembangan emosinya. Anak tidak sekedar melompat, melempar atau

berlari tetapi mereka bermain menggunakan seluruh emosi, perasaan dan

pikirannya (Supartini, 2018).

Dengan bermain anak melepaskan ketakutan, kecemasan,

mengekspresikan kemarahan dan permusuhan. Bermain merupakan cara

koping yang paling efektif untuk mengurangi kecemasan. Herliana (2018)

yang dikutip oleh Alfiyanti, dkk (2017), dalam penelitiannya,

menyimpulkan bahwa pemberian terapi bermain pada anak akan

meningkatkan sikap kooperatif selama menjalani hospitalisasi. Sebab saat

bermain anak mengekspresikan perasaan mereka seperti frustasi,

permusuhan dan agresi tanpa takut dimarahi oleh perawat. Anak juga akan

memperoleh kegembiraan dan kesenangan yang membuatnya lebih

kooperatif terhadap tindakan keperawatan selama hospitalisasi.

Upaya pendekatan keperawatan yang dapat dilakukan untuk

mengatasi masalah kecemasan pada anak selama hospitalisasi adalah

dengan terapi bermain. Dengan melakukan permainan anak akan terlepas

dari ketegangan stress yang dialaminya karena dengan melakukan

permainan, anak akan dapat mengalihkan rasa sakitnya pada permainannya

11
(Distraksi) dan relaksasi melalui kesenangannya melakukan permaian

(Supartini, 20182014)

Permainan yang terapeutik didasari oleh pandangan bahwa bagi

anak merupakan aktivitas yang sehat dan diperlukan untuk kelangsungan

tumbuh kembang anak dan memungkinkan untuk dapat mengalihkan dan

mengekspresikan perasaan dan pikiran anak, mengalihkan perasaan nyeri

dan relaksasi (Supartini, 2018).

Terapi bermain memungkinkan klien mengembangkan mekanisme

penyelesaian masalah dan adaptasi dan diharapkan dapat menyediakan

lingkungan yang aman dan penerimaan sehingga klien anak bebas

mengekspresikan ketakutan dan kecemasannya (Landert, 2017).

Adapun yang dimaksud Origami menurut Sudjianto dalam

bukunya yang berjudul Kamus Istilah Masyarakat dan Kebudayaan Jepang

menyebutkan bahwa Origami adalah seni melipat kertas menggunakan

keterampilan tangan dengan teknik dan ketelitian tinggi tanpa

menggunakan gunting atau alat potong lainnya dan tidak menggunakan

lem perekat dengan hanya menggunakan selembar kertas segi empat yang

dilipat-lipat dan diciptakan keanekaragaman hasil karya lipat berwarna.

Origami adalah sebuah seni lipat yang berasal dari Jepang. Bahan

yang digunakan adalah kertas atau kain yang biasanya berbentuk persegi.

origami merupakan suatu kesenian melipat kertas yang dipercayai bermula

sejak kertas diperkenalkan pada abad pertama di zaman tiongkok kuno

pada tahun 105 masehi oleh Ts‟ai lun. Origami atau melipat kertas adalah

12
aktivitas seni yang mudah dibuat dan menyenangkan, origami juga sangat

fungsional untuk anak. Seni ini memiliki fungsi melatih motorik halus

dalam masa perkembangan, hal tersebut juga dapat merangsang

tumbuhnya motivasi, kreativitas juga ketekunan pada pelaku pelipat kertas

itu sendiri. Oleh karena itu seni tersebut cocok untuk diterapkan pada

pendidikan dasar.

Origami adalah seni lipat kertas. Kata Origami sendiri diambil dari

bahasa Jepang, yaitu “Ori” yang berarti melipat dan “Kami” yang berarti

kertas. Ketika kedua kata digabungkan dan ada perubahan sedikit namun

tidak merubah artinya yaitu dari kata kami menjadi gami, sehingga yang

terjadi bukan orikami melainkan origami, maksudnya melipat kertas.

Origami merupakan tradisi menakjubkan dari Jepang. Saat ini istilah

origami telah dikenal dan digunakan diseluruh penjuru dunia untuk

menyebut seni melipat kertas ini sebagai origami. (Haga: 2018)

Pada origami modular, dari setiap selembar kertas dibentuk

menjadi sebuah lipatan. Seluruh lipatan selanjutnya disatukan dengan cara

dilem atau dijepit menjadi satu bentuk tertentu seperti binatang, bangunan

atau bunga (“kusudama”).Gambarkan/jelaskan tentang terapi bermain

origami dan apakah selama ini terapi bermain sdh dilakukan di RS yg

bersangkutan?

Umumnya orangtua yang anaknya mengalami hospitalisasi akan

bersikap penolakan, ketidak percayaan akan penyakit anaknya, marah dan

rasa bersalah karena tidak mampu merawat anaknya, rasa takut, cemas,

13
dan frustasi, juga hal tentang prosedur tindakan medis dan ketidaktahuan,

depresi yang berhubungan dengan merasa lelah fisik dan mental, khawatir

memikirkan anaknya yang lain di rumah. (Sofian, 2019). Disamping itu

masalah kecemasan orang tua juga bisa disebabkan oleh lingkungan yang

menegangkan dan biaya perawatan yang mahal. (Hudak dkk, 2017).

Kondisi tersebut secara simultan menimbulkan reaksi orang tua berupa

kecemasan dan ketakutan yang berlebihan yang berpotensi membawa efek

negatif bagi proses perawatan (Supartini, 2018). Kecemasan terhadap

hospitalisasi anak seharusnya sebagai suatu respon yang wajar terhadap

tekanan atau peristiwa yang mengancam kehidupan anaknya, namun

demikian pada beberapa orang tua kecemasan terhadap hospitalisasi ini

dapat berkembang menjadi perasaan yang tidak nyaman dan cenderung

menakutkan. (Ibrahim, 2018).

Berdasarkan masalah tersebut di atas, maka peran petugas

kesehatan, khususnya perawat sangat diperlukan. Selain mengupayakan

perawatan yang optimal untuk mempercepat proses penyembuhan anak

dan memperpendek lama hospitalisasi, perawat juga dituntut mampu

memberikan motivasi kepada anak dan orang tua, sehingga secara

psikologis dapat menenangkan kegelisahan anak dan menurunkan tingkat

kecemasan orang tua. Menurut Kozier et al (dalam Rakhmawati, 2019)

hubungan perawat-pasien menjadi inti dalam pemberian asuhan

keperawatan, karena keberhasilan penyembuhan dan peningkatan

kesehatan pasien sangat dipengaruhi oleh hubungan perawat-pasien.

14
Harapan yang diinginkan pada akhirnya adalah agar anak lekas sembuh

dan tidak perlu menjalani hospitalisasi lebih lama.

Hasil penelitaian lain yang dilakukan Fitriani (2017) menunjukkan

bahwa terapi bermain dapat disarankan sebagai salah satu terapi bermain

untuk menurunkan tingkat stres pada anak yang mengalami kemoterapi.

Hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh penulis di Rumah

Sakit Bhayangkarakapan dialkuakn di Ruang Ezra, RSSH Ambon pada

35 pasien didapatkan hasil wawancara bahwa 16 pasien anak

menunjukkan tanda dan gejala stress seperti sering menangis, sulit tidur,

takut jika didekati petugas kesehatan, serta sering menolak saat sedang

diberi tindakan perawatan. Pedoman apa yang digunakan untuk menilai

anak tersebut mengalami stress hospitalisasi?. Ruangan perawatan anak

Rumah Sakit Bhayangkara Ambon ini juga tidak memiliki ruang

bermain sebagai tempat bermain anak serta tidak adanya dunia

bermain anak seperti mainan anak yang dikreasikan, tidak adanya

juga jadwal bermain membuat anak menjadi bosan dan seakan

terancam menunggu waktu dilakukan tindakan keperawatan

kepadanya. Adanya petugas kesehatan yang menyamakan anak dengan

orang dewasa sehingga kurang komunikatif saat pemberian tindakan

akhirnya anak merasa terancam dan selalu merasa cemas, takut dan

menangis saat didatangi petugas kesehatan.

Berdasarkan data Perhimpunan Nasional Rumah Sakit Anak di

Amerika, sebanyak 6,5 juta anak/tahun menyebutkan bahwa 30 % dari 180

15
anak berusia 6-12 tahun mempunyai pengalaman dengan Rumah Sakit

karena harus dirawat untuk penyakit demam berdarah, gastro enteritis, dan

operasi amandel.

Berdasarkan data Rekam Medis Rumah Sakit Sumber Hidup, anak

yang dirawat pada tahun 2016 sejak bulan Mei – Desember berjumlah 196

anak, kemudian pada tahun 2017 berjumlah 416 anak, dan pada tahun

2018 sejak bulan Januari – September jumlah anak yang dirawat 315

anak. Rata-rata jumlah anak yang masuk per bulan adalah 35 anak.

Dengan rata-rata lama rawat 1 - 14 hari.

Data yang diperoleh dari peneliti pada tanggal 21 Mei 2019, dari

medical record RSUD Nganjuk pada tahun 2007 terdapat 2.147 (16%)

pasien anak-anak dari total 13.469 pasien hospitalisasi, pada tahun 2008

terdapat 2.018 (14%) pasien anak-anak dari total 14.610 pasien

hospitalisasi, dan pada tahun 2009 terdapat 1.988 (11,4%) pasien anak-

anak dari total 17.393 pasien hospitalisasi. Dari data tersebut diketahui

bahwa secara kuantitas terdapat penurunan jumlah anak-anak yang

menjalani hospitalisasi di RSUD Nganjuk. Namun secara substantif,

hospitalisasi anak tetap merupakan sumber potensial bagi masalah

kecemasan orangtua. Hal ini tampak dari studi pendahuluan yang

dilakukan oleh peneliti pada tanggal 1 Juni 2018, diketahui bahwa dari 10

orang tua yang anaknya menjalani hospitalisasi di ruang Anggrek,

sebanyak 8 orang mengaku mengalami kecemasan.

16
Berdasarkan latar belakang di atas peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian tentang Hubungan Terapi Bermain Origami dengan

Stres akibat Hospitalisasi pada Anak di ruang anak Rumah Sakit

Bhayangkara Ambon.

B. 1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka rumusan masalah

dalam penelitian ini adalah “Apakah ada hubungan terapi bermain origami

dengan stress akibat hospitalisasi pada anak diruang anak Rumah Sakit

Bhayangkara Ambon ?”

C. 1.3. Tujuan Penelitian

1. Tujuan1.3.1Tujuan Umum

Mengetahui hubungan terapi bermain origami dengan stress

hospitalisasi pada anak diruang anak Rumah Sakit Bhayangkara

Ambon.

2. 1.3.2 Tujuan Khusus

a. a. Mengetahui stres hospitalisasi pada anak sebelum dilakukan

terapi origami di ruang anak Rumah Sakit Bhayangkara Ambon

b. b. Mengetahui stres hospitalisasi pada anak sesudah dilakukan

terapi origami di ruang anak Rumah Sakit Bhayangkara Ambon.

D. 1.4. Manfaat Penelitian

1. 1.4.1. Manfaat teoritis

17
Dapat memberikan masukan dan mengoptimalkan dalam

pembuatan kurikilum atau materi dalam pemberian pelayanan asuhan

pada pasien anak.

2. 1.4.2 Manfaat aplikatif

a. Bagi Petugas Kesehatan

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan

gambaran tentang hubungan hospitalisasi anak terhadap tingkat

kecemasan orang tua sesuai dengan tingkat kecemasannya, dan

sebagai masukan untuk meningkatkan mutu pelayanan dengan

memberikan penyuluhan pada orang tua untuk mengurangi

kecemasan yang dialami.

Sebagai salah satu pertimbangan untuk meningkatkan mutu

keperawatan dan penerapan terapi bermain origami pada anak di

Rumah Sakit. Fokus ke petugas kesehatan/perawat di ruang anak

b. Bagi Orang tua dan anak

Dengan dilakukannya distraksi bercerita di rumah sakit

dapat membantu meminimalkan stres hospitalisasi dan

terlebih kesembuhan anak. Penelitian ini diharapkan dapat

memberikan pengetahuan orang tua tentang tingkat kecemasan

orang tua dengan lama hospitalisasi.

c. Bagi Penulis

18
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dan menambah

wawasan bagi peneliti untuk dapat mengetahui tentang tingkat

kecemasan orang tua yang anaknya mengalami hospitalisasi.

Meningkatkan pemahaman tentang terapi distraksi bercerita untuk

meminimalkan stres hospitalisasi anak.

d. Bagi Profesi Perawat

Sebagai bahan masukan bahwa pemberian terapi distraksi

bercerita merupakan bagian dari pelayanan asuhan keperawatan

berupa intervensi mandiri sehingga perawat selain perlu memiliki

pengetahuan dan keterampilan dalam pemberian asuhan

keperawatan perlu juga memiliki perhatian akan apa yang anak

butuhkan dan kasih sayang agar pasien anak tetap merasa nyaman.

e. Bagi Peneliti Lain

Penelitian ini diharapkan bagi peneliti lain dapat

memberikan gambaran dan pengetahuan baru tentang hubungan

hospitalisasi anak terhadap tingkat kecemasan orang tua sehingga

dapat mengembangkan penelitian ini yang lebih mendalam.

19
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. 2.1.Tinjauan Terapi Bermain untuk Anak Di Rumah Sakit

1. 2.1.1 Defenisi terapi bermain

Terapi merupakan penerapan sistematis dari sekumpulan

prinsip belajar terhadap suatu kondisi atau tingkah laku yang dianggap

menyimpang, dengan tujuan melakukan perubahan. Perubahan yang

dimaksud bisa berarti menghilangkan, mengurangi, meningkatkan atau

memodifikasi suatu kondisi atau tingkah laku tertentu. Terapi bermain

adalah usaha mengubah tingkah laku bermasalah, dengan

menempatkan anak dalam situasi bermain (Dian, 2017).

