Anda di halaman 1dari 27

BIO OPTIK DALAM KEPERAWATAN

A. PENDAHULUAN
Sampai abad ke-4 sebelum masehi orang masih berrpendapat bahwa benda-benda di sekitar
dapat dilihat oleh karena mata mengeluarkan sinar-sinar penglihatan. Anggapan ini didukung
oleh Plato (429 – 348 ) dan Euclides (287 – 212 SM) oleh karena pada mata binatang di malam
hari tampak bersinar.
Pendapat di atas di tentang oleh Aristoteles (384 – 322 SM) karena pada kenyataan kita tidak
dapat melihat benda-benda di dalam ruang gelap. Namun demikian Aristoteles tidak dapat
memberi penjelasan mengapa mata dapat melihat benda.
Pada abad pertengahan Alhazan (965 – 1038) seorang Mesir di Iskandria berpendapat bahwa
benda di sekitar itu dapat dilihat oleh karena benda-benda tersebut memantulkan cahaya atau
memancarkan cahaya yang masuk ke dalam mata . teori ini akhirnya di terima sampai abad ke 20
ini.

B. OPTIK GEOMETRI DAN OPTIK FISIKA

1. OPTIK GEOMETRI
Berpangkal pada perjalanan cahaya dalam medium secara garis lurus, berkas-berkas cahaya di
sebut garis cahaya dan gambar secara garis lurus. Dengan cara pendekatan ini dapatlah
melukiskan ciri-ciri cermin dan lensa dalam bentuk matematika. Misalnya untuk rumus cermin
dan lensa :

f = focus = titik api


b = jarak benda
v = jarak bayangan

Hukum Willebrord Snelius (1581 -1626) :

n = indeks bias
i = sudut datang
r = sudut bias (refraksi)

2. OPTIK FISIK
Gejala cahaya seperti dispersi, interferensi dan polasisasi tidak dapat di jelaskan malui metode
optika geometri. Gejala-gejala ini hanya dapat dijelaskan dengan menghitung ciri-ciri fisik dari
cahaya tersebut.
Sir Isaac Newton (1642-1727), cahaya itu menggambarkan peristiwa cahaya sebagai sebuah
aliran dari butir-butir kecil (teori korpuskuler). Sedangkan dengan menggunakan teori kwantum
yang dipelopori Plank (1858-1947), cahaya itu terdiri atas kwanta atau foton-foton, tampaknya
agak mirip dengan teori Newton yang lama itu. Dengan menggunakan teori Max Plank dapat
menjelaskan mengapa benda itu panas apabila terkena sinar.
Thomas Young (1773-1829) dan August Fresnel (1788-1827), dapat menjelaskan bahwa cahaya
dapat melentur berinterferensi. James Clark Mexwell (1831-1879) berkebangsaan Skotlandia,
dari hasil percobaannya dapat menjelaskan bahwa cepat rambat cahaya (3 X 10 m/detik)
sehingga berkesimpulan bahwa cahaya adalah gelombang elektromagnetik.
Huygens ( 1690) menganggap cahaya itu sebagai gejala gelombang dari sebuah sumber cahaya
menjalarkan getaran-getaran ke semua jurusan. Setiap titik dari ruangan yang bergetar olehnya
dapat dianggap sebagai sebuah pusat gelombang baru. Inilah prinsip dari Huygens yang belum
bisa menjelaskan perjalanan cahaya dari satu medium ke medium lainnya.
Dari hasil percobaan Einstein (1879-1955) dimana logam di sinari dengan cahaya akan
memancarkan electron (gejala foto listrik). Hal ini dapat disimpulkan bahwa cahaya memiliki
sifat fartikel dan gelombang magnetic.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa cahaya mempunyai sifat materi (partikel) dan sifat
gelombang.

C. HUBUNGAN ANTARA ENDEKS BIAS DAN KECEPATAN RAMBAT


Indeks bias dari suatu benda didefinisikan sebagai :
n
i = sudut datang
r = sudut bias
ini dapat pula didefinisikan sebagai berikut : kecepatan rambat cahaya dalam ruang hampa
dibandingkan dengan kecepatan rambat cahaya dalam medium. Dengan demikian bila cepat
rambat cahaya di dalam ruang hampa C dan di dalam medium C maka :

D. LENSA
Berdasarkan bentuk permukaan lensa maka lensa dapat dibagi menjadi dua :
 Lensa yang mempunyai permukaan sferis
 Lensa yang mempunyai permukaan silindris.
Permukaan sferis ada dua macam pula yaitu :
 Lensa konvergen / konveks
Yaitu sinar sejajar yang menembus lensa akan berkumpul menjadi bayangan nyata, juga di sebut
lensa positif atau lensa cembung.
 Lensa divergen / konkaf
Yaitu sinar yang sejajar yang menembus lensa akan menyebar , lensa ini disebut lensa negatif
atau lensa cekung.
Lensa yang mempunyai permukaan silindris disebut lensa silindris. Lensa ini mempunyai focus
yang positif dan ada pula mempunyai focus negatif.

KESESATAN LENSA
Berdasarkan persamaan yang berkaitan dengan jarak benda, jarak bayangan , jarak focus, radius
kelengkungan lensa seerta sinar-sinar yang dating paraksial akan kemungkinan adanya kesesatan
lensa (aberasi lensa). Aberasi ini ada bermacam-macam :
a. Aberasi sferis ( disebabkan oleh kecembungan lensa).
Sinar-sinar paraksial / sinar-sinar dari pinggir lensa membentuk bayangan di P’. aberasi ini dapat
dihilangkan dengan mempergunakan diafragma yang diletakkan di depan lensa atau dengan
lensa gabungan aplanatis yang terdiri dari dua lensa yang jenis kacanya berlainan.
b. Koma
Aberasi ini terjadi akibat tidak sanggupnya lensa membentuk bayangan dari sinar di tengah-
tengah dan sinar tepi. Berbeda dengan aberasi sferis pada aberasi koma sebuah titik benda akan
terbentuk bayangan seperti bintang berekor, gejala koma ini tidak dapat diperbaiki dengan
diafragma.
c. Astigmatisma
Merupakan suatu sesatan lensa yang disebabkan oleh titik benda membentuk sudut besar dengan
sumbu sehingga bayangan yang terbentuk ada dua yaitu primer dan sekunder. Apabila sudut
antara sumbu dengan titik benda relatif kecil maka kemungkinan besar akan berbentuk koma.
d. Kelengkungan medan
Bayangan yang dibentuk oleh lensa pada layer letaknya tidak dalam satu bidang datar melainkan
pada bidang lengkung. Peristiwa ini disebut lengkungan medan atau lengkungan bidang
bayangan.
e. Distorsi
Distorsi atau gejala terbentuknya bayangan palsu. Terjadinya bayangan palsu ini oleh karena di
depan atau di belakang lensa diletakkan diafragma atau cela. Benda berbentuk kisi akan tampak
bayangan berbentuk tong atau berbentuk bantal. Gejala distorsi ini dapat dihilangkan dengan
memasang sebuah cela di antara dua buah lensa.
f. Aberasi kromatis
Prinsip dasar terjadinya aberasi kromatis oleh karena focus lensa berbeda-beda untuk tiap-tiap
warna. Akibatnya bayangan yang terbentuk akan tampak berbagai jarak dari lensa.
Ada dua macam aberasi kromatis yaitu :
 Aberasi kromatis aksial/longitudinal : perubahan jarak bayangan sesuai dengan indeks bias.
 Aberasi kromatis lateral : perubahan aberasi dalam ukuran bayangan.
Untuk menghilangkan terjadinya aberasi kromatis dipakai lensa flinta dan kaca krown; lensa
kembar ini disebut “ Achromatic double lens”.

E. MATA
Banyak pengetahuan yang kita peroleh melalui suatu penglihatan. Untuk membedakan gelap atau
terang tergantung atas penglihatan seseorang.
Ada tiga komponen pada penginderaan penglihatan :
 Mata memfokuskan bayangan pada retina
 System syaraf mata yang memberi informasi ke otak
 Korteks penglihatan salah satu bagian yang menganalisa penglihatan tersebut.

1. ALAT OPTIK MATA


Bagian-bagian pada mata terdiri dari :
 Retina
Terdapat ros batang dank ones/kerucut, fungsi rod untuk melihat pada malam hari sedangkan
kone untuk melihat siang hari. Dari retina ini akan dilanjutkan ke saraf optikus.
 Fovea sentralis
Daerah cekung yang berukuran 0,25 mm di tengah-tengahnya terdapat macula lutea (bintik
kuning).
 Kornea dan lensa
Kornea merupakan lapisan mata paling depan dan berfungsi memfokuskan benda dengan cara
refraksi, tebalnya 0,5 mm sedangkan lensa terdiri dari kristal mempunyai dua permukaan dengan
jari-jari kelengkungan 7,8 m fungsinya adalah memfokuskan objek pada berbagai jarak.
 Pupil
Di tengah-tengah iris terdapat pupil yang fungsinya mengatur cahaya yang masuk. Apabila
cahaya terang pupil menguncup demikian sebaliknya.

