Disusun oleh:
Kelompok 6
Tutor:
dr. Choirotussanijjah
FAKULTAS KEDOKTERAN
Dosen Pembimbing
dr. Choirotussanijjah
I. PETA KONSEP
SKENARIO 2 : Kejang
“Seorang anak usia 1 tahun dibawa ibunya pada anda di IRD dengan keluhan kejang.”
Kata sulit
1. Kejang : serangan mendadak atau kambuhan penyakit
Kata Kunci :
1. Anak usia 1 tahun
2. Keluhan kejang
Diagnosis banding :
1. Epilepsy
2. Meningitis
3. Tetanus
4. Overdosis obat
5. Kejang demam
6. Tumor otak
Anamnesis :
1. Kapan terjadinya dan berapa lama ? terjadi pagi , selama 5 menit
2. Apa ada keluhan lain selain kejang ? demam tinggi dan diare cair sejak 1 hari yang lalu
3. Apakah sebelumnya mengalami luka (trauma) ? tidak ada trauma kepala
4. Apakah keluarga pasien memiliki riwayat keluhan yang sama ? ayah pernah kecil saat
masih kecil
5. Apakah ada faktor memperberat dan memperingan kejang pada pasien tersebut ? tidak
ada keterangan
6. Apakah pasien mempunyai riwayat kejang sebelumnya? Usia 7 bulan terdapat kejang
dengan bentuk yang sama
7. Bagaimana bentuk kejang yang terjadi pada pasien ? kelonjotan tangan dengan kaki kiri
8. apakah sudah meminum obat dan obat apa yang diminum ? paracetamol dan oralit
9. Bagaimana frekuensi kejang yang terjadi pada pasien ? 1 kali
10. Bagaimana status dehidrasi pada pasien tersebut ? mau makan dan minum sedikit-dikit
dan BAK masih cukup
11. Bagaimana riwayat kehamilan persalinannya ? dalam batas normal
Pemeriksaan fisik :
1. Kondisi umum pasien : compos mentis, tampak menangis kuat
2. Pemeriksaan vital sign
TD : 110/70 mmhg
Nadi : 98
RR : 28
Suhu : 39
3. Berat badan : 11 kg
4. Tinggi badan : tidak ada keterangan
5. Pemeriksaan kepala-leher : tidak anemia, icterus, sianosis . UUB datar, mata cowong
6. Thorax : suara napas vesicular, ronti (-), suara jantung (S1, S2) Normal, weazing (-)
7. Abdomen : bising usus meningkat, turgor kulit cukup, meteorismus (+)
8. Akral ektremitas : hangat, edema (-)
9. Status imunisasi : tidak ada keterangan
Pemeriksaan penunjang :
1. Pemeriksaan darah lengkap
Hb : 10,6
Leukosit : 4.900
Limfositosis :
2. Pemeriksaan MRI : tidak ada keterangan
3. Pemeriksaan elektrolit : tidak ada keterangan
4. Pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG) : tidak ada keterangan
5. Pemeriksaan radiologi : tidak ada keterangan
6. Pemeriksaan pungsi lumbar : tidak ada keterangan
7. Pemeriksaan urin lengkap : batas normal
8. Pemeriksaan feses lengkap : batas normal
HIPOTESIS AWAL
Kejang Demam
TPL PPL
Pemeriksaan fisik :
1. Kondisi umum pasien : compos
mentis, tampak menangis kuat
2. Pemeriksaan vital sign
TD : 110/70 mmhg
Nadi : 98
RR : 28
Suhu : 39
3. Berat badan : 11 kg
4. Tinggi badan : tidak ada keterangan
5. Pemeriksaan kepala-leher : anemia,
icterus, sianosis (-), UUB datar, mata
cowong
6. Thorax : suara napas vesicular,
rongki(-), suara jantung (S1, S2)
Normal, weazing (-)
7. Abdomen : bising usus meningkat,
turgor kulit cukup, meteorismus (+)
8. Akral ektremitas : hangat, edema (-)
9. Status imunisasi : tidak ada keterangan
Pemeriksaan penunjang :
