Full Ni Nengah
Full Ni Nengah
NI NENGAH MIRA
PETERNAKAN FAKULTAS
PETERNAKAN UNIVERSITAS
UDAYANA
2022
USULAN PENELITIAN
NI NENGAH MIRA
NIM. 1903511043
PETERNAKAN FAKULTAS
PETERNAKAN UNIVERSITAS
UDAYANA
2022
ii
USULAN PENELITIAN
MAHASISWA FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
NIM 1903511043
Penguji/Pembahas
Waktu
NIM 1903511043
Fakultas : Peternakan
Prof. Dr.Ir.Gusti Ayu Mayani Kristina Dewi, MS,IPU,ASEAN Made Wirapartha, S.Pt. M.Si
NIP. 195908131985032001 NIP. 197905202005011002
MENGESAHKAN
Dr. Ir.I Nyoman Tirta Ariana, MS.,IPU,ASEAN Eng Dr. Ir. Ni Luh Putu Sriyani,S.Pt,MP,IPM,ASEAN Eng
NIP.196104111986031005 NIP.197309232000032001
ii
ABSTRAK
Hijauan lamtoro sangat baik sebagai pakan ternak karena kandungan protein daun
lamtoro cukup tinggi dibandingkan dengan hijauan lainnya, yaitu mencapai 34%
berdasarkan bahan kering. Namun, penggunaan lamtoro menjadi terbatas terutama
karena adanya zat antinutrisi mimosin yang merupakan asam amino bukan protein
yang beracun bagi ternak. Pada ternak monogastrik, pemberian lebih dari 10%
tepung daun lamtoro dari total ransum dapat menimbulkan dampak yang
merugikan baik terhadap performan produksi maupun reproduksi. Perhatian para
peneliti saat ini adalah upaya untuk menurunkan (detoksifikasi) kadar mimosin
daun lamtoro agar pemanfaatannya sebagai pakan ternak khususnya ternak
monogastrik lebih optimal. Untuk itu perlu dilakukan penelitian terhadap
pemanfaatan tepung daun lamtoro hasil detoksifikasi dengan perendaman air
untuk mengetahui satus nutrisi, kadar DNA dan RNA kelenjar mammae. Dalam
penelitian ini, akan mendetoksifikasi daun lamtoro dengan perendaman air selama
12 jam. Selanjutnya dilakukan analisis kadar mimosin dan protein tepung daun
lamtoro sebelum dan sesudah perendaman. Tepung daun lamtoro hasil
detoksifikasi akan dibuat pelet dengan dosis 0%, 7,5%, 15% dan 22,5% dari total
ransum dan digunakan sebagai ransum untuk tikus bunting dan laktasi. Variabel
yang diamati adalah status nutrisi ( konsumsi ransum, kecernaan ransum, bobot
induk selama bunting dan laktasi, litter size, bobot lahir, bobot sapih, kadar
glukosa dan protein darah), kadar DNA dan kadar RNA kelenjar mammae.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan
16 unit percobaan dengan 4 ulangan, 4 perlakuan dan tiap unit terdiri dari 2 ekor
tikus sehingga jumlah tikus betina yang digunakan adalah 32 ekor. Data dianalisis
dengan Analisis Varians (ANOVA) jikan terjadi perbedaan yang nyata dilanjutkan
dengan Uji Duncan. Tujuan jangka panjang penelitian ini adalah untuk
menyediakan pakan hijauan sepanjang tahun bagi ternak ruminansia dan ternak
monogastrik. Target khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah
pemberian lebih dari 10% tepung daun lamtoro hasil perendaman pada ransum
ternak monogastrik tidak menimbulkan dampak yang merugikan baik terhadap
performan produksi maupun reproduksi. Hasil perendaman daun lamtoro selama
12 jam menurunkan kadar mimosin hingga 73,31% sedangakan kansungan PK
juga menurun sebesar 3,48%. Pengamatan terhadap status nutrisi meununjukkan
terjadi penurunan secara nyata P0.05 antara kontrol dengan perlakuan. Sedangkan
bobot sapih pada P3 berbeda nyata.
