Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN TUTORIAL

MODUL INTEGRATIF KLINIS

Disusun oleh:

Kelompok 6

Tutor:

dr. Choirotussanijjah

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA


2021
KELOMPOK PENYUSUN

Ketua : Berlian Rahmat Hidayatullah (6130019055)

Sekretaris I : Mutmainnah (6130019066)

Sekretaris II : Nida’ Aras Dianti (6130019013)

Anggota : 1. Teni Citroningrum (6130019004)

2. Ardhien Alif Yulian (6130019024)

4. Rudolf Galen Fauza (6130019034)

5. Nilam Kusumawardhani (6130019045)

6. Naura Thifal Baihaqi (6130019075)


LEMBAR PENGESAHAN DAN PENILAIAN

No. Materi yang dinilai Presentase Nilai


1. Ketepatan pemilihan kata kunci dalam peta konsep 25%
2. Kesesuaian hubungan kata kunci dalam peta konsep 25%
3. Kesesuaian jawaban learning objective dengan kasus sken 25%
ario
4. Pemilihan daftar pustaka dan sitasi 25%

Dosen Pembimbing

dr. Choirotussanijjah
I. PETA KONSEP
SKENARIO 2 : Kejang
“Seorang anak usia 1 tahun dibawa ibunya pada anda di IRD dengan keluhan kejang.”

STEP 1 (Seeking Word)

Kata sulit
1. Kejang : serangan mendadak atau kambuhan penyakit

Kata Kunci :
1. Anak usia 1 tahun
2. Keluhan kejang

Diagnosis banding :
1. Epilepsy
2. Meningitis
3. Tetanus
4. Overdosis obat
5. Kejang demam
6. Tumor otak

STEP 2 dan STEP 3 (Define problem, Digging Information, Adding Information)

Anamnesis :
1. Kapan terjadinya dan berapa lama ? terjadi pagi , selama 5 menit
2. Apa ada keluhan lain selain kejang ? demam tinggi dan diare cair sejak 1 hari yang lalu
3. Apakah sebelumnya mengalami luka (trauma) ? tidak ada trauma kepala
4. Apakah keluarga pasien memiliki riwayat keluhan yang sama ? ayah pernah kecil saat
masih kecil
5. Apakah ada faktor memperberat dan memperingan kejang pada pasien tersebut ? tidak
ada keterangan
6. Apakah pasien mempunyai riwayat kejang sebelumnya? Usia 7 bulan terdapat kejang
dengan bentuk yang sama
7. Bagaimana bentuk kejang yang terjadi pada pasien ? kelonjotan tangan dengan kaki kiri
8. apakah sudah meminum obat dan obat apa yang diminum ? paracetamol dan oralit
9. Bagaimana frekuensi kejang yang terjadi pada pasien ? 1 kali
10. Bagaimana status dehidrasi pada pasien tersebut ? mau makan dan minum sedikit-dikit
dan BAK masih cukup
11. Bagaimana riwayat kehamilan persalinannya ? dalam batas normal

Pemeriksaan fisik :
1. Kondisi umum pasien : compos mentis, tampak menangis kuat
2. Pemeriksaan vital sign
 TD : 110/70 mmhg
 Nadi : 98
 RR : 28
 Suhu : 39
3. Berat badan : 11 kg
4. Tinggi badan : tidak ada keterangan
5. Pemeriksaan kepala-leher : tidak anemia, icterus, sianosis . UUB datar, mata cowong
6. Thorax : suara napas vesicular, ronti (-), suara jantung (S1, S2) Normal, weazing (-)
7. Abdomen : bising usus meningkat, turgor kulit cukup, meteorismus (+)
8. Akral ektremitas : hangat, edema (-)
9. Status imunisasi : tidak ada keterangan

Pemeriksaan penunjang :
1. Pemeriksaan darah lengkap
 Hb : 10,6
 Leukosit : 4.900
 Limfositosis :
2. Pemeriksaan MRI : tidak ada keterangan
3. Pemeriksaan elektrolit : tidak ada keterangan
4. Pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG) : tidak ada keterangan
5. Pemeriksaan radiologi : tidak ada keterangan
6. Pemeriksaan pungsi lumbar : tidak ada keterangan
7. Pemeriksaan urin lengkap : batas normal
8. Pemeriksaan feses lengkap : batas normal

