Disusun Oleh:
Safna
2020-01-14201-074
NIM : 2020-01-14201-074
Program Studi : Sarjana Keperawatan
Dengan memanjatkan Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan anugerah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan Laporan
Pendahuluan yang berjudul “Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan
Kebutuhan Dasar Manusia Nyeri Pada Tn.M Dengan Diagnosa Gagal Ginjal Kronis
Diruang Teratai RSUD dr.Doris Sylvanus Palangka Raya”. Laporan pendahuluan ini
disusun guna melengkapi tugas (PPK1).
Laporan Pendahuluan ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena
itu, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada :
1. Ibu Maria Adelheid Ensia, S.Pd., M.Kes selaku Ketua STIKes Eka Harap
Palangka Raya
2. Ibu Meilitha Carolina, Ners., M.Kep selaku Ketua Program Studi Ners
STIKes Eka Harap Palangka Raya.
3. Ibu Ika Paskaria,S.Kep.,Ners selaku pembimbing akademik yang telah banyak
memberikan arahan, masukkan, dan bimbingan dalam penyelesaian asuhan
keperawatan ini
4. Ibu Elvry Marthalina,S.Kep.,Ners selaku dan pembimbing Klinik yang telah
memberikan izin, informasi dan membantu dalam pelaksanaan Praktik Pra
Klinik Keperawatan 1 Semua pihak yang telah banyak membantu dalam
pelaksaan kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini.
5. Secara khusus kepada pihak Rumah Sakit Doris Sylvanus yang telah
memberikan ijin tempat.
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, rumusan masalah dari
laporan ini, adalah: Bagaimana asuhan keperawatan yang komprehensif pada pasien
dengan diagnosa Gagal Ginjal Kronis.
1.3 Tujuan Penelitian
1. Tujuan khusus
Untuk mengetahui hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kecemasan pada
pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di RSUD dr.Doris Sylvanus
Palangka Raya.
2. Tujuan umum
a. Mengetahui gambaran karakteristik pasien gagal ginjal kronik yang menjalani
hemodialisa.
b. Mengetahui gambaran dukungan keluarga pada pasien gagal ginjal kronik yang
menjalani hemodialisa di ruang hemodialisa di RSUD dr.Doris Sylvanus Palngka
Raya.
c. Mengetahui gambaran tingkat kecemasan pasien gagal ginjal kronik yang
menjalani hemodialisa di RSUD dr.Doris Sylvanus Palangka Raya.
d. Menganalisis korelasi atau hubungan antara dukungan keluarga dengan tingkat
kecemasan pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa.
1.4 Manfaat Penelitian
a. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini adalah untuk memberikan informasi tentang hubungan
dukungan keluarga dengan tingkat kecemasan pada pasien gagal ginjal kronik yang
menjalani hemodialisa
b. Bagi Ilmu Keperawatan
Penelitian ini diharapkan menjadi sumber bahan masukan keilmuan dalam
keperawatan kronis, agar dapat dipelajari untuk ilmu keperawatan.
c. Bagi peneliti
Untuk mengetahui dan menambah wawasan, diharapkan hasil dari penelitian ini
dapat memberikan manfaat yang nyata tentang hubungan dukungan keluarga dengan
tingkat kecemasan pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa
d. Bagi peneliti selanjutnya
Untuk menambah studi literature, sebagai bahan referensi untuk penelitian
khususnya pada hubungan dukungan keluarga dengan tingkatkecemasan pada pasien
gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Batu ureter
Obstruksi saluran kemih Obstruksi Terbentuknya batu pada Aliran darah keseluruh
saluran kemih tubuh berkurang
Hambatan aliran urine Hambatan aliran urine
Batu tidak keluar/mengendap Kesemutan dan kaku
disaluran kemih pada ektremitas
9
Peningkatan tekanan hidrostatik Hidronefrosis
Pasien mengeluh nyeri Gangguan pada masalah
pada perut pergerakann
Peristaltik otot polos ureter
Distensi saluran kemih
2.1.7 Komplikasi
1. Obstruksi aliran urine yang menimbulkan penimbunan urine pada ureter
(Mulyanti, 2019) dan refluks kebagian ginjal sehingga menyebabkan gagal ginjal
(Harmilah, 2020).
