Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

KEBUTUHAN DASAR MANUSIA NYERI PADA TN.M DENGAN


DIAGNOSA GAGAL GINJAL KRONIS DI RUANG TERATAI
RSUD dr.DORIS SYLVANUS PALANGKA RAYA

Disusun Oleh:

Safna
2020-01-14201-074

YAYASAN EKA HARAP PALANGKARAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PRODI SARJANA KEPERAWATAN
TAHUN 2022
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan ini disusun oleh :


Nama : Safna

NIM : 2020-01-14201-074
Program Studi : Sarjana Keperawatan

Judul : Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan Kebutuhan


Dasar Manusia Nyeri Pada Tn.M Dengan Diagnosa Gagal Ginjal
Kronis Diruang Teratai RSUD dr.Doris Sylvanus Palangka Raya

Telah melakukan asuhan keperawatan sebagai persyaratan untuk menyelesaikan


Praktik Pra Klinik Keperawatan 1 Program Studi Sarjana Keperawatan Sekolah
Tinggi Ilmu Kesehatan Eka Harap Palangka Raya.

Laporan Keperawatan ini telah disetujui oleh :

Pembimbing Akademik Pembimbing Lahan

Ika Paskaria,S.Kep.,Ners Elvry Marthalina,S.Kep.,Ners


KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan anugerah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan Laporan
Pendahuluan yang berjudul “Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan
Kebutuhan Dasar Manusia Nyeri Pada Tn.M Dengan Diagnosa Gagal Ginjal Kronis
Diruang Teratai RSUD dr.Doris Sylvanus Palangka Raya”. Laporan pendahuluan ini
disusun guna melengkapi tugas (PPK1).

Laporan Pendahuluan ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena
itu, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada :

1. Ibu Maria Adelheid Ensia, S.Pd., M.Kes selaku Ketua STIKes Eka Harap
Palangka Raya
2. Ibu Meilitha Carolina, Ners., M.Kep selaku Ketua Program Studi Ners
STIKes Eka Harap Palangka Raya.
3. Ibu Ika Paskaria,S.Kep.,Ners selaku pembimbing akademik yang telah banyak
memberikan arahan, masukkan, dan bimbingan dalam penyelesaian asuhan
keperawatan ini
4. Ibu Elvry Marthalina,S.Kep.,Ners selaku dan pembimbing Klinik yang telah
memberikan izin, informasi dan membantu dalam pelaksanaan Praktik Pra
Klinik Keperawatan 1 Semua pihak yang telah banyak membantu dalam
pelaksaan kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini.
5. Secara khusus kepada pihak Rumah Sakit Doris Sylvanus yang telah
memberikan ijin tempat.

Saya menyadari bahwa laporan pendahuluan ini mungkin terdapat kesalahan


dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penyusun mengharapkan saran dan
kritik yang membangun dari pembaca dan mudah-mudahan laporan pendahuluan ini
dapat mencapai sasaran yang diharapkan sehingga dapat bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA

LEMBAR PENGESAHAN ...........................................................................2


KATA PENGANTAR....................................................................................3
DAFTAR ISI ..................................................................................................4
BAB 1 PENDAHULUAN ..............................................................................6
1.1 Latar Belakang............................................................................................6
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................6
1.3 Tujuan Penulisan.........................................................................................7
1.4 Manfaat Penulisan......................................................................................7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................8
2.1 Konsep Dasar Penyakit............................................................................8
2.1.1 Definisi ...................................................................................................8
2.1.2 Anatomi Fisioligi.....................................................................................8
2.1.3 Etiologi ...................................................................................................8
2.1.4 Klasifikasi ...............................................................................................9
2.1.5 Patofisiologi (WOC)...............................................................................10
2.1.6 Manifestasi Klinis...................................................................................12
2.1.7 Komplikasi..............................................................................................12
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang...........................................................................13
2.1.9 Penatalaksanaan Medis............................................................................13
2.1.10 Asuhan Keperawatan Teori ..................................................................13
2.2 Konsep Dasar Gangguan Rasa Nyaman (Nyeri)...................................15
2.2.1 Definisi....................................................................................................15
2.2.2 Anatomi Fisiologi....................................................................................16
2.2.3 Etiologi....................................................................................................16
2.2.4 Klasifikasi................................................................................................16
2.2.5 Patofisiologi.............................................................................................18
2.2.6 Manifestasi Klinis....................................................................................20
2.2.7 Komplikasi...............................................................................................21
2.2.8 Pemeriksaan Penunjang...........................................................................21
2.2.9 Penatalaksanaan Medis............................................................................21
2.2.10 Asuhan Keperawatan Teori...................................................................21
BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN............................................................24
BAB 4 PENUTUP...........................................................................................42
1 Saran..............................................................................................................42
2 Kesimpulan....................................................................................................42
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gagal ginjal kronik (GGK) merupakan suatu gejala klinis karena penurunan
fungsi ginjal yang bersifat menahun, gagal ginjal juga menyebabkan kematian
apabila tidak dilakukan terapi pengganti, karena kegagalan fungsi ginjal untuk
mempertahankan metabolisme dan elektrolit. Gagal ginjal kronik merupakan
kerusakan ginjal progresif ditandai dengan uremia (urea dan limbah lain yang
beredar di dalam darah serta komplikasinya jika tidak di lakukan dialisis atau
transplantasi ginjal) (Muttaqin & Sari, 2011; Nursalam, 2009).
Data di Amerika terdapat sekitar 20 juta orang memiliki kerusakan ginjal
(American Nephrology Nurses Asosiation, 2007). Diantaranya 2,35 % mengalami
gagal ginjal tahap akhir. (Riskesdas, 2013). Penderita gagal ginjal diIndonesia
mengalami peningkatan pada tahun 2011 dengan jumlah penderita gagal ginjal
kronik sebesar 15.353 kasus dan pada tahun 2014 naik sebesar 17.193. Di Jawa
Tengah penderita gagal ginjal menempati urutan nomor tiga dengan jumlahnya
mencapai 2.192 penderita (Infodatin, 2017). Data penderita menurut Indonesia
Renal Regystri tahun (2011) di Indonesia sekitar 15.353 menjalani hemodialisa.
Faktor yang mempengaruhi kecemasan pada pasien hemodialisa diantaranya
meliputi usia, jenis kelamin, pendidikan, pengalaman pasien menjalani
pengobatan yang termasuk dalam faktor instrinsik sedangkan untuk faktor
ekstrinsik meliputi biaya pengobatan, lama perawatan dan dukungan dari keluarga
(Kaplan dan Sadock dalam Lutfa 2008). Menurut kaplan (2010) kecemasan yang
dirasakan oleh seseorang yang menjalani suatu rangkaian perawatan penyakit
sangatlah sering terjadi, semua orang yang menjalani pengobatan memiliki rasa
khawatir karena belum memahami bagaimana proses pengobatan tersebut. Di
Amerika usia yang mengalami kecemasan tertinggi berkisar usia 55 ke atas, dan
jenis kelamin orang yang sering mengalami kecemasan terutama peremuan. Jenis
kelamin pada seseorang juga mempengarui kecemasan karena proses pemikiran
yang terjadi pada jenis kelamin laki-laki dan perempuan berbeda, jenis kelamin
perempuan biasanya lebih cenderung mengalami kecemasan dibandingkan jenis
kelamin laki-laki (Surono, 2008).
Berdasarkan studi pendahuluan yang di lakukan oleh peneliti di Rumah Sakit
Moewardi daerah surakarta pada tanggal 7 Maret 2018 bahwa pasien gagal ginjal
kronis yang akan menjalani terapi hemodialisa rata-rata mengalami kecemasan.
Berdasarkan uraian dan fenomena di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian tentang “Hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kecemasan pada
pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di Rumah Sakit Moewardi
surakarta”.

