Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH PRIMATOLOGI

Sejarah Paleoprimatologi dan Penemuan Fosil Hominoid

Di Indonesia

Oleh :

MOHAMAD DAVA ADITYA

H1020045

PROGRAM STUDI PENGELOLAAN HUTAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan kebaikannya sehingga saya sanggup menyusun makalah sesuai tenggat
waktu.
Penyusunan makalah sejarah paleoprimatologi dan penemuan fosil
hominoid ini memiliki tujuan agar pembaca mengetahui asal usul teori evolusi
manusia-kera dimana Indonesia memiliki kontribusi dalam lokasi penemuan yang
menggemparkan dunia.
Kemudia saya ucapkan terimakasih kepada Galuh Masyithoh S.Hut.,
M.Si.. selaku dosen pengampu. Saya sadar apabila dalam penyusunan makalah ini
masih banyak ditemukan kekurangan. Oleh sebab itu saya dengan sangat terbuka
menerima kritik dan saran sebagai evaluasi diri. Sekali lagi terima kasih dan
semoga dapat memberi manfaat bagi yang membacanya.Dengan adanya makalah
ini, saya berharap adanya kritik dan saran dari para pembaca demi
penyempurnaan tugas-tugas berikutnya.
Saya berharap semoga makalah ini dapat menjadi bahan literatur untuk
mengetahui asal usul fosil hominoid di Indonesia.

Surakarta, 4 April 2023


Penyusun

Mohamad Dava Aditya


DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR.................................................................. i

DAFTAR ISI................................................................................ ii

I. PENDAHULUAN..................................................................... 1

1.1 Latar Belakang.................................................................... 1

II. ISI............................................................................................. 3

2.1

............................................................................................ 3

2.2 Syarat Tumbuh.................................................................... 4

2.3 Manfaat Kapulaga............................................................... 8

III. PENUTUP ............................................................................. 13

1.1 Kesimpulan........................................................................ 13
1.2 Saran.................................................................................. 13

DAFTAR PUSTAKA................................................................... 14

LAMPIRAN GAMBAR.............................................................. 15
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia memiliki 59 spesies dari 11 genus primata di dunia. Populasi


primata Indonesia semakin menurun dan ada yang terancam punah, termasuk
orangutan dan tarsius. 3,31% penduduk Indonesia tinggal secara permanen di
dekat hutan dan mata pencaharian mereka bergantung pada sumber daya lahan
dan hutan, termasuk kawasan lindung. Pengurangan habitat dan perburuan
mengancam kehidupan primata. Dua puluh empat (24) spesies yang kita miliki
merupakan primata endemik yang tersebar di beberapa pulau di Indonesia. Masih
banyak primata Indonesia yang spesies dan persebarannya belum diinventarisasi
secara detail. Demikian pula sifat biologisnya banyak yang belum diketahui,
sehingga masih diperlukan penelitian untuk menyusun strategi pengembangannya.
Selain itu, penurunan jumlah penduduk juga dipengaruhi oleh status kesehatan
mereka.

