Anda di halaman 1dari 19

DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN.....2
1.1. Latar Belakang Masalah..2
1.2. Tujuan Penulisan.....3
1.3. Rumusan Masalah...3
BAB II : PEMBAHASAN..4
2.1. Pengertian Antropologi....4
2.2. Pengertian Epistemologi......5
2.3. Pengertian Aksiologi....7
2.4. Kajian Antropologi pada Sila-sila Pancasila..10
2.5. Kajian Epistemologi pada Sila-sila Pancasila....11
2.6. Kajian Aksiologi pada Sila-sila Pancasila..12
BAB III : PENUTUP.17
3.1. Kesimpulan.17
3.2. Saran...17
DAFTAR PUSTAKA19

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Sebagai dasar negara, Pancasila kembali diuji ketahanannya dalam era reformasi sekarang.
Merekahnya matahari bulan Juni 1945, 63 tahun yang lalu disambut dengan lahirnya sebuah
konsepsi kenegaraan yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia, yaitu lahirnya Pancasila.
Sebagai falsafah negara, tentu Pancasila ada yang merumuskannya. Pancasila memang
merupakan karunia terbesar dari Allah SWT dan ternyata merupakan light-star bagi segenap
bangsa Indonesia di masa-masa selanjutnya, baik sebagai pedoman dalam memperjuangkan
kemerdekaan, juga sebagai alat pemersatu dalam hidup kerukunan berbangsa, serta sebagai
pandangan hidup untuk kehidupan manusia Indonesia sehari-hari, dan yang jelas tadi telah
diungkapkan sebagai dasar serta falsafah negara Republik Indonesia.
Pancasila telah ada dalam segala bentuk kehidupan rakyat Indonesia, terkecuali bagi mereka
yang tidak Pancasilais. Pancasila lahir 1 Juni 1945, ditetapkan pada 18 Agustus 1945 bersamasama dengan UUD 1945. Bunyi dan ucapan Pancasila yang benar berdasarkan Inpres Nomor 12
tahun 1968 adalah satu, Ketuhanan Yang Maha Esa. Dua, Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Tiga, Persatuan Indonesia. Empat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan. Dan kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Setiap bangsa dan negara yang ingin berdiri kokoh kuat, tidak mudah terombang-ambing oleh
kerasnya persoalan hidup berbangsa dan bernegara, sudah barang tentu perlu memiliki dasar
negara dan ideologi negara yang kokoh dan kuat pula. Tanpa itu, maka bangsa dan negara akan
rapuh.
Mempelajari Pancasila lebih dalam menjadikan kita sadar sebagai bangsa Indonesia yang
memiliki jati diri dan harus diwujudkan dalam pergaulan hidup sehari-hari untuk menunjukkan
identitas bangsa yang lebih bermartabat dan berbudaya tinggi.
Nilai-nilai Pancasila sebagai sumber acuan dalam menyusun etika kehidupan berbangsa bagi
seluruh rakyat Indonesia, maka Pancasila juga sebagai paradigm pembangunan, maksudnya
sebagai kerangka pikir, sumber nilai, orientasi dasar, sumber asas serta arah dan tujuan dari suatu
perkembangan perubahan serta proses dalam suatu bidang tertentu. Pancasila sebagai paradigma
pembangunan mempunyai arti bahwa Pancasila sebagai sumber nilai, sebagai dasar, arah
dan tujuan dari proses pembangunan. Untuk itu segala aspek dalam pembangunan nasional harus
2

mendasarkan pada hakikat nilai-nilai sila-sila Pancasila dengan mewujudkan peningkatan harkat
dan martabat manusia secara konsisten berdasarkan pada nilai-nilai hakikat kodrat manusia.
Dalam berbagai sudut pandang mengenai teori pancasila tidak dapat dielakkan lagi bahwa
pancasila merupakan pandangan hidup bangsa indonesia, maka penulis merujuk pada kajian
antologis, epistemologis, dan aksiologi pancasila dalam menyusun beberapa kalimat yang tingkat
relevansinya mencapai topik makalah yang akan dibuat.
1.2. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui inti atau pokok kajian
antropologis, epistemologi, dan aksiologi pancasila serta pengaruhnya kehidupan berbangsa dan
bernegara.
1.3. Rumusan Masalah
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Apa itu antropologi?


Apa itu epistemologi?
Apa itu aksiologi?
Bagaimana inti sila-sila pancasila dari kajian antropologi?
Bagaimana inti sila-sila pancasila dari kajian epistemologi?
Bagaimana inti sila-sila pancasila dari kajian aksiologi?

