Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

WALI NIKAH

(Guna Memenuhi Mata Kuliah: Pemecahan Masalah Hukum Keluarga)

Dosen Pengampuh: Dr. ISKANDAR, M. Sy

OLEH:

FIRMANZA : 1911211002

IHSAN MANSUR : 1911211009

GITA SAFIRA : 1911211014

AMRIL KADAFI B DASI : 1911211016

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUPANG

FAKULTAS AGAMA ISLAM

AHWAL AL-SYAKHSIYYAH

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala nikmatnya sehingga penulis dapat
menyusun makalah tentang "Wali Nikah" dengan sebaik-baiknya.

Saya ucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah membantu kami untuk
menyelesaikan makalah ini sehingga selesai tepat pada waktunya. Semoga dibalas oleh Allah
SWT dengan ganjaran yang berlimpah.

Meski penulis telah menyusun makalah ini dengan maksimal, tidak menutup
kemungkinan masih banyak kekurangan. Oleh karena itu sangat diharapkan kritik dan saran yang
konstruktif dari pembaca sekalian.

Kupang, 16 November 2021

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................................................i


KATA PENGANTAR .................................................................................................................ii
DAFTAR ISI ...............................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................1
A. Latar Belakang ..............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah .........................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN .............................................................................................................2


A. Pengertian Wali Dalam Pernikahan...............................................................................2
B. Wali Nikah Bagi Wanita Yang Muallaf .......................................................................3
C. Orang Buta (Tunanetra) Menjadi Wali Nikah...............................................................5
D. Pernikahan dengan Wali Ab'ad ketika masih ada Wali Akrab......................................5

BAB III PENUTUP .....................................................................................................................7


A. Kesimpulan ...................................................................................................................7

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................8


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut Imam Maliki dan Imam Syafi'i bahwa wali adalah salah satu rukun perkawinan
dan tidak ada perkawinan tanpa wali (Mahmud Yunus, 1964: 53). jadi suatu perkawinan
dianggap tidak sah jika tidak terdapat seorang wali yang mengijabkan mempelai wanita kepada
mempelai pria.
Pada hakikatnya seorang perempuan harus dinikahkan oleh ayahnya yang bertindak sebagai
wali, namun tidak selamanya hubungan antar keduanya itu berjalan dengan baik, terkadang
hanya karena berbeda pendangan seorang ayah tidak mau bertindak menjadi seorang wali bagi
anaknya.
Berbeda pandangan mungkin hal yang wajar, tapi dampak dari hal itu dapat menggeserkan
hak wali dari ayahnya kepada orang lain. Hal tersebut terjadi jikalau ayahnya sampai merasa
enggan untuk menikahkan putrinya sehingga oleh hakim diputuskan sebagai wali adhal.
Perpindahan hak wali memang ada tingkatannya, tetapi kalau perpindahannya itu
disebabkan oleh keengganan wali untuk menikahkan (adhal) maka tingkatan itu menjadi tidak
berlaku, dan perpindahan hak untuk menikahkan langsung kepada wali hakim.

B. Rumusan Masalah
a. Apa itu Wali Nikah?
b. Siapa yang menjadi Wali Nikah bagi Wanita Mualaf?
c. Boleh tidak seorang Tunanetra menjadi Wali Nikah?
d. Bagaimana Pernikahan dalam perwalian (wali Ab'ad dan wali Aqrab)
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Wali dalam Pernikahan


