DM TYPE 2 + CAD
Disusun Oleh
APOTEKER FAKULTAS
FARMASI
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
2022
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat, rahmat
dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Laporan Praktik Kerja
Profesi Apoteker (PKPA) di RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumsel. PKPA ini
merupakan salah satu syarat yang harus ditempuh untuk memperoleh gelar
Apoteker di Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi di Universitas
17 agustus 1945 agar setiap calon Apoteker mendapatkan pengetahuan dan
gambaran yang jelas mengenai RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumsel yang
merupakan salah satu tempat pengabdian profesi Apoteker. Pada kesempatan
ini kami mengucapkan terima kasih banyak kepada ibu. apt. Silvi Hartuti,
M.Si. sebagai pembimbing di Universitas 17 Agustus 1945 dan Ibu apt.
Sartika, S.Farm. sebagai pembimbing di RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumsel
yang telah meluangkan waktu untuk memberikan Pengarahan dan Bimbingan
selama pelaksanaan PKPA di RSUD Siti Fatimah Provinsi Sumsel. PKPA ini
dapat berjalan berkat dukungan, bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini ucapan terima kasih disampaikan pula
kepada:
ii
5. Seluruh Dosen Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi
Universitas 17 Agustus 1945 yang telah memberikan ilmunya kepada
kami selama melakukan perkuliahan di Universitas 17 Agustus 1945,
Jakarta
6. Orang tua, Suami dan keluarga yang selalu memberikan dukungan doa,
moril dan materi serta semua pihak yang telah banyak membantu selama
melaksanakan PKPA maupun dalam penyusunan Laporan di RSUD Siti
Fatimah Provinsi Sumsel.
7. Teman- teman mahasiswa/i Program Studi Profesi Apoteker ISTN yang
telah memberikan dukungan dan pihak-pihak lain yang tidak dapat
disebutkan satu persatu yang telah membantu pembuatan Laporan Praktik
Kerja Profesi Apoteker ini, baik langsung maupun tidak langsung.Kami
menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
diperlukan kritik dan saran dari pembaca yang membangun demi
penyempurnaan laporan ini. Semoga laporan ini dapat memberikan
manfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya dunia kefarmasian.
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
1.3 Tujuan.................................................................................................................4
1.4 Manfaat..............................................................................................................4
2.1.2 Epidemiologi...............................................................................................7
2.1.3 Etiologi........................................................................................................8
2.1.4 Patofisiologi..............................................................................................10
2.1.5 Klasifikasi..................................................................................................11
iv
3.1. Kasus Terpilih........................................................................................................26
4.1 Kesimpulan.................................................................................................................51
4.2 Saran..........................................................................................................................51
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................52
v
BAB I
PENDAHULUAN
Sindrom koroner akut adalah suatu kondisi terjadi pengurangan aliran darah
ke jantung secara mendadak. Beberapa gejala dari sindrom ini adalah tekanan di
dada seperti serangan jantung, sesak saat sedang beristirahat atau melakukan
aktivitas fisik ringan, keringat yang berlebihan secara tiba-tiba (diaforesis),
muntah, mual, nyeri di bagian tubuh lain seperti lengan kiri atau rahang, dan
jantung yang berhenti mendadak (cardiac arrest). Umumnya mengenai pasien usia
40 tahun ke atas walau pada saat ini terdapat kecenderungan mengenai usia lebih
muda (Utami, 2019).
Diabetes merupakan salah satu factor risiko penting terjadinya penyakit
jantung koroner. Semakin lama seseorang menderita DM maka semakin mudah
penderita DM mengalami komplikasi (Lathifah, 2017). Diabetes mellitusyang
tidak dikelola dengan baik mengakibatkan komplikasi yang bersifat kronik salah
vi
satunya yaitu komplikasi makroangiopati. Makroangiopati diabetic mempunyai
gambaran histopatologi berupa aterosklerosis yang pada akhirnya menyebabkan
penyumbatan vaskuler. Bila mengenai arteri perifer, maka dapat menyebabkan
insufisiensi intravaskuler perifer, gangren extremitas, serta insufisiensi serebral
dan stroke. Bila mengenai arteri koronaria dan aorta, maka dapat
menyebabkan penyakit jantung coroner (Misinem, 2015).
Penderita diabetes mellitus memiliki kadar glukosa yang tinggi sehingga
dapat meningkatkan viskositas darah. Meningkatnya viskositas darah ini dapat
menyebabkan kerja jantung lebih berkerja keras. Selain itu tingginya glukosa akan
diiringi pula meningkatnya kadar lemak yang menempel di dinding pembuluh
darah. Adanya lemak ini akan menyebabkan menyempitnya pembuluh darah
sehingga aliran darah dapat terganggu. Adanya lemak yang menempel juga akan
menyebabkan pembuluh darah yang menjadi keras dan penyumbatan pembuluh
darah (Nugroho, 2017).
Diabetes meningkatkan risiko penyakit jantung koroner sebesar 7,75 (95%
CI :7,31- 8,22) kali lebih besar dan setelah dikontrol dengan faktor-faktor lain,
berisiko 8,43 kali (95% CI=7,14-9,95) dibandingkan dengan orang yang tidak
menderita diabetes (Ghani, 2016). Hasil penelitian North Catalonia Diabetes
Study di Spanyol diketahui bahwa prevalensi penyakit kardiovaskular pada pasien
DM tipe 2 adalah sebesar 22% yang meliputi 4,6% iskemik perifer dan 18,9%
PJK (Jurado, 2009). Prevalensi penyakit jantung koroner pada penderita diabetes
mellitus sebesar 9,2% berdasarkan analisis hasil Riskesdas 2013 (Ghani, 2016).
