Anda di halaman 1dari 24

Infeksi Saluran Kemih dan Kecacingan Pada Anak

Laporan Kasus

Disusun Oleh:

Rosyidah Qurrota A’yun

201570020

Pembimbing:

dr. Sri Riyanti Windesi, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

RSUD SELE BE SOLU KOTA SORONG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PAPUA

2022
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1

Kurva pertumbuhan WHO berat badan terhadap panjang badang ……….…………………….. 3

Gambar 2

Pilihan antimikroba oral pada ISK ………………………….…………………………………. 14

Gambar 3

Pilihan antimikroba injeksi pada ISK …….…………………………....…………………….... 14

i
DAFTAR TABEL
Tabel 1

Hasil pemeriksaan Hematologi rutin anak ……..…………………………………………….….. 4

Tabel 2

Hasil pemeriksaan Urinalisis anak …………………………..…………………………………... 5

Tabel 3

Rringkasan perkembangan perawatan anak ……………………………………………………... 8

ii
PENDAHULUAN

Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu penyakit infeksi yang sering pada
anak usia <2 tahun selain infeksi saluran nafas atas dan diare. Pada kelompok ini, angka kejadian
ISK mencapai 5% dan kejadiannya bervariasi tergantung umur dan jenis kelamin. Pada anak
kurang dari 10 tahun ISK ditemukan pada 3,5% anak perempuan dan 1,1% pada anak laki-laki.1

Manifestasi klinis ISK sangat bervariasi dan tergantung pada umur, mulai dengan
asimtomatik hingga gejala yang berat, sehingga ISK sering tidak terdeteksi baik oleh tenaga
medis maupun oleh orangtua. Kesalahan dalam menegakkan diagnosis (underdiagnosis atau
overdiagnosis) akan sangat merugikan. Underdiagnosis dapat berakibat penyakit berlanjut ke
arah kerusakan ginjal karena tidak diterapi. Sebaliknya overdiagnosis menyebabkan anak akan
menjalani pemeriksaan dan pengobatan yang tidak perlu. Bila diagnosis ISK sudah ditegakkan,
perlu ditentukan lokasi dan beratnya invasi ke jaringan, karena akan menentukan tata laksana dan
morbiditas penyakit. Diagnosis dan tata laksana ISK yang adekuat bertujuan untuk mencegah
atau mengurangi risiko terjadinya komplikasi jangka panjang seperti parut ginjal, hipertensi, dan
gagal ginjal kronik. 1
Infeksi cacing usus yang ditularkan melalui tanah (soil transmitted helminthiasis)
merupakan masalah dunia terutama di negara yang sedang berkembang. Diperkirakan 1 milyar
penduduk dunia menderita infeksi parasit cacing. Prevalensi pada anak usia sekolah dasar di
Indonesia antara 60%-80%. Terdapat empat spesies utama cacing usus tersering yang merupakan
persoalan kesehatan masyarakat di Indonesia adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura,
Necator americanus dan Ancylostoma duodenale (cacing tambang). Infeksi cacing pada seorang
anak dapat ditemukan secara tunggal maupun campuran dan dapat menyebabkan malnutrisi,
anemia, menurunnya kesehatan jasmani dan menurunkan selera makan sehingga dapat
menyebabkan gangguan pertumbuhan dan dapat menyebabkan penurunan kemampuan kognitif.
Mengingat pentingnya diagnostik, tata laksana, rencana pemeriksaan penunjang,
pemberian antibiotik profilaksis pada ISK, serta pentingnya mendiagnosis dan tatalaksana
kecacingan pada anak penulis menyajikan pembahasan diskusi kasus terkait ISK dan Kecacingan
yang sering dijumpai pada anak-anak.

1
LAPORAN KASUS

Anamnesis
 Identitas:
- Nama: AJ
- Jenis Kelamin: Laki-laki
- Tanggal Lahir: 12-03-2020
- Alamat: Jl. Mandiri
- Nama Ayah/Nama Ibu: RA/YI
- Pekerjaan: Petani
 Keluhan Utama: Nyeri perut
 Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien anak inisial AJ laki-laki usia 2 tahun datang diantar orang tua ke IGD RS dengan
keluhan nyeri perut. Nyeri terasa di seluruh regio perut disertai kembung sejak 2 hari sebelum
dibawa ke IGD. Orang tua anak mengatakan keadaan semakin berat yang ditandai dengan
anak semakin rewel dan terus menekuk kaki karena kesakitan. Nafsu makan dan minum
menurun karena setiap makan perut terasa nyeri yang ditandai dengan menangis dan
memegang perut. BAK lancar (menggunakan pempers tapi tidak dikatakan penggantian
pempers berapa kali dalam sehari karena hanya berdasarkan sudah penuh dan tidaknya
pempers). Kemudian nyeri juga dirasa ketika BAK dan air kencing berwarna kuning serta
pada pempers berbau menyengat. BAB terakhir 1 hari lalu. Keluhan lain demam (-), kejang (-
), nyeri kepala (-), sesak (-), batuk (-), pilek (-), mual (-), muntah (-).
 Riwayat Penyakit Dahulu: Demam, batuk, pilek dan 2 minggu sebelum masuk rumah sakit
anak BAB 2 ekor cacing. Riwayat sakit serupa (-)
 Riwayat Penyakit Keluarga: Riwayat sakit serupa (-)
 Riwayat Pemberian Obat/Alergi: Pemberian obat cacing 2 minggu sebelum masuk RS/
riwayat alergi (-).
 Riwayat Imunisasi Dasar: Imunisasi lengkap di posyandu diketahui dari buku KMS yang
dibawa ibu pasien.