Kata Kunci : Jus Daun Lamtoro (Leucaena Leucocephala), Air Minum, Recahan
Karkas Itik Bali Jantan
iii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN...................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
DAFTAR TABEL.................................................................................................vi
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.4 Hipotesis....................................................................................................3
2.2 Pertumbuhan...................................................................................................6
2.3 Karkas.............................................................................................................6
2.3.1 Dada.........................................................................................................7
2.3.2 Paha.........................................................................................................7
2.3.3 Punggung.................................................................................................8
2.3.4 Sayap.......................................................................................................8
2.4 Daun Lamtoro................................................................................................8
iv
3.1.4 Kandang dan Perlengkapan...................................................................11
3.1.5 Peralatan................................................................................................11
3.2 Metode.........................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA...........................................……………………………..35
v
vi
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Zat makanan Standard untuk itik............................16
vii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1
Untuk dapat menghasilkan produktivitas yang optimal diperlukan
modifikasi sistem pemeliharaan, peningkatan kualitas pakan bahkan sampai
pemberian feed additive atau imbuhan pakan untuk memacu pertumbuhan. Ada
penggunaan Antibootic Growth Promotor (AGP) pada pakan yang telah dilarang.
Sampai saat ini mekanisme kerja Antibiotic Growth Promoter (AGP) belum
diketahui dengan jelas. Diperkirakan penekanan populasi mikroba patogen dalam
usus merupakan salah satu cara AGP dalam memacu pertumbuhan atau produksi.
Untuk menekan biaya pakan yang cukup tinggi maka hal yang perlu diperhatikan
adalah cara pemeliharaan pada itik bali. Pemeliharaan pada itik bali seperti
pemberian pakan dan air minum menjadi salah satu faktor dari keberhasilan
produktivitas itik bali. Solusi yang dapat diterapkan yaitu melalui manajemen
pemeliharaan untuk menekan biaya pakan serta agar itik bali tetap mendapatkan
asupan nutrisi yang berkualitas tinggi yaitu dengan cara memberikan suplemen
melalui air minum. Suplemen yang diberikan berupa jus daun lamtoro (Leucaena
leucocephala) yang dilarutkan pada air minum itik bali.
Daun lamtoro sangat baik digunakan untuk pakan ternak, dikarenakan daun
lamtoro kaya akan protein, karoten, vitamin dan mineral (Soeseno dan
Soedaharoedjian, 1992). Daun lamtoro dapat digunakan sebagai bahan additive
untuk ternak itik, hal ini dikarenakan daun lamtoro memiliki kandungan fitokimia
yang dapat menunjang produktivitas itik. Kandungan fitokimia di dalam daun
lamtoro seperti flavonoid,saponin, alkaloid, terpenoid, steroid dan senyawa lainnya
yang berperan sebagai antibakteri (Ondho, 2020). Senyawa flavonoid yang
berperan sebagai antibakteri mampu untuk meningkatkan efisiensi kecernaan
pakan, sehingga dapat meningkatkan penyerapan zat-zat nutrisi (Lestariningsih et
al., 2015). Penyerapan zat nutrisi pakan yang baik akan meningkatkan bobot hidup
ternak yang akan berpengaruh pada produksi karkas, semakin tinggi bobot hidup
ternak maka karkas yang di peroleh akan semakin tinggi. Purwanti (2008),
menyatakan bahwa peningkatan bobot hidup ternak dapat dipengaruhi oleh
penyerapan zat nutrisi yang baik.
Dilihat dari potensi daun lamtoro sebagai bahan additive yang memiliki
kandungan fitokimia sepertti flavonoid, saponin, alkaloid, terpenoid, steroid dan
senyawa lainnya yang berperan sebagai antibakteri (Ondho, 2020), maka perlu
dilakukan penelitian mengenai pengaruh penambahan jus daun lamtoro dalam air
minum terhadap recahan karkas Itik Bali Jantan.
1.4 Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah pemberian jus daun lamtoro (Leucaena
leucocephala) melalui itik bali jantan dengan dosis 2 – 6 % melalui air minum
meningkatkan recahan karkas itik bali jantan.
3
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada
masyarakat berupa sebuah informasi tentang pengaruh pemberian jus daun
lamtoro pada air minum terhadap produktivitas Itik Bali, serta dapat dijadikan
rujukan untuk penelitian selanjutnya
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Itik Bali (Anas
sp)
Itik lokal adalah itik yang khas berasal dari Indonesia dengan ciri-ciri
postur tubuh tegak, paruh pipih berwarna gelap, serta kaki yang berwarna gelap.
