Anda di halaman 1dari 35

PENGERTIAN RETORIKA, APAKAH RETORIKA DAPAT

DIPELAJARI, DAN PEMBAGIAN RETORIKA

A. PENGERTIAN RETORIKA
Pengertian pokok dari retorika adalah berbicara. Berbicara berarti mengucapkan kata
atau kalimat kepada seseorang atau sekelompok orang, untuk mencapai suatu tujuan tertentu
(memberikan informasi atau memberikan motivasi). Berbicara adalah salah satu kemampuan
khusus pada manusia. Berikut disampaikan uraian mengenai retorika diantaranya:
1. Arti Retorika
Secara etimologis, retorika berasal dari bahasa Yunani, “rhetrike” yang berarti seni
kemampuan berbicara yang dimiliki seseorang. Aristoteles dalam bukunya “Rhetoric”
mengemukakan pengertian retorika, yaitu kemampuan untuk memilih dan menggunakan
bahasa dalam situasi tertentu secara efektif untuk mempersuasi orang lain. Sedangkan
menurut Gorys Keraf, retorika adalah suatu istilah secara tradisional yang diberikan pada
suatu teknik pemakaian bahasa sebagai seni yang didasarkan pada suatu pengetahuan yang
tersusun baik. Menurut P. Dori Wuwur Hendrikus, retorika adalah kesenian untuk berbicara
baik yang digunakan dalam proses komunikasi antarmanusia.
Retorika berarti kesenian untuk berbicara dengan baik (kunst, gut zu reden atau ars
bene dicendi), yang dicapai berdasarkan bakat alam (talenta) dan keterampilan teknis (ars,
techne). Kesenian berbicara ini bukan hanya berarti berbicara lancar tanpa pikiran yang jelas
dan tanpa isi, melainkan suatu kemampuan untuk berbicara dan berpidato secara singkat,
jelas, padat, dan mengesankan. Retorika modern mencakup ingatan yang kuat, daya kreasi
dan fantasi yang tinggi, teknik pengungkapan yang tepat dan daya pembuktian serta penilaian
yang tepat. Retorika modern adalah gabungan yang serasi antara pengetahuan, pikiran,
kesenian dan kesanggupan berbicara. Dalam bahasa populer, retorika berarti pada tempat
yang tepat, pada waktu yang tepat, atas cara yang lebih efektif, mengucapkan kata-kata yang
tepat, benar dan mengesankan.
Keterampilan dan kesanggupan untuk menguasai seni berbicara dapat dengan
mencontoh para rektor yang terkenal (imitatio), dengan mempelajari dan mempergunakan
hukum-hukum retorika (doctrina), dan dengan melakukan latihan yang teratur (exercitium).
Dalam seni berbicara juga dituntut penguasaan bahan (res) dan pengungkapan yang tepat
melalui bahasa (verba).

2. Retorika, Dialektika dan Elocutio


Ilmu retorika juga berhubungan erat dengan dialektika yang sudah berkembang sejak
zaman Yunani kuno. Dialektika adalah metode untuk mencari kebenaran lewat diskusi dan
debat. Melalui dialektika orang dapat mengenal dan menyelami suatu masalah (intellectio),
mengemukakan argumentasi (inventio) dan menyusun jalan pikiran secara logis (dispositio).
Retorika mempunyai hubungan dengan dialektika karena debat dan diskusi juga merupakan
bagian dari ilmu retorika.
Elocutio berarti kelancaran berbicara. Dalam retorika kelancaran berbicara sangat
dituntut. Elocutio menjadi prasyarat kepandaian berbicara. Oleh karena itu, retorika juga
berhubungan erat dengan elocutio.

B. APAKAH RETORIKA DAPAT DIPELAJARI?


Sebuah pepatah bahasa latin berbunyi: “Poeta nascitur, orator fit.” Artinya, “seorang
penyair dilahirkan, tetapi seorang ahli pidato dibina”. Sejak dua ribu tahun terbukti bahwa
banyak orang menjadi ahli pidato, karena mereka mempelajari teknik berbicara dan berpidato
serta tekun melakukan latihan berbicara juga berpidato. Berikut terdapat dua contoh dalam
sejarah yaitu:
1. Demosthenes (384 - 322)
Demosthenes dari lahir memiliki kekurangan dalam berbicara. Dalam mengatasi itu, dia
pergi ke pantai laut, menaruh kerikil dalam mulutnya, dan berusaha berbicara dengan ucapan
yang jelas dan dengan suara yang sekuat mungkin untuk bisa mengatasi gemuruh hempasan
ombak, dan usahanya ini berhasil. Demosthenes akhirnya menjadi seorang ahli pidato dalam
Kerajaan Yunani Kuno.

2. Winston Churchill (1874 - 1965)


Untuk bisa berpidato di depan Parlemen Inggris. Winston Churchill berhari–hari dia
mencoba membuat latihan membaca dan berpidato. Dia mempersiapkan diri secara intensif.
Beberapa bagian penting dari pidatonya malah dihafalkan. Usaha yang tekun ini akhirnya
menjadikannya seorang ahli pidato terkenal.

Orang-orang yang bersifat introver dapat mengalami kesulitan dalam menggunakan


bahasa. Introver adalah bersifat suka memendam rasa dan pikiran sendiri dan tidak
mengutarakannya kepada orang lain (bersifat tertutup). Dalam mempelajari retorika lebih
mudah bagi mereka yang ekstover, tetapi tetap saja keberhasilan seni berbicara tergantung
dari usaha untuk mengembangkan kemampuan dengan optimal. Terus latihan untuk berbicara
akan merubah gaya berbicara seseorang. Oleh karena itu, seni berbicara dapat dikuasai dan
ilmu retorika juga dapat dipelajari.

C. PEMBAGIAN RETORIKA
Retorika adalah bagian dari ilmu bahasa, khususnya ilmu bina bicara
(sprecherziehung). Retorika sebagai bagian dari ilmu bina bicara ini mencakup:
1. Monologika
Monologika adalah ilmu tentang seni berbicara secara monolog, dimana hanya seorang
yang berbicara. Bentuk-bentuk yang tergolong dalam monologika adalah pidato, kata
sambutan, kuliah, makalah, ceramah dan deklamasi.

2. Dialogika
Dialogika adalah ilmu tentang seni berbicara secara dialog, dimana dua orang atau lebih
berbicara atau mengambil bagian dalam satu proses pembicaraan. Bentuk dialogika yang
penting adalah diskusi, tanya jawab, perundingan, percakapan dan debat.

3. Pembinaan Teknik Bicara


Efektivitas monologika dan dialogika tergantung juga pada teknik bicara. Teknik bicara
merupakan syarat bagi retorika. Oleh karena itu, pembinaan teknik bicara merupakan bagian
yang penting dalam retorika. Dalam bagian ini perhatian lebih diarahkan pada pembinaan
teknik bernafas, teknik mengucap, bina suara, teknik membaca dan bercerita.
PENGERTIAN DAN PENTINGNYA RETORIKA (SENI BERBICARA)

PENGERTIAN DAN PENTINGNYA RETORIKA (SENI BERBICARA)


Retorika adalah suatu gaya/seni berbicara baik yang dicapai berdasarkan bakat alami
(talenta) dan keterampilan teknis. Dewasa ini retorika diartikan sebagai kesenian untuk
berbicara baik, yang dipergunakan dalam proses komunikasi antar manusia. Kesenian
berbicara ini bukan hanya berarti berbicara secara lancar tampa jalan pikiran yang jelas dan
tanpa isi, melainkan suatu kemampuan untuk berbicara dan berpidato secara singkat, jelas,
padat dan mengesankan. Retorika modern mencakup ingatan yang kuat, daya kreasi dan
fantasi yang tinggi, teknik pengungkapan yang tepat dan daya pembuktian serta penilaian
yang tepat. Ber-retorika juga harus dapat dipertanggungjawabkan disertai pemilihan kata dan
nada bicara yang sesuai dengan tujuan, ruang, waktu, situasi, dan siapa lawan bicara yang
dihadapi.
Titik tolak retorika adalah berbicara. Berbicara berarti mengucapkan kata atau kalimat kepada
seseorang atau sekelompok orang, untuk mencapai suatu tujuan tertentu (misalnya
memberikan informasi atau memberi informasi). Berbicara adalah salah satu kemampuan
khusus pada manusia. Oleh karena itu pembicaraan setua umur bangsa manusia. Bahasa dan
pembicaraan ini muncul, ketika manusia mengucapkan dan menyampaikan pikirannya
kepada manusia lain.
Retorika modern adalah gabungan yang serasi antara pengetahuan, pikiran , kesenian dan
kesanggupan berbicara. Dalam bahasa percakapan atau bahasa populer, retorika berarti pada
tempat yang tepat, pada waktu yang tepat, atas cara yang lebih efektif, mengucapkan kata –
kata yang tepat, benar dan mengesankan. Ini berarti orang harus dapat berbicara jelas, singkat
dan efektif. jelas supaya mudah dimengerti; singkat untuk mengefektifkan waktu dan sebagai
tanda kepintaran ; dan efektif karena apa gunanya berbicara kalau tidak membawa efek ?
dalam konteks ini sebuah pepatah cina mengatakan ,”orang yang menembak banyak, belum
tentu seorang penembak yang baik. Orang yang berbicara banyak tidak selalu berarti seorang
yang pandai bicara.”
Keterampilan dan kesanggupan untuk menguasai seni berbicara ini dapat dicapai dengan
mencontoh para rektor atau tokoh-tokoh yang terkenal dengan mempelajari dan
mempergunakan hukum – hukum retorika dan dengan melakukan latihan yang teratur. Dalam
seni berbicara dituntut juga penguasaan bahan dan pengungkapan yang tepat melalui bahasa.

