Makalah Konseling Naratif
Makalah Konseling Naratif
DOSEN PENGAMPU:
Disusun Oleh:
Kelompok 10
Alya (2141040053)
1444 H/2022 M
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirahim,
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu
kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang
telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.
Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Aamiin allahuma
aamiin.
Penulis,
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR...........................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................1
B. Rumusan masalah ...................................................................................2
C. Tujuan......................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan...........................................................................................13
B. Saran.....................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
B. Rumusan Masalah
2
BAB II
DASAR TEORI
A. Konseling Naratif
1. Sejarah Konseling Naratif
Pendekatan naratif dikembangkan pada tahun 1980-an oleh Michael
White, seorang pekerja sosial dan terapis keluarga yang berasal dari Australia
Selatan dan David Epston, seorang Psikolog dan Terapis Keluarga yang berasal
dari Selandia Baru, dan menerima perhatian seluruh dunia sejak
mempublikasikan buku mereka di Amerika Utara pada tahun 1990. Terapi
naratif muncul dari lingkungan filosofis postmodernisme. Konstruksionis sosial
berfokus pada narasi sosial dan kultural yang diinternalisasikan oleh individu,
dan menganggap kedua narasi tersebut sebagai kebenaran yang merupakan
realitas (kenyataan). Sedangkan konstruktivisme sosial berfokus kepada
persepsi dan pemikiran individual sebagai pembentuk pandangan-pandangan
mereka tentang realitas.
2. Hakikat Manusia
Berdasarkan konsep perilaku manusia, prinsip kerja konseling berdasarkan
konseling naratif ini didasarkan atas asumsi sebagai barikut:
1. Perspektif Naratif berfokus pada kemampuan manusia untuk berpikir
kreatif dan imajinatif. Praktisi Naratif tidak pernah menganggap bahwa ia
tahu lebih banyak tentang kehidupan klien daripada yang mereka lakukan.
2. Klien adalah penafsir utama pengalaman mereka sendiri.
3. Praktisi Naratif melihat orang sebagai agen aktif yang mampu memperoleh
makna keluar dari dunia pengalaman mereka. Dengan demikian, proses
perubahan dapat difasilitasi, tetapi tidak diarahkan oleh terapis.
3. Pengertian Konseling Naratif
Teori yang dijadikan landasan dalam teori ini adalah teori konseling
naratif. Konseling secara bahasa berarti memberikan bantuan berupa nasihat.
Konseling sendiri merupakan sebuah seni dalam membantu individu menyadari
keberadaan dirinya, dengan segala keterbatasannya, membantu individu dalam
memecahkan permasalahan yang dihadapinya. Banyak metode dalam
3
konseling yang mulai dikembangkan, salah satunya adalah pendekatan naratif
dalam praktik konseling. Berikut Pengertian Konseling Menurut Para Ahli:
1. Menurut Parry & Doan dalam Semmler & Carmen (2000)
Konseling naratif merupakan sebuah pendekatan yang menggali masalah
individu dengan menggunakan cerita (narasi). Konseling narasi berusaha
untuk mengeksplorasi pengalaman manusia melalui cerita konseli
membawa ke dalam proses konseling. Dalam proses kolaborasi, konselor
membantu konseli mengeksplorasi kisah mereka. Konseli didorong untuk
menggunakan kata-kata mereka sendiri untuk menceritakan kisah mereka
sendiri yang membawa arti sendiri.
2. Menurut Ifdil (2011)
konseling naratif adalah bentuk konseling yang menggunakan narasi.
Pengertian narasi menurut Gorys Keraf (2003) adalah “Suatu bentuk
wacana yang sasaran utamanya adalah tindak tanduk yang dijalin dan
dirangkaikan menjadi sebuah peristiwa yang terjadi dalam suatu kesatuan
waktu”. Narasi menyediakan sebuah kesiapan mental yang melibatkan
pembaca bersama dengan perasaannya atau bahkan melibatkan simpati
atau antipati mereka terhadap kejadian atau kisah yang diceritakan.
Artinya dari sebuah narasi, pembaca diajak untuk memahami dan
memaknai cerita tersebut dan merefleksikannya pada pengalaman yang
dialami.
