Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

SUFI DARI MASA KE MASA

DOSEN PEMBIMBING
WAHYU HIDAYATI, M. Ag

DISUSUN OLEH
NAMA : AHMAD AFIF AKRAM
NIM : E.MKS.I.2020.003

NAMA : MUHAMMAD FRENGKI


NIM : E.MKS.I.2020.001

NAMA : DWI CAHYANTARI SUJONO PUTRI


NIM : E.MKS.I.2020.005

NAMA : LEO MARPRINO


NIM : E.MKS.I.2020.000

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM


SYEKH MAULANA QORI BANGKO
MANAJEMEN KEUANGAN SYARI’AH
FAKULTAS EKONOMI
2020/2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur pemakalah panjatkan keharibaan Illahi Robbi, berkat yang


limpahan rahmat dan hidayahNya, pemakalah dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Sufi dari Masa ke Masa”. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas
mata kuliah Akhlak Tasawuf.

Perkenankan pemakalah menyampaikan rasa hormat dan terima kasih


sebesar-besarnya terutama kepada dosen pembimbing yang telah memberikan
penjelasan tentang pembuatan makalah ini. Ucapan terima kasih juga kepada
semua pihak yang tidak dapat pemakalah sebutkan satu persatu yang telah
membantu kelancaran terselesainya makalah ini.

Pemakalah menyadari bahwa terselesainya makalah ini bukanlah semata-


mata karena kepiawaian pemakalah, melainkan banyak mendapatkan bimbingan,
arahan, motivasi, dan dukungan baik moril maupun materil dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, pemakalah berharap agar makalah ini dapat digunakan
sebagaimana mestinya.

Bangko, Oktober 2020

2
DAFTAR ISI

COVER ………………………………………………………………………. i
KATA PENGANTAR………………………………………………………… ii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………… iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …………………………………………………. 4
B. Rumusan Masalah ………………………………………………………… 4
C. Tujuan Pembuatan ………………………………………………………… 4

BAB II PEMBAHASAN
A. Tokoh Tasawuf Abad I dan II……………………………………………… 5
B. Tokoh Tasawuf Abad III dan IV…………………………………………… 9
C. Tokoh Tasawuf Abad V……………………………………………………. 11
D. Tokoh Tasawuf Abad VI dan VII …………………………………………. 13
E. Tokoh Tasawuf Abad VIII, dst ……………………………………………. 14

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan………………………………………………………………… 16
B. Saran ………………………………………………………………………. 16

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………… 17

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Tasawuf merupakan suatu disiplin ilmu yang berorientasi pada moralitas
berasas keislaman. Tasawuf bertujuan untuk lebih mendekatkan seorang
hamba dengan tuhannya.

Pembahasan mengenai tasawuf dan konsep ilmunya tidak akan lepas dari
tokoh-tokoh yang ada di dalamnya. Tokoh-tokoh tasawuf atau yang biasa
disebut dengan Sufi biasanya identek dengan kehidupan yang sederhana dan
kehidupannya itu hanya ditujukan kepada Allah semata. Kehidupan seorang
Sufi sendiri sudah ada sejak zaman para sahabat Nabi, yakni sejak abad
pertama ketika itu para Sufi mencontoh kehidupan para Khalifah.

Dalam makalah ini akan dibahas tokoh-tokoh tasawuf yakni pada abad I,
II, III, IV, V, VI, VII, VIII, dst, yang dimana tokoh-tokoh tasawuf tersebut
memiliki pandangan dan pemahan yang berbeda-beda.

B. Rumusan Masalah
Beberapa permasalahan yang pemakalah bahas dalam makalah ini, meliputi :
1. Siapa saja tokoh-tokoh tasawuf pada abad I dan II ?
2. Siapa saja tokoh-tokoh tasawuf pada abad III dan IV ?
3. Siapa saja tokoh-tokoh tasawuf pada abad V ?
4. Siapa saja tokoh-tokoh tasawuf pada abad VI dan VII ?
5. Siapa saja tokoh-tokoh tasawuf pada abad VIII dst ?

C. Tujuan Pembuatan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui tokoh-tokoh tasawuf pada abad I dan II ?
2. Untuk mengetahui tokoh-tokoh tasawuf pada abad III dan IV ?
3. Untuk mengetahui tokoh-tokoh tasawuf pada abad V ?
4. Untuk mengetahui tokoh-tokoh tasawuf pada abad VI dan VII ?
5. Untuk mengetahui tokoh-tokoh tasawuf pada abad VIII dst ?

4
BAB II
PEMBAHASAN

Sufi adalah penyebutan untuk orang-orang yang mendalami sufisme atau


ilmu tasawwuf. Hidup kerohanian yang dalam Islam sering disebut
dengan sufisme ini nampak melekat pada diri sebagian umat Islam di seluruh
dunia. Tentu saja kehidupan seperti ini tidak lepas dari sejarah pertumbuhan dan
perkembangannya hingga terbentuklah ilmu tasawuf pada saat ini. Ada beberapa
literatur menyebutkan, bahwa sufisme Islam dimulai pada abad pertama Hijriyah,
yang mana pada masa itu Rasulullah Saw masih hidup, yang segala kehidupannya
cukup membawa arti penting dalam terbentuknya tasawuf ini. Perjalanan tasawuf
ini pun kemudian dilanjutkan pada masa-masa selanjutnya hingga abad ketujuh
Hijriyah. Adapun lebih jelasnya akan diterangkan berikut ini.

