Di Susun Oleh :
2022
LEMBAR PERSETUJUAN
LAPORAN CASE STUDY PRESENTATION
Diajukan oleh
Pembimbing Klinik :
Tanggal :
Pembimbing Akademik :
Tanggal :
BAB I
PENDAHULUAN
A. APENDISITIS
1. DEFINISI
Apendisitis merupakan proses peradangan akut maupun kronis
yangterjadi pada apendiks vemiformis oleh karena adanya sumbatan yang
terjadi pada lumen apendiks. Gejala yang pertama kali dirasakan pada
umumnyaadalah berupa nyeri pada perut kuadran kanan bawah. Selain itu
mual danmuntah sering terjadi beberapa jam setelah muncul nyeri, yang
berakibat padapenurunan nafsu makan sehingga dapat menyebabkan
anoreksia (Fransiscadkk, 2019).
2. KLASIFIKASI
Menurut Sjamsuhidajat & Wim (2020) klasifikasi apendisitis terbagi
menjadi dua yaitu:
a. Apendisitis Akut apendisitis akut sering muncul dengan gejala yang
khas, didasari oleh radang mendadak pada apendiks yang disertai
maupun tidak disertai rangsang peritoneum lokal. Gejala apendisitis akut
ialah nyeri samar dantumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah
epigastriumdisekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual,
muntah dan umumnya nafsumakan menurun. Dalam beberapa jam nyeri
akan berpindah ke titikMc. Burney. Nyeri dirasakan lebih tajam dan
lebih jelas letaknya sehinggamerupakan nyeri somatik setempat.
b. Apendisitis Kronik Diagnostik apendisitis kronik baru dapat ditegakkan
jika ditemukanadanya riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2
minggu. Radangkronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik,
dengan kriteafibrosis menyeluruh di dinding apendiks, sumbatan parsial
atau total di adanya sel inflamasi kronik.
3. ETIOLOGI
Obstruksi atau penyumbatan pada lumen apendiks menyebabkanradang
apendiks. Lendir kembali dalam lumen apendiks menyebabkan bakteri yang
biasanya hidup di dalam apendiks bertambah banyak. Akibatnyaapendiks
membengkak dan menjadi terinfeksi. Sumber penyumbatan meliputi (NIH &
NIDDK, 2016):
a. Fecalith (Massa feses yang keras) 10
b. Benda asing (Biji-bijian)
c. Tumor apendiks
d. Pelekukan/terpuntirnya apendiks
e. Hiperplasia dari folikel limfoid
Penyebab lain yang diduga menimbulkan apendisitis adalah ulserasi
mukosa apendiks oleh parasit Entamoeba histolytica (Warsinggih, 2016).
4. MANIFESTASI KLINIS
Gejala - gejala apendisitis biasanya mudah di diagnosis, yang
palingumum adalah nyeri perut. Apendisitis memiliki gejala kombinasi
yangkhas, yang terdiri dari (Warsinggih, 2016):
a. Nyeri Penderita apendisitis umumnya akan mengeluhkan nyeri pada perut
kuadrankanan bawah. Gejala yang pertama kali dirasakan pasien adalah
berupanyeri tumpul, nyeri di daerah epigastrium atau di periumbilikal
yangsamar-samar, tapi seiring dengan waktu nyeri akan terasa lebih
tajamdanberlokasi ke kuadran kanan bawah abdomen. Nyeri semakin buruk
ketikabergerak, batuk atau bersin. Biasanya pasien berbaring, melakukan
fleksi pada pinggang, serta mengangkat lututnya untuk mengurangi
pergerakandan menghindari nyeri yang semakin parah.
b. Mual dan Muntah Mual dan muntah sering terjadi beberapa jam setelah
muncul nyeri.
c. Anoreksia Mual dan muntah yang muncul berakibat pada penurunan nafsu
makan sehingga dapat menyebabkan anoreksia.
d. Demam Demam dengan derajat ringan (37,6 -38,5°C) juga sering terjadi pada
apendisitis. Jika suhu tubuh diatas 38,6°C menandakan terjadi perforasi.
e. Sembelit atau diare Diare dapat terjadi akibat infeksi sekunder dan iritasi
pada ileumterminal atau caecum.
5. PATOFISIOLOGI
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks,
dapat terjadi karena berbagai macam penyebab, antara lain obstruksi
olehfecalith. Feses mengeras, menjadi seperti batu (fecalith) dan menutup
lubangpenghubung apendiks dan caecum tersebut. Terjadinya obstruksi juga
dapat terjadi karena benda asing seperti permen karet, kayu, batu, sisa makanan,
biji-bijian. Hiperplasia folikel limfoid apendiks juga dapat
menyebabkanobstruksi lumen. Insidensi terjadinya apendisitis berhubungan
dengan jumlahjaringan limfoid yang hiperplasia. Penyebab dari reaksi jaringan
limfatikbaiklokal atau general misalnya akibat infeksi virus atau akibat invasi
parasit entamoeba. Carcinoid tumor juga dapat mengakibatkan obstruksi
apendiks, khususnya jika tumor berlokasi di 1/3 proksimal (Warsinggih, 2016).