Kata "Wali" menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu "Al-Wali" dengan bentuk
jamak "Auliyaa" yang berarti Pencinta, saudara, atau penolong. Sedangkan menurut istilah kata
"Wali" mengandung pengertian orang yang menurut Hukum (agama, adat) diserahi untuk
mengurus kewajiban anak yatim sebelum anak itu dewasa. Wali dalam Nikah adalah yang
padanya terletak sahnya akad nikah dan tidak sah nikahnya tanpa adanya wali.
Wali nikah adalah orang yang berhak menikahkan karena pertalian darah secara langsung
dengan pihak mempelai perempuan yang meliputi Bapak, Kakeknya (bapak dari bapak mempelai
perempua, saudara laki-laki yang seibu sebapak denganya, anak laki-laki dari saudara laki-laki
yang sebapak saja denganya, saudara bapak yang laki-laki (paman dari pihak bapak), anak laki-
laki pamanya dari pihak bapaknya, Hakim.
Wali nikah diartikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah sebagai pengasuh
pengantin perempuan ketika nikah, yaitu orang yang melakukan janji nikah dengan laki-laki.
Dalam KHI Pasal 19 BAB XV juga dijelaskan Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun
yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkanya. Pasal 20
ayat 1 menjelaskan bahwa yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang
memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil, baligh.
Di buku Fiqih Munakahat yang ditulis oleh Drs. Slamet Abidin dan Drs. Aminudin juga
menjelaskan bahwasanya seseorang boleh menjadi wali apabila ia merdeka, berakal, dan dewasa.
Budak, orang gila, dan anak kecil tidak boleh menjadi wali, karena orang tersebut tidak berhak
mewakili dirinya. wali juga harus beragama Islam, karena orang yang bukan Islam tidak boleh
menjadi walinya orang Islam.
Para ulama fiqih juga berpendapat dalam masalah wali, pandangan Imam Malik dan Imam
Syafi’i berbeda dengan pandangan Imam Abu Hanifah. Imam Malik dan Imam Syafi’i
berpendapat bahwa tidak ada pernikahan tanpa wali, dan wali merupakan syarat sahnya
pernikahan, namun pendapat Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa apabila seorang perempuan
melakukan akad nikah tanpa wali, sedang calon suaminya sebanding maka pernikahanya boleh.
a. Wali Menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Pasal 6 UU No.1 Tahun 1974 tentang
perkawinan di atur sebagai berikut:
1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun, harus
mendapat izin dari kedua orang tua.
3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat 2 ini cukup diperoleh
dari orang tua yang mampu manyatakan kehendaknya.
4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu
menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau
keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas selama mereka
masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3)
dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan
pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan
melangsungkan perkawinan atas pemintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah
lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini.
6) Ketentuan ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan menganggap bahwa wali bukan
merupakan syarat untuk sahnya nikah, yang diperlukan hanyalah izin orang tua itu pun bila calon
mempelai baik laki-laki maupun wanita belum dewasa (dibawah umur 21 tahun), bila telah
dewasa (21 tahun keatas) tidak lagi diperlukan izin orang tua.