1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, rumusan masalah dari
laporan ini, adalah: Bagaimana asuhan keperawatan yang komprehensif pada pasien
dengan diagnosa Gagal Ginjal Kronis.
1.3 Tujuan Penelitian
1. Tujuan khusus
Untuk mengetahui hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kecemasan pada
pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di RSUD dr.Doris Sylvanus
Palangka Raya.
2. Tujuan umum
a. Mengetahui gambaran karakteristik pasien gagal ginjal kronik yang menjalani
hemodialisa.
b. Mengetahui gambaran dukungan keluarga pada pasien gagal ginjal kronik yang
menjalani hemodialisa di ruang hemodialisa di RSUD dr.Doris Sylvanus Palngka
Raya.
c. Mengetahui gambaran tingkat kecemasan pasien gagal ginjal kronik yang
menjalani hemodialisa di RSUD dr.Doris Sylvanus Palangka Raya.
d. Menganalisis korelasi atau hubungan antara dukungan keluarga dengan tingkat
kecemasan pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa.
1.4 Manfaat Penelitian
a. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini adalah untuk memberikan informasi tentang hubungan
dukungan keluarga dengan tingkat kecemasan pada pasien gagal ginjal kronik yang
menjalani hemodialisa
b. Bagi Ilmu Keperawatan
Penelitian ini diharapkan menjadi sumber bahan masukan keilmuan dalam
keperawatan kronis, agar dapat dipelajari untuk ilmu keperawatan.
c. Bagi peneliti
Untuk mengetahui dan menambah wawasan, diharapkan hasil dari penelitian ini
dapat memberikan manfaat yang nyata tentang hubungan dukungan keluarga dengan
tingkat kecemasan pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa
d. Bagi peneliti selanjutnya
Untuk menambah studi literature, sebagai bahan referensi untuk penelitian
khususnya pada hubungan dukungan keluarga dengan tingkatkecemasan pada pasien
gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Batu Ureter


2.1.1 Definisi
Batu ureter adalah proses terbentuknya kristal-kristal batu pada saluran
perkemihan (Mulyanti, 2019). Batu ureter merupakan suatu keadaan
terdapatnya batu (kalkuli) di saluran kemih. Kondisi adanya batu pada saluran
kemih memberikan gangguan pada sistem perkemihan dan memberikan
berbagai masalah keperawatan pada pasien (Harmilah, 2020). Batu ureter
merupakan suatu keadaan terjadinya terjadinya penumpukan oksalat, kalkuli
(batu ginjal) pada ureter, kandung kemih, atau pada daerah ginjal. Batu ureter
merupakan obstruksi benda padat pada saluran kemih yang terbentuk karena
faktor presipitasi endapan dan senyawa tertentu (Silalahi, 2020).
2.1.2 Etiologi
Menurut Zamzami (2018) terdapat beberapa faktor yang mendorong
pembentukan batu ureter yaitu:
1. Peningkatan kadar kristaloid pembentuk batu dalam urine
2. pH urine abnormal rendah atau tinggi
3. Berkurangnya zat-zat pelindung dalam urin
4. Sumbatan saluran kencing dengan stasis urine.
Disamping itu, terdapat pula tiga faktor utama yang harus dipertimbangkan
untuk terjadinya batu ureter yaitu: Retensi partikel urin, supersaturasi urine,
dan kekurangan inhibitor kristalisasi urin. Kelebihan salah satu faktor ini
menyebabkan batu saluran kemih.
Sedangkan menurut Harmilah (2020) pembentukan batu disaluran kemih
dipengaruhi oleh dua faktor, yakni faktor endogen dan faktor eksogen. Faktor
endogen adalah faktor genetik seperti hipersistinuria, hiperkalsiuria primer,
hiperoksaluria primer, sedangkan faktor eksogen meliputi lingkungan,
makanan, infeksi, dan kejenuhan mineral didalam air minum.
2.1.3 Klasifikasi
Menurut Mulyanti (2019), berdasarkan lokasi tertahannya batu (stone), batu
saluran kemih dapat diklasifikasikan menjadi beberapa nama yaitu:
1. Nefrolithiasis (batu di ginjal)
Nefrolithiasis adalah salah satu penyakit ginjal, dimana terdapat batu
didalam pelvis atau kaliks dari ginjal yang mengandung komponen kristal
dan matriks organik (Fauzi & Putra, 2016).
2. Ureterolithiasis (batu ureter)
Ureterolithiasis adalah pembentukan batu pada saluran kemih yang
disebabkan oleh banyak faktor seperti, gangguan aliran urine, gangguan
metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi, dan keadaan lainnya
(idiopatik)
(Prihadi, Johannes Cansius, Daniel Ardian Soeselo, Christopher
Kusumajaya, 2020).
3. Vesikolithiasis (batu kandung kemih).
Vesikolithiasis merupakan dimana terdapat endapan mineral pada kandung
kemih. Hal ini terjadi karena pengosongan kandung kemih yang tidak baik
sehinggal urine mengendap dikandung kemih (Prihadi, Johannes Cansius,
Daniel Ardian Soeselo, Christopher Kusumajaya, 2020).
2.1.4 Patofisiologi
Banyak faktor yang menyebabkan berkurangnya aliran urine dan
menyebabkan obstruksi, salah satunya adalah statis urine dan menurunnya
volume urine akibat dehidrasi serta ketidakadekuatan intake cairan, hal ini dapat
meningkatkan resiko terjadinya urolithiasis. Rendahnya aliran urine adalah
gejala abnormal yang umum terjadi (Colella, J, Kochis E, Galli B, 2005), selain
itu, berbagai kondisi pemicu terjadinya urolithiasis seperti komposisi batu yang
beragam menjadi faktor utama bekal identifikasi penyebab urolithiasis. Pada
umumnya urolithiasis terjadi akibat berbagai sebab yang disebut faktor resiko.
Terapi dan perubahan gaya hidup merupakan intervensi yang dapat
mengubah faktor resiko, namun ada juga faktor resiko yang tidak dapat diubah
seperti, jenis kelamin, pasien dengan urolithiasis umumnya terjadi pada laki-laki
70-81% dibandingkan dengan perempuan 47-60%, salah satu penyebabnya
adalah adanya peningkatan kadar hormon testosteron dan penurunan kadar
hormon estrogen pada laki-laki dalam pembentukan batu (Vijaya, et al., 2013).
Umur, urolithiasis banyak terjadi pada usia dewasa dibanding usia tua,
namun bila dibandingkan dengan usia anak-anak, maka usia tua lebih sering
terjadi. Riwayat keluarga, pasien yang memiliki riwayat keluarga dengan
urolithiasis ada kemungkinan membantu dalam proses pembentukan batu
saluran kemih pada pasien (25%) hal ini mungkin disebabkan karena adanya
peningkatan produksi jumlah mucoprotein pada ginjal atau kandung kemih yang
dapat membentuk kristal dan membentuk menjadi batu atau calculi (Colella, et
al., 2005). Kebiasaan diet dan obesitas intake makanan yang tinggi sodium,
oksalat yang dapat ditemukan pada teh, kopi instan, minuman soft drink, kokoa,
arbei, jeruk sitrun, dan sayuran berwarna hijau terutama bayam dapat menjadi
penyebab terjadinya batu (Suddarth, 2015).
Faktor lingkungan, faktor yang berhubungan dengan lingkungan seperti
letak geografis dan iklim. Beberapa daerah menunjukkan angka kejadian
urolithiasis lebih tinggi daripada daerah lain (Purnomo, 2012). Pekerjaan, yang
menuntut untuk bekerja di lingkungan yang bersuhu tinggi serta intake cairan
yang dibatasi atau terbatas dapat memacu kehilangan banyak cairan dan
merupakan resiko terbesar dalam proses pembentukan batu karena adanya
penurunan jumlah volume urin (Colella, et al., 2005). Cairan, asupan cairan
dikatakan kurang apabila < 1 liter/ hari, kurangnya intake cairan inilah yang
menjadi penyebab utama terjadinya urolithiasis khususnya nefrolithiasis karena
hal ini dapat menyebabkan berkurangnya aliran urin/ volume urin (Domingos &
Serra, 2011)
2.1.5
WOC (Web of Caution )

