Oleh:
dr. M. Ali Ridho
Pembimbing:
dr. Komang, Sp.B
Oleh:
dr. M. Ali Ridho
PORTOFOLIO KASUS
Telah dipresentasikan serta disetujui untuk memenuhi salah satu syarat dalam
mengikuti Program Internsip Dokter Indonesia periode Februari 2021
Pembimbing
dr. Komang, Sp.B ..............................................
Pendamping
dr. Rani Agitah ..............................................
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas berkah dan rahmat-Nya penulis
dapat menyelesaikan portofolio kasus dengan judul “Seorang Anak Laki-laki Usia
10 Tahun Datang dengan Nyeri Perut Kanan Bawah” untuk memenuhi salah satu
syarat dalam mengikuti Program Internsip Dokter Indonesia periode Februari-
November 2021 di Rumah Sakit Umum Daerah Kayuagung, Ogan Komering Ilir,
Sumatera Selatan.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada dr. dr. Komang, Sp.B selaku pembimbing yang telah
membantu memberikan ajaran dan masukan sehingga portofolio kasus ini dapat
selesai.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan
portofolio kasus ini disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Kritik dan saran
yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan demi perbaikan di masa
yang akan datang.
Semoga portofolio kasus ini dapat memberi manfaat dan pelajaran bagi
kita semua.
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ii
KATA PENGANTAR.........................................................................................iii
DAFTAR ISI........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
BAB II LAPORAN KASUS................................................................................3
2.1. Identifikasi Pasien..............................................................................3
2.2. Anamnesis..........................................................................................3
2.3. Pemeriksaan Fisik..............................................................................5
2.4. Pemeriksaan Penunjang.....................................................................7
2.5. Diagnosis............................................................................................9
2.6. Diagnosis Banding.............................................................................9
2.7. Penatalaksanaan.................................................................................9
2.8. Prognosis............................................................................................9
2.9. Follow-up...........................................................................................10
BAB III TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................14
1.1. Anatomi Appendix.............................................................................14
1.2. Fisiologi..............................................................................................17
1.3. Definisi dan Etiologi...........................................................................18
1.4. Epidemiologi......................................................................................19
1.5. Patofisiologi........................................................................................20
1.6. Manifestasi Klinis...............................................................................21
1.7. Diagnosis............................................................................................24
1.8. Diagnosis Banding..............................................................................27
1.9. Komplikasi..........................................................................................28
1.10. Penatalaksanaan..................................................................................29
1.11. Prognosis............................................................................................34
BAB IV ANALISIS KASUS...............................................................................35
BAB V DAFTAR PUSTAKA............................................................................38
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
Perforasi apendisitis berhubungan dengan tingkat mortalitas yang tinggi.
Pasien yang mengalami apendisitis akut angka kematiannya hanya 1,5%, tetapi
ketika telah mengalami perforasi angka ini meningkat mencapai 20%-35%. Pada
pasien yang masih anak-anak akan lebih cepat mengalami perforasi. Faktor-faktor
yang memengaruhinya antara lain ketidakmampuan anak-anak dalam menjelaskan
keluhan yang mereka alami kepada orang tua mereka akan membuat salah
interpretasi. Selain itu tidak khasnya tanda dan gejala serta belum adekuatnya
penutupan omentum membuat progres perforasi menjadi lebih cepat.
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang
umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai
rangsang peritoneum lokal. Gejala klasik apendisitis ialah nyeri samar-samar dan
tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus.
Keluhan ini sering disertai mual dan kadang ada muntah, umumnya nafsu makan
berkurang. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik
McBurney, disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelasnya letaknya sehingga
merupakan nyeri somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium tetapi
terdapat konstipasi. Tindakan itu dianggap berbahaya karena bisa mempermudah
terjadinya perforasi
Berdasarkan berbagai data diatas maka penulis tertarik untuk membahas
lebih lanjut tentang penyakit appendicitis ini.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
Keluhan Utama
Nyeri perut kanan bawah sejak + 3 hari lalu.
3
tidak disertai darah. Pasien juga mengalami BAB mencret + 3x banyakya
tidak bisa diperkirakan, air lebih banyak dari ampas, darah (-), lendir (-).