1. Pemeriksaan darah lengkap
Hb : 10,6
Leukosit : 4.900
Limfositosis :
2. Pemeriksaan MRI : tidak ada
keterangan
3. Pemeriksaan elektrolit : tidak ada
keterangan
4. Pemeriksaan Elektroensefalografi
(EEG) : tidak ada keterangan
5. Pemeriksaan radiologi : tidak ada
keterangan
6. Pemeriksaan pungsi lumbar : tidak ada
keterangan
7. Pemeriksaan urin lengkap : batas
normal
8. Pemeriksaan feses lengkap : batas
normal
Diagnosis
Kejang demam
Mekanisme kerja otot disebabkan karena adanya interaksi jembatan silang antara
aktin dan miosin melalui mekanisme pergeseran filamen. Sewaktu kontraksi, filamen tipis di
kedua sisi sarkomer bergeser ke arah dalam terhadap filamen tebal yang diam menuju ke
pusat pita A. Saat bergeser, filamen tipis menarik garis-garis Z sehingga sarkomer
memendek, menyebabkan seluruh serat otot memendek. Sewaktu kontraksi jembatan silang
miosin dapat berikatan dengan molekul aktin sekitar, disebabkan adanya pergeseran
tropomiosin dan troponin oleh Ca2+. Dua kepala miosin di masing-masing molekul miosin
bekerja secara independen, dengan satu kepala yang melekat ke aktin pada suatu saat.
Ketika tempat perlekatan dengan aktin terpajan, molekul miosin pada ekor menekuk untuk
memudahkan pengikatan kepala miosin dengan molekul aktin yang terdekat. Pada
pengikatan, kepala miosin menekuk 45⁰ ke arah dalam, menarik filamen tipis ke pusat
sarkomer. Mekanisme ini disebut dengan kayuhan kuat jembatan silang (Sherwood, 2012).
Pada akhir satu siklus jembatan silang, ikatan antara jembatan silang miosin dan
molekul aktin terputus. Jembatan silang kembali ke bentuk semula dan berikatan dengan
molekul aktin berikutnya di belakang aktin pertama. Jembatan silang kembali menekuk ke
arah dalam untuk menarik filamen tipis lebih jauh, kemudian terlepas dan mengulangi siklus
(Sherwood, 2012).
Otot rangka memiliki tiga jenis serat yang berbeda berdasarkan kemampuan dalam
hidrolisis dan sintesis ATP yaitu serat oksidatif lambat (tipe I), serat oksidatif cepat (tipe
IIa), dan serat glikolitik cepat (tipe IIx). Serat cepat memiliki aktivitas miosin ATP-ase
(pengurai ATP) yang lebih cepat daripada yang dimiliki serat lambat. Semakin tinggi
aktivitas ATP-ase maka semakin cepat ATP terurai dan terbentuk menjadi energi untuk
siklus jembatan silang. Tipe serat oksidatif dan glikolisis dibedakan berdasarkan
kemampuannya untuk membentuk ATP. Pembentukan ATP bisa terjadi melalui fosforilasi
oksidatif dan glikolisis anaerob. Serat yang melakukan fosforilasi oksidatif menghasilkan
lebih banyak ATP sehingga lebih resisten terhadap kelelahan dibanding serat glikolitik.
Serat oksidatif kaya akan kapiler dan mioglobin sehingga menimbulkan warna merah. Serat
oksidatif disebut juga serat merah. Serat glikolitik disebut serat putih karena mengandung
sedikit mioglobin. Persentase tiap-tiap tipe terutama ditentukan oleh jenis aktivitas yang
khusus dilakukan untuk otot yang bersangkutan. Selain itu, persentasi tipe serat otot juga
berbeda tiap individu (Sherwood, 2012).