Faktor endogen (genetik)


Faktor eksogen (lingkungan, makanan, infeksi, kejenuhan
mineral dalam air minum.

Penurunan cairan ke ginjal

Urine menjadi pekat

Terjadi pengendapan mineral menjadi kristal

Endapan kristal membentuk nukleus dan menjadi batu

Batu yang tidak terlalu besar didorong oleh peristaltik


otot-otot sistem pelviokalise dan turun ke ureter

Batu ureter

Obstruksi saluran kemih Obstruksi Terbentuknya batu pada Aliran darah keseluruh
saluran kemih tubuh berkurang
Hambatan aliran urine Hambatan aliran urine
Batu tidak keluar/mengendap Kesemutan dan kaku
disaluran kemih pada ektremitas

9
Peningkatan tekanan hidrostatik Hidronefrosis
Pasien mengeluh nyeri Gangguan pada masalah
pada perut pergerakann
Peristaltik otot polos ureter
 Distensi saluran kemih

Gangguan eliminasi urine Harus dilakukan pembedahan Gangguan mobilitas


Tekanan intra luminal

fisik
Pasien takut
Penegangan syaraf
Batu kontak dengan
mukosa epitel Ansietas
Nyeri kolik
Mengganggu Trauma mukosa epitel
Nyeri akut istirahat dan tidur
Hematuria
Gangguan pola tidur
Risiko perdarahan

Gambar 2.1 Skema WOC Batu Ureter


(Mulyanti, 2019; Harmilah, 2020; Nuari, 2017;Noegroho et al., 2018)
2.1.6 Manifestasi Klinis
1. Nyeri/kolik
Nyeri hebat atau kolik pada sekitar pinggang merupakan penanda penting dan
paling sering ditemukan. Nyeri biasanya muncul jika pasien kekurangan cairan
tubuh entah itu karena faktor masukan cairan yang kurang atau pengeluaran yang
berlebihan. Nyeri yang dirasakan rata-rata mencapai skala 9 atau 10 diikuti keluhan
mual, wajah pucat, dan keringat dingin. Kondisi terjadi akibat batu mengiritasi
saluran kemih atau obstruksi batu yang menimbulkan peningkatan tekanan
hidrostatik dan distensi pelvis ginjal serta ureter proksimal yang menyebabkan
kolik.
2. Gangguan pola berkemih
Pasien merasa ingin berkemih, namun hanya sedikit urine yang keluar, dan
biasanya mengandung darah akibat aksi abrasif batu (Harmilah, 2020). Disuria,
hematuria, dan pancaran urine yang menurun merupakan gejala yang sering
mengikuti nyeri. Terkadang urine yang keluar tampak keruh dan berbau.
3. Demam
Batu bisa menyebabkan infeksi saluran kemih. Jika batu menyumbat aliran
kemih, bakteri akan terperangkap didalam air kemih yang terkumpul diatas
penyumbatan, sehingga terjadilah infeksi (Harmilah, 2020). Sumbatan adalah batu
yang menutup aliran urine akan menimbulkan gejala infeksi saluran kemih yang
ditandai dengan demam dan menggigil.
4. Gejala gastrointestinal
Respon dari rasa nyeri biasanya didapatkan keluhan gastrointestinal, meliputi
keluhan anoreksia, mual, dan muntah yang memberikan manifestasi penurunan
asupan nutrisi umum. Gejala gastrointestinal ini akibat refleks retrointestinal dan
proksimitas anatomis ureter ke lambung, pankreas, dan usus besar (Harmilah,
2020). Meliputi mual, muntah, diare, dan perasaan tidak mual diperut berhubungan
dengan refluks reointestinal dan penyebaran saraf (ganglion coeliac) antara ureter
dan intestinal.