BAB II
PEMBAHASAN
3

2.1. Pengertian Antropologi


Antropologi merupakan istilah yang berasal dari kata Yunani, yatiu (baca: anthropos)
yang berarti "manusia" atau orang, dan logos yang berarti "wacana" (dalam pengertian
bernalar, berakal). Antropologi adalah ilmu yang mempelajari karakteristik hidup manusia
dengan berorientasi pada kebudayaan yang dihubungkan dengan ciri-ciri sosio-psikologi atau
ciri-ciri biologis, melalui pendekatan yang holistik yaitu pendekatan dengan cara melihat atau
memandang sesuatu sebagai suatu kebulatan yang utuh. Secara etimologis antropologi berarti
ilmu yang mempelajari manusia. Salah satu karakteristik yang paling banyak mendapat perhatian
dalam antropologi adalah hubungan antara kebudayaan dan ciri-ciri biologis manusia.
Kemampuan menggunakan simbol-simbol adalah salah satu contoh ciri biologis yang
memungkinkan mereka menciptakan dan mendapatkan kebudayaan.
Menurut David Hunter, antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak terbatas
tentang umat manusia. Sedangkan menurut Koentjaraningrat, antropologi adalah ilmu yang
mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik
masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan.
Antropologi bertujuan memahami dan mengapresiasi manusia sebagai spesies Homo sapiens dan
makhluk sosial dalam kerangka kerja yang interdisipliner dan komprehensif. Oleh karena itu,
antropologi menggunakan teori evolusi biologi dalam memberikan arti dan fakta sejarah dalam
menjelaskan perjalanan umat manusia di bumi sejak awal kemunculannya. Antropologi juga
menggunakan kajian lintas-budaya dalam menekankan dan menjelaskan perbedaan antara
kelompok-kelompok manusia dalam perspektif material budaya, perilaku sosial, bahasa, dan
pandangan hidup. Dengan orientasinya yang holistik, antropologi dibagi menjadi empat cabang
ilmu yang saling berkaitan, yaitu: antropologi biologi, antropologi sosial budaya, arkeologi, dan
linguistik. Keempat cabang tersebut memiliki kajian-kajian konsentrasi tersendiri dalam
kekhususan akademik dan penelitian ilmiah, dengan topik yang unik dan metode penelitian yang
berbeda.
Antropologi sosial merupakan studi yang mempelajari hubungan antara orang-orang dan
kelompok. Antropologi sosial berkaitan erat dengan sosiologi dan sejarah yang bertujuan
mencari pemahaman struktur sosial dari suatu kelompok sosial yang berbeda seperti subkultur,
etnik, dan kelompok minoritas.

Antropologi budaya merupakan studi komparasi bagaimana orang-orang memahami dunia di


sekitar mereka dengan cara yang berbeda-beda. Antropologi budaya lebih berhubungan dengan
filsafat, literatur atau sastra, dan seni tentang bagaimana suatu kebudayaan memengaruhi
pengalaman seseorang (diri sendiri) dan kelompok, memberikan kontribusi untuk pemahaman
yang lebih lengkap terhadap pengetahuan, adat istiadat, dan pranata masyarakat.
Antropologi budaya mengumpulkan data mengenai dampak proses ekonomi dan politik global
terhadap realitas budaya lokal. Para antropolog budaya menggunakan berbagai metode,
diantaranya pengamatan partisipatif (participant observation), wawancara dan survei. Penelitian
antropologi budaya sering dikategorikan sebagai penelitian lapangan karena seorang antropolog
harus menetap dalam kurun waktu yang cukup lama di lokasi penelitiannya.
Dalam praktiknya tidak ada perbedaan yang sangat mencolok antara Antropologi Sosial dan
Antropologi Budaya, dan bahkan sering saling tumpang tindih di antara keduanya.
2.2. Pengertian Epistemologi
Istilah epistemologi pertama kali dicetuskan oleh L. F. Ferrier dari Institute of Metaphysics pada
abad 19. Epistemologi merupakan istilah yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu episteme, yang
berarti pengetahuan, dan logos yang berarti "wacana". Secara etimologi, epistemologi adalah
teori tentang ilmu pengetahuan. Epistemologi adalah suatu cabang filsafat yang mengkaji tentang
usaha dan upaya untuk mencari tahu suatu kebenaran secara hakiki. Usaha yang dilakukan
dalam mencari kebenaran bukan hanya sekedar trial-and-error, tetapi dilakukan secara sistematis
dan disertai dengan metode-metode yang bersesuaian dengan objek dari kajian ilmu.
Epistemologi terus mengkaji tentang suatu fakta sampai pada batasnya, yaitu batasan pola piker
manusia. Batasan ini menyebabkan kebenaran sejati yang tidak dapat dicapai tuhan adalah milik
Tuhan semata.
Sejarah mencatat bahwa alasan agama tanpa didasari fakta sains menyebabkan kesalahan dalam
mengartikan ayat-ayat Ilahi oleh suatu otoritas. Galileo galilei merupakan contoh nyata. Ia
dihukum karena pengertian heliosentris yang sangat bertentangan dengan pandangan gereja,
yaitu geosentris. Fakta ini mendukung pentingnya epistemologi dalam kehidupan supaya
kejadian yang dialami oleh Galileo tidak terulang kembali.