Retorika sebagai Seni Berbicara


Berbicara merupakan alat komunikasi paling efektif dan efesien. Persoalan berbicara tak
dapat dilepaskan sejak sejarah manusia mulai diperkenalkankan. Bahkan Allah SWT
memiliki sifat kalam artinya Maha Berfirman. Itulah sebabnya Nabi Musa ketika lidahnya
kurang begitu fasih berbicara, maka Allah membimbing dia dengan seubua doa : rabbis rahli
shadri wayassirli amri wahlul uqdatam millisani yafqahu qauli (QS. Thaha (20) :
Imam al-Akhdlariy menyebutkan bahwa yang membedakan manusia dengan makhluk
lainnya adalah bahwa manusia itu disebut hayawanun nathiqun artinya “binatang yang pandai
berbicara”[1] meskipun secara etika sepertinya terlalu berani beliau menyebut manusia
dengan binatang. Demikian pula orang-orang yang mampu mengubah sejarah peradaban
dunia, mereka itu pada umumnya sangat piawai dalam mengolah kata dan bermain kalimat.
Mulai dari para filusuf Yunani seperti Socrates, Aristoteles, dan Plato. Sampai dengan para
politikus, dan negarawan seperti Hitler, Musolini, Thomas Aquinas, Montesqueu, hingga
negarawan kita yang cukup mahir dalam berorator seperti Bung Karno dan Bung Tomo.
Kita juga tentu sering tertegun menyimak pembicaraan para da’i kondang, seperti KH.
Zaenuddin MZ, Aa Gym, Ust. Jepri Al-Bukhari, dan Ust. Arifin Ilham. Mereka memiliki
karakter gaya bicara yang berbeda dan pendengar akan terlena dalam buaian kata-kata indah
mereka. Kesimpulannnya adalah bahwa berbicara yang baik dan bermakna akan mengandung
kekekuatan spiritual tersendiri.
Berbahasa Indonesia yang baik merupakan bagian identitas bangsa. Seyogyanya berbicara
yang baik dan benar sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang baku harus dapat
disosialisasikan oleh para publik figur, selebritis, di negeri ini. Pada era orde baru tampaknya
justru yang merusak kaidah bahasa Indonesia adalah orang nomor satu di Indonesia. Indikasi
“pengrusakkan” kaidah bahasa Indonesia era sekarang kiranya didominasi oleh bahasa iklan
di media masa. Dalam hal ini perlu diadakan aturan main dalam memproduksi bahasa sebuah
iklan, agar tidak merusak tatanan kaidah yang sudah baku.
Penggunaan bahasa dan isitilah asing yang diadopsikan ke dalam bahasa Indonesia
seharusnya dibatasi. Kalau tidak bisa disederhanakan oleh si pembicara sebaiknya tidak perlu
diucapkan. Akan tetapi justru gejala ini dibuat sengaja oleh orang-orang yang masih
setengah-setengah mengenyam pendidikan tinggi. Atau demi gengsi-gengsian mereka
berbicara yang sok ilmiah. Ironisnya, justru mereka sendiri tidak mengerti apa sebenarnya isi
pembicaraannya.
Sya’ir-sya’ir lagu, bahasa iklan, bahasa dialog sinetron/film (dengan tanpa mengurangi
kebebasan berekspresi) sebaiknya selalu memperhatikan kaidah bahasa Indonesia yang baik
dan benar.
Para calon pejabat dan pemimpin negara sebaiknya ditatar dulu bagaimana berbahasa
Indonesia yang baik. Sehingga tidak terjadi pemubadziran anggaran negara untuk
mengadakan kongres bahasa Indonesia. Di satu sisi keputusan kongres di keluarkan, di sisi
lain pola berbicara para pejabat masih tetap pada pola lama.
Sepanjang sejarah, kongres bahasa Indonesia itu sudah sering dilaksanakan. Sehingga yang
disebut dengan EYD entah akan berapa kali lagi akan disempurnakan. Barangkali akan lebih
monumental jika gramatikal bahasa Indonesia itu secara resmi diundangkan. Dengan segala
implikasinya, layaknya sebuah undang-undang (lengkap dengan sanksi hukum, jika ada
penyalahgunaan istilah atau lainnya). Berbeda sekali dengan gramatikal bahasa Inggris, di
mana sejak abad IV sampai sekarang tetap sama. Demikian pula dengan gramatikal bahasa
Arab, sejak al-Qur’an diturunkan XV abad yang silam, hingga sekarang masih tetap utuh.
Lalu, ada apa dengan tata bahasa Indonesia ? Mengapa selalu berubah-ubah ?. Hal ini didak
lain disebabkan karena kuatnya pengaruh suhu politik. Contohnya, setiap kali ganti mentri/
kabinet maka setiap kali ganti istilah. SMP jadi SLTP kembali lagi ke SMP, SMA jadi SMU
kembali lagi ke SMA. Gelar sarjana untuk satu disiplin ilmu yang sama sampai sangat
beragam. Akhirnya masyarakat awam yang dibikin bingung.
Pentingnya Seni Berbicara (Retorika)
Retorika dan Berbicara
Terkadang kita sering tidak sadar seberapa pentingkah berbicara dalam kehidupan kita.
Banyak orang berbicara semaunya, seenaknya tanpa memikirkan apa isi dari pembicaraan
mereka tersebut. Sebenarnya berbicara mempunyai artian mengucapkan kata atau kalimat
kepada seseorang atau sekelompok orang, untuk mencapai tujuan tertentu (misalnya
memberikan informasi atau memberi motivasi). Tapi sering kali kita mengalami kesulitan
dalam mengungkapakan maksud dan isi pikiran kita kepada orang lain. Bahkan sering pula
maksud yang kita sampaikan berbeda dengan yang ditangkap oleh pendengar.
Oleh karena itu berbicara sangatlah penting karena yang membedakan manusia dari hewan
maupun makhluk lainnya adalah kesanggupan berbicara. Manusia adalah makhluk yang
sanggup berkomunikasi lewat bahasa dan berbicara. Tetapi yang lebih mencirikan hakikat
manusia sebagai manusia penuh adalah kepandaian dan keterampilan dalam berbicara.
Pengetahuan bahasa saja belum cukup! Kebesaran dan kehebatan seseorang sebagai manusia
juga ditentukan oleh kepandaiannya dalam berbahasa, oleh keterampilannya dalam
mengungkapkan pikiran secara tepat dan meyakinkan. Seni keterampilan berbicara sering
disebut dengan Retorika.
Quintilianus, seorang bapak ilmu retorika berkebangsaan Romawi mengatakan, “Hanya
orang yang pandai bicara adalah sungguh-sungguh manusia.” Di dalam dunia musik ada
lelucon yang berbunyi, “Bermain piano itu tidak sulit! Orang hanya menempatkan jari yang
tepat, pada saat yang tepat, di atas tangga nada yang tepat.”
Lelucon dari dunia musik diatas juga dapat dikenakan ke dalam ilmu retorika : ”Berbicara itu
sama sekali tidak sulit! Orang hanya harus mengucapkan kata-kata yang tepat, pada saat yang
tepat, kepada pendengar yang tepat.”
Memang untuk terampil dalam berbicara tidaklah semudah itu.Untuk menjadi seorang yang
pandai bicara, dibutuhkan latihan yang sistematis dan tekun. Sejarah sudah membuktikannya!
Orang-orang kenamaan seperti : Demosthenes, Cicero, Napoleon Bonaparte, winston
Churchill, Adolf Hitler, J.F Kennedy, Marthin Luther King adalah orang-orang yang menjadi
retor terkenal lewat latihan tang teratur, sistematis dan tekun.
Lalu mengapa kita perlu mempelajari retorika? Sering orang mengatakan, ”Dia tahu banyak,
hanya tidak dapat mengungkapkan dengan baik. Dia tidak dapat mengungkapkan pikirannya
secara meyakinkan.” Sangatlah menyedihkan, apabila orang memiliki pengetahuan yang
berguna, tetapi tidak dapat mengkomunikasikannya secara mengesankan dan meyakinkan
kepada orang lain. Hal tersebut merupakan salah satu contoh mengapa retorika itu perlu.
Jadi apakah sebenarnya retorika itu ?? Retorika berarti kesenian untuk berbicara baik (Kunst,
gut zu redden atau Ars bene dicendi), yang dicapai berdasarkan bakat alam (talenta) dan
keterampilan teknis (ars, techne). Sekarang ini retorika diartikan sebagai kesenian untuk
berbicara baik , yang dipergunakan dalam proses komunikasi antarmanusia. Kesenian
berbicara ini bukan hanya berarti berbicara lancar tanpa jalan pikiran yang jelas dan tanpa isi,
melainkan suatu kemapuan untuk berbicara dan berpidato secara singkat, jelas, padat dan
mengesankan.
Retorika modern mencakup ingatan yang kuat, daya kreasi dan fantasi yang tinggi, teknik
pengungkapan yang tepat dan daya pembuktian serta penilaian yang tepat. Retorika modern
adalah gabungan yang serasi antara pengetahuan, pikiran, kesenian, dan kesanggupan
berbicara.
Dalam bahasa percakapan atau bahasa populer, retorika berarti pada tempat yang tepat, pada
waktu yang tepat, atas cara yang lebih efektif, mengucapkan kata-kata yang tepat, benar dan
mengesankan. Itu berarti kita harus dapat berbicara jelas, singkat dan efektif. Jelas supaya
mudah dimengerti; singkat untuk mengefektifksn waktu dan sebagai tanda kepintaran; dan
efektif karena apa gunanya kalau berbicara tidak membawa efek?
Dalam konteks ini sebuah pepatah Cina mengatakan, ”Orang yang menembak banyak belum
tentu seorang penembak yang baik, dan Orang yang berbicara banyak tidak selalu berarti
seorang yang pandai bicara.”
Alasan untuk mempelajari retorika:
Quintilianus mengatakan : ”Tidak ada anugrah yang lebih indah, yang diberikan oleh para
dewa, daripada keluhuran berbicara.”
St. Agustinus, yang juga seorang retor, mengatakan : ”Kepandaian berbicara adalah seni yang
mencakup segala-galanya.”
Sebuah pepatah tua mengatakan, ”Berbicaralah, supaya saya dapat melihat dan mengenal
anda.”
Martin Luther berpendapat, ”Siapa yang pandai berbicara adalah seorang manusia; sebab
berbicara adalah kebijaksanaan; dan kebijaksanaan adalah berbicara.”
Di atas selembar Papirus yang ditemukan di dalam sebuah makam tua di Mesir tertulis,
”Binalah dirimu menjadi seorang ahli pidato, sebab dengan tiu engkau akan menang.”
Lalu mengapa kita perlu belajar retorika? Mengapa kita mau menguasai ilmu pandai bicara?
Di dalam masyarakat umumnya dicari para pemimpin atau orang-orang berpengaruh, yang
memiliki kepandaian di dalam hal berbicara. Juga di bidang-bidang lain seperti perindustrian,
perekonomian dan bidang sosial, kepandaian berbicara atau keterampilan mempergunakan
bahasa secara efektif sangat diandalkan.
Menguasai kesanggupan berbahasa dan keterampilan berbicara menjadi alasan utama
keberhasilan orang-orang terkenal di dalam Sejarah Dunia seperti : Demosthenes, Socrates, J.
Caesar, St. Agustinus, St. Ambrosius, Martin Luther, Martin Luther King, J.F Kennedy,
Soekarno dan lain-lain.
Dalam Sejarah Dunia justru kepandaian berbicara atau berpidato merupakan instrumen utama
untuk mempengaruhi massa. Bahasa dipergunakan untuk meyakinkan orang lain.
Ketidakmampuan dalam mempergunakan bahasa,membuat ketidakjelasan dalam
mengungkapkan masalah atau pikiran dapat membawa dampak negatif dalam hidup dan
karya seorang pemimpin. Oleh karena itu, pengetahuan tentang retorika dan ilmu komunikasi
yang memadai akan membawa keuntungan bagi pribadi bersangkuatan dalam beberapa
bidang tertentu.
Banyak pria dan wanita dalam Sejarah memperoleh suskes besar dalam hidup dan kariernya
sebagai pemimpin, berkat penguasaan ilmu retorika. Sebab penguasaan teknik berbicara akan
mempertinggi kepercayaan terhadap diri dan memberi rasa pasti kepada orang yang
bersangkutan. Bagi para pemimpin, retorika adalah alat penting untuk mempengaruhi dan
menguasai manusia. Bagi para penjual, kepandaian berbicara merupakan sarana penting
untuk menjual-belikan barang dagangannya.
Barangsiapa yang menguasai ilmu retorika dan mempergunakannya secara wajar akan
mendapat sukses dalam hidup dan karyanya !
Retorika (dari bahasa Yunani ῥήτωρ, rhêtôr, orator, teacher) adalah sebuah teknik pembujuk-
rayuan secara persuasi untuk menghasilkan bujukan dengan melalui karakter pembicara,
emosional atau argumen (logo), awalnya Aristoteles mencetuskan dalam sebuah dialog
sebelum The Rhetoric dengan judul ‘Grullos’ atau Plato menulis dalam Gorgias, secara
umum ialah seni manipulatif atau teknik persuasi politik yang bersifat transaksional dengan
menggunakan lambang untuk mengidentifikasi pembicara dengan pendengar melalui pidato,
persuader dan yang dipersuasi saling bekerja sama dalam merumuskan nilai, keprcayaan dan
pengharapan mereka. Ini yang dikatakan Kenneth Burke (1969) sebagai konsubstansialitas
dengan penggunaan media oral atau tertulis, bagaimanapun, definisi dari retorika telah
berkembang jauh sejak retorika naik sebagai bahan studi di universitas. Dengan ini, ada
perbedaan antara retorika klasik (dengan definisi yang sudah disebutkan diatas) dan praktek
kontemporer dari retorika yang termasuk analisa atas teks tertulis dan visual.
Dalam doktrin retorika Aristoteles [1] terdapat tiga teknis alat persuasi politik yaitu
deliberatif, forensik dan demonstratif. Retorika deliberatif memfokuskan diri pada apa yang
akan terjadi dikemudian bila diterapkan sebuah kebijakan saat sekarang. Retorika forensik
lebih memfokuskan pada sifat yuridis dan berfokus pada apa yang terjadi pada masa lalu
untuk menunjukkan bersalah atau tidak, pertanggungjawaban atau ganjaran. Retorika
demonstartif memfokuskan pada epideiktik, wacana memuji atau penistaan dengan tujuan
memperkuat sifat baik atau sifat buruk seseorang, lembaga maupun gagasan.
Aristoteles adalah murid Plato, filsuf terkenal dari zaman Yunani Kuno. Kala itu, di Yunani
dikenal Kaum Sophie yang mengajarkan cara berbicara atau berorasi kepada orang-orang
awam, pengacara, serta para politisi. Plato sendiri banyak menyindir perilaku Kaum Sophie
ini karena menurutnya orasi yang mereka ajarkan itu miskin teori, dan terkesan dangkal.
Aristoteles berpendapat bahwa retorika itu sendiri sebenarnya bersifat netral. Maksudnya
adalah orator itu sendiri bisa memiliki tujuan yang mulia atau justru hanya menyebarkan
omongan yang gombal atau bahkan dusta belaka. Menurutnya, “…by using these justly one
would do the greatest good, and unjustly, the greatest harm” (1991: 35). Aristoteles masih
percaya bahwa moralitas adalah yang paling utama dalam retorika. Akan tetapi dia juga
menyatakan bahwa retorika adalah seni. Retorika yang sukses adalah yang mampu memenuhi
dua unsur, yaitu kebijaksanaan (wisdom) dan kemampuan dalam mengolah kata-kata
(eloquence).
Rethoric, salah satu karya terbesar Aristoteles, banyak dilihat sebagai studi tentang psikologi
khalayak yang sangat bagus. Aristoteles dinilai mampu membawa retorika menjadi sebuah
ilmu, dengan cara secara sistematis menyelidiki efek dari pembicara, orasi, serta audiensnya.
Orator sendiri dilihat oleh Aristoteles sebagai orang yang menggunakan pengetahuannya
sebagai seni. Jadi, orasi atau retorika adalah seni berorasi.
Aristoteles melihat fungsi retorika sebagai komunikasi ‘persuasif’, meskipun dia tidak
menyebutkan hal ini secara tegas. Meskipun begitu, dia menekankan bahwa retorika adalah
komunikasi yang sangat menghindari metode yang kohersif.
Aristoteles kemudian menyebutkan tentang klasifikasi tiga kondisi audiens dalam studi
retorika. Klasifikasi yang pertama adalah courtroom speaking, yaitu yang dicontohkan
dengan situasi ketika hakim sedang menimbang untuk memutuskan tersangka bersalah atau
tidak bersalah dalam suatu sidang peradilan. Ketika seorang Penuntut dan Pembela beradu
argumentasi dalam persidangan tersebut, maka keduanya telah melakukan judicial rethoric.
Yang kedua adalah political speaking, yang bertujuan untuk mempengaruhi legislator atau
pemilih untuk ikut serta dalam pilihan politik tertentu. Debat dalam kampanye termasuk
dalam kategori ini. Sedangkan yang ketiga adalah ceremonial speaking, di mana yang
dilakukan adalah upaya mendapatkan sanjungan atau menyalahkan pihak lain guna
mendapatkan perhatian dari khalayak. Mungkin yang masuk kategori ini semacam tabligh
akbar atau sejenisnya.
Karena muridnya terbiasa dengan metode dialectic Socrates, yaitu metode diskusi tanya-
jawab, one-on-one discussion, maka Aristoteles menyebutkan retorika adalah kebalikannya.
Retorika adalah diksusi dari satu orang kepada banyak orang. Jika dialectic adalah upaya
untuk mencari kebenaran, maka retorika mencoba menunjukkan kebenaran yang telah
diketemukan sebelumnya. Dialectic menjawab pertanyaan filosofis yang umum, retorika
hanya fokus pada satu hal saja. Dialectic berurusan dengan kepastian, sedang retorika
berurusan dengan probabilitas (kemungkinan). Menurutnya, retorika adalah seni untuk
mengungkapkan suatu kebenaran kepada khalayak yang belum yakin sepenuhnya terhadap
kebenaran tersebut, dengan cara yang paling cocok atau sesuai.
Menurut Aristoteles, kualitas persuasi dari retorika bergantung kepada tiga aspek
pembuktian, yaitu logika (logos), etika (ethos), dan emosional (pathos). Pembuktian logika
berangkat dari argumentasi pembicara atau orator itu sendiri, pembuktian etis dilihat dari
bagaimana karakter dari orator terungkap melalui pesan-pesan yang disampaikannya dalam
orasi, dan pembuktian emosional dapat dirasakan dari bagaimana transmisi perasaan dari
orator mampu tersampaikan kepada khalayaknya.
Aristoteles mengutarakan tentang dua konsep pembuktian logis (logical proof), yakni
enthymeme dan example (contoh). Enthymeme sendiri adalah semacam silogisme yang
belum sempurna. Berikut ini contohnya:
Premis mayor : Semua manusia memiliki derajat yang sama
Premis minor : Saya adalah manusia
Konklusi : Maka saya memiliki derajat yang sama
Dalam entymeme, biasanya hanya menggunakan premis “semua manusia memiliki derajat
yang sama dengan manusia yang lain…..Saya memiliki derajat yang sama”, tanpa perlu
menggunakan premis “saya adalah manusia”.
Entymeme ini digunakan dengan tujuan agar khalayak menggunakan kerangka logika
tertentu, sehingga mereka semacam diberikan ‘ruang’ untuk menafsirkan premis yang
digunakan dalam silogisme yang dimaksud oleh orator tadi. Dengan memberikan ‘ruang’ tadi
pada dasarnya khalayak digiring untuk menggunakan cara berpikir yang sama dengan apa
yang dipikirkan oleh orator. Sejauh orasi yang digunakan dapat masuk ke dalam logika
khalayak tadi, maka pembuktian logis dari orasi yang dilakukan akan terasa cukup efektif.
Enthymeme kemudian diperkuat dengan example atau contoh. Jika enthymeme digunakan
sebagai pembentuk logika atau kerangka berpikir, maka contoh dipakai untuk memperkuat
pembuktian dengan detail contoh-contoh dari pemikiran yang dimaksudkan sebelumnya.
Pembuktian etis (ethical proof) menurut Aristoteles berpulang kepada kredibilitas dari orator
tersebut. Retorika yang baik tidak hanya mengandalkan kata-kata yang baik semata,
melainkan bahwa oratornya sendiri juga harus ‘terlihat’ memiliki kredibilitas. Karena
seringkali khalayak sudah cukup terpesona kepada seseorang, bahkan sebelum orang tersebut
berpidato atau berorasi. Sebelum kata-kata keluar dari mulut orang tersebut.
Dalam Rethoric, Aristoteles menyebutkan tentang tiga sumber kredibilitas yang baik, yaitu
intelligence, character, dan goodwill.
Intelligence atau kecerdasan lebih kepada persoalan kebijaksanaan dan kemampuan dalam
berbagi nilai atau kepercayaan antara orator dengan khalayaknya. Maksudnya adalah
khalayak seringkali menilai bahwa orator tersebut ‘cerdas’ adalah sejauh mana mereka
sepakat atau memiliki kesamaan pemikiran, cara berpikir, atau ide dengan orator tersebut.
Orator yang cerdas, oleh karenanya mampu menyesuaikan diri atau mampu membaca cara
berpikir khalayaknya, untuk kemudian disesuaikan dengan cara berpikirnya.
Character lebih kepada citra orator sebagai orang yang baik dan orang yang jujur. Jika
seorang orator mampu memiliki citra sebagai orang yang baik dan jujur, apapun kata-kata
yang disampaikan dalam orasinya maka khalayak cenderung lebih mudah untuk percaya.
Begitu pula sebaliknya, jika orator yang bersangkutan memiliki citra yang kurang baik maka
sebaik apapun kata-kata yang disampaikannya khalayak sulit untuk percaya.
Good will atau niat baik, adalah penilaian positif yang coba ditularkan oleh orator kepada
khalayaknya. Seorang orator mungkin mampu memperlihatkan kecerdasannya, menunjukkan
karakter kepribadiannya, akan tetapi belum tentu mampu ‘menyentuh hati’ khalayaknya. Niat
baik ini biasanya dapat dirasakan oleh hati khalayak.
Pembuktian emosional (emotional proof). Di sini orator dituntut untuk mampu menyesuaikan
suasana emosional yang ingin dicapai dalam sebuah orasi. Orator yang cerdas mampu
mengendalikan suasana emosi yang diinginkan, bukan apa yang diinginkan khalayak, akan
tetapi lebih kepada apa yang diinginkan oleh orator itu sendiri. Dengan mengetahui
karakteristik khalayak, pemahaman yang mendalam terhadap berbagai macam karakter
emosi, diharapkan retorika yang dilakukan dapat berjalan efektif.
Walaupun banyak ilmuwan menyatakan bahwa sebenarnya pemikiran Aristoteles tentang
retorika itu rumit, mereka kemudian menyederhanakan pemikiran tersebut ke dalam empat
konsep tentang bagaimana mengukur kualitas seorang orator yang baik. Keempat hal tersebut
adalah bagaimana menciptakan argumentasi (invention), menyusun bahan-bahan atau materi
argumentasi (arrangement), pemilihan bahasa (style), dan bagaimana teknik penyampaiannya
(tecniques of delivery).
Untuk menciptakan argumentasi yang baik, orator dituntut untuk memiliki pengetahuan yang
luas, kemampuan penalaran dan logika yang baik dalam berbagai macam bentuk
pembicaraan. Penguasaan terhadap berbagai macam topik, isu, informasi, data, dan
sejenisnya, dapat dijadikan sebagai memori yang setiap saat mampu dibentuk menjadi
argumentasi ketika orasi dilakukan. Semakin banyak memori yang dimiliki maka akan
semakin mudah untuk menciptakan argumentasi yang baik.
Aristoteles mengingatkan tentang pentingnya penyusunan atau pentahapan argumentasi itu
sendiri. Menurutnya, pada awal-awal orasi baiknya adalah sebagai upaya untuk menarik
perhatian dari khalayak, menjaga kredibilitas, dan kemudian memperjelas maksud atau tujuan
dari pembicaraan atau orasi itu sendiri. Yang terakhir adalah konklusi, yang sebaiknya adalah
mengupayakan bagaimana khalayak akan selalu mengingat apa-apa yang telah kita katakan,
dan kita meninggalkan khalayak dengan citra yang positif tentang diri kita dan ide-ide yang
telah kita sampaikan kepada mereka.
Style atau gaya bicara adalah tentang bagaimana kemapuan seorang orator menggunakan cara
atau gaya bicara tertentu. Gaya bicara ini ibarat karakteristik si orator itu sendiri. Ada orator
yang bagus karena dinilai memiliki gaya orasi yang unik, menarik, dan bukan tentang kata-
kata apa yang disampaikannya.
Style ini juga terkait erat dengan cara penyampaian kata-kata atau argumentasi kepada
khalayak. Cara penyampaian yang menarik adalah hal yang penting dalam sebuah orasi.
Karena seringkali kefektifan orasi dilihat dari sejauh mana khalayak menilai cara bicara atau
cara orasi orang tersebut menarik atau tidak. Mengenai apa yang disampaikannnya itu
menjadi hal yang berikutnya.
Para pengkritik terhadap teori retorika Aristoteles ini mengatakan bahwa kesalahan terbesar
di sini adalah audiens atau khalayak dianggap pasif. Orator menurut Aristoteles dianggap
akan selalu mampu menyampaikan apa-apa yang dimaksudkannya kepada khalayak sejauh
mereka mengikuti anjuran-anjuran Aristoteles tersebut. Ada faktor yang penting yang terlupa
oleh Aristoteles, yaitu situasi. Padahal faktor ini adalah salah satu aspek penting yang perlu
diperhatikan dalam praktek retorika itu sendiri.
Di luar itu semua, teori retorika ini memang banyak dinilai memadai jika dilihat sebagai
landasan dalam studi dan praktek retorika. Tentunya seiring masa perlu dilakukan beragai
macam penyesuaian dan semacamnya. Akan tetapi yang terpenting dari itu semua bahwa
retorika atau komunikasi secama umum pada dasarnya adalah seni, sehingga tidak akan
mampu untuk terbakukan dalam bentuk-bentuk aturan apapun. Seringnya, semuanya
berpulang kepada manusia itu sendiri.
Diposkan oleh Dwi Haryanto Hidayat di Kamis, September 01, 2011
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Retorika sebagai Proses Komunikasi
Definisi Komunikasi
Dalam kehidupan manusia proses komunikasi selalu dilakukan baik secara sadar maupun
tidak sadar. Namun banyak orang yang mendefinisikan komunikasi hanya sebagai alat untuk
berhubungan dengan satu sama lain. Komunikasi berasal dari kata latin cum yang berarti
dengan, dan unus yang artinya satu dari kata bilangan. Kedua istiliah tersebut bergabung dan
menjadi sebuah kata yaitu communio dan diartikan kedalam bahasa Inggris menjadi
kata Cummunion yang memiliki arti kebersamaan, persatuan, ataupun hubungan. Kata
communion kemudian berubah sifatnya menjadi kata kerja benda yaitu
kata Communicatio atau dalam bahasa Inggris Communication, yang kemudian diartikan
kedalam bahasa Indonesia menjadi kata Komunikasi. Komunikasi didefinisikan sebagai
proses pertukaran informasi melalui sebuah media yang disampaikan oleh seseorang kepada
orang lain dan kemudian menimbulkan sebuah pemahaman.
Dalam buku Pengantar Ilmu Komunikasi yang ditulis oleh Wiryanto, terdapat definisi yang
didefinisikan oleh Berger and Chaffe (1983:17), “Communication science seeks to
understand the production, processing and effect of symbol and signal system by developing
testable theories containing lawful generalization, that explain phenomena associated with
production, proccesing and effect” yang berarti Komunikasi adalah ilmu yang berusaha untuk
memahami sebuah produksi, proses, dan efek dari sebuah simbol dan sinyal dengan
mengembangkan teori-teori yang diuji menurut hukum generalisasi dan menjelaskan
mengenai fenomena terhadap produksi, proses, dan efek. Artinya sebuah komunikasi harus
terjadi dengan adanya product yang melingkupi pembicara dengan pendengar, proses
yang artinya peristiwa bagaimana terjadinya komunikasi tersebut, dan efek yang artinya
hubungan timbal balik terhadap informasi yang disampaikan oleh penginformasi kepada
pendengar.
Untuk lebih memahami definisi komunikasi, berikut beberapa definisi komunikasi menurut
para ahli:

 Laswell, Komunikasi adalah proses yang menggambarkan siapa mengatakan dengan


cara apa, kepada siapa dengan efek apa.
 Carl I Hovland, proses dimana seorang individu atau komunikator mengoperkan
stimulan, biasanya dengan lamabang-lambang bahasa (verbal maupun nonverbal)
untuk mengubah tingkah laku orang lain.
 John Fiskie (1990:1), Communication is one of those human activities that everyone
recognizes but few can define satisfactorily.
 Edwin Emery, komunikasi adalah seni menyampaikan informasi, ide, dan sikap
seseorang kepada orang lain.
 Gode sebagaimana yang dikutip Wiryanto (2004:6), “it is a procces that makes
common to or several what was the monopoly of one or some.” Komunikasi adalah
sebuah proses yang membuat kebersamaan bagi dua atau lebih yang di monopoly oleh
seseorang atau lebih.
 Rudolph F. Verderber, dkk (2008:24), Communication as the procces of creating
and sharing meaning, whether the context is informal conversation, group
interaction, or public speaking.
 Turner (2008:5), Komunikasi adalah proses dimana individu-individu menggunakan
simbol-simbol untuk menciptakan dan menginterprestasikan makna dalam lingkungan
mereka.

Tommy Suprapto (2009:7), membagi pengertian Komunikasi berdasarkan tiga hal, yaitu
pengertian secara etimologis, terminologis, dan pradigmatis.

1. Secara Etimologis, komunikasi dipelajari berdasarkan asal-usul kata, yaitu


komunikasi yang berasal dari bahasa latin “Communicatio” yang bersumber dari kata
commnis yang berarti sama makna mengenai sesuatu hal yang dikomunikasikan.
2. Secara Terminologis, komunikasi berarti proses penyampaian suatu pernyataan oleh
seseorang kepada orang lain.
3. Secara Paradigmatis, komunikasi berarti pola yang meliputi sejumlah komponen
berkolerasi satu sama lain secara fungsional untuk mencapai tujuan tertentu.
Contohnya seperti ceramah, kuliah, kotbah, diplomasi, dan sebagainya.

Proses Komunikasi
Dalam berkomunikasi, tentunya ada sebuah informasi yang akan kita sampaikan kepada
seseorang. Informasi tersebut tentu akan sampai kepada orang lain jika sudah mengalami
sebuah proses. Proses tersebut terdiri dari beberapa tahap, yaitu sumber, pesan, media, situsi,
gangguan, penerima, dan reaksi (feedback).
1. Sumber (Source)
Pelaku adalah seorang individu atau kelompok yang akan menyampaikan sebuah informasi
kepada orang lain (penerima). Informasi yang di sampaikan bisa berupa verbal maupun
nonverbal. Sebagai pengirim informasi, participants haruslah memberikan informasi yang
bermutu kepada pendengar, sehingga apa yang disampaikan oleh pelaku akan di lakukan oleh
pendengar. Karena sesuai dengan tujuan utama retorika, yaitu mempengaruhi pendengar
sesuai dengan keinginan pelaku pengirim pesan.
Dalam meyampaikan sebuah informasi, sumber atau sender, terlebih dahulu harus
memikirkan atau mengemas perkataan apa yang akan ia sampaikan. Istilah ini disebut dengan
enconding. Dengan adanya enconding, pengirim atau pelaku, memikirkan informasi apa
yang akan ia sampaikan. Kemudian infromasi tersebut ditransfer kedalam otak dan
disampaikan kepada pendengar menjadi sebuah simbol atau lambang baik dalam bentuk kata-
kata ataupun gerak-gerik. Dengan adanya encoding, pengirim juga dapat memikirkan
bagaimana cara yang baik untuk dapat membuat pendengar mengerti dan memahami
informasi yang sumber sampaikan.
2. Pesan (Massages)
Pesan atau ide yang disampaikan oleh pelaku dapat berupa pesan verbal ataupun nonverbal.
Dalam penyampaian sebuah pesan atau informasi, tentunya tujuan utamanya adalah untuk
membuat pendengar mempercayai apa yang sumber katakan. Dan tujuan pendengar adalah
untuk mendapatkan sebuah berita. Untuk itu, ada hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
sebuah pesan berkomunikasi, yaitu makna, simbol, encod & decod.

 Makna dalam hal ini berarti dasar dari sebuah pemikiran. Maksudnya dalam
menyampaikan sebuah informasi kepada orang lain, pendengar tersebut minimal
sudah mengetahui dasar dari hal yang akan ia sampaikan. Jika penerima/pendengar
tidak memiliki dasar pengalaman mengenai makna tersebut, maka penyampaian berita
atau informasi tersebut tidak akan tersampaikan dengan baik, dan bahkan bisa terjadi
miss communication atau salah paham. Ini akan menjadi tugas yang berat bagi
pengirim berita agar informasi tersebut bisa dipahami oleh penerima pesan. Karena itu
akan lebih baik, jika kedua pihak memiliki pengalaman atau pengetahuan mengenai
informasi yang akan disampaikan.
 Simbol dalam hal ini berupa kata-kata, bunyi, atupun tindakan terhadap sebuah
informasi untuk mewakili sebuah gagasan/ide dan juga perasaan.
 Encoding & Decoding. Encod adalah proses untuk merumuskan sebuah pesan baik
dalam kata-kata maupun isyarat. Ecod digunakan oleh Pengirim atau Sumber (Sender
or Source). Sedangkan Decod adalah proses untuk menafsirkan makna yang
disampaikan oleh pengirim kepada penerima. Decod digunakan oleh penerima

3. Media (Channels)
Dalam meyampaikan sebuah informasi, tentu ada sebuah media yang digunakan sebagai
perantara untuk memperjelas penyampaian informasi tersebut. Media yang digunakan dalam
penyampaian informasi ini pun beragam. Ada media lisan atau tertulis.
Media lisan; media yang disampaikan secara lisan baik langsung (melalui diri sendiri)
maupun tidak langsung. Contoh media lisan secara tidak langsung dengan menggunakan
telepon, atau videotape. Penggunaan Skype di zaman sekarang ini juga bisa menjadi sarana
dalam berkomunikasi secara tidak langsung.
Keuntungan dari media lisan adalah:

 Mendapat tanggapan langsung ketika sedang berkomunikasi.


o Memungkinkan untuk dapat melihat bagaimana ekspresi dari penerima ketika
berkomunikasi, baik gerak-geriknya, suara, dan juga raut wajah penerima
informasi.
o Dapat dilakukan dengan cepat tanpa menunggu berhari-hari.
o Media Tulisan; media berkomunikasi dengan menggunakan alat bantu dalam
bentuk tulisan. Comtoh media ini adalah surat, memo, fax, telegram, brosur,
note, gambar, grafik, dan lain-lain.
o Keuntungan dari media tulis adalah:
o Tanggapan dari berita yang kita sampaikan bisa di simpan.
o Jika pengirim lupa akan tanggapan yang penerima sampaikan, pengirim bisa
membuka kembali isi dari surat yang menjadi balasan tersebut
4. Situasi (Context)
Dalam beretorika, tentu kita harus memperhatikan situasi dan kondisi dalam berkomunikasi.
Retorika yang kita sampaikan tentu akan berbeda kepada orang-orang di pedesaan dengan
orang yang sudah memiliki pengetahuan dalam sebuah bidang. Penginfromasi tidak boleh
menyamaratakan kondisi ketika berkomunikasi dengan semua pihak. Perhatikan situasi dan
pendengarnya. Contohnya dalam berpidato dihadapan orang-orang yang memiliki
pengetahuan dalam bidang tema yang disampaikan oleh orang yang berpidato. Tentu orang
yang berpidato harus memiliki pengalaman yang lebih di banding dengan pendengar. Sebab
dalam berkomunikasi atau beretorika, orang tersebut akan membagikan pengalamannya
dengan pendengar. Jika orator tersebut menyampaikan informasi yang sudah diketahui
banyak orang, maka kemungkinan situasi yang terjadi dalam pidato tersebut akan
berlanngsung dengan tidak baik. Pendengar akan merasa bosan dengan penyampaian
informasi yang disampaikan orator.
Kondisi berkomunikasi ketika sedang berpesta tentu akan berbeda ketika sedang rapat.
Bahasa yang digunakan juga harus diperhatikan. Penggunaan bahasa Formal & Informal
harus diterapkan dalam sebuah konteks. Dalam rapat, penggunaan bahasa yang seharusnya
adalah menggunakan bahasa Formal, yaitu bahasa yang sesuai dengan EYD. Sedangkan
dalam berpesta, bahasa yang digunakan akan lebih sederhana dan santai. Sangat aneh jika
dalam rapat menggunakan bahasa yang informal, sedangkan ketika berpesta bahasa yang
digunakan adalah bahasa formal. Reaksi orang-orang akan beragam ketika komunikasi
tersebut tidak sesuai dengan konteks. Ada yang tertawa, ada yang menegur, ada pula yang
diam namun ia bergumam dalam hati menyatakan bahwa komunikator tersebut tidak pandai
dalam menyiasati penggunaan bahasa ketika berada di suatu tempat. Karena itu konteks
(situasi dan kondisi) juga harus diperhatikan dalam berkomunikasi ataupun beretorika.
5. Gangguan (Noise)
Dalam berkomunikasi tidak jarang terjadi gangguan (noise). Kata noise berasal dari bahasa
ilmu kelistrikkan yang menartikan bahwa suatu keadaan atas ketidaklancaran atau kurangnya
ketetapan peraturan. Penggunaan kata-kata sukar dalam penyampaian informasi juga bisa
menjadi salah satu penyebab gangguan tercapainya tujuan informasi tersebut. Selain kata-
kata yang sulut dimengeri, ketidakjelasan dalam menyampaikan informasi juga bisa menjadi
sebuah gangguan. Untuk itu, ada baiknya dalam menyampaikan informasi haruslah bersifat
ekonomis dan informatif. Ekonomis artinya, penyampaian komunikasi tidak perlu panjang
dan bertele-tele. Lebih baik singkat namun sifatnya jelas dan dimengerti pendengar.
Informatif artinya sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan oleh pendengar. Tidak bersifat
fiktif.
Namun tidak jarang, gangguan yang terjadi dalam komunikasi berasal dari audience atau
pendengar. Hal ini didasarkan pada sifat psikologis (Tommy 2009:15), yaitu:

 Selective attention. Maksudnya pendengar sesungguhnya tidak ingin mendengar


informasi atau pidato yang disampaikan oleh orator. Tentu hal ini akan menjadi
masalah dalam penyampaian informasi.
 Selective perception. Maksudnya, pendengar cenderung memikirkan makna yang
disampaikan oleh orator sesuai dengan apa yang ia pahami. Namun ternyata
pemahamannya tidak sesuai dengan kebenaran atau keinginan yang disampaikan oleh
orator. Hal ini bisa menimbulkan kesalahpahaman dalam berkomunikasi
 Selective retention. Maksudnya, pendengar memahami makna yang disampaikan oleh
orator. Namun pendengar cenderung berpikir mengenai apa yang ia inginkan.
Contohnya, seorang pemakai narkoba di beri pengarahan akan bahayanya penggunaan
narkoba, untuk itu ia disuruh berhenti menggunakan barang haram tersebut. Namun
karena dipikirannya adalah kenikmatan dalam menggunakan narkoba, maka ia tidak
memperdulikan perkataan orator akan bahaya narkoba. Hal ini menjadi sebuah
masalah dalam penyampaian informasi.