2
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran kompos
mentis, suhu badan 36,6oC, pernapasan 34 x/menit, nadi 112 x/menit, dan SpO2 97% tanpa
oksigen. Status antropometri pasien yaitu BB 9 kg, TB 70 cm. Bila diplot dalam kurva WHO
berat badan terhadap panjang badan (gambar 1), di dapatkan Z skor berada pada garis diatas 0
yang termasuk dalam kategori (-2 SD sampai dengan +1 SD) gizi baik.

Gambar 1. Kurva Pertumbuhan WHO Berat Badan terhadap Panjang Badan

Pada pemeriksaan dari kepala hingga kaki didapatkan konjungtiva tidak pucat, sklera tidak
ikterik, tidak ada napas cuping hidung, dan tidak ada pembesaran KGB. Pengembangan dada
simetris, bunyi napas vesikuler, tidak ada retraksi, ronkhi maupun wheezing. Pada jantung, iktus
kordis tidak terlihat tetapi teraba di ICS IV linea midklavikula sinistra, bunyi jantung S1/S2
reguler, tidak ada murmur maupun gallop. Pada pemeriksaan abdomen perut tampak distensi,
bising usus 7x/menit, terdapat nyeri tekan pada seluruh region abdomen serta supra simfisis
pubis, nyeri ketok sudut costo vertebrae dan perut teraba keras. Pembesaran hepar dan lien tidak

3
teraba. Pada ekstremitas akral teraba hangat, CRT < 2 detik, tidak ada sianosis, edema maupun
ikterik.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan berupa pemeriksaan hematologi, urinalisis, dan foto
polos abdomen.
Berikut adalah hasil dari pemeriksaan hematologi rutin yang dilakukan pada tanggal 15 Maret
2022 saat masuk IGD:
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Leukosit (WBC) 17,0 x 103 /mm3 5,0-13,5
Eritrosit (RBC) 6,15 x 106 /mm3 3,5-5,4
Hemoglobin (HGB) 9,0 g/dl 10,5-15,0
Hematokrit (HCT) 33,6 % 36,0-44,0
Trombosit (PLT) 772 x 103 /mm3 150-400
PCT 808 % 0,100-0,500
MCV 55 fL 77-101
MCH 14,7 Pg 23-31
MCHC 26,9 g/dl 29,0-36,0
RDW 18,3 % 11,6-14,8
MPV 10,5 fL 4,0-11,0
PDW 6,5 fL 10,0-18,0
Monosit 5,5 % 4,0-8,0
Limfosit 32,9 % 20,0-40,0
Neutrofil 61,6 % 40,0-70,0

Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Hematologi

4
Hasil Pemeriksaan Foto Polos Abdomen (BNO) pada tanggal 15 Maret 2022:
- Tampak usus melebar
- Distribusi udara normal
- Herring bone sign (-), fluid level (-)
- Tidak tampak tanda-tanda peritonitis
Kesan: Meteorismus
Berikut adalah hasil pemeriksaan Urinalisis pada tanggal 16 Maret 2022:

Hasil Pemeriksaan Urinalisis


Makroskopis
Warna Kuning
Berat Jenis 1,010
pH 6,5
Protein Negatif
Glukosa (reduksi) Negatif
Keton Positif (2+)
Bilirubin Negatif
Urobilin Negatif
Nitrit Negatif
Blood Negatif
Leukosit Negatif
Sedimen
Leukosit 5-7 /LP
Eritrosit 0-1 /LP
Epitel 1-2 /LP
Kristal Negatif
Silinder Negatif
Bakteri Negatif
Jamur Negatif

Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Urinalisis

5
Diagnosis Kerja
 Abdominal pain etc Infeksi Saluran Kemih
 Helminthiasis

Tatalaksana
Tatalaksana awal pada tanggal 15 Maret 2022 (hari ke 3 nyeri perut) di IGD Rumah Sakit Sele
Be Solu antara lain IVFD D5 ¼ NS 1000 ml/24 jam dan Paracetamol drips 100 mg/i.v K/P.
Perawatan hari pertama di ruang anak rumah sakit, orang tua pasien mengatakan anak masih
mengalami keluhan nyeri perut, kaki selalu dilipat, perut kembung, rewel dan tidak mau makan
hanya minum sedikit, tidak ada muntah dan sesak. Tidak bisa tidur karena anak rewel kesakitan,
nyeri saat BAK dan belum BAB selama 3 hari. Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital dalam batas
normal. Terapi untuk tatalaksana yang diberikan adalah sebagai berikut
- IVFV D5 ¼ NS 900cc/24 jam
- Injeksi paracetamol drips 100 mg/6 jam/i.v
- Injeksi cefotaxime 250 mg/8 jam/i.v
- Injeksi dexamethasone 1mg/8 jam/i.v
- Lactulosa syrup 1 cth/8 jam.
Perawatan hari kedua, orang tua mengatakan keluhan anak masih sama seperti hari kemarin
namun hari ini anak demam. BAB 1x pada pagi hari dengan konsistensi kental berwarna kuning
tidak berlendir, darah dan cacing. Batuk sesekali dan hasil pemeriksaan suhu badan 39oC, serta
tanda-tanda vital lain dalam batas normal. Terapi yang diberikan masih sama seperti hari
sebelumnya.

Perawatan hari ketiga, orang tua mengatakan keluhan anak masih nyeri perut berkurang dari hari
kemarin, sesekali saja kaki ditekuk, kembung berkurang, rewel tidak sering. Anak sudah mau
makan dan minum tapi sedikit karena setiap makan perut masih terasa nyeri, muntah (-) dan tidur
belum nyenyak. Keluhan lain sudah tidak demam dan batuk, BAK lancar tapi masih nyeri saat
BA dan belum BAB. Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital dalam batas normal. Terapi yang
diberikan masih sama seperti hari sebelumnya.

