PENDAHULUAN
1|Page
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi SLE ?
2. Bagaimana penyebab / etiologi SLE ?
3. Bagaimana patofisilogi SLE ?
4. Bagaimana tanda dan gejala SLE ?
5. Bagaimana komplikasi SLE ?
6. Bagaimana epidemiologi SLE ?
7. Bagaimana pemeriksaan diagnostik SLE ?
8. Bagaimana penatalaksanaan SLE ?
9. Bagaimana pertimbangan khusus SLE ?
10. Bagaimana asuhan keperawatan pada SLE ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami definisi SLE.
2. Untuk mengetahui dan memahami penyebab / etiologi SLE.
3. Untuk mengetahui dan memahami patofisiologi SLE.
4. Untuk mengetahui dan memahami tanda dan gejala SLE.
5. Untuk mengetahui dan memahami komplikasi SLE.
6. Untuk mengetahui dan memahami epidemiologi SLE.
7. Untuk mengetahui dan memahami pemeriksaan diagnostik SLE.
8. Untuk mengetahui dan memahami penatalaksanaan SLE.
9. Untuk mengetahui dan memahami pertimbangan khusus pada penderita
SLE.
10. Untuk mengetahui dan memahami asuhan keperawatan SLE.
2|Page
BAB II
TINJAUAN TEORI
Istilah lupus berasal dari bahasa Latin yang berarti serigala (wolf) dan
erythematosus artinya warna kemerahan pada kulit (terutama kulit daerah
muka). Dahulu kerusakan kulit mirip dengan gigitan dari serigala. Baru pada
tahun 1828. dr.Laurent T. Biett seorang dokter kulit yang berasal dari Prancis
memperkenalkan penyakit ini. Empat puluh lima tahun kemudian tepatnya
tahun 1873, dokter Moriz Khon Kaposi dari Austria menyatakan bahwa
penyakit ini selain mengenai kulit juga menyerang organ dalam. Pada tahun
1954 ditemukan adanya otoantibodi pada penderita lupus.
Lupus Eritematosus Sistemis (SLE) adalah penyakit radang atau
inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan
sistem imun. LES termasuk penyakit kolagen-vaskuler yaitu suatu kelompok
penyakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah
yang mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan
yang kompleks. Etiologi dari beberapa penyakit kolagen-vaskuler sering tidak
diketahui, tetapi sistem imun terlibat sebagai mediator terjadinya penyakit
tersebut. (Helmi, hal.251)
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah suatu penyakit autoimun yang
kronik dan menyerang berbagai sistem dalam tubuh.
Lupus eritematosus merupakan gangguan inflamasi kronis jaringan ikat
yang muncul dalam dua bentuk : lupus eritematosus diskoid yang mengenai
kulit saja dan sistemik lupus eritematosus (SLE) yang menyerang lebih dari
satu sistem organ selain kulit serta bersifat fatal. SLE ditandai oleh remisi dan
eksaserbasi yang rekuren dan sering dijumpai terutama pada musim semi
serta musim panas. (Kowalak, Wels, Mayer, hal 494)
Seperti yang diungkapkan dalam buku kecil care for lupus (syamsi
dhuha), lupus adalah sebutan umum dari suatu kelainan yang disebut sebagai
lupus eriteematosus. Dalam istilah sederhana, seseorang dapat dikatakan
3|Page
menderita penyakit lupus erythematosus saat tubuhnya menjadi alergi pada
dirinya sendiri. Penyakit lupus adalah istilah dari bahasa latin yang berarti
serigala. Hal ini disebabkan penderita penyakit ini pada umumnya memiliki
butterfly rash atau ruam merah berbentuk kupu-kupu di pipi yang serupa di
pipi serigala, tetapi berwarna putih.
2.2 Etiologi
Penyebab pasti SLE masih merupakan misteri, tetapi bukti yang ada
menunjukkan faktor-faktor imunologi, lingkungan, hormonal, dan genetik
yang saling terkait. Faktor-faktor ini dapat meliputi :
2.3 Patofisiologi
Patofisiologi SLE (Epstein,1998)
Berdasarkan profil sitokinin sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2.
