Anda di halaman 1dari 29

FARMAKOLOGI PARACETAMOL

Disusun Oleh

Lesdamiati
2310070200017

PRESEPTOR
dr. Ade Ariadi, Sp. AN

KEPANITRAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ILMU ANESTESI RSUD M. NATSIR

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BAITURRAHMAH

SOLOK

2023
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam karena atas izin Nya penulis dapat

menyelesaikan referat yang berjudul “Farmakologi Paracetamol" ini dengan baik. Penulisan

referat ini diharapkan berguna sebagai khasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang

kesehatan yang memberikan gambaran tentang berbagai obat dan dapat bermanfaat bagi

institusi pendidikan sebagai sarana pendidikan untuk mempersiapkan peserta didik di

lingkungan pendidikan kesehatan.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Ade Ariadi, Sp. AN yang telah

memberikan bimbingan serta arahan, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan referat

ini tepat waktu demi memenuhi tugas kepaniteraan klinik. Penulis menyadari masih banyak

kesalahan baik dalam segi penyusunan, pengolahan, pemilihan kata dan proses pengetikan

karena masih dalam tahap pembelajaran. Saran dan kritik yang membangun tentu sangat

penulis harapkan untuk penyempurnaan dan perbaikan dimasa yang akan datang. Akhir kata,

penulismengucapkan terima kasih.

Solok, November 2023

Lesdamiati
2310070200017

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................................. 2


DAFTAR ISI.............................................................................................................................................. 3
BAB I ...................................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ...................................................................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang........................................................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................................................... 5
1.3 Tujuan ......................................................................................................................................... 5
BAB II ..................................................................................................................................................... 6
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................................................... 6
2.1 Epidemiologi............................................................................................................................... 6
2.2 Patofisiologi ................................................................................................................................ 7
2.3 Terapi .......................................................................................................................................... 9
2.4 Definisi ...................................................................................................................................... 11
2.5 Intoksikasi ................................................................................................................................ 14
2.6 Sejarah dan Kimia ................................................................................................................... 23
BAB III .................................................................................................................................................. 27
KESIMPULAN........................................................................................................................................ 27
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................. 28

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Parasetamol atau acetaminophen (N-acetyl-p-aminophenol) merupakan derivat sintesis

nonopioid p-aminofenol. Parasetamol ini merupakan salah satu obat yang sering digunakan

pada migren. Parasetamol digunakan secara luas sebagai antipiretik dan analgesik. Dosis

maksimum yang direkomendasikan untuk parasetamol adalah 4 gram/hari. Parasetamol biasa

digunakan dalam kombinasi dengan aspirin dan kafein. Keuntungan pemakaian parasetamol

antara lain adalah indeks terapinya lebar, bioavaibilitas bagus setelah pemberian oral, eliminasi

cepat, interaksi dengan obat lain dalam jumlah kecil, harga yang murah, bisa dibeli bebas tanpa

resep dokter dan efek sampingnya yang sedikit. Hal ini membuat parasetamol popular

digunakan. (1)

Pemakaian parasetamol bisa dengan resep maupun tanpa resep. Parasetamol merupakan

obat yang aman bahkan hampir tidak ada efek samping yang dilaporkan ketika digunakan pada

dosis terapi, namun pada beberapa dekade terakhir dilaporkan adanya efek yang tidak

menguntungkan pada sistem saraf pusat. Parasetamol dapat menembus sawar darah otak

sehingga efek sampingnya pada sel otak tidak dapat dihindari. Penggunaan jangka panjang

parasetamol menyebabkan terjadinya efek samping berupa MOH.(1)

MOH berdasarkan International Classification of Headache Disorders (ICHD III-β)

edisi III-β tahun 2013, didefinisikan sebagai nyeri kepala > 15 hari/bulan, penggunaan secara

berlebihan satu atau lebih obat secara rutin selama > 3 bulan yang digunakan untuk terapi akut

atau simtomatik nyeri kepala, dan adanya nyeri kepala yang semakin berkembang dan

memburuk selama penggunaan obat secara berlebihan. Migren mempunyai potensi yang lebih

besar untuk terjadinya MOH dibandingkan nyeri kepala primer lain.(1)

4
1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana tentang Farmakologi Paracetamol?

1.3 Tujuan

Untuk mengetahui Farmakologi Paracetamol

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epidemiologi

Migren

Berdasarkan laporan Global Burden of Disease Study 2016, migren merupakan

masalah klinik terbesar kedua dengan jumlah prevalensi tahun 2016 sebesar 1044772 ribu dan

insidensi sebesar 110316 ribu. Migren merupakan nyeri kepala primer. Migren sering dimulai

saat pubertas. Sebagian besar terjadi pada usia 30 – 55 tahun. Migren lebih banyak terjadi pada

perempuan dibandingkan laki – laki dengan perbandingan 2 : 1 akibat pengaruh hormonal.

Parasetamol sebagai obat Migren Pemicu MOH

Nyeri merupakan alasan terbanyak pasien mencari pertolongan medis. Nyeri menurut

International Association for the Study of Pain (IASP) adalah pengalaman sensorik dan

emosional yang tidak menyenangkan terkait dengan kerusakan jaringan, baik aktual maupun

potensial, atau yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut. Nyeri bisa terjadi di area

mana saja, salah satunya bisa mengenai regio kepala, disebut sebagai nyeri kepala.(1)

Nyeri kepala menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf (PERDOSSI), mengadopsi

kriteria International Heacahe Society (IHS), dibagi menjadi nyeri kepala primer dan sekunder.

Nyeri kepala primer merupakan nyeri kepala yang tidak disertai adanya kerusakan struktural

maupun metabolik, sedangkan nyeri kepala sekunder adalah nyeri kepala yang disertai adanya

kerusakan struktural atau sistemik. MOH merupakan nyeri kepala sekunder yang paling sering

terjadi akibat penggunaan obat secara berlebihan dan jangka panjang saat mengatasi nyeri

kepala migren. MOH mempengaruhi hingga 5% populasi dengan proporsi perempuan lebih

besar daripada laki-laki. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Chagas dkk diperoleh data

bahwa dari 145 pasien dengan nyeri kepala dengan umur 18-78 tahun, 87.6% adalah

perempuan dan 12.4% adalah laki-laki. Dari 145 pasien tersebut, 20% mengalami migren.