Pasien merasakan penurunan nafsu makan, sakit kepala (-). Pasien belum
berobat
+ 6 jam SMRS pasien masih merasakan nyeri diperut, pasien
mengatakan perutnya sempat diurut namun keluhan tidak berkurang dan
masih terasa sangat nyeri. Muntah masih 2x isi cairan kuning. Pasien
kemudian dibawa berobat ke RS Tugujaya dan dikatakan mengalami radang
usus buntu yang sudah pecah, kemdian pasien dirujuk ke IGD RSUD
Kayuagung
Riwayat Pengobatan
- Riwayat minum obat-obatan warung (-)
Riwayat Kebiasaan
- Pasien kurang suka mengkonsumsi sayuran dan buahan
- Pasien memiliki kebiasaan hobi makan gorengan
- Pasien tidak terlalu rutin BAB, biasaya 2-3 hari sekali.
4
2.3 Pemeriksaan Fisik
(Dilakukan pada tanggal 07 Oktober 2021)
a. Keadaan Umum
1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
2. Kesadaran : Kompos mentis, GCS 15
3. Tekanan darah : 100/70 mmHg
4. Nadi : 120 x/menit, irama reguler, isi dan tegangan
cukup.
5. Pernapasan : 34 x/menit, regular, Torakoabdominal
6. Suhu : 36,8 oC
7. Berat badan : 33 kg
8. Tinggi badan : 143 cm
9. Status Gizi : Growth Chart CDC (96% = Gizi baik)
b. Keadaan Spesifik
1. Kepala
Normosefali, simetris, warna rambut hitam, tidak mudah dicabut,
alopesia tidak ada.
2. Mata
Edema palpebra tidak ada, konjungtiva palpebra pucat (+/+), sklera
ikterik (-/-), pupil bulat isokor 3mm/3mm, Refleks Cahaya (+/+).
3. Hidung
Tampak luar tidak ada kelainan, septum deviasi (-), kavum nasi
lapang, sekret (-), epistaksis (-), NCH (-)
4. Mulut
Bibir kering, sianosis (-), sariawan (-), gusi berdarah (-), lidah
berselaput (-), atrofi papil (-), Tonsil normal, faring hiperemis (-)
5. Telinga
Tampak luar tidak ada kelainan, keluar cairan telinga (-), sekret (-),
nyeri tekan mastoid (-)
5
6. Leher
Pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid (-).
7. Thoraks
Inspeksi : Simetris, venektasi (-), retraksi (-), scar (-)
Paru
Inspeksi : Statis simetris kanan = kiri, dinamis kanan = kiri
Palpasi : Stem fremitus baik, nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor di kedua paru
Auskultasi : vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba, thrill tidak teraba
Perkusi : Batas jantung atas ICS II sinistra
Batas jantung kiri linea aksilaris anterior ICS V
sinistra
Batas jantung kanan sulit dinilai
Auskultasi : HR = 118 x/menit, reguler, murmur (-), gallop (-)
8. Abdomen
Inspeksi : datar, venektasi (-), caput medusae (-), striae
(), umbilicus tidak menonjol, hiperpigmentasi (-),
ikterik pada kulit abdomen (-).
Palpasi : Tegang, nyeri tekan (+) seluruh lapang perut,
McBurney Sign (+), Rovsing Sign (+), Blumberg
Sign (+), Hepar lien tidak dapat diperiksa karena
nyeri.
Perkusi : Timpani (+), Tanda Ascites (-)
Auskultasi : Bising usus (+) menurun.
9. Genitalia : Tidak diperiksa
6
10. Ekstremitas : Akral hangat (+), CRT<2 detik, Edema (-), Psoas
sign (-), obturator sign (-)
2.4 Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium (07 Oktober 2021)
Pemeriksaan Hasil Unit Nilai rujukan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 16,4 g/dL 13-18
Leukosit 16,4 103/µL 3.2-10
Eritrosit 5,8 106/µL 4.4-5.6
Hematokrit 46 % 40-50
Trombosit 252 103/µL 150-400
Hitung jenis
Limfosit 5,0 % 15-45
Neutrofil 86,6 % 55-80
Mono, Eos, Baso 8,5 % 0-19
Golongan Darah A+
Glukosa Darah 91 mg/dL 70-140
Sewaktu
ELEKTROLIT
Natrium 130 mEq/L 135-147
Kalium 4.0 mEq/L 3.5-5.0
Clorida 98 mEq/L 95-105
IMUNOSEROLOGI
HbsAg Non- Non-Reaktif
Reaktif
Anti-HIV Non- Non-Reaktif
Reaktif
CRP Positif Negatif
7
LAIN-LAIN
Rapid Antigen Negatif Negatif
SARS CoV-2
2. Rontgen Thorax
07 Oktober 2021
3. Skoring Alvarado
- Migration Of Pain :1
- Anoreksia :1
- Nausea or Vomit :1
- Tenderness RLQ :2
- Rebound Pain :1
- Elevation Of Temp :-
- Leucocytosis :2
- Shift To The Left :-
Total Skor : 8 ( Kemungkinan besar Appendisitis akut)
8
2.5 Diagnosis
Peritonitis Diffuse e.c Susp. Appendisitis Perforasi
2.7 Penatalaksanaan
Non Farmakologis:
- Istirahat
- Edukasi keadaan dan rencana tatalaksana pasien
- Rencana OK Cito – Laparotomi Appendektomi
- Puasa
- Konsul dr. Sp. A
- Konsul dr. Sp. An
Farmakologis:
- IVFD RL gtt XX/m
- Inj. Ceftriaxone 1x2g IV dalam NS 100cc / 30 menit
- Paracetamol 500mg/8 jam PO
- Inj. Omeprazole 40mg/24 jam IV
2.8 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
9
2.9 Follow Up
RENCANA TATALAKSANA
TANGGAL CATATAN KEMAJUAN (S/O/A)
(P)
08/10/2021 S/ : Nyeri luka operasi (+), Flatus (+), Non farmakologis:
BAB (-) Edukasi
Istirahat
O/ : Keadaan umum tampak sakit sedang, Mobilisasi miring kanan kiri
Kesadaran CM, TD: 110/70 , nadi Diet NB
105x/m, RR 22x/m, Temp 36.8oC Drainage kosongkan
Kepala : dalam batas normal Aff Kateter Urin.