HIPOTESIS AWAL
Kejang Demam

STEP 4 (Brainstrom possible explaination for the problem)


TPL-PPL

TPL PPL

Anamnesis : Kejang demam


1. kejang terjadi pagi , selama 5 menit Berdasarkan anamnesis dengan temperatur 39
2. keluhan lain : demam tinggi dan diare derajat menandakan bahwa pasien tersebut
cair sejak 1 hari yang lalu termasuk dalam kategori febris. Kemudian
3. tidak ada trauma kepala untuk dehidrasi didapatkan bahwa pasien itu
4. ayah pernah kejang saat masih kecil matanya cowong kemudian dehidrasi terjadi
5. faktor memperberat dan memperingan akibat diare dengan frekuensi 5 kali sehari
kejang tidak ada keterangan
6. pasien usia 7 bulan terdapat kejang
dengan bentuk yang sama
7. bentuk kejang kelojotan tangan
dengan kaki kiri
8. pasien sudah meminum obat
paracetamol dan oralit
9. frekuensi kejang yang terjadi yaitu 1
kali
10. status dehidrasi : mau makan dan
minum sedikit-dikit dan BAK masih
cukup
11. riwayat kehamilan persalinannya
dalam batas normal

Pemeriksaan fisik :
1. Kondisi umum pasien : compos
mentis, tampak menangis kuat
2. Pemeriksaan vital sign
TD : 110/70 mmhg
Nadi : 98
RR : 28
Suhu : 39
3. Berat badan : 11 kg
4. Tinggi badan : tidak ada keterangan
5. Pemeriksaan kepala-leher : anemia,
icterus, sianosis (-), UUB datar, mata
cowong
6. Thorax : suara napas vesicular,
rongki(-), suara jantung (S1, S2)
Normal, weazing (-)
7. Abdomen : bising usus meningkat,
turgor kulit cukup, meteorismus (+)
8. Akral ektremitas : hangat, edema (-)
9. Status imunisasi : tidak ada keterangan

Pemeriksaan penunjang :
1. Pemeriksaan darah lengkap
 Hb : 10,6
 Leukosit : 4.900
 Limfositosis :
2. Pemeriksaan MRI : tidak ada
keterangan
3. Pemeriksaan elektrolit : tidak ada
keterangan
4. Pemeriksaan Elektroensefalografi
(EEG) : tidak ada keterangan
5. Pemeriksaan radiologi : tidak ada
keterangan
6. Pemeriksaan pungsi lumbar : tidak ada
keterangan
7. Pemeriksaan urin lengkap : batas
normal
8. Pemeriksaan feses lengkap : batas
normal

STEP 5 : Arrange explanation into a tentative solution or hypothesis


POMR
Diagnosis Terapi Monitoring Edukasi

kejang demam 1. Paracetamol 1. Monitoring terhadap 1. Pertolongan


pemeriksaan : 2. Diazepam intravena vital sign pertama pada
1. Pemeriksaan vital (0,3-0,5 mg/kgbb 2. Monitoring terhadap kejang demam
sign dalam waktu 3-5 efikasi pengobatan 2. Edukasi pada orang
2. Pemeriksaan EEG menit dengan dosis tua untuk
3. Pemeriksaan darah maksimal 20 mg) mengurangi
lengkap 3. Diazepam perectal kecemasan
4. Pemeriksaan (0,5-0,75 mg/kg, 3. Edukasi terhadap
kepala-leher atau 5 mg untuk sanitasi lingkungan
5. Pemeriksaan thorax anak-anak dengan 4. Jika terjadi kejang,
6. Pemeriksaan BB <10 kg anak harus
abdomen Dan 10 mg untuk dibaringkan di
7. Pemeriksaan akral anak anak BB >10 tempat yang rata
ekstremitas kg dengan dosis 5 dan kepala
8. Pemeriksaan UL mg dibawah 3 tahun dimiringkan serta
dan 7,5 mg untuk membuka baju anak
anak -anak diatas 3
tahun
4. Fenitoin