Sistem optic mata serupa dengan kamera TV bahkan lebih mahal oleh karena :
a. Mata bisa mengamati objek dengan sudut yang sangat besar
b. Tiap mata mempunyai kelopak mata dan ada cairan lubrikasi
c. Dalam satu detik dapat memfokuskan objek berjarak 20 cm
d. Mata sangat efektif pada intensitas cahaya 10 : 1
e. Diafragma mata di atur secara otomatis oleh iris
f. Kornea terdiri dari sel-sel hidup namun tidak mendapat vaskularisasi
g. Tekanan bola mata diatur secara otomatis sehingga mencapai 20 mmHg
h. Tiap mata dilindungi oleh tulang
i. Bayangan yang terbentuk oleh mata akan diteruskan ke otak
j. Bola mata dilengkapi dengan otot-otot mata yang mengatur gerakan bola mata (m=muskulus =
otot).
 M. rektus medialis = menarik bola mata ke dalam
 M. rektus lateralis = menarik bola mata ke samping
 M. rektus superior = menarik bola mata ke atas
 M. rektus inferior = menarik bola mata ke bawah
 M. obligus inferior = memutar ke samping atas
 M. obligus superior = memutar ke samping dalam.
Kelumpuhan salah satu otot mata akan timbul gejala yang disebut strabismus (mata juling). Ada
tiga macam strabismus yaitu strabismus horizontal, vertical dan torsional.

2. DAYA AKOMODASI
Dalam hal memfokuskan objek pada retina, lensa mata memegang peranan penting. Kornea
mempunyai fungsi memfokuskan objek secara tetap demikian pula bola mata (diameter bola
mata 20 – 23 mm). kemampuan lensa mata untuk memfokuskan objek di sebut daya akomodasi.
Selama mata melihat jauh, tidak terjadi akomodasi. Makin dekat benda yang dilihat semakin kuat
mata / lensa berakomodasi. Daya akomodasi ini tergantung kepada umur. Usia makin tua daya
akomodasi semakin menurun. Hal ini disebabkan kekenyalan lensa/elastisitas lensa semakin
berkurang.

Jarak terdekat dari benda agar masih dapat dilihat dengan jelas dikatakan benda terletak pada
“titik dekat” punktum proksimum. Jarak punktum proksimum terhadap mata dinyatakan P
(dalam meter) maka disebut Ap (akisal proksimum); pada saat ini mata berakomodasi sekuat-
kuatnya (mata berakomodasi maksimum). Jarak terjauh bagi benda agar masih dapat dilihat
dengan jelas dikatakan benda terletak pada titik jauh/punktum remotum. Jarak punktum remotum
terhadap mata dinyatakan r (dalam meter) maka disebut Ar (Aksial Proksimum); pada saat ini
mata tidak berakomodasi/lepas akomodasi.
Selisih A dengan Ar disebut lebar akomodasi, dapat dinyatakan :
A = lebar akomodasi yaitu perbedaan antara akomodasi maksimal dengan lepas akomodasi
maksimal.
Secara empiris A = 0,0028 (80 th – L) dioptri
L = umur dalam tahun
Bertambah jauhnya titik dekat akibat umur disebut mata presbiop. Presbyop ini bukan
merupakan cacat penglihatan. Ada satu dari sekian jumlah orang tidak mempunyai lensa mata .
Mata demikian disebut mata afasia.

3. PENYIMPANGAN PENGLIHATAN
Mata yang mempunyai titik jauh/punktum remotum terhingga akan memberi bayangan benda
secara tajam pada selaput retina. Dikatakan mata emetropia. Sedangkan mata yang mempunyai
titik jauh yang bukan tak terhingga , mata demikian disebut mata ametropia.
Mata emetropia mempunyai punktum proksimum sekitar 25 cm, disebut mata normal.
Sedangkan mata emetropia yang mempunyai punktum proksimum lebih dari 25 cm di sebut mata
presbiopia.
Mata ametropia mempunyai dua bentuk :
 Myopia (penglihatan dekat)
 Hipermetropia(penglihatan jauh)

MIOPIA
Mata ametropia yang mempunyai P dan r terlalu kecil di sebut mata myopia. Mata myopia ini
bentuk mata terlalu lonjong maka benda berjauhan tak terhingga akan tergambar tajam di depan
retina. Mata seperti ini dapat melihat tajam benda pada titik dekat tanpa akomodasi. Dengan
akomodasi kuat akan terlihat benda yang lebih dekat lagi.

HIPERMETROPIA
Mata ametropia yang mempunyai P dan r terlalu besar dikatakan hipermetropia. Kalau
diperhatikan bola mata hipermetropia maka akan terlihat bola mata yang agak gepeng dari
normal. Mata yang demikian itu tanpa akomodasi bayangan tak terhingga akan terletak di
belakang retina, tetapi kadang kala dengan akomodasi akan terlihat benda-benda yang jauh tak
terhingga secara tajam bahkan dapat melihat benda-benda berada dekat di depan mata.
Baik myopia maupun hipermetropia kelainannya terletak pada poros yang di sebut ametropia
poros.
Selain myopia dan hipermetropia, ada salah satu kelainan pada lensa mata yaitu astigmatisma.
Astigmatisma terjadi apabila salah satu komponen system lensa menjadi bentuk telur daripada
sferis. Tambahan pula kornea atau lensa kristaline menjadi memanjang ke salah satu arah.
Dengan demikian radius kurvatura menjadi lebih besar pada arah memanjang. Sebagai
konsekwensi berkas cahaya yang masuk lewat kurvatura yang panjang akan difokuskan
dibelakang retina sedangkan berkas cahaya yang masuk lewat kurvatura yang pendek difokuskan
di depan retina. Dengan perkataan lain mata tersebut mempunyai pandangan jauh terhadap
beberapa berkas cahaya dan berpandangan dekat terhadap sisa cahaya. Dengan demikian mata
seseorang yang menderita astigmatisma tidak dapat memfokuskan setiap objek dengan jelas.

4. TEHNIK KOREKSI
Setelah melalui pemeriksaan dokter mata dengan seksama maka ditentukan apakah penderita
menderita presbiopia, hipermetropia, myopia, astigmatisma atau campuran (presbiopia dan
myopia).
a. Mata presbiopia
Pada mata presbiopia tidak ada masalah untuk melihat jauh. Yang menjadi masalah adalah
melihat dekat, untuk itu penderita dianjurkan memakai kacamata positif.
b. Mata hipermetropia
Mata demikian kemampuan melihat jauh dan dekat terganggu dimana punktum proksimum dan
punktum remotum yang terlalu jauh sehingga dianjurkan memakai kacamata positif.
c. Mata myopia
Pada mata myopia , kemampuan melihat dekat dan jauh tergganggu oleh karena letak punktum
proksimum dan punktum remotum yang terlalu dekat sehingga dianjurkan memakai kacamata
negatif.
d. Mata astigmatisma
Penderita yang mengalami mata astigmatisma akan terganggu penglihatannya tidak dalam segala
arah, sehingga penderita ini dianjurkan memakai kacamata silindris atau kaca mata toroidal.
Penderita astigmatisma dengan satu mata akan melihat garis dalam satu arah lebih jelas daripada
kea rah yang berlawanan.
e. Campuan
 Ada penderita yang matanya sekaligus mangalami presbipoi dan myopia, maka mempunyai
punktum proksimum yang letaknya terlalu jauh dan punktum remotum terlalu kecil, penderita
demikian memakai kacamata rangkap yaitu kacamata bifocal (negatif diatas, positif di bawah)
 Ada penderita yang hanya menderita presbiopia, myopia atau hipermetropia tanpa
astigmatisma hanya memakai kacamata berlensa sferis.

Contoh 1:
Dokter dalam memeriksa penderita yang titik dekat matanya 0,5 meter dan penderita ingin
membaca pada jarak 0,25 meter.
Pertanyaan :
a. Berapakah daya akomodasinya ?
b. Berapakah kekuatan lensa agar pemderita dapat membaca pada jarak 0,25 m ?

