Anda di halaman 1dari 45

MATERI III

KEGAWATDARURATAN PADA KEHAMILAN MUDA

2.1 Pengertian Kegawatdaruratan Pada Kehamilan Muda

Kegawatdaruratan kehamilan muda merupakan salah satu komplikasi terbanyak pada


kehamilan berupa pendarahan yang bisa dikaitan dengan kejadian abortus miscarriage.
Dengan adanya pendarahan menyebabkan kegagalan kelangsungan kehamilan.

Perdarahan yang mengancam nyawa selama kehamilan dan dekat cukup bulan
meliputi perdarahan yang terjadi pada minggu awal kehamilan (abortus, mola hidatidosa,
kista vasikuler, kehamilan ekstrauteri/ ektopik) dan perdarahan pada minggu akhir kehamilan
dan mendekati cukup bulan (plasenta previa, solusio plasenta, ruptur uteri, perdarahan
persalinan per vagina setelah seksio sesarea, retensio plasentae/ plasenta inkomplet),
perdarahan pasca persalinan, hematoma, dan koagulopati obstetri.

Kegawatdaruratan adalah mencakup diagnosis dan tindakan terhadap semua pasien


yang memerlukan perawatan yang tidak direncnakan dan mendadak atau terhadap pasien
dengan penyakit atau cidera akut untuk menekan angka kesakitan dan kematian pasien.

Obstetri adalah cabang ilmu kedokteran yang berhubungan dengan persalinan, hal-hal
yang mendahuluinya dan gejala-gejala sisanya .membahas tentang fenomena dan
penatalaksanaan kehamilan, persalinan, peurperium baik dalam keadaan normal maupun
abnormal.

Neonatus adalah organisme yang berada pada periode adaptasi kehidupan intrauterin
ke ekstrauterin. Masa neonatus adalah periode selama satu bulan (lebih tepat 4 minggu atau
28 hari setelah lahir)

2.2 Abortus Pada Kehamilan Muda


A. Pengertian Abortus
Abortus merupakan ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin
dapat hidup diluar kandungan. Sebagai batasan ialah kehamilan kurang dari 20
minggu atau berat janin kurang dari 500 gram, (prawirohardjo, 2019).
Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi pada usia kehamilan
kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram, (Mansjoer,dkk, 2020).
Abortus adalah terminasi kehamilan yang tidak diinginkan melalui metode
obat-obatan atau bedah, (Morgan, 2019).
Berakhirnya kehamilan sebelum anak dapat hidup di dunia luar disebut
abortus. Anak baru mungkin hidup di dunia luar kalau beratnya telah mencapai 1000
gram atau umur kehamilan 28 minggu. Ada juga yang mengambil sebagai batas untuk
abortus berat anak yang kurang dari 500 gram. Jika anak yang lahir beratnya antara
500 – 999 gram disebut juga dengan immature.
Abortus adalah berakhirnya suatu kehamilan (oleh akibat-akibat tertentu) pada
atau belum kehamilan tersebut berusia 22 minggu atau buah kehamilan belum mampu
untuk hidup diuar kandungan, (prawirohardjo, 2020).

B. Penyebab Abortus
1. Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi
Biasanya menyebabkan abortus pada kehamilan sebelum usia 8 minggu.
Kelainan hasil konsepsi yang berat dapat menyebabkan kematian mudigah pada
kehamilan muda. Faktor yang menyebabkan kelainan ini adalah :
1) Kelainan kromosom, terutama trimosoma dan monosoma X
Abnormalitas embrio atau janin merupakan penyebab paling sering untuk
abortus dini dan kejadian ini kerap kali disebabkan oleh cacat kromosom.
Kelainan yang sering ditemukan pada abortus spontan adalah
trisomi,poliploidi dan kemungkinan pula kelainan kromosom seks.
2) Lingkungan sekitar tempat implantasi kurang sempurna

2
Bila lingkungan di endometrium di sekitar tempat implantasi kurang sempurna
sehinga pemberian zat-zat makanan pada hasil konsepsi
terganggu. Endometrium belum siap untuk menerima implasi hasil konsepsi.
Bisa juga karena gizi ibu kurang karena anemia atau terlalu pendek jarak
kehamilan.
3) Pengaruh teratogen akibat radiasi, virus, obat-obatan tembakau dan alcohol
Radiasi, virus, obat-obatan, dan sebagainya dapat mempengaruhi baik hasil
konsepsi maupun lingkungan hidupnya dalam uterus. Pengaruh ini umumnya
dinamakan pengaruh teratogen. Zat teratogen yang lain misalnya tembakau,
alkohol, kafein, dan lainnya.
2. Kelainan pada plasenta, misalnya endarteritis vili korialis karena hipertensi
menahun
Endarteritis dapat terjadi dalam vili koriales dan menyebabkan
oksigenisasi plasenta terganggu, sehingga menyebabkan gangguan pertumbuhan
dan kematian janin. Keadaan ini biasa terjadi sejak kehamilan muda misalnya
karena hipertensi menahun.
Infeksi pada plasenta dengan berbagai sebab, sehingga palsenta tidak dapat
berfungsi. Gangguan pembuluh darah plasenta, diantaranya pada diabetes melitus.
Hipertensi menyebabkan gangguan peredaran darah palsenta sehingga
menimbulkan keguguran.
3. Faktor maternal seperti pneumonia, typus, anemia berat, keracunan dan
toksoplasmosis
Penyakit-penyakit maternal dan penggunaan obat : penyakit menyangkut
infeksi virus akut, panas tinggi dan inokulasi, misalnya pada vaksinasi terhadap
penyakit cacar, nefritis kronis dan gagal jantung dapat mengakibatkan anoksia
janin. Kesalahan pada metabolisme asam folat yang diperlukan untuk
perkembangan janin akan mengakibatkan kematian janin. Obat-obat tertentu,
khususnya preparat sitotoksik akan mengganggu proses normal pembelahan sel
yang cepat. Prostaglandin akan menyebabkan abortus dengan merangsang
kontraksi uterus.
Penyakit infeksi dapat menyebabkan abortus yaitu pneumonia, tifus
abdominalis, pielonefritis, malaria, dan lainnya. Toksin, bakteri, virus, atau
plasmodium dapat melalui plasenta masuk ke janin, sehingga menyebabkan
kematian janin, kemudian terjadi abortus.
3
Kelainan endokrin misalnya diabetes mellitus, berkaitan dengan derajat
kontrol metabolik pada trimester pertama. Selain itu juga hipotiroidism dapat
meningkatkan resiko terjadinya abortus, dimana autoantibodi tiroid menyebabkan
peningkatan insidensi abortus walaupun tidak terjadi hipotiroidism yang nyata.
4. Kelainan traktus genetalia, seperti inkompetensi serviks (untuk abortus pada
trimester kedua), retroversi uteri, mioma uteri dan kelainan bawaan uterus
Abnoramalitas uterus yang mengakibatkan kalinan kavum uteri atau
halangan terhadap pertumbuhan dan pembesaran uterus, misalnya fibroid,
malformasi kongenital, prolapsus atau retroversio uteri.
Kerusakan pada servik akibat robekan yang dalam pada saat melahirkan
atau akibat tindakan pembedahan (dilatasi, amputasi).
Rahim merupakan tempat tumbuh kembangnya janin dijumpai keadaan
abnormal dalam bentuk mioma uteri, uterus arkatus, uterus septus, retrofleksi
uteri, serviks inkompeten, bekas operasi pada serviks (konisasi, amputasi serviks),
robekan serviks postpartum.
5. Trauma
Tapi biasanya jika terjadi langsung pada kavum uteri. Hubungan seksual
khususnya kalau terjadi orgasme, dapat menyebabkan abortus pada wanita dengan
riwayat keguguran yang berkali-kali.
6. Faktor-faktor hormonal
Misalnya penurunan sekresi progesteron diperkirakan sebagai penyebab
terjadinya abortus pada usia kehamilan 10 sampai 12 minggu, yaitu saat plasenta
mengambil alih funngsi korpus luteum dalam produksi hormon.
7. Sebab-sebab psikosomatik
Stress dan emosi yang kat diketahui dapat mempengarhi fungsi uterus
lewat hipotalamus-hipofise.
8. Penyebab dari segi Maternal
1) Penyebab secara umum :
a) Infeksi
 Virus, misalnya cacar, rubella, hepatitis.
 Infeksi bakteri, misalnya streptokokus.
 Parasit, misalnya malaria.
b) Infeksi kronis
 Sifilis, biasanya menyebabkan abortus pada trimester kedua.
4
 Tuberkulosis paru aktif.
 Keracunan, misalnya keracunan tembaga, timah, air raksa, dll.
 Penyakit kronis, misalnya : Hipertensi, nephritis, diabetes, anemia
berat, penyakit jantung, toxemia gravidarum.
 Gangguan fisiologis, misalnya Syok, ketakutan, dll.
 Trauma fisik.
2) Penyebab yang bersifat lokal :
a) Fibroid, inkompetensia serviks.
b) Radang pelvis kronis, endometrtis.
c) Retroversi kronis.
d) Hubungan seksual yang berlebihan sewaktu hamil, sehingga
menyebabkan hiperemia dan abortus.
9. Penyebab dari segi Janin
1) Kematian janin akibat kelainan bawaan.
2) Mola hidatidosa.
3) Penyakit plasenta dan desidua, misalnya inflamasi dan degenerasi.
4) Pemeriksaan USG janin dan histopatologis selanjutnya menunjukkan bahwa
pada 70% kasus, ovum yang telah dibuahi gagal untuk berkembang atau
terjadi malformasi pada tubuh janin.
5) Pada 40% kasus, diketahui bahwa latar belakang kejadian abortus adalah
kelainan chromosomal.
6) Pada 20% kasus, terbukti adanya kegagalan trofoblast untuk melakukan
implantasi dengan adekuat.