Thoraks :
Cor : dalam batas normal Farmakologis:
Pulmo : dalam batas normal - IVFD RL gtt XX/m
- Paracetamol 500mg/8 jam
Abdomen :
I : tampak luka bekas sayatan tertutup PO
perban, drainage (+) 45cc/24jam, darah - Inj. Omeprazole 40mg/24
(+) jam
A : BU (+) normal
P : lemas, NT (+) disekitar luka sayatan.
P : timpani (+)
10
(+), BAB (-), Muntah (+) Edukasi
Istirahat
O/ : Keadaan umum tampak sakit sedang, Mobilisasi Duduk
Kesadaran CM, TD: 110/70 , nadi Diet NB
102x/m, RR 21x/m, Temp 36.7oC Drainage kosongkan
Kepala : dalam batas normal
Thoraks : Farmakologis:
Cor : dalam batas normal - IVFD RL gtt XX/m
Pulmo : dalam batas normal - Paracetamol 500mg/8 jam
Abdomen :
PO
I : tampak luka bekas sayatan tertutup
perban, drainage (+) 50cc/24jam, darah - Inj. Omeprazole 40mg/24
(+) mulai perlahan menghilang. jam
A : BU (+) normal
P : lemas, NT (+) disekitar luka sayatan.
P : timpani (+)
11
O/ : Keadaan umum tampak sakit sedang, Mobilisasi Jalan
Kesadaran CM, TD: 100/70 , nadi 98x/m, Diet NB
RR 21x/m, Temp 36.6oC Drainage kosongkan
Kepala : dalam batas normal
Thoraks : Farmakologis:
Cor : dalam batas normal - IVFD RL gtt XX/m
Pulmo : dalam batas normal - Paracetamol 500mg/8 jam
Abdomen :
PO
I : tampak luka bekas sayatan tertutup
perban, drainage (+) 40cc/24jam, darah - Inj. Omeprazole 40mg/24
(-). jam
A : BU (+) normal
- Laxadine Syrup
P : lemas, NT (+) disekitar luka sayatan.
P : timpani (+)
12
RR 20x/m, Temp 36.7oC -Aff Drainage Abdomen
Kepala : dalam batas normal -Rencana Pulang Besok
Thoraks : -Kontrol Poli
Cor : dalam batas normal
Pulmo : dalam batas normal Farmakologis:
Abdomen : - IVFD RL gtt XX/m
I : tampak luka bekas sayatan tertutup - Paracetamol 500mg/8 jam
perban, drainage (+) 10cc/24jam, darah
PO
(-).
A : BU (+) normal - Inj. Omeprazole 40mg/24
P : lemas, NT (+) disekitar luka sayatan. jam
P : timpani (+)
- Laxadine Syrup
Ekstremitas : Akral hangat (+)
13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
14
pada titik sepertiga bawah yang menghubungkan spina iliaca anterior
superior dan umbilicus yang disebut titik Mc Burney. Pada 65% kasus,
apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks
bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks
penggantungnya.Pada kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal,
yaitu di belakang caecum, di belakang colon ascendens, atau di tepi lateral
colon ascendens. Apendiks yang terletak di fossa iliaka kanan memiliki
ujung yang letaknya dapat bervariasi. Biasanya terletak retrocaecal atau
retrocolic (di belakang caecum atau kolon asendens bawah, anterior dari
psoas major), atau pelvis (apendiks terbentang di sepanjang tepi pelvis,
dekat dengan tuba fallopi kanan dan ovarium pada perempuan). Posisi
lainnya termasuk subcaecal, dan pre- atau post-ileal (anterior atau posterior
dari ileum terminalis).