Untuk menjawab pertanyaan ini perlu diketahui bahwa objek yang terjadi pada retina dibentuk
oleh kornea dan lensa mata yang merupakan lensa gabung dan jarak kornea retina secara
pendekatan adalah 2 cm = 0,02 meter. Daya akomodasi mata dihitung dalam dioptri (D) dimana
selisih antara kekuatan lensa mata untuk melihat pada titik/jarak tertentu dengan daya kekuatan
lensa mata pada waktu melihat benda pada jarak jauh tak terduga. Maka penyelesaian soal di atas
sebagai berikut :
a. Kekuatan focus mata normal :

Kalau mata orang tersebut difokuskan pada jarak 0,5 meter maka focus matanya

Daya akomodasi sebesar

b. Untuk melihat benda pada jarak 0,25 meter maka kekuatan matanya :

Penderita tersebut harus memakai kacamata dengan kekuatan :


54 D – 52 D = 2 D

Contoh 2 :
Penderita dengan titik dekat 2,0 meter. Berapa dioptrikah apabila penderita membaca pada jarak
0, 25 meter ?
Focus mata yang normal pada jarak 0,25 meter :

Focus mata pada jarak 2 meter :

Mata penderita ini perlu dikoreksi dengan lensa :


54 D – 50,5 D = 3,5 D
Pada penulisan resep bagi penderita yang memerlukan lensa kacamata dapat di lihat sebagai
berikut :
Sferis Silinder Aksis Penambahan
OD - 1,25 - 1,25 180 + 1,25
OS - 1,75 - 1,75 103 + 1,25
Penambahan 1,25 kacamata bertujuan untuk koreksi kacamata silinder tersebut.

5. KETAJAMAN PENGLIHATAN
Ketajaman penglihatan dipergunakan untuk menentukan penggunaan kacamata , di klinik
dikenal dengan nama visus. Tapi bagi seorang ajli fisika ketajaman penglihatan ini disebut
resolusi mata.
Visus penderita bukan saja memberi pengertian tentang optiknya (kacamata) tetapi mempunyai
arti yang lebih luas yaitu memberi keterangan tentang baik buruknya fungsi mata
keseluruhannya. Oleh karena itu definisi visus adalah : nilai kebalikan sudut (dalam menit)
terkecil dimana sebuah benda masih kelihatan dan dapat dibedakan.
Pada penentuan visus, para ahli mempergunakan kartu Snellen, dengan berbagai ukuran huruf
dan jarak yang sudah ditentukan. Misalnya mata normal pada waktu diperiksa diperoleh 20/40
berarti penderita dapat membaca hurup pada 20 ft sedangkan bagi mata normal dapat membaca
pada jarak 40 ft (20 ft = 4 meter).

Dengan demikian dapat di tulis dengan rumus :

Keterangan :
d = Jarak yang di lihat oleh penderita
D = Jarak yang dapat di lihat oleh mata normal.
Penggunaan kartu snellen ini, kualitasnya kadang-kadang meragukan oleh karena huruf yang
sama besarnya mempunyai derajat kesukaran yang berbeda, demikian pula huruf dengan ukuran
berbeda kadang-kadang tidak sama bentuknya. Untuk menghindari kelemahan-kelemahan itu
telah diciptakan “kartu cincin Landolt”.
Kartu ini mempunyai sejumlah cincin berlubang, diatur berderet yang sama besar, dengan lubang
yang arahnya ke atas, ke bawah, ke kiri dank e kanan.
Dari atas ke bawah cincin itu di atur agar lubangnya mengecil secara berangsur-angsur. Penderita
di suruh menunjukkan deretan cincin tersebut hingga cincin terkecil tanpa salah. Angka visus ini
didapat dengan menghitung sudut dimana cincin Landolt itu diamati. Misalnya penderita
menunjukkan cincin landolt tanpa salah pada 0,8 mm jarak 4 meter.
Pemeriksaan visus seseorang selain disebut di atas dapat pula dengan cara menghitung jari,
gerakan tangan dan sebagainya.
Berarti penderita dapat menghitung jari tangan pada jarak 1 meter.
Hanya dapat melihat gerakan tangan pada jarak 1 meter
= Hanya bisa membedakan gelap terang
Kalau seseorang penderita terjadi penurunan visus tanpa kelainan organis disebut “Amblyopia”.

6. MEDAN PENGLIHATAN
Untuk mengetahui besar kecilnya medan penglihatan seseorang dipergunakan “alat perimeter”.
Dengan alat ini diperoleh medan penglihatan vertical ± 130°; sedangkan medan penglihatan
horizontal ± 155°.

7. TANGGAP CAHAYA
Bagian mata yang tanggap cahaya adalah retina. Ada dua tipe fotoreseptor pada retina yaitu Rod
(batang) dan Cone(kerucut).
Rod dan Kone tidak terletak pada permukaan retina melainkan beberapa lapis di belakang
jaringan syaraf.
Distribusi Rod dan Kone pada retina
a. Kone (kerucut)
Tiap mata mempunyai ± 6,5 juta cone yang berfungsi untuk melihat siang hari disebut “fotopik”.
Melalui kone kita dapat mengenal berbagai warna, tetapi kone tidak sensitive terhadap semua
warna, ia hanya sensitive terhadap warna kuning, hijau (panjang gelombang 550 nm). Kone
terdapat terutama pada fovea sentralis.
b. Rod (batang).
Dipergunakan pada waktu malam atau disebut penglihatan Skotopik. Dan merupakan ketajaman
penglihatan dan dipergunakan untuk melihat ke samping. Setiap mata ada 120 juta batang.
Distribusi pada retina tidak merata, pada sudut 20° terdapat kepadatan yang maksimal. Batang
ini sangat peka terhadap cahaya biru, hijau (510 nm).
Tetapi Rod dan Kone sama-sama peka terhadap cahaya merah (650 – 700 nm), tetapi penglihatan
kone lebih baik terhadap cahaya merah jika dibandingkan dengan Rod.

8. PENYESUAIAN TERHADAP TERANG DAN GELAP


Dari ruangan gelap masuk ke dalam ruangan terang kurang mengalami kesulitan dalam
penglihatan. Tetapi apabila dari ruangan terang masuk ke dalam ruangan gelap akan tampak
kesulitan dalam penglihatan dan diperlukan waktu tertentu agar memperoleh penyesuaian.
Pendapat ini telah lama diketahui orang.
Apabila kepekaan retina cukup besar, seluruh objek/benda akan merangsang rod secara
maksimum sehingga setiap benda bahkan yang gelap pun akan terlihat terang putih. Tetapi
apabila kepekaan retina sangat lemah, ketika masuk ke dalam ruangan gelap tidak ada bayangan
yang benderang yang merangsang rod dengan akibat tidak ada suatu objekpun yang terlihat.
Perubahan sensitifitas retina secara automatis ini dikenal sebagai fenomena penyesuaian terang
dan gelap.

a. Mekanisme penyesuaian terang (cahaya)


Pada kerucut dan batang terjadi perubahan di bawah pengaruh energi sinar yang disebut foto
kimia. Di bawah pengaruh foto kimia ini rhodopsin akan pecah, masuk ke dalam retine dan
skotopsine. Retine akan tereduksi menjadi vitamin A di bawah pengaruh enzyme alcohol
dehydrogenase dan koenzym DPN – H + H (=DNA) dan terjadi proses timbal balik (visa versa)
Rushton (1955) telah membuktikan adanya rhodopsin dalam retina mata manusia, ternyata
konsentrasi rhodopsin sesuai dengan distribusi rod.
Penyinaran dengan energi cahaya yang besar dan dilakukan secara terus menerus konsentrasi
rhodopsin di dalam rod akan sangat menurun sehingga kepekaan retina terhadap cahaya akan
menurun.

b. Mekanisme penyesuaian gelap


Seseorang masuk ke dalam ruangan gelap yang tadinya beradadi ruangan terang, jumlah
rhodopsin di dalam rod sangat sedikit sebagai akibat orang tersebut tidak dapat melihat apa-apa
di dalam ruangan gelap. Selama berada di ruangan gelap, pembentukan rhodopsin di dalam rod
sangatlah perlahan-lahan, konsentrasi rhodopsin akan mencapai kadar yang cukup dalam
beberapa menit berikutnya sehingga akhirnya rod akan terangsang oleh cahaya dalam waktu
singkat.
Selama penyesuaian gelap kepekaan retina akan meningkat mencapai nilai 1.000 hanya dalam
waktu beberapa menit saja, kepekaan retina mencapai nilai 100.000 waktu yang diperlukan 1
jam.
Sedangkan kepekaan retina akan menurun dari nilai 100.000 apabila seseorang dari ruangan
gelap ke ruangan terang. Proses penurunanan kepekaan retina hanya diperlukan waktu 1 sampai
10 menit.
Penyesuaian gelap ini ternyata kone lebih cepat daripada rod. Dalam waktu kira-kira 5 menit
fovea sentralis telah mencapai tingkat kepekaan. Kemudian dilanjutkan penyesuaian gelap oleh
rod sekitar 30 – 60 menit, rata-rata terjadi pada 15 menit pertama. Sebelum masuk ke kamar
gelap (misalnya ruang Rontgen) biasanya dianjurkan memakai kacamata merah atau salah satu
mata dipejamkan dalam beberapa saat (± 15 menit).