6
Penggunaan analgesik untuk nyeri kepala akut diteliti pada 250 pasien. Jumlah tersebut

melebihi jumlah pasien yang menjadi subjek penelitian sebesar 145 pasien. Dari 250 pasien,

penggunaan parasetamol sebesar 15.6%.(1)

2.2 Patofisiologi

Patofisologi Migren

Nyeri kepala pada migren dihasilkan dari aktivasi pembuluh darah afferent utama yang

menginervasi pembuluh darah kranial dan meningen. Akhiran afferent trigeminal utama

membuat sinap dengan saraf di Trigeminal Nucleus Caudalis (TNC). Saraf order kedua

kemudian menyampaikan impuls ke nukleus posteromedial ventral di thalamus dimana

informasi nosisepsi diartikan. Serat trigeminal ascending selain berakhir di thalamus juga

berakhir di beberapa area batang otak. Proyeksi descending dari nuklei mempunyai pengaruh

kuat pada persepsi nosisepsi sedangkan proyeksi ascending dapat memodulasi fungsi beberapa

area kortikal dan subkortikal. Berdasarkan mekanisme tersebut, perubahan pada beberapa

tahapan bertanggung jawab terhadap peningkatan frekuensi nyeri kepala yang terjadi pada

MOH termasuk perubahan eksitabilitas saraf kortikal, peningkatan sensitifitas sistem nosisepsi

trigeminal sentral dan perifer, dan kekacauan sistem kontrol endogen sentral.(1)

Patofisiologi Parasetamol sebagai Analgesik pada Migren

Parasetamol dengan dosis 1000 mg digunakan sebagai terapi migren non spesifik.

Mekanisme kerja untuk mengatasi nyeri adalah dengan menekan sinyal dari saraf perifer yang

menuju dorsal horn dengan cara menghambat reseptor TRPA1, menghambat reuptake

cannabinoid endogen atau vanilloid anandamide melalui down regulasi saraf terhadap

rangsangan nosisepsi TRPV1 (hambatan jalur nyeri sentral).(1)

Patofisologi Parasetamol yang Memicu MOH pada Migren

Beberapa gambaran klinis mengenai MOH yaitu (1) MOH terjadi pada sebagian besar

pasien dengan nyeri kepala primer. Penggunaan analgesik jangka panjang jarang memicu

7
timbulnya MOH pada pasien tanpa nyeri kepala atau indikasi lain. MOH terjadi akibat

penggunaan analgesik secara berlebihan dan faktor kerentanan pasien. (2) MOH biasanya

terjadi pada pasien migren yang mengalami peningkatan eksitasi saraf di sistem saraf pusat. (3)

Semua kelompok obat pada migren baik obat spesifik (ergot dan triptan) dan non spesifik

analgesik (opioid dan analgesik non narkotika) dapat menyebabkan MOH jika digunakan

secara berlebihan.

MOH akibat penggunaan parasetamol secara kronik pada migren yaitu efek pada

korteks serebral, nosisepsi trigeminal, dan sistem modulasi sentral.(1)

Efek Parasetamol pada Korteks Serebral

Parasetamol setelah melewati sirkulasi akan mengalami metabolisme. Metabolisme

parasetamol terutama di liver. Metabolisme parasetamol di liver terutama melalui glukosidasi

(52-57%) dan sulfasi (30-44%) menjadi konjugat yang tidak toksik, namun sejumlah kecil

mengalami oksidasi melalui sistem enzim cytochrome P450 (CYP450) membentuk metabolit

yang sangat toksik dan reaktif berupa N-acetyl-p-benzo-quinone imine (NAPQI) sebesar 5-

10%. Pada kondisi normal, NAPQI mengalami detoksifikasi melalui konjugasi dengan

glutation (GSH) membentuk konjugat sistein dan asam merkapturat yang kemudian

diekskresikan lewat ginjal. CYP2E1 merupakan isoform CYP450 yang terdapat di beberapa

organ termasuk di otak. Setelah melewati sawar darah otak, parasetamol di dalam otak

dimetabolisme oleh CYP2E1 menjadi NAPQI. Parasetamol dalam konsentrasi tinggi akan

meningkatkan jumlah NAPQI. NAPQI jika berikatan dengan protein sel, akan menyebabkan

kerusakan dan kematian sel. Ikatan NAPQI dengan protein sel secara tidak langsung memicu

penurunan GSH di otak. Penurunan GSH di otak akan meningkatkan stres oksidatif dengan

akibat mengubah seimbangan produksi sitokin proinflamasi (IL-1α dan TNF-α) di

hipokampus.(1)

8
Pada pasien migren terjadi peningkatan ekspresi adhesi molekul vaskular yang telah

terdeteksi ketika serangan migren.(1)

Parasetamol mempunyai efek antioksidan dan anti inflamasi. Parasetamol juga mampu

menurunkan eksitasi saraf dan meningkatkan ekspresi fungsional P-glycoprotein (P-gp).

Pemberian parasetamol dosis tunggal dapat meningkatkan ekspresi P-gp pada isolat kapiler

otak tikus setelah 3 jam hingga 6 jam dan menghilang setalah 24 jam. Parasetamol mempunyai

peran sebagai aktivator Constitutive Androstane Receptor (CAR). CAR merupakan suatu

reseptor nuklear yang mengatur eliminasi dan metabolisme xenobiotic. Aktivasi CAR

menyebabkan transkripsi gen yang mengkode enzim yang memetabolisme dan mentransport

obat. Mekanisme tersebut membuat parasetamol mempunyai efek perlindungan terhadap

perubahan pembuluh darah serebral yang dipicu oleh aktivasi CSD.(1)

Efek parasetamol pada sistem nosisepsi trigeminal

Pada migren terjadi pelepasan Calcitonin Gene Related Peptide (CGRP). CGRP

merupakan neuropeptida kunci yang terlibat dalam aktivasi sistem nosisepsi trigeminal baik

pada perubahan vaskular maupun saraf. Perubahan tersebut dihubungkan dengan peningkatan

nosisepsi trigeminovascular pada penelitian sebelumnya.(1)

Efek parasetamol pada sistem modulasi sentral

Uji preklinik mendukung penemuan klinis pada perubahan sistem 5-HT pada pasien

dengan MOH. Pemberian parasetamol jangka panjang menghasilkan upregulation reseptor 5-