B. Wali Nikah bagi Wanita yang Muallaf


Di dalam fiqih para ulama menetapkan beberapa persyaratan bagi seorang wali nikah. Di
antara persyaratan itu adalah seorang wali harus beragama Islam. Seorang non-Muslim tidak bisa
menjadi wali bagi seorang perempuan Muslimah (Abu Bakar Al-Hishni, Kifâyatul Akhyâr, juz
II, hal. 49). Ini didasarkan pada firman Allah pada ayat 71 Surat At-Taubah:
ٍ ‫ضهُ ْم َأوْ لِيَا ُء بَع‬
‫ْض‬ ُ ‫َو ْال ُمْؤ ِمنُونَ َو ْال ُمْؤ ِمن‬
ُ ‫َات بَ ْع‬
Yang artinya: “Orang-orang mukmin laki-laki dan orang-orang mukmin perempuan sebagian
mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain.”
Dari penjelasan tersebut, sudah dapat diambil satu pemahaman bahwa bila ayah kandung
perempuan muallaf yang hendak menikah telah masuk Islam maka ia dapat menjadi wali dalam
akad nikahnya. Namun bila sang ayah masih tetap pada agama asalnya maka ia tidak dapat
menjadi wali nikah bagi putrinya yang telah memeluk agama Islam.
Bila telah jelas sang ayah tidak dapat menjadi wali nikah karena perbedaan agama maka
diruntutlah daftar orang-orang yang dapat menjadi wali nikah sesuai dengan urutannya, bila
memang di antara mereka ada yang beragama Islam.
Adapun urutan orang-orang yang dapat menjadi wali nikah sebagaimana ditulis oleh Al-
Hishni di dalam kitab Kifâyatul Akhyâr adalah ayah, kakek (bapaknya bapak), saudara laki-laki
sekandung (seayah seibu), saudara lak-laki seayah, anak laki-laki saudara laki-laki sekandung,
anak laki-laki saudara laki-laki seayah, paman (saudara ayah), dan anak laki-lakinya paman (Abu
Bakar Al-Hishni, Kifâyatul Akhyâr, hal. 51). Bila ada salah satu dari orang-orang tersebut yang
beragama Islam dan kedudukannya lebih dekat maka ia berhak menjadi wali bagi sang
perempuan mualaf. Namun bila dari daftar urutan itu sama sekali tidak ada yang beragama Islam
maka berlaku wali hakim yang dalam tata perundangan di Indonesia dilaksanakan oleh Kepala
KUA Kecamatan setempat.
Dalam hal ini pula, para ulama telah sepakat bahwa Islam mengakui keabsahan pernikahan
sepasang suami istri non-Muslim yang menikah tidak dengan tata cara Islam selama di antara
keduanya tidak ada halangan untuk menikah secara Islam.
Sebagai contoh, pasangan suami istri non-Muslim yang keduanya memiliki hubungan
mahram sehingga semestinya tidak diperbolehkan menikah, seperti seorang laki-laki yang
menikah dengan adik kandungnya sendiri. Pernikahan non-Muslim semacam ini tidak diakui
keabsahannya oleh Islam.
Di dalam kitab Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyyah disebutkan:
aَ ‫د‬aَ‫ر ْال ُمرْ ت‬a
‫ِّين‬ ِ َّ‫ ِإلَى َأ َّن نِ َكا َح ْال ُكف‬- ‫يح َو ْال َحنَابِلَةُ َوقَوْ ٌل ِع ْن َد ْال َمالِ ِكيَّ ِة‬
ِ a‫ار َغ ْي‬ َّ ‫ ْال َحنَفِيَّةُ َوال َّشافِ ِعيَّةُ َعلَى ال‬- ‫َب ُج ْمهُو ُر ْالفُقَهَا ِء‬
ِ ‫ص ِح‬ َ ‫فَ َذه‬
‫ص ِحي ٌح‬
َ ‫ْض‬
ٍ ‫ْض ِه ْم لِبَع‬
ِ ‫بَع‬
Yang artinya: “Jumhur fuqaha—ulama Hanafiyah, ulama Syafi’iyah menurut pendapat yang
sahih, ulama Hanabilah, dan sebuah pendapat dalam kalangan ulama Malikiyah,, berpendapat
bahwa pernikahan orang-orang kafir selain orang-orang yang murtad adalah sah.”
C. Orang Buta (tunanetra) menjadi Wali Nikah
Imam Abu Hanifah memperbolehkan kesaksian orang buta dalam perkawinan. Kebolehan
saksi buta dalam perkawinan tersebut disasamakan dengan permasalahan perwalian dan qabul
nikah, artinya ketika seseorang layak bertindak sebagai wali dan melakukan qabul nikah untuk
dirinya sendiri dalam perkawinan, maka orang tersebut layak bertindak sebagai saksi dalam
perkawinan.
Pendapat ini kurang sesuai dengan fungsi dan kedudukan saksi dalam perkawinan, yaitu
digunakan untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di kemudian hari.
Saksi yang menyaksikan akad nikah, dapat dimintai keterangan sehubungan dengan pemeriksaan
perkaranya. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya, saksi harus hadir dan menyaksikan secara
langsung akad nikah.
Istinbath hukum Imam Abu Hanifah tentang saksi buta disandarkan pada konsep perwalian
dalam perkawinan dan qabul akad nikah. Karena orang buta boleh bertindak sebagai wali nikah
dan atau melakukan qabul nikah untuk dirinya sendiri, maka orang buta diperbolehkan menjadi
saksi dalam akad nikah. Untuk mencari solusi permasalahan saksi buta dalam akad nikah yang
belum ada nash yang jelas dalam al Qur’an maupun hadits, perlu diadakan istinbath hukum.
Berdasarkan konsep ahliyyah, permasalahan saksi buta dalam akad nikah bila dikaitkan
syarat mukallaf, maka orang buta boleh bertindak sebagai saksi dalam perkawinan, akan tetapi
apabila hal ini bila dikaitkan dengan fungsi dan kedudukan saksi dalam perkawianan, maka saksi
buta belum mencukupi.

