Anda di halaman 1dari 42

Laporan Kasus

Seorang Anak Laki-laki Usia 10 Tahun Datang


dengan Nyeri Perut Kanan Bawah

Oleh:
dr. M. Ali Ridho

Pembimbing:
dr. Komang, Sp.B

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KAYUAGUNG
OGAN KOMERING ILIR – SUMATERA SELATAN
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Seorang Anak Laki-laki Usia 10 Tahun Datang


dengan Nyeri Perut Kanan Bawah

Oleh:
dr. M. Ali Ridho

PORTOFOLIO KASUS
Telah dipresentasikan serta disetujui untuk memenuhi salah satu syarat dalam
mengikuti Program Internsip Dokter Indonesia periode Februari 2021

Kayuagung, Oktober 2021

Rumah Sakit Umum Daerah Kayuagung

Pembimbing
dr. Komang, Sp.B ..............................................

Pendamping
dr. Rani Agitah ..............................................

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas berkah dan rahmat-Nya penulis
dapat menyelesaikan portofolio kasus dengan judul “Seorang Anak Laki-laki Usia
10 Tahun Datang dengan Nyeri Perut Kanan Bawah” untuk memenuhi salah satu
syarat dalam mengikuti Program Internsip Dokter Indonesia periode Februari-
November 2021 di Rumah Sakit Umum Daerah Kayuagung, Ogan Komering Ilir,
Sumatera Selatan.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada dr. dr. Komang, Sp.B selaku pembimbing yang telah
membantu memberikan ajaran dan masukan sehingga portofolio kasus ini dapat
selesai.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan
portofolio kasus ini disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Kritik dan saran
yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan demi perbaikan di masa
yang akan datang.
Semoga portofolio kasus ini dapat memberi manfaat dan pelajaran bagi
kita semua.

Kayuagung, 20 Mei 2021

dr. M. Ali Ridho

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ii
KATA PENGANTAR.........................................................................................iii
DAFTAR ISI........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
BAB II LAPORAN KASUS................................................................................3
2.1. Identifikasi Pasien..............................................................................3
2.2. Anamnesis..........................................................................................3
2.3. Pemeriksaan Fisik..............................................................................5
2.4. Pemeriksaan Penunjang.....................................................................7
2.5. Diagnosis............................................................................................9
2.6. Diagnosis Banding.............................................................................9
2.7. Penatalaksanaan.................................................................................9
2.8. Prognosis............................................................................................9
2.9. Follow-up...........................................................................................10
BAB III TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................14
1.1. Anatomi Appendix.............................................................................14
1.2. Fisiologi..............................................................................................17
1.3. Definisi dan Etiologi...........................................................................18
1.4. Epidemiologi......................................................................................19
1.5. Patofisiologi........................................................................................20
1.6. Manifestasi Klinis...............................................................................21
1.7. Diagnosis............................................................................................24
1.8. Diagnosis Banding..............................................................................27
1.9. Komplikasi..........................................................................................28
1.10. Penatalaksanaan..................................................................................29
1.11. Prognosis............................................................................................34
BAB IV ANALISIS KASUS...............................................................................35
BAB V DAFTAR PUSTAKA............................................................................38

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Apendisitis merupakan peradangan appendiks vermivormis, infeksi ini bisa


mengakibatkan terjadinya pernanahan. Bila infeksi ini bertambah parah maka usus
buntu tersebut bisa pecah dan menginfeksi seluruh lapang perut dan merupakan
penyebab masalah abdomen yang paling sering. Komplikasi apendisitis yang
sering terjadi yaitu apendisitis perforasi yang dapat menyebabkan perforasi atau
abses sehingga diperlukan tindakan pembedahan. Apendisitis perforasi adalah
pecahnya apendiks yang sudah gangren yang menyebabkan pus masuk kedalam
rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada dinding apendiks tampak
daerah perforasi di kelilingi oleh jaringan nekrotik (Dorland, 2002).
Apendiksitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang
dari satu tahun jarang terjadi. Insidensi kejadian appendicitis pada pria dengan
perbandingan 1,4 lebih banyak daripada wanita. Apendisitis ditemukan pada
semua kalangan dalam rentang usia 21-30 tahun. Apendisitis adalah salah satu
kasus bedah abdomen yang paling sering terjadi di dunia. Apendektomi menjadi
salah satu operasi abdomen terbanyak di dunia.
Angka kejadian apendisitis cukup tinggi di dunia. Berdasarkan Word Health
Organization angka mortalitas akibat apendisitis adalah 21.000 jiwa, dimana
populasi laki-laki lebih banyak di bandingkan perempuan. Angka mortalitas
apendisitis 12.000 jiwa pada laki-laki dan sekitar 10.000 jiwa pada perempuan. Di
Indonesia penderita apendisitis sekitar 27% dari jumlah pasien, dan jumlah
penduduk sekitar 179.000 orang. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2009
menyebutkan bahwa apendisitis menempati urutan keempat penyakit terbanyak di
Indonesia setelah dispepsia, gastritis, duodenitis, dan penyakit sistem cerna lain
dengan jumlah pasien rawat inap sebanyak 28.040 orang. Penderita apendiksitis
yang dirawat di rumah sakit pada tahun 2013 sebanyak 3.236 orang dan pada
tahun 2014 sebanyak 4.351 orang (Depkes RI, 2009).

1
Perforasi apendisitis berhubungan dengan tingkat mortalitas yang tinggi.
Pasien yang mengalami apendisitis akut angka kematiannya hanya 1,5%, tetapi
ketika telah mengalami perforasi angka ini meningkat mencapai 20%-35%. Pada
pasien yang masih anak-anak akan lebih cepat mengalami perforasi. Faktor-faktor
yang memengaruhinya antara lain ketidakmampuan anak-anak dalam menjelaskan
keluhan yang mereka alami kepada orang tua mereka akan membuat salah
interpretasi. Selain itu tidak khasnya tanda dan gejala serta belum adekuatnya
penutupan omentum membuat progres perforasi menjadi lebih cepat.
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang
umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai
rangsang peritoneum lokal. Gejala klasik apendisitis ialah nyeri samar-samar dan
tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus.
Keluhan ini sering disertai mual dan kadang ada muntah, umumnya nafsu makan
berkurang. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik
McBurney, disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelasnya letaknya sehingga
merupakan nyeri somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium tetapi
terdapat konstipasi. Tindakan itu dianggap berbahaya karena bisa mempermudah
terjadinya perforasi
Berdasarkan berbagai data diatas maka penulis tertarik untuk membahas
lebih lanjut tentang penyakit appendicitis ini.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identifikasi Pasien


a. Nama : An. DI
b. Umur : 10 Tahun
c. Tanggal Lahir : 19 Mei 2011
d. Jenis Kelamin : Laki-laki
e. Agama : Islam
f. Pekerjaan : Pelajar
g. Alamat : Campang 3 Jaya, OKU
h. No. Med Rec/ Reg : 084532
i. Tanggal masuk RS : 07 Oktober 2021 (15:15 WIB)

2.2 Anamnesis (Pada Tanggal 7 Oktober 2021 di IGD RSUD Kayuagung)

Keluhan Utama
Nyeri perut kanan bawah sejak + 3 hari lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang


+ 3 hari SMRS pasien mengeluhkan nyeri di perut kanan bagian
bawah setelah pulang dari bermain bersama temannya. Nyeri dirasa seperti
disayat-sayat, awal mula nyeri dirasakan daerah sekitar pusar setelah itu
berpindah ke kanan bawah, keluhan dirasa semakin kuat dan semakin
bertambah parah, dan nyeri juga dirasakan berpindah ke perut bagian kiri
juga. Keluhan tidak mengurang apabila dibuat rebahan atau istirahat. Pasien
tidak mencoba mengkonsumsi obat-obatan dan berobat ke dokter.
+ 2 hari SMRS pasien masih mengeluhkan nyeri perut yang kini
dirasakan hampir di seluruh lapang perut terutama di bagian kanan bawah.
Keluhan nyeri kini disertai dengan mual dan muntah sekitar 2x, isi cairan
kuning saja banyaknya kurang lebih setengan gelas air mineral. Muntah

3
tidak disertai darah. Pasien juga mengalami BAB mencret + 3x banyakya
tidak bisa diperkirakan, air lebih banyak dari ampas, darah (-), lendir (-).
Pasien merasakan penurunan nafsu makan, sakit kepala (-). Pasien belum
berobat
+ 6 jam SMRS pasien masih merasakan nyeri diperut, pasien
mengatakan perutnya sempat diurut namun keluhan tidak berkurang dan
masih terasa sangat nyeri. Muntah masih 2x isi cairan kuning. Pasien
kemudian dibawa berobat ke RS Tugujaya dan dikatakan mengalami radang
usus buntu yang sudah pecah, kemdian pasien dirujuk ke IGD RSUD
Kayuagung

Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat menderita batuk lama sebelumnya disangkal
- Riwayat alergi terhadap makanan dan obat-obatan disangkal.
- Riwayat penyakit yang sama sebelumnya disangkal
- Riwayat demam (-)

Riwayat Pengobatan
- Riwayat minum obat-obatan warung (-)

Riwayat Penyakit dalam Keluarga


- Riwayat keluarga dengan keluhan dan penyakit serupa disangkal

Riwayat Kebiasaan
- Pasien kurang suka mengkonsumsi sayuran dan buahan
- Pasien memiliki kebiasaan hobi makan gorengan
- Pasien tidak terlalu rutin BAB, biasaya 2-3 hari sekali.

4
2.3 Pemeriksaan Fisik
(Dilakukan pada tanggal 07 Oktober 2021)
a. Keadaan Umum
1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
2. Kesadaran : Kompos mentis, GCS 15
3. Tekanan darah : 100/70 mmHg
4. Nadi : 120 x/menit, irama reguler, isi dan tegangan
cukup.
5. Pernapasan : 34 x/menit, regular, Torakoabdominal
6. Suhu : 36,8 oC
7. Berat badan : 33 kg
8. Tinggi badan : 143 cm
9. Status Gizi : Growth Chart CDC (96% = Gizi baik)

b. Keadaan Spesifik
1. Kepala
Normosefali, simetris, warna rambut hitam, tidak mudah dicabut,
alopesia tidak ada.
2. Mata
Edema palpebra tidak ada, konjungtiva palpebra pucat (+/+), sklera
ikterik (-/-), pupil bulat isokor 3mm/3mm, Refleks Cahaya (+/+).
3. Hidung
Tampak luar tidak ada kelainan, septum deviasi (-), kavum nasi
lapang, sekret (-), epistaksis (-), NCH (-)
4. Mulut
Bibir kering, sianosis (-), sariawan (-), gusi berdarah (-), lidah
berselaput (-), atrofi papil (-), Tonsil normal, faring hiperemis (-)
5. Telinga
Tampak luar tidak ada kelainan, keluar cairan telinga (-), sekret (-),
nyeri tekan mastoid (-)

5
6. Leher
Pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid (-).
7. Thoraks
Inspeksi : Simetris, venektasi (-), retraksi (-), scar (-)
Paru
 Inspeksi : Statis simetris kanan = kiri, dinamis kanan = kiri
 Palpasi : Stem fremitus baik, nyeri tekan (-)
 Perkusi : Sonor di kedua paru
 Auskultasi : vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
 Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
 Palpasi : Iktus cordis tidak teraba, thrill tidak teraba
 Perkusi : Batas jantung atas ICS II sinistra
Batas jantung kiri linea aksilaris anterior ICS V
sinistra
Batas jantung kanan sulit dinilai
 Auskultasi : HR = 118 x/menit, reguler, murmur (-), gallop (-)
8. Abdomen
 Inspeksi : datar, venektasi (-), caput medusae (-), striae
(), umbilicus tidak menonjol, hiperpigmentasi (-),
ikterik pada kulit abdomen (-).
 Palpasi : Tegang, nyeri tekan (+) seluruh lapang perut,
McBurney Sign (+), Rovsing Sign (+), Blumberg
Sign (+), Hepar lien tidak dapat diperiksa karena
nyeri.
 Perkusi : Timpani (+), Tanda Ascites (-)
 Auskultasi : Bising usus (+) menurun.
9. Genitalia : Tidak diperiksa

6
10. Ekstremitas : Akral hangat (+), CRT<2 detik, Edema (-), Psoas
sign (-), obturator sign (-)
2.4 Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium (07 Oktober 2021)
Pemeriksaan Hasil Unit Nilai rujukan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 16,4 g/dL 13-18
Leukosit 16,4 103/µL 3.2-10
Eritrosit 5,8 106/µL 4.4-5.6
Hematokrit 46 % 40-50
Trombosit 252 103/µL 150-400
Hitung jenis
Limfosit 5,0 % 15-45
Neutrofil 86,6 % 55-80
Mono, Eos, Baso 8,5 % 0-19
Golongan Darah A+
Glukosa Darah 91 mg/dL 70-140
Sewaktu
ELEKTROLIT
Natrium 130 mEq/L 135-147
Kalium 4.0 mEq/L 3.5-5.0
Clorida 98 mEq/L 95-105
IMUNOSEROLOGI
HbsAg Non- Non-Reaktif
Reaktif
Anti-HIV Non- Non-Reaktif
Reaktif
CRP Positif Negatif

7
LAIN-LAIN
Rapid Antigen Negatif Negatif
SARS CoV-2

2. Rontgen Thorax
07 Oktober 2021

Kesan: Thorax dalam batas normal

3. Skoring Alvarado
- Migration Of Pain :1
- Anoreksia :1
- Nausea or Vomit :1
- Tenderness RLQ :2
- Rebound Pain :1
- Elevation Of Temp :-
- Leucocytosis :2
- Shift To The Left :-
Total Skor : 8 ( Kemungkinan besar Appendisitis akut)

8
2.5 Diagnosis
Peritonitis Diffuse e.c Susp. Appendisitis Perforasi

2.6 Diagnosis Banding


- Peritonitis Diffuse e.c Perforasi Gaster
- Infark Omentum

2.7 Penatalaksanaan
Non Farmakologis:
- Istirahat
- Edukasi keadaan dan rencana tatalaksana pasien
- Rencana OK Cito – Laparotomi Appendektomi
- Puasa
- Konsul dr. Sp. A
- Konsul dr. Sp. An