HT2A di korteks cerebral. Rendahnya kadar serotonin kemudian melakukan upregulasi

ekspresi pronisepsi reseptor 5-HT2A di korteks serebral dan sistem trigeminal.(1)

2.3 Terapi

Migren

Terapi migren terdiri dari terapi preventif dan terapi akut. Terapi preventif bertujuan

untuk mengurangi frekuensi serangan dan keparahan migren. Terapi akut bertujuan untuk

9
menghilangkan gejala ketika terjadi serangan. Obat yang mempunyai efikasi pada terapi

serangan migren dikelompokkan menjadi obat non spesifik (analgesik dan NSAID) dan obat

spesifik (derivat ergot dan triptan). Untuk mencegah terjadinya MOH, penggunaan analgesik

dibatasi 15 hari tiap bulan dan kombinasi analgesik digunakan tidak lebih dari 10 hari tiap

bulan. Komorbid migren seperti depresi, nyeri viseral, fibromyalgia, nyeri orofacial, dan

penyakit temporo-mandibular. Adanya komorbid tersebut membuat penggunaan analgesik

menjadi tidak terkontrol.(1)

Kompleksitas dan komorbid pada migren menimbulkan terjadi interaksi obat. Interaksi

obat dengan obat tersebut menimbulkan terjadinya MOH. Obat yang berinteraksi dengan

parasetamol yang menimbulkan MOH adalah obat yang melewati jalur metabolisme melalui

CYP450. Lebih dari 70% obat yang diresepkan oleh dokter mempunyai jalur metabolisme yang

sama yaitu melalui CYP450. Obat yang mempunyai alur metabolisme yang sama melalui

CYP450 menyebabkan terjadinya penurunan efikasi dan atau toksisitas. Genotipe dan fenotipe

juga mempengaruhi interaksi obat dengan obat.(1)

Parasetamol sebagai Terapi Migren

Parasetamol dapat digunakan sebagai terapi migren ringan. Berdasarkan Pedoman

American Academy of Neurology (AAN) tahun 2000, parasetamol oral efektif untuk terapi

migren akut dengan level of evidence B. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan

sebelumnya. Sedangkan Pedoman European Federation of Neurologist Societies (EFNS) tahun

2009, parasetamol dosis 1000 mg baik secara oral dan suppositoria mempunyai level of

evidence A. Hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lipton dkk tahun 2000

mengenai efikasi dan keamanan parasetamol pada terapi migren. Parasetamol dosis 1000 mg

yang diberikan secara intravena tidak dapat digunakan untuk terapi serangan migren akut.

Parasetamol tunggal tidak direkomendasikan sebagai terapi migren sedang hingga berat (level

B).(1)

10
Medication Overuse Headache (MOH)

Pemberian edukasi kepada pasien memegang peranan penting dalam manajemen nyeri

kepala. Selain edukasi, terdapat tahapan lain dalam terapi MOH yaitu penghentian obat yang

menyebabkan MOH secara mendadak, terapi transisi (bridge therapy) ditujukan untuk

meredakan gejala ketika dilakukan withdrawal, penetapan regimen terapi nyeri kepala meliputi

pencegahan dan terapi akut pada nyeri kepala primer yang mendasari, dan dilakukan follow up

serta tindakan pencegahan.(1)

2.4 Definisi

Parasetamol atau asetaminofen merupakan obat analgesik antipiretik yang sangat

populer di masyarakat dan biasa digunakan sebagai pereda nyeri dari nyeri ringan sampai

sedang. Parasetamol bekerja dengan menghambat prostaglandin yang lemah pada jaringan.

Parasetamol telah terbukti efek analgesik dan antipiretiknya, namun efek anti inflamasinya

sangat lemah dan mulai banyak digunakan sebagai pereda rasa nyeri akut pasca operasi.(2)

Berdasarkan Three Step Ladder WHO (World Health Organization), penanganan nyeri

dibedakan atas intensitasnya. Nyeri ringan dapat ditangani dengan parasetamol atau NSAID

(Non-Steroid Anti Inflamatory Drugs) atau kombinasi NSAID dengan analgesik adjuvant.

Nyeri sedang dapat ditangani dengan NSAID atau kombinasi NSAID dengan analgesik

adjuvant atau kombinasi NSAID dan analgesik adjuvant dengan opioid lemah. Nyeri berat

dapat ditangani dengan NSAID, opioid kuat, kombinasi NSAID dengan opioid kuat, atau

kombinasi NSAID dan opioid kuat dengan analgesik adjuvant. Pada penanganan nyeri kronik

akan berbeda penanganannya dengan nyeri akut.(2)

Parasetamol mempunyai efikasi yang mirip dengan asetosal, tetapi tidak dapat

menunjukkan aktivitas antiinflamasi, parasetamol kurang mengiritasi lambung dan karena itu

lebih disukai daripada asetosal, khususnya pada orang lansia. Efek analgesik parasetamol

dalam mengatasi nyeri gigi ringan sampai sedang lebih kecil dibanding asetosal, namun

11
parasetamol tidak mempengaruhi waktu pendarahan (bleeding time) ataupun berinteraksi

secara bermakna dengan warfarin. Dan lagi, parasetamol kurang mengiritasi lambung.

Parasetamol adalah analgesik yang sesuai untuk anak-anak. Overdosis dengan parasetamol

secara khusus berbahaya karena dapat mengakibatkan kerusakan hati yang kadang-kadang

tidak tampak dalam 4–6 hari pertama.(3)

Parasetamol adalah obat antipiretik dan analgesik yang paling banyak digunakan pada

anak. Parasetamol sebagai terapi pilihan lini pertama (first choice) pada anak untuk pengobatan

demam kurang dari 41ºC dan sakit ringan sampai sedang. Parasetamol telah tersedia tanpa

resep sejak tahun 1960 dan mempunyai keamanan pada penggunaan jangka pendek.