2. Penurunan sampai kerusakan fungsi ginjal akibat sumbatan yang lama
sebelum pengobatan dan pengangkatan batu ginjal (Harmilah, 2020). Gangguan
fungsi ginjal yang ditandai kenaikan kadar ureum dan kreatinin darah, gangguan
tersebut bervariasi dari stadium ringan sampai timbulnya sindroma uremia dan
gagal ginjal, bila keadaan sudah stadium lanjut bahkan bisa mengakibatkan
kematian (Haryadi, 2020).
3. Infeksi akibat diseminasi partikel batu ginjal atau bakteri akibat obstruksi
(Harmilah, 2020).
4. Bakteriuria asimptomatik, ISK, serta sepsis (Ruckle, Maulana, & Ghinowara,
2020).
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang
Berdasarkan teori Harmilah (2020), pemeriksaan penunjang gangguan urolithiasis
antara lain:
1. Urinalisis: warna kuning, coklat gelap, berdarah. Secara umum menunjukkan
adanya sel darah merah, sel darah putih, dan kristal (sistin, asam urat, kalsium
oksalat), serta serpihan, mineral, bakteri, pH urine asam (meningkatkan sistin dan
batu asam urat) atau alkalin meningkatkan magnesium, fosfat amonium, atau batu
kalsium fosfat.
2. Urine (24 jam): kreatinin, asam urat, kalsium, fosfat, oksalat atau sistin
meningkat.
3. Kulture urine: menunjukkan adanya infeksi saluran kemih (stapilococus
aureus, proteus, klebsiela, pseudomonas).
4. Survei biokimia: peningkatan kadar magnesium, kalsium, asam urat, fosfat,
protein dan elektrolit.
5. BUN/kreatinin serum dan urine: abnormal (tinggi pada serum/ rendah pada
urine) sekunder terhadap tingginya batu obstruktif pada ginjal menyebabkan
iskemia/nekrosis.
6. Kadar klorida dan bikarbonat serum: peningkatan kadar klorida dan penurunan
kadar bikarbonat menunjukkan terjadinya asidosis tubulus ginjal.
7. Hitung darah lengkap: sel darah putih mungkin meningkat, menunjukkan
infeksi/septikemia.
8. Sel darah merah: biasanya normal
9. Hb, Ht: abnormal bila pasien dehidrasi berat atau polisitemia terjadi
(mendorong presipitasi pemadatan) atau anemia (pendarahan, disfungsi ginjal)
10. Hormon paratiroid: meningkat bila ada gagal ginjal (PTH merangsang
rabsorpsi kalsium dari tulang meningkatkan sirkulasi serum dan kalsium urine).
11. Foto rontgen: menunjukkan adanya kalkuli atau perubahan anatomis pada area
ginjal dan sepanjang ureter
12. IVP: memberikan konfirmasi cepat urolithiasis, seperti penyebab nyeri
abdominal atau panggul. Menunjukkan abdomen pada struktur anatomis (distensi
ureter) dan garis bentuk kalkuli.
13. Sistoureteroskopi: visualisasi langsung kandung kemih dan ureter dapat
menunjukkan batu dan efek obstruksi.
14. CT Scan: mengidentifikasi/menggambarkan kalkuli dan massa lain, ginjal,
ureter, dan distensi kandung kemih.
15. USG Ginjal: untuk menentukan perubahan obstruksi, lokasi batu.
2.1.9 Penatalaksanaan
Tata Laksana Spesifik Batu Ureter
1. Konservatif
Terdapat beberapa data yang berkaitan dengan pengeluaran batu secara spontan
bergantung pada ukuran batu, diperkirakan 95% batu dapat keluar spontan dalam
waktu 40 hari dengan ukuran batu hingga 4 mm. Observasi juga dapat dilakukan
pada pasien yang tidak memiliki komplikasi (infeksi, nyeri refrakter, penurunan
fungsi ginjal, kelainan anatomi saluran ureter).