15
Gambar 3.3 Variasi posisi apendiks.
16
Secara histologi, struktur apendiks sama dengan usus besar. Kelenjar
submukosa dan mukosa dipisahkan dari lamina muskularis. Diantaranya
berjalan pembuluh darah dan kelenjar limfe. Bagian paling luar apendiks
ditutupi oleh lamina serosa yang berjalan pembuluh darah besar yang
berlanjut ke dalam mesoapendiks. Bila letak apendiks retrosekal, maka
tidak tertutup oleh peritoneum viserale.
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti
a.mesenterika superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis
berasal dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis
bermula di sekitar umbilikus (Snell, R.S, 2006). Pendarahan apendiks
berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika
arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi, apendiks
akan mengalami gangrene.
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan
aliran lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis
apendisitis. Imunoglobulin sekreator yang dihasilkan oleh GALT (gut
associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna
termasuk apendiks, ialah IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai
pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak
mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe disini kecil
sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh
tubuh (Price dan Wilson, 2006).
3.2 Fisiologi
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke caecum. Hambatan
aliran lender di muara apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis
appendicitis.
Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated
lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk
17
apendiks, ialah IgA. Immunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung
terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak
mempengaruhi sistem imun tubuh karena jkumlah jaringan limf disini kecil
sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh
tubuh (Eroschenko VP, 2010).
Gambar 3.5 Apendiks vermiformis normal. Lumen yang sempit yang dilapisi oleh
mukosa yang tersusun dengan lipatan-lipatan lumen. Dapat juga ditemukan adanya
jaringan limfoid yang melimpah pada mukosa, terutama pada anak-anak. Hal ini
menyebabkan lumen menjadi semakin sempit. Mukosa ini dilapisi juga oleh mukosa
muskulatis.
18
2. Carcinoid atau tumor lainnya
3. Benda asing (pin, biji-bijian)
4. Kadang parasit
Penyebab lain yang diduga menimbulkan Appendicitis adalah ulserasi
mukosa appendix oleh parasit E. histolytica. Berbagai spesies bakteri yang
dapat diisolasi pada pasien appendicitis yaitu :
Bakteri aerob fakultatif Bakteri anaerob
Escherichia coli Bacteroides fragilis
Viridans streptococci Peptostreptococcus micros
Pseudomonas aeruginosa Bilophila species
Enterococcus Lactobacillus species
3.4 Epidemiologi
Terdapat sekitar 250.000 kasus appendicitis yang terjadi di Amerika
Serikat setiap tahunnya dan terutama terjadi pada anak usia 6-10 tahun.
Appendicitis lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan
dengan perbandingan 3:2. Bangsa Caucasia lebih sering terkena
dibandingkan dengan kelompok ras lainnya. Appendicitis akut lebih sering
terjadi selama musim panas (Schwartz, Spencer dan Fisher, 1997).
Angka morbiditas appendisitis di Indonesia mencapai 95 per 1000
penduduk dan merupakan yang tertinggi diantara negara-negara ASEAN.
Menurut WHO (World Health Organization), insidensi appendisitis di Asia
pada tahun 2004 adalah 4,8% penduduk dari total populasi. Appendisitis
menempati urutan keempat penyakit terbanyak di Indonesia setelah
dispepsia, gastritis dan duodenitis, dan penyakit sistem cerna lain (Depkes
RI, 2009).
Insidensi Appendicitis acut di negara maju lebih tinggi daripada di
negara berkembang, tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya
menurun secara bermakna. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya
penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari. Appendicitis dapat
19
ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang
dilaporkan. Insidensi tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu
menurun. Insidensi pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding,
kecuali pada umur 20-30 tahun, insidensi lelaki lebih tinggi (Craig, 2014).
Appendicitis terjadi dari proses inflamasi ringan hingga perforasi, khas
dalam 24-36 jam setelah munculnya gejala, kemudian diikuti dengan
pembentukkan abscess setelah 2-3 hari.