Sel Th1 berfungsi mendukung sel-cell-mediatin immunity, sedangkan Th2
menekan sel tersebut dan membantu sel B untuk memproduksi antibodi. Pada
4|Page
pasien SLE ditemukan adanya IL-10 yaitu sitokinin yang diproduksi oleh sel
Th2 yang berfungsi menekan sel Th1 sehingga mengganggu cell-mediatin
immunity.
Sel T pada SLE juga mengalami gangguan berupa berkurangnya
produksi IL-2 dan hilangnya respon terhadap rangsangan menentukan IL-2
yang dapat membantu meningkatkan ekspresi sel T(mok dan lau, 2003).
Abnormalitas dan disregulasi system imun pada tingkat seluler dapat
berupa gangguan fungsi limfosit T dan B, NKC, dan APCs. Hiperaktifitas sel
T terjadi seiring dengan limfositopenia sel T karena antibody antilimfosit T.
Peningkatan sel B yang teraktifasi menyebabkan terjadinya
hipergammaglobulinemia yang berhubungan dengan reaktivitas self-antigen.
Pada sel B, reseptor sitokin, IL-2, mengalamai peningkatan sedangkan CR1
menurun (silfia and Isenberg, 2001). Hal ini juga meningkatkan heat shock
protein 90 (hsp 90) pada sel B dan CD4+. Kelebihan hsp 90 akan terlokalisasi
pada permukaan sel limfosit dan akan menyebabkan terjadinya respon imun.
Sel B mempunyai 2 subset yaitu CD8+ (supresor atau sitotoksik) dan CD4+
(Inducer atau helper). SLE ditandai dengan peningkatan sel B terutama
berhubungan dengan subset CD4+ dan CD45R+. CD4+ membantu
menginduksi terjadi supresi dengan menyediakan signal bagi CD8+ (Isenberg
and Horsefal, 1998). Berkurang jumlah total sel T juga menyebabkan
berkurangnya subset tersebut sehingga signal yang sampai ke CD8+ juga
berkurang dan menyebabkan kegagalan sel T dalam menekan sel B yang
hiperaktif. Berkurangnya kedua subset sel T ini yang umum disebut double
negative ( CD4-CD8-) mengaktifkan sintesis dan sekresi autoantibodi (mok
and lau, 2003). Cirri khas autoantibodi ini adalah bahwa mereka tidak spesifik
pada suatu jaringan tertentu dan merupakan komponen integral dari semua
jenis sel sehingga menyebabkan inflamasi dan kerusakan organ secara luas
( albar, 2003) melalui 3 mekanisme yaitu pertama kompleks imun (misalnya
DNA-Anti DNA) terjebak dalam membran jaringan dan mengaktifkan
komplemen yang memnyebabkan kerusakan jaringan. Kedua koma auto
antibody tersebut mengikt komponen jaringan atau antigen yang terjebak
dalam jaringan , komplemen akan teraktivasi dan terjadi kerusakan jaringan.
5|Page
Mekanisme yang terakir adalah autoantibody menempel pada membrane dan
menyebabkan aktivasi komplemen yang berperan dalam kematian sel atau
autoantibody masuk kedalam sel dan berikatan dengan inti sel dan
menyebabkan menurunnya fungsi sel tetapi belom diketahui mekanismenya
terhadap jaringan (Epstain, 1998) .
Gangguan system imun pada SLE dapat berupa gangguan klerens
kompleks imun, gangguan pemprosesan kompleks imun dalam hati, dan
penurunan up-take kompleks imun pada limfa (albert,2003) gangguan klirens
kompleks imun dapat disebabkan berkurangnya CR1 dan juga fagositisis yan
inadekuat pada IgG2 dan IgG3 karna lemahnya ikatan reseptor FcyRIIIA. Hal
ini juga berhubungan dengan defisiensi komponen komplemen C1, C2, C4.
Adanya gangguan tersebut menyebabkan meningkatnya paparan antigen
terhadap system imun dan terjadinya deposes kompleks imun ( mok lau,2003)
pada berbagai macam organ sehingga terjadi fiksasi komplemen pada organ
tersebut. Peristiwa ini menyebabka aktivasi komplemen yang menghasilkan
mediato-mediator inflamasi yang menimbulkan radang. Reaksi radan inilah
yang menyebabkan timbulnya keluhan/ gejala pada organ atau tempat yang
bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus korodeus, kulit dan
sebagainya (albar, 2003).