2. Terapi Farmakologi
Terapi ekspulsi medikamentosa (medical expulsive therapy/MET), perlu
diinformasikan kepada pasien jika pengangkatan batu tidak diindikasikan. Bila
direncanakan pemberian terapi MET, selain ukuran batu ureter, perlu
dipertimbangkan beberapa faktor lainnya dalam pertimbangan pemilihan terapi.
Apabila timbul komplikasi seperti infeksi, nyeri refrakter, penurunan fungsi ginjal,
dan kelainan anatomi di ureter maka terapi perlu ditunda. Penggunaan α-blocker
sebagai terapi ekspulsi dapat menyebabkan efek samping seperti ejakulasi retrograd
dan hipotensi. Pasien yang diberikan αblocker, penghambat kanal kalsium
(nifedipin), dan penghambat PDE-5 (tadalafil) memiliki peluang lebih besar untuk
keluarnya batu dengan episode kolik yang rendah dibandingkan tidak diberikan
terapi. Terapi kombinasi penghambat PDE-5 atau kortikosteroid dengan α-blocker
tidak direkomendasikan. Obat α-blocker menunjukkan secara keseluruhan lebih
superior dibandingkan nifedipin untuk batu ureter distal. Terapi ekspulsi
medikamentosa memiliki efikasi untuk tata laksana pasien dengan batu ureter,
khususnya batu ureter distal ≥ 5 mm. Beberapa studi menunjukkan durasi pemberian
terapi obat-obatan selama 4 minggu, namun belum ada data yang mendukung untuk
interval lama pemberiannya.
3. Indikasi Pengangkatan Batu Ureter secara Aktif
Indikasi untuk pengeluaran batu ureter secara aktif antara lain:
- Kemungkinan kecil batu keluar secara spontan;
- Nyeri menetap walaupun sudah diberikan analgesik adekuat;
- Obstruksi persisten;
- Insufisiensi ginjal (gagal ginjal, obstruksi bilateral, atau solitary kidney); atau
- Kelainan anatomi ureter
4. Pilihan Prosedur untuk Pengangkatan Batu Ureter secara Aktif Secara
keseluruhan dalam mencapai hasil kondisi bebas batu (stone-free rate) pada batu
ureter, perbandingan antara URS dan SWL memiliki efikasi yang sama. Namun,
pada batu berukuran besar, efikasi lebih baik dicapai dengan menggunakan URS.
Meskipun penggunaan URS lebih efektif untuk batu ureter, namun memiliki risiko
komplikasi lebih besar dibandingkan SWL. Namun, era endourologi saat ini, rasio
komplikasi dan morbiditas secara signifikan menurun. URS juga merupakan pilihan
aman pada pasien obesitas (IMT >30 kg/m2) dengan angka bebas batu dan rasio
komplikasi yang sebanding. Namun, pada pasien sangat obesitas (IMT >35 kg/m2)
memiliki peningkatan rasio komplikasi 2 kali lipat. Namun, URS memiliki tingkat
pengulangan terapi yang lebih rendah dibandingkan SWL, namun membutuhkan
prosedur tambahan (misal penggunaan DJ stent), tingkat komplikasi yang lebih
tinggi, dan masa rawat yang lebih panjang. Obesitas juga dapat menyebabkan
rendahnya tingkat keberhasilan SWL (Noegroho et al., 2018).
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan Batu Ureter
Asuhan keperawatan merupakan rangkaian interaksi antara perawat, pasien, dan
lingkungannya untuk mencapai tujuan pemenuhan kebutuhan dan kemandirian pasien
dalam merawat dirinya (Tarigan & Handiyani, 2019). Asuhan keperawatan merupakan
proses yang sistematis, terstruktur, dan integratif dalam bidang ilmu keperawatan.
