Anda di halaman 1dari 51

LAPORAN STUDI KASUS

DM TYPE 2 + CAD

Disusun Oleh

NIA APRIYANI (2143700300)

PROGRAM STUDI PROFESI

APOTEKER FAKULTAS
FARMASI
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat, rahmat
dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Laporan Praktik Kerja
Profesi Apoteker (PKPA) di RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumsel. PKPA ini
merupakan salah satu syarat yang harus ditempuh untuk memperoleh gelar
Apoteker di Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi di Universitas
17 agustus 1945 agar setiap calon Apoteker mendapatkan pengetahuan  dan
gambaran yang jelas mengenai RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumsel yang
merupakan salah satu tempat pengabdian profesi Apoteker. Pada kesempatan
ini kami mengucapkan terima kasih banyak kepada ibu. apt. Silvi Hartuti,
M.Si. sebagai pembimbing di Universitas 17 Agustus 1945 dan Ibu apt.
Sartika, S.Farm. sebagai pembimbing di RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumsel
yang telah meluangkan waktu untuk memberikan Pengarahan dan Bimbingan
selama pelaksanaan PKPA di RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumsel. PKPA ini
dapat berjalan berkat dukungan, bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini ucapan terima kasih disampaikan pula
kepada:

1. Dekan Fakultas Farmasi Universitas 17 Agsustus 1945, Bapak Dr. apt.


Dayar Arbain

2. Kepala Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas 17


Agustus 1945, Ibu apt. Nuzul Fajriani, M. Si
3. Direktur RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumsel, Bapak dr. Syamsuddin
Isaac SM, Sp.OG.Yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk
melakukan Praktik Kerja Profesi Apoteker di RSUD Siti Fatimah Provinsi
Sumsel.
4. Seluruh staf karyawan RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumsel yang telah
memberikan informasi yang sangat berguna sehingga laporan ini dapat
terselesaikan.

ii
5. Seluruh Dosen Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi
Universitas 17 Agustus 1945 yang telah memberikan ilmunya kepada
kami selama melakukan perkuliahan di Universitas 17 Agustus 1945,
Jakarta
6. Orang tua, Suami dan keluarga yang selalu memberikan dukungan doa,
moril dan materi serta semua pihak yang telah banyak membantu selama
melaksanakan PKPA maupun dalam penyusunan Laporan di RSUD Siti
Fatimah Provinsi Sumsel.
7. Teman- teman mahasiswa/i Program Studi Profesi Apoteker ISTN yang
telah memberikan dukungan dan pihak-pihak lain yang tidak dapat
disebutkan satu persatu yang telah membantu pembuatan Laporan Praktik
Kerja Profesi Apoteker ini, baik langsung maupun tidak langsung.Kami
menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
diperlukan kritik dan saran dari pembaca yang membangun demi
penyempurnaan laporan ini. Semoga laporan ini dapat memberikan
manfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya dunia kefarmasian.

Palembang, November 2022

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1

1.1 Latar Belakang.....................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah...............................................................................................4

1.3 Tujuan.................................................................................................................4

1.4 Manfaat..............................................................................................................4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................................6

2.1 Coronary Artery Disease (CAD)...........................................................................6

2.1.1 Definisi Coronary Artery Disease CAD)......................................................6

2.1.2 Epidemiologi...............................................................................................7

2.1.3 Etiologi........................................................................................................8

2.1.4 Patofisiologi..............................................................................................10

2.1.5 Klasifikasi..................................................................................................11

2.1.6 Diagnosa Coronary Artery Disease (CAD).................................................12

2.1.7 Pengobatan Coronary Artery Disease (CAD).............................................13

2.1.8 Tatalaksana Umum...................................................................................14

2.2 Diabetes melitus.............................................................................................16

2.2.1 Pengertian Diabetes Melitus....................................................................16

2.2.2 Diagnosis Diabetes Militus........................................................................17

2.2.3 Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 2........................................................17

2.2.4 Tatalaksana Terapi Diabetes Mellitus.......................................................18

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN.....................................................................................26

iv
3.1. Kasus Terpilih........................................................................................................26

3.2 Data Objektif.............................................................................................................27

3.3 HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM......................................................................28

3.4 Daftar Obat Selama Perawatan..................................................................................29

4.1 Kesimpulan.................................................................................................................51

4.2 Saran..........................................................................................................................51

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................52

v
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diabetes melitus adalah penyakit metabolik ditandai dengan hiperglikemia
yang berhubungan dengan adanya gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan
protein (Dipora 10th ed). Diabetes Mellitus dikenal sebagai silent killer karena
sering tidak disadari oleh penyandangnya dan saat diketahui sudah terjadi
komplikasi (Hari Nugroho, 2019). Komplikasi sering terjadi pada penderita
diabetes melitus apabila tidak dikelola dengan baik sehingga penderita
membutuhkan terapi pengobatan lama untuk menurunkan kejadian komplikasi
(ADA 2017).Penderita diabetes mellitus memiliki kadar glukosa darah yang
tinggi. Keadaan glukosa darah yang tinggi dapat menyebabkan viskositas darah
menjadi lebih kental, sehingga jantung membutuhkan tekanan yang lebih besar
untuk memompa darah keseluruh tubuh, hal ini dapat menyebabkan keadaan
hipertensi ( tekanan darah tinggi ).

Sindrom koroner akut adalah suatu kondisi terjadi pengurangan aliran darah
ke jantung secara mendadak. Beberapa gejala dari sindrom ini adalah tekanan di
dada seperti serangan jantung, sesak saat sedang beristirahat atau melakukan
aktivitas fisik ringan, keringat yang berlebihan secara tiba-tiba (diaforesis),
muntah, mual, nyeri di bagian tubuh lain seperti lengan kiri atau rahang, dan

jantung yang berhenti mendadak (cardiac arrest). Umumnya mengenai pasien usia
40 tahun ke atas walau pada saat ini terdapat kecenderungan mengenai usia lebih
muda (Utami, 2019).
Diabetes merupakan salah satu factor risiko penting terjadinya penyakit
jantung koroner. Semakin lama seseorang menderita DM maka semakin mudah
penderita DM mengalami komplikasi (Lathifah, 2017). Diabetes mellitusyang
tidak dikelola dengan baik mengakibatkan komplikasi yang bersifat kronik salah

vi
satunya yaitu komplikasi makroangiopati. Makroangiopati diabetic mempunyai
gambaran histopatologi berupa aterosklerosis yang pada akhirnya menyebabkan
penyumbatan vaskuler. Bila mengenai arteri perifer, maka dapat menyebabkan
insufisiensi intravaskuler perifer, gangren extremitas, serta insufisiensi serebral
dan stroke. Bila mengenai arteri koronaria dan aorta, maka dapat
menyebabkan penyakit jantung coroner (Misinem, 2015).
Penderita diabetes mellitus memiliki kadar glukosa yang tinggi sehingga
dapat meningkatkan viskositas darah. Meningkatnya viskositas darah ini dapat
menyebabkan kerja jantung lebih berkerja keras. Selain itu tingginya glukosa akan
diiringi pula meningkatnya kadar lemak yang menempel di dinding pembuluh
darah. Adanya lemak ini akan menyebabkan menyempitnya pembuluh darah
sehingga aliran darah dapat terganggu. Adanya lemak yang menempel juga akan
menyebabkan pembuluh darah yang menjadi keras dan penyumbatan pembuluh
darah (Nugroho, 2017).
Diabetes meningkatkan risiko penyakit jantung koroner sebesar 7,75 (95%
CI :7,31- 8,22) kali lebih besar dan setelah dikontrol dengan faktor-faktor lain,
berisiko 8,43 kali (95% CI=7,14-9,95) dibandingkan dengan orang yang tidak
menderita diabetes (Ghani, 2016). Hasil penelitian North Catalonia Diabetes
Study di Spanyol diketahui bahwa prevalensi penyakit kardiovaskular pada pasien
DM tipe 2 adalah sebesar 22% yang meliputi 4,6% iskemik perifer dan 18,9%
PJK (Jurado, 2009). Prevalensi penyakit jantung koroner pada penderita diabetes
mellitus sebesar 9,2% berdasarkan analisis hasil Riskesdas 2013 (Ghani, 2016).
Diabetes Mellitus tipe 2 merupakan penyakit hiperglikemi akibat
insensitivitas sel terhadap insulin. Kadar insulin sedikit menurun atau berada
dalam rentang normal. Karena insulin tetap dihasilkan oleh sel-sel beta pancreas,
maka Diabetes Mellitus tipe 2 dianggap sebagai Non Insulin Dependent Diabetes
Mellitus. Diabetes Mellitus tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi
insulin, namun karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon
insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai “resistensi insulin”.
Resistensi insulin dapat terjadi akibat dari obesitas dan kurangnya aktifitas fisik

