DOSEN PEMBIMBING
WAHYU HIDAYATI, M. Ag
DISUSUN OLEH
NAMA : AHMAD AFIF AKRAM
NIM : E.MKS.I.2020.003
1
KATA PENGANTAR
2
DAFTAR ISI
COVER ………………………………………………………………………. i
KATA PENGANTAR………………………………………………………… ii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………… iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …………………………………………………. 4
B. Rumusan Masalah ………………………………………………………… 4
C. Tujuan Pembuatan ………………………………………………………… 4
BAB II PEMBAHASAN
A. Tokoh Tasawuf Abad I dan II……………………………………………… 5
B. Tokoh Tasawuf Abad III dan IV…………………………………………… 9
C. Tokoh Tasawuf Abad V……………………………………………………. 11
D. Tokoh Tasawuf Abad VI dan VII …………………………………………. 13
E. Tokoh Tasawuf Abad VIII, dst ……………………………………………. 14
3
BAB I
PENDAHULUAN
Pembahasan mengenai tasawuf dan konsep ilmunya tidak akan lepas dari
tokoh-tokoh yang ada di dalamnya. Tokoh-tokoh tasawuf atau yang biasa
disebut dengan Sufi biasanya identek dengan kehidupan yang sederhana dan
kehidupannya itu hanya ditujukan kepada Allah semata. Kehidupan seorang
Sufi sendiri sudah ada sejak zaman para sahabat Nabi, yakni sejak abad
pertama ketika itu para Sufi mencontoh kehidupan para Khalifah.
Dalam makalah ini akan dibahas tokoh-tokoh tasawuf yakni pada abad I,
II, III, IV, V, VI, VII, VIII, dst, yang dimana tokoh-tokoh tasawuf tersebut
memiliki pandangan dan pemahan yang berbeda-beda.
B. Rumusan Masalah
Beberapa permasalahan yang pemakalah bahas dalam makalah ini, meliputi :
1. Siapa saja tokoh-tokoh tasawuf pada abad I dan II ?
2. Siapa saja tokoh-tokoh tasawuf pada abad III dan IV ?
3. Siapa saja tokoh-tokoh tasawuf pada abad V ?
4. Siapa saja tokoh-tokoh tasawuf pada abad VI dan VII ?
5. Siapa saja tokoh-tokoh tasawuf pada abad VIII dst ?
C. Tujuan Pembuatan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui tokoh-tokoh tasawuf pada abad I dan II ?
2. Untuk mengetahui tokoh-tokoh tasawuf pada abad III dan IV ?
3. Untuk mengetahui tokoh-tokoh tasawuf pada abad V ?
4. Untuk mengetahui tokoh-tokoh tasawuf pada abad VI dan VII ?
5. Untuk mengetahui tokoh-tokoh tasawuf pada abad VIII dst ?
4
BAB II
PEMBAHASAN
1. Tasawuf Pada Abad Pertama dan Kedua Hijriyah (Masa Rasulullah Saw,
Para Sahabat, dan Tabiin)
5
belum tentu tersedia pada setiap waktu makan. Sayyidah Aisyah r.ha. pernah
mengatakan bahwa dalam sehari-hari Rasulullah Saw tidak pernah makan sampai
dua kali dan paling banyak makanan yang tersimpan tidak lebih dari sepotong roti
yang itupun dimakan oleh tiga orang. Diketahui pula beliau tidur di atas tikar
sampai berbekas pada pipi beliau.
Begitulah kehidupan sufisme dari seorang Rasulullah Saw, meski sebagai
pemimpin untuk umat Islam, kehidupan beliau penuh dengan kesederhanaan.
Hidup beliau digunakan untuk berkhidmat dan berbakti kepada Allah,
menyampaikan agama Islam kepada seluruh umat manusia, tidak menghiraukan
kepentingan diri sendiri ataupun keluarganya, namun seluruh hidupnya digunakan
untuk umatnya.
