Anda di halaman 1dari 8

erdarahan Uterus Abnormal

            Perdarahan uterus abnormal seringkali terjadi dengan gambaran klinik yang bervariasi
dan rumit. Angka kejadian mencapai 19.1 % dari semua kunjungan poliklinis untuk kasus
ginekologi.   Selain itu dilaporkan bahwa sekitar 25% tindakan pembedahan ginekologi
dilakukan berkaitan dengan perdarahan uterus abnormal.
            Perdarahan lucut yang terjadi pada bayi baru lahir perempuan merupakan keadaan
yang fisiologis, namun perdarahan pervaginam sebelum menarche merupakan keadaan yang
tidak normal.  Pada masa reproduksi, yang dimaksud dengan perdarahan uterus abnormal
adalah meliputi perubahan-perubahan yang terjadi dalam hal frekuensi, durasi atau jumlah
darah yang keluar dalam siklus haid serta kejadian perdarahan diluar siklus haid. Pada masa
pasca menopause, yang dimaksud dengan perdarahan uterus abnormal adalah terjadinya
perdarahan per vagina setelah wanita yang bersangkutan berhenti haid selama lebih dari 12
bulan atau terjadinya perdarahan uterus pada wanita masa pasca menopause yang
mendapatkan terapi sulih hormonal selama lebih dari 12 bulan.
            Pembahasan berikut menyangkut pendekatan praktis untuk menentukan etiologi
perdarahan uterus abnormal dan penatalaksanaannya.

3.2 Etiologi dan Evaluasi Perdarahan Uterus Abnormal


Sebelum menarche
-       Keganasan
-       Trauma
-       Kekerasan seksual
            Pemeriksaan panggul (dengan anestesi ) harus dilakukan mengingat bahwa 54% kasus
disebabkan oleh adanya lesi traktus genitalis dan 21% diantaranya bersifat ganas.

Tabel 3.1 Diagnosa Banding Perdarahan Uterus Abnormal.


Kehamilan dan Penyakit sistemik : Patologi traktus genitalis :
komplikasi kehamilan : Hiperplasi adrenal dan penyakit        Infeksi (servisitis,
Solusio plasenta Cushing miometritis, endometritis)
Kehamilan ektopik “Blood Dyscrasia” (leukemia        Neoplasia
Abortus dan trombositopenia)        Kelainan anatomi jinak:   
Plasenta previa Koagulopatia (adenomiosis, mioma uteri,
Penyakit trofoblas Penyakit hepar polip servik)
Medikasi & penyebab Supresi hipotalamik      (stress,        Lesi pra-ganas        
iatrogenik: penurunan berat badan (displasia servik, hiperplasia
Antikoagulan berlebihan, olah raga endometrium)
Antipsikotik berlebihan)        Lesi ganas : (karsinoma
Kortikosteroid        Sindroma ovaripolikistik servik sel skuamosa,
Suplemen herbal        Penyakit ginjal adenokarsinoma
Terapi sulih hormon        Penyakit tiroid endometrium, tumor
AKDR ovarium penghasil estrogen,
Pil kontrasepsi tumor ovarium penghasil
Tamoxifen testosteron, leiomiosarkom)
       Trauma, benda asing,
abrasi, kekerasan atau
penyimpangan seksual

Perdarahan uterus
disfungsi (diagnosa per
eksklusionum)  