Diabetes Mellitus tipe 2 merupakan penyakit hiperglikemi akibat
insensitivitas sel terhadap insulin. Kadar insulin sedikit menurun atau berada
dalam rentang normal. Karena insulin tetap dihasilkan oleh sel-sel beta pancreas,
maka Diabetes Mellitus tipe 2 dianggap sebagai Non Insulin Dependent Diabetes
Mellitus. Diabetes Mellitus tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi
insulin, namun karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon
insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai “resistensi insulin”.
Resistensi insulin dapat terjadi akibat dari obesitas dan kurangnya aktifitas fisik
vii
serta penuaan. Defisiensi fungsi insulin pada penderita Diabetes Mellitus tipe 2
hanya bersifat relatif dan tidak absolut.
Pada pengendalian DM di Indonesia selain mengupayakan perubahan
perilaku dan perencanaan makan juga dibutuhkan pengobatan dengan insulin yang
mempunyai durasi kerja yang berbeda-beda seperti insulin kerja singkat (short
acting), insulin kerja cepat (rapid acting), insulin kerja sedang (intermediate) dan
insulin kerja panjang (long acting). Selain insulin juga digunakan obat golongan
oral antidiabetes yang digunakan untuk DM dan yang telah dipasarkan
diIndonesia digolongkan menjadi lima yakni sulfonilurea, meglitinid, biguanid,
penghambat α-glikosidase dan tiazolidinedion (Suherman, 2008). Dari kelima
golongan obat oral antidiabetik di atas memiliki mekanisme kerja yang berbeda,
namun mekanisme insulin sensitizing agent yakni golongan thiazolidinedione dan
metformin mampu menurunkan resiko kematian akibat jantung dengan diabetes
mellitus tipe 2 (ADA,020). Berdasarkan studi insulin treatment of type 2 diabetes
and outcomes in patients with heart failure: a nested case-control study from the
UK General Practice Research Database menyatakan bahwa kondisi fisiologis
stress akan menyebabkan respon otonom yang merusak fungsi jantung karena aksi
katekolamin yang merangsang peningkatan kerja jantung selain itu juga terkait
dengan resistensi insulin yang meningkat dan hiperglikemia yang menyebabkan
stress metabolik lebih lanjut pada jantung. Dalam studi tersebut mengatakan
bahwa terapi insulin glukosa intensif dapat menurunkan resiko terhadap gagal
jantung. Selain itu pada studi kasus pasien diabetes tipe 2 dengan jantung tidak
ditemukan adanya peningkatan mortalitas dengan adanya terapi insulin.
Penggunaan insulin yang independen terkait dengan disfungsi ventrikel kiri yang
secara klinis mengalami resisten insulin dan membutuhkan terapi insulin eksogen
untuk mengatasi hiperglikemia simptomatik (MacDonald et al, 2010).
Berdasarkan latar belakang di atas, maka perlu dilakukan penelitian untuk
mengetahui serta mempelajari pola penggunaan antidiabetes pada penderita DM
tipe 2 dengan jantung coroner dan neuropati. Dilakukan secara observasional
dengan pengambilan data secara prospektif di RSUD Siti Fatimah Palembang.
viii
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan rumusan masalah
yaitu:
1.3 Tujuan
Tujuan pemantauan terapi obat pada pasien DM tipe 2 + CAD, di ruang rawat
inap Rumah Sakit umum Daerah Siti Fatimah Provinsi Sumatera Selatan yaitu
1.4 Manfaat
1. Bagi Penulis
Menambah pengetahuan dan wawasan dalam memberi asuhan kefarmasian
yang komperhensif pada pasien.
2. Bagi Institusi
Pendidikan Menjadi bahan masukan dalam proses belajar mengajar dan
bisa di ajarkan kepada mahasiswa PSPA Universitas 17 Agustus 1945
3. Bagi Profesi
Apoteker Mengetahui apakah ada atau tidak drug related problem yang
terjadi selama pengobatan pasien.
4. Bagi Rumah Sakit
Sebagai masukan dan informasi tambahan dan apabila pada saat regimen
pengobatan terdapat kekeliruan, bisa lebih meningkatkan pelayanan klinik
sesuai dengan panduan.
ix
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
x
Infark miokard akut (IMA): Nyeri angina pada infark jantung akut
umumnya lebih berat dan lebih lama (30 menit atau lebih). Walau
demikian infark jantung dapat terjadi tanpa nyeri dada (20 sampai
25%). IMA bisa nonQ MI (NSTEMI) dan gelombang Q MI (STEMI).
2.1.2 Epidemiologi
Adapun karakteristik Host yang beresiko terhadap Penyakit Jantung
Koroner yaitu :
1. Usia
Usia yang berpotensi untuk menderita PJK untuk laki-laki usia 45 tahun
dan banyak penyandang hipertensi sedangkan perempuan setelah umur 55
tahun beresiko dibandingkan dengan laki-laki.
2. Pekerjaan
Tingkat pekerjaan dan pendidikan mempengaruhi risiko PJK yaitu wanita
yang memiliki pekerjaan diluar rumah memiliki resiko yang minim PJK
daripada wanita ibu mengurus rumah tangga dikarenakan aktivitas fisik
rendah dan rendahnya tingkat pendidikan.
3. Jenis Kelamin
Jenis kelamin yang berpotensi menderita PJK yaitu pada pria. Hal ini
berhubungan dengan IMT dan PJK jika wanita memiliki IMT yang besar
maka berpeluang kepada wanita. Di Australia PJK belum dapat informasi
valid diderita wanita.
4. Merokok
Pada pria yang merokok berat akan beresiko menderita PJK 2 sampai 4
kali dan juga berpotensi pada perempuan yang merokok berat atau jumlah
dihisap 20 batang per hari
5. Diabetes Melitus
Penderita DM akan berpengaruh pada pembuluh darah dan 1 dari 2 orang
pasien DM bagian pembuluh darahnya akan rusak. Kerusakan ini dapat
terjadi Jika aktivitas kurang dan pola makan yang tidak sehat yang
berpengaruh pada kerja jantung.
xi
6. Hipertensi
Penderita Hipertensi Tekanan darah mempunyai hubungan dengan semua
bagian tubuh yang berperan penting seperti jantung, ginjal, mata dan
pembuluh darah. Komplikasi akan terjadi dan disesuaikan dengan
tingginya darah dan hjangka waktu merasakannya.