Bermain merupakan kegiatan atau simulasi yang sangat tepat

untuk anak. Bermain dapat meningkatkan daya pikir anak untuk

mendayagunakan aspek emosional, sosial serta fisiknya serta dapat

meningkatkan kemampuan fisik, pengalaman, dan pengetahuan serta

keseimbangan mental anak. Berdasarkan paparan di atas dapat

disimpulkan bahwa bermain merupakan kegiatan yang dilakukan anak

untuk mengatasi berbagai macam perasaan yang tidak menyenangkan

dalam dirinya. Dengan bermain anak akan mendapatkan kegembiraan

dan kepuasan (Fazrin, 2017).

Terapi bermain merupakan kegiatan untuk mengatasi masalah

emosi dan perilaku anak-anak karena responsif terhadap kebutuhan

unik dan beragam dalam perkembangan mereka. Anak-anak tidak

20
seperti orang dewasa yang dapat berkomunikasi secara alami melalui

kata-kata, mereka lebih alami mengekspresikan diri melalui bermain

dan beraktivitas. Menurut Vanfleet, et al, 2010, terapi bermain

merupakan suatu bentuk permainan anak-anak, di mana mereka dapat

berhubungan dengan orang lain, saling mengenal, sehingga dapat

mengungkapkan perasaannya sesuai dengan kebutuhan mereka (Heri

Saputro & Intan Fazrin, 2017). Berdasarkan beberapa teori di atas

dapat di simpulkan bahwa terapi bermain merupakan suatu penerapan

kegiatan untuk menghilangkan perasaan yang tidak menyenangkan ,

mengurangi kecemasan , dan meningktkan kreativitas anak .

2. 2.1.2 Klasifikasi Bermain

Menurut Dian, 2017, ada beberapa jenis permainan, baik

ditinjau dari isi permainan maupun karakter sosialnya. Berdasarkan isi

permainan, ada social affective play, sense-pleasure play, skill play,

games, unoccupied behavior, dan dramatic play. Apabila ditinjau dari

karakter, ada social onlooker play, solitary play, dan parallel play.

Berikut ini diuraikan satu persatu :

a. Berdasarkan Isi Permainan

1) Social Affective Play

Inti permainan ini adalah adanya pengaruh interpersonal

yang menyenangkan antara anak dan orang lain. Misalnya,

permainan “ciluk ba”, berbicara sambil tersenyum /tertawa,

memberikan tangan kepada bayi untuk menggenggamnya. Bayi

21
akan berespon terhadap tingkah laku orang dewasa tersebut

dengan tersenyum , tertawa dan mengoceh.

2) Sense of Pleasure Play

Permainan ini menggunakan alat yang dapat

menimbulkan rasa senang pada anak dan biasanya

mengasyikkan. Misalnya, dengan menggunakan pasir, anak

akan membuat gunung-gunungan atau benda-benda apa saja

yang dapat dibentuknya dengan pasir. Bisa juga dengan

menggunakan air anak akan melakukan macam-macam

permainan, misalnya memindah-mindahkan air ke botol, bak,

atau tempat lain. Ciri khas permainan ini adalah anak akan

semakin lama semakin asyik bersentuhan dengan alat

permainan ini dan dengan permainan yang dilakukannya

sehingga susah dihentikan.

3) Skill Play

Sesuai dengan sebutannya, permainan ini akan

miningkatkan keterampilan anak, khususnya motorik kasar dan

motorik halus. Misalnya, bayi akan terampil memegang benda-

benda kecil, memindahkan benda dari satu tempat ke tempat

lain, dan anak akan terampil naik sepeda. Jadi, keterampilan

tersebut diperoleh melalui pengulangan kegiatan permainan

22
yang dilakukan. Semakin sering melakukan latihan, anak akan

semakin terampil.

4) Games atau Permainan

Games atau permainan adalah jenis permainan yang

menggunakan alat tertentu yang menggunakan perhitungan

dan/atau skor. Permainan ini bisa dilakukan oleh anak sendiri

dan/atau dengan temannya. Banyak sekali jenis permainan ini

mulai dari yang sifatnya tradisional maupun yang modern.

Misalnya, ular tangga, congklak, puzzle, dan lain-lain.

5) Unoccupied Behaviour

Pada saat tertentu, anak sering terlihat mondar-mandir,

tersenyum, tertawa, jinjit-jinjit, bungkuk-bungkuk, memainkan

kursi, meja, atau apa saja yang ada di sekelilingnya. Jadi,

sebenarnya anak tidak memainkan alat permainan tertentu, dan

situasi atau objek yang ada di sekelilingnya yang digunakan

sebagai alat permainan. Anak tampak senang, gembira, dan

asyik dengan situasi serta lingkungannya tersebut.

6) Dramatic Play

Sesuai dengan sebutannya, pada permainan ini anak

memainkan peran sebagai orang lain melalui permainannya.

Anak berceloteh sambil berpakaian meniru orang dewasa,

misalnya ibu guru, ibunya, ayahnya, kakaknya, dan sebagainya

yang ingin ia tiru. Apabila anak bermain dengan temannya,

23
akan terjadi percakapan di antara mereka tentang peran orang

yang mereka tiru. Permainan ini penting untuk proses

identifikasi anak terhadap peran tertentu.

b. Berdasarkan Karakter Sosial

1) Onkooker Play

Pada jenis permainan ini, anak hanya mengamati

temannya yang sedang bermain, tanpa ada inisiatif untuk ikut

berpartisipasi dalam permainan. Jadi, anak tersebut bersifat

pasif, tetapi ada proses pengamatan terhadap permainan yang

sedang dilakukan temannya.

2) Solitary Play

Pada permainan ini, anak tampak berada dalam

kelompok permainan, tetapi anak bermain sendiri dengan alat

permainan yang dimilikinya, dan alat permainan tersebut

berbeda dengan alat permainan yang digunakan temannya,

tidak ada kerja sama, ataupun komunikasi dengan teman

sepermainannya.

3) Parallel Play

Pada permainan ini, anak dapat menggunakan alat

permainan yang sama, tetapi antara satu anak dengan anak lain

tidak terjadi kontak satu sama lain sehingga antara anak satu

dengan anak lain tidak ada sosialisasi satu sama lain. Biasanya

permainan ini dilakukan oleh anak usia toddler.

24
4) Associative Play

Pada permainan ini sudah terjadi komunikasi antara satu

anak dengan anak lain, tetapi tidak terorganisasi, tidak ada

pemimpin atau yang memimpin permainan, dan tujuan

permainan ini tidak jelas. Contoh, permainan jenis ini adalah

bermain boneka, bermain hujan-hujanan, dan bermain masak-

masakan.

5) Cooperative Play

Aturan permainan dalam kelompok tampak lebih jelas

pada permainan jenis ini, juga tujuan dan pemimpin permainan.

Anak yang memimpin permainan mengatur dan mengarahkan

anggotanya untuk bertindak dalam permainan sesuai dengan

tujuan yang diharapkan dalam permainan tersebut. Misalnya,

pada permainan sepak bola.

3. 2.3.Tujuan Bermain

Menurut Soetjiningsih (20182013), pada prinsipnya bermain

mempunyai tujuan antara lain untuk melanjutkan pertumbuhan dan

perkembangan yang normal pada saat sakit, mengekspresikan perasaan

dan keinginan, mengembangkan kreativitas dan kemampuan

memecahkan masalah, dan mampu beradaptasi secara efektif terhadap

stress karena sakit dan dirawat di Rumah Sakit.