Ada empat jenis gangguan dalam berkomunikasi, yaitu gangguan semantik, gangguan fisik
(eksternal), gangguan psikologis, dan juga gangguan fisiologis.
• Gangguan Semantik (Semantic Noise)
Gangguan semantik adalah gangguan berdasarkan pengaruh linguistik dalam penyampaian
pesan. Biasanya berupa kata-kata dalam bahasa bidang tertentu, seperti bahasa di bidang
kedokteran yang disampaikan kepada orang-orang yang tidak memiliki pemahaman akan
bidang tersebut.
• Gangguan Fisik (Eksternal)
Gangguan ini berasal dari kondisi fisik. Contohnya orang yang sedang sakit disuruh fokus
dalam mendengarkan sebuah pesan. Maka secara fisik orang tersebut tidak dapat menerima
isi pesan yang disampaikan dengan baik.
• Gangguan Psikologis
Gangguan ini sama seperi gangguan yang dijelaskan sebelumnya, yaitu gangguan selective
attention, selective perception, dan selective retention.
• Gangguan Fisiologis
Gangguan Fisiologis adalah gangguan yang bisa terjadi ketika merasa sakit, lapar atau lelah.
6. Penerima (Receiver)
Setelah mendapatkan pesan dari pengirim (Sender), maka penerima harus memahami isi
pesan tersebut. Isi pesan tersebut dipahami dengan istilah decoding. Pesan Verbal maupun
Nonverbal yang disampaikan oleh orator kemudian dipahami oleh penerima. Hal ini dapat
memberikan nilai positif untuk pendengar, yaitu bertambahnya pengetahuan atau wawasan
berdasarkan pesan yang disampaikan oleh orator.
7. Umpan Bailik (Feedback)
Umpan balik adalah tanggapan penerima berdasarkan pesan yang disampaikan oleh pengirim
pesan. Tanggapan tersebut dapat berupa tanggapan verbal atau nonverbal. Selain bentuk
tanggapan dari tersebut, ada juga tanggapan dari segi positif atau negatif (Agus 2003:18).
Tanggapan tersebut akan bersifat positif apabila penerima menyetujui isi pesan yang
disampaikan. Sedangkan tanggapan yang sifatnya negatif adalah pesan yang tidak disetujui
oleh recevier.
Bentuk-Bentuk Komunikasi
Dalam penyampaian pesan, terdapat bentuk-bentuk dari komunikasi. Bentuk-bentuk ini lebih
didasari dari jumlah recevier dan forum penyampaian informasi tersebut.
1. Intrapersonal Communication
Intrapersonal Communication adalah bentuk komunikasi yang dikaji dari segi psikologis.
Kenapa dikaji dari segi psikologis? Karena interpersonal communication adalah bentuk
komunikasi dengan diri sendiri yang berlangsung dipikiran komunikator. Komunikasi ini
tentunya dikendalikan oleh diri sendiri tanpa ada campur tangan orang lain. Verderber
(2008:9), “When you send your self a reminder note as an e-mail or text messege, you are
communication interpersonally”
2. Interpersonal Communication
Interpersonal Communication adalah komunikasi yang berlangsung antara dua individu.
Dalam buku Wiryanto, dijabarkan definisi dari interpersonal Communication dari beberapa
pakar, seperti Bittner (1985:10) yang mengatakan bahwa komunikasi antarpribadi
berlangsung antara dua, tiga orang, atau mungkin empat orang yang terjadi secara spontan
dan tidak berstrukur.
Ciri-ciri dari komunikasi interpersonal communication ini sebagaimana yang dikutip
Wiryanto (2004) dari Barnlund.
Ciri-ciri tersebut adalah:

 Bersifat spontan;
 Tidak mempunyai struktur;
 Terjadi secara kebetulan;
 Tidak mengejar tujuan yang direncanakan;
 Identitas keanggotaannya tidak jelas;
 Dapat terjadi hanya sambil lalu.

Selain ciri-ciri dari bentuk komunikasi antarpribadi tersebut, terdapat pula ciri-ciri dari
efektivitas komunikasi antarpribadi. Hal ini seperti yang dikutip Wiryanto (2004:36) dari
Kumar (2000: 121-122)

 Keterbukaan (openess). Kemauan untuk menanggapi dengan senang hati informasi


yang diterima di dalam menghadapi hubungan antarpribadi;
 Empati (emphaty). Merasakan apa yang dirasakan orang lain;
 Dukungan (supportiveness). Situasi terbuka untuk mendukung komunikasi
berlangsung secara efektif;
 asa positif (positiveness). Seseorang harus memiliki rasa positif terhadap dirinya,
mendorong orang lain lebih aktif berpartisipasi, dan menciptakan situasi komunikasi
kondusif untuk interaksi efektif.
 Kesetaraan (equality). Pengakuan secara diam-diam bahwa kedua belah pihak
menghargai, berguna, dan mempunyai sesuatu yang penting untuk disumbangkan.

3. Komunikasi Kelompok
Bentuk komunikasi ini melibatkan sebuah organisasi. Dalam hal ini, seseorang akan
mendapat pengalaman yang lebih jika mampu beretorika dalam sebuah organisasi. Misalnya
seorang mahasiswa yang tidak berani mengungkapkan ide/gagasannya di dalam kelas
didepan teman-temannya dan dihadapan dosen, maka ia dapat berlatih untuk melancarkan
kepercayaan dirinya didepan anggota organisasinya. Karena di dalam sebuah organisasi,
seseorang akan lebih merasa nyaman mengungkapan gagasannya didepan orang yang lebih
tua seperi berbicara kepada dosen.
Selain itu orang yang memiliki atau berpartisipasi di dalam sebuah organisasi, maka ia akan
medapat lebih banyak relation. Sebuah hubungan yang baik antarsesama akan sangat penting
untuk dibentuk, apalagi meningat manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup
secara sendiri.
4. Komunikasi Kelompok Kecil
Bentuk dari komunikasi kelompok kecil dilihat berdasarkan jumlah anggotanya. Umunya
jumlah anggota dari kelompok ini melibatkan tiga sampai dua puluh anggota, dan tidak boleh
lebih dari lima puluh orang. Biasanya hal yang dibahas dari kelompok ini lebih ringan seperti
masalah rancangan kebijakan dalam kelompok tersebut.
5. Public Communication
Bentuk komunikasi ini berlangsung antara satu orang dengan orang lain. Namun dalam forum
terbuka yang jumlah pendengarnya lebih dari dua puluh orang. Di dalam bentuk komunikasi
ini, speaker (seseorang yang menjadi sumber dan berbicara di depan publik) harus
bertanggung jawab atas apa yang ia sampaikan dan mengorganisasi ide yang akan
disampaikan. Dalam hal ini retorika akan sangat berperan penting dalam proses penyampaian
pesan kepada pendengar, sebab tujuan speaker sebenarnya adalah untuk mempengaruhi
pendengar seusai dengan apa yang pembicara katakan. Dalam forum ini, dapat terjadi sesi
tanya jawab antara speaker/pembicara dengan pendengar.
6. Mass Communication
Mass Communication atau dalam bahasa Indonesia adalah komunikasi masa. Bentuk dari
komunikasi ini dengan menggunakan media. Komunikasi ini terjadi secara tidak langsung
dari pengirim kepada si penerima. Media yang digunakan berupa media cetak seperti majalah
dan surat kabar, dan media elektronik seperti televisi dan radio.
Ciri-ciri dari komunikasi masa:

 Berlangsung satu arah; Dalam komunikasi masa, umpan balik atau feed back baru
akan diperoleh setelah komunikasi berlangsung.
 Komunikator pada komunikasi massa melembaga; Informasi yang disampaikan
melalui media massa merupakan produk bersama. Seorang komunikator dalam media
masa bertindak atas nama lembaga dan nyaris tidak memiliki kebebasan individual.
Oleh sebab itu, komunikatornya melembaga. Lebih dari itu, karena pesan-pesan yang
disebarkan melalui media massa merupakan hasil kerja sama, maka komunikatornya
di sebut juga dengan collective comunicator.
 Pesan-pesan bersifat umum. Pesan-pesan yang disampaikan oleh komunikan kepada
audience haruslah bersifat umun yang artinya untuk orang banyak. Hal ini
dikarenakan dalam komunikasi masa, media yang digunakan dalam penyampaian
pesan sifatnya lebih umum. Semua orang dapat melihat dan mendengar informasi
yang disampaikan oleh komunikan.
 Melahirkan keserempakan. Ketika seseorang beretorika, maka tujuan dari tindakan
yang ia lakukan adalah untuk mempersuasi para pendengar. Begitu juga dengan
berkomunikasi. Terlebih proses komunikasi masa ini dilakukan dengan sebuah media,
seperti media cetak dan media elektronik. Dengan menggunakan media seperti ini,
maka akan lebih banyak orang yang mendengar pesan yang akan disampaikan oleh
komunikan. Dengan begitu, akan lahirlah sebuah tindakan yang dilakukan secara
serempak atau secara bersamaan oleh masyarakat. Terlebih lagi, jika informasi yang
disampaikan tersebut di sampaikan di negara-negara maju yang pada saat yang sama
paling tidak dibaca oleh kurang lebih satu juta pembaca. Karena itulah, tidak salah
jika salah satu ciri dari komunikasi masa ini adalah melahirkan keserempakan dalam
melakukan sebuah tindakan.
 Komunikan komunikasi massa bersifat heterogen. Ide atau gagasan harus di
konsepkan dengan baik dan benar-benar mempersiapakan semua hal yang akan
menjadi bahan dalam penyampaian pesan sebaik mungkin sebelum di publikasikan.

Syarat Terjadinya Komunikasi


Ada empat factor yang menjadi prasyarat terjadinya suatu proses komunikasi, yaitu:

 ► Komunikator (K), adalah orang atau pribadi yang mengatakan, mengucapkan atau
menyampaikan sesuatu.
 ► Warta, pesan, informasi (I), yaitu aoa yang diucapkan: apa yang disampaikan.
 ► Resipiens (R), adalah orang yang mendengar atau menerima apa yang diucapkan;
apa yang disampaikan.
 ► Medium (M), adalah tanda yang dipergunakan oleh komunikator untuk
menyampaikan warta atau pesan.

Agar komunikasi berjalan dengan lancar maka ada baiknya antara komunikator dengan
resipens telah terjalin sebuah pemahaman dan pembendaharaan makna yang dimiliki
keduanya, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman. Ketika komunikator ingin menyampaikan
sebuah pesan kepada orang lain (resipiens), maka hal yang ada dalam pikiran si komunikator
tersebuut harus di terjemahkan kedalam kode-kode yang dapat dimengerti oleh resipiens.
Resipiens menagkap pesan dan mengkodefikasikan makna yang disampaikan komunikator,
kemudian resipiens menerjemahkannya ke dalam pemahaman dan pengertian si resipiens.
Jadi, komunikasi adalah saling hubungan antara komunikator dan resipiens, dimana
komunikator menyampaikan suatu pesan kepada resipiens melalui medium untuk mencapai
suatu tujuan tertentu.

Retorika Sebagai Proses Komunikasi


Di contohkan : Sebuah mobil dijual. Pemilik mobil tentu ingin menjual dengan harga yang
memuaskan (tujuan). Dalam pembicaraan dengan calon pembeli, penjual tentu tidak hanya
menjelaskan merk, tahun keluaran, tipe, dan ciri khas mobil, tetapi dia juga pasti akan
memuji-muji mobil tersebut. Misalnya terpelihara dengan baik, bentuknya sangat cocok
dengan keadaan jalan dan tudak pernah terjadi kecelakaan. Singakatnya : mobil bekas yang
paling ideal, yang apabila dibandingkan dengan harga, sebenarnya masih terlalu murah !
Di lain pihak calon pembeli juga ingin membeli mobil tersebut dengan harga yang murah
(tujuan). Oleh karena itu terjadi tawar menawar dalam perdagangan, dimana penjual dan
pembeli saling beragumentasi untuk mencapai tujuannya masing-masing.
Dari contoh diatas dapat dilihat aspek-aspek retoris sebagai berikut :

 Seorang pembicara, menyampaikan kepada pelanggan;


 Seorang pendengar sebagai kawan bicara atau pelanggan;
 Dengan maksud dan tujuan tertentu (menjual mobil);
 Memberikan argumen-argumen terhadap isi pembicaraan;
 Sambil mendengar dan mempertimbangkan argumen-argumen balik dari pendengar;

Retorika didefinisikan sebagai seni membangun argumentasi dan seni berbicara. Dalam
perkembangannya retorika juga mencakup proses untuk ‘menyesuaikan ide dengan orang dan
menyesuaikan orang dengan ide melalui berbagai macam pesan’.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Komunikasi Retoris


Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi efektivitas dalam proses komunikasi retoris.
Faktor-faktor ini terdapat pada setiap unsur komunikasi seperti: komunikator, pesan, medium
dan resipiens.
Pada Komunikator
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi efektivitas dalam proses komunikasi retoris adalah:

1. Pengetahuan Tentang Komunikasi Dan Keterampilan dan Berkomunikasi

Yang dimaksudkan adalah penguasaan bahasa dan keterampiIan mempergunakan bahasa;


keterampilan mempergunakan media komunikasi untuk mempermudah proses pengertian
pada resipiens; kemampuan untuk mengenal dan menganalisis situasi pendengar sehingga
dapat memberikan sesuatu yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Di samping itu jenis
hubungan antara komunikator dan resipiens dapat juga mempengaruhi efektivitas proses
komunikasi.
2. Sikap Komunikator
Sikap komunikator seperti agresif (menyerang) atau cepat membela diri, sikap yang mantap
dan meyakinkan; sikap rendah hati, rela mendengar dan menerima anjuran dapat memberi
dampak yang besar dalam proses komunikasi retoris.
3. Pengetahuan Umum
Demi efektivitas dalam komunikasi retoris, komunikator se-baiknya memiliki pengetahuan
umum yang luas, karena dengan begitu dia dapat mengenal dan menyelami situasi pendengar
dan dapat mengerti mereka secara lebih baik. Dia harus mengetahui dan menguasai bahan
yang dibeberkan secara mendalam, teliti dan tepat. Dia juga hendaknya mengetahui dan
mengerti hal-hal praktis dari kehidupan harian para pendengarnya, supaya dapat
menyampaikan sesuatu yang mampu menggugah hati mereka.
4. Sistem Sosial
Setiap komunikator berada dan hidup di dalam sistem masyarakat tertentu. Posisi, pangkat
atau jahatan yang dimiliki komunikator di dalam masyarakat sangat mempengaruhi
efektivitas komunikasi retoris (misalnya: sebagai pemimpin atau bawahan; sebagai orang
yang berpengaruh atau tidak).
5. Sistem Kebudayaan
Di samping sistem sosial, sistem kebudayaan yang dimiliki se-orang komunikator juga dapat
mempengaruhi efektivitas komunikasi retoris. Tingkah laku, tata adab dan pandangan hidup
yang diwarisinya dari suatu kebudayaan tertentu akan juga mempengaruhi efektivitas dalam
proses komunikasi retoris dengan manusia lain.
Faktor-Faktor Pada Resipiens
Faktor-faktor ini pada umurnnya sama dengan faktor-faktor yang mempengaruhi
komunikator.
1. Pengetahuan tentang komunikasi dan keterampilan berkomunikasi
Supaya terjadi komunikasi, resipiens harus menguasai Bahasa yang dipergunakan. Keduanya
hanya dapat saling berkomunikasi dan saling mengerti apabila mereka mempergunakan
perbendaharaan kata yang sama dan yang dimengerti oleh kedua belah pihak. Komunikasi
tidak akan terjadi apabila bahasa yang dipergunakan oleh komunikator tidak dimengerti oleh
resipiens. Dalam hubungan dengan hal ini, perlu diperhatikan bahwa pendengar mempunyai
cara mendengar dan mengerti sendiri, yang dapat berbeda dari apa yang sebenarnya
dimaksudkan oleh komunikator.
2. Sikap resipiens
Faktor ini juga ikut menentukan efektivitas komunikasi retoris. Sikap-sikap positif seperti
terbuka, senang, tertarik dan simpatik akan memberi pengaruh positif dalam proses
komunikasi; Sebaliknya sikap-sikap negatif seperti tertutup, jengkel, tidak simpatik terhadap
komunikator akan mendatangkan pengaruh negatif.
3. Sistem sosial dan kebudayaan
Sistem sosial dan kebudayaan tertentu dapat menghasilkan sifat dan karakter khusus pada
resipiens. Orang dapat bersifat patuh, rendah hati. suka mendengar, tidak banyak bicara atau
tidak berani menantang.
Di lain pihak orang bisa menjadi kritis, suka memhantah dan tidak mudah tunduk kepada
pimpinan. Juga cara menyampaikan sesuatu tidak sama di antara masyarakat yang satu
dengan yang lain. Sebab itu komunikator harus memperhatikan segala faktor ini. apabila dia
mau mengharapkan efek yang besar dalam proses komunikasi dengan para pendengarnya.
Faktor-Faktor Pada Pesan Dan Medium
Antara komunikator dan resipiens ada pesan dan medium. Kedua faktor ini perlu diperhatikan
oleh komunikator secara khusus dalam proses komunikasi retoris.
1. Elemen-Elemen Pesan
Komunikator menerjemahkan pesan dengan mempergunakan medium. Dalam proses ini,
komunikator harus memperhatikan elemen-elemen yang membentuk pesan, supaya
komunikasi dapat membawa efek yang bestir. Elemen-elemen itu berupa kata-kata dan
kalimat, pikiran atau ide yang dibeberkan, alat peraga yang dipakai untuk meng-konkretisasi
pesan, suara, tekanan suara, artikulasi, mimik dan gerak-gerak untuk mempedelas pesan yang
disampaikan.
2. Struktur Pesan
Struktur pesan yang ingin disampaikan juga dapat mempengaruhi efektivitas proses
komunikasi retoris. Yang perlu diperhatikan adalah susunan organis di mana elemen-elemen
itu dikedepankan untuk mengungkapkan pesan. Pada prinsipnya struktur atau susunan pesan
harus jelas dan mudah dimengerti.
3. Isi Pesan
Isi pesan yang di ungkapkan lewat medium harus dipertenggangkan dengan situasi resipiens.
Isi pesan seharusnya mudah ditangkap, tidak boleh terlalu sulit, dan tidak rnengandung terlalu
banyak ke-benaran, karena dapat membingungkan resipiens. Sebaiknya isi pesan dibatasi
pada satu atau dua pokok pikiran yang diuraikan secara jelas, terinci dan tepat.
4. Proses Pembeberan
Yang dimaksudkan adalah cara membawakan dan mengemukakan pesan dari komunikator.
Ada tiga kemungkinan yang dapat dipilih, yaitu membawakan secara bebas, tanpa teks,
terikat pada teks, atau setengah bebas. Ketiga kemungkinan ini membawa efek yang berbeda
dalam proses komunikasi. Tentang hal ini akan dibicarakan lebih lanjut.

Kegunaan Komunikasi dalam Beretorika


Mengapa komunikasi retoris itu penting? Konred Lorenz mengatakan “ apa yang di ucapkan
tidak berarti itu yang di dengar, apa yang di dengar tidak berarti itu juga yang dimengerti,
apa yang dimengerti bukan berarti itu juga yang disetujui, apa yang disetujui bukan berarti
itu yang di terima, apa yang diterima tidak juga berarti itu yang dihayati, apa yang dihayati
tidak juga berarti mengubah tingkah laku”.
Kalimat-kalimat itu mengungkapkan kesulitan komunikasi antar manusia. Antar ide atau
pikiran dan realisasinya yang konkret terbentang satu jalan panjang, yang memilikibeberapa
kesulitan dalam penyampaian, sehingga dapat mengurangi efektifitas dalam komunkasi.
Oleh karena itu komunikasi retoris itu sangat penting, supaya apa yang diucapkan dapat di
dengar, apa yang di dengar dapat dimengerti, apa yang dimengerti dapat disetujui, apa yang
disetujui dapat di terima, apa yng diterima dapat di hayati, dan apa yang dihayati dapat
mengubah tingkah laku.