Asuhan ini diberikan melalui metode yang disebut proses keperawatan (Koerniawan,
Daeli, & Srimiyati, 2020). Proses keperawatan adalah pendekatan pemecahan masalah
yang melibatkan berpikir kritis, logis dan kreatif yang merupakan salah satu dasar dari
praktik keperawatan (Siregar, 2021). Proses keperawatan melibatkan beberapa tahapan
yaitu:
2.2.1 Pengkajian
1. Identitas
Secara otomatis, faktor jenis kelamin dan usia sangat signifikan dalam proses
pembentukan batu. Namun, angka kejadian batu ureter dilapangan sering kali
terjadi pada laki-laki dan pada masa usia dewasa. Hal ini karena pola hidup,
aktivitas, dan geografis.
2. Keluhan utama
Keluhan sangat bervariasi, terlebih jika terdapat penyakit skunder yang menyertai.
Keluhan utama biasanya yang sering muncul pada pasien dengan batu ureter
adalah nyeri pada perut yang menjalar sampai ke pinggang dan nyeri saat
berkemih.
3. Riwayat penyakit sekarang
Keluhan yang sering terjadi pada pasien batu ureter ialah nyeri pada saluran kemih
yang menjalar, berat ringannya tergantung pada lokasi dan besarnya batu, dapat
terjadi nyeri/kolik renal. Pasien juga mengalami gangguan gastrointestinal.
4. Riwayat penyakit dahulu
Kemungkinan adanya riwayat gangguan pola berkemih.
5. Riwayat penyakit keluarga
Batu ureter bukan merupakan penyakit menular dan menurun, sehingga silsilah
keluarga tidak terlalu berpengaruh pada penyakit ini.
6. Riwayat psikososial
Kondisi ini tidak selalu ada gangguan jika pasien memiliki koping adaptif. Namun
biasanya, hambatan dalam interaksi interaksi sosial dikarenakan adanya
ketidaknyamanan (nyeri hebat) pada pasien, sehingga fokus perhatiannya hanya
pada sakitnya.
7. Pola fungsi kesehatan
a. Pola aktivitas
Penurunan aktivitas selama sakit terjadi bukan karena kelemahan otot, tetapi
dikarenakan gangguan rasa nyaman (nyeri).
b. Pola nutrisi metabolik
Biasanya pasien dengan batu ureter terjadi mual muntah karena peningkatan
tingkat stres akibat nyeri hebat. Anoreksia sering kali terjadi karena kondisi
pH pencernaan yang asam akibat sekresi HCL berlebihan.
c. Pola eliminasi
Biasanya pada eliminasi alvi tidak mengalami perubahan fungsi maupun pola,
kecuali diikuti oleh penyakit-penyakit penyerta lainnya.
d. Pola istirahat tidur
Biasanya pasien dengan batu ureter mengalami gangguan pola tidur, sulit tidur
dan kadang sering terbangun dikarenakan nyeri yang dirasakan.
e. Pola Kognitif perseptual
Biasanya pasien dengan batu ureter memiliki komunikasi yang baik dengan
orang lain, pendengaran dan penglihatan baik, dan tidak menggunakan alat
bantu.
f. Pola toleransi-koping stress
Biasanya pasien dengan batu ureter, dapat menerima keadaan penyakitnya.
g. Persepsi diri atau konsep diri
Biasanya pasien dengan batu ureter tidak mengalami gangguan konsep diri.
h. Pola seksual reproduksi
Biasanya pasien dengan batu ureter mengalami gangguan ini sehubungan
dengan rasa tidak nyaman.
i. Pola hubungan dan peran
Biasanya pasien dengan batu ureter, memiliki komunikasi yang baik dengan
keluarga, perawat, dokter, dan lingkungan sekitar.
j. Pola nilai dan keyakinan
Biasanya pasien dengan batu ureter tidak mengalami gangguan dalam pola
nilai dan keyakinan.