Epistemologi atau Teori Pengetahuan yang berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan,
pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai
pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui
akal dan panca indera dengan berbagai metode, diantaranya; metode empirisme, metode
rasionalisme, metode fenomenalisme, metode intuisionisme dan metode dialektis.
Empirisme adalah suatu cara/metode dalam filsafat yang mendasarkan cara memperoleh
pengetahuan dengan melalui pengalaman. John Locke, Bapak Empirisme Britania, mengatakan
bahwa pada waktu manusia di lahirkan akalnya merupakan jenis catatan yang kosong. Ia
memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan,yang secara pasif menerima hasil-hasil
penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan kita betapapun rumitnya dapat dilacak
kembali sampai kepada pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama, yang dapat
diibaratkan sebagai atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa yang tidak dapat atau
tidak perlu di lacak kembali secara demikian itu bukanlah pengetahuan, atau setidak-tidaknya
bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang faktual.
Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena
rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling dipandang sebagai
sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan
kesesatan terletak di dalam ide kita, dan bukannya di dalam diri barang sesuatu. Jika kebenaran
mengandung makna mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka
kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi
saja.
Bapak Fenomenalisme adalah Immanuel Kant. Kant membuat uraian tentang pengalaman.
Barang sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinya sendiri merangsang alat inderawi kita dan
diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk pengalaman dan disusun secara sistematis dengan
jalan penalaran. Karena itu kita tidak pernah mempunyai pengetahuan tentang barang sesuatu
seperti keadaannya sendiri, melainkan hanya tentang sesuatu seperti yang menampak kepada
kita, artinya, pengetahuan tentang gejala (Phenomenon). Bagi Kant para penganut empirisme
benar bila berpendapat bahwa semua pengetahuan didasarkan pada pengalaman-meskipun benar
hanya untuk sebagian. Tetapi para penganut rasionalisme juga benar, karena akal memaksakan
bentuk-bentuknya sendiri terhadap barang sesuatu serta pengalaman.

Menurut Bergson, intuisi adalah suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika.
Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat
menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari pengetahuan intuitif. Salah satu di antara
unsur-unsur yang berharga dalam intuisionisme Bergson ialah, paham ini memungkinkan adanya
suatu bentuk pengalaman di samping pengalaman yang dihayati oleh indera. Dengan demikian
data yang dihasilkannya dapat merupakan bahan tambahan bagi pengetahuan di samping
pengetahuan yang dihasilkan oleh penginderaan. Kant masih tetap benar dengan mengatakan
bahwa pengetahuan didasarkan pada pengalaman, tetapi dengan demikian pengalaman harus
meliputi baik pengalaman inderawi maupun pengalaman intuitif. Intusionisme setidak-tidaknya
dalam beberapa bentuk-hanya mengatakan bahwa pengetahuan yang lengkap di peroleh melalui
intuisi, sebagai lawan dari pengetahuan yang nisbi-yang meliputi sebagian saja yang diberikan
oleh analisis. Ada yang berpendirian bahwa apa yang diberikan oleh indera hanyalah apa yang
menampak belaka, sebagai lawan dari apa yang diberikan oleh intuisi, yaitu kenyataan. Mereka
mengatakan, barang sesuatu tidak pernah merupakan sesuatu seperti yang menampak kepada
kita, dan hanya intuisilah yang dapat menyingkapkan kepada kita keadaanya yang senyatanya.
Dialektis adalah tahap logika yang mengajarkan kaidah-kaidah dan metode penuturan serta
analisis sistematik tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan.
Dalam kehidupan sehari-hari dialektika berarti kecakapan untuk melekukan perdebatan. Dalam
teori pengetahuan ini merupakan bentuk pemikiran yang tidak tersusun dari satu pikiran tetapi
pemikiran itu seperti dalam percakapan, bertolak paling kurang dua kutub
2.3. Pengertian Aksiologi
Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu axios yang berarti sesuai atau wajar. Sedangkan logos
yang berarti ilmu. Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana
manusiamenggunakan ilmunya. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai. Jujun S. Suriasumantri mengartikan
aksiologi sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaandari pengetahuan yang diperoleh.
Menurut John Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatusistem seperti politik,
sosial dan agama. sedangkan nilai itu sendiri adalah sesuatu yang berharga, yang diidamkan oleh setiap insan.
Aksiologi adalah ilmu yang membicarakan tentang tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Jadi Aksiologi merupakan
ilmu yang mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan, dan sebenarnya ilmu pengetahuan
itu tidak ada yang sia-sia kalau kita bisamemanfaatkannya dan tentunya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan di
jalan yang baik pula. Karena akhir-akhir ini banyak sekali yang mempunyai ilmu pengetahuan yang lebih
7