Abu Bakar, adalah seorang saudagar yang kaya raya di Makkah, namun ia
rela meninggalkan semua harta bendanya demi mengikuti dakwah Rasulullah
Saw. Abu Bakar juga memiliki akhlak yang tinggi dan selalu hidup saleh dan
taqwa. Pada masa kehidupannya hanya memakai pakaian sehelai kain saja.
Bahkan segala harta bendanya dikorbankan demi kepentingan agama dan negara.
Disebutkan dalam sebuah riwayat, pada saat Rasulullah Saw masih hidup yang
ketika itu akan menghadapi perang Tabuk, beliau bertanya kepada para sahabat
siapakah yang bersedia memberikan harta bendanya di jalan Allah. Abu Bakar
kemudian menjawab bahwa dirinya akan menyerahkan seluruh harta
kekayaannya. Kemudian setelah Rasulullah Saw bertanya kepada Abu Bakar
terkait sesuatu yang akan ditinggalkan untuk dirinya dan keluarganya, Abu Bakar
menjawab bahwa cukup baginya meninggalkan Allah dan Rasul-Nya.
Umar bin Khattab, adalah sahabat Nabi Saw yang memiliki jiwa yang murni
dan akhlak yang tinggi. Ada riwayat yang mengisahkan kehidupan sufisme Umar,
yang semuanya ketika ia menjabat sebagai khalifah. Yang pertama ketika Umar
naik ke atas mimbar untuk menyampaikan pidato, sedangkan pakaian yang ia
pakai bertambal-tambal. Yang kedua, ketika Abdullah bin Umar masih kecil
bermain-main dengan temannya, semua temannya tersebut mengejek karena
pakaian yang dipakainya penuh tambalan. Hal tersebut akhirnya disampaikan
kepada ayahnya, Umar bin Khattab, yang pada saat itu menjabat sebagai kepala
6
negara. Ayahnya pun sedih karena tidak memiliki cukup uang untuk membelikan
baju untuk anaknya. Maka ditulislah surat kepada pegawai Baitul Mal untuk
meminjam uang sebagai ganti pemotongan gaji bulan depan. Setelah menerima
surat tersebut kemudian pegawai tersebut bertanya kepada Umar apakah yakin
bahwa umurnya sampai bulan depan. Mendengar hal tersebut, Umar akhirnya
tersedu sambil mengeluarkan air mata dan akhirnya tidak jadi meminjam uang di
Baitul Mal. Dan masih banyak lagi cerita yang mengisahkan kehidupan Umar
yang sangat sufistik tersebut.
Utsman bin Affan, adalah sosok yang diberi oleh Allah kelapangan rezeki.
Meski begitu ia tidak terlalu terpengaruh dengan kekayaannya. Ia selalu
memegang Al-Qur’an pada tangannya. Menjelang malam hari ia hanya belajar Al-
Qur’an sampai jauh malam. Bahkan ketika dibunuh oleh pemberontak, ia berada
dalam membaca Al-Qur’an. Sifat sufisme yang dimiliki Utsman yang lain ialah,
ketika terjadi kemarau panjang pada masa Khalifah Abu Bakar. Banyak penduduk
Madinah yang menderita kelaparan karena stok makanan telah menipis. Abu
Bakar hanya menyuruh sabar dan menunggu pertolongan dari Allah. Tidak lama
setelah itu, ada kira-kira seribu ekor unta milik Utsman bin Affan datang dari
Syam dengan membawa bahan makanan dan minyak. Setelah unta-unta tersebut
berhenti di depan rumah Utsman, banyak pedagang yang ingin membeli barang
dagangannya tersebut dengan berbagai macam tawaran, bahkan ada pedagang
yang mengajukan tawarannya hingga sepuluh kali lipat. Akan tetapi Utsman
hanya memerintahkan untuk mengumpulkan para fakir miskin pada keesokan
harinya dan memberikan hasil dagangannya itu secara cuma-cuma.