4. Fokus Konseling Naratif
Freedman dan Combs dalam Corey menjelaskan bahwa erapi naratif
melibatkan pengalihan fokus dari sebagian besar teori tradisional. Terapis
didorong untuk membangun pendekatan kolaboratif dengan minat khusus
untuk mendengarkan cerita klien dengan hormat untuk mencari waktu dalam
kehidupan klien ketika mereka banyak akal untuk menggunakan pertanyaan
sebagai cara untuk melibatkan klien dan memfasilitasi eksplorasi mereka untuk
menghindari diagnosis dan pelabelan klien atau menerima deskripsi
penjumlahan berdasarkan masalah untuk membantu klien dalam memetakan
pengaruh yang ada pada kehidupan mereka dan untuk membantu klien dalam
4
memisahkan diri dari cerita dominan yang telah mereka internalisasikan
sehingga ruang dapat dibuka untuk penciptaan kisah kehidupan alternative.
5. Sudut Pandang Tentang Sifat Manusia
Konselor naratif menekankan “bahwa pengetahuan atau arti dibentuk
melalui interaksi social”. Tidak ada realitas yang absolut kecuali sebagai suatu
produk social. Manusia dipandang sebagai makhluk yang menilai dan
menginternalisasi diri sendiri dengan menciptakan kehidupannya. Kebanyakan
cerita tersebut mayoritas kualitas negative mengenai individu ataupun situasi
social kehidupan mereka dan sangat mengganggu atau membuat depresi.
Melalui perawatan, klien dapat menulis kembali kehidupan dan mengubah
pandangannya dalam cara yang positif.
6. Ciri-ciri Konseling Naratif
Pendekatan naratif menggunakan pertanyaan sebagai cara untuk
melibatkan klien dan memfasilitasi mereka melakukan eksplorasi diri,
menghindari diagnosis dan pelabelan klien atau menerima sepenuhnya
berdasarkan deskripsi masalah membantu klien dalam pemetaan pengaruh
masalah yang dimiliki dalam kehidupan mereka dan membantu klien
memisahkan diri dari cerita-cerita yang dominan yang telah diinternalisasi
sehingga hati/pikiran yang seringkali disebut sebagai ruang dapat dibuka untuk
menciptakan kisah kehidupan alternatif.
7. Tujuan Konseling Naratif
Naratif Pendekatan konseling terapi naratif memandang bahwa manusia itu
menjalani kehidupannya melalui cerita (people live their live by stories). Oleh
karena itu pendekatan ini diarahkan kepada cara naratif dalam
mengonseptualisasikan dan menafsirkan dunia. Klien yang mengalami
pendekatan naratif akan belajar bagaimana mengonstruk cerita dan makna baru
dalam kehidupannya, dan dalam prosesnya membangun realita kehidupan baru
bagi dirinya sendiri. White dan Epston menegaskan bahwa:
“Terapi naratif berfungsi untuk memisahkan masalah dari klien; dan setelah ini
selesai, klien dapat bekerja pada hubungan mereka dengan masalah tersebut.
Dengan mengeksternalkan kekhawatiran yang ada dengan cara ini, klien dapat
menggunakan sumber daya mereka untuk mengubah hubungan mereka dengan
5
masalah tersebut. Dalam terapi naratif, masalah yang ada klien terkait dengan
narasi pribadi mereka, dan mengubah narasi pribadi klien juga akan mengubah
masalah.”
Tujuan umum konseling naratif adalah mengundang klien
mendeskripsikan pengalamannya bahasa yang baru dan segar. Melalui bahasa
yang baru kien dapat mengembangkan makna baru dari masalah-masalah
pikiran, perasaan dan tingkah lakunya.Dalam konseling ini juga, klien
diharapkan mampu mengembangkan kesadaran bahwa banyak faktor termasuk
budaya yang mempengaruhi kehidupannya.
Menurut Kleist:
“Narrative theory is central for understanding how lives are constructed. The
relevance of narrative theory to vocational psychology is not new that
narrative theory is foundational to understanding how lives, not just careers,
are constructed. In making this extension, I focus specifically on the
significance of the time dimension in narrative theory, that is, the ways in
which narrative theory addresses the future and the past dimensions of
experience. Second, I propose that narrative theory is especially well suited to
highlighting how culture influences the construction of lives. Each of these
points is addressed more fully below.”
6
yang ditandai oleh respek dengan hormat dan bekerja dengan konseli untuk
mengeksplorasi dampak masalh pada mereka dan apa yang mereka lakukan untuk
mengurangi efek dari masalah. Pendekatan naratif penekankan pemahaman pada
konseli mengenai pengalaman hidup dan menekankan upaya untuk memprediksi
dan menafsirkan.
Peran konseli dalam konseling adalah berpartisipasiaktif dalam mencari
pemenuhan dan makna dalam hidupnya karena konseli yang mengetahui dirinya
dan kehidupannya.