C. Patofisiologi
Pada awal abortus terjadi perdarahan desiduabasalis, diikuti dengan nerkrosis
jaringan sekitar yang menyebabkan hasil konsepsi terlepas dan dianggap benda asing
dalam uterus. Kemudian uterus berkontraksi untuk mengeluarkan benda asing
tersebut.
Pada kehamilan kurang dari 8 minggu, villi korialis belum menembus desidua
secara dalam jadi hasil konsepsi dapat dikeluarkan seluruhnya. Pada kehamilan 8
sampai 14 minggu, penembusan sudah lebih dalam hingga plasenta tidak dilepaskan
sempurna dan menimbulkan banyak perdarahan. Pada kehamilan lebih dari 14

5
minggu janin dikeluarkan terlebih dahulu daripada plasenta hasil konsepsi keluar
dalam bentuk seperti kantong kosong amnion atau benda kecil yang tidak jelas
bentuknya (blightes ovum), janin lahir mati, janin masih hidup, mola kruenta, fetus
kompresus, maserasi atau fetus papiraseus.

D. Macam-Macam Abortus
1. Abortus imminens - threatened abortion (kegugurang mengancam)

Peristiwa terjadinya perdarahan dari uterus pada kehamilan sebelum 20


minggu, dimana hasil konsepsi masih dalam uterus, dan tanpa adanya dilatasi
serviks.
Pada tipe ini terlihat perdarahan pervaginam. Pada 50% kasus, perdarahan
tersebut hanya sedikit serta berangsur-angsur akan berhenti setelah berlangsung
beberapa hari dan kehamilan berlangsung secara normal. Meskipun demikian,
wanita yang mengalaminya mungkin tetap merasa khawatir akan akibat
perdarahan pada bayi. Biasanya kekhawatirannya akan dapat diatasi dengan
menjelaskan kalu janin mengalamin gangguan, maka kehamilannya tidak akan
berlanjut.
Abortus imminens merupakan abortus yang paling banyak terjadi. Pada
abortus ini, perdarahan berupa bercak yang menunjukkan ancaman terhadap
kelangsungan kehamilan. Namun, pada prinsipnya kehamilan masih bisa berlanjut
atau dipertahankan.
Setengah dari abortus ini akan menjadi abortus inkomplit atau komplit,
sedangkan sisanya kehamilan akan berlangsung. Beberapa kepustakaan
menyatakan bahwa abortus ini terdapatadanya risiko untuk terjadinya prematuritas
atau gangguan pertumbuhan dalam rahim.
a. Diagnosa pada abortus imminent adalah :

6
1) Perdarahan flek-flek (bisa sampai beberapa hari).
2) Rasa sakit seperti saat menstruasi bisa ada atau tidak.
3) Serviks dan OUE masih tertutup.
4) PP test (+).
b. Penanganan abortus imminens meliputi :
1) Istirahat baring. Tidur berbaring merupakan unsur penting dalam
pengobatan, karena cara ini menyebabkan bertambahnya aliran darah ke
uterus dan berkurangnya rangsang mekanik.
2) Terapi hormon progesteron intramuskular atau dengan berbagai zat
progestasional sintetik peroral atau secara intramuskular. Walaupun bukti
efektivitasnya tidak diketahui secara pasti.
3) Pemeriksaan ultrasonografi untuk menentukan apakah janin masih hidup.

2. Abortus insipiens - inevitable abortion (Keguguran Berlangsung)

Peristiwa perdarahan uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan


adanya dilatasi serviks uteri yang meningkat, tetapi hasil konsepsi masih dalam
uterus.
Abortus insipiens diatandai oleh kehilangan darah sedang hingga berat,
kontraksi uterus yang menyebabkan nyeri kram pada abdomen bagian bawah dan
dilatasi serviks.
Abortus insipiens merupakan keadaan dimana perdarahan intrauteri
berlangsung dan hasil konsepsi masih berada di dalam cavum uteri. Abortus ini sedang
berlangsung dan tidak dapat dicegah lagi, OUE terbuka, teraba ketuban, dan
berlangsung hanya beberapa jam saja.
a. Diagnosa abortus insipiens :
1) Perdarahan banyak, kadang-kadang keluar gumpalan darah.

7
2) Nyeri hebat disertai kontraksi rahim.
3) Serviks atau OUE terbuka dan/atau ketuban telah pecah.
4) Ketuban dapat teraba karena adanya dilatasi serviks.
5) PPtest dapat positif atau negatif .
b. Penanganan Abortus Insipiens meliputi :
1) Jika usia kehamilan kurang 16 minggu, lakukan evaluasi uterus dengan
aspirasi vakum manual. Jika evaluasi tidak dapat, segera lakukan :
 Berikan ergomefiin 0,2 mg intramuskuler (dapat diulang setelah 15
menit bila perlu) atau misoprostol 400 mcg per oral (dapat diulang
sesudah 4 jam bila perlu).
 Segera lakukan persiapan untuk pengeluaran hasil konsepsi dari uterus.
2) Jika usia kehamilan lebih 16 minggu :
 Tunggu ekspulsi spontan hasil konsepsi lalu evaluasi sisa-sisa hasil
konsepsi.
 Jika perlu, lakukan infus 20 unit oksitosin dalam 500 ml cairan
intravena (garam fisiologik atau larutan ringer laktat dengan kecepatan
40 tetes permenit untuk membantu ekspulsi hasil konsepsi.
3) Untuk tetap memantau kondisi ibu setelah penanganan.

3. Abortus inkompletus (keguguran tidak lengkap)


Pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20 minggu
dengan masih ada sisa tertinggal dalam uterus. Abortus inkompletus berkaitan
dengan retensi sebagian produk pembuahan (hampir selalu plasenta) yang tidak
begitu mudah terlepas pada kehamilan dini seperti halnya pada kehamilan aterm.
Dalam keadaan ini perdarahan tidak segera berkurang sementar serviks tetap
terbuka.

8
Abortus inkompletus merupakan suatu abortus di mana hasil konsepsi
telah lahir atau teraba pada vagina (belum keluar semua) dan masih ada sisa-sisa
jaringan yang tertinggal (biasanya jaringan plasenta).
a. Diagnosa abortus inkomplit adalah:
1) Umur kehamilan biasanya diatas 12 minggu, atau bisa kurang.
2) Perdarahan sedikit kemudian banyak, disertai keluarnya hasil konsepsi,
tidak jarang pasiendatang dalam keadaan syok.
3) Serviks terbuka (1-2 jari, sering teraba sisa jaringan).
4) PP test positif atau negatif, anemia.
b. Penanganan abortus inkomplit :
1) Jika perdarahant idak seberapab anyak dan kehamilan kurang 16 minggu,
evaluasi dapat dilakukan secara digital atau dengan cunam ovum untuk
mengeluarkan hasil konsepsi yang keluar melalui serviks. Jika perdarahan
berhenti, beri ergometrin 0,2 mg intramuskulera taum iso prostol4 00 mcg
per oral.
2) Jika perdarahan banyak atau terus berlangsung dan usia kehamilan kurang
16 minggu, evaluasi hasil konsepsi dengan :
 Aspirasi vakum manual merupakan metode evaluasi yang terpilih.
Evakuasi dengan kuret tajam sebaiknya hanya dilakukan jika aspirasi
vakum manual tidak tersedia.
 Jika evakuasi belum dapat dilakukan segera beri ergometrin 0,2 mg
intramuskuler (diulang setelah 15 menit bila perlu) atau misoprostol
400 mcg peroral (dapat diulang setelah 4 jam bila perlu).
3) Jika kehamilan lebih dari 16 minggu :

9
 Berikan infus oksitosin 20 unit dalam 500 ml cairan intravena (garam
fisiologik atau ringer laktat) dengan kecepatan 40 tetes permenit
sampai terjadi ekspulsi hasil konsepsi.
 Jika perlu berikan misoprostol 200 mcg per vaginam setiap 4 jam
sampai terjadi ekspulsi hasil konsepsi (maksimal 800 mcg).
 Evaluasi sisa hasil konsepsi yang tertinggal dalam uterus.
4) Pastikan untuk tetap memantau kondisi ibu setelah penanganan.

4. Abortus kompletus (Keguguran Lengkap)

Pada abortus jenis ini, hasil konsepsi telah keluar semua dari cavum uteri.
Perdarahan segera berkurang setelah isi rahim dikeluarkan dan selambat-
lambatnya dalam 10 hari perdarahan berhenti sama sekali karena dalam massa ini
luka rahim telah sembuh dan epitelisasi telah selesai Semua hasil konsepsi sudah
dikeluarkan.
Abortus kompletus terjadi kalau semua produk pembuahan – janin, selaput
ketuban dan plasenta sudah keluar. Perdarahan dan rasa nyeri kemudian akan
berhenti, serviks menutup dan uterus mengalami involusi.
a. Diagnosa abortus komplets adalah :
1) Perdarahan yang sedikit;
2) Ostium uteri telah menutup;
3) Uterus telah mengecil.
b. Penanganan abortus komplit :
1) Tidak perlu evaluasi lagi.
2) Observasi untuk melihat adanya perdarahan banyak.
3) Pastikan untuk tetap memantau kondisi ibu setelah penanganan.

10
4) Apabila terdapat anemia sedang, berikan tablet sulfas ferrosus 600 mg per
hari selama 2 minggu. Jika anemia berat berikan transfusi darah.
5) Konseling asuhan pasca keguguran dan pemantauan lanjut.

5. Abortus habitualis
Abortus habitualis adalah abortus spontan yang terjadi 3 kali atau lebih
berturut-turut. Etiologi abortus habitualis pada dasarnya sama dengan penyebab
abortus spontan. Selain itu telah ditemukan sebab imunologik yaitu kegagalan
reaksi terhadap antigen lymphocyte trophoblast cross reactive (TLX). Pasien
dengan reaksi lemah atau tidak ada akan mengalami abortus.
a. Diagnosa abortus habitualis adalah :
1) Kehamilan triwulan kedua terjadi pembukaan serviks tanpa disertai mulas.
2) Ketuban menonjol dan pada suatu saat pecah.
3) Timbul mulas yang selanjutnya diikuti dengan melakukan pemeriksaan
vaginal tiap minggu.
4) Penderita sering mengeluh bahwa ia telah mengeluarkan banyak lender
dari vagina.
5) Diluar kehamilan penentuan serviks inkompeten dilakukan dengan
histerosalfingografi yaitu ostium internum uteri melebar lebih dari 8 mm.
b. Penanganannya terdiri atas :
1) Memperbaiki keadaan umum.
2) Pemberian makanan yang sempurna.
3) Anjuran istirahat cukup banyak.
4) Larangan koitus dan olah raga.
5) Terapi dengan hormon progesteron, vitamin, hormon tiroid, dan
lainnyamungkin hanya mempunyai pengaruh psikologis.

