D
I
S
U
S
U
N
OLEH KELOMPOK 8:
KINANDA NAINGGOLAN(2214015)
JULIA TAMPUBOLON(2214013)
LAURENSA PANJAITAN(2214016)
DOSEN PENGAMPUH:
Bd.OKNALITA SIMBOLON ,S.Tr.Keb, M .Tr.Keb
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-Nya
kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan judul “ETİKA
TEOLOGİS”.Mungkin dalam penyusunanmakalah ini banyak kekurangan dan jauh dari
kata sempurna dan mungkin memiliki pembahasan yang diluar konsep yang telah kami
buat.Maka dari itu kami minta kritik dan saran yang membangun dengan harapan kami
dapat lebih baik lagi kedepan nya. Akhir kata kami beharap agar apa yang kami
tuangkan dan kami paparkan di dalam makalah ini dapat berguna dan dapat di ambil
manfaat nya bagi orang yang membaca.
I
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI...................................................................................................................................II
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG........................................................................................................1
B. ETIKA.................................................................................................................................7
a) Etika filosofis..................................................................................................................8
b ) Etika teologis.................................................................................................................8
c ) Etika sosiologis..............................................................................................................8
A. METAFISIKA..................................................................................................................12
A. BERPIKIR POSITIF........................................................................................................14
II
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Etika merupakan salah satu moral yang dilandasi agama, budaya, perilaku mana
yang baik dan buruk. Etikat itu penjabarannya berdasarkan etika. Etikat adalah aturan
sopan santun dan tata cara pergaulan yang baik antara sesama manusia. “Etikat bisa
disebut sebagai golden rules yang menyatakan perlakukan orang lain sebagaimana kamu
yang ingin diperlakukan. Karena itu, orang yang memahami etikat memperlakukan orang
lain dengan baik dan respek, sehingga akan lebih diterima dalam pergaulan.
Etikat bisa diartikan sebagai rambu-rambu yang membantu mengetahui apa yang
harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan dalam situasi tertentu. Hal utama yang
juga menjadi dasar dari etikat adalah adat-istiadat atau tradisi dari daerah dan negara
tertentu. Prinsip-prinsip dalam etikat selalu tetap, tidak berubah, bersifat universal, dan
tak terbatas waktu dan tempat. Terdapat tiga prinsip dalam etikat, yaitu respek, empati
dan kejujuran. Sangat penting untuk menunjukkan penghargaan kepada setiap orang
dengan kelebihan, kekurangan, kesamaan dan perbedaan yang ada.
1
BAB II
PEMBAHASAN
Sejak Kitab Suci Perjanjian Baru ditulis oleh rasul-rasul Kristus, tetragramaton
(keempat huruf suci YHWH, Yahweh) diterjemahkan dalam bahasa Yunani Kyrios
(Tuhan). Cara ini mengikuti kebiasaan Yahudi, yang juga diikuti oleh Yesus dan rasul-
rasulnya, yang biasanya melafalkan Yahweh dengan Adonāy (Tuhan) atau Ha-Shem
(Nama segala nama). United Bible Societies (UBS) dan Lembaga Alkitab Indonesia
(LAI) juga mengikuti kebiasaan ini, yang dibenarkan dan diikuti oleh orang Yahudi
modern sekarang, untuk menerjemahkan Yahweh dengan The LORD (dengan huruf
besar semua). Yang pertama kali menggugat tradisi penerjemahkan nama Allah ini adalah
kelompok restorasionisme yang menamakan diri Jehovah’s Witnesses (Saksi-saksi
Yehuwa).
Kelompok ini, dengan bangga telah mengembalikan Yahweh dalam Perjanjian Baru,
meskipun teks asli dari rasul-rasul sendiri tidak mempertahankannya. Timbul pertanyaan:
Bolehkah “nama diri” (the proper name) diterjemahkan? Ada “kelompok sempalan” lain
akhir-akhir ini yang berpendapat, menerjemahkan Nama YHWH dalam bahasa-bahasa
lain berarti menghujat Nama-Nya. Tetapi mengapa Yesus dan Rasul-rasul-Nya tidak
mempertahankan Nama tersebut? Semua pertanyaan ini hanya bisa dijawab apabila kita
memahami apakah makna “nama” dalam teologi dan kebudayaan Yahudi, yang
melatarbelakangi kehidupan Yesus yang “lahir dari seorang perempuan yang takluk
kepada hukum Taurat” (Galatia 4:4), dan diikuti oleh murid-murid Yesus serta Gereja-
Nya sampai hari ini.