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang di produksi
mukosamengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak,
namunelastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga
menyebabkanpeningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat
tersebut akanmenghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis
bakteri danulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut lokal yang
ditandai oleh nyeri epigastrium (Price, 2018).
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat, hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan
menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum
setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Bila kemudian
aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiksyang diikuti dengan
gangren dan perforasi. Jika inflamasi dan infeksi menyebar ke dinding apendiks,
apendiks dapat ruptur. Setelah ruptur terjadi, infeksi akan menyebar ke
abdomen, tetapi biasanya hanya terbatas pada areasekeliling dari apendiks
(membentuk abses periapendiks) dapat jugamenginfeksi peritoneum sehingga
mengakibatkan peritonitis (Mansjoer, 2020).
6. KOMPLIKASI
Komplikasi dari apendisitis yang paling sering adalah perforasi.
Perforasi dari apendiks dapat menyebabkan timbulnya abses periapendisitis,
yaitu terkumpulnya pus yang terinfeksi bakteri atau peritonitis difus (infeksi 13
dari dinding rongga abdomen dan pelvis). Apendiks menjadi terinflamasi, bisa
terinfeksi dengan bakteri dan bisa dipenuhi dengan pus hingga pecah, jika
apendik tidak diangkat tepat waktu. Pada apendisitis perforasi, terjadi
diskontinuitas pada lapisan muskularis apendiks yang terinflamasi, sehinggapus
didalam apendiks keluar ke rongga perut.
Alasan utama dari perforasi apendiks adalah tertundanya diagnosisdan
tatalaksana. Pada umumnya, makin lama penundaan dari diagnosis dantindakan
bedah, kemungkinan terjadi perforasi makin besar. Untuk itu jika apendisitis
telah di diagnosis, tindakan pembedahan harus segera dilakukan (Imaligy,
2017).
7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Laboratorium
1) Tes Darah
Tes darah dapat menunjukkan tanda-tanda infeksi, seperti jumlah
leukosit yang tinggi. Tes darah juga dapat menunjukkan dehidrasi
atauketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Elektrolit adalah bahan kimia
dalam cairan tubuh, termasuk natrium, kalium, magnesium, dan klorida.
2) Urinalisis
Urinalisis digunakan untuk melihat hasil sedimen, dapat normal atau
terdapat leukosit dan eritrosit lebih dari normal bila apendiks yang
meradang menempel pada ureter atau vesika. Pemeriksaan urinj uga
penting untuk melihat apakah ada infeksi saluran kemih atau infeksi ginjal.
b. Radiotologi
1) Ultrasonografi (USG)
USG dapat membantu mendeteksi adanya tanda-tanda peradangan,
usus buntu yang pecah, penyumbatan pada lumen apendiks, dan sumber
nyeri perut lainnya. USG adalah pemeriksaan penunjang pertama
yangdilakukan untuk dugaan apendisitis pada bayi, anak-anak, dewasa,
danwanita hamil.
2) Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI dapat menunjukkan tanda-tanda peradangan, semburan usus
buntu, penyumbatan pada lumen apendiks, dan sumber nyeri perut
lainnya. MRI yang digunakan untuk mendiagnosis apendisitis dan
sumber nyeri perut lainnya merupakan alternatif yang aman dan andal
daripadapemindaian tomografi terkomputerisasi.
3) CT Scan
CT scan perut dapat menunjukkan tanda-tanda peradangan, seperti
usus yang membesar atau abses massa yang berisi nanah yang
dihasilkandari upaya tubuh untuk mencegah infeksi agar tidak menyebar
dan sumber nyeri perut lainnya, seperti semburan apendiks dan
penyumbatandi lumen apendiks. Wanita usia subur harus melakukan tes
kehamilansebelum menjalani CT scan. Radiasi yang digunakan dalam
CT scan 15 dapat berbahaya bagi janin yang sedang berkembang.
(NIH&NIDDK, 2017)
8. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita apendisitis
meliputi (Oswari, 2020):
a. Terapi Konservatif
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang
tidak mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik.
Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita
apendisitis perforasi, sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan
elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik.
b. Operasi
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan apendisitis makatindakan
yang dilakukan adalah operasi membuang apendiks. Pembedahan untuk
mengangkat apendiks disebut operasi appendectomy. Seorang ahli bedah
melakukan operasi menggunakan salah satu metode berikut:
1) Laparatomi
Tindakan laparatomi apendiktomi merupakan tindakan konvensional
dengan membuka dinding abdomen. Tindakan ini juga digunakan untuk
melihat apakah ada komplikasi pada jaringan apendiks maupun di sekitar
apendiks. Tindakan laparatomi dilakukan dengan membuang apendiks yang
terinfeksi melalui suatu insisi di regio kanan bawah perut dengan lebar insisi
sekitar 3 hingga 5 inci. Setelah menemukan apendiks yang terinfeksi,
apendiks dipotong dan dikeluarkandari perut. Tidak ada standar insisi pada
operasi laparatomi apendiktomi. Hal ini disebabkan karena apendiks
merupakan bagian yang bergerak dan dapat ditemukan diberbagai area pada
kuadran kanan bawah. Ahli bedah harus menentukan lokasi apendiks
dengan menggunakan beberapapenilaian fisik agar dapat menentukan lokasi
insisi yang ideal. Ahli bedahmerekomendasikan pembatasan aktivitas fisik
selama 10 hingga 14 hari pertama setelah laparotomi. Sayatan pada bedah
laparatomi menimbulkanluka yang berukuran besar dan dalam, sehingga
membutuhkan waktupenyembuhan yang lama dan perawatan berkelanjutan.
Pasien akandilakukan pemantauan selama di rumah sakit dan mengharuskan
pasienmendapat pelayanan rawat inap selama beberapa hari (Smeltzer
&Bare, 2018).
2) Laparascopi
Laparaskopi apendiktomi merupakan tindakan bedah invasiveminimal
yang paling banyak digunakan pada kasus appendicitis akut. Tindakan
apendiktomi dengan menggunakan laparaskopi dapat mengurangi
ketidaknyamanan pasien jika menggunakan metode openapendiktomi dan
pasien dapat menjalankan aktifitas paska operasi dengan lebih efektif
(Hadibroto, 2017).
a) Indikasi
Laparoskopi sering dilakukan pada pasien dengan
acuteabdominal pain yang diagnosisnya belum bisa ditegakkan
denganpemeriksaan radiologi atau laboratorium, karena dengan
laparoskopi bisa dilakukan visualisasi dari seluruh rongga abdomen,
penentuanlokasi patologi dalam abdomen, pengambilan cairan
peritoneal untukkultur, dan irigasi rongga peritoneal untuk mengurangi
kontaminasi.
Laparoskopi diagnostik sangat bermanfaat dalammengevaluasi
pasien trauma dengan hemodinamik stabil, dimana laparoskopi
mampumemberikan diagnosis yang akurat dari cidera intra-abdominal,
sehingga mengurangi pelaksanaan laparotomi dan komplikasinya
(Hadibroto, 2017).
b) Proses laparaskopi
Laparaskopi apendiktomi tidak perlu lagi membedah rongga
perut pasien. Metode ini cukup dengan memasukan laparascope
(perangkat kabel fiber optic) pada pipa kecil (yang disebut trokar) yan
gdipasang melalui umbilicus dan dipantau melalui layar monitor.
Abdomen akan dinsuflasi atau dikembungkan dengan gas CO2 melalui
jarum Verres terlebih dahulu untuk mengelevasi dinding abdomendiatas
organ-organ internal, sehingga membuat ruang untuk inspeksi dan
bekerja, prosedur ini dikenal sebagai pneumoperitoneum. Biasanya
tempat insersi trokar kedua pada kuadran bawah diatas pubis.
Selanjutnya dua trokar akan melakukan tindakan pemotongan apendiks.
Tindakan dimulai dengan observasi untuk mengkonfirmasi bahwa
pasien terkena apendisitis akut tanpa komplikasi. Pemisahanapendiks
dengan jaringan mesoapendiks apabila terjadi adhesi. Kemudian
apendiks dipasangkan dipotong dan dikeluarkan denganmenggunakan
forsep bipolar yang dimasukan melalui trokar. Hasilnyapasien akan
mendapatkan luka operasi yang minimal dan waktupemulihan serta
waktu perawatan di rumah sakit akan menjadi lebihsingkat (Hayden &
Cowman, 2019).
c) Perawatan pasca laparoskopi
Kebanyakan pasien dirawat selama 1 hari setelah operasi. Jika
timbul komplikasi, maka diperlukan perawatan yang lebih lama.
Penggunaan analgesik baik intramuskuler maupun intravena saat di
ruang pemulihan akan mengurangi nyeri pasca operasi. Insiden mual
muntah pasca operasi laparoskopi dilaporkan cukuptinggi yaitu 42%.
Mual muntah pasca operasi setelah prosedur laparoskopi dipengaruhi
oleh gas yang digunakan untuk insuflasi danmenyebabkan penekanan
pada nervus vagus yang memiliki hubungandengan pusat muntah di
medulla oblongata.