2.1.7 Komplikasi
1. Obstruksi aliran urine yang menimbulkan penimbunan urine pada ureter
(Mulyanti, 2019) dan refluks kebagian ginjal sehingga menyebabkan gagal ginjal
(Harmilah, 2020).
2. Penurunan sampai kerusakan fungsi ginjal akibat sumbatan yang lama
sebelum pengobatan dan pengangkatan batu ginjal (Harmilah, 2020). Gangguan
fungsi ginjal yang ditandai kenaikan kadar ureum dan kreatinin darah, gangguan
tersebut bervariasi dari stadium ringan sampai timbulnya sindroma uremia dan
gagal ginjal, bila keadaan sudah stadium lanjut bahkan bisa mengakibatkan
kematian (Haryadi, 2020).
3. Infeksi akibat diseminasi partikel batu ginjal atau bakteri akibat obstruksi
(Harmilah, 2020).
4. Bakteriuria asimptomatik, ISK, serta sepsis (Ruckle, Maulana, & Ghinowara,
2020).
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang
Berdasarkan teori Harmilah (2020), pemeriksaan penunjang gangguan urolithiasis
antara lain:
1. Urinalisis: warna kuning, coklat gelap, berdarah. Secara umum menunjukkan
adanya sel darah merah, sel darah putih, dan kristal (sistin, asam urat, kalsium
oksalat), serta serpihan, mineral, bakteri, pH urine asam (meningkatkan sistin dan
batu asam urat) atau alkalin meningkatkan magnesium, fosfat amonium, atau batu
kalsium fosfat.
2. Urine (24 jam): kreatinin, asam urat, kalsium, fosfat, oksalat atau sistin
meningkat.
3. Kulture urine: menunjukkan adanya infeksi saluran kemih (stapilococus
aureus, proteus, klebsiela, pseudomonas).
4. Survei biokimia: peningkatan kadar magnesium, kalsium, asam urat, fosfat,
protein dan elektrolit.

5. BUN/kreatinin serum dan urine: abnormal (tinggi pada serum/ rendah pada
urine) sekunder terhadap tingginya batu obstruktif pada ginjal menyebabkan
iskemia/nekrosis.
6. Kadar klorida dan bikarbonat serum: peningkatan kadar klorida dan penurunan
kadar bikarbonat menunjukkan terjadinya asidosis tubulus ginjal.
7. Hitung darah lengkap: sel darah putih mungkin meningkat, menunjukkan
infeksi/septikemia.
8. Sel darah merah: biasanya normal
9. Hb, Ht: abnormal bila pasien dehidrasi berat atau polisitemia terjadi
(mendorong presipitasi pemadatan) atau anemia (pendarahan, disfungsi ginjal)
10. Hormon paratiroid: meningkat bila ada gagal ginjal (PTH merangsang
rabsorpsi kalsium dari tulang meningkatkan sirkulasi serum dan kalsium urine).
11. Foto rontgen: menunjukkan adanya kalkuli atau perubahan anatomis pada area
ginjal dan sepanjang ureter
12. IVP: memberikan konfirmasi cepat urolithiasis, seperti penyebab nyeri
abdominal atau panggul. Menunjukkan abdomen pada struktur anatomis (distensi
ureter) dan garis bentuk kalkuli.
13. Sistoureteroskopi: visualisasi langsung kandung kemih dan ureter dapat
menunjukkan batu dan efek obstruksi.
14. CT Scan: mengidentifikasi/menggambarkan kalkuli dan massa lain, ginjal,
ureter, dan distensi kandung kemih.
15. USG Ginjal: untuk menentukan perubahan obstruksi, lokasi batu.
2.1.9 Penatalaksanaan
Tata Laksana Spesifik Batu Ureter
1. Konservatif
Terdapat beberapa data yang berkaitan dengan pengeluaran batu secara spontan
bergantung pada ukuran batu, diperkirakan 95% batu dapat keluar spontan dalam
waktu 40 hari dengan ukuran batu hingga 4 mm. Observasi juga dapat dilakukan
pada pasien yang tidak memiliki komplikasi (infeksi, nyeri refrakter, penurunan
fungsi ginjal, kelainan anatomi saluran ureter).