Diagnosis
Kejang demam

STEP 6 : LEARNING OBJECTIVES


1. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Fisiologi Mekanisme Kerja Otot
2. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Definisi, Etiologi, Klasifikasi, Factor Risiko Kejang
Demam
3. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Epidemiologi Kejang Demam
4. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Manifestasi Klinis Kejang Demam
5. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Patofisiologi Dan Patogenesis Kejang Demam
6. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Korelasi Antara Diare Dengan Kejang Demam
7. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Anamnesis, Pemeriksaan Fisik Dan Pemeriksaan
Penunjang Dari Kejang Demam
8. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Diagnosis Banding Dari Kejang Demam
9. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Komplikasi Dari Kejang Demam
10. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Penatalaksaan (Promotive, Kuratif, Preventif Dan
Rehabilitative) Kejang Demam
STEP 7 : JAWABAN LEARNING OBJECTIVES

1. Fisiologi Mekanisme Kerja Otot

Mekanisme kerja otot disebabkan karena adanya interaksi jembatan silang antara
aktin dan miosin melalui mekanisme pergeseran filamen. Sewaktu kontraksi, filamen tipis di
kedua sisi sarkomer bergeser ke arah dalam terhadap filamen tebal yang diam menuju ke
pusat pita A. Saat bergeser, filamen tipis menarik garis-garis Z sehingga sarkomer
memendek, menyebabkan seluruh serat otot memendek. Sewaktu kontraksi jembatan silang
miosin dapat berikatan dengan molekul aktin sekitar, disebabkan adanya pergeseran
tropomiosin dan troponin oleh Ca2+. Dua kepala miosin di masing-masing molekul miosin
bekerja secara independen, dengan satu kepala yang melekat ke aktin pada suatu saat.
Ketika tempat perlekatan dengan aktin terpajan, molekul miosin pada ekor menekuk untuk
memudahkan pengikatan kepala miosin dengan molekul aktin yang terdekat. Pada
pengikatan, kepala miosin menekuk 45⁰ ke arah dalam, menarik filamen tipis ke pusat
sarkomer. Mekanisme ini disebut dengan kayuhan kuat jembatan silang (Sherwood, 2012).

Pada akhir satu siklus jembatan silang, ikatan antara jembatan silang miosin dan
molekul aktin terputus. Jembatan silang kembali ke bentuk semula dan berikatan dengan
molekul aktin berikutnya di belakang aktin pertama. Jembatan silang kembali menekuk ke
arah dalam untuk menarik filamen tipis lebih jauh, kemudian terlepas dan mengulangi siklus
(Sherwood, 2012).

Mekanisme kerja otot dirangsang oleh adanya pelepasan asetilkolin (ACh) di


neuromuscular junction antara terminal neuron motorik dan serat otot. Pengikatan ACh
dengan end-plate motoric suatu serat otot menyebabkan perubahan permeabilitas di serat
otot dan menghasilkan potensial aksi yang dihantarkan ke seluruh permukaan membran sel
otot. Terdapat dua struktur dalam serat otot yang berperan penting dalam proses eksitasi dan
kontraksi, yaitu tubulus transversus (tubulus T) dan retikulum sarkoplasma (Sherwood,
2012).
Di setiap pertemuan antara pita A dan pita I, membran permukaan masuk ke dalam
serat otot membentuk tubulus T. Tubulus ini berjalan tegak lurus dari permukaan membran
sel otot ke dalam bagian tengah serat otot. Potensial aksi di membran permukaan menyebar
turun menelusuri tubulus T, menyalurkan aktivitas listrik permukaan ke bagian tengah serat
dengan cepat. Potensial aksi lokal di tubulus T memicu perubahan permeabilitas di
retikulum endoplasma. Retikulum endoplasma yang sudah dimodifikasi disebut dengan
retikulum sarkoplasma. Retikulum sarkoplasma mengelilingi miofibril di seluruh
panjangnya namun tidak kontinu. Ujung dari segmen retikulum sarkoplasma membentuk
kantong, disebut saccus lateralis. Saccus ini mengandung Ca2+, sehingga penyebaran
potensial aksi pada tubulus T akan memicu pelepasan Ca2+ dari retikulum sarkoplasma di
dekatnya masuk ke sitosol. Adanya susunan foot protein yang membentang di antara tubulus
T dan retikulum sarkoplasma berfungsi sebagai kanal pelepasan ion Ca2+. Pada jembatan
silang miosin terdapat tempat untuk ATP-ase yang berfungsi untuk menghasilkan miosin
berenergi tinggi. Ketika serat otot mengalami eksitasi, Ca2+ menarik kompleks troponin-
tropomiosin hingga berikatan dengan molekul aktin. Kontak miosin-aktin menyebabkan
pengikatan dan menghasilkan kayuhan kuat (Sherwood, 2012).