3.3 Masa Reproduksi


            Siklus haid memiliki 3 fase. Selama fase folikuler, terjadi peningkatan hormon  FSH
sehingga terjadi maturitas dari folikel yang dominan dan menghasilkan estrogen dalam sel
granulosa. Dengan meningkatnya kadar estrogen, haid berhenti dan endometrium mengalami
proliferasi dan selanjutnya mekanisme umpan balik positif terjadi pada hormon LH sehingga
terjadilah fase luteal. Selama fase luteal, meningkatnya hormon progesteron akan
menghentikan proses proliferasi endometrium. Selanjutnya penurunan produksi progesteron
oleh corpus luteum menyebabkan pengelupasan endometrium dan terjadilahfase menstruasi .
Disebut abnormal, bila siklus haid berlangsung dengan frekuensi kurang dari 21 hari atau
melebihi 35 hari atau bila durasi haid berlangsung kurang dari 2 hari atau lebih dari 7 hari.
            Peristiwa kehamilan merupakan keadaan yang harus dipikirkan pertama kali bila
seorang wanita pada masa reproduksi datang dengan keluhan perdarahan uterus abnormal
(lihat tabel 1).  Harus ditanyakan pada penderita tersebut  mengenai pola siklus haid,
penggunaan kontrasepsi dan aktivitas seksualnya. Harus dilakukan pemeriksaan bimanual
(apakah terdapat pembesaran uterus), pemeriksaan β-hCG  serta ultrasonografi panggul untuk
menyingkirkan kemungkinan adanya kehamilan atau kelainan yang terkait dengan kehamilan.
            Selanjutnya, harus diteliti lebih jauh penyebab perdarahan uterus abnormal yang
bersifat iatrogenik.
            Bila kehamilan atau penyebab iatrogenik sudah disingkirkan maka harus dilakukan
evaluasi sistemik khususnya mengenai kelenjar tiroid, kelainan hematologi, kelainan hepar,
kelainan adrenal dan hipotalamus (lihat tabel 2). Ketidakteraturan haid seringkali
berhubungan baik dengan hipotiroid (23.4%) maupun dengan hipertiroid ( 21.5%).
Pemeriksaan fungsi tiroid dapat membantu dokter untuk menegakkan diagnosa.

Tabel 3.2. Evaluasi Perdarahan Uterus Abnormal


Langkah diagnostik Gejala, tanda dan tes Kelainan
Anamnesa Nyeri panggul Abortus, kehamilan ektopik,
penyakit radang panggul
(PID) , penyimpangan atau
Mual, berat badan bertambah, kekerasan seksual.
sering buang air kecil, lesu Kehamilan
Berat badan bertambah, rasa Hipotiroidisme
dingin berlebihan, sembelit, lesu. Hipertiroidisme
Berat badan menurun, Koagulopatia
berkeringat banyak, palpitasi Penyakit hepar
Gusi mudah berdarah PCOS
Ikterus, riwayat hepatitis Displasia servik, polip
Hirsuitisme, jerawat, acathoisis endoservik
nigricans, obesitas Adenoma hipofise
Perdarahan pasca sanggama
Galaktorea, nyeri kepala, Supresi hipotalamus
gangguan visual
Berat badan turun, stress, olah
raga berlebihan
Pemeriksaan Fisik Tiromegali, berat badan Hipotiroidisme
naik,edema Hipertiroid
Tiroid mengeras, takikardia,
berat badan turun, kelainan kulit Penyakit hepar
Ikterus, hepatomegali Kehamilan, mioma uteri,
Uterus membesar karsinoma uterus
Karsinoma uterus
Uterus kaku dan melekat pada Tumor ovarium, kehamilan
jaringan dasarnya. ektopik, kista ovarium
Masa adneksa Radang panggul,
endometritis
Uterus tegang, gerakan servik
terbatas
Pemeriksaan β hCG Kehamilan
laboratorium Darah lengkap dan pemeriksaan Koagulopatia
faal pembekuan darah Penyakit hepar
Tes fungsi hepar, prothrombine Hipo / hipertiroid
time Adenoma hipofise
Thyroid Stimulating Hormon- DM
TSH Tumor ovarium / adrenal
Prolaktin
Gula darah Displasia servik
DHEA-s, testosteron bebas, 17 a Servisitis, PID
hidroxyprogesteron (bila
hiperandrogenik)
Papaniculoau smear
Tes pemeriksaan infeksi servik
Pencitraan dan Biopsi endometrium atau D & C Hiperplasia, atipia atau
pengambilan sediaan adenokarsinoma
jaringan USG transvaginal Kehamilan, tumor ovarium /
uterus
Sonohisterografi (saline Lesi intra uterus, polip
infusion) endometrium, mioma
submukosa
Lesi intra uterus, polip
Histeroskopi endometrium, mioma
submukosa