Farmakologis:
- IVFD RL gtt XX/m
- Inj. Ceftriaxone 1x2g IV dalam NS 100cc / 30 menit
- Paracetamol 500mg/8 jam PO
- Inj. Omeprazole 40mg/24 jam IV

2.8 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

9
2.9 Follow Up
RENCANA TATALAKSANA
TANGGAL CATATAN KEMAJUAN (S/O/A)
(P)
08/10/2021 S/ : Nyeri luka operasi (+), Flatus (+), Non farmakologis:
BAB (-) Edukasi
Istirahat
O/ : Keadaan umum tampak sakit sedang, Mobilisasi miring kanan kiri
Kesadaran CM, TD: 110/70 , nadi Diet NB
105x/m, RR 22x/m, Temp 36.8oC Drainage kosongkan
Kepala : dalam batas normal Aff Kateter Urin.
Thoraks :
Cor : dalam batas normal Farmakologis:
Pulmo : dalam batas normal - IVFD RL gtt XX/m
- Paracetamol 500mg/8 jam
Abdomen :
I : tampak luka bekas sayatan tertutup PO
perban, drainage (+) 45cc/24jam, darah - Inj. Omeprazole 40mg/24
(+) jam
A : BU (+) normal
P : lemas, NT (+) disekitar luka sayatan.
P : timpani (+)

Ekstremitas : Akral hangat (+)

A/ : Post Op Laparotomi Appendektomi


a/i Peritonitis e.c Appendisitis Perforasi
H1

09/10/2021 S/ : Nyeri luka operasi menurun, Flatus Non farmakologis:

10
(+), BAB (-), Muntah (+) Edukasi
Istirahat
O/ : Keadaan umum tampak sakit sedang, Mobilisasi Duduk
Kesadaran CM, TD: 110/70 , nadi Diet NB
102x/m, RR 21x/m, Temp 36.7oC Drainage kosongkan
Kepala : dalam batas normal
Thoraks : Farmakologis:
Cor : dalam batas normal - IVFD RL gtt XX/m
Pulmo : dalam batas normal - Paracetamol 500mg/8 jam
Abdomen :
PO
I : tampak luka bekas sayatan tertutup
perban, drainage (+) 50cc/24jam, darah - Inj. Omeprazole 40mg/24
(+) mulai perlahan menghilang. jam
A : BU (+) normal
P : lemas, NT (+) disekitar luka sayatan.
P : timpani (+)

Ekstremitas : Akral hangat (+)

A/ : Post Op Laparotomi Appendektomi


a/i Peritonitis e.c Appendisitis Perforasi
H2

10/10/2021 S/ : Nyeri luka operasi menurun, Flatus Non farmakologis:


(+), BAB (+), Muntah (-) Edukasi
Istirahat

11
O/ : Keadaan umum tampak sakit sedang, Mobilisasi Jalan
Kesadaran CM, TD: 100/70 , nadi 98x/m, Diet NB
RR 21x/m, Temp 36.6oC Drainage kosongkan
Kepala : dalam batas normal
Thoraks : Farmakologis:
Cor : dalam batas normal - IVFD RL gtt XX/m
Pulmo : dalam batas normal - Paracetamol 500mg/8 jam
Abdomen :
PO
I : tampak luka bekas sayatan tertutup
perban, drainage (+) 40cc/24jam, darah - Inj. Omeprazole 40mg/24
(-). jam
A : BU (+) normal
- Laxadine Syrup
P : lemas, NT (+) disekitar luka sayatan.
P : timpani (+)

Ekstremitas : Akral hangat (+)

A/ : Post Op Laparotomi Appendektomi


a/i Peritonitis e.c Appendisitis Perforasi
H3

11/10/2021 S/ : Nyeri luka operasi menurun, Flatus Non farmakologis:


(+), BAB (+), Muntah (-) -Edukasi
-Istirahat
O/ : Keadaan umum tampak sakit sedang, -Mobilisasi Jalan
Kesadaran CM, TD: 110/70 , nadi 95x/m, -Diet NB

12
RR 20x/m, Temp 36.7oC -Aff Drainage Abdomen
Kepala : dalam batas normal -Rencana Pulang Besok
Thoraks : -Kontrol Poli
Cor : dalam batas normal
Pulmo : dalam batas normal Farmakologis:
Abdomen : - IVFD RL gtt XX/m
I : tampak luka bekas sayatan tertutup - Paracetamol 500mg/8 jam
perban, drainage (+) 10cc/24jam, darah
PO
(-).
A : BU (+) normal - Inj. Omeprazole 40mg/24
P : lemas, NT (+) disekitar luka sayatan. jam
P : timpani (+)
- Laxadine Syrup
Ekstremitas : Akral hangat (+)

A/ : Post Op Laparotomi Appendektomi


a/i Peritonitis e.c Appendisitis Perforasi
H4

13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Appendix


Apendiks vermiformis (menyerupai cacing) merupakan organ
berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 8-13 cm (kisaran 3-5 inci), dasar
melekat pada caecum dan ujung lainnya bebas, diliputi oleh peritoneum, dan
mempunyai mesenterium sendiri yang disebut mesoappendix yang berisi
vena, arteri appendicularis, dan saraf-saraf. Apendiks memanjang baik itu
diameter dan panjangnya selama masa anak-anak, dan mengalami maturasi
pada usia 3 tahun. Lumennya sempit dibagian proksimal dan melebar di
bagian distal. Namun pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada
pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin
menjadi penyebab rendahnya insidens apendisitis pada usia tersebut (Snell,
R.S, 2006).

Gambar 3.1 Anatomi Caecum dan Apendiks Vermiformis

Apendiks vermiformis terletak pada kuadran kanan bawah abdomen di


regio iliaca dextra. Pangkalnya diproyeksikan ke dinding anterior abdomen

14
pada titik sepertiga bawah yang menghubungkan spina iliaca anterior
superior dan umbilicus yang disebut titik Mc Burney. Pada 65% kasus,
apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks
bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks
penggantungnya.Pada kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal,
yaitu di belakang caecum, di belakang colon ascendens, atau di tepi lateral
colon ascendens. Apendiks yang terletak di fossa iliaka kanan memiliki
ujung yang letaknya dapat bervariasi. Biasanya terletak retrocaecal atau
retrocolic (di belakang caecum atau kolon asendens bawah, anterior dari
psoas major), atau pelvis (apendiks terbentang di sepanjang tepi pelvis,
dekat dengan tuba fallopi kanan dan ovarium pada perempuan). Posisi
lainnya termasuk subcaecal, dan pre- atau post-ileal (anterior atau posterior
dari ileum terminalis).

Gambar 3.2 McBourney's Point.

15
Gambar 3.3 Variasi posisi apendiks.

Apendiks diperdarahi oleh arteri appendicularis yang merupakan arteri


tanpa kolateral dan vena appendicularis, sedangkan persarafannya berasal
dari cabang-cabang saraf simpatis dan parasimpatis (nervus vagus) dari
plexus mesentericus superior. Aliran limfenya ke satu atau dua nodi dalam
mesoapendiks dan dialirkan ke nodi mesenterici superiores (Snell, R.S,
2006).