6. Missed Abortion
Kalau janin muda yang telah mati tertahan di dalam rahim selama 2 bulan
atau lebih, maka keadaan itu disebut missed abortion. Sekitar kematian janin
kadang-kadang ada perdarahan per vaginam sedikit hingga menimbulkan
gambaran abortus imminens.

11
Kalau tidak terjadi abortus dengan pitocin infus ini, sekurang kurangnya
terjadi pembukaan yang memudahkan curettage. Dilatasi dapat juga dihasilkan
dengan pemasangan laminaria stift.
a. Gejala-gejala selanjutnya ialah :
1) Rahim tidak membesar, malahan mengecil karena absorbsi air ketuban dan
macerasi janin.
2) Buah dada mengecil kembali.
3) Gejala-gejala lain yang penting tidak ada, hanya ammenorhoe berlangsung
terus.

Biasanya keaddan ini berakhir dengan abortus yang spontan selambat-


lambatnya 6 minggu setelah janin mati. Kalau janin mati pada kehamilan yang
masih muda sekali, maka janin lebih cepat dikeluarkan. Sebalikya kalau
kehamilan lebih lanjut retensi janin lebih lama. Sebagai batas maksimal retensi
janin diambil 2 bulan, kalau dalam 2 bulan belum lahir disebut missed
abortion (abortus tertunda).

b. Diagnosa missed abortion adalah :


1) Gejala subyektif kehamilan menghilang.
2) Mammae agak mengendor lagi.
3) Uterus tidak membesar lagi bahkan mengecil.
4) Tes kehamilan menjadi negatif, serta denyut jantung janin menghilang.
5) Dengan ultrasonografi (USG) dapat ditentukan segera apakah janin sudah
mati dan besarnya sesuai dengan usia kehamilan.

12
6) Perlu diketahui pula bahwa missed abortion kadang-kadang disertai
gangguan pembekuan darah karena hipofibrinogenemia, sehingga
pemerikaan kearah ini perlu dilakukan.
c. Penatalaksanaan :
Setelah diagnosis missed abortion dibuat, timbul pertanyaan apakah
hasil konsepsi perlu segera dikeluarkan. Tindakan pengeluaran itu tergantung
dari berbagai faktor, seperti apakah kadar fibrinogen dalam darah sudatr mulai
turun. Hipofibrinogenemia dapat terjadi apabila janin yang mati lebih dari I
bulan tidak dikeluarkan. Selain itu faktor mental penderita perlu diperhatikan
karena tidak jarang wanita yang bersangkutan merasa gelisah, mengetahui ia
mengandung janin yang telah mati, dan ingin supaya janin secepatnya
dikeluarkan.

7. Abortus Infeksiosa, Abortus Septik

Abortus infeksiosa adalah abortus yang disertai infeksi pada genitalia,


sedangkan abortus septik adalah abortus infeksiosa berat disertai penyebaran
kuman atau toksin ke dalam peredaran darah atau peritoneum.
Penyulit serius pada abortus umumnya terjadi akibat abortus kriminalis.
Perdarahan hebat, sepsis, syok bakterial, dan gagal ginjal akut pernah terjadi pada
abortus legal tetapi dengan frekuensi yang jauh lebih kecil.
Hasil biasanya adalah metritis, tetapi dapat juga terjadi parametritis,
peritonitis, endokarditis, dan septikemia. Dari 300 abortus septik di Parkland
Hospital, bahkan darah posotif pada seperempatnya. Hampir dua pertiga adalah
bakteria anaerob sedangkan koliform juga sering dijumpai. Organisme lain yang
dilaporkan menjadi penyebab abortus septik antara lain adalah haemophilus

13
influenzae, campylobacter jejuni, dan streptokokus grup A. Terapi infeksi antara
lain adalah evakuasi segera produk konsepsi disertai anti mikroba spektrum luas
secara intravena. Apabila timbul sepsis dan syok, perlu diberikan terapi suportif.
Abortus septik juga pernah dilaporkan menyebabkan koagulopati intravaskular
diseminata.
Diagnosa abortus infeksiosa adalah :
1) Abortus yang disertai dengan gejala dan tanda infeksi alat genitalia, seperti
panas, takikardi, perdarahan pervaginam yang berbau, uterus yang membesar,
lembek serta nyeri tekan, dan adanya leukositosis.
2) Apabila terdapat sepsis, penderita tampak sakit berat, kadang-kadang
menggigil.
3) Demam tinggi, dan tekanan darah menurun.
4) Untuk mengetahui kuman penyebab perlu dilakukan pembiakan darah dan
getah pada serviks uteri.

8. Abortus Provokatus (abortus yang sengaja dibuat)


80 % dari semua abortus, Yaitu: Abortus provokatus adalah pengakhiran
kehamilan sebelum 20 minggu akibat suatu tindakan.
Menghentikan kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar tubuh ibu.
Pada umumnya dianggap bayi belum dapat hidup diluar kandungan apabila
kehamilan belum mencapai umur 28 minggu, atau berat badan bayi belum 1000
gram, walaupun terdapat kasus bahwa bayi dibawah 1000 gram dapat terus hidup.
a. Macam-macam abortus provokatus :
1) Abortus provocatus artificialis atau abortus therapeuticus
Abortus provocatus artificialis adalah Pengguguran kehamilan,
biasanya dengan alat-alat, dengan alasan bahwa kehamilan membahayakan
membawa maut bagi ibu, misalnya karena ibu berpenyakit berat.
Abortus provocatus pada hamil muda (di bawah 12minggu) dapat
dilakukan dengan pemberian prostaglandin atau curettage dengan
penyedotan (vakum) atau dengan sendok curet.
Pada hamil yang tua (di atas 12 minggu) dilakukan hysterotomi
juga dapat disuntikkan garam hypertonis (20%) atau prostaglandin intra-
amnial.

14
Indikasi untuk abortus therapeuticus misalnya : penyakit jantung
(rheuma), hypertensi essensial, carcinoma daro cervik.
Merupakan terminasi kehamilan secara medis atau bedah sebelum
janin mampu hidup (viabel). Beberapa indikasi untuk abortus terapeutik
diantaranya adalah penyakit jantung persisten dengan riwayat
dekompensasi kordis dan penyakit vaskuler hipertensi tahap lanjut. Yang
lain adalah karsinoma serviks invasif. American College Obstetricians and
Gynecologists (1987) menetapkan petunjuk untuk abortus terapeutik :
 Apabila berlanjutnya kehamilan dapat mengancam nyawa ibu atau
mengganggu kesehatan secara serius. Dalam menentukan apakah
memang terdapat resiko kesehatan perlu dipertimbangkan faktor
lingkungan pasien.
 Apabila kehamilan terjadi akibat perkosaan atau incest. Dalam hal ini
pada evaluasi wanita yang bersangkutan perluditerapkan kriteria medis
yang sama.
 Apabila berlanjutnya kehamilan kemungkinan besar menyebabkan
lahirnya bayi dengan retardasi mental atau deformitas fisik yang berat.

2) Abortus provocatus criminalis


Abortus provocatus criminalis adalah pengguguran kehamilan
tanpa alasan medis yang syah dan dilarang oleh hukum.
Abortus provokatus kriminalis adalah interupsi kehamilan sebelum
janin mampu hidup atas permintaan wanita yang bersangkutan, tetapi
bukan karena alasan penyakit janin atau gangguan kesehatan ibu. Sebagian
besar abortus yang dilakukan saat ini termasuk dalam katagori ini.

E. Tabel Diagnosa Banding Pendarahan Kehamilan Muda

Perdarahan Serviks Uterus Gejala/ Diagnosis Tindakan


tanda
Bercak hingga Tertutup Sesuai Kram perut Abortus Obserasi
sedang dengan bawah imminens perdarahan
usia Uterus lunak Istirahat

15
gestasi Hindarkan koitus
Sedikit Limbung atau Kehamilan Laparotomi dan
membesar pingsan ektopik parsial
dari Nyeri perut yang Salpingektomi
normal bawah terganggu Salpingostomi
Nyeri goyang
porsio
Masa
adneksa
Cairan bebas
intraabdomen
Tertutup/ Lebih Sedikit/tanpa Abortus Tidak perlu terapi
terbuka kecil dari nyeri perut komplit spesifik kecuali
usia bawah perdarahan
gestasi Riwayat berlanjut atau
ekspulsi hasil terjadi infeksi
konsepsi
Sedang hingga Terbuka Sesuai Kram atau Abortus Evakuasi
masif/ banyak usia nyeriperut insipiens
kehamilan bawah
Belum terjadi
ekspulsi hasil
konsepsi

Kram atau Abortus Evakuasi


nyeri perut inkomplit
bawah
Ekspulsi
sebagian
hasil
konsepsi

Terbuka Lunak dan Mual/ Abortus Evakuasi

16
lebih besar muntah mola Tatalaksana mola
dari usia Kram perut
gestasi bawah
Sindroma
mirip
preeklamsi
Tak ada janin
keluar
jaringan
seperti
anggur

F. Komplikasi Akibat Abortus


Komplikasi yang berbahaya pada abortus adalah perdarahan, perforasi,
infeksi, dan syok.
1) Perdarahan
Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisa-sisa hasil
konsepsi dan jika perlu diberikan transfusi darah. Kematian karena perdarahan
dapat terjadi apabila pertolongan tidak diberikan pada waktunya.
2) Perforasi
Perforasi uterus pada kerokan dapat terjadi terutama pada uterus dalam
posisi hiperretrofleksi. Jika terjadi peristiwa ini, penderita perlu diamati dengan
teliti. Jika ada tanda bahaya, perlu segera dilakukan laparatomi dan tergantung
dari luas dan bentuk perforasi, penjahitan luka perforasi atau perlu histerektomi.
3) Infeksi
Sejumlah penyakit kronik diperkirakan dapat menyebabkan
abortus. Brucella abortus dan Campylobacter fetus merupakan kausa abortus
pada sapi yang telah lama dikenal, tetapi keduanya bukan kausa signifikan pada
manusia. Bukti bahwa toxoplasma gondii menyebabkan abortus pada manusia
kurang meyakinkan. Tidak terdapat bukti bahwa Listeria
monocytogenes atau Chlamydia trachomatis menyebabkan abortus pada
manusia. Herpes simpleks dilaporkan berkaitan dengan peningkatan insidensi
17
abortus setelah terjadi infeksi genital pada awal kehamilan. Abortus spontan
secara independen berkaitan dengan antibodi virus imunodefisiensi manusia
(HIV-1) dalam darah ibu, seroreaktivitas sifilis pada ibu, dan kolonisasi vagina
pada ibu oleh streptokokus grup
4) Syok
Syok pada abortus dapat terjadi karena perdarahan (syok hemoragik)
dank karena infeksi berat (syok endoseptik).