Parasetamol diakui sebagai salah satu obat yang paling umum digunakan yang merupakan

golongan non-opioid.(4)

Dosis parasetamol dengan pemberian rute oral dan rektal yang tercantum dalam

literatur umumnya adalah sama. Kebanyakan Pediatric Dosing Handbook mengutip bahwa

dosis standar pemberian parasetamol oral maupun rektal adalah 10-15 mg/kg diberikan setiap

4-6 jam. Untuk dosis tinggi, pemberian parasetamol rektal adalah 40-45 mg/kg. Pemberian

parasetamol rektal dengan dosis 10-15 mg/kg terkadang gagal mencapai kadar serum

antipiretik. Oleh karena itu dosis parasetamol rektal dalam kisaran 30-45 mg/kg diperlukan

untuk dapat mencapai kadar serum antipiretik. Dosis parasetamol pada bayi baru lahir, bayi,

anak dan remaja dapat dilihat pada tabel I.(4)

Parasetamol mempunyai profil efikasi yang bagus, profil reaksi obat yang merugikan

sangat rendah dan sangat rendah pula potensi berbahaya dari interaksi obat-obatnya.

Parasetamol tersedia dalam formulasi oral dan rektal selama beberapa dekade. Namun, terdapat

kontroversi mengenai kesesuaian formulasi ini untuk digunakan dalam beberapa keadaan,

seperti pasca operasi, perawatan akut. Kontroversi mengenai kesesuaian formulasi dan dosis

juga ditemukan pada penggunaan parasetamol sebagai antipiretik.(4)

12
Penyerapan parasetamol dari rektum berlangsung lambat dan sering tidak menentu

dengan variabel penyerapan. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hal tersebut yaitu

bioavailabilitas relatif suppositoria mungkin tergantung pada ketinggian penempatan di

rektum, pH rektum, isi kubah rektal, dan aliran darah kolon. Formulasi suppositoria juga dapat

mempengaruhi bioavailabilitas parasetamol dengan penyerapan dari suppositoria lipofilik yang

lebih cepat dari pada suppositoria hidrofilik. Bioavailabilitas relatif parasetamol formulasi

rektal dibandingkan dengan formulasi oral telah dilaporkan 0,52 (dengan rentang 0,24-0,98).

Hal ini sering mengakibatkan parasetamol serum rendah konsentrasinya.(4)

Parasetamol atau N–acetyl–paraaminofenol merupakan metabolit fenasetin, pertama

kali disintesis oleh Morse pada tahun 1878 dan digunakan secara klinis pertama kali oleh Von

Mering pada tahun 1887 merupakan obat analgesik yang efektif sehingga sampai saat ini para

ahli tidak henti-hentinya meneliti mekanisme kerja dari obat tersebut. Obat ini banyak

digunakan sebagai swamedikasi (pengobatan mandiri) untuk meredakan 1,2 demam, sakit

kepala dan nyeri ringan sampai sedang. Obat ini mempunyai aktivitas sebagai analgesik, tetapi

aktivitas antiinflamasinya lemah. Pada penanganan nyeri akut paska operasi derajat ringan

sampai sedang, biasanya dosis analgesik untuk Parasetamol yang diberikan adalah 1000 mg

setiap 4–6 jam dengan dosis 2 maksimal 4000 mg/hari.(5)

Pada dosis yang direkomendasikan, Parasetamol tidak mengiritasi lambung, tidak

mempengaruhi koagulasi darah, atau mempengaruhi fungsi ginjal. Namun dari semua

kelebihannya Parasetamol ini juga memiliki beberapa kekurangan dan efek samping. Pada

dosis yang besar (lebih dari 2000 mg per hari) dapat meningkatkan risiko gangguan pencernaan

bagian atas. Selain itu, penggunaan Parasetamol di atas rentang dosis 3 terapi dapat

menyebabkan gangguan fungsi hepar.(5)

Acetaminophen adalah obat antiinflamasi non steroid (NSAID), dengan mekanisme

kerja yang berbeda dari NSAID lain. Walau mekanismenya belum dipahami dengan jelas,

13
tetapi tampak adanya hambatan pada siklooksigenase (COX) di otak secara selektif, hal ini

biasa idgunakan untuk mengobati demam dan nyeri juga dapat menghambat sintesis

prostaglandin di sistem saraf pusat (SSP). Acetaminophen langsung bekerja di hipotalamus

menghasilkan efek antipiretik. Meskipun asetaminofen memiliki profil keamanan yang baik

pada tingkat terapeutik, asetaminofen dapat menyebabkan kerusakan hati yang parah jika

dikonsumsi dalam jumlah yang tidak tepat.(6)

Parasetamol muncul sebagai alternatif pengganti ibuprofen. Tidak seperti ibuprofen,

parasetamol dianggap bertindak pada prostaglandin sintase di daerah enzim peroksidase

(POX). Peran parasetamol sebagai pengobatan alternatif untuk penutupan PDA telah mendapat

perhatian karena adanya efek samping yang potensial dari inhibitor COX.(7)

Parasetamol juga menghambat aktivitas prostaglandin sintetase melalui kerja pada

segmen peroksidase dari enzim yang menyebabkan pengurangan sintesis PG. Selain itu,

parasetamol memiliki keuntungan terapeutik dibandingkan NSAID lainnya karena tidak

memiliki efek vasokonstriksi perifer. Oleh karena itu, parasetamol dicoba sebagai pengobatan

lini dalam penutupan PDA dengan efek samping yang diamati lebih sedikit dibandingkan

dengan inhibitor COX lainnya, misalnya ibuprofen, pada banyak penelitian.(7)

2.5 Intoksikasi

Intoksikasi / kereacunan merupakan permasalahan serius yang perlu ditangani secara

baik. Insidensi keracunan di dunia secara pasti tidak diketahui, diperkirakan 500.000 orang

meninggal setiap tahun akibat berbagai macam keracunan. WHO secara konservatif

memperkirakan bahwa kasus keracunan paling tinggi terjadi di negara-negara sedang

berkembang dan meningkat hampir dua kali lipat dalam sepuluh tahun terakhir ini. Dari laporan

tahunan Sentra Informasi Keracunan Depkes RI terlihat peningkatan informasi yang berkaitan

dengan keracunan yaitu dari 265 tahun 1996 menjadi 463 tahun 1997. Keadaan sesungguhnya

mengenai berbagai kasus keracunan mungkin jauh lebih banyak lagi sejalan dengan

14
bertambahnya penggunaan obat-obat bebas di masyarakat. Melihat kejadian keracunan yang

terjadi di Indonesia ini maka telah dibentuk suatu Sentra Informasi Keracunan (SIKer) dalam

rangka meningkatkan pencegahan dan penanggulangan akibat keracunan.(8)

Keracunan ataupun intoksikasi adalah suatu kondisi dimana masuknya zat psikoaktif

yang menyebabkan gangguan kognisi, kesadaran, persepsi, perilaku dan respon psikofisiologis.