SEJARAH PERKEMBANGAN RETORIKA


Objek studi retorika setua kehidupan manusia. Kefasihan bicara mungkin pertama kali
dipertunjukkan dalam upacara adat: kelahiran, kematian, lamaran, perkawinan, dan
sebagainya. Pidato disampaikan oleh orang yang mempunyai status tinggi. Dalam
perkembangan peradaban pidato melingkupi bidang yang lebih luas. “Sejarah manusia”, kata
Lewis Copeland dalam kata pengantar bukunya tentang pidato tokoh-tokoh besar dalam
sejarah, “terutama sekali adalah catatan peristiwa penting yang dramatis, yang seringkali
disebabkan oleh pidato-pidato besar.
Sejak Yunani dan Roma sampai zaman kita sekarang, kepandaian pidato dan kenegarawanan
selalu berkaitan. Banyak jago pedang juga terkenal dengan kefasihan bicaranya yang
menawan”.
Uraian sistematis retorika yang pertama diletakkan oleh orang Syracuse, sebuah koloni
Yunani di Pulau Sicilia. Bertahun-tahun koloni itu diperintah para tiran. Tiran, di mana pun
dan pada zaman apa pun, senang menggusur tanah rakyat. Kira-kira tahun 465 SM, rakyat
melancarkan revolusi. Diktator ditumbangkan dan demokrasi ditegakkan. Pemerintah
mengembalikan lagi tanah rakyat kepada pemiliknya yang sah.
Di sinilah kemusykilan terjadi. Untuk mengambil haknya, pemilik tanah harus sanggup
meyakinkan dewan juri di pengadilan. Waktu itu, tidak ada pengacara dan tidak ada sertifikat
tanah. Setiap orang harus meyakinkan mahkamah dengan pembicaraan saja. Sering orang
tidak berhasil memperoleh kembali tanahnya, hanya karena ia tidak pandai bicara.
Untuk membantu orang memenangkan haknya di pengadilan, Corax menulis makalah
retorika, yang diberi nama Techne Logon (Seni Kata-kata). Walaupun makalah ini sudah
tidak ada, dari para penulis sezaman, kita mengetahui bahwa dalam makalah itu ia berbicara
tentang “teknik kemungkinan”. Bila kita tidak dapat memastikan sesuatu, mulailah dari
kemungkinan umum. Seorang kaya mencuri dan dituntut di pengadilan untuk pertama
kalinya. Dengan teknik kemungkinan, kita bertanya, “Mungkinkah seorang yang
berkecukupan mengorbankan kehormatannya dengan mencuri? Bukankah, sepanjang
hidupnya, ia tidak pernah diajukan ke pengadilan karena mencuri”. Sekarang, seorang miskin
mencuri dan diajukan ke pengadilan untuk kedua kalinya. Kita bertanya, “la pernah mencuri
dan pernah dihukum. Mana mungkin ia berani melakukan lagi pekerjaan yang sama”.
Akhirnya, retorika memang mirip “ilmu silat lidah”.
Di samping teknik kemungkinan, Corax meletakkan dasar-dasar organisasi pesan. Ia
membagi pidato pada lima bagian: pembukaan, uraian, argumen, penjelasan tambahan, dan
kesimpuln. Dari sini, para ahli retorika kelak mengembangkan organisasi pidato.
Walaupun demokrasi gaya Syracuse tidak bertahan lama, ajaran Corax tetap berpengaruh.
Konon, Gelon, penguasa yang menggulingkan demokrasi dan menegakkan kembali tirani,
menderita halitosis (bau mulut). Karena ia tiran yang kejam, tak seorang pun berani mem-
beritahukan hal itu kepadanya. Sampai di negeri yang asing, seorang perempuan asing berani
menyebutkannya. Ia terkejut. Ia memarahi istrinya, yang bertahun-tahun begitu dekat
dengannya, tetapi tidak memberitahukannya. Istrinya menjawab bahwa karena ia tidak pernah
dekat dengan laki-laki lain, ia mengira semua laki-laki sama. Gelon tidak jadi menghukum
istrinya. Tampaknya, sang istri sudah belajar retorika dari Corax.
Masih di Pulau Sicilia, tetapi di Agrigenturn, hidup Empedocles (490-430 SM), filosof,
mistikus, politisi, dan sekaligus orator. Ia cerdas dan menguasai banyak pengetahuan.
Sebagai filosof, ia pernah berguru kepada Pythagoras dan menulis The Nature of Things.
Sebagai mistikus, ia percaya bahwa setiap orang bisa bersatu dengan Tuhan bila ia menjauhi
perbuatan yang tercela. Sebagai politisi, ia memimpin pemberontakan untuk menggulingkan
aristokrasi dan kekuasaan diktator. Sebagai orator, menurut Aristoteles, “ia mengajarkan
prinsip-prinsip retorika, yang kelak dijual Gorgias kepada penduduk Athena”.
Tahun 427 SM Gorgias dikirim sebagai duta ke Athena. Negeri itu sedang tumbuh sebagai
negara yang kaya. Kelas pedagang kosmopolitan selain memiliki waktu luang lebih banyak,
juga terbuka pada gagasan-gagasan baru. Di Dewan Perwakilan Rakyat, di pengadilan, orang
memerlukan kemampuan berpikir yang jernih dan logis serta berbicara yang jelas dan
persuasif. Gorgias memenuhi kebutuhan “pasar” ini dengan mendirikan sekolah retorika.
Gorgias menekankan dimensi bahasa yang puitis dan teknik berbicara impromtu (kita bahas
pada Bab II). Ia meminta bayaran yang mahal; sekitar sepuluh ribu drachma ($ 10.000) untuk
seorang murid saja. Bersama Protagoras dan kawan-kawan, Gorgias berpindah dari satu kota
ke kota yang lain. Mereka adalah “dosen-dosen terbang”.
Protagoras menyebut kelompoknya sophistai, “guru kebijaksanaan” Sejarahwan menyebut
mereka kelompok Sophis. Mereka berjasa mengembangkan retorika dan mempopulerkannya.
Retorika, bagi mereka bukan hanya ilmu pidato, tetapi meliputi pengetahuan sastra,
gramatika, dan logika. Mereka tahu bahwa rasio tidak cukup untuk meyakinkan orang.
Mereka mengajarkan teknik-teknik memanipulasi emosi dan menggunakan prasangka untuk
menyentuh hati pendengar. Berkat kaum Sophis, abad keempat sebelum Masehi adalah abad
retorika. Jago-jago pidato muncul di pesta Olimpiade, di gedung perwakilan dan pengadilan.
Bila mereka bertanding, orang-orang Athena berdatangan dari tempat-tempat jauh; dan
menikmati “adu pidato” seperti menikmati pertandingan tinju. Kita hanya akan menyebutkan
dua tokoh saja sebagai contoh: Demosthenes dan Isocrates.
Berbeda dengan Gorgias, Demosthenes mengembangkan gaya bicara yang tidak berbunga-
bunga, tetapi jelas dan keras. Dengan cerdik, ia menggabungkan narasi dan argumentasi. Ia
juga amat memperhatikan cara penyampaian (delivery). Menurut Will Durant, “ia meletakkan
rahasia pidato pada akting (hypocrisis). Berdasarkan keyakinan ini, ia berlatih pidato dengan
sabar. Ia mengulang-ulangnya di depan cermin. Ia membuat gua, dan berbulan-bulan tinggal
di sana, berlatih dengan diam-diam. Pada masa-masa ini, ia mencukur rambutnya sebelah, su-
paya ia tidak berani keluar dari persembunyiannya. Di mimbar, ia melengkungkan tubuhnya,
bergerak berputar, meletakkan tangan di atas dahinya seperti berpikir, dan seringkali
mengeraskan suaranya seperti menjerit.
Demosthenes pernah diusulkan untuk diberi mahkota atas jasa-jasanya kepada negara dan
atas kenegarawanannya. Aeschines, orator lainnya, menentang pemberian mahkota dan
memandangnya tidak konstitusional. Di depan Mahkamah yang terdiri dari ratusan anggota
juri, ia melancarkan kecamannya kepada Demosthenes. Pada gilirannya, Demosthenes
menyerang Aeschines dalam pidatonya yang terkenal Perihal Mahkota. Dewan juri memihak
Demosthenes dan menuntut Aeschines untuk membayar denda. Aeschines lari ke Rhodes dan
hidup dari kursus retorika yang tidak begitu laku. Konon, Demosthenes mengirimkan uang
kepadanya untuk membebaskannya dari kemiskinan. Persaudaraan karena profesi!
Duel antara dua orator itu telah dikaji sepanjang sejarah. Inilah buah pendidikan yang dirintis
oleh kaum Sophis. Tetapi ini juga yang membentuk citra negatif tentang kaum Sophis.
Seorang tokoh yang berusaha mengembangkan retorika dengan menyingkirkan Sophisme
negatif adalah Isocrates. Isocrates percaya bahwa retorika dapat meningkatkan kualitas
masyarakat; bahwa retorika tidak boleh dipisahkan dari politik dan sastra. Tetapi ia
menganggap tidak semua orang boleh diberi pelajaran ini. Retorika menjadi sebuah pelajaran
elit, hanya untuk mereka yang berbakat.
Ia mendirikan sekolah retorika yang paling berhasil tahun 391 SM. Ia mendidik muridnya
menggunakan kata-kata dalam susunan yang jernih tetapi tidak berlebih-lebihan, dalam
rentetan anak kalimat yang seimbang dengan pergeseran suara dan gagasan yang lancar.
Karena ia tidak mempunyai suara yang baik dan keberanian untuk tampil, ia hanya
menuliskan pidatonya. Ia menulis risalah-risalah pendek dan menyebarkannya. Sampai
sekarang risalah-risalah ini dianggap warisan prosa Yunani yang menakjubkan. Gaya bahasa
Isocrates telah mengilhami tokoh-tokoh retorika sepanjang zaman: Cicero, Milton, Massillon,
Jeremy Taylor, dan Edmund Burke.
Salah satu risalah yang ditulisnya mengkritik kaum Sophis. Risalah ini ikut membantu
berkembangnya kebencian kepada kaum Sophis. Di samping itu, kaum Sophis kebanyakan
para pendatang asing di Athena. Orang selalu mencurigai yang dibawa orang asing. Apalagi
mereka mengaku mengajarkan kebijaksanaan dengan menuntut bayaran. Yang tidak sanggup
membayar tentu saja melepaskan kekecewaannya dengan mengecam mereka.
Socrates, misalnya, hanya sanggup membayar satu drachma untuk kursus yang diberikan
Prodicus. Karena itu, ia hanya memperoleh dasar-dasar bahasa yang sangat rendah saja.
Socrates mengkritik kaum Sophis sebagai para prostitut. Orang yang menjual kecantikan
untuk memperoleh uang, kata Socrates, adalah prostitut. Begitu juga, orang yang menjual
kebijaksanaan. Murid Socrates yang menerima pendapat gurunya tentang Sophisme adalah
Plato.
Plato menjadikan Gorgias dan Socrates sebagai contoh retorika yang palsu dan retorika yang
benar, atau retorika yang berdasarkan pada Sophisme dan retorika yang berdasarkan pada
filsafat. Sophisme mengajarkan kebenaran yang relatif. Filsafat membawa orang kepada
pengetahuan yang sejati. Ketika merumuskan retorika yang benar – yang membawa orang
kepada hakikat – Plato membahas organisasi, gaya, dan penyampaian pesan. Dalam
karyanya, Dialog, Plato menganjurkan para pembicara untuk mengenal “jiwa” pendengarnya.
Dengan demikian, Plato meletakkan dasar-dasar retorika ilmiah dan psikologi khalayak. Ia
telah mengubah retorika sebagai sekumpulan teknik (Sophisme) menjadi sebuah wacana
ilmiah.
Aristoteles, murid Plato yang paling cerdas melanjutkan kajian retorika ilmiah. Ia menulis
tiga jilid buku yang berjudul De Arte Rhetorica.
Dari Aristoteles dan ahli retorika klasik, kita memperoleh lima tahap penyusunan pidato:
terkenal sebagai Lima Hukum Retorika (The Five Canons of Rhetoric).
Inventio (penemuan). Pada tahap ini, pembicara menggali topik dan meneliti khalayak untuk
mengetahui metode persuasi yang paling tepat. Bagi Aristoteles, retorika tidak lain daripada
“kemampuan untuk menentukan, dalam kejadian tertentu dan situasi tertentu, metode
persuasi yang ada”. Dalam tahap ini juga, pembicara merumuskan tujuan dan mengumpulkan
bahan (argumen) yang sesuai dengan kebutuhan khalayak.
Aristoteles menyebut tiga cara untuk mempengaruhi manusia. Pertama, Anda harus sanggup
menunjukkan kepada khalayak bahwa Anda memiliki pengetahuan yang luas, kepribadian
yang terpercaya, dan status yang terhormat (ethos). Kedua, Anda harus Menyentuh hati
khalayak perasaan, emosi, harapan, kebencian dan kasih sayang mereka (pathos). Kelak, para
ahli retorika modern menyebutnya imbauan emotional (emotional appeals). Ketiga, Anda
Meyakinkan khalayak dengan mengajukan bukti atau yang kelihatan sebagai bukti. Di sini
Anda mendekati khalayak lewat otaknya (logos).
Di samping ethos, pathos, dan logos, Aristoteles menyebutkan dua cara lagi yang efektif
untuk mempengaruhi pendengar: entimem dan contoh. Entimem (Bahasa Yunani: “en” di
dalam dan “thymos” pikiran) adalah sejenis silogisme yang tidak lengkap, tidak untuk
menghasilkan pembuktian ilmiah, tetapi untuk menimbulkan keyakinan. Disebut tidak
lengkap, karena sebagian premis dihilangkan.
Sebagaimana Anda ketahui, silogisme terdiri atas tiga premis: mayor, minor, dan kesimpulan.
Semua manusia mempunyai perasaan iba kepada orang yang menderita (mayor). Anda
manusia (minor). Tentu Anda pun mempunyai perasaan yang sama (kesimpulan). Ketika saya
ingin mempengaruhi Anda untuk mengasihi orang-orang yang menderita, saya berkata,
“Kasihanilah mereka. Sebagai manusia, Anda pasti mempunyai perasaan iba kepada orang
yang menderita “. Ucapan yang ditulis miring menunjukkan silogisme, yang premis
mayornya dihilangkan.
Di samping entimem, contoh adalah cara lainnya. Dengan mengemukakan beberapa contoh,
secara induktif Anda membuat kesimpulan umum. Sembilan dari sepuluh bintang film
menggunakan sabun Lnx. Jadi, sabun Lux adalah sabun para bintang fihn.
Dispositio (penyusunan). Pada tahap ini, pembicara menyusun pidato atau
mengorganisasikan pesan. Aristoteles menyebutnya taxis, yang berarti pembagian. Pesan
harus dibagi ke dalam beberapa bagian yang berkaitan secara logis. Susunan berikut ini
mengikuti kebiasaan berpikir manusia: pengantar, pernyataan, argumen, dan epilog. Menurut
Aristoteles, pengantar berfungsi menarik perhatian, menumbuhkan kredibilitas (ethos), dan
menjelaskan tujuan.
Elocutio (gaya). Pada tahap ini, pembicara memilih kata-kata dan menggunakan bahasa yang
tepat untuk “mengemas” pesannya. Aristoteles memberikan nasihat ini: gunakan bahasa yang
tepat, benar, dan dapat diterima; pilih kata-kata yang jelas dan langsung; sampaikan kalimat
yang indah, mulia, dan hidup; dan sesuaikan bahasa dengan pesan, khalayak, dan pembicara.
Memoria (memori). Pada tahap ini, pembicara harus mengingat apa yang ingin
disampaikannya, dengan mengatur bahan-bahan pembicaraannya. Aristoteles menyarankan
“jembatan keledai” untuk memudahkan ingatan. Di antara semua peninggalan retorika klasik,
memori adalah yang paling kurang mendapat perhatian para ahli retorika modern.
Pronuntiatio (penyampaian). Pada tahap ini, pembicara menyampaikan pesannya secara
lisan. Di sini, akting sangat berperan. Demosthenes menyebutnya hypocrisis (boleh jadi dari
sini muncul kata hipokrit). Pembicara harus memperhatikan olah suara (vocis) dan gerakan-
gerakan,anggota badan (gestus moderatio cum venustate).
RETORIKA ZAMAN ROMAWI
Teori retorika Aristoteles sangat sistematis dan komprehensif. Pada satu sisi, retorika telah
memperoleh dasar teoretis yang kokoh. Namun, pada sisi lain, uraiannya yang lengkap dan
persuasif telah membungkam para ahli retorika yang datang sesudahnya. Orang-orang
Romawi selama dua ratus tahun setelah De Arte Rhetorica tidak menambahkan apa-apa yang
berarti bagi perkembangan retorika.
Buku Ad Herrenium, yang ditulis dalam bahasa Latin kira-kira 100 SM, hanya
mensistematisasikan dengan cara Romawi warisan retorika gaya Yunani. Orang-orang
Romawi bahkan hanya mengambil segi-segi praktisnya saja. Walaupun begitu, kekaisaran
Romawi bukan saja subur dengan sekolah-sekolah retorika; tetapi juga kaya dengan orator-
orator ulung: Antonius, Crassus, Rufus, Hortensius. Yang disebut terakhir terkenal begitu
piawai dalam berpidato sehingga para artis berusaha mempelajari gerakan dan cara
penyampaiannya.
Kemampuan Hortensius disempurnakan oleh Cicero. Karena dibesarkan dalam keluarga kaya
dan menikah dengan istri yang memberinya kehormatan dan uang, Cicero muncul sebagai
negarawan dan cendekiawan. Pernah hanya dalam dua tahun (45-44 SM), ia menulis banyak
buku filsafat dan lima buah buku retorika. Dalam teori, ia tidak banyak menampilkan
penemuan baru. Ia banyak mengambil gagasan dari Isocrates. Ia percaya bahwa efek pidato
akan baik, bila yang berpidato adalah orang baik juga. The good man speaks well. Dalam
praktek, Cicero betul-betul orator yang sangat berpengaruh.
Caesar, penguasa Romawi yang ditakuti, memuji Cicero, “Anda telah menemukan semua
khazanah retorika, dan Andalah orang pertama yang menggunakan semuanya. Anda telah
memperoleh kemenangan yang lebih disukai dari kemenangan para jenderal. Karena se-
sungguhnya lebih agung memperluas batas-batas kecerdasan manusia daripada memperluas
batas-batas kerajaan Romawi”.
Kira-kira 57 buah pidatonya sampai kepada kita sekarang ini. Will Durant menyimpulkan
kepada kita gaya pidatonya:
Pidatonya mempunyai kelebihan dalam menyajikan secara bergelora satu sisi masalah atau
karakter; dalam menghibur khalayak dengan humor dan anekdot; dalam menyentuh
kebanggaan, prasangka, perasaan, patriotisme dan kesalehan; dalam mengungkapkan secara
keras kelemahan lawan – yang sebenarnya atau yang diberitakan, yang tersembunyi atau
yang terbuka; dalam mengalihkan perhatian secara terampil dari pokok-pokok pembicaraan
yang kurang menguntungkan; dalam memberondong pertanyaan retoris yang sulit dijawab;
dalam menghimpun serangan-serangan, dengan kalimat-kalimat periodik yang anak-anaknya
seperti cambukan dan yang badainya membahana….
Dari tulisan-tulisannya yang sampai sekarang bisa dibaca, kita mengetahui bahwa Cicero
sangat terampil dalam menyederhanakan pembicaraan yang sulit. Bahasa Latinnya mudah
dibaca. Melalui penanya, bahasa mengalir dengan deras tetapi indah.
Puluhan tahun sepeninggal Cicero, Quintillianus mendirikan sekolah retorika. Ia sangat
mengagumi Cicero dan berusaha merumuskan teori-teori retorika dari pidato dan tulisannya.
Apa yang dapat kita pelajari dari Quintillianus? Banyak. Secara singkat, Will Durant
menceritakan kuliah retorika Quantillianus, yang dituliskannya dalam buku Institutio
Oratoria:
Ia mendefinisikan retorika sebagai ilmu berbicara yang baik. Pendidikan orator harus dimulai
sebelum dia lahir: Ia sebaiknya berasal dari keluarga terdidik, sehingga ia bisa menerima
ajaran yang benar dan akhlak yang baik sejak napas yang ia hirup pertama kalinya. Tidak
mungkin menjadi terpelajar dan terhormat hanya dalam satu generasi. Calon orator harus
mempelajari musik supaya ia mempunyai telinga yang dapat mendengarkan harmoni; tarian,
supaya ia memiliki keanggunan dan ritma; drama, untuk menghidupkan kefasihannya dengan
gerakan dan tindakan; gimnastik, untuk memberinya kesehatan dan kekuatan; sastra, untuk
membenhik gaya dan melatih memorinya, dan memperlengkapinya dengan pemikiran-
pemikiran besar; sains, untuk memperkenalkan dia dengan pemahaman mengenai alam; dan
filsafat, untuk membentuk karakternya berdasarkan petunjuk akal dan bimbingan orang bijak.
Karena semua persiapan tidak ada manfaatnya jika integritas akhlak dan kemuliaan rohani
tidak melahirkan ketulusan bicara yang tak dapat ditolak. Kemudian, pelajar retorika harus
menulis sebanyak dan secermat mungkin.
Sebuah saran yang berlebihan. Tetapi kita diingatkan lagi pada Cicero. The good man speaks
well.
RETORIKA ABAD PERTENGAHAN
Sejak zaman Yunani sampai zaman Romawi, retorika selalu berkaitan dengan
kenegarawanan. Para orator umumnya terlibat dalam kegiatan politik. Ada dua cara untuk
memperoleh kemenangan politik: talk it out (‘membicarakan sampai tuntas) atau shoot it out
(menembak sampai habis). Retorika subur pada cara pertama, cara demokrasi. Ketika
demokrasi Romawi mengalami kemunduran, dan kaisar demi kaisar memegang
pemerintahan, “membicarakan” diganti dengan “menembak”. Retorika tersingkir ke belakang
panggung. Para kaisar tidak senang mendengar orang yang pandai berbicara.
Abad pertengahan sering disebut abad kegelapan, juga buat retorika. Ketika agama Kristen
berkuasa, retorika dianggap sebagai kesenian jahiliah. Banyak orang Kristen waktu itu
melarang mempelajari retorika yang dirumuskan oleh orang-orang Yunani dan Romawi, para
penyembah berhala. Bila orang memeluk agama Kristen, secara otomatis ia akan memiliki
kemampuan untuk nmnyampaikan kebenaran. St. Agustinus, yang telah mempelajari retorika
sebelum masuk Kristen tahun 386, adalah kekecualian pada zaman itu.
Dalam On Christian Doctrine (426), ia menjelaskan bahwa para pengkhotbah harus sanggup
mengajar, menggembirakan, dan menggerakkan – yang oleh Cicero disebut sebagai
kewajiban orator. Untuk mencapai tujuan Kristen, yakni mengungkapkan kebenaran, kita
harus mempelajari teknik penyampaian pesan.
Satu abad kemudian, di Timur muncul peradaban baru. Seorang Nabi menyampaikan firman
Tuhan, “Berilah mereka nasihat dan berbicaralah kepada mereka dengan pembicaraan yang
menyentuh jiwa mereka” (Alquran 4:63). Muhammad saw. bersabda, memperteguh firman
Tuhan ini, “Sesungguhnya dalam kemampuan berbicara yang baik itu ada sihirnya”.
Ia sendiri seorang pembicara yang fasih – dengan kata-kata singkat yang mengandung makna
padat. Para sahabatnya bercerita bahwa ucapannya sering menyebabkan pendengar
berguncang hatinya dan berlinang air matanya. Tetapi ia tidak hanya menyentuh hati, ia juga
mengimbau akal para pendengarnya. Ia sangat memperhatikan orang-orang yang
dihadapinya, dan menyesuaikan pesannya dengan keadaan mereka. Ada ulama yang
mengumpulkan khusus pidatonya dan menamainya Madinat al-Balaghah (Kota Balaghah).
Salah seorang sahabat yang paling dikasihinya, Ali bin Abi Thalib, mewarisi ilmunya dalam
berbicara. Seperti dilukiskan Thomas Carlyle, “every antagonist in the combats of tongue or
of sword was subdited by his eloquence and valor”. Pada Ali bin Abi Thalib, kefasihan dan
kenegarawanan bergabung kembali. Khotbah-khotbahnya dikumpulkan dengan cermat oleh
para pengikutnya dan diberi judul Nahj al-Balaghah (Jalan Balaghah).
Balaghah menjadi disiplin ilmu yang menduduki status yang mulia dalam peradaban Islam.
Kaum Muslim menggunakan balaghah sebagai pengganti retorika. Tetapi, warisan retorika
Yunani, yang dicampakkan di Eropa Abad Pertengahan, dikaji dengan tekun oleh para ahli
balaghah. Sayang, sangat kurang sekali studi berkenaan dengan kontribusi Balaghah pada
retorika modern. Balaghah, beserta ma’ani dan bayan, masih tersembunyi di pesantren-
pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional.
RETORIKA MODERN
Abad Pertengahan berlangsung selama seribu tahun (400-1400). Di Eropa, selama periode
panjang itu, warisan peradaban Yunani diabaikan. Pertemuan orang Eropa dengan Islam –
yang menyimpan dan mengembangkan khazanah Yunani – dalam Perang Salib menimbulkan
Renaissance. Salah seorang pemikir Renaissance yang menarik kembali minat orang pada
retorika adalah Peter Ramus. Ia membagi retorika pada dua bagian. Inventio dan dispositio
dimasukkannya sebagai bagian logika. Sedangkan retorika hanyalah berkenaan dengan
elocutio dan pronuntiatio saja. Taksonomi Ramus berlangsung selama beberapa generasi.
Renaissance mengantarkan kita kepada retorika modern. Yang membangun jembatan,
menghubungkan Renaissance dengan retorika modern adalah Roger Bacon (1214-1219). Ia
bukan saja memperkenalkan metode eksperimental, tetapi juga pentingnya pengetahuan
tentang proses psikologis dalam studi retorika. Ia menyatakan, “… kewajiban retorika ialah
menggunakan rasio dan imajinasi untuk menggerakkan kemauan secara lebih baik”. Rasio,
imajinasi, kemauan adalah fakultas-fakultas psikologis yang kelak menjadi kajian utama ahli
retorika modern.
Aliran pertama retorika dalam masa modern, yang menekankan proses psikologis, dikenal
sebagai aliran epistemologis. Epistemologi membahas “teori pengetahuan”; asal-usul, sifat,
metode, dan batas-batas pengetahuan manusia. Para pemikir epistemologis berusaha
mengkaji retorika klasik dalam sorotan perkembangan psikologi kognitif (yakni, yang
membahas proses mental).
George Campbell (1719-1796), dalam bukunya The Philosophy of Rhetoric, menelaah tulisan
Aristoteles, Cicero, dan Quintillianus dengan pendekatan psikologi fakultas (bukan fakultas
psikologi). Psikologi fakultas berusaha menjelaskan sebab-musabab perilaku manusia pada
empat fakultas – atau kemampuan jiwa manusia: pemahaman, memori, imajinasi, perasaan,
dan kemauan. Retorika, menurut definisi Campbell, haruslah diarahkan kepada upaya
“mencerahkan pemahaman, menyenangkan imajinasi, menggerakkan perasaan, dan
mempengaruhi kemauan”.
Richard Whately mengembangkan retorika yang dirintis Campbell. Ia mendasarkan teori
retorikanya juga pada psikologi fakultas. Hanya saja ia menekankan argumentasi sebagai
fokus retorika. Retorika harus mengajarkan bagaimana mencari argumentasi yang tepat dan
mengorganisasikannya secara baik. Baik Whately maupun Campbell menekankan pentingnya
menelaah proses berpikir khalayak. Karena itu, retorika yang berorientasi pada khalayak
(audience-centered) berutang budi pada kaum epistemologis – aliran pertama retorika
modern.
Aliran retorika modern kedua dikenal sebagai gerakan belles lettres (Bahasa Prancis: tulisan
yang indah). Retorika belletris sangat mengutamakan keindahan bahasa, segi-segi estetis
pesan, kadang-kadang dengan mengabaikan segi informatifnya. Hugh Blair (1718-1800) me-
nulis Lectures on Rhetoric and Belles Lettres. Di sini ia menjelaskan hubungan antara
retorika, sastra, dan kritik. Ia memperkenalkan fakultas citarasa (taste), yaitu kemampuan
untuk memperoleh kenikmatan dari pertemuan dengan apa pun yang indah. Karena memiliki
fakultas citarasa, Anda senang mendengarkan musik yang indah, membaca tulisan yang
indah, melihat pemandangan yang indah, atau mencamkan pidato yang indah. Citarasa, kata
Blair, mencapai kesempurnaan ketika kenikmatan inderawi dipadukan dengan rasio – ketika
rasio dapat menjelaskan sumber-sumber kenikmatan.
Aliran pertama (epistemologi) dan kedua (belles lettres) terutama memusatkan perhatian
mereka pada persiapan pidato – pada penyusunan pesan dan penggunaan bahasa. Aliran
ketiga – disebut gerakan elokusionis – justru menekankan teknik penyampaian pidato. Gilbert
Austin, misalnya memberikan petunjuk praktis penyampaian pidato, “Pembicara tidak boleh
melihat melantur. Ia harus mengarahkan matanya langsung kepada pendengar, dan menjaga
ketenangannya. Ia tidak boleh segera melepaskan seluruh suaranya, tetapi mulailah dengan
nada yang paling rendah, dan mengeluarkan suaranya sedikit saja; jika ia ingin mendiamkan
gumaman orang dan mencengkeram perhatian mereka”. James Burgh, misal yang lain,
menjelaskan 71 emosi dan cara mengungkapkannya.
Dalam perkembangan, gerakan elokusionis dikritik karena perhatian – dan kesetiaan – yang
berlebihan pada teknik. Ketika mengikuti kaum elokusionis, pembicara tidak lagi berbicara
dan bergerak secara spontan. Gerakannya menjadi artifisial. Walaupun begitu, kaum
elokusionis telah berjaya dalam melakukan penelitian empiris sebelum merumuskan “resep-
resep” penyampaian pidato. Retorika kini tidak lagi ilmu berdasarkan semata-mata “otak-atik
otak” atau hasil perenungan rasional saja. Retorika, seperti disiplin yang lain, dirumuskan
dari hasil penelitian empiris.
Pada abad kedua puluh, retorika mengambil manfaat dari perkembangan ilmu pengetahuan
modern – khususnya ilmu-ilmu perilaku seperti psikologi dan sosiologi. Istilah retorika pun
mulai digeser oleh speech, speech communication, atau oral communication, atau public
speaking. Di bawah ini diperkenalkan sebagian dari tokoh-tokoh retorika mutakhir:
1. James A Winans
Ia adalah perintis penggunaan psikologi modern dalam pidatonya. Bukunya, Public Speaking,
terbit tahun 1917 mempergunakan teori psikologi dari William James dan E.B. Tichener.
Sesuai dengan teori James bahwa tindakan ditentukan oleh perhatian, Winans, men-
definisikan persuasi sebagai “proses menumbuhkan perhatian yang memadai baik dan tidak
terbagi terhadap proposisi-proposisi”. Ia menerangkan pentingnya membangkitkan emosi
melalui motif-motif psikologis seperti kepentingan pribadi, kewajiban sosial dan kewajiban
agama. Cara berpidato yang bersifat percakapan (conversation) dan teknik-teknik
penyampaian pidato merupakan pembahasan yang amat berharga. Winans adalah pendiri
Speech Communication Association of America (1950).
2. Charles Henry Woolbert
Ia pun termasuk pendiri the Speech Communication Association of America. Kali ini
psikologi yang amat mempengaruhinya adalah behaviorisme dari John B. Watson. Tidak
heran kalau Woolbert memandang “Speech Communication” sebagai ilmu tingkah laku.
Baginya, proses penyusunan pidato adalah kegiatan seluruh organisme. Pidato merupakan
ungkapan kepribadian. Logika adalah dasar utama persuasi. Dalam penyusunan persiapan
pidato, menurut Woolbert harus diperhatikan hal-hal berikut: (1) teliti tujuannya, (2) ketahui
khalayak dan situasinya, (3) tentukan proposisi yang cocok dengan khalayak dan situasi
tersebut, (4) pilih kalimat-kalimat yang dipertalikan secara logis. Bukunya yang terkenal
adalah The Fundamental of Speech.
3. William Noorwood Brigance
Berbeda dengan Woolbert yang menitikberatkan logika, Brigance menekankan faktor
keinginan (desire) sebagai dasar persuasi. “Keyakinan”, ujar Brigance, “jarang merupakan
hasil pemikiran. Kita cenderung mempercayai apa yang membangkitkan keinginan kita,
ketakutan kita dan emosi kita”. Persuasi meliputi empat unsur: (1) rebut perhatian pendengar,
(2) usahakan pendengar untuk mempercayai kemampuan dan karakter Anda, (3) dasarkanlah
pemikiran pada keinginan, dan (4) kembangkan setiap gagasan sesuai dengan sikap
pendengar.
4. Alan H. Monroe
Bukunya, Principles and Types of Speech, banyak kita pergunakan dalam buku ini. Dimulai
pada pertengahan tahun 20-an Monroe beserta stafnya meneliti proses motivasi (motivating
process). Jasa, Monroe yang terbesar adalah cara organisasi pesan. Menurut Monroe, pesan
harus disusun berdasarkan proses berpikir manusia yang disebutnya motivated sequence.
Beberapa sarjana retorika modern lainnya yang patut kita sebut antara lain A.E. Philips
(Effective Speaking, 1908), Brembeck dan Howell (Persuasion: A Means of Social Control,
1952), R.T. Oliver (Psychology of Persuasive Speech, 1942). Di Jerman, selain tokoh
“notorious” Hitler, dengan bukunya Mein Kampf, maka Naumann (Die Kunst der Rede,
1941), Dessoir (Die Rede als Kunst, 1984) dan Damachke (Volkstumliche Redekunst, 1918)
adalah pelopor retorika modern juga.
Dewasa ini retorika sebagai public speaking, oral communication, atau speech
communication -diajarkan dan diteliti secara ilmiah di lingkungan akademis. Pada waktu
mendatang, ilmu ini tampaknya akan diberikan juga pada mahasiswa-mahasiswa di luar ilmu
sosial. Dr. Charles Hurst mengadakan penelitian tentang pengaruh speech courses terhadap
prestasi akademis mahasiswa. Hasilnya membuktikan bahwa pengaruh itu cukup berarti.
Mahasiswa yang memperoleh pelajaran speech (speech group) mendapat skor yang lebih
tinggi dalam tes belajar dan berpikir, lebih terampil dalam studi dan lebih baik dalam hasil
akademisnya dibanding dengan mahasiswa yang tidak memperoleh ajaran itu.
Hurst menyimpulkan:
Data penelitian ini menunjukkan dengan jelas bahwa kuliah speech tingkat dasar adalah agen
synthesa, yang memberikan dasar skematis bagi mahasiswa untuk berpikir lebih teratur dan
memperoleh penguasaan yang lebih baik terhadap aneka fenomena yang membentuk
kepribadian.
Penelitian ini menjadi penting bagi kita, bukan karena dilengkapi dengan data statistik yang
meyakinkan atau karena berhasil memberikan gelar doktor bagi Hurst, tetapi karena erat
kaitannya dengan prospek retorika di masa depan.
DEFINISI PIDATO
Pidato ialah suatu ucapan dengan memperhatikan susunan kata yang baik untuk disampaikan
kepada orang banyak.
Sedangkan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pidato didefinisikan sebagai (1)
Pengungkapan pikiran dalam bentuk kata-kata yang ditujukan kepada orang banyak; (2)
Wacana yang disiapkan untuk diucapkan di depan khalayak.
Contoh pidato yaitu seperti pidato kenegaraan, pidato menyambut hari besar, pidato
pembangkit semangat, pidato sambutan acara atau event, pidato pelepasan siswa, pidato
memperingati hari Kartini, dan lain sebagainya.
MACAM-MACAM/JENIS/SIFAT PIDATO
Ditinjau berdasarkan pada sifat dari isi pidato, pidato dapat dibedakan menjadi:
1. Pidato Pembukaan, adalah pidato singkat yang dibawakan oleh pembaca acara atau MC.
2. Pidato Pengarahan adalah pidato untuk mengarahkan pada suatu pertemuan.
3. Pidato Sambutan, yaitu merupakan pidato yang disampaikan pada suatu acara kegiatan
atau peristiwa tertentu yang dapat dilakukan oleh beberapa orang dengan waktu yang terbatas
secara bergantian.
4. Pidato Peresmian, adalah pidato yang dilakukan oleh orang yang berpengaruh untuk
meresmikan sesuatu.
5. Pidato Laporan, yakni pidato yang isinya adalah melaporkan suatu tugas atau kegiatan.
6. Pidato Pertanggungjawaban, adalah pidato yang berisi suatu laporan pertanggungjawaban.
TUJUAN PIDATO
Pidato yang baik dapat memberikan suatu kesan positif bagi orang-orang yang mendengar
pidato tersebut. Umumnya, kegiatan berpidato memiliki tujuan sebagai berikut.
1. Memberikan informasi
Memberikan sebuah pemahaman baru, mengingatkan, atau memberikan informasi kepada
khalayak ramai.
2. Persuasif atau mengajak
Mempengaruhi khalayak ramai agar dengan senang hati mengikuti apa yang kita harapkan
dan apa yang kita sampaikan.
3. Hiburan atau rekreasi
Menyenangkan pihak audiens dengan pidato yang kita bawakan sehingga tecapai kepuasan
dan kesenangan terhadap apa yang kita sampaikan.
METODE BERPIDATO
Di dalam kegiatan berpidato, dikenal empat macam metode berpidato. Metode berpidato
tersebut antara lain:
1. Metode Impromptu
ialah metode berpidato yang dilakukan secara spontanitas, serta merta tanpa adanya persiapan
terlebih dahulu. Metode ini sering disebut juga dengan metode spontanitas.
2. Metode Memoriter
yaitu metode berpidato yang dilakukan dengan cara pembicara menyampaikan isi naskah
pidato yang telah dihafalkan terlebih dahulu. Metode ini lebih dikenal dengan metode
menghafal.
3. Metode Naskah
yakni metode berpidato dengan cara pembicara membaca teks/naskah pidato yang telah
dipersiapkan.
4. Metode Ekstemporan
adalah metode berpidato dengan terlebih dahulu membuat catatan kecil atau menyiapkan
garis-garis bersar konsep pidato yang akan disampaikan.
Dari keempat metode berpidato tersebut, yang paling populer digunakan adalah metode
terakhir.
Kelebihan metode ekstemporan antara lain membuat pidato lebih runtut dan sistematis,
menghindari pengulangan bahasan yang telah disampaiakn di awal, serta menghindari
ketertinggalan poin-poin penting karena faktor lalai atau lupa sehingga tidak sempat
disampaian.
Agar pidato Anda dapat menarik minat dan perhatian pendengar, perlu diperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
1. Kemukakan fakta dengan jelas.
2. Gunakan bahasa Indonesia yang baik sehingga mampu membangkitkan minat pendengar
terhadap masalah yang kita sampaikan.
3. Berbicara secara wajar dan terbuka,
4. Sajikan materi dengan lafal dan intonasi yang tepat.
5. Gunakan mimik dan gerak-gerik secara wajar.