D. Pernikahan dengan Wali Ab'ad ketika masih ada Wali Akrab


a. Pengertian Wali Ab'ad
Wali jauh atau wali ab’ad yaitu wali dalam garis kerabat selain dari ayah dan kakek, juga
selain dari anak dan cucu, karena anak menurut jumhurulama tidak boleh menjadi wali
terhadap ibunya dari segi dia adalah anak,bila anak berkedudukan sebagai wali hakim boleh
dia mengawinkan ibunyasebagai wali hakim.
Adapun wali ab’ad adalah sebagai berikut:8
a. Saudara laki-laki kandung
b. Saudara laki-laki seayah
c. Anak saudara laki-laki kandung
d. Anak saudara laki-laki seayah
e. Paman kandung
f. Paman seayah
g. Anak paman kandung
h. Anak paman seayah
i. Ahli waris kerabat lainnya

b. Pengertian Wali Aqrab


Wali dekat atau wali qarib atau wali aqrab yaitu ayah dan kalau tidak adaayah pindah
kepada kakek. Keduanya mempunyai kekuasaan yang mutlakterhadap anak perempuan yang
akan dikawinkannya. Ia dapat mengawinkananaknya yang masih berada dalam usia muda
tanpa minta persetujuan dari anaknya tersebut. Wali dalam kedudukan seperti ini disebut wali
Mujbir.
Menurut Imam Syafi’i, Maliki, dan Hanafi, jika wali yang dekat enggan mengawinkan
perempuan kepada laki-laki yang sejodoh dengan dia, maka yang menjadi wali adalah hakim,
bukan wali yang jauh. Tetapi menurut imam Hanafi yang menjadi wali adalah yang jauh,
bukan hakim karena masih ada juga wali perempuan dari keluarganya. Tetapi bila wali yang
jauh enggan pula, maka hakimlah yang menjadi wali. Oleh sebab itu sebaiknya hakim
meminta izin kepada wali yang jauh untuk mengawinkan perempuan itu.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Wali nikah adalah orang yang berhak menikahkan karena pertalian darah secara langsung
dengan pihak mempelai perempuan yang meliputi garis keturunan Bapak, mulai dari Bapak
sampai anak laki-laki pamanya dari pihak bapaknya. Wali nikah dalam perkawinan merupakan
rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkanya.
DAFTAR PUSTAKA

Azhar Basyir Ahmad, 1990, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press

Imamah Niswatul, 2003, Pemikiran Ibnu Taimiyah Tentang Hak Ijbār Wali Nikah, Skripsi
Fakultas Syari‟ah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Mu‟awaroh Anisatun, 2005, Hak ijbar Wali Nikah (Studi Perbandingan Antara Pendapat Ibnu
Taimiyah dan Ahmad Azhar Baasyr), Skripsi Fakultas Syari‟ah Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga Yogyakarta .

Soemiyati, 2007, hukum perkawinan islam dan undang-undang perkawinan, Yogyakarta:


Liberty.

Anda mungkin juga menyukai