7. Keturunan
Individu yang memiliki orangtua laki-laki menderita PJK maka akan
beresiko 2 kali bahkan lebih untuk menderita PJK (Wahidah,2019).
2.1.3 Etiologi
Penyebab penyakit jantung koroner karena adanya penyempitan,
penyumbatan, atau kelainan pembuluh arteri koroner. Penyempitan dan
penyumbatan bisa menghentikan aliran darah ke otot jantung ditandai rasa
nyeri. Jika keadaan yang buruk fungsi jantung untuk memompa darah akan
berhenti. Keadaan ini bisa merusak system pengontrol irama jantung serta
berakhir kematian. PJK memiliki faktor pemicu dapat menimbulkan
aterosklerosis. Faktor-faktor risiko besar meliputi:
a. Usia
Usia adalah faktor risiko paling penting dengan 80% dari kematian PJK
umur 65 tahun bahkan lebih. Meningkatnya umur individu maka
berpotensi untuk menderita PJk dalam jangka waktu ini digunakan untuk
terjadi penumpukkan flak dan proses kerapuhan dinding pembuluh darah
semakin panjang. laki-laki kejadian puncak manifestasi klinis
PJK 50-60 tahun, perempuan umur 60-70 tahun serta perempuan sekitar
10-15 tahun lebih lambat dibandingkan laki-laki dan risikonya meningkat
secara drastis setelah masa menopause.
b. Jenis kelamin
PJK lebih beresiko pada laki-laki dibandingkan perempuan, dengan
setengah dari laki-laki dan sepertiga dari perempuan usia menengah
sampai tu di negara Amerika beresiko. Data dari Epidemilogy of coronary
heart desease and acute coronary syndrome menyatakan orang usia 40
xii
tahun memiliki risiko seumur hidup untuk penderita PJK 49% laki-laki
dan perempuan 32%.24
c. Tekanan Darah Tinggi (Hipertensi)
Pada pasien hipertensi, ditemukan terdapat defect dalam regulasi
pengendalian tekanan darah. Jantung bisa berkontribusi dalam terjadinya
hipertensi melalui mekanisme peningkatan cardiac output dan curah
jantung akibat aktivitas berlebih dari saraf simpatis. Pembuluh darah
berkontribusi dalam hipertensi melalui resisten pembuluh darah Perifer
akibat terjadinya konstruksi akibat peningkatan aktivitas simpatis, regulasi
abnormal dari tonus vaskuler oleh nittit oksida, endotelin, serta factor
faktor natriuretik, defek kanal ion di otot polos pembuluh darah.
d. Hiperlipidemia
Hiperlipidemia yaitu tingginya kadar lemak dalam darah (kolesterol,
trigliserida maupun keduanya). Lemak atau lipid yakni zat yang kaya
energi, berfungsi sebagai sumber energi untuk proses metabolisme tubuh.
Klien mempunyai kadar kolestrol >300 ml/dl mempunyai risiko 4 kali
menderita PJK memiliki kadar 200 ml/dl penelitian Wongkar yaitu ada
hubungan antara profil lipid LDL, hipertensi, DMT2 serta jenis kelamin
pada kejadian PJK (p<0,05) dengan nilai OR=9,077 .
e. Merokok
Orang merokok sigaret memiliki 2-3 kali untuk meninggal akibat PJK
dibandingkan dengan tidak merokok. Orang meroko akan terjadi
penunurann kadar HDL (High Density Lipoprotein). Mengakibatkan
penebalan dinding pembuluh darah meningkat7 Hal ini dapat juga terjadi
pada perokok pasif.
f. Riwayat keluarga
Seseorang yang mempunyai riwayat keluarga akan 2 kali berpotensi untuk
menderita PJK. Beresiko lima kali untuk merasakan PJK dibandingkan
tidak memiliki keturunan (Wahidah, 2019).
xiii
2.1.4 Patofisiologi
Lapisan endotel pembuluh darah koroner yang normal akan mengalami
kerusakan oleh adanya faktor risiko antara lain: faktor hemodinamik seperti
hipertensi, zat-zat vasokonstriktor, mediator (sitokin) dari sel darah, asap
rokok, diet aterogenik, penigkatan kadar gula darah, dan oxidasi dari LDL-C. Di
antara faktor-faktor risiko PJK (lihat Tabel 1), diabetes melitus, hipertensi,
hiperkolesterolemia, obesitas, merokok, dan kepribadian merupakan faktor-faktor
penting yang harus diketahui. Kerusakan ini menyebabkan sel endotel
menghasilkan cell adhesion molecule seperti sitokin (interleukin -1, (IL-1); tumor
nekrosis faktor alfa, (TNF-alpha)), kemokin (monocyte chemoattractant factor 1,
(MCP-1; IL-8), dan growth factor (platelet derived growth factor, (PDGF); basic
fibroblast growth factor, (bFGF). Sel inflamasi seperti monosit dan T-Limfosit
masuk ke permukaan endotel dan migrasi dari endotelium ke sub endotel. Monosit
kemudian berdiferensiasi menjadi makrofag dan mengambil LDL teroksidasi
yang bersifat lebih atherogenik dibanding LDL. Makrofag ini kemudian
membentuk sel busa. LDL teroksidasi menyebabkan kematian sel endotel dan
menghasilkan respons inflamasi. Sebagai tambahan, terjadi respons dari
angiotensin II, yang menyebabkan gangguan vasodilatasi, dan mencetuskan efek
protrombik dengan melibatkan platelet dan faktor koagulasi.