itudimanfaatkan di jalan yang tidak benar. Pembahasan aksiologi menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu. Ilmu
tidak bebas nilai.Artinya pada tahap-tahap tertentu kadang ilmu harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan
moral suatu masyarakat; sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh masyarakatdalam usahanya
meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya malahan menimbulkanbencana.
Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif jikanilai-nilai tidak tergantung
pada subjek atau kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang
melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu melainkan pada
objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila subjek berperan dalam memberi penilaian;
kesadaranmanusia menjadi tolak ukur penilaian. Dengan demikian nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai
pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan mengarah kepada suka atau tidak suka,
senang atau tidak senang. Bagaimana dengan objektivitas ilmu? Sudah menjadi ketentuan umum dan diterima oleh
berbagai kalangan bahwa ilmu harus bersifat objektif. Salah satu faktor yang membedakan antara peryataan ilmiah
dengan anggapan umum ialah terletak pada objektifitasnya. Seorang ilmuan harus melihat realitas empiris dengan
mengesampingkan kesadaran yang bersifat idiologis,agama dan budaya. Seorang ilmuan haruslah bebas dalam
menentukan topik penelitiannya, bebas melakukan eksperimen-eksperimen. Ketika seorang ilmuan bekerja dia
hanya tertuju kepadaproses kerja ilmiah dan tujuannya agar penelitiannya be rhasil dengan baik. Nilai objektif hanya
menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat pada nilai subjektif
Aksiologi adalah ilmu yang membicarakan tentang tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Jadi
Aksiologi merupakan ilmu yang mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari
pengetahuan, dan sebenarnya ilmu pengetahuan itu tidak ada yang sia-sia kalau kita bisa
memanfaatkannya dan tentunya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan di jalan yang baik
pula. Karena akhir-akhir ini banyak sekali yang mempunyai ilmu pengetahuan yang lebih itu
dimanfaatkan di jalan yang tidak benar.
Pembahasan aksiologi menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu. Ilmu tidak bebas nilai. Artinya
pada tahap-tahap tertentu kadang ilmu harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan moral
suatu masyarakat; sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dalam
usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya malahan menimbulkan
bencana.
Dalam aksiologi, ada dua penilain yang umum digunakan, yaitu etika dan estetika. Etika adalah
cabang filsafat yang membahas secara kritis dan sistematis masalah-masalah moral. Kajian etika
lebih fokus pada prilaku, norma dan adat istiadat manusia. Etika merupakan salah-satu cabang
8

filsafat tertua. Setidaknya ia telah menjadi pembahasan menarik sejak masa Sokrates dan para
kaum shopis. Di situ dipersoalkan mengenai masalah kebaikan, keutamaan, keadilan dan
sebagianya. Etika sendiri dalam buku Etika Dasar yang ditulis oleh Franz Magnis Suseno
diartikan sebagai pemikiran kritis, sistematis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandanganpandangan moral. Isi dari pandangan-pandangan moral ini sebagaimana telah dijelaskan di atas
adalah norma-norma, adat, wejangan dan adat istiadat manusia. Berbeda dengan norma itu
sendiri, etika tidak menghasilkan suatu kebaikan atau perintah dan larangan, melainkan sebuah
pemikiran yang kritis dan mendasar. Tujuan dari etika adalah agar manusia mengetahi dan
mampu mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan.
Berkenaan dengan nilai guna ilmu, baik itu ilmu umum maupun ilmu agama, tak dapat dibantah
lagi bahwa kedua ilmu itu sangat bermanfaat bagi seluruh umat manusia, dengan ilmu sesorang
dapat mengubah wajah dunia.
Nilai kegunaan ilmu, untuk mengetahui kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat ilmu itu
digunakan, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal, yaitu:
1.

Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi dunia pemikiran.

Jika seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung suatu ide yang membentuk
suatu dunia, atau hendak menentang suatu sistem kebudayaan atau sistem ekonomi, atau sistem
politik, maka sebaiknya mempelajari teori-teori filsafatnya. Inilah kegunaan mempelajari teoriteori filsafat ilmu.
2.

Filsafat sebagai pandangan hidup.

Filsafat dalam posisi yang kedua ini semua teori ajarannya diterima kebenaranya dan
dilaksanakan dalam kehidupan. Filsafat ilmu sebagai pandangan hidup gunanya ialah untuk
petunjuk dalam menjalani kehidupan.
3.

Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah.

Dalam hidup ini kita menghadapi banyak masalah. Bila ada batui didepan pintu, setiap keluar
dari pintu itu kaki kita tersandung, maka batu itu masalah. Kehidupan akan dijalani lebih enak
bila masalah masalah itu dapat diselesaikan. Ada banyak cara menyelesaikan masalah, mulai dari
cara yang sederhana sampai yang paling rumit. Bila cara yang digunakan amat sederhana maka
biasanya masalah tidak terselesaikan secara tuntas.penyelesaian yang detail itu biasanya dapat
mengungkap semua masalah yang berkembang dalam kehidupan manusia

2.4. Kajian Antropologis pada Sila-sila Pancasila


Secara antropologis, Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk mengetahui
hakikat dasar dari sila-sila Pancasila. Pancasila terdiri atas lima sila memiliki satu kesatuan dasar
antropologis maksudnya setiap sila bukan merupakan asas yang berdiri sendiri-sendiri.
Manusia merupakan pendukung pokok dari sila-sila Pancasila. Maksudnya pada hakikatnya
manusia

memiliki

hakikat

mutlak

yaitu monopluralis, atau monodualis sebagai

dasar

antropologis Pancasila.
Kesesuaian hubungan negara dengan landasan sila-sila Pancasila adalah berupa hubungan sebabakibat. Yaitu sebagai berikut :
1.