LANGKAH-LANGKAH MENYUSUN PIDATO


Adapun langkah-langkah yang bisa ditempuh untuk menyusun naskah pidato adalah:
1. Menentukan topik pembicaraan
Ingat! Pemilihan topik jauh sebelum kegiatan pembicaraan akan sangat membantu pembicara
menguasai materi, mencari materi pendukung, menambah ilustrasi, dan menyertakan bukti
sebagai penguat alasan.
Topik hendaknya dipersempit sehingga tema pembiacaan tidak meluas. Hal tersebut akan
memberikan efek lebih detil dan pembahasan yang mendalam.
2. Menetapkan tujuan
Seperti yang telah dibahas di atas, tujuan dari pidato dibedakan menjadi tiga macam.
Tetapkan tujuan dari pidato kita, memberi informasi, mempengaruhi, atau sekadar sebagai
hiburan.
NB: Di dalam memilih topik dan tujuan, hendaknya disesuaikan dengan kemampuan diri,
mempunyai arti/kegunaan bagi pendengar dan lain-lain.
3. Menyusun kerangka pidato
Kerangka di dalam pidato terdiri dari pembukaan, isi, dan penutup.
4. Menyusun teks pidato
Dalam tapah ini, buatlah naskah pidato sedalam mungkin berdasarkan bahan-bahan referensi
yang telah dikumpulklan sebelumnya. Buatlah pembahasan secara runtut dan sistematis.
5. Menyunting teks pidato
Di dalam tahap akhir ini, naskah drama yang telah selesai sebaiknya anda sunting lagi. Hal
tersebut dimaksudkan agar penggunaan bahasa yang kasar, yang tidak sesuai, atau kurang
komunikatif dapat diedit atau diperbaiki. Anda juga bisa meminta salah satu teman anda
untuk membacanya dan memberikan tanggapan atau kritikan atas naskah pidato yang anda
buat.