Perawatan hari ke empat, orang tua mengatakan keluhan anak nyeri perut berkurang dari hari
kemarin, kaki sudah tidak ditekuk, sudah tidak kembung, tidak rewel, makan minum mulai
banyak, tidur mulai nyenyak, BAK lancar tapi masih nyeri saat BAK dan BAB 1x pada pagi

6
hari. Keluhan lain tidak ada. Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital dalam batas normal. Terapi
yang diberikan menjadi oral karena infus dilepas sementara akibat edem pada tangan yang
terpasang infus serta keadaan anak mulai membaik. Terapi oral yang diberikan adalah sebagai
berikut:

- Paracetamol syrup 1cth/6 jam


- Cefixime syrup ½ cth/12 jam
- Lactulosa syrup 1cth/8 jam
- Albendazole 1 tablet/24 jam.

Perawatan hari ke lima, orang tua mengatakan keluhan anak nyeri perut berkurang dari hari
kemarin, makan minum baik, tidur tidak nyenyak karena demam naik turun, masih nyeri saat
BAK, BAB 1x terdapat 2 ekor cacing berwarna putih, dan muntah 1 ekor cacing berwarna putih.
Hasil pemeriksaan suhu badan 38oC, dan tanda-tanda vital lain dalam batas normal. Infus
dipasang kembali dengan diberikan terapi sebagai berikut:

- IVFD D5 ¼ NS 900cc/24 jam


- Injeksi paracetamol drips 100mg/6 jam/i.v
- Cefixime syrup ½ cth/12 jam/p.o
- Lactulosa syrup 1cth/8 jam/p.o
- Albendazole 1 tab/24 jam/p.o.

Perawatan hari ke enam, orang tua mengatakan keluhan anak nyeri perut masih tapi tidak seperti
sebelumnya, makan minum baik, tidur nyenyak, demam (-), muntah (-), batuk pilek (-), BAK
lancar tidak nyeri, BAB terakhir kemarin. Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital dalam batas
normal yaitu, SB 36,7oC, HR 101x/menit, RR 30x/menit, SPO2 98%. Oleh karena itu, pada hari
tersebut pasien diperbolehkan pulang oleh dokter.

Selama perawatan pasien tidak hanya mendapat tatalaksana farmakologi selama 3 hari berupa
paracetamol syrup 1cth/6 jam/p.o, cefixime ½ cth/12 jam/p.o, lactulosa syrup 1 cth/8 jam/p.o dan
albendazole 1 tab/24 jam/p.o. tetapi juga mendapatkan edukasi mengenai pencegahan infeksi
saluran kemih dan kecacingan, serta edukasi terkait asupan nutrisi yang diperlukan, kebersihan
makanan dan mencuci tangan.

7
Ringkasan Perkembangan Pasien

Hal yang harus di pantau Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4 Hari 5 Hari 6
Nyeri Perut Ya Ya Ya Ya Ya Ya (hilang
(berkurang) (berkurang) (berkurang) timbul)
Menekuk Kaki Ya Ya Sesekali Tidak Tidak Tidak
Nyeri saat/sesudah BAK Ya Ya Ya Ya Ya Ya
(berkurang) (hilang (hilang
timbul) timbul)
Sulit Tidur/gelisah/rewel Ya Ya Ya Tidak Ya Tidak
Nafsu Makan Menurun Menurun Meningkat Membaik Membaik Membaik
Demam Tidak Tidak Ya Tidak Ya Tidak
Muntah Tidak Tidak Tidak Tidak Ya+cacing 1 Tidak
ekor
Batuk Tidak Ya Tidak Tidak Tidak Tidak
BAB Tidak Ya Tidak Ya Ya+cacing 2 Tidak
ekor

Tabel 3. Ringkasan Perkembangan Pasien

8
Diskusi dan Pembahasan

Infeksi Saluran Kencing (ISK)

Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan istilah umum untuk menyatakan adanya
pertumbuhan dan perkembangbiakaan bakteri di dalam saluran kemih dalam jumlah yang
bermakna. Etiologi ISK tersering adalah Escherichia coli (E.coli) (60-80%) pada ISK serangan
pertama. Kuman lain penyebab ISK adalah Proteus mirabilis, Klebsiella pneumonia, Klebsiella
oksitoka, Proteus vulgaris, Pseudomonas aeroginosa, Enterobakter aerogenes, dan Morganella
morganii, Stafilokokus, dan Enterokokus. 2

Klasifikasi ISK

ISK pada anak dapat dibedakan berdasarkan gejala klinis, lokasi infeksi, dan kelainan
saluran kemih. Berdasarkan gejala klinis, ISK dibedakan menjadi ISK asimtomatik dan
simtomatik. Berdasarkan lokasi infeksi, ISK dibedakan menjadi ISK atas dan ISK bawah, dan
berdasarkan kelainan saluran kemih, ISK dibedakan menjadi ISK simpleks dan ISK kompleks.
ISK asimtomatik ialah bakteriuria bermakna tanpa gejala dan ISK simtomatik yaitu terdapatnya
bakteriuria bermakna disertai gejala dan tanda klinik.1,2

Untuk kepentingan klinik dan tatalaksana, ISK dapat dibagi menjadi ISK simpleks
(uncomplicated UTI) dan ISK kompleks (complicated UTI). ISK simpleks ialah ISK tanpa
kelainan struktural maupun fungsional saluran kemih. ISK kompleks adalah ISK yang disertai
kelainan anatomik dan atau fungsional saluran kemih yang menyebabkan stasis ataupun aliran
balik (refluks) urin. Kelainan saluran kemih dapat berupa RVU, batu saluran kemih, obstruksi,
anomali saluran kemih, buli-buli neurogenik, benda asing, dan sebagainya. 1

Pada kasus jenis ISK yang terjadi pada anak mengarah ke ISK simpleks yang mana
pada anak hanya muncul gejala ISK berupa nyeri abdomen dan nyeri di rasa saat BAK.
Kemudian pada anak dijumpai riwayat penggunaan popok yang tidak sering diganti. Dari hasil
pemeriksaan hematologi didapatkan leukosit yang meningkat, serta pada pemeriksaan urin di
dapatkan sedimen leukosit di urin. Selain itu pada hasil pemeriksaan abdomen tidak ditemukan
adanya kelainan.