1. Tasawuf Pada Abad Pertama dan Kedua Hijriyah (Masa Rasulullah Saw,
Para Sahabat, dan Tabiin)

a. Tasawuf Masa Rasulullah Saw


Pada masa ini banyak ditemui contoh-contoh kehidupan sufi yang terdapat
pada diri Rasulullah Saw. Dalam kehidupan beliau sehari-hari yang penuh dengan
kehidupan yang sangat sederhana dan penuh dengan penderitaan, juga beliau
menghabiskan waktunya untuk beribadah kepada Allah Swt. Sebelum diangkat
sebagai Rasul, beliau sering melakukan khalwat di Gua Hira’ (Bukit Nur) untuk
mendapat petunjuk dari Tuhan. Didapati beliau melakukan khalwat berulang-
ulang kali dengan bekal hanya beberapa potong roti kering dengan air minum
serta buah-buahan yang hal ini menggambarkan makanan yang sangat sederhana
bagi seorang sufi.
Di tempat itu, beliau mengasingkan diri (uzlah) dan memisahkan
diri (infirad) dari masyarakat Quraisy yang sudah rusak dan menyimpang dari
ajaran Tuhannya. Beliau ingin mencari kehidupan yang berbeda dengan
kehidupan orang-orang Quraisy tersebut menuju suatu kehidupan yang membawa
kepada kesempurnaan dan kebahagiaan dunia akhirat. Maka dari itu, beliau
hendak bertemu (liqa’) dengan Allah dan ingin meminta petunjuk kepada-Nya.
Setelah beliau mendapat petunjuk melalui malaikat jibril, maka mulailah beliau
mengajak manusia agar berusaha menyempurnakan kehidupannya dan harus
memiliki pribadi yang baik dan akhlak yang luhur demi mencapai kebahagiaan
dunia dan akhirat yang disebut dengan sa’atud daraini.
Kemudian setelah beliau diangkat sebagai Rasul dan telah menjabat sebagai
pemimpin atau kepala negara di Madinah, kehidupan beliau juga nampak
sederhana sekali. Dalam rumah tidak ada perabot rumah tangga yang mewah,
makanan yang enak, dan jarang terdapat alat-alat rumah tangga. Untuk urusan
makan, jangankan makanan yang lezat, makanan yang biasa dimakan sehari-hari

5
belum tentu tersedia pada setiap waktu makan. Sayyidah Aisyah r.ha. pernah
mengatakan bahwa dalam sehari-hari Rasulullah Saw tidak pernah makan sampai
dua kali dan paling banyak makanan yang tersimpan tidak lebih dari sepotong roti
yang itupun dimakan oleh tiga orang. Diketahui pula beliau tidur di atas tikar
sampai berbekas pada pipi beliau.
Begitulah kehidupan sufisme dari seorang Rasulullah Saw, meski sebagai
pemimpin untuk umat Islam, kehidupan beliau penuh dengan kesederhanaan.
Hidup beliau digunakan untuk berkhidmat dan berbakti kepada Allah,
menyampaikan agama Islam kepada seluruh umat manusia, tidak menghiraukan
kepentingan diri sendiri ataupun keluarganya, namun seluruh hidupnya digunakan
untuk umatnya.

b. Tasawuf Masa Para Sahabat r.hum


Begitu halnya dengan para sahabat. Mereka para sahabat besar juga
mencontoh kehidupan Rasulullah Saw. Pada era kepemimpinan Khulafaur
Rasyidin, semua kehidupan mereka penuh dengan kesederhanaan dan fokus
perhatian mereka hanya tertuju kepada Allah dan berbakti kepada masyarakat.
Para khulafaur Rasyidin yang dimaksud antara lain Abu Bakar, Umar bin Khattab,
Utsman bin Affan, dan Ali bin Abu Thalib. Masing-masing tasawuf yang dimiliki
para sahabat Khulafaur Rasyidin akan dijelaskan secara singkat di bawah ini:

Abu Bakar, adalah seorang saudagar yang kaya raya di Makkah, namun ia
rela meninggalkan semua harta bendanya demi mengikuti dakwah Rasulullah
Saw. Abu Bakar juga memiliki akhlak yang tinggi dan selalu hidup saleh dan
taqwa. Pada masa kehidupannya hanya memakai pakaian sehelai kain saja.
Bahkan segala harta bendanya dikorbankan demi kepentingan agama dan negara.
Disebutkan dalam sebuah riwayat, pada saat Rasulullah Saw masih hidup yang
ketika itu akan menghadapi perang Tabuk, beliau bertanya kepada para sahabat
siapakah yang bersedia memberikan harta bendanya di jalan Allah. Abu Bakar
kemudian menjawab bahwa dirinya akan menyerahkan seluruh harta
kekayaannya. Kemudian setelah Rasulullah Saw bertanya kepada Abu Bakar
terkait sesuatu yang akan ditinggalkan untuk dirinya dan keluarganya, Abu Bakar
menjawab bahwa cukup baginya meninggalkan Allah dan Rasul-Nya.