2
umat Israel keluar dari Mesir, Musa bertanya: “Bagaimana tentang Nama-Nya?
(Ibrani: Mah symo). Apakah yang harus kujawab kepada mereka?” (Keluaran 3:13).
Patut dicatat pula, cara biasa untuk menanyakan nama seseorang dalam bahasa Ibrani
memakai kata ganti Mi, “Siapakah” (bandingkan dengan kata Arab, Man). Tetapi di
sini dalam ayat ini dipakai “Bagaimana (mah) tentang Nama-Nya?” Mah symo, sejajar
dengan bahasa Arab: Ma smuhu, menuntut suatu jawaban yang lebih jauh, yaitu
memberikan arti (“apa dan bagaimana”) atau hakikat dari nama itu. Bukan sekedar
menunjukkan nama, melainkan lebih dari itu makna yang menunjuk kepada “Kuasa di
balik Dia yang di-Nama-kan.”
Jadi, kita tidak bisa memahaminya seperti nama-nama makhluk pada umumnya:
Suradi, Yakub, Hendarto, dan lain-lain. Pertanyaan Nabi Musa ini lalu dijawab Allah
dalam bahasa Ibrani: Ehyeh asyer ehyeh—Aku adalah Aku (Keluaran 3:14). Dengan
firman itu Allah menyatakan siapakah Diri-Nya. Secara gramatikal, apabila Allah
sendiri yang mengucapkan Nama-Nya, maka kita menjumpai bentuk ehyeh (Aku
Ada), sedangkan apabila umat Allah yang mengucapkan tentu saja memakai kata ganti
orang ketiga Yahweh (Dia Ada).
Bagaimana pula secara gramatikal akhirnya kita menemukan bentuk Yahweh?
Menurut sebuah tafsir dalam bahasa Ibrani yang cukup representatif (karena berasal
dari kalangan rabbi-rabbi Yahudi sendiri), memang bentuk Yahweh tersebut berkaitan
erat dengan kemahahadiran Ilahi, baik dahulu, kini dan yang akan datang. Keberadaan
Allah apabila dikaitkan dengan ketiga aspek waktu tersebut, dalam bahasa Ibrani
adalah: hayah, “Ia telah Ada” (He was), howeh, “Ia Ada” (He is), dan yihyeh, “Ia akan
Ada” (He will be). Maksudnya di sini, Allah itu Mahakekal, tidak terikat oleh aspek
waktu, dan hal itu dibuktikan dengan kekuasaan-Nya yang selalu dinamis.
Dari deksripsi di atas, jelas bahwa Perjanjian Baru lebih mengacu kepada makna
teologis di balik Nama itu, yaitu kuasa-Nya yang hidup dan bukan mempertahankan
secara harfiah huruf-huruf mati tersebut. Terjemahan Nama Yahweh ini, antara lain
dapat kita baca dalam Wahyu Yohanes: “Aku adalah Alfa dan Omega, yang ada yang
yang sudah ada dan yang akan datang, Yang Mahakuasa” (Wahyu 1:8).
3
Perhatikanlah, ungkapan yang dicetak miring (kursif). Dalam bahasa Yunani: ho
on kai ho en kai ho erksomenos, ho Pantakrator. Frase ini merupakan terjemahan dari
sebuah doa (Siddur) Yahudi dari zaman pra-Kristen hingga sekarang, yaitu doa Adon
’olam yang sangat terkenal, yang memuat keterangan dari Nama Yahweh yang
pantang diucapkan itu: Ve hu hayah we hu hoveh we hu yihyeh le tif’arah (Ia yang
sudah ada, yang ada, dan yang akan ada, kekuasaan-Nya kekal sampai selama-
lamanya).