2.3 Kehamilan Ektopik


A. Definisi Kehamilan Ektopik
Kehamilan ektopik adalah implantasi ovum yang telah dibuahi diluar kavum
uteri. Kehamilan ektopik dapat muncul dengan nyeri abdomen dengan atau tanpa
perdarahan pervaginam. Pada kelompok pasien tertentu beresiko tinggi, mereka
dengan patologi atau pembedahan tuba sebelumnya, dan mereka dengan alat
kontrasepsi dalam rahim. Kemungkinan kehamilan ektopik harus dipikirkan pada
pasien yang beresiko tinggi, meskipun tanpa gejala (Harry & Tjokorda, 2019).

B. Faktor Resiko Kehamilan Ektopik


Beberapa Faktor resiko terjadinya kehamilan ektopik yaitu :
1) Bedah tuba;
2) Sterilisasi;
3) Kehamilan ektopik sebelumnya;
4) Terpajan dietilstilbestron;
5) Penggunaan AKDR;
6) Kelainan tuba;
18
7) Infertilitas dan penanganan terkait;
8) Infeksi saluran genital sebelumnya;
9) Pasangan seksual lebih dari satu;
10) Merokok;
11) Bilas vagina;
12) Pertama kali berhubungan seks saat usia dini;
13) Usia ibu sudah lanjut;
14) Endometriosis (Lauren A, Jessica E, & Meredith B, 2019).

C. Lokasi Kehamilan Ektopik


1. Kehamilan Tuba
a. Patogenesis
Menurut tempat nidasi, kehamilan tuba dapat dibagi menjadi :
 Kehamilan ampula (dalam ampula tuba);
 Kehamilan istmus (dalam istmus tuba);
 Kehamilan interstisial (dalam pars interstisialis tuba).
b. Perkembangan Kehamilan tuba
Kehamilan tuba tidak dapat mencapai cukup bulan, biasanya berakhir
pada minggu ke-6 hingga ke-12, yang paling sering antara minggu ke 6-8.
Kehamilan tuba dapat berakhir dengan 2 cara, yakni abortus tuba atau ruptur
tuba.
c. Abortus Tuba
Oleh karena senantiasa membesar, telur menembus endosalping
(selaput lendir tuba), masuk kedalam lumen tuba, lalu keluar kearah
infundibulum. Peristiwa ini terutama terjadi bila telur berimplantasi di ampula
tuba. Implantasi telur di ampula tuba biasanya bersifat kolumnar karena
lipatan-lipatan selaput lendir di tempat ini tinggi dan banyak. Abortus tuba
kira-kira terjadi diantara minggu ke-6 hingga ke-12. Keluarnya abortus keluar
dari ujung tuba menimbulkan perdarahan yang mengisi kavum douglasi, yang
disebut hematokel retrouterin.
d. Ruptur Tuba
Implantasi telur didalam istmus tuba menyebabkan telur mampu
menembus lapisan otot tuba kearah kavum peritoneum. Lipatan-lipatan selaput

19
lendir di istmus tuba tidak seberapa banyak, sehingga besar kemungkinan telur
berimplantasi secara interkolumnar. Ruptur istmus tuba terjadi sebelum
minggu ke-12 karena dinding tuba di daerah ini cukup tipis. Namun, ruptur
pars intertisialis terjadi lebih lambat, bahkan terkadang baru terjadi pada bulan
ke-4, karena lapisan otot didaerah ini cukup tebal. Ruptur dapat terjadi dengan
sendirinya/spontan atau akibat manipulasi kasar, misalnya akibat periksa
dalam, defekasi atau koitus. Ruptur dapat terjadi dengan sendirinya/spontan
atau akibat manipulasi kasar, misalnya akibat periksa dalam, defekasi atau
koitus. Ruptur biasanya terjadi ke dalam kavum peritoneum, terkadang
kedalam ligamentum latum bila implantasi terjadi didinding bawah tuba.
e. Gambaran Klinis
Wanita dengan kehamilan tuba memperlihatkan beragam gejala klinis
yang sebagian besar bergantung pada ada tidaknya ruptur. Manifestasi pasien
yang lebih awal dan teknologi diagnostic yang lebih baik memungkinkan
sebagian besar kasus terdeteksi sebelum ruptur. Biasanya wanita yang
bersangkutan tidak mencurigai kehamilan tuba dan beranggapan bahwa
kehamilannya normal, atau beranggapan ia mengalami keguguran. Gejala dan
tanda kehamilan ektopik sering samara tau bahkan tidak ada.
Tanpa diagnosis dini, perjalanan alami kasus “ klasik” ditandai oleh
keterlambatan haid (dengan lama bervariasi) diikuti oleh spotting atau
perdarahan ringan per vagina. Jika terjadi ruptur, pasien biasanya mengalami
nyeri hebat di abdomen bawah dan panggul yang sering diungkapkan sebagai
nyeri yang tajam, menusuk, atau merobek. Terjadi gangguan vasomotor,
berkisar dari vertigo hingga sinkop.
f. Tanda dan Gejala
Kehamilan ektopik yang masih utuh menimbulkan gejala dan tanda
serupa dengan kehamilan muda intrauterine. Kehamilan ektopik biasanya baru
menimbulkan beragam gejala dan tanda yang jelas dan khas bila sudah
terganggu. Diantara tanda dan gejalanya yaitu :
 Nyeri tekan;
 Amenorea;
 Perdarahan Pervaginaan;
 Syok Hipovelemik;

20
 Pembesaran Uterus;
 Tumor didalam rongga panggul;
 Perubahan darah.

2. Kehamilan abdomen
Menurut kepustakaan, kehamilan abdominal jarang terjadi, hanya sekitar 1
di antara 1.500 kehamilan. Terdapat dua macam kehamilan abdominal, yakni :
a. Kehamilan abdominal primer yaitu telur dari awal berimplantasi didalam
rongga perut.
b. Kehamilan abdominal sekunder yaitu diawali oleh kehamilan tuba dan setelah
rupture baru menjadi kehamilan abdominal.

Kebanyakan kehamilan abdominal adalah kehamilan abdominal sekunder.


Plasenta biasanya terdapat di daerah tuba, permukaan belakang rahim, dan
ligamentum latum. Walaupun ada kalanya kehamilan abdominal mencapai umur
cukup bulan, hal ini jarang terjadi; lazimnya, janin mati sebelum cukup bulan
(bulan ke 5 atau ke 6) karena ambilan makanan kurang sempurna.

Janin dapat tumbuh sampai cukup bulan. Prognosis janin kurang baik
karena banyak yang mati stelah dilahirkan. Selain itu, resiko kelainan congenital
lebih tinggi daripada kehamilan intra uterin. Kematian janin intra abdominal akan
mengalami nasib sebagai berikut :

a. Pernanahan yaitu kantong kehamilan mengalami abses yang dapat pecah


melalui dinding perut, kedalam usus atau kandung kemih. Bersama nanah,
keluar bagian-bagian janin seperti tulang, potongan kulit, rambut dan lain-lain.

21
b. Pengapuran (kalsifikasi) yaitu anak mengapur, mengeras karena endapan-
endapan garam kapur, lalu berubah menjadi anak batu (lithopedion).
c. Perlemakan yaitu janin berubah menjadi zat kuning seperti minyak kental
(adipocere).

Tanda dan gejala kehamilan abdominal biasanya baru terdiagnosis bila


kehamilan sudah agak lanjut. Gejala dan tanda kehamilan abdominal adalah
sebagai berikut :

a. Segala tanda-tanda kehamilan dapat dijumpai, tetapi pada kehamilan


abdominal, pasien biasanya lebih menderita karena rangsang peritoneum,
misalnya mual, muntah, gembung perut, obstipasi atau diare dan nyeri perut.
b. Pada kehamilan abdominal sekunder; pasien mungkin pernah mengalami nyeri
perut hebat disertai pusing atau pingsan waktu terjadi ruptur tuba.
c. Tumor yang mengandung anak tidak pernah mengeras (tidak ada kontraksi
Braxton hicks).
d. Pergerakan anak dirasa nyeri oleh ibu.
e. Bunyi jantung anak lebih jelas terdengar.
f. Bagian-bagian tubuh anak lebih mudah teraba karena hanya terpisah oleh
dinding perut.
g. Selain tumor yang mengandung anak, terkadang dapat teraba tumor lain, yakni
rahim yang membesar.
h. Pada rontgen abdomen atau USG, biasanya tampak kerangka anak yang
terletak tinggi dan berada dalam letak paksa.
i. Pada foto lateral, tampak bagian-bagian janin menutupi vertebra ibu.
j. Terdapat shuffle vascular disisi medial spina iliaka. Shuffle ini diduga berasal
dari arteri ovarika.
k. Bila sudah ada his, dapat terjadi pembukaan sebesar + jari dan tidak
membesar; bila jari dimasukkan ke dalam kavum uteri, uterus ternyata kosong.
(Djamhoer, Firman, & Jusuf, 2019).