Umar bin Khattab, adalah sahabat Nabi Saw yang memiliki jiwa yang murni
dan akhlak yang tinggi. Ada riwayat yang mengisahkan kehidupan sufisme Umar,
yang semuanya ketika ia menjabat sebagai khalifah. Yang pertama ketika Umar
naik ke atas mimbar untuk menyampaikan pidato, sedangkan pakaian yang ia
pakai bertambal-tambal. Yang kedua, ketika Abdullah bin Umar masih kecil
bermain-main dengan temannya, semua temannya tersebut mengejek karena
pakaian yang dipakainya penuh tambalan. Hal tersebut akhirnya disampaikan
kepada ayahnya, Umar bin Khattab, yang pada saat itu menjabat sebagai kepala

6
negara. Ayahnya pun sedih karena tidak memiliki cukup uang untuk membelikan
baju untuk anaknya. Maka ditulislah surat kepada pegawai Baitul Mal untuk
meminjam uang sebagai ganti pemotongan gaji bulan depan. Setelah menerima
surat tersebut kemudian pegawai tersebut bertanya kepada Umar apakah yakin
bahwa umurnya sampai bulan depan. Mendengar hal tersebut, Umar akhirnya
tersedu sambil mengeluarkan air mata dan akhirnya tidak jadi meminjam uang di
Baitul Mal. Dan masih banyak lagi cerita yang mengisahkan kehidupan Umar
yang sangat sufistik tersebut.

Utsman bin Affan, adalah sosok yang diberi oleh Allah kelapangan rezeki.
Meski begitu ia tidak terlalu terpengaruh dengan kekayaannya. Ia selalu
memegang Al-Qur’an pada tangannya. Menjelang malam hari ia hanya belajar Al-
Qur’an sampai jauh malam. Bahkan ketika dibunuh oleh pemberontak, ia berada
dalam membaca Al-Qur’an. Sifat sufisme yang dimiliki Utsman yang lain ialah,
ketika terjadi kemarau panjang pada masa Khalifah Abu Bakar. Banyak penduduk
Madinah yang menderita kelaparan karena stok makanan telah menipis. Abu
Bakar hanya menyuruh sabar dan menunggu pertolongan dari Allah. Tidak lama
setelah itu, ada kira-kira seribu ekor unta milik Utsman bin Affan datang dari
Syam dengan membawa bahan makanan dan minyak. Setelah unta-unta tersebut
berhenti di depan rumah Utsman, banyak pedagang yang ingin membeli barang
dagangannya tersebut dengan berbagai macam tawaran, bahkan ada pedagang
yang mengajukan tawarannya hingga sepuluh kali lipat. Akan tetapi Utsman
hanya memerintahkan untuk mengumpulkan para fakir miskin pada keesokan
harinya dan memberikan hasil dagangannya itu secara cuma-cuma.

Ali bin Abu Thalib, Sifat kesederhanaannya tidak kalah dengan para sahabat
yang lain. Ketika menjabat sebagai khalifah, pakaian yang ia pakai banyak yang
sobek, dan ketika sobek ia sendiri yang menjahitnya. Suatu ketika ia ditanya
seseorang mengapa sampai seperti itu (pakaiannya yang sobek), ia hanya
menjawab untuk mengkhuyukkan hati dan untuk menjadi teladan bagi orang-
orang yang beriman.

Ada lagi sahabat yang terkenal zuhud selain para sahabat Khulafaur Rasyidin
di atas, yakni Huzaifah bin Yaman. Abu Thalib Al-Makki dalam kitabnya ‘Qutul
Qulub’ pernah menerangkan bahwa Huzaifah mempunyai ilmu yang luas tentang
akhlak serta mendalam keyakinannya tentang hikmah-hikmah agama bila
dibandingkan dengan para sahabat yang lain. Bahkan Umar dan Utsman selalu
meminta pendapat-pendapatnya tentang suatu hal yang sulit dimengerti. Pernah ia
ditanya darimana ia mendapatkan ilmu yang demikian itu. Huzaifah menjawab
bahwa Rasulullah Saw memberikan keistimewaan kepadanya karena orang selalu
bertanya kepada Rasulullah tentang kebaikan, sedang dirinya selalu bertanya
tentang kejahatan karena ia takut terlibat dalam kejahatan.

7
c. Tasawuf Masa Para Tabi’in
Ada beberapa tabi’in besar pada masa ini dalam kaitannya dengan
perkembangan ilmu tasawuf, antara lain Hasan Basri, Rabiatul Adawiyah, Sufyan
Tsauri, Rabi’ bin Haitsam, Jabir bin Hayyan, Kulaib Ash-Shidawi, Manshur bin
‘Ammar, Malik bin Dinar, Al-Fadhl Al-Ragassyi, Rabbaah bin ‘Amr Al-Qisyi,
Shalih bin Basyr Al-Murri, Abdul Wahid bin Zaid, Ibrahim bin Adham, Syaqiq
Al-Balakhi, dan lain-lain yang tidak dapat disebutkan disini. Namun yang paling
populer di antaranya ialah Hasan Basri, Rabiatul Adawiyah, dan Sufyan Tsauri.
Berikut penjelasan singkat dari salah satu tokoh populer tersebut:

Hasan Basri, Setelah era Huzaifah bin Yaman, kemudian disusul generasi
sufi yang dipelopori oleh Hasan Basri. Hasan Basri belajar tasawuf kepada
Huzaifah yang kemudian menjadikannya sebagai orang besar dalam
perkembangan ilmu tasawuf, bahkan dianggap sebagai imam orang-orang sufi.
Hasan Basri lahir di Madinah pada tahun 21 Hijriyah atau 632 Masehi, dan
meninggal pada tahun 110 H. Hasan Basri adalah salah seorang tabi’in yang
terbesar dan ternama, baik dalam ilmu pengetahuan maupun dalam kesalehan dan
kehidupan zuhudnya. Hasan Basri pula yang mula-mula membahas ilmu-ilmu
kebatinan, kemurnian akhlak, dan usaha-usaha untuk membersihkan jiwa.
Hasan Basri memiliki kepribadian yang sangat menarik. Ketika kecil ia pernah
mendapat pujian dari Ali bin Abu Thalib. Suatu ketika, Ali bin Abu Thalib masuk
ke dalam masjid di Basrah. Dilihatnya banyak anak-anak sedang asyik bercerita di
dalam masjid, maka Ali mendatangi mereka dan berusaha mengusirnya keluar
masjid. Namun tiba-tiba ia mendapati salah seorang di antara mereka seorang
anak yang tampan, yakni Hasan Basri. Hasan Basri pada saat itu sedang asyik
bercerita, dan Ali sangat tertarik dengan ceritanya itu. Demi memelihara
ketenangan dan ketenteraman dalam masjid karena ramainya anak-anak, maka Ali
mengajukan pertanyaan kepada Hasan Basri, “Hai anak muda! Aku ingin
bertanya kepadamu dua perkara. Jika engkau dapat menjawabnya, maka aku
akan biarkan engkau berbicara terus. Tetapi jika engkau tidak dapat memberikan
jawaban yang memuaskan, engkau akan kukeluarkan dari dalam masjid ini
seperti anak-anak yang lain”. Anak muda yang bernama Hasan Basri itu pun
berkata, “Silakan bertanya wahai Amirul Mukminin”. Kemudian Ali bin Abu
Thalib pun bertanya, “Ceritakan kepadaku apa kebaikan agama dan apa pula
kerusakannya?”. Dijawab oleh Hasan Basri, “Kebaikan agama itu adalah hidup
wara’, dan kerusakan agama itu adalah hidup tamak”. Setelah dijawab demikian,
maka Ali pun berkata, “Engkau benar, dan sekarang berbicaralah”.
Dasar ajaran tasawuf Hasan Basri adalah zuhud terhadap dunia, menolak
kemegahan dunia semata-mata menuju kepada Allah, bertawakal kepada-
Nya, khauf (takut), dan raja’ (pengharapan). Masing-masing konsep atau dasar
ajaran tasawuf Hasan Basri tersebut akan diuraikan berikut:

8
a. Zuhud berarti hati tidak menyenangi dunia dan berpaling terhadap keindahan
dan kemewahannya karena berbuat taat kepada Allah. Zuhud adalah suatu
tingkatan jiwa yang tinggi, dan ini baru dapat dicapai apabila telah tertanam
perasaan takut dan harap di dalam hati.
b. Takut (khauf) berarti takut akan terjerumus ke dalam jurang kemaksiatan yang
menyebabkannya mendapat murka Allah Swt. Pandangan inilah yang
menyebabkan Hasan Basri bersedih ha ti, senantiasa takut dan gemetar,
kalau ia tidak dapat mengerjakan perintah Allah sepenuhnya dan tidak dapat
menghentikan larangan Allah sepenuhnya karena digoda oleh syetan dan hawa
nafsu keinginan.
c. Setelah merasa takut kepada kemurkaan Allah, maka ikutilah ketakutan itu
dengan pengharapan (raja’). Kalau seorang manusia setelah berusaha
memenuhi segala perintah Allah dan berusaha menjauhkan dirinya dari
kejahatan, namun karena kelalaian dan nafsunya, ternyata masih mampu
menyeretnya ke jurang kejahatan, manusia tidak boleh berputus asa, terus
selalu menanamkan rasa harapan terhadap ampunan dari Allah Swt. Maka dari
itu, tujuan pokok dari khauf dan raja’ ialah ingin terbebas dari kejahatan dan
ingin mencapai kebaikan dan ketaqwaan.

2. Tasawuf Pada Abad Ketiga dan Keempat Hijriyah

a. Ciri-Ciri Perkembangan Tasawuf Pada Abad Ketiga dan Keempat


Hijriyah
Tasawuf pada abad III dan IV Hijriyah sudah mempunyai corak yang berbeda
dengan tasawuf abad sebelumnya. Pada abad ini tasawuf sudah bercorak
kefana’an (ekstase) yang menjurus ke persatuan hamba dengan Tuhannya (wahdat
al-wujud). Orang sudah ramai membahas tentang lenyap dalam kecintaan (ittihad
bi al-mahbub), kekal dengan tuhan (baqa’ bi al-mahbub), menyaksikan
tuhan (musyahadah), bertemu dengan nya (liqa’) dan menjadi satu
dengannya (ain al-jama’).
Lebih jauh Abu al-Wafa menegaskan, bahwa tasawuf pada abad ini lebih
mengarah kepada ciri psikomoral, dan perhatiannya diarahkan pada moral dan
tingkah laku. Sebab pada masa ini ilmu tasawuf terbagi menjadi tiga, yaitu Ilmu
Jiwa, Ilmu Akhlak, dan Ilmu Metafisika. Ditambah pula bahwa demikian pesatnya
perkembangan tasawuf pada abad III dan IV Hijriyah ini, sehingga seolah-olah
sudah merupakan madzhab, bahkan sebagai agama yang berdiri sendiri. Pada abad
ini pula terdapat dua aliran yaitu tasawuf sunni dan tasawuf semi falsafi.

b. Tokoh-Tokoh Sufi Pada Abad Ketiga dan Keempat Hijriyah


Ada beberapa tokoh yang bergerak di bidang tasawuf dan kehidupannya
berada pada kesufian pada abad ketiga Hijriyah ini, antara lain Abul Faidh Zin-
Nun Al-Misri, Abu Yazid Al-Busthami, Yahya bin Muaz, dan Al-Junaid.