Pada pasien SLE, adanya rangsangan berupa UVB (yang dapat
menginduksi appoptasis sel kreatonosit) atau beberapa obat (seperti
klorpromazi yang menginduksi opotosis sel limfoblas) dapat meningkatkan
apoptosis sel yang dilakukan oleh makrofag. Sel dapat mengalami apoptosis
melalui kondensasi dan frakmentasi inti serta kontraksi sitoplasma.
Phosphatidylserine (PS) yang secara normal berada dalam membrane sel,
pada saat apoptosis berada dibagian luar membrane sel. Selanjutnya terjadi
ikatan dengan CRP, PSP, SAP,dan komponen komplemen yang akan
berinteraksi dengan sel fagosit melalui reseptor membrane seperti transporter
APC 1, komplemen reseptor (CR1, 3, 4) reseptor alfa beta3, CD36, CD14,
lektin, manosereseptor (MR) yang menghasilkan sitokin anti inflamasi.
Sedangkan pada SLE yang terjadi adalah ikatan dengan autoantibody yang
kemudian akan berinteraksi dengan reseptor Fcyr yang akan menghasilkan
6|Page
sitokin pro inflamasi. Selain gangguan apoptosis yang dilakukan oleh
makrofag pada pasien SLE juga terjadi gangguan apoptosis yang disebabkan
oleh gangguan Fas dan bcl-2 (bijl et al.,2001)
7|Page
Meskipun SLE dapat mengenai setiap sistem organ, namun tanda dan
gejalanya berhubungan dengan cedera jaringan dan inflamasi serta nekrosis
yang kemudian terjadi sebagai akibat serangan kompleks imun. Umumnya
gejala klinis SLE meliputi :
1. Demam
2. Penurunan berat badan
3. Rasa tidak enak badan (malaise)
4. Keluhan mudah lelah
5. Ruam
6. Poliartralgia
1. Lesi pada sendi yang serupa dengan artritis rematoid (meskipun artritis
lupus biasanya tidak erosif)
2. Lesi kulit yang paling sering berupa ruam eritematus di daerah yang
terpajan cahaya (ruam bentuk kupu-kupu yang klasik pada hidung dan
pipi terdapat pada kurang dari 50% pasien) atau ruam berbentuk papula
dan skuama (yang menyerupai psoriasis), khususnya di bagian tubuh
yang terkena cahaya matahari
3. Vaskulitis (khususnya pada jari-jari) yang mungkin terjadi karena lesi
yang bersifat infark, ulkus tungkai yang nekrotik atau gangren pada jari-
jari
4. Fenomena Raynaud (sekitar 20% pasien)
5. Patchy alopecia dan ulkus yang tidak terasa nyeri pada membran mukosa
6. Abnormalitas paru, seperti pleuritis, efusi pleura, pneumonitis, hipertensi
pulmoner dan yang lebih jarang terjadi, perdarahan pulmoner
7. Kelainan jantung, seperti perikarditis, miokarditis, endokarditis, dan
aterosklerosis koroner yang dini
8. Hematuria mikroskopik, piuria, dan sedimen urine dengan silinder seluler
(celluler casi) akibat glomerulonefritis yang mungkin berlanjut menjadi
gagal ginjal (khususnya bila tidak ditangani dengan baik)
8|Page
9. Infeksi saluran kemih yang mungkin disebabkan oleh peningkatan
kerentanan pasien terhadap infeksi
10. Gangguan serangan kejang (seizures) dan disfungsi mental
11. Keterlibatan sistem saraf pusat (SSP), seperti ketidakstabilan emosi,
psikosis, dan sindrom otak organik
12. Sakit kepala, iritabilitas, dan depresi (sering terjadi)
2.5 Komplikasi
Komplikasi SLE yang mungkin terjadi meliputi :
1. infeksi lain yang terjadi secara bersamaan
2. infeksi saluran kemih
3. gagal ginjal
4. osteonekrosis tulang pinggul/pangkal paha akibat penggunaan steroid
jangka panjang
2.6 Epidemiologi
Penyebab mortalitas paling tinggi yang terjadi pada awal perjalanan
penyakit LES adalah infeksi yang disebabkan oleh pemakaian
imunosupresan, sedangkan mortalitas pada penderita LES dengan komplikasi
nefritis paling banyak ditemukan dalam lima tahun pertama ketika dimulainya
gejala. Penyakit jantung dan kanker yang berakaitan dengan inflamasi kronik
dan terapi sitotoksik juga merupakan penyebab mortalitas. The Framingham
9|Page
Offspring Study menunjukkan bahwa wanita dengan usia 35-44 tahun yang
menderita LES mempunyai risiko 50 kali lipat lebih besar untuk terkena
infark miokard daripada wanita sehat. Penyebab peningkatan penyakit
coronary artery disease (CAD) merupakan multifaktor termasuk disfungsi
endotelial, mediator inflamasi, kortikosteroid yang menginduksi
arterogenesis, dan dislipdemia yang berkaitan degan penyakit ginjal (salah
satu manifestasi klinis dari LES). Dari suatu hasil penelitian menunjukkan
penyebab mortalitas 144 dari 408 pasien dengan LES yang dimonitor lebih
dari 11 tahun adalah lupus yang aktif (34%), infeksi (22%), penyakit jantung
(16%), dan kanker (6%).