3.4 Masa pasca menopause


            Evaluasi penderita perdarahan uterus pasca menopause meliputi pemeriksaan
bimanual dan hapusan papaniculoau untuk melihat adanya lesi vulva, vagina , tanda trauma,
polip atau displasia servik. Displasia servik jarang mengakibatkan perdarahan uterus
abnormal namun sering berkaitan dengan perdarahan pasca sanggama.14   Biakan servik perlu
dikerjakan pada penderita dengan resiko tinggi infeksi atau bila memperlihatkan gejala
infeksi.
            Perdarahan uterus disfungsional baik yang bersifat anovulasi maupun yang ovulasi
(jarang) dapat terjadi pada masa reproduksi. Ini merupakan diagnosa per eklusionum yang
dibuat bilamana penyebab lain sudah dapat disingkirkan.2, 16
Perdarahan uterus disfungsional yang anovulatoir adalah gangguan pada poros hipotalamus-
hipofise-ovarium yang mengakibatkan terjadinya perdarahan uterus yang tidak teratur, ber
kepanjangan dan dengan jumlah darah haid yang banyak. Dapat terjadi segera setelah
menarche bila poros hipotalamus-hipofisis-ovarium belum matang atau dapat terjadi pada
masa perimenopause dimana menurunnya kadar estrogen menyebabkan tidak adanya
rangsangan terjadinya “LH surge”  agar dapat terjadi ovulasi.
            Stimulasi estrogen yang tidak diimbangi oleh progesteron dapat menyebabkan
terjadinya proliferasi endometrium dan hiperplasia. Dengan tidak adanya progesteron yang
diperlukan untuk stabilisasi dan diferensiasi endometrium maka selaput mukosa akan rapuh
dan luruh secara tidak teratur.
            Perdarahan uterus disfungsional yang ovulatoir dapat berupa polimenorea,
oligomenorea, bercak perdarahan pada pertengahan siklus dan menoragia (tabel 3)
Polimenorea diperkirakan terjadi akibat disfungsi fase luteal sehingga siklus berlangsung
lebih pendek (kurang dari 21 hari) , sementara itu oligomenroea adalah disfungsi fase
folikuler yang memanjang sehingga siklus berlangsung lebih panjang (lebih dari 35 hari).
Bercak perdarahan pada pertengahan siklus haid terjadi sebelum ovulasi disebabkan oleh
kadar estrogen yang menurun.    Menoragia adalah perdarahan haid yang berlebihan (lebih
dari 80 ml per siklus) dan hal ini dapat disebabkan oleh gangguan hemostasis endometrium.

Tabel 3.3. Batasan Perdarahan Uterus Abnormal  

BATASAN POLA ABNORMALITAS PERDARAHAN

Oligomenorea Perdarahan uterus yang terjadi dengan interval > 35 hari


dan disebabkan oleh fase folikuler yang memanjang.
Polimenorea Perdarahan uterus yang terjadi dengan interval < 21 hari
dan disebabkan oleh defek fase luteal.
Menoragia Perdarahan uterus yang terjadi dengan interval normal   
( 21 – 35 hari) namun jumlah darah haid > 80 ml atau   > 7
hari.
Menometroragia Perdarahan uterus yang tidak teratur, interval non-siklik
dan dengan darah yang berlebihan (>80 ml) dan atau
dengan durasi yang panjang ( > 7 hari).
Amenorea Tidak terjadi haid selama 6 bulan berturut-turut pada
wanita yang belum masuk usia menopause.
Metroragia atau Perdarahan uterus yang tidak teratur diantara siklus
perdarahan antara haid ovulatoir dengan penyebab a.l penyakit servik, AKDR,
endometritis, polip, mioma submukosa, hiperplasia
endometrium, dan keganasan.
Bercak intermenstrual Bercak perdarahan yang terjadi sesaat sebelum ovulasi
yang umumnya disebabkan oleh penurunan kadar estrogen.
Perdarahan pasca Perdarahan uterus yang terjadi pada wanita menopause
menopause yang sekurang-kurangnya sudah tidak mendapatkan haid
selama 12 bulan.
Perdarahan uterus Perdarahan uterus yang ditandai dengan hilangnya darah
abnormal akut yang sangat banyak dan menyebabkan gangguan
hemostasisis (hipotensi , takikardia atau renjatan).
Perdarahan uterus Perdarahan uterus yang bersifat ovulatoir atau anovulatoir
disfungsi yang tidak berkaitan dengan kehamilan, pengobatan,
penyebab iatrogenik, patologi traktus genitalis yang nyata
dan atau gangguan kondisi sistemik.