Itik merupakan ternak yang tahan terhadap penyakit, memiliki pertumbuhan yang
cepat, serta dapat mencerna serat kasar yang tinggi (Nugraha dkk., 2012). Salah
satu jenis itik lokal yaitu itik bali yang taksonominya menurut (Hatzel, 1984)
dapat dilihat sebagai berikut:
Kelas : Aves
Ordo : Anseriformes
Sub-famili : Anatidae
Genus : Anas
Spesies : Anas. Sp
Itik Bali merupakan salah satu jenis itik yang berasal dari daerah Bali serta
terkenal sebagai penghasil telur dan daging sehingga itik bali menjadi salah satu
ternak yang sangat bermanfaat di daerah Bali karena digunakan sebagai sarana
upakara, yang menyebabkan itik bali perlu dilestarikan (Siti, 2016). Itik Bali
memiliki ciri-ciri yang khas seperti bulu itik berwarna putih dan kecoklatan,
memiliki jambul yang khas di atas kepalanya, berat badan mencapai 1,5 - 2 kg.
Hal ini ditegaskan kembali oleh Murhijanto (1996) bahwa terdapat jambul di atas
kepalanya, memiliki bentuk tubuh yang ramping, warna bulu putih dan gelap,
serta bobot badan yang mencapai 1,6–2kg dengan produksi telur yang cukup
tinggi sekitar 250-280 butir/tahun. Selain itu, itik bali memiliki postur tubuh yang
tegak. Dikatakan juga oleh Sandhy (1999) bahwa itik bali sering disebut sebagai
itik pinguin karena bentuk tubuhnya yang tegak, warna bulunya cenderung terang,
memiliki tubuh yang berisi, serta paruh dan kakinya berwarna hitam.
Itik Bali tersebut memiliki sifat yang khas yaitu omnivorus, yang artinya
pemakan biji-bijian, rumput-rumputan, umbi-umbian, dan sebagian makanan yang
5
berasal dari hewan. Itik Bali memiliki ukuran paruh yang cukup besar, biasanya
konsumsi ransum yang cukup banyak karena pakan itik yang disediakan adalah
pakan dalam bentuk basal.
2.2 Pertumbuhan
Pertumbuhan merupakan perubahan dan berkembangnya sel di dalam
tubuh makhluk hidup yang terdiri dari perubahan bobot hidup, bentuk, dimensi
dapat diukur dari bobot bagian-bagian tubuh, jaringan dan organ (Mc Donald et
al. 2002). Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan adalah jenis ternak, jenis
2.3 Karkas
Pada umumnya ternak itik merupakan ternak unggas penghasil telur
maupun penghasil daging. Dalam produksi itik yang diarahkan untuk produksi
daging selain berat badan dan "Feed Convertion Ratio" (FCR), kualitas karkas
merupakan hal yang perlu di perhatikan. Menurut USDA (1997) yang
dimaksudkan dengan karkas adalah tubuh tanpa bulu, darah, kaki, kepala, dan
jeroannya. Murtidjo (1988) menyatakan karkas adalah tulang, daging, dan lemak
termasuk kulit hasil pemotongan setelah di pisahkan dari kepala sampai batas
tulang leher, kaki sampai batas lutut dan rongga perut. Dalam memproduksi
karkas terdapat bagian-bagian yang tidak termasuk karkas seperti kepala, leher
darah, bulu dan organ dalam (isi rongga dada dan perut).
2.3.1 Dada
Dada dipisahkan pada ujung scapula dan dorsal rusuk. Bobot dada diukur
dengan penimbangan pada bagian dada setelah dipisahkan dari karkas. Persentase
dada dihitung dengan cara bobot dada dibagi dengan bobot karkas kemudian
dikalikan dengan seratus persen (Swatland, 1984 dalam Irham, 2012).
2.3.2 Paha
Paha dipisahkan pada acetabulum, otot pelvix diikutkan, sedangkan tulang
pelvix tidak ikut pada paha dan di bagian ujung dorsal tulang tarsusmetatarsus.
7
Bobot paha dihitung dengan penimbangan pada bagian paha setelah dipisahkan
8
dengan karkas. Persentase paha dihitung dengan cara bobot paha dibagi dengan
bobot karkas kemudian dikalikan seratus persen (Swatland, 1984 dalam Irham,
2012).