9
Diagnosis ISK

Diagnosis ISK ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan


laboratorium yang dipastikan dengan biakan urin. 1
ISK serangan pertama umumnya menunjukkan gejala klinik yang lebih jelas
dibandingkan dengan infeksi berikutnya. Gangguan kemampuan mengontrol kandung kemih,
pola berkemih, dan aliran urin dapat sebagai petunjuk untuk menentukan diagnosis. Demam
merupakan gejala dan tanda klinik yang sering dan kadang-kadang merupakan satu-satunya
gejala ISK pada anak. 1,2
Pada kasus hasil anamnesis yang didapat yaitu, orang tua anak mengatakan anak
mengeluhkan nyeri perut. Nyeri terasa di seluruh regio perut disertai kembung sejak 2 hari
sebelum dibawa ke IGD. Orang tua anak mengatakan keadaan semakin berat yang ditandai
dengan anak semakin rewel dan terus menekuk kaki karena kesakitan. Nafsu makan dan minum
menurun karena setiap makan perut terasa nyeri yang ditandai dengan menangis dan memegang
perut. BAK lancar (menggunakan pempers tapi tidak dikatakan penggantian pempers berapa kali
dalam sehari karena hanya berdasarkan sudah penuh dan tidaknya pempers). Kemudian nyeri
juga dirasa ketika BAK dan air kencing berwarna kuning serta pada pempers berbau menyengat.
BAB terakhir 1 hari lalu. Dari hasil pemeriksaan fisik diketahui ISK yang dialami merupakan
ISK serangan pertama sehingga gejala klinisnya lebih jelas terlihat.

Gejala dan tanda ISK dapat ditemukan berupa demam nyeri ketok sudut kosto-
vertebral, nyeri tekan suprasimfisis, kelainan genetalia eksterna seperti fimosis, sinekia vulva,
hipospadia, dan kelainan pada tulang belakang seperti spina bifida. 2
Pada kasus hasil pemeriksaan yang didapat yaitu pada pemeriksaan abdomen tampak
distensi, bising usus 7x/menit, terdapat nyeri tekan pada seluruh regio abdomen serta supra
simfisis pubis, nyeri ketok sudut costo vertebrae dan perut teraba keras. Pembesaran hepar dan
lien tidak teraba.
American Academy of Pediatrics (AAP) membuat rekomendasi bahwa pada bayi
umur di bawah 2 bulan, setiap demam harus dipikirkan kemungkinan ISK dan perlu dilakukan
biakan urin. Pada anak umur 2 bulan sampai 2 tahun dengan demam yang tidak diketahui
penyebabnya, kemungkinan ISK harus dipikirkan dan perlu dilakukan biakan urin, dan anak

10
ditata laksana sebagai pielonefritis. Untuk anak perempuan umur 2 bulan sampai 2 tahun, AAP
membuat patokan sederhana berdasarkan 4 gejala klinik yaitu:
1. Suhu tubuh 390C atau lebih
2. Demam berlangsung dua hari atau lebih
3. Umur di bawah satu tahun
4. Tidak ditemukan kemungkinan penyebab demam lainnya. Bila ditemukan 2 atau lebih faktor
risiko tersebut maka sensitivitas untuk kemungkinan ISK mencapai 95% dengan spesifisitas
31%.1
Manifestasi Klinis ISK
Manifestasi klinis ISK pada anak sangat bervariasi, ditentukan oleh intensitas reaksi
peradangan, letak infeksi (ISK atas dan ISK bawah), dan umur pasien. Sebagian ISK pada anak
merupakan ISK asimtomatik, umumnya ditemukan pada anak umur sekolah, terutama anak
perempuan dan biasanya ditemukan pada uji tapis (screening programs). ISK asimtomatik
umumnya tidak berlanjut menjadi pielonefritis dan prognosis jangka panjang baik.1,2
Pada umur >1 tahun sampai 4 tahun, dapat terjadi demam yang tinggi hingga
menyebabkan kejang, muntah dan diare bahkan dapat timbul dehidrasi. Pada anak besar gejala
klinik umum biasanya berkurang dan lebih ringan, mulai tampak gejala klinik lokal saluran
kemih berupa polikisuria, disuria, urgensi, frequensi, ngompol, sedangkan keluhan sakit perut,
sakit pinggang, atau pireksia lebih jarang ditemukan.2
Kejadian ISK pada kasus yakni terjadi pada anak usia 2 tahun dengan keluhan nyeri
saat BAK dan demam muncul pada hari ke-3.