2. Terapi Farmakologi
Terapi ekspulsi medikamentosa (medical expulsive therapy/MET), perlu
diinformasikan kepada pasien jika pengangkatan batu tidak diindikasikan. Bila
direncanakan pemberian terapi MET, selain ukuran batu ureter, perlu
dipertimbangkan beberapa faktor lainnya dalam pertimbangan pemilihan terapi.
Apabila timbul komplikasi seperti infeksi, nyeri refrakter, penurunan fungsi ginjal,
dan kelainan anatomi di ureter maka terapi perlu ditunda. Penggunaan α-blocker
sebagai terapi ekspulsi dapat menyebabkan efek samping seperti ejakulasi retrograd
dan hipotensi. Pasien yang diberikan αblocker, penghambat kanal kalsium
(nifedipin), dan penghambat PDE-5 (tadalafil) memiliki peluang lebih besar untuk
keluarnya batu dengan episode kolik yang rendah dibandingkan tidak diberikan
terapi. Terapi kombinasi penghambat PDE-5 atau kortikosteroid dengan α-blocker
tidak direkomendasikan. Obat α-blocker menunjukkan secara keseluruhan lebih
superior dibandingkan nifedipin untuk batu ureter distal. Terapi ekspulsi
medikamentosa memiliki efikasi untuk tata laksana pasien dengan batu ureter,
khususnya batu ureter distal ≥ 5 mm. Beberapa studi menunjukkan durasi pemberian
terapi obat-obatan selama 4 minggu, namun belum ada data yang mendukung untuk
interval lama pemberiannya.
3. Indikasi Pengangkatan Batu Ureter secara Aktif
Indikasi untuk pengeluaran batu ureter secara aktif antara lain:
- Kemungkinan kecil batu keluar secara spontan;
- Nyeri menetap walaupun sudah diberikan analgesik adekuat;
- Obstruksi persisten;
- Insufisiensi ginjal (gagal ginjal, obstruksi bilateral, atau solitary kidney); atau
- Kelainan anatomi ureter
4. Pilihan Prosedur untuk Pengangkatan Batu Ureter secara Aktif Secara
keseluruhan dalam mencapai hasil kondisi bebas batu (stone-free rate) pada batu
ureter, perbandingan antara URS dan SWL memiliki efikasi yang sama. Namun,
pada batu berukuran besar, efikasi lebih baik dicapai dengan menggunakan URS.
Meskipun penggunaan URS lebih efektif untuk batu ureter, namun memiliki risiko
komplikasi lebih besar dibandingkan SWL. Namun, era endourologi saat ini, rasio
komplikasi dan morbiditas secara signifikan menurun. URS juga merupakan pilihan
aman pada pasien obesitas (IMT >30 kg/m2) dengan angka bebas batu dan rasio
komplikasi yang sebanding. Namun, pada pasien sangat obesitas (IMT >35 kg/m2)
memiliki peningkatan rasio komplikasi 2 kali lipat. Namun, URS memiliki tingkat
pengulangan terapi yang lebih rendah dibandingkan SWL, namun membutuhkan
prosedur tambahan (misal penggunaan DJ stent), tingkat komplikasi yang lebih
tinggi, dan masa rawat yang lebih panjang. Obesitas juga dapat menyebabkan
rendahnya tingkat keberhasilan SWL (Noegroho et al., 2018).
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan Batu Ureter
Asuhan keperawatan merupakan rangkaian interaksi antara perawat, pasien, dan
lingkungannya untuk mencapai tujuan pemenuhan kebutuhan dan kemandirian pasien
dalam merawat dirinya (Tarigan & Handiyani, 2019). Asuhan keperawatan merupakan
proses yang sistematis, terstruktur, dan integratif dalam bidang ilmu keperawatan.
Asuhan ini diberikan melalui metode yang disebut proses keperawatan (Koerniawan,
Daeli, & Srimiyati, 2020). Proses keperawatan adalah pendekatan pemecahan masalah
yang melibatkan berpikir kritis, logis dan kreatif yang merupakan salah satu dasar dari
praktik keperawatan (Siregar, 2021). Proses keperawatan melibatkan beberapa tahapan
yaitu:
2.2.1 Pengkajian
1. Identitas
Secara otomatis, faktor jenis kelamin dan usia sangat signifikan dalam proses
pembentukan batu. Namun, angka kejadian batu ureter dilapangan sering kali
terjadi pada laki-laki dan pada masa usia dewasa. Hal ini karena pola hidup,
aktivitas, dan geografis.
2. Keluhan utama
Keluhan sangat bervariasi, terlebih jika terdapat penyakit skunder yang menyertai.
Keluhan utama biasanya yang sering muncul pada pasien dengan batu ureter
adalah nyeri pada perut yang menjalar sampai ke pinggang dan nyeri saat
berkemih.
3. Riwayat penyakit sekarang
Keluhan yang sering terjadi pada pasien batu ureter ialah nyeri pada saluran kemih
yang menjalar, berat ringannya tergantung pada lokasi dan besarnya batu, dapat
terjadi nyeri/kolik renal. Pasien juga mengalami gangguan gastrointestinal.
4. Riwayat penyakit dahulu
Kemungkinan adanya riwayat gangguan pola berkemih.
5. Riwayat penyakit keluarga
Batu ureter bukan merupakan penyakit menular dan menurun, sehingga silsilah
keluarga tidak terlalu berpengaruh pada penyakit ini.
6. Riwayat psikososial
Kondisi ini tidak selalu ada gangguan jika pasien memiliki koping adaptif. Namun
biasanya, hambatan dalam interaksi interaksi sosial dikarenakan adanya
ketidaknyamanan (nyeri hebat) pada pasien, sehingga fokus perhatiannya hanya
pada sakitnya.
7. Pola fungsi kesehatan
a. Pola aktivitas
Penurunan aktivitas selama sakit terjadi bukan karena kelemahan otot, tetapi
dikarenakan gangguan rasa nyaman (nyeri).
b. Pola nutrisi metabolik
Biasanya pasien dengan batu ureter terjadi mual muntah karena peningkatan
tingkat stres akibat nyeri hebat. Anoreksia sering kali terjadi karena kondisi
pH pencernaan yang asam akibat sekresi HCL berlebihan.
c. Pola eliminasi
Biasanya pada eliminasi alvi tidak mengalami perubahan fungsi maupun pola,
kecuali diikuti oleh penyakit-penyakit penyerta lainnya.
d. Pola istirahat tidur
Biasanya pasien dengan batu ureter mengalami gangguan pola tidur, sulit tidur
dan kadang sering terbangun dikarenakan nyeri yang dirasakan.
e. Pola Kognitif perseptual
Biasanya pasien dengan batu ureter memiliki komunikasi yang baik dengan
orang lain, pendengaran dan penglihatan baik, dan tidak menggunakan alat
bantu.
f. Pola toleransi-koping stress
Biasanya pasien dengan batu ureter, dapat menerima keadaan penyakitnya.
g. Persepsi diri atau konsep diri
Biasanya pasien dengan batu ureter tidak mengalami gangguan konsep diri.
h. Pola seksual reproduksi
Biasanya pasien dengan batu ureter mengalami gangguan ini sehubungan
dengan rasa tidak nyaman.
i. Pola hubungan dan peran
Biasanya pasien dengan batu ureter, memiliki komunikasi yang baik dengan
keluarga, perawat, dokter, dan lingkungan sekitar.
j. Pola nilai dan keyakinan
Biasanya pasien dengan batu ureter tidak mengalami gangguan dalam pola
nilai dan keyakinan.

8. Pemeriksaan fisik
a. Kondisi umum dan tanda-tanda vital
Kondisi klien batu ureter dapat bervariasi mulai tanpa kelainan fisik sampai
tanda-tanda sakit berat tergantung pada letak batu dan penyulit yang
ditimbulkan. Pada tanda-tanda vital biasanya tidak ada perubahan yang
mencolok, hanya saja takikardi terjadi akibat nyeri yang hebat.
b. Pemeriksaan Fisik
1) Wajah
Inspeksi : warna kulit, jaringan parut, lesi, dan vaskularisasi. Amati
adanya pruritus, dan abnormalitas lainnya.
Palpasi : palpasi kulit untuk mengetahui suhu, turgor, tekstur, edema, dan
massa.
2) Kepala
Inpeksi : kesimetrisan dan kelainan. Tengkorak, kulit kepala (lesi, massa)
Palpasi : dengan cara merotasi dengan lembut ujung jari kebawah dari
tengah-tengah garis kepala ke samping. Untuk mengetahui adanya bentuk
kepala pembengkakan, massa, dan nyeri tekan, kekuatan akar rambut.
3) Mata
Inspeksi : kelopak mata, perhatikan kesimetrisannya. Amati daerah orbital
ada tidaknya edema, kemerahan atau jaringan lunak dibawah bidang
orbital, amati konjungtiva dan sklera (untuk mengetahui adanya anemis
atau tidak) dengan menarik/membuka kelopak mata. Perhatikan warna,
edema, dan lesi. Inspeksi kornea (kejernihan dan tekstur kornea) dengan
berdiri disamping klien dengan menggunakan sinar cahaya tidak
langsung. Inspeksi pupil, iris. Palpasi : ada tidaknya pembengkakan pada
orbital dan kelenjar lakrimal.
4) Hidung
Inspeksi : kesimetrisan bentuk, adanya deformitas atau lesi dan cairan
yang keluar.
Palpasi : bentuk dan jaringan lunak hidung adanya nyeri, massa,
penyimpangan bentuk.
5) Telinga
Inspeksi : amati kesimetrisan bentuk, dan letak telinga, warna, dan lesi
Palpasi : kartilago telinga untuk mengetahui jaringan lunak, tulang teling
ada nyeri atau tidak.
6) Mulut dan faring
Inspeksi : warna dan mukosa bibir, lesi dan kelainan kongenital,
kebersihan mulut, faring.
7) Leher
Inspeksi : bentuk leher, kesimetrisan, warna kulit, adanya pembengkakan,
jaringan parut atau massa.
Palpasi : kelenjar limfa/kelenjar getah bening, kelenjar tiroid.
8) Thorak dan tulang belakang
Inspeksi : kelainan bentuk thorak, kelainan bentuk tulang belakang, pada
wanita (inspeksi payudara: bentuk dan ukuran)
Palpasi : ada tidaknya krepitus pada kusta, pada wanita (palpasi payudara:
massa)
9) Paru posterior, lateral, inferior
Inspeksi : kesimetrisan paru, ada tidaknya lesi.
Palpasi : dengan meminta pasien menyebutkan angka misal 7777.
Bandingkan paru kanan dan kiri. Pengembangan paru dengan meletakkan
kedua ibu jari tangan ke prosesus xifoideus dan minta pasien bernapas
panjang.
Perkusi : dari puncak paru kebawah (suprakapularis/3-4 jari dari pundak
sampai dengan torakal 10), catat suara perkusi: sonor/hipersonor/redup.
Auskultasi : bunyi paru saat inspirasi dan aspirasi (vesikuler,
bronchovesikuler, bronchial, tracheal: suara abnormal wheezing, ronchi,
krekels).
10) Jantung dan pembuluh darah
Inspeksi : titik impuls maksimal, denyutan apikal
Palpasi : area orta pada intercostae ke-2 kiri, dan pindah jari-jari ke
intercostae 3, dan 4 kiri daerah trikuspidalis, dan mitral pada intercostae 5
kiri. Kemudian pindah jari dari mitral 5-7 cm ke garis midklavikula kiri.
Perkusi : untuk mengetahui batas jantung (atas-bawah, kanan-kiri).
Auskultasi : bunyi jantung I dan II untuk mengetahui adanya bunyi
jantung tambahan
11) Abdomen
Inspeksi : ada tidaknya pembesaran, datar, cekung/cembung, kebersihan
umbilikus.
Palpasi : epigastrium, lien, hepar, ginjal
Perkusi : 4 kuadran (timpani, hipertimpani, pekak)
Auskultasi : 4 kuadaran (peristaltik usus diukur dalam 1 menit, bising
usus)
12) Genitalia
Inspeksi : inspeksi (kebersihan, lesi, massa, perdarahan, dan peradangan)
serta adanya kelainan.
Palpasi : palpasi apakah ada nyeri tekan dan benjolan.
13) Ekstremitas :
Inspeksi : kesimetrisan, lesi, massa.
Palpasi : tonus otot, kekuatan otot. Kaji sirkulasi : akral hangat/dingin,
warna, Capillary Refiil Time (CRT). Kaji kemampuan pergerakan sendi.
Kaji reflek fisiologis : bisep, trisep, patela, arcilles. Kaji reflek patologis :
reflek plantar.