2.3.3 Punggung
Punggung dipisahkan pada tulang pelvix, ujung scapula bagian dorsal dari
rusuk dan bagian posterior leher (Swatland, 1984 dalam Irham, 2012). Bobot
punggung diukur dengan penimbangan pada bagian punggung setelah dipisahkan
dari karkas. Persentase punggung dihitung dengan cara bobot punggung dibagi
dengan bobot karkas kemudian dikalikan seratus persen.
2.3.4 Sayap
Sayap dapat dipisahkan melalui potongan sendi-sendi tulang bahu
(Swatland, 1984 dalam Irham, 2012). Bobot sayap diukur dengan penimbangan
pada bagian sayap setelah dipisahkan dari karkas. Persentase sayap dihitung
dengan cara bobot sayap dibagi bobot karkas kemudian dikalikan seratus persen.
Divisi :
Magnaliophyta Kelas :
Magnoliopsida Ordo :
Fabales
Famili : Fabaceae
Genus : Leucaena
10
BAB III
MATERI DAN METODE
3.1 Materi
11
3.1.4 Kandang dan Perlengkapan
Kandang yang akan digunakan pada penelitian ini adalah kandang
itik dengan sistem “Battery colony” sebanyak 16 unit, masing-masing
petak berukuran panjang 330 cm, lebar 65 cm, dan tinggi 100 cm. Selain
itu untuk perlengkapan kandang yang akan digunakan meliputi tempat
makan dan minum, lampu sebanyak 16 biji, alas karung, dan sekam padi.
3.1.5 Peralatan
Peralatan yang akan digunakan pada penelitian ini adalah timbangan
digital dengan kepekaan 100 gr, timbangan kapasitas 10 kg, timbangan elektrik
untuk menimbang itik, termometer, gelas ukur untuk mengukur volume air
minum, label, ember, blender untuk membuat jus lamtoro, pisau, talenan, nampan,
dan alat tulis untuk mencatat data yang diperoleh.
3.2 Metode
P1: Itik yang diberi air minum mengandung 2% jus daun lamtoro
P2: Itik yang diberi air minum mengandung 4% jus daun lamtoro
lamtoro
12
badan rata- ratanya ± dengan standar deviasinya sebanyak 48 ekor,
kemudian itik
13
tersebut dimasukan ke dalam 16 petak kandang dengan masing-masing
kandang berisi 3 ekor itik.
14
kali dimasukkan ke kandang, itik diberikan air gula untuk memberikan tambahan
energi. Pencegahan penyakit dilanjutkan dengan rutin menyemprotkan molase di
area kandang tiga hari sekali.
15
2. Berat karkas : berat karkas didapatkan dengan cara menimbang karkas
yang sudah dipisahkan dari bulu, darah, kepala, leher, kaki, dan organ
dalam.
3. Persentase karkas : di dapatkan melalui hasil bagi antara berat karkas
dengan berat potong itik kemudian dikalikan 100%.
4. Potongan karkas komersial yang terdiri dari : persentase dada, paha
atas, paha bawah, punggung dan sayap.
Berat Dada
Persentase dada = Bobot Karkas 𝑥 100 %
Berat Paha Atas
Persentase paha atas = 𝑥 100 %
Berat Karkas
Berat Paha Bawah
Persentase paha = 𝑥 100 %
Berat Karkas
Berat Punggung
Persentase punggung = 𝑥 100 %
Berat Karkas
Berat Sayap
Persentase sayap = 𝑥 100 %
Berat Karkas
Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam dengan bantuan SPSS .
Apabila terdapat perbedaan yang nyata diantara perlakuan (P<0,05), analisis akan
dilanjut dengan melakukan uji jarak berganda dari Duncan (Steel dan Torrie.
1993).