Penderita SLE diperkirakan mencapai 5 juta orang di seluruh dunia
(yayasan lupus Indonesia). Prevalensi pada berbagai populasi berbeda-beda
bervariasi antara 3-400 orang per 100000 penduduk (alba, 2003). SLE lebih
sering ditemukan pada ras-ras tertentu seperti bangsa Afrika Amerika, Cina
dan mungkin juga Filiphina. Di Amerika, prevalensi SLE kira-kira 1 kasus
per 2000 populasi dan insiden berkisar 1 kasus per 10000 populasi (bartels,
2006). Prevalensi penderita SLE di Cina adalah 1:1000 (isenbreg and horsfall,
1998). Meskipun bahasa Afrika yang hidup di Amerika mempunyai
prevalansi yang tinggi terhadap SLE, penyakit ini ternyata sangat jarang
ditemukan pada orang yang berkulit hitam yang hidup di Afrika. Di Inggris
SLE mempunyai prevalansi 12 kasus per 100000 populasi, sedangkan di
swediya 39 kasus per 100000 populasi. Di Indonesia sendiri jumlah penderita
SLE secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan sama dengan jumlah
penderita SLE di Amerika yaitu 1500 juta orang (yayasan lupus, Indonesia).
10 | P a g e
3. Tes antibodi, termasuk Antinucleat antibodi (ANA) panel, Anti-double
strand (ds) DNA, Antifosfolipid antibodi, Anti-Smith antibodi, atau
Lupus anticoagulant Multiple test (eg. Direct Russel Viper Venom test)
4. Level komplemen dengan menilai C3 dn C4
5. X-ray dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis
1. Pemeriksaan ANA dan tes sel LE yang menunjukkan hasil positif pada
pasien SLE aktif
2. Antibodi anti-dsDNA (anti-double-stranded deoxyribonucleic acid); tes
ini paling spesifik untuk SLE, memiliki korelasi dengan aktivitas
penyakit, khususnya bila terjadi gangguan pada ginjal, dan membantu
pemantauan hasil terapi; kadar antibodi ini bisa bisa rendah atau tidak
terdapat pada keadaan remisi.
3. Pemeriksaan urine yang mungkin memperlihatkan keberadaan sel darah
merah serta sel darah putih, silinder serta sedimen urine, dan kehilangan
protein yang khas (lebih dari 0,5 g/24jam)
4. Pemeriksaan komplemen serum yang memperlihatkan penurunan kadar
komplemen (C3 dan C4); hasil ini menunjukkan penyakit yang aktif
5. Foto rontgen toraks yang mungkin menunjukkan pleuritis atau
pneumonitis lupus
6. Elektrokardiografi yang mungkin memperlihatkan defek hantaran dengan
gangguan jantung atau perikarditis
7. Biopsi ginjal untuk menentukan stadium penyakit dan luas lesi pada ginjal
11 | P a g e
8. Tes antikoagulan lupus dan antikardiolipin yang mungkin positf pada
sebagian pasien (biasanya pasien dengan kecenderungan menderita
sindrom antifosfolipid pada keadaan trombosis abortus, dan
trombositopenia).