3.5 Patofisiologi
Appendisitis dapat terjadi di mukosa dan kemudian melibatkan seluruh
lapisan dinding appendix dalam waktu 24-48 jam pertama. Appendisitis
akut biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendix yang dapat
diakibatkan oleh fekalit/apendikolit, hiperplasia limfoid, benda asing,
parasit, neoplasma atau striktur karena fibrosis karena peradangan
sebelumnya. Obstruksi lumen yang terjadi mendukung perkembangan
bakteri dan sekresi mukus sehingga menyebabkan distensi lumen dan
peningkatan tekanan dinding lumen. Tekanan yang meningkat akan
menghambat aliran limfe sehingga menimbulkan edema, diapedesis bakteri
dan ulserasi mukosa. Pada saat ini terjadi appendisitis akut fokal yang
ditandai dengan nyeri periumbilikal. Sekresi mukus yang terus berlanjut dan
tekanan yang terus meningkat menyebabkan obtruksi vena, peningkatan
edema dan pertumbuhan bakteri yang menimbulkan radang. Peradangan
yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga timbul
nyeri di daerah kanan bawah, pada saat ini terjadi appendisitis supuratif
akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan timbul infark dinding dan
ganggren. Stadium ini disebut appendisitis gangrenosa yang bila rapuh dan
pecah menjadi appendisitis perforasi. Meskipun bervariasi biasanya
perforasi terjadi paling sedikit 48 jam setelah munculnya gejala.
Bila semua proses di atas berjalan dengan imunitas yang cukup baik,
upaya pertahanan tubuh berusaha membatasi proses peradangan dengan
20
menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga
terbentuk massa periapendikuler yang biasa dikenal dengan istilah
appendisitis infiltrate. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa
abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses,
appendisitis akan sembuh dan massa periapendikuler akan menjadi tenang
dan mengurai secara lambat.
Appendix yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi
membentuk jaringan parut yang melengket dengan jaringan sekitarnya.
Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut kanan
bawah. Suatu saat appendix dapat meradang akut lagi dan dinyatakan
mengalami eksaserbasi akut.
21
gastrointestinal yang berat yang terjadi sebelum onset nyeri biasanya
mengindikasikan diagnosis selain appendicitis. Meskipun demikian, keluhan
GIT ringan seperti indigesti atau perubahan bowel habit dapat terjadi pada
anak dengan appendicitis.
Pada appendicitis tanpa komplikasi biasanya demam ringan (37,5 -38,5 0
Frekuensi
Gejala Appendicitis Akut
(%)
Nyeri perut 100
Anorexia 100
Mual 90
Muntah 75
Nyeri berpindah 50
Gejala sisa klasik (nyeri periumbilikal kemudian
anorexia/mual/muntah kemudian nyeri berpindah ke 50
RLQ kemudian demam yang tidak terlalu tinggi)
*-- Onset gejala khas terdapat dalam 24-36 jam
22
Distensi appendiks menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral dan
dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini bersifat
nyeri dalam, tumpul, berlokasi di dermatom Th 10. Adanya distensi yang
semakin bertambah menyebabkan mual dan muntah, dalam beberapa jam
setelah nyeri. Jika mual muntah timbul lebih dulu sebelum nyeri, dapat
dipikirkan diagnosis lain.
Appendiks yang obstruksi merupakan tempat yang baik bagi bakteri
untuk berkembang biak. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal,
terjadi gangguan aliran limf, terjadi oedem yang lebih hebat. Akhirnya
peningkatan tekanan menyebabkan obstruksi vena, yang mengarah pada
iskemik jaringan, infark, dan gangrene. Setelah itu, terjadi invasi bakteri ke
dinding appendiks; diikuti demam, takikardi, dan leukositosis akibat
kensekuensi pelepasan mediator inflamasi dari jaringan yang iskemik. Saat
eksudat inflamasi dari dinding appendiks berhubungan dengan peritoneum
parietale, serabut saraf somatic akan teraktivasi dan nyeri akan dirasakan
lokal pada lokasi appendiks, khususnya di titik Mc Burney’s. Nyeri jarang
timbul hanya pada kuadran kanan bawah tanpa didahului nyeri visceral
sebelumnya. Pada appendiks retrocaecal atau pelvic, nyeri somatic biasanya
tertunda karena eksudat inflamasi tidak mengenai peritoneum parietale
sampai saat terjadinya rupture dan penyebaran infeksi. Nyeri pada
appendiks retrocaecal dapat muncul di punggung atau pinggang. Appendiks
pelvic yang terletak dekat ureter atau pembuluh darah testis dapat
menyebabkan peningkatan frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau keduanya.
Inflamasi ureter atau vesica urinaria pada appendicitis dapat menyebabkan
nyeri saat berkemih, atau nyeri seperti terjadi retensi urine.