9
Sedangkan tokoh tasawuf pada abad keempat Hijriyah antara lain Al-Sari Al-
Saqathi, Abu Hamid bin Muhammad Al-Rubazi, Abu Zaid Al-Adami, Abu Ali
Muhammad bin Abdul Wahab As-Saqafi, Abu Bakar Syibli, Abu Muhammad Al-
Murtasi, dan Husain bin Mansuh Al-Hallaj. Beberapa di antara tokoh-tokoh sufi
tersebut akan dijelaskan profil dan pemikirannya tentang tasawuf berikut ini:

Abul Faidh Zin-Nun Al-Misri, atau yang lebih dikenal dengan Zunnun Al-
Misri, berasal dari Naubah, yakni daerah di antara Sudan dan Mesir. Ia wafat pada
tahun 246 H/860 M. Ia adalah salah seorang murid Imam Malik dan boleh
dikatakan bahwa ia adalah yang pertama kali menetapkan teori-teori di dalam
ilmu tasawuf pada abad ketiga. Ia banyak sekali memperluas pemahaman tentang
jalan menuju Allah. Tujuannya terkait ilmu tasawuf ialah bagaimana cara
mencintai Tuhan, membenci yang sedikit, menuruti garis perintah yang
diturunkan, dan takut akan berpaling jalan.
Pernah ditanya oleh seseorang apa hakikat cinta itu. Zunnun Al-Misri
menjawab, “Bahwa engkau mencintai apa yang dicintai Allah, dan engkau
membenci apa yang dibenci-Nya. Engkau memohon ridha-Nya, dan sekalian
engkau tolak yang akan menghalangimu menuju Dia. Jangan takut akan
kebencian orang yang membenci. Dan jangan mementingkan diri dan melihatnya,
karena dinding yang sangat tebal untuk melihat-Nya ialah lantaran melihat diri
sendiri. Orang yang arif adalah bangga dalam kefakirannya. Apabila disebutnya
nama Allah, ia merasa bangga, dan apabila disebut nama dirinya, ia merasa
miskin”.
Mengenai konsep taubat, Zunnun Al-Misri mengungkapkan bahwa taubat
terbagi menjadi dua macam, yaitu taubatnya orang awam, yakni taubat dari dosa,
dan taubatnya orang khawash, yaitu taubat dari kelalaian. Demikian pula dengan
konsep ma’rifat, olehnya dibagi menjadi tiga macam, yaitu ma’rifat mukmin
biasa (mu’miniin), ma’rifat ahli bicara (mutakallimin) dan hukama’, dan ma’rifat
waliyullah yang dekat kepada Tuhan dan kenal akan Tuhan dalam
hatinya (muqarrabiin). Ma’rifat yang terakhir inilah setinggi-tingginya martabat.

Husain bin Mansuh Al-Hallaj, lahir di Persia pada tahun 244 H/858 M, yang
sebelumnya ia beragama Majusi, kemudian masuk Islam dan terkenal dengan
julukan Abu Mughis. Al-Hallaj adalah seorang yang memiliki riwayat yang luar
biasa dalam bidang tasawuf. Pandangannya sempat membuat ramai di dunia fiqih,
sebab pada masa itu terjadi pertentangan antara ulama fiqih dengan ulama tasawuf
karena faktor salah dalam memahami konsep tasawuf. Ada ratusan ulama fiqih
pada saat itu menentang ajaran tasawufnya sehingga pada akhir hidupnya dijatuhi
hukuman mati. Secara ringkasnya, ajaran tasawuf Al-Hallaj terdiri dari tiga hal,
antara lain:

10
 Hulul, berarti ketuhanan (lahut) menjelma ke dalam diri manusia (nasut). Hal
ini akan terjadi ketika kebatinan seorang manusia sudah suci bersih di dalam
menempuh perjalanan dalam hidup kebatinan, maka tingkat hidupnya akan
naik dari maqam (tingkatan) ke maqam yang lain, misalkan dari muslimin,
mukminin, shalihin, dan muqarrabin. Pada maqam muqarrabin, orang sudah
sangat dekat dengan Tuhan sehingga timbullah penyatuan dirinya dengan
Tuhan.
 Al-Haqiqatul Muhammadiyah, yaitu Nur Muhammad sebagai asal-usul
segala kejadian amal perbuatan dan ilmu pengetahuan. Dan dengan
perantaranya lah seluruh alam ini dijadikan. Menurut Al-Hallaj, Nabi
Muhammad itu terdiri dua rupa: Yang pertama adalah yang qadim, yaitu
terjadi sebelum terjadinya seluruh yang ada. Yang kedua adalah yang berupa
manusia, yakni sebagai Nabi dan Rasul. Rupa yang kedua
(manusia/Nabi/Rasul) ini akan menempuh kematian, dan rupa yang pertama
bersifat qadim. Rupa yang pertama inilah yang oleh Al-Hallaj sebagai asal-
usul segala sesuatu.
 Wihdatul Adyan, yaitu kesatuan segala agama. Ia berpendapat bahwa semua
agama, baik Islam, Yahudi, Nasrani, dan lain-lain, meski berbeda dalam hal
nama, namun pada hakikatnya adalah satu. Orang memilih suatu agama atau
lahir dalam suatu agama bukan atas dasar kehendaknya sendiri, melainkan
sudah ditentukan oleh Allah Swt melalui takdir-Nya.