vii
serta penuaan. Defisiensi fungsi insulin pada penderita Diabetes Mellitus tipe 2
hanya bersifat relatif dan tidak absolut.
Pada pengendalian DM di Indonesia selain mengupayakan perubahan
perilaku dan perencanaan makan juga dibutuhkan pengobatan dengan insulin yang
mempunyai durasi kerja yang berbeda-beda seperti insulin kerja singkat (short
acting), insulin kerja cepat (rapid acting), insulin kerja sedang (intermediate) dan
insulin kerja panjang (long acting). Selain insulin juga digunakan obat golongan
oral antidiabetes yang digunakan untuk DM dan yang telah dipasarkan
diIndonesia digolongkan menjadi lima yakni sulfonilurea, meglitinid, biguanid,
penghambat α-glikosidase dan tiazolidinedion (Suherman, 2008). Dari kelima
golongan obat oral antidiabetik di atas memiliki mekanisme kerja yang berbeda,
namun mekanisme insulin sensitizing agent yakni golongan thiazolidinedione dan
metformin mampu menurunkan resiko kematian akibat jantung dengan diabetes
mellitus tipe 2 (ADA,020). Berdasarkan studi insulin treatment of type 2 diabetes
and outcomes in patients with heart failure: a nested case-control study from the
UK General Practice Research Database menyatakan bahwa kondisi fisiologis
stress akan menyebabkan respon otonom yang merusak fungsi jantung karena aksi
katekolamin yang merangsang peningkatan kerja jantung selain itu juga terkait
dengan resistensi insulin yang meningkat dan hiperglikemia yang menyebabkan
stress metabolik lebih lanjut pada jantung. Dalam studi tersebut mengatakan
bahwa terapi insulin glukosa intensif dapat menurunkan resiko terhadap gagal
jantung. Selain itu pada studi kasus pasien diabetes tipe 2 dengan jantung tidak
ditemukan adanya peningkatan mortalitas dengan adanya terapi insulin.
Penggunaan insulin yang independen terkait dengan disfungsi ventrikel kiri yang
secara klinis mengalami resisten insulin dan membutuhkan terapi insulin eksogen
untuk mengatasi hiperglikemia simptomatik (MacDonald et al, 2010).
Berdasarkan latar belakang di atas, maka perlu dilakukan penelitian untuk
mengetahui serta mempelajari pola penggunaan antidiabetes pada penderita DM
tipe 2 dengan jantung coroner dan neuropati. Dilakukan secara observasional
dengan pengambilan data secara prospektif di RSUD Siti Fatimah Palembang.

viii
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan rumusan masalah
yaitu:

1. Bagaimana efektifitas terapi pada pasien DM tipe 2 + CAD?


2. Bagaimana resiko reaksi obat yang tidak dikehendaki pada pasien DM tipe
2 + CAD?

1.3 Tujuan
Tujuan pemantauan terapi obat pada pasien DM tipe 2 + CAD, di ruang rawat
inap Rumah Sakit umum Daerah Siti Fatimah Provinsi Sumatera Selatan yaitu

1. Mengetahui efektifitas terapi pada pasien.


2. Mengetahui resiko reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD)

1.4 Manfaat
1. Bagi Penulis
Menambah pengetahuan dan wawasan dalam memberi asuhan kefarmasian
yang komperhensif pada pasien.
2. Bagi Institusi
Pendidikan Menjadi bahan masukan dalam proses belajar mengajar dan
bisa di ajarkan kepada mahasiswa PSPA Universitas 17 Agustus 1945

3. Bagi Profesi
Apoteker Mengetahui apakah ada atau tidak drug related problem yang
terjadi selama pengobatan pasien.
4. Bagi Rumah Sakit
Sebagai masukan dan informasi tambahan dan apabila pada saat regimen
pengobatan terdapat kekeliruan, bisa lebih meningkatkan pelayanan klinik
sesuai dengan panduan.

ix
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Coronary Artery Disease (CAD)

2.1.1 Definisi Coronary Artery Disease CAD)


Penyakit Jatung Koroner (PJK) adalah suatu kelainan yang disebabkan
oleh penyempitan atau penghambatan pembuluh arteri yang mengalirkan
darah ke otot jantung. Jantung diberi oksigen dalam darah melalui arteri-arteri
koroner utama yang bercabang menjadi sebuah jaringan pembuluh lebih kecil
yang efisien
Angina Pektoris Stabil (APS): sindrom klinik yang ditandai dengan rasa
tidak enak di dada, rahang, bahu, pungggung ataupun lengan, yang biasanya
dicetuskan oleh kerja fisik atau stres emosional dan keluhan ini dapat
berkurang bila istirahat atau oleh obat nitrogliserin.
 Angina Prinzmetal: nyeri dada disebabkan oleh spasme arteri
koronaria, sering timbul pada waktu istirahat, tidak berkaitan dengan
kegiatan jasmani dan kadang-kadang siklik (pada waktu yang sama
tiap harinya).
 Sindroma Kororner Akut (SKA):sindrom klinik yang mempunyai
dasar patofisiologi yang sama yaitu adanya erosi, fisur, ataupun
robeknya plak atheroma sehingga menyebabkan trombosis
intravaskular yang menimbulkan ketidakseimbangan pasokan dan
kebutuhan oksigen miokard. Yang termasuk dalam SKA adalah:
Angina pektoris tidak stabil (APTS, unstable angina): ditandai dengan
nyeri dada yang mendadak dan lebih berat, yang serangannya lebih
lama (lebih dari 20 menit) dan lebih sering. Angina yang baru timbul
(kurang dari satu bulan), angina yang timbul dalam satu bulan
setelah serangan infark juga digolongkan dalam angina tak stabil.

x
 Infark miokard akut (IMA): Nyeri angina pada infark jantung akut
umumnya lebih berat dan lebih lama (30 menit atau lebih). Walau
demikian infark jantung dapat terjadi tanpa nyeri dada (20 sampai
25%). IMA bisa nonQ MI (NSTEMI) dan gelombang Q MI (STEMI).

2.1.2 Epidemiologi
Adapun karakteristik Host yang beresiko terhadap Penyakit Jantung
Koroner yaitu :
1. Usia
Usia yang berpotensi untuk menderita PJK untuk laki-laki usia 45 tahun
dan banyak penyandang hipertensi sedangkan perempuan setelah umur 55
tahun beresiko dibandingkan dengan laki-laki.
2. Pekerjaan
Tingkat pekerjaan dan pendidikan mempengaruhi risiko PJK yaitu wanita
yang memiliki pekerjaan diluar rumah memiliki resiko yang minim PJK
daripada wanita ibu mengurus rumah tangga dikarenakan aktivitas fisik
rendah dan rendahnya tingkat pendidikan.
3. Jenis Kelamin
Jenis kelamin yang berpotensi menderita PJK yaitu pada pria. Hal ini
berhubungan dengan IMT dan PJK jika wanita memiliki IMT yang besar
maka berpeluang kepada wanita. Di Australia PJK belum dapat informasi
valid diderita wanita.
4. Merokok
Pada pria yang merokok berat akan beresiko menderita PJK 2 sampai 4
kali dan juga berpotensi pada perempuan yang merokok berat atau jumlah
dihisap 20 batang per hari
5. Diabetes Melitus
Penderita DM akan berpengaruh pada pembuluh darah dan 1 dari 2 orang
pasien DM bagian pembuluh darahnya akan rusak. Kerusakan ini dapat
terjadi Jika aktivitas kurang dan pola makan yang tidak sehat yang
berpengaruh pada kerja jantung.

xi
6. Hipertensi
Penderita Hipertensi Tekanan darah mempunyai hubungan dengan semua
bagian tubuh yang berperan penting seperti jantung, ginjal, mata dan
pembuluh darah. Komplikasi akan terjadi dan disesuaikan dengan
tingginya darah dan hjangka waktu merasakannya.
7. Keturunan
Individu yang memiliki orangtua laki-laki menderita PJK maka akan
beresiko 2 kali bahkan lebih untuk menderita PJK (Wahidah,2019).

2.1.3 Etiologi
Penyebab penyakit jantung koroner karena adanya penyempitan,
penyumbatan, atau kelainan pembuluh arteri koroner. Penyempitan dan
penyumbatan bisa menghentikan aliran darah ke otot jantung ditandai rasa
nyeri. Jika keadaan yang buruk fungsi jantung untuk memompa darah akan
berhenti. Keadaan ini bisa merusak system pengontrol irama jantung serta
berakhir kematian. PJK memiliki faktor pemicu dapat menimbulkan
aterosklerosis. Faktor-faktor risiko besar meliputi:
a. Usia
Usia adalah faktor risiko paling penting dengan 80% dari kematian PJK
umur 65 tahun bahkan lebih. Meningkatnya umur individu maka
berpotensi untuk menderita PJk dalam jangka waktu ini digunakan untuk
terjadi penumpukkan flak dan proses kerapuhan dinding pembuluh darah
semakin panjang. laki-laki kejadian puncak manifestasi klinis
PJK 50-60 tahun, perempuan umur 60-70 tahun serta perempuan sekitar
10-15 tahun lebih lambat dibandingkan laki-laki dan risikonya meningkat
secara drastis setelah masa menopause.
b. Jenis kelamin
PJK lebih beresiko pada laki-laki dibandingkan perempuan, dengan
setengah dari laki-laki dan sepertiga dari perempuan usia menengah
sampai tu di negara Amerika beresiko. Data dari Epidemilogy of coronary
heart desease and acute coronary syndrome menyatakan orang usia 40

xii
tahun memiliki risiko seumur hidup untuk penderita PJK 49% laki-laki
dan perempuan 32%.24
c. Tekanan Darah Tinggi (Hipertensi)
Pada pasien hipertensi, ditemukan terdapat defect dalam regulasi
pengendalian tekanan darah. Jantung bisa berkontribusi dalam terjadinya
hipertensi melalui mekanisme peningkatan cardiac output dan curah
jantung akibat aktivitas berlebih dari saraf simpatis. Pembuluh darah
berkontribusi dalam hipertensi melalui resisten pembuluh darah Perifer
akibat terjadinya konstruksi akibat peningkatan aktivitas simpatis, regulasi
abnormal dari tonus vaskuler oleh nittit oksida, endotelin, serta factor
faktor natriuretik, defek kanal ion di otot polos pembuluh darah.
d. Hiperlipidemia
Hiperlipidemia yaitu tingginya kadar lemak dalam darah (kolesterol,
trigliserida maupun keduanya). Lemak atau lipid yakni zat yang kaya
energi, berfungsi sebagai sumber energi untuk proses metabolisme tubuh.
Klien mempunyai kadar kolestrol >300 ml/dl mempunyai risiko 4 kali
menderita PJK memiliki kadar 200 ml/dl penelitian Wongkar yaitu ada
hubungan antara profil lipid LDL, hipertensi, DMT2 serta jenis kelamin
pada kejadian PJK (p<0,05) dengan nilai OR=9,077 .
e. Merokok
Orang merokok sigaret memiliki 2-3 kali untuk meninggal akibat PJK
dibandingkan dengan tidak merokok. Orang meroko akan terjadi
penunurann kadar HDL (High Density Lipoprotein). Mengakibatkan
penebalan dinding pembuluh darah meningkat7 Hal ini dapat juga terjadi
pada perokok pasif.
f. Riwayat keluarga
Seseorang yang mempunyai riwayat keluarga akan 2 kali berpotensi untuk
menderita PJK. Beresiko lima kali untuk merasakan PJK dibandingkan
tidak memiliki keturunan (Wahidah, 2019).