Otot rangka memiliki tiga jenis serat yang berbeda berdasarkan kemampuan dalam
hidrolisis dan sintesis ATP yaitu serat oksidatif lambat (tipe I), serat oksidatif cepat (tipe
IIa), dan serat glikolitik cepat (tipe IIx). Serat cepat memiliki aktivitas miosin ATP-ase
(pengurai ATP) yang lebih cepat daripada yang dimiliki serat lambat. Semakin tinggi
aktivitas ATP-ase maka semakin cepat ATP terurai dan terbentuk menjadi energi untuk
siklus jembatan silang. Tipe serat oksidatif dan glikolisis dibedakan berdasarkan
kemampuannya untuk membentuk ATP. Pembentukan ATP bisa terjadi melalui fosforilasi
oksidatif dan glikolisis anaerob. Serat yang melakukan fosforilasi oksidatif menghasilkan
lebih banyak ATP sehingga lebih resisten terhadap kelelahan dibanding serat glikolitik.
Serat oksidatif kaya akan kapiler dan mioglobin sehingga menimbulkan warna merah. Serat
oksidatif disebut juga serat merah. Serat glikolitik disebut serat putih karena mengandung
sedikit mioglobin. Persentase tiap-tiap tipe terutama ditentukan oleh jenis aktivitas yang
khusus dilakukan untuk otot yang bersangkutan. Selain itu, persentasi tipe serat otot juga
berbeda tiap individu (Sherwood, 2012).
2. Definisi, Etiologi, Klasifikasi, Factor Risiko Kejang Demam

Definisi Kejang Demam

Kejang demam didefinisikan sebagai kejang pada anak usia lebih dari 1 bulan,
berhubungan dengan kenaikan suhu tubuh lebih dari 38oC yang tidak disebabkan oleh
infeksi sistem saraf pusat (SSP), tanpa adanya riwayat kejang neonatal atau kejang tanpa
sebab sebelumnya, dan tidak memenuhi kriteria kejang simptomatik lainnya. Secara umum
terdapat dua jenis kejang demam, yaitu kejang demam sederhana (KDS), yang mencakup
hampir 80% kasus dan kejang demam kompleks (KDK). Kejang demam merupakan jenis
kejang yang paling banyak terjadi pada anak, mengenai 2-5% anak berusia 6 bulan sampai 5
tahun dengan puncak onset antara usia 18-22 bulan (Made Sebastian Dwi Putra Hardika,
Dewi Sutriani Mahalini. 2019).

Etiologi Kejang Demam


Klasifikasi Kejang Demam

1) Kejang demam sederhana (Simple febrile seizure)


Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, dan umumnya akan
berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal.
Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam sederhana merupakan 80%
di antara seluruh kejang demam.
2) Kejang demam kompleks (Complex febrile seizure)
Kejang demam dengan salah satu ciri berikut ini:
a. Kejang lama > 15 menit
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang
berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang
lama terjadi pada 8% kejang demam
b. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial
Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang didahului kejang
parsial
c. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam
Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, di antara 2 bangkitan
kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% di antara anak yang mengalami
kejang demam. (Pusponegoro, Hardiono D. Widodo, Dwi Putro. Ismael, Sofyan.
2006)