Pemeriksaan penunjang ISK


Pemeriksaan Laboratorium
1. Urinalisis
Pemeriksaan urinalisis meliputi leukosituria, nitrit, leukosit esterase, protein, dan
darah. Leukosituria merupakan petunjuk kemungkinan adanya bakteriuria, tetapi tidak dipakai
sebagai patokan ada tidaknya ISK. Leukosituria biasanya ditemukan pada anak dengan ISK
(80-90%) pada setiap episode ISK simtomatik, tetapi tidak adanya leukosituria tidak
menyingkirkan ISK. Bakteriuria dapat juga terjadi tanpa leukosituria. Leukosituria dengan
biakan urin steril perlu dipertimbangkan pada infeksi oleh kuman Proteus sp., Klamidia sp.,
dan Ureaplasma urealitikum. 1
11
Uji nitrit merupakan pemeriksaan tidak langsung terhadap bakteri dalam urin. Dalam
keadaan normal, nitrit tidak terdapat dalam urin, tetapi dapat ditemukan jika nitrat diubah
menjadi nitrit oleh bakteri. Sehingga jika uji nitrit positif berarti terdapat kuman dalam urin.
Urin dengan berat jenis yang tinggi menurunkan sensitivitas uji nitrit. Hematuria kadang-
kadang dapat menyertai infeksi saluran kemih, tetapi tidak dipakai sebagai indikator
diagnostik. Neutrophil gelatinase associated lipocalin urin (uNGAL) dan rasio uNGAL
dengan kreatinin urin (uNGAL/Cr) merupakan petanda adanya ISK.1
Hasil pemeriksaan sedimen urin tidak ditemukan bacteriuria namun ditemukan
leukosituria yaitu 5-7/LPB dan komponen pemeriksaan urin lain dalam batas normal. Hal ini
dapat terjadi karena ISK memiliki temuan klinis yang bervariasi.
2. Pemeriksaan darah
Berbagai pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis dan membedakan ISK atas dan bawah, namun sebagian besar pemeriksaan tersebut
tidak spesifik. Leukositosis, peningkatan nilai absolut neutrofil, peningkatan laju endap darah
(LED), C-reactive protein (CRP) yang positif, merupakan indikator non-spesifk ISK atas. 1
Pada hasil pemeriksaan hematologi rutin didapatkan Leukosit 17,0 x 103/mm3 ,
Eritrosit 6,15 x 106/mm3, Hemoglobin 9,0 g/dl, MCV 55 pg, RDW 18,3 %. Dari temuan ini
menandakan adanya infeksi yang terjadi pada anak yakni ISK kemungkinan tersering pada
anak-anak.
3. Kultur Urin
Berdasarkan kriteria Kass, dengan kateter urin dan urin pancar tengah dipakai jumlah
kuman ≥ 105 cfu per mL urin sebagai bakteriuria bermakna, Dengan kateter urin, Garin dkk.,
(2007) menggunakan jumlah > 105 cfu/mL urin sebagai kriteria bermakna, dan pendapat lain
menyebutkan bermakna jika jumlah kuman > 50x103 cfu/mL, dan ada yang menggunakan
kriteria bermakna dengan jumlah kuman > 104 cfu/mL. Paschke dkk. (2010) menggunakan
batasan ISK dengan jumlah kuman > 50x 103 cfu/mL untuk teknik pengambilan urin dengan
midstream/clean catch, sedangkan pada neonatus, Lin dkk. (1999) menggunakan jumlah > 105
cfu/mL, dan Baerton dkk., menggunakan batasan kuman > 104 cfu/mL jika sampel urin
diambil dengan urine bag.
Interpretasi hasil biakan urin bukanlah suatu patokan mutlak dan kaku karena banyak
faktor yang dapat menyebabkan hitung kuman tidak bermakna meskipun secara klinis jelas

12
ditemukan ISK.1 Pemeriksaan urinalisis dan biakan urin adalah prosedur yang terpenting, oleh
sebab itu kualitas pemeriksaan urin memegang peran utama untuk menegakkan diagnosis. 2,3
Pada kasus hanya dilakukan pemeriksaan hematologi rutin, urinalisis dan pencitraan
foto polos abdomen. Hal ini karena keterbatasan tersedianya alat pemeriksaan di rumah sakit
sehingga diagnosis yang ditegakkan mengacu pada gejala klinis yang dialami anak yang di
dukung dengan hasil pemeriksaan darah rutin serta urinalisis.

Tatalaksana ISK
Secara garis besar, tatalaksana ISK terdiri atas:
1. Eradikasi infeksi akut
Tujuan eradikasi infeksi akut adalah mengatasi keadaan akut, mencegah terjadinya
urosepsis dan kerusakan parenkhim ginjal. Jika seorang anak dicurigai ISK, berikan antibiotik
dengan kemungkinan yang paling sesuai sambil menunggu hasil biakan urin, dan terapi
selanjutnya disesuaikan dengan hasil biakan urin. 1,2
Pemilihan antibiotik harus didasarkan pada pola resistensi kuman setempat atau lokal,
dan bila tidak ada dapat digunakan profil kepekaan kuman yang terdapat dalam literatur.
Umumnya hasil pengobatan sudah tampak dalam 48-72 jam pengobatan. Bila dalam waktu
tersebut respon klinik belum terlihat mungkin antibiotik yang diberikan tidak sesuai atau
mungkin yang dihadapi adalah ISK kompleks, sehingga antibiotik dapat diganti. Selain
pemberian antibiotik, dianjurkan untuk meningkatkan asupan cairan. 1
Biasanya, untuk pengobatan ISK simpleks diberikan antibiotik per oral selama 7 hari,
tetapi ada penelitian yang melaporkan pemberian antibiotik per oral dengan waktu yang lebih
singkat (3-5 hari), dan efektifitasnya sama dengan pemberian selama 7 hari. Di negara
berkembang didapatkan resistensi kuman uropatogen yang tinggi terhadap ampisilin,
kotrimoksazol, dan kloramfenikol, sedangkan sensitivitas sebagian besar kuman patogen
dalam urin mendekati 96% terhadap gentamisin dan seftriakson. 1,2 Berbagai antibiotik dapat
digunakan untuk pengobatan ISK, baik antibiotik yang diberikan secara oral maupun
parenteral, seperti terlihat pada tabel 4 dan 5: 1