xiii
2.1.4 Patofisiologi
Lapisan endotel pembuluh darah koroner yang normal akan mengalami
kerusakan oleh adanya faktor risiko antara lain: faktor hemodinamik seperti
hipertensi, zat-zat vasokonstriktor, mediator (sitokin) dari sel darah, asap
rokok, diet aterogenik, penigkatan kadar gula darah, dan oxidasi dari LDL-C. Di
antara faktor-faktor risiko PJK (lihat Tabel 1), diabetes melitus, hipertensi,
hiperkolesterolemia, obesitas, merokok, dan kepribadian merupakan faktor-faktor
penting yang harus diketahui. Kerusakan ini menyebabkan sel endotel
menghasilkan cell adhesion molecule seperti sitokin (interleukin -1, (IL-1); tumor
nekrosis faktor alfa, (TNF-alpha)), kemokin (monocyte chemoattractant factor 1,
(MCP-1; IL-8), dan growth factor (platelet derived growth factor, (PDGF); basic
fibroblast growth factor, (bFGF). Sel inflamasi seperti monosit dan T-Limfosit
masuk ke permukaan endotel dan migrasi dari endotelium ke sub endotel. Monosit
kemudian berdiferensiasi menjadi makrofag dan mengambil LDL teroksidasi
yang bersifat lebih atherogenik dibanding LDL. Makrofag ini kemudian
membentuk sel busa. LDL teroksidasi menyebabkan kematian sel endotel dan
menghasilkan respons inflamasi. Sebagai tambahan, terjadi respons dari
angiotensin II, yang menyebabkan gangguan vasodilatasi, dan mencetuskan efek
protrombik dengan melibatkan platelet dan faktor koagulasi.
Akibat kerusakan endotel terjadi respons protektif dan terbentuk lesi
fibrofatty dan fibrous, plak atherosklerosik, yang dipicu oleh inflamasi. Plak
yang terjadi dapat menjadi tidak stabil (vulnerable) dan mengalami ruptur
sehingga terjadi Sindroma Koroner Akut (SKA).

xiv
Tabel 1. Faktor Risiko Jantung Koroner
Faktor Risiko yang Tidak Dapat Faktor risiko yang dapat diubah
Dirubah
- Usia - Merokok
- Jenis kelamin laki-laki - Hipertensi
- Riwayat keluarga - Dislipidemia
- Etnis - Diabetes melitus
- Obesitas dan sindrom metabolik
- Stres
- Diet lemak yang tinggi kalori
- Inaktifitas fisik
Faktor risiko baru:
- Inflamasi
- Fibrinogen
- Homosistein
- Stres oksidatif

2.1.5 Klasifikasi
Penyakit jantung coroner diklasifikasikan menjadi 3, yaitu Silent Ischaemia
(Asimtotik), Angina Pectoris, dan Infark Miocard Akut (Serangan Jantung).
Berikut adalah penjelasan masing-masing klasifikasi PJK:
a. Silent Ischaemia (Asimtotik)
Banyak dari penderita silent ischaemia yang mengalami PJK tetapi tidak
merasakan ada sesuatu yang tidak enak atau tanda-tanda suatu
penyakit
b. Angina Pectoris
Angina pectoris terdiri dari dua tipe, yaitu Angina Pectoris Stabil
yang ditandai dengan keluhan nyeri dada yang khas, yaitu rasa
tertekan atau berat di dada yang menjalar ke lengan kiri dan

xv
Angina Pectoris tidak Stabil yaitu serangan rasa sakit dapat timbul,
baik pada saat istirahat, waktu tidur, maupun aktivitas ringan. Lama
sakit dada jauh lebih lama dari sakit biasa. Frekuensi serangan juga lebih
sering.
c. Infark Miocard Akut (Serangan Jantung)
Infark miocard akut yaitu jaringan otot jantung yang mati karena
kekurangan oksigen dalam darah dalam beberapa waktu. Keluhan
yang dirasakan nyeri dada, seperti tertekan, tampak pucat
berkeringat dan dingin, mual, muntah, sesak, pusing, serta pingsan
(Notoatmodjo, 2007)

2.1.6 Diagnosa Coronary Artery Disease (CAD)


Langkah pertama dalam pengelolaan PJK ialah penetapan diagnosis pasti.
Diagnosis yang tepat amat penting, karena bila diagnosis PJK telah dibuat di
dalamnya terkandung pengertian bahwa penderitanya mempunyai kemungkinan
akan dapat mengalami infark jantung atau kematian mendadak. Diagnosis yang
salah selalu mempunyai konsekuensi buruk terhadap kualitas hidup penderita.
Pada orang-orang muda, pembatasan kegiatan jasmani yang tidak pada tempatnya
mungkin akan dinasihatkan. Selain itu kesempatan mereka untuk mendapat
pekerjaan mungkin akan berkurang. Bila hal ini terjadi pada orang-orang tua,
maka mereka mungkin harus mengalami pensiun yang terlalu dini, harus berulang
kali dirawat di rumah sakit secara berlebihan atau harus makan obat-obatan yang
potensial toksin untuk jangka waktu lama. Di lain pihak, konsekuensi fatal dapat
terjadi bila adanya PJK tidak diketahui atau bila adanya penyakit- penyakit
jantung lain yang menyebabkan angina pektoris terlewat dan tidak terdeteksi.
Cara Diagnostik

Tabel 2 memperlihatkan cara-cara diagnostik PJK yang terpenting, baik


yang saat ini ada atau yang di masa yang akan datang potensial akan
mempunyai peranan besar. Dokter harus memilih pemeriksaan apa saja yang
perlu dilakukan terhadap penderita untuk mencapai ketepatan diagnostik yang

xvi
maksimal dengan risiko dan biaya yang seminimal mungkin.
Setiap pasien dengan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis yang teliti,
penentuan faktor risiko, pemeriksaan jasmani dan EKG. Pada pasien dengan
gejala angina pektoris ringan, cukup dilakukan pemeriksaan non-invasif. Bila
pasien dengan keluhan yang berat dan dan kemungkinan diperlukan tindakan
revaskularisasi, maka tindakan angiografi sudah merupakan indikasi. Pada
keadaan yang meragukan dapat dilakukan treadmill test. Treadmill test
lebih sensitif dan spesifik dibandingkan dengan EKG istirahat dan merupakan
tes pilihan untuk mendeteksi pasien dengan kemungkinan Angina Pektoris dan
pemeriksaan ini sarananya yang mudah dan biayanya terjangkau.
Pada keadaan tertentu, sulit menginterpretasi hasil treadmill seperti
pada pasien dengan kelainan EKG istirahat a.l.: LBBB, kelainan repolarisasi,
LVH dsb. Pemeriksaan alternatif lain yang dapat dilakukan adalah
ekokardiografi dan teknik non-invasif penentuan kalsifikasi koroner dan
anatomi koroner, Computed Tomography, Magnetic Resonanse Arteriography,
dengan sensitifitas dan spesifitas yang lebih tinggi. Di samping itu tes ini juga
cocok untuk pasien yang tidak dapat melakukan excercise, di mana dapat
dilakukan uji latih dengan menggunakan obat dipyridamole atau
dobutamine.

2.1.7 Pengobatan Coronary Artery Disease (CAD)


1. Memperbaiki prognosis dengan cara mencegah infark miokard dan
kematian. Upaya yang dilakukan adalah bagaimana mengurangi terjadinya
trombotik akut dan disfungsi ventrikel kiri. Tujuan ini dapat dicapai
dengan modifikasi gaya hidup ataupun intervensi farmakologik yang akan
(i) mengurang progresif plak (ii) menstabilkan plak, dengan mengurangi
inflamasi dan memperbaiki fungsi endotel, dan akhirnya (iii) mencegah
trombosis bila terjadi disfungsi endotel atau pecahnya plak. Obat yang
digunakan: Obat Antitrombotik: aspirin dosis rendah, antagonis reseptor
ADP (thienopyridin) yaitu clopidogrel dan ticlopidine; obat penurun

xvii
kolesterol (statin); ACE-Inhibitors; Beta-blocker; Calcium channel
blockers (CCBs).
2. Untuk memperbaiki simtom dan iskemi: obat yang digunakan yaitu
nitrat kerja jangka pendek dan jangka panjang, Beta-blocker, CCBs.