Selain itu, penyebab lain seperti teknik anestesi, jenis kelamin,
nyeri, perawatan pasca operatif dan data demografik pasien yang
berhubungan dengan pengaruhterjadinya emesis. Untuk menurunkan
mual muntah pasca operasi dapat dengan pemberian ranitidin,
omeprazole atau ondansentron (Gerry&Herry, 2018).
d) Komplikasi
Emboli gas
Trauma pembuluh darah retroperitoneal
Trauma pembuluh darah pada dinding abdomen
Trauma usus
Trauma urologi
9. NYERI
A. DEFINISI
Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang
tidakmenyenangkan akibat kerusakan jaringan yang aktual ataupun
potensial. Nyeri juga merupakan proses patologis pada tubuh. Nyeri adalah
sesuatuyangmenyakitkan pada tubuh individu yang mengalaminya dan
dapat terjadi kapansaja sewaktu-waktu. Nyeri dapat digambaran suatu
fenomena kompleks yangtidak hanya melibatkan respon fisik dan mental
tetapi juga merupakan reaksi emosional dari seseorang (Potter dan Perry,
2020).
B. KLASIFIKASI
Berdasarkan Durasi (Waktu terjadinya), nyeri terbagi menjadi dua
meliputi:
a. Nyeri Akut
Menurut Pinzon (2017) nyeri akut merupakan sebagai nyeri yang
dirasakan seseorang selama kurang dari enam bulan. Nyeri akut
umumnyadatang dengan tiba-tiba berkaitan dengan cidera spesifik jika
ada kerusakan maka berlangsung tidak lama dan tidak ada penyakit
sistemik, nyeri akut biasanya menurun sejalan dengan proses
penyembuhan. Beberapa pustakalain mengatakan nyeri akut yaitu kurang
dari 12 minggu. Nyeri 6-12minggu adalah nyeri sub akut dan nyeri diatas
12 minggu disebut nyeri kronis.
b. Nyeri Kronis
Menurut Smeltzer & Bare (2018), nyeri kronik adalah nyeri
konstan atau nyeri yang berlangsung di luar waktu penyembuhan yang
diperkirakan dan tidak dapat dikaitkan dengan penyebab atau cedera
spesifik nyeri kronis dapat tidak mempunyai awitan yang ditetapkan
dengan tetap dan sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini
tidakmemberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada
penyebab pastinya.
C. MEKANISME NYERI
Saputra & Sudirman (2018) mengatakan nyeri timbul setelah
menjalani proses transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi. Transduksi
yaitu rangsangan nyeri diubah menjadi depolarisasi membran reseptor yang
kemudian menjadi impuls saraf. Transmisi merupakan saraf sensori perifer
yang melanjutkan rangsangan ke terminal di medula spinalis disebut sebagai
neuron aferen primer. Jaringan saraf yang naik dari medula spinalis ke
batangotak dan talamus disebut dengan neuron penerimaan kedua, neuron
yang menghubungkan dari talamus ke kortek serebri disebut neuron
penerimak etiga. 23 Sedangkan modulasi yaitu suatu proses dimana terjadi
interaksi antara sistem analgesic endogen (endorphin, noradrenalin,
serotonin) dengan asupan nyeri yang masuk ke kornus posterior sehingga
asupan nyeri dapat ditekan. Jasi modulasi merupakan proses desendern yang
dikontrol olehotakseseorang, pada fase modulasi terdapat suatu interaksi
dengan systeminhibisi dan transmisi nosisepsi yang berupa suatu analgesic
endogen. Selanjutnya persepsi merupakan nyeri sangat dipengaruhi oleh
faktor subyektif, walaupun mekanismenya belum jelas. Nyeri dapat
berlangsung berjam-jam sampai dengan berhari-hari. Fase ini dimulai pada
saat dimananosiseptor telah mengirimkan sinyal pada formatio reticularis
dan juga talamus, sensasi nyeri memasuki pusat kesadaran dan efek sinyal
ini kemudian dilanjutkan ke area system limbik. Area ini mengandung sel-
sel yang dapat mengatur emosi.
D. PENGUKURAN NYERI
Pengukuran Skala Nyeri Intensitas nyeri merupakan gambaran untuk
mempermudah dalampengukuran intensitas nyeri atau seberapa parah nyeri
yang dirasakanolehseseorang. Pengukuran intensitas nyeri ini bersifat
subyektif dan individual yang artinya hasil tes tergantung dari persepsi yang
dirasakan penderita danintensitas nyeri yang dirasakan setiap individu
berbeda satu sama lain. Menurut Potter dan Perry (2020) alat ukur yang
digunakan untuk menilai skala nyeri pasien antara lain : Face Pain Scale,
Numeric Rating Scale (NRS), Verbal Dimension Scale (VDS), dan Visual
Analogue Scale (VAS).