2.2.2 Analisa Data


1. SDKI (Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia)
Diagnosis keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respons klien
terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik yang
berlangsung aktual maupun potensial. Diagnosis keperawatan bertujuan untuk
mengidentifikasi respons klien individu, keluarga dan komunitas terhadap situasi
yang berkaiaitan dengan kesehatan. jenis diagnosis keperawatan terdiri dari
diagnosis aktual, risiko, dan promosi kesehatan (Tim Pokja SDKI DPP PPNI,
2017).
Masalah keperawatan yang sering muncul pada penderita batu ureter antara lain :
a. Nyeri akut
b. Gangguan eliminasi urine
c. Gangguan mobilitas fisik
d. Gangguan pola tidur
e. Ansietas
f. Risiko perdarahan
2. SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia)
Intervensi keperawatan adalah segalla treatment yang dikerjakan oleh perawat yang
didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai luaran
(outcome) yang diharapkan (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018).
Dari diagnosis diatas intervensi utama yang dapat diberikan adalah :
a. Manajemen nyeri, pemberian analgesik
b. Dukungan perawatan diri: BAB/BAK, manajemen eliminasi urine
c. Dukungan ambulasi, dukungan mobilisasi
d. Dukungan tidur, edukasi aktivitas/istirahat
e. Reduksi ansietas, terapi relaksasi
f. Pencegahan perdarahan
2.2.Konsep Dasar Gangguan Rasa Nyaman(Nyeri)
2.2.1.Definisi
Nyeri adalah suatu mekanisme pertahanan bagi tubuh yang timbul bila mana jaringan
nm,sedang dirusak yang menyebabkan individu tersebut bereaksi dengan cara memindahkan
stimulus nyeri (Guyton & Hall, 2008 dalam Saifullah, 2015). Nyeri menurut Rospond (2008)
merupakan sensasi yang penting bagi tubuh. Sensasi penglihatan, pendengaran, bau, rasa,
sentuhan, dan nyeri merupakan hasil stimulasi reseptor sensorik, provokasi saraf-saraf
sensorik nyeri menghasilkan reaksi ketidaknyamanan, distress, atau menderita. Menurut
Handayani (2015) nyeri adalah kejadian yang tidak menyenangkan, mengubah gaya hidup
dan kesejahteraan individu. Menurut Andarmoyo (2013) nyeri adalah ketidaknyamanan yang
dapat disebabkan oleh efek dari penyakit-penyakit tertentu atau akibat cedera. Sedangkan
menurut Kozier & Erb dalam Nurrahman (2009) mengatakan bahwa nyeri adalah sensasi
yang tidak menyenangkan dan sangat individual yang tidak dapat dibagi dengan orang lain.

2.2.2.Anatomi Fisiologi
Nyeri dapat berasal dari dalam ataupun luar sistem saraf. Nyeri yang berasal dari luar
sistem saraf dinamakan nyeri nosiseptif. Sedangkan nyeri yang berasal dari dalam dinamakan
nyeri neurogenik atau neuropatik. Nyeri dapat dirasakan ketika stimulus yang berbahaya
mencapai serabut-serabut saraf nyeri. Mekanisme proses terjadinya nyeri terdiri dari empat
proses yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi. Transduksi nyeri adalah proses
rangsangan yang mengganggu sehingga menimbulkan aktifitas listrik di reseptor nyeri.
Transmisi nyeri melibatkan proses penyaluran impuls nyeri dari tempat transduksi melewati
saraf perifer sampai ke terminal di medulla spinalis dan jaringan neuron-neuron pemancar
yang naik dari medulla spinalis ke otak. Modulasi nyeri melibatkan aktifitas saraf melalui
jalur-jaur saraf desenden dari otak yang dapat memengaruhi transmisi nyeri setinggi medulla
spinalis. Modulasi juga melibatkan faktor-faktor kimiawi yang menimbulkan atau
meningkatkan aktifitas di reseptor nyeri aferen primer. Persepsi nyeri adalah pengalaman
subyektif nyeri yang bagaimanapun juga dihasilkan oleh aktifitas transmisi nyeri oleh saraf.
(Price and Wilson, 2006).
2.2.3.Etiologi
Nyeri dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu trauma, mekanik, thermos, elektrik,
neoplasma (jinak dan ganas), peradangan (inflamasi), gangguan sirkulasi darah dan kelainan
pembuluh darah serta yang terakhir adalah trauma psikologis (Handayani, 2015).