Akibat kerusakan endotel terjadi respons protektif dan terbentuk lesi
fibrofatty dan fibrous, plak atherosklerosik, yang dipicu oleh inflamasi. Plak
yang terjadi dapat menjadi tidak stabil (vulnerable) dan mengalami ruptur
sehingga terjadi Sindroma Koroner Akut (SKA).
xiv
Tabel 1. Faktor Risiko Jantung Koroner
Faktor Risiko yang Tidak Dapat Faktor risiko yang dapat diubah
Dirubah
- Usia - Merokok
- Jenis kelamin laki-laki - Hipertensi
- Riwayat keluarga - Dislipidemia
- Etnis - Diabetes melitus
- Obesitas dan sindrom metabolik
- Stres
- Diet lemak yang tinggi kalori
- Inaktifitas fisik
Faktor risiko baru:
- Inflamasi
- Fibrinogen
- Homosistein
- Stres oksidatif
2.1.5 Klasifikasi
Penyakit jantung coroner diklasifikasikan menjadi 3, yaitu Silent Ischaemia
(Asimtotik), Angina Pectoris, dan Infark Miocard Akut (Serangan Jantung).
Berikut adalah penjelasan masing-masing klasifikasi PJK:
a. Silent Ischaemia (Asimtotik)
Banyak dari penderita silent ischaemia yang mengalami PJK tetapi tidak
merasakan ada sesuatu yang tidak enak atau tanda-tanda suatu
penyakit
b. Angina Pectoris
Angina pectoris terdiri dari dua tipe, yaitu Angina Pectoris Stabil
yang ditandai dengan keluhan nyeri dada yang khas, yaitu rasa
tertekan atau berat di dada yang menjalar ke lengan kiri dan
xv
Angina Pectoris tidak Stabil yaitu serangan rasa sakit dapat timbul,
baik pada saat istirahat, waktu tidur, maupun aktivitas ringan. Lama
sakit dada jauh lebih lama dari sakit biasa. Frekuensi serangan juga lebih
sering.
c. Infark Miocard Akut (Serangan Jantung)
Infark miocard akut yaitu jaringan otot jantung yang mati karena
kekurangan oksigen dalam darah dalam beberapa waktu. Keluhan
yang dirasakan nyeri dada, seperti tertekan, tampak pucat
berkeringat dan dingin, mual, muntah, sesak, pusing, serta pingsan
(Notoatmodjo, 2007)
xvi
maksimal dengan risiko dan biaya yang seminimal mungkin.
Setiap pasien dengan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis yang teliti,
penentuan faktor risiko, pemeriksaan jasmani dan EKG. Pada pasien dengan
gejala angina pektoris ringan, cukup dilakukan pemeriksaan non-invasif. Bila
pasien dengan keluhan yang berat dan dan kemungkinan diperlukan tindakan
revaskularisasi, maka tindakan angiografi sudah merupakan indikasi. Pada
keadaan yang meragukan dapat dilakukan treadmill test. Treadmill test
lebih sensitif dan spesifik dibandingkan dengan EKG istirahat dan merupakan
tes pilihan untuk mendeteksi pasien dengan kemungkinan Angina Pektoris dan
pemeriksaan ini sarananya yang mudah dan biayanya terjangkau.
Pada keadaan tertentu, sulit menginterpretasi hasil treadmill seperti
pada pasien dengan kelainan EKG istirahat a.l.: LBBB, kelainan repolarisasi,
LVH dsb. Pemeriksaan alternatif lain yang dapat dilakukan adalah
ekokardiografi dan teknik non-invasif penentuan kalsifikasi koroner dan
anatomi koroner, Computed Tomography, Magnetic Resonanse Arteriography,
dengan sensitifitas dan spesifitas yang lebih tinggi. Di samping itu tes ini juga
cocok untuk pasien yang tidak dapat melakukan excercise, di mana dapat
dilakukan uji latih dengan menggunakan obat dipyridamole atau
dobutamine.
xvii
kolesterol (statin); ACE-Inhibitors; Beta-blocker; Calcium channel
blockers (CCBs).
2. Untuk memperbaiki simtom dan iskemi: obat yang digunakan yaitu
nitrat kerja jangka pendek dan jangka panjang, Beta-blocker, CCBs.
Pengobatan Farmakologi
xviii
b. Thienopyridine Clopidogrel dan Ticlopidine
merupakan antagonis ADP dan menghambat agregasi trombosit.
Clopidogrel lebih diindikasikan pada penderita dengan resistensi atau
intoleransi terhadap aspirin. AHA/ACC guidelines update 2006
memasukkan kombinasi aspirin dan clopidogrel harus diberikan pada
pasien PCI dengan pemasangan stent, lebih 1 bulan untuk bare metal
stent, lebih 3 bulan untuk sirolimus eluting stent, dan lebih 6 bulan untuk
paclitaxel-eluting stent.
c. Obat penurun kolesterol
Pengobatan dengan statin digunakan untuk mengurangi risiko baik pada
prevensi primer maupun prevensi sekunder. Berbagai studi telah
membuktikan bahwa statin dapat menurunkan komplikasi sebesar 39%
(Heart Protection Study), ASCOTT-LLA atorvastatin untuk prevensi
primer PJK pada pasca-hipertensi. Statin selain sebagai penurun
kolesterol, juga mempunyai mekanisme lain (pleiotropic effect) yang
dapat berperan sebagai anti inflamasi, anti trombotik dll. Pemberian
atorvastatin 40 mg satu minggu sebelum PCI dapat mengurangi
kerusakan miokard akibat tindakan. Target penurunan LDL kolesterol
adalah < 100 mg/dl dan pada pasien risiko tinggi, DM, penderita PJK
dianjurkan menurunkan LDL kolesterol
< 70 mg/dl.