Terapis naratif sangat mementingkan kualitas terapis yang membawa kepada
usaha terapi. Beberapa sikap termasuk optimism, ketertarikan, menerima,
keingintahuan, rasa hormat, menghargai pengetahuan klien, dan kontak yang dapat
menciptakan hubungan baik.hubungan kolaboratifnya, terapis perlu menyadari
bagaimana kekuasaan dirinya dalam praktek propesionalnya ini tidak berarti bahwa
terapis tidak memiliki otoritas sebagai seorang professional. dia memperlakukan
klien sebagai pakar dalam kehidupan mereka sendiri. Dalam pendekatan naratif,
terapis sebagai ahli digantikan oleh klien sebagai ahli.
7
memang sebuah masalah. Menjalani hidup berarti memang menhadapi masalah,
tidak menjadi satu dengan masalah. Masalah dan kisah-kisah tentang masalah
memiliki pengaruh pada orang dan dapat merubah hidup dalam cara-cara yang
negatif. Asumsi tentang sebuah masalah yang tidak dipahami dengan benar
akan membatasi kesempatan baik untuk klien dan terapis untuk menggali
perubahan.
Ekternalisasi adalah proses unutk membentuk kembali kekuatan naratif
dan memisahkan orang dari pengidentifikasian masalah. White (1992)
menyatakan orang datang mencari terapi karena mereka menganggap mereka
memiliki masalah. Ketika klien memandang diri mereka adalah masalah,
mereka membatasi diri kepada cara-cara untuk mengatasi masalah tersebut.
Bukannya memiliki masalah, seseorang justru memilki hubungan dengan
masalah contohnya, ada perbedaan antara menyebut seseorang sebagai pecandu
alcohol dan mengetahui ada indikasi bahwa alcohol telah mempengaruhi
kehidupannya.
3. Penemuan hasil yang unik.
Dalam pendekatan naratif, ekternalisasi pertanyaan-pertanyaan diikuti
dengan pertanyaan untuk mencari hasil unik. Terapis berbicara pada klien
tentang momen pilihan atau keberhasilan berkaitan dengan masalah. Terapis
dapat bertanya: apakah ada waktu dimana kemarahan akan menguasai anda, dan
anda melawannya?, seperti apakah diri anda?, dan bagaimanakah anda
melakukan itu?. Pertanyaan-pertanyaan ini dimaksudkan untuk menyoroti
momen ketika masalah tidak terjadi atau ketika masalah diatasi dengan baik.
Hasil unik sering kali dapat ditemukan dalam masalalu atau sekarang tetapi juga
untuk masa depan. Menyelidiki pertanyaan-pertanyaan seperti ini
memungkinkan klien melihat perubahan yang mungkin dilakukan.
4. Alternatif cerita dan reautoring.
Membentuk cerita terjadi berulang-ulang dalam dekonstruksi, dan terapis
naratif mendengarkan pembukaan terhadap cerita baru. Orang-orang dapat
secara kontinu dan aktif mengarang kembali hidupnya, dan terapis naratif
mengundang klien untuk mengarang cerita alternative melalui hasil unik.
( Freedman & Coms,1996).
8
5. Mendokumentasikan bukti naratif.
Satu teknik untuk mengkonsolidasi keuntungan yang dibuat klien adalah
dengan menulis surat. Surat naratif yang ditulis oleh terapis mencatat sesi dan
mungkin memasukkan eksternalisasi deskripsi tentang masalah dan
pengaruhnya terhhadap klien sebagaimana halnya laporan kekuatan dan
kemampuan klien yang diidentifikasi dalam sesi tersebut. Surat ini digunakan
untuk mendorong klien, mencatat kekuatan dan prestasi mereka sehubungan
dengan menangani masalah atau mencatat makna dari prestasi mereka bagi
orang lain dalam komunitas.
9
1) Memetakan pengaruh masalah terhadap kehidupan klien
2) Memetakan pengaruh kehidupan klien terhadap masalah. Pemetaan
pengaruh masalah terhadap kehidupan klien menghasilkan informasi yang
sangat berguna bagi pencapaian tujuan konseling. Klien merasa didengar
dan dipahami ketika pengaruh masalah itu dieksplorasi secara sistematik.
b. Raising Dilemmas
c. Predicting Setbacks
Predicting setbacks yaitu memprediksi kemunduran, sehingga klien dapat
memikirkan tentang apa yang dia akan lakukan jika dihadapkan kepada
kesulitan/masalah.