2. Definisi, Etiologi, Klasifikasi, Factor Risiko Kejang Demam
Kejang demam didefinisikan sebagai kejang pada anak usia lebih dari 1 bulan,
berhubungan dengan kenaikan suhu tubuh lebih dari 38oC yang tidak disebabkan oleh
infeksi sistem saraf pusat (SSP), tanpa adanya riwayat kejang neonatal atau kejang tanpa
sebab sebelumnya, dan tidak memenuhi kriteria kejang simptomatik lainnya. Secara umum
terdapat dua jenis kejang demam, yaitu kejang demam sederhana (KDS), yang mencakup
hampir 80% kasus dan kejang demam kompleks (KDK). Kejang demam merupakan jenis
kejang yang paling banyak terjadi pada anak, mengenai 2-5% anak berusia 6 bulan sampai 5
tahun dengan puncak onset antara usia 18-22 bulan (Made Sebastian Dwi Putra Hardika,
Dewi Sutriani Mahalini. 2019).
o Usia. Kejang demam lebih sering dialami oleh anak usia 6 hingga 60 bulan.
o Faktor genetika atau riwayat keluarga dengan kejang demam.
o Etnisitas atau ras. Kejang demam lebih sering terjadi pada anak-anak keturunan
Jepang dan populasi Pulau Pasifik tertentu.
o Infeksi virus.
o Riwayat berat badan lahir rendah (BBLR), kelahiran prematur, dan keterlambatan
perkembangan.
o Demam tinggi (lebih dari 40 derajat Celsius) (Pusponegoro, Hardiono D. Widodo,
Dwi Putro. Ismael, Sofyan. 2006).
Dalam kebanyakan kasus, kejang demam terjadi dalam hari pertama demam. Kejang
yang terjadi 3 hari setelah timbulnya demam harus dicurigai. Pada saat kejang, sebagian bes
ar anak memiliki suhu 39°C. Kejang demam dapat diklasifikasikan sebagai sederhana atau k
ompleks berdasarkan durasi, karakteristik fisik, dan pola kekambuhan. Kejang demam seder
hana terjadi sekitar 0-85% dari semua kejang demam. Hilangnya kesadaran pada saat kejang
adalah fitur konstan. Mulut berbusa, sulit bernapas, pucat, atau sianosis juga dapat terjadi. B
iasanya, kejang demam sederhana bersifat umum dan berhubungan dengan gerakan tonik-kl
onik anggota badan dan bola mata bergulir ke belakang. Kejang biasanya berlangsung selam
a beberapa detik sampai paling lama 15 menit (biasanya kurang dari 5 menit), diikuti dengan
periode mengantuk singkat pasca iktal, dan tidak berulang dalam 24 jam. Otot-otot wajah da
n pernapasan sering terlibat. Mantra atonik dan tonik juga telah dijelaskan. Sebaliknya, keja
ng demam kompleks biasanya berlangsung lebih dari 15 menit. Kejang biasanya fokal (gera
kan terbatas pada satu sisi tubuh atau satu anggota badan). Ini mungkin berulang dalam hari
yang sama. Kejang mungkin memiliki periode mengantuk pascaiktal yang berkepanjangan a
tau berhubungan dengan hemiparesis transien pascaiktal (Todd's palsy). Umumnya, anak-an
ak dengan kejang demam kompleks lebih muda dan lebih mungkin mengalami keterlambata
n perkembangan dibandingkan dengan kejang demam sederhana. Mayoritas anak-anak deng
an kejang demam kompleks melakukannya dengan kejang pertama mereka, tetapi anak-anak
dengan kejang demam sederhana awal mungkin mengalami kejang demam kompleks kemud
ian. Status epileptikus demam, jenis kejang demam kompleks yang paling parah, mengacu p
ada kejang demam terus menerus atau intermiten tanpa kesadaran yang diperoleh kembali p
ada keadaan interiktal selama lebih dari 30 menit. Perlu dicatat bahwa mata yang terus terbu
ka atau menyimpang adalah ciri dari aktivitas kejang yang sedang berlangsung. Anak-anak d
engan status epileptikus demam lebih mungkin untuk memiliki kelainan hipokampus dan ju
ga pada peningkatan risiko untuk status epileptikus demam berikutnya (Leung, Hon, & Leun
g, 2018)
Diare merupakan penyakit yang berbasis lingkungan dan terjadi hampir di seluruh
daerah geografis di dunia. Diare lebih dominan menyerang balita karena daya tahan
tubuhnya yang masih lemah, sehingga sangat rentan terhadap penyebaran bakteri penyebab
diare. Diare yang disertai muntah berkelanjutan akan menyebabkan dehidrasi (kekurangan
cairan). Diare harus selalu diwaspadai karena sering terjadi keterlambatan dalam
pertolongan dan mengakibatkan kematian (Cahyono, 2010).