Perforasi appendiks akan menyebabkan terjadinya abscess lokal atau
peritonitis umum. Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke
arah perforasi dan kemampuan pasien berespon terhadap adanya perforasi.
Tanda perforasi appendiks mencakup peningkatan suhu melebihi 38.6 oC,
leukositosis > 14.000, dan gejala peritonitis pada pemeriksaan fisik. Pasien
dapat tidak bergejala sebelum terjadi perforasi, dan gejala dapat menetap
23
hingga > 48 jam tanpa perforasi. Secara umum, semakin lama gejala
berhubungan dengan peningkatan risiko perforasi. Peritonitis difus lebih
sering dijumpai pada bayi karena tidak adanya jaringan lemak omentum.
Anak yang lebih tua atau remaja lebih memungkinkan untuk terjadinya
abscess yang dapat diketahui dari adanya massa pada pemeriksaan fisik.
Konstipasi jarang dijumpai tetapi tenesmus sering dijumpai. Diare sering
didapatkan pada anak-anak, dalam jangka waktu sebentar, akibat iritasi
ileum terminal atau caecum. Adanya diare dapat mengindikasikan adanya
abscess pelvis
3.7 Diagnosis
Diagnosis suatu appendisitis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari hasil anamnesis, pasien
mengeluhkan nyeri pada bagian perut kanan bawah, nyeri awal mulanya
dirasakan pada pusar. Gejala lain yang menunjang diagnosis yaitu, terdapat
gejala prodormal seperti mual, muntah, dan demam.
a. Pemeriksaan Fisik
Pada Apendicitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling,
sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut.
Secara klinis, dikenal beberapa manuver diagnostik:
- Rovsing’s sign: dikatakan posiif jika tekanan yang diberikan pada
LLQ abdomen menghasilkan sakit di sebelah kanan (RLQ),
menggambarkan iritasi peritoneum. Sering positif tapi tidak spesifik.
- Psoas sign: dilakukan dengan posisi pasien berbaring pada sisi sebelah
kiri sendi pangkal kanan diekstensikan. Nyeri pada cara ini
menggambarkan iritasi pada otot psoas kanan dan indikasi iritasi
retrocaecal dan retroperitoneal dari phlegmon atau abscess. Dasar
anatomis terjadinya psoas sign adalah appendiks yang terinflamasi
yang terletak retroperitoneal akan kontak dengan otot psoas pada saat
dilakukan manuver ini.
24
- Obturator sign: dilakukan dengan posisi pasien terlentang, kemudian
gerakan endorotasi tungkai kanan dari lateral ke medial. Nyeri pada
cara ini menunjukkan peradangan pada M. obturatorius di rongga
pelvis. Perlu diketahui bahwa masing-masing tanda ini untuk
menegakkan lokasi Appendix yang telah mengalami radang atau
perforasi.
b. Skor Alvarado
Semua penderita dengan suspek Appendicitis acut dibuat skor
Alvarado dan diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu: skor <6 dan
>6. Selanjutnya dilakukan Appendectomy, setelah operasi dilakukan
pemeriksaan PA terhadap jaringan Appendix dan hasilnya
diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu: radang akut dan bukan
radang akut.
Manifestasi Skor
Gejala Adanya migrasi nyeri 1
Anoreksia 1
Mual/muntah 1
Tanda Nyeri RLQ 2
Nyeri lepas 1
Febris 1
Laboratorium Leukositosis 2
Shift to the left 1
Total poin 10
Keterangan:
0-4 : kemungkinan Appendicitis kecil
5-6 : bukan diagnosis Appendicitis
7-8 : kemungkinan besar Appendicitis
9-10 : hampir pasti menderita Appendicitis
25
Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6
maka tindakan bedah sebaiknya dilakukan (Ellis H, Calne SR, Watson,
2016).
c. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Jumlah leukosit diatas 10.000 ditemukan pada lebih dari 90% anak
dengan appendicitis akuta. Jumlah leukosit pada penderita
appendicitis berkisar antara 12.000-18.000/mm. Peningkatan
persentase jumlah neutrofil (shift to the left) dengan jumlah normal
leukosit menunjang diagnosis klinis appendicitis. Jumlah leukosit
yang normal jarang ditemukan pada pasien dengan appendicitis.
Pemeriksaan urinalisis membantu untuk membedakan appendicitis
dengan pyelonephritis atau batu ginjal. Meskipun demikian, hematuria
ringan dan pyuria dapat terjadi jika inflamasi appendiks terjadi di
dekat ureter.