16
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Parameter Perlakuan
P0 P1 P2 P3
Konsumsi BK (g/e/h) 23,89a±0,54 21,48b±0,39 21,23b±0,98 17,90c±0,59
Konsumsi BO (g/e/h) 22,22a± 0,50 20,00b ±0,36 19,83b ±0,91 16,60c±0,55
Konsumsi Protein 6,02a±0,14 5,57 ±0,10
b
5,69b±0,26 4,89c±0,17
(g/e/h)
Konsumsi Energi 109,89a±2,49 100,20b±1,80 102,12b±4,87 86,99c±2,90
(Kkal/e/h)
Keterangan : angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama
menunjukkan hasil berbeda nyata pada taraf uji 5%
P0 = Kontrol 100% pakan komersial bentuk pelet (tanpa jus daun lamtoro)P1 =
92,5% pakan komersial bentuk pelet + 7,5% jus daun lamtoro
P2 = 85% pakan komersial bentuk pelet + 15% jus daun lamtoro
P3 = 77,5% pakan komersial bentuk pelet + 22,5% jus daun lamtoro
Selama periode laktasi, kecernaan BK, BO, PK dan energi ransum juga
menurun secara nyata P<0,05 dibandingkan kontrol. Kecernaan BK perlakuan P1,
P2 dan P3 adalah antara 5,78%-16,86%, kecernaan BO adalah 5,70%- 16,86%,
rata-rata penurunan kecernaan protein adalah 11,48-22,66%, dan DE
adalah 16,03%-35,53% seperti tersaji pada Tabel 5.2. Penurunan kecernaan nutrien
disebabkan kandungan SK ransum perlakuan semakin meningkat dan adanya faktor
zat antinutrisi seperti kondenstanin dan asam fitat.
Tabel 5.2.
Rata-rata kecernaan nutrien Itik Bali Jantan laktasi
yang diberi perlakuan jus daun lamroto hasil perendaman.
Parameter Perlakuan
P0 P1 P2 P3
KCBK (%) 80,79a ±1,57 76,12b ±1,84 73,77b ±3,99 67,17c±1,52
KCBO (%) 84,19a ±1,29 79,39b ±1,59 77,28b ±3,60 70,22c ±2,00KCPK
(%) 78,02 ±2,80
a
69,06b±2,38 68,90b±4,58 60,34c±1,83DE
(Kkal/h) 90,97a±2,40 76,39b±2,60 74,84b±4,894 58,65c±2,44
Keterangan : angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama
menunjukkan hasil berbeda nyata pada taraf uji 5%
P0 = Kontrol 100% pakan komersial bentuk pelet (tanpa jus daun lamtoro)P1
= 92,5% pakan komersial bentuk pelet + 7,5% jus daun lamtoro
P2 = 85% pakan komersial bentuk pelet + 15% jus daun lamtoro
P3 = 77,5% pakan komersial bentuk pelet + 22,5% jus daun lamtoro
4.2.3. Pertambahan bobot badan dan Biokimia darah Itik Bali Jantan laktasi
Hasil penelitian terhadap pertambahan bobot badan Itik Bali Jantan laktasi
yangdiberi TDLT pada ransum dapat dilihat pada Tabel 5.3. Pemberian TDLT
dalamransum selama laktasi juga menyebabkan penurunan terhadap pertambahan
bobotbadan Itik Bali Jantan laktasi kelompok perlakuan. Namun hasil analisis
sidik ragammenunjukkan tidak berbeda nyata P>0,05 dengan kontrol. Konsumsi
ransum dankecernaan ternak secara langsung berpengaruh terhadap pertumbuhan.
Penurunanpertambahan bobot badan yang tidak berbeda nyata ini disebabkan
oleh kebutuhan nutrien pakan sudah mencukupi untuk kondisi fisiologi selama
laktasi. Pemeriksaan biokimia darah juga dipakai untuk mengetahui kondisi
fisiologis ternak selama bunting sampai laktasi yaitu dengan mengukur kadar
glukosa dan protein darah. Kadar glukosa dan protein darah berkorelasi positif
dengan status nutrisi ternak, oleh karena itu kadar glukosa dan protein darah
sering dijadikan parameter dalam memprediksi status nutrisi ternak, kekurangan
gizi atau kebutuhan telah tercukupi. Rata-rata kadar glukosa dan protein darah
Itik Bali Jantan laktasi disajikan pada Tabel 5.3.
Tabel 5.3.
Pertambahan Bobot Badan dan Biokimia Darah
Itik Bali Jantan umur 11 hari Laktasi yang Diberi Jus Daun Lamtoro Hasil
Perendaman.