Dapat juga diartikan bahwa sebagai tanda masuknya suatu zat ke dalam tubuh seseorang yang

dapat menyebakan ketidak normalan mekanisme yang ada di dalam tubuh hingga dapat

menyebakan suatu kematian. (9)

Di Indonesia terjadi kasus keracunan nasional yang disebabkan oleh beberapa macam

penyebab yaitu binatang, tumbuhan, obat tradisional, komestika, pestisida, kimia, NAPZA

(Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya), obat, pencemar lingkungan, makanan,

produk suplemen, minuman, dan campuran. Data terakhir menyebutkan bahwa keracunan

dominan disebabkan oleh obat-obatan yang dilarang beredar, salah satunya ialah pil PCC.(9)

Pil PCC merupakan obat yang mengandung zat aktif Carisoprodol, yang merupakan

obat yang memiliki dampak penyalahgunaanya lebih besar dari pada efek terapinya. Sehingga

obat yang mengandung Carisoprodol dibatalkan izin edarnya pada tahun 2013. Dimana zat

tersebut memiliki efek samping kehilangan keseimbangan, sakit kepala yang berlebih sampai

denyut jantung tidak stabil, kejang-kejang, pingsan dan dapat menimbulkan kematian.

Kematian dapat dihindari bila penatalaksanaan terapinya tidak terlambat dan tepat.(9)

Penatalaksanaan terapi keracunan pada umumnya disebut terapi antidot, yakni tatacara

yang secara khusus ditujukan untuk membatasi intensitas efek toksik zat beracun atau untuk

menyembuhkan efek toksik yang ditimbulkannya, sehingga bermanfaat untuk mencegah

bahaya selanjutnya. Beberapa asas umum yang mendasari terapi antidot tersebut meliputi

sasaran, strategi dasar, cara, dan pilihan terapi antidot. Sasaran terapi antidot ialah penurunan

atau penghilangan intensitas efek toksik zat beracun. Strategi dasar terapi antidot meliputi

15
penghambatan absorpsi, distribusi (translokasi), peningkatan eliminasi dan atau penaikan

ambang toksik zat beracun dalam tubuh.(9)

PARASETAMOL (asetaminofen) {N-asetilp.aminofenol} [C8H9NO2]

Parasetamol merupakan obat analgesik non narkotik dengan cara kerja menghambat

sintesis prostaglandin terutama di SSP . Parasetamol digunakan secara luas di berbagai negara

baik dalam bentuk sediaan tunggal sebagai analgetik-antipiretik maupun kombinasi dengan

obat lain dalam sediaan obat flu, melalui resep dokter atau yang dijual bebas. Keracunan

parasetamol terutama menimbulkan nekrosis hati yang disebabkan oleh metabolitnya.(8)

Farmakokinetik

Parasetamol cepat diabsorbsi dari saluran pencernaan, dengan kadar serum puncak

dicapai dalam 30-60 menit. Waktu paruh kira-kira 2 jam. Metabolisme di hati, sekitar 3 %

diekskresi dalam bentuk tidak berubah melalui urin dan 80-90 % dikonjugasi dengan asam

glukoronik atau asam sulfurik kemudian diekskresi melalui urin dalam satu hari pertama;

sebagian dihidroksilasi menjadi N asetil benzokuinon yang sangat reaktif dan berpotensi

menjadi metabolit berbahaya. Pada dosis normal bereaksi dengan gugus sulfhidril dari

glutation menjadi substansi nontoksik. Pada dosis besar akan berikatan dengan sulfhidril dari

protein hati.(8)

Mekanisme toksisitas

Pada dosis terapi, salah satu metabolit parasetamol bersifat hepatotoksik,

didetoksifikasi oleh glutation membentuk asam merkapturi yang bersifat non toksik dan

diekskresikan melalui urin, tetapi pada dosis berlebih produksi metabolit hepatotoksik

meningkat melebihi kemampuan glutation untuk mendetoksifikasi, sehingga metabolit tsb

bereaksi dengan sel-sel hepar dan timbulah nekrosis sentrolobuler. Oleh karena itu pada

penanggulangan keracunan parasetamol terapi ditujukan untuk menstimulasi sintesa glutation.

Dengan proses yang sama parasetamol juga bersifat nefrotoksik.(8)

16
Dosis Toksik

Parasetamol dosis 140 mg/kg pada anak-anak dan 6 gram pada orang dewasa berpotensi

hepatotoksik. Dosis 4g pada anak-anak dan 15g pada dewasa dapat menyebabkan

hepatotoksitas berat sehingga terjadi nekrosis sentrolobuler hati. Dosis lebih dari 20g bersifat

fatal. Pada alkoholisme, penderita yang mengkonsumsi obat-obat yang menginduksi enzim

hati, kerusakan hati lebih berat, hepatotoksik meningkat karena produksi metabolit

meningkat.(8)

Paracetamol merupakan obat yang sering digunakan untuk mengobati demam dan nyeri

ringan seperti sakit kepala dan nyeri otot. Meskipun aman dikonsumsi pada dosis terapeutik,

namun overdosis obat yang disebabkan oleh pemakaian jangka panjang ataupun

penyalahgunaan masih sering terjadi. Overdosis paracetamol akan mengakibatkan terjadinya

nekrosis sel hepar daerah sentrolobuler yang dapat menyebabkan gagal hepar akut. Ketika

terjadi overdosis, kadar glutathion-SH (GSH) dalam sel hati menjadi sangat berkurang yang

berakibat kerentanan sel- sel hati terhadap cedera oleh oksidan dan juga memungkinkan N-

asetil-p-benzokuinon (NAPQI) berikatan secara kovalen pada makromolekul sel yang

menyebabkan disfungsi berbagai sistem enzim (Goodman & Gilman, 2008).Penggunaan

parasetamol yang salah, dalam dosis tinggi dan waktu yang lama dapat menimbulkan efek

samping yang tidak diinginkan, di antaranya adalah efek hepatotoksisitas yang merusak sel-sel

hati (Sheen, et al. 2002). Kerusakan hepar terjadi karena pada dosis yang berlebihan, hasil

metabolisme parasetamol yang berupa NAPQI tidak dapat dinetralisir semuanya oleh

glutathion hepar. Senyawa NAPQI bersifat toksik dan dapat menyebabkan terjadinya reaksi

rantai radikal bebas (Correia & Castagnoli, 1989). Efek yang ditimbulkan yaitu adanya

kerusakan pada organ-organ seperti organ hepar. Salah satu indikator kerusakan hati yaitu

dengan melihat kadar SGOT-SGPT. Kadar SGOT-SGPT digunakan untuk tujuan diagnostik.