Ali bin Abu Thalib, Sifat kesederhanaannya tidak kalah dengan para sahabat
yang lain. Ketika menjabat sebagai khalifah, pakaian yang ia pakai banyak yang
sobek, dan ketika sobek ia sendiri yang menjahitnya. Suatu ketika ia ditanya
seseorang mengapa sampai seperti itu (pakaiannya yang sobek), ia hanya
menjawab untuk mengkhuyukkan hati dan untuk menjadi teladan bagi orang-
orang yang beriman.
Ada lagi sahabat yang terkenal zuhud selain para sahabat Khulafaur Rasyidin
di atas, yakni Huzaifah bin Yaman. Abu Thalib Al-Makki dalam kitabnya ‘Qutul
Qulub’ pernah menerangkan bahwa Huzaifah mempunyai ilmu yang luas tentang
akhlak serta mendalam keyakinannya tentang hikmah-hikmah agama bila
dibandingkan dengan para sahabat yang lain. Bahkan Umar dan Utsman selalu
meminta pendapat-pendapatnya tentang suatu hal yang sulit dimengerti. Pernah ia
ditanya darimana ia mendapatkan ilmu yang demikian itu. Huzaifah menjawab
bahwa Rasulullah Saw memberikan keistimewaan kepadanya karena orang selalu
bertanya kepada Rasulullah tentang kebaikan, sedang dirinya selalu bertanya
tentang kejahatan karena ia takut terlibat dalam kejahatan.
7
c. Tasawuf Masa Para Tabi’in
Ada beberapa tabi’in besar pada masa ini dalam kaitannya dengan
perkembangan ilmu tasawuf, antara lain Hasan Basri, Rabiatul Adawiyah, Sufyan
Tsauri, Rabi’ bin Haitsam, Jabir bin Hayyan, Kulaib Ash-Shidawi, Manshur bin
‘Ammar, Malik bin Dinar, Al-Fadhl Al-Ragassyi, Rabbaah bin ‘Amr Al-Qisyi,
Shalih bin Basyr Al-Murri, Abdul Wahid bin Zaid, Ibrahim bin Adham, Syaqiq
Al-Balakhi, dan lain-lain yang tidak dapat disebutkan disini. Namun yang paling
populer di antaranya ialah Hasan Basri, Rabiatul Adawiyah, dan Sufyan Tsauri.
Berikut penjelasan singkat dari salah satu tokoh populer tersebut:
Hasan Basri, Setelah era Huzaifah bin Yaman, kemudian disusul generasi
sufi yang dipelopori oleh Hasan Basri. Hasan Basri belajar tasawuf kepada
Huzaifah yang kemudian menjadikannya sebagai orang besar dalam
perkembangan ilmu tasawuf, bahkan dianggap sebagai imam orang-orang sufi.
Hasan Basri lahir di Madinah pada tahun 21 Hijriyah atau 632 Masehi, dan
meninggal pada tahun 110 H. Hasan Basri adalah salah seorang tabi’in yang
terbesar dan ternama, baik dalam ilmu pengetahuan maupun dalam kesalehan dan
kehidupan zuhudnya. Hasan Basri pula yang mula-mula membahas ilmu-ilmu
kebatinan, kemurnian akhlak, dan usaha-usaha untuk membersihkan jiwa.