8. Pemeriksaan fisik
a. Kondisi umum dan tanda-tanda vital
Kondisi klien batu ureter dapat bervariasi mulai tanpa kelainan fisik sampai
tanda-tanda sakit berat tergantung pada letak batu dan penyulit yang
ditimbulkan. Pada tanda-tanda vital biasanya tidak ada perubahan yang
mencolok, hanya saja takikardi terjadi akibat nyeri yang hebat.
b. Pemeriksaan Fisik
1) Wajah
Inspeksi : warna kulit, jaringan parut, lesi, dan vaskularisasi. Amati
adanya pruritus, dan abnormalitas lainnya.
Palpasi : palpasi kulit untuk mengetahui suhu, turgor, tekstur, edema, dan
massa.
2) Kepala
Inpeksi : kesimetrisan dan kelainan. Tengkorak, kulit kepala (lesi, massa)
Palpasi : dengan cara merotasi dengan lembut ujung jari kebawah dari
tengah-tengah garis kepala ke samping. Untuk mengetahui adanya bentuk
kepala pembengkakan, massa, dan nyeri tekan, kekuatan akar rambut.
3) Mata
Inspeksi : kelopak mata, perhatikan kesimetrisannya. Amati daerah orbital
ada tidaknya edema, kemerahan atau jaringan lunak dibawah bidang
orbital, amati konjungtiva dan sklera (untuk mengetahui adanya anemis
atau tidak) dengan menarik/membuka kelopak mata. Perhatikan warna,
edema, dan lesi. Inspeksi kornea (kejernihan dan tekstur kornea) dengan
berdiri disamping klien dengan menggunakan sinar cahaya tidak
langsung. Inspeksi pupil, iris. Palpasi : ada tidaknya pembengkakan pada
orbital dan kelenjar lakrimal.
4) Hidung
Inspeksi : kesimetrisan bentuk, adanya deformitas atau lesi dan cairan
yang keluar.
Palpasi : bentuk dan jaringan lunak hidung adanya nyeri, massa,
penyimpangan bentuk.
5) Telinga
Inspeksi : amati kesimetrisan bentuk, dan letak telinga, warna, dan lesi
Palpasi : kartilago telinga untuk mengetahui jaringan lunak, tulang teling
ada nyeri atau tidak.
6) Mulut dan faring
Inspeksi : warna dan mukosa bibir, lesi dan kelainan kongenital,
kebersihan mulut, faring.
7) Leher
Inspeksi : bentuk leher, kesimetrisan, warna kulit, adanya pembengkakan,
jaringan parut atau massa.
Palpasi : kelenjar limfa/kelenjar getah bening, kelenjar tiroid.
8) Thorak dan tulang belakang
Inspeksi : kelainan bentuk thorak, kelainan bentuk tulang belakang, pada
wanita (inspeksi payudara: bentuk dan ukuran)
Palpasi : ada tidaknya krepitus pada kusta, pada wanita (palpasi payudara:
massa)
9) Paru posterior, lateral, inferior
Inspeksi : kesimetrisan paru, ada tidaknya lesi.
Palpasi : dengan meminta pasien menyebutkan angka misal 7777.
Bandingkan paru kanan dan kiri. Pengembangan paru dengan meletakkan
kedua ibu jari tangan ke prosesus xifoideus dan minta pasien bernapas
panjang.
Perkusi : dari puncak paru kebawah (suprakapularis/3-4 jari dari pundak
sampai dengan torakal 10), catat suara perkusi: sonor/hipersonor/redup.
Auskultasi : bunyi paru saat inspirasi dan aspirasi (vesikuler,
bronchovesikuler, bronchial, tracheal: suara abnormal wheezing, ronchi,
krekels).