3. Kehamilan ovarium
Kehamilan ovarial jarang terjadi dan biasanya berakhir dengan rupture
pada hamil muda.Menegakkan diagnosis kehamilan ovarial harus memenuhi
criteria spiegelberg, yakni :

22
1) Tuba disisi kehamilan masih tampak utuh.
2) Kantung kehamilan daerah ovarium.
3) Ovarium dihubungkan dengan uterus oleh ligamentum ovarii proprium.
4) Pemeriksaan histopatologi menemukan jaringan ovarium didalam dinding
kantung kehamilan.

4. Kehamilan serviks
Kehamilan servikal jarang sekali terjadi. Nidasi terjadi dalam selaput
lendir serviks. Pertumbuhan telur menyebabkan serviks menggembung.
Kehamilan serviks biasanya berakhir pada kehamilan muda, karena menimbulkan
perdarahan hebat yang memaksa tindakan operasi.
Plasenta sukar dilepaskan, dan pelepasan plasenta menimbulkan
perdarahan hebat hingga serviks perlu ditampon; bila tindakan ini tidak menolong,
dilakukan histerektomi.

5. Kehamilan di jaringan parut Caesar


Implantasi kehamilan yang sebenarnya normal kedalam jaringan parut
uterus bekas seksio sesarea telah dilaporkan lebih dari 30 tahun yang lalu oleh
Larsen dan Solomon (1978). Kehamilan ini memiliki ukuran beragam dan dalam
banyak hal mirip dengan plasenta inkreta dengan kecendrungan mengalami
perdarahan hebat.

6. Tempat lain kehamilan ektopik


 Kehamilan limpa;

23
 Kehamilan hati;
 Kehamilan retroperitoneum;
 Kehamilan omentum;
 Kehamilan diafragma.

D. Perjalanan klinik Kehamilan Ektopik

Bila tidak didiagnosis dan diangkat, akhirnya akan rupture. Tanda dan
gejalanya adalah sebagai berikut :
1. Sebelum rupture
a) Amenorea, lalu dilanjutkan dengan perdarahan bercak yang intermiten.
Mungkin hampir tidak terlihat sehingga perdarahan bercak tampak seperti
masa menstruasi normal.
b) Nyeri panggul, abdomen, kadang nyeri leher/bahu.
c) Massa lunak teraba pada adneksa. Massa mungkin berbatas tegas bila
terdistensi darah.
d) Uterus membesar karena hormone plasenta, mungkin berukuran normal sesuai
gestasi. Mungkin juga pindah kesalah satu sisinya.
e) Mual, muntah lebih jarang terjadi dari biasanya. Diare menjadi lebih sering
dari biasa.
f) Uji kehamilan positif, tetapi mungkin negatif sampai 50% dari keseluruhan
waktu karena fungsi plasenta yang masih kurang optimal.
g) nyeri abdomen akut mungkin ditemukan dimana saja di abdomen.

24
2. Setelah rupture
a) Nyeri abdomen bagian bawah yang tiba-tiba, hebat, dan tajam.
b) Hipotensi dan tanda-tanda syok, bergantung pada jumlah perdarahan internal;
perdarahan dapat hilang dalam jumlah besar dengan cepat.
c) Nyeri abdomen dan nyeri tekan saat serviks bergerak.
d) Darah berkumpul tanpa dapat keluar (cul-de-sac).
e) Nyeri pada leher dan bahu, khususnya saat inspirasi karena iritasi diafragma
akibat darah yang ada di rongga peritoneum.

E. Diagnosis Banding
1. Abotus spontan
 Perdarahan lebih banyak;
 Sedikit nyeri;
 Tidak ada massa adneksa yang teraba;
 Insidens syok lebih rendah;
 Produk konsepsi mungkin dikeluarkan dan ditemukan pada pemeriksaan
speculum atau didalam toilet.

2. PRP
 Riwayat infeksi sebelumnya;
 Jarang terjadi amenore;
 Nyeri bilateral, bukan unilateral;
 Demam biasanya lebih 38°C.

3. Kista ovarium
 Menstruasi normal;
 Nyeri yang tidak biasa;
 Massa yang lunak dan dapat digerakkan;
 Uterus terasa tidak seperti hamil.

4. Apendisitis
 Mual, muntah, dan demam hampir selalu ada;
 Tidak ada tanda dan gejala kehamilan;

25
 Pemeriksan panggul normal;
 Nyeri pada epigastrium bukan di leher dan bahu;
 Terdapat tanda McBurney.

F. Diagnosis Kehamilan Ektopik


Menegakkan diagnosis kehamilan ektopik terganggu tentunya dengan
melakukan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, yaitu sebagai
berikut :
1. Anamnesa tentang trias kehamilan ektopik terganggu :
a) Terdapat amenorhea (Terlambat datang bulan).
b) Terdapat rasa nyeri mendadak disertai rasa nyeri didaerah bahu dan seluruh
abdomen.
 Nyeri perut terutama nyeri unilateral (satu sisi).
 Gejala ini spesifik untuk kehamilan tuba, tetapi nyeri menyebar ke tengah
atau seluruh perut bawah.
 Darah dalam rongga perut merangsang diafragma sehingga menyebabkan
nyeri bahu/sekitar 25-30% penderita mengalami keluhan nyeri bahu ini.
c) Terdapat perdarahan melalui vagina atau spotting/bercak.
1) Perdarahan pervaginam berasal dari pelepasan desidua dan dari abortus
tuba.
2) Umumnya perdarahan tidak banyak dan bewarna coklat tua.
3) Gejala perdarahan dan/atau perdarahan.
4) Bercak ini timbul pada 75% kasus yang timbul satu atau dua minggu
setelah keterlambatan haid.
5) Darah dalam rongga perut merangsang diafragma sehingga menyebabkan
nyeri bahu/sekitar 25-30%.

2. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum dan tanda vital dapat baik sampai buruk seperti :
 Keadaan umum
1) Ibu tampak anemis dan sakit, lemah dan pucat.
2) Keasadaran bervariasi dari baik sampai koma-tidak sadar.

26
3) Terdapat tanda-tanda syok: hipotensi (tekanan darah menurun),
Takhikardia (nadi meningkat), pucat, ekstremitas dingin.
4) Pada pemeriksaan abdomen: Ditemukan tanda-tanda rangsangan peritoneal
(nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas, defense musculaire), ini disebabkan
karena darah yang masuk kedalam rongga abdomen akan merangsang
peritoneum, Tanda cairan bebas dalam abdomen. Dan Perut kembung.
 Pemeriksaan khusus melalui vagina (pemeriksaan ginekologi)
1) Nyeri goyang pada pemeriksaan serviks.
2) Serviks terlalu lunak dan nyeri tekan.
3) Korpus uteri normal atau sedikit membesar, kadang-kadang sulit diketahui
karena nyeri abdomen yang hebat.
4) Kavum douglas menonjol oleh karena terisi darah dan nyeri.

3. Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan laboratorium
1) Kadar hemoglobin meningkat dan eritrosit menurun atau leukosit
meningkat.
2) Tes kehamilan (urine dan HCG).
 Pemeriksaan Ultrasonografi (USG).
 Pemeriksaan kuldosentesis.
Untuk mengetahui adanya cairan atau darah dalam kavun douglass.
 Pemeriksaan yang ditegakkan secara bedah (surgical Diagnosis). (Anik, 2019).

G. Penatalaksanaan Kehamilan Ektopik


Pengantar
1. Kehamilan ektopik terganggu merupakan masalah klinis yang memerlukan
penanganan spesialistis.
 Dalam hal ini, rujukan merupakan langkah yang sangat penting.
 Dengan gambaran klinis kehamilan ektopik terganggu. Kiranya bidan dapat
menegakkan diagnosis kemungkinannya sehingga sikap yang paling baik
diambil adalah segera merujuk penderita (ibu) ke fasilitas yang lengkap
seperti puskesmas, dokter atau langsung ke rumah sakit.

27
2. Sebagai gambaran penanganan spesialistis tersebut yang akan dilakukan adalah
penatalaksanaan kehamilan ektopik tergantung pada beberapa hal, antara lain
lokasi dan tampilan klinis.

Adapun prinsip umum penatalaksanaan kehamilan ektopik adalah sebagai berikut :

1) Segera rujuk ke fasilitas yang lebih lengkap / rumah sakit.


2) Optimalisasi keadaan umum ibu dengan pemberian cairan dan tranfusi darah,
pemberian oksigen atau bila dicurigai infeksi diberikan juga antibiotik.
3) Pada keadaan syok segera diberikan infus cairan seperti dextrose 5%, glukosa 5%,
garam fisiologis dan oksigen sambil menunggu darah. (kondisi penderita harus
diperbaik, kontrol tekanan darah, nadi dan pernafasan).
4) Penatalaksanaan yang ideal adalah menghentikan sumber perdarahan segera
dengan penatalaksanaan bedah operasi/ laparatomi setelah diagnosis dipastikan.
(Anik, 2019).

Penatalaksanaan beberapa macam kehamilan ektopik :

1. Penatalaksanaan Kehamilan tuba


a) Penatalaksanaan bedah
Laparaskopi adalah terapi bedah yang dianjurkan untuk kehamilan ektopik,
kecuali jika wanita yang bersangkutan secara hemodinamis tidak stabil. Hanya
sedikit studi prespektif yang pernah dilakukan untuk membandingkan bedah
laparatomi dengan laparoskopik. Hajenius dkk (2007) melakukan tinjauan
terhadap basis data cochrane dan temuan mereka diringkaskan sebagai berikut:
1) Tidak terdapat perbedaan signifikan dalam patensi tuba secara keseluruhan
setelah salpingostomi yang dilakukan pada laparoskopi second-look.
2) Setiap metode diikuti oleh kehamilan uterus berikutnya dengan jumlah
yang sama.
3) Kehamilan ektopik berikutnya lebih jarang terjadi pada wanita yang
diterapi secara laparoskopis, meskipun hal ini secara statistic tidak
bermakna.
4) Laparaskopi memerlukan waktu operasi yang lebih singkat, lebih sedikit
menyebabkan perdarahan, memerlukan lebih sedikit analgetik, dan
mempersingkat rawat inap.