Dua enzim yang paling sering berkaitan dengan kerusakan hepatoselular adalah

17
aminotransferase yang terdiri dari Serum Glutamat Oksaloasetat Transaminase (SGOT) dan

Serum Glutamik Piruvat Transaminase (SGPT). Kedua enzim ini berfungsi penting pada

pembentukan asam-asam amino yang tepat yang dibutuhkan untuk menyusun protein di

hepar.(10)

Gambaran klinis

1. Stadium I (0-24 jam), asimptomatis atau gangguan sistim pencernaan berupa mual,

muntah, pucat, berkeringat. Pada anak-anak lebih sering terjadi muntah-muntah tanpa

berkeringat.

2. Stadium II (24-48 jam), Peningkatan SGOT-SGPT. Gejala sistim pencernaan

menghilang dan muncul ikterus, nyeri perut kanan atas, meningkatnya bilirubin dan

waktu protombin. Terjadi pula gangguan faal ginjal berupa oliguria, disuria, hematuria

atau proteinuria.

3. Stadium III ( 72 - 96 jam ) Merupakan puncak gangguan faal hati, mual dan muntah

muncul kembali, ikterus dan terjadi penurunan kesadaran, ensefalopati hepatikum

4. Stadium IV ( 7- 10 hari) Terjadi proses penyembuhan, tetapi jika kerusakan hati luas

dan progresif dapat terjadi sepsis, Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) dan

kematian.(8)

Diagnosis

• Adanya riwayat penggunaan obat

• Uji kualitatif : sampel diambil dari urin, isi lambung atau residu di tempat kejadian.

Caranya : 0,5 ml sampel + 0,5 ml HCl pekat, didihkan kemudian dinginkan ; tambahkan

1 ml larutan OKresol pada 0,2 ml hidrolisat, tambahkan 2 ml larutan amonium

hidroksida dan aduk 5 menit, hasil positip timbul warna biru dengan cepat. Uji ini

sangat sensitif.

18
• Kuantitatif : Kadar dalam plasma diperiksa dalam 4 jam setelah paparan dan dapat

dibuat normogram untuk memperkirakan beratnya paparan. Pemeriksaan laboratorium

: elektrolit, glukosa, BUN, kreatinin, transaminase hati dan prothrombin time.(8)

Penanganan

• Dekontaminasi

Sebelum RS : Dapat diberikan karbon aktif atau sirup ipekak untuk menginduksi muntah pada

anak-anak dengan waktu paparan 30 menit.

Setelah dt di RS : Pemberian karbon aktif, jika terjadi penurunan kesadaran karbon aktif

diberikan melalui pipa nasogastrik. Jika dipilih pemberian metionin sebagai antidotum untuk

menstimulasi glutation, karbon aktif tidak boleh diberikan karena akan mengikat dan

menghambat metionin.(8)

• Antidotum

1. N-asetilsistein merupakan antidotum terpilih untuk keracunan parasetamol. N-asetil

sistein bekerja mensubstitusi glutation, meningkatkan sintesis glutation dan

meningkatkan konjugasi sulfat pada parasetamol. N asetil sistein sangat efektif bila

diberikan segera 8-10 jam yaitu sebelum terjadi akumulasi metabolit.

2. Methionin per oral, suatu antidotum yang efektif, sangat aman dan murah tetapi

absorbsi lebih lambat dibandingkan dengan N asetilsistein.

Dosis - Cara pemberian N-asetilsistein

• Bolus 150 mg /KBB dalam 200 ml dextrose 5 % : secara perlahan selama 15 menit,

dilanjutkan 50 mg/KBB dalam 500 ml dextrose 5 % selama 4 jam, kemudian 100

mg/KBB dalam 1000 ml dextrose melalui IV perlahan selama 16 jam berikut.

• Oral atau pipa nasogatrik Dosis awal 140 mg/ kgBB 4 jam kemudian, diberi dosis

pemeliharaan 70 mg / kg BB setiap 4 jam sebanyak 17 dosis. Pemberian secara oral

dapat menyebabkan mual dan muntah. Jika muntah dapat diberikan metoklopropamid

19
(60-70 mg IV pada dewasa) Larutan N asetil sistein dapat dilarutkan dalam larutan 5 %

jus atau air dan diberikan sebagai cairan yang dingin. Keberhasilan terapi bergantung

pada terapi dini, sebelum metabolit terakumulasi.(8)

Tata Laksana Terapi Pasien Keracunan Obat PCC (Paracetamol Coffein Carisoprodol)

Obat golongan Antiansietas merupakan obat yang berguna untuk pengobatan

simptomatik penyakit psikoneurisis dan berguna sebagai obat tambahan pada terapi penyakit

yang didasari ansietas atau perasaan cemas dan ketergantungan mental.(9)

Penggunaan obat golongan Antiansietas yang sering digunakan adalah obat Diazepam

yang diindikasikan untuk terapi kecemasan (ansietas) dalam penggunaan jangka lama, karena

mempunyai masa kerja panjang. Selain itu juga sebagai sedatif dan keadaan psikosomatik yang

ada hubungan dengan rasa cemas dan sebagai hipnotik, antikonvulsi, pelemas otot dan induksi

anastesi.(9)

Penggunaan obat Diazepam juga diberikan dengan preeklampsia dan eklampsia yang

diberikan secara intravena dengan dosis 10 mg (Kemenkes RI, 2007). Untuk itu ketersediaan

yang memadai sesuai kebutuhan medis harus terpenuhi di semua tingkatan fasilitas kesehatan.