2. “Nama” dan “Pribadi” dalam Alkitab
Dalam kebudayaan Yahudi yang melatar belakangi Alkitab, “nama” selalu terkait
erat dengan “pribadi”. Dalam Kitab Suci, “nama” dapat dirumuskan dalam tiga dalil:
1. Nama adalah pribadi itu sendiri;
2. Nama adalah pribadi yang diungkapkan; dan
3. Nama adalah pribadi yang hadir secara aktif.
Apabila ketiga pengertian ini diterapkan untuk Allah, maka penjelasan sekaligus
dalil-dalilnya sebagai berikut:
1. Nama menunjuk kepada Pribadi itu sendiri
4
sendiri. Allah yang Mahakekal, Maha Esa, Mahahidup dan menyatakan Diri-Nya
kepada manusia.
Apabila Amsal 18:10 menyebut bahwa Nama TUHAN (syem Yahweh) adalah
menara yang kuat, maksudnya tidak lain adalah Pribadi Allah yang hidup dengan
kekuasaan Ilahi-Nya yang menjaga dan melindungi kita umat-Nya. “Nama” di sini
menunjuk kepada apa yang diketahui tentang Pribadi-Nya. Contoh yang lebih jelas,
Yesaya 30:27 dalam bahasa Ibrani: Hinneh, syem Yahweh ba mimerhaq…” Secara
harfiah terjemahannya: “Perhatikanlah, Nama TUHAN datang dari tempat-Nya yang
jauh…” Mengapa dikatakan “Nama TUHAN datang”, dan tidak cukup dikatakan saja
“TUHAN datang”? Jawabannya, Nama di sini untuk menekankan “pengungkapan
Pribadi-Nya”. Tepat sekali, LAI menerjemahkan: “TUHAN datang menyatakan Diri-
Nya dari tempat yang jauh…” Di sini, syem (Nama) diterjemahkan “menyatakan Diri-
Nya”. Jadi, sekali lagi bukan dalam makna mempertahankan secara harfiah
penyebutan Ibrani Yahweh , se-bagaimana ditafsirkan Saksi-saksi Yehuwa, dan di-
ikuti oleh kelompok “bidat baru” Kristen tertentu pada tahun-tahun terakhir ini di
Indonesia.
Makna ketiga dari Nama adalah kehadiran aktif Pribadi itu dalam kepenuhan
sifat-Nya yang diungkapkan. Mazmur 76:1 menyebutkan: “…Nama-Nya masyhur di
Israel”, dibuktikan dengan perbuatan-perbuatan Allah yang dasyat yang dialami oleh
umat Israel. Begitu pula, di Gunung Karmel Nabi Elia mengusulkan “peperangan”
Nama Tuhan dengan nama ilah-ilah selain-Nya. “Nama” dalam hal ini menunjuk
kepada Pribadi yang hadir, yang dibuktikan dengan menjawab doa orang yang
menyeru Nama-Nya.
“Kemudian biarlah kamu memanggil nama ilah-mu (be shem elohekhem) dan akupun
akan memanggil Nama Tuhan (beshem Yahweh), maka ilah yang menjawab dengan
5
api, Dialah Allah (ve hayah ha-elohim asyer yaeneh be esh hu ha-elohim)” (1 Raja-raja
18: 24).
Demikianlah apabila teks Ibrani di atas secara harfiah diterjemahkan dalam bahasa
Arab: “…wa al-ilah alladzi yujiibu binarin faa huwa Allah”. Secara gramatikal, dalam
konteks ayat tersebut, Allah adalah “al-Ilah alladzi yujiibu binarin” (Ilah yang
menjawab dengan api itu). Maksudnya, Allah adalah Ilah (sembahan) yang
Mahakuasa, dan Dia telah membuktikan kekuasaan-Nya sebagai Allah yang Hidup.