2.8 Penatalaksanaan
Penanganan SLE dapat meliputi :
1. Pemberian obat antiinflamasi nonsteroid termasuk aspirin untuk
mengendalikan gejala artritis
2. Krim topikal kortikosteroid, seperti hidrokortison buteprat (Aticort) atau
triamsinolon (Aristocort) untuk lesi yang kuat
3. Penyuntikan kortikosteroid intralesi atau pemberian obat antimalaria,
seperti hidrosiklorokuin sulfat (Plaquenil), mengatasi lesi kulit yang
membandel
4. Kortikosteroid sistemik untuk mengurangi gejala sistemik SLE dan
mencegah eksaserbasi akut yang menyeluruh ataupun penyakit serius
yang berhubngan dengan sistem organ yang penting, seperti pleuritis,
perikarditis, nefritis lupus, vaskulitis serta gangguan pada SSP
5. Terapi steroid dosis tinggi dan terapi sitotoksik (seperti siklofosfamid
[Cytoxan] untuk mengatasi glomerulonefritis proliferatif yang difus
6. Dialisis atau transplantasi ginjal untuk gagal ginjal
7. Obat-obat antihipertensi dan modifikasi diet untuk meminimalkan efek
lesi pada ginjal
Pengobatan SLE
Pengobatan penderita lupus disesuaikan dengan kebutuhan penderita,
umur, jenis kelamin, keadaan kesehatan umumnya,gejala klinis yang diderita,
dan car hidup penderita. Tujuan pengobatan selin mengatasi keluhan dan
gejala klinis penderita juga untuk mencegah kekambuhan, dan mengurangi
terjadinya kerusakan organ dan mencegah komplikasi.
12 | P a g e
Obat-obat byang dapat diberikan adalah:
NSAID, (Non Steroidal Anti-Infmlammatorry drugs), misalnya ibuprofen
dan mapraxzn, menghambat inflamasi, mengurangi nyeri sendi, nyeri dada
dan mengatasi demam.
13 | P a g e
6. Sarankan pasien yang memakai obat siklofosfamid untuk mejaga hidrasi
yang adekuat. Jika obat ini digunakan, berikan mesna untuk mencegah
sistitis hemoragik dan ondansetron untuk mencegah nausea serta vomitus
7. Pantau tanda-tanda vital, asupan dan haluaran cairan, berat badan, dan
hasil laboratorium. Cek frekuensi deyut nadi dan awasi kemungkinan
ortopnea. Periksa feses dan sekret GI untuk menemukan darah.
8. Awasi hipertensi, kenaikan berat badan, dan tanda-tanda gangguan ginjal
lain
9. Kaji tanda-tanda kerusakan neurolog; perubahan kepribadian, perilaku
psikotik atau paranoid; ptosis atau diplopia. Waspadai kemungkinan
serangan kejang. Jika terdapat fenomena Raynaud, hangatkan dan
lindungi kedua belah tangan dan kaki pasien
10. Berikan saran kosmetik, seperti menganjurkan pemakaian alat makeup
hipoalergenik dan rujuk asien kepada penata rambut yang ahli di bidang
kulit kepala
11. Nasihati pasien untuk menebus resep obat dengan jumlah yang penuh.
Ingatkan pasien agar tidak menggunakan obat-obat “mujiza” yang
dipromosikan dapat mengurangi gejala artritis
12. Rujuk pasien kepada Yayasan Lupus dan Artritis jika diperlukan
14 | P a g e
BAB III
STUDI KASUS
3.1 Kasus
Pasien datang ke IGD RSAM dengan keluhan mata dan muka terasa
panas dan gatal yang disertai dengan nyeri pada bibir dan mulut sehingga
sulit mengunyah, timbul bintik-bintik merah pada muka dan badan. Kulit
muka kemerahan sudah dirasakan pasien sejak + 3 tahun yang lalu. Awalnya
kemerahan pada kulit hanya berupa titik-titik saja dan tidak terlalu banyak
tetapi semakin lama semakin banyak dan semakin besar. Mata dan muka
terasa panas dan gatal dirasakan sudah lama kira-kira 2 tahun yang lalu hilang
timbul dan semakin parah saat 3 hari yang lalu. Keluhan panas dan gatal
tersebut semakin jelas apabila terkena matahari, oleh sebab itulah pasien
akhir-akhir ini jarang keluar rumah pada siang hari. Selain itu juga bintik-
bintik merah ini timbul di daerah badan dan punggung tetapi daerah tangan
dan kaki tidak terdapat bintik-bintik merah. Sebelum terdapat gejala demikian
pasien mengaku pernah bekerja di pabrik pengolahan udang selama 7 tahun
sejak tahun 1998. Saat bekerja di pabrik tersebut pasien mengaku sering
gatal-gatal dan panas pada wajah, oleh sebab itulah pasien berhenti bekerja.