25
Adapun tujuan bermain di Rumah Sakit adalah agar dapat

melanjutkan fase tumbuh kembang secara optimal, mengembangkan

kreativitas anak sehingga anak dapat beradaptasi lebih efektif terhadap

stress. Permainan juga sangat mendukung pertumbuhan dan

perkembangan anak, yaitu diantaranya (dalam Adriana Dian, 2017) :

1) Untuk perkembangan kognitif

2) Untuk perkembangan sosial dan emosional

3) Untuk perkembangan bahasa

4) Untuk perkembangan pengenalan huruf (literacy)

4. Fungsi Anak Bermain di Rumah Sakit

Fungsi utama bermain adalah untuk merangsang

perkembangan sensoris-motorik, perkembangan intelektual,

perkembangan sosial, perkembangan kreativitas, perkembangan

kesadaran diri, perkembangan moral sebagai perkembangan psikologi

anak dan bermain sebagai terapi pada anak (Whaley dan Wong,

20182013).

Menurut Whaley dan Wong (20182013), perkembangan

sensoris-motorik dapat dirangsang pada saat anak bermain. Alat

permainan yang biasa digunakan untuk bayi yang mengembangkan

kemampuan sensoris-motorik dan alat permainan untuk anak usia

toddler maupun prasekolah banyak membantu perkembangan aktivitas

motorik kasar dan hal.

26
Perkembangan intelektual juga dapat terangsang dengan

baik dengan bermain.Pada saat anak bermain, anak melakukan

eksplorasi dan manipulasi terhadap segala sesuatu di lingkungan

sekitarnya, terutama mengenal warna, bentuk, ukuran, tekstur

dan membedakan objek. Semakin sering anak melakukan eksplorasi

menggunakan daya pikir dan imajinasinya terhadap permainannya,

anak semakin terlatih intelektualnya (Hidayat, 20182013).

Fungsi bermain menurut Dian (2017), adalah merangsang

perkembangan sensori motorik, perkembangan intelektual,sosialisasi,

kreativitas, kesadaran diri, nilai moral, dan manfaat teraupetik.

Adapun fungsi bermain di Rumah Sakit sebagai berikut (dalam

Adriana Dian, 2017) :

1) Memfailitasi anak untuk beradaptasi dengan lingkungan yang

asing

2) Memberi kesempatan untuk membuat keputusan dan control.

3) Membantu mengurangi stress terhadap perpisahan.

4) Memberi kesempatan untuk mempelajari tentang bagian-bagian

tubuh, fungsinya dan penyakit

5) Memperbaiki konsep-konsep yang salah tentang penggunaan dan

tujuan peralatan serta prosedur medis.

6) Memberi peralihan (distraksi) dan relaksasi

7) Membantu anak untuk merasa lebih aman dalam lingkungan yang

asing

27
8) Memberi cara untuk mengurangi tekanan dan untuk

mengeksplorasi perasaan

9) Menganjurkan untuk berinteraksi dengan mengembangkan sikap-

sikap yang positif terhadap orang lain

10) Memberi cara untuk mengekspresikan ide kreatif dan minat

11) Memberi cara untuk mencapai tujuan teraupetik

B. 2.2.1. Prinsip Permainan pada Anak Di Rumah Sakit

Adapun prinsip bermain pada anak menurut dalam Adriana Dian,

2017, sebagai berikut :

a) Tidak boleh bertentangan dengan terapi dan perawatan yang sedang

dijalankan

b) Tidak membutuhkan energy yang banyak

c) Harus mempertimbangkan keamanan anakDilakukan pada kelompok

umur yang samaanak

a. Dilakukan pada kelompok umur yang sama

d) Melibatkan orang tua/keluarga

C. 2.2.2. Pemilihan permaianan untuk anak

Menurut buku 'Games Therapy untuk Kecerdasan Bayi dan Balita'

yang ditulis oleh Effiana Yuriastien, Daisy Prawitasari, Ayu Bulan Febry

K.D (2013) cara memilih permaianan yang baik untuk anak yaitu :

1) Memilih permainan yang bersifat edukatif

28
Permainan edukatif adalah mainan yang melatih kemampuan

fisik, merangsang kemampuan berfikir dan mengajari anak tentang

nilai kemanusian.

2) Memilih permainan yang berunsur khas dan unik

Yaitu mainan yang mengadung unsur-unsur seperti bermacam-

macam warna, gerakan ataupun sebagainya unsur-unsur ini sangat

penting untuk melatih psikologis, imajinasi, kreativitas, dan intelektual.

3) Memberikan mainan yang tidak membahayakan secara psikologis

Keamanan permainan untuk anak tidak hanya dilihat dari segi

psikologi tetapi juga fisik. Secara psikologis anak bisa mengalami

sindrom ketakutan permainan yang pernah menyakitinya

4) Memberikan permainan yang sesuai dengan tahap perkembangan Ada

sebagian orang tua berpikir bahwa memberikan mainan anak dewasa

kepada anak yang lebih kecil akan mempercepat perkembangan

otaknya. Sebenarnya ini pandangan keliru, sebab tindakan ini

membahayakan anak, baik secara fisik maupun psikologis.

5) Memberikan permainan yang menunjukkan kelebihan sebagai

pendidik Mainan untuk anak tidak perlu eksklusif, tetapi lebih

ditujukan pada ketepatan penggunaan. Secara khusus bisa dibuat

sendiri dengan kreativitas yang dimiliki. Melalui permainan yang

dibuat sendiri anak akan belajar berkarya dan akan berbuat sesuatu

yang berguna bagi dirinya dan orang lain.

29
D. 2.3. Tinjauan Umum Tentang Seni Melipat Kertas (ORIGAMI)

1) Pengertian Origami

Menurut kamus webster’s Third New International (seperti

yang dikutip Isao Honda, 20182012) origami merupakan seni melipat

kertas dari Jepang atau sesuatu (menampilkan bentuk dari burung,

serangga, dan bunga) yang dihasilkan dari seni melipat kertas.

Berdasarkan wawancara dengan seniman origami di

Indonesia khususnya di kota Bandung yang bernama Maya Hirai,

menjelaskan bahwa origami adalah seni melipat kertas yang

menghasilkan semua bentuk yang ada di alam berdasarkan

imajinasi. (Sumber??)

Dari beberapa definisi di atas seni melipat kertas atau Origami

dapat juga didefinisikan sebagai seni melipat kertas yang membentuk

model-model berdasarkan imajinasi objek-objek yang ada di alam.

(Diankes, 20182013).

2) 2.3.1 Perihal Origami

Isao Honda (20182012) di dalam bukunya mengatakan bahwa

origami dipercayai pertama kali ditemukan di Cina yaitu pada saat

ditemukannya kertas, dan penganut agama Budha membawa kertas

30
melalui Korea ke Jepang di tahun 538 Sebelum Masehi. Di Jepang

para ibu-ibu telah mengajarkan cara membuat origami kepada anak-

anaknya. Origami menjadi pengetahuan turun-temurun, dan secara

teknis mengalami perkembangan pesat. Origami dahulunya dipakai

sebagai alat dekorasi upacara pernikahan, aksesoris, tanda untuk

mewakili pengantin/atau sebuah simbol, dan juga dipakai untuk tukar

hadiah antar sesama samurai. Bentuk atau model-model origami

dahulunya

lebih

mengarah ke

bentuk atau

model-model

binatang,

sekarang bisa berkaitan dengan tema tertentu, seperti monster, pesta,

manusia, dan lainnya.