28
5) Bedah laparaskopik sedikit terapi kurang berhasil secara signifikan dalam
mengatasi kehamilan tuba.
6) Biaya laparoskopi jauh lebih rendah, meskipun sebagian berpendapat
bahwa biaya berupa dengan kasus-kasus yang akhirnya dilaparotomi.

Bedah tuba dianggap konservatif jika tuba diselamatkan. Contonhya


adalah salpingostomi, salpingotomi dan ekspresi kehamilan ektopik melalui
fimbria.

b) Penatalaksanaan medis dengan methotrexate


Antagonis asam folat ini sangat efektif terhadap trofoblas yang cepat
berproliferasi dan telah digunakan selama lebih dari 40 tahun untuk mengobati
penyakit trofoblastik gestasional. Obat ini juga digunakan untuk mengakhiri
kehamilan dini.Pada terapi medis ini, beberapa factor yang memprediksi
keberhasilan antara lain adalah :
1) Kadar HCG serum awal.
2) Ukuran kehamilan ektopik.
3) Aktivitas jantung janin.
c) Penatalaksanaan ekspektansi
Pada penatalaksanaan ekspektansi, angka kepatenan tuba dan
kehamilan intrauterus selanjutnya setara dengan penatalaksanaan medis atau
bedah. Konsekuensi rupture tuba yang dapat membahayakan, disertai oleh
keamanan terapi medis dan bedah, mengharuskan bahwa terapi ekspektansi
hanya dilakukan pada wanita tertentu yang sudah mendapat konseling.
(Cunningham et al, 2019)

2. Penatalaksanaan Kehamilan abdomen


Bila diagnosis sudah ditemukan, kehamilan abdominal harus dioperasi
secepat mungkin mengingat bahaya perdarahan dan ileus. Tujuan operasi hanya
melahirkan anak, Pelepasan plasenta dari dasarnya pada kehamilan abdominal
menimbulkan perdarahan hebat karena plasenta melekat pada dinding yang tidak
mampu berkontraksi.

29
Plasenta yang ditinggalkan lambat- laun akan diresorbsi. Mengingat
kemungkinan perdarahan yang hebat, persediaan darah harus cukup. (Djamhoer,
Firman, & Jusuf, 2019).

3. Penatalaksanaan Kehamilan ovarium


Penanganan klasik untuk kehamilan ovarium adalah
pembedahan. Perdarahan dini dari lesi yang berukuran kecil dapat diatasi dengan
reseksi baji ovarium atau sistektomi. Pada lesi yang lebih besar, sering dilakukan
ovariektomi, dan laparoskopi telah digunakan untuk reseksi atau ablasi laser
(Herndon dkk, 2008). Yang terakhir, methotrexate dilaporkan berhasil mengobati
kehamilan ovarium yang belum rupture. (Cunningham et al, 2019).

4. Penatalaksanaan Kehamilan serviks


Dahulu, sering harus dilakukan histerektomi karena perdarahan hebat yang
menyertai upaya pengankatan kehamilan serviks. Dengan histerektomi, Untuk
menghindari morbiditas pembedahan dan sterilisasi, diterapkan pendekatan lain :
a) Cerclage (pemasangan ikatan silk yang kuat mengelilingi serviks);
b) Kuretase dan tampon;
c) Emboli arteri;
d) Penatalaksanaan medis. (Cunningham et al, 2019).

5. Penatalaksanaan Kehamilan di jaringan parut Caesar


Penatalaksanaan bergantung pada usia gestasi dan mencakup terapi
methotrexate, kuretase, reseksi histeroskopik, reseksi dengan laparotomi atau
laparoskopi untuk mempertahankan uterus. (Cunningham et al,2019).

6. Penatalaksanaan Tempat lain kehamilan ektopik


Dianjurkan melakukan laparotomi. (Cunningham et al,2019).

2.4 Molahidatidosa
A. Definisi Mola Hidatidosa

30
Suatu kehamilan yang tidak wajar, yang sebagian atau seluruh vili korialisnya
mengalami degenerasi hidrofik berupa gelembung yang menyerupai anggur
(Martaadisoebrata, 2005). Mola Hidatidosa (MH) secara histologis ditandai oleh
kelainan vili korionik yang terdiri dari proliferasi trofoblas dengan derajat bervariasi
dan edema stroma vilus. MH biasanya terletak di rongga uterus, namun kadang-
kadang MH terletak di tuba fallopi dan bahkan ovarium (Cunningham FG, 2020).

B. Epidemiologi
Angka kejadian MH secara pasti sangatlah bervariasi di dalam beberapa
populasi yang berbeda. Pada penelitian epidemiologi ditemukan angaka kejadian MH
di Amerika Serikat adalah 108 per 100.000 kehamilan; di Itali 62 per 100.000
kehamilan, di Indonesia 993 per 100.000 kehamilan, dan di Cina 667 per 100.000
kehamilan (Benirschke K, 2021).
Angka kejadian MHK tertinggi di Asia Tenggara, dengan insiden 1-2/1000
kehamilan di Jepang dan Cina, dan 12/1000 kehamilan di Indonesia, India, dan Turki.
Di Amerika Utara dan Eropa, rata-rata insiden mencapai 0,5-1/1000 kehamilan
(Kruger TF, 2007). Perlu dicatat bahwa hampir semua data epidemiologi merujuk
terutama untuk MHK dan relatif sedikit yang diketahui tentang epidemiologi MHP
(Fox H, 2017).
MH cenderung lebih sering terjadi pada wanita dengan usia reproduksi yang
ekstrim (Hayashi et al; La Vecchia et al; Atrash et al; Bagswe et al; Paradinas et al; Di
Cintio et al; Sebire et al ) oleh karena itu populasi MH pada kehamilan usia dini dan
usia tua diharapkan lebih tinggi dibanding dengan kehamilan pada rentang usia yang

31
lebih terbatas. Hal ini dapat menjelaskan beberapa perbedaan observasi regional tetapi
tentu tidak semuanya (Fox H, 2017).
Upaya untuk mendefinisikan peranan etnik, gizi, dan sosioekonomi dalam
keragaman MH secara regional pada umumnya tidak berhasil, namun pada penemuan
baru-baru ini dalam insiden MH di bagian Asia, faktor sosioekonomi harus
diikutsertakan (Fox H, 2018).
Kehamilan kembar mola, yang terdiri dari normal fetus dan MHK, jelas tidak
biasa namun tetap menjadi subyek dari sejumlah besar laporan (Matsui et al 2000;
Sebire et al 2002; Fox 2003; Wee & Jauniaux 2005; Valsbuch et al 2005) (Fox H,
2007). Kehamilan kembar dengan MHK serta janin dan plasenta normal kadang-
kadang salah diagnosis sebagai MHP diploid sebaiknya keduanya diupayakan
dibedakan, karena kehamilan kembar yang terdiri dari satu janin normal dan satu
MHK memiliki kemungkinan 50% untuk menyebabkan penyakit trofoblastik
persisten dibandingkan dengan angka yang jauh lebih rendah pada MHP triploid
(Cunningham FG, 2019).

C. Patogenesis
Ada beberapa teori yang diajukan menerangkan patogenesis dari penyakit
trofoblas. Diantaranya Hertig et al, mengatakan bahwa pada MH terjadi insufisiensi
peredaran darah akibat matinya embrio pada minggu ke 3-5 (missed abortion),
sehingga terjadi penimbunan cairan dalam jaringan mesenhim vili dan terbentuklah
kista-kista kecil yang makin lama makin besar, sampai pada akhirnya terbentuklah
gelembung mola. Sedangkan proliferasi trofoblas merupakan akibat dari tekanan vili
yang oedemateus tadi (Martaadisoebrata, 2015).
Sebaliknya, Park mengatakan bahwa yang primer adalah adanya jaringan
trofoblas yang abnormal, baik berupa hiperplasia, displasi maupun neoplasi. Bentuk
abnormal ini disertai pula dengan fungsi yang abnormal, dimana terjadi absorbsi
cairan yang berlebihan ke vili. Keadaan ini menekan pembuluh darah, yang akhirnya
menyebabkan kematian embrio (Martaadisoebrata, 2019).
Reynolds mengatakan bahwa, bila wanita hamil, terutama antara hari ke 13
dan 21, mengalami kekurangan asam folat dan histidine, akan mengalami gangguan
pembentukan thymidine, yang merupakan bagian penting dari DNA. Akibat
kekurangan gizi ini akan menyebabkan kematian embrio dan gangguan angiogenesis,

32
yang pada gilirannya akan menimbulkan perubahan hidrofik (Martaadisoebrata,
2018).
Teori yang sekarang dianut adalah teori sitogenetik. Seperti diketahui,
kehamilan yang sempurna harus terdiri dari unsur ibu yang akan membentuk bagian
embrional (anak) dan unsur ayah yang diperlukan untuk membentuk bagian
ekstraembrional (plasenta, air ketuban dan lainlain), secara seimbang
(Martaadisoebrata, 2019).
Imprint gen mempunyai peranan yang penting pada perkembangan MH.
Pencetakan (imprinting) merupakan proses di mana gen spesifik mengalami metilasi
sehingga mereka tidak lagi dapat ditranskripsi. Perkembangan embrio normal
membutuhkan satu set gen yang dicetak secara maternal dan gen lain dicetak secara
paternal. Pada MH, dua set gen yang dicetak secara paternal. Pada keadaan ini
trofoblas displasia, namun janin tidak terberntuk (Heffner LJ, 2019).
Studi yang dilakukan pada mencit memperlihatkan bahwa gen yang berasal
dari paternal mempunyai peranan dalam perkembangan plasenta dan gen yang berasal
dari maternal berperan dalam perkembangan fetus. Sehingga perkembangan materi
genetik paternal dapat menyebakan proliferasi trofoblas yang berlebihan. Pada MHK
hanya punya DNA paternal sehingga terjadi proliferasi trofoblas yang banyak bila
dibandingkan MHP (Lumongga, 2019).
Identifikasi kromosom paternal mempunyai peranan penting dalam diagnosis
MH, maka banyak dikembangkan teknik pemeriksaan yang berasal dari paternal
kromosom. Pemeriksaan tersebut antara lain adalah : Polymerase Chain Reaction
(PCR). DNA fingerprinting, restriction fragmen lenght polymorphism (RFLP)
assesment, short tandem repeat – derived DNA polymorphism, flowcytometri dan
analisis DNA dengan menggunakan images analysis (Lumongga, 2019).