13
Gambar 2. Pilihan Antimikroba Oral pada ISK

Gambar 3. Pilihan Antimikroba Parenteral pada ISK

Pada kasus terapi antibiotik yang diberikan untuk eradikasi kuman ISK adalah cefotaxime
injeksi dengan dosis 250 mg/8 jam pada hari pertama hingga ke empat. Pada hari kelima
diberikan cefixime syrup dengan dosis 1/2cth / 12 jam.
Perawatan Suportif
Selain terapi kausal terhadap infeksi, pengobatan suportif dan simtomatik juga perlu
diperhatikan, misalnya pengobatan terhadap demam dan muntah. Terapi cairan harus adekuat
untuk menjamin diuresis yang lancar. Anak yang sudah besar dapat disuruh untuk
mengosongkan kandung kemih setiap miksi. Higiene perineum perlu ditekankan terutama
pada anak perempuan. Untuk mengatasi disuria dapat diberikan fenazopiridin HCl (Pyridium)
dengan dosis 7-10 mg/ kgbb/hari. Perawatan di rumah sakit diperlukan bagi pasien sakit berat
seperti demam tinggi, muntah, sakit perut maupun sakit pinggang. 1
Perawatan suportif yang diberikan pada kasus berupa terapi cairan D5 ¼ NS 900 cc
untuk memenuhi kebutuhan cairan anak, injeksi paracetamol sebagai antinyeri serta

14
antipiretik, dexamethasone yang digunakan sebagai antiperadangan serta lactulose syrup
untuk membantu mengatasi konstipasi yang dialami anak.
2. Deteksi dan tata laksana kelainan anatomi dan fungsional pada ginjal dan saluran kemih yang
dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik dan pencitraan USG.1
Pada kasus dilakukan pemeriksaan foto polos abdomen untuk melihat ada tidaknya kelainan
anatomi yang terjadi, namun di dapatkan hasil keadaan abdomen meteorismus dan tidak
ditemukan adanya tanda-tanda peritonitis.
3. Deteksi dan mencegah infeksi berulang.
Diperkirakan 40-50% kasus ISK simtomatik akan mengalami infeksi berulang dalam
dua tahun pengamatan dan umumnya berupa reinfeksi, bukan relaps. Deteksi ISK berulang
dilakukan dengan biakan urin berkala, misalnya setiap bulan, kemudian dilanjutkan dengan
setiap 3 bulan. Jika terdapat ISK berulang, berikan antibiotik yang sesuai dengan hasil biakan
urin. 1
ISK berulang dapat dicegah dengan meningkatkan keadaan umum pasien termasuk
memperbaiki status gizi, edukasi tentang pola hidup sehat, dan menghilangkan atau mengatasi
faktor risiko. Asupan cairan yang tinggi dan miksi yang teratur bermanfaat mencegah ISK
berulang. Risiko terjadinya ISK pada bayi laki-laki yang tidak disirkumsisi meningkat 3-15
kali dibandingkan dengan bayi laki-laki yang sudah disirkumsisi. Tindakan sirkumsisi pada
anak laki telah terbukti efektif menurunkan insidens ISK. Pemberian antibiotik profilaksis
merupakan upaya pencegahan ISK berulang yang sudah sejak lama dilaksanakan, namun
belakangan ini pemberian antibiotik profilaksis menjadi kontroversial dan sering
diperdebatkan.1,3
Komplikasi
ISK dapat menyebabkan gagal ginjal akut, bakteremia, sepsis, dan meningitis. Komplikasi
ISK jangka panjang adalah parut ginjal, hipertensi, gagal ginjal, komplikasi pada masa
kehamilan seperti preeklampsia. Parut ginjal terjadi pada 8-40% pasien setelah mengalami
episode pielonefritis akut.1
Indikasi Rawat Inap
Indikasi rawat ISK yang memerlukan tindakan rawat inap antara lain, ISK pada neonatus,
pielonefritis akut, ISK dengan komplikasi seperti gagal ginjal, hipertensi, ISK disertai sepsis
atau syok, ISK dengan gejala klinik yang berat seperti rasa sakit yang hebat, toksik, kesulitan

15
asupan oral, muntah dan dehidrasi. ISK dengan kelainan urologi yang kompleks, ISK dengan
organisme resisten terhadap antibiotik oral, atau terdapat masalah psikologis seperti orang tua
yang tidak mampu merawat anak.1,2
Pada kasus dirawat inap karena ISK yang dialami anak dengan gejala klinis yang berat yaitu
nyeri hebat pada perut hingga menekuk kaki dan rewel kesakitan.
Edukasi
Edukasi terkait ISK yaitu tidak menahan kencing, pemakaian lampin sekali pakai, menjaga
higinitas periurethra dan perineum, penuhi asupan cairan dan nutrisi anak.

Kecacingan/Helminthiasis

Kecacingan merupakan salah satu penyakit yang masih banyak terjadi di masyarakat
namun kurang memperoleh perhatian (neglected diseases). Infeksi cacing usus yang ditularkan
melalui tanah (soil transmitted helminthiasis) merupakan masalah dunia terutama di negara yang
sedang berkembang. Penyakit dalam kelompok neglected diseases memang tidak menimbulkan
banyak korban maupun wabah yang tiba-tiba muncul, tetapi penyakit dalam kelompok ini
mampu secara perlahan menurunkan derajat kesehatan seseorang. Investasi cacing dalam tubuh
dapat mempengaruhi pemasukan (intake), pencernaan (digestif), penyerapan (absorpsi) dan
metabolism makanan yang secara kumulatif dapat menimbulkan kekurangan gizi (malnutrisi)
berupa kalori dan protein serta kehilangan darah yang berdampak pada daya tahan tubuh dan
tumbuh kembang anak. Oleh karena hal tersebut, pada tahun 2001 WHO mulai melaksanakan
strategi pencegahan dengan memberikan obat anti cacing sekali setahun apabila prevalensi
infeksi cacing dalam suatu komunitas lebih dari 20% dan dua kali setahun apabila prevalensi
lebih dari 50% tanpa melihat diagnosa klinis.4,5,6