Primata termasuk mamalia dengan demikian, tidak dicirikan oleh siklus


hidup yang sangat eksotis, seperti mamalia lain. Primata tumbuh sampai usia
dewasa dan ketika mereka berhenti tumbuh, mereka memulai kehidupan
reproduksinya, mendedikasikan energi yang digunakan sebagai yang belum
matang untuk pertumbuhan untuk reproduksi (Charnov, 1993). Mereka
bereproduksi secara seksual dan mempertahankan jenis kelamin aslinya sepanjang
hidup. Fitur-fitur ini membatasi kemungkinan taktik riwayat hidup, tetapi masih
menyisakan banyak ruang untuk variasi. Dobzshansky (1950) dan kemudian
MacArthur dan Wilson (1985) mengidentifikasi variabilitas sebagai kecepatan dan
produktivitas siklus hidup. Di satu sisi - taktik yang dilakukan oleh banyak hewan
pengerat dan lagomorph - organisme berumur pendek dan berkembang biak
secara luas, menghasilkan banyak keturunan berkualitas rendah. Probabilitas
perekrutan yang berhasil dari salah satu keturunan ini mungkin kecil, tetapi
sejumlah besar keturunan yang dihasilkan memungkinkan setidaknya dua
perekrutan. Perekutran harus dilakukan organisme diploid pada generasi
berikutnya untuk bertahan hidup.
Paleontologi sering disebut sebagai cabang ilmu geologi yang berfokus
pada penemuan sisa-sisa organisme dari masa lalu. Temuan sering disebut sebagai
fosil. Bukti paleontologi bukan hanya fosil, tetapi bisa merujuk pada jejak dan
bekas. Fosil biasanya termasuk sisa-sisa jaringan keras, yakni geligi, belulang,
cangkang, plastron dan karapas. Jejak tersebut bisa berupa jejak kaki hewan, jejak
reptil. Jejak bisa berupa kotoran hewan, goresan pada sisa-sisa tulang. Fosil juga
bisa berupa serangga yang terbungkus getah. Dari tumbuh-tumbuhan bisa berupa
fosil kayu, fosil daun yang tersimpan di bebatuan, yang terbelah akibat proses
geologis.

Perkembangan manusia purba di Indonesia tidak lepas dari penemuan


banyak vertebrata dan fosil manusia di wilayah Indonesia, oleh karena itu
Indonesia berperan penting dalam paleontologi dan paleoantropologi dunia. Pulau
Jawa merupakan salah satu daerah penghasil fosil vertebrata dan manusia yang
paling beragam untuk berbagai penemuan. Fosil Homo erectus Sangiran 17 dan
Tengkorak Homo Erectus IX adalah contoh fosil yang ditemukan di pulau Jawa,
tepatnya di desa Pucung dan Tanjung di Sangiran.

Teori evolusi yang menyatakan bahwa semua organisme yang hidup


sekarang memiliki nenek moyang yang sama dalam sejarah mereka; dan
organisme saat ini mempunyai spesies makin beragam dan kompleks. Di sisi lain,
evolusi sendiri adalah perubahan frekuensi gen suatu populasi yang disebabkan
oleh faktor evolusi. Proses evolusi dapat bervariasi dalam ruang lingkup,
kecepatan dan bentuk.. Proses geologis yang kompleks, termasuk proses
taponominya, menjadikan temuan-temuan paleontologis itu juga kompleks untuk
bisa dijadikan sebagai bukti evolusi.
II. PEMBAHASAN

A. Teori Darwin

Darwin mencoba memperkuat posisi bahwa terdapat semacam korelasi


antara manusia dan kera terkini - nenek moyang yang sama, dari mana mereka
berasal. Charles Darwin berpendapat bahwa manusia serta kera mempunyai nenek

Sumber : infocobuild.com

moyang yang sama, serta secara spesifik


pada buku "The Descent of Man and Selection in Relation to Sex", pada bab ke-6,
beliau menulis: “monyet-monyet itu kemudian bercabang menjadi dua belalai
besar , monyet-monyet dunia Baru dan dunia lama , serta dari yang terakhir,
dalam jangka waktu yang jauh, datanglah manusia, keajaiban dan kemuliaan
Semesta”.

C. Darwin mengembangkan teori biologis


perihal asal usul manusia. Darwin (buku "The
Origin of Species", "On the Expression of Emotions
in Man and Animals" (1871-1872)) menyimpulkan
bahwa manusia ialah bagian integral dari alam yang
hidup dan kemunculannya tidak terkecuali pada
aturan perkembangan dunia organik, meluas ke

Sumber : infocobuild.com
manusia ketentuan utama teori evolusi, menunjukan asal usul manusia "dari
bentuk hewan yang lebih rendah."