2.1.8 Tatalaksana Umum


Kepada pasien yang menderita PJK maupun keluarga, perlu diterangkan
tentang perjalanan penyakit, pilihan obat yang tersedia. Pasien perlu diyakinkan
bahwa kebanyakan kasus angina dapat mengalami perbaikan dengan pengobatan
dan modifikasi gaya hidup sehingga kualitas hidup lebih baik. Kelainan penyerta
seperti hipertensi, diabetes, dislipidemia, dll. perlu ditangani secara baik (lihat
selanjutnya pada bab pencegahan).

Cara pengobatan PJK yaitu, (i) pengobatan farmakologis, (ii)


revaskularisasi miokard. Perlu diingat bahwa tidak satu pun cara di atas sifatnya
menyembuhkan. Dengan kata lain tetap diperlukan modifikasi gaya hidup dan
mengatasi faktor penyebab agar progresi penyakit dapat dihambat.

Pengobatan Farmakologi

a. Aspirin dosis rendah


Dari berbagai studi telah jelas terbukti bahwa aspirin masih merupakan
obat utama untuk pencegahan trombosis. Meta-analisis menunjukkan,
bahwa dosis 75-150 mg sama efektivitasnya dibandingkan dengan dosis
yang lebih besar. Karena itu aspirin disarankan diberi pada semua
pasien PJK kecuali bila ditemui kontraindikasi. Selain itu aspirin juga
disarankan diberi jangka lama namun perlu diperhatikan efek samping
iritasi gastrointestinal dan perdarahan, dan alergi. Cardioaspirin
memberikan efek samping yang lebih minimal dibandingkan aspirin
lainnya.

xviii
b. Thienopyridine Clopidogrel dan Ticlopidine
merupakan antagonis ADP dan menghambat agregasi trombosit.
Clopidogrel lebih diindikasikan pada penderita dengan resistensi atau
intoleransi terhadap aspirin. AHA/ACC guidelines update 2006
memasukkan kombinasi aspirin dan clopidogrel harus diberikan pada
pasien PCI dengan pemasangan stent, lebih 1 bulan untuk bare metal
stent, lebih 3 bulan untuk sirolimus eluting stent, dan lebih 6 bulan untuk
paclitaxel-eluting stent.
c. Obat penurun kolesterol
Pengobatan dengan statin digunakan untuk mengurangi risiko baik pada
prevensi primer maupun prevensi sekunder. Berbagai studi telah
membuktikan bahwa statin dapat menurunkan komplikasi sebesar 39%
(Heart Protection Study), ASCOTT-LLA atorvastatin untuk prevensi
primer PJK pada pasca-hipertensi. Statin selain sebagai penurun
kolesterol, juga mempunyai mekanisme lain (pleiotropic effect) yang
dapat berperan sebagai anti inflamasi, anti trombotik dll. Pemberian
atorvastatin 40 mg satu minggu sebelum PCI dapat mengurangi
kerusakan miokard akibat tindakan. Target penurunan LDL kolesterol
adalah < 100 mg/dl dan pada pasien risiko tinggi, DM, penderita PJK
dianjurkan menurunkan LDL kolesterol
< 70 mg/dl.
d. ACE-Inhibitor/ARB
Peranan ACE-I sebagai kardioproteksi untuk prevensi sekunder pada
pasien dengan PJK telah dibuktikan dari berbagai studi a.l., HOPE study,
EUROPA study dll. Bila intoleransi terhadap ACE-I dapat diganti
dengan ARB.
e. Nitrat
pada umumnya disarankan, karena nitrat memiliki efek venodilator
sehingga preload miokard dan volume akhir bilik kiri dapat menurun
sehingga dengan demikian konsumsi oksigen miokard juga akan

xix
menurun. Nitrat juga melebarkan pembuluh darah normal dan yang
mengalami aterosklerotik. Menaikkan aliran darah kolateral, dan
menghambat agregasi trombosit. Bila serangan angina tidak respons
dengan nitrat jangka pendek, maka harus diwaspadai adanya
infark miokard. Efek samping obat adalah sakit kepala, dan flushing.
f. Antagonis kalsium mempunyai efek vasodilatasi. Antagonis kalsium
dapat mengurangi keluhan pada pasien yang telah mendapat nitrat atau
penyekat β; selain itu berguna pula pada pasien yang mempunyai
kontraindikasi penggunaan penyekat β. Antagonis kalsium tidak
disarankan bila terdapat penurunan fungsi bilik kiri atau gangguan
konduksi atrioventrikel.

2.2 Diabetes melitus


2.2.1 Pengertian Diabetes Melitus
Diabetes melitus adalah suatu penyakit gangguan metabolisme karbohidrat
yang ditandai dengan hiperglikemia sebagai akibat kekurangan insulin relatif,
ketidak mampuan tubuh memproduksi insulin (absolut) atau ketidakmampuan
insulin untuk mengontrol kadar gula darah. Setidaknya terdapat 4 jenis diabetes
melitus :

Onset Kejadian Penyebab Prevalensi


IDDM Kebanyakan dariusia Kekurangan insulin absolut, 10%
(Tipe 1) anak – anak penyebabnya akibat aotoimun
yang menyerang sel beta
pankreas.
Biasanya dimulai Kekurangan insulin relative, 77%
NIDDM pada usia pertengahan sebagai akibat penurunan sel
(Tipe 2) (35-40 tahun) beta pancreas, dan resistensi
insulin.
Pada wannita yang Penyebab pasti tidak 12%

xx
GDM sedang mengalami diketahui, namun dicurangi
kehamilan akibat dari ketidak seimbangan
hormone.
Semua usia Penyakit tertentu atau 1%
Lain-lain kombinasi obat – obatan
tertentu

2.2.2 Diagnosis Diabetes Militus


Diagnosis menurut Haryanto (2011) adalah suatu proses penentuan
penyebab penyakit atau kelainan dan mendiskripsikan penyembuhan yang cocok.
Untuk diagnosis Diabetes Melitius dan gangguan toleransi glukosa lainnya,
penegakan diagnosis dapat dilakukan dengan cara melakukan pemeriksaan pada
kadar glukosa darah.

pemeriksaan glukosa plasma >126 mg/dl, ini adalah kondisi dimana tubuh menerima asupan kalori minimal 8
jam

Atau

Pemeriksaan glukosa plasma > 200mg/dl, 2 jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dengan beban
glukosa 75 gram

Atau

Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl dengan keluhan klasik

Atau

Pemeriksaan hbAic >6,5 % dengan menggunakan metode yang terstandar oleh National Glxcohaemoglobin
Standarization Program (NGSP)

xxi
2.2.3 Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 2
Patofisiologi menurut Suyanto (2016) adalah ilmu yang mempelajari aspek
dinamik dari proses penyakit. Artinya, patofisiologi merupakan ilmu yang
mempelajari proses terjadinya perubahan atau gangguan fungsi tubuh akibat suatu
penyakit. Patofisiologi Diabetes Melitus tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang
berperan yaitu (Fatimah, 2015):
1. Resistensi insulin Diabetes melitus tipe 2 bukan disebabkan oleh
kurangnya sekresi insulin, namun karena sel sel sasaran insulin gagal
atau tidak mampu merespon insulin secara normal (resistensi insulin).
Resistensi insulin banyak terjadi akibat dari obesitas dan kurang nya
aktivitas fisik serta penuaan.
2. Disfungsi sel β pankreas Pada penderita diabetes melitus tipe 2 dapat
juga terjadi produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Fase pertama
sel β menunjukan gangguan pada sekresi insulin, artinya sekresi
insulin gagal mengkompensasi akibat resistensi insulin. Apabila tidak
ditangani dengan baik, akan terjadi kerusakan sel-sel β pankreas
secara progresif.
Lebih lanjut Fatimah (2015) menjelaskan bahwa kerusakan sel-sel β
pankreas secara progresif dapat menyebabkan defisiensi insulin, sehingga
penderita memerlukan insulin eksogen.

2.2.4 Tatalaksana Terapi Diabetes Mellitus

A. Terapi Nonfarmakologis

Terdapat pada 4 pilar penatalaksanaan DM, yaitu edukasi, terapi nutrisi


medis, latihan jasmani dan terapi non farmakologis (Perkeni, 2015).
1. Edukasi
Edukasi pada penderita DM meliputi pengecekan glukosa mandiri,
perawatan kaki, ketaatan pengunaan obat-obatan, berhenti merokok,
meningkatkan aktifitas fisik, dan mengurangi asupan kalori serta diet
tinggi lemak.

xxii
2. Terapi Nutrisi Medis
Terapi ini memfokuskan pada pengaturan pola konsumsi yaitu
konsumsi dengan gizi seimbang, sesuai dengan kebutuhan kalori masing-
masing individu dengan memperhatikan jumlah, jenis, dan jadwal makan.
3. Latihan Jasmani
Latihan jasmani dianjurkan dilakukan 3-4 kali dalam seminggu
dengan latihan yang bersifat aerobik seperti berjalan santai, bersepeda, dan
berenang. Latihan jasmani dapat meningkatkan kebugaran,
menurunkankan berat badan, serta memperbaiki sensivitas insulin.

B. Terapi Farmakologi

Apabila terapi non farmakolgi belum berhasil mengendalikan kadar


glukosa darah penderita, maka perlu dilakukan terapi farmakologi, baik
dalam bentuk terapi obat hipoglikemik oral, terapi insulin, atau kombinasi
keduanya.

a. Obat Antihiperglikemia

Oral Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi


5 golongan :

• Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue): Sulfonilurea dan


Glinid

1. Sulfonilurea

Merupakan obat hipoglikemik oral yang paling dahulu ditemukan.