Negara sebagai pendukung hubungan, sedangkan Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil

sebagai pokok pangkal hubungan.


2.

Landasan sila-sila Pancasila yaitu Tuhan, manusia, satu, rakyat dan adil adalah sebagai

sebab, dan negara adalah sebagai akibat.


Antropologi ialah penyelidikan hakikat ada (esensi) dan keberadaan (eksistensi) segala sesuatu:
alam semesta, fisik, psikis, spiritual, metafisik, termasuk kehidupan sesudah mati, dan Tuhan.
Antropologi Pancasila mengandung azas dan nilai antara lain:
Tuhan yang Maha Esa adalah sumber eksistensi kesemestaan. Antropologi ketuhanan bersifat
religius, supranatural, transendental dan suprarasional;

Ada kesemestaan, alam semesta (makrokosmos) sebagai ada tak terbatas, dengan wujud

dan hukum alam, sumber daya alam yang merupakan prwahana dan sumber kehidupan semua
makhluk: bumi, matahari, zat asam, air, tanah subur, pertambangan, dan sebagainya;

Eksistensi subyek/ pribadi manusia: individual, suku, nasional, umat manusia (universal).

Manusia adalah subyek unik dan mandiri baik personal maupun nasional, merdeka dan berdaulat.
Subyek pribadi mengemban identitas unik: menghayati hak dan kewajiban dalam kebersamaan
dan kesemestaan (sosial-horisontal dengan alam dan sesama manusia), sekaligus secara sosialvertikal universal dengan Tuhan. Pribadi manusia bersifat utuh dan unik dengan potensi jasmanirohani, karya dan kebajikan sebagai pengemban amanat keagamaan;

Eksistensi tata budaya, sebagai perwujudan martabat dan kepribadian manusia yang

unggul. Baik kebudayaan nasional maupun universal adalah perwujudan martabat dan
kepribadian manusia: sistem nilai, sistem kelembagaan hidup seperti keluarga, masyarakat,

10

organisasi, negara. Eksistensi kultural dan peradaban perwujudan teleologis manusia: hidup
dengan motivasi dan cita-cita sehingga kreatif, produktif, etis, berkebajikan;

Eksistensi bangsa-negara yang berwujud sistem nasional, sistem kenegaraan yang

merdeka dan berdaulat, yang menampilkan martabat, kepribadian dan kewibawaan nasional.
Sistem kenegaraan yang merdeka dan berdaulat merupakan puncak prestasi perjuangan bangsa,
pusat kesetiaan, dan kebanggaan nasional
2.5. Kajian Epistemologis pada Sila-sila Pancasila
Secara epistemologis Pancasila sebagai filsafat yaitu sebagai upaya untuk mencari hakikat
Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan.
Sumber pengetahuan Pancasila adalah nilai-nilai yang ada pada bangsa Indonesia sendiri.
Sedangkan susunan Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan yaitu Pancasila memiliki
susunan yang bersifat formal logis, baik dalam arti susunan sila-sila Pancasila maupun isi arti
dari sila-sila Pancasila itu.
Sebagai suatu paham epistemologi, maka Pancasila mendasarkan pada pandangannya bahwa
ilmu pengetahuan tidak bebas nilai dalam upaya untuk mendapatkan suatu tingkatan
pengetahuan yang mutlak dalam hidup manusia.
Epistemologi menyelidiki sumber, proses, syarat-syarat batas, validitas dan hakikat ilmu.
Epistemologi Pancasila secara mendasar meliputi nilai-nilai dan azas-azas:
Mahasumber ialah Tuhan, yang menciptakan kepribadian manusia dengan martabat dan potensi
unik yang tinggi, menghayati kesemestaan, nilai agama dan ketuhanan. Kepribadian manusia
sebagai subyek diberkati dengan martabat luhur: pancaindra, akal, rasa, karsa, cipta, karya dan
budi nurani. Kemampuan martabat manusia sesungguhnya adalah anugerah dan amanat
ketuhanan/ keagamaan.
Sumber pengetahuan dibedakan dibedakan secara kualitatif, antara:

Sumber primer, yang tertinggi dan terluas, orisinal: lingkungan alam, semesta, sosio-

budaya, sistem kenegaraan dan dengan dinamikanya;

Sumber sekunder: bidang-bidang ilmu yang sudah ada/ berkembang, kepustakaan,

dokumentasi;

Sumber tersier: cendekiawan, ilmuwan, ahli, narasumber, guru.

Wujud dan tingkatan pengetahuan dibedakan secara hierarkis:

Pengetahuan indrawi;
11

Pengetahuan ilmiah;

Pengetahuan filosofis;

Pengetahuan religius.