Setelah berhenti bekerja bintik-bintik merah pada wajah baru timbul. Satu
bulan yang lalu pasien pernah mengunjungi dokter untuk berobat di klinik
dekat rumahnya. Oleh dokter setempat pasien diberikan obat salep dan tablet
tetapi pasien lupa nama obatnya. Saat pagi hari pasien sulit membuka
matanya karena mata pasien banyak terdapat kotoran atau belek. Selain itu
juga mulut pasien semakin lama semakin panas dan pecah-pecah dan
terkadang mengeluarkan darah. Sendi kaki dan tangan pun terasa nyeri
terutama karena sangat menggangu dalam aktivitasnya sehari-hari. Karena
keluhan tersebutlah pasien dibawa ke IGD RSAM untuk mendapatkan
penanganan medis lebih lanjut.
15 | P a g e
3.2 Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Identitas Pasien
Nama : Ny. A No. RM : 091230
Agama : Islam
Alamat : Jl. X
Tanggungan : BPJS/Sendiri
2. Riwayat Keperawatan
16 | P a g e
Alergi : klien mengatakan tidak mempunyai
riwayat alergi
Kebiasaan merokok/alkohol : klien mengatakan tidak merokok
17 | P a g e
lama semakin panas dan pecah-pecah dan terkadang mengeluarkan
darah. Sendi kaki dan tangan pun terasa nyeri terutama karena sangat
menggangu dalam aktivitasnya sehari-hari. Karena keluhan tersebutlah
klien dibawa ke IGD RSAM
4.Body Systems
18 | P a g e
napas dangkal retraksi dada sputum tracheostomy
respirator
Suara nafas tambahan :
wheezing : lokasi …………………………
ronchi : lokasi …………………………
rales : lokasi …………………………
crackles : lokasi …………………………
Bentuk dada :
clubbing finger
Suara jantung:
normal
Edema:
lainnya (sebutkan):
19 | P a g e
Mata: klien mengatakan nyeri dan Susah membuka mata saat bangun
tidur karena terdapat kotoran mata
Persepsi sensori:
Pendengaran :
Penglihatan :
20 | P a g e
lainnya (sebutkan)
Pencernaan-Eliminasi Alvi (B5: Bowel)
21 | P a g e
Tulang belakang …………………………………………………..
Kulit :
-Warna kulit : ikterik cyanotik pucat kemerahan
pigmentasi
lainnya : Dada : Makula eritema ukuran miliar – lentikuler ; Perut :
Makula eritema ukuran miliar – lentikuler
-Akral : hangat panas dingin kering dingin basah
-Turgor : baik cukup jelek/menurun
Sistem Endokrin
Terapi hormon: ………………………………….
Karakteristik sex sekunder: ………………………
Riwayat pertumbuhan dan perkembangan fisik:
Perubahan ukuran kepala, tangan atau kaki pada waktu dewasa
Kekeringan kulit atau rambut
Exopthalmus
Goiter
Hipoglikemia
Tidak toleran terhadap panas
Tidak toleran terhadap dingin
Polidipsi
Poliphagi
Poliuria
Postural hipotensi
Kelemahan
Sistem Reproduksi
Laki-laki :
- Kelamin : Bentuk normal
Tidak normal (jelaskan) ........................…
Kebersihan bersih kotor (jelaskan) …………………………
Perempuan :
22 | P a g e
- Payudara : Bentuk simetris asimetris
Tidak normal (jelaskan) ….…………………
Benjolan tidak ada ada (jelaskan) ………..…………………
- Kelamin : Bentuk normal
tidak normal (jelaskan) ………………...
Keputihan tidak ada ada (jelaskan) …………………………..