d. ACE-Inhibitor/ARB
Peranan ACE-I sebagai kardioproteksi untuk prevensi sekunder pada
pasien dengan PJK telah dibuktikan dari berbagai studi a.l., HOPE study,
EUROPA study dll. Bila intoleransi terhadap ACE-I dapat diganti
dengan ARB.
e. Nitrat
pada umumnya disarankan, karena nitrat memiliki efek venodilator
sehingga preload miokard dan volume akhir bilik kiri dapat menurun
sehingga dengan demikian konsumsi oksigen miokard juga akan
xix
menurun. Nitrat juga melebarkan pembuluh darah normal dan yang
mengalami aterosklerotik. Menaikkan aliran darah kolateral, dan
menghambat agregasi trombosit. Bila serangan angina tidak respons
dengan nitrat jangka pendek, maka harus diwaspadai adanya
infark miokard. Efek samping obat adalah sakit kepala, dan flushing.
f. Antagonis kalsium mempunyai efek vasodilatasi. Antagonis kalsium
dapat mengurangi keluhan pada pasien yang telah mendapat nitrat atau
penyekat β; selain itu berguna pula pada pasien yang mempunyai
kontraindikasi penggunaan penyekat β. Antagonis kalsium tidak
disarankan bila terdapat penurunan fungsi bilik kiri atau gangguan
konduksi atrioventrikel.
xx
GDM sedang mengalami diketahui, namun dicurangi
kehamilan akibat dari ketidak seimbangan
hormone.
Semua usia Penyakit tertentu atau 1%
Lain-lain kombinasi obat – obatan
tertentu
pemeriksaan glukosa plasma >126 mg/dl, ini adalah kondisi dimana tubuh menerima asupan kalori minimal 8
jam
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma > 200mg/dl, 2 jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dengan beban
glukosa 75 gram
Atau
Atau
Pemeriksaan hbAic >6,5 % dengan menggunakan metode yang terstandar oleh National Glxcohaemoglobin
Standarization Program (NGSP)
xxi
2.2.3 Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 2
Patofisiologi menurut Suyanto (2016) adalah ilmu yang mempelajari aspek
dinamik dari proses penyakit. Artinya, patofisiologi merupakan ilmu yang
mempelajari proses terjadinya perubahan atau gangguan fungsi tubuh akibat suatu
penyakit. Patofisiologi Diabetes Melitus tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang
berperan yaitu (Fatimah, 2015):
1. Resistensi insulin Diabetes melitus tipe 2 bukan disebabkan oleh
kurangnya sekresi insulin, namun karena sel sel sasaran insulin gagal
atau tidak mampu merespon insulin secara normal (resistensi insulin).
Resistensi insulin banyak terjadi akibat dari obesitas dan kurang nya
aktivitas fisik serta penuaan.
2. Disfungsi sel β pankreas Pada penderita diabetes melitus tipe 2 dapat
juga terjadi produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Fase pertama
sel β menunjukan gangguan pada sekresi insulin, artinya sekresi
insulin gagal mengkompensasi akibat resistensi insulin. Apabila tidak
ditangani dengan baik, akan terjadi kerusakan sel-sel β pankreas
secara progresif.
Lebih lanjut Fatimah (2015) menjelaskan bahwa kerusakan sel-sel β
pankreas secara progresif dapat menyebabkan defisiensi insulin, sehingga
penderita memerlukan insulin eksogen.
A. Terapi Nonfarmakologis
xxii
2. Terapi Nutrisi Medis
Terapi ini memfokuskan pada pengaturan pola konsumsi yaitu
konsumsi dengan gizi seimbang, sesuai dengan kebutuhan kalori masing-
masing individu dengan memperhatikan jumlah, jenis, dan jadwal makan.
3. Latihan Jasmani
Latihan jasmani dianjurkan dilakukan 3-4 kali dalam seminggu
dengan latihan yang bersifat aerobik seperti berjalan santai, bersepeda, dan
berenang. Latihan jasmani dapat meningkatkan kebugaran,
menurunkankan berat badan, serta memperbaiki sensivitas insulin.
B. Terapi Farmakologi
a. Obat Antihiperglikemia
1. Sulfonilurea
xxiii
Langerhans pankreas masih dapat berproduksi. Penurunan kadar glukosa
darah yang terjadi setelah pemberian senyawa-senyawa sulfonilurea
disebabkan oleh perangsangan sekresi insulin oleh kelenjar pancreas. Sifat
perangsangan ini berbeda dengan perangsangan oleh glukosa, karena
ternyata pada saat glukosa dalam kondisihiperglikemia gagal merangsang
sekresi insulin, senyawasenyawa obat ini masih mampu meningkatkan
sekresi insulin. Oleh sebab itu, obat-obat golongan sulfonilurea sangat
bermanfaat untuk penderita diabetes yang kelenjar pankreasnya masih
mampu memproduksi insulin, tetapi karena sesuatu hal terhambat
sekresinya. Pada penderita dengan kerusakan sel-sel β Langerhans kelenjar
pancreas, pemberian obat-obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea
tidak bermanfaat. Pada dosis tinggi, sulfonylurea menghambat degradasi
insulin oleh hati. Absorpsi senyawa-senyawa sulfonilurea melalui usus
cukup baik, sehingga dapat diberikan per oral. Setelah diabsorpsi, obat ini
tersebar ke seluruh cairan ekstrasel. Dalam plasma sebagian terikat pada
protein plasma terutama albumin (70-90%). Efek samping obat
hipoglikemik oral golongan sulfonylurea umumnya ringan dan
frekuensinya rendah, antara lain gangguan saluran cerna dan gangguan
susunan syaraf pusat. Gangguan saluran cerna berupa mual, diare, sakit
perut, hipersekresi asam lambung dan sakit kepala. Gangguan susunan
syaraf pusat berupa vertigo, bingung, ataksia dan lain sebagainya. Gejala
hematologik termasuk leukopenia, trombositopenia, agranulosistosis dan
anemia aplastic dapat terjadi walau jarang sekali. Klorpropamida dapat
meningkatkan ADH (Antidiuretik Hormon). Hipoglikemia dapat terjadi
apabila dosis tidak tepat atau diet terlalu ketat, juga pada gangguan fungsi
hati atau ginjal atau pada lansia. Hipogikemia sering diakibatkan oleh
obat-obat hipoglikemik oral dengan masa kerja panjang. Banyak obat yang
dapat berinteraksi dengan obat-obats ulfonilurea, sehingga risiko
terjadinya hipoglikemia harus diwaspadai. Obat atau senyawa-senyawa
yang dapat meningkatkan risiko hipoglikemia sewaktu pemberian obat-
obat hipoglikemik sulfonilurea antara lain: alkohol, insulin, fenformin,
xxiv
sulfonamida, salisilat dosis besar, fenilbutazon, oksifenbutazon,
probenezida, dikumarol, kloramfenikol, penghambat MAO (Mono
AminOksigenase), guanetidin, steroida anabolik, fenfluramin, dan
klofibrat.