Dahulu origami hanya terpaku dengan lipatan – lipatan yang

sama kedua belah bagiannya dan ilmu mengukur sangat dipergunakan

agar bentuk kedua belah bagiannya sama atau seimbang. (Diankes,

20182013)

Gambar 2 .1 Origami kupu – kupu

Ide yang terdapat dalam metode lipat origami adalah membuat

diagram geometris menunjukkan bagaimana cara membentuk origami agar

dapat di terima oleh seseorang. Pleat Intersection adalah salah satu konsep

31
dasar dari origami. Bentuk dari

Pleat Intersection bisa

berupa Segitigasegitiga,

persegi, segi enam. Bentuk

ini nantinya akan

dikembangkan menjadi bentuk lain yang lebih menarik. 120 derajat Pleat

Intersection merupakan bentuk yang sederhana. (Diankes, 20182013)

Gambar 2.2 Origami 120 derajat Pleat Intersect

32
Jika diperhatikan sekitar kita, pasti pernah melihat lantai

berubin-ubin yang kita lihat berupa pola yang berulang-ulang dari

bentuk tertentu.

Gambar 2.3 Bentuk pola berulang-ulang

Pola berulang-ulang ini disebut dengan istilah Tessellations. Pola

Tessellations dasar yang biasa digunakan adalah Segitiga sama sisi,

Persegi, Segi enam. Dalam Membuat model Origami langkah pertama

yang diambil adalah membuat pola dasar yang tadi dan dilanjutkan dengan

membentuk lipatan-lipatan kompleks (Diankes, 1813)

33
34
Gambar 2.4 Contoh Pola Dasar Origami

3) Kertas Origami

Di dalam origami, kertas menjadi hal utama dari sebuah

penciptaan sebuah karya seni. Banyak kertas yang bisa dipakai untuk

membuat origami, untuk pemakaian kertas biasanya mengikuti bentuk

dari origami yang akan dibuat (Haziah,20192014).

4) Tingkatan Origami

Origami mempunyai 3 tingkatan dilihat dari bentuk lipatannya,

yaitu dimulai dari tingkatan dasar, menengah, dan lanjutan.

(Haziah,20192014).

a) Tingkatan Dasar (Basic)

35
Menurut Haziah (20182014) Tingkatan dasar ditujukan

untuk para pemula. Dalam tingkatan dasar, bentuk lipatan masih

sangat sederhana dan bentuk-bentuk dari origami pun hanya

sebatas bentuk awal untuk membentuk sesuatu. Ada beberapa

contoh bentuk lipatan dasar, yaitu:

1) Lipatan dasar bentuk burung

Gambar 2.5 Bentuk dasar origami burung

36
2) Lipatan dasar bentuk kodok

Gambar 2.6 Bentuk dasar origami kodok

b) Tingkat Menengah (Intermediate)

Pada tingkat menengah, anak-anak akan dilatih tentang

keutamaan dalam melipat. Dimana pada tingkat menengah

ketelitian sudah mulai untuk dipergunakan karena bentuk lipatan

yang sederhana namun mulai lebih kompleks lebih mendetail.

Bentuk kupu-kupu merupakan bentuk yang sangat sering di

buat dalam tingkat menengah ini. Biasanya pada saat awal

memulai tingkat menengah.

37
38
Gambar 1.8 Diagram Bentuk Kupu-kupu

Beberapa bentuk origami pada tingkatan menengah adalah

sebagai berikut :

1) Lipatan bentuk burung

39
Gambar 1.9 Bentuk burung

2) Lipatan bentuk kupu-kupu

40
Gambar 1.10 Bentuk kupu-kupu

41
3) Lipatan bentuk kucing

42
Gambar 1.11 Bentuk kucing

c) Tingkat Lanjutan (Advanced)

Pada tingkat lanjutan, jenis lipatan menjadi sangat sulit

karena bentuk-bentuk yang dibuat pun tidak lagi mengacu pada

bentuk-bentuk yang biasa seperti kupu-kupu yang berada pada

tingkat menengah, akan tetapi bisa dalam bentuk robot, naga,

ataupun bentuk yang lain sangat beragam dan mempunyai tingkat

kesulitan yang sangat tinggi. (Diankes, 20182013)

d) Bermain Origami pada Anak-anak

Menurut Maya Hirai (20182013) Masa kanak-kanak

merupakan masa untuk bermain dan origami merupakan salah satu

sarana bermain edukatif yang mampu menumbuhkan motivasi,

kreativitas, keterampilan, dan ketekunan. Disamping itu, origami

juga dapat melatih motorik halus anak-anak pada masa

perkembangannya, sehingga bisa diterapkan dalam dunia

pendidikan dasar dan kejuruan.

Dalam pengenalan origami pada anak-anak,

dibutuhkan hal-hal yang menarik yaitu model origami yang dapat

dibuat ke hampir semua model dalam kehidupan sehari-hari seperti

alat-alat transportasi, tumbuhtumbuhan, binatang, dan lain-lain.

Dari hasil lipatan kertas itu dapat membuat anak-anak berimajinasi

untuk berkreasi membuat origami. Ekses tidak langsungnya adalah

43
hasil karya origami dapat dijadikan sebagai barang-barang mainan

yang murah tanpa harus membeli mainan yang harganya mahal,

karena bahan dasarnya kertas yang mudah didapat. (Maya Hirai,

2013)

E. Tinjauan Umum Tentang Stres Hospitalisasi

1) Defenisi stress Hospitalisasi

Stres merupakan istilah yang berasal dari bahasa latin:

“stingere” yang berarti “keras” (stricus), yaitu sebagai keadaan atau

kondisi dari tubuh terhadap situasi yang

menakutkan,mengejutkan,membingunkan, membahayakan, dan

merisaukan seseorang (Yosep, 20182014).

Menurut Wong (2015) jika seorang anak di rawat inap

maka anak tersebut akan mudah mengalami krisis karena: (1)

anak mengalami stres akibat berubahan terhadap stastus

kesehatanya maupun lingkunganya dalam kebiasanya, dan (2)

anak meemiliki sejumlah kebertasan mekaniksme kopin untuk

menyelasaikan masalah maupun kejadian-kejadian bersikap

menekan.

Hospitalisasi adalah bentuk stresor individu yang berlangsung

selama individu tersebut dirawat di rumah sakit. (Muhaj, 2019).

Hospitalisasi pada anak-anak (Hospitalisme in children) adalah

suatu sindrom yang berkaitan erat dengan depresi (depresen) analitik,

44
terjadi pada di rumah sakit yang dirawat secara terpisah dari ibunya

atau pengganti peran ibu dalam kurun waktu yang lama. Kondisi ini

ditandai dengan tidak adanya kegairahan, tidak responsif, kurus, pucat,

nafsu makan buruk, tidur terganggu, episode demam, hilangnya

kebiasaannya menghisap dan nampak tidak bahagia. Gangguan ini

dapat pulih kembali dengan anak dalam waktu 2-3 minggu. (Bastman

dkk, 2017).

Hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu

alasan yang berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk

tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai

pemulangannya kembali ke rumah (Supartini, 20182014).

Hospitalisasi suatu proses karena suatu rencana atau darurat

yang mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, mendapatkna

pengobatan dan perawatan sampai anak kembali ke rumah.

Hospitalisasi adalah suatu kondisi seseorang karena sakit dan masuk

rumah sakit atau selama seseorang berada di rumah sakit karena sakit

(Jannah, 2016).

2) Tujuan Hospitalisasi

Menurut Marasaoly (20182013), tujuan dari hospitalisasi

diantaranya yaitu untuk test kesehatan, prosedur tindakan atau

pembedahan, pengobatan gawat dan darurat, pemberian obat, dan

memonitor keadaan pasien dalam kondisi sakit yang perlu rawat inap

atau hospitalisasi.

45
Menurut Marasaoly (20182013), untuk meringankan rasa sakit,

meminimalkan stressor, memaksimalkan manfaat hospitalisasi,

memberikan dukungan psikologis bagi anggota keluarga dan

mempersiapkan anak sebelum dirawat di rumah sakit merupakan peran

perawat dalam mendukung dan mendorong agar tujuan hospitalisasi

dapat dicapai dengan maksimal.

3) Tanda dan Gejala Stres hospitalisasi

Menurut Jannah, (2016) tanda dan gejala stres anak usia

sekolah terdiri dari :

a) Fisik, yang ditandai dengan: peningkatan denyut nadi atau

HR, Peningkatan tekanan darah, kesulitan bernafas, sesak

nafas, sakit kepala, migran, kelelahan, sulit tidur, masalah

pencernaan yaitu diare, mual muntah, maag, radang usus

besar, sakit perut, gelisah, keluhan somatik, penyakit ringan,

keluhan psikomatik, Frekuensi buang air kecil, BB meningkat

atau menurun atau lebih 4,5 kg.

b) Emosional, yang ditandai dengan : gampang marah, reaksi

berlebihan terhadap situasi tertentu yang relative kecil, luapan

kemarahan, cepat marah, permusuhan, kurang minat, menarik diri,

apatis, tidak bisa bangun di pagi hari, cenderung menangis,

menyalahkan orang lain, sikap mencurigakan, khawatir, depresi,

sinis, sikap negatif, menutup diri dan ketidakpuasan.

46
c) Intelektual, yang ditandai dengan : menolak pendapat orang

lain, daya hayal tinggi (khawatir akan penyakitnya),

konsentrasi menurun terutama pada pekerjaan yang rumit,

penurunan kreatifitas, berpikir lambat, reaksi lambat, sulit

dalam pembelajaran, sikap yang tidak peduli, malas.

4) Penyebab stress hospitalisasi

Kecemasan dalam diri anak dapat diduga dan tahap-tahap

perkembangan tertentu. Menurut Pratiwi (20182014), kecemasan yang

terjadi pada anak selama dirumah sakit dapat disebabkan karena :

a) Perpisahan

Respon terhadap perpisahan yang ditunjukkan anak usia

prasekolah adalah dengan menolak makan, sering betanya,

menangis walaupun secara perlahan, dan tidak kooperatif terhadap

petugas kesehatan. Manifestasi cemas karena perpisahan terdiri

dari 3 fase, yaitu :

1) Fase protes (Protest Phase)

Pada fase ini anak menangis, menjerit/berteriak,

mencari orang tua dengan pandangan mata, meminta selalu

bersama dengan orang tua, menghindari dan menolak bertamu

dengan orang yang tidak kenal. Sikap protes, seperti menangis

akan berlanjut dan akhirnya akan berhenti karena keletihan

47
fisik. Pendekatan orang yang tidak dikenal akan meningkatkan

sikap protes.

2) Fase Putus Asa ( Despair Phase)

Perilaku yang dapat diamati pada fase ini, yaitu anak

tidak aktif, menarik diri dari orang lain, tertekan dan sedih,

tidak tertarik terhadapmenarik diri dari orang lain, tertekan dan

sedih, tidak tertarik terhadap lingkungan sekitar, pendiam,

menolak untuk makan dan minum, menolak untuk bergerak.

3) Fase Penerimaan (Detachment Phase)

Pada fase ini anak akan mulai menujukkan ketertarikan

terhadap lingkungan sekitar, berinteraksi secara dangkal

dengan orang yang tidak dikenal atau perawat dan mulai

tampak gembira. Fase penerimaan biasanya terjadi setelah

berpisah dengan orang tua dalam jangka waktu yang cukup

lama, tetapi hal ini jarang dilihat pada anak-anak yang dirawat

di rumah sakit.

b) Kehilangan Kontrol

Perawatan di rumah sakit mengharuskan adanya

pembatasan aktivitas anak, sehingga anak merasa kehilangan

kekuatan diri. Ketergantungan merupakan karakteristik dari peran

sakit. Anak akan bereaksi terhadap ketergantungan dengan

negatifistic, terutama anak akan menjadi cepat marah dan agresif.

Jika terjadi ketergantungan dalam jangka waktu lama (karena

48
penyakit kronis), maka anak akan menarik diri dari pengaruh

interpersonal

c) Luka pada Tubuh dan rasa sakit atau nyeri

Kecemasan terhadap luka pada tubuh dan rasa sakit atau

nyeri bisanya terjadi pada anak-anak. Apabila dilakukan

pemeriksaan telinga, mulut atau suhu pada anus akan membuat

anak menjadi sangat cemas. Respon anak terhadap tindakan yang

tidak menyakitkan sama seperti respon terhadap tindakan yang

sangat menyakitkan. Anak akan berespon terhadap nyeri dengan

menyeriangkan wajah, menangis, mangatup gigi, menggigit bibir,

membuka mata dengan lebar, atau respon anak terhadap tindakan

yang tidak menyakitkan sama seperti respon terhadap tindakan

yang sangat menyakitkan.

5) Tindakan Hospitalisasi

Tindakan hospitalisasi merupakan beberapa tindakan yang

dilakukan untuk menunjang perawatan anak selama dirawat (Alawi,

2013). Tindakan saat hospitalisasi dan pengaruhnya bagi anak menurut

Alawi (2013), meliputi prosedur invansif pengobatan, perpisahan

dengan orang tua atau bermimpi buruk, kehilangan fungsi sehubungan

dengan terganggunya fungsi motorik, restrain atau pengekangan dapat

menimbulkan cemas pada anak, dan gangguan body image dan nyeri

terhadap prosedur yang menyakitkan.

49
6) Tahapan Stres Hospitalisasi

Menurut Rumiani (2014 ), menyebutkan bahwa stres terjadi

melalui tahapan :

a) Tahap 1 : stres pada tahap ini justru dapat membuat seseorang

lebih bersemangat, penglihatan lebih tajam, peningkatan

energi, rasa puas dan senang, muncul rasa gugup tapi mudah

diatasi.

b) Tahap 2 : menunjukkan keletihan, otot tegang, gangguan

pencernaan.

c) Tahap 3 : menunjukkan gejala seperti tegang, sulit tidur, badan

terasa lesu dan lemas.

d) Tahap 4 dan 5 pada tahap ini seseorang akan tidak mampu

menanggapi situasi dan konsentrasi menurun dan mengalami

insomnia.

e) Tahap 6 gejala yang muncul detak jantung meningkat, gemetar

sehingga dapat pula mengakibatkan pingsan.Berdasarkan uraian

diatas dapat disimpulkan tahapan stres terbagi menjadi.