Gambar 3.4 Perdarahan Apendiks Vermiformis

Lapisan dinding apendiks memiliki kesamaan dengan usus besar secara


umum namun juga memiliki beberapa perbedaan. Serosa membungkus
apendiks secara keseluruhan, kecuali di daerah mesentrika. Otot
longitudinal luar melapisi apendiks, kecuali pada beberapa daerah di mana
muscularis externa sedikit, sehingga serosa berkontak dengan submukosa.
Submukosa memiliki kandungan agregasi limfoid besar yang terbentuk
sampai ke mukosa dan merusak integritas muskularis mukosa. Mukosa
apendiks dilapisi oleh epitel kolumnar, yang mengandung sel M yang
berada pada jaringan limfoid mukosa. Jaringan limfoid submukosa
memiliki senter germinalis pada folikel-folikelnya yang mengindikasikan
adanya aktivasi sel B. Folikel limfoid tidak ditemukan saat lahir namun
terakumulasi pada 10 tahun pertama kehidupan. Pada orang dewasa, folikel
limfoid lama kelamaan menjadi atrofi. Pada orang yang lebih tua, lumen
apendiks biasanya sebagian hancur menjadi jaringan fibrosa.

16
Secara histologi, struktur apendiks sama dengan usus besar. Kelenjar
submukosa dan mukosa dipisahkan dari lamina muskularis. Diantaranya
berjalan pembuluh darah dan kelenjar limfe. Bagian paling luar apendiks
ditutupi oleh lamina serosa yang berjalan pembuluh darah besar yang
berlanjut ke dalam mesoapendiks. Bila letak apendiks retrosekal, maka
tidak tertutup oleh peritoneum viserale.
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti
a.mesenterika superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis
berasal dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis
bermula di sekitar umbilikus (Snell, R.S, 2006). Pendarahan apendiks
berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika
arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi, apendiks
akan mengalami gangrene.
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan
aliran lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis
apendisitis. Imunoglobulin sekreator yang dihasilkan oleh GALT (gut
associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna
termasuk apendiks, ialah IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai
pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak
mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe disini kecil
sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh
tubuh (Price dan Wilson, 2006).

3.2 Fisiologi
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke caecum. Hambatan
aliran lender di muara apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis
appendicitis.
Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated
lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk

17
apendiks, ialah IgA. Immunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung
terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak
mempengaruhi sistem imun tubuh karena jkumlah jaringan limf disini kecil
sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh
tubuh (Eroschenko VP, 2010).

Gambar 3.5 Apendiks vermiformis normal. Lumen yang sempit yang dilapisi oleh
mukosa yang tersusun dengan lipatan-lipatan lumen. Dapat juga ditemukan adanya
jaringan limfoid yang melimpah pada mukosa, terutama pada anak-anak. Hal ini
menyebabkan lumen menjadi semakin sempit. Mukosa ini dilapisi juga oleh mukosa
muskulatis.

3.3 Definisi dan Etiologi


Appendisitis merupakan peradangan yang terjadi pada appendiks
vermiformis. Appendicitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen
appendix sehingga terjadi kongseti vaskuler, iskemik nekrosis dan akibatnya
terjadi infeksi. Appendicitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri.
Penyebab obstruksi yang paling sering adalah fecolith. Fecolith ditemukan
pada sekitar 20% anak dengan appendicitis. Penyebab lain dari obstruksi
appendiks meliputi:
1. Hiperplasia folikel lymphoid

18
2. Carcinoid atau tumor lainnya
3. Benda asing (pin, biji-bijian)
4. Kadang parasit
Penyebab lain yang diduga menimbulkan Appendicitis adalah ulserasi
mukosa appendix oleh parasit E. histolytica. Berbagai spesies bakteri yang
dapat diisolasi pada pasien appendicitis yaitu :
Bakteri aerob fakultatif Bakteri anaerob
 Escherichia coli  Bacteroides fragilis
 Viridans streptococci  Peptostreptococcus micros
 Pseudomonas aeruginosa  Bilophila species
 Enterococcus  Lactobacillus species

3.4 Epidemiologi
Terdapat sekitar 250.000 kasus appendicitis yang terjadi di Amerika
Serikat setiap tahunnya dan terutama terjadi pada anak usia 6-10 tahun.
Appendicitis lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan
dengan perbandingan 3:2. Bangsa Caucasia lebih sering terkena
dibandingkan dengan kelompok ras lainnya. Appendicitis akut lebih sering
terjadi selama musim panas (Schwartz, Spencer dan Fisher, 1997).
Angka morbiditas appendisitis di Indonesia mencapai 95 per 1000
penduduk dan merupakan yang tertinggi diantara negara-negara ASEAN.
Menurut WHO (World Health Organization), insidensi appendisitis di Asia
pada tahun 2004 adalah 4,8% penduduk dari total populasi. Appendisitis
menempati urutan keempat penyakit terbanyak di Indonesia setelah
dispepsia, gastritis dan duodenitis, dan penyakit sistem cerna lain (Depkes
RI, 2009).
Insidensi Appendicitis acut di negara maju lebih tinggi daripada di
negara berkembang, tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya
menurun secara bermakna. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya
penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari. Appendicitis dapat

19
ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang
dilaporkan. Insidensi tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu
menurun. Insidensi pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding,
kecuali pada umur 20-30 tahun, insidensi lelaki lebih tinggi (Craig, 2014).
Appendicitis terjadi dari proses inflamasi ringan hingga perforasi, khas
dalam 24-36 jam setelah munculnya gejala, kemudian diikuti dengan
pembentukkan abscess setelah 2-3 hari.

3.5 Patofisiologi
Appendisitis dapat terjadi di mukosa dan kemudian melibatkan seluruh
lapisan dinding appendix dalam waktu 24-48 jam pertama. Appendisitis
akut biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendix yang dapat
diakibatkan oleh fekalit/apendikolit, hiperplasia limfoid, benda asing,
parasit, neoplasma atau striktur karena fibrosis karena peradangan
sebelumnya. Obstruksi lumen yang terjadi mendukung perkembangan
bakteri dan sekresi mukus sehingga menyebabkan distensi lumen dan
peningkatan tekanan dinding lumen. Tekanan yang meningkat akan
menghambat aliran limfe sehingga menimbulkan edema, diapedesis bakteri
dan ulserasi mukosa. Pada saat ini terjadi appendisitis akut fokal yang
ditandai dengan nyeri periumbilikal. Sekresi mukus yang terus berlanjut dan
tekanan yang terus meningkat menyebabkan obtruksi vena, peningkatan
edema dan pertumbuhan bakteri yang menimbulkan radang. Peradangan
yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga timbul
nyeri di daerah kanan bawah, pada saat ini terjadi appendisitis supuratif
akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan timbul infark dinding dan
ganggren. Stadium ini disebut appendisitis gangrenosa yang bila rapuh dan
pecah menjadi appendisitis perforasi. Meskipun bervariasi biasanya
perforasi terjadi paling sedikit 48 jam setelah munculnya gejala.
Bila semua proses di atas berjalan dengan imunitas yang cukup baik,
upaya pertahanan tubuh berusaha membatasi proses peradangan dengan

20
menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga
terbentuk massa periapendikuler yang biasa dikenal dengan istilah
appendisitis infiltrate. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa
abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses,
appendisitis akan sembuh dan massa periapendikuler akan menjadi tenang
dan mengurai secara lambat.
Appendix yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi
membentuk jaringan parut yang melengket dengan jaringan sekitarnya.
Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut kanan
bawah. Suatu saat appendix dapat meradang akut lagi dan dinyatakan
mengalami eksaserbasi akut.