9. TANGGAP WARNA
Salah satu kemampuan mata adalah tanggap warna, namun mekanisme tanggap warna tersebut
belum diketahui secara jelas. Denganvmenggunakan pengamatan skotopik pada intensitas cahaya
yang lemah, tidak ada respon terhadap warna. Tetapi dengan menggunakan pengamatan fotopik
dapat melihata warna namun tidak bisa membedakan warna pada objek yang letaknya jauh dari
pusat medan penglihatan.

a. Teori tanggap warna


Kone berbeda dengan rod dalam beberapa hal yaitu kone memberi jawaban yang selektif
terhadap warna, kurang sensitive terhadap cahaya dan mempunyai hubungan dengan otak dalam
kaitan ketajaman penglihatan dibandingkan dengan rod. Ahli faal Lamonov, Young Helmholpz
berpendapat ada 3 tipe kone yang tanggap terhadap tiga warna poko yaitu biru, hijau dan merah.
 Kone biru
Mempunyai kemampuan tanggap gelombang frekwensi cahaya antara 400 dan 500 milimikron.
Berarti konne biru dapat menerima cahaya , ungu, biru dan hijau.
 Kone hijau
Berkemampuan menerima gelombang cahaya dengan frekwensi antara 450 dan 675 milimikron.
Ini berarti kone hijau dapat mendeteksi warna biru, hijau, kuning, orange dan merah.
 Kone merah
Dapat mendeteksi seluruh panjang gelombang cahaya tetapi respon terhadap cahaya orange
kemerahan sangat kuat daripada warna-warna lainnya.
Ketiga warna pokok disebut trikhromatik. Teori yang diajukan oleh Lamonov, Young
Helmholpz mengenai trikhromatik sukar untuk dimengerti bagaimana kone dapat mendeteksi
warna menengah (warna intermediate) dari tiga warna pokok. Oleh sebab itu timbul teori tiga
tipe dikromat yaitu suatu warna menengah terpraoduksi oleh karena dua tipe kone yang
terangsang. Sebagai contoh, kone hijau dan merah terangsang bersamaan tetapi kone hijau
terangsang lebih kuat daripada kone merah maka warna yang terproduksi adalah kuning
kehijauan. Apabila kone hijau dank one biru terangsang, warna yang ditampilkan sebagai warna
biru hijau. Jika intensitas rangsangan terhadap kone hijau lebih besar daripada kone biru, warna
yang ditampilkan lebih hijau dan biru.
Pada suatu percobaan dimana mata disinari dengan spectrum cahaya kemudian dibuat kurva
respon dari pigmen peka cahaya akan tampak tiga warna pigmen peka cahaya yang serupa
dengan kurva sensitive untuk ketiga tipe kone.

b. Buta warna
Jika seseorang tidak mempunyai kone merah ia masih dapat melihat warna hijau, kuning, orange
dan warna merah dengan menggunakan kone hijau tetapi tidak dapat membedakan secra tepat
antara masing-masing warna tersebut oleh karena tidak mempunyai kone merah untuk kontras /
membandingkan dengan kone hijau. Demikian pula jika seseorang kekurangan kone hijau, ia
masih dapat melihata seluruh warna tetapi tidak dapat membedakan antara warna hijau, kuning,
orange dan merah. Hal ini disebabkan kone hijau yang sedikit itdak mampu mengkontraskan
dengan kone merah. Jadi tidak adanya kone merah atau hijau akan timbul kesukaran atau
ketidakmampuan untuk membedakan warna antara keadaan ini di sebut buta warna merah hijau
kasus yang jarang sekali, tetapi bisa terjadi seseorang kekurangan kone biru, maka orang tersebut
sukar membedakan warna ungu, biru dan hijau. Tipe buta warna ini disebut kelemahan biru (
blue weakness). Pada suatu penelitian diperoleh 8% laki-laki buta warna, sedangkan 0,5 %
terdapat pada wanita dan dikatakan buta warna ini diturunkan oleh wanita. Adapula orang buta
terhadap warna merah disebut protanopia, buta terhadap warna hijau disebut deuteranopia dan
buta terhadap warna biru disebut tritanopia.

10. PERALATAN DALAM PEMERIKSAAN MATA


Dari sekian banyak peralatan mata, hanya beberapa peralatan yang akan dibahas dalam kaitan
pemeriksaan mata. Ada tiga prinsip dalam pemeriksaan mata yaitu : pemeriksaaan mata bagian
dalam, pengukuran daya focus mata, penmgukuran kelengkungan kornea. Peralatan dalam
pemeriksaan mata dan lensa ada 6 macam yaitu :
 Opthalmoskop
 Retinoskop
 Keratometer
 Tonometer dari schiotz
 Pupilometer
 Lensometer

OPTHALMOSKOP
Alat ini mula-mula dipakai oleh Helmholtz (1851). Prinsip pemeriksaan dengan opthalmoskop
untuk mengetahui keadaan fundus okuli ( = retina mata dan pembuluh darah khoroidea
keseluruhannya). Ada dua prinsip kerja opthalmoskop yaitu :
 Pencerminan mata secara langsung
Fundus okuli penderita disinari dengan lampu, apabila mata penderita emetropia dan tidak
melakukan akomodasi maka sebagian cahaya akan dipantulkan dan keluar dari lensa mata
penderita dalam keadaan sejajar dan terkumpul menjadi gambar tajam pada selaput jaringan mata
pemeriksa (dokter) yang juga tidak terakomodasi. Pada jaringan mata dokter terbentuk gambar
terbalik dan sama besar dengan fundus penderita.
 Pencerminan mata secara tak langsung
Cahaya melalui lensa condenser diproyeksi ke dalam mata penderita dengan bantuan cermin
datar kemudian melalui retina mata penderita dipantulkan keluar dan difokuskan pada mata
sipemeriksa (dokter). Dengan mempergunakan opthalmoskop dapat mengamati permasalahan
mata yang berkaitan dengan tumor otak.

RETINOSKOP
Alat ini dipakai untuk menentukan reset lensa demi koreksi mata penderita tanpa aktivitas
penderita, meskipun demikian mata penderita perlu terbuka dan dalam posisi nyaman bagi si
pemeriksa. Cahaya lampu diproyeksi ke dalam mata penderita dimana mata penderita tanpa
akomodasi. Cahaya tersebut kemudian dipantulkan dari retina dan berfungsi sebagai sumber
cahaya bagi sipemeriksa.
Fungsi retinoskop dianggap normal, apabila suatu objek (cahaya) berada di titik jauh mata akan
difokuskan pada retina. Cahaya yang dipantulkan retina akan menghasilkan bayanagan focus
pada titik jauh pula. Oleh karena itu pada waktu pemeriksa mengamati mata penderita melalui
retionoskop ,lensa posistif atau negatif diletakkan di depan mata penderita sesuai dengan
keperluan agar bayangan (cahaya) yang dibentuk oleg retina penderita difokuskan pada mata
pemeriksa. Lensa posistif atau negatif yang dipakai itu perlu ditambah atau dikurangi agar
pengfokusan bayangan dari retina penderita terhadap pemeriksa tepat adanya. Suatu contoh,
jarak pemeriksa 67 cm lensa yang diperlukan 1, 5 D.

KERATOMETER
Alat ini untuk mengukur kelengkungan kornea. Pengukuran ini diperuntukkan pemakaian lensa
kontak; lensa kontak ini dipakai langsung yaitu dengan cara menempel pada kornea yang
mengalami gangguan kelengkungan. Ada dua lensa kontak yaitu :
a. Hard contact lens
Dibuat dari plastic yang keras, tebal 1 mm dengan diameter 1 cm. sangat efektif bila dilepaskan
dan mudah terlepas oleh air mata tetapi dapat mengoreksi astigmatisma.

b. Soft contact lens


Adalah kebalikan dari hard contact lens. Sangat nyaman tetapi tidak dapat mengoreksi
astigmatisma.

Dasar kerja keratometer :


Benda dengan ukuran tertentu diletakkan didepan cermin cembung dengan jarak diketahui akan
membentuk bayangan di belakang cermin cembung berjarak ½ r. dengan demikian dapat
ditentukan permukaan cermin cembung.
Berlandaskan kerja cermin cembung maka dibuat keratometer. Pada keratometer ,kornea
bertindak sebagai cermin cembung, sumber cahaya sebagai objek. Pemeriksa mengatur focus
agar memperoleh jarak dari kornea.
Pemeriksa menentukan ukuran bayangan yang direfleksi dengan mengatur sudut prisma agar
menghasilkan dua bayangan. Posisi prisma setelah diatur akan dikaliberasi dengan daya focus
kornea ( dalam dioptri). Nilai rata-rata 44 dioptri dengan rata-rata radius kelengkungan kornea
7,7 mm. penderita dengan astigmastisma , biasanya dalam pengukuran bayangan dibuat arah
vertical dan horizontal.