Sehingga penggunaan obat Diazepam lebih banyak penggunaannya dibandingkan dengan obat-

obatan lainnya.(9)

Sama halnya dengan penggunaan obat golongan Antipsikosis seperti Haloperidol dan

Lodomer yang merupakan obat antipsikotik generasi pertama yang bekerja dengan cara

memblokade reseptor dopamin pada reseptor pasca sinaptik neuron di otak, khususnya di

sistem limbik dan sistem ekstrapiramidal (Dopamin D2 reseptor antagonists). Haloperidol

sangat efektif dalam mengobati gejala positif pada pasien skizofrenia, seperti mendengar suara,

melihat hal-hal yang sebenarnya tidak ada dan memiliki keyakinan yang aneh. Haloperidol

berguna untuk menenangkan keadaan mania pada pasien psikosis, sehingga sangat efektif

20
diberikan pada pasien dengan gejala dominan gaduh, gelisah, hiperaktif dan sulit tidur yang

dikarenakan halusinasi.(9)

Pemberian obat Analgesik-Antipiretik yaitu paracetamol yang merupakan golongan

obat analgesik non opioid yang telah digunakan sejak tahun 1950an, serta juga digunakan

sebagai obat antipiretik dan telah menjadi terapi lini pertama untuk terapi demam dan nyeri.

Paracetamol, atau sering juga dikenal dengan nama acetaminophen, juga telah banyak

digunakan sebagai salah satu komponen produk untuk nyeri kepala, demam, dan flu, dan juga

sudah dijual secara bebas (OTC – over the counter) di banyak negara, termasuk Indonesia.(9)

Pemberian obat Piracetam yang merupakan obat golongan Nootropik pertama yang

disetujui beberapa negara untuk mengobati gejala penurunan kognitif pada demensia dan

mioklonus kortikal yang ditandai dengan gerakan otot yang tidak terkontrol yang dapat

mengakibatkan kejang, gangguan bicara dan gejala penurunan kognitif pada demensia.

Sehingga Piracetam bekerja mempengaruhi otak dan sistem saraf dengan melindungi korteks

serebri agar tidak kekurangan oksigen.(9)

Obat golongan Vitamin yakni hanya sebanyak 1 pasien (1,7%). Vitamin adalah zat-zat

organik kompleks yang dibutuhkan oleh tubuh dalam jumlah sangat kecil, dan harus didapatkan

dari luar tubuh, karena tidak dapat disintesa atau dibentuk oleh tubuh sendiri. Vitamin yang

digunakan adalah Vitamin B-Kompleks (Vitamin B12, B6, dan B12) yang semuanya

diperlukan untuk fungsi hampir semua proses dalam tubuh. Dimana Vitamin B kompleks saling

bersinergi antara jenis vitamin satu dan jenis vitamin lainnya (Mitayani, 2010).(9)

Penggunaan obat Amoksilin sebanyak 1 pasien (1,7%) yang merupakan obat

semisintetis yang termasuk dalam antibiotik kelas penisilin (antibiotik betalaktam). Obat ini

diketahui memiliki spektrum antibiotik yang luas terhadap bakteri gram positif dan gram

negatif pada manusia maupun hewan. Amoksisilin berspektrum luas dan sering diberikan pada

pasien untuk pengobatan beberapa penyakit seperti pneumonia, otitis, sinusitis, infeksi saluran

21
kemih, peritonitis, dan penyakit lainnya. Obat ini tersedia dalam berbagai sediaan seperti tablet,

kapsul, suspensi oral, dan tablet dispersible (UNICEF, 2013). Pemberian obat ini dimaksudkan

untuk mengobati luka yang muncul di lambung, tetapi pemberian antibiotik ini tidak tepat

karena tanpa pemeriksaan kultur.(9)

Pemberian obat-obat elektrolit lain untuk terapi suportif seperti infus kristaloid (IVFD

NaCl 0,9% dan Ringer-Laktat (RL) dan IVFD Dextrose 2,5%. Infus kristaloid seperti (IVFD

NaCl 0,9% dan Ringer Laktat (RL) diberikan sebanyak 3 pasien (5,2%) yang merupakan jenis

cairan Isotonik yakni cairan infus yang osmolaritasnya (tingkat kepekaan) cairannya mendekati

serum (bagian cair dari komponen darah), sehingga berada di dalam pembuluh darah. Cairan

ini sering digunakan pasien yang mengalami hipovolemi (kekurangan cairan tubuh, sehingga

tekanan darah terus menurun). IVFD Dextrose 2,5% sebanyak 2 pasien (3,5%) yang merupakan

elektrolit berguna pada keadaan sel yang mengalami dehidrasi. Ini memperlihatkan ada

beberapa pasien yang diberi lebih dari dari satu macam infus, misal infus yang mengandung

elektrolit kemudian diberi lagi infus dekstrose.(9)

Paracetamol infus (IVFD Paracetamol) digunakan khususnya sebagai analgesik untuk

nyeri derajat ringan hingga sedang, dan juga sebagai kombinasi dan alternatif terapi dalam

teknik multimodal analgesia bersamaan dengan golongan opioid, seperti morphine. Pada saat

ini telah tersedia paracetamol infus dengan sediaan 10 mg/mL dalam vial berisi 100 mL. Oleh

US FDA pada tahun 2010 telah disetujui digunakan untuk terapi nyeri akut derajat ringan

hingga sedang dan terapi demam pada anak dan dewasa. Sejak ditemukan, paracetamol infus

telah digunakan sebagai terapi alternatif pada pasien seperti: pasien dengan gangguan

penyerapan paracetamol/NSAID oral lain, pasien yang memerlukan terapi nyeri dan/atau

memerlukan penurunan suhu tubuh dengan cepat, pasien yang tidak dapat mentoleransi

pemberian obat secara oral, dan pada pasien yang memiliki reaksi sensitivitas terhadap

golongan obat analgesik lain, seperti NSAID.(9)

22
2.6 Sejarah dan Kimia

Parasetamol sebenarnya adalah satu-satunya yang selamat dari apa yang disebut

“turunan anilin” atau “analgesik anilin”: acetanilide, phenacetin dan parasetamol

(acetaminophen). Phenacetin dan parasetamol keduanya merupakan turunan dari

asetanilida.(11)