Pengetahuan manusia relatif mencakup keempat wujud tingkatan itu. Ilmu adalah
perbendaharaan dan prestasi individual maupun sebagai karya dan warisan budaya umat manusia
merupakan kualitas martabat kepribadian manusia. Perwujudannya adalah pemanfaatan ilmu
guna kesejahteraan manusia, martabat luhur dan kebajikan para cendekiawan (kreatif, sabar,
tekun, rendah hati, bijaksana). Ilmu membentuk kepribadian mandiri dan matang serta
meningkatkan harkat martabat pribadi secara lahiriah, sosial (sikap dalam pergaulan), psikis
(sabar, rendah hati, bijaksana). Ilmu menjadi kualitas kepribadian, termasuk kegairahan, keuletan
untuk berkreasi dan berkarya.
Martabat kepribadian manusia dengan potensi uniknya memampukan manusia untuk menghayati
alam metafisik jauh di balik alam dan kehidupan, memiliki wawasan kesejarahan (masa lampau,
kini dan masa depan), wawasan ruang (negara, alam semesta), bahkan secara suprarasional
menghayati Tuhan yang supranatural dengan kehidupan abadi sesudah mati. Pengetahuan
menyeluruh ini adalah perwujudan kesadaran filosofis-religius, yang menentukan derajat
kepribadian manusia yang luhur. Berilmu/ berpengetahuan berarti mengakui ketidaktahuan dan
keterbatasan manusia dalam menjangkau dunia suprarasional dan supranatural. Tahu secara
melampaui tapal batas ilmiah dan filosofis itu justru menghadirkan keyakinan religius yang
dianut seutuh kepribadian: mengakui keterbatasan pengetahuan ilmiah-rasional adalah kesadaran
rohaniah tertinggi yang membahagiakan.
2.6. Kajian Aksiologi pada Sila-sila Pancasila
Aksiologi adalah teori nilai, yaitu sesuatu yang diinginkan, disukai atau yang baik. Sila-sila
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki satu kesatuan dasar aksiologis, yaitu nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila pada hakikatnya juga merupakan suatu kesatuan. Aksiologi
Pancasila mengandung arti bahwa kita membahas tentang filsafat nilai Pancasila.
Dalam filsafat Pancasila, terdapat tiga tingkatan nilai, yaitu nilai dasar, nilai instrumental, dan
nilai praktis.
1.

Nilai-nilai dasar dari Pancasila adalah nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan,

nilai kerakyatan, dan nilai keadilan.

12

2.

Nilai instrumental, adalah nilai yang berbentuk norma sosial dan norma hukum yang

selanjutnya akan terkristalisasi dalam peraturan dan mekanisme lembaga-lembaga negara.


3.

Nilai praktis, adalah nilai yang sesungguhnya kita laksanakan dalam kenyataan. Nilai ini

merupakan batu ujian apakah nilai dasar dan nilai instrumental itu benar-benar hidup dalam
masyarakat.
Nilai-nilai dalam Pancasila termasuk nilai etik atau nilai moral merupakan nilai dasar yang
mendasari nilai intrumental dan selanjutnya mendasari semua aktivitas kehidupan masyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai Pancasila (subscriber of
value of Pancasila), yaitu bangsa yang berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang berpersatuan,
yang berkerakyatan dan berkeadilan sosial.
Aksiologi menyelidiki pengertian, jenis, tingkatan, sumber dan hakikat nilai secara kesemestaan.
Aksiologi Pancasila pada hakikatnya sejiwa dengan antropologi dan epistemologinya. Pokokpokok aksiologi itu dapat disarikan sebagai berikut:

Tuhan yang Maha Esa sebagai mahasumber nilai, pencipta alam semesta dan segala isi

beserta antarhubungannya, termasuk hukum alam. Nilai dan hukum moral mengikat manusia
secara psikologis-spiritual: akal dan budi nurani, obyektif mutlak menurut ruang dan waktu
secara universal. Hukum alam dan hukum moral merupakan pengendalian semesta dan
kemanusiaan yang menjamin multieksistensi demi keharmonisan dan kelestarian hidup.

Subyek manusia dapat membedakan hakikat mahasumber dan sumber nilai dalam

perwujudan Tuhan yang mahaesa, pencipta alam semesta, asal dan tujuan hidup manusia
(sangkan paraning dumadi, secara individual maupun sosial).

Nilai-nilai dalam kesadaran manusia dan dalam realitas alam semesta yang meliputi:

Tuhan yang mahaesa dengan perwujudan nilai agama yang diwahyukan-Nya, alam semesta
dengan berbagai unsur yang menjamin kehidupan setiap makhluk dalam antarhubungan yang
harmonis, subyek manusia yang bernilai bagi dirinya sendiri (kesehatan, kebahagiaan, etc.)
beserta aneka kewajibannya. Cinta kepada keluarga dan sesama adalah kebahagiaan sosial dan
psikologis yang tak ternilai. Demikian pula dengan ilmu, pengetahuan, sosio-budaya umat
manusia yang membentuk sistem nilai dalam peradaban manusia menurut tempat dan zamannya.