TONOMETER
Pada tahun 1900, Schiotz (Jerman) memperkenalkan alat untuk mengukur tekanan intraocular
yang dikenal dengan nama Tono meter dari Schiotz.
Tehnik dasar :
Penderita ditelentangkan dengan mata menatap ke atas, kemudian kornea mata dibius. Tengah-
tengah alat ( Plug) diletakkan di atas kornea menyebabkan suatu tekanan ringan terhadap kornea.
Plug dari tonometer berhubungan dengan skala sehingga dapat terbaca nilai skala tersebut.
Tonometer dilengkapi dengan alat pemberat 5 5, 7 5 1 0, 0 dan 15,0 gram. Apabila pada
pengukur tekanan intraocular dimana menggunakan alat pemberat 5, 5 gmaka berat total
tonometer =
= Berat plug + alat pemberat
= 11 gram + 5,5 gram
= 16,5 gram.
16,5 gram ini menunjukkan tekanan intraokuler sebesar 17 mm Hg. Pemeriksaan tekanan di
dalam bola mata (intraokuli) untuk mengetahui apakah penderita menderita glaucoma atau tidak.
Pada penderita glaucoma tekanan intraokuli mencapai 80 mmHg. Dalam keadaan normal
tekanan intraokuli berkisar antara 20 – 25 mmHg dengan rata-rata produksi dan pengeluaran
cairan humor aqueous 5 ml/hari.
Tahun 1950 Tonometer Schiotz dimadifikasi dengan kemudahan dalam pembacaan secara
elektronik dan dapat direkam di sebut tonograf. Goldmann (1955) mengembangkan tonometer
yang disebut tono meter Goldmann Aplanation ; pengukuran dengan memakai alat ini penderita
dalam posisi duduk.

PUPILOMETER DARI EINDHOVEN


Diameter pupil dapat diukur dengan menggunakan pupilometer dari eindhoven. Yaitu lempengan
kertas terdiri dari sejumlah lubang kecil dengan jarak tertentu. Apabila melihat melalui lubang-
lubang ini dengan latar belakang dan tanpa akomodasi maka diperoleh perjalanan sinar sebagai
berikut :
Lingkaran yang terproyeksi pada jaringan retina saling menyentuh berarti garis 1 dan 2 adalah
sejajar. Garis 1 dan 2 inilah garis terluar yang masih dapat masuk melalui pupil, sehingga
deperoleh jarak d, jarak ini adalah diameter pupil. Pada penentuan besar pupil, jarak antara
lubang dan mata tidak menjadi masalah.

LENSOMETER
Suatu alat yang dipakai untuk emngukur kekuatan lensa baik dipakai si penderita atau sekedar
untuk mengetahui dioptri lensa tersebut. Prinsip dasar :
Menentukan focus lensa positif sangat mudah , dapat dengan cara :
 Memfokuskan bayangan dari suatu objek tak terhingga misalnya (matahari)
 Memfokuskan bayangan dari suatu objek yang telah diketahui jaraknya.

Tehnik di atas ini tidak dapat diterapkan pada lensa negatif namun dapat dilakukan sedikit
modifikasi yaitu : mengkombinasikan lensa negatif dengan lensa positif kuat yang telah
ditentukan dioptrinya, dengan demikian dapat ditulis rumus sebagai berikut :

Dengan memakai lensometer, benda penyinaran digerakkan sehingga diperoleh bayangan tajam
melalui pengamatan lensa.

DAFTAR PUSTAKA
1. J.F. Gabriel,2003, Fisika Kedokteran, EGC, Jakarta
2. Ganong, W.F, 1999, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 17, EGC, Jakarta.
sumber: http://arwinlim.blogspot.com/2007/10/bio-optik-dalam-keperawatan.html

TUGAS MINGGU KETIGA,


15 NOVEMBER 2007

Chinese Medical Journal, 2007, Vol. 120 No. 10 : 882-885


• Original Article • ·LogIn/LogOut
·Fulltext PDF(628K) Free
·Abstract download
TXT | XML
·Articles in CMJ by
ZHENG Guang-ying
DU Jun
·Articles in PubMed by
ZHENG GY
DU J
·Put into my bookshelf
·Email to Friend
·Email to author
·Visit:876
·Download:449
·Advanced Search
·Related Articles
·Change font size:
·Cannot read some characters

Contrast sensitivity and higher-order aberrations in patients with astigmatism


ZHENG Guang-ying, DU Jun, ZHANG Jin-song, LIU Su-bing, NIE Xiao-li, ZHU Xiao-hong,
TANG Xiu-xia, XIN Bao-li, MAI Zhi-bin, ZHANG Wei-xia
ZHENG Guang-ying Department of Ophthalmology, First Affiliated Hospital, Zhengzhou
University, Zhengzhou 450052, China; DU Jun ; ZHANG Jin-song Department of
Ophthalmology, First Affiliated Hospital, Zhengzhou University, Zhengzhou 450052, China;
LIU Su-bing Department of Ophthalmology, Henan Armed Hospital, Zhengzhou 450052, China;
NIE Xiao-li Department of Ophthalmology, Henan Armed Hospital, Zhengzhou 450052, China;
ZHU Xiao-hong Department of Ophthalmology, Henan Armed Hospital, Zhengzhou 450052,
China; TANG Xiu-xia Department of Ophthalmology, Henan Armed Hospital, Zhengzhou
450052, China; XIN Bao-li Department of Ophthalmology, Henan Armed Hospital, Zhengzhou
450052, China; MAI Zhi-bin Department of Ophthalmology, Henan Armed Hospital, Zhengzhou
450052, China; ZHANG Wei-xia Department of Ophthalmology, Henan Armed Hospital,
Zhengzhou 450052, China

Correspondence to: ZHENG Guang-Ying Department of Ophthalmology, First Affiliated


Hospital, Zhengzhou University, Zhengzhou 450052, China (Email:zzzgy@zzu.edu.cn )
Keywords: astigmatism·contrast sensitivity·higher order aberration
Abstract:
Background Astigmatism is one of the most significant obstacles for achieving satisfactory
visual function. This study was to evaluate the influence of astigmatism on contrast sensitivity
(CS) and higher-order aberrations.
Methods CS, accommodation response and wavefront aberration were measured in 113 patients
with astigmatism, aged 18–36 years. Both single and binocular visual performance were
examined under four lighting conditions: photopia, photopia with glare, scotopia and scotopia
with glare respectively. Accommodation response was classified as normal, abnormal and low.
The contribution of the power and axis of astigmatism to CS, accommodation response and
wavefront aberration was analyzed.
Results As the dioptric power of astigmatism increased, the loss of CS spatial frequency changed
from high to intermediate, and then to low frequency. CS scores varied at different illuminance
levels, descending in the following sequence: photopia, photopia with glare, scotopia, and
scotopia with glare. However, the normal accommodation group showed better CS values under
photopia with glare than without glare. The range of influenced direction of sine-wave gratings
remained mostly at the meridian line of high dioptric power, which would be expanded when
optical accommadation attenuated. The patients with symmetrical astigmatism got higher CS
scores with binoculus vision than with dominant eye vision, while the patients with asymmetrical
astigmatism did this only at scotopia with glare. Among higher-order aberrations, coma
aberration, secondary coma aberration and the total higher order aberration were influenced by
astigmatism, all of which rising with the power of astigmatism increased.
Conclusions Reducing astigmatism might improve the performance of visual function. Not only
the power of astigmatism should be cut down, but also the binocular axes should be made
symmetrically.
Astigmatism is one of the common types of human ocular optical disorders, which brings
problems such as ophthalmalgia, dacryorrhea, diplopia, instability of visual acuity, cephalalgia,
and so on.1 The above difficulties are real challenges faced by ophthalmologists. Many studies
have been carried out in recent years. Some improvements have been achieved in applying
keratotomy or suture to the cornea,2-7 and utilizing excimer laser or rigid contact lens to correct
cornea astigmatism,8 there is still lack of criteria before operation, and visual function after
operation remains unpredictable.9-11 The purpose of this study was to evaluate the influence of
astigmatism on contrast sensitivity (CS) and wavefront aberration.

METHODS

Patients
A total of 226 eyes of 113 patients with myopia and astigmatism were collected from the out-
patient clinic of the First Affiliated Hospital of Zhengzhou University and Henan Armed
Hospital between November 2005 and June 2006. Among whom 61 were men and 52 women,
aged from 18 to 36 years (24.39±5.27 years), with spherical lens –0.25––12.75 D (–5.74±2.58
D), cylin- drical lens: –0.25––4.00 D (–1.16±0.75 D). All the patients corresponded to the
following criteria: both single and binocular corrected visual acuity ≥ 0.8 (20/25), anterior and
posterior segment of the eyes are normal except for the special changes of eyeground of myopia,
no other oculopathies were found.

CS measurement
Both single and binocular visual performance were examined by Optec 6500 Vision Tester
(Stereo Optical Co., USA) under four lighting conditions: photopia, photopia with glare, scotopia
and scotopia with glare respectively. All patients were examined with corrected spherical lens
according to subjective optometry. Cylindrical lens were left uncorrected. In this way, the sine
wave grating directions which could not be identified by the examinees at certain spatial
frequencies can be considered as the result of astigmatism. The frequencies and directions of
missing gratings were recorded.