Hasan Basri memiliki kepribadian yang sangat menarik. Ketika kecil ia pernah
mendapat pujian dari Ali bin Abu Thalib. Suatu ketika, Ali bin Abu Thalib masuk
ke dalam masjid di Basrah. Dilihatnya banyak anak-anak sedang asyik bercerita di
dalam masjid, maka Ali mendatangi mereka dan berusaha mengusirnya keluar
masjid. Namun tiba-tiba ia mendapati salah seorang di antara mereka seorang
anak yang tampan, yakni Hasan Basri. Hasan Basri pada saat itu sedang asyik
bercerita, dan Ali sangat tertarik dengan ceritanya itu. Demi memelihara
ketenangan dan ketenteraman dalam masjid karena ramainya anak-anak, maka Ali
mengajukan pertanyaan kepada Hasan Basri, “Hai anak muda! Aku ingin
bertanya kepadamu dua perkara. Jika engkau dapat menjawabnya, maka aku
akan biarkan engkau berbicara terus. Tetapi jika engkau tidak dapat memberikan
jawaban yang memuaskan, engkau akan kukeluarkan dari dalam masjid ini
seperti anak-anak yang lain”. Anak muda yang bernama Hasan Basri itu pun
berkata, “Silakan bertanya wahai Amirul Mukminin”. Kemudian Ali bin Abu
Thalib pun bertanya, “Ceritakan kepadaku apa kebaikan agama dan apa pula
kerusakannya?”. Dijawab oleh Hasan Basri, “Kebaikan agama itu adalah hidup
wara’, dan kerusakan agama itu adalah hidup tamak”. Setelah dijawab demikian,
maka Ali pun berkata, “Engkau benar, dan sekarang berbicaralah”.
Dasar ajaran tasawuf Hasan Basri adalah zuhud terhadap dunia, menolak
kemegahan dunia semata-mata menuju kepada Allah, bertawakal kepada-
Nya, khauf (takut), dan raja’ (pengharapan). Masing-masing konsep atau dasar
ajaran tasawuf Hasan Basri tersebut akan diuraikan berikut:
8
a. Zuhud berarti hati tidak menyenangi dunia dan berpaling terhadap keindahan
dan kemewahannya karena berbuat taat kepada Allah. Zuhud adalah suatu
tingkatan jiwa yang tinggi, dan ini baru dapat dicapai apabila telah tertanam
perasaan takut dan harap di dalam hati.
b. Takut (khauf) berarti takut akan terjerumus ke dalam jurang kemaksiatan yang
menyebabkannya mendapat murka Allah Swt. Pandangan inilah yang
menyebabkan Hasan Basri bersedih ha ti, senantiasa takut dan gemetar,
kalau ia tidak dapat mengerjakan perintah Allah sepenuhnya dan tidak dapat
menghentikan larangan Allah sepenuhnya karena digoda oleh syetan dan hawa
nafsu keinginan.
c. Setelah merasa takut kepada kemurkaan Allah, maka ikutilah ketakutan itu
dengan pengharapan (raja’). Kalau seorang manusia setelah berusaha
memenuhi segala perintah Allah dan berusaha menjauhkan dirinya dari
kejahatan, namun karena kelalaian dan nafsunya, ternyata masih mampu
menyeretnya ke jurang kejahatan, manusia tidak boleh berputus asa, terus
selalu menanamkan rasa harapan terhadap ampunan dari Allah Swt. Maka dari
itu, tujuan pokok dari khauf dan raja’ ialah ingin terbebas dari kejahatan dan
ingin mencapai kebaikan dan ketaqwaan.
9
Sedangkan tokoh tasawuf pada abad keempat Hijriyah antara lain Al-Sari Al-
Saqathi, Abu Hamid bin Muhammad Al-Rubazi, Abu Zaid Al-Adami, Abu Ali
Muhammad bin Abdul Wahab As-Saqafi, Abu Bakar Syibli, Abu Muhammad Al-
Murtasi, dan Husain bin Mansuh Al-Hallaj. Beberapa di antara tokoh-tokoh sufi
tersebut akan dijelaskan profil dan pemikirannya tentang tasawuf berikut ini:
Abul Faidh Zin-Nun Al-Misri, atau yang lebih dikenal dengan Zunnun Al-
Misri, berasal dari Naubah, yakni daerah di antara Sudan dan Mesir. Ia wafat pada
tahun 246 H/860 M. Ia adalah salah seorang murid Imam Malik dan boleh
dikatakan bahwa ia adalah yang pertama kali menetapkan teori-teori di dalam
ilmu tasawuf pada abad ketiga. Ia banyak sekali memperluas pemahaman tentang
jalan menuju Allah. Tujuannya terkait ilmu tasawuf ialah bagaimana cara
mencintai Tuhan, membenci yang sedikit, menuruti garis perintah yang
diturunkan, dan takut akan berpaling jalan.