Pengukuran skala nyeri salah satunya dapat menggunakan Visual
Analogue (VAS). Menurut Potter & Perry (2020) VAS sebagai pengukur
keparahan tingkat nyeri yang lebih sensitif dan mudah dimengerti
karenapasien dapat menentukan setiap titik dari rangkaian yang tersedia
tanpa dipaksa untuk memilih satu kata. Skala ini menjadikan pasien bebas
untuk memilih tingkat nyeri yang dirasakan. VAS sudah terbukti
merupakanskalalinear yang diterapkan pada pasien dengan nyeri akut pasca
operasi. Visual Analogue (VAS) merupakan suatu garis lurus atau
horizontal sepanjang 10 cm, yang mewakili intensitas nyeri yang terus-
menerus danpendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Pasien diminta untuk
membuat tanda pada garis tersebut dan nilai yang didapat ialah jarak
dalammmataucm. VAS dinilai dengan kata yang diwakili dengan angka 0
(tidak ada nyeri) sampai 10 (nyeri sangat hebat). Sesuai dengan kriteria
Aicher, et al (2017) derajat rasa nyeri berdasarkan skala VAS dibagi dalam
beberapa kategori yaitu 0-0,4 cm tidak nyeri 0,5-3,9 cm ringan; 4,0-6,9 cm
sedang; 7,0-9,9cmberat; dan 10 sangat berat.
Pengukuran skala nyeri yang mirip dengan VAS yaitu NumericRating
Scale (NRS). Menurut Yudiyanta (2016) NRS dianggap sederhana
danmudah dimengerti, sensitive terhadap dosis, jenis kelamin dan
perbedaanetnis. NRS adalah skala nyeri yang lebih banyak digunakan
khususnya pada kondisi pasien akut, mengukur intensitas nyeri sebelum dan
sesudah intervensi terapeutik, mudah untuk digunakan dan di
dokumentasikan.
Nyeri berdasarkan Numeric Rating Scale (NRS) dibagi atas:
0 : tidak ada keluhan nyeri
1-3 : nyeri ringan (ada rasa nyeri dan masih dapat ditahan)
4–6 : nyeri sedang (ada rasa nyeri, terasa menganggu, memerlukan
usaha yangkuat untuk menahan nyeri).
7-10 : nyeri berat (adanya nyeri bertambah, sangat mengganggu, tidak
tertahankan.
E. MANAJEMEN NYERI
Ada dua teknik manajemen nyeri yaitu farmakologi dan
nonfarmakologi. Menurut Tamsuri (2017), farmakologi adalah
penangananyang sering digunakan untuk menurunkan nyeri dengan
menggunakan obat. Obat merupakan salah satu bentuk pengendalian nyeri,
obat nyeri terbagi menjadi tiga golongan opioid (meperidin/petidin, morfin,
metadon, fentanil, buprenorfin, dezosin, butorfanol, nalbufin, nalorfin, dan
pentasozin), analgesik non opioid (Nonsteroid anti - Inflammatory
Drugs/NSAIDs, seperti aspirin, asetaminofen, ibuprofen dan ketorolak),
adjuvan dan koanalgesik(amitriptilin).
Sedangkan manajemen nyeri secara Nonfarmakologi menurut
Tamsuri (2017) ada beberapa teknik dan juga metode yang dapat dilakukan
dalam upaya untuk mengatasi nyeri antara lain yaitu distraksi, hipnotis,
meditasi, terapi musik, akupuntur, pijat, kompres panas dan dingin, teknik
relaksasi nafas dalam serta pemberian aromaterapI.
Nama : Ny. U
Tempat/tgl lahir : Yogyakarta/ 03 – 04 – 03
Umur : 19 th
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Jodog Rt 004, Giangharjo, Pandak
Status perkawinan : Belum Kawin
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pendidikan : SMA
Diagnosa Medis : Appendis
No. CM : 9xxxx
Tgl masuk RS : 10 – 10 - 2022
Sumber informasi : Pasien dan Keluarga Pasien
VI. GENOGRAM
Keterangan :
Nutrisi
[-]meningkat......................Kg,
alasan…………
[+] muntah
[-] sariawan
i. Riwayatoperasi/trauma gastrointestinal : Ada
[-] habis
[✓] ½ porsi
[-] ¾ porsi
[-] kruk
[-] tongkat
Jenis kegiatan 0 1 2 3
Makan dan minum ✓
BAB/BAK ✓
Mandi ✓
Ambulasi ✓
Berubah posisi ✓
Keterangan : 0 mandiri
1 dengan alat
2 dengan bantuan
4. Oksigenasi
[ - ] ya
Eliminasi fekal/bowel
b. Waktu : pagi
[-] Diare
[-] Inkontinensia bowel
Eliminasi urin
e. Penggunaan kateter : Ya
e.Severity :5
f. Time :Menetap
c. Peran Diri
Pasien merasa mampu menjalankan peran sebagai seorang anak dan anggota
masyarakat di lingkungan sekitarnya
d. Ideal Diri
Harapan pasien segera sembuh dan dapat berkumpul bersama keluarga,
masyarakat dan bekerja kembali.