2.2.4.Klasifikasi
Klasifikasi nyeri berdasarkan beberapa hal adalah sebagai berikut :
1.Nyeri berdasarkan tempatnya Menurut Irman (2007) dalam Handayani (2015) dibagi
menjadi 4 yaitu :

a. Pheriperal pain
Merupakan nyeri yang terasa pada permukaan tubuh. Nyeri ini termasuk nyeri pada
kulit dan permukaan kulit. Stimulus yang efektif untuk menimbulkan nyeri dikulit
dapat berupa rangsangan mekanis, suhu, kimiawi, atau listrik. Apabila hanya kulit
yang terlibat, nyeri sering dirasakan sebagai menyengat, tajam, meringis, atau seperti
terbakar.
b. Deep pain
Merupakan nyeri yang terasa pada permukaan tubuh yang lebih dalam (nyeri
somatik) atau pada organ tubuh visceral. Nyeri somatis mengacu pada nyeri yang
berasal dari otot, tendon, ligament, tulang, sendi dan arteri. Struktur-struktur ini
memiliki lebih sedikit reseptor nyeri sehingga lokalisasi sering tidal jelas.
c. Reffered pain
Merupakan nyeri dalam yang disebabkan karena penyakit organ/ struktur dalam
tubuh yang ditransmisikan ke bagian tubuh di daerah yang berbeda bukan dari daerah
asalnya misalnya, nyeri pada lengan kiri atau rahang berkaitan dengan iskemia
jantung atau serangan jantung.
d. Central pain
Merupakan nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer
pada sistem saraf pusat seperti spinal cord, batang otak, thalamus, dan lain-lain.

2.Nyeri berdasarkan sifatnya


Meliala (2007) dalam Handayani (2015) menyebutkan bahwa nyeri ini digolongkan
menjadi tiga, yaitu :

a. Incidental pain Merupakan nyeri yang timbul sewaktu-waktu lalu menghilang. Nyeri
ini biasanya sering terjadi pada pasien yang mengalami kanker tulang.
b. Steady pain Merupakan nyeri yang timbul dan menetap serta dirasakan dalam jangka
waktu yang lama. Pada distensi renal kapsul dan iskemik ginjal akut merupakan salah
satu jenis.
c. Proximal pain Merupakan nyeri yang dirasakan berintensitas tinggi dan kuat sekali.
Nyeri tersebut biasanya menetap selama kurang lebih 10-15 menit, lalu menghilang
kemudian timbul lagi.

3.Nyeri berdasarkan ringan beratnya


Nyeri ini dibagi ke dalam tiga bagian (Wartonah, 2005 dalam Handayani 2015) sebagai
berikut :

a. Nyeri ringan
Merupakan nyeri yang timbul dengan intensitas ringan. Nyeri ringan biasanya pasien
secara obyektif dapat berkomunikasi dengan baik.
b. Nyeri sedang
Merupakan nyeri yang timbul dengan intensitas yang sedang. Nyeri sedang secara
obyektif pasien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri dan
mendiskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik.
c. Nyeri berat
Merupakan nyeri yang timbul dengan intensitas berat. Nyeri berat secara obyektif
pasien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan,
dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendiskripsikannya, tidak dapat diatasi
dengan alih posisi nafas panjang.

4.Nyeri berdasarkan waktu serangan


a. Nyeri akut
Merupakan nyeri yang mereda setelah dilakukan intervensi dan penyembuhan. Awitan
nyeri akut biasanya mendadak dan berkaitan dengan masalah spesifik yang memicu
individu untuk segera bertindak menghilangkan nyeri. Nyeri berlangsung singkat
(kurang dari 6 bulan) dan menghilang apabila faktor internal dan eksternal yang
merangsang reseptor nyeri dihilangkan. Durasi nyeri akut berkaitan dengan faktor
penyebabnya dan umumnya dapat diperkirakan (Asmadi, 2008). 15 15
b. Nyeri kronis
Merupakan nyeri yang berlangsung terus menerus selama 6 bulan atau lebih Nyeri ini
berlangsung diluar waktu penyembuhan yang diperkirakan dan sering tidak dapat
dikaitkan dengan penyebab atau cedera spesifik. Nyeri kronis ini berbeda dengan nyeri
akut dan menunjukkan masalah baru, nyeri ini sering mempengaruhi semua aspek
kehidupan penderitanya dan menimbulkan distress, kegalauan emosi dan mengganggu
fungsi fisik dan sosial (Potter & Perry, 2005 dalam Handayani, 2015)
2.2.5.Patofisiologi(WOC)
Rangsangan nyeri diterima oleh nociceptors pada kulit bisa intesitas tinggi maupun
rendah seperti perennggangan dan suhu serta oleh lesi jaringan. Sel yang mengalami nekrotik
akan merilis K + dan protein intraseluler . Peningkatan kadar K + ekstraseluler akan
menyebabkan depolarisasi nociceptor, sedangkan protein pada beberapa keadaan akan
menginfiltrasi mikroorganisme sehingga menyebabkan peradangan / inflamasi.
Akibatnya, mediator nyeri dilepaskan seperti leukotrien, prostaglandin E2, dan
histamin yang akan merangasng nosiseptor sehingga rangsangan berbahaya dan tidak
berbahaya dapat menyebabkan nyeri (hiperalgesia atau allodynia). Selain itu lesi juga
mengaktifkan faktor pembekuan darah sehingga bradikinin dan serotonin akan terstimulasi
dan merangsang nosiseptor. Jika terjadi oklusi pembuluh darah maka akan terjadi iskemia
yang akan menyebabkan akumulasi K + ekstraseluler dan H + yang selanjutnya mengaktifkan
nosiseptor.
Histamin, bradikinin, dan prostaglandin E2 memiliki efek vasodilator dan
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah. Hal ini menyebabkan edema lokal, tekanan
jaringan meningkat dan juga terjadi Perangsangan nosisepto. Bila nosiseptor terangsang maka
mereka melepaskan substansi peptida P (SP) dan kalsitonin gen terkait peptida (CGRP), yang
akan merangsang proses inflamasi dan juga menghasilkan vasodilatasi dan meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah. Vasokonstriksi (oleh serotonin), diikuti oleh vasodilatasi,
mungkin juga bertanggung jawab untuk serangan migrain . Peransangan nosiseptor inilah
yang menyebabkan nyeri. (Silbernagl & Lang, 2000).
2.2.6.Manifestasi
Gejala dan tanda menurut PPNI(2016) adalah sebagai berikut: Gejala dan Tanda Mayor
Subjektif : mengeluh nyeri
Objektif : tampak meringis, bersikap protektif (mis. waspada, posisi menghindari nyeri),
gelisah, frekuensi nadi meningkat, dan sulit tidur.
Gejala dan Tanda Minor
Subjektif : tidak tersedia
Objektif : tekanan darah meningkat, pola napas berubah, nafsu makan berubah, proses
berfikir terganggu, menarik diri, berfokus pada diri sendiri, dan diaphoresis.
2.2.7.Komplikasi
Komplikasi yang disebabkan uji provokasi nyeri jarang terjadi, tetapi pasien dapat
merasakan nyeri yang berkelanjutan setelah pemeriksaan selesai dilakukan. Karena itu, jika
pasien sudah merasakan nyeri yang sangat hebat sebaiknya dipertimbangkan kemampuan
pasien untuk menjalani pemeriksaan tes Patrick, kontra-Patrick, maupun Lasegue. Keluhan
nyeri yang umumnya muncul adalah nyeri punggung bawah, baik nyeri menjalar hingga ke
tungkai bawah maupun tidak menjalar. Belum ada studi yang menyimpulkan adanya
komplikasi dari pemeriksaan uji provokasi nyeri.
2.2.8 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan dengan skala nyeri
b. Pemeriksaan USG untuk data penunjang apabila ada nyeri tekan di abdomen
c. Rontgen untuk mengetahui tukang dalam yang abnormal
d. Pemeriksaan laboratorium sebagai data penunjang pemeriksaan fisik lainnya
e. CT-Scan mengetahui adanya pembuluh darah yang peah diotak
f. EKG