Pernah ditanya oleh seseorang apa hakikat cinta itu. Zunnun Al-Misri
menjawab, “Bahwa engkau mencintai apa yang dicintai Allah, dan engkau
membenci apa yang dibenci-Nya. Engkau memohon ridha-Nya, dan sekalian
engkau tolak yang akan menghalangimu menuju Dia. Jangan takut akan
kebencian orang yang membenci. Dan jangan mementingkan diri dan melihatnya,
karena dinding yang sangat tebal untuk melihat-Nya ialah lantaran melihat diri
sendiri. Orang yang arif adalah bangga dalam kefakirannya. Apabila disebutnya
nama Allah, ia merasa bangga, dan apabila disebut nama dirinya, ia merasa
miskin”.
Mengenai konsep taubat, Zunnun Al-Misri mengungkapkan bahwa taubat
terbagi menjadi dua macam, yaitu taubatnya orang awam, yakni taubat dari dosa,
dan taubatnya orang khawash, yaitu taubat dari kelalaian. Demikian pula dengan
konsep ma’rifat, olehnya dibagi menjadi tiga macam, yaitu ma’rifat mukmin
biasa (mu’miniin), ma’rifat ahli bicara (mutakallimin) dan hukama’, dan ma’rifat
waliyullah yang dekat kepada Tuhan dan kenal akan Tuhan dalam
hatinya (muqarrabiin). Ma’rifat yang terakhir inilah setinggi-tingginya martabat.
Husain bin Mansuh Al-Hallaj, lahir di Persia pada tahun 244 H/858 M, yang
sebelumnya ia beragama Majusi, kemudian masuk Islam dan terkenal dengan
julukan Abu Mughis. Al-Hallaj adalah seorang yang memiliki riwayat yang luar
biasa dalam bidang tasawuf. Pandangannya sempat membuat ramai di dunia fiqih,
sebab pada masa itu terjadi pertentangan antara ulama fiqih dengan ulama tasawuf
karena faktor salah dalam memahami konsep tasawuf. Ada ratusan ulama fiqih
pada saat itu menentang ajaran tasawufnya sehingga pada akhir hidupnya dijatuhi
hukuman mati. Secara ringkasnya, ajaran tasawuf Al-Hallaj terdiri dari tiga hal,
antara lain:
10
Hulul, berarti ketuhanan (lahut) menjelma ke dalam diri manusia (nasut). Hal
ini akan terjadi ketika kebatinan seorang manusia sudah suci bersih di dalam
menempuh perjalanan dalam hidup kebatinan, maka tingkat hidupnya akan
naik dari maqam (tingkatan) ke maqam yang lain, misalkan dari muslimin,
mukminin, shalihin, dan muqarrabin. Pada maqam muqarrabin, orang sudah
sangat dekat dengan Tuhan sehingga timbullah penyatuan dirinya dengan
Tuhan.
Al-Haqiqatul Muhammadiyah, yaitu Nur Muhammad sebagai asal-usul
segala kejadian amal perbuatan dan ilmu pengetahuan. Dan dengan
perantaranya lah seluruh alam ini dijadikan. Menurut Al-Hallaj, Nabi
Muhammad itu terdiri dua rupa: Yang pertama adalah yang qadim, yaitu
terjadi sebelum terjadinya seluruh yang ada. Yang kedua adalah yang berupa
manusia, yakni sebagai Nabi dan Rasul. Rupa yang kedua
(manusia/Nabi/Rasul) ini akan menempuh kematian, dan rupa yang pertama
bersifat qadim. Rupa yang pertama inilah yang oleh Al-Hallaj sebagai asal-
usul segala sesuatu.