Manusia dengan potensi martabatnya menduduki fungsi ganda dalam hubungan dengan

berbagai nilai: manusia sebagai pengamal nilai atau konsumen nilai yang bertanggung jawab
13

atas norma-norma penggunaannya dalam kehidupan bersama sesamanya, manusia sebagai


pencipta nilai dengan karya dan prestasi individual maupun sosial (ia adalah subyek
budaya). Man created everything from something to be something else, God created everything
from nothing to be everything. Dalam keterbatasannya, manusia adalah prokreator bersama
Allah.

Martabat kepribadian manusia secara potensial-integritas bertumbuhkembang dari

hakikat manusia sebagai makhluk individu-sosial-moral: berhikmat kebijaksanaan, tulus dan


rendah hati, cinta keadilan dan kebenaran, karya dan darma bakti, amal kebajikan bagi sesama.

Manusia dengan potensi martabatnya yang luhur dianugerahi akal budi dan nurani

sehingga memiliki kemampuan untuk beriman kepada Tuhan yang mahaesa menurut agama dan
kepercayaan masing-masing. Tuhan dan nilai agama secara filosofis bersifat metafisik,
supernatural dan supranatural. Maka potensi martabat manusia yang luhur itu bersifat apriori:
diciptakan Tuhan dengan identitas martabat yang unik: secara sadar mencintai keadilan dan
kebenaran, kebaikan dan kebajikan. Cinta kasih adalah produk manusia identitas utama akal
budi dan nuraninya melalui sikap dan karyanya.

Manusia sebagai subyek nilai memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap

pendayagunaan nilai, mewariskan dan melestarikan nilai dalam kehidupan. Hakikat kebenaran
ialah cinta kasih, dan hakikat ketidakbenaran adalah kebencian (dalam aneka wujudnya: dendam,
permusuhan, perang, etc.).

Eksistensi fungsional manusia ialah subyek dan kesadarannya. Kesadaran berwujud

dalam dunia indra, ilmu, filsafat (kebudayaan/ peradaban, etika dan nilai-nilai ideologis) maupun
nilai-nilai supranatural.
Skema pola antarhubungan sosial manusia meliputi:
1.

Hubungan sosial-horisontal, yakni antarhubungan pribadi manusia (P) dalam antarhubungan

dan antaraksinya hingga yang terluas yaitu hubungan antarbangsa (A2-P-B2);


2.

Hubungan sosial-vertikal antara pribadi manusia dengan Tuhan yang mahaesa (C: Causa

Prima) menurut keyakinan dan agama masing-masing (garis PC).

kualitas hubungan sosial-vertikal (garis PC) menentukan kualitas hubungan sosial

horisontal (garis APB);

kebaikan sesama manusia bersumber dan didasarkan pada motivasi keyakinan terhadap

Ketuhanan yang mahaesa;


14

kadar/ kualitas antarhubungan itu ialah: garis APB ditentukan panjangnya oleh garis PC.

Tegasnya, garis PC1 akan menghasilkan garis A1PB1 dan PC2 menghasilkan garis A2PB2. Jadi,
kualitas kesadaran akan Ketuhanan yang mahaesa menentukan kualitas kesadaran kemanusiaan.
Seluruh kesadaran manusia tentang nilai tercermin dalam kepribadian dan tindakannya. Sumber
nilai dan kebajikan bukan saja kesadaran akan Ketuhanan yang mahaesa, tetapi juga adanya
potensi intrinsik dalam kepribadian, yakni: potensi cinta kasih sebagai perwujudan akal budi dan
nurani manusia (berupa kebajikan). Azas dan usaha manusia guna semakin mendekati sifat-sifat
kepribadiannya adalah cinta sesama. Nilai cinta inilah yang menjadi sumber energi bagi darma
bakti dan pengabdiannya untuk selalu berusaha melakukan kebajikan-kebajikan. Azas normatif
ini bersifat antropologis pula, karena sifat dan potensi pribadi manusia berkembang dari
potensialitas menuju aktualitas, dari real-self menuju ideal-self, bahkan dari kehidupan dunia
menuju kehidupan kekal. Garis menuju perkembangan teleologis ini pada hakikatnya ialah usaha
dan dinamika kepribadian yang disadari (tidak didasarkan atas motivasi cinta, terutama cinta
diri).
Cinta diri cenderung mengarahkan manusia ke egosentrisme, mengakibatkan ketidakbahagiaan.
Kebaikan dan watak pribadi manusia bersumber pula pada nilai keseimbangan proporsi cinta
pribadi dengan sesama dan dengan Tuhan yang mahaesa. Dengan perkataan lain, kesejahteraan
rohani dan kebahagiaan pribadi manusia yang hakiki ialah kesadarannya dalam menghayati cinta
Tuhan dan hasrat luhurnya mencintai Tuhan dan sesamanya.
Nilai instrinsik ajaran filsafat Pancasila sedemikian mendasar, komprehensif, bahkan luhur dan
ideal, meliputi: multi-eksistensial dalam realitas horisontal; dalam hubungan teleologis; normatif
dengan mahasumber kesemestaan (Tuhan dengan ikatan hukum alam dan hukum moral yang
psikologis-religius); kesadaran pribadi yang natural, sosial, spiritual, supranatural dan
suprarasional. Penghayatannya pun multi-eksistensial, bahkan praeksistensi, eksistensi (realself dan ideal-self), bahkan demi tujuan akhir pada periode post-existence (demi kehidupan
abadi), menunjukkan wawasan eksistensial yang normatif-ideal.
Secara instrinsik dan potensial, nilai-nilai Pancasila memenuhi tuntutan hidup manusia karena
nilai filsafat sejatinya adalah untuk menjamin keutuhan kepribadian dan tidak mengakibatkan
konflik kejiwaan maupun dilematika moral. Bersyukurlah kita punya Pancasila!