2. Glinid
1. Metformin
xxv
FPG sangat tinggi yaitu (> 300 mg / dL atau> 16,7mmol / L). Metformin
mengurangi trigliserida plasma dan low-densitylipoprotein (LDL)
kolesterol sebesar 8% menjadi 15% dan sederhana meningkatkan
highdensity lipoprotein (HDL) kolesterol (2%). Metformin tidak
menyebabkan hipoglikemia ketika digunakan sendirian. Metformin
digunakan dalam obesitas / kelebihan berat badan DM tipe 2 pasien (jika
ditoleransi dan tidak kontraindikasi) karena satu-satunya obat anti
hiperglikemik oral yang terbukti mengurangi risiko kematian total. Efek
samping yang paling umum adalah abdominal discomfort, stomach upset,
diare, dan anoreksia. Efek ini dapat diminimalkan dengan mentitrasi dosis
perlahan dan menggunakannya bersama makan. Extended-release
metformin (Glucophage XR) dapat mengurangi efek samping GI. Asidosis
laktat jarang terjadi dan dapat diminimalkan dengan menghindari
penggunaan pada pasien dengan insufisiensi ginjal (kreatinin serum 1,4 mg
/ dL atau lebih [ ≥124 μmol /L] pada wanita dan 1,5 mg / dL atau lebih
[ ≥133μmol / L] pada laki-laki), gagal jantung kongestif atau kondisi
predisposisi hipoksemia atau asidosis laktat bawaan.
2. Tiazolidindion (TZD)
Obat ini meningkatkan sensitivitas insulin pada jaringan otot, hati dan
lemak secara tidak langsung. Ketika diberikan selama 6 bulandengan dosis
maksimal, pioglitazone dan rosiglitazone mengurangi A1C oleh ~ 1,5%
dan FPG dari 60 menjadi 70 mg / dL (3,3-3,9 mmol /L). Efek maksimum
xxvi
tidak dapat dilihat sampai 3 sampai 4 bulan terapi. Pioglitazone
menurunkan trigliserida plasma sebesar 10% sampai 20%, sedangkan
rosiglitazone cenderung tidak berpengaruh. Pioglitazone tidak
menyebabkan peningkatan yang signifikan pada LDL kolesterol,
sedangkan kolesterol LDL dapat meningkat 5% sampai 15% dengan
rosiglitazone. Retensi cairan dapat terjadi, dan edema perifer dilaporkan
dalam 4% sampai 5% pasien. Ketika digunakan dengan insulin, angka
kejadian edema adalah ~ 15%. Glitazones merupakan kontraindikasi pada
pasien dengan kelas New York Heart Association III atau gagal jantung IV
dan harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan kelas I atau
gagal jantung II atau lainnya yang mendasari penyakit jantung. Berat
badan 1,5 sampai 4 kg tidak lazim. Jarang terjadi, kenaikan yang cepat dari
sejumlah berat badan sehingga bila terjadi mungkin memerlukan
penghentian terapi. Glitazones juga telah dikaitkan dengan kerusakan hati,
peningkatan patah tulang, dan sedikit peningkatan risiko kanker kandung
kemih.
3.Insulin
xxvii
sel. Akibatnya, glukosa darah akan meningkat, dan sebaliknya sel-sel
tubuh kekurangan bahan sumber energi sehingga tidak dapat memproduksi
energi sebagaimana seharusnya. Disamping fungsinya membantu transport
glukosa masuk kedalam sel, insulin mempunyai pengaruh yang sangat luas
terhadap metabolisme, baik metabolisme karbohidrat dan lipid, maupun
metabolisme protein dan mineral. Insulin akan meningkatkan lipogenesis,
menekan lipolisis, serta meningkatkan transport asam amino masuk ke
dalam sel. Insulin juga mempunyai peran dalam modulasi transkripsi,
sintesis DNA dan replikasi sel. Itu sebabnya, gangguan fungsi insulin
dapat menyebabkan pengaruh negatif dan komplikasi yang sangat luas
pada berbagai organ dan jaringan tubuh.