Wihdatul Adyan, yaitu kesatuan segala agama. Ia berpendapat bahwa semua
agama, baik Islam, Yahudi, Nasrani, dan lain-lain, meski berbeda dalam hal
nama, namun pada hakikatnya adalah satu. Orang memilih suatu agama atau
lahir dalam suatu agama bukan atas dasar kehendaknya sendiri, melainkan
sudah ditentukan oleh Allah Swt melalui takdir-Nya.
11
b. Tokoh-Tokoh Sufi Pada Abad Kelima Hijriyah
Ada beberapa tokoh sufi besar pada masa ini, antara lain Abu Hamid al-
Ghazali, Syaikh Ahmad Al-Rifa’i, Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, Syaikh Abu
Hasan Al-Syadzili, Abu Al-Abbas Al-Mursi, dan Ibnu Atha’illah Al-Sakandari.
Namun ulasan tentang tasawuf pada masa kelima Hijriyah ini lebih
menitikberatkan pada konsep tasawuf Al-Ghazali. Sebab, Al-Ghazali adalah
seorang sufi yang terkenal dan terbesar pada masa itu, dan memiliki konsep
tasawuf yang paling jelas dan mencerminkan kondisi pada saat itu. Berikut
penjelasan singkat dari salah satu tokoh populer tersebut:
Al-Ghazali, memiliki nama asli Abu Hamid Al-Ghazali, lahir di desa yang
bernama Thus pada tahun 450 H/1057 M, dan meninggal pada tahun 505 H/1111
M. Al-Ghazali hidup pada zaman Nizamul Mulk, seorang menteri besar kerajaan
Bani Saljuk. Sosok Al-Ghazali sebagai seorang pemikir yang besar telah
mempererat kembali segala perselisihan dan pertikaian yang telah timbul,
terutama antara para sufi dengan ulama fiqih.
Sebelum Al-Ghazali, para ulama mutakallimin (ilmu kalam) telah mengambil
beberapa cara berpikir kaum filsafat dalam menguatkan dasar ilmu kalam
(teologi). Filsafat yang dipelajarinya hanya semata-mata untuk menguatkan dasar-
dasar ilmu kalam. Al-Ghazali memandang, cara pengambilan yang demikian itu
sangat dangkal, sebab orang hanya tertarik dengan ujung-ujung filsafat, tetapi
tidak menggali hingga sampai kepada uratnya. Padahal menurut Al-Ghazali, kalau
sekiranya digali sampai ke uratnya, filsafat tidaklah memperkokoh pendirian
ketuhanan, melainkan akan menggoyahkannya.
Terkait tasawuf, corak pemikiran tasawuf yang dimiliki Al-Ghazali
mengedepankan pada psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral. Hal ini
dapat dilihat dalam karya-karyanya seperti Ihya Ulumuddin (Menghidupkan Ilmu-
Ilmu Agama), Bidayatul Hidayah (Pengantar Tasawuf), Al-Munziqu Minad
Dhalal (Pelepasan Diri Dari Kesesatan), Tahafutil Falasifah (Kacau Balaunya
Filsafat), dan sebagainya. Al-Ghazali mengkritik pola tasawuf pada masa itu (bisa
jadi karena kemasukan paham filsafat), dianggapnya mempunyai dua
kelemahan. Pertama, kurang memperhatikan amal lahiriyah, hanya
mengungkapkan kata-kata yang sulit dipahami dan mengemukakan kesatuan
dengan tuhan. Kedua, keganjilan ungkapan yang tidak dipahami maknanya
diucapkan dari hasil pemikiran yang kacau, hasil imajinasi sendiri. Selain kritikan
tentang model orang-orang sufi sebelumnya, serta model berpikir para filsuf, Al-
Ghazali memiliki sejumlah pemikiran yang masih berputar pada masalah
kebatinan, secara garis besar antara lain: Terkait tasawuf dan filsafat, Konsep
Ma’rifat, Tingkatan manusia, Keimanan/Keyakinan, Kebahagiaan
12
4. Tasawuf Pada Abad Keenam dan Ketujuh Hijriyah
13
Dalam kitabnya ‘Hayakilun Nur’, ia menerangkan perlawanan
antara Nur (cahaya, merujuk pada rohani) dengan zulumat (kegelapan, merujuk
pada benda). Dari sini, Al-Syuhrawardi berusaha menjelaskan dasar filsafat
tasawuf yang dimilikinya, yakni Allah adalah cahaya dari segala cahaya dan
sumber dari segala yang ada. Dari nur Allah akan melahirkan nur-nur yang lain,
baik alam yang maddi (nampak) atau alam rohani. Dari kekuatan tersebut
kemudian menggerakkan segala falak dan mengatur akan segala aturannya.