15

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Setelah kami berusaha untuk menguraikan pembahasan mengenai filsafat pancasila, kami dapat
menyimpulkan bahwa unsur unsur Pancasila memang telah di miliki dan di jalankan oleh
bangsa Indonesia sejak dahulu. Oleh karena bukti bukti sejarah sangat beraneka ragam
wujudnya maka perlu diadakan analisa yang seksama. Karena bukti bukti sejarah sebagian ada
16

yang berupa symbol maka diperlukan analisa yang teliti dan tekun berbagai bahan bahan bukti
itu dapat diabstaksikan sedemikian rupa sehingga diperoleh hasil hasil yang memadai. Melalui
cara cara tersebut hasilnya dapat bersifat kritik dan tentu saja ada kemungkinan yang bersifat
spekulatif. Demikian pula adaunsur unsur yang di suatu daerah lebih menonjol dari daerah lain
misalnya tampak pada perjuangan bangsa Indonesia dengan peralatan yang sederhana serta
tampak pada bangunan dan tulisan dan perbuatan yang ada
Demikian makalah yang kami buat dengan materi inti pancasila dari kajian antropologis,
epistemologis, dan aksiologi pancasila dan pancasila sebagai sistemetika politik dan pancasila
sebagai paradigma pembangunan semoga dapat melengkapi tugas kewarganegaraan dan dapat
bermanfaat bagi yang membacanya.
Tentu kita sadari bahwa tidak semua materi yang ada dituangkan dihalaman makalah ini dan
sebaliknya tidak semua yang tertuang dalam makalah ini akan sesuai dengan pemikiran ahli yang
lain . Hal ini karena semata mata keterbatasan pembuat makalah.
Oleh karena itu apabila dalam penyusunan makalah ini dirasa ada yang kurang mohon
ditanyakan kepada sumbernya .terimakasih,semoga bermanfaat .
3.2. Saran
Dalam makalah ini

penulis

berkeinginan

memberikan

saran

kepada

pembaca

dalam

pembuatan makalah ini penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan
kekurangan baik dari bentuk maupun isinya.
Kami menyarankan kepada pembaca agar ikut peduli dalam mengetahui sejauh mana pembaca
mempelajari tentang filsafat Pancasila
Semoga dengan makalah ini para pembaca dapat menambah cakrawala ilmu pengetahuan
Pengembangan ilmu pengetahuan yang berlandaskan Pancasila merupakan bagian penting bagi
keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara di masa mendatang (Pranarka, 1985:391).
Sejak dulu, ilmu pengetahuan mempunyai posisi penting dalam aktivitas berpikir manusia.
Istilah ilmu pengetahuan terdiri dari dua gabungan kata berbeda makna, ilmu dan pengetahuan.
Segala sesuatu yang kita ketahui merupakan definisi pengetahuan, sedangkan ilmu adalah
pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara sistematis menurut metode tertentu.
Sikap kritis dan cerdas manusia dalam menanggapi berbagai peristiwa di sekitarnya, berbanding
lurus dengan perkembangan pesat ilmu pengetahuan. Namun dalam perkembangannya, timbul
gejala dehumanisasi atau penurunan derajat manusia. Hal tersebut disebabkan karena produk
17

yang dihasilkan oleh manusia, baik itu suatu teori mau pun materi menjadi lebih bernilai
ketimbang penggagasnya. Itulah sebabnya, peran Pancasila harus diperkuat agar bangsa
Indonesia tidak terjerumus pada pengembangan ilmu pengetahuan yang saat ini semakin jauh
dari nilai-nilai kemanusiaan.

DAFTAR PUSTAKA
https://id.wikipedia.org/wiki/Aksiologi
https://id.wikipedia.org/wiki/Epistemologi
https://id.wikipedia.org/wiki/Antropologi
http://historia-rockgill.blogspot.co.id/2011/12/definisi-aksiologiontologi-dan.html
http://thesourthborneo22.blogspot.co.id/2013/01/filsafat-pancasila.html
18

http://aseihdee.blogspot.co.id/2012/01/pancasila-sebagai-filsafat.html
http://gendutporeper.blogspot.co.id/2014/02/pancasila-sebagai-sistem-filsafat.html

19

Anda mungkin juga menyukai