d. Reauthoring
Reauthoring yaitu menulis ulang cerita/kisah kehidupan. Klien dapat
menjadi reauthor kehidupannya, dan konselor mengundang klien untuk menulis
cerita kehidupan baru melalui unique outcomes, yaitu peristiwa yang tidak
dapat diprediksi melalui masalah yang terjadi. Dalam hal ini konselor dapat
mengajukan pertanyaan “Pernahkah anda mampu melepaskan diri dan pengaruh
masalah yang dialami?” melalui pertanyaan uniq ini, konselor dapat
memfokuskan konselingnya ke arah masa depan. Contohnya “Berdasar apa
yang telah anda pelajari tentang diri anda, apa langkah selanjutnya yang anda
lakukan?”. “Ketika anda melakukan sesuatu yang anda sukai, kegiatan apalagi
yang mengarahkan anda untuk melakukan yang lebih baik?”. Pertanyaan-
pertanyaan ini mendorong klien untuk merefleksikan tentang apa yang telah
dicapainya dan apa langkah berikutnya yang mungkin dapat dilakukan.
10
“Six major themes consistent with a narrative therapy paradigm emerged from the
data. They were (a) externalizing conversation, (b) unique occurrence and
alternate story, (c) developing personal agency, (d) consulting and reflecting
teams, (e) building the audience, and (f) the helpful andunhelpful aspects of
therapy. The following examples were noted by the clients.”
Berdasarkan pendapat di atas ada enam tema pokok konseling naratif, yaitu:
1) Eksternalisasi masalah (externalizing problems) untuk memisahkan identitas
masalah dengan identitas individu,
2) Ekonstruksi cerita hidup (deconstructing life stories) untuk mematahkan
identitas individu yang dipengaruhi oleh masalah dan mengupayakan
penemuan cerita alternatif yang memberdayakan,
3) Percakapan pengarangan ulang dengan cerita pilihan (reauthoring conversation
with preferred stories) untuk menguatkan cerita alternatif sehingga individu
dapat menemukan hasil unik untuk membangun identitas baru yang lebih
berdaya,
4) Percakapan yang mengingatingat percakapan dari awal kembali (remembering
conversation) dan kegiatan peneguhan/penguatan (definitional ceremonies)
yang bertujuan memunculkan penghargaan individu pada hidupnya sehingga
merangsang pemaknaan atas keberhargaan diri,
5) Pembentukan aliansi terapeutik untuk memantapkan identitas baru individu
tersebut dengan cara mempublikasikannya pada lingkungan sosial terdekat
yang berpengaruh signifikan dalam hidupnya.
a. Berkolaborasi dengan konseli untuk datang dengan nama yang dapat diterima
bersama untuk masalah tersebut,
b. Melambangkan masalah dan menghubungkan pada keinginan yang menekan
dan strategi untuk masalah tersebut,
c. Menyelidiki bagaimana masalah telah mengganggu, mendominasi atau
mengecilkan hati/mengecewakan konseli,
11
d. Meminta konseli untuk melihat ceritanya dari prespektif yang berbeda dengan
menawarkan makna alternative dari peristiwa yang dialaminya,
e. Menemukan momen ketika konseli tidak didominasi atau berkecil hati,
f. Menemukan bukti historis yang mendukung pandangan baru dari konseli
sebagai orang yang cukup kompeten untuk menentang, mengalahkan, atau
keluar dari dominasi atau tekanan masalah (Pada tahap ini identitas orang
tersebut dan kehidupan cerita mulai mendapatkan ditulis ulang),
g. Meminta konseli untuk berspekulasi mengenai masa depan bagaimana yang
bias diharapkan dari kekuatan dan kompetensi seseorang. Sehingga konseli
menjadi terbebas dari cerita-cerita masalah yang menjenuhkan dari masa lalu
dan ia dapat membayangkan dan merencanakan untuk masa depan yang kurang
bermasalah,
h. Menemukan atau menciptakan konseli untuk memahami dan mendukung cerita
baru. Tidaklah cukup untuk membaca cerita baru. Konseli perlu untuk hidup
baru cerita di luar terapi. Karena orang itu masalah awalnya dikembangkan
dalam konteks social, adalah penting untuk melibatkan lingkungan social
dalam mendukung kisah hidup baru yang telah muncul dalam percakapan
dengan klien. Winslade dan Monk menekankan bahwa percakapan narasi tidak
mengikuti perkembangan linier dijelaskan disini, karena lebih baik memikirkan
langkah-langkah dalam hal perkembangan siklus yang mengandung unsur-
unsur berikut:
1) Mengeksternalisasi Masalah
2) Memetakan dampak dari permasalahan individu
3) Membangun potensi cerita baru dan mendokumentasikan prestasi ini.