3.6 Manifestasi Klinis


Appendicitis dapat mengenai semua kelompok usia. Meskipun sangat
jarang pada neonatus dan bayi, appendicitis akut kadang-kadang dapat
terjadi dan diagnosis appendicitis jauh lebih sulit dan kadang tertunda. Nyeri
merupakan gejala yang pertama kali muncul. Seringkali dirasakan sebagai
nyeri tumpul, nyeri di periumbilikal yang samar-samar, tapi seiring dengan
waktu akan berlokasi di abdomen kanan bawah. Terjadi peningkatan nyeri
yang gradual seiring dengan perkembangan penyakit.
Variasi lokasi anatomis appendiks dapat mengubah gejala nyeri yang
terjadi. Pada anak-anak, dengan letak appendiks yang retrocecal atau pelvis,
nyeri dapat mulai terjadi di kuadran kanan bawah tanpa diawali nyeri pada
periumbilikus. Nyeri pada flank, nyeri punggung, dan nyeri alih pada testis
juga merupakan gejala yang umum pada anak dengan appendicitis
retrocecal arau pelvis. Jika inflamasi dari appendiks terjadi di dekat ureter
atau bladder, gejala dapat berupa nyeri saat kencing atau perasaan tidak
nyaman pada saat menahan kencing dan distensi kandung kemih.
Anorexia, mual, dan muntah biasanya terjadi dalam beberapa jam setelah
onset terjadinya nyeri. Muntah biasanya ringan. Diare dapat terjadi akibat
infeksi sekunder dan iritasi pada ileum terminal atau caecum. Gejala

21
gastrointestinal yang berat yang terjadi sebelum onset nyeri biasanya
mengindikasikan diagnosis selain appendicitis. Meskipun demikian, keluhan
GIT ringan seperti indigesti atau perubahan bowel habit dapat terjadi pada
anak dengan appendicitis.
Pada appendicitis tanpa komplikasi biasanya demam ringan (37,5 -38,5 0

C). Jika suhu tubuh diatas 38,6 0


C, menandakan terjadi perforasi. Anak
dengan appendicitis kadang-kadang berjalan pincang pada kaki kanan.
Karena saat menekan dengan paha kanan akan menekan Caecum hingga isi
Caecum berkurang atau kosong. Bising usus meskipun bukan tanda yang
dapat dipercaya dapat menurun atau menghilang.
Anak dengan appendicitis biasanya menghindari diri untuk bergerak dan
cenderung untuk berbaring di tempat tidur dengan kadang-kadang lutut
diflexikan. Anak yang menggeliat dan berteriak-teriak jarang menderita
appendicitis, kecuali pada anak dengan appendicitis retrocaecal, nyeri
seperti kolik renal akibat perangsangan ureter.

Frekuensi
Gejala Appendicitis Akut
(%)
Nyeri perut 100
Anorexia 100
Mual 90
Muntah 75
Nyeri berpindah 50
Gejala sisa klasik (nyeri periumbilikal kemudian
anorexia/mual/muntah kemudian nyeri berpindah ke 50
RLQ kemudian demam yang tidak terlalu tinggi)
*-- Onset gejala khas terdapat dalam 24-36 jam

Awalnya, pasien akan merasa gejala gastrointestinal ringan seperti


berkurangnya nafsu makan, perubahan kebiasaan BAB yang minimal, dan
kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting pada diagnosis
appendicitis, khususnya pada anak-anak.

22
Distensi appendiks menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral dan
dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini bersifat
nyeri dalam, tumpul, berlokasi di dermatom Th 10. Adanya distensi yang
semakin bertambah menyebabkan mual dan muntah, dalam beberapa jam
setelah nyeri. Jika mual muntah timbul lebih dulu sebelum nyeri, dapat
dipikirkan diagnosis lain.
Appendiks yang obstruksi merupakan tempat yang baik bagi bakteri
untuk berkembang biak. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal,
terjadi gangguan aliran limf, terjadi oedem yang lebih hebat. Akhirnya
peningkatan tekanan menyebabkan obstruksi vena, yang mengarah pada
iskemik jaringan, infark, dan gangrene. Setelah itu, terjadi invasi bakteri ke
dinding appendiks; diikuti demam, takikardi, dan leukositosis akibat
kensekuensi pelepasan mediator inflamasi dari jaringan yang iskemik. Saat
eksudat inflamasi dari dinding appendiks berhubungan dengan peritoneum
parietale, serabut saraf somatic akan teraktivasi dan nyeri akan dirasakan
lokal pada lokasi appendiks, khususnya di titik Mc Burney’s. Nyeri jarang
timbul hanya pada kuadran kanan bawah tanpa didahului nyeri visceral
sebelumnya. Pada appendiks retrocaecal atau pelvic, nyeri somatic biasanya
tertunda karena eksudat inflamasi tidak mengenai peritoneum parietale
sampai saat terjadinya rupture dan penyebaran infeksi. Nyeri pada
appendiks retrocaecal dapat muncul di punggung atau pinggang. Appendiks
pelvic yang terletak dekat ureter atau pembuluh darah testis dapat
menyebabkan peningkatan frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau keduanya.
Inflamasi ureter atau vesica urinaria pada appendicitis dapat menyebabkan
nyeri saat berkemih, atau nyeri seperti terjadi retensi urine.
Perforasi appendiks akan menyebabkan terjadinya abscess lokal atau
peritonitis umum. Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke
arah perforasi dan kemampuan pasien berespon terhadap adanya perforasi.
Tanda perforasi appendiks mencakup peningkatan suhu melebihi 38.6 oC,
leukositosis > 14.000, dan gejala peritonitis pada pemeriksaan fisik. Pasien
dapat tidak bergejala sebelum terjadi perforasi, dan gejala dapat menetap

23
hingga > 48 jam tanpa perforasi. Secara umum, semakin lama gejala
berhubungan dengan peningkatan risiko perforasi. Peritonitis difus lebih
sering dijumpai pada bayi karena tidak adanya jaringan lemak omentum.
Anak yang lebih tua atau remaja lebih memungkinkan untuk terjadinya
abscess yang dapat diketahui dari adanya massa pada pemeriksaan fisik.
Konstipasi jarang dijumpai tetapi tenesmus sering dijumpai. Diare sering
didapatkan pada anak-anak, dalam jangka waktu sebentar, akibat iritasi
ileum terminal atau caecum. Adanya diare dapat mengindikasikan adanya
abscess pelvis