xxviii
xxix
BAB III
xxx
3.2 Data Objektif
Jenis Kondisi
Pemeri Normal Tanggal dan hasil Pemeriksaan Selama di Rawat di Rumah Sakit
ksaan
Tanggal 01/10 02/10 03/10 04/10 05/10 06/10 07/10
Suhu 36oC – 36,5 36,5 36,5 36 36,4 36,4 36,5
37,5oC
HR 80 – 100 74 84 61 90 82 80 81
RR 18 – 30 22 20 20 24 24 20 20
Bpm
TD <120/80 120/8 115/8 122/9 112/78 118/101 112/90 110/86
mmHg 8 0 0
Spo2 95 – 99% 100% 100% 100% 100% 100% 99%
100%
GDS 80 – 120 GDS: GDS: GDS: 314 (Bbs ) jam GDS : 310 BSS
mg/dl 225 224mg 06.00: 284 BSS Jam 06 : 160
/dl mg/dl jam Jam 5: mg/dl
BBS: BBS 22.00 :348m 174
199m Jam g/dl Jam 17:
g/dl 06: 209
180 Jam 22:
Jam 149
11:
224
Jam
17:
150
xxxi
3.3 HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM
xxxii
3.4 Daftar Obat Selama Perawatan
Nama Obat Rute Frek 1/1 2/10 3/10 4/10 5/10 6/10 7/10
Pemberian 0
Retaphyl 300 po 2x1/2 √ √ √ √ √ √ √
Novorapid 30 sc 3x18 iu √ √ √ √ √ √ √
Folavit Po 2x1 (p&s) - - √ √ √ √ √
Lansoprazol po 1x1 - - √ √ √ √ √
Sukralfat syr po 3x15m - - - - √ √ √
Cardiomin po 1x1 - - √ √ √ √ √
Domperidon po 1x1 √ √ √ √ √ √ √
Aspilet 80 mg po 1x1m √ √ √ √ √ √ √
Basal : 40%
Prandial 60%
= 0,5 x 80 Kg = 40 unit
= 40 x 40% = 16 unit
Novorapid = 1 x bbKg
= 40 x 60% = 24 unit
xxxiii
KETETAPAN DOSIS
xxxiv
(MEDSCAPE2022)
xxxv
Nama Obat Mekanisme Kerja Farmakodinamika /
Farmakinetik
xxxvi
jenuh (non-linear), bahkan
dalam kisaran terapeutik.
Peningkatan dosis kecil dapat
menyebabkan peningkatan
konsentrasi serum yang tidak
proporsional. Metilasi dalam
kafein juga penting pada
populasi bayi. Perokok dan
orang dengan gangguan hati
(hati) memetabolismenya
secara berbeda.
Eliminasi
Teofilin diekskresikan tidak
berubah dalam urin (hingga
10%). Pembersihan obat
meningkat dalam kondisi ini:
anak-anak 1 hingga 12,
remaja 12 hingga 16, perokok
dewasa, perokok lanjut usia,
fibrosis kistik, hipertiroidisme.
Klirens obat menurun dalam
kondisi ini: lanjut usia, gagal
jantung kongestif akut, sirosis,
hipotiroidisme, dan penyakit
virus demam.
Waktu paruh eliminasi
bervariasi: 30 jam untuk
neonatus prematur, 24 jam
untuk neonatus, 3,5 jam untuk
anak-anak usia 1 hingga 9, 8
jam untuk dewasa bukan
perokok, 5 jam untuk perokok
dewasa, 24 jam untuk mereka
yang mengalami gangguan
hati, 12 jam untuk gagal
jantung kongestif NYHA kelas
I-II, 24 jam untuk gagal
jantung kongestif NYHA kelas
III-IV, 12 jam untuk lansia.
Indikasi
xxxvii
kronik saluran napas
penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK)
asma bronkial
apnea bayi.
xxxviii
meningkatkan pengosongan
lambung serta meningkatkan
tekanan di sfingter esofagus
bagian bawah. Domperidone
tidak menimbulkan efek sekresi
lambung.
Farmakokinetik
Domperidone bisa diabsorbsi
dengan cepat setelah pemberian
intramuskular maupun oral.
Kadar puncak plasma dapat
tercapai dalam waktu 10–30
menit. Metabolisme obat ini
terjadi di hepar dan sebagian
besar ekskresinya terjadi melalui
urine.
Absorbsi
xxxix
makanan.
Distribusi
Metabolisme
Domperidone dimetabolisme
dengan cepat di hepar melalui
mekanisme hidroksilasi dan N-
dealkilasi oleh enzim sitokrom P-
450, terutama CYP3A4. Selain
CYP3A4, CYP1A2 dan CYP2E1
juga berperan dalam proses
hidroksilasi domperidone.
Eliminasi
xl
pada sediaan oral adalah 7–9 jam
pada pasien yang sehat, tetapi
akan memanjang pada pasien
dengan gangguan ginjal.
Absorpsi
Distribusi
xli
berikatan hingga 97% dengan
protein plasma.
Metabolisme
xlii
Absorpsi
Cardiomin Mekanisme Kerja Menghambat reabsorpsi Bioavailabilitas: 47-64% (PO)
natrium dan klorida di lengkung Henle dan Onset: 30-60 menit (PO/SL); 30
tubulus ginjal distal, mengganggu sistem menit (IM); 5 menit (IV)
kotranspor pengikat klorida, sehingga Efek puncak: <15 menit (IV); 1-
menyebabkan peningkatan ekskresi air, 2 jam (PO/SL)
natrium, klorida, magnesium, dan kalsium Durasi: 2 jam (IV); 6-8 hr (PO)
Distribusi
Protein terikat: 91-99% Vd: 0,2
L/kg
Metabolisme
Dimetabolisme di hati (~10%)
Metabolit: Glucuronide (asam 2-
amino-4-chloro-5-
sulfamoylanthranilic
[saluamine]) (aktivitas tidak
diketahui)
Eliminasi
Waktu paruh: 30-120 menit
(fungsi ginjal normal); 9 jam
(penyakit ginjal stadium akhir)
Dapat Dialisis: Tidak Bersihan
ginjal: 2 mL/menit/kg
Ekresi : Urine (PO 50%, IV
800%
xliii
FOLAVIT 400 MCG TABLET Farmakodinamik
Folavit merupakan suplemen yang
Asam folat, juga dikenal sebagai
mengandung asam folat. Suplemen
ini digunakan untuk memenuhi folat atau Vitamin B9,
kebutuhan asam folat dalam tubuh merupakan kofaktor penting
yang bermanfaat dalam pemeliharaan untuk enzim yang terlibat dalam
sistem saraf yang sehat dan dalam
sintesis DNA dan RNA. Lebih
pembentukan sel darah merah yang
membawa oksigen ke seluruh tubuh. khusus lagi, asam folat
dibutuhkan oleh tubuh untuk
sintesis purin, pirimidin, dan
metionin sebelum dimasukkan ke
dalam DNA atau protein.