12
3) Klien dipersiapkan terlebih dahulu untuk menghadapi kemunduran atau
dilemma melalui pertanyaan konselor.
1) Pendekatan ini kurang cocok bagi klien yang tingkat intelektualnya kurang
memadai,
2) Tidak ada norma yang mengatur harus menjadi seperti apa kepribadian klien
nantinya,
3) Pendekatan ini tidak membahas sejarah (latar belakang) masalah klien.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah ini, yaitu:
1. Teori dan praktik konseling naratif dikembangkan oleh Michael White dan
David Epston sekitar tahun 1990. Konseling naratif adalah konseling yang
menggunakan cerita narasi dalam pengubahan kondisi konseli. Cerita yang
dibuat oleh konseli merupakan cerita yang bermakna dalam permasalahan
hidupnya. Dalam proses kolaborasi, konselor membantu konseli
mengeksplorasi kisah mereka. Konseli di dorong untuk menggunakan kata-kata
mereka sendiri untuk menceritakan kisah mereka sendiri yang membawa arti
baginya.
2. Konseling naratif mampu menangani seseorang yang mengalami kondisi
pesimis hebat, keraguan atas dirinya, mudah marah, ketidak pedulian, gelisah,
cemas, dan beberapa perasaan yang menunjukkan masalah depresi yang dialami
3. Ciri-ciri dari konseling naratif diantara yaitu: pendekatan naratif menggunakan
pertanyaan sebagai cara untuk melibatkan klien dan memfasilitasi mereka
melakukan eksplorasi diri, menghindari diagnosis dan pelabelan klien atau
menerima sepenuhnya berdasarkan deskripsi masalah membantu klien dalam
pemetaan pengaruh masalah yang dimiliki dalam kehidupan mereka dan
membantu klien memisahkan diri dari cerita-cerita yang dominan yang telah
13
diinternalisasi sehingga hati/pikiran yang seringkali disebut sebagai ruang dapat
dibuka untuk menciptakan kisah kehidupan alternatif.
4. Tujuan umum konseling narasi adalah membawa konseli agar dapat
menggambarkan pengalaman mereka dalam pandangan baru. Dalam hal ini
dilakukan sampai konseli menemukan pandangan baru. Pandangan baru ini
memungkinkan konseli untuk mengembangkan makna baru bagi pikiran yang
bermasalah, perasaan dan perilaku.
B. Saran
Kami sebagai penulis menyadari jika makalah ini banyak memiliki kekurangan
yang jauh dari kata sempurna. Tentunya, penulis akan terus memperbaiki makalah
dengan mengacu kepada sumber yang bisa di pertanggungjawabkan nantinya. Oleh
sebab itu, penulis sangat mengharapkan adanya kritik serta saran mengenai
pembahasan makalah di atas.
14
DAFTAR PUSTAKA
Albert R. dan Gilbert J, Buku Pintar Pekerja Sosial, (Jakarta: PT BPK Gunung
Mulia, 2008)
Amdani Sarjun, “Konseling naratif Untuk Mengembangkan Regulasi Diri (Self
Regulation) Siswa SMA Kota Bandar Lampung”, (Universitas
Pendidikan Indonesia, 2017)
A Muri Yusuf, Metode Penelitian, Kualitatif dan Penelitian Gabungan,
(Jakarta:Paramedia Group, 2014)
Burhan Burgin. Penelitian Kualitatif, (Surabaya: Universitas Airlangga, 2001)
David Zarefsky. Public Speaking: Strategies for Success. Edisi-7 (USA:
Pearson. 2013)
Departemen Agama RI, Al-Hikmah Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung:
Diponegoro, 2015)
Gerald Corey, Theory and Practice of Counseling and Psychotheraphy, ed. By
Marquita Flemming, 978th-0-495th- edn (California State University:
United States of America, 2009)
Goncalves, M. M., Matos, M., & Santos, A.(2009). Narrative therapyand the nature
of “innovative moments” in the construction of change. Journal of
Constructivist Psychology, 22, 1-23.DOI:10.1080/10720530802500748
15
Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif (Jakarta: Salemba
Humanika, 2011)
H. Douglas Brown, Language Assessment: Principles Classroom Practices (San
Fransisco: Longman, 2004)
Hidajat, Public Speaking dan Teknik Persentasi (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006)
Lacey Ricksa, Sarah Kitchensa, Tonia Goodricha & Elizabeth Hancocka, „My
Story: The Use of Narrative Therapy in Individual and Group
Counseling‟, Journal of Creativity in Mental Health, 9.1540-1383
print/1540-1391 (2014), 100
16