e. Identitas Diri
Peanampilan pasien menunjukkan sesuai identitas diri sebangai seorang Wanita,
11. Seksual
Pasien mengatakan sampai saat ini tak ada masalah kesehatan reproduksinnya
a. Sebelum sakit
Pasien mengatakan kalau pasien menjalankan ibadah teratur
b. Setelah sakit
Pasien mengatakan menjalankan ibadahnya selama sakit dirumah sakit.
a. Keadaan Umum
2) Kesadaran : composmentis
GCS ; E4V5 M6
3) Status Gizi :TB = 157 cm
BB = 50 Kg
IMT = 27,08
Ket : pasen
mengtakan slake nyeri sedang ,di angka 6
2) Kepala
- Kepala berbentuk oval
- Rambut lurus
- Mata tampak simetris kanan dan kiri, reflek pupil isokor kanan dan
kiri,
- Hidung simetris,konjungtiva tidakanemis
- Mukosa bibir nampak basah
- Telinga simetris, tidak keluar cairan
4) Dada
- Inspeksi
Saat respirasi tidak ada pembesaran sebelah
(simetris)
Dada kanan dan dada kiri terlihat simetris
Nafas terlihat sedang
Clavikula tidak terangkat
Tidak terlihat penggunaan otot-otot bantu pernafasan
- Palpasi
Tak ada nyeri tekan
- Perkusi
Terdengar sonor pada bagian paru
- Auskultasi
Terdengar bunyi nafas vesikuler, taka da suara nafas tambahan
5) Payudara
Tak tampak kelainan pada kedua payudara
6) Punggung
Tidak terdapat luka atau jejas pada punggung dan tidak ada
kelainan pada tulang punggung pasien
7) Abdomen
- Inspeksi
Perut pasien tampak datar dan simetris, tidak ada
pembengkakan dan lesi pada perut, ada luka bekas
operasi
- Auskultasi
Bising usus terdengar 25 x/menit
- Perkusi
Terdengar suara timpani
- Palpasi
Tidak teraba massa, tidak asites, tidak ada nyeri tekan
8) Anus dan Rectum
Tidak ada keluhan dan kelainan di rectum
9) Genetalia
Pasien tidak terpasang cateter dan tidak ada keluhan di genetalia
10) Ekstremitas
- Atas
Normal, tidak ada kelemahan anggota gerak, tidak terdapat luka
ataupun jejas,
- Bawah
Normal, tidak ada kelemahan dan parese anggota gerak bagian
bawah, tidak terdapat luka dan jejas.
a) Nervus Olfaktorius/I
Tidak ditemukan polip atau sumbatan pada kedua hidung klien. Untuk
fungsi penciuman tidak terganggu.
b) Nervus Optikus/II
Tidak ditemukan kelainan di N II
c) Nervus Okulomotorius, Tochlearis, Abducen/III, IV, VI
Pada pemeriksaan ini, penulis hanya dapat mengkaji pupil. Pupil klien
isokor, kontraksi pupil terhadap cahaya positif, ukuran pupil kanan dan kiri
sama ± 3mm. Pemeriksaan pergerakan bola mata dan otot-otot bola mata
normal.
d) Nervus Trigeminus/V
Pemeriksaan motorik dan sensorik normal
e) Nervus Abdusen/VI
Klien mampu melihat kearah penulis
f) Nervus Fasialis/VII
Ditemukan klainan pada wajah dengan muka mirring ke arah kiri dibuktikan
dengan ditemukannya bentuk wajah tidak simetris.
g) Nervus Autikus/VIII
Fungsi pendengaran klien baik tidak ditemukannya kelainan padaa istem
pendengaran.
h) Nervus Glosofaringeal/IX
Ditemukan gangguan dengan klien tidak bisa menelan dan terpasang NGT
i) Nervus Vagus/X Tidak ditemukan kelainan, klien dapat mengucapkan kata
„‟ah”
j) Nervus Aksesoris/XI
Tidak ditemukan kelainan pada nervus XI, di buktikan dengan klien bisa
memalingkan ke dua wajah ke kanan-kiri.
k) Nervus Hipoglosal/XII
Mulut tidak simetris
Klien tidak bisa menjulurkan lidah dan menggerakannya ke semua arah
13. Data Laboratorium
Tidak ada
15. Pengobatan :
Terapi yg diberikan:
DO:
Pasien tampak meringis
P : luka post operasi, luka insisi 10 mm di
bawah umbilikus, 5mm di abdomen bawah,
luka tertutup verban.