Faktor Resiko Kejang Demam


Kejang demam terjadi karena berbagai macam faktor, antara lain :
1) Faktor Genetik
2) Faktor Lingkungan.
3) Faktor risiko lain kejang demam pada anak, yaitu :

o Usia. Kejang demam lebih sering dialami oleh anak usia 6 hingga 60 bulan.
o Faktor genetika atau riwayat keluarga dengan kejang demam.
o Etnisitas atau ras. Kejang demam lebih sering terjadi pada anak-anak keturunan
Jepang dan populasi Pulau Pasifik tertentu.
o Infeksi virus.
o Riwayat berat badan lahir rendah (BBLR), kelahiran prematur, dan keterlambatan
perkembangan.
o Demam tinggi (lebih dari 40 derajat Celsius) (Pusponegoro, Hardiono D. Widodo,
Dwi Putro. Ismael, Sofyan. 2006).

3. Epidemiologi Kejang Demam


Sebanyak 2% sampai 5% anak yang berumur kurang dari 5 tahun pernah mengalami
kejang disertai demam dan kejadian terbanyak adalah pada usia 17-23 bulan. Secara umum
kejang demam memiliki prognosis yang baik, namun sekitar 30 sampai 35% anak dengan
kejang demam pertama akan mengalami kejang demam berulang.
Setiap tahunnya kejadian kejang demam di USA Hampir 1,5 juta, dan sebagian besar
terjadi dalam rentang usia 6 hingga 36 bulan, dengan puncak pada usia 18 bulan. Angka
kejadian kejang demam bervariasi di berbagai negara. Daerah Eropa Barat dan Amerika
tercatat 2-4% angka kejadian Kejang demam per tahunnya. Sedangkan di India sebesar 5-
10% dan di Jepang 8,8%.4 Hampir 80% kasus adalah kejang demam sederhana (kejang 15
menit, fokal atau kejang umum didahului kejang parsial, berulang atau lebih dari satu kali
dalam 24 jam). (Zulmeliza Rasyid, 2019)

4. Manifestasi Klinis Kejang Demam

Dalam kebanyakan kasus, kejang demam terjadi dalam hari pertama demam. Kejang
yang terjadi 3 hari setelah timbulnya demam harus dicurigai. Pada saat kejang, sebagian bes
ar anak memiliki suhu 39°C. Kejang demam dapat diklasifikasikan sebagai sederhana atau k
ompleks berdasarkan durasi, karakteristik fisik, dan pola kekambuhan. Kejang demam seder
hana terjadi sekitar 0-85% dari semua kejang demam. Hilangnya kesadaran pada saat kejang
adalah fitur konstan. Mulut berbusa, sulit bernapas, pucat, atau sianosis juga dapat terjadi. B
iasanya, kejang demam sederhana bersifat umum dan berhubungan dengan gerakan tonik-kl
onik anggota badan dan bola mata bergulir ke belakang. Kejang biasanya berlangsung selam
a beberapa detik sampai paling lama 15 menit (biasanya kurang dari 5 menit), diikuti dengan
periode mengantuk singkat pasca iktal, dan tidak berulang dalam 24 jam. Otot-otot wajah da
n pernapasan sering terlibat. Mantra atonik dan tonik juga telah dijelaskan. Sebaliknya, keja
ng demam kompleks biasanya berlangsung lebih dari 15 menit. Kejang biasanya fokal (gera
kan terbatas pada satu sisi tubuh atau satu anggota badan). Ini mungkin berulang dalam hari
yang sama. Kejang mungkin memiliki periode mengantuk pascaiktal yang berkepanjangan a
tau berhubungan dengan hemiparesis transien pascaiktal (Todd's palsy). Umumnya, anak-an
ak dengan kejang demam kompleks lebih muda dan lebih mungkin mengalami keterlambata
n perkembangan dibandingkan dengan kejang demam sederhana. Mayoritas anak-anak deng
an kejang demam kompleks melakukannya dengan kejang pertama mereka, tetapi anak-anak
dengan kejang demam sederhana awal mungkin mengalami kejang demam kompleks kemud
ian. Status epileptikus demam, jenis kejang demam kompleks yang paling parah, mengacu p
ada kejang demam terus menerus atau intermiten tanpa kesadaran yang diperoleh kembali p
ada keadaan interiktal selama lebih dari 30 menit. Perlu dicatat bahwa mata yang terus terbu
ka atau menyimpang adalah ciri dari aktivitas kejang yang sedang berlangsung. Anak-anak d
engan status epileptikus demam lebih mungkin untuk memiliki kelainan hipokampus dan ju
ga pada peningkatan risiko untuk status epileptikus demam berikutnya (Leung, Hon, & Leun
g, 2018)