Sampai beberapa tahun yang lalu, dapat dikatakan hampir semua obat
hipoglikemik oral merupakan golongan sulfonilurea. Obat hipoglikemik
oral golongan sulfonylurea merupakan obat pilihan (drug of choice) untuk
penderita diabetes dewasa baru dengan berat badan normal dan kurang
serta tidak pernah mengalami ketoasidosis sebelumnya. Senyawa-senyawa
sulfonilurea sebaiknya tidak diberikan pada penderita gangguan hati, ginjal
dan tiroid. Obat-obat kelompok ini bekerja merangsang sekresi insulin
dikelenjar pancreas, oleh sebab itu hanya efektif apabila sel-sel β

xxiii
Langerhans pankreas masih dapat berproduksi. Penurunan kadar glukosa
darah yang terjadi setelah pemberian senyawa-senyawa sulfonilurea
disebabkan oleh perangsangan sekresi insulin oleh kelenjar pancreas. Sifat
perangsangan ini berbeda dengan perangsangan oleh glukosa, karena
ternyata pada saat glukosa dalam kondisihiperglikemia gagal merangsang
sekresi insulin, senyawasenyawa obat ini masih mampu meningkatkan
sekresi insulin. Oleh sebab itu, obat-obat golongan sulfonilurea sangat
bermanfaat untuk penderita diabetes yang kelenjar pankreasnya masih
mampu memproduksi insulin, tetapi karena sesuatu hal terhambat
sekresinya. Pada penderita dengan kerusakan sel-sel β Langerhans kelenjar
pancreas, pemberian obat-obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea
tidak bermanfaat. Pada dosis tinggi, sulfonylurea menghambat degradasi
insulin oleh hati. Absorpsi senyawa-senyawa sulfonilurea melalui usus
cukup baik, sehingga dapat diberikan per oral. Setelah diabsorpsi, obat ini
tersebar ke seluruh cairan ekstrasel. Dalam plasma sebagian terikat pada
protein plasma terutama albumin (70-90%). Efek samping obat
hipoglikemik oral golongan sulfonylurea umumnya ringan dan
frekuensinya rendah, antara lain gangguan saluran cerna dan gangguan
susunan syaraf pusat. Gangguan saluran cerna berupa mual, diare, sakit
perut, hipersekresi asam lambung dan sakit kepala. Gangguan susunan
syaraf pusat berupa vertigo, bingung, ataksia dan lain sebagainya. Gejala
hematologik termasuk leukopenia, trombositopenia, agranulosistosis dan
anemia aplastic dapat terjadi walau jarang sekali. Klorpropamida dapat
meningkatkan ADH (Antidiuretik Hormon). Hipoglikemia dapat terjadi
apabila dosis tidak tepat atau diet terlalu ketat, juga pada gangguan fungsi
hati atau ginjal atau pada lansia. Hipogikemia sering diakibatkan oleh
obat-obat hipoglikemik oral dengan masa kerja panjang. Banyak obat yang
dapat berinteraksi dengan obat-obats ulfonilurea, sehingga risiko
terjadinya hipoglikemia harus diwaspadai. Obat atau senyawa-senyawa
yang dapat meningkatkan risiko hipoglikemia sewaktu pemberian obat-
obat hipoglikemik sulfonilurea antara lain: alkohol, insulin, fenformin,

xxiv
sulfonamida, salisilat dosis besar, fenilbutazon, oksifenbutazon,
probenezida, dikumarol, kloramfenikol, penghambat MAO (Mono
AminOksigenase), guanetidin, steroida anabolik, fenfluramin, dan
klofibrat.

2. Glinid

Mirip dengan sulfonilurea, glinid menurunkan glukosa lebih rendah


dengan merangsang sekresi insulin pankreas, tetapi pelepasan insulin
tergantung glukosa dan akan hilang pada konsentrasi glukosa darah
rendah. Ini bisa mengurangi potensi untuk hipoglisemi yang buruk. Agen
ini menghasilkan pelepasan insulin fisiologis lebih banyak dan lebih hebat
menurunkan glukosa post-prandial dibandingkan dengan sulfonilurea
durasi panjang. Pengurangan A1C rata-rata 0,8% menjadi1%. Obat-obatan
ini dapat digunakan untuk memberikan peningkatan sekresi insulin saat
makan (bila diperlukan) dengan tujuan glikemik. Obat-obat ini sebaiknya
diberikan sebelum makan (sampai 30 menit sebelumnya). Jika ada waktu
makan yang dilewatkan, maka obat ini juga tidak diminum. Saat ini tidak
ada penyesuaian dosis yang diperlukan untuk lansia. a. Repaglinide
(Prandin): dimulai pada 0,5-2 mg secara oral dengan dosis maksimum 4
mg tiap makan (Sampai empat kali sehari atau 16 mg / hari). b. Nateglinide
(Starlix): diberikan 120 mg secara oral tiga kali sehari sebelum makan.
dosis awal dapat diturunkan sampai 60 mg tiap makan pada pasien yang
A1C mendekati target terapi ketika terapi dimulai.

• Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin : Metformin dan


Tiazolidindion (TZD)

1. Metformin

Metformin meningkatkan sensitivitas insulin dari hati dan jaringan


perifer (otot) untuk meningkatkan penyerapan glukosa. Hal ini mengurangi
tingkat A1C 1,5% menjadi 2%, tingkat FPG 60 sampai 80mg / dL (3,3-4,4
mmol / L), dan mempertahankankemampuan untuk mengurangi tingkat

xxv
FPG sangat tinggi yaitu (> 300 mg / dL atau> 16,7mmol / L). Metformin
mengurangi trigliserida plasma dan low-densitylipoprotein (LDL)
kolesterol sebesar 8% menjadi 15% dan sederhana meningkatkan
highdensity lipoprotein (HDL) kolesterol (2%). Metformin tidak
menyebabkan hipoglikemia ketika digunakan sendirian. Metformin
digunakan dalam obesitas / kelebihan berat badan DM tipe 2 pasien (jika
ditoleransi dan tidak kontraindikasi) karena satu-satunya obat anti
hiperglikemik oral yang terbukti mengurangi risiko kematian total. Efek
samping yang paling umum adalah abdominal discomfort, stomach upset,
diare, dan anoreksia. Efek ini dapat diminimalkan dengan mentitrasi dosis
perlahan dan menggunakannya bersama makan. Extended-release
metformin (Glucophage XR) dapat mengurangi efek samping GI. Asidosis
laktat jarang terjadi dan dapat diminimalkan dengan menghindari
penggunaan pada pasien dengan insufisiensi ginjal (kreatinin serum 1,4 mg
/ dL atau lebih [ ≥124 μmol /L] pada wanita dan 1,5 mg / dL atau lebih
[ ≥133μmol / L] pada laki-laki), gagal jantung kongestif atau kondisi
predisposisi hipoksemia atau asidosis laktat bawaan.

a. Metformin aksi cepat (Glucophage) diberikan 500 mg dua kali sehari


dengan makan (atau 850 mg sekali sehari) dan ditingkatkan 500 mg tiap
minggu (atau 850 mg tiap 2 minggu) sampai dicapai total 2000 mg/hari.
Dosis harian maksimum yang dianjurkan adalah 2550 mg/hari.

b. Metformin lepas lambat (Glucophage XR) bisa dimulai dengan 500 mg


dengan makan sore hari dan ditingkatkan 500 mg tiap minggu sampai total
2000 mg/hari. Jika kontrol suboptimal bisa didapat dengan dosis sekali
sehari pada dosis maksimum, bisa diberikan dosis 100 mg dua kali sehari.

2. Tiazolidindion (TZD)

Obat ini meningkatkan sensitivitas insulin pada jaringan otot, hati dan
lemak secara tidak langsung. Ketika diberikan selama 6 bulandengan dosis
maksimal, pioglitazone dan rosiglitazone mengurangi A1C oleh ~ 1,5%
dan FPG dari 60 menjadi 70 mg / dL (3,3-3,9 mmol /L). Efek maksimum

xxvi
tidak dapat dilihat sampai 3 sampai 4 bulan terapi. Pioglitazone
menurunkan trigliserida plasma sebesar 10% sampai 20%, sedangkan
rosiglitazone cenderung tidak berpengaruh. Pioglitazone tidak
menyebabkan peningkatan yang signifikan pada LDL kolesterol,
sedangkan kolesterol LDL dapat meningkat 5% sampai 15% dengan
rosiglitazone. Retensi cairan dapat terjadi, dan edema perifer dilaporkan
dalam 4% sampai 5% pasien. Ketika digunakan dengan insulin, angka
kejadian edema adalah ~ 15%. Glitazones merupakan kontraindikasi pada
pasien dengan kelas New York Heart Association III atau gagal jantung IV
dan harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan kelas I atau
gagal jantung II atau lainnya yang mendasari penyakit jantung. Berat
badan 1,5 sampai 4 kg tidak lazim. Jarang terjadi, kenaikan yang cepat dari
sejumlah berat badan sehingga bila terjadi mungkin memerlukan
penghentian terapi. Glitazones juga telah dikaitkan dengan kerusakan hati,
peningkatan patah tulang, dan sedikit peningkatan risiko kanker kandung
kemih.

3.Insulin

Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita DM Tipe 1.