Kutipan ini juga membuktikan bahwa kata ALLAH dalam bahasa Arab memang
berasal dari Al-Ilah [yang berarti Sang Ilah Yang Satu], dan bukan “nama diri” (the
proper name). [Nama itu sejak awal dipakai untuk menghormati Sang Ilah Tertinggi,
Ilah di atas segala ilah—sebelum akhirnya dipakai oleh kaum pagan Arab.] Nama Diri
Allah adalah YHVH atau Yahweh [yaitu Sang Elohim Yang Satu, Ha-Elohim], seperti
disebutkan dibuktikan dengan “peperangan nama” di gunung Karmel di mana Yahweh
tampil sebagai pemenang, karena Ia adalah Allah yang menjawab doa umat-Nya. Ia
adalah Pribadi Ilahi yang benar-benar hadir secara aktif: Ketika seluruh rakyat melihat
kejadian itu, sujudlah mereka serta berkata: Tuhan, Dialah Allah! Tuhan, Dialah Allah
(1 Raja-Raja 18:39). Dalam bahasa aslinya, seruan itu berbunyi: Yahweh, hu ha
elohim! Yahweh, hu haelohim. Dalam terjemahan bahasa Arab: Ar Rabb, huwa Allah!
Ar Rabb, huwa Allah (Tuhan, Dialah Allah! Tuhan, Dialah Allah). Jadi, jelaslah
bahwa dalam hal “Nama Diri” Yahweh, semua umat Kristen sepakat. Masalahnya,
baik UBS maupun LAI hanya mengikuti tradisi lama yang juga diikuti oleh Yesus,
murid-murid-Nya dan Gereja Tuhan sepanjang abad, bahwa sekalipun nama Yahweh
tetap dipertahankan dalam teks bahasa asli Kitab Suci (Perjanjian Lama) tetapi tidak
membaca nama ilahi itu. Karena itu, kita dapat menerjemahkan nama Yahweh itu
dalam bahasa-bahasa lain, seperti yang dicontohkan oleh para penerjemah Alkitab
dalam bahasa Yunani (Septuaginta) yang kemudian diikuti oleh rasul-rasul yang
menulis Perjanjian Baru.
6
B. ETIKA
Kata etik (atau etika) berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter,
watak kesusilaan atau adat. Sebagai suatu subyek, etika akan berkaitan dengan konsep
yang dimiliki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan
yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik. Menurut Martin [1993],
etika didefinisikan sebagai “the discipline which can act as the performance index or
reference for our control system“.
Etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan “self control“, karena segala
sesuatunya dibuat dan diterapkan dan untuk kepentingan kelompok social (profesi) itu
sendiri. Kehadiran organisasi profesi dengan perangkat “built-in mechanism” berupa
kode etik profesi dalam hal ini jelas akan diperlukan untuk menjaga martabat serta
kehormatan profesi, dan di sisi lain melindungi masyarakat dari segala bentuk
penyimpangan maupun penyalah-gunaan keahlian (Wignjosoebroto, 1999).
Sebuah profesi hanya dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat, bilamana
dalam diri para elit profesional tersebut ada kesadaran kuat untuk mengindahkan etika
profesi pada saat mereka ingin memberikan jasa keahlian profesi kepada masyarakat
yang memerlukannya.
Etika disebut juga filsafat moral adalah cabang filsafat yang berbicara tentang
praxis (tindakan) manusia. Etika tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan
mempersoalkan bagaimana manusia harus bertindak. Tindakan manusia ini ditentukan
oleh bermacam-macam norma. Norma ini masih dibagi lagi menjadi norma hukum,
norma moral, norma agama dan norma sopan santun.
Norma hukum berasal dari hukum dan perundangundangan, norma agama berasal dari
agama sedangkan norma moral berasal dari suara batin. Norma sopan santun berasal dari
kehidupan sehari-hari, sedangkan norma moral berasal dari etika. Etika (ethics) berarti
moral sedangkan etiket (etiquette)berarti sopan santun.
7
teologis yang melahirkan etika teologis, dan ditinjau dari pandangan sosiologis yang
melahirkan etika sosiologis.
a) Etika filosofis
Etika filosofis adalah etika yang dipandang dari sudut filsafat. Kata filosofis sendiri
berasal dari kata “philosophis” yang asalnya dari bahasa Yunani yakni: “philos”
yang berarti cinta, dan “sophia” yang berarti kebenaran atau kebijaksanaan. Etika
filosofis adalah etika yang menguraikan pokok-pokok etika atau moral menurut
pandangan filsafat. Dalam filsafat yang diuraikan terbatas pada baik-buruk, masalah
hak-kewajiban, maslah nilai-nilai moral secara mendasar. Disini ditinjau hubungan
antara moral dan kemanusiaan secara mendalam dengan menggunakan rasio sebagai
dasar untuk menganalisa.