Accommodation measurement
Accommodation Analyzer (AA, Nidek Co., Japan) was used which is characterized by the
unique function of measuring high frequency component (HFC) of cry- stalline lens jittering
when it is in tension. First, the refraction (called Home value) was performed using ARK-730A
autorefractor (Nidek Co., Japan), then accom- modation response was checked by AA. A visual
target pushed-up per 12 seconds one time would appeared at 8 different positions, the amplitude
of accommodation was +0.5 D––3.0 D, began with the Home value, and shifted by steps of 0.5
D. Subjects were classified into three groups: (1) Normal accommodation group: quantity of
accommodation and color of HFC added up relatively associated with the increasing quantity of
accommodative stimulus and the lasting of stimulation. (2) Abnormal accommodation group,
including tense and spasm of accommodation. Lens kept on contracting continuously regardless
of the distance of target. The former had an increased quantity of accommodation in
compensation, while the latter was out of compensation. (3) Low accommodation group:
consisting of temporal duration and weak of accommodation. Lens could not contract during a
long period of time in the former, and the latter had no response of accommodation.

Wavefront aberration measurement


Zywave aberration apparatus (Bausch & Lomb, USA) was used based on Hartmann-Shake
principle. Patients were dilated with metaoxedrine until pupil diameter ≥ 6.5 mm. The root mean
square (RMS) of the higher order aberrations from third to fifth and the total higher order
aberration were analysed.

Dominant eye identified


The patients were examined with a stereoplasm rectangle card which had a hole in the middle.

Statistical analysis
SPSS 13.0 was used in statistical analyses. Wilcoxon Signed Rank Test was applied to compare
the spatial frequency. Differences in aberration data between groups were analyzed using
analysis of variance (ANOVA), Student-Newman-Keuls post-test was used if the result of
ANOVA was significant. A P value less than 0.05 was considered statistically significant.

RESULTS
Accommodation measurement
Normal accommodation group consisted of 40.7% of the eyes (92 eyes), abnormal
accommodation group 28.8% (65 eyes), low accommodation group 30.5% (69 eyes).
Contribution of cylindrical power to CS
CS was not affected by astigmatism in the range of 0.25–1.0 D. The stronger the dioptric power
was, the lower the influenced spatial frequency was. In the same power range, effect on CS
spatial frequency changes with the decline of accommodation, from hardly any inter- ferences to
high, middle, and then to low frequency. The relationship between cylindrical power and CS was
affected by accommodation

Contribution of cylindrical axis


Effect of cylindrical axis on monoblepsia
Since the angles formed by sine wave gratings and horizon are 115° (left, L), 90° (up, U), and
75° (right, R), directions of axes were divided into four types: I: 180°±15°; II: 90°±15°; III: 15°–
75°; IV: 105°–165°. Type I represents astigmatism with the rule, Type II represents astigmatism
against the rule, Types III and IV represent oblique astigmatism. Type I mainly affected the
directions of R and L. Type III mainly affected L, and Type IV mainly affected R. Along with
the accommodative power reduced, the influence of astigmatism on U increased. Different axis
groups affected different orientation of sine wave gratings

Effects of cylindrical axis on binocular vision


Patients were divided into two groups based on symmetrical astigmatism and asymmetrical
astigmatism.1 The five spatial frequencies of CS (1.5, 3, 6, 12, 18 cycles per degree) were ranked
as 1–5, and the unaffected as 6. Of all the four illuminations, difference between binocu- lar
vision and the dominant vision in symmetrical astig- matism group was statistically significant
(P=0.000); however, in asymmetrical astigmatism group, the difference was not statistically
significant except for scotopia with glare (regarding the differences of spherical equivalent
between binoculus ≥ 2.50 D as anisometropia, excluding 11 patients with anisometropia)

Astigmatism and higher order aberrations


All the patients were divided into three groups based on dioptric power of astigmatism. Group A:
0.25 D–1.0 D, Group B: >1.0 D–2.0 D, Group C: above 2.0 D. RMS values of Group C were
bigger than that of Group A and B at the third order and total high-order aberrations. At the fifth
order, comparing Group A with Group C, the RMS values increased significantly, but no
differences were between Groups B and C. Comparisons of RMS values of different groups are
as follows

DISCUSSION
Astigmatism and CS
The performance of CS reveals one's visual quality.12 Traditionally, examinees are required
wearing a pair of corrected sphero-cylindrical glasses when measuring CS, however, in this
study, spherical lenses were collected but with no cylindrical lenses. Almost all the patients with
astigmatism wrongly identified one or more grating directions, however, the subsequent gratings
with low contrast threshold were identified accurately, because the light rays on cylindrical axis
can not form a clear focus. Inadequate prescription and wrong cylindrical axis for high
astigmatism correction may cause abnormal head position, which reveals that the power and axis
of astigmatism play an important role in quality of vision. 13

Interference of astigmatism power with CS influenced by accommodation


The influenced frequencies of CS decreasing associated with increasing of astigmatism, probably
because the power of light rays in Sturm conoid descended accom- panied with astigmatism
increased.14 Good accommo- dative response could compensate for the drop of CS scores
caused by astigmatism.15 Generally, influences of astigmatism on CS added in the following
sequence: photopia, photopia with glare, scotopia and scotopia with glare, except that CS in
normal accommodation group under photopia with glare was influenced more tenderly than
under photopia. Firstly, as the light rays turn down, the stimulant cell of retina changed from
cone to rod, and the resolving ability of retina with image cut down, together with the influenced
spatial frequency changed from high to low. Secondly, retina received excessive light which cut
down the contrast of the scenery,12 and lowers the influenced spatial frequency when glaring. In
normal accommodation group, under photopia with glare condition, well matched pupil
constriction and promi- nence of lens stopped peripheral rays from entering eyes, besides, rays of
central visual field were more convergent. Meanwhile, the contrast of image on retina increased,
and the exciting cone perceived the alteration discernment.

Influence of astigmatism axis on spatial frequency of CS


The sinus grating directions identified difficultly mainly concentrate on the meridians with large
dioptric power, and the range extends when accommodation power descends. In addition, the
effect of type I on U is much smaller than on R and L in normal accommodation group, which
shows that the perception of a normal eye is more sensitive to vertical lines than to other lines. It
is inferred that during the period of evolutionary process which from climbing simian to walking
man, capability of perceiving upright world preferentially gradually comes into being. It is
essential to point out that during the process of one test some patients had many a sinus grating
direction influenced, perhaps it is the result of dynamic astig- matism when eyes
accommodates.1 On the whole, of all the four astigmatism types, type I takes a biggest ratio,
next, type III and IV, type II is the smallest one. With rule astigmatism is the most in young and
middle-aged people, and against rule astigmatism is the least.

Influence of cylindrical axis on binocular vision


Whatever the illumination is, effect of symmetrical astigmatism on binocular vision is milder
than on dominant vision; so did the effect of asymmetrical astigmatism under scotopia with
glare, no differences in other illuminations. Hence, the axis should be made symmetrically
between the suffered eye and the fellow.

Influence of astigmatism on high order aberrations


The influences of astigmatism on wavefront aberration had been reported, but the effects on
higher order aberration was not further demonstrated respectively.16,17 Our results showed that
as the power of astigmatism added, the third, the fifth and the total high-order aberration
increased. The fourth order aberration kept constant however the cylindrical power changed.
Cortical cataract mainly affected coma, and nuclear cataract affected spherical-like aberration,18
perhaps because the uneven distributed cortical blur created astigmatism.

In summary, not only the dioptric power of astigmatism should be cut down, but also the
binocular axes should be made symmetrically in clinical treatment. In addition, strong
accommodation power could retrieve the influences of astigmatism on visual function, which
should be taken into account when estimating post- operational visual function. Furthermore, a
recent report has shown that clinically manifest astigmatism is an individually variable
combination of asphericity and curvature difference in the two main meridians,19 there- fore
how to make the best combination of asphericity and curvature of cornea needs more researches.

REFERENCES

1. Li FM ed. System of ophalmology (the last volume). 1st ed. Beijing: People's Medical
Publishing House; 1996: 2585-2593.

2. Harto MA, Maldonado MJ, Cisneros AL, Perez-Torreqrosa VT, Menezo JL. Comparison of
intersecting trapezoidal kerato- tomy and arcuate transverse keratectomy in the correction of high
astigmatism. J Refract Surg 1996; 12: 585-594.

3. Wilkins MR, Mehta JS, Larkin DF. Standardized arcuate keratotomy for postkeratoplasty
astigmatism. J Cataract Refract Surg 2005; 31: 297-301.

4. Van Meter WS, Gussler JR, Soloman KD, Wood TO. Postkeratoplasty astigmatism control,
Single continuous suture adjustment versus selective interrupted suture removal. Ophthalmology
1991; 98: 177-183.

5. Musch DC, Meyer RF, Sugar A, Soong HK. Corneal astigmatism after penetrating
keratoplasty: the role of suture technique. Ophthalmology 1989; 96: 698-703.

6. Tehrani M, Stoffelns B, Dick HB. Implantation of a custom intraocular lens with a 30-diopter
torus for the correction of high astigmatism after penetrating keratoplasty. J Cataract Refract
Surg 2003; 29; 2444-2447.