3.7 Diagnosis
Diagnosis suatu appendisitis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari hasil anamnesis, pasien
mengeluhkan nyeri pada bagian perut kanan bawah, nyeri awal mulanya
dirasakan pada pusar. Gejala lain yang menunjang diagnosis yaitu, terdapat
gejala prodormal seperti mual, muntah, dan demam.
a. Pemeriksaan Fisik
Pada Apendicitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling,
sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut.
Secara klinis, dikenal beberapa manuver diagnostik:
- Rovsing’s sign: dikatakan posiif jika tekanan yang diberikan pada
LLQ abdomen menghasilkan sakit di sebelah kanan (RLQ),
menggambarkan iritasi peritoneum. Sering positif tapi tidak spesifik.
- Psoas sign: dilakukan dengan posisi pasien berbaring pada sisi sebelah
kiri sendi pangkal kanan diekstensikan. Nyeri pada cara ini
menggambarkan iritasi pada otot psoas kanan dan indikasi iritasi
retrocaecal dan retroperitoneal dari phlegmon atau abscess. Dasar
anatomis terjadinya psoas sign adalah appendiks yang terinflamasi
yang terletak retroperitoneal akan kontak dengan otot psoas pada saat
dilakukan manuver ini.

24
- Obturator sign: dilakukan dengan posisi pasien terlentang, kemudian
gerakan endorotasi tungkai kanan dari lateral ke medial. Nyeri pada
cara ini menunjukkan peradangan pada M. obturatorius di rongga
pelvis. Perlu diketahui bahwa masing-masing tanda ini untuk
menegakkan lokasi Appendix yang telah mengalami radang atau
perforasi.

b. Skor Alvarado
Semua penderita dengan suspek Appendicitis acut dibuat skor
Alvarado dan diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu: skor <6 dan
>6. Selanjutnya dilakukan Appendectomy, setelah operasi dilakukan
pemeriksaan PA terhadap jaringan Appendix dan hasilnya
diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu: radang akut dan bukan
radang akut.
Manifestasi Skor
Gejala Adanya migrasi nyeri 1
Anoreksia 1
Mual/muntah 1
Tanda Nyeri RLQ 2
Nyeri lepas 1
Febris 1
Laboratorium Leukositosis 2
Shift to the left 1
Total poin 10

Keterangan:
0-4 : kemungkinan Appendicitis kecil
5-6 : bukan diagnosis Appendicitis
7-8 : kemungkinan besar Appendicitis
9-10 : hampir pasti menderita Appendicitis

25
Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6
maka tindakan bedah sebaiknya dilakukan (Ellis H, Calne SR, Watson,
2016).

c. Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium
Jumlah leukosit diatas 10.000 ditemukan pada lebih dari 90% anak
dengan appendicitis akuta. Jumlah leukosit pada penderita
appendicitis berkisar antara 12.000-18.000/mm. Peningkatan
persentase jumlah neutrofil (shift to the left) dengan jumlah normal
leukosit menunjang diagnosis klinis appendicitis. Jumlah leukosit
yang normal jarang ditemukan pada pasien dengan appendicitis.
Pemeriksaan urinalisis membantu untuk membedakan appendicitis
dengan pyelonephritis atau batu ginjal. Meskipun demikian, hematuria
ringan dan pyuria dapat terjadi jika inflamasi appendiks terjadi di
dekat ureter.
 Ultrasonografi
Ultrasonografi sering dipakai sebagai salah satu pemeriksaan untuk
menunjang diagnosis pada kebanyakan pasien dengan gejala
appendicitis. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sensitifitas
USG lebih dari 85% dan spesifitasnya lebih dari 90%. Gambaran USG
yang merupakan kriteria diagnosis appendicitis acuta adalah appendix
dengan diameter anteroposterior 7 mm atau lebih, didapatkan suatu
appendicolith, adanya cairan atau massa periappendix. False positif
dapat muncul dikarenakan infeksi sekunder appendix sebagai hasil
dari salphingitis atau inflammatory bowel disease. False negatif juga
dapat muncul karena letak appendix yang retrocaecal atau rongga usus
yang terisi banyak udara yang menghalangi appendix.
 CT-Scan
CT scan merupakan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk
mendiagnosis appendicitis akut jika diagnosisnya tidak

26
jelas.sensitifitas dan spesifisitasnya kira-kira 95-98%. Pasien-pasien
yang obesitas, presentasi klinis tidak jelas, dan curiga adanya abscess,
maka CT-scan dapat digunakan sebagai pilihan test diagnostik.
Diagnosis appendicitis dengan CT-scan ditegakkan jika appendix
dilatasi lebih dari 5-7 mm pada diameternya. Dinding pada appendix
yang terinfeksi akan mengecil sehingga memberi gambaran “halo”
(Norman S., Bulstrode W., O’Connel P.R, 2008).

3.8 Diagnosis Banding


Diagnosis banding dari Appendicitis dapat bervariasi tergantung dari usia
dan jenis kelamin
 Pada anak-anak balita
Diagnosis banding pada anak-anak balita adalah intususepsi,
divertikulitis, dan gastroenteritis akut. Intususepsi paling sering
didapatkan pada anak-anak berusia dibawah 3 tahun. Divertikulitis jarang
terjadi jika dibandingkan Appendicitis. Nyeri divertikulitis hampir sama
dengan Appendicitis, tetapi lokasinya berbeda, yaitu pada daerah
periumbilikal. Pada pencitraan dapat diketahui adanya inflammatory
mass di daerah abdomen tengah. Diagnosis banding yang agak sukar
ditegakkan adalah gastroenteritis akut, karena memiliki gejala-gejala
yang mirip dengan appendicitis, yakni diare, mual, muntah, dan
ditemukan leukosit pada feses.
 Pada anak-anak usia sekolah
Diagnosis banding pada anak-anak usia sekolah adalah gastroenteritis,
konstipasi, infark omentum. Pada gastroenteritis, didapatkan gejala-
gejala yang mirip dengan appendicitis, tetapi tidak dijumpai adanya
leukositosis. Konstipasi, merupakan salah satu penyebab nyeri abdomen
pada anak-anak, tetapi tidak ditemukan adanya demam. Infark omentum
juga dapat dijumpai pada anak-anak dan gejala-gejalanya dapat
menyerupai appendicitis. Pada infark omentum, dapat teraba massa pada
abdomen dan nyerinya tidak berpindah

27
 Pada pria dewasa muda
Diagnosis banding yang sering pada pria dewasa muda adalah Crohn’s
disease, klitis ulserativa, dan epididimitis. Pemeriksaan fisik pada
skrotum dapat membantu menyingkirkan diagnosis epididimitis. Pada
epididimitis, pasien merasa sakit pada skrotumnya.
 Pada wanita usia muda
Diagnosis banding appendicitis pada wanita usia muda lebih banyak
berhubungan dengan kondisi-kondisi ginekologik, seperti pelvic
inflammatory disease (PID), kista ovarium, dan infeksi saluran kencing.
Pada PID, nyerinya bilateral dan dirasakan pada abdomen bawah. Pada
kista ovarium, nyeri dapat dirasakan bila terjadi ruptur ataupun torsi.
 Pada usia lanjut
Appendicitis pada usia lanjut sering sukar untuk didiagnosis. Diagnosis
banding yang sering terjadi pada kelompok usia ini adalah keganasan
dari traktus gastrointestinal dan saluran reproduksi, divertikulitis,
perforasi ulkus, dan kolesistitis. Keganasan dapat terlihat pada CT Scan
dan gejalanya muncul lebih lambat daripada appendicitis. Pada orang tua,
divertikulitis sering sukar untuk dibedakan dengan appendicitis, karena
lokasinya yang berada pada abdomen kanan. Perforasi ulkus dapat
diketahui dari onsetnya yang akut dan nyerinya tidak berpindah. Pada
orang tua, pemeriksaan dengan CT Scan lebih berarti dibandingkan
dengan pemeriksaan laboratorium.