10) Jantung dan pembuluh darah
Inspeksi : titik impuls maksimal, denyutan apikal
Palpasi : area orta pada intercostae ke-2 kiri, dan pindah jari-jari ke
intercostae 3, dan 4 kiri daerah trikuspidalis, dan mitral pada intercostae 5
kiri. Kemudian pindah jari dari mitral 5-7 cm ke garis midklavikula kiri.
Perkusi : untuk mengetahui batas jantung (atas-bawah, kanan-kiri).
Auskultasi : bunyi jantung I dan II untuk mengetahui adanya bunyi
jantung tambahan
11) Abdomen
Inspeksi : ada tidaknya pembesaran, datar, cekung/cembung, kebersihan
umbilikus.
Palpasi : epigastrium, lien, hepar, ginjal
Perkusi : 4 kuadran (timpani, hipertimpani, pekak)
Auskultasi : 4 kuadaran (peristaltik usus diukur dalam 1 menit, bising
usus)
12) Genitalia
Inspeksi : inspeksi (kebersihan, lesi, massa, perdarahan, dan peradangan)
serta adanya kelainan.
Palpasi : palpasi apakah ada nyeri tekan dan benjolan.
13) Ekstremitas :
Inspeksi : kesimetrisan, lesi, massa.
Palpasi : tonus otot, kekuatan otot. Kaji sirkulasi : akral hangat/dingin,
warna, Capillary Refiil Time (CRT). Kaji kemampuan pergerakan sendi.
Kaji reflek fisiologis : bisep, trisep, patela, arcilles. Kaji reflek patologis :
reflek plantar.
2.2.2.Anatomi Fisiologi
Nyeri dapat berasal dari dalam ataupun luar sistem saraf. Nyeri yang berasal dari luar
sistem saraf dinamakan nyeri nosiseptif. Sedangkan nyeri yang berasal dari dalam dinamakan
nyeri neurogenik atau neuropatik. Nyeri dapat dirasakan ketika stimulus yang berbahaya
mencapai serabut-serabut saraf nyeri. Mekanisme proses terjadinya nyeri terdiri dari empat
proses yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi. Transduksi nyeri adalah proses
rangsangan yang mengganggu sehingga menimbulkan aktifitas listrik di reseptor nyeri.
Transmisi nyeri melibatkan proses penyaluran impuls nyeri dari tempat transduksi melewati
saraf perifer sampai ke terminal di medulla spinalis dan jaringan neuron-neuron pemancar
yang naik dari medulla spinalis ke otak. Modulasi nyeri melibatkan aktifitas saraf melalui
jalur-jaur saraf desenden dari otak yang dapat memengaruhi transmisi nyeri setinggi medulla
spinalis. Modulasi juga melibatkan faktor-faktor kimiawi yang menimbulkan atau
meningkatkan aktifitas di reseptor nyeri aferen primer. Persepsi nyeri adalah pengalaman
subyektif nyeri yang bagaimanapun juga dihasilkan oleh aktifitas transmisi nyeri oleh saraf.
(Price and Wilson, 2006).
2.2.3.Etiologi
Nyeri dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu trauma, mekanik, thermos, elektrik,
neoplasma (jinak dan ganas), peradangan (inflamasi), gangguan sirkulasi darah dan kelainan
pembuluh darah serta yang terakhir adalah trauma psikologis (Handayani, 2015).
2.2.4.Klasifikasi
Klasifikasi nyeri berdasarkan beberapa hal adalah sebagai berikut :
1.Nyeri berdasarkan tempatnya Menurut Irman (2007) dalam Handayani (2015) dibagi
menjadi 4 yaitu :
a. Pheriperal pain
Merupakan nyeri yang terasa pada permukaan tubuh. Nyeri ini termasuk nyeri pada
kulit dan permukaan kulit. Stimulus yang efektif untuk menimbulkan nyeri dikulit
dapat berupa rangsangan mekanis, suhu, kimiawi, atau listrik. Apabila hanya kulit
yang terlibat, nyeri sering dirasakan sebagai menyengat, tajam, meringis, atau seperti
terbakar.