Prevalensi kecacingan di Indonesia pada tahun 2020 masih relatif tinggi, yaitu sebesar
29,9% dengan target pada tahun 2019 <20%. Prevalensi dan intensitas tertinggi diperoleh dari
kalangan anak usia sekolah dasar. Anak yang terinfeksi cacing, selain mengalami hambatan
nutrisional, juga rentan mengalami hambatan dalam pertumbuhan fisik dan mental sehingga
memerlukan perhatian lebih. Prevelensi terbanyak di Indonesia terkait infeksi cacing disebabkan
oleh Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan
Necator americanus). Masalah penyakit kecacingan di Indonesia berkaitan erat dengan iklim dan
kebersihan diri perorangan, rumah maupun lingkungan sekitarnya serta kepadatan penduduk

16
yang tinggi. Kelompok ekonomi lemah ini mempunyai risiko tinggi terjangkit penyakit
kecacingan karena kurang adanya kemampuan dalam menjaga higiene dan sanitasi lingkungan
tempat tinggalnya.4,5,9

Pada kasus, anak juga menderita helminthiasis/kecacingan yang ditandai dengan


riwayat pemberian obat cacing 2 minggu sebelum masuk IGD. Pada hari ke empat perawatan
diberikan obat cacing sebagai profilaksis jika anak masih mengalami kecacingan. Setelah
diberikan obat cacing pada hari berikutnya ternyata anak BAB 2 ekor cacing berwarna putih dan
muntah 1 ekor cacing berwarna putih. Untuk ukuran cacing kira-kira sepanjang jari telunjuk ibu
dari pasien. Dari ciri-ciri cacing yang keluar dari tubuh anak mengarah pada cacing askaris yang
nama penyakitnya adalah askariasis.

Angka kejadiannya di dunia lebih banyak dari infeksi cacing lainnya, diperkirakan
lebih dari 1 milyar orang di dunia pernah terinfeksi cacing ini. Tidak jarang dijumpai infeksi
campuran dengan cacing lain, terutama Trichiuris trichiura.7 Telur yang infektif ditemukan di
tanah, yang dapat bertahan bertahun-tahun. Manusia mendapat infeksi dengan cara tertelan telur
cacing Ascaris lumbricoides yang infektif (telur yang mengandung larva). Hal ini terjadi karena
termakan makanan atau minuman yang tercemar oleh telur cacing. Gejala klinis dapat muncul
disebabkan karena:7,8
a. Migrasi Larva
Organ yang paling sering dikenai yaitu paru yang mana hal ini disebabkan oleh proses
patologis dan reaksi alergi berupa peningkatan suhu sampai 39,5-40oC, pernafasan cepat
dan dangkal (tipe asmatik), batuk kering atau berdahak (ditandai dengan Kristal charcot
leyden) ronkhi atau wheezing tanpa krepitasi (1-2 minggu). Pada pemeriksaan lab
ditemukan eosinophilia transien, CXR: sindrom loeffler sehingga diduga pneumoni
viral/TB.4,6
b. Cacing Dewasa
Umumnya dijumpai gejala demam, rasa tidak nyaman di perut, kolik akut pada daerah
epigastrium, gangguan selera makan, diare akibat peradangan dinding usus. Muntah cacing
merupakan komplikasi paling ditakuti karena dapat menyumbat jalan napas. Apendisitis
akibat masuknya cacing ke lumen appendix, terjadi penyumbatan ampula vateri atau
saluran empedu dan terkadang masuk ke jaringan hati. Selain gejala tersebut, hasil

17
metabolism cacing dapat menimbulkan fenomena sensitisasi seperti urtikaria, asma
bronchial, konjungtivis akut, fotofobia dan kadang-kadang hematuria. 4,6
Pada kasus Pada kasus, gejala yang terdapat pada anak adalah nyeri perut saat makan
sehingga terjadi penurunan nafsu makan, adanya konstipasi, nyeri pada semua region abdomen
dan teraba keras seperti adanya masa, anak tampak lemas dan dari hasil pemeriksaan darah di
dapatkan Hb 9,0 g/dl (rendah).
Untuk menegakkan diagnosis askariasis adalah dengan pemeriksaan tinja secara
langsung yang ditemukan adanya telur dalam tinja. Selain itu, diagnosis dapat dibuat bila cacing
dewasa keluar sendiri baik melalui mulut atau hidung karena muntah maupun melalui tinja. 4,6,7,8
Pada kasus tidak dilakukan pemeriksaan feses karena riwayat pemberian obat cacing 2
minggu sebelum masuk IGD dan keluar cacing serta setelah diberikan obat cacing, anak BAB
cacing dan muntah cacing. Kecacingan inilah yang juga dapat menjadi penyebab nyeri perut
pada anak, penurunan nafsu makan, konstipasi serta lemas.
Pada saat ini, tatalaksana pemberian obat-obatan telah dapat mengeluarkan cacing dari
dalam usus. Obat-obatan yang digunakan:9
a. Pirantel pamoat, dosis 20 mg/kgBB/hari, dosis tunggal, memberikan hasil yang
memuaskan
b. Mebendazol, dosis 100 mg, dua kali sehari, diberikan selama tiga hari berturut-turut.
Hasil pengobatan baik, tetapi efek samping berupa iritasi terhadap cacing, sehingga
cacing dapat terangsang untuk bermigrasi ke tempat lain harus dipertimbangkan.
c. Oksantel-pirantel pamoat, dosis 10 mg/kgBB, dosis tunggal memberikan hasil yang baik
(dapat digunakan untuk infeksi campuran A. lumbricoides dan T. trichiura)
d. Albendazol dapat diberikan 2 tablet Albendazol (400 mg) atau 20 ml suspense, berupa
dosis tunggal. Hasil cukup memuaskan.
Pada kasus obat cacing yang diberikan adalah Albendazole karena merupakan dosis
tunggal yang artinya hanya sekali pemberian, dapat digunakan untuk segala usia, efektif untuk
melawan nematoda baik larva maupun cacing dewasa. Selain itu juga aktif dalam membunuh
cacing di gastrointestinal dan paru-paru, cacing golongan cestoda dan trematode.
Pencegahan infeksi Ascariasis, dengan cara perbaikan sanitasi dan kebersihan pribadi
serta lingkungan sangat mempunyai arti dalam penanggulangan infeksi cacing gelang ini.9