5. Patofisiologi Dan Patogenesis Kejang Demam

6. Korelasi Antara Diare Dengan Kejang Demam

Diare merupakan penyakit yang berbasis lingkungan dan terjadi hampir di seluruh
daerah geografis di dunia. Diare lebih dominan menyerang balita karena daya tahan
tubuhnya yang masih lemah, sehingga sangat rentan terhadap penyebaran bakteri penyebab
diare. Diare yang disertai muntah berkelanjutan akan menyebabkan dehidrasi (kekurangan
cairan). Diare harus selalu diwaspadai karena sering terjadi keterlambatan dalam
pertolongan dan mengakibatkan kematian (Cahyono, 2010).

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada suhu rektal diatas 38 oC
yang disebabkan oleh proses ekstrakranial tanpa adanya gangguan elektrolit atau riwayat
kejang tanpa demam sebelumnya, umumnya terjadi pada usia 6 bulan sampai 5 tahun dan
setelah kejang pasien sadar (Ismet, I. (2017). Kejang ,kondisi yang mengalami dehidrasi
karena diare, biasanya mengalami ketidakseimbangan atau gangguan elektrolit seperti
potasium dan sodium. Ketidakseimbangan ini kemudian bisa menyebabkan kontraksi otot
hingga kehilangan kesadaran. Dehidrasi merupakan komplikasi dari kejadian diare yang
disebabkan karena tubuh mengalami kehilangan cairan 40-50 ml/kg berat badan, dimana
banyaknya kehilangan cairan menentukan derajat dehidrasi, dan menyebabkan gangguan
pada termoregulasi di hipotalamus anterior sehingga terjadi demam (Wibowo, D.,
Hardiyanti, H., & Subhan, S. 2019).

Diare karena infeksi dapat disertai muntah-muntah, demam, tenesmus, hematochezia,


nyeri perut atau kejang perut. Diare yang berlangsung beberapa waktu tanpa pengulangan
medis yang adekuat dapat menyebabkan kematian karena kekurangan cairan pada tubuh
yang mengakibatkan ranjatan hipovolemik atau karena gangguan kimiawi berupa asidosis
metabolik yang lanjut. Kehilangan cairan dapat menyebakan haus, berat badan menurun,
mata menjadi cekung, lidah kering, tulang pipi menonjol, turtor kulit menurun serta suara
menjadi serak. Keluhan dan gejala ini disebabkan deplesi air yang isotonik. Kehilangan
bikarbonas, perbandingan bikarbonas berkurang, yang mengakibatkan penurunan pH darah.
Penurunan ini akan merangsang pusat pernapasan sehingga frekuensi nafas lebih cepat dan
lebih dalam. Reaksi ini adalah usaha tubuh untuk mengeluarkan asam karbonas agar pH
dapat naik kembali normal. Pada keadaan asidosis metabolik yang tidak dikompensasi,
bikarbonat standard juga rendah, pCO2 normal dan base excess sangat negatif (Zein dkk,
2004)

Tanda- tanda awal dari penyakit diare adalah suhu tubuh biasanya meningkat, nafsu
makan berkurang atau tidak ada, kemudian timbul. diare. Tinja akan menjadi cair dan
mungkin disertai dengan lendir ataupun darah. Warna tinja bisa lama-kelamaan berubah
menjadi kehijau-hijauan karena tercampur dengan empedu. Anus dan daerah sekitarnya
lecet karena seringnya defekasi dan tinja makin lama makin asam sebagai akibat banyaknya
asam laktat yang berasal darl laktosa yang tidak dapat diabsorbsi oleh usus selama diare.
Gejala muntah dapat terjadi sebelum atau sesudah diare dan dapat disebabkan oleh lambung
yang turut meradang atau akibat gangguan keseimbangan asam-basa dan elektrolit
(Kliegman, 2006). Bila penderita telah kehilangan banyak cairan dan elektrolit, maka gejala
dehidrasi mulai tampak. Berat badan turun, turgor kulit berkurang, mata dan ubun-ubun
besar menjadi cekung, selaput lendir bibir dan mulut serta kulit tampak kering (Ismet, I.
2017).