7. Kersey JP, O'Donnell A, Illingworth CD. Cataract surgery with Toric intraocular lenses can
optimize uncorrected postoperative visual acuity in patients with marked corneal astigmatism.
Cornea 2007; 26: 133-135.

8. Visser ES, Visser R, van Lier HJ, Otten HM. Modern scleral lenses part Ⅱ: patient satisfaction.
Eye Contact Lens 2007; 33: 21-25.

9. Assil KK, Zarnegar SR, Schanzlin DJ. Visual outcomes after penetrating keratoplasty with
double continuous or combined interrupted and continuous suture wound closure. Am J
Ophthalmol 1992; 114: 63-71.

10. Busin M, Arffa RC. Deep suturing technique for penetrating keatoplasty. Cornea 2002; 21:
680-684.

11. Javadi MA, Naderi M, Zare M, Jenaban A, Rabei HM, Anissian A. Comparison of the effect
of three suturing techniques on postkeratoplasty astigmatism in keratoconus. Cornea 2006; 25:
1029-1033.

12. Fu J, Wang Nl, Wang J, Qu J. Wavefront aberrations and contrast sensitivity, glare disability
study in eyes with cataract. Ophthalmology (Chin) 2006; 15: 32-37.

13. Castro FA, Simao ML, Abbud CM, Foschini RM, Bicas HE. Abnormal head position caused
by incorrect prescription for astigmatism: case report. Arg Bras Oftalmol 2005; 68: 687-691.

14. Ravalico G, Parentin F, Baccara F. Effect of astigmatism on multifocal intraocular lenses. J


Cataract Refract Surg 1999; 25: 804-807.

15. Buehren T, Collins MJ. Accommodation stimulus-response function and retinal image
quality. Vision Res 2006; 46: 1633-1645.

16. Han W, Kwan W, Wang J, Yip SP, Yap M. Influence of eyelid position on wavefront
aberrations. Ophthalmic Physiol Opt 2007; 27: 66-75.

17. Oshika T. Quantitative assessment of quality of vision. Nippon Ganka Gakkai Zasshi 2004;
108: 770-807.

18. Sachdev N, Ormonde SE, Sherwin T, McGhee CN. Higher-order aberrations of lenticular
opacities. J Cataract Refract Surg 2004; 30: 1642-1648.

19. Seiler T, Koller T. Asphericity of the cornea and astigmatism. Klin Monatsbl Augenheilkd
2005; 222: 977-982

SUMBER
:http://www.cmj.org/Periodical/paperlist.asp?id=LW2007517397245906913&linkintype=pubme
d
Fisika Medis
 Beranda
 Download
 Film

Sabtu, 03 Maret 2012

BioOPTIK

Menilik kata biooptik, tersusun atas kata bio dan optik. Bio
berkaitan dengan makhluk hidup/ zat hidup atau bagian tertentu dari makhluk hidup, sedangkan optik
dikenal sebagai bagian ilmu fisika yang berkaitan dengan cahaya atqu berkas sinar. secara spesifik ada
klasifikasi Optik geometri dan optika fisis. Fokus utama di biooptik adalah terkait dengan indera
penglihatan manusia, yaitu mata.

Mata menjadi alat optik yang paling penting pada manusia atau makhluk hidup. Bagaimana proses
sebuah objek dapat dilihat dan dipersepsikan di otak? Apa saja bagian-bagian mata yang berperan?
Mengapa seseorang bisa rabun, atau Mengapa respon mata terhadap perubahan intensitas cahaya di
gelap atau terang berbeda? Apa itu rod dan kone? Apa saja jenis kelainan mata dan bagaimana cara
mengoreksi atau memperbaikinya?

2 rekanq sering bilang bahwa aq tidak melihat benda riil, tapi bayangannya ! Benarkah itu hanya karena
aq pakai kacamata minus? Banyak pengetahuan yang kita peroleh melalui suatu penglihatan.

.
Komponen Indera Penglihatan
Banyak pengetahuan yang kita peroleh melalui suatu penglihatan. Untuk membedakan gelap dan terang
tergantung atas penglihatan seseorang. Ada tiga komponen pada penginderaan penglihatan :
1. Sistem syaraf mata yang memberi informasi ke otak
2. Mata memfokuskan bayangan pada retina
3. Korteks penglihatan salah satu bagian yang menganalisa penglihatan tersebut.

Bagian-bagian Mata
Bagian-bagian pada mata terdiri dari :

Retina
Terdapat rod (batang) dan kones (kerucut). Fungsi rod untuk melihat pada malam hari sedangkan kone
untuk melihat siang hari. Dari retina ini akan dilanjutkan ke saraf optikus.

Fovea sentralis
Daerah cekung yang berukuran 0,25 mm di tengah-tengahnya terdapat macula lutea (bintik kuning).
Kornea dan lensa
Kornea merupakan lapisan mata paling depan dan berfungsi memfokuskan benda dengan cara refraksi,
tebalnya 0,5 mm sedangkan lensa terdiri dari kristal mempunyai dua permukaan dengan jari jari
kelengkungan 7,8 m fungsinya adalah memfokuskan objek pada berbagai jarak.

Pupil
Di tengah-tengah iris terdapat pupil yang fungsinya mengatur cahaya yang masuk. Apabila cahaya terang
pupil menguncup demikian sebaliknya.

Analogi Mata dan Kamera

Sistem optik mata serupa dengan kamera TV bahkan lebih mahal oleh karena :
a. Mata bisa mengamati objek dengan sudut yang sangat besar
b. Tiap mata mempunyai kelopak mata dan ada cairan lubrikasi
c. Dalam satu detik dapat memfokuskan objek berjarak 20 cm
d. Mata sangat efektif pada intensitas cahaya 10 : 1
e. Diafragma mata di atur secara otomatis oleh iris
f. Kornea terdiri dari sel-sel hidup namun tidak mendapat vaskularisasi
g. Tekanan bola mata diatur secara otomatis sehingga mencapai 20 mmHg
h. Tiap mata dilindungi oleh tulang
i. Bayangan yang terbentuk oleh mata akan diteruskan ke otak.
j. Bola mata dilengkapi dengan otot-otot mata yang mengatur gerakan bola mata (m=muskulus = otot).

i. M. rektus medialis =
menarik bola mata ke dalam
ii. M. rektus lateralis = menarik bola mata ke samping
iii. M. rektus superior = menarik bola mata ke atas
iv. M. rektus inferior = menarik bola mata ke bawah
v. M. obligus inferior = memutar ke samping atas
vi. M. obligus superior = memutar ke samping dalam.
Kelumpuhan salah satu otot mata akan timbul gejala yang disebut strabismus (mata juling). Ada tiga
macam strabismus yaitu strabismus horizontal, vertical dan torsional.
DAYA AKOMODASI

Dalam hal memfokuskan objek pada retina, lensa mata memegang peranan penting. Kornea mempunyai
fungsi memfokuskan objek secara tetap demikian pula bola mata (diameter bola mata 20 – 23 mm).
kemampuan lensa mata untuk memfokuskan objek di sebut daya akomodasi. Selama mata melihat jauh,
tidak terjadi akomodasi. Makin dekat benda yang dilihat semakin kuat mata / lensa berakomodasi. Daya
akomodasi ini tergantung kepada umur. Usia makin tua daya akomodasi semakin menurun. Hal ini
disebabkan kekenyalan lensa/elastisitas lensa semakin berkurang.

Korelasi antara jarak titik dekat dengan berbagai usia


Umur (th) Titik dekat (cm)
10 >>>>> 7
20 >>>>> 10
30 >>>>> 14
40 >>>>> 22
50 >>>>> 40
60 >>>>> 200

Jarak terdekat dari benda agar masih dapat dilihat dengan jelas dikatakan benda terletak pada “titik
dekat” punktum proksimum. Jarak punktum proksimum terhadap mata dinyatakan P (dalam meter)
maka disebut Ap (akisal proksimum); pada saat ini mata berakomodasi sekuat-kuatnya (mata
berakomodasi maksimum). Jarak terjauh bagi benda agar masih dapat dilihat dengan jelas dikatakan
benda terletak pada titik jauh/punktum remotum. Jarak punktum remotum terhadap mata dinyatakan r
(dalam meter) maka disebut Ar (Aksial Proksimum); pada saat ini mata tidak berakomodasi/lepas
akomodasi. Selisih A dengan Ar disebut lebar akomodasi, dapat dinyatakan :
Ac = Ap – Ar
Ac =lebar akomodasi yaitu perbedaan antara akomodasi maksimal dengan lepas akomodasi maksimal.