- Siklus haid: 28 hari teratur
tidak teratur (jelaskan) …………………
Lain-lain - -
2) Minum:
Jenis minuman Air putih, teh hangat, jus Air putih. Teh hangat
23 | P a g e
Yang disukai Air putih Air putih
Lain-lain - -
3) Kebersihan diri:
Rumah Rumah Sakit
Lain-lain - -
Aktivitas
Rumah Rumah Sakit
24 | P a g e
Jenis Aktifitas Merawat anak dan suami Bedrest total
Tingkat - -
ketergantunga
n
6. PSIKOSOSIAL SPIRITUAL
1) Sosial/Interaksi:
Hubungan dengan klien :
2) Spiritual :
Konsep tentang penguasa kehidupan :
25 | P a g e
Tuhan Allah Dewa Lainnya
(sebutkan) ……………………….
Ritual agama yang bermakna/berarti/diharapkan saat ini :
Sholat Baca kitab suci Lainnya (sebutkan)
……………………….
Sarana/peralatan/orang yang diperlukan untuk melaksanakan
ritual agama yang diharapkan saat ini :
Lewat ibadah Rohaniawan Lainnya(sebutkan)
……………………….
Upaya kesehatan yang bertentangan dengan keyakinan agama :
Makanan Tindakan Obat-obatan
Lainnya(sebutkan): tidak ada
Keyakinan/kepercayaan bahwa Tuhan akan menolong dalam
menghadapi situasi sakit saat ini :
Ya Tidak
Keyakinan/kepercayaan bahwa penyakit dapat disembuhkan :
Ya Tidak
Persepsi terhadap penyebab penyakit :
Hukuman Cobaan/peringatan
Lainnya (sebutkan) …………………………
7. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium :
Darah rutin
Hb : 4,6 gr/dl
LED : 62 mm/jam
Leukosit: 2400/ul
Urine lengkap
Protein: 500mg/dl
8. Terapi
Non-medikamentosa : bedrest, diet lambung
26 | P a g e
Medikamentosa : IVFD RL 20 tetes/menit
Injeksi Dexamethason 1 ampul/8 jam
Injeksi Ranitidne 1 ampul/12 jam
Kandistatin drops 3 gtt l
Tranfusi PRC 6 kolf (900cc)
Hindari pajanan matahari
9. Analisa Data
27 | P a g e
DS :
2. - klien mengatakan keluhan Ruam, fotosensitivitas Kerusakan
mata dan muka terasa panas integritas kulit
dan gatal yang disertai
dengan nyeri pada bibir dan
mulut, timbul bintik-bintik
merah pada muka dan badan
- klien mengatakan semakin
panas dan gatal bila terkena
sinar matahari
DO :
-Butterfly rash pada wajah
-bintik-bintik kemerahan
pada wajah dan badan
DS :
Klien mengatakan nyeri pada
3. Nyeri kronis Intoleran aktivitas
kaki dan tangan sehingga
menganggu aktivitas
DO :
DS :
4. Klien mengatakan dirumah Gangguan mengunyah Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
28 | P a g e
makan hanya 1 kali/hari kebutuhan
DO :
- BB rata-rata : 48 kg ; BB
sekarang : 44 kg
- Makan : habis ½ porsi
- Ulser mulut
DO :
- Di RS klien mandi dan
ganti pakakian hanya 1 kali
29 | P a g e
11. Intervensi Keperawatan
30 | P a g e
tindakan nyeri farmakologis
dengan non- 4. Lakukan kompres hangat
analgesik 4. Mengurangi rasa nyeri
Tindakan kolaborasi
5. Berikan analgesik
31 | P a g e
enterostoma bantuan dalam
pencegahan dan
penanganan luka atau
kerusakan kullit
3. 1. Untuk mengatahui
Setelah dilakukan 1. Kaji respon pasien adanya ADL
tindakan terhadap aktivitas 2. Untuk menyelesaikan
keperawatan 3x24 2. Ajarkan teknik sesuatu sebanyak
jam tidak terjadi penyimpanan energi mungkin dengan
intoleran aktivitas 3. Libatkan keluarga dalam meminimalkan
dengan kriteria rencana keperawatan pengeluaran energi
hasil: 4. Anjurkan pasien untuk 3. Untuk meningkatkan
1. Klien dapat istirahat teratur dan dukungan pada pada
mendemosntra sesuai dengan yang pasien dan keluarga
sikan dibutuhkan mengerti tentang
peningkatan
penyakit dan komplikasi
intoleran
4. Untuk sementara
aktivitas yang
membalikkan efek dari
dapat dikur
keletihan
2. TD dalam
batas normal
12. Implementasi
32 | P a g e
Tanggal/ No. Tindakan Respon Paraf
Jam Dx
2.