Distribusi
Protein terikat: <10%, mirip
dengan insulin biasa (tidak
terikat pada protein pengikat
serum, tetapi hadir sebagai
xliv
monomer dalam plasma) Vd:
0,26-0,36 L/kg
Metabolisme
Hati ( >50%); ginjal (30%);
jaringan adiposa/ otot (20%)
Distribusi
Protein terikat: <100 mcg/mL,
90-95%; 100-400 mcg/mL, 70-
85%; konsentrasi lebih tinggi,
25-60% Vd: 170 mL/kg
Metabolisme
Dimetabolisme oleh hati melalui
sistem enzim mikrosomal
Metabolit: Salisilat, salisil
fenolik glukuronida, salisil asil
glukuronida, asam 2,5-
dihidroksibenzoat (asam
gentisat), asam 2,3-
dihidroksibenzoat , 2,3,5-
trihydroxybenzoic acid, asam
gentisuric (aktif)
Enzim yang dihambat:
Siklooksigenase (tidak
signifikan)
xlv
Ekskresi: Urine (75% sebagai
asam salisilat, 10% sebagai asam
salisilat)
Sukralfat syr Sukralfat bekerja dengan Farmakodinamik
cara menempel di bagian lambung
atau usus yang terluka. Obat ini
melindungi lukadari asam lambung, Sukralfat bekerja dengan cara
enzim pencernaan, dan garam membentuk kompleks polimer
empedu. Dengan begitu, sukralfat yang dapat melapisi jaringan
mencegah luka menjadi semakin tukak dengan cara mengikat
parah dan membantu penyembuhan
luka lebih cepatPenghambat selektif eksudat protein pada lokasi
sodium-glucose transporter-2 (SGLT2) ulkus. Kompleks polimer yang
terbentuk berfungsi sebagai
sawar/barrier yang mencegah
keluarnya asam, pepsin dan asam
empedu/bile salts, sehingga dapat
melindungi mukosa lambung dari
kerusakan lebih lanjut.[3-5]
Farmakokinetik
ANALISA SOAP
1. S (Subjek)
xlvi
Pasien mengatakan pola napas tidak efektif, badan lemas tidak nafsu
makan, mual dan nyeri dada,
2. O (Objek)
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Radiologi
Jantung ukuran kesan tidak membesar , CTR 52,18% Aorta baik.
Mediastinum superior tidak melebar. Trakea di tengah . Kedua hilus tidak
menebal. Tampak infliltat di lapangan atas paru kanan dan lapangan paru
kiri. Hemidiafragma kanan kiri licin. Sinus kostofrenikus kanan kiri
lancip. Tulang-tulang kesan intak. Jaringan lunak kesan tenang
Pemeriksaan BTA
Sediaan Langsung BTA I 1+ Negatif
Sediaan Langsung BTA II 1+ Negatif
Scanty : 1-9 / 100 lapangan pandang
1+ : 10-99 BTA/100 lapangan pandang
2+: 1- 10 BTA / lapangan pandang
3+ : >10 BTA /lapangan pandang
3. Assessment
Adanya interaksi obat
Moderat
xlvii
A. - Aspirin + novorapid
Aspirin Efek insulin Hipoglikemi
Minoror
Asprini + folavit
P. - Monitoring kadar insulin
Edukasi pasien terkait gejala-gejala hipoglikemi ( lemas, gemetar,
berkeringan ) - Segera hubungi perawat
- Jeda waktu pemberian Folavit diberikan pukul 06.00 pagi Aspiler di
berikan pada pukul 12.00 siang.
xlviii
No Nama Obat keterangan
1 Retaphyl 1x1/2 Po
2 Novorapid 3x1 Sc
3 Lansoprazol 1x1 po
4 Aspilet 80 mg 1x1 Po
5 Domperidon 2x1 Po
8 Folavit 1x1 Po
4.1 Kesimpulan
xlix
Telah dilakukan Diagnosa Diabetes Meltus tipe 2+CAD+, Pasien mengatakan
Pola napas tidak efektif, badan lemas tidak nafsu makan dan nyeri dada. Keluhan
nyeri dirasakan selama perawatan. Selama perawatan di rawat inap selama 7 hari,
keluhan yang dirasakan pasien sedah teratasi, Dapat disimpulkan bahwa terapi
yang diberikan sudah tepat untuk mengatasi keluhan dari pasien tersebut. Namun
perlu dilakukan pertimbangan untuk pemantauan efek samping obat – obatan yang
diberikan kepada pasien untuk kepatuhan pasien selama menjalankan terapi
tersebut agar tidak terjadi pengulangan pengobatan karena kurangnya kepatuhan
pasien selama menjalankan terapi.
4.2 Saran
kepada pasien atau keluarga pasien agar penggunaan obat terhadp pasien lebih
terkontrol.
DAFTAR PUSTAKA
l
Gustin, I. 2012. Olahraga Adalah Cara Terbaik Mencegah Penyakit Jantung.
http://healt.detik.com/read/olahraga-adalah-cara-terbaik-mencegah.html
diakses pada tanggal 20 Mei 2013.
Jaiswal, M., Divers, J., Dabelea, D., Isom, S., Bell, R. A., Martin, C. L., … Marcovina,
S. (2017). Prevalence of and risk factors for diabetic peripheral neuropathy in
youth with type 1 and type 2 diabetes: search for diabetes in youth study.
li