Ultrasonografi
Ultrasonografi sering dipakai sebagai salah satu pemeriksaan untuk
menunjang diagnosis pada kebanyakan pasien dengan gejala
appendicitis. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sensitifitas
USG lebih dari 85% dan spesifitasnya lebih dari 90%. Gambaran USG
yang merupakan kriteria diagnosis appendicitis acuta adalah appendix
dengan diameter anteroposterior 7 mm atau lebih, didapatkan suatu
appendicolith, adanya cairan atau massa periappendix. False positif
dapat muncul dikarenakan infeksi sekunder appendix sebagai hasil
dari salphingitis atau inflammatory bowel disease. False negatif juga
dapat muncul karena letak appendix yang retrocaecal atau rongga usus
yang terisi banyak udara yang menghalangi appendix.
CT-Scan
CT scan merupakan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk
mendiagnosis appendicitis akut jika diagnosisnya tidak
26
jelas.sensitifitas dan spesifisitasnya kira-kira 95-98%. Pasien-pasien
yang obesitas, presentasi klinis tidak jelas, dan curiga adanya abscess,
maka CT-scan dapat digunakan sebagai pilihan test diagnostik.
Diagnosis appendicitis dengan CT-scan ditegakkan jika appendix
dilatasi lebih dari 5-7 mm pada diameternya. Dinding pada appendix
yang terinfeksi akan mengecil sehingga memberi gambaran “halo”
(Norman S., Bulstrode W., O’Connel P.R, 2008).
27
Pada pria dewasa muda
Diagnosis banding yang sering pada pria dewasa muda adalah Crohn’s
disease, klitis ulserativa, dan epididimitis. Pemeriksaan fisik pada
skrotum dapat membantu menyingkirkan diagnosis epididimitis. Pada
epididimitis, pasien merasa sakit pada skrotumnya.
Pada wanita usia muda
Diagnosis banding appendicitis pada wanita usia muda lebih banyak
berhubungan dengan kondisi-kondisi ginekologik, seperti pelvic
inflammatory disease (PID), kista ovarium, dan infeksi saluran kencing.
Pada PID, nyerinya bilateral dan dirasakan pada abdomen bawah. Pada
kista ovarium, nyeri dapat dirasakan bila terjadi ruptur ataupun torsi.
Pada usia lanjut
Appendicitis pada usia lanjut sering sukar untuk didiagnosis. Diagnosis
banding yang sering terjadi pada kelompok usia ini adalah keganasan
dari traktus gastrointestinal dan saluran reproduksi, divertikulitis,
perforasi ulkus, dan kolesistitis. Keganasan dapat terlihat pada CT Scan
dan gejalanya muncul lebih lambat daripada appendicitis. Pada orang tua,
divertikulitis sering sukar untuk dibedakan dengan appendicitis, karena
lokasinya yang berada pada abdomen kanan. Perforasi ulkus dapat
diketahui dari onsetnya yang akut dan nyerinya tidak berpindah. Pada
orang tua, pemeriksaan dengan CT Scan lebih berarti dibandingkan
dengan pemeriksaan laboratorium.
3.9 Komplikasi
1. Appendicular infiltrat:
Infiltrat / massa yang terbentuk akibat mikro atau makro perforasi dari
Appendix yang meradang yang kemudian ditutupi oleh omentum, usus
halus atau usus besar.
28
2. Appendicular abscess:
Abses yang terbentuk akibat mikro atau makro perforasi dari Appendix
yang meradang yang kemudian ditutupi oleh omentum, usus halus, atau
usus besar.
3. Perforasi
4. Peritonitis
5. Syok septik
6. Mesenterial pyemia dengan Abscess Hepar
7. Gangguan peristaltik
8. Ileus
3.10 Penatalaksanaan
a. Appendisitis non-komplikasi
Pasien dengan appendisitis non-komplikasi, tindakan operasi merupakan
tatalaksana standar sejak ditemukannya McBurney. Konsep tindakan
tanpa operasi pada appendisitis non-komplikasi berkembang dari 2
pengamatan. Pertama, pasien berada pada lingkungan di mana tidak
memungkinkan dilakukan tingdakan bedah (di lepas pantai dan daerah
ekspedisi), sedangkan pengobatan antibiotik dinyatakan efektif. Kedua,
banyak pasien dengan tanda dan gejala konsisten yang tidak mengikuti
pengobatan medis seringkali terjadi resolusi spontan pada penyakitnya
(Burkitt, H.G., Quick, C.R.G., and Reed, J.B. 2007).
29
Gambar 3.6 Algoritma evaluasi dan manajemen pasien dengan suspek apendisitis
akut berdasarkaan asesmen bedah dari kemungkinan klinis dalam diagnosis.
b. Appendisitis komplikasi
Appendisitis komplikasi berkaitan dengan perforasi appendisitis yang
berkaitan dengan abses dan phlegmon. Insidensinya sekitar 2 per 10.000
orang dan memiliki variasi yang sedikit berbeda dari waktu ke waktu.