3.9 Komplikasi
1. Appendicular infiltrat:
Infiltrat / massa yang terbentuk akibat mikro atau makro perforasi dari
Appendix yang meradang yang kemudian ditutupi oleh omentum, usus
halus atau usus besar.

28
2. Appendicular abscess:
Abses yang terbentuk akibat mikro atau makro perforasi dari Appendix
yang meradang yang kemudian ditutupi oleh omentum, usus halus, atau
usus besar.
3. Perforasi
4. Peritonitis
5. Syok septik
6. Mesenterial pyemia dengan Abscess Hepar
7. Gangguan peristaltik
8. Ileus

3.10 Penatalaksanaan
a. Appendisitis non-komplikasi
Pasien dengan appendisitis non-komplikasi, tindakan operasi merupakan
tatalaksana standar sejak ditemukannya McBurney. Konsep tindakan
tanpa operasi pada appendisitis non-komplikasi berkembang dari 2
pengamatan. Pertama, pasien berada pada lingkungan di mana tidak
memungkinkan dilakukan tingdakan bedah (di lepas pantai dan daerah
ekspedisi), sedangkan pengobatan antibiotik dinyatakan efektif. Kedua,
banyak pasien dengan tanda dan gejala konsisten yang tidak mengikuti
pengobatan medis seringkali terjadi resolusi spontan pada penyakitnya
(Burkitt, H.G., Quick, C.R.G., and Reed, J.B. 2007).

29
Gambar 3.6 Algoritma evaluasi dan manajemen pasien dengan suspek apendisitis
akut berdasarkaan asesmen bedah dari kemungkinan klinis dalam diagnosis.

Gambar 3.7 Algoritma tatalaksana appendisitis akut

b. Appendisitis komplikasi
Appendisitis komplikasi berkaitan dengan perforasi appendisitis yang
berkaitan dengan abses dan phlegmon. Insidensinya sekitar 2 per 10.000
orang dan memiliki variasi yang sedikit berbeda dari waktu ke waktu.
Anak-anak yang berusia kurang dari 5 tahun dan pasien yang berusia
lebih dari 65 tahun menduduki peringkat teratas untuk insidensi
perforasi. Proporsi perforasi meningkat seiring dengan berapa lama
gejalanya. Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri.
Gejala mencakup demam dengan suhu 37,70C atau lebih tinggi,
penampilan toksik,dan nyeri atau nyeri tekan abdomen yang kontinyu
(Brunicardi, 2007).

30
Gambar 3.8. Algoritma tatalaksana abses apendiks

Tindakan
Berdasarkan guideline dari SAGES 2010 (Society of American
Gastrointestinal and Endoscopic Surgeon), indikasi appendektomi
laparoskopi dengan open appendectomy dibagi sebagai berikut (Craig,
2016)

 Appendektomi laparoskopi
o Appendisitis tanpa komplikasi
o Appendisitis pada anak-anak
o Appendisitis pada ibu hamil
 Open appendektomi
o Appendisitis perforasi

31
o Appendisitis pada pasien geriatri
o Appendisitis pada pasien obesitas
a. Open Appendectomy (Beuchamp, Evers, dan Maatox, 2012)

Open apendiktomi adalah teknik yang digunakan dengn cara membuat


sayatan pada M. rectus abdominis atau M. obliqus abdominis internus
dari lateral atas ke medial bawah. Kemudian peritoneum dibuka dan
apendiks dicari hingga ditemukan, lalu dipotong. Apendiks kemudian
dijahit.

b. Laparoscopi Appendectomy

32
Laparoskupi apendiktomi merupakan suatu sarana yang dapat digunakan
untuk diagnosis dan terapi. Teknik ini membutuhkan waktu recovery yang
lebih singkat dan insisi minimal.

Untuk pasien yang dicurigai Appendicitis:


- Puasakan
- Berikan analgetik dan antiemetik jika diperlukan untuk mengurangi
gejala
- Penelitian menunjukkan bahwa pemberian analgetik tidak akan
menyamarkan gejala saat pemeriksaan fisik.
- Pertimbangkan KET terutama pada wanita usia reproduksi.
- Berikan antibiotika IV pada pasien dengan gejala sepsis dan yang
membutuhkan Laparotomy
Perawatan appendicitis tanpa operasi
- Penelitian menunjukkan pemberian antibiotika intravena dapat berguna
untuk Appendicitis acuta bagi mereka yang sulit mendapat intervensi
operasi (misalnya untuk pekerja di laut lepas), atau bagi mereka yang
memilki resiko tinggi untuk dilakukan operasi
- Rujuk ke dokter spesialis bedah.
Antibiotika preoperative
- Pemberian antibiotika preoperative efektif untuk menurunkan terjadinya
infeksi post opersi.
- Diberikan antibiotika broadspectrum dan juga untuk gram negative dan
anaerob
- Antibiotika preoperative diberikan dengan order dari ahli bedah.
- Antibiotik profilaksis harus diberikan sebelum operasi dimulai. Biasanya
digunakan antibiotik kombinasi, seperti Cefotaxime dan Clindamycin,
atau Cefepime dan Metronidazole. Kombinasi ini dipilih karena frekuensi
bakteri yang terlibat, termasuk Escherichia coli, Pseudomonas

33
aeruginosa, Enterococcus, Streptococcus viridans, Klebsiella, dan
Bacteroides.

3.11 Prognosis
Kematian dari appendisitis di Amerika Serikat telah terus menurun dari
tingkat 9,9 per 100.000 pada tahun 1939, dengan 0,2 per 100.000 pada
1986. Diantara faktor-faktor yang bertanggung jawab adalah kemajuan
dalam anestesi, antibiotik, cairan intravena, dan produk darah. Faktor utama
dalam kematian adalah apakah pecah terjadi pengobatan sebelum bedah dan
usia pasien. Angka kematian keseluruhan untuk anestesi umum adalah
0,06%. Angka kematian keseluruhan dalam apendisitis akut pecah adalah
sekitar 3%-peningkatan 50 kali lipat. Tingkat kematian appendisitis
perforasi pada orang tua adalah sekitar 15% peningkatan lima kali lipat dari
tingkat keseluruhan.