7. Pemeriksaan Penunjang Dari Kejang Demam

Pemeriksaan Penunjang Kejang Demam


a. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium tidak rutin pada kejang demam, dapat untuk mengevaluasi
sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi
disertai demam. Pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah perifer,
elektrolit, dan gula darah.

b. Pemeriksaan Pungsi Lumbal

Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan


kemungkinan meningitis. Risiko meningitis bakterialis adalah 0,6–6,7%. Pada bayi,
sering sulit menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi
klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu, pungsi lumbal dianjurkan pada :
o Bayi kurang dari 12 bulan – sangat dianjurkan
o Bayi antara 12-18 bulan – dianjurkan
o Bayi >18 bulan – tidak rutin
o Bila klinis yakin bukan meningitis, tidak perlu dilakukan pungsi lumbal.

c. Pemeriksaan Elektroensefalografi (EEG)

Pemeriksaan Elektroensefalografi (electro encephalography/EEG) tidak direkomendasi-


kan karena tidak dapat memprediksi berulangnya kejang atau memperkirakan
kemungkinan epilepsi pada pasien kejang demam. Pemeriksaan EEG masih dapat di-
lakukan pada keadaan kejang demam yang tidak khas, misalnya pada kejang demam
kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun, atau kejang demam fokal.

d. Pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI)

MRI diketahui memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan CT
scan, namun belum tersedia secara luas di unit gawat darurat. CT scan dan MRI dapat
mendeteksi perubahan fokal yang terjadi baik yang bersifat sementara maupun kejang
fokal sekunder. Foto Xray kepala dan pencitraan seperti Computed Tomography scan
(CTscan) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) tidak rutin dan hanya atas indikasi
seperti :
o Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
o Paresis nervus VI
o Papiledema (Arief, Rifqi Fadly. 2015).
8. Diagnosis Banding Dari Kejang Demam

9. Komplikasi Dari Kejang Demam


a. Kerusakan Neurotransmiter
b. Epilepsi
c. Encephalopathy
d. Sindrom Tourette (Leung, A. K., Hon, K. L., & Leung, T. N. 2018)

10. Penatalaksaan (Promotive, Kuratif, Preventif Dan Rehabilitative) Kejang Demam

Penatalaksaan Promotif :
1) Kejang demam merupakan hal yang sangat menakutkan orang tua dan tak jarang orang
tua menganggap anaknya akan meninggal. Pertama, orang tua perlu diyakinkan dan
diberi penjelasan tentang risiko rekurensi serta petunjuk dalam keadaan akut. Lembaran
tertulis dapat membantu komunikasi antara orang tua dan keluarga penjelasan terutama
pada : (Deliana, M. (2016).)
o Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik.
o Memberitahukan cara penanganan kejang.
o Memberi informasi mengenai risiko berulang (Arief, R. F. (2015).

Beberapa hal yang harus dikerjakan saat kejang:


o Tetap tenang dan tidak panik.
o Longgarkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher.
o Bila tidak sadar, posisikan anak telentang dengan kepala miring. Bersihkan
muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun lidah mungkin tergigit,
jangan memasukkan sesuatu ke dalam mulut.
o Ukur suhu, observasi, catat lama dan bentuk kejang.
o Tetap bersama pasien selama kejang.
o Berikan diazepam rektal. Jangan diberikan bila kejang telah berhenti.
o Bawa ke dokter atau ke rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih
(Arief, R. F. (2015).