b ) Etika teologis
Etika teologis adalah etika yang mengajarkan hal-hal yang baik dan buruk
berdasarkan ajaran-ajaran agama. Etika ini memandang semua perbuatan moral
sebagai:
Orang beragama mempunyai keyakinan bahwa tidak mungkin moral itu dibangun
tanpa agama atau tanpa menjalankan ajaran-ajaran Tuhan dalam kehidupan sehari-
hari. Sumber pengetahuan dan kebenaran etika ini adalah kitab suci.
c ) Etika sosiologis
Etika sosiologis berbeda dengan dua etika sebelumnya. Etika ini menitik beratkan
pada keselamatan ataupun kesejahteraan hidup bermasyarakat. Etika sosiologis
8
memandang etika sebagai alat mencapai keamanan, keselamatan, dan kesejahteraan
hidup bermasyarakat. Jadi etika sosiologis lebih menyibukkan diri dengan pembicaraan
tentang bagaimana seharusnya seseorang menjalankan hidupnya dalam hubungannya
dengan masyarakat.
9
catur hanya bisa dipakai untuk permainan catur dan tidak bisa dipakai untuk mengatur
permainan bola.
b) Norma Umum
Norma umum justru sebaliknya karena norma umum bersifat universal, yang
artinya berlaku luas tanpa membedakan kondisi atau situasi, kelompok orang tertentu.
Secara umum norma umum dibagi menjadi tiga (3) bagian, yaitu :
1. Norma sopan santun.Norma ini menyangkut aturan pola tingkah laku dan sikap lahiriah
seperti tata cara berpakaian, cara bertamu, cara duduk, dll. Norma ini lebih berkaitan
dengan tata cara lahiriah dalam pergaulan sehari-hari, amak penilaiannnya kurang
mendalam karena hanya dilihat sekedar yang lahiriah.
2. Norma hukum.Norma ini sangat tegas dituntut oleh masyarakat. Alasan ketegasan
tuntutan ini karena demi kepentingan bersama. Dengan adanya berbagai macam
peraturan, masyarakat mengharapkan mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan
bersama. Keberlakuan norma hukum dibandingkan dengan norma sopan santun lebih
tegas dan lebih pasti karena disertai dengan jaminan, yakni hukuman terhadap orang yang
melanggar norma ini. Norma hukum ini juga kurang berbobot karena hanya memberikan
penilaian secara lahiriah saja, sehingga tidak mutlak menentukan moralitas seseorang.
3. Norma moral. Norma ini mengenai sikap dan perilaku manusia sebagai manusia.
Norma moral menjadi tolok ukur untuk menilai tindakan seseorang itu baik atau buruk,
oleh karena itu bobot norma moral lebih tinggi dari norma sebelumnya. Norma ini tidak
menilai manusia dari satu segi saja, melainkan dari segi manusia sebagai manusia.
Dengan kata lain norma moral melihat manusia secara menyeluruh, dari seluruh
kepribadiannya. Di sini terlihat secara jelas, penilannya lebih mendasar karena
menekankan sikap manusia dalam menghadapi tugasnya, menghargai kehidupan
manusia, dan menampilkan dirinya sebagai manusia dalam profesi yang diembannya.
Norma moral ini memiliki ciri-ciri yaitu :
1. Norma moral merupakan norma yang paling dasariah, karena langsung mengenai
inti pribadi kita sebagai manusia.
10
2. Norma moral menegaskan kewajiban dasariah manusia dalam bentuk perintah
atau larangan.
3. Norma moral merupakan norma yang berlaku umum
4. Norma moral mengarahkan perilaku manusia pada kesuburan dan kepenuhan
hidupnya sebgai manusia.
11
BAB III
SECARA METAFISIK
A. METAFISIKA
Metafisik merupakan kata yang berasal dari Bahasa Yunani yakni : Μετά (meta) =
"setelah atau di balik", dan ΦΎΣΙΚΑ (phúsika) = "hal-hal di alam"). Metafisika adalah cabang
filsafat yang mempelajari penjelasan asal atau hakekat objek (fisik) di dunia. Metafisika adalah
studi keberadaan atau realitas.