Parameter Perlakuan
P0 P1 P2 P3
PBB (g/e/h) 0,18a±0,12 0,13a±0,67 0,14a±0,52 0,07a±0,26
Glukosa darah mg/dl 79,18a ± 1,.60 79,25a±14,24 79,20a±5,77 79,05a±17,21 Protein
darah g/dl 7,15a±0,56 7,10a±0,51 7,13a±0,40 7,05a±0,28
Keterangan : angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama
menunjukkan hasil berbeda yata pada taraf uji 5%
P0 = Kontrol 100% pakan komersial bentuk pelet (tanpa jus daun lamtoro)P1 =
92,5% pakan komersial bentuk pelet + 7,5% jus daun lamtoro
P2 = 85% pakan komersial bentuk pelet + 15% jus daun lamtoro
P3 = 77,5% pakan komersial bentuk pelet + 22,5% jus daun lamtoro
Kadar glukosa darah pada perlakuan (P1, P2 dan P3) berkisar antara 79,05-
79,25 mg/dl. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan perbedaan yang tidak nyata
P>0,05 jika dibandingkan dengan P0 yaitu 7,18 mg/dl. Ketersediaan nutrien dan
kemampuan ternak untuk menyerap nutrien tersebut berdampak positif terhadap
tingkat kandungan glukosa plasma darah ternak. Ketersediaan glukosa dalam darah
merupakan komponen penting sebagai sumber utama energi atau sebagai prekursor
energi untuk fetus (Orskov dan Ryle, 1990).
Begitu juga dengan kadar protein darah, setelah dianalisis dengan sidik
ragam, kadar protein darah antara perlakuan (P1, P2, dan P3) berkisar antara 7,05-
713 g/dl sedangkan perlakuan P0 adalah 7,15 g/dl. Hal tersebut menunjukkan
bahwa status nutrisi Itik Bali Jantan laktasi yang diberi tambahan TDLT masih
berada pada batas ambang untuk mendukung status fisiologis Itik Bali Jantan
laktasi. Kandungan total protein darah tidak memiliki korelasi dengan konsumsi
protein kasar. Total protein darah merupakan pengukuran total jumlah protein
dalam darah. Total protein darah hewan mengandung 92% air dan 8 protein,
lemak,karbohidrat, garam-garam, minyak, dan bermacam-macam hasil
metabolisme.
4.2.4. Pertumbuhan dan perkembangan anak pascalahir
Tabel 5.4.
Pertumbuhan dan perkembangan anak pascalahir
Parameter Perlakuan
P0 P1 P2 P3
Litter size 8,38a±1,18 8,5a±1,85 8,62a±1,5 9,25a±0,7
Bobot lahir (g/e) 5,16a±0,18 5,06a±0,40 5,16a±0,48 5,13a±0,68
Bobot sapih (g/e) 27,99a±2,56 27,28a±4,42 27,96a±5,21 22,65b±0,44
Keterangan : angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama
menunjukkan hasil berbeda yata pada taraf uji 5%
P0 = Kontrol 100% pakan komersial bentuk pelet (tanpa jus daun lamtoro)P1 =
92,5% pakan komersial bentuk pelet + 7,5% jus daun lamtoro
P2 = 85% pakan komersial bentuk pelet + 15% jus daun lamtoro
P3 = 77,5% pakan komersial bentuk pelet + 22,5% jus daun lamtoro
Hal ini berarti bahwa pemberian TDLT pada ransum hingga 22,5% selama
periode bunting tidak menghambat perkembangan embrio hingga fetus lahir.
Pemberian TDLT pada perlakuan P1, P2 dan P3 dalam penelitian ini tidak
menghambat perkembangan embrio karena kandungan mimosin jus daun lamtoro
hasil perendaman mengalami penurunan hingga 73%. Sehingga kandungan
mimosin pada ransum dengan aras tertinggi yaitu 22,5% adalah 0,64%. Namun
apabila jus daun lamtoro yang tidak diproses melaluiperendaman air, pada aras
22,5%, kandungan mimosinnya akan mencapai 2,39%. Menurut Chancay dan
Poosaran, (2009) bahwa pemberian jus daun lamtoro untuk ternak monogastrik
sebaiknya dibatasi hingga 10%. Karena kandungan mimosin pada jus daun lamtoro
segar pada aras 10% adalah 1,064%. Sejalan dengan penelitian Fayemi (2011)
bahwa kelinci tidak toleran terhadap mimosin lebih dari 1%.