Pada DM Tipe I, sel- sel β Langerhans kelenjar pankreas penderita rusak,
sehingga tidak lagi dapat memproduksi insulin. Sebagai penggantinya,
maka penderita DM Tipe I harus mendapat insulin eksogen untuk
membantu agar metabolisme karbohidrat di dalam tubuhnya dapat berjalan
normal. Walaupun sebagian besar penderita DM Tipe 2 tidak memerlukan
terapi insulin, namun hampir 30% ternyata memerlukan terapi insulin
disamping terapi hipoglikemik oral. Insulin yang disekresikan oleh sel-sel
β pankreas akan langsung diinfusikan ke dalam hati melalui vena porta,
yang kemudian akan di distribusikan ke seluruh tubuh melalui peredaran
darah. Efek kerja insulin yang sudah sangat dikenal adalah membantu
transpor glukosa dari darah ke dalam sel. Kekurangan insulin
menyebabkan glukosa darah tidak dapat atau terhambat masuk kedalam

xxvii
sel. Akibatnya, glukosa darah akan meningkat, dan sebaliknya sel-sel
tubuh kekurangan bahan sumber energi sehingga tidak dapat memproduksi
energi sebagaimana seharusnya. Disamping fungsinya membantu transport
glukosa masuk kedalam sel, insulin mempunyai pengaruh yang sangat luas
terhadap metabolisme, baik metabolisme karbohidrat dan lipid, maupun
metabolisme protein dan mineral. Insulin akan meningkatkan lipogenesis,
menekan lipolisis, serta meningkatkan transport asam amino masuk ke
dalam sel. Insulin juga mempunyai peran dalam modulasi transkripsi,
sintesis DNA dan replikasi sel. Itu sebabnya, gangguan fungsi insulin
dapat menyebabkan pengaruh negatif dan komplikasi yang sangat luas
pada berbagai organ dan jaringan tubuh.

xxviii
xxix
BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Kasus Terpilih


IDENTITAS PASIEN
No. Data Pasien Keterangan
1. Nama Pasien Tn. A
2. No. RM Xxxxxxxxx
3. Jenis Kelamin Laki-laki
4. Alamat Palembang
5. BB/TB 80 kg / 160 cm
6. Tgl Masuk RS 01 oktober 2022
7. Ruang Asal Ruang IGD
Rawat Inap Lt.5
8. Tgl Keluar RS 07 Oktober 2022
9. Dokter Prof. A
10. Alasan Masuk RS/Keluhan Pola napas tidak efektif, badan
lemas, tidak nafsu makan, mual,
nyeri dada
11. Diagnosa Utama DM TIPE 2 + CAD
12. Riwayat Penyakit DM TIPE 2 + CAD
13. Terapi yang di berikan Insulin Novorapid 18 iu 3x1,
sebelumnya Cardiomin 1x1, Retaphyl 2x1/2,
Domperidon 2x1, lansoprazole 1x1,
Sukralfat syr (3x1c), Folavit(2x1),
Aspilet (1x1)

xxx
3.2 Data Objektif

Jenis Kondisi
Pemeri Normal Tanggal dan hasil Pemeriksaan Selama di Rawat di Rumah Sakit
ksaan
Tanggal 01/10 02/10 03/10 04/10 05/10 06/10 07/10
Suhu 36oC – 36,5 36,5 36,5 36 36,4 36,4 36,5
37,5oC
HR 80 – 100 74 84 61 90 82 80 81
RR 18 – 30 22 20 20 24 24 20 20
Bpm
TD <120/80 120/8 115/8 122/9 112/78 118/101 112/90 110/86
mmHg 8 0 0
Spo2 95 – 99% 100% 100% 100% 100% 100% 99%
100%
GDS 80 – 120 GDS: GDS: GDS: 314 (Bbs ) jam GDS : 310 BSS
mg/dl 225 224mg 06.00: 284 BSS Jam 06 : 160
/dl mg/dl jam Jam 5: mg/dl
BBS: BBS 22.00 :348m 174
199m Jam g/dl Jam 17:
g/dl 06: 209
180 Jam 22:
Jam 149
11:
224
Jam
17:
150

xxxi
3.3 HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Tanggal 31-08 2022

PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL CATATAN


Hematologi
Darah rutin
Haemoglobin 14.2 g/dl 13.0-18.0

Eritrosit 4.8 4.5-6.5


Leukosit 10.64 5.00-10.00

Trombosit 320 150-450


Hematrokit 40.0 40-52
Hitungan jenis
Neutrophil H 77 50.0-70.0
Limfosit L 77 25-40
Monosit 6 2-8
Eosinophil L0 2-4
Basofil 0 00.01
Kimia klinik
Glukosa sewaktu H 225 80-120
Ureum darah 51.36 15-39
Creatinine 1.1 <1.1
Elektrolit
Natrium (Na) 137 130-155
Kalium (K) 4.5 3.6-5.5
Klorida (CI) 107 98-108

xxxii
3.4 Daftar Obat Selama Perawatan

Nama Obat Rute Frek 1/1 2/10 3/10 4/10 5/10 6/10 7/10
Pemberian 0
Retaphyl 300 po 2x1/2 √ √ √ √ √ √ √
Novorapid 30 sc 3x18 iu √ √ √ √ √ √ √
Folavit Po 2x1 (p&s) - - √ √ √ √ √
Lansoprazol po 1x1 - - √ √ √ √ √
Sukralfat syr po 3x15m - - - - √ √ √
Cardiomin po 1x1 - - √ √ √ √ √
Domperidon po 1x1 √ √ √ √ √ √ √
Aspilet 80 mg po 1x1m √ √ √ √ √ √ √

Perhitungan Dosis Insulin

Basal + Prandial Insulin

Dosis 0,5– 0,1ui/kg/hari

Basal : 40%

Prandial 60%

Levemir (Basal) = 0,5 x bbKg

= 0,5 x 80 Kg = 40 unit

= 40 x 40% = 16 unit

Novorapid = 1 x bbKg

= 0,5 x 80Kg = 40 unit

= 40 x 60% = 24 unit

xxxiii
KETETAPAN DOSIS

No Nama Obat Dosis Literatur Dosis yang Ketepatan


diberikan ke Dosis
pasien

1 Retaphyl RETAPHYL SR 300 MG 2 x 1/2


KAPLET merupakan obat
yang mengandung
Theophylline. Obat ini
Tepat
digunakan untuk meringankan
dan mengatasi serangan
asthma bronkhial. Theophylline
merupakan turunan metilxantin
yang mempunyai efek antara
lain merangsang susunan
saraf pusat dan melemaskan
otot polos pada bronkus.
Nyeri Neuropatik Perifer Diabetik
Kapsul rilis reguler
Awal: 50 mg PO
Pemeliharaan: Dapat ditingkatkan
menjadi 100 mg PO setiap 8 jam
dalam 1 minggu, sesuai
kebutuhan; tidak melebihi 300
mg/hari(MEDSCAPE2022)
2 Domperidon Domperidone adalah obat 2x1 Tepat
yang bermanfaat untuk
menghentikan mual dan
muntah. Obat ini juga
digunakan untuk mengatasi
rasa sakit atau rasa tidak
nyaman di perut akibat
gastroparesis. Dosis 1-3
kali sehari, Dosis maksimal
30 mg perhari durasi
pengobatan maksimal 1
minggu (MEDSCAPE2022)

3 Lansoprazol LANSOPRAZOLE merupakan 1x1


obat golongan proton pump
inhibitor yang digunakan untuk Tepat
tukak duodenum dan tukak
lambung ringan, tukak peptik,
refluks esophagitis. Dosis 1-2
kali sehari

xxxiv
(MEDSCAPE2022)

4 Folavit FOLAVIT 400 MCG TABLET 2x1


merupakan suplemen yang
mengandung asam folat. Tepat
Suplemen ini digunakan untuk
memenuhi kebutuhan asam
folat dalam tubuh yang
bermanfaat dalam
pemeliharaan sistem saraf
yang sehat dan dalam
pembentukan sel darah merah
yang membawa oksigen ke
seluruh tubuh. Dosis 2x1
perhari.

5 Noporapid 0,5 – 1 U/kg setiap dalam 3 x 18 unit


kombinasi dengan kombinasi
dengan insuling kerja menengah Tepat
atau panjang.
(Buku Basic Pharmacology)

6 Cardiomin 1 kapsul / hari 1 x sehari


Komposisi : Tepat
Vit. B12 25 mcg
Vit. B6 25mg
Vit. E 400IU
As. Folat 500mcg
(MIMS, 2022)
7 Aspirin Dewasa berusis 40 – 70 tahun oral 1x1 Tepat
dengan dosis 75 – 100

xxxv
Nama Obat Mekanisme Kerja Farmakodinamika /
Farmakinetik

Retaphyl Mekanisme kerja teofilin Penyerapan


Teofilin merupakan obat golongan Bioavailabilitas adalah 100%.
bronkodilator. Obat ini bekerja dengan Namun, minum obat di malam
cara mengendurkan otot-otot di hari dapat memperlambat
saluran pernapasan sehingga udara proses penyerapan, tanpa
dari dan menuju paru-paru dapat mempengaruhi ketersediaan
mengalir lebih lancar. Dengan hayati. Mengambil obat
begitu, penderita bisa bernapas setelah makan tinggi
dengan lebih mudah. kandungan lemak juga akan
(MEDSCAPE 2022) memperlambat proses
penyerapan, tanpa
mempengaruhi
bioavailabilitas. Ada satu
pengecualian. Mengambil
UniphylTM, formulasi teofilin
kerja panjang, setelah makan
dengan kandungan lemak
tinggi akan meningkatkan
bioavailabilitasnya.
Distribusi
Teofilin didistribusikan dalam
cairan ekstraselular, di dalam
plasenta, di dalam air susu ibu
dan di dalam sistem saraf
pusat. Volume distribusi
adalah 0,5 L/kg. Ikatan protein
adalah 40%. Volume distribusi
dapat meningkat pada
neonatus dan mereka yang
menderita sirosis atau
malnutrisi, sedangkan volume
distribusi dapat menurun pada
mereka yang menderita
obesitas.
Metabolisme
Teofilin dimetabolisme secara
ekstensif di hati (sampai
90%). Ini mengalami N-
demetilasi melalui sitokrom
P450 1A2. Ini dimetabolisme
oleh urutan pertama paralel
dan jalur Michaelis-Menton.
Metabolisme dapat menjadi