2.2.9 Penatalaksanaan Medis


a. Mengurangi faktor yang dapat menambah nyeri, misalnya keridakpercayaan,
kesalahpahaman, ketakutan, dan kelelahan
b. Memodifikasi stimulus nyeri dengan menggunakan tekhnik tekhnik berikut ini Teknik
latihan pengalihan :
1. Menonton televisi
2. Berbincang-bincang dengan orang lain
3. Mendegarkan music
2.2.10.Asuhan Keperawatan
1.Pengkajian
Pengkajian pada masalah nyeri yang dapat dilakukan adalah adanya riwayat nyeri,
keluhan nyeri seperti lokasi nyeri, intensitas nyeri, kualitas dan waktu serangan. Pengkajian
dapat dilakukan dengan cara PQRST :
1. P (pemacu), yaitu faktor yang mempengaruhi gawat atau ringannya nyeri,
2. Q (quality) dari nyeri, seperti apakah rasa tajam, tumpul atau tersayat,
3. R (region), yaitu daerah perjalanan nyeri,
4. S (severity) adalah keparahan atau itensitas nyeri,
5. T (Time) adalah lama/waktu serangan atau frekuensi nyeri.
2.Diagnosa Keperawatan
Terdapat beberapa diagosis yang berhubungan dengan masalah nyeri, di antaranya :
1. Nyeri akut b.d agen cedera biologis, kimia, fisik atau psikologis.
2. Nyeri kronis.
3. Gangguan mobilitas b.d nyeri pada ekstremitas.
4. Kurangnya perawatan diri b.d ketidakmampuan menggerakkan tangan yang
disebabkan oleh nyeri persendian.
5. Cemas b.d ancaman peningkatan nyeri.

3.Intervensi
1. Mengurangi dan membatasi faktor-faktor yang menambah nyeri.
2. Menggunakan berbagai teknik noninvasif untuk memodifikasi nyeri yang dialami.
3. Menggunakan cara-cara untuk mengurangi nyeri yang optimal, seperti memberikan
analgesik sesuai dengan program yang ditentukan.
4.Implementasi

1. Mengurangi faktor yang dapat menambah nyeri, misalnya ketidakpercayaan,


kesalahpahaman, ketakutan, kelelahan dan kebosanan.
2. Memodifikasi stimulus nyeri dengan menggunakan teknik-teknik seperti:
a. Teknik latihan pengalihan
1) Menonton televisi.
2) Berbincang-bincang dengan orang lain.
3) Mendengarkan musik.
b. Teknik relaksasi
Menganjurkan pasien untuk menarik napas dalam dan mengisi paru-paru dengan udara,
menghembuskannya secara perlahan, melemaskan otot-otot tangan, kaki, perut, dan
punggung serta mengulangi hal yang sama sambil terus berkonsentrasi hinga didapat rasa
nyaman, tenang dan rileks.
c. Stimulasi kulit
1) Menggosok dengan halus daerah nyeri.
2) Menggosok punggung.
3) Menggunakan air hangat dan dingin.
4) Memijat dengan air mengalir.
3. Pemberian obat analgesik, yang dilakukan guna mengganggu atau memblok transmisi
stimulus agar terjadi perubahan persepsi dengan cara mengurangi kortikal terhadap nyeri.
(Hidayat, 2009).

5.Evaluasi
Evaluasi adalah fase kelima dan fase terakhir proses keperawatan. Evaluasi adalah
aktivitas yang direncanakan, berkelanjutan, dan terarah ketika klien dan profesional
kesehatan menentukan kemajuan klien menuju pencapaian tujuan/hasil dan keefektifan
rencana asuhan keperawatan. Evaluasi merupakan aspek penting proses keperawatan karena
kesimpulan yang ditarik dari evaluasi menentukan apakah intervensi keperawatan harus
diakhiri, dilanjutkan, atau diubah. Proses evaluasi keperawatan memiliki lima komponen
antara lain megumpulkan data yang berhubungan dengan hasil yang diharapkan,
membandingkan data dengan hasil, menghubungkan tindakan keperawatan dengan hasil,
menarik kesimpulan tentang status masalah, meanjutkan, memodifikasi, atau mengakhiri
rencana asuhan keperawatan (Kozier et al., 2010).

Evaluasi asuhan keperawatan didokumentasikan dalam bentuk SOAP (subjective,


objective, assesment, planning). Adapun komponen SOAP yaitu S (subjective) adalah
informasi berupa ungkapan yang didapat dari pasien setelah tindakan diberikan, O (objektive)
merupakan informasi yang didapat berupa hasil pengamatan, penilaian, pengukuran yang
dilakukan oleh perawat setelah tindakan dilakukan, A (assesment) yaitu membandingkan
antara informasi subjektif dan objektif dengan tujuan dan kriteria hasil yang telah
dirumuskan, P (planing) adalah rencana keperawatan lanjutan yang akan dilakukan
berdasarkan hasil analisa (Dermawan, 2012).

Evaluasi terhadap pasien cedera kepala sedang dengan masalah keperawatan nyeri
akut mengacu terhadap rumusan tujuan yang mencakup aspek waktu dan kriteria hasil dalam
rencana keperawatan. Adapun kriteria hasil yang ditetapkan mengacu pada Standar Luaran
Keperawatan Indonesia (SLKI) yaitu keluhan nyeri menurun, tampak meringis menurun,
sikap protektif menurun, gelisah menurun, kesulitan tidur menurun, frekuensi nadi membaik.

Anda mungkin juga menyukai