Pada tahun 1860-an akhirnya teori


Darwin menggegerkan dunia.
berdasarkan anatomi komparatif, data
embriologis, menunjukkan kesamaan
besar antara manusia dan kera besar,
Darwin memperkuat gagasan tentang
korelasi mereka, serta, akibatnya,
kesamaan asal usul mereka dari leluhur
orisinil kuno. Jadi lahirlah teori
antropogenesis simial (monyet). The
Descent of Man and Selection in
Relation to Sex karya Darwin terbit 12
tahun sesudah The Origin of Species.
pada buku keduanya berisi butir-butir
yang mempertalikan manusia ke bagan
sumber : goodreads.com
evolusi umum dan juga atribut manusia
analog dengan hewan. menurut Darwin, fosil-fosil manusia sulit ditemukan
karena evolusi manusia terjadi pada tahap sebelum manusia terlokalisasi.

B. Penemuan “The Missing Link”

Teori evolusi Darwin dan penemuan-penemuan fosil sebelum 1891


mendorong Marie Eugene
Francois Dubois (1858-1940) atau
Eugene Dubois untuk menemukan
mata rantai yang hilang (the missing link), yang secara hipotesis oleh Ernst
Haeckel disebut Pithecanthropus alalus atau monyet yang belum bisa berbicara.
Pada tahun 1887 ia melakukan penjelajahan di dataran tinggi Padang di Sumatera
Barat. Sementara itu, pada tahun 1888, B.D. van Rietschoten menemukan fosil
tengkorak manusia (spesimen Wadjak 1), Homo wadjakensis di gua gamping di
sekitar Wajak, Campurdarat, dekat Tulungagung, Jawa Timur. Penemuan ini
mendorong Dubois untuk memindahkan bidang penelitiannya ke Jawa.
Pada tanggal 6 Maret 1889, Dubois
mendapat persetujuan dari Dienst van het
Mijnwezen (cikal bakal Survei Geologi,

Eugene Dubois
sumber : instagram.com/
Badan
indonesian_history_in_colo
Geologi) untuk melakukan kegiatan
penelitian. Dubois melakukan
sumber : m.kaskus.co.id sumber : naturalis.nl/gutenberg.org

penggalian yang ekstensif dan


Museum trinil
sistematis di pinggiran Bengawan sumber : bappelitbang.ngawikab.go.id

Solo, dekat desa Trinil di Jawa Timur selama kurang lebih 10 tahun pada tahun
1890-1900. Dengan ketekunan dan kerja keras, akhirnya ia berhasil menemukan
the missing link yang dia beri nama Pithecanthropus erectus (Dubois, 1894),
sekarang dikenal sebagai Homo erectus. Spesimen tengkorak yang ditemukan
Dubois, yaitu Trinil 2, ditetapkan sebagai holotype dari takson Pithecanthropus
erectus. Padahal lokasi penemuannya yaitu desa Trinil adalah jenis penemuannya.
Yang lebih penting lagi, temuan Dubois

dipandang sebagai mata rantai yang hilang “the missing link” yang telah
diteorikan dan dicari oleh para ahli teori evolusi selama beberapa dekade.
Penemuan Dubois ini mengejutkan dunia ilmu pengetahuan, menjadikan
Indonesia sebagai kebanggaan dunia ilmu pengetahuan, sekaligus mengukuhkan
Eugene Dubois sebagai bapak paleoantropologi.

C. Sangiran sebagai Homeland of Java Man

Penemuan Dubois memicu


penelitian baru terhadap fosil manusia
purba di Indonesia. Ekspedisi Selenka
(1907-1908) yang melanjutkan
penggalian Dubois berhasil
mengumpulkan berbagai fosil fauna
dan flora di Trinil, namun gagal
menemukan fosil Pithecanthropus
Ekspedisi selenka dengan penggalian sistematis
hominid “ Die Pithecanthropus-
Schichten Auf Java” (1911).