7) Stressor hospitalisasi

Hospitalisasi merupakan pengalaman yang mengancam bagi

anak karena stressor-stressor yang dihadapi dapat menimbulkan

perasaan tidak aman. Menurut Hidayat (20182013), stressor

50
hospitalisasi meliputi cemas akibat perpisahan, kehilangan kontrol atau

kendali, dan nyeri pada tubuh.

Cemas akibat perpisahan yakni anak merasa berpisah dengan

orang-orang yang dikenalnya misalnya orang tua, teman, dan atau

saudara. Menurut Nursalam (2014), anak merasa cemas dan takut

akibat hospitalisasi karena anak merasa dipisahkan dari orang tua.

Selain stres akibat perpisahan, anak juga mengalami kehilangan

kontrol atau kendali atas dirinya. Akibat mengalami hospitalisasi, anak

merasa kehilangan kebebasan dalam mengembangkan otonominya.

Anak akan bereaksi negatif terhadap ketergantungan yang dialaminya

terutama anak akan menjadi lebih cepat marah dan agresif (Nursalam,

20182014)

Stressor hospitalisasi juga dikarenakan akibat nyeri atau

perlukaan pada tubuh. Anak akan bereaksi terhadap nyeri dengan

menyeringai, menangis, mengatupkan gigi, menggigit bibir, membuka

mata dengan lebar, dan atau melakukan tindakan agresif seperti

menendang dan memukul. Namun pada akhir periode balita, anak

biasanya telah mampu mengkomunikasikan rasa nyeri yang mereka

alami dan menunjukkan lokasi nyeri (Potter dan Perry, 20182013).

Reaksi anak prasekolah dan keluarga terhadap hospitalisasi.

Perawatan anak sakit di rumah sakit memaksa anak untuk melalui fase

perpisahan dari lingkungan yang dirasakannya penuh kasih sayang,

aman, dan menyenangkan, yakni lingkungan keluarga, rumah,

51
permainan, dan teman sepermainan. Reaksi terhadap perpisahan yang

ditunjukkan yaitu dengan menolak makan, sering bertanya, menangis

walaupun secara perlahan dan tidak kooperatif terhadap petugas

kesehatan (Supartini, 20182014). Perawatan di rumah sakit sering kali

dinilai anak prasekolah sebagai hukuman sehingga anak akan merasa

malu, bersalah, dan takut. Ketakutan anak terhadap perlukaan muncul

karena anak menganggap tindakan atau prosedur pengobatan

mengancam integritas tubuhnya. Hal tersebut dapat menimbulkan

reaksi agresif seperti marah dan menolak pengobatan, ekspresi verbal

dengan mengucapkan kata-kata marah, menolak bekerjasama dengan

petugas kesehatan, dan peningkatan ketergantungan terhadap orang tua

(Ngastiyah, 20172013).

Reaksi orang tua terhadap anaknya yang sakit dan dirawat

di rumah sakit dipengaruhi oleh berbagai macam faktor antara

lain tingkat keseriusan penyakit anak, pengalaman sebelumnya

terhadap sakit dan dirawat di rumah sakit, prosedur pengobatan,

sistem pendukung yang tersedia, kekuatan ego individu,

kemampuan dalam penggunaan koping, dan dukungan dari

keluarga (Hidayat, 2018)2013).

52
Catatan : untuk konsep terapi bermain tidak perlu diuraikan terlalu

detail, yg paling penting adalah terapi bermain origami

BAB III

A. 3.1. Kerangka Konseptual

53
Terapi bermain origami Tingkat stress
hospitalisasi
Anak

Gambar 2.1. Kerangka Koseptual

Keterangan :

: Variabel dependen/ variable terikat

: Pengaruh ???

: Variabel independen/variabel bebas

B. 3.2. Hipotesis

Ha: Ada  hubungan terapi bermain origami dengan tingkat stress

pada Anak Di Ruangan anak, Rumah Sakit BhayangkaraSumber Hidup

Ambon.

Ho: Tidak ada  hubungan terapi bermain origami dengan tingkat

stress hospitalisasi Anak Di Ruangan anak , Rumah Sakit

BhayangkaraSumber Hidup Ambon.

BAB IV

METODE PENELITIAN

54
A. 4.1 Rancangan Penelitian

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitan

survey analitik. Metode penelitian survey analitik adalah suatu penelitian

yang mencoba menggali bagaimana dan mengapa fenomena itu terjadi.

Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional. Pendekatan cross

sectional adalah suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi

antara faktor-faktor resiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi

atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (Notoatmodjo,

20182013).

Pendekatan yang digunakan adalah cross sectional yaitu dengan

melakukan pengukuran variabel independent (bebas) yaitu tingkat

pendidikan, pengetahuan dan sikap terhadap hipertensi dan variabel

dependent yaitu keteraturan perilaku kontrol pada penderita hipertensi

(Alimul, 2018)

B. Lokasi4.1.1Lokasi Dan Waktu Penelitian

1) Lokasi penelitian

Penelitian akan dilaksnakan diruang anak Rumah Sakit

BhayangkaraSumber Hidup Ambon.

2) Waktu Penelitian

Penelitian ini direncanakan dilaksanakan pada bulan Juni-Juli 2020

C. 4.3. Populasi Dan Sampel

1) Populasi

55
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas

objek/subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu

yang ditetapkan peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik

kesimpulannya (Hidayat 20182013). Populasi dalam penelitian ini

adalah pasien anak Rumah Sakit BhayangkaraRSSH Ambon yang

berjumlah 35. Jumlah ini ditentukan berdasarkan apa??, periode kpn

2) Sampel

Sampel adalah bagian populasi yang digunakan sebagai subjek

penelitian melalui sampling. Sadangkan sampling adalah teknik untuk

menyeleksi sampel yang dapat mewakili populasi (Nursalam, 2013).

Sampel penelitian adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili

seluruh populasi (Notoatmodjo, 2012). Metode sampling

menggunakan total sampling. Total sampling adalah teknik

pengambilan sampel dimana jumlah sampel sama dengan populasi

(Sugiono 2013). Sampel dalam penelitian ini ada semua anak yang

dirawat di ruang anak pada saat penelitian berlangsung.

D. 4.4.Variabel Penelitian

Variabel independen merupakan variabel yang mempengruhi atau

menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen. Variabel

dependen merupakan variabel yang di pengaruhi atau menjadi akibat,

karena adanya variabel independen ( Nursalam,20182013). Variabel

independen dalam penelitian ini adalah terapi bermain origami, sedangkan

variable independen adalah stress hospitalisasi.

56
E. 4.5. Defenisi Oerasional

Definisi operasinal adalah penjabaran dari variabel yang di pilih

oleh peneliti dan menjelaskan bagaimana cara mengukurnya (Nursalam,

20182013).