D. Faktor Resiko
1. Usia Ibu
Peningkatan resiko untuk MHK karena kedua usia reproduksi yang
ekstrim (terlalu muda dan terlalu tua) (Daftary, 2006). Menurut Kruger TF, hal ini
berhubungan dengan keadaan patologis ovum premature dan postmature (Kruger
TF, 2007). Ovum patologis terjadi karena gangguan pada proses meiosis, sehingga
ovum tidak memiliki inti sel (Martaadisoebrata, 2005). Jika ovum patologis

33
tersebut dibuahi oleh satu sel sperma maka karyotipe yang dihasilkan adalah
46,XX homozigot dan ini adalah karyotipe tersering yang ditemukan pada MHK
(90%) (Berek, 2020).
2. Status Gizi
Dalam masa kehamilan keperluan akan zat-zat gizi meningkat. Hal ini
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan janin,
dengan keadaan sosial ekonomi yang rendah maka untuk memenuhi zat-zat gizi
yang diperlukan tubuh kurang sehingga mengakibatkan gangguan dalam
pertumbuhan dan perkembangan janinnya (Saleh, 2019).
3. Riwayat Obstetri
Resiko untuk MHK dan MHP meningkat pada wanita dengan riwayat
aborsi spontan sebelumnya (Brinton LA, 2005). Sebuah MH sebelumnya juga
merupakan faktor resiko yang kuat (Berek, 2009). Ibu multipara cenderung
beresiko terjadi kehamilan mola hidatidosa karena trauma kelahiran atau
penyimpangan tranmisi secara genetik (Saleh, 2019).
4. Genetik
Faktor resiko lain yang mendapat perhatian adalah genetik. Hasil
penelitian sitogenetik Kajii et al dan Lawler et al, menunjukkan bahwa pada kasus
MH lebih banyak ditemukan kelainan Balance translocation dibandingkan dengan
populasi normal (4,6% dan 0,6%). Ada kemungkinan, pada wanita dengan
kelainan sitogenetik seperti ini, lebih banyak mengalami gangguan proses meiosis
berupa nondysjunction, sehingga lebih banyak terjadi ovum yang kosong atau
intinya tidak aktif (Martaadisoebrata, 2019).
5. Kontrasepsi oaral dan pendarahan irregular
Resiko untuk mola parsial dihubungkan dengan penggunaan kontrasepsi
oral dan riwayat perdarahan irregular (Berek, 2007). Kontrasepsi oral,
peningkatan resiko MH dengan lamanya penggunaan. Sepuluh tahun atau lebih
meningkatkan resiko lebih dari 2 kali lipat (Berek, 2009). Pada salah satu
penelitian efek ini terbatas pada pengguna estrogen dosis tinggi, meskipun pada
penelitian yang lain menyebutkan pil tidak berefek pada komplikasi pascaMH
(Hoskins WJ, 2019).
6. Golongan Darah
Ibu dengan golongan darah A dan ayah dengan golongan darah A atau O
memiliki resiko meningkat dibandingkan dengan semua kombinasi golongan
34
darah lain . Penemuan ini mendukung faktor genetik atau faktor imunologik
berkaitan dengan histokompatibilitas ibu dan jaringan trofoblas. (Hoskins WJ,
2019)
7. Merokok, Konsumsi alcohol, Infeksi
Merokok dilaporkan meningkatkan resiko GTD. Resiko relatif wanita
yang merokok lebih dari 15 batang per hari adalah 2,6 dibandingkan 2,2 pada
wanita yang merokok kurang dari 15 batang per hari. Lama waktu merokok
berhubungan dengan insiden GTD. Peran alkohol dan infeksi (Human Papilloma
virus, Adenovirus, dan Tuberkulosis) juga telah dipertimbangkan (Berek, 2019).

E. Klasifikasi
MH diklasifikasikan menjadi MHK dan MHP berdasarkan morfologi,
histopatologi, dan karyotip (Daftary dan Desai, 2006). MHP harus dipisahkan dari
MHK, karena antara keduanaya terdapat perbedaan yang mendasar, baik dilihat dari
segi patogenesis (sitogenetik), klinis, prognosis, maupun gambaran PA-nya
(Martaadisoebrata, 2019).
1. Mola Hidatidosa Komplit
MHK merupakan kehamilan abnormal tanpa embrio yang seluruh vili
korialisnya mengalami degenerasi hidrofik yang menyerupai anggur. Mikroskopik
tampak edema stroma vili tanpa vaskularisasi disertai hiperplasia dari kedua
lapisan trofoblas (Sastrawinata S, 2019).
Pada waktu yang lalu MHK rata-rata terjadi pada usia kehamilan 16
minggu, tetapi pada saat ini dengan kemajuan teknologi ultrasonografi, MHK
dapat didetiksi pada usia kehamilan yang lebih muda. Secara klinis tampak
pembesaran uterus yang lebih besar dari usia kehamilan dan pasien melihatkan
gejala toksik kehamilan. Abortus terjadi dengan perdarahan abnormal dan disertai
dengan keluarnya jaringan mola. Pada pemeriksaan laboratorium terjadi
peningkatan titer serum β human Chorionic Gonadotropin (β hCG) yang
jumlahnya diatas 82,350 mlU/ml (Lumongga, 2019).
a) Gambaran Mikrokopis
Secara makroskopik ditandai dengan gelembung-gelembung putih,
tembus pandang, berisi cairan jernih dengan ukuran yang bervariasi dari

35
beberapa milimeter sampai 1-2 centimeter. Massa tersebut dapat tumbuh besar
sehingga memenuhi uterus (Sudiono J, 2021).

b) Karyotipe
MHK mempunyai komplemen genetik yang androgenik, yaitu material
genetik berasal dari paternal (Lumongga, 2009). MHK biasanya mempunyai
kariotype 46 XX dan kromosom dari mola diperoleh sepenuhnya dari ayah.
Sebagian besar MHK adalah homozigot dan timbul dari ovum kosong yang
telah dibuahi oleh sperma haploid (23X), yang mereplikasi dari kromosomnya
sendiri. Kromosom pada MHK berasal dari pihak ayah dan DNA mitokondria
berasal dari pihak ibu (Berkowitz RS, 2019).
Seperti diketahui, kehamilan yang sempurna harus terdiri dari unsur
ibu yang akan membentuk bagian embrional (anak) dan unsur ayah yang
diperlukan untuk membentuk bagian ekstraembrional (plasenta, air ketuban
dan lain-lain), secara seimbang. Karean tidak ada unsur ibu, pada MHK tidak
ada bagian embrional (janin). Yang ada hanya bagian ekstraembrional yang
patologis berupa vili korialis yang mengalami degenerasi hidrofik seperti
anggur (Lumongga, 2019).

36
c) Gambaran Mikrokopis
Gambaran mikroskopis dari MHK adalah udem pada vili dengan
pembentukan sisterna. Sisterna adalah rongga aseluler yang terletak pada
bagian tengah vilous yang berisi cairan udem. Tetapi tidak semua vili terdapat
sisterna. Pada vili dapat dijumpai nekrosis dan kalsifikasi parsial. Pembuluh
darah pada vili biasanya tidak terlihat, oleh karena perkembangan fetus yang
terhenti pada awal masa pembentukan plasenta. Sel-sel trofoblas hiperplasia
dan proliferasi abnormal yang terdapat disekeliling vili korion (Lumongga,
2019).
Gambaran histologi MHK :
1) Degenerasi hidrofobik dan pembengkakan Stroma Vilus.
2) Tidak adanya pembuluh darah di vilus yang membengkak.
3) Proliferasi epitel tropoblas dengan derajat bervariasi.
4) Tidak adanya janin dan amnion.

37
d) Hasil Pemeriksaan USG
MHK dicirikan oleh pembengkakan vili korionik, pada ultrasonografi
ditemukan pola vesicular. MHK yang didiagnosis dalam trimester pertama
menunjukkan kavitas yang kurang dan vili yang lebih kecil. Namun demikian,
ultrasonografi masih bisa digunakan untuk mendeteksi sebagian besar kasus.
Sebagai contoh, dalam satu laporan dari 24 kasus MHK pada trimester
pertama (usia kehamilan, 8,7 minggu), 17 kasus (71%) yang didiagnosis
dengan benar pada pemeriksaan ultrasonografi awal (Berkowitz RS, 2019).

Pada pemeriksaan utrasonografi terlihat sebuah uterus yang terisi oleh


kista multipel dan area ekogenik yang bervariasi ukuran dan bentuknya (snow-
storm appearance) tanpa adanya embrio dan fetus. Dengan menggunakan
pemeriksaan ini, 79% MHK dapat dideteksi (Wladimiroff W, 2019).

2. Mola Hidatidosa Parsial


Pada pemeriksaan utrasonografi terlihat sebuah uterus yang terisi oleh
kista multipel dan area ekogenik yang bervariasi ukuran dan bentuknya (snow-
storm appearance) tanpa adanya embrio dan fetus. Dengan menggunakan
pemeriksaan ini, 79% MHK dapat dideteksi (Wladimiroff W, 2019).
a) Gambaran Makroskopis
Secara makroskopis tampak gelembung mola yang disertai janin atau
bagian dari janin (Sudiono J, 2001). Mola parsial tampak gambaran vili yang
normal dan udem. Pada mola parsial sering dijumpai komponen janin.
Penderita sering dijumpai pada usia kehamilan lebih tua, yaitu 18-20 minggu.
Pada pemeriksaan laboratorium, peningkatan kadar serum β hCG tidak terlalu
tinggi (Lumongga, 2019).