b. Deep pain
Merupakan nyeri yang terasa pada permukaan tubuh yang lebih dalam (nyeri
somatik) atau pada organ tubuh visceral. Nyeri somatis mengacu pada nyeri yang
berasal dari otot, tendon, ligament, tulang, sendi dan arteri. Struktur-struktur ini
memiliki lebih sedikit reseptor nyeri sehingga lokalisasi sering tidal jelas.
c. Reffered pain
Merupakan nyeri dalam yang disebabkan karena penyakit organ/ struktur dalam
tubuh yang ditransmisikan ke bagian tubuh di daerah yang berbeda bukan dari daerah
asalnya misalnya, nyeri pada lengan kiri atau rahang berkaitan dengan iskemia
jantung atau serangan jantung.
d. Central pain
Merupakan nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer
pada sistem saraf pusat seperti spinal cord, batang otak, thalamus, dan lain-lain.
a. Incidental pain Merupakan nyeri yang timbul sewaktu-waktu lalu menghilang. Nyeri
ini biasanya sering terjadi pada pasien yang mengalami kanker tulang.
b. Steady pain Merupakan nyeri yang timbul dan menetap serta dirasakan dalam jangka
waktu yang lama. Pada distensi renal kapsul dan iskemik ginjal akut merupakan salah
satu jenis.
c. Proximal pain Merupakan nyeri yang dirasakan berintensitas tinggi dan kuat sekali.
Nyeri tersebut biasanya menetap selama kurang lebih 10-15 menit, lalu menghilang
kemudian timbul lagi.
a. Nyeri ringan
Merupakan nyeri yang timbul dengan intensitas ringan. Nyeri ringan biasanya pasien
secara obyektif dapat berkomunikasi dengan baik.
b. Nyeri sedang
Merupakan nyeri yang timbul dengan intensitas yang sedang. Nyeri sedang secara
obyektif pasien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri dan
mendiskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik.
c. Nyeri berat
Merupakan nyeri yang timbul dengan intensitas berat. Nyeri berat secara obyektif
pasien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan,
dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendiskripsikannya, tidak dapat diatasi
dengan alih posisi nafas panjang.
3.Intervensi
1. Mengurangi dan membatasi faktor-faktor yang menambah nyeri.
2. Menggunakan berbagai teknik noninvasif untuk memodifikasi nyeri yang dialami.
3. Menggunakan cara-cara untuk mengurangi nyeri yang optimal, seperti memberikan
analgesik sesuai dengan program yang ditentukan.
4.Implementasi
5.Evaluasi
Evaluasi adalah fase kelima dan fase terakhir proses keperawatan. Evaluasi adalah
aktivitas yang direncanakan, berkelanjutan, dan terarah ketika klien dan profesional
kesehatan menentukan kemajuan klien menuju pencapaian tujuan/hasil dan keefektifan
rencana asuhan keperawatan. Evaluasi merupakan aspek penting proses keperawatan karena
kesimpulan yang ditarik dari evaluasi menentukan apakah intervensi keperawatan harus
diakhiri, dilanjutkan, atau diubah. Proses evaluasi keperawatan memiliki lima komponen
antara lain megumpulkan data yang berhubungan dengan hasil yang diharapkan,
membandingkan data dengan hasil, menghubungkan tindakan keperawatan dengan hasil,
menarik kesimpulan tentang status masalah, meanjutkan, memodifikasi, atau mengakhiri
rencana asuhan keperawatan (Kozier et al., 2010).
Evaluasi terhadap pasien cedera kepala sedang dengan masalah keperawatan nyeri
akut mengacu terhadap rumusan tujuan yang mencakup aspek waktu dan kriteria hasil dalam
rencana keperawatan. Adapun kriteria hasil yang ditetapkan mengacu pada Standar Luaran
Keperawatan Indonesia (SLKI) yaitu keluhan nyeri menurun, tampak meringis menurun,
sikap protektif menurun, gelisah menurun, kesulitan tidur menurun, frekuensi nadi membaik.