Q : Seperti ditusuk-tusuk dan perih
R :Pada pusar
S:5
T : menetap
Pasien tampak berhati-hati saat bergerak
Pasien tampak selalu memegang perut yang
nyeri Pasien tidur 5 jam
Pasien tampak lelah dan letih
Tanda-tanda Vital : TD : 100/60 mmHg, N :
90x / menit , RR : 18x/ menit, SPO2 : 90%
HARI/TGL PERENCANAAN
No. Dx KEPERAWATAN Rasional
/JAM Tujuan dan Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
Senin / 10 – Nyeri akut b.d agen cidera Setelah dilakukan tindakan 3x8 jam, Manajemen nyeri
10 – 2022 fisik diharapkan Nyeri Akut dapat teratasi 1.Lakukan pengkajian nyeri secara 1.
sebagian, dengan kriteria hasil : komprehensif termasuk lokasi,
Tingkat nyeri karakteristik, durasi,frekuensi, kualitas,
dan factor presipitasi
2. Observasi reaksi nonverbal dari
Indikator Awal Akhir
ketidaknyamanan
Melaporka 3 4
3. Gunakan komunikasi terapeutik untuk
n nyeri
mengetahui pengalaman nyeri pasien
Frekuensi 2 4
4. Berikan infromasi tentang nyeri
nyeri
seperti : penyebab,berapa lama akan
Panjangny 2 4
dirasakan pasien dan pencegahannya
a episode
5. kontrol faktor –factor lingkungan
nyeri yang dapat mempengaruhi
6. Respons pasien terhadap
Ket : ketidaknyamanan
1 : Berat 7. Pilih dan lakukan penanganan nyeri
2 : Cukup berat 8. Ajarkan pasien teknik
3 :Sedang nonfarmakologi.
4 : Ringan 9. Ajarkan pasien untuk memonitor nyeri
5 : Tidak ada
10. Monitor penerimaan pasien tentang
manajemen nyeri
Selasa / 11 – Ketidakseimbangannutrisi Setelah dilakukan tindakan 3x8 jam, Manajemen nutrisi
10 - 2022 kurangdari diharapkan Ketidakseimbangannutrisi 1. Tentukan status gizi pasien dan
kebutuhantubuh b.d kurangdari kebutuhan tubuh dapat kemampuan untuk memenuhi
asupan diet kurang teratasi sebagian, dengan kriteria hasil kebutuhan gizi
: 2. Identifikasi adanya alergi atau
Status nutrisi : asupan nutrisi intoleransi makanan yang
dimiliki pasien
3. Instruksikan pasien mengenai
Indikator Awal Akhir
kebutuhan nutrisi
Asupan 3 4
(yaitumembahas pedoman diet
kalori
dan piramida makanan)
adekuat
4. Bantu pasien dalam menentukan
Asupan 3 4
pedoman atau piramida makanan
protein
yang paling cocok dalam
adekuat
memenuhi kebutuhan nutrisi dan
Asupan 3 4
preferensi (misalnya piramida
lemak makanan vegetarian, piramida
adekuat paduan makanan )
Asupan 3 4 5. Tentukan jumlah kalori dan jenis
karbohidra nutrisi yang dibutuhkan untuk
t adekuat memenuhi persyaratan gizi
Asupan 3 4 6. Berikan pilihan makanan sambil
serat menawarkan bimbingan terhadap
adekuat pilihan makanan yang lebih sehat
Asupan 3 4 7. Atur diet yang diperlukan (yaitu
Rabu / 12 – Kekurangan volume Setelah dilakukan tindakan 3x8 jam, Monitor cairan
10 – 2022 cairan b.d kehilangan diharapkan Nyeri Akut dapat teratasi
1. Tentukan jumlah dan jenis
cairan aktif (muntah) sebagian, dengan kriteria hasil :
intake/asupan cairan serta kebiasaan
Keparahan mual dan muntah
eliminasi
nutrisi kurangdari Menentukan status gizi pasien dan Pasien mengatakan kurang nafsu
cairan b.d Menentukan faktor-faktor risiko yang Pasien mengatakan sudah tidak
nutrisi kurangdari Menentukan status gizi pasien dan Pasien mengatakan mulai banyak
cairan b.d Menentukan faktor-faktor risiko yang Pasien mengatakan sudah tidak
nutrisi kurangdari Menentukan status gizi pasien dan Pasien mengatakan mulai banyak
cairan b.d Menentukan faktor-faktor risiko yang Pasien mengatakan sudah tidak
PEMBAHASAN
1. Jurnal yang di kemukakan oleh Yusrizal, Dkk (2017) dan Wahyuningsih yang
berjudul “ Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam dan Masase Terhadap
Penurunan Skala Nyeri Pasien Pasca Apendiktomi di Ruang Bedah RSUD Dr. M.
Zein Painan” dan “ Pengaruh Teknik Relaksasi Guided Imagery Terhadap Nyeri
Pada Pasien Post Operasi Hari Pertama Apendiktomi Di Rumah Sakit Dr.
Moewardi” menyebut bahwa teknik relaksasi nafas dalam, masase dan guide
imagery dapat menurunkan skala nyeri pada klien pasca apendiktomi. Disarankan
untuk menerapkan teknik relaksasi nafas dalam dan masase sebagai salah satu teknik
non farmakologi yang dapat menurunkan nyeri pada klien pasca apindiktomi.