14.00 WIB 1. Mengkaji kulit setiap hari 1. Di wajah warna
Kanza
meliputi ruam, warna dan kulit tampak
ulser pada mulut memerah/butterfly
rash, bintik-bintik
kemerahan di
badan, di bibir
tampak pecah-
pecah. Wajah klien
tampak meringis
menahan nyeri
33 | P a g e
Kanza
2.Klien merespon
non-verbal
14.10 WIB
2. Menginstruksikan hygiene mengangguk
kulit 3. Klien merespon Kanza
14.15 WIB non-verbal
mengangguk
3. Menasehati pasien untuk
menggunakan kosmetik dan
preparat tabir surya
14.25 WIB
5. Memberikan NSAID dan
6.Rujukan Kanza
kortikosteroid sesuai dosis
14.30 WIB yang diberikan dokter Kanza
6. Merujuk ke perawat ahli 1. Klien
mengatakan
enterostoma
20.30 WIB 3. masih
dibantu
anggota
20.33 WIB 1. Mengkaji respon pasien keluarga jika Kanza
beraktivitas
terhadap aktivitas 2. Klien
2. Mengajarkan teknik koopertif
20.38 WIB Kanza
penyimpanan energi 3. Keluarga
20.40 WIB klien
3. Melibatkan keluarga dalam
kooperatif
rencana keperawatan 4. Klien Kanza
4. Menganjurkan pasien untuk kooperatif
istirahat teratur dan sesuai
dengan yang dibutuhkan
34 | P a g e
13. Evaluasi
10.00 WIB O : bibir pecah-pecah dan ulser mulut pada klien mulai
mengering
35 | P a g e
2 S : klien mengatakan rasa panas dan gatal pada wajah dan Kanza
badan sudah mulai berkurang dari sebelumnya
A : masalah teratasi
BAB IV
KESIMPULAN
4.1 Simpulan
Istilah lupus berasal dari bahasa Latin yang berarti serigala (wolf) dan
erythematosus artinya warna kemerahan pada kulit (terutama kulit daerah
muka). Dahulu kerusakan kulit mirip dengan gigitan dari serigala. Lupus
eritematosus merupakan gangguan inflamasi kronis jaringan ikat yang
muncul dalam dua bentuk : lupus eritematosus diskoid yang mengenai kulit
saja dan sistemik lupus eritematosus (SLE) yang menyerang lebih dari satu
sistem organ selain kulit serta bersifat fatal. SLE ditandai oleh remisi dan
36 | P a g e
eksaserbasi yang rekuren dan sering dijumpai terutama pada musim semi
serta musim panas. (Kowalak, Wels, Mayer, hal 494).
Penyebab SLE masih menjadi misteri tapi yang sudah terbukti meliputi :
Stres fisik atau mental, Infeksi streptokokus atau virus, Pajanan cahaya
matahari atau ultraviolet, Imunisasi, Kehamilan, Metabolisme estrogen yang
abnormal, Terapi dengan obat tertentu, seperti prokainamid (Pronestyl),
hidralazin (Apresoline), antikonvulsan, dan yang lebih jarang, penisilin, obat-
obat sulfa, serta kontrasepsi oral (pil KB).
Tanda dan gejala yang khas SLE di wajah ruam merah seperti kupu-
kupu/butterfly rash. Penyakit ini lebih banyak menyerang perempuan
daripada laki-laki.
4.2 Saran
1. Sebaiknya orang-orang tidak mengucilkan orang yang terkena lupus.
2. Sebaiknya jangan beranggapan bahwa penyakit lupus itu penyakit
kutukan dari Tuhan dan tidak ada obatnya.
Daftar Pustaka
37 | P a g e
Helmi, Zairin Noor. 2012. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta :
Salemba Medika
Smeltzer, Suzanne C., Bare, Brenda G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Edisi 8. Jakarta : EGC
Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi : konsep klinis proses-
proses penyakit. Jakarta : EGC
38 | P a g e