3. Tasawuf Pada Abad Kelima Hijriyah

a. Ciri-Ciri Perkembangan Tasawuf Pada Abad Kelima Hijriyah


Kematian Al-Hallaj di atas tiang kayu palang telah menyebabkan kesan yang
sangat tidak baik terhadap tasawuf. Salah kaprahnya para sufi dalam memahami
tasawuf pada abad sebelumnya menyebabkan pertarungan sengit antara ulama
fiqih dengan para sufi sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
Atas sebab itulah, tasawuf pada abad V Hijriyah mengadakan konsolidasi.
Sebab pada masa ini ditandai dengan kompetisi dan pertarungan antara tasawuf
sunni dan tasawuf semi falsafi, dan dimenangkan oleh tasawuf sunni.
Kemenangan tasawuf sunni dikarenakan menangnya aliran teologi Ahlus Sunah
Wal Jama’ah yang dipelopori oleh Abu Hasan Al-Asy’ari, yang mengkritik keras
terhadap teori Abu Yazid Al-Busthami dan Al-Hallaj yang nampak bertentangan
dengan aqidah Islam. Oleh karena itu, tasawuf pada abad ini cenderung
mengadakan pembaharuan.
Pada masa ini pula, filsafat dan ilmu kalam berkembang dengan pesatnya,
yang lambat laun ajaran tasawuf sudah mulai beersatu dengan ajaran filsafat.
Sehingga menjadi satu model yang dinamakan Filsafat Tasawuf. Filsafat tasawuf
merupakan perpaduan antara ajaran-ajaran Neo-Platonisme, dan di pihak lain
dengan ajaran Persia dan India.

11
b. Tokoh-Tokoh Sufi Pada Abad Kelima Hijriyah
Ada beberapa tokoh sufi besar pada masa ini, antara lain Abu Hamid al-
Ghazali, Syaikh Ahmad Al-Rifa’i, Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, Syaikh Abu
Hasan Al-Syadzili, Abu Al-Abbas Al-Mursi, dan Ibnu Atha’illah Al-Sakandari.
Namun ulasan tentang tasawuf pada masa kelima Hijriyah ini lebih
menitikberatkan pada konsep tasawuf Al-Ghazali. Sebab, Al-Ghazali adalah
seorang sufi yang terkenal dan terbesar pada masa itu, dan memiliki konsep
tasawuf yang paling jelas dan mencerminkan kondisi pada saat itu. Berikut
penjelasan singkat dari salah satu tokoh populer tersebut:

Al-Ghazali, memiliki nama asli Abu Hamid Al-Ghazali, lahir di desa yang
bernama Thus pada tahun 450 H/1057 M, dan meninggal pada tahun 505 H/1111
M. Al-Ghazali hidup pada zaman Nizamul Mulk, seorang menteri besar kerajaan
Bani Saljuk. Sosok Al-Ghazali sebagai seorang pemikir yang besar telah
mempererat kembali segala perselisihan dan pertikaian yang telah timbul,
terutama antara para sufi dengan ulama fiqih.
Sebelum Al-Ghazali, para ulama mutakallimin (ilmu kalam) telah mengambil
beberapa cara berpikir kaum filsafat dalam menguatkan dasar ilmu kalam
(teologi). Filsafat yang dipelajarinya hanya semata-mata untuk menguatkan dasar-
dasar ilmu kalam. Al-Ghazali memandang, cara pengambilan yang demikian itu
sangat dangkal, sebab orang hanya tertarik dengan ujung-ujung filsafat, tetapi
tidak menggali hingga sampai kepada uratnya. Padahal menurut Al-Ghazali, kalau
sekiranya digali sampai ke uratnya, filsafat tidaklah memperkokoh pendirian
ketuhanan, melainkan akan menggoyahkannya.
Terkait tasawuf, corak pemikiran tasawuf yang dimiliki Al-Ghazali
mengedepankan pada psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral. Hal ini
dapat dilihat dalam karya-karyanya seperti Ihya Ulumuddin (Menghidupkan Ilmu-
Ilmu Agama), Bidayatul Hidayah (Pengantar Tasawuf), Al-Munziqu Minad
Dhalal (Pelepasan Diri Dari Kesesatan), Tahafutil Falasifah (Kacau Balaunya
Filsafat), dan sebagainya. Al-Ghazali mengkritik pola tasawuf pada masa itu (bisa
jadi karena kemasukan paham filsafat), dianggapnya mempunyai dua
kelemahan. Pertama, kurang memperhatikan amal lahiriyah, hanya
mengungkapkan kata-kata yang sulit dipahami dan mengemukakan kesatuan
dengan tuhan. Kedua, keganjilan ungkapan yang tidak dipahami maknanya
diucapkan dari hasil pemikiran yang kacau, hasil imajinasi sendiri. Selain kritikan
tentang model orang-orang sufi sebelumnya, serta model berpikir para filsuf, Al-
Ghazali memiliki sejumlah pemikiran yang masih berputar pada masalah
kebatinan, secara garis besar antara lain: Terkait tasawuf dan filsafat, Konsep
Ma’rifat, Tingkatan manusia, Keimanan/Keyakinan, Kebahagiaan

12
4. Tasawuf Pada Abad Keenam dan Ketujuh Hijriyah

a. Ciri-Ciri Perkembangan Tasawuf Pada Abad Keenam dan Ketujuh


Hijriyah
Pada abad VI Hijriyah, tampillah tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang
bercampur dengan ajaran filsafat, kompromi dalam pemakaian term-term filsafat
yang maknanya disesuaikan dengan tasawuf. Dr. Ibrahim Hasan Ibrahim dalam
bukunya ‘Tarikhul Islam’ menamainya sinkretisme filsafat dengan tasawuf.
Sehingga dalam hal ini, perjalanan tasawuf masih sama seperti pada abad V
Hijriyah. Ditambah lagi adanya akibat dari besarnya pengaruh Tasawuf Al-
Ghazali yang berhasil mengkompromikan ilmu kebatinan dengan filsafat.
Teorinya mengenai hakikat bukan semata-mata dengan akal, namun juga dengan
perasaan.