38
b) Karyotipe
Karyotip biasanya triploid 69,XXX, 69,XXY, atau 69,XYY dengan
satu komplemen haploid ibu dan dua haploid ayah. Janin pada mola parsial
memiliki stigmata triploid, yaitu malformasi kongenital multipel dan
hambatan pertumbuhan, serta tidak mungkin hidup (Leveno KJ, 2020).

c) Gambaran Mikroskopis
Gambaran mikroskopis yang tampak adalah sebagian vili immatur
yang relatif normal dan sebagian lagi vili yang membesar dengan degenerasi
hidrofik. Pada tepi vili terdiri dari sel-sel sitotrofoblas dan sinsitiotrofoblas
yang tersusun ireguler berbentuk scalloping. Sisterna jarang dijumpai. Dapat
terlihat pseudoinklusi trofoblas yang disebabkan oleh pemotongan tangensial
vili pada tepi vili yang irregular. Pada vili dapat terjadi fibrosis yang fokal.
Derajat atipia dan proliferasi trofoblas tidak terlalu banyak bila dibandingkan
dengan MHK. Pembuluh darah pada vili sering dijumpai (Lumongga, 2019).

39
d) Hasil Pemeriksaan USG
Mola parsial pada pemeriksaan ultrasonografi berkarakteristik seperti
pada gambar 2.9. Seperti itu temuan yang telah ditampilkan secara signifikan
terkait dengan kehadiran mola parsial termasuk perubahan kistik plasenta
secara fokal dan rasio transversal terhadap dimensi anteroposterior kantung
kehamilan yang lebih dari 1,5. Temuan terakhir mungkin terkait dengan
triploid. Di sebuah penelitian, ketika kedua temuan telah dicatat, nilai prediktif
positif untuk mola parsial 87%, meskipun temuan ini belum divalidasi.
Periksaan ultrasonografi seperti pada gambar 2.9 dari pasien dengan mola
parsial trimester pertama. Menunjukkan perubahan vesikular fokal di dalam
plasenta dan janin dengan kantung gestasional (bawah) (Berkowitz RS, 2019).

40
F. Manifestasi Klinis
1) Pendarahan
Perdarahn uterus hampir bersifat universal, dan dapat bervariasi dari
bercak sampai perdarahn berat. Perdarahan mungkin terjadi sesaat sebelum
abortus atau, yang lebih sering, terjadi secara intermitten selama beberapa minggu
sampai bahkan bulan. Efek delusi akibat hipervolumia yang cukup berat
dibuktikan terjadi pada sebagian wanitayang molanya lebih besar. Kadang-kadang
terjadi perdarahan berat yang tertutup di dalam uterus. Anemia defisiensi besi
sering dijumpai dan kadang-kadang terdapat eritropoisis megaloblastik, mungkin
akibat kurangnya asupan gizi karena mual dan muntah disertai meningkatnya
kebutuhan folat trofoblas yang cepat berproliferasi (Cunningham FG, 2019).
2) Ukuran Uterus
Uterus sering membesar lebih cepat daripada biasanya. Ini adalah kelainan
yang etrsering dijumpai, dan pada sekitar separuh kasus, ukuran uterus jelas
melebihi yangyang diharapkan berdasarka usia gestasi. Uterus mungkin sulit
diidentifikasi secara pasti dengan palpasi, terutama pada wanita nullipara, karena
konsistensiny yang lunak di bawah dinding abdomen yang kencang. Kadang-
kadang ovarium sangat membesar akibat kista-kista teka lutein sehingga sulit
dibedakan dari uterus yang membesar (Cunningham FG, 2019).
3) Aktivitas Janin
Walaupun uterus cukup membesar sehingga mencapai jauh di atas
simfisis, bunyi jantung janin biasanya tidak terdeteksi. Walaupun jarang, mungkin
terdapat plaseta kembar dengan perkembangan kehamilan MHK pada salah
satunya, sementara plasenta lain dan janinya tampak normal, demikian juga,
walaupun sangat jarang, plasenta mungkin mengalami perubahan mola yang luas
tetapi disertai janin hidup (Cunningham FG, 2019).
4) Hiperemesis Gravidarum
Hiperemesis gravidarum yang ditandai dengan mual dan muntah yang
berat. Keluhan hiperemesis terdapat pada 14-18% kasus pada kehamilan kurang
dari 24 minggu dan keluhan mual muntah terdapat pada MH dengan tinggi fundus
uteri lebih dari 24 minggu. Pada kehamilan MH, jumlah hormon estrogen dan

41
gonadotropin korionik terlalu tinggi dan menyebabkan hiperemesis gravidarum
(Manuaba, 2019).
5) Tanda Toksemia/ Pre-eklampsia Pada Kehamilan Trimester 1
Preeklamsia pada MHK tidak berbeda dengan kehamilan biasa, bisa
ringan, berat, bahkan sampai eklamsia. Hanya saja pada MHK terjadinya lebih
dini. Hal yang paling penting adalah keterkaitan MH dengan preeklamsia yang
menetap hingga ke trimester kedua. Memang, karena preeklamsia jarang dijumpai
sebelum 24 minggu, preeklamsia yang terjadi sebelum ini mengisyaratkan MH
(Leveno KJ, 2020).
6) Kista Lutein Unilateral/bilateral
Pada banyak kasus MH, ovarium mengandung banyak kista teka lutein
yang diperkirakan terjadi akibat stimulasi berlebihan elemen-elemen lutein oleh
hormon gonadotropin korion (hCG) dalam jumlah besar, dapat mengalami torsio
infark, dan perdarahan. Karena kista mengecil setelah melahirkan, ooferektomi
jangan dilakukan, kecuali jika ovarium mengalami infark yang luas (Leveno KJ,
2020).
7) Kadar gonadotropin korion tinggi dalam darah dan urin.
8) Embolisai.
9) MHP biasanya ditemukan pada saat evaluasi pasien yang didiagnosis sebagai
abortus inkomplit atau missed abortion.
10) Kadang-kadang disertai gejala lain yang tidak berhubungan dengan keluhan
obstetri, seperti tirotoksikosis, perdarahan gastrointestinal, dekompensasi
kordis, perdarahan intrakranial, perdarahan gastrointestinal, dan hemoptoe.

G. Dasar Diagnosis Mola Hidatidosa


1. Gejala hamil muda yang sangat menonjol
a) Emesis gravidarum – hiperemesis gravidarum.
b) Terdapat komplikasi.
 Tirotoksikosis (2-5%);
 Hipertensi – preeklamsia (10-15%);
 Anemia akibat perdarahan;

42
 Perubahan hemodinamik kardiovaskuler berupa gangguan fungsi jantung
dan gangguan fungsi paru akibat edema atau emboli paru.

2. Pemeriksaan Palpasi
a) Uterus
 Lebih besar dari usia kehamilan (50-60%);
 Besarnya sama dengan usia kehamilan (20-25%);
 Lebih kecil dari usia kehamilan (5-10%).
b) Palpasi lunak seluruhnya
 Tidak teraba bagisan janin;
 Terdapat bentuk asimetris, bagian menonjol agak padat-mola destruen.

3. Pemeriksaan USG Serial Tunggal


a) Sudah dapat dipastikan MH tampak seperti TV rusak;
b) Tidak terdapat janin;
c) Tampak sebagian plasenta normal dan kemungkinan dapat tampak janin.

4. Pemeriksaan Laboratorium
a) β-hCG urin tinggi lebih dari 100.000 mIU/ml.
b) β-hCG serum di atas 40.000 mIU/ml.

43
DAFTAR PUSTAKA

M Yunus. 2019. Buku Ajar Kegawatdaruratan Maternal Neonatal. Kab Goa : Cv.
Cahaya Bintang Cemerlang.

Kemenkes. 2019. Modul Teori Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan Maternal


Neonatal. Palangkaraya : Poltekes Kemenkes.

Elisabeth Siwi Walyani, Amd. Keb. 2020. Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan


Maternal Neonatal. Kab Bantul : Pustaka Baru Press.

Harnanik Nawangsari, SST., M. Keb. 2022. Modul Pratikum Asuhan Kebidanan


Kehamilan. Jawa Barat : Cv Jejak.

Sekar Arum. 2021. Kehamilan Sehat Mewujudkan Generasi Berkulitas di New


Normal. Cirebon : Insania.

Agustini, N. K, T. 2022. Pengetahuan Ibu Hamil Tentang Tanda Bahaya Kehamilan


di Puskesmas II Denpasar Selatan. Jurnal Medika Usada, 5(1)5-9.

Fatimah, & Nuryaningsih. 2018. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Patologi.

Devi Liani Octiara. 2021. Mola Hidatidosa. Jurnal Kedokteran, 5(1), 50-53.
44
Masrina Munawarah. 2019. Pengetahuan Wanita Usia Subur Tentang Mola
Hidatidosa di PadangsidimpuanUtara. Jurnal Ilmu Keperawatan, 12(2).

Intan Mutiara Putri, Nunung Ismiyatun. 2020. Deteksi Dini Kehamilan Beresiko.
Jurnal Kesehatan Masyarakat, 8(1), 40-51.

Tiara Fatrin, Ririn Angraini. 2022. Hubungan Usia, Partitas, Dan Riwayat Abortus
Pada Kehamilan Dengan Kejadian Partus Prematus. Jurnal Kesehatan Abdurahman,
11(20),1-7.

Kadek Resa Widiasari, Ni Made Sri Dewi Lestari. 2021. Kehamilan Ektopik. Ganesha
Medicine, 1(1), 20-27.

Estu Sixzar Rohmahtin. 2021. Faktor Risiko yang Mempengaruhi Kejadian


Kehamilan Ektopik. Gema Bidan Indonesia, 10(4).

45

Anda mungkin juga menyukai