2. Jurnal yang dikemukakan oleh Umah (2019), mengemukakan bahwa masalah
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh pada responden tercapai
sebagian dengan yang teratasi yaitu memantau asupan nutrisi pasien sesuai dengan
kriteria hasil pada tujuan keperawatan.
3. Jurnal yang dikemukakan oleh Hastuti (2020) menunjukkan bahwa didapatkan hasil
gambaran tindakan monitor hidrasi sesuai dengan SOP. Dalam mengatasi dehidrasi
telah di lakukan perawatan yang baik dan tepat akan meningkatkan keadaan umum
pasien dan kualitas hidup pasien
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik dari Asuhan Keperawatan Nn U yang
dilakukan adalah terdapat 3 masalah keperwatan yaitu:
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik. Setelah dilakukan asuhan
keperawatan selama 3x 24 jam hasilnya adalah: skala nyeri 1, wajah tegang
menurun, kebutuhan tidur terpenuhi, wajah meringis menurun, nadi normal:
70x/mnt, TD :110/60 mmhg. Kesimpulan yang dapat ditarik tujuan tercapai sesuai
kriteria waktu 3 x 24 jam, walaupun masih mendapatkan infus paracetamol 1gr /12
jam
2. Ketidakseimbangannutrisi kurang dari kebutuhantubuh b.d asupan diet kurang.
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam hasilnya tujuan tercapai,
dimana pasien dapat memenuhi kebutuhan nutrisi sesuai dengan edukasi yang
diberikan.
3. Kekurangan volume cairan b.d kehilangan cairan aktif (muntah). Setelah dilakukan
asuhan keperawatan selama 3x24 jam hasilnya tujuan tercapai, dimana pasien sudah
tidak mual dan muntah, k/u baik, tidak lesu dan lemas, bibir lembab.
B. Saran
Saran yang dapat kami berikan adalah penggunaan asuhan keperawatan
mandiri (non farmakologis) seperti relaksasi nafas dalam, guide imagery, relaksasi otot
muskular dan lain sebaginnya dalam menangani nyeri lebih ditingkatkan , karena
sangat membantu untuk menurunkan nyeri ringan dan sedang.
C. Faktor Pendukung
Sarana dan prasarana yang memadai di RSS untuk penanganan nyeri baik
farmakologis dan nonfarmakologis, Lingkungan yang kondusif, CI lapangan yang
memberi dukungan.
D. Faktor penghambat
Faktor penghambat dalammemberikan asuhan keperwatan ini adalah pasien
masih belum mau menggunakan teknik guide imagery yang diajarkan karena pasien
masih beda persepsi tentang guide imagery walaupun sudah djelaskan lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Aprizal, Reonaldi. (2018). Asuhan Keperawatan pada Pasien Post Operasi Apendiktomi
dalam Pemenuhan Kebutuhan Rasa Nyaman di RuangMelati RSUD Kota Kendari Tahun
2018. Kendari : Poltekes
Bhangu, A., Soreide, K., Saverlo, Salomone Di., dkk. (2017). Acute Appendicitis:
Modern Understanding of Pathogenesis, Diagnosis, and Management. Article,
386(10000), 1278-1287.
NANDA International. (2018). Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2018-
2020. Edisi 11. Jakarta : EGC.
Pramana, Triyanta Y., Darmayani, A., Munawaroh, S., dkk. (2019). BukuPedoman
Keterampilan Klinis : Pemeriksaan Abdomen Lanjut. Surakarta: Universitas Sebelas
Maret.
Ruber, Marie. (2018). Immunopathogenic Aspects of Resolving and
ProgressingAppendicitis. Sweden : Linkoping University
limul. A. (2005). Buku Saku Praktikum Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: EGC
Heri, p. Yunita. (2010). Laporan pendahuluan gangguan pemenuhan rasa nyaman nyeri.
Di akses tanggal 23 Desember 2011 dari
http://yunitaheripuspito.blogspot.com/2010/07/laporan-pendahuluan-askep-nyeri.html
Mansjoer, Arif.(2000). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta
Qittun. (2008). Konsep dasar Nyeri. Di akses tanggal 12 Desember 2011 dari
http://qittun.blogspot.com/2008/10/konsep-dasar-nyeri.htm
Rekam Medik RSUD Dr. M. Zein Painan. (2011). Register Pasien Rawat Inap di
Ruangan Bedah
Siswati. S (2010). Pengaruh Masase Kulit Terhadap Penurunan Rasa Nyeri Pada Pasien
Post Apendiktomi di Rindu B2 RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2010. Thesis FK
USU
Sjamsuhidajat & Win De Jong. (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC
Tamsuri, Anas. (2007). Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri (Cet. I). Jakarta:Buku
Kedokteran EGC
Wahyuningsih, Merry. (2011). Penghilang Rasa Sakit Tanpa Efek Samping. Di akses
tanggal 12 Desember 2011 dari http://bintangklik.wordpress.com/2011/04/11/penghilang-
rasa-sakit-tanpa-efek-samping/