Acetanilide secara kebetulan ditemukan memiliki aktivitas antipiretik dan dengan cepat

diperkenalkan ke dalam praktik medis dengan nama antifebrin Cahn dan Hepp, dan terbukti

memiliki aktivitas analgesik serta antipiretik. Namun efek toksiknya yang tidak dapat diterima,

yang paling mengkhawatirkan adalah sianosis akibat methemoglobinemia, mendorong

pencarian turunan anilin yang kurang toksik. Sejumlah senyawa diuji. Yang paling memuaskan

adalah phenacetin (acetophenetidin) dan N-acetyl-p-aminophenol (acetaminophen,

paracetamol). Parasetamol telah disintesis oleh Morse pada tahun 1878.(11)

Phenacetin dan parasetamol diperkenalkan ke penggunaan klinis pada tahun 1887 oleh

von Mering, yang segera membuang parasetamol dan memilih phenacetin, karena ia berasumsi

bahwa phenacetin kurang beracun.(11)

Walaupun kalah bersaing dengan aspirin, yang diperkenalkan ke dunia kedokteran oleh

Dreser pada tahun 1899, selama beberapa dekade phenacetin telah dikenal memiliki popularitas

yang luar biasa dan telah digunakan tanpa pandang bulu, terutama sebagai bahan campuran

analgesik yang dipatenkan (khususnya “campuran sakit kepala” yang dijual bebas). biasanya

mengandung phenacetin, turunan aminopyrine atau aspirin, kafein, dan terkadang barbiturat)

dan diiklankan secara luas ke publik.(11)

Penyalahgunaan campuran tersebut secara kronis dan berlebihan oleh masyarakat

awam, terkadang dalam jumlah yang sangat besar selama bertahun-tahun, menyebabkan

banyak keracunan kronis yang serius yang ditandai dengan anemia, methemoglobinemia, dan

23
kerusakan ginjal yang parah, dengan tingginya insiden nekrosis papiler (“nefropati analgesik,”

"nefropati fenacetin").(11)

Pada tahun 1948, Brodie dan Axelrod menunjukkan bahwa metabolit utama yang

bertanggung jawab atas aksi analgesik asetanilida dan fenasetin adalah parasetamol, sedangkan

methemoglobinemia dihasilkan oleh metabolit lain, fenilhidroksilamina.(11)

Maka parasetamol “ditemukan kembali” dan dipasarkan sejak pertengahan tahun 1950-

an. Popularitasnya meningkat dengan cepat, dan di banyak negara, termasuk Inggris, penjualan

parasetamol melebihi aspirin sejak sekitar tahun 1980. Hal ini disertai dengan matinya

phenacetin secara komersial, yang dianggap sebagai penyebab “nefropati analgesik,” toksisitas

hematologi, dan efek psikotropika yang dapat berkontribusi pada tanggung jawab atas

penyalahgunaan.(11)

24
25
26
BAB III

KESIMPULAN

• Parasetamol sebagai obat bebas pada migren dapat memicu MOH pada penggunaan

secara kronik. CSD memicu peningkatan ekspresi reseptor serotonin 5-HT2A, c-Fos-

mmunoreactivity, TNC dan upregulation reseptor 5-HT2A di korteks serebral. Dengan

demikian, untuk mencegah terjadinya MOH penggunaan Parasetamol dibatasi 15 hari

tiap bulan. Kombinasi parasetamol dan analgesik lain digunakan tidak lebih dari 10 hari

tiap bulan.

• Yang perlu diperhatikan dalam penanganan keracunan adalah : 1. Menyelamatkan jiwa

dengan mempertahankan tanda-tanda vital. 2. Mengurangi absorbsi lebih lanjut dari

bahan toksis dengan terapi dini. 3. Mencegah efek samping yang lebih berat dengan

monitoring dan terapi suportif.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Hidayati HB KA. No Title. J Pain Headache Vertigo. 2020;42–7.

2. Asmara DT N TE. PENGARUH PEMBERIAN ANALGESIK KOMBINASI

PARASETAMOL DAN TRAMADOL TERHADAP KADAR SERUM GLUTAMAT

OKSALOASETAT TRANSAMINASE TIKUS WISTAR. J Kedokt DIPONEGORO.

2017;6:417–26.

3. Chasanah L ON. Gamabaran Penggunaan Obat Analgesik dan Antipiretik Paracetamol

di Apotek Kelapa Tiga Kota Pekalongan. J Ilm Multidisiplin. 2023;2:1664–70.

4. Sholihah SH. EFEKTIVITAS PEMBERIAN PARASETAMOL ORAL VERSUS

PARASETAMOL REKTAL UNTUK ANTIPIRETIK PADA ANAK: SYSTEMATIC

REVIEW. J Ilmu Farm dan Farm Klin. 2020;17:22–9.

5. Aprillina Rusmaladewi WI. Pengaruh Pemberian N–Acetylcysteine terhadap Kadar

SGOT dan SGPT pada Tikus Wistar yang Diberi Parasetamol. Medica Hosp. 2014;2:78–

83.

6. Reghina Pratiwi Hidayat. N-ACETYLCYSTEINE SEBAGAI TERAPI TOKSISITAS

ACETAMINOPHEN. J Med Hutama. 2020;02:231–7.

7. Alviolita P. Rondonuwu,Johnny L.Rompis DSW. Khasiat Paracetamol Dibandingkan

Ibuprofen terhadap Penutupan Patent Ductus Arteriosus pada Bayi Prematur. e-Klinik.

2022;10:190–200.

8. Darsono lusiana. Diagnosis dan Terapi Intoksikasi Salisilat dan Parasetamol. JKM.

2002;2:30–8.

9. Dongge SH. WARTA FARMASI. Dinas Kesehat Kabupaten Konawe. 2018;7:1–9.

10. Rafita ID, Lisdiana MA. PENGARUH EKSTRAK KAYU MANIS TERHADAP

GAMBARAN HISTOPATOLOGI DAN KADAR SGOT-SGPT HEPAR TIKUS YANG

DIINDUKSI PARASETAMOL. / Unnes J Life Sci 4. 2015;29–37.

28
11. Alfio Bertolini, Anna Ferrari, Alessandra Ottani SG, Raffaella Takchi SL. Parasetamol:

Pemandangan Baru dari Obat Lama. Kompil J. 2006;12:250–275.

29

Anda mungkin juga menyukai