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada suhu rektal diatas 38 oC
yang disebabkan oleh proses ekstrakranial tanpa adanya gangguan elektrolit atau riwayat
kejang tanpa demam sebelumnya, umumnya terjadi pada usia 6 bulan sampai 5 tahun dan
setelah kejang pasien sadar (Ismet, I. (2017). Kejang ,kondisi yang mengalami dehidrasi
karena diare, biasanya mengalami ketidakseimbangan atau gangguan elektrolit seperti
potasium dan sodium. Ketidakseimbangan ini kemudian bisa menyebabkan kontraksi otot
hingga kehilangan kesadaran. Dehidrasi merupakan komplikasi dari kejadian diare yang
disebabkan karena tubuh mengalami kehilangan cairan 40-50 ml/kg berat badan, dimana
banyaknya kehilangan cairan menentukan derajat dehidrasi, dan menyebabkan gangguan
pada termoregulasi di hipotalamus anterior sehingga terjadi demam (Wibowo, D.,
Hardiyanti, H., & Subhan, S. 2019).
Tanda- tanda awal dari penyakit diare adalah suhu tubuh biasanya meningkat, nafsu
makan berkurang atau tidak ada, kemudian timbul. diare. Tinja akan menjadi cair dan
mungkin disertai dengan lendir ataupun darah. Warna tinja bisa lama-kelamaan berubah
menjadi kehijau-hijauan karena tercampur dengan empedu. Anus dan daerah sekitarnya
lecet karena seringnya defekasi dan tinja makin lama makin asam sebagai akibat banyaknya
asam laktat yang berasal darl laktosa yang tidak dapat diabsorbsi oleh usus selama diare.
Gejala muntah dapat terjadi sebelum atau sesudah diare dan dapat disebabkan oleh lambung
yang turut meradang atau akibat gangguan keseimbangan asam-basa dan elektrolit
(Kliegman, 2006). Bila penderita telah kehilangan banyak cairan dan elektrolit, maka gejala
dehidrasi mulai tampak. Berat badan turun, turgor kulit berkurang, mata dan ubun-ubun
besar menjadi cekung, selaput lendir bibir dan mulut serta kulit tampak kering (Ismet, I.
2017).
Pemeriksaan laboratorium tidak rutin pada kejang demam, dapat untuk mengevaluasi
sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi
disertai demam. Pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah perifer,
elektrolit, dan gula darah.
MRI diketahui memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan CT
scan, namun belum tersedia secara luas di unit gawat darurat. CT scan dan MRI dapat
mendeteksi perubahan fokal yang terjadi baik yang bersifat sementara maupun kejang
fokal sekunder. Foto Xray kepala dan pencitraan seperti Computed Tomography scan
(CTscan) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) tidak rutin dan hanya atas indikasi
seperti :
o Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
o Paresis nervus VI
o Papiledema (Arief, Rifqi Fadly. 2015).
8. Diagnosis Banding Dari Kejang Demam
Penatalaksaan Promotif :
1) Kejang demam merupakan hal yang sangat menakutkan orang tua dan tak jarang orang
tua menganggap anaknya akan meninggal. Pertama, orang tua perlu diyakinkan dan
diberi penjelasan tentang risiko rekurensi serta petunjuk dalam keadaan akut. Lembaran
tertulis dapat membantu komunikasi antara orang tua dan keluarga penjelasan terutama
pada : (Deliana, M. (2016).)
o Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik.
o Memberitahukan cara penanganan kejang.
o Memberi informasi mengenai risiko berulang (Arief, R. F. (2015).