Secara empiris A = 0,0028 (80 th – L) dioptri L = umur dalam tahun


Bertambah jauhnya titik dekat akibat umur disebut mata presbiop. Presbiop ini bukan merupakan cacat
penglihatan. Ada satu dari sekian jumlah orang tidak mempunyai lensa mata . Mata demikian disebut
mata afasia.
TANGGAP CAHAYA
Bagian mata yang tanggap cahaya adalah retina. Ada dua tipe fotoreseptor pada retina yaitu Rod
(batang) dan kone(kerucut). Rod dan Kone tidak terletak pada permukaan retina melainkan beberapa
lapis di belakang jaringan syaraf.

Distribusi Rod dan Kone pada retina

a. Kone (kerucut)
Tiap mata mempunyai ± 6,5 juta kone yang berfungsi untuk melihat siang hari disebut “fotopik”.
Melalui kone kita dapat mengenal berbagai warna, tetapi kone tidak sensitife terhadap semua warna, ia
hanya sensitive terhadap warna kuning, hijau (panjang gelombang 550 mm). Kone terdapat terutama
pada fovea sentralis.

b. Rod (batang)
Dipergunakan pada waktu malam atau disebut penglihatan Skotopik. Dan merupakan ketajaman
penglihatan dan dipergunakan untuk melihat ke samping: Setiap mata ada 120 juta batang. Distribusi
pada retina tidak merata, pada sudut 20° terdapat kepadatan yang maksimal. Batang ini sangat peka
terhadap cahaya biru, hijau (510 mm).
Tetapi Rod dan Kone sama-sama peka terhadap cahaya merah (650 – 700 nn), tetapi penglihatan kone
lebih baik terhadap cahaya merah jika dibandingkan dengan Rod.

TANGGAP WARNA

Salah satu kemampuan mata adalah tanggap warna, namun mekanisme tanggap warna tersebut belum
diketahui secara jelas. Dengan menggunakan pengamatan Skotopik pada intensitas cahaya yang lemah,
tidak ada respon terhadap warna tetapi dengan menggunakan pengamatan Fotopik dapat melihat
warna namun tidak bisa membedakan warna pada objek yang letaknya jauh dari pusat medan
penglihatan.

Teori Tanggap Warna

kone berbeda dengan rod dalam beberapa hal yaitu kone memberikan jawaban vang selektif terhadap
warna, kurang sensitif terhadap cahaya dan mempunyai hubungan dengan otak dalam kaitan ketajaman
penglihatan dibandingkan dengan rod. Ahli faal Lamanov, Young Helmholtz berpendapat ada tiga tipe
kone yang tanggap terhadap tiga warna pokok yaitu: Biru, Hijau, Dan Merah.

•Kone biru
Mempunyai kemampuan tanggap gelombang frekuensi cahaya antara 400 dan 500 milimikron. Ini
berarti kone biru dapat menerima cahaya, ungu, biru dan hijau.

•Kone hijau
Berkemampuan menerima gelombang cahaya dengan frekuensi antara 450 dan 650 milimikron. Ini
berarti kone hijau dapat mendeteksi warna biru, hijau, kuning, orange dan merah.

•Kone merah
Dapat mendeteksi seluruh gelombang cahaya tetapi respon terhadap cahaya orange kemerahan sangat
kuat daripada warna-warna lainnya.

Ketiga warna pokok disebut Trikhromatik. Teori yangdiajukan oleh Lamonov, Young Helmholtz mengenai
Trikhromatik sukar untuk dimengerti bagaimana kone dapat mendeteksi warna menengah dari tiga
warna pokok. Oleh sebab itu timbul teoti tiga tipe Dikromat yaitu suatu warna menengah terproduksi
oleh karena dua tipe kone yang terangsang. Sebagai contoh kone hijau dan merah terangsang
bersamaan, tetapi kone hijau terangsang lebih kuat daripada kone merah maka warna terproduksi
adalah kuning kehijauan. Apabila kone hijau dan kone biru terangsang warna yang ditampilkan sebagai
warna biru hijau. Jika intensitas rangsangan terhadap kone hijau lebih besar dari kone biru warna yang
ditampilakan lebih hijau dan biru. Pada suatu percobaan di mana mata disinari denaan spektrum cahaya
kemudian dibuat kurva respon dari pigmen peka cahaya akan tampak tiga warna pigmen peka cahaya
yang serupa dengan kurva sensitif untuk ketiga tipe kone.

Buta Warna

Buta warna adalah suatu kondisi ketika sel-sel retina tidak mampu merespon warna dengan semestinya.
sel-sel kerucut di dalam retina mata mengalami kelemahan atau kerusakan permanen.
a. Klasifikasi Buta Warna

- Trikromasi
Yaitu mata mengalami perubahan tingkat sensitivitas warna dari satu atau lebih sel sel kerucut pada
retina. Jenis buta warna inilah yang sering dialami oleh orang-orang. Ada tiga klasifikasi pada Trikromasi:
•Protanomali, seorang buta warna lemah mengenal merah.
•Deuteromalin, warna hijau akan sulit dikenali oleh penderita.
•Trinomali, kondisi di mana warna biru sulit di kenali penderita.

- Dikromasi
Keadaan ketika satu dari tiga sel kerucut tidak ada. Ada tiga klasifikasi turunan:
• Protanopia, sel kerucut warna merah tidak ada sehingga tingkat kecarahan warna merah atau
perpaduannya kurang.
• Denteranopia, retina tidak memiliki sel kerucut yang peka terhadap warna hijau.
•Tritanopia, sel kerucut warna biru tidak ditemukan.

- Monokromasi
Monokromasi sebenarnya sering dianggap sebagai buta warna oleh orang umum. Kondisi ini ditandai
oelh retina mata mengalami kerusakan total dalam respon warna. Hanya warna hitam dan putih yang
mampu diterima retina.

b. Penyebab Buta Warna

Buta warna adalah kondisi yang diturunkan secara genetik di bawah oleh kromoson X pada perempuan,
buta warna diturunkan kepada anak-anak. Ketika seseorang mengalami buta warna, mata mereka tidak
mampu menghasilkan keseluruhan pigmen yang dibutuhkan untuk mata berfungsi dengan normal.

c. Fakta-Fakta Tentang Buta Warna

Buta warna lebih sering terjadi pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan dengan perempuan sebanyak
99% seorang buta warna tidak mampu membedakan antara warna hijau dan merah. Juga ditemukan
kasus penderita yang tidak bisa mengenali perbedaan antara warna merah dengan hij au.
Cacat mata ini merupakan kelainan genetik yang diturunkan oleh ayah atau ibu. Belum dapat dipastikan
berkaitan jumlah penderita, akan tetapi sebuah penelitian menyebutkan sebesar 8-12% lelaki Eropa
mengidap buta warna. Sementara presentase perempuan Eropa yang buta warna adalah 0,5-1%. Tingkat
buta warna benua lain tentu bervariasi.
Tidak ada cara mengobati buta warna karena ia bukan kelainan cacat mata. Bisa jadi seorang buta warna
akan merasa tersiksa dengan keadaan ini. Sebagian perusahaan menetapkan syarat bahwa pekerjaan
harus tidak buta warna.

Untuk mengetahui apakah seseorang menderita buta warna, dilakukan dengan menggunakan plat
bernama Tshilhara.
Seringkali orang awam menganggap penyandang buta warna hanya mampu melihat warna hitam dan
putih, seperti menonton film bisa hitam putih. Anggapan ini sebenarnya salah besar.

Banteng ternyata buta warna. Kesan yang ditimbulkan warna merah mengakibatkan binatang tersebut
melonjak emosinya, bukan akibat warna merah itu sendiri.

Pada perang dunia ke II, serdadu yang buta warna dikirim untuk melaksanakan misi tertentu.
Ketidakmampuan mereka untuk melihat warna hijau dialihfungsikan untuk mendeteksi adanya
kemunafikan yang dilakukan pihak lawan.
Setiap orang terlahir buta warna saat pertama kali lahir.
Penyandang buta warna selalu dihantui oleh pertanyaan “warna apakah ini?.
Jika seorang tidak mempunyai kone merah, ia masih dapat melihat warna hijau. kuning, orange dan
warna merah dengan menggunakan kone hijau tetapi tidak dapat membedakan secara tepat antara
masing-masing warna tersebut oleh karena tidak mempunyai kone merah untuk kontras atau
membandingkan dengan kone hijau.
Demikian pula jika seseorang kekurangan kone hijau, ia masih dapat melihat seluruh warna tetapi tidak
dapat membedakan antara warna hijau, kuning, orance dan merah. Hal ini disebabkan karena warna
hijau yang sedikit tidak mampu mengkontraskan dengan kone merah. Jadi tidak adanya kone merah
atau hijau akan timbul kesukaaran atau ketidakmampuan untuk membedakan warna antara, keadaan ini
disebut dengan keadaan buta warna merah hijau. Kasus yang jarang sekali tetapi bisa terjadi seseorang
kekurangan kone biru, maka orang tersebut sukar membedakan warna ungu, biru dan hijau. Tipe buta
warna ini disebut kelemahan biru.

(sumber : gabriel, fisika kedokteran & handoko, fisika kesehatan)

Anda mungkin juga menyukai