b. Tokoh-Tokoh Sufi Pada Abad Keenam dan Ketujuh Hijriyah


Ada beberapa tokoh sufi pada masa ini, antara lain Syihabuddin Abdul Futuh
Al-Syuhrawardi, Muhyiddin Ibnu Arabi, Umar Ibnu Faridh, dan Abd Al-Haqqi
ibn Sabi’in. Dari keempat tokoh sufi di atas, yang paling terkenal
ialah Syihabuddin Abdul Futuh Al-Syuhrawardi dan Muhyiddin Ibnu Arabi.
Berikut penjelasan singkat dari salah satu tokoh populer tersebut:

Syihabuddin Abdul Futuh Al-Syuhrawardi, Ia dikenal dengan nama


lain Asy-Syaikh Al-Maqtul (Syaikh yang mati terbunuh), dan memiliki gelar ‘Al-
Mu’ayyad bil Malakut’ (mendapat sokongan dari alam malakut). Mula-mula ia
belajar filsafat dan ushul fiqih kepada Syaikh Imam Majdudin Al-Jaili di Aleppo,
dan banyak bergaul dan bertukar pikiran dengan para ulama disana. Lantaran
pemikirannya yang sangat bebas, akhirnya timbul pertentangan dengan para
ulama fiqih sehingga ia dituduh zindiq dan ilhad (tidak bertuhan/keluar dari
agama). Kemudian para ulama fiqih meminta kepada Sultan Salahuddin Al-
Ayyubi (Saladin) yang terkenal untuk menangkapnya dan dijatuhi hukuman mati.
Setelah mendengar desakan dari para ulama fiqih tersebut, maka Sultan mengutus
anaknya, Malik Az-Zahir, untuk menanngkapnya dan memasukkannya ke dalam
penjara. Setelah berada di penjara, Al-Syuhrawardi tidak mau makan dan minum
sampai meninggal pada tahun 587 H/1191 M.
Al-Syuhrawardi telah mempelajari filsafat kuno seperti filsafat India, Persia,
dan Yunani. Setelah mendalami beberapa filsafat tersebut, maka ia berkesimpulan
bahwa para filsuf adalah orang-orang dari satu keluarga. Seperti para filsuf dari
Yunani, India, dan Persia, semuanya berjalan menuju satu maksud dan berlindung
di bawah satu bendera, yakni filsafat Isyraq, yakni menuntut cahaya kebenaran
dari cahayanya segala cahaya, yaitu Allah.

13
Dalam kitabnya ‘Hayakilun Nur’, ia menerangkan perlawanan
antara Nur (cahaya, merujuk pada rohani) dengan zulumat (kegelapan, merujuk
pada benda). Dari sini, Al-Syuhrawardi berusaha menjelaskan dasar filsafat
tasawuf yang dimilikinya, yakni Allah adalah cahaya dari segala cahaya dan
sumber dari segala yang ada. Dari nur Allah akan melahirkan nur-nur yang lain,
baik alam yang maddi (nampak) atau alam rohani. Dari kekuatan tersebut
kemudian menggerakkan segala falak dan mengatur akan segala aturannya.
Terkait penuntut hikmah, Al-Syuhrawardi membaginya menjadi tiga macam:
 Ahli Filsuf, yang hanya mempergunakan akal semata.
 Ahli Tasawuf, yang ingin mencari Tuhan.
 Ahli filsuf ketuhanan, yakni yang menggunakan akal dan mementingkan rasa
untuk mencapai tujuan, yaitu Allah. Inilah yang paling tinggi nilainya.

5. Tasawuf Pada Abad Kedelapan Hijriyah, dst (Masa Menurunnya


Tasawuf)
Pada masa ini terlihat tanda-tanda keruntuhan tasawuf kian jelas, yang
disebabkan seringnya terjadi penyelewengan dan pemikiran ganjil dalam diri
kaum sufi dan sekaligus mengancam kehancuran reputasi baik ilmu tasawuf.
Tasawuf pada waktu itu telah termasuki bid’ah, khurafat, mengabaikan syari’at,
hukum-hukum moral, dan penghinaan terhadap ilmu pengetahuan,
membentengkan diri dari dukungan awam untuk menghindarkan diri dari
rasionalitas, azimat dan ramalan serta kekuatan gaib ditonjolkan.

Pada masa ini, muncullah revivalis Islam, Syaikh Ibnu Taimiyah (w. 727


H/1329 M), yang dengan lantang menyerang penyelewengan-penyelewengan para
sufi tersebut. Dia dikenal kritis, peka terhadap lingkungan sosialnya, polemis dan
berusaha meluruskan ajaran Islam yang telah diselewengkan para sufi tersebut.
Ibnu Taimiyah melancarkan kritik terhadap ajaran Ittihad, Hullul, dan Wahdat Al–
Wujud sebagai ajaran yang menuju kekufuran (atheisme). Ibnu Taimiyah
membagi fana’ menjadi tiga bagian: fana’ ibadah, fana’ syuhud al-qalb, dan fana’
wujud ma siwa Allah. Terhadap fana’ pertama dan kedua, masih dalam batas
kewajaran, baik ditinjau dari segi psikologis maupun agamis.
Sedangkan fana’ ketiga dianggap menyeleweng dari ajaran Islam dan dianggap
kufur. Ibnu Taimiyah cenderung bertasawuf sebagaimana yang pernah diajarkan
Rasulullah Saw, yakni menghayati ajaran Islam, tanpa mengikuti
aliran thariqah tertentu sebagaimana manusia pada umumnya. Tasawuf model ini
yang cocok untuk dikembangkan di masa modern sekarang.