xxxvi
jenuh (non-linear), bahkan
dalam kisaran terapeutik.
Peningkatan dosis kecil dapat
menyebabkan peningkatan
konsentrasi serum yang tidak
proporsional. Metilasi dalam
kafein juga penting pada
populasi bayi. Perokok dan
orang dengan gangguan hati
(hati) memetabolismenya
secara berbeda.
Eliminasi
Teofilin diekskresikan tidak
berubah dalam urin (hingga
10%). Pembersihan obat
meningkat dalam kondisi ini:
anak-anak 1 hingga 12,
remaja 12 hingga 16, perokok
dewasa, perokok lanjut usia,
fibrosis kistik, hipertiroidisme.
Klirens obat menurun dalam
kondisi ini: lanjut usia, gagal
jantung kongestif akut, sirosis,
hipotiroidisme, dan penyakit
virus demam.
Waktu paruh eliminasi
bervariasi: 30 jam untuk
neonatus prematur, 24 jam
untuk neonatus, 3,5 jam untuk
anak-anak usia 1 hingga 9, 8
jam untuk dewasa bukan
perokok, 5 jam untuk perokok
dewasa, 24 jam untuk mereka
yang mengalami gangguan
hati, 12 jam untuk gagal
jantung kongestif NYHA kelas
I-II, 24 jam untuk gagal
jantung kongestif NYHA kelas
III-IV, 12 jam untuk lansia.
Indikasi

Penggunaan terapeutik utama


teofilin ditujukan untuk:
 penyakit obstruktif

xxxvii
kronik saluran napas
 penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK)
 asma bronkial
 apnea bayi.

Domperidon Domperidone bekerja Farmakodinamik P


dengan menghambat reseptor
Domperidone adalah antagonis e
dopamin perifer dan meningkatkan
peristaltik esophagus, motili- tas dopamin dengan efek antiemetik
n
lambung sehingga memudahkan yang serupa dengan
pen- gosongan lambung dan y
metoploramid Namun,
mengurangi waktu transit usus
domperidone tidak menimbulkan e
kecil.
efek ekstrapiramidal yang r
signifikan. Domperidone
a
bisa meningkatkan kadar
prolaktin serum, sehingga p
beberapa studi menyatakan a
bahwa domperidone bisa n
digunakan sebagai galactogogue.
Namun, hingga saat ini
penggunaan
sebagai galactogogue belum
disetujui secara resmi.
Efek terapi yang ditimbulkan
oleh domperidone adalah efek
gastrokinetik di perifer.
Mekanisme ini terjadi akibat blok
reseptor dopamin di perifer dan
akibat efek antagonis dopamin di
reseptor dopamin sentral.
Reseptor dopamin sentral ini
berada di zona chemoreceptor
trigger pada daerah postrema.
Kedua mekanisme ini akan
meningkatkan kontraksi antrum
dan duodenum, sehingga

xxxviii
meningkatkan pengosongan
lambung serta meningkatkan
tekanan di sfingter esofagus
bagian bawah. Domperidone
tidak menimbulkan efek sekresi
lambung.

Farmakokinetik
Domperidone bisa diabsorbsi
dengan cepat setelah pemberian
intramuskular maupun oral.
Kadar puncak plasma dapat
tercapai dalam waktu 10–30
menit. Metabolisme obat ini
terjadi di hepar dan sebagian
besar ekskresinya terjadi melalui
urine.

Absorbsi

Domperidone diabsorbsi dengan


cepat setelah administrasi secara
intramuskular dan oral, dengan
kadar puncak plasma yang
tercapai dalam 10–30 menit.
Bioavailabilitas adalah 83%
(jalur intramuskular) dan 13–
17% (jalur oral).

Bioavailabilitas yang rendah


pada pemberian oral ini terjadi
akibat mekanisme “first pass” di
usus halus dan metabolisme di
hepar. Absorbsi berkurang bila
domperidone dikonsumsi
bersamaan dengan cimetidine,
natrium bikarbonat, dan

xxxix
makanan.
Distribusi

Hampir 91–93% domperidone


berikatan dengan protein plasma.
Penelitian pada hewan
menunjukkan bahwa
domperidone terdistribusi luas di
jaringan, dengan kadar yang
rendah pada otak. Sebagian kecil
domperidone dilaporkan dapat
melewati plasenta tikus dan
diekskresikan melalui air susu.

Metabolisme

Domperidone dimetabolisme
dengan cepat di hepar melalui
mekanisme hidroksilasi dan N-
dealkilasi oleh enzim sitokrom P-
450, terutama CYP3A4. Selain
CYP3A4, CYP1A2 dan CYP2E1
juga berperan dalam proses
hidroksilasi domperidone.

Eliminasi

Pada penggunaan secara oral,


31–66% domperidone akan
diekskresikan lewat urine dan
feses. Sekitar 1–10%
domperidone akan diekskresikan
dalam bentuk yang tidak
berubah. Nilai T1/2 domperidone

xl
pada sediaan oral adalah 7–9 jam
pada pasien yang sehat, tetapi
akan memanjang pada pasien
dengan gangguan ginjal.

Lansoprazol Lansoprazole adalah penghambat Farmakokinetik


sekresi asam lambung yang efektif.
Farmakokinetik lansoprazole
Lansoprazole secara spesifik
menghambat (H+/K+) ATPase (pompa dapat dipahami melalui proses
proton) dari sel parietal di mukosa absorpsi, distribusi, metabolisme
lambung. (Medscape2022) dan ekskresinya.

Absorpsi

Absorpsi lansoprazole sangat


baik melalui rute oral, yaitu
sekitar 80–90%, tetapi dapat
menurun menjadi 50–70% saja
bila diberikan dalam 30 menit
setelah makan. Lansoprazole
sebaiknya dikonsumsi sebelum
makan karena makanan dapat
menurunkan bioavailabilitasnya.
Berdasarkan hasil studi,
konsentrasi plasma tertinggi
lansoprazole dapat dicapai dalam
waktu relatif singkat, yaitu hanya
1,7 jam saja melalui rute oral.

Distribusi

Distribusi volume rata-rata


lansoprazole adalah sekitar 0,4
L/kg. Konsentrasinya sangat
tinggi dalam plasma karena dapat

xli
berikatan hingga 97% dengan
protein plasma.

Metabolisme

Lansoprazole mengalami proses


metabolisme di hati menjadi
metabolit inaktif melalui
perantara enzim CYP3A4 and
CYP2C19. Setelah mengalami
proses metabolisme, hasil yang
terbentuk dapat menjadi dua
macam derivat, yaitu 5-hydroxy
lansoprazole dan derivat sulfone
lansoprazole. Selain di hati,
metabolisme lansoprazole juga
terjadi di sel parietal, menjadi
dua macam metabolit aktif yang
tidak ditemukan dalam sirkulasi
sistemik, yaitu cyclic
sulfenamide dan disulfide
metabolite.
Ekskresi

Berdasarkan hasil studi,


lansoprazole diekskresikan
terutama melalui feses, yaitu
67% dan urine sekitar 14–23%
dalam bentuk metabolit
terkonjugasi dan tidak
terkonjugasi. Waktu paruh
lansoprazole juga sangat pendek,
yaitu di bawah dua jam saja.
Kecepatan klirens lansoprazole
dilaporkan sekitar 400–650
mL/min.

xlii
Absorpsi
Cardiomin Mekanisme Kerja Menghambat reabsorpsi Bioavailabilitas: 47-64% (PO)
natrium dan klorida di lengkung Henle dan Onset: 30-60 menit (PO/SL); 30
tubulus ginjal distal, mengganggu sistem menit (IM); 5 menit (IV)
kotranspor pengikat klorida, sehingga Efek puncak: <15 menit (IV); 1-
menyebabkan peningkatan ekskresi air, 2 jam (PO/SL)
natrium, klorida, magnesium, dan kalsium Durasi: 2 jam (IV); 6-8 hr (PO)

Distribusi
Protein terikat: 91-99% Vd: 0,2
L/kg

Metabolisme
Dimetabolisme di hati (~10%)
Metabolit: Glucuronide (asam 2-
amino-4-chloro-5-
sulfamoylanthranilic
[saluamine]) (aktivitas tidak
diketahui)

Eliminasi
Waktu paruh: 30-120 menit
(fungsi ginjal normal); 9 jam
(penyakit ginjal stadium akhir)
Dapat Dialisis: Tidak Bersihan
ginjal: 2 mL/menit/kg
Ekresi : Urine (PO 50%, IV
800%

xliii
FOLAVIT 400 MCG TABLET Farmakodinamik
Folavit merupakan suplemen yang
Asam folat, juga dikenal sebagai
mengandung asam folat. Suplemen
ini digunakan untuk memenuhi folat atau Vitamin B9,
kebutuhan asam folat dalam tubuh merupakan kofaktor penting
yang bermanfaat dalam pemeliharaan untuk enzim yang terlibat dalam
sistem saraf yang sehat dan dalam
sintesis DNA dan RNA. Lebih
pembentukan sel darah merah yang
membawa oksigen ke seluruh tubuh. khusus lagi, asam folat
dibutuhkan oleh tubuh untuk
sintesis purin, pirimidin, dan
metionin sebelum dimasukkan ke
dalam DNA atau protein.