18
Edukasi diberikan pada keluarga yaitu rutin menggunting kuku anak jika panjang dan
kotor, menjaga kebersihan tangan dengan mencuci tangan setelah bermain atau sebelum dan
sesudah makan, memasak makanan hingga matang dan menjaga kebersihan lingkungan.

Kesimpulan

Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan penyakit yang sering ditemukan pada anak, sering
merupakan tanda kelainan ginjal dan saluran kemih, serta berpotensi menyebabkan parut ginjal
yang berlanjut menjadi gagal ginjal terminal. Diagnosis dini dan terapi adekuat sangat penting
dilakukan agar penyakit tidak berlanjut. Peranan pencitraan sangat penting untuk mencari faktor
predisposisi, dan jenis pemeriksaan tergantung pada tujuan dan fasilitas yang tersedia.
Pengobatan ISK bertujuan untuk mencegah terjadinya parut ginjal. Keberhasilan penanganan
yang efektif ialah diagnosis dini dan pengobatan antibiotik yang adekuat, serta tindak lanjut yang
terprogram

Infeksi cacing merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat terutama di negara
berkembang seperti Indonesia yang dapat mengakibatkan kurang gizi dan gangguan
perkembangan kognitif. Prevelensi terbanyak di Indonesia terkait infeksi cacing disebabkan oleh
Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan
Necator americanus). Masalah penyakit kecacingan di Indonesia berkaitan erat dengan iklim dan
kebersihan diri perorangan, rumah maupun lingkungan sekitarnya serta kepadatan penduduk
yang tinggi. Oleh sebab itu pada tahun 2001 WHO mulai melaksanakan strategi pencegahan
dengan memberikan obat anti cacing sekali setahun apabila prevalensi infeksi cacing dalam suatu
komunitas lebih dari 20% dan dua kali setahun apabila prevalensi lebih dari 50% tanpa melihat
diagnosa klinis.

Pada kasus ISK yang terjadi merupakan ISK simpleks yang mana dapat dilihat berdasarkan
gejala yang terjadi pada anak yaitu nyeri perut saat mau BAK, selain itu anak di indikasikan
rawat inap karena nyeri abdomen yang berat. Kecacingan pada anak didiagnosis berdasarkan
temuan cacing saat anak BAB dan muntah. Kecacingan ini juga menyebabkan gejala nyeri perut,
konstipasi, penurunan nafsu makan dan Hb yang rendah pada anak.

19
Referensi

1. Unit Kerja Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Konsensus Infeksi Saluran Kemih pada
Anak. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011.
2. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati EV, editor. Pedoman
pelayanan medis ikatan dokter anak Indonesia. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2009.
h. 136-138.
3. Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, Behrman RE, et all. Nelshon; textbook of pediatrics 20 th ed.
Philadelphia:Elsevier. 2016. p. 2556.
4. Pohan, HT. 2015. Penyakit Cacing yang Ditularkan melalui Tanah. In: Seti S, et al eds. Buku ajar
Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta: Interna Publishing
5. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 424/MENKES/SK/VO/2006. Pedoman
Pengendalian Cacingan. 26 Oktober 2021.
6. Dunn J.C, Turner H.C, Tun Aung. BioMed Central : Epidemiologicalsurveys of and research on, soil
transmitted helminths in Southeast Asia, asystematic review. 2016, January 27.Available from :
https://parasitesandvectors.biomedcentral.com/articles/10.1186/s13071-016-1370-2.
7. Darmadi, Irawati N, Nasrul E. Perbandingan Kadar IL-5 dan Jumlah Eosinofil Antara Anak dan
Orang Dewasa yang Terinfeksi Ascaris Lumbricoides. Jurnal Kesehatan Andalas. 2015;4(3) hal 756-
64.
8. Yohandromeda Syamsu, 2009. Ascariasis, Respon IgE dan Upaya Penanggulangannya. Studi
Imunologi Universitas Airlangga. Availlable at:
http://www.fk.unair.ac.id/attachments/1012_Ascariasis,%20Respons%20IgE%20dan%20Upaya%20
Penanggulangannya.pdf.
9. Soedarmo SP, Garna H, Irawan H. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Ikatan Dokter Anak
Indonesia 2nd edition. Jakarta ; Badan Penerbit IDAI; 2008.
10. WHO. Neglected Tropical Disease. Department of Control of Neglected Tropical Disease. 2016.
11. Salbiah, 2018. Hubungan Karakteristik Siswa dengan Sanitasi Lingkungan Dengan Infeksi Cacingan
Siswa Sekolah Dasar di Kecamatan Belawan Medan. Universitas Sumatra Utara. Availlable at
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6776/1/057023018.pdf.
12. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipa EA. Kapita Selekta Kedokteran Essentials of Medicine Edisi
IV. 2014. Jakarta : Media Aesculapius.

20

Anda mungkin juga menyukai