2) Memberikan Informasi kepada orang tua tentang obat-obatan (kejang demam ) dan efek
samping yang mungkin timbul dari obat-obatan tersebut. (Deliana, M. (2016)
Penatalaksaan Preventif :
1) Meningkatkan kesehatan dengan memberikan gizi yang baik, mengajarkan cara hidup
sehat.
2) Selalu rutin untuk melakukan medical check up untuk mengetahui kesehatan tubuh.
(Susi Susanti, S. S. 2018)
Penatalaksaan Kuratif :
Farmakologi
a. Tersedianya obat penurun panas yang didapat atas resep dokter (Deliana, M. (2016).
b. Diberikan diazepam intravena dosis rata-rata 0,3 mg/ kg. 2) Diazepam rektal dosis ≤ 10
kg = 5 mg/kg. 3) Parasetamol 10mg/kgBB/kali kombinasi diazepam oral 0,3 mg/kgBB.
4) Memberikan cairan yang cukup bila kejang berlangsung cukup lama ( 10 menit )
dengan IV: D5 ¼, D5, RL (Susi (2018).
Non-Farmakologi :
a. Tersedianya alat pengukur suhu dan catatan penggunaan termometer, cara pengukuran
suhu tubuh anak, serta keterangan batas-batas suhu normal pada anak (36-37 0C)
(Deliana, M. (2016).
Penatalaksaan Rehabilitatif :
a. Mengikuti anjuran dokter dengan rutin meminum obat,makan dengan makanan yang
sehat dan bergizi.
b. Mengkontrol pola hidup seperti jam tidurnya agar tidak berkurang karena dapat
memperburuk kesehatan. (Susi Susanti, S. S. 2018)
Daftar Pustaka
Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. 6th ed. Jakarta: EGC; 2012.
Made Sebastian Dwi Putra Hardika1 , Dewi Sutriani Mahalini. 2019. FAKTOR-FAKTO
R YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN KEJANG DEMAM BERULANG PADA
ANAK DI RSUP SANGLAH DENPASAR. Denpasar: E-JURNAL MEDIKA, VOL. 8 NO.4 AP
RIL, 2019. ISSN: 2303-1395.
Pusponegoro, Hardiono D. Widodo, Dwi Putro. Ismael, Sofyan. 2006. Konsensus Penatal
aksanaan Kejang Demam. Jakarta
Leung, A. K., Hon, K. L., & Leung, T. N. (2018). Febrile seizures: an overview. Drugs i
n context, 7.
Ismet, I. (2017). Kejang Demam. Jurnal Kesehatan Melayu, 1(1), 41-44.
Wibowo, D., Hardiyanti, H., & Subhan, S. (2019). Hubungan Dehidrasi Dengan Komplik
asi Kejang Pada Pasien Diare Usia 0-5 Tahun Di RSD Idaman Banjarbaru. DINAMIKA KESEHA
TAN: JURNAL KEBIDANAN DAN KEPERAWATAN, 10(1), 112-125.
Arief, Rifqi Fadly. 2015. Penatalaksanaan Kejang Demam CDK-232/vol. 42 No.9. Ruma
h Sakit Islam Cempaka Putih, Jakarta.
Deliana, M. (2016). Tata laksana kejang demam pada anak. Sari Pediatri, 4(2), 59-62.
Susi Susanti, S. S. (2018). Asuhan keperawatan pada an F dengan kejang deman di ruan
g rawat inap anak RSAM Bukittinggi tahun 2018 (Doctoral dissertation, STIKes PERINTIS PAD
ANG).
Arief, R. F. (2015). Penatalaksanaan Kejang Demam. Cermin Dunia Kedokteran, 42(9), 6
58-661.
Indriyani, R. (2017).Asuhan Keprawatan pada Anak yang Mengalami Kejang Demam
dengan Hipertermia di Ruang Melati RSUD Karanganyar. Karya Tulis Ilmiah ,7-20
Zulmeliza Rasyid, D. K. A. C. V. G. P., 2019. Determinan Kejadian Kejang Demam pada
Balita di Rumah Sakit Ibu dan Anak Budhi Mulia Pekanbaru. Jurnal Epidemiologi Kesehatan
Indonesia, III(1), p. 1.