Insulin Mengatur metabolisme glukosa Insulin Penyerapan Novolog


Noporapid dan analognya menurunkan glukosa darah Bioavailabilitas: SC, diserap
dengan merangsang pengambilan glukosa dengan baik (2-3 kali lebih cepat
perifer, terutama oleh otot rangka dan dari insulin biasa) Onset: 0,2-0,3
lemak, dan dengan menghambat produksi jam; 1-3 jam (efek puncak)
glukosa hati; insulin menghambat lipolisis Durasi aksi: 3-5 jam
dan proteolisis, dan meningkatkan sintesis Waktu puncak plasma: 40-50
protein; target termasuk otot rangka, hati, menit
dan jaringan adiposa Konsentrasi plasma puncak: 82
mikrounit/L
Fiasp Waktu puncak plasma: 91
menit (0,1 unit/kg); 122 menit
(0,2 unit/kg); 133 menit (0,4
unit/kg)
Penyerapan Fiasp Waktu puncak
plasma: 91 menit (0,1 unit/kg);
122 menit (0,2 unit/kg); 133
menit (0,4 unit/kg) AUC (laju
infus): 697mg/kg (0,1 unit/kg);
1406 mg/kg (0,2 unit/kg); 2427
mg/kg (0,4 unit/kg)

Distribusi
Protein terikat: <10%, mirip
dengan insulin biasa (tidak
terikat pada protein pengikat
serum, tetapi hadir sebagai

xliv
monomer dalam plasma) Vd:
0,26-0,36 L/kg

Metabolisme
Hati ( >50%); ginjal (30%);
jaringan adiposa/ otot (20%)

Eliminasi Waktu paruh: 81


menit (Novolog SC); 1.1 jam
(Fiasp)
Ekskresi: Urine
Aspilet Mekanisme Kerja Menghambat enzim Absorpsi
siklooksigenase-1 dan 2 (COX-1 dan 2) Bioavailabilitas: 80-100% Onset:
secara ireversibel, yang mengakibatkan PO, 5-30 menit; PR, 1-2 jam
penurunan pembentukan prekursor Durasi: PO, 4-6 jam; PR, >7 jam
prostaglandin; memiliki sifat antiplatelet, Waktu puncak plasma: PO, 0,25-
antipiretik, analgesik, dan anti-inflamasi 3 jam Konsentrasi plasma
puncak: Analgesia/ antipiresis,
30-100 mcg/mL; anti-inflamasi,
150-300 mcg/mL

Distribusi
Protein terikat: <100 mcg/mL,
90-95%; 100-400 mcg/mL, 70-
85%; konsentrasi lebih tinggi,
25-60% Vd: 170 mL/kg

Metabolisme
Dimetabolisme oleh hati melalui
sistem enzim mikrosomal
Metabolit: Salisilat, salisil
fenolik glukuronida, salisil asil
glukuronida, asam 2,5-
dihidroksibenzoat (asam
gentisat), asam 2,3-
dihidroksibenzoat , 2,3,5-
trihydroxybenzoic acid, asam
gentisuric (aktif)
Enzim yang dihambat:
Siklooksigenase (tidak
signifikan)

Eliminasi Waktu paruh: Dosis


rendah, 2-3 jam; dosis lebih
tinggi, 15-30 jam Klirens ginjal:
80-100% dalam 24-72 jam

xlv
Ekskresi: Urine (75% sebagai
asam salisilat, 10% sebagai asam
salisilat)
Sukralfat syr Sukralfat bekerja dengan Farmakodinamik
cara menempel di bagian lambung
atau usus yang terluka. Obat ini
melindungi lukadari asam lambung, Sukralfat bekerja dengan cara
enzim pencernaan, dan garam membentuk kompleks polimer
empedu. Dengan begitu, sukralfat yang dapat melapisi jaringan
mencegah luka menjadi semakin tukak dengan cara mengikat
parah dan membantu penyembuhan
luka lebih cepatPenghambat selektif eksudat protein pada lokasi
sodium-glucose transporter-2 (SGLT2) ulkus. Kompleks polimer yang
terbentuk berfungsi sebagai
sawar/barrier yang mencegah
keluarnya asam, pepsin dan asam
empedu/bile salts, sehingga dapat
melindungi mukosa lambung dari
kerusakan lebih lanjut.[3-5]
Farmakokinetik

Sukralfat hampir tidak diabsorbsi


secara sistemik dan diabsorbsi
hanya dalam jumlah sedikit pada
saluran gastrointestinal.
(Medscape 2022)

ANALISA SOAP

1. S (Subjek)

xlvi
Pasien mengatakan pola napas tidak efektif, badan lemas tidak nafsu
makan, mual dan nyeri dada,

2. O (Objek)
 Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Radiologi
Jantung ukuran kesan tidak membesar , CTR 52,18% Aorta baik.
Mediastinum superior tidak melebar. Trakea di tengah . Kedua hilus tidak
menebal. Tampak infliltat di lapangan atas paru kanan dan lapangan paru
kiri. Hemidiafragma kanan kiri licin. Sinus kostofrenikus kanan kiri
lancip. Tulang-tulang kesan intak. Jaringan lunak kesan tenang

 Pemeriksaan SARS-COV-2 ANTIGEN


Pemeriksaan tanggal 01 Oktober 2022 hasil Negatif

 Pemeriksaan BTA
Sediaan Langsung BTA I 1+ Negatif
Sediaan Langsung BTA II 1+ Negatif
Scanty : 1-9 / 100 lapangan pandang
1+ : 10-99 BTA/100 lapangan pandang
2+: 1- 10 BTA / lapangan pandang
3+ : >10 BTA /lapangan pandang

3. Assessment
Adanya interaksi obat
Moderat

xlvii
A. - Aspirin + novorapid
Aspirin Efek insulin Hipoglikemi

Minoror
Asprini + folavit
P. - Monitoring kadar insulin
Edukasi pasien terkait gejala-gejala hipoglikemi ( lemas, gemetar,
berkeringan ) - Segera hubungi perawat
- Jeda waktu pemberian Folavit diberikan pukul 06.00 pagi Aspiler di
berikan pada pukul 12.00 siang.

Obat Pasien saat Pulang

xlviii
No Nama Obat keterangan

1 Retaphyl 1x1/2 Po

2 Novorapid 3x1 Sc

3 Lansoprazol 1x1 po

4 Aspilet 80 mg 1x1 Po

5 Domperidon 2x1 Po

6 Sukralfat syr 3x1C Po

7 Cardiomin cap 1X1 Po

8 Folavit 1x1 Po

Terapi Non Farmakologi

1. Menjalani pola hidup sehat dengan diet karbohidrat


2. Istirahat yang cukup, mengelolah stres dan jangan berakivitas berlebih yang
menimbulkan kelelahan
3. Rutin mengontrolkan kadar gula darah

4.1 Kesimpulan

xlix
Telah dilakukan Diagnosa Diabetes Meltus tipe 2+CAD+, Pasien mengatakan
Pola napas tidak efektif, badan lemas tidak nafsu makan dan nyeri dada. Keluhan
nyeri dirasakan selama perawatan. Selama perawatan di rawat inap selama 7 hari,
keluhan yang dirasakan pasien sedah teratasi, Dapat disimpulkan bahwa terapi
yang diberikan sudah tepat untuk mengatasi keluhan dari pasien tersebut. Namun
perlu dilakukan pertimbangan untuk pemantauan efek samping obat – obatan yang
diberikan kepada pasien untuk kepatuhan pasien selama menjalankan terapi
tersebut agar tidak terjadi pengulangan pengobatan karena kurangnya kepatuhan
pasien selama menjalankan terapi.

4.2 Saran

Diharapkan pelayanan farmasi klinis di rumah sakit dapat lebih ditingkatkan


kembali 

dengan melakukan visite bersama dokter dan perawat ke ruangan untuk


memberikan konseling 

kepada pasien atau keluarga pasien agar penggunaan obat terhadp pasien lebih
terkontrol.

DAFTAR PUSTAKA

l
Gustin, I. 2012. Olahraga Adalah Cara Terbaik Mencegah Penyakit Jantung.
http://healt.detik.com/read/olahraga-adalah-cara-terbaik-mencegah.html
diakses pada tanggal 20 Mei 2013.

Hutapea, S. F., Kembuan, A. H. N. M., & Maja, J. P. S. (2016). Gambaran klinis


neuropati pada pasien diabetes melitus di Poliklinik Neurologi RSUP Prof. Dr. R.
D. Kandou periode Juli 2014 – Juni 2015. Jurnal EClinic, 4(1), 1–5.

Jaiswal, M., Divers, J., Dabelea, D., Isom, S., Bell, R. A., Martin, C. L., … Marcovina,
S. (2017). Prevalence of and risk factors for diabetic peripheral neuropathy in
youth with type 1 and type 2 diabetes: search for diabetes in youth study.

Kowalak, J.P. Dkk. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Lestari, L. K. T., Purwata, T. E., & Putra, I. G. N. 68 of 68 Arini Rahmawati, et al /


Jurnal Berkala Epidemiologi, 6 (1) 2018, 60-68 P. (2016). Riwayat terapi insulin
dapat menurunkan kejadian nyeri neuropati diabetik dibandingkan dengan oral
anti diabetes pada penderita diabetes melitus tipe 2.

Majid, A. 2017. Asuhan Keperawatan pada Pasien Dengan Gangguan Sistem


Kardiovaskular. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.

Robbins, S.L.Dkk. 2007. Buku Ajara Patologi. Jakarta EG.

Ridwan, M. 2006. Mengenal, Mencegah, mengatasi Silent Killer Jantung Koroner.


Semarang: Pustaka Widyamara.

Tambayong, J. 2012. Patofisiologi Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC.

li

Anda mungkin juga menyukai