Ransum dengan kualitas yang baik sangat berpengaruh terhadap kebutuhan
hidup pokok, produksi dan reproduksi seekor ternak. Nutrien yang
terkandung di dalam ransum induk diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pada
saat bunting dan laktasi. Nutrien yang terkandung di dalam ransum, selain
berpengaruh terhadap pertumbuhan fetus selama di dalam uterus juga berpengaruh
terhadap perkembangan fetus itu sendiri. Perkembangan yangdimaksud di sini
adalah proses dimana terjadi diferensiasi sel dan jaringan untuk membentuk organ
yang nantinya akan berfungsi untuk kelangsungan hidup fetus. Selanjutnya
kandungan nutrien dalam ransum induk, juga berpengaruh terhadap bobot lahir
anak.
Hasil penimbangan bobot lahir anak selama penelitian tersaji pada Tabel
5.9. Rata-rata bobot lahir anak Itik Bali Jantan bunting yang diberi TDLT tidak
menunjukkan perbedaan nyata P>0,05 antara kontrol dengan perlakuan dimana
rata- rata bobot lahir anak berkisar antara 5,06-5,16 gram/ekor. Hal ini berarti
bahwa penambahan TDLT selama Itik Bali Jantan bunting tidak menyebabkan
penurunan asupan nutrien yang dibutuhkan untuk perkembangan dan pertumbuhan
fetus.
Setelah anak dilahirkan, pemenuhan nutrisi anak terjadi melalui produksi
susu induk dan produksi susu induk sangat ditentukan oleh kualitas dan jumlah
konsumsi ransum induk. Menurut Hardjosubroto (1994) bobot sapih merupakan
indikator induk untuk menghasilkan air susu dan kemampuan anak untuk
mendapatkan air susu. Rata-rata bobot sapih anak Itik Bali Jantan dalam penelitian
ini adalah 22,65-27,99 gram/ekor/hari. Perbedaan secara nyata terhadap
pertambahan bobot badan anak dan bobot sapih pada perlakuan P3 disebabkan
kecernaan nutrien induk pada perlakuan P3 paling rendah dibandingkan dengan
perlakuan P0, P1 dan P2.
Rendahnya kecernaan menyebabkan nutrien yang diserap akan berkurang
sehingga substrat yang dibutuhkan untuk sintesis air susu juga berkurang. Substrat
yang dibutuhkan untuk mensintesis air susu adalah glukosa, asam amino, asam
lemak, dan gliserol secara berturut menjadi laktosa, protein (kasein), dan lemak.
Substrat atau nutrien ransum yang berada dalam sistem sirkulasi berasaldari
penyerapan sistem saluran pencernaan dan mobilisasi cadangan energi tubuh, yang
selanjutnya masuk ke dalam sel-sel sekretori dengan sistem transportasi melalui
pengaturan hormonal. Jumlah substrat yang tidak cukup untuk
mensintesis air susu akan mempercepat involusi sel-sel kelenjar mammae. Menurut
Hadsell et al. (2007) selama periode laktasi, sekresi air susu sangat tergantung dari
proliferasi dan aktivitas sel sekretori kelenjar mammae selama periode bunting,
hormon, status nutrisi (keberadaan substrat) dan aliran darah menuju ke kelenjar
mammae.
Selain karena pengaruh kecernaan ransum, ketersediaan substrat dan aliran
substrat, sekresi air susu juga dipengaruhi oleh jumlah anak yang dilahirkan. Itik
Bali Jantan yang diberi perlakuan P3 memiliki jumlah anak lebih banyak
dibandingkan perlakuan P0, P1 dan P2. Menurut Manalu dan Sumaryadi (1996),
bahwa bobot sapih ditentukan oleh litter size dimana induk dengan litter sizeyang
lebih banyak menghasilkan bobot sapih yang lebih rendah dibandingkan induk
dengan litter size lebih sedikit.