3.4 Evaluasi lanjutan atas dasar faktor resiko terjadinya karsinoma endometrium
            Evaluasi lanjutan dari perdarahan uterus abnormal tergantung pada usia penderita dan
adanya faktor resiko untuk terjadinya karsinoma endometrium antara lain:
-       Perdarahan pervagina dengan siklus anovulatoir
-       Obesitas
-       Nulipara
-       Usia > 35 tahun
            Diabetes melitus merupakan faktor resiko terjadinya karsinoma endometrium.   
Penderita dengan siklus haid tidak teratur dan berkepanjangan memiliki resiko mengalami
DM tipe 2 dan diharuskan menjalani pemeriksaan skrining diabetes.
            Karsinoma endometrium jarang terjadi pada wanita muda ( 15 – 18 tahun).   Dengan
demikian maka wanita dewasa yang menderita perdarahan uterus disfungsi boleh diterapi
dengan terapi hormon dan observasi saja tyanpa pemeriksaan diagnostik lain.
            Resiko terjadinya karsinoma endometrium meningkat dengan semakin bertambahnya
usia. Angka kejadian karsinoma endometrium adalah 10.2 kasus per 100.000 wanita usia 19 –
39 tahun. Angka kejadian karsinoma endometrium pada usia 40 – 49 tahun adalah 36.5 per
100.000. . American College of Obstetrician and Gynecology merekomendasikan untuk
melakukan evaluasi dengan baik pada penderita perdarahan uterus abnormal yang berusia
diatas 35 tahun.
            Evaluasi endometrium (meliputi pencitraan dan pengambilan jaringan) disarankan
untuk dilakukan pada penderita resiko tinggi menderita karsinoma endometrium dan
penderita resiko rendah yang tidak memberikan respon bermakna dengan terapi
medikamentosa.

3.5 Pencitraan dan Pengambilan Jaringan Sediaan


            Sensitivitas biopsi endometrium untuk deteksi dari abnormalitas endometrium
mencapai 96%.  Akan tetapi 18% dari lesi fokal akan terlewatkan melalui tindakan ini, antara
lain polip endometrium dan mioma uteri submukosa oleh karena hanya sebagian kecil dari
endometrium yang dapat diangkat sebagai sediaan. Meskipun biopsi endometrium memiliki
sensitivitas yang tinggi dalam menegakkan diagnosa karsinoma endometrium, namun
sensitivitas dalam mendeteksi hiperplasia endometrium atipikal hanya sekitar 81%.
            Pemeriksaan ultrasonografi transvaginal dapat memperlihatkan adanya mioma uteri,
penebalan endometrium atau tumor intra uterin. Meskipun kemampuan pemeriksaan tersebut
dalam mendeteksi polip endometrium atau mioma submukosa terbatas, akan tetapi memiliki
sensitifitas yang sangat tinggi dalam mendeteksi adanya karsinoma endometrium (96%) dan
kelainan endometrium (92%).  Bila dibandingkan dengan pemeriksaan D & C, evaluasi
endometrium dengan ultrasonografi transvaginal hanya berselisih sekitar 4% saja,
            Sonohisterografi dengan menggunakan cairan garam faali intrauterin memperkuat
kemampuan pemeriksaan ultrasonografi transvaginal dalam menagkkan diagnosa. Dengan
pemeriksaan ini, dilakukan pemeriksaan ultrasonografi transvaginal setelah dimasukkan 5 –
10 ml garam faali kedalam ringga uterus. Sensitivitas dan spesifisitas untuk menegakkan
diaghnosa karsinoma endometrium sebanding dengan pemeriksaan
histeroskopi. Sonohisterografi lebih akurat dalam menegakkan diagnosa kelainan intrakaviter
dibanding dengan ultrasonografi transvaginal saja. dan lebih akurat dibandingkan
histeroskopi dalam menegakkan diagnosa hiperplasia endometrium. Kombinasi antara
pemeriksaan biopsi endometrium dan sonohisterografi untuk identifikasi abnormalitas
endometrium mencapai sensitivitas 95 – 97% dan spesifisitas 70 – 98%.
            Meskipun D & C merupakan “gold standard” dalam menegakkan diagnosa karsinoma
endometrium, akan tetapi tindakan ini tidak lagi dianggap sebagai tindakan kuratif mengingat
adanya keterbatasan dalam mencapai cornu uterus.  Histeroskopi yang disertai dengan biopsi
lebih informatif dibanding tindakan D & C saja
            Kepada penderita pasca menopause dengan perdarahan uterus abnormal, termasuk
mereka yang mendapatkan terapi sulih hormon lebih dari 12 bulan harus ditawarkan tindakan
D & C untuk evaluasi endometrium (sensitivitas untuk mendeteksi karsinoma endometrium
mencapai 96% dengan angka negatif palsu mencapai 2 – 6% )   Wanita pasca menopause
yang beresiko tinggi bila memperoleh anestesia umum dan tindakan D & C  diberikan
alternatif untuk dilakukan pemeriksaan ultrasonografi transvaginal atau histerosonografi dan
biopsi endometrium.
            Diperlukan penelitian lanjutan untuk menentukan metode terbaik dalam melakukan
evaluasi endometrium penderita perdarahan uterus abnormal. Berdasarkan bukti yang ada,
sonohisterografi disertai dengan biopsi endometrium merupakan tindakan diagnostik terbaik
dengan resiko yang minimal saat ini.