Penyebab mundurnya tasawuf di dunia Islam pada abad ini antara lain:
 Pada masa itu adalah masa suram-suramnya cahaya perasaan dan pemikiran
karena ada rasa keputusasaan dalam dunia Islam. Hal ini dikarenakan Baghdad
sebagai jantungnya ilmu pengetahuan telah dihancurkan oleh bangsa Mongol.

14
Ditambah lagi kekuasaan Islam berpindah ke Asia Kecil (Turki) oleh Turki
Utsmani. Sejak itulah pelita timur lambat laun redup.
 Bangsa Barat mengalami zaman Renaissance yang mendorong kemajuan
bangsa Barat dalam mengambil alih peradaban dunia.
 Umat Islam hanya bertaklid dalam segala bidang ilmu, yaitu menurut saja
kepada apa yang ditulis dan dijelaskan oleh orang-orang terdahulu. Tidak
hanya tasawuf, kondisi taklid ini juga terjadi pada beberapa bidang ilmu,
seperti ilmu fiqih, Al-Qur’an, hadits, dan teologi (kalam).

Lebih lanjut dengan semakin surutnya perkembangan tasawuf pada abad VIII
Hijriyah ini, maka tidak ada lagi pemikiran baru dalam dunia tasawuf. Meski ada
beberapa ahli sastrawan sufi seperti Al-Kassyani atau Al-Kisani (w. 739 H/1321
M) yang telah banyak menulis buku-buku tentang tasawuf, namun dia tidak
mengeluarkan pendapat yang baru. Ada pula seorang sufi besar pada abad ini
yang bernama Abdul Karim Al-Jaili, seorang pengarang kitab ‘Insan Kamil’. Isi
bukunya sempat membuat gempar para ulama fiqih, karena isinya memperindah
konsep-konsep pikiran Ibnu Arabi, Jalaluddin Rumi, dan lain-lain.
Di dalam abad kesepuluh Hijriyah, muncul kembali seorang sufi yang besar di
Mesir, yaitu Abdul Wahab Sya’rani. Ia memiliki banyak karangan, namun
sebagian besar isinya sulit diterima oleh rasa, harus memakai akal. Kemudian di
abad keduabelas Hijriyah, muncul kembali seorang sufi yang bernama Abdul
Ghani An-Nablusi (w. 1143 H/1735 M), seorang pengikut Ibnu Arabi.

15
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Tokoh-tokoh tasawuf pada abad I dan II Hijriyah yakni, Rasulullah SAW,


Para Khulafaur Rasyidin, Hasan Basri, Rabiatul Adawiyah, Sufyan
Tsauri, Rabi’ bin Haitsam, Jabir bin Hayyan, Kulaib Ash-Shidawi,
Manshur bin ‘Ammar, Malik bin Dinar, Al-Fadhl Al-Ragassyi, Rabbaah
bin ‘Amr Al-Qisyi, Shalih bin Basyr Al-Murri, Abdul Wahid bin Zaid,
Ibrahim bin Adham, Syaqiq Al-Balakhi, dan lain-lain.
2. Tokoh-tokoh tasawuf pada abad III dan IV Hijriyah yakni, Abul Faidh
Zin-Nun Al-Misri, Abu Yazid Al-Busthami, Yahya bin Muaz, dan Al-
Junaid, Al-Sari Al-Saqathi, Abu Hamid bin Muhammad Al-Rubazi, Abu
Zaid Al-Adami, Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahab As-Saqafi, Abu
Bakar Syibli, Abu Muhammad Al-Murtasi, dan Husain bin Mansuh Al-
Hallaj.
3. Tokoh-tokoh tasawuf pada abad V Hijriyah yakni, Abu Hamid al-Ghazali,
Syaikh Ahmad Al-Rifa’i, Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, Syaikh Abu
Hasan Al-Syadzili, Abu Al-Abbas Al-Mursi, dan Ibnu Atha’illah Al-
Sakandari.
4. Tokoh-tokoh tasawuf pada abad VI dan VII Hijriyah yakni, Syihabuddin
Abdul Futuh Al-Syuhrawardi, Muhyiddin Ibnu Arabi, Umar Ibnu Faridh,
dan Abd Al-Haqqi ibn Sabi’in.
5. Tokoh-tokoh tasawuf pada abad VIII Hijriyah, dst yakni, Syaikh Ibnu
Taimiyah, Syaikh Ibnu Taimiyah, Abdul Karim Al-Jaili, Abdul Wahab
Sya’rani, dan Abdul Ghani An-Nablusi.

B. SARAN

Kita sebagai umat islam wajib mempelajari dan mendalami ilmu tasawuf
karena dengan kita mempelajari dan mendalami ilmu tasawuf hidup kita menjadi
lebih tenang dengan kita mendekatkan diri kepada Allah secara langsung. Senlain
itu, dengan kita mengetahui ilmu tasawuf insya allah kita selalu berada dijalan
kebenaran dan kebaikan.

16
DAFTAR PUSTAKA

Al-Barsany, Noer Iskandar. 2001. Tasawuf Tarekat Para Sufi: Jakarta: Raja


Grafindo Persada.

Hamka. 1980. Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Yayasan


Nurul Islam.

Sjukur, Asjwadie. 1978. Ilmu Tasawuf 1. Surabaya: Bina Ilmu.

Syukur, Amin dan Masyharuddin. 2002. Intelektualisme Tasawuf. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar.

17

Anda mungkin juga menyukai