Parameter Perlakuan
P0 P1 P2 P3
BKBL (g) 1,73a±0,05 1,73a±0,05 1,73a±0,04 1,71a±0,04
Kons. DNA 77,00a±2,59 77,51a±6,24 77,08a±1,18 74,43a±4,44
(µg/mg)
Keterangan : angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan
hasil berbeda nyata pada taraf uji 5%
P0 = Kontrol 100% pakan komersial bentuk pelet (tanpa jus daun lamtoro)P1 = 92,5% pakan
komersial bentuk pelet + 7,5% jus daun lamtoro
P2 = 85% pakan komersial bentuk pelet + 15% jus daun lamtoro
P3 = 77,5% pakan komersial bentuk pelet + 22,5% jus daun lamtoro
5.1. KESIMPULAN
1. Penambahan jus daun lamtoro hasil detoksifikasi dengan aras 7,5%, 15%
dan 22,5% pada ransum Itik Bali Jantan menyebabkan penurunan konsumsi
ransum, dan kecernaan ransum induk namun tidak menurunkan
pertambahan bobot badan induk, litterr size dan bobot lahir anak.
Penurunan bobot sapih anak hanya terjadi pada ransum dengan aras 22,5%.
2. Penambahan jus daun lamtoro hasil detoksifikasi hingga aras 22,5% dalam
ransum Itik Bali Jantan bunting-laktasi tidak menurunkan kadar gula dan
protein darah.
3. Penambahan jus daun lamtoro hasil detoksifikasi hingga aras 22,5% dalam
ransum Itik Bali Jantan bunting-laktasi tidak menurunkan kadar DNA dan
RNA kelenjar mammae pada Itik Bali Jantan.
5.2. SARAN
1. Perlu dilakukan penelitian terhadap kadar hormon reproduksi dan hormon
tiroksin pada hewan coba yang diberi jus daun lamtoro hasil perendaman.
2. Perlu dilakukan analisis kandungan asam amino essensial pada jus daun
lamtoro hasil perendaman.
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar dan A.G. Nataamijaya. 1999. Persentase karkas dan bagian-bagiannya dua galur
ayam broiler dengan penambahan tepung kunyit (curcuma domestica val) dalam
ransum. Buletin Peternakan. Edisi Khusus. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta.
Anggraeni. 1999. Pertumbuhan Alometri dan Tinjauan Marfologi Serabut Otot Dada
(muscullus pectoralis dan muscullus supra corarideus) Pada Itik dan Entok
Lokal.Tesis. Program PascaSarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Departogi, I Made Swiman. 2008. “Komposisi Fisik Karkas Itik Bali Jantan Umur 10
Minggu Yang diberi Pakan Komersial Disubstitusi dengan Pollard dan Aditif
Mineral Bebek”. Universitas Udayana
Ismiah, N. F., N. W. Siti., dan I N. Ardika. 2022. Potongan komersial karkas Itik Bali
(Anas Platyrhynchos) jantan yang diberi jus daun indigofera (Indigofera
zollingeriana) melalui air minum. Jurnal peternakan tropika 10(2): 423 – 437.
Merkley, S.W., B.T, Weinland., G.W. Malone dan G.W. Chaloupka., 1980, Evaluation of
five commercial broiler carcass 2. eviscerad yield and component parts. J. Poult.
Sci. 59 ; 1755-1760
Prawira, I N., I M. Suasta, dan I P.A Astawa. 2019. Pengaruh pemberian probiotik melalui
air minum terhadap bobot dan potongan karkas broiler. Jurnal Peternakan Tropika.
7 (3): 958-969. https://ojs.unud.ac.id/index.php/tropika/article/view/53921/31971
Putra, A., Rukmiasih, R. Afnan. 2015. Persentase dan kualitas karkas itik Cihateup-Alabio
(CA) pada umur pemotongan yang berbeda. Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi
Hasil Peternakan. 03 (1): 27-32
Siti, N. W. 2016. Meningkatkan Kualitas daging Itik dengan Dauh Pepaya. Penerbit Swasta
Nulus, Denpasar.
Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. PT. Gramedia.
Pustaka Utama, Jakarta.
Soeparno. 2005. Ilmu dan teknologi daging cetakan keempat. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Simpson, M. G., 2006, Plant Systematics, Elsevier Academic Press Publivation, London.
Srigandono B. 1997. Ilmu Unggas Air. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Wahju, J. 2004. Ilmu Nutrisi Unggas. Edisi Ke-4. Universitas Gadjah Mada Press,
Yogyakarta.