Beberapa Tafsiran Metafisika Dalam menafsirkan hal ini, manusia mempunyai beberapa
pendapat mengenai tafsiran metafisika. Tafsiran yang pertama yang dikemukakan oleh manusia
terhadap alam ini adalah bahwa terdapat hal-hal gaib (supernatural) dan hal-hal tersebut bersifat
lebih tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan alam yang nyata. Pemikiran seperti ini disebut
pemikiran supernaturalisme. Dari sini lahir tafsiran-tafsiran cabang misalnya animisme. Selain
paham di atas, ada juga paham yang disebut paham naturalisme. Paham ini amat bertentangan
dengan paham supernaturalisme. Paham naturalisme menganggap bahwa gejala-gejala alam
tidak disebabkan oleh hal-hal yang bersifat gaib, melainkan karena kekuatan yang terdapat di
alam itu sendiri, yang dapat dipelajari dan dapat diketahui. Orang-orang yang menganut paham
naturalisme ini beranggapan seperti itu karena standar kebenaran yang mereka gunakan hanyalah
logika akal semata, sehingga mereka menolak keberadaan hal-hal yang bersifat gaib itu. Dari
paham naturalisme ini juga muncul paham materialisme yang menganggap bahwa alam semesta
dan manusia berasal dari materi. Salah satu pencetusnya ialah Democritus (460-370 S.M).
12
Adapun bagi mereka yang mencoba mempelajari mengenai makhluk hidup. Timbul dua
tafsiran yang masing saling bertentangan yakni paham mekanistik dan paham vitalistik. Kaum
mekanistik melihat gejala alam (termasuk makhluk hidup) hanya merupakan gejala kimia-fisika
semata. Sedangkan bagi kaum vitalistik hidup adalah sesuatu yang unik yang berbeda secara
substansif dengan hanya sekedar gejala kimia-fisika semata.
Berbeda halnya dengan telah mengenai akal dan pikiran, dalam hal ini ada dua tafsiran
yang juga saling berbeda satu sama lain. Yakni paham monoistik dan dualistik. sudah merupakan
aksioma bahwa proses berpikir manusia menghasilkan pengetahuan tentang zat (objek) yang
ditelaahnya. Dari sini aliran monoistik mempunyai pendapat yang tidak membedakan antara
pikiran dan zat, keduanya (pikiran dan zat) hanya berbeda dalam gejala disebabkan proses yang
berlainan namun mempunyai subtansi yang sama. Pendapat ini ditolak oleh kaum yang
menganut paham dualistik. Dalam metafisika, penafsiran dualistik membedakan antara zat dan
kesadaran (pikiran) yang bagi mereka berbeda secara substansif. Aliran ini berpendapat bahwa
yang ditangkap oleh pikiran adalah bersifat mental. Maka yang bersifat nyata adalah pikiran,
sebab dengan berpikirlah maka sesuatu itu lantas ada.
13
BAB IV
SECARA POSITIF
A. BERPIKIR POSITIF
14
BAB III
PENUTUP
Kata etik (atau etika) berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti
karakter, watak kesusilaan atau adat. Sebagai suatu subyek, etika akan berkaitan
dengan konsep yang dimiliki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah
tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik.
Menurut Martin [1993], etika didefinisikan sebagai “the discipline which can act as
the performance index or reference for our control system“.
Firman Tuhan adalah satu-satunya perisai yang paling ampuh untuk
berhadapan segala sesuatu dan keyakinan. Biarkan kita membangun diri kita dengan
iman yang paling suci dan berdoa di dalam Roh Kudus. Senantiasa berada di dalam
lingkaran kasih Allah sementara kita menunggu belas kasihan Yesus Kristus yang
akan membawa kita kepada hidup yang kekal (Yud. 20). Sebagaimana kita telah
mengakhiri pertandingan yang baik, "aku telah mencapai garis akhir dan aku telah
memelihara iman" (2Tim 4:7-8), oleh sebab itu mari kita senantiasa percaya dan
dengan gembira menaati Dia. Menjadi orang yang taat dan menjadi manusia beriman
yang kelak mendapat pujian dari Allah.
15
16