Anak-anak yang berusia kurang dari 5 tahun dan pasien yang berusia
lebih dari 65 tahun menduduki peringkat teratas untuk insidensi
perforasi. Proporsi perforasi meningkat seiring dengan berapa lama
gejalanya. Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri.
Gejala mencakup demam dengan suhu 37,70C atau lebih tinggi,
penampilan toksik,dan nyeri atau nyeri tekan abdomen yang kontinyu
(Brunicardi, 2007).
30
Gambar 3.8. Algoritma tatalaksana abses apendiks
Tindakan
Berdasarkan guideline dari SAGES 2010 (Society of American
Gastrointestinal and Endoscopic Surgeon), indikasi appendektomi
laparoskopi dengan open appendectomy dibagi sebagai berikut (Craig,
2016)
Appendektomi laparoskopi
o Appendisitis tanpa komplikasi
o Appendisitis pada anak-anak
o Appendisitis pada ibu hamil
Open appendektomi
o Appendisitis perforasi
31
o Appendisitis pada pasien geriatri
o Appendisitis pada pasien obesitas
a. Open Appendectomy (Beuchamp, Evers, dan Maatox, 2012)
b. Laparoscopi Appendectomy
32
Laparoskupi apendiktomi merupakan suatu sarana yang dapat digunakan
untuk diagnosis dan terapi. Teknik ini membutuhkan waktu recovery yang
lebih singkat dan insisi minimal.
33
aeruginosa, Enterococcus, Streptococcus viridans, Klebsiella, dan
Bacteroides.
3.11 Prognosis
Kematian dari appendisitis di Amerika Serikat telah terus menurun dari
tingkat 9,9 per 100.000 pada tahun 1939, dengan 0,2 per 100.000 pada
1986. Diantara faktor-faktor yang bertanggung jawab adalah kemajuan
dalam anestesi, antibiotik, cairan intravena, dan produk darah. Faktor utama
dalam kematian adalah apakah pecah terjadi pengobatan sebelum bedah dan
usia pasien. Angka kematian keseluruhan untuk anestesi umum adalah
0,06%. Angka kematian keseluruhan dalam apendisitis akut pecah adalah
sekitar 3%-peningkatan 50 kali lipat. Tingkat kematian appendisitis
perforasi pada orang tua adalah sekitar 15% peningkatan lima kali lipat dari
tingkat keseluruhan.
34
BAB IV
ANALISIS KASUS
35
dengan perforasi. Pada pasien gejala yang dialami sudah lebih dari 48 jam
yang menandakan besar kemungkinan telah terjadi perforasi pada
appendiks.
Pada pemeriksaan fisik di daerah abdomen, pada inspeksi didapatkan perut
tegang (+), penonjolan perut kanan bawah (-), hal ini dapat dicurigai adanya
dugaan perforasi apendiks. Nyeri tekan titik Mc Burney (+) dan rovsing sign (+),
rebound tenderness merupakan tanda yang khas pada kasus apendisitis. Rovsing
sign terjadi karena adanya rangsangan m. Psoas oleh peradangan yang terjadi pada
apendiks. Pada apendisitis peradangan yang merangsang peritoneum parietal
menyebabkan serabut saraf akan teraktivasi dan nyeri akan dirasakan lokal pada
lokasi appendiks, khususnya di titik Mc Burney’s.
Auskultasi tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis
apendisitis, tetapi kalau sudah terjadi terjadi peritonitis, maka bunyi peristaltik
usus atau tidak terdengar sama sekali. Pada pasien ini, bising usus (+) menurun
sehingga ada dugaan juga bahwa sudah terjadi peritonitis.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan darah dan
didapatkan leukosit meningkat sebesar 16.400/mm3 hal ini disebabkan akibat
konsekuensi pelepasan mediator inflamasi dari jaringan yang iskemik. Tanda
perforasi appendiks mencakup peningkatan suhu melebihi 38.6oC dan leukositosis
> 14.000.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, dapat dilakukan penilaian
Alvarado score pada pasien ini yaitu:
Migration of pain :1
Anorexia :1
Nausea/vomiting :1
RLQ Tenderness :2
Rebound :1
Elevated temperatur :-
Leukocytosis :2
Left Shift :-
Total points :8
36
Dari penilaian Alvarado score dapat ditarik kesimpulan bahwa
pasien ini kemungkinan besar menderita Appendisitis akut.
37
DAFTAR PUSTAKA
38