Jenis-jenis Pidato
1.jenis pidato dari segi tujuan
Jenis-jenis pidato juga dapat diidentifikasi berdasarkan tujuan pokok pidato yang
disampaikan. Berdasarkan tujuannya, kita mengenal jenis-jenis pidato:
Pidato informatif adalah pidato yang tujuan utamanya untuk menyampaikan informasi agar
orang menjadi tahu tentang sesuatu. Pidato pesuasif adalah pidato yang tujuan utamanya
membujuk atau mempengaruhi orang lain agar mau menerima ajakan kita secara sukarela
bukan sukar rela.Pidato rekreatif adalah pidato yang tujuan utamanya adalah menyenangkan
atau menghibur orang lain. Namun demikian, perlu disadari bahwa dalam kenyataannya
ketiga jenis pidato ini tidak dapat berdiri sendiri, melainkan saling melengkapi satu sama lain.
Perbedaan di antara ketiganya semata-mata hanya terletak pada titik berat (emphasis) tujuan
pokok pidato.Pidato Aksi, adalah pidato bertujuan menggerakkan dengan sasaran
mempersamakan visi (Tarigan, 1997: 22-23).5
2.jenis pidato dari segi persiapan
Sesuai dengan cara yang dilakukan waktu persiapan, pidato jenis ini bisa dibagi menjdi empat
macam, yaitu;
1.impromtu
2.manuskrip
3.memoriter
4.ekstempore
Impromtu. Bila anda menghadiri sebuah acara kumpulan yang diadakan keluarga besar
anda, ketika itu anda baru saja datang dari berpergian jauh ataupun anda baru saja
menyelesaikan kuliah anda, maka biasanya tanpa terlebih dahulu memberi tahu kepada anda.
Biasanya anda disuruh menyampaikan pidato, pidato yang anda lakukan adalah pidato
impromtu. Pidato seperti ini tidak didahului dengan persiapan yang panjang.
Bagi seorang juru pidato yang sudah berpengalaman, impromtu memiliki beberapa
keuntungan, yaitu;
1.impromtu lebih dapat mengungkapkan perasaan pembicara yang sebenarnya, karena
pembicara tidak terlebih dahulu memilkirkan pendapat yang disampaikan,
2.gagasan dan pendapatnya datang secara spontan, sehingga tampak segar dan hidup,
3.impromtu memungkinkan anda terus berpikir.
Disamping itu, impromtu memiliki kerugian yang dapat melenyapkan keuntungan-
keuntungan di atas, lebih lebih bagi pembicara yang masih hijau, yaitu;
1.impromtu dapat menimbulkan kesimpulan yang mentah, karena dasar pengetahuan yang
tidak memadai;
2.impromtu mengakibatkan penyampaian yang tersendat-sendatdan tidak lancar;
3.gagasan yang disampaikan bisa acak-acakan dan ngawur;
4.karena tidak ada persiapan kemungkina bisa demam panggung.
Impromtu sebaiknya dihindari, tetapi apabila terpaksa hal-hal berikut dapat dijakan pegangan
1.pikirkanlah telebih dahulu teknik permulaan pidato yang baik. Misalnya: cerita, hubungan
dengan pidato yang sebelumnya, bandingkan, ilusrasi.
2.Tentukan sistem organisasi pesan. Misalnya; susunan kronologis, teknik (pemecahan soal),
kerangka sosial ekonomi-politik, hubungan teori dan praktek.
3.Pikirkan teknik menutup pidato yang mengesankan. Kesukaran menutup pidato biasanya
merepotkan pembicara impromtu.
Manuskrip. Ini biasa disebut juga pidato dengan naskah. Juru pidato membacakan naskah
pidato dari awal samapi akhir. Manuskrip diperlukan oleh tokoh nasional, sebab kesalahan
kata saja dapat menimbulkan kekacauan dan berakibat jelek bagi pembicara. Manuskrip juga
juga dilakukan oleh ilmuan yang melaporkan hasil penelitiannya dalam pertemuan ilmiah.
Pidato manuskrip tentu saja bukan jenis pidato yang baik walaupun memiliki keuntungan-
keuntungan sebagai berikut;
1.kata-kata dipilih sebaik-baiknya sehingga dapat menyampaikan arti yang tepat dan
pernyataan yang gamblang;
2.pernyataan dapat dihemat, karena manuskrip dapat disusun kembali;
3.kepasihan bicara dapat dicapai, karena kata-kata sudah disiapkan;
4.hal-hal yang ngawur atau menyimpang dapat dihindari;
5.manuskrip dapat diterbitkan atau diperbanyak.
Ditinjau dari proses komunikasi kerugiannya cukup berat, yaitu;
1.komunikasi pendengar akan berkurang karena pembicara tidak langsiung berbicara kepada
mereka
2.pembicara tidak tidak dapat melihat pendengar dengan baik sehingga akan kehilangan
gerak dan bersikap kaku
3.umpan balik dari pendengar tidak dapat mengubah, memperpendek, atau memperpanjang
pesan
4.pembuatannya lebih lama dan hanya menyiapakan garis-garis besarnya
untuk mengurangi kekurangan-kekurangan diatas, beberapa petunjuk dapat diterapkan dalam
penyusunan dan penyampaian manuskrip:
1.susunlah terlebih dahulu garis-garis besarnya dan siapkan bahan-bahannya
2.tulislah manuskrip seakan-akan anda berbicara. Gunakan gaya percakapan yang lebih
informal dan langsung
3.baca naskah itu berkali-kali sambil membayangkan pendengar
4.siapkan manuskrip dengan ketikan besar, tida spasi dan batas pinggir yang luas
Memoriter.8 Pesan pidato ditulis kemudian dinggat kata demi kata. Seperti manuskrip,
memoriter memungkinkan ungkapan yang tepat, organisasi yang berencana, pemilihan
bahasa yang teliti, gerak dan isyarat yang diintegrasikan dengan uraian. Tetapi karena pesan
sudah tetap, maka tidak terjalin saling hubungan antara pesan dengan pendengar, kurang
langsung, memerlukan banyak waktu dan persiapan, kurang spontan, perhatian beralih
kepada kata-kata kepada usaha mengingat-ingat. Bahaya terbesar bila timbul satu kata atau
lebih hilang dari ingatan.
Ekstempore adalah jenis pidato yang paling baik dan yang paling sering dilakukan oleh juru
pidato yang mahir9. Pidato sudah dipersiapkan sebelumnya berupa (out line) garis besarnya
dan pokok-pokok penunjang pembahasan. Tetapi pembicara tidak berusaha mengingatnya
kata demi kata. Out line itu hanya pedoman untuk mengatur gagasan yang ada dalam pikiran
kita.
Keuntungan ekstempore adalah komunikasi pendengar dengan pembicara lebih baik karena
langsung kepada halayak, pesan dapat pleksibel untuk diubah sesuai dengan kebutuhan dan
penyajiannya lebih spontan.
Bagi pembicara yang belum ahli, kerugian-kerugian yang dapat tinbul;
1.persiapan kurang baik bila terburu-buru
2.pemilihan bahasa yang jelek
3.kepasihan yang terhambat karena kesukaran memilih kata dengan segera
4.kemungkina menyimpang dari out line
5.tidak dapat dijadikan penerbitan
Posted by Alhikmatu Khoirudin at 11:36 PM
Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to FacebookShare to Pinterest
Retorika,Monologika dan Dialogika

A. Retorika
1. Pengertian Retorika
Secara etimologis, retorika berasal dari bahasa Yunani, “rhetrike” yang berarti seni kemampuan
berbicara yang dimiliki seseorang. Aristoteles dalam bukunya “Rhetoric” mengemukakan pengertian
retorika, yaitu kemampuan untuk memilih dan menggunakan bahasa dalam situasi tertentu secara
efektif untuk mempersuasi orang lain. Sedangkan menurut Gorys Keraf, retorika adalah suatu istilah
secara tradisional yang diberikan pada suatu teknik pemakaian bahasa sebagai seni yang didasarkan
pada suatu pengetahuan yang tersusun baik. Menurut P. Dori Wuwur Hendrikus, retorika adalah
kesenian untuk berbicara baik yang digunakan dalam proses komunikasi antarmanusia.

Retorika berarti kesenian untuk berbicara dengan baik (kunst, gut zu reden atau ars bene dicendi),
yang dicapai berdasarkan bakat alam (talenta) dan keterampilan teknis (ars, techne). Kesenian
berbicara ini bukan hanya berarti berbicara lancar tanpa pikiran yang jelas dan tanpa isi, melainkan
suatu kemampuan untuk berbicara dan berpidato secara singkat, jelas, padat, dan mengesankan.
Retorika modern mencakup ingatan yang kuat, daya kreasi dan fantasi yang tinggi, teknik
pengungkapan yang tepat dan daya pembuktian serta penilaian yang tepat. Retorika modern adalah
gabungan yang serasi antara pengetahuan, pikiran, kesenian dan kesanggupan berbicara. Dalam
bahasa populer, retorika berarti pada tempat yang tepat, pada waktu yang tepat, atas cara yang
lebih efektif, mengucapkan kata-kata yang tepat, benar dan mengesankan.

Keterampilan dan kesanggupan untuk menguasai seni berbicara dapat dengan mencontoh para
rektor yang terkenal (imitatio), dengan mempelajari dan mempergunakan hukum-hukum retorika
(doctrina), dan dengan melakukan latihan yang teratur (exercitium). Dalam seni berbicara juga
dituntut penguasaan bahan (res) dan pengungkapan yang tepat melalui bahasa (verba).

B. Monologika
1.Pengertian Monologika
Monologika adalah ilmu tentang seni berbicara secara monolog. Dalam monologika hanya satu
orang yang berbicara kepada seorang lain atau kepada sekelompok orang. Komunikasi dalam proses
berpidato lebih bersifat satu arah, sebab hanya seorang yang berbicara, sedangkan yang lain
mendengar. Bentuk-bentuk yang tergolong dalam monologika adalah pidato dan ceramah

 Pidato
Pidato adalah sebuah kegiatan berbicara di depan umum atau berorasi untuk menyatakan
pendapatnya, atau memberikan gambaran tentang suatu hal.
 Ceramah
Ceramah adalah pidato yang bertujuan memberikan nasehat dan petunjuk-petunjuk sementara ada
audiensi yang bertindah sebagai pendengar. Ceramah dapat dilaksanakan kapan saja, tidak ada
rukun dan syaratnya, tidak ada mimbar tempat khusus pada pelaksaannya, waktu tidak dibatasi dan
siapapun boleh berdakwah, dapat dilakukan dengan cara kreatif dan inovatif

C. Dialogika
1.Pengertian Dialogika
Dialogika adalah ilmu tentang seni berbicara secara dialog, dimana dua orang atau lebih berbicara
atau mengambil bagian dalam satu proses pembicaraan. Bentuk dialogika yang penting adalah
diskusi, tanya jawab, percakapan dan debat.

- Dialogika spisialis : dialog antar 3 - 4 orang/ kelompok kecil.


- Dialogika generalis : antar banyak orang/ kelompok besar.
 Diskusi
Diskusi berasal dari kata bahasa latin: discutere, yang berarti membeberkan masalah. Dalam arti
luas, diskusi berarti memberikan jawaban atas pertanyaan atau pembicaraan serius tentang suatu
masalah objektif.
 Tanya Jawab
Tanya jawab adalah proses dialog antara orang yang mencari informasi dengan orang yang
memberikan informasi. Pemberi informasi adalah seorang ahli, yang menjadi specialis dalam suatu
bidang tertentu, atau yang dianggab mengenal dan mengetahui suatu masalah secara baik. Dalam
proses komunikasi ini, sipenanya mengemukakan pertanyaan sedemikian rupa, sehingga orang yang
ditanya memberikan informasi atau jawaban. Jumlah orang yang bertanya dapat hanya satu orang
atau lebih dari satu orang, bahkan tak terbatas jumblahnya. Ada tiga bentuk tanya jawab, yaitu
interview, konferensi pers, dan tanya jawab pengadilan.
 Debat
Debat merupakan kegiatan adu argumentasi antara dua pihak atau lebih, baik secara perorangan
maupun kelompok, dalam mendiskusikan dan memutuskan masalah dan perbedaan. Secara formal,
debat banyak dilakukan dalam institusi legislatif seperti parlemen, terutama di negara-negara yang
menggunakan sistem oposisi. Dalam hal ini, debat dilakukan menuruti aturan-aturan yang jelas dan
hasil dari debat dapat dihasilkan melalui voting atau keputusan juri.

2.Sarana-Sarana Dialogika
Dibawah ini dijelaskan dua sarana yang dapat dipergunakan dalam dialogika untuk mempertinggi
efektivitas komunikasi retoris.
 Mendengarkan
Mendengar adalah sikap yang penting dalam proses dialog dan diskusi. Setiap perserta dalam diskusi
selalu berganti peranan antara berbicara dan mendengar.
a. Skema Mendengar
Skema mendengar - dilihat dari segi pendengar - dapat dirumuskan sebagai berikut:
“siapa mendengar dan mengerti, dimana, kapan, apa, bagaimana, tentang apa, mengapa, unutk
apa, dari siapa, dan berapa lama”
b. Sikap Mendengar
Mendengar yang sesungguhnya menuntut kesabaran. Oleh karena itu, konsentrasi atas kata-kata
pembicaraan itu erat hubungannya dengan mendengar secara tepat. Kata-kata yang secara akustis
terdebgar dengan tepat akan mempermudah pendengar untuk menangkap maksud pembicara.
Dalam proses mendengar, manusia diwarnai oleh sejumlah faktor seperti pendidikan, pengalaman,
pengetahuan, perhatian, relasi, dan sikap batin.
c. Seni Mendengar
Beberapa petunjuk di bawah ini dapat dijadikan pedoman dalam mendengar:
- Syarat dasar, keadaan rohani dan jasmani harus bebas, tanpa tekanan.
- Binalah sau sikap setia untuk mendengar segala pikiran pribadi dijauhkan. Perhatikanlah dan
arahkanlah konsentrasi pada pembicara.
- Perhatikan dan berikan penilaian atas analisis masalah pembicara
- Berikan penilaian atas argumentasi dan proses pembuktian pembicara
- Berikan penilaian atas tuntunan yang ditujukan kepada perasaaan pendengar
- Konsentrasikan perhatian pada bahasa pembicara
- Carilah pokok pikiran pembicara untuk menemukan maksud dan tujuannya
- Cobalah menemukan skema dari pembicaraan
- Berusahalah menilai contoh-contoh konkret yang menopang pendapatnya
- Bandingkan analisis masalah yang dikemukakan pembicara dengan pengetahuan yang anda miliki
tentang masalah yang sama
- Jangan hanya mendengar secara selektif, tetapi juga secara global, sehingga dapat menilai secara
objektif dalam arti dapat menemukan hal-hal yang bernilai atau tak bernilai, hal-hal yang cocok atau
tidak cocok dan hal-hal yang tepat atau tidak tepat.
 Taktik-Taktik Retoris
Dalam uraian berikut ini akan dijelaskan sejumlah taktik yang dapat membantu untuk mencapai
sasaran dan tujuan secara efektif dalam proses komunikasi retoris.
a. Taktik Afirmasi
- Taktik “Ya”
- Taktik Mengulang
- Taktik Sugesti
- Taktik Kebersamaan
- Taktik Kompromi
- Tampak Konsensus
b. Taktik Defensif
- Taktik Menunda
- Taktik Mengelak
- Taktik “Ya..tetapi”
- Taktik Mengangkat
- Taktik Berterima Kasih
- Taktik Merelativasi
- Taktik Menguraikan
- Taktik Membiarkan
c. Taktik Ofensif
- Taktik Antisipasi
- Taktik Mengagetkan
- Taktik Bertanya Balik
- Taktik Provokasi
- Taktik Mencakup
- Taktik Melebih-lebihkan
- Taktik Memotong
d. Taktik Negasi
- Taktik “tidak”
- Taktik Kontradiksi

D. Pembinaan Teknik Berbicara

Efektivitas monologika dan dialogika tergantung juga pada teknik bicara. Teknik bicara merupakan
syarat bagi retorika. Oleh karena itu, pembinaan teknik bicara merupakan bagian yang penting
dalam retorika. Dalam bagian ini perhatian lebih diarahkan pada pembinaan teknik bernafas, teknik
mengucap, bina suara, teknik membaca dan bercerita.

Anda mungkin juga menyukai