Terkait penuntut hikmah, Al-Syuhrawardi membaginya menjadi tiga macam:
Ahli Filsuf, yang hanya mempergunakan akal semata.
Ahli Tasawuf, yang ingin mencari Tuhan.
Ahli filsuf ketuhanan, yakni yang menggunakan akal dan mementingkan rasa
untuk mencapai tujuan, yaitu Allah. Inilah yang paling tinggi nilainya.
Penyebab mundurnya tasawuf di dunia Islam pada abad ini antara lain:
Pada masa itu adalah masa suram-suramnya cahaya perasaan dan pemikiran
karena ada rasa keputusasaan dalam dunia Islam. Hal ini dikarenakan Baghdad
sebagai jantungnya ilmu pengetahuan telah dihancurkan oleh bangsa Mongol.
14
Ditambah lagi kekuasaan Islam berpindah ke Asia Kecil (Turki) oleh Turki
Utsmani. Sejak itulah pelita timur lambat laun redup.
Bangsa Barat mengalami zaman Renaissance yang mendorong kemajuan
bangsa Barat dalam mengambil alih peradaban dunia.
Umat Islam hanya bertaklid dalam segala bidang ilmu, yaitu menurut saja
kepada apa yang ditulis dan dijelaskan oleh orang-orang terdahulu. Tidak
hanya tasawuf, kondisi taklid ini juga terjadi pada beberapa bidang ilmu,
seperti ilmu fiqih, Al-Qur’an, hadits, dan teologi (kalam).
Lebih lanjut dengan semakin surutnya perkembangan tasawuf pada abad VIII
Hijriyah ini, maka tidak ada lagi pemikiran baru dalam dunia tasawuf. Meski ada
beberapa ahli sastrawan sufi seperti Al-Kassyani atau Al-Kisani (w. 739 H/1321
M) yang telah banyak menulis buku-buku tentang tasawuf, namun dia tidak
mengeluarkan pendapat yang baru. Ada pula seorang sufi besar pada abad ini
yang bernama Abdul Karim Al-Jaili, seorang pengarang kitab ‘Insan Kamil’. Isi
bukunya sempat membuat gempar para ulama fiqih, karena isinya memperindah
konsep-konsep pikiran Ibnu Arabi, Jalaluddin Rumi, dan lain-lain.
Di dalam abad kesepuluh Hijriyah, muncul kembali seorang sufi yang besar di
Mesir, yaitu Abdul Wahab Sya’rani. Ia memiliki banyak karangan, namun
sebagian besar isinya sulit diterima oleh rasa, harus memakai akal. Kemudian di
abad keduabelas Hijriyah, muncul kembali seorang sufi yang bernama Abdul
Ghani An-Nablusi (w. 1143 H/1735 M), seorang pengikut Ibnu Arabi.
15
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN
Kita sebagai umat islam wajib mempelajari dan mendalami ilmu tasawuf
karena dengan kita mempelajari dan mendalami ilmu tasawuf hidup kita menjadi
lebih tenang dengan kita mendekatkan diri kepada Allah secara langsung. Senlain
itu, dengan kita mengetahui ilmu tasawuf insya allah kita selalu berada dijalan
kebenaran dan kebaikan.
16
DAFTAR PUSTAKA
17