34
BAB IV
ANALISIS KASUS

Berdasarkan hasil anamnesis, bahwa pasien seorang anak laki-laki


berumur 10 tahun berinisial Tn. DI pada awalnya mengeluh nyeri pada
daerah perut kanan bawah. Dari anamnesis didapatkan riwayat perjalanan
penyakit yaitu sejak ± 3 hari SMRS, pasien mengeluh nyeri awalnya
muncul di daerah pusar kemudian menjalar ke perut kanan bawah hingga
ke bagian kiri perut juga. Nyeri perut berpindah dan menetap di perut
kanan bawah. Nyeri dirasakan terus menerus sepanjang hari dan
bertambah berat hingga 2 hari SMRS nyeri perut dirasakan diseluruh
lapang perut serta pasien juga mengeluh mual (+), muntah > 2x, nafsu
makan yang berkurang, dan mencret kurang lebih 3x tanpa ada darah dan
lendir. Pasien juga mengatakan hobi makan gorengan dan tidak terlalu
suka makan sayur dan buah, serta BAB tiap 2-3 hari sekali.
Gejala utama pada appendisitis akut adalah nyeri abdomen. Pada mulanya
terjadi nyeri visceral, yaitu nyeri yang sifatnya hilang timbul dengan sifat nyeri
ringan sampai berat. Hal tersebut timbul karena apendiks dan usus halus memiliki
asal persarafan yang sama yaitu nervus Thorakalis X, maka nyeri dirasakan mula-
mula di daerah eoigastrium dan periumbilikalis. Secara klasik, nyeri ini akan
terjadi beberapa jam dan akan menetap pada regio iliaka dextra, yaitu suatu nyeri
somatik yang menunjukkan telah terjadi rangsangan peritoneum parietal dengan
sifat nyeri lebih tajam. Pada pasien ini nyeri yang dirasakan sudah terjadi hampir
di seluruh lapang perut sehingga mengindikasikan telah terjadi peritonitis.
Gejala lainnya yang didapatkan yaitu mual, muntah dan juga BAB
mencret yang biasanya ditemukan pada pasien appendisitis hampir 70%
kasus. Diare dapat terjadi akibat infeksi sekunder dan iritasi pada ileum
terminal atau caecum. Gejala gastrointestinal yang berat yang terjadi
sebelum onset nyeri biasanya mengindikasikan diagnosis selain
appendicitis. Meskipun demikian, keluhan GIT ringan seperti indigesti
atau perubahan bowel habit dapat terjadi pada anak dengan appendicitis

35
dengan perforasi. Pada pasien gejala yang dialami sudah lebih dari 48 jam
yang menandakan besar kemungkinan telah terjadi perforasi pada
appendiks.
Pada pemeriksaan fisik di daerah abdomen, pada inspeksi didapatkan perut
tegang (+), penonjolan perut kanan bawah (-), hal ini dapat dicurigai adanya
dugaan perforasi apendiks. Nyeri tekan titik Mc Burney (+) dan rovsing sign (+),
rebound tenderness merupakan tanda yang khas pada kasus apendisitis. Rovsing
sign terjadi karena adanya rangsangan m. Psoas oleh peradangan yang terjadi pada
apendiks. Pada apendisitis peradangan yang merangsang peritoneum parietal
menyebabkan serabut saraf akan teraktivasi dan nyeri akan dirasakan lokal pada
lokasi appendiks, khususnya di titik Mc Burney’s.
Auskultasi tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis
apendisitis, tetapi kalau sudah terjadi terjadi peritonitis, maka bunyi peristaltik
usus atau tidak terdengar sama sekali. Pada pasien ini, bising usus (+) menurun
sehingga ada dugaan juga bahwa sudah terjadi peritonitis.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan darah dan
didapatkan leukosit meningkat sebesar 16.400/mm3 hal ini disebabkan akibat
konsekuensi pelepasan mediator inflamasi dari jaringan yang iskemik. Tanda
perforasi appendiks mencakup peningkatan suhu melebihi 38.6oC dan leukositosis
> 14.000.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, dapat dilakukan penilaian
Alvarado score pada pasien ini yaitu:
Migration of pain :1
Anorexia :1
Nausea/vomiting :1
RLQ Tenderness :2
Rebound :1
Elevated temperatur :-
Leukocytosis :2
Left Shift :-
Total points :8

36
Dari penilaian Alvarado score dapat ditarik kesimpulan bahwa
pasien ini kemungkinan besar menderita Appendisitis akut.

Diagnosis banding pasien ini adalah perforasi gaster dan infark


omentum. Pada pasien ini diagnosis perforasi gaster dapat ditiadakan
karena tidak terdapat distensi abdomen dan konstipasi dan tidak ada BAB
darah. Sedangkan pada kasus infark omentum dapat disingkirkan karena
pada kasus pasien ini didapatkan nyerinya berpindah sedangkan pada
infark omentum nyerinya tidak berpindah serta tidak ditemukan tanda-
tanda seperti massa abdomen.
Tatalaksana pada kasus ini adalah dengan laparotomy
Appendektomi cito, karena appendisitis yang terjadi pada pasien ini sudah
termasuk kedalam kategori appendicitis dengan komplikasi yaitu perforasi
dan peritonitis yang tergolong kasus kedaruratan bedah dan harus segera
ditangani. Prognosis pada kasus ini Quo ad vitam dan quo ad functionam
bonam.

37
DAFTAR PUSTAKA

Beuchamp, Evers, dan Maatox. Sabiston Textbookk of Surgery: The Biological


Basis of Modern Surgical Practice 19th Edition. Elsevier: (2012)1278-1291
Brunicardi, F. Charles, The appendix in Schwartz’z Principles of Surgery 8 th
edition, McGraw-Hill’s, 2007
Burkitt, H.G., Quick, C.R.G., and Reed, J.B. 2007. Appendicitis. In: Essential
Surgery Problems, Diagnosis, and Management. 4th edition. London:
Elsevier, 389-398.
Crawford, J dan Kumar, V. 2007. Rongga Mulut dan Saluran Gastrointestinal. In:
Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Jakarta: EGC.
Depkes RI. 2009. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta : Depkes RI
Dorland, Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29, Ellis H, Calne
SR, Watson Chistopher. The 50th Anniversary Edition General Surgery:
Lecture Notes. Willey Blackwel. 2016: 201-204.
Eroschenko VP. 2010. Atlas Histologi diFiore dengan korelasi fungsional, edisi
ke− 11. Jakarta: EGC.
Kliegman, R. M., Stanton, B. F., Geme, J. W., Schor, N. F., Nelson Textbook of
Pediatrics 20th ed. Canada: Elsevier. 2011.
Norman S., Bulstrode W., O’Connel P.R. Bailey & Love’s Short Practice of
Surgery 25th Edition. Edward Arnold Publisher. London. 2008.
Prince, A Sylvia, Wilson, Lorraine M, editor Hartanto, Huriawati, Susi Natalia,
Sjamsuhidajat R. dan Jong W.D. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 4.
Jakarta:EGC.
Sjamsuhidajat R. dan Jong W.D. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 4.
Jakarta:EGC.
Snell RS. 2006. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran, edisi ke-6. Jakarta:
EGC. hlm. 240−4.
Urban dan Fischer. Sobotta: Atlas of Human Anatomy Ed. 15. Terjemahan oleh:
Klonisch, T. dan Hombach-Klonisch. Canada: Elsevier

38

Anda mungkin juga menyukai