3.6 Penatalaksanaan Medis


PERDARAHAN UTERUS DISFUNGSI YANG ANOVULATOIR
            Pil kontrasepsi oral digunakan untuk mengatur siklus haid dan kontrasepsi. Pada
penderita dengan siklus haid tidak teratur akibat anovulasi kronik (oligo ovulasi), pemberian
pil kontrasepsi mencegah resiko yang berkaitan dengan stimulasi estrogen berkepanjangan
terhadap endometrium yang tidak diimbangi dengan progesteron (“unopposed estrogen
stimulation of the endometrium”).  Pil kontrasepsi secara efektif dapat mengendalikan
perdarahan anovulatoir pada penderita pre dan perimenopause. Bila terdapat kontraindikasi
pemberian pil kontrasepsi ( perokok berat atau resiko tromboflebitis) maka dapat diberikan
terapi dengan progestin secara siklis selama 5 – 12 hari setiap bulan sebagai alternatif.
PERDARAHAN UTERUS DISFUNGSI OVULATOIR
            Terapi medikamentosa untuk kasus menoragia terutama adalah NSAID (asam
mefenamat) dan AKDR-levonorgesterel (Mirena)
Efektivitas asam mefenamat, pil kontrasepsi, naproxen, danazol terhadap menoragia adalah
setara.
            Efek samping dan harga dari androgen (Danazol atau GnRH agonis) membatasi
penggunaannya bagi kasus menoragia, namun obat-obat ini dapat digunakan dalam jangka
pendek untuk menipiskan endometrium sebelum dikerjakan tindakan ablasi endometrium.
            Obat antifibrinolitik secara bermakna mengurangi jumlah perdarahan, namun obat ini
jarang digunakan dengan alasan yang menyangkut keamanan ( potensi menyebabkan
tromboemboli).

Tabel 3.4 . Penatalaksanaan Medikamentosa PUD anovulatoir

Obat Dosis Maksud

Pil kontrasepsi Etinil estradiol 20 – 35 mcg        Mengatur siklus haid


+ progestin monofasik tiap        Kontrasepsi
hari        Mencegah hiperplasia
endometrium

Penatalaksanaan perdarahan
Pil 35 mcg 2 – 4 kali sehari yang banyak namum tidak
selama 5 – 7 hari sampai bersifat gawat darurat
perdarahan berhenti dan
diikuti dengan penurunan
secara bertahap sampai 1 pil
1 kali perhari dan
dilanjutkan dengan
pemberian pil kontrasepsi
selama 3 siklus

Progestin : 5 – 10 mg / hari selama 5 –        Mengatur siklus haid


Medroxyprogesteron 10 hari setiap bulan        Mencegah hiperplasia
asetat (Provera, Prothyra) endometrium

3.7 Pembedahan
            Bila terapi medis gagal atau terdapat kontraindikasi maka dilakukan intervensi
pembedahan. Terapi pilhan pada kasus adenokarsionoma adalah histerektomi, tindakan ini
juga dipertimbangkan bila hasil biopsi menunjukan atipia.

Tabel 3.5. Penatalaksanaan pembedahan pada perdarahan uterus abnormal

Tindakan Alasan

Histeroskopi operatif Abnormalitas struktur intra uteri.


Mimektomi (abdominal, Mioma uteri.
laparoskopik,histeroskopik)
Reseksi endometrial transervikal Terapi menoragia atau
menometroragia resisten.
Ablasi endometrium (thermal Terapi menoragia atau
balloon/roller ball) menometroragia resisten dalam
rangka penatalaksanaan perdarahan
uterus akut yang resisten
Embolisasi arteri uterina Mioma uteri.
Histerektomi Hiperplasia atipikal, karsinoma
endometrium.
Diposting oleh Rahmah Fitria di 22.24 

Anda mungkin juga menyukai