Tabel 3.1 Variabel dan Defenisi Operasional

Variabel Definisi Skala


Alat Ukur Hasil ukur
Operasional Ukur
Terapi Terapi bermain Observasi
bermain origami ?
origami merupakan suatu
penerapan
kegiatan untuk
menghilangkan
perasaan yang
tidak
menyenangkan,
mengurangi
kecemasan dan
meningkatkan
kreativitas anak
dengan cara ???

57
Stress Stress Kuesioner 1. stress ringan Ordinal
hospitalisasi hospitalisasi Nur <44
adalah bentuk Ifdatul 2. stress
stressor anak Jannah, sedang 45-66 =
yang berlangsung 2016ma 3. Stres berat
selama anak ksudnya 67-88
tersebut dirawat apa
di rumah sakit,
meliputi ….??

F. 4.6.Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat-alat yang digunakan untuk

pengumpulan data.(Notoatmodjo, 20182012). Instrumen dalam penelitian

ini menggunakan kuesioner pada variabel independen, yaitu menggunakan

sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi

dari responden, pertanyaan menggunakan skala apa, bentuk

pertanyaan/pernyataan harus dijelaskan termasuk pemberian skor.

Bentuk atau jenis pertanyaan tertutup dan diisi pada kuesioner yang

sudah disediakan. Kemudian untuk variable dependen alat ukurnya

pakai apa harus dijelaskan.

Menurut Alimul (2018) alat ukur dengan cara subyek diberikan

angket atau kuesioner dengan beberapa pertanyaan kepada responden.

Pembuatan kuesioner ini mengacu pada parameter yang sudah dibuat oleh

peneliti terhadap penelitian yang akan dilakukan. Instrumen yang

58
digunakan berupa kuesioner. Kuesioner merupakan daftar pertanyaan yang

disusun secara tertulis dalam rangka pengumpulan data suatu penelitian.

Koisioner ini terdiri dari 25 item pertanyaan yang telah disusun

dengan skala likert dengan pertanyaan favorable dan unfavorable. Jawaban

setiap item favorable mempunyai degradasi dari selalu dengan skor 0,

sering dengan skor 1, kadang-kadang dengan skor 2, dan tidak pernah

dengan skor 3. Jawaban setiap item pertanyaan unfavorable mempunyai

degradasi dari selalu dengan skor 3, sering dengan skor 2, 36 kadang-

kadang dengan skor 1, dan tidak pernah dengan skor 0.

G. 4.7. Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subjek

dan proses pengumpulan karakteristik subjek yang di perlukan dalam

penelitian (Nursalam, 2018). Sebelum melakukan pengumpulan data, perlu

dilihat alat ukur pengumpulan data agar dapat memperkuat hasil

penelitian. Alat ukur pengumpulan data tersebut antara lain dapat berupa

kuesioner/angket, observasi, wawancara atau gabungan ketiganya

(Hikayat, 2017). Pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan

menggunakan angket/kuesioner tertutup melalui wawancara terstruktur,

dengan alat ukur kecemasan menggunakan HRS-A (Hamilton Rating

Scale for Anxiety). Sedangkan untuk variabel independennya

menggunakan observasi.

59
1) Data Primer, yaitu data yang didapat dari kuesioner yang di isi oleh

responden

2) Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari Pasien anak Rumah

Sakit Sumber Hidup Ambon. Data sekunder yang sudah tersedia

sebagai penunjan penelitian yaitu data jumlah pasien anak Rumah

Sakit BhayangkaraSumber Hidup Ambon.

4.8. Pengolahan Data

H.

Pengolahan data terdiri dari 5 langkah yaitu ( Nazir, 2015)

1) Editing ( Pengeditan)

Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data

yang diperoleh atau dikumpulkan.Editing dapat dilakukan pada tahap

pengumpulan data atau setelah data terkumpul.

2) Coding (Memberi kode)

Adalahadalah kegiatan untuk mengklasifikasi data/jawaban

menurut kategorinya masing-masing.

3) Scoring ( Skor)

Skoring adalah melakukan penilaian untuk jawaban dari responden.

4) Tabulating (Tabulasi)

Tabulating adalah proses pengempulan data ke dalam bentuk

tabel. Data yang dapat ditabulasi kemudian dianalisis disajikan dalam

bentuk distribusi frekuensi.Pada tahap ini dianggap data telah selesai

60
diproses sehingga harus disusun kedalam suatu pola formal yang telah

dirancang (Hidayat, 20182014).

5) Entry (Memasukan data)

Data entry adalahkegiatan memasukan data yang telah

dikumpulkan kedalam master tabel atau database computer, kemudian

membuat distribusi frekuensi sederhana atau bisa juga dengan

membuat tabel kontigensi (Hidayat, 20182014)

I. 4.9 Analisa data

Metode statistik untuk analisa data yang dilakukan untuk penelitian

ini adalah :

1) Analisa univariat

Analisis ini dilakukan terhadap tiap variable dan hasil penelitin

dengan menggunakan table distribsusi frekuensi sehingga mneghasilkan

distribusi frekuensi dan presentasi dari setiap variabel yang diteliti.

Analisis univariat bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik

responden dan karakteristik masing-masing variabel dalam penelitian

yakni terapi bermain origami dan tingkat stress hospitalisasi.

2) Analisis bivariatebivariat

Analisis bivariat bertujuan untuk mengetahui hubungan

korelasi antara variabel bebas (independent variable) dengan variabel

terikat (dependent variable). Analisis bivariat dilakukan dengan

menggunakan analisis chai square dengan menggunakan SPSS. Hasil

61
disajikan dalam bentuk tabel dan diinterpretasikan berdasarkan hasil

yang diperoleh.

J. 4.10.Etika Penelitian

Etika dalam penelitian merupakan hal yang sangat penting dalam

pelaksanaan sebuah penelitian mengingat penelitian keperawatan akan

berhubungan langsung dengan manusia, maka segi etika penelitian harus

diperhatikan karena manusia mempunyai hak asasi dalam penelitian. Etika

dalam penelitian keperawatan meliputi :

1. Informent consent

Merupakanmerupakan cara persetujuan antara peneliti dan

partisipan, dengan memberikan lembar persetujuan (informen

consent).informent consent tersebut diberikan sebelum penelitian

dilaksanakan dengan memberikan lembar persetujuan untuk menjadi

partisipan. Tujuan informent consent adalah agar partisipan mengerti

maksud dan tujuan penelitian, mengetahui dampaknya. Jika partisipan

bersedia maka mereka harus menandatangani lembar persetujuan, serta

bersedia untuk menjadi responden dan jika partisipan tidak bersedia

maka peneliti tidak akan memaksa dan menghormati hak partisipan.

(Arikunto, 20172012).

2. Anonimity ( tanpa nama)

Merupakan etika dalam penelitian keperawatan dengan cara

tidak memberikan atau mencantumkan nama responden pada lembar

62
alat ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data

atau hasil penelitian yang disajikan. (Arikunto, 20172012).

3. Confidentiality (kerahasiaan)

Merupakan etika dalam penelitian untuk menjamin kerahasiaan

dari hasil penelitian baik informasi maupun masalah-masalah

lainnya.Semua partisipan yang telah dikumpulkan dijamin

kerahasiaanya oleh peneliti, hanya sekelompok data tertntu yang

dilaporkan pada hasil penelitian. (Arikunto, 20172012).

63

Anda mungkin juga menyukai