Selama tahun 1920-an dan 1930-an, De Opsporingsdiendst de


Geeologische Dienst van Nedelandsch-Indie atau Jawatan Geologi Hindia
Belanda, melanjutkan pekerjaan Jawatan Pertambangan Hindia Belanda dengan
semakin

meningkatkan
Buku The age of Buku Contribution to knowledge of
Pithecanthropus the fossil mammalian
kegiatan penelitian lapangan dan pemetaan geologi sistematis di Sumatera dan
Jawa di pencarian minyak dan sumber daya mineral. Selama kegiatan ini banyak
ditemukan situs-situs baru fosil vertebrata, terutama di Bumiayu (Jawa Tengah),
dan dilanjutkan dengan ekskavasi. menambahkan informasi paleontologi dan
berbagai data dan informasi geologi dari L.J.C. van Es (1931) dan membahasnya
dalam risalahnya The Age of Pithecanthropus & Contribution to knowledge of the
fossil mammalian of Java oleh F. H. van der Maarel (1932)

Von Koenigswald bergabung dengan Biro Geologi sebagai ahli


paleontologi vertebrata yang tugas utamanya adalah mengklasifikasikan endapan
darat (terrestial deposits) di Jawa. Berdasarkan informasi yang ada, ia berhasil
membuat biostratigrafi fauna vertebrata Jawa pada tahun 1934 dan 1935. Dia
menemukan berbagai fosil hominid Pithecanthropus dan Meganthropus di daerah
Sangiran. Kemudian pada 1936, dalam kegiatan pemetaan geologi di daerah
Mojokerto, Andoyo, asisten geologi Dujfyes, menemukan sebuah tengkorak anak
hominid, Homo modjokertensis di Desa Sumber Tengah, Perning (Jawa Timur).

Marks (1953)
meneliti fosil rahang
hominid yang ditemukan
oleh penduduk desa
Glagahombo di Sangiran
dan diberi nama
Meganthropus mandible b

Sumber : kompas.com
(Pb). Setelah Marks kembali ke Negeri Belanda pada tahun 1955, Sartono
melanjutkan kegiatan penelitiannya di daerah itu sebagai ahli di Biro Geologi. Ia
meneliti dan melaporkan berbagai temuan fosil Pithecanthropus dari daerah
Sangiran, baik berupa rahang (Pc, Pd, Pe dan Pf) maupun tengkorak
Pithecanthropus IV (P IV), P VII dan P VIII.  Selain berbagai macam fosil
Pithecanthropus dan Meganthropus daerah Sangiran telah memberikan
banyaknya fosil Homo erectus yang sebelumnya ditemukan pertama oleh Eugene
Dubois hingga disebut The Java Man. Maka dari itu situs di Sangiran disebut The
Homeland of Java Man.
II. KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

3. Charnov EL, Berrigan D. Why do female primates have such long life spans and so few
babies? Or life in the slow lane. Evolutionary Anthropology. 1993;1:191–
194.
4. Dobzhansky T. Evolution in the tropics. Am Scientist. 1950;38:209–221.
5. MacArthur RH, Wilson EO. The theory of island biogeography. Princeton: Princeton
University Press; 1967.
Anonymous. https://fondeco.ru/id/teoriya-darvina-o-proishozhdenii-cheloveka-
mehanizmy-evolyucii/

James Holland Jones. 2011. Primates and the Evolution of Long-Slow Life
Histories. Curr Biol. 21(18) : 1-22

Darwin, Charles.1958.On the Origin of Species, New York and Scarborough,


Ontario: Mentor Book

Adi Permana 2020 8 - Juni - Geologi ITB Menyapa: Menulusuri Jejak


Perkembangan Manusia Purba di Indonesia
https://www.itb.ac.id/news/read/57505/home/geologi- itb-menyapa- menulusuri- jejak-
perkembangan- manusia-purba- di-indonesia
LAMPIRAN GAMBAR

Anda mungkin juga menyukai