2) Memberikan Informasi kepada orang tua tentang obat-obatan (kejang demam ) dan efek
samping yang mungkin timbul dari obat-obatan tersebut. (Deliana, M. (2016)

Penatalaksaan Preventif :
1) Meningkatkan kesehatan dengan memberikan gizi yang baik, mengajarkan cara hidup
sehat.
2) Selalu rutin untuk melakukan medical check up untuk mengetahui kesehatan tubuh.
(Susi Susanti, S. S. 2018)

Penatalaksaan Kuratif :
Farmakologi
a. Tersedianya obat penurun panas yang didapat atas resep dokter (Deliana, M. (2016).
b. Diberikan diazepam intravena dosis rata-rata 0,3 mg/ kg. 2) Diazepam rektal dosis ≤ 10
kg = 5 mg/kg. 3) Parasetamol 10mg/kgBB/kali kombinasi diazepam oral 0,3 mg/kgBB.
4) Memberikan cairan yang cukup bila kejang berlangsung cukup lama ( 10 menit )
dengan IV: D5 ¼, D5, RL (Susi (2018).

Non-Farmakologi :

a. Tersedianya alat pengukur suhu dan catatan penggunaan termometer, cara pengukuran
suhu tubuh anak, serta keterangan batas-batas suhu normal pada anak (36-37 0C)
(Deliana, M. (2016).

Penatalaksaan Rehabilitatif :
a. Mengikuti anjuran dokter dengan rutin meminum obat,makan dengan makanan yang
sehat dan bergizi.
b. Mengkontrol pola hidup seperti jam tidurnya agar tidak berkurang karena dapat
memperburuk kesehatan. (Susi Susanti, S. S. 2018)

Daftar Pustaka

Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. 6th ed. Jakarta: EGC; 2012.
Made Sebastian Dwi Putra Hardika1 , Dewi Sutriani Mahalini. 2019. FAKTOR-FAKTO
R YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN KEJANG DEMAM BERULANG PADA
ANAK DI RSUP SANGLAH DENPASAR. Denpasar: E-JURNAL MEDIKA, VOL. 8 NO.4 AP
RIL, 2019. ISSN: 2303-1395.
Pusponegoro, Hardiono D. Widodo, Dwi Putro. Ismael, Sofyan. 2006. Konsensus Penatal
aksanaan Kejang Demam. Jakarta
Leung, A. K., Hon, K. L., & Leung, T. N. (2018). Febrile seizures: an overview. Drugs i
n context, 7.
Ismet, I. (2017). Kejang Demam. Jurnal Kesehatan Melayu, 1(1), 41-44.
Wibowo, D., Hardiyanti, H., & Subhan, S. (2019). Hubungan Dehidrasi Dengan Komplik
asi Kejang Pada Pasien Diare Usia 0-5 Tahun Di RSD Idaman Banjarbaru. DINAMIKA KESEHA
TAN: JURNAL KEBIDANAN DAN KEPERAWATAN, 10(1), 112-125.
Arief, Rifqi Fadly. 2015. Penatalaksanaan Kejang Demam CDK-232/vol. 42 No.9. Ruma
h Sakit Islam Cempaka Putih, Jakarta.
Deliana, M. (2016). Tata laksana kejang demam pada anak. Sari Pediatri, 4(2), 59-62.
Susi Susanti, S. S. (2018). Asuhan keperawatan pada an F dengan kejang deman di ruan
g rawat inap anak RSAM Bukittinggi tahun 2018 (Doctoral dissertation, STIKes PERINTIS PAD
ANG).
Arief, R. F. (2015). Penatalaksanaan Kejang Demam. Cermin Dunia Kedokteran, 42(9), 6
58-661.
Indriyani, R. (2017).Asuhan Keprawatan pada Anak yang Mengalami Kejang Demam
dengan Hipertermia di Ruang Melati RSUD Karanganyar. Karya Tulis Ilmiah ,7-20
Zulmeliza Rasyid, D. K. A. C. V. G. P., 2019. Determinan Kejadian Kejang Demam pada
Balita di Rumah Sakit Ibu dan Anak Budhi Mulia Pekanbaru. Jurnal Epidemiologi Kesehatan
Indonesia, III(1), p. 1.

Anda mungkin juga menyukai